Materi Siaran Radio “Pojok Hukum”
Rabu, 18 Januari 2017
Tema:
Hukum Lingkungan sebagai Pembatas Perilaku Manusia
terhadap Alam di Bumi Manusia
Oleh:
Ilva Nurfitriati, S.H., M.Si.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
1. Latar Belakang
2. Metode Pembahasan
3. Konsep Keterbatasan
4. Implementasi Prinsip Daya Dukung Pada Peraturan Nasional Indonesia
sebagai Negara Hukum
5. Keterbatasan, Sebuah Fakta Yang Tidak Menggugah Manusia
6. Keterkaitan Daya Dukung terhadap Kasus Lingkungan Hidup
7. Hukum Represif sebagai Kunci
8. Saran dan Rekomendasi
ii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
RUNDOWN ................................................................................................................................... iii
DAFTAR PERTANYAAN ........................................................................................................... iv
1. Latar Belakang ......................................................................................................................... 1
2. Metode Pembahasan ................................................................................................................ 4
3. Konsep Keterbatasan ............................................................................................................... 4
4. Implementasi Prinsip Daya Dukung Pada Peraturan Nasional ............................................... 7
5. Keterbatasan, Sebuah Fakta Yang Tidak Menggugah Manusia .............................................. 8
6. Keterkaitan Daya Dukung Terhadap Kasus Lingkungan Hidup ............................................. 9
7. Hukum Represif Sebagai Kunci ............................................................................................ 10
8. Saran dan Rekomendasi ......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
iii
RUNDOWN
Sesi 1 (30
Menit)
Latar Belakang
Metode Pembahasan
Vania (Kimberly)
Kimberly (Vania)
Sesi 2 (30
Menit)
Konsep Keterbatasan
Implementasi Prinsip Daya Dukung Pada
Peraturan Nasional Indonesia sebagai Negara
Hukum
Clarisa (Iester)
Iester (Clarisa)
Sesi 3 (30
Menit)
Keterbatasan, Sebuah Fakta Yang Tidak
Menggugah Manusia
Keterkaitan Daya Dukung terhadap Kasus
Lingkungan Hidup
Myriam (Clarisa)
Iester (Myriam)
Sesi 4 (30
Menit)
Hukum Represif sebagai Kunci
Saran dan Rekomendasi
Kimberly (Vania)
Iester
iv
DAFTAR PERTANYAAN
1. Apa yang melatarbelakangi pembahasan mengenai “Hukum Lingkungan sebagai
Pembatas Perilaku Manusia terhadap Alam di Bumi Manusia”?
2. Apa latar belakang dibutuhkan hukum lingkungan di masyarakat?
3. Bagaimana cara pandang masyarakat terhadap hukum lingkungan?
4. Bagaimana dampak hukum lingkungan terhadap kelangsungan hidup manusia di masa
depan?
5. Apa dampak adanya MDG’s terhadap masyarakat adat?
6. Bagaimana kedudukan hukum lingkungan dalam masyarakat adat?
7. Apa yang dimaksud dengan AMDAL?
8. Apa perbedaan AMDAL dan UKL-UPL?
9. Bagaimana memperoleh izin lingkungan?
10. Apa keterkaitan instrumen lingkungan dengan aspek bisnis dari hukum lingkungan?
11. Apa kesimpulan dan saran yang dapat kita tarik dari pembahasan kali ini?
1
1. Latar Belakang
Hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang dapat dikatakan sedang beranjak
berkembang di Indonesia, hal ini merujuk pada keberadaan undang-undang yang mengatur
lingkungan hidup pertama kali muncul di tahun 1982. Hukum lingkungan di Indonesia semakin
berkembang dan dikenal oleh masyarakat seiring dengan meningkatnya isu dan permasalahan
terkait lingkungan hidup. Media yang banyak dikonsumsi masyarakat umum mulai
mengetengahkan isu dan permasalahan terkait lingkungan baik isu nasional maupun
internasional.
Memang tidak semua masyarakat Indonesia memahami apa yang disebut sebagai hukum
lingkungan dalam konteks buku peraturan hukum, namun paling tidak, masyarakat mulai
mengetahui bahwa negara Indonesia memiliki peraturan terkait lingkungan hidup. Peraturan
yang terkait dengan perlindungan lingkungan hidup sudah cukup banyak dimiliki oleh Negara
Indonesia, namun yang menjadi acuan adalah Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup atau disebut sebagai UUPPLH.
Secara sederhana, apa yang terdapat dalam UUPPLH mengatur pedoman yang diamanatkan
oleh undang-undang untuk mengatur kegiatan manusia. Dalam hal inilah, UUPPLH menjadi
pembatas perilaku manusia dalam menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. Apabila sistem hukum dapat berjalan secara utuh menyeluruh, subsumtif dan
komplementer, dapat diasumsikan, tujuan untuk melindungi lingkungan hidup dapat terpenuhi.
Tulisan berikut ini akan memaparkan secara singkat bagaimana hukum lingkungan dapat
difungsikan sebagai pembatas perilaku manusia. Kemampuan lingkungan hidup akan menjadi
pertimbangan utama sebagai dasar keharusan dalam menjaga lingkungan hidup.
Berdasarkan aliran hukum modern, apa yang dapat berlaku sebagai hukum bermacam-
macam yakni dari mulai undang-undang, putusan hakim hingga kebiasaan yang terdapat di
masyarakat.1 Negara Indonesia memiliki ragam macam hukum tersebut, bahkan sebagai negara
hukum yang plural2, pilihan masyarakat dalam memilih hukum mana yang hendak
diberlakukannya cenderung terbuka. Terkait dengan lingkungan hidup, negara Indonesia telah
memiliki peraturan yang melindungi lingkungan hidup dilihat dari keberadaan peraturan dari
1 Disampaikan pada perkuliahan Teori Hukum oleh Bpk. Budi Prastowo, November 2016. 2 Terdapat lebih dari satu hukum yang dapat berlaku pada satu waktu di satu tempat, misalnya terdapat hukum nasional dan hukum adat. Disampaikan pada perkuliahan Sosiologi Hukum oleh Bpk. Herlambang W, November 2016.
2
tingkat undang-undang hingga peraturan pelaksana, hukum adat dan kebiasaan yang terdapat
dimasyarakat.
Sangat disayangkan keberadaan peraturan yang telah ada dan rasanya cukup banyak dalam
melindungi lingkungan hidup tidak berjalan linier dengan keadaan lingkungan hidup di
Indonesia. Data memperlihatkan, degradasi lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas
merosot signifikan. Gambar dibawah ini menjadi salah satu contoh.
Gambar 2. Foto Sebaran Hutan di Kalimantan
Dua gambar tersebut diatas memperlihatkan kemerosotan luas hutan baik di dunia maupun di
Kalimantan. Hal tersebut menunjukkan adanya kegiatan yang dapat disebut kerusakan
lingkungan3. Hukum yang berfungsi sebagai pengatur ketertiban dengan cara mengatur perilaku
manusia nampaknya belum efektif, sebagaimana disampaikan Prof. Sunaryati bahwa tujuan akhir
hukum adalah membentuk perilaku manusia menjadi manusia yang berperilaku baik.4
Harapannya adalah hukum dapat mencegah manusia untuk melakukan perbuatan yang merusak
lingkungan hidup.
Apabila keberadaan hukum tidak berjalan sesuai dengan fungsi dan harapan dibentuknya
hukum melalui peraturan, maka dimanakah letak permasalahan ketidakberfungsian hukum
tersebut? Asumsi sementara penulis terhadap pertanyaan tersebut adalah:
1. Indonesia memasuki periode pembenahan ulang sebagai sebuah negara, akan terjadi
kekacauan dan ketidakpastian dalam berbagai bidang yang menjadi sebuah proses untuk
3 Disebut merusak lingkungan karena berkurangnya jumlah luasan hutan dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem setempat dan
mengganggu keseimbangan habitat makhluk hidup. Gangguan ekosistem tersebut termasuk kedalam kategori rusaknya lingkungan hidup. The
Nature Conservancy (TNC) pada 2012 dalam https://alamendah.org/2014/08/01/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-penyebabnya/) 4 Disampaikan pada perkuliahan Pengaruh Ekonomi Terhadap Hukum Pembangunan di Indonesia pertengahan Bulan November 2016.
3
menemukan bentuk sistem hukum yang cocok untuk diterapkan sebagai reaksi sebuah
negara yang plural;
2. Pembenahan ulang sebagaimana disebut pada nomor satu diatas merupakan sebuah cara
dalam menjawab kondisi masyarakat Indonesia masa kini, dijelaskan oleh Prof.
Sunaryati5, jika Indonesia mengalami lompatan peradaban manusia, yang berdasarkan
klasifikasi Alvin Toffler, masyarakat Indonesia yang masih berada ditataran agraris harus
menghadapi percepatan periode masyarakat dunia yang telah memasuki masa gelombang
industri dan saat ini gelombang globalisasi dan komputerisasi (digital);
3. Lompatan gelombang yang dialami masyarakat Indonesia saat ini memerlukan hukum
yang kuat dari berbagai unsur dalam mengatur masyarakat yang plural, dimulai dari dasar
filosofis pembentukan hingga penegakan hukumnya, yang apabila mempertimbangkan
nomor satu dan dua, saat ini kekuatan hukum Indonesia belum tercapai.
Asumsi tersebut diatas tentunya memerlukan penelusuran yang mendalam untuk bisa
dikatakan dapat dibuktikan secara ilmiah /valid, namun penulis akan membatasi penelusuran
pada nomor tiga terkait keberadaan hukum, khususnya terkait hukum yang mengatur lingkungan
hidup.
Penulis sengaja mengambil sumber literatur yang berasal dari buku Hukum Lingkungan
Buku I: Umum karya Munadjat Danusaputro cetakan pertama tahun 1981 sebagai salah satu
sumber utama karena dalam buku tersebut terdapat pemikiran, pidato bahkan dapat terlihat
situasi kondisi sekitar buku tersebut disusun. Alasan-alasan tersebut penulis pertimbangkan
karena dengan demikian dapat melihat gambaran hukum lingkungan baik tingkat nasional
maupun internasional mengingat hukum lingkungan tergolong bidang hukum baru, yang pada
tahun 19726 dapat dikatakan baru menemukan bentuknya sejalan dengan diselenggarakan
pertemuan skala internasional di tahun tersebut.
Pertemuan internasional Stockholm tahun 1972 yang kemudian diikuti dengan pertemuan-
pertemuan internasional berikutnya banyak mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan di
Indonesia. Prinsip dan asas yang terdapat dari hasil pertemuan-pertemuan tersebut menjadi
prinsip dan asas dalam peraturan nasional. Sebagai sebuah prinsip dan asas yang berasal dari
konferensi internasional tentulah memiliki nilai yang telah diakui dan dijamin pelaksanaannya
5 Sunaryati Hartono, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Nasional, Bab. IV Membangun (sistem) Hukum Bagi Bangsa
Yang Hidup Dalam Lima Gelombang Peradaban Sekaligus, Hal.41. 6 5-16 Juni 1972 diselenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm.
4
dalam tataran internasional, hanya kadangkala ada saja prinsip maupun asas tersebut yang tidak
sesuai untuk diadopsi sebagai hukum nasional atau proses mengadopsi yang seringkali langsung
terap tanpa melalui proses pembaruan yang disesuaikan dengan corak atau kondisi masyarakat
Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya garis putus atau ruang kosong yang terdapat
antara prinsip dan asas dengan isi pasal yang diberlakukan pada peraturan-peraturan.
2. Metode Pembahasan
Dalam rangka topik bahasan dalam kegiatan siaran radio hasil kerja sama antara LBH Unpar
dengan Radio Chevy terkait topik tentang lingkungan hidup dalam judul hukum lingkungan
sebagai pembatas perilaku manusia, penulis membatasi lebih lanjut pembahasan dengan cara:
1. Mengangkat satu konsep (yang menjadi sebuah prinsip) yang terdapat pada peraturan
lingkungan hidup;
2. Melihat daya keberlakuan konsep tersebut menjadi sebuah prinsip sebagai pondasi dalam
melindungi lingkungan hidup; dan
3. Memperlihatkan keterkaitan konsep tersebut dengan bidang hukum tata ruang.
Tujuan pembatasan menggunakan metode tersebut dilakukan adalah untuk:
1. Melihat sejarah dan pengertian konsep yang diangkat;
2. Menilai apakah konsep tersebut tepat untuk diberlakukan atau sudah tidak relevan
diberlakukan saat ini bagi masyarakat Indonesia; dan
3. Menunjukkan pengaruh konsep yang terdapat pada peraturan lingkungan hidup terhadap
bidang hukum lain.
3. Konsep Keterbatasan
3.1. Latar Belakang Pemilihan (Konsep) Prinsip
Penelusuran terhadap prinsip yang terdapat pada peraturan terkait lingkungan hidup
dilakukan berdasarkan banyak faktor. Faktor utamanya adalah kondisi lingkungan hidup yang
terjadi beserta kasus-kasus yang menyertainya. Kasus lingkungan hidup tidak terbatas pada
masalah polusi dan sampah, namun keseluruhan aspek terkait mahluk hidup merupakan ruang
5
lingkup dari lingkungan hidup, diantaranya adalah terkait perlindungan hewan dan tumbuhan.
Salah satu konsep yang hendak penulis angkat adalah konsep, “keterbatasan”.
Keterbatasan sebagai sebuah konsep diartikan sebagai kondisi dimana bumi memiliki
keterbatasan dalam melakukan kegiatan sebagaimana bumi adanya (alamiahnya). Konsep
keterbatasan muncul pada saat pembangunan berjalan dan ditemukan oleh para ahli biologi dan
ekologi. Penulis menilai konsep keterbatasan merupakan konsep yang harus menjadi prinsip
dasar dalam melaksanakan kegiatan dan pembangunan.
3.2. Terminologi Konsep Keterbatasan
Konsep keterbatasan ini tidak ditemukan dalam buku Munadjat dalam bentuk terminologi
yang pada saat ini dikenal, namun pada buku munandjat telah disinggung persamaan intinya,
yakni padapernyataan: Pembangunan berarti mengolah dan mengubah sumber daya lingkungan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Namun, tidak menyadari bahwa tindakan-tindakannya itu
menimbulkan akibat sampingan yang tidak diperhitungkan sama sekali sebelumnya.
“Pembangunan yang telah dapat mewujudkan tujuan yang dicita-citakan ternyata meminta
pengorbanan yang lebih berat, yang mungkin tidak seimbang sama sekali dengan tujuan yang
telah dicapai”7
Disebutkan juga bahwa terdapat kesadaran bahwa manusia sering lupa bahwa di dalam
pembangunan, materi selalu melakukan siklus dalam ekosistem dan siklus itu sendiri
membutuhkan waktu dan ruang8.
Konsep keterbatasan banyak ditemukan pada literatur asing, diantaranya diungkap oleh
Garrett Hardin seorang ahli biologi, bahkan konsep keterbatasan yang kemudian dikenal dengan
terminology, “Carrying capacity”, diawali dengan teori peledakan populasi penduduk dunia,
“The population bomb”. 9
Berawal dari konsep over populasi inilah ditemukan adanya keterkaitan dengan lingkungan
hidup dan sebenarnya jelas terlihat benang merah antara perilaku manusia dengan lingkungan
7Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I:Umum, Binacipta, 1981,Hlm. 32. 8 Id.,Hlm. 72. 9 Aliran Neomalthusian berusaha menyadarkan manusia dengan menggunakan fakta fakta tentang jumlah penduduk dunia yang terus bertambah
serta mengungkapkan proyeksi jumlah penduduk dunia di masa mendatang dengan akibat yang ditimbulkan, misalnya: jumlah penduduk
dunia yang akan mendekati 7 milyar (2015) dan jumlah penduduk akan terus meningkat hingga 12 – 15 milyar di tahun 2050. Paul Ehrlich dan Garrett Hardin dalam essaynya ’The Population Boom’ menjelaskan hubungan antara penduduk dunia dan kondisi lingkungan, antara lain:
jumlah penduduk dunia meningkat pesat dan semakin padat; 2. pertambahan bahan pangan terbatas dan tidak secepat pertumbuhan penduduk
sehingga dibeberapa wilayah dunia akan mengalami kelangkaan bahan makanan ;3. lingkungan tempat tinggal manusia semakin rusak dan tercemar.
6
pada penelitian Hardin, yakni perilaku manusia yang tidak teratur dapat mengakibatkan
kerusakan lingkungan. Sebetulnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penelitian
Hardin, bahwa apakah apabila perilaku manusia sesuai dengan hukum yang berlaku maka
kerusakan lingkungan yang menjadi reaksi dari over populasi dapat dicegah.
Konsep keterbatasan menemukan bentuk terminologinya dalam istilah carrying capacity.
Merujuk pada pengertian terkait over populasi yang dicetuskan oleh Hardin, “Carrying capacity
refers to the number of individuals who can be supported in a given area within natural resource
limits, and without degrading the natural social, cultural and economic environment for present
and future generations. The carrying capacity for any given area is not fixed. It can be altered by
improved technology, but mostly it is changed for the worse by pressures which accompany a
population increase. As the environment is degraded, carrying capacity actually shrinks, leaving
the environment no longer able to support even the number of people who could formerly have
lived in the area on a sustainable basis. No population can live beyond the environment's
carrying capacity for very long.”.10
Terminologi carrying capacity kemudian diterjemahkan menjadi Daya Dukung. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) daya dukung adalah faktor-faktor pendukung di dalam
kehidupan. Sedangkan menurut Astra dan Gunawan (2012) yang dimaksud dengan daya dukung
diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan
mahluk lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya dukung merupakan kapasitas atau
kemampuan lahan yang berupa lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya.
Dalam kajian lain11 disebutkan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi bagi suatu proses
pembangunan berkelanjutan, yang berkaitan dengan prinsip keterbatasan, yaitu:
- Pertama, menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi yang secara
ekologis, benar.
- Kedua, pemanfaatan sumber daya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi
potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumber daya tak terbarukan (non-
renewable resources).
10 Policy Forum, Economic Growth, Carrying Capacity, and The Environment. Science Journal Vol.268, 28 April 1995. Hlm.521. 11 Konsep yang diajukan oleh Otto Soemarwoto tidak jauh berbeda dengan konsep yang diajukan oleh Stockholm Environment Institute
(1996) yang mengembangkan suatu sistem yaitu Sistem Sosio Ekologi yang terdiri dari atas 3 sub-sistem,yang masing-masing berkenaan dengan masyarakat manusia, lingkungan hidup dan ekonomi.
7
- Ketiga, pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi
kapasitas asimilasi pencemaran.
- Keempat, perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung
lingkungan (carrying capacity).12
Perjalanan konsep keterbatasan yang diawali dari penelitian ledakan populasi memiliki
tempat yang pasti dalam hukum lingkungan yang berwujud dalam istilah, “Daya Dukung
Lingkungan Hidup”. Konsep ini kemudian diterapkan dalam hukum nasional Indonesia, yang
setelah ditelusuri diadopsi dalam peraturan terkait lingkungan hidup dan juga terkait penataan
ruang. Hal ini memperlihatkan bahwa berjalannya lingkungan yang baik haruslah utuh
menyeluruh sebagaimana Hukum Lingkungan Modern yang membawa konsep Environment
used diterapkan, bentuk hukum lingkungan klasik yang hanya used oriented dan parsial tidak
dapat diterapkan untuk mencapai lingkungan hidup yang baik.
4. Implementasi Prinsip Daya Dukung Pada Peraturan Nasional
Daya dukung lingkungan yang diusung peraturan terkait lingkungan dapat terlihat dari
Undang-undang tentang Lingkungan Hidup yang pertama, yakni UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, meskipun pada UU No.4 Tahun 1982 ini
konsep daya dukung diungkapkan pada bagian penjelasan pasal per pasal13, namun paling tidak
dapat menunjukkan bahwa konsep keterbatasan telah menjadi dasar dan pembatas dalam rangka
perilaku manusia ketika memanfaatkan sumber daya alam. Pada Undang-undang terkait
lingkungan hidup selanjutnya, baru terlihat diangkatnya konsep Daya Dukung tersebut secara
terang.
Daya dukung lingkungan hidup bahkan didukung dengan prinsip daya tampung lingkungan
hidup. Belum ditemukan lebih lanjut awal mula konsep daya tampung tersebut dimasukkan ke
dalam UU No.32 Tahun 2009, namun jika menafsirkan pengertian atas prinsip tersebut,
peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut mengupayakan
tindakan utuh dalam menjaga lingkungan. Hal-hal tersebut menunjukkan besarnya proteksi yang
12 Almanak Lingkungan Hidup Indonesia 1995/1996, Kantor Meneg Lingkungan Hidup, 1996, hlm. 228. 13 Dapat dilihat pada lampiran
8
diupayakan, bahwa kondisi lingkungan betul-betul harus diukur terlebih dahulu sebelum terdapat
kegiatan dari tingkat nasional hingga daerah.
Konsep Daya dukung dapat ditemukan juga pada peraturan terkait penataan ruang. Dua
undang-undang terkait penataan ruang memiliki terminologi daya dukung, berdasarkan tahun
berlakunya undang-undang penataan ruang, diasumsikan memang prinsip daya dukung mengacu
pada prinsip yang diamanatkan dalam undang-undang terkait lingkungan hidup14. Bahkan pada
UU No.32 Tahun 2009 diwajibkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan pembangunan
diperlukan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis15 untuk melihat daya dukung lingkungan
hidup16.
5. Keterbatasan, Sebuah Fakta Yang Tidak Menggugah Manusia
Literatur yang telah dipaparkan diatas telah memperlihatkan bagaimana keterbatasan dan
kemampuan lingkungan hidup dipertimbangkan dan diperhatikan dalam melaksanakan kegiatan
maupun pembangunan. Kenyataan tersebut merupakan fakta yang menjamin bahwa
keberlangsung sumber daya dapat terus dijaga melalui pengaturan yang tercantum dalam
peraturan selaku pembatas perilaku manusia. Namun, pertanyaan yang sama tetap berulang,
“Mengapa, dalam sebuah peraturan yang mengandung konsep dan bahkan telah dituangkan
kedalam isi peraturannya, konsep keterbatasan yang menjadi dasar jika tidak dapat disebut akar,
tidak berjalan linier dengan kenyataan lingkungan yang ada?”. Tidak hanya pada tataran
keberadaan hukum, namun pada tataran yang lebih jauh, perlindungan terhadap lingkungan
rupanya telah sedemikian rupa dimasukkan kedalam teks. Apakah hal ini merupakan tanda,
bahwa manusia selalu subjek yang menjalankan hukum memerlukan sebuah konsep yang lebih
besar?
Meski terdengar sederhana, konsep keterbatasan ini memiliki pertanda kelangsungan hidup
manusia. Jikalau bumi mencapai titik berhenti evolusi, maka otomatis sumber daya alam sebagai
sumber penghidupan manusia akan terhenti. Namun, rupanya fakta tersebut tidak diidahkan oleh
14 Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang ketetuan pokok pengelolaan lingkungan hidup sebagai undang-undang pertama terkait lingkungan hidup telah memiliki konsep daya dukung lingkungan hidup, sehingga diasumsikan Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang penataan ruang
sebagai undang-undang pertama terkait penataan ruang mengacu pada prinsip daya dukung lingkungan hidup. 15 Pasal 1 Angka 10 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program. 16 Lihat Pasal 17 dan Pasal 19 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang terdapat pada lampiran.
9
manusia. Lebih jauh, keterbatasan dapat mengakibatkan perubahan paradigm atas pembagian
jenis sumber daya alam. David Benner (Dalam Sony, Etika Lingkungan, 2006: 43-46)
mengemukakan apa yang disebutnya prudential argument, yaitu, kelangsungan hidup manusia
tergantung dari kelestarian dan kualitas lingkungannya.17
Dalam buku Hukum Lingkungan yang ditulis oleh Prof. Munadjat, Prof. Dr. H.Tb. Bachtiar
Rifai menjelaskan tentang sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan diperbaharui18.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber daya alam yang tidak dapat diperbahari, apabila
dimanfaatkan maka sumber alam tersebut akan berkurang setiap kali dimanfaatkan oleh manusia,
sedangkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui apabila pemanfaatannya tidak bijaksana
maka sumber daya alam tersebut secara praktis tidak dapat bertahan tak terhingga lamanya.
Dikatakan,”Air lazimnya adalah renewable, namun ekstrasi cepat dari lapisan-lapisan dalam
dapat membuat prosesnya sama dengan menambang mineral”.
Selama ini manusia berlega hati karena merasa memiliki faktor sumber daya alam yang dapat
diperbaharui. Namun perlu dicermati, kemungkinan adanya pergeseran bahkan perubahan makna
atas faktor tersebut. Dalam kondisi ekologi yang rusak, sumber daya alam yang dapat
diperbaharui tidak dapat melakukan siklus dengan waktu yang umumnya diperlukan. Ruang dan
waktu yang diperlukan ini dapat menyebabkan situasi kekosongan sumber daya alam yang
penulis sebut dengan kemungkinan semua sumber daya alam hanya akan memiliki satu jenis
saja, yakni sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Hal tersebut didasari dengan
argument bahwa, untuk melakukan siklusnya, organisme memerlukan unsur-unsur yang
membentuknya, apabila unsur yang diperlukan tidak utuh, rusak bahkan hilang, diasumsikan
organisme tersebut tidak lagi akan ada (eksis), kalaupun organisme tersebut menarik unsur lain,
maka jenis organisme tersebut diasumsikan telah menjadi jenis organisme baru dimana
organisme yang lama dikatakan telah punah.
6. Keterkaitan Daya Dukung Terhadap Kasus Lingkungan Hidup
Mengambil dua kasus yang baru saja terjadi di Kota Bandung, Banjir dan penangguhan
RDTR Kota Bandung, menimbulkan pertanyaan berunut. Tidakkah peraturan yang ada telah
mengatur? Apakah peraturan tersebut tidak berjalan efektif? Penangguhan RDTR kerap
17 Marhaeni Ria Siombo. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Hlm. 13. 18 Munadjat, supra catatan no.7,pada 74.
10
menghasilkan lelucon, bahwa dalam membuat perencanaan pola ruang kota, hanya tinggal
menggunakan pinsil warna yang berbeda menggunakan warna yang dikehendaki penguasa.
Seringkali warna peta yang memiliki fungsi publik, yaitu ruang terbuka hijau yang memiliki
simbol warna hijau pada keterangan peta diubah menjadi warna peta yang bertendesi komersil
dan menguntungkan sekelompok orang saja, yaitu ruang komersil yang memiliki simbol warna
merah, kuning atau abu-abu19.
Peristiwa perubahan warna tersebut yang terjadi pada RDTR, perubahan warna kawasan
ruang terbuka hijau menjadi kawasan komersil. Merujuk pada peristiwa banjir yang melanda
kota Bandung, tentu saja perubahan fungsi peruntukan tersebut menjadi permasalahan yang
dikhawatirkan masyarakat. Banjir yang melanda pusat kota Bandung, daerah Pagarsih dan titik
lainnya membuka kesadaran masyarakat bahwa kemampuan lingkungan kota Bandung ketika
turun curah hujan yang besar dan terus menerus tidak lagi bisaditanggulangi. Selain itu mucul
fakta sejarah yang mengingatkan masyarakat Bandung pada khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Fakta bahwa kota Bandung merupakan cekungan dan berdasarkan
sejarah, wilayah Bandung merupakan danau purba.
Alam memiliki caranya sendiri dalam menjagakelangsungan bumi ini, seorang ilmuwan
James Lovelock tahun 1979 melalui buku pertamanya Gaia : A New Look at Life on Earth
menjelaskan bahwa bumi merupakan organisme tunggal yang hidup dan mampu menyembuhkan
sendiri rasa sakitnya, sehingga bencana yang banyak terjadi adalah bentuk penyembuhan bumi
itu sendiri20. Apabila teori yang dikemukakan oleh Lovelock benar adanya, maka kemungkinan
banjir yang terjadi di Kota Bandung sebenarnya memperlihatkan teori Lovelock, untuk
menjawab ketidakmampuan lingkungan masyarakat Bandung, lingkungan mencarikan jawaban
dengan cara mengembalikan bentuk alami alam, yakni lingkungan yang dahulu merupakan
Danau (purba) akan kembali ke bentuk semulanya, kembali menjadi danau.
7. Hukum Represif Sebagai Kunci
Berdasarkan uraian yang tersebutdiatas, maka sebenarnya apa yang disebut sebagai aturan
hukum dalam konteks pelaksanaan peraturan lingkungan hidup, bagaimana aturan hukum
19 Warna merah, kuning dan abu-abu mewakili kawasan komersil, perdagangan dan permukiman. 20 Wahyuana. Lomba Tulis YPHL : Gaia, Kosmologi Konservasi Hutan Dan Lingkungan. 31 Oktober 2008, pada http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20081031184602
11
tersebut dapat berlaku21 agar mencapai tujuan yang diharapkan karena hingga tataran konsep
yang dituangkan dalam prinsip, tidak tercapai keberlakuan hukumnya.Mengamati dari situasi dan
kondisi yang dapat mempengaruhi berjalannya hukum pada saat ini di Indonesia, sepertinya
sedang berlangsung bentuk hukum represif ditengah masyarakat. Meskipun, mungkin banyak
fihak yang akan menentang pendapat jika hukum represif sedang berjalan, bahwa bentuk
represifitas sudah hilang bersamaan dengan masa reformasi, namun fakta atas keberadaan hukum
represif ini tidak dapat dipungkiri.
Represif mengandung proses tekanan, ancaman dan paksaaan dalam pengertiannya. Hal yang
harus disepakati lebih dahulu adalah tidak ada kondisi apapun yang menjadi alasan
diperbolehkannya terjadi tindakan represif terhadap makhluk hidup. Bagaimanapun adanya,
tindakan yang mengarah kesewenang-wenangan tidak dibenarkan. Sebagai sebuah bentuk sistem
hukum yang paling keras dibandingkan bentuk hukum otonom dan responsif, terdapat sedikit
peluang untuk menerapkan hukum represif tanpa mencapai tingkat kekerasan yang dimiliki
hukum represif sebagai teori. Disebutkan, “Seperti halnya paksaan tidak harus represif, demikian
juga represi tidak harus bersifat memaksa secara langsung”22. Meski memang dalam
pelaksanaannya, masyarakat tidak merasa terancam, namun terdapat perasaan takut atas
penegakan hukum represif. Namun, bukankah manusia akan selalu merasa takut berhadapan
dengan peristiwa yang tidak secara umumnya berlangsung? Perasaan takut akan selalu muncul
secara alamiah sebagai reaksi dari sebuah perbuatan keras, tegas bahkan jahat. Perasaan was-was
akan selalu muncul sebagai respon fisik dan mental manusia ketika mendengar atau melihat
adanya penegakan hukum. Sehingga, yang memang perlu dikontrol adalah sejauh mana dan
seberapa besar kekuatan dan kekuasaan pada saat hukum represif berlaku agar tindakan represif
yang diperlukan untuk dijalankan tidak melebihi maksud dan tujuannya.
Tiga asumsi23 awal yang disebutkan dalam tulisan ini menjelaskan kondisi yang sedang
dialami masyarakat Indonesia. Sejalan dengan fungsi keberadaan hukum represif, yakni
mengatasi ketidakadilan yang benar-benar parah dengan cara menerapkan tertib hukum
menggunakan bentuk represif. Terdapat kemungkinan bahwa kondisi kacau negara Indonesia
dapat sedikit ditertibkan menggunakan bentuk represif. Karena identifikasi terhadap individu dan
kelompok di negara Indonesia dirasa penulis tidak dapat ditebak sikap dan arah
21 Budiono Kusumohamidjojo. Teori Hukum: Dilema Antara Hukum dan Kekuasaan.Bandung:Ikapi,2016. Hlm. 57. 22 Philippe Nonet, Philip. Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media, 2010. Hlm. 37. 23 Lihat hal 2 pada makalah ini.
12
keberpihakannya. Meski memang, pada tingkat pemerintahan dan penguasa, terdapat juga
kekacauan politik yang menyebabkan kebingungan, penguasa mana yang lantas akan
menerapkan hukum represif tersebut. Karena, apabila para penguasa itu sendiri bertikai, maka
masyarakat sudah tentu menjadi tumbal yang dipergunakan para penguasa tersebut untuk
menguasai pemerintahan.
Tentu saja bentuk hukum represif merupakan usulan teoritis yang diharapkan tidak perlu
terjadi. Dalam kasus-kasus hukum lingkungan, tidak cukup berlakunya sanksi bagi manusia
karena lingkungan terkena imbas yang seringkali tidak begitu diperhatikan bobot kerugiannya.
Kesadaran merupakan kunci utama dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup.
Terlepas dari kondisi dan situasi politik yang ada, sangat terlihat bahwa arahan pengendalian
hukum Indonesia bertujuan untuk menciptakan ketertiban, tujuan hukum ketertiban merupakan
salah satu ciri hukum represif yang utama, dimana peraturan kerapkali tajam ke bawah dan
tumpul ke atas atau berdasarkan teori hukum represif diartikan keras dan rinci namun berlaku
lemah terhadap pembuah hukum. Bahkan, masa dimana katanya kebebasan berpendapat terbuka
luas seperti saat ini, sebenarnya pengekangan terhadap sikap dan pendapat yang tidak sejalan
dengan negara kerap berlangsung dimana berdasarkan teori hukum represif disebut sebagai
partisipasi pasif dan kritikan dipandang sebagai ketidaksetiaan yang harus diwaspadai24.
8. Saran dan Rekomendasi
Sebagai sebuah teori, pemahaman konsep ini diperlukan tidak hanya untuk bidang hukum
lingkungan dan hukum tata ruang. Rasanya keseluruhan bentuk kehidupan manusia harus mulai
memperhatikan faktor keterbatasan yang dimiliki bumi karena seluruh kegiatan manusia,
langsung ataupun tidak langsung akan bersentuhan dengan alam (lingkungan) dan sebagai
konsep keterbatasan merupakan konsep universal yang patut dipahami seluruh umat manusia
untuk tetap berpegang teguh pada semangat Konferensi Stockholm 1972, “One World”, bahwa
bumi ini hanya satu dan wajib dilindungi dan dipertahankan keberadaan kualitasnya demi
keberlangsungan generasi yang akan datang.
24 Philippe Nonet, Philip. Supra catatan no. 22, pada 19.
13
Langkah yang dapat dilakukan selanjutnya terkait pelaksanaan peraturan lingkungan hidup
agar dapat tercapai sesuai harapan, antara lain:
1. Membuka ulang dan menyebarkan pengetahuan mengenai konsep keterbatasan
menggunakan sarana informasi dan media digital seluas-luasnya bahkan mengungkapkan
fakta terkait lingkungan sampai dengan tingkatan prediksi fakta terburuk yang mungkin
terjadi, sehingga umat manusia benar-benar merasa ketakutan untuk mencapai tingkat
kesadaran atas melindungi lingkungan hidup;
2. Melakukan penelitian lebih jauh tentang perubahan paradigma yang mungkin terjadi
mengenai kemungkinan berubahnya sumber daya alam yang dapat diperbaharui menjadi
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui;
3. Memanfaatkan bentuk hukum represif yang sedang terjadi di Indonesia sebagai solusi
dalam mencapai ketertiban. Apabila hukum represif dapat membentuk perilaku manusia,
mungkin telah sampai masanya, hukum harus bertindak keras dalam menegakkan hukum
terkait perlindungan lingkungan hidup, paling tidak terhadap masyarakat yang menutup
mata terhadap aturan hukum yang berlaku. Setelah tujuan hukum tersebut tercapai, secara
ideal barulah dilakukan penggeseran bentuk hukum represif menjadi bentuk hukum yang
lebih lunak bagi masyarakat;
4. Menempatkan dan memasukkan konsep dasar peraturan lingkungan hidup kedalam
seluruh bidang peraturan di Indonesia ssebagai dasar dan pembatas manusia untuk
mengatur perilaku dan melaksanakan kegiatan;
5. Memperluas pemahaman dan ruang lingkup terkait kerusakan lingkungan hidup tidak
hanya sebatas kerusakan hutan atau pencemaran.
Langkah tersebut diatas merupakan rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mencapai
sebuah tujuan hukum, yang dapat diimplementasikan dengan baik dan utuh apabila memahami
bagaimana teori hukum berlaku di masa dan waktu tertentu. Seperti, apa yang disebut hukum
oleh masyarakat setempat, bagaiman hukum yang diakui oleh masyarakat tersebut dapat berlaku
secara efektif. Meskipun suara bulat tidak akan tercapai untuk memperoleh jawaban-jawaban
tersebut, dengan cara mengamati, kita dapat memperoleh jawaban-jawaban tersebut. Indonesia
saat ini memang juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai bentuk hukum represif, namun
terdapat kecenderungan kondisi dan situasi yang memenuhi unsur tersebut. Setiap bentuk hukum
14
memiliki dampak positif dan negatif yang berdasarkan pengamatan penulis, pada saat ini, jika
bentuk hukum represif dalam dipergunakan dengan tepat dapat menjadi jawaban yang memang
masih jauh dari ideal untuk memotong permasalah terkait lingkungan hidup sebelum pernyataan
Lovelock terwujud menjadi sebuah kebenaran yakni,” Disaat bumi ini sudah merasa sangat sakit
maka bumi akan menyehatkan dirinya sendiri menggunakan cara yang tidak akan memihak umat
manusia”.
Daftar Pustaka
Buku
Danusaputro, Munadjat. 1981. Hukum Lingkungan Buku I:Umum, Binacipta, 1981.
Hartono, Sunaryati. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Nasional,
Bab. IV Membangun (sistem) Hukum Bagi Bangsa Yang Hidup Dalam Lima
Gelombang Peradaban Sekaligus.
Kantor Meneg Lingkungan Hidup.1996. Almanak Lingkungan Hidup Indonesia 1995/1996.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2016. Teori Hukum: Dilema Antara Hukum dan
Kekuasaan.Bandung:Ikapi.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. 2010. Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media.
Ria Siombo, Marhaeni. 2012. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia. Gramedia.
Jurnal
Policy Forum, Economic Growth, Carrying Capacity, and The Environment. Science Journal
Vol.268, 28 April 1995.
Pustaka yang tidak dipublikasi
Bahan perkuliahan: Disampaikan pada perkuliahan Pengaruh Ekonomi Terhadap Hukum
Pembangunan di Indonesia oleh Prof. Sunaryati Hartono tentang,”Fungsi hukum”
pertengahan Bulan November 2016.
Bahan perkuliahan: Disampaikan pada perkuliahan Teori Hukum oleh Dr. Budi Prastowo
tentang,”Apa yang disebut sebagai teori hukum” Bulan November 2016.
Bahan perkuliahan: Disampaikan pada perkuliahan Sosiologi Hukum oleh Dr. Herlambang
Wiratma tentang,”Hukum Pluralisme” Bulan November 2016.
Pustaka internet
Wahyuana. Lomba Tulis YPHL : Gaia, Kosmologi Konservasi Hutan Dan Lingkungan. 31
Oktober 2008, pada
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20081031184602 (25
November 2016)
The Nature Conservancy (TNC) pada 2012 dalam
https://alamendah.org/2014/08/01/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-
penyebabnya/. (25 November 2016)