Download - HIPERTENSI KEHAMILAN
HIPERTENSI KEHAMILAN
Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan dan
dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 persen kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat
menyebabkan morbiditas/ kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru
(cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/ pengentalan darah di dalam pembuluh
darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian
janin di dalam rahim, solusio plasenta/ plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran
prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian
pada ibu.
Hipertensi atau Darah Tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan
darah diatas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Hipertensi merupakan kelainan yang sulit
diketahui oleh tubuh kita sendiri. Satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur
tekanan darah kita secara teratur.
Diketahui 9 dari 10 orang yang menderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab
penyakitnya. Itulah sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau silent killer. Seseorang baru
merasakan dampak gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi. Jadi baru disadari ketika telah
menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung, koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi
kognitif atau stroke .Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para penderitanya.
Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang tinggi (high case fatality rate) juga
berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus ditanggung para penderita. Perlu pula
diingat hipertensi berdampak pula bagi penurunan kualitas hidup.
Hipertensi sebenarnya dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Jika salah satu orang tua
terkena Hipertensi, maka kecenderungan anak untuk menderita Hipertensi adalah lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki orang tua penderita Hipertensi.
Diagnosis
Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya
melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg). Sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung
memompa darah ke dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut). Diastolik adalah tekanan darah pada
saat jantung mengembang dan menyedot darah kembali (pembuluh nadi mengempis kosong).
Sebetulnya batas antara tekanan darah normal dan tekanan darah tinggi tidaklah jelas, sehingga
klasifikasi Hipertensi dibuat berdasarkan tingkat tingginya tekanan darah yang mengakibatkan
peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
Menurut WHO, di dalam guidelines terakhir tahun 1999, batas tekanan darah yang masih
dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHG dinyatakan
sebagai hipertensi; dan di antara nilai tsb disebut sebagai normal-tinggi. (batasan tersebut diperuntukkan
bagi individu dewasa diatas 18 tahun).
1
Gejala
Mekanisme Terjadinya Hipertensi Gejala-gejala hipertensi antara lain pusing, muka merah,
sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dan lain-lain. Dampak
yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal, pendarahan pada selaput bening (retina
mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta kelumpuhan.
Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui. Namun,
berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya
umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi
tergolong Hipertensi primer sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain kelainan
pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme), dan lain lain. Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah
hipertensia esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke penderita
hipertensi esensial.
Berdasarkan faktor akibat Hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi
melalui beberapa cara:
- Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya
- Terjadi penebalan dan kekakuan pada dinding arteri akibat usia lanjut. Arteri besar kehilangan
kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa
darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui
pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan.
- Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi
jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam
tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
Oleh sebab itu, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, dan banyak
cairan keluar dari sirkulasi. Maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.
Berdasarkan faktor pemicu, Hipertensi dibedakan atas yang tidak dapat dikontrol seperti umur, jenis
kelamin, dan keturunan. Pada 70-80% kasus Hipertensi primer, didapatkan riwayat hipertensi di dalam
keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan Hipertensi primer
lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah
satunya menderita Hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam
terjadinya Hipertensi.
2
Sedangkan yang dapat dikontrol seperti kegemukan/obesitas, stress, kurang olahraga, merokok,
serta konsumsi alkohol dan garam. Faktor lingkungan ini juga berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi
esensial. Hubungan antara stress dengan Hipertensi, diduga melalui aktivasi saraf simpatis. Saraf simpatis
adalah saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada
saat kita tidak beraktivitas.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak
menentu). Apabila stress berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun
hal ini belum terbukti, akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal di kota.
Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi Hipertensi dan
dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya Hipertensi dikemudian hari.
Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi esensial, tetapi penyelidikan
membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan
hipertensi lebih tinggi dibandingan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal.
Pencegahan
Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang
cukup. Hindari kebiasaan lainnya seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol diduga berpengaruh dalam
meningkatkan resiko Hipertensi walaupun mekanisme timbulnya belum diketahui pasti.
Pengobatan
Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan hipertensi, karena olah raga isotonik
(spt bersepeda, jogging, aerobic) yang teratur dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat
menurunkan tekanan darah. Olah raga juga dapat digunakan untuk mengurangi/ mencegah obesitas dan
mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (tubuh yang berkeringat akan mengeluarkan garam lewat
kulit).
Pengobatan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Pengobatan non obat (non farmakologis)
2. Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)
Pengobatan non obat (non farmakologis)
Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat mengontrol tekanan darah sehingga
pengobatan farmakologis menjadi tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya ditunda. Sedangkan pada
keadaan dimana obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan non farmakologis dapat dipakai sebagai
pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih baik.
Pengobatan non farmakologis diantaranya adalah :
3
1. Diet rendah garam/kolesterol/lemak jenuh
2. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh.
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan
asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan. Cara pengobatan ini hendaknya tidak
dipakai sebagai pengobatan tunggal, tetapi lebih baik digunakan sebagai pelengkap pada
pengobatan farmakologis.
3. Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang
akhirnya dapat menurunkan tekanan darah.
4. Melakukan olah raga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4
kali seminggu.
5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol
Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)
Obat-obatan antihipertensi. Terdapat banyak jenis obat antihipertensi yang beredar saat ini. Untuk
pemilihan obat yang tepat diharapkan menghubungi dokter.
Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing) sehingga
volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
Contoh obatannya adalah Hidroklorotiazid.
Penghambat Simpatetik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita
beraktivitas ).
Contoh obatnya adalah : Metildopa, Klonidin dan Reserpin.
Betabloker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis betabloker
tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma
bronkial.
Contoh obatnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol. Pada penderita diabetes melitus harus
hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam darah turun
menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya). Pada orang tua terdapat gejala
bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hati-hati.
4
Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh
darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah : Prasosin, Hidralasin. Efek samping yang
kemungkinan akan terjadi dari pemberian obat ini adalah : sakit kepala dan pusing.
Penghambat ensim konversi Angiotensin
Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah).
Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah :
batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
Antagonis kalsium
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung
(kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek
samping yang mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.
Penghambat Reseptor Angiotensin II
Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptornya yang
mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah
Valsartan (Diovan). Efek samping yang mungkin timbul adalah : sakit kepala, pusing, lemas dan mual.
Dengan pengobatan dan kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya hipertensi, maka
angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan.
HDK - Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu hamil
setelah perdarahan dan infeksi.
Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan
pertanyaan yang masih belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.
TERMINOLOGI dan KLASIFIKASI
Hipertensi pada kehamilan dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu:
1. Hipertensi kronik: hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
5
2. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni (proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.
3. Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
4. Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.
HG-Hipertensi Gestasional adalah terminologi untuk menggambarkan adanya hipertensi berkaitan dengan
kehamilan yang sifatnya “new-onset”.
Klasifikasi berdasarkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) tahun 2000.
1. HG-Hipertensi Gestasional ( istilah sebelumnya adalah “pregnancy induced hypertension” yang
mencakup pula hipertensi transien)
2. PE-Pre Eklampsia
3. E-Eklampsia
4. Pre Eklampsia super imposed pada Hipertensi Kronis
5. HK-Hipertensi Kronis
Dari : Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
DIAGNOSIS
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah istirahat ≥ 140/90 mmHg. Kriteria edema pada PE
sudah tidak digunakan lagi oleh karena selain subjektif dan juga tidak mempengaruhi “out-come”
perinatal.
Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan
1. HG-Hipertensi Gestasional
TD-Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam kehamilan.
Tidak terdapat Proteinuria, Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca
persalinan.
Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan.
Dapat disertai dengan gejala PE Berat : nyeri epgastrium atau trombositopenia.
2. PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
PRE-EKLAMPSIA BERAT ( PE disertai dengan satu atau lebih gejala berikut dibawah ini) :
1. TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
2. Proteinuria 2.0 g/24 jam ≥ 2+ (dispstick)
3. Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah abnormal )
4. Trombosit < 100.0000 / mm3
5. Microangiopathic hemolysis ( increase LDH )
6. Peningkatan ALT atau AST
6
7. Nyeri kepala atau gangguan visual persisten
8. Nyeri epigastrium
3. Eklampsia
Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita pre eklampsia
4. Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik )
Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak menunjukkan
adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
atau
Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia < 100.000/mm3 pada
penderita hipertensi dan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi Kronis
TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak terkait
dengan penyakit trofoblas gestasional
HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai > 12 minggu
pasca persalinan.
ALT = Alanin aminotranferase AST = Aspartate aminotranferase
LDH = Lactate Dehydrogenase
Diadaptasi dari National High Blood Presssure in Pregnancy (2000)
Dari : Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
1. HIPERTENSI GESTASIONAL
o Sering disebut sebagai hipertensi transien.
o Proteinuria pada keadaan ini adalah pertanda semakin memburuknya penyakit.
o Proteinuria persisten yang bermakna dapat meningkatkan resiko maternal dan fetus.
2. PRE-EKLAMPSIA
Sindroma khusus dalam kehamilan yang berupa hipertensi yang disertai dengan vasospasme
generalisata (menyebabkan gangguan perfusi organ vital) dan aktivasi endotelial.
Hipertensi dan Proteinuria adalah kriteria PE. Proteinuria adalah protein dalam urine >300 mg/24
jam ; atau 30 mg/dL (dipstick 1+)
Derajat proteinuria bervariasi selama 24 jam, sehingga hasil kadar protein sesaat tidak
merefleksikan keadaan sebenarnya.
Nyeri epigastrium diakibatkan oleh nekrosis hepatoseluler, iskemia dan edema hepar yang
meneybabkan regangan kapsule Glisson. Nyeri epigastrium sering disertai dengan kenaikan kadar
serum hepatik transaminase (indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan)
Trombositopenia adalah tanda memburuknya PE dan disebabkan oleh aktivasi dan agregasi
platelet akibat vasospasme yang merangsang hemolisis mikroangiopatik.
Gross hemolisis yang dengan adanya hemoglobinuria atau hiperbilirubinemia menunjukkan
beratnya penyakit.
Faktor lain yang menunjukkan beratnya penyakit adalah disfungsi jantung dan edema paru serta
PJT
Derajat preeklampsia
Derajat beratnya PE dinilai dari frekuensi dan intensitas masing-masing abnormalitas seperti yang terlihat
pada tabel dibawah.
7
Penyimpangan dari nilai normal yang semakin banyak merupakan indikasi untuk melakukan terminasi
kehamilan semakin kuat.
Pemisahan PE ringan dan PE Berat secara tegas dapat menimbulkan kesulitan oleh karena penyakit
ringan dapat dengan cepat berubah menjadi penyakit yang berat.
Perlu diperhatikan bahwa tingginya tekanan darah bukan merupakan penentu utama klasifikasi berat atau
ringannya PE.
Dari : Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
3. EKLAMPSIA
Pre-eklampsia yang disertai dengan kejang dan kejang tersebut tidak disebabkan oleh faktor-faktor
lainnya.
Kejang bersifat menyeluruh dan dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah persalinan.
Pada nulipara, kejang kadang-kadang dapat terjadi sampai 48 jam Pasca Persalinan.
Chames dkk (2002) : dengan memperbaiki kualitas perawatan prenatal, sejumlah kasus eklampsia
intrapartum atau antepartum dapat dicegah.
4. HIPERTENSI KRONIS SUPERIMPOSED PREEKLAMPSIA
Semua penyakit HK apapun penyebabnya memiliki predisposisi untuk berkembang menjadi PE atau E
selama kehamilan.
Diagnosa adanya latar belakang HK dibuat bila :
1. Hipertensi tercatat sebelum kehamilan.
2. Hipertensi terdeteksi pada kehamilan < 20 minggu.
3. Hipertensi menetap > 6 minggu pasca persalinan.
8
Dari : Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
Faktor anamnesa tambahan yang dapat membantu menegakkan diagnosis hipertensi kronis adalah :
1. Multipara
2. Riwayat HT pada kehamilan sebelumnya. Keadaan ini sering pula disertai dengan kecenderungan
3. Menurun dalam keluarga.
Diagnosa HK menjadi sulit ditegakkan bila kunjungan antenatal pertama kali dilakukan setelah lewat dari
pertengahan kehamilan.
Tergantung lamanya penyakit, komplikasi hipertensi kronis dapat berupa hipertrofi ventrikular,
dekompensasi jantung, CVA-cerebro vascular accident atau kerusakan ginjal.
25% kasus hipertensi kronis akan berkembang menjadi superimposed PE
Pada hipertensi kronis superimposed PE sering kali disertai dengan solusio plasenta.
Janin pada penderita Hipertensi Kronis sering mengalami :
PJT – pertumbuhan janin terhambat
Persalinan preterm
IUFD – intra uterine fetal death
Pada penderita HK, terjadi peningkatan tekanan darah pada kehamilan > 24 minggu. Bila disertai dengan
proteinuria maka disebut hipertensi kronis superimposed PE.
Superimposed PE muncul lebih dini dibandingkan jenis PE “murni” dan cenderung lebih parah serta
seringkali disertai dengan PJT.
ANGKA KEJADIAN DAN FAKTOR RESIKO
Angka kejadian HDK pada umumnya sekitar 5% dari seluruh kehamilan.
Faktor resiko :
1. Usia
o HG sering terjadi pada pasien nullipara dan usia “tua” (> 35 tahun)
2. Kehamilan kembar
3. Paritas
4. Ras : sering terjadi pada afro-america
5. Predisposisi genetik
6. Faktor lingkungan : kebiasaan hidup
ETIOLOGI
9
Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi PE harus dapat menjelaskan kenyataan
bahwa HDK seringkali terjadi pada :
1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara )
2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar atau mola )
3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan.
4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi .
Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi :
1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina.
2. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto-maternal .
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama kehamilan.
4. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ).
5. Pengaruh genetik.
1. INVASI TROFOBLAST ABNORMAL
Implantasi plasenta yang normal
Terlihat proliferasi trofoblas ekstravillous membentuk kolom sel didekat “anchoring villous”
Trofoblas ekstravilous melakukan invasi desidua dan kearah bawah kedalam arteri spiralis.
Akibatnya, terjadi penggantian endotel dan dinding otot dari pembuluh darah serta pembesaran dari
pembuluh darah
Pada proses implantasi normal : arteri spiralis mengalami “remodeling” secara ekstensif akibat invasi oleh
trofoblast endovaskular (gambar atas)
Pada PE : invasi trofoblastik berlangsung secara tak sempurna. Pembuluh darah desidua ( bukan
pembuluh darah miometrium ) terbungkus dengan trofoblas endovaskular.
Besarnya gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis berhubungan dengan beratnya HT yang terjadi.
Perubahan dini pada PE :
Kerusakan endothelium.
Insudasi bahan dalam plasma kedalam dinding pembuluh darah.
Proliferasi sel miointima dan nekrosis bagian medial.
Terdapat akumulasi lipid pada sel miointima dan makrofag, sel yang mengandung lipid tersebut disebut
artherosis (gambar bawah)
10
Artherosis dalam pembuluh darah
Gambar bawah adalah gambar skematik dari struktur artherosis
Obstruksi lumen arteri spiralis akibat artherosis menyebabkan terganggunya aliran darah.
Redman dan Sargent (2003) : gangguan perfusi plasenta akibat artherosis arteri spiralis adalah awal
kejadian sindroma PE.
2. FAKTOR IMUNOLOGI
Terdapat sejumlah bukti yang menyatakan bahwa PE adalah penyakit dengan mediasi imunologi.
Resiko PE meningkat pada keadaan dimana pembentukan “blocking antibody” terhadap “placental site”
terganggu.
Dekker dan Sibai (1998) meneliti peranan maladaptasi imunologis dalam patofisiologi PE. Dimulai sejak
trimester kedua, pasien yang akan menderita PE mempunyai helper T cell (Th1) yang rendah
dibandingkan mereka yang tidak akan menderita PE.
Ketidak seimbangan Th1/Th2 ( Th2 yang lebih dominan) tersebut dipengaruhi oleh adenosin.
Yoneyama dkk (2002) kadar adenosin pada penderita PE lebih besar dibandingkan yang normotensif.
Helper cell T lympocyte menghasilkan cytokine spesifik yang memudahkan implantasi dan disfungsi dari
helper cell lymphocyte dan keadaan ini akan menyebabkan terjadinya PE.
Pada penderita dengan antibodi anticardiolipin, lebih sering terjadi kelainan plasenta dan PE.
3. VASKULOPATI dan INFLAMASI
Melalui berbagai macam cara, perubahan inflamasi merupakan kelanjutan dari perubahan yang terjadi
plasenta. Sebagai respon terhadap faktor plasenta yang dilepaskan akibat adanya reaksi iskemik terjadi
sebuah rangkaian proses seperti yang terlihat pada gambar skematik dibawah.
11
Pada desidua terdapat banyak sel yang bila diaktivasi akan mengeluarkan bahan – bahan tertentu yang
dapat merusak sel endotel. Disfungsi sel endotel berhubungan dengan PE melalui proses adaptasi
inflamasi intravaskular.
PE dianggap sebagai keadaan ekstrem dari aktivasi leukosit dalam sirkulasi maternal.
Manten dkk (2005) : Cytokine ( tumor necrosis factor α ) dan interleukin berperan sebagai stressor
oksidatif yang berkaitan dengan PE.
Stresor oksidatif memiliki karakter bagi spesies tertentu dan adanya radikal bebas penting bagi
pembentukan peroksidase lipid yang dapat berlipat ganda dengan sendirinya (“self propagation” ).
Bahan yang bersifat radikal bebas tersebut mempunyai sifat :
Mampu mencederai sel endothel pembuluh darah.
Modikasi produksi nitric oxide.
Mengganggu keseimbangan prostaglandin.
Pengetahuan mengenai peran stresor oksidatif dalam kejadian PE meningkatkan perhatian pada
keuntungan pemberian antioksidan dalam pencegahan PE .
Antioksidan penting antara lain : Vitamin E atau α-tocopherol, Vitamin C dan Vitamin A β-carotene
4. FAKTOR NUTRISI
Berbagai faktor defiensi nutrisi diperkirakan berperan sebagai penyebab Eklampsia.
Banyak saran yang diberikan untuk menghindarkan hipertensi misalnya dengan menghindari konsumsi
daging berlebihan, protein, purine, lemak, hidangan siap saji (snack), dan produk-produk makanan instan
lain.
John dkk (2002) : diet buah dan sayur banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat menurunkan
tekanan darah.
Zhang dkk (2002) : kejadian PE pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari 85 mg dapat
meningkat menjadi 2 kali lipat.
12
Obesitas adalah faktor resiko yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya PE. Obesitas pada ibu tidak
hamil dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik yang berhubungan dengan
arterosklerosis.
Kadar C-reactive protein (“inlamatory marker”) meningkat pada obesitas yang seringkali berkaitan
dengan PE.
5. FAKTOR GENETIK
Ness Dkk (2003) : predisposisi hipertensi secara herediter sangat berkait dengan kejadian PE dan E.
Chesley dan Cooper (1986) : menyimpulkan bahwa PE dan E menurun diantara saudara sekandung
perempuan, anak perempuan, cucu perempuan.
PATOGENESIS
Perubahan utama yang terjadi pada HDK adalah Vasospasme dan aktivasi sel endothelium
1. VASOSPASME
Konsep vasospame didasarkan pada pengamatan langsung terhadap pembuluh darah kecil pada kuku,
fundus oculi dan konjuntiva.
Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan TD. Pada saat yang sama, kerusakan
sel endotel menyebabkan kebocoran interstitisial yang meliputi bahan dalam darah a.l trombosit,
fibrinogen dan deposit subendotelial lain.
Berdasarkan pemeriksaan USG, terlihat adanya perubahan tahanan arterial pada penderita PE. Penurunan
aliran darah akibat gangguan distribusi, iskemia dan perdarahan jaringan menyebabkan terjadinya
serangkaian gejala PE
Fischer dkk (2000) : vasospasme pada penderita PE jauh lebih berat dibandingkan dengan yang terjadi
pada pasien dengan sindroma HELLP.
2. AKTIVASI SEL ENDOTEL
Pada gambar diagram faktor plasenta yang tak dapat di identifikasi dengan jelas masuk kedalam sirkulasi
ibu dan merangsang aktivasi dan disfungsi sel endotel. Sindroma klinis PE adalah manifestasi umum dari
terjadinya perubahan sel endotel tersebut.
Endotel yang utuh memiliki sifat antikogulan dan dapat menurunkan respon otot polos terhadap agonis
melalui pengeluaran nitric oxide. Sedangkan kerusakan atau aktivasi sel endotel akan menyebabkan
keluarnya bahan-bahan yang merangsang koagulasi dan meningkatkan sensitivitas terhadap vasopresor.
Perubahan-perubahan lain sebagai akibat proses aktivasi endotel adalah:
1. Perubahanan khas pada morfologi endotel kapiler glomerulus.
2. Peningkatan permeabilitas kapiler.
3. Peningkatan kadar bahan-bahan yang terkait dengan aktivasi tersebut.
Peningkatan repon terhadap bahan “pressor”
Dalam keadaan normal, wanita hamil refrakter terhadap pemberian vasopressor.
Pada awal kejadian PE, terdapat peningkatan reaktivitas vaskular terhadap pemberian nor-epinephrine
dan angisotensin II.
Prostaglandin
Beberapa prostanoid berperan penting dalam patofisiologi sindroma PE. Secara spesifik, respon terhadap
pressor yang menurun pada kehamilan normal adalah berupa penurunan respon vaskular yang terjadi
melalui sintesa prostaglandin endotelial vaskular.
13
Pada penderita PE, produksi prostacyclin endotelial [PGI2] lebih rendah dibandingkan kehamilan normal ;
tetapi sekresi thromboxane A2 dari trombosit meningkat. Perbandingan antara PGI2 : TXA2 yang menurun
tersebut akan meningkatkan sensitivitas terhadap angiostension II sehingga terjadi vasokonstriksi.
Nitric oxide
Vasodilator sangat kuat ini dibentuk dari L-arginine oleh sel endotel. Bila nitric oxide ini diambil maka
timbul gejala-gejala yang menyerupai PE .
Pencegahan sintesa nitric oxide akan menyebabkan :
o Peningkatan nilai MAP-mean arterial pressure.
o Penurunan frekuensi denyut jantung.
o Kepekaan terhadap vasopresor meningkat.
Pada PE, terjadi penurunan synthase nitric oxide endotel sehingga permeabilitas sel meningkat.
Kenaikan kadar Nitric Oxide dalam serum pada penderita PE tersebut adalah sebuah akibat bukan sebuah
sebab.
Endothelin
Endothelin adalah 21–amino acid peptide yang merupakan vasokonstriktor kuat, dan endothelin-1 (ET-1)
adalah isoform primer yang dihasilkan oleh endotel manusia.
Kadar endothelin dalam plasma wanita hamil normal memang meningkat, tetapi pada penderita PE kadar
endothelin jauh lebih meningkat.
Pemberian MgSO4 pada penderita PE terbukti menurunkan kadar ET-1.
PATOFISIOLOGI
1. SISTEM KARDIOVASKULAR
Gangguan fungsi kardiovaskular yang normal pada PE dan E Peningkatan after-load jantung akibat HT.
1. Gangguan pre-load jantung akibat akibat terganggunya proses hipervolemia dalam kehamilan.
2. Aktivasi endotelial dengan akibat ekstravasasi kedalam ruang ekstraseluler terutama kedalam
paru.
Perubahan hemodinamika
Perubahan kardiovaskular pada HDK tergantung sejumlah faktor :
Derajat HT
Latar belakang penyakit kronis.
Apakah telah terjadi PE.
Saat kapan pemeriksaan dikerjakan.
Pada PE terjadi penurunan curah jantung dan kenaikan tahanan perifer.
Pada Hipertensi Gestasional, curah jantung tetap tinggi.
Pemberian cairan yang berlebihan pada penderita PE Berat akan menyebabkan tekanan pengisian jantung
kiri ( “ventricular filling pressure” ) akan sangat meningkat dan meningkatkan curah jantung yang normal
ke tingkatan diatas normal.
Volume Darah
Pada Eklampsia terjadi peristiwa hemokonsentrasi ; hipervolemia yang lazim dalam kehamilan normal
tidak terjadi atau sangat minimal sehingga penderita eklampsia disebut sebagai pasien yang berada dalam
keadaan “normotensive shock”.
Hemokonsentrasi pada PE dan E terjadi akibat adanya :
Vaskonstriksi generalisata.
Disfungsi endotel dengan meningkatnya permeabilitas vaskular.
14
Pada PE tergantung pada beratnya penyakit tidak selalu terjadi hemokonsentrasi.
Pada penderita HG umumnya memiliki volume darah yang normal.
Penurunan kadar hematokrit pada penderita dengan hemokosentrasi hebat merupakan pertanda perbaikan
keadaan.
Bila tidak terjadi perdarahan, ruang intravaskular penderita PE dan E biasanya tidak terlalu kosong.
Terjadinya vasospasme dan kebocoran plasma endothel menyebabkan ruang vaskular tetap terisi.
Perubahan ini menetap sampai beberapa saat pasca persalinan bersamaan dengan perbaikan endotel.
Vasodilatasi dan peningkatan volume darah menyebabkan penurunan hematokrit.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penderita PE dan E sangat peka terhadap:
1. Pemberian cairan dalam upaya untuk mengembalikan volume darah ke tingkatan sebelum
kehamilan.
2. Perdarahan selama persalinan.
2. DARAH dan PEMBEKUAN DARAH
Trombositopenia yang terjadi dapat mengancam jiwa penderita. Trombositopenia terjadi oleh
karena :
o Aktivasi platelet
o Agregasi platelet
o Konsumsi meningkat
Trombitopenia hebat (bila <>
SINDROMA HELLP
Arti klinik trombositopenia selain gangguan koagulasi adalah juga menggambarkan derajat proses
patologi yang terjadi.
Pada umumnya semakin rendah trombosit semakin tinggi morbiditas dan mortalitas ibu dan anak.
Pritchard dkk (1976) : mengharapkan adanya perhatian terhadap kejadian trombositopenia pada penderita
PE yang disertai dengan sejumlah gejala (sindroma HELLP).
Sindroma HELLP:
1. Hemolysis
2. Elevated liver enzyme (kenaikan enzym hepar = transaminase )
3. Low Platelets
PE Berat sering disertai dengan hemolisis yang terlihat dari kenaikan kadar serum LDH - lactate-
dehydrogenase dan perubahan gambaran dari darah perifer (schizocytosis, spherocytosis dan
reticulocytosis)
Hemolisis terjadi akibat hemolisis mikrosangiopatik yang diakibatkan oleh kerusakan endotel yang
disertai dengan deposisi trombosit dan fibrin.
3. VOLUME HOMEOSTASIS
Perubahan endokrin
Kadar renin , angiostensin II dan aldosteron dalam kehamilan normal meningkat.
Pada PE kadar bahan tersebut sama dengan kadar wanita yang tidak hamil.
Alibat retensi natrium dan atau HT, sekresi renin oleh ginjal menurun. Renin berperan sebagai katalisator
dalam proses konversi angiostensin menjadi angiostensin I dan perubahan angiostensin I menjadi
angiostensi II dengan katalisator ACE – angiostensin converting enzyme.
Perubahan cairan dan elektrolit
Manifestasi peningkatan volume cairan ekstraseluler adalah edema. Pada penderita PEBerat biasanya
lebih menonjol dibandingkan kehamilan normal.
Retensi cairan terjadi akibat adanya cedera pada endotel.
15
Selain edema generalisata dan proteinuria, penderita juga mengalami penurunan tekanan onkotik yang
menyebabkan gangguan keseimbangan proses filtrasi.
4. GINJAL
Selama kehamilan normal, terjadi peningkatan GFR – glomerular filtration rate dan RBF – renal blood
flow.
Pada PE terjadi perubahan anatomi dan patofisiologi, sehingga terjadi penurunan perfusi renal dan filtrasi
glomerulos..
PE berkaitan dengan penurunan produksi urine dan eksresi kalsium akibat peningkatan resorbsi tubuler.
Pemberian Dopamine i.v pada penderita PE dapat meningkatkan produksi urine.
Pemberian cairan i.v pada penderita PE dengan oliguria tidak perlu dikerjakan.
Proteinuria
Terjadinya proteinuria bersifat lambat.
Pemeriksaan kuantitatif dengan dipstick tidak akurat dan memerlukan pemeriksaan selama 24 jam.
Albuminuria adalah istilah untuk menggambarkan proteinuria pada PE yang salah oleh karena
sebagaimana pada keadaan glomerulopati lain terjadi peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar
protein ber-BM tinggi sehingga albuminuria sering disertai dengan keluarnya hemoglobin, globulin dan
transferin.
Perubahan anatomi pada ginjal
Ukuran glomerulos membesar 20%.
Terjadi glomerular capillary endotheliosis.
Gagal ginjal akibat nekrosis tubuler akut sering terjadi dengan gejala oliguria sampai anuria ( peningkatan
kadar serum creatinine 1 mg/dL ).
Haddad dkk (2000) melaporkan bahwa 5% dari 183 penderita sindroma HELLP mengalami ARF dan
setengah diantaranya adalah penderita solusio plasenta dan perdarahan pasca persalinan.
Meskipun jarang, dapat terjadi nekrosis cortex ginjal yang ireversibel.
5. HEPAR
Perdarahan periportal pada tepi hepar
Ruptura hepar
Perdarahan subkapsular
6. OTAK
Nyeri kepala dan
Gangguan visus
Sering terjadi pada PE dan eklampsia.
Terdapat dua perubahan PA pada cerebri:
1. Perdarahan akibat pecahnya pembuluh arteri karena HT
2. Edema, hiperemia , iskemia, trombosis dan hemoragia yang kecil dan kadang-kadang meliputi
daerah yang luas
Aliran darah otak :
Pada eklampsia, mungkin akibat hilangnya autoregulasi dari CBF-cerebral blood flow terjadi hipoperfusi
sebagaimana yang terjadi pada hipertensif encephalopathi yang tak berkaitan dengan kehamilan.
Pasien nyeri kepala biasanya disertai dengan peningkatan perfusi cerebral.
Kebutaan :
Gangguan visus sering terjadi pada PEBerat, namun kebutaan permanen jarang terjadi pada PE dan terjadi
pada 10% penderita E.
16
Kebutaan atau amaurosis ( bahasa Greek = dimming) dapat mengenai wanita yang menderita edema
vasogenik pada lobus occipitalis yang luas. Umumnya kebutaan berlangsung antara 4 jam sampai satu
minggu.
Lara-Torre dkk (2002) : gangguan visual permanen akibat PEBerat atau E adalah akibat gangguan pada
cerebri atau iskemia arteri retina.
Ablasio retina dapat mengganggu visus dan umumnya mengenai salah satu sisi dan prognosis nya baik.
7. PERFUSI UTERO PLASENTA
Gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas
dan mortalitas perinatal pada PE dan E.
Pada wanita normal diameter arteri spiralis 500 μ ; pada penderita PE 200 μ
Doppler velosimetri
o Pengukuran velositi aliran darah dalam arteri uterina dapat digunakan untuk
memperhitungkan besaran resistensi dalam aliran uteroplasenta.
o Resistensi vaskular ditentukan berdasarkan perbandingan antara bentuk gelombang
arterial sistolik dan diastolik.
o Ganguan aliran darah uteroplasenta tidak selalu terjadi pada semua penderita PE dan E.
o Matijevic dan Johnson ( 1999) dengan velosimetri Doppler mengukur besarnya tahanan
dalam arteri spiralis. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa Impedansi
pembuluh perifer ternyata lebih besar dari pada pembuluh sentral.
PENCEGAHAN
Sampai saat ini tidak ada tes skrining yang realistis, valid dan ekonomis untuk meramalkan kejadian PE.
Salah satu tujuan dari jaringan Unit Feto-Maternal Medis adalah melakukan identifikasi faktor-faktor
prediktor berikut ini :
Roll over test
Adanya respon hipertensif yang terjadi pada perubahan posisi ibu hamil 28 – 32 minggu dari posisi
miring menjadi telentang merupakan prediktor terjadinya HG.
Pasien dengan test positif juga menunjukkan kepekaan yang tidak normal terhadap pemberian
angiostensin II.
Placental bed pada kehamilan normal dan preeklampsia
17
Pada preeklampsia, perubahan fisiologi pada arteri uteroplasenta tidak melewati “deciduomyometrial
junction” sehingga terdapat segmen yang menyempit antara arteri radialis dengan desidua
Reproduksi dari : Brosen IA: Morphological Changes in the uteroplacental bed in pregnancy hypertension
Clin Obstet Gynecol; 4:573, 1977
Nilai prediktif dari Roll-Over tes ini hanya 33%.
Asam Urat
Weerasekera dan Peiris (2003) : kadar serum asam urat tidak berbeda secara bermakna sebelum
terjadinya HT.
Kadar asam urat tidak bermanfaat dalam membedakan antara hipertensi gestasional dengan PE.
Fibronektin
Aktivasi sel endothel menyebabkan kenaikan kadar serum fibronectin pada penderita PE.
Chavaria dkk (2003a) : menyatakan bahwa nilai prediktif positif dari Fibronectine adalah 29% dan nilai
prediktif negatif kira-kira 98%.
Aktivasi Sistem Koagulasi
Trombositopenia dan disfungsi platelet adalah gambaran intergral PE.
Peningkatan destruksi menyebabkan ukuran platelet membesar oleh karena relatif lebih muda dan hal ini
dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya PE.
Pada kehamilan, aktivitas fibrinolitik menurun akibat peningkatan palsminogen activator inhibitor-PAI 1
dan 2. Pada PE, PA1 secara relatif lebih tinggi daripada PAI 2 akibat disfungsi sel endotel.
Chappel dkk (2002) : menyatakan bahwa perbandingan PA 1 dan PA2 dapat digunakan untuk prediksi PE
UTERINE ARTERY DOPPLER VEOLIMETRI
Penentuan resistensi vaskular uteroplasenta dengan mengamati impendansi pada arteri uterina trimester II
dapat digunakan sebagai prediksi PE
Audibert dkk (2005) : kombinasi pemeriksaan hCG – AFP (alfa fetoprotein ) dan pencatatan aliran darah
dalam arteri uterina dapat digunakan untuk meramalkan terjadinya PE dengan sensitivitas berkisar antara
2 – 40%.
PENCEGAHAN
Modifikasi diet
Pencegahan asupan garam tak dapat mencegah terjadinya preeklampsia
Suplementasi calcium dapat menurunkan kejadian hipertensi gestasional
Aspirin dosis rendah
Awal keberhasilan penggunaan 60 mg aspirin untuk menurunkan kejadian PE berawal dari kemampuan
untuk menekan produksi tromboksan secara selektif dengan hasil akhir peningkatan produksi prostacyclin
endothelial.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah tidak efektif dalam pencegahan PE.
Antioksidan
Aktivitas antioksidan serum penderita PE sangat berkurang.
18
Konsumsi vitamin E tidak berhubungan kejadian PE. Kadar Vit E dalam plasma yang tinggi pada
penderita PE adalah merupakan respon terhadap stressor oksidatif yang ada.
Chappel dkk (1999) : membuktikan adanya penurunan aktivasi sel endothel pada pemberian vit C atau E
pada kehamilan 18 – 22 dan pemberian vitamin C dan E dapat menurunkan secara bermakna kejadian PE.
PENATALAKSANAAN
Prinsip tujuan penatalaksanaan kehamilan dengan PE :
1. Mengakhiri kehamilan dengan trauma ibu dan anak seminimal mungkin.
2. Melahirkan anak yang sehat.
3. Pemulihan kesehatan ibu secara sempurna.
Pada penderita preeklampsia, khsususnya saat atau menjelang aterm, 3 prinsip tujuan diatas dapat tercapai
dengan melakukan induksi persalinan. Informasi terpenting bagi obstetrician untuk melakukan
penatalakasanaan PE adalah dengan mengetahui secara tepat usia kehamilan.
Deteksi Prenatal Dini
Pada trimester IIII pasien dengan HT harus diperiksa setiap 2 – 3 hari.
Penderita dengan penyakit yang berat dan persisten harus dirawat di RS dan bila perlu dilakukan
terminasi kehamilan.
Pasien dengan TD diastolik 81 – 89 mmHg dan disertai dengan kenaikan berat badan secara mendadak
perlu diperiksa ulang 3 hari kemudian, dan bila keadaan masih menetap maka harus dirawat di RS untuk
pengamatan selanjutnya.
Perawatan antepartum di rumah sakit
1. Pemeriksaan teliti : nyeri kepala - gangguan visus - nyeri epigastrium dan kenaikan BB cepat
2. Pemeriksaan BB awal dan pada hari-hari berikutnya
3. Analisa proteinuria saat MRS dan 2 hari kemudian
4. Pemeriksaaan TD dalam posisi duduk
5. Pemeriksaan plasma atau serum creatinine dan hematokrit, trombosit, enzym hepar
6. Pengukuran besar janin dan volume cairan amnion
Bila hasil observasi mengarah pada diagnosa PE Berat ( lihat tabel ) maka penatalaksanaan sama dengan
terhadap kasus eklampsia.
Istirahat merupakan bagian terapi yang sangat penting tanpa harus disertai dengan pemberian tranquilizer
atau sedatif.
Diet harus mengandung kalori dan protein secukupnya.
Pemberian cairan dan natrium dalam batas wajar.
Penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada :
1. Derajat penyakit PE,
2. Usia kehamilan dan
3. Keadaan servik.
Terminasi kehamilan
Terapi definitif pada PE dan E adalah mengakhiri kehamilan.
Kehamilan 40 minggu yang disertai dengan PE Ringan harus diterminasi. Bila servik sudah matang, dapat
dilakukan induksi dengan oksitosin drip.
Nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium adalah pertanda akan terjadinya kejang ( gejala
impending eclampsia). Oliguria adalah merupakan tanda memburuknya PE BERAT.
19
Pada PE Berat dan Ringan, bila terapi konservatif tak memberikan hasil maka kehamilan harus segera
diakhiri demi untuk kesehatan ibu dan anak.
Terminasi kehamilan yang dipilih sebaiknya adalah pervaginam. Sectio caesar dilakukan hanya atas
indikasi obstetri secara umum dan atau bila induksi persalinan diperkirakan tidak akan berhasil.
Indikasi terminasi kehamilan pada penderita Preklampsia (salah satu atau beberapa dari gejala dibawah
ini )
1. TD Diastolik > 110mmHg
2. Serum kreatinine meningkat
3. Gejala impending eklampsia
o Nyeri kepala hebat persisten
o Nyeri epigastrium
o Gangguan visus
4. LFT- liver function test abnormal
5. Trombositopenia
6. Sindroma HELLP
7. Eklampsia
8. Edema paru
9. Hasil pemantauan janin yang abnormal - cardiotocography
10. SGA – small for gestational age dengan IUGR – intra uterine growth retardation pada
pemeriksaan serial USG.
PREEKLAMPSIA BERAT
PE Berat memerlukan antikonvulsi dan antihipertensi serta dilanjutkan dengan terminasi kehamilan.
Tujuan terapi pada PE:
1. Mencegah kejang dan mencegah perdarahan intrakranial
2. Mengendalikan tekanan darah
3. Mencegah kerusakan berat pada organ vital
4. Melahirkan janin yang sehat
Terminasi kehamilan adalah terapi defintif pada kehamilan > 36 minggu atau bila terbukti sudah adanya
maturasi paru atau terdapat gawat janin.
Penatalaksanaan kasus PEB pada kehamilan preterm merupakan bahan kontroversi.
Pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan pada PEBerat pada kehamilan 32 – 34 minggu
setelah diberikan glukokortikoid untuk pematangan paru.
Pada PEBerat yang terjadi antara minggu ke 23 – 32 perlu pertimbangan untuk menunda persalinan guna
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
Terapi pada pasien ini adalah :
1. Dirawat di RS rujukan utama (perawatan tersier)
2. MgSO4
3. Antihipertensi
4. Kortiskosteroid
5. Observasi ketat melalui pemeriksaan laboratorium
6. mengakhiri kehamilan bila terdapat indikasi
Terminasi kehamilan sedapat mungkin pervaginam dengan induksi persalinan yang agresif.
Persalinan pervaginam sebaiknya berakhir sebelum 24 jam. Bila persalinan pervaginam dengan induksi
persalinan diperkirakan melebihi 24jam, kehamilan sebaiknya diakhiri dengan SC
EKLAMPSIA
20
Eklampsia terjadi pada 0.2 – 0.5% persalinan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian sama
dengan yang ada pada PE.
Kadang-kadang eklampsia terjadi pada usia kehamilan <>
75% kejang terjadi sebelum persalinan.
50% dari eklampsia pasca persalinan terjadi dalam waktu 48 jam pasca persalinan.
1. Eklamsi adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre eklamsi (hipertensi, edems, proteinuri) . (Wirjoatmodjo, 1994: 49).
2. Eklamsi merupakan kasus akut, pada penderita dengan gambaran klinik pre eklamsi yang disertai dengan kejang dan koma yang timbul pada ante, intra dan post partum. (Angsar MD, 1995: 41)
Patofisiologi
Patogenesis eklampsia tidak diketahui dengan jelas.
Diperkirakan disebabkan oleh karena :
Trombosis oleh platelet
Hipoksia cerebri akibat vasospasme lokal
Perdarahan cortex cerebri
Kejadian eklampsia tidak memiliki korelasi dengan tingginya Tekanan Darah
Biasanya tak didahului dengan aura ; serangan kejang antara 2 – 4 kali
Terjadi hiperventilasi setelah serangan kejang tonik-klonik untuk kompensasi adanya asidosis (lactic acid)
respiratorik akibat fase apnea.
Demam jarang terjadi, tetapi demam adalah pertanda prognosa yang buruk
Komplikasi kejang : gigitan lidah, fraktura, trauma kapitis , aspirasi
Edema paru dan abruptio retina dapat terjadi pasca kejang
Pembagian Eklamsi
Berdasarkan waktu terjadinya eklamsi dapat dibagi menjadi:
1. Eklamsi gravidarum
Kejadian 50-60 % serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklamsi Parturientum
Kejadian sekitar 30-35 %, terjadi saat inpartu dimana batas dengan eklamsi gravidarum sukar dibedakan terutama saat mulai inpartu.
3. Eklamsi Puerperium
Kejadian jarang sekitar 10 %, terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir. ( Manuaba, 1998: 245)
Gejala Klinis Eklamsi
Gejala klinis Eklamsi adalah sebagai berikut:
1. Terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih
2. Terdapat tanda-tanda pre eklamsi ( hipertensi, edema, proteinuri, sakit kepala yang berat, penglihatan kabur, nyeri ulu hati, kegelisahan atu hiperefleksi)
21
1. Kejang-kejang atau koma
Kejang dalam eklamsi ada 4 tingkat, meliputi:
Tingkat awal atau aura (invasi)
Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat (pandangan kosong) kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar kekanan dan kekiri.
Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku tangan menggenggam dan kaki membengkok kedalam, pernafasan berhenti muka mulai kelihatan sianosis, lodah dapat trgigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.
Stadium kejang klonik
Semua otot berkontraksi dan berulang ulang dalam waktu yang cepat, mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung selama 1-2 menit kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik mafas seperti mendengkur.
Stadium koma
Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma. (Muchtar Rustam, 1998: 275)
2. Kadang kadang disertai dengan gangguan fungsi organ.
(Wirjoatmodjo, 1994: 49)
Pemeriksaan dan Diagnosis
Diagnosis eklamsi dapat ditegakkan apabila terdapat tanda-tanda sebagai berikut:
1. Berdasarkan gejala klinis diatas
2. Pemeriksaan laboratorium meliputi adanya protein dalam air seni, fungsi organ hepar, ginjal dan jantung, fungsi hematologi atau hemostasis
Konsultasi dengan displin lain kalau dipandang perlu
1. Kardiologi
2. Optalmologi
3. Anestesiologi
4. Neonatologi dan lain-lain
(Wirjoatmodjo, 1994: 49)
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari kehamilan yang disertai kejang-kejang adalah:
1. Febrile convulsion ( panas +)
2. Epilepsi ( anamnesa epilepsi + )
3. Tetanus ( kejang tonik atau kaku kuduk)
4. Meningitis atau encefalitis ( pungsi lumbal)
22
Komplikasi Serangan
Komplikasi yang dapat timbul saat terjadi serangan kejang adalah:
1. Lidah tergigit
2. Terjadi perlukaan dan fraktur
3. Gangguan pernafasan
4. Perdarahan otak
5. Solutio plasenta dan merangsang persalinan
( Muchtar Rustam, 1995:226)
Bahaya Eklamsi
1. Bahaya eklamsi pada ibu
Menimbulkan sianosis, aspirasi air ludah menambah gangguan fungsi paru, tekanan darah meningkat menimbulkan perdarahan otak dan kegagalan jantung mendadak, lidah dapat tergigit, jatuh dari tempat tidur menyebabkan fraktura dan luka-luka, gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria, pendarahan atau ablasio retina, gangguan fungsi hati dan menimbulkan ikterus.
2. Bahaya eklamsi pada janin
Asfiksia mendadak, solutio plasenta, persalinan prematuritas, IUGR (Intra Uterine Growth Retardation), kematian janin dalam rahim.
( Pedoman Diagnosis dan Terapi, 1994: 43)
Prognosa
Eklamsi adalah suatu keadaan yang sangat berbahaya, maka prognosa kurang baik untuk ibu maupun anak. Prognosa dipengaruhi oleh paritas, usia dan keadaan saat masuk rumah sakit. Gejala-gejala yang memberatkan prognosa dikemukakan oleh Eden adalah:
1. Koma yang lama
2. Nadi diatas 120 per menit
3. Suhu diatas 39°C.
4. Tensi diatas 200 mmHg
5. Lebih dari sepuluh serangan
6. Priteinuria 10 gr sehari atau lebih
7. Tidak adanya oedema. ( M Dikman A, 1995: 45)
Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan eklamsia pada ibu nifas adalah menghentikan kejang kejang yang terjadi dan mencegah kejang ulang.
1. Konsep pengobatan
Menghindari tejadinya kejang berulang, mengurangi koma, meningkatkan jumlah diuresis.
2.Obat untuk anti kejang
23
MgSO4 ( Magnesium Sulfat)
Dosis awal: 4gr 20 % I.V. pelen-pelan selama 3 menit atau lebih disusul 10gr 40% I.M. terbagi pada bokong kanan dan kiri.
Dosis ulangan : tiap 6 jam diberikan 5 gr 50 % I.M. diteruskan sampai 6 jam pasca persalinan atau 6 jam bebas kejang.
Syarat : reflek patela harus positif, tidak ada tanda-tanda depresi pernafasan ( respirasi >16 kali /menit), produksi urine tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc per 6 jam atau 600 cc per hari.
Apabila ada kejang lagi, diberikan Mg SO 4 20 %, 2gr I.V. pelan-pelan. Pemberian I.V. ulangan ini hanya sekali saja, apabila masih timbul kejang lagi maka diberikan pentotal 5 mg / kg BB / I.V. pelan-pelan.
Bila ada tanda-tanda keracunan Mg SO 4 diberikan antidotum glukonas kalsikus 10 gr % 10 cc / I.V pelan-pelan selama 3 menit atau lebih.
Apabila diluar sudah diberi pengobatan diazepam, maka dilanjutkan pengobatan dengan MgSO 4 .
A. Terapi PRENATAL
1. Pengendalian Kejang
1. MgSO4 i.v dilanjutkan dengan Mg SO4 infuse atau i.m (sebagai “loading dose” ) dan
diteruskan dengan pemberian berkala secara i.m
2. Pemberian antihipertensi secara berkala i.v atau per-oral bila TD diastolik> 110 mmHg
3. Hindari pemberian diuretik dan batasi pemberian cairan intravena kecuali bila perdarahan
hebat. Jangan berikan cairan hiperosmotik
4. Akhiri kehamilan atau persalinan.
Magnesium sulfat
o MgSO4.7H2O ;
Antikonvulsan yang efektif tanpa penekanan pada SSP ibu dan janin
Dosis untuk PEBerat sama dengan dosis untuk Eklampsia
Berikan sampai 24 jam pasca persalinan
Tidak dimaksudkan untuk menurunkan tekanan darah
Eksresi melalui ginjal
Intoksikasi dapat dihindari dengan melakukan pemeriksaan reflek patela dan
frekuensi pernafasan serta pengamatan volume produksi urine perjam.
Bila terjadi depresi pernafasan berikan Calcium Gluconate 1 gram i.v perlahan-
lahan sampai depresi nafas menghilang.
24
1. Pengendalian Hipertensi
Hidralazine
Pemberian hidralazine i.v bila TD Diastolik > 110 mmHg atau TS Sistolik> 160 mmHg.
Dosis: 5 mg i.v selang 20 menit sampai TD Diastolik 90 – 100 mmHg
Efek puncak 30 – 60 menit
Duration of action 4 – 6 jam
Efek samping : nyeri kepala, pusing, palpitasi, angina.
Labetalol
Beta-blocker non selektif dan post-sinaptik α-adrenergic blocking agent
Tersedia preparat oral ataupun parenteral
Dosis : Pemberian i.v setiap 10 menit .
Dosis pertama: 20 mg , dosis kedua 40 mg dan dosis selanjutnya 80 mg dengan dosis maksimum 300 mg.
Onset of action = 5 menit.
Efek puncak = 10 – 20 menit .
Duration of action = 45 menit sampai 6 jam.
Nifedipine
Calcium channel blocker.
Dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat.
Onset of action = 1 – 2 menit.
Duration of action = 3 – 5 menit.
B. Terapi PASCA PERSALINAN
Setelah persalinan, pemilihan jenis obat anti HT menjadi lebih bebas.
Pemberian diuretik tidak lagi merupakan kontraindikasi.
MgSO4 diberikan sampai 24 jam pasca persalinan.
Phenobarbital 120 mg/hari dapat diberikan pada pasien dengan HT persisten dimana
diuresis masih belum terjadi.
Bila 24 jam pasca persalinan TD Diastolik masih diatas 110 mmHg dapat diberikan obat
anti HT lainnya a.l diuretik, calcium channel blocker, ACE inhibitor , betta blocker
dsbnya.
Pemeriksaan TD dilakukan dalam posisi berdiri untuk menghindari kesalahan
pemeriksaan.
PROGNOSA
25
Kematian maternal akibat PE atau E secara langsung jarang terjadi, kematian umumnya disebabkan oleh :
Cerebral hemorrhage.
Pneumonia aspirasi.
Hipoksik ensepalopati.
Tromboemboli.
Ruptura hepar.
Gagal ginjal.
HIPERTENSI KRONIS
Sebagian besar ibu hamil tidak menyadari bahwa mereka mengalami hipertensi karena ibu hamil
terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan monitoring
terhadap tekanan darah, yang dapat diukur menggunakan tensimeter. Pada kehamilan normal tekanan
sistolik sedikit berubah, sedangkan tekanan diastolik menurun kurang lebih 10 mmHg pada awal
kehamilan (minggu ke 13-20) dan akan naik kembali pada trimester ketiga. Hipertensi pada kehamilan
digambarkan sebagai kondisi dengan variasi tekanan darah yang besar. Dalam melakukan
penatalaksanaan ini, perlu dipahami klasifikasi hipertensi pada kehamilan.
Diagnosis hipertensi kronik didasarkan pada riwayat hipertensi sebelum kehamilan atau kenaikan
tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg sebelum kehamilan minggu ke-20 dengan
minimal dua kali pengukuran menunjukkan hasil yang relatif sama. Hipertensi kronik sendiri dibagi
menjadi dua yaitu hipertensi kronik ringan dengan tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg dan
hipertensi kronik parah dengan tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih. Wanita hamil dengan hipertensi
kronik ini dapat meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia, pengasaran plasenta, morbiditas dan
mortalitas bayi, penyakit kardiovaskuler dan ginjal. Hipertensi gestasional sendiri merupakan
perkembangan peningkatan tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg tanpa gejala
preeklamsia, setelah kehamilan minggu ke-20. Umumnya tekanan darah akan kembali normal tanpa
terapi obat. Preeklamsia digambarkan sebagai kejadian hipertensi, udem, dan proteinuria (protein dalam
urin) setelah kehamilan minggu ke-20 dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Preeklamsia dapat
dibagi menjadi preeklamsia ringan dan parah. Preeklamsia disebabkan oleh kegagalan perpindahan
trompoblastik ke arteri uterus sehingga terjadi kerusakan pada plasenta dan kegagalan adaptasi sistem
kardiovaskuler (peningkatan volume plasma dan penurunan resistensi pembuluh sistemik). Perubahan
tersebut menyebabkan pengurangan perfusi pada plasenta, ginjal, liver, dan otak. Resiko preeklamsia
pada ibu hamil adalah kejang, hemoragi otak, pengasaran plasenta, udem pada paru, gagal ginjal,
hemoragi hati dan kematian. Pada bayi dapat beresiko pertumbuhan yang lambat, hipoksemia, asidosis,
prematur, dan kematian.
Oleh karena hipertensi kronik ini dapat berkembang menjadi preeklamsia atau lebih parah, maka
deteksi dini dan pengobatan pada keadaan ini diperlukan. Sasaran terapi dalam pengobatan hipertensi
kronik pada kehamilan adalah tekanan darah. Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan darah pada
level tekanan darah diastolik dibawah 110 mmHg, yang akan mengurangi morbiditas dan mortalitas,
menurunkan insiden preeklamsia, pengasaran plasenta, kematian janin/ bayi dan ibu, komplikasi strok dan
kardiovaskuler. Strategi terapi dapat dilakukan dengan terapi nonfarmakologi maupun terapi farmakologi.
Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa obat yang umum dilakukan pada wanita hamil, terutama
pada hipertensi kronik ringan (tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg). Penatalaksanaan yang
dilakukan antara lain pembatasan aktivitas, banyak istirahat, pengawasan ketat, pembatasan konsumsi
garam, mengurangi makan makanan berlemak, tidak merokok, dan menghindari minuman beralkohol.
Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan antihipertensi golongan α2-agonis
sentral (metildopa), β-bloker (labetalol), vasodilator (hidralazin), dan diuretik (tiazid). Obat antihipertensi
26
golongan Angiotensin-Converting Enzym Inhibitor (ACE Inhibitor) dan Angiotensin II Receptor
Blockers (ARBs) mutlak dikontraindikasikan pada ibu hamil dengan hipertensi. Meskipun ACE Inhibitor
dan ARBs memiliki factor resiko kategori C pada kehamilan trimester satu, dan kategori D pada trimester
dua dan tiga, namun obat tersebut berpotensi menyebabkan tetatogenik.
Dari beberapa obat yang telah disebutkan diatas, metildopa merupakan obat pilihan utama untuk
hipertensi kronik parah pada kehamilan (tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg) yang dapat
menstabilkan aliran darah uteroplasenta dan hemodinamik janin. Obat ini termasuk golongan α2-agonis
sentral yang mempunyai mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2-adrenergik di otak. Stimulasi
ini akan mengurangi aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak. Pengurangan aktivitas simpatik dengan
perubahan parasimpatik akan menurunkan denyut jantung, cardiac output, resistensi perifer, aktivitas
renin plasma, dan refleks baroreseptor. Metildopa aman bagi ibu dan anak, dimana telah digunakan dalam
jangka waktu yang lama dan belum ada laporan efek samping pada pertumbuhan dan perkembangan
anak. Metildopa memiliki faktor resiko B pada kehamilan.
Gejala Klinik
A. Gejala dan Tanda
Usia umumnya > 30 tahun.
Obesitas.
Multipara.
Umumnya disertai masalah medis sistemik lain : DM atau penyakit ginjal.
Berhubungan dengan ras dan bersifat familial.
Tidak disertai dengan proteinuria.
Diagnosa ditegakkan dengan adanya riwayat HT sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan > 20
minggu. Dan menetap sampai 6 minggu pasca persalinan.
B. Hasil Pemeriksaan Laboratorium – X-ray dan ECG
ECG : Hipertrofi ventrikel kiri pada 5 – 10% penderita.
Laboratorium :
Kenaikan serum creatinine.
Penurunan clearance creatinine.
Proteinuria.
X-ray : umumnya normal, kadang-kadang memperlihatkan kardiomegali.
Pasien dengan LVH-left ventricle hypertrophy : kenaikan serum creatinine beresiko tinggi menderita
superimposed PE.
Pasien dengan kardiomegali akibat penyakit hipertensif kardiovaskular atau kardiomiopathia kongestif
memiliki resiko menderita superimposed PE, edema paru dan aritmia jantung.
KOMPLIKASI
A. Komplikasi Maternal
Superimposed PE (1/3 pasien)
Keadaan pasien lebih cepat memburuk dibandingkan PE ”murni”
Solusio plasenta ( 0.4 – 10%)
DIC – disseminated intravascular coagulation
ATN – acute tubular necrosis
RCN – renal cortical necrosis
B. Komplikasi Janin
Prematuritas ( 25 – 30%).
27
IUGR (10 – 15%).
HK superimposed PE cenderung terjadi pada kehamilan 26 – 34 minggu sehingga sering
menyebabkan terjadinya persalinan preterm.
Peningkatan mortalitas perinatal akibat solusio plasenta.
TERAPI
a. Pengendalian Hipertensi
Methyldopa
Clonidine [ α-adrenergic agonist ]
Calcium channel blocker
Hydralazine
Beta blockers
b. Efek pemberian antihipertensi terhadap pemberian ASI
o Pengetahuan mengenai farmakokinetik obat anti HT dalam ASI sangat minimal.
o Pemberian Thiazide diuretic harus dihindarkan oleh karena dapat menyebabkan
penurunan produksi ASI.
o Methyldopa diperkirakan aman bagi ibu menyusui.
o Kecuali propanolol, jenis beta blocker lain terdapat dalam ASI dengan kadar tinggi.
o Kadar Clonidine dan Captopril dalam ASI sangat minimal.
c. Penatalaksanaan Obstetrik Umum
Pada kunjungan pertama tanyakan :
o Lama hipertensi dan jenis obat yang digunakan
o Riwayat penyakit ginjal dan atau jantung
o Outcome persalinan yang lalu
Pemeriksaan fisik :
o Pemeriksaan fundus occuli
o Auskultasi arteri renalis
o Pemeriksaan denyut arteri dorsalis pedis ( coarctatio aorta )
o Pemeriksaan TD dalam posisi duduk
Pemeriksaan laboratorium pada kunjungan antenatal pertama :
o Pemeriksaan urine dan darah lengkap
o Faal ginjal
o Faal hepar
o Serum elektrolit
o EKG
o Pemeriksaan urine 24 jam untuk melihat clearance creatinine
o X-ray thorax
o Pemeriksaan ultrasonografi : menentukan usia kehamilan
Advis diet : Makanan biasa tanpa retriksi garam
Frekuensi pemeriksaan antenatal lebih sering dibandingkan perawatan antenatal
PROGNOSA
Pada penderita HT ringan atau sedang, outcome kehamilan baik dengan perinatal survival sekitar 95 –
97%.
Komplikasi utama :
Superimposed PE,
28
Solusio plasenta ,
Prematuritas dan
PJT.
Prognosa buruk bila :
HT berat terjadi pada trimester I.
Onset superimposed PE pada kehamilan < 28 minggu.
Insufisiensi ginjal sebelum kehamilan.
Penyakit kardiovaskular hipertensif.
Kardiomiopathia kongestif.
DAFTAR PUSTAKA :
1. American College of Obstetrician and Gynecologists: Diagnosis dan management of
preeclampsia and eclampsia.Practice bulletin No.33, Januari 2002
2. Audibert F, Benchimol Y, Benattar C et al: Prediction of preeclampsia or intrauterine growth
restrcition by second trimester serum screening and uterine Doppler velocimetry. Fetal Diagn
Ther 20:48,2005
3. Chames MC, Livingstone JC, Ivester TS et al: Late postpartum eclampsia : A preventable
disease? Am J Obstet Gyncol 186:1174,2002
4. Chappell LC, Seed OT,Briley A, et al : A longitudinal study of biochemical variables in women
at risk of preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 187,127,2002
5. Chappell LC, Seed OT,Briley A, et al : Effect of antioxidant on the occurrence of preeclampsia in
women at increased risk : A randomized trial. Lancet 354:819, 1999
6. Chavarria ME, Lara Gonzalez L, Gonzalez-Gleason A, et al: Prostacyclin / thromoboxane early
changes in pregnancies that are complicated by preeclampsia. Am J Obstet Gynecol
188,986,2003b
7. Chesley LC, Copper DW: Genetics of hypertension in pregnancy:Possible single gene control of
preeclampsia and eclampsia in the descendants of eclamptic women. Br J Obstet Gynecol 93:898,
1986
8. Cunningham FG et al : Hypertensive Disoder In Pregnancy in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
9. DeCherney AH. Nathan L : Hypertensive States Of Pregnancy in Current Obstetrics and
Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003
10. Dekker GA, Sibai BM : Etiology and pathogenesis of preeclampsia: Current concepts. Am J
Obstet Gynecol 179:1359, 1998
11. Fischer T, Schneider MP, Schobel HB, et al: Vascular reactivity in patients with preeclampsia
and HELLP syndrome Am J Obstet Gynecol 183:1489, 2000
12. Haddad B, Deis S, Goffinet F, et al: Maternal and pernatal outcome during expectant
management of 239 severe preeclamptic women between 24 and 34 weeks gestation. Am J Obstet
Gynecol 190:1590,2004
13. Haddad B, Barton JR, Livingstone JC, et al : Risk factors for edverse maternal outcomes among
women with HELLP (hemolysis,elevated liver enzymes, and low platelet count) syndrome. Am J
Obstet Gynecol 183:444, 2000
14. John JH, Ziebland S, Yudkin P, et al : Effects of fruit and vegetables consumption on plasma
antioxidant concentration and blood pressure: A randomized controlled trial. Lancet
359:1969.2002
29
15. Lara-Torre E, Lee MS, Wolf MA, et al : Bilateral retinal occlusion progressing to long-lasting
blindness in severe preeclampsia. Obstet Gynecol 100:940, 2002
16. Manten GT, Vander Hoek YY, Marko Sikkema J et al: The role of lipoprotein (a) in pregnancies
complicated by pre eclampsia. Med Hypothesis 64:162,2005
17. Matijevic R, Johnston T: In vivo assesment of failed throphoblastic invasion of the spiral arteries
in pre-eclampsia. Br J Obset Gyncol 106:78,1999
18. National High Blood Pressure Education Program : Working Group Report on High Blood
Pressure in Pregnancy . Am J Obstet Gyncl 183:51,2000
19. Ness RB, Markovic N, Bass D et al: Familly history of hypertension, heart disease and stroke
among women who develop hypertension in pregnancy. Obstet Gynecol 102:1326,2003
20. Redman CWG, Sargent IL: Pre-eclampsia, the placenta and maternal systemic inflamatory
response- a review. Placenta 17:S21, 2003
21. Sibai BM : Diagnosis and Management of gestational hypertension and preeclampsia. Obstet
Gynecol 102:181.2003
22. Sofia B. Ahmed † a; Rhonda Bentley-Lewis † b; Norman K. Hollenberg bc; Steven W. Graves d;
Ellen W. Seely b :
A Comparison of Prediction Equations for Estimating Glomerular Filtration Rate in Pregnancy .
Hypertension in Pregnancy, Volume 28, Issue 3 August 2009 , pages 243 - 255
23. Weeraskera DS, Peiris H: The significance of serum uric acid, creatinine and urinary
microprotein levels in predicting preeclampsia. J Obstet Gynecol; 23:17, 2003
24. Yoneyama Y, Suzuki S, Sawa R,et al: Relation between adenosine and T-helper 1/ T helper 2
imbalance in women with preeclampsia. Obstet Gynecol 99:641,2002
30