Download - HADITS PERPECAHAN
HADITS PERPECAHAN
Oleh: A Khudori Soleh
"Umatku akan berpecah menjadi 73golongan lebih”. Inilah hadis yang telah
membuat umat Islam terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Hadits yang
kontroversial ini, dalam kitab-kitab hadits Sunni bahkan ada tambahan,
"Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah".
Atau kata "al-Jam`ah" saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani, Abu Daud,
Tirmidzi, Ibn Majjah, Syahrastani dan diulas panjang lebar oleh al-Syatibi.1 Tentu
saja, dalam uraiannya tersebut, al-Syathibi memperkuat mandzabnya, bahwa ahli
sunnahlah satu-satunya firqah yang selamat dari semua firqah yang ada dalam
Islam.
Bagaimana sebenarnya hadits-hadits tersebut, dari segi sanad maupun
matannya? Bisakah ia dijadikan hujjah atau argument bahwa memang benar umat
Islam --akan-- pecah menjadi lebih dari tujupuluh golongan; semua masuk neraka
kecuali satu, yaitu "Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah?
Menurut Abd Halim Mahmud,2 mantan syaikh al-Azhar Mesir, dan Yusuf
Qardlawi,3 hadits-hadits tentang perpecahan ummat itu masih harus
dipertanyakan. Alasannya, pertama, hadits itu tidak terdapat sama sekali dalam
kitab shahihain (Bukhari-Muslim). Padahal, masalahnya sangat penting. Ini
berarti hadits tersebut tidak shaheh, menurut salah satu syarat dari keduanya
(Imam Bukhari dan Imam Muslim). Benar, bahwa shahihain tidak mencakup
seluruh hadits shaheh. Akan tetapi, salah satu atau keduanya tidak pernah
meninggalkan satupun masalah yang penting. Pasti akan disebut di dalamnya,
walau hanya satu hadits.
Kedua, dari segi sanadnya terdapat nama Muhammad ibn al-Qamah ibn
Waqash al-Laitsi. Menurut Yusuf Qardlawi, dengan melihat kitab "Tahdhzib Al-
Tahdzib", Muhammad ibn al-Qamah termasuk seorang perawi yang
dipermasalahkan hafalannya. Bakan tidak ada yang menilainya sebagai orang yang
tsiqah (dapat dipercaya). Semua ahli hadits menyebutkan bahwa ia hanya lebih
kuat dari orang yang lemah darinya. Al-Hafidz mengatakan, "Dia orang yang jujur
tetapi banyak keraguan". Padahal, kejujuran saja dalam masalah ini belum cukup
bila tidak didukung oleh kekuatan hafalan. Apalagi termasuk orang yang banyak
keraguan. Di situ juga ada nama Muawiyah. Seperti diketahui, Muawiyah pernah
mengklaim kelompoknya sebagai golongan "al-Jama`ah" selama cekcok dengan
Imam Ali dan Al-Hasan. Karena itu, Jalaluddin Rahmad,4 misalnya, sempat
menduga, bahwa hadits perpecahan yang diriwayatkan oleh Muawiyah dengan
tambahan, "yang selamat adalah golongan al-Jama`ah", adalah tambahan dari
1 Sunan Abu Dawud, IV, 198; Sunan Tirmidzi, IV, 134-135; Sunan Ibn Majah, II, 1322, al-Milal wa al-Nihal, 11; al-Syathibi, Al-I`tisham, (tp, tsaqafah al-Islamiyah, tt), juz I.
2 Haidar Baqir, Satu Islam Sebuah Dilema, (Bandung, Mizan, 1992), 197. 3 Yusuf Qardlawi, Gerakan Islam Antara Perbedaan Yang Diperbolehkan dan
Perpecahan Yang Dilarang, (Jakarta, Robbani Press, 1991), 50-52 4 Jalaluddin Rahmad, Islam Aktual, (Bandung, Mizan, 1991), 26
2
Muawiyah sendiri. Demikian pula, tambahan "yang selamat adalah ahl al-sunnah
wa al-jamaah" adalah tambahan dari Syahrastani.
Abu Muhammad ibn Hasan pernah menyatakan, hadits tentang
perpecahan umat dan hadits yang menceritakan bahwa golongan qadariyah dan
murjiah termasuk majusi, bila ditinjau dari segi sanadnya, sama sekali tidak sah.
Hadits seperti itu tidak dapat dijadikan hujjah atau argument menurut orang yang
menerima khabar wahid (hadits ahad). Apabila menurut orang yang tidak
menerima kabar wahid.5
Walau begitu, memang ada juga sebagian ulama yang menshahehkan
hadits tersebut, seperti ibn Taimiyah, atau minimal menghasankannya seperti Ibn
Hajar. Akan tetapi, Yusuf Qardlawi menyatakan bahwa menguatkan hadits lemah
hanya karena banyaknya riwayat tidak mutlak bisa diterima. Sudah banyak hadits
yang diriwayatkan dari berbagai jalan, tetapi tetap dilemahkan oleh para ahli
hadits. Menguatkan hadits lemah karena banyaknya riwayat hanya dapat diterima
jika tidak ada hadits lain menentangnya dan isinya tidak menimbulkan
kemusykilan. Padahal, hadits ini banyak mengandung pertentangan.
Ketiga, redaksi hadits ini sangat beragam dan bertentangan. Ada riwayat
yang tidak menyebutkan "semua golongan masuk neraka, kecuali satu", tetapi
hanya menyebutkan tentang akan adanya perpecahan dan jumlah golongan yang
muncul. Ada juga dengan tambahan "semua golongan akan masuk surga (bukan
neraka), kecuali satu, yaitu kaum zindiq". Karena itu, Ibn al-Wazir melemahkan
hadits ini secara keseluruhan, khususnya tambahannya. Sebab hadits tersebut
akan mengakibatkan saling menyesatkan dan saling mengkafirkan di kalangan
umat Islam. Ibn al-Wazir berkata “Jangan sampai kalian tertipu (hadits lemah yang
menyatakan) semua di neraka kecuali satu golongan. Itu tambahan batil dan tidak
benar. Besar kemungkinannya disisipkan oleh orang-orang mulhid (atheis)”.6
Sementara itu, Tirmidzi sendiri yang meriwayatkan dengan tambahan "semua
masuk neraka kecuali satu" menyatakan bahwa itu adalah hadits gharib (asing,
tidak dikenal).
Keempat, kandungan matan (isinya), menurut al-Qardlawi, menyimpan
persoalan. Hadits itu telah mensifati umat yang telah dipersiapkan Allah sebagai
saksi atas umat manusia dan merupakan "khairul ummah" (sebaik-sebaik umat),
yaitu umat Islam, dengan sifat yang lebih jelek dibanding umat Yahudi dan
Nasrani dalam hal perpecahan dan perselisihannya. Sehingga perpecahan umat
Islam, menurut riwayat itu, berjumlah lebih banyak daripada perpecahan yang
timbul dalam masyarakat Nasrani dan Yahudi. Ini jelas bertentangan dengan QS.
al-Maidah, 14 dan 64, yang menyatakan bahwa Nasrani dan Yahudi adalah umat
yang telah rusak, sebab di dalamnya telah terjadi banyak perselisihan dan tidak
mungkin dikompromikan lagi. “Kami timbulkan di antara mereka (umat Nasrani) itu
rasa permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat” (QS. Al-Maidah, 14), “Kami
timbulkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka (umat Yahudi)itu sampai
5 Yusuf Qardlawi, Gerakan Islam, 53 6 Ibid,
3
hari kiamat” (QS. Al-Maidah, 64). Sementara itu, umat Islam tidak pernah
dinyatakan seperti itu dalam al-Qur'an. Bahkan diperingatkan agar tidak berpecah
belah sebagaimana orang-orang sebelumnya.
Selain itu, hadits tersebut juga bertentangan dengan hadits lain tentang
keutamaan umat Islam, yang menyatakan sebagai umat yang diberi rahmat dan
akan menjadi sepertiga atau bahkan separoh dari penghuni surga. Kenyataan lagi,
kabar bahwa Yahudi dan Nasrani akan berpecah menjadi 70 golongan atau lebih
tidak pernah dikenal dalam sejarah kedua agama tersebut. Tidak pernah dikenal
bahwa mereka berpecah sebanyak itu.7
Perlu Penafsiran.
Mengingat hadits tersebut menyangkut masalah yang rawan dan
keshahehannya masih sangat diragukan, maka kita harus berhati-hati dalam
menyampaikan hadits seperti itu. Perlu penjelasan dan penafsiran sedemikian rupa
sehingga tidak sampai menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan
umat Islam sendiri. Syeh Muhammad al-Ghazali, seorang aktivis dan tokoh
penting al-Ihwan al-Muslimin di Mesir menyatakan, "Hadits tentang berpecahnya
umat Islam menjadi 70 firqah, semua di neraka kecuali satu, perlu ditafsirkan agar
tidak menimbulkan salah paham. Siapa firqah yang selamat? Itulah mereka yang
berpegang teguh pada sunnah Rasul saw, para shahabatnya, atau yang disebut "al-
Jama`ah" dalam salah satu riwayat. Namun, setiap muslim pasti berusaha
sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak rasul dalam pikiran dan perbuatannya.
Para salaf (generasi terdahulu) dan khalaf (generasi kemudian), ahli sunnah, syiah,
para pengikut tasawuf dan filsafat, semuanya mengaku dan beranggapan dirinya
memperjuangkan Islam, membela dan mendukung nabinya, serta mengibarkan
panji-panjinya".8 Karena itu, tidak bisa kita mengklaim sebagai golongan yang
selamat dan paling benar, dan menuding golongan lain salah dan sesat.
Sementara itu, menurut Imam al-Ghazali,9 penulis kitab Ihya Ulum al-Din,
hadits-hadits tentang perpecahan umat Islam amat banyak. Semuanya berbeda,
bahkan saling bertentangan. Satu riwayat menyebutkan; "umatku akan berpecah
menjadi lebih dari 70 firqah, hanya satu di antara yang selamat", tetapi riwayat lain
menyatakan "umatku akan berpecah menjadi lebih dari 70 firqah, semuanya
selamat kecuali satu, yaitu kaum zindiq". Hanya saja, yang paling umum dan
dikenal masyarakat adalah riwayat pertama.
Mungkin saja, menurut al-Ghazali, riwayat-riwayat hadits tersebut benar
semua, dengan beberapa catatan. Yaitu, bahwa yang dimaksud “selamat” adalah
mereka yang sama sekali tidak --akan-- masuk neraka dan tidak memerlukan
syafaat (pertolongan). Jadi, seseorang yang masih sempat ditarik malaikat
Zabaniyah untuk dicampakkan ke dalam neraka tidak bisa dikatakan sebagai
orang yang selamat dalam makna yang sebenar-benarnya, walau kemudian bebas
7 Ibid, 54. 8 Haidar Baqir, Satu Islam Sebuah Dilema, 195. 9 Al-Ghazali, “Fashl al-Tafriqah”, dalam Majmu`ah Rasail, (Beirut, Dar al-Fikr, 1996),
253.
4
dari neraka karena adanya syafaat. Begitu pula, apa yang dimaksud dengan kata
"celaka" adalah orang-orang yang sama sekali tidak bisa diharapkan kebaikannnya.
Dengan kata lain, orang-orang tersebut memang penduduk neraka dan tidak
mungkin lagi bisa dientas dari sana.
Sedemikian, sehingga apa yang dimaksud kata "selamat" dalam hadits
adalah untuk mereka yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa syafaat. Mereka
hanya satu golongan. Sebaliknya, yang dimaksud dengan kata "celaka" adalah
mereka yang bakal kekal di neraka. Kelompok ini adalah juga hanya satu
golongan, yaitu kaum zindiq. Sedang bagi orang-orang yang masih terkena hisab,
mizan dan lain-lain, mereka tidak bisa disebut benar-benar selamat. Begitu pula
orang yang masih menghadapi kemungkinan mendapat syafaat berarti masih
menghadapi kehinaan dan ketakutan, sehingga juga tidak bisa dikatakan sebagai
selamat secara mutlak. Mereka semua berada di antara dua golongan dikatakan
Rasul; golongan selamat dan golongan yang celaka. Semuanya terdiri atas 70
golongan lebih.
Inilah penafsiran al-Ghazali tentang hadits yang kontroversial yang bisa
menyebabkan kaum muslimin saling menuduh dan mengkafirkan. Dengan
penafsiran seperti itu --kalau memang menerima hadits firqah tersebut-- kita Insya
Allah akan dapat terhindar, atau paling tidak meminimalisir, adanya bahaya
perpecahan dan kelemahan. Karena itu, kita semua, para dai, ustad, santri dan
lain-lain perlu hati-hati dalam menyampaikan hadits-hadits ini dan sejenisnya.
Jangan sampai justru menimbulkan malapetaka, kehancuran dan permusuhan di
kalangan umat Islam sendiri. Kalau tidak, akan lebih baik kiranya bila ditolak
saja. Sebab --sebagaimana dikatakan sebagian ulama di atas-- sanad dan matan
riwayat-riwayat hadits tersebut memang lemah --minimal menurut ukuran
Bukhari-Muslim-- dan saling bertentangan, baik dengan sesama hadits, dengan
ayat-ayat al-Qur'an maupun dengan fakta sejarah.