Download - Hadapi MEA
DAYA SAING NEGARA DAN PENANAMAN MODAL
Wacana tentang bagaimana membangun daya saing negara dilontarkan Michael Porter tahun
1990 dalam bukunya The Competitive Advantage of Nations. Karya Porter merupakan evolusi
pemikirannya tentang bagaimana sebaiknya negara membangun daya saing. Dalam bagian
pertama uraiannya Porter mengingatkan perlunya paradigma baru dalam kebijakan ekonomi
suatu negara. Teori Porter tentang daya saing berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi
klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative (Comparative Advantage) tidak
mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan
daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara
ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya.
Daya saing negara menurut World Economic Forum (WEF) adalah kemampuan nilai tukar mata
uang suatu negara (exchange rate) mempengaruhi produktivitas nasional. Daya saing diartikan
sebagai akumulasi berbagai faktor, kebijakan dan kelembagaan yang mempengaruhi
produktivitas suatu negara sehingga akan menentukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam
sistem perekonomian nasional. Produktivitas adalah penentu utama tingkat Return on
Investment (ROI) dan agregasi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin kompetitif
daya saing sebuah sistem perekonomian, maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam
waktu menengah dan panjang.
Dengan memiliki daya saing yang kompetitif, suatu negara akan memiliki daya tarik bagi para
investor untuk menanamkan modalnya. Semakin banyaknya aliran investasi (Foreign Direct
Investment) yang masuk ke suatu negara maka akan mempunyai akibat yang signifikan. Para
ekonom menganggap Foreign Direct Investment sebagai salah satu pendorong pertumbuhan
ekonomi karena memberi kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi nasional seperti Produk
Domestik Bruto (PDB/GDP). Namun jika suatu negara tidak memiliki daya saing yang kompetitif,
maka negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan perekonomian
domestiknya. Tidak adanya atau tidak banyak aliran investasi yang masuk.
Ada tiga kelompok faktor yang menentukan tingkat daya saing sebuah negara (Gambar 1).
Pertama, persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi
makro dan tingkat pendidikan serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai
motor utama penggerak proses/pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah
terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor
yang bisa meningkatkan efisiensi (atau produktivitas) ekonomi seperti pendidikan tinggi dan
pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi di
tingkat nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor
inovasi dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama
menentukan tingkat inovasi suatu negara.
Daya Saing Indonesia
World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Swiss, mengembangkan dan menerbitkan
setiap tahun Global Competitiveness Index (GCI), yang merupakan suatu indeks gabungan dari
sejumlah indikator ekonomi yang telah teruji secara empirik memiliki korelasi positif dengan PDB
untuk jangka menengah dan panjang, dan berarti secara teoretik juga mempunyai suatu krelasi
positif dengan tingkat daya saing. Indeks ini dikembangkan dengan menggunakan data
kuantitatif (sekunder) dan kualitatif (primer). Data kuantitatif memberikan suatu pandangan
komprehensif mengenai keadaan ekonomi secara keseluruhan dari suatu negara, termasuk data
makro dan mikro.
Laporan dari World Economic Forum (WEF) tahun ini melalui The Global Competitiveness Report
2007-2008 menunjukkan bahwa tingkat daya saing Indonesia berada pada peringkat ke 54 dari
131 negara yang masuk di dalam sampel survei, dibandingkan peringkat ke 50 dari 125 negara
yang disurvei untuk laporan periode 2006-2007 (Tabel 1).
Tabel 2 menunjukkan posisi Indonesia untuk ketiga kelompok faktor tersebut. Untuk persyaratan-
persyaratan dasar yang merupakan faktor-faktor kunci penggerak ekonomi (Key for Factor-
Driven Economics), posisi Indonesia relatif memburuk dari 68 (2006-2007) menjadi 82 (2007-
2008). Untuk faktor-faktor kunci peningkatan efisiensi (Key for Efficiency-Driven Economics),
peringkat Indonesia 37 dibandingkan 50 setahun yang lalu. Sedangkan untuk faktor-faktor yang
menentukan kemampuan suatu negara membuat inovasi (Key for Innovation-Driven Economics),
Indonesia juga sedikit lebih baik, di 34 dibandingkan 41 untuk periode 2006-2007.
Dari kelompok faktor-faktor persyaratan dasar, posisi Indonesia tidak bagus, karena berada di
luar 50% pertama dari jumlah negara yang disurvei. Untuk kualitas kelembagaan, jumlah dan
kualitas infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, dan kesehatan dan pendidikan primer
masyarakat, peringkat Indonesia memburuk tahun ini dibandingkan periode sebelumnya (Tabel
3).
Dari kelompok faktor-faktor penggerak efisiensi, posisi Indonesia tidak tidak tambah bagus,
terkecuali untuk luas pasar karena jumlah penduduk Indonesia sangat besar maka dengan
sendirinya skornya termasuk bagus. Tentu untuk luas pasar, Indonesia tidak bisa dengan
sendirinya berada pada peringkat pertama, atau kedua, atau lebih baik daripada 15, karena
pendapatan per kapita juga merupakan faktor penting penentu pasar, yang mana Indonesia
masih jauh lebih rendah dibandingkan misalnya Singapura, Malaysia dan Thailand (Tabel 4).
Untuk inovasi dan kecanggihan bisnis, posisi Indonesia memang masih di dalam 50% pertama
dari jumlah negara yang disurvei (Tabel 5). Namun demikian, keadaan Indonesia masih termasuk
buruk. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar
dengan potensi sumber daya manusia (SDM) yang sangat besar, yang berarti seharusnya
Indonesia harus lebih unggul dibandingkan misalnya Singapura dalam kemampuan membuat
berbagai inovasi.
Lebih jelasnya, Indonesia berada di posisi ke 51 dibandingkan misalnya Malasyia pada peringkat
22 atau Singapura pada peringkat 23 dalam hal kemampuan melakukan sendiri inovasi.
Peringkat pertama dipegang oleh Jerman. Di dalam kelompok ASEAN, Malaysia, Singapura dan
Vietnam lebih baik dibandingkan Indonesia (Gambar 2). Hasil survei ini tentu sangat
memprihatinkan, karena kemampuan inovasi merupakan salah satu atau mungkin faktor kunci
terpenting dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk bisa unggul di dalam persaingan
di pasar global saat ini, dan terlebih lagi di masa depan.
Sumber: (WEF, 2006, 2007)
Analisis Kebijakan Ekonomi Indonesia
Dalam buku The Competitive Advantage of Nations, Porter mengingatkan perlunya perubahan
dalam paradigma kebijakan ekonomi suatu negara dalam rangka meningkatkan daya saingnya.
Pemerintah Indonesia belum lama ini (Tanggal 22 Mei 2008) mengeluarkan INPRES no. 5 Tahun
2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009 memuat berbagai kebijakan ekonomi yang
dapat dikelompokkan ke dalam 8 bidang yaitu kebijakan perbaikan iklim investasi, kebijakan
ekonomi makro dan keuangan, kebijakan ketahanan energi, dan kebijakan sumber daya alam,
lingkungan dan pertanian. Empat bidang lainnya adalah kebijakan pemberdayaan usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM), kebijakan pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN,
kebijakan menyangkut infrastruktur, dan kebijakan menyangkut ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian.
Paket kebijakan itu merupakan kelanjutan dari paket kebijakan ekonomi sebelumnya yaitu Inpres
nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan
Pemberdayaan UMKM. Berbagai kebijakan yang termuat di dalamnya merupakan program-
program ekonomi prioritas selama 2008-2009 yang memerlukan koordinasi dari berbagai pejabat
mulai dari tingkat menteri hingga tingkat bupati/walikota. Inpres itu menginstruksikan kepada 29
pejabat mulai dari menteri hingga bupati/walikota untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009. Pelaksanaan
Fokus Program Ekonomi 2008-2009 itu dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional, menjaga kelestarian sumber daya alam, peningkatan ketahanan energi dan kualitas
lingkungan, dan untuk pelaksanaan komite dalam rangka menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Dari paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu, masih terkesan bahwa pemerintah hanya
berfokus jangka pendek yaitu 2009. Dimana pada tahun 2009 nanti merupakan tahun akhir dari
masa pemerintahan SBY-JK. Ini merupakan kebiasaan yang sudah menjadi tradisi kepemimpinan
pemerintahan indonesia. Dimana ketika datang masa-masa injury-time, munculah kebijakan-
kebijakan yang terkesan populis bagi masyarakat. Untuk mendongkrak dan meningkatkan citra
pemerintah di mata masyarakat. Walaupun tidak menutup mata bahwa sebenarnya pemerintah
telah dengan berani memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan menurunkan
citranya.
Masalah lain di dalam paket kebijakan itu adalah tidak tersentuhnya perhatian pemerintah
terhadap sektor kesehatan dan pendidikan. Dimana kedua sektor ini merupakan basic
requirement dalam peningkatan daya saing negara seperti yang dijelaskan Porter. Tingkat
kematian bayi masih tinggi, usia sekolah bagi anak yang tidak duduk di bangku sekolah masih
tinggi pula, walaupun sebagian wilayah di Indonesia telah mencanangkan sekolah gratis.
Dibandingkan dengan Vietnam, pada tahun 2006 nilai investasi PMA di Vietnam mencapai US$
10,2 miliar. Angka kematian bayi turun drastis, harapan hidup bertambah, dan hampir tiga
perempat anak Vietnam usia sekolah menengah duduk dibangku sekolah, naik dari sekitar
sepertiga pada tahun 1990. Hengkangnya dua perusahaan sepatu, Reebok dan Nike, diikuti Sony
Electronic Indonesia ke Vietnam dan menutup pabriknya di Indonesia memperkuat fakta:
Indonesia bukanlah lokasi yang menarik bagi para investor.
Infrastruktur
Salah satu yang menarik dari hasil survey perusahaan-perusahaan yang dilakukan WEF adalah
mengenai permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di
Indonesia. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 3, hasil survei 2006-2007 menunjukkan bahwa
menurut 20% dari 123 pengusaha yang mengisi daftar pertanyaan, masalah paling besar adalah
keterbatasan infrastruktur. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa kualitas jalan raya,
transportasi, kereta api, dan fasilitas telekomunikasi serta listrik dibawah nilai rata-rata, yang
artinya buruk. Kelompok kedua dan ketiga, masing-masing hampir 15% mengatakan bahwa
masalah bisnis terbesar adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien yang mengakibatkan
biaya tinggi dan ketidakstabilan politik. Gambaran ini relatif tidak terlalu berubah dengan hasil
survei 2007-2008, khususnya dalam dua persoalan terbesar. Seperti yang ditunjukkan di Gambar
4, infrastruktur yang buruk (dalam arti kuantitas terbatas dan kualitas buruk) tetap pada
peringkat pertama, dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien pada peringkat kedua. Jika dalam
survei tahun lalu keterbatasan akses keuangan tidak merupakan suatu problem serius, hasil
survei tahun ini masalah itu berada di peringkat ketiga.
Gambar 3. Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia, 2006-2007
Gambar 4. Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia, 2007-2008
Sumber: (WEF, 2007)
Infrastruktur memiliki peran yang sangat penting dalam sistem perekonomian. Semakin baik
keadaan infrastruktur, semakin baik pula pengaruhnya terhadap keadaan ekonomi. Infrastruktur
merupakan urat nadi perekonomian, yang menentukan lancar atau tidaknya kegiatan
perekonomian. Jika memiliki infrastruktur yang bagus, bisa dipastikan sebuah daerah memiliki
keadaan ekonomi yang kuat. Sebaliknya, jika suatu daerah memiliki infrastruktur yang relatif
jelek, keadaan ekonominya pun cenderung tidak begitu bagus.
Secara konseptual, kebijakan paket infrastruktur ini bisa dikatakan cukup memadai, bahkan bisa
dikatakan cukup komprehensif karena menyentuh banyak aspek strategis terkait pengembangan
infrastruktur. Namun, tentu saja paket ini tidak otomatis berjalan dengan sendirinya karena
masih berfungsi seperti "blueprint" saja, yang perlu tindak lanjut manajemen pemerintahan di
lapangan.
Terkait dengan paket tersebut, ada beberapa kritik yang harus diperhatikan oleh pemerintah
dalam penyusunan kebijakan infrastruktur. Pertama, sejak tahun 2005, pemerintah sudah
memulai membuat kebijakan mengenai infrastruktur, yaitu peningkatan peran swasta dalam
pembangunan infrastruktur. Sebenarnya kebijakan ini bagus dan sangat realistis karena
kehadiran swasta diperlukan pada saat anggaran pemerintah mengalami keterbatasan.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa dana untuk pembangunan infrastruktur
kurang dan tidak bisa diambil dari dana APBN saja. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
yaitu tahun 2005 sampai sekarang, kebijakan ini hanya menjadi kebijakan tertulis tanpa ada
implementasi dan realisasi dari kebijakan tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa hasil dari
kebijakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Selama ini peran swasta sama
sekali belum dirasakan memadai, bahkan bisa dikatakan hampir nihil karena paket kebijakan
tersebut sepertinya hanya berada pada tataran konsep saja. Implementasi paket kebijakan
infrastruktur menjadi lebih penting dari sekadar konsep.
Paket kebijakan pemerintah yang sangat krusial dan paling sulit adalah dalam hal pengadaan
tanah. Dalam pengadaan tanah ini pemerintah hampir bisa dikatakan tidak bisa menyelesaikan
secara maksimal. Hal ini terjadi karena pemerintah harus berhadapan dengan dinamika transisi
demokrasi kurang terarah dan eforia reformasi yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat, atas
nama reformasi, berani menentang dan memberontak keras terhadap berbagai inisiatif yang
datang dari negara. Ketika pembangunan infrastruktur melewati tanah rakyat, negosiasi sangat
sulit dilakukan, padahal kebutuhan barang publik begitu mendesak. Hal sederhana saja, seperti
yang terjadi pada pembangunan jalan tol menuju ke Bandara Surabaya yang sampai saat ini
belum selesai. Bahkan, fenomena ini dijadikan ajang praktik percaloan oleh para pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan menaikkan harga tanah setinggi-tingginya. Tentu saja hal ini tidak
benar dan merupakan praktik pemerasan terhadap negara. Jika dahulu terjadi pemerasan kepada
rakyat, sekarang sebaliknya. Negara menjadi mandul dan tidak mampu mengembangkan fungsi
publiknya secara baik.
Pemerintah harus membuat dan mempunyai target untuk mendukung rencana induk
pengembangan infrastruktur. Hal ini bisa dikatakan tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah
mempunyai cetak biru, seperti pembangunan jalan tol, pasar, saluran air, dan jembatan.
Masalah lain yang kemudian muncul dalam kebijakan pembangunan infrastruktur adalah
masalah kelembagaan dan regulasi. Untuk masalah ini, pemerintah sudah membentuk semacam
komisi pengembangan infrastruktur. Kelembagaan baru ini semestinya lebih produktif
memfasilitasi koordinasi antarmenteri atau departemen. Akan tetapi, semua itu bermuara pada
implementasi di lapangan. Justru kelemahan selama ini adalah dalam implementasi kebijakan
yang langsung pada injeksi modal dan memulai proyek. Kebijakan yang selama ini sudah ada
tampaknya belum dapat diimplementasikan dengan baik. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten
Malang, Jawa Timur, berupaya keras melakukan pembebasan tanah di jalur selatan yang
menghubungkan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Apa yang dilakukan Pemerintah
Kabupaten Malang tidak didukung oleh kinerja pemerintah pusat sehingga pembangunan
tersebut berhenti.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, sudah saatnya pemerintah bergerak dalam tataran
praktis strategis bukan hanya pada tataran konsep. Di samping itu, apa yang menjadi kebijakan
pemerintah dalam upaya pembangunan perekonomian bangsa harus didukung oleh semua
elemen masyarakat tanpa terkecuali sehingga tercipta sinergi antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Makroekonomi
Harus diakui, di masa pemerintahan SBY-JK, ketidakstabilan makroekonomi dan ketidakpastian
kebijakan ekonomi makro sudah jauh menurun dibanding di masa lalu. Angka-angka indikator
makroekonomi pun boleh dikata berada dalam kondisi "aman dan terkendali". Selama periode
2005–2007, rata-rata per tahun pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7%, inflasi 10%, bunga SBI
9,9%, dan kurs Rp9.343/US$. Pasar modal pun diwarnai oleh rekor-rekor baru Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG), Surat Utang Negara (SUN), yang terus diminati oleh investor domestik
maupun asing. Obligasi Republik Indonesia (ORI) selalu terserap oleh investor perseorangan
dengan nilai yang melebihi target. Cadangan devisa melonjak secara signifikan, dari posisi akhir
tahun 2006 sebesar US$34,7 miliar, naik menjadi US$55,1 miliar pada 7 Desember 2007.
Dari indikator-indikator diatas bisa dikatakan kinerja perekonomian khususnya perekonomian
makro sangat baik. Meskipun demikian kondisi makro saat ini patut diwaspadai karena too good
to be true, serta sangat didominasi pertumbuhan sektor keuangan. Jika kinerja perekonomian
diartikan lebih luas, yaitu tidak mencakup ekonomi makro tetapi juga mambahas kinerja sektor
usaha dan variable kesejahteraan seperti pengangguran dan kemiskinan, maka disitulah problem
indonesia muncul.
Tidak ada yang membantah bahwa kestabilan makro adalah basic requirement bagi kemajuan
suatu perekonomian, tetapi bukan satu-satunya syarat. Harus ada upaya lebih agar akhirnya
kestabilan tersebut diterjemahkan dalam penciptaan lapangan kerja, perbaikan pendapatan
masyarakat, serta bergairahnya dunia usaha menjalankan aktivitasnya.
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan terjadi kesenjangan makro dan mikro di Indonesia.
Kemungkinan pertama adalah jeda waktu yang cukup lama antara terjadinya perbaikan makro
dan penyebaran dampak dari perbaikan tersebut ke berbagai aspek perekonomian. Artinya
struktur ekonomi indonesia tidak cukup responsive dan fleksibel mendorong terjadinya
perubahan menyeluruh sebagai akibat dari adanya dorongan eksternal. Kekakuan struktur
seperti ini harus segera diperbaiki dengan selalu mencari dan membuka simpul-simpul yang
dirasa sebagai penghambat. Kemungkinan kedua adalah masih buruknya iklim investasi yang
memandulkan upaya mendorong pergerakan sektor riil. Kalau masalah buruknya iklim investasi
lebih diakibatkan oleh masalah kelembagaan yang akut dan membutuhkan penanganan segera
dalam hal menyadarkan berbagai pihak yang terlibat bahwa merekalah sumber permasalahan.
Reformasi Birokrasi
Masalah birokrasi kerap dituding sebagai sumber inefisiensi perekonomian nasional. Bukan
rahasia lagi bahwa birokrasi di Indonesia, pusat dan daerah, kurang ramah terhadap kegiatan
bisnis dn mempunyai kecenderungan menciptakan biaya tinggi yang akhirnya mematikan
semangat pengembangan investasi itu sendiri.
Memang upah tenaga kerja di Indonesia tergolong rendah, tetapi Indonesia tempat yang tinggi
biaya untuk berbisnis. Alasannya sebenarnya adalah ruwetnya mengurus segala sesuatu.
Transparansi rendah, yang berarti bahwa ketidakjelasan tinggi. Terlalu banyak pihak yang
berkepentingan dalam mempertahankan transparansi yang rendah ini. Semakin banyak
ketidakjelasan, semakin banyak peluang bagi para “konsultan” dan “fasilitator” untuk
menjejalkan diri ke dalam persamaan untuk membantu orang-orang bisnis mengarungi
kekacauan. Dan semakin banyak birokrasi dan formulir yang harus di isi, semakin besar peluang
bagi pejabat untk meminta suap. Korupsi sudah begitu parahnya di Indonesia sampai-sampai
layanan resmi apapun yang seharusnya diberikan secara gratis hanya terlaksana jika ada
pembayaran.
Waktu yang diperlukan di Indonesia untuk mengurus berbagai prosedur birokrasi 151 hari,
Thailand 33 hari, Malaysia 30 hari, dan Vietnam 50 hari. Prosedur yang harus dilewati di China
lebih banyak ketimbang Indonesia, mencapai 13 prosedur, tetapi waktu yang dibutuhkan hanya
48 hari. Dari 13 negara yang disurvei, Indonesia membutuhkan waktu yang paling lama. Sedang-
kan rata-rata hari yang dibutuhkan untuk negara yang disurvei 57,5 hari. Jadi, untuk Indonesia
waktu yang diperlukan hampir empat kali rata-rata dari 13 negara yang disurvei. Dalam hal
waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan perizinan, Indonesia ternyata juga tertinggal
dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia membutuhkan waktu 224
hari, Thailand 147 hari, dan Filipina 197 hari
Dari apa yang telah digambarkan diatas nampaknya untuk membenahi urusan birokrasi,
Indonesia mengalami kesulitan dan hanya reformasi birokrasi yang tegas dan meyeluruh dapat
meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Kesehatan dan Pendidikan
Penentu daya saing yang paling mendasar lainnya adalah kesehatan dan pendidikan dasar.
Kedua indikator ini memiliki hubungan yang saling mengikat dalam penentu daya saing negara.
Masyarakat atau bangsa yang sehat dan berpendidikan menjadi modal awal bangsa tersebut
dalam bersaing.
Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi, pertumbuhan penderita-penderita penyakit yang
mematikan dan menular masih tinggi. Jumlah penderita virus flu burung (avian influenza)
menduduki peringkat tertinggi di dunia. Banyak balita yang kekurangan gizi buruk. Sebagai
akibat tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Program-program pemerintah di dalam menangani
kasus-kasus kesehatan sudah tergolong meningkat dan serius. Hal ini terlihat dalam APBN bidang
kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun.
Pembenahan sistem pendidikan di Indonesia melalui pengembangan kurikulum, peningkatan
jumlah tenaga didik dan pembangunan gedung-gedung sekolah terus digalakkan. Hanya saja
belum terlihat konsisten dan serius dalam implementasinya. Banyak aparat pelaksana
dilapangan yang belum sadar dan tulus dalam melaksanakan program-program tersebut.
Pemerintah tidak memiliki alat kontrol dan pengendalian yang bisa membuat program-program
tersebut berjalan sesuai ekspektasi masyarakat.
Masih banyak petani-petani di Indonesia yang tidak tamat sekolah atau bahkan buta huruf.
Kekuatan fisik dan pengalamannya dijadikan modal dalam bertani. Pola pikir dan pengetahun
yang dimiliki terbatas. Berbeda dengan petani di Thailand yang selalu unggul dalam
menghasilkan produk-produk pertaniannya. Salah satu faktor penyebabnya adalah mereka
berpendidikan yang cukup tinggi.
Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996,
hanya 2 persen berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen berpendidikan master, dan 0,005
persen (hanya 225 orang) berpendidikan doktor. Sementara itu, intensitas pelatihan yang
dilaksanakan oleh industri belum juga menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an
menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia,
kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. SDM dengan
kualitas ini
akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas apalagi inovasi-inovasi yang
bermutu untuk teknologi produksinya.
Penguasaan dan Penerapan Teknologi
Selain permasalahan berkenaan dengan kondisi ekonomi, faktor-faktor penting di luar ekonomi
juga belum menunjukkan perbaikan kinerja secara nyata. Sebagai salah satu contoh,
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama untuk
kepentingan produksi masih sangat terbatas. Dengan urutan Indonesia di posisi ke 60 dari 72
negara dalam Indeks Pencapaian Teknologi (IPT), hal tersebut mengindikasikan bahwa integrasi
peningkatan IPTEK untuk produksi masih akan banyak mengalami hambatan.
Munculnya negara-negara industri baru, seperti Korea Selatan, Thailand, Singapura (industri
jasa), Malaysia, Taiwan, dan China yang menunjukkan bahwa investasi yang didorong oleh
kemajuan di bidang IPTEK sangat terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Kegiatan IPTEK di negara-negara tersebut sangat terkait dengan sektor riil. Pengalaman dan visi
IPTEK negara-negara tersebut memacu negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk
melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan dan langkah-langkah yang telah
dilakukan, serta memandang jauh ke depan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang ke tahun
2025.
Pada ranah ini diperlukan penyadaran seluruh elemen bangsa bahwa eksistensi dan harga diri
bangsa ini hanya akan bisa dipertahankan jika IPTEK sebagai elemen dasar kehidupan berbangsa
di masa depan dapat dikuasai dan didayagunakan. Untuk mencapai tingkat penyadaran pada
seluruh elemen bangsa, IPTEK harus menjadi politik negara. Untuk menciptakan keberlanjutan
yang konsisten dalam upaya mewujudkan IPTEK sebagai pilar pembangunan bangsa.
Proses inovasi dan difusi teknologi merupakan proses yang penting bagi perkembangan iptek
dalam kegiatan sosial-ekonomi. Melalui proses ini segenap potensi ekonomi dari kemajuan ilmu
pengetahuan dapat digali, dimanfaatkan, dan dikembangkan lebih lanjut, untuk mendapatkan
cara baru yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses produksi atau untuk
menghasilkan barang dan jasa yang baru atau menyempurnakan yang baru agar lebih
kompetitif.
Kebijakan Penanaman Modal
Penyelenggaraan penanaman modal yang didasarkan pada asas kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penerapan asas tersebut bertujuan antara lain untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
kemampuan daya saing dunia usaha nasional, meningkatkan kapasitas dan teknologi nasional,
mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Investasi merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang penting. Selain itu
dapat membangkitkan kegiatan ekonomi baru seperti pembangunan industri yang juga akan
menimbulkan ”multiplier effect” terhadap kegiatan perekonomian. Selanjutnya, kegiatan
investasi tersebut akan mendorong peningkatan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi lainnya
dalam bentuk peningkatan ekspor dan konsumsi dalam negeri serta peningkatan penyerapan
tenaga kerja. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi yang kuat
akan lebih menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi jangka panjang dan meningkatkan
daya saing bangsa.
Secara prinsip pemerintah Indonesia telah dengan serius dan tegas merumuskan berbagai
kebijakan yang terkait dengan penanaman modal. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak
dijumpai berbagai hambatan dan kendala, baik itu berasal dari pemerintah itu sendiri maupun
pada faktor lainnya. Terdapat kegamangan dalam menarik dan mengelola modal asing di
Indonesia. Sikap anti-asing mungkin cerminan dari kecurigaan pada diri sendiri, bahwa di negeri
ini semua gampang disogok. Padahal, di China dan Singapura yang lebih pandai memanfaatkan
modal asing misalnya, tidak lantas pemerintahnya bisa dikendalikan pemodal asing.
Kepercayaan diri merupakan aset berharga. Akan tetapi, justru saat ini pesimisme berkembang
kian luas di masyarakat. Pesimisme bisa terjadi di banyak negara, tetapi di Indonesia terjadi
sangat intens, sehingga menimbulkan frustrasi. Itu karena pada masyarakat ini banyak yang
merasa Indonesia begitu kaya sehingga seharusnya menjadi bangsa besar dan terhormat, tetapi
kenyataannya tidak begitu.
Terkait dengan penanaman modal di sektor industri, bentuk lain dari ketidakpercayaan investor
adalah amat terbatasnya insentif dan perlakuan preferensial. Perlakuan preferensial diperlukan
jika diberikan demi kepentingan nasional, bukan kepentingan segelintir orang. Misalnya seorang
investor mendapat pembebasan pajak, tetapi dalam waktu sekian tahun ia harus menyerap
sekian pekerja, mengalihkan teknologi, dan seterusnya. Jika tak tercapai, langsung dicabut.
Kesimpulan
Daya saing ternyata tak hanya dibentuk oleh faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan
ekonomi, produktivitas dan jasa. Daya saing tak bakal terbentuk kokoh dan bernapas panjang
tanpa faktor non-ekonomi, pendidikan dan adanya sistem nilai-nilai. Tersebut terakhir itu antara
lain berupa sikap bangsa itu terhadap kerja, kekayaan, tanggung jawab sosial.
Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan. Ada setidaknya dua alasan.
Pertama, dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri.
Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing perusahaan.
Bila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri
Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional. Kedua, mendefinisikan
daya saing negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Bila suatu perusahaan
tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para pemasok,
dan membagi dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa keluar dari bisnis yang
digelutinya. Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias
tidak akan pernah “keluar dari arena persaingan”.
Kondisi permasalahan Indonesia yang multikomplek bukannya tidak ada jalan keluar, jika kita
mau merubahnya. Nasib suatu bangsa tidak akan berubah, kecuali bangsa itu sendiri mau
mengubahnya. Perubahan harus mendasar dan dengan skala prioritas. Salah satu prioritas
utama adalah pembangunan kualitas SDM melalui pendidikan. Untuk mengejar ketertinggalan
daya saing global, kebijakan di bidang pendidikan harus konsisten dan berkelanjutan. Alokasi
dana APBN yang diamanatkan UUD 45 minimal 20% dari APBN dan ketentuan lainnya wajib
segera diimplementasikan, buka hanya sekedar angin surga atau tebar pesona belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Backman, Michael, (2008), Asia Future Shock, Krisis-Gejolak-Peluang-Kegoncangan-
Ancaman Masa Depan Asia, Ufuk Press, Jakarta
Kuncoro, Mudrajad, (2008), Indonesia Bangkit 2008, dikutip dari Artikel Warta
Ekonomi, Jakarta
Porter, M.E. (1998a), The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction,
New York: The Free Press.
WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic
Forum.
WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic
Forum.
WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic
Forum.
Hadapi MEA, Presiden Terbitkan Inpres Peningkatan Daya Saing
Oleh: Humas ; Diposkan pada: 14 Sep 2014 ; 53136 ViewsKategori: Berita
Terkait dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2014, dalam dalam upaya untuk
meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) yang akan dimulai akhir 2015, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1
September 2014 telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Daya Saing Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Melalui Inpres tersebut, Presiden meminta kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II,
Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(LPNK), para Gubernur, dan para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara
terkoordinasi dan terintegrasi untuk melakukan peningkatan daya saing nasional dan melakukan
persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan dimulai pada Tahun 2015.
Pelaksanaan peningkatan daya saing nasional dan persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi
ASEAN sebagaimana dimaksud berpedoman pada strategi di antaranya:
1. Pengembangan Industri Nasional yang berfokus pada: a.Pengembangan Industri Prioritas Dalam
Rangka Memenuhi Pasar ASEAN; b.Pengembangan Industri Dalam Rangka Mengamankan Pasar
Dalam Negeri; c.Pengambangan industri kecil menengah; d. Pengembangan SDM dan Penelitian;
dan e. Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Pengembangan Pertanian, dengan fokus pada Peningkatan Investasi Langsung di Sektor
Pertanian, dan Peningkatan akses pasar.
3. Pengembangan Kelautan dan Perikanan, dengan fokus pada: a. Penguatan Kelembagaan dan
Posisi Kelautan dan Perikanan; b.Penguatan daya saing kelautan dan perikanan; c. Penguatan
pasar dalam negeri; dan d. Penguatan dan peningkatan Pasar Ekspor.
4. Pengembangan energi, yang fokus pada: a. Pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan
pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); b.sub sektor energi baru, terbarukan
dan konservasi energi; dan c. Peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan
negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
Selain itu masih ada 10 sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan infrastruktur;
pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan; investasi; usaha mikro, kecil,
dan menengah; tenaga kerja; kesehatan; perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan.
Terkait Inpres ini, Presiden memberikan keleluasaan bagi Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non
Kementerian untuk melakukan koordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sepanjang terdapat program yang berkaitan dengan
kewenangan Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.
Melalui Inpres ini, Menko bidang Perekonomian diminta untuk mengoordinasikan pelaksanaan
strategi sebagaimana di atas, dan melaporkannya secara berkala kepada Presiden.
Dalam pelaksanaan tugasnya itu, Presiden meminta Menko Perekonomian untuk berkoordinasi
dengan Komite Nasional Persiapan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagaimana telah
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2014.
“Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan,” bunyi akhir Inpres yang
ditandatangani oleh Presiden SBY pada 1 Seoptember 2014 itu. (Peningkatan Daya Saing Ekonomi
dan Peran Birokrasi
Oleh: Humas ; Diposkan pada: 30 Sep 2014 ; 187651 Views Kategori: Artikel
Oleh: Eddy Cahyono, Asisten SKP bidang Ekomomi dan Pembangunan
Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal akan pentingnya
peningkatan daya saing, di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada tanggal 31
Desember 2015.
MEA akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan
ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang
lebih dinamis dan kompetitif.
Pemberlakuan MEA dapat pula dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi
kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional
kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa,
investasi, tenaga kerja, dan modal.
Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan
keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri, sebagai basis memperoleh
keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi.
MEA mendatang seyogyanya perlu terus dikawal dengan upaya-upaya terencana dan targeted
dengan terus meningkatkan sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang
kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia,
perubahan sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya
bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang karena hambatan perdagangan akan
cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan
ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan
dukungan birokrasi pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya, diharapkan dapat
menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam mendukung masuknya Foreign Direct Investment
(FDI).
Meningkatnya investasi diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan
teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan
mengatasi masalah tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan yang menjadi tantangan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebagai gambaran, daya tarik investasi ke ASEAN lebih besar dari pasar global ketimbang nilai
investasi antar negara ASEAN sendiri. Nilai investasi dari pasar global ke ASEAN mencapai 67
miliar dollar AS, jauh lebih tinggi dibanding nilai investasi antar negara ASEAN yang hanya 26 miliar
dollar AS.
Disamping itu pemberlakuan MEA 2015 mendatang dapat dijadikan peluang bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat semakin meningkatkan size ekonomi kawasan,
dimana dalam studi CSIS dan ADBI, diprediksikan negara-negara Asean akan berpendapatan total
5,4 triliun dollar AS pada 2030 mendatang.
Namun sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita sebagai pecundang
belaka, yang ditandai dengan hanya menjadi pasar impor, dan terjebak menjadi negara
berpendapatan menengah (middle income trap), apabila tanpa persiapan yang matang dalam
meningkatkan produktivitas, efesiensi dan daya saing.
Di masa lampau kekuatan dan daya saing sebuah bangsa dalam percaturan ekonomi dan
perdagangan internasional ditentukan oleh keunggulan komparatif (comparative advantage) yang
terkait erat dengan “keunggulan” sumber kekayaan alam yang dimiliki.
Namun dalam perkembangannya konsep dan keyakinan tersebut terbantahkan, dimana pada
pertengahan 1985, Prof. Michael Porter dari Harvard University, menyajikan gagasan baru, teori
keunggulan kompetitif (competitive advantage theory) sebagai sumber daya saing yang kemudian
praktis meruntuhkan keyakinan lama bahwa kekayaan alamlah yang menentukan tinggi rendahnya
daya saing suatu bangsa.
Secara sederhana teori keunggulan kompetitif, menjadi dasar baru bagi peningkatan daya saing
ekonomi, hal inilah yang menjadikan kemajuan ekonomi negara-negara seperti Jepang, Singapura,
dan juga Korea Selatan, sehingga dapat mencapai taraf perkembangan ekonomi dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Teori keunggulan kompetitif tampaknya sangat
relevan dengan menjadikan daya saing sebagai pilar utama meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pemahaman mengenai pentingnya daya saing berkembang seiring dengan semakin
berkembangnya globalisasi dan perdagangan bebas. Daya saing secara garis besar diukur
berdasarkan kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas
ekonomi suatu negara.
Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya saing tinggi berpotensi
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Daya saing tinggi menuntut pemenuhan “prasyarat
dasar” yang diantaranya meliputi infrastruktur, kualitas kelembagaan birokrasi, stabilitas ekonomi
makro, serta pendidikan.
Inpres No. 6 Tahun 2014 dan Strategi Peningkatan Daya Saing
Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna
memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan terbitnya Inpres No. 6
Tahun 2014 pada 1 September 2014.
Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh
Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing
nasional dan melakukan persiapan pelaksanaan MEA yang akan dimulai pada Tahun 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan, utamanya
dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:
Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam rangka
memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri.
Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah; pengembangan SDM dan penelitian; dan
penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor pertanian,
dan peningkatan akses pasar.
Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi
kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan pasar dalam
negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan
pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru, terbarukan
dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan
negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan
infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan; investasi; usaha
mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan; perdagangan; kepariwisataan; dan
kewirausahaan.
Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah
menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai
kekurangan yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya.
Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World
Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015.
Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144
negara di dunia.
Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57),
India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada
pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang
rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global,
pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur.
Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam
menghadapi persaingan MEA 2015 mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah
memacu percepatan reformasi birokrasi.
Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya dukungan birokrasi dalam
mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan
berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.
Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan
birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia.
Hal ini kontraproduktif dengan proyeksi semakin meningkatnya kompleksitas pengelolaan
makroekonomi jelang pemberlakuan MEA 2015, yang memerlukan penguatan dan peningkatan
kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan.
Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efisien, namun juga jajaran
staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.
Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan
menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan kelembagaan birokrasi
tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi Indonesia ke depannya.
Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi
upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan
pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik yang
diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level birokrasi di pemerintah
daerah.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan
daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan pemodal atau investor yang akan
menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan global, akan
menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka, unsur birokrasi
pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat
dari negara-negara lain.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan
pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan
digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.
Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur
birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi
peningkatan daya saing nasional.
Dari sisi SDM, perlu terus diupayakan membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui
implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan calon-calon
yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.
Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya menjadi prioritas pada semua tataran
birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang.
Ketatnya persaingan akan menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of
activity” yang menjamin akselerasi berbagai implementasi kebijakan dan program yang dirancang
untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi
katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya
saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan
barang-barang kebutuhan publik.
Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi alternatif solusi dalam
menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan birokrasi sejatinya adalah sebuah usaha reformasi
birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan usaha untuk
mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada.
Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan yang
kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi David Osborne dan Ted Gaebler
dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam menyongsong
pemberlakuan MEA 2015.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam
memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan
individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam
menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan
daerah, agar memiliki nilai tambah ekonomi tinggi.
Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat menjadi sebuah
daya yang besar dalam mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi,
mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi
kreatif.
Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di
segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor,
pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi.
Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat
semakin meningkatkan kinerja birokrasi dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional dalam
memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan
kesejahteraan rakyat. Semoga.Pusdatin/ES)
Oleh: Novita, Bidang HI, Asdep Politik dan Hubungan Internasional Setkab
CEO APECSeperti yang kita ketahui, iklim investasi di Indonesia akhir-akhir ini mengalami penurunan akibat gejolak politik yang terjadi di Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan seiring dengan kekhawatiran para investor bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak akan mendapatkan dukungan dari parlemen karena dikuasainya DPR oleh Koalisi Merah Putih. Namun, secercah harapan muncul seiring dengan kebijakan Presiden terpilih Joko Widodo yang mengundang investor asing ke Indonesia. Hal ini diungkapkan Presiden Jokowi pada pidato perdananya di hadapan para CEO dunia pada forum KTT APEC yang berlangsung di Beijing pada tanggal 10 November 2014.
Di awal pidato, Presiden Jokowi memberikan gambaran tentang Indonesia yang memiliki 17.000 pulau dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, namun konektivitas antarpulau belum terbangun dengan baik sehingga ada kesenjangan harga komoditas barang antara pulau yang satu dengan yang lain. Ia mencontohkan harga semen di Papua 25 kali lipat dibandingkan dengan harga semen di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, sektor yang dipromosikan adalah kemaritiman dengan membangun tol laut untuk menekan biaya transportasi.
Presiden Jokowi juga memaparkan sejumlah peluang yang ada di Indonesia. Ia menginginkan investasi yang besar dalam membangun transportasi logistik, membangun bandar udara dan memperluas 24 pelabuhan, transportasi masal kereta api, serta pembangkit tenaga listrik 35.000 MW. Pembangunan industrial zone di beberapa lokasi akan dilakukan agar industri di Indonesia berkembang.
Selain itu Presiden Jokowi juga memaparkan bahwa kondisi pasar di Indonesia lebih kompetitif untuk membawa industri Indonesia ke arah perkembangan yang lebih baik. Khusus untuk raw material, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa barang yang keluar dari Indonesia adalah barang setengah jadi dan barang jadi, hal ini dilakukan agar nilai tambah barang tersebut ada di Indonesia.
Selain memaparkan peluang yang ada, Presiden Jokowi mengungkapkan adanya sejumlah masalah yang menghambat pembangunan di Indonesia, misalnya masalah perizinan dan pembebasan lahan. Untuk mempermudah perizinan, semua kementerian yang berurusan dengan investasi akan berada dalam satu gedung dan membangun kantor perizinan. Sedangkan dalam upaya menyelesaikan pembebasan lahan, Presiden Jokowi akan melibatkan Menteri, Gubernur, dan Walikota untuk ikut serta membantu pembebasan lahan pada proyek-proyek yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Presiden Jokowi juga memaparkan pembenahan masalah impor di bidang perminyakan agar lifting produksi dapat segera naik sehingga impor dapat ditekan. Pengalihan subsidi BBM akan dialihkan kepada hal-hal yang produktif, antara lain benih dan pupuk untuk petani, irigasi untuk desa, pembangunan waduk, pembangunan infrastruktur, dan mesin untuk kapal untuk nelayan. Namun, Presiden Jokowi berusaha menyakinkan kalangan usaha di Asia Pasifik, persoalan-persoalan tersebut akan menjadi fokus pembenahan dari pemerintahannya. Mengakhiri pidatonya, Presiden Jokowi mengundang kalangan usaha di forum APEC untuk berinvestasi dalam pembangunan di Indonesia.
Pidato Presiden Jokowi tersebut banyak menuai pujian dan dinilai beberapa kalangan pebisnis internasional membawa harapan yang cerah dalam berinvestasi di Indonesia. Selain itu, Pidato Presiden Jokowi digambarkan secara sederhana, padat, kongkrit, dan realistis dalam mencapai kemakmuran Indonesia dan tentu saja kemudahan investasi bagi warga dunia. Tanggapan positif juga datang dari beberapa Kepala Negara/Pemerintahan, Presiden Vietnam, Perdana Menteri Jepang, Presiden Rusia, Presiden AS, dan Presiden Tiongkok.
Presiden Vietnam menganggap Indonesia sebagai sahabat dan akan berkomitmen untuk mendorong kerja sama kedua negara. Perdana Menteri Jepang menyebut Indonesia sebagai mitra strategis Jepang, dan sebagai negara maritim, kedua pihak harus berkontribusi demi kedamaian dan keadilan. Melalui investasi Jepang ke Indonesia, Pemerintah Jepang ingin berkontribusi di bidang industri dan pembangunan sumber daya manusia melalui berbagai kerja sama di bidang industri kreatif dan pertukaran pelajar.
Sedangkan Presiden Rusia berkeyakinan hubungan kedua negara sebagai mitra strategis akan semakin baik pada masa yang akan datang. Presiden Tiongkok, Xi Jinping mengatakan kedua negara akan menjalin persahabatan yang sangat dalam dengan saling menghormati sebagai negara tetangga dan sahabat lama. Tanggapan serupa juga datang dari Presiden AS, Barack Obama, yang merasa senang bertemu dengan Presiden Jokowi dan berharap bisa memperkuat kerja sama.
Peningkatan daya saing global Indonesia yang terjadi di tengah masa transisi pemerintahan merupakan modal kuat bagi pemerintahan baru untuk menentukan arah perekonomian Indonesia ke depan. Berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) bertajuk Global Competitiveness Report 2014, daya saing ekonomi Indonesia berada di peringkat 34 dari 144 negara, naik empat tingkat dari posisi sebelumnya di level 38. Dengan demikian, dalam upaya peningkatan daya saing global Indonesia diperlukan jaminan kepastian hukum bagi para investor.
Kepastian hukum merupakan kunci penting yang harus diperhatikan Pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang baik, misalnya dalam hal ketentuan perundang-undangan masih terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan adanya kepastian hukum karena beberapa peraturan perundang-undangan saling tumpang tindih sehingga membebani investor. Adanya jaminan kepastian hukum di Indonesia bagi para investor akan berdampak meningkatnya nilai investasi di dalam negeri.
Di samping itu, perlu adanya jaminan proses penegakan hukum yang dilakukan tanpa pandang bulu. Kualitas dan penegakan hukum adalah faktor dominan dan saling mempengaruhi. Sebaliknya, lemahnya penegakan hukum dan kepastian hukum mempengaruhi minimnya kepercayaan publik, dan berujung pada iklim investasi dan penurunan penerimaan negara.
Melalui pidato tersebut, banyak dampak positif yang akan dirasakan bagi Indonesia, antara lain peningkatan hubungan bilateral, baik tingkat regional maupun internasional, khususnya pengembangan kerja sama di bidang-bidang yang menjadi prioritas Kabinet Kerja. Di antaranya adalah pembangunan infrastruktur serta peningkatan ekonomi, perdagangan, dan investasi, termasuk di bidang maritim, yang akan memberikan manfaat langsung kepada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Hal-hal yang disampaikan Presiden Jokowi di pertemuan APEC ini sejalan dengan kepentingan nasional dan diharapkan dapat meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu kementerian-kementerian terkait perlu segera berbenah diri dalam menerima investor asing dengan melakukan penanganan terhadap masalah perdagangan, perizinan, dan investasi serta isu-isu lain yang telah dipaparkan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) direncanakan akan meresmikan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) Nasional bidang penanaman modal pada akhir Januari 2014. Presiden Jokowi menyatakan
PTSP akan mempercepat perizinan penanaman modal di Indonesia. Untuk keperluan ini, Presiden
Jokowi telah memanggil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani ke
kantor Presiden, Jakarta, Senin (19/1) pagi.
“Pak Jokowi akan meresmikan PTSP di minggu keempat bulan ini. Hari ini kami akan mendengar
pemaparan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) soal persiapannya,” kata Menteri
Kordinator Perekonomian Sofyan Djalil yang mendampingi Presiden Jokowi dalam kesempatan
pemaparan di Istana Merdeka itu.
Dengan berlakunya PTSP secara nasional, Presiden Jokowi mengharapkan pengurusan izin
pembangunan infrastruktur, seperti pembangkit listrik, hanya butuh waktu tiga bulan.
Sebagaimana diketahui, pada 15 Desember 2014, BKPM telah meluncurkan Layanan Penerbitan
Perizinan Penanaman Modal Secara online, untuk memudahkan investor mengakses layanan
perizinan di PTSP-BKPM.
Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan layanan online untuk penerbitan perizinan di BKPM ini,
merupakan persiapan BKPM sebagai pelaksana penyelenggara PTSP seperti yang ditugaskan oleh
Presiden Jokowi.
“Mulai tanggal 15 Desember 2014 seluruh perizinan yang diterbitkan BKPM dapat dilakukan
pengajuannya secaraonline, sehingga tidak ada layanan tatap muka. Investor dapat mengajukan
permohonan dari kantor masing – masing, tidak perlu datang ke sini (BKPM), dan dapat memonitor
proses penerbitan perizinan yang dimohonkan viaonline tracking system,” jelas Franky.
Ditambahkan Franky Sibarani, layanan penerbitan perizinan online ini merupakan bagian dari upaya
membuat iklim investasi Indonesia menjadi lebih baik. “Layanan perizinan yang cepat, sederhana,
transparan dan terintegrasi akan meningkatkan daya saing investasi Indonesia, karena
mengefisienkan proses perizinan menjadi lebih mudah dan ringkas,” imbuhnya.
Layanan Perizinan Online BKPM
Jenis izin dan nonperizinan yang diajukan secara online meliputi :
1. Izin Prinsip Penanaman Modal ( belum dan sudah ber Badan Hukum Indonesia)
2. Izin Prinsip Perluasan
3. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan
4. Izin Prinsip Perubahan
5. Izin Usaha
6. Izin Usaha Perluasan
7. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan
8. Izin Usaha Perubahan
9. Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
10. Surat Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin dalam
rangka: a. proyek baru; b. proyek perluasan; c. perubahan/penambahan, dan/atau; d.
restrukturisasi/modernisasi/rehabilitasi
11. Surat Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan
Bahan dalam rangka : a. proyek baru; b. proyek perluasan; dan/atau c. perubahan.
Persiapan PTSP Nasional
Franky Sibarani menambahkan, BKPM bersama dengan Kementerian lainnya terus mempersiapkan
implementasi PTSP Nasional yang ditargetkan mulai Januari 2015 mendatang yaitu infrastruktur
PTSP Nasional di BKPM antara lain back office yang akan terdiri dari pegawai berbagai
Kementerian yang di-BKO kan untuk menangani perizinan, serta dukungan sistem teknologi dan
informasi.
Selain itu, Kepala BKPM juga aktif melakukan roadshow ke berbagai kementerian untuk
berkoordinasi dengan menteri – menteri terkait. Tercatat Franky sudah bertemu dengan para
menteri untuk mendiskusikan proses integrasi perizinan, antara lain: Menteri Kelautan dan
Perikanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Perindustrian dan Menteri
Perdagangan.
“Koordinasi BKPM dan kementerian cukup bagus. Masing – masing Kementerian sudah menunjuk
pejabat yang bertanggungjawab untuk proses integrasi perizinan. Saat ini BKPM dan pejabat
tersebut terus bekerja untuk mematangkan proses layanan perizinan satu pintu di BKPM, “tambah
Franky.
(WID/ES)
Perusahaan minyak Saudi Arabian Oil Company (Aramco) telah menyatakan minatnya untuk
berinvestasi di Indonesia dengan embangun kilang, sekaligus storage ,dan sekaligus secara
langsung mempunyai distribusi di Indonesia. Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahkan menyebut,
perusahaan milik pemerintah Saudi Arabia itu berniat menginvestasikan 10 miliar dollar AS untuk
membangun bisnis di Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang ikut mendampingi Presiden
Joko Widodo (Jokowi) dalam kunjungan ke tiga negara Timur Tengah, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, dan Qatar, Jumat – Selasa (11-15 September) menjelaskan lebih lanjut mengenai rencana
Aramco melakukan investasi di tanah air itu, dalam perbincangan dengan wartawan di Dubai, Uni
Emirat Arab (UEA), Senin (14/9). Berikut petikan pembicaraanya:
Wartawan (W): Hal apa saja yang masih di bahas terkait investasi di bidang migas?
Menteri ESDM (M): Ada beberapa isu yang belum confirm misalnyasoal skema antara Aramco
dengan Pertamina. Kita harapannya disamping memang menjamin pasokan crude, juga mereka
investasi.
Mereka (pemerintah Arab Saudi, red) berharap Aramco bisa masuk ke hilir, ke marketing dan
distribusi. Pertamina belum sepenuhnya sepakat, sementara secara regulasi dan secara arah
pemerintah juga kita membuka lebih lebar market untuk hilir. Hal ini yang penting untuk membuat
beban menggendong stok nasional maupun infrasrtuktur bisa dibagi antara pertamina dengan
pemain-pemain lain.
Yang kedua, dengan adanya persaingan yang lebih luas, mau tidak mau seluruh pemain baik
swasta maupun Pertamina akan dipacu untuk lebih efisien, dan yang diuntungkan adalah
masyarakat.
Jadi ini juga masih disimpulkan dengan Pertamina, dan saya kira juga Pertamina mendengar dari
mereka tidak ada masalah sudah siap untuk bekerjasama.
Kalau saya kemarin mengikuti pembicaran Presiden (Jokowi) baik dengan Raja (Arab Saudi, red)
maupun dengan Menteri Pertahanan, Putra Mahkota dan pebisnis, memang Saudi Arabia sudah
siap untuk masuk ke Indonesia.
W: Keunggulan Aramco dengan yang lain bagaimana?
M: Aramco produksi minyaknya besar sekali, dan saya katakan sudah lama memasok Indonesia,
dan kemudian nanti kita kerjasama denga OPEC, karena kita akan masuk OPEC, akan membuat
seluruh peluang kerjasama dengan negara-negara produsen minyak, meskipun tidak selalu dlm
bidang minyak, akan sangat terbantu karena kita akan berinteraksi dengan mereka.
Kita tahu semua para produsen minyak ini sedang berusaha keras untuk mendeversifikasi
ekonominya dari yan dominan oil and gas menuju ke lebih beragam. Ini yang bisa berpartner, kita
butuh uang mereka, kita butuh minyak mereka, kemudian kita menberikan oportunity untuk investasi
di indonesia.
W: Bagaimana bentuk kerjasamanya, apakah mereka membanguun blok pengelolaan atau hanya
membangun refinary atau storage?
M: Saya kira yag tertarik refinary dan storage, karena mereka itu, apalagi Arab Saudi, tapi rata-rata
negara Timur Tengah cukup punaya cadangan, dan minyaknya minayak murah, karena minyak di
darat. Jadi mereka lebih tertarik bagaimana mereka menggunakan Indonesia sebahai pasar.
Artinya, mengirim crude, membangun kilang, artinya diditribusikan dan dijual di wilayah kita.
Yang kita dakan mendapat manfaat adalah investasi untk membangun refinary dan kilang
penyimpanan itu akan ditanggung mereka, sehingga uang Pertamina bisa dipakai untuk yang lain.