Download - Gharib Al Qur'An
BAB I
PENDAHULUAN
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah –dalam pengertian yang luas, bukan
hanya sekedar melafalkan huruf Arab dengan lancar- merupakan salah satu aspek
kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik oleh kalangan santri maupun kaum
terpelajar umumnya, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang
paling utama. Hal ini barang kali bisa dimengerti, mengingat kurangnya buku rujukan
yang mengupas tuntas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki
kemampuan memadai. Antusiasme para “santri” dalam mempelajari dan mencari
dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis ataupun dari pendapat-pendapat ulama,
ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari jawaban
tentang apa dan mengapa ada bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama
wajib (kifayah) dipelajari bagi kaum muslimin.
Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji aspek
bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang sebagaimana
semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa
“membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang bacaan al-
Qur’an, bagi kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid)
dianggap hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati
dan tanwin, dan mad saja, lalu mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana
yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal banyak kalimat yang cara
bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tash-hil,
isymam dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini penulis berusaha memberikan sedikit pemahaman
tentang bacaan gharib dari bacaan Imam Ashim dari riwayat Hafs yang banyak
dianut oleh hampir seluruh kaum muslimin, sekaligus alasan-alasan secara bahasa
tentang bacaan gharib tersebut.
Alasan-alasan (ihtijaj) kebahasaan mengenai bacaan gharib al-Qur’an yang
akan penulis paparkan di sini, hanyalah sebutir debu dibanding besar dan luasnya
hikmah atau rahasia sesungguhnya yang dikehendaki Allah. Dengan kata lain, alasan-
alasan tersebut bukanlah faktor utama yang mendorong shahibul Qaul (Allah)
memilih kata atau lahjah tertentu, akan tetapi hanya sebuah usaha dari para ulama
terdahulu untuk memahami rahasia-rahasia Allah melalui tanda-tanda dan ilmu-ilmu
yang dia titipkan pada hambanya. Imam Nashiruddin Ahmad mengatakan bahwa
ihtijajul qira’ah tidak dimaksudkan mengkoreksi bacaan atau bahasa al-Qur’an
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, melakukan sebuah proses argumentasi induktif,
yakni usaha mengkoreksi kaidah-kaidah bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an (Abi
Thahir, 290).
Seringkali argumen-argumen yang dikemukakan mengenai qiraah tertentu
kurang relevan bila dianalogikan dengan bacaan imam lain pada kata yang sama
atau hampir sama. Namun, hal itu justru menjadikan kita semakin meyakini bahwa
perbedaan bentuk bacaan tersebut bukan hasil kreativitas imam-imam qiraah atau
para pakar bahasa Arab di masa itu, akan tetapi mereka mewarisinya dari para
sahabat, dari Nabi, dari Malaikat Jibril, dan dari Allah azza wa jall
D. Rahasia dibalik Bacaan-Bacaan Gharib
1. Saktah
Secara bahasa saktah berasal dari kata – سكوتا – يسكت ;berarti diam سكت
tidak bergerak. Secara istilah saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas
dengan niat meneruskan bacaan (Makky Nasr, 153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan
saktah banyak dijumpai pada bacaan Imam Hamzah (baik dari riwayat khalad
maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif,
seperti أليم عذاب .(Arwani Amin, 3-6) باآلخرة،
Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; bacaan saktah hanya ada
di empat tempat, yaitu:
1. Surat al-Kahfi ayat 1 : - قيما عوجا له يجعل ولم
2. Surat Yasin ayat 52 : - الرحمن وعدنا ما هذا مرقدنا من
3. Surat al-Qiyamah 27 : - راق من وقيل
4. Surat al-Muthaffifin 14 : - ران بل كال
Alasan saktah ini adalah untuk memberikan tanda pada qari’ bahwa waqaf
pada عوجا termasuk waqaf tamm (sempurna), dan kata ما* bukan sifat/naat dari قي
Demikian juga halnya waqaf pada . أنزلia dinashabkan karena menyimpan fi’il ,عوجا
, مرقدنا kata bukan sifat هذا dari , مرقد melainkan mubtada’ dan kata dan هذا
sesudahnya adalah perkataan malaikat bukan perkataan orang kafir. Sedangkan
pada pada من – راق dan من pada بل ران yaitu sebagai kata tanya pada yang بل
pertama dan sebagai kata penegas pada yang kedua, juga untuk memperjelas
idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’
diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang (al-Qaisy, 1987:II/55).
2. Imalah
Secara bahasa imalah berasal dari kata ) الرمح – – ) إمالة يميل yang berarti أمال
memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah
berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abi
Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, di
antaranya pada kata yang diakhiri alif layyinah, seperti هدى سجى، قلى، .الضحى،
Khusus riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata .(QS.Hud:41) مجراها Dalam
qira’ah sab’ah ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina
dari Imam Warsy pada lafadz yang berwazan ُف5على ُف7على، ,(Arwani Amin, 18) ُف8على،
hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan imalah merupakan salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk
penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini bermanfaat
untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila
membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu
lebih ringan dari terangkatnya lidah. (Abi Thahir, 312)
Alif layyinah itu menyerupai huruf ya’, dengan membaca imalah diharapkan
pendengar tahu asal kata tersebut, sebaliknya dengan membaca fathah dianggap
tidak berakhiran alif layyinah.
3. Naql
Secara bahasa naql berasal dari kata – – نقال ينقل berarti نقل memindah;
menggeser. Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat suatu huruf ke
huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah
dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh باآلخرة
terbaca بالخرة dan أليم . عذابنليم terbaca عذاب
Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس
.(QS. al-Hujurat:11) االسم Alasan bacaan naql pada kata yaitu terdapatnya االسم
dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah
pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang berhamzah washal),
yang mengapit lam sehingga menjadi tidak terbaca di kala sambung dengan kata
sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat
Islam membacanya.
4. Ibdal (Penggantian)
A. Penggantian Hamzah dengan Ya’
Ibdal yang dimaksud di sini adalah بالياء الساكنة الهمزة mengganti) إبدال
hamzah sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –
bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal
dengan ya’ sukun, seperti ائت ,(QS. Yunus:15) لقاءنا ائتوني السموات -QS .al) ُفي
Ahqaf:4). Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam
kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan. (Abdul Fattah, 1981:143)
B. Penggantian Shad dengan Siin
Yakni mengganti shad dengan siin pada kata dan (QS. al-Baqarah:245) يبصط
,untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah (QS. al-A’raf:69) بصطة
Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Ibid, 119) sedangkan pada .QS) بمصيطر al-
Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya
dengan kata ini (QS. al-Thur:37) المصيطرون bisa dibaca dengan mengganti shad
dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya. (Ibid, 306)
Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu
mengembalikan pada asal katanya, sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu
mengikuti rasm/khat utsmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq
dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’. (al-Qaisy, 1987:I/34)
5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan
mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti . نستعين
Dalam bacaan Imam Hisyam, diisymamkannya kata dengan قيل mencampur
dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca
isymam kata الصراط dengan memadukan bunyi صراط، dan ص ,Abdul Fattah) ز
1981:15). Namun dalam bacaan Hafs isymam hanya ada kata تأمنا ,(QS. Yusuf:11) ال
yakni lidah melafadzkan تأمننا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan ال
tulisannya ا* تأمن .ال
Secara bahasa bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua
nun yang diidharkan, yang awal didlammah dan kedua difathahkan (Ibid, 161).
Sementara itu rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun sehingga untuk
mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu secara bunyi mengikuti rasm
dan gerakan bibir mengikuti kata asal.
6. Tash-hil
Arti tash-hil secara bahasa “memberi kemudahan atau keringanan”, sedangkan
dalam istilah qiraat, tash-hil diartikan membaca hamzah kedua (dari dua hamzah
yang beriringan) dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنتم أأنذرتهم،
dan lain-lain.
Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tash-hil hanya satu yaitu وعربي .QS) أأعجمي
al-Fushshilat:44). Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata
maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan
seperti ini bisa meringankan.
Juga ada tash-hil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan
Imam Nasr Makky ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143 : 7نM 8ي 8ي Mَث ن5 Mاُأْل 7 ِم
8 أ ِم8 Qح8ر Mن7 ي 8ر8 ء8الذQك Mق5ل
2. Surat al-An’am ayat 144 : 7نM 8ي 8ي Mَث ن5 Mاُأْل 7 ِم
8 أ ِم8 Qح8ر Mن7 ي 8ر8 ء8الذQك Mق5ل
3. Surat Yunus 51 : 85ون ل 8عMج7 ت M8س ت 7ه7 ب M5م Mت 5ن ك Mو8ق8د ن8 Mآآل
4. Surat Yunus 91 : 8د7ين Mم5ْفMس7 ال م7ن8 Mت8 5ن و8ك Mل5 ق8ب Mت8 ع8ص8ي Mو8ق8د ن8 Mآآل
5. Surat Yunus 59 : ون 8ر5 8ْفMت ت Qه7 الل ع8ل8ى Mِم8 أ M5م 8ك ل ِذ7ن8
8 أ Qه5 آلل Mق5ل
6. Surat al-Naml 59 : 85ون ر7ك M5ْش ي مQا8 أ VرM ي خ8 Qه5 (Nashr Makky, 137) آلل
7. Madd & Qasr
Dalam qiraat sab’ah khususnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis
dalam rasm utsmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek,
di antaranya:
a- ملك terbaca مالك
Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain
membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat
al-Qur’an : الملك مالك اللهم dan bukan قل الملك juga karena maalik berarti ملك
dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam al-
Quran Allah berfirman: الناس yang ملك berarti tuhan manusia dan tidak cocok
makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan الدين .(al-Qaisy, I/26) يوِم
b-أنا terbaca أن ketika washal
Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata dlamir yang) أنا
berarti saya), adalah karena alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat
sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti ( السكت .( هاء Ketika ada kata
benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan
janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya.
Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat.
(al-Qaisy, 1987:II/61)
Ada juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا (QS. Al-Kahfi:38), yakni dibaca
pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari
أنا + adalah لكنا نحن + dan bukan لكن . لكن
c- قواريرا الظنونا، الرسوال،
Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin,
sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa
tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul,
keduanya mewaqafkan tanpa alif (al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm
atau khat mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca,
khusus kata قواريرا tidak ditanwin karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim
ghairu munsharif. Sedangkan السبيال الرسوال، meskipun bukan termasuk الظنونا،
jama’ akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya (qafiyah) terdapat
fathah yang dipanjangkan dengan alif (Ibid, II/353).
d- المالء أولوا، أولئك،
Dalam rasm utsmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca
seperti المالء أ أولو، ولئك , ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذه، هذا،
Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan . ِذلك
mukjizat.
8. Shilah
Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada
ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti به له،
dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya,
inilah ijma para ulama qira’ah (al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului
huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti إليه Para ulama qurra’ kecuali .منه،
Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf
lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah
madzhab Imam Sibawaih. (Ibid, I/42)
Dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjangkan walau didahului
huruf mati seperti مهانا ُفيه Dalam hal ini Imam Hafs sama .(QS. al-Furqan:69) ويخلد
bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya
diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika
ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan
ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului
kasrah, sehingga menjadi atau ُفيهي Dan ada pula ha’ yang .(al-Qaisy, I/42) عليهي
dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’
tanpa shilah, yaitu لكم bacaan seperti juga dijumpai pada ,(QS. Al-Zumar:7) يرضه
bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Abdul Fattah, 1981:274).
Alasan dipanjangkannya kata ُفيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang
mana ـه berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan ُفي menjadi ُفيهو , akan tetapi
ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah sehingga harakat ha’ harus
disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi
ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi dan huruf mad ُفيهي
diganti dengan harakat kasrah berdiri: ُفيه .
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه dan semacamnya yaitu
mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
9. Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu
.(QS. al-Ruum:54) ضعMف Kata tersebut adalah masdar dari – يضع8ف . ضع5ف Para
ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan syu’bah
memfathah dlad dan ulama lainnya -kecuali Imam Hafs- membacanya dengan
dlammah. Sedang Imam Hafs sendiri membaca fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata – يضع8ف ضع5ف
itu mempunyai dua masdar yaitu فMض8ع dan فMض5ع , sebagaimana yang terjadi pada
kata ُفقر juga mempunyai dua masdar yakni رMُف8ق dan رMُف5ق (al-Qaisy, II/213).
10. Basmalah dalam Surat Taubat
Dalam Mushaf Utsmani semua surat al-Qur’an diawali dengan basmalah kecuali
surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu Ubay bin Ka’ab berkata
bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di setiap awal surat,
dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya
surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya
keserupaan keduanya. Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-
Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-
Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan. (al-Qaisy, 1987:I/20)
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di
awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca
basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat.
Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di
awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-
surat yang lain. (Abdul Fattah, 1981:13)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an yang merupakan seperangkat aturan hidup, memberikan porsi
besar kepada perkembangan manusia terutama menyangkut maksimalisasi fungsi
pikirnya.
Bahasa adalah suatu media untuk menyatakan kehadiran sebuah realita dan
persona. Pengungkapan makna yang terkonsepsikan dalam diri manusia, tidak
mungkin dapat dipahami serta ditransformasikan kepada orang lain tanpa adanya
bahasa sebagai medianya. Baik bahasa itu berupa bahasa tulisan, lisan, maupun
bahasa isyarat.
Al-Qur’an yang memiliki sisi kemu’jizatan dalam tata-letak (nadzm) kata-kata
perkatanya, pun menggunakan bahasa sebagai penyampai pesan ketuhanan
(wahyu) yang bi Lā Ṣaut wa Lā Harf. Karenanya, tidak mungkin kalam Tuhan
tersebut dapat dipahami maknanya tanpa memahami bahasa yang digunakan,
dalam hal ini ialah Bahasa Arab.
Beberapa diskursus keilmuan pun bermunculan dari kitab tersebut, mulai
dari Kalam, Fiqh, Tafsir, hingga beberapa keilmuan kebahasaan yang tidak
mengandung doktrin keagamaan. Dalam artian, kajian kebahasaan yang muncul dari
Al-Qur’an—semisal Nahwu, Balaghah, Sharaf, dan lain sebagainya—dapat digunakan
dalam menganilisis teks-teks bahasa Arab lainnya yang tidak ada korelasinya dengan
Ajaran Islam.
Salah satu diantaranya ialah Ilm Gharīb al-Qur’ān, yakni ilmu yang membahas
tentang makna kata perkata dari susunan ayat al-Qur’an