Rezim Sukarno jatuh
(Orde Lama)
Provinsi Aceh pada saat itu dapat diibaratkan seperti “sapi perah” kekayaan alamnya dikuras, sementara keuntungan yang didapat diambil oleh pemerintah
pusat dan yang dikembalikan pada Aceh dalam bentuk pembangunan tidak sebanding dengan
sumbangan yang telah diberikan
Pemerintahan Soeharto
(Orde Baru)
Mendirikan industri-industri strategis seperti pabrik LNG, Mobil Oil, PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Aceh Asean
Fertilizer, PT. Kraft Aceh, serta sejumlah industri hilir yang berorientasi ekspor, telah menghasilkan devisa atau
pemasukkan keuangan yang cukup besar. Sifat industri yang berteknologi tinggi, juga meminggirkan tenaga kerja lokal dan justru mendatangkan tenaga ahli dari luar Aceh.
Selain menimbulkan gap ekonomi yang makin besar, pembangunan industri-industri tersebut juga menimbulkan
kecemburuan social di tengah masyarakat.
Tengku Hasan M.di Tiro (disingkat Hasan
Tiro)
Ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi Aceh yang makin menurun secara sosial, ekonomi, dan moral, mendorong beberapa kalangan masyarakat untuk mengangkat kembali cita-cita Aceh masa lalu sebagai bangsa yang makmur, berdaulat dan islami. Diantaranya dengan
mendirikan negara Aceh berdiri sendiri lepas dari pemerintahan Indonesia.
Ploklamator Gerakan Aceh Merdeka
Legitimasi atau keabsahan sejarah
kerajaan Aceh
kondisi kehidupan social ekonomi yang sangat
timpang dan memilukan dari masyarakat Aceh
Dorongan
Operasi Penumpasan
GPK (Gerakan Pengacau
Keamanan)
GPL (Gerakan Pengacau Liar)
GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau
Keamanan)
DIANGGAP SEBAGAI
PEMERINTAH ORDE BARU
GERAKAN ACEH MERDEKA(GAM)
Presiden Abdurrahman Wahid membuka peluang tersebut dengan melibatkan Henry Dunant Centre (HDC) yang merupakan organisasi international non-government (NGO) sebagai
mediator dalam penyelesaian konflik Aceh
Keterlibatan HDC yang pertama kalinya memprakarsai proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan GAM.
Tahun 1999
Tahun 2000Penandatanganan berbagai perjanjian antara pemerintah Indonesia. mempertemukan kedua belah pihak dalam sebuah perundingan di Jenewa, Swiss dan menghasilkan Nota Kesepahaman untuk Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) pada tanggal 12 Mei 2000.
Tahun 2001perundingan antara pemimpin GAM dan Wakil Pemerintah RI pada tanggal 6-9 Januari 2001 yang menghasilkan Kesepahaman Sementara (Provisional Understanding). Namun kesepahaman ini tetap diabaikan oleh kedua belah pihak sehingga berbagai tindak kekerasan masih saja terus terjadi.
Perundingan pada tanggal 9-10 Mei 2002 di Swiss, yang menghasilkan Pernyataan Bersama (Perundingan pada tanggal 9-10 Mei 2002 di Swiss, yang menghasilkan Pernyataan Bersama (Joint StatementJoint Statement) ) dimana GAM bersedia menerima UU NAD sebagai langkah awal dalam penyelesaian konflik. dimana GAM bersedia menerima UU NAD sebagai langkah awal dalam penyelesaian konflik.
Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement-COHA) berhasil ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss. Namun lagi-lagi kedua belah pihak tidak mematuhi butir-butir kesepakatan yang ada didalam COHA, sehingga menyebabkan pelaksanaan COHA dilapangan menjadi terhambat.
Tahun 2002
Tahun 2003Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan perundingan di Tokyo pada tanggal 17-18 Mei 2003. Pertemuan yang difasilitasi pemerintah Jepang ini berakhir tanpa kesepakatan. Hal ini secara otomatis menandai berakhirnya perjanjian penghentian permusuhan atau COHA, dengan demikian pemerintah Indonesia status darurat militer di Aceh. Dengan berakhirnya COHA maka peran HDC sebagai mediator yang memfasilitasi perundingan pun telah berakhir pula.
Ketika perundingan yang difasilitasi oleh HDC mengalami kegagalan maka proses perundingan berikutnya dilanjutkan oleh Crisis Management Initiative (CMI) sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional, bergerak dalam bidang resolusi konflik yang menjadi mediator antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Proses mediasi yang dilanjutkan oleh CMI ini dimulai dengan mengadakan lima tahap perundingan informal diantara Pemerintah Indonesia dan GAM, sehingga pada perundingan formal dapat dicapai Memorandum of Understanding (MoU) perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Tahun 2005