1
FORMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBERIAN IZIN
KEGIATAN PERTAMBANGAN DALAM KAWASAN HUTAN DI
KABUPATEN BINTAN TAHUN 2013
JURNAL
Oleh :
HENDRA SAPUTRA
NIM. 080565201026
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPININANG
2016
2
Abstrak
Salah satu pemanfataan sumber daya mineral tersebut adalah kegiatan usaha pertambangan. Kegiatan usaha pertambangan meliputi ekplorasi dan eksploitasi bahan tambang. Hampir di setiap wilayah Indonesia terdapat kegiatan tersebut, baik yang dilakukan secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan secara modern. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; peranan pemerintah dalam rangka mengawasi setiap usaha eksplorasi dan eksploitasi perusahaan pertambangan dalam kawasan hutan lindung. Penelitian ini bersifat empiris. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bintan. Populasi dan sampel meliputi Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, LSM Jaringan Advokasi Tambang, Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Perusahan tambang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan di Kabupaten Bintan akan tetapi untuk sementara beberapa perusahaan tersebut berhenti beroperasi terutama mereka yang menambang bauksit, hal ini dikrenakan karena adanya larangan mengekspor bahan mentah, tambang bauksit memerlukan smelter/tempat pengolahan. Hanya tambang batu granit yang masih beroperasi saat ini. Tambang bauksit ini bernaung dibawah PT. Bina Riau Jaya dan PT. Sindo Mandiri. Kedua perusahaan tersebut tetap eksis beroparasi sampai dengan saat ini.
Kata kunci : Formulasi, izin pertambangan
3
ABSTRACT
One of the utilization of mineral resources are mining activities. Mining business activities include exploration and exploitation of minerals. Almost in every region of Indonesia there are such activities, whether conducted by traditional or by using modern equipment. In Article 1, paragraph (1) of Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining.
This study aims to identify and understand the implementation of oversight of mining activities in protected areas, in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations; the role of government in order to monitor any exploration and exploitation of mining in protected forest areas. This research is empirical. The study was conducted in the District of Bintan regency. Population and sample includes Department of Agriculture and Forestry, Department of Energy and Mineral Resources, Mining Advocacy Network LSM, Forest Area Stabilization Hall, Mining company. Data collected through interviews and documentation. Data were analyzed qualitatively.
The results showed that there are several companies in Bintan regency but to temporarily cease operating some of these companies, especially those that mine bauxite, this is due because of the prohibition to export raw materials, bauxite mining requires smelter / processing site. Just a granite quarry which is still operating today.
Keywords : formulation, mining license
4
A. Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik sumber
daya alam hayati maupun nonhayati. Sumber daya alam Indonesia tersebut, tersebar
di berbagai kepulauan Indonesia baik itu di darat, di laut dan di dalam bumi. Sebagai
negara kepulauan Negara Indonesia kaya sumber daya alam yang tidak diperbaharui.
Salah satu sumber daya alam tersebut adalah sumber daya mineral atau aneka
tambang yang terkandung dalam bumi Republik Indonesia. Sumber daya mineral
merupakan endapan mineral yang diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata.
Pemanfatatan akan sumberdaya mineral di Indonesia berdasarkan atas asas manfaat.
Pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDN-RI 1945), yang menegaskan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.
Salah satu pemanfataan sumber daya mineral tersebut adalah kegiatan usaha
pertambangan. Kegiatan usaha pertambangan meliputi ekplorasi dan eksploitasi
bahan tambang. Hampir di setiap wilayah Indonesia terdapat kegiatan tersebut, baik
yang dilakukan secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan secara
modern. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (LNRI-2009-4, TLNRI-4959), yang dimaksud
dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
5
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang. Pertambangan tersebut merupakan salah satu jenis kegiatan yang
melakukan ektraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Sedangkan
tambang adalah tempat terjadinya kegiatan penambangan.
Di Indonesia, wilayah pertambangan menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya ditulis UU MINERBA) adalah
wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan
batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2010 (LNRI-2010-28, TLNRI-5110) lebih
memberikan kejelasan wilayah pertambangan, yaitu kawasan yang memiliki potensial
mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah yang
berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan.
Wilayah daratan yang memiliki potensi mineral dan batubara adalah kawasan hutan.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan benda dan kesatuan mahluk hidup
termasuk manusia terlibat didalamnya. Manusia harus menyadari bahwa lingkungan
merupakan sarana pengembangan hidup yang harus dijaga kelestariannya. Dalam
lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.5 Oleh karena itu,
kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan diperlukan suatu perizinan agar
keberadaan hutan dan ekosistemnya tetap terjaga keseimbangan dan kelestarian
lingkungannya. Perizinan Pertambangan tertuang dalam Peraturan Daerah Tentang
6
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031 dalam Bab I
ketentuan umum Pasal 1 pada poin 20 sampai 37. Dengan demikian diketahui secara
jelas dimana saja kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Lebih rinci dalam
penjelasan Peraturan ini disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bintan atau disebut RTRW Kabupaten Bintan merupakan penjabaran strategi dan
arahan kebijakan penataan ruang wilayah nasional dan Provinsi Kepulauan Riau
dalam strategi, struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten Bintan. Penyusunan
RTRW Kabupaten Bintan ini dimaksudkan sebagai acuan/pegangan dalam
percepatan pembangunan wilayah. Produk RTRW Kabupaten Bintan harus menjadi
pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah dan telah menjadi hasil
kesepakatan semua stakeholders di daerah.
Sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dibuat, maka kewenangan yang luas didapatkan oleh kepala daerah, termasuk
kewenangan dalam mengurus pengelolaan sumber daya alam. Dalam
pelaksanaannya, seharusnya Otonomi Daerah menjadi utama dalam rangka
memperbaiki kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah yang berbasis
kelestarian lingkungan. Namun selama ini, kewenangan daerah otonomi daerah
menyimpang dari apa yang diharapkan. Kewenangan-kewenangan dalam membuat
kebijakan tersebut, sesungguhnya banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan
keinginan rakyat. Hal itulah membuat maraknya konflik-konflik berbasis sumber
daya alam khususnya di bidang pertambangan.
7
Khusus mengenai pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan
dilakukan oleh Menteri. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 13 Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Mineral dan Batubara bahwa Menteri
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya. Adapun pengawasan kegiatan usaha pertambangan meliputi:
a. Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR);
b. Penetapan dan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral
bukan logam dan batuan;
c. Pemberian WIUP mineral logam dan batubara;
d. Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) ;
e. Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) ; dan
f. Penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh
pemegang IPR dan IUP.
Pelaksanaan penguasaan negara atas sumberdaya alam khususnya bahan galian
baik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
jelas subtansi dan tujuannya. Pelaksanaan penguasaan negara selama ini telah
disalahgunakan, sehingga menjadi salah satu sumber ketikadilan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan bahan galian. Substansi penguasaan negara ialah kewenangan yang
mencakup penentuan kebijakan mengenai pengaturan peruntukannya, penggunaan
8
dan pengawasan serta menjamin pemanfaatan bahan galian untuk kemakmuran rakyat
dibalik kewenangan tersebut.
Pelaksanaan penguasaan negara atas sumberdaya alam khususnya bahan galian
baik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
jelas subtansi dan tujuannya. Pelaksanaan penguasaan negara selama ini telah
disalahgunakan, sehingga menjadi salah satu sumber ketikadilan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan bahan galian. Substansi penguasaan negara ialah kewenangan yang
mencakup penentuan kebijakan mengenai pengaturan peruntukannya, penggunaan
dan pengawasan serta menjamin pemanfaatan bahan galian untuk kemakmuran rakyat
dibalik kewenangan tersebut.
Fenomena yang terjadi dan tidak bisa terelakan lagi adalah munculnya beberapa
perusahaan yang melakukan aktifitas pertambangan di dalam kawasan hutan lindung.
Data dari Dinas Pertambangan dan Energi kabupaten Bintan tahun 2012,
menyebutkan ada 15 perusahaan tambang dengan luas usaha pertambangan seluas
3.768,14 Ha. Kegiatan pertambangan tersebut umumnya tersebar di wilayah
Kecamatan Bintan Timur, Teluk Bintan, Mantang, Gunung Kijang dan Bintan Pesisir.
Ditetapkannya izin pertambahan kawasan hutan di Kabupaten Bintan seluas 3.768,14
Ha akan semakin menambah tekanan lagi bagi kawasan hutan di Kabupaten Bintan.
Berikut cakupan luas hutan lindung di Kabupaten Bintan berdasarkan SK Menhut No.
426/Kpts-II/1987 tertanggal 28 Desember 1987:
9
Tabel I.1 Pembagian luas wilayah hutan lindung di Kabupaten Bintan
No Lokasi Luas (Ha)
1 Sei Pulai 441,20
2 Gunung Lengkuas 1.071,80
3 Gunung Kijang 760
4 Bintan Besar 280
5 Bintan Kecil 308
6 Sungai Jago 1.629,60
Sumber : Data olahan
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis tentang Bagaimana
Formulasi Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Pemberian Izin Kegiatan
Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Di Kabupaten Bintan Tahun 2013
menagacu pada Peraturan Daerah nomor 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031”?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya kajian ini adalah:
1. Menemukan materi hukum/peraturan yang mengatur kebijakan pemberian
rekomendasi izin penambangan di kawasan hutan Kabupaten Bintan
2. Menemukan masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan penambangan di
kawasan hutan Kabupaten Bintan
10
3. Menganalisa dan mengevaluasi aspek hukum dalam pelaksanaan perizinan
kegiatan penambangan khususnya di kawasan hutan apakah telah berjalan
sesuai dengan prosedur yang ada.
D. Manfaat Penelitian
Adapun maksud dari kajian ini adalah diharapkan kajian ini dapat
memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi pemerintah
khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dalam rangka pembinaan hukum
yang tepat mengenai perizinan kegiatan pertambangan di kawasan hutan sehingga
pertambangan yang berada di Kabupaten Bintan tertata dan tidak ada pertambangan
liar.
E. Kerangka Teori
1. Formulasi Kebijakan
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses
pembuatan kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila
kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka
jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah
produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui
banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan
adalah penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah
steril dari unsur politik. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal
dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada
tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu
11
pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari
para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang
harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah
formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab
seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang
baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan
normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik
yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus
alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian
yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah
masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan
yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau
lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan
aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap
berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan)
dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam
lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi
asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian secara tidak langsung
mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam
12
aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu dari
proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap
pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan).
terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki
proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).
2. Kebijakan
Untuk menjawab pertanyaan yang diteliti oleh peneliti dan juga menjadi dasar
dalam melakukan penelitian, serta agar bisa mewujudkan tujuan dari diadakannya
penelitian ini. Maka peneliti memerlukan kerangka teori, yang mana memuat teori-
teori dari para ahli tentang masalah yang akan diteliti dan yang berhubungan dengan
penelitian ini. Menurut Usman, Husaini & Akbar (2006:8) bahwa : Teori berfungsi :
(1) mengarahkan perhatian atau untuk menerangkan (2) merangkum pengetahuan (3)
meramalkan fakta, dan (4) memeriksa gejala. Maka secara teoritis dapat digambarkan
kerangka pikirnya sebagai berikut :
a. Proses Kebijakan
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang telah dipilih dan ditetapkan
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Suharto (2010:7),” kebijakan
adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten
dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena
kebijakan itu)....”
Masih dalam Suharto (2010:7) “mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-
prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu....”
13
Orientasi kebijakan yang dikemukakan oleh Suharto adalah kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Menurut
Suharto (2008:7) menyatakan bahwa “kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana
dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.” Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap
kebijakan yang diambil adalah untuk membuat kinerja pegawai menjadi efektif dan
efisien.
Sedangkan Mustopadidjaja (2012) mendefinisikan “kebijakan sebagai suatu
keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul
dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan.” Banyak sekali definisi dari kebijakan, menurut
Winarno (2012:20) mengatakan bahwa “secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.
Sedangkan menurut Subarsono (2010:2) mengatakan bahwa “kebijakan publik
adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.”
Menurut Hogwood dan Gunn dalam Dwiyanto (2009:17-18) menyatakan bahwa :
terdapat 10 istilah kebijakan dalam pengertian modern, yaitu (1) sebagai label untuk
sebuah bidang aktivitas, (2) sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang
diharapkan, (3) sebagai proposal spesifik, (4) sebagai keputusan pemerintah, (5)
sebagai otorisasi formal, (6) sebagai sebuah program, (7) sebagai output, (8) sebagai
“hasil” (outcome), (9) sebagai teori dan model, (10) sebagai sebuah proses.
14
b. Pemerintah Daerah
Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut : “Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan diatas,
maka yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah
otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dan unsur
penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan
perangkat daerah.
Menurut S. Pamudji dalam bukunya Kerja Sama Antar Daerah dalam Rangka
Membina Wilayah menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah
adalah: “Pemerintahan Daerah adalah daerah otonom diselenggarakan secara
bersama-sama oleh seorang kepala wilayah yang sekaligus merupakan kepala daerah
otonom.” (Pamudji, 2005:15). Secara harafiah otonomi daerah berasal dari kata
otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan
namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga
dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk
membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
15
Berdasarkan pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas sesungguhnya
kita telah memiliki gambaran yang cukup mengenai otonomi daerah. Namun perlu
diketahui bahwa selain pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas, terdapat
juga beberapa pengertian otonomi daerah yang diberikan oleh beberapa ahli atau
pakar. Sedangkan menurut para ahli Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai berikut :
Pengertian Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah “Hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari
pemerintah pusat”. Selain pendapat pakar diatas, ada juga beberapa pendapat lain
yang memberikan pengertian yang berbeda mengenai otonomi daerah, antara lain :
Pengertian otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah Pemerintahan oleh
dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di
luar pemerintah pusat”.
c. Konsep Hutan Lindung
Pengertian Hutan Lindung (protection forest) adalah kawasan hutan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk
dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya, terutama menyangkut tata air dan
kesuburan tanah, tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di
sekitarnya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
16
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan Lindung adalah Kawasan hutan karena sifat alamiahnya diperuntukan guna
mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan
tanah. Pengertian dan definisi Hutan Lindung menurut Undang-Undang No 41 tahun
1999 Pasal 1 ayat 8 mendefinisikan Hutan lindung sebagai kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah.
17
F. Pembahasan
1) Agenda Kebijakan
Dalam penentuan sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup dan
kepentingan masyarakat luas tentunya tidak dapat diputuskan secara sepihak, perlu
adanya masukan dari berbagai kelompok dan seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah
memang memiliki kekuasan dan berhak memerintah rakyatnya, akan tetapi dalam
pengambilan sebuah kebijakan penting tentunya harus memperhatikan berbagai hal.
Berbicara persoalan tambang, maka menyangkut berbagai unsur lapisan masyarakat
dan berbagai kepentingan bukan hanya kepentingan pengusaha atau kontraktor.
Pertambangan tidak hanya bahan tambang dan hasil tambang saja, kita harus
memperhatikan dampak yang ditimbulkan.
a. Penyamaan Persepsi antara pemangku kepentingan
Dalam pemberian izin penambangan pemerintah hendaknya bertindak lebih
bijaksana. Sebelum memberikan izin semestinya berkoordinasi dengan dinas terkait
dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Dinas lain yang terkait, di Daerah Kabupaten
Bintan kita semua tahu wilayah daratannya sebagian besar adalah hutan. Dan dari
sebagian hutan tersebut merupakan hutan lindung. Kita semua tahu pentingnya
peranan hutan lindung, hutan merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya
tanaman/tumbuhan tertentu disana juga ada mahluk lain yang menjadi endemik hutan.
Selain itu hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, hutan
merupakan paru-paru dunia karena dari tumbuhan/tanaman yang tumbuh dihutan kita
mendapatkan cadangan air dan oksigen yang kita hirup setiap tarikan nafas kita.
18
Maka dari itu kita tidak boleh sembarangan merusak hutan demi kepentingan
sekelompok orang. Apabila hutan telah rusak dan gundul maka bahaya membayangi
kita, wilayah dengan hutan yang gudul rawan akan polusi udara serta bahaya lain
berupa bencana alam tanah longsor dan banjir ketika musim penghujan tiba. Dalam
proses perizinan pertambangan ada tahapan yang dilalui dimulai dengan proses
penyamaan persepsi antara pihak penambang dan pihak Pemerintah, dari pihak
pemerintah melibatkan Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pertambangan dan
Energi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Perwakilan dari Pemerintah Kabupaten
serta Badan Lingkungan Hidup (BLH). Setelah memperhatikan usulan dari
penambang maka pihak pemerintah akan mengkaji menurut bidang masing-masing,
selanjutnya temuan dari masing-masing bidang akan dibahas bersama apakah usulan
penambang bisa diterima dan diusulkan ke Pusat untuk dikeluarkan izinnya.
Pemerintah harus jeli dan cermat dalam mengeluarkan izin pertambangan,
sebuah perusahan/kelompok orang akan berusaha dengan berbagai cara ketika hendak
melakukan penambangan, apalagi kalau wilayah yang akan dijadikan daerah
pertambangan tersebut memiliki kandungan bahan tambang tertentu dengan jumlah
yang banyak. Bayangan keuntungan yang besar dan dari proyek pertambangan akan
medorong orang untuk bertindak. Berbagai cara akan dilakukan, bisa saja
memalsukan status wilayah daerah yang akan dijadikan pertambangan, berbagai
pihak dipengaruhi untuk memuluskan niatnya. Disinilah peran Dinas Kehutanan
memalui pemetaan wilayah menjadi filter sebelum pemerintah mengeluarkan izin
pertambangan. Pada dinas kehutananlah data pemetaan wilayah berada, dimana
19
daerah yang merupakan hutan lindung yang tidak bisa diganggu dan dinama saja
daerah-daerah yang bisa dimanfaatkan untuk daerah tambang.
b. Pengumpulan data dan Penetapan acuan dalam pemberian izin
Pertambangan dalam Kawasan Hutan
Kabupaten Bintan memiliki hutan yang luas dengan potensi kekayaan alam
yang ada didalamnya, namun kita harus arif dan bijaksana dalam memanfaatkan
kekayaan alam yang tesimpan didalamnya. Dalam proses pengelolaan kekayaan alam
tersebut diperlukan aturan dan regulasi atau perizinan yang benar, agar tidak terjadi
penyimpangan dan penyalahgunaan. Sebelum memberikan izin penambangan kepada
penambang tentunya pemerintah meminta masukan dari pihak pemerintah
mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan lokasi pertambangan, Dinas
Pertanian dan Kehutanan diminta melakukan pemetaan bahwa lokasi dimaksud bukan
merupakan hutan lindung sementara Dinas Pertaambangan dan Energi melakukan
kajian bahan tambang dan nilai ekonomis serta kelangsungan tambang dan Badan
Lingkungan Hidup mengkaji dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.
Kabupaten Bintan kaya akan sumber daya alam termasuk bahan galian yang
ada didalamnya. Akan tetapi kekayaan tersebut harus kita manfaatkan dengan sebaik-
baiknya dan kita jaga kelestariannya untuk generasi dimasa mendatang dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Untuk saat ini hanya ada
satu perusahaan yang mengurus izin pakai yaitu PT. Bintan Kharisma Pratama yang
berlokasi di Pulau Telang Besar, dengan luas lokasi 28 Ha termasuk dalam kawasan
20
hutan yaitu HPT, dari luas keseluruhan 160 Ha yang tidak perlu lagi diajukan pinjam
pakai seluas 132 Ha karena sudah merupakan areal peruntukan lainnya (APL)
2) Alternatif Pemecahan Masalah Pertambangan di Kabupaten Bintan
Dalam rangka pembangunan di Kabupaten Bintan dengan pemanfaatan ruang
wilayah secara berdaya guna, dan berkelanjutan khususnya pengelolaan wilayah
pertambangan dan pengelolaan kawasan hutan atas kegiatan usaha pertambangan di
Kabupaten Bintan maka pemerintah Bintan telah menerbitkan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bintan. adapun maksud
dan tujuan dari kebijakan tersebut yaitu mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan
keseimbangan perkembangan antar wilayah kabupaten serta keserasian antar sektor,
penetapan lokasi, dan ruang fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan
strategis kabupaten dan penataan ruang kawasan.
Hutan lindung merupakan bagian penting dari wilayah Kabupaten Bintan oleh
karena itu pemanfaatannya harus jelas dan sesuai aturan. Untuk sekarang ini sebagian
aktivitas pertambagan dihentikan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena
larangan dari pemerintah pusat. Pemerintah melarang ekspor hasil tambang berupa
bahan mentah, sehingga bauksit terpaksa berhenti beroperasi namun pemerintah tidak
diam saja. Saat ini pemerintah sedang mengusahakan pembangunan smelter, kerena
hanya dengan smelter tambang bauksit kembali bisa beropersi. Sementara untuk
tambang batu granit Pemerintah Kabupaten Bintan mengizinkan tetap beroperasi hal
ini dilakukan untuk membantu penambang untuk tetap beroperasi dan terhindar dari
kerugian.
21
a. Usulan dan pertimbangan pihak dalam proses pengolahan bahan tambang
Beberapa sektor pertambangan beroperasi di Kabupaten Bintan Diantaranya
Bauksit, Pasir, dan Batu Granit, akan tetapi yang aktif beroperasi sampai dengan saat
ini adalah Batu Granit, hal ini mengingat adanya aturan dari pemerintah pusat
larangan menambang dan mengekspor bahan tambang dalam bentuk bahan mentah.
Untuk saat ini tambang bauksit berhenti beroperasi dikarenakan di Kabupaten Bintan
belum mampu mengolah bijih bauksit menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi,
belum adanya smelter atau tempat mengolahan bauksit. Maka pemerintah melarang
dan menghentikan pertambangan bauksit. Akan tetapi untuk tambang yang lain
seperti batu granit masih diizinkan, hal ini dilakukan karena selain adanya usulan dari
perusahaan penambang alas an lain adalah pengolahan batu granit tidak menimbulkan
dampak yang membahayakan bagi lingkungan disekitarnya. Batu granit merupakan
komponen penting dalam pembangunan proyek perumahan dan bangunan.
Adapun Peraturan yang dimaksud yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Bintan
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun
2011-2031. Khusus pemanfaataan Ruang Wilayah untuk kegiatan pertambangan
disebutkan dalam bagian umum bab I disebutkan bahwa kawasan peruntukan
pertambangan meliputi kawasan peruntukan pertambangan mineral dan bauksit, dan
kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi.
Mengenai ketentuan perizinan diatur dalam dalam pasal tersebut bahwa
ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian
izin pemanfataan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan
22
dalam peraturan daerah tersebut izin pemanfaatan ruang tersebut diberikan oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. Pemberian izin pemanfataan
ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Proses Pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada
Pemerintah
Hutan Indonesia kaya akan sumber daya alam termasuk bahan galian yang ada
didalamnya. Dalam pengelolaan bahan galian tersebut diperlukan perjanjian khusus
di bidang kehutanan agar kelestarian tetap terjaga dengan baik. Perjanjian atau
perizinan yang dimaksud tersebut adalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan dilakukan melalui 3
(tiga) tahap yaitu :
1. Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan;
2. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Eksplorasi; dan
3. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Eksploitasi.
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Kehutanan bahwa objek
Pinjam Pakai penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan dalam Kawasan
Hutan Produksi dan kawasan hutan lindung. Izin pinjam pakai kawasan hutan ini
merupakan ketentuan bagi perusahan tambang yang akan melakukan kegiatan
penggalian bahan tambang yang ada di dalamnya. Adapun mengatur Ketentuan yang
mengatur tentang perizinan persetujuan prinsip penggunaan kawasan dan pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diatur dalam Peraturan
23
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan.
Izin penambangan dikawasan hutan lazimnya hanya izin pakai atau
pemanfaatan lahan saja. Setelah selesai penambang memiliki kewajiban untuk
melakukan restoasi atau mengembalikan lahan seperti semula. Tujuan pinjam pakai
kawasan hutan adalah agar setiap pengguna kawasan hutan diluar sektor kehutanan
seperti pertambangan tidak menyebabkan pemindatanganan IPPKH kepada pihak lain
(enclave), agar pihak pemohon tidak menjaminkan atau mengagunkan kawasan hutan
yang dipinjam pakai kepada pihak lain, dan luas kawasan hutan tidak berkurang, serta
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan masih tetap mengelola kawasan
yang dipinjam pakai sehingga memudahkan monitoring dan evaluasi. Dalam proses
pemberian izin oleh Pemerintah, Dinas Pertanian dan Kehutanan selaku perpanjangan
tangan pemerintah hanya memberikan rekomendasi kawasan hutan sebagai daerah
tambang, untuk selanjutnya diteruskan kepada pemerintah pusat.
Pemerintah Daerah, Dinas Pertambangan maupun Dinas Pertanian dan
Kehutanan tidak pernah mengeluarkan/memberikan izin Pertambanagan. Izin
pertambangan setelah dibahas oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah selanjutnya disampaikan ke Pemerintah Pusat di Jakarta untuk
selanjutnya dipustuskan izinnya. Selama proses pembahasan dari pusat, penambang
tidak bisa melakukan segala aktifitas penambangan sampai izin tersebut keluar.
24
Penambang yang mengajukan izin wajib mematuhi dan melengkapi berkas
persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Kajian akan dampak yang timbul akibat penambangan
Aktifitas Penambangan bagi pengusaha dan pemilik tambang akan
mendatangkan keuntungan yang besar, disamping itu aktifitas pertambangan dapat
menopang ekonomi masyarakat karena dengan dibukanya kawasan pertambangan
akan menciptakan lapangan pekerjaan bangi masyarakat sekitar lokasi serta
pemasukan bagi pemerintah daerah. Namun disisi lain aktifitas pertambangan juga
dapat menimbulkan dampak negatif yaitu berupa pencemaran lingkungan yang
meliputi tanah, air dan udara.
Dengan adanya aktifitas pertambangan udara disekitarnya akan kotor oleh
pencemaran akibat asap dan emisi dari alat-alat berat yang bekerja hal ini akan
menimblkan udara yang tidak sehat sehingga mengakibatkan penyakit seperti; paru-
paru, asma dan sebagainya. Limbah yang ditimbulkan oleh tambang yang tidak
dikelola dengan baik akan mencemari lingkungan tanah dan air, tanah yang tercemar
tidak lagi subur untuk pertanian. Air sungai yang tercemar akan mengakibatkan ikan-
ikan mati sehingga dapat merugikan masayarakat yang menggantungkan hidup pada
sector pertanian dan perikanan.
Sangat penting melakukan kajian akan dampak lingkungan (amdal) akibat dari
dampak yang ditimbulkan oleh kawasan pertambangan. Pemerintah melalui dinas
terkait sudah sepatutnya melakukan kajian yang mendalam sebelum meberikan
rekomendasi izin tambang untuk menghindari dampak dari tambang. Pemerintah
25
daerah dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup sudah sepatutnya melakukan kajian
dan pengawasan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas pertambangan.
d. Persetujuan masyarakat dan penduduk sekitar
Selain izin dari pihak institusi pemerintah aktifitas pertambangan tidak bisa
mengabaikan masyarakat disekitar kawasan lokasi tambang. Masyarakat sekitar
daerah tambang akan merasakan langsung dampak dari aktifitas pertambangan.
Polusi udara, pencemaran tanah dan air tentunya akan dirasakan langsung oleh
masyarakat sekitar. Maka tidak jarang apabila keberadaan kawasan pertambangan
ditolak oleh masyarakat luas, mereka tidak ingin disekitar tempat tinggalnya ada
aktifitas pertambangan karena akan berdapak buruk bagi kehidupan mereka.
Namun pengusaha/penambang tidak kekurangan cara untuk merungkul
masyarakat agar mendukung penambang memuluskan aktifitas pertambangan dengan
iming-iming atau imbalan. Selain itu pendekatan kepada tokoh masyarakat memiliki
peran besar. Berikut kutipan wawancara dengan penambang; “terkadang sangat susah
untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat, namun dengan pendekatan yang
baik dengan cara-cara persuasif, misalnya dengan membantu pembangunan kawasan
pemukiman, memberikan kompensasi dan melibatkan masyarakat dengan cara
merekrut masyarakat sekitar sebagai pekerja/karyawan masyarakat sekitar akan setuju
dan menerima keberadaan pertambangan disekitarnya, dengan setiap bulan meberikan
kompensasi berupa uang dan sembako masyarakat sekitar menerima keberadaan
kami”.
26
Masyarakat merupakan aspek penting dalam proses berlangsungnya aktifitas
pertambangan, tanpa persetujuan dari masyarakat penambang akan menemui kendala.
Satu contoh bila masyarakat menolak keberadaan aktivitas tambang mereka akan
berdeemo dengan melakukan aksi dengan menutup jalan menuju pertambangan
ataupun menyekel alat-alat pertambangan. Maka aktifitas pertambangan akan lumpuh
dan pengusaha merugi.
3) Penetapan Kebijakan
Setelah terjadi pembahasan yang cukup panjang oleh pemerintah dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan mengenai masalah Perizinan
Pertambangan, selanjutnya hasil pembahasan tersebut dibawa Ke Pusat (Jakarta)
untuk dibahas lebih lanjut dan diberikan izin. Apabila segala prasyarat daat diterima
dan dikabulkan oleh pemerintah pusat maka terbitlah izin pertambangan tersebut.
a. Pemberian Izin Pemerintah Daerah Melalui Dinas Pertanian Dan
Kehutanan Melibatkan Masyarakat
Dalam era keterbukaan dan demokrasi seperti sekarang peran masyarakat dalam
setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah sangat diharapkan. Masayarakat
memiliki peran penting dalam proses pemberian izin pemerintah melalui Dinas
Pertanian dan Kehutanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Aspirasi dari
masyarakat berperan dalam penentuan kebijakan. Tidak jarang sebuah kebijakan
pemerintah ditentang oleh masyarakat hal ini karena dalam proses penentuannya
tidak melibatkan aspirasi masyarakat.
27
b. Pemberian izin Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian dan
Kehutanan meminta Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sebelum memutuskan sebuah kebijakan Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas
Pertanian dan Kehutanan meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah melalui rapat paripurna atau rapat-rapat yang telah diagendakan. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penjelmaan dari seluruh masyarakat memiliki
peran penting dalam pengambilan kebijakan yang bersifat strategis dan menyangkut
hajat hidup masyarakat. jadi dalam berkaitan dengan kebijakan pemberian izin
pertambangan Pemerintah Melalui Dinas Pertambangan meminta persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bintan hal ini sesuai dengan
Kepala Bidang Kehutanan berikut; “setiap keputusan berkaitan dengan perizinan
pemerintah melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Bintan. Setelah menerima usulan perizinan, pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian
dan Kehutanan melakukan hearing/dengar pendapat selanjutnya membahasnya lebih
detail dengan DPRD guna mengabil langkah-lagkah lanjutan. Peerintah dalam hal ini
Dinas Kehutanan dan Pertanian tidak dapat memutuskannya sendiri. Perlu ada
masukan, pertimbangan dan persetujuan DPRD.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan penjelmaan masyarakat luas,
merupakan wakil masyarakat yang telah diberikan amanat dan mandate oleh
masyarakat. Oleh karena itu Dianas Pertanian dan Kehutanan dalam hal kebijakan
pemberian izin tambang meminta persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
28
G. PENUTUP
1) Kesimpulan
a. Pemberian izin pertambangan di dalam Kawasan hutan lindung mengacu pada
peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencan Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Bintan
b. Pemerintah Kabupaten Bintan melalui Dinas tidak pernah memberikan izin
pertambangan kepada perusahaan tambang manapun, yang dilakukan
Pemerintah hanyalah sebatas memebrikan rekomendasi melaui Dinas
Pertanian dan Kehutanan, untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah selanjutnya diteruskan ke pemerintah Pusat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPR RI)
c. Pemerintah Kabupaten Bintan menghentikan segala kegiatan pertambangan
untuk sementara waktu, hanya ada satu perusahaan pertambangan yang
beroperasi saat ini yaitu PT. Bintan Kharisma Pratama yang berlokasi di Pulau
Telang Besar.
d. Peran pemerintah Daerah Kabupaten Bintan terhadap setiap usaha eksplorasi
maupun operasi produksi dalam kawasan hutan lindung belum maksimal. Hal
ini disebabkan oleh adanya kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah
Kabupaten Bintan. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah Daerah
Kabupaten Bintan melakukan pembinaan terhadap perusahaan tambang yang
melakukan aktivitas pertambangan dalam kawasan hutan lindung, selain itu
29
kerjasama antara lintas sektoral guna pengelolaan kawasan hutan yang
terpadu.
2) Saran
a. Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan lindung di
Kabupaten Bintan seharusnya dilakukan pemantauan yang berkala. terutama
semua pelanggaran perusahan tambang yang lalai melakukan reklamasi pasca
tambang agar diberi sanksi yang tegas. Adapun dampak lingkungan yang
diakibat oleh kegiatan usaha pertambangan agar pihak pemerintah daerah
lebih ketat dalam memberikan izin kepada perusahaan tambang terutama
memperhatikan Upaya Pengelolan Lingkungan dan Pemantauan Lingkungan
sebelum mengeluarkan perizinan kepada perusahahan tambang melakukan
kegiatan pertambangan.
b. Peran pemerintah dalam hal ini memberikan perlindungan terhadap
kelestarian hutan dan memperhatikan kesejaterahan masyakat yang ada di
sekitar Kawasan Hutan Bintan, hal ini dimaksudkan agar kelestarian hutan
tetap terjaga dan masyarakat di sekitar kawasan hutan tidak terganggu
aktivitasnya. Selain itu, sebaiknya dana kompensasi untuk monitoring di
tingkat Kabupaten/Kota lebih diutamakan. Hal ini dimaksudkan agar peran
pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan dalam
memonitoring dan pemantauan kawasan hutan lebih maksimal. Selain itu
koordinasi antar SKPD di Kabupaten Bintan lebih ditingkat agar pelaksanaan
30
kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan hutan berjalan sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
31
Daftar Pustaka
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
Gatot Supramono, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubaara di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta.
Nandang Sudrajat, 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut
Hukum, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Salim HS, 2005, Hukum Pertambangan di Indonesia, Edisi Revisi 3, Penerbit
PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Salim HS, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Cetakan Pertama,
Jakarta, Sinar Grafika.
Soeroso. R, (tanpa Tahun), Rangkaian Sari Hukum Agraria, Biro Perencanaan
Perum Perhutani Unit 1 Perhutani,Cepu.
Subadi, 2010, Peguaasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, Penerbit PT.
Prestasi Pustakaraya : cetakan pertama, Jakarta.
Perundang-undangan
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemrintah Daerah
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
32
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Usaha
Pertambangan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan
- Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 tahun 2012 Tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahu 2010 Tentang
Penggunaan Kawasan Hutan.