i
r
TUGAS AKHIR (614415A)
FENOMENA UNDERPRICING DAN KINERJA SAHAM PERUSAHAAN IPO SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS DAN TRANSPORTASI DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2010-2018
Herfian Handrioka NRP. 1115040014 DOSEN PEMBIMBING: R.A. NORROMADANI YUNIATI, SE., M.SM. RISTANTI AKSEPTORI, SS., MM.
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA SURABAYA
2019
ii
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
i
TUGAS AKHIR (614415A)
FENOMENA UNDERPRICING DAN KINERJA SAHAM PERUSAHAAN IPO SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS DAN TRANSPORTASI DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2010-2018
Herfian Handrioka NRP. 1115040014
DOSEN PEMBIMBING: R.A. NORROMADANI YUNIATI, SE., M.SM. RISTANTI AKSEPTORI, SS., MM.
PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA SURABAYA
2019
ii
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
iii
iv
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
v
vi
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, ridho, dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini dengan baik dan
lancar. Penulis juga mengucapkan shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabat yang telah
memberikan teladan bagi seluruh umat manusia.
Penulis menyadari penyelesaian dan penyusunan Tugas Akhir ini tidak terlepas
dari kerjasama, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penulis
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan Kekuatan, kelancaran dan Ilmu Pengetahuan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik dan tepat
pada waktunya.
2. Bapak Ir. Eko Julianto, M.Sc MRINA selaku Direktur Politeknik Perkapalan Negeri
Surabaya.
3. Bapak Rudianto, S.T., M.T selaku ketua jurusan Teknik Bangunan Kapal.
4. Ibu Yugowati Praharsi, S.Si., M.Sc., Ph.D. selaku Kepala Program Studi Manajemen
Bisnis.
5. Ibu R.A Norromadani Yuniati, S.E., M.S.M dan Ibu Ristanti Akseptori, S.S., M.M.
selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia untuk meluangkan waktu dan pikiran
untuk membimbing serta memberi masukan dan motivasi dalam penyusunan tugas
akhir ini hingga dapat terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Terima kasih
banyak atas waktu, ilmu, bimbingan serta perhatiannya yang telah diberikan.
6. Bapak Danis Maulana selaku Dosen Manajemen Bisnis, bagi penulis yang
mengispirasi dan membantu penulis dalam pelaksanaan perkuliahan dan memberikan
pengalaman dan penegtahuan yang luar biasa.
7. Ibu Yesica dan Bapak Gaguk yang selama saya menjadi mahasiswa pernah
mempercayakan tugas dan kegiatan untuk saya kerjakan sehingga dapat menambah
pengalaman dan wawasan yang lebih luas.
8. Bapak dan Ibu Dosen Penguji Tugas Akhir atas kritik dan saran yang membangun
dan menyempurnakan Tugas Akhir ini.
viii
9. Seluruh jajaran staf Dosen Prodi Manajemen Bisnis Jurusan Teknik Bangunan Kapal
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,
namun setiap ilmu yang diberikan sungguh sangat berharga dan bermanfaat bagi
penulis sebagai bekal dalam penulisan Tugas Akhir ini.
10. Kedua orang tua saya, Ayah Handri Wahyu Prihartono dan Bunda Herrustin terima
kasih atas doa, dukungan, perhatian serta pengertiannya selama pengerjaan Tugas
Akhir ini.
11. Adik yang selalu mendukung saya Okky Handrianto yang selalu menginspirasi dan
bersedia menyediakan kantornya untuk wifi gratis dan mengerjakan tugas akhir ini
hingga selesai. Thanks Bro.
12. Sahabat seperjuangan INDEKITA : Merlin Dyah wati, Karunia Eka Saftiri, dan
Dresthia Yusuf Kalpika Wiratama, mbak ulfa yang selalu menjadi motivasi bagi
penulis untuk menyelesaikan setiap bagian dari tugas akhir ini.
13. Rekan seperjuangan Tugas Akhir dan Pemain Moba analog Angga Prasetya dan
Puguh Prasetyo.
14. Kawan baik saya Fastin, Danny, Friska, Bagus, Iril, dan Biggy terimakasih atas saran
dan dukungannya atas kesempurnaan Tugas Akhir Ini.
15. Teman-teman seangkatan khususnya MB2015A yang telah memberikan banyak
kesan dalam masa perkuliahan, semangat, serta pelajaran selama penulis menjalani
studi.
16. Adik Adikku Manajemen bisnis khususnya tim INDEKITA, KOMINFO dan Galeri
Investasi. Selalu semangat dan terimakasih atas dukungannya selama ini.
17. Mirza Safitri A.P yang memberikan alasan untuk selalu berjuang dan semangat
dalam menjalani setiap langkah untuk mencapai tujuan. Terima kasih telah
memberikan warna selama penulis melakukan studi, saya juga berharap kita akan
selalu menjadi teman baik.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang membantu
terselesaikannya Tugas Akhir ini, yang mendoakan, menghibur dan menguatkan.
Semoga Allah SWT selalu mengiringi setiap langkah kalian.
ix
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan yang harus disempurnakan
dari Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan
membuka diri untuk segala kritikan dan masukan yang dapat membangun dan
meningkatkan kualitas Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan ilmu di masa depan.
Surabaya, 05 Agustus 2019
Penulis
x
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
xi
FENOMENA UNDERPRICING DAN KINERJA SAHAM
PERUSAHAAN IPO SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS DAN
TRANSPORTASI DI BURSA EFEK INDONESIA
PERIODE 2010-2018
Herfian Handrioka
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya fenomena underpricing, kinerja
saham, dan menganalisis faktor internal dan eksternal yang diduga mempengaruhi
underpricing dan kinerja saham pada perusahaan yang melakukan Penawaran Umum
Perdana (IPO) sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi di Bursa Efek Indonesia.
Periode penelitian 2010-2018, merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik purposive
sampling, sehingga diperoleh 32 perusahaan sampel. Analisis data menggunakan regresi
linier berganda. Underpricing diukur menggunakan initial return sedangkan kinerja
saham diukur dengan menggunakan abnormal return. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Faktor Internal yaitu Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS),
Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan, dan Presentase saham ditawarkan secara
parsial tidak berpengaruh terhadap underpricing karena asimetris informasi. Ukuran
Perusahaan secara parsial berpengaruh negatif terhadap underpricing. Faktor Internal
yaitu EPS, ROA, Umur Perusahaan, dan Presentase saham ditawarkan tidak berpengaruh
terhadap kinerja saham karena asimetris informasi. DER dan Ukuran Perusahaan
berpengaruh positif secara parsial terhadap kinerja saham. Faktor Internal secara simultan
berpengaruh terhadap underpricing, Faktor Internal secara simultan tidak berpengaruh
terhadap kinerja saham. Faktor Eksternal Inflasi dan Suku Bunga Bank Indonesia secara
parsial tidak berpengaruh terhadap Underpricing. Kurs Nilai Tukar berpengaruh Positif
terhadap Underpricing. Faktor Eksternal Inflasi, Kurs Nilai Tukar dan Suku Bunga Bank
Indonesia secara parsial tidak berpengaruh terhadap Underpricing. Faktor Eksternal
secara simultan berpengaruh terhadap Underpricing. Faktor Eksternal secara simultan
tidak berpengaruh terhadap kinerja saham. Penelitian selanjutnya dapat memperluas
waktu penelitian untuk abnormal return dan sektor penelitian lain di bursa efek indonesia.
Kata Kunci: Penawaran Umum Perdana (IPO), Underpricing, initial return, Kinerja
saham, abnormal return.
xii
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
xiii
THE PHENOMENON OF UNDERPRICING AND PERFORMANCE
OF IPO COMPANY SHARES IN THE INFRASTRUCTURE,
UTILITIES AND TRANSPORTATION SECTORS IN THE
INDONESIA STOCK EXCHANGE FOR THE PERIOD OF 2010-2018
Herfian Handrioka
ABSTRACT
This study aims to examine the existence of the phenomenon of underpricing, stock
performance, and analyze internal and external factors that are thought to affect the
undepricing and performance of shares in companies that conduct the Initial Public
Offering (IPO) of the infrastructure, utilities and transportation sectors on the Indonesia
Stock Exchange. The research period is from 2010 to 2018. This study uses a type of
quantitative research, because it refers to calculations in the form of numbers. The
sampling technique used purposive sampling, so that 32 sample companies were obtained
in this study. Data analysis used multiple regression models, to test the relationship
between independent variables and the dependent variable. Underpricing is measured
using initial returns while stock performance is measured using abnormal return. Based
on the results of the study showed that Internal Factors, namely Debt To Equity Ratio
(DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Company Age, and
Percentage of shares offered partially did not affect underpricing. Meanwhile, the size of
the company partially has a negative effect on underpricing. Partial Internal factors,
namely Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Company Age, and
percentage of shares offered do not affect Stock Performance. While the Debt To Equity
Ratio (DER) and Company Size have a positive and partial effect on stock performance.
Internal factors simultaneously influence underpricing, while Internal Factors
simultaneously have no effect on stock performance. Bank Indonesia External Inflation
and Interest Rates partially do not affect underpricing. Whereas the Exchange Rate has
a positive effect on Underpricing. External Inflation Factors, Bank Indonesia Exchange
Rate and Interest Rates partially have no effect on Underpricing. External factors
simultaneously influence Underpricing, while simultaneous External Factors have no
effect on stock performance.
Keywords: Initial Public Offering (IPO), Underpricing, initial return, stock performance,
abnormal return
xiv
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
xv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
HALAMAN LEMBAR BEBAS PLAGIAT.........................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................iiv
ABSTRAK.............................................................................................................xi
ABSTRACT.........................................................................................................xiii
DAFTAR ISI.........................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xix
DAFTAR TABEL...............................................................................................xxi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................7
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................7
1.5 Batasan Penelitian..................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11
2.1 Landasan Teori.....................................................................................11
2.1.1 Pasar Modal.......................................................................................11
2.1.2 Penawaran Umum Perdana (IPO).....................................................14
2.1.3 Saham................................................................................................22
2.1.4 Underpricing.....................................................................................23
2.1.5 Teori Tetang Underpricing................................................................23
2.1.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing...........................25
2.1.6.1 Debt To Equity Rasio................................................................25
2.1.6.2 Earning Per Share......................................................................26
2.1.6.3 Return On Assets.......................................................................27
2.1.6.4 Umur Perusahaan......................................................................28
2.1.6.5 Ukuran Perusahaan....................................................................28
2.1.6.6 Presentase Saham ditawarkan...................................................29
2.1.6.7 Inflasi.........................................................................................29
2.1.6.8 Suku Bunga Bank Indonesia......................................................30
xvi
2.1.6.9 Kurs Nilai Tukar........................................................................31
2.1.7 Kinerja Saham...................................................................................32
2.1.8 Return Saham....................................................................................34
2.2 Penelitian Terdahulu............................................................................35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..........................................................39
3.1 Diagram Penelitian...............................................................................39
3.2 Desain Penelitian..................................................................................40
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional......................................40
3.3.1 Variabel Penelitian.......................................................................40
3.3.2 Variabel Operasional....................................................................42
3.4 Kerangka Berpikir................................................................................43
3.5 Hipotesis..............................................................................................45
3.5.1 Pengaruh Faktor Internal Terhadap Underpricing........................45
3.5.2 Pengaruh Faktor Internal Terhadap Kinerja Saham.....................47
3.5.3 Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap Underpricing.....................49
3.5.4 Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap Kinerja Saham...................53
3.6 Jenis dan Sumber data..........................................................................55
3.7 Metode Pengumpulan Data..................................................................57
3.8 Populasi dan Sampel Penelitian...........................................................57
3.9 Metode Analisis Data...........................................................................58
3.9.1 Statistik Deskriptif........................................................................58
3.9.2 Uji Asumsi Klasik........................................................................59
3.9.3 Analisis Regresi Linier Berganda.................................................61
3.9.2 Pengujian Hipotesis......................................................................62
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................65
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian....................................................65
4.2 Statistik Deskriptif...............................................................................70
4.3 Uji Asumsi Klasik ................................................................................77
4.4 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda...............................................83
4.5 Hasil Pengujian Fenomena Underpricing............................................88
4.6 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Internal Terhadap
underpricing.............................................................................................105
xvii
4.7 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Internal Terhadap
Kinerja Saham..........................................................................................140
4.8 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap
underpricing.............................................................................................159
4.9 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap
Kinerja Saham .........................................................................................176
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................193
5.1 Kesimpulan........................................................................................193
5.2 Saran..................................................................................................199
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................205
LAMPIRAN........................................................................................................208
xviii
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perusahaan IPO 2010-2018 di Bursa Efek Indonesia..........................2
Gambar 1.2 Pergerakkan IHSG dan Sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi
Selama Periode 2007-2018......................................................................................4
Gambar 3.1 Diagram Penelitian.............................................................................39
Gambar 3.2 Kerangka Berpikir..............................................................................44
Gambar 4.1 Pergerakkan IHSG dan Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
Selama Periode 2007-2018....................................................................................66
Gambar 4.2 Diagram Kontribusi sub-sektor terhadap nilai underpricing............100
Gambar 4.3 Pertumbuhan Hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)......110
Gambar 4.4 Pergerakan Kurs Rupiah terhadap Dolar..........................................111
Gambar 4.5 Hutang terhadap PDB dan pertumbuhan investasi pasar modal.....112
Gambar 4.6 Perumbuhan perusahaan IPO Sektor Penelitian...............................120
Gambar 4.7 Penggunaan dana IPO menurut Prospektus sampel penelitian........136
xx
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
xxi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu....................................................................35
Tabel 3.1 Variabel Operasional.............................................................................42
Tabel 3.2 pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi.............................................60
Tabel 4.1 Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi IPO Periode
2010-2018..............................................................................................................70
Tabel 4.2 Stastitik Deskriptif Sampel Penelitian...................................................71
Tabel 4.3 Uji Normalitas Underpricing................................................................78
Tabel 4.4 Uji Normalitas Kinerja Saham..............................................................78
Tabel 4.5 Uji Multikolenearitas Underpricing......................................................79
Tabel 4.6 Uji Multikolenearitas Kinerja Saham....................................................80
Tabel 4.7 Hasil Uji Heteroskedastisitas Underpricing..........................................81
Tabel 4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas Kinerja saham.........................................81
Tabel 4.9 Uji Autokorelasi Underpricing..............................................................82
Tabel 4.10 Uji Autokorelasi Kinerja Saham..........................................................82
Tabel 4.11 Uji Run Test Underpricing..................................................................83
Tabel 4.12 Uji Run Test Kinerja Saham................................................................83
Tabel 4.13 Analisis Regresi Linier Berganda Underpricing.................................84
Tabel 4.14 Analisis Regresi Linier Berganda Kinerja Saham...............................86
Tabel 4.15 Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi IPO Periode
2010-2018..............................................................................................................89
Tabel 4.16 Daftar Sampel penelitian dan nilai underpricing yang diukur dari
Initial Return..........................................................................................................98
Tabel 4.17 Kinerja Saham 30 Hari dengan Perhitungan Abnormal return..........101
Tabel 4.18 Statistika Deskriptif untuk data Abnormal return..............................103
Tabel 4.19 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Pertama............................................105
Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Pertama.......................................130
Tabel 4.21 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Pertama....................................139
Tabel 4.22 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Kedua..............................................141
Tabel 4.23 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Kedua..........................................154
Tabel 4.24 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Kedua.......................................158
Tabel 4.25 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Ketiga..............................................159
xxii
Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Ketiga..........................................170
Tabel 4.27 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Ketiga.......................................176
Tabel 4.28 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Keempat..........................................177
Tabel 4.29 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Keempat......................................187
Tabel 4.30 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Keempat...................................192
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sektor yang ada di Bursa Efek Indonesia adalah Sektor
infrastruktur, utilitas dan transportasi. Menurut Neil (1980) Infrastruktur mengacu
pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, air, bangunan dan fasilitas publik
lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara ekonomi
dan sosial. Menurut John (1987) Utilitas adalah kemampuan suatu barang untuk
memberikan kepuasan kepada manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan transportasi merupakan pemindahan manusia atau barang dari satu
tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan
oleh manusia atau mesin (Salim, 2000).
Perkembangan masyarakat suatu negara saat ini dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, berbagai macam terobosan
pembangunan, inovasi dan kebijakan pemerintah mendukung kemudahan akses
serta transaksi antara kota, wilayah, maupun negara yang dikenal sebagai era
globalisasi. Hal ini menciptakan tingginya persaingan antara perusahaan,
dikarenakan berbagai perkembangan tersebut mendorong terciptanya kesepakatan
antar negara untuk mewujudkan pasar bebas yang memudahkan ekspor maupun
impor barang dimana setiap produk maupun jasa dapat secara bebas dari sebuah
negara ke negara lain. Kondisi tersebut menuntut perusahaan untuk dapat
berkompetitif dengan baik dan lebih kreatif agar tetap dapat bertahan dalam dunia
usaha. Untuk itu, perusahaan diharuskan selalu mengembangkan strategi
perusahaan agar dapat bertahan, berdaya saing, dan terus berkembang di tengah
gencarnya persaingan usaha.
Salah satu alternatif pembiayaan yang dilakukan perusahaan yang
membutuhkan dana adalah dengan menerbitkan saham baru dan dijual kepada
masyarakat yang disebut sebagai Penawaran Umum atau Initial Public Offering
(IPO). Dalam mekanismenya penawaran umum dilakukan pertama kali di pasar
perdana (primary market) dan kemudian selanjutnya saham dijual di pasar sekunder
2
(secondary market) atau biasa dikenal sebagai Bursa Efek. Di Indonesia, proses
transaksi penjualan saham perusahaan dilakukan di Bursa Efek Indonesia.
Minat perusahaan melakukan Penawaran Umum dinilai berfluktuatis sejak
tahun 2010 hingga 2015, namun mengalami konsistensi kenaikan sejak 2016 hingga
2018. Hal itu dibuktikan dengan grafik dibawah ini:
Gambar 1.1 Perusahaan IPO 2010-2018 di Bursa Efek Indonesia
(Pengolahan Data, 2019)
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM) ketika perusahaan akan melalukan penawaran umum perdana (IPO),
perusahaan selaku calon emiten harus membuat prospektus yang didalamnya berisi
laporan keuangan emiten dan informasi lainnya yang berhubungan dengan saham
yang ditawarkan seperti kebijakan deviden, kegiatan dan prospek usaha, rencana
masa depan perusahaan, umur perusahaan, jumlah presentase saham yang
ditawarkan, kantor akuntan publik, dan pernjamin emisi (Underwriter). Prospektus
tersebut wajib dipublikasikan terlebih dahulu melalui media massa yang bertujuan
menginformasikan kepada calon investor hal-hal yang layak untuk diketahui.
Informasi yang disampikan kepada masyarakat akan membantu calon investor
didalam membuat keputusan investasi mengenai risiko dan nilai saham yang akan
ditawarkan oleh perusahaan emiten, dengan mempertimbangkan informasi-
informasi tersebut calon investor dapat menilai sejauh mana perusahaan IPO
memiliki nilai yang menguntungkan.
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
INFRASTRUKTUR, UTILITAS DANTRANPORTASI
3 7 4 3 5 0 3 7 10
PERUSAHAAN IPO 23 26 22 30 24 16 15 37 58
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Jum
lah
Per
usa
haa
n
Tahun
3
Harga saham pada saat penawaran perdana ditentukan oleh kesepakatan
antara perusahaan emiten dengan penjamin emisi (Underwritter). Berdasarkan dua
mekanisme penentuan harga saham, sering terjadi perbedaan harga antara di pasar
perdana dengan di pasar sekunder. Hal ini dibuktikan dari hasil data yang diolah
dari Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010-2018 terkait sektor infrastruktur, utilitas
dan transportasi yang digunakan sebagai sampel penelitian. Hasilnya terdapat 38
perusahaan bidang infrastruktur, utilitas dan transportasi yang melakukan
penawaran penawaran umum perdana. Dari beberapa perusahaan tersebut, setelah
melakukan penawaran umum perdana dan diperdagangkan di pasar sekunder dalam
hal ini di Bursa Efek Indonesia, 32 diantaranya mengalami peningkatan harga, 4
perusahaan mengalami penurunan harga dan 2 tetap berada diharga perdana.
Apabila harga yang ditunjukkan di pasar sekunder di hari pertama (closing price)
lebih rendah dari pada harga yang telah ditetapkan di pasar perdana disebut sebagai
overpricing. Sebaliknya, apabila harga saham yang ditunjukkan di pasar sekunder
di hari pertama lebih tinggi dari pada harga saham yang ditetapkan di pasar perdana
disebut sebagai Underpricing.
Fenomena Underpricing menjadi kerugian bagi emiten, karena dana yang
diperoleh pada saat IPO tidak maksimal. Terdapat selisih antara harga yang
terealisasi di pasar sekunder dengan harga yang telah ditetapkan di pasar perdana
itulah jumlah kerugian yang dialami oleh emiten. Namun hal tersebut menjadi
keuntungan bagi investor atau sering disebut sebagai initial return. Dengan adanya
fenomena Underpricing, investor akan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap
suatu saham hal ini dapat dilihat dari prospektus dan kondisi keuangan yang dinilai
menjanjikan bagi investor. Semakin tingginya tingkat Underpricing maka semakin
tinggi pula initial return yang berupa capital gain diharapkan oleh investor.
Wijayanto (2010) Melakukan Penelitian terhadap Underpricing dengan 67
perusahaan dijadikan sebagai sampel. Indikator penelitian bersumber dari laporan
keuangan. Hasil penelitian menunjukkan EPS, dan Proceed mempunyai pengaruh
negatif dan signifikan terhadap initial return, sedangkan ROA, dan Financial
Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap initial return. Sedangkan,
Penelitian Handayani dan Intan (2011) terhadap data laporan keuangan berupa
DER, ROA, EPS, umur Perusahaan dan Ukuran Perusahaan terhadap Underpricing
4
sektor keuangan di Bursa Efek Indonesia tahun 2000-2006. Menunjukkan EPS
memiliki efek signifikan terhadap Underpricing. Sementara secara simultan DER,
ROA, EPS, Umur, Ukuran Perusahaan, Prosentase penawaran umum tidak
signifikan berpengaruh pada Underpricing.
Kondisi ekonomi global sejak pemulihan krisis ekonomi tahun 2008 yang
beragam hingga 2018 mendorong berbagai macam kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk melakukan penguatan sektor fundamental dan meningkatkan daya
saing indonesia. Namun hal tersebut tidak berdampak besar pada pertumbuhan
perekonomian. Selain itu, isu perang dagang amerika serikat dan china yang
berkepanjangan terkait ekspor dan impor produk antar kedua negara berimbas pada
negara negara yang berdagangan dengan negara tersebut. Indonesia termasuk
negara yang terkena dampak krisis Secara global, karena kuatnya hubungan
ekonomi Indonesia dengan negara lain dan dominasi investor asing yang
menanamkan modal di Indonesia juga terbilang banyak. Krisis ini akan
berpengaruh pada inflasi yang mengambil peran dalam keputusan pembelian
barang dan jasa, Kurs Nilai Tukar berpengaruh terhadap perusahaan IPO yang
sensitif terhadap pergerakkan Nilai Tukar, dan Bunga Bank Indonesia sebagai
acuan terhadap nilai pinjaman dan imbal hasil investasi.
Gambar 1.2 Pergerakkan IHSG dan Sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi Selama Periode
2007-2018
(Pengolahan Data, 2019)
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Nila
i IH
SG
Tahun
Indeks Harga Saham Gabungan
Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
5
Rock (1986) Menjelaskan bahwa informed investor mengetahui informasi
lebih banyak mengenai prospek perusahaan emiten, sehingga kelompok informed
investor hanya berpartisipasi pada saham-saham yang underpriced yang
diindikasikan dengan adanya initial return. Agar kelompok uninformed investor
berpartisipasi dalam penawaran perdana maka emiten akan menerima harga yang
murah (underpriced) bagi penawaran sahamnya. Selain faktor dari dalam
perusahaan, Investor juga dapat mencermati keadaan makro ekonomi juga
mempengaruhi keputusan investasi. Keadaan ekonomi yang stabil merupakan
sinyal baik bagi para investor, sehingga berpengaruh secara positif terhadap pasar
modal. Demikian juga sebaliknya, jika kondisi ekonomi tidak stabil atau labil, maka
investor akan berhati-hati dalam melakukan investasi (Suad Husnan, 1999). Jika
investor banyak yang berinvestasi di pasar modal, maka cenderung ada peningkatan
harga saham sehingga mempengaruhi harga saham di pasar sekunder.
Racmadhanto dan Raharja (2014) dalam penelitiannya melakukan analisis terhadap
faktor Underpricing yang dipengaruhi oleh tingkat inflasi, BI rate, dan nilai tukar.
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa tingkat inflasi, suku bunga BI, dan nilai
tukar Tidak terbukti pengaruh tingkat Underpricing. Dalam model penelitian ini,
menunjukkan tingkat inflasi, tingkat BI, dan nilai tukar hanya dapat menjelaskan
variasi tingkat Underpricing 45%. Namun, Penelitian Yulianto (2011) menjelaskan
bahwa pasca IPO dalam waktu 30 Hari indikator tingkat inflasi, BI rate, dan nilai
tukar secara simultan memiliki pengaruh terhadap return saham, serta secara parsial
bi rate dan inflasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham.
Oleh sebab itu, Adanya asimetri informasi telah mengakibatkan perbedaan
harga saham yang dipengaruhi faktor internal dan ekternal perusahaan di pasar
perdana dengan pasar sekunder. Hal tersebut terkadang hanya terjadi ketika
beberapa waktu IPO karena asismetris informasi berkembang mendorong
ketertarikan investor untuk melakukan pembelian saham. Selain itu, harga yang
meningkat mendorong tingkat harapan bagi investor lain untuk ikut melakukan
pembelian saham. Bursa Efek Indonesia setelah beberapa hari perdagangan
perusahaan IPO jika dinilai harga yang berada dipasar dalam kategori yang tidak
sesuai dengan realitas fundamentalnya maka BEI akan meminta penjelasan atas
minat investor tersebut kepada Emiten, apakah ada informasi yang harus
6
disampaikan secara resmi untuk memastikan kebenaran atas asimetris informasi
yang terjadi, namun jika memang dinilai perusahaan memilik fundamental yang
bagus, informasi yang dapat dibenarkan secara resmi, serta laporan keuangan yang
mendukung untuk minat investor maka secara konsisten walaupun berfluktatif,
kinerja harga saham akan cenderung mengalami peningkatan.
Meskipun studi tentang Underpricing dan kinerja saham telah banyak
dilakukan, namun penelitian di bidang ini masih dianggap masalah yang menarik
untuk diteliti karena adanya ketidakkonsistenan antara penelitian terdahulu. Selain
itu kondisi makro ekonomi yang bergejolak karena pengaruh krisis global dari
tahun ke tahun yang berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi, serta konsistensi atas
kinerja saham juga membuat masalah ini menarik untuk diteliti kembali. Hal inilah
yang mendorong penelitian dilakukan dengan menganalisis Faktor Internal
Perusahaan (Debt to Equity Rasio (DER), Earning Per Share (EPS), Return On
Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Presentase saham yang
ditawarkan) Dan Faktor Eksternal Perusahaan dalam hal ini ekonomi makro yang
berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi (Inflasi, Bunga Bank indonesia dan
Kurs Nilai Tukar) dengan Judul “Fenomena Underpricing dan Kinerja Saham
Perusahaan IPO Sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi di Bursa Efek
Indonesia Periode 2010-2018”
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terjadi fenomena Underpricing pada hari pertama perdagangan
dan Kinerja Saham Jangka Pendek setelah Initial Public Offering pada
Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi Periode 2010-
2018?
2. Bagaimana Faktor Internal Perusahaan berpengaruh terhadap tingkat
Underpricing pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018?
3. Bagaimana Faktor Internal Perusahaan berpengaruh terhadap Kinerja
Saham Jangka Pendek pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018?
7
4. Bagaimana Faktor Eksternal Perusahaan berpengaruh terhadap tingkat
Underpricing pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018?
5. Bagaimana Faktor Eksternal Perusahaan berpengaruh terhadap Kinerja
Saham Jangka Pendek pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis fenomena Underpricing pada hari pertama perdagangan
dan Kinerja Saham Jangka Pendek setelah Initial Public Offering pada
Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi Periode 2010-
2018.
2. Menganalisis Faktor Internal Perusahaan berpengaruh terhadap tingkat
Underpricing pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018.
3. Menganalisis Faktor Internal Perusahaan berpengaruh terhadap kinerja
saham jangka pendek pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018.
4. Menganalisis Faktor Eksternal Perusahaan berpengaruh terhadap
tingkat Underpricing pada Perusahaan Sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi Periode 2010-2018.
5. Menganalisis Faktor Eksternal Perusahaan berpengaruh terhadap
Kinerja Saham Jangka Pendek pada Perusahaan Sektor Infrastruktur,
utilitas dan transportasi Periode 2010-2018.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Perusahaan Emiten
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
emiten selaku perusahaan yang melakukan IPO mengenai faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap Underpricing dan bagaimana kinerja saham
pasca IPO yang berrhubungan dalam menentukan nilai perusahaannya,
sehingga dapat menghindari dan meminimalisir terjadinya
Underpricing, lalu menetapkan harga yang sesuai agar memperoleh
pendanaan yang Optimal.
8
2. Investor
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
Investor mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
membuat sebuah keputusan investasi pada saat membeli saham perdana
dengan tujuan memperoleh initial return yang diharapkan.
3. Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
akademisi untuk menambah wawasan serta bahan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi Underpricing pada
penawaran umum perdana (IPO).
1.5 Batasan Penelitian
1. Penelitian ini dalam mengukur Tingkat Underpricing dan kinerja
saham Menggunakan Faktor internal berupa DER, EPS, ROA, Umur
Perusahaan, Ukuran perusahaan dan Presentase saham yang
ditawarkan.
2. Penelitian ini dalam mengukur Tingkat Underpricing dan Kinerja
Saham menggunakan Faktor Eksternal berupa Inflasi,Kurs Nilai Tukar
dan Suku Bunga Bank Indonesia.
3. Objek Dalam Penelitian ini adalah Perusahaan Emiten yang melakukan
Penawaran Umum Perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia Sektor
Infrastruktur, utilitas dan transportasi Periode 2010-2018 sebanyak 32
perusahaan yang mengalami Underpricing.
4. Perusahaan Emiten tersebut belum pernah megalami Delisting
(dikeluarkannya dari daftar emiten tercatat) maupun Relisting
(dimasukkan kembali emiten delisting ke dalam daftar emiten tercatat)
pada sektor Infrastruktur,Utilitas, dan Transportasi di Bursa Efek
Indonesia periode 2010-2018.
5. Perusahaan Emiten tersebut memiliki Laporan Keuangan dan Laporan
Prospektus sebelum proses Penawaran Umum Perdana (IPO) di Bursa
Efek Indonesia.
6. Kinerja Saham Perusahaan emiten tersebut, dihitung setelah 30 Hari
sejak Melakukan IPO, tidak termasuk Harga saham yang tercatat ketika
9
saham mengalami suspensi (Pemberhentian Perdagangan sementara)
Karena Tidak adanya keputusan investor dan pergerakkan Harga
Saham dalam bentuk frekuensi maupun volume perdagangan.
7. Dalam Penelitian ini,Suku Bunga Bank Indonesia yang digunakan
sebagai acuan untuk variabel perhitungan faktor eksternal
menggunakan acuan suku bunga BI Rate dan tidak menggunakan suku
bunga acuan BI Seven Days Repo Rate.
10
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Landasan teori merupakan teori yang relevan dapat digunakan sebagai dasar
yang kuat untuk pengembangan penelitian. Selain itu dasar teori disusun untuk
membuat hipotesis dan kerangka konseptual. Adapun teori yang relevan dalam
penelitian ini adalah teori pasar modal, penawaran umum perdana, underpricing,
kinerja saham dan return saham.
2.1.1 Pasar Modal
a. Pengertian Pasar Modal
Dalam kegiatannya, pasar modal memiliki peranan penting didalam proses
menunjang perekonomian karena pasar modal bersangkutan dengan penawaran
umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek (Undang-
Undang no. 8 tahun 1995 BAB 1 pasal 1 butir 13). Secara sederhana, pasar modal
sama seperti pasar-pasar lain pada umumnya menjadi tempat berlangsungnya
kegiatan jual beli, hal yang membedakan adalah objek yang diperjualbelikan.
Menurut Tandelilin (2001), pasar modal adalah pertemuan antara pihak yang
memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara
memperjualbelikan objek atas kepemilikan efek atau instrumen keuangan yang
umumnya memiliki umurnya lebih dari satu tahun, seperti saham dan obligasi.
Pada dasarnya pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar utuk berbagai
instrumen keuangan dalam jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam
bentuk pendanaan sendiri maupun melalui hutang yang dapat diterbitkan oleh
pemerintah, Badan Usaha Milik Negara maupun Swasta. Menurut Jogiyanto (2010)
pasar modal merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli dengan risiko
untung atau rugi, yang dapat diartikan bahwa pasar modal mendorong terciptanya
alokasi dana yang efisien, karena pengambilan keputusan atas penbelian maupun
penjualan yang dilakukan investor memiliki banyak alternatif investasi untuk
memebrikan return yang paling Optimal. Jika tidak adanya pasar modal menurut
Husnan (2009) maka para investor mungkin hanya dapat menginvestasikan dana
12
mereka dalam sistem perbankan (selain investasi dalam rill asset). Dengan adanya
pasar modal, para investor dapat melakukan divertifikasi investasi, membentuk
portofolio yang terdiri atas gabungan investasi mereka sesuai dengan risiko yang
sudah mereka perhitungkan dan keuntungan yang diharapkan.
b. Jenis-Jenis Pasar Modal
Menurut Tandelilin (2001), dana yang diperoleh perusahaan atas kegiatan
penjualan saham merupakan hasil penjualan atas saham-saham yang dimiliki
perusahaan di pasar perdana. Di pasar perdana inilah pertama kalinya proses
penjualan atas kepemilikan saham perusahaan dilakukan. Proses tersebut dikenal
sebagai Initial Public Offering (IPO) atau penawaran umum perdana. Berdasarkan
Jenisnya pasar modal terbagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Pasar Perdana
Pasar perdana adalah penawaran saham untuk pertama kalinya kepada
investor umum oleh perusahaan emiten melalui underwriter yang ditunjuk dengan
harga yang telah disepakati bersama serta dalam kurun waktu tertentu sebelum
saham diperdagangkan di pasar sekunder. Sebelum proses dilakukan, perusahaan
emiten harus sudah mengeluarkan informasi terkait prospektus perusahaan.
Prospektus berfungsi untuk memeberikan gambaran terkait kondisi perusahaan
kepada calon investor. Di dalam pasar perdana, investor akan memperoleh dana
yang dperlukan. Dana tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan riset dan
teknologi, melakukan perluasan bisnis, pembayaran hutang dan perbaikan atas
belanja modal.
2. Pasar Sekunder
Pasar Sekudner adalah tempat terjadinya transaksi jual beli antar investor
setelah melalui pasar perdana. Dengan adanya pasar sekunder, investor dapat
melakukan perdangangan saham untuk mendapatkan keuntungan karena harga
saham dipasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh
permintaan dan penawaran yang terjadi di bursa efek. Pasar sekunder biasanya
dimanfaatkan untuk perdangaan saham biasa, saham preference, warran maupun
obligasi.
13
c. Manfaat Pasar Modal
Pasar modal sebagai salah satu tempat untuk menghimpun dana dan
investasi dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah :
1. Manfaat Pasar Modal Bagi Negara
a. Pasar modal sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang
penting melalui pajak,
b. Pasar modal membantu negara dalam menjalankan roda
perekonomian melalui proses pendanaan dan investasi,
c. Negara dapat memantau transaksi perputaran modal,
d. Memantau Perusahaan yang berlaku sebagai emiten,
e. Menarik investor asing agar ikut berinvestasi dengan
menanamkan modal di dalam negeri,
f. Memantau kinerja dan aktifitas pihak asing yang berkontribusi
didalam pasar modal,
g. Tempat bagi negara untuk menjual surat berharga kepada
investor.
2. Manfaat Pasar Modal Bagi Perusahaan Emiten
a. Sebagai sarana untuk mencari sumber pendanaan,
b. Mengurangi ketergantungan sistem hutang dan pinjaman melalui
bank,
c. Mempermudah perusahaan untuk ekspansi usaha,
d. Meningkatkan produktifitas usaha.
3. Manfaat Pasar Modal Bagi Investor
a. Tempat menanamkan modal untuk mendapatkan keuntungan,
b. Pengelolaan dana yang transparan dan profesional bisa
meminimalkan risiko investasi,
14
c. Menjadi keuntungan melalui laba yang dibagikan perusahaan
dalam bentuk deviden,
d. Dapat mengambil alih kepemilikkan suatu perusahaan,
e. Memperluas jaringan bisnis,
f. Sebagai tempat jual beli instrumen modal,
g. Memiliki hak suara pada Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).
4. Manfaat Pasar Modal bagi Masyarakat
a. Menambah lapangan pekerjaan,
b. Merasakan manfaat dari produk inovasi perusahaan,
c. Membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk berinvestasi.
2.1.2 Penawaran Umum Perdana (IPO)
Penawaran umum perdana merupakan salah satu bentuk pendaaan yang
dilakukan melalui penambahan jumlah kepemilikkan atas perusahaan dengan
menerbitkan saham baru ke pasar mdoal untuk pertama kalinya kepada masyarakat
baik eprorangan maupun lembaga. Menurut Tandelilin(2001), penawaran umum
adalah bentuk perdagangan atas efek yang dilakukan emiten kepada calon pembeli,
dalam hal ini masyarakat umum berdasarkan tata cara yang diatur oleh undang
undang dan peraturan pelaksanaannya. Adapun yang dimaksud sebagai efek adalah
surat berharga yang bentuk saham, obligasi, surat utang, kontrak berjangka efek dan
sebagainya.
Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
modal menyebutkan “Yang dapat melakukan penawaran umum hanyalah emiten
yang telah menyampaikan pernyataan kepada bapepam untuk menawarkan atau
menjual efek kepada masyarakat dan penyataan pendaftaran tersebut telah efektif.”
Pasal 1 ayat (19) Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tetang pasar Modal
menyebutkan “Pernyataan Pendaftaran adalah Dokumen Wajib disampaikan
15
kepada Badan PENGAWAS Pasar Modal oleh Emiten dalam rangka Penawaran
Umum atau Perusahaan Publik.”
a. Keuntungan Penawaran Umum Perdana (IPO)
Pada saat suatu perusahaan memutuskan untuk penawaran
umum perdana, tentu terdapat ebebrapa keuntungan yang
didapatkan, yaitu (Fahmi, 2012):
1. Mampu Meningkatkan likuiditas Pemegang Saham
Perusahaan yang sudah terbuka memberikan kepastian bagi
pemegang saham untuk lebih mudah dalam menjual sahamnya dari
pada perusahaan yang masih tertutup.
2. Kemampuan Meningkatkan Modal di Masa yang akan datang
Perusahaan yang sudah terbuka akan dapat lebih mudah
untuk memperoleh pendanaan dari investor karena keterbukaan
informasi yang harus perusahaan sampaikan kepada publik sehingga
investor dapat memperoleh kepastian atas laporan keuangan dan
laporan manajemen yang sudah diperiksa oleh akuntan publik
sebagai syarat perusahaan terbuka.
3. Nilai Pasar Perusahaan diketahui
Perusahaan yang sudah terbuka akan lebih mudah didalam
memperkirakan dan menilai harga dari penerimaan pasar atas
perusahaan. Hal ini sangat diperlukan apa bila misalnya perusahaan
ingin meberikan insentif dalam opsi saham kepada manajer
manajernya. Jika perusahaan tertutup maka nilai tersbeut akan sulit
ditentukan.
16
4. Memberikan kesempatan melakukan diverstifikasi
Perusahaan yang sudah terbuka dapat melakukan
diverisfikasi atas laba bersih yang akan dibagikan kepada beberapa
pemegang saham baik seluruh maupun sebagian dan juga dpaat
mendivertifikasi atas risiko risiko yang ada diperusahaan.
b. Kerugian Penawaran Umum Perdana (IPO)
Dari keuntungan tersebut, perusahaan juga harus
memperhitungkan beberapa kerugian yang ada, yaitu :
1. Biaya Laporan yang meningkat
Perusahaan yang terbuka atau sudha melakukan penawaran
umum wajib menyerahkan laporan laporan kepada regulator baik
setiap kuartal, semester, maupun tahunan. Dan biaya tersebut
cenderung mahal untuk perusahaan ukuran kecil.
2. Keterbukaan Informasi Kepada Publik
Perusahaan yang terbuka cenderung memiliki kewajiban atas
keterbukaan segala informasi yang dimiliki perusahaan maupun
pemegang saham. Namun, biasanya manajemen perusahaan enggan
melakukan pengungkapan dengan alasan adanya pesaing usaha dan
pemegang saham enggan untuk mengungkapkan kepemilikkan atas
kekayaannya.
3. Risiko atas Pemindahan Kepemilikkan
Perusahaan yang terbuka akan memiliki peluang untuk
penambahan jumlah pemilik atas saham. Sehingga dalam hal ini
akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Dibeberapa kondisi, pada saat RUPS pemegang saham mayoritas
dapat menentukkan persetujuan atas rencana perusahaan, perubahan
struktur manajerial dan keberlangsungan perusahaan.
17
c. Pihak yang terlibat dalam Proses Penawaran Umum Perdana (IPO)
1. Perusahaan Emiten
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (2017) Emiten adalah Pihak yang
melakukan Penawaran Umum, yaitu penawaran Efek yang dilakukan oleh
Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang
diatur dalam peraturan Undang-undang yang berlaku. Emiten dapat
berbentuk orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau
kelompok yang terorganisasi. Sedangkan, Perusahaan Publik adalah
Perseroan Terbatas seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1
Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh
300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-
kurangnya Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah
pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Emiten dapat menawarkan Efek yang berupa surat pengakuan utang,
surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit
Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan
setiap derivatif dari Efek.
Jenis Efek yang lain adalah Sukuk, yang merupakan Efek Syariah,
yakni akad dan cara penerbitannya sesuai dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal. Pada umumnya, Emiten melakukan penawaran Efek melalui Pasar
Modal untuk saham, obligasi, dan sukuk.
2. Underwriter
Underwriter adalah penjamin emisi bagi setiap perusahaan yang
akan menerbitkan sahamnya dipasar modal. Dalam Praktiknya,
Underwriter akan membantu suatu sindikasi penjamin yang terdiri atas
beberapa Underwriter dengan porsi penjamin yang berbeda-beda. Pihak
dengan porsi penjamin terbesar umumnya merupakan para penjamin
pelaksana atas emisi tersebut.
18
Biasanya, pembuatan pernyataan atas penjaminan suatu perusahaan
diputuskan secara hati-hati karena dampak yang diberikan secara jangka
panjang baik dari segi keuangan maupun diluar keuangan. Selaku pihak
Underwriter, perusahaan menunjuk pakar analisis yang mampu membuat
rekomendasi untuk layak atau tidaknya emiten melakukan penawaran
umum. Analisis investasi tersebut berasal dari pihak Underwriter dan
ditambahkan dengan tenaga konsultan yang memiliki reputasi baik.
Menurut Hendy M. Fakhrudin (2004) menjelaskan bahwa wujud
dari kerjasama antara penjamin emisi dan emiten adalah berupa kontrak
penjaminan emisi yang berisi berbagai hak dan kewajiban masing masing
pihak. kontrak tersebut harus memiliki sistem penjamin dalam dua bentuk,
yaitu:
1. Agen Best Effort, berarti penjamin emisi hanya menjual sebatas
yang laku.
2. Full commitment, ebrarti penjamin emisi menjamin penjualan
seluruh saham yang ditawrakan. Bila ada yang tidak terjual, maka
penjamin emisi yang membelinya.
Jika dalam hal ini, emiten bersangkutan dianggap memberatkan
Underwriter atau Underwriter tidak mampu untuk melakukan penjualan
sendirian, maka ini dapat dilakukan dengan memebntuk suatu sindikasi
penjamin untuk mengurangi risiko dan analisis yang lebih maksimal.
3. Konsultan Hukum dan Notaris
Pendapat dari konsultan hukum dapat berpengaruh besar terhadap
keputusan investor atau yang dikenal sebagai legal opinion. Jika konsultan
hukum memberikan pandangan negatif terkait emiten. Hal ini dapat
berdampak pada rendahnya minat pada suatu saham perusahaan, demikian
pula sebaliknya. Pada dasarkan, pendapat konsultan hukum mencakup
beberapa hal berikut:
19
1. Anggaran Dasar Emiten beserta perubahannya,
2. Izin usaha Emiten,
3. Bukti kepemilikkan atas harga kekayaan emiten,
4. Hubungan antar emiten dengan pihak lain melalui kerjasama
ataupun perjanjian,
5. Perkara baik pidana, maupun perdata yang menyangkut emiten
dan perseorangan didalam perusahaan emiten.
4. Auditor Penjamin Emisi
Auditor penjamin emisi adalah sebuah kantor akuntan publik (KAP)
yang ditunjuk dan menyatakan bahwa perusahaan tersebut layak untuk
melakukkan penawraan umum perdana. Pernyataan tersebut, didasari oleh
audit yang dilakukan KAP atas laporan keuangan dan haisl audit pihak lain
yang secara aturan dan prosedur pelaksanaan dapat dinyatakan telah
memenuhi syarat untuk penawaran umum.
5. Bapepam-LK
BAPEPAM adalah badan Pengawas pasar modal yang berperan
sebagai pihak yang ditunjuk atau diberi wewenang memutuskan
perusahaan yang berhak untuk melakukkan penawaran umum dan
perusahaan yang dikeluarkan dari daftar perusahaan yang tercatat. Dalam
kegiatannya, bapepam-lk harus melakukan koordinasi dengan menteri
keuangan. Karena babepapm merupakan unit ekrja yang langsung
dibawahi kementrian keuangan.
Fungsi Bapepam-LK adalah: Penyusunan dan penegakan peraturan
di bidang pasar modal primer dan sekunder Penegakan peraturan di bidang
pasar modal; Pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang
memperoleh izin usaha, persetujuan, pendaftaran dari Badan dan pihak
lain yang bergerak di pasar modal; Penetapan prinsip-prinsip keterbukaan
perusahaan bagi Emiten dan Perusahaan Publik; Penyelesaian keberatan
yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, Kliring
20
dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Penetapan
ketentuan akuntansi di bidang pasar modal; Penyiapan perumusan
kebijakan di bidang lembaga keuangan; Pelaksanaan kebijakan di bidang
lembaga keuangan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku; Perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di
bidang lembaga keuangan; Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di
bidang lembaga keuangan; Pelaksanaan tata usaha Badan.
d. Proses Penawaran Umum perdana (IPO)
Di indonesia perusahaan yang menjual sahamnya dipublik harus
mendaftarkan diri dan mendapatkan perusetujuan dari badan pengawas
pasar modal atau BAPEPAM. Proses pencatatan ini dilakukan di Bursa
Efek Indonesia dengan beberapa syarat dna kententuan yang telah
ditetapkan. Secara umum proses pencatatan emiten hingga pencatatan
saham dibursa adalah sebagai berikut (Fahmi, 2012):
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, perusahaan sebagai calon emiten bursa mengajukan
rencana Penawraan umum Perdana (IPO) dengan menerbitkan saham
melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk meminta
persetujuan para pemegang saham dalam rangka penawaran umum saham.
Setelah memperoleh persetujuan, selanjutnya perusahaan melakukan
penunjukkan enjamin emisi dna lembaga profesi yang menunjang lainnya.
Yaitu :
a. Underwriter, pihak yang melakukkan penjaminan emisiidalam
rangka penerbitan saham.
b. Akuntan Publik, bertugas melakukan audit dan pemeriksaan atas
laporna keuangan penerbitan
c. Penilai, melakukan Penilaian yang dilakukan atas aktifa tetap dan
menentukan nilai wajar atas aktifa
d. Konsultan Hukum, memberikan pendapat dari segi hukum
21
e. Notaris Hukum, membuat akta-akta perubahan anggaran dasar,
akta perjanjian-perjanjian dlaam rangkan penawaran umum
dan notulen rapat.
2. Tahap pengajuan dan pendaftaran
Pada tahap ini, calon emiten membawa dokumen –dokumen yang
dibutuhkan dan menyampaikan keinginan untuk mendaftar kepada Badan
pengawas Pasar Modal sehingga BAPEPAM menyatakan pernyataan
pendaftaran menjadi efektif.
3. Tahap penawaran umum
Pada tahap ini, calon emiten yang sudah terdaftar sebagai emiten
berhak melakukan penawaran umum kepada Masyarakat selaku investor.
Pihak investor dpaat melakukan pembelian dipasar perdana melalui agen
penjualan maupun secara mandiri. Pada proses ini, tidak semua saham
diserap oelh investor ataupun sebaliknya dimana permintaan investor
tinggi namun saham yang tersedia terbatas. Maka invetsor dpaat
melakukkan perdagangan langsung di pasar sekunder yaitus etelah saham
dicatatkan dibursa.
4. Tahap pencatatan saham dibursa efek
Setelah proses pencatatan saham perdana dilakukan, selanjutnya
saham tersebut akan dicatatkan di bursa efek.Nilai perusahaan adalah
kondisi tertentu yang telah dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk
proyeksi dan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan. Investor
menjadikan nilai perusahaan sebagai penilai kinerja perusahaan (DarmadjI
& Fakhrudin, 2006).
2.1.3 Saham
Menurut Fahmi(2012) saham adalah tanda bukti penyertaan kepemilikkan
modal atau dana pada suatu perusahaan yang berbentuk lembaran kertas yang
didalamnya menjelaskan nilai nominal, nama perusahaan serta hak dan kewajiban
yang dijelaskan kepada setiap pemegang saham yang digunakan oleh investor baik
22
perorangan maupun lembaga untuk investasi dan dapat diperjual belikan sewaktu-
waktu.
Saham memberikan keuntungan yang tidak terhingga bagi pemegang
saham. Keuntungan yang diperoleh investor terdiri atas deviden, yaitu laba yang
dibagikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham; keuntungan atas modal
atau capital gain sleisih aats harag beli dan harga pasar jika ingin melakukan
penjualan kembali; serta hak veto dalam pengambilan keputusan dalam rapat umum
pemegang saham. namun keuntungan yang diperoleh pemilik bergantung pada
perkembangan perusahaan yang menerbitkan saham. Oleh sebab itu, selain
keuntungan pemilik juga menanggung risiko yang sangat tinggi. Risiko yang
ditanggung pemilik juga setara dengan keuntungan yaitu tidak memperoleh deviden
dan menderita capital loss.
Saham dapat dibedakan menjadi dua jenis yang paling umum dikenal oleh
publik, yaitu saham biasa (common stock) dan saham istimewa (preference stock).
Suatu perusahaan dapat menerbitkan salahm satu saham tersebut maupun
keduanya. Jika perusahaan menerbitkan satu saham saja maka saham ini disebut
sebagai saham biasa. Keuntungan saham biasa lebih tinggi dibanding dengan saham
istimewa begitupulah risikonya. Selain deviden dan capital gain pemegang saham
biasa juga dpaat memiliki hak suara atas pembentukkan amanjemen perusahaan dan
berperan aktif dalam pengambilan keputusan penting dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), sedangkan pemegang saham istimewa sebaliknya yaitu
tidak memiliki hak suara atas perusahaan melainkan tetap memperoleh deviden dan
capital gain akan tetapi memiliki hak terhadap aktiva jika natinya terjadi likuidasi.
2.1.4 Underpricing
Underpricing adalah perbedaan antara harga awal dimana saham
perusahaan ditawarkan dipasar perdana lebih rendah dibandingkan dengan harga
penutupan saham pada hari pertama diperdagangan pasar sekunder. Harga yang
dijual dipasar perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan
emiten dna penjamin emisi (Underwriter). Sedangkan harga yang terjadi pada pasar
sekunder merupakan mekanisme paar yang terbentuk dari perdagangan antar
investor yang bergantung pada permintaan dan penawaran. Menurut Jogiyanto
23
(2010) dalam proses penetapan harga saham di pasar perdana, pihak Underwriter
sebagai pihak yang akan menjamin saham yang telah ditawarkan oleh pihak emiten
cenderung akan menetapkan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga
yang diharapkan dari pihak perusahaan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko
jika nantinya saham yang beredar tidak laku diperdagangkan. Walaupun jika harga
dinilai terlalu rendah ketika perdagangan perdana dan akan naik pada perdagangan
sekunder maka dana yang diperoleh pada saat IPO tidak akan maksimal kerugian
tersebut akan ditanggung oleh emiten selaku perusahaan yang melakukan
pencatatan, namun dinilai keuntungan bagi investor karena mempeoleh initial
return. Oleh sebab itu, dengan adanya Underpricing akan menarik investor untuk
berpartisipasi dalam kegiatan jual beli saham di pasar perdana dan pasar sekunder.
2.1.5 Teori Tentang Underpricing
Terdapat beberapa teori yang dpaat digunakan untuk menjelaskan fenomena
Underpricing. Beberapa teori tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asymetry Information Theory
Asymetry Information Theory adalah suatu keadaan dimana terdapat
informasi yang tidak sama atau seimbang baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
antara informasi yang dimiliki oleh pihak dalam perusahan (emiten) dan pihak luar
(investor). Menurut Baron (1982) dalam Karsana (2009), asimetri informasi
disebabkan adanya perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam penawaran perdana emiten dan Underwriter. Underwriter memiliki
informasi yang lebih baik tentang pasar modal, sedangkan pihak emiten merupakan
pihak yang tidak memiliki informasi tentang pasar modal sehingga apabila di antara
mereka tidak memiliki informasi yang lengkap maka akan terjadi perbedaan harga.
Perbedaan harga di kedua pasar tersebut mestinya dapat dihindarkan apabila
penentu harga di kedua pasar memiliki informasi yang sama. Pada model Rock
(1986) dalam Guntoro dan Harahap (2008) , informasi asimetri terjadi pada
kelompok informed investor dan uninformed investor. Informed investor yang
mengetahui lebih banyak mengenai prospek perusahaan emiten akan membeli
saham penawaran umum perdana jika after market price yang diharapkan melebihi
harga perdana atau dengan kata lain kelompok ini hanya membeli saham penawaran
umum perdana yang underpriced saja.
24
Sementara kelompok uninformed investor karena kurang memiliki
informasi mengenai perusahaan emiten akan melakukan penawaran secara
sembarangan, baik pada saham penawaran umum perdana (Initial Public Offering)
yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya, kelompok uninformed investor
memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham penawaran umum perdana
yang overpriced daripada kelompok informed investor. Menyadari bahwa mereka
menerima saham penawaran umum perdana yang tidak proporsional, kelompok
uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi
pada pasar perdana dan memungkinkan memperoleh return saham yang wajar serta
dapat menutupi kerugian akibat membeli saham yang overpriced, maka saham
penawaran umum perdana (Initial Public Offering) harus cukup underpriced
(Krinsky, 1994 ; Guiness, 1992) dalam Guntoro dan Harahap (2008).
2. Signalling Theory
Teori signalling mengungkapkan bahwa tindakan dari perusahaan yang
dengan sengaja dalam penawaran melalui penawaran umum perdana (Initial Public
Offering) memberikan sinyal pada pasar berupa signal positif ataupun signal
negatif bagi investor. Menurut Grinblatt dan Hwang (1989) dalam Alteza (2010)
memaparkan bahwa sebagian besar informasi mengenai prospek perusahaan hanya
diketahui oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, maka perusahaan yang baik akan
berusaha memberikan sinyal yang terkait dengan prospeknya di masa depan lewat
fenomena Underpricing. Meskipun menderita kerugian saat penawaran saham
perdana, tetapi diharapkan dengan terjadinya fenomena Underpricing maka
menjadi sinyal yang ampuh bagi investor dan selanjutnya dapat menutup kerugian
melalui kinerjanya yang akan datang. Demikian pula halnya perusahaan yang
kurang baik. Mereka tidak akan memberikan sinyal karena mengetahui bahwa
mereka tidak akan dapat mengganti kerugian yang timbul akibat Underpricing.
Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Asymetry
Information Theory karena fenomena Underpricing terjadi pada saham yang untuk
pertama kalinya diterbitkan dan dijual di pasar perdana.
25
2.1.6 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing
Keputusan perusahaan dalam melakukan go public dan melempar saham-
sahamnya ke publik (Initial Public Offering) perlu dipikirkan dan diperhatikan oleh
perusahaan (emiten) dengan matang, hal tersebut dikarenakan perusahaan (emiten)
harus mengetahui dengan pasti isuisu yang akan muncul yaitu: jenis atau tipe saham
apa saja yang akan dikeluarkan, berapa harga saham yang akan ditetapkan per
lembar sahamnya dan kapan waktu pelemparan yang tepat. Pada umumnya masalah
perusahaan yang berhubungan dengan penawaran umum perdana akan diserahkan
ke banker investasi yang memiliki keahlian khusus didalam penjualan sekuritas.
Underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi yang akan
memengaruhi harga saham penawaran perdananya lebih rendah daripada harga
pasar di pasar sekunder. Underwriter memiliki informasi yang lebih baik tentang
pasar modal, sedangkan pihak emiten merupakan pihak yang tidak memiliki
informasi tentang pasar modal sehingga apabila di antara mereka tidak memiliki
informasi yang lengkap maka akan terjadi perbedaan harga.
Signalling Theory mengungkapkan bahwa tindakan dari perusahaan dalam
penawaran saham perdananya melalui penawaran umum perdana memberikan
sinyal pada pasar berupa signal positif ataupun signal negatif bagi investor. Hal
yang tidak kalah penting adalah sikap dan tanggapan dari investor yang merupakan
pihak penyandang dana dalam penawaran umum perdana. Keputusan atau respon
dari investor tentunya didasari atas pengetahuan dan pengamatannya terhadap
informasi yang tersedia.
2.1.6.1 Debt To Equity Ratio (DER)
Debt To Equity Ratio menurut Darsono dan Ashari (2010:54-55) merupakan
salah satu rasio leverage atau solvabilitas. Rasio solvabilitas adalah rasio untuk
mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika perusahaan
tersebut dilikuidasi. Rasio ini juga disebut dengan rasio pengungkit (Leverage)
yaitu menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang.
Rasio utang terhadap ekuitas adalah komputasi lain yang menentukan
kemampuan membayar utang jangka panjang suatu entitas. Menurut Sugiyono
(2009), menyatakan bahwa: Rasio ini menunjukan perbandingan hutang dan modal.
Rasio ini merupakan salah satu rasio penting karena berkaian dengan masalah
26
trading on equiy, yang dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap
rentabilitas modal sendiri dan perusahaan tersebut.
Secara matematis menurut Horne dan Wachowicz (2009:186), “Debt To
Equity Ratio adalah perbandingan antara total hutang atau total debts dengan total
sharehoder’s equity”. Rumusan untuk mencari Debt To Equity Ratio dapat
digunakan perbandingan antara total utang dengan total ekuitas sebagai berikut
(Kasmir, 2014:158):
𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
bahwa Debt To Equity Ratio merupakan rasio yang mengukur seberapa jauh
perusahaan dibiayai oleh hutang dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya dengan ekuitas yang dimiliki.
2.1.6.2 Earning Per Share (EPS)
Investor dalam melakukan investasi di pasar modal membutuhkan ketelitian
dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan saham. Penilaian saham
secara akurat dapat meminimalkan resiko agar tidak salah dalam pengambilan
keputusan. Oleh sebab itu, investor perlu menganalisis kondisi keuangan
perusahaan untuk pengambilan keputusan dalam melakukan investasi saham.
Untuk mengevaluasi kondisi keuangan perusahaan, investor dapat melakukannya
dengan menghitung rasio keuangan perusahaan yaitu Earning Per Share (EPS).
Menurut Darmaji dan Fakhruddin (2006:195) mendefinisikan bahwa “Laba
Per Saham sebagai rasio yang menunjukkan bagian laba untuk setiap saham.
Earning Per Share menggambarkan profitabilitas perusahaan yang tergambar pada
setiap lembar saham.” Sedangkan Earning Per Share (EPS) menurut Brigham dan
Houston (2010) yang diterjemahkan Ali Akbar Yulianto, “Earning Per Share (EPS)
adalah pendapatan bersih yang tersedia dibagi jumlah lembar saham yang beredar.”
Laba merupakan alat ukur utama kesuksesan suatu perusahaan, karena itu para
pemodal seringkali memusatkan perhatian pada besarnya Earning Per Share (EPS)
dalam melakukan analisis saham.
27
Pengertian Earning Per Share (EPS) menurut Kasmir (2012:207)
merupakan “Rasio untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam mencapai
keuntungan bagi pemegang saham.” Semakin tinggi nilai EPS tentu saja
menggembirakan pemegang saham karena semakin besar laba yang disediakan
untuk pemegang saham. Rasio laba menunjukkan dampak gabungan dari likuiditas
serta manajemen aktiva dan kewajiban terhadap kemampuan perusahaan
menghasilkan laba. Jadi, disimpulkan bahwa EPS merupakan suatu rasio yang
menunjukkan jumlah laba yang didapatkan dari setiap lembar saham yang ada.
Berikut rumus dalam menghitung EPS menurut Kasmir (2012:207):
𝐸𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑃𝑒𝑟 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒 =𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝐵𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟
2.1.6.3 Return On Assets (ROA)
Pengertian Return On Assets menurut Kasmir (2014:201) yaitu “return on
total assets merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva
yang digunakan dalam perusahaan”. Menurut Brigham dan Houston (2010:148)
mengatakan bahwa ROA adalah “rasio laba bersih terhadap total aset mengukur
pengembalian atas total aset”. Menurut Fahmi (2012:98) pengertian Return On
Assets yaitu: Return On Assets sering juga disebut sebagai return on investment,
karena ROA ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu
memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan dan
investasi tersebut sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditanamkan atau
ditempatkan.
Berdasarkan definisi menurut para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa Return On Assets (ROA) merupakan rasio profitabilitas yang digunakan
untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan
memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Menurut Brigham & Houston (2010:148)
dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 =𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡𝑥 100%
2.1.6.4 Umur Perusahaan
Umur perusahaan menggambarkan seberapa lama perusahaan tersebut
beroperasi, artinya menggambarkan kemampuan perusahaan dalam bertahan hidup.
28
Menurut Daily et al (2003), perusahaan yang kurang berpengalaman (perusahaan
baru) akan memiliki lebih sedikit data keuangan tahunan yang dipublikasikan dan
kecil kemungkinannya telah dinilai oleh analis keuangan. Hal ini mengakibatkan
tingkat risiko pada perusahaan baru akan lebih besar.
Semakin lamanya umur perusahaan, maka semakin banyaknya informasi
yang diserap oleh masyarakat. Pada kenyataanya, perusahaan yang telah lama
berdiri akan mempunyai publikasi perusahaan lebih banyak dibandingkan dengan
perusahaan yang masih baru. Dengan adanya pulikasi yang luas akan
mempermudah investor dalam memperoleh informasi. Investor dapat
memanfaatkan informasi tersebut untuk mengurangi adanya asimetri informasi
sehingga memperkecil ketidakpastian yang ada di pasar, yang pada akhirnya dapat
mengurangi tingkat Underpricing.
2.1.6.5 Ukuran Perusahaan
Besarnya ukuran suatu perusahaan mencerminkan skala ekonomi
perusahaan tersebut. Dengan skala ekonomi yang besar, diharapkan perusahaan
mampu bertahan dalam waktu yang lama. Menurut Yasa (2008), Ukuran
perusahaan dapat dilihat dari jumlah total aset yang dimiliki perusahaan. Semakin
besar total aset akan mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan baik dan memiliki
prospek dimasa yang akan datang.
Perusahaan besar dapat mengurangi ketidakpastian bagi calon investor,
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil (Daily et al, 2003).
Perusahaan yang berskala besar umunya akan banyak diketahui oleh masyarakat,
dibanding dengan perusahaan yang berskala kecil. Dengan begitu, investor akan
semakin mudah untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan tersebut,
sehingga dapat mengurangi terjadinya asimetri informasi.
Prospek yang di tunjukkan oleh perusahaan berskala besar, serta banyaknya
informasi yang tersedia akan mengurangi ketidakpastian yang dapat terjadi dimasa
yang akan datang. Hal ini akan memudahkan investor dalam mengambil keputusan
investasi. Atau dapat dikatakan perusahaan dengan skala besar akan memiliki
ketidakpastian yang kecil, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
Underpricing.
29
2.1.6.6 Presentase Saham Yang Ditawarkan
Persentase saham yang ditawarkan ke publik dilihat dari jumlah saham yang
ditawarkan pada saat IPO. Besarnya persentase saham yang ditawarkan perusahaan
akan mempengaruhi besarnya informasi yang ada dipasar. Menurut Dita (2013),
Proporsi dari saham yang ditahan dari pemegang saham lama (emiten), dapat
menunjukan adanya aliran informasi dari emiten ke calon investor. Semakin besar
proporsi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama (emiten) semakin
banyak informasi privat (ketidakterbukaan) yang dimiliki oleh pemegang saham
lama.
Entrepreneur (pemilik sebelum go public) akan tetap menginvestasikan
modal pada perusahaannya apabila mereka yakin akan prospek pada masa
mendatang. Pemilik tidak akan menginvestasikan modalnya pada perusahaan lain
bila investasi di perusahaannya lebih baik (Leland & Phyle (1977) dalam Yasa,
(2008)). Informasi tingkat kepemilikan saham oleh entrepreneur akan digunakan
oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek perusahaannya baik (Yasa, 2008).
Semakin tingginya jumlah saham yang ditahan oleh pemilik lama (semakin rendah
jumlah saham yang akan ditawarkan) mengisyaratkan bahwa kinerja dan prospek
dari perusahaan dalam kondisi yang baik. Hal tersebut akan mengurangi tingkat
ketidakpastian di masa yang akan datang, sehingga akan memperkecil
kemungkinan terjadinya Underpricing.
2.1.6.7 Inflasi
Menurut Boediono (1999) inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga
untuk menaik secara menyeluruh dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau
dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
mengakibatkan kenaikan pada sebagian besar harga barang-barang lain yaitu harga
makanan, harga makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, harga sandang,
harga kesehatan, harga pendidikan, rekreasi, dan olahraga, harga transportasi,
komunikasi, dan jasa keuangan. Dari definisi tersebut, ada tiga komponen yang
harus dipenuhi agar dapat dikatakan terjadi inflasi, yaitu :
a. Kenaikan harga, yaitu apabila harga suatu komoditas menjadi lebih
tinggi dari harga periode sebelumnya.
30
b. Bersifat umum, yaitu kenaikan harga komoditas secara umum yang
dikonsumsi masyarakat bukan merupakan kenaikan suatu komoditas
yang tidak menyebabkan harga naik secara umum.
c. Berlangsung terus menerus, kenaikan harga yang bersifat umum juga
belum akan memunculkan inflasi, jika terjadi sesaat misalnya kenaikan
harga pada saat lebaran atau tahun baru bukan merupakan inflasi.
Kebalikan dari inflasi adalah deflasi. Deflasi adalah suatu keadaan dimana
jumlah barang yang beredar melebihi jumlah uang yang beredar sehingga harga
barang-barang menjadi turun, dan nilai uang menjadi naik.
Tingkat inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga-harga secara
menyeluruh (Hardi, 2009). Pada saat inflasi sedang tinggi harga barang secara
keseluruhan akan mengalami kenaikan. Kondisi ini membuat masyarakat menjadi
lebih selektif dalam membelanjakan uangnya termasuk dalam hal investasi. Harga
barang yang meningkat akan menyebabkan perdagangan menjadi lesu dan
keuntungan perusahaan menjadi turun. Menurut Ang (1997:19.11) inflasi yang
tinggi menyebabkan menurunnya keuntungan suatu perusahaan, sehingga
menyebabkan efek ekuitas menjadi kurang kompetitif. Berdasarkan teori signaling,
penurunan keuntungan perusahaan dan menurunnya efek ekuitas akan
menyebabkan kegiatan permintaan di pasar modal ikut menurun. Menurunnya
permintaan akan berdampak pada harga saham di pasar sekunder yang mengalami
penurunan. Akibatnya, harga saham di pasar perdana akan lebih tinggi dari pasar
sekunder.
2.1.6.8 Kurs Nilai Tukar
Beberapa pengertian kurs di kemukakan beberapa tokoh antara lain,
menurut Krugman (1999) kurs atau exchange rate adalah sebuah mata uang dari
suatu negara yang diukur atau dinyatakan dalam mata uang lainnya. Kurs
memainkan peranan penting dalam keputusan-keputusan pembelanjaan, karena
kurs memungkinkan kita menerjemahkan harga-harga dari berbagai negara
kedalam satu bahasa yang sama. Bila semua kondisi lainnya tetap, depresiasi mata
uang dari suatu negara terhadap segenap mata uang lainnya (kenaikan harga valuta
asing bagi negara yang bersangkutan) menyebabkan ekspornya lebih murah dan
impornya lebih mahal. Sedangkan apresiasi (penurunan harga valuta asing di negara
31
yang bersangkutan) membuat ekspornya lebih mahal dan impornya lebih murah.
(Hady, 2001) Valas atau foreign exchange atau foreign currency sendiri diartikan
sebagai mata uang asing dan alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk
melakukan atau membiayai transaksi ekonomi dan keuangan internasional atau luar
negeri dan biasanya mempunyai catatan kurs resmi pada Bank Sentral atau Bank
Indonesia.
Kurs merupakan harga dari mata uang luar negeri. Kurs rupiah terhadap
dolar AS memainkan peranan sentral dalam perdagangan internasional, karena kurs
rupiah terhadap dolar AS memungkinkan kita untuk membandingkan semua harga
barang dan jasa yang dihasilkan berbagai negara (Triyono, 2008). Nilai tukar rupiah
(kurs) yang berubah akan mempengaruhi harga barang yang masuk dan keluar dari
Indonesia. Pengaruh kurs membawa dampak secara nasional pada industri dalam
negeri. Pergerakan kurs yang dinamis dapat diperdagangkan sehingga menjadi
salah satu pilihan investasi (Yolana dan Martani, 2005). Dengan adanya
kemungkinan bahwa kurs bisa diperdagangkan maka artinya ada alternatif bagi
investor dalam melakukan investasi. Investor yang mengalihkan investasinya ke
perdagangan kurs akan berdampak pada menurunnya permintaan di pasar modal.
Menurunnya kurs rupiah terhadap mata uang asing memiliki pengaruh negatif
terhadap ekonomi dan pasar modal (Sunariyah, 2004:22). Menurut Ang
(1997:19.11) melemahnya rupiah memberikan pengaruh negatif terhadap pasar
ekuitas, karena menyebabkan pasar ekuitas menjadi tidak mempunyai daya tarik.
Artinya apabila nilai rupiah naik maka permintaan saham di pasar sekunder akan
meningkat, sehingga harga di pasar perdana akan rendah atau terjadi Underpricing.
2.1.6.9 Bunga Bank Indonesia
Penetapan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
mencapai sasaran kebijakan moneter. Tingkat suku bunga BI akan mempengaruhi
tingkat suku bunga kredit perbankan dan bunga deposito yang berakibat pada
keputusan masyarakat dalam berinvestasi.
Meningkatnya tingkat bunga akan meningkatkan harga kapital sehingga
memperbesar biaya perusahaan, sehingga terjadi perpindahan investasi dari saham
ke deposito atau fixed investasi lainnya (Sunariyah, 2004:22). BI rate adalah suku
bunga yang dikeluarkan oleh bank indonesia selaku bank sentral indonesia sebagai
32
acuan bagi bank bank di indonesia untuk menentukkan bunga perbankan untuk
kredit dan deposito, serta mengatur tentang struktur tenor operasi moneter dalam
pengendalian inflasi khusunya selama 360 hari. Namun sejak tahun 2016, Bank
Indonesia mengubah Bi rate menjadi BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Dikutip dari
bi.go.id Instrumen BI 7-day (Reverse) Repo Rate digunakan sebagai suku bunga
kebijakan baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan
sektor riil. Instrumen BI 7-Day Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki
hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau
diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya
penggunaan instrumen repo. Dengan penggunaan instrumen BI 7-day (Reverse)
Repo Rate sebagai suku bunga kebijakan baru, terdapat tiga dampak utama yang
diharapkan. Pertama, menguatnya sinyal kebijakan moneter dengan suku bunga
(Reverse) Repo Rate 7 hari sebagai acuan utama di pasar keuangan. Kedua,
meningkatnya efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada
pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga, terbentuknya
pasar keuangan yang lebih dalam, khususnya transaksi dan pembentukan struktur
suku bunga di pasar uang antarbank (PUAB) untuk tenor 3-12 bulan. Berdasarkan
teori signaling, tingkat suku bunga akan mempengaruhi keputusan investor untuk
memilih investasi yang lebih menguntungkan. Keputusan investor untuk
mengalihkan investasi dari pasar modal akan membuat permintaan saham menurun.
Hal ini akan membuat harga saham di pasar sekunder mengalami penurunan nilai,
sehingga harga saham perdana menjadi lebih tinggi (tingkat Underpricing semakin
rendah).
2.1.7 Kinerja Saham
Kinerja saham merupakan hasil dan risiko yang dapat diperoleh melalui
aktivitas investasi saham yang diukur dengan return dalam periode waktu tertentu.
Penilaian kinerja saham berfungsi untuk menilai keberhasilan suatu saham.
Pengukuran kinerja saham dapat dilakukan dengan menggunakan return saham
yang dapat dihitung dengan menjumlahkan semua aliran kas yang diterima
(penjumlahan dividen selama periode investasi dengan selisih perubahan nilai
pasar) dan kemudian dibagi dengan nilai pasar saham pada awal periode.
Penawaran umum perdana merupakan salah satu faktor dalam mengukur kinerja
33
suatu saham, hal tersebut disebabkan karena dengan adanya penawaran umum
perdana maka terbentuklah suatu return sebagai imbalan atas waktu dan risiko yang
terkait dengan investasi tersebut.
Menurut Tandelilin (2007), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
mengevaluasi kinerja saham antara lain:
1. Tingkat risiko
Dalam mengevaluasi kinerja saham harus diperhatikan apakah
tingkat return yang diperoleh sudah cukup memadai untuk menutup risiko
yang harus ditanggung, dimana semakin tinggi tingkat risiko maka semakin
tinggi pula tingkat return yang diharapkan.
2. Periode waktu
Seperti halnya tingkat risiko, periode waktu juga memengaruhi
return suatu saham. Oleh sebab itu, dalam melakukan penilaian kinerja
suatu saham juga perlu memperhatikan faktor periode waktu yang
diinginkan.
3. Penggunaan faktor duga (bencmark) yang sesuai
Dalam melakukan penilaian saham juga perlu membandingkan
return saham tersebut dengan return yang biasa dihasilkan oleh saham lain
yang sebanding. Saham yang dipilih dengan patok duga (bencmark) harus
dapat secara akurat mencerminkan tujuan yang diinginkan oleh investor.
4. Tujuan investasi
Tujuan investasi yang berbeda akan mempengaruhi kinerja saham
yang dinilainya. Misal, jika investasi adalah untuk pertumbuhan jangka
panjang maka saham yang dimiliki akan relatif lebih kecil dari kinerja
saham yang ada untuk jangka pendek.
2.1.8 Return Saham
Dalam melakukan investasi investor memiliki tujuan untuk mendapatkan
hasil atau keuntungan yang sering disebut dengan return. Setiap investor memiliki
tujuan untuk memaksimalkan return dari investasinya. Semakin besar return yang
dihasikan dari suatu investasi maka semakin besar pula daya tarik dari investasi
tersebut bagi investor dengan tetap memperhitungkan kemungkinan risiko yang
34
akan terjadi. Pengukuran return investasi yang dapat digunakan adalah dengan
return total, relatif return, kumulatif return, dan return disesuaikan.
Abnormal return dapat diterjemahkan sebagai return taknormal atau return
tak wajar. Return taknormal terjadi karena ada informasi baru atau peristiwa baru
yang mengubah nilai perusahaan dan direaksi oleh investor dalam bentuk kenaikan
atau penurunan harga saham (Jogiyanto, 2010: 556). Menurut (Husnan, 2009: 269)
abnormal return adalah selisih antara tingkat keuntungan sebenarnya dengan
tingkat keuntungan yang diharapkan. Abnormal return sering sekali digunakan
sebagai dasar dalam pengujian efisiensi pasar. Pasar akan dikatakan efisien apabila
tidak ada satupun pelaku pasar yang dapat menikmati abnormal return dalam
jangka waktu yang cukup lama. Model yang sering dipergunakan dalam
menghitung abnormal return adalah market model atau single index model dan
Capital Asset Pricing Model (Husnan, 2009: 270).
Perhitungan abnormal return dapat dilakukan dengan cara menghitung
selisih antara return sesungguhnya yang terjadi dengan return ekspektasi yang
dapat dihitung dengan beberapa cara sebagai berikut (Jogiyanto, 2010: 580):
1. Mean Adjusted Model
Model ini membagi return realisasi dengan periode estimasi. Model
ini menganggap return ekspektasi bernilai konstan yang sama dengan return
realisasi selama periode estimasi.
2. Market Model
Perhitungan return ekspektasi dengan model pasar (market model)
ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu:
a. Membentuk model ekspektasi dengan menggunakan data realisasi
selama periode estimasi.
b. Menggunakan model ekspektasi ini untuk mengestimasi return
ekspektasi di periode jendela. Model ekspektasi ini dapat dibentuk
menggunakan teknik regresi OLS (Ordinary Least Square).
3. Market-Adjusted Model
Model ini menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk
mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat
tersebut. Dengan menggunakan model ini, maka tidak perlu menggunakan
35
periode estimasi untuk membentuk model estimasi, karena return sekuritas
yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar.
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
No. Nama Peneliti Variabel Perbedaan Hasil 1. Isak Cornelis
Rust (2015) Variabel
Independen :
ROA,
ROE,
PER,
DER,
Sektor Elekronik
dan Teknologi
Variabel
Dependen :
Underpricing
Kinerja Saham
Variabel
Independen :
EPS, Umur, Ukuran,
Presntase saham,
Inflasi, kurs Nilai
Tukar dan Bunga
Bank
Variabel Dependen :
Tidak Ada
Hasil penelitian bahwa
tingkat Underpricing pada
hari pertama, minggu
pertama dan bulan pertama
masing-masing 23,0%,
22,1% dan 17,3%. Rasio
keuangan menunjukkan
bahwa IPO dengan rasio
utang mengalami
underpriced. Rasio lancar
dan Return On Assets (ROA)
tidak menghasilkan
signifikansi secara statistik
dalam memprediksi
Underpricing, sedangkan
Return on Equity (ROE)
yang signifikan terhadap
Underpricing PER yang
sangat tinggi juga mengalami
underpriced. Sektor
elektronik dan teknologi
menghasilkan tingkat
pengembalian tertinggi. Dan
perusahaan yang lebih kecil
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
Underpricing.
2. Aulia (2014) Variabel
Independen :
ROI, Umur
Perusahaan, Ukuran
Perusahaan,
Presentase Saham
Ditawarkan
Variabel
Dependen :
Underpricing
Variabel
Independen :
DER, EPS, ROA,
Inflasi, Kurs Nilai
Tukar, dan Bunga
Bank
Variabel Dependen :
Kinerja Saham
ROI, Umur, Ukuran dan
Presentase Tidak
Berpengaruh terhadap Initial
Return secara parsial
ROI, Umur, Ukuran dan
Presentase secara simultan
tidak berpengaruh terhadap
Initial Return.
3. Racmadanto dan
Raharja (2014) Variabel
Independen :
Inflasi, Kurs Tukar,
dan BI Rate
Variabel
Dependen :
Underpricing
Variabel
Independen :
DER, EPS, ROA,
Umur, Ukuran dan
Presntase Saham
Ditawarkan
Variabel Dependen :
Kinerja Saham
Inflasi, kurs Tukar dan BI
Rate secara Parsial tidak
berpengaruh terhadap
Undepricing.
36
No. Nama Peneliti Variabel Perbedaan Hasil 4. Retno dan Intan
(2013) Variabel
Independen :
DER, ROA, EPS,
Umur, Ukuran dan
Presentase Saham
ditawarkan
Variabel
Dependen :
Underpricing
Variabel
Independen Inflasi,
Kurs Nilai Tukar, dan
Bunga Bank
Variabel Dependen :
Kinerja Saham
EPS memiliki pengaruh
signifikasi terhadap
Underpricing secara parsial
DER, ROA, EPS secara
simultan tidak berpengaruh
terhadap Undeprricing.
5. Like (2013) Variabel
Independen :
Umur Perusahaan,
Ukuran Perusahaan,
Reputasi
Underwriter, dan
Reputasi Auditor
Variabel
Dependen :
Underpricing
Kinerja Saham
Variabel
Independen :
DER, EPS, ROA,
Presentase Saham,
Inflasi, Kurs Nilai
Tukar, dan Bunga
Bank
Variabel Dependen :
Tidak ada
Ukuran Perusahaan dan
Reputasi Underwritter
berpengaruh signifikan
terhadap Underpricing dan
Kinerja Saham.
Variabel lainnya tidak
berpengaruh terhadap
Underpricing dan Kinerja
saham
6. Wijayanto
(2010) Variabel
Independen :
EPS, Proceed,
ROA, Financial
Leverage
Variabel
Dependen :
Underpricing
Variabel
Independen :
DER,Umur, Ukuran,
Inflasi, Kurs Nilai
Tukar, dan Bunga
Bank
Variabel Dependen :
Kinerja Saham
EPS dan Proceed memiliki
Pengaruh signifikan dan
Negatif terhadap Initial
Return
ROA dan Financial Leverage
tidak Berpengaruh terhadap
Initial return.
7. Lucky dan Roy
(2008) Variabel
Independen :
Reputasi
Underwriter
Reputasi Auditor
Presentase
Penawaran
EPS
Variabel
Dependen :
Underpricing
Kinerja Saham 1
Bulan
Kinerja Saham 1
Tahun
Variabel
Independen :
DER, ROA, Umur,
Ukuran, Inflasi, Kurs
Nilai Tukar, dan
Bunga Bank
Variabel Dependen :
Tidak ada
Presentase saham
berpengaruh terhadap
Undepricing dan Kinerja
Saham 1 Bulan.
EPS berpengaruh terhadap
Kinerja saham 1 Bulan dan 1
tahun
Variabel lain tidak
berpengaruh terjadap
undepricing, Kinerja Saham
1 bulan dan Kinerja saham 1
Tahun
EPS tidak berpengaruh
terhadap anderpricing
Presentase Saham tidak
berpengaruh etrhadap
Kinerja Saham 1 Tahun
8. Ardiansyah
(2004) Variabel
Independen :
ROA, EPS, DER,
Proceeds,
Pertumbuhan Laba,
CR, Ukuran
Perusahaan,
reputasi penjamin
emisi, reputasi
Variabel
Independen :
Inflasi, kurs Nilai
Tukar, Bunga Bank
Variabel Dependen :
Tidak ada
EPS dan kondisi
perekonomia berpengaruh
signifikan
terhadap initial return dan
Kinerja saham 30 hari
setelah IPO;
financial leverage
berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja saham 30
37
auditor, umur
perusahaan jenis
industri dan kondisi
perekonomian
Variabel
Dependen :
Underpricing
Kinerja Saham
hari setelah IPO; besaran
perusahaan tidak berhasil
ditunjukkan sebagai variabel
moderat terhadap hubungan
antar variabel keuangan dgn
initial return dan kinerja
saham 30 hari setelah IPO
Sumber : Penulis, 2019
38
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
This page is intentionally left blank
39
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Penelitian
Gambar 3.1 Diagram Penelitian
40
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini mengunakan model desain event study, dimana pada
pengerjaannya dilakukan melalui pengamatan suatu peristiwa tertentu dengan
melihat aktifitas pergerakkan nilai perusahaan yang melakukan penawaran umum
perdana di bursa efek indonesia. Dari segi eksplansinya, penelitian ini tergolong
penelitian asosiatif yaitu mengetahui pengaruh ataupun juga hubungan antara dua
variabel atau lebih. Sedangkan berdasarkan jenis data yang digunakan dalam
penelitian termasuk data kuantitatif, yaitu data yang dapat diinput dalam
perhitungan statistika.
3.3 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional Penelitian
3.3.1 Variabel Penelitian
Underpricing perusahaan yang melakukan IPO merupakan perbedaan
antara harga penawaran perdana dengan harga penutupan saham perusahaan
IPO di pasar sekunder pada hari pertama yang cenderung lebih tinggi.
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel
independen (X) dan variabel dependen (Y)
1. Variabel Independen (X)
Variabel independen merupakan variabel-variabel yang akan
mempengaruhi variabel dependen. Dalam penelitian ini variable
independen yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi Underpricing diantaranya: Debt To Equity Ratio (DER),
Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan,
Ukuran Perusahaan, Presentase saham yang ditawarkan, Inflasi, Bunga
Bank Indonesia, dan Kurs Nilai Tukar.
2. Variabel Dependen (Y)
Variabel dependen merupakan variable yang dipengaruhi oleh varibel
independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah :
a. Underpricing yang diukur dengan initial return (IR), berupa selisih
antara harga saham pada hari pertama penutupan (closing price) di
pasar sekunder dengan harga penawaran umum perdana dibagi
dengan harga penawaran umum perdana (offering price). Dalam
41
perhitungannya, Initial Return (IR) dinyatakan dalam persentase
sebagai berikut:
𝐼𝑅 =𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 − 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑎𝑤𝑎𝑟𝑎𝑛
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑎𝑤𝑎𝑟𝑎𝑛𝑥100
b. Kinerja saham adalah hasil dan risiko yang dapat diperoleh melalui
aktivitas investasi saham yang diukur dengan return dalam periode
waktu tertentu. Ukuran kinerja saham dalam penelitian ini adalah
Abnormal Return, yaitu selisih antara tingkat keuntungan
sebenarnya dengan tingkat keuntungan yang diharapkan yang
diambil dalam periode 30 hari sesuah perusahaan melalukan IPO.
Dalam kondisi kenaikan kinerja saham, abnormal return yang
dihasilkan dari saham perdana adalah positif dan mengalami
kenaikan sehingga akan sangat menguntungkan bagi pihak investor
karena return yang akan didapatkan akan menjadi lebih banyak.
𝐴𝑅𝑡 = 𝑖𝑅𝑡 − 𝑀𝑅𝑡
Keterangan :
ARt = Abnormal Return Periode t
iRt = Return Saham periode t
MRt = Market return Periode t
Perhitungan untuk Art menurut (Jogiyanto, 2009) terbagi menjadi
2, yaitu perhitungan awal atas return saham periode t (menghitung
return saham dari data harga saham perdana dan data harga saham
penutupan akhir hari ke-30 perdagangan setelah penawaran umum
perdana) yang dirumuskan dengan :
𝑖𝑅𝑡 =𝑃𝑖𝑡 − 𝑃𝑖,𝑡−1
𝑃𝑖,𝑡−1
Keterangan :
iRt = Return Saham periode t
Pit = Harga Saham Penutupan Pada Hari ke t
Pi,t-1 = Harga Saham i pada hari ke t (Harga perdana)
42
Kemudian, perhitungan atas market return yang menggunakan data
Indeks Harga Saham hariang mulai tahun 2010-2018 selama 30 ahri
setelah emiten melakukan IPO dengan rumusan sebagai berikut
(jogiyanto,2010):
𝑀𝑅𝑡 =𝐼𝐻𝑆𝐺𝑝𝑎𝑑𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑡 − 𝐼𝐻𝑆𝐺 𝑝𝑎𝑑𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑡−1
𝐼𝐻𝑆𝐺 𝑝𝑎𝑑𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑡−1
3.3.2 Variabel Operasional
Tabel 3.1 Variabel Operasional
No. Variabel Indikator Definisi Operasional Pengukuran
Variabel Bebas (Independen)
Faktor Internal
1. Debt To
Equity Ratio
(DER)
Hutang,
Ekuitas
Perbandingan atas
hutang dan ekuitas
dalam pendanaan
perusahaan
𝐷𝐸𝑅 =𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
2. Earning Per
Share (EPS)
Pendapatan,
Saham
Beredar
Besarnya Pendapatan
setiap lembar saham
atau pendapatan
dibanding dengan
jumlah saham
perusahaan yang
beredar
𝐸𝑃𝑆 =𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝐵𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟
3. Return On
Assets (ROA)
Laba setelah
pajak,
Total Aset
Kemampuan
perusahaan
menghasilkan laba di
masa yang akan datang.
𝑅𝑂𝐴 =𝐸𝐴𝑇
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
4. Umur
Perusahaan
Tahun
Pendirian,
Tahun IPO
Tanggal akta pendirian
sampai dengan
perusahaan melakukan
penawaran saham.
𝑈𝑚𝑢𝑟= 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 𝐼𝑃𝑂 − 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛
5. Ukuran
Perusahaan
Total Aset Nilai total aset dari
laporan keunagan
perusahaan terakhir
sebelum perusahaan
melakukan penawaran
Saham.
𝑈𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
6. Presentase
saham
ditawarkan
Saham yang
ditawarkan,
Total Saham
Perusahaan
Presentase saham yang
ditawatkan dengan
membandingkan antara
jumlah saham yang
ditawarkan dengan
modal ditempatkan dan
disetor penuh.
𝑃𝑆𝐷
=𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑎𝑤𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑎ℎ𝑎𝑚 𝐵𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟𝑥100
43
No. Variabel Indikator Definisi Operasional Pengukuran
Variabel Bebas (Independen)
Faktor Eksternal
7. Inflasi Nilai Inflasi Tingkat inflasi pada
saat perusahaan IPO
yang berasal dari Bank
Indonesia
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖= 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑎𝑑𝑎 𝑆𝑎𝑎𝑡 𝐸𝑚𝑖𝑡𝑒𝑛 𝐼𝑃𝑂
8. Bunga Bank
Indonesia
Bunga Bank
Indonesia
selama 1
Bulan pada
saat IPO
Rata-rata atas tingkat
suku bunga BI satu
bulan IPO
𝐴𝑣 𝐵𝐼 𝑅𝑎𝑡𝑒
=∑ 𝐵𝐼 𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑃𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑝𝑜
∑ 𝑁 𝐵𝐼 𝑅𝑎𝑡𝑒
9. Kurs Nilai
Tukar
Kurs Nilai
Tukar
Rupiah
terhadap
dolar pada
saat
perusahaan
IPO
Rata-Rata Nilai Tukar
Rupiah Terhadap Dolar
AS (USD) yang dilihat
Kurs tengah pada saat
melakukan IPO
𝐴𝑣 𝐾𝑢𝑟𝑠 𝑈𝑆𝐷
=∑ 𝐾𝑢𝑟𝑠 𝐵𝑒𝑙𝑖 − 𝐽𝑢𝑎𝑙
2
Variabel Terikat (Dependen)
10. Underpricing Initial
Return
Harga saham pada saat
penutupan pasar
sekunder pada
penawaran umum
perdana dikurangi
harga IPO
𝐼𝑅
=𝐶𝑙𝑜𝑠𝑒 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 − 𝐼𝑃𝑂 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒
𝐼𝑃𝑂 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒𝑥100
11. Kinerja
Saham
Abnormal
Return
tingkat keuntungan
sebenarnya dengan
tingkat keuntungan
yang diharapkan
𝐴𝑅𝑡 = 𝑅𝑖𝑡 − 𝑀𝑅𝑡
Sumber : Penulis, 2019
3.4 Kerangka Berpikir
Pada proses awal penawaran umum perdana, keputusan penetapan harga
saham dilakukan atas dasar kesepakatan oleh perusahaan emiten dan penjamin
emisi (Underwriter). Namun, perbedaaan informasi yang asimetris yang diterima
publik dalam hal ini investor, berampak pada perubahan harga yang berfluktuatif
sehingga menyebabkan kenaikan maupun penurunan harga setelah saham
diperdagangkan di pasar sekunder. Kenaikan harga yang lebih tinggi di pasar
sekunder menyebabkan harga saham lebih rendah dari harga penawaran sehingga
disebut sebagai Underpricing. Sedangkan sebaliknya jika harga saham di pasar
sekunfer lebih rendah dibandingkan dengan pasar perdana maka disebut sebagai
overpricing. Dalam hal ini, fenomena underpricing merupakan kerugian bagi
emiten yang melakukan penawaran karena ternyata penerimaan atas nilai
perusahaan jauh lebih tinggi dan dari segi investor, mereka memperoleh
44
keuntungan melalui selisih harga atau initial return dari pasar perdana ke pasar
sekunder. Dalam Hal ini, saran terhadap harga yang ditawarkan kepada emiten
sebelum IPO adalah upaya untuk meminimalkan resiko kemungkinan saham tidak
laku dijual serta adanya bentuk tipe penjaminan full commttement yaitu ketika
saham tidak laku dipasar maka penjamin emisi (Underwriter) harus membeli saham
yang tidak terjual tersebut.
Asimetri informasi yang diterima oleh publik merupakan suatu keadaan
dimana terdapat informasi yang tidak sama atau seimbang baik dari segi kualitas
maupun kuantitas antara emiten dan Underwriter yang diserap oleh media massa,
sekelompok investor ataupun investor individu kepada masyarakat luas sehingga
meciptakan banyak presepsi dan spekulasi terhadap perusahaan IPO. Beberapa
faktor juga menjadi pendorong bagi investor untuk melakukan investasi, baik data
dari internal perusahaan berupa informasi prospektus, yaitu gambaran umum
perusahaan dan rencaan dana penggunaan IPO, laporan keuangan dan laporan
manajemen, maupun data eksternal perusahaan secara luas yaitu kondisi ekonomi
makro berupa inflasi, kurs nilai tukar dan bunga Bank Indonesia yang dinilai dan
ditawrakan kepada investor global untuk masuk kedalam bursa efek indonesia, yang
akan mendorong terciptanya tingginya permintaan setelah perdagangan pasar
perdana pada pasar sekunder sehingga terjadinya Underpricing.
Konsep Kerangka Berpikir
Gambar 3.2 Kerangka Berpikir
Sumber : Penulis, 2019
45
3.5 Hipotesis 1 : Pengaruh Faktor Internal terhadap Underpricing
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no 1 tahun 2015
menjelaskan bahwa tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi
mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas yang bermanfaat
bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan
ekonomi. Selain, laporan keuangan, perusahaan yang melakukan penawraan umum
perdana (IPO) wajib menyertakan prospektus sebagai publikasi informasi terkait
aktifitas pencatatan saham yang didalamnya menerangkan terkait bisnis dan proses
bisnis perusahaan, rencana penawaran, risiko usaha, rencana pengunaan dana dan
lain lain. Didalam laporan keuangan dan prospektus terdapat beberapa informasi
yang dibutuhkan didalam proses analisis data dalam pengerjaan variabel penelitian.
Dalam hal ini, Pengujian secara menyeluruh terkait faktor internal dilakukan
secara silmutan dan parsial dengan variabel yang digunakan untuk mengukur dari
faktor internal adalah sebagai berikut :
Debt to Equity Ratio (DER) yang dilihat dari financial leverage, yaitu
kemampuan perusahaan untuk mengukur tingkat hutang terhadap modal,
karena semakin tinggi DERnya, memberikan signal negatif terhadap
investor yang mengakibatkan kecenderungan menghindari saham dengan
DER tinggi karena kemungkinan akan mengalami penurunan harga.
Laba per saham-EPS (Earning Per Share) merupakan rasio yang
mengukur seberapa besar dividen per lembar saham yang akan dibagikan
kepada investor setelah dikurangi dengan dividen bagi para pemilik
perusahaan. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak
investor yang mau membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga
saham tinggi.
Nilai Return On Assets (ROA) yang semakin tinggi akan menunjukkan
bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang
dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan
dalam menanamkan modalnya. Profitabilitas yang tinggi dari suatu
perusahaan menurut teori signaling akan mengurangi ketidakpastian bagi
46
investor sehingga akan menurunkan tingkat Underpricing (Ghozali,
2007).
Umur perusahaan emiten menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu
bertahan dan menjadi bukti perusahaan mampu bersaing dan dapat
mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian. Perusahaan
yang beroperasi lebih lama mempunyai kenaikan yang lebih besar untuk
menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada
yang baru saja berdiri (Nurhidayati dan Indriantoro, 1998). Dengan
demikian akan mengurangi adanya informasi asimetri dan memperkecil
ketidakpastian pasar yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
Permintaan saham.
Presentase saham yang ditawarkan dapat digunakan sebagai proksi
terhadap faktor ketidakpastian yang akan diterima oleh investor. Hal
tersebut telah dikemukakan oleh Nurhidayati dan Indriantono (1998).
Proposi dari saham yang ditahan dari pemegang saham lama dapat
menunjukan aliran informasi dari saham emiten ke calon investor.
Semakin besar proposi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama
semakin banyak informasi privat yang dimiliki oleh pemegang saham
lama.
Didalam laporan keuangan dan prospektus, variabel-variabel tersebut
memberikan gambaran secara langsung yang dibaca dan dipahami oleh calon
investor terhadap kondisi perusahaan. Hal ini dapat memberikan presepsi yang
menciptakan asimetris informasi didalam pengambilan keputusan investasi yang
dilakukan oleh investor terhadap perusahaan yang melakukan penawaran umum
perdana. Namun, asimetris tersebut dapat diselesaikan melalui publikasi yang dapat
dipastikan kebenarannya karena bersumber dari perusahaan emiten, dimana laporan
ekuangan telah melalui proses audit oleh akuntan publik dan prospektus telah
memperoleh peninjauan dari bursa efek indonesia sebelum dilakukan keputusan
izin pencatatan saham. Keyakinan yang posisitif terhadap saham tercatat dan asitris
informasi terkait harapan atas nilai perusahaan tercatat yang masih tergolong
rendah. Membuat permintaan atas saham meningkat, sehingga akan berdampak
47
peristiwa underpricing yaitu pada peningkatan harga saham dipasar sekunder
setelah penawaran umum perdana.
H1 : Faktor Internal berpengaruh terhadap Underpricing.
3.6 Hipotesis 2 : Pengaruh Faktor Internal terhadap Kinerja Saham
Kinerja Saham dalam hal ini, diukur berdasarkan abnormal return, yaitu
selisih antara tingkat keuntungan yang sebenarnya dengan tingkat keuntungan yang
diharapkan. Abnormal return diukur dengan perhitungan nilai initial return hari ke
30 dikurangi dengan nilai adjusted market return hari ke 30. Dalam hal ini jika
nilai keuntungan yang sebenarnya turun dan lebih rendah dari tingkat keuntungan
yang diharapkan maka kinerja saham dikatakan tidak baik, karena nilai abnormal
return negatif atau dalam 30 hari setelah IPO nilai mengalami penurunan dibanding
nilai pasar yang tumbuh lebih tinggi dari harga emiten tersebut. Sebaliknya, jika
nilai abnormal return positif berarti nilai keuntungan sebenarnya, berada lebih
tinggi dari nilai keuntungan yang diharapkan.
Faktor internal sebagai acuan dalam penelitian yang berkaitan dengan
kinerja saham dilakukan juga, melihat laporan keuangan yang berhubungan dengan
kinerja keuangan perusahaan dan prospektus yang mengambarkan bisnis
perusahaan dan rincian yang dibutuhkan dalam proses pencatatan umum perdana.
Peningkatan harga saham ketika IPO dan kinerja saham jangka pendek setelah 30
hari sangat menarik karena berdasarkan hipotesis pasar yang efisien pada bentuk
semikuat (Efficient Market Hypothesis, EMH), para investor seharusnya tidak akan
mendapatkan “abnormal return” atau keadaan underpricing (Hanafi, 1998) dengan
hanya memanfaatkan informasi publik. Menurut Watt dan Zimmerman (1986) pada
pasar semikuat (semistrong form) harga pasar saham seharusnya mencerminkan
semua informasi yang dipublikasikan oleh perusahaan. Dengan demikian initial
return yang positif tidak akan terjadi.
Di samping teori EMH, teori informasi yang asimetrik bisa juga
menjelaskan terjadinya initial return positif pada pasar saham perdana. Dibeberapa
kasus, dalam pencatatan umum perdana karena asimetris informasi yang sering
tercipta dan sumber data terpercaya adalah dari laporan keuangan dan prospektus
48
serta informasi publik terkait perusahaan yang dapat diakses secara bebas melalui
internet. Minat terhadap sebagian emiten akan cenderung berkurang, karena risiko
yang dikhawatirkan terjadi. Saham saham IPO cenderung tidak liquid sehingga
proses naik dan turunnya nilai harga saham sangat mungkin terjadi. Menurut Baron
(1982) initial return positif berhubungan dengan informasi yang dimiliki oleh
penjamin emisi. Penjamin emisi memiliki informasi yang lebih banyak
dibandingkan dengan emiten Untuk memperkecil resikonya karena kewajiban
membeli saham yang tidak laku dalam perjanjian full commitment yang dorongan
untuk peningkatan nilai saham juga akan semakin besar terjadi, untuk mencegah
kerugian penjamin efek dan membuat investor mulai membeli saham tersebut.
Sehingga dalam beberapa hari setelah pencatatan umum perdana harga saham akan
kembali turun karena aksi jual penjamin efek maupun pembentukkan nilai atas
saham yang sebenarnya oleh pelaku pasar.
Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hanafi, Sartono dan
Yarmanto (1996) menunjukkan harga saham di BEJ telah bereaksi secara tidak
wajar dalam menyesuaikan diri terhadap informasi baru, dimana pelaku pasar akan
menilai saham terlalu tinggi dalam bereaksi terhadap kabar baik dan sebaliknya.
Dari penelitian itu pasar membutuhkan waktu relatif lama minimal 22 hari untuk
mencapai keseimbangan. Artinya pada penawaran perdana bila pasar bereaksi
positif maka harga akan cenderung meningkat dan koreksi akan terjadi beberapa
lama. Secara kinerja saham, penelitian tersebut memberikan kemungkinan bahwa
dorongan underpricing terhadap kinerja saham secara abnormal return akan terjadi
jangka panjang dengan koreksi bertahap namun tetap memiliki konsistensi untuk
meningkat karena penilaian pelaku pasar yang meyakini laporan keuangan dan
prospektus yang ditawarkan perusahaan IPO.
Dalam hal ini, variabel yang digunakan untuk mengukur dari faktor internal
adalah :
Debt to Equity Ratio (DER) yang dilihat dari financial leverage, yaitu
kemampuan perusahaan untuk mengukur tingkat hutang terhadap modal,
karena semakin tinggi DERnya, memberikan signal negatif terhadap
49
investor yang mengakibatkan kecenderungan menghindari saham dengan
DER tinggi karena kemungkinan akan mengalami penurunan harga.
Laba per saham-EPS (Earning Per Share) merupakan rasio yang mengukur
seberapa besar dividen per lembar saham yang akan dibagikan kepada
investor setelah dikurangi dengan dividen bagi para pemilik perusahaan.
Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang mau
membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi.
Nilai Return On Assets (ROA) yang semakin tinggi akan menunjukkan
bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan
laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan
dalam menanamkan modalnya. Profitabilitas yang tinggi dari suatu
perusahaan menurut teori signaling akan mengurangi ketidakpastian bagi
investor sehingga akan menurunkan tingkat Underpricing (Ghozali, 2007).
Umur perusahaan emiten menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu
bertahan dan menjadi bukti perusahaan mampu bersaing dan dapat
mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian. Perusahaan
yang beroperasi lebih lama mempunyai kenaikan yang lebih besar untuk
menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada
yang baru saja berdiri (Nurhidayati dan Indriantoro, 1998). Dengan
demikian akan mengurangi adanya informasi asimetri dan memperkecil
ketidakpastian pasar yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
Permintaan saham.
Presentase saham yang ditawarkan dapat digunakan sebagai proksi terhadap
faktor ketidakpastian yang akan diterima oleh investor. Hal tersebut telah
dikemukakan oleh Nurhidayati dan indriantono (1998). Proposi dari saham
yang ditahan dari pemegang saham lama dapat menunjukan aliran informasi
dari saham emiten ke calon investor. Semakin besar proposi saham yang
dipegang oleh pemegang saham lama semakin banyak informasi privat yang
dimiliki oleh pemegang saham lama.
H2 : Faktor Internal berpengaruh terhadap Kinerja Saham.
50
3.7 Hipotesis 3 : Pengaruh Eksternal terhadap Underpricing
Menurut Tandelilin (2010:47), return adalah salah satu faktor yang
mendorong minat investor berinteraksi pada kepemilikan suatu aset pasar modal
dan juga merupakan imbalan atas transaksi investor dalam menanggung risiko atas
investasi yang dilakukannya. Singkatnya return adalah keuntungan yang diperoleh
investor dari dana yang ditanamkan pada suatu investasi. Oleh karena itu, return
sangat penting sebagai salah satu daya tarik bagi investor untuk menanamkan dana
investasinya di pasar modal, Tingkat return yang diperoleh investor dipengaruhi
oleh Faktor Internal dan Eksternal Perusahaan. Faktor Internal merupakan faktor
yang berada di dalam perusahaan sedangkan faktor Eksternal merupakan faktor
yang berada di luar perusahaan. Faktor Eksternal yang mempunyai pengaruh
terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Ketika terjadi perubahan pada faktor Eksternal, investor akan
mengkalkulasi dampaknya, baik yang positif maupun negatif terhadap kinerja
perusahaan beberapa tahun ke depan, kemudian mengambil keputusan membeli
atau menjual saham (Mahmud, 2016).
Keputusan Investasi dengan melihat kondisi faktor eksternal, juga
digunakan untuk pengambilan keputusan pada investasi perusahaan yang
melalukan penawran umum perdana atau IPO. Faktor Eksternal menurut Samsul
(2006.200). mengacu pada Lingkungan ekonomi makro yang terjadi disuatu negara.
Dalam penelitian ini, kondisi makro yang terjadi di indonesia yaitu lingkungan yang
berada di luar perusahaan yang mampu mempengaruhi operasi perusahaan sehari-
hari. Lingkungan ekonomi makro mempelajari perekonomian nasional secara
keseluruhan seperti para konsumen, dunia perbankan, pemerintah, dan dunia usaha.
Lingkungan ekonomi makro yang secara langsung dapat mempengaruhi kinerja
perusahaan maupun kinerja saham diantaranya adalah suku bunga, siklus ekonomi,
inflasi, kebijakan pemerintah terkait dengan perusahaan tertentu, kurs, peraturan
perpajakan, anggaran defisit, tingkat bunga pinjaman luar negeri, kondisi ekonomi
internasional, faham ekonomi, jumlah uang beredar, investasi swasta, neraca
perdagangan dan pembayaran, PrDB.
Faktor Eksternal dalam penelitian ini merupakan bagian dari Ekonomi
Makro yang terdiri aats Inflasi, Kurs Nilai Tukar dan Bunga Bank Indonesia yang
51
dihubungkan mendorong ketidakpastian dalam melakukan investasi. Dalam teori
ekonomi, penurunan BI rate akan juga menurunkan tingkat bunga perbankan walau
terdapat time lag beberapa bulan. Investor yang menalami penurunan tingkat return
di perbankan akan melakukan switching ke instrumen investasi lain khususnya
saham dan sektor riil. BI rate pada sisi lain terkait erat dengan tingkat inflasi.
Undang Undang Bank Indonesia memberikan mandat utama pada BI untuk
menjaga nilai rupiah baik di dalam negeri (inflasi) atau luar negeri (nilai tukar).
Menurut Ang (1997:19.11) inflasi yang tinggi menyebabkan menurunnya
keuntungan suatu perusahaan, sehingga menyebabkan efek ekuitas menjadi kurang
kompetitif.Sedangkan, nilai tukar rupiah (kurs) yang berubah akan mempengaruhi
harga barang yang masuk dan keluar dari Indonesia. Pengaruh kurs membawa
dampak secara nasional pada industri dalam negeri. Pergerakan kurs yang dinamis
dapat diperdagangkan sehingga menjadi salah satu pilihan investasi (Yolana dan
Martani, 2005).Lalu, meningkatnya tingkat bunga akan meningkatkan harga kapital
sehingga memperbesar biaya perusahaan, sehingga terjadi perpindahan investasi
dari saham ke deposito atau fixed investasi lainnya (Sunariyah, 2004:22).
Berdasarkan uraian tersbut, melalui teori signaling dapat disimpulkan bahwa
ketidakpastian pasar yang berdampak pada minat investasi di pasar modal
mendorong berkurangnya daya beli atas produk saham IPO yang mengurangi
terjadinya lonjakkan Permintaan.
Tingkat inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga-harga secara
menyeluruh (Hardi, 2009). Pada saat inflasi sedang tinggi harga barang
secara keseluruhan akan mengalami kenaikan. Kondisi ini membuat
masyarakat menjadi lebih selektif dalam membelanjakan uangnya termasuk
dalam hal investasi. Harga barang yang meningkat akan menyebabkan
perdagangan menjadi lesu dan keuntungan perusahaan menjadi turun.
Menurut Ang (1997:19.11) inflasi yang tinggi menyebabkan menurunnya
keuntungan suatu perusahaan, sehingga menyebabkan efek ekuitas menjadi
kurang kompetitif. Inflasi yang tinggi akan menjatuhkan harga saham di
pasar, sementara inflasi yang sangat rendah akan berakibat pertumbuhan
ekonomi menjadi sangat lamban, dan pada akhirnya harga saham juga
52
bergerak dengan lamban. Di samping itu, inflasi yang tinggi juga bias
mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari
investasinya. Sebaliknya, jika tingkat suatu negara mengalami penurunan,
maka hal ini merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan
turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan.
Kurs rupiah terhadap dolar AS memainkan peranan sentral dalam
perdagangan internasional, karena kurs rupiah terhadap dolar AS
memungkinkan kita untuk membandingkan semua harga barang dan jasa
yang dihasilkan berbagai negara (Triyono, 2008). Nilai tukar rupiah (kurs)
yang berubah akan mempengaruhi harga barang yang masuk dan keluar dari
Indonesia. Pengaruh kurs membawa dampak secara nasional pada industri
dalam negeri. Pergerakan kurs yang dinamis dapat diperdagangkan
sehingga menjadi salah satu pilihan investasi (Yolana dan Martani, 2005).
Dengan adanya kemungkinan bahwa kurs bisa diperdagangkan maka
artinya ada alternatif bagi investor dalam melakukan investasi. Naik
turunnya nilai Rupiah terhadap uang asing menyebabkan naik turunnya
permintaan saham di pasar modal oleh investor. Artinya, apabila nilai rupiah
naik maka permintaan saham di pasar sekunder akan meningkat sehingga
harga di pasar perdana akan rendah.
Penetapan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
mencapai sasaran kebijakan moneter. Tingkat suku bunga BI akan
mempengaruhi tingkat suku bunga kredit perbankan dan bunga deposito
yang berakibat pada keputusan masyarakat dalam berinvestasi.
Meningkatnya tingkat bunga akan meningkatkan harga kapital sehingga
memperbesar biaya perusahaan, sehingga terjadi perpindahan investasi dari
saham ke deposito atau fixed investasi lainnya (Sunariyah, 2004:22).
Berdasarkan teori signaling, tingkat suku bunga akan mempengaruhi
keputusan investor untuk memilih investasi yang lebih menguntungkan.
Keputusan investor untuk mengalihkan investasi dari pasar modal akan
membuat permintaan saham menurun. Hal ini akan membuat harga saham
di pasar sekunder mengalami penurunan nilai, sehingga harga saham
perdana menjadi lebih tinggi.
53
H3 : Faktor Eksternal berpengaruh terhadap Underpricing.
3.8 Hipotesis 4 : Pengaruh Eksternal terhadap Kinerja Saham
Investor yang mampu meramalkan kondisi ekonomi makro di masa yang
akan datang, akan mampu mengambil keputusan yang tepat apakah dia akan
membeli, menjual, atau menahan saham. Dari sekian banyak variabel makro
ekonomi akan dipilih variabel makro ekonomi yang memiliki peran sangat penting
dalam ekonomi makro dan paling berpengaruh terhadap investasi di suatu negara.
Tingkat suku bunga, PDB, inflasi, serta Kurs merupakan variabel makro ekonomi
yang memiliki peran sangat penting dalam ekonomi makro dan paling berpengaruh
terhadap investasi di suatu negara.
Faktor Eksternal dalam penelitian ini merupakan bagian dari Ekonomi
Makro yang terdiri atas Inflasi, Kurs Nilai Tukar dan Bunga Bank Indonesia yang
dihubungkan meondorong ketidakpastian dalam melakukan investasi. Menurut
Ang (1997:19.11) inflasi yang tinggi menyebabkan menurunnya keuntungan suatu
perusahaan, sehingga menyebabkan efek ekuitas menjadi kurang
kompetitif.Sedangkan, nilai tukar rupiah (kurs) yang berubah akan mempengaruhi
harga barang yang masuk dan keluar dari Indonesia. Pengaruh kurs membawa
dampak secara nasional pada industri dalam negeri. Pergerakan kurs yang dinamis
dapat diperdagangkan sehingga menjadi salah satu pilihan investasi (Yolana dan
Martani, 2005).Lalu, meningkatnya tingkat bunga akan meningkatkan harga kapital
sehingga memperbesar biaya perusahaan, sehingga terjadi perpindahan investasi
dari saham ke deposito atau fixed investasi lainnya (Sunariyah, 2004:22).
Berdasarkan uraian tersbut, melalui teori signaling dapat disimpulkan bahwa
ketidakpastian pasar yang berdampak pada minat investasi di pasar modal
mendorong berkurangnya daya beli atas produk saham IPO yang mengurangi
terjadinya lonjakkan Permintaan.
Tingkat inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga-harga secara
menyeluruh (Hardi, 2009). Pada saat inflasi sedang tinggi harga barang
secara keseluruhan akan mengalami kenaikan. Kondisi ini membuat
masyarakat menjadi lebih selektif dalam membelanjakan uangnya termasuk
dalam hal investasi. Harga barang yang meningkat akan menyebabkan
54
perdagangan menjadi lesu dan keuntungan perusahaan menjadi turun.
Menurut Ang (1997:19.11) inflasi yang tinggi menyebabkan menurunnya
keuntungan suatu perusahaan, sehingga menyebabkan efek ekuitas menjadi
kurang kompetitif. Inflasi yang tinggi akan menjatuhkan harga saham di
pasar, sementara inflasi yang sangat rendah akan berakibat pertumbuhan
ekonomi menjadi sangat lamban, dan pada akhirnya harga saham juga
bergerak dengan lamban. Di samping itu, inflasi yang tinggi juga bias
mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari
investasinya. Sebaliknya, jika tingkat suatu negara mengalami penurunan,
maka hal ini merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan
turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan.
Kurs rupiah terhadap dolar AS memainkan peranan sentral dalam
perdagangan internasional, karena kurs rupiah terhadap dolar AS
memungkinkan kita untuk membandingkan semua harga barang dan jasa
yang dihasilkan berbagai negara (Triyono, 2008). Nilai tukar rupiah (kurs)
yang berubah akan mempengaruhi harga barang yang masuk dan keluar dari
Indonesia. Pengaruh kurs membawa dampak secara nasional pada industri
dalam negeri. Pergerakan kurs yang dinamis dapat diperdagangkan
sehingga menjadi salah satu pilihan investasi (Yolana dan Martani, 2005).
Dengan adanya kemungkinan bahwa kurs bisa diperdagangkan maka
artinya ada alternatif bagi investor dalam melakukan investasi. Naik
turunnya nilai Rupiah terhadap uang asing menyebabkan naik turunnya
permintaan saham di pasar modal oleh investor. Artinya, apabila nilai rupiah
naik maka permintaan saham di pasar sekunder akan meningkat sehingga
harga di pasar perdana akan rendah.
Penetapan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
mencapai sasaran kebijakan moneter. Tingkat suku bunga BI akan
mempengaruhi tingkat suku bunga kredit perbankan dan bunga deposito
yang berakibat pada keputusan masyarakat dalam berinvestasi.
Meningkatnya tingkat bunga akan meningkatkan harga kapital sehingga
memperbesar biaya perusahaan, sehingga terjadi perpindahan investasi dari
saham ke deposito atau fixed investasi lainnya (Sunariyah, 2004:22).
55
Berdasarkan teori signaling, tingkat suku bunga akan mempengaruhi
keputusan investor untuk memilih investasi yang lebih menguntungkan.
Keputusan investor untuk mengalihkan investasi dari pasar modal akan
membuat permintaan saham menurun. Hal ini akan membuat harga saham
di pasar sekunder mengalami penurunan nilai, sehingga harga saham
perdana menjadi lebih tinggi.
H4 : Faktor Eksternal berpengaruh terhadap Kinerja Saham
3.9 Jenis Dan Sumber Data
Di dalam Penelitian ini Mencakup beberapa data sekunder yang berasal dari
perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana pada periode 2010-2018
dari situs bursa efek indonesia dengan kategori sektor infrastruktur, utilitas dan
transportasi. Data sekunder pendukung berupa informasi makro data inflasi, bunga
Bank Indonesia, dan kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar periode 2010-2018
melalui situs Bank Indonesia. Data dari sumebr tersebut, diperoleh dalam bentuk
jadi ataupun telah diolah terlebih dahulu. Sumber data berupa informasi terkait
perusahaan yang melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO) terdiri atas laporan
keuangan, Prospektus dan data terkait lainnya yang dapat dikumpulkan melalui
website Bursa Efek Indonesia untuk tahun 2010 sampai dengan 2018. Selain itu,
sebagai data pendukung untuk memperkuat analisis atas underpricing dan kinerja
sahahm dari Faktor ekonomi makro, sumber informasi lain diperlukan seperti
inflasi,bunga Bank Indonesia dan kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar periode
2010 sampai dengan 2018 yang berasal dari situs Bank Indonesia.
Data Kuantitatif yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
1. Daftar perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO)
periode 2010 sampai dengan 2018 di Bursa Efek Indonesia untuk sektor
Infrastruktur, utilitas dan transportasi.
2. Daftar harga saham di perdagangan perdana dan harga saham
Perusahaan tersebut pada penutupan hari pertama di pasar sekunder
pada perusahaan emiten IPO periode 2010 sampai dengan 2018 di Bursa
Efek Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi.
56
3. Data pergerakkan harga saham aktif yang diperdagangkan setelah 30
hari di pasar sekunder setelah IPO pada perusahaan emiten IPO periode
2010 sampai dengan 2018 di Bursa Efek Indonesia untuk sektor
Infrastruktur, utilitas dan transportasi.
4. Data pergerakkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) setelah 30
hari perusahaan melakukan penawaran umum perdana di Bursa Efek
Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun
2010-2018.
5. Data hutang perusahaan yang bersumber dari laporan keuangan sebelum
perusahaan melakukan penawar umum perdana di Bursa Efek Indonesia
untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun 2010-2018.
6. Data ekuitas perusahaan yang bersumber dari laporan keuangan
sebelum perusahaan melakukan penawar umum perdana di Bursa Efek
Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun
2010-2018.
7. Data pendapatan setelah pajak perusahaan yang bersumber dari laporan
keuangan sebelum perusahaan melakukan penawar umum perdana di
Bursa Efek Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi
tahun 2010-2018.
8. Data jumlah saham beredar yang bersumber dari laporan keuangan
sebelum perusahaan melakukan penawar umum perdana di Bursa Efek
Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun
2010-2018.
9. Data total aset yang bersumber dari laporan keuangan sebelum
perusahaan melakukan penawar umum perdana di Bursa Efek Indonesia
untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun 2010-2018.
10. Data akta pendirian yang bersumber dari prospektus IPO Perusahaan
sebelum melakukan penawar umum perdana di Bursa Efek Indonesia
untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun 2010-2018.
11. Data jumlah saham yang ditawarkan yang bersumber dari prospektus
IPO Perusahaan sebelum melakukan penawar umum perdana di Bursa
57
Efek Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun
2010-2018.
12. Data rencana penggunaan dana setelah IPO yang bersumber dari
Prospektus IPO Perusahaan sebelum melakukan penawar umum
perdana di Bursa Efek Indonesia untuk sektor Infrastruktur, utilitas dan
transportasi tahun 2010-2018.
13. Data inflasi tahunan Indonesia Periode 2010-2018 yang bersumber dari
Bank Indonesia.
14. Data bunga bank Indonesia Periode 2010-2018 yang bersumber dari
Bank Indonesia.
15. Data perubahan kurs nilai tukar rupiah Periode 2010-2018 yang
bersumber dari Bank Indonesia.
3.10 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan
dokumentasi. Studi pustaka dalam hal ini mempelajari tentang artikel, jurnal dan
penelitian terkait sebagai referensi pembahasan yang sesuai dengan penelitian.
Sedangkan, dokumentasi dilakukkan dengan mengumpulkan data-data yang
dibutuhkan, dan dilanjutkan dengan percatatan serta perhitungan.
3.11 Populasi Dan Sampel Penelitian
Data populasi yang menjadi bagian dari penelitian ini berupa data
perusahaan-perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) di Bursa
Efek Indonesia periode tahun 2010-2018, dan diperoleh sebanyak 259 Perusahaan
yang melakukan IPO di BEI. Teknik pengambilan sampel atas data populasi
dilakukan dengan metode purpose sampling, yaitu dengan cara menetapkan ciri-
ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan dapat
menjawab permasalahan penelitian. Dengan teknik tersebut, sampel yang diambil
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sampel merupakan perusahaan yang melakukan penawaran Umum
Perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada sektor inftrastruktur,
utilitas dan transportasi periode 2010-2018
58
2. Perusahaan Tersebut belum pernah mengalami delisting
(Dekeluarkannya dari daftar emiten tercatat) maupun Relisting
(Dimasukkan kembali emiten delisting ke dalam daftar emiten tercatat)
di Bursa Efek Indonesia pada sektor inftrastruktur, utilitas dan
transportasi periode 2010-2018
3. Memiliki laporan keuangan dan prospektus yang dapat diakses dan
diperoleh Oleh Masyarakat melalui Bursa Efek Indonesia atau situs
perusahaan.
4. Perusahaan harus tercatat dan memiliki data kinerja saham selama 30
Hari sejak IPO Hingga Akhir Desember 2018.
Dari Syarat-syarat tersebut diatas dapat diperoleh beberapa hasil sebagai berikut :
1. Berdasarkan sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi terdapat 38
Perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) periode
2010-2018 di Bursa Efek Indonesia.
2. Tidak terdapat perusahaan yang mengalami delisting maupun relisting
pada sektor inftrastruktur, utilitas dan transportasi periode 2010-2018 di
Bursa Efek Indonesia.
3. Terdapat 32 perusahaan yang mengalami peningkatan harga setelah IPO
(underpricing), 4 perusahaan mengalami penurunan harga setelah IPO
(overpricing), dan 2 perusahaan berada pada harga IPO (Flat)
4. Semua perusahaan memiliki laporan keuangan dan laporan prospektus
yang dapat di akses publik melalui situs Bursa Efek Indonesia dan Situs
Perusahaan.
5. Semua perusahaan dalam sampel penelitian memiliki data kinerja saham
selama 30 hari setelah IPO.
3.12 Metode Analisis Data
3.12.1 Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang
dilihat dari bilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum,
sum, range, kurtosis dan skewness (kemencengan distribusi) (Ghozali, 2011)
59
3.12.2 Uji Asumsi Klasik
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel bebas dan variabel terikat keduanya memiliki distribusi normal atau tidak
(Ghozali, 2011). Jika data tidak berdistribusi normal maka uji statistik menjadi tidak
valid untuk jumlah sampel kecil. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-
Smirnov dengan menggunakan bantuan program statistik. Dasar pengambilan
keputusan yaitu jika probabilitas lebih besar dari nilai alpha yang ditentukan, yaitu
0,05 maka data dikatakan berdistribusi normal, dan sebaliknya jika probabilitas
kurang dari 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.
H0: p≥0,05 data residual berdistribusi normal
H1: p<0,05 data residual tidak berdistribusi normal
2. Uji Multikoliniearitas
Multikolinearitas berarti antara variabel independen yang satu dengan variabel
independen yang lain dalam model regresi saling berkolerasi linier, biasanya
kolerasi mendeteksi sempurna (koefisien korelasinya tinggi atau mendekati 1). Uji
multikolinearitas ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditentukan
adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen (Ghozali, 2011). Jika
dalam suatu penelitian terdapat multikolearitas maka variabel-variabel tersebut
tidak orthogonal. Variabel orthogonal adalah variabel independen sama dengan nol.
Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dalam
penelitian ini adalah :
1. Besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan tolerance. Pedoman suatu
model regresi yang bebas multikolinearitas adalah :
a. Mempunyai nilai VIF disekitar angka 1-10
b. Mempunyai angka tolerance mendekati 1
2. Besaran kolerasi antara variabel independen. Pedoman suatu model
regresi yang bebas multikolinearitas adalah : koefisien kolerasi antara
variabel independen haruslah lemah (di bawah 0,05).
60
3. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lainnya. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas (Ghozali,
2011). Model regresi yang baik adalah yang tidak mengalami heteroskedastisitas
atau terjadinya homokedastisitas. Pada penelitian ini digunakan uji Glejser untuk
mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas. Uji glejser dilakukan dengan cara
meregresikan antara variabel independent dengan nilai absolute residualnya.
1. Jika nilai probabilitas > taraf signifikansi 5% (0,05), maka distribusi data
dikatakan bebas dari heteroskedastisitas.
2. Jika nilai probabilitas < taraf signifikansi 5% (0,05), maka distribusi data
dikatakan terkena heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model regresi linear
ada korelasi antara kesalahan pengganggu (residual) pada periode t dengan
kesalahan pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi.
Model regresi yang baik adalah regresi bebas dari autokorelasi. Alat ukur yang
digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam penelitian ini
menggunakan tes Durbin Watson (DW). Hipotesis yang akan di uji dalam
penelitian ini adalah : Ho (tidak adanya autokorelasi, r =0) dan Ha (ada autokorelasi,
r ≠ 0) (Ghozali, 2011).
Tabel 3.2 pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi
Nilai Statistik d Hasil
0 < d < dl ada autokorelasi
dl < d < du tidak ada keputusan
du < d < 4-du tidak ada autokorelasi
4-du < d < 4-dl tidak ada keputusan
4-dl < d < 4 ada autokorelasi Sumber : Ghozali (2011)
61
Pada pelaksanaan uji asumsi klasik, jika uji tes Durbin Watson (DW) terjadi
auto korelasi. Menurut Ghozali (2011) dapat dilakukan uji run test. Uji ini
merupakan bagian dari uji statistik non-parametric yang dapat digunakan untuk
menguji apakah antar variabel residual terdapat kolerasi yang tinggi. Pengambilan
keputusan dapat dilakukan apabila signifikansi uji run test lebih besar dari 0,05.
Jika lebih besar maka disimpulkan tidak terjadi autokorelasi.
3.12.3 Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis regresi pada dasarnya adalah studi mengenai ketergantungan variabel
dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel independen (variabel bebas),
dengan tujuan untuk mengestimasi dan/atau mmprediksi rata-rata populasi atau
nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang
diketahui (Gujarati, 2003). Metode analisis berganda dalam penelitian ini secara
matematis dapat dituliskan sebagai berikut
𝒀𝟏 = 𝜶 + 𝜷𝒊𝑫𝑬𝑹 + 𝜷𝒊𝑬𝑷𝑺 + 𝜷𝒊𝑹𝑶𝑨 + 𝜷𝒊𝑨𝑮𝑬 + 𝜷𝒊𝑺𝑰𝒁𝑬 + 𝜷𝒊𝑷𝑺𝑫 + 𝜷𝒊𝑰𝑵𝑭
+ 𝜷𝒊𝑹𝑨𝑻𝑬 + 𝜷𝒊𝑲𝑼𝑹𝑺 + 𝜺
𝒀𝟐 = 𝜶 + 𝜷𝒊𝑫𝑬𝑹 + 𝜷𝒊𝑬𝑷𝑺 + 𝜷𝒊𝑹𝑶𝑨 + 𝜷𝒊𝑨𝑮𝑬 + 𝜷𝒊𝑺𝑰𝒁𝑬 + 𝜷𝒊𝑷𝑺𝑫 + 𝜷𝒊𝑰𝑵𝑭
+ 𝜷𝒊𝑹𝑨𝑻𝑬 + 𝜷𝒊𝑲𝑼𝑹𝑺 + 𝜺
Keterangan :
𝑌1 = Tingkat Underpricing
𝑌2 = Kinerja Saham
𝛼 = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎
𝛽𝑖 = 𝐾𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑅𝑒𝑔𝑟𝑒𝑠𝑖
DER = Debt To Equity Ratio
EPS = Earning Per Share
ROA = Return On Assets
AGE = Umur Perusahaan
SIZE = Ukuran Perusahaan
62
PSD = Presentase Saham ditawarkan
INF = Inflasi
RATE = Bunga Bank Indonesia
KURS = Kurs Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika (USD)
Apabila koefisien β bernilai positif (+) maka terjadi pengaruh searah antara
variabel independen dengan variabel dependen, demikian pula sebaliknya, bila
koefisien bernilai negatif (-) hal ini menunjukkan adanya pengaruh negatif dimana
kenaikan nilai variabel independen akan mengakibatkan penurunan nilai variabel
dependen.
3.12.4 Pengujian Hipotesis
Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang
signifikan antara variabel independen terhadap variable dependen. Pengujian
hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t untuk menguji koefisien regresi
secara parsial dan uji F untuk menguji koefisien regresi secara Simultan. .
1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan
variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel-variabel dependen amat
terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen (Ghozali, 2011).
2. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh
satuvariabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi
variabel dependen (Ghozali, 2011). Cara pengambilan keputusan dari uji ini adalah
dengan membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel. Apabila
nilai statistik t hasil perhitungan lebih tinggi dibandingkan nilai t tabel, kita
menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa suatu variable independen
secara individual mempengaruhi variabel dependen. Apabila uji t diukur
63
menggunakan aplikasi SPSS, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan
melihat signifikansi nilai t dalam tabel output. Nilai signifikansi yang tidak lebih
besar dari 0,05 menunjukkan adanya pengaruh yang kuat antara kedua variabel.
3. Uji Signifikasi Parameter Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat (Ghozali, 2011). Hipotesis nol
yang dikemukakan dalam pengujian ini adalah bahwa semua variabel independen
yang dipergunakan dalam model persamaan regresi serentak tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka
pedoman yang digunakan adalah jika nilai signifikan lebih kecil 0,05 maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah menolak hipotesis nol yang berarti koefisien
signifikan secara statistik (Ghozali, 2006).
64
3.13 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Penelian ini dilakukan selama tujuh bulan dimulai sejak bulan Januari 2019 sampai dengan bulan Juli 2019. Adapun tahapan-tahapan
yang dilakukan selama proses penelitian untuk menyelesaikan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3 1 Jadwal pelaksanaan penelitian
No Kegiatan
Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan proposal Tugas Akhir
2 Pendaftaran proposal Tugas Akhir
3 Sidang proposal Tugas Akhir
4 Revisi proposal Tugas Akhir
5 Pengumpulan data
6 Pengolahan data
7 Analisis data
8 Pengumpulan form progress Tugas Akhir
9 Pengerjaan / penyusunan Tugas Akhir
10 Sidang hasil Tugas Akhir
11 Laporan akhir dan jurnal
Sumber : Penulis, 2019
65
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Sektor yang digunakan didalam penelitian ini adalah sektor infrastruktur,
utilitas dan transportasi. Sektor tersebut merupakan satu dari sembilan sektor yang
ada di Bursa Efek Indonesia. Menurut Neil (1980) Infrastruktur merupakan sistem
fisik yang menyediakan sarana pengairan, transportasi, bangunan, jalan, dan
fasilitas publik yang lain yang memang dibutuhkan untuk bisa memenuhi berbagai
macam kebutuhan dasar manusia baik itu kebutuhan sosial atau kebutuhan
ekonomi. Utilitas menurut Jonh (1987) adalah hubungan antara keinginan
konsumen dengan nilai atau kegunaan barang/jasa yang dijual. Sedangkang
Transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari
suatu tempat ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu
pemindahan/pergerakan (movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang
(comoditi) dan penumpang ke tempat lain (Salim, 2000). Sektor ini menaungi
5(lima) sub-sektor jenis perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, yaitu
sektor Bangunan non Konstruksi, Energi, Telekomunikasi, Infrastruktur (Jalan Tol,
Bandara, Pelabuhan dan Produk sejenis) dan Transportasi.
Kondisi ekonomi global sejak pemulihan krisis ekonomi tahun 2008 yang
beragam hingga 2018 mendorong berbagai macam kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk melakukan penguatan sektor fundamental dan meningkatkan daya
saing indonesia. Namun hal tersebut tidak berdampak besar pada pertumbuhan
perekonomian, ekonomi indonesia berdasarkan laporan perekonomian bank
indonesia, mengalami perlambatan dan cederung stagnat dikisaran 5,01 - 5,1. Selain
itu, isu perang dagang Amerika Serikat dan China yang berkepanjangan terkait
ekspor dan impor produk antar kedua negara berimbas pada negara negara yang
berdagangan dengan negara tersebut. Indonesia termasuk negara yang terkena
dampak krisis Secara global, karena kuatnya hubungan ekonomi Indonesia dengan
Negara lain dan dominasi investor asing yang menanamkan modal di Indonesia juga
terbilang banyak. Krisis ini akan berpengaruh pada inflasi yang mengambil peran
dalam keputusan pembelian barang dan jasa, kurs nilai tukar berpengaruh terhadap
66
perusahaan IPO yang sensitif terhadap pergerakkan Nilai Tukar, dan Bunga Bank
Indonesia sebagai acuan terhadap nilai pinjaman dan imbal hasil investasi.
Gambar 4.1 Pergerakkan IHSG dan Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Selama Periode
2007-2018
Sumber : Bursa Efek Indonesia, 2019
Dilihat dari grafik 4.1, trend peningkatan paska pemulihan krisis berdampak
signifikan pada pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tumbuh
4 kali lipat dari 1.400 pada tahun 2008 naik menjadi 6.200 pada tahun 2018 selama
lebih dai 10 tahun. Hal itu tidak sejalan denga sektor infrastruktur, utilitas dan
transportasi. Geliat pergerakkan harga secara kumulatif pada perusahaan yang
tercatat sektor tersebut hanya berkisar antara 800 hingga 1100. Dan cenderung
melandai dibandingkan dengan IHSG yang lebih sensitif terhadap perubahan
ekonomi global.
Berdasarkan laporan perekonomian Bank Indonesia, tahun 2008 krisis
ekonomi memangkas pertumbuhan IHSG dari 2800 per 30 desember 2007 menjadi
1430 pada akhir perdagangan satu tahun kemudian. Hal itu juga ikut mendorong
sektor penelitian tergerus 200 poin dari harga 1.096 menjadi 804 di periode yang
sama. Perbaikan sektor pertambangan, insentif pada sektor perbankan untuk
mEmulihkan sistem keuangan dinilai berdampak besar pada pertumbuhan pasar
modal. Sektor pertanian dan keuangan mendominasi dorongan atas IHSG.
Pertanian tumbuh pesat menjadi 3 kali lipat dalam kurun waktu 3 tahun, sektor
keuangan dan pertambangan juga mengikuti. Kemudahan permodalan dan kredit
yang lebih terkontrol. Menyebabkan sektor properti ikut tumbuh pada beberapa
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
NIL
AI I
ND
EKS
TAHUN
Indeks Harga Saham Gabungan
Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
67
tahun berikutnya. Hingga pada tahun 2015, isu global berkaitan dengan kebijakan
the Fed selaku Bank Sentral Amerika berencana menaikan suku bunga Amerika
Serikat menjadi kabar negatif yang menciptakan ketidakpastian pasar. Perusahaan-
perusahaan keuangan terimbas isu tersebut, beberapa perusahaan sektor perbankan,
perusahaan investasi dan lembaga pembiayaan yang tercatat di BEI sepanjang tahun
2015 hingga 2016 harus mengalami penurunan harga yang berimbas pada dorongan
kearah negatif pada IHSG. Kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dengan
membuat sistem baru tekait bunga bank yang dikenal sebagai BI seven days Repo
Rate yang membuat Bank Indonesia selaku bank sentral dapat mengambil
keputusan lebih cepat dalam mengatur kebijakan suku bunga dan simpanan di bank
indonesia oleh perbankan memberikan dampak positif pada laju IHSG,
kepercayaan investor dibuktikan pada pertengahan 2016, IHSG kembali pulih dan
mampu menyentuh level psikologis barunya di kisaran 6.000 pada tahun 2017.
Kondisi tersebut tidak bertahan lama, isu kembali berhembus pada tahun 2018.
Kebijakan pengetat perdagangan Amerika Serikat terhadap China, dan balasan
China terhadap pengetatat perdagangan dengan Amerika Serikat, berdampak secara
luas menjadi isu perang dagang. Sektor pertambangan, konsumsi, Kimia Dasar, dan
keuangan terdampak hal tersebut, Pengetatan atas ekspor dan impor kedua negara
berimbas pada kebijakan yang dilakukan negara berkembang. Sepanjang tahun
2018. IHSG sempat menukik tajam per Juni 2018 ke level 5.461. Kurs dolar yang
menguat terhadap seluruh mata uang dunia termasuk rupiah, berimbas pada beban
perusahaan impor, sektor aneka industri per Maret 2018 ikut mengalami penurunan.
Selama periode krisis hingga tahun 2018, dalam sektor penelitian yaitu
sektor infrasktruktur, utilitas dan transportasi memiliki pengaruh yang berbeda.
Sektor ini cenderung stabil menurut data pergerakan IHSG Gambar 4.1, sektor ini
memang mengikuti trend pertumbuhan IHSG paska krisis 2008 hingga 2012,
namun pertumbuhannya tidaklah signifikan. Setelah itu sektor kembali melandai
dikisaran 1.000 hingga 1.100, bahkan isu penetapan suku bunga yang menghambat
sektor keuangan, industri dasar dan sektor lainnya tidak beimbas pada sektor
tersebut. Sektor ini tetap tumbuh walaupun melambat. Penurunan terlihat terjadi
pada tahun 2016, perusahaan transportasi mendominasi sektor ini, per Juli 2016
tercatat sebanyak 12 perusahaan transportasi mencatatkan diri. Isu transportasi
68
online, yang diawali Gojek pada 2015 lalu di ikuti grab pada 2016, menjadi pemicu.
Perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di sektor transportasi seperti PT. Bluebird
dengan kode emiten BIRD dan PT Ekspress Transindo dengan kode emiten TAXI
mengalami penurunan tajam paska kurangnya minat mengunakan taksi
konvensional. Bahkan perusahaan TAXI yang sepat naik di harga 1.600 setelah IPO
menurun menjadi 50 rupiah hingga akhir tahun 2017.
Dari segi telekomunikasi, popularitas CDMA yang tergerus pada tahun
2010 hingga 2015 menyebabkan beberapa perusahan seperti PT. Bakrie Telekom
(BTEL) dan PT. Smarfren (FREN) mengalami aksi jual signifikan oleh investor
karena rugi yang terus naik dan tidak adanya kepastian aksis korporasi untuk
memperbaiki kondisi perusahaan. Bahkan BTEL tercatat selama 2 tahun berturut
turut menyisahkan hanya 10 karyawan dan tidak adanya audit atas laporan
keuangan perusahaan tersebut. Kondisi ini menyebabkan penurunan harga
perusahaan menyentuh level batas bawah Bursa efek indonesia di harga 50 rupiah.
Disisi lain, penurunan nilai rupiah terhadap dolar yang signifikan dinilai ikut
membebani perusahaan sektor telekomunikasi. PT. Telekomunikasi Indonesia
(TLKM) dan PT. Indosat (ISAT) mengalami aksi jual besar-besaran oleh investor
asing sepanjang tahun 2017 hingga 2018. Kapitalisasi pasar yang besar dimiliki
oleh perusahaan perusahaan tersebut menjadi salah satu pemberat sub-sektor
telekomunikasi dalam sektor penelitian.
Walaupun demikian, kondisi tersebut tidak menyebabkan sektor
infrasktruktur, utilitas dan transportasi seketika jatuh. Kebijakan pemerintah di
sektor maritim dan arah pembangunan yang berfokus pada infrasktruktur yang
tercantum dalam Proyek Strategis Nasional mendorong angin segar pada
perusahaan pelayaran. PT. Soechi lines, PT. Thamarin Line, PT. Shillo Tamarin
Samudera, PT. Buana lintas lautan menjadi pendorong indeks sektor penelitian.
Perusahaan transportasi khsususnya logistik dan pengangkutan berbondong-
bondong melakukan IPO. Pada tahun 2017 hingga 2018 sebanyak 16 perusahaan
tercatat melakukan IPO pada sektor penelitian. perusahaan pengangkutan logistik
dan hasil tambang seperti PT. LCK Global Kedaton, PT. Guna Timur Raya, PT.
Batavia Prosperindo Trans, PT. Satria Antara Prima dan PT. Dewata
69
Freightinternational, secara bersama sama kompak menguat pada saat perdangaan
pertama perusahaan IPO.
Selain itu, untuk pertama kalinya Perusahaan yang bergerak di bidang
kepelabuhanan, pada awal tahun 2017 PT. Nusantara Pelabuhan Handal yang
terletak di cirebon melakukan pencatatat unum perdana. pada prospektusnya
perusahaan melakukan penawaran dengan tujuan untuk ekspansi bisnis perluasan
area kepelabuhanan dan ekspansi keular negeri dengan melakukan pengarapan
pelabuhan petikemas terintegrasi di thailand. Hal ini menandakan bahwa, bisnis
logistik yang meningkat akan menumbuhkan tingkat bongkar muat pelabuhan.
Berdasarkan data asosiasi logistik indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2017,
diprediksi tumbuh sebesar 11,89% pada tahun 2018. Atas kondisi tersebut, investor
merespon dengan peningkatan volume perdangangan pada saham perusahaan
tersebut dan langsung mengalami lonjakan permintaan pada penawaran perdana
menjadi 575 dari harga penawaran sebesar 545. Pada tahun berikutnya, PT.
Indonesia Kendaraan Terminal sebagai anak perusahaan dari PT. Pelabuhan
Indonesia I (Pelindo I) menjadi Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang
Kepelabuhanan untuk pertama kalinya Melakukan Penawaran Umum Perdana.
Perusahaan yang bergerak sebagai pelabuhan kendaraan di indonesia ini, dalam
prospektusnya juga bertujuan untuk meperoleh dana yang digunakan untuk
ekspansi perluasan area pelabuhan. Investor menunjukan minat pada perusahaan,
hal ini dibuktikan dengan tingginya minat yang mendorong peningkatan volume
perdagangan dan transaksi pada awal pencatatat saham di bursa efek indonesia.
Upaya Perbaikan infrastuktur melalui Proyek Startegis Nasional yang diikuti
dengan kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan terkait perbaikan sistem
logistik nasional yang dikenal sebagai SILOGNAS mengambil peran penting
didalam tingginya minat investasi dalam sektor transportasi logistik dan pelayaran,
serta infrastruktur Penunjangnya.
Berikut adalah tabel yang berisi 38 perusahaan yang masuk kedalam
populasi penelitian ini yaitu perusahaan sektor infrastruktur, utilitas dan
transportasi yang pada saat penawaran saham perdana tahun 2010 sampai tahun
2018 lengkap dengan kode perusahaan dan tanggal saat melakukan penawaraan
umum perdana (IPO) :
70
Tabel 4.1 Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi IPO Periode 2010-2018
KODE EMITEN TANGGAL IPO KODE EMITEN TANGGAL IPO
TOWR 08-Mar-10 SOCI 03-Des-14
TBIG 26-Okt-10 POWR 14-Jun-16
WINS 29-Nov-10 SHIP 16-Jun-16
GIAA 11-Feb-11 OASA 18-Jul-16
MBSS 06-Apr-11 PORT 16-Mar-17
BULL 23-Mei-11 TGRA 16-Mei-17
PTIS 12-Jul-11 MPOW 05-Jul-17
SDMU 12-Jul-11 PPRE 24-Nov-17
SUPR 11-Okt-11 PSSI 05-Des-17
CASS 05-Des-11 IPCM 22-Des-17
NELY 11-Okt-12 LCKM 16-Jan-18
TAXI 02-Nov-12 HELI 27-Mar-18
ASSA 12-Nov-12 GHON 09-Apr-18
BBRM 09-Jan-13 TRUK 23-Mei-18
TPMA 20-Feb-13 TNCA 28-Jun-18
LEAD 11-Des-13 BPTR 09-Jul-18
CANI 16-Jan-14 IPCC 09-Jul-18
LRNA 15-Apr-14 SAPX 03-Okt-18
BIRD 05-Nov-14 DEAL 09-Nov-18
Sumber : Bursa Efek Indonesia, 2019
4.2 Stastistik Deskriptif
Statistik deskriptif adalah proses pengumpulan, penyajian dan peringkasan
yang berfungsi untuk memberikan gambaran data yang diteliti, dimana data yang
diperoleh berasal dari hasil analisis deskriptif yang hasilnya memperlihatkan rata-
rata (mean), nilai tertinggi (max), nilai terendah (min) dan standar deviasi dari setiap
variabel penelitian, baik independen maupun dependen. Hasil dari pengolahan data
terhadap data yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada tabel 4.2
berikut:
71
Tabel 4.2 Stastitik Deskriptif Sampel Penelitian
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
IR 32 ,0132 ,7000 ,3268 ,2691
AR 32 -,1340 2,2992 ,4437 ,6345
DER 32 ,0800 7,6700 1,9722 1,9859
EPS 32 -57,2400 601,5000 95,8400 148,6388
ROA 32 -39,1000 85,7000 6,4781 19,3573
AGE 32 ,6931 3,8286 2,4330 ,7901
SIZE 32 9,5778 16,1238 13,2650 1,6058
PSD 32 ,1000 ,5200 ,2540 ,1162
INF 32 3,0000 7,7600 4,3266 1,3693
KURS 32 8155,0000 15125,0000 11776,2190 2344,7416
RATE 32 4,2500 7,7500 5,7930 1,0217
Valid N (listwise) 32
Sumber : Penulis, 2019
a. Underpricing (IR)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana (IPO) diperoleh tingkat rata-rata
underpricing adalah 0,3268 atau jika perusahaan melakukan penawaran umum dan
mengalami underpricing, maka kenaikan yang akan terjadi sebesar 32,68% dari
harga perdana. Dimana tingkat underpricing yang paling rendah dipegang oleh PT.
Wintermar Offshore Marine Tbk dengan kode WINS yang melakukan IPO pada
tanggal 29 November 2010, dengan perubahan sebesar 1,32% dari 380 ke 385.
Sedangkan, nilai underpricing tertinggi dimiliki oleh 2 perusahaan yang melakukan
IPO pada tahun 2017 dan 2 perusahaan pada tahun 2018 yaitu Perusahaan Terregra
Asia Energy Tbk melakukan IPO pada tanggal 16 Mei 2017 sebesar 200 naik
menjadi 340 dengan presentase 70%, Perusahaan Megapower Makmur Tbk yang
melakukan IPO pada tangal 05 Juli 2017 naik 70% dari 200 menjadi 340, dan PT
Jaya Trishindo Tbk (HELI) melakukan IPO pada 27 Maret 2018 naik 70% dari 110
menjadi 187, serta PT. Batavia Prosperindo Trans Tbk (BPTR) yang melakukan
IPO pada 06 Juli 2018 naik sebanyak 70% dari harga IPO 100 menjadi 170. Selain
itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan 0,2665 berada dibawah rata-rata
sebesar 0,3320 yang berarti bahwa sebaran nilai initial return berdistribusi baik,
Data bersifat homogen dan tidak terdapat kesenjangan yang terlalu besar antara
72
nilai terendah dan nilai tertinggi variabel underpricing. Nilai standar deviasi dapat
mengambarkan risiko ketidakpastian yang dihadapi investor terkait dengan saham
yang akan dibeli. Jika standar deviasi lebih rendah dari rata-rata. Maka
kemungkinan, risiko ketidakpastian persebaran nilai pada sektor tersebut yang
dihadapi investor terkait saham yang mengalami underpricing lebih rendah.
b. Abnormal Return (ARt)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata Kinerja saham
yang diukur dengan abnormal return adalah 0,4437. Nilai abnormal return
diperoleh dari initial return setelah 30 hari penawaran umum perdana (IPO)
dikurangi dengan market return yang dilihat dari adjusted market return indeks
harga saham gabungan setelah 30 hari perusahaan Melakukan IPO. Nilai rata-rata
yang tercipta mencerminkan bahwa kinerja saham untuk sektor penelitian tersebut,
dipastikan mengalami konsistensi peningkatan harga dengan nilai sebenarnya
dikurangi nilai yang diharakan invetsor sebesar 44,37% dari harga penawaran.
Tingkat abnormal returnterendah setelah 30 hari IPO dimiliki oleh perusahaan PT.
PT. Wintermar Offshore Marine Tbk dengan kode WINS dengan Kinerja saham
sebesar -13,4% atau -0,1340. Sedangkan, nilai Kinerja saham tertinggi dimiliki oleh
PT. Dewata Freight International Tbk atau DEAL sebesar 229,92% atau 2,2992.
Selain itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan 0,6345 berada diatas rata-
rata sebesar 0,4437 yang berarti bahwa sebaran nilai abnormal return berdistribusi
tidak baik, Data bersifat bias dan terdapat kesenjangan antara nilai terendah dan
nilai tertinggi variabel abnormal return. Pada sektor tersebut, diketahui terjadi
perbedaan harga yang signifikan menurut kinerja saham, masing masing
perusahaan yang tercatat memiliki kesenjangan perubahan yang berbeda beda, ada
perusahaan yang mengalami kenaikan tinggi, ada pula yang mengalami penurunan
tinggi sehingga persebaran data setelah IPO menjadi bias.
73
c. Debt to Equity Ratio (DER)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata DER adalah
1.9722. Debt To Equity Ratio merupakan rasio yang mengukur seberapa jauh
perusahaan dibiayai oleh hutang dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya dengan ekuitas yang dimiliki. Artinya dari rata-rata tersebut
dijelaskan bahwa dalam sampel penelitian ini, semua perusahaan memiliki hutang
rata-rata rasio 1,9x dari ekuitas yang dimiliki. Menurut, sofyan (2008) rata-rata
rasio DER berada dibawah 2 (dua) masih dapat ditoleransi sebagai keputusan
investasi untuk investor maupun akses permodalan perbankan untuk perusahaan
tersebut. Dimana tingkat DER yang paling rendah dipegang oleh perusahaan
Protect Mitra Perkasa Tbk dengan kode OASA Sebesar 0,08 atau diartikan pada
perusahaan tersebut nilai hutang lebih kecil dari ekuitas yang dimiliki dengan
perbandingan hutang 0,08 dari ekuitas. Sedangkan, nilai DER tertinggi dimiliki
oleh PT dewata freightinternasional yang IPO pada bulan desember 2018 dengan
kode DEAL, memiliki DER sebesar 767% atau hutang dengan rasio 7,67 kali dari
ekuitas yang dimiliki. Selain itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan
1,9858 berada diatas rata-rata sebesar 1.9721 yang berarti bahwa sebaran nilai
initial return berdistribusi tidak baik, Data bersifat homogen dan terdapat
kesenjangan antara nilai terendah dan nilai tertinggi variabel Debt to Equity
Ratio.kesenjangan yang tercipta akan membuat rata-rata rasio keseluruhan sektor
menjadi bias, perusahaan dengan DER diatas 5x diperoleh sebanyak 4 perusahaan.
Jika rata-rata tersebut menjadi acuan bagi investor dalam sektor penelitian untuk
pembelian saham perusahaan, maka perusahaan yang seharusnya memiliki DER
diatas 2 ikut dianggap memiliki DER pada posisi rata-rata sehingga bertolak
belakang dengan teori Sofyan (2008).
d. Earning Per Share (EPS)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata EPS adalah 95,8.
74
Yang artinya, untuk sektor tersebut terdapat nilai positif atas laba usaha secara rata-
rata pada 32 perusahaan yang diteliti. EPS mencerminkan laba yang dapat
dibagikan kepada pemegang saham setelah dikurangi beban-beban dan pajak,
keputusan pembagian laba, dalam hal ini disebut deviden nantinya melalui Rapat
Umum Pemegang Saham. Dimana tingkat EPS yang paling rendah dipegang oleh
perusahaan Satria Antaran Prima Tbk dengan kode SAPX dengan nilai (-57,24)
yang artinya bahwa perusahaan tidak membagikan pendapatan melainkan
membagikan kerugian sebesar -57 per lembar saham yang beredar. Sedangkan, nilai
EPS tertinggi dimiliki oleh Sarana Menara Nusantara Tbk. Dengan nilai EPS yang
diperoleh perlembar saham adalah sebesar 601. Selain itu, dilihat dari data standar
deviasi menunjukkan 148,64 berada diatas rata-rata sebesar 95,84 yang berarti
bahwa sebaran nilai EPS berdistribusi tidak baik, Data bersifat Bias dan terdapat
kesenjangan yang antara nilai terendah dan nilai tertinggi variabel Earning Per
Share. Kondisi bias pada EPS disebabkan oleh Sebaran nilai yang tidak merata.
Kesenjangan yang tercipta dikarenakan terdapat perusahaan dengan EPS bernilai
positif tinggi dan bernilai Negatif tinggi serta sebaran EPS disekitas angka nol yang
menyebabkan EPS tidak berdistribusi baik.
e. Return On Assets (ROA)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana di bursa efek indonesia diperoleh tingkat
rata-rata ROA adalah 6,4781. Dimana tingkat ROA yang paling rendah dipegang
oleh perusahaan perusahaan Satria Antaran Prima Tbk dengan kode SAPX dengan
nilai -39.10. Sedangkan, nilai ROA tertinggi dimiliki oleh Winterman Offshore
Marine sebesar 85,70. Selain itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan
19,3573 berada diatas rata-rata sebesar 6,4781 yang berarti bahwa sebaran nilai
ROA tidak berdistribusi baik, Data bersifat Bias dan terdapat kesenjangan yang
antara nilai terendah dan nilai tertinggi variabel Return On Assets. Return On
Assets mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memaksimalkan aset yang
dimiliki untuk memperoleh pendapatan. Dalam sektor tersebut, standar deviasi
menunjukkan penyimpangan yang signifikan, artinya masing masing perusahaan
sampel penelitian memiliki tingkat ROA yang bervariansi dan menyebar.
75
f. Ukuran Perusahaan (SIZE)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata Ukuran
perusahaan melalui Logaritma Natural yang dilihat dari total asetnya adalah
13,2650. Dimana Ukuran perusahaan yang dilihat dari total aset, paling rendah
dipegang oleh perusahaan Protect Mitra Perkasa Tbk dengan kode OASA sebesar
9,58 Logarima natural atau Rp. 14.440.000.000 nilai asli asetnya. Sedangkan,
Ukuran Perusahaat dengan total aset tertinggi dimiliki oleh Cikarang Listrindo Tbk
sebesar 16,12 logarima natural atau setara Rp. 10.057.195.000.000. Selain itu,
dilihat dari data standar deviasi menunjukkan 1.6058 berada dibawah rata-rata
sebesar 13.2650 yang berarti bahwa sebaran Ukuran Perusahaan berdistribusi baik,
Data bersifat homogen dan tidak terdapat kesenjangan yang terlalu besar antara
nilai terendah dan nilai tertinggi variabel Ukuran perusahaan.
g. Umur Perusahaan (AGE)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata Umur Perusahaan
menguggunakan logaritma natural adalah 2,4330. Dimana tingkat Umur yang
paling rendah dipegang oleh perusahaan Sarana Menara Nusantara Tbk dengan
kode TOWR yang berdiri pada tahun 2008 dan melakukan IPO pada tahun 2010
dengan umur 2 tahun. Sedangkan, perusahaan dengan umur tertinggi dimiliki oleh
Cikarang Listrindo Tbk dengan kode POWR memiliki usia 46 tahun pada saat IPO.
Selain itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan 0,7901 berada dibawah
rata-rata sebesar 2.433 yang berarti bahwa sebaran umur perusahaan berdistribusi
baik, Data bersifat homogen dan tidak terdapat kesenjangan yang terlalu besar
antara nilai terendah dan nilai tertinggi variabel Umur Perusahaan.
h. Presentase Saham Ditawarkan (PSD)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
76
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata Presentase saham
ditawarkan adalah 25,4%. Dimana tingkat PSD yang paling rendah dipegang oleh
perusahaan Cikarang Listrindo Tbk dengan kode POWR dengan PSD sebesar 10%.
Sedangkan, nilai PSD tertinggi dimiliki oleh Satria Antaran Prima Tbk sebesar
52%. Selain itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan 0,1162 berada
dibawah rata-rata sebesar 0,2540 yang berarti bahwa sebaran Presentase Saham
Ditawarkan berdistribusi baik, Data bersifat homogen dan tidak terdapat
kesenjangan yang terlalu besar antara nilai terendah dan nilai tertinggi variabel
PSD.
i. Inflasi (INF)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata Inflasi adalah 4,3.
Dimana tingkat Inflasi yang paling rendah terjadi pada saat PT. Protect Mitra
Perkasa Tbk. dengan kode OASA melakukan IPO dengan Inflasi sebesar 3,0.
Sedangkan, nilai Inflasi tertinggi pada saat IPO dimiliki oleh PT. Capitol Nusantara
Indonesia Tbk sebesar 7,76 . Selain itu, dilihat dari data standar deviasi
menunjukkan 1,3693 berada dibawah rata-rata sebesar 4,3266 yang berarti bahwa
sebaran Inflasi pada saat IPO berdistribusi baik, Data bersifat homogen dan tidak
terdapat kesenjangan yang terlalu besar antara nilai terendah dan nilai tertinggi
variabel Inflasi.
j. KURS nilai Tukar Dolar (KURS)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata KURS adalah
11.776. Dimana tingkat KURS yang paling rendah terjadi pada perusahaan Sarana
Menara Nusantara Tbk. dengan kode TOWR dengan KURS sebesar 8.155.
Sedangkan, nilai KURS tertinggi selama 30 hari dimiliki oleh Satria Antaran Prima
Tbk sebesar 15.125. Selain itu, dilihat dari data standar deviasi menunjukkan 2.344
berada dibawah rata-rata sebesar 11.776 yang berarti bahwa sebaran KURS pada
77
saat IPO berdistribusi baik, Data bersifat homogen dan tidak terdapat kesenjangan
yang terlalu besar antara nilai terendah dan nilai tertinggi variabel KURS.
k. Suku Bunga Bank Indonesia (RATE)
Berdasarkan hasil pengujian statistik deskriptif dari 32 sampel penelitian
selama periode 2010-2018 pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan penawaran umum perdana diperoleh tingkat rata-rata Bunga Bank
Indonesia adalah 5,8. Dimana tingkat BI Rate yang paling rendah dipegang oleh
perusahaan Protect Mitra Perkasa Tbk. dengan kode OASA dengan BI Rate sebesar
4,25. Sedangkan, nilai BI Rate tertinggi pada saat IPO dimiliki oleh Capitol
Nusantara Indonesia Tbk sebsar 7,75. Selain itu, dilihat dari data standar deviasi
menunjukkan 1,022 berada dibawah rata-rata sebesar 5,793 yang berarti bahwa
sebaran BI Rate pada saat IPO berdistribusi baik, Data bersifat homogen dan tidak
terdapat kesenjangan yang terlalu besar antara nilai terendah dan nilai tertinggi
variabel Suku Bunga Bank Indonesia.
4.3 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada
analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Jadi
analisis regresi yang tidak berdasarkan OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi
klasik, misalnya regresi logistik atau regresi ordinal. Demikian juga tidak semua uji
asumsi klasik harus dilakukan pada analisis regresi linear, misalnya uji
multikolinearitas tidak dilakukan pada analisis regresi linear sederhana dan uji
autokorelasi tidak perlu diterapkan pada data cross sectional.
Uji asumsi klasik yang sering digunakan yaitu uji normalitas, uji
multikolereanitas, uji heteroskedastisitas, dan uji auto korelasi. Analisis dapat
dilakukan tergantung pada data yang ada jadi tdiak terfokus pada urutan uji assumsi
klassik. Didalam pneelitian ini, Uji asumsi klasik yang dilakukan meliputi uji
normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (Uji K-S), Uji
Multikoleaneritas menggunakan uji VIF dan Nilai tolerasi, Uji Heteroskedastisitas
menggunakan uji glejser dengan nilai signifikasi diatas 0,05,dan uji autokorelasi
dengan menggunakan Durbin Watson statistik. Sehingga diperoleh perhitungan
berikut :
78
1. Uji Normalitas
Uji Normalitas digunakan untuk menguji apakah variabel dependen dan
variabel independen dalam sebuah model regresi memiliki distribusi normal atau
tidak. Regresi linier yang dikatakan baik apabila dalam model tersebut
mengambarkan kondisi data yang berdistribusi normal. Pengujian Normalitas dapat
dilakukan dalam beberapa cara. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Penelitian akan dilakukan terhadap dua
variabel dependen terhadap variabel independen. Jika nilai signifikasi residual data
lebih besar dari 0,05 maka dapat diidentifikasikan data tersebut berdistribusi normal
(Ghozali, 2006). Dua tabel berikut menunjukkan nilai uji asumsi klasik untuk uji
normalitas pada underpricing (Initial return) dan kinerja saham (Abnormal Return).
Tabel 4.3 Uji Normalitas Underpricing
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 32
Test Statistic ,115
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d Data berdistribusi Normal
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan hasil uji statistik non-parametik kolmogorov-smirnov pada
Underpricing, yang sesuai dengan tabel 4.3, menunjukan bahwa nilai kolmogorov-
smirnov residual sebesar 0,115 dan signifikansi 0,200. Jadi dapat disimpulkan
bahwa data residual terdistribusi secara normal, karena nilai signifikansi lebih besar
dari 0,05.
Tabel 4.4 Uji Normalitas Kinerja Saham
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 32
Test Statistic ,120
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d Data berdistribusi Normal
Sumber : Penulis, 2019
Selain itu, Berdasarkan hasil uji statistik non-parametik kolmogorov-
smirnov pada Kinerja Saham, yang sesuai dengan tabel 4.4, menunjukan bahwa
nilai kolmogorov-smirnov residual sebesar 0,120 dan signifikansi 0,200. Jadi dapat
disimpulkan bahwa data residual terdistribusi secara normal, karena nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05.
79
2. Uji Multikolenearitas
Uji Multikolinearitas adalah uji yang digunakan untuk mengetahui apakah
dalam model regresi ditemukan korelasi antara variabel independen yang tinggi.
Multikolinearitas berarti ada hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara
beberapa atau semua variabel independen dari model yang ada. Akibat adanya
multikolinearitas ini koefisien regresi tidak tertentu dan kesalahan standarnya tidak
terhingga. Hal ini akan menimbulkan bias dalam spesifikasi. Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi kolerasi diantara variabel independen.
Uji multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan
VIF. Model regresi dikatakan terjadi multikolinearitas jika nilai tolerance kurang
dari 0,1 dan VIF lebih dari 10, dan sebaliknya bebas dari multikolinearitas jika nilai
tolerance > 0,1 dan VIF < 10 (Ghozali, 2006).
Tabel 4.5 Uji Multikolenearitas Underpricing
Model Collinearity Statistics
Kesimpulan Tolerance VIF
(Constant)
DER ,737 1,356 Tidak Terjadi Multikolenearitas
EPS ,397 2,520 Tidak Terjadi Multikolenearitas
ROA ,407 2,456 Tidak Terjadi Multikolenearitas
AGE ,715 1,399 Tidak Terjadi Multikolenearitas
SIZE ,386 2,588 Tidak Terjadi Multikolenearitas
PSD ,443 2,256 Tidak Terjadi Multikolenearitas
INF ,297 3,363 Tidak Terjadi Multikolenearitas
KURS ,445 2,248 Tidak Terjadi Multikolenearitas
RATE ,428 2,337 Tidak Terjadi Multikolenearitas
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.5 terhadap uji multikolenearitas pada underpricing,
semua variabel menunjukkan nilai tolerance > 0,10, dan nilai VIF < 10, sehingga
dapat disimpulkan bahwa model regresi pada penelitian ini bebas dari masalah
multikolinearitas. Oleh karena itu model regresi layak untuk digunakan dalam
penelitian.
80
Tabel 4.6 Uji Multikolenearitas Kinerja Saham
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.6 terhadap uji multikolenearitas pada Kinerja saham,
semua variabel menunjukkan nilai tolerance > 0,10, dan nilai VIF < 10, sehingga
dapat disimpulkan bahwa model regresi pada penelitian ini bebas dari masalah
multikolinearitas. Oleh karena itu model regresi layak untuk digunakan dalam
penelitian.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah
modal regresi terjadi ketidaksamaan variansi dari residual satu pengamatan ke
pegamatan yang lain. Pengujian dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan uji
Glejser yaitu dengan menguji varibael independen terhadap absolute residual.
Residual adalah selisih antara nilai pengamatan dengan nilai yang diperkirakan,
sedangka absolute adalah nilai mutlaknya. Uji dilakukan dengan meregresi nilai
resdual sebagai variabel dependen dengan variabel independen. Tingkat signifikasi
yang digunakan sebesar 0,05. Yang artinya, jika nilai uji heteroskedastisitas berada
diatas 0,05 makan tidak terjadi gejala heteroskedastisitas (Ghozali, 2006). Dalam
penelitian ini, uji akan dilakukan terhadap dua variabel dependen. Berikut tabel
hasil uji heteroskedastisitas :
Model Collinearity Statistics
Kesimpulan Tolerance VIF
(Constant)
DER ,737 1,356 Tidak Terjadi Multikolenearitas
EPS ,397 2,520 Tidak Terjadi Multikolenearitas
ROA ,407 2,456 Tidak Terjadi Multikolenearitas
AGE ,715 1,399 Tidak Terjadi Multikolenearitas
SIZE ,386 2,588 Tidak Terjadi Multikolenearitas
PSD ,443 2,256 Tidak Terjadi Multikolenearitas
INF ,297 3,363 Tidak Terjadi Multikolenearitas
KURS ,445 2,248 Tidak Terjadi Multikolenearitas
RATE ,428 2,337 Tidak Terjadi Multikolenearitas
81
Tabel 4.7 Hasil Uji Heteroskedastisitas Underpricing
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan hasil uji Glejser yang terdapat pada tabel 4.7 untuk
underpricing, menunjukkan bahwa semua variabel bebas memiliki nilai
signifikansi di atas tingkat kepercayaan 5%, sehingga model regresi dikatakan tidak
terjadi heteroskedastisitas.
Tabel 4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas Kinerja saham
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan hasil uji Glejser yang terdapat pada tabel 4.8 untuk Kinerja
Saham, menunjukkan bahwa semua variabel bebas memiliki nilai signifikansi di
atas tingkat kepercayaan 5%, sehingga model regresi dikatakan tidak terjadi
heteroskedastisitas
4. Uji Auto Korelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model regresi linear
ada korelasi antara kesalahan pengganggu (residual) pada periode t dengan
kesalahan pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi.
Model Sig. Kesimpulan
(Constant) ,476
DER ,256 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
EPS ,188 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
ROA ,332 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
AGE ,097 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
SIZE ,583 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
PSD ,757 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
INF ,668 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
KURS ,880 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
RATE ,475 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
Model Sig. Kesimpulan
(Constant) ,579
DER ,981 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
EPS ,151 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
ROA ,113 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
AGE ,699 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
SIZE ,402 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
PSD ,272 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
INF ,136 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
KURS ,544 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
RATE ,270 Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
82
Model regresi yang baik adalah regresi bebas dari autokorelasi. Alat ukur yang
digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam penelitian ini
menggunakan tes Durbin Watson (DW), uji ini melihat nilai dari Durbin watson
penelitian dan dilakukan pengamatan pada tabel Durbin Watson (Ghozali, 2006).
Untuk sampel penelitian sebanyak 32 dan variabel independen sebanyak 9.
Diperoleh nilai dl = 0,674 dan du=2,005. Berikut adalah pengujian autokorelasi
yang dilakukan terhadpa underpricing dan kinerja saham :
Tabel 4.9 Uji Autokorelasi Underpricing
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error
of the
Estimate
Durbin-
Watson
Tidak
Dapat
Diambil
Keputusan 1 ,751a ,564 ,385 ,2110340 2,185
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.9, menunjukkan bahwa nilai Durbin Watson pada
model regresi sebesar 2,185. Berdasarkan nilai DW yang diperoleh, selanjutnya
akan dibandingkan dengan nilai du dan nilai 4-du.
Pengambilan keputusan bebas uji autokorelasi berdasarkan pada ketentuan
du < d < 4-du atau 2,005 < 2,185 < 4-2,005 . tetapi nilai dw lebih besar dari 4-du
yaitu 2,004 < 2,185 > 1,995 sehingga dapat disimpulkan model regresi tidak dapat
diambil sebuah keputusan.
Tabel 4.10 Uji Autokorelasi Kinerja Saham
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error
of the
Estimate
Durbin-
Watson
Tidak
Dapat
Diambil
Keputusan 1 ,581a ,337 ,066 ,6130989 2,387
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.10, menunjukkan bahwa nilai Durbin Watson pada
model regresi sebesar 2,387. Berdasarkan nilai DW yang diperoleh, selanjutnya
akan dibandingkan dengan nilai du dan nilai 4-du. Pengambilan keputusan bebas
uji autokorelasi berdasarkan pada ketentuan du < d < 4-du atau 2,005 < 2,387 < 4-
2,005 . tetapi nilai dw lebih besar dari 4-du yaitu 2,004 < 2,387 > 1,604 sehingga
dapat disimpulkan model regresi tidak dapat diambil sebuah keputusan.
83
Karena Pada perhitungan uji auto korelasi dengan mengunakan metode
dutbin watson pada kedua penelitian tidak membuat keputusan yang bisa diambil
maka selanjutnya dilakukan uji run test. Uji Run Test bisa digunakan untuk menguji
pada kasus satu sampel. Pengujian dengan metode ini untuk kasus satu sampel.
Prosedur run test dilakukan untuk data bertingkat dari nilai variabel yang acak .
Data dapat dikatakan tidak mengalami auto korelasi jika memliki nilai signifikansi
lebih dari 0,05 (Ghozali, 2006).
Tabel 4.11 Uji Run Test Underpricing
Asymp. Sig. (2-tailed) ,369 Tidak Terjadi
Auto Korelasi
Sumber : Penulis, 2019
Pengujian menggunakan Run Test pada tabel 4.11 yang dilakukan pada
underpricing menghasilkan signifikansi sebesar 0,369 yang berada nilai signifikasi
yang disyaratkan sebsar 0,05 sehingga dapat disimpulkan pada variabel
underpricing tidak terjadi auto korelasi.
Tabel 4.12 Uji Run Test Kinerja Saham
Asymp. Sig. (2-tailed) ,590 Tidak Terjadi
Auto Korelasi
Sumber : Penulis, 2019
Pengujian menggunakan Run Test pada tabel 4.12 yang dilakukan pada
Kinerja Saham menghasilkan signifikansi sebesar 0,590 yang berada nilai
signifikasi yang disyaratkan sebsar 0,05 sehingga dapat disimpulkan pada variabel
Kinerja Saham tidak terjadi auto korelasi.
4.4 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Regresi Linier Berganda dilakukan untuk menguji pengaruh antara dua
variabel atau lebih terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini,
dinyatakan sebagai berikut :
𝒀𝟏 = 𝜶 + 𝜷𝒊𝑫𝑬𝑹 + 𝜷𝒊𝑬𝑷𝑺 + 𝜷𝒊𝑹𝑶𝑨 + 𝜷𝒊𝑨𝑮𝑬 + 𝜷𝒊𝑺𝑰𝒁𝑬 + 𝜷𝒊𝑷𝑺𝑫 + 𝜷𝒊𝑰𝑵𝑭
+ 𝜷𝒊𝑹𝑨𝑻𝑬 + 𝜷𝒊𝑲𝑼𝑹𝑺 + 𝜺
84
Perhitungan pertama dilakukan pada variabel dependen (Y1) dalam hal ini
variabel underpricing terhadap variabel independen yang terdiri atas: Faktor
Internal( Debt to Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return On Asset
(ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran Perusahaan (SIZE), Presentase Saham
Ditawarkan (PSD) ) dan Faktor Eksternal ( Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar Dolaar
(KURS), dan Bunga Bank Indonesia (RATE)). Hasil dari model regresi akan diuji
secara simultan dan parsial. Koefisien regresi dilihat dari nilai unstandardized
coeffisien, hasil analisis regresi linier berganda untuk underpricing dapat dilihat
pada tabel 4.13 berikut :
Tabel 4.13 Analisis Regresi Linier Berganda Underpricing
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.13, dapat dirumuskan persamaan
regresi linier berganda yaitu :
IR = 1,710 + 0,035 DER + 0,000 EPS + 0,003 ROA + 0,006 AGE – 0,116 SIZE
– 0,360 PSD + 0,008 INF + 2,728 KURS – 0,40 RATE + e
Dari hasil regresi linier yang terbentuk tersebut, dapat diketahui bahwa :
1. Berdasarkan konstanta yang diperoleh yaitu sebesar 1,710, hal ini
mengambarkan bahwa jika nilai koefisien regresi variabel variabel
independen internal dan eksternal dianggap nol atau tidak ada perubahan,
maka besarnya nilai underpricing (IR) sebesar 1,710 dengan arah positif.
2. Koefisien untuk Debt to Equity Ratio (DER) Sebesar 0,035, hal ini
menunjukan jika setiap DER mengalami peningkatan sebesar 1% maka
underpricing juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,035. Dan hal
Model
Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 1,710 ,844 2,026 ,055
DER ,035 ,022 ,262 1,595 ,125
EPS ,000 ,000 ,098 ,438 ,666
ROA ,003 ,003 ,197 ,893 ,381
AGE ,006 ,057 ,019 ,112 ,912
SIZE -,116 ,038 -,691 -3,051 ,006
PSD -,360 ,490 -,156 -,735 ,470
INF ,008 ,051 ,039 ,150 ,882
KURS 2,728E-5 ,000 ,238 1,126 ,272
RATE -,040 ,057 -,150 -,698 ,492
85
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai DER berdampak
pada penurunan underpricing sebesar 0,035
3. Koefisien regresi untuk Earning Per Share (EPS) sebesar 0,000001, jika
nilai EPS mengalami peningkatan 1% maka nilai underpricing juga naik
sebesar 0,000001. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, jika EPS
emngalami penurunan makan nilai underpricing juga turun 0,000001.
4. Koefisien untuk Return On Assets (ROA) Sebesar 0,003, hal ini
menunjukan jika setiap ROA mengalami peningkatan sebesar 1% maka
underpricing juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,003. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai ROA berdampak
pada penurunan underpricing sebesar 0,003
5. Koefisien untuk Umur Perusahaan (AGE) Sebesar 0,006, hal ini
menunjukan jika setiap AGE mengalami peningkatan sebesar 1% maka
underpricing juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,006. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai AGE berdampak
pada penurunan underpricing sebesar 0,006.
6. Koefisien untuk Ukuran Perusahaan (SIZE) Sebesar -0,116, hal ini
menunjukan jika setiap SIZE mengalami peningkatan sebesar 1% maka
underpricing mengalami penurunan sebesar 0,116. Dan hal tersebut juga
berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai SIZE berdampak pada
peningkatan underpricing sebesar 0,116.
7. Koefisien untuk Presentase Saham Ditawarkan (PSD) Sebesar -0,360, hal
ini menunjukan jika setiap PSD mengalami peningkatan sebesar 1% maka
underpricing mengalami penurunan sebesar 0,360. Dan hal tersebut juga
berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai PSD berdampak pada
peningkatan underpricing sebesar 0,360
8. Koefisien untuk Inflasi (INF) Sebesar 0,008, hal ini menunjukan jika setiap
INF mengalami peningkatan sebesar 1% maka underpricing juga akan
mengalami peningkatan sebesar 0,008. Dan hal tersebut juga berlaku untuk
penurunan sebesar 1 % nilai INF berdampak pada penurunan underprcing
sebesar 0,008.
86
9. Koefisien untuk Kurs nilai Tukar Dolar (KURS) Sebesar 2,728, hal ini
menunjukan jika setiap KURS mengalami peningkatan sebesar Rp, 1 maka
underpricing juga akan mengalami peningkatan sebesar 2,728. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar Rp. 1 nilai KURS
berdampak paida penurunan underprcing sebesar 2,728.
10. Koefisien untuk Bunga Bank Indonesia (RATE) Sebesar -0,40, hal ini
menunjukan jika setiap RATE mengalami peningkatan sebesar 1% maka
underpricing juga akan mengalami Penurunan sebesar 0,040. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai BI RATE
berdampak pada peningkatan underprcing sebesar 0,040.
𝒀𝟐 = 𝜶 + 𝜷𝒊𝑫𝑬𝑹 + 𝜷𝒊𝑬𝑷𝑺 + 𝜷𝒊𝑹𝑶𝑨 + 𝜷𝒊𝑨𝑮𝑬 + 𝜷𝒊𝑺𝑰𝒁𝑬 + 𝜷𝒊𝑷𝑺𝑫
+ 𝜷𝒊𝑰𝑵𝑭 + 𝜷𝒊𝑹𝑨𝑻𝑬 + 𝜷𝒊𝑲𝑼𝑹𝑺 + 𝜺
Perhitungan kedua dilakukan pada variabel dependen (Y2) dalam hal ini
variabel kinerja saham terhadap variabel independen yang terdiri atas : Faktor
Internal( Debt to Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return On Asset
(ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran Perusahaan (SIZE), Presentase Saham
Ditawarkan (PSD) ) dan Faktor Eksternal ( Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar Dolaar
(KURS), dan Bunga Bank Indonesia (RATE)). Berdasarkan hasil analisis pada
tabel 4.14, dapat dirumuskan persamaan regresi linier berganda yaitu :
Tabel 4.14 Analisis Regresi Linier Berganda Kinerja Saham
Model
Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 3,117 2,452 1,271 ,217
DER ,135 ,065 ,424 2,096 ,048
EPS ,000 ,001 -,108 -,393 ,698
ROA -,004 ,009 -,125 -,460 ,650
AGE ,002 ,165 ,003 ,013 ,990
SIZE -,194 ,110 -,492 -1,762 ,092
PSD -1,990 1,423 -,365 -1,398 ,176
INF -,160 ,147 -,345 -1,084 ,290
KURS 2,185E-5 ,000 ,081 ,310 ,759
RATE ,111 ,165 ,179 ,674 ,507
Sumber : Penulis, 2019
87
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.14, dapat dirumuskan persamaan
regresi linier berganda yaitu :
AR = 3,117 + 0,135 DER + 0,000 EPS - 0,004 ROA + 0,002 AGE – 0,194 SIZE
– 1,990 PSD - 0,160 INF + 2,185 KURS – 0,111 RATE + e
Dari hasil regresi linier yang terbentuk tersebut, dapat diketahui bahwa :
1. Berdasarkan konstanta yang diperoleh yaitu sebesar 3,117, hal ini
mengambarkan bahwa jika nilai koefisien regresi variabel variabel
independen internal dan eksternal dianggap nol atau tidak ada perubahan,
maka besarnya nilai Kinerja saham (AR) sebesar 3,117dengan arah positif.
2. Koefisien untuk Debt to Equity Ratio (DER) Sebesar 0,135, hal ini
menunjukan jika setiap DER mengalami peningkatan sebesar 1% maka
Kinerja Saham juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,135. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai DER berdampak
pada penurunan Kinerja Saham sebesar 0,135
3. Koefisien regresi untuk Earning Per Share (EPS) sebesar 0,000001, jika
nilai EPS mengalami peningkatan 1% maka nilai Kinerja Saham juga naik
sebesar 0,000001. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, jika EPS
emngalami penurunan makan nilai Kinerja Saham juga turun 0,000001.
4. Koefisien untuk Return On Assets (ROA) Sebesar -0,004, hal ini
menunjukan jika setiap ROA mengalami peningkatan sebesar 1% maka
Kinerja Saham akan mengalami penurunan sebesar 0,004. Dan hal tersebut
juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai ROA berdampak pada
peningkatan Kinerja Saham sebesar 0,004
5. Koefisien untuk Umur Perusahaan (AGE) Sebesar 0,002, hal ini
menunjukan jika setiap AGE mengalami peningkatan sebesar 1% maka
Kinerja Saham juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,002. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai AGE berdampak
pada penurunan Kinerja Saham sebesar 0,002.
6. Koefisien untuk Ukuran Perusahaan (SIZE) Sebesar -0,194, hal ini
menunjukan jika setiap SIZE mengalami peningkatan sebesar 1% maka
Kinerja Saham mengalami penurunan sebesar 0,194. Dan hal tersebut juga
88
berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai SIZE berdampak pada
peningkatan Kinerja Saham sebesar 0,194.
7. Koefisien untuk Presentase Saham Ditawarkan (PSD) Sebesar -0,1990, hal
ini menunjukan jika setiap PSD mengalami peningkatan sebesar 1% maka
Kinerja Saham mengalami penurunan sebesar 0,1990. Dan hal tersebut juga
berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai PSD berdampak pada
peningkatan Kinerja Saham sebesar 0,1990
8. Nilai Koefisien untuk Inflasi (INF) Sebesar -0,160, hal ini menunjukan jika
setiap INF mengalami peningkatan sebesar 1% maka Kinerja Saham akan
mengalami Penurunan sebesar 0,160. Dan hal tersebut juga berlaku untuk
penurunan sebesar 1 % nilai INF sebaliknya akan meningkatkan Kinerja
Saham sebesar 0,160.
9. Selanjutnya, Koefisien untuk Kurs nilai Tukar Dolar (KURS) Sebesar
2,185, hal ini menunjukan jika setiap KURS mengalami peningkatan
sebesar Rp. 1 maka Kinerja Saham juga akan mengalami peningkatan
sebesar 2,185. Dan hal tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar Rp. 1
nilai KURS berdampak pada penurunan Kinerja Saham sebesar 2,185.
10. Koefisien untuk Bunga Bank Indonesia (RATE) Sebesar 0,111, hal ini
menunjukan jika setiap RATE mengalami peningkatan sebesar 1% maka
Kinerja Saham juga akan mengalami Peningkatan sebesar 0,111. Dan hal
tersebut juga berlaku untuk penurunan sebesar 1 % nilai BI RATE
berdampak pada Penurunan Kinerja Saham sebesar 0,111.
4.5 Hasil Pengujian Fenomena Underpricing
Menurut Buchari (2012) Fenomena mengacu pada aktifitas atau suatu hal
yang disaksikan oleh panca indra dan diterangkan secara ilmiah dalam hal ini
menyangkut pergerakkan, perubahan atau perpindahan. Sedangkan menurut Riski
dan Harto (2013) Underpricing adalah peningkatan harga perusahaan yang
dipengaruhi oleh keputusan investasi yang dilakukan oleh investor di pasar modal,
keputusan tersebut, berpengaruh kepada perpindahan kepemilikan, pergerakkan
dana dan berpengaruh pada perubahan harga, dari harga penawaran umum perdana
(IPO) yang ditetapkan oleh emiten ke harga yang lebih tinggi hingga penutupan
hari pertama perdagangan di bursa efek indonesia. Jika dihubungkan dengan
89
maksud dari fenomena underpricing yatiu suatu aktifitas ataupun gejala dari suatu
kegiatan perdagangan di pasar modal yang berdampak pada perubahan maupun
pergerakan harga saham pada saat perusahaan yang melakukan penawaran umum
perdana (IPO) dan investor melakukan keputusan investasi pada saham yang
ditawarkan tersebut (Octaviana, 2016) . Pergerakkan dalam hal ini, digambarkan
berupa pergerakkan atas volume perdagangan, pergerakkan transaksi dana maupun
perubahan harga, baik naik maupun turun yang akan diukur pada saat penutupan
perdangan hari pertama dikurangi dengan harga yang ditetapkan pada saat IPO,
sebagai acuan terjadinya fenomena underpricing pada perusahaan sampel
penelitian. Berikut adalah 38 Daftar Perusahaan yang memenuhi syarat Penelitian
dan merupakan sektor Penelitian dan Fenomenanya :
Tabel 4.15 Perusahaan Sektor Infrastruktur, Utilitas, dan Transportasi IPO Periode 2010-2018
KODE
EMITEN
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
HARGA
PENUTUPAN
SEKUNDER
% JENIS FENOMENA
TOWR 08-Mar-10 1050 1570 49,5% UNDERPRICING
TBIG 26-Okt-10 2025 2400 18,5% UNDERPRICING
WINS 29-Nov-10 380 385 1,3% UNDERPRICING
GIAA 11-Feb-11 750 615 -18,0% OVERPRICING
MBSS 06-Apr-11 1600 1780 11,3% UNDERPRICING
BULL 23-Mei-11 155 166 7,1% UNDERPRICING
PTIS 12-Jul-11 950 1000 5,3% UNDERPRICING
SDMU 12-Jul-11 225 240 6,67% UNDERPRICING
SUPR 11-Okt-11 3400 3650 7,35% UNDERPRICING
CASS 05-Des-11 400 395 -1,3% OVERPRICING
NELY 11-Okt-12 168 205 22,0% UNDERPRICING
TAXI 02-Nov-12 560 590 5,4% UNDERPRICING
ASSA 12-Nov-12 390 490 25,6% UNDERPRICING
BBRM 09-Jan-13 230 230 0,0% FLAT
TPMA 20-Feb-13 230 345 50,0% UNDERPRICING
LEAD 11-Des-13 2800 2800 0,0% FLAT
CANI 16-Jan-14 200 239 19,5% UNDERPRICING
LRNA 15-Apr-14 900 780 -13,3% OVERPRICING
BIRD 05-Nov-14 6500 7450 14,6% UNDERPRICING
SOCI 03-Des-14 550 620 12,7% UNDERPRICING
POWR 14-Jun-16 1500 1540 2,7% UNDERPRICING
SHIP 16-Jun-16 140 238 70,0% UNDERPRICING
OASA 18-Jul-16 190 322 69,5% UNDERPRICING
90
PORT 16-Mar-17 535 575 7,5% UNDERPRICING
TGRA 16-Mei-17 200 340 70,0% UNDERPRICING
KODE
EMITEN
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
HARGA
PENUTUPAN
SEKUNDER
% JENIS FENOMENA
MPOW 05-Jul-17 200 340 70,0% UNDERPRICING
PPRE 24-Nov-17 430 410 -4,7% OVERPRICING
PSSI 05-Des-17 135 150 11,1% UNDERPRICING
IPCM 22-Des-17 380 402 5,8% UNDERPRICING
LCKM 16-Jan-18 208 312 50,0% UNDERPRICING
HELI 27-Mar-18 110 187 70,0% UNDERPRICING
GHON 09-Apr-18 1170 1755 50,0% UNDERPRICING
TRUK 23-Mei-18 230 344 49,6% UNDERPRICING
TNCA 28-Jun-18 150 254 69,3% UNDERPRICING
BPTR 09-Jul-18 100 170 70,0% UNDERPRICING
IPCC 09-Jul-18 1640 1715 4,6% UNDERPRICING
SAPX 03-Okt-18 250 374 49,6% UNDERPRICING
DEAL 09-Nov-18 150 254 69,3% UNDERPRICING
Sumber : Penulis, 2019
Perhitungan dilakukan dengan melakukan pengurangan atas harga
penutupan hari pertama dengan harga penawaran umum perdana. Dari daftar
tersebut, diperoleh 32 Perusahaan yang masuk ke dalam sampel penelitian karena
mengalami fenomena Underpricing, 6 Perusahaan dikeluarkan dari daftar dengan
alasan 4 perusahaan mengalami penurunan harga (overpricing) dan 2 Perusahaan
tetap kembali ke harga perdana setelah diperdagangkan dipasar sekunder (Flat).
Nilai underpricing tertinggi sebesar 70% dari harga penawaran Umum perdana dan
yang paling rendah adalah 1,3%.
Berdasarkan aturan Bursa Efek Indonesia, proses penawaran umum perdana
dihari pertama di pasar sekunder dapat mengalami peningkatan hingga auto reject
atas (ARA) sebesar 70% dari harga penawaran dan auto reject bawah (ARB)
sebesar 70% dari harga penawaran, tetapi lebih rinci aturan tersebut terbagi dalam
beberapa pengelompokkan. Untuk saham IPO dengan harga penawaran berkisar
antara Rp. 50-200 dapat mengalami ARA dan ARB sebesar 70%, untuk Rp. 200-
5000 dapat ARA dan ARB sebesar 50%, dan untuk lebih dari Rp.5000 diizinkan
ARA dan ARB sebesar 40%. peningkatan dan penurunan pada saat penawaran
menurut Ritter (1998) dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya
peningkatan transaksi pembelian, hal ini dapat dilakukan diseluruh pasar
91
perdagangan yaitu pasar reguler, pasar tunai maupun pasar nego. Penjualan dipasar
sekunder dapat dilakukan siapapun, baik investor yang sudah membeli diharga
perdana maupun perusahaan penjamin efek yang masih memiliki barang dan upaya
penciptaan harga yang membuat saham diminati investor yang dilakukan oleh
penjamin efek dengan meningkatkan harga jual saham tersebut, karena penjamin
efek memiliki kewajiban untuk membeli saham jika saham tersebut tidak diminati
investor. Dari data sampel penelitian, Perusahaan dengan underpricing tertinggi
terjadi pada perusahaan dengan kode saham SHIP, TGRA, MPOW, HELI dan
BPTR masing masing memiliki peningkatan 70% dari nilai penawaran umum
perdana.
SHIP adalah kode saham yang diperdagangkan untuk PT. Sillo Maritime
Perdana yang bergerak pada bidang pelayaran yang berfokus pada penyewaan kapal
penunjang industri hulu minyak dan gas. Perusahaan ini memiliki clien bisnis
dengan usaha yang sudah berproduksi dibanding dengan clien bisnis yang masih
melakukan eksploitasi dan memiliki kontrak kertasama pengangkutan untuk 7
perusahaan salah satunya Pertamina , sehingga resiko usaha cenderung lebih kecil
karena pendapatan yang terjamin. Berdasarkan Laporan Keuangan tahun 2015,
pendapatan perusahaan mengalami penurunan dibanding periode tahun sebelumnya
dari Rp. 206 Miliar menjadi Rp. 156 miliar. penurunan ini disebabkan oleh
perusahan sedang melakukan pemiliharaan kapal FSO, sehingga kontrak
pengangkutan menjadi berkurang. SHIP Melakukan Penawaran umum perdana
pada tahun 2016 dengan harga ipo sebesar Rp. 140 dan mengalami kenaikan sebesar
70% menjadi Rp. 238 per lembar saham atau auto reject atas pada hari pertama
perdagangan. Dalam Prospektus perusahaan yang dipublikasikan, besaran dana
yang akan diperoleh dari IPO adalah Rp. 70 Miliar, Tujuan perusahaan melakukan
IPO yaitu tambahan pendanaan untuk proses akuisisi sebanyak 50,84% saham PT.
Suasa Benua Sukses yang bergerak dibidang pengangkutan gas alam. Komposisi
dana yang digunakan untuk akusisi sebanyak 97% dana ipo dan sisanya sebanyak
3% digunakan sebagai modal usaha. SHIP dalam prospektus juga melihat alasan
kenapa melakukan akuisisi pada perusahaan tersebut. PT. Suasana Benua Sukses
memiliki kontrak sewa liquefied petroleum gas (LPG) FSO jangka panjang hingga
tahun 2020 dan kontrak sewa dua tugboat hingga tahun 2017. Selain itu, Suasa
92
Benua juga dinilai memberikan ekstensifikasi usaha perseroan pada industri migas
karena pada saat ini memiliki kontrak dengan pelanggan dari produsen gas bumi.
Hal itu akan melengkapi sumber pendapatan Sillo Maritime yang saat ini masih
berfokus pada produsen minyak bumi.
Berdasarkan Laporan Keuangan tahun 2016 setelah ipo, Tujuan Prospektus
yang ditawarkan telah terlaksana, perusahaan SHIP telah melakukan realisasi
akuisisi pembelian 50,84% pada akhir bulan juni 2016 atau 14 hari setelah IPO
dilakukan. Perusahaan juga membukukan pendapatan positif pada akhir 2016
sebesar Rp.178 Miliar atau naik sebesar Rp. 20 Miliar dari periode sebelumnya.
Harga saham perusahaanpun mengalami pertumbuhan sangat pesat, tercatat sejak
IPO hingga awal 2017 pada saat laporan keuangan tahun 2016 dipublikasikan,
Saham silo ditutup pada harga Rp. 458 atau naik 227%..
TGRA merupakan kode emiten PT. Terregra Asia Energy yang bergerak di
bidang ketenagalistrikan, perdagangan, pembangunan dan jasa yang berhubungan
dengan pembangkit listrik. Kegiatan utama perusahaan ini yaitu jasa teknik dan
pemasok suku cadang untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD),
Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),
Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA) dan Mini hidro. TGRA melakukan
penawaran umum pada tanggal 16 Mei 2017 di harga Rp 200 per lembar saham.
Bersumber dari informasi prospektusnya perusahaan ini melepas sebanyak 20%
dari total saham yang beredar. Tujuan pendanaan berfokus pada penyertaan modal
untuk anak Perusahaan sebesar 97% yang digunakan untuk pembiayaan proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH), dan sisanya sebesar 3%
digunakan untuk modal kerja. setelah penutupan perdagangan dihari pertama IPO,
perusahaan mengalami peningkatan harga sebesar Rp. 340 per lembar saham. Pada
bulan agustus 2017, dana IPO yang diperoleh telah disertakan sebagai modal
pembangunan PLTMH pada anak perusahaan. Pada publikasi laporan keuangan
tahun 2017, perusahaan mengalami peningkatan jumlah aset sebesar 390,43 miliar
atau naik dari tahun 2016 sejumlah Rp. 278,98 Miliar. Kenaikan tersebut juga
didukung dengan peningkatan laba yang diperoleh perusahaan yaitu melonjak
sebesar 452,26% yoy dari 115,35 juta tahun 2016 menjadi 857,84 juta pada tahun
93
2017. Sumbangsi terbesar pendapatan, berasal dari penjualan listrik ke beberapa
perusahaan pertambangan dan perusahaan listirk negara ( PT. PLN).
Dalam keterbukaan informasi yang dipublikasikan melalui BEI setelah IPO,
TGRA Menargerkan sumbangsi perusahaan sebesar 500.000 KWH untuk
tenagakelistrikan kawasan indonesia timur, dan realisasi atas proyek energi
terbarukan panel surya yang berada di australia mencapai 10 MV. Selain itu,
Perusahaan juga sedang melakukan pengerjaan 11 proyek pembangkit yang
berkapasitas 492 MV yang terdiri atas 9 PLTMH dan 2 PLTA di kawasan sumatera
utara. Pada akhir 2017, dari hasil laporan keuangan dan keterbukaan informasi
terkait proyek perusahaan. Nilai harga saham perusahaan mampu terdongkrat
hingga 172,5% atau naik sebesar Rp. 545 dari harga IPO.
MPOW adalah kode saham untuk PT. Megapower Makmur yang
merupakan salah satu perusahaan supplier PT. PLN (Persero). Perusahaan ini
memiliki 8 lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel ( PLTD) dan 1 Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang tersebar di wisayah sumatera dan jawa.
MPOW berdiri pada tahun 2007 dan melakukan penawaran umum perdana di harga
Rp. 200 per lembar saham pada tanggal 05 Juli 2017. Tujuan dari penjualan saham
di Bursa Efek Indonesia berdasarkan prospektus yang diterbitkan adalah untuk
pelunasan sebagian hutang usaha sebanyak 50% dari perolehan dana Ipo dan
sisanya sebesar 50% digunakan sebagai modal usaha. Pada penutupan perdagangan
pertama setelah IPO perusahaan ini mengalami peningkatan harga sebesar 70%
yaitu Rp.340 perlembar saham.
Pada akhir 2017, MPOW mengumumkan bahwa telah menyerap seluruh
dana IPO dari total sebanyak Rp. 49 Miliar dengan melakukan pelunasan hutang
dan modal usaha didalam keterbukaan informasinya. Namun, tidak dijelaskan
secara spesifik hutang seperti apa yang dilunasi. Jika diamati dari struktur hutang
yang tercantum didalam laporan keuangan tahun 2017. Terdapat penurunan yang
cukup signifikan pada hutang terhadap pihak relasi secara jangka pendek dari Rp.
52 Miliar tahun 2016 menjadi Rp. 23 Miliar tahun 2017 atau turun sebesar Rp. 29
Miliar. Perusahaan juga mengalami peningkatan aset pada periode 2017, sebesar
Rp. 146 Miliar dari Rp.81 Miliar. Peningkatan aset tersebut, juga berdampak pada
94
peningkatan pendapatan sebesar Rp. 12 Miliar di tahun 2017 dibanding tahun 2016
sebesar Rp 10 Miliar. Perubahan Hutang jangka pendek, peningkatan aset dan
pendapatan mendukung kenaikan harga saham perusahaan. Menurut data BEI
hingga akhir 2017, MPOW mampu bertahan naik sebesar 39% dari harga IPO,
sebesar Rp. 278 perlembar saham dari harga Rp. 200 perlembar saham. Namun,
lebih rendah -22% dari nilai underpricing yang pernah terjadi pada perdagangan
pertama sebesar Rp.340.
PT. Jaya Trishindo, merupakan perusahaan dengan kode saham HELI yang
mengalami peningkatan sebsar 70% setelah IPO pada sektor infrastruktur, utilitas
dan transportasi. Perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan sektor
penyewaan helikopter berlisensi yang mencatatakan diri di Bursa Efek Indonesia.
Melakukan IPO pada tanggal 27 Maret 2018 di harga Rp. 110 lalu meningkat
hingga penutupan hari pertama di harga Rp. 187 Perlembar saham. Tujuan dari
pencatatan saham menurut prospektus yang dipublikasikan, sebanyak 60%
digunakan untuk pembelian helikopter baru tipe AW 109 Trekker, Pembayaran
uang muka untuk pembelian Helikopter bekas tipe AS 350 B3 dan pembuatan
hangar helikopter baru. Selain itu, sisa dana yang diperoleh dari IPO digunakan
untuk modal kerja antara lain pembelian avtur,pemeliharaan, gaji pilot dan lain lain.
Berdasarkan halaman keterbukaan informasi di BEI, perusahaan HELI
belum mengumumkan terkait jumlah dana yang diterima maupun hasil penggunaan
dana IPO. Tetapi perusahaan telah melakukan Rapat Umum Pemegang saham dan
melakukan Publikasi atas Laporan keuangan tahun 2018. Didalam laporan tersebut,
diperoleh informasi terjadi peningkatan atas aset perusahaan sebesar 264 miliar dari
periode 2017 sebesar 218 Miliar atau naik sebanyak 46 miliar. Namun, peningkatan
tersebut tidak terjadi pada aset tidak lancar melainkan peningkatan pada aset lancar
sebesar 121 Miliar dari periode sebelumnya 51 Miliar, penurunan terjadi pada aset
tidak lancar sebesar 143 Miliar dari periode sebelumnya 122 Miliar. Padalah,
helikopter yang merupakan bagian dari rencana didalam prospektus. Helikopter
adalah kendaran operasional yang merupakan bagian dari aset tidak lancar
perusahaan. Sehingga disimpulkan karena tidak adanya publikasi atas penggunaan
dana dan aset tidak lancar tidak mengalami peningkatan. maka, perusahaan tersebut
belum mewujudkan rencana prospektusnya. Tetapi, jika dilihat dari segi pendapatan
95
PT Jaya Trishindo Tbk (HELI) pada akhir Desember 2018 mencatatkan laba bersih
sebesar Rp14,575 miliar atau naik 60,99% dibanding periode yang sama tahun 2017
yang tercatat sebesar Rp9,05 miliar. Walaupun, aset meningkat dan didominasi aset
lancar, Aset tidak lancar mengalami penurunan, serta pendapatan yang meningkat
cukup signifikan. Hingga akhir 2018, saat laporan keuangan 2018 dipublikasikan
perusahaan heli mampu mengalami pengkatan harga lebih tinggi dari harga IPO
sebesar Rp. 121 atau sebesar 10% dari harga Rp. 110 per lembar saham. Nilai
tersebut lebih rendah dari nilai auto reject atas (ARA) yang menyebabkan
underpricing pada saat perdangangan perdana di pasar sekunder di BEI sebesar Rp.
187 per lembar saham atau turun sebesar 54,5%.
PT. Batavia Prosperindo Trans, dengan kode emiten BPTR. Merupakan
perusahaan terakhir sebagai sampel penelitian yang mengalami peningkatan
underpricing tertinggi sebesar 70% setelah penawaran umu, perdana. Perusahaan
yang bergerak dijasa transportasi penyewaan kendaran bermotor seperti mobil,
motor dan bus ini mengalami peningkatan harga sebesar Rp. 170 dari harga Perdana
Rp. 100 Perlembar saham. BPTR Melepas saham sebanyak 25,81% dari total saham
yang beredar. Tujuan penjualan saham adalah digunakan untuk membayar angsuran
utang kepada perusahaan leasing untuk sewa pembiayaan pembelian armada
kendaraan selama periode agustus hingga desember 2018 sebayak 50% dana IPO,
dan sisanya sebanyak 50% digunakan untuk pembelian armada baru secara mandiri.
BPTR Melalui keterbukaan informasi pada tanggal 14 januari 2019, BPTR
telah menyerah seluruh dana IPO sebesar Rp. 40 Miliar. 50% atau setara dengan
Rp. 20 Miliar digunakan untuk pelunasan hutang sesuai dengan Prospektus dan
50% sisanya digunakan untuk pembelian kendaraan baru sebanyak 600 Unit
sebagai uang Muka awal. Dari aksi tersebut, berdasarkan publikasi laporan
keuangan tahun 2018. Aset perusahaan mengalami peningkatan 65% dari Rp. 300
Miliar tahun 2017 menjadi Rp. 500 Miliar tahun 2018, pendapatan juga mendukung
peningkatan laba 4x lipat lebih tinggi dari tahun 2017 sebesar Rp. 14 Miliar tahun
2018. Bertolak belakang dengan peningkatan aset dan pendapatan, minat investor
terhadap perusahaan melalui transaksi pembelian saham cenderung berkurang. hal
ini dibuktikan dengan penurunan harga saham perusahaan di pasar sekunder secara
signifikan pada akhir 2018, dari harga IPO sebesar Rp.100 perlembar saham turun
96
sebanyak -20% menjadi Rp. 80 per lembar saham. Nilai tersebut juga lebih kecil
dari nilai underpricing yang sempat terjadi pada awal saham diperdagangkan di
BEI yaitu turun sebesar -137,5% dari Rp. 170 perlembar saham.
BPTR jika diamati kembali dari laporan keuangan tahun 2018. Ada faktor
yang berhasil diperoleh yaitu salah satunya disebabkan oleh risiko atas hutang,
Terdapat peningkatan pada hutang perusahaan sebesar 3 kali lipat dari tahun 2017,
atau dari Rp.50 Miliar naik menjadi Rp. 150 miliar tahun 2018. Hutang tersebut
juga sama berada pada pos hutang jangka pendek seperti periode tahun sebelumnya.
Berasal dari pihak ketiga atau perusahaan pembiayaan leasing. Perusahaan BPTR
dinilai, menggunakan dana IPO untuk memutar cash flow keuangan, hal ini terlihat
ada upaya pelunasan biaya leasing melalui dana IPO, namun menggunakan kembali
sebagian hasil IPO untuk uang muka pembelian kendaraan dengan pembiayaan
modal leasing kembali. Investor akan cenderung wait and see, hal inilah yang
berdampak pada penurunan harga saham, investor yang belum memiliki saham
akan menhindari saham tersebut, walaupun berminat investor akan menawar
dengan harga yang lebih rendah, sedangkan investor yang telah memiliki saham,
jika merasa perusahaan tersebut tidak baik, atau analisa yang dilakukan inevtsor
terhadap eprusahaan tidak menarik dan tdiak adanya informais yang emmadai
untuk memebrikan kepastian maka investor akan cenderung menjual saham
tersebut untuk meminimalisir risiko penurunan harga kedepan. Menurut
sahamgain.com wait and see adalah upaya mengamati saham dengan cara
menunggu dan memastikan waktu yang tepat kapan melakukan pembelian maupun
pelepasan saham suatu perusahaan, hal tersebut disebabkan adanya kekhawatiran
jika perusahaan tidak dapat kembali membayar biaya leasing, maka akan
berdampak pada aset perusahaan maupun aksi corporasi lainnya yang merugikan
investor terhadap investasi yang mereka lakukan pada perusahaan tersebut, karena
tujuan perusahaan melakukan IPO yaitu pelepasan kepemilikan saham untuk
pelunasan leasing periode sebelumnya.
Dari daftar tersebut, Selain 5 perusahaan dengan nilai underpricing
tertinggi. PT. Wintermar Offshore Marine dengan kode emiten WINS juga tercatat
sebagai perusahaan yang mengalami peningkatan harga dipasar sekunder, dengan
perubahan underpricing terendah pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi
97
yang melakukan IPO selama tahun 2010-2018 yaitu sebesar 1,3% dari harga
penawaran umum perdana. Perubahan tersebut setara dengan Rp. 5, dari harga Rp.
380 menjadi Rp. 385 perlembar saham hingga penutupan IPO. Walaupun secara
perdagangan bergerak fluktuatif dan cederung agresif karena memperdangangkan
hampir sebanyak 4,1 milyar lembar saham dan perputaran dana sebanyak Rp. 1,2
Triliun, berdasarkan data dari bursa efek indonesia nilai saham perusahaan ini juga
sempat menyentuh harga tertinggi sebesar 540 dan terendah sebesar Rp. 380 per
lembar saham.
WINS berdiri pada tahun 1995 dengan nama PT. Swakarya Mulia Shipping
dan berlokasi di Jakarta, bergerak pada bidang pelayaran didalam negeri dan kapal
penunjangnya, kegiatan utama WINS adalah bergerang dalam bidang pelayaran
dengan fokus pada kapal penunjang kegiatan angkutan lepas pantai bagi industri
minyak dan gas bumi. melakukan pencataan saham pada tanggal 29 November
2010 mengandeng PT. Bahana Securities sebagai penjamin emisi, perusahaan
wintermar akan memperoleh dana IPO sebesar Rp. 342 Milliar dengan tujuan
penjualan saham dalam prospektusnya adalah untuk pembelian kapal baru kategori
B untuk anak perusahaan sebanyak 72,3% dari dana ipo, 16,7% digunakan untuk
pelunasan hutang usaha kepada PT. Bank Nasional indonesia Tbk. dan PT. CIMB
Niaga Tbk. Sedangkan sisanya sebanyak 10,9% dari dana ipo digunakan untuk
modal kerja usaha perseroan dan anak usaha.
Dalam publikasi informasi yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia,
perusahaan WINS telah menyerap dan menggunakan seluruh dana IPO sesuai
dengan prospektus secara bertahap dan baru diselesai pada tahun 2012. Hal ini juga
dibuktikan dengan adanya pertumbuhan atas aset kapal dari tahun 2010 sebanyak
32 kapal naik menjadi 43 kapal tahun 2011 dan 50 kapal pada tahun 2012. Laba
bersih perusahaan juga tumbuh signifikan dari US$ 10,8 Juta tahun 2010 menjadi
US$20,5 juta tahun 2012. Atau naik sebesar 98% dalam kurun waktu 2 tahun.
Hutang perusahaan untuk jangka pendek terhadap bank juga mengalami penurunan
pada tahun 2011, namun kembali naik pada tahun 2012 walaupun kenaikan tidak
signifikan. Hanya sebesar 7% dari periode sebelumnya. Dari data perubahan saham
di BEI, harga saham eprusahaan winterman dengan kode emiten WINS mengalami
peningkatan yang berfluktuatif. Pada akhir 2010 perusahaan menutupkan harga
98
sama seperti apda saat underpricing perdangan pertama di Rp. 385 atau naik 1,3%
dari harga IPO, lalu pada akhir tahun 2011 naik sebesar 4% atau setara Rp. 392 dan
pada akhir tahun 2012 naik menjadi Rp. 496 atau sebesar 30,4% dari harga IPO.
Berdasarkan data terkait volume dan transaksi perdagangan, WINS merupakan
saham yang aktif diperdagangkan, perusahaan ini selalu bergerak naik dan turun
dalam perdaganganya namun selalu ditutup dengan peningkatan sedikit dari harga
sebelumnya, walaupun demikian nilai saham perusahan ini konsisten meningkat
dari tahun ke tahun.
Berdasarkan dari perhitungan yang dilakukan, selain 5 perusahaan dengan
Underpricing tertinggi dan 1 perusahaan dengan underpricing terendah. Berikut
adalah ke 32 sampel yang memenuhi kriteria karena mengalami underpricing :
Tabel 4.16 Daftar Sampel penelitian dan nilai underpricing yang diukur dari Initial Return
NO KODE
EMITEN
SUB SEKTOR DI
BURSA EFEK
INDONESIA
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
HARGA
CLOSE
H-1
% (IR)
1 TOWR Konstruksi Non
Bangunan
08 Maret
2010 1.050 1.570 50% 0,4952
2 TBIG Konstruksi Non
Bangunan
26 Oktober
2010 2.025 2400 19% 0,1852
3 WINS Transportasi
29
November
2010
380 385 1% 0,0132
4 MBSS Transportasi 06 April
2011 1.600 1.780 11% 0,1125
5 BULL Transportasi 23 Mei 2011 155 166 7% 0,0710
6 PTIS Transportasi 12 Juli 2011 950 1.000 5% 0,0526
7 SDMU Transportasi 12 Juli 2011 225 240 7% 0,0667
8 SUPR Konstruksi Non
Bangunan
11 Oktober
2011 3.400 3.500 3% 0,0294
9 NELY Transportasi 11 Oktober
2012 168 205 22% 0,2202
10 TAXI Transportasi
02
November
2012
560 590 5% 0,0536
11 ASSA Transportasi
12
November
2012
390 490 26% 0,2564
12 TPMA Transportasi 20 Februari
2013 230 345 50% 0,5000
13 CANI Transportasi 16 Januari
2014 200 239 20% 0,1950
14 BIRD Transportasi
05
November
2014
6.500 7.450 15% 0,1462
99
15 SOCI Transportasi
03
Desember
2014
550 620 13% 0,1273
16 POWR Energi 14 Juni 2016 1.500 1.540 3% 0,0267
17 SHIP Transportasi 16 Juni 2016 140 238 70% 0,7000
NO KODE
EMITEN
SUB SEKTOR DI
BURSA EFEK
INDONESIA
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
HARGA
CLOSE
H-1
% (IR)
18 OASA Konstruksi Non
Bangunan 18 Juli 2016 190 322 69% 0,6947
19 PORT Transportasi 16 Maret
2017 535 575 7% 0,0748
20 TGRA Energi 16 Mei 2017 200 340 70% 0,7000
21 MPOW Energi 05 Juli 2017 200 340 70% 0,7000
22 PSSI Transportasi
05
Desember
2017
135 150 11% 0,1111
23 IPCM Transportasi
22
Desember
2017
380 402 6% 0,0579
24 LCKM Konstruksi Non
Bangunan
16 Januari
2018 208 312 50% 0,5000
25 HELI Transportasi 27 Maret
2018 110 187 70% 0,7000
26 GHON Konstruksi Non
Bangunan
09 April
2018 1.170 1.755 50% 0,5000
27 TRUK Transportasi 23 Mei 2018 230 344 50% 0,4957
28 TNCA Transportasi 28 Juni 2018 150 254 69% 0,6933
29 BPTR Transportasi 09 Juli 2018 100 170 70% 0,7000
30 IPCC
Jalan Tol, Bandara,
Pelabuhan dan
Produk lainnya
09 Juli 2018 1.640 1.715 5% 0,0457
31 SAPX Transportasi 03 Oktober
2018 250 374 50% 0,4960
32 DEAL Transportasi
09
November
2018
150 254 69% 0,6933
Sumber : Penulis, 2019
Dari data tersebut, dapat diperoleh beberapa informasi yang berkaitan
dengan sektor penelitian. Dimana dari tahun 2010 sampai dengan 2018 sektor
infrastruktur, utilitas dan transportasi mengalami underpricing yang cukup
signifikan. Pada tahun 2010, dari 3 perusahaan yang melakukan IPO, seluruhnya
konsisten mengalami underpricing dengan nilai tertinggi sebesar 49,5% yaitu PT.
Sarana Menara Nusantara Tbk. Dengan kode emiten TOWR yang bergerak
dibidang Pembangunan dan Penyewaaan menara pemancar. pada tahun 2011 dari
7 Perusahaan yang melakukan IPO, 5 perusahaan mengalami underpricing dan 2
mengalami overpricing. Penurunan terbesar atau overpricing terjadi pada PT.
100
Garuda Indonesia Tbk dengan kode emiten GIAA sebesar -18%, sedangkan
Underpricing tertinggi terjadi PT. Mitrabahtera Segara Sejati Tbk. Dengan kode
emiten MBSS naik hanya 11,3%. Pada tahun 2012, seluruh perusahaan yang
melakukan IPO sebanyak 3 perusahaan konsisten mengalami kenaikan dipimpin
oleh Perusahaan bidang pelayaran yaitu PT. Pelayaran Nely Dwi Putri Tbk. dengan
kode emiten NELY. Pada tahun 2013, hanya 1 perusahaan yang mengalami
underpricing, dari 3 perusahaan sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang
melakukan IPO. Yaitu PT. Trans Power Marine Tbk. Dengan kode emiten TPMA
yang mengalami underpricing sebesar 50%. Pada tahun 2014, 3 perusahaan IPO
mengalami underpricing dari 4 perusahaan tercatat. Nilai tertinggi dipimpin oleh
CANI sebesar 19,5%. Pada tahun 2015, tidak terdapat perusahaan pada sektor
Infrastruktur, utilitas dan transportasi yang melakukan IPO. Pada tahun 2016, 3
perusahaan IPO dengan kode POWR, SHIP dan OASA mengalami underpricing
dengan nilai tertinggi adalah kode saham SHIP sebesar 70% yang dimiliki PT. Sillo
Maritime Perdana Tbk. Pada tahun 2017, dari 6 perusahaan yang melakukan IPO,
5 Perusahaan tercatat mengalami underpricing dengan PT. Terregra Energy Asia
dan PT. Mega Power Makmur masing masing mengalami underpricing sebesar
70%. Pada tahun 2018, dari 10 perusahaan yang mencatatakan diri di bursa efek
indonesia, keseluruhannya mengalami konsistensi underpricing dengan rata-rata
50% diantarannya HELI, GHON, TRUK, TNCA, BPTR, SAPX dan DEAL, serta
hanya terdapat 1 emiten dengan underpricing rendah yaitu IPCC kode emiten milik
PT. Indonesia Kendaraan terminal yang bergerak dibidang transportasi.
Gambar 4.2 Diagram Kontribusi sub-sektor terhadap nilai underpricing
Sumber : Penulis, 2019
Transportasi Konstruksi Non Bangunan Energi Pelabuhan Telekomunikasi
101
Selain itu, jika diamati dari segi sub-sektor dari sektor infrastruktur, utilitas
dan transportasi. Selama periode penelitian, tahun 2010 sampai dengan 2018.
Sektor Transportasi memimpin dengan 22 perusahaan dari 32 perusahaan IPO yang
mengalami underpricing. Disusul dengan sub-sektor Konstruksi non Bangunan
sebanyak 6 Perusahaan dan 3 Perusahaan dari sub-sektor energi. Kemudian, sub-
sektor pelabuhan sebanyak 1 perusahaan serta tidak terdapat sektor telekomunikasi
yang melakukan IPO pada tahun penelitian dan mengalami underpricing.
Pada tahap selanjutnya, Setelah melakukan perhitungan dan pembahasan
terkait hasil dari fenomena underpricing pada perusahaan sektor infrastruktur,
utiltas dan transportasi. Perhitungan dilakukan kembali pada 32 perusahaan yang
mengalami underpricing dengan melihat kinerja sahamnya setelah 30 hari
melakukan penawaran umum perdana. Kenaikan Kinerja saham dalam jangka
pendek selama 30 hari, dapat diukur dengan besarnya nilai abnormal return. Untuk
proses analisis maka akan disajikan terlebih dahulu nilai abnormal return
perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana sektor infrastruktur, utilitas
dan transportasi pada periode 2010 sampai dengan 2018 pada hari pertama
perdagangan dan hari ke 30 perdanganan setelah terdaftar dengan jumlah sampel
32 perusahaan.
Tabel 4.17 Kinerja Saham 30 Hari dengan Perhitungan Abnormal return
Kode
Emiten
Abnormal return
IPO
Abnormal return Hari
ke-30
Selisih Abnormal
Return
TOWR 0,4768 0,8056 0,3287
TBIG 0,1822 0,3083 0,1262
WINS 0,0165 -0,1340 -0,1505
MBSS 0,1011 0,0292 -0,0719
BULL 0,0952 0,0245 -0,0707
PTIS 0,0669 -0,0632 -0,1301
SDMU 0,0810 -0,0037 -0,0846
SUPR 0,0503 0,0804 0,0301
NELY 0,2164 0,1873 -0,0292
TAXI 0,0536 0,5579 0,5042
ASSA 0,2588 0,0984 -0,1604
TPMA 0,4952 0,5966 0,1014
CANI 0,2047 0,3476 0,1430
102
BIRD 0,1478 0,3467 0,1989
SOCI 0,1300 0,1273 -0,0027
POWR 0,0217 -0,0187 -0,0404
SHIP 0,7010 1,5315 0,8305
OASA 0,6909 0,0627 -0,6282
PORT 0,0645 -0,0313 -0,0957
TGRA 0,7076 1,0745 0,3669
MPOW 0,7069 0,9455 0,2386
PSSI 0,1145 0,3235 0,2089
IPCM 0,0516 0,1318 0,0802
LCKM 0,4932 1,1404 0,6472
HELI 0,7059 0,0333 -0,6726
GHON 0,4892 -0,0655 -0,5547
TRUK 0,4909 1,8758 1,3849
TNCA 0,7148 0,0893 -0,6255
BPTR 0,7067 0,0299 -0,6767
IPCC 0,0304 -0,0785 -0,1090
SAPX 0,4972 1,5460 1,0488
DEAL 0,7034 2,2992 1,5957
Sumber : Penulis, 2019
Menurut Husnan (2003: 274) Abnormal Return adalah selisih antara return
sesungguhnya yang terjadi dengan return ekpektasi. Dalam hal ini, return
sesungguhnya merupakan return yang terjadi pada waktu ke-t yang merupakan
selisih harga sebelumnya, sedangkan return ekpektasi merupakan return yang harus
di estimasi dengan mengunakan model estimasi market adjusted model atau model
disesuaikan pasar. Yang artinya, bahwa model ini mengganggap penduga yang
terbaik dari ekspektasi return adalah return indeks pasar pada saat tersebut.
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 4.17, menunjukan bahwa
investor yang melakukan investasi (pembelian saham) pada 30 hari setelah
penawaran umum perdana dengan sampel sebanyak 32 perusahaan memberikan
rata-rata (mean) abnormal return sebesar 0,4440 dengan standar deviasi sebesar
0,6345. Nilai abnormal return tertinggi terjadi pada PT. Dewata
Freightinternasional Tbk sebesar 2,2992 atau naik sebesar 1,5997 dari nilai
abnormal return pada saat perusahaan melakukan IPO, yang artinya bahwa investor
yang melakukan investasi (pembelian saham) akan mendapatkan atau memberikan
pengaruh peningkatan harga abnormal return sebesar 159,97% dari harga
penawaran umum perdana jika melakukan pembelian di harga perdana, abnormal
103
return adalah perngurangan antara nilai sebenarnya ( initial return hari ke-30)
dengan kenaikan nilai yang diharapkan (market return hari ke 30) oleh investor
yang digambarkan bahwa nilai dari perusahaan dengan kode emiten DEAL berada
diatas rata-rata keseluruhan sampel penelitian. Sedangkan, nilai abnormal return
terendah terjadi pada PT. Batavia Prospetindo Trans Tbk. Sebesar -0,6767, yang
artinya bahwa investor yang melakukan investasi (pembelian saham) akan
mendapatkan abnormal return sebesar -67,67%, atau keputusan penjualan yang
lebih tinggi mendorong penurunan nilai atas perusahaan dibanding nilai pasar dari
harga penawaran umum perdana jika melakukan pembelian di harga perdana. Jika
investor membeli pada hari ke 30, nilai dari perusahaan dengan kode emiten DEAL
tersebut memiliki penurunan dan berada jauh diatas nilai rata-rata posistif sebesar
44%.
Tabel 4.18 Statistika Deskriptif untuk data Abnormal return
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
AR_IPO 32 ,0165 ,7148 ,327093 ,2710313
AR_30 32 -,1340 2,2992 ,443699 ,6345003
AR_AKHIR 32 -,6767 1,5957 ,116605 ,5399839
Sumber : Penulis, 2019
Catatan:
AR_IPO = Abnormal Return pada hari pertama perdagangan setelah penawaran
umum perdana
AR_30 = Abnormal Return pada akhir bulan pertama perdagangan setelah
penawaran umum perdana hari ke 30
Melalui Perhitungan pada tabel 4.18, menunjukkan bahwa pada hari
pertama perdagangan setelah penawaran umum perdana di bursa efek, terdapat rata-
rata abnormal return yaitu positif sebesar 0,327093 dengan standar deviasi
0,2710313. Pada akhir bulan pertama perdagangan setelah penawaran umum
perdana rata-rata abnormal return mengalami kenaikan hingga mencapai 0,443699
dengan standar deviasi sebesar 0,6345003, dengan demikian perbedaan rata-rata
abnormal return pada hari pertama perdagangan dan akhir bulan pertama
perdagangan setelah penawaran umum perdana mengalami kenaikan positif sebesar
0,116605 yang menunjukkan kenaikan kinerja saham (outperformed).kenaikan
kinerja saham yang positif, menggambarkan bahwa pada sektor infrastruktur,
104
utilitas dan transportasi rata-rata investor yang melakukan investasi pada emiten
tersebut pada saat ipo mengalami peningkatan harga atau mengalami keuntungan
diatas nilai ekspektasi pasar sebesar 11,66%.
4.6 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Internal Terhadap
Underpricing
1. Pengujian secara Parsial (Uji t)
Pengujian hipotesis dapat dilakukan setelah melakukan analisis data secara
statistik. Analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analsisi
regresi linier berganda. Setelah melakukan analisis regresi, data di uji secara parsial.
Pengujian secara parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Cara
melakukan uji t adalah dengan membandingkan t hitung dengan t pada tabel pada
derajat kepercayaan 95% atau signifikansi sebesar 5% (0,05) (Ghozali, 2006).
Pengujian tersebut menguji hubungan antara variabel independen yang
didalamnya terdiri dari Debt to Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS),
Return On Asset (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran Perusahaan (SIZE),
Presentase Saham Ditawarkan (PSD) terhadap variabel dependen Underpricing
yang diukur dengan initial return. Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui
apakah masing- masing variabel yang digunakan dalam penelitian mampu
menerangkan variabel dependen adalah dengan melihat t hitung dan nilai
signifikansi masing-masing variabel independen. Untuk mengetahui nilai t-tabel
dapat dilakukan perhitungaan sebagai berikut:
t tabel = ; df = n-k-1
= 5%; df = (32-8)
= 0,005’ df(22) = 1,717
Keputusan yang akan diambil mengacu pada ketentuan sebagai berikut (Ghozali,
2006) :
1. Apabila tingkat signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak dan sebaliknya
H1 diterima.
105
2. Apabila tingkat signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan sebaliknya
H1 ditolak.
Tabel 4.19 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Pertama
Model Unstandardized Coefficients
T Sig. B Std. Error
(Constant) 2,311 ,543 4,253 ,000
DER ,038 ,022 1,759 ,091
EPS 3,331E-5 ,000 ,086 ,932
ROA ,003 ,003 ,951 ,351
AGE -,007 ,053 -,138 ,891
SIZE -,146 ,034 -4,332 ,000
PSD -,468 ,466 -1,003 ,325
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.19, hasil perhitungan menunjukan bahwa tidak semua
variabel independen didalam faktor internal memiliki nilai signifikansi dibawah
0,05, maka pengaruh Debt to Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return
On Asset (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran Perusahaan (SIZE), Presentase
Saham Ditawarkan (PSD) terhadap variabel dependen Underpricing sebagai
berikut :
a. Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap underpricing
Hoa : Debt To Equity Ratio (DER) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
tingkat underpricing.
H1a : Debt To Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh Positif terhadap t ingkat
underpricing.
Berdasarkan tabel 4.19 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh
nilai koefisien regresi variabel Debt to equity ratio yaitu 0,038 dan t hitung sebesar
1,759. t hitung lebih besar dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 1,759 > t tabel 1,717.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,091, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1a ditolak dan
H0a diterima, dengan demikian variabel Debt to Equity Ratio (DER) tidak
berpengaruh positif secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel debt
to equity ratio (DER) mempunyai tingkat signifikansi 0,091. Nilai signifikansi ini
lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa debt to equity ratio (DER)
106
tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap underpricing. Dengan
demikian hipotesis pada penelitian ini tidak terbukti, karena H1 ditolak dan H0
diterima. Hasil tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
Ardhila dan Utiyati (2016), Raharjo dan Muid (2013), Stella (2009) mengenai Debt
to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap
Underpricing.
Secara teori, menurut Kasmir (2013) debt to equity ratio adalah rasio yang
dipakai untuk mengukur utang dengan ekuitas. Rasio ini dihitung dengan cara
membandingkan antara seluruh hutang, termasuk hutang lancar dengan seluruh
ekuitas perusahaan. Dalam hal ini, Utang terhadap Ekuitas membandingkan total
liabilitas atau utang perusahaan dengan total pembiayaan dari ekuitasnya. Rasio
Utang terhadap Ekuitas yang tinggi menunjukkan bahwa bisnis menerima proporsi
pendanaan utang yang lebih besar daripada pembiayaan ekuitas. Rasio Utang
terhadap Ekuitas yang lebih rendah biasanya menunjukkan kondisi bisnis yang
lebih stabil secara finansial. Tidak seperti pembiayaan ekuitas, utang wajib dibayar
kembali kepada pemberi pinjaman atau kreditur. Karena pembiayaan utang juga
membutuhkan pembayaran pokok pinjaman dan bunga, utang bisa menjadi bentuk
pembiayaan yang jauh lebih mahal daripada pembiayan ekuitas. Menurut Kasmir
(2013) DER merupakan bagian rasio solvabilitas yang digunakan secara
keseluruhan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam melunasi semua
kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan jaminan aktiva
atau kekayaan yang dimiliki perusahaan hingga perusahaan tutup atau dilikuidasi.
Hesti (2018), Andrian (2016), Dhimas (2013) dalam penelitiannya mengukapkan
bahwa rasio solvabilitas berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Nilai
perusahaan menurut Brigham (2005) merupakan nilai sekarang dari free cash flow
dimasa mendatang pada tingat diskonto sesuai rata rata tertimbang biaya modal.
Free cash flow merupakan cash flow yang tersedia bagi investor dan kreditur
setelah memperhitungkan seluruh pengeluaran untuk operasional perusahaan dan
pengeluaran untuk investasi serta aset lancar bersih. Free cash flow pada
perusahaan, juga dikenal sebagai nilai akrual per lembar saham yang akan diterima
apabila aset perusahaan dijual sesuai harga saham atau nilai book value nya
(Gitman, 2006). Menurut Harmono (2009) nilai perusahaan dicerminkan dari harga
107
saham, bagi perusahaan tercatat harga saham di pasar modal digunakan sebagai
acuan nilai perusahaan karena adanya penawaran dan permintaan saham di pasar
modal yang merefleksikan penilaian masyarakat terhadap kinerja perusahaan dan
ketertarikan atas kepemilikan perusahaan melalui lembar saham yang beredar.
Pada perusahaan IPO, pembelian saham dilakukan melalui dua mekanisme
pasar. Pertama dilakukan pada pasar perdana dimana investor akan mendapatkan
saham sesuai dengan harga penawaran yang disepakati antara underwriter dan
emiten. Kemudian, selanjutnya di pasar sekunder yaitu bursa efek indonesia yang
tergantung pada mekanisme penawaran dan permintaan pasar (Adler, 2014).
Peningkatan harga dipasar sekunder dapat terjadi apabila investor tidak
memperoleh saham tersbeut dipasar sekunder, peningkatan tersebut disebut sebagai
underpricing karena nilai di pasar sekunder lebih besar dari pada pasar perdana.
Peningkatan dapat terjadi karena 2 faktor, Adler (2014) menjelaskan faktor pertama
karena penetapan harga perdana lebih rendah dari pada nilai intrinsik perusahaan.
Pemahaman harga instrinsik pada setiap investor berbeda beda hal tersebut
disebabkan oleh berapa banyak informasi yang dimiliki investor sebelum
perusahaan melakukan IPO (Ritter, 1984) sehingga mendorong minat investor.
Pendekatan yang kedua (Adler, 2014) adalah pembentukan harga karena akibat
keputusan underwriter untuk menarik minat investor dengan menaikkan harga di
pasar sekunder. Selisih harga ini diharapkan cukup besar agar investor perusahaan
sekuritas mengalami keuntungan dan pada penawaran saham berikutnya investor
mau membeli karena mempunyai pengalaman mendapatkan keuntungan.
Perusahaan sekuritas akan terus melakukan penekanan kepada perusahaan yang
melakukan IPO untuk mau menerima harga yang ditawarkannya.
Baron (1982) menggunakan metoda analisis principal-agent dalam
menganalisis underpricing pada harga saham IPO. Secara teori, penetapan harga
yang lebih rendah dilakukan dengan melihat nilai intrinsik perusahaan yang
tercermin pada book value dalam laporan keuangan perusahaan. Perusahaan dengan
debt to equity ratio yang tinggi, memiliki risiko yang tinggi terhadap aktifitas bisnis
yang dilakukan, Sejumlah besar penggunaan utang umumnya juga dianggap
sebagai tanda praktik bisnis yang berisiko. Aturannya, sumber dana untuk
pembayaran atau pelunasan utang diharuskan terlepas dari pendapatan utama
108
bisnis. Perusahaan dengan Rasio Utang terhadap Ekuitas yang tinggi dan
mengalami penurunan performa keuangan harus terus melakukan pembayaran
utangnya. Bahkan jika bisnis gagal menghasilkan pendapatan yang cukup untuk
menutupinya juga tetap wajib untuk melunasi utangnya. Tentu hal tersebut dengan
cepat dapat menyebabkan pinjaman macet dan berakhir kebangkrutan. Oleh sebab
itu, karena Perusahaan sekuritas sebagai underwriter untuk menjual saham ke
publik yang dimiliki perusahaan emiten memiliki informasi yang paling lengkap
terkait kondisi dan kinerja perusahaan. Akibatnya, perusahaan sekuritas untuk
menghidari risiko atas DER yang tinggi, akan meminta harga saham yang dijual
menjadi underpricing agar bisa laku dijual sebagai salah satu alasan underwritter
meminta harga lebih rendah. Asimetris informasi yang terdapat di pasar
menyebabkan berbagai keputusan investasi, investor yang mengambil risiko yang
tinggi mengharapkan akan memperoleh return yang tinggi. sehingga Debt To
Equity Ratio berpengaruh positif terhadap underpricing.
Namun, Hasil penelitian yang menunjukan tidak adanya pengaruh variabel
DER terhadap underpricing. hal ini menjelaskan bahwa investor tidak menjadikan
hutang terhadap ekuitas sebagai salah satu variabel pengambilan keputusan
investasi dalam perusahaan IPO. Dengan kata lain, investor akan tetap melakukan
pembelian pada saham IPO tersebut sehingga terjadi underpricing, tanpa melihat
apakah proporsi keuangan perusahaan bersumber dari pembiayaan hutang ataukah
tidak. Jadi investor tidak melihat dari segi perusahaan, melainkan dari segi tenikal
yang mendorong underpricing. Jika diamati secara ekonomi makro, Berdasarkan
data dari kementrian keuangan tahun 2018, komposisi hutang luar negeri yang
dimiliki indonesia sebesar 6.081 Triliun atau setara dengan 29,31% dari total PDB
indonesia. Secara grafik pertumbuhan hutang cenderung mengalami peningkatan,
walaupun terdapat upaya penurunan, namun dampaknya tidak cukup signifikan
pada tahun 2010 hingga 2015 paska krisis keuangan tahun 2008, hutang pemerintah
kembali tumbuh untuk memperbaiki dampak krisis. Kemudian Perubahan arah
pemerintahan yang baru tahun 2014 dalam kebijakannya mengambil fokus pada
pembangunan sektor infrastruktur yang tercantum didalam Program Strategis
Nasional yang dalam informasi tercantum pada laporan kementrian keuangan
menjawab perihal hutang, menjelaskan bahwa dibutuhkan dana lebih besar untuk
109
pembanguan infrastruktur yang tidak dapat dipenuhi didalam negeri,sehingga
Membuat hutang luar negeri semakin meningkat secara signifikan hingga tahun
2018, yang tidak diimbang d engan peningkatan PDB memadai. Hal ini tergambar
dalam grafik berikut :
Gambar 4.3 Pertumbuhan Hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Sumber : Pengolahan Data, 2019
Komposisi hutang yang tercermin secara keseluruhan terdiri atas hutang
pemerintah dan hutang swasta. Hutang swasta dalam hal ini terdiri atas hutang
bank, lembaga keuangan, perusahaan dan Badan Usaha Milik Negara. Selain faktor
jumlah hutang yang bertambah, konsistensi penurunan nilai tukar rupiah terhadap
dolar berimbas pada beban hutang yang tidak hanya terhadap bunga hutang
melainkan depresiasi rupiah. Pelemahan tersebut dipengaruhi sejumlah faktor
eksternal, antara lain, ketidakpastian waktu dan besaran kenaikan suku bunga AS,
kekhawatiran negosiasi fiskal Yunani, serta Yuan yang terus terdepresiasi di tengah
perekonomian Tiongkok yang masih lemah. Sementara itu, dari sisi domestik,
tekanan terhadap rupiah terkait dengan meningkatnya permintaan valas untuk
pembayaran utang dan deviden secara musiman, serta kekhawatiran terhadap
melambatnya ekonomi domestik.
0
5
10
15
20
25
30
35
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Jum
lah
Ras
io P
DB
Tahun
110
Gambar 4.4 Pergerakan Kurs Rupiah terhadap Dolar
Sumber : Bank Indonesia, 2018
Dari segi dalam negeri, dikutip dari laporan perekonomian bank indonesia,
menjelaskan bahwa kebijakan the fed pada tahun 2015 berkaitan dengan penetapan
suku bunga sebagai Bank Sentral Amerika Serikat. mendorong Bank Indonesia
lebih memperhatikan suku bunganya untuk menjaga inflasi, stabilitas ekonomi dan
iklim investasi. Kondisi suku bunga yang stabil sejak tahun 2010 hingga 2015 harus
mengalami peningkatan, peningkatan suku bunga bi rate secara tidak langsung akan
berdampak pada penurunan investasi. Walaupun demikian, untuk mengatisipasi
risiko keuangan. Pemerintah melalui kementrian keuangan mengeluarkan paket
kebijakan penguatan fiskal. Salah satunya dengan menetapkan suku bunga acuan
yang nantinya akan lebih peka terhadap perubahan ekonomi global, pada tahun
2016, Bank indonesia dan Kementrian Keuangan memperkenalkan bentuk
pengelolaan suku bunga dan kebijakan penyimpanan pada Bank Indonesia yang
dikenal sebagai BI 7-Day (Reverse) Repo Rate. Lembaga perbankan tidak perlu lagi
menunggu hingga setahun untuk bisa menarik kembali uangnya. Bank-bank bisa
menarik uangnya setelah menyimpan selama 7 hari (bisa 14 hari, 21 hari, dan
seterusnya) di Bank Indonesia (BI). Kemudian pengembalian tersebut ditambah
dengan bunga yang besarannya seperti yang dijanjikan sebelumnya. Dengan jangka
waktu yang lebih pendek, otomatis BI 7-Day Rate memiliki suku bunga/rate yang
lebih rendah daripada BI Rate. Sejak diberlakukan 19 Agustus 2016, Bank
Indonesia (BI) berharap kebijakannya tersebut dapat mengontrol dengan efektif
tingkat suku bunga. Yang tentunya berdampak pada penyaluran kredit dari bank-
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8
NIL
AI R
UP
AIH
TAHUN
Pergerakan KURS
111
bank ke masyarakat menjadi lebih lancar. Dan risiko kredit macet karena perubahan
suku bunga yang tiba-tiba jadi bisa diperkecil. Pertumbuhan ekonomi yang
diinginkan pun akhirnya dapat tercapai.
Bank Indonesia selaku Bank Sentral pada tahun 2017 memberikan tiga
kebijakan terkait hutang luar negeri,dikutip dari laporan perekonomian bank
indonesia tahun 2017. Kebijakan pertama, pembiayaan dalam bentuk pinjaman luar
atau dalam negeri, portofolio harus pembiayaan ekonomi produktif. Kemudian,
kebijakan kedua yaitu manajemen risiko terhadap sumber pembiayaan utang luar
negeri harus prudent. BI telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan hedging
terhadap resiko nilai tukar serta menyediakan likuiditas. Kebijakan ketiga,
perusahaan yang melakukan utang luar negeri tidak overleverage yang artinya rasio
utang dan rating-nya harus bagus.
Beberapa risiko yang terjadi karena faktor ekonomi yang disebabkan
hutang, dikhawatirkan berakibat pada penurunan kepercayaan investor. Tetapi
melalui kebijakan ekonomi dan langkah cermat ayng dilakukan pemerintah melalui
Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia Hingga tahun 2018. Pertumbuhan
investasi dalam negeri yang dibuktikan dengan kondisi pasar modal dalam grafik
pada gambar 4.4 mengambarkan bahwa secara ekonomi makro kondisi hutang
Indonesia tidak memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan investasi.
Gambar 4.5 Hutang terhadap PDB dan pertumbuhan investasi pasar modal.
Sumber : Pengolahan data
0
5
10
15
20
25
30
35
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
RA
SIO
HU
TAN
G T
ERH
AD
AP
PD
B
TAHUN
Hutang Indonesia IHSG
112
Dari sisi investor, Menurut Rock (1992), asimetris informasi menjadi salah
satu dasar terjadinya underpricing. Investor yang memiliki informasi lebih banyak
akan membeli pada saat penawaran perdana dengan porsi yang lebih besar. kondisi
harga saham yang berada di bawah nilai book value akan dianggap lebih murah,
sehingga investor dengan dana yang lebih sedikit maupun investor yang tertarik dan
tidak memperoleh saham perdana akan menunggu di pasar sekunder. Proporsi yang
besar tersebut menjadikan saham IPO tidak liquid yang artinya secara perdagangan
pada penawaran dan permintaan di pasar sekunder tidak seimbang dimana investor
yang membeli di awal akan menyimpan kepemilikkannya dengan harapan
pertambahan nilai yang lebih tinggi dan investor yang berminat akan menawarkan
harga lebih tinggi agar mendapatkan saham tersebut. Selain itu menurut dugaan
peneliti, tidak adanya hubungan pengaruh antara Variabel Debt to Equity Ratio
dengan Underpricing disebabkan oleh bentuk data DER yang merupakan informasi
bersifat tahunan dan Underpricing merupakan informasi harian pada saat
perdagangan perdana satu hari setelah IPO, sehingga penggunaan informasi sebgai
dasar pengambilan keputusan tidak berimbang.
Dilakukan sampling pada perusahaan didalam sektor penelitian. Pada saat
IPO, PT Garuda Indonesia Tbk. Menetapkan harga penawaran sebesar 750 , dan
mengalami penurunan hingga penutupan perdagangan perdana di pasar sekunder
pada harga 615 sehingga tidak terjadi Underpricing. Padahal perusahaan BUMN
tersebut berdasarkan laporan keuangan yang diterbikan sebelum IPO, memiliki
DER sebesar 6,7 kali dari ekuitas yang dimiliki. Hal tersebut juga ditemukan pada
perusahaan BUMN serupa yaitu PT. Presisi yang memiliki der sebesar 7,4 kali dari
ekuitas, yang melakukan ipo dengan harga penawaran sebesar 430 dan turun
menjadi 410 pada penutupan perdagangan di pasar sekunder atau tidak mengalami
underpricing. Hal tersebut, juga berlaku terhadap perusahaan yang mengalami
underpricing, PT tereggra asia energi memiliki der sebesar 0,09 kali dari ekuitas
yang dimiliki dan mengalami underpricing 70% dari harga penawaran umum
sebesar Rp. 200 dan PT Protech Mitra Perkasa Tbk dengan DER sebesar 0,08 kali
dari ekuitasnya mengalami underpricing sebesar 69,67% dari Rp. 190 menjadi Rp.
340 per lembar saham. Data sampling tersebut, memperkuat realita atas keputusan
investasi yang dilakukan investor terhadap perusahaan IPO yang tidak menjadikan
113
Debt to equity ratio (DER) sebagai acuan pada sektor infrastruktur, utilitas dan
transportasi tahun 2010-2018.
b. Pengaruh Earning Per Share (EPS) terhadap underpricing
Hob : Earning Per Share (EPS) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
H1b : Earning Per Share (EPS) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
Berdasarkan tabel 4.19 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh
nilai koefisien regresi variabel Earning Per Share yaitu 3,331 dan t hitung sebesar
0,086. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 0,086 < t tabel 1,717.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,932, nilai tersebut lebih besar dair pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1b ditolak dan
H0b diterima, dengan demikian variabel Earning Per Share (EPS) tidak
berpengaruh Positif secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel
Earning Per Share (EPS) mempunyai tingkat signifikansi 0,351. Nilai signifikansi
ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Earning Per Share
(EPS) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap underpricing. Dengan
demikian hipotesis pada penelitian ini tidak terbukti, karena H1b ditolak dan H0b
diterima. Hasil tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
Rista Maya (2013), Fiona dan Ngadno (2015), Racmasari (2009) mengenai Earning
Per Share (EPS) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap
Underpricing.
Dictionary of Accounting (Abdultah, 1994) menjelaskan laba bersih per
saham adalah pendapatan bersih perusahaan selama setahun dibagi dengan jumlah
rata-rata lembar saham yang beredar, dengan pendapatan bersih tersebut dikurangi
dengan saham preferen yang diperhitungkan untuk tahun tersebut. Menurut
Darmaji dan Fakhruddin (2006:195) mendefinisikan bahwa “Laba Per Saham
sebagai rasio yang menunjukkan bagian laba untuk setiap saham. Earning Per
114
Share menggambarkan profitabilitas perusahaan yang tercermin pada setiap lembar
saham.” Sedangkan Earning Per Share (EPS) menurut Brigham dan Houston
(2010) yang diterjemahkan Ali Akbar Yulianto, “Earning Per Share (EPS) adalah
pendapatan bersih yang tersedia dibagi jumlah lembar saham yang beredar.” Laba
merupakan alat ukur utama kesuksesan suatu perusahaan, karena itu para investor
seringkali memusatkan perhatian pada besarnya Earning Per Share (EPS). Secara
teori, semakin besar nilai Earning Per Share akan memberikan gambaran bahwa
perusahaan memiliki peluang untuk memberikan keuntungan jangka panjang bagi
pemegang saham. Selain itu, laba juga mencerminkan bahwa perusahaan mampu
membiayai hutang dan menjamin kelangsungan perusahaan Darmaji dan
Fakhruddin (2006). Sehingga menurut Rock (1984) asimetris informasi terkait
semakin tingginya EPS berpengaruh positif terhadap underpricing.
Namun, hasil penelitian yang menunjukan Tidak adanya pengaruh variabel
EPS terhadap underpricing ini menjelaskan bahwa investor tidak menjadikan
Keuntungan (Laba) yang tercermin di laporan keuangan terhadap laba yang
dibagikan perlembar saham untuk pengambilan keputusan investasi dalam
perusahaan IPO. Dengan kata lain, investor akan tetap melakukan pembelian pada
saham IPO tersebut sehingga terjadi underpricing, tanpa melihat apakah terdapat
laba atau rugi yang dibagikan per lembar saham. Investor tidak melihat pergerakan
saham secara fundamental, tetapi lebih meilihat pada pergerakan permintaan dan
penawaran saham secara teknikal sehingga terjadi asismeris informasi yang
mendorong underpricing.
Menurut Ary Gumanty (2011) , Earning Per Share yang tercantum pada
laporan keuangan perusahaan tidak menjadi dasar apakah perusahaan mengambil
keputusan pembagian laba untuk para investor ataukah tidak, keputusan tersebut
diambil oleh pihak manajemen dan disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS). Deviden adalah nilai resmi berupa laba yang dibagikan kepada pemegang
saham yang nilainya dipublikasikan melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek
Indonesia, total deviden tidak selalu sama dengan nilai EPS (Riza, 2016). Untuk
sektor penelitian terhadap 32 sampel perusahaan secara parsial EPS tidak
mempengaruhi underpricing maka disimpulkan bahwa nilai laba per saham tidak
115
dijadikan tolak ukur didalam pengambilan keputusan investasi yang mendorong
terjadinya peningkatan harga saham di hari pertama perdagangan di pasar sekunder.
Selain Itu, bentuk data EPS yang merupakan informasi tahunan bersumber dari
laporan keuangan dan Underpricing merupakan informasi harian pada saat
perdagangan perdana satu hari setelah IPO. Penulsi menduga sebagai penyebab
tidak adanya hubungan pengaruh antara variabel Earning Per Share dengan
Underpricing karena penggunaan informasi sebgai dasar pengambilan keputusan
tidak berimbang.
c. Pengaruh Return On Asset (ROA) terhadap underpricing
Hoc : Return On Asset (ROA) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
tingkat underpricing.
H1c : Return On Asset (ROA) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
Berdasarkan tabel 4.19 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh
nilai koefisien regresi variabel Return On Asset yaitu 0,003 dan t hitung sebesar
0,951. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 0,951 < t tabel 1,717.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,351, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1c ditolak dan
H0c diterima,dengan demikian variabel Return On Asset (ROA) tidak berpengaruh
Positif secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel Return
On Assets (ROA) mempunyai tingkat signifikansi 0,351. Nilai signifikansi ini lebih
besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Return On Assets (ROA) tidak
berpengaruh signifikan secara parsial terhadap underpricing. Dengan demikian
hipotesis pada penelitian ini tidak terbukti, karena H1c ditolak dan H0c diterima.
Hasil tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Rista Maya
(2013), Fiona dan Ngadno (2015), Racmasari (2009) mengenai Return On Assets
(ROA) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Underpricing.
Tujuan utama perusahaan menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1982
adalah memperoleh keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan. Keuntungan
116
yang terjadi pada perusahaan dapat diperoleh dengan memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki perusahaan. Upaya pemaksimalan sumber daya untuk keuntungan
dapat digambarkan melalui rasio profitabilitas (Kasmir, 2013). Dalam analisis
fundamental, rasio profitabilitas merupakan rasio yang sangat penting, karena
apabila perusahaan tidak mampu menghasilkan keuntungan maka sudah jelas
perusahaan tersebut bukanlah tempat yang layak untuk melakukan investasi.
Sebaliknya, apabila perusahaan mampu menghasilkan keuntungan yang besar
apalagi memiliki trendkonsisten naik selama bertahun-tahun maka dapat dikatakan
bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang bagus sebagai tempat
berinvestasi dari sisi profitabilitas. Van Horne dan Wachowicz (2005:222),
mengemukakan bahwa rasio profitabilitas terdiri atas dua jenis, yaitu rasio yang
menunjukkan profitabilitas dalam kaitannya dengan penjualan dan rasio yang
menunjukkan profitabilitas dalam kaitannya dengan investasi. Return On Assets
merupakan ratio profitabilitas yang menggambarkan sejauh mana kemampuan aset-
aset yang dimiliki perusahaan bisa menghasilkan laba (Tandelilin, 2010). Semakin
besar nilai ROA maka semakin bagus, karena dengan sumber daya yang dimiliki
(total aset), perusahaan mampu memaksimalkannya menjadi laba bersih. Hal ini
berarti, dengan aset-aset yang dimiliki, perusahaan mampu memanfaatkan aset-
asetnya dengan baik, sehingga bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Terlebih lagi jika dalam melakukan analisis fundamental, kita menemukan
perusahaan yang total asetnya turun atau stagnan, tetapi laba bersih selalu naik. Hal
ini bisa mengindikasikan bahwa dengan aset yang sedikit perusahaan tetap mampu
memaksimalkan kinerjanya, sehingga bisa menghasilkan laba bersih yang besar.
Secara teori signaling kondisi tersebut mendorong ketertarikan investor untuk
melakukan pembelian saham tersebut. Melalui mekanisme IPO dan penawaraan
saham di pasar modal. Asimetris informasi yang terdapat di pasar menyebabkan
berbagai keputusan investasi, investor yang mengambil risiko yang tinggi
mengharapkan akan memperoleh return yang tinggi, mereka meyakini bahwa
perusahaan dengan ROA tinggi akan memberikan deviden dikemudian hari dan
meningkatkan nilai investasi mereka apalagi perusahaan baru melakukan IPO.
Sehingga Return On Assets berpengaruh Positif terhadap Underpricing.
117
Namun, hasil penelitian yang menunjukan Tidak adanya pengaruh variabel
ROA terhadap underpricing ini menjelaskan bahwa investor tidak menjadikan
Keuntungan (Laba) terhadap aset sebagai salah satu variabel pengambilan
keputusan investasi dalam perusahaan IPO. Dengan kata lain, investor akan tetap
melakukan pembelian pada saham IPO tersebut sehingga terjadi underpricing,
tanpa melihat apakah keuntungan perusahaan dipengaruhi oleh aset yang dimiliki
perusahaan tersebut maupun bagaimana perusahaan memaksimalkan aset untuk
memperoleh keuntungan. Investor tidak mencermati faktor fundamental yang
tercermin di dalam laporan keuangan berupa ROA didalam pengambilan
keputusan, melainkan melihat dari segi teknikal terkait frekuensi permintaan dan
permawaran di Bursa Efek, hal ini dapat disebabkan oleh asimetris informasi yang
berkembang di kalangan inevstor sehingga akan mendorong underpricing.
ROA menurut Munawir (2001) dapat menjadi acuan bagi calon investor
untuk melihat kondisi dan kinerja perusahaan tersebut dibandingkan dengan
perusahaan kompetitor lainnya pada industri yang sama. Pada sektor penelitian,
industri yang terlibat terbagi atas lima sub sektor yaitu infrastruktur, transportasi,
bangunan non kontruksi, energi dan telekomunikasi. Sektor energi tumbuh
signifikan tahun 2010 hingga 2015, kebijakan pemerintah yang tertuang didalam
perencanaan keselarasan kebijakan energi nasional, memberikan ruang yang lebih
luas kepada setiap peerintah daerah untuk meningkatkan potensi energi
didaerahnya, pemerintah melalui kementrian ESDM mengeluarkan kebijakan
pemangkasan subsidi listrik yang mendorong, munculnya terobosan baru token
listrik didalam sistem kelistrikan masyarakat. Sektor infrastrukur dan transportasi
tumbuh signifikan,tahun 2012 Kebijakan menko perekonomian pada masa
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono berkaitan dengan logistik
melalui Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai satu upaya untuk
meningkatkan nilai kompetitif bangsa dan produk-produk yang dihasilkannya
dalam menghadapi persaingan global. Sislognas adalah suatu Sistem yang mampu
untuk menjamin berlangsungnya suatu proses pergerakan atau distribusi barang
baik material maupun produk jadi dari satu tempat ke tempat lain dengan baik dan
sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam skala wilayah nasional Indonesia.
Secara ringkas Sislognas adalah suatu sistem yang mendukung proses pengelolaan
118
rantai suplai (supply chain management) berskala nasional. Penjaminan sistem
logistik yang memadai melalui kebijakan sislognas, memberikan pentaaan yang
lebih baik pada prosedur dan tata kelola sistem logistik dalam negeri, yang
berdampak pada perusahana perusahaan dibidang transportasi. pembangunan
infrastruktur yang dicanangkan pemerintahan jokowi dodo pada tahun 2014
didalam Proyek Startegis Nasional mendorong kemudahan akses yang lebih cepat
dan tepat melalui pemangkasan regulasi, Pembangunan jalan Tol, Pelabuhan dan
Bandara baru. Mempermudah perpindahan barang dan jasa yang ebrdampak pada
pertumbuhan Perekonomian Berkelanjutan. Perusahaan perusahaan transportasi
memiliki peluang lebih besar dengan aset yang dimiliki, mampu memangkas beban
produksi, biaya dan waktu. Perusahaan pelayaran, melalui kebijakan dwaling time
yang dipangkas dipelabuhan mampu meningkatkan kapasitas pengakutan barang
maupun penumpang dengan aset tetap yang dimiliki. hal tersebut juga berlaku pada
moda transportasi darah dan udara lainnya.
Namun, Aset tidak serta merta dapat meningkatkan keuntungan. Walaupun
kebijakan pemerintah mendukung tingkat keuntungan yang lebih besar dengan aset
yang dimiliki. Menurut Peter (2007) keuntungan diperoleh melalui proses bisnis
yang dilakukan pada aset. Proses bisnis tercermin pada model bisnis, Model bisnis
yang baik akan melemahkan kompetitor. Jika perusahaan mampu mengetahui
kelemahan model bisnis pesaing, maka perusahaan dapat segera menentukan model
bisnis yang dapat menutup celah kelemanah tersebut. Ini akan mengakibatkan
munculnya produk subsitusi dari perusahaan yang memiliki nilai lebih
dibandingkan kompetitor. Merubah kompetitor menjadi sekutu. Hal ini sebagai
akibat karena perusahaan mampu mengidentifikasi kelembahan bisnis kompetitor,
dan sebaliknya. Sebagai solusi, maka dibuatlah produk komplementer untuk saling
melengkapi. Berbagai keuntungan tersebut tidak hanya untuk meningkatkan
reputasi dan daya saing perusahaan, namun juga mendorong perusahaan untuk
memenangkan kompetisi di pasar. Berbisnis tidak hanya semata-mata menjual
produk ke pasar dan menunggu respon konsumen terhadap produk tersebut.
Menjalankan sebuah bisnis hendaknya harus diiringi dengan proses perancangan
berbagai faktor pendukung. Pasar bebas yang dibuka di seluruh kawasan ASEAN
tahun 2015, memberikan iklim persaingan yang ketat. Berbagai perusahaan di
119
sektor penelitian dari dalam dan luar negeri dituntun untuk lebih inovatif dalam
menjalankan bisnis agar mampu bertahan dan berkembang, serta memaksimalkan
kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
Tingginya minat IPO perusahaan infrastruktur utilitas dan trasnportasi,
disinyalir menjadi dasar kebutuhan investasi yang besar pada sektor tersebut untuk
meningkatkan investasi dan daya saing. Hal ini ditunjukan sepanjang periode
penelitian pada grafik dibawah ini menunjukan konsistensi peningkatan perusahaan
sektor peenlitian yang melakukan IPO naik tajam pada tahun 2015 hingga 2018.
Gambar 4.5 Perumbuhan perusahaan IPO Sektor Penelitian
Pada perusahaan yang melakukan IPO pada sektor penelitian, karena
berdasarkan hasil ROA tidak berpengaruh terhadap underpricing. Maka investor
lebih cenderung melihat proses bisnis perusahaan dari pada hasil akhir dari
keuntungan dibanding pengelolaan aset perusahaan. Selain itu, sumber data ROA
yang berasal dari laporan keuangan yang merupakan informasi tahunan dan
Underpricing yang merupakan informasi satu hari karena dihitung berdasarkan hari
pertama setelah IPO, menyebabkan data yang tidak berimbang sehingga diduga
sebagai penyebab tidak adanya hubungan antara ROA dan Underpricing. Dapat
dilihat pada lampiran 3, dilakukan sampling pada perusahaan didalam sektor
penelitian. Pada saat IPO, PT Satria Antaran Prima Tbk. Menetapkan harga
penawaran sebesar 250, dan mengalami peningkatan sebanyak 49,5% menjadi 374
hingga penutupan perdagangan perdana di pasar sekunder pada harga sehingga
terjadi Underpricing. Padahal perusahaan logistik tersebut berdasarkan laporan
keuangan yang diterbikan sebelum IPO, memiliki ROA sebesar Negatif -39,7 kali
0
2
4
6
8
10
12
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
120
dari asset yang dimiliki. Hal tersebut juga ditemukan pada perusahaan Pelayaran
yaitu PT. Pelita samudera shipping yang memiliki ROA sebesar -19 Kali dari
assetnya, yang melakukan ipo dengan harga penawaran sebesar 135 dan naik
menjadi 150 pada penutupan perdagangan di pasar sekunder mengalami
underpricing. Hal tersebut, juga berlaku terhadap perusahaan dengan keuntungan
yang maksimal atas peneglolaan asetnya. PT windermar Offshore Marine memiliki
ROA sebesar 58 kali dari Asset yang dimiliki dan mengalami underpricing 2% dari
harga penawaran umum sebesar Rp. 380 dan PT Protech Mitra Perkasa Tbk dengan
ROA sebesar 19 kali dari asetnya mengalami underpricing sebesar 69,67% dari Rp.
190 menjadi Rp. 340 per lembar saham. Data sampling tersebut, memperkuat realita
atas keputusan investasi yang dilakukan investor terhadap perusahaan IPO yang
tidak menjadikan Return On Assets (ROA) sebagai acuan pada sektor infrastruktur,
utilitas dan transportasi tahun 2010-2018.
d. Pengaruh Umur Perusahaan (AGE) terhadap underpricing
Hod : Umur Perusahaan (AGE) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
tingkat underpricing.
H1d : Umur Perusahaan (AGE) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
Berdasarkan tabel 4.2 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Umur Perusahaan yaitu -0,007 dan t hitung sebesar -
0,138. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 0,138 < t tabel 1,717.
Adapaun tingkat signifikansi sebesar 0,891, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1d ditolak dan
H0d diterima,dengan demikian variabel Umur Perusahaan tidak berpengaruh Positif
secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel Umur
Perusahaan mempunyai tingkat signifikansi 0,891. Nilai signifikansi ini lebih besar
dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Umur Perusahaan tidak berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap underpricing. Dengan demikian hipotesis pada
penelitian ini tidak terbukti, karena H1d ditolak dan H0d diterima. Hasil tersebut
121
memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Herbnu Putro (2015), dan
Sri Winarsih (2013) mengenai Umur Perusahaan tidak berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap Underpricing.
Secara Teori, Umur perusahaan adalah lamanya sebuah perusahaan berdiri,
berkembang dan bertahan. Umur perusahaan dihitung sejak perusahaan tersebut
berdiri berdasarkan akta pendirian sampai perusahaan melakukan IPO sesuai
dengan penelitian. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Trisnawati (1998) dan
Beatty (1989) dalam Gumanti (2000) menyatakan bahwa perusahaan yang sudah
lama berdiri, kemungkinan sudah banyak pengalaman yang diperoleh. Semakin
lama umur perusahaan, semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat
tentang perusahaan tersebut. Dan hal ini akan menimbulkan kepercayaan konsumen
terhadap produk-produk perusahaan tersebut. Selain itu, perusahaan yang telah
lama berdiri tentunya mempunyai strategi dan kiat-kiat yang lebih solid untuk tetap
bisa survive dimasa depan. Semakin lama sebuah perusahaan berdiri, tentunya telah
banyak pula mengalami lika-liku dalam berbisnis, mulai dari kemajuan hingga
masalah dan kendala yang dihadapi. Kemampuan sebuah perusahaan untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dalam masa pengelolaan
perusahaan, akan semakin menguatkan keberadaan perusahaan itu sendiri. Banyak
cara-cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk bertahan dalam setiap
kendala yang dihadapi. Sehingga, jika terjadi lagi kesulitan maupun kendala yang
sama maupun berbeda, maka perusahaan tersebut sudah siap dan mampu untuk
mengatasi masalah tersebut dengan baik dan menyelesaikannya dengan sukses.
Semakin banyak pengalaman yang dimiliki oleh suatu perusahaan, maka akan
membuat perusahaan tersebut semakin berkompeten. Dan semakin lama
perusahaan tersebut berdiri dan bertahan, maka perusahaan itu akan semakin diakui
keberadaan dan keunggulannya di mata masyarakat. Apalagi jika produk-produk
yang dihasilkan oleh perusahaan selalu baik kualitasnya serta tidak pernah
mengecewakan konsumen. Perusahaan tersebut akan dipercayai oleh konsumen
sebagai perusahaan yang baik dan jaminan atas hasil yang baik pula. Kepercayaan
konsumen akan sejalan dengan kepercayaan investor pada perusahaan tersebut.
Karena informasi yang dimiliki masyarakat sengat cukup dan perusahaan memiliki
reputasi yang baik. Jika perusahaan melakukan IPO, maka akan meningkatkan
122
jumlah peminat terhadap pembelian saham perusahaan sehingga semakin lama
perusahaan berdiri akan memberikan lebih banyak informasi yang dimiliki
masyarakat terkait perusahaan akan berdampak positif terhadap Underpricing.
Namun pada penelitian, umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap
underpricing. Yang artinya lama atau tidaknya perusahaan didirikan hingga
melakukan penawaran umum, calon investor tidak menjadikan hal tersbut sebagai
alasan didalam pengambilan investasi yang mendorong naiknya nilai harga saham
perusahaan dibandingkan harga perdananya. Hal tersebut disebabkan, pada
perusahaan yang melakukan IPO pada sektor dan periode penelitian, memiliki rata
rata 14 tahun, walaupun terdapat banyak perusahaan yang memiliki umur diatas 10
tahun, tetapi secara keseluruhan kondisi umur perusahaan, tidak memberikan
gambaran yang cukup, ataupun memiliki kepopuleran sehingga disinyalir
memberikan sedikit informasi kepada investor. Ketidaktahuan investor terhadap
perusahaan Berdasarkan teori signaling yang dikemukan baron (1987) terkait
asimetris informasi, akan memberikan signal kepada investor yang memiliki
informasi lebih banyak terkait perusahaan, dalam artian jika memang perusahaan
dinilai baik berapapun umur eprusahaan tersebut maka akan membeli saham
tersebut dengan volume yang lebih banyak dibandingkan investor lainnya, hal
tersebut juga berlaku sebaliknya.
Pada perusahaan yang melakukan IPO pada sektor penelitian, karena
berdasarkan hasil umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap underpricing. Maka
dinilai umur perusahan tdiak mencerminkan perusahaan dikenal, publikasi terkait
perusahaan tidak dilakukan secara maksimal sehingga investor tidak
memperdulikan seberapa lama operasi bisnis dilakukan perusahaan akan
berdampak pada kpeutusan investasi yang mereka lakukan. Dapat dilihat pada
lampiran 3, dilakukan sampling pada perusahaan didalam sektor penelitian. Pada
saat IPO, PT Sarana Menara Nusantara Tbk. Menetapkan harga penawaran sebesar
1050, dan mengalami peningkatan hingga penutupan perdagangan perdana di pasar
sekunder pada harga 1570 atau auto reject atas sebanyak 59% permintaan sehingga
terjadi Underpricing. Padahal perusahaan penyewaan menara tersebut berdasarkan
laporan keuangan yang diterbikan sebelum IPO, baru berusia 2 tahun dari akta
pendiriannya tahun 2008 dan IPO 2010. Berbanding dengan perusahaan BUMN
123
yaitu PT. Garuda Indonesia yang memiliki umur 51 tahun jika berdasarkan akta
pendirian hingga penawaran umum perdana, yang melakukan ipo dengan harga
penawaran sebesar 750 dan turun 615 menjadi pada penutupan perdagangan di
pasar sekunder atau tidak mengalami underpricing. Data sampling tersebut,
memperkuat realita atas keputusan investasi yang dilakukan investor terhadap
perusahaan IPO yang tidak menjadikan Umur Perusahaan sebagai acuan pada
sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun 2010-2018.
e. Pengaruh Ukuran Perusahaan (SIZE) terhadap underpricing
Hoe : Ukuran Perusahaan (SIZE) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
tingkat underpricing.
H1e : Ukuran Perusahaan (SIZE) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
Berdasarkan tabel 4.19 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh
nilai koefisien regresi variabel Ukuran Perusahaan yaitu -0,146 dan t hitung sebesar
-4,332. t hitung lebih besar dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 4,332 > t tabel
1,1717. Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,000, nilai tersebut lebih kecil dari
pada nilai syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1e
diterima dan H0e ditolak, dengan demikian variabel Ukuran Perusahaan
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat underpricing, namun dengan arah
Negatif
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel Umur
Perusahaan mempunyai tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi ini lebih kecil
dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Umur Perusahaan berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap underpricing. Dengan demikian hipotesis pada
penelitian ini tidak terbukti, karena H1e diterima dan H0e ditolak. Hasil tersebut
memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Herbnu Putro (2015),
Agus Arman (2014), Sri Mulyanti (2016) dan Reza Widhar (2013) mengenai
Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Underpricing.
Arta et.all (2011) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah total aset
yang dimiliki suatu perusahaan. Menurut Mochfoedz (1994) dalam Rahmi (2010),
ukuran perusahaan pada dasarnya terbagi dalam tiga kategori:
124
1. Perusahaan Besar (Large Firm) : Perusahaan yang dikategorikan
perusahaan besar biasanya merupakan perusahaan yang telah go publik di pasar
modal dan termasuk dalam kategori papan pengembangan satu yang memiliki total
aset sekurang-kurangnya Rp200.000.000.000.
2. Perusahaan Menengah (Medium Size) : Perusahaan yang dikategorikan
perusahaan menengah biasanya listing di pasar modal papan pengembangan dua
dan umumnya memiliki total aset Rp2.000.000.000 s.d. Rp200.000.000.000.
3. Perusahaan Kecil (Small Firm) : Perusahaan yang dikategorikan
perusahaan kecil merupakan perusahaan yang memiliki total aset kurang dari
Rp2.000.000.000 dan biasanya perusahaan kecil ini belum terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
Teori critical resource menekankan pada pengendalian oleh pemilik
perusahaan terhadap sumber daya perusahaan seperti asset, technology, dan
intellectual property sebagai faktor-faktor yang menentukan firm size. Size
perusahaan dapat diukur dengan beberapa proksi: aset (asset), penjualan, jumlah
pekerja, dan nilai tambah (value added). Teori teknologi perusahaan yang
menekankan skala ekonomis yang timbul dari capital input akan menggunakan
asset atau penjualan sebagai pengukur size (Kusuma, 2005). Ukuran perusahan
(company size) secara umum dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau
kecilnya suatu objek. Ukuran perusahaan menunjukan besar atau kecilnya kekayaan
(asset) yang dimiliki suatu perusahaan. Pengukuran perusahaan bertujuan untuk
membedakan secara kuantitatif antara perusahaan besar (large firm) dengan
perusahaan kecil (small firm).
Besar kecilnya suatu perusahaan dapat mempengaruhi kemampuan
manajemen untuk mengoperasikan perusahaan dengan berbagai situasi dan kondisi
yang dihadapinya. Pada akhirnya kemampuan untuk mengoperasikan perusahaan
tersebut dapat mempengaruhi pengembalian utang perusahaan (Yulia, 2009).
Berdasarkan teori signaling, perusahaan yang memiliki aset yang lebih besar akan
mengurangi ketidak pastian di masa depan yang berarti dapat membantu investor
untuk memprediksi risiko jika melakukan investasi di perusahaan tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa ukuran perusahaan akan menentukan tingkat kepercayaan
investor. Perusahaan besar cenderung telah mencapai tahap kedewasaan dimana
125
dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek
yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan
bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba
dibanding perusahaan dengan total aset yang kecil. Kepercayaan investor yang
tinggi dapat meningkatkan volume pembelian saham yang akan mengakibatkan
naiknya harga saham atau tingginya initial return. Menurut Teori Asimetris
Informasi (Baron,1982) perusahaan yang memiliki total aset lebih besar memiliki
informasi yang lebih banyak untuk diterima oleh investor. Informasi tersebut, akan
memberikan signal pengambilan keputusan investasi yang akan mendorong
peningkatan harga pada saat IPO. Sehingga Ukuran Perusahaan Berpengaruh
Positif terhadap underpricing.
Teori Ukuran Perusahaan sejalan dengan hasil penelitian. dalam penelitian
yang dilakukan, terdapat pengaruh secara signifikan hubungan ukuran perusahaan
terhadap underpricing. Yang artinya ukuran perusahaan skala besar, perusahaan
skala menengah dan perusahaan skala kecil memiliki pengaruh terhadap
pengambilan keputusan investasi yang dilakukan investor pada saat perusahaan
yang melakukan Initial Public Offering. Namun, arah pengaruhnya berlawanan
dengan teori. Dalam teori dijelaskan, jika semakin besar ukuran perusahaan maka
semakin tinggi nilai underpricingnya, atau semakin banyak investor yang
melakukan pembelian saham akan mendorong peningkatkan harga saham dipasar
sekunder. Hasil penelitian menunjukan arah negatif yang dijelaskan bahwa
perusahaan dengan ukuran lebih besar akan menurunkan nilai underpricing,
investor akan cenderung menghindari perusahaan yang memliki ukuran perusahaan
yang lebih besar sehingga tidak terjadi peningkatan harga pada saat penawaran
umum perdana.
Ukuran perusahan (company size) secara umum dapat diartikan sebagai
suatu perbandingan besar .atau kecilnya suatu objek. Ukuran perusahaan
menunjukan besar atau kecilnya kekayaan, jumlah penjualan dan jumlah karyawan
yang dimiliki suatu perusahaan. Pengukuran perusahaan bertujuan untuk
membedakan secara kuantitatif antara perusahaan besar (large firm) dengan
perusahaan kecil (small firm). Besar kecilnya suatu perusahaan dapat
mempengaruhi kemampuan manajemen untuk mengoperasikan perusahaan dengan
126
berbagai situasi dan kondisi yang dihadapinya (Yulia,2009). Berarti bahwa investor
dalam melakukan keputusan investasi memperhatikan faktor ukuran perusahaan
investor memiliki kecenderungan menilai positif perusahaan yang memiliki ukuran
besar yang dalam penelitian ini digambarkan melalui total aset.
Hal tersebut mendukung exante uncertainty theory (Beatty,1986), Secara
teoritis perusahaan yang lebih besar mempunyai kepastian yang lebih besar
daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian
mengenai prospek perusahaan kedepan. Hal tersebut dapat membantu investor
memprediksi resiko yang mungkin terjadi jika investor berinvestasi pada
perusahaan itu. Perusahaan besar pada umumnya lebih dikenal oleh masyarakat
daripada perusahaan kecil karena informasi mengenai perusahaan besar lebih
banyak dan lebih mudah diperoleh oleh investor dibandingkan dengan perusahan
kecil. Hasil penelitian pengaruh ukruan perusahaan ke arah negatif, Kondisi
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa indikator, salah satunya penetapan harga
diatas nilai Book Value dan nilai wajar industri sejenis yang dinilai invetsor
cenderung lebih mahal, kondisi total aset yang tidak diimbangi dengan peningkatan
pendapatan, dan investor memiliki banyak informasi yang cukup terkait prospek
dan kondisi perusahaan.
Namun, Kondisi kencenderungan investasi yang dilakukan investor yang
berdampak pada underpricing paska IPO beberapa perusahaan dapat disebabkan
oleh faktor eksternal secara ekonomi makro. Kebijakan maritim, pelayaran dan
infrastruktur menjadi pendorong underpricing. prospektus perusahaan yang
berfokus pada ekspansi bisnis memberikan peluang perbaikan laba dan peningkatan
profit, perusahaan pelayaran pada tahun 2016 hingga 2018 banyak melakukan IPO,
kemudahan Infrasktruktur dalam membantu percetatan proses logistik juga
memberikan peluang bagi perusahan logistik melakukan IPO.
Perusahaan dengan Ukuran Lebih besar dinilai memiliki informasi yang
cukup dan memadai kepada sebagian investor sehingga memiliki kencenderungan
untuk tidak terjadi underpricing pada penawaran umum perdana. informasi yang
dimiliki sebagian investor lainnya, terkait dengan prospek perusahaan akan
mendorong terjadinya underpricing, kondisi seimbang inilah yang menjadi dasar
bahwa terdapat kecenderungan untuk mengalami undepricing namun tidak
127
signifikan. Selain itu, underpricing yang terjadi pada perusahaan kecil dengan rata
rata sebanyak 7 perusahaan tercatat Memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi
seluruh sektor, Sehingga underpricing secara merata terjadi pada seluruh ukuran
perusahaan.
f. Pengaruh Presentase Saham Ditawarkan (PSD) terhadap underpricing
Hof : Presentase Saham Ditawarkan (PSD) tidak memiliki pengaruh Positif
terhadap tingkat underpricing.
H1f : Presentase Saham Ditawarkan (PSD) memiliki pengaruh Positif
terhadap tingkat underpricing.
Berdasarkan tabel 4.19 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Presentasi Saham Ditawarkan yaitu -0,468 dan t hitung
sebesar -1,003. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 1,003 < t
tabel 1,717. Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,325, nilai tersebut lebih besar
dair pada nilai syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1
ditolak dan H0 diterima,dengan demikian variabel Debet to Equity Ratio (DER)
tidak berpengaruh Positif secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel
Presentase Saham Ditawarkan mempunyai tingkat signifikansi 0,325. Nilai
signifikansi ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Presentase
Saham Ditawarkan tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap
underpricing. Dengan demikian hipotesis pada penelitian ini tidak terbukti, karena
H1 ditolak dan H0 diterima. Hasil tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan Reza widhar (2014) dan Herbnu Putro (2015) mengenai Presentase
Saham Ditawarkan (PSD) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap
Underpricing.
Saham menurut Paulus Sitomorang (2008) adalah tanda penyertaan modal
pada suatu perusahaan perseroan terbatas dengan manfaat yang dapat diperoleh
berupa deviden yaitu bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada
pemilik saham, capital gain adalah keuntungan yang diiperoleh dari selisih jual
dengan harga belinya. Selain itu, manfaat non financial atas kepemilikan saham
berupa kekuasaan, kebanggaan dan khususnya hak suara dalam menentukan
128
jalannya perusahaan. Didalam penawaran umum perdana sebelum perusahaan
tercatat di bursa efek, pemilik perusahaan maupun pemegang saham telah
memutuskan melalui Rapat Umum Pemegang saham terkait pelepasan jumlah
saham yang beredar. Keputusan ini, dapat berupa pelepasan sebagian kepemilikan
atas perusahaan oleh pemegang saham maupun penambahan jumlah keseluruhan
saham yang beredah sehingga mengurangi presentasi saham pemegang saham
terdahulu dan menyediakan sejumlah presentasi saham yang akan ditawarkan
kepada publik. Menurut teori penelitian yang dilakukan oleh andini (2018), tita
(2014), anya (2013), dan faktur (2018) menjelaskan bahwa Persentase Penawaran
saham adalah jumlah saham yang ditawarkan kepada publik. Jumlah saham yang
ditawarkan kepada publik menunjukkan beberapa besar bagian dari modal disetor
yang akan dimiliki oleh publik, semakin besar jumlah saham yang ditawarkan akan
semakin memiliki potensi untuk likuidnya perdagangan saham tersebut di bursa.
Liquid saham menurut Fahmi (2012) adalah saham yang mudah diperjual belikan.
Bagi investor yang punya pandangan harus mencairkan sahamnya menjadi kas
dalam waktu singkat, tentu likuiditas saham itu penting. Sebaliknya, Rendahnya
jumlah saham yang ditawarkan ke masyarakat (semakin besar proporsi saham yang
dipegang oleh pemegang saham lama) mengisyaratkan terdapatnya banyak
informasi privat yang dimiliki oleh pemegang saham lama. Selain itu dapat
dikatakan bahwa investor lama masih mengharapkan return yang dihasilkan oleh
perusahaan artinya keuangan perusahaan dalam kondisi yang baik. Semakin
tingginya tingkat kepastian akan memperkecil tingkat underpricing. Namun,
sebaliknya semakin besar persentase saham yang ditawarkan maka tingkat
ketidakpastian perusahaan di masa mendatang juga akan semakin besar berdasarkan
teori agensi dan teori sinyal (Baron, 1987) ,. Semakin besar tingkat ketidakpastian
suatu perusahaan maka minat investor untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut
semakin rendah. Rendahnya minat investor membuat underwriter menetapkan
harga penawaran perdana lebih rendah dari harga sewajarnya. Hal ini dilakukan
karena underwriter tidak ingin mengambil risiko apabila saham tidak terjual semua.
Rendahnya harga penawaran perdana akan meningkatkan underpricing. Jadi
semakin besar persentase saham yang dijual ke publik maka tingkat underpricing
129
semakin tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa persentase saham yang
ditawarkan berpengaruh positif signifikan terhadap underpricing.
Namun pada penelitian yang dilakukan pada sektor infrastruktur, utilitas
dna Transportasi,Presentase saham yang ditawarkan tidak berpengaruh terhadap
underpricing. Yang artinya Banyak ataupun sedikit komposisi saham yang
ditawarkan pada saat penawaran umum perdana, calon investor tidak menjadikan
hal tersebut sebagai alasan didalam pengambilan keputusan investasi yang
mendorong naiknya nilai harga saham perusahaan dibandingkan harga perdananya
dipasar sekunder. persentase saham yang ditawarkan kepada publik persentasenya
relatif kecil yaitu kurang dari 50%. Hal ini ditunjukkan melalui nilai rata-rata mean
persentase saham yang ditawarkan pada statistik deskriptif sebesar 22,7044. hal ini
bertetngan dengan teori sedikit saham ebredar yang dikempukaan fahmi (2012).
walaupun relatif lebih sedikit. tetapi Tidak berpengaruhnya persentase saham yang
ditawarkan ke publik terhadap underpricing disebabkan karena besar kecilnya
saham yang ditawarkan kepada publik belum bisa menjelaskan prospek dan kondisi
perusahaan di masa mendatang. Meskipun proporsi saham yang ditawarkan kepada
publik itu tinggi, belum tentu mampu menyatakan informasi privat perusahaan tidak
ada dan belum mampu menentukan nilai ketidakpastian return dimasa mendatang
(Pahlevi,2014).
Pada perusahaan yang melakukan IPO pada sektor penelitian, karena berdasarkan
hasil Presentase saham ditawarkan perusahaan tidak berpengaruh terhadap
underpricing. Maka dinilai Presentase Saham Ditawarkan tidak memberikan
gambaran yang cukup berapa banyak informasi terkait perusahan yang dimiliki
pemegang saham lama maupun masyarakt secara luas. Semakin sedikit saham yang
ditawarkan ke publik, perusahaan juga tetap mengalami underpicing. semakin besar
jumlah saham yang ditawarkan perusahaan juga mengalami underpricing.
130
2. Pengujian secara Simultan (Uji F)
Pengujian secara simultan dilakukan dengan Uji F digunakan untuk menguji
pengaruh apakah secara bersama sama variabel independen dalam hal ini faktor
internal perusahaan (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return
On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham
Ditawarkan) memiliki pengaruh terhadap variabel dependen yaitu Underpricing
atau untuk menguji ketepatan model regresi. Jika variabel independen memiliki
pengaruh secara simultan terhadap variabel dependen maka dapat dikatakan model
persamaan regresi memenuhi kriteria cocok atau sesuai.
Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Pertama
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1
Regression 1,113 6 ,185 4,096 ,005b
Residual 1,132 25 ,045
Total 2,245 31
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan Hasil Perhitungan regresi nilai F-tes diketahui sebesar 0,005,
ini menjelaskan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara
variabel independen faktor internal (DER,EPS,ROA,AGE,SIZE, dan PSD)
terhadap Underpricing. Proses pengambilan Keputusan berdasarkan nilai
signifkansi, yaitu :
H1 diterima dan H1 ditolak, jika signifikansi F> 0,05
Ho ditolak dan H1 diterima, jika signifikansi F< 0,05
Sedangkan Hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
Ho : Faktor internal (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return
On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham
Ditawarkan) secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap tingkat
underpricing.
H1 : Faktor internal (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return
On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham
Ditawarkan)) secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
Pada proses selanjutnya, Setelah mengetahui nilai regresi F-test yang
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,005 lebih kecil dari syarat signfikansi sebesar
131
0,05 dan hasil perhitungan uji F diketahui F-hitung sebesar 4,096. Langkah
selanjutnya yaitu menentukan F tabel dengan cara :
F tabel = α; df = (n-k),(k-1)
= 5%; df = (32-9),(9-1)
=0,05; df(23,8) = 2,37
Sehingga didapatkan F hitung > F tabel atau sama dengan 4,096 > 2,37. Jika
Nilai Signifikansi lebih kecil dari 0,05 atau nilai F-Hitung lebih besar dari F tabel.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam
penelitian memiliki pengaruh secara bersama sama terhadap variabel dependen.
Ho ditolak dan H1 diterima yaitu Faktor internal (Debt To Equity Ratio
(DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan,
Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan)) secara bersama-sama
berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Faktor internal yang mempengaruhi perubahan harga saham dari harga
penawaran umum perdana dipasar primer menjadi lebih tinggi pada saat
perdagangan dipasar sekunder di Bursa Efek Indonesia atau mengalami
underpricing, menurut aturan BEI, bersumber dari 2 (dua) bagian yang dapat dilihat
dan diakses langsung oleh investor melalui publikasi dan keterbukaan informasi
yang dilakukan oleh perusahaan emiten yang akan mencatatkan diri di pasar modal
indonesia. 2 (dua) hal tersebut, adalah laporan keuangan periode tahun sebelum IPO
dan Prospektus yang berisi informasi atau dokumen penting dalam proses
penawaran umum, baik saham maupun obligasi. Dalam prospektus saham atau
lebih tepatnya prospektus perusahaan terdapat banyak informasi yang berhubungan
dengan keadaan perusahaan yang melakukan penawaran umum, informasi yang
tersebar luas di masyarakat terkait kondisi perusahaan yang diinformasikan secara
tidak langsung melalui berbagai media. Dengan adanya laporan keuangan
perusahaan dan prospektus saham, investor mendapatkan seluruh informasi
penting dan relevan sehubungan kegiatan penawaran tersebut sehingga investor
dapat mengambil keputusan investasi secara tepat.
132
Kinerja keuangan merupakan gambaran kondisi keuangan perusahaan pada
periode tertentu, khususnya periode sebelum perusahaan tercatat di bursa efek
indonesia yang melibatkan aspek pendanaan serta diukur dengan indikator
kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas. Informasi kinerja keuangan,
tercermin didalam laporan keuangan yang menjadi dasar bagi investor untuk
menilai kondisi perusahaan. Kondisi perusahaan yang tercipta memberikan
gambaran bagi investor bagaimana manajemen perusahaan dalam pengambilan
keputusan jangka pendek maupun jangka panjang terkait masa depan perusahaan.
Evaluasi kinerja keuangan melalui laporan keuangan dapat dilakukan
menggunakan rasio keuangan. Rasio keuangan merupakan alat analisis yang paling
sering digunakan untuk menilai laporan keuangan. Rasio keuangan
menghubungkan berbagai perkiraan yang terdapat didalam laporan keuangan dan
hasil suatu operasi perusahaan dapat diinterpretasikan.
Kinerja Keuangan sebagai tolak ukur dalam penelitian ini mengunakan 3
Rasio Keuangan yaitu Debt to Equity, Earning Per Share dan Return On Assets.
Menurut Kasmir (2013:151), debt to equity ratio (DER) merupakan rasio yang
digunakan untuk menilai hutang dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara
membandingkan antara seluruh hutang, termasuk hutang jangka panjang dan
pendek dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui jumlah dana
yang disediakan peminjam dengan pemilik perusahaan. Rasio ini berfungsi untuk
mengetahui setiap modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan hutang. Menurut
Kasmir (2013:151), Earning per Share adalah kemampuan perusahaan untuk
mendistribusikan pendapatan yang diperoleh kepada pemegang sahamnya.
Semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk mendistribusikan pendapatan
kepada pemegang sahamnya, mencerminkan semakin besar keberhasilaan usaha
yang dilakukannya. Menurut Kasmir (2013:196), Return On Assets (ROA)
Merupakan pengukuran kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam
menghasilkan keuntungan dengan jumlah seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan.
Semain tinggi rasio ROA berarti semakin baik perusahaan.
Jika dihubungkan dengan Penjelasan atas kinerja saham yang dinilai untuk
pengambilan keputusan investasi. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Debt to Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS) dan Return On Assets
133
(ROA) dalam sektor penelitian memiliki hubungan berkaitan sebagai salah satu
rasio keuangan dapat menjadi tolak ukur kinerja keuangan diantaranya mengukur
Bagaimana aset perusahaan dimaksimalkan untuk meningkatkan pendapatan
perusahaan, jika pendapatan meningkat maka akan berdampak pada laba yang akan
di bagikan pada pemegang saham (EPS), namun nilai laba juga harus kembali
diperhitungkan karena kemingkinan perusahaan harus membayar hutang atas
kewajiban pinjaman yang dibuat. Hutang yang tidak dibayar akan berdampak pada
berkurangnya aset maupun ekuitas yang dimiliki karena dijadikan sebagai jaminan.
DER yang tinggi menandakan bahwa kebutuhan ekuitas sebagian besar dipenuhi
dari hutang. Sehingga perputaran ROA akan terganggung dan Nilai EPS juga
semakin kecil.
Didalam sektor penelitian jika diamati, kondisi ROA rata-rata lebih dari satu
atau pendapatan lebih tinggi dari ekuitas yang dimiliki. Hal ini terjadi pada 25
perusahan dalam laporan keuangan yang dipublikasikan sebelum IPO. Artinya,
Return On Assets merupakan salah satu komponen dari kinerja akuntansi yang
dapat mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari aktiva yang
digunakan. Robert Ang (1997) pada Safitri (2013), menyatakan bahwa semakin
besar ROA, maka semakin baik karena tingkat keuntungan yang dihasilkan
perusahaan dari pengelolaan asetnya semaikin besar, dengan pengeloaan aset yang
semakin efisien maka tingkat kepercayaan investor terhadap perusahaan akan
meningkat yang nantinya akan meningkatkan harga saham. Pernyataan tersebut
didukung penelitian yang telah dilakukan Abigael dan Ika (2008) dan Zuliarani
(2012) yang menyatakan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap harga saham.
Jika diamati dari segi DER, rata-rata hutang untuk 17 perusahaan berada di bawah
1x dari total ekuitas. DER dengan angka dibawah 1.00, mengindakasikan bahwa
perusahaan memiliki hutang yang lebih kecil dari ekuitas yang dimilikinya. Tetapi
sebagai investor kita juga harus jeli dalam melihat DER ini, sebab jika total
hutangnya lebih besar dari pada ekuitas, maka kita harus lihat lebih lanjut apakah
hutang lancar atau hutang jangka panjang yang lebih besar :
Jika jumlah hutang lancar lebih besar dari pada hutang jangka
panjang, hal ini masih bisa kita terima, karena besarnya hutang
134
lancar sering disebabkan oleh hutang operasi yang bersifat jangka
pendek.
Jika hutang jangka panjang yang lebih besar, maka dikuatirkan
perusahaan akan mengalami gangguan likuiditas dimasa yang akan
datang. Selain itu laba perusahaan juga semakin tertekan akibat
harus membiayai bunga pinjaman tersebut.
Beberapa perusahaan yang memiliki DER lebih dari satu, hal ini
sangat menganggu pertumbuhan kinerja perusahaanya juga
menganggu pertumbuhan harga sahamnya. Karena itu sebagian
besar para investor menghindari perusahaan yang memiliki angka
DER lebih dari 2.
Selain itu, Rasio yang terakhir digunakan adalah EPS, sebanyak 30
perusahaan mencatatkan laba dibagi jumlah saham yang beredar pada nilai positif.
EPS mencermin kondisi keuangan perusahaan, Jika nilai EPS dimunculkan ke arah
positif berarti kondisi keuangan perusahaan baik dan mapan (harahap,2007).
Dalam analisis laporan keuangan perusahaan untuk berinvestasi saham,
pihak investor akan melihat Rasio-rasio yang tersedia sebagai langkah awal dalam
melihat kinerja perusahaan. Semakin baik rasio rasio perusahaan semakin tinggi
pandangan investor terhadap perusahaan tersebut. Hal ini akan memberikan
dampak positif bagi pasar dimana minat beli terhadap saham perusahaan juga akan
mengalami peningkatan.
Begitupula sebaliknya semakin turun perubahan rasio-rasio perusahaan,
maka pandangan investor akan kurang baik. Dengan demikian, pihak perusahaan
akan berusaha mempertahankan kenaikan rasio-rasio yang diperoleh agar
memperoleh pandangan baik investor terhadap perusahaan. Pandangan baik
investor akan memberikan dampak positif terhadap perusahaan, salah satunya
keikutsertaan dalam menanamkan modalnya dalam membeli saham perusahaan.
Hal ini berpengaruh terhadap jumlah permintaan akan saham perusahaan meningkat
dimana kenaikan permintaan akan menimbulkan kenaikan pula terhadap harga
saham di pasar bursa itu sendiri.
Sesuai uraian tersebut, peneliti beranggapan bahwa dengan
menggunakan ketiga variabel tersebut para investor akan dapat menilai kinerja
135
perusahaan guna memperkirakan return (pengembalian/ laba) atas investasi yang
ditanamkannya berdasarkan harga pasar sahamnya. Selain itu perusahaan dapat
mengetahui seberapa besar kinerja yang telah dihasilkan, sehingga tujuan untuk
memakmurkan pemegang saham dapat tercapai. Rasio-rasio keuangan dalam
laporan keuangan secara bersama sama berpengaruh dalam menentukan
pengambilan keuputusan investasi oleh investor yang menyebabkan underpricing.
Selain dilihat dari aspek Laporan Keuangan. Perusahaan juga diwajibkan
mempublikasikan Prospektus IPO perusahaan. Prospektus digunakan sebagai alat
ukur bagi investor untuk mengetahui gambaran operasi perusahaan, rencana terkait
kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang terkait perkembangan
perusahaan. .Setiap perusahan yang melakukan pebawaran umum, memiliki
berbagai alasan dan tujuan daam upaya memperoleh dana dan mewujudkan tujuan
yang ingin dicapai perusahaann. Dari data yang dikelola peneliti, terkait tujuan dari
IPO yang dicantumkan didalam laporan Prospektus. Memperoleh beberapa
gambaran persebaran presentase tujuan emiten melakukan penawaran umum,
diperoleh bahwa dari 32 perusahaan memiliki tujuan IPO dengan Pengelompokkan
sebagai berikut :
Gambar 4.6 Penggunaan dana IPO menurut Prospektus sampel penelitian
Sumber : Pengolahan Data, 2019
Modal kerja mendominasi isi didalam rencana prospektus atau 32
perusahaan yang melakukan IPO dalam penawaran umumnya mencantumkan
rencana penggunaan dana IPO yang diperoleh sebagai Modal kerja usaha.
Walaupun masing masing memiliki presentase yang rendah berkisar antara 5%
sampai dengan 15%, selanjutnya investasi, sebanyak 22 perusahaan mencantumkan
Investasi37%
Akuisisi10%
Modal Kerja45%
Hutang8%
136
instrumen rencana investasi dalam penawaran umum perdana. pada sub-sektor
transportasi, pembelian alat dan kendaraan mendominasi antara 50% sampai
dengan 80% nilai IPO, disusul sub-sektor bangunan non kontruksi yang berencana
membangun menara maupun PLTMH dengan presentase berkisar antara 70 smapai
dengan 90%. Kemudian rencana akuisisi, terdapat 7 perusahaan yang akan
melakukan akuisisi baik membeli perusahaan baru, mamupun menambah jumlah
kepemilikan. Rencana penggunaan ini, mendominasi antara 20 sampai dengan
80%. Sedangkan yang terakhir adalah pelunasan atas hutang usaha, sebanyak 6
perusahaan dengan rata-rata penggunaan dana antara 20 sampai dengan 52%.
Menurut Warsidi (2002) Salah satu keputusan yang dibuat oleh investor dan
calon investor adalah berkaitan dengan pembelian dan penjualan saham, sedangkan
hasil keputusannya terlihat dari adanya perubahan harga saham. Tujuan investor
membeli atau menjual saham antara lain untuk mendapatkan capital gain atau
deviden. Capital gain merupakan selisih lebih harga jual saham dari harga belinya,
sedangkan deviden merupakan keuntungan emiten yang dibagikan kepada
pemegang saham. Berkaitan dengan deviden, emiten akan dapat membagikan
deviden apabila memiliki kinerja keuangan dan nilai buku ekuitas yang baik.
Informasi tentang kinerja keuangan dan nilai buku ekuitas dapat diketahui dari
publikasi laporan keuangan yang berupa laporan posisi keuangan dan laporan laba
rugi. Oleh karena itu investor akan membuat keputusan berkaitan dengan jual beli
saham (harga saham) setelah melihat laporan keuangan perusahaan penerbit saham
(emiten). Dengan kata lain terdapat hubungan (pengaruh) antara publikasi laporan
keuangan dengan harga saham.
Dalam prospektus, perusahaan wajib mencantumkan rencana penggunaan
dana hasil dari penawaran umum perdana. Menurut kebijakan Bapepam prospektus
mengacu segala macam informasi sehubung dengan pencatatan umum saham
dengan tujuan agar menarik investor melakukan pembelian efek. Kebijakan ini
secara rinci mencakup :
1) Riwayat singkat tentang perusahaan terdapat pada bagian dalam
prospektus saham, yaitu pada bagian Keterangan Tentang Perseroan dan
Anak Perusahaan. Bagian juga perlu diketahui oleh calon investor,
karena bagian ini memberikan keterangan tentang riwayat singkat
137
pendirian perusahaan, sehingga calon investor dapat mengetahui sudah
berapa lama perusahaan tersebut didirikan dan beroperasi.
2) Nilai nominal saham dan harga penawaran, Nilai nominal adalah nilai
yang tertera pada surat saham yang akan dicantumkan pada setiap saham
yang yang diterbitkan oleh perusahaan. Harga saham yang akan
ditawarkan kepada masyarakat bisa berbeda dengan nilai nominal
saham. Harga setiap saham yang ditawarkan kepada masyarakat disebut
dengan harga penawaran. Informasi tentang nilai nominal dan harga
penawaran untuk setiap saham terdapat pada bagian tengah dari halaman
muka prospektus saham bersama-sama dengan jumlah saham yang
ditawarkan.
3) Bidang usaha, Informasi tentang bidang usaha biasanya tercantum pada
bagian tengah dari halaman muka prospektus perusahaan. Riwayat
singkat perusahaan.
4) Tujuan go public (rencana pengunaan dana anad anuggnep anacneR ,)
utaus malad nakijasid mumu narawanep lisah irad helorepid gnay
,iridnesret naigab bagian ini sangat penting untuk diketahui calon
investor. Rencana penggunaan dana yang diperoleh dari penawaran
umum diberikan secara presentasi dari kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan.
5) Kegiatan dan prospek usaha, Pada dasarnya dalam berbisnis saham,
seorang investor yang membeli saham, adalah membeli prospek usaha
dari perusahaan tersebut. Karena itu kegiatan dan prospek usaha dari
perusahaan termasuk anak perusahaannya perlu diketahui oleh calon
investor. Kegiatan dan prospek usaha dari perusahaan disajikan dalam
suatu bab tersendiri dalam propektus perusahaan, yang biasanya
meliputi aspek-aspek produksi, penjualan, pemasaran dan distribusi dari
produk/jasa yang dihasilkan, prospek usaha, kompetisi dan strategi
usaha serta penelitian dan pengembangan.
6) Resiko usaha, Setiap investasi tidak dapat terlepas dari resiko yang
mungkin dihadapi. Untuk itu calon investor haruslah mengetahui
kemungkinan resiko yang dihadapi oleh perusahaan.
138
7) Kebijakan dividen perusahaan, Bagian dari propektus saham ini
memberikan informasi tentang kebijakan dividen perusahaan yang
direncanakan oleh perusahaan, yang diberikan dalam bentuk rentang
jumlah persentase dividen tunai yang direncanakan yang dikaitkan
dengan jumlah laba bersih.
8) Agen-agen penjual, Agen penjual merupakan perusahaan-perusahaan
Efek yang ditunjuk oleh penjamin emisi untuk bertindak selaku agen
penjual dalam rangka memasarkan saham-saham yang ditawarkan pada
penawaran umum. Investor yang akan melakukan pemesanan saham
harus menghubungi agen-agen penjual tersebut, yang daftarnya
tercantum pada bagian akhir prospektus.
Dari Penelitian, terdapat 6 variabel dari faktor internal yang diteliti untuk
memnggambarkan hubungan faktor internal secara simultan terhadap underpricing.
Dari 32 perusahaan tercatat, diketahui semua mempublikasikan laporan keuangan
periode sebelum penawaran umum perdana dan prospektus IPO. dari laporan
tersebut, diperoleh beberapa informasi yang dapat memberikan data bagaimana
masing masing bersama sama memberikan pengaruh terhadap underpricing.
Kekuatan pengaruh antar variabel ini, dibuktikan lebih lanjut dengan uji secara
parsial. Jika dilihat dari segi laporan keuangan dan prospektus IPO, untuk variabel
penelitian yang digunakan. tiga variabel mengukur kinerja keuangan melalui
perhitungan rasio keuangan dan tiga variabel yang digunakan merupakan nilai yang
terukur didalam prospektus IPO Perusahaan. Pengrahuh variabel yang diambil dari
faktor internal, secara Adjusted R Square, mengambarkan pengaruh variasi
underpricing yang dapat dijelaskan oleh faktor internal yang ebrsumber dari
laporan keuangan dan prospektus dalam hal ini, Debt To Equity Ratio (DER),
Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE),
Ukuran Perusahaaan (SIZE) dan Presentase Saham Ditawarkan (PSD) sebesar
37,5%. Sedangkan sisanya sebesar 62,5% dijelaskan oleh variabel lain di dalam
faktor internal yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Variabel lain dalam hal ini
bisa berupa rasio-rasio lain didalam laporan keuangan dan informasi informasi lain
didalam prospektus perusahaan.
139
3. Koefisien Determinasi (Adjusted R2)
Koefisien determinasi (adjusted R2) digunakan untuk mengukur seberapa
kesesuaian persamaan regresi linier berganda didalam penelitian, yang menjelaskan
hubungan pengaruh antara variabel independen (Debt To Equity Ratio (DER),
Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan) terhadap variabel dependen
(underpricing). Secara spesifik menurut Ghozali (2009), koefisien determinasi
(adjusted R2) mengukur seberapa jauh model menerangkan variasi dalam variabel
dependen.
Tabel 4.21 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Pertama
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,704a ,496 ,375 ,2127918
Sumber : Penulis, 2019
Hasil Uji Koefieisn determinasi pada tabel 4.21, menunjukan nilai Adjusted
R Square sebesar 0,375. Sehingga dapat diketahui bahwa variasi underpricing yang
dapat dijelaskan oleh faktor internal dalam hal ini, Debt To Equity Ratio (DER),
Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE),
Ukuran Perusahaaan (SIZE) dan Presentase Saham Ditawarkan (PSD) sebesar
37,5%. Sedangkan sisanya sebesar 62,5% dijelaskan oleh variabel lain di dalam
faktor internal yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Faktor Insternal lain yang
diduga memiliki pengaruh berdasarkan penelitian yaitu Pengaruh Underwrriter,
Kantor Akuntan Publik, dan faktor lainnya yang diduga menjadi penyebab
underpricing.
4.7 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Internal Terhadap
Kinerja Saham
1. Pengujian secara Parsial (Uji t)
Pengujian hipotesis secara parsial dapat dilakukan setelah melakukan
analisis statistik data. Analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
analsisi regresi linier berganda. Pengujian secara parsial dilakukan untuk
mengetahui apakah masing-masing variabel independen mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan. Cara melakukan uji t adalah dengan membandingkan t
140
hitung dengan t pada tabel pada derajat kepercayaan 95% atau signifikansi sebesar
5% (0,05). pengujian tersebut, adalah menguji hubungan antara variabel
independen yang didalamnya terdiri dari Debt to Equity Ratio (DER), Earning Per
Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran
Perusahaan (SIZE), Presentase Saham Ditawarkan (PSD) terhadap variabel
dependen Kinerja saham yang diukur dengan abnormal return. Cara ini dapat
dilakukan untuk mengetahui apakah masing- masing variabel yang digunakan
dalam penelitian mampu menggambarkan variabel dependen adalah dengan
melihat t hitung dan nilai signifikansi masing-masing variabel independen. Untuk
mengetahui nilai t-tabel dapat dilakukan perhitungaan sebagai berikut:
t tabel = ; df = n-k-1
= 5%; df = (32-8)
= 0,005’ df(22) = 1,717
Keputusan yang akan diambil mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
1. Apabila tingkat signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak dan
sebaliknya H1 diterima.
2. Apabila tingkat signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan
sebaliknya H1 ditolak.
Tabel 4.22 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Kedua
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 3,801 1,532 2,481 ,020
DER ,137 ,061 ,429 2,259 ,033
EPS ,000 ,001 -,062 -,243 ,810
ROA -,001 ,008 -,039 -,160 ,874
AGE ,044 ,150 ,055 ,292 ,773
SIZE ,247 ,095 ,625 -2,589 ,016
PSD -1,677 1,315 -,307 -1,276 ,214
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.22, hasil perhitungan menunjukan bahwa tidak semua variabel
independen didalam faktor internal memiliki nilai signifikansi dibawah 0,05,
sehingga pengaruh masing masing variabel Debt to Equity Ratio (DER), Earning
Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran
Perusahaan (SIZE), Presentase Saham Ditawarkan (PSD) terhadap variabel
dependen kinerja saham dijelaskan sebagai berikut :
141
a. Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap Kinerja Saham
Hoa : Debt To Equity Ratio (DER) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
tingkat Kinerja saham.
H1a : Debt To Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh Positif terhadap ingkat
Kinerja saham.
Berdasarkan tabel 4.22 hasil pengujian uji t hipotesis Kedua, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Debt to equity ratio yaitu 0,137 dan t hitung sebesar 2,259.
t hitung lebih besar dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 2,259 > t tabel 1,717.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,033, nilai tersebut lebih kecil dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1a terima dan
H0a ditolak, dengan demikian variabel Debt to Equity ratio (DER) berpengaruh
Positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
DER merupakan bagian dari Financial leverage, Dalam hal ini
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan equity yang
dimilikinya. Tingginya financial leverage menunjukkan risiko finansial atau risiko
kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan
sebaliknya. Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti menggunakan
modal sendiri 100 %. Debt To Equity Ratio berfungsi untuk memperlihatkan
proporsi antara kewajiban yang dimiliki dengan seluruh modal yang dimiliki
perusahaan. Dengan kata lain dapat mengetahui berapa besar modal untuk
membiayai hutang. Semakin tinggi nilai rasio debt to equity ratio, berarti semakin
tinggi penggunaan hutang oleh perusahaan yang berarti pula risiko perusahaan.
Dengan proporsi hutang yang semakin besar, akan menimbulkan risiko yang besar
dan para investor akan menetapkan expected return lebih besar lagi terhadap setiap
rupiah yang ditanam di perusahaan tersebut (premium financial risk). Sehingga
pada akhirnya nilai perusahaan akan cenderung turun. Menurut Ina Listtiorini
(2008), penggunaan utang itu sendiri bagi perusahan mempunyai tiga dimensi, yaitu
(1) pemberi kredit akan menitikberatkan pada besarnya jaminan atas kredit yang
diberikan, (2) dengan menggunakan utang maka apabila perusahaan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dari beban tetapnya maka pemilik perusahaan
142
keuntungannya akan meningkat, (3) dengan menggunakan utang maka pemilik
memperoleh dana dan tidak kehilangan pengendalian atas perusahaan. Eckbo dan
Norli (2004) menyimpulkan adanya respon return saham terhadap faktor yang
berhubungan dengan leverage. Li et al. (2005) menemukan bahwa risiko delisting
perusahaan berhubungan positif dengan financial leverage dan berhubungan
negative dengan biaya riset dan pengembangan serta gross margin perusahaan.
Dalam kondisi pasar yang bagus, penambahan hutang memang akan
meningkatkan keuntungan perusahaan. Namun apabila kondisi pasar buruk seperti
kondisi krisis ekonomi dan moneter, hanya akan membuat pemanfaatan hutang
berakibat pada menurunnya profitabilitas perusahaan. Hal ini dikarenakan return
yang diperoleh lebih kecil daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk mendanai
bunga hutang (Norli, 2004). Financial leverage yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Debt to Equity Ratio (DER). Setiap sumber dana selalu mempunyai biaya
masing-masing yang biasa disebut cost of fund. Pada saat akan digunakan, dana dari
luar perusahaan dalam bentuk hutang biasanya akan timbul biaya-biaya (cost of
debt) yang harus ditanggung sebesar biaya bunga. Sementara jika dari modal sendiri
(equity) akan timbul biaya yang merupakan opportunity cost dari modal tersebut.
Mengingat begitu bervariasinya biaya dari luar maupun dari dalam perusahaan,
maka perlu dipertimbangkan sumber pembiayaan dalam investasi. DER yang
semakin besar akan mengakibatkan risiko financial perusahaan semakin tinggi.
Dengan penggunaan hutang yang semakin besar akan mengakibatkan semakin
tinggi risiko untuk tidak mampu membayar hutang. Investor biasanya menghidari
risiko, maka semakin tinggi DER akan mengakibatkan saham perusahaan tersebut
dihindari investor, sehingga harga saham semakin rendah. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa hubungan DER dengan beta saham adalah positif, artinya semakin
tinggi DER akan mengakibatkan semakin tinggi risiko pasar dan sebaliknya hal
tingkat DER yang rendah akan mengakibatkan risiko sahamnya rendah.
Meningkatnya Debt to Equity Ratio (DER) berarti akan meningkatkan resiko
berinvestasi, dengan demikian investor merespon Positif terhadap kinerja
perusahaan. Rendahnya kinerja perusahaan berakibat harga saham semakin
menurun. Pada proses underpricing penetapan harga di bawah harga IPO akan
memberikan peluang bagi nilai perusahaan untuk tumbuh. Underpricing pada
143
perusahaan, memberikan signal positif harapan bagi investor untuk pertumbuhan
kinerja perusahaannya secara abnormal return. Sehingga Debt to Equity (DER)
secara teori berdampak positif terhadap kinerja saham.
Hasil Perhitungan secara abnormal return pada kinerja saham perusahaan
IPO, berbanding lurus dengan teori tersebut. Secara jangka pendek pengambilan
keputusan pada sampel penelitian melalui DER, menjadi dipertimbangkan pada
hari pertama dipasarkan di pasar sekunder. Arah pengaruh atas kinerja saham
bergerak ke arah positif. Yang artinya apabila terdapat peningkatan nilai DER maka
ikut serta mendorong nilai Kinerja Sahamnya secara abnormal return. Abnormal
return mengambarkan perbandingan atas harapan dan ekspektasi dari proses
investasi yang dilakukan. Dari hasil menunjukan bahwa kinerja saham yang di
pengaruhi variabel hutang dibagi ekuitas memiliki peluang secara signifikan dalam
menumbuhkan ekspektasi atas harapan investor.
Perusahaan yang memiliki nilai DER lebih dari rasio 1 kali, terdapat
sebanyak 13 Perusahaan, pada laporan keuangan yang dipublikasikan sebelum IPO,
komposisi hutang terdiri atas hutang jangka pendek, dan 8 perusahaan didominasi
hutang jangka panjang. Pada umumnya penggunakan hutang berfokus pada
pembelian alat produksi dan kendaraan operasional. Pada sebagai perusahaan,
membiaya ekpansi bisnis, armada, lahan dan gedung melalui pembiayaan sewa
pihak ke tiga. Diantaranya emiten dengan kode DEAL, ASSA, CANI, dan TOWR.
Beberapa faktor tersebut menjadi pendorong Debt To Equity Ratio sebagai
tolak ukur pengambilan keputusan investasi yang dilakukan investor dari segi
kinerja saham setelah 30 hari pasca IPO pada perusahaan sampel penelitian. Dari
sisi investor, Menurut Rock (1992), asimetris informasi menjadi salah satu dasar
terjadinya underpricing. Investor yang memiliki informasi lebih banyak akan
membeli pada saat penawaran perdana dengan porsi yang lebih besar. kondisi harga
saham yang berada di bawah nilai book value akan dianggap lebih murah, sehingga
investor dengan dana yang lebih sedikit maupun investor yang tertarik dan tidak
memperoleh saham perdana akan menunggu di pasar sekunder. Proporsi yang besar
tersebut menjadikan saham IPO tidak liquid yang artinya secara perdagangan pada
penawaran dan permintaan di pasar sekunder tidak seimbang dimana investor yang
membeli di awal akan menyimpan kepemilikkannya dengan harapan pertambahan
144
nilai yang lebih tinggi dan investor yang berminat akan menawarkan harga lebih
tinggi agar mendapatkan saham tersebutdari teori tersebut, keputusan investasi
yang dilakukan investor terhadap perusahaan IPO menjadikan Debt to equity ratio
(DER) sebagai acuan pada sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi tahun 2010-
2018.
b. Pengaruh Earning Per Share (EPS) terhadap Kinerja Saham
Hob : Earning Per Share (EPS) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
Kinerja Saham.
H1b : Earning Per Share (EPS) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
Kinerja Saham.
Berdasarkan tabel 4.22 hasil pengujian uji t hipotesis Kedua, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Earning Per Share yaitu 0,000 dan t hitung sebesar -
0,243. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 0,243 < t tabel 1,717.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,810, nilai tersebut lebih besar dair pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1b ditolak dan
H0b diterima, dengan demikian variabel Earning Per Share (EPS) tidak
berpengaruh Positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.22 diketahui bahwa nilai uji t variabel
Earning Per Share (EPS) mempunyai tingkat signifikansi 0,810. Nilai signifikansi
ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Earning Per Share
(EPS) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap kinerja saham. Dengan
demikian hipotesis pada penelitian ini tidak terbukti, karena H1b ditolak dan H0b
diterima. Hasil tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
Dwi Maria (2013) mengenai Earning Per Share (EPS) tidak berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap Underpricing.
Earning Per Share menurut Brigham dan Houston (2010) yang
diterjemahkan Ali Akbar Yulianto, “Earning Per Share (EPS) adalah pendapatan
bersih yang tersedia dibagi jumlah lembar saham yang beredar.”. EPS yang tidak
berpengaruh terhadap abnormal return disebabkan oleh besarnya Earning Per
Share (EPS) didasarkan pada besarnya laporan laba/rugi dimana manajemen
145
memiliki kebijakan terhadap pengakuan akrual dalam laba yang tercermin dari
pengakuan pendapatan dan bebannya. Dalam laporan laba/rugi pendapatan dan
beban selalu dicatat meskipun sebenarnya pada laporan laba/rugi tersebut tidak ada
kas masuk atau kas keluar, misalnya biaya depresiasi. Adanya pengakuan
pendapatan dan beban secara akrual tersebut mengindikasikan bahwa informasi
laba kurang mencerminkan pendapatan tunai atau beban tunai yang diperoleh atau
digunakan dalam kegiatan perusahaan. Hal ini digunakan sebagai sinyal bahwa
besarnya laba/rugi tidak dapat mencerminkan seberapa besar kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan sumber dana secara tunai yang nantinya
berpengaruh terhadap besanya return saham yang akan diterima oleh investor.
Selain itu, Perbedaan Bentuk data dari variabel EPS yang bersifat Tahunan dengan
Variabel Abnormal Return yang diukur 30 hari setelah IPO, diduga oleh penulis
menjadi penyebab tidak berpengaruhnya variabel Earning Per Share terhadap
Abnormal Return.
c. Pengaruh Return On Assets (ROA) terhadap Kinerja Saham
Hoc : Return On Assets (ROA) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
Kinerja Saham.
H1c : Return On Assets (ROA) memiliki pengaruh Positif terhadap Kinerja
Saham.
Berdasarkan tabel 4.22 hasil pengujian uji t hipotesis Kedua, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Return On Assets yaitu -0,001 dan t hitung sebesar -0,160.
t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 0,160 < t tabel 1,717.
Adapaun tingkat signifikansi sebesar 0,874, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1c ditolak dan
H0c diterima,dengan demikian variabel Return On Assets (ROA) tidak berpengaruh
Positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
Pengertian Return On Assets menurut Kasmir (2014:201) yaitu “return on
total assets merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva
yang digunakan dalam perusahaan”. Menurut Brigham dan Houston (2010:148)
mengatakan bahwa ROA adalah “rasio laba bersih terhadap total aset mengukur
pengembalian atas total aset”. Menurut Fahmi (2012:98) pengertian Return On
146
Assets yaitu: Return On Assets sering juga disebut sebagai return on investment,
karena ROA ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu
memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan dan
investasi tersebut sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditanamkan atau
ditempatkan. Return on assets yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan mampu
memperoleh laba dan mengendalikan seluruh biaya-biaya operasional dan
nonoperasional. Tingkat return on assets yang tinggi dari perusahaan
mencerminkan perusahaan tersebut dalam kondisi yang baik sehingga dapat
menaikan nilai atau saham dari perusahaan tersebut di mata investor.
Namun kenyataan, nilai ROA yang tinggi memang akan mendukung tinggi
nilai laba yang yang akan dibagikan kepada pemegang saham atau EPS. Tetapi pada
perusahaan terbuka, investor harus menunggu adanya RUPS ataupun keterbukaan
informasi di BEI terkait keputusan yang diambil apakah perusahaan membagikan
deviden atau tidak, apalagi perusahaan tersebut merupakan perusahaan IPO yang
cenderung sedang dalam masa proses penghimpunan dana untuk membiayai
kepentingan perusahaan. Secara abnormal return, menurut Jogiyanto (2011)
Informasi maupun peristiwa baru yang berkaitan dengan nilai perusahaan akan
mendorong pengambilan keputusan Investasi. Data Return On Assets tercermin
didalam laporan keuangan, selama periode 30 hari setelah IPO, jika tidak ada
keterbukaan informasi terkait nilai ROA karena berdasarkan kebijakan BEI
perusahaan wajib mempublikan Laporan Keuangan triwulan, semesteran dan
tahunan sehingga tidak adanya peristiwa maupun perubahan yang berhubungan
dengan ROA menjadikan investor tidak menggunakan ROA dalam pengambilan
keputusan investasi yang memberikan dorongan aksi beli, jual maupun hold atas
saham perusahaan sektor penelitian. Selain itu, kondisi data yang tidak berimbang
antara variabel ROA yang bersumber dari laporan keuangan tahunan dan abnormal
return yang diambil penulis dari informasi 30 hari setelah IPO. Diduga sebagai
dasar tidak ada hubungan pengaruh antara Return On Assets dengan abnormal
return.
147
d. Pengaruh Umur Perusahaan (AGE) terhadap Kinerja Saham
Hod : Umur Perusahaan (AGE) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
Kinerja Saham.
H1d : Umur Perusahaan (AGE) memiliki pengaruh Positif terhadap Kinerja
Saham.
Berdasarkan tabel 4.22 hasil pengujian uji t hipotesis Kedua, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Umur Perusahaan yaitu 0,044 dan t hitung sebesar 0,292.
t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 0,292 < t tabel 1,717. Adapun
tingkat signifikansi sebesar 0,773, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai syarat
signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1 ditolak dan H0
diterima,dengan demikian variabel Umur Perusahaan tidak berpengaruh Positif
secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
Umur perusahaan menggambarkan seberapa lama perusahaan tersebut
beroperasi, artinya menggambarkan kemampuan perusahaan dalam bertahan hidup.
Menurut Daily et al (2003), perusahaan yang kurang berpengalaman (perusahaan
baru) akan memiliki lebih sedikit data keuangan tahunan yang dipublikasikan dan
kecil kemungkinannya telah dinilai oleh analis keuangan. Hal ini mengakibatkan
tingkat risiko pada perusahaan baru akan lebih besar. Semakin lamanya umur
perusahaan, maka semakin banyaknya informasi yang diserap oleh masyarakat.
Pada kenyataanya, perusahaan yang telah lama berdiri akan mempunyai publikasi
perusahaan lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang masih baru.
Dengan adanya pulikasi yang luas akan mempermudah investor dalam memperoleh
informasi. Investor dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mengurangi
adanya asimetri informasi sehingga memperkecil ketidakpastian yang ada di pasar,
yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat Underpricing.
Dari data penelitian juga peroleh beberapa informasi terkait umur
perusahaan, dari 32 perusahaan diketahui bahwa rata rata seluruh perusahan
tersebut memiliki usia diatas 10 tahun atau sebanyak 24 perusahaan berada di atas
umur sepuluh tahun baru melakukan IPO. Trisnawati (1998) dalam teorinya
mengemukakan bahwa semakin lama perusahaan berdiri maka masyarakat luas
148
akan lebih mengenalnya dan investor secara khusus akan lebih percaya terhadap
perusahaan yang sudah terkenal dan lama berdiri dibandingkan dengan perusahaan
yang baru berdiri. Namun, kenal dan tidaknya masyarakat terhadap perusahaan juga
disebabkan oleh publikasi informasi yang dilakukan perusahaan. Kenyataannya
walaupun dominasi oleh perusahaan yang sudah lebih dari 10 tahun berdiri hingga
melakukan penawaran umum perdana. faktor umur perusahaan tidak menjadi dasar
pengambilan keputusan investasi yang dilakukan oleh investor, hal ini mungkin
disebabkan oleh sektor yang masih terbatas dan kurang publikasi maupun memang
tidak adanya informasi yang cukup untuk mengurangi ketidakpastian terhadap
perusahaan yang melakukan IPO pada perusahaan penelitian.. Sehingga,
perusahaan dengan umur yang lama tapi usaha dan segmentasi skala kecil serta
publikasi yang kurang berdampak pada kurangnya minat yang sebabkan kurang
pengaruh umur perusahaan bagi para investor. Oleh karena itu, investor tidak
mempertimbangkan umur perusahaan dalam menilai emiten yang melakukan IPO.
Teori ini sejalan dengan penelitian Beatty (1989) berdasarkan hasil penelitiannya
menyatakan bahwa umur perusahaan berpengaruh signifikan dan negatif pada
tingkat underpricing. Namun, berseberangan dengan hasil penelitian yang
dilakukan peneliti, dan didukung oleh penelitian Ekadjaja dan Wendy (2009), yang
menyatakan bahwa umur perusahaan tidak berpengaruh pada tingkat underpricing
dan penelitian anom (2015) yang juga menyatakan underpricing tidak dipengaruhi
oleh umur perusahaan. Dikarenanakan lamanya perusahaan berdiri, dan dikenal
oleh masyarakat juga harus dilihat dari segmentasi pasar yang ditangani serta
publikasi sektor usaha yang lebih luas. Umur merupakan informasi dasar yang
terkait dengan perusahaan, umur bersifat tahunan. Periode penelitian secara
abnormal return terkait umur perusahaan, tidak mencerminkan perubahan usia,
karena indikator yang digunakan adalah umur pada saat IPO dikurangi dengan umur
pada saat perusahaan berdiri berdasarkan akta pendirian. Abnormal return yang
digunakan dalam penelitian ini bersifat jangka pendek setelah 30 hari perusahaan
IPO, sehingga data yang bandingkan tidak berimbang. Hal ini diduga oleh penulis
sebagai penyebab tidak adanya pengambilan keputusan investasi yang menjadi
harapan dari ekspektasi return hari ke 30 setelah IPO atau secara abnormal return.
149
e. Pengaruh Ukuran Perusahaan (SIZE) terhadap Kinerja Saham
Hoe : Ukuran Perusahaan (SIZE) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap
tingkat Kinerja Saham.
H1e : Ukuran Perusahaan (SIZE) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
Kinerja Saham.
Berdasarkan tabel 4.22 hasil pengujian uji t hipotesis Kedua, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Ukuran Perusahaan (SIZE) yaitu -0,247 dan t hitung
sebesar -2,589. t hitung lebih besar dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 2,589 > t
tabel 1,1717. Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,016, nilai tersebut lebih kecil
dari pada nilai syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1
diterima dan H0 ditolak,dengan demikian variabel Ukuran Perusahaan berpengaruh
positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
Perusahaan besar dapat mengurangi ketidakpastian bagi calon investor,
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil (Daily et al, 2003).
Perusahaan yang berskala besar umumnya akan banyak diketahui oleh masyarakat,
dibanding dengan perusahaan yang berskala kecil. Dengan begitu, investor akan
semakin mudah untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan tersebut,
sehingga dapat mengurangi terjadinya asimetri informasi. Prospek yang di
tunjukkan oleh perusahaan berskala besar, serta banyaknya informasi yang tersedia
akan mengurangi ketidakpastian yang dapat terjadi dimasa yang akan datang. Hal
ini akan memudahkan investor dalam mengambil keputusan investasi. Atau dapat
dikatakan perusahaan dengan skala besar akan memiliki ketidakpastian yang kecil,
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya Underpricing. Namun kenyataannya
berdasarkan hasil perhitungan, prospek mendorong keyakinan investasi. Pengaruh
ukuran perusahaan terhadap underpricing secara jangka pendek berlanjut pada
kinerja saham yang diukur dengan abnormal return.
Dari 32 sampel penelitian, diporelah rata-rata ukuran perusahaan pada
sektor penelitian berada di Kisaran Rp. 1,6 Triliun. terdapat 4 perusahaan dengan
Nilai total aset terbesar. Posisi pertama dimiliki oleh PT. Cikarang Listrindo Tbk.
Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan POWR adalah
bergerak dalam industri pusat pembangkit tenaga listrik, pemasaran,
150
pendistribusian tenaga listrik dan agen kelistirkan. Pembangkit listrik POWR
terletak di Cikarang dan Bekasi. Cikarang Listrindo memperoleh izin untuk
memasok listrik bagi Publik ke lima kawasan industri di wilayah Cikarang untuk
periode 30 tahun pada tanggal 11 Desember 2006 dari Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM). Kemudian, kedua yaitu PT. Sarana Menara Nusantara yang
merupakan perusahaan investasi yang aktifitas kegiatan dan asetnya dimiliki dan
dikelola langsung melalui anak usahanya PT. Profesional Telekomunikasi
Indonesia yang memiliki 3.639 menara pemancar di seluruh indonesia. Perusahaan
ini merupakan mitra kerja yang menyewakan jasa menara pemacar bagi beberapa
perusahaan telekomunikasi terkenal seperti AXIS, XL Axiata, Indosat, Bakrie
Telkom dan masih banyak lagi. Selain bisnis utama persewaan dan pemeliharaan
alat pemancar telekomunikasi, TOWR juga membuka jasa Transceiver Station
(BTS), jasa konsultasi bidang instalasi telekomunikasi, jasa konsultasi manajemen,
bisnis administrasi, strategi pengembangan bisnis dan investasi, serta melakukan
investasi maupun penyertaan pada perusahaan lainnya. Ketiga, PT. Blue bird,
perusahaan ini berada pada sub-sektor transportasi, Berdasarkan Anggaran Dasar
Perusahaan ruang lingkup kegiatan Blue Bird adalah bergerak dalam bidang
pengangkutan darat, jasa, perdagangan, industri dan perbengkelan. Kegiatan usaha
utama Blue Bird adalah bergerak dalam bidang transportasi taksi (Blue Bird dan
Pusaka), taksi eksekutif (Silver Bird), kendaraan limusin dan sewa mobil serta bus
(Golden Bird dan Big Bird). Kemudian perusahaan dengan aset terbesar terakhir
adalah PT. Soechi Lines, Perusahaan ini bergerak dalam bidang perdagangan impor
dan ekspor, jasa konsultasi, pembangunan, transportasi, percetakan, pertanian,
perbengkelan dan industri lainnya. Kegiatan utama Soechi Lines adalah bergerak
di bidang jasa konsultasi manajemen sedangkan anak usaha bergerak di bidang
pelayaran dan pembangunan kapal.
Berdasarkan pengamatan penelitian dari laporan keuangan, selain nilai aset
terkecil dan terbesar yang paling mempengaruhi persebaran rata-rata ukuran
perusahaan. Jika dijabarkan lebih lanjut, sebagian besar aset dari setiap perusahaan
yang tergolong sampel penelitian, Total aset didominasi oleh Aset Lancar berupa
Kas dan Piutang usaha sedangkan aset tidak Lancar didominasi oleh Bangunan
Fisik dan Kendaraan. Karena memang pada sektor Infratruktur, Utilitas dan
151
Transportasi, Transportasi mendominasi dengan 22 perusahaan. PT. Blue Bird
Memimpin untuk total Aset tidak lancar berupa Transportasi yang terdiri atas
Armada Kendaraan Roda 4 (Empat) senilai Rp. 5,7 Triliun dari 6,7 Triliun Aset
yang dimiliki, PT. Soechi Lines dengan usaha pelayaran yang memiliki armada
Kapal layar sebanyak 7 buah dan 1 Bangunan Fisik Galangan Kapal senilai Rp. 2,3
Triliun. kemudian, Jasa Bangunan non konstruksi mendominasi segi aset tidak
lancar berupa bangunan Fisik yang disewakan. PT. Cikarang Listrindo yang
memiliki pembangikt Listrik senilai Rp. 8,2 Triliun yang memperoleh kontrak
untuk memberikan daya kepada Perusahaan Listrik negara dalam pengelolaan
kelitrikan di kawasan Industri Cikarang dan sekitarnya, PT. Sraa Menara Nusantara
dengan aset bangunan disewakan sebanyak 3.639 Menara pemacar telekomunikasi
yang tersebar di sumatera, jawa, kalimantan, nusa tenggara, bali dan sulawesi
senilai 4,5 Triliun rupiah.
Perusahaan dengan Total Aset terbesar tersebut, pada saat penawaran umum
perdana mengalami fluktuatif permintaan, hal dibuktikan dengan pergerakkan atas
frekuensi dan volume perdagangan. POWR pada hari pertama ditutup naik sebesar
Rp.1.540 dari harga penawaran Rp. 1.500 Per lembar saham. Kode emiten TOWR
juga mengalami hal serupa, pada saat IPO mencatatkan kenaikan signifikan dari
1.050 ke 1.570 per lembar saham. BIRD kode emiten perusahan taksi Bluebird juga
mengalami peningkatan permintaan dan pertumbuhan harga setelah IPO dari Rp.
6.500 ke Rp. 7.450 perlembar saham, serta perusahaan pelayaran SOCI yang
mengalami peningkatan harga sebesar 12,7% dai Rp. 550 ke Rp. 620 perlembar
saham pada saat penawaran umum di pasar sekunder di Bursa Efek Indonesia.
Chalk dan Peavy (1987) dalam Ch Heni K (2001) dalam penelitiannya di
Amerika menemukan adanya pengaruh negatif yang signifikan antara informasi
karakteristik perusahaan yang diukur dengan harga pasar maupun ukuran
perusahaan terhadap abnormal return saham perdana. Namun hasil tersebut
bertentangan dengan hasil penelitian Raharjo (1997) dalam Ch Heni K (2001) yang
tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh kapitalisasi pasar terhadap abnormal
return. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mendukung penelitian
Raharjo (1997) yang menyatakan bahwa ukuran perusahan berkorelasi positif dan
tidak signifikan terhadap abnormal return. Sedangkan penelitian Ch Heni K (2001)
152
berhasil menemukan bahwa kapitalisasi pasar berpengaruh positif signifikan
terhadap abnormal retun, hasil ini sebagian mendukung Chalk dan Peavy (1987)
maupun Garang (1993) namun arah pengaruhnya berbeda dengan temuan
terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan akan
semakin besar pula abnormal return saham yang dapat diperoleh investor.
Penjelasan yang mungkin diberikan adalah dari sudut pandang analisis teknikal.
Rock (1994) asimetris informasi Pada saat pengumuman laporan keuangan,
informasi emiten yang tersedia luas bagi investor hanyalah informasi yang tersedia
dalam prospektus, sedangkan investor Indonesia sebagian besar masih bersifat
emosional, sehingga investor hanya mengikuti kecenderungan di pasar. Apabila
investor berbondong-bondong membeli saham suatu emiten, akan diikuti pula oleh
investor yang lain. Dalam mekanisme yang berlaku dipasar, apabila permintaan
meningkat maka harga saham akan meningkat, sehingga investor yang memiliki
kesempatan membeli saham dengan kapitalisasi pasar yang tinggi, akan
memperoleh abnormal return yang signifikan setelah diperdagangkan dipasar
sekunder.
f. Pengaruh Presentase Saham Ditawarkan (PSD) terhadap Kinerja
Saham
Hof : Presentase Saham Ditawarkan (PSD) tidak memiliki pengaruh Positif
terhadap Kinerja Saham.
H1f : Presentase Saham Ditawarkan (PSD) memiliki pengaruh Positif
terhadap tingkat Kinerja Saham.
Berdasarkan tabel 4.22 hasil pengujian uji t hipotesis Kedua, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Presentasi Saham Ditawarkan yaitu -1,677 dan t hitung
sebesar -1,276. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 1,717 atau t hitung 1,276 < t
tabel 1,717. Adapaun tingkat signifikansi sebesar 0,214, nilai tersebut lebih besar
dair pada nilai syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1
ditolak dan H0 diterima,dengan demikian variabel Presentasi Saham Ditawarkan
tidak berpengaruh Positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
153
Pembahasan :
Persentase saham yang ditawarkan ke publik dilihat dari jumlah saham yang
ditawarkan pada saat IPO. Besarnya persentase saham yang ditawarkan perusahaan
akan mempengaruhi besarnya informasi yang ada dipasar. Menurut Dita (2013),
Proporsi dari saham yang ditahan dari pemegang saham lama (emiten), dapat
menunjukan adanya aliran informasi dari emiten ke calon investor. Semakin besar
proporsi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama (emiten) semakin
banyak informasi privat (ketidakterbukaan) yang dimiliki oleh pemegang saham
lama. Dari 32 perusahaan didalam penelitian ini, menyampaikan jumlah saham yang
ditawarkan didalam prospektusnya, nilai penawaran dari saham terbesar dilakukan
oleh PT. Satria Antaran prima Tbk sebesar 52%, namun secara keseluruhan
sebanyak 20 perusahaan melakukan penawaran dibawah rata rata jumlah
penawaran saham sebesar 25,4% dari saham yang beredar di sektor pepenelitian
perusahaan tersebut. Artinya bahwa Informasi tingkat kepemilikan saham oleh
pemegang saham sebelumnya akan digunakan oleh investor sebagai pertanda
bahwa prospek perusahaannya baik (Yasa, 2008). Semakin tingginya jumlah saham
yang ditahan oleh pemilik lama (semakin rendah jumlah saham yang akan
ditawarkan) mengisyaratkan bahwa kinerja dan prospek dari perusahaan dalam
kondisi yang baik. Hal tersebut akan mengurangi tingkat ketidakpastian di masa
yang akan datang, sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya risiko atas
investasi yang dilakukan. Namun , faktor Jumlah saham ditawarkan tidak menjadi
tolak ukur dalam pengambilan keputusan oleh investor pada perusahaan IPO. Hal
ini dibuktikan dari perhitungan penulis yang mencerminkan presentase saham
ditawarkan tidak berpengaruh kepada underpricing atau peningkatan permintaan
yang merubah harga saham menjadi lebih tinggi dari harga perdana. hal ini juga
sejalan berdasarkan perhitungan abnormal return untuk kinerja saham. Tidak
adanya aksi corporasi melalui keterbukaan informasi sehingga terdapat perubahan
maupun peristiwa pada emiten yang berkaitan dengan komposisi saham yang
berdampak pada keputusan investasi investor, membuat Investor secara konsisiten
tidak mempertimbangkan jumlah presentase saham ditawarkan pada sektor tersebut
secara abnormal return.
154
2. Pengujian secara Simultan (Uji F)
Tahap Pengujian Hipotesis dilakukan secara simultan dengan Uji F yang
bertujuan untuk menguji pengaruh apakah secara bersama-sama variabel
independen, dalam hal ini adalah faktor internal perusahaan (Debt To Equity Ratio
(DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan,
Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan) memiliki pengaruh
terhadap variabel dependen yaitu Kinerja Saham yang dikur dengan abnormal
return atau untuk menguji kesesuaian model regresi liner. Apabila hasil pengujian
variabel independen memiliki pengaruh secara simultan terhadap variabel
dependen maka dapat dikatakan bentuk persamaan regresi untuk hipotesis dua
cocok dan sesuai.
Tabel 4.23 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Kedua
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1
Regression 3,476 6 ,579 1,608 ,186b
Residual 9,005 25 ,360
Total 12,481 31
Sumber : Penulis, 2019
Dari Tabel 4.23, Hasil Perhitungan regresi nilai F-tes diketahui sebesar 0,186, ini
menjelaskan bahwa terdapat tidak terdapat pengaruh secara simultan antara
variabel independen faktor internal (DER,EPS,ROA,AGE,SIZE, dan PSD)
terhadap Kinerja Saham. Proses pengambilan Keputusan berdasarkan nilai
signifkansi, yaitu :
Ho diterima dan H1 ditolak, jika signifikansi F> 0,05
Ho ditolak dan H1 diterima, jika signifikansi F< 0,05
Sehingga, Hipotesisi penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
Ho : Faktor internal (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return
On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham
Ditawarkan) secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap tingkat Kinerja
Saham.
H2 : Faktor internal (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS), Return
On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham
Ditawarkan)) secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat Kinerja Saham.
155
Melalui perhitungan yang dilakukan sesuai dengan tabel 4.2, dapat
diketahui nilai-nilai signifikansi diperoleh sebesar 0,186 lebih besar dari syarat
signifikansi sebesar 0,05 dan hasil perhitungan uji F diketahui F-hitung sebesar
1,608. Langkah selanjutnya yaitu menentukan F tabel dengan cara :
F tabel = α; df = (n-k),(k-1)
= 5%; df = (32-9),(9-1)
=0,05; df(23,8) = 2,37
Sehingga, didapatkan F hitung > F tabel atau sama dengan 1,608 < 2,37.
Jika Nilai Signifikansi lebih besar dari 0,05 atau nilai F-Hitung lebih kecil dari F
tabel. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam
penelitian tidak memiliki pengaruh secara bersama sama terhadap variabel
dependen. Ho diterima dan H1 ditolak yaitu Faktor internal (Debt To Equity Ratio
(DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan,
Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan)) secara bersama-sama
tidak berpengaruh terhadap Kinerja Saham.
Pembahasan :
Faktor internal digunakan sebagai salah satu informasi untuk pengambilan
keputusan investasi. Hal tersebut tidak hanya berlaku pada underpricing, melainkan
juga kinerja saham perusahaan jangka pendek dan jangka panjang. Faktor internal
terhadap kinerja saham jangka pendek juga berpengaruh terhadap perubahan harga
dari penawaran umum perdana di pasar primer sampai dengan 30 hari setelah
penawaran dan diperdagangkan di pasar sekunder. Di indonesia transaksi
perdangann efek saham di pasar sekunder dilakukan di bursa efek indonesia. Secara
perhitungan, kinerja saham perusahaan yang akan menjadi tolak ukur dihitung
berdasarkan abnormal return yaitu nilai sebenarnya dengan nilai yang diharapkan.
Nilai yang diharapkan bersumber dari adjusted marked return, atau nilai pasar
indeks harga saham sebenarnya dipasar modal pada hari ke 30 setelah melakukan
penawaraan umum perdana. Faktor internal pada penelitian ini, bersumber dari 2
bagian yang dipublikasikan oleh calon emiten sebelum tercatat di bursa efek, yaitu
laporan keuangan periode sebelum epnawaran umum erpdana dan prospektus
perusahaan. Variabel-variabel yang diambil drai 2(dua) sumber tersebut adalah
156
Debt To Equity Ration (DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA),
Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan.
Dari hasil perhitungan secara simultan atau bersama sama keseluruhan
variabel independen terhadap variabel dependen (Kinerja saham) diperoleh nilai
sebesar 0,186. Nilai tersebut, tidak mencerminkan keputusan yang sama pada saat
perhitungan terhadap Kinerja saham, karena berada diatas nilai signifikansi yang
disyaratkan sebesar 0,05. Yang artinya, tidak ada pengaruh antara variabel Debt To
Equity Ration (DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur
Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan terhadap
kinerja saham jangka pendek yang diukur dnegan abnormal return.
Laporan keuangan mengambarkan kinerja keuangan dari perusahaan
tersebut. Secara umum, investor akan melihat peluang positif apabila kinerja
keuangan didalam laporan keuangan terlihat baik yang mencerminkan keseluruhan
kinerja perusahaan dan kondisi perusahaan, sehingga munculah harapan terhadap
return maupun perolehan imbal hasil berupa deviden dimasa yang akan datang.
Sedangkan prospektus adalah gambaran bisnis perusahaan, dan rencana pengunaan
dana. Didalamnya juga menjabarkan nformasi berkaitan dengan, risiko usaha dan
kebijakan kepada pemeganga saham atau calon investor. Secara teori, informasi
laporan keuangan dan prospektus IPO adalah informasi yang akan diserap oleh
investor pada saat penawaran umum perdana menurut Baron (1992). hal itu
disebabkan oleh asimetris informasi yang dimiliki oleh masing masing pihak yang
terlibat didalam proses penawaran perdana dan underwriter selaku penjamin efek.
Pihak underwriter atau penjamin efek, pada saat penawaran umum perdana,
memiliki banyak informasi dibanding pihak lainnya.
informasi asimetri terjadi pada kelompok informed investor dan uninformed
investor. Informed investor yang mengetahui lebih banyak mengenai prospek
perusahaan emiten akan membeli saham penawaran umum perdana jika after
market price yang diharapkan melebihi harga perdana atau dengan kata lain
kelompok ini hanya membeli saham penawaran umum perdana yang underpriced
saja. Sementara kelompok uninformed investor karena kurang memiliki informasi
mengenai perusahaan emiten akan melakukan penawaran secara sembarangan, baik
157
pada saham penawaran umum perdana (Initial Public Offering) yang underpriced
maupun overpriced. Beberapa investor yang merasa kurang memiliki infroasi
secara jangka pendek, akan mengambil keuptusan didalam investasi yang
dilakukan. Jika hasil penilain terhadap laporan keuangan lebih lanjut setelah IPO.
Akibatnya secara kinerja saham, selama 30 hari kelompok uninformed investor
memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham penawaran umum perdana
yang overpriced daripada kelompok informed investor. Menyadari bahwa mereka
menerima saham penawaran umum perdana yang tidak proporsional, kelompok
uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi
pada pasar perdana dan memungkinkan memperoleh return saham yang wajar serta
dapat menutupi kerugian akibat membeli saham yang overpriced, maka saham
penawaran umum perdana (Initial Public Offering) harus cukup underpriced
(Krinsky, 1994 ; Guiness, 1992) dalam Guntoro dan Harahap (2008). Tetapi nilai
akan turun ke titik wajar, dalam hal ini secara teori nilai saham akan bergerak
berdasarkan volume dan frekuensi perdangangan. Akibat dari profit taking maupun
panic selling. Profit taking menurut harahap(2008) adalah proses pengambilan
keuntungan dari investasi yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan
panic selling adalah aktifitas penjualan secara besar besaran yang dipengaruhi teori
signaling atas penurunan harga saham karena asimetris informasi yang berkembang
di pasar. Meskipun menderita kerugian setelah penawaran saham perdana, tetapi
diharapkan dengan terjadinya pergerakan fluktuatif maka menjadi sinyal yang
ampuh bagi investor dan selanjutnya dapat menutup kerugian melalui kinerjanya
yang akan datang. Demikian pula halnya perusahaan yang kurang baik. Mereka
tidak akan memberikan sinyal karena mengetahui bahwa mereka tidak akan dapat
mengganti kerugian yang timbul akibat kinerja saham yang tidak sesuai harapan..
Laporan keuangan dan Prospektus adalah informasi dasar yang
dipublikasikan pada saat penawaran umum perdana. menurut Jogiyanto (2011)
Abnormal Return dapat terjadi jika terdapat informasi ataupun peristiwa yang
mendorong keputusan jual ataupun beli oleh investor. Faktor internal dalam hal ini
DER, EPS, ROA, Umur Perusahaan, Ukuran perusahaan dan Presetase saham
ditawarkan merupakan informasi yang bersumber dari laporan keuangan dan
prospektus. Tidak adanya pengaruh secara simultan menjelaskan bahwa pada setiap
158
sampel penelitian tidak adanya perubahan maupun informasi baru terkait laporan
keuangan dan prosketus, maupun keterbukaan informasi yang berkaitan dengan
setiap variabel penelitian sehingga tidak menjadi dasar pengambilan keputusan
investasi oleh investor atau tidak terjadi abnormal return. Selain itu, laporan
keuangan merupan merupakan informasi yang publikasinya bersifat triwulan,
semesteran dan tahunan. Tidak adanya publikasi laporan keuangan baru selama 30
hari paska IPO tidak mendoorng terjadi abnormal return saham.
Dari data laporan laporan keuangan dan prospektus tersebut,walaupun
secara simultan variabel Debt To Equity Ration (DER), Earning Per Share (EPS),
Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaaan dan Presentase
Saham Ditawarkan tidak berpengaruh terhadap kinerja saham. Hasil perhitungan
secara parsial memberikan informasi baru yang menadakan adanya pengaruh antara
variabel tersebut secara individu terhadap kinerja saham. Debt to Equity ratio
(DER) dan Ukuran Perusahaan (SIZE) secara parsial berpengaruh signifikan ke
arah positif terhadap kienrja saham. Yang diartikan jika nilai DER naik maka
Kinerja saham jangka pendek yang diukur dengan abnormal return juga akan naik.
hal tersebut juga berlaku pada SIZE, jika nilai ukuran perusahaan (SIZE) naik maka
nilai kinejra saham dengan abnormal return juga akan naik. Sedangkan variabel
lainnya, yaitu Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur
Perusahaan, dan Presentase Saham Ditawarkan secara parsial tidak berpengaruh
terhadap kinerja saham.
3. Koefisien Determinasi (Adjusted R2)
Koefisien determinasi (adjusted R2) digunakan untuk mengukur seberapa
kesesuaian persamaan regresi linier berganda didalam penelitian, yang menjelaskan
hubungan pengaruh antara variabel independen ((Debt To Equity Ration (DER),
Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaaan dan Presentase Saham Ditawarkan)) terhadap variabel dependen
(Kinerja Saham). Secara spesifik menurut Ghozali (2009), koefisien determinasi
(adjusted R2) mengukur seberapa jauh model menerangkan variasi dalam variabel
dependen.
159
Tabel 4.24 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Kedua Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,528a ,278 ,105 ,6001632
Sumber : Penulis, 2019
Hasil Uji Koefisien determinasi pada tabel 4.24, menunjukan nilai Adjusted
R Square sebesar 0,105. Sehingga dapat diketahui bahwa variasi Kinerja Saham
yang dapat dijelaskan oleh faktor internal dalam hal ini, Debt To Equity Ration
(DER), Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan
(AGE), Ukuran Perusahaaan (SIZE) dan Presentase Saham Ditawarkan (PSD)
sebesar 10,5%. Sedangkan sisanya sebesar 89,5% dijelaskan oleh variabel lain di
dalam faktor internal yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Faktor Insternal lain
yang diduga memiliki pengaruh berdasarkan penelitian yaitu Pengaruh
Underwrriter, Kantor Akuntan Publik, dan faktor lainnya yang diduga menjadi
penyebab abnormal return. Selain itu, dapat memperpanjang waktu penelitian yang
digunakan untuk melihat kondisi abnormal return.
4.8 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap
Underpricing
1. Pengujian secara Parsial (Uji t)
Pengujian hipotesis dapat dilakukan setelah melakukan analisis data secara
statistik. Analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analsisi
regresi linier berganda. Setelah melakukan analisis regresi, data di uji secara parsial.
Pengujian secara parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Cara
melakukan uji t adalah dengan membandingkan t hitung dengan t pada tabel pada
derajat kepercayaan 95% atau signifikansi sebesar 5% (0,05) (Ghozali, 2011).
Pengujian tersebut menguji hubungan antara variabel independen yang
didalamnya terdiri dari Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), dan Bunga Bank
Indonesia (RATE) terhadap variabel dependen Underpricing yang diukur dengan
initial return. Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah masing- masing
variabel yang digunakan dalam penelitian mampu menerangkan variabel dependen
adalah dengan melihat t hitung dan nilai signifikansi masing-masing variabel
160
independen. Untuk mengetahui nilai t-tabel dapat dilakukan perhitungaan sebagai
berikut:
t tabel = ; df = n-k-1
= 5%; df = (32-2)
= 0,005’ df(30) = 2,035
Keputusan yang akan diambil mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
1. Apabila tingkat signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak dan
sebaliknya H1 diterima.
2. Apabila tingkat signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan
sebaliknya H1 ditolak.
Tabel 4.25 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Ketiga
Model Unstandardized Coefficients
T Sig. B Std. Error
(Constant) ,102 ,485 ,210 ,835
INF -,049 ,044 -1,096 ,282
KURS 4,112E-5 ,000 2,061 ,048
RATE -,009 ,058 -,146 ,885
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.25, hasil perhitungan menunjukan bahwa tidak semua variabel
independen didalam faktor eksternal memiliki nilai signifikansi dibawah 0,05,
maka pengaruh Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), dan Bunga Bank Indonesia
(RATE) terhadap variabel dependen Underpricing sebagai berikut :
a. Pengaruh Inflasi (INF) terhadap underpricing
Hoa : Inflasi (INF) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
H1a : Inflasi (INF) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat underpricing.
Berdasarkan tabel 4.25 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh
nilai koefisien regresi variabel Inflasi yaitu -0,049 dan t hitung sebesar 1,096. t
hitung lebih kecil dari nilai t tabel 2,035 atau t hitung 1,096 < t tabel 2,035. Adapun
tingkat signifikansi sebesar 0,282, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai syarat
signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1a ditolak dan H0a
diterima, dengan demikian variabel Inflasi (INF) tidak berpengaruh positif secara
signifikan terhadap tingkat underpricing.
161
Pembahasan : Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai uji t variabel Inflasi
(INF) mempunyai tingkat signifikansi 0,282. Nilai signifikansi ini lebih besar dari
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Inflasi (INF) tidak berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap underpricing. Dengan demikian hipotesis pada penelitian
ini tidak terbukti, karena H1a ditolak dan H0a diterima. Hasil tersebut memperkuat
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Diasih, Wahyuni dan Herawati (2018),
Leila dan Fahrid (2014), Vita (2013) mengenai Inflasi (INF) tidak berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap Underpricing.
Secara Teori, Tandelilin (2001) menjelaskan bahwa Inflasi merupakan
kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan.
Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu
panas (Overheated). Artinya, kondisi ekonomi dihadapkan pada tingginya
permintaan dibandingkan dengan kapasitas penawaran produknya, yang
mendorong peningkatan pada harga jual produk. Inflasi yang tinggi akan
berdampak pada daya beli uang (purchasing power of Money). Selain itu, inflasi
tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan rill yang diperoleh investor dari
investasinya. Sebaliknya jika inflasi mengalami penurunan, maka akan berdampak
baik yang memberikan sinyal positif bagi investor seiring penurunan risiko daya
beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil.
Terdapat dua sumber yang menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi yang
disebabkan kondisi didalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi
dari dalam negeri misalnya terjadi karena devisit anggaran belanja yang dibiayai
dengan cara memcetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat pada naiknya
harga harga bahan makanan. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah karena
naiknya harga barang impor. Hal ini terjadi karena naiknya biaya produksi barang
diluar negeri atau adanya kebijakan baru terkait kenaikan tarik impor barang
(Wikipedia Indonesia). Tingkat Inflasi yang diamati dalam penelitian ini, mengacu
pada informasi inflasi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada hari
perdagangan umum perdana di pasar sekunder pada setiap sampel emiten
penelitian. Menurut Bank Indonesia, Pengendalian inflasi adalah kewajiban yang
harus dilakukan pemerintah. hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi dan tidak stabil
162
akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tingkat Inflasi pada saat
penjualan saham perdana di lantai bursa menjadi salah satu pertimbangan penting
bagi para investor yang akan menanamkan modal pada perusahaan yang Go Public.
Inflasi tinggi akan menjadi indikator dasar bagi masyarakat yang akan berdampak
pada kemampuan daya beli (Tandelilin, 2001). Sebaliknya pada perusahaan atau
wirausaha, inflasi yang tinggi dan bergejolak akan mempersulit perencanaan bisnis
dan pengurangan profitabilitas. Inflasi juga akan berdampak pada peningkatan
biaya produksi dari perusahaan. Biaya produksinya yang meningkat akan
berdampak pada pendapatan perusahaan, pendapatan perusahaan yang rendah akan
berpengaruh pada penurunan harga saham perusahaan di bursa efek.
Pada perusahaan IPO, kondisi Inflasi yang berfluktuatif akan berdampak
pada penetapan harga penawaran perdana. underwriter selaku penjamin emisi akan
menawarkan harga saham berada dibawah book value atau nilai wajar perusahaan.
Hal tersebut, bertujuan agak investor memiliki minat untuk melakukan pembelian
saham perusahaan, karena iklim investasi cenderung terhambat dan investor pada
masa inflasi yang bergejolak cenderung menghindari aktifitas investasi (Martalena
dan Malinda, 2011). Investor akan mempertimbangkan kondisi ketidakpastian
untuk mengambil keputusan investasi, tingkat inflasi yang tinggi menandakan
kondisi ketidakpastian yang tinggi, maka akan berdampak pada tingginya
underpricing. Sehingga Inflasi secara teori akan berdampak positif terhadap
underpricing.
Namun Hal tersebut, tidak dapat dibuktikan melalui penelitian. hasil
penelitian yang menunjukan tidak berpengaruh terhadap inflasi. Menjelaskan
bahwa Naik ataupun Turunnya inflasi dan kondisi inflasi seperti apapun di
Indonesia tidak menjadi dasar pengambilan keputusan investasi yang dilakukan
oleh investor. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa Kondisi inflasi yang cenderung
stabil di Indonesia dalam jangka waktu penelitian. Membuat investor tidak
menjadikan inflasi sebagai dasar pengambilan keputusan investasi pada perusahaan
IPO yang menyebabkan underpricing. Perusahaan IPO sampel penelitian akan tetap
mengalami underpricing tanpa disebabkan oleh Inflasi. Underpricing pada
perusahaan ipo dapat terjadi karena tingginya aktifitas permintaan dibandingkan
163
dengan penawaran, sehingga akan memberikan signal secara teknikal bagi sebagian
investor untuk ikut membeli saham perusahaan.
Secara ekonomi makro, menurut data Laporan Perekonomian Bank
Indonesia tahun 2018, selama periode penelitian pada tahun 2010 hingga tahun
2018. Inflasi indonesia berada pada tingkat terjaga secara stabil. Kondisi gejolak
yang terjadi dalam beberapa momentum seperti peningkatan harga Bahan Bakar
Minyak, Peningkatan harga cabai dan bahan pokok sepanjang tahun 2014
berdampak pada peningkatan inflasi di level 7%. Tingginya andil inflasi dari
kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan tersebut masih merupakan
dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang terjadi pada bulan Oktober tahun
yang sama. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak hanya
berimbas pada jasa transportasi saja, kelompok pengeluaran barang dan jasa juga
merupakan kelompok barang dan jasa yang menerima imbas cukup besar, tercermin
dari andil yang diberikan oleh kelompok ini terhadap pembentukan inflasi
Desember 2014 sebesar 0,64 persen. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama,
Pemerintah kembali melakukan penurunan harga BBM pada tahun berikutnya yang
diikuti dengan operasi pasar untuk pengendalian kecukupan pasokan bahan pokok
sehingga inflasi kembali turun ke level 5% sepanjang tahun 2016 hingga berkisar
antara 3% dari tahun 2017 hingga 2018.
Menurut Tandelin (2001), tingkat inflasi disuatu negara akan dijadikan
sebagai pertimbangan didalam penentuan harga penawaran saham yang akan
disepakati oleh emiten dan penjamin emisi. Kondisi pasar indonesia yang stabil,
tercermin pada nilai inflasi yang berada di bawah 10% sesuai dengan ketentuan
inflasi kategori rendah, hal itu berlangsung selama 10 tahun terakhir. Kondisi ini,
Membuat investor tidak menjadikan inflasi sebagai acuan dalam pengambilan
keputusan investasi. Inflasi mencerminkan tingkat imbal hasil investasi, jika inflasi
tinggi maka hasil imbal hasil investasi akan tergerus naiknya harga harga barang
atau jasa. Kaena kondisi ekonomi yang stabil di indonesia, maka imbal hasil
investasi akan terjaga dan seimbang terhadap harga harga barang dan jasa di
masyarakat. Peningkatan harga pasca IPO yang menyebabkan underpricing pada
sampel dan sektor penelitian disimpulkan tidak disebabkan oleh inflasi dari faktor
eksternal.
164
a. Pengaruh Kurs Nilai Tukar (KURS) terhadap underpricing
Hob : Kurs Nilai Tukar (KURS) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
H1b : Kurs Nilai Tukar (KURS) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
underpricing.
Berdasarkan tabel 4.25 hasil pengujian uji t hipotesis keempat, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Kurs Nilai Tukar (KURS) yaitu 4,112 dan t hitung sebesar
2,061. t hitung lebih besar dari nilai t tabel 2,035 atau t hitung 2,061 > t tabel 2,035.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,048, nilai tersebut lebih kecil dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1b diterima dan
H0b ditolak, dengan demikian variabel Kurs Nilai Tukar (KURS) berpengaruh
Positif secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Perdagangan internasional akan mendorong terjadinya pertukaran dua atau
lebih mata uang berbeda. Transaksi ini akan menimbulkan permintaan dan
penawaran terhadap suatu mata uang tertentu. Menurut Sadono Sukirno (2011) nilai
tukar atau Kurs adalah harga mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs
merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian terbuka
mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan maupun
variabel-variabel makro ekonomi yang lainnya. Menurut Mahyus Ekananda (2014)
terdapat 3 sistem nilai tukar yang dipakai suatu negara, yaitu:
1. Sistem kurs bebas (floating) : Dalam sistem ini tidak ada campur tangan
pemerintah untuk menstabilkan nilai kurs. Nilai tukar kurs ditentukan oleh
permintaan dan penawaran terhadap valuta asing.
2. Sistem kurs tetap (fixed) : Dalam sistem ini pemerintah atau bank sentral negara
yang bersangkutan turut campur secara aktif dalam pasar valuta asing dengan
membeli atau menjual valuta asing jika nilainya menyimpang dari standar yang
telah ditentukan.
165
3. Sistem kurs terkontrol atau terkendali (controlled): Dalam sistem ini pemerintah
atau bank sentral negara yang bersangkutan mempunyai kekuasaan eksklusif dalam
menentukan alokasi dari penggunaan valuta asing yang tersedia.
Menurut Sadono Sukirno (2011) sistem nilai tukar dibedakan menjadi 2 (dua)
sistem, yaitu :
1. Sistem Kurs Tetap : penentuan sistem nilai mata uang asing di mana bank sentral
menetapkan harga berbagai mata uang asing tersebut dan harga tersebut tidak dapat
diubah dalam jangka masa yang lama. Pemerintah (otoritas moneter) dapat
menentukan kurs valuta asing dengan tujuan untuk memastikan kurs yang berwujud
tidak akan menimbulkan efek yang buruk atas perekonomian. Kurs yang ditetapkan
ini berbeda dengan kurs yang ditetapkan melalui pasar bebas.
2. Sistem Kurs Fleksibel : penentuan nilai mata uang asing yang ditetapkan
berdasarkan perubahan permintaan dan penawaran di pasaran valuta asing dari hari
ke hari.
Di indonesia sendiri sistem yang digunakan adalah sistem fleksibel namun
terkendali. Dimana penentuan nilai tukar akan tergantung oleh mekanisme pasar
transaksi mata uang, namun bank sentral negara yang bersangkutan mempunyai
kekuasaan eksklusif dalam menentukan alokasi dari penggunaan valuta asing yang
tersedia maupun operasi moneter untuk penegdalian harga nilai tukar. Menurut
Tandelin (2001), Nilai tukar merupakan sinyal positif, artinya jika nilai tukar
terapresiasi maka harga saham akan meningkat begitu juga sebaliknya jika nilai
tukar mengalami depresiasi maka harga saham akan mengalami penurunan. Dalam
penelitian ini, nilai tukar yang digunakan sebagai indikator adalah nilai tengah Kurs
yaitu nilai jual ditambahkan dengan nilai beli dibagi 2. Kondisi ekonomi yang stabil
dan harapan atas pertumbuhan nilai Kurs akan berdampak positif pada nilai inflasi.
Sehingga akan berpengaruh positif pada keputusan investasi perusahaan IPO yang
mneyebabkan Underpricing.
Sesuai dengan Teori, penelitian juga membuktikan tentang adanya
pengaruh antara KURS terhadap Underpricing, hal tersebut dibuktikan dengan nilai
signfikasi penelitian yang berada dibawah 0,05. Arah pengaruh yang diciptakan
166
juga sejalan dengan Teori. Sehingga dapat dijelaskan bahwa Nilai Tukar Rupiah
yang lebih Tinggi Terhadap Dolar akan berpengaruh Positif terhadap Underpricing.
Namun, secara ekonomi makro nilai KURS selama periode penelitian
cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan data yang di publikaiskan oleh
Bank Indonesia, nilai tukar mengalami konsistensi penurunan yang signifikan hal
ini tercantum pada gambar berikut :
Gambar 4.8 Pergerakan Kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar
Sumber : Bank Indonesia, 2018
Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa memang secara teori dan
hasil penelitian dikatakan bahwa kurs memiliki pengaruh terhadap keputusan
investasi, namun terdapat dorongan lain yang mampu menjaga kurs agar tetap baik
walaupun mengalami penurunan nilai terhadap dolar, sehingga berdampak pada
keputusan investasi yang dilakukan investor. Menurut Sadono Sukirno (2011)
terdapat lima Faktor yang mempengaruhi nilai tukar, yaitu:
1. Perubahan dalam cita rasa masyarakat : Cita rasa masyarakat
mempengaruhi corak konsumsi mereka. Maka perubahan cita rasa masyarakat akan
mengubah corak konsumsi mereka ke atas barang-barang yang diproduksikan di
dalam negeri maupun yang diimpor. Perbaikan kualitas barang-barang dalam negeri
menyebabkan keinginan mengimpor berkurang dan ia dapat pula menaikkan
ekspor. Sedangkan perbaikan kualitas barang-barang impor menyebabkan
keinginan masyarakat untuk mengimpor bertambah besar. Perubahan perubahan ini
akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing.
0
5000
10000
15000
20000
2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8
NIL
AI K
UR
S
TAHUN
Pergerakan KURS
167
2. Perubahan harga barang ekspor dan impor : Harga sesuatu barang
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan apakah sesuatu barang akan
diimpor ataupun diekspor. Barangbarang dalam negeri yang dapat dijual dengan
harga yang relatif murah akan menaikkan ekspor dan apabila harganya naik maka
ekspornya akan berkurang. Pengurangan harga barang impor akan menambah
jumlah impor. Dengan demikian perubahan harga-harga barang ekspor dan impor
akan menyebabkan perubahan dalam penawaran dan permintaan ke atas mata uang
negara tersebut.
3. Kenaikan harga umum (Inflasi) : Inflasi sangat besar pengaruhnya kepada
kurs pertukaran valuta asing. Inflasi yang berlaku pada umumnya cenderung untuk
menurunkan nilai sesuatu valuta asing.
4. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi : Suku bunga
dan tingkat pengembalian investasi sangat penting peranannya dalam
mempengaruhi aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang
rendah cenderung akan menyebabkan modal dalam negeri mengalir ke luar negeri.
Sedangkan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang tinggi akan
menyebabkan modal luar negeri masuk ke negara itu. Apabila lebih banyak modal
mengalir sesuatu negara, permintaan ke atas mata uangnya bertambahnya, maka
nilai mata uang tersebut bertambah. Nilai mata uang sesuatu negara akan merosot
apabila lebih banyak modal negara dialirkan ke luar negeri karena suku bunga dan
tingkat pengembalian investasi yang tinggi di negara-negara lain.
5. Pertumbuhan Ekonomi : Efek yang akan diakibatkan oleh sesuatu
kemajuan ekonomi kepada nilai mata uangnya tergantung kepada corak
pertumbuhan ekonomi yang berlaku apabila kemajuan itu terutama diakibatkan
oleh perkembangan ekspor, maka pemerintah ke atas mata uang negara itu
bertambah lebih cepat dari penawarannya dan oleh karenanya nilai mata uang
negara itu naik. Akan tetapi, apabila kemajuan tersebut menyebabkan impor
berkembang lebih cepat dari ekspor, penawaran mata uang negara itu lebih cepat
bertambah dari permintaannya dan oleh karenanya nilai mata uang negara tersebut
akan merosot.
168
Pada perusahaan sektor transportasi dampak terbesar akan terjadi pada biaya
Bahan Bakar. Nilai KURS yang terdepresiasi akan membuat biaya BBM impor
akan meningkat. Namun upaya pemerintah dengan melakukan pengedalian harga
secara subsidi. Akan mampu menekan biaya operasional bahan bakar. Dari segi
logistik, Pendapatan perusahaan atas jasa Pengiriman Ekspor dan Impor barang
akan mampu memberikan tambahan pada devisa. Pelemahan nilai tukar, akan
memberikan peluang bagi perusahaan pengiriman luar negeri untuk menerima
pendapatan dalam jumlah Dolar dan dikonversi menjadi lebih besar dalam rupiah.
Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada Infrastruktur dan Maritim juga
memberikan angin segar pada bisnis terkait. dari data Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2015 hingga 2018. Perusahaan transportasi banyak melakukan penawaran
umum perdana, tujuan IPO lebih banyak untuk melakukan investasi dan ekspansi
bisnis. PT. Sillo Maritime Perdana Tbk melakukan ipo tahun 2016 dengan
melakukan Ekspansi bisnis menambah armada kapal untuk meningkatkan frekuensi
pelayaran, PT. Pelita samudera Shipping Tbk, PT. Jaya Trisihindo Tbk, PT Guna
Timur Raya Tbk, PT. Batavia Prosperindo Trans Tbk. melakukan ipo tahun 2018,
maisng masing dalam prospektusnya tujuan IPO pada pembelian investasi armada
dan penambahan lahan untuk armada. Hal tersebut menunjukan bahwa perusahaan
memiliki perencanaan secara jangka panjang pada pertumbuhan perusahaan.
Pelemahan Kurs tidak hanya terjadi pada indonesia, melalui pemaparan
ekonomi indonesia tahun 2018 yang dipublikasikan kemetrian keuangan
menjelaskan bahwa pelemahan KURS lebih banyak terjadi pada negara emerging
markets atau Negara berkembang seperti India, Brasil, Afrika selatan, Turki,
Argentina dan Meksiko. Hal ini menurut keterangan menteri keuangan Sri Mulyani
disebabkan oleh Kebijakan Normalisasi Moneter dan kenaikan suku bunga The Fed
(Bank sentral Amerika) serta Isu Perang Dagang dengan China yang berimbas pada
negara yang memiliki hubunga bilateral dengan negara tersebut. Namun, Kondisi
Inflasi yang stabil di kisaran 5-3% dalam 10 tahun terakhir juga dinilai tidak
membebani KURS tukar. Kurs yang naik tetapi inflasi yang turun menandakan
harga harag di pasar cenderung stabil. Penetapan suku bunga acuan menjadi BI
seven days repo rate pada tahun 2016, juga menjadi pendorong terhadap kestabilan
sistem moneter yang membuat Bank Indonesia selaku bank sentral akan lebih
169
responsif terhadap sentimen pasar. Sehingga dapat dijelaskan bahwa Pengaruh
positif KURS terhadap keputusan investasi yang berdampak pada Underpricing,
disebabkan oleh investor lebih melihat Prospek perusahaan terhadap keuntungan
dari pergerakkan KURS. Peluang atas kebijakan pemerintah yang mampu
mendorong ruang investasi seluas-luasnya pada sektor penelitian secara jangka
panjang dan upaya pemerintah dalam pengedalian ekonomi secara makro melalui
konsistensi pertumbuhan ekonomi walaupun kurs mengalami penurunan dengan
pengedalian atas inflasi, suku bunga dan defisit transaksi berjalan hal tersebut akan
memberikan ruang longgar bagi pergerakan investasi.
b. Pengaruh Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) terhadap underpricing
Hoc : Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) tidak memiliki pengaruh negatif
terhadap tingkat underpricing.
H1c : Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) memiliki pengaruh negatif
terhadap tingkat underpricing.
Berdasarkan tabel 4.25 hasil pengujian uji t hipotesis pertama, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) yaitu -0,009 dan t
hitung sebesar 0,146. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 2,035 atau t hitung 0,146
< t tabel 2,035. Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,885, nilai tersebut lebih besar
dari pada nilai syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1c
ditolak dan H0c diterima,dengan demikian variabel Suku Bunga Bank Indonesia
(RATE) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai uji t variabel Suku Bunga
Bank Indonesia (RATE) mempunyai tingkat signifikansi 0,885. Nilai signifikansi
ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap
underpricing. Dengan demikian hipotesis pada penelitian ini tidak terbukti, karena
H1a ditolak dan H0a diterima. Hasil tersebut memperkuat hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan Diasih, Wahyuni dan Herawati (2018), Leila dan
Fahrid (2014), vita (2013) mengenai Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) tidak
berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Underpricing.
170
Penetapan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
mencapai sasaran kebijakan moneter. Tingkat suku bunga BI akan mempengaruhi
tingkat suku bunga kredit perbankan dan bunga deposito yang berakibat pada
keputusan masyarakat dalam berinvestasi. Meningkatnya tingkat bunga akan
meningkatkan harga kapital sehingga memperbesar biaya perusahaan, sehingga
terjadi perpindahan investasi dari saham ke deposito atau fixed investasi lainnya
(Sunariyah, 2004:22). Berdasarkan teori signaling, tingkat suku bunga akan
mempengaruhi keputusan investor untuk memilih investasi yang lebih
menguntungkan. Keputusan investor untuk mengalihkan investasi dari pasar modal
akan membuat permintaan saham menurun. Hal ini akan membuat harga saham di
pasar sekunder mengalami penurunan nilai, sehingga harga saham perdana menjadi
lebih tinggi (tingkat underpricing semakin rendah).
Berdasarkan data tingkat suku bunga yang diperoleh menunjukkan tidak
terjadi perubahan tingkat bunga yang besar, berdasarkan data dari Bank indonesia
BI Rate tertinggi terjadi pada tahun 2014, dikisaran 7,75 dan BI rate terendah terjadi
sepanjang 2018 dikisaran 4,25. Namun secara rata-rata suku bunga berada stabil
dikisaran 6 hingga 6,5 selama periode penelitian. Tingkat suku bunga berada pada
angka yang stabil dan hal tersebut bagi investor jangka panjang cenderung tidak
berpengaruh. Berdasarkan teori sinyaling (andler,2014), tingkat suku bunga bisa
mempengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi untuk memilih investasi yang
lebih menguntungkan.
Namun, dalam melakukan investasi tentu saja investor memiliki strategi
sendiri untuk meminimalkan resiko yang dihadapi atas investasinya. Sehingga,
dalam berinvestasi, investor mengenal istilah do not put your money in one basket.
Bilamana investor membeli berbagai jenis saham, maka bila satu harga saham turun
kemungkinan bisa dicover dari kenaikan harga saham yang lain. Arah koefisien
positif menandakan bahwa hubungan BI rate dengan underpricing searah. Selain,
peningkatan suku bunga akan menyebabkan peningkatan suku bunga yang
diisyaratkan atas investasi yang menyebabkan return yang diisyaratkan investor
dari suatu investasi akan meningkat, Yandes (2013) juga menyatakan bahwa ketika
BI rate tinggi maka tingkat risiko dalam berinvestasi pun akan tinggi pula. Tingkat
risiko yang tinggi akan menyebabkan emiten dan penjamin emisi memberikan
171
harga penawaran saham di pasar perdana cukup rendah. Kondisi dimana suku
bunga cenderung stabil ketika perusahaan melakukan IPO dan tidak menyebabkan
gejolak secara ekonomi. Maka investor dalam sektor penelitian tidak menjadikan
suku bunga sebagai dasar pengambilan keputusan investasi yang menyebabkan
underpricing.
2. Pengujian secara Simultan (Uji F)
Pengujian secara simultan dilakukan dengan Uji F digunakan untuk menguji
pengaruh apakah secara bersama sama variabel independen dalam hal ini faktor
eksternal perusahaan Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE) memiliki pengaruh terhadap variabel dependen yaitu
Underpricing atau untuk menguji ketepatan model regresi. Jika variabel
independen memiliki pengaruh secara simultan terhadap variabel dependen maka
dapat dikatakan model persamaan regresi memenuhi kriteria cocok atau sesuai.
Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Ketiga
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1
Regression ,706 3 ,235 4,283 ,013b
Residual 1,539 28 ,055
Total 2,245 31
Berdasarkan Hasil Perhitungan regresi nilai F diketahui sebesar 0,013, ini
menjelaskan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara
variabel independen faktor eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS),
Suku Bunga Bank Indonesia (RATE)) terhadap Underpricing. Proses pengambilan
Keputusan berdasarkan nilai signifkansi, yaitu :
Ho diterima dan H1 ditolak, jika signifikansi F> 0,05
Ho ditolak dan H1 diterima, jika signifikansi F< 0,05
Sedangkan Hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
Ho : Faktor eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE)), secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap tingkat
underpricing.
172
H1 : Faktor eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE)), secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat
underpricing.
Pada proses selanjutnya, Setelah mengetahui nilai regresi F-test yang
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,013 lebih kecil dari syarat signfikansi sebesar
0,05 . Jika Nilai Signifikansi lebih kecil dari 0,05, Maka dapat disimpulkan bahwa
variabel independen yang digunakan dalam penelitian memiliki pengaruh secara
bersama sama terhadap variabel dependen.
Ho ditolak dan H1 diterima yaitu Faktor eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai
Tukar (KURS), Suku Bunga Bank Indonesia (RATE)) secara bersama-sama
berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
Pembahasan :
Underpricing adalah perbedaan antara harga awal dimana saham
perusahaan ditawrakan dipasar perdana lebih rendah dibandingkan dengan harga
penutupan saham pada hari pertama diperdagangan pasar sekunder. Harga yang
dijual dipasar perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan
emiten dna penjamin emisi (Underwriter). Sedangkan harga yang terjadi pada pasar
sekunder merupakan mekanisme paar yang terbentuk dari perdagangan antar
investor yang bergantung pada pemrintaan dan penawraan. Menurut Jogiyanto
(2010) dalam proses penetapan harga saham di pasar perdana pihak Underwriter
sebagai pihak yang akan menjamin saham yang telah ditawarkan oleh pihak emiten
cenderung akan menetapkan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga
yang diharapkan dari pihak perusahaan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko
jika nantinya saham yang beredar tidak laku diperdangankan. Walaupun jika harga
dinilai terlalu rendah ketika perdagangan perdanan dan akan naik pada perdangaan
sekunder maka dana yang diperoleh pada saat IPO tidak akan maksimal kerugian
tersebut akan ditanggung oleh emiten selaku perusahaan yang melakukan
pencatatan, namun dinilai keuntungan bagi investor karena mempeoleh initial
return. Oleh sebab itu, dengan adanya Underpricing akan menarik investor untuk
berpartisipasi dalam kegiatan jual beli saham di pasa perdana dan pasar sekunder.
173
Bank indonesia menjelaskan bahwa Secara sederhana inflasi diartikan
sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu
tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi
kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang
lainnya. Inflasi yang meningkat pada suatu negara akan berdampak pada daya beli
masyarakat dan penurunan nilai mata uang terhadap barang dan jasa (Tandelilin,
2011). Penurunan tersebut diikuti dengan penurunan nilai kurs mata uang suatu
negara. Pengaruh ini dijelaskan oleh Gustav Cassel ( 1921) dalam teorinya
purchasing power parity (PPP Theory) atau paritas daya beli. Kurs mata uang akan
berubah seiring dengan upaya mata uang tersbeut untuk mempertahankan daya
belinya. Penurunan nilai kurs berhubungan dengan nilai mata uang suatu negara
terhadpa mata uang negara lain. Ketahanan dalam hal ini merupakan naik dan
truunya mata uang melalui aktifitas ekonomi di dalam dan luar negeri terhadpa mata
uang negara lain. Hubungan antar inflasi mengambarkan bahwa inflasi berbanding
lurus dengan nilai mata uang. Barang yang harganya naik akan menurunkan nilai
mata uang. Tingkat inflasi menunjukkan presentase perubahan tingkat harga harga
rata-rata tertimbang untuk barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara.
dalam teori tersebut, perubahan dimulai dari titik keseimbangan tertentu, kemudian
terhadi perubahan tingkat harga yang akan menentukan perubahan kurs mata uang
melalui aktifitas perdaganagn interbnasional maupun aktifitas suatu negara yang
ebrsinguggaungan dnegan negara lain. Niali mata uang suatu negara dengan inflasi
yang tinggi atau lebih tinggi dari negara lain akan mengalami depresiasi. Dan mata
uang lain terhadpa mata uang negara yang mengalami inflasi akan terapresiasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa inflasi tinggi akan berdampak pada penurunan
nilai KURS dolar terhadap negara lain. Peningkatan inflasi tinggi dan penurunan
nilai kurs, agar ekonomi suatu negara dapat kembali stabil maka pemerintah
negeluarkan kebijakan salah satunya meningkatkan nilai suku bunga. Menurut
Boediono (2014:76), suku bunga adalah harga dari penggunaan dana investasi
(loanable funds). Tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator dalam
menentukan apakah seseorang akan melakukan investasi atau menabung. Disuatu
negara suku bunga yang diterbitkan dapat menjadi acuan bagi perbankan untuk
menetapkan bunga imbal hasil simpanan maupun bunga atas kredit pinjaman.
174
Ketika suku bunga rendah, pengaruh yang timbul adalah makin banyak orang
meminjam uang. Akibatnya konsumsi bertambah karena uang beredar lebih
banyak, ekonomi mulai tumbuh, dan efek lanjutannya adalah inflasi naik. Dampak
sebaliknya juga berlaku, jika suku bunga tinggi, peminjam uang makin sedikit.
Hasilnya lebih banyak orang menahan belanja, mereka memilih menabung. Yang
terjadi tingkat konsumsi turun. Inflasi pun turun. Pemerintah akan berusaha
mengantisipasi pertumbuhan inflasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk
menaikan tingkat bunga banl. Kebijakan menaikan tingkat bunga ini bertujuan
untuk menekan inflasi dan memperkuat kurs mata uang domestik. Ivving Fisher
(1997) menerangkan hubungan Kurs dan Suku bunga, melalui teori internasional
fisher effect. Menurut teori, terjadinya perbedaan tingkat suku bunga antara dua
negara disebabkan adanya perbedaan ekspektasi terhadap tingkat inflasi. Tingkat
suku bunga dalam hal ini merupakan tingkat suku bunga nominal yang merupakan
penjumlahan tingkat suku bunga ril dengan tingkat suku bunga inflasi. Tingkat
sbunga nominal adalah tingkat bunga yang berlaku pada saat transaksi atau yang
dinyatakan oleh bank. Sedangkan tingkat suku bunga yang diharapkan oleh nasabah
adalh tingkat suku bunga ril yang merupakan gambaran daya beli mata uang
sesungguhnya. Tingkat suku bunga yang tinggi akan membantu untuk menurunkan
inflasi. Hal tersebut akan meningkatkan nilai imbal hasil investasi yang berdampak
pada terjadi peralihan dana dari negara dengan suku bunga rendah ke negara dengan
suku bunga yang lebih tinggi. dampaknya adalah permintaan terhadap mata uang
negara tersbeut meningkat, permintaan yang meningkat akan mendorong
peningkatan atas nilai mata uang negara dnegan suku bunga lebih tinggi, hal
tersebut akan meningkatkan nilai KURS tukar.
Tandelilin (2001:48) menjelaskan bahwa Perubahan suku bunga akan
memengaruhi harga saham secara terbalik, cateris paribus. Cateris paribus
diartikan jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan turun, cateris paribus,
dan sebaliknya. Jika suku bunga naik, maka return investasi yang terkait dengan
suku bunga juga naik. Kondisi seperti ini dapat menarik minat investor yang
sebelumnya berinvestasi di saham untuk memindahkan dananya dari saham ke
deposito dan tabungan. Jika sebagian besar investor melakukan tindakan yang sama
yaitu banyak investor yang menjual saham, maka harga saham akan turun. Pada
175
perusahaan IPO, pada saat kondisi Inflasi tidak baik, yang berdampak pada
keputusan peningkatan suku bunga. Perusahaan emiten yang melakukan IPO,
berdasarkan teori baron (1982) bersama dengan underwriter menetapkan harga jual
saham di bawah nilai book valuenya atau berada dibawah nilai wajar dari industri
sejenis yang melakukan IPO, serta penjatahan secara bertahap pada mekanisme
perdagangan. Penetapan harga akan berdampak pada keputusan investasi yang
menyebabkan harapan atas return yang tinggi. karena nilai cenderung lebih murah
maka investor akan berminat pada saham sehingga akan berdampak pada
underpricing. Underpricing dibutuhkan untuk menarik investor agar membeli
saham dan mengurangi biaya pemasaran saham kepada pelanggan (Brealy et
al.,2001).
Faktor-faktor terjadinya underpricing diteliti McGuinness (1992) di pasar
modal Hongkong. Dengan menggunakan argumentasi Beaty dan Ritter (1986)
menemukan hubungan tingkat ketidak-pastian (ex-ante uncertainty) yang diukur
dengan standar deviasi, berhubungan secara positif dengan tingkat underpricing.
Begitu pula pengujian terhadap penerbitan kedua (secondary offering) dan variabel
kondisi pasar menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan, sedangkan
kualitas agen dan underpricing sebagai pencerminan nilai intrinsik perusahaan tidak
didukung. Adanya asimetri informasi dan tingkat underpricing pada saat IPO juga
dikemukakan oleh Rock yang dikutip Kunz dan Aggarwal (1994). Pada saat
perusahaan melakukan penawaran umum perdananya, maka ada dua kelompok
investor yaitu investor yang memiliki informasi (informed investor) dan investor
yang tidak memiliki informasi (uninformed investor). Dimana investor yang tidak
memiliki informasi cenderung menerima proporsi yang lebih besar dari saham-
saham yang overpriced dari pada investor yang memiliki informasi. Jadi agar
uninformed investor bersedia berpartisipasi di pasar saham maka harga pada saat
IPO haruslah underpriced agar mereka dapat menerima return yang layak, dengan
adanya ketidakpastian tersebut dan untuk menutup kerugian dari pembelian saham-
saham mereka yang overpriced. Konsekuensi dari Winner’s curse problem oleh
Rock yang dikutip James et al. (1995) bahwa investor yang mempunyai informasi
(informed investor) memberikan return pada investor yang tidak mempunyai
176
informasi (uninformed investor). Selain itu saham yang terjual lebih cepat memiliki
informed demand yang tinggi. Oleh karena itu diharapkan lebih underpriced.
Kondisi ekonomi yang stabil, dengan dibuktikanya melalui kondisi inflasi,
kurs dan suku bunga yang terjaga, memberikan dorongan pada iklim investasi.
Pelemahan Kurs tidak hanya terjadi pada indonesia, melalui pemaparan Ekonomi
Indonesia tahun 2018 yang dikutip dari Kompas.com menjelaskan bahwa
pelemahan KURS lebih banyak terjadi pada negara emerging markets atau Negara
berkembang seperti India, Brasil, Afrika selatan, Turki, Argentina dan Meksiko.
Hal ini menurut keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani disebabkan oleh
Kebijakan Normalisasi Moneter dan kenaikan suku bunga The Fed (Bank sentral
Amerika) serta Isu Perang Dagang dengan China yang berimbas pada negara yang
memiliki hubunga bilateral dengan negara tersebut. Namun, Kondisi Inflasi yang
stabil di kisaran 5-3% dalam 10 tahun terakhir juga dinilai tidak membebani KURS
tukar. Kurs yang naik tetapi inflasi yang turun menandakan harga harga di pasar
cenderung stabil. Penetapan suku bunga acuan menjadi BI seven days repo rate
pada tahun 2016, juga menjadi pendorong terhadap kestabilan sistem moneter yang
membuat Bank Indonesia selaku bank sentral akan lebih responsif terhadap
sentimen pasar. Hubungan yang positif antara underpricing dan kondisi pasar
menunjukkan bahwa IPO mengikuti situasi pasar, underpricing meningkat jika
kondisi pasar baik (bull market) dan underpricing menurun jika kondisi pasar
menurun (bear market) (Beaty dan Ritter,1986); dan (Mc Guinness, 1992).
3. Koefisien Determinasi (Adjusted R2)
Koefisien determinasi (adjusted R2) digunakan untuk mengukur seberapa
kesesuaian persamaan regresi linier berganda didalam penelitian, yang menjelaskan
hubungan pengaruh antara variabel independen (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar
(KURS), Suku Bunga Bank Indonesia (RATE)) terhadap variabel dependen
(underpricing). Secara spesifik menurut Ghozali (2009), koefisien determinasi
(adjusted R2) mengukur seberapa jauh model menerangkan variasi dalam variabel
dependen.
Tabel 4.27 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Ketiga
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,561a ,315 ,241 ,2344193
Sumber : Penulis, 2019
177
Hasil Uji Koefisien determinasi pada tabel 4.27, menunjukan nilai Adjusted
R Square sebesar 0,375. Sehingga dapat diketahui bahwa variasi underpricing yang
dapat dijelaskan oleh faktor eksternal dalam hal ini, Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar
(KURS), Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) sebesar 24,1%. Sedangkan sisanya
sebesar 75,9% dijelaskan oleh variabel lain di dalam faktor eksternal yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.
Faktor eksternal lain yang diduga memiliki pengaruh berdasarkan
penelitian yaitu defisit transaksi berjalan yang berkaitan dengan ekspor dan impor,
Surplus transaksi berjalan, Produk Domestic Bruto, Pertumbuhan Ekonomi
indonesia, Pengumuman Paket Kebijakan Ekonomi pada sektor penelitian, dan
faktor lainnya yang diduga menjadi penyebab underpricing.
4.9 Hasil dan Analisa Pembahasan Pengaruh Faktor Eksternal Terhadap
Kinerja Saham
1. Pengujian secara Parsial (Uji t)
Pengujian hipotesis dapat dilakukan setelah melakukan analisis data secara
statistik. Analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analsisi
regresi linier berganda. Setelah emlakukan analisis regresi, data di uji secara parsial.
Pengujian secara parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing
variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Cara
melakukan uji t adalah dengan membandingkan t hitung dengan t pada tabel pada
derajat kepercayaan 95% atau signifikansi sebesar 5% (0,05) (Ghozali, 2011).
Pengujian tersebut menguji hubungan antara variabel independen yang
didalamnya terdiri dari Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), dan Bunga Bank
Indonesia (RATE) terhadap variabel dependen Kinerja Saham yang diukur dengan
Abnormal Return. Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah masing-
masing variabel yang digunakan dalam penelitian mampu menerangkan variabel
dependen adalah dengan melihat t hitung dan nilai signifikansi masing-masing
variabel independen. Untuk mengetahui nilai t-tabel dapat dilakukan perhitungaan
sebagai berikut:
t tabel = ; df = n-k-1
= 5%; df = (32-2)
178
= 0,005’ df(30) = 2,035
Keputusan yang akan diambil mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
1. Apabila tingkat signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak dan
sebaliknya H1 diterima.
2. Apabila tingkat signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan
sebaliknya H1 ditolak.
Tabel 4.28 Hasil Pengujian Uji t Hipotesis Keempat
Model Unstandardized Coefficients
T Sig. B Std. Error
(Constant) -,721 1,267 -,569 ,574
INF -,119 ,116 -1,028 ,313
KURS 8,485E-5 ,000 1,435 ,162
RATE ,117 ,153 ,768 ,449
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan tabel 4.28, hasil perhitungan menunjukan bahwa tidak ada
variabel independen didalam faktor Eksternal memiliki nilai signifikansi dibawah
0,05, maka pengaruh Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), dan Bunga Bank
Indonesia (RATE) terhadap variabel dependen Kinerja Saham sebagai berikut :
a. Pengaruh Inflasi (INF) terhadap Kinerja Saham
Hoa : Inflasi (INF) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat Kinerja
Saham.
H1a : Inflasi (INF) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat Kinerja Saham.
Berdasarkan tabel 4.28 hasil pengujian uji t hipotesis Keempat, diperoleh
nilai koefisien regresi variabel Inflasi yaitu -0,119 dan t hitung sebesar 1,028. t
hitung lebih kecil dari nilai t tabel 2,035 atau t hitung 1,028 < t tabel 2,035. Adapun
tingkat signifikansi sebesar 0,313, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai syarat
signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1a ditolak dan H0a
diterima, dengan demikian variabel Inflasi (INF) tidak berpengaruh positif secara
signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
Berdasarkan hasil penelitian 4.19 diketahui bahwa nilai uji t variabel Inflasi
(INF) mempunyai tingkat signifikansi 0,313. Nilai signifikansi ini lebih besar dari
179
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Inflasi (INF) tidak berpengaruh signifikan
secara parsial terhadap Kinerja Saham. Dengan demikian hipotesis pada penelitian
ini tidak terbukti, karena H1a ditolak dan H0a diterima. Hasil tersebut memperkuat
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Syafianti dan Sita (2016) mengenai
Inflasi (INF) tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Kinerja Saham.
Secara Teori, Tandelin (2001) menjelaskan bahwa Inflasi merupakan
kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan.
Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu
panas (Overheated). Artinya, kondisi ekonomi dihadapkan pada tingginya
permintaan dibandingkan dengan kapasitas penawaran produknya, yang
mendorong peningkatan pada harga jual produk. Inflasi yang tinggi akan
berdampak pada daya beli uang (purchasing power of Money). Selain itu, inflasi
tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan rill yang diperoleh investor dari
investasinya. Sebaliknya jika inflasi mengalami penurunan, maka akan berdampak
baik yang memberikan sinyal positif bagi investor seiring penurunan risiko daya
beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil.
Terdapat dua sumber yang menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi yang
disebabkan kondisi didalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi
dari dalam negeri misalnya terjadi karena devisit anggaran belanja yang dibiayai
dengan cara memcetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat pada naiknya
harga harga bahan makanan. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah karena
naiknya harga barang impor. Hal ini terjadi karena naiknya biaya produksi barang
diluar negeri atau adanya kebijakan baru terkait kenaikan tarik impor barang
(Wikipedia Indonesia). Tingkat Inflasi yang diamati dalam penelitian ini, mengacu
pada informasi inflasi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada hari
perdagangan umum perdana di pasar sekunder pada setiap sampel emiten penelitian
dan inflasi yang terjadi setelah 30 hari penawaran umum perdana. Menurut Bank
Indonesia, Pengendalian inflasi adalah kewajiban yang harus dilakukan pemerintah.
hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan berdampak pada kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Tingkat Inflasi pada saat penjualan saham perdana di
lantai bursa menjadi salah satu pertimbangan penting bagi para investor yang akan
menanamkan modal pada perusahaan yang Go Public. Inflasi tinggi akan menjadi
180
indikator dasar bagi masyarakat yang akan berdampak pada kemampuan daya beli.
Sebaliknya pada perusahaan atau wirausaha, inflasi yang tinggi dan bergejolak akan
mempersulit perencanaan bisnis dan pengurangan profitabilitas. Inflasi juga akan
berdampak pada peningkatan biaya produksi dari perusahaan. Biaya produksinya
yang meningkat akan berdampak pada pendapatan perusahaan, pendapatan
perusahaan yang rendah akan berpengaruh pada penurunan harga saham
perusahaan di bursa efek.
Pada perusahaan IPO, kondisi Inflasi yang berfluktuatif akan berdampak
pada penetapan harga penawaran perdana. underwriter selaku penjamin emisi akan
menawarkan harga saham berada dibawah book value atau nilai wajar perusahaan.
Hal tersebut, bertujuan agak investor memiliki minat untuk melakukan pembelian
saham perusahaan, karena iklim investasi cenderung terhambat dan investor pada
masa inflasi yang bergejolak cenderung menghindari aktifitas investasi (syaifudin
2013). Investor akan mempertimbangkan kondisi ketidakpastian untuk mengambil
keputusan investasi, tingkat inflasi yang tinggi menandakan kondisi ketidakpastian
yang tinggi, abnormal return merupakan pergerakan harga saham yang diharapkan
sejalan atau lebih tinggi dengan pergerakkan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) setelah penawaran umum perdana, IHSG yang tertekan karena tingginya
inflasi, akan membuat investor mengharapkan return yang lebih tinggi dari investasi
awal yang mereka lakukan. Sehingga Inflasi secara teori akan berdampak positif
terhadap Kinerja Saham.
Namun Hal tersebut, tidak dapat dibuktikan melalui penelitian. hasil
penelitian yang menunjukan tidak berpengaruh terhadap inflasi. Menjelaskan
bahwa Naik ataupun Turunnya inflasi dan kondisi inflasi seperti apapun di
Indonesia tidak menjadi dasar pengambilan keputusan investasi yang dilakukan
oleh investor. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa Kondisi inflasi yang cenderung
stabil di Indonesia dalam jangka waktu penelitian. Membuat investor tidak
menjadikan inflasi sebagai dasar pengambilan keputusan investasi pada perusahaan
IPO yang menyebabkan Underpricing dan secara jangka pendek paska 30 hari
penawaran umum secara Kinerja Saham, inflasi tidak mempengaruhi pergerakan
IHSG yang menyebabkan perubahan harapan atas investasi yang dilakukan oleh
investor pada perusahaan IPO. Kinerja Saham Perusahaan IPO sampel penelitian
181
akan mengalami Penurunan maupun Kenaikan Pasca Underpricing tanpa
disebabkan oleh Inflasi.
Secara ekonomi makro, menurut data Laporan Perekonomian Bank
Indonesia tahun 2018, selama periode penelitian pada tahun 2010 hingga tahun
2018. Inflasi indonesia berada pada tingkat terjaga secara stabil. Kondisi gejolak
yang terjadi dalam beberapa momentum seperti peningkatan harga Bahan Bakar
Minyak, Peningkatan harga cabai dan bahan pokok sepanjang tahun 2014
berdampak pada peningkatan inflasi di level 7%. Tingginya andil inflasi dari
kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan tersebut masih merupakan
dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang terjadi pada bulan Oktober tahun
yang sama. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak hanya
berimbas pada jasa transportasi saja, kelompok pengeluaran barang dan jasa juga
merupakan kelompok barang dan jasa yang menerima imbas cukup besar, tercermin
dari andil yang diberikan oleh kelompok ini terhadap pembentukan inflasi
Desember 2014 sebesar 0,64 persen, selain itu ada tarif dasar listrik pada tingkat
industri yang naik yang menyumbang inflasi sebesar, 0,34 persen. Namun hal
tersebut tidak berlangsung lama, Pemerintah kembali melakukan penurunan harga
BBM pada tahun berikutnya yang diikuti dengan operasi pasar untuk pengendalian
kecukupan pasokan bahan pokok sehingga inflasi kembali turun ke level 5%
sepanjang tahun 2016 hingga berkisar antara 3% dari tahun 2017 hingga 2018.
Menurut Tandelin (2001), tingkat inflasi disuatu negara akan dijadikan
sebagai pertimbangan didalam penentuan harga penawaran saham yang akan
disepakati oleh emiten dan penjamin emisi. Kondisi pasar indonesia yang stabil,
tercermin pada nilai inflasi yang berada di bawah 10% sesuai dengan ketentuan
inflasi kategori rendah, hal itu berlangsung selama 10 tahun terakhir. Kondisi ini,
Membuat investor tidak menjadikan inflasi sebagai acuan dalam pengambilan
keputusan investasi. Inflasi mencerminkan tingkat imbal hasil investasi, jika inflasi
tinggi maka hasil imbal hasil investasi akan tergerus naiknya harga harga barang
atau jasa. Kaena kondisi ekonomi yang stabil di indonesia, maka imbal hasil
investasi akan terjaga dan seimbang terhadap harga harga barang dan jasa di
masyarakat. Peningkatan harga pasca IPO yang menyebabkan Underpricing pada
sampel dan sektor penelitian disimpulkan tidak disebabkan oleh inflasi dari faktor
182
eksternal, hal tersbeut juga berlaku jangka pendek 30 setelah IPO. Kondisi Inflasi
yang cenderung stabil sejalan dengan data perekonomian indonesia yang di
cantumkan dalam pembahasan underpricing, secara kinerja saham asumsi makro
tersebut berlanjut, underpricing yang terjadi pada saham dan diikuti penurunan
serta kenaikan yang terjadi pada saham IPO tersebut tidak disebabkan oleh
perubahan Inflasi atau dalam artian karena inflasi tidak mengalami perubahan nilai
selama periode penelitian dan tidak adanya informasi terkait inflasi yang
dipublikasikan pemerintah, sehingga tidak menyebabkan abnormal return oleh
investor.
Pada perusahaan IPO tahun 2014, ketika terjadi peningkatan yang tinggi
pada inflasi sekitar 7% hingga 8% walaupun masih dalam kategori inflasi pendek.
Terdapat tiga perusahan sektor penelitian yang melakukan IPO. PT.Sillo Maritime
Persada Tbk. PT Capitol Nusantara Indonesia Tbk (CANI), dan PT. Blue Bird
(BIRD). PT. Capitol Nusantara Indonesia Tbk melakukan IPO di harga awal lalu
mengalami underpricing pada hari pertama di pasar sekunder, secara jangka pendek
perusahaan terus tumbuh secara nilai harga saham. Tercatat berdasarkan data stockit
terkait jual dan beli saham. Penawaran terjadi hingga hari ke 18 pada 21 mei 2014
perusahaan mampu menanjakan nilai hingga Rp. 274 Investor masih menyimpan
perusahaan tersebut hingga hari ke 21 terjadi aksi jual oleh asing sebanyak 125 juta
Rupiah atau setara dengan 500 ribu lembar saham pelemahan berlanjut hingga asing
menjula kumulatif sebanyak 145 juta atau setara 550 ribu lembar saham, namun
aksi tersbeut tidak sebanyak aksi ambil saham bersih sebanyak 25 juta lembar
saham di awal perdagangan. Selain itu, tidak berlangsung lama dan terus menanjak
signifikan melampaui presentase perubahan IHSG, walaupun dibayangi dengan
risiko peningkatan beban atas kenaikan BBM perusahaan pelayaran tersebut masih
diminati investor. PT. Blue Bird juga mengalami hal serupa. Perusahaan melakukan
IPO diharga Rp. 6.500 perlembar saham, sejak awal perdagangan di BEI saham
mengalami peningkatan permintaan hingga berlanjut pada hari ke 30 mampu
melampaui presentase pertumbuhan IHSG sebesar 28% di harga 8.500 per lembar
saham. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa investor tetap melakukan
investasi pada perusahaan sektor penelitian walaupun dibayangi dengan inflasi
183
yang tinggi. karena investor lebih melihat prospek perusahaan dan melalui faktor
ekonomi makro lainnya.
b. Pengaruh Kurs Nilai Tukar (KURS) terhadap Kinerja Saham
Hob : Kurs Nilai Tukar (KURS) tidak memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
Kinerja Saham.
H1b : Kurs Nilai Tukar (KURS) memiliki pengaruh Positif terhadap tingkat
Kinerja Saham.
Berdasarkan tabel 4.25 hasil pengujian uji t hipotesis keempat, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Kurs Nilai Tukar (KURS) yaitu 8,485 dan t hitung sebesar
1,435. t hitung lebih besar dari nilai t tabel 2,035 atau t hitung 1,435 > t tabel 2,035.
Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,162, nilai tersebut lebih besar dari pada nilai
syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1b ditolak dan
H0b diterima, dengan demikian variabel Kurs Nilai Tukar (KURS) tidak
berpengaruh Positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja Saham.
Pembahasan :
Menurut Jogiyanto (2010:94), abnormal return merupakan kelebihan dari
imbal hasil yang sesungguhnya terjadi (actual return) terhadap imbal hasil normal.
Imbal hasil normal merupakan imbal hasil ekspektasi (expected return) atau imbal
hasil yang diharapkan oleh investor. Dengan demikian imbal hasil tidak normal
(abnormal return) adalah selisih antara imbal hasil sesungguhnya yang terjadi
dengan imbal hasil ekspektasi. Dalam penelitian ini akan digunakan market
adjusted model (model disesuaikan pasar) karena dianggap bahwa penduga terbaik
untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat
tersebut. Dengan menggunakan model ini, maka tidak perlu menggunakan periode
estimasi untuk membentuk model estimasi, karena return sekuritas yang diestimasi
adalah sama dengan return indeks pasar.
Perdagangan internasional akan mendorong terjadinya pertukaran dua atau
lebih mata uang berbeda. Transaksi ini akan menimbulkan permintaan dan
penawaran terhadap suatu mata uang tertentu. Menurut Sadono Sukirno (2011:397)
184
nilai tukar atau Kurs adalah harga mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs
merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian terbuka
mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan maupun
variabel-variabel makro ekonomi yang lainnya. Di indonesia sendiri sistem yang
digunakan adalah sistem fleksibel namun terkendali. Dimana penentuan nilai tukar
akan tergantung oleh mekanisme pasar transaksi mata uang, namun bank sentral
negara yang bersangkutan mempunyai kekuasaan eksklusif dalam menentukan
alokasi dari penggunaan valuta asing yang tersedia maupun operasi moneter untuk
penegdalian harga nilai tukar. Menurut Tandelin (2001), Nilai tukar merupakan
sinyal positif, artinya jika nilai tukar terapresiasi maka harga saham akan meningkat
begitu juga sebaliknya jika nilai tukar mengalami depresiasi maka harga saham
akan mengalami penurunan. Dalam penelitian ini, nilai tukar yang digunakan
sebalai indikator adalah nilai tengah Kurs yaitu nilai jual ditambahkan dengan nilai
beli dibagi 2. Kondisi ekonomi yang stabil dan harapan atas pertumbuhan nilai Kurs
akan berdampak positif pada nilai inflasi. KURS yang berdampak positif pada
pergerakkan IHSG akan ikut mendorong pergerakkan pada atas harapan return dari
investor. Sehingga akan berpengaruh positif pada keputusan investasi perusahaan
IPO yang mneyebabkan Kinerja Saham positif.
Namun penelitian ini tidak membuktikan sesuai dengan Teori, hasilnya nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 yang artinya Naik dan Turunnya Kurs yang
berdampak pada pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan. Tidak dijadikan dasar
didalam pengambilan keputusan investasi yang menggerakkan naik dan turunnya
nilai Abnormal Return Saham di Bursa Efek Indonesia.
Penurunan KURS Secara jangka panjang yang terjadi antara periode 2010
sampai dengan 2018 dimana dari harga 9.860 per dolar amerika pada awal januari
2010 menjadi 14.300 per dolar amerika pada akhir 2018 hal ini dikhawatirkan akan
berdampak pada penurunan daya beli masyarakat , beban atas biaya impor, dan
beban depresiasi atas hutang luar negeri,yang menyebabkan kondisi tersebut akan
mengerus cadangan devisa didalam negeri. Berdasarkan informasi dari Bank
Indonesia dan Kementrian Keuangan, telah dilakukan pemerintah dalam
mengantisipasi hal tersebut. Salah satunya yaitu kebijakan pembatasan impor bahan
baku dengan merubah kebijakan PPH 22, membuat kebijakan berkaitan dengan
185
smelter pengolahan bahan mentah hasil tambang di dalam negeri, kebijakan
peralihan . Walaupun demikian, dampak penurunan nilai rupiah akan membuat
perusahaan eksportir yang menukarkan pendapatan mereka akan memiliki peluang
memperoleh dana lebih. Mayoritas perusahaan sektor penelitian yang berfokus
pada transportasi membuat peluang positif peningkatan pendapatan dari aktifitas
pengiriman ke luar negeri, dan juga perbaikan infrastruktur mampu menekan biaya
logistik yang disebabkan oleh pelemahan rupiah. Kondisi yang seimbang tersebut
membuat investor tidak menjadikan KURS sebagai alasan didalam pengambilan
keputusan ivestasi yang menyebabkan abnormal return setelah 30 hari perusahana
IPO.
Komposisi pemegang saham domestik pada beberapa perusahaan IPO di
sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi. Menjadikan return dalam bentuk cash
atas aktifitas investasi pada perusahaan IPO tidak bersinggungan dengan nilai tukar.
Beberapa perusahaan seperti PT. Dewata Freight Internasional dengan kode emiten
DEAL mengalami abnormal return secara signifikan, nilai perusahaan mengalami
kenaikan kumulatif sebanyak 228% dibanding pertumbuhan IHSG pada periode 30
hari. Berdasarkan data yang bersumber dari stockbit, frekuensi perdagangan terjadi
sejak awal saham di tawarkan di pasar sekunder. Harga IPO saham tersebut yaitu
Rp. 150 naik secara kumulatif sebesar Rp. 496 pada hari ke 30. Pertumbuhan nilai
secara IR, naik sebesar Rp. 346 rupiah dibandingkan IHSG yang hanya naik sebesar
3,87%. Frekuensi investor domestik mendominasi pada awal perdagangan
sebanyak 94 kali, naik di hari kedua menjadi 759 kali, kemudian melonjak drastik
di hari ke 3, 4, dan 5 masing masing berkisar antara 7000 sampai dengan 10.000
kali. Bukan hanya pada saham DEAL, hal tesebut juga terjadi pada PT. Batavia
Prospetindo Trans Tbk. Dengan kode emiten BPTR. Perusahaan yang bergerak
pada jasa transportasi tersebut, mengalami auto reject atas dengan 8 kali transaksi
dihari pertama, 16 kali dihari ke dua, 7 kali dihari ketiga, lalu sebanyak 9800 kali
transaksi oleh domestik dihari ke empat.
Walaupun dominasi investor domestik signifikan, namun pada beberapa
perusahaan yang mengalami abnormal return tertinggi, investor asing cenderung
banyak yang masuk dan membeli saham tersebut, tercatat seperti SHIP, TRUK,
SAPX, TGRA, LCKM secara kumulatif investor asing melakukan pembelian.
186
Namun lebih pada aktifitas masuk dan keluar. Tidak adanya hubungan antara kurs
terhadap abnormal return karena perlu dijebatani oleh aktifitas perdagangan. kurs
yang mempengaruhi frekuensi perdagangan akan berpengaruh terhadap abnormal
return. Secara teoritis trading volume activity merupakan keseluruhan nilai
transaksi pembelian maupun penjualan saham yang dilakukan oleh investor dalam
satuan uang (Sutrisno, 2000). Naiknya volume perdagangan saham merupakan
kenaikan aktivitas jual beli para investor di bursa. Semakin meningkat volume
penawaran dan permintaan suatu saham, semakin besar pengaruhnya terhadap
fluktuasi harga saham di bursa dan semakin meningkatnya volume perdagangan
saham menunjukan semakin diminatinya saham tersebut oleh masyarakat sehingga
akan membawa pengaruh terhadap naik turunnya harga saham (Indarti, 2011).
Sehingga jika inflasi mempengaruhi trading volume activity maka secara Teori
signal, akan memberikan signal pada pasar, Jika pengumuman tersebut
mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu
pengumuman tersebut diterima oleh pasar (Harjito dan Martono, 2007:11).
c. Pengaruh Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) terhadap Kinerja
Saham
Hoc : Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) tidak memiliki pengaruh Positif
terhadap tingkat Kinerja Saham.
H1c : Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) memiliki pengaruh Positif
terhadap tingkat Kinerja Saham.
Berdasarkan tabel 4.25 hasil pengujian uji t hipotesis Keempat, diperoleh nilai
koefisien regresi variabel Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) yaitu 0,117 dan t
hitung sebesar 0,768. t hitung lebih kecil dari nilai t tabel 2,035 atau t hitung 0,768
< t tabel 2,035. Adapun tingkat signifikansi sebesar 0,449, nilai tersebut lebih besar
dari pada nilai syarat signifikansi sebesar 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa H1c
ditolak dan H0c diterima,dengan demikian variabel Suku Bunga Bank Indonesia
(RATE) tidak berpengaruh Positif secara signifikan terhadap tingkat Kinerja
Saham.
187
Pembahasan :
Penetapan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
mencapai sasaran kebijakan moneter. Tingkat suku bunga BI akan mempengaruhi
tingkat suku bunga kredit perbankan dan bunga deposito yang berakibat pada
keputusan masyarakat dalam berinvestasi. Meningkatnya tingkat bunga akan
meningkatkan harga kapital sehingga memperbesar biaya perusahaan, sehingga
terjadi perpindahan investasi dari saham ke deposito atau fixed investasi lainnya
(Sunariyah, 2004). Berdasarkan teori signaling, tingkat suku bunga akan
mempengaruhi keputusan investor untuk memilih investasi yang lebih
menguntungkan. Keputusan investor untuk mengalihkan investasi dari pasar modal
akan membuat permintaan saham menurun. Hal ini akan membuat harga saham di
pasar sekunder mengalami penurunan nilai, sehingga harga saham perdana menjadi
lebih tinggi (tingkat Kinerja Saham semakin rendah). Secara teori peningkatan
Suku Bunga akan menekan laju investasi pasar modal, hal ini akan menyebabkan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun. Tekanan tersebut akan berdampak
pada tingginya harapan investor pada nilai investasi perusahaan mereka setelah 30
setelah IPO. Mengacu pada teori abnormal return, Peningkatan harga yang
diharapkan lebih tinggi berdampak pada imbal hasil investasi sehingga suku bunga
akan berdampak positif pada kinerja saham.
Berdasarkan data tingkat suku bunga yang diperoleh menunjukkan tidak
terjadi perubahan tingkat bunga yang besar, karena suku bunga di tetapkan setiap
satu bulan sekali dan sejak tahun 2016 peralihan suku bunga BI rate menjadi BI
Seven days repo rate yang menjadikan suku bunga lebih fleksibel didalam
penetapannya mengikuti isu dan gejolak pasar secara global. Tidak adanya
informasi ataupun peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan suku bunga dan
Tingkat suku bunga berada pada angka yang stabil, sehingga tidak terjadinya
abnormal return yang disebabkan suku bunga. Bedasarkan teori sinyal, tingkat
suku bunga bisa mempengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi untuk
memilih investasi yang lebih menguntungkan. Namun, dalam melakukan investasi
tentu saja investor memiliki strategi sendiri untuk meminimalkan resiko yang
dihadapi atas investasinya. Sehingga, dalam berinvestasi, investor mengenal istilah
do not put your money in one basket. Pada saat investor membeli berbagai jenis
188
saham, maka bila satu harga saham turun kemungkinan bisa dicover dari kenaikan
harga saham yang lain.
2. Pengujian secara Simultan (Uji F)
Pengujian secara simultan dilakukan dengan Uji F digunakan untuk menguji
pengaruh apakah secara bersama sama variabel independen dalam hal ini faktor
Eksternal perusahaan Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE) memiliki pengaruh terhadap variabel dependen yaitu Kinerja
Saham atau untuk menguji ketepatan model regresi. Jika variabel independen
memiliki pengaruh secara simultan terhadap variabel dependen maka dapat
dikatakan model persamaan regresi memenuhi kriteria cocok atau sesuai.
Tabel 4.29 Hasil Perhitungan Uji F Hipotesis Keempat
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1
Regression 1,995 3 ,665 1,776 ,175b
Residual 10,485 28 ,374
Total 12,481 31
Sumber : Penulis, 2019
Berdasarkan Hasil Perhitungan regresi nilai F-tes diketahui sebesar 0,175,
ini menjelaskan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara
variabel independen faktor Eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS),
Suku Bunga Bank indonesia (RATE)) terhadap Kinerja Saham. Proses
pengambilan Keputusan berdasarkan nilai signifkansi, yaitu :
Ho diterima dan H1 ditolak, jika signifikansi F> 0,05
Ho ditolak dan H1 diterima, jika signifikansi F< 0,05
Sedangkan Hipotesis penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
Ho : Faktor eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE)) secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap tingkat
Kinerja Saham.
H1 : Faktor eksternal( Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE)) secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat Kinerja
Saham.
Pada proses selanjutnya, Setelah mengetahui nilai regresi F-test yang
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,175 lebih besar dari syarat signfikansi sebesar
0,05. Jika Nilai Signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa
189
variabel independen yang digunakan dalam penelitian tidak memiliki pengaruh
secara bersama sama terhadap variabel dependen. Ho diterima dan H1 ditolak yaitu
Faktor Enternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE)), secara Simultan tidak berpengaruh terhadap tingkat Kinerja
Saham.
Pembahasan :
Abnormal Return menurut Jogiyanto (2011) merupakan kelebihan dari
imbal hasil yang sesungguhnya terjadi (actual return) terhadap imbal hasil normal.
Imbal hasil normal merupakan imbal hasil ekspektasi (expected return) atau imbal
hasil yang diharapkan oleh investor. Dengan demikian imbal hasil tidak normal
(abnormal return) adalah selisih antara imbal hasil sesungguhnya yang terjadi
dengan imbal hasil ekspektasi. Brown dan Warner (1985) dalam Jogiyanto
(2005:43-49) mengestimasi return ekspektasi menggunakan model mean-adjusted
model, market model, dan market adjusted model. Dalam penelitian ini akan
digunakan market adjusted model (model disesuaikan pasar) karena dianggap
bahwa penduga terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return
indeks pasar pada saat tersebut. Dengan menggunakan model ini, maka tidak perlu
menggunakan periode estimasi untuk membentuk model estimasi, karena return
sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar.
Bank indonesia menjelaskan bahwa Secara sederhana inflasi diartikan
sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu
tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi
kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang
lainnya. Inflasi yang meningkat pada suatu negara akan berdampak pada daya beli
masyarakat dan penurunan nilai mata uang terhadap barang dan jasa (tandelilin,
2011). Penurunan tersebut diikuti dengan penurunan nilai kurs mata uang suatu
negara. Pengaruh ini dijelaskan oleh gustav cassel ( 1921) dalam teorinya
purchasing power parity (PPP Theory) atau paritas daya beli. Kurs mata uang akan
berubah seiring dengan upaya mata uang tersbeut untuk mempertahankan daya
belinya. Penurunan nilai kurs berhubungan dengan nilai mata uang suatu negara
terhadpa mata uang negara lain. Ketahanan dalam hal ini merupakan naik dan
190
truunya mata uang melalui aktifitas ekonomi di dalam dan luar negeri terhadpa mata
uang negara lain. Hubungan antar inflasi mengambarkan bahwa inflasi berbanding
lurus dengan nilai mata uang. Barang yang harganya naik akan menurunkan nilai
mata uang. Tingkat inflasi menunjukkan presentase perubahan tingkat harga harga
rata-rata tertimbang untuk barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara.
dalam teori tersebut, perubahan dimulai dari titik keseimbangan tertentu, kemudian
terhadi perubahan tingkat harga yang akan menentukan perubahan kurs mata uang
melalui aktifitas perdaganagn interbnasional maupun aktifitas suatu negara yang
ebrsinguggaungan dnegan negara lain. Niali mata uang suatu negara dengan inflasi
yang tinggi atau lebih tinggi dari negara lain akan mengalami depresiasi. Dan mata
uang lain terhadpa mata uang negara yang mengalami inflasi akan terapresiasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa inflasi tinggi akan berdampak pada penurunan
nilai KURS dolar terhadap negara lain. Peningkatan inflasi tinggi dan penurunan
nilai kurs, agar ekonomi suatu negara dapat kembali stabil maka pemerintah
negeluarkan kebijakan salah satunya meningkatkan nilai suku bunga. Menurut
Boediono (2014:76), suku bunga adalah harga dari penggunaan dana investasi
(loanable funds). Tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator dalam
menentukan apakah seseorang akan melakukan investasi atau menabung. Disuatu
negara suku bunga yang diterbitkan dapat menjadi acuan bagi perbankan untuk
menetapkan bunga imbal hasil simpanan maupun bunga atas kredit pinjaman.
Ketika suku bunga rendah, pengaruh yang timbul adalah makin banyak orang
meminjam uang. Akibatnya konsumsi bertambah karena uang beredar lebih
banyak, ekonomi mulai tumbuh, dan efek lanjutannya adalah inflasi naik. Dampak
sebaliknya juga berlaku, jika suku bunga tinggi, peminjam uang makin sedikit.
Hasilnya lebih banyak orang menahan belanja, mereka memilih menabung. Yang
terjadi tingkat konsumsi turun. Inflasi pun turun. Pemerintah akan berusaha
mengantisipasi pertumbuhan inflasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk
menaikan tingkat bunga banl. Kebijakan menaikan tingkat bunga ini bertujuan
untuk menekan inflasi dan memperkuat kurs mata uang domestik. Ivving Fisher
(1997) menerangkan hubungan Kurs dan Suku bunga, melalui teori internasional
fisher effect. Menurut teori, terjadinya perbedaan tingkat suku bunga antara dua
negara disebabkan adanya perbedaan ekspektasi terhadap tingkat inflasi. Tingkat
191
suku bunga dalam hal ini merupakan tingkat suku bunga nominal yang merupakan
penjumlahan tingkat suku bunga ril dengan tingkat suku bunga inflasi. Tingkat
sbunga nominal adalah tingkat bunga yang berlaku pada saat transaksi atau yang
dinyatakan oleh bank. Sedangkan tingkat suku bunga yang diharapkan oleh nasabah
adalh tingkat suku bunga ril yang merupakan gambaran daya beli mata uang
sesungguhnya. Tingkat suku bunga yang tinggi akan membantu inflais untuk turun
hal tersebut akan meningkatkan nilai imbahl hasil investasi , dampaknya terjadi
peralihan dana dari engara dengan suku bunga rendah ke negara dengan suku bunga
yang lebih tinggi. dampaknya adalah permintaan terhadpa mata uang negara
tersbeut meningkat, permintaan yang meningkat akan mendorong peningkatan atas
nilai mata uang negara dnegan suku bunga lebih tinggi, hal tersebut akan
meningkatkan nilai KURS tukar.
Tandelilin (2001:48) menjelaskan bahwa Perubahan suku bunga akan
memengaruhi harga saham secara terbalik, cateris paribus. Cateris paribus
diartikan jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan turun, cateris paribus,
dan sebaliknya. Jika suku bunga naik, maka return investasi yang terkait dengan
suku bunga juga naik. Kondisi seperti ini dapat menarik minat investor yang
sebelumnya berinvestasi di saham untuk memindahkan dananya dari saham ke
deposito dan tabungan. Jika sebagian besar investor melakukan tindakan yang sama
yaitu banyak investor yang menjual saham, maka harga saham akan turun. Pada
perusahaan IPO, pada saat kondisi Inflasi tidak baik, yang berdampak pada
keputusan peningkatan suku bunga. Perusahaan emiten yang melakukan IPO,
berdasarkan teori baron (1982) bersama dengan underwriter menetapkan harga jual
saham di bawah nilai book valuenya atau berada dibawah nilai wajar dari industri
sejenis yang melakukan IPO, serta penjatahan secara bertahap pada mekanisme
perdagangan. Penetapan harga akan berdampak pada keputusan investasi yang
menyebabkan harapa atas return yang tinggi. karena nilai cenderung lebih murah
maka investor akan berminat pada saham sehingga akan berdampak pada
underpricing. Underpricing dibutuhkan untuk menarik investor agar membeli
saham dan mengurangi biaya pemasaran saham kepada pelanggan (Brealy et
al.,2001). Adanya harapan atas transaksi yang terjadi, mendorong abnormal return
secara kinerja saham yang positif paska IPO karena mengalami underpricing.
192
Tidak adanya pengaruh antar variabel secara simultan terhadap Kinerja
Saham berdasar penelitian menunjukan bahwa naik turunnya Inflasi, Naik
Turunnya Kurs, Naik Turunnya suku bunga serta hubungan antar variabel tidak
menjadi dasar yang menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang
menyebabkan adanya abnormal return atas harapan investasi yang lebih tinggi dari
nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) dibursa Efek Indonesia pada hari ke 30
paska IPO. Investor akan tetap mengambil keputusan investasi baik beli, jual
maupun mempertahankan epemilikkan atas saham paska IPO tanpa memperhatikan
kondisi inflasi, kurs dan suku bunga. Atau dapat diartikan tidak adanya fenomena
ekonomi makro yang bergejolak dan cenderung stabil dimana Inflasi, kurs dan suku
bunga yang terjaga oleh kebijakan pemerintah sehingga tidak menjadi perhatian
investor yang menyebabkan aktifitas investasi yang berpengaruh pada nilai
perusahaan IPO yang tercatat setelah 30 hari. Secara kinerja saham, aktifitas Sell,
Buy dan Hold yang dilakukan investor disebabkan oleh faktor lainnya. Menurut
sutrisno (2012) aktifitas sell pada perusahaan IPO dikarenakan aksi profit taking
atas investasi yang dilakukan, panic selling aats penurunan nilai saham, dan faktor
lainnya. Sedangkan aktifitas buy dan hold lebih dikarenakan investasi jangka
panjang atas kepercayaan prospek perusahaan yang diharapkan yang akan
berdampak pada capital gain lebih besar dan deviden dikemudian hari.
Dalam hal ini, faktor eksternal berupa Inflasi, Kurs nilai tukar dan Suku
Bunga perlu di jembatani oleh varibale lain sehingga dapat dikaitkan dengan
abnormal return. Secara langsung aktifitas perdagangan di bursa efek indonesia,
disebabkan oleh frekuensi dna keputusan jual beli atas permintaan serta penawaran.
Aktifitas yang dilakukan menciptakan frekuensi perdagangan. jika tidak ada
kondisi maupun keadaan yang berpengaruh terhadap ekonomi secara keseluruhan
maka tidak menjadi dasar pengambilan keputusan yang berdampak pada abnormal
return.
193
3. Koefisien Determinasi (Adjusted R2)
Koefisien determinasi (adjusted R2) digunakan untuk mengukur seberapa
kesesuaian persamaan regresi linier berganda didalam penelitian, yang menjelaskan
hubungan pengaruh antara variabel independen Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar
(KURS), Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) terhadap variabel dependen Kinerja
Saham. Secara spesifik menurut Ghozali (2009), koefisien determinasi (adjusted
R2) mengukur seberapa jauh model menerangkan variasi dalam variabel dependen.
Tabel 4.30 Hasil Pengujian R Square Hipotesis Keempat
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,400a ,160 ,070 ,6119417
Sumber : Penulis, 2019
Hasil Uji Koefieisn determinasi pada tabel 4.30, menunjukan nilai Adjusted
R Square sebesar 0,070. Sehingga dapat diketahui bahwa variasi Kinerja Saham
yang dapat dijelaskan oleh faktor Eksternal dalam hal ini, Inflasi (INF), Kurs Nilai
Tukar (KURS), Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) sebesar 7%. Sedangkan
sisanya sebesar 93% dijelaskan oleh variabel lain di dalam faktor Enternal yang
tidak diteliti dalam penelitian ini.
Faktor eksternal lain yang diduga memiliki pengaruh berdasarkan penelitian
yaitu defisit transaksi berjalan yang berkaitan dengan ekspor dan impor, Surplus
transaksi berjalan, Produk Domestic Bruto, Pertumbuhan Ekonomi indonesia,
Pengumuman Paket Kebijakan Ekonomi pada sektor penelitian, dan faktor lainnya
yang diduga menjadi penyebab abnormal return. Selain itu, untuk memperkuat
hubungan antar variabel independen faktor eksternal, harus memperluas waktu
penelitian atau berfokus pada peristiwa tertentu yang berkaitan dengan inflasi dan
suku bunga.
194
“Halaman Sengaja Dikosongkan”
195
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pembahasan maka kesimpulan yang
dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Fenomena Underpricing dan Kinerja Saham Pada Perusahaan IPO Sektor
Infastruktur, Utilitas dan Transportasi.
Pada sektor infrastruktur, Utilitas dan Transportasi periode 2010 sampai
dengan 2018 terdapat 38 perusahaan melakukan Penawaran Umum Perdana (IPO)
dari total tersebut, sebanyak 32 perusahaan mengalami Underpricing, 4 Perusahaan
Mengalami Overpricing dan 2 perusahaan tetap diharga perdana. Secara Kinerja
Saham yang diukur dengan Abnormal Return dari 32 perusahaan yang mengalami
Underpricing hanya 27 perusahaan yang memiliki nilai positif lebih besar pada hari
ke 30 dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
2) Pengaruh Faktor Internal terhadap Underpricing
a. Debt To Equity Ratio (DER) pada Faktor Internal tidak berpengaruh
signifikan terhadap Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun
2010- 2018. ). Investor tetap melakukan investasi pada perusahaan sektor
penelitian, sehingga mendorong terjadinya underpricing tanpa melihat
faktor DER yang mengukur banyak maupun sedikit rasio hutang
dibandingkan dengan ekuitas yang dimiliki perusahaan. Karena Asimetris
informasi menjadi salah satu dasar terjadinya underpricing. Investor yang
memiliki informasi lebih banyak akan membeli pada saat penawaran
perdana dengan porsi yang lebih besar.
b. Earning Per Share (EPS) pada Faktor Internal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018.
Earning Per Share yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan tidak
menjadi dasar apakah perusahaan mengambil keputusan pembagian laba
untuk para investor ataukah tidak, keputusan tersebut diambil oleh pihak
196
manajemen dan disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Sehingga investor dalam mengambil keputusan investasi, cederung tidak
melihat faktor EPS yang menyebabkan underpricing.
c. Return On Assets (ROA) pada Faktor Internal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018.
Investor tidak mencermati faktor fundamental yang tercermin di dalam
laporan keuangan berupa ROA didalam pengambilan keputusan, melainkan
melihat dari segi teknikal terkait frekuensi permintaan dan permawaran di
Bursa Efek, hal ini dapat disebabkan oleh asimetris informasi yang
berkembang di kalangan inevstor sehingga akan mendorong underpricing.
d. Umur Perusahaan (AGE) pada Faktor Internal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018.
Umur perusahan tdiak mencerminkan perusahaan dikenal, publikasi terkait
perusahaan tidak dilakukan secara maksimal sehingga investor tidak
memperdulikan seberapa lama operasi bisnis dilakukan perusahaan akan
berdampak pada kpeutusan investasi yang mereka lakukan. Perusahaan
yang melakukan IPO pada sektor dan periode penelitian, memiliki rata rata
14 tahun, walaupun terdapat banyak perusahaan yang memiliki umur diatas
10 tahun, tetapi secara keseluruhan kondisi umur perusahaan, tidak
memberikan gambaran yang cukup, ataupun memiliki kepopuleran
sehingga disinyalir memberikan sedikit informasi kepada investor.
e. Ukuran Perusahaan (SIZE) pada Faktor Internal berpengaruh negatif
signifikan terhadap Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun
2010- 2018. Investor pada sektor penelitian, memiliki informasi yang cukup
terkait perusahaan dengan ukuran yang lebih besar sehingga akan
mengurangi ketidakpastian didalam invstasi yang dilakukan. Tetapi pada
sisi lain sebagian investor akan menjadikan ukuran perusahaan dari total
aset yang dimiliki sebagai bagian didalam pengambilan keputusan investasi
pada perusahaan sehingga mendorong underpricing.
197
f. Presentase Saham Ditawarkan (PSD) pada Faktor Internal tidak
berpengaruh signifikan terhadap Underpricing pada perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan
Transportasi Tahun 2010- 2018. Besar kecilnya saham yang ditawarkan
kepada publik belum bisa menjelaskan prospek dan kondisi perusahaan di
masa mendatang. Meskipun proporsi saham yang ditawarkan kepada publik
itu tinggi, belum tentu mampu menyatakan informasi privat perusahaan
tidak ada dan belum mampu menentukan nilai ketidakpastian return dimasa
mendatang.
g. Faktor Internal (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS),
Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran Perusahaan
(SIZE), Presentase Saham Ditawarkan (PSD) secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap Underpricing pada perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan
Transportasi Tahun 2010- 2018. Investor dalam pengambilan keputusan
investasi pada perusahaan IPO cederung melihat laporan keuangan dan
prospektus yang dipublikasikan melalui keterbukaan informasi sebelum
IPO yang didalamnya terdiri atas Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per
Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran
Perusahaan (SIZE), dan Presentase Saham Ditawarkan (PSD) sebelum
melakukan investasi yang mendorong terjadinya underpricing pada
perusahaan sektor penelitian.
3) Pengaruh Faktor Internal terhadap Kinerja Saham
a. Debt To Equity Ratio (DER) pada Faktor Internal berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010-
2018. kondisi harga saham yang berada di bawah nilai book value akan
dianggap lebih murah, sehingga investor dengan dana yang lebih sedikit
maupun investor yang tertarik dan tidak memperoleh saham perdana akan
menunggu di pasar sekunder. Proporsi yang besar tersebut menjadikan
saham IPO tidak liquid yang artinya secara perdagangan pada penawaran
dan permintaan di pasar sekunder tidak seimbang dimana investor yang
198
membeli di awal akan menyimpan kepemilikkannya dengan harapan
pertambahan nilai yang lebih tinggi dan investor yang berminat akan
menawarkan harga lebih tinggi agar mendapatkan saham tersebut.
b. Earning Per Share (EPS) pada Faktor Internal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010-
2018. EPS harus melalui keterbukaan Informasi dan Pembaruan atas laporan
keuangan. Selama periode penelitian dan 30 hari setelah IPO, keseluruhan
sampel penelitian tidak memberikan pengumuman terkait perubahan EPS.
tidak adanya informasi ataupun peristiwa yang berkaitan dengan perubahan
nilai EPS, membuat variabel Earning Per Share tidak dijadikan dasar
pengambilan keputusan investasi investor atau tidak berpengaruh terhadap
Abnormal Return.
c. Return On Assets (ROA) pada Faktor Internal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010-
2018. Data Return On Assets tercermin didalam laporan keuangan, selama
30 hari jika tidak ada keterbukaan informasi terkait nilai ROA karena
berdasarkan kebijakan BEI perusahaan wajib mempublikan Laporan
Keuangan triwulan, semesteran dan tahunan sehingga Tidak adanya
peristiwa maupun perubahan yang berhubungan dengan ROA menjadikan
investor tidak menggunakan ROA dalam pengambilan keputusan investasi
yang memberikan dorongan aksi beli, jual maupun hold atas saham
perusahaan sektor penelitian.
d. Umur Perusahaan (AGE) pada Faktor Internal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010-
2018. Umur merupakan informasi dasar yang terkait dengan perusahaan,
umur bersifat tahunan. Periode penelitian secara abnormal return terkait
umur perusahaan, tidak mencerminkan perubahan usia, karena indikator
yang digunakan adalah umur pada saat IPO dan pada saat perusahana berdiri
berdasarkan akta pendirian. Abnormal return yang digunakan jangka
199
pendek setelah 30 hari perusahaan IPO, berarti tidak terdapat perubahan
umur secara signifikan. Karena tidak adanya perubahan informasi maupun
peristiwa yang berkaitan umur perusahaan, Hal ini tidak menjadi dasar
pengambilan keputusan investasi yang menjadi harapan dari ekspektasi
return hari ke 30 setelah IPO atau secara kinerja saham.
e. Ukuran Perusahaan (SIZE) pada Faktor Internal berpengaruh positif
signifikan terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO
di Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi
Tahun 2010- 2018. Semakin besar ukuran perusahaan akan semakin besar
pula abnormal return saham yang dapat diperoleh investor.
f. Presentase Saham Ditawarkan (PSD) pada Faktor Internal tidak
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan
Transportasi Tahun 2010- 2018. Jumlah saham yang ditawarkan adalah nilai
awal yang tercantum pada saat perusahaan melakukan IPO, tidak adanya
informasi terkait perubahan nilai PSD, ataupun peristiwa yang berikatan
dengan jumlah saham ditawarkan maka tidak menjadi dasar kputusan
investasi oleh investor sehingga tidak terjadi abnormal return.
g. Faktor Internal (Debt To Equity Ratio (DER), Earning Per Share (EPS),
Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Ukuran Perusahaan
(SIZE), Presentase Saham Ditawarkan (PSD) tidak berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010-
2018. Investor dalam pengambilan keputusan investasi pada perusahaan
paska IPO cederung tidak melihat hubungan Debt To Equity Ratio (DER),
Earning Per Share (EPS), Return On Assets (ROA), Umur Perusahaan
(AGE), Ukuran Perusahaan (SIZE), dan Presentase Saham Ditawarkan
(PSD) dalam laporan keuangan dan prospektus yang dipublikasikan melalui
keterbukaan informasi. Tidak adanya perubahan laporan keuangan setelah
30 hari pencatatan perdana dan pembaruan atas prospektus yang
dipublikasikan, sehingga tidak menyebabkan abnormal return oleh investor.
200
4) Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Underpricing
a. Inflasi (INF) pada Faktor Eksternal tidak berpengaruh signifikan terhadap
Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018.
Tidak adanya perubahan inflasi atau kondisi inflasi inflais yang cederung
stabil sehingga tidak berdampak perubahan nilai dan harga barang.
Menyebabkan investor tidak menjadi inflasi sebagai dasar pengambilan
keputusan investasi yang menyebabkan underpricing.
b. Kurs Nilai Tukar (KURS) pada Faktor Eksternal berpengaruh positif
signifikan terhadap Underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun
2010- 2018. Semakin bagus nilai kurs rupiah terhadap dolar, semakin tinggi
minat investor terhadap saham IPO yang mendorong terjadinya
underpricing.
c. Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) pada Faktor Eksternal tidak
berpengaruh signifikan terhadap Underpricing pada perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan
Transportasi Tahun 2010- 2018. Pada saat perusahaan melakukan IPO,
kondisi Suku Bunga Cenderung stabil dengan artian tidka trdapat informasi
terkait perubahan nilai sebelum maupun pada sata pencatatan perdana
sampel penelitian.
d. Faktor Eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga
Bank Indonesia (RATE) berpengaruh signifikan terhadap Underpricing
pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sektor
Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018. Hubungan yang
berpengaruh menandakan bahwa jika inflasi berubah, maka akan merubah
nilai kurs dan suku bunga. Keterkaitan perubahan tersebut menjadi dasar
pengambilan keputusan investasi yang dilakukan oleh investor.
5) Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Kinerja Saham
a. Inflasi (INF) pada Faktor Eksternal tidak berpengaruh signifikan terhadap
Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia
201
sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018. Publikasi
informasi terkait perubahan inflasi yang ebrsifat bulanan tidak menjadi dasar
terjadinya abnormal return, tidak adanya informasi ataupun peristiwa terkait
inflasi yang signifikan selama 30 hari setelah IPO menjadikan investor tidak
menggunakan inflasi sebagai dasar pengambilan keputusan investasi.
b. Kurs Nilai Tukar (KURS) pada Faktor Eksternal tidak berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018.
Perubahan nilai kurs yang terjadi tidak menyebabkan perubahan keputusan
investasi akrena dominasi investor domestik di sektor penelitian, yang
menyebabkan aspek transaksi perdagangan tidak bersinggungan dengan
prubahan nilai tukar, naik dan turunya kurs tidak menjadi dasar keputusan
investasi setelah 30 hari paska IPO.
c. Suku Bunga Bank Indonesia (RATE) pada Faktor Eksternal tidak berpengaruh
signifikan terhadap Kinerja Saham pada perusahaan yang melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi Tahun
2010- 2018. Informasi suku bunga yang bersifat bulanan hingga tahun 2016
dan menjadi BI seven days repo rate yang cenderung berubah disesuikan
dengan kondisi pasar tidak dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan
investasi oleh investor. Hal ini dikarenakan tidak adanya informasi ataupun
peristiwa yang berkaitan dengan perubahan suku bunga pada hari ke-30 paska
IPO pada sampel penelitian sehingga tidak terjadinya abnormal return oleh
investor.
d. Faktor Eksternal (Inflasi (INF), Kurs Nilai Tukar (KURS), Suku Bunga Bank
Indonesia (RATE) tidak berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Saham pada
perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sektor Infrastruktur,
Utilitas dan Transportasi Tahun 2010- 2018. Investor tidak melihat hubungan
antara inflasi, Kurs dan Suku bunga didalam menentukan harapan atas investasi
yang dilakukan lebih tinggi dari nilai pasar IHSG secara abnormal return, atau
kondisi antara variabel yang stabil di suatu negara membuat iklin ekonomi
yang kondusif sehingga tidak adanya keadaan yang menyebabkan
ketidakpastian investasi atas return saham.
202
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pembahasan serta beberapa
kesimpulan dan keterbatasan yang dikemukakan pada penelitian ini, maka peniliti
dapat memberikan saran sebagai berikut :
Bagi Pihak Perusahaan
Perusahaan yang akan melakukan Initial Publik Offering (IPO) sebaiknya
memperhatikan faktor Internal (DER, ukuran perusahaan, dan hubungan data
laporan keuangan serta prospektus ) dan faktor Eksternal (KURS dan hubungan
Antara Inflasi, KURS serta Suku Bunga) didalam penentuan harga penawaran
umum, agar meminimalisir kerugian karena terjadinya Underpricing. Selain itu,
perusahaan juga disarankan untuk melihat Faktor Internal (DER dan Ukuran
Perusahaan) Agar kinerja Sahamnya tumbuh secara baik. Salin itu, bagi perusahaan
yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia dapat dijadikan sebagai acuan untuk
penetapan harga pada saat penawaran umum terbatas untuk penambahan jumlah
saham beredar dengan memperhatikan kondisi perusahaan dan kondisi ekonomi
secara global.
Bagi Pihak Underwriter
Underwriter selaku penjamin emisi dapat mengunakan Faktor Internal (DER,
Ukuran Perusahaan dan Hubungan Antara Laporan keuangan serta Prospektus) dan
Eksternal (KURS dan hubungan Antara Inflasi, KURS serta Suku Bunga) untuk
mengantisipasi kerugian atas kurangnya minat investor terhadap saham yang
dijamin dan diperdagangkan pada saat penawaran umum perdana (IPO). Selain itu,
underwriter juga disarankan untuk memperhatikan faktor Internal (DER dan
Ukuran Perusahaan) untuk menjaga kinerja saham perusahaan yang dijamin agar
tetap tumbuh sehingga diminati oleh calon emiten untuk digunakan sebagai
perantara IPO.
Bagi Pihak Investor
Investor yang akan menanamkan sahamnya pada perusahaan yang melakukan
IPO sebaiknya memperhatikan Faktor Internal (DER, Ukuran Perusahaan dan
203
hubungan antar laporan keuangan serta prospektus) dan Faktor Eksternal (KURS
dan Hubungan Antara Inflasi, KURS dan Suku Bunga) sebagai pertimbangan untuk
memprediksi laba dalam berinvestasi, sehingga diharapkan keuntungan yang
diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.
Bagi Penelitian selanjutnya
Para peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian di bidang yang sama
dapat menggunakan variabel-variabel lain yang diperkirakan akan berpengaruh
terhadap tingkat Underpricing dan Kinerja Saham, seperti Pengaruh dari Pihak
Auditor, Pengaruh atas pihak underwriter serta faktor makro seperti Pertumbuhan
Ekonomi, Defisit Transaksi Berjalan dan intervening yang menghubungkan
variabel independen terhadap abnormal return. Variabel-variabel tersebut diduga
mempunyai pengaruh terhadap tingkat Underpricing, untuk itu perlu adanya
pengkajian ulang sebagai bukti bahwa variabel-variabel tersebut benar-benar
berpengaruh terhadap tingkat Underpricing atau tidak. Selain Itu, Para Peneliti
dapat memperluas sektor yang akan diamati, bukan hanya Sektor
Infrastruktur,Utilitas dan Transportasi melainkan sektor-sektor lain yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia. Namun, Juga dapat mempersempit sektor dengan fokus
pada sub-sektornya saja.
204
Halaman Sengaja Dikosongkan
205
Daftar Pustaka
Aang, R. (1997). The Intelligent Guide to Indonesian Capital Market. Jakarta:
Media Staff Indonesia.
alteza, M. (2009). Underpricing Emisi Saham Perdana : Suatu tinjauan Kritis.
Jurnal Manajemen Vol 9.
Ardhiansyah. (2004). Pengaruh Variabel Keuangan Terhadap Return Awal dan
Return 15 Hari setelah IPO serta Moderasi Besaran perusahaan Terhadap
Hubungan Antara Variabel Keuangan dengan Return Awal dan Return 15
Hari Setelah IPO di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia, 125-153.
Aulia. (2014). Faktor Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada
Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2014. Kediri:
Universitas Negeri PGRI Kediri.
Boediono. (1999). Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Brigham, & Houston. (2010). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Buku I edisi
kesebelas. Jakarta: Salemba Empat.
Christy. (1996). A note On Underwritter Competition and Initial Public Offering.
Journal Of Business and Accounting, 905-914.
Daily, Catherine, Trevis, Dalton, & Rungpen. (2003). Underpricing: A Meta-
Analysis and Research Synthetis. Journal Entrepreneur Theory and
Practic.
DarmadjI, & Fakhrudin. (2006). Pasar Modal Di Indonesia Pendekatan Tanya
Jawab. Jakarta: Salemba Empat.
Darsono, & Astri. (2010). Pedoman Praktis Memahami Laporan Keuangan
(Tips Bagi Direksi, Investor dan Pemegang Saham.) Jakarta: Salemba
Empat.
Dharmastuti, F. (2004). Analisis Pengaruh Earning Per Share, Price Earning Ratio,
Return On Investment, Debt To Equity Ratio dan Net Profit margin Dalam
Menetapkan Harga Saham Perdana. BALANCE VO1 No 2 September, 14-
28.
Dita, K. (2013). Faktor Faktor Penentu Kinerja Saham Perusahaan Setelah
Penawaran Umum Perdana. Jurnal Ilmu Manajemen Vol 1.
Fahmi, I. (2012). Pengantar Pasar Modal. Bandung: Alfabeta.
Fakhrudin, H. (2008). Istilah Pasar Modal A-Z. Jakarta: PT. Alex Media
Komputindo.
206
Ghozali, & Murdik. (2002). Analisis Faktor Faktor yang Mempengarhui Tingkat
underpricing di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Bisnis dan Akuntansi Vol.4
, 1.
Ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Miltivasi dengan Program IBM SPSS 19.
Semarang: BP Universitas Diponegoro.
Gujarati. (2012). Dasar dasar Ekonometri. Jakarta: Erlangga.
Guntoro, A., & Harahap. (2008). Analisis Perbedaan Kinerja Saham Jangka pendek
dan Jangka Panjang pada perusahaan Initial Public Offering (IPO) di Pasar
Modal Indonesia. JRBI Vol 4.
Hady. (2001). Ekonomi Internasional. Jakarta: Airlangga.
Handayani, & Intan. (2011). Analisis Faktor Faktor yang mempengaruhi
Underpricing Pada Penawaran umum Perdana (Studi Kasus : Perusahaan
Keuangan yang Go Public di Bursa Efek Jakarta Tahun 2000-2006).
Journal Performance Vol 14 No 2, 103-118.
Hardi, H. (2009). Analisis dan Pengaruh Variabel makro Terhadap penetapan Harga
Saham perdana di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Keuangan dan Bisnis Vol
1 No 1.
Horne, J., & Machowicz. (2009). Prinsip Prinsip Manajemen Keuangan. Jakarta:
Salemba Empat.
Indrawati. (2005). Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Pada
Penawaran Umum perdana. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 5
No 1, 1-11.
Jogiyanto. (2010). Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN.
Karsana, & widya, Y. (2009). Analisis Kinerja Saham Emiten Dalam periode 1
Tahun Setelah Penawaran Umum perdana. Media Riset, Auditing &
Informasi, 39-56.
Kasmir. (2014). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Krugman. (1999). Ekonomi Internasional : Teori dan Kebijakan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Nurhidayati, & Indriantoro. (1998). Analisis Faktor Faktro yang mempengaruhi
tingkayt underpriced pada penawaran perdana di Bursa Efek Indonesia.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 13 No.1, 21-30.
Rachmadhanto, & Raharja. (2014). Analisis Pengaruh Faktor Fundamental
perusahaan dan Kondisi Ekonomi Makro terhadap Tingkat Underpricing
Saat Penawaran Umum Perdana. Jurnal Akuntansi Vol 3 No 4.
207
Rock, K. (1986). Why new issues Underpriced. Journal of Financial Economics,
34.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Sunariyah. (2004). Pengantar Pengetahuan Pasar Modal. Yogyakarta: UPP
AMP YKPN.
Tandelilin, E. (2001). Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta.
Triyono. (2008). Analisis Perubahan Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika. Jurnal
Ekonomi pembangunan, 156-157.
wijayanto. (2009). Analisis Pengaruh ROA, EPS, Finacial Leverage, Proceed
terhadap Initial Return (Studi Terhadap Perusahaan Non Keuangan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia Periode 2000-2006. Jurnal
Dinamika Manajemen Vol 1 No 1.
Yasa. (2008). Penyebab Underpricing pada Penawaran Perdana di Bursa Efek
Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Bisnis Volume 3.
Yolana, Chastina, & Martini. (2005). Variabel-Variabel yang mempengaruhi
Fenomena Underpricing pada penawaran saham perdana di BEj Tahun
1994-2001. Seminar Nasional Akuntansi VIII.
208
(Halaman Sengaja Dikosongkan)
209
LAMPIRAN 1. DAFTAR SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN NAMA PERUSAHAAN
SEKTOR
PENELITIAN
1 TOWR PT. Sarana Menara Nusantara Tbk Konstruksi No
Bangunan
2 TBIG PT. Tower Bersama Infrastructure Tbk Konstruksi No
Bangunan
3 WINS PT. Wintermar Offshore Marine Tbk Transportasi
4 GIAA PT. Garuda Indonesia Tbk Transportasi
5 MBSS PT. Mitrabahtera Segara Sejati Tbk Transportasi
6 BULL PT. Buana Lintas Lautan Tbk Transportasi
7 PTIS PT. Indo Straits Tbk Transportasi
8 SDMU PT. Sidomulyo Selaras Tbk Transportasi
9 SUPR PT. Solusi Tunas Pratama Tbk Konstruksi No
Bangunan
10 CASS PT. Cardig Aero Service Tbk Transportasi
11 NELY PT. Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk Transportasi
12 TAXI PT. Express Transindo Utama Tbk Transportasi
13 ASSA PT. Adi Sarana Armada Tbk Transportasi
14 BBRM PT. Pelayaran Nasional Bina Buana Raya Tbk. Transportasi
15 TPMA PT. Trans Power Marine Tbk Transportasi
16 LEAD PT. Logindo Samudera Makmur Tbk. Transportasi
17 CANI PT. Capitol Nusantara Indonesia Tbk Transportasi
18 LRNA PT. Eka Sari Lorena Transport Tbk. Transportasi
19 BIRD PT. Blue Bird Tbk Transportasi
20 SOCI PT. Soechi Lines Tbk Transportasi
21 POWR PT. Cikarang Listrindo Tbk Energi
22 SHIP PT. Sillo Maritime Perdana Tbk Transportasi
23 OASA PT. Protech Mitra Perkasa Tbk Konstruksi No
Bangunan
24 PORT PT. Nusantara Pelabuhan Handal Tbk Transportasi
25 TGRA PT. Terregra Asia Energy Tbk Energi
26 MPOW PT. Megapower Makmur Tbk Energi
27 PPRE PT. PP Presisi Tbk.. Konstruksi No
Bangunan
28 PSSI PT. Pelita Samudera Shipping Tbk Transportasi
29 IPCM PT. Jasa Armada Indonesia Tbk Transportasi
30 LCKM PT. Lck Global Kedaton Tbk Transportasi
31 HELI PT. Jaya Trishindo Tbk Transportasi
32 GHON PT. Gihon Telekomunikasi Indonesia Tbk Transportasi
33 TRUK PT. Guna Timur Raya Tbk Transportasi
34 TNCA PT. Trimuda Nuansa Citra Tbk Transportasi
35 BPTR PT. Batavia Prosperindo Trans Tbk Transportasi
36 IPCC PT. Indonesia Kendaraan Terminal Tbk
Jalan Tol, Bandara,
Pelabuhan dan Produk
lainnya.
37 SAPX PT. Satria Antaran Prima Tbk Transportasi
38 DEAL PT. Dewata Freightinternational Tbk Transportasi
210
LAMPIRAN 2. DAFTAR HARGA PENAWARAN UMUM PERDANA (IPO)
NO KODE
EMITEN NAMA PERUSAHAAN
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO 1 TOWR PT. Sarana Menara Nusantara Tbk 08 Mei 2010 1050
2 TBIG PT. Tower Bersama Infrastructure Tbk 26 Oktober 2010 2025
3 WINS PT. Wintermar Offshore Marine Tbk 29 November 2010 380
4 MBSS PT. Mitrabahtera Segara Sejati Tbk 06 April 2010 1600
5 BULL PT. Buana Lintas Lautan Tbk 23 Mei 2011 155
6 PTIS PT. Indo Straits Tbk 12 Juli 2011 950
7 SDMU PT. Sidomulyo Selaras Tbk 12 juli 2011 225
8 SUPR PT. Solusi Tunas Pratama Tbk 11 Oktober 2011 3400
9 NELY PT. Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk 11 Oktober 2012 168
10 TAXI PT. Express Transindo Utama Tbk 02 November 2012 560
11 ASSA PT. Adi Sarana Armada Tbk 12 November 2012 390
12 TPMA PT. Trans Power Marine Tbk 20 Februari 2013 230
13 CANI PT. Capitol Nusantara Indonesia Tbk 16 Januari 2014 200
14 BIRD PT. Blue Bird Tbk 05 November 2014 6500
15 SOCI PT. Soechi Lines Tbk 03 Desemeber 2014 550
16 POWR PT. Cikarang Listrindo Tbk 14 juni 2016 1500
17 SHIP PT. Sillo Maritime Perdana Tbk 16 Juni 2016 140
18 OASA PT. Protech Mitra Perkasa Tbk 18 Juli 2016 190
19 PORT PT. Nusantara Pelabuhan Handal Tbk 16 Maret 2017 535
20 TGRA PT. Terregra Asia Energy Tbk 16 mei 2017 200
21 MPOW PT. Megapower Makmur Tbk 05 Juli 2017 200
22 PSSI PT. Pelita Samudera Shipping Tbk 05 Desember 2017 135
23 IPCM PT. Jasa Armada Indonesia Tbk 22 Desember 2017 380
24 LCKM PT. Lck Global Kedaton Tbk 16 Januari 2018 208
25 HELI PT. Jaya Trishindo Tbk 27 maret 2018 110
26 GHON PT. Gihon Telekomunikasi Indonesia Tbk 09 april 2018 1170
27 TRUK PT. Guna Timur Raya Tbk 23 mei 2018 230
28 TNCA PT. Trimuda Nuansa Citra Tbk 28 juni 2018 150
29 BPTR PT. Batavia Prosperindo Trans Tbk 06 juli 2018 100
30 IPCC PT. Indonesia Kendaraan Terminal Tbk 09 juli 2018 1640
31 SAPX PT. Satria Antaran Prima Tbk 09 Oktober 2018 250
32 DEAL PT. Dewata Freightinternational Tbk 09 November 2018 150
211
LAMPIRAN 3. INITIAL RETURN (UNDERPRICING) H+1
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
HARGA
PENUTUPAN
H+1
SELISIH
INITIAL
RETURN
(IR)
IR%
1 TOWR 08 Mei 2010 1050 1570 520 0,4952 49,5 %
2 TBIG 26 Oktober
2010
2025 2400 375 0,1852 18,5 %
3 WINS 29 November
2010
380 385 5 0,0132 1,3%
4 MBSS 06 April 2010 1600 1780 180 0,1125 11,25%
5 BULL 23 Mei 2011 155 166 11 0,0710 7,1%
6 PTIS 12 Juli 2011 950 1000 50 0,0526 5,2%
7 SDMU 12 juli 2011 225 240 15 0,0667 6,7%
8 SUPR 11 Oktober
2011
3400 3500 250 0,0735 7,4%
9 NELY 11 Oktober
2012
168 205 37 0,2202 22%
10 TAXI 02 November
2012
560 590 30 0,0536 5,4%
11 ASSA 12 November
2012
390 490 100 0,2564 25,6%
12 TPMA 20 Februari
2013
230 345 115 0,5000 50%
13 CANI 16 Januari
2014
200 239 39 0,2950 29,5%
14 BIRD 05 November
2014
6500 7450 950 0,1462 14,6%
15 SOCI 03 Desemeber
2014
550 620 70 0,1273 12,7%
16 POWR 14 juni 2016 1500 1540 40 0,0267 2,7%
17 SHIP 16 Juni 2016 140 238 98 0,7000 70%
18 OASA 18 Juli 2016 190 322 132 0,6947 69,5%
19 PORT 16 Maret
2017
535 575 40 0,0748 7,5%
20 TGRA 16 mei 2017 200 340 140 0,7000 70%
21 MPOW 05 Juli 2017 200 340 140 0,7000 70%
22 PSSI 05 Desember
2017
135 150 15 0,1111 11,1%
23 IPCM 22 Desember
2017
380 402 22 0,0579 5,8%
24 LCKM 16 Januari
2018
208 312 104 0,5000 50%
25 HELI 27 maret
2018
110 187 77 0,7000 70%
26 GHON 09 april 2018 1170 1755 585 0,5000 50%
27 TRUK 23 mei 2018 230 344 114 0,4957 49,6%
28 TNCA 28 juni 2018 150 254 104 0,6933 69,3%
29 BPTR 06 juli 2018 100 170 70 0,7000 70%
30 IPCC 09 juli 2018 1640 1715 75 0,0457 4,6%
31 SAPX 09 Oktober
2018
250 374 124 0,4960 49,6%
32 DEAL 09 November
2018
150 254 104 0,6933 69,3%
212
LAMPIRAN 4. INITIAL RETURN (KINERJA SAHAM) H+30
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
TANGGAL
IPO
HARGA
H+30 SELISIH
INITIAL
RETURN
(IR)+30
IR%
1 TOWR 08 Mei 2010 1050 14 Mei 2010 1900 850 0,8095 81%
2 TBIG 26 Oktober
2010 2025
08 Desember
2010 2675 650 0,3210 32%
3 WINS
29
November
2010
380 12 Januari
2011 340 -40 -0,1053 -11%
4 MBSS 06 April
2010 1600 24 Mei 2011 1650 50 0,0313 3%
5 BULL 23 Mei 2011 155 07 Juli 2011 160 5 0,0323 3%
6 PTIS 12 Juli 2011 950 23 Agustus
2011 900 -50 -0,0526 -5%
7 SDMU 12 juli 2011 225 18 Agustus
2011 228 3 0,0133 1%
8 SUPR 11 Oktober
2011 3400
22 November
2011 3725 325 0,0956 10%
9 NELY 11 Oktober
2012 168
23 November
2012 200 32 0,1905 19%
10 TAXI
02
November
2012
560 18 Desember
2012 870 310 0,5536 55%
11 ASSA
12
November
2012
390 28 Desember
2012 430 40 0,1026 10%
12 TPMA 20 Februari
2013 230 04 April 2013 365 135 0,5870 59%
13 CANI 16 Januari
2014 200 20 Maret 2014 265 65 0,3250 33%
14 BIRD
05
November
2014
6500 16 Desember
2014 8700 2200 0,3385 34%
15 SOCI
03
Desemeber
2014
550 19 Januari
2015 620 70 0,1273 13%
16 POWR 14 juni 2016 1500 01 Agustus
2016 1495 -5 -0,0033 0%
17 SHIP 16 Juni
2016 140
03 Agustus
2016 354 214 1,5286 153%
18 OASA 18 Juli 2016 190 29 Agustus
2016 200 10 0,0526 5%
19 PORT 16 Maret
2017 535 05 Mei 2017 520 -15 -0,0280 -3%
20 TGRA 16 mei 2017 200 06 Juli 2017 416 216 1,0800 108%
21 MPOW 05 Juli 2017 200 15 Agustus
2017 390 190 0,9500 95%
22 PSSI
05
Desember
2017
135 18 Januari
2018 179 44 0,3259 33%
213
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
IPO
HARGA
IPO
TANGGAL
H+30
HARGA
H+30 SELISIH
INITIAL
RETURN
(IR)+30
IR%
23 IPCM
22
Desember
2017
380 05 Februari
2018 432 52 0,1368 14%
24 LCKM 16 Januari
2018 208
27 Februari
2018 446 238 1,1442 114%
25 HELI 27 maret
2018 110 09 Mei 2018 117 7 0,0636 6%
26 GHON 09 april
2018 1170 22 Mei 2018 1090 -80 -0,0684 -7%
27 TRUK 23 mei 2018 230 16 Juli 2018 660 430 1,8696 187%
28 TNCA 28 juni 2018 150 08 Agustus
2018 163 13 0,0867 9%
29 BPTR 06 juli 2018 100 20 Agustus
2018 104 4 0,0400 4%
30 IPCC 09 juli 2018 1640 16 Agustus
2018 1510 -130 -0,0793 -8%
31 SAPX 09 Oktober
2018 250
13 November
2018 640 390 1,5600 156%
32 DEAL
09
November
2018
150 21 Desember
2018 496 346 2,3067 231%
214
LAMPIRAN 5. INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN H+30
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
IHSG H+30 IHSG IPO
IHSG
H+30 SELISIH
MARKET
RETURN MR%
1 TOWR 14 Mei 2010 2578,97 2.858,4 279,41 0,1083 10,83%
2 TBIG 08 Desember
2010 3643,11 3.770,0 126,89 0,0348 3,48%
3 WINS 12 Januari
2011 3642,88 3.554,8 - 88,11 - 0,0242 -2,42%
4 MBSS 24 Mei 2011 3685,84 3.785,9 100,10 0,0272 2,72%
5 BULL 07 Juli 2011 3872,21 3.939,5 67,26 0,0174 1,74%
6 PTIS 23 Agustus
2011 3995,22 3.880,5 - 114,76 - 0,0287 -2,87%
7 SDMU 18 Agustus
2011 3995,22 4.021,0 25,77 0,0065 0,65%
8 SUPR 22 November
2011 3451,63 3.735,5 283,90 0,0823 8,23%
9 NELY 23 November
2012 4268,76 4.348,8 80,05 0,0188 1,88%
10 TAXI 18 Desember
2012 4339,22 4.301,4 - 37,78 - 0,0087 -0,87%
11 ASSA 28 Desember
2012 4329,13 4.316,7 - 12,45 - 0,0029 -0,29%
12 TPMA 04 April
2013 4612,45 4.922,6 310,16 0,0672 6,72%
13 CANI 20 Maret
2014 4455,54 4.699,0 243,43 0,0546 5,46%
14 BIRD 16 Desember
2014 5075,24 5.026,0 - 49,22 - 0,0097 -0,97%
15 SOCI 19 Januari
2015 5180,26 5.152,1 - 28,17 - 0,0054 -0,54%
16 POWR 01 Agustus
2016 4797,62 5.361,6 563,96 0,1175 11,75%
17 SHIP 03 Agustus
2016 4819,23 5.351,9 532,64 0,1105 11,05%
18 OASA 29 Agustus
2016 5107,92 5.370,8 262,85 0,0515 5,15%
19 PORT 05 Mei 2017 5461,91 5.683,4 221,46 0,0405 4,05%
20 TGRA 06 Juli 2017 5690,30 5.849,6 159,28 0,0280 2,80%
21 MPOW 15 Agustus
2017 5865,42 5.835,0 - 30,38 - 0,0052 -0,52%
22 PSSI 18 Januari
2018 6021,08 6.472,7 451,58 0,0750 7,50%
23 IPCM 05 Februari
2018 6181,86 6.589,7 407,81 0,0660 6,60%
24 LCKM 27 Februari
2018 6386,22 6.598,9 212,71 0,0333 3,33%
25 HELI 09 Mei 2018 6246,23 5.907,9 - 338,29 - 0,0542 -5,42%
26 GHON 22 Mei 2018 6179,38 5.751,1 - 428,26 - 0,0693 -6,93%
27 TRUK 16 Juli 2018 5764,42 5.905,2 140,74 0,0244 2,44%
28 TNCA 08 Agustus
2018 5791,58 6.094,8 303,25 0,0524 5,24%
29 BPTR 20 Agustus
2018 5733,13 5.892,2 159,06 0,0277 2,77%
30 IPCC 16 Agustus
2018 5719,86 5.783,8 63,94 0,0112 1,12%
215
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
IHSG H+30 IHSG IPO
IHSG
H+30 SELISIH
MARKET
RETURN MR%
31 SAPX 13 November
2018 5874,50 5.835,2 - 39,30 - 0,0067 -0,67%
32 DEAL 21 Desember
2018 5934,18 6.163,6 229,42 0,0387 3,87%
216
LAMPIRAN 6. ABNORMAL RETURN H+30 (KINERJA SAHAM)
NO KODE
EMITEN
INITIAL
RETURN
MARKET
RETURN
ABNORMAL
RETURN
AR%
1 TOWR 0,8095 0,1083 0,7012 70,1%
2 TBIG 0,3210 0,0348 0,2862 28,6%
3 WINS -0,1053 -0,0242 -0,0811 -8,1%
4 MBSS 0,0313 0,0272 0,0041 0,4%
5 BULL 0,0323 0,0174 0,0149 1,5%
6 PTIS -0,0526 -0,0287 -0,0239 -2,4%
7 SDMU 0,0133 0,0065 0,0068 0,7%
8 SUPR 0,0956 0,0823 0,0133 1,3%
9 NELY 0,1905 0,0188 0,1717 17,2%
10 TAXI 0,5536 -0,0087 0,5623 56,2%
11 ASSA 0,1026 -0,0029 0,1055 10,6%
12 TPMA 0,5870 0,0672 0,5198 52,0%
13 CANI 0,3250 0,0546 0,2704 27,0%
14 BIRD 0,3385 -0,0097 0,3482 34,8%
15 SOCI 0,1273 -0,0054 0,1327 13,3%
16 POWR -0,0033 0,1175 -0,1208 -12,1%
17 SHIP 1,5286 0,1105 1,4181 141,8%
18 OASA 0,0526 0,0515 0,0011 0,1%
19 PORT -0,0280 0,0405 -0,0685 -6,9%
20 TGRA 1,0800 0,028 1,052 105,2%
21 MPOW 0,9500 -0,0052 0,9552 95,5%
22 PSSI 0,3259 0,075 0,2509 25,1%
23 IPCM 0,1368 0,066 0,0708 7,1%
24 LCKM 1,1442 0,0333 1,1109 111,1%
25 HELI 0,0636 -0,0542 0,1178 11,8%
26 GHON -0,0684 -0,0693 0,0009 0,1%
27 TRUK 1,8696 0,0244 1,8452 184,5%
28 TNCA 0,0867 0,0524 0,0343 3,4%
29 BPTR 0,0400 0,0277 0,0123 1,2%
30 IPCC -0,0793 0,0112 -0,0905 -9,1%
31 SAPX 1,5600 -0,0067 1,5667 156,7%
32 DEAL 2,3067 0,0387 2,268 226,8%
217
LAMPIRAN 7. ABNORMAL RETURN PENELITIAN (KINERJA SAHAM)
NO KODE
EMITEN
ABNORMAL
RETURN IPO
ABNORMAL RETURN
HARI KE-30
SELISIH ABNORMAL
RETURN
1 TOWR 0,4768 0,8056 0,3287
2 TBIG 0,1822 0,3083 0,1262
3 WINS 0,0165 -0,1340 -0,1505
4 MBSS 0,1011 0,0292 -0,0719
5 BULL 0,0952 0,0245 -0,0707
6 PTIS 0,0669 -0,0632 -0,1301
7 SDMU 0,0810 -0,0037 -0,0846
8 SUPR 0,0503 0,0804 0,0301
9 NELY 0,2164 0,1873 -0,0292
10 TAXI 0,0536 0,5579 0,5042
11 ASSA 0,2588 0,0984 -0,1604
12 TPMA 0,4952 0,5966 0,1014
13 CANI 0,2047 0,3476 0,1430
14 BIRD 0,1478 0,3467 0,1989
15 SOCI 0,1300 0,1273 -0,0027
16 POWR 0,0217 -0,0187 -0,0404
17 SHIP 0,7010 1,5315 0,8305
18 OASA 0,6909 0,0627 -0,6282
19 PORT 0,0645 -0,0313 -0,0957
20 TGRA 0,7076 1,0745 0,3669
21 MPOW 0,7069 0,9455 0,2386
22 PSSI 0,1145 0,3235 0,2089
23 IPCM 0,0516 0,1318 0,0802
24 LCKM 0,4932 1,1404 0,6472
25 HELI 0,7059 0,0333 -0,6726
26 GHON 0,4892 -0,0655 -0,5547
27 TRUK 0,4909 1,8758 1,3849
28 TNCA 0,7148 0,0893 -0,6255
29 BPTR 0,7067 0,0299 -0,6767
30 IPCC 0,0304 -0,0785 -0,1090
31 SAPX 0,4972 1,5460 1,0488
32 DEAL 0,7034 2,2992 1,5957
218
LAMPIRAN 8. DEBT TO EQUITY RASIO (DER) SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN HUTANG PERUSAHAAN EKUITAS
RASIO
DER %
1 TOWR 5.781.326.000.000 1.115.417.000.000 5,18 518%
2 TBIG 1.320.361.000.000 524.825.000.000 2,52 252%
3 WINS 383.253.000.000 494.814.000.000 0,77 77%
4 MBSS 856.441.000.000 1.095.883.000.000 0,78 78%
5 BULL 1.263.544.000.000 1.579.306.000.000 0,80 80%
6 PTIS 243.120.000.000 312.606.000.000 0,78 78%
7 SDMU 24.930.000.000 118.430.000.000 0,21 21%
8 SUPR 1.324.707.000.000 474.118.000.000 2,79 279%
9 NELY 77.294.000.000 227.519.000.000 0,34 34%
10 TAXI 792.020.000.000 207.137.000.000 3,82 382%
11 ASSA 1.229.230.000.000 192.551.000.000 6,38 638%
12 TPMA 426.483.000.000 359.792.000.000 1,19 119%
13 CANI 743.965.000.000 120.406.000.000 6,18 618%
14 BIRD 3.806.657.000.000 1.205.258.000.000 3,16 316%
15 SOCI 2.361.298.000.000 1.385.173.000.000 1,70 170%
16 POWR 6.685.881.000.000 3.371.313.000.000 1,98 198%
17 SHIP 112.958.000.000 306.706.000.000 0,37 37%
18 OASA 1.152.000.000 13.297.000.000 0,09 9%
19 PORT 1.430.661.000.000 620.662.000.000 2,31 231%
20 TGRA 21.412.000.000 257.575.000.000 0,08 8%
21 MPOW 268.745.000.000 81.459.000.000 3,30 330%
22 PSSI 463.789.000.000 399.893.000.000 1,16 116%
23 IPCM 216.635.000.000 336.734.000.000 0,64 64%
24 LCKM 9.490.000.000 84.751.000.000 0,11 11%
25 HELI 156.130.000.000 63.430.000.000 2,46 246%
26 GHON 273.827.000.000 149.487.000.000 1,83 183%
27 TRUK 16.470.000.000 42.255.000.000 0,39 39%
28 TNCA 11.682.000.000 9.889.000.000 1,18 118%
29 BPTR 200.367.000.000 130.096.000.000 1,54 154%
30 IPCC 97.690.000.000 237.048.000.000 0,41 41%
31 SAPX 43.419.000.000 43.973.000.000 0,99 99%
32 DEAL 132.485.000.000 17.263.000.000 7,67 767%
219
LAMPIRAN 9. EARNING PER SHARE (EPS) SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
PENDAPATAN BERSIH
PERUSAHAAN
JUMLAH SAHAM
BEREDAR EPS
1 TOWR 589.483.000.000 980.060.000 601,5
2 TBIG 52.732.000.000 591.829.405 89,1
3 WINS -306.904.000.000 7.372.183.521 -41,6
4 MBSS 198.304.000.000 1.107.843.575 179
5 BULL 6.617.000.000 6.965.263.158 0,95
6 PTIS 43.494.000.000 477.956.043.956 0,091
7 SDMU 8.920.000.000 537.673.297 16,6
8 SUPR 230.412.000.000 500.004.340 460,82
9 NELY 57.761.000.000 800.235.522 72,18
10 TAXI 60.196.000.000 1.326.195.197 45,39
11 ASSA 9.865.000.000 1.644.166.667 6
12 TPMA 91.574.000.000 1.761.038.462 52
13 CANI -428.000.000 25176470,59 -17
14 BIRD 713.202.000.000 2.141.747.748 333
15 SOCI 302.542.000.000 2.327.246.154 130
16 POWR 800.106.000.000 14.547.381.818 55
17 SHIP 44.484.000.000 626.535.211 71
18 OASA 3.038.000.000 10.850.000 280
19 PORT 93.988.000.000 199.974.468.085 0,47
20 TGRA 167.000.000 2.385.714.286 0,07
21 MPOW 7.382.000.000 50.910.345 145
22 PSSI -124.053.000.000 30.037.046.005 -4,13
23 IPCM 117.064.000.000 580.012.882 201,83
24 LCKM 4.344.000.000 416.490.892 10,43
25 HELI 9.145.000.000 34.753.495 263,139
26 GHON 36.990.000.000 411.000.000.000 0,09
27 TRUK 257.000.000 62.378.641 4,12
28 TNCA 1.147.000.000 195.068.027 5,88
29 BPTR 10.598.000.000 3.311.875.000 3,2
30 IPCC 59.998.000.000 1.001.636.060 59,9
31 SAPX -17.173.000.000 300.017.470 -57,24
32 DEAL 409.000.000 47.392.816 8,63
220
LAMPIRAN 10. RETURN ON ASSET (ROA) SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
PENDAPATAN BERSIH
PERUSAHAAN TOTAL ASET ROA
1 TOWR 589.483.000.000 6.876.743.000.000 0,086
2 TBIG 52.732.000.000 1.862.205.000.000 0,028
3 WINS -306.904.000.000 882.075.000.000 -0,348
4 MBSS 198.304.000.000 1.987.535.000.000 0,100
5 BULL 6.617.000.000 2.842.850.000.000 0,002
6 PTIS 43.494.000.000 555.727.000.000 0,078
7 SDMU 8.920.000.000 143.361.000.000 0,062
8 SUPR 230.412.000.000 1.798.825.000.000 0,128
9 NELY 57.761.000.000 304.813.000.000 0,189
10 TAXI 60.196.000.000 999.157.000.000 0,060
11 ASSA 9.865.000.000 1.421.781.000.000 0,007
12 TPMA 91.574.000.000 786.275.000.000 0,116
13 CANI -428.000.000 864.371.000.000 -0,0005
14 BIRD 713.202.000.000 5.011.915.000.000 0,142
15 SOCI 302.542.000.000 3.746.471.000.000 0,081
16 POWR 800.106.000.000 10.057.195.000.000 0,0796
17 SHIP 44.484.000.000 419.663.000.000 0,106
18 OASA 3.038.000.000 14.440.000.000 0,210
19 PORT 93.988.000.000 2.051.323.000.000 0,046
20 TGRA 167.000.000 1.098.210.000.000 0,001
21 MPOW 7.382.000.000 278.987.000.000 0,021
22 PSSI -124.053.000.000 1.066.390.000.000 -0,144
23 IPCM 117.064.000.000 863.683.000.000 0,196
24 LCKM 4.344.000.000 94.241.000.000 0,046
25 HELI 9.145.000.000 219.460.000.000 0,042
26 GHON 36.990.000.000 423.314.000.000 0,087
27 TRUK 257.000.000 58.725.000.000 0,004
28 TNCA 1.147.000.000 21.571.000.000 0,053
29 BPTR 10.598.000.000 844.995.000.000 0,032
30 IPCC 59.998.000.000 330.462.000.000 0,179
31 SAPX -17.173.000.000 43.973.000.000 -0,391
32 DEAL 409.000.000 149.748.000.000 0,003
221
LAMPIRAN 11. UMUR PERUSAHAAN SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
TAHUN PERUSAHAAN
DIDIRIKAN
BERDASARKAN AKTA
PENDIRIAN
TAHUN PERUSAHAAN
IPO DI BURSA EFEK
INDONESIA
AGE
(TAHUN)
AGE
(LOGARTIMA
NATURAL)
1 TOWR 2008 2010 2 0,693147
2 TBIG 2004 2010 6 1,791759
3 WINS 1996 2010 14 2,639057
4 MBSS 1994 2011 17 2,833213
5 BULL 2005 2011 6 1,791759
6 PTIS 1985 2011 26 3,258097
7 SDMU 1993 2011 18 2,890372
8 SUPR 2006 2011 5 1,609438
9 NELY 1977 2012 35 1,791759
10 TAXI 1981 2012 31 3,555348
11 ASSA 1999 2012 13 3,433987
12 TPMA 2005 2013 8 2,564949
13 CANI 2004 2014 10 2,079442
14 BIRD 2001 2014 13 2,302585
15 SOCI 2010 2014 4 2,564949
16 POWR 1970 2016 46 3,828641
17 SHIP 1989 2016 27 3,295837
18 OASA 2006 2016 10 2,639057
19 PORT 2003 2017 14 2,944439
20 TGRA 1995 2017 22 3,091042
21 MPOW 2007 2017 10 2,302585
22 PSSI 2007 2017 10 2,302585
23 IPCM 2013 2017 4 1,386294
24 LCKM 2013 2018 5 2,397895
25 HELI 2007 2018 11 2,833213
26 GHON 2001 2018 17 3,637586
27 TRUK 1980 2018 38 3,135494
28 TNCA 1995 2018 23 2,397895
29 BPTR 2014 2018 4 1,386294
30 IPCC 2012 2018 6 1,791759
31 SAPX 2014 2018 4 1,386294
32 DEAL 1995 2018 23 3,135494
222
LAMPIRAN 12. UKURAN PERUSAHAAN SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
(SIZE)
TOTAL ASET
(SIZE)
LOGARITMA NATURAL
1 TOWR 6.876.743.000.000 29,55917
2 TBIG 1.862.205.000.000 28,25278
3 WINS 882.075.000.000 27,50554
4 MBSS 1.987.535.000.000 28,31792
5 BULL 2.842.850.000.000 28,67583
6 PTIS 555.727.000.000 27,04354
7 SDMU 143.361.000.000 25,68863
8 SUPR 1.798.825.000.000 28,21815
9 NELY 304.813.000.000 26,44296
10 TAXI 999.157.000.000 27,63018
11 ASSA 1.421.781.000.000 27,98293
12 TPMA 786.275.000.000 27,39057
13 CANI 864.371.000.000 27,48527
14 BIRD 5.011.915.000.000 29,24284
15 SOCI 3.746.471.000.000 28,95184
16 POWR 10.057.195.000.000 29,93931
17 SHIP 419.663.000.000 26,76272
18 OASA 14.440.000.000 23,39327
19 PORT 2.051.323.000.000 28,34951
20 TGRA 1.098.210.000.000 27,7247
21 MPOW 278.987.000.000 26,35443
22 PSSI 1.066.390.000.000 27,6953
23 IPCM 863.683.000.000 27,48447
24 LCKM 94.241.000.000 25,26912
25 HELI 219.460.000.000 26,11444
26 GHON 423.314.000.000 26,77138
27 TRUK 58.725.000.000 24,79613
28 TNCA 21.571.000.000 23,79462
29 BPTR 844.995.000.000 27,4626
30 IPCC 330.462.000.000 26,52376
31 SAPX 43.973.000.000 24,50684
32 DEAL 149.748.000.000 25,73222
223
LAMPIRAN 13. PRESENTASE SAHAM DITAWARKAN (PSD) SAMPEL
PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
PRESENTASE SAHAM
DITAWARKAN
1 TOWR 0,086
2 TBIG 0,028
3 WINS -0,348
4 MBSS 0,100
5 BULL 0,002
6 PTIS 0,078
7 SDMU 0,062
8 SUPR 0,128
9 NELY 0,189
10 TAXI 0,060
11 ASSA 0,007
12 TPMA 0,116
13 CANI -0,0005
14 BIRD 0,142
15 SOCI 0,081
16 POWR 0,0796
17 SHIP 0,106
18 OASA 0,210
19 PORT 0,046
20 TGRA 0,001
21 MPOW 0,021
22 PSSI -0,144
23 IPCM 0,196
24 LCKM 0,046
25 HELI 0,042
26 GHON 0,087
27 TRUK 0,004
28 TNCA 0,053
29 BPTR 0,032
30 IPCC 0,179
31 SAPX -0,391
32 DEAL 0,003
224
LAMPIRAN 14. INFLASI PADA SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
PERUSAHAAN
KETIKA IPO
INF
TANGGAL HARI
KE 30 SETELAH
IPO
INF RATA RATA
INFLASI
1 TOWR 08/03/2010 3,43 14/05/2010 4,16 3,83
2 TBIG 26/10/2010 5,47 08/12/2010 6,96 6,32
3 WINS 29/11/2010 5,67 12/01/2011 7,02 6,99
4 MBSS 06/04/2011 6,16 24/05/2011 5,98 6,07
5 BULL 23/05/2011 5,98 07/07/2011 4,61 5,38
6 PTIS 12/07/2011 4,61 23/08/2011 4,79 4,70
7 SDMU 12/07/2011 4,61 18/08/2011 4,79 4,70
8 SUPR 11/10/2011 4,42 22/11/2011 4,15 4,42
9 NELY 11/10/2012 4,61 23/11/2012 4,32 4,61
10 TAXI 02/11/2012 4,32 18/12/2012 4,30 4,30
11 ASSA 12/11/2012 4,32 28/12/2012 4,30 4,30
12 TPMA 20/02/2013 5,31 04/04/2013 5,57 5,59
13 CANI 16/01/2014 8,22 20/03/2014 7,32 7,76
14 BIRD 05/11/2014 8,83 16/12/2014 8,36 8,68
15 SOCI 03/12/2014 8,36 19/01/2015 6,96 7,66
16 POWR 14/06/2016 3,45 01/08/2016 2,79 3,15
17 SHIP 16/06/2016 3,45 03/08/2016 2,79 3,15
18 OASA 18/07/2016 3,33 29/08/2016 2,79 3,00
19 PORT 16/03/2017 3,61 05/05/2017 4,33 4,04
20 TGRA 16/05/2017 4,33 06/07/2017 3,88 4,19
21 MPOW 05/07/2017 3,88 15/08/2017 3,82 3,85
22 PSSI 05/12/2017 3,61 18/01/2018 3,25 3,43
23 IPCM 22/12/2017 3,61 05/02/2018 3,18 3,35
24 LCKM 16/01/2018 3,25 27/02/2018 3,18 3,22
25 HELI 27/03/2018 3,40 09/05/2018 3,23 3,35
26 GHON 09/04/2018 3,41 22/05/2018 3,23 3,32
27 TRUK 23/05/2018 3,23 16/07/2018 3,18 3,18
28 TNCA 28/06/2018 3,12 08/08/2018 3,20 3,15
29 BPTR 06/07/2018 3,18 20/08/2018 3,20 3,19
30 IPCC 09/07/2018 3,18 16/08/2018 3,20 3,19
31 SAPX 03/10/2018 3,16 13/11/2018 3.23 3,20
32 DEAL 09/11/2018 3,23 21/12/2018 3,12 3,18
221
LAMPIRAN 15. KURS NILAI TUKAR IDR/USD SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
PERUSAHAAN
KETIKA IPO
KURS
JUAL
KURS
BELI
KURS
TENGAH
TANGGAL HARI
KE 30 SETELAH
IPO
KURS
JUAL
KURS
BELI
KURS
TENGAH
1 TOWR 08/03/2010 9246 9154 9200 14/05/2010 9139 9049 9094
2 TBIG 26/10/2010 8958 8868 8913 08/12/2010 9065 8975 9020
3 WINS 29/11/2010 9078 8988 9033 12/01/2011 9090 9000 9045
4 MBSS 06/04/2011 8694 8608 8651 24/05/2011 8611 8525 8568
5 BULL 23/05/2011 8604 8518 8561 07/07/2011 8578 8492 8535
6 PTIS 12/07/2011 8592 8506 8549 23/08/2011 8587 8501 8544
7 SDMU 12/07/2011 8592 8506 8549 18/08/2011 8576 8490 8533
8 SUPR 11/10/2011 8985 8895 8940 22/11/2011 9080 8990 9035
9 NELY 11/10/2012 9651 9555 9603 23/11/2012 9676 9580 9628
10 TAXI 02/11/2012 9676 9580 9628 18/12/2012 9691 9595 9643
11 ASSA 12/11/2012 9683 9587 9635 28/12/2012 9718 9622 9670
12 TPMA 20/02/2013 9753 9655 9704 04/04/2013 9798 9700 9749
13 CANI 16/01/2014 12178 12056 12117 20/03/2014 11464 11350 11407
14 BIRD 05/11/2014 12227 12105 12166 16/12/2014 12965 12835 12900
15 SOCI 03/12/2014 12356 12234 12295 19/01/2015 12675 12549 12612
16 POWR 14/06/2016 13339 13207 13273 01/08/2016 13145 13015 13080
17 SHIP 16/06/2016 13394 13260 13327 03/08/2016 13180 13048 13114
18 OASA 18/07/2016 13178 13046 13112 29/08/2016 13341 13209 13275
19 PORT 16/03/2017 13403 13269 13336 05/05/2017 13406 13272 13339
20 TGRA 16/05/2017 13364 13232 13298 06/07/2017 13431 13297 13364
21 MPOW 05/07/2017 13416 13282 13349 15/08/2017 13411 13277 13344
22 PSSI 05/12/2017 13583 13447 13515 18/01/2018 13432 13298 13365
23 IPCM 22/12/2017 13626 13490 13558 05/02/2018 13565 13431 13498
24 LCKM 16/01/2018 13400 13266 13333 27/02/2018 13718 13582 13650
25 HELI 27/03/2018 13777 13639 13708 09/05/2018 14144 14004 14074
26 GHON 09/04/2018 13840 13702 13771 22/05/2018 14249 14107 14178
27 TRUK 23/05/2018 14263 14121 14192 16/07/2018 14468 14324 14396
28 TNCA 28/06/2018 14342 14200 14271 08/08/2018 14511 14367 14439
222
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
PERUSAHAAN
KETIKA IPO
KURS
JUAL
KURS
BELI
KURS
TENGAH
TANGGAL HARI
KE 30 SETELAH
IPO
KURS
JUAL
KURS
BELI
KURS
TENGAH
29 BPTR 06/07/2018 14481 14337 14409 20/08/2018 14651 14505 14578
30 IPCC 09/07/2018 14404 14260 14332 16/08/2018 14692 14546 14619
31 SAPX 03/10/2018 15163 15013 15088 13/11/2018 14969 14821 14895
32 DEAL 09/11/2018 14659 14513 14586 21/12/2018 14552 14408 14480
223
LAMPIRAN 16. SUKU BUNGA BANK INDONESIA SAMPEL PENELITIAN
NO KODE
EMITEN
TANGGAL
PERUSAHAAN
KETIKA IPO
RATE
TANGGAL HARI
KE 30 SETELAH
IPO
RATE RATA RATA
RATE
1 TOWR 08/03/2010 6,5 14/05/2010 6,5 6,50
2 TBIG 26/10/2010 6,5 08/12/2010 6,5 6,50
3 WINS 29/11/2010 6,5 12/01/2011 6,5 6,50
4 MBSS 06/04/2011 6,75 24/05/2011 6,75 6,75
5 BULL 23/05/2011 6,75 07/07/2011 6,75 6,75
6 PTIS 12/07/2011 6,75 23/08/2011 6,75 6,75
7 SDMU 12/07/2011 6,75 18/08/2011 6,75 6,75
8 SUPR 11/10/2011 6,75 22/11/2011 6.5 6,65
9 NELY 11/10/2012 5,75 23/11/2012 5,75 5,75
10 TAXI 02/11/2012 5,75 18/12/2012 5,75 5,75
11 ASSA 12/11/2012 5,75 28/12/2012 5,75 5,75
12 TPMA 20/02/2013 5,75 04/04/2013 5,75 5,75
13 CANI 16/01/2014 7,5 20/03/2014 7,5 7,50
14 BIRD 05/11/2014 7,5 16/12/2014 7,75 7,63
15 SOCI 03/12/2014 7,75 19/01/2015 7,75 7,75
16 POWR 14/06/2016 6,5 01/08/2016 5,25 5,88
17 SHIP 16/06/2016 6,5 03/08/2016 5,25 5,88
18 OASA 18/07/2016 6,5 29/08/2016 5,25 5,88
19 PORT 16/03/2017 4,75 05/05/2017 4,75 4,75
20 TGRA 16/05/2017 4,75 06/07/2017 4,75 4,75
21 MPOW 05/07/2017 4,75 15/08/2017 4,5 4,63
22 PSSI 05/12/2017 4,25 18/01/2018 4,25 4,25
23 IPCM 22/12/2017 4,25 05/02/2018 4,25 4,25
24 LCKM 16/01/2018 4,25 27/02/2018 4,25 4,25
25 HELI 27/03/2018 4,25 09/05/2018 4,5 4,38
26 GHON 09/04/2018 4,25 22/05/2018 4,5 4,38
27 TRUK 23/05/2018 4,5 16/07/2018 5,25 4,88
28 TNCA 28/06/2018 5,25 08/08/2018 5,5 5,38
29 BPTR 06/07/2018 5,25 20/08/2018 5,5 5,38
30 IPCC 09/07/2018 5,25 16/08/2018 5,5 5,38
31 SAPX 03/10/2018 5,75 13/11/2018 6 5,88
32 DEAL 09/11/2018 6 21/12/2018 6 6,00
224
LAMPIRAN 17. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TOWR
225
LAMPIRAN 18. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TBIG
226
LAMPIRAN 19. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM WINS
227
LAMPIRAN 20. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM MBSS
228
LAMPIRAN 21. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM BULL
229
LAMPIRAN 22. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM PTIS
230
LAMPIRAN 23. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM SDMU
231
LAMPIRAN 24. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM SUPR
232
LAMPIRAN 25. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM NELY
233
LAMPIRAN 26. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TAXI
234
LAMPIRAN 27. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM ASSA
235
LAMPIRAN 28. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TPMA
236
LAMPIRAN 29. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM CANI
237
LAMPIRAN 30. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM BIRD
238
LAMPIRAN 31. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM SOCI
239
LAMPIRAN 32. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM POWR
240
LAMPIRAN 33. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM SHIP
241
LAMPIRAN 34. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM OASA
242
LAMPIRAN 35. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM PORT
243
LAMPIRAN 36. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TGRA
244
LAMPIRAN 37. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM MPOW
245
LAMPIRAN 38. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM PSSI
246
LAMPIRAN 39. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM IPCM
247
LAMPIRAN 40. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM LCKM
248
LAMPIRAN 41. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM HELI
249
LAMPIRAN 42. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM GHON
250
LAMPIRAN 43. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TRUK
251
LAMPIRAN 44. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM TNCA
252
LAMPIRAN 45. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM BPTR
253
LAMPIRAN 46. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM IPCC
254
LAMPIRAN 47. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM SAPX
255
LAMPIRAN 48. FREKUENSI PERDAGANGAN SAHAM DEAL