perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA EPILEPSI PADA ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
PARAMITA RISKI SETIANINGSIH G.0009166
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Paramita Riski Setianingsih, G0009166, 2012. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Di Indonesia belum ada data epidemiologi tentang jumlah pasien epilepsi, tetapi dapat diperkirakan ada 900.000–1.800.000 pasien epilepsi. Kejang dapat dimulai pada semua umur, sekitar 30–32,9% penderita mendapat kejang pertama pada usia < 4 tahun, 50–51,5% terdapat pada kelompok usia < 10 tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia < 20 tahun, 15% penderita pada usia > 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia > 50 tahun. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada anak yaitu : riwayat herediter, asfiksia, kelahiran prematur, kejang demam kompleks, dan trauma kepala.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control. Sebanyak 84 subjek penelitian yang dipilih dengan metode consecutive sampling dan metode matching adalah pasien anak yang memeriksakan diri di Unit Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan data rekam medik pasien. Hasil penelitian dianalisis menggunakan Chi-Square Test dilanjutkan dengan Regresi Logistik yang diolah menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for Windows.
Hasil Penelitian: Berdasarkan analisis data dengan metode Chi-Square Test didapatkan 2 faktor risiko tidak signifikan yaitu riwayat asfiksia (p = 0,121) dan riwayat kelahiran prematur (p = 0,393) serta 3 faktor risiko yang hasilnya signifikan, di antaranya riwayat herediter (p = 0,001), riwayat kejang demam kompleks (p = 0,000), dan riwayat trauma kepala (p = 0,001). Selanjutnya dilakukan analisis dengan metode regresi logistik, hasilnya faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi anak di Poli Anak RSUD Dr. Moewardi adalah kejang demam kompleks (OR = 18,267 ; Cl 95% 5,393 s.d. 61,873 ; p = 0,000) dan trauma kepala (OR = 16,341 ; Cl 95% 3,346 s.d. 79,801 ; p = 0,001).
Simpulan Penelitian: Faktor-faktor risiko terjadinya epilepsi anak yang paling berpengaruh dan memiliki nilai p yang signifikan adalah riwayat kejang demam kompleks dan riwayat trauma kepala. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko lain yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak. Kata Kunci: herediter, asfiksia, prematur, kejang demam kompleks, trauma
kepala, epilepsi anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Paramita Riski Setianingsih, G0009166, 2012. Risk Factors of Epilepsy on Children at RSUD Dr. Moewardi. Mini Thesis Faculty of Medicine Sebelas Maret University, Surakarta.
Background: There is no definite epidemiologycal data about the number of patients with epilepsy in Indonesia, but it is estimated that there are 900.000–1.800.000 epilepsy patients. The onset can be at any age, in which 30–32,9% patients experience the first convulsions less than 4 years age, in less than 10 years age group there is 50 51,5%, and in less than 20 years age 75–83,5%, in more than 25 years age 15% and in more than 50 years age 2%. Several risk factors that may cause epilepsy in children are hereditary, asphyxia, premature, complex febrille seizure, and head trauma.
Methods: This study was an observational analytical research using case-control approach. There is 84 subjects were selected using consecutive sampling and matching method consisting of pediatric patients who examined their health in Outpatient Units of Pediatric Clinics RSUD Dr. Moewardi. The data was collected by structured interview and by patient’s medical record. The data analyzed by Chi-Square test followed by Logistic Regression. All statistic analysis was measured by Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for Windows.
Results: It could be found that two risk factors : asphyxia (p = 0,121) and premature (p = 0,393) was not significant and 3 risk factors : hereditary (p=0,001), febrille seizure (p = 0,000), and head trauma (p = 0,001). Logistic regression method result shows that the risk factors affecting epilepsy in children at RSUD Dr. Moewardi were Complex Febrille Seizure (OR = 18,267 ; Cl 95% 5,393 s.d. 61,873 ; p = 0,000) and head trauma (OR = 16,341 ; Cl 95% 3,346 s.d. 79,801 ; p = 0,001).
Conclusions: Risk factor of epilepsy in children were complex febrille seizure and head trauma history. There should be a further research to find out other factors affecting epilepsy in children incidence. Keywords: hereditary, asphyxia, premature, complex febrille seizure, head
trauma, epilepsy on children
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
PRAKATA
Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Agus Soedomo, dr., Sp.S (K) selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Annang Giri Moelyo, dr., Sp.A, M.Kes. selaku Pembimbing Pendamping yang
tak henti-hentinya bersedia meluangkan untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
4. Suratno, dr., Sp.S (K) selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Enny Ratna Setyowati, drg., M.Or selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
6. Prof Bhisma Murti, dr., MPH, MSc, PhD, Ari Probandari,dr., MPH, Ph.D, Muthmainah, dr., M.Kes, S. Enny N, SH., MH, dan Mas Sunardi selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.
7. Yang tercinta kedua orang tua saya, Ayahanda Mulyadi dan Ibunda Endang Wahyuti, serta kakak dan adik saya, Novita Ayuningtyas dan Erlyta C. Astri tersayang dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.
8. Yang tersayang Aditya Purnama Putra, yang selalu memberikan semangat, tenaga, serta doa untuk saya demi kelancaran skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat terdekat Atika, Nita, Nilam, Qonita, Ratih, Puspa, Pratita, Isna, Acin, Asri, Brenda, Shita, teman-teman kelompok 19 dan angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.
Surakarta, November 2012
Paramita Riski Setianingsih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................................ vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................. 3 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 3 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................................. 5 A. Tinjauan Pustaka ...................................... ........................................... 5
1. Definisi Epilepsi .............................................................................. 5 2. Patofisiologi Kejang ........................................................................ 7 3. Klasifikasi Kejang ........................................................................... 15 4. Diagnosis Epilepsi........................................................................... 21 5. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi ......................................................... 26
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 41 C. Hipotesis ............................................................................................. 42
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 43 A. Jenis Penelitian ................................................................................... 43 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 43 C. Subjek Penelitian ................................................................................ 43 D. Teknik Sampling .................................................................................. 44 E. Ukuran Sampel ................................................................................... 44 F. Identifikasi Variabel Penelitian .......................................................... 45 G. Definisi Operasional Variabel Penelitian .......................................... 45 H. Rancangan Penelitian ........................................................................... 48 I. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data ......................................... 48 J. Teknik Analisis Data ………………………………………… . ........... 49
BAB IV. HASIL PENELITIAN................................................................................ 50 A. Karakteristik Sampel Penelitian ......................................................... 51
1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, dan Tingkat Pendidikan .................................................................. ...... 51
2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Gambaran Kejang. ................... 52 3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia Pertama kali Kejang........ 53 4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jumlah Kejang dalam 1
Bulan ......................... ..................................................................... 54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kesehatan di luar Kejang...... ....................................................................................... 55
B. Analisis Bivariat ................................................................................. 55 1. Hubungan Riwayat Herediter dengan Terjadinya Epilepsi pada
Anak.... ............................................................................................ 56 2. Hubungan Riwayat Asfiksia dengan Terjadinya Epilepsi pada
Anak ................................................................................................ 57 3. Hubungan Riwayat Kelahiran Prematur dengan Terjadinya
Epilepsi pada Anak ......................................................................... 58 4. Hubungan Riwayat Kejang Demam dengan Terjadinya Epilepsi
pada Anak ....................................................................................... 59 5. Hubungan Riwayat Trauma Kepala dengan Terjadinya Epilepsi
pada Anak ....................................................................................... 60 C. Analisis Regresi Logistik Ganda ........................................................ 60
BABV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 62 BABVI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 69
A. Simpulan ............................................................................................. 69 B. Saran ................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 70 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Epilepsi merupakan salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia dan
merupakan kelainan neurologis paling umum yang mempengaruhi individu-
individu dari segala usia (Banerjee et al., 2009). Epilepsi membawa banyak
stigma negatif sehingga orang-orang dengan epilepsi tidak dapat menjalani
hidup dengan normal. Anak-anak dengan epilepsi sering mengalami beban
ganda karena ketidakmampuan belajar, gangguan kognitif, serta kinerja
skolastik yang miskin (Attumalil et al., 2011).
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan
prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka
lebih tinggi di negara berkembang. Selain itu banyak juga ditemukan bahwa
penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita perempuan, dan lebih
sering dijumpai pada anak pertama (Tjahjadi et al., 2009).
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009) Epilepsi merupakan
gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan yang
bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok
sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Bangkitan kejang yang terjadi pada
pasien epilepsi terjadi akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
neuron saraf pusat. Lepasnya muatan listrik di otak dapat disebabkan oleh
adanya kelainan dan penyakit pada otak.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada
anak antara lain : riwayat keluarga yang menderita epilepsi (herediter), asfiksia,
kelahiran prematur, kejang demam kompleks, dan trauma kepala (Riyadi dan
Sukarmin, 2009; Attumalil et al., 2011).
Data mengenai insidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa
10% orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidupnya
dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis epilepsi (didasarkan pada
kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laporan-laporan spesifik
jenis kelamin mengisyaratkan angka yang sedikit lebih besar pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan
pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan,
penurunan pesat menuju remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia
pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari
75% pasien epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila
kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut
biasanya sekunder (Lombardo, 2005).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37
juta orang di antaranya adalah epilepsi primer dan 80% tinggal di negara
berkembang. Diperkirakan 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
penduduk dengan angka insidensi 50 per 100.000 orang penduduk (Pinzon,
2007).
Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi dapat
diperkirakan ada 900.000–1.800.000 penderita epilepsi. Awitan dapat dimulai
pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok pada kelompok
umur tertentu sekitar 30–32,9% penderita mendapat kejang pertama pada usia
kurang dari 4 tahun, 50–51,5% terdapat pada kelompok usia kurang dari 10
tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun, 15% penderita
pada usia lebih dari 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun
(Tjahjadi et al., 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut dan karena masih tingginya
prevalensi penderita epilepsi pada anak maka penulis tertarik untuk meneliti
faktor-faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak di
RSUD Dr. Moewardi.
B. Rumusan Masalah
Apakah Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh dalam Terjadinya
Epilepsi pada Anak di RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh dalam
terjadinya epilepsi pada anak di RSUD Dr. Moewardi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah anak yang menderita epilepsi di RSUD Dr.
Moewardi pada bulan Juni - Agustus tahun 2012.
b. Mengetahui pengaruh risiko herediter, risiko perinatal (asfiksia dan
kelahiran prematur), dan risiko postnatal (kejang demam dan trauma
kepala) terhadap terjadinya epilepsi pada anak di RSUD Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai faktor-faktor risiko yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi
pada anak.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya preventif untuk
mencegah terjadinya epilepsi sedini mungkin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan fungsi otak yang ditandai terjadinya
serangan kejang (bangkitan) dengan konsekuensi perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan setidaknya satu
kali bangkitan epilepsi dalam satu tahun yang tidak diprovokasi (Fisher et
al., 2005).
Epilepsi menurut JH Jackson dalam Octaviana (2008) didefinisikan
sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan
tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak
(serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak
(serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang
disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan
cetusan listrik abnormal yang berlebihan dari neuron, dapat dideteksi dari
gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG) atau keduanya.
Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan
metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan
motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan
kombinasi kontraksi otot tonik-klonik disebut kejang. Terjadinya kejang
dapat menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mungkin meluas dari suatu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin
terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh (Lombardo,
2005).
Menurut Smithson dan Walker (2012) Epilepsi bukan merupakan satu
kesatuan tetapi lebih mengarah pada sekelompok kondisi dengan
manifestasi yang berbeda tergantung pada bagian otak yang terlibat, usia
individu, penyebab yang mendasari, dan aktivitas penyebaran serangan
(bangkitan). Referensi tertulis pertama yang dikenal adalah tulisan kuno
Babylonian lebih dari 3000 tahun yang lalu, di dalamnya tertulis bahwa
epilepsi dianggap sebagai kelainan yang disebabkan oleh setan atau arwah.
Lima ratus tahun kemudian konsep yang sama muncul dalam teks-teks
Yunani. Yunani kuno menganggap bahwa hanya dewa yang bisa masuk ke
alam bawah sadar seseorang dan membuat tubuhnya menjadi tidak
terkontrol.
Epilepsi (yang juga disebut “kejang ayan”) ditandai dengan aktivitas
berlebihan yang tidak terkendali dari sebagian atau seluruh korteks serebral.
Orang yang mempunyai faktor predisposisi timbulnya epilepsi akan
mendapat serangan bila nilai basal eksitabilitas sistem saraf (bagian yang
peka terhadap keadaan epilepsi) meningkat di atas nilai ambang kritisnya.
Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga di bawah nilai ambang, serangan
epilepsi tidak akan terjadi (Guyton dan Hall, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Bangkitan epileptik adalah manifestasi gangguan otak dengan
berbagai gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-
neuron otak secara berlebihan dan berkala (Tjahjadi et al., 2009).
Kejang pada pasien epilepsi terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan
antara pengaruh inhibisi dan eksitasi (Scharfman, 2007). Pada beberapa
kejadian, hilangnya refleks inhibisi lebih spesifik daripada peningkatan
eksitasi yang mungkin menjadi penyebab mendasar dari gangguan epilepsi
(Yu et al., 2006; Ogiwara et al., 2007).
Presentasi kejang tergantung pada lokasi terjadinya di otak, pola
propagasi, kematangan otak, penyakit pengganggu, siklus tidur-bangun,
obat-obatan, dan berbagai faktor lainnya. Kejang dapat mempengaruhi
berbagai fungsi di otak, misalnya : fungsi sensorik, motorik, serta otonom;
kesadaran; keadaan emosi; memori; kognitif; dan perilaku. Tidak semua
kejang dapat mempengaruhi hal tersebut, tetapi setidaknya terdapat satu
pengaruh yang dapat timbul pada diri seeorang akibat kejang (Fisher et al.,
2005).
2. Patofisiologi Kejang
Membran neuronal terdiri atas lipid dan protein (lipoprotein) di
seluruh membran. Setiap neuron memiliki resting potensial (potensial
istirahat) yaitu keadaan dimana sel memiliki muatan arus listrik atau
terpolarisasi. Sel saraf yang sedang beristirahat, seperti sel lain dalam tubuh
mempertahankan perubahan potensial listrik (voltase) pada membran sel
antara bagian dalam sel dan cairan ekstraseluler di sekeliling sel. Voltase di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dalam sel pada saat istirahat berkisar antara -50 milivolts (mV) sampai -80
mV terhadap voltase di luar, bergantung pada kondisi neuron dan
ekstraseluler yang mengelilingi sel (Sloane, 2004).
Beda potensial tersebut terjadi karena terdapat perubahan arus positif
dan negatif yang melintasi membran sel. Dalam ruang ekstraseluler di
sepanjang membran didominasi oleh ion Na+ dan Cl-, sedangkan K+, protein
intraseluler yang bermuatan negatif, dan asam organik ditemukan dalam
ruang intraseluler (Browne dan Holmes, 2008). Konsentrasi ion K+ di dalam
membran sel lebih tinggi daripada di luar membran; konsentrasi ion Na+ di
luar membran sel lebih tinggi daripada di dalam sel. Membran neuron
sangat permeabel terhadap ion K+ dan Cl- serta relatif impermeabel terhadap
ion Na+. Membran ini impermeabel terhadap molekul ion yang besar dan
protein (Sloane, 2004).
Perubahan pada potensial membran terjadi karena perubahan pada
perpindahan ion menembus membran. Perubahan pada perpindahan ion
ditimbulkan oleh perubahan pada permeabilitas membran sebagai respon
terhadap berbagai kejadian pemicu. Bergantung pada jenis sinyal listriknya,
kejadian pemicu dapat berupa (1) perubahan muatan listrik di sekitar
membran peka rangsang; (2) interaksi suatu perantara kimiawi dengan
reseptor permukaan tertentu di membran sel saraf; (3) rangsangan, misalnya
gelombang suara yang merangsang sel-sel saraf khusus di telinga; atau (4)
perubahan spontan potensial akibat ketidak seimbangan siklus bocor-pompa
(Sherwood, 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Karena ion-ion larut air yang bertanggung jawab membawa muatan
tidak dapat menembus lapis-ganda-lemak membran plasma maka muatan ini
hanya dapat menembus membran melalui saluran yang spesifik baginya.
Saluran membran dapat berupa saluran bocor atau saluran
berpintu/bergerbang. Saluran bocor selalu terbuka, sehingga ion-ionnya
dapat menembus membran melalui saluran ini tanpa kontrol. Sebaliknya,
saluran berpintu memiliki pintu yang kadang terbuka, memungkinkan ion
melewati saluran, kadang tertutup, mencegah lewatnya ion melalui saluran.
Terdapat empat jenis saluran berpintu, bergantung pada faktor yang memicu
perubahan konformasi saluran : (1) saluran berpintu voltase, yang membuka
atau menutup sebagai respon terhadap perubahan potensial membran; (2)
saluran berpintu kimiawi, yang mengubah konformasinya sebagai respon
terhadap pengikatan pembawa pesan kimiawi tertentu dengan reseptor
membran yang berkaitan erat dengan saluran; (3) saluran berpintu mekanis,
yang berespon terhadap peregangan atau deformasi mekanis yang lain; dan
(4) saluran berpintu termal, yang berespon terhadap perubahan suhu lokal
baik panas ataupun dingin (Sherwood, 2011).
Pengurangan negativitas pada keadaan polarisasi disebut depolarisasi,
peningkatan negativitas saat potensial istirahat dikenal sebagai
hiperpolarisasi. Bergeraknya ion Na+ ke dalam sel menyebabkan terjadinya
depolarisasi dan bergeraknya K+ keluar atau Cl- yang masuk ke dalam sel
dapat menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi (Browne dan Holmes, 2008).
Kalsium dan Natrium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama
neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut
maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita
epilepsi (Purba, 2008).
Untuk memulai suatu potensial aksi, kejadian pemicu menyebabkan
membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahat -70mV.
Depolarisasi berjalan lambat pada awalnya, sampai tercapai suatu ambang
kritis yang disebut potensial ambang, biasanya antara -50 dan -55mV. Di
potensial ambang ini timbul depolarisasi yang eksplosif. Rekaman potensial
pada saat ini memperlihatkan defleksi cepat ke atas hingga +30 mV karena
potensial dengan cepat membalikkan dirinya sehingga bagian dalam sel
menjadi positif dibandingkan dengan bagian luarnya. Membran kemudian
mengalami repolarisasi sama cepatnya dan kembali ke potensial istirahat.
Gaya-gaya yang menyebabkan repolarisasi membran sering mendorong
potensial terlalu jauh, menyebabkan hiperpolarisasi ikutan singkat saat
bagian dalam membran menjadi lebih negatif daripada normal (misalnya, -
80 mV) sebelum akhirnya potensial membran pulih. Keseluruhan perubahan
cepat potensial membran dari ambang ke puncak dan kemudian kembali ke
istirahat lagi disebut potensial aksi (Sherwood, 2011).
Peristiwa pertukaran ion melalui membran dapat terjadi dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Na+ masuk ke dalam sel
dan K+ ke luar sel (Browne dan Holmes, 2008). Transpor aktif ion Na+ dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
K+ melawan gradien konsentrasinya dapat mempertahankan potensial
istirahat. Pompa Natrium-Kalium dependen ATP mencegah terjadinya
kesetaraan sesuai ion Na+ dan K+ yang melewati melalui membran plasma
dan hanya terjadi melalui difusi. Pompa ini terdiri dari protein yang
berperan sebagai ion karier dalam membran sel. Protein ini membawa tiga
ion Na+ ke luar dari sel untuk setiap dua ion K+ yang dipompa masuk
sehingga perbedaan konsentrasi dapat dipertahankan (Sloane, 2004).
Sinaps adalah titik pertautan antara dua neuron. Neuron
berkomunikasi satu sama lain dengan melepaskan zat kimia ke dalam celah
kecil (celah sinaps) yang memisahkan satu neuron dengan neuron lainnya.
Zat kimia yang dilepaskan dari neuron tertentu disebut neurotransmiter.
Biasanya neurotransmiter dilepaskan dari terminal akson satu neuron,
berdifusi melintasi celah sinaps, dan berikatan dengan reseptor pada dendrit
atau badan sel neuron lain. Akan tetapi, sinaps dapat terjadi antara dua
dendrit, antara dendrit dan badan sel yang berbeda, atau antara akson dan
terminal akson. Sel yang melepaskan neurotransmiter disebut neuron
prasinaps. Neuron yang melengkapi sinaps disebut neuron pascasinaps.
Beberapa neurotransmiter (misal asetilkolin dan nerepinefrin) dapat
merangsang atau menghambat sel pasca sinaps. Akan tetapi,
neurotransmiter sering kali memiliki efek yang sama (eksitasi atau inhibisi)
pada semua sel yang diikatnya. Contoh neurotransmiter inhibisi adalah
GABA, glisin, nitrogen monoksida, dan biasanya dopamin. Glutamin adalah
contoh neurotransmiter eksitasi (Corwin, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Protein segmen dapat meluas keluar dan berfungsi sebagai lokasi
untuk reseptor. Salah satu contoh reseptor ialah reseptor ionotropik, yang
merupakan transmitter-gated channels. Reseptor ini secara langsung dapat
mengubah konduktivitas saluran ion ketika berikatan dengan
neurotransmiter. Beberapa contoh reseptor ionotropik antara lain: γ-
aminobutyric acid (GABAA), sebuah reseptor yang meningkatkan
konduktivitas Cl- dan reseptor agonis glutamat (N-methyl-D-
aspartate/NMDA dan alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-
propionic acid/AMPA) yang berperan dalam transmisi sinaps eksitator yang
cepat di otak. AMPA-gated channels permeabel terhadap Na+ dan K+,
sedangkan reseptor NMDA permeabel terhadap Na+, K+, dan Ca2+.
Neurotransmiter (sebagai contoh: GABA) dapat menyebabkan
hiperpolarisasi neuron dengan mekanisme Inhibitory Postsynaptic
Potentials (IPSPs), yang berakibat muatan negatif intraseluler menjadi lebih
besar. Neurotransmiter yang menyebabkan depolarisasi (sebagai contoh:
asam amino) dengan mekanisme Excitatory Postsynaptic Potentials
(EPSPs), yang mengakibatkan muatan positif masuk ke dalam sel melewati
membran sinaptik. Apakah neuron dapat membangkitkan potensial aksi atau
tidak ditentukan oleh keseimbangan relatif dari EPSPs dan IPSPs (Browne
dan Holmes, 2008).
Tipe kedua dari neurotransmiter adalah reseptor metabotropik. Ketika
transmiter mengikat reseptor metabotropik, sistem second-messenger
protein G (guanyl nucleotide-binding protein) akan teraktivasi. Aktivasi dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
protein G mungkin akan membuka saluran ion atau mengaktivasi enzim,
seperti siklase (cyclic adenosine monoposphate) atau hidrolase yang akan
mempengaruhi timbulnya messenger molekul tambahan dalam sel. Contoh
reseptor yang mengaktivasi sistem second-messenger antara lain: reseptor
GABAB, peptida dan reseptor katekolaminergik, serta reseptor metabotropik
diaktivasi oleh glutamate (Browne dan Holmes, 2008).
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatonik
dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter
dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada
reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA
subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi
terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap
NMDAR ini merupakan prinsip kerja dari obat anti epilepsi (Purba, 2008).
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks
serebrum kemungkinan bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum
dan batang otak umumnya tidak memicu kejang (Lombardo, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Menurut Lombardo (2005) di tingkat sel, fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif, dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi GABA.
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter eksitatorik atau
deplesi neurotransmiter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat; lepas muatan listrik per sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di Cairan
Serebrospinal (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktivitas kejang (Lombardo, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3. Klasifikasi Kejang
Klasifikasi epilepsi berdasarkan International Classification of
Epileptic Seizures dalam Browne dan Holmes (2008) adalah :
a. Kejang Parsial
Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata
berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan
kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi
menjadi kejang parsial sederhana dan parsial kompleks (Lombardo,
2005).
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik
regio setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih
dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal paling sering
disebabkan oleh lesi organik setempat atau adanya kelainan fungsional,
seperti : (1) jaringan parut di otak yang mendorong jaringan neuron di
dekatnya, (2) adanya tumor yang menekan daerah otak, (3) rusaknya
suatu area pada jaringan otak, atau (4) kelainan sirkuit setempat yang
diperoleh secara kongenital (Guyton dan Hall, 2007).
Lesi semacam ini dapat menyebabkan pelepasan impuls yang
sangat cepat pada neuron setempat; bila kecepatan pelepasan impuls ini
melebihi beberapa ratus per detik, gelombang sikron akan mulai
menyebar di seluruh regio kortikal di dekatnya. Gelombang ini mungkin
berasal dari sirkuit setempat yang secara bertahap membuat area korteks
di dekatnya menjadi zone lepas-muatan epileptik (Guyton dan Hall,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
2007). Berikut ini pembagian kejang parsial berdasarkan Guyton dan
Hall (2007) :
1) Parsial Sederhana
Menurut Lombardo (2005) kejang parsial sederhana adalah
kejang dengan kesadaran utuh atau tidak disertai penurunan
kesadaran. Kejang ini biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
Kejang parsial parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya
korteks serebrum.
Gejala kejang parsial bisa ilusional, olfaktorius, psikis, kognitif,
afasik, sensoris, atau motorik (Rubenstein et al, 2007). Gejala ini
bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus
terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah
perubahan aktivitas otot. Gerakan tonik/klonik merupakan gambaran
klinis yang biasanya terjadi. Apabila fokus terletak di korteks
sensorik, maka pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk
baal, sensasi seperti ada yang merayap, seperti tertusuk-tusuk
penghiduan, halusinasi/ilusi yang melibatkan sitem indera. Kejang
sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks
sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom
adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan
daya ingat, disfagia, dan dejavu adalah contoh gejala psikis pada
kejang parsial (Lombardo, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
2) Parsial Kompleks
Kejang parsial kompleks adalah kejang dengan ciri khas
kesadaran berubah tetapi tidak hilang. Biasanya berlangsung 1-3
menit (Lombardo, 2005). Terutama “kejang lobus temporal” yang
biasa diawali dengan aura atau tanda peringatan dapat terdiri dari
gejala psikis (seperti rasa takut atau sensasi dejavu), halusinasi
(olfaktorius, gustatonus, atau bayangan visual), atau sensasi tidak enak
di epigastrium (Ginsberg, 2005).
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu
dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering
berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan
melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta
proses-prose pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang
ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan
lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic
behavior). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju,
meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau
mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan
khayal berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan
tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi (Lombardo,
2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3) Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum
Menurut Lombardo (2005) kejang parsial kompleks dapat
meluas dan menjadi kejang generalisata.
b. Kejang Generalisata
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan
diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral
dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa
kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak
mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini
biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu (Lombardo,
2005).
1) Absance (Petit mal)
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak
sadar (atau penurunan kesadaran) selama 3 sampai 30 detik (Guyton
dan Hall, 2007). Selama waktu serangan mungkin pasien tiba-tiba
menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip
dengan cepat (Lombardo, 2005). Keadaan ini selanjutnya diikuti
dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya kembali aktivitas
sebelumnya. Rangkain kejadian keseluruhan ini disebut absance
syndrome atau absance epilepsy. Pasien mengalami serangan seperti
ini satu kali dalam beberapa bulan atau beberapa kali dalam sehari.
Serangan petit mal biasanya terjadi pertama kali pada anak-anak masa
akil balik dan menghilang pada umur 30 tahun. Kadangkala, serangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
epilepsi petit mal dapat memicu timbulnya serangan grand mal
(Guyton dan Hall, 2007).
2) Mioklonik
Gerakan konvulsif mendadak pada ekstremitas dan batang
tubuh, biasanya pada anak-anak (Rubenstein et al., 2007).
3) Kejang Tonik
Menurut Lombardo (2005) pasien dengan kejang tonik akan
mengalami peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku,
kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi
tungkai.
a) Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi.
b) Dapat menyebabkan henti napas
4) Kejang Atonik
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur
tubuh/drop attacks (Lombardo, 2005). Kejang atonik dapat
berlangsung singkat, dan kesadaran dapat hilang sesaat atau tidak
sama sekali (Tjahjadi et al., 2009).
5) Kejang Klonik
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau
multipel di lengan, tungkai, atau torso (Lombardo, 2005).
6) Kejang Tonik-Klonik
Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang
epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat
ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen.
Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik
kemudian klonik, dan inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya),
disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan
posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik.
Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang
berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi
gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap
berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit;
hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah).
Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh
periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai
30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak
stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus.
Umunya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya
(Lombardo, 2005).
Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama
kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan
menyebabkan efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek
dini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi.
Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi
katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan
henti jantung dan napas (Lombardo, 2005).
c. Kejang epileptik yang tidak dapat diklasifikasikan (karena data yang
tidak lengkap)
4. Diagnosis Epilepsi
Menurut Hassan dan Alatas (2007) untuk menentukan apakah
seseorang menderita bangkitan kejang atau epilepsi biasanya tidak sukar,
asal dapat menyaksikan sendiri serangan tersebut atau dapat memperoleh
anamnesis yang dapat dipercaya. Tiap penderita harus diperiksa secara teliti
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
laboratorium yang dibutuhkan, antara lain :
a. Anamnesis
Mengenai bangkitan kejang yang timbul perlu diketahui mengenai
pola serangan, keadaan sebelum, selama, dan sesudah serangan, lama
serangan, frekuensi serangan, waktu serangan terjadi dan faktor-faktor
atau keadaan yang dapat memprovokasi atau menimbulkan serangan.
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan, agar dapat diketahui fokus serta klasifikasinya. Ditanyakan
apakah ada gejala prodromal, aura, keadaan selama serangan (dimana
atau bagaimana kejang mulai, bagaimana penjalarannya) dan keadaan
sesudah kejang (parese Todd, nyeri kepala, segera sadar, mengacau,
kesadaran menurun) (Hassan dan Alatas, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Ditanyakan pula lama (duration) masing-masing keadaan tersebut,
waktu serangan (pagi, siang, malam, waktu mau tidur, sedang tidur, mau
tidur, sedang bangun). Apakah ada rangsang tertentu yang dapat
menimbulkan serangan, misalnya melihat televisi, bernafas dalam, lapar,
letih, menstruasi, obat-obatan tertentu dan sebagainya (Hassan dan
Alatas, 2007).
Riwayat keluarga : ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita kejang, penyakit saraf, dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya
perlu untuk mencari adanya faktor herediter (Hassan dan Alatas, 2007).
Riwayat masa lalu (past history) : ditanyakan mengenai keadaan
ibu waktu hamil (riwayat kehamilan), misalnya penyakit yang
dideritanya, perdarahan per-vaginam, obat yang dimakan. Secara teliti
ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita, apakah letak
kepala, letak sungsang, mudah atau sukar, apakah digunakan cunam atau
vakum ekstraksi atau seksio caesar, apakah terdapat perdarahan
antepartum, ketuban pecah dini, asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah
diderita (trauma kepala, radang selaput otak atau radang otak,ikterus,
reaksi terhadap imunisasi, kejang demam). Bagaimana perkembangan
(milestones) kecakapan mental dan motorik (Hassan dan Alatas, 2007).
b. Pemeriksaan Jasmani
Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris
dan neurologis. Bila perlu dikonsultasikan ke Bagian Mata, THT,
Hematologi, Endokrinologi dan sebagainya (Hassan dan Alatas, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru,
perut, hati dan limpa, anggota gerak dan sebagainya (Hassan dan Alatas,
2007).
Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan,
motorik dan mental, tingkah laku, berbagai gejala proses intrakranium,
fundus okuli, penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem motorik
(kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak terkendali, koordinasi, ataksia),
sistem sensorik (parestesia, hipestesia, anastesia), refleks fisiologis dan
patologis. Bila perlu dilakukan ‘tap’ subdural, pada anak dengan ubun-
ubun yang masih terbuka, untuk melihat adanya hematoma subdural atau
efusi subdural dan pungsi lumbal untuk memperoleh cairan
serebrospinalis (Hassan dan Alatas, 2007).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah : dilakukan pemeriksaan darah tepi rutin,
pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi (misal kadar gula darah,
elektrolit). Pemerksaan serebrospinalis (bila perlu) untuk mengetahui
tekanan, warna, kejernihan, berdarah, xantokrom, jumlah sel, hitung jenis
sel, kadar protein, gula, NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi (Hassan
dan Alatas, 2007).
d. Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu tes untuk mendeteksi
kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Pemeriksaan EEG sangat berguna membantu penegakan diagnosis
epilepsi. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi
disebut “epileptiform discharge” atau “epileptiform activity”, misalnya
‘spike’, ‘sharp wave’ dan ‘paroxissmal slow activity’. Kadang-kadang
rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi, apakah fokal,
multifokal, kortikal, subkortikal, misalnya ‘petit mal’ mempunyai
gambaran ‘3 cps spike and wave’ dan spasme infantil mempunyai
gambaran hipsaritmia (Hassan dan Alatas, 2007).
Pemeriksaan EEG harus dilakukan secara berkala. Perlu diingatkan
bahwa kira-kira 8-12% dari penderita epilepsi mempunyai rekaman EEG
normal (Hassan dan Alatas, 2007).
e. Pemeriksaan Psikologis dan Psikiatris
Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat
kecerdasan yang rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku
(behaviour disorders), gangguan emosi, hiperaktif. Hal ini harus
mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat berkembang secara
optimal sesuai dengan kemampuanya. Hubungan antara penderita dengan
orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah terdapat
proteksi berlebihan, rejeksi atau ‘overanxiety’. Bila perlu dapat diminta
bantuan dari psikolog atau psikiater (Hassan dan Alatas, 2007).
f. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto tengkorak diperhatikan simetri tulang tengkorak,
destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium abnormal (yang disebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
oleh tumor, hematoma menahun, tuberkulosis, toksoplasmosis, anomali
vaskular, hemangioma), tanda peninggian tekanan intrakranial seperti
pelebaran sutura, erosi sela tursika (Hassan dan Alatas, 2007).
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi
tertentu, yaitu untuk melihat gambaran sistem ventrikel, sisterna, rongga
subaraknoid serta gambaran otak. Dengan pemeriksaan ini dapat
diketahui adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus, araknoiditis.
Pada pneumoensefalografi udara (zat kontras) dimasukkan melalui
pungsi lumbal dan pada ventrikulografi udara (zat kontras) dimasukkan
melalui pungsi ventrikel atau ‘burr hole’. Pada penderita dengan tekanan
intrakranial meninggi dilakukan ventrikulografi, tetapi bila tidak
meninggi dapat dilakukan pneumoensefalografi (Hassan dan Alatas,
2007).
Arteriografi (memasukkan kontras ke dalam pembuluh darah)
dilakukan untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada
peranjakan (neoplasma, hematoma, abses), penyumbatan (trombosis),
peregangan (hidrosefalus) atau anomali pembuluh darah (malforasi
arteri-vena, hemangioma). Zat kontras dapat dimasukkan melalui
suntikan di arteri karotis interna, arteri vertebralis, arteri brakialis atau
arteri femoralis (dengan menggunakan kateter) (Hassan dan Alatas,
2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
5. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi
a. Herediter
Berdasarkan studi case-control yang dilakukan di Kerala–India
oleh Attumalil dkk (2011) mendapatkan hasil bahwa riwayat keluarga
dengan epilepsi merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi (OR : 3.17
with 95% CI 2.12-4.73).
Salah satu patofisiologi epilepsi dapat disebabkan adanya mutasi
genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode
protein kanal ion. Contoh : Generalized epilepsy with febrile seizure plus,
benign familial neonatal convulsions. Pada kanal ion yang normal terjadi
keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan
keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi
pada mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized
epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang
berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi
depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau
terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi pada benign
familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium
sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan
hipereksitasi sel neuron (Octaviana, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Tabel 2.1 Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B,
SCN2A, GABRG2
Generalized epilepsies with febrile
seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A,
CACNB4,
CACNA1H
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absance epilepsy
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absance epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor
asetilkolin
CHRNB2,
CHRNA4
Autosomal dominant frontal lobe
epilepsy
Reseptor
GABA
GABRA1,
GABRD
Juvenile myoclonic epilepsy
(Octaviana, 2008)
Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer
kurang lebih 4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama–sama
menderita epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi terkena
epilepsi sebesar 10% (WHO, 2002).
b. Asfiksia
Asfiksia perinatal adalah keadaan dimana fetus atau neonatus
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi
(iskemia) ke berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul
asidosis. American Academy of Pediatric (AAP) and the American
College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) membuat definisi
asfiksia sebagai berikut : (1) adanya asidosis metabolik atau mixed
acidemia (ph < 7.00) pada darah umbilikus atau menganalisis gas darah
arteri apabila fasilitas tersedia; (2) adanya persisten nilai apgar 0-3
selama > 5 menit; (3) manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal
dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik iskemik;
dan (4) adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal
(Utama et al., 2006).
Faktor predisposisi terjadinya trauma lahir antara lain primigravida,
disproporsi sefalopelvik (ibu pendek, kelainan rongga panggul),
persalinan yang berlangsung terlalu lama atau terlalu cepat, presentasi
abnormal (sungsang), ekstraksi forceps atau vakum, bayi dengan berat
badan lahir rendah atau prematur, makrosomia, ukuran kepala janin
besar, dan anomali janin (Hassan dan Alatas, 2007).
Untuk menentukan tingkat asfiksia bayi dapat dinilai dengan Apgar
Score. Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1, menit ke-5,
dan menit ke-10 setelah lahir (Hassan dan Alatas, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tabel 2.2 Penilaian tingkat asfiksia berdasarkan Apgar Score
Tanda 0 1 2
Frekuensi
Jantung
tidak ada kurang dari
100/menit
lebih dari 100/menit
Usaha
Bernapas
tidak ada lambat, tidak
teratur
menangis kuat
Tonus Otot tidak ada ekstremitas fleksi
sedikit
gerakan aktif
Refleks tidak ada gerakan sedikit Menangis
Warna biru / pucat tubuh kemerahan,
ekstremitas biru
tubuh dan ekstremitas
kemerahan
(Hassan dan Alatas, 2007)
Berdasarkan tabel di atas, asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam
(Hassan dan Alatas, 2007) :
1) Vigorous baby dengan skor apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap
sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2) Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang) dengan skor apgar 4-6.
Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada.
3) Asfiksia berat dengan skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk,
sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
Asfiksia berat dengan henti jantung, yang dimaksudkan keadaan
henti jantung adalah (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari
10 menit setelah lahir lengkap, (2) bunyi jantung menghilang post
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisik lainnya sesuai dengan yang
ditemukan pada penderita asfiksia berat.
Istilah ensefalopati hipoksik iskemik perinatal sering ditulis
ensefalopati hipoksik iskemik (Hipoxic-Ischemic Encephalopathy/HIE).
Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang
ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul
karena adanya cedera pada otak yang akut disebabkan karena asfiksia. Di
Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi pada 1–15% bayi lahir hidup.
Insiden ini semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan
berat lahir (Utama et al., 2006).
Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun,
meningkatnya tekanan vena sentral dan curah jantung. Bila asfiksianya
berlanjut dengan hipoksia yang berat dan asidosis, timbul detak jantung
yang menurun, curah jantung yang menurun, menurunnya tekanan darah
sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan
energi. Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam
laktat. Selama perfusinya jelek, maka asam laktat tertimbun dalam
jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik, maka asam laktat akan
dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring perbaikan perfusi.
Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif serebral sehingga
asam laktat meningkat dan pH menurun, akibatnya proses glikolisis
anaerobik tidak efektif dan produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang
mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis, hilangnya
autoregulasi serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung,
menyebabkan iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada setiap
jaringan. Cadangan glukosa menjadi berkurang, cadangan energi
berkurang, dan timbunan asam laktat meningkat. Selama hipoksia
berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun.
Adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan
sekunder dari oksidasi fosforilasi sehingga produksi ATP menurun.
Keadaan seperti ini akan menimbulkan lesi di otak, terutama di daerah
hipotalamus, yang selanjutnya akan menjadi fokus epileptogenik. Karena
kekurangan energi, maka pompa ion akan terganggu sehingga timbul
penimbunan NA+, Cl-, H2O, CA2+ intraseluler, K+, glutamat, dan aspartat
ekstraseluler (Utama et al., 2006).
Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonatus yang
mengalami asfiksia sekarang masih dalam penelitian. Teori yang dianut
adalah kematian sel otak terjadi melalui proses apoptosis dan nekrosis.
Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik ditandai
dengan sekelompok sel neuron edema, pecahnya sel, isi sel tumpah ke
rongga ekstraselular yang memberikan reaksi inflamasi dan fagositosis.
Apoptosis terjadi pada sel individu, sel mengerut/mengecil, kromatin
kelihatan piknotik, membran sel membentuk gelembung-gelembung, inti
sel berfragmentasi dan sel terbelah-belah dengan masing-masing pecahan
(yang mengandung pecahan nukleus dan organela) terbungkus oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
membran sel yang utuh, ini disebut apoptotic bodies. Apoptotic bodies ini
kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag atau sel sekitarnya
(Utama et al., 2006).
Pada proses nekrosis terjadi pengurang pasokan glukosa ke otak
yang memicu terjadinya influks Ca2+ ke dalam sel dan ekspresi glutamat
yang meningkat. Hal ini didukung oleh hilangnya keseimbangan
potensial membran dan terbukanya saluran ion “voltage-dependent”
(Voltage Dependent Calcium Channels/VDCC). Metabolisme glukosa
beralih ke proses anaerobik, ATP terkuras dan terjadi lactic acidosis.
Glutamat memicu reseptor NMDA dengan efek membuka reseptor untuk
Ca2+ masuk. Masuknya ion Ca2+ yang berlebihan ke dalam sel dapat
memicu bangkitnya kejang (Utama et al., 2006).
Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa
organ yaitu : otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna, dan
sumsum tulang. Didapatkan satu atau lebih kelainan pada 82% kasus
asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling
sering terkena (72%), ginjal 42% kasus, jantung 29%, gastrointestinal
29%, dan paru-paru 26%. (Utama et al., 2006)
Komplikasi jangka panjang pada pasien ensefalopati hipoksik-
iskemik tergantung pada tingkat keparahannya. Sebanyak 80% bayi yang
dapat bertahan hidup dengan riwayat HIE berat mengalami komplikasi
serius dalam pertumbuhannya, 10-20% mengalami cacat yang cukup
serius, dan sebanyak 10% sehat. Di antara bayi yang bertahan hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
dengan HIE sedang, 30-50% mungkin mengalami komplikasi jangka
panjang yang serius, dan 10-20% memiliki morbiditas neurologis minor.
Bayi dengan HIE ringan cenderung bebas dari komplikasi SSP yang
serius (Zanelli et al., 2011).
Menurut Zanelli dkk (2011) Dua uji coba terakhir mengenai
hipotermia menyediakan informasi terbaru berkaitan dengan kematian
dan perkembangan saraf yang abnormal pada pasien dengan HIE sedang
sampai berat. Dalam uji coba tersebut, 23-27% bayi meninggal sebelum
pulang dari ICU atau NICU, sedangkan angka kematian saat follow-up
18-22 bulan kemudian adalah 37-38%. Dalam uji coba tersebut, hasil
perkembangan saraf pada usia 18 bulan adalah sebagai berikut :
1) Indeks perkembangan mental (MDI)
Skor 85 atau lebih : 40%
Skor 70-84 : 21%
Skor kurang dari 70 : 39%
2) Indeks perkembangan psikomotor
Skor 85 atau lebih : 40%
Skor 70-84 : 10%
Skor kurang dari 70 : 35-41%
3) Cerebral Palsy : 30%
4) Epilepsi : 16%
5) Kebutaan : 14-17%
6) Penurunan pendengaran yang berat : 6%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
c. Kelahiran prematur
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur
adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang
(Mochtar, 2010).
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun
2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang
terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Mochtar, 2010).
Beberapa permasalahan yang sering timbul pada persalinan preterm
antara lain kematian perinatal, kelainan jangka pendek, dan kelainan
jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah :
Respiratory Distress Syndrome (RDS), perdarahan intra/periventrikuler,
Necrotizing Entero Cilitis (NEC), displasi bronko-pulmonar, sepsis,
asfiksia, dan paten duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang
sering berupa kelainan neurologik seperti cerebral palsy, retinopati,
retardasi mental, epilepsi, disfungsi neurobehavioral, dan prestasi yang
kurang baik (Mochtar, 2010). Bayi yang lahir di awal kehamilan (< 32
minggu) berada pada risiko yang sangat tinggi (Robinson et al., 2010).
Epilepsi pada anak yang lahir prematur berkaitan dengan terjadinya
kerusakan patologis pada korteks serebral, yang disebut dengan
ensfalopati prematuritas. Peristiwa ini melibatkan kerusakan subplate,
sebuah struktur sementara yang penting untuk perkembangan sirkuit
korteks serebral. Subplate neuron mengarahkan perkembangan sirkuit
inhibisi kortikal selama akhir kehamilan. Perkembangan tersebut ialah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
perkembangan spesifik tonik murni γ-amino butyric acid (GABA)ergik
ekstrasinaps menjadi aktivitas sinapsis (GABA)ergik fase dependen yang
diikuti oleh sinapsis glutamanergik terjadi selama perkembangan Sistem
Saraf Pusat (SSP). Perubahan dalam perkembangan spasiotemporal ini
bisa mengganggu urutan perkembangan sirkuit (Robinson et al., 2010).
d. Kejang demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal 38o C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium (CDK 165, 2008).
Kejang demam terjadi pada 2–4% anak berusia 6 bulan–5 tahun.
Kejang disertai demam pada bayi < 1 bulan tidak termasuk kejang
demam. Jika anak berusia < 6 bulan atau > 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang saat demam, tidak termasuk
dalam kejang demam (CDK 165, 2008). Kejang demam dibagi menjadi 2
jenis :
1) Kejang demam sederhana (simple febrile seizure), yaitu : kejang
demam yang berlangsung singkat, < 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berupa kejang umum tonik atau klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang jenis ini merupakan 80% dari seluruh kejang
demam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2) Kejang demam kompleks (complex febrile seizure), yaitu : kejang
demam dengan salah satu ciri berikut :
a) Lama kejang > 15 menit.
b) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.
c) Berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam.
Terdapat pula kejang yang disertai dengan timbulnya demam yaitu
: Febrile Seizure Plus (FS+) dan Generalized Epilepsy with Febrile
Seizure Plus (GEFS+). Febrile Seizure Plus merupakan kejang demam
yang menetap sampai umur > 6 tahun. Kejang yang sangat sering terjadi
karena dapat terjadi lebih dari 13 kali dalam satu tahun. Biasanya hilang
pada umur lebih dari 12 tahun. Kejang demam plus ini berhubungan
dengan gen SCN1A dan GABRG2. Sedangkan GEFS+ merupakan
sindrom kejang demam yang khas dengan bangkitan afebril, kejang
demam yang menetap dari umur 6 tahun sampai pertengahan masa
remaja, familial-autosom dominan (Scan1B-19q dan Scan1A-2q).
Serangan kejang umum afebril biasanya dalam bentuk tonik-
klonik/mioklonik/atonik/absance/epilepsi lobus temporal (CDK 165,
2008).
Beberapa perubahan molekuler dan fungsional terjadi setelah
kejang demam berkepanjangan (kejang demam kompleks), dan mungkin
dapat menjelaskan mekanisme untuk menimbulkan bangkitan
hipereksitabilitas di hipokampus. Perubahan molekuler yang disebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
oleh kejang pada model hewan belum banyak diteliti, namun telah
ditetapkan bahwa terdapat perubahan terus-menerus dalam ekspresi gen
tertentu seperti saluran ion dan reseptor endokanabinoid (Dube et al.,
2009).
Pada penelitian eksperimental, kejang demam berkepanjangan
secara cepat dapat menyebabkan perubahan sinyal kalsium di neuron
hipokampus, melalui pembentukan formasi kalsium permeabel jalur
AMPA tanpa subunit GluR 2. Perubahan rute masuknya kalsium telah
terbukti pada sejumlah besar kaskade intraseluler, yang berpuncak pada
perubahan ekspresi gen. Salah satu akibatnya adalah perubahan ekspresi
dari saluran ion yang mengatur sifat Ih, sebuah kation yang memicu
terjadinya hiperpolarisasi dan memberikan kontribusi dalam
pemeliharaan potensial membran neuron dan integritas dendritik.
Perubahan Ih tergantung pada frekuensi depolarisasi yang meningkat
sebagai respon proses hiperpolarisasi yang terjadi setelah kejang. Pada
tingkat molekuler, perubahan Ih muncul sebagai hasil ekspresi saluran
Hyperpolarization-activated Cyclic-Nucleotide gated (HCN) yang terus
berubah. Perubahan ekspresi bentuk iso-HCN 1 telah diamati, sama
halnya dengan peningkatan HCN 1/HCN 2, yang > 200% lebih tinggi di
wilayah hipokampus pada hewan eksperimen dengan kejang demam
dibandingkan dengan kontrol. Relevansi perubahan dari saluran HCN
dan Ih pada manusia kurang jelas, tetapi perubahan ekspresi saluran HCN
1 ditemukan juga di hipokampus pada pasien dengan epilepsi lobus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
temporal dan medial temporal sklerosis, sering kali dengan riwayat
kejang pada awal kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi
saluran HCN mempengaruhi terjadinya epilepsi lobus temporal pada
manusia (Dube et al., 2009).
Perubahan kedua yang diprovokasi oleh kejang demam
berkepanjangan pada penelitian eksperimental yang mengakibatkan
hipereksitabilitas melibatkan perubahan sinyal endokanabinoid. Pada
intinya, kejang meningkatkan jumlah reseptor presinaptik kanabinoid tipe
I, yang meningkatkan pelepasan inhibitor GABA, yang menyebabkan
hipereksitabilitas yang berhubungan dengan terjadinya kejang spontan
(Dube et al., 2009).
Menurut CDK 165 (2008) faktor risiko timbulnya epilepsi yang
berkaitan dengan kejang demam antara lain : terdapat kelainan neurologis
atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, kejang
demam kompleks, atau riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara
kandung. Masing-masing faktor risiko meningkatkan risiko terjadinya
epilepsi 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan
terjadinya epilepsi menjadi 10–49%.
e. Trauma kepala
Posttraumatik epilepsy (PTE) adalah gangguan kejang berulang
yang merupakan akibat adanya cedera pada otak. PTE berbeda dengan
posttraumatik seizure (PTS), yang merupakan istilah yang memiliki
spektrum yang lebih luas dan merupakan tanda adanya cedera pada otak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Kejang yang terjadi dalam 24 jam setelah cedera disebut PTS segera,
PTS yang terjadi dalam waktu 1 minggu setelah cedera disebut PTS dini,
dan kejang yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah cedera disebut PTS
lambat. Sekitar 20% orang yang mengalami kejang tunggal dan termasuk
dalam PTS lambat tidak pernah mengalami kejang lagi. Orang-orang ini
tidak termasuk dalam pasien dengan PTE (Posner et al., 2011).
Dalam kaitannya dengan patofisiologi kejang, terdapat dua faktor
penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat gaya mekanis yang
merobek prosesus dendritik, merusak kapiler, dan mengganggu
lingkungan ekstrasel. Cedera sekunder ditimbulkan oleh edema
serebrum. Penimbunan produk metabolik toksik dan iskemia akibat
hipotensi, hipoksia, dan hiperkarbia ikut berperan menimbulkan edema
serebrum. Mekanisme patofisiologik timbulnya kejang setelah trauma
kepala adalah iskemia akibat terganggunya aliran darah, efek mekanis
dari jaringan parut, destruksi kontrol inhibitorik dendrit, gangguan sawar
darah otak, dan perubahan dalam sistem penyangga ion ekstrasel
(Lombardo, 2005).
Menurut Posner dkk (2011) cedera yang berhubungan dengan
faktor-faktor yang meningkatkan risiko PTE adalah :
1) Trauma parah
2) Cedera kepala yang mengalami penetrasi
3) Hematoma intrakranial
4) Fraktura tengkorak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
5) Koma yang berlangsung lebih dari 24 jam
6) PTS awal
7) Fokal neuroimaging/kelainan EEG pada periode pasca trauma
Meskipun kejadian epilepsi pada populasi umum diperkirakan
mencapai 0,5–2%, kejadian PTS untuk semua jenis cedera kepala dalam
populasi masyarakat biasa adalah 2-2,5%. Kejadian ini meningkat
menjadi 5% pada pasien bedah saraf di rumah sakit. Pada cedera kepala
berat (biasanya GCS < 9) kejadiannya adalah 10-15% orang dewasa dan
30–35% untuk anak-anak.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera otak tertinggi terjadi pada
dewasa muda. PTS dini lebih sering terjadi pada anak, sementara PTS
lambat sering terjadi pada orang dewasa (Posner et al., 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Faktor Herediter
Faktor Perinatal
Riwayat keluarga inti yang menderita epilepsi
Adanya mutasi gen
↑↑ asam laktat Hipoksia dan Iskemia
Pompa ion terganggu
Glikolisis tidak efektif, produksi ATP ↓↓
Asfiksia
Ensefalopati prematuritas
Kerusakan Subplate
Mengganggu Perkembangan GABA
Faktor Postnatal
Trauma Kepala
Kejang Demam (Kompleks)
Cedera Primer
Cedera sekunder
Gangguan aliran darah, efek mekanis jaringan parut, destruksi kontrol inhibitorik dendrit, gangguan sawar darah otak, perubahan penyangga ion ekstra sel
Prematur
Perubahan sinyal kalsium
Perubahan Ekspresi Gen
Perubahan Saluran HCN yang Mengatur Sifat Ih
↓↓ pH
EPILEPSI
B. Kerangka Pemikiran
: ruang lingkup penelitian
: di luar ruang lingkup penelitian
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
C. Hipotesis
Ada pengaruh antara masing-masing variabel bebas dalam faktor herediter
(ditemukannya riwayat penyakit keluarga yang menderita epilepsi), faktor
perinatal (asfiksia dan kelahiran prematur), dan faktor postnatal (kejang demam
dan trauma kepala) dengan terjadinya kasus epilepsi pada anak di RSUD Dr
Moewardi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan kasus kontrol.
Penelitian ini bersifat observasional karena peneliti hanya mengamati
(mengukur) variabel yang diteliti, tanpa dengan sengaja memberi intervensi
(perlakuan). Penelitian ini merupakan penelitian analitik karena bertujuan
menganalisis hubungan-hubungan antarvariabel (pengaruh) sebuah atau
sejumlah variabel terhadap variabel lainnya (Murti, 2010).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pada bulan Juni–
Agustus tahun 2012.
C. Subjek Penelitian
Populasi penelitian (kasus) adalah semua anak yang sedang berobat di
Unit Rawat Jalan ataupun Rawat Inap di Bagian Anak RSUD Dr. Moewardi
yang menderita epilepsi.
Sampel penelitian (kasus) adalah pasien yang sedang berobat di Unit
Rawat Jalan atau Rawat Inap dengan diagnosis epilepsi yang tercatat pada
Rekam Medis pasien pada bulan Juni–Agustus 2012. Kriteria Inklusi : anak
yang menderita epilepsi fokal maupun umum serta bersedia menjadi subjek
penelitian. Kriteria Eksklusi : anak yang tidak bersedia menjadi subjek
penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Populasi Penelitian (kontrol) adalah semua anak yang sedang berobat di
unit rawat jalan ataupun rawat inap yang tidak didiagnosis epilepsi dan tidak
memiliki kelainan neurologis lainnya.
Sampel Penelitian (kontrol) adalah pasien yang sedang berobat di unit
rawat jalan atau rawat inap yang tidak menderita epilepsi dan kelainan
neurologis lainnya pada bulan Juni-Agustus 2012. Kriteria Inklusi : pasien
anak yang tidak menderita epilepsi dan bersedia menjadi subjek penelitian.
Kriteria Eksklusi : anak yang tidak bersedia menjadi subjek penelitian.
Batasan antara anak dan dewasa adalah sampai usia 18 tahun.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dengan menggunakan metode consecutive sampling
dan metode matching. Pada consecutive sampling menurut Sastroasmoro dan
Ismael (2009), setiap pasien memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam
penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan dapat terpenuhi. Metode matching merupakan cara untuk
mendapatkan kontrol yang paling baik, yaitu dengan memilih kontrol yang
mempunyai karakteristik yang sama dengan kasus (Sastroasmoro dan Ismael,
2009).
E. Ukuran Sampel
Besar sampel yang digunakan untuk penelitian case control adalah :
(zα√2PQ+zβ√P1Q1+P2Q2)2
n1 = n2 = (P1-P2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Keterangan :
zα dengan CI 95% = 1,960
zβ dengan power 90% = 0,842
OR = 3,8
P = 0,5
n1 = n2 = 42
Jumlah kelompok kasus 42 orang dan jumlah kelompok kontrol 42 orang,
sehingga jumlah sampel = 42+42 = 84 orang.
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independen)
Faktor-faktor risiko terjadinya epilepsi.
2. Variabel terikat (dependen)
Epilepsi pada anak.
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Terikat
Epilepsi pada anak adalah anak yang telah didiagnosis oleh dokter
menderita epilepsi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang berupa EEG.
Cara ukur : Kuesioner.
Alat ukur : Melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
Hasil ukur : Epilepsi dan Tidak Epilepsi.
Skala pengukuran : Nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
2. Variabel Bebas
a. Faktor herediter adalah faktor keturunan dimana terdapat keluarga yang
menderita penyakit epilepsi.
Cara ukur : Kuesioner.
Alat ukur : Melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
Hasil ukur : Ada Riwayat Keluarga dan Tidak Ada Riwayat
:::Keluarga.
Skala pengukuran : Nominal.
b. Asfiksia adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami
kekurangan oksigen dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai
macam, yang ditandai dengan bayi tidak langsung menangis, frekuensi
napas lambat, dan kulit pucat atau biru.
Cara ukur : Kuesioner.
Alat ukur : Melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
Hasil ukur : Asfiksia dan Tidak Asfiksia.
Skala pengukuran : Nominal.
c. Kelahiran prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37
minggu atau kurang.
Cara ukur : Kuesioner.
Alat ukur : Melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
Hasil ukur : Prematur dan Tidak Prematur.
Skala pengukuran : Nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
d. Kejang demam (kompleks) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38o C), dan berlangsung lebih dari 15
menit.
Cara ukur : Kuesioner.
Alat ukur : Melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
Hasil ukur : Kejang Demam dan Tidak Kejang Demam.
Skala pengukuran : Nominal.
e. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen.
Cara ukur : Kuesioner.
Alat ukur : Melalui wawancara terstruktur dengan kuesioner.
Hasil ukur : Ada Trauma Kapitis dan Tidak Ada Trauma
:::Kapitis.
Skala pengukuran : Nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
H. Rancangan Penelitian
Gambar 3.1 Rancangan Penelitian
I. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
1. Peneliti mewawancarai subjek penelitian.
2. Subjek penelitian menjawab pertanyaan penelitian mengenai hubungan
antara riwayat herediter, riwayat perinatal (asfiksia dan kelahiran prematur),
dan riwayat postnatal (kejang demam dan trauma kepala) dengan terjadinya
epilepsi pada anak.
CONSECUTIVE SAMPLING
SAMPEL METODE MATCHING
POPULASI
KUESIONER
EPILEPSI (+)
ANALISIS DATA
EPILEPSI (–)
FAKTOR RISIKO (+) FAKTOR RISIKO (–) FAKTOR RISIKO (+) FAKTOR RISIKO (–)
SIMPULAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
J. Teknik Analisis Data
Karakteristik sampel data kontinyu dideskripsikan dalam n, mode, mean,
SD, minimal, dan maksimal. Karakteristik sampel data kategorikal
didiskripsikan dalam n dan persen.
Hubungan antara faktor-faktor risiko dengan kejadian epilepsi dianalisis
dengan uji Chi-Square dan Regresi Logistik. Uji Chi-Square digunakan untuk
menguji hipotesis tentang ada tidaknya hubungan antara dua buah variabel
kategori, yaitu variabel respon dan variabel penjelas. Sedangkan analisis
Regresi Logistik digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel penjelas yang
signifikan dari hasil analisis uji kebebasan (Chi-Square Test) terhadap variabel
respon.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Murti, 2010) :
p
ln 1-p = a+b1X1+b2X2
dimana :
p : probabilitas untuk menderita epilepsi pada anak
1-p : probabilitas untuk tidak menderita epilepsi pada anak
a : konstanta
b1, b2 : konstanta regresi variabel bebas X1 , X2
X2 : faktor risiko kejang demam
X3 : faktor risiko trauma kepala
Hubungan antara terjadinya epilepsi pada anak dengan faktor risiko
herediter, kejang demam, dan trauma kepala ditunjukkan oleh OR (Odds Ratio)
= Exp (b).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian dengan topik faktor-faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak telah
selesai dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2012. Sampel penelitian yang
digunakan adalah seluruh pasien yang sedang menjalani pengobatan di Rawat
Jalan maupun Rawat Inap di RSUD Dr. Moewardi. Sampel yang tergolong dalam
kasus adalah pasien dengan diagnosis epilepsi berdasarkan rekaman EEG,
sedangkan sampel yang tergolong dalam kontrol adalah pasien yang tidak
didiagnosis menderita epilepsi ataupun penyakit neurologis lainnya. Jumlah
sampel yang diteliti adalah 84, dengan perincian 42 anak sebagai kasus dan 42
anak sebagai kontrol. Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang telah
dilakukan dalam bentuk tabel dan gambar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
A. Karakteristik Sampel Penelitian
1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, dan
Tingkat Pendidikan
Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan umur, jenis
llllllkelamin, dan tingkat pendidikan
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata umur anak pada penelitian
yaitu 8 tahun. Untuk umur anak yang paling banyak dijumpai pada
penelitian adalah 3 tahun. Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jumlah
anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada jenis kelamin
perempuan, yaitu sebesar 23 anak (55%). Sedangkan untuk tingkat
pendidikan anak dalam penelitian terbagi menjadi 4 tingkat, yaitu belum
sekolah, Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah
Karakteristik Sampel
Epilepsi (+) Epilepsi (-)
Umur a. Mean b. Mode c. Std. Deviation d. Minimum e. Maximum
8.2 3.0 4.4 1.0 16.0
8.2 3.0 4.4 1.0 16.0
Jenis kelamin 1) Laki-laki 2) Perempuan
23 (55%) 19 (45%)
23 (55%) 19 (45%)
Tingkat pendidikan a) Belum sekolah b) TK c) SD d) SMP
20 (24%) 12 (14%) 34 (41%) 18 (21%)
20 (24%) 12 (14%) 34 (41%) 18 (21%)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Menengah Pertama (SMP). Berdasarkan data penelitian tersebut, anak
yang jumlahnya paling banyak digunakan dalam penelitian ada pada
tingkat Sekolah Dasar (SD), yaitu 34 anak (41%).
2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Gambaran Kejang
Tabel 4.2 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan gambaran kejang
Karakteristik Sampel
(Gambaran Kejang)
Jumlah
Kontrol : epilepsi (-) 42
Kasus : epilepsi (+)
a. General tonik-klonik
b. Parsial sederhana
c. Parsial kompleks
d. Mioklonik
e. General sekunder
f. Absance
g. Tonik
26
2
3
2
2
3
4
Total 84
Tabel 4.2 menunjukkan, gambaran kejang/tipe epilepsi yang paling banyak
diderita anak dalam penelitian adalah general tonik-klonik dengan jumlah
26 pasien.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia Pertama kali Kejang
Tabel 4.3 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan usia pertama kali
kejang
Karakteristik Sampel
(umur pertama kejang dalam tahun)
Jumlah
Kontrol : epilepsi (-) 42
Kasus : epilepsi (+)
a. ≤ 1
b. 1,5 - 2
c. 2,5 - 3
d. 3,5 - 4
e. 4,5 - 5
f. 5,5 - 6
g. 6,5 - 7
h. 7,5 - 8
i. 8,5 - 9
j. ≥ 10
· 22
· 9
· 2
· 2
· 1
· 1
· 1
· 1
· 1
· 2
Total 84
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa umur pertama kali kejang yang dialami
oleh anak yang tergolong dalam kasus paling banyak adalah umur kurang
dari atau sama dengan 1 tahun, yaitu 22 pasien.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jumlah Kejang dalam 1 Bulan
Tabel 4.4 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan jumlah kejang
dalam 1 bulan
Karakteristik Sampel
(jumlah kejang dalam 1 bulan)
Jumlah
Kontrol : epilepsi (-) 42
Kasus : epilepsi (+)
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4
e. 5
f. 6
g. 7
h. 8
i. 9
j. ≥ 10
1
2
13
6
11
1
2
2
1
3
Total 84
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa anak yang tergolong kasus dapat
mengalami kejang dengan jumlah yang bervariasi dalam setiap bulannya.
Dari data penelitian, pasien mengalami kejang paling banyak dengan
jumlah 3 kali setiap bulannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kesehatan di Luar
Kejang
Gambar 4.1 Persentase sampel penelitian berdasarkan kondisi kesehatan
di luar kejang
Gambar 4.1 menunjukkan kondisi kesehatan responden yang tergolong
kasus pada saat di luar serangan (kejang). Sebanyak 36 (86%) pasien
dalam keadaan sehat, sedangkan 6 (14%) pasien mengalami kelainan di
luar kejang. Kelainan yang dialami pasien tersebut antara lain speech delay
sebanyak 3 orang, global delay sebanyak 2 orang, dan retardasi mental
sebanyak 1 orang.
B. Analisis Bivariat
Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan
dengan variabel bebas (riwayat herediter, asfiksia, prematur, kejang demam,
dan trauma kepala) terhadap variabel terikat (penyakit epilepsi). Uji statistik
menggunakan Chi-square Test dengan Confidence Interval (CI) = 95%.
86%
14%
sehat
kelainan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
1. Hubungan Riwayat Herediter dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak
Tabel 4.5 Analisis bivariat tentang hubungan riwayat herediter dengan
terjadinya epilepsi pada anak
Herediter R
espo
nden
Ya Tidak
Epilepsi (+) 20 (48%) 22 (52%)
Epilepsi (-) 0 42 (100%)
Dari Tabel 4.5 didapatkan pasien epilepsi yang memiliki riwayat herediter
epilepsi dari keluarga inti positif sebanyak 20 orang (48%) dan riwayat
herediter negatif sebanyak 22 orang (52%). Sedangkan pasien yang tidak
menderita epilepsi sebanyak 42 orang (100%) seluruhnya tidak memiliki
riwayat herediter epilepsi dari keluarga inti. Analisis bivariat terhadap
hubungan antara riwayat herediter dengan terjadinya epilepsi pada anak
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan p-value < 0,05 (OR =
39,261; Cl 95% 4,96 s.d. 310,835; p = 0,001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
2. Hubungan Riwayat Asfiksia dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak
Tabel 4.6 Analisis bivariat tentang hubungan riwayat asfiksia dengan
terjadinya epilepsi pada anak
Asfiksia R
espo
nden
Ya Tidak
Epilepsi (+) 4 (10%) 38 (90%)
Epilepsi (-) 0 42 (100%)
Dari Tabel 4.6 didapatkan pasien epilepsi dengan riwayat asfiksia positif
sebanyak 4 orang (10%) dan riwayat asfiksia negatif sebanyak 38 orang
(90%). Sedangkan pasien yang tidak menderita epilepsi sebanyak 42 orang
(100%) seluruhnya tidak memiliki riwayat asfiksia pada waktu baru lahir.
Analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat asfiksia dengan
terjadinya epilepsi pada anak menunjukkan hubungan yang tidak signifikan
dengan p-value > 0,05 (OR = 5,658; Cl 95% 0,633 s.d. 50,604; p = 0,121).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
3. Hubungan Riwayat Prematur dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak
Tabel 4.7 Analisis bivariat tentang hubungan riwayat prematur dengan
terjadinya epilepsi pada anak
Prematur R
espo
nden
Ya Tidak
Epilepsi (+) 9 (21%) 33 (79%)
Epilepsi (-) 6 (14%) 36 (86%)
Dari Tabel 4.7 didapatkan pasien epilepsi dengan riwayat kelahiran
prematur positif sebanyak 9 orang (21%) dan riwayat kelahiran prematur
negatif sebanyak 33 orang (79%). Sedangkan pasien yang tidak menderita
epilepsi sebanyak 6 orang (14%) memiliki riwayat kelahiran prematur
positif dan sebanyak 36 orang (86%) memiliki riwayat kelahiran prematur
negatif. Analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat kelahiran
prematur dengan terjadinya epilepsi pada anak menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan dengan p-value > 0,05 (OR = 1,636 ; Cl 95% 0,52 s.d.
5,09 ; p = 0,393).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
4. Hubungan Riwayat Kejang Demam dengan Terjadinya Epilepsi pada
Anak
Tabel 4.8 Analisis bivariat tentang hubungan riwayat kejang demam dengan
terjadinya epilepsi pada anak
Kejang Demam
Res
pond
en
Ya Tidak
Epilepsi (+) 30 (71%) 12 (29%)
Epilepsi (-) 8 (19%) 34 (81%)
Dari Tabel 4.8 didapatkan pasien epilepsi dengan riwayat kejang demam
kompleks yang positif sebanyak 30 orang (71%) dan riwayat kejang demam
negatif sebanyak 12 orang (29%). Sedangkan pasien yang tidak menderita
epilepsi sebanyak 8 orang (19%) memiliki riwayat kejang demam kompleks
yang positif dan sebanyak 34 orang (81%) memiliki riwayat kejang demam
negatif. Analisis bivariat terhadap hubungan antara riwayat kejang demam
kompleks dengan terjadinya epilepsi pada anak menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan p-value < 0,05 (OR = 10,625 ; Cl 95% 3,83 s.d. 29,47 ; p =
0,000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
5. Hubungan Riwayat Trauma Kepala dengan Terjadinya Epilepsi pada
Anak
Tabel 4.9 Analisis bivariat tentang hubungan riwayat trauma kepala dengan
terjadinya epilepsi pada anak
Trauma Kepala
Res
pond
en
Ya Tidak
Epilepsi (+) 15 (36%) 27 (64%)
Epilepsi (-) 3 (7%) 39 (93%)
Dari Tabel 4.9 didapatkan pasien epilepsi dengan riwayat trauma kepala
positif sebanyak 15 orang (36%) dan riwayat trauma kepala negatif sebanyak
27 orang (64%). Sedangkan pasien yang tidak menderita epilepsi sebanyak 3
orang (7%) memiliki riwayat trauma kepala positif dan sebanyak 39 orang
(93%) memiliki riwayat trauma kepala negatif. Analisis bivariat terhadap
hubungan antara riwayat trauma kepala dengan terjadinya epilepsi pada anak
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan p-value < 0,05 (OR = 7,222 ;
Cl 95% 1,90 s.d. 27,39 ; p = 0,001).
C. Analisis Regresi Logistik
Setelah melakukan analisis bivariat terhadap variabel bebas (riwayat
herediter, asfiksia, prematur, kejang demam, dan trauma kepala) dengan
variabel terikat (epilepsi pada anak) didapatkan riwayat asfiksia dan kelahiran
prematur tidak signifikan, sedangkan riwayat herediter, kejang demam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
kompleks, dan trauma kepala mendapatkan hasil yang signifikan. Kemudian
dilakukan analisis regresi logistik ganda dengan memperhitungkan variabel
bebas yang mendapatkan nilai signifikan pada hasil analisis uji kebebasan
(Chi-Square Test) untuk mengetahui pengaruh variabel bebas tersebut terhadap
variabel terikat. Untuk variabel dengan jumlah kontrol 0 pada faktor risiko
positif tidak diikutsertakan dalam analisis regresi logistik karena akan
mempengaruhi hasil akhir meskipun variabel tersebut memiliki nilai p yang
signifikan.
Tabel 4.10 Analisis regresi logistik tentang hubungan riwayat kejang demam
dengan riwayat trauma kepala pada anak
Variabel B OR CI
p Batas bawah Batas atas
Kejang demam 2,905 18,267 5,393 61,873 0,000
Trauma kepala 2,794 16,341 3,346 79,801 0,001
N observasi = 84
Dari Tabel 4.10 didapatkan pasien epilepsi dengan riwayat kejang demam
kompleks dan trauma kepala memiliki hubungan dengan terjadinya epilepsi
pada anak karena didapatkan nilai p-value < 0,05. Berdasarkan hasil analisis
regresi logistik baik riwayat kejang demam kompleks maupun riwayat trauma
kepala memiliki pengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak, dengan kejang
demam kompleks memiliki pengaruh lebih tinggi (ExpB/OR = 18,267)
daripada riwayat trauma kepala (ExpB/OR = 16,341).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada
Anak di RSUD Dr. Moewardi” telah selesai dilaksanakan pada bulan Agustus
2012 di RSUD Dr. Moewardi. Jumlah seluruh sampel yang didapat adalah 84
anak, dengan masing-masing kasus dan kontrol berjumlah 42. Setelah
mendapatkan data yang diinginkan, segera dilakukan analisis data dengan
menggunakan metode Chi-Square dan regresi logistik untuk mencari hubungan
dan pengaruh dari masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat.
Variabel riwayat herediter : dengan menggunakan analisis bivariat didapatkan
hasil yang berhubungan antara riwayat herediter epilepsi dari keluarga inti dan
terjadinya epilepsi pada anak dengan p-value < 0,05 (OR = 39,261; Cl 95% 4,96
s.d. 310,835 ; p = 0,001). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka seorang anak
yang memiliki riwayat herediter epilepsi dari keluarga inti memiliki risiko untuk
menderita epilepsi sebesar 39,261 kali dibandingkan dengan anak yang tidak
memiliki riwayat herediter epilepsi. Dari hasil wawancara terstruktur yang
dilakukan oleh peneliti didapatkan anak dengan riwayat herediter epilepsi
mendapatkan penyakitnya dari ayah sebanyak 10 anak, ibu sebanyak 7 anak, dan
dari saudara kandung sebanyak 3 anak. Anak yang memiliki riwayat herediter
epilepsi berasal dari sampel kasus, sedangkan dari sampel kontrol tidak ditemukan
sama sekali anak yang memiliki riwayat herediter epilepsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Attumalil dkk (2011), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara riwayat
herediter dengan terjadinya epilepsi pada anak dengan risiko terjadinya epilepsi
sebesar 3,17 kali dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat herediter
epilepsi (OR = 3,17 with 95% CI 2,12 s.d 4,73).
Variabel riwayat asfiksia : dengan menggunakan analisis bivariat didapatkan
hasil yang berhubungan antara riwayat asfiksia dan terjadinya epilepsi pada anak,
dalam penelitian ini didapatkan hasil yang signifikan dengan p-value > 0,05 (OR
= 5,658; Cl 95% 0,633 s.d. 50,604; p = 0,121). Berdasarkan hasil analisis tersebut,
maka seorang anak yang memiliki riwayat asfiksia setelah proses kelahiran
memiliki risiko untuk menderita epilepsi sebesar 5,658 kali dibandingkan dengan
anak yang tidak memiliki riwayat asfiksia. Dari hasil wawancara terstruktur yang
dilakukan oleh peneliti, hanya 4 orang saja dari sampel kasus yang memiliki
riwayat asfiksia sewaktu kelahirannya, sedangkan dari sampel kontrol tidak
ditemukan sama sekali anak yang memiliki riwayat asfiksia sewaktu lahir.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Raharjo (2007) dalam thesisnya yang mendapatkan hasil tidak signifikan dalam
penelitiannya dengan p-value untuk variabel asfiksia 0,5 (OR = 1,5 ; Cl 95% 0,4
s.d. 5,9 ; p = 0,5). Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan uji coba yang
dilakukan oleh Zanelli dkk (2011) yang menyatakan bahwa terdapat kematian
atau perkembangan sel yang abnormal pada pasien yang mengalami asfiksia
sedang sampai berat. Salah satu akibat dari kematian atau perkembangan sel yang
abnormal tersebut adalah epilepsi yaitu sebesar 30%. Menurut Utama dkk (2006)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
bayi dengan asfiksia akan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau
menurunnya perfusi (iskemik) ke berbagai organ yang akhirnya akan
menimbulkan lesi di otak terutama di daerah hipotalamus yang selanjutnya akan
menjadi fokus epileptogenik.
Variabel riwayat kelahiran prematur : dengan menggunakan analisis bivariat
didapatkan hasil yang tidak berhubungan antara riwayat kelahiran prematur dan
terjadinya epilepsi pada anak, dalam penelitian ini didapatkan hasil yang tidak
signifikan dengan p-value > 0,05 (OR = 1,636 ; Cl 95% 0,52 s.d. 5,09 ; p =
0,393). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka seorang anak yang memiliki
riwayat kelahiran prematur memiliki risiko untuk menderita epilepsi sebesar 1,636
kali dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat kelahiran prematur.
Dari hasil wawancara terstruktur yang dilakukan oleh peneliti, 15 anak yang
memiliki riwayat kelahiran prematur. Sejumlah 9 anak dari sampel kasus dan 6
anak dari sampel kontrol yang memiliki riwayat kelahiran prematur dalam
penelitian ini.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Raharjo (2007) dalam thesisnya yang mendapatkan hasil p-value 0,1 (tidak
signifikan) untuk variabel prematur (OR = 0,3 ; Cl 95% 0,06 s.d. 1,6 ; p = 0,1).
Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Robinson dkk (2010) yang menyatakan bahwa persalinan preterm akan
menimbulkan beberapa masalah, pada kelainan jangka panjang salah satunya
adalah epilepsi. Terjadinya epilepsi pada anak yang lahir prematur berkaitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
dengan kerusakan salah satu neurotransmiter di otak, yaitu γ-aminobutyric acid
(GABA).
Variabel riwayat kejang demam : dengan menggunakan analisis bivariat
didapatkan hasil yang berhubungan antara riwayat kejang demam kompleks dan
terjadinya epilepsi pada anak, dalam penelitian ini didapatkan hasil yang
signifikan dengan p-value < 0,05 (OR = 10,625 ; Cl 95% 3,83 s.d. 29,47 ; p =
0,000). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka seorang anak yang memiliki
riwayat kejang demam kompleks memiliki risiko untuk menderita epilepsi sebesar
10,625 kali dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat kejang
demam kompleks. Dari hasil wawancara terstruktur yang dilakukan oleh peneliti,
38 anak yang memiliki riwayat kejang demam kompleks. Sejumlah 30 anak dari
sampel kasus dan 8 anak dari sampel kontrol yang memiliki riwayat kejang
demam kompleks dalam penelitian ini. Kejang demam kompleks adalah kejang
demam yang terjadi > 15 menit serta berulang dalam 24 jam.
Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian eksperimental yang
dilakukan oleh Dube dkk (2009) yang menyatakan bahwa terdapat perubahan
molekuler dan fungsional setelah kejang demam berkepanjangan (kejang demam
kompleks). Menurut CDK 165 (2008) faktor risiko timbulnya epilepsi yang
berkaitan dengan kejang demam antara lain : terdapat kelainan neurologis atau
perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, kejang demam
kompleks, atau riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. Masing-
masing faktor risiko meningkatkan risiko terjadinya epilepsi 4-6%, kombinasi dari
faktor risiko tersebut meningkatkan terjadinya epilepsi menjadi 10–49%. Namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Raharjo (2007) dalam thesisnya yang mendapatkan hasil p-value 0,2 untuk
variabel kejang demam (OR = 1,7 ; Cl 95% 0,7 s.d. 4,2 ; p = 0,2).
Variabel riwayat trauma kepala : dengan menggunakan analisis bivariat
didapatkan hasil yang berhubungan antara riwayat trauma kepala dan terjadinya
epilepsi pada anak, dalam penelitian ini didapatkan hasil yang signifikan dengan
p-value < 0,05 (OR = 7,222 ; Cl 95% 1,90 s.d. 27,39 ; p = 0,001). Berdasarkan
hasil analisis tersebut, maka seorang anak yang memiliki riwayat trauma kepala
memiliki risiko untuk menderita epilepsi sebesar 7,222 kali dibandingkan dengan
anak yang tidak memiliki riwayat trauma kepala. Dari hasil wawancara terstruktur
yang dilakukan oleh peneliti, 18 anak yang memiliki riwayat trauma kepala. Jenis
trauma kepala yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah setelah terjadi
trauma anak mengalami pingsan ataupun kejang.
Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Posner dkk (2011) yang menyatakan bahwa terjadinya trauma kepala
mengakibatkan cedera otak dapat menimbulkan posttraumatik epilepsy (PTE).
Mekanisme patofisiologik timbulnya kejang setelah trauma kepala adalah iskemia
akibat terganggunya aliran darah, efek mekanis dari jaringan parut, destruksi
kontrol inhibitorik dendrit, gangguan sawar darah otak, dan perubahan dalam
sistem penyangga ion ekstrasel (Lombardo, 2005).
Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Raharjo (2007) dalam thesisnya yang mendapatkan hasil p-value
0,7 untuk variabel trauma (OR = 10,9 ; Cl 95% 0,4 s.d. 2.0 ; p = 0,7).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Setelah dilakukan analisis bivariat Chi-square untuk menentukan adanya
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini. Hasil
dari analisis tersebut didapatkan 2 variabel yang tidak signifikan yaitu riwayat
asfiksia serta riwayat kelahiran prematur dan 3 variabel yang hasilnya signifikan
yaitu riwayat herediter, riwayat kejang demam kompleks, dan riwayat trauma.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dilakukan analisis lanjutan yaitu analisis
multivariat Regresi Logistik untuk menentukan pengaruh masing-masing variabel
bebas dengan variabel terikat. Dalam penelitian ini seharusnya 3 variabel yang
hasilnya signifikan seluruhnya dimasukkan ke dalam analisis ini, namun apabila
ketiga variabel ini dimasukkan ke dalam pengolahan data menggunakan SPSS
didapatkan hasil CI (Convidence Interval) = 0,000. Setelah diteliti kembali
ternyata pada salah satu variabel yang diteliti yaitu riwayat herediter jumlah
kontrolnya 0. Dengan kata lain dalam sampel kontrol tidak ditemukan anak yang
memiliki riwayat herediter epilepsi. Maka variabel tersebut tidak dimasukkan ke
dalam analisis regresi logistik dalam penelitian ini.
Variabel yang dimasukkan dalam analisis regresi logistik adalah riwayat
kejang demam kompleks dan trauma kepala. Berdasarkan hasil analisis regresi
logistik didapatkan bahwa pasien dengan riwayat kejang demam kompleks
memiliki kecenderungan menderita epilepsi sebesar 18,267 lebih besar daripada
pasien yang tidak memiliki riwayat kejang demam kompleks (OR = 18,267 ; Cl
95% 5,393 s.d. 61,873 ; p = 0,000). Sedangkan pasien anak dengan riwayat
trauma kepala memiliki kecenderungan menderita epilepsi sebesar 16,341 lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
besar dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat trauma kepala (OR =
16,341 ; Cl 95% 3,346 s.d. 79,801 ; p = 0,001).
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik ini juga didapatkan bahwa
kejang demam kompleks memiliki pengaruh positif bagi terjadinya penyakit
epilepsi dengan nilai koefisien β (B) sebesar 2,905. Sedangkan trauma kepala
memiliki pengaruh positif bagi terjadinya penyakit epilepsi dengan nilai koefisien
β (B) sebesar 2,794.
Pada penelitian ini memiliki keterbatasan karena pengambilan data yang
dilakukan secara subjektif (wawancara terstruktur menggunakan kuesioner)
sehingga hasil yang didapatkan kurang mempresentasikan faktor-faktor risiko
yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak. Sehingga pada penelitian
selanjutnya diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk memastikan
pengaruh tiap-tiap faktor risiko tersebut dalam terjadinya epilepsi pada anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa : variabel yang paling berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada
anak di Poli Anak RSUD Dr. Moewardi adalah kejang demam kompleks (OR
= 18,267 ; Cl 95% 5,393 s.d. 61,873 ; p = 0,000), variabel selanjutnya yang
berpengaruh dalam terjadinya epilepsi anak adalah riwayat trauma kepala
(OR = 16,341 ; Cl 95% 3,346 s.d. 79,801 ; p = 0,001).
B. Saran
1. Bagi orangtua sebaiknya mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat
mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak, yaitu kejang demam dan
trauma kepala. Penanganan demam yang benar harus diketahui orangtua
agar kejadian kejang demam tidak berlangsung. Sedangkan untuk trauma
kepala bisa dicegah dengan ditingkatkannya kewaspadaan orangtua dalam
menjaga anaknya. Dalam penelitian ini diketahui bahwa terjadinya trauma
kepala hampir seluruhnya akibat kelalaian orangtua dalam menjaga
anaknya.
2. Terdapat banyak faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya
epilepsi pada anak selain yang dijelaskan dalam penelitian ini, sehingga
perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor lain
yang berpengaruh dalam terjadinya epilepsi pada anak.