Download - Evi Elvira l
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUSFAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2015UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
DERMATITIS ATOPIK
OLEH:
EVI ELVIRA LATIF
10542 0196 10
PEMBIMBING :
dr. HELENA KENDENGAN, Sp.KK
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa:
Nama : Evi Elvira Latif
N I M : 10542 0196 10
Judul Referat : Dermatitis Atopik
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Ksehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Juni 2015
Pembimbing
(dr. Helena Kendengan, Sp.KK)
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah serta petunjuknya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas Laporan Kasus
ini. Salam dan salawat senantiasa tercurah kepada junjungan kita Baginda Nabiullah
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang
terang benderang seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Laporan Kasus ini merupakan suatu tugas yang berikan dalam rangka
kepaniteraan klinik, Penulis sadar, laporan kasus ini masih jauh dari ukuran
kesempurnaan oleh karena itu sangat dibutuhkan saran dan kritikan yang
membangun dari para pembaca guna kesempurnaan pembuatan laporan kasus penulis
selanjutnya.
Akhir kata, penulis uacapkan terima kasih kepada dokter pembimbing,
dr. Helena Kendengan, Sp.KK dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat
Wassalamualaikum wr.wb
Makassar, Juni 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul .................................................................................................. i
Lembar Pengesahan .............................................................................................. ii
Kata Pengantar ...................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG............................................................................... 1
B. DEFINISI.................................................................................................. 3
C. EPIDEMIOLOGI...................................................................................... 3
D. ETIOPATOGENESIS............................................................................... 4
E. GEJALA KLINIS...................................................................................... 7
F. DIAGNOSIS.............................................................................................. 10
G. DIAGNOSIS BANDING.......................................................................... 12
H. PENATALAKSANAAN.......................................................................... 14
I. PROGNOSIS............................................................................................. 17
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................ 18
A. IDENTITAS PASIEN............................................................................... 18
B. ANAMNESIS............................................................................................ 18
C. PEMERIKSAAN FISIK............................................................................ 19
D. DIAGNOSIS BANDING.......................................................................... 20
E. DIAGNOSIS.............................................................................................. 21
F. PENATALAKSANAAN.......................................................................... 21
G. RESUME................................................................................................... 21
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................... 23
Daftar Pustaka....................................................................................................... 26
iv
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul
bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderug
residif dan menjadi kronis.(1)
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan
kimia (contoh: detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar, suhu),
mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya
dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti.(1)
Istilah dermatitis banyak digunakan oleh para dermatologist yang
berorientasi pada sumber ilmu dari Amerika, digunakan untuk mengganti kata
“eksema” yang banyak dipakai di benua Eropa. Kata eksema sendiri telah lama
dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum masehi, berasal dari bahasa
Yunani “ekzein” yang berarti mendidih atau berbuih. Istilah eksema ini
barangkali digunakan untuk menggambarkan penyakit kulit yang beragam wujud
kelainan kulitnya, seperti air mendidih.(2)
Pada tahun 1933 Wise dan Silzberger menyebut penyakit kulit dengan
gejala seperti tersebut di atas sebagai dermatitis atopik, istilah yang untuk
selanjutnya dapat diterima sampai saat ini dan penyakit kulit ini harus dibedakan
dengan dermatitis eksematosa tipe kontak. Konsep atopi diperkenalkan pertama
kali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, sebagai suatu istilah yang dipakai
secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat keluarga terhadap
kepekaan tersebut.(2)
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat
kronis residif, dengan karakteristik rasa gatal yang hebat dan sering terjadi
kekambuhan. Umumnya sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak, dapat
1
berlanjut hingga dewasa. Kelainan kulit berupa gatal,eritema, edema,vesikel dan
luka pada stadium akut, tetapi pada stadium kronik ditandai likenifikasi.(3)
Kejadian dermatitis atopik menunjukkan kecenderungan yang terus
meningkat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di negara
industri, angka kejadian dermatitis atopik yang tinggi. Di Amerika, insiden
dermatitis atopik sebesar 0,7-2,4% dari populasi dan paling banyak terjadi pada
bayi dan anak. Di negara-negara Eropa, insiden pada anak (sampai 7 tahun) yang
lahir sebelum tahun 1960 kurang dari 3%, pada anak yang lahir antara 1960 dan
1970 sebesar 4-8%, dan pada anak-anak yang lahir sesudah tahun 1970 sebesar 8-
12%. Dari penelitian terakhir, insiden di Eropa menjadi 15%.(4)
Prevalensi DA pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka
prevalensi yang dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan
20,8% di Singapura. Survei di negara berkembang menunjukkan 10-20% bayi
dan anak menderita dermatitis atopik. Pada tahun 2000, di Indonesia ditemukan
23,67% kasus baru dermatitis atopik pada anak dari 611 kasus baru penyakit kulit
lainnya. Angka prevalensi dermatitis atopik di Indonesia juga bervariasi.
Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh Kelompok Studi Dermatologi
Anak (KSDAI) dari lima kota besar di Indonesia pada tahun 2000, dermatitis
atopik masih menempati peringkat pertama (23,67%) dari 10 besar penyakit kulit
anak dan dari sepuluh rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia. Pada tahun
2005 kejadian dermatitis atopik mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis
dermatitis.(3,5)
Data Rekam Medis RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia
di Makassar menunjukkan peningkatan jumlah kasus dermatitis atopik anak, 47
anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005, 108 anak di tahun 2006, dan 115
anak di tahun 2007. Prevalensi DA di negara berkembang dan peningkatan
insidensi DA di negara industri merupakan refleksi pengaruh lingkungan sebagai
faktor pencetus pada individu yang telah memiliki suseptibilitas genetik. (5)
2
B. DEFINISI
Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rhinitis alergik,
dermatitis atopik dan konjungtivitis alergik.(1)
Kata atopi diambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yang
tidak lazim, different atau out of place, dan istilah ini untuk menggambarkan
suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan
oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia.(2)
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak.
Sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (Dermatitis atopik, rhinitis alergik dan atau
asma bronkial).(1)
C. EPIDEMIOLOGI
Berbagai penelitaian menyatakan bahwa prevalensi dermatitis stopik
makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika
Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan negara industri lain, prevalensi dermatitis
atopi pada anak mencapai 10 – 20% , sedangkan pada dewasa kira-kira 1 – 3%.
Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi
dermatitis atopik jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita dermatitis
atopik daripada pria dengan rasio 1,3 : 1. Berbagai faktor lingkungan
berpengaruh terhadap prevalensi dermatitis atopik, misalnya jumlah keluarga
kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke
kota dan meningkatnya peggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah
penderita dermatitis atopik. Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak,
meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakag, sering mengalami
infeksi sewaktu kecil akan melindungi kemungkinan timbunya dermatitis atopi
pada kemudian hari.(1)
3
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari
seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami dermatitis atopik pada masa
kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari
separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan
meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Risiko mewarisi
dermatitis atopik lebih tinggi bila ibu yang menderita dermatitis atopik
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila dermatitis atopik yang dialami berlanjut
hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja
yaitu kira-kira 50%.(1)
D. ETIOPATOGENESIS
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya
sangat komplek, tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan sebagai
faktor pencetus kelainan ini misalnya faktor genetik, imunologik, lingkungan dan
gaya hidup, dan psikologi.(6)
1. Faktor Genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33
mengandung kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF,
yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan
penting dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas
transkripsi gen IL-4 mempengaruhi presdiposisi dermatitis atopik. Ada
hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan
dermatitis atopik, tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik.(1,6)
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak
diturunkan dari garis keturunan ibu dari pada garis keturunan ayah. Sejumlah
survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki
atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya. Darah
tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE
yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak
berhubungan dengan kenaikan darah tali pusat IgE.(7)
4
2. Faktor Imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik,
seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat,
adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta
diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopik dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik.(6)
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1,
Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi
ketidakseimbangan sel T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan
dibandingkan Th1 yang menurun.Hal ini menyebabkan produksi dari sitokin
Th 2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak
diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi peningkatan IgE dari sel plasma
dan penurunan kadar interferon-gamma.Dermatitis atopik akut berhubungan
dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang membantu
immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah
ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan
dalam perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis
atopik kronis.(6)
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan
imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama
terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell
untuk kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal
ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T
cell reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi
subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang
aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada
di sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan
5
alergen berikutnya IgE telah bersedia pada permukaan sel mast, sehingga
terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.Ikatan ini akan menyebabkan
degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik
yang telah tersedia seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi segera,
ataupun mediator baru yang dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2
dan lain sebagainya.(2)
Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam pathogenesis
dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan
membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai
sitokin.(2)
Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan
kemokin pro-inflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α )
dan interleukin 1 (IL-1) dari sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel
dendritik mengikat reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal
seluler yang mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel
vaskular. Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan
pelekatan pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang
meradang ke atas kulit. Sekali sel- sel yang inflamasi telah infiltrasi ke kulit,
sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh
kemokin yang diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi.(8)
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri,
virus, dan jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun).
Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita
dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang
dikeluarkannya merupakan superantigen yang diduga memiliki peran
patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag. Apabila
ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi
IgE spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal garuk
yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE
spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah
dermatitis atopik.(6)
6
3. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap
pravelensi dermatitis atopik. Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada
status sosial yang tinggi daripada status sosial yang rendah.Penghasilan
meningkat, pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah
keluarga kecil berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik.
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen mungkin
memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan polutan dan alergen
tersebut adalah:(6)
a. Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas
ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, penggunaan pendingin ruangan.
b. Alergen :
- Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah, serbuk sari
buah, bulu binatang, jamur kecoa.
- Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
- Mikroorganisme: Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, P.ovale,
Candida albicans,Trycophyton sp.
- Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel
4. Faktor Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi,
merasa tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun
demikian teori ini masih belum jelas.(6)
E. GEJALA KLINIS
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup,
kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis
meningkat. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus,dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya,
penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit
berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta.(1)
7
Lesi kulit akut ditandai dengan pruritus intensif, papua eritematosa
dengan eskoriasi, vesikel eritematosa pada kulit dan eksudat serosa. Lesi sub akut
ditandai dengan eritema, eskoriasi dan papul. Sedangkan lesi kronik ditandai
dengan plak yang menebal pada kulit, likenifikasi, dan papul fibrotik.(8)
Gambar 1. A. Pronounced weeping and crusting of eczematous lesions in childhood atopic dermatitis. B. Excoriated papules and crusting in a acute flare of atopic dermatitis.(8)
Gambar 2. Gambar 3.Erytematous papules in a Severe lichenification and hyperpigmented patient with subacute prurigo papules seen in a patient with atopic dermatitis(8) chronic dermatitis(8)
8
Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu : dermatitis atopi
infantil, dermatitis atopik pada remaja dan dewasa.(1)
1. Dermatitis Atopik Infantil (Usia 2 bulan sampai 2 tahun)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan, lesi mulai di muka (dahi,pipi) berupa eritema,
papulo-vesikel yang halus, karena gatal di gosok, pecah, eksudatif, dan
akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu skalp,
leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak,
lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk pada usia 2 bulan.
2. Dermatitis Atopik pada Anak ( usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infaltil, atau timbul sendiri (de novo).
Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Letak kelainan kulit pada lipat siku, lipat lutut, pergelangan
tangan, bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal
menyebabkan penderita sering menggaruk, dapat terjadi erosi, likenifikasi,
mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal.
3. Dermatitis Atopik pada Remaja dan Dewasa
Lesi kulit dapat berupa plak papular eritematosa dan berskuama, atau plak
likenifikasi yang gatal. Pada dermatitis atopik remaja lokalisasi lesi di lipat
siku, lipat lutut dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada dermatitis
dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir
(kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi
meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak
menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi
dengan sedikit skuama, dan sering terjadi eksoiasi dan eksudasi karena
garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.
9
F. DIAGNOSIS
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas berbagai
fenomena klinis yang tampak menonjol, terutama gejala gatal. George Rajka
menyatakan bahwa diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya
riwayat gatal. Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di
bidang imunologi maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai dimasukkan uji
alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan/uji alergik tersebut adalah uji tusuk
(=skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan pemeriksaan kadar IgE total
di dalam serum penderita dermatitis atopik.(2)
Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk dermatitis atopik
yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai sekarang masih
banyak digunakan.(6)
Kriteria Mayor (Harus memiliki 3 hal berikut)(1)
1. Pruritus
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
4. Dermatitis kronik atau residif
5. Riwayat atopi pada pederita atau keluarganya
Kriteria Minor (Ditambah 3 atau lebih kriteria minor)(1)
1. Xerosis
2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks)
3. Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
4. Iktiosis / hiperliniar palmaris / keratosis pilaris
5. Pitiriasis alba
6. Dermatitis di papilla mammae
7. White demographism dan delayed blanch response
8. Kelitis
9. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
10. Konjungtivitid berulang
11. Keratokonus
12. Katarak subskapular anterior
10
13. Orbita menjadi gelap
14. Muka pucat atau eritema
15. Gatal bila berkeringat
16. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
17. Aksentuasi perifolikuler
18. Hipersesitif terhadap makanan
19. Perjalanan penyakit dipenaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
20. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
21. Kadar IgE dalam serum meningkat
22. Awitan pada usia dini
Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria mayor dan
kriteria minor. Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu(1)
Tiga kriteria mayor berupa:
1. Riwayat atopi pada keluarga
2. Dermatitis di muka atau ekstensor
3. Pruritus
Ditambah tiga kriteria minor
1. Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
2. Aksentuasi perifolikuler
3. Fisura belakang telinga
4. Skuama di skalp kronis
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah
sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada
penelitian berbasis populasi karena kriteria minor umumnya ditemukan pada
kelompok kontrol, disamping itu belum divalidasi terhadap diagnosis dokter
atau diuji untuk pengulangan (repeatability).(1)
11
G. DIAGNOSIS BANDING
Sebagai diagnosis banding dermatitis atopik adalah: dermatitis seboroik
(terutama pada bayi), dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis,
psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), dermatitis herpetiformis, sindrom
saezary, dan penyakit Letterer-siwe. Pada bayi juga sindrom imunodefisiensi,
misalnya sindrom wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.(1)
1. Dermatitis Seboroik
Merupakan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat
predileksi di tempat-tempat seboroik.(1)
Gambar 4. Dermatitis Seboroik (8)
2. Dermatitis Kontak
Merupakan dermatitis kontak yaitu dermatitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit.
Gambar 5. DKI(9) Gambar 6. DKA(9)
12
3. Dermatitis Numularis
Dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau lonjong berbatas tegas
dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah hingga
basah.(1)
Gambar 7. Dermatitis Numularis(9)
4. Psoriasis
Merupakan penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin,
auspitz dan kobner.(1)
Gambar 8. Psoriasis(9)
13
5. Scabies
Merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi
terhadap sarcoptes scabiei var, hominis dan produknya.(1)
Gambar 9. Skabies (9)
H. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan medikamentosa dan non medikamentosa
ditujukan untuk memantau penyakit dengan cara mengurangi gatal, mengatasi
inflamasi, mengurangi kekeringan kulit, dan mengeliminasi faktor pencetus atau
yang memperberat penyakit.(10)
1. Pengobatan Medikamentosa
a. Obat Sistemik
Anti histamin (AH). Sebaiknya pada anak dipilih anti histamin jenis
klasik yang bersifat sedatif, contohnya Clorfeniramin maleat
(clorfenon) dan hidroksisin.
Anti histamin non sedasi dipilih untuk dewasa atau yang bekerja,
diantaraya ialah cetirizin, loratadin, terfenadin, feksofenadin.
Antibiotik, diberikan pada dermatitis atopik dengan infeksi sekunder,
seperti eritromisin, kloksasilin, metisilin, atau sefalosporin, maksimal
selama 2 minggu.
14
Kortikosteroid. Digunakan pada dermatitis atopik berat dan luas yang
sukar diatasi dengan anti histamin dan kortikosteroid topikal. Efek
samping pada anak adalah supresi pada axis hipotalamus-pituitari-
adrenal korteks (HPA) dan gangguan pertumbuhan tulang. Prednison
dengan dosis terapi 2 mg/kgbb cukup bermanfaat.(10)
b. Obat Topikal
Kortikosteroid topikal. Merupakan obat pilihan untuk dermatitis
atopik. Dianjurkan dari potensi yang ringan sampai sedang misalnya
hidrokortison, atau mometason furoat. Pada kasus yang berat dapat
diberikan potensi kuat, tetapi setelah satu minggu dosis diturunkan
perlahan-lahan.
Pelembab (moisturizing). Berbagai pelembab dapat digunakan antara
lain, gliserin, propilen glikol, urea, lanolin, vaselin, dan minyak
tumbuhan.
Antibiotik topikal. Digunakan bila terdapat infeksi sekunder ringan.
Dipilih antibiotik yang tidak digunakan pada terapi sistemik, yaitu
golongan as. Fusidat 5%, mupirosin 2%, dan kombinasi neomisin-
basitrasin-polimiksin B.(10)
2. Pengobatan Non Medikamentosa
Pengobatan dermatitis atopik secara komprehensif dan hilostik
penting pada penatalaksanaan dermatitis atopik, mengingat pengobatan lebih
ditujukan untuk mengendalikan penyakitnya. Edukasi pada pasien dan
keluarga ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup, cara menghindarkan
diri dari alergen, iritan, faktor lingkungan, dan memperbaiki kebiasaan hidup.(10)
3. Tatalaksana terhadap kemungkinan relaps
15
Dermatitis atopik termasuk penyakit kronis dan sering berulang. Oleh
karena itu, tatalaksana pencegahan yang tepat sangat diperlukan untuk
pencegahan terjadinya kambuh ulang (relaps). Pada dermatitis atopik,
terjadinya relaps dipengaruhi oleh beberapa faktor pencetus, yang bersifat
spesifik dan berbeda pada anak yang satu dengan anak lainnya. Oleh karena
itu, dalam upaya mencegah kambuhnya dermatitis atopik, maka perhatian
ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi berbagai faktor tersebut.
Tetapi karena penyebab dermatitis atopik belum dapat ditemukan dengan
jelas, maka upaya mencegah kekambuhan merupakan upaya yang sulit
dikerjakan dan memerlukan ketekunan penderita dan orang tuanya dibantu
dokter yang merawat.(4)
Penderita dermatitis atopik harus menghindari alergen hirup dan
pajanan pada bahan-bahan iritan, misalnya penggunaan sabun yang
mengandung asam dan basa kuat. Disamping itu, kekeringan kulit harus
dicegah dengan menggunakan emolien. Di daerah tropis seperti Indonesia,
alergen hirup di dalam rumah yang berpengaruh adalah Dermatophagoides
pteronyssinus, Dermato-phagoides farinae, dan debu rumah. Alergen hirup
tersebut banyak terdapat di kamar tidur, terutama di kasur, bantal, selimut,
karpet bulu, mainan anak yang berbulu, dan gorden. Karena itu, untuk
pencegahan pada anak kecil, jauhi mainan yang merupakan sumber debu,
atau bulu binatang, karpet yang kotor dan tirai, serta alas kasur harus sering
dicuci agar tidak menimbulkan debu.(4)
Sejumlah makanan, seperti susu, telur, ikan dan kacang-kacangan
sangat berperan terhadap terjadinya relaps dermatitis atopik, terutama pada
bayi dan anak kecil. Oleh karena itu, identifikasi makanan pencetus
dermatitis atopik harus dilakukan secara teliti melalui anamnesis dan
beberapa pemeriksaan khusus. Namun, eliminasi makanan esensial pada bayi
dan anak harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menimbulkan
malnutrisi. Bila orang tua pasien yakin bahwa makanan tertentu
menyebabkan dermatitis atopik pada anaknya, maka makanan tersebut harus
dihindari. Sebagai alternatif perlu dicari makanan pengganti lainnya yang
tidak menimbulkan keluhan atau kambuhnya dermatitis atopik.(4)
16
I. PROGNOSIS
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis
atopik.Ada kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa anak dan sering
ada yang kambuh pada masa dewasa.Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30
tahun.(1)
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis
atopik adalah(1)
1. Dermatitis atopik luas pada anak
2. Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial
3. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung
4. Awitan dermatitis atopik pada usia muda
5. Anak tunggal
6. Kadar IgE serum sangat tinggi.
BAB II
LAPORAN KASUS
17
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Mika Aulia LH
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 14 Agustus 2014
Umur : 10 bulan
BB : 7,3 kg
Nama Orang tua
Ayah : Suhriadi
Ibu : Hasminah
Tanggal Periksa : 16 Juni 2015
Alamat : BTN Aura
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis atau heteroanamnesis yaitu
informasi didapatkan dari ibu pasien.
1. Keluhan Utama
Bercak atau bintik merah pada kedua pipi, dada, lipatan siku dan lutut, serta
bagian pinggang dan bokong.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
pasien datang dengan keluhan munculnya bintik bintik atau bercak merah di
kedua pipi, dada, lipatan tangan dan kaki, serta bagian pinggang dan bokong
sejak 1 bulan yang lalu. Di bagian dada dan pinggang sudah muncul tanda
eksoriasi. Pasien pernah dibawa oleh ibunya berobat ke puskesmas, diberikan
obat namun keluhan muncul lagi. Dari keterangan ibunya, pasien lebih sering
menggaruk badannya pada saat malam hari.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti ini : disangkal oleh ibunya
18
Riwayat alergi : dari keterangan ibunya, pasien pernah
diberikan makanan bubur dicampur kuning
telur, tetapi keluhan muncul setelah 1 minggu
setelah diberi makanan kuning telur. Setelah
itu, pasien tidak lagi diberikan namun keluhan
tak kunjung berhenti.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Berdasarkan keterangan ibunya, ada sepupu dari pasien yang juga mengalami
gatal-gatal.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat dengan menggunakan BPJS, terlihat dari penampilan pasien,
kesan ekonomi baik.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Dermatologis
Lokasi : kedua pipi, dada, lipatan siku dan lutut, bagian pinggang dan bokong
Efloresensi : vesikel, eritema, eksoriasi
Pipi Dada
19
Lipatan Siku Lipatan Lutut
Daerah Pinggang dan Bokong
D. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatitis kontak
3. Dermatitis numularis
4. Psoriasis
5. Skabies
20
E. DIAGNOSIS
Dermatitis Atopik
F. PENATALAKSANAAN
R/ Erirtomisin 80 mg
CTM 2,5 mg
Methyl Prednisolon 1 mg
m.f pulv dtd no. XV
∫ 3 dd I
l
R/ Hydrocortison 2,5% no I
∫ u.e (2 x 1)
l
G. RESUME
Telah diperiksa seorang pasien dengan diagnosis Dermatitis Atopik
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Bercak atau bintik merah pada kedua pipi, dada, lipatan siku dan lutut,
serta bagian pinggang dan bokong.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
pasien datang dengan keluhan munculnya bintik bintik atau bercak merah
di kedua pipi, dada, lipatan tangan dan kaki, serta bagian pinggang dan
bokong sejak 1 bulan yang lalu. Di bagian dada dan pinggang sudah
muncul tanda eksoriasi. Pasien pernah dibawa oleh ibunya berobat ke
puskesmas, diberikan obat namun keluhan muncul lagi. Dari keterangan
ibunya, pasien lebih sering menggaruk badannya pada saat malam hari.
21
2. Pemeriksaan Fisik
Status Dermatologis:
Lokasi : kedua pipi, dada, lipatan siku dan lutut, bagian pinggang dan
bokong
Efloresensi : vesikel, eritema, eksoriasi
22
BAB III
PEMBAHASAN
Dari anamnesis yang telah dilakukan, diketahui bahwa pasien datang bersama
ibunya dengan keluhan munculnya bintik bintik atau bercak merah di kedua pipi,
dada, lipatan tangan dan kaki, serta bagian pinggang dan bokong sejak 1 bulan yang
lalu. Di bagian dada dan pinggang sudah muncul tanda eksoriasi. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa dermatititis atopik paling sering muncul pada tahun pertama
kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi dan pipi) berupa
eritem, vesikel dan kerena gatal sehingga di gosok dan muncul eksoriasi.
Dari pemeriksaan fisik telah ditemukan bercak atau bintik merah pada pipi,
dada, lipatan siku dan lutut serta bagian pinggang dan bokong. Berdasarkan
anamnesis ditambah dengan pemeriksaan fisik maka dapat ditegakkan diagnosis
yaitu Dermatitis Atopik. Berdasarkan predileksinya, lesi paling sering di pipi dan
terbukti pada pasien bahwa didapatkan lesi di kedua pipi. Pada kriteria diagnosis
telah memenuhi empat kriteria minor yaitu pruritus, Dermatitis di muka atau
ekstensor pada bayi dan anak, dermatitis kronis serta riwayat atopi pada keluarganya.
Ada beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding dengan Dermatitis
Atopik yaitu:
1. Dermatitis Seboroik
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan lesi pada
kepala, dimana ciri khas dari dermatitis seboroik paling sering di kepala
dan orang dewasa sedangkan pasien ini adalah seorang bayi berusia 10
bulan.
2. Dermatitis Kontak
Dari hasil anamnesis, tidak didapatkan pasien mengalami kontak dengan
zat-zat atau sesuatu yang bisa menyebabkan terjadinya lesi pada kulit
pasien.
3. Dermatitis Numular
Dari hasil pemeriksaan fisik, tidak didapatkan lesi berbentuk uang logam
sirkumskrip serta edematosa yang merupakan tanda khas dari dermatitis
numular.
23
4. Psoriasis
Dari pemeriksaan pada pasien, tidak ditemukannya skuama yang tebal
dan berlapis-lapis serta fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner yang
merupakan tanda-tanda dari psoriasis.
5. Skabies
Pada skabies terdapat cardinal sign berupa pruritus nokturnal, menyerang
secara berkelompok, terdapat terowongan serta menemukan tungau. Pada
pasien tidak ada ditemukan satu pun cardinal sign pada skabies.
Pada pasien ini, diberikan penatalaksanaan berupa, pengobatan sistemik dan
topikal. Pengobatan sistemik yang diberikan yaitu campuran dari eritromisin 80 mg,
CTM 0,35 mg/kgbb (7,3 kg x 0,35 mg = 2,5 mg) dan Methyl prednisolon 1 mg,
diberikan sebanyak tiga kali dalam sehari. Sedangkan pengobatan topikal yaitu
diberikan Hydrocortison 2,5% sebanyak 2 kali dalam sehari.
Selain terapi farmakologi, juga diberikan edukasi kepada orang tua pasien
berupa pencegahan terjadinya kambuh ulang (relaps). Pada dermatitis atopik,
terjadinya relaps dipengaruhi oleh beberapa faktor pencetus, yang bersifat spesifik
dan berbeda pada anak yang satu dengan anak lainnya. Oleh karena itu, dalam upaya
mencegah kambuhnya dermatitis atopik, maka perhatian ditujukan untuk
mengidentifikasi dan mengeliminasi berbagai faktor tersebut.
Penderita dermatitis atopik harus menghindari alergen hirup dan pajanan pada
bahan-bahan iritan, misalnya penggunaan sabun yang mengandung asam dan basa
kuat. Disamping itu, kekeringan kulit harus dicegah. Jauhi mainan yang merupakan
sumber debu, atau bulu binatang, karpet yang kotor dan tirai, serta alas kasur harus
sering dicuci agar tidak menimbulkan debu.
Sejumlah makanan, seperti susu, telur, ikan dan kacang-kacangan sangat
berperan terhadap terjadinya relaps dermatitis atopik, terutama pada bayi dan anak
kecil. Oleh karena itu, identifikasi makanan pencetus dermatitis atopik harus
dilakukan secara teliti melalui anamnesis dan beberapa pemeriksaan khusus.
24
Prognosis pada dermatitis atopik lebih buruk bila kedua orang tuanya
menderita dermatitis atopik.Ada kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa
anak dan sering ada yang kambuh pada masa dewasa.Sebagian kasus menetap pada
usia diatas 30 tahun.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Juanda, A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Anonym. Problematika Dermatitis Atopik. Available at : lpp.uns.ac.id visited on 18 juni 2015
3. Safarina, DD. (2014). “ Karakteristik Penderita Dermatitis Atopik di Poliklinik
RSUP dr. Kariadi Semarang “ Jurnal Media Medika Muda. 1 – 2
4. Bakhtiar. (2010). “Faktor Risiko, Diagnosis, dan Tatalaksana Dermatitis Atopik pada Bayi dan Anak” JKM. 9 (2). 188 – 196
5. Tabri, Farida. Yusuf, Irawan. Boediardja, A.S. Aspek Imunogenetik Dermatitis Atopik Pada Anak :Kontribusi Gen Ctla-4, Kecacingan Dan IL-10”. 2 – 3
6. Safarina, Diadra Danisa. (2014). “Karakteristik Penderita Dermatitis Atopik di Poliklinik RSUP dr. Kariadi Semarang” Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
7. Burns T. 2010. Rook’s Textbook Of Dermatology. Eighth Edition. Wiley – Blackwell.
8. Wolff, Klaus. Dkk. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition volumes 1 & 2. McGraw-Hill Medical Companies.
9. Wolff, Klaus dan Johnson, A.R. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth Edition. McGraw-Hill Medical Companies.
10. Daili, S.S.E. Menaldi, L.S. dan Wisnu. M.I. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia.
26