Download - Evaluasi Sistem Drainase Di Kota Kupang - 2
1
EVALUASI SISTEM DRAINASE KOTA KUPANG
Bernadeta Tea
ABSTRAK
Kesalahan dalam Sistem Drainase dapat menyebabkan terjadinya genangan air di suatu
lokasi, atau bahkan dapat berakibat pada bencana banjir pada musim penghujan. Oleh karena
itu, setiap perkembangan kota atau wilayah harus diikuti dengan perbaikan sistem drainase,
tidak cukup hanya pada lokasi yang dikembangkan, melainkan harus meliputi daerah
sekitarnya juga. Kota Kupang yang merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur,
tercatat juga sebagai kota yang terus menerus dilanda banjir pada musim penghujan setiap
tahunnya dan terdapat banyak daerah genangan air. Berdasarkan pembahasan makalah ini,
maka kesimpulan dari makalah ini, antara lain: (1) Permasalahan kesalahan drainase di kota
Kupang lebih disebabkan faktor kesalahan konstruksi fisik dari pola jaringan dan penerapan
dimensi saluran dan sistem saluran drainase, serta kurangnya perawatan yang dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat kota Kupang. (2) Agar sistem drainase di kota Kupang dapat
diperbaiki, maka bentuk evaluasi yang seharusnya dilakukan adalah melakukan pengurukan
sedimentasi dan membersihkan sampah pada saluran drainase yang menghambat arah aliran
air, mengatur kembali arah aliran saluran dengan menggunakan teknik land grading dan
smoothing agar tidak terjadi luapan pada saluran tersebut, mengubah saluran drainase terbuka
menjadi saluran drainase tertutup pada daerah yang padat penduduk untuk mencegah
pembuangan sampah yang dilakukan oleh masyarakat dan dapat mencegah penakit yang
mungkin ditimbulkan dari pembuangan air kotor, mengubah pola jaringan drainase sesuai
dengan karakteristik topografi wilayah agar arah aliran ke jaringan primer dapat berjalan
lancar.
Kata kunci: Drainase, Evaluasi Drainase, Kota Kupang
2
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Drainase didefinisikan sebagai
pembuangan air permukaan, baik secara
gravitasi maupun dengan pompa, dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya
genangan, menjaga dan menurunkan
permukaan air, sehingga genangan air
dapat dihindarkan. Drainase perkotaan
berfungsi mengendalikan kelebihan air
permukaan, sehingga tidak merugikan
masyarakat dan dapat memberikan manfaat
bagi kehidupan manusia. Kelebihan air
tersebut dapat berupa air hujan, air limbah
domestik maupun air limbah industri. Oleh
karena itu, drainase perkotaan harus
terpadu dengan sanitasi, sampah,
pengendali banjir kota dan lainnya
(Anonim, 2015).
Pada sebuah kota, Sistem Drainase
Perkotaan harus dikembangkan salurannya
sendiri, mulai dari turunnya air hujan,
masuk ke selokan/parit sampai dengan
meresap ke dalam tanah, kembali atau
mengalir ke sungai dan bermuara di laut.
Karena sebagai sistem, penanganan
drainase tidak dapat dilakukan secara
individual, wilayah per wilayah. Rencana
induk kota harus mampu mengintegrasikan
jaringan air mulai dari hulu sampai dengan
hilir. Oleh karena itu, kebijakan
pemerintah punya pengaruh yang besar
dalam hal memayungi prosedur-prosedur
standar pengendalian air, standar
penyambungan saluran air hujan, air
limbah, atau juga septictank rumah tangga.
Begitu juga dengan masyarakat, partisipasi
dan sikap proaktif akan menentukan
keberhasilan rencana induk kota.
Pengembangan permukiman di
perkotaan yang demikian pesatnya justru
makin mengurangi daerah resapan air
hujan, karena luas daerah yang ditutupi
oleh perkerasan semakin meningkat dan
waktu berkumpulnya air (time of
concentration) pun menjadi jauh lebih
pendek, sehingga pada akhirnya akumulasi
air hujan yang terkumpul melampaui
kapasitas drainase yang ada (Lo Russo,
2009). Kesalahan dalam Sistem Drainase
dapat menyebabkan terjadinya genangan
air di suatu lokasi, atau bahkan dapat
berakibat pada bencana banjir pada musim
penghujan (Wismarini dan Ningsih, 2010).
Saluran drainase dapat dikatakan
bermasalah ketika tidak mampu
mengakomodir debit ketika banjir. Banyak
faktor yang menyebabkan konstruksi
drainase tidak memenuhi kriteria aman.
Pertumbuhan kota dan perkembangan
industri menimbulkan dampak yang cukup
besar pada siklus hidrologi sehingga
berpengaruh besar terhadap sistem
drainase. Sebagai contoh, terdapat
perkembangan beberapa kawasan hunian
yang disinyalir sebagai penyebab banjir
dan genangan di lingkungan sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena perkembangan
urbanisasi menyebabkan perubahan tata
guna lahan, sedangkan siklus hidrologi
sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan
(Pungut dan Widyastuti, 2013). Oleh
karena itu, setiap perkembangan kota atau
wilayah harus diikuti dengan perbaikan
sistem drainase, tidak cukup hanya pada
lokasi yang dikembangkan, melainkan
harus meliputi daerah sekitarnya juga.
Banyak kawasan rendah yang semula
berfungsi sebagai tempat parkir air
(retarding pond) dan bantaran sungai kini
menjadi tempat hunian. Kondisi ini
akhirnya akan meningkatkan volume air
permukaan yang masuk ke saluran drainase
dan sungai. Hal ini dapat dilihat dari air
yang meluap dari saluran drainase, baik di
perkotaan maupun di permukiman, yang
menimbulkan genangan air atau bahkan
banjir (Anonim, 2015).
Kota Kupang yang merupakan ibukota
Provinsi Nusa Tenggara Timur, tercatat
juga sebagai kota yang terus menerus
dilanda banjir pada musim penghujan
3
setiap tahunnya dan terdapat banyak
daerah genangan air (Anonim, 2014).
Berbagai upaya pemerintah yang bersifat
struktural (structural approach), ternyata
belum sepenuhnya mampu menanggulangi
masalah banjir di kota Kupang.
Penanggulangan banjir umumnya
merupakan penyediaan bangunan fisik
pengendali banjir untuk mengurangi
dampak bencana dan kebijakan non fisik
yang mencakup partisipasi masyarakat
dalam penanggulangan banjir, namun
implementasinya dianggap belum baik dan
belum sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan keadaan lingkungan fisik,
sehingga efektifitasnya dipertanyakan.
Dinas Pekerjaan Umum Kota Kupang,
menyatakan bahwa banjir di kota Kupang
terjadi karena perubahan alih fungsi lahan
yang cukup besar untuk kawasan indutri
dan pemukiman mengakibatkan
tertutupnya lapisan tanah asli oleh lapisan
kedap air, sehingga merubah arah aliran air
permukaan yang menjadikan limpasan air
yang cukup besar apabila curah hujan
terlalu tinggi dan berujung pada terjadinya
banjir.
Berhubungan dengan pengembangan
sistem drainase perkotaan, maka banjir dan
genangan air yang terus terjadi di kota
Kupang mengindikasikan bahwa terdapat
kesalahan dengan pengembangan sistem
drainase di Kota Kupang yang tidak sesuai
dengan perkembangan lingkungan fisik
dan lingkungan sosial ekonomi kota,
sehingga perlu diadakannya evaluasi
terhadap sistem drainase di Kota Kupang.
Oleh karena itu, penulis terdorong untuk
menulis makalah yang berjudul “Evaluasi
Sistem Drainase Kota Kupang”.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan banjir atau genangan di
wilayah kota Kupang pada umumnya tidak
terlepas dari sistem pengelolaan drainase.
Akumulasi sampah dan sedimentasi, serta
perubahan fungsi lahan menjadi kawasan
permukiman dan industri menyebabkan
kapasitas saluran drainase yang ada tidak
dapat lagi menampung lagi limpasan air
hujan dan buangan kegiatan rumah tangga.
Wilayah Kota Kupang memiliki 21 titik
wilayah rawan banjir. Berdasarkan
frekuensi kejadiannya, banjir di daerah
tersebut adalah merupakan banjir rutin
yang selalu terjadi hampir setiap tahun
terutama pada saat musim hujan
sebagaimana yang disajikan pada gambar 1
berikut ini.
4
Gambar 1. Peta Rawan Bencana Kota Kupang.
Karakteristik sungai-sungai di kota
Kupang umumnya merupakan sungai
dengan gradien yang kecil sehingga aliran
permukaan lambat, kondisi geologi tertentu
yang terkait dengan kecepatan peresapan
air ke dalam tanah dari rendah hingga
tinggi, adanya sedimentasi pada badan
sungai sehingga daya tampung sungai
berkurang, serta pengaruh pasang surut air
laut. Sejauh ini kejadian banjir belum
menimbulkan dampak yang berarti,
karena daerah sekitar muara sungai-sungai
tersebut masih kurang berpenghuni.
Namun demikian, diketahui pula bahwa di
daerah rawan tersebut sudah memiliki
sistem drainase yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya banjir dan genangan
air akibat luapan air pada musim
penghujan sebagaimana yang disajikan
pada gambar 2 berikut:
5
Gambar 2. Peta Jaringan Drainase Kota Kupang.
Semua permasalahan mengenai
kelebihan air seperti banjir dan genangan
pada wilayah perkotan, merupakan bentuk
dari permasalahan drainase yang sangat
kompelks, sebab terjadinya banjir ataupun
genangan bukan saja disebabkan oleh
adanya masalah pada aspek teknis
(infrastruktur), namun juga terkait dengan
masalah lingkungan, sosial, ekonomi,
perilaku/budaya dan kelembagaan
masyarakat, sehingga pengendalian banjir
merupakan tanggung jawab semua pihak
dan harus dilakukan secara komprehensif.
Oleh karena itu, keberhasilan sistem
drainase perkotaan sangat bergantung pada
model perencanaan dan evaluasi yang
dilakukan.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan
di atas, maka penulis mencoba
merumuskan beberapa pokok
permasalahan dalam penulisan makalah
ini, yaitu:
1. Dimana letak kesalahan dari sistem
drainase di kota Kupang, sehingga
banjir dan genangan air terus terjadi?
2. Bagaimana bentuk pengembangan
sistem drainase yang seharusnya
dilakukan di kota Kupang?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini antara lain:
1. Mengetahui kesalahan dari sistem
drainase yang ada di kota Kupang.
6
2. Mengetahui bentuk pengembangan
sistem drainase yang sesuai dengan
karakteristik kota Kupang.
2. Pembahasan
2.1. Karakteristik Kota Kupang
2.1.1. Karakteristik Fisik
Kota Kupang merupakan ibu kota
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
terletak di Pulau Timor, tepatnya pada
10°36’14” - 10°39’58” Lintang Selatan dan
123°32’23” - 123°37’01” Bujur Timur.
Secara administratif, Kota Kupang terdiri
dari 4 Kecamatan dan 49 Kelurahan,
dengan luas wilayah 260,127
km²/26.012,74 Ha, terdiri dari matra darat
seluas 165,337 km²/16.533,70 Ha dan
Matra laut 94,790 km²/9.479,03 Ha.
Adapun tata batas administrasi wilayah
kota Kupang berdasar pemetaan dan
pemasangan patok tata batas wilayah kota
Kupang adalah:
1. Sebelah Utara: berbatasan dengan
Teluk Kupang.
2. Sebelah Selatan: berbatasan dengan
Kecamatan Kupang Barat dan
Kecamatan Nekamese Kabupaten
Kupang.
3. Sebelah Timur: berbatasan dengan
Kecamatan Kupang Tengah dan
Kecamatan Taebenu Kabupaten
Kupang.
4. Sebelah Barat: berbatasan dengan
Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang dan Selat Semau.
Pembagian wilayah administratif kota
Kupang ditunjukkan pada Tabel 1 dan
gambar 3 berikut ini.
Tabel 1. Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan Kota Kupang Menurut Kecamatan Tahun 2009 No Kelurahan Luas Wilayah (km²) Persentase (%)
1 Kecamatan Alak 70,397 42.58
Naioni 28,107 39,93
Manulai 2 17,314 24,60
Batupalat 7,433 10,56
Alak 10,449 14,84
Manutapen 1,371 1,95
Mantasi 0,200 0,28
Fatufeto 0,459 0,65
Nunhila 0,373 0,53
Nun Baun Delha 0,821 1,17
Nun Baun Sabu 1,422 2,02
Namosain 2,448 3,48
2 Kecamatan Maulafa 55,674 33.67
Fatukoa 16,775 30,13
Sikumana 4,123 7,41
B e l o 5,751 10,33
Kolhua 13,023 23,39
Penfui 7,247 13,02
Naimata 3,082 5,54
Maulafa 2,672 4,80
Oepura 2,097 3,77
Naikolan 0,904 1,62
3 Kecamatan Oebobo 20,913 12.65
Bakunase 2,054 9,82
Airnona 0,913 4,37
Naikoten I 1,142 5,46
7
Naikoten II 0,483 2,31
Kuanino 0,479 2,29
Nunleu 0,547 2,62
Fontein 0,570 2,73
Oetete 0,738 3,53
Oebobo 1,564 7,48
Fatululi 1,723 8,24
Oebufu 3,259 15,58
T D M 1,524 7,29
Kayu Putih 1,837 8,78
Liliba 4,079 19,50
4 Kecamatan Kelapalima 18,352 11.10
Airmata 0,304 1,66
L L B K 0,113 0,62
Bonipoi 0,140 0,76
Merdeka 0,113 0,62
Solor 0,150 0,82
Tode Kisar 0,168 0,91
Oeba 0,321 1,75
Fatubesi 0,397 2,16
Nefonaek 0,406 2,21
Pasir Panjang 0,933 5,08
Kelapa Lima 2,762 15,05
Oesapa 4,369 23,81
Oesapa Barat 2,225 12,13
Oesapa Selatan 1,118 6,09
Lasiana 4,834 26,34
Jumlah 165,337 100,00
Luas Matra Laut 94,790
LUAS KOTA KUPANG 260,127
Sumber : Kupang Dalam Angka 2009, BPS Kota Kupang
Luas Wilayah Hasil Perhtungan GIS Pada Citra Quickbird Kota Kupang 2009
8
Gambar 3. Peta Administrasi Kota Kupang
Peruntukan wilyah dari luas wilayah
kota Kupang adalah 735,57 Ha sebagai
kawasan Industri, 10.127,40 Ha kawasan
pemukiman, 5.090,05 Ha jalur hijau,
219,70 Ha perdagangan, 112,50 Ha
pergudangan, 480 Ha pertambangan, 670,1
Ha pelabuhan laut/udara, 275,67 Ha
pendidikan, 209,47 Ha
pemerintahan/perkantoran dan 106,54 Ha
untuk keperluan lain-lain (Anonim, 2014).
9
Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan Kota Kupang
Curah hujan rata-rata di wilayah Kota
Kupang berkisar antara 3 – 4 mm/tahun.
Curah hujan bulanan berkisar antara 2,4 –
236 mm dengan waktu curah hujan
minimum terjadi pada bulan Juli sekitar 2,4
mm, sedangkan curah hujan maksimum
terjadi di bulan Desember sekitar 236 mm.
Untuk lebih jelasnya mengenai curah hujan
dan hari hujan yang terjadi di Kota Kupang
dalam kurun waktu 10 tahun dapat dilihat
pada Tabel 2 dan 3 berikut ini.
Tabel 2. Data curah hujan rata-rata pada tahun 1999 – 2008 di kota Kupang No Bulan Tahun
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1. Januari 442,9 571,6 362,1 234,0 312,4 95,3 112,4 497,2 236,2 235,4
2. Pebruari 701,8 589,7 321,1 548,6 714,7 463,8 229,5 151,9 120,6 851,4
3. Maret 443,1 439,7 139,1 231,9 313,1 309,5 128,4 351,5 424,6 149,8
4. April 107,7 163,2 18,6 48,9 28,6 249,2 25,5 106,7 38,0 50,0
5. Mei 0,0 75,1 0,0 -- 0,0 12,7 2,1 40,5 0,0 -
6. Juni 0,0 0,0 49,4 -- 20,4 -- 0,0 8,3 11,2 8,6
7. Juli 0,0 -- 19,5 -- 0,2 -- -- - 2,4 -
10
8. Agustus 0,0 -- 0,0 -- -- -- -- - 0,0 -
9. September -- -- -- 42,9 0,2 -- -- - - 0,0
10 Oktober 60,9 26,0 29,3 -- 55,3 21,9 20,6 2,5 - 3,0
11 Nopember 184,1 156,8 192,8 131,8 108,3 113,8 113,4 40,3 64,4 130,8
12 Desember 220,1 157,9 195,9 146,7 663,9 284,2 297,9 245,5 236,5 481,0
Jumlah 2.160,8 2.180,0 1.327,8 1.384,8 2.217,1 1.550,4 929,8 1444,4 1.133.9 1910,0
Sumber : Kupang Dalam Angka 2000 - 2009, BPS Kota Kupang
Tabel 3. Hari hujan menurut bulan pada tahun 1999 – 2008 di kota Kupang
No Bulan TAHUN
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1. Januari 24 28 25 26 19 17 21 26 20 20
2. Pebruari 26 24 19 23 22 23 25 15 8 26
3. Maret 22 24 17 12 16 16 18 20 16 25
4. April 13 18 5 5 2 1 2 10 6 6
5. Mei 1 14 2 - 4 1 2 5 1 -
6. Juni 3 1 4 - 6 - 1 3 5 5
7. Juli 1 - 5 - 3 - - - 1 -
8. Agustus 1 - 1 - - - - - 1 -
9. September - - - 2 1 - - - - 1
10 Oktober 5 1 5 - 5 3 4 1 - 2
11 Nopember 13 18 16 7 9 10 15 3 11 19
12 Desember 22 11 16 18 25 19 26 18 22 24
JUMLAH 131 139 115 93 112 90 114 101 91 128
Sumber : Kupang Dalam Angka 2000 - 2009, BPS Kota Kupang
Secara topografis, Kota Kupang
sebagian besar berada pada ketinggian 100
– 350 m dpl pada bagian selatan,
sedangkan pada bagian utara berkisar
antara 0 – 50 m dpl, dengan tingkat
kemiringan antara 0 – 30 persen (Anonim
b, 2005). Gambaran sebaran kondisi
topografi wilayah Kota Kupang yang
ditunjukkan dari garis kontur dan titik tinggi
tempat-tempat yang berada di wilayah Kota
Kupang dapat dilihat pada gambar 5 berikut
ini.
11
Gambar 5. Peta Topografi Kota Kupang
Berdasarkan peta kondisi topografi
wilayahnya, maka bila disusun pembagian
atau klasifikasi informasi kemiringan
lereng dalam wilayah Kota Kupang
sebagai berikut :
1. Kemiringan lereng 0 – 10%
Wilayah kota Kupang yang memiliki
rentang kemiringan lereng 0 – 10%
tersebar pada wilayah-wilayah pesisir
pantai bagian barat dan utara. Dari bagian
barat dimulai dari daerah Tenau hingga
Tg. Bululutung, sepanjang pantai utara
Kota Kupang dari Namosain hingga
Lasiana. (dan Kearah Selatan), dan sedikit
bagian di wilayah Kota Kupang.
2. Kemiringan lereng 10 – 20%
Wilayah Kota Kupang dengan rentang
kemiringan lereng 10 – 20% tersebar di
wilayah bagian tengah kota.
3. Kemiringan lereng 20 - 30%
Wilayah Kota Kupang dengan rentang
kemiringan lereng 20 – 30% umumnya
tersebar di wilayah bagian selatan kota.
Jenis tanah di kota Kupang terdiri dari
bahan keras dan bahan non vulkanis, yakni
jenis mediteran/rencinal/liotsol (Anonim,
2014). Morfologi kota Kupang merupakan
dataran bergelombang yang didominasi
oleh daerah perbukitan sedimen. Kondisi
morfologi kota Kupang ditunjukkan pada
gambar 5 berikut ini.
12
Gambar 6. Peta Kondisi Morfologi Kota Kupang
Kestabilan lereng dari suatu
daerah/kawasan, antara lain dipengaruhi oleh
faktor yang berperan/berpengaruh terhadap
terjadinya gerakan tanah, yaitu faktor
dalam yang antara lain sifat fisik
tanah/batuan (termasuk tingkat
pelapukan batuan, tebal tanah
pelapukan, kesarangan tanah/batuan),
struktur geologi (kekar dan sesar) dan
kemiringan lereng, sedangkan faktor luar
yang dapat memicu terjadinya gerakan
tanah seperti curah hujan, vegetasi
penutup, penggunaan lahan, kegempaan,
penggalian/penambangan dan aktifitas
pembangunan lainnya (Anonim b, 2005).
Selanjutnya dengan memperhatikan faktor-
faktor di atas, maka wilayah kajian dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) zona potensi
gerakan tanah, seperti yang ditunjukkan
pada gambar 7 berikut ini.
13
Gambar 7. Peta Gerakan Tanah Kota Kupang
1. Zona Potensi Gerakan Tanah Rendah
a. Merupakan daerah dengan potensi
gerakan tanah rendah, tidak terdapat
lereng yang dapat terjadi gerakan
tanah, secara umum daerahnya stabil.
b. Meliputi daerah dataran pantai,
rawa, sungai dan daerah dataran
batuan sedimen, dengan kemiringan
lereng secara umum tidak lebih dari
5%, secara setempat pada tebing dan
lembah sungai ada kemiringan lereng
hingga mencapai 15%.
c. Daerah ini dibentuk oleh endapan
aluvial dan batu gamping koral,
kemampuan meresapkan air rendah
hingga tinggi dan tanah pelapukan batu
gamping relatif tipis (antara 0,5 – 1,0
meter).
d. Berada pada sudut lereng yang
tedal, seperti pada tebing dan
lembah sungai, lereng terpotong
bangunan/jalan, serta kondisi batuan
yang terkekarkan, dapat terjadi erosi
dan gerakan tanah (longsoran tanah dan
runtuhan batuan) dengan dimensi kecil.
2. Zona Potensi Gerakan Tanah
Menengah
a. Merupakan daerah dengan potensi
gerakan tanah sedang, dibanyak tempat
terdapat lereng-lereng yang
mempunyai kecenderungan untuk
terjadi gerakan tanah, secara umum
daerahnya kurang stabil.
14
b. Meliputi daerah dataran bergelombang
dan perbukitan berelief halus-sedang,
dengan kemiringan lereng antara 15 -
30%, secara setempat ada kemiringan
lereng lebih dari 30%.
c. Daerah ini dibentuk oleh batu gamping
koral dan napal, kemampuan
meresapkan air rendah dan tanah
pelapukan batuan relatif tebal hingga
2,0 meter dan ada yang lebih dari 2,0
meter, dan terutama pada napal dalam
keadaan basah bersifat mudah luruh
dan mudah hancur.
d. Kondisi alami lereng-lereng pada
daerah ini mudah untuk terjadi gerakan
tanah (longsor) yang diakibatkan oleh
faktor kemiringan lereng, kondisi
batuan dan keairan, dan apabila dipicu
oleh adanya gangguan pada lereng,
seperti pemotongan lereng untuk
bangunan, jalan, saluran air,
penggundulan vegetasi penutup dan
terjadinya erosi.
e. Gerakan tanah yang dapat terjadi
berupa longsoran bahan rombakan,
longsoran tanah, runtuhan batuan dan
rayapan tanah, dengan dimensi kecil
hingga cukup besar dan meliputi
daerah yang cukup luas.
3. Zona Potensi Gerakan Tanah Tinggi
a. Merupakan daerah dengan potensi
gerakan tanah tinggi, secara umum
kondisi lerengnya tidak stabil dan di
banyak tempat telah terjadi gerakan
tanah (longsor).
b. Meliputi daerah perbukitan berelief
kasar, dengan kemiringan lereng antara
30 -70%.
c. Daerah ini dibentuk oleh batu lempung
bersisik, tanah pelapukan batuan
ketebalannya antara 3,0 – 6,0 meter dan
setempat ada yang mencapai 10,0
meter, sebagian besar berupa material
lempung yang kedap air, tanah/batuan
dalam keadaan basah mudah luruh dan
membubur dan sebagian bersifat
mengembang.
2.1.2. Karakteristik Sosial
Jumlah penduduk di Kota Kupang
berdasarkan hasil proyeksi penduduk pada
tahun 2013 mencapai 378.425 jiwa.
Selama periode 2012 – 2013, laju
pertumbuhan penduduk per tahun
mengalami peningkatan dari 3,58% pada
tahun 2012 dan kemudian menjadi 4,58%
pada tahun 2013, dimana pada setiap km²
ditempati penduduk sebanyak 2.099 orang
pada tahun 2013. Secara singkat pola
penyebaran penduduk kota Kupang
ditunjukkan pada gambar 8 berikut ini.
15
Gambar 8. Peta Penyebaran Penduduk Kota Kupang
Salah satu bentuk masalah
kependudukan ditandai dengan
pertambahan penduduk yang
penyebarannya secara proporsional tidak
merata, perpindahan penduduk dari desa ke
kota (urbanisasi) juga akan menimbulkan
problema sosial, ekonomi, politik dan
budaya bagi kota yang didatangi dan desa
yang ditinggalkan serta struktur penduduk
yang lebih membesar pada usia muda.
Penduduk yang semakin bertambah
disertai arus urbanisasi yang tinggi, akan
menimbulkan masalah dalam hal
penyediaan sarana permukiman yang
mendesak, terutama di daerah perkotaan.
Di sisi lain, dengan bertambah pesatnya
pembangunan kota, dengan arus urbanisasi
yang tinggi dibarengi dengan terjadinya
kecenderungan meningkatnya
pembangunan industri baru menyebabkan
bertambahnya beban bagi lingkungan
perkotaan.
16
Gambar 9. Peta Intensitas Bangunan di Kota Kupang
Pembukaan industri baru
menyebabkan semakin berkurangnya
lahan untuk permukiman. Tingginya harga
tanah di pusat kota serta rendahnya
pendapatan per kapita menyebabkan
masyarakat cenderung mencari areal
permukiman di daerah pinggiran kota
dengan lingkungan yang tidak memadai,
serta sarana penunjang yang sangat minim.
Konsekuensi dari keadaan tersebut, maka
banyak orang yang terpaksa membangun
pada lahan yang tidak direncanakan
semula. Keadaan itu menjadikan
lingkungan perumahan tidak teratur dan
tidak memiliki prasarana yang jelas seperti
jalan lingkungan, sumber air
bersih, saluran pembuangan air kotor,
persampahan dan sebagainya. Suatu daerah
permukiman yang tidak memiliki prasarana
yang memadai akan menimbulkan berbagai
masalah baik ditinjau dari segi kesehatan,
keindahan dan kenyamanan, maupun dari
segi hukum yang berlaku. Dengan
demikian maka tidaklah mengherankan
jika pada suatu permukiman kumuh timbul
berbagai kasus dengan jumlah dan jenis
yang cukup tinggi (Tato, 2014). Pola
sebaran kawasan kumuh di kota Kupang
ditunjukkan pada gambar 10 berikut ini.
17
Gambar 10. Peta Intensitas Bangunan di Kota Kupang
2.2 Sistem Drainase
2.2.1. Pengertian
Drainase berasal dari bahasa Inggris
drainage yang berarti mengalirkan,
menguras, membuang atau mengalihkan
air. Dalam bidang teknik sipil, drainase
dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan
teknis untuk mengurangi kelebihan air,
baik yang berasal dari air hujan, rembesan,
maupun kelebihan air irigasi dari suatu
kawasan/lahan, sehingga fungsi
kawasan/lahan tidak terganggu.
Dirunut dari hulunya, bangunan sistem
drainase terdiri dari saluran penerima
(interceptor drain), saluran pengumpul
(collector drain), saluran pembawa
(conveyor drain), saluran induk (main
drain), dan badan air penerima (receiving
waters). Di sepanjang sistem sering
dijumpai bangunan lainnya, seperti
gorong-gorong, siphon, jembatan air
(aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air,
bangunan terjun, kolam tandon dan stasiun
pompa. Secara fungsional sulit
memisahkan secara jelas antara sistem
drainase dan pengendalian banjir, namun
secara praktis dapat dikatakan bahwa
drainase menangani kelebihan air sebelum
masuk ke alur-alur besar atau sungai. Saat
ini sistem drainase sudah menjadi salah
satu infrastruktur perkotaan yang sangat
penting. Kualitas manajemen suatu kota
dapat dilihat dari kualitas sistem drainase
yang ada, dengan sistem drainase yang
baik dapat membebaskan kota dari
genangan air.
18
2.2.2. Macam-macam Drainase
1. Menurut Asalnya
Menurut asalnya drainase dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Saluran alam (natural) b. Saluran buatan (artificial)
Gambar 11. Saluran Air Alami Gambar 12. Saluran Air Buatan
2. Menurut Konstruksi
a. Saluran terbuka
Lebih cocok untuk drainase air hujan yang
terletak di daerah yang mempunyai luasan
yang cukup, ataupun untuk drainase air
non-hujan yang tidak membahayakan
kesehatan/ mengganggu lingkungan.
Gambar 13. Saluran Drainase Terbuka
b. Saluran tertutup
Umumnya dipakai untuk aliran kotor (air
yang mengganggu kesehatan/lingkungan)
atau untuk saluran yang terletak di
kota/permukiman.
Gambar 14. Saluran Drainase Tertutup
2.2.3. Jenis-jenis Drainase
1. Land dan Smoothing
Land grading (mengatur tahap kemiringan
lahan) dan land smoothing (penghalusan
permukaan lahan) diperlukan pada areal
lahan untuk menjamin kemiringan yang
berkelanjutan secara sistematis yang
dibutuhkan untuk penerapan saluran
drainase permukaan. Studi menunjukkan
bahwa pada lahan dengan pengaturan
saluran drainase permukaan yang baik
akan meningkatkan jarak drainase pipa
sampai 50%, dibandingkan drainase pipa
tanpa dilakukan upaya pengaturan saluran
19
drainase permukaan terlebih dahulu. Untuk
efektifitas yang tinggi, pekerjaan land
grading harus dilakukan secara teliti.
Ketidakseragaman dalam pengolahan lahan
dan areal yang memiliki cekungan
merupakan tempat aliran permukaan (run
off) berkumpul, harus dihilangkan dengan
bantuan peralatan pengukuran tanah. Pada
tanah cekungan, air yang tak berguna
dialirkan secara sistematis melalui
saluran/parit (terbuka) yang disebut
sebagai saluran acak yang dangkal
(shallow random field drains), dari shallow
random field ditch air dialirkan lateral
outlet ditch, selanjutnya diteruskan
kesaluran pembuangan utama (Main outlet
ditch). Outlet ditch: umumnya saluran
pembuangan lateral dibuat 15 – 30 cm
lebih dalam dari saluran pembuangan acak
dangkal. Overfall: jatuh air dari saluran
pembuangan lateral ke saluran
pembuangan utama dibuat pada tingkat
yang tidak menimbulkan erosi, bila tidak
memungkinkan harus dibuat pintu air, drop
spillway atau pipa.
2. Drainase Acak (Random Field Drains)
Merupakan bentuk pengelolaan untuk
mengatasi masalah cekungan dan lubang-
lubang tempat berkumpulnya air. Lokasi
dan arah dari saluran drainase disesuaikan
dengan kondisi topografi lahan.
Kemiringan lahan biasanya diusahakan
sedatar mungkin, hal ini untuk
memudahkan peralatan traktor pengolah
tanah dapat beroperasi tanpa merusak
saluran yang telah dibuat. Erosi yang
terjadi pada kondisi lahan seperti di atas,
biasanya tidak menjadi masalah karena
kemiringan yang relatif datar. Tanah bekas
penggalian saluran, disebarkan pada bagian
cekungan atau lubang-lubang tanah untuk
mengurangi kedalaman saluran drainase.
3. Drainase Pararel (Pararelle Field
Drains)
Digunakan pada tanah yang relatif datar
dengan kemiringan kurang dari 1 – 2 %.
Sistem ini dikenal sebagai sistem
bedengan. Saluran drainase dibuat secara
pararel dan kadang kala jarak antara
saluran tidak sama. Hal ini tergantung dari
panjang dari barisan saluran drainase untuk
jenis tanah pada lahan tersebut, jarak dan
jumlah dari tanah yang harus dipindahkan
dalam pembuatan barisan saluran drainase
dan panjang maksimum kemiringan lahan
terhadap saluran (200 meter).
2.2.4. Pola Jaringan
1. Siku
Dibuat pada daerah yang mempunyai
topografi sedikit lebih tinggi dari pada
sungai. Sungai sebagai saluran pembuang
akhir berada akhir berada di tengah kota.
Gambar 15. Pola Jaringan Siku Drainase
2. Pararel
Saluran utama terletak sejajar dengan
saluran cabang. Dengan saluran cabang
(sekunder) yang cukup banyak dan
pendek-pendek, apabila terjadi
perkembangan kota, saluran-saluran akan
dapat menyesuaikan diri.
Gambae 16. Pola Jaringan Pararel Drainase
20
3. Grid Iron
Untuk daerah yang sungainya terletak di
pinggir kota, sehingga saluran-saluran
cabang dikumpulkan dulu pada saluran
pengumpulan.
Gambar 17. Pola Jaringan Grid Iron Drainase
4. Alamiah
Sama seperti pola siku, hanya beban sungai
pada pola alamiah lebih besar
Gambar 18. Pola Jaringan Alamiah Drainase
5. Radial
Pada daerah berbukit, sehingga pola
saluran memencar ke segala arah.
Gambar 19. Pola Jaringan Radial Drainase
2.2.5. Fungsi Drainase Perkotaan Secara
Umum
1. Mengeringkan bagian wilayah kota dari
genangan sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif.
2. Mengalirkan air permukaan ke badan
air penerima terdekat secepatnya.
3. Mengendalikan kelebihan air permukan
yang dapat dimanfaatkan untuk
persedian air dan kehidupan akuatik.
4. Meresapkan air permukaan untuk
menjaga kelestarian air tanah
(konservasi air).
5. Melindungi sarana dan prasarana yang
sudah terbangun.
2.2.6. Berdasarkan Fungsi Layanan
1. Sistem Drainase Lokal
Yang termasuk sistem drainase lokal
adalah saluran awal yang melayani suatu
kawasan kota tertentu seperti permukiman,
areal pasar, perkantoran, areal industri dan
komersial. Sistem ini melayani areal
kurang dari 10 ha. Pengelolaan sistem
drainase lokal menjadi tanggung jawab
masyarakat, pengembang atau instansi
lainnya.
2. Sistem Drainase Utama
Yang termasuk dalam sistem drainase
utama adalah saluran drainase primer,
sekunder, tersier beserta bangunan
pelengkapnya yang melayani kepentingan
sebagian besar warga masyarakat.
Pengelolaan sistem drainase utama
merupakan tanggung jawab pemerintah
kota.
3. Pengendalian Banjir (Flood Control)
Sungai yang melalui wilayah kota yang
berfungsi mengendalikan air sungai,
sehingga tidak mengganggu dan dapat
memberi manfaat bagi kehidupan
masyarakat. Pengelolaan pengendalian
menjadi tanggung jawab Direktorat
Jenderal SDA.
2.2.7. Berdasarkan Fisiknya
1. Sistem Saluran Primer
Adalah saluran utama yang menerima
masukan aliran dari saluran sekunder.
Dimensi saluran ini relatif besar. Akhir
saluran primer adalah badan penerima air.
2. Sitem Saluran Sekunder
Adalah saluran terbuka atau tertutup yang
berfungsi menerima aliran air dari saluran
tersier dan limpasan air dari permukaan
sekitarnya, dan meneruskan air ke saluran
21
primer. Dimensi saluran tergantung pada
debit yang dialirkan.
3. Sitem Saluran Tersier
Adalah saluran drainase yang menerima air
dari saluran drainase lokal.
2.2.8. Pembangunan Sistem Drainase
1. Prinsip Utama
Kapasitas sistem harus mencukupi, baik
untuk melayani pengaliran air ke badan
penerima air, maupun ntuk meresapkan air
ke dalam tanah. Untuk mencapai kapasitas
yang memadai dilakukan perencanaan
berdasarkan prinsip hidrologi dan
hidrolika. Pembangunan sistem drainase
perkotaan perlu memperhatikan fungsi
drainase sebagai prasarana kota yang
didasarkan pada konsep berwawasan
lingkungan. Konsep ini antara lain
berkaitan dengan usaha konservasi sumber
daya air, yang pada prinsipnya
menendalikan air hujan agar lebih banyak
yang diresapkan ke dalam tanah sehingga
mengurangi jumlah limpasan, antara lain:
a. Dengan membuat bangunan resapan
buatan, kolam retensi dan penataan
lansekap. Pembuatan Kolam Retensi
dan Sistem Polder disusun dengan
memperhatikan faktor sosial ekonomi
antara lain perkembangan kota dan
rencana prasarana dan sarana kota.
Kelayakan pelaksanaan Kolam Retensi
dan Sistem Polder harus berdasarkan
tiga faktor antara lain : biaya
konstruksi, biaya operasi dan biaya
pemeliharaan.
b. Sedapat mungkin menggunakan sistem
gravitasi, hanya dalam hal sistem
gravitasi tidak memungkinkan, baru
digunakan sistem pompa.
c. Meminimalisasi pembebasan lahan.
d. Meminimalkan aliran permukaan dan
memaksimalkan resapan.
e. Letak sistem memenuhi kriteria
perkotaan dan memiliki kesempatan
untuk perluasan sistem. Dalam
pelaksanaannya harus mempehatikan
segi hidrolik dan tata letak dalam
kaitannya dengan prasarana lainnya
(jalan dan utilitas kota).
f. Stabilitas sistem harus terjamin, baik
dari segi struktural, keawetan sistem
dan kemudahan dalam operasi dan
pemeliharaan.
2. Parameter Penentuan Prioritas
Penanganan
Parameter genangan, meliputi tinggi
genangan, luas genangan, dan lamanya
genangan terjadi.
Parameter frekuensi terjadinya genangan
setiap tahunnya.
3. Faktor Medan dan Lingkungan
a. Topografi: Pembangunan drainase pada
daerah datar harus memperhatikan
sistem pengaliran dan ketersediaan air.
b. Kestabilan tanah: pembangunan di
daerah lereng pegunungan harus
memperhatikan masalah longsor yang
disebabkan oleh kandungan air tanah.
4. Rencana Induk
Rencana Induk sistem drainase perkotaan
adalah perencanaan menyeluruh sistem
drainase pada suatu wilayah perkotaan,
untuk perencanaan 25 tahun. Lingkupnya
adalah sistem drainase utama saja yang
berada dalam suatu daerah administrasi.
5. Studi Kelayakan
Perencanaan sistem drainase perkotaan
satu atau lebih daerah pengaliran air untuk
waktu 5 atau 10 tahun.
6. Lingkupnya diarahkan pada daerah
prioritas yang telah ditentukan dalam
rencana induk.
Kajian meliputi kelayakan teknik,
kelayakan keuangan/sosial ekonomi,
kelayaan kelembagan serta kelayakan
lingkungan.
22
7. Perecanaan Teknik
Perencanaan teknis dibuat untuk daerah
prioritas yang telah mempunyai studi
kelayakan atau rencana kerangka (outline
plan). Jangka waktu perencanaan untuk 2
sampai 5 tahun. Rencana teknis harus
membuat persyaratan teknis dan gambar
teknis, kriteria perencanaan dan langkah-
langkah konstruksi.
Dalam perencanaan dan pembangunan
suatu drainase perlu strategi yang dapat
diandalkan sehingga sistem drainase
berjalan dengan lancar tanpa timbulnya
permasalahan di kemudian hari. Adapun
yang harus diperhatikan yaitu:
1. Penyiapan rencana induk sistem
drainase yang terpadu antara sistem
drainase utama maupun lokal dengan
pengaturan dan pengelolaan sungai.
2. Mengembangkan sistem drainase yang
berwawasan lingkungan. Adapun
gambar alur perencanaanya sebagai
berikut:
Gambar 20. Perencanaan Drainase
2.3. Evaluasi Drainase Kota Kupang
Saluran drainase di Kota Kupang
terdiri dari jaringan drainase saluran
tertutup dan saluran drainase terbuka.
Kondisi yang sudah ada ini dianggap sudah
tidak mampu lagi mengatasi aliran
pembuangan air permukaan. Dalam
kaitannya untuk mengalirkan limpasan air
permukaan/hujan serta pencegahan banjir
dan genangan, di wilayah Kota Kupang
dilalui oleh beberapa aliran sungai dan
prasarana saluran drainase yang dibangun
pemerintah kota. Selanjutnya dalam
mengalirkan air permukaan, sungai/kali di
kota Kupang didukung oleh prasarana
saluran drainase yang dibangun berupa
saluran buatan (berkonstruksi beton) dan
saluran alam (tanah) dengan lebar saturan
23
relatif lebih kecil (0,5 – 1 meter). Saluran
ini biasanya menerus pada pinggiran
sepanjang jalan-jalan utama di Kota
Kupang. Badan sungai dan jaringan
drainase di Kota Kupang selain berfungsi
menerima dan mengalirkan limpahan air
permukaan juga berfungsi sebagai tempat
pembuangan limbah domestik, industri
maupun aktivitas perkotaan lainnya
(Anonim b, 2005).
Hasil Analisis Satuan
Kemampuan Lahan (SKL) sistem Drainase
kota Kupang yang dilakukan oleh Bappeda
kota Kupang, menyatakan bahwa sebagian
besar lahan di kota Kupang tidak
mempunyai kemampuan dalam
meresapkan dan memasukan air hujan ke
dalam tanah, di samping itu juga kondisi
tanah yang selalu jenuh air, sehingga pada
lahan ini kemungkinan untuk terjadi
genangan air sangat besar, terutama pada
daerah dataran, sehingga di daerah-daerah
tersebut terdapat lahan yang sering
mengalami banjir terutama pada musim
hujan maupun tergenang pada saat pasang
air laut (banjir rob), padahal daerah dataran
rendah ini umumnya terdapat
perkampungan penduduk yang
berkelompok dan cukup rapat (Anonim b,
2005). Selain itu, menurut pengamatan
yang dilakukan oleh penulis disimpulkan
kegagalan sistem drainase di kota Kupang
juga disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
1. Masyarakat pada umumnya masih
banyak yang menganggap bahwa
saluran air hujan itu adalah sebagai
tempat untuk membuang sampah
dengan harapan bahwa sampah
tersebut akan hanyut oleh air banjir.
2. Pembangunan kawasan pemukiman
yang umumnya tidak memperhatikan
area peresapan atau infiltrasi air
permukaan, karena lebih banyak
diganti dengan semen sebagai lapisan
kedap air.
Gambar 21. Pola pemukiman di kota Kupang pada area rawan banjir
3. Arah aliran air ang tidak disesuaikan
dengan keadaan topografi sehingga air
tidak mengalir dengan baik kea rah
saluran yang lebih besar, sehingga
menyebabkan genangan ataupun
luapan air.
Gambar 22. Keadaan arah aliran drainase di kota Kupang pada area rawan banjir
24
4. Adanya sedimen/lumpur yang tertimbun di dasar saluran.
Gambar 23. Keadaan sedimen dalam saluran drainase di kota Kupang
5. Adanya ketidaktepatan pola jaringan
drainase berdasarkan karakteristik fisik
dalam suatu wilayah tertentu.
Dalam perkembangannya penanganan
drainase tidak hanya berkaitan dengan
teknik-teknik pembuangan air berlebih
yang berasal dari air hujan saja, tapi juga
menyangkut semua hal yang mencakup
keberadaan air di darat termasuk
didalamnya adalah buangan air kotor yang
berasal dari aktifitas kehidupan masyarakat
sehari-hari, sehingga tidak dapat
terpisahkan dari aspek sanitasi. Di kota
Kupang sendiri dirasakan bahwa perhatian
terhadap prasarana buangan air kotor
(prasarana sanitasi) relatif kurang jika
dibandingkan dengan prasarana yang lain.
Disadari atau tidak, masih sering terlihat
sistem buangan air kotor yang menyatu
dengan buangan air hujan. Hal ini akan
dapat menimbulkan permasalahan yang
cukup serius berkaitan dengan kesehatan
lingkungan yang selanjutnya akan
menurunkan derajat kesehatan masyarakat.
Untuk itu perlu kiranya dikuasai
pengetahuan dan teknologinya yang dapat
menyelesaikan permasalahan buangan air
kotor dan air hujan ini secara baik. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut di atas,
maka permasalahan drainasi menyangkut
berbagai hal, baik yang merupakan aspek
fisik atau kondisi alam setempat maupun
menyangkut aspek-aspek yang lebih luas
berkaitan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hal yang telah
dipaparkan di atas, maka bentuk perbaikan
dari hasil evaluasi yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan pengurukan sedimentasi
dan membersihkan sampah pada
saluran drainase yang menghambat
arah aliran air.
2. Mengatur kembali arah aliran saluran
dengan menggunakan teknik land
grading dan smoothing agar tidak
terjadi luapan pada saluran tersebut.
3. Mengubah saluran drainase terbuka
menjadi saluran drainase tertutup pada
daerah yang padat penduduk untuk
mencegah pembuangan sampah yang
dilakukan oleh masyarakat dan dapat
mencegah penakit yang mungkin
ditimbulkan dari pembuangan air kotor.
4. Mengubah pola jaringan drainase
sesuai dengan karakteristik topografi
wilayah agar arah aliran ke jaringan
primer dapat berjalan lancar.
3. Penutup
3.1.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan
pada bab sebelumnya, maka kesimpulan
dari makalah ini, antara lain:
1. Permasalahan kesalahan drainase di
kota Kupang lebih disebabkan faktor
kesalahan konstruksi fisik dari pola
25
jaringan dan penerapan dimensi saluran
dan sistem saluran drainase, serta
kurangnya perawatan yang dilakukan
oleh pemerintah maupun masyarakat
kota Kupang.
2. Agar system drainase di kota Kupang
dapat diperbaiki, maka bentuk evaluasi
yang seharusnya dilakukan adalah
melakukan pengurukan sedimentasi
dan membersihkan sampah pada
saluran drainase yang menghambat
arah aliran air, mengatur kembali arah
aliran saluran dengan menggunakan
teknik land grading dan smoothing
agar tidak terjadi luapan pada saluran
tersebut, mengubah saluran drainase
terbuka menjadi saluran drainase
tertutup pada daerah yang padat
penduduk untuk mencegah
pembuangan sampah yang dilakukan
oleh masyarakat dan dapat mencegah
penakit yang mungkin ditimbulkan dari
pembuangan air kotor, mengubah pola
jaringan drainase sesuai dengan
karakteristik topografi wilayah agar
arah aliran ke jaringan primer dapat
berjalan lancar.
3.2.Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis
dari hasil penulisan makalah ini, antara
lain:
1. Agar pemerintah segera dapat
melakukan perbaikan konstruksi fisik
dari saluran drainase yang ada di kota
Kupang.
2. Agar masyarakat dengan kesadaran
yang lebih tinggi dapat lebih
berpartisipasi dalam menjaga dan
merawat keadaan saluran drainase yang
sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1991. Tata Cara Perencanaan
Umum Drainase Perkotaan. Standar
Nasional Indonesia Nomor SNI 2-
2406-1991. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.
Anonim, 2000. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2001. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2002. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2003. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2004. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2006. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2007. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2008. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2009. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2014. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim, 2015. Drainase Berwawasan
Lingkungan. Kementrian Pekerjaan
Umum. Jakarta.
Anonim a, 2005. Kota Kupang Dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kota.
Kupang
Anonim b, 2005. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Kupang. Badan
Perencanaan Daerah. Kupang
26
Lo Russo, S., 2009, Groundwater in the
Urban Environment: Management
Needs and Planning Strategies.
American Journal of Environmental
Sciences 5, 3:493-499
Pungut., Sri Widyastuti, 2013. Pengaruh
Artificial Recharge Melalui Lubang
Resap Biopori Terhadap Muka Air
Tanah. Jurnal Teknik Waktu Volume
11 Nomor 01 – Januari 2013 – ISSN :
1412-1867.
Tato, Syahriar, 2014. Pemukiman Kumuh
Perkotaan (Problematika Pemukiman
Kumuh Perkotaan).
www.linarbojun.com
Wismarini, Dwiati., Dewi Ningsih, 2010.
Analisis Sistem Drainase Kota
Semarang Berbasis Sistem Informasi
Geografi dalam Membantu
Pengambilan Keputusan bagi
Penanganan Banjir. Fakultas
Teknologi Informasi. Universitas
STikubank. Semarang.