UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL P-METOKSISINAMAT HASIL ISOLASI DARI
RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.)PADA SEDIAAN SALEP, KRIM, DAN GEL
SKRIPSI
CHARINNA AGUS PRABAWATI1111102000057
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTAOKTOBER 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL P-METOKSISINAMAT HASIL ISOLASI DARI
RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.)PADA SEDIAAN SALEP, KRIM, DAN GEL
SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
CHARINNA AGUS PRABAWATI1111102000057
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTAOKTOBER 2015
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah benar hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar.
Nama : Charinna Agus Prabawati
NIM : 1111102000057
Tanda Tangan :
Tanggal :16 Oktober 2015
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Charinna Agus PrabawatiNIM : 1111112000057Program Studi : FarmasiJudul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil
Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.)pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel
Disetujui oleh
Pembimbing I
Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt.NIP. 198310282009012008
Pembimbing II
Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt.NIP. 197806302006042001
Mengetahui,
Kepala Program Studi FarmasiFakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah jakarta
Yardi, Ph.D., Apt.197411232008011014
v
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:Nama : Charinna Agus PrabawatiNIM : 1111102000057Program Studi : FarmasiJudul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil
Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.)pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelarSarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran danIlmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HidayatullahJakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 : Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. ( )
Pembimbing 2 : Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. ( )
Penguji 1 : Lina Elfita, M.Si., Apt. ( )
Penguji 2 : Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. ( )
Ditetapkan di : CiputatTanggal : 16 Oktober 2015
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Charinna Agus PrabawatiProgram Studi : FarmasiJudul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil
Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.)pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel
Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan senyawa isolat terbesar dari ekstrakminyak atsiri kencur (Kaempferia galanga L.) yang memiliki aktivitasantiinflamasi. Pada penelitian ini EPMS diformulasikan ke dalam tiga bentuksediaan setengah padat untuk tujuan terapi lokal antiinflamasi. Efek optimal darisediaan yang telah dibuat dapat dinilai dari daya penetrasi obat melalui kulitteratas melalui uji penetrasi secara in vitro. Tujuan penelitian ini adalah untukmelihat profil pelepasan EPMS dari pembawanya, mempelajari pengaruhperbedaan formulasi sediaan tehadap kecepatan penetrasi EPMS melalui membrandifusi, dan menentukan sediaan dengan daya penetrasi EPMS tertinggi. EPMSdiisolasi dari ekstrak n-heksan kencur melalui tahap pemisahan kristal danpencucian kristal. Kemurnian isolat kristal EPMS di uji dengan metode KLT, titikleleh dan Kromatografi Gas Spetrofotomeri Massa (GC-MS). Kristal EPMS hasilisolasi kemudian diformulasikan ke dalam sediaan salep, krim dan gel dengankadar 1% pada masing-masing sediaan. Kadar EPMS dalam sediaan ditetapkandengan metode Spektrofotometri UV-Vis. Pengujian penetrasi in vitro dilakukandengan alat sel difusi franz menggunakan membran difusi berupa kulit tikus galurSprague Dawley. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kristal isolat darikencur adalah murni EPMS 100%. Kadar EPMS dalam sediaan salep, krim, dangel berturut-turut yaitu 0,86%, 1,03% dan 1,00%. Persentase jumlah kumulatifEPMS yang terpenetrasi per luas area pada jam ke-6 dari sediaan salep, krim dangel berturut-turut yaitu 49,71 ± 3,85%, 77,29 ± 3,01%, dan 89,98 ± 4,82%.Kecepatan penetrasi EPMS pada jam ke-6 dari sediaan salep, krim, dan gelberturut-turut yaitu 45,22 ± 3,50 µgcm-2jam-1, 84,39 ± 3,29 µgcm-2jam-1 dan 98,24± 5,26 µgcm-2jam-1. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaangel memiliki daya penetrasi tertinggi diikuti sediaan krim dan salep.
Kata kunci : EPMS, kencur (Kaempferia galanga L.), krim, gel,salep, penetrasi, sel difusi franz
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Charinna Agus PrabawatiStudy Program : PharmacyTitle : Penetration Ability Evaluation of Ethyl p-
Methoxycinnamate that Isolated from Kencur Rhizome(Kaempferia galanga L.) in The Ointment, Cream andGel Dosage Forms
Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the main isolate compound from essensialoil of kencur (Kaempferia galanga L.) extract that has anti-inflammatory activity.In this study, EPMC was formulated in the three kinds of semi solid dosage formswith the purpose of local therapy. The optimum effect of semi solid dosage formsthat had been made can assessed from penetration ability of the drugs through topskin layer by in vitro penetration test. This research aims to see the releasingprofile of EPMC from its carriers, studied influence of different formulationtoward flux penetration of EPMC through diffusion membrane, and deciding thekind of dosage form that has the highest penetration ability of EPMC. EPMC wasisolated from n-hexane extract of kencur rhizome through separation of crystalsand crystal purification stages. The purity of isolate EPMC crystals was examinedby TLC, melting point and Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS)method. The isolate EPMC crystals was prepared in ointment, cream and geldosage forms with 1% concentration of EPMC respectively. EPMC concentrationin all of the dosage forms was determined by spectrophotometry UV-Vis method.Penetration ability test was examined by in vitro franz diffusion cell test uses ratsSprague Dawley strain skin as membrane diffusion. The results of this researchshown that the isolate crystals of kencur is pure 100% EPMC. The percentageconcentration of EPMC in ointment, cream and gel were 0,86%, 1,03% and1,00% respectively. The percentage total cumulative penetration of EPMC fromointment, cream and gel preparation at 6th hour were 49,71 ± 3,85%, 77,29 ±3,01%, and 89,98 ± 4,82% respectively. Flux penetration of EPMC fromointment, cream and gel preparation at 6th hour were 45,22 ± 3,50 µgcm-2jam-1,84,39 ± 3,29 µgcm-2jam-1 and 98,24 ± 5,26 µgcm-2jam-1 respectively. Based onthe result, it can be concluded that penetration ability of gel dosage form is higherthan ointment and cream.
Keywords : EPMC, kencur (Kaempferia galanga L.), cream, gel,ointment, penetration, franz diffusion cell
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi
Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel”. Shalawat dan
salam senantiasa terlimpah kepada junjungan, Nabi Muhammad SAW, teladan
bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan.
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir guna mendapatkan gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada penulisan
skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan serta dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan dan
kesungguhan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Arif Sumantri S.K.M., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Yardi, Ph.D., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. Sebagai Pembimbing I dan Ibu Ismiarni
Komala, Ph.D., Apt sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,
ilmu, nasihat serta dedikasinya selama masa penelitian hingga penulisan
skripsi.
4. Bapak Surya, Bapak Mono, dan Bapak Endang dari PT. Iratco yang telah
membantu dalam memperoleh bahan penelitian.
5. Seluruh dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan
pengetahuan yang telah diberikan.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Agus Sutaji dan Ibunda Lusia Suratini
yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang, doa yang tidak pernah
terputus serta dukungan moral dan materi terbaiknya untuk penulis.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. drh. Bima Febryan Nugroho yang telah membantu menyiapkan bahan
penelitian, senantiasa memberikan nasihat dan semangat, doa yang tidak
pernah terputus serta dukungan moral untuk penulis.
8. Seluruh anggota keluarga, Tante Herma, Om Eko, Nenek dan Kakek, Bayu,
Luthfi, Shofi yang senantiasa memberi kasih sayang, nasihat, hiburan serta
dukungan baik moral maupun materi untuk penulis.
9. Segenap laboran FKIK yang telah banyak membantu penulis melakukan
penelitian di laboratorium.
10. Happy, Beryl, Arum dan Kak Mentari yang selalu ada dan tak henti
memberikan semangat serta saran kepada penulis selama masa penelitian.
11. Teman-teman seperjuangan “Geng Unyils” (Diyah dan Robbani) atas
kebersamaan, bantuan, dan saran yang telah diberikan kepada penulis.
12. Rekan-rekan Mahasiswai S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan 2011, yang telah menjadi bagian penting hidup penulis selama
menjalankan perkuliahan.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah
membantu dengan ikhlas baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
proses penelitian dan penulisan skripsi.
Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan
balasan dari Allah SWT.Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini
masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga ilmu dan pengetahuan yang penulis
tuangkan dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan sejawat dan
semua pihak yang membutuhkan, serta menjadi keberkahan tersendiri bagi penulis.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis,
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGASAKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Charinna Agus Prabawati
NIM : 1111102000057
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya, dengan judul :
EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL P-METOKSISINAMAT HASIL
ISOLASI RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.) DARI
SEDIAAN SALEP, KRIM DAN GEL
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain, yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di: Ciputat
Pada tanggal: 16 Oktober 2015
Yang menyatakan,
(Charinna Agus Prabawati)
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HalamanHALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... ii
HALAMAN PENYATAAN ORISINILITAS .................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v
ABSTRAK .......................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
2.1 Kencur ............................................................................................ 4
2.1.1 Taksonomi Tumbuhan ........................................................ 4
2.1.2 Habitat Tumbuh .................................................................. 5
2.1.3 Morfologi Tanaman ............................................................ 5
2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan ....................................... 6
2.2 Senyawa Etil p-Metoksisinamat dan Aktivitasnya ........................ 7
2.3 Kulit ............................................................................................... 8
2.3.1 Anatomi Kulit ..................................................................... 8
2.3.2 Fisiologi dan Fungsi Kulit ................................................ 11
2.4 Penetrasi Obat Melalui Kulit ........................................................ 14
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Sediaan Salep ............................................................................... 16
2.6 Sediaan Krim ................................................................................ 18
2.7 Sediaan Gel .................................................................................. 21
2.8 Formulasi Sediaan Setengah Padat .............................................. 24
2.8.1 Lanolin Hidrat ................................................................... 24
2.8.2 Setil Alkohol ..................................................................... 25
2.8.3 Vaselin Album .................................................................. 25
2.8.4 Asam Stearat ..................................................................... 26
2.8.5 Isopropil Miristat .............................................................. 26
2.8.6 Minyak Zaitun .................................................................. 26
2.8.7 Vitamin E .......................................................................... 27
2.8.8 Karbopol 940 .................................................................... 27
2.8.9 Natrium Metabisulfit ........................................................ 28
2.8.10 Metil Paraben dan Propil Paraben .................................... 29
2.8.11 Trietanolamin .................................................................... 30
2.8.12 Propilen Glikol .................................................................. 30
2.8.13 Alkohol 96 % .................................................................... 31
2.9 Ekstrak dan Ekstraksi ................................................................... 32
2.9.1 Maserasi ............................................................................ 33
2.8.7 Vaccum Rotary Evaporator .............................................. 33
2.10 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro Menggunakan Sel DifusiFranz ............................................................................................. 34
2.11 Spektrofotometri UV-Vis ............................................................. 35
2.12 Kromatografi Lapis Tipis ............................................................. 36
2.13 Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa (GC-MS) ................. 38
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................... 40
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 40
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 40
3.2.1 Alat ................................................................................... 40
3.2.2 Bahan ................................................................................ 40
3.3 Prosedur Kerja .............................................................................. 41
3.3.1 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat ............................... 41
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.1.1 Pengambilan Sampel .......................................... 41
3.3.1.2 Penyiapan Simplisia ........................................... 41
3.3.1.3 Ekstraksi ............................................................. 42
3.3.1.4 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat dari ekstrakKencur ................................................................ 42
3.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat ... 42
3.4.1 Pemeriksaan Organoleptis ................................................ 42
3.4.2 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................... 43
3.4.3 Pengujian Titik Leleh ....................................................... 43
3.4.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa ........... 43
3.5 Pembuatan Sediaan ...................................................................... 43
3.5.1 Sediaan Salep ................................................................... 44
3.5.2 Sediaan Krim .................................................................... 44
3.5.3 Sediaan Gel ...................................................................... 45
3.6 Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan .............. 46
3.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalamMetanol ............................................................................. 46
3.6.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan 47
3.7 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro .......................................... 47
3.7.1 Penyiapan Membran Difusi .............................................. 47
3.7.2 Pembuatan Larutan EDP ................................................... 48
3.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalamLarutan EDP ..................................................................... 48
3.7.4 Uji Penetrasi Sediaan ........................................................ 49
3.7.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan PenetrasiZat Aktif ............................................................................ 49
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 51
4.1 Isolasi kristal Etil p-Metoksisinamat ............................................ 51
4.1.1 Pembuatan Ekstrak Kencur ............................................... 51
4.1.2 Isolasi kristal Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur 52
4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat ... 52
4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis ................................................ 53
4.2.2 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ..................... 53
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.3 Pengujian Titik Leleh ....................................................... 54
4.2.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa ..... 54
4.3 Pembuatan Sediaan ...................................................................... 56
4.3.1 Pembuatan Sediaan Salep ................................................. 56
4.3.2 Pembuatan Sediaan Krim ................................................. 57
4.3.3 Pembuatan Sediaan Gel .................................................... 58
4.4 Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan ............. 58
4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalamMetanol ............................................................................. 59
4.4.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan 59
4.5 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro .......................................... 60
4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalamLarutan EDP ..................................................................... 60
4.5.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus ............. 60
4.5.3 Pengujian Penetrasi Etil p-Metoksisinamat ...................... 61
4.5.4 Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi Per Luas Area . 63
4.5.5 Fluks Penetrasi .................................................................. 66
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 68
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 68
5.2 Saran ............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
HalamanGambar 2.1 Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) ...................................... 4
Gambar 2.2 Struktur Etil p-Metoksisinamat ......................................................... 7
Gambar 2.3 Anatomi Kulit ................................................................................... 9
Gambar 2.4 Rute Penetrasi Obat Melalui Kulit .................................................. 15
Gambar 2.5 Kompartemen Sel Difusi Franz ...................................................... 34
Gambar 2.6 Skema Kromatografi Lapis Tipis .................................................... 38
Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) ....... 51
Gambar 4.2 Kristal Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi .................................... 53
Gambar 4.3 Spot Senyawa Etil p-Metoksisinamat pada Plat Silica Gel F254nmVisualisasi Sinar UV λ 254 nm ....................................................... 54
Gambar 4.4 Kromatogram Standar Etil p-Metoksisinamat ................................ 55
Gambar 4.5 Kromatogram Isolat Kristal Etil p-Metoksisinamat ........................ 56
Gambar 4.6 Sediaan Salep, Krim, dan Gel dengan Kandungan EPMS 1% ....... 58
Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kumulatif Etil p-Metoksisinamat yang BerdifusiPer Luas Area .................................................................................. 63
Gambar 4.8 Grafik Fluks Penetrasi Etil p-Metoksisinamat yang Berdifusi TiapSatuan Waktu................................................................................... 67
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 3.1 Formula Sediaan Salep ...................................................................... 44
Tabel 3.2 Formula Sediaan Krim Struktur Etil p-Metoksisinamat ................... 44
Tabel 3.3 Formula Sediaan Gel ......................................................................... 45
Tabel 4.1 Jumlah Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area dariSediaan Salep, Krim dan Gel ............................................................ 63
Tabel 4.2 Persentase Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area .. 64
Tabel 4.3 Fluks Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Tiap Satuan Waktu .............. 66
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
HalamanLampiran 1. Kerangka Penelitian ...................................................................... 76
Lampiran 2. Bagan Alur Ekstraksi Rimpang Kencur ....................................... 77
Lampiran 3. Bagan Alur Rekristalisasi dan Karakterisasi Kristal EPMS ......... 78
Lampiran 4. Gambar Alat Penelitian ................................................................ 79
Lampiran 5. Gambar Uji Difusi ........................................................................ 79
Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Kristal...................................................... 80
Lampiran 7. Nilai Luas Puncak dan Persentase |Kadar Etil p-Metoksisinamat 80
Lampiran 8. Data Hasil Uji Titik Leleh ............................................................. 81
Lampiran 9. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-Metoksisinamatdalam Metanol .............................................................................. 81
Lampiran 10. Data Absorbansi Kurva Standar EPMS dalam Metanol ............... 81
Lampiran 11. Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol ................. 82
Lampiran 12. Data Hasil Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan ..................... 82
Lampiran 13. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-metoksisinamatdalam Larutan EDP ...................................................................... 83
Lampiran 14. Data Absorbansi Kurva Standar EPMS dalam Larutan EDP ....... 83
Lampiran 15. Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ......... 84
Lampiran 16. Data Hasil Uji Difusi Salep .......................................................... 84
Lampiran 17. Data Hasil Uji Difusi Krim ........................................................... 85
Lampiran 18. Data Hasil Uji Difusi Gel ............................................................. 85
Lampiran 19. Data Fluks Penetrasi Salep ........................................................... 86
Lampiran 20. Data Fluks Penetrasi Krim ............................................................ 87
Lampiran 21. Data Fluks Penetrasi Gel .............................................................. 87
Lampiran 22. Uji Statistik Anova Persentase EPMS Terpenetrasi Perluas Area 88
Lampiran 23. Uji Statistik Anova Fluks Penetrasi .............................................. 92
Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kadar EPMS dalam Sediaan Gel ................. 96
Lampiran 25. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas AreaSampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 10 .................................. 98
Lampiran 26. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas AreaSampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30 .................................. 99
xviii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 27. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas AreaSampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30 ................................ 100
Lampiran 28. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji .............................................101
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu dari lima jenis
tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia. Kencur
merupakan tanaman obat yang bernilai ekonomis cukup tinggi sehingga banyak
dibudidayakan. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan pengembangan
pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan produk
akhir yang diinginkan (Rostiana et al., 2005).
Penelitian Hasanah dkk (2011) melaporkan bahwa ekstrak rimpang kencur
ternyata memiliki aktivitas antiinflamasi. Dalam studi in vitro yang dilakukan
oleh Umar et al., (2012) menyatakan bahwa efek antiinflamasi kencur terutama
berasal dari komponen aktifnya yaitu etil p-metoksisinamat (EPMS). EPMS
secara non-selektif menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2, dimana
enzim ini berguna dalam pembentukan prostaglandin yang merupakan mediator
inflamasi (Gosal et al., 2012).
Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Umar et al., (2014). EPMS
yang diisolasi dari kencur memiliki efek analgesik dan antiinflamasi yang
signifikan melalui mekanisme utama penghambatan sintesis de novo cytokines
pro-inflamatory, meliputi TNF-α dan IL-1. Efek ini juga melibatkan
penghambatan fungsi vital sel endogen seperti proliferasi, migrasi dan sintesis dari
vaskular endotel growth factor. Dengan demikian, EPMS dapat menjadi
precursor potensial untuk pengembangan agen terapi dengan potensi untuk
mengobati penyakit yang melibatkan peradangan.
Berdasarkan hasil uji efektivitas antiinflamasi in vitro dengan metode uji
inhibisi denaturasi Bovine Serum Albumin (BSA) yang dilakukan oleh Mufidah
(2014) melaporkan bahwa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi dengan nilai
IC50 34,9 ppm. Hal ini turut memvalidasi potensi EPMS sebagai precursor agen
terapi antiinflamasi sebagaimana dijelaskan pada penelitian William et al., (2008)
bahwa suatu senyawa dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi jika memberikan
% inhibisi > 20% dengan rentang konsentrasi uji 50-0,035 ppm.
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Banyaknya penelitian yang memperkuat bukti bahwa EPMS memiliki
aktivitas antiinflamasi mendasari dilakukannya formulasi sediaan antiinflamasi
dengan zat aktif EPMS hasil isolasi dari ekstrak kencur. Bentuk sediaan setengah
padat dipilih karena dinilai memiliki efek samping yang lebih sedikit dan
kemampuan melekat yang cukup baik dan tahan lama serta pengaplikasiannya
yang mudah dibandingkan dengan sediaan topikal lainnya seperti, linimen, lotio
dan bedak (Asmara dkk, 2012). Selain itu, pemilihan bentuk sediaan ini juga
mengacu pada bentuk sediaan anti inflamasi topikal yang beredar di pasaran.
Menurut ISO Indonesia Vol. 49 (2014-2015), sediaan topikal antiinflamasi
terbanyak di pasaran yaitu bentuk sediaan krim dengan persentase sebesar 79%,
sediaan gel 11%, sediaan salep hanya 2% dan 18% sisanya terdiri dari bentuk
sediaan lainnya. Pemilihan bentuk salep, krim dan gel memiliki tujuan untuk
terapi lokal inflamasi. Tujuan terapi lokal hanya membutuhkan penetrasi obat
melalui kulit pada organ atau jaringan tertentu tubuh yang mengalami gangguan,
dengan harapan hanya sedikit atau tidak ada obat yang terakumulasi di sistemik
(Ranade et. al, 2004). Selain itu ketiga bentuk sediaan tersebut merupakan suatu
alternatif untuk menghindari variabilitas ketersediaan hayati obat pada
penggunaan peroral (Ramadon, 2012).
Salah satu cara untuk melihat efek yang optimal dari sediaan setengah
padat adalah dengan melihat penetrasi obat melalui lapisan kulit teratas sehingga
efek farmakologinya dapat dirasakan (Iswandana, 2011). Faktor-faktor yang
mempengaruhi penetrasi obat melalui kulit antara lain profil pelepasan obat dari
pembawanya, afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam
pembawa dan pH pembawa. Pada penelitian Iswandana (2011) yang mengacu
pada artikel yang ditulis oleh Witt, K & Buck, D (2003) menyatakan bahwa
penelitian daya penetrasi secara in vitro merupakan cara termudah dan hemat
dalam mengkarakterisasi absorpsi dan penetrasi obat melalui kulit. Hal tersebut
diperlukan untuk pengembangan formula sediaan setengah padat agar diperoleh
formula yang terbaik.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan evaluasi daya
penetrasi EPMS dari sediaan salep, krim dan gel. Pengujian daya penetrasi
dilakukan terhadap tiga formulasi sediaan tersebut menggunakan alat sel difusi
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
franz dengan tujuan untuk membandingkan daya penetrasi dari ketiga bentuk
sediaan. Selanjutnya akan dihitung nilai persentase kumulatif dan kecepatan
penetrasi EPMS dari sediaan, kemudian ditentukan sediaan yang paling baik
sebagai pembawa EPMS berdasarkan parameter persentase kumulatif zat aktif
terpenetrasi per luas area dan kecepatan penetrasi zat aktif melalui membran
difusi.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah profil pelepasan etil p-metoksisinamat yang
terkandung dalam sediaan salep, krim, dan gel?
b. Bagaimanakah pengaruh perbedaan formulasi sediaan salep, krim, dan
gel terhadap kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui
membran difusi?
c. Sediaan setengah padat manakah yang memiliki daya penetrasi
senyawa etil p-metoksisinamat tertinggi?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Melihat profil pelepasan senyawa aktif etil p-metoksisinamat pada
sediaan salep, krim dan gel.
b. Mempelajari pengaruh perbedaan formulasi sediaan salep, krim dan
gel terhadap kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui
membran difusi.
c. Menentukan sediaan setengah padat yang memiliki daya penetrasi
senyawa aktif etil p-metoksisinamat tertinggi.
1.4 Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Meningkatkan nilai manfaat isolat rimpang kencur etil p-
metoksisinamat sebagai precursor agen terapi untuk mengobati
penyakit yang melibatkan peradangan.
b. Meningkatkan efektivitas terapi lokal inflamasi senyawa aktif etil p-
metoksisinamat.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kencur
2.1.1 Taksonomi Tumbuhan (USDA)
Kedudukan kencur (Kaempferia galanga L.) dalam sistematika
(Taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.)[Sumber : koleksi pribadi]
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Traecheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
Sub Kelas : Commenlinidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae (Suku jahe-jahean)
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga Linn.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.2 Habitat Tumbuh
Kencur merupakan terna kecil yang tumbuh subur di daerah dataran
rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur dan tidak terlalu banyak air.
Kencur tumbuh dan berkembang pada musim tertentu, yaitu pada musim
penghujan. Kencur dapat ditanam di dalam pot atau di kebun yang cukup sinar
matahari, tidak terlalu basah dan di tempat terbuka (Depkes RI, 1987)
Kencur tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, sedikit berpasir dan
subur. Namun kencur cukup toleran terhadap tanah yang tidak terlalu subur.
Bahkan pada musim kemarau panjang, kencur masih dapat bertahan hidup, namun
tampak seolah mati suri. Di musim kemarau, semua daunnya mengering, tetapi
rimpang kencur masih dapat bertahan. Saat hujan atau disirami air, maka tunas
akan tumbuh kembali (Muhlisah, 1999).
2.1.3 Morfologi Tanaman
Kencur (Kaempferia galanga L.) termasuk dalam tanaman jenis empon-
empon yang mempunyai daging buah paling lunak, tidak berserat, berwarna putih,
dan kulit luarnya berwarna coklat. Rimpang kencur mempunyai aroma yang
spesifik (Anonim, 1987). Kencur merupakan terna yang hampir menutupi tanah,
tidak berbatang, rimpang bercabang-cabang, berdesak-desakan, akar-akar
berbentuk gelendong, kadang-kadang berumbi, panjang 1-1,5 cm. Daun berbentuk
jorong lebar sampai hampir bundar, pangkal hampir berbentuk jantung, ujung
lancip, bagian atas tidak berambut, bagian bawah berambut halus, pinggir
bergelombang berwarna merah kecoklatan, bagian tengah berwarna hijau, pinggir
helai daun 7-15 cm, lebar 2-8 cm, tangkai pendek, berukuran 3-10 mm, pelepah
terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, warna putih (Depkes, 1977). Jumlah
helaian daun kencur tidak lebih dari 2-3 lembar dengan susunan berhadapan
(Anonim, 1987). Perbungaan, panjang 4 cm, bunganya tersusun setengah duduk
dengan mahkota bunga berjumlah antara 4 sampai 12 buah, bibir bunga berwarna
lembayung dengan warna putih lebih dominan dan mengandung 4-12 bunga.
Kelopak berbentuk tabung, panjang lebih kurang 3 cm, bergerigi 2-3 buah. Tajuk
berwarna putih dengan tabung panjang 2,5-5 cm, ujung berbelah-belah berbentuk
pita, panjang 2,5-3 cm, lebar 1,5-3 mm (Depkes, 1977).
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sampai saat ini karakteristik utama yang dapat dijadikan sebagai pembeda
kencur adalah daun dan rimpang. Berdasarkan ukuran daun dan rimpangnya,
dikenal 2 tipe kencur, yaitu kencur berdaun lebar dengan ukuran rimpang besar
dan kencur berdaun sempit dengan ukuran rimpang lebih kecil. Biasanya kencur
berdaun lebar dengan bentuk bulat atau membulat, mempunyai rimpang dengan
ukuran besar pula, tetapi kandungan minyak atsirinya lebih rendah daripada
kencur yang berdaun kecil berbentuk jorong dengan ukuran rimpang lebih kecil.
Salah satu varietas unggul kencur dengan ukuran rimpang besar adalah varietas
unggul asal Bogor (Galesia-1) yang mempunyai ciri sangat spesifik dan berbeda
dengan klon dari daerah lain yaitu warna kulit rimpang cokelat terang dan daging
rimpang berwarna kuning, berdaun membulat, ujung daun meruncing dengan
warna daun hijau gelap (Rostiana et al., 2005).
2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan
Rimpang tumbuhan kencur mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan
minyak atsiri (Depkes, 2001). Kencur mengandung pati (4,14 %), mineral (13,73
%), minyak atsiri (0,02 %) berupa sineol, asam metil kanil dan penta dekan, asam
sinamat, etil ester, borneol, kamphen, paraeumarin, asam anisat, alkaloid, dan gom
(Anonim, 1987).
Menurut Umar et al., (2012) kandungan kimia dalam ekstrak minyak atsiri
kencur diantaranya ialah asam propionate (4,71%), pentadekan 2,08%), asam
tridekanoat &(1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%), dan
komponen terbesar adalah etil para metoksisinamat (80,05%). Selain itu pada
penelitian Tewtrakul et al.,(2005) juga disebutkan bahwa terdapat kandungan a-
pinen, kamphen, karvon, benxen, eukaliptol, borneol dan metil sinamat.
Sebagai tanaman obat, kencur memberikan manfaat cukup banyak
terutama rimpangnya. Rimpang kencur berkhasiat untuk obat batuk, gatal-gatal
pada tenggorokan, perut kembung, rasa mual, masuk angin, pegal-pegal,
pengompresan bengkak, tetanus, penambah nafsu makan dan juga sebagai
minuman segar. Kencur dapat pula mengobati penyakit radang lambung, radang
telinga pada anak, influenza pada bayi, sakit kepala, menghilangkan darah kotor,
diare, memperlancar haid, mata pegal, keseleo, lelah (Anonim, 1987).
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berbagai penelitian terbaru mengungkap banyak manfaat kencur lainnya,
diantaranya penelitian Tewtrakul et al., (2005) menyatakan ekstrak minyak kencur
memiliki aktivitas anti mikroba dan antifungi. Ekstrak metanol kencur memiliki
toksisitas terhadap larva dan pupa Anopheles stephensi dan juga berpotensi
sebagai repellent (Dhandapani et al., 2011). Ekstrak air dari kencur ternyata
memiliki aktivitas sebagai antinosiseptif dan antiinflamasi (Sulaiman et al., 2008).
Ekstrak alkohol dari kencur diteliti memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi dan
analgesik (Vittalrao et al., 2011), juga memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka
(Tara V et al., 2006)
2.2 Senyawa Etil p-Metoksisinamat dan Aktivitasnya
Etil p-metoksisinamat adalah suatu ester yang mengandung cincin benzen
dan gugus metoksi yang bersifat non polar dan mengandung gugus karbonil yang
mengikat etil yang bersifat semi polar. Hal ini menyebabkan senyawa ini mampu
larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran bervariasi seperti etanol, etil
asetat, metanol, air dan n-heksan. (Taufikurohmah, Rusmini, Nurhayati, 2008)
Gambar 2.2 Struktur etil p-metoksisinamat[Sumber : www.chemicalbook.com]
Etil p-metoksisinamat atau C12H14O3 termasuk turunan asam sinamat,
dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoad. Etil p-
metoksisinamat sebelumnya dimanfaatkan sebagai bahan tabir surya (Windono
Jany, Widji, 1997), namun dewasa ini telah diteliti lebih lanjut bahwa etil p-
metoksisinamat merupakan senyawa isolat kencur yang memiliki aktivitas sebagai
antiinflamasi non-selektif menghambat COX-1 dan COX-2 secara in vitro (Umar
et al., 2012).
Senyawa etil p-metoksisinamat berbentuk kristal berwarna putih, berbau
aromatik khas lemah dengan berat molekul 206.4 g/mol dan memiliki titik lebur
49°C (Umar et al., 2012).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Etil p-metoksisinamat (EPMS) menghambat induksi edema karagenan
pada tikus dengan MIC 100mg/kg dan juga berdasarkan hasil uji in vitro, etil p-
metoksisinamat secara non-selektif menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2,
dengan masing-masing nilai IC50 1,12 µM dan 0,83 µM. Hasil ini memvalidasi
aktivitas anti-inflamasi kencur yang dihasilkan oleh penghambatan COX-1 dan
COX-2 (Umar et al, 2012)
2.3 Kulit
Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki
fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan
dari luar (Tranggono, 2007). Kulit adalah bagian terluas dari tubuh, terhitung
lebih dari 10% dari massa tubuh dan bagian yang paling utama berinteraksi
dengan lingkungan (Walters, 2002). Kulit tersusun dari jaringan yang tumbuh,
berdiferensiasi, dan beregenerasi (Gregoriadis, Florence dan Patel, 1993).
Kulit adalah organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh tubuh. Luas
kulit pada manusia rata-rata sekitar 2 m2 dengan berat sekitar 10 kg jika ditimbang
dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak, atau beratnya sekitar 16% dari berat
badan seseorang (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). Kulit merupakan organ
yang pertama kali terkena polusi oleh zat-zat yang terdapat di lingkungan hidup,
termasuk jasad renik (mikroba) yang tumbuh dan hidup di lingkungan.Kulit juga
sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan ilkim, umur,
jenis kelamin, ras, dan lokasi tubuh (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).
2.3.1 Anatomi Kulit
Kulit terbagi menjadi tiga lapisan utama, yaitu: epidermis, dermis, dan
subkutan (subkutis) (Seeley, Stepens dan Tate, 2003). Tidak ada garis tegas yang
memisahkan antara dermis dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya
jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak. Lapisan
epidermis dan dermis dibatasi oleh taut dermoepidermal (Kusantati, Prihatin, dan
Wiana, 2008).
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.3 Anatomi kulit[Sumber : Neubert, 2006]
a. Lapisan epidermis
Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Epidermis
merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang mempunyai
lapisan tertentu. Epidermis tersusun dari beberapa lapisan sel dengan tebal sekitar
0,1-0,3 mm (Mitsui, 1997). Di dalam epidermis paling banyak mengandung sel
keratinosit yang mengandung protein keratin (Tranggono dan Latifah, 2007).
Lapisan ini terdiri atas:
1) Stratum korneum (lapisan tanduk), merupakan lapisan sel kulit mati yang
mengandung air paling rendah sekitar 10-30%. Lapisan ini tersusun atas
lipid (asam lemak bebas atau esternya, fosfolipid, skualen, dan
kolesterol), urea, asam amino, asam organik, dan air serta dilapisi oleh
lapisan tipis lembab dan bersifat asam disebut “mantel asam kulit”
(Tranggono dan Latifah, 2007).
2) Stratum lusidum (lapisan jernih)
3) Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir), merupakan lapisan yang
berperan dalam proses keratinisasi untuk menghasilkan lapisan tanduk.
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4) Stratum spinosum (lapisan malphigi), merupakan lapisan sel yang lebih
dalam dan lapisan paling tebal dalam epidermis yang mengandung serat
protein.
5) Stratum germinativum (lapisan basal), merupakan pembatas membran
dasar yang kontak dengan dermis (Mitsui, 1997).
Normalnya dibutuhkan 3-4 minggu untuk replikasi epidermis dengan
proses divisi dan diferensiasi.
b. Lapisan dermis
Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih
tebal dari pada epidermis (sekitar empat kali tebal dermis, tergantung area tubuh).
Secara metabolisme, dermis kurang aktif dibandingkan dengan epidermis serta
terdiri dari polisakarida dan protein (kolagen dan elastin). Di dalam dermis
terdapat benyak pembuluh darah, serabut saraf, kelenjar keringat, kelenjar
minyak, dan folikel rambut (Tranggono dan Latifah, 2007).
Dermis tersusun atas matriks ekstraseluler yang disintesis dan disekresikan
oleh fibroblast.Bahan dasar matriks ekstraseluler ini terdiri dari glikosaminoglikan
atau mukopolisakarida asam (asam hialuronat dan dermatan sulfat), dan protein
berserat.Glikosaminoglikan ada sebagai proteoglikan yang menggabungkan
protein, dan berisi sejumlah besar air sehingga dapat membentuk gel. Protein
berserat tertanam dalam gel ini yang tersusun dari serat kolagen dan elastin
(Mitsui, 1997).
Kolagen merupakan protein utama dari matriks ekstraseluler dan
memelihara bentuk jaringan. Kolagen tersusun atas beberapa asam amino,
terutama glisin, prolin, dan hidroksiprolin. Kolagen lebih tebal daripada elastin.
Serat-serat elastin dihubungkan satu sama lain oleh ikatan cross-link untuk
mempertahankan elastisitas jaringan. Selain itu, matriks ekstraseluler berfungsi
sebagai mediator interaksi induksi reseptor antar sel sehingga mempengaruhi
proliferasi dan diferensiasi sel. Kolagen tipe I dan II merupakan urat saraf.
Kekuatan tegangan kulit diakibatkan oleh dominasi kolagen ini (Zhang & Falla,
2009). Oleh karena itu, dermis memegang peranan penting dalam elastisitas dan
kekencangan kulit (Mitsui, 1997).
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada dermis terdapat sel mast, makrofag, melanosit, leukosit dan sel
endotelial dari pembuluh darah. Fungsi dermis adalah menutrisi epidermis dan
menghubungkan ke jaringan subkutan. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan
fibrosa dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut (Wirakusumah, 1994).
Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi
ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
2) Pars retikulare, yaitu bagian bawahnya yang menonjol ke arah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut
kolagen elastis dan retikulin.
c. Lapisan subkutan
Lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis atas jaringan ikat longgar,
berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan
inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini
membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh trabekulua
dan fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama, bergantung
pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat
tipis. Lapisan lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Kusantati, Prihatin, dan
Wiana, 2008).
Fungsi dari lapisan hipodermis yaitu membantu melindungi tubuh dari
benturan-benturan fisik dan mengatur panas tubuh. Jumlah lemak pada lapisan ini
akan meningkat apabila makan berlebihan. Jika tubuh memerlukan energi ekstra
maka lapisan ini akan memberikan energi dengan cara memecah simpanan
lemaknya (Wirakusumah, 1994). Pada lapisan ini juga terdapat pangkal dasar
folikel rambut dan kelenjar keringat.
2.3.2 Fisiologi dan Fungsi Kulit
Kulit merupakan batas antara tubuh dan lingkungan eksternal, sehingga
memisahkan kita dari lingkungan eksternal tetapi juga memungkinkan untuk
berinteraksi dengan lingkungan eksternal (Seeley, Stephens, Tate, 2003).
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kulit sebagai organ tubuh yang paling utama mempunyai beberapa fungsi
diantaranya sebagai berikut:
a. Fungsi proteksi (Dwikarya, 2003), terjadi karena beberapa hal:
1) Keasaman (pH) kulit akibat keringat dan lemak kulit (sebum) menahan
dan menekan bakteri dan jamur yang berada di sekitar kulit.
2) Jaringan kolagen dan jaringan lemak menahan atau melindungi organ
tubuh dari benturan.
3) Serabut elastis dari lapisan dermis dan jaringan lemak subkutan berfungsi
untuk mencegah trauma mekanik langsung ke dalam tubuh. Lapisan
tanduk dan mantel lemak kulit berfungsi sebagai penghalang penetrasi air
dan kehilangan cairan tubuh serta melawan racun dari luar. Permukaan
kulit yang tidak rata berperan dalam difraksi sinar untuk melindungi
tubuh dari sinar yang berbahaya.
b. Fungsi termoregulas
Kulit menyesuaikan temperatur tubuh dengan mengubah aliran darah ke
kulit melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler kulit dan
penguapan keringat, yang keduanya dipengaruhi oleh saraf otonom. Lapisan
tanduk dan jaringan subkutan mencegah perubahan temperatur tubuh dengan
menghalangi hantaran temperatur eksternal ke dalam tubuh.
Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit ketika terjadi peningkatan suhu.
Dengan dikeluarkannya keringat, maka terbuang pula panas tubuh. Mekanisme
termoregulasi ini diatur oleh sistem saraf simpatis yang mengeluarkan zat
perantara asetil kolin (Langley dan Lenny, 1958).
c. Fungsi persepsi sensoris
Kulit bertanggung jawab sebagai indra terhadap rangsangan. Ada
bermacam-macam reseptor pada kulit, yaitu reseptor yang sensitif terhadap
tekanan, rabaan, temperatur, dan nyeri. Rangsangan dari luar akan diterima oleh
reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat, selanjutnya
diinterpretasikan oleh korteks serebri.
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat.
Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin diserap kulit, begitu pula zat
yang larut dalam minyak. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal
tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat
yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar
atau saluran keluar rambut (Langley dan Lenny, 1958).
Beberapa senyawa dapat diabsorpsi ke dalam tubuh melalui dua jalur
absorpsi, yaitu melalui jalur epidermis dan melalui kelenjar sebasea folikel
rambut. Steroid dan bahan yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat
diserap melalui kulit, namun bahkan yang larut dalam air tidak mudah diserap
akibat dari fungsi penghalang lapisan tanduk.
e. Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis)
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal
epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah
melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna
kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan
bertambah produksi melanin akan meningkat (Langley dan Lenny, 1958).
f. Fungsi keratinisasi
Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah
bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng,
dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas
lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya
sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering
menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung
terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat
melaksanakan fungsinya secara baik (Langley dan Lenny, 1958).
g. Fungsi poduksi vitamin D
Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-
dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih
lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Langley
dan Lenny, 1958).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h. Fungsi lain
Kulit dapat menggambarkan kondisi emosional, seperti memerah,
ketakutan (pucat dan rambut berdiri), dan sebagai organ penerima emosi.
2.4 Penetrasi Obat Melalui Kulit
Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses
difusi melalui dua mekanisme, yaitu :
a. Absorpsi transepidermal
Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum
korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transelular yang berarti jalur
melalui protein di dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, dan jalur
paraselular yang berarti jalur melalui ruang antar sel. Penetrasi transepidermal
berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke sratum
korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum.
Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah
dalam lapisan dermis. (Anggraeni, 2008)
b. Absorpsi transappendageal
Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui
folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori di
antaranya, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur
transepidermal lebih baik daripada jalur transappendageal, karena luas permukaan
pada jalur transappendageal lebih kecil (Anggraeni, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat
fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit.
Dari sifat-sifat tersebut, dapat diuraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
absorpsi perkutan antara lain:
1) Harga koefisien partisi obat yang tergantung dari kelarutannya dalam minyak
dan air.
2) Kondisi pH akan mempengaruhi tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang
lipofil.
3) Konsentrasi obat.
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4) Profil pelepasan obat dari pembawanya, bergantung pada afinitas zat aktif
terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa, dan pH pembawa.
5) Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari permeabilitas
stratum korneum yang disebabkan hidrasi dan perubahan struktur lipid.
6) Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan
oleh peningkatan kelarutan obat.
7) Pembawa yang dapat meningkatkan kelembaban kulit akan mendorong
terjadi absorpsi obat melalui kulit.
8) Waktu kontak obat dengan kulit.
9) Ketebalan kulit. Absorpsi perkutan lebih besar jika obat digunakan pada kulit
dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal.
10) Bahan-bahan peningkat penetrasi (enhancer) dapat meningkatkan
permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisika kimia stratum korneum
sehingga mengurangi daya tahan difusi. Contohnya DMSO, DMF, DMA,
urea, dan lain-lain.
11) Adanya sirkulasi darah in situ pada kulit akan meningkatkan absorpsi obat
(Anggraeni, 2008).
Gambar 2.4 Rute penetrasi obat melalui kulit. (1) Rute transepidermal; (2)&(3)Rute transappendageal.
[Sumber : www.skin-care-forum.basf.com]
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Sediaan Salep
Salep merupakan sediaan yang diaplikasikan secara eksternal, tetapi
berbeda dengan krim karena basis salep umumnya berminyak. Basisnya adalah
anhidrat yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Salep biasanya mengandung
suatu obat atau campuran obat terlarut atau terdispersi dalam basisnya. (Marriot,
John F et al., 2010)
Menurut British Pharmacopoeia: “ Salep diformulasikan untuk sediaan
yang tidak dapat larut, larut atau dapat diemulsikan dengan sekresi kulit. Salep
hidrofobik dan salep pengemulsi-air dapat diaplikasikan pada kulit atau selaput
lendir untuk memperoleh efek emolien, pelindung, tujuan terapeutik atau
profilaksis sesuai tingkat oklusi yang diinginkan. Salep hidrofilik dapat bercampur
dengan sekresi kulit namun sifatnya kurang emolien (Marriot, John F et al., 2010).
Terdapat 4 peraturan dalam pembuatan salep menurut F. Van Duin, yaitu:
a. Peraturan salep pertama
“Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak dilarutkan ke dalamnya, jika
perlu dengan pemanasan.”
b. Peraturan salep kedua
“Jika tidak ada peraturan lain, bahan-bahan yang larut dalam air dilarutkan
terlebih dahulu dalam air asalkan jumlah air yang digunakan dapat diserap
seluruhnya oleh dasar salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi dari dasar
salepnya.
c. Peraturan salep ketiga
“Bahan-bahan yang sukar larut atau hanya sebagian larut dalam minyak dan
air harus diserbukkan terlebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No.
60.”
d. Peraturan salep keempat
“Campuran salep yang dibuat dengan cara dicairkan harus digerus sampai
dingin.” (Bahan-bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan
10-20% untuk mencegah kekurangan bobot) (Syamsuni, H. 2002)
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode pembuatan salep, diantaranya :
a. Metode fusi
1) Pembuatannya harus dilebihkan karena akan terjadi ketertinggalan
produk saat dipindahkan dalam wadah yang sesuai.
2) Tentukan titik leleh dari basis lemak kemudian dilelehkan atau dicairkan
secara bersamaan. Proses pencairan diawali dengan basis yang memilki
titik leleh tinggi, masing-masing basis harus mencair pada suhu serendah
mungkin atau saat dimana campuran sudah mulai dingin.
3) Tambahkan bahan-bahan pada wadah diatas waterbath untuk
menghindari pemanasan berlebih. Gunakan termometer untuk
pemeriksaan suhu secara teratur.
4) Bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam basis harus sesuai dengan suhu
titik leleh masing-masing bahan. Aduk terus menerus sampai sediaan
homogen. Pengadukan harus dilakukan secara perlahan untuk
menghindari adanya udara berlebih yang dapat mempercepat
pendinginan dan membuat sediaan menjadi kental (Marriot, John F et al.,
2010).
b. Penambahan zat aktif dalam bentuk padatan ke dalam dasar salep
1) Zat aktif yang larut dalam dasar salep
Zat aktif ditambahkan ke dalam dasar salep lemak pada temperatur yang
sangat rendah dan pencampuran dilakukan sampai campuran tersebut
dingin (Marriot, John F et al., 2010).
2) Zat aktif yang tidak larut dalam dasar salep
a) Serbuk kasar
Dasar salep yang sudah meleleh atau mengental dimasukkan ke
dalam lumpang. Kemudian masukkan serbuk kasar dan gerus dengan
cara levigasi sampai homogen. Kecepatan pengadukan harus
dperhatikan untuk menghindari produk yang berpasir. Pengadukan
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan sampai sediaan menjadi dingin (Marriot, John F et al.,
2010).
b) Serbuk halus
Serbuk halus dicampurkan dengan cara triturasi. Masukkan dasar
salep ke dalam lumpang dan ratakan untuk mencegah dasar salep
masuk ke pori-pori lumpang. Kemudian tambahkan serbuk halus dan
tambahkan dasar salep dengan cara “doubling-up” atau secara
geometri. Penambahan secara geometri maksudnya adalah
penambahan dasar salep yang jumlahnya sesuai dengan bobot yang
terdapat dalam lumpang dilakukan secara perlahan-lahan dan
bertahap. Kemudian campuran dicampurkan denga cara triturasi
sampai homogeny (Marriot, John F et al., 2010).
c. Penambahan zat aktif dalam bentuk cairan ke dalam dasar salep
1) Cairan yang tidak menguap atau cairan yang larut
Cairan yang dapat larut dapat dicampur dengan dasar salep minyak. Jika
menggunakan dasar salep yang pre-prepared pencampuran dapat
dikatakan sebagai cairan yang mudah menguap atau bercampur (Marriot,
John F et al., 2010).
2) Cairan yang mudah menguap atau cairan yang tidak larut
Cairan yang mudah menguap harus ditriturasi dengan bahan dasar salep
dalam lumpang. Dasar salep dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian
tambahkan dasar salep lain secara geometri. Kemudian aduk hingga
homogeny (Marriot, John F et al., 2010).
2.6 Sediaan Krim
Krim adalah sediaan setengah padat yang berupa emulsi yang mengandung
satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60 %. (Syamsuni,H. 2002).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan
setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terdispersi dalam dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan
untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsentrasi relatif cair yang
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini
batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak
dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai
panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk
penggunaan kosmetika dan estetika.
Fungsi krim adalah sebagai bahan pembawa substansi obat untuk
pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas untuk kulit, dan sebagai pelindung untuk
kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan
rangsangan kulit (Anief, 2000).
Menurut British Pharmacopoeia, “ Krim diformulasikan untuk sediaan
yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Sediaan krim dapat diaplikasikan pada
kulit atau membran mukosa untuk pelindung, efek terapeutik, atau profilaksis
yang tidak membutuhkan efek oklusif” (Marriot, John F et al., 2010).
Prinsip umum dalam preparasi sediaan krim, seperti sediaan emulsi dan
yang lainnya, kebersihan merupakan hal yang penting. Spatula dan peralatan
lainnya harus dibersihkan dengan IMS (Industrial Methylaed Spirits). IMS lebih
baik daripada air suling karena cepat menguap dan tidak meninggalkan residu.
Pembuatan krim harus dilebihkan karena pada proses pemindahan sediaan krim ke
wadah akhir, ada kemungkinan tertinggalnya sediaan di tempat yang sebelumnya.
Menentukan bahan yang larut dalam fase air atau yang larut dalam fase minyak.
Larutkan bahan yang larut air dalam fase air. Lelehkan basis lemak dalam cawan
evaporasi di atas waterbath dalam suhu serendah mungkin. Proses ini diawali
dengan melelehkan basis yang memiliki titik leleh tinggi. Setelah itu didinginkan
pada suhu 60°C (pemanasan yang berlebihan dapat mendenaturasi agen
pengemulsi dan menghilangkan stabilitas produk). Zat-zat yang dapat larut
dengan fase minyak harus diaduk sampai mencair. Suhu fase cair harus
disesuaikan 60°C. Fase terdispersi kemudian ditambahkan ke dalam fase
pendispersi pada suhu yang sama. Oleh karena itu, untuk produk minyak dalam
air, maka minyak yang ditambahkan ke dalam air. Sedangkan untuk produk air
dalam minyak, yang ditambahkan adalah air ke dalam minyak. Pengadukan harus
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terus dilakukan tanpa adanya udara. Jangan mempercepat proses pendinginan
karena akan menghasilkan produk yang buruk. (Marriot, John F et al., 2010)
Syarat-syarat krim yang baik adalah :
a. Stabil selama dalam pemakaian pada suhu kamar dan kelembaban yang ada
dalam kamar
b. Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus
c. Seluruh produk homogen
d. Mudah dipakai
Pertimbangan yang terpenting bagi sediaan emulsi seperti krim di bidang
farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Menurut Anief (2000)
ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan menjadi :
a. Flokulasi atau creaming
b. Koalesen atau pecahnya emulsi (breaking, cracing)
c. Macam-macam perubahan fisika dan kimia
d. Inverse
Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapiasan, dimana lapisan
yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak dari pada
lapisan yang lain. Creaming merupakan proses bolak-balik, sedangkan pemecahan
merupakan proses searah. Krim yang menggumpal bisa didispersikan kembali
dengan mudah, dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari
suatu emulsi yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak
masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi
pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola
tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin, 1993).
Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari tipe M/A menjadi
A/M atau sebaliknya. Inverse dapat dipengaruhi oleh suhu, atau inverse
merupakan fungsi suhu (Lachman et. al, 1994).
Bahan-bahan umum yang biasa ditambahkan pada sediaan krim yaitu :
Basis krim, emulsifying agent, stiffening agent, buffer, antioksidan, pengawet,
penetrating agent, humektan dll.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7 Sediaan Gel
Gel merupakan sediaan semi padat yang transparan yang digunakan secara
topikal. Fase cair dari gel akan ditahan dalam tige dimensi matriks polimer. Bahan
obat dapat tersuspensi dalam matriks atau larut dalam fase cairnya. Gel cenderung
memiliki struktur yang lebih besar dari salep atau emulsi tergantung pada polimer
matriks pembentuknya (Marriot, John F et al., 2010).
Gel sering digunakan dalam penghantaran obat yang mengandung polimer
yang dapat menjerap sejumlah air yang dikenal dengan hidrogel. Penyerapan
cairan berlangsung melalui pengembangan. Hal ini diikuti dengan peningkatan
volume dan membesarnya tekanan (tekanan pembengkakan sampai 100 Mpa, 103
at), dan peristiwa tersebut berkaitan erat dengan dihasilkannya panas positif.
Koloid linier yang digunakan untuk membentuk gel dapat mengembang tanpa
batas, artinya kondisi gel dapat diubah menjadi larutan dengan penambahan
pelarut yang lebih banyak. Dengan demikian jumlah air yang digunakan untuk
pengembangan sangat menentukan sifat rheology sediaan yang terbentuk.
Komposisi sediaan gel umumnya terdiri dari komponen bahan yang dapat
mengembang dengan adanya air, humektan, dan pengawet, terkadang diperlukan
bahan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan berkhasiat.
a. Gel tautan –silang (cross link) secara kimia
Pada sistem ini, pemisahan fase makroskopik dicegah dengan adanya
tautan silang dan semakin tinggi densitas massa jenis dari senyawa penaut silang
maka semakin kuat. Kekuatan gel dapat diukur dengan Texture analyzer.
Surfaktanionik dapat terikat dengan polimer nonionik, sehingga cara yang
efektif untuk memasukkan muatan ke dalam gel polimer nonionik adalah dengan
menambahkan surfaktan ionik. Muatan tersebut bergantung bergantung pada
ikatan kooperatif dari surfaktan pada rantai backbone polimer, maka
pengembangan dari gel bergantung pada parameter yang mengendalikan ikatan
pada surfaktan. Saat panjang rantai alkil pada surfaktan meningkat, afinitas ikatan
pada polimer pun akan meningkat, sehingga secara efektif meningkatkan densitas
polimer. Derajat pengembangan secara langsung mempengaruhi pelepasan
senyawa yang bergabung dalam gel cross-linked. Sehingga dengan meningkatkan
pengembangan, difusi dari senyawa yang tergabung meningkat.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Gel yang terbentuk oleh polimer polisakarida
Gel polisakarida bersifat temperature-reversible, terbentuk pada
konsentrasi polimer yang relatif rendah umumnya dari turunan selulosa, struktur
gel dapat dibentuk pada konsentrasi antara 2-6%. Gel polisakarida dapat dibentuk
dengan memodifikasi ikatan silang secara kimia, yang dipengaruhi oleh pH.
c. Pembentuk gel alami
Pembentuk gel alami yang umum digunakan adalah xantan gum, gellan
gum, pektin dan gelatin. Xanthan gum dan gellan gum adalah polisakarida dengan
berat molekul besar yang diperoleh dari fermentasi menggunakan mikroba.
Larutan xanthan gum memiliki viskositas yang tinggi pada tekanan geser (shear
rate) yang rendah yang dapat menjaga partikel padat tetap tersuspensi dan
mencegah emulsi mengalami koalesen. Gellan gum adalah pembentuk gel, efektif
pada penggunaan dengan jumlah yang sedikit, membentuk gel yang padat pada
konsentrasi rendah.
Selain bahan pembentuk gel, bahan tambahan lainnya yang sering
digunakan dalam pembuatan gel yaitu humektan, chelating agent, enhancer dan
zat pengawet.
Metode pembuatan gel secara umum, diantaranya :
a. Panaskan semua komponen gel (terkecuali dengan air), kurang lebih sekitar
90o C.
b. Panaskan air, kurang lebih sekitar 90o C.
c. Tambahkan air ke minyak, aduk terus. Hindari pengadukan kuat karena hal
ini akan menimbulkan gelembung (Marriot, John F et al., 2010).
Fungsi gel menurut Lachman et al., 1989 yaitu gel dapat digunakan untuk
pemberian oral, sediaan obat long-acting yang diinjeksikan secara intramuskular,
bahan pengikat pada granulasi tablet, bahan pelindung koloid pada suspensi,
bahan pengental pada sediaan cair per oral, dan basis supositoria. Selain itu gel
juga dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara setengah padat (non steril)
atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh atau mata (steril) dan telah digunakan
dalam berbagai produk kosmetik.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sifat dan karakteristik gel menurut Lachman et al 1989 adalah sebagai
berikut :
a. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat
mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan
berpenetrasi di antara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.
Pengembangan gel kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di
dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang
(Lachman et al.,1989).
b. Sinerasis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel.
Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu
pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang
padat. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat
adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada
kepadatan gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga
memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada
hidrogel maupun organel (Lachman et al.,1989).
c. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui
penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan
hingga suhu tertentu. Polimer seperti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang
dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang
disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation (Lachman et al.,1989).
d. Efek elektrolit
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel
hidrofilik di mana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut
yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik
dengan konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan
mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel
Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai
kalsium alginat yang tidak larut (Lachman et al.,1989).
e. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk larutan menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas
dengan peningkatan konsentrasi pembentukan gel. Bentuk struktur gel resisten
terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskositelastik. Struktur
gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel (Lachman
et al.,1989).
f. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi
memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan jalan aliran
non-newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju
aliran (Lachman et al.,1989).
2.8 Formulasi Sediaan Setengah Padat
2.8.1 Lanolin Hidrat
Lanolin hidrat atau disebut juga adeps lanae cum aqua (PhEur)
dideskripsikan sebagai campuran dari adeps lanae dan 25-30% b/b air suling.
Lanolin hidrat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan basis salep. Lanolin hidrat
berwarna kuning pucat, dengan bau khas lemah. Lanolin hidrat biasanya
digunakan pada pembuatan sediaan salep dan krim tipe air dalam minyak (a/m).
Ketika meleleh oleh pemanasan dengan penangas air, lanolin akan terpisah
menjadi lapisan minyak jernih dan lapisan air jernih. Lanolin hidrat melebur pada
suhu 38-44°C, praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan air. Hanya komponen
lemak dari lanolin hidrat yang larut dalam pelarut organik. Lanolin hidrat harus
disimpan dalam wadah tertutup baik, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya,
kelembaban dan di tempat kering. Penyimpanan normal bertahan sampai 2 tahun.
Lanolin hidrat dapat mengandung pro-oksidan yang mungkin mempengaruhi
stabilitas beberapa zat aktif (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.8.2 Setil Alkohol
Nama lain dari setil alkohol adalah alcohol cetylicus dan crodacol.
Penggunaan setil alkohol pada sediaan farmasi sangat luas, diantaranya coating
agent; emulsifying agent (2-5%); stiffening agent (2-10%). Setil alkohol
merupakan serpihan putih licin, granul, atau kubus, putih, bau khas lemah, rasa
lemah. Setil alkohol memiliki titik lebur 45-52°C, larut dalam etanol 95% dan eter,
kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Mudah
larut ketika dilebur bersama dengan lemak, paraffin padat atau cair, dan isopropil
miristat. Setil alkohol tetap stabil meskipun terdapat asam, basa, cahaya dan udara
tidak menjadi tengik. Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat
yang kering dan sejuk. Inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat (Rowe,
Sheskey, Owen, 2006).
2.8.3 Vaselin Album
Vaselin album berwarna kuning pucat, transparan, massa lembut, sedikit
berbau dan sedikit berasa. Fungsi vaselin album adalah sebagai emolien, dan basis
salep. Kelarutan praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95% panas atau dingin,
gliserin, dan air, larut dalam benzen, karbon disulfida, kloroform, eter, heksan dan
minyak lemak dan menguap. Pada paparan sinar, kemurnian dari vaselin album
menurun akibat berubah warna dan teroksidasi serta menghasilkan bau yang tidak
diinginkan. Oksidasi dapat dicegah dengan penambahan antioksidan yang cocok
seperti BHT, BHA dan tokoferol. Vaselin album dapat disterilisasi dengan
pemanasan kering. Meskipun vaselin album dapat disterilisasi dengan iradiasi
gamma, tetapi proses tersebut dapat mempengaruhi sifat fisik dari vaselin album
seperti mengembang, berubah warna, bau dan sifat rheologi. Vaselin album harus
disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan
kering. Vaselin album merupakan bahan inert dengan sedikit inkompatibilitas
(Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.8.4 Asam Stearat
Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C18H36O2 dan asam
heksadekanoat, C16H32O2 (Ditjen POM, 1979).
Pemerian asam stearat yaitu zat padat; putih atau kuning pucat; beberapa
terlihat mengkilap, padatan kristal atau serbuk putih atau putih kekuningan. Bau
khas kuat dan rasanya mirip lemak. Asam stearat memiliki titik lebur ≥ 54°C.
Kelarutannya mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter.
Larut dalam etanol 95%, heksan dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air.
Penggunaannya adalah sebagai basis krim dan saleb juga sebagai lubrikan tablet
(Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
Asam stearat merupakan bahan yang stabil, penambahan antioksidan dapat
dilakukan untuk menjaga kestabilannya. Asam stearat harus disimpan dalam
wadah tertutup baik di tempat sejuk dan kering. Asam stearat inkompatibel
dengan banyak logam hidroksida dan agen pengoksida (Rowe, Sheskey, Owen,
2006).
2.8.5 Isopropil Miristat
Isopropil miristat merupakan cairan tidak berwarna dan praktis tidak
berbau. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, etil asetat, praktis tidak larut
dalam gliserin, glikol dan air. Isopropil miristat tidak kompatibel dengan parafin
padat karena akan menghasilkan campuran butiran, tetapi isopropil miristat
kompatibel dengan oksidator kuat. Isopropil miristat tahan terhadap oksidasi dan
hidrolisis, dan tidak menjadi tengik. Bahan ini harus disimpan dalam wadah yang
tertutup di tempat yang sejuk dan kering serta terlindung dari cahaya (Rowe,
Sheskey, Owen, 2006).
2.8.6 Minyak Zaitun
Minyak zaitun disebut juga olive oil merupakan minyak lemak dari buah
Olea europaea. Minyak zaitun merupakan cairan minyak yang jernih, berwarna
kuning kehijauan atau hampir tidak berwarna. Sangat larut dalam etanol 96%,
larut dalam eter, kloroform dan petrolatum (50-70ºC) dan karbon disulfida.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Minyak zaitun sering digunakan sebagai fase minyak dalam berbagai sediaan
farmasi, diantranya salep, linimen, enema, sabun, dan dapat juga sebagai
pembawa injeksi minyak. Ketika didinginkan, minyak zaitun akan berkabut pada
kisaran suhu 10ºC dan akan seperti masa butter pada suhu 0ºC. Minyak zaitun
harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dalam wadah yang tertutup rapat
terhindar dari sinar matahari. Minyak zaitun dapat tersaponifikasi oleh alkali
hidroksida. Minyak zaitun mudah teroksidasi dan inkompatibel dengan agen
pengoksida (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.7 Vitamin E
Vitamin E dengan nama lain alfa tokoferol merupakan produk natural dan
dideskripsikan sebagai cairan minyak yang jernih, kuning kecoklatan atau hampir
tidak berwarna, dan kental. Penggunaannya sebagai agen terapetik atau
antioksidan dalam sediaan dengan kandungan bahan yang mudah teroksidasi.
Titik didih vitamin E mencapai 235°C. Vitamin E praktis tidak larut dalam air,
mudah larut dalam aseton, etanol, eter dan minyak sayur. Vitamin E teroksidasi
perlahan oleh oksigen atmosfir dan sangat cepat oleh besi dan garam perak.
Vitamin E harus disimpan di bawah gas inert dalam wadah kedap udara di tempat
sejuk, kering dan terlindungi dari cahaya. Vitamin E inkompatibel dengan
peroksida dan ion logam seperti besi, tembaga, perak. Vitamin E mungkin
terabsorbsi ke dalam plastik (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.8 Karbopol 940
Karbopol merupakan polimer sintetis dengan BM tinggi dari asam akrilat
yang di campurkan dengan alil sukrosa lain atau eter alil dari penta eritrol.
Karbopol mengandung antara 56%-68% dari asam karboksilat (COOH) terhitung
dengan basis kering. Karbopol berwarna putih, halus, bersifat asam, higroskopis,
serbuk dengan bau sedikit khas. Larut dalam air dan setelah dinetralisasi dapat
larut dalam etanol 95% dan gliserin. Meskipun dinyatakan terlarut dalam air,
tetapi karbopol tidak terdisolusi tetapi hanya mengembang. Fungsi karbopol
adalah sebagai agen bioadhesif, agen pengemulsi, agen pelepasan termodifikasi,
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
agen pensuspensi, pengikat tablet dan agen peningkat viskositas (Rowe, Sheskey,
Owen, 2006).
Karbopol memiliki pH yang sangat asam yaitu 2,7-3,5 dalam 0,5% b/v
dispersi dalam air dan 2,5-3,0 dalam 1 b/v bagian air, oleh karena itu pada tahap
pembuatannya sebagai basis gel seringkali ditambahkan dengan NaOH atau
golongan amin untuk menyesuaikan pH sediaan mendekati pH kulit. Titik leleh
dari karbopol cukup tinggi, tetapi dapat terdekomposisi pada suhu 260ºC selama
30 menit. Karbopol merupakan senyawa yang stabil, bersifat higroskopis yang
memungkinkan untuk dipanaskan dibawah suhu 104°C sampai 2 jam tanpa
mempengaruhi efisiensinya. Bagaimanapun paparan temperatur yang sangat
tinggi dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas. Bentuk
serbuk kering dari karbopol tidak mendukung pertumbuhan dari mikroba dan
fungi. Sebaliknya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik dalam dispersi
dalam air tanpa pengawet, namun pengawet antimikroba seperti 0,1% b/v
klorokresol, 0,18% b/v metil paraben-0,02 % b/v propil paraben atau 0,1% b/v
timerosal dapat ditambahkan (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
Pada temperatur ruangan dispersi karbopol dapat terjaga viskositasnya
selama penyimpanan dalam periode berkepanjangan. Demikian pula, viskositas
dispersi terjaga atau hanya sedikit terjadi penurunan pada suhu penyimpanan
tinggi jika terdapat antioksidan didalamnya atau jika dispersi tersebut disimpan
terlindungi dari cahaya. Paparan sinar menyebabkan oksidasi yang
memungkinkan terjadinya penurunan viskositas dispersi. Serbuk karbopol harus
disimpan dalam wadah kedap udara, wadah resistensi korosi, di tempat kering.
Penggunaan dari gelas, plastik, atau wadah resin direkomendasikan untuk
menyimpan formula dengan kandungan karbopol. Karbopol berubah warna oleh
resorsinol dan inkompatibel dengan fenol, polimer-polimer kationik, asam kuat,
dan elektrolit level tinggi (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.9 Natrium Metabisulfit
Natrium metabisulfit memiliki rumus empiris Na2S2O5 dengan bobot
molekul 190,15. Natrium metabisulfit berupa kristal prisma tidak berwarna, atau
krem-putih, bubuk kristal yang memiliki bau sulfur dioksida dan asam, rasa
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
seperti garam. Penggunaan natrium metabisulfit adalah sebagai antioksidan tetapi
dapat pula digunakan sebagai pengawet pada beberapa sediaan farmasi. Natrium
metabisulfit larut dalam etanol 95%, sangat larut dalam gliserin, larut 1 bagian
dalam 1,9 bagian air dan larut 1 bagian dalam 1,2 bagian air mendidih 100°C.
Titik lebur dan dekomposisi natrium metabisulfit kurang dari 150°C.
Pada paparan udara dan kelembaban, natrium metabisulfit perlahan
teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. Penambahan asam
kuat membebaskan sulfur dioksida. Larutan berair natrium metabisulfit juga
terurai di udara, terutama pada pemanasan. Larutan yang akan disterilkan dengan
autoklaf harus diisi ke dalam wadah di mana udara telah diganti dengan gas inert,
seperti nitrogen. Bahan massal harus disimpan dalam wadah tertutup baik,
terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Natrium metabisulfit
bereaksi dengan simpatomimetik dan obat derivat alkohol lainnya. Obat-obatan
dapat terinaktivasi adalah epinefrin (adrenalin) dan turunannya. Selain itu, natrium
metabisulfit tidak kompatibel dengan kloramfenikol karena reaksi yang lebih
kompleks, juga menginaktivasi cisplatin dalam larutan. Natrium metabisulfit tidak
cocok dengan fenil merkuri asetat saat diautoklaf dalam preparasi sediaan tetes
mata. Natrium metabisulfit dapat bereaksi dengan tutup karet botol dosis ganda
(Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.10 Metil Paraben dan Propil Paraben
Metil paraben dengan nama lain nipagin, merupakan serbuk hablur halus,
putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar
diikuti rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih,
dalam 3,5 bagian etanol 95% dan dalam 3 bagian aseton, mudah larut dalam eter
dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol panas dan
dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih.
Inkompatibilitas dengan zat lain, seperti bentonit, magnesium trisilikat, talk,
tragakan, natrium alginat, minyak esensial, sorbitol, dan atropin. Larutan berair
dari metil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf pada 120°C
selama 20 menit, tanpa dekomposisi. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (kurang
dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sedangkan
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
larutan air pada pH 8 atau di atas tunduk pada hidrolisis yang cepat (10% atau
lebih setelah sekitar 60 hari penyimpanan pada suhu kamar) (Rowe, Sheskey,
Owen, 2006).
Propil paraben dengan nama lain nipasol merupakan serbuk hablur putih,
tidak berbau, tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian
etanol 95%, dalam 3 bagian aseton, dalam 140 bagian gliserol dan dalam 40
bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Propil paraben
berubah warna dengan adanya besi dan dihidrolisis oleh alkali lemah dan asam
kuat. Larutan propil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf, tanpa
dekomposisi. Pada pH 3-6, larutan stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai
sekitar 4 tahun pada suhu kamar. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik.
(Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.11 Trietanolamin
Trietanolamin biasa disingkat TEA merupakan cairan kental, tidak
berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. TEA
mudah larut dalam air dan dalam etanol 95%, larut dalam kloroform.
Trietanolamin akan bereaksi dengan asam mineral membentuk garam kristal dan
ester. Trietanolamin juga akan bereaksi dengan tembaga untuk membentuk garam
kompleks. Trietanolamin dapat berubah coklat pada paparan udara dan cahaya.
85% trietanolamin cenderung stratifikasi di bawah 15°C, dapat homogen dengan
pemanasan kembali sebelum digunakan untuk pencampuran. Penyimpanan dalam
wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).
2.8.12 Propilen Glikol
Propilen glikol merupakan cairan berwarna, kental, praktis berbau dengan
rasa sedikit manis pedas mirip gliserin. Larut dengan aseton, kloroform, etanol
(95%), gliserin, dan air; larut pada 1 dari 6 bagian dari eter, tidak larut dengan
minyak mineral ringan atau minyak tetap, tetapi akan memisah pada beberapa
minyak esensial. Penggunaan propilen glikol dibidang farmasi diantaranya
sebagai pengawet antimikroba, desinfektan, humektan, plasticizer, pelarut,
stabilizer untuk vitamin, pelarut campur dengan air. Propilen glikol juga dapat
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan sebagai agen peningkat penetrasi pada konsentrasi 1-10% (William
Barry, 2004 dalam Sany, 2009). Pada suhu dingin, propilen glikol stabil di wadah
tertutup, tetapi pada temperatur tinggi, di tempat terbuka, cenderung mudah
teroksidasi, menghasilkan produk seperti propionaldehid, asam laktat, asam
piruvat, dan asam asetat. Propilen glikol stabil bila dicampur dengan etanol 95%,
gliserin, atau air. Larutan mengandung air dapat disterilkan dengan cara autoklaf.
Propilen glikol tidak kompatibel dengan reagen oksidasi seperti kalium
permanganat. Propilen glikol higroskopis dan harus disimpan dalam wadah
tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering. (Rowe, Sheskey,
Owen, 2006)
2.8.13 Alkohol 96%
Alkohol 96% atau disebut juga etanol memiliki rumus empiris C2H6O dan
bobot molekul 46,07. Alkohol 96% memiliki fungsi sebagai pengawet
antimikroba, disinfektan, agen penetrasi kulit, dan pelarut. Penggunaannya
sebagai pelarut dalam sediaan topikal sebanyak 60-90%, sedangkan sebagai
pengawet penggunaannya ≥ 10%. Efek peningkat penetrasi alkohol 96%
tergantung dari konsentrasi yang digunakaan (William dan Barry, 2004 dalam
Sany, 2009). Alkohol jernih, tidak berwarna, dapat bergerak dan cairan yang
menguap perlahan, bau khas dan rasa terbakar. Etanol 96% memiliki titik didih
78,15°C. Larut dalam kloroform, eter, gliserin dan air (dengan rise temperature
dan kontraksi volume). Larutan etanol dapat disterilisasi dengan metode autoklaf
atau penyaringan dan harus disimpan dalam wadah kedap udara dan ditempat
sejuk. Pada kondisi asam, larutan etanol dapat bereaksi keras dengan bahan
pengoksidasi. Campuran dengan alkali dapat menggelapkan warna karena reaksi
dengan jumlah sisa aldehida. Garam organik atau akasia dapat diendapkan dari
larutan berair atau dispersi. Larutan etanol juga tidak sesuai dengan wadah
aluminium dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat (Rowe, Sheskey, Owen,
2006).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Soesilo,
1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, diluar pengaruh cahaya
matahari langsung (Tiwari, et al., 2011).
Parameter yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak adalah (Tiwari, et al.,
2011):
a. Bagian dari tumbuhan yang digunakan.
b. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi.
c. Prosedur ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif sebagai obat dari jaringan
tumbuhan ataupun hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui prosedur
yang telah ditetapkan (Tiwari, et al., 2011). Selama proses ekstraksi, pelarut akan
berdifusi sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa
dengan polaritas yang sesuai dengan pelarutnya. Efektifitas ekstraksi senyawa
kimia dari tumbuhan bergantung pada ;
a. Bahan-bahan tumbuhan yang diperoleh
b. Keaslian dari tumbuhan yang digunakan
c. Proses ekstraksi
d. Ukuran partikel
Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi
kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain :
a. Tipe ekstraksi
b. Waktu ekstraksi
c. Suhu ekstraksi
d. Konsentrasi pelarut
e. Polaritas pelarut
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi
dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Diitjen POM, 2000).
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Ekstraksi cara dingin
1) Maserasi
2) Perkolasi
b. Ekstraksi cara panas
1) Sokletasi
2) Digesti
3) Dekok
4) Infusa
5) Refluks
c. Teknik ekstraksi lain
1) Sonikasi
2) Supercritical Fluid
3) Vaccum Rotary Evaporator
2.9.1 Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar
(Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya
yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian
kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar
dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup
untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat
terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil
(Tiwari, et al., 2011).
2.9.2 Vaccum Rotary Evaporator
Vaccuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan
suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia
tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan
dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan
diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor)
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah Pelarutnya diuapkan,
akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Nugroho, et
al., 1999).
Kelebihan dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan.
Penggunaan rotary evaporator meningkatkan presentase air yang terevaporasi
dibandingkan dengan menggunakan waterbath (Mutairi & jasser, 2012). Prinsip
kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang
menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor (suhu
dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung
penerima (receiver flask).
2.10 Uji Penetrasi Sediaan Secara In vitro Menggunakan Sel Difusi Franz
Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur
kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen
yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang
terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan sel difusi franz. Sel difusi franz
terbagi atas dua komponen yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor.
Membran yang digunakan dapat berupa kulit manusia atau kulit hewan. Membran
diletakkan di antara kedua kompartemen, dilengkapi dengan o-ring untuk menjaga
letak membran. Gambar alat sel difusi franz dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kompartemen sel difusi franz[Sumber : Particle Science Drug Development Service Vol. 10, 2009]
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sel dijaga
dengan sirkulasi air menggunakan water jacket disekeliling kompartemen
reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit. Pada interval
waktu tertentu diambil beberapa ml cairan dari kompartemen reseptor dan jumlah
obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat dianalisis dengan metode analisis yang
sesuai. Setiap diambil sampel cairan dari kompartemen reseptor harus selalu
digantikan dengan cairan yang sama sejumlah volume yang terambil (Anggraeni,
2008).
2.11 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi
elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati
monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika
frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut.
Elektron yang terkait dan elektron yang tidak terkait akan tereksitasi pada suatu
daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak (UV-
Vis) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002).
Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan
dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah
bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Vis (Visibel) bagian sinar tampak
(380-780 nm) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002).
Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah
spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.
b. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempit
panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
c. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet)
d. Suatu detektor yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi
suatu isyarat listrik.
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat
isyarat listrik itu memadai untuk dibaca.
f. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang ditangkap.
(Henry, Suryadi, Yanuar 2002).
Spektrofotometri UV-Vis digunakan terutama untuk analisa kuantitatif,
tetapi dapat juga untuk analisa kualitatif. Penggunaan untuk analisa kuantitatif
didasarkan pada hukum Lambert-Beers yang menyatakan hubungan empirik
antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan (Hukum
Lambert/Bouger), dan hubungan antara intensitas tadi dengan konsentrasi zat
(Hukum Beers) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002).
Hukum Lambert-Beer dapat dijelaskan dengan persamaan (2.1)
A = Log Io/It = Ɛ. b. c = a. b. c (2.1)
dimana : A = serapan; Io = intensitas sinar yang datang; It = intensitas
sinar yang diteruskan (ditransmisikan); Ɛ = absorbtivitas molekuler / konstanta
ekstingsi (L.mol-1. Cm-1); a = daya serap (L.g-1.cm-1); b = tebal larutan / kuvet
(cm); c = konsentrasi (g.L-1 , mg. mL-1) ( Henry, Suryadi, Yanuar 2002)
Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif
suatu zat biasanya merupakan panjang gelombang dimana zat yang bersangkutan
memberikan serapan pada umumnya landai sehigga perubahan yang tidak terlalu
besar pula (dapat diabaikan) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002)
Serapan yang optimum untuk pengukuran dengan spektrofotometri Uv-
Vis ini berkisar antara 0,2-0,8. Namun menurut literatur lain, serapan sebesar 2-3
relatif masih memberikan hasil perhitungan yang cukup baik untuk campuran,
walaupun disarankan agar serapan berada dibawah 2 untuk hasil yang lebih baik,
dengan cara mengencerkan larutan zat yang akan di ukur (Henry, Suryadi, Yanuar
2002)
2.12 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan
pada penyangga berupa pelat gelas, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan
dipisah berupa larutan ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan
(dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirrunni’mah, 2013)
Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis
adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis obat di laboratorium farmasi.
Metode ini hanya memerlukan investasi kecil untuk perlengkapan dan
menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis 915-60 menit),
memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil
palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan
ruangan minimum dan penanganannya sederhana (Stahl Egon dalam
Khoirunni’mah, 2013)
Totolkan larutan uji dan larutan baku, menurut cara yang tertera pada
masing-masing monografi dengan jarak antara lebih kurang 1,5 cm dan lebih
kurang 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan biarkan mengering (tepi bawah
lempeng adalah bagian lempeng yang pertama kali dilalui oleh alat membuat
lapisan pada waktu melapiskan zat penjerap). Ketika bekerja dengan lempeng,
gangguan fisik harus terhindarkan dari zat penjerap (Depkes RI, 1995).
Beri tanda pada jarak 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan.
Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat penotolan terletak di
sebelah bawah, dan masukkan rak ke dalam bejana kromatografi. Pelarut dalam
bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap, tetapi titik penotolan jangan
ampai terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya, dan biarkan sistem
hingga pelarut merambat 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan, umumnya
diperlukan waktu lebih kurang 15 menit hingga 1 jam. Keluarkan lempeng dari
bejana, buat tanda batas rambat pelarut, keringkan lempeng di udara, dan amati
bercak mula-mula dengan cahaya ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan
kemudidan dengan cahaya ultraviolet gelombang panjang (366 nm). Ukur dan
catat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta catat panjang gelombang untuk
tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf untuk bercak utama. Jika diperlukan,
semprot bercak dengan pereaksi yang ditentukan, amati dan bandingkan
kromatogram zat uji dengan kromatogram baku pembanding (Depkes RI, 1995).
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.6 Skema kromatografi lapis tipis[Sumber : Mufidah, 2014]
2.13 Kromatografi Gas Spektrometri Massa
Perkembangan teknologi instrumentasi menghasilkan alat yang merupakan
gabungan dari dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi
dapat saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan
spektrometri massa (GC-MS). Kedua alat dihubungkan dengan satu interfase.
Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran
dalam sampel, sedangkan spektrometri massa berfungsi untuk mendeteksi
masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem
kromatografi gas. Berdasarkan kromatogram GC-MS akan diperoleh informasi
jumlah senyawa yang terdeteksi dan dari spektra GC-MS akan diperoleh
informasi struktur senyawa yang terdeteksi (Astuti, 2006).
Dalam kromatografi gas, pemisahan terjadi ketika sampel diinjeksikan ke
dalam fase gerak. Fase gerak yang biasa digunakan adalah gas inert seperti
Helium. Fase gerak membawa sampel melalui fase diam yang ditempatkan dalam
kolom. Sampel dalam fase gerak berinteraksi dengan fase diam dengan kecepatan
yang berbeda-beda. Saat terjadi interaksi, yang tercepat akan keluar dari kolom
lebih dulu, sementara yang lambat keluar paling akhir. Komponen-komponen
yang telah terpisah kemudian menuju detektor. Detektor akan memberikan sinyal
yang kemudian ditampilkan dalam komputer sebagai kromatogram. Pada
kromatogram, sumbu x menunjukkan waktu retensi, RT(Retention Time, waktu
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
saat sampel diinjeksikan sampai elusi berakhir), sedang sumbu y menunjukkan
intensitas sinyal. Dalam detektor, selain memberikan sinyal sebagai kromatogram,
komponen-komponen yang telah terpisah akan ditembak elektron sehingga
terpecah menjadi fragmen-fragmen dengan perbandingan massa dan muatan
tertentu (m/z). Fragmen-fragmen dengan m/z ditampilkan komputer sebagai
spektra massa, dimana sumbu x menunjukkan perbandingan m/z sedangkan
sumbu y menunjukkan intensitas. Dari spektra tersebut dapat diketahui struktur
senyawa dengan membandingkannya dengan spektra massa standar dari literatur
yang tersedia dalam komputer. Pendekatan pustaka terhadap spektra massa dapat
digunakan untuk identifikasi bila indeks kemiripan atau Similarity Indeks (SI)
berada pada rentangan ≥80 % (Astuti, 2006).
Analisis GC-MS merupakan metode yang cepat dan akurat untuk
memisahkan campuran yang rumit, mampu menganalisis campuran dalam jumlah
yang kecil, dan menghasilkan data yang berguna mengenai struktur serta identitas
senyawa organik (Astuti, 2006).
40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian
II, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Kimia Obat dan Laboratorium
Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 29 Oktober
2014 hingga selesai.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang dibutuhkan yaitu spektrofotometri UV/Vis (U-2900, Hitachi,
Amerika), kromatografi gas spektrometri massa (5975 Inert MSD, The Agilent
Technologies, USA), blender, corong, kertas saring, botol maserasi, spatel logam,
cawan penguap, digital waterbath (SB-100, Eyela, Japan), kapas, vacuum rotary
evaporator (N-1000, Eyela, Japan), wadah krim, batang pengaduk, kertas
perkamen, oven (NDO-500, Eyela, Japan), lemari pendingin (DW-40W100,
Haier, Tiongkok), mortar, stamper, sudip, pot salep, timbangan digital (GH 202,
OGS, Japan), labu ukur (Pyrex, USA), aluminium foil, plastic wrap, pengaduk
magnetik (MST Basic, Wiggen Hauser, USA)), digital stirring hotplate (Cimarec,
USA), timbangan kilogram, mikropipet (Rainin, USA), gelas ukur (Scott Duran,
Germany), gelas piala (Scott Duran, Germany), kaca arloji, pH meter (F-52,
Horiba, Japan), Erlenmeyer (Pyrex, USA), pipet volumetric (Pyrex, USA), pipa
kapiler, plat silica gel F254 (Merck Millipore, Germany), seperangkat alat uji KLT,
apparatus melting point (Stuart, UK), spuit, tabung reaksi, seperangkat alat uji sel
difusi franz.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah simplisia kencur
(Kaempferia galanga L.), kulit bagian abdomen tikus putih betina galur Sprague
Dawley (PT. Iratco, Bogor), n-heksan teknis yang telah didestilasi, vaselin album,
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adeps lanae, propilen glikol (Bratachem, Jakarta), metil paraben (Bratachem,
Jakarta), propil paraben (Bratachem, Jakarta), natrium metabisulfit, trietanolamin,
natrium hidroksida (Bratachem, Jakarta), kalium dihidrogen fosfat (Bratachem,
Jakarta), alkohol 96% (Bratachem, Jakarta), metanol, etil asetat, karbopol 940
(Sahdong, Bio-Technology), asam stearat, isopropil miristat, setil alkohol, minyak
zaitun, vitamin E dan air suling.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat
3.3.1.1 Pengambilan Sampel
Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) diperoleh dan dikumpulkan dari
Balittro, Cimanggu, Bogor pada tanggal 29 Oktober 2014. Rimpang kencur
tersebut dipanen pada pukul 09.00 WIB dengan kondisi tanah kering.
3.3.1.2 Penyiapan Simplisia
Rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) sebanyak 20 kg, dipisahkan dari
cabang dan rantingnya, dan dibersihkan dengan air mengalir. Selanjutnya bahan
disortasi basah, kemudian dikeringanginkan pada suhu ruangan selama satu hari.
Rimpang kencur yang sudah kering dan bersih, kemudian dirajang membentuk
irisan tipis-tipis sekitar 2-3 mm, lalu dikeringanginkan pada suhu ruangan,
penjemuran irisan kencur dilakukan dengan menyebarkan irisan tersebut sehingga
tidak terjadi penumpukan yang mengakibatkan tumbuhnya jamur. Pengeringan
dilakukan selama 5-6 hari tanpa kena sinar matahari. Setelah irisan rimpang
tersebut kering kemudian dilakukan penyortiran kering untuk memisahkan
simplisia yang berjamur atau busuk. Setelah disortir simplisia yang kering dan
berwarna coklat muda tersebut kemudian diblender hingga menjadi serbuk halus
(Barus, 2009). Serbuk simplisia rimpang kencur kemudian disimpan dalam wadah
tertutup, pada suhu ruangan. Penyimpanan serbuk tersebut dijauhkan dari sinar
matahari langsung dan tempat yang lembab atau berair.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.1.3 Ekstraksi
Serbuk simplisia rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) dimaserasi
dengan menggunakan pelarut n-heksan yang sebelumnya telah dimurnikan.
Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam botol maserasi dan
ditambahkan n-heksan sebanyak 1 L sampai serbuk simplisia terendam seluruhnya
dan terdapat lapisan pelarut setebal 3 cm di atas serbuk simplisia. Selanjutnya
ditutup dan didiamkan selama 48 jam sambil sesekali diaduk.
Hasil maserasi disaring dengan menggunakan kapas dan kertas saring.
Selanjutnya pada serbuk dilakukan maserasi kembali sebanyak 3 kali pengulangan
hingga pelarut hasil maserasi bening kekuningan. Hasil maserasi kencur disatukan
dan dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 48-50°C sampai
diperoleh larutan pekat ekstrak yang berwarna coklat kekuningan.
3.3.1.4 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur
Ekstrak kental rimpang kencur yang disimpan dalam suhu kamar akan
mengkristal hampir 80% nya. Penyimpanan pada lemari pendingin akan
mempercepat terbentukya kristal. Kristal yang terbentuk kemudian dipisahkan
dari ekstrak kental dengan cara melarutkan ekstrak kental rimpang kencur yang
mengkristal dengan pelarut n-heksan lalu dilakukan penyaringan. Larutan ekstrak
hasil penyaringan kemudian dipekatkan kembali menggunakan vaccum rotary
evaporator pada suhu 48-50°C, lalu proses pemisahan kristal diulangi hingga
ekstrak kental yang diperoleh tidak mengkristal lagi. Kristal yang tertinggal diatas
kertas saring kemudian dicuci menggunakan n-heksan dan sedikit metanol. Kristal
yang tidak ikut terlarut selama proses pencucian disaring untuk dipisahkan dengan
kristal yang terlarut. Kristal yang terlarut dipekatkan kembali dengan vaccum
rotary evaporator pada suhu 48-50°C. Kemudian proses pencucian diulangi
beberapa kali sampai didapatkan kristal murni (Mufidah, 2014 telah dimodifikasi).
3.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat
3.4.1 Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi
pemeriksaan bentuk, warna, bau dan rasa (Depkes RI, 2000).
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.2 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pengujian KLT kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi dilakukan
menggunakan plat silica gel F254 dengan eluen n-heksan dan etil asetat dengan
perbandingan 3:2. Spot yang didapatkan kemudian dihitung nilai Rfnya dan
dibandingkan dengan standar etil p-metoksisinamat. Tujuan dilakukannya
pengujian KLT ini adalah untuk melihat kemurnian kristal etil p-metoksisinamat
hasil isolasi (Mufidah, 2014 telah dimodifikasi).
3.4.3 Pengujian Titik Leleh
Uji ini dilakukan dengan cara memasukkan sedikit kristal ke dalam pipa
kapiler kecil yang kemudian dimasukkan ke dalam alat uji titik leleh. Rentang titik
leleh dimulai dari suhu awal dimana kristal mulai melebur hingga seluruhnya
melebur. Uji titik leleh dilakukan dengan tujuan untuk melihat kemurnian kristal
etil p-metoksisinamat (Ruswanto dan Lestari 2013).
3.4.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS)
Pengujian kristal hasil isolasi menggunakan kromatografi gas spektrometri
masa bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur kadar senyawa etil p-
metoksisinamat yang terkandung didalam kristal hasil isolasi tersebut. Larutan
induk etil p-metoksisinamat dengan konsentrasi 1000 ppm disiapkan dengan cara
melarutkan 100 mg kristal hasil isolasi dalam metanol pro chromatography
hingga 100 mL. Larutan tersebut kemudian diinjekkan ke dalam kromatografi gas
spektrometri massa. Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID
x 0,25 µm); suhu awal 70°C selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 285°C dengan
kecepatan 20°C/min selama 20 menit. Suhu MSD 285°C. Kecepatan aliran 1,2
mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling
rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550 (Umar et al., 2012).
3.5 Pembuatan Sediaan
Sediaan yang akan dibuat meliputi, sediaan salep, krim dan gel, dimana
masing-masing formula mengandung etil p-metoksisinamat 1%. Penentuan dosis
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sediaan ini mengacu pada dosis sediaan setengah padat anti inflamasi natrium
diklofenak yang beredar dipasaran.
3.5.1 Sediaan Salep
Tabel 3.1 Formula Sediaan Salep
Formula Persentase Jumlah Bahan (%)
Kristal EPMS 1
Vaselin album 20
Setil alkohol 7
Propilen glikol 15
Alkohol 96% 5
Lanolin hidrat ad 100
Cara pembuatan : Lanolin hidrat disiapkan dari hasil leburan adeps lanae
sebanyak 75% dan ditambahkan air suling sebanyak 25% kemudian digerus
hingga terbentuk masa setengah padat. Pembuatan salep diawali dengan
meleburkan seluruh bahan dasar salep yaitu lanolin hidrat, vaselin album dan setil
alkohol dalam cawan penguap di atas penangas air hingga suhu 60°C. Kemudian
setelah melebur cawan tersebut diangkat dan dituangkan ke dalam lumpang dan
ditambahkan propilen glikol sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.
Setelah basis salep terbentuk dan dingin, kristal kencur yang sebelumnya telah
dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan sedikit demi sedikit sambil digerus
hingga homogen.
3.5.2 Sediaan Krim
Tabel 3.2 Formula Sediaan Krim
Formula Persentase Jumlah Bahan (%)
Kristal EPMS 1
Asam stearat 5
Isopropil miristat 3
Setil alkohol 3
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Cara pembuatan : asam stearat, isopropil miristat, setil alkohol, minyak
zaitun dilebur menjadi satu dalam cawan I hingga suhu 60°C (fase minyak). Metil
paraben, propil paraben, propilen glikol, trietanolamin dan air suling dilebur
hingga suhu 60°C dalam cawan penguap II sebagai (Fase air). Kedua fase tersebut
dicampur menjadi satu dalam lumpang, kemudian digerus terus menerus hingga
terbentuk masa krim. Setelah masa krim terbentuk dan suhunya telah menurun
ditambahkan vitamin E kemudian digerus hingga homogen. Setelah itu kristal
kencur yang sebelumnya telah dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan
dengan sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.
3.5.3 Sediaan Gel
Tabel 3.3 Formula Sediaan Gel
Formula Persentase Jumlah Bahan (%)
Kristal EPMS 1
Karbopol 940 1
Propilen glikol 15
Matil paraben 0,2
Propil paraben 0,1
Natrium metabisulfit 0,2
Trietanolamin 1
Alkohol 96% 5
Air suling Ad 100
Minyak zaitun 1
Trietanolamin 0,2
Propilen glikol 15
Metil paraben 0,2
Propil paraben 0,1
Vitamin E 0,1
Alkohol 96% 5
Air suling ad 100
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Cara pembuatan : Karbopol didispersikan dalam air suling dingin
kemudian diaduk sampai homogen, setelah itu ditambahkan air suling panas
secukupnya diaduk hingga homogen, kemudian didiamkan beberapa saat setelah
itu ditambahkan trietanolamin dan diaduk perlahan hingga homogen dan
membentuk gel. Kemudian ditambahkan campuran air suling dengan propilen
glikol, natrium metabisulfit, metil paraben dan propil paraben yang telah
dididihkan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen. Setelah itu kristal
kencur yang sebelumnya telah dilarutkan dengan alkohol 96% ditambahkan
sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.
3.6 Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan
Penetapan kadar etil p-metoksisinamat dilakukan dengan metode
spektrofotometri UV-Vis terhadap tiga sediaan yang telah dibuat. Penetapan kadar
dilakukan dengan cara mengekstraksi etil p-metoksisinamat dari sediaan dengan
menggunakan pelarut metanol. Sebanyak 500 mg sediaan dilarutkan dalam
metanol sampai 50 mL kemudian disaring menggunakan kertas saring. Hasil
penyaringan yang merupakan hasil ekstraksi dengan konsentrasi 100 ppm
kemudian dibuat pengenceran dengan konsentrasi 5 ppm untuk masing-masing
sediaan. Pengenceran hasil ekstraksi tersebut kemudian dibaca serapannya.
Serapan yang didapatkan kemudian dikurangi dengan serapan blanko (basis
sediaan) dan disubstitusikan ke persamaan linier yang diperoleh dari kurva
kalibrasi untuk mendapatkan nilai kadar etil p-metoksisinamat dalam masing-
masing sediaan. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan pada titik
pengambilan yang berbeda pada masing-masing sediaan.
3.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol
Kristal etil p-metoksisinamat sebanyak 10 mg dilarutkan dalam 100 mL
metanol untuk dibuat larutan induk 100 ppm. Larutan induk tersebut kemudian
diencerkan dan dibuat seri konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6
ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Sebelum diukur serapan pada masing-masing seri
konsentrasi, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum pada satu
konsentrasi. Kemudian masing-masing seri konsentrasi tersebut diukur
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serapannya pada panjang gelombang yang telah didapatkan dan dibuat kurva
kalibrasinya. Persamaan regresi linier yang didapatkan dari kurva kalibrasi
kemudian digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel pada penetapan kadar
etil p-metoksisinamat dalam sediaan.
3.6.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan
Sampel hasil pengenceran dari larutan induk hasil ekstraksi masing-
masing sediaan kemudian diukur serapannya. Serapan yang didapatkan dikurangi
dengan serapan blanko (basis kosong tanpa zat aktif) kemudian disubstitusikan ke
persamaan regresi linier kurva kalibrasi untuk didapatkan nilai konsentrasinya.
Kemudian kadar etil p-metoksisinamat ditentukan dalam persen dengan cara
membagi hasil konsentrasi sebenarnya dengan konsentrasi teoritis dikalikan
seratus persen.
3.7 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro
Uji penetrasi sediaan dilakukan dengan menggunakan alat sel difusi franz.
Membran difusi yang digunakan adalah membran kulit abdomen tikus putih
betina galur Sprague Dawley berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat badan 150-
200 gram. Ukuran diameter membran yang digunakan 3,14 cm² disesuaikan
dengan alat uji difusi dengan ketebalan 0,6 mm ± 0,1 mm. Medium kompartemen
reseptor yang digunakan pada pengujian ini adalah larutan yang terdiri dari dapar
fosfat pH 7,4-etanol 96% (1:1) yang selanjutnya larutan ini disebut dengan larutan
EDP (Ramadon, 2012).
Pengujian dilakukan terhadap tiga formula sediaan yang telah dibuat
dengan kandungan etil p-metoksisinamat 1%. Pegukuran kadar etil p-
metoksisinamat yang terpenetrasi menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Dari
hasil pengukuran yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan jumlah zat aktif
yang terpenetrasi per luas area dan kecepatan penetrasi zat aktif tiap satuan waktu.
3.7.1 Penyiapan Membran Difusi
Membran difusi yang digunakan adalah membran kulit abdomen tikus
putih betina galur Sprague Dawley yang berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
badan 150-200 gram. Tikus putih betina yang telah dibius dengan eter hingga
mati, kemudian dicukur bulunya pada bagian abdomen secara hati-hati dan
secepat mungkin. Kulit tersebut kemudian dipotong dan dibersihkan dari lemak
subkutan yang menempel menggunakan air mengalir (Ramadon, 2012). Kulit
yang telah bersih kemudian dipotong sesuai ukuran alat difusi kemudian
dimasukkan ke dalam botol yang telah berisi larutan NaCl 0,9% fisiologis. Botol
tersebut kemudian disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20°C (Bartosova,
Bajgar, 2012).
3.7.2 Pembuatan Larutan EDP
Pembuatan larutan EDP diawali dengan pembuatan larutan dapar fosfat pH
7,4 dengan cara sebanyak 250 ml larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M
dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL, kemudian ditambahkan kira-kira 195,5
ml larutan natrium hidroksida 0,2 M dan dilakukan pengujian pH menggunakan
pH meter hingga pH 7,4. Selanjutnya ditambahkan air suling sampai tanda batas,
kemudian labu ukur dikocok hingga larutan homogen, setelah itu larutan dapar
fosfat pH 7,4 tersebut disimpan dalam wadah tertutup rapat, dibungkus dengan
alumunium foil (Depkes RI, 1995 dalam Ramadon, 2012 ).
Campuran etanol 96% dan dapar fosfat pH 7,4 (1:1) dibuat dengan cara
memasukkan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL
kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 50 mL dan ditambahkan dapar
fosfat pH 7,4 sampai batas garis 100 mL, dikocok hingga homogen.
3.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan
EDP
Dibuat larutan induk 100 ppm etil p-metoksisinamat dalam larutan EDP
sebanyak 100 mL dengan cara menimbang 10 mg etil p-metoksisinamat
dilarutkan dalam larutan EDP secukupnya, dipindahkan ke dalam labu ukur dan
ditambahkan larutan EDP sampai batas garis 100 mL. Larutan induk tersebut
kemudian dibuat seri konsentrasi larutan 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6
ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Sebelum dilakukan pengukuran serapan pada tiap-tiap
seri konsentrasi, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang maksimum pada
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
satu konsentrasi. Setelah didapatkan panjang gelombang maksimum, masing-
masing seri larutan tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang maksimal
tersebut. Hasil dari pengukuran tersebut kemudian dibuat kurva regresi linier dan
diperoleh nilai persamaan yang akan digunakan untuk perhitungan kadar etil p-
metoksisinamat terpenetrasi.
3.7.4 Uji Penetrasi Sediaan
Sediaan ditimbang 200 mg dan diratakan di atas membran. Suhu media
adalah 37 ± 0,5 ºC dengan total volume cairan reseptor 21 mL serta diaduk
dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 500 rpm. Proses dilakukan selama 8
jam. Cuplikan diambil dari media kompartemen reseptor pada menit ke 10, 30, 60,
90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480 sebanyak 1 ml dan segera digantikan
dengan larutan EDP sejumlah volume yang sama (Lachman et al.,1994). Cuplikan
yang diperoleh kemudian dilakukan pengenceran dan diukur serapannya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimal yang
telah didapatkan sebelumnya. Proses yang sama dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan terhadap ketiga sediaan.
3.7.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat Aktif
Jumlah kumulatif zat aktif yang terpenetrasi per luas area difusi (µg/cm2)
dapat dihitung dengan rumus : = + ∑ .Keterangan :
Q = jumlah kumulatif zat per luas area difusi (µg/cm2)
Cn = konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling ke-n∑ . = jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling
pertama (menit ke-10 hingga sebelum menit ke –n)
V = volume medium reseptor difusi franz (mL)
S = volume sampling (500 mL)
A = luas area membran (cm2)
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi tiap satuan
waktu) obat berdasarkan hukum Fick I : =Keterangan :
J = fluks (µg cm-2 jam-1)
S = luas area difusi (cm2)
M = jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg)
T = waktu (jam)
Setelah itu dibuat grafik jumlah kumulatif yang terpenetrasi (µg) perluas
area difusi (cm2) terhadap waktu (jam) (Ramadon, 2012).
51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Isolasi Kristal Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur
4.1.1 Pembuatan Ekstrak Kencur
Rimpang kencur segar yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20
kg, setelah melalui serangkaian proses pembuatan simplisia diperoleh serbuk
simplisia rimpang kencur sebanyak 4,2 kg. Serbuk simplisia yang dihasilkan
berwarna kuning kecoklatan. Pembuatan serbuk simplisia bertujuan untuk
memperkecil ukuran partikel simplisia dan memperluas permukaan simplisia,
sehingga simplisia akan lebih banyak kontak dengan pelarut ketika diekstrasi dan
menghasilkan banyak senyawa yang tersari ke dalam pelarut. Gambar sebuk
simplisia dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Serbuk simplisia rimpang kencur[Sumber : koleksi pribadi]
Serbuk simplisia sebanyak 3,5 kg diekstraksi menggunakan cara dingin
yaitu dengan metode maserasi menggunakan pelarut n-heksan teknis yang telah
didestilasi. Metode maserasi dipilih karena pengerjaannya mudah dan peralatan
yang digunakan sederhana, selain itu metode ini juga cocok untuk senyawa yang
termolabil (Tiwari et al., 2011). Penggunaan pelarut n-heksan sebagai penyari
berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Taufikurohmah, Rusmini dan
Nurhayati tahun 2008 yang menyatakan bahwa kepolaran etil p-metoksisinamat
lebih mendekati heksan karena dalam etil p-metoksisinamat terdapat dua gugus
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang mendukung sifat non-polar yaitu gugus ester yang mengandung cincin
benzen dan gugus metoksi, sedangkan gugus yang mendukung ke arah polar
hanya satu yaitu adanya karbonil yang mengikat etil. Proses maserasi diulangi
sebanyak 3 kali pengulangan (lihat skema proses ekstraksi pada Lampiran 2) dan
menghasilkan ekstrak kental berwarna coklat kekuningan 106,53 gram. Ekstrak
kental yang didapatkan sebagian akan mengkristal saat penyimpanan pada suhu
ruangan (Umar et al., 2012).
4.1.2 Isolasi Etil p-Metoksisinamat
Isolasi senyawa etil p-metoksisinamat dilakukan dengan cara rekristalisasi
senyawa (lihat skema rekristalisasi senyawa pada Lampiran 3).Senyawa etil p-
metoksisinamat mengkristal pada suhu ruang, sehingga tahap isolasi menjadi
mudah. Hampir 80% dari ekstrak kental yang didapatkan mengkristal saat
dibiarkan disuhu ruang (Umar et al., 2012).
Proses rekristalisasi senyawa ini dilakukan dengan dua tahapan proses
yaitu pemisahan kristal dan pencucian kristal. Pemisahan kristal dilakukan dengan
menambahkan pelarut n-heksan pada ekstrak kental, kemudian disaring. Tahapan
ini bertujuan untuk memisahkan kristal etil p-metoksisinamat yang terbentuk dari
kandungan ekstrak lainnya. Selanjutnya dilakukan proses pencucian kristal etil p-
metoksisinamat menggunakan pelarut n-heksan dan metanol. Pencucian kristal
bertujuan untuk memisahkan pengotor yang menempel pada kristal sehingga
didapatkan kristal yang murni. Penggunaan pelarut n-heksan dan metanol pada
tahap ini bertujuan untuk memisahkan senyawa semi polar yang sulit terpisah dari
kristal etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014 telah diolah kembali). Kristal yang
didapatkan sebanyak 40 gram dengan nilai rendemen kristal sebesar 1,143% (lihat
perhitungan rendemen kristal pada Lampiran 6)
4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat
Identifikasi dan uji kemurnian kristal etil p-metoksisinamat dilakukan
dengan empat cara yaitu pengamatan organoleptis, uji kromatografi lapis tipis, uji
titik leleh, dan uji kromatografi gas spektrofotometri massa.
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis terhadap kristal etil p-metoksisinamat hasil
isolasi bertujuan untuk melihat identitas kristal etil p-metoksisinamat. Pemerian
kristal berdasarkan hasil pengamatan secara organoleptis yaitu kristal berbentuk
jarum, berwarna kuning pucat dan berbau khas aromatik lemah. Gambar kristal
etil p-metoksisinamat hasil isolasi dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi[Sumber : koleksi pribadi]
4.2.2 Pengujian KLT (Kromatografi Lapis Tipis)
Uji KLT dilakukan terhadap kristal hasil isolasi untuk memastikan
kemurnian dari kristal tersebut. Penggunaan plat silica gel F254 bertujuan agar spot
senyawa dapat terlihat saat pembacaan pada sinar UV 254 nm. Penggunaan eluen
n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 3:2 bertujuan agar senyawa etil p-
metoksisinamat yang bersifat semi polar dapat tertarik dan terpisah dengan
senyawa lain. Parameter kemurnian dapat dilihat dari jumlah spot dan
perbandingan nilai Rf antara kristal hasil isolasi dengan standar etil p-
metoksisinamat (Ruswanto dan Lestari, 2013). Berdasarkan nilai Rf kristal hasil
isolasi dengan standar etil p-metoksisinamat menunjukkan nilai yang sama yaitu
0,8 dan hanya terdapat satu spot, sehingga kristal hasil isolasi dapat dikatakan
murni senyawa etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014). Spot standar etil p-
metoksisinamat dan isolat kristal dapat dilihat pada Gambar 4.3.
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.3 Spot senyawa etil p-metoksisinamat pada plat silica gel F254
(visualisasi sinar UV λ 254 nm). (a) Standar etil p-metoksisinamat;(b) isolat kristal etil p-metoksisinamat
[Sumber : koleksi pribadi]
4.2.3 Pengujian Titik Leleh
Uji titik leleh dilakukan terhadap kristal hasil isolasi untuk memastikan
kemurnian dari kristal tersebut. Rentang titik leleh dimulai dari suhu awal dimana
kristal mulai melebur hingga seluruhnya melebur. Parameter kemurnian suatu
senyawa dapat dinilai dari rentang titik leleh awal hingga melebur sempurna tidak
lebih dari 2°C (Ruswanto, 2013). Rentang titik leleh yang didapatkan dari
pengujian ini yaitu 49-50°C hanya lebih 1°C dengan titik leleh standar etil p-
metoksisinamat yaitu 49°C (Umar et. al., 2014). Oleh karena itu kristal hasil
isolasi dapat dikatakan murni senyawa etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014).
4.2.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa (GC-MS)
Pengujian kristal hasil isolasi dengan metode kromatografi gas
spektrometri massa (GC-MS) dilakukan untuk melihat identitas kristal dan
kemurnian senyawa etil p-metoksisinamat. Penggunaan metanol pro
chromatography sebagai pelarut sampel pada pengujian ini dikarenakan etil p-
metoksisinamat memiliki kelarutan tertinggi pada pelarut tersebut. Identitas
senyawa etil p-metoksisinamat ditunjukkan oleh waktu retensi, bobot molekul dan
fragmentasi masa. Hasil interpretasi GC-MS menunjukkan bahwa senyawa isolat
kencur muncul pada waktu retensi 9,914 menit, bobot molekul 206,1 dengan
fragmentasi massa 161, 134, 118, 89, 77, 63 dan 51. Sedangkan standar etil p-
metoksisinamat muncul pada 9,913 menit, bobot molekul 206,0 dengan
(a) (b)
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
fragmentasi massa 161, 134, 118, 89, 77, 63 dan 51. Kedua hasil tersebut sesuai
dengan literatur yang menyatakan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat muncul
pada waktu retensi 9,9, bobot molekul 206,4 serta memiliki fragmentasi massa
pada 161, 134, 118, 89, 77, 63 dan 51 (Umar et al., 2012). Parameter kemurnian
ditunjukkan dari hasil nilai luas puncak kristal etil p-metoksisinamat. Berdasarkan
nilai luas puncak baik kristal hasil isolasi maupun standar etil p-metoksisinamat
menunjukkan bahwa kadar senyawa etil p-metoksisinamat adalah murni 100%
(lihat pada Lampiran 7). Kromatogram standar etil p-metoksisinamat dapat dilihat
pada Gambar 4.4, sedangkan kromatogram isolat kristal etil p-metoksisinamat
dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.4 Kromatogram standar etil p-metoksisinamat. (a) waktu retensi; (b)fragmentasi massa dan bobot molekul.
[Sumber : koleksi pribadi]
(a)
(c)
(b)
(b)
(c)
(a)
(b)
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.5 Kromatogram isolat kristal etil p-metoksisinamat. (a) waktu retensi;(b) fragmentasi massa dan bobot molekul.
[Sumber : koleksi pribadi]
4.3 Pembuatan Sediaan
4.3.1 Pembuatan Sediaan Salep
Sediaan salep dibuat dengan cara meleburkan seluruh bahan dasar salep
yaitu lanolin hidrat, vaselin album, dan setil alkohol dalam cawan penguap di atas
penangas air hingga suhu 60°C. Lanolin hidrat dipilih sebagai basis utama dalam
sediaan ini karena kemampuannya yang dapat menyerap sedikit air. Setil alkohol
digunakan sebagai pengemulsi tipe A/M, sedangkan vaselin album berfungsi
untuk pencukup volume dan pembentuk tekstur salep sehingga tidak terlalu
lembek dan cair. Peleburan dilakukan hingga suhu 60°C karena pada suhu
(a)
(b)
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tersebut seluruh basis salep telah melebur dengan sempurna. Setelah melebur
sempurna, campuran tersebut diangkat dan dituangkan kedalam lumpang
kemudian digerus sambil ditambahkan propilen glikol hingga terbentuk masa
salep. Propilen glikol berfungsi sebagai agen peningkat penetrasi yang membantu
senyawa etil p-metoksisinamat berdifusi kedalam kulit.
Kristal etil p-metoksisinamat yang telah ditimbang sebanyak 1% dari
bobot sediaan yang dibuat kemudian dilarutkan dalam alkohol 96%. Tujuan
dilarutkannya kristal etil p-metoksisinamat dalam alkohol 96% adalah untuk
mempermudah mencampurkannya ke dalam basis salep, selain itu alkohol 96%
juga berfungsi sebagai agen peningkat penetrasi etil p-metoksisinamat kedalam
kulit. Pemilihan alkohol 96% sebagai pelarut dalam sediaan karena toksisitasnya
lebih rendah dibandingkan pelarut semi polar lainnya yang dapat melarutkan etil
p-metoksisinamat. Larutan etil p-metoksisinamat dalam alkohol 96%
dicampurkan kedalam basis salep yang telah dingin sedikit demi sedikit hingga
homogen. Sediaan yang dihasilkan berwarna kuning, berbau khas lemah dengan
bentuk semi padat, jika dioleskan meninggalkan bekas minyak dikulit.
4.3.2 Pembuatan Sediaan Krim
Sediaan krim dibuat dengan cara melebur masing-masing fase minyak dan
fase air dalam cawan penguap diatas penangas air hingga suhu 60°C. Fase minyak
pada sediaan krim ini terdiri asam stearat, setil alkohol, isopropil miristat dan
minyak zaitun. Pemilihan fase minyak pada sediaan ini telah disesuaikan dengan
kompatibilitas zat aktif. Perbandingan persentase masing-masing fase minyak
didalam sediaan juga disesuaikan dengan konsentrasi lazim dalam Handbook of
Pharmaceutical Excipient serta disesuaikan dengan tekstur krim yang semi padat,
mudah dioleskan dan tidak meninggalkan bekas minyak dikulit.
Fase air pada sediaan krim ini terdiri dari air suling, propilen glikol, metil
paraben, propil paraben dan TEA. TEA berfungsi sebagai emulgator fase air dan
juga pengatur pH agar sesuai dengan pH kulit (4,5-6,5). Metil paraben dan propil
paraben berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri pada sediaan,
mengingat hampir 50% sediaan mengandung fase air yang mudah ditumbuhi
jamur dan bakteri. Setelah kedua fase melebur sempurna dan masing-masing
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mencapai suhu yang telah ditetapkan, kedua fase dituangkan dalam suatu lumpang
yang bersih dan digerus hingga terbentuk masa krim. Setelah masa krim yang
terbentuk dingin, kemudian ditambahkan vitamin E. Vitamin E berfungsi sebagai
antioksidan dalam sediaan.Tahap selanjutnya sama dengan tahap pembuatan
salep. Sediaan krim yang terbentuk berwarna kuning kehijauan, berbau khas
lemah dengan bentuk semi padat dan tidak meninggalkan bekas minyak setelah
dioleskan di kulit.
4.3.3 Pembuatan Sediaan Gel
Sediaan gel dibuat dengan cara mendispersikan karbopol 940 dengan air
suling, lalu ditambahkan air suling panas kemudian ditambahkan TEA. Karbopol
940 digunakan sebagai bahan utama basis gel, sedangkan TEA bertujuan untuk
mengembangkan karbopol menjadi basis gel. Basis gel yang terbentuk kemudian
ditambahkan campuran air suling, propilen glikol, metil paraben, propil paraben
dan natrium metabisulfit yang sebelumnya telah dipanaskan. Propilen glikol, metil
paraben dan propil paraben dalam sediaan ini memiliki fungsi yang sama dengan
fungsi pada sediaan krim. Tahap selanjutnya sama dengan tahap pembuatan salep
dan krim. Sediaan yang terbentuk berwarna kuning sedikit transparan, berbau
khas lemah dan cepat meresap kedalam kulit.
Gambar 4.6 (a) Sediaan salep; (b) Sediaan krim; (c) Sediaan gel dengankandungan etil p-metoksisinamat 1%.
[Sumber : koleksi pribadi]
4.4 Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan
Kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan ditetapkan dengan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Seperti halnya penetapan kadar
hasil uji penetrasi, metode ini dipilih karena selain cepat, sederhana dan mudah
(a) (b) (c)
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penanganannya, metode ini juga sering digunakan sebagai analisa kuantitatif
untuk penetapan kadar suatu senyawa (Henry, Suryadi, Yanuar 2002). Penetapan
kadar dengan metode spektrofotometri UV-Vis terlebih dahulu harus dibuat kurva
kalibrasi standar etil p-metoksisinamat dalam pelarut yang akan digunakan untuk
mengekstraksinya dalam sediaan. Setelah itu etil p-metoksisinamat yang
terkandung dalam masing-masing sediaan diekstraksi pada konsentrasi tertentu,
kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol
Pembuatan kurva kalibrasi etil p-metoksisinamat dalam metanol dilakukan
untuk mendapatkan persamaan regresi linier yang akan digunakan untuk
menetapkan kadar etil p-metoksisinamat dalam masing-masing sediaan. Tahap ini
diawali dengan penentuan panjang gelombang etil p-metoksisinamat dalam
metanol. Berdasarkan hasil pengukuran panjang gelombang tersebut didapatkan
puncak serapan yaitu pada 308,2 nm. Menurut Tanjung pada penelitiannya tahun
1997, identifikasi kristal etil p-metoksisinamat secara spektrofotometri UV-Vis
dengan pelarut etanol memberikan dua puncak pada panjang gelombang 225 nm
dan 307 nm. Sedangkan menurut Rohmah, Taufikurohmah dan Poernowo pada
penelitiannya tahun 2009, menyatakan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat
memiliki panjang gelombang maksimum 228 nm (benzen) dan 310 nm (sinamoil).
Panjang gelombang maksimal tersebut kemudian digunakan sebagai optimasi
pada pembuatan kurva kalibrasi standar etil p-metoksisinamat dan pengukuran
larutan uji.
Pembuatan kurva kalibrasi etil p-metoksisinamat dalam pelarut metanol
pada panjang gelombang maksimum 308,2 nm menghasilkan persamaan regresi
linier y = 0,125x - 0,009 dengan nilai koefisien relasi = 0,9995. Data kurva
kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran 10. Kurva kalibrasi penetapan kadar etil p-
metoksisinamat dalam sediaan dapat dilihat pada Lampiran 11.
4.4.2 Pengukuran Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan
Pada penetapan kadar etil p-metoksisinamat ini perlu dilakukan ekstraksi
etil p-metoksisinamat dari masing-masing sediaan. Ekstraksi tersebut dilakukan
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan cara melarutkan sediaan di dalam metanol. Metanol dipilih sebagai pelarut
pengekstraksi sebab etil p-metoksisinamat sangat mudah larut dalam metanol.
Larutan hasil ekstraksi kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi
5 ppm pada masing-masing sediaan. Larutan hasil pengenceran kemudian diukur
serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang
308,2 nm. Perlakuan ini diulangi hingga 3 kali pengulangan pada masing-masing
sediaan di titik-titik pengambilan yang berbeda.
Perlakuan tersebut juga dilakukan terhadap basis masing-masing sediaan
tanpa etil p-metoksisinamat. Kemudian hasil absorbansi sampel yang didapatkan
dikurangi dengan absorbansi basis tanpa etil p-metoksisinamat. Data hasil
pengukuran kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan dapat dilihat pada
Lampiran 12. Berdasarkan hasil penetapan kadar diketahui bahwa kadar etil p-
metoksisinamat dalam sediaan salep, krim dan gel berturut–turut yaitu 0,86%,
1,03% dan 1,00 %.
4.5 Uji Penetrasi Sediaan Secara In Vitro
4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan
EDP
Pembuatan kurva kalibrasi etil p-metoksisinamat untuk uji penetrasi sama
halnya dengan pembuatan kurva kalibrasi untuk penetapan kadar etil p-
metoksisinamat dalam sediaan. Perbedaannya terletak pada pelarut yang
digunakan untuk melarutkan standar etil p-metoksisinamat. Panjang gelombang
maksimum standar etil p-metoksisinamat dalam larutan EDP yaitu 310,2 nm.
Persamaan regresi linier hasil pembuatan kurva kalibrasi yaitu y = 0,117x + 0,002
dengan nilai koefisien relasi= 0,9997. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran
15, sedangkan data kurva kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran 14.
4.5.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus
Uji penetrasi secara in vitro menggunakan kulit sebagai membran.
Membran dapat berupa membran biologis dari hewan atau membran artificial
seperti membran selofan. Membran yang digunakan pada penelitian ini adalah
membran dari kulit abdomen tikus putih betina galur Sprague Dawley yang
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berumur 2-3 bulan dengan kisaran berat 150-200 gram. Membran yang digunakan
diseleksi dengan ketebalan 0,6 ± 0,1 mm dan luas membran 3,14 cm2 disesuaikan
dengan alat uji difusi. Kulit tikus ini dipilih sebagai membran difusi karena cukup
mudah didapatkan dan permeabilitas kulit tikus yang telah dicukur bulunya mirip
dengan permeabilitas kulit manusia. Kulit manusia memiliki koefisien
permeabilitas sebesar 93 cm/jam x 105, sedangkan kulit tikus yang telah dicukur
bulunya memiliki koefisien permeabilitas sebesar 103 cm/jam 105 (Kielhorn,
Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Akan tetapi, penggunaan kulit tikus ini juga
memiliki kekurangan lainnya yaitu memiliki luas penampang yang kecil. Untuk
mengatasinya, kulit diambil pada daerah yang sama sehingga memperkecil variasi
tempat yang akan digunakan untuk uji penetrasi (Hadyanti, 2008).
Tikus yang sehat dibius dengan eter hingga mati, kemudian kulit bagian
abdomen dicukur bulunya secara hati-hati. Pencukuran bulu pada kulit dilakukan
secepat mungkin agar tidak terjadi luka pada kulit yang dapat berpengaruh
terhadap laju penetrasi suatu obat. Kulit bagian abdomen yang telah dicukur
kemudian dipotong dan dibersihkan dari lemak subkutan yang menempel. Lemak
subkutan yang masih menempel pada kulit dapat mengganggu penetrasi etil p-
metoksisinamat ke dalam kulit (Ramadon, 2012). Kulit yang telah dibersihkan
dengan air kemudian dipotong sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan, lalu
disimpan di dalam botol yang berisi NaCL 0,9% fisiologis pada suhu -20°C.
Penyimpanan kulit segar dapat bertahan selama 1 bulan jika disimpan pada suhu
-20°C dan tidak memiliki efek relevan pada permeabilitas in vitro baik kulit
manusia maupun kulit hewan (Bartosova, Bajgar, 2012).
4.5.3 Pengujian Penetrasi Etil p-Metoksisinamat
Pada pengujian ini dilakukan uji penetrasi etil p-Metoksisinamat secara in
vitro menggunakan sel difusi franz. Uji ini dilakukan untuk mengetahui jumlah
etil p-metoksisinamat terpenetrasi melalui kulit selama interval waktu tertentu dari
sediaan salep, krim dan gel yang telah dibuat (Bartosova, Bajgar, 2012).
Hal yang harus diperhatikan pada uji penetrasi secara in vitro adalah
kelarutan zat aktif. Pada pengujian ini etil p-metoksisinamat harus larut dalam
cairan kompartemen reseptor yang digunakan. Berdasarkan struktur kimia etil p-
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
metoksisinamat diketahui bahwa etil p-metoksisinamat bersifat hidrofobik,
sehingga akan sulit larut dalam medium kompartemen reseptor jika medium yang
digunakan air atau dapar fosfat pH 7,4. Untuk mengatasi masalah kelarutan obat
hidrofobik, maka diperbolehkan untuk menambahkan bahan pensolubilisasi ke
dalam kompartemen reseptor (Ramadon, 2012). Medium kompartemen reseptor
yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran yang terdiri dari etanol 96%
dan dapar fosfat pH 7,4 dengan perbandingan 1:1 (Larutan EDP). Dapar fosfat pH
7,4 dipilih untuk medium reseptor sebagai simulasi cairan biologis tubuh.
Penambahan etanol 96% pada medium reseptor digunakan sebagai bahan
pensolubilisasi.
Sebelum dilakukan uji penetrasi, membran kulit yang disimpan pada suhu
-20°C diambil kemudian direndam pada medium kompartemen reseptor selama
10-30 menit. Perendaman ini dilakukan untuk mengkondisikan kulit seperti
sebelum dilakukan penyimpanan (Bartosova, Bajgar, 2012). Sediaan ditimbang
sebanyak 200 mg dan diratakan di atas membran yang telah diletakkan diatas alat
uji difusi. Penentuan bobot sediaan yang diaplikasikan berdasarkan luas membran
dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang
terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya
penumpukan sediaan pada lapisan atas membran. Sehingga zat aktif tidak
sepenuhnya terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit
(Simanjuntak, 2006).
Pengujian dilakukan selama 8 jam, dengan suhu medium kompartemen
reseptor 37 ± 0,5°C disesuaikan dengan kondisi suhu tubuh. Total volume cairan
reseptor yaitu 21 mL dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. Pencuplikan
dilakukan pada menit ke 10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420 dan 480
(Anggraeni, 2008). Pencuplikan sebanyak 1 ml dan digantikan dengan medium
kompartemen reseptor yang baru dengan volume yang sama untuk
mempertahankan sink condition (Lachman et al.,1994). Hasil cuplikan kemudian
dilakukan pengenceran dan di ukur serapannya menggunakan spektrofotometri
UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 310,2 nm.
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5.4 Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area
Jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area dapat dihitung dari
data absorbansi hasil pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis (contoh
perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 25 & 26). Data hasil perhitungan
jumlah kumulatif difusi etil p-metoksisinamat per luas area dapat dilihat pada
tabel 4.1, sedangkan grafik jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat per luas area
dapat dilihat pada Gambar 4.7. Tabel 4.2 menunjukkan data persentase kumulatif
difusi etil p-metoksisinamat.
Tabel 4.1 Jumlah Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area dari
Sediaan Salep, Krim dan Gel.
Waktu(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area(µg/cm2)
Salep Krim Gel0 0 ,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,0010 7 ,58 ± 1,81 7,41 ± 1,44 6,82 ± 0,5130 28,60 ± 7,33 19,98 ± 5,02 28,59 ± 5,9860 59,42 ± 13,19 56,65 ± 12,79 90,11 ± 11,9190 92,93 ± 15,64 153,88 ± 8,36 210,55 ± 20,02120 113,01 ± 22 ,05 234,83 ± 18,56 335,58 ± 30,25180 182,57 ± 30 ,05 296,14 ± 33,30 501,13 ± 30,13240 226,99 ± 23 ,80 402,86 ± 32,82 571,75 ± 37,61300 256,01 ± 21 ,01 473,29 ± 23,83 582,24 ± 31,60360 284,55 ± 19 ,51 506,32 ± 19,75 589,46 ± 31,55420 308,52 ± 22 ,90 538,10 ± 10,34 561,14 ± 27,81480 299,69 ± 12 ,70 548,12 ± 5,85 541,80 ± 17,31
Gambar 4.7 Grafik jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat yang berdifusi perluas area.
050100150200250300350400450500550600
0 60 120 180 240 300 360 420 480Jum
lah
Zat
Akt
if T
erpe
netr
asi
Per
Lua
s A
rea
(µg/
cm²)
Waktu (Menit)
Salep
Krim
Gel
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.2 Persentase Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area
Waktu(Menit)
% Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat PerLuas Area
Salep Krim Gel0 0 ,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,0010 1 ,11 ± 0,33 1,13 ± 0,22 1,04 ± 0,0830 4,17 ± 1,34 3,05 ± 0,77 4,36 ± 0,9160 9,16 ± 2,42 8,65 ± 1,95 13,75 ± 1,8290 14,34 ± 2,86 23,49 ± 1,28 32,14 ± 3,06120 19,21 ± 4,04 35,85 ± 2,83 51,23 ± 4,62180 29,25 ± 5,51 45,20 ± 5,08 76,50 ± 4,60240 37,07 ± 4,36 61,50 ± 5,01 87,28 ± 5,74300 44,94 ± 3,82 72,25 ± 3,64 88,88 ± 4,82360 49,71 ± 3,85 77,29 ± 3,01 89,98 ± 4,82420 51,21 ± 4,19 82,14 ± 1,58 85,66 ± 4,24480 54,25 ± 2,33 83,67 ± 0,89 82,71 ± 2,64
Dari hasil difusi etil p-metoksisinamat selama 8 jam pada tabel 4.1 dan
tabel 4.2 dapat dilihat bahwa nilai persentase dan jumlah kumulatif zat aktif
terpenetrasi per luas area melalui membran kulit tikus tertinggi pada jam ke- 6
dihasilkan oleh sediaan gel yaitu 89,98 ± 4,82%, diikuti oleh sediaan krim yaitu
77,29 ± 3,01%, dan nilai terendah dihasilkan oleh sediaan salep yaitu 49,71 ±
2,33%. Nilai tersebut menunjukkan kadar etil p-metoksisinamat yang terdapat
didalam cairan reseptor. Selain yang terakumulasi dalam medium reseptor, etil p-
metoksisinamat yang berdifusi sebagian tertinggal dalam jaringan kulit tikus yang
digunakan sebagai membran difusi. Oleh karena itu jumlah total etil p-
metoksisinamat yang berdifusi sebenarnya lebih besar dari nilai terukur dalam
cairan reseptor (Anggraeni, 2008).
Penetrasi etil p-metokisisinamat ke dalam kulit dapat terjadi karena
beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi penetrasi etil p-
metoksisinamat ke dalam kulit yaitu agen peningkat penetrasi. Agen peningkat
penetrasi yang terkandung dalam sediaan yaitu alkohol 96% dan propilen glikol.
Alkohol dalam sediaan yang berfungsi sebagai pelarut etil p-metoksisinamat juga
mampu meningkatkan penetrasi etil p-metoksisinamat ke dalam kulit. Hal ini
terjadi karena alkohol dapat mengekstrak lipid dan protein pada stratum korneum
sehingga kepolaran stratum korneum meningkat dan senyawa hidrofilik dapat
masuk menembus stratum korneum. Alkohol juga meningkatkan kelarutan zat
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lipofilik dalam area lipofilik stratum korneum (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf,
2006). Propilen glikol dilaporkan dapat meningkatkan penetrasi senyawa lipofilik.
Mekanisme kerja propilen glikol sebagai agen peningkat penetrasi hanya dapat
terjadi pada senyawa yang lebih larut dalam alkohol daripada air. Hal ini sesuai
dengan sifat kelarutan etil p-metoksisinamat yang lebih larut dalam alkohol
daripada air (Nuebert, 2006).
Adanya komponen zat pembawa yang dapat menghidrasi kulit juga turut
mendorong terjadinya absorpsi dalam kulit. Hidrasi stratum korneum merupakan
salah satu faktor utama yang meningkatkan penetrasi zat aktif baik hidrofilik atau
lipofilik melalui membran. Hal ini disebabkan oleh struktur histologi sel tanduk
dan oleh benang-benang keratin yang dapat mengembang dalam air dan pada
media lipida amorf yang meresap disekitarnya (Simanjuntak, 2006). Umumnya
stratum korneum mengandung 5-20% air, dan dapat meningkat hingga diatas 50%
ketika terjadi hidrasi. Terjadinya hidrasi kulit maka kulit akan bersifat lebih
permeabel. Sifat permeabilitas kulit yang meningkat akan meningkatkan penetrasi
obat (Kielhorn, Kollmuβ, Mangelsdorf, 2006). Dalam hal ini, sediaan gel
memiliki kandungan air yang paling tinggi dibandingkan dengan sediaan krim dan
salep.
Faktor lain yang tidak kalah penting yaitu afinitas zat aktif terhadap
pembawanya. Afinitas zat aktif terhadap pembawanya berkaitan dengan kelarutan
zat aktif dalam pembawanya. Dalam hal ini, diketahui bahwa etil p-
metoksisinamat merupakan senyawa semi polar maka kelarutan etil p-
metoksisinamat paling tinggi terjadi pada sediaan salep, diikuti krim dan gel.
Afinitas zat aktif yang terlalu tinggi terhadap pembawanya justru menghambat
pelepasan senyawa untuk menembus stratum korneum Bila sifat lipofilik sangat
besar pada campuran senyawa dan pembawanya maka senyawa akan tertumpuk di
atas stratum korneum dan akibatnya tidak mampu berdifusi kedalam epidermis.
Sediaan gel merupakan sediaan yang memiliki afinitas terkecil dibandingkan
sediaan krim dan salep, hal ini dikarenakan kelarutan etil p-metoksisinamat dalam
pembawa berair yang rendah. Hal tersebut akan menyebabkan etil p-
metoksisinamat lebih mudah terlepas dari pembawanya, sehingga akan lebih
mudah berdifusi ke dalam stratum korneum (Simanjuntak, 2006).
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari hasil pengolahan data menggunakan SPSS 16 dengan metode Uji One
Way Anova menunjukkan bahwa hasil persentase kumulatif etil p-metoksisinamat
per luas area dari ketiga sediaan tidak memiliki perbedaan secara bermakna pada
menit ke-60 dikarenakan nilai signifikansi < 0,05, tetapi pada menit ke-120
hingga 300 memiliki perbedaan secara bermaknanilai. Pada menit ke-360 dan 480
dediaan krim dan gel tidak memiliki perbedaan secara bermakna, tetapi kedua
sediaan tersebut memiliki perbedan secara bermakna dengan sediaan salep
ditunjukkan dengan nilai signifikansi > 0,05 (lihat pada Lampiran 22).
4.5.5 Fluks Penetrasi
Fluks penetrasi etil p-metoksisinamat dapat dihitung dari data jumlah
kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi (contoh perhitungannya dapat dilihat
pada Lampiran 27). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut didapatkanlah hasil
seperti yang tertera pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kecepatan Penetrasi (Fluks) Etil p-Metoksisinamat Tiap SatuanWaktu
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi (µg cm-² jam-¹)Salep Krim Gel
0 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,0010 36,39 ± 10,33 44,34 ± 8,64 40,85 ± 3,0730 45,56 ± 14,34 39,96 ± 10,05 57,19 ± 11,9660 50,02 ± 13,42 56,65 ± 12,79 90,11 ± 11,9190 52,19 ± 10,86 102,58 ± 5,57 140,37 ± 13,35120 52,42 ± 11,04 117,42 ± 9,28 167,79 ± 15,12180 53,22 ± 10,51 98,71 ± 11,10 167,04 ± 10,04240 50,58 ± 5,36 100,71 ± 8,20 142,94 ± 9,40300 49,06 ± 4,82 94,66 ± 4,77 116,45 ± 6,32360 45,22 ± 3,85 84,39 ± 3,29 98,24 ± 5,26420 39,94 ± 3,19 76,87 ± 1,48 80,16 ± 3,97480 37,02 ± 1,33 68,52 ± 0,73 67,72 ± 2,16
Berdasarkan data pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa nilai fluks
penetrasi sediaan salep, krim dan gel pada jam ke- 6 berturut –turut yaitu 45,22 ±
3,85 µg cm-² jam-¹, 84,39 ± 3,29 µg cm-² jam-¹, dan 98,24 ± 5,26 µg cm-² jam-¹.
Grafik fluks penetrasi etil p-metoksisinamat tiap satuan waktu dapat dilihat pada
Gambar 4.8. Kurva yang menaik menunjukkan adanya peningkatan kecepatan
penetrasi pada sediaan, sedangkan kurva yang menurun menunjukkan penurunan
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat dari sediaan ke dalam kulit.
Berdasarkan kurva pada Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa titik maksimal pada
sediaan salep terjadi pada menit ke- 180, sedangkan pada sediaan krim dan gel
terjadi pada menit ke-120.
Gambar 4.8 Grafik fluks penetrasi etil p-metoksisinamat tiap satuan waktu
Titik maksimal pada kurva menunjukkan bahwa pada menit tersebut
terjadi penetrasi etil p-metoksisinamat dalam jumlah yang terbesar dibandingkan
pada waktu yang lainnya. Perbedaan titik maksimal fluks penetrasi disebabkan
perbedaan kecepatan suatu zat terpenetrasi ke dalam kulit. Kecepatan penetrasi
senyawa berbanding lurus dengan jumlah kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas
area menurut hukum Ficks I. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat yang terpenetrasi per luas area turut
mempengaruhi kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui membran difusi
(Anggraeni, 2008).
Dari hasil pengolahan data menggunakan statistik SPSS 16 dengan uji One
Way Anova menunjukkan bahwa nilai fluks penetrasi etil p-metoksisinamat dari
ketiga sediaan yang diuji tidak memiliki perbedaan secara bermakna pada menit
ke-60 dikarenakan nilai signifikansi > 0,05. Adanya perbedaan secara bermakna
pada nilai fluks ketiga sediaan mulai dari menit ke-90 hingga 360. Pada menit
terakhir yaitu menit ke-480, perbedaan secara bermakna hanya ditunjukkan oleh
sediaan salep terhadap kedua sediaan lain, sedangkan sediaan krim dan gel tidak
memiliki perbedaan secara bermakna (lihat pada Lampiran 23).
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
0 60 120 180 240 300 360 420 480
Flu
ks P
enet
rasi
(µ
g cm
-² j
am-¹
)
Waktu (Menit)
Salep
Krim
Gel
68 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji penetrasi secara in vitro menggunakan sel difusi
franz dengan kulit abdomen tikus betina galur Sprague Dawley sebagai membran
difusi didapatkan hasil nilai persentase kumulatif etil p-metoksisinamat yang
terpenetrasi per luas area mulai dari jumlah tertinggi hingga terendah pada jam ke-
6 berturut-turut yaitu 89,98 ± 4,82% pada sediaan gel, diikuti oleh sediaan krim
yaitu 77,29 ± 3,01%, dan nilai terendah dihasilkan oleh sediaan salep yaitu 49,71
± 2,33%. Kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat tertinggi hingga terendah
pada jam ke -6 berturut-turut yaitu 98,24 ± 5,26 µg cm-² jam-¹ pada sediaan gel,
diikuti oleh sediaan krim yaitu 84,39 ± 3,29 µg cm-² jam-¹, dan nilai terendah
dihasilkan oleh sediaan salep yaitu 45,22 ± 3,85 µg cm-² jam-¹. Menurut
parameter nilai persentase kumulatif dan kecepatan penetrasi yang telah
didapatkan dapat disimpulkan bahwa sediaan gel merupakan sediaan yang terbaik
sebagai pembawa etil p-metoksisinamat, karena memiliki daya penetrasi tertinggi
diikuti oleh sediaan krim dan sediaan salep.
5.2 Saran
a. Perlu dilakukan uji penetrasi sediaan salep, krim dan gel yang
mengandung etil p-metoksisinamat hasil isolasi dari kencur
(Kaempferia galanga L,) menggunakan membran kulit manusia untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat
b. Perlu dilakukan penelitian terkait dosis efektif senyawa etil p-
metoksisinamat sebagai agen terapi lokal inflamasi dalam bentuk
sediaan setengah padat.
69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mutairi, K, S. Al-jasser, S, M. 2012. Effect of Using Rotary Evaporator on
Date Dibs Quality. Journal of American Science.
Anggraeni, Citra Ayu. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep
Terhadap Penetrasi Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro
Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi Sarjana Farmasi: FMIPA UI
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
Press
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI
Anonim. 1987. Analisis Obat Tradisional I. Jakarta: Depkes RI.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI
Anonim. 2014. Informasi Spesialite Obat Indonesia. ISSN 854-4492 Vol. 49 2014-
2015. Penertbit Isfi
Asmara, A; Daili, S.F; Noegrohowati T; Zubaedah, I. 2012. Vehikulum Dalam
Dermatoterapi Topikal. MDVI Vol. 39 No 1 Tahun 2012: 25-35
Astuti, Meiria Sylvi. 2006. Isolasi Dan Identifikasi Komponen Minyak Atsiri
Umbi Teki (Cyperus rotundus L.). Skripsi Sarjana Farmasi: UNS
Bangun, Robijanto. 2011. Semi Sintesis N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-
Metoksifenil) Akrilamida Dari Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi
Rimpang Kencur (Kaempferia galanga, L) Melalui Amidasi dengan
Dietanolamin. Skripsi Sarjana Farmasi: USU
Barus, Rosbina. 2009. Amidasi Etil p-Metoksi Sinamat yang Diisolasi dari Kencur
(Kaempferia Galanga, Linn). Medan : Sekolah Pasca Sarjana USU
Chemical Book. Akses online via http://www.chemicalbook.com/ (Diakses pada
tanggal 26 Januari 2014)
Depkes, RI. 1977. Materia Medika Indonesia jilid I. Jakarta: Depkes RI.
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Depkes, RI. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia jilid II. Jakarta:
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
Dhandapani, Abirami; Shobaba Kumar; Murugan Kadarkarai. 2011. Lavricidal,
Pupicidal And Smoke Toxicity Effect Of Kempferia Galanga To the
Malarial Vector, Anopheles Stephensi. The Bioscan Journal 6(2) ; 329-
333.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Draelos, Z. D. 2010. Cosmetic Dermatology Products and Procedures. Singapore:
John Wiley & Sons.
Dwikarya, Maria., DSSK. 2003. Merawat Kulit dan Wajah. Jakarta:
PenerbitKawanPustaka.
Gregoriadis, G, A.T. Florence dan H.M. Patel. 1993. Liposom in Drug Delivery.
Switzerland: Harwood Academic.
Hadyanti. 2008. Pengaruh Tretionin Terhadap Penetrasi Kafein dan Aminofilin
Sebagai Antiselulit dalam Sediaan Krim, Gel dan Salep Secara In Vitro.
Skripsi Sarjana Farmasi: FMIPA UI
Hasanah, Aliya Nur, dkk. 2011. Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji
Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.).
Skripsi Sarjana Farmasi: UNPAD.
Heinrich, M. Barnes, J. Gibbons, S. Williansom, M, E. Fundamental Of
Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia: Penerbit Elsevier.
Henry, Arthur dkk. 2002. Analisis Spektrofotometri UV-Vis Pada Obat Influenza
Dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Persamaan Linier. Jakarta :
KOMMIT UGM
Iswandana, R; Anwar, E; Mun’im, A. 2011. Uji Penetrasi Secara In Vitro & Uji
Stabilitas Fisik Sediaan Krim, Salep dan Gel yang Mengandung Kurkumin
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari Kunyit (Curcuma Longa L.). Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN
1412-2855 Vol. 7 No. 7, Septemner 2011.
Khoirunni’mah, Zulfa. 2013. Modifikasi Struktur dan Senyawa Metil Sinamat
Melalui Proses Degradasi Sinamat Seta Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality
Test) Terhadap Senyawa Hasil Modifikasi. Skripsi Sarjana Farmasi: UIN
Syarif Hidayatullah
Kielhorn, J., S. M. Kollmuβ. I. Mangelsdorf. 2006. Dermal absorption. Dalam:
Environmental Health Criteria 235. World Health Organization.
Kusantati, H., Prihatin, P.T., danWiana, W. 2008. Tata Kecantikan Kulit. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Lachman, Leon. 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri II (Penerjemah: Siti
Suyatmi). Penerbit: UI-Press; Jakarta
Langley,& Lenny Lester. 1958. Dynamic Anatomy and Physiology. USA:
McGraww Hill.
Marriot, John F, et al. 2010. Pharmaceutical Compounding and Dispensing
Second Edition. London : Pharmaceutical Press
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Amsterdam: Elsevier Science B.V.
Mufidah, Syarifatul. 2014. Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat
yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galangal Linn.) Melalui
Transformasi Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi.
Skripsi Sarjana Farmasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Muhlisah, F. 1999. Temu-temuan dan Empon-empon.CetakanKelima. Yogyakarta:
PenerbitKanisius, hal.29-33.
Neubert, R. H. H; Trommer, H. Overcoming The Stratum Corneum : The
Modulation Of Skin Penetration. Skin Pharmacol Physiol 2006, 19 : 106-
121.
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nugroho, B. W., Dadang, & Prijono, D. 1999. “Pengembangan dan Pemanfaatan
Insektisida Alami”. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, IPB. Bogor
Ramadon, Delly. 2012. Penetapan Daya Penetrasi Secara In Vitro Sediaan Gel
dan Emulgel yang Mengandung Kapsaisinoid dari Ekstrak Buah Cabai
Rawit. Skripsi Sarjana Farmasi: Universitas Indonesia
Ranade, V. V. and M. A. Hollinger, 2004, Transdermal Drug Delivery, in: Drug
Delivery Systems, V. V. Ranade and M. A. Hollinger, 2nd ed., CRC Press
LLC, New York, 211-243
Rostiana, Otih dkk. 2005. Budidaya Tanaman Kencur. Bogor : Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatika
Rowe, RC., Paul JS., Sian CO. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipient Fifth
Edition. London : Pharmaceutical Press
Ruswanto, Lestari, T. 2013. Sintesis Senyawa 1-Benzoyl-3-Phenyl-Thiourea
Sebagai Kandidat Anti Kanker. Tasikmalaya : Stikes Bakti Tunas Husada
Sany, Utary Sukria. 2009. Efek Penambahan Berbagai Peningkat Penetrasi
Terhadap Penetrasi Perkutan Gel Piroksikam Secara In Vitro. Skripsi
Sarjana Farmasi: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Seeley, R. R., T. D. Stephensdan P. Tate. 2003. Anatomy and Physiologi 6th
edition. New York: McGraw-Hill.
Simanjuntak, M. T. 2005. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit.
Universitas Sumatera Utara
Sulaiman, M. R.; Z. A. Zakaria; I. A Daud; F. N. Ng; Y.C. Ng; M. T. Hidayat.
2008. Antinociceptive and Anti-inflammatory activities of The Aqueous
extract of Kaempferia galanga leaves in animal models. J. Nat Med
62:221-227.
Syamsuni, H. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tara V., Shanbag; Sharma Candrakala; Adiga Sachidananda; Bairy
Laximinarayana Kurady; Shenoy Smita; Shenoy Ganesh. 2006. Wound
Healing Activity Of Alkoholic Extract of Kaempferia Galanga in Wistar
Rats. Indian J. Physiol Pharmacol 50 (4) : 384-390.
Tanjung, M. 1997. Isolasi dan Rekayasa Senyawa Turunan Sinamat dari
Kaempferia galangal L. Sebagai Tabir Surya. Surabaya : Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga.
Taufikurohmah, T; Rohmah, J; Poernowo, H. Optimasi Suhu Sintetis Isoamil p-
Metoksisinamat Melalui Reaksi Transesterifikasi dari EPMS Hasil Isolasi
Rimpang Kencur. Prosiding Seminar Nasional Kimia UNESA ISBN : 978-
979-028-103-5. 14 Februari 2009.
Taufikurohmah, T; Rusmini; Nurhayati. 2008. Pemilihan Pelarut dan Optimasi
Suhu Pada Isolasi Senyawa Etil Para Metoksisinamat (EPMS) dari
Rimpang Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik.
Tewtrakul, Supinya; Supreeya Yuenyongsawad; Sopa Kummee; Latthya
Atsawajaruwan. 2005. Chemical Components and Biological Activities of
Volatile Oil of Kaempferia galanga Linn. Songklanakrin J. Sci. Technol
Vol. 27 (Suppl. 2) : Thai Herbs.
Tranggono, R.I. danLatifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: Penerbit Pustaka Utama.
Tiwari, P. Kumar, B. Kaur, M. Kaur, G. Kaur, H. 2011. Phytochemical screening
and Extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol. 1.
Issue. 1.
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho I;
Mun Fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2012. Bioactivity-Guided
Isolation of Ethyl-p-methoxycinnamate, an Anti-inflammatory
Constituent, from Kaempferia galangal L. Extracts. Molecules, 17, 8720-
8734
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Umar, Muhammad I.; Mohd Zaini Asmawi; Amirin Sadikun; Item J. Atangwho I;
Mun Fei Yam; Rabia Altaf; Ashfaq Ahmed. 2014. Ethyl-p-
methoxycinnamate isolated from kaempferia galangal inhibits
inflammation by suppressing interleukin-1, tumor necrosis factor-a, and
angiogenesis by blocking endothelial functions. Clinics 2014;69(2);134-
144
USDA (United States Department of Agriculture). Natural Resources
Conservation Service. Akses online via plants.usda.govpadatanggal 3-2-
2015 pukul 10.00
Vittalrao, Ambekar Monhabu; Tara Shanbag; Meena Kumari K; K.L Bairy; Smita
Shenoy. 2011. Evaluation of Antiinflamatory and analgesic activities of
alcoholic extract of Kaempferia Galangan in rats. Indian J. Physiol
Pharmacol 55 (1) : 13-24.
Walters, A.K. 2002. Dermatological and Transdermal Formulations. New York:
Marcel Dekker.
Williams, LAD; A.O Connar; L. Latore; O Dennis; S. Ringer; J.A Whittaker; J
Conrad; B. Volger; H Rosner; W Kraus. 2008. The In Vitro Anti-
denaturation Effects Induced by Natural Product and Non-steroidal
Compounds in Heat Treated (Immunogenic) Bovine Serum Albumin is
Proposed as a Screening Assay for the Detection of Anti-inflammatory
compounds, without the Use of Animals, in the Early Stages of The Drug
Discovery Process. West Indian Medical Journal 57 (4):327.
Windono, Tri; Jany; Widji Suratri. 1997. Aktivitas Tabir Matahari Etil p-
metoksisinamat yang Diisolasi dari Rimpang Kencur. Warta Tumbuhan
Obat Indonesia Volume 3 No.4
Wirakusumah, E. S. 1994. Cantik dan Bugar dengan Ramuan Nabati. Edisi
Keempat. Jakarta: PenerbitPenebarSwadaya. hal. 3-6
Zhang, L., Falla, T.J. 2009. Cosmeceuticals and Peptides: Clinics in Dermatology,
27, 485-494.
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Kerangka Penelitian
Ekstraksi rimpang kencur(Kaempferia galanga L.)
Isolasi kristal etil p-metoksisinamat
Salep
Pembuatan sediaanKrim
Gel
Uji penetrasi sediaan
Penetapan kadar etil p-metoksisinamat terpenetrasi
Identifikasi dan UjiKemurnian kristal etil p-
metoksisinamat
Perbandingan persentasekumulatif zat aktif terpenetrasi
per luas area
Perbandingan fluks penetrasi
Penetapan kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan
Pengukuran serapan SpektrofotometerUV-Vis
Perhitungan kadar etil p-metoksisinamat dalam sediaan
Penetapankadar
Uji KLT
Uji titik leleh
Organoleptis
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Bagan Alur Ekstraksi Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.).
Rimpang kencur segar(Kaempferia galanga L.)
Serbuk keringrimpang kencur (Kaempferia
galanga L.)
Dicuci, dikeringkan dan diserbuk
Maserasi dengan n-heksan murni dan disaring
AmpasFiltrat 1
AmpasFiltrat 2
Filtrat 3Campuranfiltrat 1,2,3
Ekstrak n-heksanrimpang kencur
(Kaempferia galanga L)
Remaserasi dengan n-heksanmurni dan disaring
Remaserasi dengan n-heksan murni dandisaring
Evaporasi suhu 48-50OC
Ekstrak kental rimpang kencur(Kaempferia galanga L.)
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Bagan Alur Rekristalisasi, Identifikasi dan Uji Kemurnian KristalEtil p-Metoksisinamat.
Ekstrak kental rimpang kencur(Kaempferia galanga L.)
Diendapkan pada suhu kamar
Pemisahan kristal dariekstrak kental menggunakan
pelarut n-heksan
Kristal kotor Larutan ekstrak
Pencucian kristal dengann-heksan dan metanol
Kristal yang tidak terlarut
Uji KLT
Penetapan kadar denganGCMS
Uji titik leleh
Dipekatkan denganvaccum rotary
evaporator suhu 48-50ºC
Pengamatan organoleptis
Satu spotBanyak spot
Kristal yang terlarut
Dipekatkan denganvaccum rotary
evaporator suhu 48-50ºC
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Gambar Alat Penelitian
Hot Plate Alat Uji TL Mikropipet Perangkat KLT Neraca Analitik Alat Uji pH
Spektrofotometer UV-Vis Vaccum Rotary Evaporator GCMS Refrigerator
Lampiran 5. Gambar Uji Difusi
Keterangan : (a) Kulit tikus bagian abdomen sebelum dipotong; (b) Potongan kulit tikussebelum pengujian; (c) Perendaman kulit tikus dalam medium kompartemenreseptor sebelum pengujian; (d) Sampel uji difusi; (e) Pengolesan sampel padamembran difusi; (f) Kompartemen donor dan reseptor; (g) Pencuplikan mediumkompartemen reseptor; (h) Kulit tikus setelah uji difusi; (i) Rangkaian alat franzdiffusion cell
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Kristal
% = ℎ 100%% = 403500 100%= 1, 143%
Lampiran 7. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Etil p-Metoksisinamat
Keterangan : (a) Standar etil p-metoksisinamat ; (b) Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi
(a)
(b)
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Data Hasil Uji Titik Leleh
Pengujian Ke- Rentang Titik Leleh (°C)1 49-502 49-503 49-50
Lampiran 9. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-metoksisinamatdalam Metanol
Keterangan : Serapan maksimum etil p-metoksisinamat dalam pelarut metanol dengan konsentrasi5ppm terbaca pada panjang gelombang 308,2 nm
Lampiran 10. Data Absorbansi Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalamMetanol
Konsentrasi (ppm) Absorbansi0 0,0001 0,1202 0,2293 0,3704 0,4745 0,6286 0,7297 0,8748 1,001
Panjang Gelombang
Abs
orba
nsi
308,2 nm
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Metanol
Keterangan : Analisa dilakukan pada panjang gelombang 308,2 nm, nilai r = 0,9995
Lampiran 12. Data Hasil Penetapan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalamSediaan
Keterangan : Analisa dilakukan pada panjang gelombang 308,2 nm dengan pelarut pengekstraksimetanol
SD : Standar Deviasi (dinyatakan dalam persen)
y = 0,125x - 0,009R = 0,9995R² = 0,9990
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 2 4 6 8 10
Abs
orba
nsi
Konsentrasi (ppm)
Kurva Kalibrasi EPMS dalam Metanol
Abs.
Linear (Abs.)
Sampel Pengujianke-
BeratSampel
(mg)
Abs KadarEPMS
terukur(mg)
Kadar(%)
Rata-rata%
SD
Salep 1 500 0,525 4,27 0,85 0,86 0,962 500 0,526 4,28 0,863 500 0,529 4,30 0,86
Krim 1 500 0,627 5,09 1,02 1,03 3,242 500 0,641 5,20 1,043 500 0,633 5,12 1,03
Gel 1 500 0,615 4,99 1,00 1,00 1,222 500 0,610 4,95 0,993 500 0,614 4,99 1,00
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etil p-Metoksisinamatdalam Larutan EDP
Keterangan : Serapan maksimum etil p-metoksisinamat dalam larutan EDP dengan konsentrasi5ppm terbaca pada panjang gelombang 310,2 nm
Lampiran 14. Data Absorbansi Kurva Standar Etil p-Metoksisinamat dalamLarutan EDP
Konsentrasi (ppm) Absorbansi0 01 0,1232 0,2343 0,3554 0,4705 0,5776 0,7087 0,8378 0,928
Abs
orba
nsi
Panjang Gelombang
310,2 nm
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Kurva Kalibrasi Etil p-Metoksisinamat dalam Larutan EDP
Keterangan : Analisa dilakukan pada panjang gelombang 310,2 nm, nilai r = 0,9997
Lampiran 16. Data Hasil Uji Difusi Salep
y = 0,117x + 0,002R = 0,9997R2= 0,9994
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
0 2 4 6 8 10
Abs
orba
nsi
Konsentrasi (ppm)
Kurva Kalibrasi EPMS dalam Lar. EDP
Abs.
Linear (Abs.)
Waktu(Menit)
% Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per LuasArea (µg/cm2)
1 2 3 Rata-Rata
SB 1 2 3 Rata-Rata
SB
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 010 1,39 1,50 0,45 1,11 0,33 7,58 8,18 2,47 6,08 1,8130 5,24 5,77 1,51 4,17 1,34 28,60 31,51 8,22 22,78 7,3360 10,89 12,21 4,39 9,16 2,42 59,42 66,67 23,96 50,02 13,1990 17,02 17,38 8,62 14,34 2,86 92,93 94,89 47,03 78,28 15,64120 20,70 25,33 11,58 19,21 4,04 113,01 138,29 63,22 104,84 22,05180 33,45 35,97 18,33 29,25 5,51 182,57 196,32 100,07 159,65 30,05240 41,58 41,27 28,35 37,07 4,36 226,99 225,28 154,74 202,34 23,80300 46,90 50,36 37,55 44,94 3,82 256,01 274,90 205 245,30 21,01360 52,13 54,83 42,17 49,71 3,85 284,55 299,31 230,20 271,35 19,51420 56,52 54,19 42,93 51,21 4,19 308,52 295,79 234,34 279,55 22,90480 54,90 57,92 49,94 54,25 2,33 299,69 316,15 272,59 296,14 12,70
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Data Hasil Uji Difusi Krim
Lampiran 18. Data Hasil Uji Difusi Gel
Waktu(Menit)
% Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per LuasArea (µg/cm2)
1 2 3 Rata-Rata
SB 1 2 3 Rata-Rata
SB
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 010 0,92 1,57 0,90 1,13 0,22 6,06 10,29 5,87 7,41 1,4430 3,94 1,52 3,68 3,05 0,77 25,82 9,98 24,13 19,98 5,0260 11,24 4,82 9,88 8,65 1,95 73,66 31,59 64,70 56,65 12,7990 25,63 23,63 21,21 23,49 1,28 167,88 154,77 138,98 153,88 8,36120 36,20 40,57 30,77 35,85 2,83 237,14 265,76 201,58 234,83 18,56180 51,81 35,21 48,59 45,20 5,08 339,41 230,66 318,34 296,14 33,30240 67,07 51,50 65,91 61,50 5,01 439,40 337,36 431,80 402,86 32,82300 76,64 65,03 75,08 72,25 3,64 502,05 425,99 491,82 473,29 23,83360 78,60 71,54 81,73 77,29 3,01 514,92 468,64 535,40 506,32 19,75420 84,17 79,03 83,22 82,14 1,58 551,41 517,74 545,17 538,10 10,34480 82,80 82,75 85,46 83,67 0,89 542,45 542,09 559,83 548,12 5,85
Waktu(Menit)
% Kumulatif Difusi Etil p-Metoksisinamat Per Luas Area
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per LuasArea (µg/cm2)
1 2 3 Rata-Rata
SB 1 2 3 Rata-Rata
SB
0 0 0 0 0 0 0 0 0 010 1,08 1,15 0,89 1,04 0,08 7,09 7,5 5,83 6,82 0,5130 6,02 4,20 2,87 4,36 0,91 39,45 27,49 18,84 28,59 5,9860 15,94 15,18 10,15 13,75 1,82 104,41 99,46 66,47 90,11 11,9190 32,68 37,14 26,59 32,14 3,06 214,09 243,32 174,23 210,55 20,02120 55,18 56,47 42,02 51,23 4,62 361,51 369,96 275,28 335,58 30,25180 77,28 84,05 68,17 76,50 4,60 506,58 550,58 446,58 501,13 30,13240 88,89 96,31 76,62 87,28 5,74 582,35 630,94 501,96 571,75 37,61300 90,80 96,11 79,73 88,88 4,82 594,81 629,60 522,32 582,24 31,60360 91,79 97,27 80,88 89,98 4,82 601,34 637,19 529,85 589,46 31,55420 86,20 92,73 78,05 85,66 4,24 564,66 607,45 511,30 561,14 27,81480 84,88 85,79 77,45 82,71 2,64 556,04 562,01 507,36 541,80 17,31
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Data Fluks Penetrasi Salep
Lampiran 20. Data Fluks Penetrasi Krim
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi Zat Aktif ( µg cm-2Jam-1)1 2 3 Rata-
RataSB
0 0 0 0 0 010 45,41 49,00 14,77 36,39 10,8630 57,20 63,03 16,45 45,56 14,6560 59,42 66,67 23,96 50,02 13,1990 61,95 63,26 31,35 52,19 10,42120 56,51 69,15 31,61 52,42 11,03180 60,86 65,44 33,36 53,22 10,02240 56,75 56,32 38,69 50,58 5,95300 51,20 54,98 41,00 49,06 4,18360 47,42 49,88 38,37 45,22 3,50420 44,07 42,26 33,48 39,94 3,27480 37,46 39,52 34,07 37,02 1,59
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi Zat Aktif ( µg cm-2Jam-1)1 2 3 Rata-
RataSB
0 0 0 0 0 010 36,28 61,61 35,14 44,34 8,6430 51,64 19,96 48,27 39,96 10,0560 73,66 31,59 64,70 56,65 12,7990 111,92 103,18 92,65 102,58 5,57120 118,57 132,88 100,79 117,42 9,28180 113,13 76,89 106,11 98,71 11,10240 109,85 84,34 107,95 100,71 8,20300 100,41 85,20 98,36 94,66 4,77360 85,82 78,11 89,23 84,39 3,29420 78,77 73,96 77,88 76,87 1,48480 67,81 67,76 69,97 68,52 0,73
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Data Fluks Penetrasi Gel
Waktu(Menit)
Fluks Penetrasi Zat Aktif ( µg cm-2Jam-1)1 2 3 Rata-
RataSB
0 0 0 0 0 010 42,44 45,18 34,91 40,85 3,0730 78,91 54,98 37,67 57,19 11,9660 104,41 99,46 66,47 90,11 11,9190 142,73 162,22 116,15 140,37 13,35120 180,75 184,98 137,64 167,79 15,12180 168,74 183,53 148,86 167,04 10,04240 145,59 157,73 125,49 142,94 9,40300 118,96 125,92 104,46 116,45 6,32360 100,22 106,20 88,31 98,24 5,26420 80,67 86,78 73,04 80,16 3,97480 69,51 70,25 63,42 67,72 2,16
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Uji Statistik Anova Persentase Kumulatif Etil p-MetoksisinamatTerpenetrasi Per Luas Area
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Menit_60 Menit_120 Menit_240 Menit_360 Menit_480
N 9 9 9 9 9
Normal Parametersa Mean 10.5222 35.4244 61.9444 72.3267 64.9378
Std. Deviation 3.95627 15.05285 23.03324 18.79498 28.46458
Most Extreme
Differences
Absolute .213 .128 .145 .186 .290
Positive .147 .108 .145 .157 .232
Negative -.213 -.128 -.124 -.186 -.290
Kolmogorov-Smirnov Z .640 .383 .435 .559 .869
Asymp. Sig. (2-tailed) .807 .999 .991 .914 .436Keterangan : Signifikansi > 0,05, kesimpulan data terdistribusi normal
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Menit_60.293 2 6 .756
Menit_120.705 2 6 .531
Menit_240.101 2 6 .905
Menit_360.429 2 6 .669
Menit_4801.945 2 6 .223
Keterangan : Signifikansi menit 60-480 >0,05, kesimpulan data terdistribusi homogeny sehinggadapat dilanjutkan dengan uji Anova
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
ANOVA
Sum ofSquares Df Mean Square F Sig.
Menit_60 Between Groups 47.478 2 23.739 1.832 .239
Within Groups 77.739 6 12.956
Total 125.217 8
Menit_120 Between Groups 1538.723 2 769.361 16.848 .003
Within Groups 273.983 6 45.664
Total 1812.705 8
Menit_240 Between Groups 3781.980 2 1890.990 24.545 .001
Within Groups 462.260 6 77.043
Total 4244.240 8
Menit_360 Between Groups 2543.365 2 1271.683 26.995 .001
Within Groups 282.645 6 47.107
Total 2826.010 8
Menit_480 Between Groups 1675.860 2 837.930 63.530 .000
Within Groups 79.138 6 13.190
Total 1754.998 8
Keterangan : Signifikansi menit ke 60 > 0,05, data tidak berbeda secara bermakna. Signifikansi
menit 120-480 < 0,05, data berbeda secara bermakna.
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
Multiple Comparisons
LSD
DependentVariable
(I)Sediaan
(J)Sediaan
MeanDifference (I-J)
Std.Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Menit_60 Salep Krim .51667 2.93899 .866 -6.6748 7.7081
Gel -4.59333 2.93899 .169 -11.7848 2.5981
Krim Salep -.51667 2.93899 .866 -7.7081 6.6748
Gel -5.11000 2.93899 .133 -12.3015 2.0815
Gel Salep 4.59333 2.93899 .169 -2.5981 11.7848
Krim 5.11000 2.93899 .133 -2.0815 12.3015
Menit_120 Salep Krim -16.64333* 5.51747 .024 -30.1441 -3.1426
Gel -32.02000* 5.51747 .001 -45.5208 -18.5192
Krim Salep 16.64333* 5.51747 .024 3.1426 30.1441
Gel-15.37667* 5.51747 .032 -28.8774 -1.8759
Gel Salep 32.02000* 5.51747 .001 18.5192 45.5208
Krim15.37667* 5.51747 .032 1.8759 28.8774
Menit_240 Salep Krim -24.42667* 7.16674 .014 -41.9631 -6.8903
Gel-50.20667* 7.16674 .000 -67.7431 -32.6703
Krim Salep 24.42667* 7.16674 .014 6.8903 41.9631
Gel -25.78000* 7.16674 .011 -43.3164 -8.2436
Gel Salep 50.20667* 7.16674 .000 32.6703 67.7431
Krim 25.78000* 7.16674 .011 8.2436 43.3164
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menit_360 Salep Krim -27.58000* 5.60401 .003 -41.2925 -13.8675
Gel-40.27000* 5.60401 .000 -53.9825 -26.5575
Krim Salep 27.58000* 5.60401 .003 13.8675 41.2925
Gel -12.69000 5.60401 .064 -26.4025 1.0225
Gel Salep 40.27000* 5.60401 .000 26.5575 53.9825
Krim 12.69000 5.60401 .064 -1.0225 26.4025
Menit_480 Salep Krim-29.41667* 2.96531 .000 -36.6725 -22.1608
Gel -28.45333* 2.96531 .000 -35.7092 -21.1975
Krim Salep 29.41667* 2.96531 .000 22.1608 36.6725
Gel .96333 2.96531 .756 -6.2925 8.2192
Gel Salep 28.45333* 2.96531 .000 21.1975 35.7092
Krim -.96333 2.96531 .756 -8.2192 6.2925Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidak
berbeda secara bermakna
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 23. Uji Statistik Anova Fluks Penetrasi
Keterangan : Signifikansi > 0,05, kesimpulan data terdistribusi normal
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Menit_60 .030 2 6 .970
Menit_90 1.073 2 6 .400
Menit_120 .832 2 6 .480
Menit_240 .356 2 6 .714
Menit_360 .537 2 6 .610
Menit_480 2.230 2 6 .189
Keterangan : Signifikansi > 0,05, data terdistribusi homogen
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Menit_60 Menit_90 Menit_120 Menit_240 Menit_360 Menit_480
N 9 9 9 9 9 9
Normal
Parametersa
Mean 65.5933 98.3789 112.5422 98.0789 75.9511 57.7522
Std. Deviation 2.65734E1 4.13083E1 53.25648 41.78906 24.59972 15.74082
Most Extreme
Differences
Absolute .186 .136 .126 .172 .211 .307
Positive .159 .136 .126 .172 .189 .214
Negative -.186 -.112 -.122 -.149 -.211 -.307
Kolmogorov-Smirnov Z .558 .407 .377 .516 .634 .922
Asymp. Sig. (2-tailed) .915 .996 .999 .953 .816 .363
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Menit_60 Between Groups 2771.538 2 1385.769 2.889 .132
Within Groups 2877.614 6 479.602
Total 5649.153 8
Menit_90 Between Groups 11743.117 2 5871.558 18.465 .003
Within Groups 1907.909 6 317.985
Total 13651.026 8
Menit_120 Between Groups 20070.976 2 10035.488 22.990 .002
Within Groups 2619.048 6 436.508
Total 22690.025 8
Menit_240 Between Groups 12824.015 2 6412.008 33.553 .001
Within Groups 1146.592 6 191.099
Total 13970.607 8
Menit_360 Between Groups 4536.894 2 2268.447 44.732 .000
Within Groups 304.274 6 50.712
Total 4841.168 8
Menit_480 Between Groups 1935.763 2 967.881 125.090 .000
Within Groups 46.425 6 7.737
Total 1982.188 8
Keterangan : Signifikansi menit 60 > 0,05, data tidak berbeda secara bermakna. Signifikansimenit 90-480 < 0,05, data berbeda secara bermakna
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Lanjutan)
Multiple Comparisons
LSD
Dependent
Variable
(I)
Sediaan
(J)
Sediaan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Menit_60 Salep Krim -6.63333 17.88113 .723 -50.3869 37.1202
Gel -40.09667 17.88113 .066 -83.8502 3.6569
Krim Salep 6.63333 17.88113 .723 -37.1202 50.3869
Gel -33.46333 17.88113 .110 -77.2169 10.2902
Gel Salep 40.09667 17.88113 .066 -3.6569 83.8502
Krim 33.46333 17.88113 .110 -10.2902 77.2169
Menit_90 Salep Krim -50.39667* 14.55987 .013 -86.0234 -14.7699
Gel -88.18000* 14.55987 .001 -123.8067 -52.5533
Krim Salep 50.39667* 14.55987 .013 14.7699 86.0234
Gel -37.78333* 14.55987 .041 -73.4101 -2.1566
Gel Salep 88.18000* 14.55987 .001 52.5533 123.8067
Krim 37.78333* 14.55987 .041 2.1566 73.4101
Menit_120 Salep Krim -64.99000* 17.05888 .009 -106.7316 -23.2484
Gel -115.36667* 17.05888 .001 -157.1082 -73.6251
Krim Salep 64.99000* 17.05888 .009 23.2484 106.7316
Gel -50.37667* 17.05888 .026 -92.1182 -8.6351
Gel Salep 115.36667* 17.05888 .001 73.6251 157.1082
Krim 50.37667* 17.05888 .026 8.6351 92.1182
Menit_240 Salep Krim -50.12667* 11.28712 .004 -77.7453 -22.5081
Gel -92.35000* 11.28712 .000 -119.9686 -64.7314
Krim Salep 50.12667* 11.28712 .004 22.5081 77.7453
Gel -42.22333* 11.28712 .010 -69.8419 -14.6047
Gel Salep 92.35000* 11.28712 .000 64.7314 119.9686
Krim 42.22333* 11.28712 .010 14.6047 69.8419
Menit_360 Salep Krim -39.16333* 5.81448 .001 -53.3909 -24.9358
Gel -53.02000* 5.81448 .000 -67.2475 -38.7925
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Krim Salep 39.16333* 5.81448 .001 24.9358 53.3909
Gel -13.85667 5.81448 .055 -28.0842 .3709
Gel Salep 53.02000* 5.81448 .000 38.7925 67.2475
Krim 13.85667 5.81448 .055 -.3709 28.0842
Menit_480 Salep Krim -31.49667* 2.27120 .000 -37.0541 -25.9392
Gel -30.71000* 2.27120 .000 -36.2674 -25.1526
Krim Salep 31.49667* 2.27120 .000 25.9392 37.0541
Gel .78667 2.27120 .741 -4.7708 6.3441
Gel Salep 30.71000* 2.27120 .000 25.1526 36.2674
Krim -.78667 2.27120 .741 -6.3441 4.7708
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi > 0,05 data tidakberbeda secara bermakna
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kadar Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan
Diketahui :
Serapan basis (ybasis) = 0,019
Persamaan regresi linier (y) = 0,125x - 0,009
Didapatkan absorbansi sebagai berikut :
a. y1 = 0,634
x1 = 4,995 ppm
konsentrasi etil p-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg
= 4,995 x( ) x 50 = 4995 µg = 4,995 mg
Kadar etil p-metoksisinamat yang diperoleh
= (4,995 mg/500mg) x 100% = 0,999%
Sediaan yang diuji 500 mg
Kandungan etil p-metoksisinamatsebenarnya = 1% x 500 mg = 5 mg
Dibuat pengenceran 5 ppm dalam 10 mL
Dibuat larutan induk 100 ppm dalam 50 mL
Diukur serapannya dengan spektro UV-Vis , dan diulangi sebanyak 3x pengulangan
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. y2 = 0,629
x2 = 4,955 ppm
Konsentrasi etil p-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg
= 4,955 x( ) x 50 = 4955 µg = 4,955 mg
Kadar etil p-metoksisinamat yang diperoleh
= (4,955 mg/500mg) x 100% = 0,991%
c. y3 = 0,633
x3 = 4,987 ppm
Konsentrasi etil p-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg
= 4,987 x( ) x 50 = 4987 µg = 4,987 mg
Kadar etil p-metoksisinamat yang diperoleh
= (4,987 mg/500mg) x 100% = 0,997%
d. Kadar rata-rata etil p-metoksisinamat dalam sediaan
= 0,999 % + 0,991% + 0,997%3 = 0,996%~1%
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 25. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Etil p-MetoksisinamatPer Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 10.
Serapan Menit ke 10 (y10) = 0,068y = 0,117x + 0,0020,068 = 0,117x + 0,002x10 = 0,567
Konsentrasi terpenetrasi = x10 x Faktor Pengenceran= 0,567 x 2= 1,134 µg/mL
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :
= + ∑ .Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke 10 = 1,134 µg/mL
V = Volume sel difusi = 21 mL∑ = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama = 0 µg/mL
S = Volume sampling = 1 mL
A = Luas area membran = 3,14 cm2
Q = {(1,134 µg/mL x 21 mL) + (0 x 1 mL)}/ 3,14 cm2
= 7,583 µg/cm2
% Kumulatif = (Q x A x 100) / kandungan zat aktif dalam sediaan
% Kumulatif = (7,583 µg/cm2 x 3,14 cm2 x 100) / (0,86% x 2000 µg)
= 1,389 %
Jadi Jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi perluas area pada menit
ke 10 adalah 7,583 µg/cm2 dengan % Kumulatif 1,389 %.
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 26. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Etil p-MetoksisinamatPer Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30.
Serapan Menit ke 30 (y30) = 0,249y = 0,117x + 0,0020,249 = 0,117x + 0,002x30 = 2,111
Konsentrasi terpenetrasi = x30 x Faktor Pengenceran= 2,111 x 2= 4,222 µg/mL
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :
= + ∑ .Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke 30 = 4,222 µg/mL
V = Volume sel difusi = 21 mL∑ = Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit ke 10 = 1,134 µg/mL
S = Volume sampling = 1 mL
A = Luas area membran = 3,14 cm2
Q = {(4,222 µg/mL x 21 mL) + (1,134 µg/mL x 1 mL)}/ 3,14 cm2
= 28,599 µg/cm2
% Kumulatif = (Q x A x 100) / kandungan zat aktif dalam sediaan
% Kumulatif = (28,599 µg/cm2 x 3,14 cm2 x 100) / (0,86% x 2000 µg)
= 5,239 %
Jadi Jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi perluas area pada menit
ke 30 adalah 28,599 µg/cm2 dengan % Kumulatif 5,239 %
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 27. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Etil p-MetoksisinamatSampel 2 Sediaan Gel Pada Menit ke 120
Kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat (fluks, J, µg cm-2 jam-1) dihitungdengan rumus :
=Dimana :
J = Fluks (µg cm-2 jam-1)
S = Luas area difusi (cm2)
M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg)
t = Waktu (jam)
Diketahui :
M/S = 369,96 µg cm-2
t = 2 jam
Maka :
J = 369,96 µg cm-2 / 2 jam = 184,98 µg cm-2 jam-1
Jadi, kecepatan penetrasi sampel 2 sediaan gel pada menit ke 120 adalah 184,98µg cm-2 jam-1
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 28. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji