Download - etika profesi peradilan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia, secara konstitusional
diatur dalam undang – undang Dasar 1945 sebagai salah satu pemegang
kekuasaan Negara dibidang yudikatif, yang merupakan kekuasaan untuk
menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan
keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 undang – undang dasar 1945
(amandemen) yang menentukan bahwa :
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ;
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
Badan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ;
Kedudukan Mahkamah Agung merupakan puncak dari badan –
badan peradilan empat lingkungan peradilan, yakni peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, yang
masing – masing lingkungan peradilan tersebut terdiri dari peradilan tingkat
pertama maupun peradilan tingkat banding.
2
Pada Negara – Negara demokrasi yang dijalankan berdasarkan
hukum (democracy under rule of law, democratische rechtsstaat) ada
beberapa pilar utama kekuasaan kehakiman yang harus dihormati dan
dijunjung tinggi, yaitu : independent, impartial, fair, dan competent .1)
Penegakan hukum melalui lembaga pengadilan yang pro keadilan
dan bebas dari intimidasi didalamnya terkandung makna, yaitu :
a. Direktif, sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk
masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara ;
b. Integratif, sebagai pembinaan kesatuan bangsa ;
c. Stabilitatif, sebagai pemeliharaan dan penjaga keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat ;
d. Prefektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan administrasi Negara,
maupun sikap tindak warga Negara dalam kehidupan bernegara dan
bermasyakarakat ;
e. Korektif, baik terhadap warga Negara maupun penyelenggaraan Negara
dalam mendapat keadilan.2)
1)
Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim sebagai Penjaga Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka, dijakarta, 22 April 2009.
2)
Syahran Basah, Fungsi Hukum dalam kehidupan Masyarakat, dalam Tiga Tulisan
tentang Hukum, Amrico, 1986, hlm. 24-25.
3
Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman merupakan pejabat
publik yudisial dan karenanya hakim bukan jabatan dibidang eksekutif,
sehingga hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah bersifat
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun intervensi
dari mana pun atau siapa pun. Namun demikian, hakim sebagai salah satu
penegak hukum dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tidak dapat
serta merta berbuat semaunya tanpa mendasarkan pada peraturan
perundang – undangan yang berlaku yang memberikan kewenangan dan
menuntun hakim dalam melakasanakan tugas yudisialnya, tetapi hakim
sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan dituntut
mempunyai profesionalisme dalam menegakkkan hukum dan keadilan.
Sehingga dalam melaksanakan tugas yudisialnya, hakim harus dapat
mempertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada
masyarakat.
Dalam rangka menjaga harkat dan menegakkan kehormatan,
keluhuran, martabat serta perilaku hakim, maka dibentuklah lembaga
komisi yudisial yang bersifat mandiri yang diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Vide Pasal 24 B Ayat (1) dan Ayat
(3) Undang – Undang Dasar 1945).
4
Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial kepada Hakim
merupakan pengawasan yang bersifat eksternal dengan mendasarkan pada
etika profesi (kode etik dan pedoman perilaku hakim), sedangkan
pengawasan internal atas tingkah laku hakim, pelaksanaan tugas
administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi dalam
melaksanakan pengawasan tersebut, tidak boleh mengurangi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, sehingga Mahkamah
Agung dan/atau Komisi Yudisial wajib:
a. Mentaati norma dan peraturan perundang-undangan ;
b. Berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku hakim ;
c. Menjaga kerahasiaan keterangan dan informasi yang diperoleh ;
Pedoman tingkah laku Hakim (code of judicial ethics) sebagai
peraturan etika (rules of ethics) dan secara normative bukan sebuah aturan
hukum, baik ditinjau dari wewenang membuat menetapkan, isi (materi
muatan), cara menetapkan dan cara menegakkan pedoman tingkah laku
hakim tida memenuhi syarat sebagai ketentuan hukum (legal norms).
Pedoman tingkah laku hakim adalah aturan moral (etik) yang
bertujuan untuk membangun dan memperkukuh standar moral (etik)
tingkah laku hakim. Sebagai aturan moral (etik), pedoman Perilaku Hakim
5
–dimanapun-lebih menentukan segi-segi kewajiban yang wajib diemban
dan dipikul oleh hakim baik secara individual maupun secara kolektif.
Oleh karena perilaku profesi hakim merupakan salah satu aspek
yang mendapatkan perhatian masyarakat di masa perubahan (reformasi) ini,
dan berdasarkan pasal 32 A jo. Pasal 81 B Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan kedua Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, maka telah diterbitkan kode etik dan pedoman
perilaku hakim yang merupakan pedoman bagi hakim dalam memberikan
bimbingan terhadap keutamaan moral dalam melaksanakan tugas kedinasan
maupun dalam melakukan hubungan dengan masyakarat, hal mana kode
etik pedoman perilaku hakim dimaksud juga merupakan pedoman bagi
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melakukan fungsi
pengawasan internal maupun ekternal, sebagaimana termuat dalam
keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung Rid an Komisi Yudisial RI
Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009
tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Sedangkan dalam era perubahan ini salah satu aspek yang tidak
kalah penting dalam mewujudkan danm meningkatkan profesionalisme
hakim yang dapat memberikan keadilan bagi pencari keadilan adalah aspek
kemampuan atau pengetahuan hakim secara individual, baik kemampuan
6
hukum materiil maupun hukum formal, sehingga untuk merealisasikan hal
tersebut Mahkamah Agung secara berkala mengadakan pelatihan,
bimbingan teknis, temu ilmiah kepada para hakim dan bahkan memberikan
beasiswa kepada para hakim untuk melanjutkan pendidikan formal yang
lebih tinggi (S-2, S-3) agar hakim mempunyai pengetahuan yang memadai
untuk menghadapi perkembangan sosial, politik, budaya maupun teknologi
yang begitu cepat berubah, sehingga hakim mempunyai bekal yang cukup
dalam mengadili perkara.
Namun demikian, meskipun hakim dalam menyelenggarakan
kekuasaan peradilan bersifat merdeka, tetapi apabila hakim tersebut
melakukan pencederaan terhadap etika profesi dan pedoman perilaku
hakim atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka hakim
tersebut secara kasuistis dapat dikenakan sanski yang bersifat pidana dan
atau sanksi administrative.
Pencederaan etika profesi hakim dalam lembaga peradilan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah tidak dipenuhinya
sarana dan prasarana bagi hakim selaku penegak hukum maupun sebagai
warga masyarakat, hal tersebut menjadi tanggung jawab Negara untuk
memberikan jaminan keamanan bagi hakim dan pengadilan , kecukupan
kesejahteraan, kelayakan fasilitas, pemberian anggaran yang memadai.
7
Secara realita, apakah perhatian Negara kepada hakim sudah
diberikan secara optimal karena apabila kita mengamati gedung kantor
pengadilan didaerah-daerah, rumah dinas hakim, sarana-sarana perkantoran
dipengadilan serta kesejahteraan hakim sangat memprihatinkan.
Meskipun demikian, Mahkamah Agung dalam era Reformasi
sebagai konsekuensi perkembangan sosial dan budaya, berupaya
melakukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi perubahan
paradigma yang ada dalam masyarakat untuk menjadikan lembaga
peradilan yang mandiri, netral, kompeten, transparan, akuntabel, dan
berwibawa yang mampu menegakkan hukum dan keadilan.
Oleh karena itulah menurut penulis sangatlah menarik untuk
ditelusuri, diteliti lebih jauh dan ditulis dalam bentuk skripsi mengenai :
“ KUALITAS PROFESIONALISME DALAM PROSES
PEMBARUAN DAN KONSEKUENSI TERHADAP PENCEDERAAN
ETIKA PROFESI DALAM LEMBAGA PERADILAN”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas
adalah:
8
1. Apakah masyarakat bangsa Indonesia telah menempatkan lembaga
peradilan dalam posisi yang tepat dalam rangka sistem penyelenggaraan
kehidupan bangsa dan Negara ?
2. Bagaimanakah peradilan Indonesia menjawab tantangan perubahan
sebagai konsekuensi perkembangan global ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian.
1. Ruang Lingkup
Yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Apakah
masyarakat bangsa Indonesia telah menempatkan lembaga peradilan
dalam posisi yang tepat dalam rangka sistem penyelenggaraan
kehidupan bangsa dan Negara ? Bagaimanakah peradilan Indonesia
menjawab tantangan perubahan sebagai konsekuensi perkembangan
global ?, namun untuk membatasi ruang lingkup pembahasan maka
dalam hal ini penulis hanya meneliti isi daripada Undang – Undang
yang berkenaan dengan hal tersebut dan yang menjadi sangat penting
dalam sorotan masyarakat khususnya dalam penulisan skripsi ini .
Selain itu untuk membatasi objek penelitian maka dalam hal ini penulis
9
hanya akan melakukan penelitian hanya terbatas pada undang – undang
tersebut saja.
2. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan bahwasanya Hakim sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman semakin dituntut mempunyai Integritas tinggi,
dan professional, sehingga hakim memperoleh kepercayaan dari
masyarakat. Dan Hakim sebagai salah satu profesi penegak hukum
harus berbenah dan mengubah pola pikir dan pola budaya yang
selama ini dipahami dalam rangka mempersiapkan dan menghadapi
struktur hukum nasional di era perubahan ini. Sebagai usaha dalam
menegakkan hukum lebih menjanjikan dan dapat dilakukan apabila
hakim benar-benar dibimbing dan dipimpin oleh perangkat peraturan
yang benar-benar berorientasi dan berpihak pada penegakan hukum
dan keadilan. Adapun sikap yang terbaik dalam melakukan
pembenahan hukum di Indonesia adalah dengan menyelenggarakan
reformasi yang terkait perencanaan, legislasi, dan penerapan hukum.
b. Agar para hakim bukannya sama sekali menutup mata terhadap
kritik dari semua lapisan masyarakat, tetapi para hakim benar-benar
10
menyadari bahwa peningkatan kualitas keilmuan, keterampilan
teknis yudisial maupun kualitas integritas moral dan karakter.
c. Untuk menambah ilmu dalam memperkuat tradisi dialektika
akademik yang ditandai dengan dinamika sikap kritis dan sekaligus
inovatif sebagai tanggung jawab sejarahnya untuk menyemai dan
melahirkan sesuatu yang baru yang lengkap dan lebih jelas dalam
Undang – Undang tersebut.
D. Metodelogi.
Sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini
metodologi yang digunakan dalam penulisan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian :
- Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis empiris
yang meliputi penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas
hukum.
- Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat
eksploratoris dalam hal ini penelitian melakukan penelitian terhadap
11
” Kualitas Profesionalisme Dalam Proses Pembaruan Dan
Konsekuensi Terhadap Pencederaan Etika Profesi Dalam Lembaga
Peradilan “.
2. Jenis dan Sumber Data
a ) Jenis Data
Data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder.
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan
(field Research)
2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan
(library Research)
b) Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini yaitu :
1. Data primer Yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari
penelitian lapangan (field Research). Dengan cara wawancara
dengan para Pejabat yang berwenang di Kantor Pengadilan
Negeri Muara Enim.
2. Data sekunder yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari
penelitian Kepustakaan ( library research ) yang berupa :
12
a) Bahan hukum primer yaitu Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden,
Keputusan Mahkamh Agung.
b) Bahan hukum sekunder yaitu data yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berbentuk
buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan Peran Peradilan
Indonesia dan pengadilan, hasil penelitian dan berbagai
makalah, hasil seminar, majalah jurnal ilmiah dan surat kabar
yang berkaitan dengan penelitian.
c) Bahan hukum tersier (penunjang) yaitu bahan-bahan yang
memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
3. Tehnik Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data Primer yaitu tehnik pengumpulan data, dengan cara melakukan
Penelitian Lapangan (Field Reseach) di Kantor Pengadilan Negeri
Muara Enim. Data tersebut dikumpulkan melalui :
1. Wawancara (interview), yaitu dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan langsung kepada responden (Pejabat
yang berwenang di Pengadilan Negeri Muara Enim) secara
13
terarah (directive interview) dan mendalam (depth interview)
dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu.
2. Pengamatan (observasi), yaitu mengadakan pengamatan dan
pencatatan secara metode pengumpulan data yang dilakukan
secara sistematis terhadap lingkungan kerja dalam kegiatan yang
ada untuk memperoleh hasil sesuai dengan sasaran dalam rangka
mendapatkan kelengkapan data melalui situs di internet.
b. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu tehnik pengumpulan data yang diperoleh dari
penelitian Kepustakaan (library Research) yang relevan dengan
pokok permasalahan peran Peradilan Indonesia dalam mengawasi
Lembaga Peradilan.
4. Tehnik Analisa Data
Tehnik analisa data primer dan sekunder yang dikumpulkan
dalam penelitian akan dianalisa secara kualitatif, penelitian ini akan
menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan yang diteliti dan dipelajari sebagai
suatu yang utuh. Untuk selanjutnya di tarik suatu kesimpulan.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Etika dan Etika Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang
berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika
akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun
kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.3)
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline
which can act as the performance index or reference for our control
system”.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena
segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok social (profesi) itu sendiri.4)
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in
mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan
3)
Munir Fuady, Citra Aditya. 2005. Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus. Bandung : Mandar Maju
4)
Ibid 3
15
untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain
melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun
penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari
masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada
kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin
memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang
memerlukannya.
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang
berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan
keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus
bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.
Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma
agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan
perundang- undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma
moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan
sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika (ethics) berarti
moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun.5)
5)
Ibid 3 hal 14
16
Persamaan antara etika dengan etiket yaitu:
1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai
mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak
mengenal etika maupun etiket.
2. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian
menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut
sering dicampuradukkan.
Perbedaan antara etika dengan etiket yaitu :
1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket
menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta
ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu.Etika tidak terbatas pada
cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang
perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah
perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Etika selalu berlaku walaupun
tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan
walaupun pemiliknya sudah lupa.
17
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah
kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.Etika
jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan
mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika
memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya
lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket
namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak
mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak
bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-
sungguh baik.
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan
tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia.
Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral
merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang
bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika
merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat
mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik
18
dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan
menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
Etika Dalam Penggunaan TI (Technology Informasi)
Etika secara umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau
pemikiran yang mengisi suatu individu, yang keberadaannya bisa
dipertanggungjawabkan terhadap masyarakat atas prilaku yang diperbuat.
Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral.
Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai prilaku benar dan salah yang
diakui oleh manusia secara universal. Perbedaannya bahwa etika akan
menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.…….
Dua aktivitas utama etika komputer (James H. Moore) :
1. waspada,…………………………………………………………………..
2. sadar.
Tiga alasan utama minat masyarakat yang tinggi pada etika computer
1. kelenturan logika (logical malleability), kemampuan memrograman
komputer untuk melakukan apa pun yang kita inginkan.
19
2. faktor transformasi (transformation factors), contoh fasilitas e-mail
yang bisa sampai tujuan dan dapat dibuka atau dibaca dimanapun kita
berada,
3. faktor tak kasat mata (invisibility factors).
Semua operasi internal komputer tersembunyi dari penglihatan, yang
membuka peluang pada nilai-nilai pemrograman yang tidak terlihat,
perhitungan yang rumit terlihat dan penyalahgunaan yang tidak tampak
Hak Sosial dan Komputer
(Deborah Johnson)6)
1. Hak atas akses komputer, yaitu setiap orang berhak untuk
mengoperasikan komputer dengan tidak harus memilikinya. Sebagai
contoh belajar tentang komputer dengan memanfaatkan software yang
ada;
2. Hak atas keahlian komputer, pada awal komputer dibuat, terdapat
kekawatiran yang luas terhadap masyarakat akan terjadinya
pengangguran karena beberapa peran digantikan oleh komputer. Tetapi
pada kenyataannya dengan keahlian di bidang komputer dapat
membuka peluang pekerjaan yang lebih banyak;
6)
wartawarga.gunadarma”etika-pemanfaatan-teknologi-informasi” Jakarta, 2005
20
3. Hak atas spesialis komputer, pemakai komputer tidak semua
menguasai akan ilmu yang terdapat pada komputer yang begitu banyak
dan luas. Untuk bidang tertentu diperlukan spesialis bidang komputer,
seperti kita membutuhkan dokter atau pengacara;
4. Hak atas pengambilan keputusan komputer, meskipun masyarakat
tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai
bagaimana komputer diterapkan, namun masyarakat memiliki hak
tersebut.
Hak atas Informasi
(Richard O. Masson)7)
1. Hak atas privasi, sebuah informasi yang sifatnya pribadi baik secara
individu maupu dalam suatu organisasi mendapatkan perlindungan atas
hukum tentang kerahasiannya;
2. Hak atas Akurasi. Komputer dipercaya dapat mencapai tingkat akurasi
yang tidak bisa dicapai oleh sistem nonkomputer, potensi ini selalu ada
meskipun tidak selalu tercapai;
3. Hak atas kepemilikan. Ini berhubungan dengan hak milik intelektual,
umumnya dalam bentuk program-program komputer yang dengan
7)
Ibid 6 hal 19
21
mudahnya dilakukan penggandaan atau disalin secara ilegal. Ini bisa
dituntut di pengadilan;
4. Hak atas akses. Informasi memiliki nilai, dimana setiap kali kita akan
mengaksesnya harus melakukan account atau izin pada pihak yang
memiliki informasi tersebut. Sebagai contoh kita dapat membaca data-
data penelitian atau buku-buku online di Internet yang harus bayar
untuk dapat mengaksesnya.
B. Pengertian Lembaga Peradilan
Kata ”lembaga” antara lain diartikan sebagai 1) ’asal mula (yang
akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan)’; (2) ’bentuk
(rupa, wujud) yang asli’; (3) ’acuan; ikatan (tentang mata cincin dsb)’; (4)
’badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau
melakukan suatu usaha’; dan (5) ’pola perilaku manusia yang mapan,
terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan’.
Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga,
yaitu lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan pemerintahan
dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan diganti dengan kata
22
negara, diartikan ’badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan
negara (khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).8)
Untuk memahami pengertian lembaga secara lebih dalam, kita dapat
mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the
State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans
Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the
legal order is an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi
yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu
organisasi. 9)
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan
warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-
sama merupakan organisasi negara dalam arti luas. Demikian pula hakim
yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan
hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan
organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organisasi negara
itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu
dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan
8)
K.Wantjik Saleh, “kehakiman dan peradilan”, Jakarta : Simbur Cahaya, 1976
9) Ibid 8
23
publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat
umum (public officials).10)
Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan
adanya pengertian organisasi negara dalam arti yang sempit, yaitu
pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara
hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu
(...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum
perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang
menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.11)
Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan
pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :12)
1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam
bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam
bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan
berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
10)
Ibid 9 11)
SANKRI, Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraa Negara, LAN RI, 2003 12)
Dikutip dari artikel Hubungan antar Lembaga, Indoskripsi.com
24
3. Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni
“adil” yang memiliki pengertian:
a. Proses mengadili.
b. Upaya untuk mencari keadilan
c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan.
d. Berdasar hukum yang berlaku.
Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruak dalam
penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan
amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10
ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
25
Ke-4 lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung,
baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun
strata ke-empat lembaga tersebut adalah :
a. Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan
tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai
pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun
Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi
Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda
Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
c. Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai
pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
d. Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata
Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
26
Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan
berpuncak di MA-RI.
Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah
Syar’iyyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan
dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya
manusia dalam kerangka system peradilan nasional. Mengenai kewenangan
relatif Mahkamah Syar’iyyah adalah daerah hukum eks Pengadilan Agama
yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.
Pengalihan Badan Peradilan Konsekuensi dari UU Kekuasaan
Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-
badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan
HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat
ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
27
Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung:
1. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata
Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung.
2. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi
Agama/Mahkamah Syariah Propinsi, dan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004
dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
3. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung
sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah
Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang
bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih
menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan
keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.
28
Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan
kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada
di bawah Mahkamah Agung.
C. Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam lembaga peradilan
Disamping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, UUD 1945 juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim.
Seperti Dalam Dasar Hukum berikut :
A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Perubahan UUD 1945 yang
membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan
kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan
secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai
29
badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-
asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan
perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam
mencari keadilan.13)
B. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan kedua atas undang-undang nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah agung. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Undang-Undang ini
adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004. Perubahan dilakukan karena Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut pengawasan,
13)
Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 (Perubahan UUD 1945) tentang Kekuasaan
Kehakiman, Jakarta, Tim Visimedia Pustaka Newsroom, November : 2009.
30
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Agung adalah
pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi,
Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan
pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24 B Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan
yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang
menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial,
administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi
31
kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku
hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan
diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Dalam Ayat (1): Yang dimaksud
dengan "calon hakim agung yang berasal dari hakim karier" adalah
calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan
oleh Mahkamah Agung. Dalam Ayat (2): Yang dimaksud dengan
"calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier" adalah calon
hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.
C. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor :
047/Kma/Skb/Iv/2009 Nomor : 02/Skb/P.Ky/Iv/2009 Tentang Kode
Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim .Pengadilan yang mandiri, netral
(tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa,
yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau
persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan
keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.
32
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap
keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan
integritas Negara. Dan hakim sebagai aktor utama atau figur sentral
dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan
nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan
profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi
masyarakat banyak.
Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh
hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran
dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang
seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang
sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.
Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut
tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang
diucapkan dengan irah-irah ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum,
kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
33
Untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana di atas, perlu
terus diupayakan secara maksimal tugas pengawasan secara internal dan
eksternal oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial Republik Indonesia.
D. Tanggung Jawab Lembaga Peradilan
Salah satu masalah yang sangat penting dalam upaya perbaikan
sistem peradilan dan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia adalah
masalah manajemen. Persoalan manajemen ini biasanya kurang mendapat
perhatian serius di kalangan sarjana hukum yang mendominasi pengelolaan
pelbagai lembaga-lembaga hukum di tanah air kita. Mulai dari fungsi
penyidikan, penuntutan, pembelaaan, pengadilan, sampai ke fungsi
eksekusi dan pemasyarakatan selalu didominasi oleh para sarjana hukum
yang tidak begitu terlatih dalam urusan administrasi dan manajemen.
Karena itu, hampir semua lembaga-lembaga hukum di tanah air kita
menghadapi persoalan-persoalan administrasi dan manajemen yang kurang
responsif dan cenderung ketinggalan zaman dalam menghadapi
perkembangan dalam masyarakat yang menuntut akses keadilan (access to
34
justice) yang lebih adil dan berkepastian dan pelayanan hukum (legal
services) yang lebih efisien dan terbuka.14)
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, urusan manajemen itu
menyangkut persoalan “man, money, and material”, yaitu sumber daya
manusia, sistem administrasi keuangan, dan urusan sarana dan prasarana
penunjang. Ketiganya dapat dibedakan dalam dua urusan, yaitu
administrasi yang langsung berhubungan dengan manajemen perkara, dan
administrasi yang berhubungan dengan kelembagaan organisasi lembaga
hukum yang bersangkutan. 15)
Dalam kaitan dengan lembaga peradilan, maka aspek administrasi
dan manajemen ini biasa dibedakan antara urusan kepaniteraan dan urusan
kesekretariatan badan-badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman. Dalam pengertiannya yang lebih kompleks, persoalan
manajemen itu dapat dibedakan dalam beberapa aspek, yaitu :16)
(i) perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi;
1. MANAJEMEN PERKARA
Dalam Manajemen perkara, dimulai sejak pelaporan, pengaduan,
ataupun pendaftaran pelayanan hukum sampai ke tahap eksekusi
14)
http://jimly.com/makalah/namafile/63/REFORMASI_TATA_KELOLA_MANAJEMEN_
PERADILAN.pdf diakses 14 desember 2011 15)
ibid 12 16)
ibid 14
35
putusan dan pemasyarakatan merupakan satu kesatuan proses mulai dari
terjadinya peristiwa hukum dalam masyarakat sampai terwujudnya
keadaan atau terpulihkannya kembali keadilan dalam masyarakat.
Dalam proses itu diperlukan adanya jaminan bahwa:
(i) Prosesnya berlangsung tepat dalam menjamin keadilan (justice)
dan kepastian hukum (legal certainty);
(ii) Prosesnya berlangsung efisien, cepat dan tidak membebani para
pihak di luar kemampuannya;
(iii) menurut aturan hukumnya sendiri, yaitu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sejak sebelum perkara itu
sendiri terjadi;
(iv) Secara independen tanpa campur tangan atau dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari pihak-pihak
lain atau kepentingan salah satu pihak dengan merugikan pihak
yang lain; dan
(v) Secara akuntabel dan transparan sehingga hasilnya dapat dipercaya
oleh para pihak dan masyarakat pada umumnya.
Untuk mengharapkan adanya perbaikan di lembaga peradilan,
kelima hal itu sangat penting untuk diperhatikan. Para pencari keadilan
36
(justice seekers) harus dibuat yakin dan percaya bahwa proses yang ia
tempuh akan menghasilkan keadilan yang pasti dan kepastian yang adil.
Prosesnya cepat dan efisien, sehingga tidak membebani atau yang hanya
dapat dijangkau oleh mereka yang mampu. Misalnya, jika sesuatu
persoalan dapat diselesaikan dalam waktu hanya 1 hari, mengapa mesti
dtunggu sampai 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan 1 tahun. Proses
peradilan berjalan independen, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tidak diintervensi untuk kepentingan politik
atau ekonomi oleh pihak manapun secara tidak adil. Kecuali untuk hal-
hal yang wajib dirahasiakan, maka keseluruhan proses menuju keadilan
itu haruslah terbuka sehingga dapat dikontrol oleh masyarakat dan para
pihak yang berperkara.
Untuk mewujudkan keenam hal tersebut dalam praktik, ada
beberapa faktor menentukan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
(a) Faktor Substansi Aturannya. Dalam hal ini yang paling
menentukan adalah hukum acara yang diterapkan dalam proses,
baik peradilan pidana, perdata, tatausaha negara, peradilan agama,
maupun peradilan konstitusi (tata negara), perlu disempurnakan
sesuai dengan kebutuhan zaman;
37
(b) Faktor Sumber Daya Manusia. Baik panitera maupun petugas
administrasi pada umumnya perlu terus menerus mengikuti
perkembangan zaman, sehingga dapat bekerja efisien dan
produktif. Demikian pula para hakim, dari waktu ke waktu harus
pula terus menerus memutakhirkan diri dengan pengetahuan-
pengetahuan baru tentang hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berkembang sangat dinamis.
(c) Faktor Sistem Informasi dan Komunikasi Hukum. Oleh karena
dunia hukum dewasa ini sudah berkembang semakin kompleks,
maka teknologi informasi dan komunikasi (ICT) tidak dapat tidak
harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam
mengembangkan sistem administrasi dan manajemen, baik
manajemen peradilan maupun manajemen kelembagaan.
(d) Faktor Dukungan Sarana dan Prasarana serta Anggaran. Cara kerja
peradilan harus dilngekapi dengan pelbagai sarana dan prasarana
yang memadai. Prasarana bangunan, ruang persidangan,
perlengkapan teknologi, sistem renumerasi dan fasilitas
kesejahteraan yang memadai sangat diperlukan untuk menjamin
kualitas dan produktifitas kerja peradilan.
38
(e) Faktor Kepemimpinan. Yang sering diabaikan adalah pentingnya
peran kepemimpinan dalam menyukseskan agenda perbaikan
sistem dan iklim kerja di lembaga hukum. Ketua, Wakil Ketua,
Sekretaris dan Panitera sangat menentukan berhasil tidaknya
upaya-upaya perbaikan sistemik.
2. ADMINISTRASI PERSONIL
Dalam Administrasi personalia perlu diperbaiki dengan didukung
oleh data dasar yang memadai. Harus dicegah jangan sampai masih ada
pengadilan di suatu daerah yang kekurangan jumlah hakim karena
jumlah perkaranya sangat banyak, sedangkan di daerah lain ada
pengadilan yang jumlah hakimnya banyak menganggung karena
perkaranya sangat sedikit. Pola distribusi hakim yang tidak didasarkan
atas data dasar yang benar, tentu dapat menyebabkan hal-hal semacam
itu.
Demikian pula dari segi kualitas dan proporsionalitas bidang
keahlian para hakim yang harus memeriksa perkara. Harus dicegah
jangan sampai hakim dengan keahlian berbeda harus menangani perkara
yang menuntut keahlian yang khusus. Di samping itu, perkembangan
pengetahuan hakim akan dinamika hukum dan peraturan perundang-
39
undangan juga sangat penting, sehingga kegiatan pendidikan bagi para
hakim mutlak dlakukan secara bertahap dan terus menerus.
Sebaiknya, di setiap pengadilan, dapat pula diupayakan agar
terbentuk suatu kultur dan iklim kerja intelektual yang mendorong
semangat dan kegairahan belajar serta kegemaran membaca, mencari
informasi pengetahuan, dan berdiskusi yang intensif di kalangan para
hakim. Dengan demikian, kualitas para hakim dapat terus menerus
mengikati perkembangan hukum dalam teori dan praktik, yang justru
sangat diperlukan dalam menyelesaikan pelbagai perkara yang dihadapi.
3. ADMINISTRASI KEUANGAN
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum
dan peradilan salah satunya disebabkan oleh masalah uang, yaitu uang
korupsi, suap, biaya perkara, dan lain-lain pelanggaran yang terkait
dengan uang. Semua ini, di samping berkaitan dengan kerakusan atau
motif jahat dari pelakunya, juga terkait dengan persoalan tertib
administrasi keuangan. Sebaiknya, setiap pengadilan berusaha keras
untuk memperbaiki sistem administrasi keuangan dengan menjadikan
kualifikasi nilai auditing atau pemeriksaan keuangan sebagai sasaran
atau target. Kualifikasi nilai tertinggi adalah ‘Wajar Tanpa
40
Pengecualian’ (WTP). Setiap pengadilan harus didorong untuk
berlomba-lomba mendapatkan nilai WTP atas laporan keuangannya.
Sistem administrasi keuangan yang baik dapat menjadi modal
yang kuat dalam membangun sistem administrasi yang bersih dan bebas
korupsi. Bersihnya administrasi keuangan itu juga niscaya akan
mempengaruhi sistem administrasi di bidang-bidang yang lain, sehingga
secara keseluruhan sistem administrasi lembaga peradilan yang
bersangkutan akan menjadi baik dan bersih pula. Administrasi keuangan
yang baik akan menyebabkan administrasi personalia dan administrasi
pelayanan juga menjadi baik dan bersih. Hal ini pada gilirannya akan
menyebabkan efektif dan efisiennya tata kelola peradilan (judicial
governance) sebagai bahan utama untuk tercapainya tujuan
mewujudkan keadilan yang terpercaya.
4. SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI HUKUM
Tata kelola peradilan yang baik (good judicial governance)
sangat memerlukan ketersediaan pelbagai informasi dan data dasar yang
lengkap dan mudah diakses, serta media komunikasi yang efektif dan
efisien. Untuk itu, pengadilan harus memanfaatkan jasa teknologi
informasi dan komunikasi modern dengan sebaik-baiknya. Seperti
41
halnya computer, internet dan sarana hand-phone tidak hanya berfungsi
rutin untuk komunikasi personal berkenaan dengan kegiatan rutin
sehari-hari. Internet, hand-phone, dan ipad dapat dipakai untuk jenis-
jenis komuinikasi yang serius dengan sangat efisien dan sekaligus
efektif.
Internet tidak hanya perlu dipakai untuk berkirim email ataupun
hanya untuk membuat website yang mudah diakses bagi pencari
keadilan. Internet dan teknologi informasi dan komunikasi modern
dapat dan harus pula dipakai untuk keperluan memperbaharui cara kerja
lembaga-lembaga hukum, khususnya pengadilan dalam memberikan
pelayanan-pelayanan keadilan. Internet dan bahan-bahan informasi
elektronik lainnya sudah seharusnya diperlakukan sebagai alat bukti
yuang sah dalam proses peradilan. Demikian pula alat-alat komunikasi
mutakhir harus dimungkinkan untuk dimanfaatkan dalam proses
pemeriksaan dan persidangan peradilan.
Keperluan semacam itu, untuk sebagian memerlukan perubahan
undang-undang yang berkaitan dengan hukum acara pemeriksaan. Akan
tetapi sebagian lainnya tidak memerlukan perubahan undang-undang
sama sekali. Pemanfaatan jasa teknologi informasi dan komunikasi
semacam itu dalam proses hukum dapat dilakukan tanpa harus
42
menunggu peraturan yang membolehkan hal itu. Yang diperlukan
hanyalah kreatifitas kepemimpinan dan kesadaran pimpinan untuk
senantiasa memutakhirkan diri dengan segala jenis teknologi modern
yang berguna untuk efisiensi dan efektifitas upaya hukum dan
pelayanan keadilan.
5. FAKTOR KEPEMIMPINAN
Dari semua faktor di atas, dalam kenyataan praktiknya di
lapangan, yang paling utama adalah faktor kepemimpinan. Karena itu,
semua pimpinan lembaga-lembaga hukum haruslah mengalami
pencerahan yang tersendiri mengenai upaya-upaya perbaikan tata-kelola
yang dimaksudkan disini. Untuk itu, penting diatur kembali mengenai
persyaratan untuk menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan Panitera
Pengadilan. Demikian pula, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah serta
Panitera harus dipilih orang-orang yang mempunyai ‘sense of
administration and management’, bukan sekedar menguasai bidang
hukum tertentu. Penguasaan bidang hukum merupakan prasyarat
kualitatif bagi semua hakim dan apalagi hakim agung. Akan tetapi,
untuk menjadi pimpinan sudah seharusnya criteria kemampuan
menajerial menjadi prasyarat mutlak karena yang bersangkutan harus
43
memimipin institusi peradilan. Apalagi di masa-masa sekarang dimana
lembaga-lembaga hukum kita pada umumnya sedang menghadapi
tantangan berat untuk berbenah diri secara internal guna memenuhi
standar-standar baru di bidang tata kelola yang baik (good judicial
governance). Tidak mengapa jika Ketua Pengadilan dan Ketua
Mahkamah Agung dibebaskan dari beban menangani perkara,
mengingat beban tugas di bidang administrasi dan manajemen
memerlukan perhatian yang sangat besar dewasa. Sedangkan
penanganan perkara dapat didistribusikan kepada para hakim anggota
yang harus memusatkan perhatiannya hanya kepada proses pemeriksaan
dan mengadili perkara.
Selama ini, memang berkembang pengertian bahwa setiap hakim
harus menangani perkara sesuai dengan tugas dan tanggungjawab
hakim sebagai penegak keadilan. Namun, dalam kenyataan praktik,
pengertian demikian ini tidak dapat dipahami secara kaku. Dalam
menangani perkara, tugas dan tanggungjawab Ketua dapat
didelegasikan kepada para anggota yang tentunya ketika menjatuhkan
pilihan kepada si A atau si B untuk menjadi ketua sudah harus
memahami konsekwensi dari pemilihan itu, yaitu bahwa para anggota
harus siap menerima pendelegasian tugas dan tanggungjawab untuk
44
menangani perkara dan membebaskan ketua dan wakil ketua dari beban
tanggungjawab penenganan perkara.
Lagi pula harus diingat bahwa semua jabatan kepemimpinan
sudah dengan sendiri mengandung fungsi administrator. Karena itu,
Ketua dan Wakil Ketua memang mempunyai tugas dan fungsi yang
berbeda dari hakim pada umumnya, yaitu dalam menangani perkara.
Ketua dan Wakil Ketua adalah administrator tertinggi lembaga
peradilan, meskipun tugas dan tanggungjawab teknis administrasi
peradilan sehari-hari berada di pundak Panitera dan Sekretaris
Pengadilan. Karena itu, jika timbul masalah hukum dalam penanganan
urusan administrasi itu maka yang bertanggungjawab adalah Panitera
dan/atau Sekretaris sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Namun, dalam praktik, apalagi, dalam kultur politik dan
birokrasi yang masih sangat feodalistik dan paternalistik, faktor
kepemimpinan puncak lembaga peradilan memang terletak di tangan
ketua, bukan di tangan sekretaris atau panitera. Semua kewibawaan
pimpinan kelembagaan pengadilan ada di puncak pimpinan, yaitu pada
Ketua Pengadilan dan Ketua Mahkamah Agung, bukan terpusat pada
sekretaris atau pun panitera. Di bawah pengaruh kewibawaan para ketua
lah berhasil tidaknya upaya kita membenahi sistem administrasi dan
45
manajemen peradilan ditentukan. Jika kita mendapat seorang ketua yang
cukup tercerahkan (enlightened), tentu sistem administrasi dan
manajemen peradilan akan dapat dibenahi sehingga berpengaruh bagi
terbentuknya iklim dan suasana kerja yang lebih progresif, efektif, dan
efisien di semua badan peradilan negara kita. Disamping itu juga, dapat
kita lihat fungsi daripada lembaga peradilan sebagai berikut :17)
1. FUNGSI PERADILAN
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam
penerapan hukum melalui utusan kasasi dan peninjauan kembali
menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir.
c. semua sengketa tentang kewenangan mengadili :
- permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34
Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
17)
Syafiie, Inu Kencana. 1994 . Ilmu Pemerintahan. Bandung : Mandar Maju.
46
- semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).
- Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan
ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2. FUNGSI PENGAWASAN
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan
agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman
pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan
perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
47
b. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
- Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan
perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman,
yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan
teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk
yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah
Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. FUNGSI MENGATUR
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang
tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
48
kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang
No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur
Undang-undang.
4. FUNGSI NASEHAT
a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara
lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun
1985). Mahkamah Agung.
b. memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam
rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang
Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan
Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14
Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk
memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara
selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan
pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
49
c. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan
memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung).
5. FUNGSI ADMINISTRATIF
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana
dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970
secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini
masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun
menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah
dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
50
6. FUNGSI LAIN-LAIN
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat
diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
51
BAB III
KUALITAS PROFESIONALISME DALAM
PROSES PEMBARUAN DAN KONSEKUENSI TERHADAP
PENCEDERAAN ETIKA PROFESI DALAM LEMBAGA PERADILAN.
A. Bangsa Indonesia dalam menempatkan Posisi Peradilan dalam
Sistem Penyelenggaraan Kehidupan bangsa dan Negara.
Undang - Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia ialah
Negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat). Pengaturan ini berarti
sebagai suatu Negara, Indonesia telah memilih Negara hukum sebagai
bentuk Negara, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan dan
akibatnya yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dinegara ini
harus didasarkan dan diselesaikan dengan cara-cara yang menurut hukum.
Untuk menghadapi permasalahan yang kompleks dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka lembaga peradilan sebagai lembaga yang
berfungsi menegakkan hukum harus mempergunakan peran yang
demikian sentral untuk menyelesaikannya, karenanya lembaga peradilan
harus mempunyai kemampuan yang memadai. Kemampuan lembaga
peradilan untuk menyelenggarakan fungsinya sangat dipegaruhi oleh
kemampuan elemen-elemen dalam sistem peradilan, karena lemahnya
dalam salah satu elemen dalam sistem peradilan sangat menentukan
52
keberhasilan dalam menyelenggarakan fungsinya untuk mengadili
perkara sesuai dengan hukum dan keadilan.
Dalam mengomentari masalah tentang penegakan hukum dan
peranan penegak hukum, Charles Reith, Pakar ilmu kepolisian Inggris
berpendapat : “The problems of disorder is the problem of underforced
and unenforable laws”, dan “if lack of the securing law observance”. Hal
mana runtuhnya Republik Democratie Weimar di Jerman (1918-1933)
dan Republik Kuo Mintang Chiang Kay Shek di Tiongkok yang kedua-
duanya mulai dengan cita-cita yang tinggi tetapi runtuh, oleh karena
terlalu banyak membuat peraturan-peraturan yang “unerforced” bahkan
“unenforceable”, dan karena itu menimbulkan demoralisatie, coruptie,
kejahatan, dan perpecahan serta kekacauan dalam masyarakat.18)
Tidak sedikit pendapat ahli yang dengan tegas menyatakan bahwa
baik hukum materiil maupun hukum formil di Indonesia mengandung
berbagai masalah mulai out of date dan tidak sesuai lagi dengan semangat
demokrasi dan kemerdekaan karena masih merupakan warisan kolonial
Belanda, aturan yang tumpang tindih, tidak membela kepentingan rakyat
dan lebih merupakan legitimasi kebutuhan sesaat. Keberadaan perundang-
18)
Ateng Syafrudin, Catatan Kecil tentang Pemerintahan, Pendidikan, dan Hukum,
dalam Butir-butir pemikiran dalam hukum, memperingati 70 Tahun Prof.Dr.Arief Sidharta, SH., PT.Refika Aditama, 2008, hlm.231.
53
undangan yang mengandung masalah sering menimbulkan kesulitan bagi
hakim dalam memutus perkara, hal mana dalam menghadapi masalah
tersebut, justru hakim yang dijadikan korban menjadi tempat tumpuan
kesalahan.
Masyarakat cenderung menuntut hakim untuk bersifat legalistik
mengikuti teks perundang-undangan, bahkan dalam kasus tertentu hakim
diharuskan mengesampingkan hukum tertulis demi membela kepentingan
sekelompok masyarakat. Meskipun pada prinsipnya, hakim adalah
merdeka menentukan sikap dalam putusannya, namun sebebas-bebasnya
hakim atau sepragmatis sekalipun, hakim tetap harus memutus menurut
hukum, baik hukum dalam arti harfiah berupa teks maupun hukum yang
sudah ditafsirkan atau direkonstruksi.19)
Karena dinamika masyarakat (dunia) yang begitu cepat,
memberikan implikasi terhadap kebutuhan membuat aturan cenderung
meningkat, sehingga menimbulkan keadaan over regulasi atau hiper
regulation, baik terjadi dalam tradisi common law maupun civil law.20)
19)
Bagir Manan, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI Pada Peresmian Pengadilan
Tinggi Agama Ternate, 18 April 2006, dalam Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung RI,
Mahkamah Agung RI, 2007, hlm. 21.
20)
Richard Susskind, The Future of law, Facing the Challenges of Information
Technology.
54
Sebagai akibat over regulasi atau hiper regulasi muncul
kecenderungan “aliansi hukum” (hukum makin lama makin terasing) dari
masyarakatnya sendiri, bahkan dari kalangan ahli hukum sendiri. Karena
itu dibutuhkan kelompok profesional yang mengkhususkan keahliannya
dibidang hukum, yang terus – menerus mengikuti perkembangan hukum.
Pendidikan bidang hukum juga dituntut menyesuaikan orientasi
kurikulumnya sesuai dengan irama perubahan itu. 21)
Seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Bagir Manan, dalam
sambutan beliau ketika puluncuran buku “ Menegakkan Hukum Suatu
Pencarian”. tahun 2010 : bahwa ternyata peradilan Indonesia sudah
terlalu lama ditelantarkan orang. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa peradilan Indonesia tidak dapat berjalan sendiri dalam
mengemban penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, tetapi lembaga
peradilan harus didukung oleh kelompok profesi lain yang terkait dengan
penegakan hukum, sehingga apabila lembaga peradilan dibangun oleh
semua lapisan masyarakat, maka tugas dan tanggung jawabnya dalam
penegakan hukum dapat dilakukan secara optimal.
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat yang mengkritisi putusan
pengadilan sangat bermanfaat untuk membangun, bahan masukan dan
21)
Richard Susskind, Megatrend 2000.
55
cermin bagi lembaga peradilan agar menjadi lembaga yang lebih baik,
sebagai wujud kepeduliannya kepada institusi peradilan, dan lembaga
peradilan tidak membela putusan yang pernah diucapkan para hakim
yakin apa yang diputus tersebut adalah suatu kebenaran dan keadilan.
Kebenaran dan Keadilan tidak membutuhkan pembelaan karena apabila ia
dipergunjingkan oleh berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya,
maka kebenaran dan keadilan itu cepat atau lambat akan menunjukkan
kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Berbicara sekitar kasus-kasus pertanahan, penulis teringat pada
isyarat yang pernah diutarakan oleh alm. Prof. Dr. AP. Parlindungan, SH.,
ketika menjadi Rektor USU Tahun 1981 : “ bahwa hendaknya pemerintah
segera mengambil langkah kebijakan yang tepat dibidang pertanahan
khususnya distribusi tanah yang diperuntukkan bagi rakyat. Apabila
kebijakan-kebijakan itu terlambat dilakukan, tidak dapat dibayangkan
kekacauan apa yang akan terjadi”.22)
Isyarat ilmuwan tersebut disampaikan sudah sekitar 3 dasarwarsa
yang lalu, ternyata masih relevan sampai saat ini. Sebagai contoh :
Suatu keadaan yang terjadi di masyarakat perkebunan Sumatera
Utara, khususnya di Medan dan sekitarnya. Dahulu para buruh
22)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13337/1/10E00158.pdf diakses 14
Desember 2011
56
perkebunan masih muda belia, kuat dan perkasa telah mengabdikan
dirinya demi kegiatan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan
(BUMN), lokasinya ketika itu masih hutan belantara ± 20 km dari kota
Medan. Sang buruh bekerja dengan tekun, penuh pengabdian dengan gaji
sangat rendah, serta diberikan pemondokan seadanya dan lahan disekitar
pemondokan ± 5.000 m2
yang dapat mereka gunakan bercocok tanam,
hingga mereka beranak cucu dan akhirnya tua dan pensiun. Lahan
tersebut sekarang dijadikan perluasan kota. Orang bermodal melirik
tempat itu untuk tempat usahanya. Sang buruh di hari tuanya beserta
keluarga mengharapkan perolehan hak atas tanah yang dihuni puluhan
tahun itu dengan mengajukan permohonan untuk membeli dengan cara
mencicil dengan uang pensiunnya kepada perusahaan. Permohonan
mereka serta merta ditolak dengan alasan tanah tersebut diperlukan untuk
kepentingan perusahaan, sehingga buruh tadi diminta untuk
meninggalkan lokasi itu dengan diberikan uang pindah seadanya Rp
250.000,- (tahun 1998) dan sang pensiunan buruh diberikan tempat
pemondokan yang jauh dari kota (ditepi hutan lagi). Setelah sang
pensiunan buruh pindah ternyata lahan yang pernah mereka huni puluhan
tahun dan telah terjalin hubungan batin yang kuat antara penghuni dengan
tanah itu ternyata oleh perusahaan dialihkan haknya kepada para investor
57
yang sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan emosional dengan
tanah. Melihat kenyataan demikian, sang pensiunan buruh tertusuk rasa
keadilannya dan anak cucunya menyaksikan ikut merasakan perilaku
ketidakadilan yang dialami orang tuanya. Manakala permasalahan ini
dibawa ke Pengadilan, meskipun yang dilakukan oleh perusahaan secara
yuridis formal tindakannya adalah benar, tetapi secara esensi tindakan
tersebut tidak adil dipandang dari sudut kepentingan para pensiunan
buruh dan keluarga yang telah mengabdikan hidupnya kepada
perusahaan. Apakah pada kondisi demikian pengadilan akan bersikukuh
dengan keadilan yang prosedural ? sementara masyarakat hukum
mendesak agar pengadilan yang professional mampu mengesampingkan
keadilan dan kebenaran yang prosedural demi tercapainya kebenaran dan
keadilan yang substansial. Mari kita renungkan jangan terburu untuk
menghujat pengadilan.
Dalam perwujudan perubahan hukum nasional, usaha menegakkan
hukum lebih menjanjikan untuk dapat dilakukan apabila hakim benar-
benar dibimbing dan dipimpin oleh perangkat peraturan yang benar-
benar berorientasi dan berpihak pada penegakan hukum dan keadilan.
58
Hal tersebut sesuai dengan penetapan Sunaria K. Sunyatavijaya,
bahwa pembentuk undang-undang berkewajiban membuat undang-
undang yang sungguh bermanfaat dan hanya undang-undang dan
peraturan Negara yang dibentuk tidak dapat dilaksanakan adalah sumber
demoralisatie masyarakat, coruptie profiteurs dalam kekacauan dan
kejahatan dan menempatkan haki dan alat-alat Negara yang cakap dan
jujur dalam gewetensconflicts dan kesulitan-kesulitan lainnya.23)
Ketaatan kepada undang-undang menurut De Spiegel yang
dikutip oleh Van Poelje, tergantung pada keutamaan para penduduk.
Undang-undang harus banyak meyakinkan daripada memerintah, ia harus
mampu mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan kehendak rakyat,
jika kehendak umum itu cenderung kepada yang buruk dan jahat, jika
suatu bangsa tidak lagi memiliki rasa hormat dan malu atau rasa takut,
maka undang-undang tidak lagi mempunyai pengaruh lagi sekalipun ia
ditulis dengan darah.24)
Dan juga, semestinya pengadilan juga mengubah perannya dan
semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang
mewakili dan mendengarkan suara rakyat. Bahkan ada ujaran, bahwa
23)
Ateng Syafrudin, Op cit., hlm. 231
24)
Ateng Syafrudin, Op cit., hlm. 232
59
pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau golongan yang
unrepresented dan underrepresented.25)
Pada era pembaruan ini, dimana interaksi sosial menghendaki
perilaku professional, transparan, akuntabel, dan efisien, maka hakim
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman semakin dituntut mempunyai
integritas tinggi, dan professional sehingga hakim memperoleh
kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan hal mana pada saat ini
aspek yang mendapat perhatian dari publik untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan (in casu hakim) antara
lain berkaitan dengan perilaku dan kualitas putusan hakim yang
bersangkutan.
Hakim sebagai salah satu profesi penegak hukum harus berbenah
dan mengubah pola pikir dan pola budaya yang selama ini dipahami dan
milikinya dalam rangka mempersiapkan dan menghadapi struktur hukum
nasional di era perubahan ini. Dalam mewujudkan lembaga peradilan
yang mandiri tidak hanya mensyaratkan adanya kemampuan dan
professionalisme hakim, tetapi juga memerlukan aspek penunjang dan
pendukung lembaga peradilan, agar proses peradilan dapat dilakukan
25)
Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, 2008 : 38
60
secara optimal sebagaimana apa yang dikehendaki oleh para pencari
keadilan dan masyarakat.
Namun demikian, hakim dalam menyelenggarakan proses
peradilan sering terjadi melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman
perilaku hakim, hal mana tindakan hakim tersebut dapat dipengaruhi oleh
bebrapa faktor, diantaranya adalah tidak dipenuhinya sarana dan
prasarana bagi hakim selaku penegak hukum maupun sebagai
masyarakat, hal tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Negara
untuk memberikan jaminan keamanan bagi hakim dan pengadilan,
kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas, pemberian anggaran yang
memadai.
Secara realita, apakah perhatian Negara kepada hakim sudah
diberikan secara optimal, karena apabila kita mengamati gedung kantor
pengadilan negeri didaerah – daerah, rumah dinas hakim, sarana-sarana
perkantoran dipengadilan serta kesejahteraan hakim sangat
memprihatinkan.
Di samping itu, salah satu sebab hakim melakukan
penyimpangan terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim
dikarenakan masih kurangnya kecerdasan spiritual, yang menurut :
Satjipto Raharjo dikatakan, bahwa kecerdasan spiritual dapat menggugah
61
rasa moral, dengan memberikan suatu kemampuan untuk mengendalikan
ketentuan yang kaku lewat pengertian (Understanding) dan rasa
keterlibatan.
Masyarakat dalam melihat keberadaan hakim, seharusnya harus
memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa hakim adalah manusia,
sehingga hakim harus diperlakukan secara adil oleh masyarakat dalam
penyelenggaraan peradilan, artinya hakim seharusnya diperlakukan secara
manusiawi yang mempunyai rasa, asa dan karsa, sehingga terhadap hakim
yang melakukan salah dan khilaf yang melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim , hal tersebut dapat dikenai sanksi administrasi, atau
apabila tindakannya telah melanggar ketentuan hukum pidana maka dapat
juga dikenai sanksi pidana. Tetapi harus diingatkan dalam penindakan
tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tepat melalui tangan
dewan kehormatan hakim. Untuk apa? Kehormatan Mahkamah
(Peradilan) dan Korps Hakim perlu djaga oleh semua pihak demi
keselamatan Negara hukum, jangan sampai bangsa ini terjebak oleh
pepatah : “karena nila setitik , rusak susu sebelanga”. Sebaliknya dalam
melakukan kebajkan, kearifan, dan keadilan di dalam tugasnya, Korps
Hakim tidak mengharapkan pujian-pujian atau penghargaan dari pihak
62
manapun, karena hal itu dapat menurunkan kualitas keiklasan yang telah
dibangunnya.
B. Peradilan Indonesia Menjawab Tantangan Perubahan sebagai
Konsekuensi Perkembangan Global.
Pepatah kuno dari Heraklitus menyatakan bahwa semua senantiasa
berubah, dan yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri (Pantha
Rhei), perubahan dan dinamika hukum di Indonesia sangat dipengaruhi
perubahan lembaga peradilan, hal mana perubahan tersebut disebabkan
oleh adanya globalisasi.26)
Para ilmuwan dalam menanggapi gejala dan perkembangan
globalisasi berbeda pendapat, sebagian berpendapat, globalisasi adalah
keharusan bahkan berkah dari dunia modern, sedangkan sebagian
berpendapat bahwa globalisasi adalah saat Negara-negara kaya dan
perusahaan internsional secara bebas memperebutkan Negara dan warga
Negara dari Negara berkembang.
Para era globalisasi ini, usaha untuk membentuk sistem hukum
Indonesia yang utuh dan sempurna merupakan suatu upaya yang tidak
pernah berakhir, karena wajah hukum di Indonesia saat ini tampak
26)
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 10
63
semakin sulit untuk mengimbangi perubahan situasi terjadi begitu cepat,
sehingga usaha untuk melakukan perubahan penyesuaian hukum selalu
ketinggalan dengan perkembangan dan perubahan dibidang sosial,
budaya, ekonomi, politik, serta informasi teknologi.
Reformasi yang diperjuangkan mulai Tahun 1998 oleh elemen-
elemen bangsa dengan keras telah menuntut dengan paksa agar
pemerintahan diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hukum dan
keadilan.
Kini, era Reformasi sudah berjalan, tapi tampaknya harapan untuk
mewujudkan Negara hukum yang demokratis untuk kesejahteraan rakyat
masih sebatas mimpi dan wacana. Rakyat sudah mulai kurang sabar untuk
menunggu kapan rakyat tidak lagi kesulitan untuk mengakses layanan
kesehatan dan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Bahkan lebih
tragis lagi, sekarang ini sudah tampak masyarakat kecil kesulitan
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, konflik sosial kerap terjadi,
penggusuran terhadap tempat tinggal masyarakat dan tempat usaha para
pedagang kecil terus marak dilakukan, lapangan pekerjaan kian
menyempit, dan berakhir pada pemiskinan dan kemiskinan.27)
27)
Asep Warlan Yusuf, Memuliakan Hukum yang Berkeadilan dalam Alam
Demokrasi yang Berkeadilan, dalam Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, memperingati 70 Tahun
Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 216
64
Meskipun demikian, para hakim bukannya sama sekali menutup
mata terhadap kritik, tudingan, dan cibiran dari semua lapisan
masyarakat, Mahkamah Agung khususnya para hakim benar-benar
menyadari bahwa peningkatan kualitas keilmuan, keterampilan teknis
yudisial maupun kualitas integritas moral dan karakter para hakim
merupakan kebutuhan yang mendesak. Hal mana seiring telah
dibakukannya kode etik dan pedoman perilaku hakim, yang terdiri dari :
berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana,
berperilaku mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung
tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap
professional.
Tanpa berniat untuk membanggakan diri, Mahkamah Agung dan
lembaga peradilan yang ada dibawahnya telah berusaha keras untuk
melakukan perubahan yang meliputi : peningkatan kualitas SDM,
perubahan manajemen dan administrasi peradilan secara transparan dan
efisien, serta membuka akses seluas-luasnya kepada public untuk
mengetahui kinerja peradilan Indonesia, sebagaimana yang telah dimuat
dalam cetak biru pembaruan peradilan yang telah dimulai sejak Tahun
2003 yang diketahui oleh Bpk. Prof. Dr. Paulus E. Lotullung, SH., yang
65
diawali dengan perubahan empat lingkungan peradilan telah berada satu
atap dibawah Mahkamah Agung RI.
Pada tahun 2007, Mahkamah Agung, Departemen Keuangan dan
BPK ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pilot Project reformasi birokrasi
yang meliputi : reformasi manajeman SDM, reformasi manajemen
keuangan asset, reformasi manajemen teknologi dan informasi.
Dalam periode 2009, Mahkamah Agung RI telah melakukan
berbagai langkah strategis di bidang pembaruan, adapun program prioritas
Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, 28)
antara lain :
1. Program keterbukaan informasi di Pengadilan
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor :
144/KMA/SK/VIII/2007 tentang keterbukaan Informasi di Pengadilan,
secara prinsip mandate dari surat edaran tersebut adalah memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi di
Pengadilan, sehingga akses publik tersebut tidak semata-mata dilihat
dari bentuk fisik meja informasi yang ada di Pengadilan, tetapi sejauh
mana pengadilan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
28)
Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Periode Tahun 2009.
66
2. Program Pengembangan Sistem Pengadilan yang Akuntabel dan
Transparan pada tanggal 4 Juni 2009 Mahkamah Agung telah
mengeluarkan SK Ketua MA RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang
Pedoman Pelaksanan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan,
yang mengatur mengenai mekanisme pengaduan masyarakat yang
dilingkungan peradilan, sebagai upaya Mahkamah Agung untuk
menciptakan sistem pangaduan masyarakat yang ideal sehingga citra
dan wibawa lembaga peradilan terjaga dan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga peradilan pun meningkat.
3. Program Pengembangan Rencana Strategis dan Cetak Biru Pembaruan
MA - RI 2010 – 2035.
Dalam pengembangan cetak biru Mahkamah Agung 2010-2035,
selain berupaya untuk mengakomodasi asas-asas peradilan, tetapi juga
memuat kerangka pemikiran badan peradilan yang unggul (framework
for court excellence) yang dirumuskan oleh konsorsium internasional
sebagai acuan (benchmark).
Selain itu, dilakukan beberapa kegiatan terkait dengan
pengembangan ini, antara lain :Diagnosis organisasi (organizational
67
diagnostic assessment) untuk mendapatkan pemetaan terhadap kondisi
terkini serta tantangan yang dihadapi oleh Mahkamah Agung RI ; 29)
a. Telah merumuskan visi dan misi Mahkamah Agung yang baru, yaitu :
Visi : Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung ;
Misi : 1. Menjaga kemandirian badan peradilan ;
2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada
pencari keadilan ;
3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan ;
4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan;
b. Penyusunan Rencana Strategis Mahkamah Agung RI sejalan dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional ;
c. Peningkatan Program Pengikisan Tunggakan Perkara ;
Mahkamah Agung RI telah menyempurnakan standar tentang
tunggakan perkara, dengan SK Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
138/KMA/SK/IX/2009 tanggal 11 September 2009 tentang jangka
waktu penanganan perkara pada Mahkamah Agung RI yang
memberikan penekanan penyelesaian proses berperkara di Mahkamah
29)
www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2009.pdf
68
Agung RI kepada administrator yudisial, juga memberikan batasan
waktu kepada Hakim Agung yang menangani perkara ;
d. Penyempurnaan Sistem Pengelolaan Keuangan Perkara Mahkamah
Agung;
e. Dengan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 02 Tahun 2009 tanggal
12 Agustus 2009, bahwa biaya proses penyelesaian perkara dibebankan
kepada para pihak yang berperkara, yang dikelola oleh panitera yang
dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berperkara dan besarnya
ditetapkan dalam putusan ;
f. Peningkatan Sistem Informasi perkara, Kepaniteraan Mahkamah
Agung RI;
g. Penerbitan situs informasi perkara online,fitur ini juga dapat diakses
melalui situs Mahkamah Agung RI : http://www.mahkamahagung.go.id
dan dapat juga melalui http://sms.mahkamahagung.go.id/perkara yang
memuat informasi tentang status perkara yang ditangani oleh
Mahkamah Agung RI ;
h. Penyempurnaan Ketentuan Mengenai Peninjauan Kembali ;
i. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pengajuan Peninjauan Kembali, telah memberikan batasan peninjauan
kembali dalam satu perkara hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
69
j. Melakukan langkah strategis dalam bidang ; pembinaan dan
pengelolaan sumber daya manusia, pengawasan internal, Litbang
Diklat Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara terhadap hakim, didapat
mengenai bagaimanakah peradilan Indonesia menjawab tantangan
perubahan sebagai konsekuensi perkembangan global, di Indonesia saat ini
khususnya di lembaga peradilan telah adanya suatu sistem yang mengakar
dimana mempunyai peran yang sangat penting yaitu pelayanan prima
terhadap masyarakat, untuk menunjang sistem tersebut diperlukan bantuan
dan dukungan dari masyarakat banyak agar peradilan Indonesia dapat
berjalan dengan cepat mudah dan biaya ringan. Yang dilengkapi dengan
Informasi teknologi yang mana masyarakat dapat mengetahui lebih banyak
mengenai keterbukaan putusan pengadilan yang telah di masukkan kedalam
website dan internet lainnya.
70
BAB IV
PENUTUP
Dari uraian – uraian diatas dan pembahasan bab - bab terdahulu, maka
penulis dapat memperoleh kesimpulan serta dapat memberikan saran – saran
sebagai berikut :
A. Simpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Melalui Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman semakin
dituntut mempunyai Integritas tinggi, dan professional, sehingga hakim
memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Hakim sebagai salah satu
profesi penegak hukum harus berbenah dan mengubah pola pikir dan
pola budaya yang selama ini dipahami dalam rangka mempersiapkan
dan menghadapi struktur hukum nasional di era perubahan ini. Usaha
menegakkan hukum lebih menjanjikan untuk dapat dilakukan apabila
hakim benar-benar dibimbing dan dipimpin oleh perangkat peraturan
yang benar-benar berorientasi dan berpihak pada penegakan hukum dan
keadilan.
71
2. Tidak boleh atau bukannya sama sekali menutup mata terhadap kritik
dari semua lapisan masyarakat, Mahkamah Agung khususnya para
hakim benar-benar menyadari bahwa peningkatan kualitas keilmuan,
keterampilan teknis yudisial maupun kualitas integritas moral dan
karakter para Hakim merupakan kebutuhan yang mendesak. Adapun
sikap yang terbaik dalam melakukan pembenahan hukum di Indonesia
adalah dengan menyelenggarakan reformasi yang terkait perencanaan,
legislasi, dan penerapan hukum. Dalam pengembangan cetak biru
Mahkamah Agung 2010-2035, selain berupaya untuk mengakomodasi
asas-asas peradilan, tetapi juga memuat kerangka pemikiran badan
peradilan yang unggul (framework for court excellence) yang
dirumuskan oleh konsorsium internasional sebagai acuan (benchmark).
Karena sesuai dengan Peranan dan Fungsinya Lembaga Peradilan yaitu:
- Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan
kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahtan, dan melakukan upaya
inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap
masyarakat.
- Menegakkan dan memajukkan the rule of law dan penghormatan
pada hukum dengan menjamin adanya due process of law dan
72
perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana,
melakukan penuntutan dan membebaskan prang yang tidak bersalah
yang dituduh melakukan kejahatan.
- Menjaga hukum dan ketertiban.
- Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsalfah pemidanaan yang
diamut.
- Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.
B. Saran – Saran
1. Hendaknya lembaga peradilan diperlukan dan ditempatkan pada posisi
yang adil di dalam penegakan hukum, dan harus dibangun oleh semua
lapisan masyarakat :
2. Keberadaan lembaga legislative juga sangat berperanan dalam
penegakan hukum, karena peraturan perundang-undangan yang
mengandung masalah sering menimbulkan kesulitan bagi hakim dalam
penegakan hukum, hal mana dalam menghadapi masalah tersebut, justru
hakim yang dijadikan korban dan tempat tumpuan kesalahan, sehingga
hukum nasional harus bercirikan responsive terhadap perkembangan
dan aspiratif terhadap penghargaan masyarakat.