ETIKA GLOBAL HANS KÜNG:
IHWAL TANGGUNG JAWAB AGAMA-AGAMA
DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN
DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA
SEBUAH PENELITIAN BERBASIS KEPUSTAKAAN
Oleh
REINARDUS L. MEO
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG PENULISAN
Sejak berabad-abad yang telah lewat, dalam pasang-surut peradaban
manusia juga dalam jatuh-bangun sejarah hampir semua agama, perdamaian
merupakan salah satu tema yang paling eksistensial dan strategis. Eksistensial
karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan paling mendasar dari hidup
manusia dan gerak-laju peradabannya. Strategis karena bertalian erat dengan nilai-
nilai universal yang lain, yang mana dalam lain perkataan, nilai-nilai lain itu
mengabdi pada perdamaian. Perdamaian telah menjadi semacam muara dari semua
nilai yang lain, serentak pula bagaikan fatamorgana yang hanya dapat digapai dari
jauh, dibayangkan, tanpa betul-betul menjadi nyata. Perdamaian, dengan ini, juga
berkarakter ambivalen.
Dalam harapan dan semangat senada, Parlemen Agama-agama Dunia pada
4 September 1993 bertempat di Chicago, Amerika Serikat, juga memberi fokus
atensi yang sama. Pada bagian paling awal, bagian pendahuluan dari Deklarasi
Menuju Sebuah Etika Global, dengan jelas dan tegas termaktub kesadaran
fundamental berikut. “The world is in agony. The agony is so pervasive and urgent
that we are compelled to name its manifestations so that the depth of this pain may
2
be made clear.”1 Dunia kita sedang dalam krisis, sedang dalam penderitaan yang
mengerikan. Krisis ini kian menusuk dan mendesak, sehingga kita dipaksa untuk
menyebutkan jelmaan-jelmaan atau perwujudan-perwujudan krisis dimaksud, agar
dengan demikian, inti terdalam dari rasa sakit yang mengerikan itu dapat dengan
jelas diketahui. Setelah menguak dan mengetahuinya, tentu saja menyembuhkan,
dan pada gilirannya, menuju perdamaian.
Berangkat dari dua kesadaran sebagaimana tersebut sebelumnya, yakni
perdamaian sebegitu eksistensial dan strategisnya serta bahwa dunia kita sedang
dalam krisis akut, manusia-manusia di era post-(post)-modernisme ini, secara
khusus di Indonesia, didesak untuk kembali memperbincangkan perdamaian. Itu
berarti, ambivalensi perdamaian tidak serta-merta menghalangi upaya penggalian
menuju penemuan kembali akan maknanya yang paling autentik. Lantaran upaya
ini bukanlah proyek yang enteng, maka sebelum angkat bicara ke ruang publik,
tentu saja refleksi kolektif maupun parsial di ruang-ruang privat terasa penting
untuk dimulai terlebih dahulu. Setelah angkat bicara, besar harapan bersama,
perdamaian global dapat benar-benar tercipta, khususnya di bumi Indonesia yang
bermartabat ini.
Pada titik ini, ketika terbit optimisme bahwa ambivalensi perdamaian tidak
serta-merta menghalangi upaya penggalian kita menuju penemuan kembali akan
maknanya yang paling autentik, sebuah etika bersama, Etika Global, terasa begitu
penting lagi mendesak. Bagi Hans Küng, pemikir dan teolog kontroversial Gereja
Katolik, agama-agama bertanggung jawab dan berperan amat penting dalam proyek
ini. Küng yakin, perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri utama
ajaran setiap agama.2 Dengan demikian, agama-agama haruslah menciptakan
perdamaian, pertama-tama di antara mereka sendiri, baru setelah itu, menuju
tataran yang lebih global dan kompleks. Untuk tujuan ini, konsensus minimal
tentang etika yang ditawarkan Küng, antara lain sebagai berikut. “(a) Pemahaman
di antara agama-agama tidak boleh menuntut orang-orang beriman untuk berbaris
1Lih. Editorial Committee of the ‘Council’ of the Parliament of the World’s Religions,
Declaration Toward a Global Ethic (New York: Continuum Publishing, 1993), p. 1.
2Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman
(ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 256.
3
berhadapan dengan orang-orang kafir. Rancangan suatu etika dunia, Etika Global,
lebih membutuhkan aliansi orang-orang beriman dan kafir atas etika dasar umum
yang baru. (b) Agama-agama pasti memiliki fungsi dan tanggung jawab khusus
ketika ia telah menjadi kriteria yang mengikat dan sebagai keyakinan pribadi yang
mendasar. (c) Pada tataran yang lebih fundamental, pertanyaannya, apa yang dapat
disumbangkan agama-agama untuk menindaklanjuti suatu etika, meskipun terdapat
sistem dogma dan simbol yang sangat berbeda di antara mereka?”3
Etika Global yang diprakarsai Hans Küng – di samping teologi pluralis yang
lebih merupakan diskursus dalam lingkaran para teolog saja – merupakan respon
atas realitas keberagaman yang dibangun di atas konsensus antara agama-agama,
yakni ‘konsensus fundamental yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat,
patokan-patokan yang baku, dan sikap-sikap moral yang mendasar’.4 Dengan ini,
agama-agama memiliki sebuah etika bersama yang sama dan setara dalam upaya
mewujudkan perdamaian. Atau, dalam tesis terkenal Küng yang telah menjadi
semacam slogan meyakinkan, “No survival without a world ethic. No world peace
without peace between the religions. No peace between the religions without
dialogue between the religions. – Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa
sebuah etika bersama. Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara
agama-agama. Tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara
agama-agama tersebut.”5
Hemat penulis, kata kunci paling fundamental yang tersurat dalam slogan
Küng ini ialah ihwal dialog. Dunia membutuhkan sebuah dialog yang memberi dan
menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing
agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Dialog dalam bingkai Etika Global
Küng merupakan dialog yang kritis, mana kala semua agama ditantang untuk tidak
3Ibid., hlm. 257-258.
4The Parliament of the World’s Religions, “Declaration Toward a Global Ethic”, dalam Hans
Küng dan Karl-Joseph Kuschel (eds.). A Global Ethic. The Declaration of the Parliament of the
World’s Religions (New York: The Continuum Publishing Company, 1993), p. 18, dalam Paul Budi
Kleden, “Teologi Pluralis dan Etika Global: Alternatif atau Komplementer”, Jurnal Ledalero, 9/1:
85, Juni, 2010.
5Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,
1991), p. xv. Terjemahan oleh penulis sendiri.
4
hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi lebih kepada menyampaikan pesan
terdalam mereka dengan baik dan tepat. Ringkasnya, dunia dan umat manusia
membutuhkan dialog dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa
tidak satu pun dari agama-agama tersebut memiliki kebenaran ‘yang telah tercipta’,
melainkan semuanya menuju kebenaran ‘yang lebih mulia’.6 Dialog ini menjadi
kian efektif, bila masuk hingga ke fondasi-fondasi tiap agama, dengan segala
risikonya.
Penulis tertarik untuk mengangkat sekali lagi ihwal perdamaian dalam
penyusunan skripsi ini dengan alasan-alasan berikut. Pertama, krisis demi krisis
senantiasa mendera dunia. Dalam pelbagai segi kehidupan, aneka ketimpangan
makin marak terjadi. Dunia dan kehidupan bersama menjadi tidak damai, lebih-
lebih akibat perang yang banyak kali pecah sepanjang sejarah umat manusia.
Kedua, untuk kembali mengupayakan perdamaian dan menciptakan tatanan dunia
yang lebih baik, penulis sepakat dengan Hans Küng yang menyebut agama-agama
bertanggung jawab mewujudkannya. Hal ini bertolak dari refleksi Küng yakni tidak
ada yang lebih mengerikan daripada perang yang dimotivasi oleh alasan-alasan
keagamaan. Melalui Etika Global yang digagasnya, Küng menempatkan semua
umat manusia, baik beragama maupun yang tidak beragama, sebagai pelaku utama
perdamaian. Etika Global ini pula dimaksudkan sebagai respons atas fakta
pluralitas yang menyata di mana-mana, hic et nunc. Ketiga, pada tataran lokal,
Indonesia yang sangat plural dalam hampir semua lini kehidupan, memiliki
keunikan serentak di lain sisi, tantangan. Unik karena dengan demikian, akan
semakin kaya. Menantang karena tentu saja berpeluang melahirkan aneka benturan,
mulai dari taraf pemahaman sampai pada praksis kehidupan sehari-hari. Ancaman
terhadap pluralitas dan perdamaian di Indonesia, sering kali datang dari konflik
antaragama. Oleh karena itu, Etika Global yang ditawarkan Küng mendesak
perlunya sebuah dialog yang kritis. Dialog model ini, yakni masing-masing pihak
harus saling memberi dan menerima apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan
juga bahwa harus bersedia saling memasuki hingga ke sisi-sisi yang paling sensitif,
6Hans Küng, “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam (ed.),
Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, penerj. Mega Hidayat, dkk (Yogyakarta: Program
Studi Agama dan Lintas Budaya [CRCS] Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010), hlm.
17.
5
hemat penulis, adalah baik bila mulai diterapkan di Indonesia. Indonesia butuh
sebuah dialog yang berani dan lebih terbuka, untuk tidak lagi mengulang kemelut
yang masih meninggalkan luka mendalam, semisal konflik di Situbondo (1996),
konflik di Poso – Ambon (1999), hingga belakangan ini, konflik antarideologi.
Akhirnya, dengan latar belakang dan alasan yang telah dijabarkan
sebelumnya, penulis merampungkan penelitian ini di bawah judul ETIKA
GLOBAL HANS KÜNG: Ihwal Tanggung Jawab Agama-agama dalam
Mewujudkan Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia. Dengan lain
perkataan, penelitian ini berikhtiar menemukan semacam panduan bersama dalam
relasi antaragama secara global dan pada gilirannya, berupaya mewujudkan
perdamaian di Indonesia berbasiskan dialog interreligius.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Hasil penelitian ini disusun bukan tanpa tujuan. Tujuan penelitian ini ialah
sebagai berikut.
Pertama, meneliti Etika Global yang digagas Hans Küng sebagai salah satu
alternatif dalam menyudahi aneka krisis yang mendera dunia dan kembali
mewujudkan perdamaian. Hal-hal pokok yang hendak dicapai ialah mengetahui
sejarah lahirnya Etika Global, isinya, kekhasannya, poin-poin penting apa yang
ditekankan di dalamnya sampai pada ajakan-ajakan kepada semua pihak, menuju
sebuah tatanan dunia yang lebih baik.
Kedua, memperkenalkan Hans Küng, terlebih dalam kapasitasnya sebagai
penggagas Etika Global dimaksud. Lantaran Küng menitikberatkan tanggung jawab
mewujudkan perdamaian itu pada agama-agama, fokus utama skripsi ini ialah
kembali melihat secara umum hakikat masing-masing agama tersebut, juga
komunitas non-religius lainnya. Hal ini merujuk pada alasan betapa tatanan dunia
baru yang lebih baik merupakan tanggung jawab semua umat manusia, baik
beragama maupun tidak. Kendatipun berwajah ganda, agama-agama tetap punya
peran yang sangat penting dalam upaya mewujudkan perdamaian. Setelah melihat
dan berbicara pada konteks yang lebih luas, Etika Global Küng akan ditarik
relevansinya bagi terwujudnya perdamaian di Indonesia. Di titik ini, skripsi ini juga
bermaksud mempromosikan dialog interreligius dalam bingkai Etika Global Küng,
6
sembari mengajak semua pihak, khususnya agen-agen penting dalam masing-
masing agama untuk terlibat dalam dialog yang saling memberi dan menerima,
tanpa prasangka, tanpa pandangan picik bahwa agama yang satu lebih baik dari
agama yang lain. Setelah promosi, besar harapan bersama, berkat kerja sama semua
pihak, perdamaian betul-betul dapat tercipta, meski akan selalu dibayang-bayangi
oleh aneka kesukaran sebagai konsekuensi logis dari fakta pluralitas.
Ketiga, penelitian ini penulis rampungkan menjadi sebuah skripsi, yang
berguna bagi penulis sendiri. Sebagai salah satu syarat, skripsi ini melengkapi
perjuangan panjang penulis dalam meraih gelar Sarjana Filsafat (S1) pada STFK
Ledalero. Skripsi ini tentu saja membantu penulis dalam memahami Etika Global
yang ditawarkan Küng, untuk selanjutnya, sebagai seorang akademisi, ikut ambil
bagian mempromosikan dialog menuju perdamaian di Indonesia, yang makin hari
makin ditandai dengan pelbagai macam kepelikkan.
1.3 METODE PENULISAN
Jenis studi dan penelitian yang penulis pilih ialah studi dan penelitian
kepustakaan. Dengan demikian, metode yang penulis gunakan ialah analisis
sumber-sumber asli. Sebagaimana lazimnya metode model ini, penulis tentu harus
mulai dengan memahami tema yang telah dipilih. Literatur-literatur yang ditulis
oleh Hans Küng terutama yang berkaitan dengan Etika Global dan tanggung jawab
agama-agama, penulis dalami secara sungguh. Aneka literatur yang berisikan
tentang Hans Küng dan sejumlah gebrakan dan gagasannya, juga penulis pelajari,
termasuk sumber-sumber yang berbicara tentang dialog antaragama, khususnya di
Indonesia. Bahan-bahan pendukung, penulis gali dari diskusi, data-data internet,
juga video-video yang berkaitan dengan Küng dan Etika Global-nya.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan yang penulis saji dan bahas berdasarkan judul
“Etika Global Hans Küng: Ihwal Tanggung Jawab Agama-agama Mewujudkan
Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia” ialah sebagai berikut.
7
BAB I Pendahuluan, tersusun atas empat bagian pembahasan yakni latar
belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Latar belakang berisikan
pokok-pokok pikiran yang mendasari berdirinya bangunan skripsi ini, mulai dari
refleksi akan penting dan mendesaknya perdamaian sampai relevansi Etika Global
Küng bagi Indonesia. Bagian tujuan berisikan alasan dan sasaran yang hendak
penulis capai dalam penyusunan skripsi. Selanjutnya, pada bagian metode
penulisan, dijelaskan secara ringkas jenis studi dan penelitian juga metode
penulisan yang penulis gunakan. Lalu terakhir, bagian sistematika berisikan garis
besar isi skripsi ini.
BAB II Hans Küng: Hidup, Karya, dan Gebrakannya, terdiri dari empat
poin. Pertama, penulis merunutkan riwayat hidup dan sejumlah karya Küng.
Kedua, tokoh-tokoh kunci yang memengaruhi Küng dipresentasikan. Hal ini
penting, mengingat betapa pengaruh dari pihak lain akan juga amat menentukan.
Ketiga, penulis memaparkan gebrakan-gebrakan Küng dalam beberapa profesi
yang ia emban. Sekiranya pada poin ini, Küng yang satu dan sama itu dijumpai
dalam aneka peran yang khas dan unik. Dan keempat, beberapa tema penting yang
bersentuhan dengan Küng, penulis sebut dan jelaskan secara ringkas.
BAB III Etika Global Hans Küng, tersusun atas empat pokok penting. (a)
Penulis membedah lahirnya Etika Global yang digagas Küng, mulai dari peran
Parlemen Agama-agama, sejarah lahirnya Etika Global, sampai pengandaian
dasarnya. (b) Dokumen Etika Global diuraikan. Secara lebih terperinci, penulis
mengurutkan struktur, ciri khas, isi, hingga tuntutan dasar, dimensi-dimensi hakiki,
dan poin-poin mutlaknya. (c) Kritik atas Etika Global Küng. Dalam pokok ini,
penulis menunjukkan bahwa segala sesuatu, termasuk Etika Global Küng selalu
tidak pernah lepas dari sisi lemah yang mengundang kritik. Di lain sisi, kritik juga
diperlukan demi perbaikan dan efektivitas sebuah upaya. (d) Penulis
memperhadapkan Etika Global pada Teologi Pluralis, dengan pertanyaan, saling
menggantikan (alternatif) atau saling melengkapi (komplementer)?
BAB IV Sumbangan Etika Global Hans Küng bagi Terwujudnya
Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia, tersusun atas tiga pokok
pembahasan. Pertama-tama, agama sebagai elemen penting dalam Etika Global
kembali dilihat. Agama, dalam banyak contoh, ternyata berwajah ganda, konstruktif
8
dan destruktif. Pokok kedua, sumbangan Etika Global. Etika Global mendesak
dengan sungguh-sungguh tanggung jawab agama-agama – dengan berkaca pada
wajahnya yang konstruktif – mewujudkan perdamaian. Etika Global berikhtiar pula
membangun sebuah tatanan dunia baru yang lebih harmonis. Pokok terakhir,
relevansi riil Etika Global bagi Indonesia. Dalam pokok ini, dialog kritis yang
ditawarkan Küng ditekankan berulang-ulang dan tegas. Sudah saatnya Indonesia
mencoba sebuah model dialog yang lebih berani, demi menyudahi aneka konflik
yang pernah dan masih mewarnai ziarah bangsa ini.
BAB V Penutup, berisikan penegasan umum atau kesimpulan dan saran
yang harus diperhatikan bersama demi terwujudnya perdamaian. Beberapa pihak
yang berperan penting akan disebut secara khusus, diakhiri dengan ajakan tegas
pada semua umat manusia.
21
BAB II
HANS KÜNG: HIDUP, KARYA, DAN GEBRAKANNYA
2.1 HIDUP DAN SEJUMLAH KARYANYA
2.1.1 Kontroversialis yang Kritis1
“Saya dikaruniai akal-pikiran, dan atas restu Tuhan, saya diberikan keberanian dan
kekuatan untuk bicara, maka saya harus bicara meskipun itu pahit”.
(Hans Küng, kepada TEMPO di Jakarta, April 2010)
Kontroversial, amat kritis juga dihujani banyak kritik, terlampau vokal, dan
tanpa tedeng aling-aling. Itulah kesan umum yang dapat diberikan setelah dengan
cermat mengikuti jejak langkah Hans Küng; teolog, profesor, etikus, imam Gereja
Katolik, penulis, pengajar, dan beberapa lainnya. Secara lebih khusus, melalui
pernyataan termasyhurnya yang mengaitkan dialog antaragama dengan
perdamaian, Küng menjadi salah satu ikon penting dalam dialog.2
1Bagian ini umumnya diolah lagi dari Herman Häring dan Karl-Josef Kuschel (eds.), Hans
Küng: His Work and His Way (Glasgow: William Collins & Co. Ltd., 1979), pp. 12-31 & 177-181,
sebagaimana terejawantah dalam Paul Budi Kleden, “Hans Küng tentang Infallibilitas dan
Implikasinya bagi Hubungan Teolog-Magisterium”, VOX, 33/2: 55-58, 1988.
2Lih. Zainal Abidin Bagir, “Kebangkitan Agama dan Dialog”, dalam Najiyah Martiam (ed.),
Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, penerj. Mega Hidayat, dkk (Yogyakarta: Program
Studi Agama dan Lintas Budaya [CRCS] Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010), hlm.
6.
21
Hans Küng dilahirkan pada 19 Maret 1928 di Sursee, Kanton Lucerne,
Swiss. Karakternya yang suka berdiskusi dan mampu bekerja sama dengan siapa
saja, mulai tumbuh sejak masa pertama belajarnya di sebuah gymnasium, tempat ia
ditempa dalam atmosfir Katolik yang kuat. Keterlibatannya yang intens dalam
kelompok-kelompok pemuda Katolik menjadikannya seorang pribadi yang amat
terbuka, liberal juga ekumenis. Karakter-karakter khasnya ini turut pula
dipengaruhi oleh tradisi-tradisi intelektual yang hidup dan berkembang pada
zamannya.
Cita-citanya yang kuat untuk menjadi seorang imam dan motivasi teguhnya
untuk maju dalam ilmu pengetahuan mengantar Küng pada tahun 1948 menuju
Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, guna mendalami studi filsafat. Dari Swiss
ke Roma, Küng membawa serta kesadaran bahwa ia akan mengalami begitu banyak
perjumpaan, mulai dari kebiasaan sampai pada pemikiran, apalagi ia belajar di
bawah bimbingan para imam Yesuit. Kendati demikian, Küng muda yang gigih
tetap optimis, sehingga pada tahun 1951, ia meraih licensiat dalam bidang filsafat
dengan disertasi berjudul ‘Humanisme Atheis Jean Paul Sartre’. Mulai tahun yang
sama, 1951, dan di universitas yang sama, Gregoriana, Küng mendalami bidang
teologi. Pada 11 Oktober 1954, Küng ditahbiskan menjadi imam diosesan dalam
Gereja Katolik. Dahaga intelektual yang belum terpuaskan mengantar Küng
menuju Prancis. Dari tahun 1955 sampai 1957, ia belajar di Sorbonne dan Insitut
Catholique, hingga akhirnya berhasil mempertahankan disertasi doktoralnya
dengan judul Justificatio: La Doktrine de Karl Barth et Une Reflexion Catholique
(Pembenaran: Doktrin Karl Barth dan Sebuah Refleksi Katolik).
Setelah menyelesaikan studi, Küng menjalankan tugasnya sebagai gembala
umat dengan menjadi pastor pembantu di Paroki Lucerne, Hofkirche. Pengalaman
selama kurang-lebih dua tahun ini memengaruhi horizon pemikiran Küng dan
memprovokasinya secara militan untuk menyerang sikap Gereja yang terlalu kaku
dan dogmatis. Meski kritis dan gigih dalam melayangkan kritik dan kekecewaannya
terhadap Gereja terutama Magisterium, Küng tetap seorang imam Katolik. Küng
tidak beralih meninggalkan Gereja. Ia tetap mengabdi Gereja dengan menjalankan
tugasnya sebagai pemikir jeli yang progresif.
21
Dari tahun 1959 sampai 1960, Küng menjadi asisten Prof. Herman Volk
yang mengajar teologi pada fakultas teologi Katolik, Universitas Münster. Hanya
satu tahun di Münster, pada tahun 1960, Küng diangkat menjadi profesor teologi
dogmatik dan ekumene pada Universitas Eberhard Karl, Tübingen, Jerman,
sekaligus menjabat Direktur Penelitian Ekumene di sana. Awalnya, para petinggi
Gereja Roma sangat menghormati segala apa yang dilakukan guru besar kajian
agama dan teolog terkemukan itu. Pada 1962, Küng diangkat sebagai penasihat
teologis resmi untuk mem-back up dan mempersiapkan Dewan Konsili Vatikan II
di bawah otoritas Paus Yohanes XXIII. Namun, ‘bulan madu’ antara Küng dan
Roma tidak berlangsung lama. Sikap Küng yang anti-eksklusivisme dan acap kali
secara tajam melayangkan kritik terhadap struktur otoriter Gereja Roma,
mengharuskan ia digusur. Klimaks posisi Küng sebagai kontroversialis yang kritis
terhadap Gereja khususnya Paus dan para Uskup menyata dengan diterbitkan
bukunya yang berjudul Infallible? An Inquiry (Infallibilitas? Suatu Telaah) pada
tahun 1970. Karya yang mengundang polemik hangat ini pada gilirannya mendepak
Küng menuju ‘ruang gelap’. Pada tanggal 15 Desember 1979, Kongregasi Ajaran
Iman mencabut Missio Canonica3 Hans Küng. Kendati diperlakukan tidak
mengenakkan macam itu, Küng tetap bertahan sebagai pengajar di Tübingen hingga
masa pensiunnya (Emeritierung) pada 1996.
2.1.2 Penulis Kreatif yang Produktif
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam Küng yang satu dan
sama, terdapatlah sejumlah profesi dan peran yang diembannya. Pada bagian ini,
karya-karya Küng hanya akan disoroti khusus dalam kapasitasnya sebagai penulis
kreatif yang produktif.
Karya-karya bernas Küng tidak lahir dan popular pada dekade 90-an saja.
Ia telah memulainya sejak dekade 60-an, setelah menyelesaikan studinya di
Universitas Gregoriana, Roma. Berkat bakat analitisnya yang telah terlatih dan
3Missio Canonica itu semacam nihil obstat (jaminan akan tidak adanya kesesatan) dari seorang
Uskup Jerman bagi seorang profesor teologi untuk dapat mengajar di Fakultas Teologi Katolik pada
universitas-universitas negeri di Jerman. Hal ini dibuat berdasarkan perjanjian antara Tahta Suci dan
Pemerintahan Jerman, antara lain pada tahun 1933.
21
teruji, Küng melakukan aneka refleksi kritis di wilayah-wilayah vital dalam ruang
lingkup hidup umat manusia. Mulai dari iman sampai hubungan internasional, dari
agama sampai politik-ekonomi global. Sebuah bibliografi melansir bahwa antara
1955-1993, Küng telah menghasilkan sedikitnya 50 buah buku dalam bentuk jilid
tebal dan monogram-monogram tipis, yang separuhnya ditransliterasi ke pelbagai
bahasa, khususnya Inggris. Kreativitas, keuletan, dan kesabarannya benar-benar
mengagumkan.4 Aktivitas ilmiah dan penjelajahan intelektual Küng, semuanya
dituangkan dengan model tutur dan torehan bahasa yang demikian nikmat.
Karenanya, Küng diposisikan pada deretan penulis produktif yang konsisten dan
militan pada soal-soal kemanusiaan global.
Melalui karya-karyanya pula, Küng tersohor sebagai penulis produktif
teologi kontemporer. Buku-buku terkenalnya seperti On Being a Christian, Church,
Does God Exist? An Answer for Today, Paradigm Change in Theology, Christianity
and the World Religions, dan Theology for the Third Millenium, cukup representatif
mengindikasikan kebolehan Küng dalam memproduksi karya-karya intelektual
tingkat tinggi. Perlu diungkap agar diingat, Prof. Küng – yang produk-produk
kreativitas intelektual dan daya refleksinya telah memberikan sedemikian limpah
tuntunan teologis bagi sejumlah pengkaji teologi di seluruh dunia – merupakan
sosok yang mendapat welcome tidak hanya dari kalangan Kristen, tetapi juga dari
para pencari makna hidup dalam beragam budaya dan agama manusia.5
Jasa besar lainnya bagi kepustakaan intelektual dunia ialah dengan
kepiawaian gaya yang handal, ia mampu meretas isu-isu filosofis, etis, sosial,
politis, humanis, dan sebagainya lalu menyajikannya dalam bentuk yang enak
disantap. Semua karya yang berkaitan dengan Etika Global atau pengantarnya
untuk Kristologi Teologi Hegel, Women in Christianity, The Beginning of All
Things – Science and Religion, atau Infallible? An Inquiry, dapat menjadi contoh
4Lih. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru
bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI. Cet. ke-2, penerj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam,
2010), hlm. ix.
5Ibid., hlm. x.
21
yang diunggulkan. Küng menerima sejumlah penghargaan dan doktor kehormatan
untuk prestasi-prestasi kecendekiawanannya yang menonjol.6
2.2 TOKOH-TOKOH YANG MEMENGARUHI KÜNG
Küng barangkali tidak menampilkan secara eksplisit sebuah uraian yang
dalamnya disebutkan atau dapat ditemukan siapa saja yang berperan penting dalam
hidup dan pengembaraan intelektualnya. Oleh karena itu, bagian ini sejauh dapat
mengumpulkan dari pelbagai sumber, tokoh-tokoh yang sekiranya memengaruhi
Küng atau berhubungan dengannya secara cukup intens.
Pertama, Karl Barth. Mulai 1951, Küng belajar teologi pada Universitas
Gregoriana, Roma. Agustinus Bea (yang kemudian menjadi Kardinal Bea) dan
Robert Leiber (sekretaris pribadi Paus Pius XII) merupakan dua dari sejumlah
profesor yang membimbingnya. Di samping itu, ada Hans Urs von Balthasar dan
Yves Congar. Sejak saat itu, Küng mulai mendalami teologi Barth, teolog yang
sangat dikaguminya. Bagi Küng, Karl Barth, teolog Protestan berkebangsaan Swiss
itu membawa perkembangan pesat dalam teologi Protestan, yang pada gilirannya
memengaruhi teologi Katolik. Barth menyerang ‘teologi liberal’ dan
mengembangkan secara konsisten ‘teologi dialektis’ atau ‘teologi krisis’. Teologi
ini berkembang menjadi suatu aliran teologi yang dikenal sebagai neo-ortodoksi,
yang memengaruhi teologi selama sekian dasawarsa. Küng termasuk salah satu
yang serius menggumulinya.7
6Selain Hans Küng: His Work and His Way hasil godokan Herman Häring dan Karl-Josef
Kuschel; A Passion of Truth: A Biografy of Hans Küng karya Robert Nowell dapat pula disimak
sebagai bahan pelengkap. Dalam buku ini, Robert Nowell secara spesifik menampilkan presentasi
paling autentik tentang upaya-upaya teologis Prof. Küng. Ibid.
7Bdk. Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 56. ‘Teologi liberal’ yang dicetuskan oleh Friedrich
Schleiermacher muncul pada Zaman Pencerahan (abad 17-19 M) akibat berkembangnya paham
rasionalisme. Ciri-cirinya antara lain, menolak Alkitab sebagai Firman Allah, menolak Yesus
sebagai Allah, menolak doktrin-doktrin inti Kristen, dan menolak mitos yang ada dalam Kitab Suci.
Lih. Teologi Liberal (Online), (http://www.percaya.web.id/2016/09/teologi-liberal.html, diakses
pada 5 Mei 2017). Barth kemudian mengembangkan sebuah Neo-ortodoksi sebagai perlawanannya
terhadap ‘teologi liberal’ tersebut. Neo-ortodoksi juga dikenal sebagai ‘teologi dialektis’ (untuk
menjelaskan pengontrasan relasi Allah dan manusia) atau ‘teologi krisis’ (untuk mengindikasikan
bahwa seseorang sampai pada pengalaman bersama Allah melalui situasi krisis). Neo-ortodoksi
merupakan suatu reaksi terhadap kegagalan liberalisme. Baca selengkapnya dalam Teologi Neo-
Ortodoksi (Online), (http://www.sarapanpagi.org/teologi-neo-ortodoksi-vt2082.html, diakses pada
5 Mei 2017).
21
Kedua, Karl Rahner. Relasi Küng dan Rahner tampak amat suportif. Sejak
mulai sering diundang berceramah untuk soal-soal ekumene dalam pelbagai
pertemuan, Rahner mendorong Küng untuk mengikuti program habilitasi dan
melanjutkan penelitian tentang Kristologi dalam filsafat Hegel. Ini tema yang sudah
digumuli Küng sejak mulai mendalami filsafat. Setelah diangkat menjadi Direktur
Institut Penelitian Ekumene di Tübingen, Küng bersama Rahner, Yves Congar dan
beberapa tokoh lainnya mendirikan buletin teologi internasional, Concilium.8
Ketiga, Joseph Ratzinger.9 Sejatinya, Küng dan Ratzinger merupakan
sepasang sahabat lama. Pada 1962, Küng dan Ratzinger diangkat menjadi peritus
oleh Paus Yohanes XXIII. Keduanya bertugas sebagai penasihat ahli teologi bagi
para anggota Konsili Vatikan II, hingga selesai pada 1965. Sudah sejak Konsili ini
berlangsung, relasi keduanya menegang.10 Bagi Küng, Ratzinger (Paus Benediktus
XVI) itu seorang tradisionalis. Ketika masih di Tübingen, Jerman, Küng yang
pernah menjabat Dekan Fakultas Katolik mengusulkan kepada Dewan Dosen
Katolik di Tübingen untuk mengangkat Ratzinger sebagai profesor dogmatika.
Awalnya, sebagai teolog, Ratzinger cukup terbuka. Namun, seiring berjalannya
waktu dan oleh sebab aneka pengaruh, ia menjadi kian konservatif dan sekarang
menjadi semakin tradisionalis, melindungi secara ketat prinsip-prinsip kepausan.
8Ibid., hlm. 57. Dalam pergumulan Kristosentris, untuk menemukan relasi lain antara keduanya,
gagasan Kristen Anonim Rahner sering diperhadapkan atau dibahas bersama gagasan Kristen ‘in
spe’ Küng. Lih. E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah
(Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 283-286.
9Bagian ini diolah kembali dari sebuah hasil wawancara bersama TEMPO pada April 2010. Lih.
Andree Priyanto, Paus Benediktus Mesti Bertanggung Jawab (Online),
(http://dunia.tempo.co/read/news/2010/04/29/117244222/wawancara-profesor-hans-kung-paus-
benediktus-mesti-bertanggung-jawab, diakses pada 22 Februari 2016).
10Adalah Pastor Henri de Lubac, SJ, teolog Prancis kawakan, yang selalu mengamati keduanya.
Dalam buku harian Vatikan II yang ditulisnya, Henri de Lubac mengamati semangat kedua orang
tersebut. Ratzinger digambarkan sebagai orang yang sangat cerdas, dengan kepribadian yang
‘tenang dan ramah’. Sebaliknya, Küng memiliki ‘keberanian orang muda’ dan berbicara dengan
menggunakan istilah-istilah ‘keras, gamblang, dan polemis’. de Lubac sendiri, kebetulan, adalah
seorang yang dalam hidupnya selalu menjadi model kesopanan. Maka, karakter Küng jelas
mengganggunya. Setelah Konsili Vatikan II, Ratzinger dan Küng mengambil jalan yang sangat
berbeda. Ratzinger muncul sebagai pembela kuat ortodoksi Katolik dan akhirnya terpilih menjadi
paus. Küng menjadi selebriti teologis dan sangat antagonis terhadap kepausan. Baca selengkapnya
dalam Samuel Gregg, Ratzinger dan Küng: Paralel dan Divergen (Online),
(http://indonesia.ucanews.com/2011/03/25/ratzinger-dan-kung-paralel-dan-divergen/, diakses pada
25 Oktober 2016).
21
Ratzinger seorang pengkritik antara lain homoseksualitas, pernikahan kelamin
sejenis, dan aborsi.
Setelah perseteruan yang panjang dan sengit, pada 2005, keduanya bertemu,
sesuatu yang mengejutkan banyak pengamat. Küng menegaskan, dalam hal-hal
yang amat substansial, keduanya tidak akan pernah sejalan. Oleh karena itu,
pertemuan di tempat peristirahatan paus di pegunungan Albania itu lebih kepada
pembicaraan tentang soal-soal yang lebih umum. Keduanya berdiskusi dalam
suasana yang begitu hangat seputar dialog interreligius terutama dengan Islam dan
Etika Global yang digagas Küng.
2.3 HANS KÜNG DAN GEBRAKANNYA
Setelah menyoroti sepak terjang Küng sebagai penulis kreatif yang
produktif, gebrakan-gebrakan lainnya dapat pula dirunut dalam pelbagai sumber.11
Bagian ini khusus berisikan presentasi singkat tentang Küng dalam kapasitasnya
sebagai tokoh kunci perumusan Etika Global.
Pada 1993, Parlemen Agama-agama Dunia yang pertama kali digelar pada
1893 di Chicago diperingati genap berusia 100 tahun. Jauh-jauh hari, di tengah
pelbagai persiapan merayakannya, juga di Chicago, Prof. Küng memulai sebuah
proyek yang kemudian pada 1990 dikenal sebagai Projekt Weltethos.12 Buku
dengan judul yang sama ini merupakan antologi beberapa ceramah tertulis yang
Küng – Presiden Global Ethic Foundation – berikan pada 1989 dalam sebuah
pertemuan UNESCO di Paris, juga di Toronto dan Chicago. Dalam pengantar buku
ini, Küng mengungkapkan apa yang sejak sedia kala diimpikannya.
Telah semakin jelas bagi saya beberapa tahun terakhir bahwa satu dunia di mana kita hidup
memiliki sebuah kesempatan untuk bertahan, hanya jika tak ada lagi ruang apa pun di
dalamnya bagi etika yang berbeda, bertentangan dan bahkan antagonistis. Dunia yang satu
ini membutuhkan satu etika mendasar. Masyarakat dunia yang satu ini sudah pasti tidak
11Gambaran tentang Küng dan gebrakan-gebrakan lainnya, dapat pula ditemui salah satunya
dalam Hans Küng (Online), (https://en.wikipedia.org/wiki/Hans_ Küng, diakses pada 5 Desember
2015).
12Gebrakan dahsyat ini dirampungkan Küng dalam bukunya Projekt Weltethos (München: R
Piper GmbH & Co. KG, 1990). Versi asli berbahasa Jerman ini kemudian ditransliterasi ke bahasa
Inggris oleh John Bowden dengan judul Global Responsibility. In Search of a New World Ethic,
1991.
21
membutuhkan sebuah agama tunggal dan sebuah ideologi tunggal, namun ia membutuhkan
beberapa norma, nilai dan tujuan untuk membawanya bersama dan untuk mengikat
padanya.13
Impian Küng ini sebetulnya telah sejak lama pula berjalan seiring dengan
solusi ultimate-nya, the need for a global ethic.14 Kalimat kunci ini selanjutnya
menjadi inti dari setiap pernyataan Küng, juga sentral dari segala upaya intelektual
dan riset akademisnya. Salah satu momentum terbaik yang pernah diperoleh Küng,
beberapa bulan selepas berceramah dalam pertemuan UNESCO, Paris, ialah ketika
Ronald Kidd – belakangan menjadi administrator Dewan Parlemen Agama-agama
Dunia (The Council for a Parliament of the World’s Religion - CPWR) – memberi
kepercayaan kepadanya untuk merumuskan draft Deklarasi Agama-agama untuk
Etika Global (Declaration of the Religions for a Global Ethic), pada tahun 1992-
1993.15
Pada 27 Februari 1992, Dr. Daniel Gómez-Ibánes, Direktur Eksekutif
CPWR, bertemu Prof. Küng dan mendapat kesepakatan bahwa Küng akan
membuat kertas kerja dasar yang akan dipakai dalam rangka perumusan A Global
Ethic. Pada musim panas 1993, gagasan draft dokumen tersebut mulai didiskusikan
dalam sebuah kolokium interdisipliner yang melibatkan peserta dari pelbagai
agama. Penekanan draft tersebut tidak pada aspek yuridis atau politis, tetapi lebih
kepada nilai-nilai, standar, dan sikap-sikap fundamental yang memungkinkan
terwujudnya sebuah konsensus yang dapat disepakati oleh semua agama dunia.
Parliament of the World’s Religion yang diselenggarakan di Chicago sejak 28
Agustus – 4 September 1993 dihadiri oleh 6.500-an peserta. Teks final deklarasi
tersebut ditandatangani oleh hampir 200 delegasi agama-agama dunia.16
13Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,
1991), p. xvi. Kutipan ini diterjemahkan oleh Joas Adiprasetya, dalam Joas Adiprasetya, Mencari
Dasar Bersama. Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), hlm. 133.
14Bdk. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru
bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, op. cit., hlm. xiii.
15Ibid., hlm. xv.
16Ibid.
21
2.4 BEBERAPA TEMA KUNCI YANG BERSENTUHAN DENGAN KÜNG
2.4.1 Pembenaran
Bagi Karl Barth, Injil bukanlah suatu kebenaran di antara pelbagai
kebenaran lain. Sebaliknya, Injil membubuhkan tanda tanya terhadap semua
kebenaran.17 Barth tidak hanya melontarkan pernyataan tersebut, tetapi lebih
kepada menghabiskan masa hidupnya untuk membubuhkan tanda tanya, di dalam
nama Kristus, terhadap aneka bentuk ‘kebenaran’. Dalam prosesnya, dampak
pencariannya ini telah mengubah arah teologi modern.
Küng yang berjiwa ekumenis kemudian berusaha menemukan pokok
perbedaan antara teologi Katolik dan teologi Protestan. Dalam upayanya ini, Küng
mendapati bahwa distingsi tersebut terutama terletak pada ajaran tentang
pembenaran (justifikasi). Dan persis, inilah suatu pokok yang menjadi tema sentral
dalam teologi Barth. Dalam disertasinya, Justificatio: La Doktrine de Karl Barth et
Une Reflexion Catholique, Küng coba membuat komparasi antara ajaran
pembenaran Barth dengan ajaran Katolik versi Konsili Trente. Sebagai konklusi,
Küng menggarisbawahi, apabila kedua ajaran ini dibaca secara cermat dalam
konteksnya masing-masing, sebetulnya tidak ada pertentangan di dalamnya.18
Disertasi ini lalu dibukukan dan langsung mendapat respon kurang positif
dari beberapa pihak di Vatikan. Küng, dengan ini, langsung digiring masuk menuju
arena perdebatan dengan para tradisionalis dan reformis dalam tubuh Gereja
Katolik Roma. Menurut mereka, Küng salah membaca ajaran Trente dan
karenanya, menarik pula kesimpulan yang tidak dapat diterima. Kritik ini kemudian
dikenal sebagai Dokumen 399/57, yang tidak pernah diumumkan, karena Küng
17Lih. Denmas Marto, Karl Barth. Membubuhkan Tanda Tanya terhadap Kebenaran (Online),
(http://www.geocities.ws/denmasmarto/barth.html, diakses pada 15 Oktober 2016).
18Lih. Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 56. Pertalian antara ajaran pembenaran menurut Barth
dan ajaran Katolik versi Konsili Trente dapat dibaca dalam Hendra M. Sihombing, Sejarah
Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran Iman antara Protestan dan Katolik (Online),
(http://mextedi.blogspot.co.id/2012/04/blog-post_22.html#!, diakses pada 5 Mei 2017).
21
masih dibela oleh segelintir profesor yang juga memainkan peran penting di
lingkaran Vatikan.
2.4.2 Infallibilitas
Infallibilitas Paus dan Kolegium para Uskup, sepanjang sejarah Gereja,
merupakan dogma yang banyak kali dipersoalkan. Namun, Küng yang kritis itu,
dialah yang paling vokal dan konsisten mempertanyakan serta menolaknya. Hingga
hari ini, ia tetap gigih menentang kewibawaan Paus yang disebutnya sebagai
ciptaan manusia dan bukan sesuatu yang ditetapkan oleh Allah.19
Infallibilitas yang dipersoalkan Küng tidak ia definisikan secara eksplisit.
Beberapa kesimpulan berdasarkan apa yang ditulis Küng, antara lain cukup tegas
mempresentasikan maksud Küng tentang infallibilitas.20 Atau (1) kesanggupan
yang dimiliki para pemimpin Gereja, khususnya Paus, yang membuat mereka kebal
terhadap segala macam kesesatan menyangkut putusan-putusan doktrinal, atau (2)
kekebalan dari kekeliruan atas definisi-definisi dogmatis yang sudah selalu dimiliki
karena bantuan istimewa dari Roh Kudus, atau (3) anugerah yang diberikan kepada
para Uskup setiap kali mereka membutuhkan dan memohonkannya demi
mengeluarkan ajaran yang berwibawa. Küng menolak kapasitas istimewa ini
dengan pelbagai alasan, salah satunya, secara epistemologis, tidak akan mungkin
suatu putusan mengungkapkan suatu kebenaran yang tak dapat keliru, siapa atau
apa pun instansi yang mengeluarkannya.
19Penolakan radikal ini Küng sampaikan juga secara terbuka dalam sebuah wawancara bersama
TEMPO pada April 2010. Lih. Andree Priyanto, loc. cit.
20Peter Chirico, Theological Studies, 42: 530, 1981, dalam Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 59.
Uraian lengkap tentang infallibilitas beserta sejumlah alasan Küng menolaknya, juga tentang
hubungan teologi-magisterium dan catatan kritis atas pandangan Küng ini, dapat dibaca secara
lengkap dalam ibid., hlm. 59-78.
21
2.4.3 Teologi Ekumenis
Universalitas teologi21 yang diupayakan oleh Wilfred Cantwell Smith dan
Leonard Swidler mendapat nama baru dari Küng, yakni teologi ekumenis. Kata
‘ekumenisme’ diadopsi dari tulisannya untuk mengawali suatu diskusi tentang
teologi dialog, Toward a New Concensus in Catholic (and Ecumenical) Theology
dan What Is True Religion? Toward An Ecumenical Criteriology. Atensi Küng
sejatinya juga berkisar pada soal-soal seputar dialog dengan agama-agama lain.
Tesisnya yang kemudian menjadi landasan di atasnya ia berkiprah ialah “Tiada
perdamaian di dunia ini, jika tiada perdamaian di antara agama-agama; tiada
perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog; tiada dialog interreligius tanpa
usaha untuk saling memahami satu sama lain tradisi agama-agama; dan tiada saling
pengertian di antara agama-agama, bila tidak diusahakan suatu upaya teologis yang
bersifat ekumenis atau dialogis.”22
Pertanyaan penting selanjutnya, apakah yang menjadi basis sikap orang
Kristen dalam membangun teologi dialog? Menurut Küng, titik tolak dialog harus
berawal dari sikap bahwa kebenaran bukanlah monopoli Kristen. Itulah sebabnya
Küng mengusulkan ‘kriteria etika umum’ untuk membangun suatu dialog
interreligius dengan apa yang disebutnya sebagai ciri humanum.23 Humanum berarti
bersifat manusiawi, karenanya, berlaku untuk semua agama.
21Pengertian teologi dialog sebagi teologi universal dipromosikan oleh Smith dan Swidler.
Smith berpandangan bahwa suatu teologi universal haruslah dibangun di atas fondasi sejarah semua
agama. Tidak ada satu pun pernyataan teologis yang valid mengenai suatu agama, kecuali
pernyataan itu diterima oleh pemeluk-pemeluk agama tersebut dan tradisi agama dari yang
mengeluarkan pernyataan itu. Sedangkan bagi Swidler, teologi dialog harus memiliki pengertian
sebagai teologi universal tentang agama-agama. Teologi universal dimaksudkan sebagai teologi
yang dapat menjangkau semua agama dan atau semua komunitas religius. Swidler menegaskan agar
para teolog teologi universal harus mampu membahasakan teologinya sedemikian rupa sehingga
dapat diterima oleh semua agama. Baca uraian lengkapnya dalam E. Armada Riyanto, op. cit., hlm.
250-258.
22Ibid., hlm. 259.
23The humanum ini sama dengan soteria, dalam bahasa Paul F. Knitter. Namun, Knitter
menambahkan the cosmicum atau dimensi ekologis pada the humanum tersebut. Jika hanya
memusatkan diri pada manusia, demikian Knitter, akan sangat mudah tergelincir ke dalam
antroposentrisme yang telah memaklumi penyalahgunaan dan pembasmian kehidupan non-manusia
dan sistem-sistem penopang kehidupan. Hal ini sejalan dengan Küng, bahwa kesejahteraan umat
manusia tidak dapat tidak terikat pada kesejahteraan bumi, dengan demikian, sebuah etika global
harus berakar dalam sebuah kepedulian bagi manusia dan ekologi. Lih. Paul F. Knitter, One Earth
Many Religions. Multifaith Dialogue & Global Responsibility (New York: Orbis Books, 1995), pp.
21
2.4.4 Projekt Weltethos
Projekt Weltethos merupakan proyek etika global garapan Hans Küng, yang
mulai familiar pada 1990. Küng optimis, dunia yang sakit ini dapat diobati dan
perdamaian dapat terwujud, dengan adanya Etika Global. Tata dunia yang baru
(global order) harus didampingi secara kritis oleh Etika Global (Global Ethic).
Küng meringkas dan mendasari seluruh upayanya ini dalam tesisnya yang terkenal,
“Kein Ȕberleben ohne Weltethos.
Kein Weltethos ohne Religionsfriede.
Kein Religionsfriede ohne Religionsdialog.”24
Bab selanjutnya akan membahas proyek ini secara lebih eksklusif.
2.5 KESIMPULAN
Tidak ada teolog pada abad ke-20 yang mengelaborasi hampir seluruh
dimensi kekristenan seluas apa yang diupayakan secara militan dan konsisten oleh
Hans Küng. ‘Sebuah fenomena unik dalam teologi abad XX’, frasa ini cocok
dialamatkan pada Küng, yang luas cakupan atensinya mulai dari diskusi mengenai
Allah, Kristus, Gereja, hidup kekal, pembenaran, metode berteologi, teologi agama-
agama, problem-problem etis yang memuncak pada proyek Etika Global, sampai
pada soal-soal seputar seni dan dialog antaragama.25
Di satu sisi, melebihi para teolog berbahasa Jerman lainnya, percikan
pemikiran Küng sangat memengaruhi dunia persepsi keimanan Katolik. Dalam
khazanah dunia intelektual, refleksi-refleksi teologis dan moral Küng jauh
melampaui konsen ecclesiastical-nya – karakter kependetaan dan sikap
gerejawinya. Kendatipun dalam dirinya masih tersemat peran intelektual sebagai
98-99. Kriteria kebenaran yang diusulkan Küng ini dapat dibaca secara lengkap dalam Hans Küng,
“What Is True Religion? Toward an Ecumenical Criteriology”, dalam Leonard Swidler (ed.),
Toward a Universal Theology of Religion (New York: Orbis Books, 1987), pp. 239-243.
24Lih. Hans Küng, Projekt Weltethos (München, Zürich: Piper, 1992), 13. Secara harfiah penulis
terjemahkan dengan “Tidak ada kehidupan tanpa etika global. Tidak ada etika global tanpa
perdamaian antaragama. Tidak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama”. Informasi
lainnya sehubungan dengan proyek ini dapat ditelusuri dalam (http://www.uni-
tuebingen.de/stiftung-weltethos/indexe.html).
25Lih. Werner G. Jeanrod, “Hans Küng”, dalam David F. Ford (peny.), The Modern
Theologians. An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century. Vol. 1 (Oxford: Basil
Blackwell, 1989), p. 164.
21
‘juru bicara’ Kristen Katolik, Küng tetap menjauhi sikap eksklusivitas dalam
beragama. Ia malah asyik dengan kampanye mempromosikan pemikiran Gereja
liberal. Tidak hanya itu, Küng pun banyak mengritik sisi-sisi picik dari dunia
teologi Katolik sendiri. Dan persis, karena itulah, intimitasnya dengan institusi
Gereja tidaklah terlalu mesra. Hal inilah yang mengakibatkan relasi yang renggang,
untuk tidak mengatakan bermusuhan, antara Küng dan para petinggi Gereja.26
Di lain sisi, dapat pula dikatakan, separuh hidup Küng betul dijiwai dan
dimotori oleh kesadaran akan krisis fundamental yang sejak dahulu hingga kini
mendera bumi dan isinya. Gambaran dunia kian suram. Agama-agama sering
disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politis, termasuk untuk perang. Hidup manusia
penuh dengan hal-hal menjijikkan, cabul, dan memuakkan. Selain menegaskan
bahwa semuanya ini tidak seharusnya terjadi, Küng yakin, ada jalan keluar untuk
menyembuhkan luka-lukanya. Sebuah etika, Etika Global, yang sebetulnya telah
ada dalam ajaran setiap agama dunia, sangatlah potensial untuk melawan
kemalangan global ini. Tentu saja, etika model ini tidak memberikan solusi
langsung atas semua problem dunia yang menggunung, tetapi paling kurang mampu
menjadi fondasi moral demi tatanan sosial yang lebih baik.27
26Bdk. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru
bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, op. cit., hlm. vii-viii.
27Ibid., hlm. xii-xiii.
33
BAB III
ETIKA GLOBAL HANS KÜNG
3.1 LAHIRNYA ETIKA GLOBAL
3.1.1 Parlemen Agama-agama Dunia
Etika Global bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja tanpa latar belakang
yang jelas dan pasti. Ibarat sebuah bangunan yang berfondasi, Etika Global
memiliki basis atau landasan historis, di atasnya ia berdiri. Landasan historis
dimaksud ialah Parlemen Agama-agama Dunia. Bagian pertama Bab ini berisikan
informasi singkat seputar dua Parlemen yang pernah diselenggarakan. Fokus
informasi yang disajikan di sini tentu lebih ke poin-poin yang menjadi cikal-bakal
lahirnya Etika Global.
3.1.1.1 Parlemen Agama-agama Dunia 1893
The World’s Parliament of Religions – sebutan pertama – yang
diselenggarakan pada 1893 di Chicago, Amerika Serikat, merupakan peristiwa
pertama serentak monumental yang mencatat sejarah perjumpaan antariman di
dunia. Pada tahun yang sama, benua Amerika yang ditemukan oleh Christopher
Columbus tepat berusia 400 tahun sejak penemuannya dan Parlemen ini
33
diselenggarakan untuk memperingatinya. Oleh sebab itu, roh americanism telah
sejak permulaan mewarnai Parlemen ini.1
Joas Adiprasetya merangkum hasil penelusurannya atas situasi historis
Amerika yang memotivasi lahirnya Parlemen Agama-agama Dunia 1893, sebagai
berikut.
(a) Sejak awal Amerika telah berjuang dan bergumul dengan persoalan kemanusiaan,
khususnya dengan isu perbudakan yang berlangsung berabad-abad. Legitimasi teologis2
yang dikerjakan oleh para pendukung perbudakan berhadapan secara frontal dengan
semangat kemanusiaan yang pada akhirnya secara politis dimenangkan oleh kelompok
kedua. Semangat kebebasan beragama ditegakkan dan pada saat yang sama semangat
inklusif tersebut pada dirinya menuntut pula penghargaan terhadap gagasan-gagasan
konservatif, sebagaimana pernah dimunculkan oleh kelompok-kelompok pro-perbudakan
di Selatan. Dengan demikian, persoalan rasial dengan legitimasi teologis ini memang
bermunculan dalam sejarah bangsa ini. (b) Semangat pluralitas religius ini pada gilirannya
memberi tempat seluas-luasnya bagi permunculan agama-agama non-Kristen serta cults
dalam kehidupan bangsa Amerika. Kenyataan ini menuntut Amerika untuk selalu
meneguhkan jati diri (identitas)-nya sebagai sebuah bangsa. (c) Pluralitas yang terjadi
dalam tubuh kekristenan di Amerika muncul bukan pertama-tama karena perbedaan tradisi
dan teologi, namun lebih sebagai perbedaan orientasi politis terhadap isu-isu nasional yang
muncul (spt. isu negro mis.). (d) Sementara itu, pengaruh pemikiran evolusioner yang
diletupkan oleh pemikiran Darwin ikut pula memberi sumbangan bagi usaha pencarian
identitas keamerikaan. Kekristenan Amerika oleh sebagian pihak lantas dipandang sebagai
bentuk tertinggi dalam seluruh proses evolusi agama-agama. (e) Secara politis, pusat
kehidupan Amerika bergeser ke kota-kota besar. Gaya hidup dan corak berpikir urban dan
metropolis ini turut menentukan terciptanya kebangsaan nasional Amerika. Kehidupan
urban ini menjadi cikal-bakal masa depan Amerika sebagai sebuah bangsa modern.3
Dalam situasi sosio-politik dan religius sebagaimana telah dijabarkan,
Parlemen Agama-agama Dunia 1893 terselenggara. Parlemen yang secara resmi
dibuka pada 11 September 1893 ini berhasil mengumpulkan lebih dari empat ribu
orang dari masing-masing agama dan keyakinan, di antaranya Kristen Protestan,
1Winthrop S. Hudson, Religion in America: An Historical Account of the Development of
American Religious Life (New York: Charles Scribner’s Sons, 1965), p. 253.
2Legitimasi teologis di sini merujuk pada referensi yang digunakan oleh sekian banyak teolog
dan pemimpin Gereja di Selatan Amerika, yakni referensi biblis. Mereka menyatakan bahwa Alkitab
sendiri tidak menolak adanya perbudakan, bahkan menetapkannya. Teks tentang Ham, anak Nuh
yang menjadi leluhur orang kulit hitam, misalnya, banyak disebut sebagai inspirasi langgengnya
praktik perbudakan. Martin E. Marty menyebut legitimasi atas struktur perbudakan ini didukung
pula oleh ciri Gereja di Selatan yang terlampau spiritual-individualistik. Bdk. Martin E. Marty,
Righteous Empire: The Protestant Experience in America (New York: The Dial Press, 1970), p. 64.
3Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama. Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan
Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 116-117. Uraian yang lebih lengkap
tentang lima pokok ini dapat dibaca dalam ibid., hlm. 109-116. Sebagai penegasan awal, dalam
bukunya, Joas menerjemahkan kata Ethic dengan Etik, sedangkan penulis menerjemahkannya
dengan Etika. Penulis tetap menggunakan buku Joas sebagai referensi, tetapi mengganti semua kata
Etik dengan Etika. Penulis mengikuti terjemahan Ali Noer Zaman dan Franz Magnis-Suseno.
Keseluruhan karya ilmiah ini menggunakan kata Etika.
33
Kristen Katolik, Judaisme, Kristen Ortodoks Timur, Islam, Hinduisme, Buddhisme,
Taoisme, Shintoisme, Konfusianisme, Zoroastrianisme, dan Jainisme, di Hall of
Columbus.4 Sekalipun Parlemen ini tidak menghasilkan organisasi tertentu yang
meneruskan upaya yang sudah dirintis, idealisme yang menjadi spirit tetap hidup
dan berlanjut. Sejak Parlemen ini, muncul semangat baru di kalangan pemimpin
agama untuk berdialog dengan pemimpin agama-agama lain. Secara akademik,
Parlemen ini mendorong lahirnya studi-studi tentang agama-agama, baik
komparatif maupun historis, mempelajari agama-agama dalam dirinya sendiri
dalam konteks sejarah mereka masing-masing. Ringkasnya, Parlemen ini
mengilhami begitu banyak orang yang berusaha mencari pemahaman yang sama di
antara agama-agama dan mengusahakan kerja sama antarpemeluk agama bagi
terciptanya masyarakat dunia yang lebih baik.
3.1.1.2 Parlemen Agama-agama Dunia 1993
Setelah 100 tahun berlalu, kenangan akan peristiwa monumental pada 1893
perlu diperingati. Lebih dari sekadar mengenang, The Parliament of World’s
Religions – sebutan kedua – kembali digelar pada 1993 sebagai respon serius atas
situasi global yang terjadi selama rentang waktu satu abad sebelumnya. Parlemen
kedua ini menandai pula kesungguhan proyek agama-agama di dunia untuk
membentuk suatu tata dunia baru (a new global order) yang lebih humanis.
Beberapa latar historis yang memprovokasi terselenggaranya Parlemen Agama-
agama Dunia 1993, antara lain sebagai berikut.5
Pertama, bangkitnya post-modernisme. Dua puluh satu tahun selepas
Parlemen pertama, pecah Perang Dunia I (1914-1918). Negara-negara Kristen
adikuasa kala itu, Jerman dan Inggris Raya, diguncang dengan hebat. Beberapa
peristiwa penting lainnya semisal revolusi di Cina (1911-1949), lepasnya India dari
genggaman Inggris Raya (1947), pada 1948 Israel berhasil mendirikan
pemerintahan yang merdeka dan gerakan Zionisme kembali ke Palestina, serta
bangkitnya dua negara adikuasa yang baru, Amerika Serikat (kapitalisme) dan Uni
4Ibid., hlm. 117.
5Ibid., hlm. 128-131.
33
Soviet (sosialisme), patut diberi perhatian. Peristiwa-peristiwa akbar ini pada
gilirannya memengaruhi pergeseran global dari dunia modern menuju yang post-
modern. Ciri post-modernisme yang plural merambah pula hingga ke dimensi
religius. Pusat-pusat agama tunggal mulai tersibak, metanarasi-metanarasi perlahan
runtuh. Pluralitas tidak lagi menjadi sesuatu yang asing, melainkan fakta hic et
nunc. Keberagaman tradisi religius memang sudah disadari sejak 1893, tetapi
belum tuntas melepaskan bangsa Amerika dari pandangan yang menomorsatukan
Kekristenan sebagai tradisi agama tertinggi. Bukti paling nyata, mayoritas peserta
pada Parlemen pertama beragama Kristen. Sebaliknya, Parlemen 1993 memberi
penekanan pada kenyataan bahwa pluralitas tidak lagi dapat dihindari. Agama-
agama lain dihargai sebagaimana adanya mereka, tidak lagi subordinat terhadap
agama Kristen.
Kedua, Chicago sebagai model. Sebagai negara tempat terselenggaranya
dua Parlemen Agama-agama Dunia, Amerika Serikat, secara religius amatlah
majemuk. Terpilihnya kota Chicago secara khusus sebagai tempat
penyelenggaraan, tidak lepas dari situasi keagamaan di sana. Mayoritas pemeluk
dari masing-masing keyakinan, di antaranya Buddhisme, Hinduisme, Jainisme, dan
Islam, menetap di kota ini. Oleh sebab fakta pluralitas ini, Chicago dapat dipandang
sebagai mikrokosmos yang mewakili seluruh rupa makrokosmos kemajemukan
dunia. Chicago menjadi model, contoh. Ironisnya, Chicago yang berwajah plural
itu justru satu-satunya kota metropolitan di Amerika Serikat yang tidak memiliki
satu pun organisasi antariman sendiri. Inilah alasan bagi Council for a Parliament
of the World’s Religions (CPWR) di kemudian hari memprakarsai berdirinya The
Metropolitan Chicago Interreligious Initiative (MCII).6
Perkembangan menarik sejak Parlemen pertama ialah intensitas perjumpaan
antara agama-agama. Beberapa lembaga dialog dan peristiwa-peristiwa dialogal
telah diadakan. Kendati demikian, transformasi zaman tetap membawa serta
kenyataan-kenyataan destruktif yang tidak terhindarkan, semisal konflik dan perang
yang juga dimotori oleh agama. Oleh karena itu, pembicaraan tentang Parlemen
6Proposal dan dasar pembentukan MCII dapat dibaca selengkapnya dalam Dirk Ficca, “The
Chicago Model”, dalam Wayne Teasdale & George Cairns (peny.), The Community of Religions:
Voices and Images of the Parliament of the World’s Religions (New York: Continuum, 1996), pp.
154-157.
33
Agama-agama Dunia 1993 menjadi begitu penting dan tidak dapat dilepaspisahkan
dari konteks sejarah dialog antaragama dan konteks sejarah dunia. Lebih jelasnya,
tema-tema utama dalam Parlemen kedua ini mesti dilihat.7 Tema pertama, identitas
keagamaan. Pertanyaan tentang jati diri amatlah mendesak dan substansial
mengingat Parlemen kedua ini merupakan momentum berkumpul dan berjumpanya
aneka agama dan tradisi spiritual, bahkan ada yang baru dan belum saling kenal
sama sekali. Tema kedua, dialog. Dialog antariman dan antartradisi menjadi sangat
intens dan kaya. Parlemen kedua ini tidak hanya menjadi ajang perjumpaan pada
tataran budi, tetapi masuk sampai ke soal hati, sehingga Parlemen 1993 menjadi
kesempatan saling memperkaya pemikiran dan kedalaman spiritual. Tema ketiga,
isu-isu kritis. Ini tema paling strategis dalam Parlemen 1993. Di ambang milenium
ketiga, perjumpaan agama-agama dunia diilhami oleh kepekaan pada isu-isu
mutakhir yang kian kritis. Hal ini kemudian mendorong CPWR menjalin relasi
kerja sama dengan The Institute for the 21th Century Studies – kemudian berubah
nama menjadi The Millennium Institute – untuk mengupayakan agar dimensi ini –
perjumpaan antaragama dan isu-isu kritis – terus dikedepankan. Prioritas yang
dititikberatkan pada dimensi ini selanjutnya menyata dalam keseluruhan dokumen
Toward a Global Ethic: An Initial Declaration.
3.1.2 Sejarah Singkat Lahirnya Etika Global
Ammerdown, Inggris, patut dicatat sebagai kota yang mempunyai andil
besar tempat terejawantahnya secara serius keinginan untuk memperingati 100
tahun Parlemen Agama-agama Dunia 1893. Setelah pertemuan pertama di kota
yang sama pada 1985, pertemuan kedua pada April 1988 mendesak untuk
menyelenggarakan peringatan dimaksud, dengan tujuan utama mengamati dan
menjawab isu-isu dunia dengan mengundang tanggapan aksi dari agama-agama
dunia, organisasi sekular, dan kekuatan-kekuatan politik. Untuk itu, empat
organisasi antariman ditunjuk menjadi penyelenggara, di antaranya Temple of
Understanding (ToU), International Association for Religious Freedom (IARF),
World Congress of Faiths (WCF), dan World Conference on Religion and Peace
7Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 139-140.
33
(WCRP). Sejak pertemuan kedua ini, pelbagai persiapan di bawah payung tema
‘Dialog Agama-agama dan Tata Dunia Baru’ gencar dilakukan. Seorang tokoh,
teolog kontroversial yang kritis, yang amat serius terlibat dalam persiapan-
persiapan itu ialah Hans Küng. Saat itu, Küng sedang menjalani tugasnya sebagai
dosen Ecumenical Studies di Universitas Tübingen, Jerman.8
Di tengah aneka persiapan, Küng ternyata telah memulai sebuah proyek
penting yang pada 1990 familiar sebagai Projekt Weltethos.9 Gambaran dunia yang
makin suram sebagaimana termaktub dalam pengantar Declaration Toward a
Global Ethic, “Peace eludes us - the planet is being destroyed - neighbors live in
fear - women and men are estranged from each other - children die! – Perdamaian
hilang dari kita - bumi sedang dihancurkan - sesama tetangga hidup dalam
ketakutan - perempuan dan laki-laki terasing satu sama lain - anak-anak
meninggal!”10 menjadi motif-motif eksistensial yang menginspirasi Küng. Bagi
Küng, this is abhorrent, sebuah kekejian, apalagi setelah sadar, agama-agama
marak disalahgunakan sebagai instrumen untuk meloloskan tujuan-tujan politis,
termasuk perang. Kehidupan bersama antarmanusia dipenuhi hal-hal yang
menggiring menuju kehancuran.
Menjawabi semua keprihatinan ini, Küng menawarkan solusi strategisnya
yakni “The Need for a Global Ethic”.11 Kata-kata persuasif inilah yang kemudian
menjadi inti dan kunci dari setiap pernyataan Küng. Selama beberapa dekade,
tuntutan ini menjadi sentral dari segala upaya intelektual dan riset akademisnya.
Selanjutnya, gagasan yang lebih rinci tentang Etika Global dipaparkan dengan
elegan dan bernas oleh Küng dalam bukunya, Projekt Weltethos (1990) atau Global
Responsibility: In Search of a New World (1991). Küng mengisahkan bahwa pada
saat merumuskan gagasan tentang Etika Global dan menulis bukunya tersebut, ia
8Ibid., hlm. 132-136.
9Hans Küng, Projekt Weltethos. München, Zürich: Piper, 1992.
10Lih. Editorial Committee of the ‘Council’ of the Parliament of the World’s Religions,
Declaration Toward a Global Ethic (New York: Continuum Publishing, 1993), p. 1. Terjemahan
oleh penulis sendiri.
11Lih. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru
bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, penerj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2010), hlm.
xiii.
33
hampir sulit menemukan dokumen-dokumen tentang sebuah etika yang lebih global
dari organisasi-organisasi dunia yang sudah ada saat itu.12 Meskipun waktu itu telah
dirumuskan deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Deklarasi
Perserikatan Bangsa-bangsa 1948, deklarasi tentang Kewajiban Asasi Manusia
(KAM) nyata-nyata belum sama sekali, bila tidak ingin dikatakan, diabaikan. Baru
setelah enam tahun kemudian, isu tentang KAM secara eksplisit mulai muncul
dalam tiga dokumen internasional, The International Commission on Global
Governance (1995), The World Commission on Culture and Development (1995),
dan The InterAction Council (1996) yang sama-sama menggumuli wacana Mencari
Standar Etika Global (In Search of Global Ethic Standards).13 Sebagaimana telah
disebutkan pada Bab sebelumnya, salah satu momentum terbaik yang pernah
diperoleh Küng ialah ketika CPWR memberi kepercayaan kepadanya untuk
merumuskan draft Deklarasi Agama-agama untuk Etika Global (Declaration of the
Religions for a Global Ethic), pada tahun 1992-1993.
3.1.3 Pengandaian Dasar Etika Global
“No survival without a world ethic. No world peace without peace between
the religions. No peace between the religions without dialogue between the
religions. – Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa sebuah etika bersama.
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada
perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama
tersebut.”14 Ungkapan familiar Küng ini, sebagaimana tersurat dalam pendahuluan
bukunya, Global Responsibility, telah menjadi semacam slogan yang meyakinkan.
Ungkapan ini, kalimat demi kalimat, dapat dianalisis.15
12Ibid.
13Ibid.
14Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,
1991), p. xv. Terjemahan oleh penulis sendiri.
15Bdk. Paul Budi Kleden, “Teologi Pluralis dan Etika Global: Alternatif atau Komplementer”,
Jurnal Ledalero, 9/1: 86-88, Juni, 2010. Uraian yang lebih lengkap dan detail termuat dalam buku
Global Responsibility. In Search of a New World Ethic. Buku ini Küng susun dalam tiga bagian
besar yang merupakan penjabaran dari slogannya, yakni (A) No Survival without a World Ethic:
Why we need a global ethic, (B) No World Peace without Religious Peace: An ecumenical way
33
Dalam kalimat pertama, tampak jelas, etika merupakan kebutuhan yang
tidak boleh tidak apabila dunia tidak ingin dibiarkan hancur-lebur. Sebuah kerangka
etis dibutuhkan secara amat mendesak, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang makin pesat, ekspansi ekonomi pasar bebas yang kian
membabi-buta, pemaksaan ideologi politik yang semakin masif, juga eksplorasi
atas alam yang kian liar. Etika kolektif menjadi imperatif yang kategoris, sifatnya.
Selanjutnya, pertanyaan yang dapat diajukan untuk ungkapan kedua,
mengapa tidak ada Etika Global tanpa perdamaian di antara agama-agama? Apakah
dibutuhkan terlebih dahulu perdamaian dan relasi yang intim di antara semua tradisi
religius agar tercipta kemungkinan yang layak bagi lahirnya Etika Global?
Pertanyaan inilah yang sebetulnya mengindikasikan pengandaian paling hakiki dari
Etika Global, yakni agama-agama merupakan basis, fondasinya. Agama-agama
yang terlampau sering diklaim sebagai penyebab aneka konflik dan perang,
sebenarnya merupakan sumber kekayaan dan roh untuk mengatasi konflik dan
perang dimaksud. Agama-agama yang dapat membawa dunia menuju kehancuran,
ternyata sekaligus yang mempunyai kontribusi politis yang mampu mewujudkan
perdamaian hingga ke skala internasional.
Kalimat ketiga menjelaskan cara yang wajib dan harus ditempuh demi
mewujudkan Etika Global. Cara juga jalan itu, dialog. Perdamaian di antara agama-
agama hanya dapat tercapai apabila ada kesediaan menyampaikan keyakinan secara
beradab dan kerelaan mendengarkan. Semakin jujur dan intensif sebuah dialog,
semakin terang pula agama-agama menemukan elemen-elemen yang sama juga
yang berbeda. Pengenalan dan penerimaan, baik elemen yang sama maupun yang
berbeda itu, mengantar agama-agama untuk menyadari kebergantungan satu
dengan yang lainnya. Dari sinilah, perdamaian menjadi niscaya dan kehidupan
tidak digiring menuju kehancuran, sebaliknya, kemajuan.
3.2 DOKUMEN ETIKA GLOBAL
3.2.1 Struktur
between fanaticism for truth and forgetfulness of truth, dan (C) No Religious Peace without
Religious Dialogue: Prolegomena to an analysis of the religious situation of our time.
33
Joas Adiprasetya menganalisis Dokumen Etika Global16 dan menemukan
secara garis besar, dokumen ini terbagi atas dua bagian utama.17
Awalnya, bagian pertama memakai sebutan ‘Deklarasi Sebuah Etika
Global’. Namun, panitia lewat Editorial Committee mengubahnya menjadi
‘Pendahuluan’18 untuk versi publiknya. Bagian pertama menjadi semacam
ringkasan dari atau pengantar menuju bagian kedua yang lebih panjang dan detail.
Bagian kedua, ‘Prinsip-prinsip’, terdiri atas empat sub-bagian. Sub-bagian I
membentangkan relasi antara tata dunia baru dan Etika Global. Semangat kunci
yang menjiwai sub-bagian ini ialah kesadaran betapa tidak mungkin tercipta sebuah
tatanan dunia yang baru dan lebih baik, tanpa etika bersama. Sub-bagian II berisikan
tuntutan mendasar yang perlu dan mesti dipenuhi, yakni setiap manusia harus
diperlakukan secara manusiawi. Tuntutan mendasar dimaksud ialah Kaidah
Kencana atau Golden Rule19 yang berbunyi, “Apa yang tidak kamu inginkan,
jangan lakukan itu pada orang lain!”. Atau dalam nada positif, “Apa yang kamu
inginkan, lakukan itu juga pada orang lain!”. Sub-bagian III merincikan empat
perintah atau petunjuk yang tidak dapat dibatalkan. Masing-masing petunjuk
memuat serta komitmen yang jelas. Dan, sub-bagian IV, penutup, menjelaskan
penting dan mendesaknya perubahan kesadaran sebagai sebuah imperatif kategoris
bagi terwujudnya tata dunia baru yang lebih baik.
16Keseluruhan dokumen ini dalam Bahasa Inggris penulis lampirkan pada bagian Lampiran.
Alamat yang dapat dikunjungi agar dokumen ini dapat diunduh secara gratis,
http://cchu9014.weebly.com/uploads/1/6/2/0/16200980/towardsaglobalethic.pdf.
17Lih. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 156-157.
18Frans Magnis-Suseno menutup bukunya, Etika Abad Kedua Puluh. 12 Teks Kunci, bukan
dengan sebuah penutup sebagaimana umumnya, tetapi membuat afirmasi tegas atas ‘Pendahuluan’
Dokumen Etika Global. Mutu konsepsi setiap etika akan relevan dan berdaya guna, sejauh
membantu manusia menjalankan tanggung jawabnya dalam hidup pribadi dan bermasyarakat. Di
titik inilah, Dokumen Etika Global menjadi penting dan mendesak, karena memperlihatkan cakupan
tanggung jawab yang mesti diemban dan diusahakan bersama-sama oleh semua orang, di abad ini.
‘Pendahuluan’ Dokumen Etika Global yang diterjemahkan oleh Magnis sendiri ke bahasa Indonesia,
dapat dilihat dalam Frans Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh. 12 Teks Kunci. Cet. ke-5
(Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 281-284.
19Penjelasan yang lebih detail tentang Kaidah Kencana ini dapat dibaca dalam Joas Adiprasetya,
op. cit., hlm. 166-169. Secara ringkas, Kaidah Kencana teryata menyebar dalam seluruh tradisi
keagaamaan dunia dan bahwa Kaidah Kencana menolak dengan tegas segala bentuk egoisme.
33
3.2.2 Ciri Khas
Pertanyaan yang dapat diajukan di sini, apa yang menjadikan Dokumen
Etika Global khas dan karenanya berbeda dari dokumen-dokumen yang lain?
Substansi yang perlu digarisbawahi sejak awal ialah bahwa Etika Global
merupakan dokumen pertama yang bersifat global yang dihasilkan dari sebuah
konsensus di antara para pemeluk agama-agama juga komunitas yang tidak terikat
pada tradisi religius mana pun di dunia. Konsensus ini berangkat dari sebuah
kesadaran bersama akan masifnya isu-isu yang dapat membahayakan kehidupan
kolektif. Etika Global, tegas Küng, “Memiliki keunikan sebagai sebuah konsensus
moral dan spiritual, kendati secara fungsional, serupa dan setara dengan The
Universal Declaration of Human Righs (1948)”.20 CPWR dan Küng kemudian
menyepakati hal-hal apa saja yang menjadi ciri khas Etika Global. Dua jalan
berikut, via negativa dan via positiva, dapat dengan jelas membentangkan ciri khas
dimaksud.21
Via negativa, (a) Etika Global bukanlah reduplikasi dari Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam Etika Global, agama menjadi basis pijakan
perumusan dokumen, sedangkan dalam DUHAM, agama hanya menjadi satu dari
sekian banyak pokok yang dibahas. Perlu ditekankan pula, etika (ethic) jauh lebih
luas dari hak (rights). Kendati bukan reduplikasi, Etika Global dapat dipandang
sebagai pendukung etis bagi DUHAM. (b) Etika Global bukanlah sebuah deklarasi
politis. Meski demikian, Etika Global juga mempunyai relevansi pada bidang
politik bahkan ekonomi, sosial, kultural, dan ekologi.22
(c) Etika Global bukanlah sebuah uraian moral, tetapi tetap berusaha
memberikan dasar-dasar etis bagi pemecahan masalah-masalah moral yang riil. (d)
20Bdk. Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (peny.), A Global Ethic; The Declarations of the
Parliament of the World’s Religions (London: SCM Press, 1993), p. 47.
21Bdk. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 146-149. Dalam lain perkataan, Küng menyebut via
negativa sebagai ‘The dead ends that would have to be avoided from the start’ (tujuan-tujuan
mematikan yang harus dihindari sejak awal) dan via positiva sebagai ‘Formal criterias that would
have to be fulfilled’ (kriteria-kriteria formal yang harus dipenuhi). Lihat selengkapnya dalam Hans
Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, penerj. John Bowden (New York: Oxford
University Press, 1998), pp. 106-107.
22Hal ini Küng jabarkan secara lengkap dan detail dalam bukunya, A Global Ethic for Global
Politics and Economics.
33
Meskipun disepakati dalam semangat post-modernis, Etika Global bukanlah sebuah
dokumen filosofis. Etika Global tidak memakai sebuah paradigma filsafat tertentu.
Via positiva, (a) Etika Global masuk dalam level etis yang paling mendasar,
nilai-nilai yang mengikat, serta sikap-sikap dasariah yang fundamental. Etika
Global, dengan demikian, tidak pertama-tama berurusan dengan detail aturan legal
dan hak-hak yang terkodefikasi. (b) Etika Global merupakan sebuah konsensus
bersama agama-agama juga golongan yang tidak terikat pada suatu tradisi iman
tertentu. Ciri ini penting untuk dikedepankan karena Etika Global sama sekali tidak
bermaksud mengarah pada terbentuknya satu agama tunggal yang bersatu (a unified
religion), tetapi sebaliknya hadir sebagai konsensus dari semua agama dan
komunitas yang ada, yang masing-masing berupaya memberikan sumbangannya.
Etika Global bukan hadir sebagai pengganti atas Hukum Taurat, Injil, Al-Quran,
Bhagavad Gita, Khubah Buddha, atau ajaran Konfusianisme dan lainnya. Secara
ringkas, Küng berkali-kali menampilkan gambar yang mempresentasikan ciri khas
ini (lihat Gambar 1. pada halaman selanjutnya). (c) Etika Global bersifat autokritis.
Pesan yang hendak disampaikan, tidak hanya terarah pada ‘dunia’, tetapi juga
kembali kepada ‘agama-agama’ itu sendiri. Hal ini sekaligus menegaskan betapa in
se, agama itu paradoksal. Di satu sisi memberi sumbangsih pada kemanusian sejati,
tetapi di sisi lain turut memicu aneka konflik bahkan perang. (d) Etika Global terkait
dan berpijak pada kenyataan dan isu konkret. Dunia yang dimaksudkan dalam
keseluruhan Etika Global mesti dipahami ‘sebagaimana adanya’ (as it really is),
bukan ‘sebagaimana harus adanya’ (as it should be). Walaupun demikian, yang
ideal tetap menjadi pendorong dan penarik agar diupayakan bersama-sama,
berangkat dari apa yang riil.
33
Gambar 1. Etika Global dan Agama-agama
(e) Etika Global dapat dipahami secara umum dan luas. Argumen dan
jargon-jargon ilmiah disingkirkan. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti
sehingga mudah pula diterjemahkan ke dalam banyak bahasa lain. Etika Global,
dengan ini, menjadi milik bersama. (f) Etika Global memiliki pendasaran religius.
Dokumen ini meyakini bahwa sebuah etika semestinya memiliki keterkaitan
dengan – meminjam Paul Tillich – The Ultimate Concern, atau apa pun yang
disebut oleh masing-masing tradisi, meskipun dialamatkan juga bagi komunitas
non-religius. Etika Global tidak mengingkari entitas masing-masing tradisi.
Gambar berikut bantu menjelaskannya, dari perspektif Kekristenan.
33
Gambar 2. Etika Global dalam Perspektif Kekristenan
3.2.3 Isi
33
Secara ringkas, isi Dokumen Etika Global dapat ditampilkan dalam tabel
berikut.
DEKLARASI MENUJU SEBUAH ETIKA GLOBAL
Pendahuluan
Berisi gambaran dunia yang sedang dalam kehancuran juga ajakan pada
semua orang – baik beragama maupun tidak beragama – untuk melakukan
perubahan dalam semua dimensi kehidupan, dengan memperhatikan prinsip-
prinsip berikut.
Prinsip-prinsip
I. Tidak ada tatanan dunia yang baru tanpa sebuah etika bersama.
II. Tuntutan fundamental: setiap manusia harus diperlakukan secara
manusiawi. Kaidah Kencana atau Golden Rule sangat ditekankan,
“Apa yang tidak kamu inginkan, jangan lakukan itu pada orang
lain!”
III. Empat petunjuk yang tidak terbatalkan, berupa:
a. komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan hormat pada hidup,
b. komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil,
c. komitmen pada budaya toleransi dan hidup dalam kebenaran,
dan
d. komitmen pada budaya kesetaraan hak dan kerja sama antara
perempuan dan laki-laki.
IV. Penting dan mendesaknya perubahan kesadaran.
Semua perempuan dan laki-laki – baik beragama maupun tidak beragama
– diajak sekali lagi dan terus-menerus untuk melakukan perubahan dalam
semua dimensi kehidupan, menuju sebuah tatanan dunia baru yang lebih baik.
3.2.3.1 Tuntutan Dasar
33
Tuntutan dasar dari Deklarasi di Chicago merupakan hal paling substansial
yang dapat diberikan pada dan bagi manusia. “Sekarang, sebagaimana sebelumnya,
lelaki dan perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi di seluruh dunia.
Kesempatan dan kebebasan mereka dirampas; hak asasi mereka diinjak-injak;
martabat mereka direndahkan. Namun kuat tidak berarti benar! Di hadapan semua
manusia, agama dan keyakinan etis kita menuntut bahwa setiap manusia harus
diperlakukan secara manusiawi! Itu berarti setiap manusia tanpa memandang
perbedaan umur, jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan fisik atau mental,
bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa atau sosial, memiliki martabat
yang tidak dapat diganggu atau dicabut.”23
Manusia harus selalu menjadi subjek hak, harus menjadi tujuan, tidak boleh
sekadar menjadi alat, tidak boleh hanya merupakan objek komersialisasi dan
industrialisasi dalam ekonomi, politik, dan media, dalam lembaga penelitian dan
perusahaan industri. Dua kesadaran paling fundamental ini menjadi basis bagi Etika
Global, “(a) Setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi dan (b) apa yang
kamu ingin dilakukan pada dirimu, lakukanlah itu pada orang lain!”24 Dua
kesadaran fundamental ini harus menjadi norma tanpa syarat dan tidak terbatalkan
bagi semua bidang kehidupan, keluarga, komunitas, ras, bangsa, dan agama.
3.2.3.2 Dimensi-dimensi Hakiki
Maksud dari dijabarkannya dimensi-dimensi hakiki yang terkandung dalam
Dokumen Etika Global ialah agar dapat dengan jelas terbaca betapa Etika Global
sungguh bertolak dari realitas. Dimensi-dimensi berikut, oleh Küng sendiri,
sungguh menegaskan bahwa Etika Global lahir dari isu kritis atau masalah serius,
bukannya dari dogma, teologi, apalagi imajinasi tertentu.
Pertama, dimensi antropologis (perempuan dan laki-laki). Sistem patriarki
masih menjadi fakta hic et nunc dalam pelbagai kebudayaan. Akibat lanjutan dari
subur dan masifnya pemberlakuan sistem ini ialah ketidakadilan gender yang
23Bdk. Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (peny.), op, cit,. p. 18.
24Bdk. Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan
Agama di Abad XXI, op. cit., hlm. 186.
33
membabi-buta, perempuan subordinat terhadap laki-laki, kekerasan dalam rumah
tangga, eksploitasi dan perdagangan perempuan, pelecehan seksual terhadap anak
di bawah umur, serta aneka ketimpangan lainnya. Bagi Küng, era postmodern mesti
menandai dan membawa perubahan yang lebih egaliter.
Küng, dalam perspektif Kekristenan, memberi jalan keluar dengan
menekankan,
“(a) A way from divisions between men and women in church and society – solusi atas
pemisahan antara perempuan dan laki-laki dalam Gereja dan masyarakat, (b) a way from
the devaluation and lack of understanding of the indispensable contribution of women –
solusi atas penurunan nilai dan kurangnya pemahaman akan sumbangan yang amat
dibutuhkan dari perempuan, (c) a way from the ideology fixed roles and streotypes of men
and women – solusi atas peran dan prasangka-prasangka yang mapan secara ideologis
antara perempuan dan laki-laki, dan (d) a way from a refusal to acknowledge the gifts given
to women for the life and decision-making processes of the church – solusi atas penolakan
mengakui karunia-karunia yang dimiliki perempuan bagi kehidupan dan proses-proses
pengambilan keputusan dalam Gereja”.25
Kedua, dimensi kosmis (manusia dan alam). Küng sungguh sadar, isu yang
juga mendesak untuk ditanggapi secara global dalam dimensi ini ialah isu ekologis.
Secara cermat, Küng menjabarkan dengan teliti, fakta-fakta yang mendera bumi
dan segala isinya. Dengan merunut tiap satuan waktu, every minute, every hour,
every day, every week, every month, every year, every decade, Küng
membentangkan akibat-akibat yang dihasilkan oleh sebab pola-laku manusia yang
destruktif.26
Untuk keluar dari problematika ekologis ini, Küng mendesak sebuah cara
hidup global yang tidak hanya mengunggulkan produktivitas, tetapi juga solidaritas
dengan alam-lingkungan (not just productivity, but solidarity with the
environtment). Tata dunia baru yang ramah alam-lingkungan sangat dibutuhkan,
dengan mengupayakan
“(a) A way from a separation between human beings and the rest of creation – jalan keluar
dari pemisahan antara manusia dan ciptaan, (b) a way from human domination over nature
– jalan keluar dari dominasi manusia atas seluruh alam, (c) a way from a lifestyle and
economic means of production which severely damage nature – jalan keluar dari gaya hidup
dan alat-alat produksi ekonomi yang betul merusak alam, dan (d) a way from an
individualism which violates the integrity of creation in favour of private interests – jalan
25Lih. Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, op. cit., p. 68.
Terjemahan oleh penulis sendiri.
26Ibid., p. 2.
33
keluar dari individualisme yang merusak keutuhan ciptaan demi kepentingan-kepentingan
pribadi”.27
Ketiga, dimensi sosio-politik (kaya dan miskin). Soal klasik lainnya yang
ditekankan Etika Global dalam dimensi sosio-politik ialah kesenjangan yang
menganga makin lebar antara yang kaya dan yang miskin, the have and the
havenots. Menurut Küng, realitas minor ini merupakan hasil dari dua kegagalan
dunia sebelumnya dalam menggunakan kesempatan menuju suatu tatanan global
yang lebih baik.28
Kesempatan pertama, Liga Bangsa-bangsa gagal dibentuk lantaran Perang
Dunia I pada tahun 1918 malah menghasilkan chaos bagi dunia. Kesempatan kedua,
cita-cita antarbangsa untuk bersatu juga roboh akibat Perang Dunia II pada 1945
yang justru membawa perpecahan yang kian ngeri. Kesempatan ketiga pada 1989
juga hampir terlewatkan, andaikata tidak ada kesadaran akan apa yang oleh Küng
disebut tatanan dunia ‘postmodern’. Secara politik, kesadaran ini mensyaratkan
negara yang demokratis dan secara ekonomi mensyaratkan ekonomi pasar yang
berorientasi pada kehidupan sosial dan ekologi. Komitmen dalam bidang ini juga
akan diterangkan selanjutnya dalam salah satu komitmen Etika Global. Lebih jelas,
Küng menjabarkan secara lengkap dalam bukunya, A Global Ethic for Global
Politics and Economics.29
Keempat, dimensi religius (manusia dan Yang Mahatinggi). Dimensi ini
senada dengan ciri khas Etika Global yang dibahas sebelumnya, yakni memiliki
pendasaran religius. Setiap etika mestinya memiliki keterkaitan dengan The
Ultimate Concern, atau apa pun yang disebut oleh masing-masing tradisi.
Selanjutnya, hal ini penting untuk menunjukkan implikasi moral-etisnya. Penulis
menggunakan ‘Yang Mahatinggi’ demi netralitas, karena tidak semua tradisi
menggunakan nama ‘Allah atau Tuhan’, apalagi bagi komunitas non-religius.
3.2.3.3 Poin-poin Mutlak
27Ibid., pp. 68-69. Terjemahan oleh penulis sendiri.
28Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman
(ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 244-246.
29Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, penerj. John Bowden. New
York: Oxford University Press, 1998.
33
Akhirnya, bagian terpenting berupa poin-poin mutlak yang termaktub dalam
isi Etika Global ialah apa yang tertulis sebagai komitmen-komitmen. Komitmen-
komitmen yang akan diterangkan berikut,30 merupakan imperatif yang kategoris
sifatnya.
Pertama, komitmen pada budaya tanpa kekerasan, dan hormat pada hidup.
Ajakan kunci yang terkandung dalam ajaran semua komunitas baik religius maupun
non-religius ialah “Jangan membunuh!”. Dalam bahasa yang lebih positif,
“Hargailah kehidupan!”. Nilai kehidupan menjadi fokus perhatian. Kehidupan yang
tenteram dan penuh penghargaan tanpa kekerasan menjadi ideal yang mesti
diupayakan semaksimal mungkin. Aneka konflik harus diselesaikan dengan adil,
bukan dengan jalan anarkis. Pemeluk setiap komunitas bertanggung jawab untuk
ideal ini, demi mewujudkan tatanan hidup global yang lebih baik, tidak hanya di
antara sesama manusia, tetapi juga dengan tumbuhan dan binatang. Dimensi kosmis
yang dibahas sebelumnya dipertegas lewat komitmen ini. Etika Global
menggarisbawahi, “There is no survival for humanity without global peace! – tidak
ada kelangsungan hidup bagi umat manusia tanpa perdamaian global!” [Prinsip III,
Komitmen 1, Poin b)].
Kedua, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Nilai
yang ditekankan di sini ialah perihal kepemilikan. Semua komunitas diyakini
memiliki ajakan untuk “Jangan mencuri!” atau “Bertindaklah jujur dan adil!”. Etika
Global menekankan bahwasannya, kekuatan ekonomi dan politik tidak
dimanfaatkan untuk menekan, memangsa, atau mengeksploitasi, tetapi sebaliknya
untuk service for humanity – melayani kemanusiaan. “There is no global peace
without global justice! – tidak ada perdamaian global tanpa keadilan global!”
[Prinsip III, Komitmen 2, Poin b)].
Ketiga, komitmen pada budaya toleransi dan hidup dalam kebenaran. Nilai
kunci dalam komitmen ini ialah kebenaran. “Jangan berdusta!” atau “Berkata dan
bertindaklah dengan benar dan jujur!” merupakan ajaran yang terdapat dalam
semua komunitas. Secara tegas, Etika Global menyebut komitmen ini sebagai
komitmen yang menyentuh banyak profesi, khususnya para politisi dan pebisnis,
30Bdk. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 159-161.
33
awak media massa, pekerja seni, penulis, ilmuwan, dan peneliti, pemimpin bangsa-
bangsa dan partai politik, serta perwakilan agama-agama. Etika Global
menegaskan, “There is no global justice without truthfulness and humaneness! –
tidak ada keadilan global tanpa kebenaran dan kemanusiaan!” [Prinsip III,
Komitmen 3, Poin b)].
Keempat, komitmen pada budaya kesetaraan hak dan kerja sama antara
perempuan dan laki-laki. Kesetaraan dan kerja sama menjadi nilai yang ditekankan
di sini. Semua komunitas tentu memiliki ajakan untuk “Jangan berzinah!” atau
“Hormati dan cintailah sesama!”. Etika Global berisi kesadaran betapa kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki dan kerja sama antarkeduanya yang dimulai
pertama-tama dari unit terkecil, yakni keluarga, dapat menjadi modal dalam
mengupayakan keadilan dalam skala yang lebih luas. Untuk itu, “There is no
authentic humaneness without a living together in partnership! – tidak ada
kemanusiaan autentik tanpa kehidupan bersama dalam kemitraan! [Prinsip III,
Komitmen 4, Poin b)].
3.3 KRITIK ATAS ETIKA GLOBAL HANS KÜNG
Segala hal, tepatnya proyek manusia, selalu punya sisi yang tidak lepas dari
kritik. Atau, potensial terhadap kritik. Hal demikian juga berlaku pada Etika Global
Hans Küng, yang meski popular, tetap bukanlah satu-satunya atau yang paling
utama dalam membangun sebuah tatanan hidup baru yang jauh lebih baik. Di antara
tidak sedikit kritik, bertolak dari isi Dokumen Etika Global sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, Paul Budi Kleden dengan merujuk pada Gavin D’Costa,
menguraikan poin-poin berikut.31
Pertama, Etika Global tidak koheren secara konseptual. Küng memberi
penegasan pada otonomi masing-masing tradisi religius, tetapi, dengan
merumuskan sejumlah nilai sebagai Etika Global, Küng sebetulnya sedang
membuat pemisahan atas seperangkat nilai etis yang disebut global dari konteks
tradisionalnya. Padahal, nilai konkret hanya dapat disediakan oleh narasi tradisional
31Lih. Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 89-91. Poin-poin yang diuraikan Kleden, hanya poin
pertama, kedua, dan ketiga.
33
masing-masing agama dan justru nilai konkret itulah yang menentukan bobot
sebuah norma etis. Isi konkret dari setiap prinsip moral global, terancam, oleh sebab
pemisahan tersebut.
Küng membuat rumusan yang sangat universal dan formal, dengan
mengabaikan historisitas kaidah moral. Sebagai misal, kebebasan, tentu dipahami
secara sangat variatif bahkan bertentangan dalam pelbagai tradisi. Ada yang
memahami kebebasan sebagai otonomi untuk memutuskan sendiri apa yang
dikehendaki, tidak ditentukan oleh apa dan siapa pun selain oleh diri sendiri. Yang
lain justru memahami kebebasan sebagai kesediaan dan kesanggupan mengikat diri
pada apa yang telah ditentukan serta menjadi kesepakatan dan tujuan bersama.
Atau, apabila dalam Prinsip II Etika Global, Küng menegaskan, “Every human
being must be treated humanely”, apa artinya manusiawi di sini? Tentu akan sangat
berbeda dalam masing-masing komunitas religius. Bagi tradisi Hindu, misalnya,
sistem kasta yang menempatkan manusia dalam kotak-kotak sosial, sangatlah
manusiawi. Atau, dalam tradisi Katolik yang mengecualikan perempuan dari
imamat, itu juga manusiawi.
Kedua, Etika Global tidak memiliki konsekuensi praktis. Bagi Küng,
misalnya, untuk mencegah konflik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
khusus, konsensus mengenai kerangka umum tradisi-tradisi tidak dibutuhkan.
A consensus is not necessary in respect of culturally differentiated ('thick') morality, which
necessarily contains numerous specific cultural elements (particular forms of democracy
or pedagogy). In disputed concrete questions like abortion or euthanasia, no unifying
demands should be made on other nations, cultures and religions to have the same moral
praxis. – Sebuah konsensus tidak diperlukan sehubungan dengan moralitas ‘terdiferensiasi’
secara kultural (‘tebal’), yang tidak bisa tidak mengandung pelbagai unsur budaya tertentu
(bentuk-bentuk khusus dari demokrasi atau pedagogi). Pada persoalan konkret yang sering
hangat diperdebatkan seperti aborsi atau eutanasia, tidak ada tuntutan pemersatu yang harus
dibuat di antara bangsa-bangsa, budaya dan agama berbeda untuk mendapatkan praksis
moral yang sama.32
32Lih. Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op.cit., p. 96. Terjemahan
oleh penulis sendiri. Küng mengakui, bagaimanapun, ia berbeda dari Michael Walzer yang
menggunakan moralitas ‘tipis’ (thin) dan ‘tebal’ (thick). Küng lebih suka berbicara dengan sebutan
moralitas ‘dasar’ dan ‘terdiferensiasi’. Lantaran dalam beberapa kasus, moralitas ‘tipis’ dan ‘tebal’
telah tercampur, Küng menegaskan untuk dengan jelas membedakan, moralitas ‘dasar’ berlaku
dalam pelbagai kebudayaan (misalnya, tidak boleh menyiksa anak kecil!), sedangkan moralitas
‘terdiferensiasi’, ini diserahkan ke masing-masing kebudayaan (misalnya, pemberlakuan hukuman
fisik sebagai bentuk siksaan pada anak kecil). Uraian yang lebih lengkap dapat dibaca dalam Hans
Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI,
op. cit., hlm. 161-166.
33
Pertanyaan yang patut dialamatkan di sini, apa makna sebuah perangkat etis
kalau bukan untuk menuntun tindakan? Bukankah etika bertalian dengan praksis
hidup yang lebih baik? Apa peran Etika Global bila gagal memotivasi praksis
umum yang sama? Etika Global pada gilirannya terasa mandul dan tidak berdaya
jika berbicara secara sangat global dengan ungkapan-ungkapan yang terlampau
umum.
Ketiga, Etika Global tidak membawa sesuatu yang baru dan atau
memungkinkan pembaruan. Etika Global mengumpulkan apa yang telah ada dalam
tradisi-tradisi religius. Perangkat nilai global berada dalam himpunan irisan
pertemuan antaragama. Jikalau satu nilai tidak ada dalam agama tertentu, nilai
tersebut tidak boleh dikategorikan ke dalam Etika Global. Lantas, apa yang baru
dan khas di sini? Tidak ada. Konsekuensi logisnya, agama-agama tidak perlu
membarui diri. Etika Global tidak memberi tantangan khusus bagi agama-agama,
sehingga agama-agama pun tidak memberi kontribusi lebih dari apa yang pernah
dan hingga sekarang menyata. Ini berarti, kontribusi negatif agama-agama sebagai
pemicu konflik bahkan perang, tidak berkurang, kendati telah ada Etika Global.
Bila demikian, Etika Global tidak memenuhi harapan yang dijanjikannya, yakni
membawa perdamaian, jika tidak ingin dikatakan gagal total.
Keempat, respons pesimis lainnya yang juga ditujukan pada Dokumen ini,
dapat diajukan lewat pertanyaan, apakah Etika Global itu sudah final? Tanpa
mengesampingkan penerapannya dalam konteks-konteks lokal, secara global, apa
tindak lanjut yang harus diupayakan, pasca Etika Global? Jawaban atas pertanyaan
ini menyata lewat dirumuskannya proposal baru pada 1 September 1997 yang diberi
nama A Universal Declaration of Human Responsibilities.33
Di sini, Etika Global mesti dipahami dalam dua arah penting.34 Pertama,
Etika Global muncul sebagai kritik atas penekanan yang berat sebelah pada hak dan
penyisihan makna dan fungsi tanggung jawab. Kedua, Etika Global muncul dengan
pemahaman bahwa sebuah etika yang global sifatnya, harus mencakup tanggung
jawab secara bersama dan berimbang. Etika yang sifatnya menyeluruh bagi semua
33Lih. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 172.
34Ibid., hlm. 172-172.
33
umat manusia, tidak hanya didasarkan pada hak asasi manusia saja, melainkan juga
dari tanggung jawab yang fundamental.35
Pasca Etika Global, menjadi jelas, dunia butuh tindak lanjut yang kontinu.
Etika Global sama sekali belum final. Etika Global perlu diruncingkan fungsinya
dengan mengupayakan sebuah konsensus baru, sebagai kelanjutan, mengenai
tanggung jawab bersama pada skala global. Hal ini tentu saja mesti dibuktikan juga
pengaruh dan pelaksanaannya dalam konteks-konteks lokal, lewat studi-studi dan
pengujian-pengujian yang lebih komprehensif. Secara khusus di Indonesia, Bab
selanjutnya akan melaporkannya.
3.4 ETIKA GLOBAL DAN TEOLOGI PLURALIS
Sebagai akhir dari Bab ini, Etika Global coba ditemui dalam relasinya
dengan disiplin yang lain. Hal ini penulis maksudkan agar kritik atas Etika Global
Hans Küng sebelumnya betul menunjukkan betapa Etika Global mesti didukung
dan atau didampingi oleh proyek lainnya yang sepadan.
Pluralitas dan tanggapan positif-negatif atasnya telah menjadi fakta dan
pengalaman hic et nunc yang tak dapat diingkari. Semua dimensi kehidupan
termasuk agama, tidak mampu luput dari realitas ini. Secara khusus bagi pluralitas
agama, Budi Kleden menyebut dua sikap positif sebagai tanggapan atasnya.36
Pertama, pluralitas agama menemukan refleksi teologisnya dalam paradigma yang
lazim dikenal sebagai teologi pluralis. Pluralitas agama, dalam kerangka refleksi
ini, bukan sekadar suatu pengalaman yang tidak dapat dihindari, tetapi lebih dari
itu, dialami dan dirayakan sebagai ekspresi keluasan dan kedalaman Yang Ilahi,
yang melampaui ruang dan waktu. Teologi pluralis lebih tepat disebut sebagai cara
berteologi dalam konteks yang plural, yang tidak dikembangkan secara kolektif
oleh agama-agama. Oleh karena itu, tentu tidak hanya ada satu teologi pluralis.
Setiap agama memiliki dan mengembangkan teologi pluralisnya masing-masing.
Tanggapan positif lainnya, kedua, proyek Etika Global yang dicetuskan oleh
Küng. Proyek ini memandang semua agama sebagai penyandang konsep etika yang
35Bdk. Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op.cit., p. 103.
36Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 78.
33
setara. Dari keragaman konsep etis tersebut, dirumuskan sejumlah nilai yang sama.
Atau, sebagaimana ditegaskan Küng,
“The global ethic is a basic consensus on binding values, irrevocable criteria and basic
attitudes which are affirmed by all religions despite their dogmatic differences, and which
can indeed also be contributed by non-believers. – Etika global merupakan sebuah
konsensus dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-
sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis mereka
berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum tidak beriman.”37
Etika Global dan teologi pluralis bukan alternatif.38 Teologi pluralis
memerlukan Etika Global. Diskursus teologis yang pelik dengan jargon-jargon
yang memiliki ruang pemahaman yang terbatas, sulit menemukan tanggapan yang
luas di luar konteks masyarakat agama. Pergumulan teologis memang amat
diperlukan, tetapi tidaklah cukup. Komunitas agama-agama membutuhkan
perangkat gagasan yang dirumuskan sebagai etika yang menjadi pegangan bagi
penyelenggaraan hidup pribadi maupun bersama. Oleh sebab itu, Etika Global
diperlukan sebagai pelengkap bagi teologi pluralis. Keduanya komplementer.
Hakikat yang saling melengkapi ini, diperkuat lagi dengan kenyataan betapa teologi
pluralis dan Etika Global sebetulnya lahir dari praksis dialog antaragama.39 Teologi
pluralis merefleksikan lebih lanjut apa yang dialami dan ditemukan dalam dialog.
Refleksi lanjutnya berimplikasi pada koreksi dan modifikasi atas sejumlah ajaran
yang dibangun di atas basis pandangan yang tidak berdasar pada tradisi lain. Begitu
pun dengan Etika Global, proyek yang lahir dari interaksi antaragama. Pengalaman
bersama dalam dialog tidak hanya menghasilkan perangkat norma yang sama, tetapi
juga internalisasi nilai-nilai baru yang dibutuhkan untuk menanggapi
permasalahan-permasalahan global. Kleden meringkas,
“Tanpa refleksi teologis yang transformatif, etika global bersifat statis dan dapat
disalahgunakan sebagai legitimasi status quo. Pada gilirannya, etika global berperan
sebagai missio ad extra dari teologi plural bagi masyarakat dunia.”40
3.5 KESIMPULAN
37Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op. cit., pp. 92-93. Terjemahan
oleh penulis sendiri.
38Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 95.
39Ibid., hlm. 94-95.
40Ibid., hlm. 95.
33
Richard Hughes Seager mencatat bahwa Parlemen Agama-agama Dunia
1893 menandai era modern, sedangkan Parlemen Agama-agama 1993 menandai era
post-modern.41 Parlemen pertama menjadi tonggak sejarah yang amat penting bagi
masa depan kehidupan agama-agama di dunia. Parlemen kedua merupakan puncak
perkembangan dialog antaragama dan respon serius atas perkembangan global yang
kian hari kian ambivalen. Dari sinilah, Etika Global yang diprakarasai Hans Küng,
lahir. Küng berkisah,
“Pada peringatan seratus tahun Parlemen Agama Dunia di Chicago pada permulaan
September 1993, suatu ‘Deklarasi Menuju Etika Global’ telah dikemukakan di mana saya
mendapat kehormatan dan bekerja keras menyusunnya; deklarasi yang saya susun diterima
oleh sebagian besar delegasi dan akhirnya diumumkan secara resmi.”42
Sebagaimana dokumen-dokumen pada umumnya, Etika Global Küng juga
memiliki struktur, ciri khas, isi, dan prinsip-prinsip utama yang menekankan poin-
poin penting tertentu. Ringkasnya, tidak ada kelangsungan hidup bagi umat
manusia tanpa perdamaian global, tidak ada perdamaian global tanpa keadilan
global, tidak ada keadilan global tanpa kebenaran dan kemanusiaan, tidak ada
kemanusiaan autentik tanpa kehidupan bersama dalam kemitraan. Kendati
demikian, Etika Global juga tidak luput dari kritik, yang dalam lain perkataan
hendak menunjukkan betapa segala bentuk proyek manusia selalu memiliki sisi
untuk diberi catatan. Pada titik ini, Etika Global perlu didampingi dengan proyek
lain, di antaranya, teologi pluralis.
Akhirnya, untuk menghindari kesalahpahaman, Küng mengulangi dengan
tegas, “A global ethic does not mean a new global ideology, far less a uniform
world religion beyond all existing religions; least of all does it mean the domination
of one religion over all others.”43 Etika Global bukanlah sebuah ideologi global
yang baru, bukan sebuah agama dunia yang seragam di luar agama-agama yang
ada, bukanlah dominasi suatu agama atas agama-agama lain. Etika Global
merupakan sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai yang mengikat (binding
41Lih. Richard Hughes Seager, “The Two Parliaments, the 1893 Original and the Centennial of
1993: A Historian’s View”, dalam Wayne Teasdale & George Cairns (peny.), op. cit., pp. 24-25.
42Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman
(ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 262.
43Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op. cit., p. 105.
33
values), kriteria yang tidak terbatalkan (irrevocable criteria), dan sikap pribadi
yang mendasar (personal basic attitudes). Dengan demikian, tidak ada komunitas
yang segera atau lambat-laun terancam oleh anarki atau diktator yang baru.
63
BAB IV
SUMBANGAN ETIKA GLOBAL HANS KÜNG
BAGI TERWUJUDNYA PERDAMAIAN
DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA
4.1 ELEMEN PENTING DALAM ETIKA GLOBAL
Sumbangan Etika Global dapat dengan lebih mudah diketahui, salah
satunya, lewat terlebih dahulu menemukan elemen apa yang berkaitan erat
dengannya. Tanpa bermaksud mengesampingkan apalagi menganggap sepi
komunitas-komunitas non-religius lainnya, elemen penting dimaksud ialah agama.
Mengapa agama? Bab sebelumnya telah melaporkan secara cukup detail, peran
agama dalam melahirkan Etika Global dan tanggung jawabnya mewujudkan apa
yang menjadi harapan sebagaimana tersurat dalam dokumen yang diprakarsai Hans
Küng tersebut. Agama memainkan peran yang amat urgen, kendati berwajah ganda.
Bagian ini secara ringkas dan khusus kembzali membahas agama, meski telah ada
pelbagai sumber dan atau tokoh yang membicarakannya.
4.1.1 Agama Menurut Hans Küng
Sebagaimana seni, agama atau religion sangat sulit didefinisikan. Satu topik
yang sama, kadang menimbulkan beragam gagasan tentangnya. Dengan meminjam
jawaban Agustinus ketika ditanya “Apa itu waktu?”, Küng menerangkan,
“Sebelumnya saya tahu apa itu agama namun tidak ketika Anda meminta saya
63
menjelaskannya”.1 Term ‘agama’ cukup problematis, juga telah diperdebatkan
secara kritis-masif oleh para sarjana agama dan teolog. Oleh alasan ini, Küng lebih
suka mendekati ‘agama’ melalui analogi, lantaran agama memiliki kesamaan pun
juga perbedaan, dan dari seluruh perbedaan, sebagian kesamaan masih dapat
diamati.
Agama selalu berkaitan dengan pengalaman “bertemu dengan Yang Suci” (R. Otto, F.
Heiler, M. Eliad, G. Mensching). “Realitas Sakral” ini dapat dipahami baik sebagai
kekuatan, energi (roh, setan, malaikat), sebagai Tuhan (personal), sebagai Tuhan
(impersonal), atau pun realitas tertinggi (nirvana). Dengan demikian, untuk tujuan dialog,
“agama” dapat dimaknai sebagai hubungan sosial dan individu yang disadari secara vital
dalam tradisi dan komunitas (melalui doktrin, etos, dan ritual), dengan sesuatu yang
transenden dan meliputi manusia dan dunianya, dengan sesuatu yang selalu dipahami
sebagai realitas yang benar dan telah final (Sang Absolut, Tuhan, Nirvana). Berbeda
dengan filsafat, agama secara langsung dihubungkan dengan sebuah pesan keselamatan
dan jalan keselamatan.2
Agama lebih dari sekadar persoalan teoretis belaka. Agama bukan soal masa
lalu semata-mata yang kembali digali sebagaimana dimaksudkan dalam pelbagai
studi ilmiah tentang agama. Agama tidak sesempit artian ini. Küng menegaskan,
Agama merupakan sebuah lived life atau kehidupan yang dijalani, tergurat dalam hati laki-
laki dan perempuan, sehingga bagi seluruh orang-orang religius, agama merupakan sesuatu
yang kontemporer, berdenyut melalui setiap nadi eksistensi mereka sehari-hari. Agama
dapat pula dimaknai secara tradisional, superfisial dan pasif, atau sebaliknya dinamis.
Agama adalah cara percaya, pendekatan terhadap hidup, dan sebuah cara hidup. Oleh
karena itu, agama merupakan suatu pola dasar yang merangkul individu dan masyarakat
atau manusia dan dunia sekaligus. Melalui pola dasar inilah, setiap individu (meskipun
tidak seutuhnya sadar) melihat dan mengalami, berpikir dan merasakan, bertindak dan
menderita, segala sesuatu. Agama adalah sebuah sistem koordinat yang tertanam kuat
secara transenden dan bekerja secara imanen. Dengan inilah manusia memaknai dirinya
secara intelektual, emosional dan eksistensial. Agama dengan demikian menyediakan
sebuah makna menyeluruh terhadap kehidupan, menjamin nilai-nilai mulia dan norma-
norma tanpa syarat, menciptakan sebuah komunitas dan pesanggrahan spiritual.3
1Lih. Hans Küng, “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam
(ed.), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, penerj. Mega Hidayat, dkk (Yogyakarta:
Program Studi Agama dan Lintas Budaya [CRCS] Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada,
2010), hlm. 13. Artikel ini diterjemahkan dari Pengantar buku Küng, Hans Küng. Christianity and
World Religions. New York: Orbis Books, 2002.
2Ibid., hlm. 13-14.
3Ibid., hlm. 14. Pesanggarahan yang dimaksudkan dalam terjemahan ini ialah rumah
peristirahatan atau penginapan, biasanya milik pemerintah.
63
4.1.2 Wajah Ganda Agama
Pengertian agama model inilah yang kemudian memotivasi Küng
menempatkan agama itu sendiri sebagai elemen penting dalam Dokumen Etika
Global yang digagasnya, sambil tetap melibatkan kaum non-religius. Lebih lanjut,
Küng juga sadar, wajah agama tidak melulu satu dan sama. Pertanyaan yang dapat
diajukan di sini, dapatkah agama-agama memberikan kontribusi yang besar bagi
dunia?
4.1.2.1 Agama Berwajah Destruktif
Agama-agama, tidak dapat dimungkiri, telah dan masih memberi
sumbangan yang sedemikian besar dalam artian negatif. Begitu banyak perjuangan,
konflik berdarah, bahkan perang antaragama diprovokasi oleh alasan agama. Begitu
banyak pertikaian ekonomi, politik, dan militer yang dimulai, diwarnai, diinspirasi,
dan dilegitimasi oleh agama. Agama, pada titik ini, berwajah destruktif.
Salah satu kasus besar yang Küng pakai untuk memperlihatkan wajah
agama model ini ialah kasus Lebanon, 1975-1990.4 Pada masa itu, pra-1975,
Lebanon masih dipadang sebagai ‘Swiss Timur Dekat’, sebuah pulau yang penuh
kedamaian di tengah kawasan-kawasan dan agama-agama yang berperang dengan
dahsyat. Namun, informasi yang tiba-tiba beredar menyebutkan bahwa di Lebanon,
situasi kian memanas. Keseimbangan politis antara umat Kristiani dan Muslim
berubah, tidak stabil. Kekuatan Kristen terancam oleh melejitnya populasi Muslim
dan konstitusi di Lebanon kala itu tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu
yang lama. Pertikaian akhirnya tidak terhindarkan.
Pembunuhan massal dan perang yang amat fanatik, berdarah, dan tidak
kenal ampun, yang berlandaskan alasan-alasan keagamaan, tidak hanya terjadi di
Lebanon, antara Kristen Maronite, Muslim Sunni dan Syi’ah, antara Syria,
Palestina, Druse, dan Israel. Pertikaian dengan motif yang sama juga pecah antara
4Bdk. Hans Küng, “Tak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Agama-agama”, dalam
Najiyah Martiam (ed.), op. cit., hlm. 20-21. Artikel ini diterjemahkan dari buku Global
Responsibility. In Search of a New World Ethic, pp. 71-75 oleh Mega Hidayat, dkk. Informasi lebih
lanjut dapat ditemukan dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Saudara_Lebanon.
63
Iran dan Irak, antara orang India dan Pakistan, orang Hindu dan Sikh, antara
penganut Buddha Singhales dan Hindu Tamil, juga antara Bikku Buddha dan rezim
Katolik di Vietnam, antara penganut Katolik dan Protestan di Irlandia Utara. Apa
logika di balik semuanya ini? Küng menjawab,
Jika Tuhan sendiri ‘bersama kita’, bersama agama, pengakuan, dan negara kita, serta berada
di pihak kita, maka apapun diperbolehkan dalam melawan pihak lain, yang di dalam kasus
ini secara logika pastilah pihak yang jahat. Bahkan, dalam kasus ini, kekerasan,
pembakaran, pengrusakan, dan pembunuhan yang tak terkendali diizinkan atas nama
Tuhan.5
Agama yang berwajah destruktif ini, Küng sebut sebagai ‘agama-agama saat
perang’.
4.1.2.2 Agama Berwajah Konstruktif
Dalam pengertian positif, agama dapat memberikan kontribusi yang besar
bagi pembangunan, dan sejarah telah mencatatnya. Agama mampu hadir dan
dengan gigih mengupayakan terciptanya ketenteraman, keadilan sosial, budaya
non-kekerasan, dan saling cinta antarindividu, kelompok-kelompok keagamaan
tertentu, hingga komunitas-komunitas religius dalam skala yang lebih besar. Agama
dapat mempropaganda dan mengaktifkan sikap dasar seperti kesediaan untuk
mewujudkan perdamaian, penolakan terhadap diskriminasi, dan toleransi.
Jika kasus Lebanon diangkat untuk mempresentasikan wajah destruktif,
Jerman, Prancis, dan Polandia menjadi anti-tesis yang sebaliknya menampilkan
wajah yang konstruktif. Küng mencatat dua contoh dalam politik, sebagai berikut.
1. Selama berabad-abad, Perancis dan Jerman dipandang sebagai musuh utama. Pada abad
kesembilan belas dan keduapuluh. Perancis dan Jerman melancarkan tiga perang besar
dalam semangat nasionalistik, dua di antaranya berkembang menjadi perang dunia. Dunia
berhutang fakta bahwa setelah Perang Dunia II kebencian masa lalu tidak bangkit kembali,
dan politik balas dendam tidak lagi mendominasi para laki-laki seperti Charles de Gaulle,
Konrad Adenauer, Maurice Schuman, Jean Monnet, dan Alice de Gasperi. Sebagai
politikus handal, pada awalnya mereka tidak berpikir dalam terma birokratis dan
teknokratis sepanjang perbatasan Brussels, tetapi karena pengalaman mereka yang penuh
ketakutan, mereka mencari visi dengan fondasi etika dan agama (benar-benar secara
realistis dalam term politik). Hal tersebut mengakhiri perang di antara negara-negara Eropa
saat ini dan untuk selamanya. Eropa yang bersatu dalam fondasi Barat, Kristen, terjalin
bersama secara ekonomi dan politik dalam pertahanan merupakan jaminan terbaik bahwa
di masa yang akan datang negara-negara tersebut akan hidup bersama dalam perdamaian.
5Ibid., hlm. 22.
63
Setelah begitu banyak kekejaman anti Kristen, dan untuk memperjelas bahwa rekonsiliasi
Perancis dan Jerman datang dari semangat Kristen, de Gaulle dan Adenauer menyegel
rekonsiliasi ini sebelum semua orang berkumpul di katedral Rheims, tempat di mana raja-
raja Perancis dinobatkan.
2. Setelah Perang Dunia II, medan tempur ideologi antara Republik Federal Jerman dan
negara-negara Pakta Warsawa distabilkan secara penuh. Bagaimana – setelah kekejaman
terhadap orang Jerman yang tak terduga di Timur dan pengusiran jutaan orang Jerman dari
rumah nenek moyangnya – mereka dapat saling memaafkan? Pada akhir tahun 1950an,
Julius Dopfner, saat itu menjabat sebagai Uskup Berlin dan kemudian menjabat sebagai
Kardinal Munich, mengambil langkah awal terhadap rekonsiliasi melalui permohonan yang
tegas. Tetapi dia dengan cepat dibungkam oleh badai kemarahan. Di tahun 1965, Gereja
Evangelis di Jerman memberanikan diri melakukan usaha baru. Melalui memorandum yang
dapat dipertahankan secara teologis dan imbang secara politik, gereja ini mempersiapkan
rekonsiliasi antara orang-orang Jerman di satu pihak dan orang-orang Polandia, Ceko, dan
Rusia di lain pihak. Hal ini tidak hanya memungkinkan kebajikan perjanjian dengan Timur
di tahun-tahun berikutnya, tetapi – jika dilihat secara kritis dan detail – hal ini juga
membuktikan dasar toleransi bagi normalisasi politis sementara hingga revolusi besar
akhirnya datang pada tahun 1989.”6
Contoh-contoh yang mempresentasikan kontribusi positif agama masih
dapat ditambahkan. Pada 1960an, lahir Gerakan Hak-hak Sipil di Amerika Serikat
yang dimulai oleh seorang pastor kulit hitam, Martin Luther King, didukung oleh
banyak pastor, pendeta, dan biarawati. Pada 1980an dan 1990an, juga muncul
gerakan perdamaian yang dikepalai oleh orang-orang dengan motivasi keagamaan
– terutama umat Kristen dan Buddha – dari Amerika Serikat ke Jepang, dari Irlandia
Utara dan Eropa Timur hingga ke Afrika Selatan. Wajah lain agama, yang
konstruktif ini, Küng sebut sebagai ‘agama-agama saat damai’.
4.2 SUMBANGAN ETIKA GLOBAL
Guna memudahkan ditemukannya peran dan tanggung jawab agama sebagai
elemen penting dalam Etika Global – tentu saja dalam kapasitasnya sebagai yang
berwajah konstruktif –, pengandaian dasar Etika Global perlu ditegaskan sekali
lagi. “No survival without a world ethic. No world peace without peace between
the religions. No peace between the religions without dialogue between the
religions. – Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa sebuah etika bersama.
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada
6Ibid., hlm. 23-24.
63
perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama tersebut.”7
Slogan persuasif Küng ini kiranya dengan benderang membentangkan betapa
agama memainkan peran yang amat signifikan. Agama bertanggung jawab
mewujudkan perdamaian. Dari perdamaian global yang terwujud, niscaya sebuah
tatanan dunia baru dapat tercapai.
4.2.1 Agama-agama Dunia dan Perdamaian Dunia
Pertanyaan mendasar yang Küng ajukan, haruskah agama-agama terlibat
jauh dalam konflik dan perselisihan? Tugas agama-agama haruslah menciptakan
perdamaian – karena perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri
utama ajaran mereka – di antara mereka sendiri, agar dapat, dengan segala alat yang
disediakan oleh media, “(a) Menghilangkan kesalahpahaman, (b) bekerja melalui
kenangan yang menyakitkan, (c) memecahkan gambaran-gambaran buruk yang
umum tentang musuh, (d) memilah-milahkan konflik dari kesalahan yang bersifat
individu dan bersifat sosial, (e) menghilangkan kerusakan, dan (f) memikirkan apa
yang mereka miliki bersama. Apakah para penganut dari berbagai agama itu sadar
akan etos yang mereka miliki bersama, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan
‘dogmatik’ yang besar?”8
“All the religions of the world today have to recognize their share in responsibility for
world peace. And therefore one cannot repeat often enough the thesis for which I have
found growing acceptance all over the world: there can be no peace among the nations
without peace among the religions. In short, there can be no world peace without religious
peace. - Dewasa ini, semua agama dunia harus menyadari tanggung jawab mereka untuk
perdamaian dunia. Dan oleh karena itu, seseorang harus selalu mengulang tesis yang
untuknya saya telah menemukan bertambahnya penerimaan di seluruh dunia: tidak ada
perdamaian di antar bangsa-bangsa tanpa perdamaian di antara agama-agama. Ringkasnya,
tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama.”9
Sikap tegas Küng ini dapat langsung dipakai untuk menjawabi pertanyaan,
apa yang harus agama lakukan untuk mengatasi konflik regional, nasional, dan
7Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,
1991), p. xv. Terjemahan oleh penulis sendiri.
8Lih. Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer
Zaman (ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 256-257.
9Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, op. cit., pp. 75-76.
Terjemahan oleh penulis sendiri.
63
internasional? Kendati mengalami aneka kegagalan, agama dapat memberikan
kontribusi yang menentukan bagi perdamaian. Hal ini dimungkinkan apabila
agama-agama menyadari dan menggunakan semua potensi dalam dirinya demi
perdamaian. Dalam diri setiap agama, bersemayam motivasi fundamental untuk
membantu mewujudkan perdamaian batin personal sekaligus mengatasi
pelanggaran dan kekerasan yang rawan timbul dalam masyarakat. Maka, tandas
Küng, “They could blunt hostile conflicts and help to avoid or shorten wars.”10
Mereka – agama-agama – dapat meredakan konflik bermusuhan dan dapat
membantu menghindari atau mempersingkat perang.
Optimisme lainnya, yang dibangun di atas pandangan yang pesimistik,
sebagaimana dicatat oleh Syafaatun Almirzanah, dapat disebutkan untuk
mempertegas peran dan tanggung jawab agama. “Teori-teori yang pernah popular
mengenai kemajuan global dan sekularisasi umumnya menganggap bahwa
modernisasi akan menyingkirkan peran penting agama di ranah publik. Bahkan
sekarang, ketika kita mencoba menakar nilai agama terhadap dimensi lain
kehidupan masyarakat, kita seringkali melakukannya dengan asumsi bahwa agama
tidak menyumbang apapun baik dalam bentuk gagasan maupun pengalaman, untuk
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme yang dianggap sebagai kriteria baku
masyarakat modern demokratis. Gelombang aktivisme politik Islam yang
melampaui ambang batas pertama sejarah yang tampak dalam revolusi Iran di tahun
1979 menunjukkan kekeliruan prediksi-prediksi itu, yang dari situ membuka pintu
bagi Bernard Lewis dan Samuel Huntington untuk memperkenalkan kembali agama
sebagai kategori yang relevan untuk memahami geopolitik pasca perang dingin,
dalam tesis mereka, ‘benturan antarperadaban’.”11
Almirzanah menyimpulkan,
Oleh karenanya, asumsi bahwa kita hidup di dunia yang sekuler adalah asumsi yang keliru.
Dunia sekarang ini benar-benar sereligius sebelumnya, dan dibeberapa [!] tempat bahkan
lebih religius dari sebelumnya. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada hari ini dan
10Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, penerj. John Bowden (New
York: Oxford University Press, 1998), p. 148.
11Syafaatun Almirzanah, “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap Dialog”, dalam Najiyah
Martiam (ed.), op. cit., hlm. 48-49.
63
era ini agama merupakan salah satu kekuatan terbesar dan daya yang menyebar diatas [!]
bumi.12
Sekali lagi, agama-agama bertanggung jawab mewujudkan perdamaian,
dengan kembali menyadari motivasi paling fundamental dari panggilan mereka.
Para penganut masing-masing agama bertugas menghidupi spirit yang menjiwai
panggilan tersebut. Hanya dengan cara ini, agama dapat memberikan kontribusi
untuk memecahkan aneka persoalan (problem solver), bukan sebaliknya, menjadi
bagian apalagi penyebab utama dari persoalan (part of the problem).
4.2.2 Etika Bersama bagi Tatanan Dunia Baru
Akhirnya, sumbangan Etika Global memuncak pada lahirnya sebuah
tatanan dunia baru. Etika Global lewat prinsip-prinsip dan poin-poin mutlaknya,
dimaksudkan agar sebuah kehidupan yang lebih baik dapat tercipta. Untuk itu, perlu
digarisbawahi terus-menerus, tidak ada tatanan dunia baru tanpa etika bersama.
Küng menjabarkan sumbangan Etika Global dalam dua nada.13 Pertama-
tama, suatu pernyataan bernada negatif. Suatu tatanan dunia baru yang lebih baik
tidak akan didasarkan pada: (a) semata-mata serangan diplomatik, yang sangat
sering ditujukan pada pemerintah, bukan pada rakyat, dan sangat sering tidak
menjamin perdamaian dan stabilitas wilayah; (b) semata-mata bantuan
kemanusiaan, yang tidak bisa menggantikan tindakan politik; (c) intervensi militer,
yang lebih berakibat negatif daripada positif; dan (d) semata-mata ‘hukum
internasional’, selama dipegang negara-negara yang memiliki kekuasaan tidak
terbatas dan lebih difokuskan pada hak-hak negara daripada hak-hak rakyat dan
individu (HAM).
Kemudian, suatu pernyataan bernada positif. Suatu tatanan dunia baru
hanya dapat dihasilkan dengan dasar: (a) visi, harapan, nilai, tujuan, dan kriteria
yang lebih umum; (b) tanggung jawab dunia yang besar pada sebagian rakyat dan
pemimpin mereka; dan (c) etika baru yang mengikat dan menyatukan semua
12Ibid., hlm. 49. Beberapa kesalahan pengetikan kata dalam kutipan ini, tidak penulis perbaiki.
13Bdk. Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer
Zaman (ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 246-247.
63
manusia, termasuk negara dan mereka yang berkuasa, yang mencakup kebudayaan
dan agama.
Demi melindungi masa depan bumi dan kehidupan, Etika Global meminta
agama-agama memberikan kontribusi yang besar. Kapankah permintaan ini
menjadi lebih mendesak daripada sekarang? Küng menegaskan,
Dalam berbagai peristiwa, ‘etika dunia’ bukanlah suatu slogan yang bersuasana molek,
suatu kemewahan yang membangkitkan perhatian akademik atau memberikan orang suatu
profil yang baik sebagai pembicara resmi. Etika dunia muncul dari pengalaman pahit masa
lalu, krisis berdarah kemarin, di mana agama-agama sering memainkan peran yang penting.
Tetapi krisis tidak hanya menimbulkan bahaya tetapi juga kesempatan.14
Sekali lagi, tidak ada tatanan dunia baru tanpa Etika Global. Tidak ada
tatanan dunia baru dan kehidupan yang lebih harmonis tanpa sebuah konsensus
dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-
sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis
mereka berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum
tidak beriman.
4.3 RELEVANSI ETIKA GLOBAL BAGI INDONESIA
Pada intinya, pokok ini dimaksudkan untuk menjawabi sejumlah kritik yang
diajukan pada Etika Global sebagaimana ditampilkan dalam Bab sebelumnya.
Apakah Etika Global sudah final? Dalam konteks lokal, khususnya Indonesia,
sejauh mana Etika Global berperan? Apakah perlu tindak lanjut sesuai konteks
Indonesia, mengingat sifat Dokumen ini yang terlampau global?
4.3.1 Kunjungan Hans Küng ke Indonesia
Bagian ini perlu disertakan lantaran hemat penulis, ini fakta sejarah yang
unik dan tidak biasa. Küng, dapat dikatakan, merupakan satu dari hanya segelintir
tokoh dunia yang berpengaruh, yang pernah secara langsung mengunjungi
Indonesia. Küng datang dengan semangat akademik yang tetap tinggi, sekaligus
mempromosikan apa yang telah bertahun-tahun ia tekuni.
14Ibid., hlm. 248.
63
Pada 2010, Küng memberi kuliah umum bertajuk “Finding New Paths to
Dialogue” bertempat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kuliah umum ini
merupakan yang pertama dari serangkaian kuliah umum yang diselenggarakan oleh
Center for Religious and Cross-cultural Studies – CRCS, UGM, sebagai salah satu
bagian dari kegiatan Pluralism Knowledge Programme. Ada dua bentuk
dokumentasi dari kunjungan bersejarah ini. Pertama, buku “Jalan Dialog Hans
Küng dan Perspektif Muslim”15 dengan editornya, Najiyah Martiam, diterbitkan
sebagai panduan untuk kuliah umum yang Küng bawakan. Kedua, video “hans
kung, indonesia and interfaith dialogue – part 1 dan 2”, yang dapat secara luas dan
bebas diunggah. Dua bentuk dokumentasi ini sekaligus menjadi kenangan ulang
tahun yang ke-10 CRCS, pada tahun yang sama, 2010.
Dalam kapasitasnya sebagai penggagas Etika Global sekaligus tokoh yang
paling sungguh-sungguh mengampanyekan pentingnya sebuah etika bersama
menuju tatanan dunia baru yang lebih baik, pernyataan Küng berikut mesti disimak.
Well, diversity is a fact and we have to acknowledge diversity. But besides diversity you
have on your own coat of arms in Indonesia the saying ‘Unity in Diversity’, because if we
have only diversity we have the splintering of the whole diversity. I think we need to have
a harmonious society not a uniform society, but a harmonious society in diversity.16
Küng mengingatkan betapa keanekaragaman merupakan ciri dan fakta
Indonesia yang harus diakui. Kendati begitu, Indonesia telah memiliki dan berdiri
di atas spirit yang terkenal, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ – berbeda-beda tetapi tetap
satu. Küng mengusulkan sebuah masyarakat yang harmonis, bukan masyarakat
yang seragam. Harmonis dalam keanekaragaman.
Poin lain yang perlu dicatat dari kunjungan ini ialah perhatian Küng pada
relasi antaragama, pentingnya dialog sebagai modus perjumpaan antaragama,
maupun pemosisian agama dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, dan politik,
amat dekat dan sejalan dengan perhatian CRCS. Küng datang bukan tanpa
15Versi pdf buku ini dapat diunggah secara gratis dalam
https://ahmadsamantho.files.wordpress.com/2010/07/buku-hans-kung-crcs-terjemahan-
indonesia.pdf.
16Pernyataan Hans Küng sebagai pembuka dalam video “hans kung, indonesia and interfaith
dialogue – part 1”, dalam (https://www.youtube.com/watch?v=0uSTmT1muTQ, diakses pada 5
Desember 2016).
63
persiapan. Küng sudah terlebih dahulu memperkaya diri dengan membaca banyak
hal, hingga ke simpul-simpul kunci yang membentuk Indonesia menjadi sebuah
bangsa yang pluralis. Küng juga datang dengan membawa sejumlah ajakan menuju
tatanan kehidupan yang lebih baik.
4.3.2 Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia
Bagian ini dimaksudkan untuk mempresentasikan betapa Etika Global akan
tinggal tetap sebagai sebuah gagasan yang terlampau umum, jika tidak
diterjemahkan ke dalam konteks-konteks lokal yang jamak. Terlepas dari apakah
Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia merupakan respons atas Etika
Global atau malah lahir sebelum Etika Global, terselenggaranya Kongres ini dengan
Deklarasi yang dihasilkannya merupakan sebuah upaya yang tepat, sebagai
pendamping yang baik bagi Etika Global.
... agama di satu pihak, menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan
perdamaian, tetapi di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasi
perpecahan bahkan kekerasan.17
Inilah kesadaran paling hakiki yang memotivasi terselenggaranya Kongres
Nasional I Agama-agama di Indonesia yang diadakan di Yogyakarta, 11-12
Oktober 1993, jauh sebelum Küng datang ke Indonesia. Seluruh peserta kongres
mengakui bahwa kehadiran agama-agama di Indonesia merupakan rahmat Ilahi
yang patut disyukuri. Kesadaran ini pun senada dengan kesadaran yang melatari
lahirnya Etika Global. Artinya, Etika Global yang umum itu, telah menemukan
tindak lanjutnya yang lebih khusus.
Kongres ini menekankan pula peran kritis dan profetis kaum ilmuwan, yang
dinilai sangat penting untuk menjernihkan dan mengupayakan pemecahan masalah-
masalah kehidupan bersama. Oleh karena itu, para ilmuwan agama terpanggil untuk
membangun dialog dan kerja sama keilmuan dalam rangka merealisasikan
tanggung jawab bersama tersebut. Di sini, peran CRCS – salah satunya – menjadi
17Paragraf pertama dalam “Deklarasi Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia”.
Keseluruhan Deklarasi ini penulis lampirkan pada bagian Lampiran, Lampiran 2, yang penulis salin
dari Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama. Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan
Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 212-213.
63
kentara. Wajah dan laju naik-turun agama-agama di Indonesia telah menjadi
perhatian mereka.18 Laporan yang dikerjakan CRCS ini pun masih senada dengan
Küng, yakni menampilkan wajah ganda agama-agama di Indonesia, sebagaimana
tersurat dalam Deklarasi Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia.
4.3.3 Dialog sebagai Kunci
Etika Global yang ditawarkan Küng bicara apa bagi Indonesia yang kian
kental dengan fakta pluralitas inter-dimensional, secara khusus pada kenyataan
bahwa agama-agama di Indonesia juga berwajah ganda? Kata kunci yang dapat
dengan mudah diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia hic et nunc ialah dialog.
Perdamaian dunia mengandaikan perdamaian di antara agama-agama. Perdamaian
di antara agama-agama, hanya akan mungkin melalui dialog. Dialog menjadi
penting dan mendesak, serentak sebagai media ampuh untuk mempertemukan
aneka agama dan komunitas non-religius lainnya. Di sini, Küng menekankan
pentingnya konsensus.
Sebuah konsensus, tekan Küng, seharusnya dilakukan antara wakil-wakil
dari pelbagai agama. Dialog yang diperlukan ialah dialog yang memberi dan
menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing
agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Dengan ini, dialog yang ditawarkan
Küng mestilah sebuah dialog yang kritis, mana kala semua agama ditantang untuk
tidak hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi menyampaikan pesan terdalam
mereka dengan baik dan tepat. Ringkasnya, dialog yang dibutuhkan ialah dialog
dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa tidak satu pun agama
memiliki kebenaran ‘yang telah tercipta’, tetapi semua menuju pada kebenaran
‘yang lebih mulia’.19
Dialog kritis yang ditawarkan Küng ini pun tidak luput dari kritik. Zainal
Abidin Bagir mencatat,
18Baca selengkapnya dalam Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia” 2008, 2011, dan 2012”. Penulis memilih CRCS dari sekian banyak lembaga atau
kelompok yang bertekun dalam studi-studi keagamaan, agar pembahasan pada Bab ini memiliki
kesinambungannya.
19Lih. Hans Küng, “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam
(ed.), op. cit., hlm. 17.
63
Nasr sendiri, seorang filosof Muslim kontemporer, pernah secara khusus menulis
‘Response to Hans Küng on Christian-Muslim Dialogue’, di jurnal The Muslim World
(2007) dan juga ‘Reflection upon the Theological Modernism of Hans Küng’ dalam
bukunya The Need for Sacred Science. Di sana Nasr mengkritik Küng cukup keras sebagai
wakil apa yang disebutnya modernisme teologis, yang dipandangnya sebagai penyusup
kecenderungan sekularisasi ke jantung teologi Kristen. Ia juga mengritik Küng yang
dianggapnya tak sepenuhnya tepat membaca Islam.20
Sebaliknya, apresiasi yang patut dialamatkan kepada Küng ialah
keberaniannya membuka ruang dialog yang masuk amat dalam ke jantung agama-
agama non-Kristen. Sebab bagi Küng, ”No religious dialogue without research into
basis”.21 Tidak ada dialog antaragama tanpa pengkajian hingga ke dasar-dasarnya,
tanpa menyelam hingga ke fondasi-fondasi setiap agama, dengan segala
konsekuensinya.
4.3.4 Dialog Interreligius di Indonesia dan Tawaran Hans Küng
Dialog interreligius membutuhkan suasana kebebasan dan saling menghormati
keanekaragaman. Dialog interreligius juga mengatasi sekat-sekat formal ketentuan hukum
dan undang-undang yang kerap kali justru membatasi dan merepresi eksistensi dan
dinamisme agama. Dialog interreligius juga mencegah aneka macam cetusan perilaku dan
kebijakan undang-undang yang diskriminatif.22
Dialog interreligius, dengan idealnya sebagaimana ditegaskan Armada
Riyanto di atas, bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia, meskipun secara
konseptual baru mulai dipikirkan sekitar tahun 1960-an dan menjadi santer pada
dekade tujuh puluhan. Ini berarti, ide dan praksis dialog antaragama jauh lebih
dahulu dibandingkan Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia yang baru
terselenggara pada 1993. Selain diadakannya aneka pertemuan kerukunan agama,
pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama (Depag) juga menerbitkan
pedoman-pedoman yang secara sistematis bermaksud menata kehidupan
masyarakat beragama di Indonesia. Pada 1979, untuk pertama kalinya Proyek
Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama Republik Indonesia
20Zainal Abidin Bagir, “Kebangkitan Agama dan Dialog”, dalam Najiyah Martiam (ed.), op.
cit., hlm. 8-9. Nasr yang dimaksudkan oleh Bagir ialah Seyyed Hossein Nasr. Artikel lain tentang
Nars dan Küng dapat dibaca dalam Gerardette Philips, “Nasr dan Küng: Jalan Perdamaian Melalui
Iman dan Akal”, dalam ibid., hlm. 58-66.
21Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, op. cit., pp. 107-111.
22E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah
(Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 373-374.
63
menerbitkan Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Kemudian pada
1982/1983, buku yang sama diterbitkan kembali dengan pembaruan-pembaruan.
Secara sistematis, diterbitkan pula pedoman-pedoman bimbingan dan pembinaan
kehidupan beragama, di antarnya Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama
(1982) dan Kehidupan Beragama dalam Negara Pancasila (1982).23
Tanpa bermaksud membatasi perkembangan lebih lanjut dan memadai24
setelah 1982 hingga kini, dalam bingkai dialog yang ditawarkan Küng, apa saja
tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam dialog interreligiusnya?
Pertama, soal tantangan. Indonesia merupakan Negara dengan tingkat
konflik antaragama yang cukup tinggi. Beberapa kasus besar di masa lampau dapat
disebutkan, konflik di Situbondo (1996), konflik di Poso – Ambon (1999), konflik
antargolongan agama – Ahmadiyah dan Syiah (2000-an), konflik di Tolikara –
Papua (Juli 2015), hingga belakangan ini konflik antarideologi – Front Pembela
Islam (FPI) dan Muhammadiyah, FPI dan non-Muslim, serta masih banyak
lainnya.25 Konflik-konflik ini hendak menunjukkan betapa dialog – meski
diupayakan terus-menerus – selalu dihadapkan pada tantangan atau kemungkinan
untuk gagal. Dialog kritis yang ditawarkan Küng tentu juga tidaklah mudah
terlaksana. Beberapa alasan dapat diuraikan.26
(a) Etika Global yang digagas Küng relatif lebih mudah diterima oleh kaum
rasionalis atau di Negara-negara sekular. Pada titik ini, Indonesia tentu belum
sekular, agama masih sering ambil peran di ruang-ruang publik. Etika Global,
kendati dirumuskan ke dalam bahasa yang mudah dipahami, tetap tidak akan
menjangkau lapisan-lapisan yang paling rendah dalam sebuah masyarakat atau
pemeluk agama tertentu. Inilah alasan mengapa perlu ada tindak lanjut di tingkat-
tingkat lokal, agar Etika Global menjadi riil. Khususnya dalam dialog, Küng sendiri
23Ibid., hlm. 374-375.
24Baca selengkapnya dalam ibid., hlm. 376-480, juga pelbagai peraturan lainnya.
25Contoh-contoh lainnya dapat disimak dalam CRCS, “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama
di Indonesia” 2008, 2011, dan 2012”. Masalah-masalah seputar rumah ibadah dan pelarangan
pendiriannya serta diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang di
sejumlah wilayah di Indonesia menjadi yang paling banyak dihimpun dalam laporan ini.
26Bagian ini penulis olah sedemikian rupa dari hasil diskusi penulis bersama Dr. Georg
Kirchberger.
63
menyebutkan bahwa konsensus hanya melibatkan wakil-wakil dari pelbagai agama.
Dialog model ini tentu amatlah sempit, dan baru dapat berdaya guna bila
diterjemahkan dengan baik dan sederhana oleh kaum-kaum yang telah lama
berkonsentrasi dalam gerakan dialog, agar mampu menjiwai semua pemeluk
agama. Dialog kritis tanpa aplikasi praktis, selamanya akan tinggal tetap pada
tataran konseptual semata-mata. (b) Apakah agama-agama di Indonesia bersedia
dimasuki hingga ke sisi-sisinya yang paling sensitif? Tawaran Küng ini tentu saja
mustahil. Agama-agama di Indonesia masih sangat eksklusif dan kental dengan
klaim-klaim yang terlampau tertutup tentang kebenaran – meski pada hakikatnya
setiap agama mesti memiliki klaim kebenarannya –, sesuatu yang secara sederhana
dapat dikatakan sebagai musuh terbesar dialog. Konflik-konflik antaragama atau
antargolongan agama di Indonesia seringkali lahir dari ketiadaan ketertarikan untuk
saling belajar, lahir dari kesempitan berpikir dan ego keagamaan, lahir dari
ketertutupan untuk dijangkau dan menjangkau, lahir dari prasangka-prasangka yang
berujung pada saling curiga dan saling vonis, lahir dari minimnya daya dan sikap
kritis. (c) Dialog kritis akan dihadapkan pada fenomena fundamentalisme yang
marak di Indonesia, dalam diri setiap agama. Kebangkitan fundamentalisme
menjadi pekerjaan rumah yang berat.
Kedua, peluang. Apakah tantangan-tantangan ini serta-merta menutup pintu
dan mematikan api dalam dialog yang ditawarkan Küng? Dialog kritis tetap relevan
bagi Indonesia. (a) Pelbagai aturan dan pedoman tentang dialog interreligius telah
sejak lama ada di Indonesia. Ini berarti, dialog kritis yang ditawarkan Küng
memiliki pendamping. Etika Global menjadi konkret lewat tindak lanjut yang
mendukung di tingkat-tingkat lokal. Dialog kritis hadir sebagai penantang
kemapanan keberagamaan yang seringkali lelap dalam zona aman. Dialog kritis
mendesak masing-masing pemeluk agama untuk inklusif, lebih terbuka, dan
bersedia saling memasuki. Indonesia perlu dialog model ini, dialog yang lebih
menantang, yang pada gilirannya mesti dipromosikan lewat bahasa-bahasa yang
lebih riil. (b) “Fundamentalism as a religious phenomenon cannot be conquered in
a frontal offensive. It must certainly be approached with a clear democratic and
tolerant attitude, but attempts must be made to overcome it with understanding and
empathy, and this includes above all removing the conditions which have allowed
63
it to arise.”27 Sebagai sebuah fenomena agama, fundamentalisme, hemat Küng,
tidak dapat ditundukkan melalui cara-cara ofensif yang frontal. Fundamentalisme
tentu harus didekati dengan sikap yang demokratis dan toleran yang jernih, dengan
terus berusaha mengatasinya lewat pengertian dan empati. Usaha menghilangkan
penyebab-penyebabnya menjadi yang utama dan mendesak. (c) Berhadapan dengan
fenomena ini, dialog kritis bantu mengingatkan kaum fundamentalis akan akar
kebebasan, pluralisme, dan keterbukaan pada kelompok atau agama lain. Jika
demikian, dialog model ini – dengan saling memberi dan menerima tanpa klaim-
klaim sepihak – patut dicoba dan terus-menerus diupayakan di Indonesia, agar hari
demi hari, roh fundamentalis dapat perlahan terkikis dan pada gilirannya,
dibekukan.
Keprihatinan Küng yang sangat besar pada soal dialog antaragama
menjadikannya salah satu ikon penting dialog. Bahkan, Ahmad Syafi’i Maarif
mengakui sekaligus memberi harapan.
... Dengan segala kritiknya itu, dia juga ingin membangun suatu bahasa yang sama untuk
perdamaian dunia, dan dia serius. Dia tidak mengada-ada. Oleh sebab itu ia mendirikan
Yayasan Global Ethic, yang menurut saya adalah suatu usaha yang sangat positif dan lama-
lama saya rasa akan didengar orang suara itu, apalagi dengan dunia yang semacam ini,
dunia yang sama sekali tidak aman, tidak damai, tidak bahagia. Saya rasa kita
membutuhkan suatu pegangan yang lebih kokoh. ...28
Syafaatun Almirzanah dari UIN Yogyakarta menambahkan,
Aplikasi teorinya Küng, itu yang menarik buat saya, dan itu cocok. Untuk saya cocok
sekali. Kalau itu bisa diaplikasikan untuk semua agama, saya kira itu akan sangat bagus
sekali. ... 29
4.4 KESIMPULAN
Etika Global yang diprakarsai Hans Küng lahir karena adanya tanggung
jawab global yang sama, yang diemban agama-agama. Sebagai elemen penting
dalam Etika Global, agama-agama berperan penting mewujudkan perdamaian.
27Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op. cit., p. 147.
28Ahmad Syafi’i Maarif dalam video “hans kung, indonesia and interfaith dialogue – part 2”,
dalam (https://www.youtube.com/watch?v=-c5I3y5IwP8, diakses pada 5 Desember 2016).
29Syafaatun Almirzanah dalam ibid.
63
Tugas agama-agama haruslah menciptakan perdamaian, karena shalom, salam,
eirene, pax merupakan ciri utama ajaran mereka. Agama-agama bertanggung jawab
dalam mempromosikan, memberi bentuk, dan menentukan arah tatanan dunia baru.
Dalam konteks Indonesia, pluralisme agama dengan segala ambivalensinya
merupakan fakta yang tidak dapat diingkari dan merupakan faktor utama yang
melahirkan kesadaran kebangsaan yang mendalam, seperti terungkap dalam
semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’. Agama-agama – juga komunitas-komunitas
tradisional dan non-religius yang tidak tercatat secara formal dalam konstitusi –
sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan rakyat Indonesia dituntut dan
didesak untuk terus-menerus menampilkan kekuatan etik, moral, dan spiritualnya.
Perwujudnyataan dari kekuatan-kekuatan ini diarahkan untuk mendorong keadilan
dan kesejahteraan yang merata.
Demi memuluskan dan perlahan-lahan mencapai ideal ini, Etika Global
Hans Küng menawarkan ‘dialog’ sebagai kunci serentak media. Kendati plural dan
masih rawan terjadi ketegangan di sana-sini, dialog yang diperlukan untuk konteks
Indonesia – penulis sepakat dengan Küng – ialah dialog yang memberi dan
menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing
agama mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Di sini, kemantapan pada pendirian
dan keseriusan dalam menjalankan agama oleh setiap pemeluk, menjadi mutlak.
Tanpa keduanya, tidak ada dialog, apalagi dialog yang kritis, yang masuk hingga
ke fondasi agama-agama dengan segala konsekuensinya.
66
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Menyadari betapa eksistensial dan strategisnya nilai perdamaian,
mengusahakan atau mengembalikannya pada jalur yang tepat adalah sebuah
kemutlakan. Dunia yang sedang dalam krisis terus-menerus, tentu saja menggeser
bahkan pada porsinya mematikan perdamaian. Apakah pasrah, tinggal diam, atau
bungkam merupakan sikap yang bijak? Kehadiran Hans Küng secara tegas
menjawab ‘Tidak!’ untuk pertanyaan ini.
Berangkat dari refleksinya atas pengalaman perang dan konflik, Küng
menjadi begitu yakin, tidak ada yang lebih mengerikan di dunia ini dari perang yang
dimotivasi oleh ego keagamaan. Untuk itu, lewat tesisnya yang terkenal, “No
survival without a world ethic. No world peace without peace between the religions.
No peace between the religions without dialogue between the religions”, Küng
berupaya keras, militan, dan teguh mempromosikan betapa agama-agama
memainkan peran yang amat penting dalam menentukan peradaban. Etika Global
yang diprakarsainya, menjadi bukti sekaligus panduan.
Etika Global Küng berikhtiar membangun tatanan dunia baru. Dalam lain
perkataan yang lebih serius, tidak ada tatanan dunia baru tanpa Etika Global. Tidak
ada tatanan dunia baru dan kehidupan yang lebih harmonis tanpa sebuah konsensus
dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-
sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis
66
mereka berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum
tidak beriman. Pada titik ini – meskipun Etika Global bukan satu-satunya panduan
dan bahwa Etika Global mesti didampingin atau diterjemahkan dalam konteks-
konteks lokal yang lebih aktual – yang khas ialah bahwa dokumen ini merupakan
dokuman pertama yang bersifat global yang dihasilkan dari sebuah konsensus di
antara para pemeluk agama-agama juga komunitas yang tidak terikat pada tradisi
religius mana pun di dunia. Konsensus ini berangkat dari sebuah kesadaran bersama
akan masifnya isu-isu yang dapat membahayakan kehidupan kolektif, yang
terejawantah lewat tuntutan fundamental atau apa yang disebut sebagai Kaidah
Kencana atau Golden Rule, dengan petunjuk-petunjuk yang tidak terbatalkan
berupa komitmen-komitmen.
Lalu, karena Etika Global itu sendiri tidak melulu mengarah keluar, ke
‘dunia’ melainkan juga kembali ke agama-agama, dialog menjadi kata kunci dan
praksis penting yang mesti diperhatikan. Perdamaian dunia akan tercipta lewat
perdamaian antaragama, dan perdamaian antaragama hanya akan mungkin lewat
dialog. Agak berbeda dari model dialog lainnya, dialog yang ditawarkan Küng
adalah dialog yang kritis. Dialog model ini, untuk mewakili relevansi Etika Global
bagi Indonesia – lantaran yang dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam
konteks Indonesia ialah dialog – diharapkan akan semakin membumi, dan suatu
ketika didengarkan dan diupayakan bersama-sama, kendati sulit dan akan
berhadapan dengan aneka kendala. Indonesia yang masih selalu rawan konflik
antaragama, hemat penulis, sekiranya perlu memajukan dialog yang saling
menerima dan memberi tanpa prasangka, serta bersedia saling memasuki, bahkan
hingga ke sisi-sisi paling sensitif, dengan segala konsekuensinya.
5.2 SARAN
Sebagai elemen penting yang melahirkan Etika Global dan pada gilirannya
bertanggung jawab mewujudkan perdamaian serta menciptakan tatanan dunia baru,
agama-agama mesti kembali kepada jati dirinya. Agama harus mampu membawa
pemeluknya tiba pada suatu perspektif tersendiri yang penuh pertimbangan
terhadap suatu hal, sambil dengan penuh simpatik mengupayakan toleransi dengan
pihak-pihak yang tidak sejalan. Agama harus mendorong umat manusia keluar dari
66
egoisme dan tidak melulu terkurung dalam klaim-klaim kebenaran pribadi,
sebaliknya altruis dan terbuka. Agama harus mantap dalam dialog, siap
berkomunikasi dengan komunitas-komunitas non-religius, juga dengan dunia.
Wajah agama haruslah konstruktif.
Pihak mana sajakah yang mesti terlibat penuh dalam upaya mewujudkan
perdamaian dan membangun tatanan dunia baru lewat agama? “We invite all
people, whether religious or not, to do the same”, demikian seruan yang temaktub
dalam Declaration Toward A Global Ethic. Agar lebih relevan, penulis ingin
menyebut secara khusus tiga pihak berikut.
Pertama, para pemimpin agama dan komunitas-komunitas non-religius.
Bahaya yang kian marak ialah para pemimpin hanya berhenti sebagai ikon atau
patron. Di Indonesia, pemimpin-pemimpin kelompok radikal tertentu atas nama
agama tertentu, gagal memainkan peran sebagai animator perdamaian. Masing-
masing masih terlalu sibuk mengejar target ideologisnya sendiri. Sebaliknya,
pemimpin yang ideal mestilah yang selalu mampu memberikan pencerahan,
mengajak sesama pemeluknya untuk mengusahakan perdamaian, untuk terus-
menerus berdialog dengan mata hati dan budi terbuka. Kedua, para aktivis dialog
dan akademisi. Etika Global yang digagas Küng, dalam artian tertentu, lebih
condong ke sebuah proyek seorang akademisi. Oleh sebab itu, para aktivis dialog
dan akademisi lainnya perlu merespons gagasan Küng ini sebagai referensi baru
dalam membangun sebuah tatanan dunia yang lebih baik. Dialog kritis yang Küng
tawarkan, mesti diterjemahkan sedemikan rupa oleh para aktivis dan akademisi
dimaksud agar selanjutnya dapat dengan mudah dipahami, diterima, dan dijalankan
oleh semua pemeluk agama. Ketiga, umat agama-agama dan komunitas-komunias
non-religius. Melalui peran para pemimpin dan sumbangan para aktivis dialog juga
para akademisi, Etika Global Küng sekiranya dapat menyentuh hingga ke lapisan-
lapisan paling kecil di tengah umat. Umat diharapkan turut bantu mengupayakan
apa yang menjadi ideal Etika Global, khususnya dalam setiap upaya dialog.
Pada akhirnya, semua umat manusia, baik beragama maupun tidak
beragama dipanggil untuk sama-sama mewujudkan perdamaian dan membangun
tatanan dunia baru yang lebih harmonis.
75
LAMPIRAN 1
DECLARATION TOWARD A GLOBAL ETHIC1
4 September 1993
Chicago, U.S.A.
Introduction
The world is in agony. The agony is so pervasive and urgent that we are
compelled to name its manifestations so that the depth of this pain may be made
clear.
Peace eludes us – the planet is being destroyed – neighbors live in fear –
women and men are estranged from each other – children die!
This is abhorrent.
We condemn the abuses of Earth’s ecosystems.
We condemn the poverty that stifles life’s potential; the hunger that weakens
the human body, the economic disparities that threaten so many families with ruin.
We condemn the social disarray of the nations; the disregard for justice
which pushes citizens to the margin; the anarchy overtaking our communities; and
the insane death of children from violence. In particular we condemn aggression
and hatred in the name of religion.
But this agony need not be.
It need not be because the basis for an ethic already exists. This ethic offers
the possibility of a better individual and global order, and leads individuals away
from despair and societies away from chaos.
1Versi lengkap dokumen ini dapat dilihat dan diunduh dalam
http://cchu9014.weebly.com/uploads/1/6/2/0/16200980/towardsaglobalethic.pdf.
75
We are women and men who have embraced the precepts and practices of
the world’s religions:
We affirm that a common set of core values is found in the teachings of the
religions, and that these form the basis of a global ethic.
We affirm that this truth is already known, but yet to be lived in heart and
action.
We affirm that there is an irrevocable, unconditional norm for all areas of
life, for families and communities, for races, nations, and religions. There already
exist ancient guidelines for human behavior which are found in the teachings of the
religions of the world and which are the condition for a sustainable world order.
We declare:
We are interdependent. Each of us depends on the well-being of the whole,
and so we have respect for the community of living beings, for people, animals, and
plants, and for the preservation of Earth, the air, water and soil.
We take individual responsibility for all we do. All our decisions, actions,
and failures to act have consequences.
We must treat others as we wish others to treat us. We make a commitment
to respect life and dignity, individuality and diversity, so that every person is treated
humanely, without exception. We must have patience and acceptance. We must be
able to forgive, learning from the past but never allowing ourselves to be enslaved
by memories of hate. Opening our hearts to one another, we must sink our narrow
differences for the cause of the world community, practicing a culture of solidarity
and relatedness.
We consider humankind our family. We must strive to be kind and
generous. We must not live for ourselves alone, but should also serve others, never
forgetting the children, the aged, the poor, the suffering, the disabled, the refugees,
and the lonely. No person should ever be considered or treated as a second-class
citizen, or be exploited in any way whatsoever. There should be equal partnership
between men and women. We must not commit any kind of sexual immorality. We
must put behind us all forms of domination or abuse.
75
We commit ourselves to a culture of non-violence, respect, justice, and
peace. We shall not oppress, injure, torture, or kill other human beings, forsaking
violence as a means of settling differences.
We must strive for a just social and economic order, in which everyone has
an equal chance to reach full potential as a human being. We must speak and act
truthfully and with compassion, dealing fairly with all, and avoiding prejudice and
hatred. We must not steal. We must move beyond the dominance of greed for
power, prestige, money, and consumption to make a just and peaceful world. Earth
cannot be changed for the better unless the consciousness of individuals is changed
first. We pledge to increase our awareness by disciplining our minds, by meditation,
by prayer, or by positive thinking. Without risk and a readiness to sacrifice there
can be no fundamental change in our situation. Therefore we commit ourselves to
this global ethic, to understanding one another, and to socially beneficial, peace-
fostering, and nature-friendly ways of life.
We invite all people, whether religious or not, to do the same.
75
LAMPIRAN 2
DEKLARASI KONGRES NASIONAL I
AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia yang diadakan di
Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993, menyadari situasi dunia, bahwa agama di satu
pihak, menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan
perdamaian, tetapi di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan
melegitimasi perpecahan bahkan kekerasan.
Bahwa sesungguhnya kehadiran agama-agama di Indonesia merupakan
rahmat Ilahi yang patut disyukuri. Bumi Indonesia, sebagai lahan yang subur bagi
spiritualitas, telah memungkinkan agama-agama tumbuh berkembang dan
menampilkan peran transformatif terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia
yang kreatif, dinamis dan toleran. Hal demikian termanifestasi dalam hubungan
antarumat beragama yang saling menghargai dan tumbuh bersama dalam
memperjuangkan, menegakkan dan mengisi kemerdekaan bangsa.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang majemuk telah mengukuhkan
pluralisme agama sebagai kenyataan yang tidak dapat diingkari, dan merupakan
faktor utama yang melahirkan kesadaran kebangsaan yang mendalam, seperti
terungkap dalam semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’. Hubungan antarumat beragama
yang harmonis merupakan hal yang harus dipelihara dan dikembangkan guna
memperkokoh integrasi bangsa dan kelangsungan pembangunan nasional.
Sebagai proses yang harus berlangsung terus-menerus, pembangunan
nasional merupakan tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia dalam
75
menghadapi masalah dan tantangan masa depan bangsa. Agama-agama sebagai
bagian tak terpisahkan dari kehidupan rakyat Indonesia dituntut untuk terus
menampilkan kekuatan etik, moral dan spiritualnya. Aktualisasi dari kekuatan-
kekuatan tersebut diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang
merata.
Peran kritis dan profetis kaum ilmuwan sangat penting untuk menjernihkan
dan mengupayakan pemecahan masalah-masalah kehidupan bersama. Oleh karena
itu, para ilmuwan agama terpanggil untuk membangun dialog dan kerja sama
keilmuan dalam rangka merealisasikan tanggung jawab bersama tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Kongres Nasional I
Agama-agama di Indonesia dengan ini menyatakan membentuk:
Lembaga Pengkajian
Kerukunan Umat Beragama
Lembaga ini bertugas sebagai berikut:
1. melakukan penelitian dan pengembangan kerukunan umat beragama,
2. menyelenggarakan seminar, konferensi dan kongres nasional dan
internasional tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan
dan kemanusiaan,
3. melakukan kegiatan sosial antarumat beragama untuk meningkatkan
partisipasi umat beragama dalam pembangunan nasional dan
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara,
4. menyebarluaskan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
kerukunan umat beragama.
Susuanan organisasi dan personalia lembanga ini ditetapkan kemudian oleh
Panitia Kongres ini dengan penasihat Prof. Dr. H. A. Mukti Ali.
Yogyakarta, 12 Oktober 1993
75
DAFTAR PUSTAKA
Kamus dan Dokumen
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada (UGM). Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia Tahun 2008, 2011, dan 2012.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. ke-4.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Editorial Committee of the ‘Council’ of the Parliament of the World’s Religions.
Declaration Toward A Global Ethic. New York: Continuum Publishing, 1993.
Buku-buku
Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama. Etika Global dalam Kajian
Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Hudson,Winthrop S. Religion in America: An Historical Account of the
Development of American Religious Life. New York: Charles Scribner’s Sons,
1965.
Knitter, Paul F. One Earth Many Religions. Multifaith Dialogue & Global
Responsibility. New York: Orbis Books, 1995.
75
Küng, Hans. A Global Ethic for Global Politics and Economics. Penerj. John
Bowden. Oxford: Oxford University Press, 1997.
................... Etika Ekonomi-Politik Global. Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan
Agama di Abad XXI. Cet. ke-2. Penerj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam,
2010.
.................... Global Responsibility. In Search of a New World Ethic. New York:
Crossroad, 1991.
................... Projekt Weltethos. München, Zürich: Piper, 1992.
Küng, Hans dan Karl Josef-Kuschel (peny.). A Global Ethic; The Declarations of
the Parliament of the World’s Religions. London: SCM Press, 1993.
.......................................................... (eds.). Etik Global. Penerj. Ali Noer Zaman.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Magnis-Suseno, Frans. Etika Abad Kedua Puluh. 12 Teks Kunci. Cet. ke-5.
Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Marty, Martin E. Righteous Empire: The Protestant Experience in America. New
York: The Dial Press, 1970.
Riyanto, E. Armada. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah.
Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Artikel
Almirzanah, Syafaatun. “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap Dialog”,
dalam Najiyah Martiam (ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif
Muslim.Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010.
75
Bagir, Zainal Abidin. “Kebangkitan Agama dan Dialog”, dalam Najiyah Martiam
(ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim.Yogyakarta: Program
Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas
Gajah Mada, 2010.
Budi Kleden, Paul. “Hans Küng tentang Infallibilitas dan Implikasinya bagi
Hubungan Teolog - Magisterium”. VOX. 33/2: 54-79, 1998.
............................. “Teologi Pluralis dan Etika Global: Alternatif atau
Komplementer”. Jurnal Ledalero. 9/1: 77-96, Juni, 2010.
Ficca, Dirk. “The Chicago Model”, dalam Wayne Teasdale & George Cairns
(peny.). The Community of Religions: Voices and Images of the Parliament
of the World’s Religions. New York: Continuum, 1996.
Jeanrod, Werner G. “Hans Küng”, dalam David F. Ford (peny.). The Modern
Theologians. An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century.
Vol. 1. Oxford: Basil Blackwell, 1989.
Küng, Hans. “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah
Martiam (ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim.Yogyakarta:
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana
Universitas Gajah Mada, 2010.
..................... “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali
Noer Zaman (ed.). Agama untuk Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
.................... “Tak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Agama-agama”,
dalam Najiyah Martiam (ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif
Muslim.Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010.
................... “What Is True Religion? Toward an Ecumenical Criteriology”, dalam
Leonard Swidler (ed.). Toward a Universal Theology of Religion. New York:
Orbis Books, 1987.
75
Seager, Richard Hughes. “The Two Parliaments, the 1893 Original and the
Centennial of 1993: A Historian’s View”, dalam Wayne Teasdale & George
Cairns (peny.). The Community of Religions: Voices and Images of the
Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum, 1996.
Internet
Gregg, Samuel. Ratzinger dan Küng: Paralel dan Divergen, dalam
http://indonesia.ucanews.com/2011/03/25/ratzinger-dan-kung-paralel-dan-
divergen/, diakses pada 25 Oktober 2016.
Hans Küng, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Hans_ Küng, diakses 5 Desember
2015.
hans kung, indonesia and interfaith dialogue – part 1, dalam
https://www.youtube.com/watch?v=0uSTmT1muTQ, diakses pada 5
Desember 2016.
hans kung, indonesia and interfaith dialogue – part 2, dalam
https://www.youtube.com/watch?v=-c5I3y5IwP8, diakses pada 5 Desember
2016.
Marto, Denmas. Karl Barth. Membubuhkan Tanda Tanya terhadap Kebenaran
dalam http://www.geocities.ws/denmasmarto/barth.html, diakses pada 15
Oktober 2016.
Priyanto, Andree. Profesor Hans Küng: Paus Benediktus Mesti Bertanggung
Jawab, dalam
http://dunia.tempo.co/read/news/2010/04/29/117244222/wawancara-
profesor-hans-kung-paus-benediktus-mesti-bertanggung-jawab, diakses 22
Februari 2016.
75
Towards a Global Ethic, dalam
http://cchu9014.weebly.com/uploads/1/6/2/0/16200980/towardsaglobalethi.
pdf, diakses 5 Desember 2015.