ETIKA BERNEGARA DALAM SERAT WULANGREH
KARYA PAKU BUWANA IV
SKRIPSI
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Vivi Rahma Oktavilani
NIM: 11140331000035
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H./2018 M.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis dibawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ʹ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Wa ھ
Apostrof ء
Y Ye ي
Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fatẖah َـ
I Kasrah َـ
U ḏammah َـ
vi
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي َـ Ai a dan i
و َـ Au a dan u
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas آ
Î i dengan topi di atas إى
Û u dengan topi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال,
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf
qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda (َـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan
huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورۃ tidak ditulis aḏ-darûrah melainkan al-darûrah.
Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata yang
berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1).
Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (naʹt) (lihat
contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدۃالوجود 3
vii
KATA PENGANTAR
Syukur tak berbatas kepada Sang Esa, hanya Dia yang memiliki setiap hati manusia
dan pemilik Rahmat untuk setiap hamba. Shalawat dan salam selalu terlimpah curahkan
kepada baginda Nabi agung yang telah membawakan obor penerang ke seluruh penjuru
buana raya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, baik
secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini.
1. Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M. Si. Selaku dosen pembimbing, yang telah
sabar membimbing dan mengarahkan penulis, serta atas kritik dan koreksinya yang
membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra, Tien Rohmatin, M.A., selaku ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam,
dan Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A., selaku skretaris Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen, Khususnya Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis, semoga menjadi ilmu yang
bermanfaat, Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, beserta jajaran Civitas
Akademik, yang telah setia melayani penulis dalam mengurus segala keperluan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Terimakasih yang tak terhingga penulis haturkan bagi kedua orang tua romo Ahmad
Jailani dan biyung Siti Marwiyah, mata air kasih sayang yang tak pernah kering,
dukungan doa, materil yang tak henti, berkat do’a restu serta kesabaranya, penulis
viii
dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa kepada adinda Azmi Azizah yang menjadi
pemacu semangat penulis.
5. Terimakasih kepada semua keluarga besar di Brebes maupun di Cilacap, yang selalu
menyemangati dan mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan.
6. Atas dukungan semangat dan doa, atas cinta dan kasihnya, penulis haturkan
terimakasih kepada kandaku Barokah Susilo Sugiarto.
7. Teman-teman senasib seperjuangan dari pertama kali penulis menginjakan kaki di
Ciputat, Miya, Ely dan Indah, terimakasih atas hari-hari saat kita berproses bersama,
mencari jati diri di perantauan.
8. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) ALLOIS 2017, atas pengalaman baru yang
penulis dapatkan.
9. Keluarga besar Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014, Ciwi-Ciwi, terimakasih
telah menemani berjuang, berproses dan belajar bersama, dan rasa kekeluargaan
semoga tidak pernah terlupakan.
Kepada semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu, baik perseorangan
maupun intuisi, yang telah membantu penulis, kepada semuanya penulis ucapkan
terimakasih, dan semoga Allah membalas segala amal baik mereka, Amiin.
Ciputat, 26 September 2018
Vivi Rahma Oktavilani
NIM: 11140331000035
ix
ABSTRAK
Vivi Rahma Oktavilani
Etika Bernegara Dalam Serat Wulangreh Karya Pakubuwana IV
Serat Wulangreh lahir dari pengalaman-pengalaman pemikiran dan pemahaman dari
seorang Raja Kasunan Surakarta yakni Pakubuwana IV, sebagai alat untuk mempertahankan
jati diri bangsanya hal ini disebabkan karena kekacauan keadaan Surakarta pada saat itu.
Semula Serat Wulangreh di peruntukan kepada putera-putera Pakubuwana IV agar mereka
selalu ingat akan adanya gejala-gejala kemerosotan moral pada saat Pakubuwana IV sedang
memegang tampuk kekuasaan. Namun, akhirnya menyebar ke luar keraton lewat abdi dalem,
karena bahasa Serat Wulangreh mudah di pahami, sehingga menjadikan nyanyian Serat
Wulangreh mudah di hafal, Serat Wulangreh disebut juga sebagai idiologi keraton atau
semangat kekeratonan, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad (minggu) tanggal 19 besar
1735 tahun Dal Windu Sancaya Wuku Sungsang atau tahun 1808 M dan merupakan warisan
adihulung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etika bernegara yang ada di dalam Serat
Wulangreh, agar terciptanya hubungan yang baik dan tercapainya cita-cita dalam bernegara
yaitu terbinanya warga negara yang baik dan pemerintahan yang ideal dalam artian adil,
transparan, dan bermoral. Sehingga menjadikan tercapainya kehidupan bernegara yang
diidamkan yakni keadaan makmur, tentram, dan sejahtera dalam suatu negara, dengan
mengacu terhadap pemikiran Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh, penelitian ini
menggunakan studi kepustakaan, penelitian ini di harapkan dapat memberikan pemahaman
bahwa etika merupakan hal penting yang harus ada dalam kehidupan bernegara.
Raja memiliki kedudukan yang amat tinggi, karena memiliki Wahyu Kedhaton
sehingga raja di anggap sebagai wakil dari Tuhan, meskipun demikian, pada saat yang sama
ia adalah hamba. Oleh karena itu, ia harus melayani rakyat sesuai dengan hukum Allah, dan
karena konsep kekuasaan itu bukan berarti seorang raja dapat bersikap sewenang-wenang
dalam menjalankan pemerintahanya. Atas kedudukan raja yang amat penting menjadikan
hubungan rakyat dengan penguasa bersifat satu arah dimana rakyat tidak diberikan hak untuk
menyumbangkan pemikiran dalam menentukan kebijakan negara, kewajiban rakyat sebagai
warga negara hanyalah mentaati secara mutlak atas semua perintah raja.
Kata Kunci: Etika Bernegara, Wulangreh
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI...................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan Masalah ................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 10
E. Metode Penelitian ................................................................................. 11
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI PAKUBUWANA IV
A. Riwayat Hidup ........................................................................................ 16
B. Latar Belakang Pendidikan ..................................................................... 22
C. Karya-karya ............................................................................................. 26
D. Kasunan Surakarta Pada Masa Pemerintahan Pakubuwana IV .............. 30
xi
BAB III ETIKA DAN SERAT WULANGREH
A. Definisi Etika ......................................................................................... 41
B. Etika Bernegara ...................................................................................... 43
C. Arti dan Tujuan Pembuatan Serat Wulangreh ....................................... 49
D. Etika dalam Serat Wulangreh ................................................................ 55
BAB IV ETIKA BERNEGARA DALAM SERAT WULANGREH
A. Etika Pemimpin ....................................................................................... 58
1. Hubungan Pemimpin dengan Masyarakat ........................................ 63
B. Etika Masyarakat .................................................................................... 75
1. Prinsip Hormat Menurut Serat Wulangreh ....................................... 75
2. Etika Menghormati Pemimpin .......................................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 85
B. Saran ............................................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 88
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Politik di Indonesia dewasa ini telah mengandalkan ukuran-ukuran
material, hal ini dapat di buktikan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan
dalam pemerintahan, seperti praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Penyimpangan ini terjadi tidak hanya pada lingkup pemerintah pusat, namun
menyebar ke seluruh lembaga-lembaga yang ada di pedesaan, pemerintah
Indonesia kurang mempertimbangkan etika, faktanya kasus korupsi yang semakin
merajai, namun penegakan hukum yang masih jauh dari keadilan.1
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi
merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di
mana-mana. Kini, setelah rezim Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik
KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya
meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat serta sistem birokrasi
Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling bawah.2
Bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang berbudaya luhur ini
telah mengalami krisis moral, telah terjadi peristiwa-peristiwa teragis yang tidak
1Desy Yeni Verawati, “Etika Politik Nur Cholish Madjid”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016) h. 1. 2Firmansyah dan Purwo Agung Sulistyo, “Permasalahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
di Daerah Serta Strategi Penanggulangannya”, Demokrasi IX, No. 1 (Tahun 2010) h.43.
2
terlepas dari praktik politik kekuasaan kelompok tertentu, seperti konflik agama
yang sering terjadi dan menodai keharmonisasian kehidupan berbangsa, dan juga
adanya konflik antar etnis yang meninggalkan banyak korban dan penderitaan
yang berkepanjangan, hal ini terjadi karena uang dan korupsi mendominasi warna
kehidupan politik di Indonesia.3
Politik di Indonesia dewasa ini menganut sistem demokrasi, pemilihan
kepala daerah (pilkada) langsung dengan pemilu, merupakan suatu sarana untuk
mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Namun hampir di pastikan
bahwa dalam setiap periode menjelang pemilu dan pilkada, situasi dan kondisi
politik seringkali di warnai dengan berbagai persaingan dan konflik antar
kekuatan partai politik.4
Demokrasi menjadi gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah demokrasi
dalam artian yang sebenar-benarnya, demokrasipun kemudian dipertanyakan dan
digugat ketika sejumlah praktik politik yang mengatas namakan demokrasi
seringkali justru menunjukan ironi.
Moral adalah termasuk konsep kearifan lokal yang menjadi ukuran
peradaban sebuah bangsa, tinggi rendahnya peradaban dapat dilihat dari seberapa
jauh masing-masing warganya bertindak sesuai aturan main yang telah disepakati,
dengan mentaati norma dan etika tingkah laku, hubungan antar manusia akan
3Haryatmoko, Etika Politik Dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas Gramedia, 2014) h. vii.
4Hartuti Purnaweni, “Demokrasi Indonesia Dari Masa Ke Masa” Jurnal Administrasi
Publik 3, No 2. (Tahun 2004) h. 124.
3
berjalan secara wajar sehingga memungkinkan untuk melakukan aktivitas secara
evektif dan efisien.5
Berkaca pada sistem pemerintahan Indonesia saat ini yakni demokrasi, di
Indonesia pernah berlaku sistem pemerintahan monarki absolut pada pra
proklamasi 17 Agustus 1945, sistem pemerintahan monarki atau kerajaan, adalah
bentuk pemerintahan dari suatu negara yang dikepalai oleh seorang raja dan
sifatnya waris mewaris yang jabatanya selama hidup, sifat pemerintahanya
memberikan hak kekuasaan yang mutlak tak terbatas kepada kepala negaranya
dinamakan “monarki absolut”, terhadap baik dan buruknya monarki tergantung
sepenuhnya kepada pribadi dan kepribadian raja itu sendiri.6
Dalam beberapa hal memang monarki absolut ini menimbulkan
kesewenang-wenang untuk kepentingan rajanya semata-mata, masalah-masalah
seperti perebutan kekuasaan, pemberontakan kerap terjadi mewarnai sejarah
kepemimpinan peradaban Indonesia di Jawa khususnya. Namun kiranya tidak
perlu selalu mengecam bahwa sistem pemerintahan monarki absolut itu tidak baik,
hal ini dapat dibuktikan jika kita memperhatikan sejarah islam misalnya raja-raja
(khalifah yang turun-temurun) dan raja-raja di Indonesia yang cukup gemilang
dalam masa pemerintahanya.
Salah satunya adalah raja dari Kasunaan Surakarta yang merupakan
keraton pecahan dari Mataram, Kasunaan Surakarta melewati perjalanan yang
5Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme Etika Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa,
(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2008) h 12. 6Soependri Soeriadinata, Sendi Pokok Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Karya Indah,
1974) h. 34.
4
sangat panjang hingga sampai berdirinya, Sri Susuhan Paku Buwana IV
merupakan raja ke tiga yang memimpin Kasunaan Surakarta, Paku Buwono IV
adalah putera Paku Buwono III dari perkawinannya dengan Ratu Kencana (Rara
Beruk). Lahir hari Kamis Wage, tanggal 18 Rabi‟ul Akhir tahun 1694 bertepatan
dengan tanggal 2 September 1768, Jumeneng nata (diangkat menjadi Raja)
bertepatan dengan tanggal 29 September 1788, wafat pada tanggal 2 Oktober
tahun 1820.7 Gelar lainya yakni Raden Bagus sebab wajahnya memang tampan
dan beliau memegang kendali pemerintahan dalam usia yang masih muda yakni
19 tahun.
Pakubuwana IV dikenal sebagai Raja Surakarta yang paling religius dalam
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi maupun kerajaan.
Kegemarannya menimba ilmu agama dari kiai dan guru agama menjadikan
dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam.
Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV mengalami kemajuan
khususnya dalam bidang seni dan sastra karena pada masa itu termasuk dalam
masa kejayaan kepustakaan Jawa. Disamping perhatian Sinuwun Paku Buwono
IV dalam bidang sastra, jenis ilmu pengetahuan lainnya yang mendapat perhatian
khusus putera mahkota adalah ilmu agama.8
Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh Raja Surakarta ini dapat
dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulangreh, Serat
7Purwadi dan Endang Waryanti, Serat Wulangreh Wejangan Sunan Pakubuwana IV Raja
Kraton Surakarta Hadiningrat, (Yogyakarta: Laras Media Prima, 2015) h. 61. 8Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya,” Syamina, 14 Oktober 2016, h. 11.
5
Wulangsunu, Serat Wulangputri, Serat Wulang Tatakrama, Donga Kabula
Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Dhadhap, Panji Raras, Serat Sasana
Prabu, dan Serat Polah MunaMuni.9 Sebagian besar isi serat piwulung Sunan
Pakubuwana IV menerangkan ajaran Islam, tidak jarang dalam serat karyanya
tersebut ia mengutip langsung ayat-ayat al-qur‟an dan hadits demi memperkuat
nasihat yang disampaikannya.10
Apa lagi posisi raja dalam kepemimpinan Jawa memiliki peran yang
sangat penting. Dalam pandangan masyarakat Jawa, raja memiliki tempat khusus,
raja dan keraton merupakan pusat atau inti kekuasaan dalam hal ini raja dilihat
sebagai personifikasi Tuhan, karena ialah yang memberikan makan dan pakaian,
sementara keraton dianggap sebagai wadah yang menampung semua kekuatan
supranatural, dengan demikian kombinasi antara raja dan keraton merupakan
pusat dari pusatnya kekuasaan.11
Pandangan semacam ini sesungguhnya sangat erat sekali kaitanya dengan
pandangan masyarakat Jawa lampau yang tidak membedakan sikap-sikap
religious dan non religious, antara Tuhan, alam, dan manusia memiliki keteraturan
dan menyatu dalam alam adi kodrati (supernatural), keteraturan ini sendiri
merupakan refleksi dari konsep sistem kepercayaan Jawa yang mengemukakan
bahwa kehidupan yang terkoordinasi antara manusia dan alam sekitarnya
merupakan sistem kehidupan yang didambakan.
9Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, (Surabaya: 1982) h.
14. 10
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, h. 12. 11
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010) h.3.
6
Dengan demikian raja yang dipersonifikasikan sebagai wakil Tuhan
memiliki kekuasaan dan kedudukan yang istimewa bagi rakyatnya, sehingga
setiap wejangan dan perintah yang raja putuskan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan, secara otomatis akan diindahkan dan dijalankan oleh anggota
keraton dan masyarakatnya, bahkan mengabdi kepada raja merupakan pekerjaan
yang berat dan harus di sertai dengan keikhlasan hati.
Sehingga karya sastra klasik yang berasal dari keraton dapat dipandang
sebagai nilai-nilai luhur yang hidup dalam komunitas Jawa. Sebab bagi rakyat
Jawa, keraton tidak hanya di hayati sebagai pusat politik dan budaya melainkan
juga sebagai pusat keramat kerajaan. 12
Wejangan Sinuwun Paku Buwana IV termuat dalam Serat Wulangreh
yang diciptakan sebagai bacaan utama, Serat Wulangreh merupakan karya sastra
yang berisi tembang-tembang (puisi) Jawa, yang jumlahnya mencapai 283 bait13
Serat Wulangreh ini mengurai wulangan dan merupakan tembang yang
digunakan sebagai wejangan (pengingat) dan pituduh (petunjuk), merupakan
salah satu percikan semangat kekeratonan dan gambaran pemikiran raja tentang
masalah-masalah kehidupan seperti mengutamakan budi pekerti, cara mencapai
keselarasan hidup, dan memuat filsafat hidup khususnya bagi masyarakat Jawa,14
kebutuhan untuk mempertahankan ideologi sangat jelas terkait dengan situasi-
12
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid Dalam Serat Wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, Surakarta: Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2012) h. 64. 13
Tentrem Warsena, Serat Wulangreh Anggitan Dalem Ingkang Sinuhun Kangnjeng
Susuhan Paku Buwana Ingkang Kaping IV, (Solo: Cendrawasih, 2006) h. 78. 14
Mohammad Ardani dan Muhammad Sangaidi, Etika Islami Kehidupan Beragama,
Bermasyarakat Dan Bernegara Dalam Serat Wulangreh Pakubuwana IV Surakarta, (Jakarta:
Pusat Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 1999) h. 9.
7
situasi kekuasaan, pada saat kitab ini ditulis, kekuasaan kerajaan semakin terdesak
oleh VOC.
Meskipun pada masa pemerintahanya Paku Buwana IV mengalami
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Namun kondisi politik saat itu sedang
kacau, kesatuan dan keutuhan kekuasaan Jawa semakin terdesak dan sudah
hampir berakhir.15
Telah terjadi perselisihan di dalam keraton karena konflik perebutan
kekuasaan, posisi raja yang sedemikian penting dan “menguntungkan” membuat
setiap raja berusaha dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan kedaulatannya,
sering terjadi perang saudara di antara keluarga kerajaan sendiri. Saat itulah VOC
tampil seolah-olah menjadi penengah, melalui perjanjian-perjanjian yang
difasilitasi oleh VOC, konflik antar keluarga kerajaan ini tampak mulai reda.
Namun, di balik itu mulai muncul pihak-pihak yang mulai memanfaatkan situasi
tersebut untuk mencari keuntungan pribadi, termasuk VOC sendiri.16
VOC pun
masuk dan menggerogoti kedaulatan mataram, setelah VOC bangkrut, datanglah
pemerintah Belanda dan Inggris menguasai.
Serat Wulangreh di ciptakan dari pengalaman, pemikiran dari seorang raja,
sebagai alat untuk mempertahankan jati diri dari bangsanya karena kekacauan
keadaan Surakarta pada saat itu, semula Serat Wulangreh hanya di peruntukan
bagi keluarga keraton semata, namun kemudian sampai juga kepada rakyat di luar
keraton, melalui abdi dalem yang tinggal di luar istana, Serat Wulagreh
15
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV,
(Jakarta: Pustaka Antar Kota: 1986) h. 5. 16
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, Syamina, 14 Oktober 2016, h. 5.
8
mengajarkan pentingnya memiliki ketajaman moral dan intelektual agar manusia
tepat dalam meniti karier hidup, selanjutnya Pakubuwana IV juga menjelaskan
keriteria guru yang baik dan agar seseorang mencari guru yang mempunyai
kejelasan asal-usul, baik martabatnya, tahu hukum, beribadah, bersahaja, pertapa,
ikhlas, dan tanpa pamrih terhadap pemberian orang lain. Kebaktian terhadap guru
sebab karena gurulah yang memberikan pelajaran serta menunjukan jalan menuju
kesempurnaan hidup sampai mati.17
Serat Wulangreh juga berbicara tentang keharusan-keharusan menghayati
dan mengikuti etik-etik pergaulan, kewaspadaan, kebaktian, hubungan-hubungan
keluarga, tentang mengenal diri dan ambeg kautamaan (baik budi). Berproses
berarti selalu bergerak dari mula sampai akhir untuk mencapai perubahan yang
lebih baik, dan memakan waktu yang relative lama atau bisa lebih cepat, misalnya
mengurangi makan dan tidur lalu meningkatkan menjadi berpuasa, berlatih
berprihatin dalam bersuka ria atau bersuka dalam berprihatin, bersakit dalam sehat
atau sehat dalam sakit, sampai pada memati diri atau mati dalam hidup dan hidup
dalam mati.18
Dari paparan di atas, dapat di simpulkan latar belakang masalah yang di
ambil. Yang pertama, keadaan perpolitikan Indonesia yang semakin mengalami
krisi moral sehingga banyak terjadi penyimpangan. Hal tersebut mempunyai
persamaan dengan situasi dan kondisi pada saat Pakubuwana IV memerintah,
telah terjadi penimpangan-penyimpangan dan krisi moral. Disaat penyimpangan
etika berpolitik sedang marak terjadi di perpolitikan Indonesia, maka salah satu
17
Andi harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 15. 18
Hadiwirjanto, Serat Wulangreh Dan Terjemahanya, Pendidikan Budi Pekerti, Sri
Susuhan Paku Buwana IV, (Yogyakarta: 2002) h.18.
9
cabang filsafat yakni etika yang dapat di pahami sebagai pengetahuan yang
mendiskusikan apa yang baik dan apa yang buruk, haruslah di jadikan jalan keluar
dari adanya penyimpangan bernegara.
Meskipun jika mendefinisikan tentang kata bernegara mempunyai cakupan
yang luas. Karena bernegara meliputi semua aspek yang menjadi unsur
terbentuknya negara, seperti pemerintah, masyarakat, maupun sistem pemerintah.
Penelitian ini lebih terfokuskan untuk mengetahui bagaimana hubungan yang baik
antara pemimpin dengan masyarakat, begitupun sebaliknya.
Melihat kondisi perpolitikan di Indonesia yang telah dijelaskan di atas,
terdapat pemikiran Paku Buwana IV yang menawarkan etika bernegara yang baik,
maka penulis tertarik untuk membahas mengenai pemikiran dari Paku Buwana IV.
Meskipun bagian-bagian dalam kitab ini relative berfariasi, namun satu hal yang
jelas, yakni soal kebaktian kepada negara, dan lebih khusus lagi kebaktian kepada
sang raja. Maka dari pertimbangan itu penulis tertarik untu meneliti “ETIKA
BERNEGARA DALAM SERAT WULANGREH KARYA PAKU BUWONO
IV”
B. Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penulis akan
membatasi masalah agar lebih terfokus dan tidak melebar dari pembahasan
penelitian yang penulis lakukan. Pembahasan penelitian ini adalah pemikiran Sri
Sultan Paku Buwono IV dalam karyanya yakni Serat Wulangreh dan agar
pembahasan tidak meluas maka terfokuskan pada upaya yang dilakukan Paku
10
Buwana dalam mengatasi kemerosotan moral masyarakatnya dan etika bernegara
dalam Serat Wulangreh.
Berdasarkan pada pokok pembahasan dalam latar belakang diatas, maka
rumusan masalahnya adalah, Bagaimana etika bernegara dalam Serat Wulangreh?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada pertanyaan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan dari
penelitian ini yakni, mengetahui bagaimana etika bernegara ideal yang ditawarkan
dalam Serat Wulangreh perspektif Paku Buwana IV.
D. Manfaat Penelitian
1. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan akan dapat melengkapi dan memperkaya
khazanah pemikiran intelektual Jawa. Dalam skripsi ini diungkapkan salah satu
hasil pemikiran intelektual Jawa pada abad ke-16, yaitu Serat Wulangreh karya
Paku Buwana IV.
2. Masyarakat umum dapat mengetahui bahwa Paku Buwana IV menulis pedoman
etika bernegara yang baik dalam Serat Wulangreh sebagai ungkapan tanggung
jawab pada saat terjadi kemrosotan moral di masa kepemimpinanya.
3. Setiap pembaca diharapkan dapat menggunakan hasil tulisan ini dengan
memperhatikan pemikiran Paku Buwana IV yang tertuang dalam Serat Wulangreh
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi warga negara yang
baik.
4. Selain itu juga, tulisan ini guna melengkapi persyaratan mencapai gelar sarjana
strata satu (SI) dalam Fakultas Ushuluddin, pada Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
E. Metode penelitian
Metodologi penelitian merupakan cara untuk peneliti dalam melakukan
penelitian, yang digunakan untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yang
ada dalam penelitian.19
Adapun metode yang penulis lakukan adalah sebgai
berikut:
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan
(Library Research) adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau
sedang diteliti. Pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder.
Buku yang di gunakan antara lain: buku Serat Wulangreh karya Paku
Buwana IV, karena buku asli Serat Wulangreh ditulis langsung menggunakan
tulisan tangan oleh Paku Buwana IV dan versi buku asli dari karya ini hanya ada
satu dan tidak mudah untuk di dapatkan dan juga menggunakan aksara Jawa,
maka penulis menggunakan buku Hardjosarkoro, Serat Wulangreh Anggitanipun
Swarga Sri Susuhan Pakubuwana Kaping IV Surakarta, (Solo: keluarga
soebarno), Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku
Buwana IV, (Jakarta: Pustaka Antar Kota: 1986), Darusuparta, Serat Wulangreh
Angitan Dalem Wedhatama Winardi,( Surabaya, 1982), Andi Harsono, Tafsir
Ajaran Serat Wulangreh, (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010), Purwadi dan Endang
Waryanti, Serat Wulangreh Wejangan Sunan Pakubuwana IV Raja Kraton
Surakarta Hadiningrat, ( Yogyakarta: Laras Media Prima, 2015).
19
Jan Joker, dkk, Metodologi Penelitian: Panduan Untuk Master Dan Ph.D. Di Bidang
Manajemen (Jakarta: Restu Agung, 2016), h. 63.
12
2. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam pengolahan data adalah deskriptif, maka
seluruh buku yang berkaitan dengan tema pembahasan ini dibaca dengan cermat
dan mendetail. Semua kata-kata penting diberikan tanda khusus agar
mempermudah dalam penalaran data yang dipaparkan. Selanjutnya adalah historis
yakni menguraikan sejarah hidup tokoh, mulai dari budaya sosial kehidupan,
karakter, pemikiran, sehingga dapat diketahui secara jelas tujuan dan latar
belakang terciptanya sebuah karya dari tokoh tersebut, dalam hal ini adalah Paku
Buwana IV.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan sekripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Akademik Program Srata 1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014-2018. Pada metode tanslitrasi, penulis menggunakan
buku pedoman yang di gunakan oleh Jurnal Ilmu Ushuluddin terbitan HIPIUS
(Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).
F. Tinjauan Pustaka
Pada pokoknya kegiatan penelitian merupakan upaya untuk meneruskan
permasalahan, mengajukan pertanyaan, dan mencoba untuk menjawabnya, dengan
menemukan fakta-fakta yang memberikan penafsiran yang benar.20
Penelitian
mengenai etika bernegara dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhan Pakubuwana
IV memang bukan hal yang baru, bahkan telah banyak di lakukan oleh beberapa
kalangan seperti penulis buku, skripsi, jurnal, majalah, tesis, disertasi, ataupun
20
Anton Beker dan Ahmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994) h. 11.
13
para sejarawan yang meneliti tentang etika dalam Serat Wulangreh karya Sri
Susuhan Paku Buwana IV, penulis tidak menemukan tilisan yang secara spesifik
membahas tentang etika bernegara menurut Paku Buwana IV. Walaupun
demikian, kajian-kajian tersebut memberikan arti yang sangat besar bagi penulis
dalam menambah informasi dan pemahaman untuk melengkapi kajian skripsi ini.
Sejumlah tulisan yang penulis temukan diantaranya:
Pertama, tesis yang di tulis oleh Yuli Widiyono, Pascasarjana Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
tahun 2010 dengan judul “Kajian Tema, Nilai Estetika, dan Pendidikan dalam
Serat Wulangreh Karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV”. Penelitian ini
terfokuskan pada nilai pendidikan moral pada Serat Wulangreh yakni nilai
pendidikan moral kaitan antara manusia dengan Tuhan meliputi berserah diri
kepada Tuhan, patuh kepada Tuhan, nilai pendidikan moral kaitan antara manusia
dengan sesama, nilai pendidikan moral kaitannya manusia dengan diri pribadi,
dan nilai tentang agama. Keempat ajaran yang ada pada serat wulangreh
merupakan ajaran tata kaprajan „ajaran tentang perintah memberikan pengajaran
untuk mencapai keluhuran hidup.
Selanjutnya adalah sekripsi yang ditulis oleh Slamet Ihkwan Luqmanto,
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga tahun
2016 yang berjudul “Konsep Pendidikan Akhlak Pada Syair Tembang
Dhandanggula Dalam Serat Wulangreh Karya sri Susuhan Paku Buwana IV”.
Penelitian ini terfokus pada pemikiran Paku Buwana IV dalam tembang
Dhandanggula yang merupakan pembuka serat wulangreh yang mengisyaratkan
14
kepada masyarakat keraton pada masa itu dan kepada seluruh masyarakat pada
saat ini untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan ama-amal baik untuk
merealisasikan ilmu yang di dapat tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Penulis mencoba melakukan penguraian per-bab dengan tujuan agar
penelitian yang akan dilakukan sistematis, diantaranya adalah:
BAB I, sebagai pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, dan
sistematika pembahasan.
BAB II, pada bab ini berisi biografi dari Sri Susuhan Paku Buwana IV
sebagai pengarang dari Serat Wulangreh.
BAB III, berisi pembahasan mengenai serat wulangreh dan etika
bernegara, penulis akan memaparkan definisi etika, etika bernegara, asal usul dan
perkembangan serat wulangreh.
BAB IV, sebagai bab inti, penulis akan memaparkan dan menganalisa
tentang etika bernegara yang ada dalam Serat Wulangreh, seperti menjadi
pemimpin yang ideal dan bagaimana hubungan pemimpin dengan masyarakatnya,
dan bagaimana cara menjadi masyarakat yang baik yang di tawatkan oleh Paku
Buwana IV.
Kesimpulan dalam penelitian ini akan dibahas pada BAB V, bab ini akan
membeikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dijelaskan, dan akan
15
memberikan jawaban yang menjadi fokus dalam penelitian ini, dan tidak lupa
saran-saran karena masih banyaknya kekurangan yang ada dalam penelitian ini.
16
BAB II
BIOGRAFI PAKUBUWANA IV
A. Riwayat Hidup
Ngabdulrahman Saiyiduddin Panatagama, nama kecilnya Raden Mas
Gusti Subadaya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, di angkat menjadi raja
pada Senin paing21
29 September 1788 pada usia 20 tahun, setelah bertahta
bergelar Pangeran Amangkunegara Subidyo Raja Putra Narendra Mataram I,
dijuluki dengan Sunan22
Bagus karena memang wajahnya yang tampan, dan lebih
dikenal dengan Paku Buwana IV.23
Pakubuwana IV adalah raja ketiga Kasunan
Surakarta yang memerintah pada tahun 1788-1820.
Lahir pada hari Kamis wage24
18 Rabi‟ul Akhir 1694 atau 2 September
1768, dan wafat pada usia 53 tahun, tepatnya pada Senin paing 2 Oktober 1820.
Putra ke 17 dari Raden Mas Suryadi atau Sinuwun Paku Buwana III (bapak)
dengan Prameswari Ratu Kencana (ibu) merupakan permaisuri keturunan Sultan
Demak. Paku Buwana IV mempunyai dua istri yakni Gusti Kanjeng Ratu
21
“Weton” oleh masyarakat Jawa, yakni sebagai pengiring nama-nama hari yang disebut
pasaran (berasal dari kata sepasar yang berarti lima), ke lima itu diantaranya, kliwon (kasih), legi
(manis), pahing (jenar), pon (palguna), wage (cemengan). Titis Asmarandana, Primbon Pria Dan
Wanita Lengkap, Dua Media, h. 11. 22
Berasal dari kata Susuhan atau Susuhunan artinya “yang dipertuan” berasal dari kata
suhu (pundhi atau sunggi) yang berarti diletakan diatas kepala, jadi artinya orang yang di junjung
tinggi atau sangat dihormati, gelar Susuhan ini kembali dipakai oleh Amangkurat I untuk
mengembalikan status raja sebagai penguasa mutlak. Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram
Menolak Berdirinya Kesultanan Yogyakarta, (Diva Press: Yogyakarta, 2011) h. 51. 23
Sri Wintala Achmad, Filsafat Jawa Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku Hidup Leluhur
Jawa, (Yogyakarta: Araska, 2017) h. 114.
16
17
Kencana I (Raden Ajeng Handaya) berputra Paku Buwana V, dan Gusti Kanjeng
Ratu Kencana II (Raden Ajeng Sakaptinah) berputra Paku Buwana VIII, keduanya
merupakan kakak dan adik putri dari Raden Tumenggung Cakradiningrat dari
Pamekasan,25
Putra putrinya berjumlah 25 orang yakni:
1. Raden Mas Gusti Sugandi (Paku Buwana V)
2. Gusti Raden Ayu Btarakusuma
3. Gusti Raden Mas Kusen (Paku Buwana VIII)
4. Kanjeng Gusti Patih Hamengku Kusumayuda
5. Gusti Patih Hamengku Natabrata I
6. Gusti Kanjeng Raden Pambayun
7. Gusti Patih Hamengku Natapura
8. Gusti Patih Hamengku Natakusuma I
9. Gusti Raden Ayu Jaya Diningrat
10. Gusti Patih Hamengku Jatikusuma
11. Raden Mas gusti Malikus Shalihin (Paku Buwana VII)
12. Gusti Patih Hamengku Jayakusuma
13. Gusti Raden Ayu Mangkudiningrat
14. Gusti Raden Ayu Padmadipura
15. Gusti Patih Hamengku Widura
16. Gusti Patih Hamengku Balater
25
Mohammad Ardani dan Muhammad Sangaidi, Etika Islami Kehidupan Beragama,
Bermasyarakat Dan Bernegara Dalam Serat Wulangreh Pakubuwana IV Surakarta, h 17.
18
17. Gusti Raden Ayu Sasradiningrat
18. Gusti Patih Hamengku Pringgalaya
19. Gusti Patih Hamengku Hadikusuma I
20. Gusti Raden Ayu Jayadiningrat II
21. Gusti Raden Ayu Prawirasubrata
22. Gusti Raden Ayu Adipati Sasradiningrat II
23. Gusti Raden Ayu Mangkuyuda
24. Gusti Patih Hamengku Panji Priyambada
25. Gusti Patih Hamengku Panji Anom26
Sri Susuhunan Pakubuwana IV mewarisi darah kaprabon27
, pada usia 20
tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya, Pakubuwana III. 28
Cara memerintah keduanya sangat berbeda, Paku Buwana III sangat patuh kepada
VOC, karena sangat patuh kepada Belanda maka setiap kebijakan VOC selalu ia
ikuti.
Sedangkan Pakubuwana IV bertahta dalam lingkungan yang berbeda
dengan masa pemerintahan Pakubuwana II dan III, Mataram telah mengalami
banyak peristiwa hingga sampai saat pemerintahan Pakubuwana IV. Kasunan
Surakarta merupakan pecahan dari Kasunan Kartasura, sedangkan Kasunan
Kartasura merupakan ibu kota dari Kerajaan Mataram.
26
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 3. 27
Wahyu untuk menjadi raja yang meliputi seluruh jagad raya 28
Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito,
(Jogjakarta: Persada, 2003) h. 69.
19
Salah satu faktor pembagian wilayah kekuasaan di karenakan terjadi
pergolakan Mataram, dimana telah terjadi perebutan tahta antar keluarga istana.
Posisi raja yang sedemikian penting dan “menguntungkan”, apalagi di kalangan
masyarakat tradisional Jawa, “kekuasaan” dianggap berkaitan dengan turunnya
wahyu sehingga raja merupakan pengejawantahan dari Tuhan. Raja dianggap
sebagai wewakiling Pangeran Kang Ageng (wakil Tuhan yang Maha Besar),
akibatnya raja memiliki kekuasaan tidak terbatas dan segala keputusannya tidak
dapat ditentang karena dianggap wakil dari Tuhan.29
Membuat posisi ini sangat
diidamkan bagi para-putra raja yang akan mewarisi posisi sebagai raja.
Selain konflik perebutan tahta oleh antar keluarga, VOC hadir dan tak
jarang mengambil keuntungan dari setiap konflik yang terjadi di dalam keraton,
seolah VOC menawarkan bantuan kepada pihak atau raja yang menginginkan
suatu pembelaan. Para bangsawan istana memiliki pandangan pro dan kontra
terhadap keterlibatan kompeni dalam mengelola kerajaan, akibatnya pejabat
Kartosuro terbagi menjadi dua kelompok, golongan pertama adalah golongan
yang bersahabat dan mau bekerja sama dengan VOC yang di pelipori oleh ratu
Amangkurat, dan golongan anti VOC yang di pelopori oleh Patih Cakrajaya.30
Seperti pada masa pemerintahan Pakubuwana II, pendirian pakubuwana II
di anggap kurang kuat sehingga ia sering ragu-ragu dalam mengambil sikap
ditengah berbagai persoalan keluarga istana yang tak kunjung padam, akibatnya
29
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta,
(Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 1999) h. 28. 30
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram Menengok Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta, (Diva Press: Yogyakarta, 2011) h. 102.
20
kebijakan yang diambilnya justru membawa Mataram ke jurang kemelut yang
semakin dalam.
Pada tahun 1732 terjadi perselisihan antara Pakubuwana II dengan Patih
Cakrajaya, Pakubuwana II merasa sudah tidak sejalan lagi dengan Patih
Cakrajaya, maka ia pun meminta bantuan kompeni untuk membuang Patih ke
Batavia. Jika raja menerima bantuan dari kompeni maka terdapat imbalan
didalamnya, pada saat Pakubuwana II bersedia menerima bantuan militer, maka
imbalanya ia harus menyerahkan seluruh daerah pantai utara Jawa beserta
pelabuhan-pelabuhanya, selain itu ia juga harus menyerahkan Jawa Timur dan
Pulau Madura, dengan demikian kedaulatan Mataram telah tergadaikan oleh
VOC.31
Masalah perebutan kekuasaan antar keluarga selalu menjadi persoalan
yang menjadikan perang antar keluarga, dan tak jarang melibatkan VOC, pada
tanggal 13 Februari 1755 terjadi perjanjian Giyanti, perjanjian tersebut merupakan
kesepakatan antar VOC, pihak Mataram (di wakili oleh Pakubuwana III), dan
kelompok Pangeran Mangkubumi, yang menyatakan bahwa Pangeran
Mangkubumi mendapat setengah bagian dari wilayah kerajaan, sementara daerah
pantai utara Jawa yang telah dikuasai VOC, tetap dikuasai oleh VOC.32
Berdasarkan perjanjian ini wilayah Mataram dibagi dua yaitu wilayah
disebelah Timur Kali Opak (melintasi daerah perambanan sekarang) dikuasai oleh
31
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram Menengok Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta, h. 108. 32
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta,
h. 85.
21
pewaris tahta Matara yakni Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di
Surakarta, sementara di wilayah sebelah barat (daerah Mataram yang asli)
diserahkan kepada pangeran Mangkubumi yang kemudian diangkat menjadi
Sultan Hamngekubuwana I berkedudukan di Yogyakarta.33
Telah terjadi banyak peristiwa sebelum masa pemerintahan Pakubuwana
IV, sehingga membuat Pakubuwana IV menjadi sosok raja yang membenci
penjajah ia penuh keberanian dan memiliki cita-cita yang besar, Sunan
Pakubuwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai
“pujangga” (sebutan untuk para penulis sastra) dalam bidang sastra budaya, Paku
Buwana IV sangat kreatif dan produktif, konsepsi tentang kenegaraan dan
kecendekiawanan.34
Paku Buwana IV juga dipercaya sebagai raja dan ulama yang taat
menjalankan ajaran agama Islam, hal ini dibuktikan, seperti tidak meninggalkan
shalat lima waktu, shalat Jumat dan mengharamkan minuman keras, hal ini telah
terlihat sejak muda, saat masih berstatus sebagai putra mahkota. Pakubuwana IV
dikenal sebagai raja Surakarta yang paling religius dalam mengamalkan ajaran
Islam dalam kehidupan pribadi maupun kerajaan. Kegemarannya menimba ilmu
agama dari kiai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang luas tentang agama Islam.35
33
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram Menengok Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta, h. 124. 34
Amir Rochkyatmo,”Sastra Wulang, Sebuah Gendre di Dalam Sastra Jawa Dan Karya
Sastra Lain Sejaman”, Jumantara, No 1 Tahun 2010, h. 7. 35
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya” h. 10.
22
Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat
dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang
Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan Paku
Buwana IV menerangkan ajaran Islam. Tidak jarang dalam serat karyanya
tersebut ia mengutip langsung ayat-ayat al-Qur‟an dan al-Hadits demi
memperkuat nasihat yang disampaikannya, selain terkenal dalam bidang sastra
yang khususnya bersifat rohani, ia juga diyakini sebagai pengarang Serat
Wulangreh yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki morah bangsawan
Jawa, bahkan pujangga besar Ronggowasito (cucu angkat Pangeran Buminoto,
adik Pakubuwana IV) mengaku pernah belajar ilmu kesaktian kepada
Pakubuwana IV, Pakubuwana IV juga dikenal sebagai ahli politik yang cerdik.36
Sunan Pakubuwana IV wafat pada usia 53 tahun, dengan lama jabatan
sebagai raja selama kurang lebih 33 tahun, kepimpinannya digantikan putranya
yang bergelar Pakubuwana V (Raden Mas Gusti Sugandi) yang lahir dari
permaisuri Raden Ayu Handoyo, putri Bupati Pamekasan Adipati Cakraningrat.
Karya-karya Sri Pakubuwana IV hingga sekarang masih menyebar dan berakar
kuat di lingkungan kebudayaan Jawa.37
B. Latar Belakang Pendidikan
Sunan Paku Buwono IV naik takhta pada usia yang begitu muda, namun
pada usia yang begitu muda ia telah mempunyai keberanian dan idealisme yang
36
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram Menengok Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta, h. 144. 37
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, h. 13.
23
tinggi sebagai seorang raja dan pemimpin yang berilmu. Pemikiranya dipengaruhi
oleh peristiwa kebobrokan moral karena pengaruh kompeni yang masuk kedalam
kehidupan rakyatnya, karena faktor tersebut membuat pakubuwana IV ingin
mengembalikan jati diri bangsanya, karena pada dasarnya Mataram merupakan
kerajaan islam.
Sebagai seorang raja muda, Sunan meminta beberapa ulama untuk
mendampinginya. Ulama yang dipilih adalah yang mereka yang mumpuni dan
juga zuhud dalam kesehariannya, ia berharap ulama dapat mendampingi dan
menjadi penasihatnya dalam memimpin Kasunanan Surakarta sebagai sebuah
kerajaan islam penerus Mataram.
Ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaan Sunan
Pakubuwana IV banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama
yang anti terhadap Kompeni. Wiryakusuma adalah putra Raden Mangun Kreta
yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat
pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang penjajah Kompeni.38
Kiai Imam Syuhodo Apil Quran dari Pesantren Wonorejo, Bekonang,
Surakarta adalah salah seorang ulama yang dipercaya sebagai salah satu guru
agama Sunan Pakubuwana IV. Pada saat Kiai Imam Syuhodo akan mendirikan
pesantren, ia mendapat bantuan dari Sunan Pakubuwana IV yang berupa umpak
(penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol.39
38
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992)
h. 34. 39
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid dalam Serat Wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, h. 65.
24
Pada saat peristiwa Babad Pakepung, Pakubuwana IV di bantu oleh Para
ulama, di antarannya adalah Wiradigda, Brahman, Panengah, Kiai Nur Saleh,
keempat kiai ini dianggap sebagai Abdi Dalem Kinasih (abdi dalem terpercaya)
Sunan Pakubuwono IV dan berperan dalam pengembangan nilai-nilai keislaman
di Kasunanan Surakarta.40
Masa pemerintahan Pakubuwono IV menjadikan identitas Kasunanan
Surakarta sebagai kerajaan Islam menjadi sangat terlihat dominan. Karena, ia
telah dididik oleh para ulama yang mumpuni, dengan adanya penghulu kerajaan,
abdi dalem ulama dalam birokrasi kerajaan, adanya peradilan surambi yang
mendasarkan pada hukum Islam dan berdirinya masjid di lingkungan kraton,
kemudian adat istiadat seperti grebeg pasa (pelaksanaan pada hari raya Idul
Adha), grebek mulud (memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW) yang
dikenal dengan istilah Sekaten.41
Pakubuwana IV berusaha meluruskan berbagai penyelewengan dan
penyimpangan dari ajaran Islam yang terjadi di Keraton Surakarta. Ia juga
berusaha menerapkan aturan- aturan Islam di Keraton Surakarta, seperti pakaian
prajurit yang sebelumnya bergaya belanda di ganti dengan pakaian prajurit
bergaya Jawa, setiap hari Jumat Sunan bersembahyang di masjid besar, setiap abdi
40
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, h. 13. 41
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid dalam Serat wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, h. 65.
25
dalem yang menghadap raja diwajibkan berpakaian santi, para pejabat yang
melanggar aturan yang dibuat Sunan akan dimutasi atau bahkan dipecat.42
Hal itu membuat beberapa pejabat yang tersingkir dari jabatannya
berusaha untuk melawan Sunan, kebijakan Sunan yang bernuansa Islam juga
tidak disukai penjajah Belanda, Belanda memandang bahwa para ulama yang
ada di sekitar Sunanlah yang menjadi penyebabnya. Kemudian Belanda
berkerjasama dengan para pejabat keraton untuk melawan Sunan, mereka
kemudian melontarkan berbagai isu yang memojokkan Sunan, dan sepakat bahwa
para ulama yang menjadi penasihat Sunan adalah orang yang jahat dan
mempengaruhi Sunan untuk menerapkan aturan-aturan Islam.43
Pengepungan dilakukan dengan ribuan pasukan untuk mengepung
Keraton Surakarta yang hanya berisi beberapa ratus orang saja. Setelah terjadi
pengepungan Belanda mengultimatum Sunan, ia diminta menyerahkan para
ulama penasihatnya atau keraton akan diserang dan Sunan diturunkan dari takhta
secara paksa, akhirnya Pakubuwana IV menyerah dan menyerahkan para
penasehatnya untuk dibuang oleh VOC, pengepungan ini dikenal dengan
peristiwa “Babad Pakepung”.44
Sunan berusaha untuk menerapkan aturan-aturan hukum Islam secara
damai, tetapi musuh-musuhnya tetap menganggapnya sebagai ancaman dan
kejahatan yang harus dicegah dan dihentikan sebelum semakin berkembang.
42
Andi harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 8. 43
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, h. 4. 44
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram Menengok Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta, h. 43.
26
C. Karya-karya
Pada masa pemerintahan Pakobuwono IV mengalami kemajuan khususnya
dalam bidang seni dan sastra, peran Pujangga kasunanan seperti Yasadipura II,
Raden Ngabehi Ranggawarsita dan yang lainnya telah memainkan peranan
penting dalam masa kepustakaan Jawa ini.
Dalam bidang kebudayaan, seperti kebangkitan karawitan keraton
mengalami kemajuan yang luar biasa, yaitu banyak gending tercipta, baik gending
dengan komposisi yang panjang (seperti gending ketuk 4 arang, 4 kerep), sampai
gending prenes45
, gending gecul46
, dan gending bonang47
( untuk keperluan
musikal Sekaten maupun keperluan lainnya).48
Sedangkan karya Pakubuwana IV
dalam bidang sastra adalah:
a. Serat Wulangsunu, adalah karya Pakubuwana IV yang berisi tentang
ajaran moral seperti serat piwulang lainnya. Teks aslinya berada di
kepustakaan Surakarta yang memuat lima pupuh (dhandanggula 16 bait,
asmarandhana 20 bait, sinom 15 bait, pangkur 22bait, dan kinanthi 23
bait). Pesan moral dalam Serat Wulangsunu adalah pemahaman terhadap
dharmaning gesang (tugas kehidupan di dunia) pamedaring wasitaning ati
(lahirnya kata hati atau niat).49
45
Bentuk gending yang memiliki karakter dinamis dan lincah yang ditandai dengan
permainan teknik kendang ciblon. 46
Bentuk gending yang memiliki karakter lucu dengan ekspresi permainan (improvisasi)
“seakan-akan”. 47
Komposisi karawitan dengan main instrument boning. 48
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, h. 12. 49
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid dalam Serat wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, h. 66.
27
b. Serat Wulangputri, menguraikan tentang ajaran moral atau etika yang
patut dilakukan oleh wanita, khususnya wanita dari kalangan bangsawan,
adanya Serat Wulangputri ini sebagai bukti perhatian Pakubuwana IV
terhadap eksistensi wanita ditengah-tengah masyarakat kraton, pada saat
itu kedudukan dan peran wanita sudah diatur sesuai dengan nilai budaya
Jawa yang menempatkan kedudukan wanita tetap mulia berdampingan
dengan laki-laki. Serat Wulangputri yang berisi pupuh 5 bait, mijil 5 bait,
asmarandana 17 bait, dhandanggula 20 bait, kinanthi 15 bait.50
c. Serat Cipta Waskitha, terdiri dari tiga pupuh, yang mengajarkan tentang
budi pekerti, memilih guru, pengertian ilmu dan ngelmu. teks serat ini
tersimpan di kepustakaan Surakarta. Dengan terciptanya Serat Cipta
Waskitha diharapkan manusia dapat memahami hidup, tidak memandang
rendah orang lain, memahami hukum benar dan salah (halal dan haram).51
d. Serat Brata Sunu, merupakan serat piwulang yang berisi tentang
bagaimana cara nggulawentah (mendidik) putra putri dalem, abdi dalem
kraton Kasunanan Surakarta. Isi piwulang dalam Serat Brata Sunu tentang
hal-hal yang harus dikerjakan anak, contohnya bab ketika waktu tidur yang
baik menghadap kemana, cara makan yang baik, cara berbicara, sopan
santun dan lain sebagainya.52
e. Serat Wulangreh, berisi tentang pendidikan budi pekerti serta merupakan
warisan leluhur yang bernilai tinggi, pendidikan budi pekerti tersebut
50
Sri Ratnawati, Perempuan Dan Ajaran Perenialis Dalam Serat Wulangputri,
Departemen Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Bahasa Dan Seni, No 1, Februari 2008, h. 61. 51
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh Belanda
Dan Sekutunya”, h. 11. 52
Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, h. 26.
28
bermatra multi dimensional yang berbentuk sistem-sistem ajaran yang
meliputi latihan mengurangi makan dan tidur, sistem awal-akhir yang
memahami bahwa awal yang buruk akan bermuara pada hasil akhir yang
baik, dan sebaliknya awal yang baik justru menghasilkan buah yang
buruk.53
f. Serat Wulang Dalem, hanya berisi satu tembang yakni dhandanggula yang
terdiri dari 68 bait.
g. Serat Wulang Tatakrama,
h. Serat Sasana Prabu
i. Serat Polah Muna Muni.
j. Serat Wulang Putra, terdiri dari 9 pupuh yaitu, dhandanggula 9 bait,
kinanthi 14 bait, gambuh 18 bait, pangkur 16 bait, maskumambang 32
bait, megatruh 17 bait, durma 37 bait, pucung 23 bait, mijil 8 bait. Isi dari
Serat Wulang Putera tidak jauh berbeda dengan isi dalam Serat
Wulangreh, berisi nasehat tentang bagaimana cara memilih guru, memilih
pergaulan, menghindari watak adigang, adigung, adiguna, tatakrama,
pengendalian hawa nafsu, akhlak terpuji dan tercela, menjalankan syariat,
watak ksatria dan lain-lain.54
Selain menulis Serat Piwulang yang berbentuk tembang, Sunan
Pakubuwono IV juga menulis buku-buku bacaan yang berisi tentang cerita
sebagai i‟tibar dalam kehidupan. Buku waosan (bacaan) yang terkenal
53
Purwadi, Konsep Pendidikan Keagamaan Menurut Pakubuwana IV, Jurnal Pemikiran
Alternatif Kependidikan, INSANIA, Vol. 11, No. 3, September tahun 2006, h. 1. 54
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid dalam Serat Wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, h. 67.
29
diantaranya: Panji Raras, Panji Sekar, Panji Dhadhapdan, Panji Blitar. Keempat
waosan tersebut yang berupa tulisan carik semua tersimpan di kepustakaan
Radyapustaka.55
Selain banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang sastra dan
budaya, Pakubuwana IV juga membangun tepat-tempat yang bersejarah bagi
masyarakat Kasunan Surakarta, di anatarnya adalah:
1. Pembangunan Masjid Ageng, berdiri tahun 1716.
2. Berdirinya Regol Srimanganti ler, di dirikan tahun 1718.
3. Pasang Tales Siti-Inggil kidul, berdiri tahun 1721.
4. Berdirinya saka guru dalam Prabasuyasa, dibangun pada tahun 1722.
5. Iyasa Kapa, wangun Majapahit, berdiri pada tahun 1728.
6. Iyasa gedhong saleripun Prabasuyasa, selesainya dengan nama Dalem
Ler (panepen), di dirikan pada tahun1728.
7. Pembutan Loji Beteng di Klaten, di dirikan pada tahun 1731.
8. Berdirinya Bangsal witana Siti-inggil, kidul, di dirikan pada tahun
1736.
9. Saka rawa pandhapa ageng kaumpak, di dirikan pada tahun 1739.
10. Pendhapa Ageng, di dirikan pada tahun1739.
11. Bangsal Marcukundha Srimanganti wetan yang selesai diperbaiki,
pada tahun 1741.
55
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid dalam Serat Wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, h. 11.
30
12. Kanan kiri Lepen Larangan yang mengalir masuk ke kedaton kabonan,
di dirikan pada tahun 1742.
13. Pembuatan ringgit (wayang) purwa, yang dinamai dengan Kiai Jimat,
di dirikan pada tahun 1742.
14. Kori Kamandhungan, di dirikan pada tahun 1746.
15. Pendhapa Pamethelan, di dirikan pada tahun 1747.56
D. Kasunan Surakarta pada Masa Pemerintahan Pakubuwana IV
Bagi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Solo (Surakarta) merupakan dua wilayah yang sangat
kental dengan nuansa dan budaya keraton (kerajaan), wilayah ini pernah
menjadi pusat dari sebuah kerajaan besar islam di abad ke-16 yang
menguasai hampir seluruh pulau Jawa.57
Kata islam digunakan untuk
membedakan kerajaan ini dengan kerajaan yang sama di abad ke-8 yakni
kerajaan Mataram Kuno.
Sampai saat ini kedua wilayah ini tetap kental dikenal sebagai
daerah keraton karena masih menganut sistem kerajaan meskipun dengan
bentuk yang jauh berbeda dari bentuk monarki, dan menjadi bagian dari
Negara Republik Indonesia, saat ini keraton Yogyakarta dan keraton
Surakata tetap melestarikan adat dan budaya nenek moyangnya, sehingga
sampai saat ini kedua wilayah tersebut dikenal sebagai kota keraton.
Kesultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta berasal dari satu
ibu yang sama yakni Mataram Islam, maka akan dibahas terlebih dahulu
56
Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, h. 24-25. 57
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta Dan Kasunan Surakarta, (Yogyakarta: Saufa, 2015) h. 5.
31
perjalanan panjang Mataram sehingga sampai terpecah menjadi dua
kerajaan yakni di Yogyakarta dan Surakarta, sehingga berdampak saat
tiba masa pemerintahan Pakubuwana IV telah terjadi masalah-masalah
besar yang timbul dari masa pemerintahan raja sebelumnya.
Amangkurat I (1645-1677) adalah raja Mataram pengganti dari
Sultan Agung yang ke-10 dari isteri padmi (permaisuri) Kanjeng Ratu
Kencono yang berasal dari Kadipaten Batang, Amangkurat tidak lagi
memakai gelar Sunan namun ia memakai gelar Susuhan ini digunakan
untuk mengembalikan status raja sebagai penguasa mutlak, namun
ternyata prinsip ini mengakibatkan hubungan raja dengan para bangsawan
elite keraton dan para pemimpin islam menjadi tidak harmonis.58
Amangkurat I dikenal sebagai raja yang kejam, ia selalu
menghukum siapa saja yang dicurigai akan menentang kekuasaanya, ia
pernah mengumpulkan sekitar 5 ampai 6 ribu ulama beserta keluarga
mereka lalu di bantai di Plered karena dicurigai menjadi tersangka, hal ini
menimbulkan hubungan antara pihak kerajaan dengan kalangan santri
menjadi retak sampai akhir masa pemerintahanya, sikap amangkurat yang
sangat sadis itu dicatat oleh VOC, Rijklof Volkertz Van Goenes ia
menuliskan kesaksianya tersebut pada buku yang berjudul javaenese
reyse: De Bezoeken van een VOC-Gezant aan bet Hof van Mataram 1648-
58
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 52.
32
1654, dan H.J De Graaf di dalam bukunya yang berjudul Disintegrasi
Mataram di Bawah Mangkurat I (1987).59
Sikap Amangkurat I menimbulkan pemberontakan yang di lakukan
oleh Trunojoyo, Trunojoyo adalah putra Demang Melaya dari Sampang,
Madura, ia diangkat menjadi menantu oleh Panembahan Kajoran dan di
besarkan di Mataram, dengan demikian Trunojoyo banyak melihat
kekejaman di dalam istana Mataram, ia mendengar kabar tentang
penaklukan Sultan Agung terhadap orang-orang Madura bahkan kakeknya
dibunuh bersama kerabat dan raja-raja lain di Madura, selain itu ia juga
mengetahui bahwa masyarakat Madura tidak puas hidup di Mataram, di
sisi lain ia menganggap pamanya yaitu Cakraningrat II yang di jadikan
bupati di Madura oleh Sultan Agung terlalu menghamba kepada Mataram,
oleh karena itu Trunojoyo menjadi benci terhadap Mataram maka timbul
tekad Trunojoyo untuk menghimpun kekuatan orang-orang Madura untuk
melawan kekuasaan Mataram yang kejam.60
Saat pasukan Trunojoyo berhasil menduduki Plered ibu kota
Mataram, sehingga semua harta Amangkurat I, harta pusaka kerajaan, para
isteri Amangkurat I, mahkota emas peninggalan Majapahit di bawa ke
Kediri tempat Trunojoyo hendak mendirikan pusat kerajaan dan
pemerintahan yang baru. Sementara itu ia memberikan kekuasaan
Mataram di Plered kepada Pangeran Puger salah satu anak dari
Amangkurat I yang bersikap loyal terhadap perjuanganya, kemudian
59
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 54. 60
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 64.
33
Pangeran Puger menobatkan diri manjadi Raja Mataram dengan gelar
Susuhunan Ing Ngabdurachman Sayidin Panatagama.61
Amangkurat II berada pada posisi yang sulit kemudian ia meminta
bantuan kepada VOC dengan kesepakatan bahwa VOC akan menyerang
Trunojoyo bersama pasukan Mataram yang telah berhasil dikuasainya, dan
bila perang telah usai Amangkurat II harus mengganti semua biaya yang
dikeluarkan oleh pihan VOC dan menyerahkan sebagian daerah untuk
memperluas kepentingan perdagangan VOC hingga samudera Hindia,
Semarang, dan daera-daerah lainya.62
Setelah pemberontakan Trunojoyo usai, terjadi pemberontakan
yang dilakukan oleh Untung Suropati ia adalah seorang budak belian dari
Pulau Bali yang di beli oleh salah satu keluarga Belanda, ia terpaksa
melarikan diri untuk menghindari hukuman karena perbuatan kriminalnya
dan juga persoalan asmara dengan Suzane salah seorang anggota keluarga
Belanda, keberanian Untung Suropati semakin membuatnya terkenal, ia
pun mendapat simpati dari rakyat dan bupati yang mendukung
perjuanganya, ia mendirikan kerajaan yang lepas dari kekuasaan Mataram
dan menobatkan diri menjadi rajanya. Hal ini menjadikan Amangkurat II
semakin kehilangan pamor dan wibawanya sehingga sulit untuk
mengembalikan pengaruhnya di wilayah timur Jawa, Amangkurat II wafat
61
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kessultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 98. 62
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 115.
34
selanjutnya tahta Mataram digantikan oleh puteranya yang bergelar
Kanjeng Sunan Mangkurat Mas atau Amangkurat III.63
Hal pertama yang dilakukan oleh Amangkurat III setelah naik tahta
adalah memberikan hukuman kepada keluarga kerajaan yang pernah
bertengkar denganya sehingga, sebulan setelah pengangkatanya timbul
pergolakan di dalam istana Mataram, sejumlah pangeran kerajaan mulai
membentuk kubu perlawanan dengan cara membuat kelompok tandingan
untuk mengangkat Pangeran Puger menjadi junjunganya, Pangeran Puger
adalah putra dari Amangkurat I, kakak beradik dengan Amangkurat II, dan
paman dari Amangkurat III.
Para putera Pangeran Puger mulai meninggalkan istana kemudian
menyusun rencana perlawanan dan pemberontakan di Banyumas, akhirnya
Pangeran Puger berhasil ditangkap oleh Amangkurat III kemudian ditawan
dalam sebuah grunjong atau kurungan bambu besar dan dipertontonkan
kepada rakyat di alun-alun Surakarta, hal ini membuat pangeran puger
sakit hati, ia berusaha meloloskan diri dan membalas dendam kepada
keponakanya. Pada tahun 1704 Pangeran Puger berhasil meloloskan diri
dari keraton Kartosuro, ia segera menuju semarang untuk meminta
perlindungan kepada kompeni, ia juga meyakinkan pihak kompeni bahwa
Amangkurat III telah bersekutu dengan Untung Seropati sehingga hal ini
mengancam VOC.64
63
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 88. 64
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 89.
35
Pada Juni 1704 Pangeran Puger diakui oleh Kompeni sebagai
Pakubuwana I, sehingga semakin membuat perpecahan antara pihan
Amangkurat III dengan Pangeran Puger semakin nyata, Pangeran Puger
meminta bantuan VOC untuk menghadapi Amangkurat III sehingga
Amangkurat III tidak bisa meminta bantuan VOC, pada tahub 1681 VOC
dan Pangeran Puger telah terikat sebuah perjanjian yaitu ketika Pangeran
Puger mengakui kedaulatan Amangkurat II pihak kompeni akan
melindungi jiwanya, disamping itu VOC sudah tidak mempercayai
Amangkurat III, karena ayahnya yaitu Amangkurat II tidak berhutang
kepada VOC.
Para bupati daerah pesisir utara Jawa dan beberapa pejabat tinggi
Mataram semakin bersimpati dan mengakui Pangeran Puger sebagai
rajanya, VOC pun lebih memilih Pangeran Puger dari pada Amangkurat
III sebagai raja Mataram, karena memang pada dasarnya Pangeran Puger
telah mendambakan tahta tersebut selama 25 tahun yang lalu, maka untuk
memuluskan langkahnya menjadi raja Mataram ia membuat perjanjian
dengan pihak kompeni. Amangkurat III yang memberontak akhirnya
berhasil di tangkap di Batavia oleh VOC, kemuadian dia dihukum dan
dibuang ke Ceylon, Sri Langka pada tahun 1734 dan meninggal ditempat
pembuangan.65
Pakubuwana I pun harus menebus kemenangan itu dengan harga
mahal, ia harus menyerahkan Jepara, Demak, Tegal, Priangan, Cirebon
65
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 90.
36
dan Madura bagian timur kepada Belanda. Setelah 15 tahun menjabat
sebagai raja Mataram Kartasuro di tengah-tengah keretakan yang terjadidi
wilayah timur Jawa, Pakubuwana I wafat dan di makamkan di Imogiri,
selanjutnya tahta mataram diserahkan kepada anaknya yakni Pangeran
Adipati Anom Mangkubumi yang bergelar Amangkurat IV, ia lebih
memilih menggunakan Amangkurat dari pada gelar Pakubuwana sebab ia
mempercayai suatu ramalan yang menyatakan bahwa penggunaan gelar
Pakubuwana akan mengakibatkan keraton terseret pada perpecahan
besar.66
Pengengkatan Amangkurat IV menimbulkan kontroversi bebrapa
putera Pakubuwana I dan isterinya yang lain tidak menyetujui penobatan
Amangkurat IV, sebab mereka menganggap diri mereka sebagai putera
sulung Pakubuwana I, mereka berkomplot dengan putera mendiang
Untung Suropati bahkan dengan putera Amangkurat IV yang bernama
Pangeran Hamengkunegoro untuk melawanya, maka terjadilah perang
keluarga yang disebut Perang Suksesi Jawa II yang berlangsung selama 4
tahun dari tahun 1719-1723, dengan bantuan kompeni Amangkurat IV
berhasil menumpas para pemberontak dan bebrapa pangeran yang
memberontak tersebut di hokum mati oleh Amangkurat IV, dan yang
masih tersisa menyerahkan diri, Amangkurat IV wafat pada Ahad Pahing
66
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 92.
37
17 Besar tahu Jimakir 1642 (1727 M) sebelum perang bener-benar dapat
diredam.67
Pengganti dari Amangkurat IV yakni Raden Mas Gusti Prabu
Suyasa ia bergelar sebagai Pakubuwana II, ia memiliki cita-cita yang luhur
seperti ingin memulihkan citra ulama yang shalih, kepribadian mulia itu ia
kembangkan, namun sayangnya pendirian Pakubuwana II kurang kuat
sehingga ia sering ragu-ragu dalam mengambil keputusan di tengah
berbagai persekongkolan keluarga istana yang tak kunjung padam,
akibatnya kebijakan yang diambilnya justeru membawa Mataram ke
jurang kemelut yang semakin dalam.68
Awalnya hubungan Pakubuwana II dengan VOC berjalan cukup
baik ia membayar semua utang yang digunakan untuk biaya perang sejak
zaman kakeknya yakni Pakubuwana I dengan cara mengangsur kepada
VOC, terjadi peristiwa Geger Pecinan VOC meyakini bahwa komunitas
etnis Cina di Batavia ikut bersekongkol dalam penyerangan terhadap
VOC, pada Oktober 1740 ketegangan ini meletus menjadi konflik yang
membakar seluruh Jawa dalam rentetan perang selama belasan tahun,
peristiwa ini dipicu oleh pembantaian warga Cina yang di lakukan oleh
masyarakat Eropa di Batavia atas izin Adriaan Valckeneir selaku Gubernur
Jendral VOC, sekitar sepuluh ribu orang cina tewas dan pemukiman
mereka dibakar.69
67
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 99. 68
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 102. 69
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 105.
38
Karena Pakubuwana II merasa pembayaran yang dibebankan oleh
VOC semakin memberatkan pihaknya, maka ia membantu orang Cina
untuk menyerbu markas VOC, lama kelamaan VOC mencurigai
Pakubuwana II telah membantu orang Cina dalam penyerbuanya terhadap
VOC, menyadari posisinya terancam Pakubuwana II berbalik menyatakan
kesetiaan dan meminta dukungan kepada VOC, kemudian ia menjalin
perdamaian dengan VOC dan menandatangani perjanjian Pakubuwana II
bersedia menerima bantuan militer kompeni namun sebagai imbalanya dia
harus menyerahkan seluruh daerah Pantai Utara Jawa beserta pelabuhan-
pelabuhanya selain itu dia juga harus menyerahkan Jawa Timur dan Pulau
Madura dengan demikian kedaulatan Mataram telah tergadaikan kepada
VOC.
Pakubuwana III adalah raja kedua Kesunan Surakarta yang
memerintah pada tahun 1749-1788, mataram kembali bergolak karena
adanya perebutan tahta antar keluarga istana, terjadi perjannjian Giyanti
berdasarkan perjanjian ini wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu
wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan
sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram Sunan Pakubuwana III
berkedudukan di Surakarta, sementara itu wilayah di sebelah barat (daerah
Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang
39
kemudian diangkat menjadi Sultan Hamengkubowono I yang
berkedudukan di Yogyakarta.70
Pakubuwana III merupakan raja yang tunduk kepada VOC ia
sangat bergantung kepada Belanda, maka setiap kebijakan VOC selalu
diterimanya dengan patuh, hal ini menyebabkan munculnya ketegangan di
dalam istana karena munculnya komplotan-komplotan yang berusaha
mengendalikan pemerintahanya, ketegangan ini berlangsung hingga
Pakubuwana III wafat dan digantikan oleh puteranya yang bergelar
Pakubuwana IV.71
Panjangnya perjalanan Mataram dan banyaknya peristiwa yang
mewarnai sejarahnya membuat terbentuknya kepribadian Pakubuwana IV
menjadi raja yang penuh dengan cita-cita yang agung, ia ingin menjadikan
Surakarta sebagai negeri yang paling utama di Jawa dan bahkan dapat
mengalahkan Yogyakarta, Pakubuwana IV menjadi seorang raja yang
pemberani dan bercita-cita tinggi dan sangat anti VOC terutama karena
sikap residen Surakarta bernama W.A Palm yang korup, ia tertarik dengan
paham kejawen maka ia mengangkat tokoh-tokoh dari golongan tersebut
untuk duduk dalam pemerintahan, para tokoh kejawen mendukung
Pakubuwana IV untuk membebaskan diri dari VOC, awalnya Pakubuwana
IV bersifat akomodatif terhadap pemerintah Belanda namun ia kemudian
berkomplot dengan Pasukan Sepoy yaitu tentara dari India yang dibawa
Inggris untuk bertugas di Jawa untuk melawan pemerintah Belanda,
70
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 134. 71
Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram, h. 140.
40
Pakubuwana IV pandai bersandiwara di depan Thomas Reffles wakul
pemerintah Inggris yang telah menggeser belanda pada tahun 1811, masa
pemerintahan Pakubuwana IV terjadi pergantian penjajah yaitu dijajah
oleh bangsa Inggris lalu kembali dijajah oleh Belanda (1816), selain
dikenal sebagai ahli politik yang cedik Pakubuwana IV juga terkenal
dalam bidang sastra, khususnya sastra yang bersifat rohani.72
72
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 322.
41
BAB III
ETIKA DAN SERAT WULANGREH
A. Definisi Etika
Dari segi etimologi istilah etika berasal dari Yunani kuno “ethos” dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti yaitu padang rumput, kandang, habitat,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir, dalam bentuk jamak
“ta etha” berarti adat kebiasaan. Etika identik dengan perkataan moral yang
berasal dari kata Latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti
adat atau cara hidup, etika adalah salah satu cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai dan norma, moral, yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya. Jadi dapat di batasi asal-usul kata etika berarti ilmu tentang apa yang
bisa di lakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. 73
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika berarti ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban, moral,
akhlak,74
Etika juga dapat di sebut sebagai filsafat moral, misalkan moralitas
suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya, moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk, Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari
73
K. Bertnes, Etika, (Yogyakarta: Kanisius) h 4. 74
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (selanjutnya ditulis KBBI) (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 383.
41
42
berbeda, moral atau moralitas di pakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
sedangkan etika di pakai untuk pengkajian nilai-nilai yang ada.75
Para ahli berbeda-beda pendapat mengenai definisi etika yang
sesungguhnya, masing- masing mempunyai pandangan sebagai berikut:
Franz Magnis Suseno menjelaskan, etika merupakan ilmu dan bukan
sebuah ajaran, yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup
yakni moralitas, etika hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran
moral tersebut, etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan
rasional ajaran moral yang siap di pakai.76
Menurut Mulyadhi Kartanegara, etika sebagai cabang ilmu filsafat tidak
dapat di pahami hanya sekedar adat atau sopan santun begitu saja, etika adalah
filsafat moral atau akhlak tapi bukan akhlak itu sendiri, dalam bahasa Arab
disebut ilm al-akhlaq, tapi bukan akhlak itu sendiri, karena akhlak itu artinya
karakter manusia.77
Kemudian Rosmaria Syafariah, etika berasal dari bahasa Latin yakni
“ethicus” yang berarti kesusilaan atau moral, maksudnya adalah tingkah laku
yang ada kaitanya dengan norma-norma sosial baik yang sedang berjalan maupun
yang akan terjadi.78
75
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) h. 13. 76
Burhanuddin Salam, Etika Sosisal, Asas Moral, Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:
Rineka Cipata) h. 1. 77
Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam Etika, Dan Tasawuf, (Jakarta: Ushul Press, 2009)
h 52. 78
Rosmaria Syafariah Widjajanti, Etika, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2008) h. 23.
43
Selanjutnya, M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk, jadi dapat di katakana etika merupakan teori
perbuatan baik dan buruk (ethic atau „ilm al-akhlak al-karimah), praktiknya dapat
di lakukan dalam disiplin falsafah.79
Etika dalam islam di artikan sebagai akhlak, dengan demikian islam
mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah semualia-mulianya sesuatu, sebaik-
baiknya manusia dengan akhlak yang baik, manusia lebih tinggi derajatnya dari
pada binatang, karena manusia sebagai subjek di bumi ini memiliki keunggulan di
bandingkan makhluk lain karena di bekali akal dan hati yang memerankan
perananya dalam menentukan baik dan buruk.80
Dari beberapa definisi di atas, etika sebagai bagian dari cabang filsafat
yang di pahami sebagai refleksi tentang kehidupan yang dijalani manusia, yang di
lakukan dengan penuh kesadaran, yang berkaitan dengan bagaimana cara hidup
yang bermutu demi tercapainya tujuan hidup yang di kehendaki yaitu
kebahagiaan, etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan
atau tingkah laku manusia.
B. Etika Bernegara
Telah di jelaskan di atas bahwa etika merupakan ilmu pengetahuan yang
bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam masyarakat apakah
baik atau buruk, benar atau salah, etika juga dapat di pahami sebagai ilmu yang
79
Teti Pujiawati, dalam Skripsinya dengan judul, Etika Hubungan Murid Dan Guru
Dalam Serat Dewaruci, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah: 2017) h. 32. 80
Nur Fatikhah, dalam Skripsinya dengan judul, Kode Etik Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013 Dalam Penerapan Perspektif Etika, (Jakarta: Fakultas
Ushuluddin, 2016) h. 34.
44
membicarakan mengenai baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan
bersama.
Sebelum membahas definisi bernegara akan di bahas definisi dari negara,
dan politik terlebih dahulu, karena ke tiganya saling berkaitan, kata negara
merupakan terjemahan dari bahasa asing, state dan staat yang di ambil dari bahasa
Latin status atau statum yang berarti keadaan tegak dan tetap, secara terminologi
negara di mengerti sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu,81
akan menjadi suatu negara
jika terdapat bagian-bagian untuk membentuknya sehingga apabila suatu bagian
tidak terpenuhi maka tidak memenuhi syarat, atau di sebut dengan unsur-unsur,
unsur-unsur agar terbentuknya negara adalah adanya pemerintahan, penduduk,
wilayah dan pengakuan.
Sedangkan kata politik berasal dari bahasa Yunani yaitu “polis” yang
berarti kota, negara kota, dari konsep polis berkembang konsep “polites” yang
bermakna warga negara,82
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) politik
adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti sistem
pemerintahan, atau segala urusan dan tindakan seperti kebijakan mengenai
pemerintahan negara atau terhadap negara lain.83
81
Aryaning Arya Kresna, Etika Dan Tertib Hidup Berwarga Negara, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2010) h. 94. 82
Desy Yeni Verawati, “Etika Politik Nur Cholish Madjid”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, h. 38. 83
KBBI, h. 1091.
45
Selanjutnya bernegara berasal dari kata negara, menurut KBBI bernegara
berarti mempunyai negara atau menjalankan pemerintahan negara.84
Etika
bernegara merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya
dalam suatu teori dalam negara, etika bernegara merupakan perilaku atau sikap
taat kepada aturan yang telah di sepakati bersama, sehingga mampu membuatnya
menempatkan diri secara baik dalam pergaulan sosial.85
Orang yang mampu
memasuki dimensi moral dalam kehidupanya mudah menyesuaikan dalam
bernegara.
Para filosof Yunani menuangkan gagasanya mengenai etika bernegara,
teori kenegaraan Plato menjelaskan bahwa tugas etik manusia adalah dikaitkan
dengan kedudukanya dalam negara. Manusia adalah makhluk sosial sehingga
dalam mencapai tujuan hidupnya yakni eudaimonia atau hidup yang baik maka di
perlukan negara, persoalan pokok dalam negara adalah keselamatan para warga
negara bukan orang yang memerintah, orang yang memerintah harus
mengorbankan hidupnya bagi pemerintahanya dengan cara mengorbankan
kepentingan diri sendiri, orang-orang yang memerintah harus orang yang pandai
dan memiliki pendidikan yang melebihi golongan-golongan lain, tidak boleh
memiliki milik pribadi sebab semuanya akan menggoda pemimpin untuk berbuat
tidak adil. Tugas para negarawan adalah menciptakan keselarasan antara semua
84
KBBI, h. 956. 85
Haryatmoko, Etika Politik Dan Kekusaan, (Jakart: Kompas Media Nusantara, 2003) h
23.
46
tugas, menurut Plato negara harus berfungsi sebagai dokter yang dapat
memberikan obat terhadap banyak penyakit bagi pasienya.86
Ajaran Aristoteles menjelaskan bahwa manusia adalah zoon politicon
yakni makhluk sosial yang hidup membentuk masyarakat, demi keberadaanya dan
penyempurnaanya di perlukan hubungan dengan orang lain. Untuk kepentingan
itulah di butuhkan negara yang baik, yang bersifat demokratis moderat atau
demokrasi dengan undang-undang dasar, agar tujuan yang sama-sama ingin di
capai yaitu terbinanya warga negara yang baik, yang susila, yang setia kepada
negara dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan kewajiban moral dari
setiap warga negara, sebagai modal pokok untuk membentuk suatu kehidupan
bernegara, berpolitik yang baik dalam artian makmur, tentram dan sejahtera.87
Selain Plato dan Aristoteles, filosof islam yakni al-Farabi juga berpendapat
mengenai etika bernegera, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
mempunyai kecenderungan bermasyarakat karena tidak mampu memenuhi
kebutuhanya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Negara
berfungsi semata-mata tidak hanya memenuhi kebutuhan pokok hidup tetapi juga
untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kebahagiaan
material maupun spiritual, menurutnya pemimpin negara sebaiknya seorang
86
Musahadi, Mundiri, Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara Dalam Naskah
Klasik Jawa-Islam, (Semarang: Pusat Pengkajian Islam Dan Budaya IAIN Wlisongo) h. 9. 87
Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002) h. 111.
47
filosof yang mendapatkan kearifan melalui rasio atau seorang nabi yang
mempunyai kearifan melalui wahyu.88
Dari uraian di atas pengertian etika, negara, politik, dan bernegara, dapat
di simpulkan bahwa politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan
atau kenegaraan seperti sistem pemerintah, sedangkan bernegara berrarti
mempunyai negara atau orang yang menjalankan pemerintah negara, maka etika
bernegara merupakan aturan-aturan yang mencakup perilaku yang harus di
jalankan oleh semua yang menjadi faktor terbentuknya negara yakni pemerintahan
dan masyarakat, agar tercapai tujuan dari suatu negara seperti berkurangnya
penyelewengan, ketentaraman, dan keadilan.
Masyarakat Jawa mempunyai pandanganya sendiri dalam memandang
etika bernegara, pandangan orang Jawa sebelum adanya modernisasi, masih kental
dengan kepercayaan yang menganggap bahwa di dalam dunia ini manusia dan
benda-benda memiliki suatu kekuatan yang istimewa yang di namakan
dinamisme.89
Begitupun kepercayaan terhadap raja, raja dan kraton merupakan
pusat atau inti dari kekuasaan, raja atau ratu di lihat sebagai personifikasi Tuhan,
sementara keraton di anggap sebagai wadah yang menapung semua kekuatan
supranatural, dengan demikian kombinasi antara raja dan keraton merupakan
pusat dari pusatnya kekuasaan dan mengungkapkan adanya kesatuan dan
keteraturan tata kosmos (jagad raya) yang mereplikasikan dirinya kedalam
bangunan kekuasaan raja dan keraton.
88
Musahadi, Mundiri, Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara Dalam Naskah
Klasik Jawa-Islam, h. 10. 89
Muhammad Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Pramita, 1980) h. 36.
48
Maka posisi raja dan keraton menjadi sangat penting, raja merupakan
pusat mikro kosmos kerajaan dan duduk di puncak hierarkis status, raja
merupakan pusat perhimpunan kekuasaan, raja di bayangkan sebagai pintu air
yang menampung seluruh air sungai dan bagi tanah yang lebih rendah merupakan
satu-satunya sumber air dan kesuburan, sementara keraton merupakan institusi
pendamping dalam proses pemutusan itu, sebab bagi rakyat Jawa keraton tidak
hanya di hayati sebagai pusat politik budaya melainkan juga sebagai pusat
keramat kerajaan.90
Kekuasaan juga berkaitan dengan turunnya wahyu sehingga raja
merupakan pengejawantahan dari Tuhan, konsep kekuasaan dalam pemikiran
kebudayaan Jawa berdasarkan Wahyu Cakraningrat atau Wahyu Kraton, dengan
demikian kebaktian terhadap raja secara praktis adalah kebaktian terhadap Tuhan,
pahan-paham seperti ini kemudian mempunyai konsekuensi yang mendalam,
sebab raja adalah wakil Tuhan maka kawula (rakyat) termasuk juga putera sentana
tidak diperbolehkan membuka rahasia kejelekan raja termasuk pemerintahanya
bahkan ada kata-kata yang berbunyi “barang siapa tidak menurut perintah raja,
bagai mengingkari kehendak Tuhan”, kuatnya hubungan antara Tuhan dan raja ini
menyebabkan pembaktian diri terhadap raja haruslah dilakukan dengan ikhlas dan
ketulusan.91
Sudah disebutkan bahwa hubungan antara kawula dan Gusti bersifat satu
arah, di mana rakyat merasa bahwa hidupnya tergantung pada raja, karena di
90
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h. 5. 91
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 20.
49
tangan raja lah dapat diciptakan kemakmuran dan ketentraman, rakyat
menganggap raja memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa,
inilah yang menyebabkan rakyat tunduk dan patuh kepada raja, tunduknya rakyat
kepada raja. Di samping karena raja menduduki hirarki sosial tertinggi, juga
karena adanya kepercayaan bahwa raja berkuasa berdasarkan wahyu dan
bertindak sebagai wakil Tuhan yang harus disembah dan ditaati. Oleh karena itu,
raja memegang tampuk kekuasaan yang penting sehingga menjadi seorang raja
merupakan pekerjaan yang tidak mudah, berdasarkan konsep bahwa raja memiliki
wahyu kraton maka sikap taat kepada raja, melayani, dan mempercayainya secara
tulus merupakan sikap seorang rakyat yang baik.
C. Arti dan Tujuan Pembuatan Serat Wulangreh
Perkembangan sastra Jawa meliputi berbagai zaman yang di dalamnya
terjadi perubahan-perubahan baik sosial maupun budaya yang di dorong oleh
berbagai faktor historis. Termasuk peran berbagai pemicu seperti terdapatnya
tujuan-tujuan politik, ekonomis, keagamaan dan lain-lain, perkembangan sastra
yang terjadi di Indonesia sering kali terkait dengan peristiwa dalam pergaulan
antar bangsa dalam kurun waktu tertentu ternyata, sehingga membuka jalan untuk
terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan lain.
Terbagi periode-periode perkembangan sastra, salah satunya adalah pada
zaman Surakarta awal yang menghasilkan kitab-kitab penggubahan kembali karya
sastra kakawin Jawa kuna kedalam tembang macapat dengan bahasa Jawa baru
seperti Serat Wiwaha Jarwa karya Pakubuwana III hasil pengggubahan kembali
dari Arjuna Wiwahan karya Empu Kanwa, zaman penciptaan menghasilkan kitab-
50
kitab ciptaan para pujangga dari zaman itu seperti Serat Wulangreh karya
Pakubowono IV, Serat Babat Giyanti karya R. Ng Yasadipura dan Cemporet
karya R. Ng Ronggo Warsito.92
Karya satra dapat menunjukan asal-usul dan lingkungan sosial
pengarangnya, pengarang yang terpandang dengan karya sastranya yang cukup
bermutu dengan sendirinya meningkatkan martabat raja, pengarang yang telah
mencapai kedudukan tinggi dan termasyhur karena karyanya, diberi sebutan
pujangga, pujangga dianggap memiliki kelebihan bahkan kemampuan istimewa
mereka dianggap memiliki wahyu kepujanggaan mereka ahli sastra, cendekiawan
dan memiliki predikat kemampua lainya.93
Salah satu gambaran penciptaan sastra tersebut dapat dilihat melalui
keahlian Pakubuwono IV dalam bidang seni sastra yang tidak diragukan lagi,
pemerintahan Pakubuwono IV tidaklah mulus, banyak terjadi konflik di
dalamnya, seperti terjadi perang saudara, pemberontakan, perebutan kekuasaan
dan campur tangan VOC yang tampil seolah-olah menjadi penyelamat. Namun
nyatanya VOC tampil hanya untuk mengambil keuntungan dalam setiap
permasalahan yang terjadi di keraton, hal ini menjadikan kekuasaan kraton
semakin terancam.
Pada waktu itu gubernur jendral Hindia Belanda yang berkuasa bernama
Herman William Deandels, Deandels adalah sosok gubernur yang kejam ia
menerapkan aturan yang semakin merendahkan kedaulatan keraton bahkan ia
bertindak keras terhadap raja-raja Jawa, Deandels mengharuskan semua raja
92
Edi Sedyawati, Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) h. 4. 93
Edi Sedyawati, Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, h. 8.
51
peribumi mengakui raja Belanda sebagai junjunganya ia mengubah jabatan
pejabat Belanda di keraton Surakarta dan Yogyakarta dari residen menjadi
minister, minister bertindak tidak lagi sebagai wakil pejabat Belanda melainkan
sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di keraton Jawa.94
Kedaulatan Sunan di Surakarta sejak tahun 1749 dapat dikatakan sudah
hilang, pengaruh sistem administrasi kolonial Belanda semakin menguasai
kehidupan politik Kasunan Surakarta, semua kegiatan Sunan harus mendapatkan
izin dari kompeni baik melalui gubernur maupun residen, abdi dalem Surakarta
mempunyai dua majikan yakni Belanda dan Sunan sendiri, setiap terjadi
perjanjian dengan kompeni terjadilah pula pengurangan kedaulatan dipihak
Sunan, kerajaan yang semula utuh akhirnya tergadaikan kepada kompeni.95
Maka dari itu Pakubuwana IV sangat membenci dan anti terhadap VOC,
kemudian Pakubuwana IV membuat perubahan guna menyelamatkan kerajaan
dan masyarakatnya yang telah bobrok, akibat masalah yang ditimbulkan dari
dalam keraton sendiri maupun campur tangan VOC, Pakubuwana IV di kenal
sebagai raja yang patuh terhadap agama, menjadikan dukungan para ulama sangat
berpengaruh terhadap keputusan-keputusan politik yang didasarkan atas
nasihatnya.
Sebagai seorang raja Pakubuwana IV berhak dan bahkan wajib menjaga
dan memelihara kelangsungan kebaikan dan kemuliaan kerajaanya, ia melakukan
gerbrakan perubahan seperti penerapan syariat islam di Surakarta dengan cara
penerapan hukum islam dengan mendirikan Pengadilan Surambi atau Hukum
94
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 350. 95
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 22.
52
Ndalem, dalam penerapanya pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu yang
di bantu empat ulama dan delapan khatib, pengadilan ini di laksanakan di Masjid
Agung Surakarta, karena merupakan pengadilan islam maka yang menjadi
pedoman dalam pengadilan ini adalah al-Qur‟an, hadits, dan kitab-kitab islam
lainya seperti kitab karangan Imam Syafi‟i yang disadur dari Al-Wajiz dan kitab
karangan Imam Ghazali, pada masa itu Pengadilan Surambi menjadi Pengadilan
tertinggi kerajaan yang dilimpahi kewenangan memutuskan segala tindak
kejahatan.96
Kemudian mengganti abdi dalem yang tidak patuh kepada syariat agama,
beberapa abdi dalem yang dipecat seperti Tumenggung Pringgoloyo dan
Tumenggung Mangkuyudo, mengganti pakaian prajurit yang sebelumnya seperti
prajurit Belanda di ganti dengan pakaian prajurit Jawa, setiap hari Jumat Sunan
bersembahyang di Masjid Besar, setiap abdi dalem yang menghadap raja di
wajibkan menggunakan pakaian santri.97
Setiap ibu kota kabupaten, kawedanan,
dan desa harus mempunyai masjid sebagai pusat perkembangan agama Islam,
Masjid Besar di ibu kota kabupaten dipimpin oleh seorang penghulu yang
bertugas sebagai penyelenggara urusan agama baik di bidang ibadat dan
muamalat.
Pakubuwana IV juga menulis sebuah Tembang98
yakni Serat Wulangreh,
Serat Wulangreh ditulis dalam bentuk sekat Macapat (nyanyian yang dimasukan
96
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 352. 97
Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk Berdirinya
Kesultana Yogyakarta dan Kasunan Surakarta, h. 346. 98
Dalam khasanah sastra Jawa salah satu jenis karya sastra yang bersifat puitik, gubahan
bahasa atau karya sastra dengan peraturan tertentu dan membacanya harus dilagukan dengan seni
53
kedalam rumpun macapat) Wulang berarti ajar, Reh berarti perintah, dengan
demikian Serat Wulangreh memiliki pengertian sebuah karya sastra yang berisi
pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup
atau pelajaran hidup supaya selamat. Serat Wulangerh merupakan karya asli dari
Pakubuwana IV, hal ini banyak di sebutkan dalam ensiklopedi maupun buku-
buku, awal mulanya Serat Wulangreh merupakan Serat Wewelar (pedoman atau
penuntun) untuk putera-putera Sunan agar mereka selalu ingat akan adanya
gejala-gejala kemerosotan moral pada saat beliau sedang memegang tampuk
kekuasaan, maka Serat Wulangreh dapat disebut sebgai ideologi kraton yang lahir
dari pengalaman-pengalaman pemikiran dan pemahaman dari seorang raja.99
Kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad (minggu) tanggal 19 besar 1735 tahun Dal
Windu Sancaya Wuku Sungsang atau tahun 1808 M dan merupakan warisan
adihulung.100
Karena Serat Wulangreh berbentuk tembang maka sangat mudah untuk
dihafal oleh orang yang mendengarnya, sehingga kemudian sampai juga kepada
masyarakat atau rakyat di luar keraton melalui abdi dalem yang tinggal di luar
istana sehingga banyak penduduk di desa-desa maupun dipinggiran kota
mendendangkan syair dari Wulangreh. Serat Wulangreh, karya Jawa klasik
bentuk puisi tembang macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis tahun 1768-1820
suara. Tembang dalam bahasa Jawa adalah sekar yaitu, karangan yang terikat oleh aturan guru
gatra, guru wilangan, guru lagu beserta lagu-lagunya, tembang sebagai bagian dari hasil kesenian
Jawa merupakan unsur seni budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan pembinaan dan
pengembangannya. Sadjijo Prawirodisastra, Pengantar Apresiasi Seni Tembang, (Yogyakarta:
IKIP Yogyakarta, 1991) h. 64. 99
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 108. 100
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
5.
54
di keraton Kasunanan Surakarta, isi teks tentang ajaran etika manusia ideal yang
ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta.
Ajaran dari Serat Wulangreh berfariasi, di dalamnya berisi ajaran hidup
bagi pembacanya seperti memahami rahasia hidup, mempertajam mata batin,
kewajiban terhadap orang tua, mengabdi kepada raja dan masih banyak lagi,
meskipun bagian-bagian dari kitab ini relative berfariasi namun satu hal yang jelas
dan menjadi trent pemikiran utama yang melatarbelakangi pembuatan buku
tersebut adalah soal kebaktian kepada negara dan lebih khusus lagi kebaktian
kepada raja.101
Serat Wulangreh banyak tersebar dan sudah mengalami pengecapan
berulang-ulang kali. Namun, setelah beberapa kali mengalami pengecapan isinya
tetap tidak mengalami perubahan, beberapa pengecapan yang terjadi pada Serat
Wulangreh antara lain: terbitan Tuwan Vogel der Heyde and Co di Surakarta
tahun 1900 di Surakarta, Gr. C. T. Van Dorp and Co Semarang, Kolf Buning
Yogyakarta tahun 1937, terbitan Sadubudi Sala, Tan Khoen Swie Kediri,
Reshiwahana, R. M. Soetarto Hardjowahana Sala.102
Teks Serat Wulangreh terdiri atas tiga belas pupuh tembang, diantaranya:
tembang Dhandhanggula, tembang Kinanthi, tembang Gambuh, tembang
Pangkur, tembang Maskumambang, tembang Megatruh, tembang Durma,
tembang Pucung, tembang Megatruh, tembang Mijil, tembang Asmaradana,
tembang Sinom, tembang Wirangrong, tembang Girisa. Dari peninggalan Sri
Pakubuwana IV ini, kita memperoleh keuntungan yaitu dapat meresapi dan
101
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
6. 102
Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, h. 11.
55
mempelajari pesan dan makna yang terpendam dalam rangkaian kata-kata yang
indah yang dituliskan dalam bentuk Serat.
D. Etika Dalam Serat Wulangreh
Ajaran yang terkandung dalam Serat Wulangreh memuat tentang ajaran
budi pekerti dalam kehidupan masyarakat, memuat isi ajaran tentang keluhuran
hidup yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga mempunyai manfaat yang besar,
hal ini ditinjau dari segi isi yang memuat tentang ajaran kebaikan yang bisa
dijadikan sandaran untuk memenuhi kewajiban bagi kehidupan manusia, dari segi
bahasa Serat Wulangreh tidak menggunakan kata-kata yang sulit sehingga
memudahkan pembaca untuk memahami isi dan bisa menerima maksud dari
seratannya.103
Ajaran dari Serat Wulangreh berfariasi, di dalamnya berisi ajaran hidup
bagi pembacanya seperti memahami rahasia hidup, mempertajam mata batin,
kewajiban terhadap orang tua, mengabdi kepada raja dan masih banyak lagi.104
Beberapa tema etika dalam Serat Wulangreh yaitu:
a. Kewasapadaan atau kepriyatinan
Dalam kehidupan, manusia perlu memperhatikan petunjuk-petunjuk seperti:
Hendaknya mengetahui baik dan buruk, sebab tidak akan mengerti soal
baik kalau tidak mengetahui hal-hal yang buruk, selanjutnya adalah mempelajari
adat pedoman atau adat kebiasaan, supaya orang dapat menyesuaikan diri dalam
103
Yuli Widiyono, Tesis, Kajian Tema, Nilai Estetika, Dan Pendidikan Dalam Serat
Wulangreh Karya Sri Susuhan Pakubuwana IV, (Solo: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
2010) h. 76. 104
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
6.
56
pergaulan, kemudian tatakrama, ada pepatah jawa yang menyatakan “tatkrama iku
ngadohake ing penyendu” artinya tatakrama itu menjauhkan diri dari peringatan
orang lain karena kalau tingkah laku di dasarkan atas petunjuk-petunjuk dalam
tatakrama di suatu tempat, maka ia dapat menyesuaikan dengan kebiasaan
masyarakat di daerah itu.105
Keempat hal tersebut perlu di perhatikan, sebab baik
dan buruk watak seseorang dapat dilihat dari tutur kata dan segala tingkah
lakunya.
b. Menerima Kodrat
Dalam menerima kodrat Pakubuwana IV memberikan contoh, kalau
seseorang bodoh kemudian menerima kebodohnya itu sebagai sesuatu yang telah
menjadi kodrat dan tidak mau lagi berusaha untuk belajar maka orang itu
menerima korat yang tidak baik, lain halnya dengan orang yang menerima kodrat
bagi seorang pengabdi yang penuh, ia berusaha dari bawah sehingga akhirnya ia
diberi jabatan yang tinggi dan ia menerimanya dengan keikhlasan batin, artinya ia
berterimakasih kepada Tuhan melalui yang memberi pangkat, maka menerima
kodrat yang demikian ini sebenarnya merupakan penerimaan yang wajar yang
disertai dengan usaha dalam melakukan kewajiban.106
c. Pengendalian diri
Pengendalian diri dilakukan dengan cara prihatin, yaitu mengurangi
makan, minum (berpuasa), menahan nafsu. Semua hal tersebut (makan, minum,
105
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
15. 106
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
20.
57
nafsu) adalah kenikmatan hidup, oleh sebab itu, sebagai kenikmatan, maka makan
dan minum yang berlebihan akan mengakibatkan manusia lupa akan tujuan hidup
di dunia, agar manusia bisa mengontrol nafsu, supaya tidak tergoda pada
perbuatan perbuatan yang tercela (menuruti hawa nafsu), maka haruslah melatih
diri dengan beribadah dengan tekun, prihatin, tidak bermalas-malasan, tidak tidur
dan makan yang berlebihan. Sifat-sifat itulah yang diajarkan Pakubuwana IV
kepada keluarga dan rakyatnya.107
d. Mengenal Diri
Pakubuwana IV berpendapat tidak mudahlah orang hidup yang tidak
mengenal akan hidupnya, jika ingin di hormati maka berlakulah yang semestinya,
jangan asal berkuasa agar di takuti, bukan itu yang di nakaman satria yang
kebetulan menduduki jabatan pemimpin.
Meskipun tema-tema etika dalam Serat Wulangreh bervariasi, namun satu
hal yang jelas dan menjadi trent pemikiran utama yang melatar belakangi
pembuatan buku tersebut adalah soal kebaktian kepada negara dan lebih khusus
lagi kebaktian kepada raja, hal ini dikarenakan terkait kondisi pemerintahan pada
saat Pakubuwana IV membuat Serat Wulangreh.
107
Yuli Widiono, Tesis, Kajian Tema, Nilai Estetika, Dan Pendidikan Dalam Serat
Wulangreh Karya Sri Susuhan Pakubuwana IV , h. 105.
58
BAB IV
ETIKA BERNEGARA DALAM SERAT WULANGREH
Pada bab-bab sebelumnya, telah di uraikan biografi dari Pakubuwana IV,
latar belakang pendidikan dan kehidupan, hingga ia mengarang Serat Wulangreh,
kemudian juga pengertian dari etika, dan etika bernegara. Kajian berikutnya
adalah melakukan penyelidikan mengenai etika bernegara yang terdapat dalam
Serat Wulangreh, bagaimana etika bernegara dalam Serat Wulangreh? Dan
bagaimana hubungan yang baik antara pemerintah dan rakyatnya, begitupun
sebaliknya?. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, penyelidikan
terhadap etika bernegara dalam Serat Wulangreh di titik beratkan kepada analisis
tembang guna untuk mengetahui apa saja etika bernegara yang ada, karena tema-
tema yang berbeda-beda dalam isi tembang Serat Wulangreh.
A. Etika Pemimpin
Dalam pemerintahan bentuk demokrasi, rakyat sebagai pemegang
kekuasaan, rakyat memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan
roda pemerintahan, dan pemerintah harus mempertanggung jawabkan apa yang
telah dilakukanya selama waktu yang telah ditentukanya bersama. Setiap
pergantian periode pemerintahan, pemerintah berusaha meningkatkan mutu
pemerintahanya untuk membina aparatur pemerintahan dan sistem
administrasinya yang tangguh terpercaya dan sehat, administrasi yang buruk dan
58
59
tidak efisien mempengaruhi kegiatan para warga negara dan mempersubur
penyelewengan seperti korupsi.108
Negara Indonesia di dasarkan atas hukum bukan di dasarkan atas
kekuasaan belaka, penerapan dan pelaksanaan hukum menjadi semakin kompleks
berhubungan dengan terus mengalirnya undang-undang dan peraturan
pelaksanaanya, fungsi utama dari aparatur pemerintahan dan aparatur negara
adalah mengabdi kepada masyarakat dan kepentingan umum, ia sebagai abdi
bukan malah mencari keuntungan atau kepentingan pribadi.109
Rakyat mencari pemimpin yaitu sosok bijak yang berusaha keras untuk
selalu memihak pada kaum miskin, dan bersikap adil terhadap segala persoalan
kebangsaan, dia akan selalu berhati-hati untuk memutuskan kebijakan yang
memiliki dampak sosial serius di tengah masyarakat, bukan seorang penguasa
yang meletakan kekuasaanya semata-mata sebagai target politik yang sudah
tercapai dan kurang atau tidak begitu menghiraukan dengan permasalahan yang
meililit rakyatnya dan identik dengan pemihakan pada kaum yang secara ekonomi
mapan, guna melanggengkan kekuasaanya.110
Betapapun besar kekuasaan seseorang ia akan selalu di hadapkan dengan
tuntutan untuk mempertanggung jawabkanya, dan apabila pertanggungjawaban itu
tidak diberikan maka kekuasaan itu tidak di anggap sah, penguasa bisa saja tidak
memperdulikan tuntutan untuk mempertanggungjawabkan dan percaya pada
108
Widjaja, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) h. 2. 109
Widjaja, Etika Pemerintahan, h. 4. 110
Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2004) h.
76.
60
kemampuanya untuk menindas segala perlawanan, maka tatanan masyarakat yang
hanya berdasar pada intimidasi dari pihak yang berkuasa, sudah tidak stabil lagi
karena masyarakat tidak mendukung kebijakan yang pemimpin putuskan.111
Lain halnya dengan kekuasaan religius menurut Frans Magnis Suseno,
kekuasaan dapat dipahami sebagai realitas adiduniawi, ghaib, atau ilahi, manurut
paham ini kekuasaan bersumber pada alam adiduniawi, bersifat adiduniawi dan
dapat dimiliki orang karena ia dapat menghubungi alam adiduniawi itu, karena
kekuasaan bersifat adiduniawi dan berasal dari alam ilahi maka kekuasaan
menjadi sah dengan sendirinya, tuntutan agar penggunaan kekuasaan itu
dipertanggungjawabkan kehilangan dasarnya, karena kekuasaan diterima dari atas
dan bukan dari masyarakat.112
Paham seperti ini biasanya terdapat dalam
pandangan masyarakat Jawa.
Orang Jawa membagi realitas kedalam dua wilayah, yaitu alam lahir dan
alam batin, jadi walaupun secara hakiki manusia merupakan makhluk berbadan
namun sumber identitasnya bersifat batin, alam semestapun mempunyai segi lahir
dan batin di belakang alam yang kelihatan terdapat alam ghaib yang tidak terlihat
dalam kepercayaan Jawa di personifikasikan dalam berbagai macam roh, dalam
artian bahwa alam pikiran orang Jawa sangat dekat dengan hal-hal yang dianggap
ghaib, orang Jawa mengenal apa yang disebut mitos.113
111
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1987) h. 30. 112
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
h. 31. 113
Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme Etika Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa, h.
26.
61
Konsep tentang kekuasaan besar raja tercermin dalam Serat Wulangreh,
ditekankan bahwa apa yang diperintahkan oleh seorang raja harus di taati karena
raja adalah wakil dari Tuhan, sepeti yang tercatat dalam Tembang Dudukwuluh
atau Megatruh pada bait ke 2 dan 3:
Mapan Ratu karya wakiling Hyang Agung// Raja adalah wakil Tuhan
Merentahaken hokum adil// yang memerintah dengan hokum adil
Pramila wajib den enut// maka wajib dipatuhi
Kang sapa tan manut ugi// barang siapa tidak mematuhinya
Mring parentahe Hyang Katong// kepada perintah raja
Aprasasat badaling karsa Hyang Agung// sama dengan menentang
kehendak Tuhan yang maha agung.
Mulane babo wong urip// sehingga manusia hidup
Sawarsa ngawuleng Ratu// ketika mengabdi kepada raja
Kudu eklas lahir batin// harus ikhlas lahir batin
Aja nganti nemu ewoh// jangan sampai menemukan kesulitan.114
Para pemimpin dalam kepercayaan Jawa terpusat pada orang-orang
tertentu yang diperoleh atas dasar keturunan atau atas karunia Tuhan, dengan
kepercayaan seperti ini berarti bahwa masyarakat Jawa memaknai seorang
menjadi pemimpin adalah karena anugerah dari atas, dalam hal ini masyarakat
Jawa menghubungkanya dengan wahyu, maka orang Jawa memperlakukan
pemimpin tersebut sebagai wakil dari Tuhan yang akan membawa kesejahteraan
di bumi.115
114
Tentrem Warseno, Serat Wulangreh Nggitan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhan Pakubuwana Ingkang Kaping-IV, (Surakarta: Cendrawasih) h 24. 115
Musahadi, Mundiri, Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara Dalam Naskah
Klasik Jawa-Islam, h 55.
62
Kepala negara atau raja dilukiskan sebagai orang yang adil berwibawa,
murah hati kepada rakyat dan dicintai para ulama, oleh karena itu imajenasi orang
Jawa terhadap pemimpin adalah mengayomi, raja bukan lah orang sembarangan
melainkan orang yang telah dipilih Tuhan dan raja memiliki wahyu kedathon,
maka seorang raja harus di taati karena wakil dari Tuhan yang merupakan
pemegang tertinggi dari kekuasaan.
Namun pada saat yang sama ia adalah hamba, oleh karena itu ia harus
melayani masyarakat sesuai dengan hukum Allah, dan karena konsep kekuasaan
itu bukan berarti seorang raja dapat bersikap sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahanya, seorang raja haruslah berbudi bawa leksana ambeg
adil para marta bahwa seorang raja harus dapat menciptakan ketertiban dan
keamanan rakyat dan negara, seorang raja tidak hanya menjadi penghukum tetapi
juga penegak hukum yang merupakan manifestasi dari upaya penegakan keadilan,
maka dari itu seorang raja harus wicaksana atau bijaksana dalam menjalankan
kekuasaan dan pemerintahan.116
Kedudukan raja islam menyatakan bahwa, raja adalah manusia biasa yang
diberi tugas oleh Tuhan untuk memimpin sesuai dengan ketentuan syariah,
berbeda dengan raja-raja Mataram yang telah menganggap dirinya berada di atas
manusia biasa, selain karena raja mendapatkan wahyu kedathon yang turun dari
Tuhan sehingga manjadikan raja di sebut wakil dari Tuhan, dan berbakti kepada
raja sekaligus berbakti kepada Tuhan, kemudian sederet gelar seperti Sayyidin
116
Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme Etika Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa, h
24.
63
Panatagama Khalifatullah dengan harapan bahwa rakyat akan menerima
kehadiranya sebagai pemimpin tanpa menghitung kualitas kepemimpinan yang
dimiliki, hal ini menegaskan bahwa betapa berkuasanya raja sehingga ia memiliki
kekuasaan memerintah, mengatur, menghukum, menguasai militer, bahkan
mengatur agama yang terungkap dalam gelar Senopati Ing Ngalaga
Ngabdurrachman Sayyidin Panatagama.117
Akibat dari kedudukan raja yang
demikian besar, pengaruhnya kepada masyarakatpun sangat besar, mematuhi
perintah raja dipahami sebagai kewajiban utama yang harus di junjung tinggi.
1. Hubungan Pemimpin dengan Masyarakat
Dari faham bahwa sifat dasar seorang raja memegang kekuasaan yang
sangat besar maka etika raja (kepala negara) dalam Serat Wulangreh diantaranya:
a. Taat kepada Tuhan
Pakubuwana IV dikenal sebagai raja yang religius dan patuh kepada
agama, hal ini dapat dilihat dari peran para ulama yang berpengaruh pada saat ia
memegang tampuk kekuasaan, hal tersebut mempengaruhi pemikiran
Pakubuwana IV dalam membuat Serat Wulangreh, kemudian dari gebrakan
perubahan penerapan syariat islam di lingkungan kraton, dalam bidang etika ia
pun wajib melaksanakan seperti apa yang di wajibkan kepada para rakyatnya,
maka beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, menjalankan syariat islam dengan
baik dan lengkap, menjalankan lima rukun islam, merupakan sikap wajib yang
117
Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme Etika Kekuasaan Dalam Kebudayaan Jawa, h
21.
64
harus seorang raja miliki, seperti disebutkan dalam pupuh Asmarandana bait 1, 2
dan 3:
Pada netepana ugi, kabeh perentahaning sarak, terusna lair batine, salat limang
waktu uga, tan kena tininggala, sapa tinggal dadi gabung jen maksih nemen neg
pradja// hendaklah kalian semua melaksanakan perintah hukum syarak baik yang
berupa amalan lahir maupun batin termasuk menjalankan amalan shalat lima
waktu, tidak boleh ditinggalkan, siapa yang meninggalkanya maka karirnya tidak
akan sukses, bila ia masih suka menjadi pramong praja.
Wiwit ana badan iki, ija teka ing sarengat, anane manusa kije, rukun islam kang
lelima, nora kena tininggal, puniko prabot tuhu, mungguh wong urip neng
donja// Dari gerak gerik perbuatanya harus berpedoman kepada syarak, manusia
itu wajib melaksanakan hokum islam yang lima, itu tidak boleh di tinggalkan,
syariat merupakan prabot yang sejati bagi orang hidup di dunia.
Kudu uga anglakoni, rukun lelima punika, mapan ta sakuasane, nangging adja
tan linakjan, sapa ta nglakonana, tan wurung nemu bebendu, sira pada
ngestokena// kalian semua harus melaksanakan kelima rukun islam itu menurut
kadar kuasamu, jangan sampai tidak dilaksanakan, barang siapa yang tidak
melaksanakan pasti dia akan mendapat siksa, perhatikan itu semuanya, maka
laksanakanlah.118
Pegawai negara khususnya pemimpin hendaklah orang yang bertaqwa
kepada Tuhan menjalankan lima rukun islam, menjalankan shalat lima waktu tak
boleh di tinggalkan karena apabila meninggalkan akan merugi, Pakubuwana IV
memaparkan, apa bila manusia masih suka hidup di dunia ini syariat agama harus
di laksanakan baik untuk perilaku lahir maupun batin, karena itu adalah sarana
agung orang hidup di dunia ini, karena apabila tidak melaksankanya maka
hidupnya akan mendapat petaka, agama harus dipegang dengan sempurna karena
hal itu merupakan pelita hidup.119
Mengindahkan perintah Tuhan yang memerintahkan kepada nabi-nabi
dalam hadis-hadis tempatnya, tidak boleh lengah dan memahami dalil hadis
118
Serat Wulangreh Kanjeng Sri Susuhan Pakubuwana IV Surakarta Hadiningrat, h 117. 119
Musahadi, Mundiri, Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara Dalam Naskah
Klasik Jawa-Islam, h 169.
65
karena hadis itu akan menerangi hati, tidak mudah bagi manusia kalau tidak tahu
akan hidupnya, hidup akan di umpamakan seperti kerbau, lebih baik kerbau masih
dapat di manfaatkan, dagingnya enak apabila di makan, sedangkan manusia
dagingnya haram untuk di makan.
Manusia tanpa budi bagaikan satria tidak tahu adab (tata krama) pada
setiap kerja pakailah ukur banding pada dirimu, bagi orang yang sudah tinggi
martabatnya dalam memimpin jangan berlagak kuat supaya di takuti, tapi
milikilah rasa takut dan sayang dalam memimpin agar mengenal kerja, agar dapat
mengambil hati pegawai agar dapat bekerja lebih baik, dan orang yang sedang
mengabdi kepada negara hendaknya suka bersyukur kepada Allah agar negara dan
pemerintahanya sejahtera.120
b. Berguru
Awal mulanya Serat Wulangreh diperuntukan bagi para putra raja yang
nantinya akan meneruskan pemerintahan, maka isi dari Wulangreh cenderung
ditujukan kepada para pemuda, dalam tembang Dhandanggula bait 1 sampai 8:
Pamedhare wasitining ati, cumanthaka aniru pujangga, dahat mudha ing batine,
nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka,
basa kang kalantur, tutur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih
padhanging sasmita// Menggelarkan suara hati, memberanikan diri meniru para
pujangga, karena masih muda dalam pikirannya sehingga perlu di besarkan
hatinya, walau tidak mengetahui bahwa banyak yang meremehkannya, karena
memaksakan diri merangkai, bahasa yang melantur, nasihat yang sudah
terlupakan, dikerjakan dengan ketelatenan dihayati dan dengan pelan-pelan, agar
terang makna yang diharapkannya.
Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora wruha, tan jumeneng uripe,
akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung weruh ing rasa,
rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing
kauripa//Rahasia kehidupan sesungguhnya, memang sulit jika tidak
120
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h 52.
66
mengetahuinya, sehingga tidak tegak dalam hidupnya, banyak yang mengaku-
aku, merasa bahwa telah memahami, namun belum memahami tentang rasa, atas
rasa yang sebenarnya, rasa dari rasa itu juga, carilah hingga juga hingga
sempurna, di dalam hidupnya.
Jroning Kuran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang uninga, kajaba
lawan tuduhe, nora kena denawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak
katalanjukan, temah sasar susur, yen sira ayun waskitha, sampurnane ing
badanira puniki, sira anggugurua// Kandungan Al-Qur‟an adalah tempatnya ilmu
rasa yang sebenarnya, namun hanya yang terpilih yang bisa memahaminya,
dengan jalan mendapat petunjuk dari-Nya, tidak boleh di kira-kira, sehingga
justru tidak akan bisa ditemukan, karena tidak bisa menjangkaunya, sehinnga
justru akan tersesat dan salah tafsir, jika engkau ingin mengerti, kesempurnaan di
dalam dirimu ini, maka bergurulah.
Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik
martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur
oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes
sira guronana, sartane kawruhana// Namun jika berguru wahai anakku, pilihlah
manusia yang sudah nyata, yang baik akhlaknya, serta yang memahami hukum,
yang ahli ibadah dan ahli mengendalikan diri, sangat beruntung jika mendapatkan
ahli tafakur, yang telah meninggalkan urusan dunia, sehingga sudah tidak
memikirkan pemberian orang lain, itu yang pantas tempat engkau berguru, serta
syarat dan rukun berguru pun harus kau ketahui.
Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira
age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang
patang prakara rumuhun, dalil kadis lan ijemak, lan kiyase papat iku salah siji,
anaa kang mupakat// Jika ada seseorang ahli ilmu, jika tidak sesuai dengan empat
hal, janganlah engkau segera, mempercayai kebenarannya, telitilah dengan benar,
pertimbangkan dahulu kebenarannya dengan empat perkara, yaitu dengan dalil
hadits, ijma‟ dan kiyas, di antara yang empat itu salah satunya, harus ada yang
mendasarinya.
Ana uga kena den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan
wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembahyang,
wus salat katengsun, banjure mbuwang sarengat, batal karam nora nganggo den
rawati, bubrah sakehing tata// Jika ada yang cocok beru bisa dipercaya
kebenarannya, jika tidak sesuai dengan yang empat hal tersebut, tidak enak jika
dijalankannya, akhirnya hanya menghabiskan waktu saja, anggapanya telah
menguasai, sebagai contoh ada yang mengajarkan, jangan mengerjakan shalat,
karena dahulunya telah menjalankannya, sehingga hal itu meninggalkan syari‟at,
batal dan kharam tidak di jaga, sehingga merusak aturan.
Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong
jaja ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing
panggawening sarak den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den
wor kakarepaneki, papancene priyangga// Sangat sulit di jaman sekarang,
mencari yang pantas untuk dijadikan guru, banyak orang yang tidak tepat
ilmunya, karena jarang yang memakai pedoman, jika orang yang ilmunya
berpedoman, atas aturan syari‟at disebut orang yang salah, karena hanya
67
mengikuti kesenangannya saja, tidak mau dibenarkan atas yang disenanginya,
hanya perpedoman pada kebenarannya sendiri.
Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu
kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang
padha ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, kyai guru naruthuk
ngupaya murid, dadya kanthinira// Pada umumnya di jaman sekarang, adalah
gurulah yang mencari murid, sungguh sangat terbalik cita-citanya, karena pada
jaman dahulu pada umumnya, bahwa muridlah yang mencari dan berusaha untuk
berguru sedangkan sekarang justru tidak demikian, justru guru yang menghendaki
untuk mencari murid, untuk dijadidkan muridnya.121
Seorang yang akan menjadi raja juga harus berguru, meskipun
kepercayaan bahwa raja adalah wakil Tuhan, sehingga membuat rakyat tidak
meragukan kepemimpinan raja, namun tetap saja raja juga harus berguru dan
menuntut ilmu karena menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap manusia
agar seseorang dapat merubah tingkah laku dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Terbagi dua bentuk guru yakni guru ilmu dan ngelmu, perbedaan antara ilmu dan
ngelmu terletak pada unsur dasarnya, ilmu unsur dasarnya rasio sehingga bersifat
rasional, sedangkan ngelmu bersifat irrasional. Pada zaman Pakubuwana IV
banyak orang yang mengaku-aku hendak meniru kepintara pujangga namun
ternyata mental masih muda, namun nafsu ingin di puji tak tahu banyak yang
menertawai, harus tekun dan sabar agar hati menjadi cerah, rahasia hidup sungguh
susah bila tidak tahu tak pantas dikatakan hidup banyak yang mengaku dirinya
yang paling baik padahal belum mengenal rasa, rasa yang sejati tempatnya yakni
di dalam al-Qur‟an.122
Para ahli kebatinan yang dilandasi keyakinan kepada Tuhan, mereka selalu
berusaha mencari kenyataan yang sebenarnya. Karena apabila orang ingin
121
Serat Wulangreh Kanjeng Sri Susuhan Pakubuwana IV Surakarta Hadiningrat, h 9. 122
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h 28.
68
menjadi waskita atau arif, sempurna diri, maka carilah guru yang mengenal akan
kenyataan itu, hal ini perlu karena pada masa itu banyak orang yang mengaku-aku
(merasa dirinya) sebagai orang yang telah mumpuni (ahli) dalam ulah
kesunyataan (mendekati kenyataan) dengan cara-cara yang sombong ia minta
diakui sebagai seorang guru yang sejati yang dengan mudah mengenal kenyataan
itu, ia adalah orang yang solah-olah bisa mengatahui apa yang akan terjadi. Akan
tetapi, ia tidak mengatahui bahwa dengan kesombonganya justru banyak ahli ulah
kebatinan yang terpaksa tersenyum bukan karena menghargai atau menghormati,
akan tetapi dengan batin mengajurkan supaya yang disebut isyarat hidup yang
sebenarnya di dalam hidupnya sendiri, karena pengarang Wulangreh beragama
islam maka beranggapan bahwa apa yang disebut rasa sejati atau yang
sesungguhnya itu terletak di dalam al-Qur‟an.123
Oleh sebab itu, untuk mengetahui isi al-Qur‟an itu orang perlu mencari
guru yang benar-benar guru. Pada zaman sekarang sungguh sulitnya untuk
menemukan seorang guru yang mumpuni guru yang menguasai akan
keilmuannya, namun banyak pada masa ini guru yang mengobral akan ilmunya
padahal tidak mempunyai spesifikasi keilmuwan hanya bertujuan untuk mencari
murid saja tanpa dengan adanya keikhlasan, maka dari itu guru adalah ia harus
manusia yang mempunyai martabat yang baik, mengetahui soal hukum, taat
beribadah, wirangi (orang yang patuh akan agamanya dan suka pihatin), lebih
baik lagi jika guru adalah seorang pertapa yang tidak lagi memikirkan pemberian
123
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h
12.
69
orang lain.124
Janganlah orang mudah percaya oleh kata-kata yang muluk-muluk
soal ngelmu, selama belum mengenal benar kepada orang itu dan ia harus tahu
akan dalil hadis, ijma, kiyas, kalau syarat-syarat itu tidak terpenuhi di khawatirkan
orang akan mengenalkan syariat yang akhirnya membawa kekacauan.
Namun pada zaman sekarang kebanyakan guru yang mencari murid,
bukan murid yang mencari guru. Hal ini sesuai dengan ungkapan orang Jawa yang
terkait dengan perilaku guru dan murid semacam ini diibaratkan seperti gong
lumaku tinabuh (gong yang berjalan agar ditabuh), sumur lumaku tinimba (sumur
berjalan agar ditimba), padahal seharusnya timba (gayung) yang harus mencari
sumur, bukan sumur yang mempunyai kejernihan, kesegaran airnya yang harus
menghampiri timba (gayung) ungkapan seperti ini menunjukan sedikitnya orang
yang membutuhkan guru termasuk guru ngelmu untuk membimbing agar seorang
raja menjadi manusia yang arif dan bijaksana.125
c. Adil dan jujur
Konsep bahwa raja adalah khalifah (wakil dari Tuhan) maka wajib berbuat
adil dalam menerapkan hukum-hukum. Setiap masing-masing jabatan mempunyai
pekerjaan sendiri-sendiri dan hendaklah di tujukan kepada kebajikan, terapkanlah
hukum yang ringan agar mereka tidak lengah dan rajin dalam bekerja, jangan
karena kasih sayang pemimpin menjadi lengah dalam meghukum, walaupun
sanak saudara jika salah harus di hukum, namun pertimbangkan dengan
124
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h
13. 125
Feri Andriyanto dan Cusniyatun, Relasi Guru Dan Murid Dalam Serat Wulangreh
Perspektif Pendidikan Akhlak, h 74.
70
kesalahanya supaya mereka takut dan tidak mengulanginya lagi, disebut dalam
tembang Maskumambang bait 30 dan 31.126
Mapan ratu tan duwe kadang myang siwi sanak prasaranak// memang ratu tidak
punya saudara dan anak
Tanapi garwa kakasih// dan istri tercinta
Among bener agemira// yang di anutnya hanya kebenaran
Kukum adil adat waton kang// Hukum keadilan dan adat istiadatlah yang di
pegangnya.127
Menjadi pemimpin jika suka terhadap jabatnya maka jangan terlalu
senang, hendaknya ingat bahwa hidup akan mengalami mati, dan jangan angkuh,
jangan bengis, pemarah, tidak bersahabat, jangan suka mencela secara tiba-tiba,
jangan menindas, jahil, dengki berkelahi dan jangan suka mengadu, tapi
berlakulah jujur, sopan dan merendah.
Sikap adil dan berlaku murah terhadap rakyat harus ada pada diri
pemimpin, misalkan sebagai penarik pajak hendaklah tidak memberatkan dan
memberikan pungutan sesuai dengan penghasilan rakyat, menumbuhkan tingkat
ekonomi rakyat dan berusaha menyelenggarakan kemakmuran dan jangan mudah
mencopot pegawai, jangan gila hormat, tindakanya hendaknya disesuaikan dengan
aturan, selalu berdoa dan bersyukur kepada Tuhan dan berusaha terus menerus
untuk mewujudkan kesejahteraan serta kelestarian negara.128
Seorang raja atau pemimpin harus memimpin dan melindungi rakyatnya,
seorang pemimpin tidak memiliki anak, saudra atau istri, yang dimilikinya
126
Andi harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h 52. 127
Kanjeng Susuhan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, terjemah h 61. 128
Mundiri Musahadi, Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara Dalam Naskah
Klasik Jawa-Islam, h 169.
71
hanyalah kebenaran, artinya seorang pemimpin tidak boleh mendasarkan
tindaknya atas hubungan kerabat, melainkan atas kebenaran dan keadilan semata,
sungguh tercela sikap penguasa yang berbuat kezaliman dengan bersikap tidak
adil dan menghianati amanat.129
d. Menjauhi sikap Adigang, Adigung, Adiguna
Seorang raja haruslah berbuat baik dan jangan sampai berbuat yang di cela
oleh masyarakat, contoh dari perbuatan baik tidak harus datangnya dari golongan
tinggi, akan tetapi bisa juga dari golongan sudra, disinilah letak kebesaran
pandangan Pakubuwana IV, dalam memberikan contoh perbuatan Pakubuwana IV
dalam tembang Gambuh bait ke 4 sampai 10, Pakubuwana IV mengambil tiga
contoh binatang yaitu:
Adigang di gambarkan sperti kidang (rusa) yang mengandalkan kebat
lumpat (kelincahanya), sedangkan Adigung di gambarkan seperti liman (gajah)
yang mengandalkan tinggi besarnya, Adiguna di gambarkan sepeti sawer (ular)
yang mengandalkan bisa beracunya yang mematikan.130
Jika dalam pewayangan pemilik watak ini adalah Prabu Dasamuka
(Rahwana Raja), sebagai seorang raja di Alengkadiraja yang sakti mandraguna,
kaya-raya dan berkuasa, ia berlagak sombong dan takabur, semua saudara dan
punggawa kraton (pembesar kerajaan) di paksa harus menuruti semua
keinginanya, namun adiknya yakni Raden Wibisana enggan dan menolak keras
129
Mohammad Ardani dan Muhammad Sangaidi, Etika Islami Kehidupan Beragama,
Bermasyarakat Dan Bernegara Dalam Serat Wulangreh Pakubuwana IV Surakarta, h 96. 130
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h
13.
72
memenuhi permintaan kakandanya, bahkan ia diusir dari negara Ngalengkadiraja,
akhirnya Raden Wibisana pun bergabung dengan Prabu Ramawijaya untuk
menyerang kerajaan Alengkadiraja.131
Pakubuwana IV pun menuliskan pesan kepada puteranya agar menjauhi
ketiga sifat itu:
a. Adigang umpamanya kijang yang tindakanya gesit, lincah dan larinya
kencang tak tertandingi.
b. Adigung umpamanya gajah ia mengandalkan keberanianya ia
menyombongkan besar dan tinggi tubuhnya, seolah-olah di dunia ini tidak ada
yang menyamainya tapi akhirnya ia akan mati karena kelengahanya, jangan
mengandalkan kedudukanya sebagai putera raja, lantas merasa berbangga diri dan
sombong.
c. Adiguna jangan mengandalkan keberanianya, setelah menantang kemudian
di hadapi ternyata dia malah cengengesan (tertawa-tawa).132
Ketiga binatang yang memiliki kekuatan masing-masing akhirnya sama-sama
mati, akan tetapi kematian dengan satu dan yang lainya sama, ketiga-tiganya mati
karena kesombongan, keteledoran orang terutama sekali disebabkan karena
kesombongan dan kurang bisanya menyimpan rahasia, selain itu banyak orang
muda yang suka hidupnya di sanjung-sanjung padahal penyanjungan itu belum
tentu di dasarkan atas keikhlasan, bahkan kebanyakan hanya atas dasar
menjerumuskan, orang-orang seperti inilah yang justru biasanya selalu dapat
131
Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2007) h 48. 132
Abdullah Cipto Prawiro, Filsafat Jawa, h 43.
73
dekat dengan penguasa, padahal orang yang demikian itu harus di hancurkan
saja.133
Untuk mengantisipasi hal itu, maka seseorang hidup hendaknya
berpegangan kepada tiga rambu-rambu yakni rereh (sabar, mengekang diri), ririh
(tidak tergesa-gesa, perlahan-lahan), ngati-ngati (berhati-hati), bekerja keras
dengan cara mengurangi makan dan tidur dengan maksud agar seseorang dapat
menundukan hawa nafsu dan dapat berfikir jernih dengan akal sehatnya, karena
benar salah, jelek-baik, untung-rugi berasal dari diri sendiri bukan dari orang lain.
Sikap buruk yang harus dihindari dalam benegara adalah:
a. Nistha, yaitu kecendrungan dengan kelakuan yang bernilai rendah atau
jahat
b. Dusta, berwatak tidak jujur, dan suka mencuri
c. Dora, sikap mengingkari atau tidak menepati janji
d. Dengki, suka berdengki, panas hati dan tamak.
e. Angkara murka, berwatak jahat dan cenderung menyebarkan kepada orang
lain.134
Oleh karena itu orang yang mempunyai akal hendaknya wajib
memperhatikan hal-hal tersebut dalam rangka menempuh cita-cita menjadi
pemimpin yang luhur budinya.
e. Kebijaksanaan dan bergaul
133
Rusapana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h
14. 134
Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, h 50.
74
Tema tentang kebijaksanaan dan bergaul terdapat dalam tembang Kinanthi pada
bait ke 3 berikut:
Yen wis tinitah wong agung, aja sira ngunggung dhiri// Jika anda menjadi orang
besar, janganlah anda gila hormat.
aja lekat lan wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak, satemah
anunulari// Janganlah dekat-dekat dengan orang yang buruk perilakunya, yang
suka mendorong mengajak jahat, akhirnya akan menulari.135
Seseorang ketika menjadi pemimpin atau orang besar, janganlah menjadi
gila hormat, artinya merasa dirinya sudah menjadi pejabat kemudian setiap orang
harus tunduk kepanya, jangan suka pesta pora lakukanlah seperlunya jangan
berlebihan, akan mengurangi keselamatan batin, mawas diri dan menjaga diri dari
rasa sombong, merasa diri paling besar. Sifat-sifat seperti di atas harus jauhkan,
karena apabila berlebihan dapat mengakibatkan manusia lupa akan tujuan hidup,
yaitu ketika menjadi Raja atau pemimpin harus mengabdikan kepada rakyatnya.136
Ungkapan Jawa yang menyatakan “aja cedhak kebo gupak” artinya jangan
dekat-dekat orang yang jahat, di khawatirkan nantinya akan tertular, misalkan
pencuri walaupun tidak ikut mencuri tapi mereka tau cara mencuri, demikian pula
dengan pekerjaan jahat, sekali kita melihat maka dapat menirunya, itulah
bimbingan syetan.
Pekerjaan baik itu mudah apabila sudah di kerjakan, dan sukar apabila
belum di laksanakan. Padahal kalau di kerjakan akan bermanfaat bagi dirinya,
meski berasal dari bawah kalau perilakunya baik atau kaya kisah teladan itu
135
Kanjeng Susuhan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, terjemah h 17. 136
Yuli Widiono, Tesis, Kajian Tema, Nilai Estetika, Dan Pendidikan Dalam Serat
Wulangreh Karya Sri Susuhan Pakubuwana IV, h 94.
75
pantas untuk didekati. Agar budi pekerti bertambah, hendaklah manuisa berhati-
hati dalam hal pergaulan, kaitannya dengan sifat dan watak seseorang karena
apabila kurang berhati-hati nantinya akan merugikan diri sendiri.137
Bergaul dengan sesama tidak harus memilih, memandang dari pangkat dan
jabatannya, walaupun dari orang tua maupun raja jika petuah tidak baik, maka
tidak layak di ikuti, kalangan bawahpun bisa menjadi teladan atau panutan dalam
rangka untuk menambah budi pekerti atau ilmu pengetahuan, perilaku yang baik
meski dari golongan yang rendah dapat dipakai dalam kehidupan untuk
meningkatkan nilai budi pekerti manusia, bahwa untuk meningkatkan nilai budi
pekerti ataupun moral dalam hidup tidak mengharuskan dari kalangan kerajaan.138
B. Etika Masyarakat
1. Prinsip Hormat Menurut Serat Wulangreh
Etika Jawa menekankan keharmonisan, keselarasan dalam setiap dimensi
kehidupan, orang Jawa yang ideal adalah orang Jawa yang mendahulukan
kewajibanya terlebih dahulu dari pada menuntut hak, orang Jawa mendahulukan
kerukunan sosial dari pada kerukunan pribadi artinya semakin besar lingkup
komunitasnya semakin mengecil kepentingan kelompok yang ada di dalamnya,
keadaan rukun adalah keadaan dimana semua pihak berada dalam kedamaian suka
bekerja sama dan saling asah, asih, asuh, prinsip dari kerukunan hidup adalah
137
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h 29. 138
Yuli Widiono, Tesis, Kajian Tema, Nilai Estetika, Dan Pendidikan Dalam Serat
Wulangreh Karya Sri Susuhan Pakubuwana IV , h 94.
76
mencegah terjadi konflik karena bila konflik terjadi bagi masyarakat Jawa akan
berkesan secara mendalam dan selalu diingat atau sukar utuk dilupakan.139
Adapun prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara
dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain,
sesuai dengan derajat dan kedudukannya, prinsip hormat ini berdasar pada
pandangan bahwa dalam hubungan antar pribadi dalam masyarakat tidak ada dua
orang yang sederajat dan bahwa mereka berhubungan satu sama lain secara
hirarkis.
Hal ini sesuai dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti, dalam yang
mencerminkan adanya sebuah hirarki struktural, secara sosial kawula mewakili
strata terendah, sedangkan Gusti mewakili setrata tertinggi, Perbedaan status ini
dibedakan menurut usia, keturunan, pangkat atau jabatan dan kekayaan.140
Prinsip
hubungan tersebut di atas kemudian melandasi hubungan antara penguasa dan
rakyat, hubungan itu digambarkan dalam ungkapan Manunggaling Kawula Gusti,
selain mempunyai makna dalam konteks spiritualitas, ungkapan tersebut juga
mempunyai makna dalam konteks sosio politik dan sosio kultural, kawula berarti
hamba, dan gusti berarti tuan, kawula adalah yang menyembah dan gusti adalah
sesembahan atau yang disembah, sebutan gusti diperuntukkan bagi raja atau
bangsawan dan pembesar.141
139
Thomas Wijasa Bratawijaya, Mengungkap Dan Mengenal Budaya Jawa (Jakarta:
Padnya Paramita, 1997), h 81. 140
Anjar Ani, Menyingkap Serat Wedhatama, (Semarang: Aneka Ilmu, 1993) h 38. 141
Sujamto, “Partisipasi dalam Paham Kebudayaan Jawa” dalam Akademika, VIII. No.
03, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1990, h 35.
77
Konsep kawula-gusti tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang
tinggi dan yang rendah, tetapi menunjukkan kesaling tergantungan yang erat
antara dua unsur yang berbeda tetapi tidak terpisahkan,142
oleh karena itu
walaupun terdapat ikatan yang saling mempersatukan antara kawula dan gusti,
namun baik kawula maupun gusti tidak diperkenankan melanggar garis pemisah
resmi dari hirarki sosial itu, hal ini terlihat jelas dalam banyak aturan yang
menentukan tatacara pemakaian busana, penggunaan bahasa, penggunaan warna
atau cara penghormatan.143
Dengan demikian hubungan antara kawula dan gusti bersifat satu arah, di
mana rakyat merasa bahwa hidupnya tergantung pada raja, karena di tangan
rajalah dapat diciptakan kemakmuran dan ketentraman, rakyat menganggap raja
memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, inilah yang
menyebabkan rakyat tunduk dan patuh kepada raja. Tunduknya rakyat kepada
raja, di samping karena raja menduduki hirarki sosial tertinggi, juga karena
adanya kepercayaan bahwa raja berkuasa berdasarkan wahyu dan bertindak
sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu raja sering dianggap sebagai orang yang
memiliki sifat-sifat ketuhanan yang memiliki kekuasaan yang absolut.
2. Etika Menghormati Pemimpin
Karena konsep bahwa raja adalah wakil dari Tuhan, dengan demikian
kebaktian terhadap raja secara praktis adalah kebaktian terhadap Tuhan juga,
selanjutnya pahama-paham ini mempunyai konsekuensi yang mendalam untuk
142
Soemarsaid Moertono, Negara Dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa Lampau,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985) h 26. 143
Soemarsaid Moertono, Negara Dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa Lampau, h 19.
78
para kawula (rakyat) termasuk juga para Putra Santana (putra raja), bahkan dalam
tembang Megatruh bait 1, 2 dan 3 di sebutkan “barang siapa yang tidak menuruti
perintah raja, bagaikan mengingkari kehendak Tuhan”.
Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu
mantep sartanipun, setya tuhu marang gusti, dipun miturut sapakon// Mengabdi
kepada raja sangatlah susah tidak boleh malas-malasan harus disertai dengan
kemantapan, selalu setia dan patuh kepada Raja, mematuhi apa yang menjadi
perintahnya.
Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahken hukum adil, pramila wajib
den enut, kang sapa tan manut ugi, mring parentahe sang katong// Karena Raja
adalah wakil Tuhan, yang memerintah dengan hukum adil, sehingga wajib
dipatuhi, barang siapa yang tidak mematuhinya, atas perintah sang raja.
Aprasasat mbadal ing karsa Hyang Agung, mulane babo wong urip, saparsa
ngawuleng ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewuh// Bagaikan
membantah perintah Tuhan yang maha agung, sehingga manusia hidup, ketika
mengabdi kepada raja, harus ikhlas lahir batin, jangan sampai menemukan
kesulitan.144
Kuatnya hubungan antara Tuhan dan raja ini menyebabkan pembaktian
diri terhadap raja sebagai pembaktian yang tuntas, harus ikhlas lahir dan bathin
dan di sertai dengan kemantapan hati, semua kehendak raja wajib di jalankan oleh
semua pegawai pemerintahan dan rakyat baik yang sebagai bupati, mantri,
semuanya sama yakni sedang mengabdi kepada raja maka harus menjalankan
perintah raja harus setia dan patuh, karena orang mengabdi diibaratkan bagaikan
ombak di lautan karena bergerak atas dasar perintahNya, jika belum ada
kemantapan hati lebih baik jangan mengabdi terlebih dahulu, maka dari itu
mengabdi kepada raja bukan pekerjaan yang sembarangan dan merupakan
perekjaan yang susah.
a. Kebaktian
Menurut Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh tembang
Maskumambang bait 7, 8 dan 9:
144
Kanjeng Susuhan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, terjemah h 63.
79
Ana uga etang-etangane kaki, lilima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah
lilima punika// Ada juga hitungannya wahai anakku, lima yang harus dipatuhi,
penjelasannya satu demu satu, mematuhi yang lima itu.
Ingkang dhingin rama ibu kaping kalih, marang maratuwa, lanang wadon kang
kaping tri, ya marang sadulur tuwa// Yang pertama patuhilah ayah ibumu dan
juga mertuamu, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, yang ke tiga adalah
patuh kepada saudara tua.
Kaping pate ya marang guru sayekti, sembah kaping lima, ya marang
Gustinireki, parincine kawruhana// Yang keempat adalah patuh kepada guru,
yang ke lima yaitu pada Tuhan-mu, syarat dan rukunnya pahamilah.
Di dunia ini terdapat urutan-urutan kebaktian bagi orang hidup yang terdiri
dari:
1. Kebaktian terhadap ayah dan ibu karena mereka itulah yang menjadi
jalan adanya manusia di dunia, tanpa ayah dan ibu tidak mungkin
manusia ada, karenanya wajib berbakti kepada ayah dan ibu.
2. Kepada ayah dan ibu mertua, karena mereka itulah yang menjadikan
perantara yang memberikan kepada manusia rasa sejatinya rasa, atau
yang melahirkan pasangan hidup manusia, sehingga manusia dapat
menyambung adanya kelangsungan keturunan.
3. Berbakti kepada saudra tua karena merekalah yang akan menggantikan
kedudukan saat orang tua telah meninggal.
4. Kepada guru sejati karena gurulah yang memberikan pelajaran-
pelajaran serta yang menunjukan jalan menuju kesempurnaan hidup,
80
ialah yang menyalakan obor penerang pada saat hati gelap dan
membawa manusia ke jalan kemuliaan.
5. Kepada Gusti yang memerintah, karena ialah yang memberikan makan
dan pakaian.145
Sepintas lalu memang tampak aneh urutan-urutan ini, sebab ada satu
tujuan kebaktian yang belum disinggung, ialah kebaktian terhadap Tuhan, tidak
adanya kebaktian terhadap Tuhan karena menurut Pakubuwana IV seorang raja
merupakan wakil Tuhan, maka kebaktian terhadap raja itu sama halnya dengan
berbakti terhadap Tuhan melalui raja.
Karena raja di anggap sebagai wakil dari Tuhan, sehingga rakyat dan
termasuk putera raja tidak di perbolehkan membuka rahasia kejelekan raja
termasuk pemerintahanya, Pakubuwana IV juga berpendapat bahwa mengabdi
kepada raja merupakan pekerjaan berat maka pembaktian diri terhadap raja
haruslah dilakukan dengan ikhlas dan ketulusan, kalau sekiranya tidak ada
keikhlasan dalam mengabdi lebih baik jangan mengabdi dan di anjurkan menurut
saja kepada raja.146
Kemudian jika rajinya seorang pengabdi jangan sekali-sekali disertai
dengan syarat yang berupa motif agar supaya lekas naik pangkat, sebab sikap
semacam ini akan mengakibatkan putusnya harapan seandainya pangkatnya tidak
dinaikan, jadi sebuah pembaktian yang tuntas, selanjutnya benar dan salah, soal
145
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
16. 146
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
17.
81
untung dan malang itu, pada dasarnya tergantung badan sendiri, bukan pada diri
orang lain, karena itu tidak tepatlah orang yang mencoba mengungkit-ungkit dan
menjelek-jelekan raja, sebab perbuatan tersebut hanyalah akan menambah dosa.147
b. Hubungan keluarga
Dalam tempang Pocung bait 3 dan 4, di sebutkan:
Aja kaya kaluwak enome kumpul, basa wis atuwa, ting salebar dhewe-
dhewe, nora wurung bakal dadi bumbu pindhang// Janganlah seperti buah
keluwak ketika mudanya berkumpul setalah menjadi tua menyebar sendiri-sendiri
// akhirnya hanya menjadi bumbu masakan pindang.
Wong sadulur, nadyan sanak dipunrukun, aja nganti pisah, ing samubarang
karsane, padha rukun dinulu teka prayoga// Dalam persaudaraan walau dengan
kerabat haruslah rukun jangan sampai berpisah atas segala hal jika rukun
dilihatpun itu lebih baik.148
Keluarga di katakan baik kalau terdapat kerukunan di dalamnya, jika suatu
kerukunan dan kesatuan hanya ada pada saat masih muda sedangkan masa tuanya
terpecah-pecah di ibaratkan bumbu pindang yang di sebut kluwak, sifat yang
terdapat dalam biji kluwak ini menunjukan bahwa pada masa mudanya menjadi
satu dan tuanya terpisah-pisah, dalam keluarga selain di butuhkanya kerukunan
perlu juga mengerti adanya kewajiban masing-masing sebagai orang tua dan
orang muda, dalam menerangkan kewajiban orang tua Pakubuwana IV selalu
menghubungkan dengan kewajiban sebagai kerabat raja.
Pakubuwana IV mengemukakan bahwa sikap orang tua yang wajar adalah
selalu adil dan teliti terhadap siapa saja, baik terhadap saudaranya maupun
terhadap orang-orang sekitar yang menjadi bawahanya, maksud dari teliti adalah
147
Andi Harsono, Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, h. 20. 148
Kanjeng Susuhan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, terjemah h. 93-94.
82
memberikan pujian kepada yang baik dan memberikan celaan kepada yang jelek,
jika celaan saja tidak cukup segeralah diberikan hukuman yang setimpal.
Pujian dan celaan di perlukan agar menjadi pedoman bertindak bagi
bawahan, maka berterimakasih kepada Tuhan melalui yang memberi pangkat,
tetapi umumnya sekarang orang baru mempunyai pangkat sedikit saja sudah lupa
akan sebab permulaanya, ia mengira bahwa pangkat itu hanya merupakan
penemuan belaka yang seolah-olah dia sendiri yang membuat pangkat
itu,bagaikan orang yang tidak mengenal puas, lebih jeleklah watak orang yang
tidak mengenal puas, selanjutnya lebih baik agar setiap perbuatan disertai dengan
kesabaran hal ini menjaga agar selalu bersih dan selamat.149
c. Hindari berperasangka buruk
Tembang Durma bait 7 dan 8:
Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memaoni, sira ling-elinga,
aja sugih waonan, den samya raharjeng budi, ingkang prayoga, singa-singa kang
lali// Tidak ada perbuatan yang lebih mudah, seperti pekerjaan menyalah dan
mencela, ingatlah oleh dirimu, jangan senang mencela dan menyalahkan,
perbaikilah budi pekerti diri, itu lebih baik, hindarilah yang sedang lupa.
Ingkang eling angelingena ya marang, sanak kanca kang lali, den nedya
raharja, mangkana tindakira, yen datan kaduga uwis, teka menenga, aja sok
angrasani// Yang sadarlah yang mengingatkan kepada, kerabat dan sahabat yang
sedang lupa agar selamat semuanya, seperti itu lah seharusnya tindakanmu, jika
tidak berkenan lebih baik, diamlah saja, jangan suka membicarakan kejelekan di
belakangnya.150
Pakubuwana IV menjelaskan bahwa agar melatih diri dan menjauhi pantangan:
1. Jangan menyombongkan diri
149
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
24. 150
Kanjeng Susuhan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, terjemah h. 74.
83
2. Jangan selalu mencacat (menganggap sesuatu kurang baik atau kurang
benar).
3. Jangan selalu mencela setiap pekerjaan
Ketiga larangan ini penting sekali bagi orang yang sedang membulatkan
tekad menuju cita-cita atau orang yang sedang mengabdi, Pakubuwana IV
menjelaskan di dunia ini sebenarnya “ora ana penggawean kang luwih gampang
kaya wong mamoni” maksudnya tiada suatu pekerjaanpun yang lebih mudah
kecuali mencela, namun alangkah baiknya untuk mengingatkan teman dan sanak
saudara yang mengalami lupa, kalau tidak dapat berbuat demikian lebih baik
diamlah, dari pada selalu mencela di belakang, begitupun sikap seorang pengbdi
kepada raja, jangan suka berkomentar buruk dan mencela terhadap pekerjaan
raja.151
Jangan suka mencacat, dan mencela terhadap sesuatu, karena merasa
pendapatnya paling benar, namun juga jangan mudah memuji atau menyanjung,
karena belum tahu kebenaranya, jangan tergesa-gesa menyanjung kebaikan orang
jika salah maka akan menjadi malu, jangan memuji berdasarkan kesenangan
karena sering terjadi pujian yang berdasarkan atas kesenangan itu biasanya
melampaui batas-batas, sebaliknya jika telah membenci yang berlebihan maka
segala perbuatanya selalu di ejek dan di cela, jangan di depan terlihat baik tetapi
di belakang memusuhi.
151
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
18.
84
Dalam hal inilah Pakubuwana IV menganjurkan supaya orang hidup selalu
memelihara budi pekerti, jangan asal dalam berkata dan menilai, sebab ucapan itu
sekalipun hanya satu kata kalau tidak pantas dikemukakan apalagi menjelekan
orang lain (pemimpin) dimuka umum merupakan pantangan yang sangat besar,
karena ucapan yang telah keluar tidak akan bisa di tarik lagi, maka dari itu
kewaspadaan dalam berbicara sangat di perlukan.152
152
Ruspana, Etika Pemerintahan Menurut Filsafat Jawa Wulangreh Paku Buwana IV, h.
18.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Serat Wulangreh merupakan karya sastra yang mempunyai nilai filosofis
tinggi, yang memberikan pengajaran tentang bagaimana cara-cara yang di tempuh
untuk mencapai tujuan hidup yang baik, yakni tercapainya keselarasan,
ketentraman dan keadilan dalam kehidupan bernegara.
Salah satu hal yang dapat di tempuh untuk mewujudkan kehidupan yang
harmonis, yaitu dengan cara mentaati kesepakatan yang telah di sepakati bersama,
karena pada zaman Pakubuwana IV terdapat konsep kepercayaan bahwa raja
adalah wakil Tuhan, menjadikan hubungan rakyat dengan penguasa bersifat satu
arah dimana rakyat tidak diberikan hak untuk menyumbangkan pemikiran dalam
menentukan kebijakan negara, kewajiban rakyat sebagai warga negara hanyalah
mentaati secara mutlak atas semua perintah raja.
Maka dari itu Serat Wulangreh yang lahir dari pengalaman-pengalaman
pemikiran dan pemahaman dari Pakubuwana IV, sebagai alat untuk
mempertahankan jati diri bangsanya, karena kekacauan keadaan Surakarta pada
saat itu, yang disebabkan karena faktor internal yaitu masalah-masalah yang
timbul karena konflik keluarga dalam lingkungan kraton, seperti perebutan
kekuasaan, pemberontakan, dan faktor eksternal yaitu campur tangan VOC yang
seolah-olah hadir memfasilitasi bantuan saat terjadinya perang, tetapi sebenarnya
85
86
malah mengambil keuntungan lewat konflik tersebut, dapat disebut sebagai
idiologi keraton.
Menjadikan pada saat itu, Serat Wulangreh sebagai pedoman hidup
masyarakat di Surakarta, meskipun pola pikir masyarakat indonesia telah
mengalami perkambangan seiring berkembangnya zaman yang semakin maju,
sistem pemerintahan Indonesia telah berubah dari monarki ke demokrasi, namun
faktor tersebut tidak menghalangi ajaran dari Serat Wulangreh tidak dapat
digunakan sebagai pedoman bernegara, karena bagaimanapun seorang pemimpin
adalah pemimpin yang mempunyai tanggungjawab yang sama untuk negara dan
rakyatnya, dan rakyat tetaplah rakyat yang harus menjadi rakyat yang baik dengan
cara patuh kepada pemimpin.
Ajaran bernegara yang terdapat dalam Serat wulangreh, mempunyai
peranan yang sangat besar dalam menumbuhkan kesadaran dalam mengatur pola
interaksi dalam bernegara.
B. Saran
Skripsi ini hanya memaparkan dan menganalisa, bagaimana sikap-sikap
bernegara ideal yang ada didalam Serat Wulangreh, maka dari itu penulis
berharap agar Serat Wulangerh ini di kaji kembali dan lebih terfokuskan kepada
pembuktian pemikiran pemikiran dari Pakubuwana IV, dan menghasilkan temuan-
temuan baru.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis sendiri, dan bagi para pembaca, kemudian dengan adanya karya ini,
87
di harapkan dapat memberikan gambaran serta pemahaman bagi pembaca
mengenai pentingnya etika bernegara.
Banyaknya kekayaan sastra Indonesia yang menarik untuk di kaji, terutama
mengenai karya sastra yang memberikan pengetahuan filosofis tentang kehidupan,
karya ini di harapkan dapat menambah kekayaan khazanah pengetahuan tentang
sastra Jawa.
Menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna, karena
keterbatasan yang penulis miliki, hasil penelitian ini di harapkan mempunyai
implikasi yang luas untuk penelitian selanjutnya dengan topik serupa. Kritik dan
saran dari pembaca sangat di harapkan demi kesempurnaan penuulisan penelitian
ini di kemudian hari.
88
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soedjipto. 2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram Seluk Beluk
Berdirinya Kesultana Yogyakarta Dan Kasunan Surakarta. Yogyakarta:
Saufa.
Achmad, Sri Wintala. 2017. Filsafat Jawa Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku
Hidup Leluhur Jawa, Yogyakarta: Araska.
Ali, Fachri. 1986. Ajaran Tentang Kebaktian Tuntas. Jakarta: Pustaka Antar
Kota.
Andriyanto, Feri dan Cusniyatun. Relasi Guru Dan Murid dalam Serat
wulangreh Perspektif Pendidikan Akhlak. Surakarta: Fakultas Agama Islam,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012.
Anshoriy, Nasruddin. 2008. Neo Patriotisme Etika Kekuasaan Dalam
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Ardani, Mohammad dan Muhammad Sangaidi. 1999. Etika Islami Kehidupan
Beragama, Bermasyarakat Dan Bernegara Dalam Serat Wulangreh
Pakubuwana IV Surakarta. Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Asmarandana, Titis. Primbon Pria Dan Wanita Lengkap, Dua Media.
Bayuadhy, Gesta. 2014. Wong Sugih Mati Keluwen Falsafah Kearifan Jawa Di
Tengah Zaman Edan. Jogjakarta: Diva Press.
Beker, Anton dan Ahmad Zubair. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
89
Bertnes, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Bratawijaya, Thomas Wijasa. 1997. Mengungkap Dan Mengenal Budaya Jawa.
Jakarta: Padnya Paramita.
Bruinessen, Martin van. 1992. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung:
Mizan.
Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Darusuparta. 1985. Serat Wulangreh Angitan Dalem Sri Pakubuwana IV.
Surabaya: Citra Jaya.
Endaswara, Suwardi. 2010. Etika Hidup Orang Jawa Pedoman Beretika Dalam
Menjalani Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Fatikhah, Nur. 2016. Kode Etik Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012/2013 Dalam Penerapan Perspektif Etika. Skripsi. Jakarta:
Fakultas Ushuluddin.
Firmansyah dan Purwo Agung Sulistyo. 2016. “Permasalahan Korupsi, Kolusi,
Dan Nepotisme Di Daerah serta Strategi Penanggulangannya.” Demokrasi
IX, No.1.
Hadiwirjanto. 2002. Serat Wulangreh dan Terjemahanya, Pendidikan Budi
Pekerti, Sri Susuhan Paku Buwana IV. Yogyakarta.
Harsono, Andi. 2010. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas Gramedia.
Joker, Jan dkk, 2016. Metodologi Penelitian: Panduan Untuk Master Dan Ph.D.
Di Bidang Manajemen. Jakarta: Restu Agung.
90
Kartanegara, Mulyadhi. 2009. Filsafat Islam Etika, Dan Tasawuf. Jakarta: Ushul
Press.
Kresna, Ardian. 2011. Sejarah Panjang Mataram Menengok Berdirinya
Kesultanan Yogyakarta, Diva Press: Yogyakarta.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara Dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa
Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Musahadi, Mundiri. Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara Dalam
Naskah Klasik Jawa-Islam. Semarang: Pusat Pengkajian Islam Dan Budaya
IAIN Wlisongo.
Prawirodisastra, Sadjijo. 1991. Pengantar Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta:
IKIP Yogyakarta.
Pujiawati, Teti. 2017. Etika Hubungan Murid Dan Guru Dalam Serat Dewaruci.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah.
Purnaweni, Hartuti. 2004. “Demokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa” Jurnal
Administrasi Publik 3, No 2.
Purwadi dan Endang Waryanti. 2015. Serat Wulangreh Wejangan Sunan
Pakubuwana IV Raja Kraton Surakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Laras
Media Prima.
Purwadi, Konsep Pendidikan Keagamaan Menurut Pakubuwana IV, Jurnal
Pemikiran Alternatif Kependidikan, INSANIA, Vol. 11, No. 3, September
tahun 2006, h.1.
Purwadi. 2003. Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng.
Ronggowarsito. Jogjakarta: Persada.
91
Ratnawati, Sri. Perempuan Dan Ajaran Perenialis Dalam Serat Wulangputri,
Departemen Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Bahasa Dan Seni, No
1, Februari 2008.
Rochkyatmo, Amir. 2010, ”Sastra Wulang, Sebuah Gendre di Dalam Sastra Jawa
Dan Karya Sastra Lain Sejaman”, Jumantara, No 1.
Ruspana.1986. Etika Pemerintahan Menurut filsafat Jawa Wulangreh Paku
Buwana IV. Jakarta: Pustaka Antar Kota.
Said, Muhammad. 1980. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Pramita.
Salam, Burhanuddin. 2002. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sedyawati, Edi. 200. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
Soeriadinata, Soependri. 1974. Sendi Pokok Tata Negara Indonesia. Jakarta:
Karya Indah.
Sri Sulistiani dkk. 2017. “Unggah-ungguh Basa Lan Pengetrapane”. sumber
belajar penunjang PLPG.
Subroto, “Pakepung 1790 Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam Oleh
Belanda Dan Sekutunya”. Syamina, 14 Oktober 2016.
Sujamto. 1990. “Partisipasi dalam Paham Kebudayaan Jawa” dalam Akademika,
th VIII. No. 03, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Suseno, Franz Magnis Etika Jawa. 1993. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.
92
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya ditulis KBBI). Jakarta:
Gramedia.
Verawati, Desy Yeni. 2016. “Etika Politik Nur Cholish Madjid”. Sekripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Warsena, Tentrem. 2006. Serat Wulangreh Anggitan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangnjeng Susuhan Paku Buwana Ingkang Kaping IV. Solo: Cendrawasih.
Widiyono, Yuli. 2010. Tesis, Kajian Tema, Nilai Estetika, Dan Pendidikan Dalam
Serat Wulangreh Karya Sri Susuhan Pakubuwana IV. Solo: Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
Widjajanti, Rosmaria Sjafariyah. 2008. Etika. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN.
Wulangreh Yayasan Dalem Sri Susuhan Pakubuwana IV. Solo: Cendrawasih.
Zubair, Achmad Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.