Transcript
Page 1: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

tentangKurikulum

Kurikulum saat ini

Mindset orangtua

Orientasi yang salah

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Pabrik itu bernama sekolah

Softskills-oriented

Iptek yang menjemukkan

Penjurusan

Edukasi kreatif

Reformasi kurikulum

Seorang siswa sedang mensyukuri nasibnya

malam itu, nasibnya yang begitu mujur.

Bagaimana tidak? Dari SD sampai SMA ranking

3 besar selalu dengan mudah berhasil ia

lahap. Nilai 100 pun kerapkali mendekorasi

hampir seluruh kertas ujiannya. Senyum dan

sanjungan guru serta teman-teman tak pernah

habis menyinari hari-harinya.

Sejalan lurus dengan kehidupan akademiknya,

di rumah pun ia sama bahagianya. Ia

dipandang sebagai teladan dan seorang insan

Essai, Jangan sekolah 0

Page 2: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

emas yang kelak akan membuat bangsa ini

semakin jaya. Otomatis, ia semakin terlena.

Di studi akademik selanjutnya, ia

melanjutkan studi di PTN terpandang dalam

prodi Teknik Kimia dengan sangat mudah

dengan mendapat beasiswa pula. Di akhir

semester 8 ia pun menyelesaikan skripsi

dengan amat sempurna sehingga ia pun

mendapat predikat cum laude. Belum puas

dengan segala berkah Tuhan yang ia terima,

Ia melanjutkan studi dan lagi-lagi dengan

mudah ia selesaikan itu. Ia memang sedikit

gila gelar.

Tapi itu hanyalah masa-masa kejayaannya 25

sampai 26 tahun ke belakang. Sekarang ini,

ia sedang memandang dirinya yang tak sehebat

yang masyarakat pikirkan waktu itu.

Seperti kebanyakan waktu selama tujuh tahun

terakhir, sekarang ia hanya bercermin sambil

berkata “kenapa begini?” secara terus-

menerus pada dirinya. Dan seperti biasa, ia

disadarkan oleh sapaan SPV – yang dulu

adalah temannya yang tidak pintar-pintar

amat - atasannya, dari sebuah perusahaan

marketing. Lho? Apa yang salah?

Sudah banyak sekali, entah itu ribuan atau mungkin

sudah mencapai puluhribuan artikel yang menyatakan

berbagai macam estimasi negatif tentang kurikulum

Essai, Jangan sekolah 1

Page 3: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

yang ada sekarang ini. Yang jadi masalahnya adalah,

kenapa pemerintah itu tidak tahu atau seolah tidak mau

tahu? Padahal sistem pendidikan seperti ini sudah tidak

bisa diharapkan akan memberi pencerahan hidup.

Kalau sistem tetap seperti ini, hasilnya adalah manusia

manusia robot yang terpenuhi oleh teori.

Kurikulum saat ini

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kalau kita

tahu dulu bagaimana keadaan kurikulum yang

sekarang dicanangkan oleh pemerintah, khususnya

oleh Dinas Pendidikan. Kurikulum yang sekarang

dipakai – atau sebenarnya “yang selalu” diujicobakan –

oleh pemerintah sekarang ini bernama KTSP, singkatan

dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dimana

dalam kurikulum ini, setiap satuan pendidikan – sekolah

– punya hak buat menyusun dan membuat

kurikulumnya masing-masing yang disesuaikan dengan

kemampuan dan kebutuhan lokal. Sebagai contoh,

bahasa daerah yang seringkali – jika dianggap perlu -

dimasukkan dalam muatan lokal di salah satu sekolah.

KTSP pula memberikan kebebasan pada guru untuk

bikin kurikulum. Dan itu membuat para guru

seharusnya berpatok terhadap perkembangan masing-

masing siswanya dan tidak terpatok kepada berbagai

tuntutan pemerintah. Kurikulum yang guru buat,

Essai, Jangan sekolah 2

Page 4: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

seharusnya disesuaikan dengan kemampuan dan

kebutuhan daerah. Juga berarti pendidikan yang lebih

mengedepankan proses, bukan semata hasil.

Dan karena KTSP telah disusun oleh sekolah maka

seharusnya KTSP punya relevansi yang tinggi bagi

kebutuhan siswa. Artinya apa yang dipelajari siswa

benar-benar merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari kehidupan siswa. Setidaknya, apa yang dipelajari

siswa memiliki kebermaknaan yang tinggi bagi mereka.

Dalam KTSP, dikenal 3 aspek penilaian, yaitu: kognitif

(teori); psikomotor (keterampilan); afektif (sikap).

Menarik, karena baru di kurikulum inilah yang namanya

sikap disorot dalam dunia pendidikan.

Implemetasi yang salah

Namun, kalau kita lihat standar kelulusan yang –

faktanya – hanya ditentukan melalui UN (kognitif),

nampaknya afektif ini hanyalah formalitas

pembaharuan kurikulum semata. Karena yang mengerti

dan tahu sikap siswa adalah guru masing-masing, dan

guru sendiri – faktanya – tidak diberi kewenangan

dalam meluluskan siswa karena itu semua diambil alih

oleh pemerintah.

Selain itu, dalam pelaksanaannya ternyata KTSP ini

punya berbagai tantangan. Salah satunya dari

Essai, Jangan sekolah 3

Page 5: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

pemerintah sendiri. Karena di satu sisi, pemerintah

memberikan kebebasan pada setiap sekolah untuk

membuat silabusnya sendiri tapi juga malah

memberlakukan sistem ujian nasional (akan dibahas

lebih lanjut). Hal ini tentu saja menunjukkan

ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan

berbagai macam program pendidikan. Gimana sih

pemerintah ini?

KTSP, kurikulum tidak siap pakai

Selain itu pula, implementasi lainnya pun belum sesuai

dengan yang diharapkan. Alih-alih memperhatikan

perkembangan masing-masing siswa seperti yang

tercantum dalam KTSP, para guru-guru malah secara

konservatif menuntut siswanya dengan standar yang

cukup tinggi.

Saya beri contoh, dan ini memang pengalaman saya

secara pribadi, saat saya kelas 3 SMA (2008/2009) saya

mengenal seseorang yang sangat pintar dalam

pelajaran eksakta, sebut saja AR. Si AR ini amat pintar

dalam mengkalkulasikan berbagai macam operasi

matematis. Sedangkan saya tidak. Ironisnya, ketika

guru saya bertanya setelah ia memberi soal latihan,

misal : “Sudah? Berapa hasilnya?” Tak lama AR

menjawab, tentu siswa yang lain masih sibuk

menghitung. Alhasil, karena sudah ada satu orang yang

menjawab dan memang selalu benar akhirnya guru

Essai, Jangan sekolah 4

Page 6: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

saya berasumsi bahwa siswa satu kelas ini sudah

mengerti semua, padahal belum. Parahnya lagi, guru

saya kerapkali bilang “Sudah, kita lanjut saja. Yang

belum tanyakan saja pada yang sudah” Alhasil, niat

saya untuk menghitung yang tadinya cukup menggebu-

gebu akhirnya sirna karena toh saya sudah tahu berapa

nominal hasilnya. Dan jurang antara si pintar dan si

bodoh semakin melebar. Wah wah, kalau seperti ini

terus, siswa yang lain akan makin terpuruk dalam

jurang keterpurukan. Lebai.

Seharusnya guru menetapkan standar yang disesuaikan

dengan 5 orang siswa terlamban untuk tetap menjaga

motivasi mereka. Dan seharusnya, guru tidak seperti

ini. Guru harusnya tahu perkembangan setiap siswa

dengan pendekatan individual yang nyaman. Guru

seharusnya tahu bahwa si AR dan saya dan teman-

teman lainnya sama berharganya. Hanya beda bidang

kemampuannya. Tidak boleh ada acara diskriminasi

apalagi penglabelan “bodoh”.

Dalam KTSP, sebenarnya softskills – yang akan dibahas

- ini sudah dimuat. Hanya saja, dalam pelaksanaannya

masih belum sesuai prosedur. Karena mau diganti

kurikulumnya bagaimanapun, kalau paradigma dan

perspektif tentang keberhasilan pendidikan yang

sekarang dimiliki oleh semua lapisan pendidikan itu

masih sama seperti saat kurikilum 1994, metode

pengajaran pun masih dalam suasana konservatif dan

Essai, Jangan sekolah 5

Page 7: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

monotonisme, pasti softskills yang ada di dalam benak

siswa itu tidak akan terstimulir dengan baik. Sangat

disayangkan.

Yang berwenang, dalam hal ini pemerintah, seharusnya

memberikan pemahaman dan semacam training

kepada guru-guru dalam hal menerapkan kurikulum

yang namanya KTSP ini. Karena faktanya di lapangan,

walaupun materi berubah tapi metode pengajaran

masih sama seperti tahun 1994 dimana yang menjadi

subjek KBM adalah guru, harusnya murid. Tapi ini

semua juga bukan serta-merta salah guru. Dalam

banyak kasus terbukti bahwa sebenarnya para guru di

sini tidak mengerti harus bagaimana dalam

mengimplementasikan KTSP ini. Guru Cuma tahu

bahwa ia harus menjadi fasilitator.

Hal ini terjadi saat saya SMA. Karena dipaksa dengan

KTSP tanpa adanya pemahaman tentang mekanisme di

kelas, akhirnya guru Cuma datang ke kelas dan

menyuruh siswa menulis SK dan KD Bab 1, kemudian

ada beberapa pengantar dan selanjutnya beliau

meyampaikan bahwa pada saat pertemuan berikutnya,

beliau akan membahas tentang “anu” dan itu harus

dibaca oleh siswa sebelumnya agar saatnya nanti siswa

jadi mengerti dan aktif.

Timbul permasalahan dari pihak siswa. “Lho, jadi

bingung…” Siswa yang punya fasilitas lebih memang

Essai, Jangan sekolah 6

Page 8: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

diuntungkan dalam hal ini, tapi yang tidak punya

bagaimana? Lagipula, tetap saja tidak semua siswa

adalah para pembelajar otodidak yang bisa dengan

sendirinya mengerti suatu materi. Ingat, daya tangkap

setiap orang beda-beda. Siswa, walaupun sedikit

setidaknya harus mendapatkan pencerahan dari

gurunya tentang dasar-dasar materi tersebut, dan

setelahnya barulah disuruh untuk menelaah lebih

dalam. Sehingga murid bisa paham materi apa yang

akan dipelajari.

Kalau sistem ini sudah benar, kenapa masih banyak

teman-teman kita lulusan S1 bahkan S2 yang kerjanya

Cuma nganggur saja di rumahnya? Lantas kenapa

seorang lulusan cum laude dengan IPK 4 bisa menjadi

bawahan teman kuliahnya sendiri yang nampaknya

dulu biasa-biasa saja?

Mindset orangtua

Sekolah dengan sistem pendidikan seperti ini sudah

cukup berumur. Sudah cukup lama sehingga mampu

untuk membuat stigma yang sangat mengakar pada

orangtua siswa. Stigma yang selama ini membuat

banyak anak-anak merasa terpenjara oleh jeruji

tuntutan.

Sudah menjadi pikiran umum pada orangtua siswa

bahwa untuk sukses di masa depan, haruslah sekolah.

Essai, Jangan sekolah 7

Page 9: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Hal ini terbukti dari berjubelnya orangtua siswa yang

ingin mendaftarkan anaknya untuk sekolah di setiap

awal tahun ajaran baru.

Padahal, kalau memang mau sukses – katakanlah

punya uang yang takkan habis 7 turunan – tak perlu

sekolah. Karena dapat apa sih dari sekolah itu? Apa

yang jadi jaminan dari pihak sekolah bahwa si anak-

didiknya itu akan berhasil di kehidupan kelak? Bualan

tentang pelajaran kah?

Para orangtua – karena sudah terkontaminasi –

biasanya akan marah ketika melihat anaknya hanya

mendapat 5 dalam pelajaran IPA, akan marah ketika si

anak tidak dapat ranking 3 besar, akan marah ketika si

anak tidak tahu nama planet ke-4 dari matahari, dan

akan marah ketika anaknya tidak bisa menghitung

pengakaran. Padahal hal itu salah besar. Ada

banyak hal yang harus diperhatikan dari seorang anak.

Anak itu bukan sekedar Buku Pintar yang dapat ditanyai

semua hal tentang itu. Anak punya karakter dan

kemampuan unik. Ketika si anak membantu temannya,

berkata jujur, beribadah, dan mencari teman,

sebenarnya itulah yang harus disorot dalam

perkembangan anak. Karena sudah jelas-jelas si anak

tidak akan memakai yang namanya persamaan

logaritma ketika ia mau diterima oleh masyarakat.

Essai, Jangan sekolah 8

Page 10: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Masyarakatnya, pada masa depannya, tidak akan lagi

bertanya “lulusan mana?” atau “IPK berapa?” pada si

anak. Masyarakat jelas-jelas akan melihat kepribadian,

kemampuan bersosialisasi, kemampuan

bertenggangrasa, kemampuan memecahkan masalah

dan etika yang semuanya itu tidak diajarkan di sekolah.

Lantas untuk apa sekolah?

Mindset yang sudah mengakar inilah yang akan

membuat Human Index Development Indonesia terus

merosot sampai level terbawahnya. Karena itu stigma

ini harus segera dihilangkan sebelum anak-anak lain

gantung diri karena tertekan dengannya.

Orientasi yang salah

Tak ada yang salah dengan kurikulum ini, kurikulum ini

sudah “mau” memasukkan poin sikap sebagai salah

satu aspek penilaiannya. Itu sangat bagus. Tapi ketika

KTSP yang mestinya menyorot masalah afektif ini tidak

berjalan dengan baik, berarti sistem yang berjalan

sekarang masih sama dengan sistem saat kurikulum

1994 yang mengutamakan nilai (kognitif).

Orientasi kognitif

Essai, Jangan sekolah 9

Page 11: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Sejauh ini, pemerintah telah mengimplementasikan

kurikulum yang begitu kaku dan siap membunuh

karakter. Karena yang dituju oleh pembelajaran dalam

sistem ini adalah tuntutan pemenuhan nilai. Atau

penuntutan terhadap penguasaan materi.

Kalau kita lihat secara menyeluruh, yang jadi akar

permasalahannya adalah orientasi dan definisi dari

“keberhasilan pendidikan” itu sendiri yang masih sama

sekali tidak tepat sasaran.

Karena sasaran pendidikan adalah membentuk

“manusia”. Dan itu takkan pernah berhasil dengan

sistem ini. Karena kognitif bukanlah satu-satunya hasil

yang bisa diukur dari manusia. Selain IQ, masih ada EQ,

SQ juga CQ serta “Q”-“Q” yang lainnya. Kurikulum yang

sekarang pemerintah kita pakai, adalah orientasi

pengetahuan serta berbagai macam teori-teori – yang

nampaknya tidak berguna dalam kehidupan nyata -

juga warna-warni doktrin dan pedagogi.

Orientasi ini – kognitif – merupakan kesalahan fatal

dalam proses pembelajaran. Kognitif bukanlah sesuatu

yang akan tetap menjamin kita tetap hidup ketika tiba

di “kehidupan nyata” nantinya. Saya masih ingat

perkataan guru biologi saya yang tercinta, Ilmu itu ngga

ada yang ngga berguna. Ok ok, saya amat setuju

dengan itu. Memang teori itu penting, tapi yang jauh

Essai, Jangan sekolah 10

Page 12: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

lebih penting adalah penanaman kepribadian. Yang

harus dijadikan orientasi pembelajaran bukanlah nilai

kognitif, tapi nilai kehidupan.

----------------------------------------------------------------------------

UU no. 20 tahun 2003,

tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab X Kurikulum

Pasal 36

(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang

pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;

b. peningkatan akhlak mulia;

c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat

peserta didik;

d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. tuntutan dunia kerja;

g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,

dan seni;

h. agama;

i. dinamika perkembangan global; dan

j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

----------------------------------------------------------------------------

Tinjauan UU

Essai, Jangan sekolah 11

Page 13: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Dari uraian UU di atas, dapat disimpulkan bahwa

sebenarnya kurikulum sekarang pun (sangat

disayangkan) belum sesuai dengan UU tersebut.

Kurikulum yang sekarang hanya memenuhi satu poin

saja: g. Kognitif.

Tuntutan yang tidak terpenuhi

Kenapa dikatakan demikian? Sebagai contoh, untuk

poin f “tuntutan dunia kerja” ini sangatlah belum

mencapai sasaran. Kenapa sekarang ini masih

banyak para sarjana yang menganggur? Karena

kemampuan para sarjana itu tidak cocok dengan

yang dibutuhkan dunia kerja. Kejujuran dan

kemampuan bekerjasama dengan kelompok itu

tidak pernah diajarkan di sekolah. Ini tentu perlu

suatu pengkajian ulang.

Selain itu, dalam poin b “peningkatan akhlak mulia”

pun sangat-sangat belum memenuhi sasaran.

Seperti yang kita tahu bahwa yang namanya akhlak

mulia ini amat berkaitan erat dengan pelajaran PKn

dan agama. Namun sayangnya, PKn di sekolah tidak

pernah mempelajari hal ini. Yang dipelajari adalah

materi-materi tentang politik serta hukum. Hal yang

sama terjadi dalam pembelajaran agama, pelajaran

agama selama ini hanya menuntut penguasaan

materi seputar hubungan vertikal tentang

ketuhanan tanpa pernah memberikan ilmu-ilmu

Essai, Jangan sekolah 12

Page 14: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

aplikatif yang bisa langsung dipraktekkan dalam

kehidupan sehari-hari.

----------------------------------------------------------------------------

UU no. 20 tahun 2003,

tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab II Dasar, fungsi dan tujuan

Pasal 2

Pendidikan nasional berdasarkan UUD Negara RI tahun

1945

Pasal 3

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan agar berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga Negara yang demokratis dan

bertanggung jawab

----------------------------------------------------------------------------

Tinjauan UU

Sangat disayangkan (lagi) ya? Ternyata UU yang sudah

dengan susah payah dipikirkan, diformulasi lalu

kemudian diputuskan ini hanya digunakan sebagai

Essai, Jangan sekolah 13

Page 15: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

dekorasi pelengkap kitab UU. UU ini seperti hanya

formalitas.

Pemerintah sendiri ternyata telah menyalahi UU yang

dibuatnya. Dilihat dari pasal 3, ternyata pemerintah

tidak sejalan dengan UU tersebut. Di situ disebutkan

bahwa “…mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak…” yang sama sekali tidak

pemerintah penuhi.

Mengembangkan kemampuan

Seperti yang akan dibahas lebih jauh dalam Multiple

Intillegences pada pembahasan selanjutnya, setiap

manusia telah diberi kemampuan yang begitu unik

dan sama istimewanya dengan yang lain.

Pemerintah disini sepertinya memulukratakan

kemampuan semua siswa. Bahwa siswa haruslah

pintar dalam matematika, bahasa, ilmu sosial atau

sains. Seperti yang pemerintah uji dalam UN.

Misalkan ada seorang siswa yang jago nyanyi. Dia

amat percaya diri dan memang suaranya enak di

dengar. Segala lagu yang ia bawakan terasa

menyatu dan menyentuh. Terlihat minat yang

teramat sangat dari anak ini terhadap musik. Tapi,

apa yang ia dapat dari sekolah? Ia akan dapat

logaritma, atau kesetimbangan yang samasekali

Essai, Jangan sekolah 14

Page 16: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

tidak mendukung kemampuannya dalam menyanyi.

Syukur-syukur si anak ini suka atau mampu, kalau

tidak? Sangat disayangkan, karena ini jelas

menghambat perkembangan kemampuan si anak.

Padahal bisa jadi ia adalah si Anggun C. Sasmi kecil.

Sebaiknya, pada awal tahun ajaran baru, setiap

satuan pendidikan memberikan semacam tes minat

dan bakat kepada seluruh siswa. Setelah

mendapatkan hasil, guru tidak lagi berhak untuk

menempatkan siswa-siswinya dalam suatu disiplin

ilmu apapun, biarkan siswa sesuaikan sendiri

berdasar minatnya. Kemudian, janganlah berasumsi

bahwa seorang yang jago olahraga tidak lebih

cerdas dari seorang penerjemah. Segala bidang

sama baiknya dan sama prospektifnya. Di sinilah

tugas guru sebagai fasilitator benar-benar

dioptimalkan. Guru – setelah tahu minat dan bakat

siswanya – harus terus men-support dan

mengembangkan bakat yang siswanya miliki. Bukan

menutupi ketidakmampuan siswanya, asah saja

bakatnya. Sehingga, kemampuannya pun akan

keluar semua.

Membentuk watak

Inilah yang sedang dibutuhkan era global – atau

sebut saja dunia kerja – sekarang ini. Yang

sayangnya tidak ada dalam kurikulum sekarang. Hal

Essai, Jangan sekolah 15

Page 17: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

ini memang ter-cover dalam PKn dan pelajaran

agama, atau mungkin dalam pelajaran BP yang jadi

mulok di beberapa sekolah. Tapi itu semua belum

cukup. Harus ada jam lebih untuk masalah

karakterisasi ini. Diperlukan juga tes-tes

penelusuran minat dan bakat yang lalu

ditindaklanjuti. Karena PKn akan dihabiskan oleh

pendidikan politik begitu juga dengan pelajaran

agama yang akan habis oleh pendalaman spiritual.

Kesalahan orientasi kognitif

Sejauh yang kita amati dalam proses peng-KTSP-an

kurikulum, ada banyak hal yang hilang. Salah satunya

adalah penerapan budi pekerti. Hal itu mencangkup

luas, masalah etika pergaulan dan kemasyarakatan –

yang jelas-jelas jauh lebih berguna ketimbang hukum

Archimedes. Ya kan? Hal ini sudah tentu menjelaskan

kenapa masih banyak para sarjana yang menganggur.

Padahal ia sudah jelas-jelas lulusan dari sebuah PT yang

paling bergengsi di kotanya. Karena budi perkerti tidak

dipelajari di sekolah, dan itu sangat dibutuhkan untuk

dapat terjun ke masyarakat.

Membentuk pikiran masyarakat yang buruk

Ketika pemerintah memberlakukan kurikulum yang

mengacu pada nilai semata, masyarakat pun

akhirnya berfikir bahwa untuk menjadi seorang yang

Essai, Jangan sekolah 16

Page 18: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

sukses itu harus bernilai baik pada banyak mata

pelajaran.

Lihat saja betapa masih banyak orangtua juga guru

yang sering sekali mempermasalahkan hal seperti

ini. Masalah timbul ketika seorang siswa atau

anaknya dapat nilai 6 di pelajaran matematika. Tapi

jarang timbul masalah ketika siswa itu tidak bisa

bicara di depan umum. Jadi bahan omongan kalau

anak itu tidak pintar sejarah, padahal anak itu

senang menolong temannya. Jadi cemoohan kalau

anak itu tidak hafal rumus tenses, padahal anak itu

tidak pernah membolos.

Tidak mengembangkan kepribadian

Ketika siswa SMA adalah para remaja yang masih

dalam proses pencarian jati diri, maka seharusnya

pemerintah menyediakan kurikulum yang

membantu proses tersebut. Alih-alih membantu

siswa, malahan menuntut siswa dengan berbagai

kemampuan akademis.

Hal yang terlalu menuntut ini menjelaskan kenapa

masih banyak remaja yang akhirnya memilih

“image” yang tidak baik. Pemakai narkoba

misalnya. Karena selain mereka belum keluar dari

masa coba-cobanya mereka pun dapat tekanan

Essai, Jangan sekolah 17

Page 19: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

ketika ternyata mereka tidak mapan dalam bidang

akademis.

Padahal sudah jelas ketika nanti terjun ke

masyarakat, takkan ada lagi tetangga yang

menanyakan “lulus dari mana?” atau “kamu ranking

berapa?” kepada anak tersebut. Yang dilihat

masyarakat adalah kepribadiannya yang hangat.

Terlalu paham akan Top-Down system

Top-down system adalah sebuah paham di bidang

militer yang menghendaki tidak adanya perubahan

dalam penyampaian perintah dari jabatan yang

paling atas sampai kepada prajurit.

Hal ini sangatlah baik untuk dilaksanakan dalam

militer. Karena kesalahan kecil dalam penyampaian

perintah akan menimbulkan multiinterpretasi yang

pastinya akan membuat bingung dalam

pelaksanaan strategi.

Namun ketika paham ini menyentuh dunia

pendidikan, hasilnya adalah guru dan siswa yang

dogmatis. Guru dan siswa tersebut pun

melaksanakan – katakanlah dengan senang hati –

segala instruksi yang diterima walaupun alasannya

tidak rasional.

Essai, Jangan sekolah 18

Page 20: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Sistem ini sudah pasti akan siap membunuh para

reformis yang seringkali membangkang. Dan sudah

tentu akan mematikan kreatifitas dan inisiatif dari

siswa dan murid. Karena keduanya dibuat untuk

siap menerima perintah.

Dan itulah kenapa mayoritas lulusan sekolah ingin

bekerja pada orang lain atau katakanlah sebuah

perusahaan (diperintah) daripada membuat

pekerjaan sendiri atau katakanlah berwiraswasta

(memerintah).

Menghambat prestasi non-akademik

Sudah banyak para peraih medali baik tingkat

nasional maupun regional yang akhirnya hanya

menutup impiannya untuk menjadi seorang atlet

besar dan kemudian hanya menjadikan kemampuan

luar biasa yang ia miliki sebagai hobi, kemudian

“hanya” diturunkan kepada anaknya, paling jauh

pun akhirnya kemampuan itu ia salurkan dengan

jadi instruktur.

Sangat disayangkan. Padahal bisa jadi mereka

adalah para Alan Budikusuma dan Susi Susanti

masa depan. Siapa tahu juga ada Chris John cilik.

Atau pun Taufik Hidayat-Taufik Hidayat kecil.

Semuanya itu sangat memungkinkan.

Essai, Jangan sekolah 19

Page 21: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Sedangkan, kurikulum yang digunakan sekarang

hanya menuntut penguasaan ilmu pengetahuan

tanpa memperhatikan kemampuan atau bakat unik

masing-masing peserta didik.

Hanya membuat robot.

Ketika seluruh peserta didik dianggap sama dan

harus dapat hasil yang sama oleh guru dan

pemerintah, maka karakter tidak akan terbentuk.

Bagai mesin fotocopy, sekolah selama ini hanya

mendoktrin siswa bahwa harus ini dan itu dan tidak

boleh ada yang protes. Selain itu, memberlakukan

disiplin secara militer. Serta sangat kecil

kemungkinannya untuk siswa dapat

mengembangkan bakat uniknya. Dan terakhir, tidak

adanya program pengembangan karakter.

Maka yang dihasilkan dari keempat proses salah di

atas adalah para robot. Yang kaku dan terpenuhi

oleh teori. Mereka – yang lulus dengan sangat baik –

akan menjadi pribadi yang itu-itu saja seperti tahun-

tahun ke belakang. Mereka tidak punya karakter

dan kepribadian yang mantap yang jelas-jelas akan

dibutuhkan ketika ia akan masuk ke dalam

masyarakat.

Essai, Jangan sekolah 20

Page 22: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Itulah kesalahan-kesalahan selama ini yang nampaknya

tidak pernah dicermati oleh para pendidik, juga

pemerintah. Sistem yang dicoba sekarang ini hanya

akan menghasilkan para pemilik teori yang tidak

kreatif, padahal di era global seperti sekarang ini, teori

dan tingginya IQ adalah kebutuhan nomor ke-sekian

dalam upaya menyukseskan hidup.

Faktor sukses

Berikut ini adalah hasil survey yang dilakukan oleh

Thomas J. Stanley, Ph.D yang ditulis dalam bukunya,

The Millionaire Mind. Survey yang dilakukan di Amerika

ini, punya 1.001 responden. Dari 1.001 orang ini, 733

adalah miliuner dengan kekayaan di atas USD 1 juta.

Hebat bukan? Daftar faktor sukses ini diurutkan dari

yang paling berpengaruh, dan seterusnya.

1. Jujur pada semua orang

2. Disiplin tinggi

3. Supel, pintar bergaul

4. Punya pasangan yang mendukung

5. Kerja keras

6. Cinta pekerjaannya

7. Kepemimpinan yang baik

8. Semangat dan kompetitif

9. Hidup teratur

Essai, Jangan sekolah 21

Page 23: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

10. Bisa menjual ide atau produk

11. Investasi dengan bijak

12. Melihat peluang yang tak dilihat orang lain

13. Jadi bos atas diri sendiri, tidak mudah

terpengaruh

14. Berani ambil resiko

15. Punya mentor yang baik

16. Berambisi untuk dihormati atau dihargai

17. Bikin usaha sendiri

18. Menemukan peluang

19. Punya energi besar

20. Fisik yang sehat

21. Punya IQ tinggi atau superior

22. Punya keahlian atau spesialisasi

23. Masuk sekolah atau universitas top

24. Mengabaikan kritik yang tiada guna

25. Hidup hemat

26. Iman kuat

27. Beruntung

28. Investasi di perusahaan publik

29. Punya penasehat investasi (keuangan) yang baik

30. Lulus dengan nilai terbaik atau hampir terbaik

Kalau kita lihat hasil survey tersebut, sangat sangat

menunjukkan kalau sekolah itu memanglah tiada guna.

Karena apa yang akan kita dapatkan dari 12 tahun

sekolah dan 4 tahun kuliah hanyalah 4 poin, yaitu :

Essai, Jangan sekolah 22

Page 24: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

disiplin (itu pun disiplin yang dipaksakan) ; IQ tinggi ;

sekolah top ; lulus dengan nilai baik.

Saya bukan mau bilang bahwa seorang yang

berpendidikan sukses tak akan sukses hidupnya, hanya

saja kita tidak boleh memandang suksestidaknya

seseorang hanya dari latar belakang pendidikannya

saja. Banyak pula yang berpendidikan rendah malah

lebih sukses daripada mereka yang luar biasa dalam

pencapaian akademiknya.

Saya juga bukannya antisekolah atau skeptis terhadap

pemerintah. Hanya saja, sistem pendidikan – kurikulum

– di Indonesia harus segera direformasi karena sudah

tidak sesuai dengan kebutuhan global.

Pendidikan menurut ki Hajar Dewantara

Soewadri Soerjaningrat, atau Ki Hajar Dewantara, yang

kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia patut

bersedih. Karena segala cita-citanya dalam dunia

pendidikan telah disalahjalurkan oleh sistem ini.

Cita-cita

Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, seseorang dapat

dikatakan menjadi terdidik apabila orang tersebut telah

memenuhi tiga aspek dari keberadaan manusia. Yaitu :

Essai, Jangan sekolah 23

Page 25: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

daya cipta (pemikiran), daya karsa (ketrampilan) dan

daya rasa (perasaan).

Sebenarnya, jika dikonversikan ke dalam kurikulum

sekarang, ketiga poin tersebut sudah dipenuhi. Karena

pemikiran adalah arti lain dari kognitif, ketrampilan

adalah poin psikomotor, pun perasaan yang merupakan

penjelmaan dari poin afektif.

Salah jalur

Namun, sistem pendidikan sekarang ini seolah

mengharamkan segala bentuk pemanusiaan seperti

yang beliau sampaikan. Pendidikan sekarang tidaklah

lagi akan menciptakan kualitas akademisi yang

berkepribadian dan akan membentuk budaya bangsa

nantinya, melainkan hanya menjadikan para pemilik

teori yang susah untuk diterima masyarakat. Karena

sudah terlihat dari berbagai kebijakan yang dijalankan

yang menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia ini

hanya menekankan akan pemahaman teori.

Ketika yang menjadi patokan adalah teori, maka

lulusannya pun – katakanlah – super pintar tapi

ternyata tidak mempunyai karakter. Menjadi sebuah

prototype yang pasaran.

Bangsa ini harus segera mereformasi segala bentuk

kurikulum dan penekanan yang ada. Kalau kita ingin

Essai, Jangan sekolah 24

Page 26: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

menghargai Bapak Pendidikan kita, maka

kembalikanlah jalur pendidikan seperti yang beliau

harapkan pada tahun 1922 dulu. Untuk memanusiakan

manusia.

Pabrik itu bernama sekolah

Saya terlewat kagum kepada seorang Izza Ahsin dalam

bukunya Dunia tanpa Sekolah. Ia - walaupun dengan

umur yang masih begitu muda - berani

mengungkapkan pendapatnya terhadap dunia

pendidikan. Izza baru berumur 15 tahun waktu itu. Saat

itu dia kelas 3 SMP - 3 bulan lagi UAN – dan ia

memberanikan diri untuk keluar (berhenti) sekolah.

Karena ia menganggap sekolah hanyalah formalitas

belaka (ya, saya setuju) dan telah memenjarakan

segala kreatifitasnya (ya, setuju lagi). Sekolah

menurutnya bukan lagi tempat yang pantas untuk

mencari ilmu-ilmu yang akan menuntunnya untuk capai

cita-citanya untuk jadi seorang penulis. Walaupun

dengan berat hati, tapi akhirnya ibunda Izza rela

melepaskan anaknya dari bangku sekolah. Walaupun

setelah itu ia harus menerima berbagai macam

cemoohan dan ejekan dari tetangga bahkan

saudaranya sendiri. Namun begitu, ia malah dengan

hebatnya bisa menulis buku berjudul Dunia Tanpa

Sekolah. Takjub.

Essai, Jangan sekolah 25

Page 27: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Saya sampai terkagum-kagum ketika baca tulisannya

yang seperti ini “Aku memilih melawan arus;

membebaskan diriku sepenuhnya, tetapi juga

mendapat tantangan berta dari luar. Yaitu, dari orang-

orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah,

tetapi ingin belajar adalah lelucon; Sedangkan anak

yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa”

Sungguh, pemikiran sederhana dari seorang Izza ini

amat menggugah saya pribadi. Saya pun jadi berfikir,

kenapa ada stigma seperti itu di masyarakat?

Sejarah sekolah

Sistem “sekolah” yang ada sekarang ini adalah hasil

dari pencarian seorang Horace Mann yang pada

tahun 1837 diangkat menjadi Commissioner of

Education, - semacam menteri pendidikan - di

Amerika.

Pendidikan di Amerika awalnya adalah dengan cara

mengumpulkan siswa lalu menyuruhnya untuk

menghafal teori untuk kemudian dites di depan.

Parah. Ketika Amerika sedang meledak populasinya,

dan kebutuhan akan pendidikan secara signifikan

naik, maka ia pun pegi ke Eropa untuk mencari

sebuah sistem pendidikan yang murah dan efektif.

Maka ditemukan dan dikembangkanlah sistem

sekolah seperti sekarang ini. Ada guru, juga murid

Essai, Jangan sekolah 26

Page 28: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

secara klasikal. Ada tingkatan kelas, ada materi

pembelajaran dan ada tes (ujian) Yang sebenarnya

ini adalah hasil adaptasi terhadap sistem militer

Prusia.

Kata kindergarten (bahasa Inggris : TK) sendiri

sebenarnya adalah bahasa Prusia. Sistem sekolah

Prusia digunakan untuk mendidik tentara. Dan

karena yang akan dibentuk adalah suatu makhluk

militer – yang tentunya siap pakai - maka harus ada

yang berpangkat tinggi dan rendah, maka

dibentuklah system Top-Down juga sistem ujian

untuk menyaringnya.

Kloning siswa

Menarik kalau kita ingat kembali masa-masa SD

dulu. Coba ingat lagi masa-masa itu. Masa-masa

kita lagi lucu-lucunya. Tepatnya saat pelajaran

kesenian. Dan ketika disuruh menggambar, apa

yang digambar siswa? Pasti pemandangan. Ada dua

buah gunung, dengan matahari yang berbentuk

seperempat lingkaran timbul dari balik gunung itu.

Di atasnya, ada banyak “m” yang ceritanya adalah

burung. Juga ada awan bulat. Di bawahnya ada

semacam garis-garis zigzag seperti sandi rumput

yang menandakan bahwa itu adalah hutan. Di

bawahnya, ada sawah terbentang dengan bentuk

padi yang menyerupai “v” dengan beberapa buah

Essai, Jangan sekolah 27

Page 29: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

rumah tersebar. Dan tepat di tengahnya, ada jalan

raya, kalaupun tidak, pasti sungai.

Familiar? Belum lagi masalah kapal-kapalan dari

kertas. Pasti bentuknya itu lagi itu lagi. Terlihat di

sini kebenaran pernyataan Izza Ahsin, sekolah

memang benar-benar telah memenjarakan

kreatifitas manusia.

Saya jadi ingat waktu kelas 2 SD dulu, saya pernah

membuat gambar yang berbeda dari teman

kebanyakan, kalau teman membuat pemandangan

gunung, saya membuat pemandangan pantai.

Memang gambarnya tak bagus bagus amat, tapi

yang buat saya kecewa adalah cemoohan dari

teman serta guru. Mereka bilang “Ko kamu bikin

pantai sih?”

Refleksi

Essai, Jangan sekolah 28

Page 30: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Hasilnya terlihat bukan? Sebagai contoh, para

tentara kita itu jauh lebih “kembar” ketimbang yang

kembar identik sekalipun. Mereka mendapat doktrin

yang sama, mendapat “kekejaman” yang sama,

mendapat “otoritas” kedisiplinan yang sama sampai

rambut pun dipotongcepak sama. Mereka (maaf)

bak produk robot-robot dari sebuah pabrik. Tanpa

karakter sedikitpun. Tapi itu tak jadi masalah,

karena mereka adalah tentara yang tugasnya

adalah membela Negara. Mereka memang harus

berstandar sama sesuai dengan prinsip kesamaan

agar solidaritas yang amat sangat tetap hadir di

antara mereka.

Tapi, apa itu yang diharapkan dari lulusan sekolah?

Sudahlah, cukup Akpol dan Akmil yang bikin lulusan

“robot” seperti itu, lulusan sekolah jangan. Lulusan

sebuah sekolah apalagi universitas harus punya

karakter yang dibutuhkan oleh negeri ini, harus

punya kreatifitas dan daya saing.

Lihatlah hasil lulusan sistem sekarang. Mayoritas

mereka adalah manusia-manusia robot yang kaku

seolah tak dimasukkan program “perasaan” dalam

memorinya yang kepenuhan teori itu. Lihat pula

para “pejabat” yang terlihat tidak punya hati Karena

dengan semena-mena mempermainkan rakyat juga

uangnya. Mereka manusia, tapi tidak manusiawi.

Essai, Jangan sekolah 29

Page 31: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Reformasi

Sekolah - yang sekarang mirip pabrik ini –

seharusnya tidak mensubstitusikan materi kepada

peserta didiknya semacam itu. Karena

bagaimanapun, Tuhan Yang MahaKuasa sudah

menghadiahi masing-masing individu dengan

kemampuan unik masing-masing. Pemerintah tidak

boleh memukulratakan kemampuan semua siswa.

Tuhan membuat manusia bukan untuk bersaing,

melainkan untuk berdamping, karena antara

manusia yang satu dan yang lainnya adalah sama-

sama istimewa dan berharganya. Dan tak ada yang

lebih hebat di antaranya.

Sekolah, saya rasa seharusnya “hanya” jadi

pendamping dan sebagai salah satu fasilitas untuk para

peserta didiknya mencari kemampuan uniknya atau si

“aku yang hebat”nya masing-masing. Karena tidak

semua orang secerdas Izza, yang mampu menemukan

“Izza yang hebat” dalam dirinya melalui dunia

kepenulisan.

Softskills-oriented

Ada yang baru dikemukakan oleh salah satu universitas

terkemuka di Amerika tentang temuannya di bidang

Essai, Jangan sekolah 30

Page 32: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

pendidikan yang menyatakan bahwa kebutuhan untuk

hidup manusia itu mayoritas adalah softskill, bukan

hardskill.

Softskills, makhluk apa itu?

Wikipedia memaparkan bahwa softskills merupakan

istilah sosiologis yang merujuk pada sekumpulan

karakteristik kepribadian, daya tarik sosial, kemampuan

berbahasa, kebiasaan pribadi, kepekaan atau

kepedulian, serta optimisme. Softskills ini melengkapi

hardskills

Hardskills adalah kecakapan teoritis dan praktis dari

sebuah disiplin ilmu. Contoh, seorang lulusan teknik

informatika tentunya harus menguasai hardskill di

bidang rekayasa perangkat lunak, web programming,

dll. Demikian juga seorang lulusan akuntansi, misalnya

harus menguasai analisis laporan keuangan,

penyusunan anggaran, dll.

Kalau kita lihat pengertiannya saja, kita pasti sudah

tahu betapa penting dan berharganya softskills ini.

Softskills ini biasanya hanya diintegrasikan dalam

berbagai kegiatan non-kurikulum. Contohnya, acara

seminar pengembangan diri dan outbond.

Namun, pada realitanya seminar-seminar

pengembangan diri juga outbond sangat jarang

Essai, Jangan sekolah 31

Page 33: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

dilaksanakan. Selain karena “sedikit” memakan waktu

pastinya juga akan menyerap tenaga dan biaya yang

tidak sedikit. Alangkah baiknya kalau softskills ini

diintegrasikan ke dalam kurikulum wajib di sekolah.

Karena, kembali lagi ke pasal 3 UU no. 20 tahun 2003,

tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan

“…mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak…” . Watak yang dalam arti sederhana dapat

diartikan sebagai kepribadian dan kepribadian ini

merupakan salah satu bagian dari softskills, jadi -

secara tidak langsung – kalau pemerintah – memang –

mau membentuk watak seperti yang disebutkan di

atas, pemerintah harus “sedikit” mereformasi

kurikulum dengan menambahkan poin “penambahan

softskills” dalam pasal 37. Tidak sulit kan?

KTSP dan softskills

Lantas, apa hubungannya KTSP ini sama softskills?

Dalam KTSP, seperti yang sudah saya sebutkan

sebelumnya terdapat 3 aspek penilaian, yaitu : kognitif

(teori); psikomotor (ketrampilan); afektif (sikap). Nah

poin afektif itulah softskills.

Afektif

Afektif atau dalam pengertian awam disebut

kepribadian merupakan salah satu komponen dasar

dari softskills. Jadi, sebenarnya dalam KTSP sudah

Essai, Jangan sekolah 32

Page 34: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

dikenal softskills. Tapi, pada kenyataannya di

lapangan, metode pengajaran yang dilaksanakan

kebanyakan masih sama saja seperti saat kurikulum

1994. Dimana guru masih terpatok pada pencapaian

akademik dan bukan bakat masing-masing siswa

juga sikapnya.

Metode pengajaran yang sudah kelewat kadaluarsa

inilah yang menghambat pembentukkan softskills.

Karena selama ini, faktanya, yang jadi penentu

lulustidaknya seorang siswa dari sekolahnya adalah

Ujian Nasional - yang hanya mengujikan kognitif.

Hal ini melanggar PP no. 19 tahun 2005, tentang

Standar Nasional Pendidikan. Bab X, Standar

penilaian pendidikan. Bagian kelima, kelulusan.

Pasal 72 Ayat (1) poin d. yang menyebutkan bahwa

Ujian Nasional merupakan salah satu dan bukan

satu-satunya penentu kelulusan. Dan pada ayat

(2) yang menyebutkan bahwa yang berhak

melulustidakan siswanya adalah sekolah masing-

masing, bukan pemerintah.

Karena selama yang menentukan kelulusan adalah

kognitif, maka orientasi materi pun akan selalu

kognitif. Karena bagaimana pun mereka semua –

pihak sekolah – ingin peserta didiknya lulus semua,

agar nama baik dirinya dan sekolahnya tetap baik.

Essai, Jangan sekolah 33

Page 35: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Kalau Ujian Nasional tidak dijadikan satu-satunya

alat penentu kelulusan, dan guru diberikan

kewenangan penuh untuk menetapkan kelulusan

peserta didiknya, otomatis, afektif (sikap) yang

selama ini diabaikan pemerintah akan sangat

berpengaruh.

Selama ini, baik-tidaknya seorang siswa, rajin-

tidaknya seorang siswa sama sekali tidak

berpengaruh terhadap kelulusan. Jadi kalaupun

siswa itu hanya masuk saat Ujian berlangsung dan

secara ajaib dapat mengerjakan soal Ujian dengan

sangat baik, maka ia dinyatakan lulus. Dimana

moralnya? Dimana prosesnya? Apakah seperti itu

pendidikan kita?

Kalau afektif berpengaruh, siswa-siswi jadi akan

lebih memperbaiki dan menjaga sikapnya terhadap

guru dan temannya supaya ia berhak lulus nanti. Ia

takkan rajin bolos dan ia akan lebih tertib pada

peraturan.

Sebuah resolusi sederhana untuk lebih menanamkan

kedisiplinan sikap. Karena sangat jelas, afektif inilah

yang akan menuntun siswanya kepada dunia kerja.

Oleh Karena itu, poin afektif dalam KTSP harus segera

difungsikan lagi.

Essai, Jangan sekolah 34

Page 36: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Iptek yang menjemukkan

Saya tak habis pikir, selama saya sekolah di SMA itu

memori saya harus dipenuhi oleh berbagai macam teori

dan rumus yang – rasanya - tak begitu berguna jika

dipakai dalam kehidupan nyata. Karena selama ini,

selama 12 tahun saya mengenyam pendidikan,

bersusah payah dan dengan rela membiarkan otak saya

berkutat dengan berbagai penjelasan mengenai tata

surya dan gejala fisika, ataupun termodinamika dan

operasi pertidaksamaam matematika itu rasanya sama

sekali tak perlu.

Hey hey, kenapa tidak lebih baik belajar psikologi

remaja atupun lebih baik belajar tentang HIV-AIDS saja?

Ya kan?

Kalau homeschooling itu sudah trend dari zaman Agnes

Monica masih menjadi pembawa acara Tralala trilili

bersama Indra Bekti, rasanya saya lebih baik ikut

program homeschooling dan setelah tiba saatnya saya

akan ikut Ujian persamaan lalu melanjutkan kuliah. Tapi

apa daya, karena toh saya juga sudah lulus SMA.

Ilmu pengetahuan aplikatif

Essai, Jangan sekolah 35

Page 37: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Ilmu-ilmu lain yang menggemaskan nan menggoda

buat saya pribadi adalah ilmu tentang HIV-AIDS,

psikologi remaja, lingkungan, NAPZA dan juga seksologi

remaja. Yang semuanya itu sebut saja Ilmu

pengetahuan remaja.

Menurut saya, dan beberapa pengamat pendidikan, IPR

ini jauh lebih penting dalam membekali para peserta

didik untuk menjalani kehidupan. Kenapa? Sudah jelas

toh kenapa masih banyak siswa yang tawuran? Kenapa

masih banyak siswa yang melakukan tindakkan

kekerasan dan asusila? Dan kenapa masih banyak

remaja yang terjerumus masalah narkotika? Itu semua

karena ketidakpahaman mereka soal itu.

Khas remaja

Seperti yang kita ketahui, remaja itu punya emosi

yang masih labil, energi yang luar biasa banyaknya,

juga punya rasa penasaran yang teramat sangat.

Dari pada energi itu akhirnya terbuang ke hal-hal

negatif, bukankah lebih baik ditampung untuk

membangkitkan Negara? Maksud saya bukan

menjadikan energi itu sebagai alternatif bahan

bakar, tapi mengkondisikan para remaja agar tetap

positif, supaya seluruh potensi mereka tergali.

Integrasikan ilmu

Essai, Jangan sekolah 36

Page 38: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Belum lama ini, pemerintah Kota Bandung sudah

mewajibkan seluruh satuan pendidikan untuk

memasukkan mata pelajaran Lingkungan Hidup ke

dalam kurikulumnya. Tapi, hal ini hanya terjadi di

beberapa kota. Dan jangan anggap masalah

lingkungan ini tidak penting, buktinya masih banyak

bencana alam yang diakibatkan oleh tangan

manusia kan? Lewat pelajaran ini, siswa diberi

pemahaman akan pentignya menjaga lingkungan.

Selain itu, masalah yang tak kalah pentingnya

adalah trilogi AIDS-sex-NAPZA. Hal ini juga belum

diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Sayang

sekali, padahal ketiga instrumen maksiat ini amat

sangat berkesempatan untuk membuat hancur

bangsa ini.

Hal-hal seperti ini sering kita lihat sebatas pada

seminar-seminar ataupun kunjungan pihak

kepolisian berbarengan dengan BNK ke sekolah-

sekolah dalam rangka sosialisasi. Selain seminar-

seminar tersebut akan memakan waktu dan biaya,

itu semua nampaknya tidak memberi hasil yang

cukup berarti. Karena animo siswa pun kurang,

karena acaranya pun hanya sebatas bincang-

bincang di aula atau di lapang. Hal berbeda akan

nampak jika hal ini dipelajari di kelas. Karena

pembahasannya akan berlangsung cukup lama dan

Essai, Jangan sekolah 37

Page 39: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

berulang-ulang juga karena siswa lebih sedikit, dan

bila ditambah dengan metode yang menyenangkan,

pasti akan membuat para siswa akhirnya paham

bahaya dan ketidakbergunaan dari ketiga hal

tersebut: HIV-AIDS, sex dan NAPZA. Karena itu,

pengetahuan semacam ini pun perlu dimasukkan ke

dalam kurikulum.

Penjurusan

Ketika siswa SMA mau menginjak kelas XI, pasti banyak

di antara mereka yang dihadapkan dengan persoalan

pemilihan jurusan : IPA; IPS; bahasa. Kemudian mereka

pun tanya sana-sini untuk mendapatkan informasi. Dan

hasilnya mayoritas pilihan adalah IPA. Alasannya, biar

nanti banyak pilihan kerjanya.

Stigma yang menyesatkan

Selama ini, stigma yang ada dalam masyarakat adalah

IPA itu yang terbaik di antara ketiganya. Dan itu sudah

jauh-jauh hari dibuktikan bahwa itu salah total.

Selama stigma itu belum lenyap dari masyarakat, maka

para siswa yang kebanyakan belum bisa

mengorientasikan diri sendiri itu akan mengikuti saja

Essai, Jangan sekolah 38

Page 40: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

stigma itu walaupun alasannya itu sudah terlampau

kadaluarsa.

Apa yang salah dengan IPA?

Tak ada yang salah dengan IPA. Ilmunya itu sangat-

sangat baik. Kita bisa tahu penjelasan fenomena-

fenomena alam, tahu alasan kenapa kita akan

gendut jika terus mengonsumsi gula, dapat

menjelaskan kenapa seorang anak lebih mirip ibu

atau bapaknya. Lantas kenapa di beberapa bagian

di buku ini terkesan kenyudutkan IPA? Sedikit

mengenang masa lalu, karena saya salah satu

korban salah jurusan. Saya ingin masuk IPS, tapi

orangtua dan guru memaksa saya untuk masuk IPA

karena nilai saya memenuhi syarat, katanya. Dan

benar saja, saya tidak terlalu respek pada

pelajarannya. Yang membuat rata-rata nilai di rapot

tetap tinggi adalah pelajaran bahasa favorit saya,

sedangkan untuk MIPA-nya sendiri tak pernah lebih

dari 7. Ya ampun, malu-maluin.

Sekali lagi saya tegaskan, tak ada yang salah

dengan IPA. Hanya saja untuk orang-orang yang

minatnya bukan terhadap bidang saintifik, akan

lebih optimal pembelajarannya jika tidak

memaksakan masuk IPA hanya karena alasan

prestisius semata.

Essai, Jangan sekolah 39

Page 41: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Inkonsisten

Kalau kita lihat di lapangan, ternyata selama ini

yang berasal dari jurusan IPA malah tidak konsisten

dengan pilihannya. Tak sedikit dari mereka yang

malah meneruskan studi di program IPS atau

kebahasaan. Syukur-syukur mereka korban salah

jurusan seperti saya yang lalu sekarang

diperbolehkan memilih jurusan sendiri. Tapi

bagaimana kalau keinginan masuk IPA itu adalah

memang benar-benar keinginannya? Kalau memang

takkan melanjutkan studi di bidang IPA, buat apa

“susah-susah” melahap semua materi itu? Kasian

dong pada orang yang benar-benar ingin

melanjutkan ke studi MIPA tapi tak berhasil masuk

IPA. Sudah jauh-jauh IPA, ketika mau meneruskan

studi di perkuliahan harus belajar dulu tentang

pelajaran IPS. Kenapa tidak dari awal masuk IPS?

Sekarang sudah jadi rahasia umum bahwa ada

sebuah institusi pendidikan di Bogor, IPB, yang

semula bernama Institut Pertanian Bogor, dan

sekarang telah “berbuburmerah-ria” menjadi Institut

Perbankan Bogor atau Institut Publishing Bogor

karena banyak lulusannya yang malah

berkecimpung dalam dunia perbankan bahkan

jurnalistik. Kemana komitmen pertaniannya?

Memilih jurusan

Essai, Jangan sekolah 40

Page 42: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Memilih jurusan di SMA sama halnya dengan memilih

jurusan di perguruan tinggi. Semuanya itu harus sesuai

dengan Hati Nurani. Oops, seperti kampanye politik.

Tapi itu benar. Yang harus disesuaikan dengan

penjurusan adalah (1) minat, (2) minat, dan barulah (3)

bakat. Hanya kedua hal itulah yang perlu dijadikan

pertimbangan. Keinginan orangtua dan guru, juga

alasan berparasit dengan teman atau pacar sama sekali

jangan dipakai.

Minat dapat dengan sederhana diartikan sebagai

kesenangan. Ketika orang akan dengan senang hati

mengerjakan suatu hal, di situlah minatnya. Bisa pula

terlihat dari apa yang menjadi sorotannya selama ini.

Misalkan ia senang mengoleksi novel, berarti minatnya

sastra. Kalau senang berkebun, berarti minatnya

pertanian.

Bakat dapat dengan sederhana diartikan sebagai

kemampuan. Ketika orang dengan sangat mudah

mengerjakan suatu hal, di situlah bakatnya. Atau

terlihat juga dari kecepatan pun kesempurnaan hasil

jadinya.

Bila seseorang menentukan pilihan berdasarkan bakat

memang akan mudah menjalaninya, tapi secara

psikologis ia tidak memenuhi panggilan jiwanya.

Essai, Jangan sekolah 41

Page 43: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Walaupun hasil yang dicapai sangat memuaskan –

karena ia memang pandai melakukannya – tapi itu

takkan membawa kebanggaan.

Lain halnya ketika ia mendahulukan minat. Walaupun ia

tidak berbakat, tapi karena ia melakukan sesuatu yang

menurutnya menyenangkan, maka hal itu takkan jadi

masalah. Bakat bisa diasah selama ia mau dan tetap

termotivasi. Ingat, bakat hanya mempercepat.

Karena itu, sangat direkomendasikan untuk memilih

jurusan apakah itu IPA atau IPS atau bahasa agar sesuai

dengan keinginan peserta didik itu sendiri, tanpa

adanya intervensi dari pihak guru. Di sini, guru hanya

bertindak sebagai pembimbing, bukan pengambil

keputusan. Karena bagimana pun siswa tersebutlah

yang akan menjalaninya. Dan ini tercantum dalam UU

no. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bab V, peserta didik. Pasal 12 Ayat (1) poin b. yang

menyebutkan bahwa setiap peserta didik berhak

mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai minat,

bakat dan kemampuannya.

Saya kenal seorang teman yang sangat ingin masuk

IPA. Sebenarnya kemampuan akademiknya kurang, tapi

karena ia berhasil “menjilat” sang guru, akhirnya ia bisa

masuk jurusan IPA. Walaupun pada awal kelas XI dia

sedikit “lelet”, but it’s fine, karena tak ada beban

Essai, Jangan sekolah 42

Page 44: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

baginya untuk mempelajari sesuatu yang ia senangi.

Dan benar saja, semakin hari kemampuan di bidang

eksakta-nya semakin baik dan semakin baik. Malahan

bisa merebut hati guru-guru eksakta. Hebat.

Lalu bagaimana dengan si “lamban” yang memaksakan

ingin masuk program yang tidak dikuasainya? Pertama,

guru harus melakukan verifikasi terhadap siswa yang

bersangkutan, apakah itu benar-benar keinginan sendiri

dan sesuai dengan cita-cita atau jangan-jangan hanya

ikutan teman atau lebih parah lagi ikutan pacar. Lalu,

jelaskan pula bahwa kalau ia “ngotot” masuk jurusan ini

ia harus belajar lebih giat supaya tidak tertinggal

dengan yang lain. Dan setelah ia “diizinkan” masuk IPA,

para guru harus memberikan perhatian yang lebih

terhadap mereka ini.

Kuota

Di SMA saya dulu, kuota jurusan IPA selalu leih

banyak dari IPS (kebetulan tak ada jurusan bahasa)

Dari angkatan ke-1 sampai angkatan saya yang ke-9

masih seperti itu, untuk IPA ada 3 dan IPS ada 2.

Seperti di banyak sekolah di mana-mana. Di sekolah

teman saya, terasa lebih demokratis karena jumlah

kelas IPA atau IPS atau bahasa disesuaikan dengan

jumlah murid yang berminat.

Essai, Jangan sekolah 43

Page 45: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Tapi, demokrasi itu tidak terjadi di semua sekolah.

Ada baiknya semua sekolah mau meniru sebuah

resolusi sederhana ini. Yaitu memberikan

kebebasan kepada murid untuk masuk jurusan yang

mana, lalu menyesuaikan jumlah kelasnya dengan

jumlah peminatnya.

Tak lupa juga, peran BK harus tetap dioptimalkan untuk

dapat menelusuri minat dan bakat dari semua

siswanya.

Edukasi kreatif

Ada pertanyaan, “Sekolah tiga taun, tapi ko mau ujian

masih les juga?” lalu “Abisnya materi di sekolah ngga

ada yang nempel” kemudian “Emangnya les di situ

enak ya?” lalu “Ya, ngerti banget. Belajarnya asik lagi”

Dan saya Cuma bisa berkesimpulan, kalau seperti itu,

kenapa kita tidak usah sekolah saja dan dalam waktu

satu tahun kita hanya les intensif UN, ikut ujian, dan

kemudian lulus.

Jelas ada yang perlu ditanyakan di sini. Apa yang

membedakan sekolah dan tempat bimbel? Materi?

Essai, Jangan sekolah 44

Page 46: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Sama. Angka dan huruf yang dipakai pun sama.

Mungkin metodenya.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, guru seharusnya

sudah menggunakan metode pembelajaran yang

mengasyikkan menurut muridnya. Kenapa harus

ditambah “menurut muridnya”? Karena seringkali guru-

guru mengaku telah menggunakan metode belajar

yang menyenangkan, padahal menurut dirinya.

Sejauh pemerintah kita mengganti kurikulum namun

tak kunjung merubah atau menyosialisasikan metode

belajar yang menyenangkan bagi siswa, guru-guru

kebanyakan – tidak semua – masih menggunakan cara

konservatif seperti seorang juru pidato dan

mendongeng secara panjang lebar tentang materi yang

diajarkan. Ingat, gaya belajar siswa banyak macamnya

(akan dibahas lebih lanjut)

Sedangkan di tempat bimbel, metode pembelajarannya

lebih menyenangkan dan fleksibel. Sehingga tidak

membuat siswa tertekan. Berikut ini beberapa “rahasia”

tempat bimbel untuk mendamaisejahterakan siswanya :

- Jadwal yang fleksibel

- Guru yang hangat dan bersahabat

- Guru tidak hanya berceramah

- Pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa

Essai, Jangan sekolah 45

Page 47: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

- Karena siswa sedikit, pendekatan guru pada

murid secara individual dapat dengan mudah

berlangsung

Saya tidak ingin mengatakan bahwa kalau sekolah ingin

membuat senyum siswanya berarti harus

menghilangkan jadwal masuk, atau menghilangkan

seragam dan menggantinya dengan baju bebas. Saya

juga tak ingin bilang harus menghilangkan tata tertib.

Tapi ada tiga poin penting yang perlu disorot di sini.

Yaitu guru yang hangat, tidak hanya berceramah dan

punya pendekatan individual terhadap semua siswanya.

Ketiga hal ini nampaknya perlu dipraktekkan oleh para

guru yang ingin selalu dirindukan oleh murid-muridnya.

Sehingga, “suasana” yang jadi komoditas bimbel

terlaksana pula di kelas. Tapi, bukannya nanti tempat

bimbel akan jadi sepi peminat ya?

Reformasi kurikulum

Dari semua estimasi yang telah saya jabarisasi,

sebetulnya hanya ada satu yang ingin saya sampaikan :

SEGERA REFORMASI KURIKULUM

Essai, Jangan sekolah 46

Page 48: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Karena sudah banyak faktanya bahwa kurikulum yang

sekarang dipakai itu, yang saya sebut orientasi kognitif,

terbukti GATOT alias gagal total untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam

preamboule UUD 1945 paragraf ke-4.

Hasil lulusan yang ternyata tidak sesuai dengan

kebutuhan pembangunan Negara – sebut saja dunia

kerja. Sudah terlalu banyak “robot-robot” yang

bertahtakan gelar Doktor malah hanya simpang siur

kesana-kemari. Mau dijadikan negara robotkah negara

ini? Juga masih banyaknya para siswa yang belum

menunjukkan perilaku yang dewasa dan cerdas

semakin menambah PR buat pemerintah untuk segera

mereformasi kurikulum sekarang ini.

Adapun “resolusi” yang ditawarkan sebagai berikut :

1. Reformasi UN. UN, yang selama ini dijadikan

satu-satunya penentu kelulusan harus diubah

fungsinya dari penentu kelulusan menjadi fungsi

awal yaitu “hanya” berupa bentuk evaluasi akan

pemahaman siswa secara nasional agar

masyarakat daerah pun tidak jauh berbeda

kualitas pendidikannya dengan yang di pusat.

2. Untuk penilaian kognitif – karena bagaimana pun

ini tetap perlu – implementasikanlah yang

namanya UASBN. Karena KTSP telah

Essai, Jangan sekolah 47

Page 49: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

memberikan kebebasan untuk menyusun

kurikulum di satuan sekolah masing-masing -

yang tentunya akan “berbeda” dengan satuan

lainnya karena disesuaikan dengan kebutuhan

dan kemampuan daerah. Maka percayakanlah

pada guru-guru tercinta untuk menyusun soal-

soal ujian anak didiknya. Karena beliau-beliau

inilah yang tahu perkembangan dan kompetensi

anak didiknya

3. Setelah UN bukan lagi penentu kelulusan,

pemerintah harus segera mematuhi PP no. 19

tahun 2005, tentang Standar Nasional

Pendidikan. Bab X, Standar penilaian pendidikan.

Bagian kelima, kelulusan. Pasal 72 ayat (2)

bahwa yang berhak meluluskan peserta didik

adalah instansi terkait atau dalam hal ini guru,

bukan pemerintah.

4. Karena yang menjadi penentu kelulusan

bukanlah UN (kognitif) maka dalam kurikulum

bisa dimasukkan beberapa poin tambahan yang

amat berguna : softskills dan IPR (HIV-AIDS,

NAPZA, seksologi remaja, lingkungan hidup)

yang diharapkan akan membentuk karakter

siswa seperti yang tercantum dalam UU no 20

tahun 2003.

5. Dan karena guru “bebas” menentukan kelulusan

siswa, maka bakat-bakat terpendam dari para

siswa akan lebih tergali. Karena selama ini kalau

Essai, Jangan sekolah 48

Page 50: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

ada yang jago olahraga dan berprestasi, pasti

akan lebih mementingkan pelajaran - karena

bagaimana pun ia ingin lulus. Kalau sudah

diberikan kewenangan pada guru, setiap siswa

yang berkemampuan hebat seperti itu bisa lebih

dikonsentrasikan untuk jadi seorang ahli di

bidangnya.

6. Ketika softskills yang mengandung nilai afektif

(sikap) ini menjadi orientasi, maka guru dan

siswa akan lebih aware dalam memperhatikan

attitude-nya. Dan yang terjadi adalah lulusan

akademik yang akan diterima masyarakat

karena mereka telah dibekali kemampuan

hubungan sosial dan kepribadian yang mantap.

7. Selain diterima di masyarakat, dalam dunia kerja

pun akan lebih mudah diterima. Karena selama

ini proses interview dalam lamaran kerja adalah

untuk mencari manasajakah pribadi-pribadi

kompeten yang pantas untuk bekerja di instansi

tersebut. Dan kalau dalam kurikulum telah

dimasukkan, hal itu akan membantu penilaian

menjadi lebih efektif. Perusahaan-perusahaan itu

pun tidak perlu mengadakan leadership training

atau teamwork training lagi, karena sudah

pernah dipelajari secara tidak langsung di

sekolah.

Hebat ‘kan?

Essai, Jangan sekolah 49

Page 51: Essay Pendidikan Bab 1. Kurikulum

Bagian 2 – tentang Kurikulum

Hanya perubahan orientasi untuk hasil yang begitu luar

biasa.

Essai, Jangan sekolah 50


Top Related