Download - esay

Transcript
Page 1: esay

Pendahuluan

Clinical reasoning merupakan proses berpikir untuk memberi makna dari suatu temuan klinik

(Higgs J., Jones M.,1995; University of Washington, 2005). Setiap tindakan yang dilakukan

seorang dokter seperti menentukan diagnosis, pilihan terapi, atau membuat prognosis

merupakan hasil dari proses pemahaman terhadap fenomena masalah kesehatan.  Dalam

proses pemahaman yang terjadi pada manusia, bagian vital yang diperlukan adalah cara

berpikir logis dan berpikir kritis (Jenicek M., 2006). Hal ini disebabkan banyaknya faktor

yang harus menjadi pertimbangan seorang dokter sebelum  membuat suatu keputusan klinik.

 

Metode yang digunakan dalam clinical reasoning antara lain hipotetico-deductive, algoritma,

pattern recognition serta gejala dan tanda patognomonis. Pada prakteknya proses berpikir

heuristic lebih sering digunakan oleh karena pertimbangan efektivitas biaya dan waktu.

Kelemahan dari proses berpikir heuristic adalah adanya kemungkinan terjadinya bias kognitif

yang dapat mempengaruhi kesimpulan yang dihasilkan (Round A., 2000; Kee F, Bickle I.,

2004). Proses berpikir seperti itu memerlukan pemahaman yang mendalam dari pengetahuan

dan pengalaman terhadap masalah klinik. Berpikir kritis menjadi strategi yang diperlukan

dalam  clinical reasoning untuk menghindari penyimpangan proses berpikir.

Tulisan ini bertujuan memberikan pembahasan kritis tentang masalah clinical reasoning

dilihat dari konteks berpikir kritis dan cara reasoning yang umum dilakukan. Dengan adanya

pemahaman tentang pentingnya berpikir kritis pada clinical reasoning, dapat dijadikan

landasan pentingnya pengajaran dengan menekankan pencapaian berpikir kritis pada

pendidikan kedokteran. Format tulisan terdiri dari berpikir kritis, proses reasoning yang

umum dan perbedaannya dengan clinical reasoning, hubungan antara reasoning, clinical

reasoning, dan berpikir kritis.

Berpikir kritis pada pendidikan tinggi

Pengertian tentang berpikir kritis secara rinci disampaikan oleh Michael Scriven dan Richard

Paul:

“Critical thinking is the intellectually disciplined process of actively and skillfully

conceptualizing, applying, synthesizing, and/or evaluating information gathered from, or

Page 2: esay

generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication as a guide

to belief and action. In its exemplary form, it is based on universal intellectual values that

trancend subject matter divisions: clarity, accuracy, precision, consistancy, relevance,

sound evidence, good reasons, depth, breadth, and fairness. It entails the examination of

those structures or elements of thought implicit in all reasoning: purpose, problem, or

questionate-issue, assumptions, concepts, empirical grounding; reasoning leading to

conclusions, implication and consequences, objection from alternative viewpoints, and

frame of reference” (Jenicek M., 2006).

Pengertian di atas menunjukkan bahwa berpikir kritis dapat diartikan sebagai proses juga

sebagai suatu kemampuan. Proses dan kemampuan tersebut digunakan untuk memahami

konsep, menerapkan, mensintesis dan mengevaluasi informasi yang didapat atau informasi

yang dihasilkan. Tidak semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan yang

diyakini kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan. Demikian halnya dengan

informasi yang dihasilkan tidak selalu merupakan informasi yang benar. Informasi tersebut

perlu dilakukan pengkajian melalui berbagai kriteria seperti kejelasan, ketelitian, ketepatan,

reliabilitas, kemamputerapan, bukti-bukti lain yang mendukung, argumentasi yang digunakan

dalam menyusun kesimpulan, kedalaman, keluasan, serta dipertimbangkan kewajarannya.

Proses berpikir untuk menilai informasi tersebut dilakukan secara sistematis dengan

menggunakan kriteria tersebut pada setiap bagian informasi seperti tujuannya, permasalahan

atau pokok persoalan yang ingin dicarikan jalan keluarnya, asumsi dan konsep yang

digunakan, dasar-dasar empiris, dampak atau akibat yang dapat ditimbulkan, alternatif lain

yang dapat digunakan. Keputusan atau kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis

merupakan informasi terbaik yang telah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi

termasuk mengkaji kesimpulan yang dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti yang

mendukung.

Berpikir kritis telah menjadi salah satu kompetensi dari tujuan pendidikan perguruan tinggi di

banyak negara. Pendidikan tinggi di Amerika menjadikan berpikir kritis sebagai salah satu

sasaran yang ingin dicapai dan dimuat dalam Goals 2000: Educate America Act of 1990.

(Duldt-Battey BW. , 1997; Phillips V., Bond C., 2004). Selama menempuh pendidikan,

berpikir kritis dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman materi yang dipelajari

dengan mengevaluasi secara kritis argumen pada buku teks, journal, teman diskusi, termasuk

argumentasi dosen dalam kuliah (Bassham G., et al., 2005). Jadi berpikir kritis dalam

Page 3: esay

pendidikan tinggi merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam

mengkonstruksi pengetahuan.

Reasoning dan Clinical Reasoning

Reasoning merupakan kegiatan berpikir untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Kesimpulan

merupakan hasil suatu pemahaman yang didapatkan melalui persepsi seseorang terhadap

suatu fenomena dan proses berpikir. Dalam proses berpikir tersebut seseorang dapat

dipengaruhi oleh faktor subyektif yaitu pertimbangan-pertmbangan yang menguntungkan

dirinya, serta faktor obyektif yaitu nilai-nalai yang berlaku secara umum. Hal ini

menyebabkan pemahaman manusia terhadap fenomena yang sama dapat menghasilkan

kesimpulan yang berbeda-beda. Kesimpulan yang berbeda dapat memberi dampak pada

keputusan jenis tindakan yang berbeda (Jenicek M., 2006).

Ada 2 metode yang digunakan agar suatu kesimpulan dapat diterima dengan akal sehat yaitu

logika deduktif dan induktif. Kedua metode tersebut sering digunakan pada proses reasoning

pada penelitian ilmiah untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat dan relatif terbebas dari

bias. Logika deduktif merupakan kesimpulan yang mengacu pada pendapat yang sifatnya

umum ke khusus. Proses ini dimulai dari adanya hipotesis sebelumnya dan menganalisis atau

membuktikan kesesuaian fenomena dengan hipotesis tersebut. Logika induktif adalah

kesimpulan yang mengacu pada pendapat yang sifatnya khusus ke umum. Kesimpulan dibuat

dari proses menggali data atau informasi yang akan dianalisis menjadi hipotesis (Higgs J,

Jones M. 1995; Jenicek M., 2006). Kedua metode ini

Strategi reasoning yang umumnya digunakan untuk penelitian-penelitian ilmiah tersebut pada

awalnya dianggap sama untuk semua proses dalam membuat kesimpulan termasuk pada

clinical reasoning. Strategi clinical reasoning menggunakan logika induktif dan deduktif

untuk membuat kesimpulan dikenal sebagai metode hipotetico-deductive (metode analitik).

Strategi reasoning dimana data atau informasi yang diperoleh dari pasien digeneralisasikan

menjadi hipotesis sebagai diagnosis banding. Hipotesis atau diagnosis banding yang

dihasilkan digunakan sebagai dasar untuk menentukan data yang masih diperlukan untuk

membedakan berbagai kemungkinan penyakit dalam hipotesisnya. Data yang dikumpulkan

akan diintepretasikan untuk menetapkan diagnosis pasti (Norman G., 2005).

Page 4: esay

Perbedaan proses clinical reasoning pada expert dan novice menunjukkan bahwa seorang

expert tidak menggunakan metode reasoning yang umum yaitu logika induktif-deduktif.

Seorang expert cenderung menggunakan jalan pintas (heuristic) sebagai srategi clinical

reasoning seperti pattern recognition atau gejala-tanda klinis yang patognomonis. Strategi

tersebut beresiko terjadinya bias kognitif, meskipun hasil diagnosis yang dilakukan expert

menunjukkan keakuratan dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan novice.  Hal ini

membuktikan bahwa clinical reasoning yang dilakukan oleh expert tidak tergantung pada

proses reasoning yang dilakukan  melainkan pada pemahaman terhadap materi pengetahuan

(content specificity) dan cara yang digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan

(Norman G., 2005).

Seorang expert mengorganisasikan pengetahuan melalui tiga fase yaitu

Fase pertama adalah akumulasi pengetahuan dasar tentang penyakit seperti

patofisiologi dan patogenesis.

Fase kedua adalah proses penggabungan pengetahuan dasar dengan kasus nyata

melalui pengalaman menangani pasien yang disebut dengan illness script.

Fase ketiga adalah proses menggunakan script yang sesuai untuk menangani kasus

baru. Pengetahuan dasar hanya digunakan ketika seorang dokter memerlukannya,

misalnya ketika menghadapi kasus yang sulit. Pengalaman klinik akan menambah

script-script yang dapat digunakan secara instan untuk menyelesaikan kasus yang

sama.

Meskipun proses tersebut sesuai dengan kurikulum tradisional tetapi tidak adanya integrasi

dari ketiga fase tersebut menyebabkan seorang expert mengetahui basic science tetapi sulit

untuk menjelaskan mekanismenya. Hal ini dapat terjadi oleh karena pengetahuan dasar yang

tidak diintegrasikan dalam jangka waktu yang lama mengalami enkapsulasi (Schmidt H G,

Boshuizen H., 1993; Norman G., 2005).

Teori script menyatakan bahwa hipotesis yang dihasilkan pada proses clinical reasoning

merupakan proses aktivasi script, sedangkan testing hipotesis merupakan pemrosesan dari

script. Clinical reasoning merupakan proses untuk menemukan, menentukan, dan melihat

kembali kebenaran dari script yang sudah dimiliki. Proses tersebut merupakan gabungan

antara metode analitik-non analitik yang dapat menghasilkan diagnosis lebih baik

Page 5: esay

dibandingkan dengan metode analitik saja. (Schmidt H G, Boshuizen H., 1993; Eva K.W.,

2004).

Hubungan reasoning, clinical reasoning dan berpikir kritis

Pada banyak kondisi klinik, seorang dokter dituntut untuk membuat keputusan secara cepat

dan akurat. Strategi reasoning menggunakan metode yang umum dilakukan dalam penelitian

ilmiah seperti hipothetico-deductif memerlukan waktu yang lama. Dalam praktek seorang

dokter cenderung menggunakan strategi non-analitik dalam clinical reasoning. Strategi non

analitik yang digunakan oleh dokter dalam clinical reasoning memungkinkan terjadinya bias

kognitif. Cara mengurangi terjadinya bias kognitif adalah dengan mengevaluasi kesimpulan

untuk memberikan argumentasi berdasarkan bukti-bukti yang sesuai. Proses tersebut

merupakan kemampuan berpikir kritis.

Strategi clinical reasoning juga memerlukan pemahaman terhadap materi pengetahuan

kedokteran, cara pengorganisasian pengetahuan, serta pengalaman menggunakan

pengetahuan. Proses membangun informasi merupakan proses aktif menggunakan informasi

dan mengevaluasi hasil kesimpulan yang dibuat terhadap permasalahan yang dihadapi. Proses

tersebut memerlukan berbagai macam ketrampilan seperti:

Ketrampilan interpretasi untuk memahami argumentasi dan pendapat orang lain

Ketrampilan untuk mengevaluasi secara kritis argumentasi dan pendapat

Ketrampilan untuk mengembangkan dan mempertahankan argumentasi yang dibuat

dengan landasan yang kuat.

Jadi clinical reasoning merupakan kemampuan utama yag harus dimiliki seorang dokter yang

memerlukan kemampuan berpikir kritis baik dalam proses mengkonstruksi pengetahuan

maupun maupun proses pengambilan keputusan terhadap pasien. Dalam pendidikan

kedokteran berpikir kritis menjadi alat untuk memperoleh pemahaman materi pengetahuan

serta kompetensi yang dikembangkan agar lulusannya dapat bekerja dengan baik.

Kesimpulan

Clinical reasoning merupakan salah satu kompetensi utama pendidikan dokter. Selama proses

pendidikan, strategi hipothetico-deductif sudah lama digunakan agar mahasiswa mengetahui

alur berpikir dalam proses pengmbilan keputusan klinik. Pada praktek strategi tersebut jarang

Page 6: esay

dilakukan kecuali pada kasus-kasus sulit atau jarang ditemui. Penelitian tentang pentingnya

pemahaman materi pengetahuan dan cara pengorganisasian pengetahuan memerlukan

kemampuan berpikir kritis untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan sebagai

landasan ketika seseorang menjalani profesinya.

Proses akumulasi pengetahuan menjadi illness script seharusnya dilakukan sejak mahasiswa

mengkonstruksi pengetahuan kedokteran. Pendidikan kedokteran perlu menyadari bahwa

pemahaman pengetahuan yang sebatas menghapalkan fakta, memberikan ketrampilan

memecahkan masalah menggunakan sudut pandang yang terbatas sudah saatnya ditinjau

ulang. Strategi pengajaran seharusnya menggunakan metode yang memberi kesempatas siswa

memahami secara utuh tentang materi pengetahuan menggunakan pendekatan berpikir kritis.

Dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis selama belajar di fakultas kedokteran

berarti pendidikan kedokteran telah berperan dalam memberikan jaminan pelayanan

kesehatan terhadap pasien, serta memberikan jaminan kepada lulusannya agar terhindar dari

kesalahan akibat adanya penyimpangan dalam proses berpikir.

Daftar Pustaka

Bassham G., Irwin W., Nardone H., Wallace J.M. (2005) Critical Thinking: A Student

Introduction. McGraw Hill Co. 8

Charlin B, Tardif J, Boshuizen H P.A. (2000) Scripts and Medical Diagnostic

Knowledge: Theory and Applications for Clinical Reasoning Instruction and

Research. Acad. Med.;75:182–190.

Cotton K.(1991) Teaching Thinking Skills. NW Regional Educational Laboratory.

available at http://www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html

Duldt-Battey BW. (1997) Coaching Winners: How to teach Critical Thinking. in

Crirical Thinking across the Curricullum Project, Longview Community College.

Lee’s Summit. Missouri.

Higgs J, Jones M. (1995) Clinical Reasoning in the Health Professions. Butterworth-

Heinemann Ltd.

Eva K.W. (2004) What every teacher needs to know about clinical reasoning.

Blackwell Publishing Ltd. Medical Education; 39: 98–106

Page 7: esay

Jenicek M. (2006) Uses of Philosophy in Medical Practice and Research. A

Physician’s Self-Paced Guide to Critical Thinking. American Medical Association: 3-

31

Kee F, Bickle I. (2004) Critical thinking and critical appraisal: the chicken and the

egg?. QJM; 97: 609-614

Norman G. (2005) Research in clinical reasoning: past history and current trends.

Blackwell Publishing Ltd. Medical Education; 39: 418–427

Phillips V., Bond C. (2004). Undergraduates' experiences of critical thinking . Higher

Education Research & Development. 23 (3): 277-294

Round A. (2000) Introduction to Clinical Reasoning. Student BMJ;08: 1-44 available

at http://www.studentbmj.com/phprint.php

Schmidt H G, Boshuizen H. (1993) On Acquiring Expertise in Medicine. Educational

Psychology Review. Plenum Pub co. Vol 5 (3).: 205-221

University of Washington (2005) The Clinical Reasoning “Guidelines” for ICM II.

The College Faculty of the University of Washington School of Medicine


Top Related