Download - Eko Terbaru
STUDY KEANEKARAGAMAN, KEMERATAAN, DAN KEKAYAAN SERANGGA
MALAM DI KAWASAN HUTAN PANTAI TRIANGULASI NASIONAL ALAS PURWO
BANYUWANGI
Laporan KKL
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Praktikum Ekologi Dasar
yang Dibina oleh Prof.hj.mimien henie irawati, M.S dan Drs. Ibroim, M.Si
Oleh:
Kelompok
Off AA / 09
1. Fendy Hardian Permana ()2. Ikhwanul Azmi ()3. Atik Purwati ()4. Cahyani Ardilla ()5. Juwita Ayu Laksmi (209341420905)6. Erna Wijayanti ()
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
April 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Taman Nasional Alas Purwo (atau biasa disingkat Alas Purwo) terletak di ujung
timur Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Bagi masyarakat
sekitar, nama alas purwo memiliki arti sebagai hutan pertama, atau hutan tertua di Pulau
Jawa. Taman nasional yang diresmikan melalui SK Menteri Kehutanan No. 283/Kpts-II/92
ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa.
Ketinggiannya berada pada kisaran 0—322 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan
topografi datar, bergelombang ringan, dengan puncak tertinggi di Gunung Lingga Manis
(322 meter dpl).
Berdasarkan ekosistemnya, tipe-tipe hutan di Taman Nasional Alas Purwo dapat
dibagi menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan tanaman, hutan
alam, dan padang penggembalaan (Feeding Ground). Jika diamati sekilas, dari luas lahan
sekitar 43.420 hektar, taman nasional ini didominasi oleh hutan bambu, yang menempati
areal sekitar 40 % dari seluruh area yang ada. Secara umum, keadaan tanah di taman ini
sebagian besar adalah tanah liat berpasir, sedangkan sebagian kecil lainnya berupa tanah
lempung. Curah hujan per tahun rata-rata berkisar antara 1.000—1.500 mm dengan
temperatur antara 27°-30° C, dan kelembaban udara antara 40—85 %. Biasanya, musim
kemarau terjadi pada bulan April sampai Oktober, sementara musim penghujan terjadi
sebaliknya, yaitu pada bulan Oktober.
Berdasarkan sebaran vegetasi tumbuhan yang ada di kawasan hutan pantai Taman
Nasional Alas Purwo ini dari tepi pantai ke arah daratan, vegetasi berubah dari vegetasi
mangrove menjadi vegetasi hutan heterogen. Fisiognomi vegetasinya memiliki kanopi yang
lebat sehingga cahaya matahari tidak sampai ke dasar hutan. Kondisi ini berpengaruh
terhadap hewan di dalamnya. Menurut Syafei (1990) hewan yang hidup di suatu daerah
(habitat) tertentu memiliki cara khas ynag bergantung pada spesies tumbuhannya.
Tentunya kita semua pasti tahu yang namanya serangga. Di Alas Purwo ini terdapat
banyak jenis serangga. Serangga adalah golongan hewan yang dominant di muka bumi
sekarang ini. Dalam jumlah, mereka melebihi semua hewan melata darat lainnya dan praktis
mereka terdapat dimana-mana. Serangga telah hidup di bumi kira-kira 350 juta tahun,
dibanding dengan manusia yang kurang dari 2 juta tahun (Borror, 1992). Menurut Ferb
(1989) dalam Irawan (1999), hutan mampu menampung kepadatan populasi serangga lebih
besar dibandingkan dengan hewan lain sehingga apabila dibandingkan antara massa
keseluruhan hewan lain maka massa serangga lebih besar. Menurut Widagdo (2002)
serangga malam merupakan hewan nokturnal yaitu hewan yang beraktivitas pada malam
hari dengan menggunakan sebagian besar hidupnya tanpa cahaya matahari. Untuk itu sudah
tentu serangga malam memiliki mekanisme tertentu untuk bisa bertahan hidup dan
berkembang biak.
Maka dari hal tersebut, tentunya kita akan merasa tertarik untuk mengamati jenis
serangga apa saja yang ada di Alas Purwo. Baik keanekaragamannya, kemerataannya, dan
kekayaannya. Adanya fenomena stratifikasi vegetasi hutan pantai yang berhubungan dengan
adanya keberadaan komunitas serangga menarik untuk dikaji dan diamati. Maka dalam
rangka pelaksanaan kegiatan KKL Ekologi Dasar diadakan observasi dengan judul
“Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam di Kawasan Hutan Pantai
Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo”.
1.2 Rumusan Masalah1. Jenis-Jenis Serangga Malam apa saja yang kita temukan di Hutan Pantai Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi?2. Bagaimana Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam berdasarkan
waktu Pengambilan? 3. Bagaimana pola distribusi serangga malam yang ditemukan berdasarkan waktu
pengambilan?4. Bagaimana waktu aktif serangga malam yang ditemukan?5. Spesies apa yang mendominasi pada tiap jam pengamatan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jenis-jenis serangga malam yang ditemukan di Hutan Pantai Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
2. Mengetahui Keanekaragaman, Kemerataan, dan Kekayaan Serangga Malam berdasarkan waktu Pengambilan
3. Mengetahui pola distribusi serangga malam yang ditemukan berdasarkan waktu pengambilan
4. Mengetahui waktu aktif serangga malam yang ditemukan5. Mengetahui Spesies yang mendominasi pada tiap jam pengamatan
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah PenelitianKegiatan Penelitian dan observasi ini hanya terbatas pada pengamatan serangga malam di
hutan pantai Taman Nasional Alas Purwo. Baik keanekaragamannya, kemerataannya, kekayaannya
dan dominansi.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian yang kami lakukan diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Memberikan informasi tentang jenis serangga malam yang terdapat di Pantai Triangulasi
Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
2. Sebagai media pengajaran keanekaragaman hewan invertebrata.
3. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan tentang serangga malam yang ada di hutan Alas
Purwo
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu perwakilan tipe ekosistem hutan hujan
dataran rendah di Pulau Jawa. Tumbuhan khas dan endemik pada taman nasional ini yaitu sawo
kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya
adalah ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), kepuh (Sterculia
foetida), keben (Barringtonia asiatica), dan 13 jenis bambu. Taman Nasional Alas Purwo
merupakan habitat dari beberapa satwa liar seperti lutung budeng (Trachypithecus auratus
auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), burung merak (Pavo
muticus), ayam hutan (Gallus gallus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera
pardus melas), dan kucing bakau (Prionailurus bengalensis javanensis). Satwa langka dan
dilindungi seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys
coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas) biasanya
sering mendarat di pantai Selatan taman nasional ini pada bulan Januari s/d September. (Anonim,
Serangga
Stuktur Luar Tubuh Serangga
Serangga (insecta) merupakan hewan yang hidupnya melimpah pada lingkungan
teresterial dan air tawar karena bersifat kosmopolitan. Beberapa di antaranya merupakan
serangga berbahaya., namun ada juga yang bermanfaat dalam mengontrol hama dan
penyerbukan tanaman. Beberapa jenis serangga merupakan pemakan tumbuhan dengan cara
memakan daun, menggerek dan mengebor dalam batang dan buah-buahan, membuat saluran
pada daun dan bunga, menyerang akar atau menyerang bagian-bagian bunga yang lain. Akan
tetapi ada juga jenis serangga yang bersifat karnivora, yaitu memangsa serangga lain yang
berukuran lebih kecil atau memakan sisa-sisa bangkai jenis serangga atau hewan lainnya
(Irawan, 1999).
Serangga tergolong filum Arthropoda, subfilum Mandibulata, dan kelas Insekta. Tubuh
serangga terdiri dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (torak), dan perut (abdomen). Pada
kepala terdapat alat-alat untuk memasukkan makanan atau mulut, mata majemuk (mata faset)
dan sepasang antena. Thoraks terdiri dari tiga ruas yang berturut-turut dari depan yaitu
prothoraks, mesothoraks dan metathoraks. Ketiga ruas thoraks tersebut pada hampir semua
serangga dewasa dan sebagian serangga muda memiliki tungkai. Sayap terdapat pada
mesothoraks jika satu pasang, dan terdapat pada metathoraks jika dua pasang. Abdomen
merupakan bagian tubuh yang hanya sedikit mengalami perubahan, berisi antaranya adalah alat
pencernaan. Tidak seperti vertebrata serangga tidak memiliki kerangka dalam. Tubuh serangga
ditopang oleh pengerasan dinding tubuh melalui proses sklerotisasi yang berfungsi sebagai
kerangka luar (eksoskeleton). Dinding tubuh (integumen) serangga terdiri atas satu lapis
epidermis dan selaput dasar dan kutikula (Widagdo, 2002).
Kepala (caput) pada dasarnya tersusun atas 6 segmen yang berfusi. Pada kedua sisi
kepala terdapat sepasang mata majemuk berwarna hitam. Selain itu, terdapat pula sepasang
antenna yang bersifat mobile (bergerak-gerak).
Dada (thorax) terdiri atas tiga segmen, yaitu prothorax (anterior), mesothorax (tengah),
dan metathorax (posterior). Masing-masing bagian memiliki sepasang kaki yang beruas-ruas.
Pada serangga bersayap sepasang, pangkal sayap terletak pada mesothorax, sedangkan jika
sayapnya dua pasang maka pangkal sayap terletak pada metathorax (Irawan, 1999).
Perut (abdomen) merupakan bagian ketiga dan paling posterior dari tubuh serangga yang
strukturnya relatif sederhana dan di dalamnya terdapat organ-organ pencernaan. Menurut Ross
(1964) dalam Irawan (1999), abdomen serangga dewasa tidak memiliki kaki jalan sebagaimana
pada bagian kepala.
Serangga Malam
Menurut Odum (1993) serangga malam merupakan golongan hewan yang menghabiskan
sebagian besar hidupnya untuk beraktivitas pada malam hari. Sebagai hewan berdarah dingin
(poikilotermik) serangga memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap suhu yang rendah.
Borror, dkk (1992) menjelaskan bahwa beberapa serangga tahan hidup pada suhu-suhu yang
rendah ini menyimpan etilen glikol di dalam jaringan tubuh mereka untuk melindungi dari
pembekuan (Widagdo, 2002).
Aktivitas serangga malam dalam mencari makan pada malam hari sekaligus merupakan
mekanisme yang membantu dalam mempertahankan diri terhadap suhu rendah. Seperti
penjelasan Borror, dkk (1992) bahwa pada kebanyakan serangga, aksi urat-urat daging thoraks
dalam penerbangannya biasanya meningkatkan suhu tubuh serangga di atas suhu lingkungan
tersebut (Widagdo, 2002).
Habitat Serangga
Serangga ini bisa ditemukan pada hampir semua habitat, di atas dan di bawah tanah, di
daerah akuatik dan semi-akuatik (Borror, 1992 dalam Irawan, 1999). Intensitas cahaya matahari
sangat mempengaruhi aktivitas serangga. Ada beberapa serangga yang dalam melakukan
aktivitasnya membutuhkan cahaya yang sedikit dan ada yang terbang pada malam hari. Pada
umumnya, serangga yang melakukan aktivitas dengan cahaya yang sedikit akan lebih menyukai
daerah yang remang-remang, seperti di daerah dasar hutan yang tertutupi kanopi, di bawah batu,
dan lain-lain. Dari sini serangga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jenis serangga diurnal yang
terbang pada siang hari, dan serangga nocturnal yang terbang pada malam hari. Serangga
nocturnal aktivitas pada malam hari untuk menghindari terjadinya dehidrasi yang berlebihan
pada tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Soetjipto (1993) dalam Irawan (1999),
yaitu hewan seringkali mengatur aktivitas mereka untuk menghindari dehidrasi sehingga mereka
bergerak ke tempat terlindung atau aktif pada malam hari. Menurut Ferb (1980) dalam Irawan
(1999), terdapat tiga hal yang menunjang sukses hidup serangga dalam habitatnya.
Jenis-jenis Serangga yang Banyak Ditemukan di Indonesia
Menurut Jumar (2000) dalam Widagdo (2002), kelas Insekta terbagi menjadi dua sub
kelas yaitu Apterygota dan sub kelas Pterygota.
Sub kelas Apterygota memiliki ciri-ciri sebagi berikut:
a. Serangga primitif yang berukuran kecil.
b. Tidak memiliki sayap sejak nenek moyangnya.
c. Mempunyai struktur thoraks yang sederhana.
d. Pada abdomen terdapat satu pasang embelan atau lebih selain embelan alat kelamin.
e. Tidak mengalami metamorfosis.
sub kelas Pterygota adalah sebagi berikut:
a. Pada serangga dewasa prothoraks membesar atau termodifikasi untuk menunjang sayap.
b. Sayap serangga dewasa memiliki satu atau dua pasang sayap, kehilangan sayap pada proses
evolusinya.
c. Abdomen tanpa embelan kecuali embelan alat kelamin.
d. Mengalami metamorfosis.
Menurut Siwi (1991) dalam Widagdo (2002), ordo-ordo serangga adalah sebagai berikut:
a. Ordo Odonata
Ukuran tubuh sedang sampai besar, antena pendek dan kaku, abdomen panjang dan ramping.
Tipe alat penggigit pengunyah, sayap seperti selaput yang mempunyai banyak vena.
b. Ordo Orthoptera
Ukuran tubuh sedang sampai besar, ada yang bersayap dan tidak. Yang bersayap mempunyai
dua pasang sayap. Sayap depan panjang dan menyempit, banyak vena, menebal seperti kertas
parkamen. Alat mulut penggigit pengunyah.
c. Ordo Plecoptera
Warna tubuh pudar, tidak mengkilap ukuran tubuh sangat kecil, antena panjang. Ada yang
bersayap ada yang tidak, ada yang bersayap panjang dan ada pula yang pendek, sayap seperti
selaput. Tipe lalat mulut penggigit.
d. Ordo Dermaptera
Jantan mempunyai forcep yang kokoh dan kasar (bergerigi), betina lebih langsing dan
ramping. Tubuh pipih, berukuran kecil sampai sedang.
e. Ordo Isoptera
Sayap dua pasang, membraneus, sayap depan dan belakang mempunyai bentuk dan ukuran
yang sama, ada yang tidak bersayap. Alat mulut penggigit dan pengunyah.
f. Ordo Hemiptera
Tubuh pipih, ukuran sangat kecil sampai besar. Yang bersayap, pada bagian pangkal sayap
menebal sedangkan ujungnya membraneus.
g. Ordo Mecoptera
Tubuh ramping dengan ukuran kecil sampai sedang, kepala dengan muka panjang, alat mulut
penggigit dan memanjang kearah bawah berbentuk seperti parut.
h. Ordo Trichoptera
Ukuran tubuh kecil sampai sedang, sayap seperti selaput, agak berambut dan bersisik. Warna
suram, antena panjang dan ramping, alat mulut penggigit.
i. Ordo Lepidoptera
Sayap dua pasang tertutup buku dan sisik. Antena agak panjang, mulut pada larva bertipe
pengigit pengunyah dan pada dewasa penghisap.
j. Ordo Coleoptera
Sayap depan keras, tebal, menanduk yang berfungsi sebagai pelindung. Ukuran tubuhnya
0,5-125 mm. Sayap belakang membraneus dan melipat di bawah sayap depan. Alat mulut
menggigit dan habitatnya di berbagai ekosistem. Contohnya: Hydrophilus triangularis.
k. Ordo Hymenoptera
Tubuh berukuran 5-40 mm, sayap dua pasang yang seperti selaput. Sayap depan lebih besar,
antena 10 ruas, mulut penghisap. Habitatnya yang dewasa disegala habitat. Contohnya,
Formica sp.
Hutan Pantai
Taman Nasional Alas Purwo terletak di kecamatan Tegaldlimo kabupaten Banyuwangi
yang merupakan tempat konservasi flora dan fauna. Taman Nasional Alas Purwo mempunyai
luas 43.420 ha. Kawasan ini didominasi oleh hutan tropik dataran rendah. Menurut Syafei (1990)
hutan pantai adalah salah satu dari hutan tropik dataran rendah. Pada hutan ini hujan jatuh
sepanjang tahun, umumnya dengan satu bulan atau lebih dengan periode relatif kering. Suhu dan
laju penyinaran adalah tinggi dan sangat kecil adanya variasi musim (Irawan, 1999).
Hutan Mangrove
Menurut Nontji (1987) dalam Widagdo (2002) mangrove adalah tipe hutan yang khas,
terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Istilah mangrove digunakan sebagai pengganti istilah bakau. Hutan mangrove di Taman Nasional
Alas Purwo didominasi oleh genus Rhizopora dan Aricennia.
Hutan campuran
Hutan campuran di Taman Nasional Alas Purwo didominasi oleh pohon yang selalu hijau
dan sangat tinggi. Hutan campuran daunnya berkecenderungan hijau tua dan rimbun. Teksturnya
yang berkulit kayu mampu melindungi dari suhu yang tinggi dan juga penyinaran yang
berlebihan (Syafei, 1990).
Keanekaragaman pohon di hutan campuran sangat tinggi. Menurut Anwar (1984) dalam
Irawan (1999) keanekaragaman yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya kandungan humus
pada tanah hutan campuran lebih rendah dari pada hutan yang beriklim sedang, curah hujan yang
lebih besar, cahaya matahari bersinar lebih lama.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keanekaragaman
Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman ada enam yang mana satu sama lain
tidak dapat dipisahkan. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Faktor waktu
Dalam Irawan (1999) disebutkan bahwa waktu mempengaruhi kematangan suatu
komunitas. Selama perubahan waktu suatu organisme akan berkembang dan mengalami proses
keanekaragaman menjadi lebih baik. Ditambahkan lagi bahwa keanekaragaman ini merupakan
produk evolusi. Di daerah tropis organisme berkembang dan memiliki keanekaragaman lebih
tinggi dibandingkan dengan organisme di daerah kutub. Dan komunitas memiliki proses
keanekaragaman sepanjang waktu sehingga komunitas yang lebih tua memiliki banyak spesies
daripada komunitas yang muda.
2. Faktor heterogenitas spasial (ruang)
Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) relief atau topografi atau heterogenitas
makrospasial memiliki efek yang besar terhadap keanekaragaman spesies. Wilayah tropis
mempunyai kompleksitas lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini faktor fisik, komunitas
tumbuhan dan hewan sangat heterogen dan sangat cepat mengalami proses keanekaragaman
spesies. Di area yang memiliki relief topografi yang tinggi mengandung banyak habitat yang
berbeda sehingga berisi banyak spesies.
3. Faktor kompetisi
Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) menjelaskan bahwa peran kompetisi mempengaruhi
kekayaan spesies yang digambarkan melalui hubungan relung antar spesies. Faktor ini sangat
penting dalam evolusi karena merupakan persyaratan habitat untuk hewan dan tumbuhan
menjadi lebih terbatas dan makanan untuk hewan juga menjadi sedikit. Komunitas di daerah
tropis memiliki lebih banyak spesies karena memiliki relung yang kecil dan overlap relung yang
tinggi.
4. Faktor predasi
Predasi dan kompetisi sama-sama mempengaruhi keanekaragaman spesies. Dalam
komunitas yang kompleks dan mendukung banyak spesies, interaksi yang dominan adalah
predasi, sedangkan dalam komunitas sederhana yang dominan adalah kompetisi. Keberadaan
predator dan parasit dapat menekan populasi mangsa sampai pada tingkat yang sangat rendah.
Adanya pengurangan kompetisi memungkinkan bertambahnya suatu spesies sehingga akan
mendukung munculnya predator baru.
5. Faktor stabilitas lingkungan
Faktor ini menunjukkan bahwa semakin stabil parameter lingkungan maka spesies yang
ada semakin banyak. Adanya kombinasi faktor stabilitas dengan waktu dapat mempengaruhi
keanekaragaman.
6. Faktor produktivitas
Menurut Krebs (1985) dalam Widagdo (2002) stabilitas dari produksi primer mempunyai
pengaruh utama terhadap keanekaragaman spesies dalam komunitas. Semakin besar
produktivitasnya maka keanekaragamannya juga semakin besar. Namun tidak selalu benar kalau
semakin rendah produktivitasnya maka keanekaragamannya juga semakin rendah. Ada
kemungkinan besar bahwa overlap bisa terjadi antar keenam faktor di atas.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian jenis deskriptif dengan menggunakan suatu metode survei yang diatur secara sistematik, bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keanekaragaman serangga malam.
3.2. Populasi dan Sampel
3.3. Waktu dan Tempat
3.4. Prosedur Pengambilan Data
1. memasukkan sedikit air ke dalam flakon.
2. memasang jebakan bagi serangga malam, yaitu kain putih berbentuk limas segi empat yang
masing-masing sudutnya diikat pada pohon lalu ujungnya dilubangi dan dihubungkan
dengan flakon berisi air.
3. memasang lampu dop 25 watt di atas kain jebakan dan dop dilindungi dengan kertas
minyak yang disusun sehigga menyerupai bentukan kerucut.
4. pada jam 19.15, light-trap diletakkan dalam hutan kemudian dilakukan pengambilan
pertama serangga malam yang terjebak dalam flakon pada jam 20.15 WIB.
5. mengamati serangga malam yang terjebak light-trap dimulai dari jam 19.15-00.15 WIB.
Pengambilan serangga dilakukan setiap 1 jam sekali dan memberi label waktu pada tiap
flakon sebagai penanda.
6. memberi sedikit larutan formalin ke dalam masing-masing botol flakon agar specimen tidak
rusak dan tetap utuh.
7. membawa spesimen ke laboratorium Biologi untuk dilakukan pengamatan dan
pengidentifikasian lebih lanjut di bawah mikroskop stereo dengan menggunakan kunci
determinasi serangga.
8. melakukan kompilasi data serangga malam yang diperoleh dengan semua kelompok (20
kelompok) KKL Alas Purwo.
9. memasukkan data yang diperoleh ke dalam tabel data Light-trap.
3.5. Tabulasi Data
3.6. Metode Analisis DataUntuk mengetahui analisis kepadatan digunakan paremeter densitas relatif dan untuk
mengukur analisis kelimpahan digunakan dominansi relatif. Untuk mencari parameter
kepadatan relatif dan dimonansi relatif tersebut dengan cara pendekatan sebagai berikut:
Densitas absolut :
JumlahindividusuatujenisJumlahareayangberisijenisitu
Densitas relatif :
DensitasabsolutsuatujenisTotaldensitasabsolutseluruhnya X 100%
Dominansi absolut : Jumlah individu suatu jenis
Densitas relatif :
JumlahindividuduatujenisJumlahtotalindividu X 100%
Untuk mengetahui adanya perbedaan keanekaragaman pada tiap-tiap plot dilakukan
analisis secara deskriptif dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Parameter
keanekaragaman yang diukur meliputi:
1) Indeks keanekaragaman Shanon – Wiener
H’ = - Pi ln Pi
Keterangan: Pi = n/N
H’ : Indeks keanekaragaman Shanon – Wiever
n: Jumlah masing-masing spesies
N : Jumlah total spesies dalam sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)
2) Setelah memperoleh indeks keanekaragaman Shanon–Wiener, selanjutnya menghitung
nilai indeks kemerataan (Evennes) dengan rumus:
E= H 'ln . S
Keterangan: E: Indeks kemerataan evennes
H’ : Indeks keanekaragaman Shanon – Wiever
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, …..)
∑ ¿ ¿∑ ¿
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)
3) Selanjutnya dihitung nilai kekayaan dengan menggunakan rumus indeks
Richness:
R= S−1ln . N
Keterangan: R : Indeks Richness
S : Jumlah spesies (n1, n2, n3, …..)
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Ludwig dan Reynolda, 1998 dalam Irawan, 1999)
4) Untuk mengetahui dominansi suatu spesies dilakukan perhitungan nilai dominansi
sebagai berikut:
Keterangan: D : Dominansi spesies
n : Jumlah individu masing-masing spesies
N : Total individu dalam pengambilan sampel
(Odum, 1993 dalam Irawan, 1999)
Setelah semua penghitungan selesai, dibuat grafik yang menunjukkan keanekaragaman
( H’ ) dan kemerataan serangga malam ( E ).
D= nN
×100 %
BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA
BAB V PEMBAHASAN
1. Jenis-Jenis Seranga Malam Di Kawasan Hutan Pantai Triangulasi Taman Nasional
Alas Purwo Banyuwangi
Serangga malam yang ditemukan di hutan pantai Triangulasi Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi terdiri dari banyak spesies bervariasi antara lain Aedes solicitans, Aedes sp, Aedes stimulans, Agapostemon virescens, Allonemobius fasciatus, Amitermes tubiformans, Anelastes druryi, Anopheles sp, Anormenis septentrionalis, Anthopora occidentalis,Archichauliodes guttiferus, Arilus cristasus, Asaphes lucens, Bembix americanus, Caenotus inornatus, Catonia inpunctacta, Cephedepalotes depresus, Chironosus plumosus, Chrooptus bellragei stahl, Chrysops univittatus macquate, Cixius angutatus, Clioperta clio, Coleoptera sp., Colosoma scrutator, Conydalus cornitus, Cryooptul berfragel, Ctenicera noxia, Cyrboptus belfragei, Depressaria pastinacella, Dicerca lepida, Diesma cinerea, Diptera sp., Drosophila anannase, Drosophila sp., Dyspteris atortivaria, Empoascea mabae, Eupelmidae, Euphelmidae, Eurdmidae, Forficula auricularia, Heplalidae, Lepidoptera sp., Liburniela ornata, Lymantria dispar, Megaloptera, Melanoplus sanguinipes, Microlepidoptera, Mydas clavatus, Narvesus carolinensis, Neplomorpha perpsocdudes, Oecantus quadrimaculatus, Oecleus borealis, Oerantus quadrimaculatus, Oestrus ovis, Ogcodes sp, Oligostoma soundersii, Orfelia fultoni, Orthoptera, Ostrinia nubilalis, Panorpa helena, Parcoblatta pennsylvania, Philaenus spumarius, Philaenus sp., Phobocam pedisparis, Phobocamte disparis, Phryganea sp., Phryganea cinetea, Phygadeuon subfuscus, Phyllophaga portoricensis, Phyllopaga sp., Plantycentropus radiatus, Plecianebracia, Plecoptera, Poecilogonalos costalis, Ponera sp., Prionoxytus robiniae, Psilocephala aldichi coquillet, Pyspteris abortivaria, Rhysella nitida, Scuderia rucata, Simulium sp., Simulium nigrocoxum stone, Spilocalpys flafepicta, Stenopsis argenteomaculotus, Stratiomys laticepsloew, Symphoromyia artipes, Synanthedon exitiosa, Syrphus torvus, Tabanidae sulafrons, Tabanus lineola fabricius, Tetanocera vicina, Tettigidea lateralis, Thylozygus bifidus, Tiphia papilavara, Tracelus tabidus, Tragoxylon parallelopipadum, Trichoptera, Triepeolus lunatus, Xenophloea major, Zorotypus hubbardi
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, K.F. 1999. Kelimpahan dan Keanekaragaman Serangga Malam di Hutan Pantai Timur Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.
Borror, T. 1992. Pengeratan Pelajaran Serangga, terjemahan Soetiyono. Yogyakarta: UGM.
Soetjipto. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Widagdo, Kristian. 2002. Keanekaragaman Serangga Malam pada Berbagai Ketinggian di Gunung Arjuna. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.
LAMPIRAN