EDISI 01 / SYAWAL 1439H
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
DAFTAR ISI
Kelangkaan Pangan, Hanya Islam Solusinya ................................................................................................. 3
Kampus dalam Jerat Arus World Class University dan Deradikalisasi .......................................................... 6
Untitled ......................................................................................................................................................... 8
Saatnya Ulama’ Memimpin Umat Tegakkan Khilafah .................................................................................. 9
Reinventing Government dalam Pelayanan Pendidikan Tinggi .................................................................. 11
Menyoal Kemandirian Pembangunan Infrastruktur ................................................................................... 13
Subsidi Gas Tak Tepat Sasaran? .................................................................................................................. 17
Persatuan Umat dan Jihad, untuk Palestina ............................................................................................... 19
Kekerasan Seksual pada Anak Bukan Kasus Sepele .................................................................................... 20
Kunci Utama Terbebas dari Ketimpangan .................................................................................................. 22
Penguatan Ekonomi Rumah Tangga ........................................................................................................... 24
Menjadi Pemimpin dan Konsekuensi Keimanan......................................................................................... 26
Wujud Persatuan Hakiki .............................................................................................................................. 28
Viralisasi Blunder Abu Janda VS Krisis Identitas Media .............................................................................. 30
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Kelangkaan Pangan, Hanya Islam Solusinya Oleh: Risnawati, STP | Staf Dinas Tanaman Pangan dan Hortikutura Kolaka
Akhir-akhir ini telah ramai diberitakan tak hanya di dunia nyata namun dunia maya pun
tak kalah hebohnya terkait pengganti daging sapi karena mahal. Pada Selasa (5/12/2017), “Media
sosial Twitter diramaikan dengan cuitan netizen tentang Keong Sawah. Menteri Pertanian atau
mentan menyarakan agar masyarakat beralih ke komoditas lain yang proteinnya sama dengan
daging. Karena harga daging masih berada di kisaran lebih dari seratus ribu Rupiah. Komoditas
yang dimaksud adalah tutut. Tutut merupakan salah satu jenis siput tawar yang biasa ditemukan di
sawah atau sungai. Saran yang ditawarkan Mentan ini mendapat sorotan netizen. Banyak netizen
yang kurang setuju dengan saran tersebut.” (tribunnews.com)
Pembahasan ini dimulai dari portal berita yang menuliskan komentar Menteri Pertanian RI
di sela inspeksi dadakan Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. Andi amran Sulaiman menyarankan
agar masyarakat beralih ke komoditas lain yang proteinnya sama dengan daging.
”Menteri Pertanian, Amran Sulaiman tengah menjadi perbincangan publik. Imbauannya soal
mengonsumsi keong sawah lantaran harga daging yang mahal, justru mendapat komentar nyinyir
dari netizen.” (jawapos.com-2017/12/05)
“Ada yang mengatakan Amran tengah frustrasi karena tak bisa mengendalikan harga daging,
hingga soal mengganti daging dengan kecebong. Beberapa di antaranya bahkan menyindir Amran
dengan mengunggah meme-meme lucu.” (jawapos.com-2017/12/05)
“ Anggota DPR Bambang Haryo Soekartono mengkritik keras pernyataan Menteri Pertanian
(Mentan) RI Amran Sulaiman yang mengatakan daging keong sawah bisa menggantikan
komoditas daging bila terjadi kelangkaan. Bambang menilai, pernyataan Mentan itu tidak
bertanggung jawab.” (poskotanews.com-2017/12/08)
“Ini pernyataan yang tidak bertanggung jawab dan tidak peduli terhadap masyarakat. Sesuai
UU No.7/2014 tentang Perdagangan maupun PP No.71/2015 Pasal 1 ayat (3) dikatakan, sebelas
komoditas termasuk daging harus disediakan pemerintah, baik harganya harus sesuai keinginan
masyarakat dengan semurah-murahnya, barangnya harus cukup, dan harus berkualitas. Pemerintah
sudah menyalahi PP maupun UU,” tegas anggota F-Gerindra itu. (poskotanews.com-2017/12/08)
Solusi Islam Atas Kelangkaan Pangan
Dalam konteks jangka panjang, Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan
swasembada pangan, dimana swasembada merupakan sebuah keharusan agar sebuah negara
terbebas dari krisis pangan berulang dan berkepanjangan.
Salah satu fungsi dan tugas negara adalah memastikan tersedianya berbagai kebutuhan
masyarakat. Tidak hanya barang-barang dan jasa yang dibutuhkan tersedia, tetapi negara juga
memastikan, barang dan jasa tersebut sampai kepada mereka. Karena itu, negara tidak hanya
memastikan mekanisme supply and demand (penawaran dan permintaan) berjalan dengan lancar,
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
tetapi juga harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari berbagai aspek penipuan, pemerasan dan
sebagainya.
Islam menjamin setiap kebutuhan rakyat, mulai kebutuhan dasar individu, seperti sandang,
papan, pangan, hingga kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Mengenai kebutuhan dasar individu, seperti sandang, papan dan pangan, negara menjamin
terpenuhinya kebutuhan tersebut dengan sempurna. Cara yang dilakukan oleh negara adalah
dengan meningkatkan produksi barang yang dibutuhkan, dan memastikan berjalannya mekanisme
supply and demand dengan baik.
Maka tugas negara bukan hanya memastikan produksi barang dan jasa tersebut berjalan dengan
baik, tetapi juga memastikan bagaimana distribusi barang dan jasa tersebut adil, merata dan sesuai
dengan ketentuan syariah. Di sinilah fungsi dan tugas politik negara khilafah, yaitu melakukan
ri'ayatu syu'un al-ummah wa arrai'yyah [mengurusi urusan umat dan rakyat].
Fungsi dan tugas ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-rai'yyah ini tidak hanya dilakukan oleh negara
khilafah dengan memastikan berjalannya hukum syara' di tengah masyarakat dengan baik dan
benar, tetapi negara juga melakukan kontrol, pencegahan, bahkan punishment. Karena itu, dengan
aparat kepolisian yang ada di tengah-tengah umat, ditambah qadhi hisbah yang bertugas dua puluh
empat jam dalam melakukan kontrol, pencegahan, bahkan punishment (sanksi), negara khilafah
benar-benar hadir secara riil di tengah-tengah rakyat.
Sebagai contoh, ketika negara menghadapi kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok, maka
negara akan segera melakukan tindakan. /Pertama/, memastikan apakah kelangkaan ini terjadi
karena adanya permainan di pasar oleh oknum tertentu, atau tidak. Jika ada, maka kontrol dan
punishment harus dilakukan, sekaligus mencegah hal yang serupa terulang kembali di masa yang
akan datang.
/Kedua/, jika tidak ada, karena memang benar-benar volume produksinya menurun, maka
negara harus menyuplai bahan bahan kebutuhan pokok tersebut, bisa dari wilayah lain, atau jika
diperlukan bisa mengimpor dari negara lain, melalui perjanjian perdagangan.
Semua itu dilakukan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab negara. Ini merupakan tugas
dan fungsi politik negara khilafah, yaitu melakukan ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-rai'yyah.
Bahkan, tugas dan fungsi ini sangat vital, karena memang memastikan negara hadir atau tidak
dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Dengan demikian, fungsi dan tugas ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-raiyyah ini benar-benar
bisa dilaksanakan dengan baik, dan sempurna. Dengan adanya antisipasi sejak dini, maka bisa
dibuat skenario lebih dini. Dengan begitu, secara psikologi para pemangku kekuasaan, termasuk
pengambil kebijakan tindakannya bisa lebih terukur dan sistematis.
Semua kebijakan di atas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Lalu dari mana dana-dana
tersebut diperoleh oleh negara? Jawabannya, dari kekayaan milik umum dan milik negara yang
sangat melimpah. Karena semuanya dikelola dan ditangani oleh negara, dan digunakan untuk
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
kemakmuran rakyatnya. Dengan begitu, negara khilafah tidak akan pernah mengalami kekurangan
dana. berapapun kebutuhannya, mengingat kekayaan alam di dunia Islam begitu luar biasa.
Demikianlah secara ringkas solusi Islam dalam mengatasi kelangkaan pangan yang mendera
negeri ini. Solusi diatas tentu akan berjalan ketika diimplementasikan dalam konteks kebijakan
negara, dan dijalankan bersama dengan berbagai hukum syariah lainnya, sehingga kestabilan harga
pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai
kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallahu alam
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Kampus dalam Jerat Arus World Class University dan Deradikalisasi
Oleh : Aminatun (Unair)
Benar adanya bahwa kampus saat ini berada dalam jerat world class university (WCU) dan
proyek deradikalisasi. Slogan WCU ini telah menghipnotis kampus hingga segala upaya dilakukan
untuk meraih peringkat tersebut. Capaian yang masih sangat jauh untuk sekedar bisa mencapai
ranking 500 dunia, dengan posisi UGM (724), UI (809), ITB (895), IPB (1321), UB (1333), Unpad
(1492), Undip (1517), Unair (1906), Udayana (1959) dan Unsyiah (1976)
(www.webometrics.info, Januari2017), telah mendorongnya untuk terus berjuang demi
peningkatan rankingnya. Target publikasi bereputasi internasional terindeks scopus atau ISI
Thomson serta riset berskala nasional maupun internasional bahkan menuntut hilirisasi hasil riset
dengan menggandeng industri adalah menjadi program andalan kampus, hingga suasana kampus
tersibukkan dan fokus terhadap aktivitas tersebut.
Di satu sisi yang lain, kampus diserang dengan pemikiran penjajah barat melalui proyek
deradikalisasi yang berkedok dibalik isu kebhinnekaan, toleransi dan peningkatan wawasan
kebangsaan. Proyek ini sagat massif dilakukan dalam satu tahun ini, demi memenuhi titah Rand
cooperation sebagai lembaga think tank AS yang menghendaki adanya perang melawan ekstrimis
dengan mengokohkan profil pemuda kampus yang modernis dan sekuler. Dengan dua proyek besar
ini akankah membawa kampus menjadi lembaga pendidikan terhormat dan menghasilkan ilmuwan
yang mumpuni dalam memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap problema bangsa?
Ataukah sebaliknya justru proyek besar barat ini akan membawa kepada keberhasilan semu dan
ketumpulan daya kritis generasi kampus?
Sejatinya proyek WCU ini adalah permainan agenda negara kapitalis untuk mengarahkan
kampus menjadi lembaga bisnis. Proyek ini telah menjadikan komersialisasi riset dan
pembajakan intelektual kian massif dilakukan. Komersialisasi riset ini telah dirintis
Kemristekdikti pada tahun 2017 dengan pengucuran dana inovasi sebesar Rp 171M. Kepada siapa
dan untuk apa dana tersebut dikucurkan? Dan dimana posisi kemenristekdikti sebagai representasi
pemerintah dalam proyek ini? Pendanaan diberikan terhadap perguruan tinggi dan industri yang
saling berkolaborasi mendorong hilirisasi inovasi agar menjadi produk yang dimassalkan.
Pendanaan inovasi itu diwujudkan melalui penandatanganan kerja sama (PKS) antara
Kemristekdikti dengan sejumlah industri dan kampus yang lolos seleksi. Untuk tahun 2017 ini
pendanaan riset itu diantaranya Rp 9M untuk revolusi orange IPB dengan mengembangkan buah
lokal unggulan, pengembangan katalis oleh ITB Rp 10M dan pengembangan steam cell untuk
terapi penyakit degenerative oleh Unair Rp 4M. Apakah dana inovasi ini diberikan untuk hasil
riset yang dibutuhkan segera implementasinya di masyarakat? Ternyata tidak. Buktinya bahwa
topik lain yang dikerjakan melalui pendanaan inovasi perguruan tinggi di industri seperti
smartphone 4G dan sepeda motor gesit bukanlah kebutuhan krusial rakyat saat ini. Dari sini
tampak jelas bahwa peran pemerintah yang diwakili kemenristekdikti bukan penentu dipilihnya
riset mana yang butuh segera diimplementasikan, akan tetapi pemerintah hanya sebagai regulator
yang menjembatani pihak kampus dengan industri, akibatnya hilirasasi riset lebih mengutamakan
produk yang memberikan keuntungan bagi industri tanpa mengacu pada kebutuhan krusial bangsa
ini. Lebih parah lagi, pembajakan potensi intelektual untuk kepentingan industri ini tidak disadari
oleh para intelektual, bahkan sebagian besar diantara mereka merasa bahwa penemuan mereka
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
sudah bisa dirasakan oleh masyarakat banyak tanpa harus berfikir bahwa masyarakat dapat
merasakannya melalui harga yang mahal.
Upaya pragmatis kampus yang hanya berfokus pada pencapaian target WCU serta berbagai
turunan yang dimintanya adalah langkah yang akan menjerumuskan negeri ini pada jurang yang
semakin dalam dan terjal. Upaya ini menunjukkan pemerintah merunduk di bawah dikte
perusahaan penerbitan, lembaga penelitian dan kampus asing. Jadi makin jelas sekarang, betapa
sebenarnya WCU hanyalah agenda global kapitalis yang mencoba menipu kampus dan
menghegemoni sistem pendidikan kita. Sungguh ini sangat bertolak belakang dari tujuan hakiki
kampus sebagai lembaga pendidikan yang mencetak para intelektual mulia sebagai pemberi solusi
atas segala problematika umat.
Sementara itu proyek deradikalisasi yang gencar dilakukan di setiap kampus sejatinya
adalah untuk menghadang kekuatan politik Islam. Barat sebagai pemegang ide proyek ini
memahami betul potensi mahasiswa sebagai penggerak perubahan. Barat menginginkan
mahasiswa menjadi intelektual yang acuh terhadap upaya kebangkitan Islam politik. Suara kritis
mahasiswa dibungkam oleh proyek deradikalisasi ini. Begitu banyak gerakan Islam, namun yang
harus dihadang hanya satu, yaitu gerakan Islam politik. Barat memahami betul bahwa Islam politik
akan mengarah pada diraihnya kekuasaan oleh kaum muslimin dengan tegaknya Khilafah
Islamiyah yang akan menggantikan posisi Negara kapitalis Amerika Serikat yang saat ini sudah
berada di ujung tanduk kehancurannya. Inilah satu-satunya alasan mengapa upaya deradikalisasi
ini begitu simultan dilakukan oleh Barat di kalangan kampus. Lengkaplah sudah kondisi riel kampus kita saat ini, dikepung dari berbagai sisi hingga
menjadikan peran intelektual dan fungsi pendidikan tinggi tak ubahnya sebagai mesin arus
globalisasi yang siap dijalankan dan menjerumuskannya pada jurang kehancuran peradaban.
WCU dan propaganda deradikalisasi adalah upaya barat untuk menghadang bangkitnya Islam
ideologis, sehingga kita harus menyadarinya dan melakukan aktivitas untuk gencar
menyerangnya.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Untitled
Pernah Suatu ketika kami sekeluarga bersilaturahim ke salah seorang sepupu dari pihak ibu saya
yang bernama dr. Mila. Beliau bersuamikan dr X yang seorang spesialis bedah (KL) yang cukup senior dan
dikenal sangat baik oleh masyarakat. Akhir dari perbincangan silaturahmi saya dan keluarga memutuskan
untuk tidak melepas putri kami melepas bertugas diluar kota mengingat dia seorang anak perempuan
lajang yang layak dijaga dan dilindungi. Namun di akhir perbincangan silaturahim yang cukup singkat tapi
padat itu terbersit kekecewaan yang dalam atas perceraian putra pertamanya dengan penggugat cerai
adalah istri (menantu) beliau yang seorang dokter gigi, apalagi mereka berdua telah berpacaran semenjak
SMA. Dua orang cucu yang lucu-lucu dan sering menggemaskan dibawa serta oleh sang menantu.
Pada kesempatan lain, ketika saya mencarikan pasien untuk anak saya yang sedang Ko As untuk
profesi Kedokteran gigi, saya bertemu dengan Nenek nenek yang belum terlalu tua untuk dijadikan calon
pasien cabut gigi anakku, namun sayang beliau (sang Nenek) mengidap DM sehingga gagal untuk kubawa
ke RSGM FKG UNAIR Surabaya. Sang Nenek sempat bercerita tentang kegagalan salah seorang putranya
dalam membina rumah-tangga karena digugat cerai sang istri. Alih-alih cari pasien dapat curhat sang
nenek yang menurutku keluhan-keluhan itu tidak bedanya dengan keluhan saudaraku sebelumnnya.
Tentu saja saya yakin masih banyak cerita-cerita serupa di sekeliling kita. Fenomena apakah sebetulnya
yang sedang terjadi? Berdasarkan media yang pernah saya baca di beberapa laporan tentang perceraian,
persentase tertinggi alasan utama mereka bercerai adalah masalah ekonomi atau adanya orang ketiga
didalam kehidupan mereka. Lagi-lagi ekonomi dan lagi-lagi orang ketiga (perselingkuhan).
Sebetulnya dibalik itu semua ada …..entahlah apa namanya mindset ? yang terlanjur meracuni
kehidupan masyarakat yaitu…materialism akibat cengkeraman system Kapitalis dan liberalis yang
menjauhkan ummat muslim dari akidahnya.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Saatnya Ulama’ Memimpin Umat Tegakkan Khilafah
Alhamdulillah, Reuni 212 dapat terselenggara dengan sukses. Semangat umat Islam untuk
memenuhi panggilan ulama untuk membela agamanya masih tetap terpelihara. Terbukti peserta
reuni mampu mencapai 7.5 juta orang. Tidak ada dalam sejarah Indonesia ada partai politik yang
mampu mengumpulkan massa sebesar itu. Namun tatkala Islam memanggil umat Islam, mereka
dengan rela berbondong-bondong datang meski harus mengorbankan apapun yang mereka
miliki. Mereka melebur menjadi satu menunjukkan persatuan ummat, menjunjung akhlak, dan
berikhrar untuk membela Islam.
Meski tidak ada kericuhan yang terjadi sepanjang acara, berbagai fitnah begitu gencar
ditujukan kepada peserta reuni. Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian salah satunya
menuding reuni akbar 212 bermuatan politis. Ada pula yang menyatakan bahwa reuni 212
ditunggangi oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) gara-gara banyak peserta yang membawa bendera
aliwa’ dan arroya. Padahal sudah jelas bendera aliwa’ dan arroya adalah panji Rasulullah SAW
sehingga siapapun boleh membawanya. Tak cukup itu ada pula yang menilai negatif spanduk
bertuliskan “Khilafah ajaran Islam” yang dibentangkan peserta reuni.
Di acara ILC pun tampak bagaimana masih ada di kalangan umat Islam yang menganggap
bahwa perjuangan menegakkan khilafah adalah sebuah ancaman bagi Indonesia. Tokoh sekelas
Mahfud MD pun menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep pemerintahan Khilafah
dengan alasan Khilafah tidak berbentuk baku. Di media sosial perdebatan mengenai khilafah
semakin memanas. Pihak kontra masih menganggap bahwa sistem Khilafah tidak sesuai dengan
Indonesia dan bertentangan dengan Pancasila.
Memang sejak diruntuhkan tahun 1924, Barat dengan sengaja menjauhkan ummat Islam
dari pemahaman tentang Khilafah. Bahkan berbagai argumentasi menyesatkan sengaja
dihembuskan agar umat Islam takut dengan sistem khilafah. Dalam materi pengajaran di sekolah
misalnya tidak pernah dijelaskan secara gamblang tentang sistem Khilafah sehingga umat
memahami pemahaman yang benar tentang khilafah, justru sebaliknya khilafah hanya
digambarkan sebagai sistem pemerintahan yang senang berperang dan syarat dengan perebutan
kekuasaan. Walhasil, begitu banyak umat Islam yang salah faham dengan sistem khilafah dan anti
terhadapnya.
Ketidakfahaman umat akan sistem Khilafah harus segera diakhiri. Ummat islam harus
segera dicerdaskan dengan pemahaman yang benar tentang khilafah. Sehingga Ummat meyakini
bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, kewajiban bagi ummat untuk menegakkannya, dan jaminan
dari Allah untuk merealisasikan Rahmatan Lil’alamin.
Menjadi tugas utama bagi para ulama’ yang saat ini sudah mendapatkan tempat di hati
umat untuk menjelaskan sistem Khilafah dengan benar. Ulama’ harus berani menunjukkan
berbagai sumber yang dapat dijadikan landasan shohih bahwa Khilafah adalah satu-satunya
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
sistem yang diwajibkan Allah untuk umat manusia. Tidak cukup itu, penjelasan-penjelasan rinci
bagaimana sistem Khilafah mengatur kehidupan bermasyarakat juga harus disampaikan sehingga
ummat akan menyadari bahwa Khilafah adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi berbagai
macam permasalahan hidup akibat diterapkannya sistem kapitalis atas mereka. Ulama’ harus
menjadi garda terdepan memimpin ummat untuk menegakkan Khilafah.
Salut dengan media sosial seperi Muslimah News ID yang menggagas seruan “Bangga
Bicara Khilafah”. Banyak ulama’ yang telah menyatakan dukungannya terhadap sistem Khilafah
diantaranya dr. Zakir Naik “Saya yakin Khilafah akan tegak sebelum kiamat. Itu sudah merupakan
janji Allah. Artinya, diinginkan atau tidak diinginkan oleh kita Khilafah akan (tegak) kembali. Oleh
karena itu, musuh Islam memecah belah persatuan umat Islam sehingga mereka dapat
meruntuhkan Khilafah dengan bantuan sebagian umat Islam yang terpecah belah. Indonesia
sebagai negeri muslim terbesar sudah selayaknya menjadi contoh bagi negeri muslim lainnya,
termasuk negara lain di dunia.” Ustadz Abdul Somad juga menyatakan “Mendirikan Shalat?
Penting. Membaca Alquran? Penting. Menghafal ayat-ayat Alquran juga penting. Namun,
berjuang menegakkan Syariat Islam dan khilafah juga tidak kalah pentingnya.”
Dengan lantangnya ulama menjelaskan sistem Khilafah kepada ummat Insyaallah akan
diikuti oleh ummat dari berbagai kalangan baik mahasiswa, praktisi pendidikan, kesehatan
maupun masyarakat umum. Jika di dalam Reuni 212 sistem Khilafah telah disuarakan. Maka
Reuni tahun depan seluruh peserta harus sudah memahami sistem khilafah dan bertekat untuk
mewujudkannya.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Reinventing Government dalam Pelayanan Pendidikan Tinggi Oleh: Dyah Hikmawati
Globalisasi mendorong pesatnya penemuan-penemuan teknologi global yang dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan perdagangan bebas disisi lain. Era globalisasi saat ini mengindikasikan masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high massconsumption atau tingkatan kelima, dimana terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sehingga diperlukan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan secara ‘efektif, efisien dan secara professional memunculkan iklim investasi, hal inilah yang menjadi paradigma lahirnya Reinventing government.
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan”. Pembaruan dengan penggantian sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha.
Pelaksanaan reformasi administrasi publik dengan Reinventing Government ini telah diterapkan di berbagai negara kapitalis di Eropa, Amerika, Selandia Baru, dan juga mulai diadopsi di Indonesia sejak tahun 2003. Hal ini tampak pada reformasi kelembagaan, reformasi kepegawaian dan ang menonjolreformasi pengelolaan keuangan negara menuju pengelolaan keuangan berbasis kinerja. Reformasi keuangan ini diatur dengan Peraturan keuangan negara yaitu Undang-Undang, UU No17 tahun 2003Tentang Keuangan Negara, UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UUno 15 tahun 2005 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara.
Tidak terkecuali, Perguruan Tinggi (PT) yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan pendidikan tinggi, juga harus melaksanakan pengelolaan keuangan berbasis kinerja ini pada pelaksanaan Tri Dharma PerguruanTingginya dalammenyelenggarakanPendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Beberapa PT Negeri (PTN) yang telah mapan sedikit demi sedikit dilepas ketergantungannya dari pemerintah sehingga keluarlah peraturan pemerintah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Secara teknis hal ini menimbulkan banyak kendala karena sulitnya lembaga beradaptasi dari yang semula hanya berfungsi memberi layanan menjadi lembaga yang dituntut mandiri secara pendanaan. Hal ini lebih buruk lagi dengan rumitnya perturan dan beratnya sanksi hukum jika ada pelanggaran ditambah dengan terbatasnya sumberdaya manusia yang kompeten apalagi dengan penerapan aturan zero growth kepegawaian. Belum juga hal ini dapat diimplementasikan dengan baik, PT juga dituntut masuk dalam World Class University, WCU dan tuntutan untuk membangun Branding dengan kerjasama
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
melalui Student Exchange danStaff Exchange dan tuntutan untuk mengikuti Akreditasi-Akreditasi internasional yang menuntut kelengkapan administrasi.
Beban dan tugas meningkat luar biasa. Dosen harus melaksanakan tugas utama menyelenggarakan Tri Dharma PT, sekaligus ahli membuat laporan pertanggungjawaban. Dosen harus melengkapi dan ikut menyusun borang akreditasi yang bermacam macam dengan tuntutan yang berbeda-beda serta bertanggungjawab agar Akreditasi terbaik dapat diraih. Demi WCU dosen mentargetkan sejumlah publikasi nasional/internasional baik dengan mensubmit sendiri atau bersama konsorsium menyelenggarakan seminar atau konferensi internasional. Tidak lupa membangun kerjasama dengan menerima dosen tamu kunjungan tamu PT luar Negeri dan membalasnya dengan kunjungan ke PT Luar Negeri tersebut. Belum lagi dengan membimbing mahasiswa agar juara di kompetisi kompetisi mahasiswa nasional/internasional, maka menjadilah beban dosen meningkat luar biasa dan hampir-hampir sulit menerima peran utama sebagai orang tua bahkan peran sebagai Pembina dan pembimbing mahasiswa sebagai generasi masa depan penerus bangsa.
Berdasarkan paparan di atas, jika kita seorang Muslim penting memahami kesalahan
paradigma pelayanan Reinventing Government ala kapitalis dan mengembalikan pada Islam
bagaimana Islam memberikan layanan terbaik kepada seluruh warga negara tak terkecuali
Pendidikan yang di dalam Islam merupakan kebutuhan Jamaiy. Penting bagi Intelektual Muslim,
dosen terutama, untuk memahami sistem politik Islam dan sistem ekonomi Islam yang hanya
mungkin diterapkan oleh Daulah Khilafah Islamiyah agar siapapun tidak terkecuali Intelektual
hidup dengan di dalamnya, tidak mendholimi dan terdholimi.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Menyoal Kemandirian Pembangunan Infrastruktur
Tiga tahun pemerintahan presiden Jokowi ditandai dengan pembangunan infrastruktur
secara besar-besaran. Hal ini nampak dari kenaikan signifikan anggaran pembangunan
infrastruktur dari tahun ke tahun. Technical Advisor PwC Indonesia, Julian Smith mengatakan,
pemerintah Jokowi telah menyiapkan pagu anggaran infrastruktur sebesar Rp 346,6 triliun di
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Jumlah ini naik 9 persen
dari pagu di APBN-P 2016 yang dipatok Rp 317,1 triliun. Sebelumnya anggaran infrastruktur
sebesar Rp 290,3 triliun di 2015 atau melonjak 63 persen dari pagu Rp 177,9 triliun di APBN-P
2014. Sementara realisasi pada APBN-P 2015 sebesar Rp 209 triliun atau 51 persen dari
penyerapan di tahun sebelumnya Rp 139 triliun.
Hingga masa pemerintahan berakhir, presiden Jokowi menargetkan 245 proyek strategis nasional bisa rampung. Hingga 2019 mendatang, pembangunan Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 4.700 triliun. Namun, dari total kebutuhan anggaran itu, pemerintah hanya mampu membiayai 33 persen atau sekitar Rp 1.551 triliun saja. Adapun, 25 persennya atau Rp 1.175 triliun berasal dari BUMN. Sisanya, sebesar 42 persen atau Rp 1.974 triliun didorong berasal dari swasta.
Untuk menyiasati kekurangan anggaran tersebut, pemerintah melakukan beberapa skenario. Konsep pendekatan pembangunan infrastruktur dengan sistem "bangun-jual" pun dilakukan. Konsep pembangunan yang cukup sukses dilakukan di negeri tirai bambu ini mulai pula diterapkan di negeri ini. Optimalisasi peran BUMN sebagai pengembang infrastruktur diwujudkan dengan mendorong BUMN melakukan penjualan infrastruktur sesegera mungkin setelah proyek selesai. Hal ini nampak pada penawaran jalan tol Becakayu kepada pihak swasta yang dilakukan sehari setelah diresmikan. Margin keuntungan yang diperoleh dari penjualan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur-infrastruktur lainnya. Skenario berikutnya adalah dengan menambah utang. Tercatat dalam tiga tahun kepemimpinannya, jumlah utang negara mencapai Rp3.866,45 triliun. Pemerintah mengklaim penambahan utang dalam jumlah besar diperlukan karena penerimaan dalam negeri tidak cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam pembangunan negara. Jalan, jembatan, lapangan udara, dan pelabuhan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik akan mampu mendorong optimalisasi aktivitas ekonomi. Namun akan menjadi problem yang serius jika pembangunan infrastruktur tidak berbasis kemandirian. Keterbatasan anggaran pun digunakan sebagai alasan untuk menambah utang dan melepaskan kepemilikan infrastrukur kepada swasta. Pemerintah mengatakan kebijakan ini diambil untuk teraihnya kesejahteraan dalam jangka panjang. Kedua hal ini, utang dan swastanisasi infrastruktur, jelas akan mengancam kedaulatan negara. Penggantian mata uang resmi negara Zimbabwe menjadi Yuan adalah satu contoh ‘ keberhasilan’ utang menjajah kedaulatan negara. Bergantinya mata uang tersebut ditebus dengan dihapuskannya utang Zimbabwe oleh Cina.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Kondisi ini terjadi karena Zimbabwe tak lagi memiliki kemampuan untuk membayar utang. Sementara pelepasan kepemilikan infrastruktur pada pihak swasta bertolak belakang dengan tujuan kesejahteraan untuk rakyat. Infrastruktur penting yang dibutuhkan masyarakat pun harus diakses dengan harga yang pantas karena kepemiikannya beralih pada swasta yang memiliki orientasi keuntungan.
Demikianlah sudut pandang pemerintah dalam kehidupan sekuler kapitalis saat ini. Pemerintah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat yang bertugas memenuhi hajat masyarakat dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, pemerintah menempatkan dirinya sebagai fasilitator yang menjadi perantara kapitalis dengan rakyat. Sekaligus pemerintah juga menempatkan negara dalam posisi berbahaya karena menggadaikan kedaulatan demi alasan pembangunan. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Islam dalam mengatur berjalannya sebuah negara. Penguasa dalam Islam bertugas untuk melakukan pelayanan terbaik kepada umat. Ketersediaan infratsruktur merupakan hal wajib yang dilakukan penguasa karena berkaitan dengan hajat hidup umat. Namun, pembangunan infrastruktur dilakukan dengan kemandirian. Negara akan mengupayakan pembangunan dengan dana dalam negeri. Penerapan ekonomi Islam akan mampu mewujudkan kemandirian tersebut. Andaipun terjadi kekurangan anggaran, maka negara boleh melakukan pinjaman kepada warga negara. Mekanisme seperti ini akan mewujudkan kedaulatan negara yang hakiki. Sudah saatnya negeri ini kembali pada pengaturan Allah agar tercapai keberkahan hidup.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Surat Al-A’ raaf : 96)
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Waspada Kampanye Islam Moderat: Menjauhkan Pemuda Muslim dari Islam
Politik
Oleh: Ima Desi Susanti (UINSA)
Berbagai upaya untuk menjauhkan generasi muslim dari pemahaman Islam yang Shahih
tidak hentinya dilakukan oleh para musuh-musuh Islam. Dunia pendidikan agaknya menjadi
tempat yang paling strategis untuk melakukan berbagai upaya tersebut, khususnya jenjang
pendidikan tinggi. Pendidikan memang sangat berperan penting dalam membentuk arah pandang
pemikiran seseorang. Namun, dunia pendidikan hari ini justru menjadi jalan bagi para musuh-
musuh Islam untuk memasukkan berbagai macam pemahaman yang sesungguhnya jauh dari nilai
Islam.
Tidak main-main. Agenda untuk semakin mensekulerkan pemuda Islam melalui dunia
pendidikan semakin intensif dilakukan. Beberapa minggu yang lalu Kementerian Agama Republik
Indonesia telah melaksanakan Deklarasi Serpong dalam pembukaan acara International Islamic
Education Expo (IIEE) 2017 di Hall Nusantara Indonesia Convention Exhibition (ICE)-BSD City,
Tangerang. Deklarasi dibacakan oleh Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, Prof. Dr. Phil. H.
Kamaruddin Amin, MA, diikuti perwakilan ormas dari NU, Muhammadiyah, Mathla'ul Anwar,
dan Al Khairat, serta Rektor UIN Jakarta dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya mewakili
pimpinan Perguruan Tinggi Keagaman Islam (PTKI). Poin penting dari deklarasi tersebut adalah
menolak setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan watak dasar
dan tujuan agama itu sendiri. Deklarasi ini juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk
memajukan pendidikan Islam sebagai solusi bagi tantangan zaman, sarana mewujudkan
perdamaian dunia, dan upaya meningkatkan maslahat bagi umat manusia. (UINSA Newsroom,
Selasa (21/11/2017)
Poin penting dalam deklarasi tersebut agaknya harus betul-betul kita cermati.
Utamanya dalam hal menolak setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan yang tidak
sesuai dengan watak dasar dan tujuan agama itu sendiri. Hal ini seakan akan agama menjadi
sesuatu yang salah jika ditempatkan di ranah yang berkaitan dengan pengatururan urusan
masyarakat. Agama kemudian dimaknai lebih sempit hanya dalam hal yang berkaitan
dengan ibadah ritual saja.
Di tahun politik praktis yang ada sekarang. Isu agama dan politik menjadi sesuatu yang menarik
diperbincangkan, isu ketidakbolehan menyalahgunakan agama terus meningkat daya jualnya.
Bahkan di berbagai kesempatan juga masif disampaikan kepada mahasiswa berkaitan dengan hal
tersebut. Seagaimana dinyatakan oleh Prof. Nur Syam saat mengisi kuliah umum yang diadakan
oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UINSA yang mengangkat tema “Perspektif Sosiologi
Tentang Perkembangan Relasi Agama dan Politik di Indonesia”. Pada kesempatan tersebut beliau
menjelaskan bahwa ada empat isu strategis yang selalu menjadi perbincangan dan mengedepan di
tahun politik. Mulai dari isu kesenjangan sosial, kekerasan agama, sara, dan juga konflik. Baik
konflik antar agama, internal agama, atau suku. “Terhadap empat isu ini, harapannya adalah ada
solusi yang kita lakukan. Salah satu instrumen terbaik adalah melalui pendidikan,” Pemerintah,
lanjut Prof. Nur Syam, terus mengupayakan agar pendidikan menjadi panglima dalam peningkatan
SDM. Selain itu, dalam upaya menanggulangi isu strategis tahun politik tersebut, Kemenag RI sudah
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
menggerakkan program, Moderasi Agama. Sebuah upaya bagaimana agama disikapi, dipahami
kepada esensi dan substansi agama itu sendiri. Sehingga mampu mencegah seseorang tidak terlalu
ektrim kiri atau kanan. “Hal ini sangat penting. Saya ingin, mahasiswa UINSA menjadi agen untuk
mneggerakkan Moderasi Agama.
Sangat jelas sekali, berbagai upaya ini dilakukan sebagai senjata ampuh mentuk
menghindarkan pembahasan Islam dari pembahasan politik bahkan menganggapnya sebagai
penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Yang pada akhirnya mengarahkan mahasiswa
muslim untuk menjadi pelopor moderasi agama. Membahas persoalan agama cukup dari sisi
esensinya saja, menjadi muslim yang pertengahan, tidak ekstrim kanan ataupun kiri, yang biasa-
biasa saja. Tentu pemahaman yang demikian merupakan pemahaman yang tidak tepat, bahkan batil yang
harusnya kita tolak.
Sebagai mahasiswa muslim, kita harus menyadari bahwa Agama Islam adalah agama yang
sempurna dan menyeluruh yang mampu mengatur seluruh aktvitas manusia yang berbeda dengan agama
yang lainnya. Syariah Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, akhlak, ataupun persoalan-persoalan
individual. Syariah Islam juga mengatur muamalah seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan
sebagainya. Bahkan Islam juga mengatur mengenai uqubah (sanksi) dan bayyinah (pembuktian) dalam
pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama yang membahas
berbagai persoalan mulai dari thahara (bersuci) hingga imamah/khilafah (kepemimpinan politik dalam
Islam). Dalam al-Qur’an Allah SWT, Bukan hanya mewajibkan shalat (QS. Al-Baqarah: 43), tapi juga
berbicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275), juga
mewajibkan pendistribusian harta secara adil ditengah masyarakat (QS. Al-Hasyr: 7)
Pentingnya menyatukan hubungan Islam dan politik juga disampaikan oleh imam al-Ghazali,
bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan
adalah penjaganya segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang
tidak punya penjaga niscaya akan musnah.
Hal ini menunjukkan bahwa agama jelas tidak menganjurkan dipisahkannya aturan agama dari
ranah politik. Sebaliknya agamalah sejatinya yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan
melalui aktivitas politik, yaitu mengurusi urusan umat. Inilah makna politik dalam Islam. Makna inilah
yang harusnya kita pahami bersama, sehingga kita mahasiswa muslim tidak akan mudah terjebak oleh
propaganda yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang tidak lain tujuannya untuk semakin menjauhkan
kita pemuda muslim dari memahami Islam secara Kaffah. Wallahu a’lam
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Subsidi Gas Tak Tepat Sasaran? Oleh: Indha Tri Permatasari
LPG 3 kg Langka
Bicara LPG tidak lepas dari aktifitas para ibu rumah tangga dan pedangan makanan. Tidak
ada LPG maka dapur tidak mengepul dan pedagan makanan tak dapat berjualan. Hal ini yang
dialami oleh ibu-ibu di mandao, kekesalan mereka memuncak saat LPG 3 kg itu langka dipasaran.
(http://jurnalindonesia.id)
"Pernyataan Pertamina bahwa kelangkaan ini dipicu oleh permintaan yang naik menjelang
Natal dan Tahun Baru, adalah tidak cukup rasional," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus A.
(ttp://www.tribunnews.com)
Tak Tepat Sasaran
Tulus menduga pemicu kelangkaan gas 3 kg adalah adanya disparitas harga yang sangat
menjomplang antara gas 3 kg dengan gas 12 kg. Yang kedua, terjadi penyimpangan distribusi gas
3 kg. Akibat dari disparitas harga dan penyimpangan distribusi maka terjadi perpindahan dari
pengguna 12 kg menjadi pengguna 3 kg.
Selama ini, Pertamina menjual LPG 3 kg subsidi, namun karena pengawasannya tidak ketat
banyak penjualannya tidak tepat sasaran. Untuk tahun 2017 subsidi untuk LPG melon sebesar Rp
22 triliun, karena tak tepat sasaran membengkak Rp 40 triliun, sedangkan tahun 2018 sebesar Rp
20 triliun.
Agar penyaluran subsidi LPG 3 kg tepat sasaran maka subsidi diubah menjadi subsidi
orang, bukan subsidi barang. Nanti ada sekitar 26,6 juta rumah tangga akan menerima subsidi LPG
dalam bentuk kartu untuk membeli.(http://industri.kontan.co.id)
Kebijakan tipu rakyat
Masih ingat bagaimana konversi dari minyak Tanah key gas, masyarakat juga dihadapkan
dengan kelangakan, harga minyak tanah yang melambung tinggi dan lenyaknya minyak tanah dari
peredaran.
Ketika pemerintah akan mencabut subsidi suatu barang atau jasa dengan macam-macam
dalih sehingga harganya naik. Hal juga akan terulang kembali, saat subsidi dikatakan tidak tepat
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
sasaran, saat yang sama LPG 3 kg yang biasa dipakai warga menghilang dan disaat itu pula LPG
3 kg non subsidi muncul.
Inilah bukti bahwa negri ini berada dalam cengkeraman kapitalisme-neoliberalisme.
kesengajaan mengurangi intervensi negara dalam hal gerak ekonomi, beginilah cara kapitalisme
menguasai pasar.
Kebijakan ini tidak lepas dari dampak liberalisasi sektor migas, pemerintah sedikit demi
seditik menghapus subsisdi, artinya pemerintah melepaskan tangan dan menyerahkan pada pasar
yang ada. Siapa yang paling dirugikan? tetulah rakyat.
Saat kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau
mekanisme pasar. Islam memandang bahwa subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh
negara. Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara, Islam mengakui
adanya subsidi dalam pengertian ini.
Kewajiban negara kepada rakyat sebenarnya cukup sederhana, yaitu mendistribusikan
kesejahteraan dan menjamin tegaknya keadilan. Namun hingga saat ini, kedua hal tersebut masih
menjadi problem mendasar bagi negeri ini. Kesejahteraan dan keadilan masih jauh dari harapan,
dan hanya berdiam sebagai jargon politik yang kehilangan makna.
Subsidi dapat dianggap salah satu cara yang boleh dilakukan negara karena termasuk
pemberian harta milik negara kepada individu rakyat yang menjadi hak khalifah. Seperti, Khalifah
Umar pernah memberikan harta dari baitul mal kepada para petani di Irak agar mereka dapat
mengolah lahan petanian mereka.
Subsidi untuk sektor energi dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu
dicatat, bahwa gas alam didalam Islam termasuk barang milik umum. Dalam distribusinya kepada
rakyat, khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Persatuan Umat dan Jihad, untuk Palestina
Belum usai konflik panjang yang dialami oleh Israel dan Palestina, dunia Islam dibuat marah
dengan pernyataan Presiden AS, Donald Trump yang mengatakan bahwa Jerussalem resmi dijadikan
sebagai Ibukota Israel. Pidato bersejarah Trump ini disampaikan di Gedung Putih, Washington DC, pada
Rabu (6/12) siang waktu AS, atau Kamis (7/12) dini hari waktu Indonesia. Trump didampingi Wakil
Presiden AS Mike Pence saat menyampaikan pidato ini. “...Oleh karena itu, saya telah menentukan bahwa
ini saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel..” (https://news.detik.com).
Konflik dua negara, yang kemudian memuncak dengan adanya klaim Jerussalem sebagai ibu kota
israel, tidak terlepas daripada lika-liku sejarah yang panjang. Tanah Palestina resmi menjadi milik kaum
muslim manakala Pendeta Sophronius memberikan kunci kota tersebut kepada Kholifah Umar Ibn Khattab
pada saat penaklukan. Kepemilikan tanah Palestina atas kaum muslim rupanya tidak diharapkan oleh
orang-orang Yahudi Israel. Bagi mereka, tanah Palestina merupakan tanah yang sangat penting karena
merupakan tanah pertumpahan darah mereka. Untuk itu, Organisasi Zionis Yahudi yang dipimpin oleh
Theodor Herzl berupaya untuk mengambil alih kembali tanah tersebut dengan memberikan jaminan uang
yang ditawarkan kepada Khalifah Abdul Hamid. Namun permintaan ini oleh Kholifah Abdul Hamid ditolak
keras. “Aku tidak bisa menjual meskipun sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah-tanah itu bukan milikku
melainkan milik rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah, dan
kemudian menyiraminya juga dengan darahnya...”
Sebetapapun Tanah Palestina dipertahankan, tahun 1918 pada akhirnya Palestina jatuh. Dan satu
tahun setelahnya, secara resmi kekuasaan atas palestina diberikan kepada inggris oleh LBB (Liga Bangsa-
Bangsa). Hal ini memberikan kemudahan bagi Israel untuk masuk dan menduduki Palestina. Maka Pada
tanggal 14 Mei 1948 dideklarasikan berdirinya Negara Israel diatas tanah Palestina.
Gejolak yang dirasakan kaum muslim diberbagai belahan dunia nampak dari sikap mereka yang
menolak, mengecam, berdemontrasi dan menghimpun sumbangan. Namun tindakan pengecaman, dll
tidaklah mampu membawa kepada solusi yang tuntas. Sebab sejatinya, akar permasalah yang dihadapi
kaum muslim adalah berawal dari lepasnya Palestina dari Khilafah turki Utsmani. Akibatnya, Ibarat ayam
yang kehilangan induk, Palestina tidak lagi mempunyai pelindung. Akhirnya dengan mudahnya dicabik-
cabik dan menjadi bulan-bulanan penjajah rakus. Dilain sisi, musuh Islam menyadari betul bahwa resep
manjur untuk melemahkan negri muslim adalah dengan menanamkan nation-state, akibatnya negri-negri
muslim menjadi terkotak-kotak, berselisih, masing-masing ingin bergabung dengan suku dan
kelompoknya sendiri. Dalam nation-state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Hal ini berbeda
dengan Islam yang dasar ikatan pemersatunya adalah akidah Islam, dalam al-Quran ditegaskan bahwa
orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10). Dengan adanya kejadian ini
harusnya kaum muslim tersadarkan betapa persatuan kaum muslim dalam satu kepemimpinan sangat
dibutuhkan. Sebab tiada persatuan, akan sangat sulit menaklukkan musuh Islam yang sedang menabuh
genderang perang. Dalam menghadapi musuh Islam, umat muslim tidak cukup sekedar memberikan
donasi berupa materi, berdiplomasi maupun kecaman belaka. Sebab yang sedang dihadapi kaum muslim
adalah musuh yang sebetulnya hanya mengenal bahasa senjata. Tidak ada solusi yang solutif dalam
menanggapi persoalan di Palestina kecuali hanya satu. Yakni jihad. Namun tidak akan ada jihad tanpa
adanya persatuan umat muslim. Dan tidak ada persatuan umat muslim, kecuali dalam naungan Khilafah.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Kekerasan Seksual pada Anak Bukan Kasus Sepele Oleh: Devi Yunita Sari (UNAIR)
Kekerasan seksual pada anak masih menjadi kasus yang masif terjadi di tengah-tengah masyarakat
baik pelakunya orang dewasa maupun remaja. Di Tasikmalaya (6/12) seorang remaja 16 tahun berinisial R
melakukan tindakan kekerasan seksual kepada 8 korban di kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya
dan korbannya merupakan anak-anak yang masih di bawah umur. Berdasarkan penuturan korban, diketahui
bahwa pelaku juga pernah menjadi korban kekerasan seksual enam tahun yang lalu (www.pikiran-rakyat).
Kasus semacam ini bukanlah kasus yang baru memang, bahkan setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) jumlah kasus kekerasan seksual yang
dilaporkan di tingkat nasional mencapai 15 persen dari 2.636 kasus pada 2012 meningkat menjadi 3.039
kasus pada 2014. Pemerintah sendiri telah mengambil langkah untuk mengatasi kasus kekerasan seksual
dengan menerbitkan peraturan presiden pengganti undang-undang (Perppu) yang berisi ancaman hukuman
kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada tahun 2016. Namun faktanya sudah ada hukuman kebiri, kenapa
kasus kekerasan seksual masih saja terjadi.
Sebenarnya kasus kekerasan seksual pada anak bukanlah kasus yang sepele, sehingga
penyelesaiannya pun juga tidak bisa sepele. Tidak cukup jika hanya memberikan hukuman yang berat
kepada pelaku tanpa menyelesaikan akar permasalahannya, karena kenyataanya sudah ada hukuman kebiri
namun kasusnya masih saja terjadi bahkan meningkat tiap tahunnya. Untuk itu, penyelesaian kasus
kekerasan seksual pada anak harus diketahui dulu penyebabnya. Menurut ketua Komnas PA Arist
Merdeka Sirait, faktor meningkatnya kasus pelanggaran hak anak adalah lemahnya pemahaman
keluarga, orang tua, masyarakat dan pemerintah terhadap hak-hak anak. Memang lemahnya peran
dari keluarga, masyarakat dan pemerintah inilah yang menjadi faktor penyebab terjadinya kasus
kekerasan seksual pada anak.
Keluarga memiliki peran yang penting di dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Idealnya keluarga memberikan pengajaran yang baik kepada anak. Ketika keluarga tidak mampu
memberikan peran tersebut pastinya akan sulit menghasilkan anak yang baik pula. Sehingga wajar
jika banyak pelaku kekerasan seksual anak memiliki latar belakang keluarga yang kurang baik
(broken home). Keluarga juga memiliki peran sebagai teladan utama bagi anak. Namun faktanya
banyak kasus kekerasan seksual pada anak justru muncul dari orang-orang terdekatnya seperti
sanak saudara, kakak bahkan ayah sendiri. Anak yang seharusnya mencontoh keluarga justru
mendapat ancaman dari keluarganya.
Masyarakat memiliki peran membangun kesadaran publik akan kepeduliaan terhadap
masalah yang terjadi di sekitarnya dan sebagai pengontrol sosial. Fakta saat ini masyarakat
bersikap acuh terhadap masalah yang terjadi disekitarnya sehingga kesadaran untuk peduli
terhadap masalah disekitarnya tidak terbangun. Ketika masyarakat tidak menjalankan perannya
dengan baik, akan semakin meningkatkan kasus kejahatan sosial di tengah masyarakat.
Lingkungan masyarakat saat ini juga tidak menjamin keamanan akan tindak kejahatan termasuk
tindak kekerasan seksual sehingga banyak kasus kekerasan seksual pada anak terjadi di ruang
publik.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Pemerintah merupakan pihak yang memilki peran terbesar di dalam memberikan
pengaturan dan pengurusan masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Untuk itu sudah
sepantasnya pemerintah memberikan kebijakan hukum dan pengaturan yang terbaik untuk
permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Sehingga hukum yang dihasilkan bukan hanya
hukuman yang memberatkan namun juga merupakan solusi yang terbaik. Aparatur penegak
hukum juga seharusnya memiliki keseriusan di dalam menjalankan tugas. Hukum yang seharusnya
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kejahatan belum terlihat sampai saat ini. Penegakan
hukum yang ada selalu menjatuhkan sanksi hukum pidana dibawah tuntutan, karena memang
mekanisme hukum yang ada selalu “bisa ditawar”. Oleh karena itu adanya Undang-undang yang
berisi hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, tidak menjadi momok yang menakutkan bagi
para pelaku.
Dengan terwujudnya peran sempurna dari tiga pihak yaitu keluarga, masyarakat dan
pemerintah inilah yang bisa menjadi solusi terhadap kasus kekerasan seksual pada anak. lalu
bagaimanakah cara untuk mewujudkannya? Memang akan sangat sulit terwujud ketika berada di
sistem saat ini, karena setiap aturan yang diterapkan belum menjadi solusi yang hakiki. Namun
akan sangat berbeda ketika aturan islam yang diterapkan. Islam memiliki mekanisme yang sangat
sempurna di dalam pengaturan setiap masalah manusia, termasuk kasus kekerasan seksual pada
anak. Pemerintah di dalam sistem islam akan memberikan pengurusan terbaik kapada rakyatnya.
Pemerintah akan menamkan pendidikan aqidah sejak dini kepada semua rakyatnya, sehingga
lahirlah individu-individu yang memiliki aqidah yang kuat. Aqidah yang kuat inilah yang menjadi
benteng bagi setiap individu untuk tidak melakukan tindakan kejahatan, sehingga keluarga yang
terbentuk juga merupakan keluarga yang memiliki aqidah yang kuat. Suasana yang terbentuk
ditengah masyarakat adalah suasana islami yaitu adanya kegiatan amar ma’ruf nahi munkar
sehingga terwujud kesadaran akan kewajiaban untuk peduli terhadap masalah disekitarnya. Di
dalam islam hukum yang diterapkan bersifat memberikan efek jera dan menghapus dosa. Tidak
ada tawar-menawar di dalam penerapannya.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Kunci Utama Terbebas dari Ketimpangan
Ketimpangan adalah sebuah kondisi yang saat ini menjadi hal yang sering didengar di
negeri kita tercinta ini. Ada ketimpangan ekonomi, ketimpangan pendapatan, ketimpangan sosial,
ketimpangan lahan, ketimpangan kepemilikan, ketimpangan hukum dan masih banyak lagi.
Seperti yang baru saja terjadi adanya kasus papa Setnov yang begitu jelas menampakkan
kelemahan dan keburukan hukum buatan manusia. Padahal jelas-jelas telah menjadi tersangka
kasus mega korupsi E-KTP. Akan berbeda lagi jika yang melakukan pelanggaran hukum adalah
rakyat biasa yang tidak mampu, kekurangan dan bahkan untuk memenuhi hidupnya dalam sehari
saja sulit. Seperti kasus bapak yang mengambil beberapa buah jantung pisang atau nenek yang
mengambil kayu yang keduanya berujung menginap di jeruji besi dan masih banyak lagi kasus-
kasus hukum yang terkesan lebih tajam kepada orang-orang miskin dibanding dengan orang-orang
yang mempunyai modal besar.
Adapun ketimpangan ekonomi tak kalah miris dari ketimpangan-ketimpangan yang lain.
Tingginya gap antara si kaya dan si miskin, utang negara yang semakin meningkat tiap tahunnya,
meningkatnya pajak dan harga listrik, serta berkurangnya subsidi yang tentu semua itu akan
mempengaruhi meningkatnya harga-harga yang lain dan menjadikan inflasi semakin tinggi. Hal
ini tenu mempengaruhi daya beli masyarakat serta memperparah kesenjangan ekonomi.
Begitu pula tingginya tingkat ketimpangan moral yang diidap oleh negara ini. Generasi-
generasi muda yang seharusnya menjadi penjaga bangsa dan peradaban justru semakin rusak
dengan maraknya pergaulan bebas, narkoba, pengaruh pemikiran yang bukan dari Islam dan
bangga jika disebut ‘generasi micin’ yang standar kerennya bukan dengan Islam melainkan dengan
standar-standar di luar Islam dan masih banyak lagi.
Berbagai ketimpangan yang semakin memperparah keterpurukan negeri ini disebabkan
oleh penerapan mekanisme hukum. Karena hukum yang diterapkan oleh suatu negara dapat
menjadi akar dari segala fenomena yang terjadi. Kita tahu saat ini bahwa hukum yang diterapkan
oleh manusia di seluruh dunia ini adalah hukum buatan manusia, berasal dari makhluk yang
mempunyai keterbatasan akal, pikiran dan kemampuan. Penerapan hukum buatan manusia yakni
demokrasi yang juga menjadi pengatur negara kita tercinta ini, menjadikan hukum bagai mainan
yang bisa diubah-ubah berdasar kepentingan dan kesukaan. Demokrasi menjadi jalan terwujudnya
hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tidak pernah tercapai keadilan dan kesejahteraan.
Permasalahan-permasalahan yang ada terus bermunculan karena solusi hanya sekedar tambal
sulam, tak pernah tuntas menyelesaikan masalah.
Segala persoalan dan ketimpangan-ketimpangan yang melanda negeri-negeri muslim telah
ada dan jelas solusinya yakni kembali kepada Allah seutuhnya, dengan menerapkan seluruh isi al-
qur’an dan as-sunnah untuk mengatur urusan individu dan urusan negara yakni dalam suatu
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
institusi yang bernama Khilafah. Khilafah merupakan sebutan bagi sistem pemerintahan Islam
yang akan menjalankan seluruh syariat Allah dalam bentuk negara Islam. Khilafah Islamiyah ini
didalamnya terdapat keberagaman latar belakang agama, suku, bangsa dari individu-individu yang
tunduk padanya. Kesejahteraan dan keadilan dari negara Khilafah Islamiyah ini mampu
menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Negara Khilafah memiliki konsep
penyelesaian persoalan yang berasal dari Allah melalui Al-Quran dan As-Sunnah tanpa
menyinggung warga yang mempunyai agama lain selain Islam. Hal itu dikarenakan segala
kebijakan dan kesejahteraan baik masalah ekonomi, politik, hukum dan sosial yang diterapkan
berlaku bagi warga muslim maupun non muslim tanpa mengganggu area sensitivitas kepercayaan
yang dianut warga negara selain agama islam.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Penguatan Ekonomi Rumah Tangga
Center of Reform on Economics (CORE) pada 28 November 2017 menyampaikan pada Liputan6.com, bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia pada 2017 tidak akan mencapai 5,1 persen. Hal ini salah satunya disebabkan oleh turunnya konsumsi rumah tangga yang selama bertahun-tahun menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi. Masih menurut CORE, akar permasalahan pertumbuhan ekonomi di 2017 adalah melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang bukan hanya disebabkan oleh perubahan pola belanja masyarakat, namun karena pemerintah merencanakan kenaikan harga BBM, listrik, dan gas.
Dari ketiga komponen energi tersebut, lanjut Direktur Eksekutif CORE Hendri Saparini, pemangkasan subsidi listrik untuk golongan pelanggan 900 VA dari 23,9 juta rumah tangga menjadi 4 juta rumah tangga saja, diyakini merupakan pemukul terberat bagi konsumsi masyarakat. Sedangkan untuk masalah gas, memang tidak ada kenaikan harga, tapi supply-nya berkurang. Jadi dampak ke masyarakat juga cukup signifikan.
Pemerintah beralasan bahwa pemangkasan jumlah rumah tangga penerima subsidi listrik 900 VA serta menaikkan harga BBM dan gas adalah untuk meringankan beban APBN karena subsidi pada sektor konsumsi tersebut akan dialihkan untuk proyek-proyek infrastruktur yang diyakini pemerintah akan mampu melejitkan perekonomian Indonesia berlipat kali di kemudian hari. Namun, apa lacur. Belumlah bisa proyek-proyek tersebut dinikmati hasilnya oleh rakyat Indonesia, kesejahteraan masyarakat sudah menjadi tumbalnya. Masyarakat harus mengerem konsumsi mereka agar pendapatan yang diperolehnya bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi keluarganya. Hal ini mengakibatkan turunnya tingkat konsumsi rumah tangga di Indonesia yang mencerminkan bertambah beratnya beban hidup masyarakat. Akibatnya, kesejahteraan di negeri ini hampir-hampir menjadi sebuah mimpi jika tidak bisa disebut sebagai khayalan.
Ini semua akibat salah kelola urusan ekonomi negeri ini. Penerapan sistem ekonomi kapitalis-liberal menjadikan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat menzalimi seluruh rakyat Indonesia dan berdampak pada salah kebijakan di bidang ekonomi. Salah satu bentuknya adalah “dibiarkannya” perusahaan swasta asing maupun dalam negeri “merampok” kekayaan alam negeri ini, secara legal atas nama undang-undang. Kekayaan alam negeri ini yang seharusnya bisa dijadikan modal utama untuk mensejahterakan masyarakat, ternyata justru dijual dan diobral ke perusahaan dalam negeri maupun asing. Ironisnya, ternyata pemerintah Indonesia sudah cukup merasa puas atas kecilnya kontribusi perusahaan tersebut pada penerimaan negara. Sebut saja Freeport. Perusahaan tambang asal AS ini hanya membayar 8 triliun rupiah per tahun pada pemerintah RI dari ratusan bahkan ribuan miliar dollar AS yang diperolehnya dari penambangan emas di Grasberg, Papua. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan devisa dari para TKI (Rp 144 Triliun) atau cukai rokok (Rp 139 Triliun) per tahunnya (m.kumparan.com, 22/2/2017). Sungguh keterlaluan! Seandainya kekayaan alam yang ada di Grasberg, Papua itu digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, tentu Indonesia akan menjadi negara yang sejahtera, mandiri dan berdaulat. Dari sini terlihat jelas, selama negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalis, salah kelola bidang ekonomi akan terus terjadi. Korbannya adalah mayoritas masyarakat Indonesia, bukan kalangan minoritas elit birokrat dan konglomerat.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Jika dilihat lebih jauh lagi, ternyata Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia ini yang mengalami masalah kemiskinan dan ketidak sejahteraan. Seluruh dunia juga mengalami hal yang sama. Sehingga bisa dikatakan bahwa, keterpurukan ekonomi Indonesia bukan semata-mata disebabkan karena kesalahan rezim, tapi juga disumbang oleh kacaunya tata ekonomi dunia akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dan faktanya, dunia sekarang ini sedang dikuasai oleh sebuah ideologi tunggal, yaitu ideologi kapitalis-liberal, dengan AS sebagai pemimpinnya, dan sistem ekonomi kapitalis serta sistem politik demokrasi-liberal adalah akar masalah segala krisis yang terjadi di negeri ini dan dunia. Jelas sudah, ideologi inilah yang membawa kerusakan pada peradaban manusia, kehidupannya, dan juga membawa kerusakan pada seluruh alam semesta.
Untuk menyelesaikan semua permasalahan tersebut, sebagai muslim sejati cukup menengoknya pada Al Qur’an dan Al Hadits. Sebagai rujukan utama setiap akan melakukan suatu perbuatan. Al Qur’an dan Al Hadits memerintahkan agar setiap masalah dikembalikan pada keputusan Rasulullah saw (TQS. An Nisa : 65). Rasulullah saw mewariskan sistem pemerintahan yang terbukti selama 1300 tahun mampu menyelesaikan semua masalahdunia dan membawa dunia pada kecemerlangan peradaban. Khilafah Islamiyah, itulah sistem pemerintahan Islam warisan Nabi Muhammad saw. Sehingga, untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan kesejahteraan dunia, maka dunia harus bersatu dibawah Khilafah Islamiyah. Persatuan ini akan mengokohkan perekonomian umat serta menyatukan kekuatan umat Islam sehingga tidak mudah dicabik-cabik, dizalimi, dirampok kekayaan alamnya, serta dibunuhi atas nama perang melawan terorisme yang selalu dialamatkan pada Islam dan umatnya. Padahal mereka sendirilah (AS dan sekutunya) yang melakukan aksi terorisme tersebut dalam rangka mengaborsi kebangkitan umat Islam dunia.
Penyatuan kekuatan ekonomi ini akan memperbesar pendapatan baitul maal negara Khilafah Islamiyah. Pendapatan kekayaan alam Indonesia, baik bahan tambang, maupun kekayaan laut dan hutannya, jika disatukan dengan seluruh dunia akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan kesejahteraan yang menimpa Indonesia dan dunia. Indonesia sebagai negara penghasil gas alam yang cukup besar di dunia, juga memiliki simpanan emas, uranium, minyak bumi, nikel, besi, dan juga memiliki wilayah laut yang sangat luas, serta kekayaan alam yang lainnya dari seluruh dunia, tentu bisa mencukupi semua kebutuhan tersebut. Dengan catatan, Khilafah Islamiyah tidak menyerahkan kekayaan tersebut pada swasta, dalam negeri atau lebih-lebih asing. Jika sudah terlanjur dikuasai swasta, maka harus ada upaya untuk mengambil alih aset tersebut untuk dikembalikan sebagai milik rakyat. Kekayaan alam tersebut akan dikelola oleh Khilafah Islamiyah dan dikembalikan pada rakyat dalam bentuk pelayanan publik yang terbaik dan gratis, santunan bagi yang tidak mampu, penyediaan lapangan kerja bagi para laki-laki, serta jaminan keamanan atas semua harta dan jiwa masyarakat negara Khilafah Islamiyah. Dengan prinsip seperti ini, niscaya daya beli rumah tangga akan semakin menguat. Lebih dari itu, kerahmatan akan bisa diperoleh oleh seluruh penduduk langit dan bumi, tanpa terkecuali. Tidakkah kita merindukannya..?
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Menjadi Pemimpin dan Konsekuensi Keimanan Oleh: Revina Dewi Susanto (Mahasiswa Universitas Airlangga)
Bulan desember pada tahun ini menjadi salah satu bulan yang disambut dengan gemuruh
sholawat hampir disetiap masjid. Sholawat untuk menyambut kelahiran manusia yang selalu di
rindu oleh setiap umatnya atas suri tauladannya, manusia yang membawa rahmat bagi seluruh
alam, membawa cahaya keimanan islam hingga penjuru bumi, sang nabi Allah SWT, yaitu
Rasulullah Shalallahualaihi wa salam. Peringatan maulid nabi yang jatuh pada tanggal 1
Desember 2017, selayaknya menjadi momentum atas bersatunya umat untuk mempelajari
ajaran-ajaran islam yang saat ini menjadi fitnah yang luar biasa diakhir zaman.
Tepat pada tanggal 2 Desember 2017, dilaksanakan maulid nabi terbesar yang pernah ada
di Indonesia. Melanjutkan ghiroh perjuangan Aksi Bela Islam yang diselenggarakan pada 2
Desember 2016 lalu, tahun ini momentum atas kelahiran nabi Allah menjadi saksi sejarah atas
bersatunya ukhuwah islamiyyah terbesar di Indonesia, tanpa memandang golongan, suku,
budaya, asal kelahiran, dan madzab yang dianutnya. Tidak sedikit umat datang jauh-jauh dari
zona nyamannya menuju tanah Jakarta, melangkah tanpa kenal lelah, menyisihkan harta yang
tidak dapat dianggap seberapa, hanya demi bertemu saudara seiman, bertemu dengan para
ulama di acara “Reuni Akbar 212 : Mensyukuri Nikmat Allah SWT dengan merawat energi Al-
Maidah 51 untuk Kebangkitan Umat Demi Kejayaan NKRI”. Namun tentu ada sebagian orang
atau kelompok yang tidak ikhlas jika acara ini dilaksanakan dan melakukan berbagai cara agar
umat tidak perlu datang diacara ini. Jika kalimat – kalimat provokasi berasal dari kaum musyrik
tentu bukanlah menjadi hal yang mengherankan, karena sesuai dengan firman Allah SWT:
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu ( Muhammad) hingga engkau
mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itu adalah petunjuk (yang
sebenarnya). “ Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelh ilmu (kebenaran) sampai
kepadamu, tentu tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah (QS.2:120).
Namun apakah pantas jika kalimat-kalimat yang dapat dikatakan “penggembosan” iman
ini berasal dari para pemimpin yang seakidah dengan kita ?. Para pemimpin, yang bahkan
mengatakan bahwa acara bersatunya umat ini berlandasakan politik pada tahun 2019,
intoleransi, membuat makar, dan sebagainya. Kapolri, Tito Karnavian menjelaskan bahwa, reuni
212 berkaitan dengan momentum politik jelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019
(Kompas.com). Senada dengan Tito, Wiranto selaku Menko Polhukam, menilai bahwa kegiatan
tersebut tidak perlu dilakukan dan dapat mengganggu aktivitas masyarakat daerah yang
berbondong –bondong datang ke acara reuni 212 tersebut, sehingga pekerjaan mereka dapat
terganggu (detiknews.com).
Menanggapi kedua tokoh tersebut, maka kita tentu teringat dengan kisah para sahabat
namun digolongkan kedalam kaum munafik oleh Rasulullah shalallahualaihi wa salam. Para laki-
laki yang tidak bersedia berjihad dimedan perang dengan mengatakan bahwa mereka akan
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
berjaga-jaga dirumah, sementara sebagian besar kaum laki-laki berjihad. Namun disisi lain,
mereka juga ikut membujuk para sahabat yang akan berangkat ke medan jihad agar tidak
mengikuti seruan Rasulullah. Sepenggal kisah ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh kaum
munafik saat ini. Namun bedanya, jika dahulu kaum munafik melakukannya dengan sembunyi-
sembunyi, saat ini mereka berani melakukan dengan terang-terangan, didepan seluruh media
massa, dengan berlindung dibalik kursi kekuasaannya sebagai seorang pemimpin.
Teringat pula, kisah salah satu sahabat yang menjadi pelindung Rasulullah, Saad bin
Muadz, sang tokoh utama di Madinah, pemimpin Bani Abdu Asyal, ketika Rasulullah belum
menjadi pemimpin Daulah Islamiyyah. Saat hidayah telah merasuk pada qolbunya, maka dengan
kekuasaan yang ada, ia telah mengislamkan hampir seluruh penduduk kota Madinah dan
bersedia berbaiat kepada Rasulullah. Tidak sampai disitu, begitu luar biasanya perjuangan beliau
didalam islam hingga kematian beliau ditangisi oleh penduduk langit.
Sejatinya, saat menjadi seorang muslim, kita paham terhadap apa yang saat ini kita yakini,
mengerti konsekuensi keimanan yang kita anut. Apapun profesi dan jabatan yang diamanahkan
pada kita, kelak semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Maka kita akan paham
bahwa melakukan pembelaan atas nama tauhid tidak perlu ada keraguan, dan selama berada
diatas apapun, termasuk jabatan. Bukan malah tuduk patuh kepada perintah atasan, yang
bahkan juga sama-sama makhluk ciptaan. Bahkan sampai hati mengatakan bahwa acara
persatuan umat islam berlandaskan politik. Mereka yang mengatakan hal ini maka inilah yang
ada dihati mereka, mereka sejatinya yang sedang berpolitik, politik adu domba antar umat islam.
Pada kenyataannya, kita memang tidak dapat menuntut para pemimpin di sistem
kapitalis seperti saat ini mengerti dan paham atas konsekuensi keimanan, karena memang
terdapat pemisahan yang nyata antara agama dengan kehidupan. Hal inilah kunci atas
kebobrokan sistem kapitalis yang begitu sombong atas hukum sang pencipta. Agama hanya
berada saat kelahiran, sholat, ijab qobul dan kematian. Apalagi menyangkutkan antara agama
dengan politik. Padaha islam bukan hanya agama ritual, namun juga sebuah sistem pemerintahan
yang sangat sempurna, hingga dapat menaungi umat islam selama 1300 tahun. Sistem yang di
dalamnya, seluruh hukum syara’ dapat ditegakkan tanpa harus tunduk dengan para pemilik
modal. Maka sudah sepantasnya kita kembali pada sistem Islam, yaitu khilafah alaminhajji
nubuwwah, karenanya ketauhitan tentu bukan menjadi persoalan yang harus diperdebatkan,
karena konsokuensi beriman ialah berislam secara kaffah.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Wujud Persatuan Hakiki
Fenomena di pelataran Monas (Monumen Nasional) pada Sabtu, 2 Desember 2017
membuat umat Islam flasback pada ABI (Aksi Bela Islam). Tempat dan tanggal yang sama
nampaknya semakin mengobati rasa rindu umat untuk bersatu untuk sekian kalinya. Acara kali ini
bertajuk memperingati Maulid Nabi SAW dan Reuni 212 itu diikuti oleh 7,5 juta Umat Islam,
lebih banyak dari peserta aksi yang sebelumnya, papar Panpel (Panitia Pelaksana) reuni alumni
212, Bernard Abdul Jabbar di Monas, Sabtu (2/12/2017). Sumber: news.okezone.com
Respon khalayak pra dan pasca acara reuni 212 dan peringatan maulid nabi di Monas pun
terus bergulir. Mulai pra acara saja, menanggapi acara reuni 212 dan peringatan maulid Nabi itu
datang dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menyebut jumlah massa di acara reuni 212 pasti
menyusut tidak membludak seperti aksi 212 tahun lalu karena membuat kepentingan politik yang
tinggi yang ditujukan kepada mantan gubernur DKI. Sumber: kompas.com
Namun asumsi tersebut terbantah melihat fakta di lapangan bahwa umat Islam yang hadir
pada acara tersebut lebih banyak dibanding aksi sebelumnya. Dan kalau dilihat asumsi banyaknya
massa hanya karena kepentingan politik kekuasaan juga terbantahkan karena jelas dilihat dari
background peserta yang hadir saja tidak ada yang memakai atribut kaos partai politik tertentu
atau bendera partai politik tertentu. Namun pelataran Monas bak memutih dibalut oleh pakaian
taqwa dan kopyah puti sebagai pakaian khas seorang muslim.
Bendera yang berkibar pun adalah bendera Rasulullah yaitu al-liwa’ dan ar-rayah.Al-liwa’
adalah bendera Rasulullah yang berwarna putih dengan tulisan kalimat tauhid laa ilaa ha illaallahu
yang berwarna hitam. Sebaliknya ar-rayah adalah bendera Rasulullah yang berwarna hitam
dengan tulisan kalimat tauhid laa ilaa ha illaallahu yang berwarna putih. Jelas itu bukanlah
bendera golongan partai tertentu tetapi bendera kaum Muslim seluruhnya. Dan tidak ada larangan
dalam menggunakannya. Justru sebagai simbol spirit perjuangan meneruskan perjuangan dakwah
Islam yang dilakukan Nabi Agung Rasulullah SAW.
Respon pasca acara pun yang menjadi viral di media konvensional (TV) sampai media
sosial yaitu acara ILC (Indonesia Lawyer Club) pada Selasa, 5 Desember 2017 yang bertajuk “212,
Perlukah Reuni?”. Acara tersebut yang dipandu moderator Karni Ilyas yang menghadirkan
berbagai narasumber seperti Ustadz Felix Siauw, Permadi Arya (Abu Janda), Wakil Ketua DPR
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
RI Fahri Hamzah, fadli Zon, mahfud MD, dll. Tanggapan penuh hawa nafsu datang dari Abu Janda
yang beragumen bahwa bendera tauhid itu adalah bendera milik ormas HTI (Hizbut Tahrir
Indonesia) dan acara reuni 212 adalah digawangi oleh ormas HTI serta mempertanyakan hadist
tentang bendera Rasulullah tersebut. Oleh ustadz Felix Siauw dijelaskan bahwa bendera tersebut
bukan milik ormas HTI namun bendera itu adalah bendera Rasulullah bendera umat Islam
seluruhnya berdasarkan hadist Rasulullah SAW. Acara ILC tersebut menyedot banyak perhatian
masyarakat.
Sebagaimana yang harus kita ketahuai persatuan Umat Islam hendaknya hadir karena satu
ikatan yaitu ikatan aqidah Islam. Dan tak perlu terlalu baper (bawa perasaan) usai reuni 212. Harus
kita tekankan puncak persatuan umat hanya untuk kebangkitan Islam. Ya, Islam yang kita yakini
sebagai ideologi yang memiliki konsep system aturan Islam dan metode pengaplikasian konsep
dalam kehidupan praktis di segala aspek bidang kehidupan mulai dari politik, ekonomi,
pendidikan, sosial yang harusnya menerapkan aturan Islam. Dan tidak mau dipimpin dan diatur
oleh sistem selain Islam seperti demokrasi kapitalisme yang menghegemoni negara-negara di
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Viralisasi Blunder Abu Janda VS Krisis Identitas Media
Beberapa hari terakhir, jagad maya diramaikan dengan komentar atas pernyataan Abu Jahal
pada sebuah forum diskusi bertajuk “212 : Perlukah Reuni?” di TV One. Sebagian besar
mengkritik sikapnya sebagai seorang narasumber yang kurang kompeten bahkan mengatakan
blunder Abu Janda adalah berargumen tidak dengan data pendukung dan kapasitasnya tapi dengan
hawa nafsu semata (Fahd Pahdepie ; 2017) . Muncul berbagai pertanyaan dari warganet mengapa
Abu Janda dianggap layak menjadi narasumber oleh acara sekaliber ILC (Indonesia Lawyer
Club)?. Sementara itu, media mainstream bungkam atas viralnya diskusi ini dan lebih memilih
untuk membiarkan khalayak mengambil kesimpulan yang beragam bahkan keliru.
Realitas Ganda Media
Apa yang kita lihat dalam setiap pemberitaan Abu Janda sesungguhnya memiliki dua
kenyataan/realitas. Kenyataan pertama adalah informasi yang menunjukkan pandangan Abu Jahal
terhadap reuni 212 dan blunder Abu Janda atas pernyataan-penyataannya. Kenyataan kedua adalah
cara pandang media terhadap kenyataan pertama. Hal ini sesuai dengan yang Niklas Luhmann
katakan dalam bukunya The Reality of the Mass Media (1996) bahwa Realitas sebenarnya adalah
realitas pertama, dan realitas media adalah kenyataan kedua. Luhmann menyebutnya sebagai
realitas ganda. Luhmann sendiri mengakui bahwa realitas yang disampaikan media tidak
selamanya benar. Media melaporkan hal yang benar atau bahkan salah; atau separuhnya benar dan
sebagian yang lain keliru karena telah ‘termanipulasi’. Media menjadi sangat potensial untuk
memanipulasi. Luhmann memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang punya pergerakan
logisnya sendiri, dan terlepas dari kapasitas aktif manusia yang ada di dalamnya. Cara pandang
Luhmann ini berbanding lurus dengan konsepsi viralitas yang memandang masyarakat sebagai
sebuah jaringan. Kondisi ini membentuk masyarakat yang selalu membutuhkan media untuk
bercermin. Luhmann mencermati fenomena dalam masyarakat yang mengetahui segala bentuk
realitas dari media massa, padahal sumbernya belum tentu terpercaya bahkan ditengarai ada
bentuk-bentuk manipulasi realita atau yang sering disebut sebagai konsepsi konstruksi media atas
realita. Konstruksi media yang dibentuk kemudian menunjukkan bahwa tidak terdapat kejanggalan
pada proses diskusi berlangsung. Juga tidak ada upaya untuk memberikan batasan yang jelas mana
yang benar dan mana yang keliru atau bahkan tidak memberikan solusi kepada pemirsa, hanya
berupa pernyataan terbuka yang spekulatif. Bandingkan dengan pemberitaan menjelang pemilu
2019, kasus terorisme serta kebijakan Jokowi atas hate speech yang ekskalasinya semakin besar
dan berulang. Kepercayaan atas media konvemsional mainstream yang tinggi, seharusnya menjadi
motivasi bagi media untuk memberikan informasi yang utuh, adil dan sebenar-benarnya agar
kondisi masyarakat sebagai sebuah sistem berjalan teratur dan menjadi masyarakat yang melek
informasi. Media mainstream harus kembali pada identitas dan fungsinya.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
Media massa yang melingkupi televisi, radio hingga media cetak terjepit diantara kepentingan
pasar, politik kekuasaan, dan ideologi media. Sayangnya, realitas merujuk pada kepentingan pasar
dan politik kekuasaan yang tinggi sementara ideologi media terabaikan. Para pemilik media
mainstream dan Penguasa negeri ini sadar betul bahwa media terutama media konvensional (TV,
Koran, Radio) memiliki dampak yang signifkan terhadap pemirsanya. Apalagi pemilik media
tersebut adalah segelintir orang yang hanya menikmati meraup keuntungan dan beberapa dekat
dengan pejabat pemerintahan bahkan praktisi langsung. 1Maka jika pemilik power (pemerintah)
bertemu dengan pemilik modal (ownership media) untuk membuat sebuah bahasa media, jadilah
informasi tersebut sebagai sebuah realitas yang dianggap kebenaran.
Sementara itu, Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Youtube, WhatsApps, Instagram
dengan fitur-fitur like, share-feed, tweet-retweet, upload-download, path-repath, selfie-regram,
post-repost telah menjadi kosakata modern yang akrab dengan keseharian masyarakat Indonesia
hampir satu dekade terakhir. Sayangnya, euforia click aktivism menunjukkan potret masyarakat
pada dua kondisi. Pertama, mereka yang mampu mengakses dan berbagi informasi secara
fungsional, semakin berpengetahuan, semakin berdaya, dan memiliki peluang dalam banyak hal
berkat teknologi informasi-komunikasi. Golongan kedua adalah mereka yang gagap teknologi,
hanya mengikuti tren, menjadi sasaran empuk pasar teknologi, dan terus berkutat dengan cerita
dan keluhan dampak negatif teknologi terhadap kehidupan sehari-hari. Namun yang perlu
dicermati adalah bahwa bermedia sosial menjadi peluang besar bagi aktivis dakwah seperti kasus
viranya blunder Abu Janda. Meskipun tetap merupakan pilihan logis, kehadiran media sosial
adalah keniscayaan sebagai konsekuensi pergaulan global. Di sinilah literasi teknologi memiliki
peran penting sehingga umat Islam dapat menggunakan media sosial secara proporsional.
Pengguna yang literasinya cukup akan memiliki kesadaran, kendali, dan batasan yang jelas dalam
menggunakan teknologi. Tidak sekadar mengikuti tren, yang penting update, bersikap reaksioner,
dan bahkan ada pengemban dakwah yang ikut dalam arena perdebatan yang tidak bermanfaat,
bahkan seringkali andil menyebarluaskan informasi palsu (hoax). Akibatnya, informasi menjadi
overlapping , simpang siur bertebaran lewat pesan singkat, foto-gambar meme, thread, situs berita,
blog, termasuk kolom komentar.
Pengemban dakwah dalam hal optimalisasi media sosial disamping aktif dalam membaca
setiap narasi politik, membagikan informasi yang benar dan bermanfaat juga perlu mengikuti
sosial media yang paling banyak dipakai masyarakat ini. Sebut saja twitter, meski jumlah
kata/karakter dibatasi, jika dibandingkan dengan sosmed lainnya yang bisa mencapai ribuan
karakter, namun penggunaan #tagar (hashtag) menjadi tolak ukur masyarakat dalam merespon
suatu berita. Begitu juga dengan facebook, semakin banyak pengemban dakwah yang membagikan
tulisan dari laman/status tertentu, maka semakin banyak pula informasi di beranda pengguna
sosmed , hingga menjadi pembicaraan penting. Maka tugas pengemban dakwah hari ini adalah
1 di Indonesia pemilik media konvensional hanya 13 orang dan mereka adalah pebisnis sekaligus politikus.
EDISI 01 / SYAWAL 1439H
juga aktif sebagai buzzer2 mengingat musuh-musuh Islam telah lebih dulu menyerang dengan cara
ini melalui buzzer-buzzer bayaran.
Peran media sosial dalam berdakwah kini juga menjadi sangat penting karena melihat kondisi
masyarakat khususnya Indonesia yang semakin banyak menggunakan media sosial. Survey yang
dirilis APJII (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) menyatakan bahwa pada tahun 2016 saja,
pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 Juta orang. Sedangkan 84,2 Juta diantaranya telah
melakukan transaksi online. Banyaknya pengguna internet tentu merupakan potensi adanya
dakwah dalam media sosial.
Dalam Islam, Akhlak harus menghiasi setiap amalan yang dilakukan. Konsep baik buruk
dalam akhlak bertumpu pada wahyu, meskipun akal juga mempunyai kontribusi dalam
menentukannya. Praktik etiket dalam bahasa Arab disebut adab atau tata krama yang bersumber
dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam ranah praktis berteknologi, penyampai informasi juga dituntut memiliki pengetahuan
dan kemampuan etis sebagaimana dituntunkan dalam Al-Qur’an. Ini tercermin dalam berbagai
bentuk ahlakul karimah yang kontekstual dalam menggunakan dan media sosial, antara lain:
(1). Menyampaikan informasi dengan benar, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta
(QS. Al-Hajj: 30). Menahan diri menyebarluaskan informasi tertentu di media sosial yang fakta
atau kebenarannya sendiri belum diketahui.
(2). Bijaksana, memberi nasihat yang baik (termasuk tidak mencela bagian fisik hanya
pemikirannya saja), serta argumentasi yang jelas, terstruktur, dan baik pula (QS. An-Nahl: 125).
(3). Meneliti fakta/cek-ricek. Untuk mencapai ketepatan data dan fakta sebagai bahan baku
informasi yang akan disampaikan, seorang muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran
fakta dengan informasi awal yang ia peroleh agar tidak terjadi kidzb, ghibah, fitnah dan namimah
(QS. Al-Hujarat:
(4). Hindari berlebihan bercerita, mengeluh di media sosial. Rasulullah SAW bersabda:
”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri).
Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan
suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian di pagi harinya
dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Jika dalam keseharian kita mengenal ungkapan “mulutmu adalah harimaumu, atau jika
diterapkan dalam dunia media sosial, “tulisanmu adalah harimaumu”, maka Islam telah
memperingatkan tentang pertanggungjawaban atas segala hal, “Tidak ada satu kata yang
diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat) (QS.
Qâf:18).
2 Sebutan untuk orang yang diharapkan mampu membuat sebuah topik/keyword menjadi sebuah
pembicaraan ramai
EDISI 01 / SYAWAL 1439H