KATA PENGANTAR
Buku yang sedang dibaca ini semula merupakan tulisan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar doktor bidang ilmu agama
Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setelah penulis tamat menyelesaikan program doktor lalu berkesempatan
memperoleh beasiswa postdoctoral di Mesir. Di sana, penulis belajar langsung
dibawah bimbingan salah satunya Hassan Hanafi. Bertempat di rumahnya jalan
Lusaka Kairo, Mesir beliau memberikan waktu pertemuan kepada kami durasi
waktu 2,5 jam, 2 kali dalam seminggu selama empat bulan dari bulan Februari-
Mei tahun 2007.
Secara garis besar tulisan ini membicarakan pemikiran hermeneutika al
Quran Hassan Hanafi (75 tahun). Ia adalah seorang filosof dan dosen di
Universitas Kairo, Mesir. Menurutnya, upaya penafsiran terhadap al Quran yang
dilakukan oleh para ulama terdahulu sudah ketinggalan zaman, out of date.
Walaupun demikian, dia tidak memandang salah, namun, dipandang bahwa
penafsiran mereka hanya merupakan sebagai salah satu alternatif penafsiran.
Oleh Karena itu, ia mengusulkan sebuah metode tafsir al syu’ûrî, tafsir
perseptif yakni metode yang dapat mendeskripsikan manusia itu sendiri dan
hubungan dengan manusia yang lainnya, dan dengan alam sekitarnya.
Metodologi penafsiran al Quran yang ditawarkan di antaranya bersifat tematik,
temporal dan realistis yang terbingkai dalam wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan.
Mengerti atau memahami merupakan tindakan yang senantiasa ada
dalam kehidupan manusia. Demikian itu, dilakukan oleh manusia, para nabi
sejak nabi Adam AS hingga nabi terakhir Muhammad SAW, dan juga manusia
yang hidup sekarang dan akan terus berlanjut sampai manusia meninggalkan
dunia. Nabi Muhammad saw sebagai khatamul al anbiya, diturunkan kepadanya
al Quran sebagai wahyu yang memotivasi kepada umatnya untuk mewujudkan
tindakan nyata di dunia. Karena itulah, kenapa Nabi Muhammad saw sebagai
panutan umat. Beliau sebagai al Quran yang berjalan-jalan, demikian dikatakan
dalam sebuah hadist: Innama khuluquhu al Quran.
Setelah meninggal beliau maka para sahabatnya demikian pula ulama
terdahulu melakukan upaya penafsiran terhadap al Quran. Berbagai metode,
kecenderungan, pendekatan dan corak mereka melakukan penafsiran terhadap
al Quran sesuai dengan kepentingan zamannya masing-masing. Dari metode
tahlily, metode ijmaly, dan metode muqaran. Dari pendekatan tekstual dan
kontekstual dengan kecenderungan beragam madzhab dan coraknya seperti
tasauf, fiqh, teologi, filsafat, ilmu pengetahuan, bahasa, sampai kepada sastera
dan kemasyarakat. Kesemuanya itu seperti yang terlihat di berbagai kitab-kitab
tafsir terdahulu. Terakhir adalah metode tafsir tematik yang lahir belakangan
sekitar tahun 1970-an dan masih akan terus bermunculan metode-metode yang
lainnya.
Seperti telah disinggung sebelumnya,bahwa pemahaman akan terus
berlanjut sesuai dengan kebutuhan zamannya. Apa yang dilakukan Hanafi
adalah melakukan upaya penafsiran terhadap al Quran yang ia sebutnya
sebagai metode tafsir perseptif, tafsir al syu’uri yang bersifat tematik, temporal,
realistis dan sesuai dengan kebutuhan umat sekarang. Hanafi mengkritisi
metode-metode tafsir yang sudah dilakukan para ulama terdahulu. Ia tidak
menganggap salah apa yang dilakukan mereka melainkan, hanya dijadikannya
sebagai satu alternatif penafsiran. Menurutnya, apa yang dibutuhkan sekarang
adalah penafsiran yang harus disesuaikan dengan kebutuhan yang paling
mendesak khususnya umat Islam yang sedang menghadapi dua ancaman besar
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Ancaman internal umat Islam
menurutnya adalah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sedangkan
ancaman eksternal adalah imperialisme, zionisme dan kapitalisme.
Dalam bukunya Islam in the Modern World ia menjelaskan secara detail
tentang rumusan Metode Tafsir al Quran tematik yang meliputi kelebihan-
kelebihan yang dimiliki tafsir tematik dibandingkan dengan metode tafsir lain
sebelumnya, prinsip-prinsip dalam tafsir tematik di antaranya menempatkan
yang sama teks al Quran sebagaimana teks-teks lainnya seperti karya sastera
dan teks sejarah. Aturan-aturan dalam tafsir tematik yang di dalamnya di
antaranya bahwa mufasir adalah seorang yang terlibat dalam drama di mana
krisis dalam kehidupannya berlangsung.
Di samping itu, aturan-aturan kebahasaan sampai kepada perbandingan
antara yang ideal dan yang riel, mengintegrasikan logos dan praxis, yakni
mengidealisasikan yang riel dan merealisasikan yang ideal. Skema tafsir tematik
dimaksudkan Hassan Hanafi adalah sebagai wilayah batasan penafsiran tematik
al Quran yakni mendeskripsikan manusia itu sendiri, hubungannya dengan
manusia lain dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Walaupun Hassan Hanafi tidak mempunyai kitab tafsir sebagaimana yang
ditulis oleh para mufasir terdahulu, namun ia menafsirkan tema-tema al Quran
dan menuliskan penafsirannya dalam berbagai karyanya. Di antara tema yang
banyak itu hanya tiga tema yang dibahas dalam tulisan ini. Konsep Harta dalam
al Quran ditulis dalam karyanya, Al Din wa al Tsaurah; Konsep Manusia dalam
al Quran ditulis dalam bukunya Islam in the Modern World; dan Konsep Tanah
dalam al Quran dimuat dalam bukunya Religious Dialogue and Revolution.
Menurut pengakuannya, banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya
seperti bahwa ia adalah seorang Atheis, Marxis, dan Westernis tetapi ia
menjawab semua tuduhan itu seperti yang dapat dilihat dalam karyanya Islam
in the Modern World dan metode tafsir tematik al Quran merupakan salah satu
jawaban yang diberikan Hassan Hanafi.
Semoga buku ini, di samping menambah wawasan tentang metodologi
penafsiran yang dilakukan oleh Hanafi, juga citra yang positif dari pada kesan
yang negatif yang selama ini dialamatkan kepadanya. Penulis menyadari masih
ada kekurangan dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan,
saran dan kritik demi penyempurnaan penelitian ini.
Wallahu A’lam Bishshawab.
Salatiga, 20 Maret 2010
Adang Kuswaya
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tulisan
ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, pembawa pelita dan menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Sesungguhnya dalam penulisan ini, penulis banyak menghadapi kendala
terutama yang berkenaan dengan trend pemikiran Hassan Hanafi dan karya
tulisannya yang begitu luas. Namun demikian, penulis berusaha semaksimal
mungkin dan alhamdulillah tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan.
Penyelesaian tulisan ini adalah berkat bantuan berbagai pihak. Sebagai tanda
penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya secara
khusus ditujukan kepada:
Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) Republik Indonesia yang
memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk di bangku Madrasah Aliyah
Program Khusus (MANPK) di Darussalam Ciamis pimpinan KH. Irfan Hielmy
(alm.), di bangku kuliah SI di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kuliah
program S2 dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, beasiswa Postdoktoral
selama enam bulan di Mesir.
Dr. Hassan Hanafi, Prof. DR. Quraish Shihab, Prof. Dr. Nasarudin Umar,
Prof. DR. HM. Yunan Yusuf, MA, Dr. Fuad Jabali, dan Dr. Mukhlis Hanafi yang
memberikan bimbingan langsung terkait dengan penulisan ini.
Instansi STAIN Salatiga pimpinan Dr. Imam Sutomo, MAg. Lewat unit PIP
yang telah memberikan dana untuk publikasi tulisan ini. Dr. Zakiyuddin
Baedhawy, Dr. Muh. Saerozi, Dr. Sa’adi, Mochlasin Sofyan, Benny Ridwan,
Hammam, Illya Muhsin, Irfan Hielmy, dan Agus Sua’idi rekan-rekan diskusi di
lingkungan STAIN Salatiga.
Dr. Abad Badruzzaman, Dr. Hamka Hasan, Dr. Aksin W, Dr. Fajar
Waryani, Dr. Hamdani Mu’in, Dr. Muhammad Jidin, Dr. M. Mardan, Dr.
Suryadinata, Dr. Iskandar, Dr. Slamet, Fahmi Salim, Cecep T Rahman, rekan-
rekan diskusi sewaktu tinggal di Kairo.
Ayahanda Mohammad Omon yang pertama kali mengajarkan ilmu
nahwu, sharaf, fiqh dan tauhid dan menunjukan penulis akan pentingnya ilmu
pengetahuan. Ibunda Esin Quraisin yang telah mengajarkan penulis tentang
kesederhanaan. KH. Ali Muntaha dan Hj. Umi Khadijah, mertua penulis yang
telah memberikan dukungan moral dan material.
The last but not least, Layly Atiqah istri tercinta yang setia memotivasi
terus-menerus demi terwujudnya tulisan ini di sela-sela waktunya mengajar
masih sempat membimbing dua putri belahan hati tersayang, Adila Tara NDA
dan Nur ‘Adli Sania AS.
Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan tulisan ini. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah
khazanah pengetahuan khususnya di bidang penafsiran al Quran dan
umumnya khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Wa Allâhu a’lamu Bi al Shawâb.
Wassalam
Salatiga, 20 Maret 2011
Adang Kuswaya
DAFTAR ISI DAFTAR ISI Hlm. BAB I GAGASAN RE-INTERPRETASI ……………………….. 1 A. Penafsiran Kembali teks Keagamaan ………….…. 1 B. Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah …………… 11 C. Signifikansi Penelitian ….………………………… … 12 D. Kajian Pustaka Terdahulu ……………………. 13 E. Metode Penelitian ……………………………. … 16 F. Sistematika Penulisan ..…….…………………..……... 17 BAB II HERMENEUTIKA AL QURAN ………………. …. 20 A. Problem Hermeneutika Al Quran …………….…….. 27 B. Praktek Hermeneutika dalam Tradisi Islam …….…. 36 C. Hermeneutika Al Quran Pertama Muqatil …….. 46 D. Urgensi Hermeneutika Al Quran Menurut M. Arkoun 67 BAB III BIOGRAFI HASSAN HANAFI ……………..……… 81 A. Sosok Intelektual Hassan Hanafi ………….……… 81 B. Posisi Pemikiran Hassan Hanafi dalam Konteks Mesir 86 C. Perkembangan Pemikiran Hassan Hanafi…………… 92 D. Karya- Karya Pemikiran Hassan Hanafi ……………. 101 BAB IV TEORI HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI …… 114 A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi 114 B. Hermeneutika Sebagai Aksiomatika …………...……. 118 C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al Quran ….……… 127
1. Kritik Historis………………………………………... 131 2. Kritik Eidetis ………………………………………… 144
2.1. Tahap Analisis Kebahasaan……………….. 147 2.1.1. Analisis linguistik ………………............. 147 2.1.2. Analisis Sintaksis ……………………. 147 2.2. Tahap Analisis Kesejarahan ………………. 154 2.3. Tahap Generalisasi…………………………. 155 3. Kritik Praktis………………………………………. 158 E. Urgensi Hermeneutika Al Quran Menurut Hassan Hanafi 164 F. Teori Analisis Teks dan Orientasinya………..………. 169 1. Prinsip- Prinsip dalam Analisis Teks…………….. 176
2. Nilai dan Kekuatan Teks ……………………..……… 183 3. Perubahan Nilai Makna Suatu Teks ……………… 188 BAB V METODE SOSIOLOGIS TAFSIR AL QURAN ………… 194 A. Tawaran Hermeneutika Al Quran Tematik (Maudlû’î) …… 194
1. Asal-Usul Metode Tematik ………………………………… 194 2. Pertimbangan Hassan Hanafi Memilih Metode Tematik … 199 3. Prinsip-Prinsip Hermeneutika Al Quran Tematik …. 209 4. Aturan-Aturan dalam Hermeneutika Al Quran Tematik 213 5. Skema dan Ruang Lingkup Hermeneutika Al Quran … 220
B. Tawaran Pendekatan Sosiologis ………………………. 224 1. Karakteristik Hermenutika Al Quran Sosiologis …… 225 2. Kritikan Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi ……… 238 3. Jawaban Hassan Hanafi atas Berbagai Kritikan ……. 249
C. Aplikasi Hermeneutika Al Quran Hassan Hanafi …… 256 1. Konsep al Insân, Manusia dalam Al Quran ………...... 257 2. Konsep al Mâl, Harta dalam Al Quran …………. 272 3. Konsep al Ardl, Tanah dalam Al Quran …………… .. 278 BAB VI PENUTUP …………………………………………… 289 A. Kesimpulan…………………………………………….. 289 B. Saran-saran ……………………………………….…… 296 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 298
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan kekuatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tulisan ini. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
pembawa pelita dan menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Penelitian ini semula merupakan tulisan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar doktor bidang
ilmu agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Setelah penulis tamat menyelesaikan program doktor lalu
berkesempatan memperoleh beasiswa postdoctoral di Mesir. Di
sana, penulis belajar langsung dibawah bimbingan salah satunya
Hassan Hanafi. Bertempat di rumahnya jalan Lusaka Kairo, Mesir
beliau memberikan waktu pertemuan kepada kami durasi waktu
2,5 jam, 2 kali dalam seminggu selama empat bulan dari bulan
Februari-Mei tahun 2007.
Secara garis besar tulisan ini membicarakan pemikiran
hermeneutika al Quran Hassan Hanafi (75 tahun). Ia adalah
seorang filosof dan dosen di Universitas Kairo, Mesir.
Menurutnya, upaya penafsiran terhadap al Quran yang dilakukan
oleh para ulama terdahulu sudah ketinggalan zaman, out of date.
Walaupun demikian, dia tidak memandang salah, namun,
dipandang bahwa penafsiran mereka hanya merupakan sebagai
salah satu alternatif penafsiran. Oleh Karena itu, ia mengusulkan
sebuah metode tafsir al syu’ûrî, tafsir perseptif yakni metode
yang dapat mendeskripsikan manusia itu sendiri dan hubungan
dengan manusia yang lainnya, dan dengan alam sekitarnya.
Metodologi penafsiran al Quran yang ditawarkan di antaranya
bersifat tematik, temporal dan realistis yang terbingkai dalam
wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan.
Sesungguhnya dalam penulisan ini, penulis banyak
menghadapi kendala terutama yang berkenaan dengan trend
pemikiran Hassan Hanafi dan karya tulisannya yang begitu luas.
Namun demikian, penulis berusaha semaksimal mungkin dan
alhamdulillah tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan.
Penyelesaian tulisan ini adalah berkat bantuan berbagai pihak.
Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih
yang setinggi-tingginya secara khusus ditujukan kepada:
Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) Republik
Indonesia yang memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk
di bangku Madrasah Aliyah Program Khusus (MANPK) di
Darussalam Ciamis pimpinan KH. Irfan Hielmy (alm.), di bangku
kuliah SI di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kuliah program
S2 dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, beasiswa
Postdoktoral selama enam bulan di Mesir.
Dr. Hassan Hanafi, Prof. DR. Quraish Shihab, Prof. Dr.
Nasarudin Umar, Prof. DR. HM. Yunan Yusuf, MA, Dr. Fuad Jabali,
dan Dr. Mukhlis Hanafi yang memberikan bimbingan langsung
terkait dengan penulisan ini.
Instansi STAIN Salatiga pimpinan Dr. Imam Sutomo, MAg.
Lewat unit PIP yang telah memberikan dana untuk publikasi
tulisan ini. Dr. Zakiyuddin Baedhawy, Dr. Muh. Saerozi, Dr. Sa’adi,
Mochlasin Sofyan, Benny Ridwan, Hammam, Illya Muhsin, Irfan
Hielmy, dan Agus Sua’idi rekan-rekan diskusi di lingkungan
STAIN Salatiga.
Dr. Abad Badruzzaman, Dr. Hamka Hasan, Dr. Aksin W, Dr.
Fajar Waryani A, Dr. Hamdani Mu’in, Dr. Muhammad Jidin, Dr.
Mardan, Dr. Suryadinata, Dr. Iskandar, Dr. Slamet, Fahmi Salim,
Cecep T Rahman, rekan-rekan diskusi sewaktu tinggal di Kairo.
Ayahanda Mohammad Omon yang pertama kali
mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, fiqh dan tauhid dan
menunjukan penulis akan pentingnya ilmu pengetahuan. Ibunda
Esin Quraisin yang telah mengajarkan penulis tentang
kesederhanaan. KH. Ali Muntaha dan Hj. Umi Khadijah, mertua
penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material.
The last but not least, Layly Atiqah istri tercinta yang setia
memotivasi terus-menerus demi terwujudnya tulisan ini di sela-
sela waktunya mengajar masih sempat membimbing dua putri
belahan hati tersayang, Adila Tara NDA dan Nur ‘Adli Sania AS.
Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Mudah-
mudahan tulisan ini dapat menambah khazanah pengetahuan
khususnya di bidang penafsiran al Quran dan umumnya
khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Wa Allâhu a’lamu Bi al Shawâb.
Wassalam
Salatiga, 20 Maret 2011
Adang Kuswaya
Persembahan
Kupersembahkan untuk:
Ayahanda Mohammad Omon dan Ibunda Esin Kuraesin,
Isteri tercinta Layly Atiqoh.
Kedua belahan hati Adila Tara Nisawanda Dluha Alfani
dan Nur Adli Sania Alima Syabana.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang dipakai untuk penulisan
tulisan ini berdasarkan kepada Pedoman Transliterasi yang ada
dalam buku Program Pascasarjana Universitas Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta: Buku Panduan Program
Pascasarjana Tahun Akademik 2004/2005.
A. Konsonan No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
1 ` Apostrof
2 B B
3 T T
4 Ts T dan s
5 J J
6 H H dengan garis di bawah
7 Kh K dan h
8 D D
9 Dz D dan z
10 R R
11 Z Z
12 S S
13 Sy S dan y
14 Sh S dan h
15 Dl D dan l
16 Th T dan h
17 Zh Z dan h
18 ‘ Koma di atas
19 Gh G dan h
20 F F
21 Q Q
22 K K
23 L L
24 M M
25 N N
26 W W
27 H H
28 Y Y
B. Vokal
1. Vokal Pendek
Arab Latin Seperti
____ = a al naql
____ = i qiraah
____ = u nuzûl
2. Vokal Panjang
â seperti qâla
î seperti qîla
û seperti qâlû
Tasydid ditulis dengan huruf rangkap seperti “
“ ditulis muqaddimah.
C. Diptong
Ai seperti hal ladainâ
Au seperti tsaurah
D. Penulisan “ “ (alif lam)
Seperti ditulis al Quran
Seperti ditulis al turâts
F. Pengecualian
Semua kata yang berakhiran ta marbuthah ( ) pada
nama orang, kalimat atau lainnya, ditulis dengan “h” seperti
kata qira`ah “ “.
BAB I GAGASAN REINTERPRETASI A. Penafsiran Kembali teks Keagamaan
Al-Qur’an merupakan dokumen untuk umat manusia. Bahkan,
Kitab ini menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, Hudan li
al Nâs (QS. Al Baqarah /2:185). Seluruh yang termaktub dalam al-
Qur’an itu hakekatnya merupakan ajaran yang harus dipegang oleh
umat Islam. Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk
mencapai kebahagian di dunia dan akhirat dalam bentuk ajaran
moral, akidah, hukum, filsafat, politik dan ibadah.
Untuk mengungkap dan menjelaskan ajaran-ajaran di atas,
tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan
2
melafalkan al-Qur’an dengan baik. Hal yang diperlukan bukan hanya
sekedar itu, melainkan juga kemampuan memahami dan mengungkap
isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya.
Agar al-Qur’an berguna sesuai dengan pernyataannya bahwa ia
merupakan petunjuk bagi umat manusia yang mengeluarkannya dari
kegelapan menuju cahaya yang terang benderang (QS. Ibrahim/14:1),
maka al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan
memahaminya. Melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun
tersirat, al-Qur’an dapat mengantarkan manusia menuju kepada jalan
Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.1
Hal di atas seperti dinyatakan dalam al-Qur’an yang terdapat
dalam ayat berikut ini.
كرأولوااأللبـابإليك مبرك ليدبرواأيته وليتذ زلنهنب اتك
Artinya: "Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mendalami makna
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran." (QS. Shâd/ 38: 29).
Pada dekade terakhir, studi al-Qur’an semakin semarak, tidak
saja di negara yang mayoritas berpenduduknya muslim melainkan
juga di Barat. Posisi al-Qur’an itu sendiri dalam Islam menjadi sentral
dalam pembentukan ajaran, pemikiran dan peradaban. Karenanya,
sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari keberadaan al-Qur’an dan
penelitian tentang Islam yang mengabaikan keberadaan al-Qur’an
akan terasa janggal dan patut dipertanyakan hasilnya.
1 Quraish Shihab, "Tafsir dan Modernitas", dalam Jurnal Ulumul Quran No. 8. Th. 1991, hlm. 34.
3
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai sejak
abad ke-18 tidak diragukan lagi mempunyai implikasi dalam "cara
baca" terhadap al-Qur’an. Tuntutan dan kebutuhan zaman mendesak
umat Islam untuk melakukan upaya-upaya reinterpretasi terhadap
ajaran keagamaan yang pada hakekatnya bersumber utama pada al-
Qur’an.
Menggunakan metodologi tafsir secara turun-temurun yang
tidak memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi umat pada
masa kini berarti hanya melakukan pengulangan-pengulangan.
Sebagai akibatnya, metodologi tersebut tidak membuka diri terhadap
problematika-problematika yang terjadi pada masyarakat dalam alam
masa kini yang sedang berubah. Sementara, mendesak untuk
dilakukan reinterpretasi yang dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan baru, maka kehadiran sebuah pendekatan baru untuk
menafsirkan tersebut sangat diperlukan.
Pada dekade 1960-an, Hassan Hanafi, sarjana lulusan
Universitas Kairo, melakukan penulisan tesis dan disertasi sebagai
karya ilmiahnya di Universitas Sorbone. Tepatnya tahun 1965 dan
tahun 1966 ia menulis tesis dan disertasi. Pembahasannya seputar
hermeneutika, baik yang ia pandang sebagai metode rekonstruksi
untuk ‘ilm Ushul Fiqh maupun untuk menafsirkan fenomena
keagamaan. 2
2 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab, Kairo: Dar al Fannani, 1991, hlm. 84. Judul karya ilmiah Hassan Hanafi untuk tesisnya adalah Les methods d'Exegese, Essai sur la Science des Fondaments de la Comprehension, ‘Ilm Ushûl al Fiqh. Di samping itu, tahun 1966 dua karya hasil penelitiannya juga masih berkaitan dengan hermeneutika. Kedua karya itu, L'Exegese de la Phenomenologie dan disertasinya yang berjudul La Phenomenologie de L'Exegese, Essai d'une Hermeneutique Existentielle a Partir du Neuveu Testament.(Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm al Istighrab, hlm. 86). Ketiga karya Hassan Hanafi itu berkaitan dengan hermeneutika. Karya pertama menjelaskan hermeneutika sebagai
4
Kemunculan Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat
perhatian luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasâr al
Islâmî (Kiri Islam). Hassan Hanafi merupakan salah seorang pemikir
muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun
Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia
berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat
membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.3
Di samping menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga
mengikuti pemikiran Barat kontemporer. Menurutnya, dunia Islam
kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal
maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa
kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar
Islam yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme. 4
Lahirnya Al Yasâr Al Islâmî merupakan proyek pembaharuan
Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama,
revitalisasi khazanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang
peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada
bagian terakhir ini, Hanafi mengusulkan al tafsîr al syu’ûrî, suatu
metode tafsir di mana realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.5
metode rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh. Karya kedua menjelaskan hermeneutika fenomenologi untuk menafsirkan fenomena keagamaan dan karya ketiga menjelaskan studi kritis pada hermeneutika eksistensial dalam konteks Perjanjian Baru. (Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab, hlm. 84-86).
3 Kazuo Simogaki, "Pemikiran Hassan Hanafi dan Munculnya al Yasâr al Islâmî" dalam jurnal Islamika No. 1 Th. 1993, Bandung: Mizan dan MISSI, hlm. 17.
4 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: Heliopolis, 1981. hlm. 32.
5 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: Heliopolis, 1981.13-38. Tujuan ketiga pilar itu menurutnya, pertama, untuk mempertegas dan menekankan perlunya rasionalisme yang merupakan keniscayaan dan kesejahteraan umat untuk memecahkan situasi kekinian dalam dunia Islam. Kedua, untuk memperingatkan akan bahaya imperialisme kultural Barat yang
5
Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan
upaya secara metodologis dan intelektual perjanjian antara wahyu
dan manusia di bumi dalam suatu periode sejarah dan sosiologi
tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al-Qur’an,
melainkan bagaimana wahyu al-Qur’an itu dapat dibumikan secara
interpretatif dan bagaimana struktur teoritis penyajiannya.6 Hassan
Hanafi tidak bermaksud menyalahkan struktur penyajian wahyu
berupa metodologi penafsiran yang telah berlangsung selama ini.
Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-
pilihan yang lain sesuai dengan tuntunan zaman.7
Memahami al-Qur’an tidak muncul kecuali dengan metode
tertentu dalam upaya menginterpretasi kesadaran atau
ketidaksadaran. Oleh karena itu, menurut Hassan Hanafi
hermeneutika al-Qur’an merupakan keniscayaan untuk memahami al-
Qur’an sebagai transformasi wahyu ilahi kepada tujuan kemanusiaan.8
Transformasi dari perkataan (Kalâm) Allah yang diturunkan kepada
cenderung menafikan budaya bangsa-bangsa yang secara historis kaya. Ketiga, mengkritik metode penafsiran tradisional yang bertumpu pada teks (nash) dan mengusulkan al tafsir al syu’ûrî , tafsir perseptif suatu metode yang dapat mengungkapkan realitas dunia Islam agar dapat berbicara sendiri. Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Post- Modernity The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi's Thought: A Critical Reading. Niigata: Chyutto Kenkyuzo, 1988, hlm. 7.
6 Issa J Boullata, "Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekan", dalam jurnal Islamika No. 1 Juli- September 1993, Bandung : MISSI dan Mizan, hlm. 20.
7 Issa J Boullata, "Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekan", hlm.20. Dalam menanggapi kritikan Boulatta ini menurut hemat penulis Hassan Hanafi itu sendiri sudah jelas memaparkan prinsip, aturan dan ruang lingkup hermeneutika al-Qur’an yang ia bangun. Demikian juga tema-tema yang realistis seperti konsep manusia, harta dan tanah yang bisa dirasakan dalam kehidupan kemanusiaan di muka bumi.
8 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. 7, Kairo: Maktabah Madbuli, 1989, hlm. 77- 78; lihat pula Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Kairo: Anglo Egyptian Bookshop, 1977, hlm.1
6
Nabi Muhammad kepada bahasa manusia di bumi yang dihadapkan
kepada berbagai macam golongan manusia.
Menurut Hassan Hanafi tafsir tidaklah lahir dalam kehampaan,
melainkan terwujud di dalam waktu dan tempat tertentu, dalam suatu
kesejarahan tertentu pula. Untuk itu, umat Islam masa kini dituntut
untuk merumuskan sebuah metodologi tafsir yang sesuai dengan
kemaslahatan umat, keperluan dan persoalan yang dihadapi umat
Islam saat ini.9
Hermeneutika al-Qur’an yang digagas Hassan Hanafi berkaitan
erat dengan metodologi fiqih klasik. Bagi Hassan Hanafi, fiqih
merupakan pengambilan kesimpulan hukum yang berhadapan
dengan realitas baru. 10 Hermeneutika al-Qur’an yang digagasnya juga
berkaitan dengan gerakan reformasi keagamaan. Oleh karena itu,
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi memperkuat, mendukung dan
mengembangkan gerakan tersebut.
Sebagai hermeneutika baru yang terkait dengan gerakan
pembaharuan masa kini, Hassan Hanafi menghendaki upaya
reformasi lebih lanjut dari reformasi keagamaan kepada kebangkitan
menyeluruh (al nahdlah al syâmilah) dan setelah itu kepada revolusi
sosial dan politik.11 Untuk itu menurutnya, diperlukan metodologi
tafsir yang melampaui tafsir tekstual dan historis yang menganggap
al-Qur’an tidak hanya berbicara dalam ruang dan waktu yang sempit
pada masa Rasulullah. Hassan Hanafi menyebutnya sebagai tafsir
kesadaran (al tafsîr al syu’ûrî) agar al-Qur’an mendeskripsikan
9 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 78.
10Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 78.
11 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 78.
7
manusia, hubungannya antarsesama, tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik.12
Sebagai pengajar filsafat, Hassan Hanafi banyak mengetahui
trend pemikiran postmoderen dan ilmu-ilmu sosial juga mengikuti
metode hermeneutika yang merefleksikan kritisisme kaum modernis
dan posmodernis. Seperti terlihat dalam artikelnya, Qirâah al Nash,
Hassan Hanafi memberikan kritik terhadap teori hermeneutika Martin
Heidegger, Hans George Gadamer dan Rudolf Bultmann.13
Menurut Richad C. Martin, Hassan Hanafi dengan disertasinya
ingin menunjukkan pentingnya tindakan hermeneutis dalam
"membaca teks" bagi transisi politis dari tradisionalisme menuju
modernisme. Sebagaimana Heidegger dan Gadamer, Hassan Hanafi
juga beranggapan bahwa makna tidaklah inheren dalam teks
melainkan, dihasilkan dalam pertemuan kontekstual antara teks dan
manusia sebagai makhluk populis.14
Menurut Hassan Hanafi makna dihasilkan dalam konteks sosial
dan politis dimana teks dihasilkan dan dibaca serta dipergunakan.
Ketika teks dibaca dan diinterpretasikan kembali dari suatu generasi
dan tempat ke generasi dan tempat yang lain, maka makna
12 Hassan Hanafi, “Mâdzâ Ta’nî al Yasâr al Islâmî” dalam al Yasâr al Islâmî Kitâbât fî al Nahdlah al-Islâmiyah, hlm. 19.
13 Richard C. Martin, “Membayangkan Islam dan Modernitas”, Terj. Bambang Sipayung dalam majalah Filsafat Driyarkara, No.2. Tahun XXIII, Jakarta:STF Driyarkara, 1997. Richard Martin adalah salah seorang pengajar Iowa State University dan Asisten Professor of Religious Studies pada Arizona Stete University. Karya Hassan Hanafi, ”Qirâah al Nash”, dapat dilihat dalam Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu Al Mishriyah, 1987, hlm. 523-549.
14 Majalah Filsafat Driyarkara, No.2. Tahun XXIII. Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah hlm.526.
8
dihasilkan kembali oleh individu (fard) dan kolektif (jamâ’ah). 15
Untuk keperluan itu menurut Hassan Hanafi, ada tiga metode yang
harus diperhatikan oleh para penafsir Dunia ketiga, khususnya
muslim agar mencapai pemahaman diri yang otentik di dunia
modern. Pertama, warisan intelektual dan kultural Barat (Turâts al
Gharb). Kedua, analisis atas warisan tradisional Islam. Ketiga, analisis
atas pengalaman sosial manusia seperti tertuang dalam setiap dan
semua teks warisan Barat dan Islam.16
Hassan Hanafi menggunakan hermeneutika, sebuah metode
filsafat yang berkembang di Barat sebagai metodologi untuk
memahami al-Qur’an.17 Meskipun demikian, menurutnya,
hermeneutika bukan hanya berarti ilmu interpretasi, melainkan juga
ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat
perkataan sampai ke tingkat prakteknya di dunia.18
15 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm.528.
16 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah. hlm. 523-526. Hal ini menimbulkan problematika dialektis dari al Turâts wa al tajdîd, warisan dan pembaharuan. Tak satupun dari keduanya bisa diabaikan oleh umat Islam dan bangsa-bangsa Dunia ketiga. Problem dan ketiga bidang metodologis itu dijelaskan lebih jauh dalam buku Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm al Istighrab.
17 Hermeneutika merupakan kegiatan interpretasi triadik, proses yang mempunyai tiga segi yang saling berhubungan. Hermeneutika secara sederhana dapat digambarkan sebagai struktur tiga segi, yaitu satu, Tanda (sign), pesan (message) atau teks; dua, penulis teks (author); tiga, penafsir, penyampai pesan kepada audiens. Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan kepada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecenderungan sebuah teks lalu ia meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya "yang lain" kini menjadi "aku" penafsir itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar. Suatu arti tidak akan dikenal jika tidak direkonstruksi. (E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:Kanisius, 1993, hlm. 31).
18 Selanjutnya Hassan Hanafi menjelaskan bahwa hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai perkataan, dari logos sampai praxis dan juga
9
Menurut Hassan Hanafi proses pemahaman hanya menduduki
tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik sejarah yang
menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Menurutnya, tidak
mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa
yang dialami secara historis asli.19 Di sinilah, menurut Hassan Hanafi,
hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam arti yang
paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan kedaan-keadaan
kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Setelah mengetahui arti
yang tepat dari teks kemudian memasuki langkah ketiga, yaitu proses
menyadari arti dalam kehidupan manusia yang merupakan orientasi
dan tujuan akhir wahyu Allah.20
Dalam bahasa fenomenologis, menurut Hassan Hanafi, dapat
dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang dapat menentukan
hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yaitu kitab-kitab suci.
Menurutnya, ada tiga kesadaran yang harus dimiliki oleh mufasir
untuk menentukan hubungan antara kesadaran dan obyeknya.21
Pertama, memiliki kesadaran historis yang menentukan keaslian teks
dan tingkat kepastiannya. Kedua, memiliki kesadaran eidetik yang
menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional. Ketiga,
memiliki kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut
sebagai dasar teoritis bagi tindakan yang mengantarkan wahyu pada
tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia.
transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. (Hassan Hanafi, Religious, Dialogue and Revolution, hlm. 1).
19 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution,hlm. 1
20 Hassan Hanafi, Religious, Dialogue and Revolution. hlm. 1.
21 Hassan Hanafi, Religious, Dialogue and Revolution.hlm. 1-2.
10
Selanjutnya Hassan Hanafi menegaskan bahwa hermeneutika
sebagai aksiomatika, yaitu sebagai sebuah metode yang
mendeskripsikan proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan
yang rasional, formal, obyektif dan universal. Sehingga, menurut
Hassan Hanafi hubungan hermeneutika dan kitab suci harus seperti
hubungan antara aksiomatika dan matematika.22
Dalam merealisasikan pemikiran hermeneutikanya, selain tesis
dan disertasinya, Hassan Hanafi selain menulis karya-karya lainnya
yang berkaitan dengan metodologi penafsiran juga menulis karya
eksegetik sebagai aplikasi dari metodologi yang ditawarkannya.
Berikut ini adalah karya-karyanya dalam bidang hermeneutika.
Pertama, 'Method of Thematic Interpretation of the Quran';
kedua, 'Qirâ ah al Nash'; ketiga, 'Mâdzâ Ta’nî Asbâb al Nuzûl',
keempat, 'Manâhij al Tafsîr wa Mashâlih al Ummah'; kelima, 'Ikhtilâf fî
al Tafsîr am Ikhtilâf fî al Mashâlih', 'Hal Ladainâ Nazhariyah fî al
Tafsîr', keenam, 'Ayyumhumâ Asbaq: Nazhariyah al Tafsîr am Manhaj
Tahlîl al Khabarât?', ketujuh, '’Aud ilâ al Manba am ’Aud ilâ al
Thabî’ât?' dan kedelapan, `’Ulûm al Ta`wîl Baina al Khâshah wa al
’âmah: Qirâ`ah fî Ba’dli A’mâl Duktûr Nashr Hâmid Abû Zaid'.
Sedangkan tulisan Hassan Hanafi yang berkaitan dengan aplikasi
metode penafsiran di antaranya 'al Insân', 'al Mâl fî al Qur`an', dan
'Teology of Land'.
Pemikiran Hassan Hanafi dalam bidang Hermeneutika
mereformasi penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks
22 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2. Bandingkan pula dengan Richard E. Palmer. Menurut Palmer, hermeneutika adalah proses penelaahan isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah teks, sampai pada makna yang terdalam (Richard E. Palmer, Hermeneutics, Evanston: North Western University Press, 1969, hlm. 43).
11
dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam
dapat berbicara sendiri. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan
menjadi bahan penelitian secara akademik.
Inti pemaparan di atas memperbincangkan seputar perlunya
sebuah metodologi baru bagi penafsiran al-Qur’an. Metode ini digagas
oleh Hassan Hanafi sebagai metode yang dapat menjadi solusi bagi
masalah kehidupan yang dialami umat Islam masa kini. Hal inilah
yang menjadi alasan bagi penulis untuk mendalami metode apa
sesungguhnya yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi serta bagaimana
pula penyajian struktur teorinya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, nampak jelas bahwa
pemikiran hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi merupakan bidang
garapan yang menarik dan cukup beralasan. Kenyataan ini yang
membuat penulis akan mencoba dan merumuskan judul penelitian
yaitu: PEMIKIRAN HERMENEUTIKA AL-QUR’AN HASSAN HANAFI:
Deskripsi Analisis terhadap Karya-Karya Hassan Hanafi tentang
Hermeneutika al-Qur’an.
B. Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dan agar permasalahan yang akan
dibahas tidak meluas, maka penelitian ini dibatasi pada pemikiran
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi. Pembatasan tersebut
dilakukan dengan pertimbangan adanya perbedaan istilah antara
tafsir al-Qur’an tradisional dengan hermeneutika al-Qur’an. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini tidak dijelaskan pendapat Hassan
Hanafi mengenai tafsir al-Qur’an tradisional dan perbedaan antara
keduanya. Lagi pula, keduanya tidak hanya secara istilah melainkan
secara metodologi juga sudah berbeda. Hermeneutika al-Qur’an lebih
12
menitikberatkan hubungan triadik yang saling berkelindan antara
teks, penafsir dan audiens dimana unsur triadik yang terakhir sering
tidak mendapatkan perhatian dalam tradisi penafsiran al-Qur’an
tradisional. Dengan pembatasan ini juga tidak dimaksudkan bahwa
hanya Hassan Hanafi yang menggunakan dan mempraktekkan
hermeneutika al-Qur’an. Karena masih banyak pemikir muslim lain
yang menggunakan dan mempraktekkannya seperti Fazlur Rahman,
Muhamad Arkoun, Farid Esack dan Amina Wadud Muhsin. Agar
penelitian ini dapat terfokus dan terarah terhadap masalah-masalah
yang akan diteliti, maka penulis merasa perlu merumuskannya dalam
bentuk pertanyaan: Bagaimana konstruk pemikiran hermeneutika al-
Qur’an Hassan Hanafi? Hal tersebut dapat dirinci:
1. Apa yang dimaksud dengan hermeneutika sebagai
aksiomatika menurut Hassan Hanafi ?
2. Metode apa yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi untuk
menafsirkan al-Qur’an bagi umat yang sedang menghadapi
permasalahan kekinian?
C. Signifikansi Penelitian
Tujuan penelitian ini pertama, untuk menemukan data tentang
pentingnya hermeneutika al-Qur’an yang digagas oleh Hassan Hanafi
yang dianggap sebagai solusi terhadap permasalahan yang dihadapi
umat Islam masa kini. Untuk menemukan data bagaimana Hassan
Hanafi menyajikan struktur teorinya. Kedua, untuk memperoleh data
tentang metodologi penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan oleh
Hassan Hanafi sebagai metode yang dapat menjadi solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi umat Islam masa kini dan bagaimana
cara kerja dari metodologi tersebut.
13
Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali dasar-dasar, kaidah-
kaidah secara menyeluruh sekaligus langkah nyata bagaimana
metodologi yang dibangun oleh Hassan Hanafi. Penelitian diharapkan
dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi umat dan
melengkapi khazanah Islam.
D. Kajian Pustaka Terdahulu
Sudah banyak tulisan tentang pemikiran Hassan Hanafi baik
dalam bentuk buku maupun artikel. Di antara tulisan-tulisan itu
sebagai berikut ini.
1. Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity The
Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi's Thought: A Critical Reading
(Niigata, 1988). Shimogaki memberikan tiga hal pertimbangan untuk
memahami pemikiran Hassan Hanafi dalam kaitannya dengan Kiri
Islam. Pertama, perannya sebagai pemikir revolusioner. Kedua,
perannya sebagai seorang reformer dalam tradisi klasik Islam. Ketiga,
perannya sebagai seorang yang berkeyakinan seperti Jamaluddin al
Afghani, pelopor Pan-Islamisme. Shimogaki memposisikan pemikiran
Hassan Hanafi berada di antara Modernisme dan Posmodernisme.
Alasan Hassan Hanafi tidak dimasukkan dalam posmodernisme
karena Hanafi menjunjung tinggi rasionalisme yang jelas
bertentangan dengan posmodernisme.
2. Kusnadiningrat, Teologi Pembebasan Dalam Islam: Analisis
Terhadap Gerakan Kiri Islam Hassan Hanafi (Jakarta, 1995).
Kusnadiningrat mencatat bahwa antara teologi pembebasan dan kiri
Islam mempunyai beberapa kesamaan yang melahirkan suatu
dialektika di mana refleksi untuk praksis dapat membuka refleksi dan
praksis selanjutnya secara kesinambungan. Sehingga secara
14
metodologis, teologi pembebasan yang manapun memiliki
kelengkapan berupa mekanisme untuk mengkritik dirinya menurut
realitas-realitas yang dihadapinya.
3. A. Lutfi Assaukanie, Oksidentalisme, (Jakarta, 1994)
menjelaskan bahwa oksidentalisme secara harfiyah berarti hal-hal
yang berkenaan dengan Barat baik itu kebudayaan, ilmu dan aspek
lainnya. Dalam tulisannya, tugas oksidentalisme yang paling utama
adalah menghapuskan doktrin eurocetrisme dan pengembalian
budaya Barat kepada batas daerah jangkauannya yang wajar karena
selama ini kebudayaan Barat telah keluar dari batas teritorialnya.
Menurutnya, oksidentalisme ini merupakan wujud sikap Hanafi
terhadap tradisi Barat. Hanafi menentang Barat tetapi tanpa disadari
ia telah terpengaruh dan telah menjadi korban mitos “budaya
universal” yang dipropagandakan terus oleh media massa Barat.
4. Ahamad Hasan Ridwan, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi
Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam (Jogjakarta, 1996).
Tulisan ini berisi penjelasan tentang kerangka metodologi pemikiran
Hassan Hanafi dalam mengaktualisasikan tradisi keilmuan klasik yang
merupakan bagian dari gagasan “Kiri Islam”. Dengan gagasan itu,
Hassan Hanafi memberikan sebuah tawaran yaitu menggunakan teks-
teks untuk kepentingan agenda sosial yaitu memperlakukan agama
secara praktis dan fungsional.
5. Muhammad Nur Ichwan, Hermeneutika Al-Qur’an: Analisis Peta
Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Jogjakarta,
1995). Menurut Nur Ichwan, wacana keilmuan Tafsir al-Qur’an,
metodologi dan teori tafsir masih menjadi sesuatu yang periferial
dibandingkan dengan masalah isi tafsir itu sendiri. Berdasarkan pada
asumsi ini ia mencoba menelusuri peta perkembangan metodologi
15
tafsir al-Qur’an kontemporer dan mengklasifikasikannya menjadi dua
alasan besar. Pertama, aliran obyektifitas yang diwakili oleh
hermeneutika neomodernis al-Qur’an Fazlur Rahman memandang
bahwa konteks ikut terserap dalam teks. Kedua, aliran subyektivitas
yang diwakili Hassan Hanafi, Maulana Farid Essack dan Amina Wadud
Muhsin memandang bahwa teks itu terserap dalam konteks kekinian.
6. Muhamad Nur Hakim, Rekonstruksi Warisan Intelektual: Studi
Kritis atas Paradigma Pembaharuan Pemikiran Islam Hassan Hanafi,
(Jakarta, 1995). Tulisan ini menjelaskan bahwa Hassan Hanafi dalam
merekonstruksi warisan intelektual Islam klasik, mengintegrasi dan
merubah warisan klasik itu menjadi ilmu yang mempunyai dimensi
kemanusiaan baru seperti merubah ilmu ushûl fiqh menjadi
metodologi penelitian, ilmu tasawuf menjadi psikologi, fiqh menjadi
ilmu politik, ekonomi dan hukum. Tidak hanya sebatas itu, bahkan
Hassan Hanafi mengusulkan perubahan ilmu-ilmu tersebut menjadi
suatu idiologi yang dapat menggerakkan ke arah perubahan sosial.
Tulisan-tulisan di atas secara umum menyoroti pemikiran
kontemporer Hassan Hanafi tentang Islam Kiri, rekonstruksi
khazanah klasik, teologi, dan oksidentalisme. Penulis akan mencoba
meneliti metodologi penafsiaran yang dikembangkan oleh Hassan
Hanafi berdasarkan karya-karyanya tentang hermeneutika al-Qur’an.
Sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian yang
mendetail yang khusus mengkaji pemikiran hermeneutika al-Qur’an
Hassan Hanafi ditinjau dari sudut metodologinya. Untuk itu, penulis
akan mendalami pemikiran hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi
berdasarkan karya-karya tulisnya tentang hermeneutika.
16
E. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan
ini didasarkan pada argumentasi bahwa salah satu penelitian sejarah
adalah penelitian tentang biografi seseorang yaitu tentang kehidupan
seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat: sifat, watak,
pengaruh pemikiran dan idenya. Kemudian menganalisis karya-karya
intelektual dan ilmiah serta biografinya.
Dalam pencarian data, metode yang digunakan adalah metode
perpustakaan (library research). Dengan langkah kongkrit membaca
dan menelaah secara mendalam buku-buku karya Hassan Hanafi,
khususnya mengenai pemikiran hermenutika al-Qur’an seperti
pertama, 'Method of Thematic Interpretation of the Quran' yang
termuat dalam buku Islam in The Modern World; kedua, 'Qirâ ah al
Nash' dalam buku Dirâsât Falsafiyah; ketiga, 'Manâhij al Tafsîr wa
Mashâlih al Ummah' dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-
1981 Vol ke-7. Kemudian disertakan sumber-sumber sekunder, yaitu:
komentar-komentar para penulis yang mengkaji tentang pemikiran
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi. Studi yang merupakan
penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif dan analitis yakni
dalam pengertian historis. Data pemikiran hermeneutika al-Qur’an
Hassan Hanafi akan ditelusuri dalam karya-karya intelektualnya.
Sementara data yang bertalian dengan sisi analitis dari studi ini akan
ditelusuri dalam sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian yang
relevan.
17
Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis secara
deduktif, induktif dan komparatif. Metode deduktif dipergunakan
dalam rangka memperoleh gambaran tentang detail-detail pemikiran
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi, sedangkan metode induktif,
dipakai dalam rangka memperoleh gambaran utuh pemikiran Hassan
Hanafi mengenai hermeneutika al-Qur’an. Terakhir, metode
komparatif terutama digunakan untuk membandingkan pemikiran
Hassan Hanafi dengan pemikir-pemikir lainnya guna mengungkap
karakteristik pemikiran Hanafi.
F. Sistematika Penulisan
Bab I gagasan reinterpretasi yang mencakup penafsiran kembali
teks keagamaan berisi beberapa alasan yang dipandang oleh penulis
sebagai yang melatar belakangi penulisan disertasi, pembatasan dan
rumusan masalah yang akan dikaji, signifikansi dan manfaat
penulisan disertasi, kajian pustaka untuk melihat urgensi penulisan
penelitian ini, pendekatan dan metode yang dipakai dalam penulisan
dan terakhir, sistematika penulisan.
Bab II hermeneutika al-Qur’an mencakup problem hermeneutika
al-Qur’an berisi masalah penafsiran yang muncul setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW; praktek hermeneutika dalam tradisi Islam
berisi perjalanan hermeneutika al-Qur’an dari dulu sampai sekarang
walaupun istilah itu baru muncul belakangan namun, sudah
dipraktekan sejak era tadwin. Model hermeneutika al-Qur’an pertama
dari Muqatil bin Sulaiman sebagai bukti bahwa praktek hermeneutika
al-Qur’an sudah dilakukan. Urgensi hermeneutika al-Qur’an menurut
Muhamad Arkoun sebagai komparasi terhadap hermeneutika al-
Qur’an Hassan Hanafi.
18
Bab III biografi Hassan Hanafi mencakup riwayat hidup dan
sosok intektual Hassan Hanafi, situasi sosial dan politik di Mesir
untuk melihat berapa besar pengaruhnya terhadap perkembangan
pemikiran Hassan Hanafi, perkembangan pemikiran Hassan Hanafi
berisi tahapan kesadaran yang dilewati Hassan Hanafi dalam
pergolakan sosial politik yang berkembang di Mesir, Karya-karya
Hassan Hanafi yang merupakan responnya terhadap situasi sosial dan
politik yang mengitarinya, berisi pembacaan terhadap tulisan-tulisan
karya monumentalnya baik yang berupa buku-buku maupun jurnal.
Bab IV pemikiran teori hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi
mencakup kemunculan pemikiran hermeneutika al-Qur’an Hassan
Hanafi, hermeneutika sebagai aksiomatika akan mengungkap
rasionalisasi terhadap metode hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi,
teori dan teknis hermeneutika yang langkah-langkahnya sebagai
berikut: kritik historis, kritik eidetik meliputi tahapan analisis atas
realitas, tahapan analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis bentuk,
analisis isi dan tahapan generalisasi; dan langkah ketiga kritik
praksis. Urgensi pembacaan terhadap teks berisi penjelasan
pentingnya hermeneutika al-Qur’an dalam menyelesaikan persoalan
kehidupan masa kini yang meliputi teori analisis teks dan
orientasinya, prinsip-prinsip dan analisis teks, nilai dan kekuatan teks
dan perubahan nilai dan makna suatu teks.
Bab V metodologi sosiologis tafsir Al-Qur’an yang meliputi
metodologi yang ditawarkan Hassan Hanafi. Pertama, hermeneutika
al-Qur’an tematik yang mencakup asal usul metode tematik serta
pertimbangan Hassan Hanafi memilih hermeneutika al-Qur’an
tematik. Untuk mengokohkan metodenya ia memberikan prinsip-
prinsip dan aturan main serta ruang lingkup hermeneutika al-Qur’an
19
tematik yang berisi skema dan batas wilayah hermeneutika al-Qur’an
tematik. Kedua, hermeneutika al-Qur’an social kemasyarakatan
dengan beberapa karakteristiknya. Untuk melihat seberapa besar
respon akibat pemikiran Hassan Hanafi maka dimunculkan beberapa
kritikan terhadapnya berkaitan dengan hermeneutika al-Qur’an sosial
kemasyarakatan (manhaj ijtimâ’î) dan disertakan pula jawabannya
dari Hassan Hanafi. Eksegetik Hassan Hanafi sebagai bukti ia
mengaplikasi metode hermeneutika al-Qur’annya yang mengangkat
tiga tema yaitu manusia, harta dan tanah menurut al-Qur’an. Konsep
yang pertama sebagai aplikasi ruang lingkup hermeneutika al-Qur’an
tematik yaitu manusia mendeskripsikan dirinya sendiri. Konsep
kedua merupakan aplikasi ruang lingkup hermeneutika al-Qur’an
tematik yaitu manusia hubungannya dengan manusia lainnya.
Sedangkan konsep yang ketiga merupakan aplikasi ruang lingkup
hermeneutika al-Qur’an yaitu manusia hubungannya dengan alam.
Bab VI penutup yang mencakup kesimpulan dan saran-saran.
BAB II HERMENEUTIKA AL-QUR’AN A. Problem Hermeneutika Al-Qur’an.
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani, hermeneuein yang berarti menafsirkan atau hermenia
yang berarti penafsiran.1 Istilah tersebut merujuk kepada
seorang tokoh mitologis yang disebut Hermes, yaitu seorang
utusan dewa yang bertugas menerjemahkan pesan Yupiter yang
menggunakan bahasa langit agar lebih mudah dipahami oleh
1 James M. Robinson, “Hermeneutic since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B. Cobb, New York: Harper and Row Publisher, 1964 hlm. 1.
21
manusia yang menggunakan bahasa bumi.2 Agaknya, Hermes
adalah tokoh yang mewarnai banyak tradisi besar di masa
lampau.
Dalam tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal
dengan sebutan Mercurius,3 sementara dalam peradaban Arab
Islam, Hermes disebut-sebut sebagai Nabi Idris yang dalam Al-
Quran dikenal sebagai orang pertama yang mengetahui cara
menulis, memiliki kemampuan teknologi (sina’ah), kedokteran,
astrologi, sihir dan lain-lain. Bukti–bukti ini juga dapat ditelusuri
dalam tulisan-tulisan Al Kindi, Al Syahrastani, Abu Al Wafa’ Al
Mubasysyir ibn Fatik,4 Al Zauzani dan Al Qifti. Di kalangan
Yahudi dalam mitologi Mesir kuno, Hermes dikenal sebagai
Dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa.5 Dari sini kita
2 Richard E. Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory in Schleirmacher,Dilthey, Heidegger and Gadamer, Evanston: North Easteren University Press, 1969, hlm. 13-32.
3 James M. Robinson, “Hermeneutic since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B. Cobb, New York: Harper and Row Publisher, 1964 hlm. 1. lihat pula tulisan Gerhard Ebelling. “World of God and Hermeneutic” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B. Cobb hlm. 84. Lihat pada E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1993, hlm. 23.
4 Abu al Wafa’ al Mubasysyir bin Fatik, Mukhtâr al Hikam wa Mahâsin al Kalîm, diedit oleh Abdurrahman Darwi, Madrid: Muthaba’ah al Ma’had al Mishr li Dirasah al Islamiyah, 1958, hlm. 7. Lihat Sayyed Hossein Nashr Knowledge and The Sacred, Edinburg: State University Press, 1989, hlm. 71. Bandingkan juga Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan cet.2. Jakarta: Teraju, 2004,hlm. 137.
5 Muhammad Abid al Jabiri, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî Bagian ke-1 Takwîn al ‘Aql al ‘Arabî, cet. 4, Beirut: Markaz Dirâsah al Wahdah al ‘Arabiyah, 1989, Bab ke-7 bagian ke-9.hlm. 153, 174-175. Uraian mengenai hal ini lihat juga M. Abid al Jabiri, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî Bagian ke-2 Bunyah al ‘Aql al ‘Arabî, cet. 3. Beirut: Markaz Dirâsah al Wahdah al ‘Arabiyah, 1990.
22
dapat melakukan spekulasi bahwa Hermes merupakan istilah
helenik bagi para nabi dan rasul.
Tugas Hermes, sebagaimana disinggung di atas, adalah
penghubung dan penerjemah ajaran Tuhan kepada manusia,
yang tidak ubahnya seperti peran nabi dan rasul dalam Islam.
Fungsi dan peran Hermes tersebut demikian urgen sebab jika
saja Hermes keliru dalam menginterprestasikan sabda Tuhan,
pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalami
disorientasi. Dapat dipahami kemudian bila asosiasi
hermeneutika dengan Hermes tidak lain untuk menggambarkan
pentingnya proses interpretasi dalam memahami maksud
sebuah teks.
Beberapa kajian menyebutkan bahwa definisi
hermeneutika secara umum adalah proses mengubah sesuatu
atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.6 Tetapi
apabila melihat kepada hermeneutika secara terminology, maka
kata hermeneutika ini dapat diderivasikan menjadi tiga
pengertian. Pertama, Pengungkapan pikiran dalam kata-kata,
penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir. Kedua, usaha
mengalihkan dari bahasa asing yang maknanya gelap tidak
diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh
pembaca. Ketiga, pemindahan ungkapan pikiran yang kurang
jelas diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.7
6 Richard E. Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory in Schleirmacher,Dilthey, Heidegger and Gadamer, hlm. 3.
7 F. Budi Hardiman, “Hermeneutik: Apa itu ?” dalam Basis XL No. 3. 1990, hlm. 3
23
Secara lebih luas Zygmunt Bauman memberikan definisi
hermeneutika sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan
dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak
jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang
menimbulkan kebingungan bagi para pendengar atau
pembacanya.8 Dalam arti ini menurut Komarudin Hidayat
sebetulnya hermeneutika juga dikenal dalam tradisi Islam
dengan istilah ilmu tafsir dan takwil. Tafsir artinya mengurai
untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks, sedangkn
takwil menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan
yang terbungkus dalam teks. Di sini tafsir dan takwil saling
terkait, meskipun karakteristik takwil lebih liberal dan
imajinatif. Apa yang sudah dilakukan oleh Muqatil bin Sulaiman
(w. 150 H) dengan karyanya, al Asybâh wa al Nazhâ`ir fî al-
Qur’an al Karîm merupakan bukti hermeneutika al-Qur’an
pertama dalam arti di atas.
Van A. Harvey mengemukakan bahwa hermeneutika dapat
dibedakan dalam dua kategori. Pertama, hermeneutika dalam
arti umum dan kedua, dalam arti khusus. Dalam pengertian
yang pertama hermeneutika berfungsi sebagai science of
comprehension yang membentuk dasar-dasar untuk teknik
penafsiran yang layak. Sedangkan dalam pengertian yang kedua
hermeneutika berfungsi sebagai kegiatan exegese kitab suci.9
8 Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm. 138.; Lihat pula Zygmunt Bauman, Hermeneutic and Social Sciences, New York: Columbia University Press, 1978, hlm. 7.
9 Van A. Harvey,”Hermeneutic” dalam Marcea Eliade, The Encyclopedia of Religion, New York: Mac Milan Publishing Co. Vol. ke-6, hlm. 280.
24
Dalam arti umum di atas biasanya hermeneutika
diasosiasikan dengan Hermes yang menunjukkan dengan
adanya struktur triadic yang saling terkait dalam setiap aktifitas
penafsiran. Pada akhirnya triadic tersebut menjadi variable
utama pada kegiatan manusia dalam memahami.10 Pertama,
teks, pesan atau tanda yang menjadi sumber asal penafsiran
yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes yang
membutuhkan kepada. Kedua, seorang penafsir atau mediator
(Hermes) untuk. Ketiga, menyampaikan pesan kepada audien
agar bisa difahami.
Sedangkan hermeneutika secara khusus lebih menjurus
kepada penerapan hermeneutika umum dalam memahami teks-
teks kitab suci.11 Dalam pengertian ini hermeneutika sudah
banyak dilakukan oleh para agamawan sebelum istilah
hermeneutika menjadi bahan kajian menarik di kalangan ahli
filsafat. Dalam perkembangannnya hermeneutika umum melesat
maju setelah beralih menjadi bahan kajian menarik para filosof
sehingga dapat memunculkan disiplin keilmuan humaniora.
Sementara hermeneutika khusus yang dikembangkan di
kalangan agamawan untuk memahami kitab suci cenderung
statis.
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk
menafsirkan berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah
kelahiran dan perkembangannnya, harus diakui bahwa peran
10 Van A. Harvey,”Hermeneutic” dalam Marcea Eliade, The Encyclopedia of Religion, hlm. 279.
11 James Hasting (Ed. In chif) Encyclopedia of religion and Ethic, New York: Charles Scribner’s Sons. Hlm, 393-394.
25
hermeneutika yang paling besar adalah bidang ilmu sejarah dan
kritik teks, khususnya kitab suci. Sebagaimana dikatakan oleh
Roger Trigg yang dikutip Komarudin Hidayat dalam bukunya
Menafsirkan Kehendak Tuhan, sebagai berikut ini.
The paradigm for hermeneutic is the interpretation of a
traditional text where the problem must always be how we can
come to understand in our own contexs something which was
written in a radically different situation12.
Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian
kitab suci, keberadaan hermeneutikapun tidak dapat dielakkan
dari dunia Kitab Suci al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literature
ilmu tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika
sebagai variabel metode pemahaman al-Qur’an menunjukkan
betapa daya tarik hermeneutika luar biasa.
Sebenarnya istilah khusus yang digunakan untuk
menunjuk kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam
adalah tafsir yang sudah digunakan sejak abad ke-5 H/ 11 M.
Istilah ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di
kalangan orang Islam sejak dahulu sampai sekarang.13
Sementara, istilah hermeneutika itu sendiri dalam sejarah
keilmuan Islam khususnya tafsir al-Qur’an klasik, tidak
ditemukan.
Walaupun demikian, menurut Komarudin Hidayat bahwa
praktek hermeneutika dalam tradisi Islam sudah muncul sejak
12 Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm.175.
13 Farid Esack, Quran: Liberation and Pluralism, 1997, Oxford: Oneworld, hlm. 61.
26
al-Qur’an itu diwahyukan. Hanya saja, hermeneutika yang
berkembang dan dipahami dalam tradisi filsafat, secara
metodologis, melangkah lebih jauh, sehingga melampaui batas
tradisi ilmu tafsir yang selama ini dikembangkan dalam studi
Islam.14 Tetapi hal itu, menurutnya tidak berarti bahwa
hermeneutika lebih tinggi ataupun lebih maju dari ilmu tafsir.
Melainkan, semata-mata menyangkut perbedaan tradisi dan
metodologi yang diterapkan, yang masing-masing berkembang
dalam tradisi filsafat serta sejarah dan lingkungan intelektual
yang berbeda.
Hermeneutika al-Qur’an berkaitan dengan pemahaman dan
interpretasi, maka wacana pemikiran Islam, mengenalnya justru
sejak awal kelahirannya. Problem pemahaman dan penafsiran ini
sejak semula lebih terfokus kepada al-Qur’an, karena dianggap
merupakan bagian dari agama.15 Pada masa Rasulullah,
14 Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm. 149.
15 Praktek hermeneutika al-Qur’an sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi al-Qur’an. Bukti-bukti ini diperkuat oleh Farid Esack, pemikir Islam kontemporer asal Afrika Selatan, dalam bukunya, Quran: Liberation and Pluralism. Menurutnya, ada tiga bukti untuk memperkuat hal itu. Pertama, problematika hermeneutika itu senantiasa dialami dan dikaji meskipun tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbâb al nuzûl dan nâsikh wa al mansûkh. Kedua, perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. Ketiga, tafsir tradisional itu selalu dimasukan ke dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi`ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horison-horison sosial tertentu dari tafsir. Farid Esack, Quran: Liberation and Pluralism, hlm. 61.
27
penafsiran al-Qur’an belum menjadi masalah serius, karena al-
Qur’an turun dalam lingkungan dialog dan menafsirkannya.16
Setelah Rasulullah wafat, maka muncul fenomena baru, di
mana para Sahabat dianggap otoritatif, memiliki kewenangan
menafsirkan al-Qur’an, seperti Ibn Abbas, Umar Bin Khattab, dan
beberapa Sahabat lainnya. Pada masa Nabi dan Sahabat inilah
berkembang wacana “tafsir lisan”, di mana tafsir diajarkan dan
berkembang dari mulut ke mulut.
Dalam budaya lisan, penafsiran secara riwayat begitu
dominan, di mana kwalitas intelektual dan spiritual menjadi
pertimbangan utama dalam periwayatan tersebut. Ketika terjadi
transformasi dari budaya lisan kepada kebudayaan tulis pada
era tadwin (abad kedua Hijriah), maka lambat laun
berkembanglah dalam masyarakat Muslim wacana “tafsir tulis”.17
Implikasi transformasi ini nampak kuat pada munculnya dan
menguatnya penafsiran dirâyah (ra`yu), di satu sisi dan semakin
mapannya metode tafsir riwâyah, di sisi lain.
Sedangkan istilah hermeneutika itu sendiri mulai popular
dalam beberapa dekade terakhir, khususnya dengan
perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of
education yang banyak melahirkan intelektual muslim
kontemporer.
16 Muhammad Hesein al Dzahabi, Al Tafsîr wa al Mufassirûn, Juz I, Beirut: Dar al Fikr,1986, hlm. 32.
17 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al’Arabî, hlm. 14.
28
B. Praktek Hermeneutika Dalam Tradisi Islam
Pada era tadwin, secara perlahan dimulai upaya-upaya
metodologis dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Hal
ini mulai nampak, misalnya Maqatil bin Sulaiman (w. 150 H)
dalam al Asybâh wa al Nazhâir fî al Qurân al Karîm. Dalam
kitab tersebut, nampak bahwa Maqatil tertarik pada masalah
keberagaman makna kata-kata dan ibarat al-Qur’an. Demikian
juga Abu Zakariya Yahya bin Zayad al Farra (wafat 207 H) dalam
Ma’âni al-Qur’an,18 menunjukkan adanya fenomena
“pelampauan” (al Tajawwuz) dan perluasan makna (al ittisa’)
dalam wacana al-Qur’an. Upaya yang lebih mendalam dilakukan
oleh Abu ‘Ubaidah ma’mar bin al Mutsanna (wafat 215 H) dalam
Majâz al Qurân,19. Kitab ini membahas masalah gaya bahasa
metaforis dalam al-Qur’an.20
Meskipun demikian, apa yang diupayakan oleh tokoh-
tokoh di atas, masih terbatas pada pengungkapan karakteristik
kesusastraan al-Qur’an. Yang terakhir ini, pertama kali
diupayakan oleh Imam al Syafi’i (w.204 H) dalam al Risalah.
Meskipun kitab ini sebagai berkaitan dengan Usul Fiqh, di sini
munculnya keterkaitan antara Usul Fiqh dan hermeneutika al-
Qur’an.
Dalam kitab inilah Imam al Syafi’i membahas al-Qur’an dan
sunnah, tentang tingkatan-tingkatan penjelasan (al bayân),
18 Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al-Farra, Ma’âni al Qurân, ed. Ahmad Yusuf al Najjati [et.al], (kairo al-Kutub al-Misriyyah, 1955-1875).
19 Abu Ubaidah Ma’mar bin al Mutsanna, Majâz al Qurân, ed. M. Fuad Sizkin, (Kairo : Maktabah al-Khanaji, 1954).
20 M. Abid al Jabiri, Bunyah al ‘Aql al’Arâbî, hlm. 21.
29
nâsikh dan mansûkh, umum dan khusus, mujmal dan mufashal,
amr (perintah) dan nahy (larangan). Imam Haramaen Al Juwaini
(w. 478 H) mensinyalir bahwa tidak ada yang mendahului Imam
al Syafi’i dalam merumuskan prinsip-prinsip metodologis
keilmuan Islam (al ushûl) dan epistemologinya.21
Imam al Syafi’i lebih menekankan pada masalah prinsip-
prinsip penafsiran, atau dengan kata lain dengan masalah
pemahaman teks (al fahm), sedangkan al-Jahizd (w. 255 H) lebih
tertarik kepada masalah al ifhâm, penciptaan wacana yang dapat
dipahami oleh audiens dan membuatnya puas, melemahkan
argumentasi lawan pembicaraannya dan membuatnya tidak
berkutik serta merumuskan syarat-syarat dalam menghasilkan
suatu wacana yang efektif.
Dalam hal ini, audiens merupakan faktor penting dan
fundamental, bahkan merupakan tujuan dari wacana tersebut.
Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Imam al Syafi’i, karena ia
hanya memfokuskan pembicaraan kata lain, metodologi Imam al
Syafi’i dalam Ushûl Fiqh lebih bersifat introvert, sementara
metodologi al Jahizd (dalam sastra dan balaghah) bersifat
ekstrovert.
Abu Husen Ishaq bin Ibrahim bin Sulaiman Wahab al Katib
dikenal dengan nama Ibn Wahab (th. 335 H) menulis bukunya al
Burhân fî Wujûh al Bayân yang kemudian muncul dengan
menggabungkan kedua metodologi di atas. Ia tidak puas dengan
dualisme tersebut dan berupaya membuat sintesis teoritis.
21 Khalid Abdurrahman Al’ak, Ushûl al Tafsîr wa Qawâiduh, (Bairut : Dâr al Nafis, 1986) hlm. 35.
30
Usaha tersebut sekaligus mengantarkannya menjadi peletak
dasar-dasar epistimologi “al bayân” dalam pengertian mencakup
al tabâyun dan al tabyîn yakni proses mencari kejelasan (al
zhuhûr) dan pemberian penjelasan (al izhhâr); upaya memahami
(al fahm) dan upaya memahamkan (al ifhâm); perolehan makna
(al talâqî) dan penyampaian makna (al tablîgh)22.
Ibn Wahab memfokuskan pemahamannya pada masalah
lafazh dan makna kemudian mengkaitkannya dengan
pembahasan ahli Ushul tentang khabar, qiyâs, syarat-syarat
validasi dan tingkatan-tingkatan kebenaran. 23 Upaya-upaya di
atas terus berlanjut sesuai dengan perkembangan-
perkembangan yang mengikutinya, yang tidak mungkin
dikemukakan secara detail di sini.
Pembahasan di atas jelas melibatkan beberapa disiplin
keilmuan, yakni tata bahasa (nahwu), sastra (balâghah), fiqh
atau usul fiqh, dan ilmu kalam atau usuluddin, yang di dalam
epistimologi yang dirumuskan oleh Muhammad Abid al Jabiri,
masuk dalam kategori al Bayânî. Menurut Al Jabiri bahwa al
Bayânî merupakan suatu disiplin keilmuan yang berorientasi
pada pencarian makna atau petunjuk (al istidlâl). Kategori lain
adalah al’irfânî, yakni mencari kebenaran dengan menggunakan
ma’rifah, yakni tasawwuf. Sedangkan al burhânî yakni mencari
22 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî, hlm.38. Hanya saja menurut Jabiri bahwa al ifhâm di sini lebih dekat kepada retorika ketimbang sebagai sebuah teori pemahaman, mengingat fungsinya hanya untuk memuaskan logika dan perasaan audiens dan memenangkan debat teologi (M.Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arabî, hlm. 25).
23 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî , hlm.37.
31
kebenaran dengan menggunakan penalaran demonstratif
(burhânî), yakni filsafat. 24
Karya-karya Muhammad ibn Idris Al Syafi’i dalam ‘Ilm
Ushul Fiqh salah satunya kitab al Risâlah menurut al Jabiri
adalah sebagai fondasi pertama hermeneutika klasik al Qur’an
sebagai metode interprestasi teks dan wacana al fahm. Hal ini
karena perhatian al Syafi’i tidak lagi terbatas pada aspek
susastera dalam al Qur’an atau sekedar menafsirkan teks secara
non metodis sebagaimana yang banyak dipraktekkan para
pemikir sebelumnya. Formulasi ushul al Fiqh dari al Syafi’i telah
mengarahkan kepada perumusan metode memahami kehendak
Tuhan sebagai pembuat hukum (al Hâkim) melalui aspek-aspek
linguistik (retorika al Qur’an).
Dalam upaya merumuskan metode memahami teks seperti
al bayân, nâsikh wa mansûkh, ‘âm dan khâsh, mujmal dan
mufashal, amr dan nahy dan sebagainya, al Syafi’i melakukan
induksi metodologis dari bentuk-bentuk retorika al Qur’an
untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat generik
yang tidak lain menjadi prinsip umum bagi interprestasi yang
pada gilirannya dideduksi kembali dalam menentukan hukum
(istinbâth) dari al Qur’an. 25
Adanya afinitas antara ushul al fiqh dan hermeneutika
klasik al Qur’an bukanlah sebuah kebetulan yang
mengherankan. Karena meskipun keduanya memiliki perbedaan
istilah maupun obyek formal, tetapi pada dasarnya berada pada
24 M.Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî, hlm.383.
25 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî , hlm. 21-22.
32
kerangka epistimologis yang sama, yakni epistimologi al bayanî
yang obyek materialnya adalah al Qur’an.
Beberapa aspek metodologis dari Ushûl al Fiqh yang telah
dirumuskan al Syafi’i dalam perkembangannya kemudian,
dipinjam dan dikembalikan lebih lanjut dalam sebuah disiplin
yang disebut ‘Ulûm al Qurân atau ‘Ilm al Tafsîr.26 Sejalan dengan
kategori yang dikemukakan oleh M. Abid al Jabiri, jelas bahwa
hermeneutika al-Qur’an (Islam) berakar pada al bayânî, di atas.
Perincian di atas adalah berkaitan dengan hermeneutika al-
Qur’an tradisional. Munculnya gerakan pembaharuan (ishlah)
pada abad ke-18 ternyata membawa implikasi pada munculnya
suatu hermeneutika baru.
Hermeneutika al-Qur’an dalam pengertian modern
(diilhami oleh modernitas) ini dimulai oleh para pembaharu
India, seperti Sayyed Ahmad Khan (1817-1898M), Amir Ali
(1849-1928 M), dan Ghulam Ahmad Parwez terutama yang
berkaitan dengan demitologisasi konsep-konsep tertentu dalam
al Qur’an yang mereka anggap bersifat metodologis, seperti
konsep tentang mukjizat dan hal-hal gaib. 27 Di Mesir muncul
Muhammad Abduh (1849-1905 M) menawarkan hermeneutika al-
26 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî, 13 – 15.
27 Tentang tafsir modern al-Qur’an di India, lihat JMS. Baljon, al-Qur’an dalam interpretasi Modern, terj. Eno Syafrudin, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 1990); Taufik Adnan Amal, Pembaharuan Penafsiran Al-Qur’an di Indo-Pakistan, dalam jurnal Ulumul Quran No. 1 dan 2 Vol. III 1992. Pengertian demitologisasi seperti diungkapkan Poespoprodjo adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan cara menerjemahkan dari bahasa mitologis kedalam bahasa eksistensialis, yakni ke dalam pernyataan-pernyataan tentang kemungkinan eksistensi manusia. Diperkenalkan oleh Rudolf Bultman (1884-1976) dalam memahami kisah-kisah mitologis Bibel menurut pengalaman manusia modern.(Peospoprodjo, Interpretasi, hlm. 140-145)
33
Qur’an yang bertumpu pada analisis sosial kemasyarakatan.
Meskipun demikian mereka tidaklah merumuskan metodologi
penafsiran mereka dengan sistematik.
Tentu hermeneutika belumlah dikenal dalam tradisi
keilmuan Islam, setidaknya sebelum dekade 1980. Dekade ini
telah memunculkan tokoh-tokoh yang serius memikirkan
masalah metodologi tafsir. Sebagaimana telah disebutkan, pada
1965 dan 1966, Hassan Hanafi mempublikasikan tiga karyanya
tentang hermeneutika.28 di mana yang pertama terkait dengan
metode hermeneutika yang digunakan dalam upaya
rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh, yang kedua hermeneutika
fenomenologi di dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan
keberagamaan dan yang terakhir terkait dengan kajian kritis
terhadap hermeneutika eksistensial dalam konteks penafsiran
Perjanjian Baru. 29
Meskipun kemunculan sistematika hermeneutika al-Qur’an
mulai dekade 1960, namun pada kenyataannya baru
mendapatkan sambutan yang luas pada akhir dekade 1970,
tepatnya setelah Fazlur Rahman merumuskan hermeneutika
sistimatikanya. Arkoun beberapa tahun sebelumnya
menawarkan “cara baca” semiotik dalam penafsiran al-Qur’an
pun tidak mendapatkan sambutan luas di dunia Islam.
Tak dapat dipungkiri, bahwa Fazlur Rahman telah
menumbuhkan kesadaran baru di kalangan kaum Muslimin
tentang bagaimana seharusnya penafsiran al-Qur’an. Namun
28 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm Istighrab, hlm. 84
29 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm Istighrab, hlm. 84-86.
34
demikian, dasar metodologi Fazlur Rahman sangat kental
dipengaruhi hermeneutika yang berkembang di Barat walaupun
tak sulit pula mencari akar tradisionalnya dalam wacana
keilmuan Islam.
Melihat perincian di atas, sebenarnya tidak bisa dikatakan
bahwa hermeneutika al-Qur’an adalah hal baru dalam sejarah
pemikiran Islam, meskipun istilah hermeneutika itu sendiri baru
dikenal (dalam Islam) setidaknya sejak dekade 1960. Hal ini
disebabkan karena hermeneutika berkaitan dengan masalah
metodologi dan teori interpretasi. Artinya hermeneutika al-
Qur’an bisa diterapkan pada metodologi dan teori penafsiran al-
Qur’an yang dirumuskan oleh para pakar tafsir klasik.
Hal di atas nampak dalam beberapa tulisan tentang
hermeneutika al-Qur’an klasik yang dilakukan oleh Azim Nanji,
yang membahas tentang teori ta`wil dalam tradisi keilmuan
Ismail, D.Mc Auliffe membahas metodologi tafsir al-Tabari dan
Ibn Katsir, serta Peter Heath yang membahas metodologi tafsir
al-Thabari, Ibn Sina dan Ibn al’Arabi.30
Kata Hermeneutik atau Hermeneutika al-Qur’an dalam
beberapa tulisan di atas adalah istilah yang digunakan oleh
peneliti untuk menyebut metodologi dan teori tafsir yang
dipergunakan oleh tokoh yang ditelitinya. Ini berkaitan erat
dengan pengertian tradisional hermeneutika itu sendiri. Namun
30 Azim Nanji “Toward a hermeneutic of Quranic and Other Narrutives in Ismaili Thought” dalam Richard C.Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, The University of Arizona Press; J.D.McAuliffe, 1985, “Quranic Hermeneuties the Views of al-Thabari and Ibn Kathiir”, dalam Andrew Rippin (Ed), Approaches to the History of Interpretation of the Quran, (Oxford: Claredon Press, 1988) hlm. 46-62
35
sejalan dengan perkembangan hermeneutika di Barat,
hermeneutika al-Qur’an memiliki konotasi yang berbeda dengan
sebelumnya.
Hal di atas disebabkan karena beberapa tokoh perumus
hermeneutika al-Qur’an terinspirasi oleh hermeneutika
kontemporer Barat. Dalam kasus ini, kata hermeneutika tidak
lagi merupakan istilah yang diberikan oleh peneliti “luar”, tetapi
telah dipergunakan oleh orang Islam sendiri, seperti Hassan
Hanafi, Fazlur Rahman, Maulana Farid Esack, Amina Wadud
Muhsin dan beberapa yang lain.31
Tentu hal di atas bukan sekedar perubahan atau
pengadopsian istilah, tetapi membawa konsekuensi pada
perumusan metodologinya. Hermeneutika al-Qur’an
kontemporer sangat mempertimbangkan keterkaitan struktur
triadik; teks, penafsir dan audiens sebagai sasaran teks.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dilihat dalam
hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Tetapi perlu dijelaskan di
sini, bahwa struktur triadik itu telah hidup dalam hermeneutika
al-Qur’an tradisional, yakni dalam tradisi keilmuan al Bayanî,
terutama Ushul Fiqh.
Jadi, sampai di sini dapat disimpulkan bahwa
hermeneutika al-Qur’an terbagi ke dalam hermeneutika al-
31Hal ini nampak tulisan-tulisan mereka. Lihat, Hassan Hanafi dalam ketiga karyanya dekade 1960, juga dalam Religious Dialogue and Revolution (Kairo: Anglo Egypt Bookshop) dan al-Dîn wa al Tsaurah, vol. I dan II ( Kairo :Maktabah Madbuli, 1987 dan 1989); Fazlur Rahman, Islam and Modernity ( Chicago: The University of Chicago Press, 1982); Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim World. Vol. 83, no. 2 (April,1993), hlm. 144-141 dan beberapa karyanya yang lain; serta Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women.(Kuala Lumpur; Fajar Bakti, 1992).
36
Qur’an tradisional dan kontemporer. Pemilahan ini bukan
berdasarkan atas fase kesejarahan, tetapi atas kriteria
metodologinya. Hermeneutika al-Qur’an tradisional adalah
hermeneutika al-Qur’an pra-perumusan sistematik, dan
hermeneutika al-Qur’an kontemporer adalah mulai perumusan
sistematik itu sendiri. Secara sepintas keduanya telah
disinggung di atas.
C. Model Hermeneutika Al-Qur’an Pertama Muqatil Bin
Sulaiman
Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al Balkhi lahir di Balkh,
Khurasan. Tahun kelahirannya menurut beberapa literature yang
ada, seperti yang diutarakan oleh DR. Abdullah Mahmud
Syahatah sekitar tahun 106 H. dan wafat tahun 150 H/ 763 M.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Muqatil menyatukan
antara metode bi al ma`tsûr dan metode bi al ‘aql.32
Beberapa referensi menyatakan bahwa Muqatil bin
Sulaiman (w.150H) membantah konsep perwujudan Tuhan
dalam diri manusia (tajsim). Dia juga pernah berdebat dengan
Jahm ibn Shafwan (w. 128 H). Judul buku Muqatil, Al Asybâh wa
Al Nazhâ’ir, merupakan kitab hermeneutika al-Qur’an pertama
yang sampai kepada kita yang menurut pengeditnya
kemungkinan mempunyai banyak nama di antaranya Al Âyat al
Mutasyâbihât.33 buku tersebut menunjukkan adanya kesan
32 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, diedit oleh Abdullah Mahmud Syahatah, Kairo: Al Hai`ah al Mishriyyah, 1994, hlm. 12-60
33 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al Qurân al Karîm, hlm.81. Kitab ini merupakan potongan dari Al Wujûh wa al Nazhâ`ir. Di dalam karya tafsirnya Muqatil menyebutkan beberapa orang mufasir dalam kalangan
37
keragaman makna teks (dalâlah) pada satu kata karena
mengikuti keragaman arah kalimat.
Buku tersebut dianggap sebagai implementasi pernyataan
‘Ali ibn Abu Thalib sebelumnya “al-Qur’an hammâl aujuh”
bahwa al-Qur’an memiliki perspektif yang beragam.34 Eksplorasi
tentang keragaman makna bagi satu teks ini beredar di kalangan
mufasir sehingga menjadi pembahasan khusus ilmu al-Qur’an
yang tertuang dalam bab “Al Wujûh wa Al Nazhâ`ir” (Ragam
Perspektif dan Perbandingan), salah satu cabang ‘Ulûm al-
Qur’an, sebagaimana bab-bab lainnya seperti al Nâsikh wa
Mansûkh, I’rab, dan sebagainya. Bab tersebut diperkenalkan oleh
Imam Al-Suyuthi dalam uraiannya, “Keragaman perspektif”
merupakan bagian musytarak (sinonim) yang digunakan untuk
banyak makna, seperti kata ummah (umat). Ada yang
mengatakan bahwa al nazhâir (perbandingan) hanya berlaku
pada kata atau teks, sedangkan wujûh (sisi persamaan) berlaku
dalam makna.35
tabi’in seperti Said Ibnu Jubair, Mujahid Ibn Jabr dan Dahhâk Ibn Muzâhim (w. 105/723). Said Ibn Jubair dan Mujahid Ibn Jabr adalah murid langsung dari Abdullah Ibn ‘Abbas. Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti tafsir Khamsumi`ah Âyat min al-Qur’an, al Tafsîr fî Mutasyâbih al-Qur’an dan al Tafsîr al Kabîr. Pada zamannya, tafsir Muqatil termasuk karya yang dijadikan panduan para ulama lain. Sufyan Ibn Uyainah (107-198/ 725-814) misalnya, mempelajari karya Muqatil. Imam al Syafi’i (w. 204/ 820) juga punya akses ke tafsir Muqatil. Ia menganggap Muqatil sebagai pemimpin di dalam kajian literature tafsir. Beberapa salinan tafsir Muqatil terus beredar di abad ke-3 dan dipelajari oleh para ulama seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal (213-290/ 828-903) (Nabia Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary and Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 101).
34 Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, Beirut: Al Markaz al Tsaqafî al ‘Arabî. cet.iii 1996, hlm.97.
35 ‘Abd al Rahman Jalal al Din al Suyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut: Dar al Fikr,1982 hlm.141.
38
Karya Muqatil membentangkan beberapa kata dan kalimat,
bahkan juga huruf yang terdapat dalam al-Qur’an. Dia berupaya
untuk mempersingkat arah makna-makna kata, kalimat dan
huruf dengan mendasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Di sini,
terkesan bahwa Muqatil mengkaji dengan serius dan
menjelaskan makna teks dalam bentuk redaksinya yang
beragam. Artinya, pemikiran tentang perpindahan makna teks
(dalâlah) dari satu makna ke makna lain sudah ada dalam benak
Muqatil. Ini terjadi, meskipun dia tidak berupaya menyingkap
hubungan antara petunjuk teks (dalâlah) atau ragam
persamaan yang terdapat dalam satu kata. 36
Penamaan makna-makna dengan nama wujûh (ragam
perspektif) memperkuat dugaan adanya keragamaan
penunjukkan terhadap satu kata dan perbedaannya dari satu
bentuk ke bentuk lain, serta dari satu redaksi ke redaksi lain.
Muqatil menegaskan, “Seseorang tidak dianggap ahli fiqih
kecuali dia mengetahui al-Qur’an dari berbagai perspektif.37
Muqatil mengetahui pasti bahwa satu kata mempunyai
makna atau segi tertentu. Dia juga menyadari bahwa makna dan
segi lainnya berasal dari satu kata itu. Ketika mengisyaratkan
kepada makna aslinya, dia mengatakan, “Inilah makna
denotatifnya (al ma’nâ al haqîqî)”. Maksud perkataan itu bahwa
sebuah kata mempunyai satu makna asli yang populer dan bisa
dipahami secara spontan ketika diucapkan. Misalnya, dalam al-
Qur’an kata “maut” digunakan untuk lima arti : air mani, sesat
36 Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, Beirut: Al Markaz al Tsaqafî al ‘Arabî. cet.iii 1996, hlm. 98.
37 Al Suyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. hlm. 141.
39
dari tauhid, tanah yang gersang, tanah yang ditumbuhi sedikit
tanaman, dan hilangnya nyawa. 38 Dari kelima arti itu, empat
pertama digunakan untuk makna skunder (ma’nâ far’î) dan
makna kelima adalah makna primer (al ma’nâ al ashlî). Muqatil
menegaskan bahwa mati dalam pengertian melepasnya ruh
digunakan dalam firman Allah “Sesungguhnya kamu akan mati
dan mereka pun akan mati” (Q.S. al Zumar /39: 30), dan “Setiap
jiwa akan merasakan kematian”(Q.S. Ali Imrân /3: 185). Dengan
demikian, makna terakhir itulah yang merupakan makna asli
atau makna primer dari kata “mati” sedangkan beberapa arti
sebelumnya adalah makna sekunder.
Muqatil juga menempuh metode seperti itu, ketika
menghadapi ungkapan dan redaksi kalimat dalam al-Qur’an. Dia
tertegun ketika sampai pada kata hasanah (kebaikan) dan
sayyi`ah (keburukan), al zhulumât (kegelapan) dan al nûr
(cahaya), al thayyib (bagus, bersih) dan al khabîts (kotor, jijik),
aqâma al shalâh (mendirikan shalat), mâ baina aidîhim wamâ
khalfahum (apa yang ada di hadapan mereka dan
dibelakangnya), mustaqarrun wa mustauda’ (tempat tetap dan
tempat simpanan).39
Muqatil memahami bahwa ada makna yang tersurat dan
yang tersirat. Misalnya, kata al zhulumât wa al nûr memiliki dua
arti. Pertama, al zhulumât adalah menyekutukan Allah (syirk),
sedangkan al nûr (cahaya) adalah iman kepada Allah, seperti
38 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 226-227.
39 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 107, 116, 127, 129, 215, dan 313.
40
dalam firman-Nya : “Allah pelindung orang-orang yang beriman.
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya”. (Q.S.
al Baqarah /2: 257). Maksudnya, mengeluarkan dari perbutan
syirik menuju keimanan. Demikian juga dalam Surah al Ahzâb
/33: 43, “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-
Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan
kamu dari kegelapan menuju cahaya”. Maksudnya dari
perbuatan syirik menuju keimanan. Kedua, al zhulumât adalah
malam, sedangkan nûr (cahaya) adalah siang. Ini bisa ditemukan
dalam Surah Al An’âm /6: 1, “segala puji bagi Allah yang
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan
terang”. 40 Dalam hal ini, Muqatil tidak memahaminya dengan
arti syirik dan keimanan, tetapi menakwilkannya dengan siang
dan malam. Dari sini, tampak bahwa dia bermaksud
menjelaskan adanya arti yang beragam dalam al-Qur’an.
Jika suatu kata mempunyai perspektif beragam, demikian
juga satu huruf. Dalam hal ini, Muqatil menguraikan makna
huruf yang beragam, namun dia tidak menjelaskan makna yang
asli dan yang bukan. Dia hanya menunjukkan bahwa kedua
makna mempunyai perspektif makna yang beragam. Ini akan
memperkuat dasar penafsiran al-Qur’an dan ilmu-ilmu al-Qur’an
yang menjadi paradigma bagi perkembangan peradaban Islam,
khususnya kajian bahasa dan susastra.
Selain itu, isitilah matsâl oleh Muqatil diuraikannya dengan
melihat hubungan antara makna asli dan makna kiasan. Hal itu
terjadi ketika dia menafsirkan kata mâ`a (air) yang disebutkan
40 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 116-117.
41
dalam al-Qur’an. Dia berpendapat bahwa kata tersebut
mempunyai beberapa arti: air hujan, air mani, dan al-Qur’an.
Maksudnya, sebagaimana air adalah sumber kehidupan,
demikian pula al-Qur’an yang merupakan sumber kehidupan
bagi orang yang mengimaninya.41
Menurut Abu Zaid, kitab Al Asybâh wa Al Nazhâ`ir karya
Muqatil ibn Sulaiman merupakan kitab yang berlawanan dengan
pemikiran Mu’tazilah khususnya tentang paradigma al
mujassimah atau al musyabbihah. 42Para sejarahwan
menginformasikan bahwa Mutaqil telah menyusun banyak buku,
di antaranya Mutasyâbih al Qur’an dan al Âyat al
Mutasyâbihât.43 Sekalipun diyakini sebagai karya Muqatil, kitab-
kitab tersebut tidak mendefinisikan al mutasyâbihât dalam
istilah Mu’tazilah. Kitab ini lebih banyak berisi penolakan
terhadap kelompok yang meragukan al-Qur’an dan meyakini
adanya pertentangan dalam al-Qur’an.44 Dengan demikian,
pengertian al mutasyâbih dalam kitab tersebut lebih dekat
kepada pengertian kebahasaan, yaitu ayat-ayat yang sulit
dipahami. Pembahasan kitab al Asybâh wa al Nazhâ’ir tentang al
mutasyâbih tidak lebih dari itu.
41 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 181 lihat pula hlm. 223 bentuk lain dari kata nâr.
42 Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, hlm. 148.
43 Ahmad Mushthafa al Maraghi, Târîkh ‘Ulûm al Balâghah al ‘Arabiyah, Kairo: Al Bâbî al Halabî, 1950, cet.I, hlm. 43. lihat pula Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, Beirut: Al Markaz al Tsaqafî al ‘Arabî. cet.III. 1996, hlm.148.
44 Muhammad Zaglul Salam, Âtsar Al-Qur’an fî Tathawwur al Naqd al ‘Arabî, Kairo: Dar al Maarif, 1968, cet. III, hlm.39-40.;Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, hlm.148
42
Ketika Muqatil ibn Sulaiman membahas ayat muhkam dan
mutasyâbih (Q.S. Ali Imrân /3: 7), dia hanya mengulang
pendapat Ibn ‘abbas yang menerangkan bahwa ayat mutasyâbih
adalah huruf-huruf muqatha’ah yang terdapat di awal surah.
Dia pun memberikan pengertian takwil sebagai yang ditakwil
(mu`awwal) dan menolak kemungkinan mengetahui ayat-ayat
mutasyâbih dengan cara takwil. 45 Muqatil menerapkan konsep
ini pada ta`wîlahû dalam ayat ibtighâ`a al fitnati wa ibtighâ`a
ta`wîlihi (Q.S. Ali Imrân /3: 7). Dia menafsirkan sebagai
“banyaknya (kekuasaan) yang dimiliki Muhammad beserta
kaumnya”. Orang-orang Yahudi ingin mengetahui seberapa
besar jumlah kekuatan Muhammad dan umatnya agar mereka
dapat mengalahkan umat Muhammad dan mengembalikan
kekuasaan kepada orang-orang Yahudi. Firman-Nya, “Wa mâ ya’
lamû ta`wîlahû illa Allah” (Q.S. Ali Imrân /3: 7), artinya “tidak
ada yang mengetahui kekuasaan Muhammad dan kaumnya
kecuali Allah SWT”. Karena mereka berkuasa hingga hari kiamat
dan orang Yahudi tidak akan mengambil bagian di dalamnya.
Tafsir ini bertentangan dengan pengertian muhkam dan
mutasyâbih dari segi etimologis sekalipun sesuai dengan istilah
takwil yang dibahas oleh Muqatil.
Konsep kedua yang ditampilkan Muqatil ibn Sulaiman
dalam kitabnya adalah konsep tajsîd (penyerupaan Allah dengan
makhlukNya) dan irjâ’ (penangguhan hukuman),46 dua konsep
yang diragukan dan ditolak kelompok Mu’tazilah berdasarkan
45 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 131.
46 Muhammad Zaglul Salam, Âtsar Al-Qur’an fî Tathawwur al Naqd al ‘Arabî, hlm.42-43;
43
argumentasi akal dan interpretasi teks. Pada dasarnya golongan
Asy’ariyyah tidak berbeda pandangan mengenai keharusan
tanzih dan takwil terhadap ayat yang kelihatannya
mempersamakan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam masalah ini,
posisi Asy’ariyyah dalam memandang tauhid tidak menjadi
musuh bebuyutan Mu’tazilah. Hanya saja, keduanya berbeda
pandangan dalam hal ru’yah (melihat) Allah di hari akhirat.
Berbeda dengan golongan Asy’ariyyah, kelompok Mujassidah
dan Zhahiriyyah (golongan yang mempersamakan Allah dengan
makhluk-Nya) justru menjadi musuh Mu’tazilah. Oleh karena itu,
penting dikemukakan di sini ayat-ayat mengenai sifat-sifat Allah
sehingga tampak bagaimana Muqatil manafsirkannya.
Muqatil ibn Sulaiman mengategorikan kata yad (tangan)
dalam berbagai ayat al-Qur’an menjadi tiga kategori. Pertama,
dia menafsirkan kata yad dengan pengertian tekstual, yaitu
“tangan”,47 seperti firman-Nya kepada iblis dalam Surah Shâd
/38: 75, “Mâ mana’aka an tasjuda limâ khalaqtu biyadayya”
(apa yang menghalangimu untuk sujud kepada makhluk yang
Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri); dalam surah al
Mâidah /5: 64, “Bal yadâhu mabsûthatâni” (bahkan kedua
tangannya dibentangkan) ; dan firman-Nya kepada Musa dalam
Surah al A’râf /7: 108, “Wa naza’a yadahû faidzâ hiya baidhâ’u
li al nâzhirîn” (Dan ia mengeluarkan tangannya, maka seketika
terlihat terang bercahaya). Dari sini, tampak bahwa dia
menafsirkan kata yad secara tekstual, yaitu “tangan” (fisik).
47 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm.321.
44
Bahkan, dia mempersamakan penafsiran -bukan tajassum
(mempersamakan bentuk)- yad Musa dengan yad Tuhan.
Kedua, Muqatil mengartikan yad sebagai mitsâl
(perumpamaan) seperti dalam firman Allah SWT. (Q.S. al Mâidah
/5: 64), “wa qâlat al yahûdu yadullâhi maghlûlah”. Kata yad di
sini adalah perumpamaan untuk “nafkah” sama seperti dalam
firman-Nya kepada Nabi dalam Surah al Isrâ’ /17: 29, “Wa lâ
taj’al yadaka maghlûlatan ilâ ‘unuqika”. Artinya, “dan jangan
halangi tanganmu untuk memberi seperti orang yang
melingkarkan tangan pada lehernya, dia tidak bisa
membentangkannya”. Contoh lain dalam Surah al Mâ’idah /5:
64, “wa qâlat al yahûdu yadullâhi maghlûlah ghullat aidîhim”.
Artinya, “Orang-orang Yahudi berkata, Allah telah menahan
tangan-Nya untuk memberi kami rezeki, sebagaimana yang
pernah terjadi pada Bani Isra`il”.48 Dari sini, Muqatil ibn
Sulaiman memahami kata yad sebagai mitsal (perumpamaan).
Dengan pemahaman ini, akan terjadi pertemuan antara takwil
dan istilah balâghah. Sebagai istilah mitsâl (perumpamaan), kata
yad tidak terbatas pada arti “tangan”, tetapi dapat dipahami
lebih luas lagi, seperti ungkapan yad maghlûlah (tangan yang
melingkar di leher) sebagai bentuk ungkapan untuk
menggambarkan sikap kikir.
Dalam ayat lain seperti “yadulâhi fauqa aidîhim” (Q.S. al
Fath /48: 10). Kata fauqa (di atas) diartikan sebagai afdhal (lebih
baik). Pemahaman ini diletakkannya dalam kategori kedua
(sebagai mitsâl). Oleh karena itu, maksud ayat tersebut adalah
48 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 322.
45
“perbuatan Allah SWT. Kepada mereka lebih baik daripada
perbuatan mereka saat bai’ah hudaibiyyah”. Kata yad-nya
sendiri ditafsirkan dalam arti ketiga, yaitu al fi’il (perbuatan). Hal
ini disadarkan pada firman-Nya dalam Surah Yasin /36: 71,
“Awa lam yarau annâ khalaqnâ lahum min mâ ’amilat aidîna
an’âman” (Dan apakah mereka tidak melihat bahwa
sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk
mereka, yaitu sebagian dari apa yang Kami ciptakan). Dengan
demikian, maksud ayat “yadullâhi fauqa aidîhim” dalam surah al
Fath /48: 10 adalah “perbuatan Tuhan kepada mereka lebih baik
dibandingkan perbuatan-Nya saat Perjanjian Hudaibiyah”.
Adapun maksud ayatpada Surah Yasin /36: 35, “wa mâ
‘amilathu aidîhim”, adalah “hal itu bukan perbuatan mereka”.
Adapun dalam Surah al Hajj /22: 10, arti ayat “dzâlika bi mâ
qaddamat yadâka” adalah “perbuatanmu”. Sekalipun dalam tiga
ayat tersebut arti “perbuatan” diperoleh karena ada kata kerja
‘amila dalam ‘amilat aidînâ dan ‘amilathu aidîhim, dan kata
kerja qadima dalam qaddamat yadâka ini berlaku pada ayat
yadullâhi fauqa aidîhim, baik dari segi redaksional, asbâb al-
nuzûl, maupun konteks kalimat.
Konsep Muqatil tentang penegasian ruang bagi Tuhan
lebih dekat pada takwil dan mengabaikan konsep tajsîd dan
tasybîh (persamaan Allah dengan hamba-Nya). Dia menakwilkan
kata fauqa sebagai kekuasaan,49 seperti dalam Surah al An’âm
/6: 18, “Wa huwa al qâhiru fauqa ‘ibâdihî, maksudnya
kekuasaan-Nya di atas segala kekuasaan hamba-Nya. Perkataan
49 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 232-234.
46
Fir’aun dalam Surah al A’râf /7: 127, “sanaqtulu abnâ`ahum wa
nastahyî nisâ`a hum wa innâ fauqahum qâhirûn”, maksudnya
kekuasaanku (Fir’aun) melebihi kekuasaan mereka.
Penakwilan Muqatil tentang fauqa tidak berbeda dengan
penakwilan al Zamakhsyari, bahkan dia sering sekali mengutip
pandangan Muqatil dengan mencontohkan ayat yang sama,
“fauqa ‘ibâdihi, yang menggambarkan (tashwir) kekuasaan dan
keagungan sama seperti dalam ayat “wa innâ fauqahum
qâhirûn”.
Apabila Mu’tazilah menyangsikan kemungkinan melihat
Allah, baik di dunia maupun di akhirat, karena menurut mereka
sesuatu yang bisa dilihat adalah sesuatu yang berwujud konkret
sedangkan Allah tidak, Muqatil justru berpendapat lain.
Menurutnya, Allah dapat dilihat di akhirat, bukan di dunia.50
Hanya saja, Muqatil tidak merumuskan pemikirannya secara
jelas, selain hanya sebagai pelengkap ketika berbicara tentang
persoalan yang, secara sepintas, jauh dari persoalan ru’yatullah,
yaitu ayat yang berbicara tentang al husnâ. Muqatil menakwilkan
kata al husna dengan surga. Dalam Surah Yûnus /10: 26,
potongan ayat, “li al ladzîna ahsanû al husnâ”, ditakwilkan
sebagai “orang-orang yang mendapatkan al-husna, yaitu surga”.
Sementara potongan ayat berikutnya, “wa ziyâdatun”,
ditakwilkan sebagai “melihat Allah”.51 Hal serupa diterapkan
50 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 111.
51 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm.111.
47
pada kata awwal.52 Dia katakan kata awwal dalam frasa “al
mu`minîn” berarti “pertama kali mengimani bahwa Allah tidak
dapat dilihat di dunia”. Demikian tafsirnya atas firman dalam
Surah al A’râf /7: 143.
Mengenai kata al ‘ilm untuk ilmu Allah, Muqatil
menakwilkannya dalam tiga bentuk. Pertama, al ‘ilm ditakwilkan
dengan “melihat”53 seperti firman-Nya dalam Surah Muhammad
/47: 31, “Wa lanabluwannakum hattâ na’lama al mujâhidîna
minkum”, artinya, “Kami akan menguji kalian sampai Kami
melihat orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang di antara
kalian”. Allah mengetahui orang-orang yang berjihad meskipun
mereka belum berjihad. Oleh karena itu, maksud kata na’lamû
adalah “melihat” bukan “mengetahui”. Allah tidak melihat orang
yang tidak berjihad, tetapi Allah mengetahui bahwa mereka
akan berjihad. Demikian pula dalam surah Ali Imrân /3: 142,
“Am hasibtum `an tadkhulû al jannata wa lammâ ya’lam Allâhu
al ladzîna jâhadû minkum wa ya’lam al shâbirîn”. Maksud ayat
ini, ketika cobaan dan ujian datang Allah “melihat” kesabaran
hamba-Nnya. Selanjutnya, dalam Surah al Barâ’ah /9: 16, “Am
hasibtum `an tutrakû wa lammâ ya’lam Allâhu”, artinya Allah
belum melihat. “Alladzîna jâhadû minkum” (orang-orang yang
berjihad di antara kalian).
52 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 291-292.
53 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 235
48
Kedua, al ‘ilm dimaknai sebagai ‘ilm (mengetahui).54 Hal ini
dapat dilihat dalam firman-Nya, “Ya’lamu mâ yusirrûna wa mâ
yu’linûn” artinya “Dia mengetahui apa yang kamu sembunyikan
dan kamu tampakkan” (Q.S. al Baqarah / 2: 77) dan Innahû
ya’lamu aljahra min alqauli wa ya’lamu ma taktumûn” yang
artinya “Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu
ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang
kamu rahasiakan” (Q.S. al Anbiyâ’ /2: 110). Kata ‘ilm pada ayat
tersebut dimaknai dengan makna ‘ilm itu sendiri, yaitu
“mengetahui”. Jadi, maksudnya Allah mengetahui sebelum dan
setelah terjadinya sesuatu.
Ketiga, al‘ilm ditakwilkan sebagai idzn,55 izin atau
perkenan, seperti firman-Nya dalam Surah al Nisâ /4: 166,
anzalahû bi ‘ilmih”, maksud bi’ilmih adalah “dengan izin
Tuhan”. Dengan ketiga bentuk penakwilan tersebut, sebenarnya
Muqatil ingin menekankan bahwa ilmu Allah tidak baru (tidak
diciptakan) dan tidak bersumber dari Zat-Nya. Secara
kebahasaan, kata ra`â (melihat) dapat memiliki arti ‘ilm
(mengetahui), tetapi kata ‘ilm dengan makna ra`â seperti dalam
penakwilan Muqatil, sama sekali tidak berdasar. Kesulitan ini
diungkapkan oleh Abu Ubaidah, Al-Farrâ, dan Mu’tazilah.
Penakwilan mereka lebih mendekati kebenaran tekstualitas al
Qur’an. Adapun penakwilan al ‘ilm sebagai al idzn (izin),
menarik untuk dikaji lebih lanjut.
54 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 236.
55 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 236.
49
Dengan metode yang sama, Muqatil berusaha
membuktikan bahwa Allah tidak mungkin memiliki sifat nisyân
(lupa), seperti yang tertera dalam beberapa ayat al Qur’an,
karena sifat ini adalah sifat kekurangan yang hanya dimiliki oleh
manusia. oleh karena itu, dia memilih menakwilkan nisyân
dengan dua makna, al tark dan al nasiya, tidak ingat.56 Makna al
tark (meninggalkan), antara lain terdapat dalam Surah Thâhâ
/20: 115, “wa laqad ‘ahidnâ ilâ âdama min qabl fanasiya”,
maknanya “meninggalkan” janji (melanggar); Surah al Sajdah
/32: 14, “Fadzûqû bimâ nasîtum liqâ`a yaumikum hâdzâ”,
maknanya karena kalian “meninggalkan” iman, maka
rasakanlah siksaan hari ini; Inna nasînâkum, artinya kami
“meninggalkan” kalian dalam siksaan; Surah al Baqarah /2: 237,
“Wa lâ tansawû al fadlla bainakum”, artinya jangan
“meninggalkan” keutamaan di antara kalian; dan firman-Nya,
“mâ nansakh min âyatin au nansihâ (bukan nunsiha) (Q.S. al
Baqarah /2: 106), maksudnya kami “meninggalkannya, maka
kami tidak menghapusnya”. Muqatil membaca huruf nûn pada
kata nansihâ dengan fathah. Bacaan ini berbeda dengan bacaan
yang masyhur dengan dlammah. Bagaimanapun, ayat ini masih
menyisakan polemik panjang selama kata nisyân ditakwilkan
dengan altark (meninggalkan). Hanya saja penafsiran Muqatil
terhadap kata nisyân dengan altark merupakan penakwilan
haqîqî bukan majâzî sehingga dia berusaha menafsirkan
penisbatan nisyân kepada diri Allah dengan pendekatan takwil.
56 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 239.
50
Semua tafsir Muqatil atas ayat-ayat sifat Allah hampir
mendekati literalisme Ahl Al-Sunnah, tetapi tetap menjauhkan
diri mujassadah dan musyabbahah (antropomorfisme). Oleh
karena itu, penulis sepakat apa yang dikatakan oleh editor
kitabnya tersebut setelah mengulas komentar para sejarahwan
tentang Muqatil.
“Setelah diteliti, tafsir Muqatil dan kitab-kitabnya yang
masih ada sampai sekarang sama sekali tidak mengemukakan
kata al lahm (daging) dan al dam (darah) dalam kitab Al Nahl.
Mungkin dia mengatakan hal itu di awal hidupnya kemudian
meralatnya kembali, mungkin juga musuhnya, atau Muqatil ibn
Sulaiman yang lain, seperti yang diceritakan oleh al Sakaki
dalam Al-Burhan-nya, atau periwayatan dalam ilmu kalam, atau
mungkin ketika dalam perdebatan mengenai sifat-sifat Allah
bukan dalam tulisan-tulisannya”.57
Adapun mengenai pendapat bahwa Muqatil dianggap
Murji’ah, editor kitabnya tidak menolak hal itu. Namun, dia
memandang bahwa Muqatil sebagai Murji’ah yang selaras
dengan Sunnah, bukan Murji’ah ahli bid’ah.
“Kalau kita membaca tafsir Muqatil, kita tahu bahwa dia
bukan termasuk Murji’ah ahli bid’ah yang mengatkan bahwa
maksiat bersama keimanan tidak akan membahayakan dan
ketaatan bersama kekufuran tidak akan bermanfaat. Dalam
beberapa penafsirannya, terlihat pengaruh Murji’ah, tetapi
Muqatil bukan Murji’ah ahli bid’ah. Dia termasuk Murji’ah yang
57 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 52.
51
selaras dengan Sunnah atau Murji’ah yang mendekati Ahl Al-
Sunnah”.58
Mu’tazilah tidak memisahkan antara keyakinan dan amal
dalam keimanan. Keimanan merupakan perpaduan keduanya.
Keyakinan saja tanpa amal tidak dianggap keimanan. Masalah
ini menjadi perdebatan khusus antara Mu’tazilah dan Murji’ah.
Muqatil sendiri berpendapat bahwa keimanan adalah dimensi
keyakinan (tashdiq).59 Mengenai keimanan ini, dia membaginya
menjadi empat bentuk yang semuanya masih berada di sekitar
pengertian iman sebagai keyakinan (tashdiq). Bentuk pertama,
keimanan yang hanya berupa ikrar dalam lisan, tanpa keyakinan.
Kedua, iman dengan keyakinan, baik ketika sendiri maupun
ramai. Ketiga, iman dalam arti pengesaan (tauhid). Dan keempat,
iman saat dalam kemusyrikan.
Pembagian tersebut jelas memisahkan antara iman dan
amal. Pendapatnya mengenai orang yang berbuat dosa besar
semakin meyakinkan posisi Muqatil sebagai Murji’ah. Dia
berpendapat bahwa mereka tidak akan kekal di neraka; mereka
pasti akan keluar dan masuk surga, tetapi di akhir perjalannya.60
Dia mengatakan hal ini ketika mengemukakan tafsir ketujuh
kata mâ pada “Fa amma alladzîna syaqû fa fî al nâri lahum fîha
zafîr wa syahîq khâlidîna fîha mâdâmat al samâwâtu wa al ardl”
yang artinya “Adapun orang-orang yang celaka, maka
58 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 57.
59 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 137-138.
60 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 244.
52
(tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka
mengeluarkan napas dan menariknya (dengan merintih). Mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi” (Q.S. Hûd /11:
106).
Maksud ayat ini, “Bagi ahli neraka, sesungguhnya mereka
akan tinggal di sana selamanya kecuali orang yang masih ada
tauhid di dalam hatinya. Kalau masuk neraka, mereka tidak
kekal di dalamnya. Suatu saat mereka keluar menuju surga.
Mereka tinggal di neraka selama mereka hidup di bumi”.
Perbedaan antara Murji’ah dan Mu’tazilah dalam menakwilkan
ayat ini jelas terlihat pada penafsiran Al-Qadhi Abd Al-Jabbar
berikut. “Menurut kami, maksud ayat tersebut adalah bahwa
neraka memiliki langit dan bumi yang tidak akan pernah hancur.
Demikian pula surga. Jadi, tidak mungkin mereka keluar dari
surga atupun neraka.
Dari pemaparan di atas tidak cukup mengindikasikan
bahwa Muqatil adalah kelompok yang berseberangan dengan
Mu’tazilah. Dalam ayat terakhir, Muqatil tidak menunjukkan
apakah ketidakkekalan yang dimaksud adalah untuk orang yang
berdosa besar atau orang mukmin yang disiksa karena berbuat
dosa kecil. Kelompok Mu’tazilah juga tidak pernah berpendapat
bahwa orang mukmin yang bebuat dosa besar akan kekal dalam
neraka selama dosa yang dilakukannya bukan dosa besar.
Tambahan lagi, Mu’tazilah tidak mempertanyakan apa ukuran
dosa besar karena Allah sendiri menyembunyikan hal itu agar
hambanya tidak melakukan dosa sekecil apa pun agar tidak
terjerumus pada dosa yang besar. Ketika pandangan Mu’tazilah
khususnya Al Qadhi ‘Abd Al Jabbar ini diungkapkan, batasan
53
antara dosa besar dan dosa kecil menjadi cair sehingga konsep
irja’ Muqatil perlu dipertanyakan kembali, demikian pula
konsepnya tentang al musyabbahah dan al mujassadah.
D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur’an Menurut M. Arkoun
Arkoun sebagaimana tokoh-tokoh tradisi filsafat
kontinental yang menaruh perhatian pada bidang kajian
hermeneutika, berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati,
kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus menerus
melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. 61
Demikian salah satu aspek pemikiran Arkoun yang sangat
berharga yakni usahanya memperkenalkan pendekatan
hermeneutika sebagai metodologi kritis.
Dengan mengutip pendapat Cliford Geertz, Arkoun
menyatakan bahwa untuk memahami Islam, persoalan histories
dan semiotis kebahasaan mestinya memperoleh perhatian lebih
dahulu sebelum memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat
kurangnya analisis histories sosiologis terhadap Islam, maka al-
Qur’an bisa kehilangan atau terputus dari konteks dan relevansi
historisnya, sehingga studi keislaman lalu hadir dalam paket-
paket produk ulama abad tengah yang saling terpisah dan
cenderung dianggap final. 62
61 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, Yogyakarta; LKIS, 1996, hlm. 25.
62 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 23. Arkoun tidak menafsirkan jasa besar yang dilakukan oleh para ahli fiqh, hadist, kalam dan ilmu keislaman lain sebagai prestasi mereka dalam melakukan pencatatan dan
54
Menurut cara pandang Arkoun, data kehidupan generasi
awal Islam yang disajikan dalam buku-buku klasik seperti
Târîkh al Rusul wa al Muluk karya Muhammad bin Jarir al
Thabari (w.925 M), akan memunculkan informasi dan makna
baru ketika didekati dengan cara pandang baru, terutama
dengan menggunakan metode hermeneutika histories.
Arkoun berpendapat bahwa setiap pengarang teks dan
pembaca tidak dapat lepas dari konteks sosial, politis
psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu
tertentu, maka dalam memahami sejarah yang diperlukan bukan
hanya transfer makna, melainkan transformasi makna. 63 Oleh
karena itu, menurut Arkoun pemahaman tradisi Islam selalu
bersifat terbuka dan tidak pernah selesai karena pemahaman
dan pemaknaannya selalu berkembang seiring dengan umat
Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke
zaman.
Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman
agama berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengingat antara
lain, gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung oleh
pembakuan ajaran Islam. Satu hal yang disesalkan Arkoun, mengapa pembakuan dan pembukuan ajaran agama itu melahirkan pembekuan, kejumudan atau reifikasi ajaran Islam. Menurut Arkoun, umat Islam perlu melakukan telaah ulang terhadap ideologi keagamaan yang terbentuk di abad tengah yang beberapa aspek tidak relevan lagi dengan semangat al-Qur’an dan teori-teori modernisasi. (Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 28-31).
63 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 26.
55
bahasa arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap melalui
tradisi kenabian.
Apabila pendekatan hermeneutika dipertemukan dengan
kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema yang dihadapi
adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat lalu
dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam
rangka menafsirkan realita sosial. 64 Selain hal itu, sebagai
implikasinya cukup signifikan, sebab akan terjadi dekonstruksi
penafsiran terhadap teks al-Qur’an yang sebagian
kesimpulannya sudah dianggap baku dan final. 65
Konteks selalu menyertai teks, sedangkan pada urutannya
teks kadang-kadang menjadi otonom dan fungsinya berbalik
menjelaskan serta memaksakan kategori-kategori normatif atas
realitas sosial. Dalam Islam hubungan antara teks dan konteks,
antara wahyu dan tradisi begitu dekat sehingga secara histories
dan teologis terdapat mekanisme kontrol tetapi sekaligus juga
dorongan untuk selalu berinovasi.66
64 Komariddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 137.
65 Istilah dekonstruksi diambil alih Arkoun dari Derrida. Dengan dekonstruksi, Derrida memaksudkan analisis kritis dari suatu teks atau wacana dari dalam. Hasil yang diperoleh dari pembongkaran itu adalah penangkapan makna-makna dalam teks yang sebelumnya tersembunyi, ataupun kesadaran akan batas wacana sendiri. Dengan kata lain, melalui proses pembongkaran itu yang tak terpikir dan yang tak dipikirkan dapat ditampakkan (Johan Hendrik Meuleman, “Sumbangan dan Batas semiotika Dalam Ilmu Agama”, Dalam Mueleman (Ed.) Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme, hlm. 52)
66 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernism: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun hlm. 28 menurut Arkoun semangat inovatif tersebut cenderung melakukan pembongkaran atas penafsiran dan tradisi, sedangkan pemahaman skripturalis cenderung memelihara teks, khususnya al-Qur’an dan hadist mutawatir, yang berfungsi sebagai alat kontrol atau
56
Lebih lanjut Arkoun menegaskan bahwa dekonstruksi
mesti disertai konstruksi (pembangunan) suatu wacana atau
kesadaran yang meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan
penyelewengan wacana sebelumnya. Melalui wacana
dekonstruksi, Arkoun berupaya meniadakan pemistikan,
pemitologisan, dan pengidiologian sementara pemitosan dan
pengidean dipulihkan. 67
Ironisnya menurut Arkoun, setiap dikerjakan penawaran
penafsiran kembali ajaran Islam selalu muncul kekhawatiran
“bahaya” relativitas dan sekuralisme terhadap ajaran Tuhan
yang absolut. Lebih dari itu, tuduhan yang dilontarkan para
pengkritik terhadap upaya “pembaharuan” ialah “menafsirkan
kendali semua usaha dekonstruksi penafsiran atas doktrin agama. (Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 28.)
67 Anggitan mitos, pemitosan, pemitologian, pemistikan, pengideaan, dan pengideologian dirujuk Arkoun dari Roland Barther, Paul Ricoeur, dan Frye dalam pandangan Arkoun, mitos merupakan salah satu unsur terpenting dari angan-angan sosial. Ia mempunyai fungsi menjelaskan, menunjukkan, mendasari bagi kesadaran kolektif kelompok yang mengukir suatu proyek tindakan bersejarah yang baru dari dalam suatu kisah pendirian. Pemitosan berarti pengungkapan keadaan-keadaan yang membatasi diri dari kondisi manusia seperti maut, kehidupan, dan cinta secara simbolis sebagaimana dilakukan para nabi dan penyair. Pemitologian adalah penegasan berbagai kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan kelompok besar dibalik selubung ilmiah dan rasional. Dengan kata lain, penggunaan dan penegasan mitos dengan mengingkari atau menyelubungi sifatnya sebagai mitos. Pemistikan maksudnya ialah menggunakan mitos, bertentangan dengan fungsi dan makna yang sebenarnya sebagai himpunan norma yang membenarkan keadaan sosial dan politik tertentu. Pengindeaan adalah upaya untuk membuka, memperbarui, dan memperkaya gagasan yang tersedia dalam suatu sistem pemikiran tertentu. Sedangkan ideologi adalah penggunaan sejumlah terbatas gagasan yang disederhanakan untuk mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju tindakan-tindakan tertentu. (Meuleman, ‘Nalar Islam dan Nalar Modern Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun’, dalam Ulumul Qur’an No. 4 vol. IV, Jakarta: Akasara Buana, Th. 1993, hlm. 99; lihat juga Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme, hlm. 51-52).
57
al-Qur’an menurut tuntutan zaman, padahal semestinya zaman
yang dibimbing dan ditafsirkan oleh al-Qur’an.”
Bisakah semangat dan isi al-Qur’an serta tradisi kenabian
dipahami tanpa melibatkan penafsiran pendapat dan
kecenderungan subyektif penafsirannya? Dalam tradisi
hermeneutika, terutama yang diperkenalkan oleh Gadamer akan
terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman atas teks, tidak
terkecuali pada al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsiran tidak
mungkin disingkirkan.
Bahkan, secara ekstrim dikatakan bahwa sebuah teks akan
berbunyi dan hidup ketika dipahami, ditafsirkan dan diajak
dialog oleh para pembacanya. Dialog berarti pihak pembaca
memiliki ruang kebebasan dan ekonomi. Jadi, relativisme tidak
berarti nihilisme, bahkan malah mengundang semangat untuk
mencari sebuah sumber kebenaran yang selalu berada di depan. 68
Bahwa umat Islam yakin, al-Qur’an itu berlaku dan cocok
sepanjang zaman, hal itu merupakan keyakinan teologis. Tetapi
dari segi pemahaman dan pelaksanaan, klaim itu akan menuntut
pembuktian-pembuktian di samping juga harus mengakui
adanya otonomi manusia yang bebas menentukan sikap dan
pilihannya sendiri. 69 Di sinilah berlaku lingkaran hermeneutika
68 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun , hlm. 31.
69 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme:Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 13.
58
yaitu proses dialog dan integrasi yang berlangsung antara al-
Qur’an dan pembacanya.
Dari sudut historis dan filsafat linguistik, dipandang
bahwa begitu kalam Tuhan telah membumi, dan sekarang malah
menjelma ke dalam teks, maka al-Qur’an tidak dapat mengelak
untuk diperlakukan sebagi obyek kajian hermeneutika. 70
Manusia tidak berjumpa langsung dengan Tuhan atau malaikat
Jibril sebagaimana yang dialami oleh Rasullallah, melainkan
hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan melalui
rantai-rantai tradisi.
Dalam menyoroti al-Qur’an, Arkoun menolak dua
pendirian ekstrim tentang al-Qur’an. Pertama, menggambarkan
al-Qur’an sebagai hal yang serba transenden tanpa hubungan
apapun dengan sejarah manusia yang kongkrit. Kedua,
mereduksi al-Qur’an pada gejala historis saja yang timbul pada
saat tertentu dalam perkembangan manusia.
Menurut Arkoun, al-Qur’an lahir dalam konstruksi historis
tertentu dan dipahami sesuai dengan tradisi dan kebudayaan
manusia tertentu, karenanya makna al-Qur’an harus dikaji atau
harus berusaha menggali suatu makna yang tetap relevan
dengan manusia modern. 71
70 Artinya teks al Qur’an kemudian memiliki dua dimensi sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan metahistoris. Penekanan yang berlebihan pada pendekatan deduktif absolutistik menyebabkan dimensi historis al-Qur’an akan tertutup sehingga kurang dialogis dengan alam pikiran manusia yang ingin berdialog dan menafsirkannya (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 137)
71 Johan Hendrik Meuleman, “Pengantar Penyunting” dalam Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, (Jakarta. INIS, 1997), hlm.xiii.
59
Tugas hermeneutika sebagaimana yang diungkapkan oleh
Schleirmacher sebagai pengaruh dari Frederich Aast adalah
membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta isi
situasinya menurut zamannya. Dalam hal ini hermeneutika
difungsikan untuk menelaah isi dan maksud yang
mengejawantah dari sebuah teks sampai kepada maknanya yang
terdalam dan laten. 72
Untuk kepentingan analisisnya terhadap al-Qur’an, Arkoun
membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama,
sebagai firman Allah yang trasenden tak terbatas dan tak
diketahui oleh manusia. Tingkat kedua menunjuk penampakan
wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur’an anggitan ini
menunjuk pada realitas firman Allah sebagaimana diwahyukan
dalam bahasa arab kepada Muhammad saw dalam kurang lebih
22 tahun dan Arkoun mengistilahkannya dengan wacana Quran. 73
Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah
tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda
yang ada di dalamnya. Kaitan dengan al-Qur’an, anggitan ini
menunjuk al Mushaf al Ustmani yang disebut Arkoun dengan
Corpus official close (canon resmi tertutup).
72 Richad E. Palmer. Hermeneutic, Evanston: North Western University Press, 1969 hlm. 43.
73 Wacana yang dirujuk Arkoun dari Foucault ialah cara manusia membicarakan kenyataan. Anggitan lain yang dirujuk yakni epistem yaitu sistem pemikiran yang dengannya manusia menangkap kenyataan. Johan Hendrik Meuleman, (Ed.), Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta : INIS, 1994, hlm.21.
60
Untuk memahami anggapan Arkoun tentang wahyu Ilahi
yang tercatat dalam corpus resmi tertutup adalah baik jika
menelusi beberapa hipotesa kerja Arkoun berkenaan dengan al-
Qur’an yang diajukannya dalam artikrl “Pour un Remembrement
de le Conscience Islamique’ (Menuju Pemersatuan Kembali
Kesadaran Islam) sebagai berikut ini.
Pertama, al-Qur’an merupakan sejumlah pemaknaan
potensial bagi seluruh umat manusia, sehingga dapat ditafsirkan
secara beraneka ragam. Kedua, pada tahap pemaknaannya yang
potensial, al-Qur’an mengacu kepada agama Islam (Ideal) yang
transenden juga transhistoris. Sedangkan pada tahap
pemaknaan aktual (penafsiran) seperti dalam berbagai doktrin
teologis, yuridis dan politis. Ia kemudian menjadi mitologi dan
ideologi yang diberikan makna transenden. Ketiga, al-Qur’an
adalah teks terbuka, tidak satupun yang berhak mengklaim
bahwa penafsiran yang dihasilkannya merupakan penafsiran
yang paling benar, dan menutup kemungkinan penafsiran pihak
lain. Keempat, de jure teks al-Qur’an tidak mungkin disempitkan
menjadi ideologi, karena teks itu menelaah berbagai situasi
batas kondisi manusia. 74
Arkoun mengamati bahwa dengan kelahiran teks al-Qur’an
telah terjadi perubahan mendasar di kalangan umat dalam
memahami wahyu. Nalar grafis didesak oleh logos pengajaran.
Dari gejala-gejala yang diamatinya Arkoun ingin menjelaskan
74 Meuleman, ‘Nalar Islam dan Nalar Modern memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun’, dalam Ulumul Qur’an no. 4 vol. IV, Jakarta: Akasara Buana, Th. 1993, hlm. 97; Lihat pula Johan Hendrik Meuleman, Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme, hlm. 49-50.
61
bahwa telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami
dari segala dimensinya.
Firman kenabian dimistikkan menjadi firman yang
berorientasi pada pengajaran, yakni berorientasi pada abstraksi
tanpa memperhitungkan secara serius pihak-pihak yang mula-
mula dituju oleh firman itu. Kalau diungkap dalam kategori
semiotika, teks al-Qur’an sebagai parole didesak oleh teks
sebagai langue. 75
Mengenai teks itu, lebih dekat pada konsep langue atau
sistem tanda yang memisahkan diri dari parole, yaitu sebuah
event (peristiwa) wacana. Oleh karena itu, sebuah teks
cenderung kehilangan dimensi spontanitasnya karena subyek
pembicaraan atau penulis tidak hadir. 76
Dengan demikian, hermeneutika bertugas untuk
menjembatani distansi antara penulis dan pembaca yang antara
keduanya dihubungkan dengan teks serta merekonstruksi atau
menghidupkan sebuah teks dalam jaringan interaksi antara
75 Istilah parole dan langue diadopsi Arkoun dari Ferdinand de Saussure, parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Meuleman, ‘Nalar Islam dan Nalar Modern Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun’, dalam Ulumul Qur’an no. 4 vol. IV, Jakarta: Aksara Buana, Th. 1993, hlm. 101. Dua istilah tersebut dapat ditelusuri pengertiaanya seperti berikut ini. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari kamus umum (langue). Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi tetapi juga sekaligus saling ketergantungan. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi, hasil kegiatan parole, dan pihak lain pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sistem (Sudjiman dan A Van Zoest, Serba-Serbi Semiotika, Jakarta, Gramedia, 1992, hlm. 57.)
76 Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 146. Karena hermeneutika berusaha menelusuri relasi dan kemudian merekonstruksi jaringan makna dan motivasi antara dunia pengarang dan dunia pembaca datang dari kurun waktu dan tradisi yang berbeda, maka hermeneutika sebagai filsafat penafsiran, terbuka bahkan mengundang dan disiplin lain ( Sumaryono, Hermenutik. Hlm. 145).
62
pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca dan
situasi batin serta sosial yang melingkupinya agar sebuah
statemen tidak mengalami sliensi yang dapat menyesatkan
pembaca.
Untuk membuat interpretasi terhadap al-Qur’an, orang
terlebih dahulu harus mengerti dan memahami, 77 dan untuk
memahami al-Qur’an penguasaan gramatika dan gaya bahasa
arab sangat diperlukan, sebab tanpa keduanya penafsiran akan
kehilangan peta dan arah .78Dalam memahami, sebenarnya
terjadi dialog secara imajinatif antara pembaca dengan
pengarang. Oleh karena lawan dialog tidak hadir melainkan
diwakili oleh teks (al-Qur’an), maka semiotika salah satu
penunjuk jalan untuk sampai pada sasaran. 79
“Nalar Islami” dimaksudkan oleh Arkoun adalah nalar
ortodoksi, epistimologi skolastik atau pemikiran Islam klasik
(sebagaimana istilah yang dipakai oleh Hassan Hanafi).
Keprihatinan Arkoun bersama pemikir lainnya seperti Fazlur
Rahman demikian juga Hassan Hanafi untuk batas-batas
77 Sumaryono, Hermeneutik, hlm.31.
78 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 165
79 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 163. Karena inilah barangkali Arkoun berpendapat bahwa analisis linguistis, semiotis dan hermeneutis memberikan sumbangan yang besar bagi kajian Islam. Linguistik dapat menerangkan bagaimana al-Qur’an dan tulisan para ulama serta para fuqaha tentang al-Qur’an dirumuskan menurut sistem kebahasaan tertentu, dengan berbagai aturan dan mekanisme tata bahasa, gaya dan kosakata yang walaupun secara tidak disadari, sangat berpengaruh. Semiotika yang berkembang dari ilmu bahasa menjelaskan bahwa al-Qur’an berfungsi dan difahami dengan cara tertentu, karena merupakan sehimpunan tanda yang saling merujuk dan saling memaknakan. Sedangkan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran menjelaskan bagaimana sebuah karya dipahami dengan aneka cara. (Johan Hendrik Meuleman, Berbagai Pembacaan Quran, hlm. xi-xii).
63
tertentu ditimbulkan oleh persoalan berikut: Mengapa ilmu-ilmu
agama Islam, seperti fikih, kalam, falsafah, tasawuf, tafsir itu
“tetap” seperti itu adanya, baik dari segi bentuk, muatan
maupun metodologinya. Sejak ilmu-ilmu itu disusun, kemudian
disusul oleh rentang waktu abad ke-12 sampai abad ke-18 M,
belum ada perubahan-perubahan yang cukup berarti. Padahal
kehidupan manusia telah berubah begitu fantastisnya baik dari
segi kualitas maupun kuantitas dari segi intensitas maupun
eksistensinya.
Arkoun ingin mencoba menelaah kenyataan itu lewat
disiplin ilmu-ilmu social modern untuk memperoleh gambaran
dan kejelasan serta sekaligus ingin mengungkap dan membedah
realitas yang menyelimuti “ilmu-ilmu” agama Islam tersebut.
Untuk menghindari kesalah fahaman, barangkali perlu
ditegaskan di sini bahwa Arkoun memang bukan berkehendak
untuk meruntuhkan doktrin-doktrin agama Islam yang sudah
pokok, namun, sudut bidik analisisnya hanya terpusat kepada
“konstruksi,” “konsepsi epistimologi” atau “metodologi” yang
dahulu digunakan oleh kreativitas para penemu pencetus dan
penyusun “ilmu-ilmu” agama Islam era klasik-skolastik.
Demikian juga terhadap Hassan Hanafi sebagai ilmuan
Islam yang sezaman dengan Arkoun, yang juga menyatakan
keprihatinan yang sama. Walaupun diagnosis yang ditawarkan
oleh Hassan Hanafi masih berbobot teologi atau kalam sentris
sehingga kurang begitu menyentuh realitas social empiris yang
harus ditelaah lewat bantuan metodologi, temuan-temuan dan
hukum-hukum sosial betapapun relatifnya hukum-hukum sosial
tersebut.
BAB III BIOGRAFI HASSAN HANAFI A. Sosok Intelektual Hassan Hanafi
Nama lengkap Hassan Hanafi ialah Hassan Hanafi
Hassanein. Ia dilahirkan tanggal 13 Februari 1935 di Kairo,
tepatnya di lokasi sekitar tembok benteng Shalahudin, daerah
yang tidak terlalu jauh dari perkampungan Al-Azhar, Mesir.
65
Meskipun Hassan Hanafi sebagai seorang filosof dan teolog1
namun, ia tumbuh di keluarga musisi.2
Pendidikan Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948
dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar dan melanjutkan
studinya di Sekolah Menengah “Khalil Agha” Kairo yang
diselesaikannya selama empat tahun. 3 Semasa di Sekolah
Menengah, ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran yang
dikembangkan Ikhwan al Muslimin dan aktivitas-aktivitas
sosialnya. Ia juga tertarik untuk mempelajari pemikiran-
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak
itu ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama,
revolusi dan perubahan sosial. 4
Pada tahun 1952 Hanafi melanjutkan studinya di
Departemen Filsafat Universitas Kairo, dan ia menyelesaikannya
selama empat tahun dengan gelar sarjana muda pada 1956. Di
1 John L.Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, New
York: Oxford University Press, 1995, Vol III, hlm. 98.
2 Hassan Hanafi pernah bercita-cita menjadi seorang musikus. Dia berpandangan bahwa musik adalah ekspresi keindahan tetapi bukan pemikiran. Sedangkan filsafat mencerminkan pemikiran namun, “kering” keindahan. Hassan Hanafi berpandangan bahwa dalam filsafat Romantisisme ditemukan kesatuan antara keduanya, yaitu antara intelektualitas dan estetika, terutama pada Hegel, Fichte, Scelling, Kierkegaard dan Bergson. “Itulah pilihan saya sampai sekarang” ungkap Hassan Hanafi (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, Kairo: Maktabah Madbuli, Vol. VI, hlm. 242-243).
3 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World. Hlm 98.
4 Hassan Hanafi, “Al Salafiyah wa ‘Ilmiyah fî Fikrinâ al Mu’âshir” dalam Azminât, 1989, Vol. III, hlm. 15.
66
samping ia mendalami filsafat juga mempelajari ilmu-ilmu
keislaman dan teori-teori sosial. 5
Hassan Hanafi meraih gelar sarjana muda filsafat di
Universitas Kairo pada 1956. Selanjutnya pada tahun 1956
Hanafi memperoleh kesempatan studi strata yang lebih tinggi di
Universitas Sorbonne Prancis.6 Di Prancis ini, Hanafi merasakan
sangat berarti bagi perkembangan pemikirannya, dan di
Prancislah ia berlatih berfikir secara metodologis, baik melalui
kuliah-kuliah ataupun karya-karya orientalis. 7
Terakhir belajar di Perancis pada tahun 1966, ia berhasil
menyelesaikan program master dan doktornya di Universitas
Sorbonne dengan mengajukan tesis Les Methodes d’Exegeses:
Essai sur La Science des Fondamens de la Comprehension, ‘Ilm
Ushul Fiqh. Gelar doktor juga diperolehnya dari Universitas
Sorbonne Paris dengan disertasinya berjudul “L’Exegeses de la
Phenomenologie, L’etat Actuel de la Methode Phenomenologie et
5 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, hlm.
98
6 Prancis dikenal sebagai negeri tempat lahirnya aliran-aliran filsafat, seperti Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650). Positivisme Auguste comte (1798-1897), Dekonstruksionisme Derrida (1930). Di samping itu, Universitas Sorbonne dikenal sebagai Universitas yang maju, terbukti dengan lahirnya para pembaharu Islam lulusan Universitas tersebut, yaitu Taha Husein dan Qosim Amin, John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, hlm. 98.
7 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VII, hlm. 332. Selanjutnya, ia menuturkan bahwa selama di Prancis, ia mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton seorang reformis Katolik. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan mengenai analisa kesadaran ia belajar pada Husserl. Pada bidang pembaharuan, ia belajar pada L. Massignon yang juga sekaligus sebagai pembimbing dalam menulis disertasinya tentang pembaharuan Ushûl Fiqh (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VII, hlm. 332).
67
son Application au Phenomeme Religiuex.” 8 Sebuah karya yang
merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu
Ushûl Fiqh (Teori Hukum Islam) pada mazhab filsafat
fenomenologi dari Edmund Husserl. 9
Karir Hassan Hanafi dimulai dengan diangkatnya menjadi
Lektor (1967), kemudian menjadi lektor kepala (1973) dan
professor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo.
Kemudian sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 ia
diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo. 10
Selain itu, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah di
negara lain, seperti di Prancis (1969), Belgia (1970), Temple
University Philadelphia, AS (1971-1975), Universitas Kuwait
(1979), Universitas Fez Maroko (1982-1984) dan menjadi guru
besar tamu di Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan
Emirat Arab (1985), kemudian diangkat menjadi penasehat
program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987). 11
8 A. Luthfi Assyaukanie, “Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik
Orientalisme” hlm. 121. Hassan Hanafi menuturkan bahwa ia tinggal belajar di Perancis selama 10 tahun dari usia 21 tahun sampai usia 31 tahun. Ia meninggalkan Mesir menuju Perancis 11 Oktober 1956 dan tiba di Marseille tanggal 17 Oktober 1956 dan pada tahun 1966 ia sudah kembali ke Mesir dengan diserahi tugas mengajar mata kuliah filsafat Kristen di Universitas Kairo (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VI, hlm. 226).
9 Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, edisi Indonesia, Jogjakarta: LKis, 1994, cet. Ke-2, hlm. xi. Menurut Abdurrahman Wahid bahwa disertasi setebal 900 halaman itu mendapat penghargaan bagi penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir.
10 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, hlm. 98
11 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, hlm. 98. Keberangkatan ke Amerika Serikat sebagai dosen tamu itu, sebenarnya dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Sadat yang memaksanya untuk
68
Aktivitas di dunia akademik ditunjang dengan aktivitas di
organisasi masyarakat. Hassan Hanafi aktif sebagai sekretaris
umum persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota
Ikatan Penulis Asia Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia
Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat
Filsafat Arab. Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi tersebut di
dunia Arab sampai ke Eropa. 12
Pada tahun 1981 ia memprakarsai dan sekaligus sebagai
redaktur penerbitan jurnal al Yasâr al Islâmî. Pemikirannya
yang terkenal dengan al Yasâr al Islâmî sempat mendapatkan
reaksi dari penguasa Mesir, sehingga pemerintahan Anwar Sadat
memasukkannya ke penjara. 13
Hassan Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan
mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra
modern.14 Karena itu, meskipun ia menolak dan mengkritik Barat
seperti disebut Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat,
demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah
meninggalkan Mesir. Sementara di Maroko ia diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fez. (John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, hlm. 98).
12 Yvonne Yazbeck Haddad, The Contemporery Islamic Revival : A Critical Survey and Bibliography, New York: Greenwood Press, 1991, hlm. 6.
13 Yvonne Yazbeck Haddad, The Contemporery Islamic Revival : A Critical Survey and Bibliography, hlm. 6.
14 Dalam bukunya Qadlâyâ Mu’âshirah 2: fî fikri al Gharbî al Mu’âshir, Hassan Hanafi memperkenalkan beberapa pemikir Barat, seperti Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Max Weber, Edmund Husserl, Karl Jaspers dan Herbert Marcuse.
69
mempengaruhinya sehingga Shimogaki mengkategorikan Hanafi
sebagai seorang modernis liberal. 15
B. Posisi Hassan Hanafi dalam Konteks Sosial dan Politik
di Mesir
Pada masa hidup Hassan Hanafi, Mesir mengalami
berbagai transformasi besar. Saat ia dilahirkan tahun 1935,
Angkatan Bersenjata Inggris memiliki arti penting di Negara itu.
Selama masa kecilnya PD II membenbentuk semangat
Nasionalisme Mesir. Mesir merupakan pusat militer utama bagi
usaha perang kelompok Amerika Serikat. Masuknya Jerman di
Afrika Utara mengakibatkan perang di Mesir tahun 1942 dan
mengakibatkan harapan baru bagi sejumlah pemuda Mesir
bahwa Inggris pada akhirnya dapat diusir.16
Adanya Perang Dunia Kedua membawa pemerintahan
Mesir kepada krisis politik dan ekonomi. Harga kapas sebagai
komoditas adalah turun secara drastis, standar hidup berada
pada posisi terendah, orang-orang desa datang ke kota tanpa
memperoleh pekerjaan. 17 Kekuatan politik berada pada tiga
kelompok : Inggris, raja, dan partai-partai (diwakili oleh Partai
Wafd) dari kelompok nasionalis liberal. Karena kepentingan yang
15 Kazuo Shimogaki, Kazuo Shimogaki, Between Modernity and
Postmodernity The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi's Thought: A Critical Reading, Niigata: Chyutto Kenkyuzo, 1988, hlm. 1.
16 John L. Esposito dan John O. Voll, “Hassan Hanafi: The Classic Intellectual” dalam buku Esposito dan Voll, Makers of Contemporary Islam, hlm. 73.
17 Ira M. Lapidus, A History in Islamic Societies, Cambridge: Cambridge University Press. Cetakan ke-2, 1993, hlm. 627
70
berbeda, di antara ketiga kelompok saling terjadi konflik. Suatu
saat Inggris berkoalisi dengan raja untuk memusuhi tokoh-
tokoh Wafd. Di pihak lain kelompok Wafd bekerjasama dengan
Inggris untuk mengadakan liberalisasi dan modernisasi yang
akhirnya harus berhadapan dengan raja yang menghendaki
status quo. Dengan penguasaan Inggris atas militer, maka mudah
bagi kelompok wafd untuk tetap mempertahankan dominasi
dan pengaruhnya terhadap kekuatan lain. Strategi pemecah
belahan seperti ini menyebabkan lemahnya kekuatan politik
rakyat Mesir, sehingga konsesi kemerdekaan yang pernah
diberikan oleh Inggris masih susah diwujudkan hingga masa
akhir ’40-an.
Lemahnya kekuatan politik di Mesir dan juga di negara-
negara lainnya, terlihat pada kekalahannya pada tahun 1948-
1949 melawan Israel yang telah memproklamasikan diri sebagai
suatu negara di Palestina secara tidak sah atas dukungan
Amerika.18 Dengan demikian, persoalan politik di negeri ini
semakin kompleks dan bertambah banyak. Jika sebelumnya
rakyat Mesir berhadapan dengan penjajah Inggris, sekarang
mereka harus melawan Zionisme dan kekuasaan Barat. Mereka
merasa bahwa hak-haknya telah diinjak-injak, bahkan dirampas
oleh orang kafir.
Oleh kelompok Islam, kekalahan atas Israel, tetap
dominannya Inggris, masuknya pengaruh asing -Barat,
18 Untuk hal ini, lihat kronologi peristiwa dalam Alain Gresh dan Dominique
Vidal, An A to to Z of the East, London : Zed Books Ltd. 1990, hal. XII.
71
kehancuran ekonomi dan moralitas bangsa Mesir saat ini dinilai
sebagai kegagalan kelompok nasionalis-liberal di dalam
memimpin Mesir. Oleh karenya, sekaligus membuat kelompok
Islam tidak percaya terhadap modernisasi dan sekularisasi yang
ditawarkan oleh kelompok liberal. Akhirnya, kelompok Islam
yang diwakili oleh Hassan Al Banna membentuk organisasi
sosial keagamaan pada tahun 1928. Semula organisasi ini
bertujuan dakwah, dalam arti mengurus soal moral, kembali
kepada ajaran Islam yang murni, dan memperbaiki kondisi
sosial umat Islam. Namun, sekitar tahun 1935-an organisasi ini
berkembang menjadi organisasi yang berafiliasi pada persoalan
politik. Ternyata organisasi ini memperoleh sambutan yang
sangat besar dari berbagai kalangan masyarakat, bahkan di
kalangan militer dan intelektual. Di tahun 1940-an Ikhwan
mempunyai dua juta anggota dan dua ribu cabang. Dari sinilah
muncul agama sebagai kekuatan alternatif yang
diperhitungkan.19
Secara diam-diam ternyata muncul kekuatan baru dari
kalangan militer di sekitar pertengahan tahun ’40-an yang
kemudian disebut kelompok Perwira Bebas. Kelompok ini
dipelopori oleh ketiga tokoh nasionalis-sosialis : Jenderal
Muhammad Najib, Jamaluddin Abdul Nasser, dan Anwar Sadat.
Kelompok ini memperoleh simpati dari masyarakat luas karena
kemampuannya di dalam mengakomodasikan diri dengan
kelompok Ikhwan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama:
19 Halat Musthafa, al Islâm al Siyâsî fî Mishr, Kairo: Markaz al Dirâsât al
Siyâsiyyât wa al Istiratijiyyât, 1992, hal. 75-77; Sayyid Athif Luthfi, Tajribah Mishr al Libraliyyât 1922-1936, Kairo: al Markaz al Arabî li al Bahts wa al Nasyr, 1981. hal. 352.
72
membebaskan tanah air dari penjajah, mengenyahkan Israel dari
Palestina, dan menyelesaikan problem yang dihadapi oleh
masyarakat Mesir dan umat Islam di negara-negara Arab.
Berangkat dari tujuan yang sama tersebut, mereka dapat bersatu
mengadakan serangan terhadap Israel, dan kemudian berhasil
melahirkan revolusi tahun 1952. 20 Dengan demikian, kekuatan
kerajaan yang absolut dan didukung oleh Inggris dapat
ditumbangkan, selanjutnya kepemimpinan Mesir dipegang oleh
Nasser hingga tahun 1970.
Dalam kepemimpinan Nasser, perombakan di bidang
politik dan ekonomi dilakukan secara besar-besaran. Mengenai
politik luar negeri, Nasser bersikap netral dari kekuatan dua
adikuasa yang sedang dalam situasi Peran-Dingin; membuat
perlawanan terhadap imperialisme dan Zionisme. Nasser
menggalang bersatunya negara-negara Arab, dan ternyata pada
tahun 1958 Mesir dan Syria bersatu untuk membersihkan
intervensi Inggris, pada tahun 1956 Nasser menasionalisasikan
Trusan Suez, kendatipun pada bulan Oktober di tahun yang
sama, Inggris, Perancis dan Israel menyerang Mesir dengan
tujuan mengadakan kontrol terhadap Terusan Suez.21 Sebagai
strategi politik dalam negeri, Nasser melenyapkan pengaruh
politik lama. Karenanya, Nasser mendesak tokoh-tokoh
konservatif maupun tokoh-tokoh liberal pada posisi marginal.
Bahkan, konflik dengan kelompok Muslim di Ikhwan terjadi
karena kelompok kedua ini tidak memperoleh tempat dalam
pemerintahannya.
20 Ira M. Lapidus, A History in Islamic Societies, hlm. 627-628.
21 Ira M. Lapidus, A History in Islamic Societies, hlm. 628-629
73
Dalam bidang ekonomi, Nasser menasionalisasikan
perusahaan-perusahaan, bank-bank pusat, dan tanah-tanah yang
semula dikuasai oleh Inggris, Perancis, dan Yahudi. Hanya sektor
perdagangan kecil saja yang diswastakan. Memang, borjuis asing
berhasil didisposisikan, namun kemudian pemerintahan baru
didominasi oleh militer, dan sekelompok elit masyarakat yang
terdiri dari perwira, insinyur, guru, jurnalis, dan ahli hukum.22
Mayoritas warga Mesir, termasuk sebagaian besar kaum
terpelajar kota, menerima dengan antusias paham sosialis Arab
dengan sosok utama Jamal Abd Naser. Hal ini merupakan
tantangan besar bagi kaum intelektual berorientasi Islam seperti
Hassan Hanafi. Sebagian, seperti Muhammad al Ghazali, tetap
pada posisi tidak pasti dalam ujung kehidupan politik yang
kadangkala dipenjara. Dalam posisi masing-masing untuk
membela, maka Hassan Hanafi bekerja untuk memperjelas apa
yang disebut dengan al Yasâr al Islâmî. Posisi ini memunculkan
oposisi baik dari Nasseris yang lebih sekuler maupun dari
kelompok Islam yang lebih militan dan konservatif, juga
menimbulkan kecurigaan Polisi Keamanan Negara dari waktu ke
waktu.
Kekalahan Arab atas Israel tahun 1967 merupakan
pengalaman traumatis, khususnya bagi generasi yang telah
beranjak dewasa. Hassan Hanafi sebagaimana anak-anak yang
segenerasinya mengalami pendalaman intelektual dan
pengkajian kembali berbagai ideology. Bagi Mesir kekalahan
yang diikuti meninggalnya Nasser tahun 1970, membawa ke
22 Ira M. Lapidus, A History in Islamic Societies, hlm. 630-631.
74
arah kepemimpinan yang secara konseptual kurang ideologis
yaitu dibawah kepemimpinan Anwar Sadat. Terbukti pada masa
pemerintahan Anwar Sadat, Israel mendapat perjanjian damai.
Hal ini memicu para militansi Islam merespon ancaman tersebut
yang berakibat pembunuhan terhadap Anwar Sadat pada tahun
1981.23
C. Perkembangan Pemikiran Hassan Hanafi
Perjalanan hidup dan perkembangan pemikiran Hassan
Hanafi, ia tuturkan dalam riwayat otobiografinya, tercakup
dalam salah satu karya utamanya, al-Dîn wa al-Tsaurah fî Mishr;
1952-1981, jilid VI, al Ushûliyah al Islâmiyah. Ia menempuh
serangkaian perkembangan kesadaran (consciousness).
Perkembangan dan perubahan yang dialaminya dari satu
kesadaran kepada kesadaran lain sangat terkait pula dengan
perubahan situasi lingkungannya yang lebih luas di Mesir.
Karena itu, dalam otobiografi tersebut, Hassan Hanafi lebih
banyak mengungkapkan keterlibatan dan partisipanya dalam
kehidupan nasional Mesir daripada kehidupan pribadi dan
keluarganya.
Sejak masih remaja, kesadaran pertama yang tumbuh
dalam diri Hassan Hanafi adalah “kesadaran nasional” (national
consciousness). Pertumbuhan kesadaran ini terkait dengan
kenyataan situasi Mesir yang dalam Perang Dunia II menjadi
sasaran serangan Jerman. Tetapi kesadaran nasionalnya
terutama dia arahkan kepada Inggris yang menduduki Mesir
23 John L. Esposito dan John O. Voll, “Hassan Hanafi: The Classic
Intellectual” dalam buku Esposito dan Voll, Makers of Contemporary Islam,hlm. 74.
75
sejak 1882. Sejak saat ini Mesir hanya menjadi bulan-bulanan
kekuatan Eropa. Semangat nasionalisme Arab semakin kuat
bertumbuh dalam diri Hassan Hanafi seiring dengan
pembentukan negara Israel pada 1948, yang sejak 1928
mendapat dukungan pemerintah Inggris melalui “Deklarasi
Balfour”, yang menjamin penciptaan “tanah-air” bangsa Yahudi
di Palestina. Karena ini pula, maka dalam kesadaran
nasionalisme Hassan Hanafi mengganggap Inggris sebagai
musuh bangsa Arab yang sebenarnya.
Semangat nasionalisme mendorong Hassan Hanafi yang
masih duduk di Sekolah Menengah “Khalil Agha” secara sukarela
membantu perjuangan Mesir dalam perang melawan Israel.
Tetapi dengan segera ia menyadari adanya perpecahan yang
tidak bisa diselesaikan di antara bangsa Arab sendiri dalam
menghadapi Israel. Perpecahan ini, menurut Hassan Hanafi,
sangat merugikan bangsa Mesir khususnya. Pada akhirnya ia
sampai kepada kesimpulan, bahwa nasionalisme Arab tidak
lebih daripada sebuah ideologi yang sangat rapuh.24
Menyimpan rasa frustasi terhadap realitas nasionalisme
Arab sekuler yang gagal menyatukan bangsa Arab, Hassan
Hanafi secara alamiah bergeser kepada Islam. Melanjutkan
pelajaran ke Universitas Kairo, ia kemudian memasuki
organisasi al Ikhwan al Muslimun (IM), yang sedang menemukan
momentumnya, bukan hanya karena IM berdiri paling depan
melawan Israel, tetapi juga karena ia percaya bahwa organisasi
ini mampu menghadapi sosialisme-komunisme yang juga
24 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VI, hlm. 218.
76
semakin kuat dalam lingkaran kekuasaan Mesir. Hassan Hanafi
kemudian aktif dalam demonstrasi-demonstrasi IM dan politik
mahasiswa di kampus Universitas Kairo.25
Masa-masa ini sampai menjelang akhir 1950-an
merupakan masa bangkitnya “kesadaran keagamaan” (religious
consciousness) dalam diri Hassan Hanafi. Pemikiran, wacana
intelektual dan aktivisme bertitik tolak dari motif-motif Islam.
Pada masa inilah ia mengenal secara lebih mendalam pemikiran
dan wacana Islam yang berkembang di lingkungan gerakan
Islam (harakah). Ia membaca dan mendalami berbagai karya
tokoh-tokoh gerakan Islam seperti Hassan al-Banna, Sayyid
Quthb, Abu al-A’la al-Maududi, Abu al-Hassan al-Nadvi, dan lain-
lain. Dalam tulisan-tulisan mereka Hassan Hanafi menemukan
semangat “kebangkitan Islam” (al nahdlah al Islâmiyah), yang
sedikit banyak mempengaruhi pandangan dunia, dan misi
intelektual yang ia bayangkan harus dipikulnya.
Tetapi, kritisisme Hassan Hanafi sebagai mahasiswa
Jurusan Filsafat, Universitas Kairo segera membuatnya
mempertanyakan isi dan metodologi pemikiran Islam harakah
tersebut, yang dalam pandangannya telah kehilangan
relevansinya dengan realitas zamannya. Karena itu, ia berusaha
menawarkan interpretasinya sendiri atas topik-topik utama
filsafat Islam dan kalam hasil pemikiran ulama abad
25 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VI, hlm. 219;
Lihat pula John L.Esposito, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995, Vol III, hlm. 98-99; atau dapat dilihat John L. Esposito dan John O. Voll, “Hassan Hanafi: The Classic Intellectual” dalam buku Esposito dan Voll, Makers of Contemporary Islam, 2001, New York: Oxford University Press.hlm. 73.
77
pertengahan. Di sinilah awal upaya Hassan Hanafi menuju
pembentukan suatu “metode Islam berdasarkan rasionalitas
tentang baik dan buruk; dan penyatuan kebenaran, kebaikan dan
keindahan”.
Sementara itu kebijakan-kebijakan semakin keras dan
opresif rezim Gamal Abd al-Nassir sejak pertengahan dasawarsa
1950-an, mendatangkan kesulitan-kesulitan pula bagi Hassan
Hanafi. Tetapi meningkatnya penindasan pemerintah Nasser
terhadap IM tidak mendorong Hassan Hanafi untuk melakukan
gerakan rahasia melawan pemerintah, karena menurut dia,
aktivitas bawah tanah bertentangan dengan wataknya. Dalam
masa-masa sulit yang dihadapi IM ini, aktivitas Hassan Hanafi
terbatas pada pengumpulan sumbangan bagi keluarga para
anggota IM yang dipenjarakan rezim Nasser.
Menjelang akhir dasawarsa 1950-an, Hassan Hanafi
berhadapan dengan berbagai krisis baik pada tingkat nasional,
terjadi krisis nasional Mesir 1956, kekacauan kehidupan
intelektual, dan meningkatnya penindasan pemerintah terhadap
IM. Pada level personal, ia menghadapi konflik dengan sejumlah
guru besarnya, sehingga ia sempat dibawa ke sidang disipliner
Universitas Kairo karena dianggap telah melecehkan mereka,
sehingga ia kehilangan statusnya sebagai mahasiswa teladan
berpredikat summa cum laude (al imtiyâz) yang semula
memungkinkannya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Berhadapan dengan semua krisis ini, Hassan Hanafi semakin
sering datang ke masjid, dan menghabiskan waktunya membaca
78
al-Qur’an dan mulai merasakan intuisi-intuisi filosofis Kitab Suci
ini.26
Pada tahap inilah Hassan Hanafi mulai bergeser kepada
tingkat kesadaran baru, yaitu kesadaran filosofis (philosophical
consciousness). Bacaannya terhadap al-Qur’an membuatnya
semakin meyakini tentang pentingnya alam kesadaran filosofis,
dan sekaligus tentang keharusan untuk melanjutkan
perjuangan. Pendidikan lanjutan dan dinamika intelektual yang
dilaminya sejak 1956 di Paris memberikan kontribusi besar bagi
penguatan transformasi kesadaran filosofisnya tersebut. Pada
masa-masa inilah Hassan Hanafi mulai merumuskan kembali
“proyek besar”-nya untuk menciptakan metodologi dan teologi
baru Islam dengan pendekatan-pendekatan baru pula.
Dalam kerangka “proyek besar seumur hidup” (lifetime
project) itu, Hassan Hanafi mengajukan rencana disertasi di
Universitas Sorbonne berjudul “The General Islamic Method”.
Judul ini menggambarkan keinginannya untuk merumuskan
Islam sebagai metode yang umum dan komprehensif dalam
kehidupan personal dan sosial. Tetapi jelas, bahwa judul ini
mencakup pembahasan yang sangat luas, sehingga sangat bisa
dipahami kalau komite disertasi menolaknya. Namun, Hassan
Hanafi memiliki obsesi luar biasa tentang subjek tersebut,
sehingga belakangan ia menulis sejumlah karya yang
mengandung tema pokok tentang metodologi dan metode Islam
tersebut.
26Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VI, hlm. 226.
79
Pengalaman di Prancis jelas sangat instrumental dalam
pembentukan wacana intelektualnya. Kembali ke Mesir pada
1966, Hassan Hanafi mengajar di Universitas Kairo dalam mata
kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan juga Filsafat
Islam. Sejak saat inilah ia memandang bahwa waktunya sudah
sampai baginya memulai proyek besar jangka panjang tentang al
turâts wa al tajdîd”, warisan tradisi dan modernisasi. Tujuannya
dengan proyek ini adalah untuk membangkitkan kembali
warisan tradisi Islam dan merekonstruksi intelektualisme ilmu-
ilmunya. Untuk mensosialisasikan wacana proyek intelektualnya
itu, Hassan Hanafi bukan hanya menulis berbagai buku, tetapi
juga menghabiskan banyak waktu dan energinya untuk menulis
esai yang dimuat dalam jurnal al Fikr al Mu’âshir, al Kâtib, dan
belakangan juga dalam jurnal yang ia terbitkan sendiri al Yasâr
al Islâmî, yang sayang berumur pendek -terbit hanya sekali
saja.27
Tetapi, suasana di Mesir sendiri baik secara politik
maupun intelektual kurang kondusif baginya. Sehingga, sejak
1970 Hassan Hanafi mengembara menjadi guru besar tamu di
Belgia (1970), AS (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-
1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985). Pada
1971 misalnya Rektor Universitas Kairo atas tekanan aparat
keamanan menyarankan kepadanya untuk berhenti memberi
kuliah, dan sebaliknya menerima tawaran menjadi guru besar
tamu di Temple University Philadelphia. Sebagai intelektual
publik yang sangat vokal terhadap pemerintah, ia dipandang
27 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VI, hlm. 253.
80
cukup berbahya untuk dibiarkan bebas berbicara tentang
“kesadaran politik”, “perjuangan langsung”, “revolusi” dan
sejumlah tema-tema “subversif” lain yang dalam perspektif
kekuasaan dapat mengancam status-quo.
Pada akhirnya ia menerima tawaran menjadi guru besar
tamu di Temple University. Hassan Hanafi mendapat peluang
besar untuk melanjutkan pengembaraan intelektualnya. Di
Amerika ia mengkonsentrasikan dirinya untuk mendalami ilmu-
ilmu sosial, khususnya sosiologi agama. Selain itu, ia juga
menyediakan waktunya untuk mempelajari lebih jauh tentang
agama Yahudi (Judaism) dan Zionisme. Pada saat yang sama,
Hassan Hanafi melanjutkan usaha untuk menganalisis dan
menafsirkan masyarakat Barat, tradisi-tradisi dan kesadaran
intelektualnya. Dengan demikian, ia dapat lebih lengkap dalam
mengembangkan wacana intelektualnya sendiri.28
D. Karya-Karya Pemikiran Hassan Hanafi
Tulisan-tulisan karya Hassan Hanafi baik yang berbentuk
buku-buku maupun artikel-artikel banyak tersebar luas di
28 Mengenai perkembangan pemikiran Hassan Hanafi dapat dibaca secara
detailnya pada autobiografi Hassan Hanafi yang ia tulis di buku, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VI al Ushûliyah al Islâmiyah, terutama dari halaman 207-275. Di akhir tulisan autobiografinya Hassan Hanafi menyadari bahwa kemungkinan ada ketidakberimbangan dalam penulisan biografinya seperti antara yang ada dengan yang seharusnya ada, antara realita dan impian, antara yang tampak dan yang tersembunyi. Hal itu, menurutnya dikarenakan faktor malu apalagi banyak orang sezaman yang masih hidup. Menurutnya juga bahwa dirinya tidak melukiskan gambaran ideal dirinya karena ia sadar bahwa ia juga mempunyai banyak cacat layaknya kebanyakan manusia. Apa yang ia tulis menurutnya sebagai kenangan pada dunia karena kapan saja maut bisa menjemputnya sebelum ia sempat meninggalkan apa-apa. Hassan Hanafi kemudian mengutip ayat terakhir dari al-Qur’an Surat Luqman, yang artinya:” Dan diri tidak tahu apa yang akan diperbuat hari esok, dan diri juga tidak tahu di tanah mana ia akan mati.”
81
berbagai media massa, sehingga tidak terlalu menyulitkan untuk
memperolehnya. Untuk dapat memahami perkembangan
pemikiran Hassan Hanafi secara sederhana dapat ditelusuri
menjadi tiga periode. Pertama, tahun 60-an, kedua, tahun 70-an,
dan ketiga tahun 80-an dan 90-an.
Analisis di atas didasarkan pada pertimbangan bahwa
terdapat perkembangan pemikiran yang berbeda dalam masing-
masing periode. Tampaknya, dinamika politik Mesir mempunyai
pengaruh besar pada gelombang pemikiran Hassan Hanafi.
Meskipun demikian, periodisasi ini tidak dipergunakan secara
ketat, mengingat suatu ketika pemikiran akan terjadi
pengulangan.
Periode tahun 60-an ketika Hassan Hanafi belajar di
Prancis bertemu dengan berbagai pemikiran dari disiplin ilmu. Ia
menekuni bidang tersebut sebagai usaha untuk merekonstruksi
pikiran Islam yang menurutnya sedang mengalami krisis. Untuk
itu ia mengadakan penelitian guna mengatasi masalah besar ini
dan dibuktikan dengan karya akademiknya, tesis dan disertasi,
tahun 1965 dan tahun 1966.
Hassan Hanafi menulis tesis dan diertasinya dengan judul
Les Me’thodes d’Exe’ge’se, Essai sur La Science des Fondements de
La Compre’hension, elm usul al fiqh dan L’Exe’ge’se de la
Phe’nome’nologie L’ e’tat actuel de la me’thode
phe’nome’nologique et son Application au Phe’nome’ne
Religieux.29
29 A. Luthfi Assyaukanie, “Oksidentalisme: Kajian Barat Setelah Kritik
Orientalisme”. hlm. 121.
82
Kedua karya di atas berisi beberapa pemikiran besar
Hassan Hanafi sebagai upaya yang berangkat dari tujuan
mengintegrasikan antara warisan masa lalu dengan kenyataan
masa sekarang. Upaya-upaya yang dilakukannya dapat terlihat
dalam buku Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrâb seperti
tersimpulkan berikut ini.
Pertama, metode intepretasi sebagai pembaharuan dalam
bidang Ushûl Fiqh, Kedua, fenomenologi sebagai metode untuk
memahami realitas agama. Ketiga, menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi serta menyederhanakan ilmu Ushûl Fiqh sesuai
dengan realitas. Keempat, keharusan agama berdasarkan realitas
kontemporer. Kelima, bagaimana memahami serta menjelaskan
teks-teks masa lalu. 30
Selanjutnya, pada periode kedua yaitu tahun 70-an. Pada
fase ini tulisan Hanafi banyak membicarakan problema pemikir
kontemporer. Salah satu tujuan dari tulisan-tulisan periode ini
adalah mencari penyebab kekalahan umat Islam ketika perang
melawan Israel tahun 1967.
Kenyataan seperti di atas disadari oleh Hassan Hanafi. Ia
mencoba menggabungkan antara semangat keilmuan dengan
semangat kerakyatan. Maka pada tahun 1976 ia menulis buku
Qadlâyâ Mu’âshirah ke-1, fî Fikrinâ al Mu’âshir. Menurutnya,
seorang ilmuan tidak harus hanya duduk, asyik berpikir tetapi
30 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab, hlm. 12.
83
juga harus berpikir dan memberikan jalan keluar bagi rakyat
yang sedang mengalami kesulitan. 31
Buku keduanya terbit tahun 1977 yaitu Qadlâyâ
Mu’âshirah fî Fikri al Gharbî. Dalam buku kedua ini Hassan
Hanafi memperkenalkan beberapa pemikir Barat seperti
Spinoza, Kant, Hegel, Max Weber dan Herbert Marcuse. Hassan
Hanafi juga menjelaskan bagaimana mereka ini memahami
persoalan masyarakat kemudian bagaimana mereka
mengadakan reformasi. 32
Menurut Hassan Hanafi tidaklah cela lagi Muslim
mempelajari pemikiran Barat, sekedar meminjam metode yang
digunakan oleh para pemikirnya. Hal seperti ini menurutnya
telah menjadi tradisi ulama dan pemikir Islam klasik. Al Farabi
telah mengintegrasikan aspek ketuhanan Plato dan kebijakan
Aristoteles. Menurutnya, ia tidak keberatan mengintegrasikan
antara idealisme Hegel dan realisme Marx.33
Periode 70-an diliputi oleh situasi politik Anwar Sadat
yang pro Barat dan memberi kelonggaran pada Israel, meskipun
pada sekitar awal periode ini Sadat berhasil menggunakan
31 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah fî Fikrinâ al Mu’âshir, Beirut: Dâr al
Tanwir. 1983. Buku pertama ini menggambarkan bagaimana iman seorang pemikir menganalisis realitas dan berusaha merevitalisasi khazanah klasik Islam.
32 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah fî Fikri al Gharbî, cet, IV, Bairut: Dâr al Tanwir, 1990.
33 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. VII, hlm. 303. Selanjutnya Hanafi menjelaskan contoh lainnya yaitu integrasi antara rasionalisme Rene Descartes dan eksperimentalisme Husserl. Hal yang terpenting menurut Hassan Hanafi adalah bagaimana kita memahami posisi kita dengan Barat lalu mengembalikan pada tradisi sewajarnya.
84
kekuatan Islam. Peristiwa-peristiwa besar yang menandai
periode ini adalah undang-undang ekonomi terbuka tahun 1974,
intifada tahun 1977, perjanjian Mesir Israel 1979 dan
terbunuhnya Anwar Sadat tahun 1981. 34
Periode ketiga, tahun 80-an dan awal tahun 90-an. Awal
tahun 80-an Hassan Hanafi menerbitkan buku sebanyak 8 jilid
yang berjudul al Dîn wa al Tsaurah fî Mishri, 1952-1981. Buku
itu merupakan himpunan artikel-artikelnya. Ditulis antara tahun
1976-1981 dan setiap jilidnya diberi judul. Tema buku itu secara
keseluruhan membicarakan gerakan-gerakan keagamaan
kontemporer dan integritas umat.
Dengan buku tersebut, Hassan Hanafi ingin membuktikan
secara empirik tesis sebelumnya bahwa salah satu penyebab
utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik menarik
antara ideologi Islam dengan Barat. Sebagai salah satu solusinya
adalah bagaimana mengintegrasikan seluruh pemikiran dengan
cara menggali kembali khazanah masa lampau di Mesir. 35
Selanjutnya tahun 1981 Hassan Hanafi menulis buku
Dirâsât Islâmiyyah yang memuat tentang metode studi
keislaman: Ilmu Ushûl Fiqh, Ushuludin, Filsafat dan bagaimana
pembaharuannya. Hanafi menunjukkan perkembangan ilmu-
ilmu tersebut dari masa ke masa sejak kemunculannya dan
34 Alain Gresh and Dominique Vidal, An A to Z of the East, London: Zed
Book, 1990, hlm. xii.
35 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol. I-VII, Kairo “Maktabah Maudbuli, 1989. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab setiap munculnya tragedi politik dan terakhir mengalisis penyebab munculnya radikalisme (fundamentalisme) Islam dari akar-akarnya.
85
bagaimana mengadakan rekonstruksi agar ilmu-ilmu itu
mempunyai vitalitas kembali. 36
Periode 80-an sampai dengan awal 90-an, pada dasarnya
dilatar belakangi oleh kondisi politik yang relatif stabil dari pada
masa sebelumnya, sungguhpun pemerintahan Husni Mubarak
belum sepenuhnya meredam gejolak kelompok radikal. Dalam
situasi seperti ini, Hassan Hanafi bercita-cita untuk
memperbaharui pemikiran Islam secara total. Oleh karenanya, ia
menulis sebuah buku yang berjudul al Turâts Wa al Tajdîd. 37
Buku yang berjudul al Turâts Wa al Tajdîd (Tradisi dan
Pembaharuan) ini mendiskusikan sikap yang dibutuhkan umat
Islam terhadap tradisi dan juga terhadap khasanah Barat untuk
menjaga supaya tidak teralienasi. Dalam buku ini terlihat kesan
bahwa Hanafi terlalu teoritis seperti yang dilontarkan oleh
Boulatta. 38
Pada tahun berikutnya (1981) Hassan Hanafi membuat
jurnal al Yasâr al Islâmî yang notabenenya sebagai gerakan atau
36 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, cet.II, Kairo: Maktabah Anjilo, 1982.
Dalam buku ini, Hassan Hanafi menggunakan metode fenomenologi dan hermeneutika. Intinya, buku ini menjelaskan obyek studi melalui perspektif kesejarahannya secara kritis dan melihatnya sebagaimana adanya.
37 Buku ini merupakan pengantar teoritis umum dari bagian pertama dari proyek Sikap Kita terhadap Turats Klasik. Sekarang jilid pertama dari bagian pertama ini, yaitu Min al ‘Aqîdah Ilâ al Tsaurah (Hassan Hanafi, Kata Pengantar dalam al Turâts wa al Tajdîd Mauqifunâ min Turâts al Qadîm, Beirut: al Mu’assasah al Jam’iyah, 1992).
38 Isa J. Boulatta, Issa J. Boullata, “Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekan”, dalam jurnal Islamika No. 1, Bandung: MISSI dan Mizan, 1993 hlm. 20.
86
sebagai manifesto gerakan Hassan Hanafi yang berbau ideologi39
Menurut pengakuan Hassan Hanafi “kiri” Islam ini muncul
karena didorong oleh keberhasilan revolusi Islam Iran. Di mana
Ali Syari’ati sebagai arsitek dan Imam Khomaini sebagai
pemimpin revolusinya. 40
Tulisan yang berupa jurnal itu hanya terbit satu kali dan
memuat tulisan Hassan Hanafi, Ali Syari’ati dan Muhammad
‘Audah yang menjelaskan apa kiri Islam dan tanggapan pemikir
muslim terhadap imperialisme. Dari buku tersebut
Abdurrahman Wahid menanggapi bahwa pemikiran Hassan
Hanafi jelas-jelas mengacu pada sebuah analisis kelas yang
mendominasi sosialisme sebagai faham. 41
Sebagai langkah pertama pembaharuan pemikirannya
tahun 1988 Hanafi menulis lima jilid buku, Min al ‘Aqîdah Ilâ al
Tsaurah. Buku ini merupakan karyanya yang besar dan paling
penting. Isi buku ini adalah bagaimana cara merekonstruksi ilmu
39 Islamika, No. 1, hlm. 23
40 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, hlm. 10.
41 Menurut Abdurrahman Wahid, dari penalaran Hassan Hanafi jelas dapat disimpulkan bahwa Hassan Hanafi mengacu pada sebuah analisis kelas yang mendominasi sosialisme sebagai faham, termasuk jenis-jenis sosialisme yang tidak Marxisme-Leninis. Pilihan Hassan Hanafi jatuh pada sosialisme yang bertumpu pada Marxisme Leninisme yang dimodifikasikan, seperti sosialisme Arab. Dikatakan dimodifikasikan karena hakekatnya materealistik dari determinisme-historik, yang meniscayakan kehancuran kapitalisme dan feodalisme dan kemenangan proletar, ditolak secara tegas. Diterminisme-historik yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi roh non materealistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan pranata lain yang bersifat kerohanian atau kesejarahan: (Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, hlm. xiv)
87
kalam dan penjelasan seluruh karya dan aliran ilmu kalam dari
aspek isi, metodologi, latar belakang kelahiran dan
perkembanganya sampai akhir abad 20. 42
Selanjutnya tahun 1992 Hassan Hanafi merintis lahirnya
studi-studi peradaban Barat perspektif ketimuran atau sering
disebut dengan oksidentalisme sebagai lawan orientalisme. Buku
tersebut berjudul Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab. Buku ini
sebagai sikap Hassan Hanafi terhadap tradisi peradaban Barat.43
Isinya memuat penjelasan latar belakang studi, batasan-batasan
studi, dan periode peradaban Barat meliputi periode
pertengahan, periode reformasi dan kebangkitan; periode
rasional dan pencerahan serta ilmiah dan eksistensialisme.
Terakhir tahun 2000 Hassan Hanafi menulis buku dengan
judul Islam in the Modern World yang terdiri dari dua bagian.
Bagian I Religion, ideology and Development dan bagian kedua
Tradition, Revolution and Culture.
Kedua buku di atas merupakan kumpulan artikel yang
disampaikan pada seminar-seminar di berbagai negara seperti
Amerika, Prancis, Jepang, Indonesia dan negara-negara di Timur
Tengah. Karya ini memperlihatkan kecenderungan akhir
pemikiran Hanafi yang hendak mengidiologikan agama dan
42 Hassan Hanafi, Min al ‘Aqîdah Ilâ al Tsaurah, Kairo: Maktabah Madbuli,
1988.
43 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab Mauqifunâ Min Turâts al Gharbî, Kairo: Dar al Fannani, 1992.
88
meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan
di negara dunia ketiga. 44
Karakteristik pemikiran Hassan Hanafi diawali pada
dasawarsa 1960-an banyak dipengaruhi oleh faham-faham
dominan yang berkembang di Mesir, nasionalistik sosialistik-
populalistik yang dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabik. 45
Tetapi kemudian, pada akhir dasawarsa itu Hassan Hanafi mulai
berbicara keharusan Islam mengembangkan wawasan kehidupan
yang progesif dan berdimensi pembebasan (al taharrur,
liberation). 46
Hassan Hanafi memposisikan dirinya sebagai seorang
sekularis moderat tetapi bayak diinspirasi oleh konsep Sayyid
Qutb tentang keadilan sosial maupun oleh Nasherisme. Hassan
Hanafi menerima semangat sekularisasi dalam pengertiannya
yang luas. Hal ini terlihat ketika ia mempromosikan proyek
monumental dan penuh ambisi, al Yasâr al Islâmî dan akrab
dengan kesarjanaan Barat dan Islam.47 Bahkan, Hassan Hanafi
44 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, 2 Volume, Vol I, Religion, Ideology and Development dan Vol. II, Tradition, Revolution and Culture. Kairo. Dar Kebaa, 2000.
45 Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, hlm. xii.
46 Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, hlm. xiii. Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika diinginkan Islam untuk mengembangkan wawasan masyarakat pada kebebasan dan keadilan khususnya keadilan sosial sebagai ukuran utamanya.
47 Proyeknya direpresentasikan dalam bukunya, al Turats wa al Tajdîd, (Tradisi dan Pembaharuan). Nilai tradisi diukur dari penggunaannya sebagai sumber untuk menciptakan teori ilmiah tentang aksi. Lihat Sharough Akhavi, “Dialectic in Contemporary Egyptian Social Thought” dalam International Journal of Middle Eastern Studies, No. 29, 1997, hlm. 387-394.
89
secara kreatif menggunakan khazanah keilmuan Barat,
utamanya argumen-argumen kiri tentang sosialisme dan
Marxisme serta berbagai pendekatan ilmiah atas pengetahuan,
seperti fenomenologi, rasionalisme dan teori kritis untuk
merekonstruksi pemikiran Islam. Namun, ia juga kritis terhadap
sekularisme sebagai ideology, khususnya yang bertujuan untuk
memisahkan agama dari negara.48 Hassan Hanafi menyatakan
bahwa:
“Sekulerisme telah lenyap dan sekarang tak seorangpun
lantang menyerukan pemisahan antara agama dan negara.
Sesuatu yang sudah diraih pada abad yang telah lalu, hilang
secara cepat pada abad ini (abad 20). Kurva sekulerisme dimulai
dengan naik tinggi secara cepat, bahkan dalam satu waktu,
menurun secara tajam”.49
Namun demikian, menurut Hassan Hanafi bahwa Islam
adalah “agama sekuler” dalam pengertian agama tanpa otoritas
kerahiban, yang merupakan makna sekularisme di Barat. Islam
adalah agama tanpa dogma dan misteri, dan bahkan,
menurutnya, tanpa ritual. Islam sejalan dengan akal dan
48 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, Tradition, Revolution and
Culture, Vol. II, Kairo: Dar Kebaa, 2000, hlm. 54.
49 Kutipan dalam bahasa Inggris selengkapnya sebagai berikut ini.
“Secularism disappeared and now no writer dare to call for separation between religion and state. What has been won during the last century has been lost very quickly this century. The curve of secularism also began high but quickly, even in one lifetime, crashed”. Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, Tradition, Revolution and Culture, Vol. II, Kairo: Dar Kebaa, 2000, hlm. 54.
90
kebajikan. Konsep keadilan sosial, kebebasan, kehendak bebas,
alam dan akal adalah term-term keagamaan Islam.50
Dapat disimpulkan bahwa pemikiran Hassan Hanafi
meliputi proyek besarnya, al Turâts wa al Tajdîd, al Yasâr al
Islâmî, metodologi Islam, filsafat Barat, hermeneutika dan
Oksidentalisme. Walaupun ia berbicara soal lain seperti ekonomi
dan politik itu hanya karena ingin menjelaskan persoalan yang
sedang dihadapi oleh umat Islam.
Misi dan perspektif umum Hassan Hanafi terlihat konstan
selama paruh ke-2 abad 20. Namun demikian, perubahan
dramatis dalam konteks politik dan kehidupan intelektual Mesir
menantang pekerjaannya dengan cara-cara yang berbeda secara
signifikan. Pada awal kehidupannya, sebagai seorang mahasiswa
dan seorang intektual muda, Hassan Hanafi melihat tantangan
utama berasal dari Komunis dan kemudian mungkin sekuler
kiri. Pada tahun 1980-an, beberapa kritik tertajamnya ditujukan
kepada “fundamentalis Islam” dan “ritualis” yang menurut
perspektif Hassan Hanafi merepresentasikan kekuatan-kekuatan
penindasan dan ketidak-pastian. Dalam banyak hal, perubahan
kondisi berpengaruh kepada apa yang dilakukan Hassan Hanafi,
dan hidupnya merefleksikan perubahan-perubahan besar dari
paruh ke-2 abad ke 20.
50Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, Religion Ideology and
Development, Vol. I, Kairo: Dar Kebaa, 2000, hlm. 141.
BAB IV TEORI HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi
Pemikiran hermeneutika Hassan Hanafi pertama kali
dikemukakan pada paruh kedua dekade 1960-an, ketika dia
menulis tesis dan disertasinya. Kedua karya itu Les Me’thodes
d’Exe’ge’se, Essai sur la Science des Fondements de la
Compre’hension, elm Usul al Fiqh dan L’Exe’ge’se de la
Phe’nome’nologie L’e’tat actuel de la me’thode
phe’nome’nologique, juga La Phenomenologie de L’Exe’ge’se,
92
Essai d’une Herme’neutique Existentielle’ a Partir du Nouveau
Testament. Awal tahun 1980 ia mempublikasikan bukunya,
Religious Dialogue and Revolution1 ditulis antara tahun 1972-
1976, di dalamnya ada pembahasan hermeneutika. Pembahasan
hermeneutika al-Qur’an juga dapat ditemui dalam buku Dirâsât
Islâmiyyah bab Ushul Fiqh dan buku Dirâsât Falsafiyyah2
terutama pembahasan “Qira`ah al Nash”. Pada tahun 1993,
sebuah simposium internasional di Belgia bertema Al-Qur’an
sebagai Teks, Hassan Hanafi membahas “Hermeneutika Al-
Qur’an Tematik” yang kemudian tema ini dimuat dalam buku
Islam in The Modern World vol. I terbit tahun 2000. Selain itu,
pemikiran tafsir lain yaitu Manhaj Ijtimâ’î. Karya Hassan Hanafi
1 Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu “Dialog dan “Revolusi”. Pada bagian pertama Hassan Hanafi, di antaranya membahas “Hermeneutika Sebagai aksiomatika: Sebuah Kasus Islam” (berkaitan dengan metodologi penafsiran); Pandangan Al-Qur’an Terhadap Kitab-kitab Suci” dan “Status Wanita Menurut Al-Qur’an dan Ajaran Yahudi” (Aplikasi metode penafsirannya). Pada bagian kedua termuat dua bagian, pertama, dimulai dengan “Teologi tentang Tanah” dan “Agama Sebagai Perlawanan Terhadap Zionisme”, kedua, “Agama dan Revolusi”, Meskipun terjadi perkembangan krusial dalam pemikiran Hassan Hanafi pada tiga dekade terakhir, terlebih lagi setelah diproklamasikannya gerakan Kiri Islam pada tahun 1981 yang ditandai dengan diterbitkannya jurnal Al Yasâr Al Islâmi, tetapi perkembangan pemikiran hermeneutika Al-Qur’an-nya tidak terlalu signifikan. Perubahan terjadi dari apa yang disebutnya dengan kesadaran Individu (al Wa’yu al Fard) pada dekade 1960-1970, kepada dominannya kesadaran kolektif (al Wa’yu al Ijtimâ’î) sejak dekade 1980.
2 Dalam buku ini Hassan Hanafi membagi dua pembahasan. Bagian pertama, Fî Fikrinâ al Mu’âshir) (Pemikiran-pemikiran Islam Kontemporer) dan bagian kedua, “Fî Fikr al Gharb al Mu’âshir” (Pemikiran Barat Kontemporer) di bagian ini ada pembahasan “Qir`ah al Nash” (hlm. 523-549). Lihat Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu al Mishriyyah, 1987.
93
ini dapat ditelaah dalam Qadlâyâ Mu âshirah3 bag. I, dan Al Dîn
wa al Tsaurah volume ke-7.4
Pada dasarnya, kesadaran untuk membangun
hermeneutika baru, awal mulanya terbentuk saat dia di Prancis
yaitu ketika mulai menulis proposal disertasi doktornya tentang
“Metodologi Islam Komprehensif”. Namun, menurutnya proposal
itu ditolak setelah dikonsultasikan dengan promotornya dengan
alasan studi yang dia lakukan kurang terfokus.5
Setelah Hassan Hanafi memutuskan untuk memilih Henry
Corbin sebagai pembimbing, dia disarankan untuk merubah
3 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah vol. I, “Fî Fikrinâ al Mu’âshir”, Beirut: Dar al Tanwîr, 1983, hlm 175-186 terutama judul “Hal Ladainâ Nazhariyah fî al Tafsîr”, “Ayyuhumâ asbaq : Nazhâriyah fî al Tafsîr am Manhaj fî Tahlîl al Khabarât”, serta “’Aud ilâ al Manba am ‘Aud ilâ Thabî’ah”
4 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah vol. 7, “Al Yamîn wa al Yasâr fî al Fikr al Dînî”, Kairo : Maktabah Madbuli, 1989, hlm. 69-145, terutama “Mâdzâ ta’nî Asbâb al Nuzûl”; Manâhij al Tafsîr wa al Mashâlih al Ummah” terutama bagian ketiga,” Al Manhaj al Ijtimâ’î fi al Tafsîr”, Ikhtilâf fî al Tafsîr am Ikhtilâf fî al Mashâlih”. (berkaitan dengan metodologi), serta “Al Mâl fî al Qurân” dan “Al Jihâd” (berkaitan dengan penerapan metodologi).
5 Rencana Hassan Hanafi dalam disertasinya akan mereformulasikan Islam sebagai sebuah metode universal dan komprehensif dalam kehidupan individu dan masyarakat yang dia bangun dengan dua konseptualisasi pertama, konsep baku dari konsepsi dan sistem dan kedua, konsepsi dinamis dari energi dan gerak. Formulasi ini berdasarkan konvergensi wahyu sebagai sistem ideal bagi dunia dan dunia sekuler sebagai sistem alamiah yang bermula dari wahdah al dzat hingga wahdah al syuhûd dan wahdah al wujûd. Setelah dia diberitahu bahwa itu adalah gagasan dari Immanuel Kant, dia disarankan pembimbingnya untuk memfokuskan pada tokoh Kant saja dan bukan Islam. Alasannya karena dia telah meletakkan gagasan problem wahyu sebagai a priori dan pengetahuan manusia atau sekuler sebagai a posteriori.(Hassan Hanafi, ‘Al Ushûliyyah al Islâmiyyah’ dalam Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6. Kairo : Maktabah Madbuli, 1989, hlm.228).
94
istilah Islam supaya menjadi lebih spesifik dengan hanya
hermeneutikanya saja dan menelaah al Bahr al Muhîth karya al
Zarkasyi. Tetapi dia terobsesi untuk menguak konsep kesadaran
perspektif ahlu al sunnah dalam kerangka kebangkitan dan
berdialog dengan realitas umat di Mesir.”6
Hassan Hanafi memulai penulisan disertasinya dengan
terlebih dahulu membaca tuntas setiap tulisan tentang filsafat
Eropa, utamanya Prancis dan Jerman. Setelah pembacaannya
sampai kepada Edmund Husserl dan mengenal tafsir
fenomenologi yang menyatakan bahwa permulaan kesadaran
Eropa bermula dari kesadaran personal dan budaya maka dia
mengubah judul penelitiannya dengan pertimbangan supaya
lebih detail dan seksama.
Hassan Hanafi merubah judulnya menjadi Tafsir
Fenomenologi : “Kondisi Aktual Metode Fenomenologi dan
Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan.” Menurutnya, dia
sengaja menggunakan pendekatan hermeneutika dalam
memahami fenomenologi dan perubahannya menjadi
6 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6 , hlm.229.
95
fenomenologi aplikatif serta mengevaluasi penerapannya pada
fenomena keberagamaan.7
Sebagai antisipasi judul semakin mengembang, Hassan
Hanafi memutuskan untuk membuat bagian kedua yang khusus
membahas aplikasi metode fenomenologi dalam fenomena
tafsir. Akhirnya, ia membahas judulnya, Fenomenologi tafsir:
Sebuah upaya dalam tafsir Eksistensialis. Kasus Kitab Perjanjian
Baru” sebagai upaya dialog antaragama dan peradaban.8 Ia
mengkaji teks-teks Kitab Perjanjian Baru dengan pendekatan
Ushul Fiqh sambil menjadikan komentar-komentar al-Qur’an
atas Injil sebagai sesuatu yang telah diselewengkan, diubah dan
diganti sebagai hipotesis ilmiah yang masih membutuhkan
pembuktian validitasnya dalam sejarah.9
7 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm. 233.
8 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm.234. Dia menceritakan bahwa ujian disertasi bukanlah terminal akhir melainkan, risalah atau pendapat yang harus diteruskan. Dia menyatakan bahwa kesadaran barunya diawali dalam “Metodologi Penafsiran’, dan kesadaran lamanya berakhir dalam “Dari Tafsir Fenomenologi Menuju Fenomenologi Tafsir” yang berarti permulaan bangkitnya Timur dan berakhirnya Barat. Setelah dia menyelesaikan ujian disertasi maka pada bulan Agustus 1966 dia pulang ke Mesir dan menyatakan bahwa dia baru menyelesaikan jihad kecil dan akan menghadapi jihad yang lebih besar (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm.235.)
9 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm. 234.
96
B. Hermeneutika sebagai Aksiomatika
Dengan hermeneutika sebagai aksiomatika Hassan Hanafi
bermaksud membangun sebuah metode yang bersifat rasional,
obyektif dan universal untuk memahami teks-teks Islam.
Menurutnya, “hermeneutics as Axiomatic”, hermeneutika sebagai
aksiomatika berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu
pengetahuan yang rasional, formal, obyektif, dan universal10
Hubungan hermeneutika dengan kitab suci harus seperti
hubungan antara aksiomatika dan matematika. Seperti
aksiomatika, hermeneutika harus meletakkan semua
aksiomanya di muka dicoba lebih dahulu menyelesaikan semua
masalah hermeneutika tanpa mengacu pada data revelata
khusus. 11 Jadi, hermeneutika sebagai aksiomatika harus
memainkan peranan yang sama dengan “teori keseluruhan” dan
“teori penjumlahan” dalam matematika.
Sehubungan dengan kitab suci, hermeneutika akan
menjadi semacam Mathesis Universalis. Aksiomatisasi
hermeneutika menurutnya, tidak mesti membutuhkan
perumusan matematis pada ilmu-ilmu tentang manusia. Ia
10Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Kairo: Anglo Egyptian Bookshop, 1981, hlm 2
11 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid.
97
hanya perlu menyusun semua masalah yang dikemukakan oleh
sebuah kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di muka, in
principil, terakhir meletakkan masalah dan penyelesaian
bersama-sama dalam bentuk aksiomatis12
Selain merekomendasikan perlunya melakukan
perbincangan teoritis hermeneutika sebelum melakukan
kegiatan exeges --suatu hal yang sama sekali baru dalam tradisi
penafsiran klasik terhadap al-Qur’an --Hassan Hanafi sebenarnya
juga menginginkan hermeneutika aksiomatis bersifat
positivistik.13 Bahkan, tujuan perbincangan teoritis
hermeneutikanya adalah dalam rangka aksiomatika, yakni tidak
lain untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang
obyektif, rigorus (tepat, akurat) dan universal. Seperti halnya
fenomenologi yang dirintis Edmund Hursserl, pendekatan ini
memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apoditiktis, yang
tidak menginginkan keragu-raguan apa pun.14
Sejalan dengan kepentingan fenomenologi tersebut,
Hassan Hanafi meletakkan kritik sejarah dalam kitannya dengan
teks-teks kitab suci sebagai maslaah teoritis yang krusial. Sebab
12 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid.
13 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2.
14 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta: Gramedia 1983 hlm 103.
98
kritik sejarah berfungsi menjamin keaslian firman Tuhan yang
disampaikan kepada Nabi dalam sejarah, baik melalui medium
lisan maupun tertulis.15 Sementara dalam proses interpretasi,
menurut Hassan Hanafi, penafsiran harus beranjak dari
pemikiran yang kosong, seperti tabula rasa, di mana tidak boleh
ada yang lain selain analisis linguistik.16
Hassan Hanafi bukannya tidak sadar dengan tendensi
objectivistik dalam perumusan hermeneutikanya yang awal-awal
tersebut. Akan tetapi, ia sengaja menekankan hal ini sebagai anti
tesis terhadap raibnya penafsiran al-Qur’an yang otoritatif, yang
didasarkan pada prinsip-prinsip yang memiliki tujuan ilmiah
tertentu. 17 Sebab menurutnya seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, kebanyakan tafsir al-Qur’an tradisional terjebak
dalam penjelasan tautologis dan repetitif tentang tema-tema
yang sama sekali tidak relevan.
15 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 14.
16 Menurut Hassan Hanafi lebih lanjut, analisis linguistik terhadap Kitab suci inipun bukan merupakan analisis yang baik, tetapi hanya merupakan alat yang sederhana yang akan membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci. Hassan Hanafi memberikan contohnya bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks, tetapi masih berada di bawah bidang makna, sedangkan marfologi, leksikologi dan sintaksis memperkenalkan langsung kepada masalah makna (Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14).
17 Hassan Hanafi, Qadlâyâ, Muâshirah Vol.2, Beirut: Dar al Tanwir, 1983, hlm. 176.
99
Di samping itu, Hassan Hanafi berharap dapat
mengeleminasi kesewenang-wenangan penafsir terhadap teks al-
Qur’an. Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode
yang bersifat normatif dan karena itu, bukanlah seni yang
bergantung sepenuhnya pada kepandaian pribadi yang
menafsirkannya.18
Hassan Hanafi sendiri telah menyaksikan betapa
banyaknya penafsiran al-Qur’an yang berlaku sewenang-wenang
dengan memberlakukannya sebagai teks filsafat, sastra, hukum,
dan sebagainya. Hal mana telah menimbulkan konflik laten
sepanjang sejarah kehidupan umat Islam. Belakangan, Hassan
Hanafi merevisi sebagian asumsinya tentang hermeneutika
sebagai disiplin yang rigorus dan positivistik tersebut.
Kesadarannya tentang proses kesejarahan manusia membawa
kepada kesimpulan bahwa “tidak ada hermeneutika per se,
absolut, dan universal. Hermeneutika tidak selalu merupakan
“hermeneutika terapan” yang merupakan bagian dari
perjuangan sosial. 19
Bagi Hassan Hanafi, pluralitas itu sendiri mencerminkan
konstruksi masyarakat, merupakan refleksi konflik sosial yang
18 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2.
19 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208.
100
menjadi dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, ia tidak lagi
berbicara hermeneutika dalam pengertian teoretiknya, tetapi
lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut, yakni
dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak mungkin
dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk apa ia
dibangun.20
Hermeneutika yang cenderung bersifat historis dalam
gagasan Hassan Hanafi tersebut hampir serupa dengan
pendirian hermeneutika filosofis dan diskursus pemikiran barat.
Dalam hermeneutika jenis ini, utamanya yang dikemukakan oleh
Hans George Gadamer, hermeneutika tidak lain merupakan
diskursus tentang fenomena pemahaman manusia itu sendiri,
yakni merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses
memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu bagi Gadamer,
sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang
dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin
memahami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat
historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh “prapaham”
tertentu yang mencerminkan historisitas yang meliputi
manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian makna
20 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 3. Bandingkan dengan Iham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Bandung : Teraju, 2002 hlm. 110.
101
obyektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu penafsiran
merupakan “kegiatan produktif” dan bukanlah proses
“reproduksi” makna untuk menghadirkan makna asali dalam
kehidupan kekinian.21
Menurut Hassan Hanafi suatu pemahaman terhadap teks
tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. “Setiap teks
berangkat dari pemahaman tertentu, pemahaman akan
kebutuhan dan kepentingan penafsiran dalam teks”.22 Karenanya
penafsiran merupakan kegiatan produktif dan bukan
reproduktif makna. Bukan hanya karena makna awal sulit
ditemukan, tapi juga karena makna awal tersebut tidak akan
relevan lagi karena telah kehilangan konteks eksistensialnya. 23
Dengan kata lain, menurutnya kalaupun makna awal berhasil
ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya
merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa
teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historisnya
sendiri-sendiri.24
21 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Kegan Paul, 1989 hlm. 3.
22 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549.
23 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537; Hassan Hanafi Qadlâyâ al Mu’âshirah vol.2, hlm. 185.
24 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537.
102
Hubungan interpretasi dengan realitas memang bagi
Hassan Hanafi demikian signifikan dalam hermeneutika al-
Qur’an, meskipun tidak pada heremeneutika sebagai
aksiomatika. Hassan Hanafi senantiasa mengaitkan
hermeneutika pada “praktis”. Hal ini tidak lepas dari kuatnya
pengaruh Marxisme dalam pikirannya. Posisi Marxian sendiri
tidak dapat disebut sebagai tahapan tertentu dalam
pemikirannya, sebagaimana dua proposisi : hermeneutika
sebagai aksiomatika yang bersifat metodis dan hermeneutika
yang bersifat filosofis.
Sementara hermeneutika praksisnya lebih mencerminkan
instrumen sekaligus tujuan konsep hermeneutika al-Qur’annya.
Secara metodologis, analisis Marxisme, terutama metode
dialektika, digunakan sebagai alat untuk mensintesiskan
kecenderungan positivistik dalam fenomenologi dan sifat
filosofis hermeneutika Gadamerian. Hal ini sangat kental dalam
tulisan-tulisan Hassan Hanafi yang terbit belakangan, seperti
“Hermeneutics and Revolution” yang sarat dengan sintesis
metodologis antara fenomenologi dan hermeneutika, maupun
antara penafsiran dan perubahan.25
25 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, Kairo : Dar Kbaa, th. 2000, hlm 206-213.
103
Hassan Hanafi menemukan pisau analisis yang tajam
tentang masyarakat dan realitas yang menjadi tujuan
hermeneutikanya warisan Marxisme. Ia, misalnya, dapat melihat
kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur
ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi,
demikian pula halnya dengan sifat dasar teks.26 Sehingga
struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan
hermeneutika “progresif’ dan “konservatif”.27
Hermeneutika konservatif berangkat dari teks,
mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan
aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan,
menganggap teks sebagai nilai per se, absolut dan universal.
Sementara hermeneutika progresif menganggap teks sekedar
alat, sedangkan kehidupan nyata justru nilai absolut yang perlu
diperhatikan.28 Bahkan, menurut Hassan Hanafi jika teks
bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat-lah yang harus
didahulukan. Karena teks itu hanya sekedar wasilah, sarana dan
alat sedangkan mashlahat, alasan dan kepentingan adalah
26 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212.
27 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212.
28 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208, 212.
104
tujuan.1 Melalui Marxisme, Hassan Hanafi mengajak penafsir
berangkat dari realitas dan menuju pada praksis, sebagai
hermeneutika terapan. Ia mengklaim jika hermeneutika
semacam ini sejalan dengan “fenomenologi dinamis” yang
dibedakan dari fenomenologi statis.
Menurut Hassan Hanafi dengan hermeneutika terapan, ia
berharap dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan
penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju
kepada gerakan revolusi (massa) dan dari tradisi ke-modernisasi.
Menurutnya, inilah metode transformasi sebagai tindakan
“regresif-progresif”.29 Pada saat yang sama, penggunaan
Marxisme dan fenomenologi memberikan kemungkinan akan
penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang baru,
afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat, dan bangsa30
1 Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, Beirut: Dar al Midâr al Islâmî, 2005, hlm. 573. Menurut Hassan Hanafi tidak ada perbedaan antara wahyu dan mashlahat. Apabila kitab, sunnah dan ijma bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat harus didahulukan dengan cara takhshish, karena mashlahat merupakan dasar semuanya. Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, hlm. 573..
29 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 207. Metode Regresif-progresif dijelaskan Hassan Hanafi bahwa menafsirkan berarti melakukan gerakganda; dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip ampibologis bahasa, sementara pada yang kedua digunakan prinsip melalui sensitivitas semangat zaman. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 211.
30 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208.
105
C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an
Hassan Hanafi menerima sebagian gagasan baik
hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan disiplin
tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika filosofis yang
berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran. Hanya saja ia
menambahkan bahwa disiplin tersebut harus juga
memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah teks dan
kepentingan praktis dalam kehidupan.
Hassan Hanafi beranggapan bahwa hermeneutika bukan
sekedar “sains penafsiran” atau teori pemahaman belaka,
melainkan, anggota kompehensif tentang sejarah teks,
intepretasi, dan prakteknya dalam mentransformasikan
kenyataan sosial. Menurutnya, hermeneutika adalah ilmu yang
menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan
sampai pada tindakan nyata di dunia. 31 Hermeneutika
merupakan ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai
kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan manusia.
Hermeneutika Hassan Hanafi tidak dibatasi pada
perbincangan mengenai model-model pemahaman tertentu atas
teks semata, tetapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan
31 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
106
penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya hingga
penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.
Menurutnya, proses interpretasi menempati posisi kedua,
setelah kritik sejarah.32
Menurut Hassan Hanafi, prasyarat pemahaman yang baik
terhadap suatu teks kitab suci adalah dengan terlebih dahulu
membuktikan keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika
tidak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan
menjerumuskan orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya,
tafsirannya benar mengenai kandungan teks palsu tersebut33.
Setelah memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika dalam
pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai. Menurutnya, pada
titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai ilmu yang berkenaan
dengan bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang melahirkan
teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari sebuah teks,
segera diikuti dengan proses menyadari teks ini dalam
kehidupan manusia. Sebab, pada dasarnya, tujuan akhir sebuah
teks wahyu adalah bagi transpormasi kehidupan manusia itu
sendiri.34
32 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
33 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
34 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
107
Dalam bahasa fenomenologis, menurut Hassan Hanafi
dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang
menentukan hubungan antara kesadaran dan objeknya, yakni
kitab-kitab suci.35 Pertama, kesadaran historis yang menentukan
keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua, kesadaran
eidetik yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya
rasional. Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna
tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan
wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia,
sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.
Dengan tiga fase analisis ini, Hassan Hanafi mengharapkan
hermeneutika al-Qur’an dapat bersifat teoritik sekaligus praktis.
Baginya, perbincangan yang berpusat pada penafsiran teks, di
satu sisi, dan pada metodologi tanpa maksud praktis, di sisi
lain, benar-benar perlu dihindari.
Hermeneutika sebagai aksiomatika menurut Hassan Hanafi
harus pula menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam
penafsiran: penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran praktis,
sebagai analisis filologi murni terhadap teks yang erat
35 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
108
kaitannya dengan philologi sacra.36 Penafsiran semacam ini
menurutnya, tidak akan memperbincangkan masalah-masalah
prinsipil dalam penafsiran, kecuali memusatkan diri pada detail-
detail yang sama sekali tidak membuat teks menjadi lebih asli,
jelas, maupun praktis.
Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya, kembali
pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang digunakannya
untuk menunjukkan masalah yang terfokus pada problem
pembacaan, yang menyerap teks kedalam perbincangannya
sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat ekstrovert, maka
hermeneutika filosofis cenderung lebih introvert.37
1. Kritik Historis
Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena adanya
keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah. Kritik ini harus
terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis,
filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan fenomenologis. Keaslian
kitab suci tidak dijamin oleh takdir Tuhan, keyakinan dogmatis,
pemuka agama atau pranata sejarah apa pun.38 Jadi, keaslian
sebuah kitab suci diuji berdasarkan atas kritik sejarah bukan
36 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2.
37 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.
38 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 4.
109
berdasarkan atas keyakinan, bukan kritik teologi dan hal-hal
yang anti kritik.
Dalam konteks Islam, menurut Hassan Hanafi hal ini
berkaitan dengan tradisi dua pola pengalihan (al naql) jenis
kata-kata sebagai berikut ini. Pertama, metode transferensi
tertulis (al naql al maktûb) dan kedua, metode transferensi oral
(al naql al syafâhî). Melalui jalan metode transferensi
tertulis adalah seperti penulisan al-Qur’an dan melalui jalan
metode oral adalah seperti diteransferensikannya al hadits atau
al sunah.39
1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis dalam
Kitab suci seperti al-Qur’an
Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang didiktekan
kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan langsung
didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada saat pengucapan
dan dengan demikian menyimpannya dalam tulisan sampai
sekarang. Kata-kata al-Qur’an merupakan pengalihan verbatim
yaitu al-Qur’an di mana ia ditulis segera setelah pewahyuan di
bawah pengawasan Nabi sendiri (selain dihafal oleh para sahabat
Nabi) dan persis sama dengan kata-kata yang diucapkan
39 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549.
110
pertama kali ketika diwahyukan.40 Wahyu ini tidak melewati
masa pengalihan secara lisan; tetapi ditulis pada saat
pengucapannya. Menurut Hassan Hanafi, tak satu pun kitab suci
dalam tradisi kitab suci sejak Kitab Taurat yang memenuhi
persyaratan ini kecuali Kitab Suci al-Qur’an. Hanya al-Qur’anlah
yang ditulis pada saat diturunkannya.41
Bagi Hassan Hanafi, wahyu pada hakekatnya merupakan
firman Tuhan yang diberikan kepada Nabi in verbatim dan harus
disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula. Meskipun
demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah tidak berurusan
dengan wahyu in verbatim ketika masih dalam pemikiran Tuhan
atau sebelum diturunkan kepada Nabi-Nya.42 Hermeneutika baru
berfungsi setelah Nabi menyampaikan wahyu tersebut dalam
sejarah.
Karena al-Qur’an ditujukan bagi manusia, maka
konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan wahyu
pada tahap metafisika, seperti tentang substansi logos (Kalam
Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan. Namun,
40 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini kedudukan al-Qur’an dari segi otentisitasnya bersifat qath’iy al wurûd.
41 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5.
42 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.
111
hermeneutika berurusan dengan al-Qur’an pada tahap teks dan
produktivitas (penafsiran) teks.43 Dalam hal ini, pendefinisian al-
Qur’an apakah sebagai Kalam Allah yang bersifat Qadim
(dahulu) dan azali atau apakah bersifat Hadits (baru) dan
makhluq. Hal ini dianggap tidak relevan diperbincangkan di sini.
Dalam bahasanya yang lebih fenomenologi, metafisika al-Qur’an
diletakkan dalam tanda kurung (apoche), tidak diafirmasi,
namun juga tidak ditolak.44
Fungsi kritik historis dalam hermeneutika untuk
memastikan keaslian teks yang terdapat dalam Kitab Suci
dengan wahyu yang disampaikan oleh Nabi dalam sejarah yang
disebarkan dari mulut ke mulut dalam kasus transferensi oral,
atau pengalihan dari tangan yang satu ke yang lainnya dalam
kasus transferensi tulisan.45 Karena al-Qur’an ditujukan kepada
manusia, maka sebagai konsekwensi logisnya hermeneutika
tidak berurusan dengan wahyu pada tahapan metafisis. Artinya,
perhatian hermeneutika terletak pada dimensi horizontal wahyu
yang bersifat historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang
43 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69.
44 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495.
45 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6.
112
metafisis seperti bagaimana Nabi menerima wahyu dari
Tuhannya tersebut.
Keaslian wahyu dalam sejarah, menurut Hassan Hanafi,
ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di
dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan dibacakan langsung
oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula dibacakan oleh Nabi
kepada para penyalinnya pada saat pengucapan dan lestari
sampai saat ini dalam tulisan (al-Qur’an).46 Pada kasus al-Qur’an,
wahyu ditulis in verbatim yang secara harfiah dan kebahasaan,
persis sama dengan yang diucapkan oleh Nabi. Prasyarat lain
46 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5; Seperti sudah diutarakan bahwa wahyu semacam ini tidak melalui pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurutnya, hanya al-Qur’an yang memenuhi persyaratan ini. Bandingkan pula dengan karya Hassan Hanafi dalam Humûm al Fikr wa al Wathan: al Turâts wa al ‘ashr, Kairo: Dar Quba li al Thaba’ah wa al Nasyr wa al Tauzi’, cet. Ke-2. 1998, hlm. 17-56. Hal ini pula yang membuat hermeneutika al-Qur’an berbeda dengan hermenutika kitab suci lainnya. Secara histories, al-Qur’an adalah wahyu verbatim, dalam suatu fase pewahyuan selama kurang lebih 23 tahun, sebagai jawaban atas kondisi sosiohistoris masyarakat Arab saat itu. Karena pewahyuannya yang tidak sekaligus, membuat al-Qur’an memiliki keunikan yang tak dimiliki kitab suci lain, di antaranya dalam hal sistematika. Al-Qur’an bukanlah kitab yang tersusun secara tematik, sehingga suatu tema tertentu tersebar di beberapa tempat yang berbeda dalam al-Qur’an, dan beberapa ayat tertentu atau kisah tertentu terkesan diulang-ulang berbeda dengan kitab suci lain, al-Qur’an yang ada sekarang tidaklah berbeda dengan yang ada pada zaman Rasulullah, tidak ada perubahan. Kecuali dalam kaitannya dengan penambahan tanda baca, baik yang berupa titik (I’jam), maupun tanda baca lain (syakal) pada masa awal Islam dan perubahan ini tidak signifikan, karena hanya untuk memperjelas pembacaan, tidak mengubah al-Qur’an (Daud al Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, hlm. 191-200). Bandingkan pula Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 71-74.
113
bagi keaslian Kitab Suci dalam sejarah adalah keutuhannya.
Artinya semua yang dituturkan oleh Nabi, baik dengan
menggunakan pola transferensi lisan maupun tertulis harus
tersimpan dalam bentuk teks tertulis.47
Berbeda dengan kritik yang terjadi pada teks-teks yang
mengalami fase pengalihan lisan seperti dalam al hadits, al-
Qur’an tidak mendapatkan kritik yang rumit. Artinya, otentisitas
al-Qur’an telah teruji secara histories. Beberapa kritik yang
diterapkan pada al-Qur’an, menurut Hassan Hanafi antara lain
seputar aspek bacaan seperti (qira`ah), al ahruf al sab’ah,
hakekatnya sebagai Kalam Allah, keberadaan basmalah, dan
keberadaan kosa kata asing (non- Arab).2
47 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.
2 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69. Menurutnya, para pakar ushûl fiqh klasik telah membuang problematika partikular seperti penambahan atau pengurangan dalam teks, pembacaan teks atau keberadaan basmalah. Mereka lebih dekat kepada kodifikasi al-Qur’an. Al-Qur’an sudah dikumpulkan pada waktu proses penurunan wahyu dan mushaf-mushaf yang satu dengan yang lainnya sudah dikomparasikan. Mushaf Usmanî merupakan mushaf yang ditransferensikan manusia dari masa ke masa hingga masa kini sebagai mushaf yang dikenal dalam ilmu-ilmu al-Qur’an seperti dalam al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an karya Imam Jalaludin al Suyuthi. Pendefinisian al-Qur’an sebagai Kalam Allah yang Qadim dan Berdiri Sendiri tidak diprioritaskan karena persoalan itu merupakan persoalan teologis yang ada di luar ilmu ushûl fiqh. Akan tetapi, pendefinisian al-Qur’an adalah sesuatu yang ditransfer kepada kita di antara lembaran mushaf yang terdiri dari tujuh huruf yang terkenal (al Ahruf al Sab’ah al Masyhûrah) dengan tranferensi mutawatir. Basmalah adalah salah satu ayat al-Qur’an. Adapun kontradiksi terjadi di dalam keberadaan basmalah yang merupakan salah satu ayat dari setiap surat dan seperti Al Syafi’î cenderung menetapkan basmalah merupakan bagian dari setiap surat. Al-Qur’an memuat makna haqîqât dan makna majâz . Al-Qur’an adalah bahasa Arab. Tidak terdapat bahasa asing (‘ajam) dalam al-Qur’an. Kata-kata asing yang terdapat di dalamnya sudah diarabisasikan secara sempurna pada masa
114
Kritik terhadap al-Qur’an juga berlaku pada kronologi ayat,
karena diakui secara historis bahwa wahyu al-Qur’an diturunkan
secara bertahap sejalan dengan perkembangan realitas sejarah
masa Rasulullah. Dalam kaitan ini, menurut Hassan Hanafi
terjadinya naskh adalah sangat mungkin karena ia merupakan
konsekwensi logis dari wahyu yang diturunkan secara gradual
dan tidak terjadi pada wahyu yang diturunkan secara sistematik
seperti-buku-buku hokum. Nasakh justru menunjukkan
hitorisitas wahyu, keterlibtan wahyu dalam sejarah. Wahyu
tidaklah muncul di luar sejarah. 3
2. Pola kata-kata yang berupa Hadits dimana ia melewati fase
pengalihan lisan sebelum ia ditulis
Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari Nabi
sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau
memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap harus
dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini dapat
berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan Nabi tetapi
tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau perjumpaan
sebelumnya. Di samping itu, al-Qur’an juga memuat kata-kata yang bermakna tegas (al muhkam), ayat yang bermakna samar (al mutasyâbih), ayat yang jelas-tekstual (Zhahir), ayat interpretatif alegoris (al mu`awwal) yang semuanya merupakan diskursus linguistik dari pembahasan filologi. (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69).
3 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 70.
115
langsung dengan Tuhan. Karena, hadits Nabi datang dari situasi
kehidupannya.48
Untuk melihat pemilahan transferensi wahyu dari yang in
verbatim,(al-Qur’an), Hassan Hanafi membedakannya dari kata-
kata lain yang juga berasal dari Nabi tetapi bukan merupakan
wahyu yang didiktekan langsung oleh Tuhan. Materi ini berasal
dari buah pikiran Nabi sendiri tentang gagasan tertentu atau
dalam rangka memberikan petunjuk pelaksanaan dari wahyu in
verbatim yang dapat disebut dengan al hadits. 49
Secara teoritis antara wahyu in verhatim dan hadis Nabi
tidak ada pertentangan;50 keduanya berasal dari Tuhan, yang
satu secara langsung yang lainnya tidak langsung. Sebab setiap
terjadi pertentangan akan diselesaikan dengan baik. Antara yang
prinsipil dengan yang kasuistik, antara makna umum dan
makna khusus, atau merupakan kontinuitas pola pertama
48 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, kedudukan hadits dari segi otentitasnya adalah bersifat zhanniy al warûd.
49 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.
50 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan al Hadits. Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,. 117; Bandingkan pula dengan Hayy Farmawiy, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’ î, hlm. 53.
116
(wahyu in verbatim) kepada pola kedua yaitu al hadits. 51
Penyelesaian tersebut dengan cara berikut ini
Pertama, pola yang pertama memberikan gagasan umum
dan yang kedua merupakan kasus perorangan. Kedua, pola yang
pertama memberikan arti yang umum dan yang kedua
menawarkan arti yang khusus. Ketiga, pola yang pertama
biasanya muncul lebih dahulu dari pada pola yang kedua.52
Dengan melihat paparan di atas terlihat bahwa Hassan
Hanafi termasuk orang yang tidak mengakui kebolehan me-
nasakh ayat al-Qur’an dengan al sunnah, al hadits. Bahkan, dia
hanya menganggap kompromi seperti di atas justru
memperkuat pendapat adanya dua posisi al hadits terhadap al-
Qur’an yang berfungsi sebagai bayân li ta’kîd dan bayân li
tafsîr. Dalam pengertian, seperti yang dikemukakan oleh
Quraish Shihab yang mengutip pendapat Abdul Halim bahwa
dalam kaitannya tentang posisi al sunnah dengan al-Qur’an, ada
51 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.
52 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7-8. Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Abdul Halim yang menegaskan bahwa, dalam kaitannya tentang posisi al sunah, hadits dengan al-Qur’an, ada dua fungsi al sunnah yang tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta’ kîd dan bayân tafsîr. Fungsi bayân ta’ kîd berarti sekedar menguatkan atau menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang dapat dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr, berarti memperjelas, memerinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an.
117
dua fungsi al sunnah yang tidak diperselisihkan yaitu fungsi
bayân ta’ kîd dan bayân tafsîr. Fungsi bayân ta’ kîd yaitu
menguatkan atau menegaskan dan menggarisbawahi kembali
apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi bayân
tafsîr, berarti memperjelas, memerinci, bahkan membatasi
pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an.
Pola yang kedua ada kemungkinan melewati masa
pengalihan lisan. Dalam hal ini keaslian sejarahnya harus
terjamin. Karena tidak mungkin mencapai keaslian mutlak bagi
semua kata-kata yang ada, maka yang dilakukan hanya
menentukan derajat keaslian. 53 Setiap riwayat terdiri dari dua
bagian; orang-orang yang melaporkannya dari masa ke masa
yang disebut dengan rawy atau sanad; dan laporan kisah yang
disebut matan. Dalam hubungannya dengan para rawy terdapat
empat metode pengalihan lisan diantaranya hanya yang pertama
yaitu pengalihan multilateral, mutawatir, yang menyediakan
kemungkiman keaslian mutlak.54 Dalam tulisan ini, hanya yang
pertama yang akan dijelaskan sebagai berikut ini.
53 Sebuah Hadits terbagi menjadi tiga bagian : pertama, kata-kata sahabat yang dengan kata-kata itu mereka mulai melakukan transferensi (periwayatan). Kedua sanad (rangkaian pewarta), dan ketiga matan (materi hadits). (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm : 71).
54 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Mahmud 'Thahhan dalam Taisîr Mushthalah al Hadîts. Menurutnya, hadits bila ditinjau dari segi metode pengalihannya ada empat yang terbagi dalam dua kategori
118
Pengalihan multilateral, mutawatir dalam prosesnya teks
harus dilaporkan in verbatim oleh beberapa orang yang hidup
pada zaman yang sama dengan kejadian yang dilaporkan. Untuk
mencegah segala kemungkinan terjadinya kesalahan, pengalihan
multilateral harus memenuhi empat syarat berikut ini.55
a) Para rawy tidak boleh ada ketergantungan antara rawy yang
satu dengan yang lainnya, untuk menjaga segala kemungkinan
adanya keinginan merendahkan diri.
yakni pertama, mutawatir dan kedua, hadits ahâd. Sedangkan hadits ahâd ini terbagi menjadi tiga. Pertama, al masyhûr, kedua, al 'azîz dan ketiga, al gharîb. Lihat Mahmud Thahhân, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dâr al Tsaqâfah, t.t., hlm. 19. Berkaitan dengan cara penyampaian hadits, menurut Hassan Hanafi kata-kata yang disampaikan oleh para sahabat terdiri atas lima susunan hierakis Pertama, kata-kata yang paling kuat yaitu sahabat berkata: “aku mendengar", “mewartakan padaku”, atau “telah diceritakan kepadaku”. Kata-kata ini tidak bisa ditembus oleh kemungkinan salah. Kedua, adalah: “Rasulullah bersabda”, “mewartakan”, atau “bercerita”. Bentuk ini memuat satu kemungkinan kesalahan karena Istima' (mendengarkan) kadang-kadang tidak secara langsung. Ketiga,adalah “Rasulullah memerintah" atau "Rasulullah melarang". Dengan berdasar pada adanya kemungkinan pertama adanya kesalahan, maka bentuk ini pun bisa ditembus atau mengandung kemungkinan yang lain, yaitu bentuk perintah kadang-kadang bukan rnerupakan perintah. Keempat, adalah “kita diperintah demikian” atau “kita dilarang dari demikian”. Dengan bersandar pada kemungkinan-kemungkinan yang terdahulu, maka bentuk ini bisa ditembus oleh kemungkinan yang lain, yaitu pemberi perintah kadang-kadang bukan Rasulullah. Kelima, adalah “dulu mereka melakukan”. Berdasarkan pada adanya kemungkinan-kernungkinan kesalahan yang terjadi pada bentuk-bentuk yang terdahulu, maka bentuk ini juga bisa ditembus oleh kemungkinan yang lain, yaitu adanya kemungkinan bahwa tindakan (yang dilakukan) itu merupakan tindakan yang sudah sempurna tetapi tidak pada zaman Rasulullah. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71.
55 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. Bandingkan pula dengan Lihat Mahmud Thahhan, Taisîr Mushthalah al Hadîts, hlm. 20
119
b) Jumlah rawy harus cukup banyak untuk memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi keaslian suatu riwayat.56
c) Tingkat penyebaran riwayat harus seragam pada setiap waktu,
sejak penyebaran riwayat generasi pertama sampai generasi
tradisi penulisan.
d) Isi riwayat harus sesuai dengan pengalaman manusia dan
kesaksian indrawi. Wahyu bukanlah sesuatu yang ajaib dan
supranatural, ataupun ajaib. Oleh karena itu, semua riwayat
tentang kejaiban harus dihilangkan, bukan karena keajaiban itu
tidak ada, melainkan karena tidak cocok dengan panca indra.
Selain itu, keajaiban adalah peristiwa alamiah yang
menyebabkan tidak diperhatikan. Begitu penyebabnya diketahui,
maka hilanglah keajaibannya.57
Dalam hal matan riwayat harus dibuat secara tekstual,
tanpa ada pengurangan ataupun penambahan. Hubungan yang
ada antara kata maknanya adalah hubungan yang mutlak. Makna
ini diungkapkan hanya melalui kata ini saja. Jika digunakan kata
56 Kongjungitas, mutawatir atau pengulangan yang terus menerus (at-tawatur), yakni periwayatan oleh sejumlah orang yang tidak terbatas jumlahnya sehingga menghindarkan adanya kemungkinan mereka membuat kesepakatan untuk mengadakan dusta, manipulasi, maupun kamuflase, akan memberikan atau menghasilkan ilmu pengetahuan ( Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71).
57 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 8-9.
120
lain, akan terdapat makna bayangan yang tidak akan sama
dengan makna yang sebenarnya.58
Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua digunakan,
berakhirlah wewenang teks. Kitab suci tersimpan melalui pola-
pola. Maka dimulailah peran tradisi dalam masyarakat. Tradisi
terjadi karena kesepakatan masyarakat yang merupakan refleksi
terhadap kitab suci dan kenyataan-kenyataan baru. Menurut
Hassan Hanafi, perkataan para sahabat Nabi bukan merupakan
bagian dari kitab suci melainkan dari tradisi yang bisa diterima
atau ditolak berdasarkan kesamaan atau perbedaannya
dengan kitab suci. Menurutnya, perkataan-perkataan itu
merupakan penafsiran pribadi yang dapat diperbaiki langsung
oleh Nabi sendiri jika terdapat kesalahan.59
Setelah tercapai kesepakatan, setiap individu harus
berusaha mencapai pemahaman. Jika ternyata suatu kesadaran
benar-benar sulit atau tidak mungkin maka kesadaran individu
akan dapat berpikir sendiri. Mengambil keputusan dan
menemukan status bagi masalah baru yang dihadapinya.60
58 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 10.
59 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 11.
60 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 12.
121
Dengan demikian menurut Hassan Hanafi wahyu terdiri
atas tingkatan-tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu al
Kitab, wahyu detail berasal dari Rasulullah dengan bimbingan
yang bersumber dari Allah, wahyu komunal yang berasal dari
umat (publik) maka umat adalah khalifah Allah, dan wahyu
personal yang berasal dari nalar yang diafiliasikan pada wahyu
al-Kitab, sunnah, dan komunal. Dasar yang pertama dan yang
kedua menunjuk pada wahyu yang tertulis-statis, sedangkan
dasar yang ketiga dan keempat menunjuk pada wahyu yang
dinamis.61
2. Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi
menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat
melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia sebut
sebagai kritik eidetis. Hassan Hanafi sendiri tidak menjelaskan
pengertian eidetis --sebuah istilah fenomenologi—kecuali
dikaitkan dengan proses interprestasi.62 Jika tafsiran penulis
tidak salah, barang kali kritik eidetis dalam pemikiran Hassan
61 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 73.
62 Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah “reduksi eidetik” dan visi eidetik” yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117).
122
Hanafi merupakan analisis fenomenologi teks seutuhnya
sebagaimana yang ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk
memperoleh hakikat pemahaman yang benar mengenai
fenomena tersebut.
Hassan Hanafi menjelaskan bahwa fungsi kesadaran
eidetis adalah memahami dan menginterpretasi teks setelah
validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis. Kesadaran
eidetik juga merupakan bagian terpenting dalam ilmu ushul fiqh
karena melalui mediasinya proses pengambilan ketentuan-
ketentuan hukum dari dasar-dasarnya yang empat menjadi
sempurna dan komprehensip.63
Metode yang sedianya berfungsi untuk menganalisis
fenomena dicangkokkan oleh Hassan Hanafi ke dalam
hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu objeknya adalah
teks dan maknanya sebagaimana yang ditangkap oleh
kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya, harus menghindarkan
diri pada pengulangan prasangka tertentu dari dogma. Karena
hal ini akan menjerumuskan suatu penafsiran ke dalam dugaan-
dugaan semata. Seorang penafsir harus memulai pekerjaan
63 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78. Menurutnya, kritik Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia. (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 78).
123
dengan tabula rasa, tidak boleh ada, kecuali analisis
linguistiknya.64 Apa yang dimaksud Hassan Hanafi sebagai
tabula rasa di sini agaknya harus dipahami secara
fenomenologis. Dalam fenomenologi, kesadaran bukanlah
kesadaran murni sebagaimana dalam rasionalisme, tapi selalu
merupakan kesadaran yang terarah atau “kesadaran akan
……sesuatu”65
Kritik eidetis menurut Hassan Hanafi, ada tiga level atau
tahap analisis. Pertama, analisa bahasa; kedua, analisa konteks
sejarah; dan ketiga, generalisasi.
2.1. Tahap Analisis Kebahasaan
a). Analisis Linguistik
Analisis linguistik terhadap kitab suci memang bukan
dengan sendirinya merupakan analisis yang baik, demikian
64 Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut penafsiran-penafsiran yang penuh dengan stereotype dan memproyeksikannya ke dalam makna peristiwa sejarah kekinian sebagai le mouvement rétrograde au vrai (kembali pada hakekat benda-benda) atau le mirage du présent au passe (proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam sejarah hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 13).
65 Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai “Intersionalitas”. Disamping itu, kesadaran juga “mengkonstitusi” realitas. Konstitusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm. 101)
124
diakui Hassan Hanafi. Tapi ia merupakan alat sederhana yang
membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci.
Misalnya fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi
pembacaan teks. Walaupun demikian, menurutnya, fenologi ini
masih berada dibawah bidang makna.
b). Analisis Sintaksis
Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata berikut
implikasi maknanya akibat perbedaan penggunaan kata.
Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis makna:
“makna etimologi”, “makna biasa”, “makna baru”. Makna
etimologis adalah makna dasar. Makna biasa adalah makna yang
mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam suatu
masyarakat, ruang, dan waktu tertentu.66
Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai dengan
yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara makna baru yang
diberikan wahyu adalah makna yang tidak terkandung dalam
makna etomologis, maupun makna biasa. Makna yang terakhir
ini yang menjadikan dasar turunnya wahyu. Makna baru
berfungsi memberi petunjuk bagi tindakan dan merupakan
dorongan baru bagi manusia.67 Oleh karena itu, kandungan
66 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.
67 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.
125
maknanya sama sekali bebas dari hal-hal yang misterius, tetapi
justru merupakan makna alamiah, rasional, dan jelas,
kandungan makna baru dimaksudkan untuk membebaskan
manusia dari usaha-usaha mencari teori agar manusia dapat
memusatkan diri pada perhatian pada praktik.
Sementara itu, sintaksis yang bagi Hassan Hanafi
merupakan kunci sesungguhnya dari kegiatan penafsiran dalam
tahap ini dan berguna untuk menyingkap prinsip-prinsip makna
ganda dalam teks.68 Kajian sintaksis ini seperti terlihat pada
makna haqîqah (makna harfiyah) dan makna majâz (kiasan);
istilah-istilah mubayan (univokal), dan mujmal (ekuivokal);
mubham (makna samar) dan al nash (makna yang tepat); al
zhâhir (makna yang tampak) dan al muawwal (makna yang
tersembunyi); al ‘am (makna umum) dan al khash (makna
khusus); al amr (perintah) atau al nahy (larangan).
1. Makna haqîqah, makna harfiyah dan makna majâz,
kiasan
68 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14-17, Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80.
126
Tema al-Haqîqah wa al-Majâz (yang harfiyah dan yang
metafora) yang mengandung prinsip-prinsip linguistik universal,
dan tidak mengandung logika bahasa yang meliputi yang
mujmal (global) dan yang mubayyan (klarifikatif), yang zhahir
(eksplisit) dan yang interpretatif alegoris (mu’awwal, implisit),
perintah dan larangan, umum dan khusus.
Al-Haqiqah merupakan makna kata-kata yang digunakan
pada proporsinya sedangkan metafora merupakan penggunaan
kata-kata yang tidak pada proporsinya. Ada tiga macam
metafora: pertama, kata-kata yang dipinjam oleh sesuatu
dengan alasan ada kesamaan dalam spesifikasi yang sudah
dikenal. Kedua, penambahan seperti huruf kaf za’idah dalam
ayat laisa kamist lihi syai’un (tidak ada sesuatu pun yang
menyerupai-Nya). Ketiga, pengurangan yang tidak menggusur
pemahaman sebagaimana yang terjadi dalam ayat was’al al-
qaryah (dan tanyakanlah kepada penduduk desa).69
69 Hassan Hanafi selanjutnya menjelaskan bahwa metafora dapat diketahui melalui empat tanda, yaitu pemberlakukan yang harfiah (hakikat) terhadap hal-hal yang universal, larangan istiqaq (pengasalan) terhadapnya, perbedaan bentuk plural bagi kata benda, dan ketergantungan yang harfiah terhadap yang lain. Setiap metafora mempunyai hakikat (makna harfiah) akan tetapi tidak semua yang harfiah harus memiliki metafora. Oleh karena itu, nama-nama alam dan nama-nama yang tidak umum tidak mempunyai metafora. Demikian itu menunjukkan bahwa di penghujung akhir sesuatu terdapat aspek estetika secara bahasa dan pemakaian bentuk-bentuk estetisme dalam wahyu agar berkesan bagi jiwa dan berorientasi pada motivasi-motivasi menuju perjalanan praksis (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).
127
2. Mubayan, univokal, dan mujmal, ekuivokal
Mubayyan adalah kata yang maknanya jelas dalam
pengertian tidak mengandung (makna) yang lain, dan disebut
juga dengan nashsh (teks). Mujmal adalah kata yang berputar-
putar di antara dua pengertian atau lebih tanpa tarjih
(penguatan salah satu makna di atas yang makna yang lain),
tanpa kepastian bahasa, dan tanpa melalui pengertian adat
pemakaian. Jika pengertian kata-kata itu hanya eksplisit pada
makna yang lain, maka ia disebut zhahir.70 Globalitas (ijmal)
suatu saat berada dalam kata tunggal, kata majemuk, dan pada
saat yang lain berada dalam susunan perkataan, definisi, huruf-
huruf penghubung, tempat-tempat berhenti dan permulaan
(ibtida’)
3. Al zhahir, makna yang tampak dan al muawwal, makna yang
tersembunyi.
Arti yang tampak adalah arti yang dapat ditangkap dengan
jelas pada kontak pertama dengan teks tanpa perlu
mengeluarkan usaha pemahaman ekstra. Sedangkan arti yang
70 Menurutnya lebih lanjut, jika dimungkinkan membawa kata pembuat hukum (alsyari’) pada sesuatu yang memberikan dua makna dan membawanya pada sesuatu yang memberikan satu makna di mana ia berada dalam kebimbangan di antara keduanya, maka kata-kata itu adalah mujmal demi kehati-hatian (Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).
128
tidak tampak memerlukan usaha yang lebih besar dan petunjuk
pendalaman yang lebih banyak.71 Kunci ganda ini menurut
Hassan Hanafi memberi dimensi kedalaman, disebabkan adanya
perbedaan-perbedaan lain di antara manusia dalam memahami
teks untuk memuaskan semua pihak dengan cara memberikan
kedalaman arti yang berbeda.
Kata zhâhir (eksplisit) dan muawwal (implisit)
merepresentasikan kaidah bahasa (al-qâ’idah al-lughawiyyah)
yang kedua. Kaidah ini berkaitan dengan kaidah pertama. Hal itu
dikarenakan kata yang memberikan petunjuk yang tidak
merupakan kata yang mujmal kadang-kadang merupakan teks
(nashsh) dan kadang-kadang merupakan eksplisit (zhahir). Teks
(nashsh) adalah kata yang tidak mengandung kemungkinan
interpretasi alegoris (takwil) sedangkan zhahir merupakan kata
yang mengandung interpretasi alegoris (takwil).72 hahir, teks
yang samar dan al nash, teks yang tepat. Istilah ganda ini
menunjukkan adanya dimensi teori dan praktek Zhâhir, teks
yang samar menyajikan banyak kemungkinan tindakan yang
dapat diambil. Al nash, teks yang tepat hanya menyediakan satu
71 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.
72 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81.
129
kemungkinan. Hal ini berarti bahwa teori cukup luas
menyediakan pilihan tindakan menurut setiap keadaan.73
4. Al’âm, makna umum dan al khâsh, makna khusus
‘Amm (universal) adalah satu kata yang ditinjau dari satu
sisi menunjukkan dua hal atau lebih. Kata ini terdiri atas kata
yang universal absolut, spesial absolut, atau kata universal dan
kata spesial yang direlasikan. Dalam pandangan universal, kata-
kata universal mempunyai lima bentuk, yaitu kata-kata dalam
bentuk plural, huruf permulaan yang dipakai dalam kalimat
bersyarat dan jawabnya, “kapan” dan “di mana” yang dipakai
untuk tempat dan waktu, kata-kata yang meniadakan (nafy), dan
kata benda tunggal (singular) yang dimakrifatkan (yakni diberi
awalan huruf alif dan lam, yakni al-) dan kata-kata penguat.
73 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81. Menurutnya, teks (nashsh) adalah nama homonim (ism musytarak) yang dinyatakan dalam tiga macam : zhahir (eksplisit) sebagaimana yang terjadi dalam pandangan al Syafi’i, kata yang pada dasarnya tidak bisa ditembus oleh suatu kemungkinan baik dari dekat maupun dari jauh, dan kata yang tidak bisa ditembus oleh kemungkinan yang diterima yang didukung oleh dalil. Sedangkan interpretasi alegoris (takwil) adalah kemungkinan yang didukung oleh dalil yang lebih didominasi oleh spekulasi daripada makna yang ditunjukkan oleh kata zhahir. Identik dengan hal ini adalah semua interpretasi alegori adalah memalingkan kata dari (makna) yang harfiah pada (makna) yang metaforis, demikian pula hanya dengan spesifikasi yang umum (takhshish al ‘umûm). Dari dalil itu harus terdapat argumentasi pertalian (qarînah), penalaran analogis, atau fenomena eksplisit lain yang lebih kuat. Pertalian-pertalian itu kadang-kadang berakumulasi untuk menunjukkan falsifikasi atau kesalahan interpretasi alegoris yang tidak cukup hanya ditunjukkan oleh satu argumentasi saja (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81).
130
Semua kata-kata penguat menunjukkan pengertian yang
mengambil secara keseluruhan (al-istighraq) secara posisi
kecuali jika ada yang melampaui posisinya.74
Makna umum dan khusus merupakan istilah ganda yang
membentuk dimensi perorangan. Teks berisi deskripsi manusia
secara umum dan selebihnya terserah pada penentuan masing-
masin penafsir. Isi teks adalah masing-masing individu
tersebut.75
5. Al amr, perintah dan al nahy, larangan
Perintah adalah suatu ucapan yang berimplikasi pada
ketaatan yang diperintah (al-ma’mûr) dengan melakukan
tindakan yang diperintahkan. Larangan adalah suatu ucapan
yang berimplikasi pada peninggalan tindakan yang dilarang.76
74 Uraian yang lebih detail selanjutnya lihat Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 83.
75 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.
76 Para pakar usul telah membahas persoalan apakah ucapan merupakan pernyatan dengan lisan atau pernyataan jiwa. Dalam persoalan ini, para ahli terpolarisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang menetapkan atau mengakui jiwa. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang mengingkari pernyataan jiwa. Kelompok ini menjadikan pernyataan jiwa kadang-kadang berupa huruf dan suara, bentuk dasar (shighah) dan bebas dari qarinah-qarinah yang menunjukkan pada aspek perintah, seperti ancaman dan kebolehan (al ibâhah), kadang-kadang merupakan akumulsi keinginan yang diperintah (al ma’mûr), dan keinginan menciptakan bentuk (shighah) dan keinginan menunjukkan implikasi tekstual (dilâlah) perintah sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian kaum Mu’tazilah (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 82).
131
2.2. Tahap Analisis Kesejarahan
Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada level
berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri pada latar
belakang sejarah yang melahirkan teks. Menurut Hassan
Hanafi, terhadap dua jenis situasi, yakni “situasi saat” atau
“contoh situasi” dan “situasi sejarah”. Situasi saat adalah kasus
dimana teks diturunkan yang menjadi subtratum bagi wahyu.
Dalam wahyu yang ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah
situasi saatnmya. Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks
tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu,
tapi inspirasi mengenai wahyu (tafsiran seperti dalam injil, atau
komentar seperti dalam al hadits) tertentu dalam sejarah yang
ditulis oleh para penulis wakyu pada masa berikutnya.77
2.3. Tahap Generalisasi
Setelah makna linguistik dan latar belakang sejarah
ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi disini berarti
mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya agar
dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini,
Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari
77 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 21.
132
kegiatan penafsiran yang berguna untuk menyingkap beragam
kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.78
Langkah-langkah kritik eidetik di atas adalah yang nampak
dalam karya Hassan Hanafi Religious Dialogue and Revolution.
Tetapi dalam beberapa karya Hassan Hanafi berikutnya, dan
dalam karya eksegetiknya nampak terjadi perubahan
pendekatan. Terutama dalam analisis histories; tidak lagi
menekankan sejarah yang melatarbelakangi turunnya ayat,
melainkan, lebih merupakan analisis sejarah kontemporer atau
lebih tepatnya, analisis social. Hal itu tidak lepas dari konsepsi
Hassan Hanafi tentang asbab al nuzul yang berbeda dari yang
dikenal selama ini. Bagi Hassan Hanafi, asbab al nuzul
menunjukkan bahwa wahyu tidaklah menentukan realitas, tetapi
justru wahyu diundang oleh realitas aktual itu sendiri. Hal ini
seperti yang terlihat dalam karyanya, “Mâdzâ Ta’nî Asbâb al
Nuzûl” dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol.
7.
Berkaitan dengan asbâb al nuzûl, menurut Hassan Hanafi
realitas dapat diketahui dengan fitrah sehingga memungkinka
bagi orang lain untuk bersepakat dan membenarkannya
78 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.
133
(intersubyektif). Hal ini telah terjadi misalnya pada Umar Bin
Khathab, di mana dia mengetahui realitas kaum muslimin dan
kebutuhan mereka dengan menggunakan fitrahnya. Ketika Nabi
memohon wahyu untuk masalah atau realitas tertentu yang
dihadapi kaum muslimin dan Beliau mengetahui wahyu yang
dikehendaki dengan menggunakan hawas-nya, kemudian wahyu
turun justru membenarkan pengetahuan Umar Bin Khathab.4
Berdasarkan atas hal itu, asbâb al nuzûl menunjukkan
bahwa penafsir haruslah memilih dari wahyu (al-Qur’an) yang
relevan untuk memecahkan permasalahan aktual yang dihadapi.
Dengan kata lain, penafsiran adalah melacak kembali peristiwa
pewahyuan, dan asbâb al nuzûl itu tidak lain adalah problem
dalam realitas kontemporer. Oleh karena itu analisis terhadap
realitas kontemporer adalah bagian integral dari
hermeneutikanya.
Berdasarkan hak itu, terdapat tiga tahap penafsiran
Hassan Hanafi: tahap analisis realitas, tahap analisis kebahasaan
yang terdiri dari analisis bentuk dan analisis isi, dan tahap
generalisasi. Tahap-tahap ini didukung oleh karya eksegetiknya
4 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 72-73. Demikian juga kasus ketika wahyu membenarkan firasat Umar Bin Khathab tentang kekhawatiran bahaya khamr terhadap akal dan kehidupan. Kemudian wahyu turun tetang pelarangan terhadap khamr (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 73).
134
seperti “al Mâl fî al-Qur’an” yang termuat dalam buku al Dîn wa
al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7. Tahap analisis ini adalah
untuk mengetahui problem realitas kontekstual. Tahap ini
melibatkan pendekatan interdisipliner dan dengan bantuan
pakar-pakar sosial, politik dan ekonomi. Dari sinilah diperoleh
tema-tema penafsiran dengan memberikan prioritas pada tema-
tema yang menyentuh kebutuhan kontemporer.
Tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis bentuk
(tahlîl al shurah) dan analisis isi (tahlîl al madlmûn). Analisis
bentuk dilakukan dengan mengalisis bangunan konseptual dan
bentuk kebahasaan ayat-ayat yang satu tema yang
diklasifikasikan berdasarkan atas kata benda atau kata kerja dan
seterusnya sehingga memungkinkan untuk membatasi tema.
Sedangkan analisis isi berkaitan dengan analisis makna dan
susunannya dalam kumpulan-kumpulan pokok sehingga
memungkinkan untuk membangun tema, membedakan antara
makna primer dan makna sekunder, antara yang positif dan
negatif antara yang ilahiyah dan manusiawi, antara yang
spiritual dan material, antara yang individual dan sosial,
sehingga memungkinkan untuk mengetahui ide wahyu dalam
tema-tema pokok. Setelah tahapan semua di atas kemudian
dilakukan tahapan terakhir yaitu geralisasi.
135
3. Kritik Praktis
Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka jalan bagi
kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatika.
Hermeneutika al-Qur’an semenjak awal memang merupakan
cara baca al-Qur’an dengan maksud-maksud praktis. Dengan
kepentingan semacam ini, hermeneutika menurut Hassan Hanafi
jelas menaruh perhatian besar pada transformasi masyarakat.
Hermeneutika Hassan Hanafi melampaui tafsir historis
yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al-Qur’an hanya
berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja karena
menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kami menurut
Hassan Hanafi membangun tafsir perseptif (al tafsîr al syu’ûrî)
agar al-Qur’an dapat mendeskripsikan manusia, hubungannya
dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya
dalam sejarah, membangun sistem sosial, dan politik. 79
Hermeneutika sebagai metode melampaui tafsir ayat per ayat,
dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris dan mengulang-
ulang. Menurut Hassan Hanafi, kita bangun tafsir tematis
dengan menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis
begitu rupa sehingga muncul konsep universal tentang Islam,
79 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî : Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo : Heliopolis. 1981, hlm. 19.
136
dunia, manusia dan sistem sosial. Menurutnya, lebih lanjut kami
tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan akidah
menjadi ideologi revolusi.
Bagi Hassan Hanafi, praktis merupakan penyempurnaan
Kalam Tuhan di dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis
dari sebuah dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja;
dogma lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang
ditujukan untuk praktis. Hal ini menurutnya, karena wahyu al-
Qur’an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan
di samping sebagai objek pengetahuan.80
Pandangan Hassan Hanafi mengenai sifat fungsional dan
dimensi psikologis dari al-Qur’an di sini --dan bukannya sifat
kebenarannya empiris-historis dari isinya secara keseluruhan
seperti pandangan banyak kaum Muslim-- perlu memperoleh
perhatian sebab berpengaruh pada pendirian hermeneutisnya
mengenai hakikat teks, intepretasi, makna, dan kebenaran
bahasa agama.
Sebuah dogma, kata Hassan Hanafi, hanya dapat diakui
eksistensinya jika didasari sifat keduniaannya sebagai sebuah
sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan manusia.
80 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.
137
Karena, satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah
pembuktiannya yang bersifat praktis. Menurutnya realisasi
wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama dengan
realisasi perbuatan illahiyyah dan dengan sedirinya, merupakan
realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di atas bumi. Prinsip yang
sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-hukum
Tuhan (al ahkam al syar’iyyah) di dunia. Itulah sebabnya
mengapa yurisprudensi (‘ilm usûl al fiqh) dianggap ‘ilm al
tanzil, yang dibedakan dari ‘ilm al ta’wil dalam tradisi
sufisme. Sebab yang terakhir ini menginginkan gerak dari
manusia kepada Tuhan, sementara yurisprudensi menginginkan
transformasi Tuhan kembali menuju kehidupan manusia.81 Kita
tidak perlu membuktikan teoritis akan eksistensi Tuhan kecuali
sebagai pengenalan terhadap sabda-sabda-Nya dalam kehidupan
dunia. Tuhan sebagai personal, oleh Hassan Hanafi, diletakkan
dalam tanda kurung, sehingga teologi positif tidak lagi
berurusan dengan fakta, intuisi, atau aturan, tetapi transformasi
81 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 102. Lihat pula Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan. Cet. Ke-2. Kairo: Dâr Qubâ, 1998, hlm. 17-56. Menurutnya, Memang benar wahyu telah dikodipikasikan, bahwa pembacaan dilakukan terhadap tradisi dan interpretasi terhadap kitab suci. Namun, wahyu sendiri melalui asbâb al nuzûl. Realitas sebagai yang pertama dan wahyu sebagai yang kedua. Realitas bertanya dan wahyu menjawab. Dengan demikian, tanzil, sebenarnya penafsiran. Turun dari langit pada hakikatnya terangkat dari bumi. Upaya mencari makna dari asal melalui kaidah bahasa sebenarnya bersejajar dengan memburu illat melalui pengalaman (Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, hlm. 17-56).
138
wahyu dari teori ke praktik. 82 Agaknya, dengan kritik praktis ini,
Hassan Hanafi ingin menunjukkan fungsi transformatif wahyu
dalam kehidupan manusia.
Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke dalam
realitas dalam pandangan Hassan Hanafi tidak lain merupakan
konsekuensi logis dari objek analisis hermeneutika aksiomatis,
yakni teks-teks suci. Sementara terhadap teks-teks lain, seperti
teks sastra, analisisnya hanya perlu pada tahap historis dan
eidetis. Bahkan dalam banyak kasus yang dibutuhkan hanyalah
masalah terakhir. Keaslian teks sastra harus selalu diterima,
kecuali pada teks-teks kuno.83 Menurutnya, hal ini tidak dengan
sendirinya menunjukkan bahwa hermeneutika sacra berbeda
dari hermeneutika umum (general hermeneutics), sebab pada
dasarnya yang pertama tetap merupakan bagian yang terakhir.
Hanya saja, dalam hal objek penafsiran, hermeneutika sacra
menampilkan spektrum analisis yang lebih luas, mengingat
pemahaman pada suatu kitab suci tidak mungkin melepaskan
diri dari masalah otentisitas, pemahaman maknanya, dan
realisasi pemahaman tersebut dalam dunia nyata. 84
82 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.
83 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah,hlm. 527.
84 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah,Ibid.
139
Hal yang menarik dari gagasan Hassan Hanafi tersebut
adalah pandangannya tentang fungsi hermeneutika al-Qur’an
sebagai sarana perjuangan melawan bermacam-macam bentuk
ketidakadilan dan eksploitasi dalam masyarakat. Di samping itu,
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi menghasilkan tafsir
perseptif (kesadaran), yakni tafsir berdasarkan kesadaran
tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan yang lainnya,
tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, dan untuk
membangun system sosial dan politik.
Demikian kuatnya kepentingan praksis dalam
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi, perbincangan mengenai
hermeneutika al-Qur’an dianggap sebagai salah satu bagian dari
sebuah skema besar perubahan sosial. Dalam hermeneutika al-
Qur’an Hassan Hanafi, praksis adalah tujuan, setelah dilakukan
kritik sejarah teks dan analisis eidetik. Di samping itu,
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi sebagai salah satu
elemen transformasi social dari proyek al Turats wa Tajdid yang
mencakup tradisi, kritik atas dunia Barat dan transformasi
realitas kontemporer.
Meskipun membangun hermeneutika dengan praksis, pada
kenyataannya Hassan Hanafi lebih banyak bergerak dalam
kerangka teori. Barangkali kenyataan ini harus dipahami dalam
140
pengertian bahwa praksis terletak bukan karena
hermeneutikanya hanya berbicara tentang teori dan formulasi
tafsir perubahan, dan bukannya dalam bentuk aksi sosial. Sebab
maksud praksis di sini adalah keterkaitan antara teori dan
praktek, refleksi dan aksi yang dapat menjadi sumbangan bagi
para aktitivis gerakan dalam melakukan usaha-usaha
transformatif. Alasan ini juga menurut penulis dapat dijadikan
jawaban terhadap kritik yang diajukan Boulatta yang
mengatakan Hassan Hanafi terlalu teoritis untuk dipraktekan.
D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur’an
Berdasarkan pembacaan Hassan Hanafi terhadap
penafsiran-penafsiran yang ada dalam penafsiran tradisional
yang hanya bertumpu pada teks, menurutnya penafsiran
semacam ini merupakan pengalihan, al intiqâl yang hanya
memindahkan bunyi teks kepada relitas, seakan-akan teks-teks
keagamaan itu adalah realitas yang dapat berbicara sendiri.5
5 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî, hlm. 30. Berikut ini penjelasan Hassan Hanafi tentang kelemahan-kelemahan penafsiran yang bertumpu pada teks. Pertama, teks adalah teks, bukan realitas. Teks hanya merupakan sebuah deskripsi linguistik tentang realitas yang tidak dapat menggantikannya. Oleh karena itu, setiap argumentasi harus autentik. Penggunaan teks sebagai sebuah argumentasi harus merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan a-priori terlebih dahulu. Sehingga, argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Hal ini merupakan kenyataan yang elitis. Ketiga, Teks bertumpu pada otoritas kitab suci dan bukan pada otoritas akal. Padahal, otoritas seperti ini tidaklah argumentatif,
141
Padahal, metode yang hanya bertumpu pada teks seperti itu
mempunyai banyak kelemahan terutama dari segi epistimologi.
Kelemahan-kelemahan disebutkan Hassan Hanafi, disebabkan
ada sebelas faktor yang dapat disimpulkan di antaranya
sebagai berikut ini. Pertama, tidak menjadikan realitas sebgai
karena terdapat banyak kitab suci, sementara realitas dan akal hanya satu. Keempat, Teks adalah pembuktian (al burhân) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Padahal dalam pembuktian, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, Teks membutuhkan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa acuan ini teks menjadi tidak bermakna, dan bahkan akan menyelewengkan maksud-maksud semua teks yang sesungguhnya. Sehingga terjadilah salah paham dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks itu bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Sehingga tidak mungkin untuk beriman kepada satu kitab dengan mengingkari yang lain. Ini hanya akan menjebak para penafsir ke dalam pola pikir parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan-pertimbangan untung rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentinganya, sebagaimana seorang sosialis akan melakukan hal yang sama terhdap teks lain. Di sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan, posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks. Sehingga di dalam realitas, pertikaian dan perbedaan para penafsir akan menjadi sumber pertikaian masyarakat, sebangun dengan pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi pada keimanan dan emosi keagamaan. Ia hanya sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarahkan kepada rasio dan realitas keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan tekstual bukan metode ilmiah yang menganalisis realitas kaum muslimin, melainkan hanya sebuah model apologetik untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi jauh lebih rendah nilainya daripada pembuktian. Kesepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat dari pada untuk pembuktian, karena ia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan kaum muslimin sebagai umat. Kesebelas, kalaupun mengarah kepada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal kita sesungguhnya membutuhkan penjelasan tentang realitas sampai kepada fakta, siapa memiliki apa (Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî, hlm. 30).
142
teks.6 Kedua, tidak menjadikan teks sebagai pembuktian dari
dalam realitas yang mempunyai nalar, sehingga teks sebagai
argumentasi yang diperuntukan bagi orang yang percaya
dikarenakan teks menuntut orang percaya terlebih dahulu.7
Ketiga, teks tidak dikaitkan dengan realitas sebagai acuan yang
ditunjukinya. Keempat, tidak menjadikan teks yang bersifat
unilateral. Kelima, menganggap hanya ada satu pemahaman
dari suatu teks, padahal teks itu merupakan satu pilihan
penafsir dari sekian banyak penafsiran. Jadi, yang menentukan
teks adalah penafsir itu sendiri yang dilatarbelakangi oleh
kepentingannya.8 Keenam, teks tidak diarahkan kepada rasio
dan kenyataan keseharian umat. Ketujuh, metode tekstual tidak
memperjuangkan muslim sebagai rakyat melainkan,
memperjuangkan Islam sebagai prinsip. Kedelapan, tidak
menjelaskan perhitungan secara kuantitatif.
Terlalu bertumpu dengan metode linguistik menurut
Hassan Hanafi, menjadikan mufasir mengbaikan terhadap
prinsip-prinsip metode pengalaman eksperimental (al manhaj
6 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 207-208.
7 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 211.
8 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 167.
143
al tajrîbî) yang menjadi dasar ‘ilat dalam penetapan suatu
hukum, istinbath, suatu istilah dalam hukum Islam.9 Sebaliknya,
metode yang terlalu bertumpu pada rasio atau analisis nalar
sering dijumpai kontroversi sering terjebak pada penafsiran
bertele-tele, penafsiran teks yang tidak memperhatikan apakah
dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.10
Untuk menangani problem yang pertama ia mencoba
mengemukakan metode untuk menelaah suatu teks dengan
tafsir al syu’ûrî (tafsir perseptif, kesadaran) dengan metode
tematik. Tafsir ini dimaksudkan agar al-Qur’an
mendiskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain,
tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun
sistem sosial dan politik.11 Tafsir ini menggunakan metode
kuantitatif dengan angka-angka dan statistik sehingga realitas
dapat berbicara mengenai dirinya sendiri yang langsung
merujuk secara objektif pada konteks realitas tersebut dan
mendefinisikan secara kuantitatif.12
9 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 167.
10 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 179.
11 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî : Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, hlm. 19.
12 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.
144
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kuantifikasi ini selalu
lebih detail dan akurat daripada sekedar identifikasi abstrak.
Kalau para ulama terdahulu, semacam Ibn Taymiyah (1262-
1327 M), menjadikan akal dan persaksian sebagai aksioma
(dalil) yang mendasari pengutipan suatu teks, maka tafsir
metode baru ini menurut Hassan Hanafi, menambahkannya13
dengan eksperimen, realitas kuantitatif dan penggunaan bahasa
angka-angka terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan
distribusi kekayan kaum muslimin kepada keseluruhan umat.
Sebagai penyelesaian untuk problem yang kedua, Hassan
Hanafi mengajukan alternatif lain berupa metode analisis
pengalaman (manhaj tahlîl al khubrât). Menurut Hassan Hanafi,
analisis yang bertumpu pada pengalaman hidup tidak saja akan
membawa kepada makna teks, namun, bahkan kepada realitas
itu sendiri, yakni hakikat keagamaan yang diungkapkan teks.
Inilah yang oleh Hassan Hanafi dimaksudkan dengan al ta`
wil.14
Prosedur dari pendekatan ini adalah orang yang ingin
menafsirkan teks, terlebih dahulu harus menganalisis
pengalamannya sendiri sebelum memulai penafsiran teks atau
13 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.
14 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 180.
145
menulisnya.15 Tujuannya adalah untuk memunculkan pada diri
penafsir berbagai kepentingan, motivasi dan imajinasi tertentu
yang mendasari dan mengarahkan penafsiran. Setelah itu
barulah hasilnya dikorelasikan dengan teks.16
E. Teori Analisis Teks dan Orientasinya
Konsepsi Hassan Hanafi mengenai beberapa pengertian
teks dan proses memahaminya dalam literatur Islam klasik
terefleksi dalam istilah-istilah seperti qira’ah, tafsir, ta`wil, dan
syarh yang agak spesifik. Menurut Hanafi, membaca teks pada
dasarnya sinonim dengan proses memahaminya, sementara
yang menjadi obyek pemahaman itu adalah teks.17
Menurut Sara Mills, seorang ahli bahasa dari Inggris,
mengatakan bahwa teks adalah suatu hasil negosiasi antara
penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca di sini tidaklah
dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks,
tetapi juga ikut melakukan transaksi segaimana akan terlihat
dalam teks.18
15 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir vol. II. hlm. 180. Bandingkan dengan Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Jakarta: Teraju, 2002 hlm. 145.
16 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.
17 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526.
18 Menurut Mills membangun model yang menghubungkan antara penulis, teks dan pembaca mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama, akan melihat secara
146
Membaca teks ini dapat disejajarkan dengan teori
pengetahuan dalam filsafat skolastik yang ditandai dengan
relasi subyek-objek. Jika membaca adalah subjek, maka
objeknya adalah teks. Membaca berarti memahami dengan
sendirinya juga berarti menafsirkan dan mentakwilkannya.
Menurut Sara Mill bahwa sebuah berita harus dilihat
bagaimana satu pihak, kelompok, orang gagasan atau peristiwa
ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang
mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak.
Bahkan menurut Mills, bagaimana posisi dari berbagai aktor
sosial, posisi gagasan , atau peristiwa itu ditempatkan dalam
teks.19
Tafsir berada pada level kedua dalam proses pembacaan
ketika pemahaman dengan persepsi langsung tidak
komprehensip melihat teks bukan hanya berhungan dengan faktor produksi namun juga resepsi. Kedua, posisi pembaca di sini ditempatkan dalam posisi yang penting karena memang teks ditujukan untuk secara langsung atau tidak “berkomunikasi” dengan khalayak. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana,Yogyakarta: LKis, 2001, hlm. 204-205.
19 Eriyanto, Analisas Wacana, Yogyakarta: LKis. 2001, hlm 201. Mills memberikan contoh bahwa seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan bagaimana pihak lain ditampilkan. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subyek yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak. Dikutip dari Eriyanto yang mengutip dari Sara Mills, Discourse, London and New York, Routledge, 1997.
147
dimungkinkan. Instrumen-instrumennya adalah logika bahasa,
orientasi teks (taujih al nash) atau konteks sosial dan rûh al
‘ashr (semangat zaman). Jika penafsiran dengan logika bahasa
menemui jalan buntu, sementara signifikansi teks, kebutuhan
sosial dan spirit zaman semakin menguat, maka yang terjadi
adalah proses ta’wil.20 Sementara syarh (komentar) mencakup
ketiga hal sebelumnya yakni qirâ`ah atau pemahaman dengan
persepsi langsung, penafsiran, dan ta`wil.
Dalam kedudukannya sebagai bangunan pengetahuan
yang komprehensif, syarh menurut Hassan Hanafi, mencakup
hubungan antara proses membaca dan teks dalam relasi
subjek-objek. Pembacaan suatu teks lebih lanjut dapat menjadi
kegiatan yang bercorak pribadi terjadi ketika seseorang
membaca teks orang lain yang berasal dari kebudayaan yang
sama sebagai sebuah penghampiran tertentu terhadap tradisi
mereka berdua dan dapat pula mencerminkan dialektika
sosial.21 Pembacaan jenis ini lebih merupakan interpretasi
20 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527
21 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan dengan pendapat Sara Mills bahwa posisi pembaca sangatlah penting dan harus diperhitungkan dalam teks. Bahkan, Mills menolak pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca diabaikan. Dalam model semacam ini, teks dianggap semata sebagai produksi dari sisi penulis dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembaca yang hanya ditempatkan dan dianggap sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan suatu teks. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, th. 2001, hlm. 203.
148
dengan tujuan melakukan korelasi dan pembaharuan guna
memenuhi atau menyesuaikan dengan semangat zaman.
Sedangkan, jika pembacaan dilakukan seseorang pada orang
lain dari peradaban yang berbeda, maka yang terjadi adalah
peristiwa dialektika kebudayaan.22
Menurut Hassan Hanafi, pembacaan teks yang dilakukan
oleh seseorang dalam dua bentuk di atas bukan sekedar
sebagai tafsir, ta’wil dan syarh belaka terhadap objeknya.
Melainkan, sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut
persepsi pembaca yang mencakup pembacaan, analisis, kritik,
dan “rekonstruksi” untuk menyempurnakan struktur dan
penyingkapan aturan-aturan teks.23
Pada sisi lain, pembacaan teks bukanlah seni, tapi ilmu
praktis yang bersifat komulatif guna menyingkap struktur
dasar sutu teks, baik yang berbentuk dalam rentang waktu
yang panjang atau dalam periode yang singkat. Menurut Hassan
Hanafi, hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan
hubungan antara subyek dengan obyeknya. Subyek adalah
22 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 528.
23 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 529.
149
penafsiran dengan kegiatan penafsirannya, sementara obyek
adalah teks.24
Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan dengan
teks sakral Hassan Hanafi menganggap bahwa semua teks
diperlakukan sama sebagai konsekuensi leburnya pemilahan
antara hermeneutika sacra dan hermeneutika profan dalam
diskursus hermeneutika kontemporer. 25 Hassan Hanafi
menganggap keistimewaan al-Qur’an sebagai teks kategori
dalam praktek keagamaan masyarakat dan bukan kategori
dalam hermeneutika.26
24 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526. Bandingkan dengan Eriyanto yang mengutip Sara Mills yang mengatakan bahwa teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dengan pembaca. Mills mengajukan beberapa alasan kenapa model yang menempatkan pembaca hanya sebagai penerima (yang tidak mempengaruhi proses produksi teks) tidak begitu akurat. Pertama, dalam model tradisional ini, penulis dipandang sebagai pihak yang secara sewenang-wenang dapat mengontrol teks. Padahal dalam kenyataannya penulis tidak “bebas” semacam itu. Dalam teks berita misalnya pewarta juga memperhitungkan apa yang disukai pembaca, karakteristik pembaca yang ia tuju, dan sebagainya. Untuk pembaca dengan kelas sosial atau kelompok umur tertentu, tulisan dibuat dengan gaya dan topik tertentu. Hal ini akan berbeda apabila ia menulis untuk kelompok sasaran pembaca yang lain. Dengan, demikian tidak ada otonomi besar pada diri penulis karena ia berhadapan dengan pembaca atau khalayak yang dibayangkan. Kedua, dalam faktanya, pembaca mempunyai peranan penting yakni dalam bagaimana teks itu ditafsirkan. Pembaca adalah kreator, ia bisa menafsirkan teks bahkan berbeda dengan yang diyakini oleh penulis. Sebuah teks bahkan bisa dikreasikan ulang membentuk teks baru oleh pembaca. Kutipan Eriyanto dari Sara Mills,”Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis” dalam Michael Toolan (ed.) Language, Text and Context: Essays in Stylistics, London and New York, Routledge, 1992.
25 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.
26 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 495. Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, vol. II. Kairo : Dar Quba, 1997, hlm. 23-30.
150
Desakralisasi teks-teks suci, termasuk al-Qur’an tersebut
menciptakan hubungan-hubungan simetris antara al-Qur’an,
kesadaran, dan realitas, sebagai antitesis hubungan-hubungan
struktural dalam hermeneutika al-Qur’an klasik. Dalam
penafsiran tradisional, teks atau al-Qur’an berada di puncak
dan pusat, sedangkan realitas tidak dibicarakan secara
eksplisit.27 Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tafsir
tradisional terutama dari segi orientasi ini diperlukan
membangun metode tafsir kontemporer yang dapat
menjembatani kesenjangan antara teori tradisional dan
realitas.28
Menurut Hassan Hanafi, pemahaman terhadap al-Qur’an
adalah perbincangan mengenai teori penafsiran (nazhariyah al
tafsir) yang mampu mengungkapkan kepentingan masyarakat,
kebutuhan kaum muslimin dan isu-isu kontemporer.29 Sehingga
diharapkan dapat mengatasi kekurangan yang terdapat dalam
27 Menurut Hassan Hanafi, dalam realitas penafsiran al-Qur’an saat ini, terlihat ada pemilahan antara teori tafsir tradisional berupa ilmu-ilmu al-Qur’an, teks-teks yang berisi penjelasan tradisional dengan realitas kekinian yang muncul dengan beragam pemikiran sekulernya tanpa memperhatikan teks-teks tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan penghubung di antara keduanya. Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah. Vol II, hlm. 177. Bandingkan dengan Ilham E. seorang, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 140 dan 177.
28 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 177.
29 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 175. Bandingkan dengan Hassan Hanafi,”Manâhij al Tafsîr” dalam al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 78.
151
tafsir-tafsir tradisional yang tidak pernah melakukan
perbincangan teoritis sebelumnya secara tuntas.30
Tafsir yang tidak memperbincangkan teoritas seperti itu
menurut Hassan Hanafi seperti terlihat dalam tafsir tradisional
yang mengakibatkan tidak otonom dan terjebak pada orientasi
metodologis dari disiplin tradisional. Dalam materinya, tafsir
tradisional menjadikan al-Qur’an lebih banyak dijadikan
sumber justifikasi suatu keilmuan.31 Padahal, baginya, al-Qur’an
bukan merupakan buku panduan bahasa, hukum, sejarah,
tasawuf, teologi, filsafat, bahkan ilmu pengetahuan, panduan
sosial politik atau panduan tentang metafora.32 Menurutnya al-
Qur’an lebih baik dipandang dan berfungsi sebagai sebuah etos
atau sumber motivasi bagi suatu tindakan.33
30 Teoritisasi dimaksudkan Hassan Hanafi untuk meletakkan kembali al-Qur’an sebagai sumber dan obyek pengetahuan secara simultan di hadapan rasionalitas sebelum melakukan kegiatan keilmuan lainnya berupa pembuatan hukum, sebelum membangun keilmuan Islam apapun, atau sebelum merekonstruksi disiplin tradisional Islam, baik ushul fiqh, tasawuf, fiqh, kalam, filsafat dan sebagainya (Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II, hlm. 176.
31 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 485-494.
32 Hassan Hanafi. ‘Manâhij al Tafsîr’, dalam Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm. 79-101.
33 Hassan Hanafi. Religion Dialogue and Revolution, hlm. 17.
152
1. Prinsip-Prinsip dalam Analisis Teks.
Berbeda dengan pandangan yang banyak berkembang di
kalangan pemikir Muslim, Hassan Hanafi menganggap bahwa
sebuah teks tidak mengandung makna objektif apa pun. Teks
selalu merupakan praktik manusiawi semenjak penciptaan
pertama hingga pembacaan terakhir.34 Pandangan ini
didasarkan pada sifat kesejarahan dari teks. Seperti disinggung
sebelumnya, Hassan Hanafi menganggap teks sebagai bagian
dari praksis ideologi. Sebagai konsekwensinya, tidak ada
pembacaan teks yang objektif, kecuali penafsiran itu sendiri.
Apa yang terjadi dalam wilayah penafsiran tidak lain adalah
pembacaan masa lalu dalam kacamata kekinian.
Setiap penafsiran dengan sendirinya menjadi proyeksi
masa kini ke dalam masa lalu, dan bukan sebaliknya. Sehingga,
upaya penulusuran sebagai arkeologi (al hufriyat) dalam tafsir
memperoleh makna awal selalu merupakan kegiatan yang sia-
sia. Karena sekalipun apa yang diklaim sebagai makna awal
dapat ditemukan, bukan serta-merta berarti menemukan
makna teks yang sesungguhnya.35
34 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.
35 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.
153
Menurut Hassan Hanafi kebenaran dalam proses
pemahaman tidak terletak pada korespondensi makna dengan
realitas masa lalu sebagaimana diyakini epistimologi
konvensional, akan tetapi dari korelasi makna dengan
pengalaman hidup manusia.36 Penafsiran dapat dibenarkan
sejauh ia fungsional dalam sejarah. Karena penafsiran tidak
lain merupakan persaksian subyek di hadapan individu,
masyarakat dan sejarah. Agaknya, hal ini merupakan jawaban
atas pertanyaan dimanakah letak makna al-Qur’an apakah ada
pada realitas di abad ketujuh atau pada Tuhan. Ketika
membaca makna teks dalam sejarah, menurut Hassan Hanafi
meskipun terdapat bukti-bukti sejarah tentang situasi yang
melahirkan teks, namun, ia tetap bukan menjadi pendasaran
bagi penafsiran makna masa kini. Hal ini karena sumber
sejarah tetap tidak akan pernah memadai. Kalaupun sumber
sejarah dijadikan sumber, yang terjadi adalah kontroversi
sejarah ketimbang menafsirkan teks tersebut.37
Bagi Hassan Hanafi, penafsiran teks dalam situasi
kontemporer sepenuhnya merupakan kegiatan produktif,
penemuan makna-makna baru dari teks. Tidak mempersoalkan
36 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 537.
37 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.
154
apakah sesuai atau tidak dengan makna aslinya, demikian juga
apakah konteks situasionalnya sama atau berbeda. Hassan
Hanafi menyebut istilah ini sebagai “proyeksi masa kini ke
dalam masa lalu” atau “metode retroaktif”.38
Hassan Hanafi berpendapat bahwa membaca teks
sebagaimana menulisnya, sama-sama merupakan tindakan
ideologis. Setiap pembacaan merupakan keputusan dan
rekonstruksi obyek bacaan dengan mengabaikan situasi awal di
mana teks muncul dan teralienasi. Oleh karena itu, baik
penulisan maupun pembacaan teks masing-masing merupakan
“senjata ideologis”.39 Setiap kelompok membaca sekaligus
memproyeksikan diri ke dalam teks, mencari kepentingannya
dan menjadikan teks sebagai justifikasi untuk kepentingan
berbagai tindakan sosial.
Menurut Hassan Hanafi, sebagai kegiatan produktif, suatu
bacaan atas teks berfungsi untuk menemukan dimensi-dimensi
baru dalam teks sebelumnya bahkan dalam makna awalnya
yang sama sekali belum ditemukan. Hal ini dapat saja terjadi
karena pemahaman manusia senantiasa diperkaya oleh
akumulasi pengetahuan yang memperkenalkan berbagai
38 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.
39 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.
155
temuan yang tidak pernah disadari sebelumnya.40 Di samping
itu, pemahaman manusia senantiasa dideterminasi oleh
kesadarannya akan realitas sosial dan individual di mana ia
hidup. Determinasi sosial kebudayaan seperti itulah yang
menyajikan persepsi tertentu yang bisa saja berbeda dengan
pemahaman penafsiran sebelumnya.
Hassan Hanafi merinci tiga prasyarat yang tidak mungkin
diabaikan dalam sutu pembacaan teks.41
1. Kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah (historically
effected consciousness)
Pijakan pada situasi tertentu yang dalam hermeneutika
filosofis disebut sebagai prapaham atu kesadaran yang
dipengaruhi oleh sejarah. Konsep ini menunjukkan bahwa
setiap pemahaman manusia selalu berpijak dari suatu
pemahaman sebelumnya mengenai apa yang dibutuhkan dan
apa yang menjadi tujuan penafsiran teks. Dasar ini kemudian
memberikan tawaran pemilihan makna tertentu bagi penafsir.42
Menurut Hassan Hanafi penafsiranlah yang menentukan pilihan
40 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.
41 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.
42 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 497; Bandingkan pula dengan Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale Universuty, 1994 : 114.
156
makna bagi teks. Sebaliknya, seorang penafsir yang melakukan
pembacaan terhadap teks yang tanpa dibekali dengan
kepentingan tidak akan menemukan apa-apa. Menurutnya,
makna adalah tujuan yang telah ditentukan sebelum
pembacaan dilakukan.
Hassan Hanafi menolak klaim objektivitas dalam
pembacaan teks. Sebaliknya, pembacaan yang tidak dikaitkan
dengan kepentingan itulah yang justru ideologis karena
berprasangka bahwa telah mengatakan sesuatu dari teks yang
objektif, padahal ia sama sekali tidak memberi tafsiran yang
objektif kecuali refleksi dari tendensi tertentu. Prasyarat43
pemahaman yang pertama ini bukan semata-mata aturan
teoritik yang mendahului penafsiran, bukan pula tendensi
ideologis atau ide seseorang, akan tetapi prinsip umum dan
objektif yang melampaui relativitas; menyerupai kepentingan
umum dan kecenderungan pikiran.
2. Berpihak kepada kepentingan umum.
Bagi Hassan Hanafi, suatu interpretasi tidak berada dalam
ruang kosong, tetapi bergerak dalam arus sejarah. Sementara,
sejarah menurutnya, berkaitan dengan struktur-struktur sosial
43 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.
157
yang menggambarkan hubungan dialektis antara penguasa
dengan yang dikuasai sehingga, masing-masing penguasa
memiliki bentuk penafsirannya.44 Terhadap fenomena sosial
tersebut, sebuah metode tafsir harus menjadi bagian dari
gerakan sosial dan reformasi untuk tetap menjamin
terwujudnya kepentingan umum. Penafsiran apa pun harus
berpihak pada kepentingan yang bersifat publik dan menolak
pembacaan lain yang berpusat tendensi ideologi dan teologis
yang berpihak pada penguasa.
3. Harus berpijak pada “bahasa relitas”.
Menurut Hanafi, seorang penafsir tidak dapat membatasi
diri pada teks dalam pengertian tertulis, tapi teks dalam
pengertian “realitas”. Penafsiran menstransformasikan bahasa
kepada masyarakat dan eksistensi untuk memperoleh relasi
antara teks dengan realitas.45 Jadi, pada tahap ini penafsiran
dapat disebut juga sebagai sebuah praksis karena realitaslah
yang menafsirkan teks dan mendefinisikan tujuan-tujuannya.
2. Nilai dan Kekuatan Teks
44 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546-547.
45 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 547.
158
Hassan Hanafi berpendapat bahwa Teks merupakan
penulisan semangat zaman yang terungkap dalam pengalaman
individu dan masyarakat pada banyak situasi. Jadi, menurut
Hanafi setiap teks selalu merupakan refleksi realitas sosial
tertentu. Teks bukan semata-mata sebagai gambaran internal
penulisnya, melainkan, teks juga merupakan sarana
pembentukan kesadaran akan realitas tertentu yang terefleksi
dalam teks.46
Penulisan teks senantiasa tunduk pada faktor-faktor
subjektif, persepsi tentang kenyataan, persepsi dalam membaca
dan menentukan orientasi tertentu. Hassan Hanafi tidak ragu-
ragu menyebut “teks sebagai praktik ideologi” (al nash ‘amal
aydiyûlûjî)47. Dalam hal ini, teks pun bersifat arbitrer karena
merupakan pilihan penulisnya pada satu maksud dari
keragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa
datang.
Di samping itu, tujuan penulisan teks tidak lain bersifat
etis dan ideologis. Disebut etis karena penulisan suatu
momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan keinginan
memberi petunjuk tertulis kepada generasi mendatang.
46 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 533.
47 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.
159
Sementara disebut sebagai bersifat ideologis, karena langsung
atau tidak, teks merupakan sarana efektif untuk mewariskan
kekuasaan.48
Menurut Hassan Hanafi sebagai medium kuasa, teks tidak
hanya berfungsi sebagai preservasi makna, tetapi juga
merefleksikan otoritas tertentu dalam kapasitasnya sebagai
pemberi petunjuk, hukum, dan keputusan. Bahkan, dalam
masyarakat tradisional di mana teks menjadi sumber
pengetahuan, ia merupakan kekuasaan itu sendiri.49 Peran teks
sebagai medium kuasa memang sentral dalam banyak teori
teks. Dalam kritik wacana misalnya sering disinggung bahwa
dalam masa transisi dari kebudayaan lisan kepada kebudayaan
tulisan sering terjadi pertarungan ideologis dalam rangka
membakukan pemikiran atau doktrin tertentu ke dalam
memori umat. Dalam proses tersebut tekslah merupakan
instrumen yang sangat efektif.50
Menurut penelaahan Hanafi bahwa dalam tradisi dari
kebudayaan oral ke tulisan terjadi proses penyeragaman
48 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.
49 Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdhiyyin, Yogyakarta: LKIS, 1997, hlm. 215.
50 Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, hlm. 215.
160
berbagai fenomena sosial ke dalam penafsiran tertentu. Hanafi
menunjukkan contohnya dalam kasus penyeragaman bacaan al-
Qur’an ke dalam dialek Quraisy sebagai proses interpretasi,
kalau bukan intervensi manusia ke dalam teks.51 Hassan Hanafi
bukannya keberatan dengan kejadian semacam di atas.
Melainkan, dari sana ia ingin menunjukkan adanya sifat
historisitas dari setiap teks. Di samping itu, secara tidak
langsung merupakan pendasaran bagi pandangannya tentang
interpretasi teks sebagai proses kreatif.
Dalam masyarakat tradisional, fungsi instrumental teks
lebih signifikan lagi. Sebab masyarakat menganggap teks
sebagai argumen otoritatif. Ia menjadi semacam pengetahuan
teoritis dan norma praktis bagi pola prilaku masyarakat. Pada
intinya, teks merupakan pembentuk pandangan dunia
(weltanschauung) dan standar prilaku massa.52 Wujud teks
dalam masyarakat tradisional dapat dianggap sakral, seperti
risalah kenabian, dan kitab suci. Teks dapat pula bersifat
profan seperti bentuk pribahasa dan puji-pujian.53 Namun
demikian, menurut Hassan Hanafi, perbedaan keduanya
51 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.
52 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 208.
53 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206.
161
hanyalah pada derajat bukan pada jenis. Oleh sebab itu, secara
teoritis, teks profan maupun sakral tunduk pada aturan yang
sama dalam interpretasi teks.54
Dalam masyarakat tradisional teks demikian sentral
sehingga teks kitab suci masih menjadi sumber pengetahuan
dan norma prilaku. Demikian juga hermeneutika. Dalam
masyarakat tradisional, hermeneutika dapat menggantinkan
posisi epistimologi dalam masyarakat sekuler, sehingga norma
prilaku terdapat dalam teks kitab suci dan bukan diperoleh
dari alam dan nalar.55 Sebaliknya, dalam masyarakat sekuler
alam dan nalarlah yang menjadi sumbernya.
Hassan Hanafi lebih jauh melihat teks mengandung
dinamika dan vitalitas di dalamnya. Akan tetapi, sebelum
dilakukan pembacaan, maka ia hanya potensial dan status
sifatnya. Membaca teks berarti menghidupkannya. Teks adalah
forma yang perlu diberi subtansi melalui penafsiran manusia.56
Dalam kaitan dengan penafsiran, setiap teks berarti
mengandung potensi dinamis yang memungkinkan
dilakukannya penafsiran kreatif.
54 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527.
55 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206.
56 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 211; Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527.
162
Dalam kaitannya dengan hal ini, teks keagamaan dan teks
sastra lebih tinggi lagi kadar probabilitas dan pilihan maknanya
ketimbang teks-teks konseptual. Karena teks-teks semacam ini
mengandung sifat “mistis” yang tercermin oleh banyaknya
perumpamaan, alegori, dan kiasan. Teks-teks demikian,
memberi imajinasi yang lebih besar pada pembentukan
makna.57
Teks juga selalu bersifat ambigu; selalu tersedia pluralitas
makna. Pembacaan teks bertugas memberi keputusan dengan
mempertimbangkan konteks di mana ia berada. Karakter
seperti ini mencerminkan bahwa teks selalu membutuhkan
penafsiran yang dengannya makna menjadi jelas dan eksplisit.58
Dengan ungkapan lain, dia mengatakan bahwa “teks adalah
bentuk tanpa isi, dan isi tanpa jasad, pembacaanlah yang
memberinya subtansi dan bentuk.
3. Perubahan Nilai Makna Suatu Teks.
Teks dalam persepsi seorang penafsir tidak memiliki
makna objektif. Membaca teks tidak dapat dilakukan dengan
mencari makna aslinya atau menelusuri perkembangannya
dalam sejrah karena keduanya telah kehilangan konteks. Dalam
57 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 534.
58 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 535.
163
pengertian ini, teks tidak bersifat absolut, namun merupakan
kumpulan relativitas yang ditafsirkan secara beragam pula oleh
setiap masa. Dan karena setiap masa memiliki
kecenderungannya masing-masing, maka penafsiran pun
menjadi relatif.
Membaca teks menurut Hassan Hanafi tidak dapat
dibatasi pada makna harfiahnya (al tafsîr al harf) sebab hal ini
hanya akan menjaga teks melainkan juga membunuh makna,
merupakan dominasi kata atas makna, status quo atas
transformasi, dan kebekuan atas dinamika.59 Dengan kata lain,
penafsiran harus disesuaikan dengan kebutuhan tertentu.
Penafsiran pada gilirannya, tidak memiliki parameter
benar-salah, kecuali tafsir kepentingan (al tafsir al qashdy) itu
sendiri. Bagi Hassan Hanafi, penafsiran dapat dibenarkan
sejauh ia fungsional dalam sejarah. Penafsiran tidak lain
merupakan persaksian subjek di hadapan individu, masyarakat
dan sejarah.60 Prosedur penafsiran adalah makna muncul
pertama kali dari penafsir yang tercermin dalam motivasi,
kepentingan, dan imajinasi tertentu, baru setelah itu makna
berkolerasi dengan teks. Baginya, setiap klaim kebenaran dalam
59 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.
60 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, Ibid.
164
penafsiran tidak dapat mengelak dari kenyataan ideologis
seperti dalam prosedur tersebut.61 Dengan pandangan ini,
sepintas makna objektif bukan berada dalam teks, tapi pada
kesadaran manusia, sementra pada hakekatnya, makna
subjektif yang beralih dari kesadaran ke dalam teks.
Bagi Hassan Hanafi, perubahan makna teks merupakan
penyebab adanya teks-teks yang bersifat relatif, mutasyabihat,
sebab ia menunjukkan sisi histories pemahaman manusia.
Sebaliknya teks-teks yang bersifat absolut, al muhkamat adalah
prinsip bahwa yang ada adalah relativitas penafsiran.62
Absolutivitas makna dengan demikian bukanlah pada makna
orisinal teks, tetapi terletak pada prinsip-prinsip umum,
esensial, dan mendasar tentang pemahaman makna yang dalam
hermeneutika filosofis modern disebut “dimensi universal
hermeneutika”. Hanafi menjabarkan prinsip-prinsip tersebut ke
dalam empat unsur berikut ini.63
1. Kreativitas nalar, badahah al’aql.
Pemahaman intensionalitas hubungan makna dan
kepentingan. Hassan Hanafi berpendapat bahwa manusia
61 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.
62 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.
63 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.
165
dengan intensionalitas (kesadaran, al ‘aql al badihi) dapat
mengungkapkan hubungan makna dan kepentingan. Kesadaran
di sini tentu saja dalam pengertian fenomenologis yang terarah
pada realitas dan bukannya kesadaran yang murni semata-
mata.64
2. Pemahaman terhadap pengalaman manusia, tradisi.
Situasi kemanusiaan yang berlangsung dari masa ke masa
seperti nilai-nilai yang selalu diperjuangkan; revolusi ‘ubudiyah,
ritual agama; melawan ketidakadilan; mempertahankan
kebebasan dan seruan untuk musawah, kerukunan. Adanya
pemahaman hermeneutika filosofis yang banyak
mempengaruhi Hassan Hanafi, maka tradisi dengan sendirinya
merupakan prasyarat pemahaman.65
3. Pemahaman logika bahasa
Di samping intensionalitas dan tradisi, pada prinsipnya,
pemahaman selalu berkaitan dengan bahasa teks. Teks hanya
dapat dipahami sejauh merujuk pada bahasa yang di dalamnya
bahasa dibentuk. Logika bahasa menyangkut logika semantis
64 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.
65 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.
166
(manthiq al alfâzh) dan logika konteks kebahasaan (manthiq al
siyâq).66
4. Konteks sosio-historis.
Sebagai prasyarat terakhir, setiap penafsiran
bagaimanapun tidak dapat mengabaikan adanya situasi awal
(asbâb al nuzûl) yang menjadi latar belakang turunnya teks,
meskipun ia tidak lagi memadai menjadi rujukan penafsiran.
Pengakuan akan adanya situasi awal merefleksikan supremasi
(uluwiyyah) realitas atas pemikiran dan teks.67 Artinya suatu
penafsiran senantiasa historis di mana pemikiran (penafsiran)
dalam bentuk apa pun tidak akan pernah sepi dari pijakan
sejarahnya yang oleh Hassan Hanafi disebut “situasi batas” dan
situasi etik”.
Implikasi pendirian Hassan Hanafi tersebut di atas adalah
tidak adanya nilai absolut dalam wilayah penafsiran. Setiap
interpretasi mengalami relativitas sesuai dengan konteks
penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas
itu sendiri. Kalaupun ada hal –hal yang dianggap absolut dan
universal, sama sekali bukan berasal dari hasil dan proses
66 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.
67 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 543.
167
penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai tertentu yang
menjadi prinsip penafsiran.
Hassan Hanafi juga bermaksud menghindari segala
macam klaim objektifitas. Menurutnya, semua penafsiran
mengandung sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam
kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu
merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam masyarakat.68
Alih-alih membela objektivitas, Hassan Hanafi justru
bermaksud mengeksplisitkan subjektivitas dan kepentingan
yang menjadi tujuan hermeneutika dan penafsirannaya.
Eksplisitas semacam ini menjadi penting karena berfungsi
sebagai pendasaran dan tujuan hermeneutika al-Qur’an Hassan
Hanafi. Dalam hermeneutika al-Qur’an, eksplisitas tersebut
mengarahkan pembicaraan bukan pada benar salahnya sebuah
penafsiran dalam pengertian yang hakiki, tetapi pada
bagaimana sebuah argumen dibangun, disanggah atau
didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran
dengan realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait
dengan fungsionalitas teks dan bukannya pembicaraan teks
yang melulu objektivistik.
68 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm.117-119.
BAB V METODE SOSIOLOGIS TAFSIR AL-QUR’AN A. Tawaran Hermeneutika Al-Qur’an Tematik (Maudlû’î)
1. Asal Usul Metode Tematik
Secara geneologis, metode tematik untuk menafsirkan al-
Qur’an dirumuskan secara terinci pertama kalinya oleh Hayy
Farmawi yang sebelumnya dicetuskan oleh Sayid al Kummî. Pada
tahun 1977 Hayy Farmawi menerbitkan bukunya Al Bidâyah fî al
Tafsîr al Maudlû’î. Sebetulnya sebelum itu sudah ada yang
169
mempraktekan dengan menggunakan metode tematik tetapi
bukan sebagai pembahasan tafsir.1
Hassan Hanafi tidak memberikan pernyataan jelas berasal
dari mana metode tersebut diperolehnya. Agaknya, ia memang
mengadopsi metode tematik ini dari Hayy Farmawi walaupun
dalam prakteknya ada beberapa modifikasi terhadap metode
yang sudah dirinci oleh Hayy Farmawi. Perincian langkah-langkah
metode tematik yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi menurut
hemat penulis, merupakan penyempurna dari apa yang sudah
sudah dirinci oleh Hayy Farmawi.
Kebanyakan tafsir yang ditulis sampai tahun 1960 masih
dilakukan dari surat al Fâtihah sampai surat al Nâs. Tafsir-tafsir
tersebut ditulis per surat, dan per ayat, sesuai dengan susunan
yang ada dalam Mushhaf Usmânî.6 Sedangkan dalam prakteknya
bahwa metode seperti ini sudah dilakukan oleh sementara ahli
tafsir yang diduga dimulai oleh Al Farra (w. 207 H) dan
mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin Umar Al Biqa’ î
(809-885 H).7
1 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.ke-1, 1992 hlm. 114. Menurut Quraish Shihab bahwa Ahmad Sayyid al Kumi adalah Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar sampai tahun 1981.
6 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World I, Kairo: Dar el Kebaa, 2000, hlm. 484. Pernyataan ini disampaikan Hassan Hanafi dalam sebuah seminar internasional dengan tema “The Quran as Text” di Universitas Bonn, Jerman, 21 Nopember 1993. Lihat footnote (Hassan Hanafi, “Method of Thematic Interpretation of The Quran” dalam Islam in The Modern World I, hlm. 484).
7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 112. Quraish Shihab menuturkan bahwa bentuk metode tahlîlî ini menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada para pembacanya secara menyeluruh.
170
Berdasarkan keterangan dari Quraish Shihab bahwa
metode tematik ini awal mulanya karena terinspirasi oleh karya-
karya ilmiah seperti al Insân fî al-Qur’an karya Abbas Mahmud
Aqqad dan al Ribâ fî al-Qur’an karya al Maududi yang disusun
bukan sebagai pembahasan tafsir. Sehingga untuk yang pertama
kalinya DR. Ahmad Sayyid al Kummi mencetuskan dan
menggunakan metode tafsir tematik. 2
Disusul kemudian tahun 1977, Prof. DR. Abdul Hayy al
Farmawy yang juga menjabat guru besar pada Fakultas
Ushuluddin Universitas al Azhar, menerbitkan buku al Bidâyah
fî Tafsîr al Maudlû’î dengan mengemukakan secara rinci
langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan
metode tematik tersebut.
Langkah-langkah tersebut menurut Hayy Farmawy adalah
:3
1. Memilih atau menetapkan topik masalah yang akan
dibahas.
2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114. Menurutnya bahwa menurut al Kummî, seorang mufasir harus menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara topik tertentu. Kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an. Menurutnya, beberapa dosen di Universitas al Azhar telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain dilakukan Prof. DR. Al Husaini, namun ia tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan (Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114).
3 Hayy Farmawi, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 61 – 63.
171
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah tersebut, ayat makiyah dan ayat madaniyah.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang aspek asbâb al nuzûl-nya.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing.
5. Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang
sistematis, utuh dan sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadist ’âm (umum) dan
yang khâs (khusus), mutlaq dan muqayyad (terikat) atau yang
pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu
dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
Menurut Farmawi ada dua bentuk metode maudlû’î dalam
tafsir al-Qur’an.
Pertama, bentuk penafsiran menyangkut satu surat dalam
al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum
dan khusus, korelasi persoalan yang beraneka ragam dalam
surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga semua
persoalan tersebut saling keterkaitan bagaikan satu persoalan
saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syalthuth dalam
kitab tafsirnya. 4
Kedua, bentuk penafsiran dengan menghimpun ayat-ayat
al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari berbegai surat
al-Qur’an, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-
4 Hayy Farmawi, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 35. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114.
172
ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi
pokok pembahasannya.5
Sementara pengertian lainya diungkapkan oleh
Muhammad Baqir Shadr bahwa tafsir maudlû’î yaitu
pendekatan tafsir yang mencoba mengkaji al-Qur’an dengan
mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema
doktrinal, sosial dan kosmologi yang dibahas oleh a1 Quran
dengan tujuan nenetapkan pandangan a1 Quran mengenai hal
tersebut.8
2. Pertimbangan Hassan Hanafi Memilih Metode Tematik
Menurut Hassan Hanafi bahwa kitab tafsir klasik yang
mempunyai volume sangat tebal dan besar seperti Jâmi al Bayân
’an Ta`wîl al-Qur’an karya Al Thabari (w.310H/922M), Tafsîr al-
Qur’an al Karîm karya Ibnu Katsir (w. 744H/1377M) dan al
Kasysyaf karya Al Zamakhsyari (w. 406H/1016M) masih ditulis
dengan metode tahlîlî. Bahkan, tafsir-tafsir modern pun seperti
al Manâr yang ditulis Rasyid Ridla (w. 1935 M), dan Fî Zhilâl Al
Qurân karya Sayid Quthb masih ditulis dengan menggunakan
metode yang sama yaitu metode tahlîlî.9
5 Hayy Farmawi, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 35.
8 Baqir al Shadr, dalam Jurnal UQ No.4. Th.1993, Jakarta: Aksara Buana, 1993, hlm. 28. Menurut Quraish Shihab bahwa M. Baqir Shadr adalah ulama Irak yang menulis uraian menyangkut rafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip metode maudhu’î dan menamakannya dengan metode tauhîdî (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, footnote di hlm. 74).
9 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, 484. Bandingkan dengan Azumardi Azra (Ed.), Sejarah ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 174. Dalam buku ini dijelaskan bahwa ada tiga klasifikasi penulisan tafsir tahlîlî. Pertama, penulisan tafsir dengan sangat panjang seperti kitab tafsir karya al Alusi, Fakhr al Din al Razi dan Ibnu Jarir
173
Hermeneutika al-Qur’an tematik menurut Hassan Hanafi
merupakan pelengkap terhadap tafsir-tafsir yang sudah ditulis
dalam buku-buku tafsir yang bervolume besar. Tampaknya,
arahan yang dimaksud oleh Hassan Hanafi adalah kitab tafsir
yang menggunakan metode tahlîlî (penafsiran yang menggunakan
metode analisis). Dengan kata lain, pada hakikatnya benih awal
dari hermeneutika al-Qur’an tematik dapat dinilai sebagai
pengembangan dari tafsir bi al ma`tsûr yang ditulis dengan
metode tahlîlî.
Walaupun demikian, menurut Hassan Hanafi bahwa tafsir
yang ditulis menggunakan metode tahlîlî mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan yang dimiliki
tafsir dengan metode tahlîlî adalah sebagai berikut ini.
1. Dapat diperoleh informasi yang maksimum tentang sejarah
teks, bahasa teks dan kondisi sosial.10
Tafsir ini menawarkan pengetahuan dan membuat lebih
sadar akan obyektivitas dari sebuah teks. Para mufasir klasik
memberikan kondisi yang sudah usang tentang sebuah teks,
sementara tafsir-tafsir karya para reformer memperlihatkan
setting sosio-politik modern.
2. Tafsir-tafsir ini mengikuti aturan tradisi dan penulisan al-
Qur’an.11
al Thabari. Kedua, penulisan tafsir yang sedang seperti kitab tafsir karya Imam al Baidlawi dan al Naisaburi. Ketiga, tafsir yang ditulis dengan ringkas jelas dan padat seperti kitab tafsir al Jalalayn karya Jalal al Din al Suyuthi dan Jalal al Mahalli dan Tafsir al Qurân al Karîm karya Muhammad Farid wajdi.
10 Hassan Hanafi, “Hal Ladainâ Nazhariyah fî Tafsîr” dalam Qadlâyâ Mu’âshirah Vol. I, hlm. 175.
174
Tafsir ini mengikuti aturan penulisan yang mempunyai
kebijakan sendiri, kombinasi gaya susastera yang berbeda dalam
waktu yang sama, melalui narasi, perintah, larangan dan janji.
Al-Qur’an bukan hanya sebuah buku pengetahuan tetapi juga
bersifat persuasif. Al-Qur’an tidak dialamatkan hanya kepada
akal tetapi juga perasaan, juga tidak hanya memberikan teori
tetapi juga motivasi untuk praktek.12
3. Dengan tafsir ini dapat diketahui mentalitas para mufasir
klasik.13
4. Dapat diketahui kondisi sejarah dan tingkat pemahaman
mereka, karena setiap penafsiran adalah sebuah tafsiran
sejarah.14
Di samping beberapa kelebihan seperti di atas, menurut
Hassan Hanafi metode tahlîlî juga masih menyisakan beberapa
kelemahan sebagai berikut ini.
a. Penggalan atau potongan tema yang sama dalam beberapa
surat.15
Sebagai akibat dari pemenggalan ini sehingga tema-tema
yang terdapat pada ayat lain terpotong secara keseluruhan dari
tema pertama.16 Hassan Hanafi menyebut beberapa contoh tema
11 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 484.
12 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.
13 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.
14 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.
15 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.
16 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485. Lihat pula keterangan M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an, hlm. 73-74. Menurutnya, memang satu masalah dalam al-Qur’an sering dikemukakan secara
175
seperti kemakmuran, kekuasaan, masyarakat, akal perasaan,
perorangan dan solidaritas sosial. Menurutnya, masing-masing
tema dijelaskan secara parsial berdasarkan konteksnya dan
keseluruhan tema menjadi terabaikan dalam bagian-bagian yang
berbeda konteksnya.17
b. Pengulangan tema yang sama.18
Tautologi tema beberapa kali tanpa integrasi dari arti-arti
untuk membangun konsep global seperti status wanita tersebar
di seluruh Kitab. Tiap kali, aspek pengulangan dari suatu tema
merupakan pendangkalan makna. Realitas terkesan didesak
secara bertahap padahal hal tersebut perlu disatukan dalam satu
inti pembahasan.19
terpisah dan dalam beberapa surat. Misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat al Baqarah, Ali Imrân, dan al Rûm sehingga untuk mengetahui pandangan al-Qur’an secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda. Hal ini menurut Quraish Shihab disadari pula oleh para ulama, khususnya al Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun, ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
17 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol I, hlm. 176.
18 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol I, hlm. 485.
19 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol. I, hlm. 176. Menurut Qaraish Shihab bahwa atas dasar inilah yang kemudian muncul ide untuk melahirkan metode tafsir maudlû’î. Quraish Shihab lebih lanjut mengemukakan bahwa pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al Karim dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh al Syathibi. Dalam tafsirnya, Syalthut membahas surat per surat, atau bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Namun, apa yang ditempuh oleh Syalthut menurut Quraish Shihab belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk al-Qur’an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena dalam penafsiran yang dilakukan Syalthut dikemukakan bahwa satu masalah masih dapat ditemukan dalam berbagai surat. Oleh karena itu, Prof. DR. Ahmad Sayyid al Kumiy pada akhir tahun enam puluhan mencoba menghimpun semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah tertentu, kemudian
176
c. Tidak adanya sebuah struktur tema tersebut baik yang
bersifat rasional maupun riil atau keduanya.20
Diperlukan sebuah struktur tema yang memungkinkan
tema tetap menjadi miliknya, karena memiliki validitas dan
verifikasi dari dalam, bukan dari luar, dari nalar dan alam,
bukan dari kitab suci.21
d. Tidak adanya sebuah ideologi yang koheren22
Tidak ada sebuah pandangan dunia global yang melingkari
tema yang parsial menjadi satu dalam sebuah pandangan global,
mulai dari bagian-bagian kepada keseluruhan. Hassan Hanafi
memberikan contoh seperti penglihatan, pendengaran dan
perasaan merupakan bagian-bagian dari kesadaran kognitif
(pengamatan); mengerjakan, berbicara dan berinteraksi dan
sebagainya adalah aspek lain dari kesadaran yang merupakan
dimensi lain dari manusia secara individu.23
e. Tafsir tahlîlî bervolume sangat tebal sehingga melelahkan
untuk dibaca.24
mengaitkan satu dengan yang lainnya, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh (Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 74).
20 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.
21 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485. Sependapat dengan ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa para mufasir yang menggunakan metode tafsir tahlîlî ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepatnya dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an. lebih lanjut dia menjelaskan bahwa selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektifitas mufasirnya (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 86-87).
22 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.
23 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.
24 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.
177
Mufasir yang menggunakan metode tahlîlî ini berusaha
untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya
dalam setiap ayat. Kondisi seperti ini menurut Hassan Hanafi
menjadikan tafsirannya tebal sehingga membosankan,
melelahkan untuk dibacanya dan demikian juga untuk dibeli.
Hal ini pula yang membuat pembaca bingung menghadapi
kesombongan pengetahuan. Sementara, terkadang al-Qur’an
muncul tampak lebih mudah, lebih ringan dan mudah
dipahami.25
f. Tafsir tahlîlî ini mengaburkan informasi dengan
pengetahuan.26
Menurut Hassan Hanafi berita adalah sesuatu yang sudah
diketahui di manapun dan disampaikan dari sumber berita
kepada yang lain. Sementara pengetahuan adalah sesuatu yang
baru tambahan terhadap berita dan pengetahuan sebelumnya.
Terkadang, tafsir ini memberikan informasi sementara al-Qur’an
memberikan pengetahuan.27
g. Berita yang diberikan tafsir tahlîlî ini terpisahkan dari
kebutuhan-kebutuhan jiwa dan masyarakat sekarang.
Pembaca tidak merasa akrab dengan bacaannya. Bacaan
yang disodorkan mufasirnya itu menurut Hassan Hanafi
memberikan informasi yang dingin, usang dan ketinggalan
zaman. Sementara pembaca sekarang membutuhkan bacaan
25 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. Lihat pula keterangan M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan al-Qur’an, hlm. 118.
26 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.
27 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol. I, hlm. 177.
178
yang hidup, berguna dan pengetahuan yang relevan dengan
zamannya, up to date28. Oleh karena itu, apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat muslim dewasa ini adalah pengembangan
metodologi penafsiran.29
Menurut Hassan Hanafi, penafsiran tematik menjadi
pelengkap terhadap tafsir tahlîlî. Dengan kata lain, bahwa
hermeneutika al-Qur’an tematik ini dapat dinilai sebagai
pengembangan dari tafsir bi al ma`tsur yang pada hakikatnya
merupakan benih awal dari hermeneutika al-Qur’an tematik.
Sebagai penyempurna dari metode Tahlîlî menurut Hassan
Hanafi hermeneutika al-Qur’an tematik mempunyai beberapa
karakteristik yang sekaligus menjadi kelebihannya sebagai
berikut ini.
1. Hermeneutika al-Qur’an tematik mendeduksi juga
menginduksi makna.
Menafsirkan bukan hanya mendeduksikan makna al-Qur’an
dari teks, melainkan juga menariknya dari realitas. Bukan hanya
28 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.
29 Lihat pendapat yang sama juga dari M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 86. Menurutnya, terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mufasir yang mengunakan metode tahlîlî, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini paling tidak persoalan menggunakan tafsir tahlîlî bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir al Shadr yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam (M Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 86). Contoh yang dikemukakan Quraish Shihab dari sudah usangnya penafsiran yang memakai metode tahlîlî adalah penafsiran tentang datarnya bumi berdasarkan firman Allah pada al-Qur’an surat Nûh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi bulat, atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 113).
179
menjelaskan, melainkan juga memahami, bukan hanya sekedar
mengetahui melainkan juga menyadari.30 Hal senada
diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa tujuannya agar
terhindar dari kelemahan-kelemahan seperti yang terdapat
dalam tafsir-tafsir tradisional. 31
2. Hermeneutika al-Qur’an tematik menjadikan mufasir tidak
hanya seorang penerima makna tetapi juga pemberi makna.
Tafsir model ini menerima arti dan meletakkannya dalam
sebuah struktur, sebuah makna yang rasional dan nyata.
Karena akal dan realitas adalah sama, maka tafsir tematik
adalah penemuan identitas original antara wahyu, akal dan
alam.32 Sebagaimana dikemukakan oleh Hayy Farmawi bahwa
dengan metode ini memungkinkan seseorang menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-
Qur’an. Tafsir ini sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-
ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.33
3. Hermeneutika al-Qur’an tematik tidak hanya menganalisis
tetapi juga mensintesiskan.
Menafsirkan tidak hanya membagi keseluruhan kepada
bagian tetapi juga membawa bagian-bagian kepada keseluruhan.
Menafsirkan adalah menampakan inti suatu benda, dan
30 Hassan Hanafi,Qadlâyâ al Mu’âshirah vol.I. hlm. 175. Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 486.
31 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,hlm. 117.
32 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World vol. I., hlm., 487.
33 Hayy Farmawy, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 53.
180
membawa objek kepada fokus.34 Kesimpulan yang dihasilkan
mudah dipahami dikarenakan dengan metode ini membawa
pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan
berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.
Dengan metode ini pula dapat membuktikan bahwa persoalan
yang disentuh al-Qur’an dapat diterapkan dalam kehidupan
masyarakat dan bukan bersifat teoritis semata.35
4. Hermeneutika al-Qur’an tematik menafsirkan dilakukan
untuk menemukan sesuatu.
Menafsirkan berarti menemukan yang baru di antara
sesuatu yang sudah ada. Menambahkan sesuatu yang tidak
diketahui dan tidak terartikulasi pada pengetahuan umum.
Menafsir adalah hampir sama dengan menulis sebuah teks
baru, refleksi dari tulisan dalam bayangan kesadaran
individu.36 Dengan metode ini dapat membawa pembaca kepada
pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem kehidupan
disertai dengan jawaban-jawabannya. 37
3. Prinsip-Prinsip Hermeneutika Al-Qur’an Tematik
Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa prinsip yang
mendahului aturan-aturan dalam tafsir tematik. Sebuah premis
atau prinsip bukan hanya sekedar asumsi melainkan sesuatu
yang berdasarkan fakta, pernyataan realitas, sebuah deklarasi
sebuah pengakuan dari keterbatasan, penegasan pluralisme dan
34 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 487.
35 Hayy Farmawy, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 54. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 117.
36 Point I-4 disarikan dari Hassan Hanafi,Qadlâyâ Mu’âshirah,Vol. I, hlm 175-178.
37 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,hlm. 117.
181
motivasi bagi penelitian terbuka. Premis adalah landasan
filosofis dari sebuah metode. 38
a). Wahyu (Kalam Tuhan) diletakkan di antara (dalam kurung),
tidak diterima dan juga tidak ditolak.
Seorang mufasir tidak mempersoalkan orisinalitas Ilahi
(sebagai Kalam Tuhan) dari Quran apakah dia datang dari Tuhan
atau pendengaran dan ucapan Muhammad saw. Tafsir tematik
memulai dari setelah al-Qur’an diberikan tanpa
mempertanyakan keorisinilan al-Qur’an sebelum wahyu itu
diberikan. Tafsir dimulai setelah teks diterima, bukan
sebelumnya.39
Tafsir tematik berkaitan dengan pertanyaan “apa”, bukan
dengan pertanyaan “bagaimana”. Jika keorisinalan secara
sejarah, al-Qur’an dapat dibuktikan dengan analisis sejarah,
maka orisinalitas Ilahi sebagai Kalam Tuhan tidak dapat
dibuktikan karena keterbatasan dari analisis sejarah. 40 Dalam
tafsir ini, pertanyaan tentang asal-usul teks tidak relevan lagi.
Hal inilah yang menjadikan mengapa seluruh isue harus
disimpan di antara (dalam kurung). Teks adalah teks, Ilahi atau
manusiawi, sakral atau profan, relijius atau sekuler.
Mempertanyakan asal-usul merupakan masalah kejadian teks,
38 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 494
39 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World vol. I, hlm. 495.
40 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 4.
182
sementara tafsir tematik bertalian dengan pertanyaan esensi,
isinya. 9
b). Al-Qur’an sebagai subyek penafsiran
Teks al-Qur’an dianggap seperti beberapa teks yang
lainnya yang dijadikan sebagai subyek penafsiran seperti teks
yang berupa sastera, filsafat dan dokumen sejarah. Seluruh teks
adalah subyek-subyek dalam aturan penafsiran yang sama.
Perbedaan antara suci dan profan tidak ada kaitannya dengan
hermeneutika tetapi hal itu, ada kaitannya dengan praktek
keagamaan.10 Selain itu al-Qur’an itu sendiri apalagi hadist
merupakan perubahan bentuk terhadap bahasa manusia, Arab
atau ‘azam (bukan Arab) bahkan penuturan seorang yang
beriman atau kafir. 11
c). Tidak ada penafsiran yang benar atau salah
Perbedaan terjadi dalam usaha pendekatan terhadap teks,
perbedaan kepentingan dan motivasi. Konflik dalam penafsiran
adalah sebuah konflik kepentingan, bahkan dalam penafsiran
yang bersifat linguistik sekalipun, dikarenakan bahasapun bisa
berubah. Penjelasan yang akurat dari teks menurut prinsip-
prinsip kebahasaan, lagi-lagi merupakan sebuah tautologi.12
9 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm.. 495. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 13.
10 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 495. Lihat sub judul Analisis teks dan orientasinya di disertasi ini.
11 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 495. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Al Wahyu wa al Wâqî: Dirâsah Asbâb al Nuzûl” dalam al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 69-75. Lihat juga dengan Hassan Hanafi, Humûm al Fikr Wathan, al Turâts wa al ’Ashsr wa al Handasah, Juz I.
12 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 496. Menurut Hassan Hanafi lebih lanjut Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan
183
d). Tidak ada satu penafsiran dari suatu teks, melainkan lebih
dari satu penafsiran.
Perbedaan terjadi hanya dalam pemahaman di antara
mufasir yang tidak sama. Penafsiran dari sebuah teks pada
dasarnya beragam. Teks hanyalah sarana untuk kepentingan
manusia bahkan hawa nafsunya. Mufasir mengisinya dengan
kandungan isi ruang dan waktunya.13 Penafsiran itu hanyalah
hasil dari kondisi historis spesifik masyarakat muslim ketika
memilih solusi-solusi partikular di antara solusi-solusi yang
mungkin ketika merespon kebutuhan-kebutuhan mereka.14
e). Konflik dari penafsiran pada dasarnya konflik sosio-politik
bukan konflik secara teori.
Teori dibutuhkan hanya sebagai penutup dari sudut
padang epistimologi. Masing-masing mufasir mengekspresikan
komitmen sosio-politiknya. Penafsiran merupakan senjata
idiologi, digunakan oleh kekuatan-kekuatan sosio-politik yang
beragam untuk mempertahankan digunakan oleh kaum
konservatif atau merobah status quo digunakan oleh kaum
revolusionis.15
makna dalam penafsiran terhadap teks hanyalah anggapan formal yang didasarkan atas hukum identitas. Jarak waktu di antara saat pengucaan dengan saat penjelasan adalah lebih dari 14 abad yang membuat teori persamaan di antara teks dan penafsirannya menjadi hampir mustahil.
13 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 496.
14 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 535.
15 Hassan Hanafi, ‘Ikhtilâf fî al Tafsîr Am ikhtilâf fî al Mashâlih ? dalam Al Dîn wa ail Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 117-119; Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 496.
184
4. Aturan-Aturan dalam Hermeneutika Al-Qur’an Tematik
Karena setiap metode baik deduktif atau induktif,
rasional atau eksperimen mempunyai aturan yang harus diikuti.
Menurut Hassan Hanafi tafsir tematik merupakan sebuah
metode yang berisi beberapa aturan sebagai berikut ini.16
a). Komitmen sosio-politik
Mufasir bukan seseorang yang netral. Melainkan, seorang
warga yang hidup dalam drama waktu krisis negaranya
berlangsung. Ia turut prihatin dengan realitas yang ada dan
berobsesi untuk merobahnya. Ia berpihak pada orang miskin,
dan orang-orang yang tertindas. Tidak ada mufasir tanpa
komitmen terhadap sesuatu. Jadi, penafsiran adalah seorang
yang berkomitmen untuk sebuah tujuan.17
b). Mencari sesuatu
Seorang mufasir tidak memasuki lapangan dengan tangan
kosong, tanpa mengetahui apa yang sedang ia cari. Ia tidak
mempunyai kesadaran netral, tetapi berada dalam satu pihak.
Kesadarannya ditujukan terhadap sesuatu yang sedang mencari
solusi suatu masalah. Alasan adalah kepentingan seperti yang
ada dalam tema lama dari Asbâb al Nuzûl, prioritas terhadap
realitas melebihi sebuah teks.18
c). Membuat sinopsis atau out line ayat-ayat yang berkaitan
dengan tema-tema dasar tertentu.
16 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 479 – 500.
17 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 497.
18 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 497.
185
Seluruh ayat yang berkonsentrasi pada satu tema
disatukan, secara simultan dibaca dan difahami bersama-sama
beberapa kali sampai orientasi utama dari seluruh ayat muncul.
Jadi, yang ditafsirkan bukanlah Kitab suci al-Qur’an melainkan,
kamus dan ensiklopedi al-Qur’an, yang diedit berdasarkan tema-
tema alpabetis, kata demi kata, kata kerja, kata benda dan kata
sifat.19
d). Klasifikasi berdasarkan ilmu bahasa.20
Arti yang muncul pertama kali adalah arti dari bentuk
bahasa, setelah menganalisis isi kemudian dicoba
diklasifikasikan. Bahasa sebagai sebuah bentuk pemikiran
merupakan petunjuk bagi suatu arti.
Analisis linguistik dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Pertama, fi’il (kata kerja) dan isim (kata benda). Bentuk kata dan
I’rab (kedudukan kalimat) mempunyai makna tersendiri. Kata
kerja menujukkan suatu tindakan, sedangkan kata benda
menunjukkan pada pemantapan, subtansi. Bentuk I’rab marfû,
kedudukan kalimat yang rafa’ menunjukkan subyek atau upaya,
I’rab yang manshûb yang menjadi obyek berarti ketiadaan
upaya, dan isim yang majrûr memberi kesan keterkaitan dalam
keikutsertaan.21
19 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 497.
20 Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah, vol. 7, hlm. 104 – 105.
21 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah, vol. 7, hlm. 105. Lihat pula Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 498. Selanjutnya Hassan Hanafi memberikan contoh, kata tauhid yang merupakan prinsip pertama dalam keimanan Islam adalah kata benda verbal, isim fi’il (bukan kata kerja dari wahhada, bukan juga kata benda wahîd), mempunyai arti sebagai sebuah proses, sebagai aktifitas, dari aksi kepada ada, subtansi.
186
Kedua, Waktu dalam kata kerja Mâdli (kata kerja lampau) dan
Mudlâri (kata kerja sekarang dan akan datang). Waktu yang
lampau, sekarang dan masa datang menunjukkan perbedaan
antara cerita atau narasi, penjabaran fakta dan masa yang akan
datang. Seperti realitas di mana disamakan dengan kebenaran
itu dinyatakan dalam tiga bentuk waktu untuk menunjukkan
abadinya kebenaran dalam abadinya waktu.22
Ketiga, Jumlah (bentuk kata benda) satu (mufrad) dan kolektif
(jama’). Bentuk kata benda satu menunjukkan individualitas
seperti kata Syu’ur (kesadaran). Sedangan kata benda jamak
menunjukkan kolektifitas dan group sosial, seperti kata rijâl,
laki-laki dan al nâs, manusia, rakyat atau masyarakat.23
Keempat, Possessive adjectives (sifat kepemilikan) dapat berupa
kata ganti (pronouns) atau dengan kata sambung relatif, (relative
conjunctions). Kata benda tanpa sifat kepemilikan berarti tidak
dapat dimiliki atau milik perseorangan seperti kata langit dan
bumi. Kata ganti berupa orang kesatu berarti dia sendiri, orang
kedua yang berarti adanya dialog dan ketiga berarti orang lain
tidak hadir.24
Kelima, vokalisasi, bentuk pengucapan kata. Kata benda bisa
bersifat nominative yang menunjukkan pada tindakan dari
sebab yang efisien yaitu subyek. Kata benda yang bersifat
22 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 498.
23 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm, 498.
24 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 498. Dapat dijelaskan disini bahwa Prossesive Adjectives, sifat kepemilkan (mudlâf ghair mudlâf), idlâfah, dapat berupa ism dlamîr (kata ganti), pronouns kata sambung relative (relative conjunction). Kata ganti bisa berupa dlamîr mutakalim (kata ganti orang kesatu) dan dlamîr ghaib (kata ganti orang ketiga), ketiadaan yang lain.
187
Accusative menunjukkan kepada obyek penderita /pihak
keempat. Kata benda yang bersifat Dative, obyek penyerta,
pelengkap, menunjukkan adanya hubungan ruang dan waktu,
hubungan yang renggang antara subyek dan obyek.25
Keenam, definitif, Kata benda bisa berupa isim ma’rifah (kata
benda khusus, defenite) atau isim nakirah (kata benda umum,
indefinite). Isim ma’rifah seperti kata benda satu (isim mufrad)
menunjukkan partikularitas, sementara isim nakirah
menunjukkan sesuatu yang umum.26
e). Membangun struktur
Setelah analisis bentuk bahasa memberikan arahan pada
makna, tugas mufasir selanjutnya adalah membangun sebuah
struktur tema tertentu. Beranjak dari dan meninggalkan makna
menuju kepada obyek. Makna dan obyek adalah materi yang
sama, dua paket dari dunia yang sama. Makna adalah obyek
yang subyektif sedangkan obyek adalah subyek yang obyektif.
Keduanya adalah korelasi yang sama dalam kesadaran.27
f). Analisis terhadap situasi nyata
Setelah membangun tema sebagai struktur ideal, mufasir
memihak kepada realitas nyata seperti kemiskinan, penindasan,
HAM, kekuasaan, kekayaan dimaksudkan agar mengetahui
secara kuantitatif dan statistik masalah, paling tidak terbebas
dari kesalahan. Diagnosa sosial dari realitas adalah cara lain
25 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 499.
26 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 499.
27 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 499.
188
untuk memahami makna melalui dinamisasi teks dalam dunia
nyata.28
g). Perbandingan antara idealitas dan realitas.
Setelah membangun struktur, tugas mufasir selanjutnya
adalah memberikan kualifikasi tema, analisis fakta, status
kuantitas sebagai sebuah fenomena histories. Mufasir
memberikan gambaran perbandingan antara struktur yang
dicita-citakan yang kesimpulannya diambil secara deduktif
dengan analisis isi (tahlil madlmûn)dari teks dan secara induktif
dengan situasi nyata yang disebabkan oleh statistik serta ilmu
pengetahuan sosial.29 Jadi, seorang mufasir hidup di antara teks
dan realitas, antara ideal dan realita, antara das sein dan das
solen.
h). Penjabaran dari model dengan melakukan suatu tindakan.
Ketika perbedaan itu nampak antara dunia ideal dan
realita, antara kerajaan langit dan bumi, maka tindakan muncul
sebagai tahapan baru dalam proses penafsiran. Mufasir beralih
dari teks, teori dan pemahaman menuju kepada tindakan,
praktek dan perubahan. Logos dan praktis menyatu untuk
menjembatani kesenjangan yang ada di antara ideal dan real.30
28 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World , vol.I, hlm. 499.
29 Hassan Hanafi, “Method of Tematic Interpretation”, Islam in The Modern World, Vol, hlm. 500.
30 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 500. Lebih lanjut menurutnya, dengan menemukan alat komunikasi di antara dunia tersebut dapat mengadaptasikan yang ideal agar dapat menjadi lebih dekat dengan yang riel dan merubah yang riel menjadi lebih dekat dengan yang ideal. Langkah-langkah, waktu, usaha-usaha terpadu yang dilakukan secara betahap diharuskan tanpa melompati tahapan-tahapan tersebut atau menggunakan kekerasan. Realisasi yang ideal dan idealisasi dari yang riel secara penuh merupakan proses alamiah dari akal dan alam,
189
5. Skema dan Ruang Lingkup Hermeneutika Al-Qur’an
Tematik
Hermeneutika al-Qur’an tematik menurut Hassan, tidak
hanya terbatas dengan penafsiran terhadap tema-tema, tetapi
juga berhubungan dengan sebuah aturan, sebuah sistem atau
sebuah skema tertentu. Memang seperti terlihat skema-skema
lama yang ada dalam disiplin tafsir tradisional seperti juga
dijelaskan Hassan Hanafi masih berupa skema teologis, filsafat,
tasawuf, fiqh dan ushul fiqh. Skema teologis seperti tiga
hubungan antara hakikat (dzat, esensi), sifat-sifat (sifat, atribut)
dan tindakan (af’âl, aksi) dalam teologi Asy’ariyah; lima prinsip
(ushûl al khamsah) dalam teologi Mu’tazilah; trilogi dalam
filsafat yang terdiri dari logika, fisika dan metafisika; aspek-
aspek dalam tasauf seperti kondisi (ahwal) dan tahapan-tahapan
(maqâmat); tujuan (maqâsid) dan kualifikasi hukum (ahkâm)
berupa kualifikasi obyektif (ahkâm al wadl’i) kualifikasi
subyektif (ahkâm al taklif) dalam ushul fiqh; ritual (ibâdah) dan
hubungan sosial (mu’âmalah) dalam fiqh dan sebagainya.
Hermeneutika al-Qur’an tematik ini menurut Hassan
Hanafi, batasan wilayahnya didasarkan pada tiga lingkaran yang
saling berhubungan dengan satu pusat yang sama yaitu
pertama, pada ada (being, sein); kedua, mengada dengan yang
reason and nature (Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 500).. Bandingkan pula dengan John Esposito, dan John O. Voll, “Hassan Hanafi: The Classic Intelectual” dalam John Esposito, dan John O. Voll. Makers of Contemporary Islam.New York: Oxford University Press, 2001.hlm. 73.
190
lain (being with others, mitsein); dan ketiga, mengada dalam
dunia (being in the world, aussein, in-der-welt-sein).31
Skema Batasan Wilayah Tafsir Tematik Menurut Hassan Hanafi
Skema Batasan Hermeneutika Al-Qur’an menurut Hassan
Hanafi32
Keterangan :
1. Sein, Being, ada
2. Mitsein, Being with others, mengada dengan yang lain.
3. Aussein, Being in the world, mengada di dunia.
Pertama, kesadaran individu merupakan inti dari dunia. Ada
sebagai besinnung awal seperti dalam cogito ergo sum. Dalam
Bahasa Fitche, ego (the self) menempatkan diri berlawanan
dengan dunia eksternal. Ego identik dengan diri sebagai
kesadaran individu, yang pertama ada, sebuah tindakan
31 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 501.
32 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 501.
3. Aussein
2. Mitsein
1. Sein
191
kesadaran, sebuah perasaan, sebuah pencerahan dan sebuah
tindakan.33
Kedua, lingkaran yang kedua, ada bersama yang lain,
menunjukkan dunia manusia, dunia sosial dan
intersubyektifitas, relasi individu dengan individu yang lain
dalam bentuk seperti pernikahan, sebagai bapak, ibu,
persaudaraan dan persahabatan. Hubungan politik seperti warga
negara dan negara; hubungan ekonomi seperti perdagangan dan
hubungan sosial seperti keadilan sosial.34
Ketiga, mengada di dunia, Being with world menunjukkan
adanya hubungan kesadaran individu dengan alam, dunia
benda-benda. Alam diciptakan demi keberlangsungan hidup
pada manusia. Alam penuh tanda-tanda yang menunjukkan
asal-usul dan signifikasinya dan ia tunduk kepada manusia. Ada
dalam dunia merujuk pada langit, dunia tumbuhan dan dunia
hewan.35
33 Selanjutnya Hassan Hanafi menjelaskan bahwa Ada (being) adalah ada yang menyadari dan bukan hanya ada secara material. Penemuan tubuh adalah cogito yang kedua. Yang pertama ada dalam waktu dan yang kedua ada dalam ruang. Kesadaran individual adalah keseluruhan dunia termasuk indra: kepekaan eksternal dan internal, sensasi, persepsi indra, kognisi, emosi, motivasi, kecenderungan, aksi dan sebagainya. Interioritas adalah prasyarat eksterioritas dalam mengetahui dan melakukan. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 501.
34 Hubungan politik termasuk di dalamnya hubungan rakyat dengan negara. Hubungan ekonomi seperti hubungan produksi, perdagangan, upah, harga, keuntungan, eksploitasi, monopoli, kepemilikan dan kontrak. Hubungan sosial termasuk juga di dalamnya isue-isue persamaan, keadilan sosial dan kejujuran. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 502.
35 Alam yang merujuk kepada langit seperti angkasa, matahari, bulan, bintang, angin, awan, burung, air, sungai, mata air, sumur dan lautan. Alam juga termasuk dunia tumbuhan seperti tanaman, lembah, padang ilalang, sawah, ladang, pepohonan, rerumputan, sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan. Termasuk juga bagian dari alam adalah dunia binatang; binatang ternak, binatang buas, serangga dan burung-burung. Manusia sekalipun tidak lepas dari alam; di dalam
192
B. Tawaran Metode Sosiologis, Manhaj Ijtimâ’î
Menurut Hassan Hanafi metode dan corak tafsir
tradisional merupakan tafsir-tafsir yang muncul dan dibuat
sejalan dengan tuntutan kondisi waktu dan tempat para
penyusunnya masing-masing. Di antara mereka ada yang
menggunakan corak seperti bahasa, sejarah, fiqh, tasawuf,
filsafat dan teologi dan semuanya disusun sealur dengan
tuntutan zamannya masing-masing.36 Akan tetapi, menurut
Hassan Hanafi, saat ini zamannya ilmu-ilmu sosial, utamanya
ilmu politik dan ekonomi.
Tafsir dengan metode ilmu kekinian ini menurutnya telah
dimulai oleh hermeneutika al-Qur’an pembaharuan, al Manhaj al
Ishlâhî dan tugas generasi sekarang adalah mengembangkan
metode ini dengan menjadikan realitas umat dan
kemaslahatannya sebagai starting point penafsiran.37
1. Karakteristik Hermeneutika Al-Qur’an Sosiologis (al Manhaj
al Ijtimâ’î)
1. Hermeneutika al-Qur’an yang bersifat parsial.
Hassan Hanafi menghendaki adanya penafsiran yang
bersifat parsial terhadap ayat-ayat al-Qur’an, bukan tafsir yang
menyeluruh. Artinya yang diperlukan penafsirannya adalah
mengenai hajat hidup kaum muslimin kontemporer saja, bukan
dirinya ada yang bersifat alamiah: tubuh, kebutuhan material dan kegiatan di dunia. Hassan Hanafi, “Human subservience of nature: An Islamic model”, Tema seminar di Swedia, 1980 dalam Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 502.
36 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 102.
37 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 102.
193
keseluruhan al-Qur’an.38 Sebagai contoh, menurut Hassan
Hanafi, problem utama saat sekarang adalah pembebasan tanah
jajahan dan imperialisme, maka ayat-ayat tentang jihad, perang,
pertempuran dan kesiapan fisik merupakan priotitas yang perlu
ditafsirkan, bukan ayat-ayat tentang kesenangan hidup dan
kenikmatannya.39
Dengan demikian, yang dibutuhkan hanyalah membaca
dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang sejalan dengan
kebutuhan dan problem saat ini. Sebab pemahaman tentang satu
ayat tak akan sempurna kecuali jika sejalan dengan kebutuhan
atau pengalaman sosial dan krisis kehidupan yang menimpa
saat menafsirkan.
2. Hermeneutika al-Qur’an yang bersifat tematik
Hermeneutik al-Qur’an tematik merupakan tafsir yang
sejalan dengan tuntutan hermeneutika al-Qur’an sosial.
Hermeneutika al-Qur’an tematik bukan tafsir yang panjang (al
tafsir al thûlî ) dalam pengertian penafsiran per juz, per surat,
per ayat, per lafazh, per huruf yang dimulai dari surat al Fâtihah
dan al Baqarah sampai surat al ‘Alaq dan al Nâs.40 Bukan tafsiran
38 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol.7, hlm. 102.
39 Contoh lain, jika problem yang dihadapi kini adalah soal kemiskinan, kelaparan, kesulitam hidup, kekurangan pangan, sandang dan papan, maka ayat-ayat tentang kepemilikan umum, tentang kekayaan dan kemiskinan, larangan monopoli harta oleh kaum kaya, khilafah, hak orang fakir dan harta orang kaya, persamaan, keadilan sosial dan sebagainya merupakan tema-tema yang harus diutamakan dalam tafsir, bukan tafsir tentang perdagangan, laba perolehan rizki, pembagian kelas sosial dan usaha yang halal. (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 103).
40 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 104. Menurut Hassan Hanafi, tafsir-tafsir yang menggunakan metode ini misalnya al Bayân fî Aqsâm al Qurân karya Ibn Qayyim; Majâz al Qurân karya Abu Ubaidah
194
mengenai apa yang diketahui maupun tidak, apa yang
dibutuhkan atau tidak. Dan juga bukan tafsir yang hampa dari
konteks waktu dan tempat.
Menurut Hassan Hanafi, karena hermeneutika al-Qur’an
tematik berpegang kepada ensiklopedi al-Qur’an dan tafsiran
ayat-ayat tentang satu tema yang memang dibutuhkan pada
masa sekarang. Maka, untuk membangun tema yang
berpedoman kepada analisis isi (tahlîl madlmûn), harus
diperhatikan seperti.41
a) Membangun analisis bentuk (tahlîl al shûrî) berdasarkan
unsur kebahasaan dan bentuk kalimat, seperti pengelompokan
isim (kata benda) dan fi’il (kata kerja), baik kedudukannya
marfû’, manshûb dan majrûr ataupun mudzakar (laki-laki) dan
muannats (feminine), kata benda satu (mufrad) dan kata benda
kolektif (jama’) dan seterusnya.
(w. 210/825); Mufradât Al Qurân karya al Raghib al Ashfahani; al Nâsikh wa al Mansûkh min al Qurân karya Abu Ja’far al Nuhas (338H/950M); Asbâb al Nuzûl karya Wahidi (468H/1075M) dan Ahkâm al Qurân karya al Jashshash (370H/981M).Tetapi tidak muncul tafsir yang membahas tema-tema social dan politik. Walaupun di kalangan para pakar hadits muncul tema tersebut akan tetapi tidak disertai analisis yang komprehensif dari ayat-ayat al-Qur’an (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm.104).
41 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 104-105. Untuk pembahasan lebih detail tentang hermeneutika al-Qur’an tematik dari Hassan Hanafi ini dapat dilihat artikelnya “Method of Thematic Interpretation of The Quran” Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 484-509. Juga dalam bab ini yang sudah dibahas sebelumnya yaitu pada sub bab Hermeneutika al-Qur’an Tematik. Selanjutnya dengan metode ini Hassan Hanafi membuat contoh kongkrit yang diwujudkan dalam tulisan di antaranya; “Limâdzâ Ghâba Mabhats al Insân fî Turâtsinâ al Qadîm”, tulisan yang dimuat dalam karyanya, Dirâsât Islâmiyah hlm. 347-415; “Al Mâl fî Al Qurân” karya ini dapat dilihat dalam Al Dîn wa al Taurah fî Mishr 1952-1981 vol. ke-7 hlm. 121-145; dan “Teologi of Land” dalam Religious Dialogue and Revolution Bagian II hlm. 125-173, yang juga dimuat majalah Prisma no. 4, April 1984 hlm. 39-40.
195
Pengamatan terhadap pengertian kosa kata, demikian
juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya
diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang
digunakan, subyek dan obyeknya, serta konteks
pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan I’rab, misalnya
mempunyai makna tersendiri. Bentuk kata benda (isim) memberi
kesan kemantapan, fi’il mengandung arti pergerakan, bentuk
rafa’ menunjukkan subyek atau upaya, nashab yang menjadi
obyek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedangkan jar
memberi kesan keterkaitan dalam keikutsertaan.
b) Analisis makna (tahlîl al ma’ânî) dan penyusunannya
yang ada dalam kelompok-kelompok makna pokok sehingga
dapat membentuk sebuah tema. Pemilahan makna-makna antara
yang pokok dan yang cabang, antara bentuk aktif dan pasif,
antara ketuhanan dengan kemanusiaan dan seterusnya sehingga
memungkinkan mengetahui nalar wahyu dalam tema-tema
pokok.
c) Memberikan prioritas terhadap tema-tema yang sejalan
dengan kehidupan sekarang, seperti: tanah, harta, kemiskinan,
kekayaan, kemajuan, keterbelakangan ummat, kerja, manusia,
jihad, Israel dan lain-lain.
d) Membentuk tema-tema tersebut dalam sebuah kerangka
rasional, kokoh dan terpadu sehingga menjadi sebuah
pandangan dunia Islam dengan segala problematikanya.
3. Hermeneutika al-Qur’an yang bersifat temporal
Hermenetika al-Qur’an zamânî (temporal) menurut
Hassan Hanafi adalah hermeneutika al-Qur’an yang sanggup
196
memberikan visi al-Qur’an kepada satu generasi dan satu fase
waktu tertentu, bukan seluruh generasi dan waktu. Istilah al-
Qur’an yang abadi, menembus waktu dan generasi, hanya ada
dalam ilmu Ilahi tetapi tidak ada dalam hafalan atau dalam
gerak sejarah. Hermeneutika al-Qur’an zamânî ini menurutnya,
tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu seperti halnya
tidak mesti menjadi pegangan bagi generasi berikutnya.42
Di samping itu, hermeneutika al-Qur’an ini berkaitan erat
dengan kaum muslimin dalam realitas sejarah yang mempunyai
tujuan praktis, bertujuan mengubah keadaan kaum muslimin.
Sedangkan ukuran kebenaran tafsir ini adalah kemampuannya
dalam mengadakan perubahan dan efektifitas.43
Menurut Hassan Hanafi, sesungguhnya wahyu itu sendiri
tumbuh dan berkembang pada tataran zaman. Hal ini seperti
terlihat sejak dari Yahudi kepada Masehi kemudian kepada
Islam. Demikian juga perkembangan kitab-kitab suci terdahulu
seperti dari Shuhuf Ibrahim, Kitab Mazmur Nabi Daud, Kitab
Tauret Nabi Musa, Kitab Injil Nabi Isa dan terakhir Kitab Suci al-
Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW.
Demikian juga menurut Hassan Hanafi bahwa
hermeneutika al-Qur’an seperti ini sebagaimana al-Qur’an yang
telah diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun
42 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 106. Hanafi kemudian mengutip potongan ayat al-Qur’an dari Surat al Ra’du (Q.S. al Ra’d /13: 17) yang artinya: “…..Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi”(Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta PT. Bumi Restu, 1978 hlm. 371).
43 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 106.
197
bermula dengan persoalan akidah kemudian persoalan syari’ah.
Dimulai dengan ayat-ayat makiyah kemudian ayat-ayat
madaniyah. Bahkan, syari’ah itu sendiri terutama dengan
konsep nâsikh mansûkh memperlihatkan adanya kesesuaian
dengan kemampuan manusia.
Dengan demikian, zaman menurut Hassan Hanafi
merupakan faktor dalam syariat Islam. Seperti ditunjukkan
dalam ibadah adanya waktu-waktu yang sudah jelas untuk
shalat, shaum, puasa dan menunaikan haji. Adanya konsep
wajib dan qadlâ (mengganti), konsep faur (segera) dan
ditangguhkan yang semuanya menunjukkan tafsir zamânî yang
memberikan manfaat kepada generasi sekarang.
4. Hermeneutika al-Qur’an yang realistis
Tafsir realitas yang dimaksudkan Hassan Hanafi adalah
menjadikan realitas kaum muslimin, kehidupan, problematika,
nestapa dan kekalahan mereka sebagai starting point penafsiran.
Hermeneutika al-Qur’an ini menurut Hassan Hanafi hendak
menyatakan Das sein (apa adanya) tentang realitas umat, sebab
menurutnya, betapa mudahnya berbicara Das Solen (apa yang
seharusnya).44
Menurut Hassan Hanafi bahwa wahyu tidak diberikan
secara cuma-cuma melainkan sebagai solusi untuk memecahkan
44 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 107. Menurut Hassan Hanafi selanjutnya, mengatakan bahwa tafsir tipe ini tidak berpretensi membela (eksistensi Allah, sebab Allah tidak membutuhkan pembelaan mereka, juga tidak bermaksud membela Islam sebab agama ini Allah sendiri yang menjaganya. Tafisr ini bermaksud membela kaum muslimin, sebab tak ada yang membela mereka selain mereka sendiri. (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 107.).
198
persoalan yang dapat diterima akal dan dipahami sebagaimana
yang sudah dipraktekkan oleh Umar bin al Khatthab. Hal itu
ditunjukkan oleh konsep asbâb al nuzûl yang berarti adanya
prioritas realitas atas pikiran dan dinamisasi gerakan atas sikap
yang statis.
Hermeneutika al-Qur’an yang realistis tidak berbicara
tentang Islam yang universal dan abadi yang menembus ruang
waktu dan tempat, yang berada di luar realitas dan tidak
memberika solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi
manusia. Hermeneutika al-Qur’an yang realistis ini bukan untuk
membela Allah karena Allah tidak membutuhkan pertolongan
dan juga bukan untuk membela Islam sebagai agama Tuhan.
Melainkan, untuk membela kaum muslimin karena tidak ada
yang membela mereka selain mereka sendiri.
5. Hermeneutika al-Qur’an yang mempunyai makna dan
tujuan.
Tafsir yang mempunyai makna dan tujuan, bukan tafsir
secara harfiyah dan kata. Sebab wahyu itu sendiri sebagaimana
dikatakan oleh para pakar Ushul fiqh klasik adalah berbagai
maksud (maqasid). Sementara, para pakar hadits menyebutnya
sebagai motifasi dan arahan-arahan.
Sebagaimana dikatakan dalam tujuan-tujuan umum syara
yang lima seperti menjaga jiwa (al nafs), akal, agama,
kehormatan atau harga diri dan harta. Maka, tafsir ini bertujuan
kepada kemaslahatan umat yang memang menjadi dasar syariat,
tidak tertindas dan juga tidak menindas orang lain, orang yang
tertidas membolehkannya melanggar aturan, asal dari sesuatu
199
adalah kebolehan, asal perkara sebelum datangnya syara
menunjukkan kebebasan, manusia adalah baik secara fitrah,
“sungguh bukan manusia kecuali apa yang sudah
diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya akan
dipertanggungjawabkan”, Islam adalah agama rasional dan
alamiah dan merupakan agama kebebasan dan persamaan.45
Keseluruhan kaidah di atas menurut Hassan Hanafi merupakan
dasar bagi penafsiran.
6. Hermeneutika al-Qur’an yang berisi pengalaman mufasir
Tafsir yang berangkat dari perjalanan hidup langsung
yang dialami oleh mufasir. Karena tafsir itu sendiri merupakan
bagian dari kehidupan demikian juga kehidupan merupakan
salah satu materi ilmu tafsir. Menurut Hassan Hanafi tak
mungkin mengadakan penafsiran apabila mufasir tidak punya
pengalaman hidup yang dialami dan dirasakannya.
Tafsir bukanlah profesi atau barang komoditi melainkan
krisis pengetahuan, kebingungan dalam menentukan jalan,
pencarian makna dan merobah kebobrokan. Oleh karena itu,
tafsir para sufi meskipun terdapat berbagai kecacatan
merupakan cerminan tafsir yang dibangun berdasarkan
pengalaman mufasirnya. Tafsir ini juga menandaskan
pentingnya tafsir-tafsir pembaharuan yang mengungkapkan
pengalaman pembaharuan, revolusi dan perubahan social.46
45 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7., hlm. 108.
46 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 108-109. Menurut Hassan Hanafi di sinilah pentingnya tafsir al ishlâhî yaitu tafsir yang menggambarkan pengalaman-pengalaman revolusi dan perubahan sosial. Menurutnya, teks-teks keagamaan pada dasarnya merupakan pengalaman kehidupan dan persaksian para nabi. Seperti pengalaman Nabi Ayyub yang buta,
200
7. Identifikasi berbagai persoalan realitas kehidupan
sehingga dari hal tersebut memungkinkan untuk memulai
penafsiran.
Tafsir ini dimulai dari mengidentifikasi dan mengamati
berbagai persoalan realitas kehidupan yang dihadapi dan
dialami.
Cara ini dapat ditempuh dengan melalui cara-cara berikut
ini :
a) Apabila metode tafsir yang ditempuh dengan corak
sosiologis yang berangkat dari realitas umat, maka terlebih
dahulu mufasir harus menata dan mengidentifikasi
problematika tersebut. Untuk itu diperlukan para ahli sosiologi,
politik dan ekonomi. Dalam arti adanya partisipasi ilmu-ilmu
yang dapat mendata permasalahan realitas sosial. Permasalahan-
permasalahan itu dapat dibagi antara lain, pembebasan tanah
dari zionisme dan imperialisme, kebebasan berpendapat dan
demokrasi melawan rezim yang tiran, kemajuan melawan
keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, mobilisasi massa
melawan negatifisme dan kelesuan.
b). Memberikan aturan terhadap prioritas permasalahan
yang akan dibahas tanpa menghalangi gerak yang ada pada
semua line. Seperti terlihat pada contoh berikut. Pertama yang
harus dilkakukan pembebasan tanah dengan segala tuntutannya
Nabi Yusuf di penjara, pengalaman Nabi Musa, pengalaman Nabi Yunus ketika dalam perut ikan dan pengalaman para nabi lainnya. Sedangkan tafsir yang disampaikan di atas mimbar dan podium atau yang memenuhi lembaran-lembaran media cetak dengan tujuan pamer ilmu, menurut Hassan Hanafi itu semuanya merupakan tafsir-tafsir yang tidak berasal dari kedalaman hati, tidak ditulis dengan darah dan karenanya tidak mampu mengadakan transformasi sedikitpun dalam kehidupan manusia. (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah, vol. 7, hlm. 109).
201
seperti penegakan garis batas negara, menyegerakan
penyelesaian konflik social yang terjadi. Karena gerakan
pembebasan negara membutuhkan kepada kesungguhan
kolektif. Kedua, kebebasan dan demokrasi mempersilakan
kebebasan berpendapat dan toleransi terhadap beragam
pendapat. Ketiga keterbelakangan harus melawan seluruh
fenomena ketertinggalan seperti kemiskinan dan kebodohan
yang menuntut kepada pengembalian distribusi kekayaan
negara dan realisasi persamaan dan keadilan social. Keempat,
mobilisasi massa melawan sikap apatis dan kelesuan.
c). Berpegang kepada analisis ilmiah dengan menawarkan
formulasi-formulasi solusi realitas gradual tetapi pasti.
d). Terbuka terhadap keragaman pendapat dan pola pikir.
e). Merealisasikan sikap tersebut secara praktis. Tidak ada
perbedaan antara peneliti dan pejuang, antara orang alim dan
praktisi.47
8. Hermeneutika al-Qur’an yang mengungkap kondisi sosial
mufasir.
Keadaan sosial mufasirlah pada akhirnya yang
menentukan corak model tafsir. Keragaman penafsiran
disebabkan keragaman kondisi sosial para mufasir
bersangkutan. Setiap mufasir mempunyai kelas sosial tersendiri
dan setiap tafsir mengungkapkan kecenderungan masing-
masing mufasirnya. Hal itu disebabkan beberapa faktor
tertentu.48
47 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 109-111.
48 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 111-112.
202
Menurut Hassan Hanafi faktor-faktor penentu sikap mufasir
yang menyeluruh adalah hal-hal sebagai berikut :
a) Sikap mufasir terhadap realitas, apakah ia setuju atau
memberontak, apakah ia mengambil sikap adaptatif dan
menjilat atau membawa misi dan tanggung jawab untuk
membimbing umat.
b) Apakah ia merupakan bagian dari struktur politik yang
banyak mengambil keuntungan darinya atau berada di luar
struktur dan tidak terikat dengannya, apakah ia seorang aparat
pemerintah atau penduduk sipil, mengambil “sesuatu” dari
negara atau memberi kepadanya, apakah dipaksa negara untuk
tunduk terhadap aturannya atau sebaliknya, memperjuangkan
kemerdekaannya.
c) Apakah ia berasal dari kelas sosial terhormat atau dari
kelas sosial yang rendah, apakah ia memperjuangkan
kepentingan kelas atau kelompok tertentu atau menyuarakan
kemaslahatan kaum muslimin dan memperjuangkan harkat
hidup mereka.
d) Apakah ia mencari kehormatan, kedudukan, popularitas
dan harta atau mengutamakan kesederhanaan, membela
kepentingan umat, kesucian dan berkarya demi Allah semata.
Apakah mereka mencari popularitas di dunia atau menginginkan
keabadian dalam sejarah.49
Dengan demikian, Hassan Hanafi dengan hermeneutika
al-Qur’annya berharap dapat menyelesaikan permasalahan yang
49 Tawaran Hassan Hanafi berupa tafsir ijtimâ’î ini disarikan dari Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 102-112.
203
sedang dihadapi umat Islam sekarang. Hermeneutika al-Qur’an
yang digagasnya bukan merupakan hermeneutika yang lahir dari
kehampaan melainkan yang sesuai dengan kemaslahatan umat,
kebutuhan kaum muslimin dan problematika manusia
kontemporer. Dari beberapa karakteristik di atas juga nampak
bahwa hermeneutika Hassan Hanafi bertumpu kepada analisis
social yang terfokus pada kebutuhan subyektifitas masyarakat.
Sebagai konsekwensi logis dari pemikirannya, banyak kritikan
yang dilontarkan terhadapnya seputar masalah ini.
2. Kritikan Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi
Hermeneutika al-Qur’an sosial Hassan Hanafi yang
bersifat spesifik, tematik, temporal, realistis tidak luput dari
kritik. Hermeneutika al-Qur’an sosial dianggap berbahaya atau
menyeret kepada bahaya dan akan menjebak dalam keraguan
dan dugaan-dugaan. Hermeneutika al-Qur’an social dianggap
menyeraet kepada bahaya berupa sekulerisme, ateisme,
marxisme, dan westernisme.
Kritikan yang ditampilkan di sini di antaranya yang
dilontarkan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, seorang Guru Besar
di ISTAC Malaysia yang menyoroti penggunaan hermeneutika
yang datang dari Barat sebagai metode penafsiran untuk al-
Qur’an. Kritikan Ali Harb, seorang pemikir asal Libanon
ditekankan pada pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi yang
mengarah pada ateisme, marxisme dan sekulerisme. Nasr Hamid
Abu Zaid, pemikir asal Mesir yang memfokuskan kritiknya
kepada interpretasi idiologis atas teks-teks keagamaan.
204
Menurut Wan Mohd. Wan Daud, ‘Ulum al Tafsir’ atau ilmu
penafsiran al-Quran sangat berbeda dari hermeneutika Barat
atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi
yang datang dari agama lain. Dasar yang sangat fundamental
dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang
sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan
bahasa dan pengertian kitab suci itu. Menurutnya, pandangan
mendasar ini merupakan kritikan yang ditujukan tidak hanya
kepada Hassan Hanafi tetapi juga kepada modernis atau post-
modernis lainnya seperti M. Arkoun, A. Karim Soroush dan
pemikiran Fazlur Rahman.42
Menurut wan Daud, ummat Islam secara universal
mengakui al-Qur’an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan
secara verbatim kepada Nabi, dan banyak yang menghafal dan
menulis ayat-ayatnya ketika Nabi hidup. Adanya berbagai variasi
bacaan al-Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang
terdahulu yang berwenang sebagai tidak penting: semua itu
berbeda hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian
yang sama.10 Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-
orang Hindu tidak pernah mempercayai sabda Nabi atau wahyu.
Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani
kebanyakan berdasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya
42 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1 Maret 2004. Jakarta: Khairul Bayan, 2004, hlm. 54-69.
10 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 55; lihat penelusurannya dalam Abu Ja’far Ibn Jarir Thabari, Jami’al Bayan fî Ta`wîl al-Qur’an, hal. 17-21. Menurut Wan Daud diskusi yang masih baru dan baik tentang masalah yang berkaitan dan yang mendukung pendapatnya, lihat Adrian Brokett, “The Values of Hrfs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an”, dalam Rippin, ed, Approaches to The History of the Interpretation of the Quran, hal. 31-45.
205
puisi Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi filosof-filosof
mereka yang bermacam-macam.11
Penafsiran-penafsiran mitologi dan puisi menurut Wan
Daud boleh jadi sangat subyektif atau ditentukan oleh kondisi
politik keagamaan yang berlaku. Metode terpenting yang
digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu
tradisi di Yunani yang diprakarsai oleh Theagenes dari Rhegium
(Abad ke 6 SM). Penafsiran kiasan (allegorical interpretation),
umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya
sama sekali. Bible berbahasa Hebrew (materi-materi yang
membentuk Perjanjian Lama), menurut para cendekiawan
mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah
hostoris yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasarkan pada
keimanan belaka. 13
11 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 55. Bandingkan dengan Jean-Pierre Vernant, “Greek Religion”, terjemahan A. Marzin, Encyclopedia of Religion, ed. M. Eliade (New York: Macmillan Publising Co., 1986), Selanjutnya disingkat ER, 6: 99-116
13 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm.56. Selanjutnya Wan Daud memberikan keterangan yang dikutip dari Soggin yang menyatakan bahwa, “teks Hebrew yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) telah banyak berubah dari aslinya….tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad kesembilan Masehi”. Perhatikan kutipannya dari J. Alberto Soggin, Introduction to the Old Testament; From its Origin to the Closing of the Alexandrian Canon, London: SCM Press Ltd., 1976, hlm. 18-19. Sehubungan dengan kitab Perjanjian Lama (Old Tesment), Wan Daud menyimpulkan keterangan yang disampaikan oleh George Buchanan Gray yang menyatakan bahwa, meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak lagi wujud, namun kesalahannya tetap tersembunyi, dan jika ada kesalahan yang seperti itu ia dapat dikoreksi hanya dengan pembetulan spekulatif (yang bahayanya) sudah terkenal dan jelas. Kitab Perjanjian Baru juga mempunyai masalah yang sama dengan Bible Hebrew. Kitab-kitab ini, khususnya gospel, ditulis setelah zaman Yesus dalam bahasa Yunani, yang dia sendiri sangat tidak mungkin berbicara dengan bahasa itu (dikutip oleh Wan Daud dari A.
206
Tafsir adalah kata benda infinitif yang diderivasikan dari
kata kerja transitif fassara yang, menurut leksikolog Arab
klasik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan,
memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi, atau
membuat sesuatu menjadi jelas, nyata, atau gamblang,
menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Menururt Wan
Daud pengertian Tafsir telah mapan bahwa ia berusaha
memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah
zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi
(dalalah batinah) yang terkandung dalam ta’wil atau interpretasi
yang lebih mendalam.34
Menafsirkan al-Qur’an tanpa memiliki ilmu pengetahuan
yang memadai adalah identik dengan membuat penafsiran
sesuai dengan pendapat pribadi seseorang (tafsir bi-l-rayi) yaitu
yang dilarang, tanpa mempertimbangkan apakah hasilnya itu
benar atau salah. Suatu hadith Nabi seperti yang diriwayatkan
oleh Ibn Abbas mengatakan: “Barang siapa berbicara tentang al-
Qur’an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi’rayihi),
Steward, “Bible”, A Dictionary Of the Bible, 5 jilid, edisi 1910, disunting oleh J. Hastings, Selanjutnya disingkat DOB 1:287; juga A. Daniel Frankforter, A History of the Christion Movement Chicago: Nelson-Hal, 1978, hlm. 12). Lagi pula, menurut Wan Daud, hal ini diakui oleh pihak yang berwenang dan terkenal dalam Kristen bahwa tujuan penulisan gospel tidak untuk menulis sejarah yang obyektif tapi untuk tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelisme), yang sebagiannya mengakibatkan kepada penafsiran-penafsiran allegoris yang berlebihan (dikutip Wan Daud dari Frankforter, A History of the Christian Movement. hlm. 10; juga J. Schmid, “Biblical Exegeses: Historical Survey dalam Karl Rahner, ed., Encyclopedia of Theology; The Concise Sacramentum Mundi New York:Crossroad, 1989, hlm. 117-123).
34 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 58-59. Bandingkan dengan kutipannya dari Jalaludin al Suyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, hal. 381-382; juga al Jurjani, al Ta’rifât, 1983, hal. 43 dan 55
207
dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di neraka”.
Seperti diriwayatkan oleh Jundub, Nabi juga mengatakan:
“Barang siapa berbicara menurut pendapat pribadinya tentang
al-Qur’an dan ia benar adalah (tetap) salah”.38
Menurut Wan Daud karena hermeneutika merupakan ilmu
yang belum final sehingga apabila digunakan pun sebagai
metode penafsiran maka akan tetap menemui jalan buntu. Fakta
ini menurutnya seperti diakui oleh Josep Schmid yang
menyatakan bahwa solusi problem-problem tentang historisitas
dan pemahaman kitab suci Yahudi dan Kristen menemui jalan
buntu yang harus dijawab oleh generasi mendatang dengan
bukti-bukti dan argumentasi yang lebih baik. Demikian juga,
menurut Wan Daud, hal ini telah diakui oleh Anton Vogtle,
seorang ahli dalam bidang hermeneutika Bible yang menyatakan
bahwa persoalan tentang prinsip penafsiran yang valid dan
konsisten untuk Perjanjian Lama dan Baru, serta penafsiran
hukum secara keseluruhan, masih memerlukan penyelidikan
lebih lanjut.31
Wacana pemikiran Hassan Hanafi juga menuai berbagai
kritikan. Kritikan terhadap pemikiran Hassan Hanafi ditulis Ali
Harb dalam bukunya Naqd al Nash. Isi kritikan tersebut seputar
38 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 59. Bandingkan dengan Ibn Jarir al Thabari, Jâmi’ al Bayân, hal 34-35; juga al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, terjemahan M.A. Quasem, The Recitation and Interpretation of the Qur’an: Al-Ghazali’s Theory (London, Boston and Melbourne: Kegan Paul International Ltd., 1982), hlm. 86ff.
31 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm.58 Bandingkan dengan Anton Vogtle, “Biblical Hermeneutics”, dalam Karl Rahner (editor), Dictionary of Theology, hlm 116.
208
anggapannya bahwa Hassan Hanafi sudah terjebak kepada
ateisme, westernisme, marxisme dan sekulerisme.
Menurut Ali Harb, dengan sangat berani Hassan Hanafi
mengaja untuk mengalihkan focus kajian dari Allah dan rasul
yang menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan
tradisional menuju manusia yang sekarang sudah seharusnya
menjadi obyek kajian. Karena filsafat harus menarik diri dari
wilayah ketuhanan dan kenabian dalam sebuah dramatika,
supaya manusia dengan akal, kemauan, logika, dan
percobaannya, dapat memposisikan dirinya sendiri. Bagi Hassan
Hanafi kenabian sudah berakhir, tetapi akal dengan sendirinya
mampu mencapai tingkat keyakinan dan merealisasikan risalah
kemanusiaannya tanpa ada campur tangan kekuatan luar atau
kekuatan yang dipersonifikasikan.43
Para pendahulu ketika akan memulai sebuah penulisan
pengetahuannya, dengan segala premis-premis keimanan maka
dimulainya dengan Bismillâh alrahmân alrahîm. Hassan Hanafi
dengan berani dan tanpa rasa takut, memulai bukunya Min al
Aqîdah Ilâ al Tsaurah, dengan mengatasnamakan bumi, rakyat,
masyarakat, kebangkitan, umat manusia dan segala yang ada di
muka bumi. Menurut Harb, Hassan Hanafi dengan hanya
bersandar pada nalar kemaslahatan dan pembumian nalar
realistis (al ta`shîl al’aqlî al waqi’î), dia berusaha
menggabungkan antara sekte-sekte bukan membedakannya,
seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu. Para ulama
terdahulu menulis buku-buku atas permintaan para penguasa
43 Ali Harb, Naqd al Nash, Beirut: Markaz al Tsaqafi al ‘Arabî, 1993. hlm. 28.
209
dan raja-raja atau setelah meminta petunjuk Tuhan. Menurut Ali
Harb, Hassan Hanafi dalam menulis bukunya tidak berdasarkan
pada petunjuk siapapun melaikan, untuk menjaga kemaslahatan
umat dan persatuaan mereka dengan menuangkan gagasan dan
pikirannya.44
Dalam pengantarnya itu, Hassan Hanafi menyatakan
bahwa kemajuan merupakan substasi kesadaran kemanusiaan
dan gerak laju perkembangan; bahwa manusia dengan nalarnya
yang mandiri dan kehendaknya yang bebas mampu
menyambung laju gerak sejarah, dan dengan usahanya mampu
meneruskannya sampai mewarisi kenabian dan para Nabi.
Dengan wacana seperti itu, menurut Ali Harb, maka Hassan
Hanafi telah menciptakan sistim berpikir yang memusatkan
perhatiaannya pada pembacaan wahyu dan penafsiran teks
kemudian menjauhi konsep-konsep keimanan yang umum yang
terdapat dalam wacana keislaman, seperti Allah, wahyu,
kenabian, teks, syari’at, dan akidah, sesuai dengan konsep-
konsep modern, kesadaran, perkembangan, kemajuan, sejarah,
revolusi dan masyarakat. Sampai di sini, menurut Ali Harb
tampak bahwa Hassan Hanafi telah terjebak dalam ateisme,
liberalisme dan sekulerisme.45
Selanjutnya Ali Harb juga mengkritik bahwa Hassan Hanafi
telah terjebak kepada westernisme. Hassan Hanafi telah
memporak-porandakan konsep tradisionalis tentang kebenaran
sebagai bentuk kesesuaian antara subjek dan objek. Maka,
mekanisme wacana dan pemberlakuannya memiliki andil besar
44 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 29.
45 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 53.
210
dalam memproduksi kebenaran, tepatnya sebagaimana
keinginan (al hawa) membinasakan kesadaran (alwa’yu).46
Menurut Ali Harb ketika seseorang hendak menundukan
Barat dengan kajian oksidentalnya, maka dengan segenap
pikiran dan pengetahuan akan terkena imbas pemikirannya atau
menjadi hasil produknya. Singkatnya, ketika Hassan Hanafi
hendak mengkaji dan meneliti Barat maka wacana yang
dihasilkannya tampak seperti pemikiran ala Barat.47 Oleh karena
itu, menurut Ali Harb bahwa Hassan Hanafi telah terjerumus
kedalam pembaratan, westernisasi, dalam pengertian
orientalisme yang berbalik. Singkatnya, Hassan Hanafi
berasumsi bahwa mengkaji gagasan Barat membawa kepada
prediksi peristiwa agung yaitu pembebasan dari Barat, yang
sebenarnya peristiwa tersebut tidak akan terjadi.48
Kritikan lainnya datang dari Nashr Hamid Abu Zaid dalam
bukunya Naqd al Khithâb al Dînî yang berkenaan dengan
metodologi yang dipakai Hassan Hanafi. Nashr Hamid
mengkritik Hassan Hanafi tentang argumen historisitas
pemahaman sebagai pembenaran terhadap ideologisasi teks dan
menganggap pemikiran Hassan Hanafi ini telah terjebak dalam
al talwin, yakni kegiatan menafsirkan teks secara ideologis
46 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm.46.
47 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 46.
48 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm.47. Pengetahuan (ilmu) itu merapikan kondisi sesuatu dan bukan mengumandangkan kehadiran sebuah peristiwa. Batasnya adalah filsafat yang dengan kemampuannya dapat berbuat demikian. Di sini, Hassan Hanafi tidak hanya berbicara sesuai dengan posisi para filosof yang dibicarakannya, namun juga posisi dunia, yakni dengan menggunakan bahasa orang yang meneliti dalam arti bahwa wacana bukan sekedar pemberitahuan tentang ramalan (Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 47).
211
dengan keluar batas-batas yang diizinkan bahasa. Al talwin juga
mengaburkan perbedaan antara makna teks sebagai mana
dimaksud pertama kali dengan arti yang dikonstruksi dalam
situasi sosial yang baru. Hal ini tentu akan menimbulkan
beberapa kekhawatiran berkaitan dengan problem metodologis
yakni ideologisasi teks dan akibat sosiologis yang berbahaya
seperti munculnya konflik horizontal dan vertikal akibat perang
penafsiran al-Qur’an, sekalipun atas dasar klaim fungsionalitas
teks dalam masyarakat.49
Kritikan di atas umumnya menyoroti masalah sikap dan
penggunaan metode yang dipakai oleh Hassan Hanafi.
Penggunaan metode hermeneutika sebagai ilmu penafsiran yang
datang dari Barat. Westernisme, karena ia mempunyai sifat-sifat
westernistik sebagaimana yang telah berkembang di Barat
seperti gerakan sekulerisme, marxisme, rasionalisme,
kebebasan, naturalisme dan demokrasi.
Sekulerisme, karena hermeneutika al-Qur’an social
berangkat dari realitas kaum muslimin dan tidak berangkat dari
agama; ateisme karena tidak mengarah kepada tema-tema
keagamaan yang mandiri dari ketentuan-ketentuan social, tidak
menggarap tema-tema tentang Allah, iman, hari akhir tetapi
bahkan menggarap tema-tema pembebasan bumi, kemerdekaan,
demokrasi, kesetaraan, keadilan social dan pemberdayaan
masyarakat.
Marxisme, karena ia berangkat dari permasalahan sosial
dan menghadapi masalah-masalah kemerdekaan nasional
49 Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al Khitâb al Dînî, Kairo: Sînâ al Nasyr, cet. Ke-2.1994 hlm.148-149.
212
kesetaraan, keadilan social, pembebasan dari tiranisme dan
otoritarianisme, dan pemberdayaan masyarakat.
3. Jawaban Hassan Hanafi terhadap Berbagai Kritikan
Bagi Hassan Hanafi tuduhan-tuduhan itu lebih merupakan
dugaan-dugaan awam karena ketakutan mereka terhadap
goresan kebudayaan Barat dalam negeri Muslim dan terhadap
paham-paham kemajuan sehingga yang tersisa dalam
masyarakat Muslim adalah konservatisme –taqlidiyah- yang
menyibukan diri dalam system yang menjaga keselamatan
sistim itu sendiri dan mengabaikan kemaslahan masyarakat.
Dikatakan bahwa manhaj ijtimâ’î mengandung dan
mengundang sejumlah kekhawatiran dan bahaya atau sering
dilontari beberapa tuduhan dan kecurigaan. Padahal, menurut
Hassan Hanafi semua itu hanya kecurigaan dan prasangka buruk
yang melekat pada benak orang-orang awam sebagai
propaganda media massa dan kebudayaan asing (Barat) yang
senantiasa menakuti dari tema kemajuan. 50 Sebagai akibatnya,
pemahaman umat Islam terhadap agama tetap kolot, konservatif
dan tertutup. Hal itu pula dengan mudah umat dieksploitasi
oleh rezim yang berkuasa demi kepentingannya melawan
kepentingan-kepentingan rakyat. Kekhawatiran-kekhawatiran
yang sering dilontarkan itu antara lain :
50 Beberapa kekhawatiran, sanggahan dan jawaban dari Hassan Hanafi ini dapat dilihat di buku Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 507 – 509; Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 113 – 115.
213
Pertama, Sekuralisme51. Tuduhan ini disebabkan karena
manhaj ijtimâ’î bermula dari realitas kaum muslimin dan tidak
dimulai dari wacana agama; tenggelam dalam problematika
dunia dan menganggap ajaran akidah sebagai pandangan dunia
(world view) dan motivator gerak (perilaku) serta tidak
menjadikan Islam sebagai pengayom kaum muslimin, bukan
sebaliknya.
Sebenarnya sikap seperti ini bukanlah sekularisme.
“Sekuralisme” merupakan bahasa Barat murni yang
menggambarkan masalah murni Barat, yaitu penolakan terhadap
kekuasaan kaum agamawan. Islam pada hakekatnya sejak
semula merupakan agama sekuler sebab ia tidak mengenal kata
“penguasa agama”.52
Kedua, Ateisme53. Tuduhan ini karena manhaj ijtimâ’î
tidak menyentuh tema-tema agama dan terlepas dari situasi
dan kondisi sosial. Ia tidak berbicara soal Allah, iman kepada
malaikat, hari akhir dan sebagainya. Ia hanya berbicara tentang
pembebasan tanah, kebebasan, demokrasi, persamaan keadilan
51 Sekuralisme berasal dari bahasa Latin, saeculum artinya dunia abad. Sekularisme berarti faham atau ajaran yang berkaitan dengan benda-benda yang tidak dianggap sakral, jauh dari bermuatan keagamaan (Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1966, hlm. 980).
52 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 112.
53 Bahasa Inggrisnya atheism. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ateisme ini mempunyai beberapa pengertian. Di antaranya adalah tidak adanya keyakinan akan Tuhan yang khusus (orang-orang Yunani menyebut orang-orang Kristen ateis karena tidak percaya dewa/dewi mereka. Dan orang-orang Kristen menyebut orang-orang Yunani ateis karena tidak percaya kepada Tuhan mereka). Selanjutnya baca Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 1996, hlm. 94-96.
214
sosial dan pemberdayaan rakyat54. Kata ateisme menurut Hassan
Hanafi juga sebenarnya merupakan istilah Barat murni, yang
tujuannya adalah kembali ke alam dunia dan menyingkap alam
indrawi dan nyata setelah sebelumnya mereka didominasi oleh
praktek dan budaya agama-agama yang telelap dalam
percaturan tentang alam gaib dan rahasia-rahasianya.55
Islam sejak mulanya merupakan agama yang berdasar atas
indera, alam nyata dan sejalan dengan tradisi. Dalam Islam tidak
ada rahasia-rahasia atau hal-hal gaib yang bertentangan dengan
akal, tidak ada alam-alam akhirat yang terpisah dari dunia atau
ruh yang terpisah dari materi.56
Ketiga, Marxisme57. Tuduhan ini disebabkan karena
manhaj ijtimâ’î berangkat dari problem-problem sosial yang
dihadapi manusia. Tafsir ini membicarakan pembebasan negara
dari imperialis asing, persamaan, keadilan sosial, pembebasan
dari segala bentuk tirani dan pemaksaan, pemberdayaan rakyat,
membangkitkan kekuatan sosial, perjuangan sosial dan fase-fase
sejarah, serta pentingnya unsur-unsur (kecenderungan) material
dalam menafsirkan perilaku individu dan masyarakat khalayak.58
54 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 112.
55 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 112.
56 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 113.
57 Mempunyai beberapa pengertian diantaranya adalah kritik terhadap Kapitalisme (meskipun sering keliru) yang melanjutkan dasar filosofis materialisme dialektis dan historis. Menurut pandangan ini sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dari negara hanya alat yang digunakan kelas yang berkuasa untuk menindas seluruh oposisi (Lorens Bagus, Kamus Filsafat , hlm. 572-575).
58 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 113.
215
Sebenarnya sikap seperti ini bukanlah marxisme.
Bukankah para pemikir klasik, seperti para pakar ushul fiqh
telah membahas unsur-unsur materi yang mempengaruhi
perilaku (individu dan masyarakat) ? Kenyataan menunjukkan
bahwa orang-orang yang pertama memeluk Islam berasal dari
kaum budak, kaum miskin, dan fakir juga orang-orang terlantar.
Mereka dalam Islam menemukan kebebasan, keadilan dan
persamaan. Islam telah membebaskan mereka dari rasa takut,
tiran dan kesewenang-wenangan para pemuka kota Mekah dan
kaum kaya. Islam telah mempersenjata kaum muslimin untuk
membebaskan manusia dari penyakit thâ’ûn (tamak).59
Keempat, Westernisme60. Selama manhaj ijtimâ’î memiliki
sifat-sifat seperti ini, maka ia sama seperti gerakan-gerakan yang
pernah terjadi di Barat, yaitu gerakan Sekularisme, Atheisme,
Marxisme, Rasionalisme, Liberalisme, Naturalisme dan
Demokrasi. Yaitu gerakan yang menumpas kecendurangan
keberagamaan yang artifisial, Iman, Rohaniyah, Ilhamiyah,
Ghaibiyah, dan tunduk kepada penguasa.61
Sebenarnya perjuangan Barat62 pada abad modern
melawan tirani intelektual dan agama pada zaman pertengahan.
59 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114.
60 Westernisme berarti ajaran yang berkiblat ke Barat atau berhaluan ke Barat. Lihat Dept. Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, Jakarta : Balai Pustaka, hlm. 1129.
61 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114.
62 Barat telah memulai kebangkitannya pada abad ke-14 dengan menghidupkan kembali turats klasiknya, pada abad ke-15 dengan reformasi agama, dengan Renaissance pada abad ke-16, dengan Rasionalisme abad ke-17, dengan pencerahan abad ke-18, dengan ilmu dan revolusi industri abad ke-19, dengan humanisme dan revolusi teknologi pada abad ke-20 (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114).
216
Perjuangan mereka ditebus dengan darah ilmuwan dan para
pemikir. Hal ini mirip dengan perjuangan yang didengungkan
oleh Islam dan dasar-dasar ajarannya yang telah diformulasikan
secara sempurna selama 14 abad.
Sesungguhnya Islam telah meramu semua dasar
kebangkitan ini dalam wahyu. Islam mengakui sastra dan
agama-agama terdahulu dengan mengingkari dominasi para
agamawan, kependetaan dan lembaga-lembaga keagamaan.
Islam menjadikan manusia berhubungan langsung antara
dirinya dengan Tuhannya tanpa perantara, manusia adalah
khalifah Allah yang ada di muka bumi.63 Menurut Hassan Hanafi
Islam memberi akal kekuasaan atas segala sesuatu, membangun
masyarakat Islam atas dasar-dasar kebebasan, keadilan dan
persamaan. Islam merangkai aturan-aturan alam dan
kemampuan manusia untuk menguasai dan
mendayagunakannya demi kemanfaatan mereka di dunia.
Manusia dalam pandangan Islam merupakan tema sentral alam
semesta dan bentuk (ujud) nyata dalam wujud semesta ini.64
Dalam kaitannya dengan hermeneutika al-Qur’an, Hassan
Hanafi memilih untuk berangkat dari tradisi ushul fiqh. Hal itu
karena terdapat keterkaitan erat antara hermeneutika al-Qur’an
dan dengan metodologi fiqih klasik, karena fiqh berusaha untuk
merumuskan hukum dan menghadapi realitas social yang selalu
berkembang. Beberapa konsep dalam ushul fiqh, seperti
maqasid al syar’iyah, mashalih al ummah, nasikh, dan asba al
nuzul,membentuk model hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi.
63 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114.
64 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114.
217
Naskh dan asbab al nuzul memang lebih dikenal dalam ulum al-
Qur’an tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa para fuqaha
menggunakannya pula dalam menafsirkan al-Qur’an untuk
penyelesaian suatu masalah secara realistis.
Karakteristik yang sangat jelas dari hermeneutika al-
Qur’an Hassan Hanafi ini adalah relatifitasnya. Hassan Hanafi
mendudukan tafsir sebagai bersifat manusiawi dan sesuai
dengan eksistensi manusia. Hermeneutika al-Qur’an Hassan
Hanafi tidak berpretensi untuk melahirkan penafsiran abadi,
karena hal itu mustahil dan tidak berguna untuk menjawab
realitas masyarakat yang selalu berkembang. Hal inilah
nampaknya yang membuat Hermeneutika al-Qur’an Hassan
Hanafi bersebrangan dengan kebanyakan kaum muslimin.
C. Aplikasi Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi
Hassan Hanafi mengaplikasikan hermeneutika al-
Qur’annya dalam bentuk eksegetik, karya penafsirannya. Tiga
tema yang dipilih dianggap oleh penulis sebagai mewakili dari
tafsir kesadaran, perseptif (tafsir al syu’ûrî) yaitu tafsir yang
mendeskripsikan manusia, hubungan dengan manusia lain dan
tugasnya di dunia. Tiga tema yang dipilihi juga sebagai
implementasi dari tiga batasan wilayah dalam hermeneutika al-
Qur’an yaitu manusia menyadari dirinya, hubungan manusia
dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam.
Untuk menunjukkan relevansi dan menariknya dari
penafsiran tematik dari Hassan Hanafi, tiga contoh konsep akan
diberikan sebagai berikut : Manusia: Tubuh Kebutuhan Materil,
Tindakannya di Dunia (“Human: Body, Material Needs, Action in
218
World”), tulisan yang dimuat dalam dua bukunya Islam in the
Modern World Vol. 1 dan Dirasât Islâmiyah; Konsep Harta dalam
al-Qur’an (“al Mâl fî al-Qur’an”) tulisan yang dimuat dalam
bukunya al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Vol. 7; dan
Teologi Tanah (“Theology of Land An Islamic Approach”) tulisan
yang dimuat dalam dua bukunya Islam In the Modern World Vol.
1 dan Religious Dialogue and Revolution.
1. Konsep Manusia dalam al-Qur’an
Manusia : Tubuh, Kebutuhan material, Tindakan di dunia.
Manusia digambarkan sebagai fenomena alam. Mereka
memiliki tubuh, kebutuhan material dan tindakan di dunia.
Seorang manusia adalah sebuah tubuh yang terdiri dari darah,
tulang dan daging, ia diberikan seperti kaki, tangan, kepala,
dada, pinggang, leher dan bagian depan. Bagian-bagian kepala
selalu disebutkan seperti mata, hidung, telinga, lidah,
tenggorokan, bibir serta dagu.65
Bagian-bagian internal dari tubuh seperti hati, perut, isi
perut dan eksternal seperti kuku, kulit dan rambut.
Pembentukan genetik dari tubuh di dalam rahim ibu atau di
luarnya digambarkan sebagai ciptaan Tuhan. Penggambaran ini
tidak hanya bertujuan biologis, tetapi untuk menghubungkan
tubuh dengan kebutuhan manusia dan dengan kedudukan
manusia di dunia.66
65 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, Kairo: Dar Kba, 2000 hlm. 391.
66 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392. Bandingkan dengan Musa Asy’arie (53 th) Guru Besar di IAIN (sekarang UIN) Jogjakarta dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, ia menjelaskan bahwa kata basyar, manusia dalam al-Qur’an dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata basyar ini disebutkan 36 kali dalam 36 ayat. Kata basyar yang tersebut dalam al-Qur’an
219
Darah disebutkan sebanyak 10 kali untuk menunjukkan
makanan haram, pembunuhan atau hukuman. Tetapi manusia
memiliki peran yang konstruktif di bumi, yaitu untuk hidup dan
bukan untuk mematikannya. Tulang disebutkan sebanyak 15
kali untuk melindungi, menunjukkan juga makanan haram,
umur tua tetapi pada dasarnya adalah kebangkitan kembali dan
kembali hidup.67 Bubuk (tulang yang hancur) dapat sekali lagi
menjadi tulang-tulang yang hidup. Daging disebutkan sebanyak
12 kali sebagai makanan haram (babi), atau makanan halal
seperti burung, ternak atau ikan laut. Daging adalah ciptaan
Tuhan, ditolak sebagai korban. Daging manusia adalah simbol
penghormatan moral terhadap orang lain.68
Kepala disebutkan sebanyak 20 kali merujuk kepada
rambut, sebuah tempat untuk di cuci, sebuah simbol kehidupan,
perjuangan dan tindakan moral, tinggi, rendah atau tidak sama
sekali. Leher raqaba, disebutkan sebanyak 9 kali untuk
menunjukkan pembebasan budak atau tanggung jawab kepada
orang lain, atau dalam artinya yang literal sebagai leher untuk
dihantam dalam perang.69 Kata yang lain “’unuq” disebutkan
sebanyak 9 kali baik untuk menunjukkan perbudakan sebagai
ganti pembunuhan di dalam perang, tetapi juga berhubungan
dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian dimensi fisiknya. Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya seharu-hari, yang berkaitan dengan aktifitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya seperti makan, minum, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Lihat Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta : LESFI, 1992 hlm. 22-35.
67 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392.
68 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392.
69 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392.
220
dengan keindahan dan kelembutan. Lebih jauh lagi, hal itu,
berfungsi sebagai simbol dari tanggung jawab pribadi dan dari
ketamakan ketika tangan diikat ke leher.70 Tenggorokan
disebutkan 2 kali untuk menggarisbawahi ketegangan pada hari
akhir ketika jantung akan mencapai tenggorokan. Dada yang
terbuka dan tertutup disebutkan sebanyak 40 kali dengan arti
kesadaran. Pinggang disebutkan sebanyak 8 kali untuk
menunjukkan pembentangan pinggang untuk shalat atau untuk
penyiksaan.71 Ia juga merupakan citra dari lingkungan.
Tangan disebutkan sebanyak 120 kali dalam arti literer
atau figuratifnya, untuk menunjukkan arti kekuasaan, dominasi,
kewajiban dan kedermawanan. Tangan adalah sumber dari
tindakan di dalam alam. Mereka tidak dapat membunuh,
menghancurkan atau melukai.72 Telapak tangan disebutkan 2
kali untuk menunjukkan kebutuhan manahan air, bukan
menumpahkannya melalui sela-sela jari. Jari disebutkan 2 kali
sebagai citra dari ketiadaan kesadaran ketika jari diletakkan di
dalam telinga agar tidak mendengar.73
Paha disebutkan 5 kali untuk menujukkan tindakan lari
dan melakukan sesuatu, serta merupakan sebuah simbol dari
keindahan dan kelembutan. Kaki disebutkan sebanyak 8 kali
sebagai citra dari stabilitas dan keberanian. Tubuh material
70 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392.
71 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392-393.
72 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.
73 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.
221
tidak dimaksudkan per se, absolut, tetapi sebagai signifikansi
dari bertindak di dunia.74
Bagian-bagian kepala juga ditekankan untuk
menggambarkan kehidupan dari kesadaran. Mata disebutkan
sekitar 60 kali baik di dalam arti harfiahnya sebagai sebuah
organ penglihatan atau dalam arti figuratifnya untuk
menyarankan pancaran. Mata melihat alam sebagai sebuah
pancaran. Hidung disebutkan 2 kali di dalam konteks hukum
balas dendam.75 Telinga disebutkan sebanyak 18 kali baik di
dalam hubungannya dengan ketulian atau belajar atau untuk
menggarisbawahi pelarangan penyembelihan hewan. Lidah
disebutkan sebanyak 25 kali untuk menunjukkan bahasa,
kefasihan, kesaksian, ketulusan dan kehidupan dari kesadaran
di dunia.76 Bibir disebutkan 1 kali dengan mata dan lidah
sebagai organ untuk melihat dan mengucap. Tenggorokan
disebutkan 2 kali untuk menunjukkan ketegangan dari saat-saat
terakhir ketika jantung menyampaikan ancamannya ke
tenggorokan. Dagu disebutkan 3 kali sebagai simbol untuk
menunduk baik karena kesederhanaan ataupun karena
paksaan.77 Dahi disebutkan 2 kali, sujud sebagai simbol dari
ketaatan dan penyiksaan. Tubuh manusia digunakan sebagai
bahasa manusia untuk menunjukkan kedudukan manusia di
dunia.78
74 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.
75 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.
76 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.
77 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393-394.
78 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394.
222
Dari bagian-bagian internal seperti hati dan perut. Hati
adalah simbol dari aktifitas dan perjuangan dalam hidup. Perut
disebutkan 16 kali untuk menunjukkan hewan yang melata,
perut dari ikan paus Yunus as, perut di mana manusia
diciptakan. Apa yang penting adalah apa yang masuk dalam
perut di dalam arti pencernaan (stomach)79, makanan baik yang
halal seperti madu dan susu atau makanan buruk yang haram
seperti air mendidih, kayu kering dan makanan pahit. Dari aspek
eksternal tubuh, kuku, kulit dan rambut disebutkan. Kuku
disebutkan 1 kali, merujuk kepada hewan sebagai makanan yang
haram menurut hukum makanan dalam agama Yahudi.80 Kulit
disebutkan 9 kali merujuk kepada kulit hewan untuk digunakan
manusia dan kulit manusia sebagai tempat dari sistem syaraf
dan hasrat, siksaan dan ketakutan manusia terhadap Tuhan.
Rambut disebutkan 1 kali merujuk kepada wol berserat lembut
dan rambut digunakan untuk manusia.
Dengan demikian, manusia dibut dari bahan-bahan alam.
Ia bukan merupakan jiwa murni seperti makaikat. Itulah kenapa
tindakannya di dalam alam harus memuskan tubuh materialnya.
Mencari sumber-sumber alam dengan demikian merupakan
kebutuhan manusia, karena tubuh manusia adalah penampakan
yang pertama dari manusia.81
Kebutuhan material adalah seperti : makan, minum,
pakaian dan perumahan. Makan disebutkan dalam al-Qur’an
sebanyak 117 kali, 30 kali untuk makanan haram dan 87 kali
79 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394.
80 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394.
81 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394.
223
untuk makanan halal yang menunjukkan ketakbersalahan alam.
Memberikan makan disebutkan sebanyak 42 kali menunjukkan
bahwa makanan adalah hak asasi manusia untuk setiap orang.82
Tuhan adalah Dia yang memberikan makan keamanan.83 Rasa
lapar disebutkan dalam al-Qur’an 5 kali yang menunjukkan
bahwa rasa lapar adalah neraka dan kepuasan adalah surga.
Rasa lapar, ketakutan akan kurangnya sumber-sumber adalah
beberapa aspek dari penderitaan manusia.84 Minum disebutkan
sebanyak 38 kali, meminum air yang dingin dan murni serta air
yang tidak murni dan tercemar di neraka. Makan dan minum
adalah dua perintah Tuhan kepada manusia untuk menikmati
hidup dan hidup dengan cara yang alamiah tanpa melakukan
kerusakan apapun di dunia.85 Pakaian disebutkan 23 kali
sebagian besar dalam arti figuratifnya, berpakaian kesalehan
atau ketidaksalehan, tetapi juga di dalam arti harfiahnya, yang
berarti berpakaian perhiasan atau baju untuk melindungi diri.86
Rumah disebutkan sebanyak 42 kali beberapa di dalam arti
figuratifnya yang berarti ketenangan malam, kelembutan istri,
angin yang stabil dan keheningan jiwa. Yang lain digunakan di
dalam arti harfiahnya yang mana berarti hidup di sebuah rumah
di sebuah desa, di sebuah lembah, atau di daerah pedalaman.
Menemukan sebuah rumah adalah hak dari makhluk hidup, baik
82 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.
83 Q.S. Quraisy /106: 4.
84 Q.S. Thâhâ /20: 118; Q.S. al Ghâsyiyah /88: 6-7; Q.S. al Baqarah /2: 115; Q.S. al Nahl /16: 112.
85 Q.S. al Baqarah /2: 60.
86 Q.S. al A’ râf /7: 26.
224
manusia maupun hewan.87 Kata ma’wâ yang berarti tempat
bernaung, menutup atau tempat berlindung disebutkan
sebanyak 5 kali untuk menunjukkan alam sebagai sebuah
tempat tinggal, misalnya manusia menemukan tempat
berlindung di gua, gunung-gunung sudut atau bukit.88 Kata
penuhnya adalah hidup, ma’âsy, disebutkan sebanyak 7 kali,
kehidupan yang baik di surga dan kehidupan yang disumpah.
Sisa penggunaannya menunjukkan kehidupan di dalam waktu
dan ruang selama siang hari dan di tanah, di bumi, di kota dan
desa untuk mengolah sumber-sumber alam tanpa berlebihan
dalam penggunaannya.89 Hubungan antara manusia dan alam
ditentukan oleh tindakan manusia di dunia. Manusia tidak boleh
melakukan kerusakan apapun di bumi. Kata kerusahan fasad
disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 50 kali, 11 kali sebagai
kata benda (3 tak tentu dan 8 tertentu), 18 kali sebagai kata
kerja dan 21 sebagai nama dari orang-orang yang berbuat salah.
Hubungan manusia dengan alam adalah sesuatu yang obyektif.
Ia tidak bergantung kepada nafsu dan hasrat manusia. Tuhan
mengetahui mereka yang melakukan kerusakan di bumi. Mereka
akan menerima hukuman yang keras.90 Semua orang yang
melakukan kerusakan di bumi binasa. Semua nabi
memperingatkan umat mereka agar tidak melakukan kerusakan
di bumi. Kerusakan di bumi adalah sama dengan
menghancurkan tumbuh-tumbuhan, membunuh hewan, dan
87 Q.S. al Nahl /16: 80 ; Q.S. A’râf /7: 161 ; Q.S. al Isrâ /17: 104.
88 Q.S. al Kahfi /18: 10 dan 63 ; Q.S. Hûd /11: 43 dan 80 ; Q.S. Muminûn /23 : 50.
89 Q.S. al Nabâ /78: 11 ; Q.S. al A’râf /7: 10 ; Q.S. al Qashash /28: 58.
90 Q.S. al Baqarah /2: 11 dan 205 ; Q.S. al A’râf /7: 56 ; Q.S. al Rûm /30: 41 ; Q.S. al Mu’min (Ghâfir) /40: 25.
225
menghabiskan sumber-sumber alam. Kata berguna disebutkan
dalam al-Qur’an sebanyak 49 kali, 19 kali sebagai kata benda
dan 30 kali sebagai kata kerja. Kegunaan dan kerugian adalah
kriteria dari tindakan manusia di dalam alam. Mereka adalah
kriteria untuk Tuhan yang benar, untuk keyakinan yang benar
dan untuk kehidupan masa depan. Prinsip kemanfaatan yang
maksimum dan kemadaratan atau kerugian yang minimum
menjadi sebuah prinsip hukum.91 Kata kerugian disebutkan
sebanyak 66 kali dengan konteks yang sama. Sebuah hukum
dapat dibatalkan apabila ia menyebabkan kerugian.92 Yang
berguna dapat tinggal di bumi, yang tidak berguna pergi.
Pengetahuan harus menjadi berguna. Benda, hewan dan manusia
harus menjadi berguna. Manusia harus menimbang menafaatan
dan kerugian sebelum mengambil suatu keputusan. Dengan
demikian hubungannya dengan alam adalah sesuatu yang
positif.
Dunia bagi manusia adalah sebagai lapangan tempt
bertindak. Kata Dunyâ disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak
115 kali di dalam bentuk tunggal tertentu, tidak memiliki
hubungan dengan kata ganti kepunyaan. Walaupun 99 kali
menggunakannya merujuk kepada arti negatifnya seperti
keterbatasan dunia, 16 kali merujuk ke arti positif sebagai dunia
tindakan.93 Tindakan Amal disebutkan sebanyak 359 kali, 84 kali
sebagai kata benda dan 275 kali sebagai kata kerja yang
menujukkan pentingnya tindakan itu sendiri; 17 kali tanpa kata
91 Q.S. al Ra’ad /13: 17 ; Q.S. Yûnus /10: 18 ; Q.S. al Haj /22: 28.
92 Q.S. Yûnus /10: 106 ; Q.S. al Baqarah /2: 102.
93 Q.S. al Baqarah /2: 201 ; Q.S. al Qashash /28: 77 ; Q.S. al Zumar /39: 10.
226
ganti kepunyaan dan 67 kali dengan kata ganti kepunyaan
menunjukkan bahwa tindakan itu dilakukan oleh manusia, 41
kali di dalam bentuk jamak dan 43 kali di dalam bentuk tunggal
yang menunjukkan signifikansi yang sama dari baik tindakan
individual dan tindakan yang berkelanjutan.94 Tuhan mengetahui
semua tindakan manusia dan melihat perbuatan mereka.
Perbuatan ini ada dua macam: perbuatan baik yang merupakan
sebuah manifestasi dari keyakinan yang baik dan perbuatan
buruk yang datang dari keyakinan yang buruk. Kedua perbuatan
itu merupakan tanggung jawab manusia.95 Kata sa’y disebutkan
sebanyak 30 kali untuk menunjukkan dimensi manusia dari
dunia, kerja yang menghancurkan atau kerja yang membangun.96
Dunia adalah tempat untuk berjuang, dimana tindakan di dunia
memuncak. Perjuangan adalah sesuatu yang terbuka dengan
hukum-hukum yang diketahui dan hasil yang pasti sebagai
sejarah, dari awal sampai akhir dari dunia akan
membuktikannya.97
94 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 398.
95 Q.S. al Baqarah /2: 74 dan 110 ; Q.S. Ali Imrân /3: 153 ; Q.S. al Baqarah /2: 62 ; Q.S. al Nahl /16: 34 ; Q.S. Fushshilat /41: 46.
96 Q.S. al Najm /53: 39-40 ; Q.S. al Isrâ /17: 19.
97 Q.S. al Insyiqâq /84: 6. Pembahasan manusia, basyar sebagai makhluk biologis ini disarikan dari Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 391-398. Perlu dijelaskan disini menurut Musa Asy’arie bahwa penggunaan kata insan dan basyar dalam al-Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian maretial seperti yang terlihat pada aktifitas fisiknya (Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an, hlm. 34).
227
Menurut Musa Asy’arie kata insan, basyar pada
hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang membentuk
kebudayaan. Kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari sisi
penggunaan akal dan perbuatan manusia di tengah kehidupan
bermasyarakat. Dalam setiap individu terkandung di dalamnya
kapasitas sebagai insan dan basyar yang menyatu dalam
aktifitas kebudayaan.98
Istilah insan disebutkan dalam al Qiran sebanyak 65 kali
selalu dalam bentuk tunggal tertentu tanpa kata ganti
kepunyaan yang menunjukkan individualitasnya penggunaannya
merujuk kepada asal-usul biologisnya, kepada kelemahannya
tetapi juga kebebasan dan tanggung jawab.99 Komunitas, ummah
disebutkan sebanyak 49 kali merujuk kepada kesatuan dan
univesalitasnya, kepada pesan moral dan tanggung jawabnya.100
Dengan visi yang seperti itu, dunia dan sebagai akibatnya alam,
berada pada jantung tanggung jawab individual dan sosial.
Sumber-sumber alam tidak berada di dalam keadaan kacau
tanpa aturan, tetapi mereka diadakan melalui tanggung jawab
manusia dan pesan moral dibawa oleh semua orang.101
Sebanyak 6 kali kata unas yang memiliki arti kelompok
manusia. Sebanyak 1 kali kata Ins yang memiliki arti manusia
dalam bentuk tunggalnya. Terakhir sebanyak 1 kali sifat-kerja
98 Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an, hlm. 35.
99 Q.S. al Isrâ /17: 13 ; Q.S. al Qiyâmah /75: 14-15.
100 Q.S. al Baqarah /2: 134.
101 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503.
228
musta’nas yang memiliki arti keakraban, keintiman, kedekatan
dan lain-lain.102
Mengenai isi kandungan kata insan terdapat lima
orientasi makna.103
Pertama, sebanyak 12 kali dengan makna sebagai berikut
ini. Diantaranya manusia diciptakan ex-nihilo, sebuah
pengalaman ketiadaan yang diekspresikan oleh para filosop
eksistensialis kontemporer. Ia diciptakan dari tanah liat dan dari
sperma. Ia juga diciptakan dari pengetahuan. Pengetahuan
adalah dasar yang ril dari ada. Pengetahuan diekspresikan di
dalam bahasa.104
Kedua, sebanyak 33 kali dengan makna sebagai berikut
ini. Diantaranya manusia adalah struktur psikologis jauh lebih
penting dari asal-usul materialnya. Ia lemah, rentan, terburu-
buru, tidak menyadari waktu, penuh ketakutan, termotivasi dan
tergerak olah nafsu. Ia minta tolong disaat-saat kritis, ketika
sudah selesai ia melupakannya.105 Ia gembira dan sedih, penuh
harapan dan putus asa, datang dan pergi, dermawan dan kikir,
kuat dan lemah, rentan dan solid, ingat dan lupa. Ia bisa menjadi
musuh, dikator, arogan, tidak bermoral, bodoh, skeptis, ragu-
ragu, spekulatif, curiga dan lain-lain.106
102 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503.
103 Orientasi makna insan ini dapat dilihat pada 2 buku Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503-504 dan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413-414.
104 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413.
105 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503-504.
106 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413.
229
Ketiga, manusia ditantang oleh musuh yang tidak
mengakui nilai dan potensialitas serta kehormatannya. Melalui
penerimaan tantangan tersebut, tampak kehebatan manusia.
Sang penantang tidak harus seseorang, tetapi keseluruhan
situasi sosial politik tempat manusia hidup.107
Keempat, tanggung jawab dan akuntabilitas manusia
adalah melindungi alam dari eksploitasi, penghancuran atau
pemborosan sumber-sumber alam. Ia memiliki tugas yang harus
diselesaikan di bumi. Dengan mengasumsikan tanggung jawab
ini, manusia menjadi lebih hebat daripada langit, bumi dan
gunung-gunung. Hidupnya adalah perjuangan. Keberadaannya
adalah godaan, sebuah ujian lulus dan gagal.108
Kelima, Kehebatan manusia terdapat dalam
keberhasilannya mentranformasikan kelemahannya menjadi
kekuatan, kerentanannya menjadi kekokohan,
ketidaksempurnaannya menjadi kesempurnaan. Manusia itu
sendirian bertanggung jawab secara individual. Meskipun begitu
ia memiliki satu relasi, bukan dengan Tuhan, tetapi dengan
orang tuanya.109
107 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413-4.
108 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 504. Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 414.
109 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 414. Menurut Musa Asy’arie bahwa kata insân dan basyar yang dipakai untuk sebutan manusia, tidakah menunjuk adanya dua jenis manusia, yaitu manusia yang disebut insân dan manusia yang satunya lagi disebut basyar. Akan tetapi kat insan dan basyar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal yang mempunyai dua dimensi, dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada kapasitas aksinya. Sebagai kesatuan insan basyar maka perwujudannya dalam realitas kehidupan manusia selalu berkaitan dengan aktivitas kebudayaannya. Wujud kebudayaan tersebut mencakup yang ideal yang bersifat abstrak-yaitu proses pikir-maupun yang material yang bersifat nyata. (Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an, hlm. 35).
230
2. Konsep Harta dalam Al-Qur’an.
Mâl di dalam al-Qur’an tidak bermakna uang dalam arti
harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan secara
umum. Berkaitan dengan bentuk linguistiknya, kata mâl
disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 86 kali dalam
bentuknya yang berbeda-beda karena signifikansinya tidak
kurang dari kata nabî sebanyak 80 kali atau kata wahyu
sebanyak 78 kali.110 Kata mâl disebutkan al-Qur’an dalam dua
bentuk kata benda. Pertama, dalam bentuk tidak disandarkan
kepada kata ganti (ghair mudlâf ila dlamîr), seperti al mâl,
mâlan, al amwâl dan amwâlan sebanyak 32 kali. Kedua,
berkaitan dengan kata sifat kepunyaan seperti mâluhu, mâliah,
amwâlukum dan amwâluhum sebanyak 54 kali yang
menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada di luar
kepemilikan pribadi.111 Kepemilikan adalah hubungan diantara
manusia dan kekayaan. Kata mâl merupakan sebuah fungsi,
sebuah titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi.
Kekayaan tidak boleh dimonopoli atau ditimbun. Secara
etimologi, mâl bukan sebuah kata benda, tetapi merupakan kata
ganti relatif. Kata mâl berhubungan dengan kata sandang (Li)
yang memiliki arti apa yang kepada saya.112 Kata mâl disebutkan
110 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 123.
111 Menurut Hassan Hanafi, dua bentuk seperti ini menunjukkan bahwa aharta, Pertama sebagai wujud tersendiri yang terlepas dari kegiatan manusia, ia tidak dihubungkan kepada seseorang atau kelompok. Kedua, berada dalam kegiatan manusia, dalam bentuk usaha, investasi dan lain-lain. Al-Qur’an lebih sering menyebutnya dalam bentuk yang diidlafatkan dari pada yang tidak, (Q.S. 54:32). Ini menunjukkan bahwa al mâl yang berada dalam kegiatan manusia dalam bentuk usaha, investasi dan pendayagunaan lainnya merupakan tema utama (mihwar). Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 123.
112 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 130.
231
17 kali dalam bentuk ism nakirah (tidak tertentu) dan dalam
bentuk ism ma’rifah (tertentu) disebutkan sebanyak 15 kali yang
berarti bahwa kekayaan bisa diketahui dan tidak diketahui.113
Kema’rifatannya dibuat oleh kata sandang tertentu atau oleh
kata sambung ke kata sifat kepunyaan. Kata itu disebutkan 18
kali dalam bentuk tunggal, mâl dan disebutkan 14 kali dalam
bentuk jamaknya, amwâl yang menunjukkan keutamaan
kekayaan individual daripada akumulasi kekayaan.114
Dari segi I’rab kedudukannya, kata al mâl yang tidak di-
idlafat-kan disampaikan dalam tiga keadaan I’rab, pertama,
marfû’ (2 kali), kedua, manshûb (17 kali) dan ketiga, majrûr (13
kali). Ini berarti kata al mâl jarang sekali disampaikan dalam
I’rab rafa (hanya 2 kali). Dalam 2 kali ini, semuanya berkonotasi
makna negatif (seperti Q.S. al Kahfi/18: 46 dan Q.S. al Syu’ara
/26 : 88).115 Dari 13 kali kata al mâl yang majrûr. 11 di
antaranya majrûr dengan harf al jar (min, fi dan lainnya). Ini
menunjukkan bahwa ia selalu berputar dan bergerak; dari dan
kepadanya. Ketika al mâl di-manshûb-kan (paling sering, 17
kali), menunjukkan bahwa ia merupakan obyek aktifitas dan
berada pada tangan manusia.116 Dalam bentuk dan kedudukan
I’rab ini mengkonotasikan 3 makna. Pertama, celaan kepada
manusia yang mencintai dan mengikat diri dengan harta, seperti
dalam Q.S. al Fajr /89: 20; Q.S. al Humazah /104: 2; Q.S. al Balad
/90: 6; Q.S. Maryam/19: 71; Q.S. al Muddatsir /74: 12; Q.S. al
113 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 124.
114 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 125.
115 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 126.
116 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 125.-127.
232
Kahfi/18: 34 dan 39; Q.S. al Taubah /9: 69; Q.S. Yûnus /10: 88;
Q.S. Sabâ /34: 35.117 Kedua, larangan mendekati, apabila
mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan,
anak-anak yatim dan manusia umumnya (tidak termasuk di
dalamnya orang-orang kaya), seperti dalam Q.S. al An’âm /6: 34;
Q.S. Nisâ /4: 10 dan 161; Q.S. al Taubah /9: 34.118 Ketiga,
memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan,
seperti Q.S. al Baqarah /2: 177; atau bekerja dalam rangka
menegakkan risalah, bukan untuk menunggu bayaran harta,
seperti Q.S. Hûd /11: 29.119
Adapun kata al mal yang diidlafatkan kepada dlamir,
disampaikan dalam dua bentuk. Pertama, diidlafatkan kepada
dlamir mufrad seperti maluhu dan maliyah. Dalam bentuk ini
disampaikan 7 kali. Satu diantaranya idlafat kepada dlamir
mutakalim, seperti maliyah (Q.S. al Hâqqah /69: 28) dan 6 kali
lainnya idlafat kepada dlamir ghaib, seperti maluhu120. Kedua,
diidlafatkan kepada dlamir jamak dengan bentuk kata yang
jamak pula seperti amwalukum, amwaluna dan amwaluhum.
Bentuk ini disampaikan sebanyak 47 kali. Dua diantaranya
idlafat kepada dlamir mutakalim ma’al ghair seperti amwaluna
(Q.S. Hûd /11: 87; Q.S. al Fath /48: 11),121 14 kali kepada dlamir
117 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 127.
118 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 128.
119 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 128.
120 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 129. Keterangan ini dapat dilihat dalam al-Qur’an sebagai berikut Q.S. al Baqarah /2: 264 ; Q.S. Nûh /71: 22, Q.S. al Lail /92: 11 dan 18 ; Q.S. al Humazah /104: 3 ; Q.S. al Masad /111: 2.
121 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 131.
233
al mukhatab seperti amwalukum (di antaranya Q.S. al Baqarah
/2: 188 dan 279; Q.S. Ali Imran /3: 186; Q.S. al Nisa /4: 2, 5, 24
dan 29), dan 41 kali kepada dlamir al ghaib seperti amwaluhum
(antara lain dalam Q.S. al Baqarah /2: 261, 262, 265 dan 274;
Q.S. Ali Imran /3: 10 dan 116; Q.S. al Nisa /4: 2, 6, 34, 38 dan
95).122
Kata mal disebutkan dalam bentuk nominatif sebanyak 2
kali marfu dan dalam bentuk penderita sebanyak 13 kali majrur
yang berarti bahwa kekayaan jarang menjadi sebab efisien. Ia
lebih menjadi penerima tindakan manusia dan akibatnya.
Kekayaan bukan subyek (mubtada) atau predikat (khabar) tetapi
objek untuk sebuah subjek dan kata kerja.123 Dua kali dimana
kekayaan disebutkan dalam bentuk nominatif digunkan secara
negatif.124
Kata mal berhubungan dengan kata sifat kepemilikan.
Sebanyak 7 kali dihubungkan dengan dlamir mufrad, orang
pertama tunggal125 dan 47 kali dengan dlamir jama’ orang ketiga
jamak yang berarti bahwa kekayaan adalah kepemilikan kolektif
untuk orang-orang yang tidak hadir (mereka), orang-orang yang
dicabut hak-haknya, kaum miskin dan anak yatim.126 Orang
pertama tunggal menunjukkan kelas atas, orang kedua
menunjukkan kelas menengah dan orang ketiga menunjukkan
kelas bawah.
122 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 131-134.
123 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 125.
124 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 126.
125 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 129-130.
126 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 131.
234
Mengenai isi kandungan kata mal, terdapat tiga orientasi
makna berikut ini. Pertama, kekayaan, kepemilikan dan
pewarisan, berlaku untuk Tuhan dan bukan manusia.127 Kedua,
kekayaan dipercayakan kepada manusia sebagai titipan. Manusia
memiliki hak untuk menggunakan bukan untuk
menyelahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk menimbun,
untuk memanfaatkan dan bukan untuk diboroskan, untuk
pembangunan dan pertahanan.128 Ketiga, kemandirian moral dari
kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan
menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia.
Kekayaan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk
kekayaan.129
3. Konsep Tanah dalam al-Qur’an
Ard (tanah atau bumi). Dalam al-Qur’an tanah atau bumi
disebutkan berulang-ulang sebanyak 462 kali. Sebagai kata
benda disebutkan 454 kali, dan berhubungan dengan kata sifat
kepunyaan disebutkan 8 kali yang berarti tanah bukan sebuah
obyek kepemilikan. Tanah ada dalam kategori wujud dan bukan
memiliki.130 Dari yang 8 kali, satu-satunya yang menggunakan
kata ganti orang pertama tunggal “tanah Saya” berhubungan
dengan Tuhan, yang berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya
pemilik tanah. Makna ini ditegaskan oleh penggunaan yang lain
dan istilah ini sebagai kata benda. Tuhan adalah satu-satunya
127 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 135. Lihat pula Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 505.
128 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 139.
129 Pembahasan al Mâl fî al Qurân ini disarikan dari Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 121-145.
130 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. VII, hlm. 373.
235
pewaris dari tanah. Pewarisannya adalah sebuah akibat alamiah
dari kepemilikannya.131 Karena tanah diciptakan di dalam waktu,
maka ia berawal dan berakhir, ia taat kepada Tuhan dan
menyembah-Nya.132
Tanah tampil sebagai subtansi kehidupan; tumbuh-
tumbuhan, hewan, burung dan manusia. Tanah yang hijau
adalah ciptaan Tuhan untuk kesejahteraan manusia. Warna hijau
adalah citra dari kesuburan semua yang positif, baik dan
berguna dalam kehidupan manusia. Tanah yang hijau itu indah,
dan keindahan adalah manifestasi dati Tuhan.133 Tanah yang
hijau muncul ketika air turun ke bumi. Kehidupan adalah
perjalanan seperti ini, dari kering kepada basah. Kehidupan
adalah sebuah proses yang mirip dengan air, dari atas ke bawah
ketika hujan turun dari bawah ke atas tanaman tumbuh.
Tanaman muncul dari air dan bumi.134 Pencampuran ini terjadi
sesuai dengan ukurannya, jumlah air yang bertambah atau
berkurang. Tanah pasir atau yang berbatu-batu tidak dapat
menghasilkan tumbuh-tumbuhan mereka itu tandus. Air itu
sendiri datang dari atas dari awan dan hujan, atau dari bawah
melalui sumur dan sumber-sumber air bawah tanah.135
Di dalam tanah yang hijau terdapat dasarnya, tanah yang
hidup tanah yang bergerak melangkah dan mengetuk bumi.
131 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 33.
132 Q.S. al Baqarah /2: 107 ; Q.S. al Baqarah /2: 207 ; Q.S. Maryam /19: 40; Q.S. al Rûm /30: 26.
133 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 374.
134 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 374.
135 Q.S. al Hajj /22: 63; Q.S. al Baqarah /2: 164; Q.S. al Hajj /22: 5; Q.S. al Naml /27: 60 ; Q.S. al Mu’min /23: 18 ; Q.S. al Qamar /54: 12 ; Q.S. al Thâriq /86: 12.
236
Terdapat berbagai macam hewan yang sama dasarnya seperti
manusia dan kadang-kadang lebih. Terdapat pula tanah terbang,
tanah burung, yang dari padanya manusia dapat belajar. Burung
dan hewan menunjukkan dua alam langit dan bumi.136 Akhirnya
bumi adalah satu gambaran yang global dan harmonis dengan
bermacam-macam warna, sebuah citra dari perbedaan dan
kesatuan manusia di dalam Tuhan.137
Produksi tanah sungguh merupakan citra kreatifitas
manusia. Keduanya dikondisikan oleh kesatuan dari kontradiksi
dari hidup dan mati, awal dan akhir, tanah dan laut, gunung dan
sungai, tanah dan air, kering dan basah dan lain-lain.138
Produksi tanah adalah untuk makanan dan kenikmatan
manusia. Manusia adalah raja dan tuan dari alam semesta.
Segalanya telah diciptakan untuknya, cocok bagi hidupnya.
Tetapi manusia tidak memiliki hak untuk memonopoli makanan
dan menghalangi yang lain dari makan dan menikmati. Produksi
tanah adalah hak semuanya, termasuk hewan.139
Gunung disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali,
6 dalam bentuk tunggal dan 33 dalam bentuk jamak. Dan semua
dalam bentuk tak tentu yang menunjukkan keberagaman dan
ketakterbatasan dari gunung. Itulah kenapa mereka terkadang
disebut gunung yang berdiri rawasyi (9 kali).140 Walaupun begitu
136 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 375.
137 Q.S. al An ‘âm /6: 38.
138 Q.S. al Rûm /30: 19.
139 Q.S. al Baqarah /2: 168 ; Q.S. al Ra’du /13: 4 ; Q.S. al Baqarah /2: 267; Q.S. al A’râf /7: 73.
140 Q.S. al Ra’du /13: 3.
237
mereka tidak dapat melawan akhir dari waktu. Mereka lari,
runtuh, meledak, berguncang dan dijadikan bubuk.141 Mereka
sensitif terhadap ide, taat kepada kebenaran, menyembah
Tuhan. Mereka lebih besar dari pada manusia di dalam hal
kuantitas tetapi manusia lebih besar dari pada mereka di dalam
hal kualitas karena manusia memiliki kemerdekaan dan
tanggung jawab.142 Mereka ditundukkan Tuhan untuk kebaikan
manusia.143 Manusia tinggal di gunung-gunung, melindungi
dirinya dengan bayangan mereka dan memperoleh air dari
puncak-puncak mereka.144 Bukit yang disebutkan (2 kali) dengan
air dan tumbuh-tumbuhan adalah simbol dari kesuburan dan
ketenangan jiwa.145 Sebaliknya, batu digunakan sebagai simbol
kesulitan, hukuman dan kekerasan (10 kali dalam bentuk jamak
tak tentu), dan sebagai simbol yang sebaliknya; dari kekutan
manusia untuk mentransformasikan batu yang keras menjadi air
yang lembut (tongkat Musa as), (2 kali dalam bentuk kata
tunggal tertentu).146
Debu disebutkan sebanyak 18 kali, selalu dalam bentuk
kata tunggal tak tentu. Debu adalah bahan penciptaan, pada
awalnya dan pada akhirnya.147 Tetapi ia merupakan simbol dari
141 Q.S. al Kahfi /18: 47.
142 Q.S. al A’râf /7: 143; Q.S. al Hasyr /59: 21; Q.S. al Isrâ /17: 37; Q.S. al Ahzab /33: 72.
143 Q.S. al Anbiyâ /21: 79.
144 Q.S. al A’râf /7: 74; Q.S. al Nahl /16: 81; Q.S. al Nazi’ât /79: 32-33.
145 Q.S. al Baqarah /2: 265; Q.S. al Mu’minûn /23: 60.
146 Q.S. al Anfâl /8: 32; Q.S. al Fîl /105: 4; Q.S. al Baqarah /2: 74; Q.S. al Baqarah /2: 60 ; Q.S. al Tahrim /66: 6.
147 Q.S. Ali ‘Imrân /3: 59; Q.S. al Ra’ad /13: 5.
238
kerapuhan dan kurangnya konsistensi berlawanan yang tanah
dan sama dengan batu ketika hujan turun.148 Seseorang yang
tidak karuan digambarkan memakai pakaian yang berdebu.149
Sebuah berita buruk atau sebuah perbuatan salah ingin
dikuburkan di dalam debu. Tanah adalah simbol dari harta yang
terpendam dan kekuatan hidup.150 Tanah liat disebutkan
sebanyak 12 kali, 11 kali dalam bentuk tertentu dan hanya satu
kali dalam bentuk tak tentu, yang menunjukkan pengetahuan
absolut tentang materi itu. Ia adalah materi yang dari mana
manusia diciptakan dan diberikan kehidupan. Ia dapat dibakar
dan menjadi batu bata untuk pembangunan. Tetapi ia juga dapat
menghancurkan ketika dikenal sebagai batu yang keras.151 Api
disebutkan sebanyak 145 kali, 126 kali dalam bentuk tertentu
dan 19 kali dalam bentuk tak tentu. Api dikenal sebagai
kekuatan dan energi. Ia tidak berhubungan dengan kata ganti
kepunyaan, energi dapat digunakan oleh semua orang. 123 kali
merujuk kepada api di neraka dan 22 kali pada api di dunia ini,
di dalam arti yang negatif, membakar dan di dalam arti yang
positif, memanaskan.152 Cahaya disebutkan sebanyak 49 kali, 40
kali dalam bentuk tertentu dan hanya 9 kali dalam bentuk tak
tentu, 39 kali kata ganti kepunyaan yang menunjukkan realitas
cahaya di luar kepemilikan manusia. Ia sering (44 kali)
digunakan sebagai sebuah citra dan hanya 5 kali dalam arti
148 Q.S. al Baqarah /2: 264.
149 Q.S. al Balad /90: 16; Q.S. al Nahl /16: 59; Q.S. al Nabâ /78: 40.
150 Q.S. Thâhâ /20: 6.
151 Q.S. al An ‘âm /6: 2 ; Q.S. al Qashash /28: 38; Q.S. al Dzâriyat /51: 33.
152 Q.S. al Baqarah /2: 266; Q.S. Ali ‘Imrân /3: 183; Q.S. al Ra’du /13: 17.
239
harfiahnya. Api berhubungan dengan matahari dan cahaya
dengan bulan.153
Energi di bumi menghasilkan asap (disebutkan 2 kali)
bahkan di angkasa.154 Besi (disebutkan sebanyak 6 kali hanya 1
kali yang memiliki arti figuratif, yaitu sangat kuat) adalah simbol
dari kekuatan dan kegunaan untuk manusia,155 namun, seperti
kaleng bagi Daud as dan Alexander Agung. Emas (disebutkan
sebanyak 8 kali) digunakan dalam dua cara yaitu dalam arti
negatif yang berarti kenikmatan hidup dan dalam arti positif
yang berarti perhiasan sebagai imbalan di sorga.156 Perak
(disebutkan sebanyak 6 kali) digunakan dalam dua cara yang
sama, dalam arti yang negatif di dunia ini dan dalam arti positif
di dunia yang lain.157 Dengan demikian, mineral yang berguna di
dunia ini harus dicari, sedangkan yang mewah harus
ditinggalkan. Merek tidak berguna di dalam kehidupan praktis
di dunia ini. Mengejar emas sebagai sebuah nilai per se, absolut
adalah tidak berguna.158
Mengenai orientasi makna ard, ada lima makna berikut
ini.
Pertama, Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah.
Tuhan juga merupakan pewaris yang sebenarnya dari tanah.
153 Q.S. Yûnus /10: 5.
154 Q.S. Fushshilat /41: 11; Q.S. al Nisâ /4: 10.
155 Q.S. al Kahfi /18: 96; Q.S. Sabâ /34: 10; Q.S. al Hadîd /57: 25.
156 Q.S. Ali ‘Imrân /3: 14 ; Q.S. al Taubah /9: 34-35 ; Q.S. Ali ‘Imrân 3: 91.
157 Di Surga akan ada gelang, panci dan gelas dari emas dan peak.
158 Pembahasan konsep bumi dalam arti tanah ini disarikan dari Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 373-379.
240
Tanah itu diciptakan. Di dalam penggunaan ini, tanah memiliki
arti bumi, keseluruhan Tanah. Tanah patuh kepada Tuhan dan
menyembah Tuhan selama hidupnya, karena Tanah akan
berakhir.159
Kedua, Tanah alamiah seperti tanah hijau, citra dari
kesuburan an keindahan. Produksi oleh tanah sungguh
merupakan citra dari kreatifitas dalam kehidupan manusia.
Tanah adalah untuk makanan, perumahan dan kenikmatan
manusia. Tanah juga merupakan tempat berpijak bagi semua
makhluk hidup, sebuah citra dari pluralitas dan pengelompokan
manusia.160 Ia juga merupakan tanah konflik, sebuah medan
perang, sebuah tanah imigrasi dan pengasingan, sebuah tanah
pengalaman dan godaan yang membuat sejarah manusia di
bumi. Sejarah merupakan lapangan yang besar untuk
memverifikasikan pekerjan manusia dan pemenuhan sabda
Tuhan di bumi.161
Ketiga, pemenuhan tugas manusia dilakukan di bumi,
karena Tuhan adalah Tuhannya Langit dan Bumi. Hubungan ini
dibuat 217 kali dari 462 kali. Manusia adalah wakil Tuhan di
bumi karena Tuhan tidak ikut campur secara langsung di bumi.
Perwakilan memiliki arti sifat memenuhi syarat dari manusia
untuk suksesi dan pewarisan.162 Hanya perbuatan manusia yang
dapat mengusulkannya untuk memenuhi syarat ini. Tanah itu
luas dalam ukuran yang sama dengan tindakan manusia. Tugas
159 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
160 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
161 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
162 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
241
manusia di bumi ialah mentransformasikan kelemahannya
menjadi kekuatan sebagai seorang individu.163 Tugas ini tidak
hanya merupakan kecenderungan untuk berbuat, tetapi sesuai
dengan kebenaran yang obyektif, yang merupakan dasar dari
bumi. Tanah itu bijaksana terhadap kebenaran yang diterima
oleh manusia secara bebas.
Keempat, pemenuhan tugas manusia di bumi mulai dari
keyakinan terhadap kesatuan yang termanifestasikan di dalam
perbuatan baik. Alam itu patuh dan taat kepada manusia sama
seperti kepada Tuhan.164 Pewaris tanah bukanlah orang-orang
yang telah dipilih untuk selamanya, semenjak permulaan
perjanjian sampai akhir, sebagai hak absolut yang diberikan
secara a priori, tetapi setiap individu atau komunitas, laki-laki
atau perempuan yang berbuat kesalahan dan kebenaran. Tanah
adalah untuk dilindungi, bukan untuk dihancurkan dan
dicemarkan.165
Kelima, sebuah perjanjian universal kepada setiap
individu, bukan kepada orang-orang tertentu saja, sebuah
perjanjian moral dan bukan material, sebuah perjanjian kontrak
dan bukan unilateral.166
163 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
164 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
165 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.
166 Hassan Hanafi, Theology of land dalam Religious Dialogue and Revolution, hlm. 125- 173.
242
Ketiga contoh aplikasi dari hermeneutika al-Qur’an
Hassan Hanafi tidak lain untuk memperlihatkan bagaimana
proses membumikan ayat-ayat al-Qur’an. Min al samâ ilâ al ardl,
dari langit turun ke bumi.
BAB VI PENUTUP A, Kesimpulan.
Hilangnya wacana kemanusiaan dalam studi Islam
menurut Hassan Hanafi menjadi basis lahirnya berbagai tragedi
kemanusiaan dalam dunia Islam. Ia mencoba mencari akar
persoalannya yang ditengarai terdapat pada interpretasi
tradisional Islam. Menurutnya, penafsiran merupakan sebuah
proses komunikasi yang memiliki tiga komponen dasar
pengirim, informasi (pesan) dan penerima. Tetapi dalam
interpretasi tradisional Islam, menurutnya hanya dua komponen
yang pertama yang dominan, sementara komponen yang ketiga
tidak mendapatkan porsi yang cukup. Sebagai akibatnya,
pembicaraan tentang wahyu dalam dunia Islam selalu tersita
244
oleh pembicaraan tentang Tuhan (sebagai pengirim) dan Nabi
sebagai penyampainya, tanpa ada perhatian kepada manusia
sebagai penerima pesan wahyu. Padahal komponen inilah kutub
utama proses komunikasi.
Perhatian yang tidak penuh terhadap masalah
kemanusiaan sebagai akibat dominasi model berpikir tekstualis
yang menganggap teks sebagai standar analisis. Menurut cara
berpikir ini seolah-olah teks adalah segala-galanya termasuk
dianggap sebagai sesuatu yang melahirkan realitas, sehingga
realitas selalu dilihat dari bunyi teks.
Bagi Hassan Hanafi anggapan seperti itu merupakan
kekeliruan karena semestinya realitaslah yang menjadi standar.
Teks tidak akan lahir tanpa realitas sebagai determinannya. Jadi,
bukan wahyu yang menyebabkan lahirnya berbagai peristiwa
emprik (realitas), tetapi sebaliknya realitas yang melahirkan
teks. Karena realitas akan selalu menjadi acuan. Teks yang
tanpa acuan realitas maka teks akan menjadi hampa makna.
Hassan Hanafi menemukan beberapa titik lemah yang
menimpa tafsir tradisional. Di antanya, penafsiran yang
cenderung berulang-ulang sehingga penafsiran tidak
memperhatikan kebutuhan kekinian. Artinya, penafsiran
tradisional itu tidak diawali dengan perumusan problem tentang
apakah dibutuhkan atau tidak sebuah penafsiran dilakukan.
Padahal, al-Qur’an sendiri dalam banyak bagiannya menyatakan
bahwa kehadirannya di dunia ini didahului oleh adanya problem
dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh realitas.
Hassan Hanafi, seorang pemikir yang komitmen terhadap
pemikiran kondisi aktual umat, tidak sepakat apabila tafsir
hanya diidentifikasi sekedar teori memahami teks. Menafsirkan
245
menurutnya melakukan gerak ganda dari teks menuju realitas
dan dari realitas menuju teks. Pada gerak pertama diterapkan
prinsip-prinsip ampibologi bahasa, sementara gerak yang kedua
digunakan prinsip sensitivitas semangat zaman. Untuk inilah dia
mengajukan tawaran metodologis yang disebut sebagai al
manhaj al Ijtimâ’î fî al tafsîr.
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dari metode ini,
Hassan Hanafi mengusulkan beberapa kaidah dasar yang mesti
dipahami sebelum kegiatan penafsiran dimulai.
Pertama, bahwa dalam hermeneutika al-Qur’an teks al-
Qur’an tidak perlu ditanyakan asal-usul maupun sifatnya. Ini
mengigat hermeneutika al-Qur’an tidak terkait dalam masalah
kejadian teks melainkan berkaitan dengan isi.
Kedua, al-Qur’an sebagai teks tidak dibedakan dari teks-
teks kebahasaan lainnya, hermeneutika al-Qur’an tidak dibangun
atas asumsi bahwa al-Qur’an adalah teks sakral dengan segala
keistimewaannya.
Ketiga, hermeneutika al-Qur’an tidak mengenal penilaian
normatif benar atau salah. Karena perbedaan pendekatan
penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap
teks sebagai bias perbedaan kepentingan. Akibatnya, pluralitas
penafsiran adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan,
karena pada dasarnya setiap penafsiran merupakan salah satu
ekspresi komitmen sosial politik pelakunya. Penafsiran adalah
alat-alat ideologis baik untuk mempertahankan kepentingan
tertentu maupun mengubahnya.
Kaidah dasar di atas sengaja dibangun oleh Hassan Hanafi
untuk menopang komitmennya sendiri terhadap realitas yang
sejak awal sudah disadarinya. Barang kali, melalui kesadarannya
246
itu pula, dia menegaskan ketidaksepakatannya atas anggapan
para mufasir modern tentang dapatnya ditemukannya makna
obyektif al-Qur’an. Ketidakmungkinan ditemukannya makna
sejati al-Qur’an menurut Hassan Hanafi tidak saja adanya
lantaran jarak waktu yang begitu jauh antara sejarah teks al-
Qur’an dengan penafsirannya, tetapi seperti pengalamannya
sendiri menunjukkan, penafsiran selalu dibingkai oleh
kepentingan penafsiran, posisi sosialnya, juga kondisi kultur
dimana teks al-Qur’an ditafsirkan. Apalagi hermeneutika al-
Qur’an yang dimaksudkan Hassan Hanafi bukan semata-mata
dilandasi oleh motif menjelaskan teks, tetapi juga sebagai upaya
pemecahan problem sosial kemanusiaan tertentu.
Dengan landasan kaidah dasar seperti di atas, Hassan
Hanafi merumuskan langkah-langkah metodis yang mesti dilalui
dalam penafsiran.
Pertama, seorang penafsir harus secara sadar mengetahui
dan merumuskan komitmennya terhadap problema sosial
politik tertentu. Artinya seorang mufasir muncul pasti dilandasi
oleh keprihatinan-keprihatinan tertentu atas kondisi
kontemporernya.
Kedua, bercermin pada proses lahirnya teks al-Qur’an yang
didahului oleh realitas, seorang mufasir harus merumuskan
tujuannya. Artinya tidak mungkin seorang mufasir memulai
kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin
dicapainya.
Ketiga, dari rumusan komitmen dan tujuannya barulah
seorang mufasir dapat menginventarisasikan ayat-ayat terkait
dengan tema yang menjadi komitmennya.
247
Keempat, inventarisasi ayat kemudian diklasifikasikan atas
dasar bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan bagi langkah
terkait.
Kelima, membangun struktur makna yang tepat dengan
sasaran yang dituju.
Keenam, identifikasi problema faktual dalam situasi
empirik yang dihadapi penafsiran bisa berupa penindasan,
pelanggaran hak dan sebagainya.
Ketujuh, membandingkan antara idealitas dan realitas.
Menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks
dengan problema faktual yang diinduksi dari realita empirik
melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.
Kedelapan, mendeskripsikan bentuk-bentuk aksi.
Menghasilkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses
penafsiran yang transformatif.
Delapan langkah di atas itulah yang dimaksud dari teks
menuju realitas dan dari realitas menuju aksi. Ini pula yang
dimaksud oleh Hassan Hanafi, bahwa penafsiran menjadi
bentuk perwujudan posisi sosial penafsiran dalam struktur
sosial. Jadi, hermeneutika al-Qur’an menurut Hassan Hanafi
merupakan jawaban teoritis yang dirumuskan berdasarkan al-
Qur’an atas berbagai problem kemasyarakatan yang mesti dapat
diterapkan dalam dataran praksis tidak berhenti pada level
teoritis belaka. Tafsir dengan demikian selalu berakhir dalam
praksis.
Mengacu pada langkah-langkah metodis yang diusulkan
Hassan Hanafi dia mencita-citakan tafsir yang bersifat eklektif
dalam arti mengadakan seleksi atas berbagai macam metode
penafsiran dan memproses penyusunan sistemnya sendiri.
248
Karena berbeda dengan metodologi klasik, Hassan Hanafi
menggunakan hermeneutika al-Qur’an tematik yang merupakan
ciri tafsir dengan paradigma ilmiah di era kontenporernya.
Sebaliknya persyaratan pertama langkah penafsiran berupa
penegasan kepentingan, komitmen dan tujuan penafsiran secara
sosial. Hal ini menunjukkan bahwa Hassan Hanafi menginginkan
tafsir yang mengekspresikan subjektivitasnya.
Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi yang dimulai
dengan identifikasi kepentingan penafsiran dan perubahan
sosial terkininya memberikan gambaran bahwa tafsir yang
diinginkan Hassan Hanafi tidak berpretensi untuk mencari
makna universal. Sebaliknya, tafsir semacam ini bersifat
temporal mencari makna yang diberikan al-Qur’an untuk satu
generasi tertentu yang mengabaikan kepentingan masa lalu
maupun masa mendatang.
Penafsiran yang dilakukan Hassan Hanafi tidak dimulai
dengan perumusan problem tekstual al-Qur’an. Hal ini
menunjukkan bahwa sifat utama metodologinya adalah realis
yakni tafsir yang lebih diarahkan pada realitas kehidupan nyata.
Hermeneutika al-Qur’annya lebih cenderung kepada
hermeneutika ontologis di mana subyektifitas penafsir lebih
menonjol. Bersifat eksperimental dalam arti selalu merujuk
pada pengalaman penafsir dan problem kontemporernya, di
samping posisi sosialnya sebagai pijakan pokok dalam
penafsirannya.
Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi menggambarkan
struktur tiga komponen dasar dalam penafsiran. Hermeneutika
al-Qur’annya mengandaikan hubungan dialektis antara teks,
penafsir dan realitas secara bersama-sama. Penafsir diwakili
249
oleh kesadaran dan perlengkapan metodologisnya; teks
berisikan aturan-aturan kebahasaan dan konteks historis;
sementara realitas adalah para audiens dengan segala
problematika sosial yang menjadi tujuan sekaligus mendasari
penafsiran.
Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi yang berpihak pada
realitas memberikan signifikansi bagi diskursus metodologi
penafsiran al-Qur’an selanjutnya. Secara praktis, hermeneutika
al-Qur’an Hassan Hanafi merupakan seperangkat metode
penafsiran yang dapat merumuskan kerangka ideologis dan
epistimologis yang bercorak transformatif dalam tubuh umat
Islam dalam rangka mengembalikan al-Qur’an ke bumi.
A. Saran-saran
Kajian terhadap hermeneutika al-Qur’an terutama sejarah
dan metodologinya harus senantiasa menjadi perhatian yang
serius. Sering terabaikannnya bidang ini kemungkinan
diakibatkan oleh rendahnya minat kaum muslimin terhadap
kajian hermeneutika al-Qur’an.
Hal di atas harus menjadi pertimbangan bagi para
intelektual muslim yang mempunyai spesialisasi dalam bidang
hermeneutika al-Qur’an untuk lebih bekerja maksimal sebagai
upaya untuk menyadarkan masyarakat muslim. Karena
penafsiran al-Qur’an tidak hanya diperhadapkan kepada
tantangan modernitas tetapi juga kebutuhan-kebutuhan yang
akan senantiasa menuntut penyelesaiannya dari hermeneutika
al-Qur’an.
Walaupun hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi
memberikan tawaran pembaharuan baik dalam bidang
pemikiran teori maupun metodologinya, namun, sikap kritis
250
haruslah senantiasa dipertahankan demi menumbuhkan ajaran
al-Qur’an dalam kehidupan manusia yang akan terus mengalami
perkembangan sesuai dengan pengalaman hidupnya.
Semoga dengan penelitian terhadap pemikiran
hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi ini diharapkan dapat
menjadi contoh kecil dari perjalanan panjang proses untuk
menyadarkan betapa pentingnya menpelajari hermeneutika al-
Qur’an.
Wallahu A’lam Bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ayazi, Sayid Muhammad `Ali, 1313H, Al Mufassirûn Hayâtuhum
wa Manhajuhum, Kairo: Muassasah Thaba'ah wa al
Nasyr.
Akhavi, Sharough, 1997, “Dialectic in Contemporary Egyptian
Social Thought” dalam International Journal of
Middle Eastern Studies, No. 29.
Al’ak, Khalid Abdurrahman, 1986, Ushûl al Tafsîr wa Qawâ’iduh,
Beirut : Dâr al Nafis.
Alain Gresh and Dominique Vidal, 1990, An A to Z of the East,
London: Zed Book.
Andalusi, Abu Dawud Sulaiman bin Hasan a1, 1955, Thabaqat al
Atibba wa al Hukama, Kairo: Matba'ah al ‘Ahdi al ‘Ilmi
al Faransi li al Atsar al Syarqiyah.
Asy’arie, Musa, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam A1
Quran, Yogyakarta: LESFI.
Azra, Azyumardi (Ed.), 1999, Sejarah `Ulum al Quran, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Bagus, Loren, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Baidan, Nasruddin, 1998, Metodologi Penaf'siran Al Quran,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
252
Baljon, JMS., 1990, Al Quran Dalam Interpretasi Modern, terj. Eno
Syafrudin, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Bauman, Zigmunt, 1978, Hermeneutics and Social Science, New
York: Colombia University Press.
Bertens, K, 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta:
Gramedia.
, 1986, Filsafat Barat Abad ,XX: jilid II Prancis, Jakarta: PT
Gramedia.
Bleicher, Josep, 1980, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics
as Method and Philisophy and Critique, London:
Rautledge and Kegan Paul.
Boullata, Issa J., 1993, "Hanafi terlalu Teoritis untuk
Dipraktekkan", dalam Jurnal Islamika No. I Juli -
September. .
Crapanza, Vencen, 1992, Hermes Dilemma and Hamlets Desire,
Harvard University Press.
Depag RI, 1978, Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: PT Bumi
Restu.
Dept . Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke2, Jakarta: Balai Pustaka.
Djalal, Abdul, 1990, Urgensi Tafsir Maudu'i Pada Masa Kini,
Jakarta: Kalam Mulia. .
253
Dzahabi, Hussein Muhammad al, Al Tafsîr wa al Mufassirûn,
Juz I dan II , Beirut : Dar al Fikr, 1986.
, Al Ittijâhât al Munharifah fî Tafsîr al Qurân al Karîm;
diterjemahkan oleh Hamim Ilyas dan Machnun
Husein, 1996, Jakarta: Raja Grafindo.
Esack, Farid, 1993, "Quranic Hermeneutic: Problem and
Prospect", dalam The Muslim World, vol. 83, no. 2
(April).
___________, 1997, Quran Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against
Oppression, Oxford: Oneworld.
Esposito, John L, 1995, The Oxford Encyclopedia of Modern
Islamic World, Vol. III, New York: Oxford University
Press.
Esposito, John. L. dan John O. Voll, 2001, Makers of
Contemporary Islam. New York: Oxford University
Press.
Farmawi, Abd Hayy, 1977. al Bidâyah fî al Tafsîr al Maudlû’î,
Kairo: Al Hadarah al ‘Arabiyah.
Farra, Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al, 1955, Ma'âni al
Qurân, ed. Ahmad Yusuf al Najjati [et.al], Kairo: al-
Kutub al-Misriyyah.
254
Fatik, Abu al Wafa al Mubasyar bin, 1954, Mukhtâr al Hikam
wa al Mahâsin al Kalîm, diedit oleh Abdurrahman
Darwi, Madrid:Matba` al Ma'hal al Mishri li Dirasah
al Islamiyah.
Gresh, Alain dan Dominique Vidal, 1990, An A to to Z of the East,
London : Zed Books Ltd.
Grondin, Jean, 1994, Introduction to Philosophical Hermeneutics.
Yale: Yale University.
Haddad, Yvonne Yazbeck, 1991, The C,ontemporery Islamic
Revival: A Critical Survey and Bibliography, New York:
Greewood Press.
Hakim, Muhammad Nur, 1995. Rekonstruksi Warisan Intelektual:
Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan Pemikiran
Islam Hassan Hanafi, Tesis, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah.
Hanafi, Hassan, 1977, Religious Dialogue and Revolution: Essays
an Judaism, Chistianity and Islam, Kairo: Anglo
Egyption Bookshop.
___________, 1981, "Mâdzâ Ta’nî al Yasâr al Islâmî", al Yasâr al
Islâmî Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: [t. p].
___________, 1981, A1 Yasâr al Islâmî Kitâbât fî Nahdlah Islâmiyat,
Kairo: Heliopolis.
255
___________1981, Dirâsât Islâmiyyah, cet. Ke-2, Kairo: Maktabah
Anjilu.
___________, 1983, Qadlâyâ Mu’âsirah Fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. 1
dan 2, Beirut:Dar al Tanwir.
___________, 1986, "The Preparation of Societies For Life in Peace
an Islamic Perspective" Makalah dalam seminar di
Osaka.
___________,1988, "A1 Ushûliyyah al Islamiyyah" dalam Al Din
wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, Vol. 6, Kairo:
Maktabah Madbuli.
___________,1988, Al Din wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol.1-
7, Kairo: Maktabah Madbuli.
___________,1988, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu al Mishriyyah.
___________,1988, Min al Aqîdah ilâ al Tsaurah, Kairo: Maktabah
Madbuli.
___________,1989, ‘al Salafiyah wa Ilmiyah fi Fikrinift al
Mua'shir’, dalam Majalah Al Azminah Volume III,.
___________,1992, Al Turats wa al Tajdid, Ccet. Ke-4, Beirut:
Muassasah al Jam'iyyah li al Dirasat wa al Nasyr wa
al tauzi'.
___________,1992, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab Mauqifunâ
Min Turâts al Gharbî,. Kairo:Dar al Fannani.
256
___________,1998, Humûm al Fikr wa al Wathan al Turâts wa al
‘Ashr,cet. Ke-2, Kairo: Dâr Qubâ li al Thaba’ah wa
ala Nasyr li al Tauzi’.
___________, 2000, Islam in The Modern World: Religion,
Ideology and Development Vol.I Kairo: Dar Kbaa.
___________, 2000, Islam in The Modern World: Tradition,
Revolution and Culture. Vol. II. Kairo: Dar Kbaa,.
___________, 2000, "Human subservience of nature: An Islamic
model", Tema seminar di Swedia, Dalam Islam in the
Modern World, vol. I, Kairo: Dar Kbaa.
Harb, Ali, 1993, Naqd al Nash, Beirut: Markaz al Tsaqafi al
‘Arabî.
Harun, Salman, 1999, Mutiara A1 Quran, Jakarta: Logos.
Harvey, Van A. "Hermeneutic" dalam Encychlopedia of
Religions, Val. IV, Ed. Mircea Eliade, New York:
Macmillan Publishing Co.
Hidayat, Komarudin, 1996, Memahami Bahasa Agama, Jakarta:
Yayasan wakaf Paramadina.
Ichwan Muhammad Nur, 1995, Hermeneutika al Quran: Analisis
Peta Perkembangan Tafsir al Quran Kontemporer,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,.
257
Jabiri, M. ‘Abid al, 1989, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî (vol.1) Takwîn al
‘Aql al Arabî, cet. IV, Bairut:Markaz Dirasat al
Nahdlah al 'Arabiah.
___________1990, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî (vol.2) Bunyah al ‘Aql al
Arabî, cet.III, Beirut: Markaz Dirasah al Wahdah al
'Arabiyah.
Jurnal Ulumul Quran, 1990, No. 5. Vo1.2, Jakarta: Aksara
Buana.
Jurnal Ulumul Quran, 1992, No 1 dan 2 Vol. III, Jakarta: Aksara
Buana
Jurnal Ulumul Quran, 1993, No. 4 vol.IV, Jakarta: Aksara
Buana.
Jurnal Ulumul Quran, 1994, Edisi Khusus No. 5 & 6 Volume V,
Jakarta: Aksara Buana.
Jurnal Filsafat Driyarkara, 1997, No. 2 Tahun XXIII,
Jakarta:STF Driyarkarya.
Kusnadiningrat, 1995, Teologi Pembebasan dalam Islam;
Analisis terhadap Gerakan Kiri Islam Hassan
Hanafi, Tesis, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
Lanur, Alex 1996, Sajarah Filsafat Kontemporer, Jakarta:
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Lapidus, Ira M, 1993, A History in Islamic Societies, Cambridge:
Cambridge University Press. Cetakan ke-2.
258
Luthfi, Sayyid Athif, 1981, Tajribah Mishr al Libraliyyât 1922-
1936, Kairo: al Markaz al Arabî li al Bahts wa al
Nasyr,.
Majalah Prisma,1984, No. 4, April, Jakarta: LP3ES.
Maraghi, Ahmad Musthafa, 1974, Tafsir Al Maraghi, Jilid 1,
Beirut: Dar Al Fikr.
Martin, Richad C., 1985, Approaches to Islam in Religious
Studies, Arizona: The University of Arizona Press.
___________, 1997, "membayangkan Islam dan Modernitas",
Terj. Bambang Sipayung, dalam Majalah Filsafat
Driyarkara No.2 Th, xxiii, Jakarta: STF Driyarkara.
Meuleman, Johan Hendrik, 1994,"Nalar Islami dan Nalar
Modern: berbagai tantangan dan jalan baru",
Jakarta: INIS.
___________, 1996, Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme:
Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun,
Yogyakarta:LKiS.
___________, 1997, "Pengantar Penyunting" dalam Muhammad
Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, Jakarta: INIS.
Muhsin, Amina Wadud, 1992, Quran and Women, Kuala
Lumpur: Fajar Bakti.
259
Muhtasib, Abd. Masjid Abdussalam, 1997, Visi dan Raradigma
Tafsir A1 Quran kontemporer, Terj. Moh. Maghfur
Wahid Bangil (Jawa Timur): Al Izzah.
Musa Asy’arie, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al
Quran, Yogyakarta : LESFI.
Musthafa, Halat, 1992, al Islâm al Siyâsî fî Mishr, Kairo: Markaz
al Dirâsât al Siyâsiyyât wa al Istiratijiyyât.
Muthahari, Murtada, 1989, Memahami al Quran, Terj. Tim Staf
YBT, Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.
Mutsanna, Abu Ubaidah Ma'mar bin al, 1954, Majâz al Quran,
ed. M. Fuad Sizkin, Kairo: Maktabah al-Khanaji.
Nanji, Azim, 1985, "Toward a Hermeneutic of Quranic and other
Narratives in lsmaili Thought", dalam Richard G.
Martin, Apparaaches To Islam in Religious Studies,
Arizona: The University of Arizona Press.
Nasr, Sayyed Hossein, 1989, Knowledge and the Sacred, State
University Press.
Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutics, Evanston: North Webster
University Press.
Poespoprodjo, 1987, Interpretasi, Bandung: Remaja Karya.
Rahman, Fazlur, 1982, Islam and Modernity, Chicago: The
University of Chicago Press.
260
___________, 1980, Major Themes of The Quran,
Chicago:Bibliothica Islamica.
Ridwan, Ahmad Hasan, 1996, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi
Gagasan Reeaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam,
Tesis, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Rippin, Andrew, (Ed.), 1988, Approaches to the History of
Interpretation of the Quran, Oxford: Claredon Press.
Robinson, James M., 1964, "Hermeneutic since Barth" dalam The
New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John
B.Cobb, New York: Herper and Row Publisher.
Rudianto, Bambang, dkk, 1993, Hakekat Pengetahuan dan Cara
Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta;: Gramedia Pustaka Utama.
Saenong, Ilham B., 2002, Hermeneutika Pembebasan, Bandung:
Teraju.
Shadr, Muhamrnad Baqir, 1990 ," Pendekatan tematik terhadap
Tafsir al Quran". Dalam jurnal UQ 4 Vol. 1, 1990, hlm.
28, Jakarta: Aksara Buana.
Shihab, M.Quraish, 1991, "Tafsir dan Modernitas", dalam Jurnal
Ulumul Quran, No. 8.
___________, 1994, Membumikan al Quran, Bandung : Mizan.
Shimogaki, Kazuo, 1988, Between Modernity and Postmodernity
The Islamic Left DR. Hassan Hanafi’s Thought: A
Critical Reading, Niigata: Chyutto Kenkyuzo.
261
___________, 1993, " Pemikiran Hassan Hanafi dan munculnya al
Yasar al Islami dalam Jurnal Islamika No. 1, Bandung :
Mizan dan MISSI,
Sudjiman dan A Van Zoest, 1992, Serba-Serbi Semiotika, Jakarta:
Gramedia.
Sulaiman, Maqatil Bin, 1975, Al Asybâh wa al Nazhâ`ir fî al
Quran al Karîm, ed. Abdullah Mahmud Syahatah,
Kairo: Ma’iah al Mishriyah al ‘Ammah li al-Kitab.
Sumaryono, E., 1993, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Syamsudin, Sahiron dan Abdul Mustaqim Ed., 2002, Studi al
Quran Koontemporer, Jogjakarta: Tiara Wacana.
Thahhan, Mahmud, 1985, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dar
al Tsaqafah.
Thair, Mushtafa Muhammad al Hadidi, Ittijâh al Tafsîr Fi al ’Ash
al Hadîts, Beirut: Mansyurat.t.t.
Verhaak C.,1989, Filsafat ilmu Pengetahuan Telaah Cara Kerja
Ilmu-ilmu, Jakarta: PT.Gramedia.
Wahid, Abdurrahman, 1994 “Hassan Hanafi dan
Eksperimentasinya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam, edisi Indonesia, Jogjakarta: LKis, , cet. Ke-2.
Yusuf, Yunan, 1992, "Karakteristik Tafsir A1 Quran di Indonesia
Abad ke-20", dalam Jurnal Ulumul Quran No. 4.
262
Zaid, Nashr Hamid Abu, 1994, Naqd al Khitâb al Dînî, Kairo: Sînâ
al Nasyr, cet. Ke-2.
Zayd, Nashr Hamid Abu, 1996, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr
Beirut: Markaz al Tsaqafi al ‘Arabî.
Zayd, Nashr Hamid Abu, 1997. Imam Syafi'i : -Moderatisme,
Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoirun Nahdhiyyin,
Yogyakarta: LKIS.
Tentang Penulis
I. Identitas diri dan keluarga
Nama : Adang Kuswaya
Tempat / Tgl. Lahir : Ciamis, 31 Mei 1972
Ayah & Ibu : Mohamad Omon & Esin Kuraesin
Isteri : Laily Atiqoh
Anak : 1. Adila Tara Nisawanda Dluha Alfani
2. Nur Adli Sania Alima Syabana
Alamat : Jl. Nakula Sadewa III No.28 RT 01 RW 03. Perum Garuda
Kav. 7 Kembang Arum, Dukuh, Kota Salatiga, Jawa Tengah
Pekerjaan : Staf Pengajar STAIN Jl.Tentara Pelajar no. 2 Kota Salatiga
Jawa Tengah
Alamat Email: [email protected]
II. Pendidikan Formal
Madrasah Ibtidaiyah Darussalam Ciamis lulus Th. 1985
Madrasah Tsanawiyah Darussalam Ciamis lulus Th. 1988
MAPK Darussalam Ciamis Jawa Barat lulus Th. 1991
IAIN (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung (S1) Jur. Tafsir Hadits lulus
Th.1995
IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (S2) lulus Th.1999
UIN Syahid Jakarta (S3) lulus Th.2006
III. Karya Ilmiah
Konsep Ummy Dalam Al Quran (Skripsi), Metodologi Penafsiran Al
Quran Menurut Hassan Hanafi (Tesis), Pemikiran Hermeneutika Al Quran
Hassan Hanafi: Deskripsi Analisis Terhadap Karya-Karya Hassan Hanafi
tentang Hermeneutika Al Quran (Disertasi).
Buku yang telah ditulis Penelitian Metodologi Para Mufasir al Quran
di Mesir (2007), Metode Tafsir Alternatif (2008, Cendekia Jogjakarta),
Metode Hermeneutika Hassan Hanafi (2009, Kerjasama Stain Press dan
Tiara Wacana Jogjakarta). Metode Tafsir Tradisional (2009, Tiara Wacana
Jogjakarta tahun 2009), Geliat Kajian Keislaman (2010, Mitra Cendekia),
dan Metode Tafsir Kontemporer (2011, PIP STAIN Press) yang di tangan
pembaca.
Tulisan-tulisan telah dimuat di beberapa Jurnal seperti Jurnal
Ijtihad Terakreditasi B, Atttabiyyah, dan Jurnal Lestuta Bandung. Tafsir
Sosio-tematik al-Qur’an: pengaruh hermeneutika dan pendekatan sosial
dalam metode tafsir tematik al-Qur’an dimuat di jurnal Ijtihad
Terakreditasi B, Vol. 9, No. 2, Desember 2009 191-213. Hermeneutika Al-
Qur’an: Suatu Pengantar, Jurnal Ijtihad Vol. 6, No. 2, Desember 2006: 269-
282. Model Penafsiran Muqatil Bin Sulaiman:Menelusur Tafsir Al-Qur’an
Pertama yang sampai di Generasi Masa Kini, Jurnal Ijtihad Vol. 8, No. 2,
Desember 2008: 179-190. Metode Tafsir Sosio-Tematik, Jurnal Ijtihad Vol.
10, No. 2, Desember 2009.