Download - dr mamo
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu kedokteran dewasa ini khususnya bidang pembedahan tidak terlepas
dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi. Anestesi sebagai salah satu cabang
ilmu kedokteran sangat berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena
dapat mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Kata anestesi berasal dari bahasa
Yunani a = tanpa dan aesthesis = rasa/sensasi yang berarti keadaan tanpa rasa sakit.
Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan
intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi lumbal
pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal subarakhnoid dicoba
oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara
injeksi kolumna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada
ruang epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada
bedah obstetri dan ginekologi.
Preeklampsia berat dan eklampsia merupakan risiko yang membahayakan ibu di
samping membahayakan janin melalui plasenta. Setiap tahun sekitar 50.000 ibu meninggal di
dunia karena eklampsia. Insiden eklampsia di negara berkembang berkisar dari 1:100 sampai
1:1700. Beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan.
Pada stadium akhir yang disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang. Jika eklampsia
tidak ditangani secara cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian karena
kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak.
Persalinan secara Sectio Caesaria adalah kelahiran bayi melalui abdomen dan insisi
uterus. Berbagai alasan untuk melakukan persalinan caesaria adalah posisi sungsang, distosia
dan persalinan caesaria sebelumnya maupun kehamilan dengan hipertensi. Sectio Caesaria
menempati urutan kedua setelah ekstraksi vakum dengan frekuensi yang dilaporkan 6%
sampai 15%. Sedangkan menurut statistik tentang 3.509 kasus Sectio Caesaria yang disusun
oleh Peel dan Chamberlain, indikasi untuk Sectio Caesaria adalah disproporsi janin panggul
21%, gawat janin 14%, plasenta previa 11% pernah Sectio Caesaria 11%, kelainan letak
janin 10%, pre eklamsi dan hipertensi 7% dengan angka kematian ibu sebelum dikoreksi 17%
dan sesudah dikoreksi 0,5% sedangkan kematian janin 14,5%.
1
Dalam persalinan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat mungkin terjadi saat
persalinan berlangsung. Nyeri karena persalinan terjadi karena kontraksi uterus, dilatasi
servik, selain itu, tindakan dalam persalinan seperti ekstraksi cunam, vakum, versi dalam,
versi luar, dan bedah caesar juga menimbulkan nyeri sehingga membutuhkan anestesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Preeklampsia Berat (PEB)
2
1. Pengertian
Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola
hidatidosa.
Preeklampsia dibagi lagi menjadi preeklampsia ringan dan berat.
Preeklampsia berat adalah suatu keadaan pada kehamilan dimana tekanan darah
sistolik lebih dari 160 mmHg atau diastolik lebih dari 110 mmHg ada dua kali
pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan ibu posisi tirah baring.
2. Etiologi
Salah satu yang dikemukakan ialah bahwa preeklampsia disebabkan iskemia,
plasenta dan rahim. Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta. Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak terutama
pada mola hidatosa, hidramnion, kehamilan ganda, akhir kehamilan, umur lebih 35
tahun, diabetes, peredaran darah dalam dinding rahim berkurang, maka keluarlah zat-
zat dalam placenta atau desidua yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi.
Penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui.
Banyak teori yang mencoba menerangkan penyebab penyakit tersebut, akan tetapi
tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima
harus dapat menerangkan hal-hal berikut:
a. Sebab bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda,
hidramnion, dan mola hidatosa.
b. Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan.
c. Sebab dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin
dalam uterus.
d. Sebab jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
e. Sebab timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang, dan koma
3. Klasifikasi
a. Preeklamsi Ringan, bila disertai keadaan berikut:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih diukur pada posisi berbaring
terlentang atau kenaikan diastole 15 mmHg atau lebih kenaikan sistole 30
mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan
jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
2) Edema secara umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat badan 1
3
kg atau lebih per minggu.
3) Protein urin pada pemeriksaan urin midstream atau kateter menunjukan + atau
++ atau 1 gr/liter.
b. Preeklamsi Berat
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Protein uria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
4) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan nyeri epigastrium.
5) Terdapat oedem paru dan sianosis.
B. Sectio Caesaria
1. Pengertian
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan
pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau suatu
histerektomia untuk janin dari dalam rahim.
Sectio caesaria adalah cara melahirkan janin dengan menggunakan insisi
pada perut dan uterus.
Syarat sectio caesaria adalah uterus dalam keadaan utuh dan berat janin di
atas 500 gram.
Jadi section caesaria dengan indikasi preeklampsia berat adalah proses
pengeluaran janin yang dapat hidup di luar kandungan dari dalam uterus ke dunia
luar dengan menggunakan insisi pada perut dan uterus karena adanya
hipertensi,edema dan proteinuria.
2. Indikasi dan Kontraindikasi Sectio Caesaria
Indikasi
a. Indikasi untuk ibu
Plasenta previa, distosia serviks, ruptur uteri mengancam, disproporsi chepalo
pelviks, preeklampsia dan eklampsia, tumor dan partus lama.
b. Indikasi untuk janin
1) Mal presentasi janin
a) Letak lintang
(1) Bila ada kesempitan panggul sectio caesaria adalah cara terbaik dalam
segala letak lintang dengan janin hidup.
(2) Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio
caesaria.
4
(3) Multipara letak lintang dapat lebih dulu dengan cara yang lain
b) Letak bokong
Dianjurkan sectio caesaria bila ada panggul sempit, primigravida, janin
besar, presentasi dahi dan muka bila reposisi dan cara lain tidak berhasil,
presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil, atau Gemeli.
2) Gawat Janin
Segera lakukan operasi agar tidak terjadi keracunan atau kematian janin, sesuai
dengan indikasi sectio caesaria.
Kontra indikasi
a. Janin mati atau berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin hidup kecil.
Dalam hal ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi.
b. Janin lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk sectio caesaria
ekstra peritoneal tidak ada.
c. Kurangnya pengalaman dokter bedah dan tenaga medis yang kurang memadai.
3. Teknik Sectio Caesaria
a. Sectio caesaria transperitonealis profunda.
b. Sectio caesaria klasik.
c. Sectio caesaria yang dilanjutkan histerektomi (cesarean hysterectomy).
d. Sectio caesaria transvaginal.
4. Komplikasi Sectio Caesaria
Walaupun jarang tetapi fatal adalah komplikasi emboli air ketuban yang dapat
terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya cairan ketuban ke dalam pembuluh
darah yang terbuka yang disebut sebagai embolus. Jika embolus mencapai pembuluh
darah pada jantung, timbul gangguan pada jantung dan paru – paru dimana dapat
terjadi henti jantung dan henti nafas secara tiba – tiba. Komplikasi lain yang dapat
terjadi sesaat setelah operasi caesar adalah infeksi yang banyak disebut sebagai
morbiditas pasca operasi.
C. Anestesi
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal.
Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan
yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi lokal yaitu teknik untuk
menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu.
1. Persiapan Pra Anestesi
5
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi
pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra
anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
o ASA I
Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa disertai kelainan faali,
biokimiawi ,dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
o ASA II
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
o ASA III
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
o ASA IV
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
o ASA V
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
o ASA VI
Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi:
6
1. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, dan muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla
palatina dan tonsilla pharingeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV : palatum durum saja
7
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
g. Ekstrimitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional.
2. Premedikasi Anestesi
Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi bukan hanya
untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obatan yang digunakan,
tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi
anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi
antara lain:
a.Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c.Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal pethidin
e.Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan
umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat
tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat
premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan
8
midazolam
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil
g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine
3.Regional Anestesi (Spinal)
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri
dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarakhnoid) dihasilkan bila
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat
lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki. Anestesi ini memberi
relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90
menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka
lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit
jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang
meninggi. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai
berikut:
Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X
di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
9
Pada sectio caesaria, regional anestesi lebih disukai karena risiko untuk ibu
dan berkaitan dengan Apgar score yang lebih baik dibanding pada general anestesi
(GA).
4.Blok Spinal (Subarakhnoid)
Pemasukan suatu anestetika lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk
menghasilkan blok spinal merupakan teknik yang sering digunakan pada tindakan
sectio caesaria (62%). Anestesi spinal mempunyai banyak keuntungan
diantaranya:
Tekniknya sederhana.
Onsetnya cepat.
Risiko keracunan sistemik lebih kecil.
Blok anestesi yang baik.
Perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangannya telah diketahui
dengan baik.
Pasien masih sadar sehingga mengurangi terjadinya aspirasi.
Pengaruh terhadap bayi minimal.
Potensi untuk hipotensi dengan teknik ini merupakan risiko terbesar bagi ibu,
yang disebabkan:
1) Perubahan kardiovaskular pada ibu
Yang pertama kali di blok pada analgesi subarakhnoid yaitu serabut saraf
preganglionik otonom, yang merupakan serat saraf halus (serat saraf tipe B).
Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi penurunan tahanan pembuluh tepi,
sehingga darah tertumpuk di pembuluh darah tepi karena terjadi dilatasi arteri,
arteriol dan post-arteriol. Besarnya perubahan kardiovaskuler tergantung pada
banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila hanya terjadi
penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan. Tetapi bila
disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi berat. Pada posisi
terlentang terjadi penurunan rata – rata tekanan darah, curah jantung (34%), dan
isi sekuncup (44%). Sedangkan denyut jantung mengalami kenaikan rata-rata
(17%). Pengaruh pengeluaran bayi terhadap hemodinamik menunjukkan kenaikan
rata-rata curah jantung (52%) dan isi sekuncup (67%). Sedangkan denyut jantung
menurun disertai kenaikan rata – rata tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan vena
sentral. Hal ini disebabkan karena masuknya darah dari sirkulasi uterus ke dalam
sirkulasi utama akibat kontraksi uterus
10
2) Pengaruh terhadap bayi
Pengaruh langsung zat analgetik lokal yang melewati sawar uri terhadap
bayi dapat diabaikan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca sectio
caesaria dengan analgesia subarakhnoid yaitu hipotensi yang menimbulkan
berkurangnya arus darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek tersebut
terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi. Bila tekanan darah
rata – rata turun melebihi 31%, arus darah uterus turun sampai 17%. Sedangkan
penurunan tekanan darah rata-rata sampai 50% akan disertai dengan penurunan
arus darah uterus sebanyak 65%.
Efek hipotensi terhadap bayi berupa perubahan denyut jantung, keadaan
gas darah, Apgar score, dan sikap neurologi bayi. Beberapa penulis melaporkan
bahwa pada pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia subarakhnoid
pada tindakan sectio caesaria, sering dijumpai bayi dengan Apgar score yang
rendah, lebih asidotik serta interval mulai menangis yang panjang. Lamanya
hipotensi lebih penting daripada besarnya hipotensi. pH arteri umbilical rendah
mencerminkan asidosis respiratorik maupun metabolik, sedangkan kelebihan basa
mencerminkan komponen metabolis saja (< -12mmol).
3) Anatomi Punggung untuk spinal anestesi
Secara anatomis dipilih segemen L2 kebawah pada penusukan oleh karena ujung
bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif
lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen – segmen lainnya. Lokasi
interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik
pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4-5
interspace.
4) Kontra indikasi spinal anestesi.
Kontra indikasi absolut
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intra kranial meninggi
Fasiltas resusitasi minim
Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan anestesi.
Kontra indikasi relatif
11
Infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
Infeksi sekitar suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
5) Persiapan Analgesi Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesi spinal seperti persiapan pada anestesi
umum. Hal – hal yang perlu diperhatikan dibawah ini :
Informed consent ( izin dari pasien ).
Pemeriksaan fisik.
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang, punggung, dan lain-
lainnya.
Pemeriksaan laboratorium, dianjurkan hemoglobin, haemotokrit, PT (prothrombin
time) dan PTT (partial thromboplastin time).
6) Teknik Spinal Anestesi
Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan berkaitan
keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat anestesi
lokal.
Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal pungsi,
tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi. Asisten harus
membantu memfleksikan posisi penderita.
Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titikl tertinggi krista iliaka kanan kiri akan
memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan
steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal no. 22 lebih
halus no. 23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap
bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah
dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang
12
terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid.
Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka
dengan kasa steril.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi hipotensi
diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000 ml NaCl atau
hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
7) Komplikasi pada Spinal anestesi
a) Hipotensi
Hipotensi disebabkan sympathectomy temporer, komponen blokade
midthoracic yang tidak dapat dihindari dan tidak diinginkan. Berkurangnya
venous return dan penurunan afterload menurunkan maternal mean arterial
pressure (MAP). Hal ini dapat disebabkan oleh karena posisi terlentang terjadi
kompresi parsial atau total vena cava inferior dan aorta oleh masa uterus.
b) Blokade Spinal total
Penyebab tersering, oleh karena pemberian dosis agen analgesia jauh
melebihi toleransi oleh wanita hamil. Hipotensi dan apneu cepat timbul dan harus
segera diatasi untuk mencegah henti jantung.
c) Kecemasan dan rasa sakit
Wanita dalam kondisi tersebut biasanya menyadari setiap manipulasi bedah
yang dilakukan dan menerima setiap perasat sebagai perasaan yang tertekan, ia
merasa tidak enak terhadap manipulasi – manipulasi diatas blokade spinal total
seringkali, derajat penghilang rasa nyeri dari analgesia spinal tidak adekuat.
d) Sakit kepala spinal (Pasca pungsi)
Kebocoran cairan serebrospinal dari tempat pungsi meninges dianggap
merupakan faktor utama timbulnya sakit kepala. Dengan tetap berbaring 24 jam
pascaoperasi, nyeri kepala jelas membaik pada hari ketiga dan menghilang pada
hari kelima.
e) Disfungsi kandung kencing
Dengan anelgesi spinal, sensasi kandung kencing mungkin dilumpuhkan
dan pengosongan kandung kencing terganggu selama beberapa jam setelah
persalinan. Akibatnya, distensi kandung kencing sering merupakan komplikasi
masa nifas.
f) Oksitosin dan hipertensi
13
Hipertensi yang ditimbulkan oleh ergonovi (Ergotrate) atau metilergonovin
(methergin) yang disuntikan setelah persalinan, sangat sering terjadi pada wanita
yang telah menerima blok spinal atau epidural
g) Arakhnoiditis dan meningitis
8) Penatalaksanaan
a) Hidrasi akut
Sebelum induksi harus dipasang infus intravena, dengan memberikan
cairan kristaloid sebanyak 1000 – 1500 ml tidak menimbulkan bahaya
overhidrasi. Dianjurkan pemberian cairan tidak mengandung dekstrosa, karena
infus dekstrosa 20 gr/jam atau lebih sebelum melahirkan menimbulkan
hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Hal ini disebabkan pankreas
bayi yang cukup umur akan menaikkan produksi insulin sebagai reaksi atas
glukosa yang melewati sawar uri.
b) Mendorong uterus kekiri
Untuk mempertahankan perfusi uteroplacenta. Diharapkan dapat mencegah
bahaya kompresi vena kava inferior dan aorta, sehingga mencegah sindroma
hipotensi terlentang.
c) Pemberian Vasopressor
Pemberian efedrin, seringkali dipakai untuk pencegahan maupun terapi
hipotensi pada pasien kebidanan. Obat ini merupakan suatu simpatomimetik non
katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak langsung. Meningkatkan
curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui stimulasi adrenegik alfa dan beta,
menimbulkan bronkhodilatasi melalui stimulasi reseptor beta 2.
d) Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat – obat narkotik, anestesi umum
maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktor – faktor
yang menyebabkan hal ini, yaitu :
Turunnya FRC sehingga kemampuan paru – paru untuk menyimpan O2
menurun.
Naiknya konsumsi oksigen.
Airway closure.
Turunnya cardiac output pada posisi supine.
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena :
Memperbaiki keadaan asam – basa bayi yang dilahirkan.
14
Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi.
Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan.
b) Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk:
Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa
dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume
darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali
darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
c) Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan
15
intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar
dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan.
BAB III
LAPORAN KASUS
16
A. Identitas Penderita
No. RM : 01-19-30-03
Nama : Ny. Sri Lestari
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Keden RT/RW 3/7 Dalangan, Tawangsari,
Sukoharjo
Diagnosis pre operatif : Preeklampsia Berat (PEB) dengan oedem pulmo secungravida
hamil preterm BDP
Macam Operasi : SCTP- Em
Macam Anestesi : Regional anestesi dengan teknik spinal anestesi
Tanggal masuk : 30 – 04 - 2013
Tanggal Operasi : 03 – 05 - 2013
B. Pemeriksaan Pra Anestesi
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Ingin melahirkan, kaki oedema
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien G2P1A0 38 tahun hamil 33 minggu kiriman RSUD Sukoharjo.
Pasien masih merasakan gerakan janin, kenceng-kenceng belum teratur dirasakan.
Air ketuban belum dirasakan keluar. Pusing(-) Mual(-), Muntah(-), kejang (-),
pandangan dirasakan kabur dibanding biasanya (-), sesak(-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat alergi obat, makanan disangkal.
Riwayat asma disangkal.
Riwayat DM disangkal.
Riwayat hipertensi diketahui saat hamil anak I.
Riwayat operasi disangkal.
Makan terakhir : jam 12.00
Minum terakhir : jam 14.30
2. Pemeriksaan :
Keadaan Umum: KU baik
Tensi : 160/100 mmHg
Nadi : 90x / menit
Suhu Axiller : 36,60 C
17
Respirasi : 22x / menit
Produksi Urin : 30 cc/1jam
Berat badan : 60 kg
Mata : Konjungtiva anemis ( -/- ), sklera ikterik ( -/- ), mukosa basah,
mata tidak cekung
Hidung : Sekret ( - ), deviasi septum (-)
Mulut : Buka mulut > 3 cm (Mallampati II)
Leher : gerak leher bebas, TMD > 6 cm
Thorax : retraksi (-)
Cor : BJ I – II intensitas N, reguler, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor-sonor
A: SDV +/+, RBH -/+
Abdomen : soepel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, presbo, memanjang,
bokong belum masuk panggul, his (-), DJJ (+)
VT : V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak
mencucu di belakang, belum masuk PAP
Ekstremitas : akral dingin
- -
- -
Oedem
- -
+ +
CRT : < 2 detik
Turgor kulit : normal
3. Pemeriksaan laboratorium pre operasi:
Hb : 12,3 ProteinUrin : +3
Hct : 37 Na: 139 K: 3,5 Cl: 105
AE: 4,12 Albumin: 3,0
AL : 13,5 SGOT: 22
AT : 158 SGPT: 11
Ur : 13 PT: 10,5
18
Cr : 0,4 APTT: 27,6
LDH : 288 GDS: 60
Gol darah: O HbsAg: non reaktif
4. Thorax Foto
Oedem pulmo grade I
5. Analisis Gas Darah
PH: 7,470
BE: 1,4
PCO2: 35,0
PO2: 144,0
Hct: 29
HCO3: 24,9
Total CO2 : 25,9
O2 saturasi 93,0
6. Konsul
Paru : ISNA, oedem pulmo belum dapat disingkirkan
Jantung : EKG 106x/menit, normoaxis, hipertensi dalam kehamilan
7. Kesimpulan :
Seorang wanita umur 38 tahun G2P1A0 preterm dengan PEB pro SCTP-Em plan
RASAB.
Problem : hipertensi, oedem pulmo
Potensial problem : perdarahan, desaturasi, aspirasi
Status fisik : ASA II E
C. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
c. Infus DL/ NaCl 0,9% 12 tpm
2. Jenis Anestesi : Regional anestesi
3. Teknik anestesi : Anestesi Spinal
4. Premedikasi : Metoklopramid 10mg
5. Induksi : Lidokain 75 mg, Fentanil 25 mcg
6. Maintenance : O2 4 lpm
7. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 10 menit, kedalaman
19
anestesi, cairan, perdarahan
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
D. Tata Laksana Anestesi
1. Di Ruang Persiapan
a. Periksa persetujuan operasi dan identitas penderita.
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital :
T : 160/88 mmHg N : 83 X/menit
R : 18 X/menit S : 36,8 ºC
c. Cek obat dan alat anestesi.
d. Infus DL/ NaCl 0,9% 12 tpm
e. Premedikasi Metoklopramid 10 mg IV
f. Posisi supine
g. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
2. Di Ruang Operasi
a. Jam 16.45 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang.
b. Jam 16.50 pasien dipasang infus HES, mulai dilakukan anestesi spinal dengan
prosedur sebagai berikut:
1) Pasien diminta duduk dengan punggung fleksi maksimal.
2) Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bawah pasien
dengan menggunakan larutan Iodin 1% dan alkohol 70%.
3) Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum spinal no. 25 pada bidang median dengan arah 10-30
derajat terhadap bidang horizontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra
lumbal 3-4.
4) Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan menetesnya
cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan Lidokain 75 mg dan Fentanil 25 mcg.
5) Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban.
6) Pasien dikembalikan pada posisi telentang. Oksigen 4 liter/menit.
c. Jam 17.00 Operasi dimulai, tanda vital dimonitor.
d. Jam 17.05 diberi Canul O2 4lt/menit.
e. Jam 17.15 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin perempuan, berat badan
1800 gram, APGAR 6-7-8, anus (+)
f. Jam 17.55 infus HES habis diganti infus RL.
20
g. Jam 18.55 SAB dilanjutkan menjadi GAET dengan induksi propofol 100 mg,
fentanyl 100 mcg, NMBA rocuronium 40 mg. Maintenance O2 : N2O 2:2,
sevofluran 1 vol %
h. Jam 19.30 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Monitoring selama operasi.
Jam Tensi (mmHg) Nadi (X/menit) Sp O2 (%)
17.00 160/100 80 100%
17.30 165/100 80 100%
18.00 180/110 80 100%
18.30 185/110 85 100%
19.00 180/110 85 100%
19.30 165/105 85 100%
3. Di Ruang Pemulihan
Skala bromage
Setelah operasi selesai dilakukan, skor = 3 (pasien tidak mampu fleksi
pergelangan kaki)
15 menit setelah operasi, skor = 2 (pasien tidak mampu fleksi lutut)
30 menit setelah operasi, skor = 1 (pasien tidak mampu ekstensi lutut)
45 menit setalah operasi, skor = 0 (gerakan penuh dari tungkai)
Kesadaran : CM, E4V5M6
Tensi : 172/112 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Respirasi : NRM 8 lpm
Sp02 : 100%
TERAPI CAIRAN
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 60 kg)
EBV= 85 cc x 63kg = 5100 cc
ABL = 20% x 5100 cc = 1020 cc
Puasa = 2 x 4 x 60 = 480 cc (terpenuhi)
21
Maintenance = 85 cc/jam
Stres Operasi = 6 x 60 = 360 cc/jam
Kebutuhan jam I : 445 cc
Kebutuhan jam II : 445 cc
Kebutuhan jam III : 445 cc
BALANCE CAIRAN DURANTE OPERASI
Input Output Balance
Jam Kris Kol Drh Drh Urin PP+SO+M
17.00
Sd
18.00
300 cc 100 cc 50 cc 450 cc +100cc
18.00
Sd
19.00
250 cc 250 cc 100 cc 40 cc 450 cc +160 cc
19.00
Sd
19.30
200 cc 50 cc 40 cc 225 cc -55 cc
Pemeriksaan laboratorium post operasi:
Hb : 13,4
Hct : 38
AE: 4,25
AL : 31,1
AT : 205
GDS: 122
SGOT: 107
SGPT: 38
Protein total : 6,8
Albumin : 3,6
Na : 137
K : 3,6
Cl : 105
22
Terapi ICU
Ceftriaxone 1gr/12jam
Ketorolac 30mg/8jam
Asam Tranexamat 500mg/8jam
MgSo4 4gr/6jam
BAB IV
PEMBAHASAN
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi pada wanita
hamil yang akan melakukan persalinan. Karena dalam melakukan tindakan anestesi harus
23
memperhatikan teknik anestesi yang akan dipakai demi menjaga keselamatan ibu, bayi, serta
kehamilan itu sendiri. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat melakukan
tindakan anestesi pada wanita hamil, maka kita harus mengetahui perubahan-perubahan
fisiologis wanita hamil serta efek masing-masing obat anestesi
Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki keuntungan yaitu:
Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan sadar.
Relaksasi otot yang lebih baik.
Analgesi yang cukup kuat.
A. Permasalahan dari segi medik
1. Cito emergensi.
2. Menyangkut 2 nyawa yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Kemungkinan terjadinya aspirasi.
4. Diphragma terdorong keatas, sehingga timbul sesak nafas.
5. Oedem pulmo
B. Permasalahan dari segi bedah
1. DIT (Delivery Intake Time) :
Kecepatan ahli bedah untuk mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit
setelah induksi.
2. Perdarahan, terjadi karena atonia uteri yang dapat disebabkan karena :
a. Grande multipara
b. Gemelli
c. Solutio Placenta
d. Polihidramnion
e. Preeklampsia, Eklampsia, Sindrom HELLP
f. Anemia gravis, Anemia sickle cell
g. Hepatic failure
h. Renal failure
i. Diabetes mellitus
j. Kelainan sistem hematopoetik, misalnya leukemia
k. Partus lama, partus infeksius
l. Dehidrasi
m. Perdarahan post partum
n. Depresi obat-obat anastesi
24
o. Trauma
C. Permasalahan dari segi Anestesi
Pada pasien dengan anastesi regional spinal dapat terjadi :
a. Hipotensi
b. Kejang
c. Hipoventilasi
d. Mual-muntah
e. Post operatif headache
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot pernapasan,
abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami kesulitan bernapas.
Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat.
BAB V
KESIMPULAN
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan
anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Anestesi dalam
25
persalinan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Dalam hal ini
pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan
anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan
memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat
menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus
benar-benar diperhatikan agar tidak mendepresi janin, dimana hampir semuanya dapat
mendepresi nafas janin.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi spinal pada operasi SCTP
emergency pada penderita perempuan, umur 38 tahun, status fisik ASA II E, dengan
diagnosis PEB dengan susp oedem pulmo secundigravida hamil preterm BDP.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
TUGAS
1. Skor Aldrete
Skor Aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi
di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya
pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang
dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran,
26
sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila
jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien
boleh keluar dari ruang pemulihan.
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh
Terangsang oleh stimulus verbal
Tidak terangsang oleh stimulus verbal
2
1
0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea)
2
1
0
Tekanan Darah
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi
Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi
2
1
0
Oksigenasi
SpO2 > 92% pada udara ruangan
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 >
90%
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan
2
1
0
Fungsi Motorik
Dapat menggerakkan 4 ekstremitas
Dapat menggerakkan 2 ekstremitas
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas
2
1
0
2. Skor Steward
Skor Steward adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien anak-anak selama
observasi di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh
tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang dinilai antara lain
pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien boleh keluar dari
ruang pemulihan. Skor ini biasa digunakan untuk anak-anak.
27
Kriteria Skor
Pergerakan
Gerak bertujuan
Gerak tak bertujuan
Tidak bergerak
2
1
0
Pernafasan
Batuk, menangis
Pertahankan jalan nafas
Perlu bantuan
2
1
0
Kesadaran
Menangis
Bereaksi terhadap rangsangan
Tidak bereaksi
2
1
0
3. Skor Robertson
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh, mata terbuka, berbicara
Tertidur ringan, ringan sekali mata terbuka
Mata terbuka atas perintah atau bila namanya dipanggil
Respon terhadap cubitan di telinga
Tidak ada respon
4
3
2
1
0
Jalan Nafas
Membuka mulut dan atau batuk atas perintah
Tidak ada batuk volunter, jalan nafas bebas tanpa bantuan
Obstruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi tanpa bantuan bila
ekstensi
Tanpa bantuan terjadi obstruksi
3
2
1
0
Aktivitas
Mengangkat tangan dengan perintah
Gerakan tidak berarti
Tidak bergerak
2
1
0
28
4. Skor Bromage
Pengukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur blok motor adalah
bromage skor. Pada Skala ini intensitas blok motorik dinilai dengan kemampuan pasien
untuk menggerakan ekstremitas bawah. Pasien dapat dipindah ke bangsal jika skor < 2.
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
5. Skor Apache
Skor apache adalah suatu sistem penilaian untuk memprediksi kematian pasien
ICU.
Variabel
FisiologisRange Abnormal Tinggi
Range
NormalRange Abnormal Rendah
+4 +3 +2 +1 0 +1 +2 +3 +4Rectal
temperature
(ºC)
>41 39-40,9 38,5-
38,9
36-38,4 34-35,9 32-33,9 30-31,9 < 29,9
Mean Arterial
Pressure
(mmHg)
> 160 130-159 110-129 70-109 50-69 < 49
Heart rate > 180 140-179 110-139 70-109 55-69 40-54 < 39
Respiratory rate > 50 35-49 25-34 12-24 10-11 6-9 < 5
Oxygenation:
AaDO2 or PaO2
(mm Hg)
a. FIO2 > 0.5
record AaDO2
b. FIO2 <0.5
record PaO2
>500 350-499 200-349 < 200
PO2 > 70 PO2 61-
70
PO2 55-
60
PO2 <55
Arterial pH
(preferred)
Serum HCO3
(venous mEq/l)
(not preferred,
but may use if no
ABGs)
>7,7
> 52
7,6-7,69
41-51,9
7,5-7,59
32-40,9
7,33-7,49
22-31,9
7,25-
7,32
18-21,9
7,15-
7,24
15-17,9
< 7,15
< 15
Serum Sodium >180 160-179 155-159 150-154 130-149 120-129 111-119 < 110
29
(mEq/l)
Serum
Potassium
(mEq/l)
>7 6-6,9 5,5-5,9 3,5-5,4 3-3,4 2,5-2,9 < 2,5
Serum
Creatinine
(mg/dl)
Double point
score for acute
renal failure
>3,5 2-3,4 1,5-1,9 0,6-1,4 < 0,6
Hematocrit (%) >60 50-59,9 46-49,9 30-45,9 20-29,9 < 20
AL (total/uL) >40 20-39,9 15-19,9 3-14,9 1-2,9 < 1
Glasgow Coma
Score (GCS)
Score = 15 minus
actual GCS
A. Total Acute Physiology Score (sum of 12 above points)
B. Age points (years)
<44 = 0
45-54 = 2
55-64 = 3
65-74 = 5
>75 = 6
C. Chronic Health Points (see below)
Chronic Health Points: If the patient has a history of severe organ system insufficiency or is immunocompromised as defined
below, assign points as follows:
5 points for nonoperative or emergency postoperative patients
2 points for elective postoperative patients
Organ insufficiency or immunocompromised state must have been evident prior to this hospital admission and conform to the
following criteria:
Liver – biopsy proven cirrhosis and documented portal hypertension; episodes of past upper GI bleeding attributed to
portal hypertension; or prior episodes of hepatic failure/encephalopathy/coma.
Cardiovascular – New York Heart Association Class IV.
Respiratory – Chronic restrictive, obstructive, or vascular disease resulting in severe exercise restriction (i.e., unable to
climb stairs or perform household duties; or documented chronic hypoxia, hypercapnia, secondary polycythemia, severe
pulmonary hypertension (>40 mmHg), or respirator dependency.
Renal – receiving chronic dialysis.
Immunocompromised – the patient has received therapy that suppresses resistance to infection
(e.g.,immunosuppression, chemotherapy, radiation, long term or recent high dose steroids, or has a disease that is
sufficiently advanced to suppress resistance to infection, e.g., leukemia, lymphoma, AIDS).
Skor total APACHE = jumlahkan semua poin dari A+B+C
Interpretasi Skor Apache
30
Score Death Rate (%)
0 – 4 4
5 – 9 8
10 – 14 15
15 – 19 25
20 – 24 40
25 – 29 55
30 – 34 75
>34 85
6. Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap
rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor
Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan
visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan
intubasi.
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
Kelas 2palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan
tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas
Kelas 3
Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat,
sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup
seluruhnya oleh lidah
Kelas 4
Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding
posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya
oleh lidah
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi M (1989). Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta: CV Infomedia.
2. Mochtar R (1998). Sinopsis Obstetri, jilid I edisi 2, cetakan I. Jakarta: EGC.
3. Hovatta O & Lipasti A (1983). Causes of Stllbirth; a Clinice pathological study of 243
patients, Brj Obstetri Gynaecology.
4. Dudley L (1992). Maternal Mortality a Associated With Hipertensive Disorders of
Pregnancy in Africa, Asia, Latin America and Carambean. Br Obstetri Gynaecol; 99:
347-553.
5. Crowther C (1985). Eclampsi at Harare Maternity Hospital; An Epidemiological Study.
Sout Art Med J; 68: 927-929.
6. Erica R (1989). Division of family health. World Health Organization Geneva,
Switzerland & Sw Armstrong (Freelance Journalis London, England).
7. Martius G (1997). Bedah Kebidanan Martius (Edisi 12). Jakarta: EGC.
8. Wiknyosastro H (2005). Ilmu Kebidanan Edisi 3, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
32
9. Bobak , L (2004). Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
10. Prawirohardjo S (2005). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
11. Cunningham FG (1995). Obstetri Williams, edisi 18, editor Devi HR. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
12. Michael BD (1994). Penuntun Praktis Anestesi. cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
13. Ery L (1998). Belajar Ilmu Anestesi. Semarang: FK Universitas Diponegoro.
14. Snow JC (1982). Manual of Anasthaesiology 2 nd edition, Boston: Little Brown and
Company.
15. Wirjoatmojo K (2000). Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1
Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
33