Download - DM Tipe 1 Dengan Ketoasidosis - Vero
Diabetes Melitus Tipe 1 dengan Ketoasidosis
Veronica
102013014
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh ketiadaan absolut insulin atau in-
sensitivitas terhadap insulin. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme lemak, kar-
bohidrat, dan protein. Diabetes Melitus tipe 1 (DMT1) terjadi akibat kerusakan sel beta pankreas se-
hingga terjadi defisiensi insulin secara absolut. Terdapat gambaran klinis pada DMT 1 yaitu klasik,
silent diabetes, dan ketoasidosis diabetes (KAD). Ketoasidosis diabetikum merupakan trias dari
hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang terlihat terutama pada pasien diabetes tipe 1. Ketoasidosis
diabetikum merupakan komplikasi akut yang serius pada DM tipe 1 terutama pada pasien anak dan
merupakan kondisi gawat darurat yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Diabetes melitus tipe 1 dengan ketoasidosis yang
meliputi anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, gejala klinis, diagnosis band-
ing, etiologi, epidemiologi, penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosisnya.
Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat pribadi pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan lingkungan tem-
pat tinggal. Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain:1
- Apakah terdapat mual, muntah dan nyeri di bagian perut?
- Apakah nyeri disertai dengan rasa cepat lelah?
- Apakah terdapat nyeri di kepala?
- Apakah penglihatan anak menjadi kabur?
- Apakah terdapat peningkatan frekuensi buang air kecil yang berleibih?
- Bagaimana intake cairan apakah sering timbul rasa haus serta keinginan untuk minum
air yang banyak?
- Bagaimana dengan nafsu makan apakah anak cepat lapar?
- Apakah terjadi penurunan berat badan yang cepat terhadap anak?
1
- Apakah dulu ibu anak memberi makanan padat yang terlalu dini kepada anak (kemungk-
inan alergi)?
- Apakah terdapat pernafasan cepat dan dalam?
- Apakah terjadi penurunan kesadaran pada anak?
- Apakah nafas berbau seperti aseton?
- Apakah anak kekurangan cairan yang berat/ dehidrasi?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh dimulai dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
Pada pemeriksaan fisik, sesuai dengan skenario didapatkan kesadaran somnolen, keadaan umum
sakit sedang
Tekanan darah : 120 kali/menit
Suhu tubuh : 37oC
Tekanan nadi : 120 x/menit
RR : 40 kali, napas cepat, dalam, bau keton positif
Turgor kulit menurun
Capillary refill 3 detik
Pemeriksaan Penunjang
• Glukosa: >250 mg / dL. Klinisi dapat melakukan tes glukosa dengan fingerstick sambil me-
nunggu hasil lab.2 Pada sebagian pasien di DKA, glukosa serum akan berada di antara 300 dan
1000 mg / dL (16,6 dan 55,5 mmol/L). Kadar glukosa mencerminkan derajat kehilangan carian
ekstraselular. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran darah ginjal menurun dan
menurunnya ekskresi glukosa.2
• Natrium: Hiperglikemia mengakibatkan efek osmotik sehingga air dari ekstravaskuler ke ruang
intravaskular. Untuk setiap kelebihan 100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh seki-
tar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah
yang sesuai.2
• Kalium: kalium perlu diperiksa secara berkala, ketika asidosis kadar kalium normal atau sedikit
meningkat (3-5 mmol per liter). Ketika diberi pemberian insulin maka kalium akan menurun.
Insulin dapat diberikan jika kadar kalium di atas 3.3 mmol/L.
• Bikarbonat: digunakan untuk mengukur anion gap. Sehingga dapat menentukan derajat asidosis.
• Sel darah lengkap (CBC) menghitung: sel darah putih (> 15 X 109/ L), ditandai pergeseran ke
kiri, mungkin infeksi yang mendasari KAD.2
2
• Gas darah arteri (analisa gas darah): pH <7,3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pen-
gukuran pH. pH vena pada pasien dengan DKA adalah 0,03 lebih rendah dari pH arteri. Karena
perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan tidak signifikansi klinis, maka hampir tidak ada
alasan untuk melakukan lebih menyakitkan.2
• Keton: positif. Kadar keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat sampai 30
mM/L. Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat, namun berbeda dengan
keton lainnya aseton tidak berperan dalam terjadinya asidosis. Betahidroksibutirat dan asetoase-
tat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD ringan) sampai 15:1 (KAD berat).
• Beta hidroksibutirat: Serum atau hidroksibutirat beta kapiler dapat digunakan untuk mengikuti
tanggapan terhadap pengobatan. Tingkat lebih besar dari 0,5mmol / L dianggap normal, dan
tingkat 3 mmol / L berkorelasi dengan ketoasidosis diabetikum.2
• Urinalysis
Cari ketosis glycosuria dan urin. Gunakan ini untuk mendeteksi mendasari infeksi saluran
kencing. 2
• Osmolalitas: Pasien dengan ketoasidosis diabetes yang berada dalam keadaan koma biasanya
memiliki osmolalitas> 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari ini pada pasien yang
koma, mencari penyebab lain.2
• Tingkat BUN meningkat: BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati,
kadar normal BUN pada anak 5-15 mg/ dl.
Pada pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:
• CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke arah koma, selain
sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.
• Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.
Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:
• EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium. Perubahan karakter EKG akan terjadi
apabila status kalium terlalu ekstrem.
• Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu: Interval QT meman-
jang, depresi segmen ST, gelombang T mendatar atau difasik, gelombang U, interval PR
memanjang, blok SA.
Diagnosis banding
Gastroenteritis
3
Gatroenteritis adalah infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh berbagai enterogen termasuk
bakteri, virus, dan parasit, tidak toleran terhadap makanan tertentu atau mencerna toksin yang di-
tandai dengan muntah-muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang
menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit. Faktor penyebab gastroenteritis an-
tara lain faktor infeksi yang meliputi infeksi internal yang merupakan penyebab utama diare pada
anak antara lain disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella, Shigella, Infeksi virus: entero virus
(virus echo,coxsakria,poliomyelitis), infeksi parasit: cacing (ascaris, tricuris, stongyloides, protozoa,
dan jamur), infeksi parental ialah infeksi diluar alat pencernaan seperti tongsilitis, bronkopenumoni,
ensefalitis,dll. Faktor malaborbsi karbohidrat, protein, lemak, faktor makanan, makanan basi,
makanan beracun, dan faktor psikologis meliputi rasa takut dan cemas. Manifestasi klinik, mula-
mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat. Nafsu makan berkurang atau tidak
ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai lendir atau darah. Warna tinja makin
lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu. Gejala muntah dapat timbul se-
belum/sesudah diare dan dapat disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai tampak yaitu berat badan turun, tur-
gor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan
banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan de-
hidrasi berat. Komplikasi gastroenteritis yang penting adalah dehidrasi, dan aspek yang paling pent-
ing adalah rehidrasi. Antibiotika jarang diperlukan untuk pengobatan.3
Intoksikasi
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Ciri-ciri keracunan umumnya tidak
khas dan dipengaruhi oleh cara pemberian,apakah melalui mata,paru,lambung atau melalui sun-
tikan. Karena hal ini mungkin mengubah tidak hanya kecepatan absorpsi dan distribusi suatu bahan
toksik,tetapi juga jenis dan kecepatan metabolismenya,pertimbangan lain meliputi perbedaan respon
jaringan. Hanya beberapa racun yang menimbulkan gambaran khas seperti pupil sangat kecil (pin-
point),muntah,depresi,dan hilangnya pernapasan pada keracunan akut morfin dan alkaloid. Kulit
muka merah,banyak berkeringat,tinitus,tuli,takikardia dan hiperventilasi sangat mengarah pada ker-
acunan salisilat akut (aspirin). Riwayat menurunnya kesadaran yang jelas dan cepat,disertai dengan
gangguan pernapasan dan kadang-kadang henti jantung pada orang muda sering dihubungkan den-
gan keracunan akut dekstroprokposifen,terutama bila digunakan bersamaan dengan alkohol.4
Diagnosis kerja
Diabetes Melitus Tipe 1 dengan Ketoasidosis
4
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara ge-
netic dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pe-
rusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin.5
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile di-
abetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berku-
rangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-
pulau Langerhans pankreas. Pada IDDM terjadi defisiensi insulin secara absolut.5
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan den-
gan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat
badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh
terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.5
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimu-
nitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya
infeksi pada tubuh.6
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani
secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang
terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas terutama berhubungan dengan edema sere-
bri yang terjadi sekitar 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD. Ketoasidosis Diabetik Ke-
toasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak di-
tangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirku-
lasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan
growth hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan ginjal disertai
penurunan penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan keadaan hiperglikemia dan hiper-
osmolar. Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (hidroksibutirat dan asetoasetat) akan
menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan di-
uresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD men-
cakup hiperglikemia (gula darah > 11 mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikar-
bonat < 15 mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia. Ke-
toasidosis diabetik pada umumnya dikategorisasi berdasarkan derajat keparahan asidosis, dari
ringan (pH < 7,30; bikarbonat , 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10) dan berat (pH <
7,10; bikarbonat < 5,4). Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (beta-hidroksibutirat
dan asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis
5
akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Secara klinis, ketoasidosis
terbagi ke dalam tiga kriteria, yaitu ringan, sedang, dan berat, yang dibedakan menurut pH serum.6
Etiologi
Ketoasidosis diabetikum di dasarkan oleh adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang
nyata, yang dapat disebabkan oleh insulin diberika dengan dosis yang kurang, keadaan sakit atau in-
feksi pada DM, contohnya : pneumonia, kolestisitis, iskemia usus, dan apendisitis
Keadaan sakit dan infeksi akan menyertai resistensi insulin. Sebagai respon terhadap stres
fisik (atau emosional), terjadi peningkatan hormon – hormon ”stres” yaitu glukagon, epine-
frin, norepinefrin, kotrisol dan hormon pertumbuhan. Hormon – hormon ini akan
meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan mengganggu penggunaan glukosa dalam
jaringan otot serta lemak dengan cara melawan kerja insulin. Jika kadar insulin tidak
meningkatkan dalam keadaan sakit atau infeksi, maka hipergikemia yang terjadi dapat
berlanjut menjadi ketoasidosis diabetik.6
Epidemiologi
Kejadian ketoasidosis diabetik pada anak meliputi wilayah geografik yang luas dan bervariasi
bergantung onset diabetes dan sebanding dengan insidensi IDDM di suatu wilayah. Frekuensi
di Eropa dan Amerika Utara adalah 15% - 16%. Di Kanada dan Eropa, angka kejadian KAD
yang telah dihospitalisasi dan jumlah pasien baru dengan IDDM telah diteliti, yaitu sebanyak
10 dari 100.000 anak. Diabetes mellitus tipe I (IDDM) sering terjadi terutama pada anak-anak
dan remaja, 98% DM pada anak dan remaja adalah tipe I, karena sifatnya, dulu dikenal seba-
gai Juvenile onset diabetes atau ketosis prone diabetes, dan gejala-gejala klinis yang tidak per-
sis sama dengan tipe II pada umumnya gejala klinis bersifat akut, dengan riwayat klasik
adanya poliuria, polidipsi, dan polifagi, kehilangan berat badan merupakan tanda yang khas.S-
tatistik internasional tingkat diabetes tipe 1 meningkat. Di Eropa, Timur Tengah, dan
Australia,tingkat diabetes tipe 1 meningkat 2-5% per tahun. Skandinavia memiliki
tingkat prevalensi tertinggi untuk DM tipe 1 (yaitu, sekitar 20% dari jumlah total penderita
DM), sementara Cina dan Jepang memiliki tingkat prevalensi terendah, dengan kurang
dari 1% dari semuapenderita diabetes. Beberapa perbedaan ini mungkin berhubungan
dengan masalah definisi dan kelengkapan pelaporan. Risiko KAD pada IDDM adalah 1 – 10%
per pasien per tahun. Risiko meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau
sebelumnya pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak
dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit (ter-6
masuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan). Pengobatan dengan in-
sulin yang tidak teratur juga dapat memicu terjadinya KAD.2
Patofisiologi
Pada DM tipe I, dikenal 2 bentuk dengan patofisiologi yang berbeda.6
Tipe IA, diduga pengaruh genetik dan lingkungan memegang peran utama untuk terjadinya
kerusakan pankreas. HLA-DR4 ditemukan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
fenomena ini. Tipe IB berhubungan dengan keadaan autoimun primer pada sekelompok pen-
derita yang juga sering menunjukkan manifestasi autoimun lainnya, seperti Hashimoto dis-
ease, Graves disease, pernicious anemia, dan myasthenia gravis. Keadaan ini berhubungan
dengan antigen HLA-DR3 dan muncul pada usia sekitar 30 - 50 tahun. Pada DM tipe I
cenderung terjadi ketoasidosis diabetik.
Ketoasidosis diabetikum terjadi karena defisiensi insulin, peningkatan hormon yang meliputi
hormon glukagon, kortisol, GH, dan katekolamin, percepatan katabolisme dari lemak (lipoli-
sis) dari jaringan lemak meningkatkan sirkulasi FFA yang mana di hepar dirubah menjadi
benda keton .Interaksi berbagai faktor penyebab defisiensi insulin merupakan kejadian awal
sebagai lanjutan dari kegagalan sel beta secara progresif. Keadaan tersebut dapat berupa
penurunan kadar atau penurunan efektivitas kerja insulin akibat stres fisiologik seperti sepsis
dan peningkatan kadar hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin. Secara bersamaan,
perubahan keseimbangan hormonal tersebut akan meningkatkan produksi glukosa, baik dari
glikogenolisis maupun glukoneogenesis, sementara penggunaan glukosa menurun. Secara
langsung, keadaan ini akan menyebabkan hiperglikemia (kadar glukosa > 11 mmol/L atau >
200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan elektrolit, dehidrasi, penurunan laju filtrasi
glomerulus, dan hiperosmolaritas.Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam
lemak bebas, oksidasi akan turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam ase-
toasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya asi-
dosis metabolik (pH < 7,3). Keadaan ini juga diperparah oleh semakin meningkatnya asidosis
laktat akibat perfusi jaringan yang buruk. Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmo-
lar, asidosis, dan gangguan elektrolit akan semakin memperberat ketidak-seimbangan hor-
monal dan menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk semacam siklus. Akibatnya,
dekompensasi metabolik akan berjalan progresif. Manifestasi klinis berupa poliuria, polidip-
sia, dehidrasi, respirasi yang panjang dan dalam, akan menurunkan nilai pCO2 dan buffer asi-
dosis, menyebabkan keadaan berlanjut menjadi koma. Derajat keparahan KAD lebih terkait
dengan derajat asidosis yang terjadi: ringan (pH 7,2 – 7,3), moderat (pH 7,1 – 7,2), dan berat
(pH < 7,1). Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia biasanya 7
didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi cairan. Hiperkalemia serum
terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium dari intrasel ke ekstrasel karena adanya asido-
sis akibat defisiensi insulin dan penurunan sekresi tubular renal. Terjadinya penurunan kadar
fosfat dan magnesium serum juga akibat pergeseran ion. Hiponatremia terjadi akibat efek
dilusi akibat osmolaritas serum yang tinggi. Kadar natrium dapat diukur dengan menam-
bahkan kadar natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL.
Peningkatan osmolaritas serum akibat hiperglikemia juga akan menyebabkan peningkatan
osmolaritas intraselular di otak. Koreksi hiperglikemia serum yang dilakukan secara cepat da-
pat memperlebar gradien osmolaritas serum dan intraserebral. Cairan bebas kemudian akan
memasuki jaringan otak dan menyebabkan edema serebri beserta peningkatan risiko herni-
asi. Oleh sebab itu, resusitasi cairan dan koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara berta-
hap dengan monitoring ketat.7
Gejala Klinis
Manifestasi Klinik pada DM tipe 1 meliputi polidipsia karena peningkatan kadar gula darah,
air akan tertarik keluar dari sel menyebabkan dehidrasi intraseluler dan stimulasi rasa haus
di hipotalamus. Poliuria hiperglikemia-glukosuria menyebabkan diuresis osmotik. Polifagia
sel mengalami starvasi karena cadangan karbohidrat, lemak, dan protein berkurang (tidak
ada pengisisan depot yang biasa dilakukan oleh insulin). Berat badan turun, cairan tubuh
berkurang karena diuresis osmotik, protein, dan lemak berkurang karena dipecah sebagai
sumber energi. Lelah Metabolisme tubuh tidak berjalan sebagaimana seharusnya.
Hiperglikemia (≥ 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria. Anak dengan DM tipe-1 cepat sekali
menjurus ke-dalam ketoasidosis diabetik yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis
yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe-1,
penderita harus segera dirawat inaKetoasidosis diabetikum biasanya timbul dengan cepat, bi-
asanya dalam rentang waktu <24 jam, sedangkan pada KHH tanda dan gejala timbul lebih per-
lahan dengan poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan menetap selama beberapa hari
sebelum masuk rumah sakit. Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu
tanda dan gejala yang sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan
pada pasien dewasa (lebih sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen.
Meskipun penyebabnya belum dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pen-
gosongan lambung dan ileus oleh karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah di-
implikasikan sebagai penyebab dari nyeri abdominal. Asidosis, yang dapat merangsang pusat
pernapasan medular, dapat menyebabkan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul).6
KAD timbul secara bertahap. Gejala- gejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas 8
sebagai bagian dari diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai em-
pat minggu sebelumnya dan pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan
penurunan berat badan yang bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bu-
lan sebelum dengan rata-rata penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut
yang timbul dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di mana dapat
dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah KAD. Pe-
meriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti buah atau
pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui sistem respirasi dan
tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang kering, takikar-
dia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai letargi
yang berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH yang diperawatan
dengan penurunan kesadaran. Pada KHH, obtundasi mental dan koma lebih sering dikete-
mukan sebagai akibat dari hiperosmolaritas pada sebagian besar pasien. Pada beberapa
pasien KHH, tanda neurologis fokal (hemiparesis atau hemianopsia) dan kejang dapat men-
jadi tanda klinis dominan. Meskipun kejadian pencetus utama adalah infeksi, kebanyakan
pasien datang dengan normotermi atau hipotermi, oleh karena adanya vasodilatasi kulit atau
ketersediaan substrat energi yang rendah.6,7
Penatalaksanaan
Pasien anak dan remaja (<20 tahun)
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravaskular dan ekstravaskular serta
perbaikan perfusi ginjal. Namun kebutuhan ekspansi volume vaskular harus diimbangkan
dengan risiko edema serebral yang dikaitkan terhadap pemberian cairan cepat. Cairan dalam
satu jam pertama harus salin isotonik (0,9%) dengan laju 10 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada
pasien dengan dehidrasi berat, protokol ini dapat diulang, namun re-ekspansi awal tidak
boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam pertama terapi. Terapi cairan lanjutan dihitung un-
tuk menggantikan defisit cairan secara seimbang dalam waktu 48 jam. Secara umum, NaCl
0,45 -0,9% (tergantung kadar natrium serum) dapat diberikan dengan laju 1,5 kali kebutuhan
maintenance 24 jam (kurang lebih 5 ml/kgBB/jam) dan akan memberikan rehidrasi yang mu-
lus dengan penurunan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam.6,7
Setelah fungsi ginjal terjaga dan kalium serum diketahui kadarnya, maka cairan infus harus
ditambahkan 20 – 30 mEq/L kalium (2/3 KCl atau kalium-asetat dan 1/3 KPO4). Segera sete-
lah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dL, cairan harus digantikan dengan dekstrosa 5% 9
dan 0,45 – 0,75% NaCl dengan kalium sebagaimana digambarkan di atas. Terapi harus diser-
tai dengan pemantauan status mental untuk mendektsi secara cepat perubahan-perubahan
yang dapat mengindikasikan kelebihan cairan, dengan potensi menyebabkan edema serebral
simptomatik.7
Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu merupakan pili-
han terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ <3,3 mEq/L) disingkirkan, bolus in-
sulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu insulin regular 0,1 unit/
kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak direkomen-
dasikan untuk pasien anak dan remaja; infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat
dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar
glukosa plasma dengan laju 50- 75 mg/dL/jam sama dengan regimen insulin dosis lebih
tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama,
periksa status hidrasi; apabila memungkinkan infus insulin dapat digandakan setiap jam sam-
pai penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.7
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di KHH maka
dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6
unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju pembe-
rian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk mempertahakan kadar
glukosa di atas sampai asidosis di KAD atau perubahan kesadaran dan hiperosmolaritas di
KHH membaik.
Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik dibandingkan den-
gan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada darah merupakan metode
yang disarankan untuk memantau KAD. Metode nitroprusida hanya mengukur asam asetoase-
tat dan aseton serta tidak mengukur beta-hidroksibutirat yang merupakan asam keton
terkuat dan terbanyak. Selama terapi, beta-hidroksibutirat diubah menjadi asam asetoasetat,
sehingga dapat memberikan kesan ketoasidosis memburuk bila dilakukan penilaian dengan
metode nitroprusida. Oleh karena itu, penilaian keton serum atau urin dengan metode nitro-
prusida jangan digunakan sebagai indikator respons terapi.8
Selama terapi untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam untuk
10
mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum (terutama KAD).
Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak diperlukan, pH vena (yang bi-
asanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial) dan gap anion dapat diikuti untuk
mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan, insulin regular baik diberikan subkutan
maupun intramuskular setiap jam, nampaknya sama efektif dengan insulin intravena untuk
menurunkan kadar glukosa dan badan keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali dis-
arankan menerima dosis “priming” insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus
intravena dan separuh sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin reg-
ular 0,1 unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.7
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum bikarbonat
≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih dipuasakan maka in-
sulin dan penggantian cairan intravena ditambah suplementasi insulin regular subkutan se-
tiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa, suplementasi ini dapat
diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap peningkatan 50 mg/dL glukosa darah
di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar glukosa ≥300 mg/dL.7
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang sesuai keperluan un-
tuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam setelah regi-
men campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan tertunda insulin subkutan da-
pat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih antara terapi in-
sulin intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan. Pasien dengan riwayat diabetes
sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang mereka terima sebelumnya sebelum awi-
tan KAD atau KHH dan disesuaikan dengan kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagno-
sis diabetes baru, dosis insulin inisial total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling
tidak dalam dua dosis dengan regimen yang mencakup insulin kerja pendek dan panjang sam-
pai dosis optimal dapat ditentukan. Pada akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat dipulangkan
dengan antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.
Medikamentosa
Kalium
11
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang dapat ter-
jadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi volume
menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium
dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan ter-
dapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk
setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5
mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada
kasus-kasus ini, penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pem-
berian insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.7
Koreksi asidosis metabolik
Pada pasien anak, tidak ada penelitian acak terhadap subyek dengan pH<6,9. Bila pH tetap
<7,0 setelah hidrasi dalam satu jam pertama, nampaknya pemberian natrium bikarbonat 1-2
mEq/kg selama 1 jam dapat dibenarkan. Natrium bikarbonat ini dapat ditambahkan ke dalam
lauran NaCl dan kalium yang dibutuhkan untuk membuat larutan dengan kadar natrium tidak
melebihi 155 mEq/L. Terapi bikarbonat tidak dibutuhkan bila pH ≥7,0.
Fosfat
Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun fosfat serum da-
pat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi fosfat menurun dengan terapi in-
sulin. Penelitian-penelitian acak prospektif gagal menunjukkan adanya keuntungan terapi
penggantian fosfat terhadap keluaran klinis KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menye-
babkan hipokalsemia berat tanpa tanda-tanda tetani. Meskipun demikian, untuk mengindari
kelemahan jantung dan otot skeletal serta depresi pernapasan akibat hipofosfatemia, terapi
penggantian fosfat secara hati-hati dapat diindikasikan pada pasien dengan disfungsi jantung,
anemia atau depresi pernapasan dan pada pasien dengan konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/
dL. Pada saat dibutuhkan, kalium fosfat 20-30 mEq/L dapat ditambahkan ke dalam cairan
pengganti.
Komplikasi
1. Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat dijumpai
pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis tinggi. Kedua komplikasi ini
12
diturunkan secara drastis dengan digunakannya terapi insulin dosis rendah. Namun, hipog-
likemia tetap merupakan salah satu komplikasi potensial terapi yang insidensnya kurang dila-
porkan secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa pada saat kadar glukosa
mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti penurunan laju dosis insulin dapat menu-
runkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa dengan hipoglikemia, penambahan kalium
pada cairan hidrasi dan pemantauan kadar kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dan
KHH dapat menurunkan insidens hipokalemia.7
2. Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal lebih dari 25
tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan, melalu pemeriksaan eko-ense-
falogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD selama terapi. Meskipun demikian,
pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah
terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan pada KAD
bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral simtomatik, yang jarang ditemukan pada
pasien KAD dan KHH dewasa, terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi
pada diabetes awitan pertama.
3. Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres napas akut de-
wasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan koloid os-
motik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal. Perubahan ini disertai dengan penu-
runan progresif tekanan oksigen parsial dan peningkatan gradien oksigen arterial alveolar
yang biasanya normal pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa subset pasien
keadaan ini dapat berkembang menjadi ARDS. Dengan meningkatkan tekanan atrium kiri dan
menurunkan tekanan koloid osmotik, infus kristaloid yang berlebihan dapat menyebabkan
pembentukan edema paru (bahkan dengan fungsi jantung yang normal). Pasien dengan pen-
ingkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru pada pemeriksaan fisis dapat meru-
pakan risiko untuk sindrom ini. Pemantauan PaO2 dengan oksimetri nadi dan pemantauan
gradien AaO2 dapat membantu pada penanganan pasien ini. Oleh karena infus kristaloid da-
pat merupakan faktor utama, disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus cairan lebih
rendah dengan penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak responsif dengan peng-
gantian kristaloid.7
4. Asidosis metabolik hiperkloremik13
Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan pada kurang
lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua pasien KAD akan mengalami
keadaan ini setelah resolusi ketonemia. Asidosis ini tidak mempunyai efek klinis buruk dan
biasanya akan membaik selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang baik. Derajat keber-
atan hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh karena NaCl
normal mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54 mmol/L lebih tinggi dari kadar
klorida serum sebesar 100 mmol/L. Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion
adalah: kehilangan bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam na-
trium dan kalium; penurunan availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal, menyebabkan re-
absorpsi klorida lebih besar; penurunan kadar bikarbonat dan kapasitas dapar lainnya pada
kompartemen-kompartemen tubuh. Secara umum, asidosis metabolik hiperkloremik mem-
baik sendirinya dengan reduksi pemberian klorida dan pemberian cairan hidrasi secara hati-
hati. Bikarbonat serum yang tidak membaik dengan parameter metabolik lainnya harus di-
curigai sebagai kebutuhan terapi insulin lebih agresif dan pemeriksaan lanjutan.7
5. Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD dan KHH mempredisposisi pasien terhadap trombosis,
seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran jantung rendah, peningkatan
viskositas darah dan seringnya frekuensi aterosklerosis. Sebagai tambahan, beberapa peruba-
han hemostatik dapat mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada saat osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk profi-
laksis pada pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun demikian belum ada data yang
mendukung keamanan dan efektivitasnya.
Pencegahan
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak dengan risiko tinggi KAD
terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi terhadap individu dengan riwayat keluarga den-
gan IDDM juga akan membantu menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi kese-
hatan oleh dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan komplikasi KAD dari 78% hingga
hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai tanda dan gejala dia-
betes harus dilakukan agar diagnosis dini menjadi lebih mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.
14
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan dengan edukasi algorit-
mik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang merujuk pada episode KAD harus segera ditan-
gani. Pada kasus rekurensi KAD yang multiple, selain dengan pemberian insulin berkala, juga
diberikan edukasi yang baik, evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat pelayanan ke-
sehatan.7
Prognosis
Dubia. Angka kematian telah menurun secara signifikan dalam 20 tahun terakhir dari 7,96% men-
jadi 0,67%. Tingkat kematian masih tinggi di negara berkembang dan di kalangan non-dirawat di
rumah sakit pasien. Prognosis memburuk dengan usia dan sifat dan keparahan dari patologi yang
mendasari pengendapan (infark miokard terutama, sepsis dan pneumonia). Kehadiran koma pada
presentasi, hipotermia atau oliguria persisten merupakan indikator prognosis yang buruk. Edema
serebral tetap menjadi penyebab paling umum kematian, terutama pada anak muda dan remaja.
Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab kematian
utama adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka
kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%. Ketoasidosis diabetic sebesar 14% dari seluruh
rumah sakit penerimaan pasien dengan diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak
muda berumur 10 tahun, ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes.
Kesimpulan
Berdasarkan skenario, anak perempuan 7 tahun yang mengalami lemas disertai nyeri perut dan
kadang-kadang muntah disertai buang air kecil yang sedikit sekali didiagnosa menderita diabetes
melitus tipe 1 dengan ketoasidosis. Dimana keadaan ini ditandai oleh hiperglikemia, asidosis, dan
ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. KAD dan hipoglikemia
merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius yang dikategorikan kedalam kegawat-
daruratan karena KAD memiliki mortalitas yang cukup tinggi. Terapi utamanya adalah rehidrasi
dan insulin. Prognosis menjadi buruk apabila tidak ditangani dengan tepat dan cepat.
Daftar Pustaka
15
1. Charles, YM Bee. Point of care ketone testing: screening for diabetic ketoacidosis at the emer-
gency department. Singapore Journal Medicine: 2007.
2. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL. Harrison’s principals of internal medicine. USA: The Mc-
Graw- Hill Inc; 2008.
3. Syamsi RM. Vade- mecum pediatri. Ed 13. Jakarta : EGC, 2005.
4. Sudiono H, Iskandar I, Halim SL, Santoso R, Sinsanta. Patologi Klinik Urinalisis. Edisi ke-3.
Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2009. H. 43-6. Patofisiologi, kon-
sep Klinis, Proses-Proses Penyakit, Volume 2, Edisi 6, hal. 1261. Sylvia A.
Price. Jakarta: EGC, 2005.
5. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
6. TM, Wallace, Mathews. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ke-
toacidosis. QJ Med: 2004.
7. Kitabchi, AE. Management of hyperglycemic crises ini patients with diabetic. University of
Tennesse, Division of Endrocionology: January 2001.
16