Transcript

DISKUSI SURVEILANS EPIDEMIOLOGI Posted on December 3rd, 2010 at 2:31 PM by pipit-puspita-sari Category: Uncategorized Penyakit malaria dan demam berdarah merupakan penyakit yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Prediksi kejadian demam berdarah dengue dan malaria di suatu wilayah, dapat dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimalminimal dan siklus 35 tahun sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Berikut contoh Surveilans epidemiologi penyakit malaria dan demam berdarah di suatu wilayah : GRAFIK 1

1.

Analisis Grafik

Grafik 1 merupakan grafik kasus malaria di suatu wilayah pada tahun 1992-1996. sumbu x menunjukan tahun saat data mengenai kasus malaria diambil, yaitu dari tahun 1992-1996. Sumbu y menunjukan jumlah kasus malaria yang ditemukan di wilayah tersebut. Dari grafik dapat diketahui kasus malaria secara umum di wilayah tersebut tidak mengalami peningkatan maupun penurunan yang signifikan, hanya pada tahun 1994 kasus malaria mengalami penurunan yang cukup banyak. Untuk malaria Tropicana, yang disebabkan oleh Plasmodium Falciparum, dapat dilihat di grafik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sedangkan untuk malaria yang lain (yang disebabkan oleh plasmodium selain Plasmodium Falciparum) dari tahun ke tahun mengalami penurunan jumlah kasus. 2.

Potensi masalah yang dapat terjadi : Dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janinnya.

Di daerah endemic malariawanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit malaria dibandingkan wanita yang tidak hamil. Kemudahan infeksi tersebut terjadi karena kekebalan ibu hamil yang menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan prevalensi densitas parasit malaria berat (yang disebabkan oleh Plasmodium Falciparum).

3. Data yang diperlukan untuk mendukung dugaan potensi masalah di atas antara lain : data jumlah ibu hamil, data jumlah kematian ibu hamil, data jumlah kematian janin, dan data angka kematian bayi. GRAFIK 2

1.

Analisis Grafik

Grafik 2 merupakan grafik kasus DBD dan curah hujan tahun 2007-2009. Sumbu x menunjukan bulan saat data diambil mulai dari bulan Januari 2007 sampai Desember 2009. Terdapat 2 sumbu y, yaitu y1 (sebelah kanan gambar) yang menunjukan jumlah kasus DBD dan sumbu y2 (sebelah kiri gambar) menunjukan curah hujan tiap bulan. Kasus DBD pada 3 bulan pertama (Januari, Februari, Maret) pada setiap tahunnya (2007-2009) mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Grafik tersebut juga menunjukan jumlah penderita DBD yang meninggal. Curah hujan selama tahun 2007-2009 cenderung tidak menentu setiap bulannya. Jumlah kasus DBD tertinggi (selama tahun 2007-2009) terjadi pada bulan Februari 2008 (913 kasus) dan kasus DBD terendah terjadi pada bulan Agustus 2008 (66 kasus). Di dalam grafik juga ditunjukan jumlah penderita DBD yang meninggal. Total ada __ penderita DBD yang meninggal selama 3 tahun (2007-2009), dengan jumlah kematian tertinggi terjadi pada bulan April 2009, yaitu sebanyak 9 kasus kematian. 2. Hubungan curah hujan dengan kasus DBD :

Hubungan curah hujan dengan kasus DBD dapat dilihat dari 3 hal, yaitu : a. Breeding place

Pengaruh curah hujan dengan breeding place atau tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sangat erat. Curah hujan tinggi memungkinkan banyak bermunculannya breeding place, namun demikian curah hujan yang tinggi juga dapat menyapu breeding place yang ada, baik yang alami maupun artificial. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa curah hujan dapat meningkatkan dan menurunkan kasus DBD. Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada musim hujan populasi

nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue. Breeding place juga dapat dipengaruhi oleh pengolahan sampah. Apabila saat curah hujan tinggi, pengelolaan sampah tidak dilakukan dengan baik, maka akan meningkatkan jumlah breeding place di lingkungan sekitar. b. Adaptasi nyamuk

Perbedaan antara datangnya musim hujan dan musim kemarau serta perbedaan lamanya musim hujan dan kemarau menyebabkan pengaruh pada perubahan bionomik nyamuk Aedes aegypti. Kemampuan adaptasi nyamuk Aedes aegypti sangat tinggi terhadap perubahan pola iklim dan cuaca bahkan telur dapat bertahan pada kondisi kering dan panas tanpa air hingga 4 bulan. c. Kelembaban dan suhu

Musim hujan dan musim kemarau memiliki pengaruh pada tingkat suhu lingkungan. Saat pergantian musim hujan ke musim kemarau, kondisi suhu udara berkisar antara 23-31oC, ini merupakan range suhu yang optimum untuk perkembangbiakan nyamuk. GRAFIK 3

Grafik 3 merupakan data ABJ (Angka Bebas Jentik) dari pemantauan warga melalui perkumpulan dasawisma. Berdasarkan grafik 2 dan grafik 3 di atas terdapat keterkaitan antara curah hujan, ABJ (Angka Bebas Jentik), dan kasus DBD pada bulan April sampai November tahun 2009. dari kedua grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada saat curah hujan tinggi dan ABJ tinggi maka kasus DBD mengalami penurunan. Sedangkan pada saat curah hujan rendah dan ABJ rendah maka kasus DBD naik. Hal ini disebabkan saat curah hujan tinggi dapat menyapu breeding place yang ada, baik yang alami maupun artificial sehingga jumlah jentik Aedes Aegypti berkurang (ABJ tinggi). Masalah potensial yang terjadi berdasarkan grafik 2 dan grafik 3 tersebut adalah peningkatan angka kematian. Peningkatan angka kematian dapat terjadi jika penanganan terhadap penderita DBD tidak segera dilakukan dengan cepat dan tepat.

Read More Comments

November 7DESAIN STUDI EPIDEMIOLOGI Posted on November 7th, 2010 at 12:52 PM by pipit-puspita-sari Category: Uncategorized 1. Case Control Studi kasus control merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (disebut kasus) dan disebut orang-orang yang tidak berpenyakit (disebut control), lalu membandingkan frekuensi paparan pada kedua kelompok. Kemudian di ikuti selama waktu tertentu ke belakang (backward tracing ) dan pada akhir penelusuran dilakukan penentuan status keterpaparan. Pada desain ini laju waktu tidak dapat diketahui karena kejadian penyakit diukur lebih dulu sehingga perjalanan paparan tidak dapat diketahui seberapa jauh waktunya dan seberapa lama waktu dibutuhkan untuk terjadinya suatu penyakit.

2. Cohort

Metode kohort lebih menekankan pada aspek perjalanan paparan. Studi yang diawali dengan penentuan kelompok terpapar dan kelompok tidak terpapar. Kemudian di ikuti selama waktu tertentu ke depan ( forward tracing ) dan pada akhir pengamatan dilakukan penentuan status penyakit.

3. Cross Sectional Studi cross sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan. Pada kasus thypoid dengan pendekatan cross sectional, populasi dipilih secara acak. Dari random sampling didapatkan adanya keterpaparan dan menderita thypoid (E+D+), terpapar tetapi tidak menderita thypoid (E+D-) dan kelompok tidak terpapar menderita thypoid (E-D+), serta tidak terpapar dan tidak menderita thypoid (ED-).

Keterangan : E+ = Kelompok Terpapar D+ = Menderita Penyakit

E- = Kelompok Tidak Terpapar Contoh Implementasi desain studi pada kasus : Kasus :

D- = Tidak Menderita Penyakit

Suatu penelitian ingin mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit thypoid pada anak-anak. Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor risiko terjadinya penyakit Thypoid adalah Kebiasaan jajan di sekolah dan kebiasaan cuci tangan sebelum makan. Jelaskan bagaimana penelitian tersebut akan dilakukan dengan desain penelitian yang berbeda; 1. Case control Untuk kasus di atas, studi case control dilakukan dengan membagi populasi (anak-anak sekolah) ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kasus (berpenyakit thypoid) dan kelompok kontrol (tidak berpenyakit thypoid). Dari masing-masing kelompok, kemudian dilakukan pelacakan riwayat pada pengalaman pemaparan pada penyebab atau faktor risiko yang dicurigai/sedang diteliti (pada setiap unit populasi). Kemudian dilacak riwayat pengalaman pemaparannya terhadap faktor risiko ke masa yang lalu:dari setiap unit populasi. Populasi dengan kasus atau penyakit Thypoid memiliki paparan kebiasaan jajan di sekolah dan tidak mencuci tangan dan kelompok kontrol memiliki kebiasaan tidak jajan di sekolah dan sering cuci tangan.

2.

Cohort

Di dalam penelitian dengan desain studi kohort untuk mengetahui faktor yang diduga sebagai faktor risiko terjadinya penyakit Thypoid pada anak-anak dapat dilakukan dengan membedakan antara kelompok terpapar (terpapar faktor risiko jajan di sekolah dan tanpa cuci tangan maupun jajan di sekolah dan cuci tangan) dan kelompok kontrol (tidak jajan di sekolah dan sering cuci tangan) dari populasi yang sehat. Dimana kedua kelompok tersebut seimbang (matched). Kedua kelompok tersebut selanjutnya diikuti secara longitudinal selama kurun waktu tertentu ke masa depan dan kurun waktu telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan observasi terhadap insidensi kasus. Dan dilihat jumlah (kumulatif) insidensi penyakit Thypoid pada kelompok yang terpapar (terpapar faktor risiko jajan di sekolah dan tanpa cuci tangan maupun jajan di sekolah dan cuci tangan) dan kelompok kontrol (tidak jajan di sekolah dan sering cuci tangan). di sekolah dan tanpa cuci tangan maupun jajan di sekolah dan cuci tangan) dan kelompok kontrol (tidak jajan di sekolah dan sering cuci tangan).

3. Cross sectional Di dalam penelitian untuk kasus di atas dengan menggunakan desain studi Cross sectional untuk mengetahui faktor yang diduga sebagai faktor risiko terjadinya penyakit Thypoid pada anak-anak dapat dilakukan dengan menentukan sampel yang dilakukan dengan pencuplikan random (random sampling) agar deskripsi dalam sampel mewakili (representatif) populasi sasaran. Pada populasi dilakukan pencuplikan (random), lalu dikelompokkan kelompok terpapar dan berpenyakit Thypoid (E+,D+), terpapar dan tidak berpenyakit Thypoid (E+,D-), tak terpapar dan berpenyakit Thypoid (E-,D+), tak terpapar dan tak berpenyakit Thypoid (E-,D-).

Read More Comments

November 3

STAKEHOLDER DAN PERANANNYA DALAM MASALAH MALARIA DAN PD3I Posted on November 3rd, 2010 at 7:41 AM by pipit-puspita-sari Category: Uncategorized Stakeholder adalah orang-orang dan atau badan yang berkepentingan atau terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. 1. Malaria Ada beberapa Stakeholder yang dapat berperan dalam masalah penyakit malaria antara lain : a. Departemen Kesehatan b. Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten, bagian Pemberantasan Penyakit c. Puskesmas d. Perangkat Desa dan Kader Kesehatan Peran masing-masing Stakeholder : a. Departemen Kesehatan Peran Departemen Kesehatan yaitu membuat kebijakkan mengenai pengendalian malaria, yaitu : 1. Diagnosa Malaria harus terkonfirmasi atau Rapid Diagnostic Test. 2. Pengobatan Menggunakan Combination Therapy/ ACT 3. Pencegahan penularan malaria dengan kelambu ( Long Lasting Insekticidal Net ) 4. Kerjasama lintas sektor dalam forum gebrak malaria dan lintas program 5. Memperkuat Desa Siaga dengan pembentukan Pos Malaria Desa (Posmaldes ) b. Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten, khususnya bidang Pemberantasan Penyakit Peran : Membuat kebijakan dalam pengendalian vektor penyakit malaria dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan tersebut antara lain : 1. Pelatihan petugas 2. Penemuan aktif penderita 3. Penatalaksanaan kasus dan pengobatan 4. Pengendalian vector, antara lain : a. Penemuan penderita malaria baik secara aktif melalui kegiatan Mass Blood Survey ( MBS ) maupun pasif ( rutin puskesmas ) b. Pembagian kelambu berinsektisida kepada masyarakat miskin, ibu hamil, bayi dan balita c. Screening malaria bagi ibu hamil saat kunjungan trimester pertama pada tenaga kesehatan d. Penyemprotan dinding luar rumah ( Indoor Residual Sprying ) 5. Pos malaria desa 6. Penyediaan sarana ( mikroskop, RDT ) bahan laboratorium dan obat-obatan (ACT) c. Puskesmas Peran : Memberikan penyuluhan langsung terhadap masyarakat yang bekerja sama dengan kader masyarakat. d. Perangkat Desa dan Kader Kesehatan Peran : Mengerahkan masyarakat untuk berperan aktif dalam melaksanakan program yang dibuat oleh Dinas Kesehatan setempat. 2. PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) PD3I adalah salah satu program Nasional yang indikator keberhasilannya tergantung dari kabupaten/kota untuk menggerahkan desa-desanya agar dapat mencapai UCI (Universal Child Immunization) yaitu cakupan imunisasi harus mencapai diatas 80% dari seluruh sasaran

populasinya. Penyakit yang dapat di cegah tersebut adalah TBC, Tetanus, Diptheri, Pertusis, Polio, Campak dan Hepatitis B. Penyakit ini disamping dapat menimbulkan kematian, kesakitan juga kecatatan, bahkan apabila tidak ditangani secara maksimal dapat menular dan mengakibat kejadian luar biasa (KLB). Salah satunya upaya pencegahan yang menyeluruh hanya dengan pemberian imunisasi. Namun sangat disayangkan cakupan pemberian imunisasi dibeberapa kabupaten di Indonesia masih sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan adanya peran stakeholder untuk mengoptimalkan program yang telah dicanangkan. Ada beberapa Stakeholder yang dapat berperan dalam masalah penyakit malaria antara lain : a. Dinas Kesehatan Membuat dan menetapkan kebijakan tentang pemberian imunisasi. b. Dinas pendidikan Membuat program pemberian imunisasi pada sekolah dasar. c. Puskesmas Membuat program pengontrolan pemberian imunisasi pada masyarakat. d. Posyandu Membuat program pemberian imunisasi dasar secara berkala kepada bayi dan balita. Membuat program penyuluhan pemberian imunisasi kepada ibu ibu dan remaja ataupun masyarakat. e. Kelurahan Peran Kelurahan dalam PD3I adalah bekerjasama dengan RW setempat untuk mengadakan program posyandu. f. Kader kesehatan Kader kesehatan sebagai stakeholder berperan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya imunisasi. Sehingga diharapkan masyarakat bersedia untuk mengikuti program imunisasi. g. Keluarga Keluarga, terutama orang tua juga dapat berperan dalam PD31. Salah satunya adalah dalam pengambilan keputusan kesehatan bagi anak-anaknya. Khususnya pengambilan keputusan untuk mengikutsertakan anaknya dalam kegiatan imunisasi.


Top Related