Transcript

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangPerkembangan yang terjadi dalam hubungan internasional didorong oleh globalisasi. Globalisasi mampu memperluas ruang lingkup interaksi antarnegara melalui perkembangan teknologi dan informasi. Negara sudah bukan lagi menjadi satu-satunya aktor yang berperan dalam interaksi antarnegara, meskipun masih menjadi yang utama. Aktor-aktor non-negara semakin bermunculan dari yang berbentuk organisasi hingga individu. Selain itu, peran media dalam memengaruhi cara pandang masyarakat menjadikan media sebagai aktor yang mampu berperan dalam mendorong pemerintah untuk memutuskan sebuah kebijakan. Aktor-aktor tersebut, baik negara maupun non-negara dapat terlibat secara langsung dalam aktifitas negosiasi, seperti yang terdapat dalam salah satu bentuk diplomasi, yaitu diplomasi publik. Dalam diplomasi publik, proses negosiasi atau perundingan dapat dilakukan bukan hanya melibatkan aktor-aktor utama yaitu negara, tetapi juga aktor-aktor non-negara, seperti yang akan dibahas dalam tulisan ini. Seperti dalam kasus pencapaian referendum Aceh melalui SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) yang dibentuk oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Pada tahun 1999, SIRA resmi dibentuk sebagai lembaga yang memfasilitasi para pemuda Aceh untuk melakukan kampanye dalam mendukung referendum bagi Aceh. Melalui SIRA, GAM melakukan kampanye-kampanye secara internasional demi memperoleh dukungan dari dunia internasional dalam mencapai proses referendum bagi wilayah Aceh. Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana peran SIRA dalam proses pencapaian referendum bagi Aceh yang dilakukan oleh GAM. Selain itu jga akan dijelaskan mengenai implikasi pembentukan SIRA terhadap konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses diplomasi publik melalui SIRA.

2. Rumusan MasalahDalam proses diplomasi public melalui SIRA ini akan memunculkan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini. Adapun rumusan masalah yang disusun adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses diplomasi public yang dilakukan oleh GAM melalui SIRA?2. Bagaimana hasil dari proses diplomasi tersebut? Apakah melalui SIRA, GAM mampu mencapai referendum bagi Aceh?Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam makalah ini akan membahas mengenai proses diplomasi public melalui SIRA dan bagaimana proses diplomasi tersebut memberikan implikasi bagi pencapaian referendum bagi Aceh.

3. Kerangka Teoria. KonstruktivisAsumsi dasar dari konstruktivisme adalah bahwa politik internasional merupakan hasil dari konstruksi sosial yang berasal dari proses interaksi antara struktur (struktur internasional) dan agen (negara), dimana lingkungan sosial-politik dan manusia saling berinteraksi untuk menghasilkan perubahan-perubahan sosial politik. Menurut Alexander Wendt (1999: 43), prinsip dasar konstruktivisme terbagi atas dua, yaitu:1. Struktur-struktur yang terbentuk dalam setiap asosiasi yang dibentuk oleh pertukaran ide dan bukan terjadi karena kekuasaan yang sifatnya material,2. Identitas dan kepentingan dari aktor dikonstruksikan oleh ide-ide tersebut dan bukan sama sekali bersifat alamiah Didalam konstruktivis, aktor dianggap sebagi objek yang selalu mempertimbangkan konteks sosial dimana lingkungan ia berada dalam proses perumusan kebijakan. Perilaku aktor sangat dipengaruhi oleh identitas yang terbentuk berdasarkan ide, nilai, dan norma yang ada pada sistem internasional maupun lingkungan domestikPendekatan ini muncul sebagai kontradiksi dari neorealis, dimana berasumsi bahwa sistem hubungan internasional adalah anarki dan kondisi tersebut bersifat given (ada dengan sendirinya) dan permissive, yaitu konsep yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Konstruktivis tidak menolak asumsi anarki, menurut pendekatan ini, anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara berupa hasil dari interaksi antar negara tersebut. Dalam kondisi anarki, negara melakukan interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Interaksi tersebut dapat berupa persamaan persepsi mengenai suatu fenomena seperti ancaman, atau persepsi mengenai identitas negara lain, apakah negara tersebut dapat disebut sebagai sekutu atau bahkan musuh. Dengan melihat asumsi dasar dari konstruktivisme, teori ini sekiranya dapat menjelaskan keberadaan SIRA dalam usahanya memerdekakan Aceh. Agama adalah salah satu kontek sosial mendasari kebijakan yang dirumuskan oleh organisasi serta mempengaruhi perilaku aktor dimana agama adalah konteks sosial yang paling kuat di lingkungan domestik Aceh.b. Diplomasi PublikDiplomasi publik merupakan suatu cara yang dapat menunjang keberhasilan diplomasi jalur pertama yang diakukan oleh perwakilan-perwakilan suatu negara. Pada tahun 1990-an, media massa dan NGO internasional mulai meningkatkan perananya sebagai aktor non-negara, yang menyebabkan negara bukan lagi sebagai aktor utama dalam mengambil kebijakan maupun untuk mencapai kepentingan nasional.[footnoteRef:1] Globalisasi dan revolusi teknologi telah membawa permaslahan langsung pada pada proses dan aktivitas diplomasi. Secara mendasar, revolusi teknologi yang menandai lahirnya abad ke-21 telah mengubah tatanan dunia secara keseluruhan.Teknologi dianggap mengurangi peran para diplomat, karena dengan adanya teknologi transportasi maupun informasi akan berdampak pada hilangnya relevansi antara tempat dan waktu, yang membuat diplomasi tradisional ditinggalkan dengan sendirinya..[footnoteRef:2] [1: Djelantik, Sukawarsini. Diplomasi antara teori & praktik. Graha Ilmu. 2008. hlm 187.] [2: Barry Fulton, Reinventing Diplomacy in Information Age, CSIS Wanghington DC 1998 at http://csis.org/files/media/csis/press/pr98_17.pdf diakses pada 3 Mei 2013.]

Dalam beberapa dekade terakhir, diplomasi publik mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dipicu oleh kegagalan pemerintah dalam upayanya menjalankan bentuk diplomasi jalur pertama, sehingga tidak dapat dengan maksimal mengatasi konflik yang terjadi antar negara. Kegagalan ini membentuk sebuah pemikiran untuk meningkatkan diplomasi publik sebagai cara alternative untuk menyelesaikan konflik-konflik antar negara, maupun konflik internal suatu negara.[footnoteRef:3] [3: John W. McDonald, "Further Exploration of Track Two Diplomacy," in Timing the De-Escalation of International Conflicts, (Ed.) Louis Kriesberg & Stuart J. Thorson, (Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1991), hlm. 201-220. http://www.colorado.edu/conflict/peace /example/mcdo3682.htm . diakses pada 3 Mei 2013.]

Hal ini juga didukung oleh pendapat seorang pakar diplomasi Harold Nichloson Perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan peran dan fungsi seseorang duta besar semakin berkurang dan para diplomat akan terus menurun statusnya sebagai administrasi elite.[footnoteRef:4] Teknologi informasi memberikan pengaruh pada proses negoisasi dan kebijakan yang diambil dapat dipublikasikan agar dapat dengan mudah diakses oleh publik. Dalam konteks lain, teknologi juga mengakibatkan berkurangnya kebebasan para diplomat dalam melakukan negoisasi, karena negoisasi sudah langsung dilakukan Menteri Luar Negeri atau Kepala pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu inovasi untuk menyempurnakan aktivitas diplomasi jalur pertama dengan lebih banyak melibatkan peran masyarakat melalui aktivitas diplomasi publik.[footnoteRef:5] [4: Djelantik, Sukawarsini. Op.cit. hlm 190.] [5: Djelantik, Sukawarsini. Op.cit. hlm 188.]

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dikatakan diplomasi public bukan menggantikan tetapi lebih ke melengkapi kebijakan dan aktivitas pemerintah dalam diplomasi publik. Diplomasi publik mempunyai tujuan untuk membentuk opini masyarakat melalui interaksi-interaksi dengan kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, diplomasi publik mengharuskan komunikasi antar budaya karena berubahnya perilaku masyarakat sekarang, tumbuhnya rasa saling memahami dalam melihat permasalahan politik luar negeri karena pada akhirnya opini publik akan mempengaruhi setiap tindakan maupun kebijakan suatu negara.[footnoteRef:6] [6: Djelantik, Sukawarsini. Op.cit. hlm 191.]

Diplomasi Publik juga dapat mengoptimalkan aktivitas komunikasi internasional, yaitu mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan informasi demi kepentingan negara. Seperti yang dikatakan Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, George Shultz: Bahan baku diplomasi adalah informasi, bagaimana memperolehnya, menganalisis dan menempatkanya dalam sistem. Diplomasi kemudian juga menjadi kepedulian dari kelompok pebisnis, pendidikan, pertanian, lingkungan hidup dan badan-badan lain yang terkait dengan isu-isu luar negeri.[footnoteRef:7] Pemerintah dan publik seharusnya, dapat memanfaatkan kemampuan yang sesuai dengan kapabilitasnya baik dari pengalaman, keahlian dan sumber daya yang ada. Dan pada akhirnya bekerja sama untuk mempengaruhi hasil kebijakan pemerintah secara signifikan. Terutama, Karena karakteristik dari aktivitas para aktor-aktor diplomasi jalur pertama yang masih kaku dalam berinteraksi, jadi perlu adanya upaya-upaya yang lebih fleksibel, agar berimbang.[footnoteRef:8] [7: Shultz, P George. Keynote addres from the virtual diplomacy Conference: The Information Revolution and International Conflict Management. 1997, hlm 12.] [8: Djelantik, Sukawarsini. Op.cit. hlm 190.]

BAB IIPEMBAHASAN

1. Sejarah Pembentukan SIRAKongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang dilaksanakan oleh Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) danKomite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Se-Nusantara (KMPAN) pada 31 Januari-4 Februari 1999 berhasil membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai Sentral Informasi dan lembaga perjuangan referendum Aceh dimanahkan kepada 25 orang Presidium sebagai pimpinan kolegtif dengan Koordinator Muhammad Nazar.[footnoteRef:9] [9: Faurizal Moechtar, Sejarah Singkat Sentral Informasi Referendum Aceh, tanggal 12 November 2012, ditulis dalam Dokumen Nagroe.]

Mandat dari KOMPASini memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh melalui referendumdengandua opsi, yakni mengadakan jajak pendapat dengan opsi merdeka atau menerima otonomi. Rekomendasi itu keluar setelah melalui perdebatan panjang antarmahasiswa yang menyatakan penerapan otonomi khusus merupakan cara menyelesaikan konflik. Sebaliknya, mayoritas peserta kongres yang berlangsung di Balee Chik di Tiro Banda Aceh ini berfatwa referendum merupakan solusi damai konflik politik vertikal antara Aceh-Jakarta.Mandat lain yang diberikan kepada SIRA yakni mengusung Sumpah Bangsa Aceh pada 28 Oktober 1999 di halaman Gedung DPRD Aceh yang dihadiri lebih 100 ribu lebih warga. Selain itu mandat terbesar laindiberikan olehSidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPR Aceh) pada 8 November 1999 di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kegiatan kolosal ini diperkirakan dihadiri oleh dua juta rakyat Aceh. Hasilnya menelorkan petisi sepakat diadakan referendum di Aceh yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Aceh Muhammad Yus, Gubernur Aceh Prof Syamsuddin Mahmud, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Seluruh Aceh (HUDA) Waleh Nu dan Koordinator Presidium SIRA.[footnoteRef:10] [10: Ibid ]

Sejak awal 1999 secara terbuka, damai dan berani SIRA melakukan berbagai langkah perjuangan damai. Semua resiko dialami oleh SIRA karena tujuan mulia, agar siapapun rakyat Aceh tidak lagi distigmakan sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau sebutan-sebutan jelek lainya yang merugikan , agar GAM dan RI mengakui dan duduk semeja dengan harapan perundigan damai terbuka dan masyarakat nasional maupun internasional mengetahui keadaan Aceh yang sebenarnya.SIRA sangat cepat mendapatkan dukungan rakyat Aceh, simpati nasional dan Internasional. SIRA hadir di berbagai provinsi di Indonsia dan luar Negeriuntuk menjelaskanserta mengkampanyekan tentang Aceh. Alhasil masyarakat non Aceh pun mendukung danmembela SIRA. Pemerintah dan para pengamat member penenilaian bahwa Gerakan SIRA yang damai, bijak dan berani tetepi penuh resiko itu , telah terjadi gerakan moral dan politik yang telah berasil menarik perhatian Internasionaluntuk Aceh, merubah pandangan masyarakat desa, kota, nasional dan internsional terhadap GAM.2. Proses Diplomasi SIRA terhadap referendum AcehSIRA melakukan gerakan perjuangan damai melalui berbagai macam demontrasi besar-besaran menuntut referendum pada 1999-2004, memperjuangkan penegakan HAM dankeadilan, melakukan pencerdasan rakyat, lobi nasional dan internasional. Bahkan melakukan sesuatu yang amat bersiko yaitu mengakui secara terbuka GAM sebagai sebuah pemerintahan. Padahal sebenarnya GAM bukanlah sebuah pemeritahan dan sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai sebuah pemerintahan. Aksi-aksi perjuangan SIRA yang sangat cepat, damai dan cerdas tersebut telah membawa resiko yang begitu banyak kepada Pimpinan SIRA dan anggota-anggotanya.Masa-masa sulit terus dialami oleh SIRA, sejumlah kadernya di tangkap oleh pemerintah, diculik danbahkan ada yang ditembak mati oleh orang tak dikenal, namun demikian SIRA tetap pada pendiriannya mengkampanyekan Perdamaian untuk Aceh.SIRA sangat cepat mendapatkan dukungan rakyat Aceh, simpati nasional dan Internasional. SIRA hadir di berbagai provinsi di Indonsia dan luar Negeriuntuk menjelaskanserta mengkampanyekan tentang Aceh. Salah satunya adalah Muhammad Nazar ketua SIRA yang didampingi aktifis ELSHAM Papua Barat, Jonathan Rumbiak, bertemu Departemen Luar Negeri Amerikat Serikat. membicarakan mengenai kemungkinan adanya intervensi pemerintah AS terhadap pelanggaran HAM dan membantu proses rekonsiliasi damai di Aceh dan Papua. Muhammad Nazar menitikberatkan pada pertemuan itu upaya cease-fire(gencatan senjata) antara pihak GAM dan RI. Nazar juga meminta agar pemerintah AS mau terlibat menjadi pihak ketiga sebagai mediator dialog GAM-RI. Disamping itu juga diadakanbriefingdengan staf-staf parlemen Kongress AS dan LSM-LSM. Lobi-lobi di Washington DC difasilitasi oleh Kurt Biddle, Koordinator Washington IHRN. Hasilnya masyarakat non Aceh pun mendukung danmembela SIRA.[footnoteRef:11] [11: SIRA tingakatkan lobi politik untuk pelaksanaan referendum diakses dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/05/13/0027.html pada 5 Mei 2012]

Tujuan pertama dari diplomasi publik yang dilakukan oleh SIRA menyampaikan tuntutan referendum bagi Aceh. Para anggota SIRA terinspirasi oleh referendum yang dilakukan oleh Timor Leste yang berujung pada kemerdekaan.[footnoteRef:12] Selain itu, tujuan kedua dari diplomasi publik yang dilakukan oleh SIRA adalah untuk mensosialisasikan kondisi HAM dan berusaha agar Aceh bisa dilihat sebagai one of the conflict area, sebagaimana Papua dan Timor Leste.[footnoteRef:13] Sebenarnya, tidak semua rakyat Aceh mendukung referendum, namun hanya inilah yang menjadi satu-satunya cara untuk mendapat keadilan di Indonesia.[footnoteRef:14] [12: Bob Sugeng Hadiwinata, et al., Transformasi Gerakan Aceh Merdeka, Dari Kotak Peluru ke Kotak Suara: Sebuah Kisah Sukses Program Transformasi Kombatan di Aceh (Friedrich Ebert Stiftung: 2010), hal. 31] [13: Ibid, 31-32] [14: Baiq Wardhani, External support for liberation movements in Aceh and Papua, (the 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Asian Studies Association of Australia, Canberra, 29 Juni-2 Juli, 2004), hal. 6]

SIRA secara organisasi terpisah dari GAM tetapi dalam perjuangannya menyampaikan tuntutan rakyat Aceh sebenarnya masih berkolaborasi dengan GAM. Khusus untuk urusan membuka hubungan dan berkomunikasi dengan negara lain, SIRA yang mengambil alih semuanya, sebab GAM sudah dikenal di dunia internasional sebagai kelompok bersenjata atau rebel group. Dengan anggota yang muda, sipil, dan mahasiswa, SIRA menjadi lebih mudah diterima di luar negeri.[footnoteRef:15] Adapun proses diplomasi publik yang dilakukan oleh SIRA dibagi menjadi dua, yaitu: [15: Ibid, 32]

a. Diplomasi publik untuk mendapat perhatian Masyarakat IndonesiaDalam diplomasi publik, perlu dipahami bahwa proses diplomasinya tidak hanya di luar negeri tapi juga di dalam negeri. Evan Potter mengatakan bahwa permasalahan diplomasi publik tidak hanya tantangan terhadap kebijakan luar negeri, tetapi juga merupakan tantangan nasional. Esensi dari diplomasi publik adalah membuat orang lain berada di pihak anda, sedangkan permasalahan dalam diplomasi publik adalah bagaimana mempengaruhi opini dan perilaku orang lain. Dalam hal ini, yang dimaksud orang bukan hanya pemangku kebijakan, tetapi juga khalayak atau publik.[footnoteRef:16] Dengan demikian, diplomasi publik yang dilakukan oleh SIRA tidak hanya berfokus untuk mendapat perhatian dunia internasional, tetapi juga masyarakat Indonesia sendiri. [16: Citra Hennida, Diplomasi Publik dalam Politik Luar Negeri, Journal Unair, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 22, No. 1 (Januari, 2009), hal. 2]

Diplomasi publik yang dilakukan oleh SIRA kepada rakyat Indonesia dilakukan dengan menggelar aksi-aksi demonstrasi dan kampanye terbuka. Pertama, pada September 1999, SIRA berhasil menggelar berbagai aksi sipil secara terbuka yang diikuti puluhan ribu warga di setiap daerah Kabupaten/Kota di Aceh. Aksi-aksi ini dikordinir langsung oleh anggota-anggota dan jaringan-jaringan SIRA yang telah mengikuti kongres. Kedua, pada 28 Oktober 1999. Bertempat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tingkat I Aceh, SIRA kembali menggelar aksi massa yang diberi nama Sumpah Bangsa Aceh. Acara ini menghasilkan petisi dan komitmen untuk terus memperjuangkan referendum.[footnoteRef:17] [17: Di Balik Layar Sang Pejuang Referendum, http://rizkyfechrizal.wordpress.com/2010/03/30/di-balik-layar-sang-pejuang-referendum/ , diakses pada 5 Mei 2013]

Kemudian, pada tanggal 8 November 1999, digelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang referendum (SU-MPR) di Masjid Baiturrahman. Seluruh aktivitas perkantoran pemerintah/swasta, sekolah, perbankan, perdagangan berhenti total selama perhelatan akbar tersebut berlangsung. Acara tersebut berhasil karena untuk pertama kalinya di depan massa, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh beserta DPRD mendukung sepenuhnya pelaksanaan referendum.[footnoteRef:18] Setelah berhasil mendapat perhatian dari pemerintah Aceh sendiri, SIRA kemudian menggelar aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar pada tanggal 1 September 2002. Setelah aksi ini, tuntutan referendum rakyat Aceh mendapat perhatian dari masyarakat indonesia dan internasional.[footnoteRef:19] [18: Ibid] [19: Diplomasi Publik, http://creativainstitute.wordpress.com/2009/01/05/diplomasi-publik/ , diakses pada 5 Mei 2013]

b. Diplomasi publik untuk mendapat perhatian dunia internasionalSementara itu, Diplomasi publik untuk mendapat perhatian masyarakat internasional dibangun SIRA dengan membuka konsulat-konsulat di luar negeri. SIRA mengibarkan bendera SIRA dan bendera PBB di Amerika. SIRA juga menyewa kantor di Washington DC sebagai kantor konsulat SIRA. Selain Di Amerika, SIRA juga membuka konsulat di Sydney, Australia, dan Selandia Baru. SIRA juga bekerjasama dengan NGO-NGO internasional, seperti East Timor Action Network untuk mengadakan seminar, lokakarya, dan konferensi internasional. Kekuatan SIRA ini didukung oleh jaringan mahasiswa Aceh yang ada di luar negeri.[footnoteRef:20] [20: Bob Sugeng Hadiwinata, et al., Transformasi Gerakan Aceh Merdeka, Dari Kotak Peluru ke Kotak Suara: Sebuah Kisah Sukses Program Transformasi Kombatan di Aceh (Friedrich Ebert Stiftung: 2010), hal. 32]

Selain dengan membuka konsulat, SIRA juga menggunakan kemajuan teknologi informasi untuk menyebarluaskan masalah mereka kepada dunia. SIRA membuat beberapa situs internet untuk mendapat perhatian yang lebih besar dan luas dari dunia terkait usaha Aceh untuk memerdekakan diri. Ketua SIRA, Muhammad Nazar menyatakan Faktor yang paling penting untuk meraih kemerdekaan adalah berkomunikasi dengan kekuatan internasional dan internet adalah satu-satunya cara bagi Aceh untuk mendapatkannya. Melalui internet, SIRA mengirim email dari Banda Aceh kepada PBB dan NGO-NGO internasional, juga menyampaikan pernyataan kepada media asing. Melalui internet pula, SIRA dan pejuang GAM dapat terus memperbaharui berita dari dunia internasional.[footnoteRef:21] [21: Baiq Wardhani, External support for liberation movements in Aceh and Papua, (the 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Asian Studies Association of Australia, Canberra, 29 Juni-2 Juli, 2004), hal. 6-7]

Pada tahun 2000, dalam kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh serantau II, SIRA mengumumkan bahwa dalam waktu dekat akan lahir perundingan Awal yang difasilitasi oleh HDC (Henry Dunant Center) dari Swiss, pengumuman itu sengaja disampaikan oleh SIRA dalam Forum tersebut sebagai salah satu laporan kegiatan Perjuangan Lobi internasional. Waktu itu SIRA membangun hubungan dan Lobi secara intens dengan HDC dan berupaya meyakinkan pimpinan GAM agar mau berunding dengan fasilitaor HDC meskipun bukan Negara. HDC dipilih sebagai pihak ketiga karena sebagai organisasi kemanusiaan HDC tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Pemerintah Indonesia dan SIRA meminta HDC untuk turut campur menyelesaikan masalah Aceh dengan membujuk GAM agar mau berunding. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dimiliki HDC sebagai lembaga kemanusiaan yang mempelopori dialog di daerah-daerah konflik untuk mengurangi penderitaan rakyat sipil.[footnoteRef:22] [22: Lucia, Henry (2010) Mediasi yang Efektif dalam Konflik Internal studi kasus: Mediasi oleh Crisis Management Initiative dalam proses perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah RepublikIndonesia. FISIP UI 2010 hal.42]

Permintaan itu kemudian mendapat tanggapan positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang diakhiri kedua belah pihak inisiatif HDC ini didukung oleh PBB dan Uni Eropa. Tujuan SIRA dengan dialog ini adalah agar kasus Aceh semakin dipandang di dunia internasional dan mendapat dukungan atau simpati dari AS atau negara-negara Eropa dengan harapan mereka mau menekan Indonesia agar melepaskan Aceh. HDC mulai memfasilitasi berbagai dialog di Geneva pada tanggal 24 Maret dan 14-17 April 2000. Kongkritnya, pada 12 Mei 2000 ditandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh di Genewa, Swiss, oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, dan wakil GAM, Zaini Abudllah. Langkah ini dimaksudkan sebagai langkah awal atau gerbang menuju penyelesaian konflik yang sebenarnya. Di tingkat lapangan, kesepakatan tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan organisasi untuk mendukung implementasi seperti pembentukan komite bersama untuk Aksi Kemanusiaan (KBAK).[footnoteRef:23] [23: Ibid Hal. 45]

Salah satu upaya damai yang dilakukan adalah dengan adanya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani tanggal 9 Desember 2002 di Geneva, Swiss. Didalamnya terdapat empat agenda fokus yang bertujuan untuk menurunkan eskalasi konflik yang terjadi. Pertama, di bidang keamanan dengan penghentian kekerasan dan konflik bersenjata. Kedua, di bidang kemanusiaan dengan memberikan bantuan kemanusiaan. Ketiga, agenda rekonstruksi dan rehabilitasi. Dan keempat adalah dialog masyarakat sipil yang terdiri dari reformulasi dan pelaksanaan all-inclusive dialogue.Kemudian untuk melaksanakan agenda-agenda yang telah tercantum dalam CoHA, maka dibentuklah Joint Security Committee (JSC). Tim ini beranggotakan penjabat militer senior TNI dan GAM serta pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua pihak yang bertugas untuk mengawasi implementasi dari CoHA tersebut. Akan tetapi perjanjian CoHA menjadi tidak bermanfaat karena masih terjadinya pelanggaran-pelanggaran di Aceh. Selain itu JSC juga tidak memiliki kewenangan yang jelas untuk memberikan sanksi pada pihak yang melanggar perjanjian tersebut. Puncaknya pada Mei 2003, kantor JSC di Aceh Tengah yang diserang dan dirusak menandai krisis implementasi dari CoHA. Ketidakseriusan dari pihak Indonesia maupun GAM dalam implementasi CoHA menjadi kegagalan dalam upaya perdamaian di Aceh.Namun diberlakukannya kembali status darurat militer pada 19 Mei 2003 pada masa Presiden Megawati. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, CoHA menjadi diabaikan dan peran HDC terhenti. Pada tahap inilah kemudian HDC telah gagal menjalankan perannya sebagai fasilitator perdamaian di Aceh. [footnoteRef:24] [24: Ibid hal.46]

Akhirnya pemerintah Indonesia berusaha untuk melobi pihak GAM agar bersedia berunding dengan pemerintah Indonesia. Seperti saat sebelumnya, untuk mengajak GAM ke dalam meja perundingan bukan hal yang mudah, dikarenakan pimpinan GAM yang berada di Swedia. Pemerintah Indonesia melakukan kontak secara personal dengan para pemimpin GAM yang berada di luar negeri. Pemerintah Indonesia mengupayakan agar pimpinan GAM yang berada di Swedia bersedia bertemu untuk membahas kesepakatan damai. Lalu pada tanggal 28 Januari 2005 pemerintah Republik Indonesia di pimpin oleh Hamid Awaludin sebagai ketua delegasi, melakukan perundingan di Helsinki, Finlandia bersama dengan para petinggi GAM yang diketuai Malik Mahmud. Perundingan ini berjalan sebanyak lima putaran dan melibatkan bukan hanya dari pihak RI-GAM tetapi juga melibatkan Crisis Management Initiative (CMI), The Hendry Dunant Center dan mantan presiden Finlandia, Martti Ihtisaari sebagai mediator.Pada bulanMei 2000,Ketua Dewan Presidium SIRA, Muhammad Nazar diundang ke Helsinki Filandia sebagai pembicara dalam konfrensi Internasional tentang konflik di Asia Tenggara yang diikuti oleh berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah dari berbagai Negara. Dalam acara tersebut Muhammad Nazar memaparkan tentang Aceh dan meminta dunia internasional untuk menyelesaikan Konflik Aceh. BegitupunMuhammad Nazar dananggota-anggota SIRA terus hadir diberbagai Negara untuk melakukan lobi, kampanye dan unjuk rasa damai, termasuk Amerika serikat, Australia, Negara-nagara eropa dan Asia. Setelah negosiasi melalui HDC mengalami kegagalan, jalan damai pun kembali terbuka kembali sebelum terjadi Gempabumidan gelombangtsunami, tetapi harus diakui bencana alam yang dahsyat ini telah mempercepat serta memperpendek proses Perundingan. Perundingan kali ini difasilitasi oleh Crisis Managemen Initiative (CMI) yang dikomandoi mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisari. CMI merupakan sebuah NGO international yang bergerak dalam bidang resolusi konflik yang berlokasi di pusat Kota Helsinki, Finlandia yang berdiri pada 2000. Tujuan lembaga ini adalah membantu masyarakat internasional untuk keluar dari krisis international mulai dari isu kemanusiaan sampai dengan soal keamanan dan pembangunan. Lahan kerjanya tidak hanya di Eropa, tetapi juga sampai ke Afrika. Dipilihnya CMI (Crisis Management Initiative) oleh pihak RI, salah satu alasannya, karena Martti Ahtisaari memiliki kesepahaman dengan pihak RI, bahwa dalam menyelesaikan separatisme di Aceh, konsep yang memungkin digunakan untuk adalah konsep otonomi khusus.[footnoteRef:25] [25: Aspinall, Edward. 2005. The Helsinki Agreement: a More Promising Basis for Peace in Aceh? Policy Studies No.20. Washington: East-West Center.]

SIRA menolak sebagai salah satu pihak yang menandatangani perdamaian. SIRA melihat penandatanganan kedua belah pihak hanya mekanisme normal dalam sebuah perundingan yang lebih fektif. Tetapi hasilnya tetap milik semua masyarakat Aceh dan damai juga milik semua manusia. Karena itu SIRA mengirim beberapa utusan untuk bermufakat dengan GAM yang akan menjadi mitra perundingan Pemerintah RI. Bahkan SIRA mengusulkan konsep yang harus dimasukkan Memorandum OfUnderstanding (MOU) Helsinki diantaranya :1. SIRA menginginkan Kewenang Pemerintah pusat hanya di bidang pertahanan keamanan hubungan internasional dan moniter (mata uang) sedangkan yang lainya diserahkan kepada pemerintah Aceh.2. SIRA Menginginkan jumlah TNI dalamkeadaan normal cukup 6000 personil, yang akhirnya disetujui oleh GAM dan Pemerintah RI sebanyak 14700 personil.3. SIRA meminta hasil Gas dan Minyak Bumi 90% untuk Aceh dan 10% untuk pusat, tetapi akhirnya hanya disepakati oleh GAM dan RI untuk Aceh 70% dan untuk pusat 30%.4. SIRA meminta membolehkan penggunaan lambang, bendera dan symbol khusus Aceh lainya, dan akhirnya disepakatileh GAM dan RI.5. SIRA memasang harga mati agar diberikan dan diperbolehkan pembentukan partai-partai politik lokal di Aceh.6. SIRA meminta pembebasan tahanan dan narapidana politik tanpa syarat, termasuk siapapun yang telah ditangkap dan ditahan terkait konflik Aceh.[footnoteRef:26] [26: Cunliffe, Scott, Eddie Riyadi, Raimondus Arwalembun, Hendrik Boli Tobi,(2009). Negotiating Peace in Indonesia. Initiative for Peace Building.]

3. Implikasi dari proses lobi dan diplomasi yang dilakukan SIRA bagi pemerintah IndonesiaImplikasi dari lobi-lobi yang dilakukan SIRA di atas adalah pemerintah RI lebih menekankan penyelesaian konflik secara nasional yang diaktualisasikan dalam kerangka otonomi khusus dan dalam bagian NKRI (Kompas, 7 Februari 2005 cited http://www.osdir.com/). Pemerintah juga tidak akan gegabah membuat keputusan terkait self-determination provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).[footnoteRef:27] Kemudian Pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa penyelesaian konflik Aceh tidak perlu diinternasionalisasi dan melibatkan pihak asing. Tetapi bagi SIRA sendiri, otonomi khusus yang diterapkan RI sejak masa pemerintahan Soekarno yang berupa Daerah Istimewa sampai UU NAD tidak mampu menyelesaiakan konflik serta memberikan keadilan dan perdamaian di Aceh (http://www.osdir.com/). Sehingga praktis SIRA bersikukuh membawa masalah Aceh ini ke tingkat internasional. [27: http://www.balitbang.dehan.go.idmodules.php?name=News&file=articles&sid=2886, diakses tanggal 5 Mei 2013. ]

Ketegangan antara SIRA, terutama pihak GAM, dan pemerintah RI mulai mencair. Hal ini diawali oleh peristiwa tsunami pada tahun 2004 lalu, yang secara tidak langsung membawa keuntungan tersendiri bagi proses penyelesaian damai antara pihak GAM dan pemerintah RI. Pemerintah RI akhirnya juga mau dimediasi oleh pihak internasional, dalam hal ini Crisis Management Center milik mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Setelah adanya perjanjian damai melalui MoU Helsinki tahun 2005, hubungan SIRA dengan pemerintah mulai membaik, dimana ketua dewan presidium SIRA, Muhammad Nazar menduduki jabatan pemerintahan local sebagai wakil gubernur Aceh di tahun 2006. Kiprah SIRA sendiri kemudian beralih menjadi partai politik pada Desember 2007[footnoteRef:28] dan menjadi salah satu partai yang cukup dominan di Aceh sendiri. [28: Indonesia: Kekhawatiran Pra-Pemilu di Aceh, ICG Asia Briefing, No. 81, 9 September 2008, hlm. 4]

4. Implikasi dari Diplomasi Publik bagi SIRAAwal dibentuknya SIRA dalam kongres KOMPAS bertujuan untuk memfasilitasi Aceh dalam melakukan referendum di Aceh dengan adanya dua alternatif pilihan, yaitu menjadi negara yang merdeka (otonom) atau bergabung dengan Indonesia. Setelah proses panjang diplomasi publik yang di lakukan oleh SIRA, akhirnya diplomasi ini menghasilkan implikasi bagi Aceh unutk tetap bergabung dengan Indonesia sesuai yang tercantum dalam MoU Helsinki pada 15 Agustus. Seusai perjanjian damai yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, terbit Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu butir UU No 11/2006 atau yang dikenal sebagai UU Pemerintahan Aceh adalah mengakomodasi keinginan masyarakat Aceh mendirikan partai lokal. Hasil verifikasi faktual Komite Independen Pemilihan NAD meloloskan enam partai lokal dari 10 partai yang mendaftar ke Departemen Hukum dan HAM, yakni PRA, Partai Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS).[footnoteRef:29] [29: Khaerudin, Partai Lokal Buah Perdamaian Rasa Aceh, diakses dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10461&coid=3&caid=31&gid=2, tanggal 6 Mei 2013.]

Selain PRA yang dimotori mantan aktivis gerakan mahasiswa, partai lokal lain rata-rata berembrio pada aktivitas perjuangan rakyat Aceh menuntut keadilan dari Jakarta. Partai Aceh merupakan embrio GAM. Setelah nota kesepahaman (MOU) Helsinki, GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk menampung anggota mereka, baik yang kombatan (militer) maupun nonkombatan. Struktur KPA ini lalu dimanfaatkan untuk pendirian partai lokal. Sebelumnya Partai Aceh malah bernama Partai GAM meski akronimnya berubah sesuai ketentuan MOU Helsinki yang tak lagi boleh mencantumkan kata merdeka, dengan menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri. Namun, akronim GAM yang masih terasa mengganjal kemudian berganti sehingga lahirlah nama Partai Aceh. Mantan Panglima GAM yang juga Ketua KPA, Muzakir Manaf, menjadi Ketua Umum Partai Aceh.Demikian halnya dengan Partai SIRA. Jika SIRA dulu memiliki kepanjangan Sentra Informasi Referendum Aceh, saat bertransformasi menjadi partai, akronim SIRA berubah menjadi Suara Independen Rakyat Aceh. Pilkada yang digelar pada 11 Desember 2006, akhirnya memberikan bukti bahwa SIRA mendapatkan tempat di hati masyarakat Aceh. Saat suara pemilih dihitung di hari pertama pasca-pilkada, pasangan ini meraup 39,27% dari jumlah total pemilih yang mencapai 2,6 juta. Urutan kedua ditempati pasangan Ahmad Humam Hamid-Hasbi Abdullah yang diusung PPP, meraih 16,17% suara.Peringkat ketiga dan keempat ditempati pasangan Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria (koalisi Partai Golkar, PDI-P, Demokrat dan PKIP) mengantongi 13,96% dan duet Azwar Abu Bakar-Nazir Djamil dengan bendera PAN dan PKS yang menggaet 11,07% suara pemilih. Empat pasangan lainnya hanya memperoleh suara di bawah 8%.[footnoteRef:30] Jika keunggulan itu bertahan sampai penghitungan akhir, berarti Irwandi-Nazar yangnotabeneeksponen Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bakal menjadi pemimpin pertama pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dipilih langsung oleh rakyat. Pilkada Provinsi NAD melahirkan momentum bagi masyarakat Aceh untuk bereksperimentasi dipimpin eks-GAM. [30: Chusnan Maghribi, Eksperimentasi Aceh dipimpin oleh Eks-GAM, 15 Desember 2006, ditulis dalam Suara Merdeka (http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/15/opi03.htm).]

Irwandi Yusuf adalah mantan staf khusus Intelijen dan Psywar Komando Pusat Pasukan GAM. Sedangkan Muhammad Nazar, Ketua Sentra Informasi dan Referendum Aceh (SIRA), basis pendukung GAM dari kalangan muda dan mahasiswa. Di luar pemilihan gubernur dan wakilnya yang dimenangkan eks-GAM, di Tingkat II juga terjadi hasil serupa. Yang sudah pasti adalah Pilkada Kabupaten Aceh Utara yang dimenangkan pasangan eks GAM (Ilyas A Hamid-Syarifudin). Bahkan perolehan suaranya sangat fantastik, mencapai 70% dari 305.647 pemilih, jauh mengungguli pasangan yang diusung mesin-mesin politik (parpol). Hal ini membuktikan bahwa diplomasi publik yang telah dilakukan SIRA telah membuahkan hasil dengan diperbolehkannya untuk mendirikan partai-partai lokal sesuai dengan MoU Helsinki, dimana dengan MoU ini rakyat Aceh masih bisa untuk bergabung dengan Indonesia namun dalam tata aturan yang independent (yaitu dengan Qonun yang dimiliki oleh Aceh).

BAB IIIPENUTUP

1. KesimpulanDengan diplomasi publik yang telah dilakukan oleh SIRA dengan proses yang begitu panjang, dapat memberikan perdamaian antara Indonesia dan GAM. Yang akhirnya menghasilkan MoU Helsinki pada tanggal 25 Agustus 2005. Hal ini kemudian memberikan implikasi bagi Indonesia dan juga SIRA. Pada akhirnya Indonesia harus terus memberikan hak-haknya terhadap warga Aceh sesuai dengan yang tertulis dalam isi dari MoU tersebut. Hal ini diperlukan adanya check and balances dari pihak GAM ataupun pemerintah Indonesia sendiri, agar tidak lagi terjadi separatsme GAM yang kedua kalinya.

16


Top Related