Download - Diabetes Mellitus
DIABETES MELLITUS
DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya(1).
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang
progresif yang dilatar belakangi oleh resistensi insulin(2).
ETIOLOGI(1)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, klasifikasi Diabetes Melitus adalah
sbb:
1. Diabetes Melitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin
dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam
beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan
karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-
13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40.
Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat
rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons
terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan
histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel
Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-
acid decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat
pada pasien dengan penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto
atau myasthenia gravis. Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA)
DR3 atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di
mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang
molekul sel beta pankreas yang ‘menyerupai’ protein virus sehingga terjadi destruksi sel
beta dan defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan
terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin,
dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang
idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat
idiopatik ini, sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan
Asia.
2. Diabetes Melitus tipe 2
Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan
aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang
masih berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak bergantung
seumur hidup). DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan
hati serta terdapat respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan
kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan
produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis.
Defek yang terjadi pada DM tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang
diabetogenik yaitu :
Faktor keturunan
Faktor obesitas : (perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya barat, asupan
kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah).
Faktor demografi :
− Jumlah penduduk meningkat
− Urbanisasi
− Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
Nilai BMI yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap
ras.
3. Diabetes Melitus tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada fungsi sel
beta, dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif muda (<25 tahun) atau
disebut maturity-onset diabetes of the young (MODY). Terjadi gangguan sekresi insulin
namun kerja insulin di jaringan tetap normal. Saat ini telah diketahui abnormalitas pada 6
lokus di beberapa kromosom, yang paling sering adalah mutasi kromosom 12, juga
mutasi di kromosom 7p yang mengkode glukokinase. Selain itu juga telah diidentifikasi
kelaian genetik yang mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin menjadi
insulin.
Defek genetik kerja insulin
Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia,
hiperglikemia dan diabetes. Beberapa individu dengan kelainan ini juga dapat mengalami
akantosis nigricans, pada wanita mengalami virilisasi dan pembesaran ovarium.
Penyakit eksokrin pankreas
Meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi, dan carcinoma pankreas.
Endokrinopati
Beberapa hormon seperti GH, kortisol, glukagon dan epinefrin bekerja
mengantagonis aktivitas insulin. Kelebihan hormon-hormon ini, seperti pada sindroma
Cushing, glukagonoma, feokromositoma dapat menyebabkan diabetes. Umumnya terjadi
pada orang yang sebelumnya mengalami defek sekresi insulin, dan hiperglikemia dapat
diperbaiki bila kelebihan hormon-hormon tersebut dikurangi.
Karena obat/zat kimia
Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin. Vacor (racun tikus)
dan pentamidin dapat merusak sel beta. Asam nikotinat dan glukokortikoid mengganggu
kerja insulin.
Infeksi
Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti rubella, coxsackievirus B,
CMV, adenovirus, dan mumps.
Imunologi
Ada dua kelainan imunologi yang diketahui, yaitu sindrom stiffman dan antibodi
antiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman terjadi peninggian kadar autoantibodi GAD di
sel beta pankreas.
Sindroma genetik lain
Down’s syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dll.
4. Diabetes Kehamilan/gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset pada waktu
kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan.
Biasanya toleransi glukosa akan kembali normal pada trimester ketiga.
EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia prevalensi DM telah meningkat secara signifikan selama dua dekade
terakhir, dari sekitar 30 juta kasus pada tahun 1985 menjadi 177 juta pada 2000. Berdasarkan
perkembangan saat ini, 360 juta orang akan menderita diabetes pada tahun 2030 (Gambar 338-
2). Meskipun prevalensi dari kedua tipe 1 dan tipe 2 DM meningkat di seluruh dunia, prevalensi
DM tipe 2 meningkat jauh lebih cepat karena meningkatnya obesitas dan mengurangi tingkat
aktivitas sebagai negara menjadi lebih maju. Hal ini berlaku di sebagian besar negara, 6 dari 10
negara dengan tingkat tertinggi di Asia. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (CDC) diperkirakan 20,8 juta orang, atau 7% dari populasi menderita diabetes pada
tahun 2005 (30% dari individu dengan diabetes yang tidak terdiagnosis). Sekitar 1,5 juta individu
(> 20 tahun) yang baru didiagnosa diabetes pada tahun 2005. Pada tahun 2005, prevalensi di DM
Sates Serikat diperkirakan 0,22% pada mereka <20 tahun dan 9,6% pada mereka> 20 tahun.
Pada individu> 60 tahun prevalensi DM 20,9%. Prevalensi ini sama pada pria dan wanita hampir
seluruh rentang usia (10,5% dan 8,8% pada individu> 20 tahun) tapi sedikit lebih pada pria> 60
tahun. Perkiraan di seluruh dunia pada tahun 2030 jumlah terbesar orang dengan diabetes pada
usia 45-64 tahun.
Diabetes Mellitus Type 1
Di Indonesia penyandang diabetes mellitus (DM) tipe 1 sangat jarang. Demikian pula di negara
tropis lain. Hal ini ada hubungannya dengan letak geografis Indonesia yang terletak di daerah
khatulistiwa. Dari angka prevalensi berbagai negara terlihat bahwa semakin jauh negara dari
daerah khatulistiwa semakin tinggi prevalensi DM tipe 1 nya. Adanya kekurangan asam aspartat
pada posisi 57 dari rantai HLA-DQ-beta menyebabkan orang itu jadi rentan atau susceptable
terhadap timbulnya DM tipe 1. Dan juga didukung oleh faktor lingkungan yang sangat
berperan(2).
Diabetes Mellitus Type 2 ( 3 )
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan
diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6% kecuali Pekajangan, suatu desa dekat
Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.
Prevalensi di Pekajangan agak tinggi karena banyak perkawinan antara kerabat.Penelitian antara
tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, suatu
angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makassar prevalensi diabetes terakhir tahun
2005 yang mencapai 12,5%. Menurut perkiraan WHO Indonesia akan menempati peringkat
nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025.
KLASIFIKASI
Secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenarnya ada yang berpendapat diabetes
hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. Individu yang kekurangan insulin secara
total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “insulin dependent” atau
“ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang
disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang “stable” atau ”maturity
onset” atau “non insulin dependent”. Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi insulin
yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin
(insulin requiring), tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen
dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolut
bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas dan
atau inaktifitas fisik.
Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas
kelompok kecil. Pada satu kelompok besar “IDDM” atau Diabetes tipe 1. Kelompok besar
lainnya NIDDM atau diabetes tipe 2. Istilah inipun digunakan oleh ADA pada tahun 1997
sampai 2005.
Klasifikasi DM berdasarkan ADA 2009
PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia memerlukan bahan untuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Dan tubuh
manusia juga membutuhkan energi supaya sel badan dapat berfungsi dengan baik. Energi berasal
dari bahan makanan yang kita makan sehari hari yaitu :
Karbohidrat (gula dan tepung-tepungan)
Protein (asam amino)
Lemak (asam lemak)
Pengolahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus.
Didalam saluran cerna makanan dipecah menjadi bahan dasar makanan. Karbohidrat menjadi
glukosa, protein menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu
akan diserap oleh usus kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh
tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ didalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat
berfungsi sebagai bahan bakar,zat makanan harus masuk kedalam sel agar dapat diolah. Didalam
sel zat makanan terutama glukosa dibakar lalu menjadi energi. Proses ini disebut metabolisme.
Dalam proses metabolisme itu insulin berfungsi sebagai yang memasukkan glukosa ke dalam sel,
untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon yang dikeluarkan
oleh beta di pancreas.
Dalam keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh
reseptor insulin yang ada pada permukaan sel otot, kemudian membuka pintu masuk sel sehingga
glukosa dapat masuk sel untuk kemudian dibakar menjadi energi / tenaga. Akibatnya kadar
glukosa dalam darah normal.
Kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan menyebabkan resistensi insulin dan
kehilangan sel beta pankreas. Data terbanyak dari epidemiologi mengindikasikan tingginya
pengaruh faktor genetik, terdapat sel monozigot setelah umur 40 tahun.3 Seseorang dengan orang
tua yang menderita diabetes melitus tipe 2 mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena
diabetes melitus; jika kedua orang tua mempunyai diabetes melitus resiko meningkat 40%.
Diabetes Mellitus mengalami defisiensi insulin, menyebabkan glikogen meningkat,
sehingga terjadi proses pemecahan gula baru (glukoneugenesis) yang menyebabkan metabolisme
lemak meningkat. Kemudian terjadi proses pembentukan keton (ketogenesis). Terjadinya
peningkatan keton didalam plasma akan menyebabkan ketonurea (keton dalam urin) dan kadar
natrium menurun serta pH serum menurun yang menyebabkan asidosis.
Defisiensi insulin menyebabkan penggunaan glukosa oleh sel menjadi menurun,
sehingga kadar gula dalam plasma tinggi (Hiperglikemia). Jika hiperglikemia ini parah dan
melebihi ambang ginjal maka akan timbul Glukosuria. Glukosuria ini akan menyebabkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan timbul rasa haus
(polidipsi) sehingga terjadi dehidrasi.
Glukosuria mengakibatkan keseimbangan kalori negatif sehingga menimbulkan rasa
lapar yang tinggi (polifagi).
Penggunaan glukosa oleh sel menurun mengakibatkan produksi metabolisme energi
menjadi menurun, sehingga tubuh menjadi lemah
Hiperglikemia dapat mempengaruhi pembuluh darah kecil, arteri kecil sehingga suplai
makanan dan oksigen ke perifer menjadi berkurang, yang akan menyebabkan luka tidak cepat
sembuh, karena suplai makanan dan oksigen tidak adekuat akan menyebabkan terjadinya infeksi
dan terjadinya gangguan.
Gangguan pembuluh darah akan menyebabkan aliran darah ke retina menurun, sehingga
suplai makanan dan oksigen ke retina berkurang, akibatnya pandangan menjadi kabur
Salah satu akibat utama dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur
dan fungsi ginjal, sehingga terjadi nefropati
Diabetes mempengaruhi syaraf-syaraf perifer, sistem syaraf otonom dan sistem syaraf
pusat sehingga mengakibatkan neuropati.
MANIFESTASI KLINIS
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
DIAGNOSIS
Diagnosis harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan screening. Uji diagnostik DM dilakukan
pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan screening bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.
PERKENI membagi alur diagnosis DM menajdi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM.
Gejala Khas Gejala Tidak Khas
Poliuria Lemas
Polidipsi Kesemutan
Polifagia Luka yang sulit sembuh
Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas Gatal
Mata kabur
Disfungsi ereksi (pria)
Pruritus vulva (wanita)
Keterangan : Apabila ditemukan gejala khas DM pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja sudah cukup memastikan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-
ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada bagan
berikut :
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada tabel-2. Apabila hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Kriteria diagnosis
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak
menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien
dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien
dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara
menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema
langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada
bagan1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan
dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa
darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap
tahun.
Screening Diabetes Mellitus4
Tabel 3. Screening Diabetes mellitus2
Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa
Tabel 5. Evaluasi penegakan diagnosis DM secara keseluruhan2
Kriteria Diagnosis
Tabel 6. perbandingan kriteria diagnostik WHO 1999 dan ADA 20037
Kriteria Diagnosis yang digunakan 1,2,5,6:
1. Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir. Atau
3. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa
diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau
4. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut PERKENI 2011 :
• Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
• A1C
• Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
• Kreatinin serum
• Albuminuria
• Keton, sedimen, dan protein dalam urin
• Elektrokardiogram
• Foto sinar-x dada
1. Urinalisis
Glukosuria
Menggunakan diastix atau clinistix yang sensitive terhadap glukosa di urin hingga
100mg/Dl (5,5 mmol)
Ketonuria
Menggunakan test netropusside (ketosix). Meskipun tes ini tidak dapat mendeteksi
adanya ϐ-hydroxybutiric acid, tetapi estimasi nilai semikuantitaif ketonuria dapat
digunakan di praktek klinik. 3
2. Pemeriksaan darah
3. Lipoprotein
Rujukan
Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan kesehatan yang memungkinkan
dilakukan rujukan. Rujukan meliputi5:
Rujukan ke bagian mata
Rujukan untuk terapi gizi medis sesuai indikasi
Rujukan untuk edukasi kepada edukator diabetes
Rujukan kepada perawat khusus kaki (podiatrist), spesialis perilaku (psikolog) atau
spesialis lain sebagai bagian dari pelayanan dasar.
Konsultasi lain sesuai kebutuhan.
TERAPI
Tujuan penatalaksanaan jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Jangka
panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan
neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Pilar penatalaksanaan DM5 :
I. Edukasi.
II. Terapi Nutrisi Medis.
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup
serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori. Termasuk
pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake /
ADI)
III. Latihan Jasmani.
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Latihan
jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang.
Tabel 7. Aktivitas fisik sehari-hari5
IV. Terapi Farmakologis.
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat).
1. Obat hipoglikemik oral.
Bentuk sediaan terdapat pada (lampiran 1)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan5:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e. DPP-IV inhibitor
A. Pemicu Sekresi Insulin
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan
faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Meningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh
sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk
ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja
enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Contohnya adalah exenatide, liguratide.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
2. Suntikan
1. Insulin. Bentuk sediaan terdapat pada ( Lampiran 2 )
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
nsulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Cara Penyuntikan Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat
suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja
menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan
insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat
dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan
benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya
dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus
diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan
semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit).
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah. Contohnya adalah sitagliptin; saxagliptin; linagliptin.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal
atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di
atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan
diberikan terapi kombinasi insulin.
KOMPLIKASI
Komplikasi Akut
1. Hipoglikemia
HIpoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa
darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang.
Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat oabt hipoglikemik oral golongan sulfonilurea,
khususnya klorpropamida dan glibenklamida.
Penyebab hipoglikemia :
a. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
b. Berat badan turun
c. Sesudah olahraga
d. Sesudah melahirkan
e. Sembuh dari sakit
f. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
g. Pemberian suntikan insulin yang tidak tepat
Tanda hipoglikemia mulai muncul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl, meskipun
reaksi hipoglikemia bias juga muncul pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis
dari hipoglikemia sangat bervarias.
Tanda – tanda hipoglikemia
1. Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sederhana
3. Stadium simpatik : keringat dingin pada muka terutama dihidung, bibir atau tangan,
berdebar-debar.
4. Stadium gangguan otak berat : koma (tidak sadar) dengan atau tanpa kejang
Pengobatan Hipoglikemia
Pada keadaan apapun pengobatan yang paling baik adalah pencegahan. Pasien dan dokter
bekerja sama sebaik-baiknya. Dokter dapat memberikan penerangan (edukasi) tentang obat,
pengaruh terhadap glukosa darah dan hubungannya dengan makanan.
a. Stadium permulaan (sadar)
Pemberian gula murni + 30 g ( 2 sendok makan ). Stop obat hipoglikemik, periksa glukosa darah
sewaktu dan pemulihan ulang setiap 4 jam selama 24 jam penderita OAD perlu dikaji ulang
b. stadium lanjut (koma hipoglikemi)
penanganan keadaan gawat darurat ini harus cepat dan tepat. Berikan larutan glukosa 40%
sebanyak 2 flakon, intravena setiap 10-20 menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan
dextrose 10% per infus 6 jam per kolf, untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal
atau diatas normal.
2. Hiperglikemia
Pada hiperglikemia secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan,
penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stress akut. Tanda khas adalah
kesadaran menurun disertai dehidrasi berat, pada subkelompok ketoasidosis diabetes (KAD)
terdapat hiperglikemia berat dengan ketosis atau asidosis. Pada dasarnya pengobatan kelompok
hiperglikemia adalah pemberian cairan untuk mengatasi dehidrasi terutama bagi sekelompok
hiperglikemia non ketotik (HNK).
Ketoasidosis Diabetik
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion
gap.
Pengobatan
Setelah diagnosis ketoasidosis diabetik ditegakkan maka pengobatan harus segera
dimulai. Prinsip dasar penatalaksanaan adalah :
1. Rehidrasi
Rehidrasi cepat merupakan tindakan awal yang harus segera dilakukan. Cairan yang dipilih
adalah NaCl 0,9%, meskipun ada pendapat lebih baik digunakan 0,45%. Pemberian cairan
sebanyak 1 liter pada 30 menit pertama kemudian 0,5 liter pada 30 menit kedua, jadi berjumlah 3
liter pada jam pertama. Bila kadar glukosa darah <200 mg/dl, NaCl 0,9% segera diganti dengan
dextrose 5 %.
2. Insulin
Insulin mulai diberikan pada jam ke-2, dalam bentuk bolus (intravena) dosis 180mU/kgbb.
Dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. Bila glukosa darah
<200mg/dl, kecepatan dikurangi menjadi 45 m U/jam/kgBB. Bila glukosa darah stabil sekitar
200-300 mg/dl selama 12 jam, dilanjutkan dengan drip insulin 1-2 unit/jam dan dilakukan
penyesuaian kebutuhan insulin setiap 6 jam.
3. bikarbonas
Koreksi natrium bikarbonat dilakukan bila pH < 7,1. Pemberian bikarbonas berlebihan dan tidak
tepat akan menimbulkan asidosis serebral.
4. Kalium
Pemberian kalium agak penting terutama pada pasien yang tidak mengalami syok. Cara
pemberian tergantung skema pengobatan yang dipergunakan. Suplementasi kalium dapat
dilakukan perinfus atau bila pasien sadar dapat diberikan peroral. Natrium bikarbonat disertai
dengan pemberian kalium.
5. Antibiotika
Antibiotika yang adekuat diberikan pada waktu permulaan. Bila keadaan tidak memungkinkan
dapat diberikan sefalosporin 2-3 g iv per hari atau floxacine sambil menunggu hasil mikroba dan
resistensinya.
Hiperglikemik Non – ketotik (HNK)
HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan asidosis ringan.
Pada keadaaan lanjut dapat menyebabkan koma. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemik berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa
ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran. Sindrom ini merupakan salah satu jenis koma
nonketoasidosis.
Komplikasi Kronis
Komplikasi kronis pada DM meliputi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.
Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi meliputi retinopati, nefropati, dan neuropati. Komplikasi
makrovarkuler yang terjadi yaitu penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler, dan
penyakit vaskuler perifer.
EPIDEMIOLOGI
Menurut Ketua Indonesian Diabetes Association (Persadia) Soegondo, Diabetes Mellitus
Tipe II merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus Diabetes Mellitus.
Selain faktor genetik, juga bisa dipicu oleh lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup
tidak sehat,seperti makan berlebihan (berlemak dan kurang serat), kurang aktivitas fisik, stress.
Jumlah penderita diabetes di Indonesia hingga kini mencapai 14 juta orang. Rata-rata
50% dari jumlah pasien diabetes baru menyadari mereka menderita sakit gula setelah
memeriksakan ke dokter. Selain itu, hanya 30% saja pasien diabetes yang berobat.
Sekitar 2,5 juta jiwa atau 1,3 persen dari 210 juta penduduk Indonesia setiap tahun
meninggal dunia karena komplikasi sakit (Diabetes Mellitus). Jumlah penderita di Indonesia kini
mencapai lima juta jiwa atau lima persen dari jumlah penduduk. Terbukti jumlah penderita
Diabetes Mellitus saat ini terbesar berada di daerah perkotaan mencapai 2,8 persen dan di
pedesaan baru 0,8 persen dari jumlah penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
1. harrison tr. harrison's manual of medicine. `18 ed. shanahan james djk, editor. new york: McGraw - Hill Companies; 2013.2. suyono slamet ws, dkk. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 2 ed. jakarta: balai penerbit FKUI; 2009.3. Suyono slamet ws, dkk. buku ajar ilmu penyakit dalam. sudoyo aru w sB, dkk, editor. jakarta: interna Publishing; 2009.