i
Dewan Redaksi
“Forum Didaktik”
Penanggung Jawab
Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd
Redaktur
Ade Maftuh, M.Pd
Penyunting
Sundari Purwaningsih, M.Pd
Setyo Wati, M.Pd
Hatma Heris Mahendra, M.Pd
Riga Zahara Nurani, M.Pd
Mitra Bestari
Prof. Dr. H. Dedi Heryadi, M.Pd
(Universitas Siliwangi)
Dr. Dian Indihadi, M.Pd
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Desain Grafis
Wida Mulyanti, M.Pd
Sekretariat
Winarti Dwi Febriani, M.Pd
ii
PANDUAN PENULISAN ARTIKEL BAGI CALON PENULIS
PADA JURNAL FORUM DIDAKTIK (JFD)
Jurnal Forum Didaktik adalah jurnal ilmiah yang difungsikan untuk
menyebarluaskan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah tentang inovasi pendidikan yang
terbit dua kali dalam setahun, yaitu bulan Januari dan bulan Juli. Jurnal ini diperuntukan
bagi para pendidik dan pemerhati pendidikan sebagai masukan dan inspirasi dalam
rangka berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di negeri yang kita cintai.
Para pengelola Jurnal Didaktik sangat menunggu kiriman artikel tentang inovasi
pendidikan dari para peneliti dan pakar pendidikan untuk di-desiminasi-kan kepada
kalangan pendidik dan pemerhati pendidikan sebagai rujukan dan pelengkap dalam
merealisasikan tugas mendidik di lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Agar tulisan
yang dimuat dalam jurnal forum didaktik memiliki keseragaman pola berikut disajikan
ketentuan-ketentuan naskah yang dikirim ke bagian penerbitan jurnal Forum Didaktik.
1. Naskah yang dikirim belum diterbitkan pada jurnal ilmiah yang lain.
2. Naskah yang ditulis untuk JFD meliputi hasil telaah (hanya atas undangan) dan hasil
penelitian di bidang kependidikan. Naskah diketik dengan program Microsoft Word,
menggunakan kertas ukuran A4, margin kiri;atas;kanan;bawah masing-masing 3
cm;4 cm;3 cm;3 cm.bentuk huruf Times New Roman ,ukuran 12 pts, dengan spasi
1,5. Panjang naskah maksimum 25 halaman. Pengiriman naskah melalui email :
3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Sistematika artikel hasil
penelitian adalah judul; nama penulis, abstrak disertai kata kunci; pendahuluan,
metode, hasil dan pembahasan, simpulan, serta daftar rujukan.
4. Naskah yang dimuat berupa hasil penelitian dengan format sebagai berikut.
a. Judul artikel sebaiknya tidak lebih dari 15 kata, judul artikel dalam bahasa
Inggris tidak lebih dari 12 kata. Judul dicetak tebal dengan huruf capital di
tengah-tengah, dengan ukuran 14 pts.
b. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar akademik, alamat instansi, disertai akun
email dan ditempatkan di bawah artikel. Berjarak 2 spasi dari judul, ukuran
huruf 12.
c. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris).
Abstrak berisi tujuan penelitian, pendekatan atau desain penelitian, hasil
penelitian, dan implikasi penelitian. Panjang masing-masing abstrak maksimum
150 kata. Berjarak 2 spasi dari nama penulis. Ukuran huruf 10 pts,
menggunakan rata kiri-kanan.
d. Bagian pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, dan hasil kajian literatur tentang variabel penelitian yang terkait.
Panjang pendahuluan 10-15% dari keseluruhan jumlah halaman artikel.
e. Bagian metode yang memuat pendekatan dan desain penelitian yang digunakan,
teknik dan instrumen pengumpulan data, sumber data, dan teknik pengolahan
data, analisis data yang secara nyata dilakukan oleh peneliti. Panjang halaman
10-15% dari keseluruhan jumlah halaman artikel.
f. Bagian hasil penelitian dan pembahasan yang memuat data hasil penelitian dan
pembahasan data hasil penelitian. Panjang hasil dan pembahasan penelitian 60%
dari keseluruhan jumlah halaman artikel.
iii
g. Bagian simpulan berisi temuan penelitian berupa jawaban atas pertanyaan
penelitian yang diajukan atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan
disajikan dalam bentuk esai yang komunikatif dengan kalimat variatif.
h. Daftar rujukan berisi sumber relevan , mutakhir (10 tahun terakhir), dan sumber
primer 80%. Sumber rujukan primer yang digunakan berupa artikel penelitian
dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi).
5. Pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun).
Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang
nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Hernawan, 2017:56).
6. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan
secara alfabetis dan kronologis.
Buku:
Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
Jalongo, M. R. 2007. Early Childhood Language Arts Fourth Edition. Boston: Pearson
Education.
Artikel dalam Jurnal atau Majalah:
Nurjamin, A. 2011. Tipe Isi dan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Buku Ajar SD.
Jurnal Ilmu Pendidikan, 20 (1):48-54.
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Febriani, D. F. 2017. Pengaruh Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
dan Pembelajaran Langsung Terhadap Kemampuan Penalaran dan Berpikir Kreatif
Matematis Peserta Didik. Tesis. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Makalah Seminar, Lokakarya, Penataran:
Zamzani. 2014. Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman
Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Berbasis Budaya: Sumbangan
Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Jogjakarta, Jakarta, 4-6
November.
Internet (tulisan/berita dalam Koran, tanpa nama pengarang):
Republika.co.id. 2014. Aduan Bullying Tertinggi. [Online]. Tersedia di:
http://www.republika.co.id (Rabu, 15 Oktober 2014)
7. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan untuk pembuatan naskah
terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi
hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis
artikel.
Dewan Redaksi
iv
PENGANTAR
Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat serta
nikmat-Nya kami dapat merasakan karunia melihat ciptaan-Nya yang tidak
terbatas jumlahnya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahlimpahkan
kepada tauladan umat, Nabi Muhammas SAW. Alhamdulillah, penerbitan jurnal
Forum Didaktik telah dilaksanakan dan disusun sesuai dengan sistematika
penyusunan jurnal Forum Didaktik.
Forum Didaktik adalah jurnal yang lahir dan terbentuk di bawah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pnedidikan Universitas Perjuangan Tasikmalaya. Edisi kedua
jurnal memuat delapan karya akademik yang bersumber dari hasil penelitian dan
kajian literature para dosen. Lima diantaranya berasal dari dosen tetap di
lingkungan Universitas Perjuangan Tasikmalaya, dua orang berasal dari
perguruan tinggi negeri di Kota Tasikmalaya, dan satu orang lainnya berasal dari
Sekolah Tinggi di wilayah Jawa Timur. Naskah tersebut memuat isu-isu
pendidikan, seperti media pembelajaran dan model pembelajaran.
Hasil penelitian Yusuf Suryana dan Vit Ardhyantama menyajikan
bahasan mengenai penggunaan dan pengembangan media pembelajaran, hasil
penelitian Agi Ahmad Ginanjar, Riza Fatimah Zahrah, Winarti Dwi Febriani,
Wida Mulyanti menyajikan bahasan mengenai penggunaan model pembelajaran,
hasil penelitian Fajar Nugraha menyajikan pokok bahasan kompetensi guru, dan
hasil penelitian Setyo Wati menyajikan bahasan mengenai kompetensi siswa.
Redaktur
v
DAFTAR ISI
Hal.
Dewan Redaksi …………………………………………………………... i
Petunjuk Bagi Penulis ……………………………………………………. ii
Pengantar ………………………………………………………………… iv
Daftar Isi …………………………………………………………………. v
Pembelajaran Berbasis Proyek Pendidikan Matematika Untuk
Mengembangkan Keterampilan Membuat Dan Menggunakan Media
Belajar Matematika SD
Yusuf Suryana1, Karlimah2, Ika Fitri Apriani3 ………………………….. 1
Pengaruh Metode Discovery Learning Terhadap Sikap Tanggung Jawab
Dan Kemampuan Menganalisis Cerpen Agi Ahmad Ginanjar1, Dedi Heryadi2 ……………………………………… 11
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Scientific Approach
Diintegrasikan Dengan Media Flash Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa SD
Vit Ardhyantama …………………………………………………………. 24
Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Team Pair Solo Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada
Materi Bilangan Pecahan (Penelitian Tindakan Kelas pada Materi
Bilangan Pecahan di kelas VB SDN 2 Cibodas Kecamatan Lembang) Riza Fatimah Zahrah ……………………………………………………………. 42
Affective Language Atittude of Indonesian Freshmen Towards English
Setyo Wati ………………………………………………………………... 53
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together
(NHT) Pokok Bahasan Bilangan Pecahan Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa
Winarti Dwi Febriani …………………………………………………….. 65
Penggunaan Metode Role-Play
Dalam Mengembangkan Keterampilan Berbicara
Studi Pre-Eksperimental Pada Siswa Kelas X di SMA Laboratorium UPI
Wida Mulyanti ……………………………………………………………. 82
Analisis Penguasaan Teori Belajar Dan Prinsip-prinsip Pembelajaran
Guru Di SDN 1 Nagarasari
Fajar Nugraha1, Geri Syahril Sidik2, Dina Ferisa3 ……………………... 101
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
1
PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN MEMBUAT
DAN MENGGUNAKAN MEDIA BELAJAR MATEMATIKA SD
Yusuf Suryana1, Karlimah2, Ika Fitri Apriani3
Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Mahasiswa PGSD harus mendapat pengalaman belajar yang ideal dari mulai
merencanakan sampai melaksanakan pembelajaran matematika yang baik untuk
siswa SD. Belajar dengan berbasis proyek pendidikan matematika merupakan alat
dalam penelitian ini. Sasaran akhir perkuliahan antara lain berupa media
pembelajaran matematika untuk siswa SD yang relevan dengan kebutuhan di
lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
dilaksanakan di UPI Kampus Tasikmalaya dan SD mitra. Subjek penelitian adalah
mahasiswa PGSD semester IV tahun akademik 2016/2017. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan menggunakan pembelajaran berbasis proyek pada mata
kuliah pendidikan matematika, mahasiswa telah mampu merencanakan, membuat
dan mempraktikan media belajar matematika SD dengan baik.
Kata Kunci: media belajar, pembelajaran berbasis proyek, pendidikan
matematika
PENDAHULUAN
Mahasiswa PGSD adalah calon
guru SD yang diharapkan memiliki
kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional
(Permendiknas No. 16 Tahun 2007).
Sesuai dengan itu secara spesifik
diarahkan oleh kualifikasi level 6
KKNI yang memiliki empat
parameter generik (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No.
8 Tahun 2012). Keempat parameter
itu mendeskripsikan mahasiswa
untuk memiliki; 1) penguasaan
teoretis secara mendalam dan
mampu membuat formulasi
penyelesaian masalah, 2)
kemampuan menentukan dan
mengaplikasikan keahlian serta
pemanfaatan IPTEKS sebagai bentuk
adaptasi dan penyelesaian masalah,
3) kemampuan menentukan
keputusan dan petunjuk berdasar
analisis informasi untuk memberikan
alternatif solusi secara mandiri dan
kelompok, dan 4) tanggungjawab
2
pada pekerjaan dan capaiannya
secara mandiri dan kelompok
(Permendikbud No. 73 Tahun 2013).
Salah satu mata kuliah yang
memfasilitasi kemampuan
mahasiswa calon guru sekolah dasar
adalah pendidikan matematika.
Tujuan mata kuliah Pendidikan
Matematika adalah mahasiswa
diharapkan dapat menjelaskan dan
menerapkan konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari. Secara
khusus mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menguasai materi-materi
pembelajaran matematika SD
yang berhubungan dengan konsep
geometri, bangun ruang, bangun
datar, pecahan, perbandingan,
skala, bilangan rasional, bilangan
irasional, pengukuran, dan
pengolahan data.
2. Terampil mengerjakan materi-
materi pembelajaran matematika
SD yang berhubungan dengan
materi bangun datar, bangun
ruang, pecahan, perbandingan,
skala, bilangan, rasional,
irasional, pengukuran, dan
pengolahan data.
3. Terampil membuat alat peraga
materi-materi pembelajaran
matematika di SD yang
berhubungan dengan bangun
datar, bangun ruang, pecahan,
perbandingan, skala, bilangan
rasional, irasional, pengukuran,
dan pengolahan data.
4. Terampil melakukan penilaian
materi-materi pembelajaran
matematika SD yang
berhubungan dengan bangun
datar, bangun ruang, pecahan,
skala, perbandingan, bilangan
rasional, irasional, pengukuran,
dan pengolahan data sebelum
pembelajaran, selama proses
pembelajaran, ataupun setelah
selesai pembelajaran.
Berdasarkan pengalaman
peneliti yang bertugas sebagai dosen
Pendidikan Matematika, perkuliahan
yang dilakukan selama ini terasa
monoton. Mahasiswa diberi tugas
untuk menyusun makalah dengan
materi tertentu dan dipresentasikan
di depan kelas. Setiap pertemuan
akan tampil satu kelompok
mahasiswa. Selain presentasi,
mahasiswa juga diberi tugas-tugas
dan dikumpulkan di akhir
perkuliahan. Hal ini mengakibatkan
dosen kurang mengetahui sejauh
mana tingkat penguasaan konsep dan
keterampilan mahasiswa tentang
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
3
Pendidikan Matematika SD. Oleh
karena itu, peneliti bermaksud
menerapkan suatu model yang
memberikan fasilitas belajar yang
tepat, supaya menghasilkan calon
guru yang mumpuni. Salah satu
model pembelajaran inovatif tersebut
adalah model pembelajaran berbasis
proyek. Pembelajaran berbasis
proyek (project based learning)
merupakan model pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada
guru untuk mengelola pembelajaran
di kelas dengan melibatkan kerja
proyek (Wena, 2011:144).
Melalui pembelajaran berbasis
proyek, mahasiswa diharapkan dapat
menghasilkan produk pembelajaran
matematika berupa media belajar
matematika SD buatan sendiri yang
representatif. Hasil penelitian Beres
(2011: 49) mengungkapkan bahwa
pembelajaran berbasis proyek
membuat peserta didik lebih
termotivasi dalam pembelajaran.
METODE
Penelitian ini termasuk ke
dalam penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian ini dilaksanakan pada
mahasiswa semester IV tahun ajaran
2016/2017. Peneliti membimbing
langsung proses perkuliahan
menggunakan model pembelajaran
berbasis proyek (Project Based
Learning). Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan
wawancara, observasi dan angket.
Pada tahap awal penelitian, peneliti
menyampaikan orientasi dan program
perkuliahan berbasis proyek
pengembangan ragam media belajar
matematika di SD. Peneliti pun
memberi petunjuk kepada mahasiswa
tentang beberapa proyek yang akan
dilaksanakanakan pada mata kuliah
Pendidikan Matematika. Mekanisme
dalam pembelajaran berbasis proyek
ini adalah mahasiswa melakukan
observasi langsung terhadap
pembelajaran matematika di SD.
Berdasarkan hasil observasi tersebut,
maka ditemukan beberapa materi
matematika terpilih, diantaranya
materi nilai tempat, luas daerah
trapesium, bilangan bulat, KPK,
perkalian, membandingkan pecahan,
dan FPB. Berdasarkan beberapa
materi terpilih tersebut, maka
dibentuklah 7 kelompok mahasiswa.
Masing-masing kelompok terdiri dari
5 mahasiswa.
4
Data yang diperoleh dalam
penelitian ini kemudian dianalisis
dengan meliputi kegiatan:
a. Reduksi Data
b. Penyajian Data
c. Verivikasi data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan dalam pelaksanaan
pembelajaran berbasis proyek pada
mata kuliah Pendidikan Matematika
dapat dilihat pada bagan berikut.
Tahap Persiapan Penelitian
1. Membuat silabus dan SAP Model Belajar Berbasis Proyek (Project-Based Learning) pengembangan
ragam media pembelajaran matematika SD
(2 pertemuan)
2. Membuat Lembar Proyek Mahasiswa tentang
pengembangan rencana dan media pembelajaran
matematika SD
(4 pertemuan)
3. Membuat instrumen pembelajaran tentang pengembangan rencana dan media pembelajaran
matematika SD ditinjau dari rencana dan hasil
mahasiswa observasi sebagai upaya mengembangkan
rencana dan media pembelajaran matematika SD
(format penilaian kemampua konsep matematika,
penilaian rencana pembelajaran, dan penilaian media
pembelajaran matematika) (4 pertemuan)
Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pertemuan 1 : Menyampaikan orientasi dan
program perkuliahan berbasis
proyek pengembangan ragam
media belajar matematika di
SD
Pertemuan 2 : Meninjau 7 kelompok kerja
mahasiswa yang terbentuk;
mendiskusikan konteks
pembelajaran matematika
dan ruang lingkup materi yang
dipelajari siswa SD menurut
kurikulum yang digunakan;
menginventarisasi
topik/materi matematika SD
yang sarat akan penggunaan
media belajar
Pertemuan 3 : Mendiskusikan rencana,
proses, dan media belajar
yang representatif untuk
topik/materi matematika yang
terpilih; Menunjukkan RPP,
dan mendemonstrasikan
beberapa media belajar yang
representatif
Pertemuan 4 : Mendiskusikan dan
merancang instrumen
pembelajaran matematika
yang representatif; membuat
surat izin sebagai persiapan
observasi ke SD
Pertemuan 5-12 : Observasi ke SD untuk
menghimpun potret kegiatan
belajar matematika di kelas I-
VI; menginventarisir rencana
dan media belajar matematika
yang digunakan pada
pembelajaran matematika di
kelas I-VI; mendiskusikan
perbaikan rencana dan media
belajar matematika yang
tepat untuk materi yang
dimaksud; mengerjakan
perbaikan/modifikasi rencana
dan media belajar
matematika; Remanfaat
rencana dan media belajar
matematika di SD
Pertemuan 13-16: Presentasi setiap kelompok
tentang temuan masalah,
rencana kerja, proses dan
hasil kerja, dan hasil
remanfaat rencana dan media
belajar matematika yang telah
resepresentatif
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
5
Penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan mahasiswa PGSD
yang terampil merencanakan dan
baik dalam melaksanakan
pembelajaran matematika SD yang
dilengkapi dengan media belajar
yang tepat. Penelitian ini
dilaksanakan pada mahasiswa
semester IV tahun ajaran 2016/2017.
Peneliti membimbing langsung
proses perkuliahan menggunakan
model pembelajaran berbasis proyek
(Project Based Learning). Pada
tahap awal penelitian, peneliti
menyampaikan orientasi dan
program perkuliahan berbasis proyek
pengembangan ragam media belajar
matematika di SD. Peneliti pun
memberi petunjuk kepada mahasiswa
tentang beberapa proyek yang akan
dilaksanakanakan pada mata kuliah
Pendidikan Matematika. Mekanisme
dalam pembelajaran berbasis proyek
ini adalah mahasiswa melakukan
observasi langsung terhadap
pembelajaran matematika di SD.
Berdasarkan hasil observasi
tersebut, maka ditemukan beberapa
materi matematika terpilih,
diantaranya materi nilai tempat, luas
daerah trapesium, bilangan bulat,
KPK, perkalian, membandingkan
pecahan, dan FPB. Berdasarkan
beberapa materi terpilih tersebut,
maka dibentuklah tujuh kelompok
mahasiswa. Masing-masing
kelompok terdiri dari lima
mahasiswa.
Media kelompok A diberi nama
KONITA (Kotak Nilai Tempat
Ajaib). Media KONITA ini
digunakan untuk membantu guru
dalam menyampaikan konsep nilai
tempat di kelas II. Kelompok B
membuat media pada materi luas
daerah trapesium. Media Ini diberi
nama RABDIUM (Resleting Ajaib
Bangun Datar Trapesium).
Kelompok C membuat alat peraga
tentang materi Bilangan Bulat.
Media ini diberi nama CILON
BILBUL (Kelinci Loncat Bilangan
Bulat). Kelompok D membuat media
untuk materi KPK. Media ini diberi
nama Dekak KPK. Kelompok E
membuat media tentang materi
Tahap Evaluasi & Pelaporan
Penelitian
1. Menyusun hasil analisis catatan proses perkuliahan
Model Project-Based Learning 2. Menyusun hasil langkah kerja/proyek mahasiswa
dalam pengembangan ragam media pembelajaran matematika SD
3. Mendeskripsikan hasil proyek pengembangan ragam media pembelajaran matematika SD
6
perkalian yang diberi nama Pohon
Perkalian. Kelompok F membuat
sebuah media yang dinamakan Roda
Pecahan. Roda pecahan ini
digunakan untuk membantu guru
dalam menyampaikan materi
membandingkan pecahan. Kelompok
G membuat sebuah media pada
materi FPB yang diberi nama Magic
Board FPB. Berikut adalah beberapa
gambar media yang dibuat oleh
mahasiswa:
Gambar 1 Media KONITA
(Kotak Nilai Tempat Ajaib)
Gambar 2 Media RABDIUM
(Resleting Ajaib Bangun Datar
Trapesium)
Gambar 3. CILON BILBUL
(Kelinci Loncat Bilangan Bulat)
Gambar 4 DEKAK KPK
Gambar 5 Pohon Perkalian
Gambar 6 Roda Pecahan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
7
Gambar 7 Magic Board FPB
Ketujuh kelompok
mahasiswa diminta untuk menyusun
rencana pembelajaran beserta media
yang akan digunakan dalam
pembelajaran matematika. Setiap
minggu mahasiswa mem-
presentasikan hasil proyek di depan
kelas. Tim peneliti melakukan
penilaian terhadap kemampuan
mahasiswa dalam menyusun rencana
pembelajaran (RPP), kemampuan
konsep matematika, media belajar
matematika, buku petunjuk
penggunaan media, dan penilaian
terhadap praktik pembelajaran
dengan menggunakan media yang
telah dibuat. Setelah mahasiswa
mempresentasikan hasil kerjanya,
terdapat beberapa saran/masukan
untuk memperbaiki produk yang
telah dibuat. Instrumen penelitian
yang digunakan berupa angket.
Berikut adalah data penilaian
terhadap media pembelajaran
matematika yang dibuat mahasiswa.
Tabel 1. Data Penilaian Media
Belajar Matematika
INDIKATOR NILAI KELOMPOK
A B C D E F G
Kemenarikan
tampilan secara
keseluruhan
4 3 4 4 3 3 4
Pemilihan warna
menarik 3 2 4 4 3 3 5
Kemudahan untuk
dimanipulasi 5 4 4 5 4 5 3
Kemungkinan bisa
digunakan dalam
jangka waktu yang
relatif lama
4 4 3 3 4 4 3
Dapat dilihat oleh
siswa yang duduk di
barisan paling
belakang
2 4 3 3 2 3 3
Kebaruan dalam
penyusunan media
pembelajaran
3 5 4 4 4 5 4
Bentuk media
bersifat sederhana,
sistematis dan
mudah dipahami
anak
3 3 4 4 4 4 4
Media tidak
membutuhkan 4 3 3 3 3 3 3
8
perawatan khusus
Media pembelajaran
memudahkan siswa
memahami konsep
3 2 2 5 5 4 3
Media dapat
membuat siswa lebih
aktif dalam proses
pembelajaran
4 3 3 4 4 3 4
Penggunaan media
mudah dan praktis 4 3 2 4 4 4 4
Penyimpanan media
mudah dan praktis 4 3 3 4 4 4 4
Media pembelajaran
dapat membantu
guru dalam
menyampaikan
konsep dengan jelas
4 2 3 5 5 5 4
Kesesuaian media
dengan materi yang
disampaikan
5 3 3 5 4 4 5
Ketepatan pemilihan
bentuk media 4 3 3 5 4 4 4
Pemilihan media
sesuai dengan
perkembangan anak
SD
5 4 3 4 4 4 4
Penggunaan media
dapat menghemat
waktu dalam
menyampaikan
materi
3 3 2 4 3 3 3
Produk media dapat 4 4 4 5 4 5 5
digunakan berulang-
ulang
Jumlah
68
58
57
75
68
70
69
Rata-Rata Nilai
3,7
8
3,2
2
3,1
7
4,1
7
3,7
8
3,8
9
3,8
3
Persentase
75
,6
64
,4
63
,4
83
,3
75
,6
77
,8
76
,6
Secara umum diperoleh
informasi bahwa kelompok A
mencapai kemampuan 75,56%,
kelompok B mencapai 64,44%,
kelompok C mencapai 62,22%,
kelompok D mencapai 83,33%,
kelompok E mencapai 74,44%,
kelompok F mencapai 77,78%, dan
kelompok G mencapai 75,56%.
Berdasarkan hasil pengamatan,
kelompok D memiliki nilai tertinggi
dengan memperoleh nilai akhir 4,17
(83,3%).
Setelah mahasiswa membuat
dan merevisi media pembelajaran,
tahap selanjutnya yaitu
melaksanakan pembelajaran
matematika dengan menggunakan
media tersebut. Kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan
dengan menggunakan media
pembelajaran berpengaruh kepada
perkembangan kognitif siswa. Dalam
tahapan perkembangan kognitif
manusia tumbuh melalui empat
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
9
tahapan, salah satu dari empat
tahapan tersebut adalah anak yang
berusia 7-12 tahun berada pada
operasi konkret yang sesuai dengan
siswa SD di mana masih
memerlukan bantuan benda-benda
konkret untuk dimanipulasi sehingga
membantunya dalam berpikir
abstrak. Selain itu, terdapat tiga
proses belajar yang dilewati oleh
siswa, yaitu: pertama, enactive yaitu
tahap dengan secara langsung siswa
terlibat dalam memanipulasi objek;
kedua, iconic yaitu tahap
pembelajaran siswa memanipulasi
dengan gambaran dari objek-objek
yang dimanipulasikan; ketiga,
simbolik yaitu tahap pembelajaran
siswa memanipulasi simbol-simbol
(Bruner, dalam Subarinah, 2006,
hlm. 3).
PENUTUP
Simpulan
Implementasi model pembelajaran
berbasis proyek terbukti dapat
memberi kontribusi pada ranah
teoretis dan praktik pembelajaran
pendidikan matematika untuk
mahasiswa PGSD, meningkatkan
kemampuan membuat rencana
pembelajaran matematika SD dan
media belajar matematika yang
representatatif.
Saran
Pembelajaran berbasis proyek dapat
dijadikan sebagai model alternatif
untuk dilaksanakan pada perkuliahan
Pendidikan Matematika. Proyek
sebaiknya dikembangkan, tidak
hanya untuk membuat media
pembelajaran, tetapi juga untuk alat
evaluasi.
Daftar Pustaka
Beres, P.J. 2011. Project based
learning and its effect on
motivation in the adolescent
mathematics classroom.
Education and Human
Development dari
http://digitalcommons.brockpor
t.edu/ehdtheses/39
Subarinah, S. 2006. Inovasi
pembelajaran matematika.
Jakarta: Depdiknas.
Surat Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia
Nomor 045/U/2002 tentang
Kurikulum Inti Pendidikan
Tinggi.
Surat Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2007 tentang
10
Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru
Surat Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 73 Tahun
2013 tentang Penerapan
Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia Bidang Pendidikan
Tinggi.
Wena, Made. 2011. Strategi
Pembelajaran Inovatif
Kontemporer. Jakarta: Bumi
Aksara.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
11
PENGARUH METODE DISCOVERY LEARNING TERHADAP
SIKAP TANGGUNG JAWAB DAN KEMAMPUAN
MENGANALISIS CERPEN
Agi Ahmad Ginanjar1, Dedi Heryadi2
Universitas Siliwangi
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode discovery learning
terhadap sikap tanggung jawab dan kemampuan menganalisis teks cerpen pada siswa kelas
XI SMK Cendikia Kabupaten Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode quasi experiment dengan menggunakan desain penelitian pre and posttest design.
Data sikap tanggung jawab dikumpulkan dengan teknik angket dan pengamatan sedangkan
data kemampuan menganalisis teks cerpen dikumpulkan dengan teknik tes. Selanjutnya
data tersebut dianalisis statsitik menggunakan uji beda dua rata-rata dengan teknik uji t
independen samples test. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan: 1) terdapat
perbedaan sikap tanggung jawab secara siginifikan antara siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan metode discovey learning dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional dengan perolehan nilai t-hitung
sebesar 6,189 dan nilai Sign. 0,000< 0,05, 2) terdapat perbedaan kemampuan menganalisis
teks cerpensecara signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
discovey learning dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional
dengan perolehan nilai t-hitung sebesar 13,504 dan nilai Sign. 0,000 < 0,05. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode discovery learning berpengaruhterhadap sikap tanggung jawab
dan kemampuan menganalisis cerpen.
Kata Kunci: Discovery Learning, Tanggung Jawab, Cerpen
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the effect of discovery learning method on the
attitude of responsibility and ability to analyze short story text on the students of class XI
SMK Cendikia Tasikmalaya. The research method used is quasi experiment method using
pre and posttest design research design. The data of responsibility attitude were collected
by questionnaire and observation technique while the data of ability to analyze the short
story text were collected by the test technique. Furthermore, the data is analyzed statistic
using two different test average with independent t test technique samples test. Based on the
results of data analysis shows: 1) there are differences of responsibility attitude
significantly between students who follow the learning by using the method of discovey
learning with students who follow the learning with conventional methods with the
acquisition of t-count value of 6.189 and Sign value. 0,000 <0,05,2) there is a difference of
ability to analyze text of short story significantly between students who follow learning
with method of discovey learning with student who follow learning by conventional
method with t-hit value equal to 13,504 and Sign value. 0,000 <0.05. So it can be
concluded that discovery learning method affect the attitude of responsibility and ability to
analyze short story.
Keywords: Discovery Learning, Responsibility, Short Story
12
PENDAHULUAN
Cerpen merupakan salah satu karya
sastra yang termasuk ke dalam genre
prosa fiksi. Di dalam cerpen
disajikan cerita tentang sebuah
peritiwa yang melibatkan konflik
seorang tokoh yang diuraikan dengan
cara-cara terbatas namun lengkap
dan jelas, sehinggacerita tersebut
mampu memberikan dampak emotif
bagi pembaca. Selain itu, di dalam
cerpen terdapat nilai-nilai yang
dapat dihayati dan teladani sehingga
dapat memberikan pelajaran
intelektual, emosional dan sosial
dalam rangka memperhalus budi
pekerti. Proses pemerolehan nilai
positif dari cerpen dapat dilakukan
melalui kegiatan mengapresiasi
cerpen dengan kegiatan menganalisis
cerpen baik dari segi struktur
maupun makna cerpen.Oleh karena
itu, kegiatan menganalisis cerpen
dijadikan salah satu kompetensi
dasar di sekolah. Melalui
pembelajaran menganalisis cerpen
diharapkan siswa memiliki
kecerdasan emosional, sosial,
intelektual lebih baik lagi.
Kondisi pembelajaran sastra
yang ada saat ini belum
menunjukkan hasil yang sesuai
dengan harapan. Abidin (2012: 217)
mengungkapkan bahwa
pembelajaran sastra masih banyak
memiliki problematika terutama
ditinjau dari aspek guru, siswa,
kurikulum dan materi, metode
pembelajaran, dan sarana. Kondisi
ini ditunjukkan oleh kenyataan
bahwa pembelajaran sastra sampai
kini, masih mengarah pada hafalan
teori dan sejarah sastra. Hal ini
sejalan dengan Depdiknas (2006: 1)
yang menyatakan bahwa
pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti
berhasil dalam kompetensi
‘mengingat’ jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali anak
memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang. Hal ini
yang terjadi di sekolah-sekolah kita.
Sudah seharusnya dewasa ini
pembelajaran bukan hanya sekadar
berorientasi terahdap hafalan, akan
tetapi terhadap sikap siswa. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 pasal 3 disebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
13
mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Salah satu fungsi pendidikan
yang tedapat dalam undang-
undangan di atas adalah
mengembangkan sikap tanggung
jawab. Tirtarahardja dan Sulo (2005:
8) mengungkapkan bahwa tanggung
jawab diartikan sebagai keberanian
untuk menentukan sesuatu perbuatan
sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia, dan bahwa hanya karena itu
perbuatan tersebut dilakukan
sehingga sanksi apa pun yang
dituntutkan (oleh kata hati, oleh
masyarakat, oleh norma-norma
agama) diterima dengan penuh
kesadaran dan kerelaan. Lebih lanjut
Zubaedi (2011: 78) menyatakan
“Tanggung jawab (responsibility)
maksudnya mampu
mempertanggungjawabkan serta
memiliki perasaan untuk memenuhi
tugas dengan dapat dipercaya,
mandiri, dan berkomitmen”. Lebih
sederhana Wuryanano (2007)
menyatakan, “Tanggung jawab
adalah siap menerima kewajiban atau
tugas”. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat diuraikan ciri-ciri
tanggung jawab yaitu: (1)
melaksanakan tugas yang diberikan
guru, (2) memberikan alasan dalam
menentukan bagian-bagian unsur
interinsik cerpen, (3) tidak bekerja
sama ketika dilaksanakan tes
individu, (4) melakukan tugas
sendiri dengan senang hati, (5) ketika
belajar kelompok dapat membuat
keputusan yang berbeda dari teman
kelompoknya, (6) mempunyai minat
untuk menganalisis cerpen, (7)
menghormati dan menghargai
skenario pembelajaran, dan (8) dapat
konsentrasi dalam setiap suasana
belajar.
Dalam pendidikan aspek yang
berperan dalam mengarahkan dan
mendidik siswa untuk
mengoptimalkan potensi dirinya
adalah pembelajaran. Sebagaimana
diungkapkan Reigeluth (dalam
Yamin, 2012: 70), “Pembelajaran
merupakan salah satu sub sistem dari
sistem pendidikan di samping
kurikulum, konseling, administrasi,
dan evaluasi.” Meskipun
14
pembelajaran hanya bagian dari sub
sistem pendidikan. Akan tetapi,
dalam pembelajaranlah manusia
dibimbing dan diarahkan oleh guru
untuk berkembang lebih baik. Oleh
karena itu, proses pembelajaran
dapat menentukan baik dan tidaknya
hasil pendidikan. Dalam proses
pembelajaran ada beberapa aspek
yang satu sama lain saling
keterkaitan. Aspek tersebut meliputi
guru, murid, materi pelajaran atau
kurikulum pembelajaran, metode
pembelajaran dan sarana.
Salah satu metode
pembelajaran yang mampu
mengarahkan siswa menjadi aktif,
kreatif, dan sikap siswa dalam
pembelajaran menjadi lebih baik
adalah metode discovery learning.
Dahar (2014: 74) mengungkapkan
bahwa discovery learning merupakan
sebuah metode pembelajaran yang
dilandasi teori Burner dengan hasil
penelitiannya yang meliputi persepsi
manusia, motivasi, belajar, dan
berpikir. Dalam mempelajari
manusia, ia menganggap manusia
sebagai pemproses, pemikir, dan
pencipta informasi. Selanjutnya,
diungkapkan bahwa inti belajar yang
terpenting ialah cara orang memilih,
mempertahankan, dan men-
transformasikan informasi secara
aktif.
Lebih lanjut Dahar (2014: 80)
mengungkapkan bahwa
pembelajaran penemuan
menunjukkan beberapa kelebihan.
Pertama, pengetahuan itu bertahan
lama atau lama diingat atau lebih
mudah diingat bila dibandingkan
dengan pengetahuan yang dipelajari
dengan cara lain. Kedua, hasil belajar
penemuan mempunyai efek transfer
yang lebih baik daripada hasil belajar
lainnya. Ketiga, secara menyeluruh
belejar penemuan meningkatkan
penalaran siswa dan kemempuan
untuk berpikir secara bebas. Belajar
penemuan membangkitkan
keingintahuan siswa, memberi
motivasi untuk bekerja terus sampai
menemukan jawaban-jawaban.
Pendekatan ini dapat mengajarkan
keterampilan memecahkan masalah
tanpa pertolongan orang lain dan
meminta para siswa untuk
menganalisis tidak hanya menerima
saja.
Berdasarkan hal tersebut di
atas, sebagai salah satu langkah
untuk mencari alternatif pencapaian
tujuan pembelajaran sastra dan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
15
tujuan pendidikan yang bukan hanya
sebatas berorientasi terhadap target
hafalan siswa akan tetapi
mengembangkan juga potensi sikap
siswa. Peneliti melakukan sebuah
eksperimen dengan mengujicobakan
metode discovery learning untuk
mengetahui pengaruh metode metode
discovery learningterhadap sikap
tanggung jawab dan kemampuan
siswa dalam menganalisis teks
cerpen.
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini
digunakan metode quasi
experiment.Penerapan metode
eksperimen semu (quasi experiment)
dilaksanakan dengan menggunakan
desain penelitian pre-and posttest
design sebagai berikut.
Pre- and Posttest Design Time
Select Control Group Pretes No Treatment Posttest
Select Eksperimental
Group Pretest
Experimental
Treatment Posttest
Desain Penelitian (Sumber : Creswell, 2012 : 310)
Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa kelas XI SMK Cendikia
yang terdiri dari tujuhkelas dari dua
kompetensi keahlian yaitu
kompetensi bidang komputer empat
kelas dan kompetensi keahlian
bidang otomotif sebanyak tiga kelas.
Pengambilan sampel terlebih dahulu
dilakukan dengan teknik cluster
random sampling, yaitu dengan
terlebih dahulu memilih dua kelas
dari masing-masing kompetensi
keahlian sebagai sampel penelitian,
yang selanjutnya dari masing-masing
perwakilan kelompok keahlian
ditentukan sebagai sampel untuk
kelompok eksperimen dan sampel
untuk kelompok kontrol dengan
teknik simple random sampling. Jadi
dalam kelompok eksperimen maupun
kontrol terdiri atas dua kelas dari
masing-masing kompetensi keahilan
komputer dan otomotif.
Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan
dengan teknik angket dan
pengamatan untuk memperoleh data
sikap tanggung jawab. Teknik tes
tulis dengan jenis soal esai dalam dua
tahap yaitu pretest dan
posttestdilakukan untuk memperoleh
16
data kemampuan menganalisis tek
cerpen.
Data hasil penelitian diolah
dengan menggunakan bantuan
program SPSS 21yang dilakukan
pada tahap uji normalitas, uji
homogenitas, dan uji hipotesis. Data
yang diuji meliputi data sikap
tanggung jawab siswa, dan data
kemampuan siswa menganalisis teks
cerpen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil uji statistik data sikap
tanggung jawab siswa diperoleh
perbedaan yang signifikan antara
sikap tanggung jawab yang
mengikuti pembelajaran dengan
metode discovery learning dan siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan
metode konvensional. Hasil uji
statistik atas sikap tanggung jawab
siswa disajikan dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 1
Hasil Uji t Independent Samples Test Sikap Tanggung Jawab Siswa
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig.
(2-
tailed
)
Mean
Differenc
e
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Sikap
Tang
gung
Jaw-
ab
Equal variances
assumed 18.474 .000 6.157 101 .000 11.07256 1.79837 7.50507 14.64005
Equal variances
not assumed 6.189 79.615 .000 11.07256 1.78896 7.51215 14.63297
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
17
Tabel di atas menunjukkan hasil uji
statistik terhadap sikap tanggung
jawab dengan pasangan hipotesis
yang dibuat untuk pengujian satu
arah, maka kriteria pengujiannya,
jika P(Sig. (2-tailed))/2 < 0,05 maka
tolak . Ternyata untuk varians
yang diasumsikan sama memiliki
nilai t’ sebesar 6,189 dengan Sig. (2-
tailed)/2 = 0,000/2 < 0,05, maka
ditolak. Artinya sikap siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan
metode discovery learning lebih baik
daripada sikap siswa yang
memperoleh pembelajaran
biasa.Hasil pengujian pada hipotesis
ini mengindikasikan bahwa adanya
pengaruh positif penggunaan metode
discovery learning terhadap sikap
tanggung jawab siswa.
Hasil uji statistik terhadap
peningkatan kemampuan siswa
menganalisis teks cerpen dari pretets
ke posttest diperoleh perbedaan yang
siginifikan antara kelompok sisiwa
yang mengikuti pembelajaran dengan
metode discovery learning dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan metode konvensional. Hasil
uji statistik terhadap kemampuan
menganalisis teks cerpen disajikan
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2
Hasil Uji t Independent Samples Test Kemampuan Menganalisis Teks Cerpen
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T df Sig. (2-
tailed)
Mean
Differen
-ce
Std.
Error
Diffe-
rence
95% Confidence
Interval of
theDifference
Lower Upper
Gain
Kemampuan
Menganalisis
Teks cerpen
Equalvarian
ces assumed ,397 ,530 13,504 92 ,000 ,39179 ,02901 ,33417 ,44941
Equalvarian
ces not
assumed
13,457 87,995 ,000 ,39179 ,02911 ,33393 ,44965
Tabel di atas
menunjukkanhasil uji statistik uji
beda dua rata-rata terhadap
kemampuan menganslisis teks
cerpen dengan pasangan hipotesis uji
tersebutuntuk pengujian satu arah,
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
18
maka kriteria pengujiannya, jika
P(Sig. (2-tailed)/2 < 0,05 maka tolak
. Ternyata untuk varians yang
diasumsikan sama memiliki nilai t-
hitung sebesar 13,504 dengan Sig.
(2-tailed)/2 = 0,000/2 < 0,05, maka
ditolak. Artinya peningkatan
Kemampuan menganalisis teks
cerpen siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan menggunakan
discovery learning lebih besar
daripada peningkatan kemampuan
menganalisis teks cerpen siswa yang
memperoleh pembelajaran
biasa.Hasil pengujian pada hipotesis
ini mengindikasikan adanya
pengaruh penggunaan metode
discovery learning terhadap
kemampuan menganalisis teks
cerpen.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis
data diperolah hasil bahwa nilai rata-
rata sikap tanggung jawab siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan
metode discovery learning mencapai
78,32, sedangkan nilai rata-rata sikap
tanggung jawab siswa yang
mengikuti pembelajaran
konvensional mencapai 67,25.
Dengan demikian nilai rata-rata
sikap tanggung jawab siswa yang
mengikuti pembelajaran discovery
learning lebih besar daripada rata-
rata sikap tanggung jawab siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan
metode konvensional.Hasil uji
satistika diperoleh t-hitung 6,189> t-
tabel 1,664. Dengan demikian hasil
analisis uji t menunjukkan adanya
perbedaan antara kedua kelompok.
Taraf signifikansi perbedaan tersebut
dengan tingkat kepercayaan 95%,
diperoleh nilai Sig. (2-tailed)/2 =
0,000/2 < 0,05. Artinya perbedaan
sikap tanggung jawab kedua
kelompok tersebut signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh
metode discoverylearning terhadap
sikap tanggung jawab siswa.Hal ini
disebabkan dalam metode discovery
learning tersusun langkah-langkah
pembalajaran dapat menumbuhkan
sikap tanggung jawab siswa. Sikap
tanggung jawab pada prinsipnya
adalah respon siswa terhadap
stimulus yang terdapat dalam metode
discovery learning.
Pada tahap awal
pembelajaran dengan metode
discovery learning. Siswa diberi
stimulus berupa pemutaran
penggalan cerpen dengan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
19
menggunakan media audio. Motivasi
siswa dalam mengawali
pembelajaran terlihat lebih semangat
hal ini sesuai dengan salah satu
indikator tanggung jawab yaitu siswa
memiliki minat untuk menganalisis
teks cerpen. Hal ini sejalan dengan
Sari (2012) yang menungkapkan
hasil penelitiannya bahwa metode
discovery learning berpengaruh
terhadap motivasi belajar sebesar
50,4%.Diawali dengan tumbuhnya
minat dalam diri siswa, sikap
tanggung jawab siswa ditunjukkan
kembali dalam tahap membaca cerita
pendek yang telah peneliti sediakan.
Konsentrasi siswa ketika membaca
yang telah dibekali pengetahuan
awal isi teks cerpen dalam kegiatan
sebelumnya terlihat sangat baik,
kesungguhan mereka terlihat dalam
kegiatan membaca tersebut. Hal ini
juga menunjukkan sesuai dengan ciri
sikap tanggung jawab
yaitukonsentrasi dalam belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran
dengan metode discovery learning,
kegiatan selanjutnya siswa
membentuk kelompok untuk
membahas permasalahan analisis
teks cerpen yang dibacanya dengan
hasil analsis yang sudah peneliti
rekayasa kesalahannya sehingga
memunculkan permasalahan yang
perlu siswa diskusikan. Pada tahap
diskusi ini terjadi silang pendapat
antar kelompok yang satu sama lain
memiliki alasan yang baik untuk
pendapatnya. Selain dalam kelompok
silang pendapat juga terjadi ketika
perwakilan tiap kelompok
melaporkan hasil diskusinya yang
ditanggapi oleh kelompok lain. Hal
ini pun mencerminkan sikap
tanggung jawab yang sesuai dengan
ciri tanggung jawab yaitu berani
berpendapat meskipun berbeda
dengan yang lain.
Sikap tanggung jawab siswa
ditunjukkan juga ketika siswa
mengerjakan tugas individu. Semua
siswa mengerjakan dengan sungguh-
sungguh dan terlihat percaya diri.
Hal ini disebabkan karena dalam
tahapan-tahapan sebelumnya siswa
sudah memiliki pemahaman yang
sangat baik, sehingga ketika
dihadapkan dengan tugas individu
mereka sudah siap mengerjakan
dengan senang. Selanjutnya sikap
tanggung jawab siswa dalam
pembelajaran menganalisis teks
cerpen ditunjukkan dari hasil kerja
siswa yang memperlihatkan hasil
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
20
analisis yang jelas, sebab mereka
sebelumnya telah belajar dari
masalah analisis yang telah disiapkan
guru dalam proses pembelajaran.
Kemampuan siswa memaparkan
hasil analisis yang disertai penjelasan
logis mecerminkan sikap tanggung
jawab yaitu mampu memberikan
penjelasan tentang yang
dikerjakannya.
Hal lain yang menjadi
cerminan sikap tanggung jawab
siswa dalam pembelajaran dengan
metode discovery learning adalah
siswa mampu mengikuti skenario
dan pembelajaran discovery learning
yang masih dianggap baru oleh siswa
dengan baik. Hal ini peneliti pandang
karena dengan tahapan yang diawali
dengan stimulus untuk
menumbuhkan motivasi dan minat
belajar melahirkan kesungguhan
siswa dalam belajar sehingga
tahapan pembelajaran yang masih
baru pun dapat dilalui siswa dengan
baik.Berdasarkan paparan di atas,
tergambarkan bahwa sikap siswa
dalam melaksanakan pembelajaran
dengan metode discovery learning
menunjukkan sikap yang sesuai
dengan ciri-ciri sikap tanggung
jawab selama mengikuti
pembelajaran.
Sementara itu, nilai rata-rata
peningkatan kemampuan siswa
dalam menganalisis teks cerpen yang
mengikuti pembelajaran dengan
metode discovery learning mencapai
0,679, sedangkan nilai rata-rata
peningkatan kemampuan siswa
dalam menganalisis teks cerpen yang
mengikuti pembelajaran dengan
metode konvensional mencapai
0,287. Dengan demikian nilai rata-
rata kemampuan menganalisis teks
cerpen siswa yang mengikuti
pembelajaran discovery learning
lebih besar daripada rata-rata
kemampuan menganalisis teks
cerpen siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode
konvensional. Hasiluji statistik
peningkatan kemampuan siswa
dalam menganalisis teks cerpen
untuk kedua kelompok diperoleh
nilai t-hitung 13,504 > t-tabel 1,662.
Dengan demikian terdapat perbedaan
rata-rata kemampuan siswa dalam
menganalsis teks cerpen pada kedua
kelompok. Taraf signifikansi
perbedaan tersebut dengan tingkat
kepercayaan 95%, diperoleh nilai
Sig. (2-tailed)/2 = 0,000/2 < 0,05.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
21
Artinya perbedaan kemampuan
menganalisis teks cerpen pada kedua
kelompok tersebut signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh
metode discovery learning terhadap
kemampuan siswa dalam
menganalisis teks cerpen. Adanya
pengaruh dalam pembelajaran
dengan metode discovery learning
disebabkan karena dalam
pembelajaran dengan menggunakan
metode discovery learning memiliki
beberapa kelebihan.
Dalam kelompok discovery
learning paradigma pembelajaran
yang bersifat berpusat pada guru
berubah menjadi student centered.
Siswa diarahkan untuk aktif sehingga
mereka benar-benar mempelajari
materi pelajaran dengan
caramengoptimalkan kemampuan
berfikir mereka.Proses belajar seperti
itu menuju pada pembentukan
manusia seutuhnyakarena pada
dasarnya manusia sebagai sebagai
pemproses, pemikir, dan pencipta
informasi. Ketiga peran tersebut
dalam pembelajaran discovery
learning sangat dioptimalkan. Hal
tersebut pun menujukkan inti dari
sebuah kegiatan pembelajaran karena
menurut Bruner (dalam Dahar: 2014)
inti dalam belajar ialah bagaimana
orang memilih, mempertahankan,
dan men-transformasi informasi
secara aktif. Begitupun Abidin
(2012: 3) menyatakan bahwa
pembelajaran adalah serangkaian
aktivitas siswa guna mencapai hasil
belajar tertentu dalam bimbingan dan
arahan serta motivasi dari seorang
guru.
Dalam pelaksanaan
pembelajaran discovery learning
materi analisis cerpen, peneliti
siapkan berbentuk masalah yang
harus siswa selesaikan. Hal ini sesuai
dengan tujuan discovery learning
adalah hendaklah guru memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk
menjadi seorang problem solver,
(Bruner dalam Depdiknas, 2014).
Dalam proses memecahkan masalah
siswa menggunakan berbagai sumber
belajar baik dari buku pelajaran
mapun dari sumber lainsehingga
pemahaman siswa terhadap materi
pelajaran menjadi lebih baik. Dalam
kegiatan mengumpulkan informasi
ini terlihat siswa terlihat begitu
antusia. Hal ini sesuai pendapat
Wilcox (dalam Slavin, 2005) yang
menyatakan bahwa dalam
pembelajaran dengan model
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
22
discovery learning siswa didorong
untuk belajar sebagian besar melalui
keterlibatan aktif mereka sendiri
dengan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip, danguru mendorong siswa
untuk memiliki pengalaman dan
melakukan percobaan yang
memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka
sendiri.
Metode discovery learning
juga mendorong siswa berfikir dan
bekerja atas inisiatif sendiri. Di
dalam praktik pembelajaran
menganalisis teks cerpen dengan
metode discovery learning peneliti
hanya memberikan arahan terhadap
materi yang perlu siswa pelajari
sehingga mereka dengan inisiatif
mencoba menerkan informasi yang
ada di dalam materi, menguji dan
mendiskusikannya sampai mereka
menyimpulkan temuannya
sendiri.Hasil temuan mereka dalam
beberapa kesempatan mereka
bandingkan dengan temuan
temannya untuk menguji relevansi
dan ketepatan pengetahuannya.Hasil
pengujian itu mereka padukan
dengan rumusan hipotesis siswa di
awal pembelajaran dan temuannya
diputuskan atas dasar keyakinannya
sendiri dari temuan itu.
SIMPULAN
Berdasarkanhasilpenelitianda
npengolahan data dalam penelitian
ini maka dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh metode discovery
learning sikap tanggung jawab
terhadap kemampuan menganalisis
teks cerpen.
DAFTAR RUJUKAN
Abidin, Y. (2012). Pembelajaran
Bahasa Indonesia Berbasis
Karakter. Bandung: Rinek
Cipta.
Creswell, J. W. (2012) Educational
Research Planning,
Conducting, and
Evaluating Quantitative
and Qualitative Research.
University of Nebraska-
Lincoln.
Dahar, R. W. (2014) Teori-teori
Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. (2006). Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Depdiknas.
Kemendikbud (2014). Materi
Pelatihan Guru
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
23
Implementasi Kurikulum
2013 Tahun Ajaran
2014/2015. Modul
Pelatihan. Jakarta:
Kemendikbud.
Slavin, R. E. (2005). Cooperative
Learning Teori, Riset, dan
Praktik. Diterjemahkan oleh
Narilitia Yusron. Bandung:
Nusa Indah.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Yamin, M. (2013). Paradigma Baru
Pembelajaran. Jakarta:
Referensi.
Tirtarahardja, U. dan S. L. La Sulo.
2005. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Wuryanano. 2007. Memahami
Tanggung Jawab.
[Online]tersedia: http://
wuryanano.wordpress.com/
2007/10/27/memahami-
tanggung-jawab/feed/ [26
Januari 2015].
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan
Karakter Konsepsi dan
Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
24
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN
SCIENTIFIC APPROACH DIINTEGRASIKAN DENGAN
MEDIA FLASH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
SISWA SD
Vit Ardhyantama
STKIP PGRI Pacitan
ABSTRACT
Scientific approach is an approach that requires students to actively discover and build their
knowledge. Of the many lists of meaningful learning traits are all shared by learning using a
scientific approach. Scientific learning is designed as an interesting activity. Cultivating students'
curiosity to learn something new with their own desires is sometimes not an easy job. Flash media
can be used as a suitable bridge to generate the spirit of student learning, not only because it looks
interesting but the content is unique and rarely encountered students will greatly complement the
learning using scientific approach. This research uses 4D development method of Thiagarajan,
Semmel, and Semmel (1974: 5). There are four stages in the development of 4D namely stage (1)
Define (determination); (2) Design (design); (3) Develop (development); (4) Disseminate
(Spread). Research development is a study intended to produce a product. The target of research
in developing a scientific approach device integrated with flash media is fourth grade students of
SD Hangtuah VI Surabaya. This research is conducted on even semester of academic year
2015/2016. The research activities were conducted in 5 meetings with details of 2 observation
meetings and 3 meetings of learning activities. Development produces effective and efficient
learning tools and successfully improves student learning outcomes.
Keyword: scientific approach, learning outcomes, primary education
ABSTRAK
Scientific approach merupakan sebuah pendekatan yang mengharuskan siswa aktif
menemukan dan membangun pengetahuannya.Dari sekian banyak daftar ciri pembelajaran
bermakna semuanya dimiliki oleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
scientific.Pembelajaran scientific terdesain sebagai sebuah kegiatan yang menarik. Menimbulkan
keingintahuan siswa untuk belajar sesuatu yang baru dengan keinginan mereka sendiri terkadang
bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang. Media flash dapat dijadikan sebuah jembatan yang
cocok untuk menimbulkan semangat belajar siswa, bukan hanya karena tampilannya yang menarik
namun kontennya yang unik dan jarang ditemui siswa akan sangat melengkapi pembelajaran
menggunakan scientific approach.Penelitian ini mengunakan metode pengembangan 4D milik
Thiagarajan, Semmel, and Semmel (1974:5). Ada empat tahapan dalam pengembangan 4D yaitu
tahap (1) Define (penetapan); (2) Design (perancangan); (3) Develop (pengembangan); (4)
Disseminate (Penyebaran). Penelitian pengembangan adalah sebuah penelitian yang dimaksudkan
untuk menghasilkan sebuah produk. Sasaran penelitian dalam pengembangan perangkat scientific
approach diintegrasikan dengan media flash adalah siswa kelas IV SD Hangtuah VI Surabaya.
Penelitian ini dilaksanakan pad semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Kegiatan penelitian
dilaksanakan dalam 5 kali pertemuan dengan rincian 2 kali pertemuan observasi dan 3 kali
pertemuan kegiatan pembelajaran. Pengembangan menghasilkan perangkat pembelajaran yang
efektif dan efisien dan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa.
Kata kunci: pendekatan saintifik, hasil belajar, pendidikan dasar
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
25
PENDAHULUAN
Kurikulum terbaru yang diluncurkan
pemerintah Indonesia adalah
kurikulum 2013. Kurikulum 2013
merupakan kurikulum dengan 14
prinsip yang berbeda dari kurikulum
sebelumnya dan diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi dan
efektivitas ketercapaian kompetensi
lulusan. Salah satu prinsip dari
kurikulum 2013 seperti yang tertuang
dalam Permendikbud no. 65 Tahun
2013 adalah menggeser pendekatan
konstektual menuju proses sebagai
penguatan dari penggunaan scientific
approach.
Scientific approach merupakan
sebuah pendekatan dalam kurikulum
2013 yang meliputi mengamati,
menanya, menalar, mencoba,
membentuk jejaring (Kemendikbud,
2013:6). Melalui pendekatan ini,
sesuai dengan permendikbud no. 54
tahun 2013, perserta didik diharapkan
memiliki kemampuan pikir dan tindak
yang produktif dan kreatif dalam
ranah abstrak dan konkret sesuai
dengan yang ditugaskan kepadanya.
Penelitian yang dilakukan di
Surabaya menunjukkan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan
scientific approach mampu
meningkatkan hasil belajar dan lebih
menarik dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional (Hidayati,
2014).
Pembelajaran bermakna sebagai
lawan dari konsep rote learning
diyakini sebagai cara belajar yang
lebih efetif karena anak lebih
memahami apa ang mereka pelajari.
Pemahaman ini akan menguatkan
ingatan mereka. Ausubel (dalam
Suyono,2012:100) menyatakan
bahwa pembelaaran berasarkan hafaln
(rote learning) tidak banyak
membantu siswa di dalam
memperoleh pengetahuan,
pembelajaran oleh guru harus
sedemikian rupa sehingga
membangun pemahaman dalam
struktur kognitifnya, pembelajaran
haruslah bermakna (meaningful
learning) bagi siswa untuk
menyelesaikan problem-problem
kehidupannya.
Scientific approach merupakan
sebuah pendekatan yang
mengharuskan siswa aktif
menemukan dan membangun
pengetahuannya. Sebagaimana ciri
dari pembelajaran yang bermakna
menurut Flewelling dan Higginson
(2003:2) diantaranya adalah
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
26
memenuhi kebutuhan siswa, murid
aktif, kebenaran seperti yang
dikonstruk, penjelasan sesuai bahasa
siswa, diingat, mempertimbangkan
kesiapan siswa, berdasarkan
pengalaman, belajar melalui
pemecahan masalah, terhubungkan,
utuh keseluruhan, mengembangkan
prosedur, hubungan kemitraan,
menghidupkan semangat dan pikiran,
konstruktivis serta membawa terus
dunia kebermaknaan dengan yang
lain.
Dari sekian banyak daftar ciri
pembelajaran bermakna semuanya
dimiliki oleh pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan scientific.
Sainifik dengan lima tahapan
pembelajarannya yaitu mengamati,
menanya, mencoba, menalar dan
mengkomunikasikan bukan hanya
menjadikan siswa aktif, melainkan
mengkonstruk pengetahuan siswa,
mempelajari sebuah ilmu
pengetahuan sesuai dengan bahasa
yang nyaman mereka pelajari karena
menggunakan bahasa mereka sendiri,
dan mereka sendirilah yang memukan
pengeahuan tersebut. Pembelajaran
scientific menghubungkan
pengetahuan awal siswa dengan
pengeahuan yang akan mereka
pelajari, menarik sebuah keterkaitan
sehingga pengetahuan adalah sesuatu
yang utuh, bermakna, dan saling
terhubung.
Pembelajaran scientific
terdesain sebagai sebuah kegiatan
yang menarik. Menimbulkan
keingintahuan siswa untuk belajar
sesuatu yang baru dengan keinginan
mereka sendiri terkadang bukanlah
sebuah pekerjaan yang gampang.
Media flash selain memiliki
kemampuan untuk menggambar, juga
bisa sekaligus menganimasikannya
(Hidayatullah, 2011:9) sehingga dapat
dijadikan sebuah jembatan yang
cocok untuk menimbulkan semangat
belajar siswa, bukan hanya karena
tampilannya yang menarik namun
kontennya yang unik dan jarang
ditemui siswa akan sangat
melengkapi pembelajaran
menggunakan scientific approach.
Media flash bukan hanya dapat
digunakan sebagai pemancing
keingintahuan siswa namun juga
dapat didesain sebagai sumber
belajar, pedoman atau panduan
belajar serta fungsi hiburan dalam
game-game terkait materi yang
dipelajari. Dengan demikian maka
pembelajaran scientific approach
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
27
yang diintegrasikan dengan media
flash akan mampu meningkatkan
hasil belajar siswa.
METODE
Penelitian ini mengunakan
metode pengembangan 4D milik
Thiagarajan, Semmel, and Semmel
(1974:5). Ada empat tahapan dalam
pengembangan 4D yaitu tahap (1)
Define (penetapan); (2) Design
(perancangan); (3) Develop
(pengembangan); (4) Disseminate
(Penyebaran). Penelitian
pengembangan adalah sebuah
penelitian yang dimaksudkan untuk
menghasilkan sebuah produk
sebagaimana diungkapkan Sugiono
2012:47) bahwa metode penelitian
dan pengembangan dalam penelitian
pendidikan adalah sebagai metode
penelitian yang digunakan untuk
menghasilkan produk tertentu, dan
menguji keefektivan produk tersebut.
Model pengembangan 4D
dipakai karena memiliki tahapan yang
jelas, runtut dan mudah diikuti. Selain
itu model ini juga relevan dengan
kurikulum 2013 yang mengusung
pendekatan scientific.
Sasaran penelitian dalam
pengembangan perangkat scientific
approach diintegrasikan dengan
media flash adalah siswa kelas IV SD
Hangtuah VI Surabaya. Penelitian ini
dilaksanakan pad semester genap
tahun pelajaran 2015/2016. Kegiatan
penelitian dilaksanakan dalam 5 kali
pertemuan dengan rincian 2 kali
pertemuan observasi dan 3 kali
pertemuan kegiatan pembelajaran.
HASIL
Pengembangan perangkat
menghasilkan beberapa komponen
yaitu silabus, RPP, LKS, media flash
dan tes hasil belajar. Perangkat
dikembangkan dengan mengacu pada
permendkbud No. 54 tahun 2013
tentang sandar kompetensi lulusan
pendidikan dasar dan menengah.
Kriteria standar kompetensi kelulusan
mengacu pada peraturan tersebut
meliputi kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Ada 3
aspek yang dikembangkan dalam
perangat ini yaitu sikap, pengetahuan
dan keterampilan.
1. Silabus
Pedoman pengembangan
silabus mengacu pada permendikbud
No. 67 tentang kurikulum SD. Ada
dua bagian yang terdapat dalam
silabus yaitu identitas dan isi.
Identitas berisi nama sekolah serta
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
28
kelas yang akan diajarkan. Isi silabus
mencakup 4 kompetensi inti sesuai
dengan kurikulum 2013 yaitu KI 1
mengenai sikap spiritual, KI 2 sikap
sosial, KI 3 Pengetahuan,KI 4
keterampilan serta bagian berikutnya
berupa kolom-kolom yang tediri atas
kompetnsi dasar, materi ajar,
indikator, kegiatan pembelajaran,
pendekatan penilaian dan alokasi
waktu.
Kompetensi dasar disusun
dengan mengacu 4 kompetensi inti
yang telah dipilih dan saling
berkaitan. Materi ajar disesuaikan
dengan indikator yang disusun.
Indikator disusun dengan
menganalisis kompetensi dasar yang
telah ditentukan terlebih dahulu.
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang
dilakukan pada saat pembelajaran
berlangsung, penyusunan kegiatan
belajar disesuaikan dengan indikator
yang akan dicapai. Berdasarkan
indikator dapat ditentukan pendekatan
penilaian yang akan diambil meliputi
strategi, bentuk dan instrument.
Dalam penelitian ini terdapat dua
macam strategi pengambilan nilai
yaitu melalui observasi dan tes.
Alokasi waktu yang disediakan untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran
pada dilabus yang telah disusun
adalah selama 9 x 35 menit.
2. RPP
Rencana pelaksanaan
pembelajaran disusun dengan
mengacu silabus. RPP terdiri atas
identitas dan isi. Identitas terdiri atas
nama sekolah, kelas/semester serta
alokasi waktu yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Pada bagian isi RPP terbagi
menjadi 10 bagian. Bagian pertama
dalam RPP adalah 4 kompetensi inti
yang ditetapkan dalam silabus,
berikutnya adalah kompetensi dasar
yang disusun berdasarkan kompetensi
inti, keempat kompetensi dasar yang
dipilih saling berkaitan antara
kompetensi dasar 1, 2, 3 dan 4.
Bagian ketiga dalam RPP adalah
indikator. Indikator disusun
berdasarkan kompetensi dasar
sehingga dalam indikator terbagi
menjadi 4 bagian yaitu indikator
sikap spiritual, sikap sosial,
pengetahuan, dan keterampilan yang
terbagi lagi menjadi dua yaitu
keterampilan umum dan keterampilan
berpikir kreatif. Bagian keempat RPP
adalah tujuan pembelajaran. Tujuan
pembelajaran disusun sesuai dengan
indikator yang telah ditetapkan.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
29
Berikutnya adalah alokasi waktu,
sesuai alokasi waktu yang ditetapkan
pada silabus, maka alokasi waktu
yang disediakan adalah selama 9 x 35
menit. Materi adalah bagian RPP
yang berisi tentang materi pelajaran
apa yang akan disampaikan pada saat
pembelajaran secara garis besar,
materi juga disusun secara runtut
sesuai dengan kompetensi dasar.
Berikutnya adalah pendekatan dan
metode pembelajaran. Pendekatan
pembelajaran yang digunakan adalah
scientific dengan metode ceramah,
tanya jawab, demonstrasi, penugasan,
diskusi dan presentasi. Pembelajaran
didesain untuk berpusat pada siswa
sehingga ceramah dilakukan hanya
sebagai pengantar atau memancing
minat dan menstimulus siswa untuk
belajar sendiri. Secara rinci kegiatan
yang akan dilakukan disusun pada
kegiatan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran merupakan tabel yang
berisi tentang alokasi waktu, fase,
kegiatan serta keterlaksanaan.
Terdapat 5 fase kegiatan
pembelajaran yaitu mengamati,
menanya, mencoba, menalar dan
mengkomunikasikan. Sebelum
memasuki fase pertama terlebih
dahulu ada kegiatan pendahuluan
yang bertujuan untuk warming up dan
kegiatan penutuo dilakukan setelah
fase terakhir. Kegiatan pembelajaran
disusun untuk 3 kali pertemuan
dengan alokasi waktu tiap pertemuan
adalah 3 x 35 menit. Bagian terakhir
dari RPP adalah sumber belajar dan
penilaian. Sumber belajar adalah
semua hal yang memuat informasi
terkait materi yang dipelajari
sehingga dapat dijadikan sumber
untuk belajar. Adapun penilaian
terdiri atas prosedur dan instrument
yang akan dipakai untuk mengukur
hasil belajar siswa setelah
mempelajari sumber daya alam.
3. LKS
Lembar kegiatan siswa
merupakan lembar yang berisi
mengenai kegiatan yang akan
dilakukan siswa dalam kegiatan
pembelajaran. LKS disusun menjadi 3
dan dibagikan secara berkala tiap
pertemuan. LKS berisi identitas,
tujuan, bahan, langkah kerja, hasil
kerja dan simpulan. Tiap LKS
dilengkapi dengan kunci LKS untuk
memudahkan menilai hasil LKS
siswa. LKS disusun untuk melatih
siswa mencoba dan mengamati serta
menalar hasil pemikiran mereka serta
melatihkan pemikiran kreatif. LKS
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
30
didesain untuk dikerjakan secara
kelompok agar siswa terbiasa dengan
kegiatan diskusi dan untuk
memunculkan aspek sosial dalam diri
siswa.
LKS 1 disusun lebih terfokus
pada pemerolehan konsep siswa
mengenai sumber daya alam. LKS 2
melatihkan siswa siswa untuk
melakukan kelancaran, keluwesan
dan elaborasi dengan cara menjawab
pertanyaan dan menyusun laporan
yang diberikan. LKS 3 dikembangkan
dengan tujuan untuk melatihkan
kelancaran, keluwesan,
keorisinalitasan dan sekaligus
elaborasi. Siswa diharapkan
mendapatkan keterampilan tersebut
dengan cara menuangkan idenya
mengenai pelestarian sumber daya
alam. Memberikan kesempatan pada
siswa untuk bebas mengekspresikan
ide dan mengeluarkan pikirannya
menurut Munandar (2012) merupakan
salah satu cara untuk
mengembangkan kreativitas anak.
Kreativitas ini kemudian akan diukur
melalui tes hasil belajar.
LKS disusun untuk
menumbuhkan keterampilan berpikir
kreatif siswa, namun tetap
mengjarkan konsep dengan cara
penemuan sendiri oleh siswa. Siswa
diharapkan dapat menemukan konsep
yang akan diajarkan dengan
mengamati gambar yang telah
disediakan pada LKS, dengan
bantuan pertanyaan yang telah
disusun siswa dituntun untuk
merumuskan konsep yang akan ia
terima sebagai penemuannya senriri
sehingga konsep tersebut akan lekat
dalam ingatan siswa.
4. Media
Media yang dikembangkan
merupakan media flash. Media flash
disusun sesuai jumlah pertemuan
yang akan dilakukan yaitu 3 kali
pertemua. Pada pertemuan pertama,
media flash menampilkan materi
mengenai pengertian dan jenis SDA,
pertemuan kedua menampilkan
hubungan SDA dengan teknologi,
lingkungan dan masyarakat dan pada
pertemuan ketiga menampilan tentang
dampak pemanfaatan SDA.
Media disuguhkan dengan
menampilkan gambar berbagai
macam SDA dan pemanfaatan SDA
serta video pemanfaatan SDA baik
secara tradisional maupun modern.
Pada akhir media disediakan game
agar siswa dapat mengingat kembali
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
31
materi yang sudah disediakan pada
media.
Media flash disusun untuk
memfasilitasi pembelajaran scientific.
Gambar berbagai macam sumber
daya alam, dampak penggunaan
sumber daya alam dan video tentang
pemnafaatan sumber daya alaam
dalam media flash memfasilitasi
kegiatan mengamati. Gambar dan
video yang ditayangkan diharapkan
memberikan stimulus bagi siswa agar
melakukan pengamatan terhadap
objek yang ditampilkan dalam media.
Berkaitan dengan tahapan
mengamati, gambar dan video
digunakan untuk memancing siswa
menanya, beberapa pertanyaan
tagihan sudah disediakan pada tiap
gambar dan video yang digunakan
untuk memberikan siswa contoh
menannya mengenai objek yang
sudah diamati.
Tahapan mencoba dalam
pembelajaran scientific difasilitasi
dengan memberikan pertanyaan
berkaitan dengan sumber daya alam.
Siswa diberikan pertanyaan terbuka
agar mencoba menemukan jawaban
yang sesuai dengan pertanyaan
berkaitan dengan sumber daya alam
yang diberikan. Media flash bagian
akhir juga menyuguhkan game yang
memberikan kesempatan siswa untuk
mencoba mencari jawaban yang tepat
berdasarkan pertanyaan yang
diajukan. Game dirancang untuk
memberikan analisis yang tepat
apakah jawaban siswa benar atau
salah. Setelah siswa memberikan
jawabannya maka guru akan
menanyakan kenapa siswa memilih
jawaban tersebut sehingga kegiatan
menalar akan terfasilitasi pada media
ini. Proses bertanya, menjawab,
menyanggah atau memberikan
masukkan serta interaksi lain yang
terjadi baik kepada guru maupun
kepada sesame teman lain yang
terjadi sepanjang penggunaan media
merupakan salah satu kegiatan
berkomunikasi yang merupakan
tahapan terakhir dalam pembelajaran
scientific.
5. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar digunakan
untuk mengetahui hasil belajar siswa
setelah melakukan kegiatan
pembelajaran. Tes hasil belajar
disusun sebagai tes tertulis yang
terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama
tes mengukur hasil belajar kognitif
siswa dengan jenis soal pilihan ganda,
bagian kedua tes mengukur
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
32
keterampilan berpikir kreatif siswa
dengan jenis soal uraian. Tes hasil
belajar disusun berdasarkan indikator
yang telah ditetapkan sebelumnya,
satu butir soal merepresentasikan satu
indikator.
6. Kepraktisan Perangkat
Pembelajaran
Kepraktisan perangkat
pembelajaran dapat dilihat dari dua
aspek yaitu keterlaksanaan
pembelajaran dan aktivitas siswa.
Keterlaksanaan pembelalajaran dan
aktivitas siswa dapat dinilai melalui
uji coba terbatas yang dilakukan
terhadap 12 siswa kelas IV A SD
Hangtuah VI Surabaya dan diamati
oleh dua orang pengamat.
a. Keterlaksanaan Pembelajaran
Pembelajaran dilaksanakan selama
tiga kali pertemuan dengan alokasi
waktu tiap pertemuan selama 3 x 35
menit. Pembelajaran dilaksanakan di
dalam kelas dan diamati oleh dua
orang pengamat. Adapun hasil
penilaian pengamatan terhadap
keterlaksanaan pembelajaran
disajikan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Keterlaksanan RPP
No Aspek
yang
diamati
RPP 1
(%)
RPP 2
(%)
RPP
3 (%)
P1 P2 P1 P2 P1 P2
1 Pendahul-
uan 20 20 17 17 14
1
2
2 Mengamati 16 14 17 17 7 7
3 Menanya 18 18 11 8 10 5
4 Mencoba 18 18 22 20 19
1
9
5 Menalar 9 5 11 11 10
1
0
6 Mengkom
unikasikan 9 9 11 11 31
3
1
7 Penutup 5 7 8 8 5 5
Total 95 91 97 92 96
8
9
Reliabilitas 97.6% 94% 96.3
%
Berdasarkan penilaian tersebut
maka persentase keterlaksanaan
langkah pembelajaran yang terlaksana
pada pertemuan satu, dua dan tiga
adalah >75%.
b. Aktivitas Siswa
Akvititas siswa diamati dan
dinilai selama proses pembelajaran
berlangsung. Hasil penilaian
pengamat dapat dilihat pada grafik
3.2.
Grafik 3.2 Aktivitas Siswa
0
5
10
15
20
25p
e
r
c
e
n
t
a
s
e
mengamati
menanya
mencoba
menalar
mengkomunikasikan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
33
7. Keefektivan Perangkat
Pembelajaran
Keefektivan perangkat
pembelajaran dilihat dari respon
siswa, tes hasil belajar dan
kemampuan berpikir kreatif siswa.
Keefektivan perangkat dinilai pada
saat uji coba terbatas yang
dilaksanakan pada bulan januari
2016.
a. Respon Siswa
Respon siswa adalah tanggapan
dan pendapat siswa mengenai
pembelajaran yang telah dilakukan.
Respon siswa ditampung menggunakan angket yang diisi
setelah pembelajaran selesai
dilaksanakan. Adapun
respon siswa yang muncul disajikan
pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Respon Siswa
No Pertanyaan Pendapat
Ya Tidak
1. Apakah kegiatan
belajar yang baru
saja kalian lakukan
menarik?
12 0
2. Apakah kalian lebih
mudah memahami
pelajaran yang baru
saja kalian lakukan?
10 2
3. Apakah kalian lebih
mudah mengingat
hasil pelajaran yang
baru saja kalian
lakukan?
6 6
4. Apakah kalian
senang dengan
suasanya belajar
yang baru saja
kalian lakukan?
12 0
5. Apakah kalian
menyukai cara guru
mengajar?
12 0
6. Apakah kalian lebih
dapat memberikan
pemecahan masalah
setelah melakukan
kegiatan belajar ini?
7 5
7 Apakah media yang
digunakan saat
belajar menarik?
10 2
8 Apakah warna
media menarik? 8 4
9 Apakah tulisan
dalam media dapat
terbaca?
11 1
10 Apakah gambar
dalam media
menarik?
10 2
11 Apakah gambar
dalam media terlihat
jelas?
11 1
12 Apakah video dalam
media menarik? 9 3
13 Apakah kalian dapat
memahami tulisan
yang terdapat pada
media?
11 1
14 Apakah media yang
digunakan
membantu kalian
dalam belajar?
12 0
15 Apakah kalian setuju
apabila
pembelajaran seperti
ini dilakukan pada
materi belajar yang
lain?
11 1
16 Apakah kalian dapat
menjawab soal yang
diberikan dengan
mudah?
9 3
Jumlah 16
1
31
Persentase 84% 16%
Berdasarkan data tersebut,
dapat dilihat bahwa siswa
memberikan respon baik pada
pembelajaran sebesar 84%.
b. Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar siswa dinilai dari tes
hasil belajar yang diberikan dua kali
yaitu pada saat sebelum dilaksanakan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
34
pembelajaran yaitu pretest dan setelah
dilaksanakan pembelajaran yaitu
posttest. Hasil belajar siswa disajikan
dalam tabel 3.4.
Tabel 3.4 Hasil Belajar Siswa
No Nama
Siswa
Hasil Uji
Coba THB
Ketuntasan
Pre
test
Post
test
Pre
test
Post
test
1 AP 57 86 TT T
2 AR 43 72 TT T
3 AS 72 79 TT T
4 AM 86 100 T T
5 GT 72 93 TT T
6 IA 86 100 T T
7 IP 65 79 TT T
8 NS 79 93 T T
9 PW 79 100 T T
10 SW 29 79 TT T
11 SA 58 86 TT T
12 VI 65 86 TT T
Rata-rata 66 88 TT T
Persentase
ketuntasan
klasikal
33% 92%
PEMBAHASAN
Hasil pengembangan perangkat
pembelajaran scientific approach
diintegrasikan dengan media flash
adalah silabus, RPP, LKS, THB dan
Media flash. Perangkat pembelajaran
yang baik harus memenuhi tiga
kriteria yaitu valid, praktis dan
efektif.
Validitas perangkat
pembelajaran yang dikembangkan
dilihat dari analisis dan penilaian oleh
ahli. Ahli menganalisis, memberikan
masukan untuk perbaikan dan
penilaian pada tiap komponen
perangkat yang dikembangkan.
Hasil penilaian terhadap silabus
yang dikembangkan dinilai sangat
valid pada enam aspek sedangkan
satu aspek dinilai valid. Enam aspek
dinilai sangat valid dengan skor 4
berarti aspek tersebut sangat baik dan
dapat digunakan tanpa revisi
sedangkan satu aspek dinilai valid
dengan rata-rata skor 3.5 sehingga
aspek tersebut dikategorikan baik
sehingga dapat digunakan dengan
merevisi kecil. Tingkat reliabilitas
silabus tinggi yaitu 99% disebabkan
tidak ada perbedaan skor yang
mencolok pada penilaian silabus
antara validator 1 dan 2. Skor tinggi
diberikan pada silabus karena
penyusunan silabus dilakukan dengan
panduan serta masukan dari validator.
Beberapa kali perbaikan dilakukan
agar silabus tersusun dengan baik dan
layak. Silabus disusun dengan
memperhatikan tiga macam
kompetensi yaitu sikap, pengetahuan
dan keterampilan, hal ini sesuai
dengan permendikbud No. 54 tahun
2013 tentang standar kompetensi
lulusan pendidikan dasar dan
menengah.
78
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
35
Tahapan berikutnya setelah
menyusun silabus adalah RPP. RPP
dikembangkan dengan mengacu pada
silabus yang sudah disusun dan
dinilai oleh validator. Setelah melalui
proses diskusi, dilakukan perbaikan
RPP sesuai dengan saran validator.
Beberapa perbaikan yang dilakukan
adalah bagian indikator dibuat lebih
operasional, tujuan dibuat mengacu
pada indikator, langkah pembelajaran
disesuaikan dengan scientific
approach dan level kognisi
disesuaikan dengan level kognisi
yang ada pada kompetensi dasar.
Tahapan-tahapan kegiatan
pembelajaran disusun berdasarkan
fase pembelajaran scientific yaitu
kegiatan pembuka, kegiatan inti yang
terdiri dari mengamati, menanya,
mencoba, menalar dan
mengkomunikasikan, serta kegiatan
penutup. Hal ini sesuai dengan
pendapat Schunk (2012:28) yang
menyatakan bahwa siswa berproses
melalui tahapan-tahapan/fase-fase dan
materi pembelajaran harus
diorganisasikan dan disajikan dalam
langkah-langkah kecil.
Berikutnya RPP dinilai dengan
mengacu pada lembar penilaian RPP.
Dari 13 aspek yang dinilai RPP 7
aspek dinilai sangat valid sehingga
dapat digunakan tanpa revisi dan
termasuk kategori sangat baik,
adapun 6 aspek lainnya dinilai valid
sehingga dapat digunakan dengan
merevisi kecil dan tergolong kategori
baik. Nilai RPP tinggi karena dalam
pengembangannya mengacu pada
silabus yang disusun dan dilakukan
diskusi bersama validator dan
perbaikan sesuai masukan yang telah
diberikan oleh validator.
Komponen perangkat
berikutnya setelah silabus dan RPP
adalah LKS. LKS disusun untuk
memberikan latihan dan memotivasi
siswa untuk menemukan sendiri
pengetahuannya. Hal ini didukung
pendapat Schunk (2012:28) yang
menyatakan bahwa siswa perlu
dilatih, mendapat umpan balik,
memperoleh tinjauan, serta faktor-
faktor motivasional dan konstektual
mempengaruhi pembelajaran.
LKS diberikan tiap pertemuan
dengan materi dan kegiatan yang
berbeda agar siswa tidak bosan,
merasa tertantang dan
pengetahuannya berkembang.
Pengetahuan ini bersifat operasional
kongkret, yaitu konsep yang pada
awal masa kanak-kanak merupakan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
36
konsep yang samar-samar dan tidak
jelas sekarang menjadi kongkret dan
baru (Hurlock, 1980:162), khususnya
bagi pokok bahasan sumber daya
alam. Pemberian LKS mendukung
anak untuk menghubungkan arti baru
dengan konsep lama berdasarkan apa
yang dipelajari setelah melakukan
kegiatan yang ada pada LKS
(Hurlock, 1980:162)
Penyusunan LKS didesain agar
siswa dapat memperoleh konsep
melalui mengamatan yang
dilakukannya sendiri berdasarkan
berbagai macam gambar yang
disediakan. Berbagai macam gambar
yang disediakan diamati siswa dan
diklasifikasikan berdasarkan
karakteristik yang dimiliki objek pada
gambar sehingga siswa dapat
menyimpulkan sebuah konsep
berdasarkan hasil pengamatannya.
Pembelajaran semacam ini sesuai
dengan teori belajar konsep dalam
biologi yang dikemukakan oleh
Siegler dan Martha (2005:302) yang
menyatakan bahwa conceptual
development can be approached
either by considering conseptual
representations in general or by
focusing on particular concepts of
special importance.
Penelitian terdahulu mengenai
LKS yang dilakukan oleh Novita
(2015) juga menyimpulkan bahwa
dengan memberikan LKS scientific
approach pada siswa akan
mengembangkan keterampilan,
pengetahuan dan sikap siswa dan
terbukti efektif.
Tujuh aspek diberikan untuk
dinilai validator dan enam aspek
mendapatkan nilai 4 sehingga LKS
dinilai sangat valid dan dapat
digunakan tanpa revisi sehingga
tergolong dalam kategori sangat baik.
Adapaun satu aspek dinialai valid
dengan rata-rata skor 3.5 sehingga
dapat digunakan dengan sedikit revisi
dan termasuk dalam kategori baik.
Hasil penilaian bisa dilihat pada
Tabel 4.5. Kedua validator
memberikan nilai yang tidak jauh
berbeda sehingga nilai reliabilitasnya
tinggi hingga mencapai 98%.
Reliabilitas dinilai sangat perlu pada
penelitian kuantitatif untuk
mengetahui bahwa cara yang telah
dipilih berhasil dalam mengukur
aspek yang akan diukur (Dawson,
2007:131). Tingginya nilai LKS
dikarenakan penyusunan LKS
dilakukan berdasarkan saran yang
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
37
diberikan oleh validator sehingga
LKS yang dihasilkan valid.
Media pembelajaran yang
dikembangkan dalam perangkat ini
adalah media flash.Media flash
disusun menjadi tiga bagiandengan
konten yang disediakan dalam
meliputi tulisan, gambar, video, suara
dan game yang berkaitan dengan
materi pembelajaran. Gambar dan
video dalam media flash bertujuan
untuk menghadirkan aspek visual
yang menarik dan mampu membantu
siswa untuk mendapatkan
pengetahuan.
Media flash dikembangkan
dengan memperhatikan masukan ahli
baik dari segi isi mapun tampilannya
dan dapat dilihat pada tabel 4.10.
Delapan aspek diberikan untuk dinilai
dan tujuh diantaranya mendapatkan
nilai 4 dari kedua validator sehingga
ketujuh aspek tersebut dinilai sangat
valid dan termasuk dalam kategori
sangat baik sehingga dapat digunakan
tanpa revisi. Satu aspek dalam media
mendapatkan nilai rata-rata sebesar
3.5 sehingga valid dan tergolong
kategori baik serta dapat digunakan
dengan merevisi kecil. Tujuh aspek
dalam media flash dinilai sangat valid
dan satu aspek dinilai valid, hal ini
menunjukkan bahwa media yang
dikembangkan relevan terhadap
scientific approach untuk melatihkan
keterampilan berpikir kreatif. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wulandari pada tahun
2015 yang menyimpulkan bahwa
media flash dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kreatif siswa.
Kompenen perangkat yang
terakhir adalah tes hasil belajar. Hasil
validasi tes hasil belajar dapat dilihat
pada Tabel 4.7. Delapan belas butir
yang disusun dinilai dari segi isi,
bahasa dan penulisan. Penilaian isi
butir soal menunjukkan bahwa 12
butir soal sangat valid dengan nilai 4,
dan 6 soal lainnya dinilai valid
dengan nilai rata-rata 3 dan 3.5.
Validitas bahasa dan penulisan soal
menunjukkan bahwa 14 butir soal
sangat valid dan 4 sisanya valid
sehingga dapat digunakan dengan
merevisi kecil. Pencapaian nilai THB
yang tinggi didapatkan karena
penyusunan THB dilakukan dengan
bimbingan validator. Beberapa kali
revisi dilakukan agar THB yang
disusun valid dan layak sehingga
dapat digunakan untuk mengukur
hasil belajar siswa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sugiyono
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
38
(2014:168) yang menyatakan bahwa
valid memiliki arti instrument
tersebut dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya
diukur.
Tes hasil belajar disusun
menjadi dua bagian yaitu bagian
pertama disusun untuk mengetahui
hasil belajar konsep siswa yang
disuguhkan dalam bentuk soal pilihan
ganda, dan bentuk soal kedua yaitu
uraian digunakan untuk mengukur
keterampilan berpikir kreatif siswa.
Tes verbal yang diberikan pada
THB dapat mengukur tingkat
kreativitas siswa dengan melihat
aspek kelancaran, orisinalitas,
kelenturan, sensitivitas dan elaborasi
(Munandar, 2012:64).
Cakupan ujian tingkat
kompetensi meliputi sejumlah
kompetensi dasar yang
merepresentasikan inti pada tingkat
kompetensi tersebut. Tes hasil belajar
dalam pengembangan perangkat
scientific approach digunakan untuk
mengetahui tingkat pencapaian
tingkat kompetensi dasar 1.1.
bertambahnya keimanannya dengan
menyadari hubungan dan
kompleksitas alam dan jagad raya
terhadap kebesaran Tuhan yang
menciptakannya, serta
mewujudkannya dalam pengalaman
ajaran agama yang dianutnya, 2.4.
memiliki kepedulian terhadap
lingkungan dan sumber daya alam
melalui pemanfaatan bahasa
Indonesia, 3.7. Mendeskripsikan
hubungan antara sumber daya alam
dengan lingkungan, teknologi dan
masyarakat serta kompetensi dasar
4.7. menyajikan hasil pengamatan
tentang teknologo yang digunakan
dikehidupan sehari-hari serta
kemudahan yang diperoleh oleh
masyarakat dengan memanfaatkan
teknologi.
Berdasarkan uraian tersebut
maka hasil penilaian perangat yang
meliputi silabus, RPP, LKS, media
maupun THB adalah sangat valid.
Aspek berikutnya dalam
perangkat yang baik adalah
kepraktisan. Kepraktisan perangkat
pembelajaran scientific approach
diintegrasikan dengan media flash
dianalisis melalui keterlaksanaan RPP
dan aktivitas siswa.
Hasil analisis keterlaksanaan
RPP sangat baik dengan persentase
keterlaksanaan pertemuan pertama
sebesar 91.65%, pertemuan kedua
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
39
sebesar 90.35% dan pada pertemuan
ketiga sebesar 96.45%.
Berdasarkan analisis pada hasil
observasi dapat diketahui bahwa
aktivitas siswa tinggi, baik pada
pertemuan pertama, pertemuan kedua
maupun pertemuan ketiga yaitu
berkisar antara 71%-91% selama
aktivitas pembelajaran dilakukan.
Terdapat 5 aspek aktivitas siswa yang
teramati selama proses pembelajaran
yaitu mengamati, menanya, menalar,
mencoba, dan mengkomunikasikan.
Tingginya aktivitas siswa tidak
terlepas dari peranan guru yang
memberikan kesempatan bagi siswa
untuk ikut aktif dalam pembelajaran.
Siswa diberikan kesempatan untuk
lebih bebas, terbuka, dan tertantang
untuk ikut berperan serta secara aktif
dengan memberanikan diri dan
senang memberikan gagasan
sebanyak mungkin untuk
meningkatkan pemikiran dan sikap
kreatif (Munandar, 2012:195).
Kriteria ketiga perangkat
pembelajaran yang baik adalah
keefektivan. Keefektivan perangkat
pembelajaran dapat dianalisis dari
respon siswa, hasil belajar dan
keterampilan berpikir kreatif siswa.
Siswa memberikan respon baik
dengan persentase sebesar 84%
terhadap media dan pembelajaran
yang sudah dilaksanakan. Respon
baik didapatkan karena media dan
pembelajaran didesain dengan
menarik dan memberikan kesempatan
bagi siswa untuk bebas
mengekspresikan ide yang
dimilikinya serta ketertarikan melalui
5 tahapan dalam scientific approach.
Siswa merespon baik
pembelajaran yang dilakukan
berdasarkan angket yang diberikan
pada siswa, namun demikian ada
beberapa poin pertanyaan yang perlu
diperhatikan dalam respon yang
diberikan siswa. Pertanyaan mengenai
kemudahan siswa mengingat hasil
pelajaran direspon baik oleh 6 siswa
dan tidak direspon oleh 6 siswa
sehingga hasil respon yang diberikan
bernilai 50:50, meskipun demikian
ternyata hasil tes hasil belajar yang
dilakukan menunjukkan bahwa hasil
belajar mereka lebih baik daripada
sebelum dilakukan pembelajaran
sehingga ada kemungkinan bahwa
siswa merasa kurang dapat mengingat
hasil belajarnya namun pada
kenyataannya mereka dapat
mengingat dengan baik. Pertanyaan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
40
berikutnya adalah mengenai apakah
siswa lebih dapat memberikan
pemecahan masalah setelah
melakukan kegiatan belajar.
Pertanyaan ini direspon baik oleh 7
orang siswa dan tidak direspon oleh 5
orang siswa.
Hasil belajar siswa merupakan
salah satu indikator keefektivan
perangkat pembelajaran. Berdasarkan
analisis hasil belajar siswa dapat
diketahui bahwa hasil belajar sebelum
digunakan perangkat scientific
terintegrasi media flash sangat rendah
dengan rata-rata nilai sebesar 66,
adapun ketuntasan klasikal hanya
mencapai 33%, dengan demikian
hanya ada 33% dari 12 siswa lulus tes
pada pretest yang telah dilakukan.
Setelah dilakukan pembelajaran
scientific approach terintegrasi
dengan media flash hasil belajar
siswa menjadi lebih baik dengan rata-
rata nilai sebesar 88 dengan tingkat
ketuntasan klasikal yaitu 92%. Pada
posttest yang diakukan, hanya ada
satu anak yang tidak lulus dari 12
anak yang dinilai.
Merujuk pada pemaparan di
atas dapat kita lihat bahwa perangkat
pembelajaran scientificapproach
diintegrasikan dengan media flash
memuhuni kriteria
kevalidan,kepraktisan dan
keefektivan dan mampu meingkatkan
hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dawson, C. (2007). A practical guide
to research methods: A user-
friendly manual for mastering
research techniques and project.
Oxford: Howtobooks.
Flewelling, G. & Higginson, W.
(2003). Teaching with rich
learning task. Adelaide: The
Australian Association of
Mathematic Teachers, Inc.
Endryansyah, H.N. (2014). Pengaruh
penggunaan pendekatan ilmiah
(scientific approach) dalam
dembelajaran terhadap hasil
belajar siswa kelas XII TITL 1
SMK Negeri 7 Surabaya pada
standar kompetensi
mengoperasikan sistem kendali
elektromagnetik”. Jurnal
Pendidikan Teknik Elektro, 3(2).
Diakses melalui
http://ejournal.unesa.ac.id/index.
php/jurnal-pendidikan-teknik-
elektro/article/view/7498 per
tanggal 22 September 2015.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
41
Hidayatullah, P, dkk. (2011). Animasi
pendidikan mengunakan flash.
Bandung: Penerbit Informatika.
Hurlock, E. (1980). Psikologi
perkembangan: Suatu
pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Permendikbud
No. 54 Tahun 2013 tentang
standar kompetensi lulusan
pendidikan dasar dan menengah.
Jakarta.
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Permendikbud
No. 65 Tahun 2013 tentang
standar proses. Jakarta.
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Permendikbud
No. 67 Tahun 2013 tentang
kurikulum SD. Jakarta.
Munandar, U. (2012). Pengembangan
kreativitas anak berbakat.
Jakarta: Rineka Cipta.
Rara, N., Suyatna, A., & Ertikanto,
C. (2015). Pengembangan LKS
dengan scientific spproach untuk
meningkatkan keterampilan
berpikir kreatif siswa”. Jurnal
FKIP UNILA, 3 (4). Diakses
melalui
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index
.php/JPF/article/view/8866 per
tanggal 2 Januari 2015.
Schunk, D. H. (2012). Learning
theories: An educational
perpective. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suyono & Hariyanto. (2012). Belajar
dan pembelajaran: Teori dan
konsep dasar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Thiagarajan, S., Semmel, D.S., &
Semmel, M.I. (1974).
Instrructional development for
training teacher of exceptional
children: A source book.
Bloomington: Center of
Innovation on Teaching the
Handicapped.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
42
PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE
TEAM PAIR SOLO UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA PADA
MATERI BILANGAN PECAHAN (Penelitian Tindakan Kelas pada Materi Bilangan Pecahan di kelas VB SDN
2 Cibodas Kecamatan Lembang)
Riza Fatimah Zahrah
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
ABSTRAK
Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Team Pair Solo Untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada Materi Bilangan Pecahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perencanaan dan pelaksanaan
mengenai pembelajaran Matematika dengan model Cooperative Learning tipe Team Pair
Solo serta peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi
bilangan pecahan dengan model Cooperative Learning tipe Team Pair Solo. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas melalui 2
siklus. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Hasil
temuan yang ditemukan yaitu perencanaan pembelajaran yang dibuat sesuai dengan yang
dilaksanakan dalam pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran berlangsung
dengan lancar dan kondusif, serta terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada materi bilangan pecahan selama penelitian berlangsung.
Kata Kunci: model Cooperative Learning tipe Team Pair
ABSTRACT
The Application Of Cooperative Learning Model Type Team Pair Solo For Enhancing
Mathematical Problem Solving Of Students On The Material Fractions. This research aims
to find out how the planning and implementation of learning math with model Cooperative
Learning-type Team Pair Solo as well as an increase in the ability of mathematical problem
solving of students on the material fractions with models of Cooperative Learning-type
Team Pair Solo. Research methods used in this research is a study of a class act through
two cycles. Data collection techniques used are qualitative and quantitative. The results
found that the planning of learning that is made in accordance with that carried out in the
exercise of learning, implementation of the learning takes place smoothly and conducive,
and there is an increase in the ability of mathematical problem solving of students on the
material fractions during the research underway. Keywords: Cooperative Learning model type Team Pair Solo, Mathematical problem
solving Abilities students, Fraction
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
43
PENDAHULUAN
Kemapuan pemecahan masalah
merupakan kemampuan yang sangat
penting harus dimiliki oleh siswa.
Kemampuan ini meliputi
kemampuan: memahami masalah,
merencanakan penyelesaian masalah,
melaksanakan penyelesaian masalah
serta melihat ke belakang. Ini
berdasarkan kemampuan yang paling
dasar sampai kemampuan yang
kompleks. Memahami masalah ini
ialah siswa dituntut untuk mengenali
apa saja hal-hal yang terdapat dalam
masalah tersebut,hal apa yang
diketahui dan hal apa yang
dipertanyakan dari masalah tersebut.
Kemudian kemampuan selanjutnya
ialah siswa sudah mulai melakukan
perencanaan penyelesaian terhadap
masalah tersebut, apa yang harus
dilakukan terhadap masalah tersebut
dengan berbekal siswa telah
memahami masalah tersebut.
Kemampuan selanjutnya ialah siswa
menerapkan rencana penyelesaian
yang telah dibuat untuk
dilaksanakan. Dan kemampuan yang
terakhir yaitu mengecek kembali,
yaitu memeriksa kembali
penyelesaian masalah yang telah
dilakukan, apakah sudah benar atau
ada cara lain yang dapat
menyelesaiakan masalah tersebut.
Setiap siswa sudah
seharusnya memiliki kemampuan
pemecahan masalah matematis, ini
dikarenakan bahwa
pengaplikasiannya adalah dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
nilai UTS Matematika semester 2
dengan rata-rata 55,4 belum
mencapai nilai KKM maupun
harapan peneliti, yaitu 65 dan 80.
Diperkuat dengan lembar jawaban
siswa yang terlihat mengalami
kesulitan pada soal cerita, ini
mengindikasikan bahwa siswa
mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan pemecahan masalah
matematis. Kebanyakan siswa hanya
mampu menuliskan hal-hal yang ia
ketahui dari masalah tersebut, jadi
siswa hanya mampu memahami
masalah yang merupakan
kemampuan yang paling rendah dari
keempat kemampuan pemecahan
masalah yang ada. Yaitu memahami
masalah, merencanakan penyelesaian
masalah, melaksanakan penyelesaian
masalah dan mengecek kembali.
Berdasarkan apa yang terjadi
di kelas peneliti, maka peneliti akan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
44
melakukan penelitian tindakan kelas
(PTK). Penelitian ini dilakukan
melalui beberapa siklus. Penelitian
ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa. Selain
meningkatkan kualitas pembelajaran,
PTK juga berguna bagi guru untuk
menguji suatu teori pembelajaran,
apakah sesuai dengan kondisi kelas
yang dihadapi atau tidak. Melalui
PTK guru dapat memilih dan
menerapkan teori atau strategi
pembelajaran yang paling sesuai
dengan kondisi kelasnya. Oleh
karena itu peneliti memutuskan
untuk menggunakan model
pembelajaran cooperative learning.
Cooperative learning berasal
dari kata cooperative dalam bahasa
Inggris yang berarti bekerjasama
atau dapat dikatakan mengerjakan
sesuatu dengan bersama-sama
sebagai satu kesatuan atau kelompok.
Serta learning yang dalam bahasa
Indonesia berarti pembelajaran.
Dalam pengertian bahasa Indonesia
istilah cooperative learning dikenal
dengan nama pembelajaran
kooperatif.
Jhonson dalam Isjoni
(2007:17) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif sebagai
upaya mengelompokkan siswa di
dalam kelas menjasi beberapak
kelompok kecil agar siswa dapat
bekerja sama dengan kemampuan
maksimal yang mereka miliki dan
mempelajari saru sama lain dalam
kelompok tersebut. Sedangkan
menurut Slavin dalam Isjoni
(2007:12) pembelajaran kooperatif
adalah salah satu model
pembelajaran dimana siswa belajar
dan bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil secara kolaboratif
yang anggotanya 4-6 orang dengan
struktur kelompok heterogen. Anita
Lie dalam Isjoni (2000:16) menyebut
cooperative learning dengan istilah
pembelajaran gotong royong, yaitu
sistem pembelajaran yang memberi
kesempatan kepada siswa untuk
bekerjasama dengan siswa lain
dalam tugas-tugas yang terstruktur.
Jadi dapat dikatakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan
model pembelajaran yang
mengutamakan kerjasama kelompok,
kelompok tersebut terdiri dari 4-6
orang siswa dengan tingkat
kemampuan siswa atau jenis kelamin
dan latar belakang yang berbeda.
Diharapkan dalam kegiatan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
45
pembelajaran kooperatif ini siswa
mampu bekerjasama dan berani
bertanya serta berani bertukar pikiran
dengan teman atau anggota
kelompok lainnya. Jelas ada pesan
dari model pembelajaran ini bahwa
siswa diharapkan mampu saling
membantu dalam materi pelajaran,
saling mendiskusikan dan berani
beragumentasi untuk mengeksplorasi
pengetahuan masing-masing siswa.
Menurut Roger dan David
Johnson dalam Anita Lie (2002:31)
mengemukakan bahwa tidak semua
kerja kelompok bisa dianggap
cooperative learning. Untuk
mencapai hasil yang maksimal, lima
unsur model pembelajaran gotong
royong yang harus diterapkan.
a. Saling ketergantungan positif
b. Tanggung jawab perseorangan
c. Tatap muka
d. Komunikasi antar anggota
e. Evaluasi proses kelompok
Sedangkan menurut Isjoni
(2007:20) bahwa cooperative
learning memiliki beberapa ciri
yaitu: (a) setiap anggota memiliki
peran, (b) terjadi hubungan interaksi
langsung diantara siswa, (c) setiap
anggota kelompok bertanggung
jawab atas belajarnya dan juga
teman-teman sekelompoknya, (d)
guru membantu mengembangkan
keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok, dan (e) guru
hanya berinteraksi dengan kelompok
saat diperlukan saja.
Strategi Pembelajaran Tipe Team
Pair Solo
Dalam melakukan penelitian
ini peneliti akan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe
team pair solo. Tipe ini merupakan
tipe pembelajaran yang menekankan
pada aspek hubungan sosial atara
siswa dalam kelompok serta
menekankan pada aspek kognitif
individu. Pembelajaran kooperatif
tipe team pair solo merupakan
pembelajaran kooperatif yang baru.
Tipe ini diadaptasi dari tipe
kooperatif yang dikembangkan Frank
Lyman dan Spencer Kagan yaitu
pembelajaran kooperatif tipe think
pair share. Bisa dikatakan
pembelajaran kooperatif tipe team
pair solo merupakan kebalikan dari
tipe think pair share.
Pembelajaran kooperatif tipe
team pair solo mempunyai tiga
tahapan, yaitu team, pair dan solo.
Pertama ,pada tahap team
(berkelompok) yaitu siswa dibagi
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
46
menjadi beberapa kelompok yang
terdiri dari 4-6 orang siswa. Kedua ,
pada tahap pair (berpasangan) yaitu
siswa dibagi menjasdi kelompok
kecil yaitu dua orang. Serta terakhir
tahap solo yaitu siswa akhirnya
bekerja secara individu.
Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Kagan
(http://edtech.kennesaw.edu/intech/c
ooperativelearning.html) team pair
solo: Berikut adalah gambar dari
kegiatan strategi pembelajaran
kooperatif tipe team pair solo.
Tahap team (berkelompok)
Keterangan :
Tugas/LKS
Siswa
Mengerjakan
Tahap pair (berpasangan)
Tahap solo (sendiri)
Gambar 2.1 Tahap pembelajaran
kooperatif tipe team pair solo
Kemampuan pemecahan
masalah didapat dari kemampuan
berpikir siswa yang ia lakukan saat
memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Maka sudah
sepatutnya pembelajaran pemecahan
masalah atau belajar memecahkan
suatu masalah sangat penting
diberikan oleh siswa sebagai bekal di
kemudian hari.
Sri Wardhani (2010:34)
menjelaskan bahwa dalam proses
memecahkan masalah terdapat
langkah-langkah yang harus
dilakukan secara urut, namun
kadangkala dilakukan langkah-
langkah yang tidak urut terutama
untuk memecahkan masalah yang
sulit.
Langkah 1: Memahami Masalah
Langkah 2: Membuat rencana
pemecahan masalah
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
47
Langkah 3: Melaksanakan rencana
pemecahan masalah
Langkah 4: Melihat (Mengecek) ke
belakang
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan teknik Penelitian
Tidakan Kelas (Classroom Action
Research). Penelitian tindakan kelas
dilaksanakan sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan efisiensi
dan kualitas pendidikan terutama
proses dan hasil belajar siswa pada
level kelas. Penelitian formal yang
selama ini banyak dilakukan, pada
umumnya belum menyentuh
langsung persoalan nyata yang
dihadapi guru di kelas sehingga
belum mampu meningkatkan
efisiensi dan kualitas pembelajaran.
Selain meningkatkan kualitas
pembelajaran, PTK juga berguna
bagi guru untuk menguji suatu teori
pembelajaran, apakah sesuai dengan
kondisi kelas yang dihadapi atau
tidak. Melalui PTK guru dapat
memilih dan menerapkan teori atau
strategi pembelajaran yang paling
sesuai dengan kondisi kelasnya. Hal
ini perlu disadari karena setiap
proses pembelajaran biasanya
dihadapkan pada konteks tertentu
yang bersifat khusus.
Secara lebih konkrit dapat
dikemukakan bahwa tujuan PTK
adalah memecahkan permasalahan
pembelajaran yang muncul di dalam
kelas. Setelah berhasil
mengidentifikasi masalah, guru
merancang dan kemudian
memberikan perlakuan atau tindakan
tertentu, mengamati, mengevaluasi,
dan menganalisis hasilnya guna
menentukan apakah tindakan yang
diberikan tersebut berhasil
memperbaiki kondisi kelas yang
diajarnya atau tidak. Dari informasi
tersebut guru dapat menentukan
langkah-langkah yang perlu
ditempuh terhadap kelas yang
diajarnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan pada hari Rabu, 15
Mei 2013 terhadap siswa kelas VB
SDN 2 Cibodas kecamatan Lembang
sebanyak 36 orang siswa dengan
memberikan tiga soal instrumen
akhir siklus I mengenai materi
operasi perkalian pecahan. Masing-
masing soal akan dinilai berdasarkan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
48
indikator pemecahan masalah
matematis siswa. Indikator tersebut
diantaranya mengerti masalah
(undertstanding the problem),
menyelesaikan masalah (solving the
problem) menjawab masalah
(answering the problem ). Dari 40
orang siswa yang hadir, data yang
akan diolah hanya data dari 36 orang
siswa saja karena hanya 36 orang
siswa yang memiliki kehadiran yang
lengkap.
Berdasarkan hasil penilaian,
indikator kemampuan pemecahan
masalah yang paling menonjol pada
diri siswa yaitu aspek mengerti
masalah (undertstanding the
problem) 75,46%, artinya sebagian
besar siswa mempunyai kemampuan
untuk mengetahui hal-hal yang
terdapat di dalam masalah tersebut.
Hal ini terlihat dari hal-hal yang
diketahui siswa mengenai masalah
yang diberikan. Sedangkan yang
paling rendah ialah kemampuan
menjawab masalah (answering the
problem) sebesar 68,9% artinya
sebagian besar siswa sudah dapat
menyelesaikan masalah, namun
presentase menjawab masalah masih
lebih rendah dibandingkan dengan
indikator pemecahan masalah yang
lain. Hal ini dapat dilihat dari
jawaban siswa seperti kesalahan
perhitungan, kesalahan menyalin,
jawaban ditulis tidak secara benar.
Ini menunjukkan bahwa perhitungan
operasi perkalian bilangan pecahan
siswa masih rendah.
Perkembangan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa
dapat dilihat dari nilai yang diperoleh
siswa pada setiap tes siklus. Dari
nilai yang telah diperoleh siswa pada
tes siklus, peneliti dapat
mengelompokkan tingkat
kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa.
Berdasarkan hasil itu , maka
tingkat kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada siklus
I dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
a. 16,66% siswa dari 36 orang
siswa memiliki kemampuan
buruk
b. 0% siswa dari 36 orang siswa
memiliki kemampuan kurang
c. 16,66 % siswa atau hampir
setengah siswa memiliki
kemampuan cukup
d. 58% siswa atau hampir sebagian
besar siswa memiliki
kemampuan baik
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
49
e. 8,33% siswa atau sebagian kecil
siswa memiliki kemampuan
sangat baik
Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa masih kurang
dikarenakan masih terdapat siswa
yang memiliki kemampuan yang
buruk dan belum sesuai dengan
harapan peneliti. Sehingga peneliti
harus melanjutkan penelitian ke
siklus II.
1. Siklus II.
Berdasarkan evaluasi siklus
II yang telah dilaksanakan pada
tanggal 22 Mei 2013 di kelas VB
SDN 2 Cibodas kecamatan
Lembang, dengan jumlah siswa yang
mengikuti siklus ini adalah 36 orang
mengenai materi operasi pembagian
bilangan pecahan didapatkan hasil
sebagai berikut :
Berdasarkan hasil tes siklus II
bahwa rata-rata nilai siswa dari
siklus I ke siklus II mengalami
peningkatan yang cukup signifikan.
Bahwa rata-rata nilai siswa pada
siklus II mengalami peningkatan
yaitu dari nilai 70,5 meningkat
menjadi 84,11. Dengan siswa yang
telah dinyatakan tuntas sebanyak 33
orang siswa atau sebanyak 91,66%,
dan sebanyak tiga orang siswa yang
dinyatakan belum tuntas dengan
prsentase 8,34%.
Dari 40 orang siswa yang
hadir, data yang akan diolah hanya
data dari 36 orang siswa saja karena
hanya 36 orang siswa yang memiliki
kehadiran yang lengkap. Dari 36
siswa ,nilai tertinggi yang diperoleh
siswa pada ter siklus II ini adalah
100 sedangkan nilai terendah ialah
38.
Terdapat peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa dalam setiap
indikatornya Kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa
diatas, dapat disimpulkan bahwa
presentase indikator kemampuan
pemecahan masalah siklus II masih
sama dengan siklus I. Namun
begitu, terjadi peningkatan
presentase dari setiap kemampuan
pemecahan masalah yang signifikan.
0
10
20
30
40
50
60
buruk cukup baiksekali
kemampuanpemecahanmasalahmatematis
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
50
Disebutkan hampir sama dengan
siklus I karena indikator 1 yaitu
mengerti masalah (undertstanding
the problem) mengalami
peningkatan yang sedikit, ini
dikarenakan pada siklus I siswa
ternyata mayoritas memiliki
kemampuan mengerti masalah
(undertstanding the problem) yang
cukup tinggi dibanding dengan
indikator lainnya. Sehingga saat
siklus II mengalami peningkatan pun
akan terlihat kecil.
Dapat dikatakan bahwa
indikator mengerti masalah
(undertstanding the problem)
meningkat sebesar 4,51%,
menyelesaikan masalah (solving the
problem) meningkat sebesar 14,95
%, menjawab masalah (answering
the problem )meningkat sebesar
14,31%. Terlihat bahwa kemampuan
pemecahan masalah mengerti
masalah (undertstanding the
problem) mengalami peningkatan
yang cukup kecil, karena pada siklus
I kemampuan ini sudah cukup tinggi
sehingga terlihat peningkatannya
cukup kecil.
Maka tingkat kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa
pada siklus II dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
a. 2,77% siswa atau sebagian
kecil siswa memiliki
kemampuan buruk
b. 0% siswa atau sebagian kecil
siswa memiliki kemampuan
kurang
c. 8,33 % siswa atau sebagian
kecil siswa memiliki
kemampuan cukup
d. 63,88% siswa atau hampir
sebagian besar siswa
memiliki kemampuan baik
e. 25% siswa atau hampir
setengahnya siswa memiliki
kemampuan sangat baik
Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa
dibandingkan dengan tes siklus I. Ini
terlihat dari mengecilnya jumlah
siswa yang berkemampuan buruk
dari tes siklus I yaitu dari enam
orang siswa menjadi saru orang
siswa. Dan pada kemampuan sangat
baik menunjukkan peningkatan yang
signifikan sebanyak 16,7%.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
51
Pada grafik ini akan menunjukkan
peningkatan siswa dari siklus I ke
siklus II berdasarkan nilai yang
didapat dari kegiatan evaluasi siklus
I dan evaluasi siklus II.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilaksanakan tentang
pembelajaran matematika pada
materi operasi perkalian dan
pembagian pecahan dengan
menggunakan model Cooperative
Learning tipe Team Pair Solo pada
siswa kelas VB SDN 2 Cibodas
Kecamatan Lembang Kabupaten
Bandung Barat diperoleh simpulan
sebagai berikut:
1. Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang telah
dibuat berdasarkan prinsip-prinsip
dan karakteristik model
cooperative learning tipe team
pair solo yaitu mengutamakan
kerjasama kelompok, hubungan
sosial antar anggota kelompok,
serta siswa mampu berpikir secara
berkelompok maupun individu
(solo) .
2. Pelaksanaan pembelajaran dari
setiap siklusnya telah mengacu
pada prinsip model Cooperative
Learning tipe Team Pair Solo.
Siswa telah berperan dan
bertanggung jawab atas apa yang
terjadi pada kelompoknya,
mampu mengemukakan pendapat
di dalam kelompoknya, mampu
mengatasi masalah yang diberikan
secara individu.
3. Kemampuan pemecahan masalah
siswa mengalami peningkatan
yaitu indikator indikator mengerti
masalah (undertstanding the
problem) meningkat sebesar
4,51%, menyelesaikan masalah
(solving the problem) meningkat
sebesar 14,95 %, menjawab
masalah (answering the problem )
meningkat sebesar 14,31%.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Aqib, Z. (2006). Penelitian
Tindakan Kelas. Bandung:
Yrama Widya.
010203040506070
buruk kurangcukup baiksangat baik
kemampuanpemecahanmasalahmatematis
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
52
Corner, Coach. Class Activities for
Using Cooperative Learning.
[online]. Tersedia :
http://coachkessler.weebly.co
m/class-activities.html [4 Juli
2013]
Halim Fathani, A. (2008).
Matematika Hakikat dan Logika.
Jakarta.
Heruman. (2007). Model
Pembelajaran Matematika Di
Sekolah Dasar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Isjoni. (2011). Cooperative Learning
Efektivitas Pembelajaran
Kelompok. Jakarta : Alfabeta.
Kagan,S. (2001). Kagan Structure :
Research and Rationale.
[online]. Tersedia
:http://www.kaganonline.com
/free_articles/dr_spencer_kag
an/research_rationale.php [4
Juli 2013].
Kagan. (2001). Teaching for
Character and Community.
[online]. Tersedia :
http://www.dialogueonlearnin
g.tc3.edu/model/environment/
images/Kagan-
Activities.html. [4 Juli 2013]
Karso, dkk.(2007). Pendidikan
Matematika I. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Lestari Mikarsa, H. (2007).
Pendidikan Anak di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Lie, A. (2002). Cooperative
Learning Mempraktikkan
Cooperative Learning di
Ruang-Ruang Kelas. Jakarta :
PT. Grasindo.
Musser dkk. (2008). Mathematics
For Elementary Teachers A
Contemporary Approach.
Amerika.
Polya, George. (1956). How to Solve
It: A New Aspect of
Mathematical Method.
Zurich: Princeton Paperbacks.
Ruswandi dkk. (2010). Metode
Penelitian Pendidikan SD.
Bandung: UPI Press.
Syaripudin, Tatang dkk. (2008).
Pengantar Filsafat
Pendidikan. Bandung:
Percikan Ilmu.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
53
AFFECTIVE LANGUAGE ATTITUDE OF INDONESIAN
FRESHMEN TOWARDS ENGLISH
Setyo Wati Universitas Perjuangan Tasikmalaya
ABSTRACT
As an international language, there is an increasing focus on English teaching learning
process in Indonesia. It currently requires attitude to become a considerable attention in a
foreign language teaching process. Attitude toward language learning is considered as the
key factors for the people to learn a language. Learners’ attitude can be defined as a
collection of feelings regarding language use and its status in the society. Learners’ feeling
can foster or hinder the learning process successfully. This research, thus, aims to investigate
attitude of Indonesian freshmen in English teaching learning process, in terms of their
affective aspect. Affective aspect is the realm that is associated with attitudes and values. In
this study, qualitative data were obtained from the structured-interview sessions. The
interview processes were carried out involving 20 Indonesian freshmen who have recently
started studying English as a foreign language in college. The interviewees were selected
randomly. The result indicated that most of the Indonesian freshmen have positive attitude
toward English, as well as they have different attitude of affective aspect towards English.
Finally, this research elaborates the educational implications and the limitations of the study.
It then proposes some recommendations for further research.
Keywords: Indonesian freshmen, affective language attitude
1 INTRODUCTION
English becomes a prestigious position
in many countries, including in
Indonesia. Wherever going a travel in a
foreign city, people usually see English
signs and advertisements. It means that
English language becomes one of the
most frequently spoken languages in
the world today. As stated by
Wardhaugh (2006: 59), people who
speak different languages need to find a
way of communicating which can be
called as a lingua franca. In Indonesia,
this language becomes one of popular
languages to be studied since English
becomes a choice as a foreign language
which has to be studied. Consequently,
there is an increasing attention on
English teaching learning at all levels
in Indonesia, including each school
level until university level in Indonesia.
As one of compulsory subjects taught
in Indonesia, English learning process
currently spreads through primary
school, junior high school, senior high
school, and university, covering span
of about 12 years. Nunan (2003) states
English has been used in all colleges
and universities as the main language
teaching in courses under the control
of, in Indonesia, the Ministry of
Education and Culture.
According to Gardner (1985), in
successful English teaching learning
process, actually there are some factors
that have been considered as significant
factors. The factors are educators,
students, curriculum, materials, and
learning facilities. In addition, there are
various factors that influence learning
process in foreign language learning,
such as motivation, attitudes, anxiety,
learning achievements, aptitude,
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
54
cleverness, age, personalities, and so
on.
Presently attitude has recently
become a considerable attention in a
foreign language teaching process. As
stated by Soleimani and Hanafi (2013),
some variables such as attitude,
orientation, motivation, and anxiety
contribute to foreign language learning.
Among these various factors, attitude
toward language learning are
considered as the key factors for the
people to learn a language. It can be
summarized that one part that can
designate the successful or
unsuccessful learning of foreign
language is students’ language attitude.
Language attitude is getting
attention for years since the study is
one of core topics in today research. As
stated by Bohner and Dickel (2011) in
McCoach, Gable, and Madura (2013),
the study of attitude is getting a core
topic of research currently. In
Indonesia, attitude becomes a core
attention in education. It is getting
obvious since 2013, there have been
some changes on curriculum previously
named as School Based Curriculum
into 2013 Curriculum emphasizing on
students’ character building which has
one of important aspects. This term
which is a basic competence grouping
is about attitude.
In spite of the fact that Indonesia
government strongly encourages the
citizens to learning English and also the
increasing popularity of this fast
growing foreign language in Indonesia,
there has been insufficient research to
describe the attitude of Indonesian
people towards this language and its
learning. In actual fact, Lauder (2008)
further explains that the big problem in
Indonesia is a lack of research.
Moreover, knowing about attitude is
significant in pedagogical capital
because language attitude is a part of
important contributions of language
teaching learning process.
Understanding learners’ foreign
language attitudes is very important
because it can obtain a useful insight
which can be used to improve the
quality of its teaching and learning
pedagogy. As said by Barnes and Lock
(2010), lecturers should understand
their students’ attitude in order to be
responsive to their students’ needs and
enhance the success of students’
learning. Therefore, research of
language attitude also will give
contributions for lecturers in teaching
learning pedagogy. As stated by
Gardner (cited in Melhim & Rahman,
2009,p.3), attitude can express some
important aspects of an individual’s
personality, such as to express who
people are and what people believe in.
Besides, the attitude which serves a
knowledge function will allow
individuals to better understand
situations and people who they
associate with or people around them.
Considering the above contents, this
study investigates affective language
attitude of Indonesian freshmen
towards English.
Based on the explanation above, the
problem that can be formulated as
follow what are the affective language
attitudes of Indonesian freshmen
towards English.
2 RESEARCH METHOD
This research employed by a
qualitative research design to be a
procedure for data condensation, data
display, conclusion drawing and
verification. The stregths of qualitative
data rest centrally on the competence
with which their analysis is carried out.
Qualitative analysis refers to Miles,
Hubberman, and Saldana (2014), there
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
55
are three concurrent flows of activity.
This analysis provides three main steps
occur continuously. It means all steps
of analysis are part of the analysis.
The instruments were concerned
with affective language attitudes of
Indonesian freshmen towards English.
Data collection was conducting
structured interviews with the
respondents to elicit deep explanations.
The interview itself is exploratory in
nature.. According to Warren (2002) in
Bryman (2008), for a qualitative
interview study to be published, the
minimum number of interviews required seems to be between twenty
and thirty. It is inferred from the
statement, twenty random respondents
were interviewed for completing the
data. In conducting the interview, the
interviewer explained to the
respondents the purpose, scope, nature,
and conduct of the interview. So that,
the interviewee were left in no doubt as
to what would happen during and after
the interview processes.
3 AFFECTIVE LANGUAGE
ATTITUDE OF INDONESIAN
FRESHMEN TOWARDS
ENGLISH
The affective aspect concerns
aspects related to feelings and emotions
towards English. It means that the inner
feelings and emotions of the language
learners influence their perspectives
and attitudes towards English. When
the interviewees were asked about their
inner feelings towards English, all
interviewees have very good feelings
towards English. Interestingly,
although they are from English
Education Department, some of them
said that they did not like studying the
materials of education.
SW00 : What do you feel when
studying English? Could
you explain it?
IR01 : I feel happy in studying
English because of the
English materials, but I
feel bored when studying
education materials.
Although, I study in
English Education
Department, I just like
studying English materials,
not education itself.
IR02 : I am very excited to
study English because I like English. I also want to
travel around the world, so
I have to study English.
IR03 : I really like learning
English and I am really
interested in English
because the position of the
language in the world.
(Appendix)
Moreover, as shown in Appendix,
some of the interviewees felt
confident to speaking English both in
front the class and with an English
native speaker. Some other
interviewees were confident to speak
English in front of people, but they
felt unconfident when
communicating with English native
speaker. Some of the interviewees
were unconfident to speak English in
front of the class and to communicate
with English native speaker in an
English communication. The
common reasons for the interviewees
why they had different feelings in
speaking English are as follows: (1)
their lack of English communication,
(2) their self-nervousness to speak
English, (3) their fearfulness in
making mistakes. The following
interview transcripts elaborate the
points above.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
56
SW00 : Do you feel confident or
unconfident when speaking
English in front the other
people or when you have to
communicate with a native
speaker? Can you explain
why?
IR07 : ........ After that I felt
disappointed, but until
now I still feel nervous to
speak with a native
speaker.
IR07 : When I speak English just
with my friends, it doesn’t
matter and I feel confident,
but I will feel not confident
enough when I have to
speak the lecturers or native
speakers because I think
my English is not good
enough for speaking with
them.
IR08 : I feel over confident to
speak English in front of
the class, and I am also
confident to communicate
with native speakers
because I stay in
international dormitory and
I have many foreign friends
from many foreign
countries.
IR11 : Sometimes I feel
unconfident to speak in
English with native
speakers because I don’t
know what they say, and
when I speak English in
front the class, I also feel
nervous for the first time.
IR12 : For the first time, I feel
not confident enough
because of my lack of my
knowledge. Then I always
study English and prepare
all things before the class.
Studying it makes me better
and makes me more
confident to speak in front
of the class and
communicate with the
native speakers.
(Appendix)
Even though, some of the
interviewees felt unconfident, nervous,
and afraid to speak English, they still
kept trying to study English to
overcome their weaknesses in speaking
English. Based on the Appendix, most
of interviewees practised many times to
speak English in order to make them
braver to communicate with the others,
especially with English native
speakers. Some speaking duties from
their lecturer also contributed them to
make them more confident in speaking
English. In other words, the English
instructions of communication skill
from their lecturers can force them to
be braver in English oral
communication.
Moreover, the affective language
attitudes show that negative affective
attitude of the respondents was low,
and the positive attitude was medium
(neutral). Their affective attitudes
reveal some attitudes, such as they
dislike whoever asking them to make
an English conversation neutrally.
Although, they slightly agreed to make
an English conversation, studying
English made them have good mood
and they also like to answer English
questions voluntarily in English class,
regardless of whether they were right
or wrong. Interesting result is that
although they were eager beavers to
study English, they were slight
interested in English class and slight
confident to speak English.
The further explanation why they
had different feelings in speaking
English is as follows: (1) their lack of
English communication, (2) their self-
nervousness to speak English, (3) their
fearfulness in making mistakes. The
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
57
following interview transcripts
elaborate the points above. Although,
they who were unconfident to speak
English, they still kept trying to study
English to overcome their weaknesses
in speaking English. Besides, most of
them practised many times to speak
English in order to make them braver
to communicate with the others,
especially with English native
speakers. Some speaking duties from
their lecturer also contributed them to
make them more confident in speaking
English. In summary, the results of
Indonesian freshmen have positive affective attitudes towards English.
3 CONCLUSION
Indonesian freshmen have different
attitudes, in terms affective aspects of
language attitudes towards English. It
shows that the participants hold
positive emotional attitude towards
English. However, they were interested
in studying English, some of them felt
nervous in English class, so that some
of them had a little in English class.
In light of the contribution of this
study presented above, this section
discusses the implications for
Indonesian freshmen and for English
educators. Investigating language
attitude of Indonesian freshmen is
significant in language pedagogy
process because language attitude is a
part of important contributions of
language teaching learning process.
The affective attitude is helpful to
successful language learning, but it
depends on the language attitude result
of the way the learners feel. If the
learning situation is a cause of negative
attitudes for the learners, it likely
makes the learners develop the
negative attitudes also towards English.
Furthermore, the learners’
interpretations about the target
language can also have determinant in
the learners’ language attitudes towards
English. Therefore, investigating
language attitudes of undergraduate
students as foreign language learners is
essential in the process of foreign
language learning. Language learners
and lecturers (teachers), for example,
are people whose attitudes can bear
effective English language learning.
The language learners have to
understand what they have to do in
their study by investigating the
language attitudes. Understanding learners’ foreign language attitudes is
important because it can obtain a useful
insight which can be used to improve
the quality of its teaching and learning
pedagogy. By probing into gender
attitudinal difference, language
instruction can be geared up based on
the learner gender’s interest. As far as
gender of both female and male is
concerned, there are differences shown
in the learning process. The results
from this study imply that English
teacher or lecturers should not exercise
any bias or prejudice on gender bases
and they should work to improve
learners’ attitudes towards the target
language.
Moreover, the findings have
significant implications for English
language pedagogy considering the fact
that the results of this study exhibited
positive attitudes towards English
language. Thus it is recommended that
this positive attitude of the
undergraduate students should be
exploited properly to enhance and
maintain their inclinations in this
regards.
Having conducted the research, the
researcher would like to give some
suggestions as follows. (1) The most
important suggestion is addressed to
Indonesian freshmen. They should
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
58
realize that their language attitude
define whether their language learning
is successful or not. (2) Attitudes of
lecturers (teachers) towards foreign
language learners can also affect the
learning which takes place. The reason
is that language learning is not only
cognitive stage (where the learners are
involved in conscious activities
resulting in knowledge), but also
affective factors are important and they
should pay attention to them. Hence,
the lecturers (teachers) of English can
create a good and trustful atmosphere
for their English classrooms, based on
the investigation of their students’
language attitudes. (3) The other
researchers are suggested to develop
their research in the larger area, so the
research result can be generated. (4)
The education institutions which
provide English teaching learning
should review the content and the
design of the teaching learning
pedagogy to meet the needs and the
interest of the learners. They are
recommended to consider that English
foreign language learners have
different perceptions about learning
language due to their differences
regarding gender and their years of
study. Hence, taking all these issues
into account will be essential to see
something different concerning the
activities, contents, topics, teaching
practices, and the others.
REFERENCES
Barnes, B. D., & Lock, G. (2010). The
attributes of effective lecturers of
English as a foreign language as
perceived by students in a Korean
university. Australia Journal of
Teacher Education, 35(1).
Bryman, A. (2008). Social research
methods (rev. ed.). New York:
Oxford University Press.
Gardner, R.C. (1985) Social
psychology and second language
learning: the role of attitude and
motivation. London: Edward
Arnold.
Lauder, A. (2008). The status and
function of English in Indonesia:
A review of key factors. Makara,
Social Humaniora, 12(1), 9-20.
McCoach, D.B., Gable, R.K., &
Madura, J.P. (2013). Insrument
development in the affective
domain. New York: Springer.
Melhim, A. & Rahman, A. (2009).
Attitudes of Jordanian college
students towards learning
English as a foreign language.
College Student Journal. Online.
Accessed on December 15, 2015
from http://web.ebscohost.com.
Nunan, D. (2003). The Impact of
English as a Global Language on
Educational Policies and
Practicies in the Asia- Pasific
Region. TESOL Quartely, 37 (4),
589-613.
Soleimani, H., & Hanafi, S. (2013).
Iranian medical students’
attitudes towards English
language learning. International
Research Journal of Applied and
Basic Sciences. Sciences
Explorer Publications.
Wardhaugh, R. (2006). An introduction
to sociolinguistics: fifth edition.
New York: Blackwell Publishing,
Ltd.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
59
APPENDIX
The Interview Transcript of the
Research
Note: SW00 : interviewer
IR(...) : interviewee
Transcript of Interview 1
SW00 What do you feel when studying English? Could you explain it?
IR01 I feel happy in studying English because of the English materials, but I feel bored when studying education materials. Although, I study in English Education Department, I just like studying English materials, not education itself.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR01 Sometimes I feel confident and sometimes I am unconfident. I feel confident when speaking English in front of the class or speaking with my friends or lecturers. On the other hand, when I have to speak with a native speaker, I feel nervous. One day my friends and I had an assignment to speak with a native speaker, but when we met the native speaker, I cannot speak anything. So, at the time the camera just shot my friends who spoke with the native speaker. After that I felt disappointed, but until now I still feel nervous to speak with a native speaker.
Transcript of Interview 2 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR02 I am very excited to study English because I like English. I also want to travel around the world, so I have to study English.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR02 Sometimes I feel confident, but sometimes I feel unconfident in front the class because of my bad mood. I mean that my feeling influences whether I am confident or unconfident to speak English in front the class or to speak with a native speaker.
Transcript of Interview 3
SW00 What do you feel when studying English? Could you explain it?
IR03 I really like learning English and I am really interested in English because the position of the language in the world.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR03 Talking about this, I really have big confidence when speaking English in front of people because I really like speaking English. I think it was really interesting because speaking English can improve our English speaking skill. I am also confident to speak English in front of the people, but sometimes when I meet people that are older than me, such as lecturers, I will be not confident
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
60
enough for communicating with them.
Transcript of Interview 4 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR04 I enjoy studying English because when I study English, I can get much knowledge about the world.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR04 I feel unconfident because I don’t have English speaking ability enough. Furthermore, I think the other people have higher ability of English speaking than me and also they are more confident than me. Those make me nervous.
Transcript of Interview 5 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR05 I feel happy when studying English because my friends around me actually support me to study English more in this college. It makes me more confident to study English more.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR05 I feel confident because when I get wrong in speaking, the others can correct my speaking and it also can improve my English speaking skill. I also feel confident when communicating with a native speaker because I can learn how English words are pronounced in different dialect with me.
Transcript of Interview 6
SW00 What do you feel when studying English? Could you explain it?
IR06 I really enjoy studying English, when we can use different words in different contexts. By studying English, we can know the correct words for different context, for example the words for education will be different when we use words for social or science. But, for literature subject, sometimes I feel not interested enough in it because I don’t have much imagination for interpreting each literary work.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR06 For the first time, I am not confident because I am not a talkative person. Time by time I feel confident to speak English in front of my friends, and then I am also confident to speak with native speakers because they are usually open-minded about culture. They are also very kind to share about themselves to us.
Transcript of Interview 7 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR07 I think if I can speak English fluently or when I can teach another person about English, I will feel happy because we can get much knowledge about English language.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR07 When I speak English just with my friends, it
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
61
doesn’t matter and I feel confident, but I will feel not confident enough when I have to speak the lecturers or native speakers because I think my English is not good enough for speaking with them. I mean when I speak with my friends, I think they will understand what I mean because they are around me and they also have same ability with me.
Transcript of Interview 8 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR08 Because English is my favourite lesson, so I like learning English and I like all materials that lecturers give to me. It makes me enjoyable.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR08 I feel over confident to speak English in front of the class, and I am also confident to communicate with native speakers because I stay in international dormitory and I have many foreign friends from many foreign countries. So, every day I usually speak English with them.
Transcript of Interview 9 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR09 In the first time, I feel worry and very nervous because I don’t have any basic ability of English. Then, time by time I try to learn English, and then I feel enjoyable to study English, even to speak or write something.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when
you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR09 Firstly, I feel so nervous just to speak with the others. But, now I am getting confident to speak in front of the class and also to speak with an English native speaker.
Transcript of Interview 10 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR10 I enjoy studying English because I am interested in English. That’s why I really enjoy studying the language.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR10 Sometimes if I am in front of the class for speaking in English, I feel nervous. But that happens for the first time. Afterward, I feel enjoyable to speak in front of the class, even to speak with a native speaker.
Transcript of Interview 11 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR11 Sometimes I enjoy, but sometimes I feel bored because sometimes in the class the lecturer makes me bored with her/ his teaching method because the lecturer influences my feeling in learning English. Furthermore, when the lecturer is friendly with the students, the materials that the lecturer teaches are easy to be learned.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR11 Sometimes I feel
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
62
unconfident to speak in English with native speakers because I don’t know what they say, and when I speak English in front the class, I also feel nervous for the first time. Then, because my lecturer often asks the students to speak in front of the class and the lecturer is also friendly with the students, so I am getting more confident to speak in English.
Transcript of Interview 12 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR12 I want to know about English, so I just say ‘wondering about English’ to express my feeling in studying English, especially when I study grammar in class then I wonder what the next materials will be. It also happens when I study about debate materials in the class. I get more knowledge about English and western culture also.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR12 For the first time, I feel not confident enough because of my lack of my knowledge. Then I always study English and prepare all things before the class. Studying it makes me better and makes me more confident to speak in front of the class and communicate with the native speakers.
Transcript of Interview 13 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR13 I enjoy studying English especially English grammar because I think English is logical
knowledge. I don’t like Math, but when I study English structure, I can use logical thinking to study it. It’s like playing puzzle and I think studying is like playing games. It is so interesting for me.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR13 Honestly I feel less confident to speak in front of the class, but I try to speak in English. I try doing my best in speaking English. I think when we want to be good in speaking, we must be braver. For example, one day my lecturer asked me to interview some tourists then I went to Yogyakarta to find some foreigners. Finally we met some tourists there. Then when we wanted to start interviewing them, almost my friends felt afraid to speak with them. So, I tried to be braver to start interviewing the tourist because when the English interview process was not started, my assignment would not be finished. When I start interviewing the tourists, I was getting confident because they actually accepted what I said and my attendance. Afterwards, my unconfident feeling is getting less.
Transcript of Interview 14 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR14 For the first time, I feel enjoyable to learn English in the college, but time by time I am getting difficult to learn English because the materials are difficult.
SW00 Do you feel confident or unconfident when
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
63
speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR14 Actually I feel unconfident enough to speak in front of the class because I am not brave enough to speak and to communicate with the other people, especially with native speakers. Although I am still nervous to speak English, I keep trying to doing my best when speaking English to throw away my unconfident.
Transcript of Interview 15 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR15 Firstly, when I study English, I feel mostly enjoyable. On the contrary side, I feel bored to study English. I think my life is like a roller coaster, so when I have good mood, I think studying English is so exciting activity, but when I feel down, I feel bored to study English. I think studying English is not interesting at all, when I feel down in my life.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR15 It’s very first time, I was an introvert person and I feel nervous to speak English, then I cannot say anything. Time by time, I try to be braver to speak in front the class and to speak with native speaker. Now, I am getting confident to speak English with all people.
Transcript of Interview 16 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR16 I feel enjoyable in
studying English because English is amazing for me and I enjoy the process in studying English. I mean English is different from the other language. So, I enjoy studying English.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR16 I am very happy if I can speak with a native speaker because a native speaker is different from us. Actually, my English speaking is not good enough, so I still feel unconfident to speak with them. Besides, I also feel unconfident when speaking English in front the class.
Transcript of Interview 17 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR17 I am interested in English. As you and I know, when I was in Junior High School, my English is not good enough, but now my English is getting better. So, now I feel more happy and excited when studying English.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR17 I feel confident to speak English in front the class because I can explain everything in English and I also can share what I want to share. Besides, I also feel confident to communicate with a native speaker.
Transcript of Interview 18 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
64
IR18 I feel happy actually because I can improve my English ability, add knowledge about English, learn something new related to English, and also I can learn more about western culture.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR18 I feel unconfident because I think I am lack of grammar and pronunciation. So, I am afraid to make mistakes when speaking English. I am also unconfident to speak in front of the class and also speak with a native speaker.
Transcript of Interview 19 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR19 I feel enjoyable when studying English because learning English is important for me. As we know that English is an international language, we can use English to communicate with other people in other countries.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate
with a native speaker? Can you explain why?
IR19 Actually, I feel unconfident when I am communicating with a native speaker because I feel unconfident and nervous. When speaking English in front of the class, I also feel unconfident and nervous.
Transcript of Interview 20 SW00 What do you feel when
studying English? Could you explain it?
IR20 I feel happy because I can learn the other language. Hence, I will try to study English because I like the language.
SW00 Do you feel confident or unconfident when speaking English in front the other people or when you have to communicate with a native speaker? Can you explain why?
IR20 Sometimes I feel confident and sometimes I feel unconfident when speaking English in front of the class. I feel unconfident because I am nervous when I am in front of the class. Then, when communicating with a native speaker, I feel unconfident because my language speaking skill is a little bad and not good enough.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
65
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads
Together (NHT) Pokok Bahasan Bilangan Pecahan Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Winarti Dwi Febriani
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
ABSTRACT The research was based on the low value of the midterm examination results SDN Sukajaya fifth
grade students on the subject of fractions is still below from the expected KKM is 65. Students
still don’t understand about the material multiplication and distribution of various forms of
fractions, because the teachers are still using the conventional method, the lecture method. The
research objective to be achieved is to determine improving student’s learning outcomes with the
application of Cooperative Learning Model Type NHT on the subject of fractions. The method
used was Classroom Action Research Model adapted from Kemmis & Mc. Taggart with three
cycles. The results using NHT on teaching mathematics showed an increase in the learning
process, students become more active and look to working with each group, as well as the
acquisition of students’s learning outcomes in the first learning cycle, the mean average student
reaches 70.428, the second cycle of the average student reaches 76.286, and third cycle students
achieve an average of 79.714 or 94.286% of the students who achieved the KKM. Based on these
results, it can be concluded that the application of Cooperative Learning Model Type NHT can
improve student’s learning outcomes on the subject of fractions.
Keyword : Subject_of_Fractions, Learning_Outcomes, Cooperative_Learning, NHT.
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi rendahnya nilai hasil ulangan tengah semester siswa SDN
Sukajaya Kelas V pada pokok bahasan bilangan pecahan masih dibawah KKM yang diharapkan
yaitu 65. Siswa masih belum memahami dan belum mengerti tentang materi perkalian dan
pembagian berbagai bentuk bilangan pecahan, karena guru masih menggunakan metode
konvensional, yaitu metode ceramah.Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah untuk
mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dengan penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe NHT pada pokok bahasan bilangan pecahan. Metode yang digunakan adalah Penelitian
Tindakan Kelas yang diadaptasi dari model Kemmis & MC Taggart dengan tiga siklus. Hasil
penelitian dengan menggunakan NHT pada pembelajaran matematika menunjukkan adanya
peningkatan proses pembelajaran, terlihat siswa menjadi aktif dan dapat bekerja sama dengan
kelompoknya masing-masing, demikian pula perolehan nilai hasil belajar siswa dalam
pembelajaran siklus I rata-rata siswa mencapai 70,428, pada siklus II rata-rata siswa mencapai
76,286, dan siklus III rata-rata siswa mencapai 79,714 atau sebesar 94,286% siswa yang
mencapai nilai KKM. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok
bahasan bilangan pecahan.
Kata kunci : Bilangan_Pecahan, Hasil_Belajar, Pembelajaran_Kooperatif, NHT
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
66
PENDAHULUAN
Derasnya arus infomasi sudah
tidak memungkinkan lagi bagi guru
untuk beranggapan yang bersumber
pada teori tabula rasa John Lock
dimana siswa adalah kertas kosong
yang putih bersih dan siap
menunggu coretan - coretan
gurunya. Tampaknya, perlu adanya
perubahan paradigma dalam
menelaah proses belajar siswa serta
interaksi antara siswa dan guru (Lie,
2007). Guru dituntut untuk dapat
mengaktifkan siswanya selama
pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran matematika dalam
pelaksanaannya belum memenuhi
kualitas pembelajaran yang
diharapkan.Hal ini disebabkan
karena banyak guru yang
mengajarkan kepada siswanya
menggunakan model pembelajaran
tradisional dan menganut paradigma
transfer of knowledge yang
beranggapan siswa merupakan
objek dari belajar.
Berdasarkan observasi yang
telah dilakukan penulis di kelas V
SDN Sukajaya, membuktikan
bahwa mata pelajaran matematika
masih menghadapi berbagai
kendala, diantaranya : Sebagian
besar siswa mendapat nilai dibawah
Kriteria Ketuntasan Maksimal
(KKM) yaitu 65, karena guru hanya
menggunakan metode yang masih
konvensional; Sebagian besar siswa
tidak bisa menjawab soal operasi
bilangan pecahan karena siswa
masih bingung membedakan operasi
penjumlahan bilangan pecahan
dengan operasi perkalian bilangan
pecahan. Hal ini disebabkan karena
siswa tidak memperhatikan guru
dan penjelasan guru yang kurang
dimengerti siswa; dan Guru tidak
memakai metode dan pendekatan
yang bisa membuat siswa lebih
termotivasi dalam mengikuti mata
pelajaran matematika.
Dalam melaksanakan proses
belajar mengajar matematika
diperlukan langkah-langkah
sistematis untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Hal yang
harus dilakukan dengan
menggunakan metode yang cocok
dengan kondisi siswa, agar siswa
dapat berpikir kritis, logis, dan
dapat memecahkan masalah dengan
sikap terbuka, kreatif, dan inovatif,
sehingga hasil belajar dapat
meningkat.Dalam pembelajaran
dikenal berbagai model
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
67
pembelajaran salah satunya adalah
model pembelajaran kooperatif
(cooperative learning). Menurut
Nur dalam (Isjoni, 2010, hlm. 27),
‘Pembelajaran kooperatif adalah
model pembelajaran yang
mengelompokkan siswa untuk
tujuan menciptakan pendekatan
pembelajaran yang berhasil
mengintegrasikan keterampilan
sosial yang bermuatan akademik’.
Untuk menghadapi tantangan global
di abad modern ini, individu harus
memiliki sikap kooperatif dan sikap
kompetitif. Dengan pembelajaran
kooperatif ini siswa diajarkan untuk
memiliki sikap berkooperatif atau
bekerjasama dan bersama-sama
mengembangkan skill sosial serta
berempati terhadap orang lain.
Salah satu tipe dari model
pembelajaran kooperatif adalah
Numbered Heads Together
(NHT).Menurut Suprijono (2009)
“NHT adalah suatu metode belajar
dimana setiap siswa diberi nomor
kemudian dibuat suatu kelompok
kemudian secara acak guru
memanggil nomor dari siswa”.
Numbered Heads Together (NHT)
pada dasarnya merupakan sebuah
varian diskusi kelompok. Ciri
khasnya adalah guru menunjuk
seorang siswa yang sudah diberi
nomor tugas, tanpa memberi tahu
terlebih dahulu siapa yang akan
mewakili kelompok itu. Cara ini
dapat membuat keterlibatan total
semua siswa, cara ini juga
merupakan upaya yang sangat baik
untuk meningkatkan karakter
bertanggung jawab individual siswa
dalam diskusi kelompok. Dengan
demikian model pembelajaran
kooperatif tipe NHT diharapkan
mampu menarik minat dan motivasi
belajar siswa serta dapat mengolah
pola interaksi siswa di dalam suatu
kelompok tertentu sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Oleh karena itu penulis melakukan
penelitian dengan judul : Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Numbered Heads Together
(NHT) Pokok Bahasan Bilangan
Pecahan Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa.
Berdasarkan latar belakang
masalah diatas, rumusan masalah
yang akan diteliti dalam penelitian
ini, yaitu : 1. Bagaimanakah
perencanaan pembelajaran
matematika dengan menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif tipe
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
68
Numbered Heads Together (NHT)
pada materi bilangan pecahan untuk
meningkatkan hasil belajar siswa
kelas V di SDN Sukajaya ?; 2.
Bagaimanakah pelaksanaan Model
Pembelajaran Kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT)
dalam membelajarkan materi
bilangan pecahan untuk
meningkatkan hasil belajar siswa
kelas V di SDN Sukajaya ? ; 3.
Bagaimanakah peningkatan hasil
belajar siswa kelas V di SDN
Sukajaya dengan menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Numbered Heads Together
(NHT) pada materi bilangan
pecahan ?
Tujuan khusus yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui perencanaan
pembelajaran matematika pokok
bahasan bilangan pecahan,
pelaksanaan dalam membelajarkan
materi bilangan pecahan, dan
mengetahui peningkatan hasil
belajar siswa kelas 5 SDN Sukajaya
dalam pembelajaran matematika
materi bilangan pecahan
menggunakan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Numbered Heads
Together (NHT).
LANDASAN TEORI
Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin dalam
(Isjoni, 2010, hlm. 15), ‘Model
Pembelajaran Kooperatif adalah
suatu model pembelajaran dimana
siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya 4-6
orang dengan struktur
heterogen’.Selanjutnya, Stahl
dalam (Isjoni, 2010, hlm. 15)
menyatakan bahwa Model
Pembelajaran Kooperatif dapat
meningkatkan belajar siswa lebih
baik dan meningkatkan sikap
tolong-menolong dalam perilaku
sosial. Maka, disimpulkan bahwa
Pembelajaran Kooperatif adalah
model atau strategi belajar
mengajar yang mengelompokkan
siswa menjadi kelompok-kelompok
kecil beranggotakan 4-6 orang
dengan karakteristik siswa yang
heterogen.(Berdasarkan
kemampuan siswa dilihat dari nilai
ulangan, jenis kelamin, suku, ras)
sehingga mampu meningkatkan
belajar dan juga perilaku sosial
siswa.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
69
Numbered Heads Together (NHT)
Kagan dalam (Joyce, Weil,
dan Calhoun, 2009, hlm. 306) telah
mengembangkan beberapa prosedur
dalam mengajari siswa bekerjasama
demi satu tujuan dan untuk
memastikan bahwa semua siswa
sama-sama berpartisipasi aktif
dalam tugas kelompok, yang disebut
nomor kepala (numbered heads).
Senada dengan pendapat yang
mengatakan bahwa, “NHT
merupakan suatu pendekatan yang
dikembangkan oleh Spencer Kagan
(1993) untuk melibatkan banyak
siswa dalam memperoleh materi
yang tercakup dalam suatu pelajaran
dan mengecek pemahaman mereka
terhadap isi pelajaran, ( Ibrahim,
dkk, 2000, hlm. 28).”
Numbered Heads Together
(NHT) ini merupakan salah satu tipe
pembelajaran kooperatif.Yang cara
kerjanya menggunakan sistem
kelompok. Namun, walaupun
menggunakan sistem
pengelompokan, bukan berarti
usaha individu tidak diperlukan.
Seperti menurut Joyce, Weil, dan
Calhoun (2009, hlm. 306),
Misalnya, guru membagi
kelas menjadi beberapa
kelompok yang
beranggotakan tiga orang.
Masing-masing anggota
dalam kelompok memiliki
nomor dari satu hingga
tiga.Lalu guru memberi
tugas.Semua anggota
bertanggung jawab dan
menguasai tugas. Guru
memanggil satu nomor,
misalnya “dua” maka satu
orang yang memiliki nomor
dua dari masing-masing
kelompok mengangkat
tangannya dan menjadi juru
bicara untuk kelompok. Yang
lain harus mendengar dan
memperhatikan jawaban dari
siswa yang
mempresentasikan hasil
kelompoknya, mencocokkan
dengan jawaban kelompok
masing-masing. Ada berapa
kelompok yang setuju ?ada
berapa kelompok yang tidak
?. Prosedurnya kemudian
diatur sedemikian rupa agar
setiap anggota dalam
kelompok menjadi juru bicara
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
70
dan aktif dalam
pembelajaran.
Jadi, dalam NHT ini ada
beberapa keunggulan, diantaranya
setiap siswa dalam kelompok harus
siap dengan tugas mereka masing-
masing dan NHT ini membuat
semua siswa aktif, tidak ada siswa
yang hanya menjadi “penumpang”
dalam kegiatan kelompok. Siswa
yang pandai mengajari siswa yang
kurang pandai. Mampu
memperdalam pemahaman siswa
terhadap materi.Menyenangkan
siswa dan memberikan motivasi
dalam belajar. NHT ini juga dapat
melatih karakter bertanggung jawab
siswa, seperti siswa harus
bertanggung jawab atas tugasnya
masing-masing, sikap percaya diri
siswa agar mampu
menggungkapkan pendapat,
kerjasama yaitu saling menghargai
dan berbagi pendapat sesama
teman.Adapun kelemahan NHT
yaitu memerlukan waktu yang lama,
kelas cenderung ramai jika guru
tidak mampu mengkondisikan
kelas, dan kemungkinan nomor
yang dipanggil, dipanggil lagi oleh
guru.
Menurut Suprijono (2009)
“NHT adalah suatu metode belajar
dimana setiap siswa diberi nomor
kemudian dibuat suatu kelompok
kemudian secara acak guru
memanggil nomor dari siswa”.
NHT ini merupakan salah satu
metode belajar dari Model
Pembelajaran Kooperatif dengan
memberi nomor pada tiap siswa
dalam kelompok untuk melatih
siswa lebih aktif, cermat, dan
produktif dalam pembelajaran serta
menekankan interaksi siswa dengan
siswa lainnya dalam suatu
kelompok. Dari dua pendapat
diatas, dapat disimpulkan bahwa
langkah-langkah NHT, yaitu :
1. Melaksanakan proses
pembelajaran matematika di
kelas V dengan menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif
tipe NHT.
2. Menjelaskan materi dalam
siklus.
3. Mengelompokkan siswa secara
heterogen terdiri dari 5 orang
siswa. dan guru memberikan
penomoran 1-5 setiap siswa
dalam kelompok.
4. Setiap kelompok diberi LKS
siklus dan melakukan diskusi.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
71
Setiap siswa dalam kelompok
harus mengetahui dan
memahami jawaban dari seluruh
soal LKS.
5. Guru menunjuk secara acak
salah satu nomor yang sama dari
tiap-tiap kelompok untuk
mengemukakan jawabannya.
6. Hal ini dilakukan hingga semua
siswa mendapat kesempatan
untuk mengemukakan
jawabannya.
7. Guru memberi penghargaan
pada kelompok yang mendapat
skor tertinggi.
8. Siswa secara individu diberi
lembar soal tes siklus.
Pembelajaran Matematika di
Sekolah Dasar
Pembelajaran matematika
adalah upaya yang dilakukan guru
dalam menyajikan bahan ajar
matematika dengan menciptakan
situasi belajar yang tepat dan terarah
dengan menyesuaikannya pada
tahap perkembangan belajar siswa
sehingga memungkinkan siswa
untuk mampu menggunakan
penalarannya dan memperoleh hasil
belajar yang optimal.Mempelajari
matematika tidak terlepas dengan
bilangan.Salah satu bagian dari
klasifikasi bilangan adalah bilangan
pecahan. Bilangan Pecahan adalah
bilangan yang dapat dinyatakan
sebagai 𝑎
𝑏, dimana 𝑎 dan 𝑏 bilangan
bulat, 𝑏 ≠ 0, 𝑏 ≠ 1, 𝑎 ≠ 0, dan
FPB (𝑎, 𝑏) = 1.
1. Perkalian bilangan pecahan
Dalam perkalian bilangan
pecahan, pembilang dikali
pembilang ; penyebut dikalikan
penyebut.
a. Perkalian bilangan pecahan
dengan bilangan bulat :
Rumus :𝑎
𝑐 × 𝑏 =
𝑎 × 𝑏
𝑐 ; 𝑐 ≠
0
Contoh :5
6 × 4 =
5
6 ×
4
1=
5 × 4
6=
20
6
b. Perkalian bilangan pecahan
dengan bilangan pecahan :
Rumus :𝑎
𝑐 ×
𝑏
𝑑 =
𝑎 × 𝑏
𝑐 × 𝑑 ; 𝑐 𝑑𝑎𝑛 𝑑 ≠ 0
Contoh :5
6 ×
4
5 =
5 × 4
6 × 5=
20
30
c. Perkalian bilangan pecahan
dengan bilangan pecahan
campuran :
Contoh :23
5 ×
2
3 =
(5 ×2)+ 4
5 ×
2
3=
13
5 ×
2
3=
13 × 2
5 × 3= 2
6
16
2. Pembagian bilangan pecahan
a. Pembagian bilangan cacah
dengan bilangan pecahan
Contoh :3 ∶ 2
5 =
3
12
5
× 5
25
2
=
15
210
10
= 15
2
1=
15
2= 7
1
5
b. Pembagian bilangan pecahan
dengan bilangan pecahan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
72
Contoh :3
4∶
2
5 =
3
42
5
× 5
25
2
=
15
810
10
= 15
8
1=
15
8= 1
7
8
c. Pembagian bilangan pecahan
dengan bilangan pecahan
campuran:
Contoh :33
4∶
2
5 =
(4 ×3)+ 3
4∶
2
5=
15
4∶
2
5=
15
42
5
× 5
25
2
= 75
810
10
=
75
8
1=
75
8= 9
3
8
Bilangan pecahan campuran
harus dibuat dulu menjadi
pecahan biasa (Prabawanto,
2008).
Hasil Belajar Siswa
Menurut Dimyati dan
Mujiono ( 2006),
“Hasil belajar merupakan
hal yang dapat dipandang
dari dua sisi, yaitu guru dan
siswa.Dari siswa hasil
belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang
lebih baik bila
dibandingkan pada saat
sebelum belajar.Sedangkan
dari sisi guru, hasil belajar
merupakan saat
terselesaikannya bahan
pelajaran”.
Hasil belajar siswa adalah
tingkat perkembangan pengetahuan
dan wawasan siswa yang diperoleh
dari pengalaman dan penguasaan
bahan pelajaran yang telah
dipelajari sehingga terjadi
perubahan tingkah laku pada diri
siswa.Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar
menurut Nasution dalam (Djamarah,
dkk, 2002) adalah faktor internal,
meliputi : faktor fisiologis dan
faktor psikologis, sedangkan faktor
internal, meliputi : faktor
lingkungan, sarana dan fasilitas,
serta guru. Bloom dalam (Sudjana,
2005) membagi jenis-jenis hasil
belajar ke dalam tiga ranah, yaitu :
1. Ranah kognitif, meliputi :
pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi; 2.
Ranah afektif, meliputi :
penerimaan, jawaban atau reaksi,
penilaian atau penentuan sikap,
oraganisasi, dan internalisasi nilai;
dan 3. Ranah Psikomotor, meliputi :
Gerakan refleks (keterampilan pada
gerakan yang tidak sadar),
keterampilan pada gerakan-gerakan
dasar, kemampuan perseptual,
termasuk di dalamnya membedakan
visual, membedakan auditif,
motoris, dan lain-lain, kemampuan
di bidang fisik, misalnya kekuatan,
keharmonisan, dan ketepatan,
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
73
gerakan keterampilan kompleks,
dan gerakan interpretatif.
METODOLOGI
Metode yang digunakan
adalah Penelitian Tindakan Kelas
(PTK).Menurut Mc. Kniff dalam
(Kusumah dan Dedi, 2010, hlm. 8)
‘PTK adalah sebagai bentuk
penelitian reflektif yang dilakukan
oleh guru yang hasilnya dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk
mengembangkan keahlian
mengajar’. Adapun model
penelitian PTK yang digunakan
adalah model PTK menurut
Kemmis & Mc. Taggart dengan
tiga siklus dilaksanakan pada 35
siswa kelas V di SDN Sukajaya,
Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat.
Model PTK Kemmis & Mc
Taggart ini mempunyai empat
komponen, yaitu tahap
perencanaan, tahap pelaksanaan
tindakan, tahap pengamatan, dan
tahap refleksi. Menurut Kusumah
dan Dedi ( 2010, hlm. 20) model
PTK ini merupakan pengembangan
dari model penelitian tindakan Kurt
Lewin. Namun, dalam model
Kemmis & Mc. Taggart, komponen
tindakan dan observasi dijadikan
sebagai satu kesatuan, dikarenakan
penerapan kedua komponen
tersebut harus dilakukan dalam satu
waktu atau dilakukan secara
bersamaan, tidak boleh terpisahkan.
Instrumen pengumpul data
yang digunakan adalah soal tes
evaluasi tiap siklus, hasil kegiatan
guru dan siswa, serta angket
pendapat siswa.Data kuantitatif
yang diperoleh dari soal tes
evaluasi siklus, diolah dengan
perhitungan sebagai berikut.
1. Penskoran
Tiap butir soal yang digunakan
dalam instrumen tes evaluasi,
Lembar Soal Tes Siklus, berbobot
20. Adapun rubrik skor yang
digunakan, yaitu :Skor 20 (Jawaban
benar, cara penyelesaian benar), 15
(Jawaban salah, cara penyelesaian
benar), 10 (Jawaban benar, cara
penyelesaian salah), 5 (Jawaban
benar, tidak ada cara
penyelesaian.Jawaban salah, cara
penyelesaian salah), dan 0 (Tidak
ada jawaban dan cara
penyelesaian).
2. Menghitung nilai rata-rata kelas
dengan rumus:
X = ∑ 𝑁
𝑛
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
74
Keterangan:∑N = total nilai yang
diperoleh siswa; n = jumlah siswa;
dan X = nilai rata-rata kelas
3. Penentuan presentase tingkat
keberhasilan belajar siswa
berdasarkan skor yang
diperoleh, dicari dengan
menggunakan rumus :
Presentase kemampuan siswa =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑥 100%
4. Penentuan Daya Serap Klasikal
(DSK) siswa dicari dengan
menggunakan rumus :
DSK= 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑠𝑎𝑎𝑛 ≥65
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎𝑥 100%
5. Data hasil tes siklus I, siklus II,
dan siklus III, ditentukan
besarnya gain (peningkatan)
dengan perhitungan sebagai
berikut :
Gain (g) =
( 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑠 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑘𝑒−𝑖+1 ) − ( 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑠 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑘𝑒−𝑖 )
( 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 )–( 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑘𝑒−𝑖 )
Kriteria menurut Hake R. R., nilai
(g) 0,71 – 1,00 interpretasi
efektivitasnya tinggi, nilai (g) 0,31
– 0,70 interpretasi efektivitasnya
sedang, nilai (g) 0,00 – 0,30
interpretasi efektivitasnya rendah.
Data kualitatif diperoleh dari
instrument aktivitas siswa dan
angket pendapat siswa.Adapun
perhitungan data sebagai berikut.
Angket.Kategori jawaban
siswa pada angket, yaitu Kategori
Jawaban SS (Sangat Setuju) skor
pernyataan positifnya 4, S (Setuju)
skor pernyataan positifnya 3, KS
(Kurang Setuju) skor pernyataan
positifnya 2, dan TS ( Tidak Setuju)
skor pernyataan positifnya 1.
Setelah data hasil angket
dianalisis dengan cara menghitung
presentase siswa yang menjawab
untuk setiap pertanyaan angket.
Klasifikasi interpretasi
perhitungan presentase adalah besar
presentase 0% (tidak seorangpun), 1
– 25% (sebagian kecil), 26 – 49%
(kurang dari setengahnya), 50 %
(setengahnya), 51 – 75 % (lebih dari
setengahnya), 76 – 99 % (lebih dari
setengahnya), dan 100 %
(seluruhnya).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dari tiga
siklus adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Berikut adalah hasil belajar
siswa dari siklus I hingga siklus III :
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
75
Tabel 1. Peningkatan Hasil Belajar
Siswa Siklus I – Siklus III
S Jumlah Rata-
rata
Lulus
KKM
Belum
Lulus
KKM
I 2465 70,428 20
(57,143
%)
15
(42,857
%)
II 2665 76,142 26
(74,286
%)
9
(25,714
%)
III 2790 79,714 33
(94,286
%)
2
(5,714
%)
Grafik 1. Rata-rata Hasil Belajar
Siswa
Grafik 2. Presentase Berdasarkan
Lulus KKM
Berdasarkan data diatas, adanya
peningkatan rata-rata hasil belajar
dan peningkatan siswa yang lulus
KKM dari siklus I hingga siklus III,
maka disimpulkan bahwa hasil
belajar siswa meningkat.
Untuk mengetahui kategori
peningkatan skor hasil belajar
siswa, maka peneliti menggunakan
gain.g1 yaitu peningkatan skor hasil
belajar siswa dari siklus I ke siklus
II dengan indeks gainnya yang
dilambangkan <g1> dan g2yaitu
peningkatan skor hasil belajar siswa
dari siklus II ke siklus III dengan
indeks gainnya yang dilambangkan
<g2>. Adapun Perbedaan
Peningkatan Gain Ternormalisasi,
yang ditunjukkan oleh grafik
berikut.
Grafik 3. Perbedaan Peningkatan
Gain Ternormalisasi
Berdasarkan tabel dan grafik diatas
menunjukkan bahwa pada <g1> dan
<g2> siswa mengalami peningkatan
hasil belajar kategori rendah.
0
0.2
<g1> <g2>
0.18
0.05
Perbedaan Peningkatan Gain Ternormalisasi
0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00
100.00
S. I S. II S. III
70.4276.14 79.71
Rata-Rata Hasil Belajar Siswa
Rata-RataHasil BelajarSiswa
0.00%10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%70.00%80.00%90.00%
100.00%
S. I
S. II
S. II
I
57.14
%
74.29
%94.29
%
PresentaseSiswa yangLulus KKM
PresentaseSiswa yangBelum LulusKKM
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
76
2. Hasil Observasi Aktivitas Siswa
Hasil observasi aktivitas siswa dari
siklus I sampai dengan siklus III
secara keseluruhan mengalami
peningkatan. Aktivitas siswa dalam
keaktifan menjawab pertanyaan
guru, bertanya kepada guru,
kerjasama dalam berdiskusi
kelompok, disiplin dalam proses
pembelajaran, tanggung jawab
terhadap tugas-tugas yang
diberikan, dan juga perhatian
terhadap penjelasan guru dan
teman-teman lainnya, dikatakan
baik.
3. Hasil Angket Pendapat Siswa
Angket pendapat siswa diberikan
setelah tiga siklus diterapkan.
Angket yang digunakan adalah
angket dengan pilihan jawaban,
yaitu SS = Sangat Setuju, S =
Setuju, KS = Kurang Setuju, dan
TS = Tidak Setuju. Berikut grafik
presentase hasil angket pendapat
siswa :
Grafik 4. Rata-rata Hasil Angket
Pendapat Siswa
Dari data diatas disimpulkan
bahwa sebagian besar respon positif
dari siswa terhadap pembelajaran
yang sudah dilaksanakan selama
tiga siklus dan sebagian kecil respon
negatif dari siswa terhadap
pembelajaran yang sudah
dilaksanakan.
Pembahasan hasil Penelitian
ini akan diuraikan berdasarkan dari
setiap siklus tindakan yang
dilakukan sebagai berikut.
Dari siklus I sampai dengan
siklus III, langkah-langkah kegiatan
awal, kegiatan inti, dan kegiatan
akhir pembelajaran dalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
sama karena mengacu pada
langkah-langkah NHT yaitu
pemberian nomor pada masing-
masing anggota kelompok,
pemberian masalah, memanggil
nomor secara acak untuk menjawab
permasalahan, dan memberi
penghargaan kelompok. Pada
kegiatan awal guru menciptakan
lingkungan belajar dengan
mengucap salam, berdoa bersama,
dan mengecek kehadiran siswa.
Pada awal pembelajaran suasana
0.0%10.0%20.0%30.0%40.0%50.0%60.0%70.0%80.0%90.0%
100.0%
SS S KS TS
24.2%
54.4%
17.4%
4.0%
Rata-rata Hasil Angket Pendapat Siswa
Rata-rataHasilAngketPendapatSiswa
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
77
kelas kondusif. Lalu, guru
menyampaikan materi yang akan
dipelajari. Kemudian, guru
menempelkan media pembelajaran
dari karton yang berisi kertas HVS
dan plastik jilid (plastik transparan).
Guru memberikan pertanyaan awal
untuk membangun pengetahuan
siswa. Pada Siklus I, mengenai
perkalian bilangan pecahan, “
Bagaimana cara penyelesaian 1
2 ×
1
3
dan berapa hasilnya?”. Lalu, guru
memberikan soal “Berapa hasil
1
2 ×
3
5 dan gambarkan!”. Pada siklus
II, mengenai pembagian bilangan
pecahan, “ Bagaimana cara
penyelesaian 1 ∶ 1
4 dan berapa
hasilnya?”. Lalu, guru memberikan
soal “Berapa hasil 1
2∶
1
3 dan
gambarkan!”. Pada siklus III,
mengenai pembagian bilangan
pecahan dalam soal cerita, “
Sepotong bambu panjangnya 1
meter. Bambu itu dipotong masing-
masing panjangnya 1
4, berapa
potongan bambu yang diperoleh?”.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui
siswa mengerti materi yang
dijelaskan guru atau tidak.Jawaban
siswa beragam sehingga guru
menjelaskan penyelesaian soal
tersebut. Media plastik transparan
digunakan untuk membuktikan
jawaban hasil perkalian dan
pembagian melalui
gambar.Pelaksanaan kegiatan inti,
siswa yang berjumlah 35 orang
dibagi ke dalam tujuh
kelompok.Setiap kelompok
berjumlah 5 orang dan diberi
penomoran 1-5 oleh guru, setiap
orang dalam kelompok mendapat
nomor yang berbeda.Hal ini
disesuaikan dengan langkah
penomoran dalam NHT. Langkah
selanjutnya yaitu pemberian
masalah, disini guru memberi LKS
kelompok dan membimbing siswa
dalam diskusi kelompok, dengan
cara berkeliling ke setiap kelompok
sambil memperhatikan keaktifan
siswa dalam setiap kelompok.
Setelah diskusi selesai, guru
memanggil salah satu nomor secara
acak dari setiap siswa dari tiap
kelompok yang bernomor sama
mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban salah satu soal dari LKS,
kemudian guru menunjuk satu-satu
untuk menyebutkan jawaban.
Berulang hingga semua nomor
siswa terpanggil oleh
guru.Kelompok yang menjawab
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
78
benar mendapat pujian dan
penghargaan tempelan bintang yang
ditempel pada papan skor
kelompok.Pada kegiatan akhir, guru
membahas hasil diskusi kelas dan
bertanya jawab mengenai materi
yang sudah dipelajari.Selanjutnya,
guru memberi soal tes akhir siklus
kepada masing-masing siswa untuk
mengukur hasil belajar siswa pada
ranah kognitif.
Siklus I. Pada siklus I ini
materi yang disampaikan adalah
operasi perkalian berbagai bentuk
bilangan pecahan.Berdasarkan
pengalaman langsung mengajar dan
hasil observasi dari observer,
pelaksanaan pembelajaran berjalan
dengan cukup baik, walaupun
pembagian kelompok kurang tertib,
masih adanya siswa yang kurang
aktif dan tidak memperhatikan guru.
Adapun hasil belajar siklus I didapat
dari skor soal tes siklus adalah rata-
rata hasil belajar Siklus I sebesar
70,428 dengan Daya Serap Klasikal
(DSK) sebesar 57,14%. Dari 35
siswa, Lebih dari setengahnya (20
siswa) lulus KKM dan 15 siswa
masih belum lulus KKM.
Siklus II. Pada siklus II ini
materi yang disampaikan adalah
operasi pembagian berbagai bentuk
bilangan pecahan.Berdasarkan
pengalaman langsung mengajar dan
hasil observasi dari observer,
pelaksanaan pembelajaran siklus II
ini diawal pembelajaran suasana
kelas kurang terkendali.sehingga
guru memfokuskan siswa dengan
permainan “tepuk satu”. Pembagian
kelompok dan proses diskusi
berjalan kondusif, siswa sudah
mulai terbiasa berdiskusi dengan
teman kelompoknya. Sebagian besar
siswa sudah aktif dalam mengikuti
proses pembelajaran. Adapun hasil
belajar siswa pada siklus II ini
adalah rata-rata siklus II sebesar
76,142 meningkat dari rata-rata
siklus I dengan DSK sebesar
74,29%, siswa yang lulus KKM
sebanyak 26 siswa dan yang belum
lulus KKM sebanyak sembilan
orang.
Siklus III. Pada siklus III ini
materi yang disampaikan adalah
penerapan operasi perkalian dan
pembagian berbagai bentuk
bilangan pecahan dalam pemecahan
masalah. Berdasarkan pengalaman
langsung mengajar dan hasil
observasi dari observer, pelaksanaan
pembelajaran siklus III ini guru
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
79
memberikan penjelasan materi
secara perlahan dan setiap langkah
menanyakan siswa sudah mengerti
atau belum, dan apabila ada siswa
yang belum mengerti, guru bertanya
pada bagian apa yang belum
dimengerti siswa, sehingga guru
menjelaskan kembali hingga siswa
mengerti. Secara keseluruhan,
pembelajaran berjalan dengan baik.
Adapun hasil belajar siswa pada
siklus III ini adalah rata-rata siklus
III sebesar 76,142 meningkat dari
rata-rata siklus II dengan DSK
sebesar 94,29%, siswa yang lulus
KKM sebanyak 33 siswa dan yang
belum lulus KKM sebanyak dua
siswa.
SIMPULAN DAN
REKOMENDASI
Berdasarkan hasil
pembahasan penelitian yang
dilakukan, simpulannya sebagai
berikut :
Dalam perencanaan
pembelajaran matematika pada
siklus I sampai dengan siklus III
menerapkan langkah-langkah
pembelajaran Numbered Heads
Together (NHT) seperti
:penomoran, pemberian masalah,
pemanggilan nomor untuk
menjawab permasalahan, dan
memberi penghargaan kelompok.
Semuanya dapat diterapkan dalam
pelaksanaan tindakan dengan baik.
Dalam pelaksanaan
pembelajaran matematika pada
pokok bahasan bilangan pecahan
dapat dilihat dari pembelajaran
siklus I sampai dengan siklus III
dengan menggunakan penerapan
NHT, kondisi kelas berjalan
kondusif dan siswa sudah mulai
terbiasa berdiskusi dan berrtukar
pikiran dengan teman-temannya, hal
ini menunjukkan bahwa
penggunaan NHT ini membawa
siswa ke dalam situasi belajar yang
menyenangkan bekerja dengan
kelompoknya sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Pembelajaran matematika
dengan menerapkan Model
Pembelajaran Kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT)
dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada pokok bahasan bilangan
pecahan. Siswa dapat memahami
dan mengerti materi operasi
perkalian dan pembagian berbagai
bentuk bilangan pecahan, hal ini
terbukti dari rata-rata siswa pada
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
80
siklus I yaitu sebesar 70,42 atau
57,143% siswa yang mencapai
KKM, pada siklus II sebesar 76,28
atau 74,286% siswa yang mencapai
KKM, dan rata-rata pada siklus III
sebesar 79,71 atau sebanyak
94,286% siswa yang mencapai nilai
KKM.
Berdasarkan simpulan diatas,
maka penulis mengajukan
rekomendasi sebagai berikut : Bagi
siswa disarankan untuk lebih aktif
di dalam proses pembelajaran dan
juga diskusi kelompok agar
kreatifitas dan hasil belajar dapat
ditingkatkan. Kepada Guru sekolah
dasar direkomendasikan untuk
mencoba menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT)
pada materi lainnya dalam
pembelajaran matematika maupun
pada mata pelajaran lainnya, karena
dengan NHT ini membuat siswa
terbiasa dalam berdiskusi dan
bertukar pikiran, semua siswa
menjadi siap menjawab pertanyaan,
dan siswa secara individu dapat
mengerti materi yang diajarkan.
Bagi peneliti selanjutnya, Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT)
dalam pembelajaran matematika
dengan mengambil subjek dan
pokok bahasan lainnya pada
pembelajaran matematika untuk
meningkatkan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, S. B., dkk. 2002. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: PT
RINEKA CIPTA.
Dimyati dan Mudjiono. 2006.
Belajar Dan Pembelajaran.
Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Ibrahim, M., dkk. 2000.
Pembelajaran Kooperatif.
Surabaya: University Press.
Isjoni. 2010. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya:
University Press
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E.
2009.Models of Teaching
(Edisi Bahasa Indonesia).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kusumah, W. dan Dedi D. 2010.
Mengenal Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: PT
Indeks.
Lie, Anita. 2007. COOPERATIVE
LEARNING Mempraktekkan
Cooperative Learning Di
Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
PT. Grasindo.
Prabawanto, S. 2008. Operasi pada
Bilangan Pecahan.[Online].
Diakses dari
http://file.upi.edu/browse.php
?dir=Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
81
6008301986031-
SUFYANI_PRABAWANTO
/
Sudjana, N. 2005.Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
82
PENGGUNAAN METODE ROLE-PLAY DALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERBICARA
Studi Pre-Eksperimental Pada Siswa Kelas X di SMA Laboratorium UPI
Wida Mulyanti Universitas Perjuangan Tasikmalaya
ABSTRACT
One of the problems commonly found in teaching speaking to EFL learners is that students are
often reluctant to speak. One method that can be used is role-play since it provides workplace
based oral presentations. This study aims to find out whether or not the use of role-play can
develop students’ speaking skill. The study is entitled “The Use of Role-Play in Developing
Students’ Speaking Skill”. The study uses pre-experimental design. Population of the study were 6
classes, consists of 170 students. The sample taken was 30 participants. The data were obtained
through a pre-test and a post-test. The data were then analyzed statistically using dependent t-test
procedures. The statistical computation showed that the coefficient is 13,420. It means that there is
a significance increase after the role play is used to teach speaking.
Keywords: role-play method, speaking skill
ABSTRAK
Salah satu masalah yang sering ditemukan dalam pengajaran berbicara kepada peserta didik
EFL adalah bahwa siswa sering enggan untuk berbicara. Salah satu metode yang bisa digunakan
adalah role play karena memberikan presentasi oral berbasis tempat kerja. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah penggunaan role-play dapat mengembangkan keterampilan
berbicara siswa. Penelitian ini menggunakan desain pre-eksperimental. Populasi penelitian adalah
6 kelas, terdiri dari 170 siswa. Sampel yang diambil adalah 30 peserta. Data diperoleh melalui pre-
test dan post-test. Data kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan prosedur uji t-
dependent. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa koefisiennya adalah 13.420. Artinya ada
kenaikan signifikan setelah bermain peran (role play) digunakan untuk mengajar keterampilan
berbicara.
Kata kunci: metode role-play, keterampilan berbicara
1. Kata Pengantar
1.1 Konteks
Dalam beberapa tahun
terakhir, penekanan pengajaran
bahasa Inggris di kelas EFL tidak
hanya pada kompetensi bahasa
peserta didik tetapi juga pada
pengembangan kemampuan
komunikatif mereka. Sebaliknya,
percakapan bahasa Inggris menjadi
prioritas dalam pengajaran bahasa
Inggris. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya
sekolah yang memilih mata pelajaran
Percakapan Bahasa Inggris yaitu
English Conversation (EC) untuk
ditambahkan sebagai subjek konten
lokal mereka. Ini berarti bahwa EC
dianggap sebagai subjek yang sesuai
dengan kebutuhan siswa. EC fokus
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
83
pada pengajaran keterampilan
berbicara kepada siswa untuk
meningkatkan kemampuan berbicara
mereka agar mereka siap
menghadapi komunikasi bahasa
Inggris dalam kehidupan nyata.
Tidak mudah untuk mengajar
EC, karena banyak siswa Indonesia
yang cenderung malu dan takut
untuk berbicara di depan banyak
orang. Harmer (2007: 345)
menyatakan bahwa mayoritas siswa
enggan berbicara karena mereka
pemalu dan cenderung untuk tidak
mengekspresikan diri di depan orang
lain. Mereka juga takut ‘kehilangan
muka’ jika mereka berbicara dengan
buruk. Hal ini menjadi penyebab
utama mengapa siswa begitu sulit
untuk mendapatkan nilai bagus
dalam eterampilan berbicara. Dalam
rangka meningkatkan kepercayaan
diri siswa, guru harus menemukan
metode yang baik dan bahan.
Ada begitu banyak metode
yang bisa diterapkan untuk
mendapatkan kepercayaan diri
siswa. Salah satunya adalah metode
role-play. Menurut Harmer
(2002: 275), bermain peran
sangat menyenangkan dan dapat
meningkatkan motivasi siswa,
memungkinkan siswa untuk bisa
lebih berterus terang dalam
mengemukakan pendapat dan
menunjukkan suatu
perilaku, dan juga memungkinkan sis
wa untuk menggunakan bahasa yang
lebih luas dibanding dengan yang
mungkin bisa dilakukan dalam
kegiatan-kegiatan berbasis-tugas.
Berdasarkan penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa
metode role play dapat
meningkatkan kepercayaan diri siswa
dengan menunjukkan kepada peserta
didik EFL bahwa mereka memang
mampu mengekspresikan diri mereka
dalam situasi yang
komunikatif. Untuk mengetahui
apakah hipotesis ini dapat diterima
atau tidak, maka penelitian ini
dilakukan untuk menguji hipothesis
apakah penggunaan metode bermain
peran (role play) dapat
mengembangkan keterampilan
berbicara siswa.
1.2 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah
nilai keterampilan berbicara siswa
lebih baik setelah menggunakan
metode role-play dalam
pengajarannya. Peningkatan ataupun
penurunan nilai ini dapat dilihat
dengan membandingkan kemampuan
siswa, skor sebelum dan setelah
siswa belajar keterampilan berbicara
dengan menggunakan metode role
play.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
84
1.3 Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat menjawab pertanyaan:
Apakah penggunaan metode
bermain peran (role-play)
memberikan dampak yang lebih
baik pada keterampilan berbicara
siswa?
1. 4 Definisi istilah
Untuk menghindari salah
tafsir, beberapa istilah diklarifikasi:
1. Berbicara adalah kete
rampilan yang perlu
dikembangkan, dipelajari
secara independen dari
kurikulum tata bahasa dan
kemudian menggunakan
pengetahuan linguistik, seperti
pengetahuan tindak
tutur, pengetahuan wacana,
dan pengetahuan tentang tata
bahasa, kosakata, dan fonologi
(Harmer, 2007: 4). Brown
(200 1: 140) menyatakan
bahwa berbicara adalah cara
menegosiasikan makna yang
dimaksudkan dan
menyesuaikannya untuk
menghasilkan efek yang
diinginkan pada pendengar.
2. Role-play adalah
metode yang dirancang untuk
membuat simulasi kehidupan
nyata seolah-olah mereka
melakukannya di dunia nyata,
baik sebagai diri mereka
sendiri atau mengambil peran
karakter yang berbeda dari diri
mereka sendiri atau dengan
pikiran dan perasaan diluar
diri mereka (Harmer, 2002:
274). Menurut Ladousse
(2004: 7) role play adalah
teknik komunikatif yang
mendorong
motivasi, meningkatkan intera
ksi, dan
mengembangkan kelancaran
berbahasa. Brown (2001: 183)
mengemukakan bahwa
permainan peran dapat
dilakukan sendiri,
berpasangan, atau
berkelompok, dengan setiap
orang diberi peran untuk
mencapai suatu tujuan.
1.5 Ruang Lingkup penelitian
Fokus penelitian ini adalah
pada penggunaan metode bermain
peran (role play) dalam mengajar
keterampilan berbicara untuk
SMA siswa kelas X. Penelitian
ini dilakukan di salah satu SMA
Laboratorium Percotohan UPI
Bandung dengan memilih satu kelas
yang terdiri dari 30 siswa sebagai
sampel.
1.6 Cakupan Penelitian
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
85
Penelitian ini
diharapkan akan
memperluas pengetahuan guru dalam
memilih metode yang cocok dalam
mengajar bahasa Inggris, terutama
mengajar
keterampilan berbicara. Temuan
penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi secara
teoritis dan praktis terhadap
pengembangan proses belajar
mengajar EFL. Penelitian ini akan
sangat bermanfaat bagi peneliti
dalam melakukan penelitian terkait.
2. Tinjauan Literatur
Berbicara
Richard (1992)
mendefinisikan permainan peran
sebagai kegiatan dimana siswa
mengambil peran dari peserta yang
berbeda dalam situasi tertentu dan
kemudian melakukan apa yang
biasanya terjadi dalam situasi seperti
itu. Menurut Chaney (1998: 13) ,
berbicara adalah proses membangun
dan berbagi makna melalui
penggunaan simbol verbal dan non
verbal dalam
berbagai konteks . Sedangkan
dalam Oxford Advanced
Dictionary (Hornby, 2010:
13) definisi berbicara adalah untuk
mengekspresikan atau
mengkomunikasikan pendapat,
perasaan, gagasan, dan lain-lain, atau
berbicara dan melibatkan aktivitas
pembicara sebagai kegiatan fisiologis
(artikulator), psikologis dan tahap
fisik (akustik). Dapat disimpulkan
bahwa berbicara adalah
mengekspresikan gagasan, pendapat,
atau perasaan kepada orang lain agar
bisa menginformasikan atau
membujuk. Hal ini dapat dipelajari
dengan menggunakan beberapa
metodologi pembelajaran.
Mengajar Berbicara melalui Role
Play
Pengajaran keterampilan
berbicara sekarang ini dianggap
remeh dan guru bahasa Inggris terus
menurus mengajar keterampilan
berbicara dengan menggunakan
metode seperti pengulangan latihan
atau penghafalan dialog. Namun,
dunia sekarang menuntut agar tujuan
pengajaran keterampilan berbicara
harus meningkatkan kemampuan
komunikatif siswa agar siswa
dapat mengekspresikan diri dan
belajar mengikuti peraturan sosial
dan budaya yang sesuai dalam setiap
situasi komunikatif.
Telah dinyatakan oleh
Harmer (2007: 243) bahwa berbicara
dengan lancar dalam bahasa Inggris
tidak hanya mengucapkan fonem
secara benar, menggunakan tekanan
yang sesuai dan pola yang tepat, dan
khususnya dalam pidato yang
terhubung, tetapi juga kita harus
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
86
mampu (1) berbicara dalam bahasa
Inggris berbagai genre dan situasi
yang berbeda, (2) menggunakan
berbagai strategi percakapan dan
strategi mengoreksi percakapan, dan
(3) bertahan dalam pertukaran
fungsional khas. Ketiga hal ini
tampaknya dapat dikuasai dengan
melakukan metode bermain peran
(role-play) dalam pengajaran
keterampilan
berbicara karena memberikan
presentasi lisan berdasarkan tempat
kerja.
Bermain Peran (Role-Play)
Bermain peran adalah metode
untuk melakukan berbagai cara
berperilaku atau berpura-pura
menjadi orang lain yang berurusan
dengan situasi baru (Procter, 1996:
123). Menurut Cohen & Manion
(1994: 252 ) , role-play didefinisikan
sebagai keterlibatan dalam situasi
sosial yang direplikasi yang
diproyeksikan untuk menyoroti
konteks peran atau aturan yang
mengesampingkan episode sosial
kehidupan nyata . Dari definisi ini,
dapat didefinisikan bermain
peran itu adalah tindakan untuk
menjadi diri sendiri atau menjadi
orang lain dalam situasi tertentu,
berimprovisasi terhadap dialog dan
penciptaan dunia nyata dalam
skenario. Ini bisa menjadi metode
yang sangat bagus untuk
mendorong kemampuan berpikir dan
kreativitas siswa. Bermain peran
menempatkan siswa dalam suasana
yang tidak mengancam sehingga
siswa dapat menikmati proses belajar
mengajar.
Prosedur dalam Menggunakan
Metode Role-Play
Procter (1996 :12) menjelaskan
bahwa ada beberapa jenis role
play. Yang penting adalah peran
yang sesuai dengan kebutuhan
nyata kehidupan siswa. Dalam
kategori ini, melibatkan peran
seperti guru
yang berhubungan dengan siswa,
atau dokter gigi yang berurusan
dengan pasien. Jenis peran kedua
adalah siswa bermain dalam berbagai
situasi yang mungkin atau tidak
mungkin mereka miliki pengalaman
langsung. Contoh yang termasuk
dalam kategori ini
adalah penumpang yang meminta
informasi atau pelanggan yang
mengeluh. Tipe ketiga adalah
tipe yang hanya sedikit siswa yang
akan mengalami sendiri, tapi mudah
untuk dilakukan karena para guru
memiliki pengalaman tidak langsung
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
87
yang begitu luas dari
mereka. Jurnalis televisi adalah
contoh bagus dari jenis ini dan ini
sangat berguna karena peran diambil
dari kehidupan nyata. Tipe terakhir
adalah peran fantasi, yaitu
fiktif, imajiner, dan bahkan mungkin
absurd.
Jenis dari Role-Play Menurut Byrne (1995: 122-
123), role-play bisa dikelompokkan
menjadi dua bentuk, role play
scripted dan unscripted. Secara rinci,
jenis kegiatan role-play tadi
digambarkan sebagai berikut:
• Scripted Role Play
Jenis ini melibatkan
interpretasi baik dialog buku teks
atau membaca teks dalam bentuk
pidato. Fungsi utama teks
adalah untuk menyampaikan makna
bahasa dengan cara yang mudah
diingat. Berikut adalah contoh role-
play scripted dialog dan membaca
teks dan bagaimana prosesnya: Angela : Good morning. I want to send
a letter to Singapore.
Clerk : Yes, do you want to send it by ai
r mail or ordinary mail?
Angela : I think I’ll send it air mail. I
want it to get there quickly. How much
does it cost?
Clerk : To Singapore? That will be 30 pe
nce, please.
Angela : (give the clerk 50 pence)
Here you are.
Clerk : Here’s your stamp, and here’s 20
pence change.
Angela : Thank you. Where is the post
box?
Clerk : You want the air mail box. It’s
over there, by the door.
(Adapted from living English book 2 : A.G. Abdalla
et al)
Doff (1988: 233-
234) menjelaskan bahwa untuk
menunjukkan aktivitas bermain
peranberdasarkan dialog, prosedur
yang diberikan adalah sebagai
berikut:
Pertama, guru memandu permainan
peran dengan menuliskan petunjuk
berikut: (di mana? / udara mail /
berapa? / kotak pos? / terima
kasih). Bicara saat Anda
menulis untuk menunjukkan apa
yang diminta.
1. Jika perlu, melalui
petunjuk satu per satu, dan
mintalah siswa untuk
melakukannya, berikan
kalimat atau pertanyaan untuk
masing-masing.
2. Panggil dua siswa ke
depan: satu memainkan peran
sebagai Angela dan Yang
lainnya adalah petugas kantor
pos. Mereka harus
berimprovisasi. Percakapan
menggunakan petunjuk untuk
membantu mereka. Tunjukkan
bahwa percakapan harus
serupa dengan yang ada di
buku teks, tapi tidak persis
sama; percakapan bisa lebih
pendek dari
presentasi dialog. Ini hanya
harus mencakup poin utama
yang ditunjukkan oleh
perintahnya.
3. Panggil beberapa
pasang murid lainnya sesuai
gilirannya, dan mintalah
mereka untuk membuat
percakapan lainnya
berdasarkan petunjuk tadi.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
88
Cara mengorganisir dialog ini bisa
dilakukan dengan memanggil
sepasang siswa yang akan
berimprovisasi dengan percakapan
tersebut di depan kelas secara
bergantian. Guru juga bisa meminta
siswa mempraktikkan percakapan
secara pribadi dengan mitra
mereka sebelum mereka
mempraktekannya di depan kelas.
• Unscripted Role-Play
Berbeda dengan scripted
role - play, situasi bermain peran
tanpa catatan tidak tergantung pada
buku teks. Hal ini dikenal
sebagai permainan peran
bebas atau improvisasi. Para siswa
itu sendiri harus memutuskan bahasa
apa yang akan digunakan dan
bagaimana percakapan harus
berkembang. Untuk melakukan
kegiatan ini, persiapan yang baik dari
guru dan siswa sangat
diperlukan. Berikut adalah contoh
dan prosedur bermain peran tanpa
naskah yang diadaptasi dari Adrian:
Seorang siswa telah kehilangan sebuah
tas.
Dia ada di kantor polisi.
Murid lainnya adalah petugas polisi, dan
meminta rinciannya.
Untuk mengemukakan gagasan ini: 1) Guru bisa mempersiapkan seluruh
kelas, dengan: a. Membahas apa yang
mungkin dikatakan oleh para
pembicara (misalnya petugas
polisi akan bertanya kepada
siswa bagaimana dia
kehilangan tasnya).
b. Menulis prompt di
papan tulis untuk memandu
permainan peran, dan tombol
apa saja kosa kata.
2) Guru bisa membagi kelas menjadi
pasangan, dan: a. Biarkan mereka
mendiskusikan bersama apa
yang mereka katakan.
b. Biarkan mereka semua
mencoba peran bermain
secara pribadi, sebelum
memanggil satu atau dua
pasang untuk bertindak di
depan kelas.
(Doff, 1988)
House (1997) menjelaskan bahwa
ada beberapa prosedur dalam
menggunakan role play:
a. Siswa membaca dan
membiasakan diri dengan
dialog (contoh).
b. Bagilah kelas
berpasangan, A dan B, beri
peran A dan B dari dialog. c. Biarkan
siswa memainkan peran
mereka.
Bukan hanya
mengatakannya tapi siswa
harus membacanya dengan
keras.
d. Berjalan di sekitar
mengoreksi dan memeriksa.
e. Siswa bertukar peran dan
mengulangi.
Mereka yang selesai
pertama dapat diminta
untuk membuat permainan
peran mereka sendiri
dengan menggunakan
kata-kata yang berbeda
untuk mengisi
kesenjangan.
Prosedur ini bukan aturan
tetap, agak fleksibel. Guru dapat
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
89
membuat atau mengembangkan
prosedur yang sesuai dengan
kelasnya sendiri. Role-play adalah
kegiatan belajar yang sangat
fleksibel yang memiliki ruang
lingkup luas untuk variasi dan
imajinasi. Sesuai dengan
Ladousse (2004), permainan peran m
enggunakan teknik komunikatif
yang berbeda dan mengembangkan
kefasihan dalam bahasa, mendorong
interaksi di kelas dan meningkatkan
motivasi.
Role-play
mendorong pembelajaran kelompok
dan berbagi tanggung jawab antara
guru dan siswa dalam proses
pembelajaran yang sedang
berlangsung. Bermain peran dapat
meningkatkan kemampuan berbicara
peserta didik dalam situasi apa pun,
dan membantu peserta didik untuk
berinteraksi. Sedangkan untuk
peserta didik yang pemalu,
permainan peran membantu dengan
memberikan masker, dimana peserta
didik yang mempunyai kesulitan
dalam membuat percakapan tentang
dirinya sendi dapat
terbebaskan. Selain itu, role play
sangat menyenangkan dan
kebanyakan peserta didik akan setuju
bahwa kenikmatan dalam proses
belajar aan mengarahkan pada
pembelajaran yang lebih
baik. Beberapa alasan untuk
menggunakan role play dalam
mengajar keterampilan berbicara
dikutip dari Ladousse (2004) sebagai
berikut:
a. Berbagai pengalaman
yang sangat beragam dapat
dibawa ke kelas dan kami
dapat melatih siswa kami
dalam kemampuan berbicara
dalam situasi apa pun melalui
permainan peran.
b. Bermain peran
menempatkan siswa dalam
situasi di mana mereka
diminta untuk menggunakan
dan mengembangkan bentuk
bahasa fasik yang sangat
diperlukan dalam meminyaki
karya hubungan sosial, namun
seringkali diabaikan oleh
silabus pengajaran bahasa kita.
c. Beberapa orang
belajar bahasa Inggris untuk
mempersiapkan peran tertentu
dalam kehidupan
mereka. Sangat membantu
siswa-siswa ini untuk
mencoba dan bereksperimen
dengan bahasa yang mereka
butuhkan di lingkungan yang
ramah dan aman ruang kelas.
d. Peran bermain
membantu banyak siswa
pemalu dengan memberi
mereka topeng.
e. Mungkin alasan yang
paling penting untuk
menggunakan permainan
peran adalah menyenangkan.
Kesimpulannya, role play
adalah metode yang mendorong
siswa untuk berbicara atau
berinteraksi dengan orang
lain, mengembangkan kelancaran
siswa dalam menggunakan bahasa
target, dan meningkatkan
motivasi siswa.
3. Metode
3.1 Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan de
sain pre-eksperimental. Desain pre-
eksperimental adalah bentuk desain
penelitian yang paling
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
90
sederhana. Ada tiga jenis desain pre-
eksperimental: pada desain studi
kasus e-shot, desain pretest-posttest
satu kelompok, dan perbandingan
kelompok statis. Penelitian ini
menggunakan rancangan pretest-
posttest satu
kelompok, yang berarti percobaan
yang dilakukan dalam satu
kelompok saja , tidak ada kelompok
kontrol atau kelompok
pembanding (Sugiyono,
2009). Sebuah kasus tunggal yang
diamati pada dua titik waktu, satu
sebelum treatment (pre-test) dan satu
setelah treatment (post-test) .
3.2 Pengumpulan data
3.2.1 Populasi dan
Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas X SMA. Ada 6 kelas
yang terdiri dari 170 siswa. Penulis
memilih satu
kelas ( 30 siswa ) sebagai sampel
yang akan diamati dengan
menggunakan cluster random
sampling. Cluster random
sampling adalah sampel yang dipilih
dari kelompok yang sudah ada
sebelumnya (Sugiyono,
2009). Kelompok dipilih dan
kemudian individu dalam kelompok
tersebut digunakan untuk penelitian.
3.2.2 Instrumen dan
bahan
Untuk mengetahui apakah
penggunaan role-play dapat
meningkatkan keterampilan
berbicara siswa, tes lisan
diberikan kepada siswa. Karena tes
yang diujikan berbentuk lisan,
skor terbagi menjadi lima kriteria,
yaitu nilai pengucapan, tata bahasa,
kosakata, kelancaran, dan
pemahaman. Kemudian, masing-
masing kriteria dinilai menjadi lima
skala nilai pemeringkatan, hal ini
didasarkan pada skor pemeringkatan
skala David P. Haris. Setelah itu,
untuk mendapatkan mean, nilai dari
semua kriteria adalah dijumlah
lalu dibagi menjadi lima. Pre-test
telah diberikan sebelum treatment
diberikan. Kemudian posttest
diberikan setelah
treatment dilakukan di kelas (Haris,
1969: 84-85).
3.2.3 Variabel
Ada dua variabel
dalam penelitian ini. Role-play
adalah variabel dependen, sedangkan
variabel independen
adalah keterampilan berbicara siswa.
3.2.4 Prosedur
Untuk mengetahui hasil
penelitian, data perlu
dikumpulkan. Prosedur pengumpulan
data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
91
1. Salam
Hal pertama yang dilakukan
guru adalah menyambut para
siswa dan bertanya tentang
kondisinya. Guru juga
mengulas pelajaran mereka
sebelumnya. Kemudian guru
tersebut memberi tahu siswa
apa yang akan mereka pelajari
hari itu.
2. Pra-Uji
Pra-tes diberikan kepada
siswa sebelum treatment. Pra-tes
adalah dalam bentuk uji
lisan. Ujian terdiri dari
10 pertanyaan. Skornya diamb
il di lima kriteria, yang
merupakan nilai pengucapan, tata
bahasa, kosakata, kelancaran dan
pemahaman. Kemudian, untuk
mendapatkan mean, nilai dari
semua kriteria adalah dijumlah
dan dibagi menjadi lima.
3. Tahap Presentasi
Pada tahap presentasi, guru
memberikan peran kepada
siswa. Lalu, guru
menjelaskan peran, situasi
yang harus dilakukan siswa
dalam bermain peran dan
tujuan atau hasil yang harus
mereka dapatkan. Guru juga
tidak boleh lupa
mengklarifikasi isyarat dan
memberi contoh / model peran
yang dimainkan
siswa. Akhirnya, guru
menetapkan batas waktu dan
mendorong siswa untuk
menjadi kreatif dan
menggunakan sumber bahasa
mereka sendiri.
4. Tahap praktek
Pada tahap ini, guru meminta
siswa untuk memulai
permainan peran sementara
dan berkeliling kelas
memeriksa dan memberikan
bantuan sesuai kebutuhan
siswa. Metode yang digunakan
pada tahap ini adalah metode
eksperimen. Ini digunakan
untuk membuat siswa dapat
berkomunikasi dengan orang
lain dengan menggunakan
bahasa mereka sendiri
berdasarkan isyarat yang telah
diberikan oleh guru
sebelumnya.
5. Tahap Produksi
Guru bertanya kepada siswa
tentang hasil permainan peran
mereka. Selanjutnya, guru
memberi umpan balik tentang
masalah tata bahasa atau
pengucapan yang dia
dengar. Metode yang digunakan
pada tahap akhir ini adalah
metode dialog. Ini digunakan
untuk mengetahui kemampuan
berbicara siswa dan pemahaman
mereka terkait dengan subjek.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
92
6. Post-Test
Penulis memberikan post test
kepada siswa. Tesnya sama
dengan pre-test. Namun, post-
test diberikan setelah
perawatan dilakukan dengan
cara mengajar berbicara
menggunakan role play. Nilai
tersebut diambil dalam lima
kriteria, yaitu nilai
pengucapan, tata bahasa,
kosakata, kelancaran dan
pemahaman. Kemudian, untuk
mendapatkan mean, nilai dari
semua kriteria adalah jumlah
dan dibagi menjadi lima.
7. Penutupan
Pada tahap akhir ini, guru
menyimpulkan pelajaran pada
hari itu. Guru juga harus
mencari tahu tanggapan siswa
sesuai dengan permainan peran
yang telah mereka lakukan dan
menutup pelajaran.
3.3 Analisis data
Setelah mendapatkan data
dari pre-test, mereka dianalisis dan
diproses dengan menggunakan
perhitungan statistik rumus t -test
dengan tingkat signifikansi 5
persen . Rumusnya adalah:
To = MD
SEMD
to : test observation
(uji pengamatan)
MD : Mean of differences;
skor rata-rata dari perbedaan
yang diperoleh dari skor
antara variabel pertama dan variabel
kedua, yang dihitung dengan rumus:
MD = ∑ 𝐷
N
D : Skor total antara variabel
pertama ( X variabel)
dan variabel kedua Variabel Y ). D
diperoleh dengan formula; D = XY
N : Jumlah dari kasus
SD D : Standar deviasi dari perbedaan
antara skor variabel X dan Variabel
Y, yang diperoleh dengan rumus:
SE MD : Standar error dari perbedaan
mean yang diperoleh dengan rumus : SE MD = __ S D ___
df : Gelar dari kebebasan den
gan rumus: N-1
4 Temuan
Setelah melakukan
penelitian, data (yang merupakan
nilai pre-test dan post-
test) diperoleh.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
93
Skor Pra-Tes
Tabel 1
Tidak. Pengucapan Tatabahasa Kosa kata Kelancaran Pemahaman Total
1 60 65 60 60 60 30 5
2 6 5 60 70 70 65 33 0
3 8 5 80 80 8 5 75 40 5
4 6 0 6 5 60 65 6 5 31 5
5 80 7 5 80 75 70 380
6 75 80 70 7 5 7 5 37 5
7 80 7 5 7 5 75 80 385
8 65 60 6 5 6 0 65 31 5
9 70 65 70 70 70 345
10 90 85 90 90 90 445
11 7 0 70 70 70 75 35 5
12 6 5 65 70 70 70 34 0
13 6 5 6 0 6 5 6 5 6 0 3 15
14 8 0 8 5 85 80 90 42 0
15 7 5 7 5 70 75 75 3 70
16 60 60 6 5 6 5 6 5 3 15
17 70 75 6 5 80 65 35 5
18 70 70 7 5 7 5 70 3 60
19 80 80 8 5 80 7 5 400
20 70 70 75 70 80 36 5
21 7 5 80 80 75 80 39 0
22 6 5 60 70 6 5 70 330
23 60 60 65 60 6 5 3 10
24 6 5 6 5 70 65 70 335
25 85 80 90 8 5 85 42 5
26 7 5 70 80 70 75 3 70
27 6 5 70 70 6 5 7 5 34 5
28 75 75 7 5 80 70 37 5
29 7 5 75 75 75 70 3 70
30 60 6 5 60 6 5 65 315
10760
Ini menunjukkan bahwa mean ( )
adalah:
= 10760 30 = 35 8.67
Standar deviasi adalah:
= √40292.7
(30 – 1)
= √1389.403
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
94
= 37.27
Median ( ) = 35 7.5
Skor tertinggi = 445
T nya skor terendah = 305
Skor Post Test
Meja 2
Tidak. Pengucapan Tatabahasa Kosakata Kelancaran Pemahaman Total
1 70 70 70 75 7 5 360
2 7 5 70 70 7 5 75 365
3 9 0 90 90 95 90 455
4 7 5 80 75 7 5 80 3 85
5 85 70 70 6 5 70 360
6 60 6 5 65 60 65 31 5
7 7 5 70 80 75 80 3 80
8 6 5 70 70 65 80 350
9 75 7 5 80 7 5 80 3 85
10 90 80 80 90 80 420
11 85 85 90 8 5 8 5 430
12 80 80 80 80 80 400
13 80 75 80 85 8 5 40 5
14 8 5 8 5 8 5 90 90 435
15 70 7 5 80 70 75 3 70
16 6 5 6 5 65 65 70 330
17 80 7 5 80 7 5 75 385
18 70 7 5 75 75 75 375
19 90 8 5 8 5 90 90 440
20 70 70 70 70 7 5 355
21 80 75 80 75 85 395
22 70 75 80 80 75 380
23 60 70 6 5 65 70 330
24 85 65 70 6 5 65 350
25 85 90 8 5 85 8 5 430
26 80 80 80 75 8 5 400
27 70 6 5 70 65 70 340
28 85 80 8 5 85 8 5 420
29 75 75 75 65 7 5 365
30 6 5 6 5 6 5 6 5 65 325
11435
Setelah data dianalisis, menunjukkan
bahwa :
Mean ( ) adalah:
= 10760
30
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
95
= 358.67
Standar deviasi adalah:
= √40292.7
(30 – 1)
= √1389.403
= 37.27
Median ( ) = 357.5
Skor tertinggi = 445
Skor terendah = 305
Perbandingan Uji Hasil
Tabel 3
Tidak. Skor Pra Uji
(X)
Skor Post-Test
(Y)
D = (XY)
D 2 = (XY) 2
1 30 5 360 - 55 3025
2 33 0 365 - 35 12 25
3 40 5 455 - 50 2500
4 31 5 385 - 70 4900
5 380 360 20 4 00
6 37 5 315 60 3600
7 385 380 5 25
8 31 5 350 -35 1225
9 345 385 - 40 1 600
10 445 420 25 625
11 35 5 430 25 625
12 34 0 400 40 1600
13 3 15 405 -90 8100
14 42 0 435 - 15 225
15 3 70 370 0 0
16 3 15 330 - 1 5 225
17 35 5 385 - 30 900
18 3 60 375 -1 5 225
19 400 440 - 40 1600
20 36 5 355 10 100
21 39 0 395 -5 25
22 330 380 -5 0 6 25
23 3 10 330 - 20 400
24 335 350 - 15 225
25 42 5 430 - 5 25
26 3 70 400 - 30 900
27 34 5 340 5 25
28 37 5 420 - 45 2025
29 3 70 365 5 25
30 315 325 - 10 100
N = 30 Σ X = 107 60
Σ Y = 1 1435
Σ D = - 430
Σ D 2 = 37100
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
96
Setelah mendapatkan
datanya, ΣD = -
430, ΣD 2 = 37100 . Kemudian,
standar deviasi dari perbedaan
(SD D ) dihitung. Inilah rumusan
untuk menghitung perbedaan standar
deviasi distribusi antara skor:
SD = √∑ 𝐷2 – (∑ 𝐷)2
_________N___
N - 1
= √∑ 37100 –
(∑ −430)2
_______________30____
30 - 1
= √∑ 37100 –
∑ −184900
_________________30____
29
= √∑ 37100 –
∑ − 6163.33
29
= √∑ 30936.67
29
= √∑ 1066.78
= 32.66
Mean of differences (MD) antara
variabel X dan Y adalah:
MD = ∑ 𝐷
N
= -430
30
= -14.33
Setelah mendapatkan hasil
S D = 32,66, lalu standar error dari of
differences (SE MD ) antara variabel X
dan Y dihitung sebagai berikut:
SE MD = __SD___
√𝑁 − 1 = 32.66_
√30 − 1
= 32.66
√29
= 32.66
5.385
= 6.18
Yang terakhir dari
perhitungan adalah menentukan
hasil t-observation (to) dari tes
dengan rumus:
to = _MD_
SEMD
= -14.33 6.18
= - 2.32
Hasilnya - 2,32 menunjukkan bahwa ada perbedaan derajat
sebanyak - 2.32. Hasil yang minus
tidak menunjukkan
nilai negatif. Kemudian, hasilnya
akan ditemukan dengan mengetahui
derajat kebebasan terlebih dahulu:
df = N – 1
= 30 – 1
= 29
Kemudian lihat tabel t-value
pada tingkat signifikansi 0,05 two
tailed. Hasil analisis data dengan
menggunakan rumus di atas
menunjukkan bahwa koefisiennya
adalah 2,32. Hasilnya adalah 2 .045
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
97
< 2.32. Ini menunjukkan bahwa
ada perbedaan antara variabel X dan
Y. Artinya bahwa ada peningkatan
keterampilan berbicara siswa
setelah metode bermain peran (role
play) digunakan.
Interpretasi
Setelah menganalisis data
pre-test dan post-test dengan
menggunakan rumus t-test, Hasilnya
menunjukkan bahwa koefisiennya
adalah 2,32. Artinya ada peningkatan
signifikan dalam mengajar
keterampilan berbicara dengan
menggunakan metode bermain
peran. Dari hasil perhitungan
diperoleh nilai t observasi (to)
adalah 2,32, derajat kebebasan (df)
adalah 29 (diperoleh dari N-1) =
(30 - 1 = 29). Penelitian
ini menggunakan tingkat signifikansi
5%. Dalam tabel signifikan, dapat
dilihat bahwa di df 29 dan pada
tingkat signifikansi 5%, nilai derajat
signifikansi adalah 2.045, hasilnya
adalah 2.045 < 2.32 .Karena untuk
mendapatkan skor hasil perhitungan,
maka hipotesis alternatif (Ha)
diterima dan hipotesis nol (Ho)
ditolak.
Jika hasil observasi t lebih
tinggi dari t tabel (to> tt), hipotesis
nol (Ho) ditolak dan hipotesis
alternatif (Ha) diterima. Artinya
itu ada perbedaan signifikan antara
variabel X dan variabel Y.
Jika hasil pengamatan t lebih
rendah dari t tabel (ke <tt), hipotesis
nol (Ho) diterima dan hipotesis
alternatif (Ha) ditolak. Artinya tidak
ada perbedaan signifikan antara
variabel X dan variabel Y.
Berdasarkan hasil analisis
data, terbukti bahwa skor
siswa meningkat setelah
pelaksanaan metode role - play. Ini
berarti bahwa penggunaan metode
bermain peran (role-play)
dalam mengajar keterampilan
berbicara cukup efektif. Hasil ini
membuktikan bahwa mayoritas
siswa menganggap metode bermain
peran (role play)
menyenangkan. Masalah yang
banyak dihadapi oleh sebagian besar
siswa adalah kurang percaya
diri. Awalnya, para siswa merasa
tidak nyaman dan tidak yakin. Hal
ini menyebabkan keheningan
awal. Tapi segera setelah mereka
mulai membantu satu sama lain
untuk memutuskan siapa yang harus
berbicara rasa malu mereka hilang
dan mereka mulai saling memberi
ide. Role-play memberi perhatian
lebih baik dalam belajar dan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
98
mendorong siswa untuk
berpartisipasi secara sukarela.
5 Kesimpulan dan saran
Dari hasil penelitian, terbukti
bahwa nilai keterampilan berbicara
siswa yang diajarkan dengan
menggunakan metode role-play
meningkat. Temuan telah
menjawab pertanyaan penelitian
bahwa penggunaan metode
memainkan peran (role-play) dalam
pengajaran berbicara dapat
mengembangkan keterampilan
berbicara siswa. Bermain peran
membantu siswa
yang pemalu dengan memberikan
topeng, dimana siswa dengan
kesulitan dalam percakapan pribadi
dapat terbebaskan. Sebagai
tambahan, metode ini menyenangkan
dan siswa akan setuju bahwa proses
pembelajaran yang menyenangkan
dan mengarahkan pada pembelajaran
yang lebih baik.
Motode role-
play memperluas kelas dengan
menyertakan luar dunia. Metode ini
menawarkan kesempatan
menggunaan bahasa yang jauh lebih
luas sehingga siswa bisa menjadi
siapa saja dan dalam situasi apa pun
yang mereka suka.
Penggunaan metode role-play
membuat kelas lebih aktif dan
hidup. Siswa jadi bersedia
berpartisipasi tanpa ada pasaan dari
guru. Penggunaan role play membuat
siswa lebih termotivasi dalam belajar
dan lebih mudah dalam
memahami pelajaran.
Penelitian ini diharapkan
akan
memperluas pengetahuan guru dala
m memilih metode yang
cocok dalam mengajar bahasa
Inggris, terutama
mengajar keterampilan berbicara. Pe
nelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi secara
teoritis dan praktis terhadap
pengembangan proses belajar
mengajar EFL. Penelitian ini akan
sangat bermanfaat bagi peneliti
dalam melakukan penelitian terkait.
6. Referensi
Brown, H. Douglas. (2001).
Teaching by Principle: An
Interactive Approach to
Language Pedagogy (second
ed.). San Francisco: State
University.
Chaney, A. L. and Burke, T. L.
(1998). Teaching Oral
Communication in Grades K-8 Boston: Allyn &Bacon. p. 1
Cohen, L., and Manion, L., (1994)
(4th Edition), Research
Methods in Education,
London: Routledge.
Doff, Adrian. (1988). Teach English:
A Training Course for
Teachers Trainer’s
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
99
Handbooks. Cambridge:
Cambridge University Press
Inc. The British Council.
p. 233 – 234.
Haris, D. P. (1969). Testing English
as a Second Language. New
York: Mc. Graw Hill Book
Company. p. 84-85
Harmer, Jeremy. (2002). The
Practice of English Language
Teaching. Edinburgh Gate:
Pearson Education Limited.
Harmer, Jeremy. (2007). The Practice
of English Language Teaching.
Edinburgh Gate: Pearson
Education Limited.
House, Susan. (1997). An
Introduction to Teaching
English to Children. Richmond
Publishing. p. 23.
Hornby, A.S. (ed.). (2010). Oxford
advanced learner's
dictionary (8th ed.). Oxford:
Oxford University Press. p.13.
Ladousse, G. P. (2004). Role Play.
Oxford: Oxford University
Press.
Nunan, D. (2009). Task-Based
Language Teaching: A
comprehensively revised edition
of Designing Tasks for the
Communication Classroom (4th
ed.). Cambridge: Cambridge
University press.
Procter, Paul. (1996). Cambridge
International Dictionary of
English. New York:
Cambridge University Press, p.
123.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta
APPENDIX
Table 1
The Pre-Test Scores
No
Pronunciation
Grammar
Vocabulary
Fluency
Comprehension
Total
1 60 65 60 60 60 305
2 65 60 70 70 65 330
3 85 80 80 85 75 405
4 60 65 60 65 65 315
5 80 75 80 75 70 380
6 75 80 70 75 75 375
7 80 75 75 75 80 385
8 65 60 65 60 65 315
9 70 65 70 70 70 345
10 90 85 90 90 90 445
18 70 75 75 75 75 375
19 90 85 85 90 90 440
20 70 70 70 70 75 355
21 80 75 80 75 85 395
22 70 75 80 80 75 380
23 60 70 65 65 70 330
24 85 65 70 65 65 350
25 85 90 85 85 85 430
26 80 80 80 75 85 400
27 70 65 70 65 70 340
28 85 80 85 85 85 420
29 75 75 75 65 75 365
30 65 65 65 65 65 325
11435
The Comparison of the Test Result
Table 3
No
Score of Pre-Test (X)
Score of Post-Test (Y)
D = (X-Y)
D2 = (X-Y)2
1 305 360 -55 3025
2 330 365 -35 1225
3 405 455 -50 2500
4 315 385 -70 4900
5 380 360 20 400
6 375 315 60 3600
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
100
7 385 380 5 25
8 315 350 -35 1225
9 345 385 -40 1600
10 445 420 25 625
11 355 430 25 625
12 340 400 40 1600
13 315 405 -90 8100
14 420 435 -15 225
15 370 370 0 0
16 315 330 -15 225
17 355 385 -30 900
18 360 375 -15 225
19 400 440 -40 1600
20 365 355 10 100
21 390 395 -5 25
22 330 380 -50 625
23 310 330 -20 400
24 335 350 -15 225
25 425 430 -5 25
26 370 400 -30 900
27 345 340 5 25
28 375 420 -45 2025
29 370 365 5 25
30 315 325 -10 100
N
=3
0
∑X =
10760
∑Y =
11435
∑D = -
430
∑D2 =
37100
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
101
ANALISIS PENGUASAAN TEORI BELAJAR
DAN PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN GURU
DI SDN 1 NAGARASARI
Fajar Nugraha1, Geri Syahril Sidik2, Dina Ferisa3
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
Email : [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi penguasaan seorang guru dalam memahami teori belajar dan
mampu menerapkan berbagai prinsip pembelajaran yang mendidik untuk menjadikan
pembelajaran yang efektif dan efisien. Pemenuhan tersebut berkaitan dengan kompetensi
pedagogik guru. Penelitian ini dilakukan di SDN 1 Nagarasari Kecamatan Cipedes Kota
Tasikmalaya. Perancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
deskriptif yang terdiri dari pengungumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis
kompetensi pedagogik guru. Sampel pada penelitian ini adalah 3 orang guru yang diambil
berdasarkan persyaratan minimal pangkat/golongan IIIB dan memiliki sertifikat sebagai guru
profesional. Untuk mengukur kompetensi pedagogik menggunakan lembar kusioner, penilaian
teman sejawat, dan wawancara kepada kepala sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rekapitulasi persentase guru SDN 1 Nagarasari mengenai penguasaan teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran memperoleh skor 87 dengan kriteria sangat tinggi.
Kata Kunci : kompetensi pedagogik, teori belajar, prinsip pembelajaran
PENDAHULUAN
Peran guru pada era
otonomi sekolah semakin penting
karena kemajuan pendidikan berada
ditangan para guru. Figur guru
menjadi sorotan strategis dalam
pendidikan karena guru terkait
dengan komponen manapun dalam
sistem pendidikan. Guru
juga sangat menentukan keberhasila
n peserta didik, terutama dalam
kaitannya dengan proses belajar
mengajar. Hal ini menunjukkan
bahwa perubahan dan pembaharuan
pendidikan tergantung pada peran
guru. Permendiknas nomor 16 tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru
dinyatakan bahwa terdapat empat
kompetensi utama yang harus
dimiliki guru. Keempat kompetensi
tersebut meliputi kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional.
Guru memiliki kedudukan
sebagai tenaga profesional pada
jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
102
pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan formal yang diangkat
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (UU RI No.14 Tahun
2005 Pasal 2). Kedudukan guru
sebagai tenaga profesional bertujuan
melaksanakan sistem pendidikan
nasional dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yaitu
berkembangnya potensi siswa agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kretaif, mandiri,
serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan tantangan
kehidupan global, peran dan
tanggung jawab guru pada masa
mendatang akan semakin kompleks,
sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai
peningkatan dna penyesuaian
penguasaan kompetensinya. Guru
diharuskan lebih dinamis dan kratif
dalam mengembangkan proses
pembelajaran siswa. Guru sebagai
salah satu komponen dari tugas
utama dalam mendidik dan
mengajar akn efektif mengelola
kelas dengan baik. Guru dalam
melaksanakan tugas kinerjanya
dipengaruhi oleh motivasi kerja.
Dari keempat kompetensi yang
sudah dijelaskan di atas dengan
menguasa kompetensi pedagogik
guru diharapkan lebih kompeten dan
mampu menciptakan lingkungan
belajar yang efektif.
Berpijak pada latar belakang
tersebut, peneliti akan menganalisis
hal yang berkaitan dengan
kompetensi pedagogik guru sekolah
dasar mengenai pemahaman guru
dalam menguasai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik. Adapun fokus masalah
dalam penelitian ini adalah analisis
kompetensi pedagogik guru tentang
penguasaan karakteristik siswa
dengan subfokus masalah dijabarkan
sebagai berikut.
1. Memahami berbagai teori
belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik
terkait dengan lima mata
pelajaran SD/MI.
2. Menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode,
dan teknik pembelajaran yang
mendidik secara kreatif dalam
lima mata pelajaran SD/MI.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
103
3. Menerapkan pendekatan
pembelajaran tematis, khususnya
di kelas-kelas awal SD/MI.
TINJAUAN PUSTAKA
Belajar merupakan suatu
proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang baik
itu berasal dari pengalaman ataupun
berupa latihan. Pemahaman terhadap
proses belajar terkait erat dengan
pembelajaran. Pembelajaran
merupakan sebuah proses dengan
adanya peningkatan perubahan
tingkah laku yang terjadi. Sesuai
dengan empat fokus orientasi yang
berbeda berikut ini (Smith, 2009:36)
orientasi behavioris terhadap
pembelajaran, orientasi kognitif
terhadap pembelajaran, orientasi
humanistik terhadap pembelajaran,
dan orientasi sosial/situasional
terhadap pembelajaran.
Pada hakikatnya
penyelenggaraan dalam sebuah
pembelajaran diselenggarakan
disesuaikan dengan tingkat
perkembangan yang dimiliki anak.
Berkaitan dengan teori dan prinsip
pembelajaran. Teori berhubungan
dengan penjelasan umum tentang
berbagai pengamatan yang dibuat
seiring dengan berjalannya waktu
(Smith, 2009:76). Teori juga
diartikan sebagai penjelasan atau
predikasi perilaku. Teori belajar
secara umum dikelompokkan
menjadi empat aliran diantaranya
behavioristik, kognitivistik,
humanistik dan sibernetik.
Behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah objektif,
pasti, dan tetap, serta tidak berubah.
Behaviorostik berpusatpada stimulus
dan respon dengan syarat adanya
unsur dorongan (drive), rangsangan
(stimulus), respon dan penguatan
(reinforcement). Pengetahuan telah
tersetruktur dengan rapi. Berbeda
halnya dengan konstruktivistik yang
memandang bahwa pengetahuan
tidak objektif, bersifat temporer,
selalu berubah-ulah, dan tidak
menentu (Smith, 2009:201). Teori
konstruktivistik menyatakn bahwa
siswa menemukan sendiri dan
mentrasnformasikan informasin
kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dna
merevisinya. Teori teori belajar
humanistik lebih mengedepankan sisi
humanis manusia dan tidka menuntut
jangka waktu pembelajar mencapai
pemahaman yang diinginkan. Proses
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
104
belajar mendapat pemaknaan yang
besar. Teori belajar sibernetik
merupakan perkembangan teori yang
menitikberatkan pada teknologi dan
informasi. Sebuah informasi akan
dipelajari melallui proses belajar
yang berbeda/yang lain
(Suprihatiningrum, 2013:34).s selain
itu, salah satu teori Piaget
(Dworetzky, 1990) menyebutkan
bahwa manusia secara genetik serupa
dan berbagi banyak pengalaman
lingkungan yang sama, mereka dapat
diharapkan untuk menunjukkan
keseragaman yang cukup besar
dalam perkembangan kognitif
mereka.
Berhubungan dengan
penerapan berbagai pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran erat kaitannya dengan
proses belajar mengajar di sekolah.
Strategi belajar mengacu pada
perilaku dan proses berpikir yang
digunakan oleh siswa yang
memengaruhi apa yang dipelajari,
termasuk proses memori dan
metakogniti Nur (dalam
Suprihatiningrum, 2013:48).
Beragam informasi mengenai jenis
pendekatan pembelajaran
diantaranya pembelajaran kooperatif,
pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran langsung,
pembelajaran penemuan,
pembelajaran terpadu dan
sebagainya. Sahetapy dan Syarif
(2014) dalam sebuah penelitian yang
dilakukan menyatakan bahwa
strategi pembelajaran kooperatif
berpengaruh terhadap motivasi
berprestasi siswa. Strategi
pembelajaran dapat memaksimalkan
prestasi siswa sehingga siswa
memiliki rasa keberhasilan, dan
dapat menumbuhkan kepercayaan
diri anak dalam perkembangan
siswa. Berikutnya penelitian yang
dilakukan oleh Situmeang dan
Hamid (2015) menghasilkan bahwa
strategi belajar bukan hanya dapat
meningkatkan motivasi belajar akan
tetapi dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
Dasar utama pengembangan
model pembelajaran tematik adalah
untuk memcahkan maslah dan
membuat keputusan dalam
menghasilkan pembelajaran yang
berkualitas. Kovalik & Olsen
(1994:1) menjelaskan bahwa model
pembelajaran tematik didesain
berdasarkan tiga prinsip umum.
Pertama, hasil penelitian terhadap
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
105
otak manusia menjadi dasar bagi
semua keputusan yang digunakan
untuk mengembangkan kemampuan
guru dan siswa dalam hal
pembelajaran yang dirancang
berdasarkan kemampuan otak
manusia dengan mengupayakan
pengoptimalan kinerja otak kanan
dan kiri. Kedua, strategi atau
kemampuan guru untuk mengarang
musik merupakan perpaduan antara
seni dan pengetahuan yang akhirnya
guru dapat memadukan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga,
kurikulum ikembangkan pada level
kelas oleh guru, dari pengetahuan
dan pemahaman di kelas dapat
membawa siswa pada pemahaman
dalam kehidupannya. Pembelajaran
di kelas hendaknya mengarakan
siswa pada kebermaknaan dalam
setiap aktivitas belajarnya.
Pembelajaran tematik diartikan
sebagai pendekatan pembelajaran
yang mngintegrasikan berbagai
kompetensi dari berebagai mata
pelajaran dari berbagai mata
pelajaran ke dalam tema dengan
proses pembelajaran yang bermakna
disesuaikan dengan perkembangan
siswa (Akbar, 2016:17).
Pembelajaran tematik ini digunakan
di kelas rendah tingkat sekolah dasar.
Sesuai dengan Depdiknas (2006:8)
yang menyatakan bahwa
“Pembelajaran pada Kelas I s.d. III
dilaksanakan melalui pendekatan
tematik sedangkan pada Kelas IV
s.d. VI dilaksanakan melalui
pendekatan mata pelajaran”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan
metode deskriptif kualitatif.
Pengumpulan data pada penelitian
ini menggunakan lembar kuesioner,
penilaian teman sejawat, observasi,
studi dokumentasi, dan wawancara.
Penelitian ini dilakukan di SDN 1
Nagarasari Kecamatan Cipedes Kota
Tasikmalaya. Subjek penelitiannya
yaitu 3 guru kelas yang telah
memiliki sertifikat sebagai guru
profesional dengan minimal
pangkat/golongan 3B. Adapun
penjabaran instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan
sejumlah data adalah sebagai
berikut.
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
106
Tabel 1.1 Aspek yang Dinilai,
Instrumen, Data yang diperoleh, dan
Responden
Penelitian ini menggunakan
teknik analisis data yang
dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (Sugiyono, 2012)
meliputi (1) mereduksi data, (2)
menyajikan data, (3) menarik
kesimpulan. Data yang didapat
dianalisis berdasarkan instrumen
penelitian yang akan menjawab
setiap rumusan masalah. Kemudian
ditarik kesimpulan dari hasil
penelitian dan disandingkan dengan
teori-teori yang mendukung.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN HASIL
PENELITIAN
Hasil penemuan dari pengolahan
data penelitian dijelaskan secara
deskripsi berdasarkan susunan
pertanyaan penelitian. Pembahasan
keseluruhan merupakan jawaban
terhadap rumusan masalah yang
diajukan. Berikut hasil disertai
pembahasan penelitian yang
dipaparkan berdasarkan temuan hasil
penelitian. Pemilihan subjek guru
kelas yang telah memiliki sertifikat
sebagai guru profesional dengan
minimal pangkat/golongan IIIB.
Pemilihan guru yang menjadi subjek
pada penelitian dari jumlah 16 orang
guru kelas yang memenuhi
persyaratan minimal
pangkat/golongan IIIB berjumlah 3
orang. Guru yang menjadi subjek
penelitian berasal dari kelas I, II, dan
V. Selain itu ketiga guru tersebut
sudah memiliki sertifikat sebagai
guru professional. Untuk
menghindari adanya kesan yang
kurang baik terhadap subjek
penelitian, maka setiap subjek utama
akan diberi inisial EN, PK dan PS.
Pada aspek penguasaan teori
belajar dan prinsip-prinsip
ASPEK
YANG
DINILAI
INSTRU-
MEN
DATA
YANG
DIAMATI
RESPON-
DEN
Menguasai
teori belajar
dan prinsip-
prinsip
pembelajar-
an yang
mendidik.
1. Kuesioner
2. Lembar
Observasi/
Pengama-
tan
Penilaian
3. Lembar
Pedoman
Wawan-
cara
1. Pemaha-
man
terhadap
teori
belajar
dan
prinsip –
prinsip
pembela-
jaran.
2. Penerap-
an
berbagai
pendekat
an,
strategi,
metode,
dan
teknik
pembelaj
aran.
3. Penerap-
an
pende-
katan
pembela-
jaran
tematik.
1. Guru
2. Guru
Teman
Sejawat
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
107
pembelajaran yang mendidik
diturunkan menjadi tiga indikator
kompetensi, diantaranya (a)
memahami berbagai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik terkait dengan lima mata
pelajaran SD/MI; (b) menerapkan
berbagai pendekatan, strategi,
metode, dan teknik pembelajaran
yang mendidik secara kreatif dalam
lima mata pelajaran SD/MI; dan (c)
menerapkan pendekatan
pembelajaran tematis, khususnya di
kelas-kelas awal SD/MI.
Indikator pertama diturunkan
menjadi 10 sub-indikator berkaitan
dengan memahami berbagai teori
belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik terkait
dengan lima mata pelajaran SD/MI.
Berikut hasil rekapitulasi indikator
kompetensi (IK-2) disajikan pada
Tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2
Hasil Rekapitulasi Aspek Variabel
2 Indikator Kompetensi 1
Berdasarkan Tabel 4.6
diketahui pada rekapitulasi dari
indikator kompetensi satu mengenai
pemahaman guru terhadap berbagai
teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik terkait
dengan lima mata pelajaran SD/MI
dengan nilai hasil rata-rata 84 dan
berada para kriteria sangat tinggi.
Hasil analisis data diperjelas
berdasarkan hasil kuesioner semi
terbuka seperti berikut. Beberapa
teman sejawat mengungkapkan
penilaian sebagai berikut terhadap
ketiga responden.
1) Pada saat diskusi dengan PK
saya bertanya mengenai cara
meningkatkan melalui tim
tutor sebaya yang sering
dilakukan PK dalam proses
pembelajaran. Selain itu
dalam hal pengelolaan waktu
dalam kegiatan tersebut
menjadi lebih efektif dan
No Responden Skor
Perolehan
Skor
Maksimal %
1. PK 31 40 77
2. PS 35 40 87
3. EN 35 40 87
Jumlah Rata-Rata 84
Kriteria Sangat
Tinggi
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
108
efisien. Beliau dengan senang
hati memberikan saran dan
pendapat menjelaskan
bagaimana cara
menggunakan tutor sebaya
dengan alokasi waktu yang
efektif dan efisien.
2) Kalau saya lihat, PK itu dekat
sekali dengan anak-anak.
Menurut saya itu akan
mempermudah siswa dalam
belajar baik secara tim atau
tutor sebaya. Kegiatan yang
dilaksanakan PK biasanya
dengan pengalaman ke luar
kelas. Anak0anak terlihat
asyik dalam belajar.
3) Kalau EN ketika mengajar
memiliki salah satu
keunggulan salah satunya
berkaitan dengan kelas yang
kondusif, meskipun EN
memegang kelas rendah yang
notabenenya masih masa
peralihan. EN mampu agar
kelas terlihat kondusif tidak
gaduh seperti pada umumnya.
Saya juga lebih banyak
belajar dengan EN.
Data nomor 1-3 menunjukkan
bahwa ketiga responden baik PK, PS,
maupun EN pemahaman terhadap
berbagai teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran yang mendidik
terkait dengan lima mata pelajaran
SD/MI sudah cukup baik. Hal itu
membuat para siswa asyik dalam
belajar. Kegiatan yang dilakukan
oleh ketiga responden tersebut
diterima baik oleh siswa. Hal itu
dilihat berdasarkan kedekatan siswa
dengan guru, keinginna untuk
berprestasi dalam tim atau kelompok,
dan memiliki kelas yang kondusif
sehingga pembelajaran akan lebih
bermakna. Hal itu diperkuat dengan
komentar dari kepala sekolah
berkaitan dengan pemahaman guru
terhadap berbagai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik terkait dengan lima mata
pelajaran SD/MI.
T5: Menurut Ibu, bagaimana cara
guru di SDN 1 Nagarasari
khususnya guru (PK, PS, dan
EN) dalam memahami
berbagai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik terkait
dengan lima mata pelajaran
SD/MI.
J5: berkaitan dengan hal itu, saya
rasa PK, PS, maupun EN
memiliki cara tersendiri
ketika berbagai teori belajar
ataupun prinsip belajar yang
mereka ketahui dan
diaplikasikan dalam kegiatan
belajar mengajar. Kalau EN
saya lihat memberikan
pengalamn bermakna dan
kelas terlihat kondusif
meskipun berada di wilayah
kelas rendah. Untuk kelas
PS, anak-anak terlihat diajak
keluar kelas untuk
menambah suasana baru
siswa. Berbeda dengan PK,
beliau itu terlihar rapi dan
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
109
sesuai dengan prosedur. Dan
aklau saya lihat leih banyak
kegiatan berkelompok
meskipun sekali-kali terlihat
mengajak anak untuk keluar
kelas.
Berdasarkan hasil kutipan
wawancara di atas, diketahui bahwa
dalam memahami berbagai teori
belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik, ketiga
responden memiliki cara tersendiri
dalam mengaplikasikan teori belajar
dengan menerapkan beberapa
pembelajaran yang bermakna untuk
anak. Pengemasan materi bukan
berati dari berbagai sumber buku
tetapi lingkungan dijadikan sebagai
pengalaman berkmakna untuk anak
dalam merefleksikan kegiatan beajar
berdasarkan materi yang diterima.
Berikutnya penjelasan
mengenai indikator kedua yang
diturunkan menjadi 17 sub-indikator
berkaitan dengan menerapkan
berbagai pendekatan, strategi,
metode, dan teknik pembelajaran
yang mendidik secara kreatif dalam
lima mata pelajaran SD/MI. Berikut
hasil rekapitulasi aspek variabel 2
indikator kompetensi (IK-2)
disajikan pada Tabel 1.3 berikut ini.
Tabel 1.3
Hasil Rekapitulasi Aspek Variabel
2 Indikator Kompetensi 2
Berdasarkan Tabel 1.3
diketahui pada rekapitulasi dari
indikator kompetensi dua mengenai
cara menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang mendidik
secara kreatif dalam lima mata
pelajaran SD/MI dengan jumlah rata-
rata 67 dan berada pada kriteria
tinggi. Hasil analisis data diperjelas
berdasarkan hasil kuesioner semi
terbuka seperti berikut. Beberapa
teman sejawat mengungkapkan
penilaian sebagai berikut.
1) Pernah waktu itu saya
mencoba diskusi dengan PK
mengenai strategi belajar
siswa yang dianggap sulit
konsentrasi dalam hal
belajar. Beliau dengan detil
menjelaskan cara yang
dilakukan untuk anak yang
sulit berkonsentrasi belajar.
2) PS bisa dikatakan rajin ya
dalam mengikuti beberapa
seminar, workshop dan juga
No. Responden Skor
Perolehan
Skor
Maksimal %
1. PK 56 88 64
2. PS 62 88 70
3. EN 61 88 68
Jumlah Rata-Rata 67
Kriteria Tinggi
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
110
pekatihan-pelatihan. Saya
rasa, beliau sangat
memahami strategi belajar
yang disesuaikan dengan
karakteristik siswa. Itu dilihat
berdasarkan pengalaman
ketika berkunjung di kelas
yang ia ampu.
3) Beliau ini adalah orang yang
amat sangat perhatian
dengan siswa. Sikap lembut
dna penyayang tampak pada
beliau ini. Jika dilihat dalam
proses belajar mengajar,
beliau memiliki strategi
khusus bagi anak yang belum
bisa baca dan menulis. Setiap
pulang sekolah ada beberapa
siswa yang ia tuntun untuk
bisa baca dan nulis.
Data nomor 1-3 menunjukkan
bahwa ketiga responden baik PK, PS,
maupun EN pemahaman terhadap
cara menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang mendidik
secara kreatif dalam lima mata
pelajaran SD/MI sudah cukup baik.
Hal itu membuat para siswa dalam
kegiatan belajar tidak monoton,
dikarenakan guru yang mengajar
disesuaikan dengan strategi
pembelajaran yang disesuaikan.
Selain itu guru berusaha dan
memastikan semua siswa
mendapatkan kesempatan yang sama
dalam proses pembelajaran dengan
mengikuti alur startegi belajar yang
dilakukan. Hal itu diperkuat dengan
komentar dari kepala sekolah
berkaitan dengan pemahaman guru
terhadap menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang mendidik
secara kreatif dalam lima mata
pelajaran SD/MI.
T6: Menurut Ibu, bagaimana cara
guru di SDN 1 Nagarasari
khususnya guru (PK, PS, dan
EN) dalam memahami
menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode,
dan teknik pembelajaran
yang mendidik secara kreatif
dalam lima mata pelajaran
SD/MI?
J6: Alhamdulillah kalau untuk
semua guru yang mengajar
di sini jika ada kegiatan
workshop, pelatihan ataupun
seminar diikuti dengan
penuh semangat. Kegiatan
tersebut salah satunya dapat
mendukung sisi akademis
guru berkaitan dengan
pendidikan dan salah
satunya berkaitan dengan
pemahaman guru mengenai
teori belajar dan prinsip
pembelajaran.
Ketika supervisi
pembelajaran yang saya
lakukan, pemahaman guru
mengenai hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya
pemilihan strategi belajar
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
111
menarik untuk para siswa.
Rancangan pembelajaran
yang mereka buat
mengindikasikan bahwa
pemahaman terhadap hal
tersebut sudah dipahami dan
dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan hasil kutipan
wawancara di atas, diketahui bahwa
dalam menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang mendidik
secara kreatif dalam lima mata
pelajaran SD/MI, ketiga responden
sudah menggunakan strategi belajar
yang disesuaikan dengan siswa.
pemilihan strategi belajar menarik
untuk para siswa. Rancangan
pembelajaran yang dilaksanakan
responden pada saat proses belajar
mengajar mengindikasikan bahwa
pemahaman terhadap hal tersebut
sudah dipahami dan dilaksanakan
dengan baik. Beragam jenis
workshop, pelatihan ataupun seminar
diikuti agar tercipta pemahaman guru
untuk mendukung proses
pembelajaran.
Berikutnya penjelasan
mengenai indikator ketiga yang
diturunkan menjadi 4 sub-indikator
berkaitan dengan menerapkan
pendekatan pembelajaran tematis,
khususnya di kelas-kelas awal
SD/MI. Berikut hasil rekapitulasi
aspek variabel 2 indikator
kompetensi (IK-3) disajikan pada
Tabel 1.4 berikut ini.
Tabel 1.4
Hasil Rekapitulasi Aspek Variabel
2 Indikator Kompetensi 3
No. Responden Skor
Perolehan
Skor
Maksimal %
1. PK 14 16 87
2. PS 15 16 94
3. EN 15 16 94
Jumlah Rata-Rata 92
Kriteria Baik
Berdasarkan Tabel 1.4 diketahui
pada rekapitulasi dari indikator
kompetensi tiga mengenai cara
menerapkan pendekatan
pembelajaran tematis, khususnya di
kelas-kelas awal SD/MI jumlah nilai
rata-rata 92 dan berada pada kriteria
tinggi. Hasil analisis data diperjelas
berdasarkan hasil kuesioner semi
terbuka seperti berikut. Beberapa
teman sejawat mengungkapkan
penilaian sebagai berikut.
1) Beliau itu orangnya cekatan,
ketika dihubungkan dengan
pembelajaran tematik, beliau
mungkin orang yang tepat
dan bisa mengaplisaikan
pembelajaran tematik. Saya
pernah suatu kali melihat PK
mengajak anak keluar kelas,
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
112
kemudian mengunjungi kebun
sekolah. Kegiatan yang
mereka lakukan saya sempat
tanyakan ke PK bahwa salah
satu kegiatan yang dilakukan
berhubungan dengan
pendekatan saintifik yang
dilakukan. lingkungan
membantu terlaksananya
pembelajaran tematik. Beliau
menuturkan seperti itu.
2) Kalau untuk PS karena masih
dalam percobaan untuk
menggunakan pembelajaran
tematik, PS saya rasa
mencoba dengan banyak
memberikan siswa tempat
untuk berkreativitas lebih
banyak. Itu dilihat
berdasarkan salah satu
kegiatan yang dilakukan anak
dengan mealkukan
eksperimen diserta
pembuatan laporan. Saya
lihat laporan dipajang di
sudut pajang karya siswa di
kelas.
3) Beliau ini cocok sekali
menurut saya jika
pemberlakuan pembelajaran
tematik pada EN. Di samping
memiliki hati lembut, ketiak
mengajar anak-anak
tersentuh dengam berbagai
cerita yang disuguhkan.
Terutama ketika anak-anak
pulang sekolah, mereka
mendengar cerita yang
isisnya dihubungkan dnegan
pendidikan karakter. Selain
itu EN memberlakukan
pendekatan saintifik yang
diusung. Itu dilihat ketika EN
membawa media menarik
yang dibuat.
Data nomor 1-3 menunjukkan
bahwa ketiga responden baik PK, PS,
maupun EN pemahaman mengenai
cara menerapkan pendekatan
pembelajaran tematis, khususnya di
kelas-kelas awal SD/MI. Dari
beberapa cara yang dilakukan guru
dapat diketahui bagaimana cara guru
mengaplikasikan kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan tematik pada siswa. EN
dengan media yang kreatif, PS
dengan pemberian eksperimen dan
PK dengan diajaknya siswa keluar
kelas sehingga menjadikan
pembelajaran lebih bermakna.
Komentar lain yang dapat diperkuat
mengenai kemampuan guru dalam
menerapkan pendekatan
pembelajaran tematis, khususnya di
kelas-kelas awal SD/MI sebagai
berikut.
T7: Sesuai dengan pemberlakuan
kurikulum 2013. Mungkin
sebelum kurikulum 2013 ini,
dalam KTSP 2006 juga
sudah diusung mengenai
adanya pengaplikasian
pendekatan tematik dalam
proses pembelajaran.
Bagaimana menurut ibu jika
dihubungkan dengan
pemahaman ketiga
responden dalam memahami
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
113
pendekatan pembelajaran
tematik di sekolah dasar?
T7: Dalam hal ini pendalaman
mengenai pembelajaran
tematik perlu ditekankan
pada inti dari pembelajaran
tematik tersebut.
Pembelajaran tematik
dikatakan sebagai
pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai
kompetensi dari berbagai
mata pelajaran ke dalam
tema dengan proses
pembelajaran bermakna.
Dari ketiga responden baik
PK, PS, dan EN sudah
terlihat aplikasi dari
pembelajaran tematik
tersebut. Hal tersebut terlihat
pada pembelajaran yang
dilakukan, diantaranya
memberikan pengalaman
langsung. Pada saat proses
pembelajaran siswa
dihadapkan pada kehidupan
sehari-hari. Pada saat
supervisi lanjutan, PK dan
PS sedang melaksanakan
pembelajaran di luar kelas.
Siswa berinteraksi langsung
dengan alam. Kalau Bu EN
lebih menakankan
pembelajaran dengan
permainan sehingga terlihat
menyenangkan untuk anak.
Berdasarkan hasil kutipan
wawancara di atas, diketahui bahwa
dalam memahami cara menerapkan
pendekatan pembelajaran tematis.
Ketiga responden memiliki cara
tersendiri dalam mengaplikasikan
pembelajaran tematik dengan cara
yang berbeda namun tertuju pada inti
dari karakteristik pembelajaran
teamtik. Hal itu tentu akan
berpengaruh pada siswa yang belajar
dengan menggunakan pembelajaran
tematik. Penyajian yan dilakukan
ketiga responden memiliki ciri yang
berbeda. EN dengan permainan
menarik agar pembelajaran lebih
menyenangkan sedangkan PS dan
PK lebih cenderung mengaplikasikan
dalam bentuk pemahaman langsung
dari alam.
Hasil persentase dari tiap
indikator kompetensi yang
diditunjukkan pada tabel untuk
indikator kompetensi berada pada
rentang sangat tinggi. Berikut secara
ringkat tertuang pada Tabel 1.5
mengenai rekapitulasi persentase
guru SDN 1 Nagarasari berdasarkan
aspek variabel dua berkaitan dengan
penguasaan teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran yang mendidik
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
114
Tabel 1.5
Rekapitulasi Persentase Guru SDN
1 Nagarasari Berdasarkan
Penguasaan Teori Belajar dan
Prinsip-Prinsip Pembelajaran
yang Mendidik
No Nama
Guru
Skor
Perolehan
Skor
Maksimal % Kualifikasi
1. PK 101 124 81 Sangat
Tinggi
2. PS 112 124 90 Sangat
Tinggi
3. EN 111 124 89 Sangat
Tinggi
Jumlah Rata-Rata 87 Sangat
Tinggi
Berdasarkan Tabel 1.5 diketahui dari
ketiga responden terdiri atas, PK, PS,
dan EN berada pada kriteria sangat
tinggi. Total keseluruhan jumlah
rata-rata dari ketiga responden yang
tertulis berada pada rentang baik
dengan nilai 87. Perolehan nilai
dilihat berdasarkan skor perolehan
nilai berada pada kriteria sangat
tinggi penguasaan teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik.
Tabel 1.6
Rekapitulasi Persentase Guru SDN
1 Nagarasari Berdasarkan
Penguasaan Teori Belajar dan
Prinsip-Prinsip Pembelajaran
yang Mendidik
No Nama
Guru
Skor
Peroleha
n
Skor
Maksimal %
Kualifi-
kasi
1. PK 101 124 81 Sangat
Tinggi
2. PS 112 124 90 Sangat
Tinggi
3. EN 111 124 89 Sangat
Tinggi
Jumlah Rata-Rata 87 Sangat
Tinggi
Berdasarkan Tabel 1.6 diketahui dari
ketiga responden terdiri atas, PK, PS,
dan EN berada pada kriteria sangat
tinggi. Total keseluruhan jumlah
rata-rata dari ketiga responden yang
tertulis berada pada rentang baik
dengan nilai 87. Perolehan nilai
dilihat berdasarkan penguasaan teori
belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik.
PEMBAHASAN
Pemahaman terhadap teori
belajar ini dipandang penting
dikarenakan pembelajaran
hakikatnya diselenggarakan pendidik
disesuaikan dengan tingkat
perkembangan yang dimiliki anak.
Salah satu teori Piaget (Dworetzky,
1990) dalam teori belajar yang
dijelaskan berkaitan erat dengan
tingkat perkembangan intelektual
siswa mulai dari tahap
sensorimotorik, praoperasional,
operasional kongkrit, dan
operasional formal. Piaget percaya
bahwa manusia secara genetik serupa
dan berbagi banyak pengalaman
lingkungan yang sama, mereka dapat
diharapkan untuk menunjukkan
keseragaman yang cukup besar
dalam perkembangan kognitif
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
115
mereka. Bahkan, menurutnya, tahap
perkembangan kognitif diprediksi
akan terjadi selama tahap tertentu
dari kehidupan seorang anak. Semua
perkembangan kognitif anak menurut
Piaget akan melalui proses atau
tahapan pada perkembangan kognitif
(Dworetzky, 1990:242). Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa pentingnya
seorang guru dalam memahami teori-
tepri belajar yang mendidik bagi
anak. Berhubungan dengan hal
tersebut teori belajar perlu dipahami
oleh seorang pendidik. Salah satu
penelitian menyatakan bahwa dalam
penerapan teori belajar behavioritik
dalam proses pembelajaran lebih
memfokuskan untuk
mengambangkan tingkah laku siswa
ke arah yang lebih baik. Teori belajar
behavioristik memberikan pengaruh
besar terhadap pengembangan teori
pendidikan dan pembelajaran
(Nahar, 2016).
Berhubungan dengan
penerapan berbagai pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran erat kaitannya dengan
proses belajar mengajar di sekolah.
Sahetapy dan Syarif (2014)
menyatakan bahwa strategi
pembelajaran kooperatif berpengaruh
terhadap motivasi berprestasi siswa.
Hal itu menandakan bahwa startegi
pembelajaran yang digunakan dapat
memaksimalkan prestasi siswa
sehingga siswa memiliki rasa
keberhasilan, dan dapat
menumbuhkan kepercayaan diri anak
dalam perkembangan siswa. Selain
itu penelitian yang dilakukan oleh
Situmeang dan Hamid (2015)
menghasilkan bahwa strategi belajar
bukan hanya dapat meningkatkan
motivasi belahar tetapi dapat
meningkatkan haisl belajar siswa.
Berkaitan dengan penerapan
pendekatan pembelajaran tematik
khususnya di kelas awal ditandai
dengan dasar utama pengembangan
model pembelajaran tematik yaitu
untuk memecahkan masalah dan
membuat keputusan dalam
mebgahislkan pembealjaran yang
berkualitas. Kovalik & Olsen
(1994:1) menjelaskan bahwa model
pembelajaran tematik didesain
berdasarkan tiga prinsip umum.
Pertama, hasil penelitian terhadap
otak manusia menjadi dasar bagi
semua keputusan yang digunakan
untuk mengembangkan kemampuan
guru dan siswa dalam hal
pembelajaran yang dirancang
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
116
berdasarkan kemampuan otak
manusia dengan mengupayakan
pengoptimalan kinerja otak kanan
dan kiri. Kedua, strategi atau
kemampuan guru untuk mengarang
musik merupakan perpaduan antara
seni dan pengetahuan yang akhirnya
guru dapat memadukan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga,
kurikulum ikembangkan pada level
kelas oleh guru, dari pengetahuan
dan pemahaman di kelas dapat
membawa siswa pada pemahaman
dalam kehidupannya. Pembelajaran
di kelas hendaknya mengarakan
siswa pada kebermaknaan dalam
setiap aktivitas belajarnya.
Sudah dari tahun 2004
setelahpembekuan kurikulum 2004
Kurikulum berbasis Kompetensi
dijabarkan kurikulum KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) mengenai penerapan
penggunaan pembelajaran tematik.
Pembelajaran tematik ini digunakan
di kelas rendah tingkat sekolah dasar.
Sesuai dengan Depdiknas (2006:8)
yang menyatakan bahwa
“Pembelajaran pada Kelas I s.d. III
dilaksanakan melalui pendekatan
tematik sedangkan pada Kelas IV
s.d. VI dilaksanakan melalui
pendekatan mata pelajaran”.
Hasil penelitian yang
pembelajaran tematik yang
berhubungan dengan impelmentasi
penataan iklim pembelajaran tematik
di sekolah dasar yang dilakukan oleh
Widodo terhadap iklim pembelajaran
tematik. Pemaknaan siswa tersebut
menunjukkan bahwa iklim
pembelajaran tematik yang dihayati
siswa yaitu pembelajaran menjadi
bermakna, nyaman, dan
menyenangkan. Pertama, iklim
pembelajaran tematik yang bermakna
dihayati siswa berdasarkan
pengorganisasian tema, muatan, dan
materi pembelajaran yang padu;
penyusunan bahan ajar yang praktis
dan menarik; penggunaan
pendekatan saintifik; penggunaan
kalimat poster yang sederhana;
keterampilan mengajar guru; dan
penerapan asesmen autentik. Kedua,
iklim pembelajaran tematik yang
nyaman dihayati siswa berdasarkan
kelas yang bersih; pencahayaan kelas
yang baik; suhu ruang yang nyaman
(berkisar 25º-28ºC); penataan dan
ergonomi tempat duduk; penggunaan
musik instrumental; tingkat
kebisingan kelas yang rendah; tata
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
117
tertib kelas; dan penataan komunitas
belajar (siswa-guru-orang tua) yang
mendukung proses pembelajaran.
Ketiga, iklim pembelajaran tematik
yang menyenangkan dihayati siswa
berdasarkan penggunaan pendekatan
saintifik, pembelajaran dengan
selingan humor, dan metode belajar
kelompok (Sa’dun dkk, 2017)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan
analisis data penelitian dapat
disimpulkan bahwa kompetensi
pedagodik guru SDN 1 Nagarasari
Kelurahan Cipedes Kota
Tasikmalaya dengan sampel guru
kelas yang memenuhi persyaratan
minimal pangkat/golongan IIIB
sertifikat sebagai guru profesional
dari unsur-unsur kompetensi
pedadogik dengan 3 aspek varibel
yaitu penguasaan karakteristik siswa
dari aspek fisik, moral, sosial,
kultural, emosional, dan intelektual;
penguasaan teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran; dan
kemampuan guru dalam
mengembangkan kurikulum terkait
mata pelajaran yang diampu dapat
dideskripsikan bahwa kompetensi
pedagogik aspek variabel
penguasaan teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran secara umum
berada pada kriteria sangat tinggi
dengan nilai 87. diketahui dari ketiga
responden terdiri atas, PK, PS, dan
EN berada pada kriteria sangat
tinggi. Perolehan nilai dilihat
berdasarkan skor perolehan nilai
berada pada kriteria sangat tinggi
penguasaan teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran yang mendidik.
Indikator kompetensi pada aspek
variabel pertama terdiri atas (a)
memahami berbagai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik terkait dengan lima mata
pelajaran SD/MI; (b) menerapkan
berbagai pendekatan, strategi,
metode, dan teknik pembelajaran
yang mendidik secara kreatif dalam
lima mata pelajaran SD/MI; dan (c)
menerapkan pendekatan
pembelajaran tematis, khususnya di
kelas-kelas awal SD/MI.
DAFTAR RUJUKAN
Akbar, Sa’dun dkk. 2016.
Implementasi Pembelajaran
Tematik di Sekolah Dasar.
Bandung: Rosda Karya
Departemen Pendidikan Nasional.
(2007). Model Pembelajaran
Tematik Kelas Awal SD.
Jakarta: BSNP
Jurnal Forum Didaktik Vol 1 No 2 Edisi September 2017 ISSN 2548-8198
118
Dworetzky, J. P. 1990. Introduction
To Child Development. Mn.
Minnesota: West Publishing
Company.
Khofiatun., Akbar, S., Ramli, M,.
(2016). Peran Kompetensi
Pedagogik Guru Dalam
Pembelajaran Tematik Di
Sekolah Dasar. Universitas
Negeri Malang Jurnal
Pendidikan Vol. 1 No. 5.
Kovalik, Susan & Olsen, Karen.
1987. ITI: The Model
Integrated Thematic
Instruction. Kent, WA: Books
for Educator.
Nahar, Novi I. 2016. Penerapan
Teori Belajar Behavioristik
Dalam Proses Pembelajaran.
Jurnal Nusantara (Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial)
Vol.1 Desember 2016
Sa’ud, Udin Saefudin dkk. 2006.
Pembelajaran Terpadu.
Bandung: UPI Press
Sahetapy, Lisa M dan Syarif S. 2014.
Pengaruh Strategi
Pembelajaran Kooperatif
dana Motivasi Berprestasi
Terhadap Hasil Belajar
Matematika.Jurnal
Pendidikan Usia Dini. Vol.1.
Edisi April 2014.
Situmeang dan Hamid. 2015.
Pengaruh Strategi
Pembelajaran dan Motivasi
Belajar Siswa Terhadap
Hasil Belajar Memahami
Bahan Bangunan Pada Siswa
Kelas X Program Keahlian
Teknik Gambar Bangunan
SMK Negeri 2 Medan. Jurnal
Education Building. Vo.1.
No.1. Juni 2015
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-
Faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta :
Rineka Cipta.
Sugiono, 2009. Penelitian
Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Smith, Mark K, dkk,. 2009. Teori
Pembelajaran dan
Pengajaran. Yogyakarta:
Mirza.
Suprihatiningrum, Jamil. 2013.
Strategi Pembelajaran Teori
dan Aplikasi. Yogyakarta:
Ar-Ruz Media.