DAMPAK KRISIS EKOLOGI TERHADAP STRATEGI
NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DESA CIGANJENG,
KECAMATAN PADAHERANG, KABUPATEN
PANGANDARAN
KUNTI MAY WULAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Krisis Ekologi
terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan
Padaherang, Kabupaten Pangandaran adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan
Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Kunti May Wulan
NIM I34100007
ABSTRAK
KUNTI MAY WULAN. Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah
Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten
Pangandaran. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN
Fenomena krisis ekologi yang terjadi di Desa Ciganjeng berupa banjir melanda
area persawahan hingga pemukiman setiap tahun. Banjir menyebabkan eksistensi
rumahtangga petani sebagai pelaku utama dalam ekologi terancam dan untuk
mempertahankan keberlanjutan kehidupan, mereka memiliki strategi nafkah.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak krisis ekologi terhadap
strategi nafkah rumahtangga petani. Metode penelitian ini adalah penelitian survei
menggunakan kuesioner dan pendekatan kualitatif menggunakan studi kasus dan
observasi sebagai penunjang data kuantitatif. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap 35 responden rumahtangga petani maka ditemukan bahwa
krisis ekologi menyebabkan rumahtangga petani harus memiliki strategi nafkah,
yaitu: strategi alokasi sumberdaya manusia, strategi pola nafkah ganda, strategi
migrasi, strategi intensifikasi pertanian, strategi berhutang dan strategi investasi
non pertanian. Strategi nafkah tersebut dilakukan dengan memainkan lima aset
modal nafkah. Selain itu, walaupun rumahtangga petani diguncang krisis ekologi
namun mereka tetap bertahan karena memiliki kelentingan nafkah yang tinggi.
Kata kunci: krisis ekologi, strategi nafkah, rumahtangga petani, kelentingan
nafkah
ABSTRACT
KUNTI MAY WULAN. The Impact of Ecological Crisis on Livelihood Strategies
of Farm Household in the Ciganjeng Village, Padaherang Subdistrict,
Pangandaran. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN.
The phenomenon of ecological crisis that occured in Ciganjeng Village is the
flood stricken rice fields and settlement every year. Flooding caused the existence
of farm households as the main actors in the ecology are threatened and to
maintain the sustainability of their lives, they have livelihood strategies. This
study was conducted to analyze the impact of the ecological crisis on livelihood
strategies of farm household. This research method is a survey research using
quetionnaires and qualitative approach using case studies and observations as
supporting quantitative data. Based on a study of 35 respondents farm households,
it was found that the ecological crisis caused farm households should have
livelihood strategies, which are: human resource allocation strategy, multiple
livelihood strategy, migration strategy, agricultural intensification strategy, dept
strategy and non agricultural invesment strategy. Livelihood strategis are made by
playing five livelihood assets. In addition, although the ecological crisis rocked
farm households but they still survive because they have a high livelihood
resiliency.
Keywords: ecology crisis, livelihood strategy, farm household, livelihood
resiliency
DAMPAK KRISIS EKOLOGI TERHADAP STRATEGI
NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DESA CIGANJENG,
KECAMATAN PADAHERANG, KABUPATEN
PANGANDARAN
KUNTI MAY WULAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten
Pangandaran
Nama : Kunti May Wulan
NIM : I34100007
Disetujui oleh
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan MSc.Agr
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
Judul Skripsi : Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran
Nama : Kunti May Wulan NIM : 134100007
Disetujui oleh
Dr Ir Ar
Tanggal Lulus: 2 7 JAN 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa
Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran” ini dengan baik.
Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Mayor
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada
Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan MSc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi maupun
pembimbing akademik yang telah memberikan banyak arahan, saran, dan masukan
selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan
juga kepada Ibu Dr Eka Intan Kumala Putri, Mba Dyah Ita Mardyaningsih, serta Mba
Rizka Amalia yang telah memberikan masukan dan saran. Selain itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yuyuk, Bapak Kaib, dan seluruh aparat Desa
Ciganjeng, Ibu Onih selaku Ketua PKK Desa Ciganjeng, Ibu Turiah dan semua warga
Desa Ciganjeng yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak
Arbain dan Ibu Supartini, serta tante, Indah Yani, dan seluruh keluarga besar, yang
selalu berdoa, melimpahkan kasih sayangnya, serta memberi dukungan semangat dan
material untuk penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh teman-
teman akselerasi KPM angkatan 47 yang selalu saling mengingatkan dan memberikan
dukungan agar kita bisa lulus dan wisuda bersama-sama. Tidak lupa penulis berterima
kasih kepada sahabat-sahabat tersayang, Atrina DP, Astri S, Aulia RA, Regina A,
Fauziah Z, Anna NC, Fia Afiani Z, dll yang tidak bisa disebutkan satu persatu disini
serta semua teman-teman penulis di KPM angkatan 47, IAAS LC IPB, BEM KM IPB
2013 terutama Kementerian KOMINFO yang telah senantiasa memberi semangat dan
menemani penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan, dan
kerjasamanya selama ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2014
Kunti May Wulan
NIM. I34100007
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Masalah Penelitian 3
Tujuan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 7
Tinjauan Pustaka 7
Konsep Krisis Ekologi 7
Konsep Rumahtangga Petani 8
Konsep Nafkah 8
Konsep Kelentingan 11
Kerangka Pemikiran 12
Hipotesis Penelitian 13
Definisi Konseptual 13
Definisi Operasional 13
METODE PENELITIAN 15
Lokasi Dan Waktu 15
Penentuan Responden Dan Informan Penelitian 16
Teknik Pengumpulan Data 16
Teknik Analisis Data 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19
Gambaran Desa Ciganjeng 19
Kondisi Demografi 20
Penduduk dan Mata Pencaharian 20
Tingkat pendidikan 22
Kondisi Sosial 23
Krisis Ekologi 24
KARATERISTIK PETANI DI DESA CIGANJENG 27
vi
Usia dan Tingkat Pendidikan Responden 27
Jenis Kelamin Responden 28
Status Perkawinan Responden 29
Ikhtisar 30
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 31
Struktur Pendapatan Berdasarkan Tingkat Pendapatan Rumahtangga 31
Pendapatan Sektor Pertanian 32
Pendapatan Sektor Non Pertanian 33
Komposisi Pengeluaran Rumahtangga Petani 37
Saving Capacity Rumahtangga Petani 39
Ikhtisar 41
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 43
Bentuk-Bentuk Penerapan Strategi Nafkah 43
Strategi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumahtangga 44
Strategi Pola Nafkah Ganda 46
Strategi Migrasi 49
Strategi Intensifikasi Pertanian 50
Strategi Berhutang 52
Strategi Investasi Non Pertanian 54
Tingkat Pemanfaatan Livelihood Asset 55
Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital) 55
Modal Fisik (Physical Capital) 56
Modal Manusia (Human Capital) 57
Modal Finansial (Financial Capital) 58
Modal Sosial (Social Capital) 58
Ikhtisar 60
KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 63
Kelentingan Nafkah 63
Aspek-Aspek Kelentingan Nafkah 64
Saving Capacity 64
Ketersediaan Kesempatan Kerja di Luar 67
Kemampuan Akses terhadap Kesempatan Kerja Lain 68
vii
Ketersediaan Modal Sosial 69
Ketersediaan Teknologi Pendukung 71
Natural Extraction Activities 72
Pengurangan Jatah Makan 73
Ikhtisar 74
SIMPULAN DAN SARAN 77
Simpulan 77
Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 79
LAMPIRAN 81
RIWAYAT HIDUP 86
viii
DAFTAR TABEL
1 Matriks perbandingan strategi nafkah rumahtangga berdasarkan 10
subyek penelitian
2 Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciganjeng tahun 2012 20
3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciganjeng tahun 21
2012
4 Frekuensi dan persentase jenis kelamin responden rumahtangga 29
petani di Desa Ciganjeng tahun 2013
5 Frekuensi dan persentase status perkawinan responden rumahtangga 29
petani di Desa Ciganjeng tahun 2013
6 Frekuensi dan persentase kategori responden rumahtangga petani 31
berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan per tahun tahun 2013
7 Jumlah saving capacity rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 40
menurut kategori tingkat pendapatan tahun 2013
8 Frekuensi dan persentase pengalokasian sumberdaya dalam 45
rumahtangga dalam proses usaha tani di Desa Ciganjeng tahun 2013
9 Frekuensi dan persentase pilihan sumber dana rumahtangga 52
di Desa Cigenjeng tahun 2013
10 Frekuensi dan persentase pilihan berhutang petani di Desa 52
Ciganjeng tahun 2013
11 Variasi strategi nafkah rumahtangga petani menurut lapisan 54
rumahtangga di Desa Ciganjeng tahun 2013
12 Frekuensi dan persentase tingkat kelentingan nafkah rumahtangga 64
berdasarkan saving capacity di Desa Ciganjeng tahun 2013
13 Frekuensi dan persentase tingkat kelentingan nafkah rumahtangga 68
petani berdasarkan kemampuan mengakses kesempatan kerja di luar
pertanian di Desa Ciganjeng tahun 2013
14 Frekuensi dan persentase rumahtangga petani berdasarkan 70
tingkat pemanfaatan jaringan berbasis genealogis di Desa
Ciganjeng tahun 2013
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 12
2 Kurva sebaran normal 17
3 Persentase penduduk Desa Ciganjeng berdasarkan jenis mata 22
pencaharian tahun 2012
4 Persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Ciganjeng 23
tahun 2012
5 Persentase tingkat pendidikan responden rumahtangga petani di 27
Desa Ciganjeng tahun 2013
6 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 32
dari sektor pertanian tahun 2013
7 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 33
dari sektor non pertanian tahun 2013
8 Grafik persentase komposisi pendapatan rumahtangga petani di Desa 34
Ciganjeng tahun 2013
9 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 36
tahun 2013
10 Grafik rata-rata pengeluaran rumahtangga petani per tahun di Desa 37
Ciganjeng tahun 2013 berdasarkan tingkat pendapatan rumahtangga
11 Grafik persentase komposisi pengeluaran pangan dan nonpangan 38
rumahtangga petani per tahun berdasarkan kategori tingkat
pendapatan rumahtangga di Desa Ciganjeng tahun 2013
12 Grafik perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran 39
rumahtangga petani per tahun di Desa Ciganjeng tahun 2013
13 Peta Kabupaten Pangandaran 83
14 Peta wilayah Desa Ciganjeng 83
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian 81
2 Lokasi penelitian 83
x
3 Daftar kerangka sampling dan responden terpilih 84
4 Rencana kegiatan penelitian 85
1
PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan
kegunaan penelitian. Sub bab latar belakang menguraikan pemikiran yang
melatarbelakangi penelitian ini sedangkan sub bab masalah penelitian
menguraikan hal-hal yang menjadi masalah penelitian ini. Sub bab tujuan
penelitan menguraikan hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini sedangkan sub
bab kegunaan penelitian menguraikan kegunaan dari penelitian ini untuk
akademisi, pembuat kebijakan, maupun pembaca pada umumnya.
Latar Belakang
Menurut Dharmawan (2007b), krisis ekologi adalah suatu keadaan di mana
sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-
materi dan informasi yang mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi
distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme
lain dan alam lingkungannya. Krisis ekologi akan mengganggu keseimbangan
ekologi dan akhirnya akan mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama
dalam ekologi. Fenomena krisis ekologi ini terjadi dan mengancam seluruh
kawasan di Indonesia. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimal lima kasus
lingkungan hidup hanya di Jawa Barat saja (Ramdan 2011). Jika diakumulasikan
maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10 800 kasus lingkungan hidup
terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan catatan yang ada, kasus krisis ekologi terjadi di
beberapa sektor penting seperti pertambangan, sumberdaya air, wilayah pesisir
dan sektor yang paling menjadi perhatian adalah kehutanan padahal banyak orang
yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan. Berdasarkan data Identifikasi Desa
di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan (2009), jumlah desa hutan di Jawa dan
Madura sebanyak 4 614 desa atau 18.54 persen dari seluruh desa yang ada di
Pulau Jawa-Madura kecuali DKI Jakarta1.
Krisis ekologi hutan dapat terjadi karena kerusakan hutan akibat kegiatan
industri (illegal logging, pembalakan liar, ekowisata), penambangan, perambahan
hutan untuk pemukiman, dan aktivitas ekonomi lainnya yang hanya
menguntungkan salah satu pihak saja. Berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat,
praktik alih fungsi lahan kawasan hutan hingga tahun 2011 saja sudah
terakumulasi sekitar 95 000 hektar di Jawa Barat saja dan angka ini akan semakin
terus bertambah setiap tahun apabila tidak ada yang menghambatnya. Krisis
ekologi hutan yang terjadi membuat ekosistem semakin tidak stabil yang
kemudian akan menyebabkan terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir
di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau. Bencana yang timbul akibat
krisis ekologi hutan seperti banjir, longsor, dan kekeringan dapat menghilangkan
sebagian atau seluruh sumber nafkah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat
sekitar hutan terutama rumahtangga petani yang bergantung pada sumberdaya
1 Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan. 2009. Dikutip pada 20 Juni 2013.
Dapat diunduh dari http://www.dephut.go.id/files/IdentifikasiDesa2009_0.pdf
2
alam yang ada. Ketidakamanan nafkah bagi para petani akibat krisis ini tidak
sesuai dengan pasal 28 G ayat 1 Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pelindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Kementerian Kehutanan RI melansir data bahwa sumber penghasilan nafkah
utama 99.45 persen masyarakat desa hutan yang berada di dalam kawasan hutan
dan 97.08 persen masyarakat desa hutan yang berada di tepi kawasan hutan adalah
pertanian. Sebesar 90.66 persen dari usaha tani yang menjadi sumber pendapatan
masyarakat desa hutan merupakan usaha tani tanaman pangan yang bergantung
pada kondisi alam. Krisis ekologi hutan yang terjadi mengancam keberlangsungan
nafkah masyarakat hutan terutama rumahtangga petani. Banjir di musim hujan
dapat merendam sawah-sawah yang telah mereka tanami. Begitu pula yang terjadi
apabila kekeringan di musim kemarau, sawah-sawah mereka kekeringan dan pada
akhirnya gagal panen. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus,
rumahtangga petani bisa terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Krisis ekologi hutan tidak hanya terjadi di daerah kawasan hutan alam tetapi
juga di kawasan hutan yang terletak di DAS (Daerah Aliran Sungai). Bagian hulu
dan bagian hilir DAS merupakan satu kesatuan yang saling terintegrasi karenanya
apabila terjadi krisis ekologi di bagian hulu maka akan berakibat bencana di
bagian hilir. Contoh kasus krisis ekologi hutan terjadi di Jawa Barat tepatnya di
Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Ciamis. Desa Ciganjeng
yang merupakan bagian hilir dari DAS Citanduy ikut merasakan bencana akibat
krisis ekologi hutan yang terjadi di hulu yaitu banjir yang terjadi hampir setiap
tahun dan bahkan sudah tidak bisa diprediksi lagi kapan datangnya.
Marmuksinudin (2013) mengungkapkan bahwa ratusan petani di wilayah
Ciganjeng sudah hampir satu tahun merindukan masa panen karena ratusan hektar
sawah di kawasan Ciganjeng, sudah hampir satu tahun digenangi banjir.
Setidaknya pada Januari 2013, banjir di Kecamatan Padaherang merendam
sedikitnya 426 hektar areal persawahan termasuk di Desa Ciganjeng2. Banjir tidak
hanya merendam daerah persawahan saja tetapi juga merendam rumah-rumah
warga. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng akan semakin terjerat dalam rantai kemiskinan karena menghilangkan
sumber-sumber nafkah yang mereka miliki. Selain itu, banjir juga mengancam
hilangnya aset rumahtangga, gangguan kesehatan, dan krisis pangan bagi
rumahtangga petani. Ketersediaan sumberdaya alam bagi petani menjadi penting
dan petani akan terancam apabila sumberdaya alam tersebut mengalami gangguan
misal salah satunya karena bencana krisis ekologi.
Krisis ekologi menyebabkan gangguan stabilitas pendapatan rumahtangga
petani karena sawah-sawah yang tergenang akibat banjir tersebut seharusnya
dapat menjadi sumber pendapatan bagi rumahtangga petani. Ancaman ini juga
akan menyebabkan perubahan strategi rumahtangga petani untuk bertahan hidup
terutama strategi nafkah. Menurut Dharmawan (2007a), strategi nafkah adalah
taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk
2 Ratusan Hektar Sawah Kembali Tenggelam. [30 Januari 2013]. Dapat diakses di
http://www.jpnn.com/read/2013/01/22/155329/picture/thumbnail/20130122_072526/index.php?mi
b=berita.detail&id=156274
3
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap mempertahankan eksistensi
infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.
Dharmawan (2007a) mengungkapkan bahwa strategi nafkah dalam kehidupan
sehari-hari direpresentasikan oleh keterlibatan individu-individu pada proses
perjuangan untuk mendapatkan sesuatu jenis mata pencaharian atau bentuk
pekerjaan produktif demi mempertahankan ataupun meningkatkan derajat
kehidupannya. Dharmawan (2007a) juga menjelaskan strategi nafkah bisa
dibangun melalui beberapa jalur aktivitas nafkah dan strategi nafkah melalui jalur
kegiatan ekonomi produktif adalah strategi yang paling lazim dikembangkan oleh
individu dan rumahtangga.
Widodo (2011) menjelaskan bahwa strategi nafkah adalah aspek pilihan atas
beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Krisis ekologi yang
terjadi menyebabkan hilangnya beberapa atau seluruh sumber nafkah yang ada
dan perubahan sumber nafkah ini akan mengakibatkan perubahan strategi nafkah
rumahtangga petani. Perubahan terhadap strategi nafkah rumahtangga akan
berdampak pada perubahan struktur nafkah dan tingkat pendapatan rumahtangga.
Krisis ekologi yang terjadi menyebabkan ketidakpastian nafkah bagi rumahtangga
petani. Walaupun begitu, setiap individu mempunyai kemampuan untuk merasa
lebih baik dengan cepat setelah mengalami guncangan atau sesuatu yang tidak
menyenangkan dan mengakomodasi gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa yang
disebut sebagai kelentingan (Sapirstein 2006). Kemampuan inilah yang
mendorong untuk individu ataupun rumahtangga untuk bertahan dari guncangan
dan bangkit sehingga tidak terperosok ke dalam jurang kemiskinan namun tidak
semua individu atau rumahtangga memiliki kelentingan yang sama.
Permasalahan mengenai krisis ekologi yang mengancam rumahtangga
petani ini seharusnya menjadi perhatian kita semua agar tidak semakin banyak
yang nantinya terjebak dalam rantai kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk
diteliti bagaimana dampak krisis ekologi terhadap strategi rumahtangga petani.
Masalah Penelitian
Rumahtangga petani dapat dipandang satu kesatuan ekonomi, mempunyai
tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian
sebagai unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya
dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu, rumahtangga
petani bergantung pada sumberdaya alam yang menjadi sumber nafkah mereka.
Krisis ekologi hutan menyebabkan banjir dan longsor di musim penghujan dan
kekeringan di musim kemarau akan mengancam ketersediaan sumberdaya alam
bagi petani. Marmuksinudin (2013) memberitakan bahwa banjir yang menimpa
Desa Ciganjeng membuat petani menjadi semakin sulit untuk menikmati satu kali
saja masa panen karena sudah hampir 10 bulan genangan air di sawah Desa
Ciganjeng tidak kunjung surut. Hal ini menunjukkan bahwa petani bergantung
pada ketersediaan sumberdaya alam untuk melakukan aktivitas pertanian.
Terancamnya ketersediaan sumberdaya alam bagi rumahtangga petani akan
berimbas pada perubahan struktur nafkah rumahtangga petani. Perubahan struktur
nafkah petani juga akan mempengaruhi pendapatan rumahtangga tersebut
karenanya diperlukan strategi nafkah atau taktik dan aksi yang dibangun oleh
4
individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka
dengan tetap memerhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan
sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007a). Perbedaan sumber nafkah
yang tersedia juga turut mempengaruhi strategi nafkah yang akan diterapkan oleh
rumahtangga petani. Strategi nafkah ini dapat menjadi sebuah strategi bertahan
hidup dalam suasana krisis.
Strategi nafkah yang dibangun pada saat krisis yaitu banjir dalam periode
waktu yang cukup lama tentu akan berbeda dengan strategi nafkah rumahtangga
yang dibangun petani pada saat keadaan normal atau tidak krisis. Tingkat
pemanfaatan livelihood asset oleh rumahtangga petani mempengaruhi strategi
nafkah yang akan diterapkan oleh mereka. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian bagaimana variasi strategi nafkah rumahtangga petani dibangun
saat masa krisis maupun masa normal? Perbedaan strategi nafkah akan memperlihatkan variasi-variasi yang
beragam dan dapat menunjukkan kemampuan untuk merasa lebih baik dengan
cepat setelah mengalami guncangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan dan
mengakomodasi gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa yang disebut sebagai
kelentingan (Sapirstein 2006). Masyarakat di suatu daerah yang terkena krisis
ekologi tidak serta merta jatuh atau hancur akibat krisis tersebut karena setiap
individu maupun kelompok memiliki kelentingan. Kelentingan setiap individu
maupun kelompok berbeda-beda bergantung pada sejauh mana individu atau
kelompok tersebut mengupayakan kesempatan dan ketersediaan alat-alat yang ada
untuk meningkatkan kelentingan mereka agar bertahan dari krisis. Oleh karena
itu, perlu dipahami lebih lanjut bagaimana kelentingan nafkah di daerah krisis
ekologi?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
1. Menganalisis variasi strategi nafkah rumahtangga petani yang muncul saat
masa krisis maupun masa normal.
2. Memahami kelentingan nafkah rumahtangga petani di daerah krisis ekologi.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dampak
krisis ekologi terhadap kehidupan masyarakat desa sekitar hutan dan strategi
nafkah apa saja yang dilakukan rumahtangga untuk keluar dari krisis tersebut
sehingga dapat dikategorikan sebagai kelentingan atau ketahanan dari masyarakat
tersebut. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa
pihak, diantaranya adalah:
1. Bagi masyarakat Desa Ciganjeng
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai Desa
Ciganjeng dan usaha masyarakat untuk keluar dari krisis ekologi yang
menimpanya dari sudut pandang yang berbeda. Selanjutnya, penelitian ini
juga diharapkan mampu menjadi referensi bagi desa-desa lain pada umumnya
5
dan Desa Ciganjeng pada khususnya untuk mengembangkan berbagai potensi
yang dimiliki oleh masing-masing.
2. Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil
kebijakan dalam menghadapi krisis tidak hanya krisis ekologi yang terjadi di
Desa Ciganjeng saja. Hal ini tentunya ditujukan untuk semua kalangan
pemerintahan, mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Pihak
pemerintah diharapkan dapat membangun hubungan yang sinergis antara
semua stakeholders termasuk pihak swasta dan petani. Selain itu, diharapkan
agar pemerintah dapat menyusun strategi yang tepat dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan, sesuai dengan karateristik
masing-masing petani.
3. Bagi peneliti dan kalangan akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pustaka dan
menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan topik livelihood studies,
pedesaan, ekologi, dan juga bidang kehutanan.
4. Bagi masyarakat umum
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat
mengenai kehidupan masyarakat desa sekitar hutan dan krisis ekologi yang
senantiasa mengancamnya serta strategi nafkah yang dilakukan untuk keluar
dari krisis tersebut.
6
7
PENDEKATAN TEORITIS
Bab ini terdiri atas beberapa sub bab. Sub bab pertama membahas tinjauan
pustaka. Sub bab selanjutnya membahas kerangka pemikiran. Kemudian,
hipotesis penelitian dibahas dalam sub bab selanjutnya. Definisi konseptual dan
definisi operasional dibahas pada sub bab terakhir bab ini.
Tinjauan Pustaka
Konsep Krisis Ekologi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekologi diartikan sebagai ilmu
mengenai timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya
(lingkungannya). Oleh karena itu, krisis ekologi dapat dimaknai sebagai suatu
keadaan di mana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan
pertukaran energi-materi dan informasi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan
pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme
dengan organisme lain dan alam-lingkungannya sementara itu organisme
(manusia) dengan teknologi, perilaku dan organisasi sosialnya belum mampu
melakukan penyesuaian yang berarti dalam mengantisipasi atau merespons
guncangan tersebut (Dharmawan 2007b). Raharja (2011) selanjutnya menjelaskan
bahwa krisis ekologi ini merupakan krisis hubungan antar manusia dan
kebudayaannya dengan lingkungan hidup tempat mereka berlindung, bermukim,
dan mengeksploitasi sumberdaya alam. Krisis ekologi telah menjadi realita
kontemporer yang melebihi batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan.
Menurut Dharmawan (2006), sumberdaya alam adalah “last resort” tempat
pengaduan terakhir bagi lapisan miskin untuk mempertahankan kehidupan
(survival strategy), manakala tidak ada lagi peluang ekonomi apapun yang tersisa
di tempat lain bagi mereka. Dengan demikian, kelompok lapisan miskin sangat
bergantung terhadap ketersediaan sumberdaya alam bagi kehidupan mereka.
Selain itu, manusia cenderung bertindak meluluhlantakkan ekologi atas dasar
ambisi dan egoisme untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi
dirinya. Tidak heran apabila hubungan pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan
sumberdaya alam adalah negatif. Di sisi lain, kerusakan ekologi ini menimbulkan
dampak buruk yang dirasakan hampir seluruh manusia. Salah satu krisis ekologi
yang terjadi adalah akibat dari kerusakan hutan yang menurut pemberitaan
Kompas edisi 21 Maret 2007, Indonesia adalah perusak hutan tercepat di dunia,
sebesar 2 persen/tahun atau 1.87 juta hektar (51 km/hari). Apabila angka ini
dikonversi akan sama artinya dengan seluas 300 lapangan sepakbola/jam. Krisis
ekologi akan menganggu keseimbangan ekologi yang akhirnya kembali
mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama ekologi.
Dengan terganggunya keseimbangan ekologi, maka kemampuan alam untuk
produksi akan semakin menurun, sedangkan kebutuhan manusia akan semakin
meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi. Akibatnya, alam menjadi rusak,
sebab manusia terus memanfaatkannya tanpa adanya usaha pemulihan kembali.
Efek samping dari kerusakan tersebut adalah timbulnya bencana alam yang
menelan banyak korban, baik fisik ataupun material, bahkan sampai ke mental.
8
Frekuensi timbulnya bencana akibat krisis ekologi pun semakin lama sulit untuk
diprediksi. Menurut Kompas, pada tahun 2007 Indonesia telah mengalami 236
kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, di samping itu juga terjadi 111
kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Bahkan menurut Kompas, di
Indonesia terdapat 19 propinsi yang lahan sawahnya terendam banjir dan 263 071
hektar sawah terendam dan gagal panen. Selain itu, pada tahun 2007 ini tercatat
78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten.
Konsep Rumahtangga Petani Rumahtangga (household) berbeda dengan istilah keluarga (family).
Menurut Ellis (1988), keluarga adalah sebuah unit sosial yang didefinisikan
sebagai hubungan kekeluargaan antar orang namun pada masyarakat petani kecil,
keluarga tidak hanya sebatas dua orang dewasa yang hidup bersama anak-anaknya
seperti konsep keluarga inti pada konsep Barat. Berbeda dengan keluarga,
rumahtangga adalah sebuah unit sosial yang berbagi tempat tinggal yang sama
atau tungku yang sama. Menurut Mattila dan Wiro (1999), rumahtangga adalah
sebuah grup lebih dari hanya sekedar seorang individu (meskipun seorang
individu dapat juga sebagai rumahtangga), yang melakukan berbagai aktivitas
ekonomi yang diperlukan untuk bertahannya rumahtangga dan untuk menjaga
agar anggota rumahtangga tetap sejahtera. Dilihat dari segi ekonomi, rumahtangga
merupakan sebuah unit analisis dalam asumsi secara implisit bahwa yang
dimaksud adalah sumber nafkah rumahtangga disatukan, pemasukan dibagikan,
dan keputusan dibuat bersama oleh anggota rumahtangga yang dewasa.
Menurut Nakajima (1986), Rumahtangga Petani (farm household)
mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap
saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan
reproduksi. Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit
ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang
dimiliki, kemudian akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku rumahtangga petani dalam aktivitas
pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat
subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar (Ellis 1988).
Nakajima (1986) memberikan definisi rumahtangga petani (farm household)
sebagai satu kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm),
rumahtangga pekerja dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and
consumer’s household) dengan prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas.
Produktivitas pertanian sangat ditentukan oleh keberadaan rumahtangga petani
dan lingkungan sekitarnya. Secara spesifik, rumahtangga petani merupakan satu
unit kelembagaan yang setiap saat memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan
reproduksi.
Konsep Nafkah Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki pengertian sebagai
cara hidup. Lebih kompleks dari itu, Ellis (2000) mendefinisikan nafkah lebih
mengarah pada perhatian hubungan antara aset dan pilihan orang untuk kegiatan
alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk bertahan hidup.
Definisi nafkah sebagai cara hidup juga biasanya disejajarkan dengan konsep
livelihood (mata pencaharian). Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah
9
rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumahtangga
tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat
memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Terdapat lima bentuk modal atau biasa
disebut livelihood asset. Menurut Ellis (2000), kelima modal tersebut adalah:
1. Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital). Modal ini bisa juga disebut
sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan
abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa
diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya
alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan
di perairan, maupun sumberdaya mineral seperti minyak, emas, batu bara dan
lain sebagainya.
2. Modal Fisik (Physical Capital). Modal fisik merupakan modal yang
berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain
sebagainya.
3. Modal Manusia (Human Capital). Modal ini merupakan modal utama apalagi
pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja
yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan,
keterampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes). Modal ini berupa uang,
yang digunakan oleh suatu rumahtangga. Modal ini dapat berupa uang tunai,
tabungan, ataupun akses dan pinjaman.
5. Modal Sosial (Social Capital). Modal ini merupakan gabungan komunitas
yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang
tergabung di dalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja
(networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan
horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas
akses terhadap kegiatan ekonomi.
Menurut Dharmawan (2007a), livelihood memiliki pengertian yang lebih
luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit sebagai mata
pencaharian semata saja. Strategi nafkah lebih mengarah kepada pengertian
livelihood strategy (strategi penghidupan) yaitu strategi membangun sistem
penghidupan. Dharmawan (2007a) secara lebih jelas menerangkan bahwa strategi
nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu atatupun kelompok
dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memerhatikan
eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang
berlaku. Widodo (2011) menjelaskan bahwa strategi nafkah meliputi aspek pilihan
atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Oleh karena itu,
semakin beragam pilihan tersebut sangat memungkinkan terjadinya beragam
strategi nafkah. Sedangkan Dharmawan (2007a) menjelaskan strategi nafkah bisa
dibangun melalui beberapa jalur aktivitas nafkah dan strategi nafkah melalui jalur
kegiatan ekonomi produktif adalah strategi yang paling lazim dikembangkan oleh
individu dan rumahtangga.
Suatu individu atau rumahtangga tidak hanya menerapkan salah satu bentuk
strategi nafkah dalam upaya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup.
Kebutuhan yang semakin meningkat, sementara pekerjaan yang menjadi sandaran
utama mengalami penurunan, mengharuskan mencari tambahan penghasilan
(Iqbal 2004). Oleh karena itu, individu atau rumahtangga perlu melakukan
beberapa bentuk strategi nafkah sekaligus dalam kehidupannya.
10
Matriks berikut ini menggambarkan strategi nafkah rumahtangga
berdasarkan subyek penelitian.
Tabel 1 Matriks perbandingan strategi nafkah rumahtangga berdasarkan subyek
penelitian
Judul
Penelitian
Subyek
Penelitian
Lokasi
Penelitian
Strategi Nafkah yang
Dibangun
Strategi Nafkah
Berkelanjutan
Bagi
Rumahtangga
Miskin di Daerah
Pesisir
Rumahtangga
miskin daerah
pesisir
Desa Kwanyar
Barat,
Kecamatan
Kwanyar,
Kabupaten
Bangkalan, Jawa
Timur
-Strategi ekonomi: (1)
pola nafkah ganda, (2)
optimalisasi tenaga
kerja rumahtangga, (3)
migrasi
-Strategi sosial: (1)
ikatan kekerabatan, (2)
pertetanggan dan
perkawanan
Strategi Nafkah
Rumahtangga
Petani Tembakau
di Lereng Gunung
Sumbing:
Rumahtangga
petani
tembakau
Desa Wonotirto
dan Desa
Campursari,
Kecamatan Bulu,
Kabupaten
Temanggung
-Strategi nafkah
berlandaskan etika
sosial: (1) strategi
solidaritas vertikal, (2)
strategi solidaritas
horizontal (3) strategi
berhutang (4) strategi
patronase
-Strategi nafkah
berlandaskan
individual-materialism:
(1) strategi akumulasi
(2) strategi manipulasi
komoditas (3) strategi
serabutan (4) strategi
migrasi temporer (3)
strategi produksi
Sistem Nafkah
Rumah Tangga
Petani Kentang di
Dataran Tinggi
Dieng
Rumahtangga
petani kentang
Desa
Karangtengah,
Kecamatan
Batur, Kabupaten
Banjarnegara,
Jawa Tengah
(1) strategi intensifikasi
lahan (on farm) (2)
strategi
mendiversifikasi
sumber nafkah (on farm
dan non farm) yaitu
migrasi dan berdagang
Analisis Tingkat
Kesejahteraan
dan Strategi
Nafkah
Rumahtangga
Petani
Transmigran
Rumahtangga
petani
transmigran
Distrik Masni,
Kabupaten
Manokwari,
Papua Barat
(1) strategi nafkah pola
nafkah berserak, (2)
strategi nafkah pola
nafkah ganda, (3)
strategi nafkah pola
nafkah berbasis bantuan
Sumber: hasil studi pustaka penulis
11
Masitoh (2005) mengatakan bahwa terdapat enam bentuk strategi nafkah
yang dilakukan rumahtangga petani yaitu sebagai berikut:
1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan
saat-saat tertentu/peristiwa tertentu yang terjadi;
2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan
dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing;
3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan
lahan pertanian secara maksimal;
4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa
sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga
guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga;
5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara
menganekaragamkan nafkah; dan
6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan
memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi.
Konsep Kelentingan
Kelentingan atau resiliensi secara etimologis diadaptasi dari bahasa Inggris
yaitu resilience. Berdasarkan Oxford Advance Dictionary, resilience is the ability
of people or things to feel better quickly after something unpleasant, such as
shock, injury, etc. Pengertian lebih lanjut bahwa kelentingan adalah kemampuan
manusia atau benda-benda untuk merasa lebih baik dengan cepat setelah
mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal yang tidak menyenangkan
tersebut misalnya seperti mengalami guncangan, mendapatkan cedera, dan lain-
lain yang merupakan tekanan-tekanan yang sebenarnya sering terjadi dalam
kehidupan kita. Kelentingan ini merupakan daya atau kemampuan untuk kembali
ke bentuk semula. Menurut Sapirstein (2006), kelentingan adalah kemampuan
individu ataupun kelompok dalam menghadapi krisis internal atau eksternal dan
tidak hanya menyelesaikannya secara efektif tetapi juga belajar dari hal tersebut,
menjadi lebih kuat oleh hal tersebut, dan muncul perubahan dari hal tersebut.
Gibbs dan Bromley (1989) dalam Darusman (2001) menjelaskan kelentingan
(resiliensi) sebagai suatu kemampuan untuk mengakomodasi terhadap tekanan-
tekanan atau gangguan-gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa.
Selanjutnya, Holling (1973) menyatakan bahwa kelentingan atau resiliensi
adalah properti dari sebuah sistem dan persisten atau kemungkinan dari
kepunahan adalah hasilnya. kemudian, Siebert (2005) dalam Wijayani (2008)
memaparkan dalam bukunya, The Resiliency Advantage, bahwa kelentingan
(resiliensi) adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup
pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan,
bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara
yang lama dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan
menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Sebuah proses,
kemampuan seseorang atau hasil dari adaptasi yang berhasil meskipun
berhadapan dengan situasi yang mengancam merupakan daya lenting (resiliensi)
yang ada dalam individu maupun kelompok (Marten, Best, dan Garmezy dalam
Wijayani 2008).
12
Kerangka Pemikiran
Kerusakan hutan dan ekosistem di hulu Daerah Aliran Sungai Citanduy
mengakibatkan krisis ekologi di bagian hilir berupa banjir rob yang menyebabkan
sawah/lahan pertanian milik petani menjadi tergenang. Hal ini mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang menggantungkan
hidupnya pada sumberdaya alam dalam hal ini lahan pertanian. Krisis ekologi
menjadi ancaman bagi rumahtangga petani apabila frekuensi terjadinya
krisis/bencana berlangsung terus menerus dan dalam periode yang lama. Hal ini
akan mengakibatkan perubahan ketersediaan sumberdaya alam yang biasa
dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber nafkah rumahtangga mereka. Banjir
yang menggenangi lahan-lahan pertanian mempengaruhi komposisi struktur
nafkah yaitu tingkat pendapatan dan tingkat pengeluaran rumahtangga petani.
Perubahan struktur nafkah ini mendorong petani melakukan strategi nafkah
untuk tetap bisa bertahan hidup dan menjaga agar tingkat pengeluaran tidak jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan. Strategi nafkah yang
diterapkan rumahtangga petani juga berubah seiring dengan kemampuan
rumahtangga tersebut memanfaatkan livelihood asset dari Ellis (2000) berupa
lima modal sumberdaya dimanfaatkan seefektif mungkin. Strategi nafkah yang
diterapkan oleh rumahtangga petani akan menggambarkan kelentingan dari
rumahtangga tersebut. Rumahtangga petani dikatakan lenting apabila setiap
terjadi bencana pada sumber-sumber nafkah utama tetapi rumahtangga itu tetap
bertahan sedangkan rumahtangga petani dikatakan tidak lenting apabila rentan
terhadap guncangan krisis yang mengancam sumber nafkah utama mereka.
Berikut ini adalah kerangka pemikiran mengenai hubungan-hubungan antar
variabel yang akan menjadi dasar dari penelitian ini:
Keterangan: Mempengaruhi
Berhubungan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Variasi Strategi
Nafkah
Komposisi struktur nafkah
- Tingkat pendapatan
- Tingkat pengeluaran
Tingkat Kelentingan
Nafkah
Tingkat Pemanfaatan
Livelihood Asset
Dampak Krisis
Ekologi
13
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang
dapat ditarik adalah:
1) Diduga ada pengaruh antara tingkat pendapatan dan tingkat pengeluaran
dengan variasi strategi nafkah
2) Diduga ada hubungan antara tingkat kelentingan nafkah dengan variasi
strategi rumahtangga petani
3) Diduga ada hubungan antara tingkat pemanfaatan livelihood asset dengan
variasi strategi nafkah rumahtangga petani
Definisi Konseptual
1) Krisis ekologi adalah suatu keadaan di mana sistem ekologi mengalami
ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi, yang
mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta
akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan
alam lingkungannya.
2) Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun
kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap
memerhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai
budaya yang berlaku.
3) Rumahtangga petani adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama
serta menyatukan pendapatannya yang sumber utamanya berasal dari sektor
pertanian.
Definisi Operasional
Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang
jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional
dan pengukuran peubah dalam perencanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Tingkat pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima oleh responden
dalam periode waktu satu tahun yang telah dikurangi dengan biaya-biaya
produksi, baik yang diperoleh dari mata pencaharian utama (pertanian)
maupun dari luar mata pencaharian utama (selain pertanian). Penentuan
kategori tingkat pendapatan menggunakan sebaran kurva normal, yaitu:
a. Pendapatan rendah jika < x - ½ sd
b. Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < x + ½ sd
c. Pendapatan tinggi jika > x + ½ sd
2) Livelihood Asset adalah lima modal sumberdaya yang dimanfaatkan dalam
penerapan strategi nafkah. Kelima modal tersebut antara lain:
a. Modal manusia dapat dilihat dari pendidikan dan penggunaan tenaga kerja
(apakah dari keluarga atau luar keluarga).
14
b. Modal fisik dapat dilihat dari kepemilikan aset produksi, pemilikan rumah
dan barang berharga lain, serta transportasi.
c. Modal finansial dapat dilihat dari penggunaan tabungan, investasi, dan
modal usaha.
d. Modal sosial dapat dilihat dari jaringan kerja (networking) dengan
penyedia pinjaman modal usaha, penyedia input produksi, dan distributor
hasil usaha.
e. Modal sumberdaya alam dapat dilihat dari keadaan sumberdaya tanah,
kayu-kayuan, air, dan hewan buruan dalam hutan.
3) Tingkat pengeluaran adalah jumlah biaya yang dikeluarkan oleh responden
untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya dalam periode waktu satu
tahun baik biaya konsumsi pangan maupun nonpangan. Penentuan kategori
tingkat pengeluaran menggunakan sebaran kurva normal, yaitu:
d. Pengeluaran rendah jika < x - ½ sd
e. Pengeluaran sedang jika x – ½ sd < x < x + ½ sd
f. Pengeluaran tinggi jika > x + ½ sd
4) Tingkat kelentingan nafkah adalah besar kemampuan individu untuk bertahan
dan menstabilkan kondisi rumahtangganya saat terjadi guncangan krisis.
Tingkat kelentingan nafkah dianalisis secara deskriptif merujuk pada aspek
berikut: (a) Saving capacity; (b) Ketersediaan kesempatan kerja di luar; (c)
Kemampuan mengakses kesempatan kerja di luar; (d) Ketersediaan modal
sosial; (e) Ketersediaan teknologi pendukung; (f) Kegiatan mengekstraksi
sumberdaya; (g) Pengurangan jatah makan.
a. Rumahtangga petani lenting jika mampu bertahan dari ancaman krisis dan
memanfaatkan aspek kelentingan yang dimiliki
b. Rumahtangga petani tidak lenting jika tidak mampu bertahan dari ancaman
krisis, semakin miskin dari sebelumnya, terjadi kelaparan dalam
rumahtangga tersebut.
15
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei, yaitu penelitian
pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian
explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-
variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya
(Singarimbun dan Effendi 2008).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh
pendekatan kualitatif untuk memperoleh data primer. Pendekatan kuantitatif
dilakukan dengan survei yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan
data yang utama (Singarimbun dan Effendi 2008). Pendekatan kualitatif dilakukan
dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap
informan yang dipilih melalui metode snowball. Kedua pendekatan tersebut juga
dilengkapi dengan penelusuran literatur untuk memperoleh data sekunder.
Lokasi Dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di RW 01, RW 05, RW 07, dan RW 08 Dusun
Cihideung, Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran,
Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive berdasarkan
beberapa pertimbangan dan diperoleh berdasarkan data Pemerintah Kecamatan
Padaherang.
Pertimbangan pertama, Desa Ciganjeng merupakan wilayah bagian hilir dari
Daerah Aliran Sungai Citanduy yang termasuk dalam zona sungai yang telah
diberi “lampu merah” oleh beberapa instansi dengan indikasi sungai yang telah
dalam keadaan kritis. Apabila intensitas curah hujan tinggi maka Desa Ciganjeng
khususnya empat RW yang menjadi lokasi penelitian terendam banjir baik lahan
persawahan maupun yang masuk ke rumah warga. Hal ini terjadi akibat krisis
ekologi yang terjadi di bagian hulu dari DAS Citanduy tersebut.
Pertimbangan kedua, data Pemerintahan Desa Ciganjeng Tahun 2012
menunjukkan bahwa dari 4 241 jiwa penduduk di Desa Ciganjeng, 2 075 jiwa
bermatapencaharian di bidang pertanian termasuk di dalamnya adalah buruh tani.
Sisanya bermatapencaharian di bidang non pertanian misalnya pedagang,
pengrajin, supir hingga buruh bangunan. Data tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas penduduk Desa Ciganjeng bermatapencaharian di bidang pertanian
yang bergantung pada sumberdaya alam yang ada. Berdasarkan data dan
informasi tersebut maka dipilihlah RW 01, RW 05, RW 07, dan RW 08 Desa
Ciganjeng sebagai lokasi penelitian dengan permasalahan penelitian mengenai
dampak krisis ekologi terhadap strategi nafkah rumahtangga petani di pedesaan.
Kegiatan penelitian meliputi penyusunan skripsi, kolokium, pengambilan
data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang
skripsi dan perbaikan laporan hasil penelitian. Semua kegiatan tersebut dilakukan
dalam kurun waktu bulan Juni 2013 – Januari 2014.
16
Penentuan Responden Dan Informan Penelitian
Unit analisis yang diambil oleh peneliti adalah rumahtangga yang salah satu
anggotanya bekerja sebagai petani. Alasan rumahtangga menjadi unit analisis
penelitian adalah karena rumahtangga berperan penting dalam pengambilan
keputusan dan pengalokasian sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan
bentuk strategi nafkah yang digunakan. Selanjutnya, informasi dan data penelitian
diperoleh melalui responden dan informan. Responden adalah pihak yang
memberikan keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sedangkan informan
adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi mengenai situasi-situasi
yang terjadi di sekitarnya.
Dalam penelitian ini, responden yang ditentukan adalah kepala rumahtangga
atau ibu yang mengurus rumahtangga yang lokasi pemukimannya berada di desa
sekitar hutan dan termasuk ke dalam kategori rumahtangga petani. Sebelum
pengambilan responden, terlebih dahulu dibuat kerangka sampling (sampling
frame) dari seluruh rumahtangga petani di desa. Selanjutnya diambil sampel
sebanyak 35 responden dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana
(simple random sampling) dengan bantuan program aplikasi Microsoft Excel.
Teknik ini dipilih karena unit analisis rumahtangga bersifat homogen. Sedangkan
untuk memperoleh nama informan-informan, digunakan teknik penarikan sampel
bola salju (snowball sampling) yakni mengetahui satu nama informan dan dari
informan tersebut kemudian diketahui nama informan-informan yang lain.
Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data dan informasi
di lokasi penelitian adalah pendekatan kuantitafif dan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi 2008). Selain itu, data
yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara mendalam, dan observasi langsung.
Kuesioner diberikan kepada responden dan peneliti membantu responden dalam
pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam
pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman
pertanyaan kepada informan yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya.
Observasi langsung dilakukan untuk memperoleh gambaran keadaan desa dan
masyarakat secara langsung serta untuk kebutuhan dokumentasi.
Selain data primer, peneliti melakukan pengumpulan data sekunder yaitu
data yang dikumpulkan dan sudah diolah oleh pihak lain. Data sekunder ini
diperoleh melalui kajian pustaka dan analisis berbagai literatur yang terkait
dengan kondisi desa, peta lokasi penelitian, penguasaan lahan/tanah, dan dokumen
tertulis lainnya. Selain itu, peneliti juga membuat catatan harian selama proses
pengumpulan data di lapangan untuk melengkapi bagian yang kurang pada data
primer dan data sekunder. Kemudian, data primer dan data sekunder digunakan
untuk saling mendukung satu sama lain dan menyempurnakan hasil penelitian.
17
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, akan diolah
menggunakan Microsoft Excel 2007. Data hasil kuesioner akan dicatat apa adanya
dan dilakukan analisis serta interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil
kuesioner. Data mengenai tingkat pendapatan akan diolah dengan cara
pengkategorian (pertanian dan non pertanian) dan dicari rata-rata pendapatannya
per tahun. Kemudian setelah itu dibuat kurva sebaran normal untuk melihat
tingkatan pendapatan dari masing-masing responden berdasarkan standar
deviasinya.
Rendah Menengah Tinggi
x - ½ sd x + ½ sd
Gambar 2 Kurva Sebaran Normal
Data kualitatif sendiri akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif,
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data
dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan sehingga dapat langsung
menjawab perumusan masalah. Kemudian, data akan disajikan dalam bentuk teks
naratif, matriks, tabel, atau bagan. Setelahnya, baru ditarik kesimpulan sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
18
19
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan mengenai profil lokasi penelitian yang terbagi ke
dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai gambaran
Desa Ciganjeng. Sub bab kedua membahas tentang kondisi demografi penduduk
Desa Ciganjeng.
Gambaran Desa Ciganjeng
Secara administratif, Desa Ciganjeng termasuk dalam wilayah Kecamatan
Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Desa Ciganjeng,
Kecamatan Padaherang sebelumnya masuk ke dalam wilayah administratif
Kabupaten Ciamis lalu kemudian terjadi pemekaran wilayah dan menjadi bagian
dari Kabupaten Pangandaran beserta sembilan kecamatan lain yang dahulu masuk
wilayah Kabupaten Ciamis. Batas wilayah Desa Ciganjeng adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara : Desa Sindangwangi
2. Sebelah barat : Desa Bojong Sari, Desa Tunggilis Kec. Kalipucang
3. Sebelah timur : Desa Sukanagara, Jawa Tengah
4. Sebelah selatan : Desa Tunggilis Kec. Kalipucang
Jarak Desa Ciganjeng ke kantor Kecamatan Padaherang adalah lima km dan
dapat ditempuh selama ±15 menit bila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak
desa ke kantor pemerintahan Kabupaten Pangandaran adalah 96 km dan dapat
ditempuh selama ±45 menit bila menggunakan kendaraan bermotor. Luas wilayah
Desa Ciganjeng sebesar 749.744 hektar atau 7.50 km2 dan 75 persen dari jumlah
tersebut merupakan lahan pertanian yaitu sebesar 418 hektar dan selebihnya
digunakan untuk pemukiman dan juga hutan rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut
maka sebagian besar mata pencaharian utama masyarakatnya adalah petani. Dua
pertiga wilayah Desa Ciganjeng merupakan dataran rendah dan sepertiganya
adalah bagian pegunungan berbukit dan berlereng. Oleh karena itu, iklim wilayah
ini antara 25 derajat hingga 37 derajat celcius walaupun terkadang pada pagi hari
bisa mencapai 18 derajat hingga 19 derajat celcius. Dengan iklim seperti itu,
tanaman pokok yang ditanam oleh para petani di Desa Ciganjeng adalah padi
sawah selebihnya tanaman hortikultur yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan
sehari-hari seperti sayur-sayuran serta pohon kelapa yang dimanfaatkan dan
kemudian diolah menjadi gula aren.
Desa Ciganjeng ini juga dilalui oleh Sungai Ciseel dan Sungai Citanduy
serta terdapat tiga aliran sungai lokal yaitu Sungai Ciganjeng, Sungai Kedung
Palungpung, dan Sungai Cirapuan. Tidak heran apabila di musim hujan setiap
tahunnya desa ini selalu dilanda banjir yang berasal dari air sungai yang meluap
dan menggenangi lahan pertanian dan pemukiman kurang lebih 355 hektar
sedangkan pada musim kemarau mengalami kekeringan. Banjir yang sering
menggenangi wilayah Ciganjeng membuat masyarakat memiliki perahu kecil per
rumah sebagai bentuk antisipasi ketika banjir. Selain itu, sebagian besar keluarga
juga memiliki motor dan sepeda sebagai alat transportasi utama karena
wilayahnya yang jauh dan tidak ada kendaraan umum untuk masuk ke dalam
desa.
20
Berikut ini Tabel 2 yang menunjukkan penggunaan luas lahan di Desa
Ciganjeng.
Tabel 2 Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciganjeng tahun 2012
No Peruntukan Lahan Luasan (Ha)
1 Sawah 418
2 Pemukiman dan pekarangan 161.229
3 Tegal, kebun, ladang (huma) 64.280
4 Hutan rakyat 90.062
5 Pertokoan dan pasar desa 0.130
6 Kantor dan sekolah 0.640
7 Tempat peribadatan dan keagamaan 0.273
8 Pemakaman 1.915
9 Lapangan 0.450
10 Jalan desa dan infrastruktur 3.110
11 Lainnya 9.970
Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah luas sawah yang dapat
dimanfaatkan dan dimaksimalkan lebih dari setengah luas seluruh desa namun
akibat banjir yang melanda setiap tahun, luas sawah tersebut tidak seluruhnya
dapat ditanami. Sawah yang biasanya terendam banjir lebih lama adalah yang
berada di sisi sungai. Sawah mendapatkan pasokan air dari sistem irigasi yang
juga berasal dari sungai salah satunya Sungai Cirapuan. Di sungai Cirapuan juga
terdapat kincir air.
Pemukiman warga menyebar di tiga dusun tetapi bentuknya berkumpul
beberapa rumah lalu begitu seterusnya. Ada juga pemukiman yang memanjang di
belakang tanggul Sungai Cirapuan. Tempat peribadatan menyebar di seluruh desa
bahkan setiap RT memiliki musholla sendiri-sendiri. Sekolah yang ada di Desa
Ciganjeng hanya Sekolah Dasar sedangkan SMP dan SMA ada di desa lain.
Kondisi Demografi
Penduduk dan Mata Pencaharian
Desa Ciganjeng terdiri dari tiga dusun yaitu Pasar, Babakansari, dan
Cihideung. Dusun Pasar terdiri dari dua RW dan delapan RT, Dusun Babakansari
terdiri dari tiga RW dan sembilan RT, dan Dusun Cihideung terdiri dari tiga RW
dan sepuluh RT. Berdasarkan data monografi desa tahun 2012, penduduk Desa
Ciganjeng tercatat sejumlah 4 868 jiwa, dengan proporsi laki-laki sebanyak 2 426
jiwa dan perempuan sebanyak 2 442 jiwa. Seluruh total jiwa tersebut terbagi
dalam 1 641 Kepala Keluarga. Berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk
desa Ciganjeng dapat dibagi lagi seperti dalam tabel 3 berikut.
21
Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciganjeng tahun
2012
No Kelompok Umur (tahun) Jumlah (jiwa)
1 0 – 4 274
2 5 – 9 338
3 10 – 14 385
4 15 – 19 432
5 20 – 24 380
6 25 – 29 352
7 30 – 34 306
8 35 – 39 339
9 40 – 44 362
10 45 – 49 377
11 50 – 54 323
12 55 – 59 310
13 ≥ 60 722
Total 4 868
Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012
Jumlah penduduk usia produktif (usia kerja) yaitu antara 10 tahun sampai 64
tahun di Desa Ciganjeng lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia
nonproduktifnya. Sebagaimana umumnya, tidak semua penduduk yang termasuk
dalam usia kerja tergolong dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi
dengan berbagai alasan. Salah satunya alasannya adalah usia 10 tahun sampai usia
18 tahun masih termasuk dalam usia sekolah yang menjadi tanggungan orangtua.
Dengan kondisi wilayah desa yang dua pertiganya merupakan dataran
rendah dan luas lahan pertanian yang meliputi 75 persen dari total luas wilayah,
sebagian besar mata pencaharian utama penduduk adalah petani terutama petani
padi sawah. Sebesar 76 persen penduduk bermata pencaharian sebagai petani, 13
persen sebagai buruh tani, 9 persen berusaha di bidang non pertanian seperti
pedagang, pengrajin, dan lain-lain serta 2 persen lainnya berprofesi sebagai
Pegawai Negeri Sipil, TNI, POLRI, dan pensiunan. Macam pekerjaan yang
muncul ini bergantung pada kemampuan setiap individu namun juga fasilitas yang
ada di desa. Tidak ada industri besar di Desa Ciganjeng namun yang ada hanya
industri kecil yang memproduksi produk olahan makanan hingga usaha konveksi
jahit.
Berikut ini gambar yang menunjukkan persentase penduduk di Desa
Ciganjeng berdasarkan jenis mata pencahariannya menurut data monografi yang
dimiliki desa.
22
Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012
Gambar 3 Persentase penduduk Desa Ciganjeng berdasarkan jenis mata
pencaharian tahun 2012
Banjir yang setiap tahun menggenangi Desa Ciganjeng mengancam
penduduk yang bermata pencaharian utama di bidang pertanian yang bergantung
pada kondisi alam. Meskipun begitu, banjir tidak membuat para petani berhenti
menjadi petani dan justru mereka tetap menanami kembali sawahnya apabila
banjir telah surut.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk di suatu desa dapat menggambarkan tingkat
kemajuan pembangunannya karena terkait dengan kualitas sumberdaya
manusianya. Semakin baik kualitas sumberdaya manusia maka akan berakibat
tingginya kemajuan pembangunan suatu wilayah karena potensi yang ada dapat
dimaksimalkan dengan baik. Berdasarkan data monografi desa, dari total jumlah
penduduk Desa Ciganjeng, sebanyak 12 persen penduduk tidak tamat SD, 61
persen penduduk tamat SD, 15 persen penduduk tamat SMP dan sederajat, 10
persen penduduk tamat SMA dan sederajat, serta 2 persen penduduk lainnya tamat
Perguruan Tinggi mulai dari tingkat diploma satu hingga strata tiga. Berikut ini
grafik yang menunjukkan persentase penduduk Desa Ciganjeng berdasarkan
tingkat pendidikannya.
76%
13%
9%
2%
Persentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk di Desa Ciganjeng
Petani
Buruh tani
Usaha non pertanian
Lainnya
23
Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012
Gambar 4 Persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Ciganjeng
tahun 2012
Penduduk Desa Ciganjeng yang tidak tamat SD sebagian besar adalah
penduduk berusia lanjut yang dahulu belum mengutamakan pendidikan. Berbeda
dengan sekarang, orangtua mulai mendorong anak-anak mereka untuk memiliki
pendidikan yang lebih baik walaupun harus mengirimkan mereka ke luar desa.
Tingkat pendidikan yang masih rendah ini membuat penduduk bertahan memilih
mata pencaharian utama sebagai petani yang sudah dilakukan turun temurun.
Kondisi Sosial
Penduduk Desa Ciganjeng merupakan penduduk dataran rendah yang
mayoritas bekerja di sektor pertanian terutama padi sawah. Mereka tinggal dalam
rumah-rumah yang berdekatan sehingga intensitas interaksi antar tetangga tinggi.
Intensitas interaksi yang tinggi semakin memperkuat ikatan-ikatan kekeluargaan
dan kekerabatan yang ada. Ikatan-ikatan ini membentuk suatu modal sosial yang
pada akhirnya menjadi salah satu strategi masyarakat untuk bertahan hidup.
Petani adalah mata pencaharian utama penduduk Desa Ciganjeng karena
luas lahan pertanian yang tersedia pun cukup luas. Selain itu, tingkat pendidikan
yang masih rendah juga menyebabkan penduduk tidak memiliki banyak alternatif
pilihan kegiatan nafkah yang lain. Penduduk golongan tua rata-rata tidak
bersekolah atau tidak tamat Sekolah Dasar tetapi seiring berjalannya waktu
mereka mendorong anak-anaknya untuk menyelesaikan pendidikan setinggi
mungkin paling tidak sampai SMP. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran
penduduk akan pentingnya pendidikan sudah muncul walaupun pada
kenyataannya masih sedikit yang tamat Perguruan Tinggi dengan berbagai faktor
lain.
Mayoritas penduduk Desa Ciganjeng adalah beragama Islam. Masing-
masing RW juga memiliki musholla dan masjid masing-masing yang cukup baik.
Setiap waktu sholat, masyarakat menyempatkan untuk sholat berjamaah. Hal ini
12%
61%
15%
10%2%
Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Ciganjeng
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Perguruan Tinggi
24
juga sebagai salah satu bentuk penguatan ikatan kekerabatan dalam masyarakat itu
sendiri. Selain itu, hubungan interaksi antar tetangga terjalin baik. Hal ini
dibuktikan dengan tradisi saling membantu apabila tetangga sedang mengadakan
hajatan atau ada yang tertimpa musibah. Tanpa diminta pun semua tetangga akan
membantu untuk meringankan beban tetangganya yang lain. Gotong royong pun
menjadi norma yang dianut dalam masyarakat.
Krisis Ekologi
Krisis ekologi yang terjadi di Desa Ciganjeng berupa banjir dan kekeringan.
Keduanya terjadi secara bergantian sepanjang tahun dengan intensitas yang
berbeda. Banjir terjadi pada awal dan akhir tahun sedangkan kekeringan terjadi
pada pertengahan tahun. Krisis ini telah terjadi sejak puluhan tahun silam karena
togografi wilayah desa sendiri dilalui oleh beberapa aliran sungai yang ketika
hujan datang dan tidak mampu menahan debit air maka air tersebut meluap dan
membanjiri lahan sawah yang ada di Desa Ciganjeng bahkan hingga masuk ke
rumah-rumah warga terutama yang ada di pinggiran tanggul sungai. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banjir terjadi mulai musim hujan
datang yaitu pada bulan Oktober hingga April. Banjir terjadi pasang surut
sehingga petani harus menanam berkali-kali sawahnya dan akibatnya biaya yang
dikeluarkan untuk modal produksi lebih tinggi.
Banjir terjadi akibat luapan sungai Citanduy yang juga sudah masuk ke
dalam sungai dengan zona merah. Zona merah berarti sungai yang sudah dalam
kondisi tidak baik. Luapan sungai Citanduy tersebut kemudian masuk ke anak-
anak sungai seperti sungai Kedungpalungpung, sungai Cirapuan, dan sungai
Ciseel lalu bila tidak mampu tertahan oleh tanggul-tanggul yang telah dibangun,
air sungai tersebut meluap hingga merendam puluhan sampai ratusan hektar lawan
sawah dan bahkan jika debit luapan air terlalu besar dapat masuk ke rumah-rumah
warga. Banjir yang merendam areal persawahan di Ciganjeng terjadi pasang surut.
Lama terjadinya banjir bisa mencapai 2-3 minggu kemudian surut selama
beberapa hari kemudian datang lagi. Areal persawahan Desa Ciganjeng menjadi
langganan banjir juga disebabkan oleh letaknya yang lebih rendah dibandingkan
permukaan air sungai Citanduy. Pengupayaan pencegahan banjir yang telah
dilakukan adalah membangun tanggul di sekitar sungai-sungai yang berbatasan
langsung dengan sawah masyarakat namun hal itu belum mampu menghambat
banjir melainkan menyebabkan banjir yang lebih parah.
Berdasarkan catatan Kompas edisi Rabu, 28 September 1986, banjir di Desa
Ciganjeng ini pertama kali diberitakan di media cetak3. Sebanyak 39 rumah
penduduk dan 190 hektar padi yang telah menguning terendam banjir saat itu.
Hingga saat ini banjir terjadi setiap tahun dengan luas wilayah sawah yang
terendam makin luas. Berdasarkan catatan Pikiran Rakyat online edisi Minggu, 22
Desember 2013, banjir menggenangi areal persawahan di Desa Ciganjeng dan
Tunggilis seluas 500 hektar dengan kerugian ditaksir lebih dari Rp400 juta4.
3 Adaptasi bencana: padi apung untuk siasati banjir. April 2013. Dapat diakses pada
http://omahkendeng.org/2013-04/1518/padi-apung-untuk-siasati-banjir/ 4 Banjir menggenangi sawah, petani gagal panen. Desember 2013. Dapat diakses pada
http://www.pikiran-rakyat.com/node/263313
25
Frekuensi banjir di Desa Ciganjeng setiap tahunnya tidak dapat diprediksi lagi
karena musim pun semakin hari semakin bergeser. Sepuluh tahun yang lalu,
masyarakat masih bisa memprediksi bulan-bulan apa saja kemungkinan terjadinya
banjir namun sekarang masyarakat sudah sulit memprediksinya.
Selain banjir, krisis ekologi yang terjadi di Desa Ciganjeng adalah
kekeringan. Kekeringan terjadi mulai bulan Juli hingga September. Kekeringan
ini terjadi biasanya tidak lama setelah banjir terakhir surut. Akibatnya, petani
semakin rugi akibat sawahnya tidak mampu berproduksi. Kekeringan yang terjadi
juga menyebabkan air sumur warga berkurang dan terpaksa mencari sumber air
yang lain. Selama tahun 2013, kekeringan terjadi selama bulan Agustus hingga
pertengahan November. Seluruh tanah retak dan akhirnya padi yang telah
ditanami menjadi kering dan tidak dapat dipanen padahal petani baru menanam
kembali sawahnya setelah banjir.
26
27
KARATERISTIK PETANI DI DESA CIGANJENG
Bab ini menguraikan mengenai karateristik responden yang terbagi ke
dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai umur dan
tingkat pendidikan responden. Sub bab kedua membahas tentang jenis mata
pencaharian responden. Sub bab ketiga membahas tentang tingkat penguasaan
lahan yang dimiliki responden. Akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang
menggambarkan keseluruhan isi bab ini.
Usia dan Tingkat Pendidikan Responden
Data primer yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa dari 35
responden di Desa Ciganjeng, rata-rata usia responden yang terlibat dalam usaha
pertanian adalah 52 tahun dengan kisaran usia antara 28 sampai 75 tahun. Semua
yang terlibat dalam usaha pertanian adalah kepala rumahtangga masing-masing
responden. Dalam penelitian ini, tingkat responden dapat dikategorikan menjadi
lima, yaitu kategori sangat rendah (tidak sekolah), rendah (SD/sederajat), sedang
(SMP/sederajat), tinggi (SMA/sederajat), dan sangat tinggi (tamat Perguruan
Tinggi). Data primer primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden,
rata-rata pendidikan hanya sampai SD/sederajat dan itu pun tidak semua yang
berhasil menamatkannya hingga mendapatkan ijazah.
Sumber: data primer
Gambar 5 Persentase tingkat pendidikan responden rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng tahun 2013
5,71
85,71
5,710,00
2,86
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan
Tinggi
Per
sen
tase
(%
)
Tingkat pendidikan
Persentase Tingkat Pendidikan Responden
28
Gambar 5 menunjukkan bahwa 85.71 persen responden hanya sampai pada
tingkat pendidikan SD/sederajat. Hal ini semakin terlihat miris karena tidak 100
persen dari 85.71 persen ini mampu menamatkan pendidikan dasarnya dan putus
sekolah di kelas 3-4. Selain itu, hanya 5.71 persen dari 35 responden yang mampu
mencapai tingkat pendidikan SMP/sederajat. Sebanyak 5.71 persen responden
bahkan tidak sekolah dan tidak bisa menulis. Hanya 2.86 persen lain yang mampu
menyelesaikan pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Data tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan akhir petani tergolong dalam tingkat pendidikan rendah.
Rendahnya tingkat pendidikan akhir yang dapat ditempuh petani ini salah
satunya disebabkan dari keadaan ekonomi rumahtangga yang rendah pula.
Keadaan ekonomi rumahtangga yang rendah menyebabkan ketidakmampuan
petani untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan akhirnya terlibat
untuk mencari nafkah bagi rumahtangga masing-masing. Bapak AWD (75 tahun)
adalah salah satu responden yang tidak sekolah.
“Dulu kan adanya Sekolah Rakyat Neng, cuma yang punya uang saja yang bisa
sekolah. Daripada uangnya untuk sekolah lebih baik untuk makan sehari-hari
lagipula jaman itu tidak penting sekolah yang penting bisa nyangkul, nanem, dan
kerja apa aja juga ngga butuh ijazah.”
Pada zaman dahulu, pekerjaan dapat diperoleh tanpa persyaratan pendidikan
yang terlalu tinggi karena jenis pekerjaannya pun lebih banyak menggunakan
tenaga. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan masih belum
tinggi. Contoh responden lain yang dapat menempuh pendidikan hingga tingkat
SD adalah Bapak AWG (65 tahun).
“Saya mah SD juga ngga tamat Neng Cuma sampai kelas 5 aja. Istri juga sama
cuma sampe 5 lah jaman dulu mah yang penting bisa nyambel, bisa masak udah
aja. Dulu mah panen juga ngga punya buat bayar sekolahnya.”
Pendidikan yang rendah membatasi ruang lingkup pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh rumahtangga petani. Hal ini semakin diperburuk dengan
terbatasnya kemampuan individu yang dimiliki oleh rumahtangga petani.
Pendidikan yang rendah hanya mampu mendorong anggota rumahtangga bekerja
di bidang-bidang yang tidak mensyaratkan pendidikan dan intelektualitas
melainkan lebih mengutamakan kemampuan tenaga seperti buruh tani, buruh
bangunan, pembantu rumahtangga, dan lain-lain.
Jenis Kelamin Responden
Data primer di lapangan menunjukkan bahwa lebih banyak laki-laki yang
bekerja di sektor pertanian dibandingkan dengan perempuan. Perempuan hanya
membantu laki-laki yang dalam hal ini adalah kepala rumahtangga itu sendiri.
Data lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 4.
29
Tabel 4 Frekuensi dan persentase jenis kelamin responden rumahtangga petani di
Desa Ciganjeng tahun 2013
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 30 85.70
Perempuan 5 14.30
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Tabel 4 menunjukkan bahwa 85.7 persen dari 35 responden petani berjenis
kelamin laki-laki dan hanya 14.3 persen saja yang berjenis kelamin perempuan.
Dalam masing-masing rumahtangga responden, usaha di sektor pertanian
dominan dilakukan laki-laki walaupun begitu perempuan ikut terlibat dalam
proses usahanya bahkan ada yang menjadi buruh tani untuk menambah
pendapatan rumahtangga. Salah satu responden laki-laki yang menjadi pencari
nafkah utama di sektor pertanian adalah Bapak AWG (65 tahun).
“Saya yang ke sawah kok Neng tapi Ibu juga bantu-bantu misalnya nandur sama
ibu-ibu yang lain. Tapi biasanya saya mengerjakan pekerjaan yang berat kalau
Ibu mana bisa. Biar aja Ibu di rumah jagain anak waktu dulu masih pada kecil-
kecil tapi pas udah pada besar Ibu ikut bantu. Lumayan ngurangin biaya
ngeburuhin orang”
Perempuan juga ikut terlibat dalam proses usaha tani namun perannya tidak
lebih besar dibandingkan laki-laki. Di Desa Ciganjeng, setelah sawah selesai
ditanami maka setiap harinya laki-laki tetap pergi ke sawah atau mencari rumput
untuk pakan ternak sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan rumahtangga.
Ada juga laki-laki yang bekerja menjadi buruh tani di desa lain setelah sawahnya
selesai ditanami.
Status Perkawinan Responden
Status perkawinan menunjukkan banyaknya tanggungan dalam suatu
rumahtangga. Jika berstatus sudah kawin maka jumlah yang ditanggung untuk
dinafkahi lebih banyak dibandingkan yang berstatus janda/duda yang ditinggal
mati. Data lebih lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5 Frekuensi dan persentase status perkawinan responden rumahtangga
petani di Desa Ciganjeng tahun 2013
Status Perkawinan Frekuensi Persentase
Kawin 32 91.4
Janda/Duda 3 8.6
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa responden yang berstatus sudah kawin
lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus janda ataupun duda. Responden
yang berstatus janda atau duda yang ada bukan karena cerai melainkan karena
30
ditinggal meninggal. Hal ini pun ikut mempengaruhi jumlah pencari nafkah dalam
rumahtangga yang menjadi berkurang terlebih lagi apabila yang meninggal adalah
pencari nafkah utama dalam rumahtangga masing-masing. Contoh kasus
responden yang berstatus janda adalah Ibu DMH (40 tahun).
“Bapak sudah ngga ada Neng sejak lama padahal biasanya yang ke sawah ya
Bapak. Saya sekarang cuma ngebuburuh aja bisanya itupun kalau ada yang minta
kalau ngga ya di rumah aja.”
Ibu DMH berjuang setiap hari untuk mencari uang demi menghidupi
kebutuhannya sendiri karena sudah tidak ada lagi yang menanggung hidupnya
sepeninggal suaminya. Berbeda dengan rumahtangga lain yang memiliki banyak
anak bahkan hingga cucu pun tinggal bersama dalam satu rumahtangga. Semakin
banyak anggota rumahtangga yang ditanggung maka semakin banyak pula
kebutuhan yang harus dipenuhi sedangkan hanya beberapa anggota rumahtangga
yang dapat mencari nafkah dan menghasilkan pendapatan.
Ikhtisar
Rumahtangga petani yang menjadi responden dalam penelitian ini sebanyak
35 rumahtangga. Rata-rata usia responden yang terlibat dalam usaha pertanian
adalah 52 tahun dengan kisaran usia antara 28 sampai 75 tahun. Sebesar 85.71
persen responden hanya sampai pada tingkat pendidikan SD/sederajat. Hal ini
terjadi karena pada zaman dahulu orangtua tidak terlalu mementingkan
pendidikan anak-anak mereka namun sekarang hal itu sudah berubah. Pendidikan
bagi anak mulai menjadi prioritas bagi orangtua dengan harapan akan mampu
mengubah nasib keluarga mereka nantinya. Keterbatasan ekonomi juga membuat
orangtua tidak mampu membiayai anak mereka untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Data primer di lapangan juga menunjukkan bahwa lebih banyak laki-laki
yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan dengan perempuan. Perempuan
hanya membantu laki-laki yang dalam hal ini adalah kepala rumahtangga itu
sendiri. Perempuan ikut terlibat dalam proses usaha tani namun perannya tidak
lebih besar dibandingkan laki-laki. Di Desa Ciganjeng, setelah sawah selesai
ditanami maka setiap harinya laki-laki tetap pergi ke sawah atau mencari rumput
untuk pakan ternak sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan rumahtangga.
Status perkawinan menunjukkan banyaknya tanggungan dalam suatu
rumahtangga. Berdasarkan hasil penelitian, responden yang berstatus sudah kawin
lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus janda ataupun duda. Responden
yang berstatus janda atau duda yang ada bukan karena cerai melainkan karena
ditinggal meninggal.
31
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis struktur nafkah rumahtangga
petani yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas
mengenai hasil analisis tingkat pendapatan rumahtangga baik dari sektor pertanian
maupun sektor non pertanian. Sub bab kedua membahas mengenai besar
pengeluaran rumahtangga baik untuk konsumsi pangan dan non pangan. Sub bab
ketiga membahas mengenai tingkat saving capacity rumahtangga petani. Akhir
bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab
ini.
Struktur Pendapatan Berdasarkan Tingkat Pendapatan Rumahtangga
Menurut Amalia (2013), struktur pendapatan adalah komposisi pendapatan
rumahtangga dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota
rumahtangga. Sebagian besar masyarakat di Desa Ciganjeng bermata pencaharian
utama sebagai petani maupun buruh tani. Oleh karena itu, sebagian pendapatan
yang diperoleh suatu rumahtangga dari seluruh anggota rumahtangga yang
bekerja berasal dari sektor pertanian. Pendapatan dari sektor pertanian ini bisa
diperoleh dari mengolah lahan sendiri maupun menggarap lahan orang lain dan
kemudian mendapatkan hasil bagi dengan pemilik lahan. Sektor non pertanian
juga menyumbang pendapatan yang cukup tinggi bagi rumahtangga petani di
Desa Ciganjeng. Pendapatan dari sektor non pertanian ini bisa diperoleh dari mata
pencaharian lain di luar sektor pertanian seperti menjadi pengepul kayu,
berdagang, tukang/buruh bangunan, PNS, pegawai swasta, dan lain-lain.
Penelitian ini menggolongkan rumahtangga petani menjadi tiga kategori,
yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penggolongan ini didasarkan pada rata-rata
jumlah pendapatan yang dihasilkan rumahtangga petani selama satu tahun. Data
primer yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden di
Desa Ciganjeng, rata-rata rumahtangga petani termasuk kategori sedang. Data
lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6 Frekuensi dan persentase kategori responden rumahtangga petani
berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan per tahun tahun 2013
Kategori Frekuensi Persentase
≤ 10 908 739 (Bawah) 12 34.29
10 908 740 – 23 589 432
(Menengah)
14 40.00
≥ 23 589 433 (Atas) 9 25.71
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Tabel 6 menunjukkan bahwa 40 persen dari 35 responden adalah
rumahtangga petani lapisan menengah, sedangkan 34.29 persen termasuk kategori
lapisan bawah dan 25.71 persen lagi termasuk ke dalam kategori lapisan atas.
Jumlah tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rumahtangga petani di Desa
32
Ciganjeng merupakan rumahtangga lapisan menengah ke bawah. Rumahtangga
petani lapisan atas dicirikan dengan jumlah penguasaan lahan yang cukup besar.
Oleh karena itu, mereka mampu menghasilkan pendapatan yang lebih banyak
dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan menengah ke bawah.
Pendapatan Sektor Pertanian
Pendapatan dari sektor pertanian ini dipengaruhi oleh luas lahan yang
dikuasai oleh masing-masing rumahtangga petani. Semakin besar luas lahan yang
dapat dikuasai oleh rumahtangga maka akan semakin tinggi kesempatan
rumahtangga mendapatkan pendapatan dalam jumlah tinggi. Krisis ekologi yang
mengancam rumahtangga petani di Desa Ciganjeng berupa banjir dan kekeringan
menjadi faktor penghambat yang mengurangi jumlah pendapatan yang dapat
dihasilkan oleh masing-masing rumahtangga.
Berikut adalah grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani dari sektor
pertanian selama satu tahun. Pendapatan sektor pertanian ini termasuk dari hasil
padi sawah, palawija, kayu, peternakan, dan perikanan.
Sumber:data primer
Gambar 6 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng dari
sektor pertanian tahun 2013
Gambar 6 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan yang diperoleh
rumahtangga petani lapisan bawah dari sektor pertanian sebesar Rp3 065 000 per
tahun. Rumahtangga petani lapisan menengah memiliki pendapatan dari sektor
pertanian sebesar Rp4 188 571 per tahun sedangkan rumahtangga petani lapisan
atas mendapatkan pendapatan dari sektor pertanian sebesar Rp3 908 066 per
tahunnya. Rata-rata pendapatan yang dihasilkan ini berhubungan dengan jumlah
luas lahan pertanian yang dapat dikuasai oleh masing-masing rumahtangga pada
masing-masing kategori. Semakin besar luas lahan pertanian yang dapat dikuasai
akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masing-masing
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
4500000
Bawah Menengah Atas
3 065 000
4 188 5713 908 666
Pe
nd
apat
an (
Ru
pia
h)
Kategori Responden
Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani dari Sektor Pertanian /tahun
33
rumahtangga untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya. Walaupun krisis
ekologi berupa banjir dan kekeringan juga menjadi penghambat jumlah hasil
pertanian yang bisa diperoleh setiap tahunnya, para petani tetap menanam lahan
pertaniannya agar berproduksi. Banjir dan kekeringan yang secara rutin terjadi
membuat masa tanam petani di Desa Ciganjeng pun tidak menentu sehingga
kepastian sumber nafkah dari sektor pertanian menjadi tidak jelas.
Pendapatan Sektor Non Pertanian
Sektor pertanian yang terancam karena adanya krisis ekologi berupa banjir
dan kekeringan yang terjadi di Desa Ciganjeng membuat rumahtangga petani
memaksimalkan sektor non pertanian yang mampu menambah pendapatan
rumahtangga masing-masing. Sektor non pertanian yang dimanfaatkan masing-
masing kategori rumahtangga pun berbeda sesuai dengan kemampuan masing-
masing individu dalam rumahtangga tersebut.
Berikut adalah grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani dari sektor
non pertanian selama satu tahun. Pendapatan sektor non pertanian ini bisa
diperoleh dari hasil dagang kayu atau menjadi pengepul kayu, berdagang, supir,
tukang ojek, gaji PNS dan pegawai swasta maupun hasil usaha pengolahan
membuat gula merah atau keripik.
Sumber: data primer
Gambar 7 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng dari
sektor non pertanian tahun 2013
Gambar 7 menunjukkan bahwa rumahtangga petani lapisan bawah mampu
mendapatkan penghasilan dari sektor non pertanian sebesar Rp3 331 666 per
tahun. Rumahtangga petani lapisan menengah mendapatkan Rp11 410 000 per
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
Bawah Menengah Atas
3 331 666
11 410 000
30 377 777
Pe
nd
apat
an (
Ru
pia
h)
Kategori Responden
Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani dari Sektor Non Pertanian /tahun
34
tahun dari sektor non pertanian sedangkan rumahtangga petani lapisan atas
menghasilkan pendapatan dari sektor ini lebih banyak dari dua golongan yang lain
yaitu sebesar Rp30 377 777 per tahun. Pendapatan rumahtangga petani lapisan
atas dari sektor non pertanian adalah paling besar bila dibandingkan dengan dua
kategori rumahtangga yang lain. Hal ini dapat terjadi karena rumahtangga petani
lapisan atas mampu menginvestasikan lebih besar modalnya pada sektor non
pertanian. Selain itu, rumahtangga petani lapisan atas pun memiliki kemampuan
lain yang mampu mendukung untuk menghasilkan pendapatan di luar sektor
pertanian misalnya kemampuan untuk berdagang dan mengolah sesuatu yang
dapat dijual. Berbeda halnya dengan rumahtangga petani lapisan menengah ke
bawah yang sebagian besar hidupnya digantungkan dari hasil pertanian.
Rumahtangga petani lapisan atas juga mampu menyadari bahwa krisis ekologi
yang terjadi di Desa Ciganjeng belum dapat diatasi dalam waktu dekat sehingga
mereka mempersiapkan berbagai alternatif sumber nafkah lain apabila sumber
nafkah dari pertanian sedang diguncang krisis ekologi berupa banjir dan
kekeringan.
Gambar 8 ini akan menjelaskan persentase komposisi pendapatan dari
sektor pertanian dan non pertanian dalam keseluruhan rata-rata pendapatan
rumahtangga petani.
Sumber: data primer
Gambar 8 Grafik persentase komposisi pendapatan rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng tahun 2013
Berdasarkan gambar 8 dapat diketahui bahwa dari 35 responden rumahtangga
petani, 12 rumahtangga petani lapisan bawah mendapatkan pendapatan bagi
rumahtangganya 47.92 persen berasal dari sektor pertanian dan 52.08 persen
lainnya berasal dari sektor non pertanian. Hal ini erat kaitannya dengan keahlian
47.92
26.8511.40
52.08
73.1588.60
0
20
40
60
80
100
120
Bawah Menengah Atas
Pe
rse
nta
se (
%)
Kategori Rumahtangga Petani
Grafik Persentase Komposisi Pendapatan Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng
Non Pertanian
Pertanian
35
yang minim dan pendidikan rendah yang dimiliki para petani. Sektor pertanian
tidak mensyaratkan pendidikan yang tinggi sehingga siapapun dapat terlibat di
dalamnya namun sektor ini sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya
alam. Krisis ekologi berupa banjir dan kekeringan yang sepanjang tahun terjadi
silih berganti menyebabkan tidak semua lahan pertanian yang telah ditanami dapat
dipanen pada waktunya dan hal ini menyebabkan pendapatan petani tidak
menentu. Bagi rumahtangga petani kategori rendah, kondisi ini menyebabkan
47.92 persen pendapatan bagi rumahtangganya terancam.
Rumahtangga petani lapisan menengah memiliki komposisi pendapatan
yang berbeda pula yaitu sebesar 26.85 persen berasal dari sektor pertanian dan
73.15 persen berasal dari sektor non pertanian. Berdasarkan persentase tersebut
dapat diketahui bahwa apabila terjadi krisis ekologi berupa banjir dan kekeringan
pada lahan pertanian mereka maka masih ada 73.15 persen lain yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing rumahtangga. Risiko
terancamnya pendapatan rumahtangga akibat banjir dan kekeringan hanya sebesar
26.85 persen. Rumahtangga petani lapisan atas memiliki komposisi pendapatan
yang berbeda lagi. Sebanyak 88.60 persen pendapatan rumahtangganya berasal
dari sektor non pertanian dan hanya 11.40 persen saja yang berasal dari sektor
pertanian. Walaupun luas lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga petani
kategori tinggi cukup luas namun mereka tidak menggantungkan hidup
seluruhnya pada sektor pertanian. Rumahtangga petani lapisan atas mengalihkan
investasinya pada sektor non formal yang lebih stabil sepanjang tahun karena
tidak bergantung pada iklim dan cuaca. Rumahtangga petani lapisan atas ini juga
memiliki beberapa alternatif sumber nafkah lain yang mampu menyelamatkan
mereka jika terjadi banjir dan kekeringan yang menyebabkan panen gagal. Contoh
responden yang memiliki kategori tinggi adalah Bapak HRN (56 tahun),
“Saya cuma punya lahan 1420 bata
5 dan sudah 3 kali tanam tahun ini tapi baru
panen cuma satu kali dan itupun yang di pinggir-pinggir aja, kemarin kena banjir
terus pas ditanami lagi malah kering. Untungnya saya kan tiap bulan dapet gaji jd
PNS kalau ngga mah mana mungkin bisa nyekolahin anak-anak sampe kuliah.
Kebun juga cuma ditanami pohon-pohonan sawo paling panen setahun sekali.”
Bapak HRN mampu hidup lebih baik karena bekerja sebagai PNS yaitu guru
di salah satu sekolah di luar Desa Ciganjeng walaupun begitu beliau tetap
menyebut dirinya sebagai petani. Bapak HRN juga menginvestasikan uangnya
dengan cara berdagang dan membuka warung tidak jauh dari rumahnya. Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat ekonomi suatu
rumahtangga maka rumahtangga tersebut akan lebih banyak mendapatkan
penghasilan dari sektor non pertanian dibandingkan dari sektor pertanian.
Rumahtangga tersebut menginvestasikan uangnya pada sektor non pertanian yang
lebih stabil.
Rumahtangga petani lapisan bawah memiliki rata-rata pendapatan sebesar
Rp6 396 666 per tahunnya sehingga dalam setahun pendapatan per kapita untuk
rumahtangga kategori ini hanya Rp1 919 000 atau setara dengan Rp5 300 per
harinya. Angka tersebut jauh di bawah batas garis kemiskinan yang ditetapkan
oleh World Bank yaitu 2 US$ perhari. Rumahtangga petani lapisan menengah
5 1 bata = 14.7 m
2 = 1/700 ha. 1420 bata = 2.0286 ha
36
memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp15 598 571 per tahun sehingga
pendapatan per kapitanya sebesar Rp4 199 616 per tahun atau setara dengan Rp11
500 per hari. Hal ini pun masih di bawah standar garis kemiskinan yang
ditetapkan oleh World Bank.
Pada rumahtangga petani lapisan atas, rata-rata pendapatan rumahtangga per
tahunnya cukup tinggi yaitu sebesar Rp34 258 888 sehingga pendapatan per
kapitanya sebesar Rp8 333 243 per tahun atau setara dengan Rp22 830 per hari.
Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga petani lapisan atas tidak masuk dalam
kategori miskin karena pendapatan per kapitanya lebih besar dari garis
kemiskinan yang telah ditetapkan oleh World Bank yakni sebesar 2 US$ perhari.
Untuk lebih jelas mengenai rata-rata pendapatan total rumahtangga dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
Sumber: data primer
Gambar 9 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
tahun 2013
Rumahtangga petani tersebut mendapatkan pendapatan untuk
rumahtangganya dengan memanfaatkan lima aset modal (livelihood asset).
Menurut Ellis (2000), lima aset modal (livelihood asset) yang dimaksud adalah
modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal sosial, dan modal
sumberdaya alam. Kelima modal ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng untuk bertahan hidup terutama dari krisis
ekologi yang mengancam keberlangsungan nafkah rumahtangga mereka. Tingkat
pemanfaatan lima aset modal ini berbeda pada masing-masing rumahtangga
petani. Contohnya rumahtangga petani kategori rendah memaksimalkan modal
manusia yang dimiliki dengan mempekerjakan anggota rumahtangga untuk
bersama-sama mengolah lahan pertanian sebagai strategi bertahan hidup.
Rumahtangga petani kategori sedang mengombinasikan modal manusia dan
modal finansial yang dimiliki untuk menghasilkan pendapatan. Rumahtangga
petani kategori tinggi mengombinasikan lebih dari dua aset modal untuk
6.396.666
15.598.571
34.258.888
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
40000000
Bawah Menengah Atas
Pe
nd
apat
an (
Ru
pia
h)
Kategori
Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani /tahun
37
mengukuhkan posisinya dalam masyarakat. Rumahtangga petani kategori tinggi
juga sudah memiliki antisipasi apabila terjadi guncangan pada sumber nafkah
utama yang menjadi tumpuan.
Komposisi Pengeluaran Rumahtangga Petani
Pengeluaran rumahtangga merupakan semua bentuk yang dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari anggota rumahtangga dan juga untuk menunjang
permodalan untuk memperoleh pendapatan yang baru (Fridayanti 2013). Data
pengeluaran rumahtangga menjadi penting untuk diketahui karena digunakan
untuk menganalisis sejauh mana kemampuan rumahtangga untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Pengeluaran rumahtangga yang melebihi pendapatan
rumahtangga menunjukkan bahwa rumahtangga tersebut belum mampu mencapai
keseimbangan dalam ekonomi dan juga berhubungan dengan kemampuan
rumahtangga tersebut bertahan hidup.
Pengambilan data pengeluaran responden dalam penelitian ini dibedakan
menjadi konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Pengeluaran untuk
konsumsi pangan seperti membeli sayuran, beras, dan lauk pauk untuk kebutuhan
rumahtangga setiap harinya. Pengeluaran konsumsi non pangan seperti biaya
listrik, transportasi, pendidikan, kesehatan, pakaian, pulsa dan juga rokok. Berikut
ini menunjukkan rata-rata pengeluaran responden per tahun berdasarkan kategori
rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, dan tinggi.
Sumber: data primer
Gambar 10 Grafik rata-rata pengeluaran rumahtangga petani per tahun di Desa
Ciganjeng tahun 2013 berdasarkan tingkat pendapatan rumahtangga
Rumahtangga lapisan bawah mengeluarkan Rp8 610 000 untuk konsumsi
pangan sehari-hari setiap tahun dan Rp2 805 500 untuk konsumsi non pangan
setiap tahunnya. Selisih antara konsumsi pangan dan non pangan hanya sebesar
Rp5 804 500. Konsumsi non pangan yang cukup besar disumbang oleh
pengeluaran untuk biaya transportasi dan pendidikan anak. Biaya transportasi
Rp8 610 000
Rp12 214 286
Rp 15 200 000
Rp2 805 500
Rp5 990 286
Rp8 129 778
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
14000000
16000000
Rendah Sedang Tinggi
Pe
nge
luar
an (
Ru
pia
h)
Kategori Rumahtangga
Grafik Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga Petani per tahun
Pangan
Non Pangan
38
cukup tinggi karena sebagian besar rumahtangga di Desa Ciganjeng memiliki
kendaraan bermotor setidaknya sepeda motor minimal satu buah untuk
memudahkan mobilitas anggota rumahtangga bepergian sehari-hari. Selain itu,
pengeluaran untuk konsumsi non pangan yang besar adalah pembelian rokok atau
bako. Mayoritas petani di Desa Ciganjeng merokok dan menghabiskan minimal
satu pak bako seminggu atau sebungkus rokok selama 2-3 hari. Hal ini
membuktikan bahwa dalam kehidupan rumahtangga dengan tingkat pendapatan
yang rendah lebih mengutamakan pemenuhan konsumsi pangan.
Rumahtangga lapisan menengah mengeluarkan biaya sebesar Rp12 214 286
untuk konsumsi pangan dan Rp5 990 286 untuk konsumsi non pangan per tahun.
Selisih pengeluaran pangan dan non pangan semakin besar dibandingkan dengan
kategori rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah yaitu sebesar Rp6 224
000. Rumahtangga lapisan atas mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi untuk
konsumsi pangan dan non pangannya. Dalam setahun, konsumsi pangan
rumahtangga kategori tingkat pendapatan tinggi rata-rata sebesar Rp15 200 000
sedangkan untuk konsumsi non pangannya sebesar Rp8 129 778. Selisih
pengeluaran pangan dan non pangannya lebih besar dari dua kategori
rumahtangga sebelumnya yaitu sebesar Rp7 070 222.
Gambar 11 berikut ini menggambarkan persentase biaya konsumsi pangan
dan non pangan dalam komposisi pengeluaran rumahtangga responden selama
satu tahun.
Sumber: data primer
Gambar 11 Grafik persentase komposisi pengeluaran pangan dan non pangan
rumahtangga petani per tahun berdasarkan kategori tingkat
pendapatan rumahtangga di Desa Ciganjeng tahun 2013
Pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan akan semakin kecil
apabila tingkat pendapatan rumahtangganya besar. Hal ini sesuai pada gambar 11
yang menunjukkan bahwa perbandingan pengeluaran pangan dan non pangan
pada rumahtangga lapisan atas sebesar 65:35. Konsumsi pangan pada
rumahtangga lapisan bawah sebesar 75 persen sedangkan konsumsi non
pangannya sebesar 25 persen.
75.42 67.09 65.15
24.58 32.91 34.85
0
20
40
60
80
100
120
Bawah Menengah Atas
Pe
rse
nta
se (
%)
Kategori Rumahtangga
Grafik Persentase Komposisi Pengeluaran Rumahtangga Petani per tahun
Non Pangan
Pangan
39
Berdasarkan gambar 11 juga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendapatan suatu rumahtangga maka akan semakin tinggi pula tingkat
pengeluaran rumahtangga tersebut. Semakin tinggi pendapatan suatu rumahtangga
maka konsumsi non pangannya akan semakin tinggi dibandingkan dengan
konsumsi pangannya. Hal ini diakibatkan daya beli yang semakin tinggi pada
barang-barang tersier tertentu.
Saving Capacity Rumahtangga Petani
Kapasitas rumahtangga untuk menabung dari hasil selisih pendapatan yang
diperoleh dengan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari disebut sebagai saving
capacity. Saving capacity setiap rumahtangga berbeda-beda bergantung pada
besar selisih dari pendapatan dan pengeluarannya. Semakin positif selisih antara
pendapatan dan pengeluaran maka semakin besar saving capacity suatu
rumahtangga. Artinya, semakin baik pula kondisi rumahtangga tersebut karena
ada cadangan sumber nafkah yang dapat digunakan sewaktu-waktu terjadi
guncangan pada sumber nafkah utama rumahtangga tersebut.
Gambar 12 berikut ini menunjukkan perbandingan rata-rata pendapatan dan
pengeluaran rumahtangga petani per tahun.
Sumber: data primer
Gambar 12 Grafik perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran
rumahtangga petani per tahun di Desa Ciganjeng tahun 2013
Berdasarkan gambar 12 diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan bawah
dan menengah lebih tinggi tingkat pengeluarannya dibandingkan dengan
pendapatan yang berhasil dikumpulkan selama setahun. Rumahtangga petani
lapisan bawah hanya mendapatakan Rp6 396 666 per tahun sedangkan biaya
pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari sebesar Rp11 415 500 per tahun.
Rumahtangga kategori ini tidak memiliki kapasitas untuk menabung bahkan harus
berusaha lebih keras untuk menutupi kekurangan pendapatan rumhatangganya.
Rp6 396 666
Rp15 598 571
Rp34 286 444
Rp11 415 500
Rp18 204 571
Rp23 329 777
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
40000000
Bawah Menengah Atas
Bia
ya (
rup
iah
)
Kategori rumahtangga berdasarkan tingkat pendapatan
Pendapatan
Pengeluaran
40
Hasil selisih antara pengeluaran dan pendapatan yang negatif ini salah satu faktor
penyebabnya adalah krisis ekologi berupa banjir dan kekeringan yang melanda
desa sehingga lahan-lahan pertanian tidak dapat ditanami ataupun dipanen sesuai
dengan jadwal.
Tabel 7 di bawah ini akan menjelaskan selisih antara pendapatan dan
pengeluaran yang dihasilkan oleh masing-masing kategori rumahtangga
berdasarkan tingkat pendapatannya berserta jumlah saving capacity masing-
masing kategori rumahtangga yang dapat dikumpulkan selama satu tahun.
Tabel 7 Jumlah saving capacity rumahtangga petani di Desa Ciganjeng menurut
kategori tingkat pendapatan tahun 2013
Kategori Rendah (n=12) Sedang (n=14) Tinggi (n=9)
Pendapatan rumahtangga
per tahun
Rp6 396 666 Rp15 598 571 Rp34 286 444
Pengeluaran rumahtangga
per tahun
Rp11 415 500 Rp18 204 571 Rp23 329 777
Saving capacity per tahun -Rp5 018 834 -Rp2 606 000 Rp10 956 667
Saving capacity per bulan -Rp418 236 -Rp217 167 Rp913 056
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel 7 di atas menunjukkan bahwa rumahtangga petani lapisan
bawah belum mempunyai kapasitas untuk menabung karena selisih pendapatan
dan pengeluarannya masih negatif. Rumahtangga petani lapisan bawah harus
berusaha mencari sumber nafkah lain untuk menutupi nilai negatif tersebut,
karena itu rumahtangga petani ini mempunyai strategi nafkah tertentu yang
berbeda dengan rumahtangga lapisan atas. Kategori rumahtangga lapisan
menengah juga belum mempunyai kapasitas untuk menabung karena selisih
antara pendapatan yang diperoleh dan pengeluaran yang dibutuhkan masih
bernilai negatif walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga
lapisan bawah. Kapasitas menabung yang rendah pada kategori rumahtangga
berpendapatan rendah dan sedang diakibatkan karena sumber nafkah mereka dari
hasil pertanian tidak memberikan hasil yang maksimal akibat banjir dan
kekeringan. Lahan pertanian yang seharusnya bisa dipanen dua kali dalam setahun
kini hanya bisa dipanen satu kali dengan hasil yang jauh dari maksimal. Biaya
untuk menanam juga lebih besar dibandingkan hasil yang didapatkan contohnya
petani menanami lahannya sebanyak 6 kali tetapi hasil yang dapat dipanen hanya
satu kali. Berbeda halnya dengan kategori rumahtangga lapisan atas yang
memiliki kapasitas untuk menabung setiap bulannya sebesar Rp913 056. Jumlah
ini cukup besar karena sebagian besar rumahtangga petani lapisan atas tidak
menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian. Rumahtangga lapisan atas
memiliki pendapatan lain dari hasil berdagang, membuka usaha pengolahan
maupun gaji tetap sebagai karyawan/PNS.
Dari tabel 7 dan gambar 12 sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi tingkat pendapatan rumahtangga petani maka akan semakin besar
kemampuan rumahtangga tersebut untuk menabung. Kategori rumahtangga petani
lapisan menengah ke bawah belum mampu untuk menabung melainkan harus
berstrategi untuk menutupi nilai negatif pada selisih antara pendapatan yang
dihasilkan dengan pengeluaran yang dibutuhkan. Kapasitas menabung yang cukup
41
baik pada rumahtangga petani lapisan atas setiap bulannya diinvestasikan dalam
bentuk alat elektronik, tanah, maupun barang berharga lain. Investasi ini
dilakukan sebagai cadangan apabila terjadi krisis finansial pada rumahtangga
tersebut dapat mudah dijual. Investasi lainnya dalam bentuk pendidikan bagi
anak-anak untuk menaikkan status sosial keluarga dan juga setelah lulus akan
menghasilkan yang lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan yang rendah.
Sebenarnya, kategori rumahtangga lapisan menengah ke bawah juga
memiliki bentuk investasi seperti hewan ternak ayam dan kambing. Bentuk
investasi ini mudah dan cepat laku pada masa krisis. Ada juga yang mengurus
hewan ternak tetangganya dengan sistem bagi hasil yang pada akhirnya menjadi
cadangan sumber nafkah bagi rumahtangga tersebut pada masa krisis. Contohnya
apabila satu orang menitipkan kambing dan melahirkan 2 ekor anak kambing
maka orang yang mengurus akan mendapatkan satu ekor anak kambing yang
dilahirkan tersebut. Investasi dalam bentuk ini menguntungkan bagi rumahtangga
petani berpendapatan rendah dan sedang.
Penelitian mengenai saving capacity ini mengandung resiko bahwa
rumahtangga petani cenderung akan lebih mengingat jumlah pengeluaran setiap
harinya dibandingkan dengan yang mereka dapatkan. Oleh karena itu, memang
akan cenderung lebih tinggi pengeluarannya dibandingkan pendapatannya
sehingga saving capacity-nya bernilai negatif padahal sesungguhnya rumahtangga
lapisan menengah ke bawah pun masih memiliki kemampuan untuk menabung
dalam bentuk lain seperti yang telah dijabarkan sebelumnya.
Ikhtisar
Menurut Amalia (2013), struktur pendapatan adalah komposisi pendapatan
rumahtangga dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota
rumahtangga. Rumahtangga petani memiliki struktur pendapatan yang tidak
hanya dari sektor pertanian namun juga dari sektor non pertanian. Pendapatan dari
sektor pertanian bisa diperoleh dari mengolah lahan sendiri maupun menggarap
lahan orang lain dan kemudian mendapatkan hasil bagi dengan pemilik lahan.
Pendapatan dari sektor non pertanian bisa diperoleh dari mata pencaharian lain di
luar sektor pertanian seperti menjadi pengepul kayu, berdagang, tukang/buruh
bangunan, PNS, pegawai swasta, dan lain-lain
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, rata-rata rumahtangga petani
di Desa Ciganjeng merupakan rumahtangga lapisan menengah ke bawah. Hal ini
diukur dari rata-rata pendapatan yang diperoleh oleh setiap rumahtangga selama
satu tahun. Rumahtangga petani lapisan atas dicirikan dengan jumlah penguasaan
lahan yang cukup besar. Oleh karena itu, mereka mampu menghasilkan
pendapatan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan
menengah ke bawah.
Pendapatan dari sektor pertanian dipengaruhi oleh luas lahan yang dikuasai
oleh masing-masing rumahtangga petani. Semakin besar luas lahan yang dapat
dikuasai oleh rumahtangga maka akan semakin tinggi kesempatan rumahtangga
mendapatkan pendapatan dalam jumlah tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga petani lapisan menengah dari sektor non
pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga lapisan atas dan bawah.
42
Rata-rata pendapatan yang diperoleh rumahtangga petani lapisan bawah dari
sektor pertanian sebesar Rp3 065 000 per tahun. Rumahtangga petani lapisan
menengah memiliki pendapatan dari sektor pertanian sebesar Rp4 188 571 per
tahun sedangkan rumahtangga petani lapisan atas mendapatkan pendapatan dari
sektor pertanian sebesar Rp3 908 066 per tahunnya.
Pendapatan rumahtangga petani lapisan atas dari sektor non pertanian
adalah paling besar bila dibandingkan dengan dua kategori rumahtangga yang
lain. Hal ini dapat terjadi karena rumahtangga petani lapisan atas mampu
menginvestasikan lebih besar modalnya pada sektor non pertanian. Kemampuan
individu untuk mengakses pendapatan di sektor non pertanian lebih baik
dibandingkan dengan lapisan menengah ke bawah.
Selain pendapatan, di dalam struktur nafkah juga mengukur tingkat
pengeluaran rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengeluaran rumahtangga yang dimaksud merupakan berupa biaya konsumsi
pangan dan non pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendapatan suatu rumahtangga maka akan semakin tinggi pula tingkat
pengeluaran rumahtangga tersebut. Semakin tinggi pendapatan suatu rumahtangga
maka konsumsi non pangannya akan semakin tinggi dibandingkan dengan
konsumsi pangannya. Hal ini diakibatkan daya beli yang semakin tinggi pada
barang-barang tersier tertentu.
Struktur nafkah juga mengukur kapasitas untuk menabung (saving capacity)
dari masing-masing rumahtangga. Saving capacity dilihat dari selisih antara
pendapatan yang berhasil dikumpulkan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendapatan yang berhasil
dikumpulkan maka semakin tinggi juga kapasitas untuk menabungnya. Penelitian
ini menunjukkan bahwa saving capacity rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
hanya dimiliki oleh rumahtangga lapisan atas.
43
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis penerapan beragam strategi
nafkah rumahtanggah petani yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab
pertama membahas mengenai bentuk-bentuk strategi nafkah yang diterapkan
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng. Sub bab kedua membahas mengenai
pemanfaatan livelihood asset dalam penerapan strategi rumahtangga petani
tersebut. Akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan
keseluruhan isi bab ini.
Bentuk-Bentuk Penerapan Strategi Nafkah
Rumahtangga petani mendapatkan sumber-sumber nafkah baik dari sektor
pertanian maupun non pertanian. Berbagai sumber nafkah ini “dimainkan”
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumber-sumber nafkah
yang dimainkan tersebut menjadi basis nafkah dalam membangun strategi nafkah.
Dharmawan (2007) dalam Amalia (2013) menjelaskan bahwa basis nafkah adalah
segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non pertanian, di mana setiap
individu atau rumahtangga dapat memanfaatkan peluang nafkah dengan
“memainkan” kombinasi “modal keras” (tanah, finansial, dan fisik) dan “modal
lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan sumber daya manusia (SDM)
yang tersedia, untuk menghasilkan sejumlah strategi penghidupan (livelihood
strategies). Usaha pertanian yang bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam
atau “modal keras” menyebabkan pendapatan bagi rumahtangga tidak menentu
dan basis nafkah pun terbatas karena “modal lembut” seperti kemampuan
sumberdaya manusia terbatas. Hal ini menyebabkan rumahtangga petani
melakukan strategi nafkah.
Dharmawan (2007) menjelaskan bahwa strategi nafkah merupakan taktik
dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memerhatikan eksistensi
infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Alasan
melakukan strategi nafkah bagi tiap lapisan pun berbeda-beda. Menurut Widodo
(2011), lapisan atas melakukan strategi nafkah sebagai strategi akumulasi modal
dan lebih bersifat ekspansi usaha, alasan lapisan menengah adalah sebagai upaya
konsolidasi untuk mengembangkan ekonomi rumahtangga sedangkan lapisan
bawah melakukannya sebagai strategi bertahan hidup pada tingkat subsistensi dan
sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan. Iqbal (2004) menjelaskan bahwa
strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis yang
dimaksudkan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa
individu atau rumahtangga. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya
diketahui bahwa strategi nafkah juga dapat dilakukan kolektif maupun individual
yang diterapkan oleh masing-masing rumahtangga.
Dharmawan (2007) menjelaskan bahwa strategi nafkah juga dipengaruhi
oleh kondisi struktur sosial-ekonomi karena tekanan perubahan struktur ekonomi
dan institusional dapat membelenggu sistem penghidupan mereka. Keberadaan
struktur sosial-ekonomi mempengaruhi lima basis sumber nafkah atau lima aset
44
modal yang membentuk strategi nafkah. Berkurangnya sumber nafkah dan
tekanan struktur sosial-ekonomi mendorong rumahtangga harus memanipulasi
dan mengoptimalkan sumber nafkah yang ada di akses. Pengoptimalan sumber
nafkah yang dilakukan individu maupun rumahtangga petani ini bergantung pada
kemampuan mereka untuk “memainkan” lima basis nafkah atau lima aset modal.
Rumahtangga petani di Desa Ciganjeng mengalami tekanan-tekanan yang
mengguncang sumber nafkah mereka. Tekanan-tekanan yang dimaksud dalam hal
ini adalah krisis ekologi berupa banjir dan kekeringan yang terjadi hampir di
sepanjang tahun dan datang silih berganti. Dalam satu tahun, Desa Ciganjeng
mengalami banjir yang berfrekuensi 3-4 kali dengan lama waktu banjir minimal
satu minggu hingga dua minggu. Beberapa tahun sebelumnya, banjir melanda
Desa Ciganjeng hingga tiga bulan baru surut. Banjir ini menyebabkan lahan
pertanian yang sudah ditanami oleh petani tidak mampu menghasilkan.
Kemudian, petani harus menanam lahannya lagi yang artinya mengeluarkan biaya
lagi. Siklus ini terjadi terus menerus apabila banjir datang terus menerus. Begitu
pula hal yang sama terjadi ketika kekeringan. Dalam penelitian ini, sejak bulan
Agustus 2013, Desa Ciganjeng mengalami kekeringan dan membuat lahan-lahan
yang telah ditanami tidak dapat dipanen. Kekeringan membuat tanah retak dan
membuat padi mati. Kekeringan ini terjadi setelah sebelumnya banjir menimpa
desa ini hampir tiga kali. Oleh karena itu, beberapa rumahtangga petani belum
bisa menikmati hasil usaha taninya sehingga harus mengupayakan strategi nafkah
lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumahtangganya.
Setiap lapisan rumahtangga memiliki strategi nafkah yang berbeda hal ini
karena kemampuan setiap rumahtangga untuk memanfaatkan setiap modal nafkah
yang dimilikinya pun berbeda. Rumahtangga lapisan bawah dapat melakukan
lebih dari satu strategi nafkah karena strategi tersebut dirasa belum cukup untuk
menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sedangkan
rumahtangga lapisan atas cenderung melakukan sedikit strategi nafkah karena
dirasa strategi tersebut sudah mampu menjamin keberlangsungan hidup mereka
terutama pada masa krisis. Berikut akan diuraikan strategi-strategi nafkah yang
dilakukan oleh rumahtangga petani di Desa Ciganjeng.
Strategi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumahtangga
Alokasi sumberdaya manusia dalam rumahtangga artinya mengerahkan
seluruh anggota rumahtangga untuk terlibat dalam proses “memainkan” dan
mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa diakses. Rumahtangga petani
melakukan strategi alokasi sumberdaya manusia dalam keluarga ini untuk
meminimalisasi biaya usaha tani karena tidak perlu mengeluarkan upah untuk
membayar tenaga kerja lain. Strategi bentuk ini dilakukan apabila sumberdaya
manusia dalam suatu rumahtangga sudah cukup memiliki kemampuan untuk
membantu melakukan kegiatan pertanian mulai dari mempersiapkan lahan hingga
memanen. Rumahtangga yang didalamnya hanya keluarga inti seperti ayah, ibu
dan anak yang usianya masih belum cukup untuk membantu usaha tani biasanya
tidak menerapkan strategi bentuk ini.
Strategi dalam bentuk alokasi sumberdaya manusia dalam rumahtangga
sebagian besar dilakukan oleh rumahtangga lapisan bawah dan menengah.
Rumahtangga lapisan atas lebih memilih membayar tenaga kerja lain untuk
mengolah lahan pertanian yang dimilikinya karena anggota rumahtangga lain
45
akan dialokasikan untuk mengoptimalkan sumber nafkah lain di sektor non
pertanian yang lebih stabil. Tabel berikut ini menunjukkan jumlah responden
rumahtangga petani yang mengalokasikan sumberdaya dalam keluarga untuk
terlibat dalam proses usaha tani
Tabel 8 Frekuensi dan persentase pengalokasian sumberdaya dalam rumahtangga
dalam proses usaha tani di Desa Ciganjeng tahun 2013
Pengalokasian tenaga
kerja Frekuensi Persentase
Melibatkan anggota
keluarga
13 37.14
Melibatkan anggota
keluarga dan orang selain
anggota keluarga
15 42.86
Mempekerjakan orang
selain anggota keluarga
7 20.00
Total 35 100.00 Sumber: data primer
Tabel 8 di atas menjelaskan bahwa dari 35 responden penelitian, 42.86
persen rumahtangga melibatkan anggota keluarga dan orang selain anggota
keluarga untuk mengolah lahan pertanian yang dimiliki. Melibatkan orang selain
anggota keluarga ini lebih kepada untuk mengolah lahan sebelum ditanami.
Hanya beberapa rumahtangga yang memiliki traktor untuk membajak sawahnya
sehingga mereka harus mengupah tenaga lain untuk membantu membajak sawah
dan selebihnya dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah mampu membantu.
Rumahtangga yang melibatkan anggota keluarga saja dalam mengolah lahan
pertanian sebesar 37.14 persen. Angka tersebut lebih banyak diisi oleh
rumahtangga petani lapisan bawah dan sedang. Hal tersebut terjadi karena
kapasitas rumahtangga lapisan bawah yang rendah untuk membayar upah tenaga
kerja di luar anggota keluarga. Sebesar 20 persen dari responden memilih untuk
mempekerjakan orang selain anggota keluarga dan ini didominasi oleh
rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk
mengupah tenaga kerja. Bukan hanya itu, alasan lain adalah karena tidak ada
anggota keluarga yang bisa diminta untuk membantu.
Berikut adalah contoh kasus yang menerapkan strategi alokasi sumberdaya dalam
keluarga, Bapak AWG (65 tahun).
46
Strategi Pola Nafkah Ganda
Pola nafkah ganda dilakukan karena rumahtangga tidak mampu bertahan
hidup hanya dengan mengandalkan satu sumber nafkah saja terutama
rumahtangga lapisan bawah. Menurut Musyarofah (2006), pola nafkah ganda
dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan pendapatan dari sumber
nafkah tunggal. Sumber nafkah tunggal dianggap tidak mampu mengamankan
posisi rumahtangga terutama bila terjadi krisis sehingga kombinasi dua atau lebih
aktivitas nafkah diperlukan. Aktivitas nafkah lain yang dipilih oleh setiap
rumahtangga berbeda sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki
oleh rumahtangga tersebut. Intinya, pola nafkah ganda dilakukan dengan
mengombinasikan berbagai cara yang menghasilkan pendapatan tambahan dan
tidak menggantungkan pada satu sumber nafkah saja.
Pola nafkah ganda yang dilakukan oleh rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng adalah sebagai berikut. Contoh kasus kehidupan Ibu TWJ (60 tahun)
Box 1. Kisah kehidupan kasus Bapak AWG, 65 tahun
Bapak AWG memilih hidup sebagai petani sejak lama karena hanya itu
kemampuan yang diwariskan oleh kedua orangtuanya. Pendidikannya pun
hanya berhasil ditempuh hingga kelas 5 SD. Selama menjadi petani, Bapak
AWG merasakan tuntutan hidup semakin lama semakin berat terlebih lagi
diperburuk dengan kondisi lingkungan yang semakin buruk. Banjir dan
kekeringan yang setiap tahun melanda membuat hasil panen semakin menurun.
Sepanjang tahun 2013, beliau belum pernah panen besar, hanya bisa memanen
padi yang ada di pinggir sawah saja padahal sudah menanam sebanyak 7 kali.
Anggota keluarga dikerahkan untuk membantu proses usaha tani karena tidak
mempunyai modal untuk membayar tenaga kerja lain. Modal sudah habis
untuk 7 kali menanam sawahnya. Semua proses usaha tani dilakukan oleh
anggota keluarga. Anak-anak beliau sudah sejak kecil ikut ke sawah dan
membantu orangtuanya. Mereka pun belum berkeluarga dan tidak bekerja.
47
Berdasarkan kisah kehidupan Ibu TWJ, pola nafkah ganda dilakukan karena
hasil dari sektor pertanian saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pilihan menjadi buruh jahit menjadi aktivitas nafkah lain untuk
menutupi kekurangan tersebut setidaknya setiap minggu ada pendapatan pasti
yang bisa dijadikan tumpuan bagi keluarga. Menjadi buruh jahit saja juga tidak
cukup karena anak perempuan Ibu TWJ masih harus menjadi buruh tani untuk
menutupi kekurangan kebutuhan rumahtangganya. Kisah kehidupan Ibu TWJ
menunjukkan bahwa perempuan dalam rumahtangga dapat berperan sebagai
pencari nafkah utama dan mampu mengerjakan pekerjaan yang sama serta
melakukan strategi pola nafkah ganda. Contoh kasus rumahtangga petani lain
yang menerapkan pola nafkah ganda adalah Bapak IKN (49 tahun).
Box 2. Kisah kehidupan kasus Ibu TWJ (60 tahun)
Ibu TWJ merupakan seorang janda dan tinggal di rumah bersama anak
perempuannya yang juga janda dengan 3 orang anak. Sejak dulu, Ibu TWJ dan
(alm.) suaminya adalah petani. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan
selain menjadi petani dan kadang buruh tani. Pendidikan yang dapat ditempuh
hanya sampai tingkat SD. Semenjak suaminya meninggal, Ibu TWJ tidak
mampu mengolah sawahnya sendiri dan harus mengupah tenaga kerja lain.
Faktor usia yang sudah tua juga menjadi alasan menggunakan jasa di luar
anggota keluarga. Anak perempuan Ibu TWJ bekerja sebagai buruh jahit dan
diberi upah Rp100 000 setiap minggu. Kebutuhan sehari-hari yang semakin
meningkat menjadi alasan keluarga Ibu TWJ tidak hanya menggantungkan
pendapatan dari hasil pertanian saja ditambah lagi cucu terakhir Ibu TWJ masih
usia balita. Anak perempuan Ibu TWJ bekerja sebagai buruh jahit tetapi juga
ikut membantu mengolah lahan pertanian milik ibunya apabila dibutuhkan juga
ia menjadi buruh tani di desa untuk menambah pendapatan dan diberi upah
sebesar Rp40 000 per hari. Selama tahun 2013, Ibu TWJ baru satu kali panen
sawahnya tergenang banjir sebelumnya padahal sebelumnya sudah 3 kali
menanam. Modal untuk menanam diperoleh dari hasil panen sebelumnya yang
masih tersisa dan apabila masih kurang maka pilihannya adalah meminjam
kepada saudara.
48
Kisah Bapak IKN menunjukkan bahwa rumahtangga petani memiliki
strategi pola nafkah ganda sebagai jalan keluar karena sumber nafkah utama
mengalami krisis. Aktivitas nafkah lain yang dipilih bergantung pada kemampuan
masing-masing anggota dalam rumahtangga. Keluarga Bapak IKN termasuk ke
dalam rumahtangga kategori rendah berdasarkan tingkat pendapatan tidak berani
mengambil resiko untuk pergi ke luar kota karena tidak ada jaminan pasti
pekerjaan apa yang bisa dilakukan ketika sampai di kota. Rumahtangga lapisan
bawah lebih memilih mencari pekerjaan lain di desa walaupun dengan upah yang
tidak tinggi. Sebenarnya ada pilihan untuk menerapkan teknologi sawah apung
pada saat banjir menggenangi sawah mereka tetapi Bapak IKN tidak memilih
menggunakan pilihan tersebut dengan alasan biaya yang harus dikeluarkan lebih
tinggi sekitar Rp40 000 000. Bagi rumahtangga petani lapisan bawah seperti
keluarga Bapak IKN, uang sebesar itu lebih baik digunakan untuk membuat
tambak yang hasilnya sudah bisa dilihat sedangkan teknologi sawah apung
hasilnya belum cukup menjanjikan dibandingkan dengan misal yang harus
dikeluarkan. Rumahtangga lapisan bawah lebih memilih pekerjaan lain yang lebih
terjamin dan pasti penghasilannya dibandingkan mencoba teknologi atau
pekerjaan lain yang resikonya lebih tinggi dan hasilnya belum pasti.
Strategi pola nafkah ganda tidak hanya dilakukan oleh rumahtangga petani
lapisan bawah dan menengah saja, tetapi juga dilakukan oleh rumahtangga petani
lapisan atas. Contoh kasus kehidupan rumahtangga petani yang menerapkan
strategi pola nafkah ganda adalah Bapak PRN (65 tahun).
Box 3. Kisah kehidupan kasus Bapak IKN (49 tahun)
Bapak IKN merupakan seorang petani yang menguasai lahan sebesar
0.15 hektar. Lahan tersebut diolah dengan bantuan anggota keluarga yaitu istri
dan anaknya juga ditambah dengan bantuan dari orang lain terutama saat
membajak sawah. Istri Bapak IKN bekerja sebagai buruh tani di desa dan diberi
upah Rp35 000 per hari. Anak Bapak IKN juga bekerja sebagai buruh tani di
desa tetapi diupah lebih tinggi yaitu sebesar Rp50.000 per hari. Banjir dan
kekeringan yang menghancurkan lahan pertanian yang sudah ditanam hampir
setiap tahun tidak membuat Bapak IKN putus akal. Pada musim normal yaitu
saat lahan bisa ditanami maka keluarga Bapak IKN bekerja di sektor pertanian
sedangkan pada masa krisis yaitu saat banjir dan kekeringan melanda maka
Bapak IKN bekerja sebagai penjaring ikan di lahan yang terkena banjir dan di
sekitar sungai serta buruh tani di desa lain. Istri Bapak IKN juga tetap bekerja
sebagai buruh tani tetapi di tempat yang tidak terkena banjir sedangkan anak
Bapak IKN bekerja sebagai buruh bangunan di desa. Bapak IKN tidak mau
bekerja ke luar kota karena tidak ada jaminan yang pasti bahwa di kota, beliau
akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan di desa. Bekerja
sebagai penjaring ikan, Bapak IKN dapat memperoleh penghasilan Rp20.000,00
per hari apabila ikan yang ditangkap cukup banyak setidaknya ada yang
dihasilkan setiap hari ketika sawah yang telah ditanami terkena banjir dan tidak
bisa dipanen. Apabila ada kebutuhan dana cukup besar dan mendesak maka
Bapak IKN akan meminjam kepada saudara atau tetangga.
49
Kisah Bapak PRN menunjukkan bahwa rumahtangga petani kategori tinggi
berdasarkan tingkat pendapatan ini melakukan strategi pola nafkah ganda untuk
menambah pendapatan rumahtangga selain dari sektor pertanian walaupun hasil
dari sektor pertanian itu sendiri mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
tetapi waktunya tidak menentu akibat banjir dan kekeringan. Pilihan berdagang
oleh Bapak PRN karena memiliki kemampuan dan keberanian yang baik untuk
berbisnis. Resiko berdagang lebih tinggi dibandingkan menjadi buruh tani di desa
karena rumahtangga Bapak PRN termasuk kategori tinggi yang sebenarnya sudah
dicukupi dari hasil sektor pertanian saja. Berbeda bagi rumahtangga kategori
rendah yang lebih memilih mencari cara aman.
Strategi Migrasi
Fridayanti (2013) menyebutkan bahwa migrasi merupakan usaha yang
dilakukan dengan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen
amupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Di Desa Ciganjeng, migrasi
secara sirkuler dan permanen dilakukan beberapa rumahtangga. Migrasi permanen
dilakukan oleh anggota keluarga yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja di
desa dan mengadu nasib di kota dengan kemampuan yang dimiliki. Anggota
keluarga yang melakukan migrasi permanen biasanya sudah memiliki kawan
terlebih dulu di kota atau tempat tujuan lainnya dan sudah tahu akan bekerja apa.
Dari 35 responden dalam penelitian ini, sebanyak 28.57 persen rumahtangga
memiliki pendapatan dari jasa anggota rumahtangga yang artinya menyumbang
pendapatan dari sektor non pertanian bagi rumahtangga tersebut.
Selain migrasi permanen, migrasi sirkuler juga dilakukan oleh sebagian
anggota rumahtangga di Desa Ciganjeng dan biasanya terjadi pada masa krisis
yaitu saat banjir dan kekeringan melanda desa. Pada saat sawah tergenang banjir,
sebagian petani memilih bekerja sebagai buruh bangunan di desa lain atau di kota
Box 4. Kisah kehidupan kasus Bapak PRN (65 tahun)
Bapak PRN menguasai lahan pertanian sebesar 0.46 hektar dan selama
tahun 2013 ini beliau sudah menanami lahannya tiga kali karena banjir dan
kekeringan tetapi baru berhasil panen satu kali. Selama menunggu pendapatan
dari hasil panen, Bapak PRN berdagang hewan ternak seperti sapi dan kambing.
Istri Bapak PRN bekerja sebagai buruh tani di desa sedangkan anak Bapak PRN
beberapa sudah berumahtangga dan tidak tinggal lagi bersama beliau tetapi ada
yang masih sekolah dan mengikuti kursus menjahit. Pendapatan hasil dagang
ternak diakui lumayan banyak bila dibandingkan menunggu hasil panen yang
cuma satu kali dalam setahun namun tidak serta merta Bapak PRN beralih dari
petani menjadi pedagang karena petani menurutnya adalah kehidupannya. Hasil
satu kali panen masih cukup untuk kebutuhan rumahtangga dan modal menanam
selanjutnya. Pendapatan yang dihasilkan istri Bapak PRN sebesar Rp40 000 per
hari juga menjadi tambahan bagi keluarga. Seketika waktu apabila rumahtangga
Bapak PRN membutuhkan dana yang cukup besar dan mendesak maka Bapak
PRN akan menjual barang berharga yang dimiliki termasuk hewan ternak dan
alat elektronik, namun apabila hasil penjualan tidak cukup maka Bapak PRN
akan meminjam pada saudara atau tetangga.
50
untuk menambah pendapatan rumahtangga. Selain sebagai buruh bangunan,
pekerjaan lain yang biasanya dilakoni adalah sebagai pembantu, supir, dan juga
penjaga toko di kota. Pada saat sawah sudah mulai surut dan hendak ditanami
kembali maka anggota rumahtangga yang melakukan migrasi sirkuler kembali
pulang ke rumah dan membantu proses usaha tani. Contoh kasus responden yang
anggota rumahtangganya melakukan strategi migrasi adalah Bapak WGN (40
tahun).
Berdasarkan kisah di atas menunjukkan bahwa migrasi dilakukan apabila
sumber nafkah utama mengalami krisis dan ketika normal maka anggota
rumahtangga yang melakukan migrasi akan kembali. Pekerjaan yang dipilih oleh
anggota rumahtangga yang melakukan migrasi berbeda-beda tergantung dengan
kemampuan individu yang dimilikinya. Di Desa Ciganjeng, ada kecenderungan
bahwa yang melakukan migrasi sebagian besar berasal dari suku Jawa sedangkan
suku Sunda lebih memilih mencari pekerjaan lain di desa contohnya seperti yang
dikemukakan oleh Bapak IKN pada kasus Box 3. Anggota rumahtangga yang
melakukan migrasi juga sudah memiliki kenalan baik sebelumnya di daerah
tujuan. Tidak ditemukan kasus responden yang melakukan migrasi tanpa
sebelumnya memiliki kenalan di kota tujuan dan belum tahu akan bekerja sebagai
apa. Intinya, kasus Bapak WGN menunjukkan bahwa migrasi dilakukan dalam
strategi nafkah rumahtangga petani untuk menambah pendapatan rumahtangganya
meski migrasi ini dilakukan pada masa kritis saja.
Strategi Intensifikasi Pertanian
Strategi bentuk ini artinya memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan
efisien baik melalui penambahan input eksternal misalnya teknologi dan tenaga
kerja maupun dengan memperluas lahan garapan. Intinya intensifikasi pertanian
Box 5. Kisah kehidupan kasus Bapak WGN (40 tahun)
Bapak WGN menguasai lahan seluas 0.3 hektar dan sebagian besar
ditanami padi sawah. Bapak WGN adalah seorang petani tetapi juga bekerja
sebagai supir di kota dan pulang ke rumah setiap minggu atau kadang-kadang
dua minggu sekali. Istri Bapak WGN adalah seorang ibu rumah tangga tetapi
membantu mengolah lahan yang mereka miliki. Beberapa kali istri Bapak WGN
juga menjadi buruh tani. Bapak WGN bekerja sebagai supir di kota karena ada
teman yang sebelumnya juga bekerja sebagai supir di kota. Bapak WGN bekerja
di kota karena merasa tidak cukup apabila hanya mengandalkan dari hasil panen
saja dengan dua anak kembar yang baru duduk di bangku kelas 7 SMP yang
butuh biaya banyak. Sebagai supir, Bapak WGN diberi upah tidak menentu
tetapi paling sedikit beliau mendapatkan Rp1 000 000 tiap bulannya untuk
menambah pendapatan rumahtangga. Pada saat tidak banjir dan lahan mereka
dapat ditanami maka Bapak WGN pulang dan istirahat sementara menjadi supir
untuk mengolah hingga selesai ditanami baru kemudian kembali lagi. Ketika
terjadi krisis yang panjang dan rumahtangga Bapak WGN membutuhkan dana
yang cukup besar dan mendesak maka pilihan utama yang dilakukan adalah
menjual aset yang dimiliki dan apabila masih belum cukup maka langkah yang
akan dilakukan adalah meminjam uang kepada pihak lain (hutang).
51
ini memaksimalkan semua faktor di sektor pertanian agar menghasilkan produksi
yang lebih maksimum. Di Desa Ciganjeng sebenarnya sudah ada inovasi melalui
sawah apung. Konsep sawah apung ini intinya membuat petani bisa menanam di
lahan sawah yang tergenang banjir. Sawah apung ini pernah dicoba oleh beberapa
pihak dan menjadi sorotan sebagai inovasi yang mampu mengatasi problema
krisis yang dialami para petani. Kenyataanya, hanya sedikit petani yang mau
mengaplikasikan inovasi ini sebagai cara mengintensifkan usaha pertaniannya.
Faktor utama yang membuat petani enggan mengaplikasikannya adalah modal
yang dibutuhkan cukup besar sekitar Rp40 000 000. Bagi petani, jumlah nominal
tersebut sangat besar, belum lagi hasil panen dari sawah apung tidak bisa
menutupi modal yang dikeluarkan.
Beberapa petani memilih untuk memperluas lahan garapan dan biasanya
dengan sistem „maro‟ atau bagi hasil tetapi hasilnya tidak maksimal karena sawah
yang digarap pun ikut terkena banjir saat masa krisis. Petani juga urung
menambah tenaga kerja selain anggota keluarga karena akan meningkatkan biaya
usaha tani walaupun hasil panen meningkat. Meski begitu, ada petani yang
berusaha menintensifkan usaha pertaniannya, contoh kasusnya adalah Bapak
HRD (72 tahun).
Sebenarnya mengintensifkan usaha pertanian dengan kondisi lingkungan
yang sering terkena banjir dan kekeringan cukup sulit dilakukan. Ditambah lagi,
kemampuan rumahtangga yang memiliki modal tidak terlalu besar. Bapak HRD
tetap mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber nafkah utama karena
kemampuan yang dimiliki terbatas dan memiliki lahan yang cukup luas bila
Box 6. Kisah kehidupan kasus Bapak HRD (72 tahun)
Bapak HRD menguasai lahan seluas 0.53 hektar dan menjadi petani
sejak dulu. Beliau tidak memiliki pekerjaan lain untuk menambah pendapatan.
Bapak HRD mengandalkan hasil panen padi sawah yang ia tanami dan juga
hasil dari kayu. Banjir beberapa kali pada awal tahun dan kekeringan sejak bulan
Agustus 2013 hingga masa pengambilan data pada Oktober 2013 tidak membuat
beliau putus asa untuk terus menanami lahannya hingga akhirnya akan bisa
panen. Modal menanam beliau peroleh dari hasil menjual kayu sengon dan juga
sisa panen tahun lalu namun bila itu belum cukup, beliau memilih meminjam
kepada saudara atau anaknya. Beliau tidak mau meminjam kepada rentenir
karena resiko yang besar dan tidak meminjam ke bank karena merasa tidak ada
jaminan yang cukup untuk bisa membayar cicilan setiap bulannya. Tahun 2013,
Bapak HRD memperoleh pendapatan sebesar Rp10 000 000 dari hasil penjualan
kayu. Bapak HRD pernah mencoba beternak ikan namun karena seringnya
banjir jadi banyak ikan yang hanyut terbawa banjir. Bapak HRD sedang
mencoba menanam pohon sawo dan tanaman keras lain di kebun miliknya. Hasil
dari kebun ini akan beliau baru rasakan beberapa tahun ke depan. Saat musim
krisis, Bapak HRD bergantung pada kiriman dari anaknnya yang kini menetap di
Jakarta sebesar Rp3 600 000 dan sisa hasil panen yang masih ada. Suatu ketika
apabila rumahtangga butuh dana cukup besar maka Bapak HRD akan menjual
aset yang dimilikinya. Bila itu tidak cukup, maka Bapak HRD akan meminjam
kepada saudara atau tetangga dekat.
52
dibandingkan dengan petani lainnya. Petani yang mempunyai lahan lebih sempit
dari Bapak HRD cenderung memilih untuk mencari pekerjaan lain di luar sektor
pertanian untuk menambah pendapatannya karena jika mengandalkan dari sektor
pertanian saja maka rumahtangganya akan semakin terpuruk dan bahkan tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasar.
Strategi Berhutang
Berhutang atau meminjam uang ke kerabat ataupun pihak lain untuk
memenuhi kebutuhan merupakan hal yang sering terjadi termasuk pada
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng. Bahkan berhutang merupakan salah satu
pilihan utama yang dipilih oleh rumahtangga petani jika terjadi krisis atau sumber
nafkah utama tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, dari 35 responden rumahtangga petani, ada 62.86 persen
rumahtangga yang memilih meminjam uang atau berhutang kepada pihak lain
ketika membutuhkan dana yang cukup besar. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9 Frekuensi dan persentase pilihan sumber dana rumahtangga di Desa
Ciganjeng tahun 2013
Pilihan sumber dana Frekuensi Persentase (%)
Berhutang/meminjam
uang kepada pihak lain
22 62.86
Menjual aset yang
dimiliki
11 31.43
Memanfaatkan tabungan 2 5.71
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Rumahtangga petani di Desa Ciganjeng lebih mengutamakan meminjam
uang kepada pihak lain (berhutang) dibandingkan dengan menjual aset yang
dimiliki. Jika berhutang maka pasti anggota rumahtangga tersebut akan berupaya
lebih keras untuk mengembalikan pinjamannya sedangkan apabila rumahtangga
tersebut menjual aset yang dimiliki maka belum tentu aset yang sudah dijual dapat
dibeli kembali. Rumahtangga petani meminjam uang atau berhutang tidak kepada
pihak yang biasa meminjamkan. Berikut ini tabel yang menjelaskan frekuensi dan
persentase pihak yang yang dihutangi oleh rumahtangga petani.
Tabel 10 Frekuensi dan persetase pilihan berhutang rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng tahun 2013
Pilihan berhutang Frekuensi Persentase (%)
Pinjam saudara/tetangga 29 82.86
Pinjam lembaga kredit
non formal (rentenir,
tengkulak)
4 11.43
Pinjam ke bank 2 5.71
Total 35 100.00
Sumber: data primer
53
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa 82.86 persen rumahtangga petani
lebih memilih meminjam uang kepada saudara atau tetangga dibandingkan
dengan meminjam kepada tengkulak, rentenir maupun mengajukan pinjaman
kepada bank. Hanya 11.43 persen rumahtangga yang memilih meminjam uang
kepada lembaga kredit non formal seperti rentenir dan tengkulak dan 5.71 persen
rumahtangga yang memilih untuk meminjam uang kepada bank. Contoh kasus
yang menggunakan strategi berhutang kepada saudara atau tetangga adalah Bapak
SRL (59 tahun).
Berdasarkan kisah Bapak SRL di atas diketahui bahwa rasa kepercayaan di
antara masyarakat di Desa Ciganjeng tinggi karena beliau menjamin bahwa akan
selalu ada tetangga yang akan meminjamkan uang apabila keluarganya butuh
begitu pula dengan keluarga yang lain. Sikap seperti itu timbul karena ikatan yang
erat dalam masyarakat dan rasa empati yang tinggi terhadap sesama. Hanya
rumahtangga tertentu yang berani meminjam uang kepada rentenir dan tengkulak
karena bunga yang cukup besar. Begitu pula dengan rumahtangga yang
meminjam uang kepada bank. Rumahtangga tersebut harus memiliki jaminan
untuk bisa meminjam kepada bank dan jaminan bahwa uang tersebut akan bisa
dikembalikan. Bagi rumahtangga yang hanya menggantung pendapatan dari
sektor pertanian saja maka tidak akan berani meminjam kepada bank karena tidak
ada jaminan setiap bulannya akan mendapatkan uang untuk membayar cicilan.
Hasil pertanian baru dirasakan setiap musim bila masa normal dan hanya satu kali
paling banyak bila masa krisis.
Box 7. Kisah kehidupan kasus Bapak SRL (59 tahun)
Bapak SRL memiliki seorang istri dan dua orang anak. Bapak SRL
dulunya seorang petani namun kini tidak lagi dan membantu istri dalam usaha
keripik yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Bapak SRL dulu pernah
menjadi buruh bangunan di Jakarta pada musim banjir namun hanya sebulan
saja dan kemudian kembali ke desa dengan alasan rindu rumah. Selama menjadi
buruh bangunan di Jakarta, Bapak SRL diberi upah sebesar Rp30.000,00 per
hari. Bapak SRL kadang-kadang juga menjadi buruh tani bila ada tetangga yang
meminta dan diberi upah Rp50 000 per hari namun sekarang sudah jarang
dilakukan karena tidak banyak permintaan untuk menjadi buruh. Bapak SRL dan
istri membuat keripik apabila ada pesanan dan juga dititipkan di warung-warung
tetangga. Keuntungan dari penjualan keripik ini bisa mencapai Rp500 000 per
musim. Musim ini tergantung pada bulan-bulan orang banyak mengadakan
hajatan dan hari raya seperti bulan Syawal. Anak pertama Bapak SRL menetap
di Jakarta dan bekerja sebagai pegawai toko. Bapak SRL mendapatkan kiriman
sebesar Rp600 000 dari anak pertamanya itu setiap bulan. Anak kedua Bapak
SRL masih sekolah kelas 7 SMP. Apabila Bapak SLR dan keluarga
membutuhkan dana cukup besar dan mendesak maka beliau akan meminjam
kepada saudara atau tetangga karena pasti dipinjamkan. Beliau mengakui bahwa
di desa ini apabila ada yang ingin pinjam uang maka tetangga yang memiliki
kemampuan akan meminjamkannya. Kepercayaan dalam masyarakat sangat
tinggi. Beliau pernah meminjam kepada rentenir tetapi kemudian tidak lagi
karena bunga yang harus dibayar cukup tinggi.
54
Strategi Investasi Non Pertanian
Strategi ini dominan dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan atas karena
memiliki kemampuan lebih dalam segi materi untuk menginvestasikannya dalam
sektor non pertanian. Petani lapisan atas menginvestasikan kelebihan materinya
dalam bentuk tabungan di bank, barang berharga lain seperti alat elektronik,
kendaraan, logam mulia, dan membeli lahan lain sebagai tabungan bagi
rumahtangga yang terlihat. Strategi ini dimanfaatkan oleh rumahtangga petani
lapisan atas apabila masa krisis datang. Sawah yang tergenang banjir membuat
mereka tidak mampu mendapatkan pendapatan dari hasil panen padi sehingga
untuk bertahan agar tidak jatuh mereka memanfaatkan tabungan yang mereka
miliki. Investasi non pertanian juga dalam bentuk membuat usaha lain seperti
membuka warung sembako. Warung sembako sebagai cadangan sumber nafkah
bagi rumahtangga petani terutama apabila sawah mereka tergenang banjir.
Warung sembako tidak bergantung pada cuaca dan iklim sehingga apabila musim
krisis datang, rumahtangtga tetap mendapatkan penghasilan yang digunakan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi rumahtangga lapisan bawah belum memiliki kemampuan sepenuhnya
untuk menginvestasikan kelebihan pendapatannya di sektor non pertanian.
Beberapa rumahtangga mampu menginvestasikan hewan ternak seperti ayam dan
kambing tapi belum mampu membuat warung sembako ataupun jenis lainnya
untuk antisipasi pada saat musim krisis datang.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dibuat sebuah matriks yang
menghubungkan kategori lapisan rumahtangga dengan variasi strategi nafkah
yang diterapkan baik pada saat normal maupun pada saat krisis. Setiap lapisan
rumahtangga memiliki kemampuan mengakses sumberdaya yang berbeda
sehingga strategi nafkah yang diterapkannya pun berbeda. Berikut ini adalah
matriks strategi nafkah yang diterapkan masing-masing lapisan.
Tabel 11 Variasi strategi nafkah rumahtangga petani menurut lapisan
rumahtangga di Desa Ciganjeng tahun 2013
Kategori Rumahtangga
Petani
Variasi Strategi Nafkah
Masa Normal Masa Krisis
Rumahtangga Lapisan
Bawah
- Strategi alokasi
sumberdaya manusia
- Strategi migrasi
- Strategi berhutang
- Strategi pola nafkah
ganda
Rumahtangga Lapisan
Menengah
- Strategi alokasi
sumberdaya manusia
- Strategi intensifikasi
pertanian
- Strategi pola nafkah
ganda
- Strategi berhutang
Rumahtangga Lapisan
Atas
- Strategi intensifikasi
pertanian
- Strategi investasi non
pertanian
- Strategi berhutang Sumber: data primer yang diolah
55
Rumahtangga petani lapisan bawah dominan akan menggunakan strategi migrasi,
strategi berhutang, dan strategi pola nafkah ganda sebagai upaya rumahtangga
tersebut memepertahankan hidupnya dalam masa krisis yaitu pada saat banjir
menggenangi sawah mereka. Strategi migrasi desa-kota dominan dilakukan
apabila individu tersebut sudah merasa tidak mampu lagi mengakses sumber
nafkah yang ada di desa. Berbeda dengan rumahtangga lapisan atas yang masih
memiliki sumber-sumber nafkah yang bisa tetap diakses walaupun pada masa
krisis sehingga tidak perlu melakukan strategi migrasi desa-kota.
Rumahtangga lapisan menengah dominan melakukan strategi pola nafkah
ganda pada saat krisis seperti yang juga dilakukan oleh rumahtangga petani
lapisan bawah. Rumahtangga petani lapisan atas justru melakukan strategi
investasi non pertanian pada masa krisis di mana rumahtangga memperoleh
sumber nafkah lain lebih banyak di luar sektor pertanian. Perbedaan ini
menegaskan bahwa strategi nafkah yang diterapkan oleh individu dipengaruhi
oleh struktur nafkah yang berubah akibat krisis ekologi. Semakin tinggi
pendapatan rumahtangga maka rumahtangga tersebut tidak perlu melakukan
banyak strategi untuk bisa bertahan hidup pada masa krisis karena dengan strategi
tertentu saja mereka sudah bisa bertahan. Semakin rendah tingkat pendapatan
rumahtangga akibat tidak mampu berproduksi karena sawah tergenang maka akan
semakin banyak pula strategi rumahtangga yang harus diterapkan untuk bisa
bertahan hidup.
Tingkat Pemanfaatan Livelihood Asset
Strategi nafkah yang dipilih dan diterapkan oleh rumahtangga petani tidak
lepas dari kemampuan rumahtangga tersebut memanfaatkan livelihood asset yang
dimiliki untuk bertahan hidup (Scoones 1998). Livelihood asset yang
diungkapkan (Ellis 2000) terdiri atas modal sumberdaya alam (natural capital),
modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), modal finansial
(financial capital and subtitues), dan modal sosial (social capital). Pemanfaatan
livelihood assset ini mempengaruhi strategi nafkah yang dipilih oleh rumahtangga
petani. Semakin tinggi pemanfaatan livelihood asset maka akan semakin beragam
strategi rumahtangga yang dijalankan.
Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital)
Modal ini meliputi segala sumberdaya yang dapat dimanfaatkan manusia
untuk keberlangsungan hidupnya. Wujudnya dapat berupa sumberdaya yang bisa
diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Modal sumberdaya ini di
antaranya meliputi air, tanah, pohon, hewan, udara, dan sumber lainnya termasuk
barang tambang seperti minyak dan batu bara. Sumberdaya tersedia di alam dan
dapat diakses oleh siapa saja tetapi ada juga sumberdaya yang hanya bisa diakses
oleh golongan atau lapisan tertentu karena hak-hak tertentu yang dimiliki
golongan atau lapisan tersebut.
Desa Ciganjeng memiliki sumberdaya alam yang dapat dijadikan modal
utama bagi masyarakatnya untuk bertahan hidup. Lahan sawah yang dapat
dimanfaatkan masyarakat cukup luas yaitu 418 hektar dan wilayah hutan rakyat
seluas 90.062 hektar. Lahan yang cukup luas tersebut dimanfaatkan oleh
56
masyarakat dengan maksimal. Walaupun banjir dan kekeringan kerap kali
melanda desa ini namun masyarakat tidak bosan untuk menanaminya kembali
agar nantinya bisa dipanen. Beberapa masyarakat juga ikut menggarap lahan yang
mereka sebut berasal dari „Procit‟. Lahan tersebut ditanami kayu sengon yang
hasilnya baru bisa dirasakan paling cepat lima tahun hingga sepuluh tahun.
Masyarakat juga mengenal sistem „maro‟ atau bagi hasil. Sistem ini
dilakukan apabila seseorang yang punya lahan tidak mampu menggarap lahannya
sendiri dan akhirnya lahan tersebut digarap oleh orang lain. Imbalannya hasil
panen dibagi 50:50 antara pemilik lahan dan penggarap. Hal ini menunjukkan
bahwa lahan yang tersedia dimanfaatkan oleh masyarakat agar menghasilkan dan
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain lahan, sumber mata air juga tersedia di Desa Ciganjeng. Desa
Ciganjeng memiliki topologi berbukit-bukit sehingga ada beberapa sumber mata
air yang dapat dimaksimalkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Sumber air untuk irigasi lahan pertanian didapatkan dari sungai-sungai yang
mengaliri daerah Ciganjeng. Sungai-sungai tersebut yaitu Sungai Ciseel, Sungai
Citanduy, Sungai Cirapuan, dan ada juga Sungai Kedung Palungpung. Di Sungai
Cirapuan terdapat kincir air untuk irigasi.yang dialirkan ke lahan-lahan pertanian.
Pada saat banjir, air meluap ke lahan pertanian masyarakat bahkan hingga masuk
dan menggenangi rumah warga sedangkan pada musim kemarau dan kekeringan
melanda maka air untuk mengaliri lahan pertanian sulit didapatkan. Ada yang
menggunakan jasa pengaliran air yang diambil dari sumber mata air dengan biaya
Rp30 000 per 100 bata per jam. Warga memenuhi kebutuhan sehari-harinya
dengan memanfaatkan air tanah meskipun ada juga yang menggunakan air PAM.
Hewan dan pohon dipelihara oleh masyarakat sebagai aset rumahtangga
maupun memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hewan sebagai aset rumahtangga
biasanya hewan ternak yaitu ayam, kambing, dan sapi. Hampir setiap
rumahtangga di Desa Ciganjeng memiliki ayam dan beberapa memiliki kambing
tapi hanya sedikit yang memiliki sapi. Sementara itu, pohon yang biasanya
ditanam sebagai aset rumahtangga adalah pohon sengon dan albasia.
Modal Fisik (Physical Capital)
Ellis (2000) menjelaskan bahwa modal fisik merupakan berbagai benda
yang dibutuhkan saat proses produksi, meliputi mesin, alat-alat, instrumen dan
berbagai benda fisik. Modal fisik termasuk juga jembatan, jalan, dan angkutan
yang tersedia untuk mendistribusikan hasil pertanian yang didapatkan. Usaha
pertanian di Desa Ciganjeng belum menggunakan teknologi canggih seperti mesin
pemanen dan perontok gabah. Petani masih menggunakan cara gotong royong
untuk memanen sawah dan merontokkan gabah dengan alat sederhana. Agar bisa
menghasilkan padi pun masih menggunakan penggilingan padi yang ada di
ruangan tertentu tidak seperti di luar negeri yang sudah menggunakan satu mesin
sekaligus untuk panen dan penggilingan padinya. Tidak semua petani juga
memiliki traktor untuk mengolah lahannya sehingga petani yang tidak memiliki
traktor harus membayar jasa kepada petani yang memiliki traktor setelah lahannya
dibajak. Saluran irigasi juga tersedia di Desa Ciganjeng termasuk kincir air.
Saluran irigasi ini mengaliri setiap lahan pertanian yang ada di Desa Ciganjeng
berbentuk parit di pinggiran lahan dan dihubungkan ke sumber air irigasi yaitu
sungai-sungai yang ada di sekitar lahan pertanian.
57
Jembatan yang menghubungkan antar desa tersedia dan dalam kondisi yang
baik sehingga desa satu dengan yang lainnya dapat terhubung dan alur distribusi
pun dapat berjalan baik. Jalan desa juga cukup baik hanya masih ada jalan yang
belum beraspal yaitu jalan menuju RW 8 yang letaknya di sisi sungai dan
berbatasan dengan tanggul. Jalan RW 8 masih berbatu dan ditutupi oleh puing-
puing batuan kapur agar bila hujan datang, masyarakat masih bisa beraktivitas
dengan lancar dan bisa melewati jalan dengan mudah. Angkutan umum yang
melewati Desa Ciganjeng juga tersedia hanya saja frekuensinya tidak sering.
Masyarakat bisa bepergian menggunakan angkutan umum kecil setelah menunggu
15 menit sedangkan untuk angkutan umum besar seperti bus antarkota hanya
menunggu 10 menit saja sudah tersedia. Alat transportasi yang digunakan petani
ke sawah adalah sepeda dan motor. Setiap rumah di RW 8 dan RW 7 memiliki
perahu kecil sebagai alat transportasi saat musim banjir.
Modal Manusia (Human Capital)
Modal manusia ini meliputi jumlah atau populasi manusia, tingkat
pendidikan, tingkat kesehatan, hingga keahlian yang dimiliki untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Populasi manusia di Desa Ciganjeng berjumlah 4
868 jiwa dengan proporsi penduduk laki-laki sebanyak 2 426 jiwa dan perempuan
sebanyak 2 442 jiwa. Dalam satu desa dengan luas wilayah 749.744 hektar,
populasi penduduk dengan jumlah tersebut dapat dikatakan tidak terlampau padat.
Tingkat pendidikan sumberdaya manusia rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
masih rendah. Orangtua hanya menempuh pendidikan hingga Sekolah Dasar, itu
pun ada yang tamat dan ada juga yang putus sekolah. Seiring berjalannya waktu,
orangtua menyadari bahwa pendidikan sangat penting bagi anak-anakya sehingga
saat ini minimal mereka menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMP.
Tingkat pendidikan yang masih rendah disebabkan karena faktor
keterbatasan ekonomi orangtua. Dorongan untuk segera membantu orangtua
mencari nafkah juga menjadi faktor lain yang membuat anak-anak lebih memilih
bekerja dibandingkan sekolah walaupun sekolah dasar di desa ini sudah gratis.
Kemampuan ekonomi keluarga yang rendah membuat anak tidak mampu
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini pun berdampak pada ruang
lingkup masyarakat dalam mencari nafkah yang lebih mengandalkan tenaga
dibandingkan keterampilan individu lain. Sebagai contoh, hanya segelintir
penduduk desa yang bekerja sebagai PNS maupun karyawan swasta dengan
pangkat lebih tinggi. Tingkat kesehatan rumahtangga petani pun cukup baik
dengan kategori sedikit anggota rumahtangga yang berobat ke rumah sakit. Hanya
apabila terjadi banjir, banyak penyakit menyerang terutama penyakit kulit karena
air banjir yang kotor.
Rumahtangga petani lapisan bawah lebih memaksimalkan modal manusia
ini. Contohnya, dengan mengalokasikan anggota keluarga sebagai tenaga kerja
untuk mengelola lahan pertanian maupun menambah tenaga kerja lain di luar
anggota keluarga untuk memaksimalkan hasil panen yang dapat diperoleh.
Apabila satu rumahtangga menggunakan tenaga kerja selain anggota rumahtangga
maka rumahtangga tersebut harus memberi upah Rp30 000–Rp40 000 per hari
untuk buruh wanita dan Rp40 000–Rp45 000 per hari untuk buruh laki-laki.
Perbedaan upah ini karena pekerjaan yang dilakukan laki-laki meliputi membajak
58
dan mengolah lahan sedangkan wanita biasanya hanya nandur, ngarambet, dan
ikut memanen.
Modal Finansial (Financial Capital)
Modal finansial dapat berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa
diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi. Akses peminjaman modal bagi
rumahtangga di Desa Ciganjeng ada bermacam-macam baik formal dan non
formal namun letaknya tidak semua ada di desa. Rumahtangga petani lebih
memilih meminjam modal pada saudara atau tetangga dibandingkan dengan
meminjam kepada tengkulak/rentenir maupun ke bank. Rumahtangga petani
menghindari resiko bunga yang besar bila meminjam kepada tengkulak/rentenir
maupun ke bank.
Rumahtangga petani di Desa Ciganjeng sudah mempunyai kepercayaan
kepada saudara atau tetangganya apabila akan selalu ada yang menolong jika
butuh bantuan termasuk pinjaman uang untuk modal menanam maupun
kebutuhan mendesak. Pinjaman tersebut akan dikembalikan sesuai dengan
perjanjian saat meminjam dan jika telat pun tidak ada bunga besar seperti pada
tengkulak maupun bank. Hanya rumahtangga tertentu yang berani meminjam
kepada bank contohnya jika kepala rumahtangga bekerja sebagai pedagang, PNS,
dan buruh pabrik yang memiliki jaminan upah pasti setiap bulan.
Rumahtangga petani di Desa Ciganjeng cenderung tidak memiliki tabungan
berbentuk uang tunai, baik di rumah maupun di bank. Sebagian rumahtangga
menyimpan dalam bentuk hewan ternak dan sebagian lagi menyimpan dalam
bentuk barang berharga yang dapat cepat dijual. Akan tetapi, banyak rumahtangga
yang tidak mampu menyimpan karena pendapatan yang diperoleh hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau habis untuk modal menanam sawah
yang terkena banjir dan kekeringan.
“Bagaimana mau nabung kalau buat makan aja udah alhamdulillah. Setiap hari
jadi buruh itu juga belum cukup. Sekarang mah jarang yang minta untuk
buburuh, ngga seperti dulu yang lumayan. Jadi kalau gitu bagaiman mau nabung
lah.” (Ibu DMH 46 tahun)
Ibu DMH termasuk dalam kategori rumahtangga dengan tingkat pendapatan
rendah yang tidak memiliki kemampuan untuk menabung. Pekerjaan sebagai
buruh tani dengan pendapatan yang rendah hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dan bahkan kurang sehingga harus meminjam kepada
tetangga ataupun menunggu pemberian tetangga untuk bisa makan. Di Desa
Ciganjeng, kemampuan untuk menabung hanya dimiliki oleh rumahtangga lapisan
atas sedangkan pendapatan rumahtangga lapisan menengah dan bawah hanya
cukup untuk bertahan hidup. Meskipun memiliki kapasitas untuk menabung, tidak
semua rumahtangga lapisan atas melakukannya dengan alasan pendapatan yang
diperoleh habis untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Modal Sosial (Social Capital)
Modal sosial merupakan modal yang berupa jaringan sosial dan lembaga di
mana seseorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan
hidupnya. Merujuk pada Chambers dan Conway (1991) dikutip Widiyanto,
Dhamawan, dan Prasodjo (2010), modal sosial adalah komponen penting dalam
59
mendukung kehidupan dan merupakan intangible asset yang terdiri dari claim dan
access. Claim yang dimaksud yaitu permintaan atau permohonan yang ditujukan
untuk menciptakan kebutuhan material, dapat berwujud etika moral, dukungan
lain berbentuk makanan, peralatan, pinjaman, pemberian, atau kesempatan
memperoleh pekerjaan, dan juga bisa berbentuk akses. Selanjutnya, Widiyanto,
Dharmawan, dan Prasodjo (2010) menjelaskan bahwa modal sosial merupakan
katub penyelamat bagi keberlangsungan kehidupan petani merujuk pada strategi
yang diterapkan oleh rumahtangga petani. Aspek modal sumberdaya alam, modal
finansial, modal manusia, modal fisik dan lainnya bisa diakses petani melalui
seberapa kuat modal sosial yang mereka miliki.
Suharto (2006) menjelaskan bahwa modal sosial diartikan sebagai sumber
(resources) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu
komunitas. Ridell (1997) dalam Suharto (2006) menyebutkan bahwa ada tiga
parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms),
jaringan-jaringan (networks). Ketiga parameter ini tercermin dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat di Desa Ciganjeng yang akhirnya menguatkan modal
sosial yang mereka miliki.
Kepercayaan (trust) tergambar penuh dalam kehidupan masyarakat di Desa
Ciganjeng. Kepercayaan ini terbentuk dari hasil interaksi selama bertahun-tahun.
Bentuk kepercayaan ini tercermin pada mudahnya rumahtangga petani
mendapatkan pinjaman uang saat membutuhkan dana mendesak baik kepada
saudara, tetangga, maupun kepada rentenir/tengkulak. Pinjaman ini dikembalikan
sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama dan apabila meminjam kepada
saudara atau tetangga itu bebas bunga. Warung-warung di Desa Ciganjeng juga
memperbolehkan tetangganya untuk menghutang kebutuhan pokok karena sudah
terbangun rasa saling percaya di antara mereka.
Norma-norma (norms) dalam masyarakat tetap terjaga walau jaman semakin
modern. Gotong royong dijunjung tinggi masyarakat di Desa Ciganjeng
contohnya pada saat tetangga ada hajatan ataupun ada tetangga yang meninggal
dunia. Masyarakat dengan sendirinya membantu tetangga yang membutuhkan dan
begitupula sebaliknya. Hubungan timbal balik antartetangga terlihat nyata.
Pengajian juga salah satu pengikat masyarakat untuk tetap berpegang pada norma-
norma yang ada.
Jaringan kerja sama antarmanusia memfasilitasi terjadinya komunikasi dan
interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama
(Suharto 2006). Hubungan antara rumahtangga lapisan rendah, menengah, dan
tinggi terbangun dengan baik. Hubungan antara pemilik lahan luas dan buruh tani
yang menggarap pun tercipta sehingga jika ada panggilan untuk bekerja sebagai
buruh langsung cepat bisa dikontak dan dihubungi. Ada juga kelompok-kelompok
tani yang memudahkan petani berhubungan dengan pihak lain untuk memperoleh
saprotan, mendapatkan kredit, hingga menjual hasil panen, contohnya Kelompok
Tani Guna Bakti Mulya. Hubungan patron-klien tercipta dan saling berikatan erat.
Jaringan antara warga yang merantau dengan yang di kampung halaman juga
tercipta baik contohnya apabila ada panggilan pekerjaan di kota untuk menjadi
buruh bangunan dan lainnya maka akan langsung cepat tersebar dan ada saja yang
kemudian menyusul ke kota untuk mengambil pekerjaan itu. Hubungan antara
tetangga yang memberikan pinjaman dan yang meminjam pun baik karena
kepercayaan yang baik pula di antara mereka.
60
Rumahtangga petani mampu membangun strategi nafkah yang berbasis
pada modal sosial seperti sistem maro, royongan, nitip. Modal sosial menjadi
landasan rumahtangga petani untuk bisa mengakses modal-modal lain
sebelumnya. Semakin kuat modal sosial dibangun oleh masyarakat atau kelompok
maka akan semakin mudah untuk mereka mengakses modal sumberdaya alam,
modal fisik, modal finansial, dan modal manusia.
Ikhtisar
Strategi nafkah merupakan taktik dan aksi yang dibangun oleh individu
ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan
tetap memerhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai
budaya yang berlaku (Dharmawan 2007a). Sumber-sumber nafkah dimainkan
menjadi basis nafkah dalam membangun strategi nafkah. Basis nafkah yang
dimaksud adalah lima aset modal yang dijelaskan oleh Ellis (2000), yaitu modal
sumberdaya alam, modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal sosial.
Oleh karena itu, setiap rumahtangga memiliki strategi nafkah yang berbeda
tergantung pada kemampuan rumahtangga tersebut mengombinasikan modal-
modal yang mereka miliki.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan beberapa
strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di Desa Ciganjeng, yaitu
strategi alokasi sumberdaya manusia dalam rumahtangga, strategi pola nafkah
ganda, strategi migrasi, strategi intensifikasi pertanian, strategi berhutang, dan
strategi investasi non pertanian. Strategi alokasi sumberdaya manusia dalam
rumahtangga lebih dominan dipilih oleh rumahtangga petani golongan menengah
dan bawah karena mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
produksi. Strategi pola nafkah ganda dilakukan oleh semua golongan
rumahtangga namun tujuan melakukannya yang berbeda. Rumahtangga golongan
bawah melakukan pola nafkah ganda untuk mempertahankan kehidupannya,
sedangkan rumahtangga golongan menengah melakukannya dengan tujuan untuk
mendapatkan tambahan penghasilan bagi rumahtangga karena sumber nafkah
yang utama belum cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Rumahtangga petani
golongan atas melakukan pola nafkah ganda untuk mengakumulasi pendapatan
dan meningkatkan saving capacity yang dimiliki.
Strategi migrasi biasanya dilakukan oleh rumahtangga petani dari suku
Jawa. Anggota rumahtangga yang melakukan migrasi membentuk jaringan
dengan kerabatnya yang ada di kampung halaman sehingga apabila ada
kesempatan kerja di luar desa dapat diinformasikan segera dan ada akses untuk
menjangkaunya. Tidak mungkin ada anggota rumahtangga yang melakukan
migrasi tanpa sebelumnya tahu bahwa ada kerabat mereka yang bisa dihubungi di
tempat tujuan dan memiliki jaminan keamanan untuk hidup disana.
Strategi intensifikasi pertanian dilakukan oleh rumahtangga yang tidak
mampu mengakses kesempatan kerja lain di luar sektor pertanian baik karena
keterbatasan kemampuan individu maupun juga karena area sawah yang dimiliki
cukup luas sehingga memutuskan untuk lebih mengintensifkan lahan pertanian
yang dimilikinya. Strategi ini biasanya juga dilakukan oleh rumahtangga dengan
kepala keluarga yang usianya sudah tua.
61
Strategi berhutang dominan dilakukan oleh rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng. Meminjam kepada saudara dan kerabat lebih dahulu dilakukan apabila
rumahtangga membutuhkan dana cukup besar dalam waktu cepat. Strategi ini
dilakukan karena masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi antar anggotanya.
Setiap ada tetangga yang butuh pinjaman maka pasti selalu ada tetangga yang
akan meminjamkan. Oleh karena itu, strategi ini menjadi andalan utama
rumahtangga petani apabila ada kebutuhan mendesak.
Strategi investasi non pertanian dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan
atas. Rumahtangga lapisan atas memiliki kemampuan untuk menginvestasikan
kelebihan pendapatannya dalam bentuk tabungan di bank, barang berharga,
maupun membangun toko ataupun warung sebagai sumber nafkah cadangan bagi
rumahtangganya. Membangun toko atau warung menjadi pilihan rumahtangga
petani lapisan atas karena tidak bergantung cuaca maupun iklim sehingga apabila
musim krisis datang mereka masih bisa mendapatkan sumber nafkah tambahan
bagi rumahtangganya.
Semua strategi tersebut dilakukan dengan memainkan lima modal aset yang
dapat diakses. Modal sumberdaya manusia mempengaruhi pilihan strategi nafkah
rumahtangga. Semakin baik kemampuan sumberdaya manusianya maka akan
semakin banyak pilihan strategi yang dapat dilakukan. Modal sumberdaya alam
yang semakin terbatas mempengaruhi keberagaman strategi nafkah. Krisis ekologi
menyebabkan ketersediaan sumberdaya alam semakin terancam. Modal fisik dan
modal finansial tersedia di Desa Ciganjeng namun bukan berarti semua
rumahtangga mampu mengaksesnya dengan baik. Modal yang paling kuat
dimainkan oleh rumahtangga petani di Desa Ciganjeng adalah modal sosial.
Jaringan, kepercayaan dan norma-norma yang ada di masyarakat membuat
mereka tetap aman walaupun terjadi krisis. Selain itu, modal sosial menjadi
landasan rumahtangga petani untuk bisa mengakses modal-modal lain
sebelumnya. Semakin kuat modal sosial dibangun oleh masyarakat atau kelompok
maka akan semakin mudah untuk mereka mengakses modal sumberdaya alam,
modal fisik, modal finansial, dan modal manusia.
62
63
KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis kelentingan nafkah
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng yang terbagi menjadi beberapa sub bab.
Sub bab pertama menguraikan kelentingan nafkah dari berbagai definisi.
Kemudian sub bab kedua mengenai tindakan-tindakan rumahtangga dalam
menghadapi krisis ekologi yang menjadi indikator bagi ukuran tingkat kelentingan
nafkah rumahtangga dan selanjutnya dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang,
dan rendah. Akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan
keseluruhan isi bab ini.
Kelentingan Nafkah
Gibbs dan Bromley (1989) dalam Darusman (2001) menjelaskan
kelentingan (resiliensi) sebagai suatu kemampuan untuk mengakomodasi terhadap
tekanan-tekanan atau gangguan-gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa.
Selanjutnya Siebert (2005) dalam Wijayani (2008) menjelaskan lebih lanjut
bahwa kelentingan adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan
hidup pada level tinggi termasuk merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa
sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada. Kelentingan merupakan
kebangkitan individu atau kelompok dari keterpurukan.
Holling (1973) menyatakan bahwa kelentingan atau resiliensi adalah
properti dari sebuah sistem dan persisten atau kemungkinan dari kepunahan
adalah hasilnya. Resiliensi menentukan persistensi dari hubungan-hubungan
dalam sebuah sistem dan merupakan sebuah ukuran dari kemampuan sistem
tersebut untuk kembali ke keadaan seimbang setelah gangguan sementara. Jika
sistem yang dimaksud adalah sebuah rumahtangga maka resiliensi diwujudkan
dalam cara-cara yang dilakukan oleh anggota rumahtangga untuk menstabilkan
kondisi rumahtangganya setelah menghadapi krisis. Krisis ini bersifat sementara
namun bisa berulang-ulang sehingga akan menyebabkan rumahtangga tersebut
jatuh tersungkur apabila tidak ada tindakan perlawanan dari rumahtangga tersebut.
Kelentingan nafkah dapat diartikan sebagai kemampuan individu atau
kelompok untuk menstabilkan kondisi nafkah rumahtangganya setelah ditimpa
gangguan-gangguan yang mengguncang sumber nafkah yang mampu diakses.
Karena kelentingan adalah sebuah kemampuan maka kelentingan dapat dilihat
dari hasil aksi individu atau kelompok untuk menstabilkan kondisinya.
Kelentingan nafkah rumahtangga dapat diwujudkan dan diukur dari tindakan-
tindakan yang dilakukan anggota rumahtangga untuk meningkatkan
kelentingannya yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan rumahtangga
tersebut. Semakin lenting rumahtangga maka semakin aman rumahtangga tersebut
dari ancaman krisis dan pada akhirnya tidak mengganggu kesejahteraan
rumahtangga.
64
Aspek-Aspek Kelentingan Nafkah
Saving Capacity
Kelentingan nafkah dapat diidentifikasi dari saving capacity atau
kemampuan menabung satu rumahtangga. Saving capacity yang tinggi dapat
meningkatkan kelentingan rumahtangga tersebut. Saving capacity satu
rumahtangga diukur dari tingkat pendapatan dan pengeluaran rumahtangga
tersebut. Oleh karena itu, sebuah rumahtangga dikatakan memiliki kelentingan
yang tinggi apabila tingkat pendapatannya melebihi tingkat pengeluaran. Apabila
tingkat pendapatannya masih setara dengan tingkat pengeluaran rumahtangga
maka rumahtangga tersebut dikatakan memiliki kelentingan yang sedang atau
cukup. Rumahtangga yang tingkat pendapatannya di bawah tingkat
pengeluarannya maka dikatakan memiliki kelentingan yang rendah atau kurang
lenting. Dalam penelitian ini, rumahtangga petani di Desa Ciganjeng diguncang
bencana banjir dan kekeringan yang terjadi setiap tahun dengan frekuensi dan
waktu yang cukup lama.
Tahun 2013, banjir terjadi sejak awal tahun hingga akhir bulan Juli
sedangkan kekeringan mulai melanda sejak bulan Agustus. Banjir terjadi beberapa
kali dan paling tidak membutuhkan waktu selama satu minggu untuk surut
kembali. Petani menanam padi di sawahnya kemudian banjir lalu surut kemudian
petani menanamnya lagi dan begitu seterusnya hingga akhirnya musim kemarau
datang dan kekeringan melanda sehingga petani tidak bisa menanam lagi.
Guncangan oleh bencana itu dirasakan petani di Desa Ciganjeng setiap tahunnya.
Kelentingan nafkah diukur dari tingkat pendapatan dan pengeluaran karena
mampu melihat seberapa besar kemampuan anggota rumahtangga untuk berupaya
membuat rumahtangganya tidak terpuruk akibat banjir dan kekeringan yang
melanda Desa Ciganjeng. Kemampuan rumahtangga bertahan dalam guncangan
yang menimpanya digambarkan dengan tingkat pendapatan yang mampu
dihasilkan walaupun sumber nafkah yang biasa diakses itu mengalami guncangan.
Berikut ini tabel yang menunjukkan jumlah tingkat kelentingan rumahtangga
berdasarkan dengan tingkat pendapatan yang dapat dihasilkan selama satu tahun
dan tingkat pengeluaran rumahtangga petani.
Tabel 12 Frekuensi dan persentase tingkat kelentingan nafkah rumahtangga
berdasarkan saving capacity di Desa Ciganjeng tahun 2013
Kategori Frekuensi Persentase
Kurang lenting 18 51.43
Cukup lenting 1 2.86
Lenting 16 45.71
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 35 responden rumahtangga
petani terdapat 51.43 persen rumahtangga termasuk kategori kurang lenting
karena pendapatannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
pengeluarannya. Rumahtangga yang masuk ke dalam kategori cukup lenting
sebesar 2.86 persen sedangkan rumahtangga yang dapat dikatakan memiliki
65
kelentingan yang baik sebesar 45.71 persen. Rumahtangga kurang lenting sebesar
51.43 ini didominasi juga oleh rumahtangga dengan kategori tingkat pendapatan
rendah. Rumahtangga kategori ini mulai tidak lenting karena tidak mampu
bertahan dari guncangan banjir dan kekeringan yang menimpa sumber nafkah
mereka. Banjir yang terjadi setiap tahun belum mampu diatasi oleh setiap anggota
rumahtangga melalui pilihan strategi nafkah yang diterapkan sehingga membuat
rumahtangganya dalam kondisi stabil.
Berbeda dengan rumahtangga kurang lenting, rumahtangga yang memiliki
kelentingan yang tinggi atau baik karena mampu mengatasi kegagalan pertanian
sawah yang terendam banjir. Pilihan strategi nafkah yang diterapkan mampu
menstabilkan kembali rumahtangga setelah terguncang oleh banjir. Kelebihan
pendapatan yang diperoleh 45.71 persen rumahtangga ini didapatkan lebih banyak
bukan dari hasil panen karena pertanian sawah di Desa Ciganjeng terendam
banjir. Berikut ini beberapa kisah kehidupan rumahtangga yang mulai tidak
lenting, rumahtangga dengan tingkat kelentingan cukup, serta rumahtangga yang
memiliki kelentingan tinggi
Kisah Bapak RSM tersebut menunjukkan kemampuan yang rendah anggota
rumahtangga baik Bapak RSM maupun istri untuk menstabilkan kondisi
rumahtangganya dari guncangan krisis banjir yang merendam sawah garapannya.
Bapak RSM dan istri juga tidak mampu mencari pekerjaan lain di luar sektor
pertanian untuk menambah pendapatannya karena keterbatasan fisik dan
Box 8. Kisah kasus kehidupan Bapak RSM (73 tahun)
Bapak RSM adalah seorang petani penggarap lahan seluas 200 bata
atau setara dengan 0.28 hektar. Bapak RSM hanya tinggal berdua dengan
istrinya sedangkan anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Istri
Bapak RSM dulu adalah buruh tani dan membantu Bapak RSM menggarap
lahan namun karena usia yang semakin tua, beliau tidak sanggup lagi menjadi
buruh tani dan hanya membantu Bapak RSM semampunya selebihnya beliau
hanya mengurus rumahtangga. Bapak RSM menggantungkan hidupnya pada
hasil panen padi sawah yang beliau tanam. Beliau tidak mampu bekerja
menjadi buruh bangunan atau bermigrasi ke kota karena usia yang sudah tua.
Tahun 2013, lahan sawah yang digarapnya sudah tiga kali terendam banjir
dan tiga kali pula ia mencoba menanamnya kembali. Modal pertama
menanam diperoleh dari sisa hasil panen tahun lalu yang masih ada dan
selebihnya meminjam kepada tetangga. Hingga bulan Oktober 2013, sawah
yang digarapnya belum pernah panen sekalipun. Bapak RSM mendapatkan
penghasilan sebesar Rp2 000 000 dari hasil membantu memanen sawah
tetangga yang lain. Di Desa Ciganjeng, petani yang lain boleh membantu
tetangga lainnya yang sedang panen dan nantinya akan diberi sebagian hasil
panen sesuai dengan yang telah disepakati bersama. Pendapatan tersebut tidak
mampu menutupi kebutuhan hidup rumahtangganya sebesar Rp255 600 per
bulan. Biaya pengeluaran tersebut sudah sangat ditekan oleh Bapak RSM dan
istri semaksimal mungkin misalnya dengan menanam sayuran di kebun
rumah untuk mengurangi biaya keperluan dapur. Akan tetapi, hal ini belum
mampu mengeluarkan keluarga Bapak RSM dari krisis yang dihadapinya
66
kemampuan yang dimiliki. Cara Bapak RSM memenuhi kekurangan
kebutuhannya adalah meminta bantuan kepada anak-anaknya atau meminjam
kepada tetangga. Tidak jarang juga Bapak RSM diberi bantuan oleh tetangga
dekatnya berupa makanan. Dengan alasan tersebut, rumahtangga Bapak RSM
termasuk kategori mulai tidak lenting atau kurang lenting.
Dalam penelitian ini, hanya satu rumahtangga yang dikatakan memiliki
kelentingan yang cukup karena tingkat pendapatannya masih setara dengan
tingkat pengeluarannya walaupun terkena guncangan krisis banjir. Rumahtangga
tersebut adalah rumahtangga Bapak IKN yang kisah kehidupannya sudah
dijelaskan pada Box 3 bab sebelumnya. Pendapatan rumahtangga Bapak IKN
selama tahun 2013 ini sebesar Rp10 440 000 sedangkan besar pengeluaran
rumahtangga sebesar Rp10 560 000. Besar pendapatan dan pengeluaran tersebut
masih dianggap setara karena kekurangannya hanya Rp120 000. Rumahtangga
Bapak IKN dikatakan memiliki kelentingan yang cukup karena walaupun
diguncang dengan krisis banjir yang merendam sawahnya tapi masih mampu
bertahan. Kegagalan panen karena banjir dapat diatasi dengan mencari pekerjaan
lain yang bisa menghasilkan pendapatan tambahan. Pekerjaan yang dipilih adalah
dengan mencari ikan saat banjir tersebut merendam sawahnya dan juga menjadi
buruh tani di desa lain yang tidak terendam banjir. Penghasilannya memang tidak
sebesar hasil panen yang didapatkan apabila sawah tidak terendam tetapi mampu
menutupi kekurangan tersebut dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
walaupun pas-pasan. Kemampuan Bapak IKN dan anggota rumahtangganya yang
lain untuk menstabilkan kondisi rumahtangganya agar tidak jatuh akibat
guncangan bencana cukup baik sehingga dapat dikatakan memiliki kelentingan
yang cukup.
Kelentingan nafkah tinggi dimiliki oleh 45.71 persen responden dalam
penelitian ini. Jumlah tersebut didominasi oleh rumahtangga dengan tingkat
pendapatan yang tinggi. Kelentingan nafkah yang tinggi membuat rumahtangga
mampu bertahan dari ancaman krisis dengan memanfaatkan saving capacity yang
dimilikinya. Saving capacity yang dimiliki oleh rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng memang tidak selalu berbentuk uang tunai tetapi ada juga yang
berbentuk barang berharga seperti perhiasan yang cepat dijual apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan. Ada juga yang menginvestasikan kelebihan pendapatannya
dalam bentuk hewan ternak seperti ayam dan kambing. Contoh kasus
rumahtangga yang memiliki kelentingan nafkah yang tinggi adalah Bapak DSH
(48 tahun).
67
Berdasarkan kasus kehidupan Bapak DSH, dapat diketahui bahwa
rumahtangga dengan tingkat pendapatan yang tinggi mampu bertahan dari
guncangan banjir dan kekeringan yang datang silih berganti. Rumahtangga Bapak
DSH tidak bergantung sepenuhnya pada sektor pertanian sehingga saat musim
krisis, rumahtangga Bapak DSH masih memiliki lubang nafkah lain yang mampu
menghasilkan pendapatan bagi rumahtangganya. Ketika lubang nafkah dari
lubang sektor pertanian tertutup maka rumahtangga Bapak DSH akan membuka
lubang lain di sektor non pertanian. Semua rumahtangga kategori dengan tingkat
pendapatan tinggi memiliki kelentingan yang tinggi. Oleh karena itu, semakin
tinggi tingkat pendapatan sebuah rumahtangga maka kecenderungan rumahtangga
tersebut memiliki kelentingan yang tinggi.
Rumahtangga yang memiliki saving capacity yang tinggi maka akan
semakin aman dari ancaman krisis dan semakin tinggi tingkat kelentingannya.
Asumsinya, dengan saving capacity yang tinggi tersebut, rumahtangga petani
dapat mengatasi kerugian dari sawah yang terendam banjir. Jika ditinjau
berdasarkan tingkat saving capacity, rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
memang memiliki kelentingan nafkah yang rendah namun bukan berarti
rumahtangga tersebut jatuh dan tidak mampu bertahan. Kesenjangan tingkat
pengeluaran dan pendapatan berusaha sedemikian rupa ditutupi oleh mereka
dengan cara berhutang terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketersediaan Kesempatan Kerja di Luar
Kelentingan nafkah rumahtangga petani dipengaruhi oleh ketersediaan
kesempatan kerja lain di luar sektor pertanian. Semakin banyak kesempatan untuk
bekerja di luar sektor pertanian maka akan semakin meningkatkan daya lenting
mereka terutama pada saat krisis. Bagi petani yang memiliki ketersediaan
kesempatan pekerjaan di luar maka kerugian akibat sawah mereka yang terkena
dapat ditutupi. Misalnya, pada saat sawah petani tergenang banjir, ada anggota
rumahtangga yang mengambil kesempatan untuk bekerja menjadi tukang ojek
atau buruh bangunan untuk menutupi kerugian akibat gagal panen. Apabila semua
Box 9. Kisah kasus kehidupan Bapak DSH (48 tahun)
Bapak DSH adalah petani dengan luas lahan yang dikuasai sebesar
2.45 hektar. Selain sebagai petani, Bapak DSH juga bekerja sebagai pedagang
ikan. Pada saat banjir merendam sawahnya, Bapak DSH bertumpu pada
penghasilannya sebagai pedagang ikan. Dua anak Bapak DSH telah bekerja
sebagai buruh jahit konveksi dan menghasilkan pendapatan yang menjadi
tambahan bagi pendapatan rumahtangga. Selama setahun, rumahtangga
Bapak DSH dapat menghasilkan pendapatan sebesar Rp31 200 000 dari
sektor non pertanian sedangkan dari sektor pertanian hanya dapat
menghasilkan pendapatan sebesar Rp3 200 000. Pengeluaran rumahtangga
Bapak DSH sebesar Rp26 520 000. Jumlah tersebut dapat dipenuhi oleh
rumahtangga Bapak DSH dan juga memiliki kemampuan atau kapasitas untuk
menabung. Rumahtangga Bapak DSH mampu bertahan dengan baik
walaupun mengalami kegagalan pertanian karena sawah yang terendam.
Rumahtangga Bapak DSH menerapkan pilihan strategi nafkah yang tepat dan
mampu menstabilkan kondisi nafkah rumahtangga karena banjir.
68
anggota dalam rumahtangga tersebut melakukan hal yang sama maka bukan tidak
mungkin bahwa kerugian akibat banjir yang mereka derita dapat diminimalisasi
atau bahkan hasilnya lebih dari itu. Rumahtangga yang demikian dinamakan
memiliki rumahtangga dengan tingkat kelentingan nafkah yang tinggi. Hal
tersebut dapat terjadi apabila kesempatan kerja di luar sektor pertanian banyak
tersedia di sekitar mereka. Kesempatan kerja selain menjadi petani yang tersedia
di Desa Ciganjeng di antaranya adalah sebagai tukang ojek, buruh bangunan,
buruh jahit di koveksi rumahan, berdagang, penjaga toko, supir, serta berbagai
pekerjaan lain di sektor informal.
Kemampuan Akses terhadap Kesempatan Kerja Lain
Ketersediaan kesempatan pekerjaan memang dapat meningkatkan
kelentingan nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi krisis namun
ketersediaan kesempatan kerja di luar tidak akan berarti apabila sumberdaya
manusianya tidak mampu mengakses atau menjangkau kesempatan kerja tersebut.
Semakin mampu rumahtangga mengakses kesempatan kerja di luar pertanian pada
saat krisis maka tingkat kelentingan nafkahnya akan semakin tinggi dengan
asumsi mereka akan mendapatkan tambahan penghasilan pekerjaan tersebut.
Berikut ini tabel yang menunjukkan jumlah rumahtangga menurut tingkat
kelentingannya berdasarkan pada kemampuan rumahtangga tersebut mengakses
kesempatan kerja lain di luar sektor pertanian pada saat krisis.
Tabel 13 Frekuensi dan persentase tingkat kelentingan nafkah rumahtangga
petani berdasarkan kemampuan mengakses kesempatan kerja di luar
pertanian di Desa Ciganjeng tahun 2013
Kategori Frekuensi Persentase
Kurang lenting 4 11.43
Cukup lenting 8 22.86
Lenting 23 65.71
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Tabel 13 tersebut menunjukkan bahwa tingkat kelentingan rumahtangga
petani bila dilihat dari kemampuan untuk mengakses kesempatan kerja lain di luar
pertanian pada saat krisis tergolong kategori lenting dengan persentase 65.71
persen dari total 35 responden. Hal ini dapat dilihat dari seberapa banyak
rumahtangga petani yang anggota rumahtangganya memiliki pekerjaan lain di luar
pertanian pada saat krisis. Rumahtangga yang kurang lenting hanya ada 11.43
persen. Jumlah tersebut diperoleh dari rumahtangga yang anggotanya tidak
memiliki pekerjaan lain ketika terjadi banjir. Mereka yang termasuk dalam
golongan ini mengandalkan sepenuhnya pada hasil pertanian. Semua rumahtangga
golongan kurang lenting tidak mampu mengakses kesempatan kerja yang tersedia
karena faktor usia yang sudah tua. Rumahtangga yang memiliki kelentingan
cukup ada sebanyak 22.86 persen. Rumahtangga tersebut dikatakan cukup lenting
karena mampu mengakses kesempatan kerja lain di luar pertanian namun hanya
mampu mengakses satu pekerjaan saja. Pekerjaan yang diakses pun tidak masih
dalam lingkup Desa Ciganjeng sedangkan rumahtangga yang dikatakan memiliki
69
kelentingan yang tinggi mampu mengakses lebih dari satu pekerjaan di luar
pertanian baik di dalam maupun di luar Desa Ciganjeng.
Ketersediaan Modal Sosial
Modal sosial merupakan salah satu dari lima aset modal yang utama
dimainkan rumahtangga terutama golongan menengah dan bawah untuk bertahan
hidup. Dari tiga parameter modal sosial yang diungkapkan Ridell (1997) dalam
Soeharto (2006) yaitu kepercayaan, norma-norma, dan jaringan. Modal sosial
berupa jaringan (networking) yang mempengaruhi tingkat kelentingan
rumahtangga. Jaringan-jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani mampu
meningkatkan kelentingan nafkah karena asumsinya jaringan-jaringan tersebut
dapat menolong mereka untuk bertahan hingga ke luar dari krisis. Semakin
banyak jaringan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga maka akan semakin tinggi
jaminan keamanan rumahtangga tersebut untuk bertahan dari krisis. Semakin
aman dari ancaman krisis maka semakin tinggi pula tingkat kelentingannya.
Jaringan-jaringan yang ada di Desa Ciganjeng dapat dikategorikan menjadi
beberapa jenis seperti berikut.
1. Jaringan berbasis ikatan genealogis Jaringan ini terbentuk karena adanya ikatan kekerabatan atau keturunan satu
nenek moyang misalnya jaringan dalam masyarakat suku Sunda, jaringan
keluarga Nasoetion, dan lain-lain. Masyarakat Desa Ciganjeng sendiri didominasi
oleh dua suku yaitu suku Sunda dan suku Jawa. Warga suku Sunda maupun suku
Jawa memiliki ikatan yang kuat di dalam sukunya masing-masing maupun
jaringan antar suku. Warga suku Jawa di Desa Ciganjeng mendominasi wilayah
RW 7 dan RW 8 sedangkan suku Sunda mendominasi selain wilayah RW 7 dan 8.
Warga suku Jawa dominan melakukan migrasi ke luar desa dibandingkan dengan
warga dari suku lainnya. Jaringan antara warga suku Jawa yang bermigrasi
dengan yang ada di desa terjalin dengan kuat sehingga setiap ada infomarsi
mengenai pekerjaan baru maka akan cepat menyebar dan selalu ada saja yang
kemudian menyusul untuk mencoba mendapatkan pekerjaan tersebut. Mereka
yang memutuskan untuk ikut bekerja di luar desa merasa tenang karena sudah
mendapatkan jaminan yang pasti mengenai tempat tinggal dan siapa yang harus
dihubungi ketika berada di sana. Jaminan tersebut didapatkan karena ikatan
genealogis yang kuat sesama suku Jawa.
Begitu pula yang terjadi dengan warga suku Sunda yang lebih suka bekerja
di dalam desa. Apabila ada pemilik lahan yang butuh bantuan buruh untuk
membantu mengolah lahan maka sudah ada kontak-kontak tertentu yang langsung
dihubungi dan biasanya yang dihubungi pertama kali adalah masih kerabatnya.
Jaringan-jaringan itu juga lah yang lebih dahulu dihubungi ketika mereka
membutuhkan bantuan untuk bertahan dari krisis. Rasa memiliki sesama warga
semakin tinggi misalnya dengan memberi tahu warga lain apabila ada pekerjaan
yang bisa diakses di kota. Hubungan sosial yang ada semakin erat juga sebagai
salah satu cara bertahan dari guncangan krisis yang terjadi
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan jumlah rumahtangga yang
memanfaatkan jaringan berbasis genealogis sebagai prioritas utama pada saat
sumber nafkah utama mereka terguncang krisis.
70
Tabel 14 Frekuensi dan persentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat
pemanfaatan jaringan berbasis genealogis di Desa Ciganjeng tahun
2013
Kategori Frekuensi Persentase
Memanfaatkan 19 54.29
Tidak memanfaatkan 16 45.71
Total 35 100.00
Sumber: data primer
Berdasarkan Tabel 14 di atas dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat
Desa Ciganjeng memanfaatkan jaringan berbasis genealogis yang mereka miliki
untuk bertahan pada saat sumber nafkah utama mereka mengalami krisis yaitu
sebanyak 54.29 persen. Mereka yang termasuk dalam 45.71 persen lainnya bukan
tidak memanfaatkan jaringan berbasis genealogis, hanya saja itu bukan menjadi
prioritas utama. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa
Ciganjeng memiliki jaringan berbasis genealogis yang dapat mereka manfaatkan
apabila terjadi krisis.
2. Jaringan berbasis kesamaan teritorial Jaringan ini terbentuk karena ada kesamaan tempat tinggal bersama
misalnya satu RW atau satu RT. Di seluruh RW yanga da di Desa Ciganjeng,
setiap warga terikat dalam satu jaringan yang membuat mereka satu sama lain
saling membantu apabila ada krisis yang menimpa salah satu penduduk. Apabila
banjir melanda desa, setiap RW langsung menjalankan mekanisme gotong
royongnya masing-masing. Ada RW di mana pada saat banjir besar hingga masuk
ke rumah-rumah, setiap warganya langsung mengeluarkan sampan untuk
mengamankan barang-barang berharga milik pribadinya maupun milik
tetangganya yang lain. Rasa tolong menolong sesama warga sangat tinggi terbukti
pada saat tetangga membutuhkan pinjaman untuk modal menanam atau kebutuhan
sehari-hari.
Ada juga sistem “perelek” yang kental dianut oleh seluruh warga di Desa
Ciganjeng. Sistem “perelek” ini tidak hanya mengikat masyarakat per RW
masing-masing tetapi juga mengikat seluruh masyarakat desa. “Perelek” menjadi
mekanisme yang meningkatkan kelentingan nafkah rumahtangga di Desa
Ciganjeng. “Perelek” menjadi salah satu cara bertahan hidup masyarakat untuk
bertahan dari krisis ekologi yang terjadi karena setidaknya walaupun mereka
mengalami gagal panen, masih ada cadangan beras untuk makan sehari-hari hasil
dari “perelek” itu. Hal tersebut dikuatkan oleh Ibu TCH (40 tahun).
“Di sini mah ada yang namanya “perelek” neng, jadi kalo banjir juga masih ada
cadangan beras deh walaupun cuma sedikit yang penting ada jadi ngga sampai
ada yang kelaparan. Terus kalau di sini itu warga pasti punya beras walaupun
sedikit jadi misal ada warga lain yang kebanjiran sampe masuk rumah, kita bisa
bantu kasih beras kan lumayan buat makan.”
Jaringan berbasis kesamaan tutorial yang erat ada di masyarakat Desa
Ciganjeng meningkatkan kelentingan nafkahnya saat terjadi krisis. Semakin
banyak jaringan yang mampu dimaksimalisasikan dengan baik oleh masyarakat
71
maka akan semakin tinggi tingkat kelentingan nafkahnya karena asumsinya akan
semakin banyak cara untuk bertahan dari krisis yang dihadapi.
3. Jaringan berbasis kolektivitas agama Jaringan lain yang ada di masyarakat Desa Ciganjeng adalah jaringan
berbasis kolektivitas agama. Penduduk Desa Ciganjeng mayoritas beragama Islam
karenanya ada perkumpulan-perkumpulan pengajian baik ibu-ibu, remaja,
maupun bapak-bapak. Masyarakat menjadikan pengajian sebagai rutinitas
kehidupan mereka sehingga sebisa mungkin mereka akan hadir dalam pengajian
tersebut apabila tidak ada halangan yang mendesak. Kesungkanan untuk tidak
hadir dalam pengajian ini terebentuk karena eratnya interaksi-interaksi yang
terjadi antar anggota pengajian. Setiap pengajian, anggota mengumpulkan
sedekah yang kemudian akan digunakan baik untuk perbaikan masjid/musholla
tersebut maupun untuk membantu warga yang mengalami musibah. Ditinjau lebih
jauh, cara-cara tersebut dapat meningkatkan kelentingan warga di Desa
Ciganjeng. Ketika ada warga yang terkena musibah, maka sumbangan dari masijd
dapat membantunya untuk bertahan menghadapi guncangan yang terjadi. Semakin
banyak hal ini dilakukan maka akan semakin terjamin pula keamanan kehidupan
masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan mereka untuk
bertahan dari krisis.
Banjir menyebabkan kegagalan pertanian sawah yang mayoritas menjadi
tumpuan hidup rumahtangga petani namun dengan adanya jaringan-jaringan sosial
dalam masyarakat, rumahtangga petani mampu bertahan dengan menerapkan
strategi nafkah yang berbasiskan modal sosial. Hal ini juga menunjukkan bahwa
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng memiliki tingkat kelentingan yang tinggi
karena masih bisa bertahan walaupun banjir terjadi setiap tahun dan itu bisa
terjadi karena adanya jaringan-jaringan yang membantu dan menahan mereka
untuk tidak terjatuh dalam jurang kemiskinan.
Ketersediaan Teknologi Pendukung
Aspek kelentingan nafkah lainnya adalah ketersediaan teknologi pendukung
untuk mengatasi banjir yang terjadi setiap tahun. Fakta, sudah ada teknologi
pendukung yang dapat membantu masyarakat untuk tetap bisa menanam padi
walaupun sawah mereka tergenang banjir. Teknologi tersebut adalah “Sawah
Apung”. Sawah Apung mampu membuat petani tetap bisa menanam padi dengan
cara „mengapungkan‟ media tanamnya di atas sawah yang tergenang banjir
dengan bantuan bambu-bambu. Adanya teknologi Sawah Apung ini mampu
meningkatkan kemampuan rumahtangga petani untuk bertahan dari banjir dengan
tetap berproduksi dan pada akhirnya hasil panen dari Sawah Apung mampu
meningkatkan pendapatan rumahtangga.
Sawah Apung menjadi inovasi baru bagi petani di Desa Ciganjeng dan dapat
menjadi cara alternatif untuk tetap bisa berproduksi walaupun sawahnya
tergenang banjir. Sayangnya, inovasi ini tidak mampu diterapkan oleh mereka
karena kendala biaya yang tinggi. Petani harus mengeluarkan biaya sebesar ±
Rp40 000 000 untuk bisa menerapkan Sawah Apung. Hal itu sulit untuk dilakukan
mengingat rata-rata pendapatan rumahtangga petani di desa keseluruhan hanya
Rp18 760 000 per tahun atau setara dengan Rp51 000 per hari. Nominal yang
72
cukup jauh jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu,
hasil panen dari Sawah Apung belum mencapai titik maksimal untuk bisa
menutupi biaya yang harus dikeluarkan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak
IKN (49 tahun)
“Saya mah neng daripada uang 40 juta cuma untuk sawah apung lebih baik kalau
adauangnya saya buat tambak ikan, lebih keliatan hasilnya. Lagipula kita juga
ngga ngerti itu gimana caranya terus belom tentu hasilnya bisa ngebalikin yang
40 juta”
Bila ditinjau dari segi efektivitas biaya, Sawah Apung memang masih belum
mampu diaplikasikan petani di Desa Ciganjeng secara mandiri namun keberadaan
Sawah Apung sudah dapat menjadi jaminan keamanan yang baru bagi petani
apabila sawah mereka tergenang banjir. Asumsinya, walaupun sawah tergenang
tapi mereka masih mampu berproduksi. Walaupun rumahtangga petani diguncang
krisis namun mereka tetap bisa bertahan hidup karena memiliki mekanisme yang
menstabilkan kondisi mereka untuk keluar dari krisis dengan teknologi yang ada.
Hanya saja, perlu dirumuskan kembali cara lain untuk menekan biaya produksi
Sawah Apung agar mampu dijangkau petani di Desa Ciganjeng. Dengan adanya
teknologi Sawah Apung ini, menunjukkan bahwa sebenarnya rumahtangga petani
di Desa Ciganjeng memiliki jaminan keamanan kehidupan yang dapat
dimaksimalisasikan sehingga tidak membuat mereka untuk jatuh saat terguncang
krisis. Hal ini juga membuktikan bahwa rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
sudah memiliki kelentingan yang baik karena ada upaya untuk mempertahankan
hidupnya dengan memodifikasi teknologi agar tetap bisa berproduksi.
Teknologi sawah apung ini hanya mampu dilakukan oleh rumahtangga
lapisan atas karena biaya produksi yang dibutuhkan terlalu besar. Bagi
rumahtangga lapisan bawah, jumlah biaya yang dibutuhkan untuk
mengaplikasikan teknologi sawah apung lebih baik untuk membuat tambak atau
keperluan lainnya dibandingkan untuk sawah apung. Petani lapisan bawah di Desa
Ciganjeng tidak berani mengambil resiko menginvestasikan uang dalam jumlah
besar tersebut sementara jaminan hasil panen dari sawah apung tersebut belum
sesuai dengan modal yang dibutuhkan.
Natural Extraction Activities
Cara lain seseorang untuk mempertahankan hidup dan menstabilkan
kondisinya ketika diguncang krisis adalah dengan melakukan kegiatan yang
memanfaatkan ketersediaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kegiatan
semacam itu disebut dengan natural extraction activities di mana seseorang
mengambil sumberdaya yang tersedia di alam langsung untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Di Desa Ciganjeng, hal ini juga dilakukan masyarakat
sebagai upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan serta mempertahankan
kehidupannya saat banjir menggenangi sawah mereka berminggu-minggu setiap
tahunnya. Contoh bentuk natural extraction activities yang dilakukan petani di
Desa Ciganjeng saat sawah terkena banjir adalah mencari ikan yang ada di lokasi
banjir itu sendiri dan kemudian menjualnya. Hasil penjualan ikan tersebut
kemudian dapat digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Contoh kasus
rumahtangga yang menerapkan cara ini adalah Bapak KSN (51 tahun).
73
“Kalau sawahnya lagi banjir, ya saya cari ikan disitu juga, lumayan bisa buat
makan. Kalau lagi banyak mah bisa dijual neng, ya walaupun ikannya kecil-kecil
tapi lumayan daripada cuma duduk ngeliatin sawah yang kebanjiran. Baru
ditanem belom lama udah dateng tuh luapan dari Cirapuan”
Berdasarkan penuturan Bapak KSN di atas diketahui bahwa Bapak KSN
tidak serta merta tinggal diam melihat sawahnya tergenang banjir. Beliau mencari
ikan pada saat banjir sebagai usaha untuk mempertahankan rumahtangganya
dalam kondisi stabil dan tetap menghasilkan pendapatan walaupun sedikit. Usaha
yang dilakukan Bapak KSN ini juga dilakukan oleh rumahtangga lain yang
memiliki peralatan untuk mencari ikan. Banjir yang menggenangi sawah mereka
tidak lantas menjadikan mereka pasrah menerima keadaan namun berjuang lebih
keras untuk bisa tetap menghidupi rumahtangga masing-masing. Natural
extraction activites yang dilakukan rumahtangga petani tersebut meningkatkan
kelentingan nafkah rumahtangganya. Oleh karena itu, rumahtangga petani di desa
Ciganjeng dapat dikatakan memiliki kelentingan nafkah yang tinggi karena
walaupun sawah mereka tergenang banjir namun mereka tetap bisa melakukan
sesuatu yang menghasilkan pendapatan bagi rumahtangganya dan salah satunya
adalah dengan natural extraction activities.
Pengurangan Jatah Makan
Aspek lain yang meningkatkan kelentingan nafkah suatu rumahtangga
adalah dengan cara mengurangi jatah makan sehari-hari anggota rumahtangga
tersebut. Jika pada saat masa normal setiap anggota dalam suatu rumahtangga
mampu makan 3 kali sehari maka pada saat masa krisis anggota rumahtangga
tersebut hanya makan 2 kali sehari untuk mengurangi biaya pengeluaran setiap
harinya. Cara ini memang mampu membuat hidupnya bertahan lebih lama pada
saat krisis namun pada saat yang sama pula sebenarnya individu atau
rumahtangga yang melakukannya sedang mengurangi kelentingannya sendiri.
Kondisi fisik tidak menerima asupan makanan yang ideal sehingga akan
mengurangi juga kemampuannya untuk melakukan pekerjaan yang lebih banyak.
Bila cara ini dilakukan terus menerus bukan tidak mungkin justru akan membuat
individu atau rumahtangga tersebut mengalami kondisi yang lebih terpuruk dari
sebelumnya.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan cara ini,
salah satunya karena kondisinya yang benar-benar miskin. Contoh kasus
responden yang mengurangi jatah makan saat krisis adalah Ibu DMH (46 tahun)
“Kalau sawahnya lagi banjir, ya ngga bisa kerja. Ngga ada yang nyuruh buburuh
jadi ngga ada uang buat beli makanan. Kalau ada tetangga yang ngasih baru makan,
kalau ngga ya ngga. Sering juga cuma makan sama yang ada di kebon aja. Seadanya
aja lah neng, tapi kalau ada uang sedikit juga paling makan cuma 2 kali. Biasanya
ibu simpen biar besok masih bisa makan tapi kalau lagi banyak yang nyuruh
ngebuburuh baru bisa makan 3 kali, lauknya ya seadanya aja yang penting makan.”
Ibu DMH memiliki kelentingan yang cukup baik karena walaupun tidak
bekerja sama sekali namun beliau masih bisa bertahan dengan cara mengurangi
jatah makannya namun pada saat yang sama juga sebenarnya Ibu DMH sedang
mengurangi kelentingannya sendiri dengan tidak memberi asupan yang cukup
bagi tubuhnya. Dalam penelitian ini, hanya ditemukan satu kasus saja yang
74
melakukan cara pengurangan jatah makan (reduction food supply). Rumahtangga
yang lain mampu menghindari cara ini karena mengoptimalkan jejaring yang
dimiliki untuk bertahan dan tetap memenuhi kebutuhan fisiologisnya dengan
normal. Rumahtangga yang lain mengandalkan strategi hutang di warung untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tingkat kelentingan nafkah masing-masing rumahtangga mempengaruhi
strategi nafkah yang diambil. Hal itu karena masing-masing rumahtangga
memiliki kemampuan yang berbeda untuk bangkit dari kondisi setelah terkena
shock. Rumahtangga dengan kelentingan yang paling rendah cenderung memilih
strategi migrasi. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian atau seluruh anggota
rumahtangga tersebut ini biasanya dari desa ke kota. Hal ini terjadi karena
rumahtangga tersebut sudah tidak mampu lagi mengakses sumber nafkah yang
ada di Desa Ciganjeng. Rumahtangga tersebut tidak cukup baik untuk memainkan
lima basis nafkah yang tersedia di Desa Ciganjeng sehingga harus keluar dari desa
untuk mendapatkan penghasilan. Walaupun rumahtangga tersebut tetap bisa
bertahan hidup namun kelentingannya dikatakan rendah karena tidak mampu
sepenuhnya mengabsorpsi shock berupa banjir.
Rumahtangga dengan tingkat kelentingan nafkah yang paling tinggi
cenderung menerapkan strategi nafkah berupa investasi non pertanian. Hal ini
terjadi karena rumahtangga dengan kelentingan yang tinggi mampu mengabsorpsi
shock akibat banjir yang menggenangi sawah mereka dengan menginvestasikan
kelebihan pendapatan yang dimiliki ke sektor non pertanian sehingga apabila
musim krisis tiba, rumahtangga mereka tetap mendapatkan penghasilan dari hasil
sektor non pertanian tersebut. Investasi di sektor non pertanian menjadi cara
mereka bertahan dari krisis karena tidak bergantung pada cuaca dan iklim seperti
sektor pertanian.
Ikhtisar
Krisis ekologi membuat kondisi individu maupun rumahtangga yang
mengalaminya dalam keadaan tidak stabil bahkan tidak jarang krisis tersebut
membuat seseorang atau rumahtangga makin terjerembab dalam lingkaran
kemiskinan. Banjir yang menggenangi sawah di Desa Ciganjeng selama
berminggu-minggu setiap tahunnya membuat rumahtangga petani mengalami
gagal panen dan mengurangi pendapatan yang seharusnya mereka terima. Kondisi
seperti ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun namun hal itu tidak membuat
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng lantas jatuh begitu saja. Rumahtangga
petani di Desa Ciganjeng memiliki kemampuan untuk bertahan dan menstabilkan
kembali kondisi rumahtangga saat krisis yang dinamakan kelentingan.
Kemampuan rumahtangga untuk bertahan dari guncangan krisis ekologi ini
berbeda-beda bergantung pada sejauh mana rumahtangga tesebut mampu
mengombinasikan atau memanipulasi basis nafkah yang dapat diakses. Semakin
baik rumahtangga memainkan lima aset modal yang ada maka artinya akan
semakin lenting pula kemampuan rumahtangga tersebut bertahan dari krisis.
Rumahtangga petani juga melakukan tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan
kelentingan nafkahnya, di antaranya adalah dengan memanfaatkan saving
75
capacity yang dimiliki rumahtangga tersebut untuk modal atau memenuhi
kebutuhan hidupnya. semakin tinggi saving capacity maka tingkat kelentingan
nafkahnya akan semakin tinggi. Bila ditinjau dari aspek saving capacity,
rumahtangga petani di Desa Ciganjeng memiliki tingkat kelentingan nafkah yang
kurang namun bila dilihat dari aspek lainnya memiliki hasil yang berbeda.
Meninjau dari aspek ketersediaan kesempatan kerja lain di luar sektor
pertanian serta kemampuan untuk mengaksesnya, rumahtangga petani di Desa
Ciganjeng dapat dikategorikan memiliki kelentingan nafkah yang tinggi. banyak
anggota rumahtangga yang kemudian mengerjakan pekerjaan lain pada saar
sawahnya tergenang banjir dan hasilnya meningkatkan pendapatan bagi
rumahtangga mereka. Kegagalan hasil panen mampu diatasi dengan mendapatkan
pendapatan lain di luar sektor pertanian. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan
rumahtangga petani untuk bertahan dan menstabilkan kondisinya yang diguncang
krisis adalah cukup baik.
Rumahtangga di Desa Ciganjeng juga memiliki modal sosial yang baik yang
mampu menjamin keamanan kelangsungan kehidupan mereka pada saat krisis.
Modal sosial yang dominan adalah jaringan-jaringan yang dimiliki masing-masing
rumahtangga, yaitu jaringan berbasis genealogis, jaringan berbasis koletivitas
agama, jaringan berbasis kesamaan teritorial. Modal sosial tersebut meningkatkan
kelentingan nafkah rumahtangga petani di Desa Ciganjeng sehingga mereka
masih tetap bisa bertahan walaupun banjir menjadi krisis langganan yang harus
mereka hadapi setiap tahun.
Kelentingan nafkah rumahtangga di Desa Ciganjeng termasuk kategori
tinggi juga karena melakukan natural extraction activities di mana mereka
memanfaatkan kondisi banjir yang terjadi untuk mencari ikan dan kemudian
mendapatkan hasil yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cara
lain yang dapat menunjukkan bahwa rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
memiliki kelentingan yang tinggi adalah keberanian melakukan cara reduction
food supply di mana rumahtangga mengurangi jatah makannya untuk tetap bisa
bertahan. Hal tersebut menegaskan bahwa rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
tidak mau menyerah pada keadaan krisis yang menimpa mereka. Segala upaya
dilakukan untuk tetap bisa bertahan dan menstabilkan kembali kondisi
rumahtangganya dan terbukti bahwa rumahtangga petani di Desa Ciganjeng masih
tetap bertahan hingga saat ini.
76
.
77
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijabarkan seluruhnya dalam bab
sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini menjawab
masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada pendahuluan serta
menjelaskan pengujian hipotesis yang telah disusun sebelumnya.
Berdasarkan tujuan dan masalah penelitian yang telah disusun, maka
terdapat dua kesimpulan untuk menjawab hal tersebut, yaitu (1) variasi strategi
nafkah rumahtangga petani yang muncul setelah terjadi krisis ekologi, yaitu
strategi alokasi sumberdaya manusia, strategi pola nafkah ganda, strategi migrasi,
strategi intensifikasi pertanian, strategi berhutang dan strategi investasi non
pertanian; (2) kelentingan nafkah rumahtangga petani di Desa Ciganjeng yang
terkena krisis ekologi termasuk kategori tinggi karena walaupun sawah mereka
diguncang banjir selama berminggu-minggu setiap tahunnya namun mereka masih
tetap bisa bertahan dan bahkan tetap ada yang memiliki tingkat pendapatan yang
tinggi. Hal tersebut terjadi karena rumahtangga petani di Desa Ciganjeng
memiliki mekanisme pertahanan yang dilakukan baik secara individu maupun
kolektif dan mampu menjamin mereka untuk tetap bisa bertahan dan tidak jatuh.
Rumahtangga petani di Desa Ciganjeng juga mampu mengoptimalisasi modal-
modal yang mereka miliki untuk bertahan. Tindakan-tindakan yang dilakukan
juga merupakan cerminan strategi rumahtangga beradaptasi atas lingkungan
sekitarnya yang berubah.
Selain itu, berdasarkan hipotesis yang telah disusun dalam penelitian ini,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua hipotesis tersebut diterima.
Hipotesis tersebut adalah (1) diduga ada pengaruh antara tingkat pendapatan dan
tingkat pengeluaran dengan variasi strategi nafkah; (2) diduga ada hubungan
antara tingkat kelentingan nafkah dengan variasi strategi rumahtangga petani.
Semakin banyak strategi yang mampu diciptakan oleh rumahtangga untuk
bertahan pada saat krisis makan semakin lenting pula rumahtangga tersebut yang
berarti akan semakin bertahan dari ancaman krisis; (3) diduga ada hubungan
antara tingkat pemanfaatan livelihood asset dengan variasi strategi nafkah
rumahtangga petani. Semakin pintar rumahtangga memainkan lima aset modal
maka akan semakin banyak variasi strategi nafkah rumahtangga yang mampu
diciptakan dan semakin aman rumahtangga tersebut dari guncangan krisis ekologi.
Hasil temuan lain dalam penelitian ini adalah (1) semakin tinggi tingkat
pendapatan rumahtangga petani maka akan semakin banyak kontribusi
pendapatan dari sektor non pertanian dibandingkan dari sektor pertanian; (2)
semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka kapasitas rumahtangga
untuk menabung akan semakin tinggi; (3) Aspek-aspek yang mempengaruhi
kelentingan nafkah rumahtangga petani, yaitu saving capacity; ketersediaan
kesempatan kerja di luar; kemampuan mengakses kesempatan kerja di luar;
ketersediaan modal sosial yang terdiri atas jaringan berbasis ikatan genealogis,
jaringan berbasis kesamaan teritorial, dan jaringan berbasis kolektivitas agama;
ketersediaan teknologi pendukung; natural extraction activities; dan pengurangan
jatah makan. Semua aspek tersebut dapat meningkatkan tingkat kelentingan
78
nafkah rumahtangga namun ada satu aspek yang disarankan untuk tidak dilakukan
yaitu pengurangan jatah makan. Hal itu tidak disarakan dilakukan karena pada
saat yang sama pula rumahtangga yang menerapkan aspek tersebut sedang
mengurangi tingkat kelentingan nafkahnya sendiri.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah adanya tindakan
lanjutan untuk mengatasi krisis ekologi yang terjadi baik di hulu maupun di hilir
karena tidak akan berjalan ada perubahan maksimal jika hanya diperbaiki
kerusakan yang di hilir saja sedangkan yang di hulunya masih hancur. Selain itu,
diperlukan juga solusi yang tepat untuk peningkatan kapasitas dan kemampuan
petani untuk mengakses sektor lain di luar pertanian dan berwirausaha agar saat
terjadi banjir, petani bisa melakukan pekerjaan lain dan mendapatkan penghasilan
yang mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sawah apung dapat menjadi solusi
alternatif bagi petani agar bisa tetap berproduksi walaupun pada saat sawahnya
tergenang banjir dengan asumsi bahwa biaya produksinya harus
diminimalisasikan agar mampu dijangkau oleh petani lapisan bawah. Selain itu,
petani juga dapat difasilitasi dengan biji padi yang mampu bertahan walaupun
tergenang banjir selama satu hingga dua minggu yang telah dikeluarkan oleh Balai
Besar Padi. Hal itu dapat semakin meningkatkan kelentingan petani untuk tetap
bisa bertahan walau terjadi krisis ekologi.
79
DAFTAR PUSTAKA
Amalia R. 2013. Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor
Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor. 141 hal.
Darusman D. 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Yogyakarta:
[ID]: Debut Pr. 256 hal.
Dharmawan AH. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-
economic Changes in Rural Indonesia. [disertasi]. Gottingen [DE]: The
George-August University of Gottingen.
_______. 2006. Mewujudkan Good Ecological Governance dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam. [Internet]. [dikutip 25 Juni 2013]. Dapat diunduh
dari:
http://psp3.ipb.ac.id/file/Studi_Pembangunan_Lingkungan___2006.pdf
_______. 2007a. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi
Nafkah (Livelihood Sociology) Mahzab Barat dan Mahzab Bogor.
Sodality. 03(01): 169-192. [Internet]. [diakses pada 20 Maret 2013].
Dapat diunduh dari:
http://jagb.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5932/460
9
_______. 2007b. Konsep-konsep Dasar dan Isyu-isyu Kritikal Ekologi Manusia.
Modul Kuliah Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Departemen Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Ellis F. 1988. Peasant Economics: Farm Household and Agrarian Development.
Cambridge [US]: Cambridge University Press.
_______. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. New
York [US]: Oxford University.
Fridayanti N. 2013. Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani
Sekitar Kawasan Hutan Konservasi Di Desa Cipeuteuy, Kabupaten
Sukabumi. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 103 hal.
Holling CS.1973. Resilience and Stability of Ecologycal Systems. Annual Review
of Ecology and Systematic. 4: 1-23. [Internet]. Dapat diakses pada :
http://www.jstor.org/discover/10.2307/2096802?uid=3738224&uid=2&u
id=4&sid=21103163502031
Iqbal M. 2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa
Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). [tesis]. Bogor
[ID]: Institut Pertanian Bogor. 183 hal.
Marmuksinudin U. 2013. Banjir, Petani Ciganjeng Setahun Tak Panen. [Internet].
[dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diakses di
http://daerah.sindonews.com/read/2013/01/15/21/707467/banjir-petani-
ciganjeng-setahun-tak-panen
Masitoh AD. 2005. Analisis Strategi Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat
(Suatu Kajian Perbandingan: Komunitas Teh Ciguha Jawa Barat dan
Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur). [Skripsi]. Bogor
[ID]: Institut Pertanian Bogor. 130 hal.
80
Mattila P dan Wiro. 1999. Economis Theories of The Household: Critical Review.
World Institute for Development Economics Research.
Musyarofah SA. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Miskin Perkotaan (Studi
Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing,
Jakarta Utara). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 146 hal.
Nakajima C. 1986. Subjective Equilibrium Theory of the Farm Household.
Amsterdam [ND]: Amsterdam Elsevier Science Publisher BV.
Raharja S. 2011. Pendidikan Berwawasan Ekologi: Pemberdayaan Lingkungan
Sekitar untuk Pembelajaran. [Internet]. [dikutip pada 24 Juni 2013].
Dapat diakses pada:
http://eprints.uny.ac.id/137/1/PENDIDIKAN_BERWAWASAN_EKOL
OGI.pdf
Ramdan D. 2011. Jejak Krisis Ekologi di Tatar Pasundan: Catatan Akhir Tahun
WALHI 2011. [Internet]. [dikutip pada 23 Juni 2013]. Dapat diakses
pada:
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/29566271/Jejak_Kris
is_Ekologi_Jawa_Barat__2011.docx?AWSAccessKeyId=AKIAIR6FSI
MDFXPEERSA&Expires=1371974243&Signature=aXfKertzt1B4r6%2
F8OATkTh9jVCw%3D
Sapirstein G. 2006. Social Resilience: The Forgotten Element in Disaster
Reduction. Massachusetts [US]: Organizational Resilience International.
9 hal.
Scoones I. 1998. Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis. IDS
Working Paper 72.[Internet]. [dikutip pada 20 Desember 2013]. Dapat
diunduh dari:
https://www.ikipedia.net/images/a/a5/Scoones_1998_Sustainable_Rural_
Livelihoods.pdf
Singarimbun M dan Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]:
LP3ES. 336 hal.
Suharto E. 2006. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. [Internet]. [dikutip pada 20
Desember 2013]. Dapat diunduh dari:
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/MODAL_SOSIAL_DAN
_KEBIJAKAN_SOSIA.pdf
Widiyanto, Dharmawan AH, Prasodjo NW. 2010. Strategi Nafkah Rumahtangga
Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing: Studi Kasus di Desa
Wonotirto,dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten
Temanggung. Sodality. 04(01): 91-114. [Internet]. [diakses pada 20
Maret 2013]. Dapat diunduh dari:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5851/4516
Widodo S. 2011. Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di
daerah Pesisir. Makara. 15(1): 10-20. [diakses pada 20 Maret 2013].
Dapat diunduh dari:
http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/890/849
Wijayani MR. 2008. Gambaran Resiliensi pada Muslimah Dewasa Muda yang
Menggunakan Cadar. [skripsi]. Depok [ID]: Universitas Indonesia.
81
LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumen Penelitian
Keadaan sawah yang tergenang akibat banjir
Keadaan sawah yang kekeringan pada musim kemarau
Sungai Cirapuan dan kincir air sebagai sumber dan saluran irigasi
82
Wawancara responden dengan menggunakan kuesioner dan panduan pertanyaan
Teknologi sawah apung
Sumber: dokumen pribadi
83
Lampiran 2 Lokasi Penelitian
Sumber: dokumen sekunder
6
Gambar 13 Peta Kabupaten Pangandaran
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 14 Peta wilayah Desa Ciganjeng
6 Diunduh dari: http://1.bp.blogspot.com/-
SkSSdXKp4iY/UbjCl82_btI/AAAAAAAAAbE/xl5sDKeSTx8/s1600/peta%2Bpangandaran.jpg
84
Lampiran 3 Daftar Kerangka Sampling dan Responden Terpilih
No. Responden Alamat No Responden Alamat No Responden Alamat
1 KSW RW 01 45 MIS RW 07 89 KSN RW 08
2 TRN RW 01 46 MIR RW 07 90 WKM RW 08
3 RSM RW 01 47 TWJ RW 07 91 MNH RW 08
4 SLM RW 01 48 IDH RW 07 92 KSD RW 08
5 DRJ RW 01 49 HRN RW 07 93 ARM RW 08
6 IKN RW 01 50 HER RW 07 94 SJN RW 08
7 UDY RW 05 51 BHE RW 07 95 TKM RW 08
8 HRN RW 05 52 MUS RW 07 96 SMD RW 08
9 DLH RW 05 53 RKN RW 07 97 TTN RW 08
10 AWG RW 05 54 HRD RW 07 98 PRN RW 08
11 KSN RW 05 55 JJN RW 07 99 UAS RW 08
12 TCH RW 05 56 SRL RW 07 100 SUD RW 08
13 RKD RW 05 57 CRT RW 07 101 PNM RW 08
14 NLH RW 05 58 STM RW 07 102 SLN RW 08
15 DRM RW 05 59 SND RW 07 103 RSA RW 08
16 HRO RW 05 60 YAD RW 07 104 AGS RW 08
17 LRH RW 05 61 SGN RW 07 105 SMR RW 08
18 SKM RW 07 62 TTS RW 07 106 SYD RW 08
19 DNY RW 07 63 RML RW 07 107 RSO RW 08
20 KWN RW 07 64 TTT RW 07 108 TRJ RW 08
21 SAD RW 07 65 WMN RW 07 109 STN RW 08
22 CAH RW 07 66 YAD RW 07 110 TTM RW 08
23 DRW RW 07 67 DED RW 07 111 YAN RW 08
24 CRL RW 07 68 ASN RW 07 112 SPN RW 08
25 TSN RW 07 69 KTH RW 07 113 TTS RW 08
26 NRD RW 07 70 SRL RW 07 114 UDN RW 08
27 CIN RW 07 71 NNH RW 07 115 NRT RW 08
28 KCM RW 07 72 AWD RW 07 116 SMA RW 08
29 RSM RW 07 73 NWR RW 08 117 TTG RW 08
30 MRK RW 07 74 UTR RW 08 118 WGN RW 08
31 ADN RW 07 75 MSK RW 08 119 SRM RW 08
32 ASW RW 07 76 PRM RW 08 120 MRN RW 08
33 STM RW 07 77 WRN RW 08 121 ROS RW 08
34 TBR RW 07 78 SRM RW 08 122 DSH RW 08
35 KUS RW 07 79 SKJ RW 08 123 SAT RW 08
36 DMH RW 07 80 JMD RW 08 124 WWN RW 08
37 SAC RW 07 81 DKN RW 08 125 SDN RW 08
38 KAS RW 07 82 MRD RW 08 126 KSD RW 08
39 SAL RW 07 83 RKM RW 08 127 SRN RW 08
40 CAR RW 07 84 NWS RW 08 128 SAR RW 08
41 JHL RW 07 85 AMJ RW 08 129 MUR RW 08
42 KRJ RW 07 86 PAR RW 08 130 PRG RW 08
43 RUS RW 07 87 SJN RW 08 131 KRD RW 08
44 MAL RW 07 88 SKN RW 08 132 AY RW 08
Keterangan : responden terpilih
85
Lampiran 4 Rencana Kegiatan Penelitian
Kegiatan Juni
Septem-
ber Oktober
Novem-
ber
Desem-
ber Januari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
Pengambilan
data lapang
Pengolahan
dan analisis
data
Penulisan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
86
RIWAYAT HIDUP
Kunti May Wulan dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1992. Penulis
merupakan anak tunggal dari pasangan Arbain dan Supartini. Penulis memulai
pendidikannya di Taman Kanak-kanak Permata Ibu pada tahun 1996-1998,
kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Jatinegara Kaum 01 Pagi pada
tahun 1998-2003, Sekolah Dasar Ippor Limusnunggal 01 pada tahun 2003-2004,
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cileungsi pada tahun 2004-2007, Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Cileungsi pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010,
penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM). Penulis menyelesaikan
pendidikan strata satu hingga memperoleh gelar sarjana sebagai penerima
beasiswa Bidik Misi dari DIKTI sejak tahun 2010.
Selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis
aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan. Penulis merupakan anggota aktif dari
International Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS)
Local Comittee IPB berada pada divisi HRD sejak tahun 2010 hingga saat ini.
Penulis juga bergabung dalam Komunitas Peduli Pendidikan Sanggar Juara pada
tahun 2011-2012 sebagai anggota divisi Kreatif. Penulis merupakan pengurus
Badan Eksekutif Manusia Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB) Kabinet
Kreasi Untuk Negeri 2013 sebagai staff Kementerian Komunikasi dan Informasi
(KOMINFO). Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan beberapa acara yang
diselenggarakan di IPB, diantaranya Ketua Divisi Logistik dan Transportasi The
6th
Jurnalistik Fair 2013, Sekretaris Divisi Logistik dan Transportasi Masa
Perkenalan Departemen SKPM 2012, divisi PAK MPF FEMA 2012, divisi
Konsumsi The 4th IAAS Olympic, Project Officer Open Recruitment IAAS LC
IPB 2011, dan divisi Humas dan Publikasi Indonesian Ecology Expo (INDEX)
2011. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah Pengantar Ilmu
Kependudukan pada semester genap Tahun Ajaran 2012-2013.