Download - Chapter II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep dan Hakikat CSR
Ada banyak definisi yang diberikan untuk konsep CSR. Dari kata-kata
corporate, social, dan responsibility yang terkandung dalam istilah ini, maka
CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu perusahaan
terhadap masyarakat di mana perusahaan tersebut berdiri atau menjalankan usahanya
(http://www6.miami.edu/ethics/pdf_files/csr_guide.pdf, diakses 22 Jun. 2009).
Mas Achmad Daniri selaku Chairman of Mirror Committee on Social
Responsibility Indonesia menyebutkan CSR merupakan basis teori tentang perlunya
sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat setempat.
Secara teoretis, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu
perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau
masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya.
Edi Suharto (2008) mengartikan CSR operasi bisnis yang berkomitmen tidak
hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk
pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan
berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering
diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate
community relations, dan community development.
Suharto melanjutkan, ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa
dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Corporate giving bermotif amal atau
Universitas Sumatera Utara
charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community
relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa
pemberdayaan.
Kamus online Wikipedia mendefinisikan CSR sebagai suatu konsep bahwa
suatu organisasi (khususnya, tapi tidak terbatas pada perusahaan) memiliki
kewajiban untuk memperhatikan kepentingan pelanggan, karyawan, pemegang
saham, komunitas dan pertimbangan-pertimbangan ekologis dalam segala aspek dari
usahanya.
CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, di mana ada
argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan, 25 Juni 2009).
Selanjutnya, Bank Dunia menyebutkan “CSR is the commitmen of bussiness
to contribute to sustainable economic development working with employees and their
repersentatives, the local community and society for bussines and good for
development.” Dalam hal ini CSR itu berarti komitmen bisnis untuk berperilaku
etis dan berperan serta dalam pembangunan berkelanjutan dengan bekerja sama
dengan seluruh pemangku kepentingan guna memperbaiki kehidupan mereka dengan
cara yang bermanfaat bagi bisnis, agenda pembangunan berkelanjutan, serta
masyarakat umum.
Universitas Sumatera Utara
Definisi yang juga diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah
definisi menurut The World Business Council for Sustainable Development yaitu
bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk
berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi sambil
meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas
lokal dan masyarakat pada umumnya.
Dengan demikian konsep CSR memiliki arti bahwa selain memiliki
tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan
untuk menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan
juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional
mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama (jika bukan satu-satunya)
perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham
(Asongu,J.J. http://www.mallenbaker.net/ csr/ CSRfiles/ definition. html).
Hakikat yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung
jawab terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas
setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok-kelompok lainnya.
Rumusan atau definisi atau pengertian yang diberikan di atas menunjukkan
kepada masyarakat bahwa setidaknya ada tiga hal pokok yang membentuk
pemahaman atau konsep mengenai corporate social responshibility. Ketiga hal
tersebut menurut Gunawan Widjaya & Yeremia Ardi Pratama (2008) adalah :
1. Bahwa sebagai suatu artificial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggungjawab terhadap keadaan ekonomi, lingkungan maupun sosialnya;
Universitas Sumatera Utara
2. Keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stakeholder-nya dan bukan hanya shareholders-nya. Para stakeholders ini, terdiri dari shareholders, konsumen, pemasok, klien, customer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (the local cimmunity and society at large);
3. Melaksanakan CSR berati juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan dan atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR adalah bagian terintegrasi dari kegiatan usaha (bussiness), sehingga CSR berarti juga menjalankan perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa CSR, pada awalnya bukanlah suatu
bentuk tanggung jawab yang mempunyai akibat hukum yang memaksa. Jadi lebih
merupakan moral obligation perusahaan terhadap:
1. Keadaan ekonomi,
2. Keadaan sosial dan
3. Keadaan lingkungan perusahaan yang terkait dengan kegiatan usaha atau
jalannya perusahaan secara berkesinambungan. Hal ini menunjukkan bahwa
bentuk atau wujud pelaksanaan CSR tidak selalu harus sama antara
perusahaan yang satu dengan yang lainnya.
2.1.1. Arti Penting CSR dan dan Ruang Lingkupnya
CSR merupakan komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis,
untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi,
seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta
komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Ada enam kecenderungan
Universitas Sumatera Utara
utama, yang semakin menegaskan arti penting CSR, yaitu meningkatnya kesenjangan
antara kaya dan miskin; posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya; makin
mengemukanya arti kesinambungan; makin gencarnya sorotan kritis dan resistensi
dari publik, bahkan yang bersifat anti-perusahaan; tren ke arah transparansi; dan
harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik dan manusiawi pada
era milenium baru.
Artinya, CSR sangat dibutuhkan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan.
Sebab, selain akan terjadi berbagai perubahan sosial, kekayaan sumber daya alam
yang selama ini sangat bermanfaat bagi masyarakat juga akan terganggu. Menurut
Fransisca SSE Seda (2004) di sinilah letak paradoks dari proses perubahan sosial
kekayaan akan sumber daya alam dapat menjadi “pedang bermata dua” bagi suatu
negara yang sedang berkembang. Ia dapat menguntungkan tetapi pada saat yang sama
dapat pula menjadi kerugian. Ia dapat menjadi rahmat atau kutukan.
Jika kekayaan sumber daya alam itu tidak dikelola dengan baik dan
bermanfaat bagi masyarakat maka, penolakan terhadap kehadiran perusahaan akan
terus terjadi. Jadi CSR itu memang harus terus diupayakan. Apalagi, menurut
Zamroni (2001), pembangunan dalam era abad XXI dewasa ini memiliki 3 (tiga) ciri
utama, yakni revolusi informasi (komputer dan sarana telekomunikasi), pasar global
yang sangat kompetitif dan, kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Dalam memasuki ekonomi global perlu mengkaji secara cermat atas aspek-
aspek yang penting dalam kehidupan masyarakat seperti manajemen pembangunan,
demokrasi dan pendidikan. Ketepatan dalam menentukan pilihan akan sangat
menentukan kehidupan bangsa di masa mendatang. Oleh karena kajian-kajian yang
Universitas Sumatera Utara
jernih, obyektif dan dengan pertimbangan nasib warga secara keseluruhan sangat
diperlukan.
David C Korten dalam bukunya Pembangunan yang Memihak Rakyat,
Kupasan tentang Teori dan Metode Pembangunan mengatakan kekuatan rakyat untuk
memegang kekuasaan atas hidup dan lembaga-lembaga mereka pada akhirnya
tergantung pada keyakinan bahwa mereka mempunyai hak sekaligus kesempatan.
Dengan tumbuhnya kesadaran akan kenyataan ini, usaha-usaha pembangunan daerah
pedesaan di dunia ketiga memberi prioritas yang semakin besar kepada program-
program yang menekankan penguasaan sumber daya lokal oleh masyarakat setempat.
Dalam rangka melakukan CSR, pemerintah juga harus tetap memperhatikan
kelompok pembaharu, usaha kecil menengah dan sektor pendidikan. Sebab, menurut
Boediono (2009) selain menciptakan iklim usaha dan iklim kompetisi yang sehat,
pemerintah dapat memacu terbentuknya kelompok pembaharuan dengan mendorong
perkembangan kelompok wirausaha yang tangguh melalui program-program khusus
untuk menghilangkan kendala-kendala yang dihadapi usaha kecil dan menengah
untuk mengakses pembiayaan, teknologi, layanan infrastruktur dan pasar. Pengusaha
kecil dan menengah adalah embrio kelas menengah yang tangguh karena itu
pengembangan UKM merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan
demokrasi. Langkah penting lain untuk membentuk kelompok pembaharuan yang
handal adalah melalui pendidikan.
Pemerintah sebenarnya dapat melakukan banyak aktivitas nonregulatori yang
mendorong CSR seperti koordinasi kebijakan mengenai CSR antardepartemen,
meningkatkan profil CSR sehingga makin banyak perusahaan tertarik, membiayai
Universitas Sumatera Utara
penelitian-penelitian tentang CSR, mempromosikan CSR pada UKM, serta
menciptakan insentif untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang
baik selain memberi disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk. Terakhir,
pemerintah dapat mendemonstrasikan praktik-praktik terbaik CSR, sebagai sarana
perusahaan-perusahaan untuk belajar bagaimana kinerja terbaik itu bisa dicapai.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang
membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang
diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.
Jika merujuk pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok
ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility yang secara konsisten
mengembangkan tanggung jawab sosial, maka masalah SR akan mencakup 7 isu
pokok yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat 2. Konsumen 3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat 4. Lingkungan 5. Ketenagakerjaan 6. Hak asasi manusia 7. Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menjadi kunci penting untuk mendorong CSR yang substansial
dan komprehensif. Karenanya, perusahaan tidak boleh berkesimpulan bahwa hanya
karena berderma bermiliar-miliar dari keuntungannya, sebuah perusahaan disebut
telah bertanggung jawab sosial. Bagaimana keuntungan itu dibuat -apakah dengan
dampak negatif minimum dan dampak positif maksimum- lebih menentukan
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawabnya (Taufik Rahman dan Jalal, CSR di Tahun 2008: Tak Ada
Kecenderungan Menyurut, Jakarta , 8 April 2008, Lingkar Studi CSR.
www.csrindonesia.com).
Bill Gates (2008), pendiri Microsoft menyebutkan CSR itu adalah sebuah
bentuk baru kapitalisme yang memberikan perhatian lebih kepada kelompok-
kelompok miskin yang selama ini terpinggirkan oleh dahsyatnya deru kapitalisme.
Dalam pandangan Gates, perlu dirancang suatu sistem (termasuk pengelolaan laba
perusahaan) dan menentukan cara-cara baru untuk lebih memperhatikan dan
meningkatkan kualitas hidup kelompok-kelompok miskin. Terutama, di bidang-
bidang yang betul-betul kasat mata seperti ekonomi, kesehatan dan pendidikan.
2.1.2. CSR dan Teori Triple Bottom Line
Skema pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, yang
menjadikan sektor pertanian (pedesaan) menjadi penopang industrialisasi ternyata
tidak bisa diharapkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada
satu sisi masyarakat desa harus menerima kenyataan dimana laju perkembangan
industri berlangsung melalui pengorbanan sektor pertanian dan di sisi lain sumber-
sumber agraria telah mengalami pengurasan besar-besaran dan mengalami penurunan
kapasitas untuk melakukan pemulihan.
Kehidupan rakyat pedesaan tidak menjadi baik bahkan sebaliknya,
kemiskinan dan kesenjangan sosial serta keterbelakangan telah menjadi bagian dari
hidup rakyat desa. Terhadap situasi yang demikian, banyak penduduk desa yang
akhirnya pergi ke luar desa, mengadu nasib dan sekaligus menyediakan tenaga murah
Universitas Sumatera Utara
bagi percepatan industrialisasi. Marjinalisasi desa dapat dilihat sebagai bagian dari
skenario untuk menopang industri, yang berbasis tenaga kerja murah dan bahan baku
yang berlimpah (serta murah).
Timur Mahardika (2001) menilai kehancuran lingkungan dan penurunan
kapasitas sumber daya alam merupakan kenyataan dari proses pengurasan kekayaan
alam untuk keperluan menggerakkan roda pembangunan. Hutan, tambang dan lain-
lain telah dengan sangat luar biasa dikuras dan tidak dipikirkan peruntukkannya bagi
generasi yang akan datang. Di berbagai daerah, terkesan kuat bahwa kekayaan alam
telah dijual. Sementara massa rakyat harus memikul akibatnya berupa lingkungan
yang rusak, sungai tercemar, hutan gundul dan kekayaan alam yang menipis.
Memahami CSR sebagai kebertanggungjawaban entitas laba atas dampak
operasionalnya maka seharusnya praktik CSR juga melingkupi sektor industri lain.
Bahkan di banyak negara, komitmen keseimbangan triple bottom line juga
melingkupi industri keuangan, properti, apparel, media, komunikasi, teknologi, dan
lainnya-termasuk juga dalam ranah perangkat pemerintahannya dan di kalangan
masyarakat sipil (Muhammad Endro Sampurna, Lingkar Studi CSR,
www.csrindonesia.com).
Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya
terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep triple bottom
line, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3P (profit, people,
planet) (Holy K. M. Kalangit, SH, Konsep Corporate Social Responsibility,
Pengaturan dan Pelaksanaannya di Indonesia, 2 Februari 2009.
www.csrindonesia.com)
Universitas Sumatera Utara
Dengan semakin berkembangnya konsep CSR ini, maka banyak teori yang
muncul yang diungkapkan berbagai pihak mengenai CSR ini. Salah satu yang
terkenal adalah teori Triple Bottom Line yang dikemukakan oleh John Elkington pada
tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Bussiness”. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line
degan istilah economoic prosperity, environmental quality dan social justice.
Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus
memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus
memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan
turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Gunawan Widjaya & Yeremi Ardi Prtama (2008) menekankan dalam gagasan
tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada
single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi keuangan
saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya.
Uraian yang diberikan di atas menunjukkan bahwa keuntungan ekonomis
tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan CSR, oleh karena tujuan dari
pelaksanaan CSR itu sendiri sustainability bagi perusahaan. Melaksanakan CSR
bukan berarti mengurangi kesejahteraan stakeholders, oleh karena itu maka aspek
ekonomis juga harus menjadi pertimbangan bagi perusahaan yang melaksanakan
CSR.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Shardlow dalam Jackie Ambadar (2008) menyebutkan pemberdayaan
masyarakat atau community development (CD) intinya adalah bagaimana individu,
kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.
Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai upaya yang disengaja untuk
memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola
sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga
pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi,
ekologi, dan sosial (http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-
masyarakat-dan-pembangunan-berkelanjutan.html, diakses 24 Juni 2009).
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan
proses untuk memfasilitasi, mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri
secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan
strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
Menurut Jackie Ambadar (2008), konsep pemberdayaan masyarakat dari dua
hal, yaitu “pemberdayaan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pemberdayaan atau
pengembangan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas
kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi 3 (tiga) sektor
utama, yaitu ekonomi, sosial (termasuk di dalamnya: bidang pendidikan, kesehatan
dan sosial-budaya), dan bidang lingkungan.
Sedangkan masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu masyarakat
sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah pertokoan atau sebuah kampung
di wilayah pedesaan. Kemudian masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni
kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh,
kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama
berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orangtua
yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para
pengguna pelayanan kesehatan mental.
Harry Hikmat (2001) menyebutkan pemberdayaan dalam wacana
pembangunan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja,
dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat
individu dan sosial.
Isbandi Rukminto Adi (2008) menyatakan “pembangunan masyarakat“
(pembangunan = deve1opment; masyarakat = community) digunakan untuk
memggambarkan pembangunan bangsa secara keseluruhan. Sementara itu, dalam arti
yang sempit (mikro) istilah pengembangan masyarakat di Indonesia sering
dipadankan dengan pembangunan masyarakat desa dengan mempertimbangkan desa
dan kelurahan berada pada tingkatan yang setara sehingga pengembangan masyarakat
(desa) kemudian menjadi dengan konsep “pengembangan masyarakat lokal” (locality
development).
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan
seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan
Universitas Sumatera Utara
apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial
tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol.
Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah
atau tidak dapat dirubah (Edi Suharto; 2004).
Parson (dalam Edi Suharto; 2004) menyatakan pemberdayaan adalah sebuah
proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi
pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-
lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.Pemberdayaan menekankan bahwa
orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-
barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
2.2.1. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Program dan Proses
Dalam penggunaannya di Indonesia, menurut Soetomo (2006), konsep
community development juga diterjemahkan ke dalam beberapa istilah yang berbeda.
Sementara pihak menerjemahkan community development sebagai pembangunan
masyarakat. Dilihat dan terjemahan unsur kata-katanya barangkali tidak salah,
walaupun demikian dalam penggunaannya sebagai konsep yang bulat mungkin dapat
mendatangkan dualisme pengertian.
Universitas Sumatera Utara
Soetomo melanjutkan, dalam arti luas, pembangunan masyarakat berarti
perubahan sosial berencana baik dalam bidang ekonomi, teknologi, sosial maupun
politik. Pembangunan masyarakat dalam arti luas juga dapat berarti proses
pembangunan yang lebih memberikan fokus perhatian pada aspek/manusia dan
masyarakatnya. Dalam arti sempit, pembangunan masyarakat berarti perubahan sosial
berencana pada suatu lokalitas tertentu.
Sementara itu menurut Isbandi Rukminto Adi (2008) upaya pemberdayaan
masyarakat dapat dilihat dan sisi keberadaannya sebagai suatu program ataupun
sebagai suatu proses. Pemberdayaan sebagai suatu program, di mana pemberdayaan
dilihat dari tahapan-tahapan kegiatan guna mencapai suatu tujuan, yang biasanya
sudah ditentukan jangka waktunya. Misalnya, program pemberdayaan ekonomi
masyarakat dengan jangka waktu 1, 2, ataupun 5 tahun. Konsekuensi dari hal ini, bila
program itu selesai, dianggap pemberdayaan sudah selesai dilakukan. Hal seperti mi
banyak terjadi dengan sistem pembangunan berdasarkan proyek yang banyak
dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah, di mana proyek yang satu dan
yang lainnya kadangkala tidak berhubungan, bahkan tidak saling mengetahui apa
yang sedang dikerjakan oleh bagian yang lain, meskipun itu dalam satu lembaga yang
sama, sedangkan pada beberapa organisasi nonpemerintah kegiatannya juga tidak
jarang terputus karena telah berakhirnya dukungan dana dan pihak donor.
Sementara itu, kelompok yang lain ada pula yang melihat pemberdayaan
sebagai suatu proses. Sebagai suatu proses, pemberdayaan merupakan proses yang
berkesinambungan sepanjang hidup seseorang (on going process).
Universitas Sumatera Utara
Edi Suharto (2004) menyebut berdasarkan definisi-definisi yang ada
pemberdayaan juga dibedakan sebagai sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang
mengalami masalah kemiskinan.
Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang
ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti
memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata
pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali
digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Hanya saja yang harus dipahami, menurut Jim Ife & Frank Tegoriero (2008),
pengembangan masyarakat bukan sekadar mengumpulkan orang-orang.
Pengembangan masyarakat melibatkan pemberdayaan masyarakat untuk saling
bekerja, mengembangkan struktur yang berarti orang-orang menjadi lebih tergantung
satu sama lain untuk mencapai segala sesuatu, dan mencari cara-cara yang memberi
pengaruh kepada setiap orang dan dihargai oleh orang lain. Proses kelompok,
inklusivitas, membangun kepercayaan, dan mengembangkan perasaan bersama untuk
mencapai tujuan sangat penting dalam pengembangan masyarakat, dan oleh karena
itu gagasan tentang masyarakat dapat dan seharusnya meluas ke semua proses
pengembangan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Jim Ife & Frank Tegoriero (2008), setidaknya ada enam dimensi
pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya berinteraksi satu
dengan lainnya dalam bentuk-bentuk yang kompleks. Keenam dimensi tersebut yaitu:
• Pengembangan sosial • Pengembangan ekonomi • Pengembangan politik • Pengembangan budaya • Pengembangan lingkungan • Pengembangan personal/ spiritual
Beberapa dimensi lebih fundamental daripada lainnya; misalnya banyak orang
(khususnya orang-orang pribumi) akan beranggapan bahwa pengembangan
personal/spiritual merupakan landasan untuk semua pengembangan yang lain. Tetapi
untuk tujuan penyusunan model pengembangan masyarakat dan model pemikiran
tentang peran pekerja masyarakat, keenam dimensi di atas dipertimbangkan sebagai
hal yang sangat penting.
Dalam situasi tertentu, tidak semua dimensi ini akan memiliki prioritas yang
setara. Masyarakat mana pun akan mengembangkan keenam dimensi tersebut untuk
level-level yang berbeda; misalnya, satu masyarakat mungkin memiliki basis
ekonomi yang kuat, partisipasi politik yang sehat dan identitas budaya yang kuat, tapi
sekaligus memiliki pelayanan kemanusiaan yang kurang baik, lingkungan fisik yang
buruk, harga diri yang rendah dan tingkat pengasingan yang tinggi. Dalam
masyarakat yang demikian, pengembangan lingkungan dan personal/spiritual akan
menjadi prioritas tertinggi dalam program pengembangan masyarakat. Nämun begitu,
Universitas Sumatera Utara
masyarakat lainnya akan mencerminkan gambaran yang berbeda dan memerlukan
prioritas yang berbeda dalam proses pengembangan.
Poin penting yaitu bahwa keenam aspek pengembangan masyarakat tersebut
sangat penting dan untuk memiliki masyarakat yang benar-benar sehat dan berfungsi
perlu mencapai level pengembangan yang tinggi untuk keenam dimensi secara
keseluruhan. Pekerja masyarakat manapun atau siapa pun yang terkait dengan
program pengembangan masyarakat harus memperhatikan keenam dimensi itu dan
tujuan tersebut harus memaksimalkan pengembangan pada seluruh dimensi itu.
Schuler, Hashemi dan Riley dalam (Edi Suharto;2004) mengembangkan
beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index
atau indeks pemberdayaan :
• Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau
wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah
ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu
mampu pergi sendirian
• Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli
barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak
goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok,
bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama
jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya;
terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan
uangnya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
• Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk
membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV,
radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin
tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri
tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang
tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
• Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu
membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai
keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah,
pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
• Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai
apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak,
mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang
melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
• Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai
pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden;
mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
• Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap
‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain
melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang
mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan
bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai
pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
• Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah,
asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia
memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.
2.2.3. Pemberdayaan Masyarakat oleh Dunia Usaha
Belakangan ini dirasakan adanya dorongan di kalangan dunia usaha agar
dalam melaksanakan berbagai aktivitas tidak semata-mata diorientasikan kepada
upaya untuk memperoleh keuntungan ekonomi secara langsung, tetapi juga
diorientasikan dalam rangka kepedulian sosial dan tanggung jawab sosial. Bahkan
dalam batas-batas tertentu usaha yang berorientasi kepedulian dan tanggung jawab
sosial tersebut dirasakan sebagai bagian dan implementasi nilai kemanusiaan dan
keadilan sosial yang menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk dunia usaha.
Pada umumnya implementasi kepedulian dan tanggung jawab sosial dunia usaha
tersebut diwujudkan dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR).
Umumnya, ada sejumlah faktor yang mendorong dunia usaha melaksanakan
aktivitas CSR sebagai bagian dari seluruh aktivitas perusahaannya. Menurut Soetomo
(2006), sebagian melaksanakannya dengan alasan tidak dapat menghindar, karena
kegiatan CSR oleh perusahaan yang bersangkutan merupakan amanat undang-
undang. Pada umumnya regulasi mewajibkan usaha pertambangan besar yang
mempunyai dampak yang cukup signifikan bagi lingkungan alam dan sosial di
sekitarnya untuk melakukan aktivitas CSR ini. Walaupun demikian tidak jarang pula
perusahaan yang baru tergerak untuk melakukan aktivitas yang berorientasi
kepedulian sosial ini setelah mendapat tekanan dan berbagai elemen masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, walaupun bagi dunia usaha tertentu regulasi tidak
mewajibkannya, tetapi masih banyak faktor yang mendorong mereka untuk
melakukan kegiatan CSR ini. Tidak jarang dijumpai adanya lembaga independen
yang memberikan sertifikasi kepada dunia usaha yang telah melakukan berbagai
aktivitas kepedulian sosial yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh lembaga
tersebut.
Pemberian sertifikasi ini dianggap dapat menaikkan citra perusahaan sehingga
memberikan stimulan bagi dunia usaha yang belum menempatkan program
kepedulian sosial dalam agenda perusahaan untuk melaksanakannya atau lebih
mengembangkan aktivitas kepedulian sosial bagi yang sudah melakukan sebelumnya.
Di samping itu tidak jarang pula stimulasi itu tidak berasal dari luar melainkan dari
dalam. Banyak dunia usaha yang memperhitungkan bahwa kegiatan CSR yang
dilakukan dapat menjadi bagian dan alat promosi dan pemasaran, dengan demikian
mereka justru memasukkan kegiatan CSR ini sebagai bagian integral dan keseluruhan
aktivitas bisnisnya.
Berkaitan dengan semakin gencarnya gerakan yang dibangun oleh aktivis
yang mengusung nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, menyebabkan kedua nilai
tersebut semakin memperoleh tempat dalam kehidupan masyarakat termasuk juga di
kalangan dunia usaha. Oleh sebab itu, tidak jarang keinginan untuk
mengimplementasikan nilai tersebut juga menjadi salah satu faktor yang mendorong
dunia usaha melakukan aktivitas CSR, terlepas kegiatan itu memberikan dampak atau
tidak secara ekonomis dan profit bagi perusahaan. Pada umumnya community
development dianggap sebagai sarana yang tepat untuk melaksanakan aktivitas CSR
Universitas Sumatera Utara
yang proporsional tersebut. Hal itu dapat dipahami dan beberapa pertimbangan.
Pertama, sesuai dengan karakteristiknya melalui program community development
dapat dikembangkan dan dimanfaatkan unsur modal sosial baik yang dimiliki dunia
usaha maupun masyarakat. Dengan melaksanakan community development, dunia
usaha dapat membangun citra sehingga selanjutnya dapat berdampak pada perluasan
jaringan dan peningkatan trust.
Sementara itu bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal, melalui
community development dapat dikembangkan dan dimanfaatkan unsur solidaritas
sosial, kesadaran kolektif, mutual trust dan resiprocal dalam masyarakat untuk
mendorong tindakan bersama guna meningkatkan kondisi kehidupan ekonomi, sosial
dan kultural masyarakat.
Kedua, melalui community development dapat diharapkan adanya hubungan
sinergis antara kekuatan dunia usaha melalui berbagai bentuk bantuannya dengan
potensi yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh
dunia usaha melalui CSR bukan semata-mata bantuan yang bersifat karitatif,
melainkan bagian dan usaha untuk mengembangkan kapasitas masyarakat. Oleh
sebab itu melalui pendekatan community development dapat diharapkan program CSR
tersebut akan mendorong usaha pembangunan oleh masyarakat lokal secara
berkesinambungan dan terlembagakan.
Ketiga, aktivitas bersama antara dunia usaha dengan masyarakat, terutama
masyarakat lokal melalui community development dapat difungsikan sebagai sarana
membangun jalinan komunikasi. Apabila media komunikasi sudah terlembagakan,
berbagai persoalan dalam hubungan dunia usaha dengan masyarakat dapat
Universitas Sumatera Utara
dibicarakan melalui proses dialog yang elegan dan dapat mengakomodasi kepenting-
an semua pihak. Hal itu dimungkinkan karena melalui kegiatan bersama dalam
menggarap program-program dengan pendekatan community development dapat
dibangun saling pengertian dan empati di antara semua pihak yang terkait.
2.2.4. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Dari beberapa literatur, diperoleh bahwa tahapan pemberdayaan masyarakat
yang cukup popular adalah:
1. Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dan potensinya.
2. Mengembangkan rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian
3. Menerapkan rencana tersebut
4. Secara terus-menerus memantau dan mengkaji proses dan hasil kegiatannya
(Monitoring dan Evaluasi / M&E)
Dalam pengembangan masyarakat, muncul dan berkembang bermacam-
macam model pendekatan yang dapat dimanfaatkan. Sering kali masyarakat
mendapat bantuan fisik dari pihak luar. Namun sering kali juga bantuan tidak
berlanjut dan setelah program selesai bantuan tersebut tidak bermanfaat bagi
masyarakat. Untuk jangka pendek masalah dapat dipecahkan, tetapi untuk jangka
panjang tidak ada perbaikan. Pada intinya, sangatlah penting bagi petugas lapangan
untuk mengetahui apa itu Pemberdayaan Masyarakat dan apa perbedaannya dengan
Pembinaan. Pembinaan adalah intervensi dari orang luar yang mengambil inisiatif,
memutuskan dan melakukan sesuai pikirannya sendiri. Masyarakat ‘diikutkan’
sebagai obyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai ‘pembina’.
Universitas Sumatera Utara
Pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, di mana
masyarakat didampingi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar
mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya.
Masyarakat adalah subyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai fasilitator.
Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, masyarakat difasilitasi oleh pihak luar untuk
memecahkan masalahnya sendiri dengan mengakses dan menggunakan sumber daya
setempat. Dengan demikian, pemecahan masalah dan pengembangannya
berkelanjutan dan ketergantungan masyarakat pada pihak-pihak dan bantuan luar
dapat dikurangi.
Sementara itu, menurut Subejo dan Supriyanto (2004) tahapan pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat dimulai dari dari proses seleksi lokasi sampai dengan
pemandirian masyarakat. Secara rinci masing-masing tahap tersebut adalah sebagai
berikut:
Tahap 1. Seleksi lokasi
Tahap 2. Sosialisasi pemberdayaan masyarakat
Tahap 3. Proses pemberdayaan masyarakat, yang dibagi ke dalam beberapa kegiatan:
• Kajian keadaan pedesaan partisipatif
• Pengembangan kelompok
• Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan
• Monitoring dan evaluasi partisipatif
Tahap 4. Pemandirian Masyarakat
Seleksi lokasi dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh lembaga,
pihak-pihak terkait dan masyarakat. Penetapan kriteria penting agar tujuan lembaga
Universitas Sumatera Utara
dalam pemberdayaan masyarakat akan tercapai serta pemilihan lokasi dilakukan
sebaik mungkin. Sedangkan sosialisasi pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk
menciptakan komunikasi serta dialog dengan masyarakat. Sosialisasi ini membantu
untuk meningkatkan pengertian masyarakat dan pihak terkait tentang program. Proses
sosialisasi sangat menentukan ketertarikan masyarakat untuk berperan dan terlibat
dalam program.
Proses pemberdayaaan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya.
2.3. Penerapan CSR di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, menurut Jackie Ambadar (2008), sebenarnya tidak
diketahui secara pasti kapan CSR mulai masuk ke Indonesia, namun seiring dengan
semakin majunya teknologi dan perkembangan dunia bisnis, maka konsep CSR ini
pun begitu marak di Indonesia. CSR di Indonesia saat ini banyak mendapatkan
perhatian dari banyak lapisan masyarakat.
Tapi dalam catatan Edi Suharto (2008), di Indonesia, istilah CSR semakin
populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama
melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan.
Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep
CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan
terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003
Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan
nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan
perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan
sosial-ekonomi masyarakat (stakeh holders), khususnya di sekitar perusahaan
beroperasi.
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan
masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.
Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti
Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Saat ini, penerapan CSR di Indonesia terus berkembang. Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan DPR 20 Juli 2007
menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74
UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau
bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial
dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). Namun, UU PT tidak menyebutkan secara
terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta
sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR
“dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.”
Universitas Sumatera Utara
PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan. Hanya saja, ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan
diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.
Ke depan, seharusnya proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu
memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa
yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk
orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang
melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah
kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik
dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog
bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat
yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana (Pelaksanaan CSR di Indonesia.
http://www.madani-ri.com/2008/02/11/standarisasi-tanggung-jawab-sosial-
perusahaan-bag-iii-finish/25 Juni 2009).
Meski demikian, berbagai perusahaan terus berlomba-lomba menerapkan
CSR. Pihak perusahaan memang sudah mulai paham bahwa pelaksanaan
tanggungjawab sosial perusahaan dapat dikemas untuk mengupayakan citra positif
atau alat promosi perusahaan yang sangat efektif. Lebih jauh dari sekedar promosi,
meskipun hal ini bukan merupakan tujuan, tampak bahwa semakin berkembang pula
pandangan bahwa keunggulan bersaing bisa didapatkan dengan memadukan berbagai
pertimbangan sosial dan lingkungan dalam strategi bisnis.
Salah satu contohnya adalah Program-program CSR dalam 3 Best Practice
yang dilaksanakan oleh PT. Kaltim Prima Coal yakni:
Universitas Sumatera Utara
- CSR Bidang sosial meliputi: Pendidikan, kesehatan, agama, olah raga.
- CSR bidang ekonomi, meliputi: Sektor pengembangan usaha kecamatan,
sektor penciptaan lapangan kerja lainnya, dan.
- CSR bidang lingkungan, meliputi: Sektor pemeliharaan lingkungan lainnya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia bekerja sama dengan PT Pertamina (2008) memperlihatkan
kegiatan CSR Pertamina yang dilaksanakan sejak tahun 1993. Kegiatan CSR itu
diintegrasikan sehubungan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan unit
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) di bawah Direktorat Keuangan.
Pada masa itu bentuk CSR Pertamina dikenal sebagai pemberdayaan
masyarakat, yang diimplementasikan dalam beberapa jenis, seperti penyaluran
pinjaman modal usaha, bantuan hibah untuk pembinaan dan pelatihan dan
pembentukan pasar atau jaringan pasar produk dan usaha. Contoh pemberdayaan
masyarakat di unit operasi Pertamina Program Pendampingan Petani Patra Mekar di
wilayah kerja PT Pertamina (Persero) UP VI Balongan (Chotib; 2008).
Perusahaan lainnya juga tak mau kalah. Untuk lebih lengkapnya, lihat tabel
berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Beberapa Perusahaan yang Telah Melaksanakan CSR
Perusahaan Dana CSR
dan Tahun Program
PT Pertamina (Persero) Rp. 59,9 milliar (2007) Pengembangan bidang kesehatan, pendidikan dan pelatihan, pembangunan infrastruktur dan sarana umum, rumah ibadah dan bantuan bencana alam
PT Freeport Indonesia Rp. 500 milliar per tahun Kesehatan, membangun rumah sakit, program air bersih dan pembuatan jamban. Pendidikan program beasiswa, bantuan kredit usaha rakyat
PT HM Sampoerna Tbk Rp. 47, 6 milliar (2006) Memajukan pendidikan lewat sampoerna foundation (SF) melalui SF United School Program pada 5 SMA Negeri di jawa Timur dan DIY. Merekonstruksi sekolah yang rusak akibat gempa.
PT Telkom Tbk Rp. 228 milliar (2007) Kemitraan dengan UKM bantuan modal kerja, pinjaman khusus jangka pendek, serta hibah pembinaan pendidikan, pelatihan dan pemagangan bagi mitra binaan. Bina lingkungan : bantuan korban bencana alam, beasiswa pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur sarana ibadah, infrastruktur pendidikan, panti asuhan, dan panti jompo
PT Kaltim Prima Coal Sekitar Rp. 20,4 milliar (2007)
Program pendidikan dan pelatihan, serta kesehatan masyarakat
PT Aneka Tambang Tbk Rp. 150 milliar (2008) Pinjaman bergulir program bina kemitraan dan beasiswa pendidikan.
Sumber: Harian Seputar Indonesia, 7 Desember 2008
Dalam konteks Sumatera Utara, CSR juga sudah diterapkan di beberapa
perusahaan, misalnya PTPN 3 yang baru-baru ini menyalurkan dana CSR senilai
Rp700 juta kepada empat kelompok tani di Kabupaten Serdang Bedagai. Keempat
kelompok tani itu masing-masing memperoleh bantuan berupa sarana produksi
Universitas Sumatera Utara
pertanian. Dana CSR itu dimaksudkan sebagai bantuan tanda ikut peduli atau
tanggung jawab sosial PTPN 3 dalam meningkatkan perekonomian rakyat (Seputar
Indonesia, PTPN 3 Salurkan CSR Rp 700 juta, Halaman 12, 13 Maret 2009).
PT Toba Pulp yang berlokasi di Porsea, Kabupaten Tobasa beberapa tahun
belakangan ini juga sudah melaksanakan CSR. Selama tahun 2009 ini, perusahaan
tersebut sudah mengalokasikan dana CD (community development) sebesar Rp 2,35
miliar dan seluruhnya untuk kepentingan masyarakat. Laporan yang disusun seksi
CSR menyebutkan empat item terbesar dari dana itu berupa pengiriman dana CD ke
pengelola CD di empat kabupaten, yakni Samosir sebesar Rp 771,3 juta, Simalungun
Rp 473,1 juta, Pakpak Bharat Rp 225, 1 juta, dan Tapanuli Utara Rp 857,1 juta. (Toba
Pulp Alokasikan Dana CD Rp 2,35 M, Harian Waspada, Halaman 23, 12 Maret
2009).
Selain itu, kegiatan yang menonjol dari penerapan CSR PT Toba Pulp adalah
pengobatan gratis yang digilir dari satu desa ke desa lainnya, Sistandu yang
merupakan program yang memadukan kegiatan peternakan sapi dengan pertanian
holtikultura dan perikanan darat, dan juga pengerahan alat-alat berat untuk membantu
masyarakat menangani suatu pekerjaan.
Karena peran sertanya dalam bidang CSR, PT Toba Pulp menerima
Indonesian CSR Award 2008 (ICA 2008) yang digagas oleh Departemen Sosial RI
dan CFCD (Corporate Forum for Community Development). Pemberian penghargaan
itu diselenggarakan setiap tahunnya sejak tahun 2005. Tujuannya untuk mendorong
pelaksanaan CSR secara baik, memberikan sumbangan pada pembangunan sosial,
ekonomi laingkungan secara berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Penghargaan itu sebagai pengakuan dan berbagai aksi peduli PT Toba Pulp
kepada masyarakat di sekelilingnya (CSR Awards untuk Toba Pulp, Majalah Toba
Pulp Digest, Edisi 13 Mei-Juni 2009).
2.3.1. Peran CSR Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu sektor industri utama dalam tatanan ekonomi global adalah industri
pertambangan yang dalam banyak kasus memiliki posisi dominan dalam
pembangunan sosio-ekonomi negara maju dan berkembang. Sektor industri ini
berdampak sangat signifikan dalam arti positif maupun negatif. Tanpa menafikan
dampak positifnya, dampak negatif dalam ranah sosial, lingkungan, politik dan
budaya yang ditimbulkan sektor industri ini sangat luar biasa. Dampak negatif
tersebut cenderung membesar di negara-negara berkembang atau di negara-negara
yang menghadapi kendala ketidakefektifan sistem pemerintahan, ketiadaan regulasi
(dan perundangan) yang memadai serta tingginya gejolak sosial-politik.
Menurut Arif Siregar (2009) karakteristik industri pertambangan antara lain
adalah sumber daya alam tak terbarukan, lokasi proyek yang terpencil, infrastruktur
harus dibangun sendiri, resiko relatif tinggi, padat modal, investasi jangka panjang,
dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan dampak sosial.
Hal ini terjadi di beberapa negara yang memiliki perusahaan pertambangan,
termasuk di Republik Federasi Rusia. Kondisi seperti itu akan menjadi situasi buah
simalakama bagi perusahaan pertambangan yang berupaya memperbaiki kinerja
sosial, ekonomi dan lingkungan mereka. Upaya-upaya perbaikan kinerja multiaspek
serta strategi pemenuhan tuntutan yang absah dari para pemangku kepentingan akan
Universitas Sumatera Utara
menjadi tantangan yang sangat berat untuk bisa diwujudkan oleh perusahaan
pertambangan di dalam atmosfer sosial, politik, budaya dan hukum yang tidak
mendukung (Natalia Yakovleva, CSR dalam Industri Tambang: Berkaca dari
Pengalaman Belahan Dunia Lain, Ashgate Publishing Limited, 2005).
Yakovleva memfokuskan analisisnya pada empat wilayah kunci penerapan
konsep CSR, yakni pemeliharaan lingkungan; kesehatan dan keselamatan kerja;
hubungan dengan karyawan; serta community development/CD). Salah satu yang
paling penting disimak adalah menyangkut analisis yang cukup rinci tentang tiga
model pelaksanaan program CD. Pada model pertama, perusahaan pertambangan
bertindak sebagai agen utama penyelenggara CD. Model kedua, pembentukan dan
pelaksanaan CD dilakukan oleh yayasan filantrofi perusahaan. Sedangkan model
terakhir adalah pelaksanaan CD dengan nuansa tri-sector partnership yang
melibatkan unsur administrasi pemerintah lokal, masyarakat dan perusahaan.
Dalam konteks Sumatera Utara, PT Agincourt Resources yang mengekplorasi
emas di Batangtoru, Tapsel sudah menerapkan program CSR sejak 6 tahun lalu.
Tahun 2003, dana untuk kegiatan CSR yang dianggarkan sebesar 30.000 US dollar.
Tahun 2004-2005 sebesar 153,000 US dollar, tahun 2006 sebesar 70.000 US dollar,
tahun 2007 sebesar 152.000 U dollar, dan tahun 2008 sebesar 200.000 US dollar.
Dana tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan seperti sosisalisasi kegiatan
explorasi pertambangan, memberikan bantuan kepada masyarakat dalam berbagai
aspek misalnya bantuan kesehatan, batuan pendidikan, peralatan kedokteran untuk
Puskesmas Batangtoru, bantuan pendidikan, bantuan infrastruktur, donasi bagi korban
Universitas Sumatera Utara
tsunami di Nias dan daerah lainnya, dan juga pengembangan ekonomi lokal, serta
pelatihan-pelatihan bagi masyarakat sekitar.
Mas Achmad Daniri menyebutkan, salah satu bentuk dari tanggung jawab
sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development
(pemberdayaan masyarakat). Perusahaan yang mengedepankan konsep ini akan
lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat
sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial
perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-
peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi
yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang
ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat.
Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat
merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan
bermanfaat.
Dalam draf ISO 26000 on Social Responsibility, disebutkan juga bahwa
secara konseptual pengembangan/pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian
dari tanggung jawab sosial. Draf tersebut menyatakan ada tujuh subyek inti tanggung
jawab sosial, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia, ketenagakerjaan,
lingkungan, praktek operasi yang adil, konsumen, dan, terakhir, pengembangan
masyarakat. Pengembangan masyarakat adalah upaya memandirikan kelompok
masyarakat rentan.
Pengembangan atau pemberdayaan masyarakat menjadi bagian penting CSR,
karena kelompok masyarakat rentan -baik itu secara struktural, kultural, maupun
Universitas Sumatera Utara
individual- biasanya memiliki akses paling kecil terhadap dampak positif operasi
perusahaan, sekaligus menerima dampak negatif paling parah. Kalau mereka tidak
mendapatkan perhatian ekstra dari perusahaan, kondisi tersebut akan terus-menerus
mendera mereka. Pengembangan masyarakat sebenarnya ditujukan untuk
mewujudkan potensi terbaik dari masyarakat rentan, bukan meredamnya
(Kesalahpahaman tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Harian Koran
Tempo Tanggal 15 Januari 2009).
Menurut Jackie Ambadar (2008), salah satu yang menonjol dari praktik CSR
di Indonesia adalah penekanan pada aspek pemberdayaan masyarakat (community
develompent). Meskipun CSR bukan semata-mata merupakan community
development, namun hal ini memang sangat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat kita, yang masih bergelut dengan kemiskinan serta pengangguran dan
rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan yang menjadi penyebab utama sulitnya
memutus rantai kemiskinan. Maka CSR sebagai sebuah konsep yang berubah dan
tumbuh sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat bisa
menjadi salah satu jawaban.
Pemberdayaan masyarakat diyakini merupakan sebuah aktualisasi dari CSR
yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas charity ataupun 7 (tujuh)
dimensi CSR lainnya, antara lain: community relation, hal ini juga disebabkan karena
dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, terdapat kolaborasi kepentingan
bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan
keberkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Agus Suman (2010) menyebutkan program-program CSR dari perusahaan
harus diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat sekitar sekaligus diharmonikan
dengan program pemerintah yang sedang berlangsung. Ke depan harus ada
persamaan kebijakan, khususnya dalam penyusunan program pengembangan
masyarakat di sekitar wilayah perusahaan sehingga pemanfaatan dari dana-dana CSR
benar-benar untuk pembangunan masyarakat.
Dengan demikian tampak bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan ruh
pelaksanaan aktivitas CSR perusahaan. Khususnya di Indonesia, pelaksanaan
kegiatan CSR memang tampaknya lebih pas dengan program pemberdayaan
masyarakat. Diharapkan dengan aktivitas CSR yang bernafaskan pemberdayaan dapat
mencapai tujuan strategis perusahaan, disamping untuk mencapai profit dengan
adanya aktivitas tersebut, komunitas memiliki mitra yang peduli terhadap
kemandiriannya.
Tahapan CSR dalam upaya pemberdayaan masyarakat bisa dimulai dengan
melihat dan menilai kebutuhan (needs assessment) masyarakat sekitar. Caranya
dengan mengidentifikasi masalah atau problem yang terjadi di masyarakat dan
lingkungannya. Setelah itu dicarikan solusinya yang terbaik menurut kebutuhan
masyarakat. Dalam hal ini, perusahaan tidak perlu melakukannya sendiri, melainkan
dapat menggunakan sumber daya di luar perusahaan, misalnya menunjuk perusahaan
atau lembaga lain melakukan riset dasar atau base line study.
Selanjutnya, membuat rencana aksi lengkap dengan anggaran, jadwal waktu,
indikator untuk mengevaluasi dan sumber daya manusia yang ditunjuk untuk
melakukannya. Dalam hal ini perusahaan dapat membagi program dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
kegiatan jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang. Tujuannya agar
masyarakat mandiri dalam arti yang sesungguhnya. Setelah itu, evaluasi dan
monitoring dapat dilakukan melalui survei maupun kunjungan langsung.
2.3.2. Model Pemberdayaan Melalui CSR
Menurut Badaruddin (2008), pendekatan CSR hendaknya dilakukan secara
holistik, yang bersifat derma (charity) dan ditekankan pada keberlanjutan
pengembangan masyarakat (community development). Intinya adalah bagaimana CSR
tersebut dapat memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya secara
berkelanjutan (sustainable).
Ada berbagai model pemberdayaan masyarakat melalui CSR yang bisa
diadopsi oleh perusahaan maupun masyarakat dalam upaya pemberdayaan
masyarakat, misalnya model di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Input-Output Dalam Model Pemberdayaan Lokal Melalui CSR yang Berkesinambungan
Bagan 2.1
Sumber: Chotib;2008
Chotib (2008) menggambarkan kotak output sebagai hasil akhir dari input dan
proses adalah terciptanya pemberdayaan lokal yang dapat diidentifikasi antara lain
melalui penyerapan tenaga kerja lokal yang memang harus diprioritaskan, penciptaan
energi hijau, pemodalan UKM setempat dan keberlanjutan pembangunan masyarakat
setempat. Dengan kata lain, segala potensi yang ada di suatu daerah dimana
perusahaan berada harus mengalami peningkatan kualitas yang berujung pada
kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan hidup dan pertumbuhan
perusahaan.
Badaruddin memberikan model alternatif lain yang disebut Model Kerja
Kolaborasi yang didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada satu pihak pun yang
INPUT Potensi Lokal: -Modal budaya -Modal ekonomi -Modal sosial -Modal alam -Modal manusia
PROSES: Kondisi Perusahaan Internal - Kuantitas - Kualitas TK - Permodalan - Teknologi - Manajemen Eksternal - Kebijakan Pemerintah - Iklim Investasi - Pemasaran - Kelembagaan - Kearifan lokal
OUTPUT: Pemberdayaan Lokal- Ekonomi - Sosial - Budaya - Alam - Manusia
KESINAMBUNGAN
Universitas Sumatera Utara
sanggup secara sendirian menjalankan fungsi yang sangat kompleks dalam upaya
pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat khususnya masyarakat
miskin. Model ini dianggap sangat relevan dengan tuntutan perusahaan untuk
menjalankan Good Corporate Governance (GCG), dan model ini didasarkan pada
fakta bahwa begitu banyak proyek yang dibiayai oleh pemerintah untuk masyarakat
miskin belum menunjukkan hasil optimal. Model tersebut bisa dilihat seperti bagan di
bawah ini.
Model Kerja Kolaborasi untuk Pemberdayaan Masyarakat melalui Program CSR yang memanfaatkan Modal Sosial
Bagan 2.2
Sumber: Badaruddin;2008
Masyarakat Miskin
Korporat-CSR
Social capital
Social capital Social capital
Pemerintah Perguruan Tinggi/ Civil Siciety/LSM
Hantaran finansial Social capital
Hantaran finansial dan regulasi
Persiapan Sosial
Universitas Sumatera Utara
Pada awal perkembangannya, bentuk CSR yang paling umum adalah
pemberian bantuan (karitatif) terhadap organisasi lokal dan masyarakat miskin di
negara berkembang. Pendekatan CSR ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc,
partial dan tidak melembaga hanya sekedar do good dan to look good (berbuat baik
agar terlihat baik). Semakin lama pendekatan ini mulai ditinggalkan karena tidak
mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal secara
berkesinambungan.
Pendekatan CD (community development) semakin banyak diterapkan karena
lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development. Misalnya PT.
Freeport Indonesia yang telah menghibahkan dana 1% dari keuntungan kotor
perusahaan bagi program CSR seperti pengobatan gratis, pemberian beasiswa,
pembinaan kelompok swadaya masyarakat berbagai jenis usaha. Program CSR yang
matang, dalam artian terlembaga dan berkesinambungan pada suatu perusahaan
biasanya akan memiliki strategi dan rancangan yang matang.
Pendekatan CD dilakukan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
(good corporate governance) seperti kejujuran, keterbukaan, akuntabel dan tanggung
jawab. Pada akhirnya, dari beragam gambaran implementasi CSR, intinya adalah
bahwa masyarakat di sekitar perusahaan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam
pengembangan perusahaan sehingga CSR diharapkan dapat menumbuhkembangkan
potensi lokal melalui tanggung jawab perusahaan sehingga pemberdayaan lokal dapat
terjadi secara berkesinambungan dan memiliki efek jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Program CSR dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah proses kesempatan bagi pelaku ekonomi
untuk memperoleh surplus value sebagai hak manusia yang terlibat dalam kegiatan
produksi. Upaya untuk memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi
penguasaan faktor-faktor produksi. Upaya untuk mendistribusikan penguasaan faktor-
faktor produksi harus dilakukan melalui kebijakan politik ekonomi yang tepat sesuai
dengan kondisi dan tingkatan sosial budaya masyarakat.
Jika terdapat ketidakadilan dan kesenjangan kekuatan (power), maka menurut
Friedmann yang harus diperkuat adalak keluarga (pendekatan Friedmann, sebenarnya
pendekatan keluarga). Friedman dalam Jackie Ambadar (2008) memiliki pandangan
bahwa setiap rumah tangga memiliki tiga macam kekuatan, yaitu kekuatan sosial,
kekuatan politik, dan kekuatan psikologis. Pandangan Friedmann ini kemudian
menghasilkan rumusan mengenai pemberdayaan sebagai proses untuk masyarakat
lemah memperoleh kekuatan dan akses terhadap sumber daya. Maka pemberdayaan
harus dimuai dari rumah tangga atau keluarga.
Pemberdayaan keluarga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial,
politik dan psikologis. Pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana keluarga yang
lemah untuk memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan,
akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber
keuangan; pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana keluarga yang lemah untuk
memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi
masa depan mereka dan pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana
Universitas Sumatera Utara
membangun kepercayaan diri setiap keluarga yang lemah agar mereka dapat
berinteraksi dengan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan sosial ekonominya.
Berangkat dari kerangka berfikir di atas, maka secara empirik mengukur
dampak CSR dalam bentuk pemberdayaan masyarakat, dapat ditransformasikan ke
dalam beberapa program yaitu adanya peningkatan dalam: Kualitas SDM,
kelembagaan, tabungan, konsumsi dan investasi (TKI) dari rumah tangga warga
masyarakat, dengan membandingkan data dasar (base line data) dengan periode akhir
proyek.
Hal itu bisa dijabarkan dengan melihat:
Tabungan:
• Adanya peningkatan saldo tabungan anggota binaan baik di bank maupun di
lembaga keuangan lain.
• Peningkatan jenis, jumlah, mutu dan nilai harta rumah tangga (dan usaha bila
ada)
Konsumsi:
• Peningkatan rata-rata jumlah pendapatan rumah tangga per periode
• Peningkatan jenis, jumlah dan mutu konsumsi rumah tangga per periode
• Penerapan pengelolaan ekonomi rumah tangga (ERT) secara tepat guna.
Investasi:
• Peningkatan jumlah unit dan ragam sektor usaha
• Peningkatan jumlah orang yang melakukan kegiatan usaha
• Peningkatan nilai penjualan produk usaha per periode
Universitas Sumatera Utara
• Peningkatan volume penjualan atas komoditi-komoditi lama
• Peningkatan jumlah laba/pendapatan usaha per periode
• Peningkatan modal sendiri dari unit-unit usaha bertambah
• Peningkatan aset usaha dari seluruh unit
• Peningkatan kualitas usaha
Sumber daya manusia:
• Peningkatan jenis, jumlah dan frekuensi kegiatan pelatihan bagi warga
masyarakat.
• Peningkatan jumlah orang yang telah mengikuti pelatihan dari berbagai jenis
yang ada.
• Peningkatan jumlah orang yang telah memiliki kemampuan untuk
memperluas usaha.
• Peningkatan jumlah orang yang telah dapat membuat akuntansi dan
memonitor.
• Peningkatan jumlah orang yang telah menguasai teknologi produksi yang
relatif canggih.
• Peningkatan jumlah orang yang telah dilatih dan aktif mengelola organisasi.
• Peningkatan kualitas sumber daya masyarakat di sekitar.
Kelembagaan :
• Tumbuhnya lembaga keuangan pada masyarakat sasaran
• Tumbuhnya sistem jaringan antar kelembagaan yang ada termasuk lembaga
keuangan.
Universitas Sumatera Utara
• Berkembangnya dampak secara positif bagi pengembangan kelembagaan.
• Tumbuhnya lembaga yang bersifat korporatif.
Intinya, tidak ada jalan lain bagi perusahaan yang ingin beroperasi dalam
jangka panjang selain memperoleh izin sosial dari masyarakat luas. Perusahaan
sebaiknya melakukan program pemberdayaan masyarakat (community development)
lewat CSR-nya. Jika terjadi peningkatan dalam hal tabungan, konsumsi, investasi,
sumber daya manusia, dan kelembagaan maka bisa dikatakan peran CSR dalam
upaya pemberdayaan masyarakat sudah berhasil.
Selain itu, pada umumnya program-program CSR bisa dibagi ke dalam
beberapa hal, yakni:
- CSR bidang sosial meliputi: Sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor
agama, sektor olah raga.
- CSR bidang ekonomi, meliputi: Sektor pengembangan usaha kecamatan,
sektor penciptaan lapangan kerja lainnya, dan.
- CSR bidang lingkungan, meliputi: Sektor pemeliharaan lingkungan lainnya.
Universitas Sumatera Utara