Download - Cerita rakyat
Asal usul Telaga Wekaburi
Telaga Wekaburi terletak di Desa Werabur, Kecamatan Windesi, Kabupaten Teluk Wondama,
Provinsi Papua Barat. Sebelum menjadi Telaga Wekaburi, tempat ini masih berupa sungai kecil.
Namun, tersebab oleh sebuah peristiwa, sungai itu kemudian berubah menjadi telaga. Peristiwa
apakah itu? Simak kisahnya dalam cerita Asal Usul Telaga Wekaburi berikut ini!
* * *
Dahulu, di Wekaburi atau yang kini dikenal dengan nama Desa Werabur, terdapat sebuah sungai
kecil yang airnya sangat jernih. Air sungai itu menjadi sumber kehidupan bagi Suku Wekaburi yang
mendiami daerah tersebut. Hal yang unik di tempat ini adalah rumah-rumah panggung milik
penduduk setempat dibangun di atas aliran sungai itu.
Suatu ketika, warga Suku Wekaburi akan mengadakan pesta adat di kampung. Mereka segera
mengadakan berbagai persiapan seperti membangun rumah untuk para tamu undangan,
menyiapkan makanan, dan sebagainya. Pada hari yang telah ditentukan, para tamu undangan dari
berbagai suku seperti Suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari, dan Torembi tiba di Kampung
Wekaburi. Di antara para tamu yang hadir, tampak seorang nenek bersama cucu perempuan
bernama Isosi. Nenek itu juga ditemani oleh seekor anjing.
Ketika hari sudah mulai gelap, acara adat pun dimulai. Acara itu awalnya berjalan lancar dan
sangat meriah. Berbagai tarian dipertunjukkan di hadapan para tamu. Banyak di antara tamu yang
ikut serta menari dengan riang gembira. Pada saat itulah, seorang penari tidak sengaja menginjak
ekor anjing kesayangan si nenek yang sedang tidur nyenyak di dekat perapian. Tak ayal, anjing itu
pun menggonggong dengan kerasnya.
Melihat peristiwa itu, si nenek menjadi marah. Ia lalu membawa anjingnya masuk ke dalam sebuah
ruangan dan mengikatkan cawat pada tubuhnya. Setelah itu, ia keluar sambil memeluk anjingnya
dan kemudian menari bersama penari lainnya. Nenek itu tahu bahwa perbuatannya telah
melanggar adat. Menurut aturan adat, jika ada penduduk yang berbuat demikian akan
mendatangkan kilat, guntur, dan disertai hujan deras. Si nenek memang sengaja melakukan hal
tersebut karena ingin memberi hukuman kepada mereka yang telah menginjak anjingnya.
Nenek itu sadar bahwa perbutannya dapat menciptakan malapetaka. Oleh karena itu, sang nenek
segera mengambil puntung api dan disembunyikan dalam seruas bambu agar tidak terlihat oleh
orang lain. Potongan bambu itu nantinya akan dijadikan obor. Selanjutnya, nenek itu mengajak
cucunya agar segera keluar dari kampung itu.
“Ayo, cucuku. Kita segera tinggalkan kampung ini,” ajak si nenek.
“Baik, Nek,” jawab Isosi.
Penerangan obor membantu si nenek bersama cucu dan anjing kesayangannya berjalan menuju ke
Gunung Ainusmuwasa melalui jalan setapak. Namun tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda
yang bernama Asya mengikuti langkah mereka. Rupanya, Asya adalah kekasih Isosi, cucu si nenek.
“Tunggu, Nek!” serunya. “Bolehkah saya ikut bersama kalian?”
Mengetahui bahwa pemuda itu adalah kekasih cucunya, si nenek pun tidak keberatan. Setelah itu,
rombongan si nenek kembali melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di
puncak Gunung Ainusmuwasa. Dari atas gunung tampak cuaca mulai memburuk. Awan gelap
mulai menutup langit di atas hulu Sungai Wekaburi. Selang beberapa saat kemudian, kilat yang
disertai guntur terlihat menyambar-nyambar. Hujan deras pun akhirnya mulai turun.
Sementara itu, para penduduk Wekaburi serta tamu undangan masih asyik berpesta. Mereka tidak
menyadari jika bahaya sedang mengancam. Semakin lama, hujan turun semakin lebat sehingga
terjadilah banjir besar. Mereka baru sadar akan bahaya tersebut ketika air telah naik ke lantai
rumah. Kepanikan akhirnya melanda para penduduk. Mereka lari kalang kabut hendak
menyelamatkan diri. Namun malang, semua sudah terlambat. Banjir yang dahsyat tersebut
menghanyutkan semua yang ada.
Keesokan harinya, si nenek bersama Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat peristiwa
yang terjadi semalam. Tak satu pun rumah penduduk yang tersisa. Nasib yang sama juga terjadi
pada para penduduk. Mereka banyak yang terbawa arus, bahkan sebagian yang lain menjelma
menjadi katak dan buaya. Sementara itu, Sungai Wekaburi telah berubah menjadi sebuah telaga
yang kemudian disebut Telaga Wekaburi. Hingga kini, telaga tersebut menjadi salah satu obyek
wisata di daerah Teluk Wondama, Papua Barat.
Akibat peristiwa banjir yang telah menghanyutkan seluruh penduduk membuat si nenek merasa
amat puas. “Itulah akibat dari perbuatan kalian! Kalian telah menginjak anjing kesayanganku,”
kata nenek.
Si nenek kemudian mengawinkan Isosi dengan Asya dengan harapan bahwa kelak anak cucu
mereka akan mengisi Wekaburi yang telah kosong itu. Setelah menikah, mereka kemudian
membangun rumah besar dan panjang yang diberi nama Aniobiaroi.
Beberapa tahun kemudian, Isosi melahirkan banyak anak sehingga rumah itu semakin lama
semakin penuh sesak. “Wah, rumah kita sudah penuh sesak, istriku. Rumah ini harus kita perbesar
lagi,” ujar Asya. “Benar, Kakanda. Rumah ini harus kita perpanjang dan perbesar lagi.” jawab Isosi
setuju.
Rumah Aniobiaroi akhirnya disambung lagi sehingga bertambah besar dan panjang. Rumah itu
kemudian diberi nama Manupapami. Beberapa tahun kemudian, rumah itu kembali penuh sesak.
Anak-anak sekaligus menantu mereka terus melahirkan banyak keturunan. Maka, Asya pun
mengambil keputusan untuk menyambung rumah Aniobiroi. Rumah itu kemudian diberi nama
Yobari.
Demikian seterusnya, rumah mereka tetap saja tidak mampu menampung seluruh keluarga. Oleh
karena itu, mereka pun menyambung rumah itu hingga empat kali yang masing-masing diberi
nama rumah Sonesyari dan Ketarana. Walaupun sudah empat kali disambung, rumah mereka
tetap saja penuh sesak. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencarikan tempat yang baru bagi
sebagian penghuninya dan membangun rumah untuk setiap keluarga.
Konon, anak keturunan Asya dan Isosi yang keluar dari rumah Manupapami tersebut kemudian
menjadi Suku Wettebosi, sedangkan anggota keluarga yang keluar dari rumah Yobari menjadi suku
Wekaburi. Adapun anggota keluarga yang keluar dari rumah Sonesyari dan Ketarana dikenal
dengan nama Suku Torembi yang membangun rumah di atas air. Oleh karena itulah, kampung
baru yang mereka diami tersebut dinamakan Kampung Werabur, yang berarti kampung yang
terletak di atas air.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Telaga Wekaburi dari Teluk Wondama, Papua Barat. Pesan moral
yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa perkara sekecil apapun dapat mendatangkan
masalah yang lebih besar. Hanya karena menginjak anjing milik seorang nenek, penduduk
Wekaburi harus menerima akibatnya, yaitu hanyut terbawa arus banjir. Oleh karena itu, kita harus
selalu berhati-hati agar tidak menganggu milik orang lain, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Asal usul Burung Cenderawasih
Cenderawasih termasuk burung langka di Indonesia. Burung jenis ini hanya terdapat di Papua yang
sekaligus menjadi ciri khas pulau tersebut. Warna bulunya yang sangat indah membuat
cenderawasih dijuluki sebagai bird of paradise (burung dari surga). Oleh karena itu, sebagian
masyarakat Papua percaya bahwa burung cenderawasih adalah titisan bidadari dari surga. Namun
menurut masyarakat Fakfak, cenderawasih merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki bernama
Kweiya. Bagaimana kisahnya? Simak dalam cerita Asal Usul Burung Cenderawasih berikut ini.
* * *
Pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya di daerah
Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Suatu hari, si perempuan tua
dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan
cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah
berjalan cukup jauh, mereka tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon buah merah (sejenis
pandan khas Papua) yang kebetulan telah berbuah. Perempuan tua itu segera memetik buah
merah lalu diberikan kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah
merah hingga badannya terlihat segar kembali.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di
dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya
dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil.
Melihat keajaiban itu, perempuan tersebut juga bermaksud memakan buah merah agar
mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah merah itu,” kagum perempuan itu. “Aku ingin mencoba buah itu agar aku
bisa melahirkan anak.”
Perempuan itu segera memetik buah merah lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut,
perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya, perutnya semakin lama semakin
membesar. Segera saja sang perempuan bergegas pulang ke pulang. Setiba di rumah, ia akhirnya
melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya.
Sepuluh tahun kemudian, Kweiya telah tumbuh menjadi remaja. Kweiya sangat rajin membantu
ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur. Namun karena hanya
menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara
itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya,
asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap
tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut. Setelah
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat
itu, ia mendapati seorang remaja tampan sedang menebang pohon di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu. “Siapa kamu dan mengapa
menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya. Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya” jawab Kweiya
Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun
memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini. Kamu akan lebih cepat menebang pohon,” kata pria tua itu.
“Terima kasih Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu
merobohkan beberapa pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil
pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon, anakku? Alat apa yang kamu
gunakan?” tanya ibunya heran.
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga
dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya.
Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar
ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut
makan bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin
membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus
pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu lengkap dengan daunnya. Setiba di rumah, bungkusan
tersebut diletakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa
sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa
dahaganya.
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Saat sang ibu membuka bungkusan daun tebu, ia
sangat terkejut karena mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalam bungkusan.
Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum seraya menenangkan hati ibunya.
“Maafkan aku, Bu,” ucap Kweiya. “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua
itulah yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya
sebagai teman hidup!”
Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia menerima permintaan anaknya. Sejak
saat itu, pria tua tersebut tinggal bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian
lagi.
Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang
perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya menganggap ketiga adiknya
tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan
persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap
Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka.
Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya
hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya.
Ia lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit
binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak
ada di rumah, sang ibu kemudian bertanya kepada adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Kedua adik laki-laki Kweiya ini rupanya takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang
menyebabkan Kweiya pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa
tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita
putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke
rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar.
“Eek.. ek... ek... ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya lalu
melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di
depan rumah mereka. Kweiya rupanya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan
bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil
meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanya sang Ibu.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkan pada ketiaknya. Setelah
berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-kepakkan sayapnya lalu terbang menyusul
Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung
cenderawasih tersebut terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong... wong... wong... wong...! Ko... ko... kok... ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak
diketahui maksudnya.
Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fakfak, Papua Barat, dengan
warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih
panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga, sedangkan burung cenderawasih betina
disebut Hanggam Tombor.
Kedua adik laki-laki Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan
oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar
abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna
merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian terbang ke hutan
rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fakfak lebih banyak
dipenuhi oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Burung Cenderawasih dari Fakfak, Papua Barat. Pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat iri hati terhadap saudara sendiri seperti kedua
adik laki-laki Kweiya bukanlah sifat terpuji, melainkan justru akan merugikan diri sendiri.
Topeng Dan Pesta Roh
Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua
dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini
disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh
keluarga dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah
peristiwa yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu
sehingga upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita
Topeng dan Pesta Roh berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang
anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena
dusunnya diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal
dunia. Kini, si Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh
memprihatinkan. Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan
yang jelas. Walaupun penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari
mereka yang mau membantu si Yatim.
Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang-barang
milik penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia mengelak, warga justru hendak
menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si Yatim pun melarikan diri meninggalkan
kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak.
“Ayo, kejar anak itu!”
Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim
terus berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di
bawah sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka
dirinya pasti akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon
beringin tersebut.
“Ah, sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan melihatku,”
gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.
Setelah berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun dan
jumbaian akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang mengejarnya tiba dan
berhenti sejenak di bawah pohon beringin itu karena kehilangan jejak.
“Hai, lari ke mana anak itu?” celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.
Penduduk yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas
pohon beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang
mengejarnya. Untung para penduduk segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan
pengejaran sampai ke dalam hutan. Setelah aman, si Yatim pun keluar dari persembunyiannya
dengan perasaan lega. Ia kemudian duduk di salah satu cabang pohon beringin itu untuk
melepaskan lelah.
Hari sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon. Tampaknya si
Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk kampung tidak lagi
mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu ia ingin menakut-nakuti para
penduduk dengan mengenakan topeng yang menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu
untuk mencari akar-akar kayu yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok
makhluk menyeramkan yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk itu
adalah roh penunggu pohon beringin itu.
“Hai, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini?” tanya makhluk itu.
“Sa... saya si Yatim,” jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.
Bocah itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di atas
pohon beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba terhadap nasib yang
dialami si Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan, makhluk itu ternyata baik hati. Ia
kemudian memberikan makanan dan minuman kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun
bersahabat.
Setelah itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan dianyam
menjadi sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu. Membuat topeng
seperti itu tidaklah mudah bagi si Yatim. Ia membutuhkan waktu sekitar lima hari baru bisa
menyelesaikannya. Setelah selesai, topeng itu ia pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa
senangnya hati si Yatim karena topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh
penunggu pohon beringin itu.
“Aku yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku,” gumamnya.
Ketika hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan
menyelinap masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung lari terbirit-
birit karena ketakutan.
“Tolong...! Tolong...! Ada setaaaan...!” teriak penduduk yang ketakutan itu.
Mendengar teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan
mengerumuni warga yang berteriak itu.
“Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanya kepala kampung.
“Ada setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Wajahnya
sangat menyeramkan” jelas warga itu.
Mendengar keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar
mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan makhluk itu
meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah mereka masing-masing
untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui kepala kampung, tak seorang
pun yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di desa tersebut telah habis.
“Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu,” ujar kepala
kampung.
Pada keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan.
Sementara itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti orang-orang yang
memangkur sagu di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi. Ketika hari mulai gelap, si Yatim
menutupi jalan setapak di dekat pohon beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya
akan dilewati oleh para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi
jalan, si Yatim segera memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang ada di
bawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi jalan
setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin, rombongan wanita itu
terpaksa berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah. Pada saat mereka sibuk membersihkan
dahan-dahan yang menghalangi jalan, si Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari
semak belukar dengan memakai topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung
berteriak ketakutan.
“Ada setaaan...! Ada setaaan...!” teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng yang amat
menyeramkan.
Rombongan wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat
rombongan wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu mengambil sagu-sagu
tersebut untuk dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia kemudian membakar sagu itu dan
memakannya sampai kenyang.
Sejak itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan mengambil
sagu-sagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang kampung yang dulu
menganiaya dirinya semakin jera. Sementara itu, penduduk kampung menjadi resah dengan
kejadian-kejadian menyeramkan yang sering mereka alami.
“Sebenarnya makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu?” tanya seorang warga.
Tak seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menjebak
makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi memangkur sagu ke
dalam hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat dan pemberani diperintahkan
untuk mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya. Ketika para wanita pulang dan menemukan
dahan-dahan yang menghalangi jalan, makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu
segera menakut-nakuti mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu
mereka, anak yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang
yang mengintainya.
“Hai, lihat!” seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, “Oh, rupanya makhluk itu
ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.”
Ketika si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung keluar
dari tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.
“Mau lari ke mana kamu, hai anak yatim?!” hardik seorang warga.
Si Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia pun
digiring ke perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum memasuki perkampungan, si
Yatim tiba-tiba hilang secara gaib. Orang-orang kampung yang menggiringnya hanya terperangah
menyaksikan peristiwa itu.
Sejak si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang yang
menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin itu mereka masih
saja sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh itu, mereka pun membuat topeng
yang menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu, topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual
yang dikenal dengan Pesta roh atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan
mamar atau bunmar pokbui.
Kini, ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati roh
keluarga dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka gunakan pun
bervariasi. Tidak saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga dari belahan-belahan rotan atau kulit
kayu fum (genemo hutan). Jenis topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan
topeng yang terbuat dari kulit kayu fum disebut ndat jamu.
* * *
Demikian cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu seperti halnya penduduk kampung
dalam cerita di atas akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena
telah mengganggu si Yatim, para penduduk kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.
Asal Mula Nama Irian
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-
laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya
karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-
saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak
segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir
dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai,
diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah da-
ratan yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi
kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu
terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa,
kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari
berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut,
nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk
di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum
datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang men-
dekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh
nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir
menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan
sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke
tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me-
lepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis
yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain
adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur.
Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah
bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu.
Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki.
Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya.
Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi
laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian,
diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta
itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki
Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.
Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung
merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua
ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang
tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki
dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api.
Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari
api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun
gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci.
Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu
layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas.
Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke-
mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini
indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya
yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek
membuat Irian begitu indah.
Legenda Batu Keramat
Batu Keramat terletak di atas Gunung Kamboi Rama, Kabupaten Kepulauan Yapen, papua barat Indonesia. Setiap setahun sekali, masyarakat setempat mengadakan upacara pemujaan terhadap batu keramat itu. Mengapa mereka mengeramatkan dan memuja batu itu? Siapakah yang pertama kali menemukannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Batu Keramat berikut.
* * *
Alkisah, di daerah Yapen Timur, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Indonesia, terdapat sebuah gunung bernama Kamboi Rama. Di atas gunung itu terdapat dua dusun, yaitu Dusun Kamboi Rama yang dihuni oleh sekelompok manusia, dan Dusun Aroempi yang ditumbuhi tanaman sagu milik seorang raja tanah yang bergelar Dewa Iriwonawani. Dewa Iriwonawani juga memiliki sebuah tifah atau gendang gaib yang diberi nama sikerei atau soworoi. Jika gendang itu berbunyi, para penduduk Dusun Kamboi Rama berkumpul di Dusun Aroempi untuk menyaksikan gendang itu. Namun, tidak semua penduduk dapat melihat gendang gaib itu, kecuali orang-orang tua yang memiliki kekuatan gaib.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk Kamboi Rama, kaum perempuan mencari sagu di Dusun Aroempi milik Dewa Irowonawani, sedangkan kaum laki-laki mencari lauk sagu dengan cara menangkap hewan di hutan. Setiap hari, perempuan Kamboi Rama secara berombongan berangkat ke Dusun Aroempi untuk mencari sagu. Sebelum menebang pohon sagu, terlebih dahulu mereka mengadakan upacara penghormatan kepada Dewa Irowonawani agar mereka bisa memperoleh inti atau sari sagu yang bagus dan dapat menyehatkan tubuh.
Pohon sagu yang sudah ditebang mereka kuliti batangnya untuk mendapatkan sagu yang berada di dalamnya. Sagu tersebut mereka tumbuk dengan menggunakan pangkur[1]. Sesuai dengan nama alat yang digunakan, proses menumbuk sagu ini dikenal dengan istilah memangkur. Sagu yang telah ditumbuk menghasilkan ampas sagu, yaitu mirip dengan ampas kelapa. Kemudian, ampas sagu tersebut mereka beri air lalu memerasnya ke dalam wadah dari belahan bambu. Air perasan tersebut mereka biarkan beberapa saat agar inti sagu mengendap di dasar wadah. Setelah inti sagu mengendap, merekap pun membuang airnya. Kemudian, endapan inti sagu tersebut mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong, lalu menyimpannya ke dalam tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan. Setelah itu, mereka membawanya pulang dengan cara menggendongnya di punggung. Begitulah pekerjaan kaum perempuan penduduk Dusun Kamboi Rama setiap hari.
Lama-kelamaan pohon sagu di Dusun Kamboi Rama semakin berkurang. Melihat keadaan itu, Dewa Iriwonawani pun murka. Ia memindahkan tanaman sagunya ke daerah lain. Karena takut mendapat murka dari Dewa Iriwonawani, penduduk Dusun Kamboi Rama memutuskan pindah ke daerah pantai dan mendirikan tempat tinggal baru yang diberi nama Randuayaivi. Terkecuali sepasang suami-istri yang masih tetap tinggal di atas gunung tersebut bersama Dewa Iriwonawai. Sepasang suami-istri tersebut bernama Irimiami dan Isoray. Untuk bertahan hidup, mereka berburu rusa di hutan dan menanam umbi-umbian di ladang.
Pada suatu hari, sepulang dari ladang, Irimiami dan Isoray sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rimbun. Irimiami duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada batang pohon,
sedangkan Isoray duduk di atas sebuah batu besar yang berada di bawah pohon itu. Di tengah asyik beristirahat, tiba-tiba Isoray berteriak memekik dan melompat dari batu itu.
“Aduh, Kakak..! Panas... panas... panas...!” pekik Isoray sambil mengusap-usap bokongnya.
“Apa yang terjadi denganmu, istriku?” tanya Irimiami.
“Entahlah, Kakak! Tiba-tiba batu itu menjadi panas,” jawab Isoray dalam keadaan panik.
Beberapa saat kemudian, batu itu tiba-tiba mengeluarkan kepulan asap. Karena penasaran, Irimiami pun mencoba duduk di atas batu. Begitu menduduki batu itu, ia pun berteriak memekik sama seperti istrinya. Ia semakin penasaran ingin mencoba tingkat kepanasan batu itu. Ia mengambil daging rusa hasil buruannya dan meletakkannya di atas batu itu. Tak berapa lama kemudian, terciumlah aroma daging rusa yang mengundang selera makan. Setelah matang, mereka pun segera mengangkat dan mencicipi daging rusa itu.
“Hmmmm... lezatnya daging rusa ini,” gumam Irimiami setelah mencicipi sepotong daging rusa itu.
“Istriku! Coba rasakan daging rusa ini!” seru Irimiami seraya memberi sepotong daging rusa kepada istrinya.
Setelah habis mencicipi sepotong daging rusa itu, Isoray pun ketagihan. Karena lapar setelah hampir seharian berburu, mereka pun menyantap daging rusa itu dengan lahapnya hingga habis. Sejak itu, mereka selalu memasak makanan dengan cara meletakkannya di atas batu itu. Semakin hari batu itu semakin banyak mengeluarkan asap panas. Oleh karena itu, Irimiami dan istrinya semakin penasaran ingin selalu mencoba tingkat kepanasan batu itu.
Irimiami dan istrinya mengambil sebatang bambu, lalu menggosokkannya pada batu itu. Dalam waktu singkat, bambu itu terputus dan gosokan pada bambu itu mengeluarkan percikan api. Setelah itu, mereka mengumpulkan rumput dan daun kering, lalu meletakkannya di atas batu itu. Tak berapa lama kemudian, rumput dan daun itu mengeluarkan gumpalan asap tebal dan panas.
Pada suatu siang yang sangat terik, Irimiami dan istrinya kembali mengumpulkan rumput dan daun kering yang lebih banyak lagi. Rumput dan daun kering tersebut mereka letakkan di atas batu itu. Tak berapa lama mereka menunggu, rumput dan daun kering tersebut terbakar hingga mengeluarkan api yang sangat panas. Melihat kejadian itu, mereka panik dan ketakutan, terutama Isoray.
“Kakak! Apa yang harus kita lakukan? Aku takut terjadi kebakaran di tempat ini,” kata Isoray dengan panik.
Irimiami dan istrinya berusaha untuk memadamkan api di atas batu itu, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka pun segera memohon bantuan kepada Dewa Iriwonawai. Dengan kesaktiannya, Dewa Iriwonawai berhasil memamdamkan api itu. Rupanya, kejadian tersebut tidak membuat Irimiami dan istrinya jera. Mereka terus melakukan percobaan terhadap batu itu. Mereka kembali meletakkan rumput, daun, dan kayu kering yang lebih banyak lagi di atas batu itu. Tak pelak lagi, asap tebal pun mengepul dan api menyala sangat besar dan panas di puncak Gunung Kamboi Rama selama tujuh hari tujuh malam. Mereka kembali panik dan ketakutan. Tak henti-hentinya mereka memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan api tersebut.
Para penduduk Randuayaivi yang berada di pantai pun terkejut ketika menyaksikan kejadian itu. Mereka mengira terjadi kebakaran hutan di atas Gunung Kamboi Rama. Ketika mendengar gendang soworai berbunyi, mereka pun segera berlari menuju ke Gunung Kamboi Rama untuk menyaksikan peristiwa tersebut lebih dekat. Setibanya di atas gunung itu, mereka disambut oleh Irimiami dan Isoray. Irimiami pun menceritakan tentang keajaiban batu itu kepada mereka. Mulanya, para penduduk tidak percaya pada cerita itu. Namun setelah Irimiami dan istrinya menyuruh mereka mencicipi makanan yang telah dipanaskan di atas batu itu, barulah mereka percaya. Sejak itulah, Irimiami dan istrinya menamai batu itu Batu Keramat dan mengajak para penduduk untuk mengadakan pesta adat. Penduduk Randuayaivi pun setuju.
Keesokan harinya, penduduk Kampung Randuayaivi berkumpul di atas Gunung Kamboi Rama untuk mengadakan pesta. Mereka membawa perbekalan seperti keladi, ikan, dan makanan
lainnya. Berbagai jenis makanan tersebut mereka letakkan di atas batu keramat. Pesta adat tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam. Irimiami bersama istri dan seluruh penduduk mengelilingi batu keramat itu sambil menari dan memujanya. Selama pesta berlangsung, Irimiami dan istrinya juga menceritakan berbagai peristiwa yang pernah mereka alami kepada seluruh penduduk Kampung Randuayaivi. Hingga saat ini, masyarakat Papua, khususnya yang berada di Kabupaten Kepulauan Yapen, mengeramatkan batu api itu. Mereka percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah orang pertama yang menemukannya. Setahun sekali, mereka mengadakan upacara pemujaan terhadap batu keramat itu.
Asal Mula Kerang Di Nimboran
Nimboran merupakan sebuah kampung di daerah pedalama papua Indonesia, yang terkenal memiliki banyak kerang laut. Menurut cerita, keberadaan kerang-kerang laut di Kampung Nimboran disebabkan oleh suatu peristiwa ajaib. Peristiwa apakah yang menyebabkan keberadaan kerang-kerang laut tersebut di Kampung Nimboran? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Kerang di Nimboran berikut ini!
* * *
Alkisah, di Desa Congwei, di daerah pantai utara Papua, hiduplah seorang pemuda bernama Wei. Masyarakat sekitar memanggilnya Tangi, yaitu seekor ular jadi-jadian. Jika siang hari ia berwujud ular besar, dan pada malam harinya berwujud manusia. Ia dapat berbicara serta makan dan minum layaknya manusia biasa.
Menurut cerita, Wei datang dari langit menuju ke bumi melalui sebuah pohon yang disebut Ganemu, yaitu sejenis pohon yang buahnya enak dimakan. Ia tinggal di dalam sebuah gua yang menghadap ke laut dan membelakangi bukit di dekat pohon Ganemu tersebut. Ia memilih tinggal di gua itu agar mudah mencari ikan dan terlindung dari udara dingin pada malam hari. Di samping itu, ia juga tidak terganggu oleh orang lain. Di dalam gua itu, ia tinggal bersama seorang nenek yang senantiasa membantu mengurus segala keperluan hidupnya.
Ketika turun dari langit, Wei membawa bibit tanaman seperti kelapa, pisang, dan biji sagu untuk dikembangbiakkkan di bumi. Selain itu, ia juga membawa biji pohon ajaib yang bernama Rawa Tawa Pisoya, yaitu sejenis pohon yang dapat berbuah kerang berharga yang nilainya sama dengan uang. Semua bibit tanaman tersebut ia tanam di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan biji pohon ajaib itu ia tanam di dalam gua. Ketika pohon ajaib itu telah berbuah, Wei memamagari dan menutupinya dengan tikar agar buahnya tidak dimakan burung.
Pada suatu hari, Wei pulang dari berburu ikan di pantai. Saat itu, ia sedang berwujud ular. Ia sangat terkejut ketika merayap hendak memeriksa pohon ajaibnya. Ia mendapati beberapa buah Rawa Tawa Pisoya yang masih muda berserakan di bawah pohon.
“Hei, siapa yang memetik buah pohon ajaibku?” gumamnya.
Betapa terkejutnya ia ketika menoleh ke atas pohon ajaib itu. Ia melihat dua orang gadis sedang asyik memetik buah yang sudah masak dan makan sepuasnya, dan membuang buah yang masih muda. Rupanya, kedua gadis itu kakak beradik, yaitu Lermoin (sulung) dan Yarmoin (bungsu). Wei tidak mau mengusik mereka, karena ia tahu mereka akan turun sendiri dari pohon itu.
“Ah, pasti mereka akan turun jika sudah puas dan kenyang,” ucap Wei sambil mengawasi mereka dari bawah pohon.
Saat sedang asyik menikmati buah ajaib itu, Yarmoin melihat ke bawah pohon. Ia baru sadar jika ada seekor ular besar sedang memperhatikan tindak-tanduk mereka.
“Kakak, lihatlah ke bawah! Ada ular besar yang mengawasi kita!” seru Yarmoin.
Ketika Lermoin melihat ke bawah, tiba-tiba ular besar itu berbicara.
“Tenanglah, wahai gadis-gadis cantik! Aku tidak akan memangsa kalian,” kata Wei.
Betapa terkejutnya kedua gadis kakak-beradik itu. Mereka tidak pernah mengira sebelumnya, jika ular besar itu dapat berbicara seperti manusia.
“Hai, Kak! Rupanya ular itu bisa berbicara seperti kita. Sepertinya dia baik hati,” kata Yarmoin.
Setelah puas makan buah ajaib itu, Lermoin dan Yarmoin segera turun dari pohon dan menghampiri ular besar itu.
“Aku Yarmoin dan ini kakakku, Lermoin. Kami berasal dari daerah Danau Sentani. Kamu siapa dan di mana tempat tinggalmu, hai ular besar?” tanya Yarmoin usai memperkenalkan diri mereka.
Wei pun memperkenalkan diri seraya menceritakan asal-usulnya. Setelah itu, Wei mengajak Lermoin dan Yarmoin ke tempat tinggalnya. Betapa terkejutnya kedua gadis itu setelah masuk ke dalam gua tempat tinggal Wei. Mereka melihat ruangan di dalam gua itu cukup lebar dan penataan ruangnya tidak jauh beda dengan rumah manusia. Di dalamnya terdapat ruang makan, kamar tidur, dan ruang dapur. Di ruang dapur terlihat banyak perlengkapan memasak yang ditata secara rapi. Melihat keadaan itu, kedua gadis tersebut baru menyadari bahwa Wei bukanlah ular biasa.
“Hai, Wei! Siapa yang menata ruangan di dalam gua ini?” tanya Yarmoin.
“Aku bersama nenekku,” jawab Wei. “Jika kalian senang, kalian boleh tinggal di sini.”
Lermoin dan Yarmoin pun menerima ajakan Wei. Sejak itu, kedua gadis tersebut tinggal di dalam gua itu untuk sementara waktu. Yarmoin merasa senang dan selalu menunjukkan sikap yang ramah. Lain halnya dengan Lermoin , ia selalu menunjukkan sikap curiga terhadap Wei.
Pada suatu sore, ketika Wei hendak mencari ikan di laut, Lermoin mengikutinya dari belakang secara diam-diam. Di depan mulut gua, Wei melepas dan menyimpan kulit ularnya di balik sebuah batu besar, dan seketika itu pula ia menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Betapa terkejutnya Lermoin melihat peristiwa ajaib itu. Begitu Wei pergi ke laut, Lermoin segera mengambil kulit ular itu, lalu menyembunyikannya di tempat lain.
Saat kembali dari laut, Wei pun kebingungan mencari pakaian ularnya. Ia sudah berusaha mencari ke mana-mana, namun tidak juga ditemukannya. Sejak itu, Wei berwujud manusia. Sifat dan perilakunya pun berubah. Ia menjadi pendiam dan merasa tidak betah lagi tinggal di dalam gua itu. Akhirnya, ia mengajak Lermoin dan Yarmoin dan neneknya untuk membangun rumah di dekat pohon Ganemu yang berada di luar gua. Sejak itu pula, kegemaran Wei juga berubah. Setiap hari ia sibuk mengumpulkan berbagai jenis serangga untuk dipelihara di dalam sebuah rumah yang disebut karaweri, yaitu sebuah bangunan khusus sebagai tempat untuk menenangkan hati. Terkadang seharian penuh ia berada di dalam karaweri itu tanpa menghiraukan Lermoin dan Yarmoin.
Pada suatu hari, Wei hendak ke hutan untuk mencari serangga. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada neneknya.
“Nek! Saya mau ke hutan mencari serangga. Hari ini saya pulang agak terlambat. Tolong awasi kedua gadis itu! Jangan biarkan mereka mendekati rumah karaweri!” ujar Wei.
“Baik, Wei! Nenek akan mengawasi mereka,” jawab nenek Wei.
Ketika Wei berangkat ke hutan, timbullah niat Lermoin ingin mengetahui isi rumah karawei itu. Agar tidak ketahuan, ia menyuruh adiknya untuk membantu nenek Wei memasak di dapur. Setelah itu, ia berpamitan kepada nenek Wei dengan alasan ingin pergi ke kebun mengambil sayuran.
Tanpa curiga sedikit pun, nenek Wei pun mengizinkannya. Saat Yarmoin dan nenek Wei sedang asyik memasak, secara diam-diam ia berjalan mengendap-endap mendekati rumah karawei itu. Kemudian, ia mencoba mengintip ke dalam rumah itu melalui sebuah lubang kecil. Betapa
takjubnya ia ketika menyaksikan sebuah taman yang dipenuhi oleh berbagai jenis serangga yang berwarna-warni di dalam rumah itu. Ada beragam jenis kupu-kupu, capung, serta berbagai jenis serangga lainnya. Semuanya di tempatkan dalam kurungan yang tersusun sangat rapi.
“Wow, indah sekali pemandangan di dalam rumah ini!” ucap Lermoin dengan takjub.
Melihat pemandangan yang menakjubkan itu, Lermoin pun semakin penasaran ingin mengetahui isi rumah itu lebih jauh. Perlahan-lahan, ia membuka pintu rumah karawei itu, lalu masuk ke dalamnya. Saat melihat jenis kupu-kupu yang bersayap tiga warna, ia pun semakin tidak tahan ingin memegangnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kurungan kupu-kupu itu. Begitu kurungan itu terbuka, kupu-kupu tersebut beterbangan dan berhamburan keluar. Lermoin pun menjadi panik dan ketakutan. Ia berlari keluar dari rumah itu sambil berteriak meminta tolong.
“Tolong... tolong... tolong... Kupu-kupunya kabur semua!” teriak Lermoin .
Mendengar teriakan itu, Yarmoin dan nenek Wei pun segera datang untuk menolongnya. Namun, mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena kupu-kupu tersebut telah terbang jauh. Bahkan banyak di antaranya yang mati karena tertabrak dan lalu terinjak kaki Lermoin. Lermoin hanya bisa menangis dan menyesali perbuatannya.
Sementara itu di tempat lain, Wei yang sedang asyik mencari serangga di hutan merasakan firasat buruk. Wadah serangganya tiba-tiba penuh dengan bangkai kupu-kupu.
“Waduh, pasti gadis itu telah masuk ke dalam rumah karawei-ku,” pikirnya.
Wei pun menghentikan pekerjaannya dan melepaskan semua serangga yang telah ditangkapnya. Dengan perasaan cemas, ia kemudian bergegas pulang. Betapa sedihnya hati Wei ketika melihat bangkai kupu-kupu piaraannya banyak berserakan di sekitar rumah karawei. Sambil meneteskan air mata, ia mengumpulkan bangkai kupu-kupu tersebut lalu menguburkannya, dan sebagian ia bungkus untuk dibawa masuk ke dalam rumah karawei.
Sejak peristiwa itu, Wei semakin tidak betah berada di tempat itu. Kakinya terasa panas jika menginjak tanah. Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Ia mencabut pohon ajaibnya dan mengambil beberapa buah bijinya yang sudah tua. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada neneknya dan kedua gadis itu.
“Jagalah rumah ini! Aku akan pergi ke Teluk Nubai. Jika kalian dan anak-cucu kalian kelak mendapat kesulitan, suruhlah mereka datang ke Teluk Nubai, agar persahabatan kita selalu terjalin. Kita bangun Teluk Nubai bersama-sama,” ujar Wei.
Usai berpesan, berangkatlah Wei seorang diri menuju ke arah barat. Menurut empunya cerita, Wei berenang menyusuri pantai menuju Teluk Nubai dengan mengenakan pakaian kulit ikan jenis hiu. Setelah berhari-hari berenang melewati Hol Thaikang Nafri dan Tabati, akhirnya ia pun tiba di perairan Teluk Nubai di dekat Pulau Kayu Injau. Karena kelelahan, ia memutuskan untuk beristirahat di perairan itu. Ketika sedang asyik beristirahat, tiba-tiba sebuah anak panah melesat begitu cepat dan menancap di punggungnya.
“Aduh... sakitnya!” teriak Wei sambil mengerang kesakitan.
Begitu Wei menyembulkan kepalanya di permukaan air, tiba-tiba sebuah anak panah lagi kembali menancap di kepalanya. Ia pun semakin mengerang kesakitan. Lama-kelamaan, tubuhnya semakin lemah dan terapung di permukaan air. Siripnya yang menyerupai sirip ikan hiu itu berkilauan diterpa sinar matahari. Dengan pandangan yang mulai kabur, ia melihat sebuah perahu sedang menghampirinya. Ketika perahu itu mendekat, barulah ia sadar bahwa orang yang telah memanahnya adalah seorang nelayan. Nelayan itu bernama Sadembaro dari Pulau Kayu Injau. Namun, Wei tidak dapat berbuat apa-apa, karena tenaganya semakin lemah.
Sadembaro kemudian mengangkat tubuh Wei naik ke atas perahu. Di atas perahu itu, ia mengamati wajah Wei. Ketika melihat kedua mata Wei masih berkedip, dengan sigap ia segera mengambil busur dan anak panahnya, lalu mengarahkannya ke kepala Wei. Mengetahui nyawanya terancam, Wei pun segera berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
“Jangan, Tuan! Jangan panah aku! Aku bukan ikan hiu!” iba Wei.
Mendengar teriakan Wei, Sadembaro tersentak kaget. Ia tidak jadi memanah kepala Wei.
`Hai, kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya Sadembaro.
“Maaf, Tuan! Tolong lepaskan dulu anak panah yang menancap di tubuhku ini! Biar aku bisa menjawab pertanyaan Tuan dengan baik,” pinta Wei sambil menahan rasa sakit.
Sadembaro pun membawa tubuh Wei ke daratan Pulau Kayu Injau, dan segera mencabut anak panah yang menancap di tubuh Wei, lalu mengobatinya dengan akar-akar kayu yang telah dilumat dengan dedaunan. Beberapa saat kemudian, luka Wei pun sembuh dan tenaganya kembali pulih. Perlahan-lahan, ia membuka kulit penutup kepala ikannya, sehingga tampaklah wajah tampannya. Ia kemudian menceritakan asal-usulnya kepada Sadembaro.
Setelah itu, Wei kemudian bertanya kepada Sadembaro.
“Tuan sendiri siapa dan dari mana asal Tuan?” tanya Wei.
“Aku Sadembaro. Aku tinggal di pulau ini bersama kakakku yang bernama Sibi,” jawab Sadembaro.
Setelah mendengar cerita Sadembaro, Wei pun menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya karena telah menolongnya.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Sadembaro! Sebagai ucapan terima kasih, aku akan membuatkan kamu sebidang kebun sagu di daerah ini,” kata Wei.
Sadembaro pun menerima pemberian Wei dengan senang hati. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Wei berhasil membuat sebidang kebun sagu dalam waktu sekejap. Wei menamai kebun itu Yachmani. Setelah itu, ia berpesan agar Sadembaro merawat tanaman sagu tersebut dengan baik, sehingga hasilnya dapat bermanfaat hingga anak- cucunya kelak.
Usai berpesan, Wei segera mengenakan kulit ikannya dan berpamitan kepada Sadembaro hendak melanjutkan perjalanan menuju Nubai. Ketika ia hendak terjun ke laut, Sadembaro segera mencegahnya.
“Wei, jangan pergi dulu! Aku mempunyai saran untukmu,” cegah Sadembaro.
“Apakah saranmu itu, Sadembaro?” tanya Wei.
“Sebaiknya kamu tinggal sini saja. Aku khawatir orang-orang di Nubai akan membunuhmu. Di sebelah barat Pulau Kayu Injau ini terdapat celah batu. Tempat itu sangat aman untuk berlindung,” ujar Sadembaro.
Wei pun menerima saran Sadembaro. Mereka kemudian pergi ke tempat yang diceritakan Sadembaro itu untuk melihat keadaannya. Ternyata benar, di tempat itu terdapat sebuah celah batu. Wei segera terjun ke laut untuk memeriksa keadaan tempat itu. Setelah diperiksa, ternyata celah batu itu sangat sempit, tidak dapat mampu memuat tubuhnya. Oleh karena itu, Wei memutuskan untuk tetap meninggalkan daerah itu.
“Maafkan aku, Sadembaro! Aku terpaksa harus pergi. Jika aku tinggal di sini, pasti keluargaku akan mengetahui keberadaanku. Izinkanlah aku mohon diri,” ucap Wei.
“Jangan pergi, Wei! Tinggallah di sini, aku akan melindungimu!” seru Sadembaro.
Meskipun Sadembaro telah berusaha keras mencegahnya, namun Wei bersikeras untuk pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Sadembaro agar memberikan sebagian hasil sagu tersebut kepada kelurganya. Ia juga berpesan kepada Sedambaro, jika memotong pohon sagu hendaknya jangan sampai dihabisi semua. Tapi, sebaiknya disisakan satu atau dua batang, kemudian beralih menebang pohon sagu yang lain. Dengan demikian, tanaman
sagu tersebut dapat terus tumbuh dan berkembang biak, sehingga Sadembaro dan anak-cucunya kelak tidak kekurangan makanan.
Setelah menyampaikan pesan tersebut, Wei pun berangkat menuju ke arah barat menuju ke Kampung Tarfia. Ia ingin membantu penduduk kampung itu, karena menurut kabar dari Sadembaro, mereka sering kelaparan. Saat ia tiba di kampung Tarfia, hari masih sore. Penduduk setempat masih sibuk mencari ikan di laut. Ia pun mendekati seorang nelayan yang sedang duduk sendiri di atas perahunya.
“Maaf, Pak Tua! Aku datang untuk membantu kalian,” kata Wei.
Betapa terkejutnya lelaki tua itu ketika melihat Wei yang berwujud ikan. Dengan panik, orang tua itu segera mengambil tombaknya dan mengarahkannya kepada tubuh Wei. Melihat ancaman itu, Wei hanya tenang-tenang saja.
“Tombaklah aku, Pak Tua! Aku relah mati demi keselamatan penduduk dari bahaya kelaparan. Bagikan dagingku kepada semua penduduk! Tapi, kalian jangan makan perut besarku, tapi tanamlah di kebun belakang rumahmu! Kelak akan tumbuh sebuah pohon ajaib!” ujar Wei.
Nelayan itu kebingungan dan hatinya masih ragu untuk menancapkan tombaknya ke tubuh Wei. Setelah didesak terus-menerus oleh Wei, tanpa ragu lagi, akhirnya nelayan itu menombak tubuh Wei berkali-kali. Wei pun mati seketika. Nelayan itu segera berteriak meminta bantuan kepada nelayan lainnya untuk membawa tubuh Wei ke daratan. Akhirnya, para nelayan beramai-ramai mengangkat tubuh Wei naik ke perkampungan. Mereka memotong-motong daging Wei dan membagikannya kepada seluruh penduduk Tarfia, sedangkan perut besarnya mereka tanam di kebun sesuai dengan permintaan Wei.
Beberapa tahun kemudian, tumbuhlah sebatang pohon ajaib yang berbuat sangat lebat. Anehnya, buahnya mengeluarkan bau busuk seperti bau bangkai ikan. Bau tersebut membuat kepala seluruh penduduk Tarfia menjadi pusing, bahkan banyak yang muntah-muntah. Karena tidak tahan mencium bau bangkai yang menyengat itu, akhirnya mereka bersepakat untuk memindahkan pohon ajaib warisan Wei itu ke tempat lain. Para orang tua yang memiliki kesaktian segera mencabut pohon ajaib itu dan kemudian melemparkannya ke Kampung Nimboran di daerah pendalaman. Ajaibnya, buah-buah yang berbau busuk tersebut pecah berhamburan dan mengeluarkan kerang-kerang kauri, yaitu alat pembayar yang berharga (senilai uang) di masa itu.
* * *
Cerita di atas memberi gambaran kepada kita betapa besar kemuliaan hati Wei. Hal ini terlihat pada sikapnya yang tidak pernah menaruh dendam kepada Lermoin yang telah masuk ke dalam rumah karawei-nya. Kemuliaan hati Wei juga terlihat pada sifatnya yang pandai membalas budi dan suka menolong yang membutuhkan. Ia rela mengorbankan tubuhnya yang berwujud ikan (sejenis hiu) untuk di makan para penduduk Tarfia yang sedang kelaparan. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat suka menolong ini sangatlah dijunjung tinggi, sebagaimana dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini.
Peu Mana Meinegaka Sawai
Peu Mana Meinegaka Sawai merupakan bahasa dari daerah Papua yang berarti kabut membawa
petaka. Kabut yang dianggap sering membawa petaka itu berada di puncak Gunung Zega di
daerah Bilai, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, jika kabut itu sewaktu-waktu muncul di puncak gunung pertanda akan terjadi petaka
besar. Bagaimana asal mula kepercayaan itu muncul pada masyarakat Paniai? Lalu, petaka besar
apakah yang akan terjadi jika kabut itu muncul di puncak Gunung Zega? Ikuti kisahnya dalam
cerita Peu Mana Meinegaka Sawai berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Paniai, Papua, terdapat sebuah kampung bernama Bilai. Tidak jauh dari
kampung terdapat sebuah gunung yang berdiri tegak dan tinggi bernama Zega. Penduduk
kampung Bilai percaya bahwa gunung itu ada penghuninya. Apabila terserang wabah penyakit,
mereka meminta sering bantuan kepada penghuni gunung itu melalui seorang pawang yang
diyakini memiliki kesaktian yang tinggi.
Suatu hari, penduduk Bilai ingin mengetahui dan melihat langsung wujud penunggu gunung itu.
Oleh karena rasa penasaran tersebut, para penduduk mengundang seorang pawang untuk
bermusyawarah di Balai Desa.
“Maaf, Pawang! Kami mengundang sang pawang untuk berkumpul di tempat ini atas permintaan
seluruh warga,” ungkap tetua kampung membuka musyawarah itu.
“Kalau boleh saya tahu, ada apa gerangan?” tanya sang pawang penasaran.
Tetua kampung kemudian menjelaskan mengenai maksud mereka. Setelah mendengar penjelasan
tersebut, sang pawang pun dapat memahami keinginan seluruh warga.
“Baiklah kalau begitu. Saya akan mengantar kalian menuju ke puncak Gunung Zega. Saya pun
merasa penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya penghuni Gunung Zega itu. Selama ini saya
selalu meminta bantuan kepadanya, tetapi belum pernah bertemu secara langsung,” ungkap sang
pawang.
Keesokan hari, para penduduk dari kaum laki-laki berangkat bersama sang pawang menuju ke
puncak Gunung Zega dengan membawa senjata berupa tombak. Perjalanan yang mereka lalui
cukup sulit karena harus melewati hutan lebat, menyeberangi sungai, dan memanjat tebing yang
terjal. Meski demikian, mereka berjalan tanpa mengenal lelah dan pantang menyerah demi
menghilangkan rasa penasaran mereka.
Setibanya di puncak Gunung Zega, para penduduk beristirahat untuk melepaskan lelah. Suasana di
puncak gunung itu sangat dingin dan sunyi mencekam. Yang terdengar hanya suara-suara
binatang dan kicauan burung memecah kesunyian. Saat mereka tengah asyik beristirahat, tiba-
tiba seekor biawak besar melintas tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.
“Hai, lihat! Makhluk apakah itu?” teriak salah seorang anggota rombongan ketika melihat biawak
itu.
Mendengar teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera beranjak dari tempat duduk mereka.
Betapa terkejutnya mereka ketika melihat seekor biawak besar berkepala manusia, kakinya seperti
kaki cicak, dan berkulit keras seperti kulit biawak. Dengan tombak di tangan, mereka kemudian
mengepung biawak itu.
“Ayo kita habisi saja makhluk aneh itu!” seru seorang warga.
“Tenang saudara-saudara! Kita tidak perlu gegabah. Saya yakin, makhluk inilah penghuni gunung
ini,” kata sang pawang.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan terhadap makhluk ini?” tanya seorang warga.
“Sebaiknya kita tangkap saja biawak ini,” ujar sang pawang.
Akhirnya para penduduk bersepakat untuk menangkap biawak itu dan membawanya pulang ke
kampung. Setiba di kampung, biawak berkepala manusia itu menjadi tontonan seluruh warga.
Mereka sangat heran melihat wujud makhluk itu. Kaum lelaki segera membuatkan kandang biawak
itu untuk dipelihara. Jika suatu ketika mereka mendapat musibah, mereka dengan mudah meminta
bantuan kepada biawak yang diyakini sebagai penghuni Gunung Zega itu.
Tanpa mereka duga, ternyata biawak itu dapat berbicara layaknya manusia.
“Wahai seluruh penduduk kampung ini! Saya berjanji akan memenuhi segala keinginan kalian
tetapi dengan satu syarat,” kata biawak itu.
“Apakah syaratmu itu wahai biawak?” tanya sang pawang.
“Kalian harus memberikan saya satu kepala suku atau kepala kepala perang sebagai tumbal,”
pinta biawak itu.
Para penduduk pun tergiur mendengar janji biawak itu. Setiap penduduk menginginkan harta
benda. Untuk itulah, mereka berlomba-lomba mencari satu kepala suku atau kepala perang untuk
diserahkan kepada biawak itu. Perang antarsuku pun tak terhindarkan sehingga banyak kepala
perang dan kepala suku yang menjadi korban.
Lama-kelamaan, kaum lelaki di daerah itu semakin hari semakin berkurang. Setelah melihat akibat
dari menuruti permintaan biawak itu, para penduduk menjadi sadar. Akhirnya mereka bersepakat
untuk membinasakan biawak itu agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban. Mereka pun
menombak biawak itu hingga tewas. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, biawak itu sempat
menyampaikan sebuah pesan kepada warga.
“Jika ada kabut yang muncul di puncak Gunung Zega, maka itu pertanda akan terjadi perang.”
Sejak itulah, penduduk Bilai percaya bahwa kabut di puncak Gunung Zega adalah kabut pembawa
petaka.
Biwar Sang Panakluk Naga
Biwar adalah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa dari daerah Mimika, Papua, Indonesia. Ketika ia masih dalam
kandungan, ayahnya tewas diserang oleh seekor naga saat mengarungi sebuah sungai di daerah Tamanipia. Oleh karenanya,
sejak lahir ia dirawat dan dididik oleh ibunya seorang diri dengan dibekali berbagai ilmu pengetahuan. Setelah dewasa,
Biwar bermaksud untuk membinasakan naga yang telah melenyapkan nyawa ayahnya. Bagaimana cara Biwar
membinasakan naga yang ganas itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Biwar Sang Penakluk Naga berikut ini!
* * *
Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian
penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari,
baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain
membawa alat berupa kapak dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan
memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh
semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu
mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk hingga
menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang disebut dengan sagu. Selanjutnya,
sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah bambu yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air.
Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu. Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk
mendapatkan sari pati tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya mengendap di dasar wadah
bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang
tersisa hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong.
Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang,
yaitu keranjang yang terbuat dari rotan.
Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu tersebut ke atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri sungai
untuk kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati sungai di daerah Tamanapia, tiba-tiba
seeokar naga muncul dari dalam air dan langsung menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu
menghancurkan perahu itu hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam di sungai,
kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan diri.
Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan perahu yang telah hancur saat ia terlempar ke sungai.
Kepingan perahu itulah kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai dan melarikan diri
masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang buas, perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan
dalam hutan tersebut. Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda dan umbi-
umbian untuk bisa bertahan hidup.
Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan
seorang bayi laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi kesepian tinggal di tengah
hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia
mengajarinya berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain itu, ia juga mengajari
Biwar bermain tifa[2] hingga mahir memainkan alat musik tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia
membantu ibunya mencari lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya membuat sebuah rumah
sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat masyarakat Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk
kerucut dari jerami atau ilalang.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai dengan membawa beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan
rumahnya, ia meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil ibunya.
“Mama[3]..., Mama..., keluarlah lihat! Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar.
Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Dari mana kamu dapatkan ikan itu, Anakku?”
“Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam. Sungai itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya
amat indah,” ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan tempat itu.”
Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah mereka ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu
Biwar saat tiba di sungai itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya.
“Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga dan teman-taman Mama tewas di sungai itu karena diserang oleh
seekor naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya yang amat memilukan hati.
Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk membinasakan naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya.
“Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya.
“Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar akan membinasakan
naga yang menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar.
Sang ibu tidak mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya pulang ke
rumah untuk menyiapkan semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak, golok, dan panahnya, Biwar pun
berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di sekitar sungai.
“Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya.
“Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan ibunya.
Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga sebagai tempat persembunyian naga itu.
“Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua ini,” gumam Biwar.
Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu. Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang
diselipkan di pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam gua. Alunan musik tifa yang
dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari
dalam gua.
Mendengar suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa di dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-
siap dengan golok di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya. Ternyata benar, tak
lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut gua. Tanpa berpikir panjang, Biwar segera melemparkan
tombaknya ke arah kepala naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga itu masih terlihat ganas. Maka
sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
“Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah kau binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal
kepala naga itu hingga nyaris putus.
Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua. Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan
bebatuan. Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke rumahnya untuk memberitahukan
keberhasilannya membinasakan naga itu kepada ibunya. Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut.
“Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah buat perahu anakku lalu kita
kembali ke perkampungan!”
Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu kecil yang cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa hari,
perahu itu pun selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan. Akhirnya, dengan perahu itu, Biwar bersama ibunya berlayar
mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran ibunya. Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh
penduduk setempat. Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah menaklukkan naga itu, mereka
mengadakan pesta yang meriah.
Meraksamana
Meraksamana adalah seorang pemuda yang tinggal di pedalaman Papua. Ia mempunyai saudara
bernama Siraiman. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama dan selalu saling membantu. Suatu
ketika, Meraksamana memperistri seorang bidadari dari kahyangan. Namun, tidak berapa lama
setelah mereka menikah, istrinya diculik oleh seorang raja yang tinggal di seberang laut bernama
Raja Koranobini. Mampukah Meraksamana merebut kembali istrinya dari tangan Koranobini? Ikuti
kisahnya dalam cerita Meraksamana berikut ini!
* * *
Dahulu, di sebuah kampung di pedalaman Papua, hiduplah dua pemuda yang bernama
Meraksamana dan Siraiman. Sehari-hari mereka mencari kayu, berburu, dan mencari ikan di rawa
maupun di sungai. Mereka, dan juga penduduk kampung lainnya melakoni pekerjaan tersebut
karena memang daerah di sekitar mereka memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Suatu malam, Meraksamana terlihat sedang berbaring berbaring di lantai rumahnya yang
beralaskan daun-daun kering. Badannya terasa lelah setelah seharian bekerja. Pemuda itu tidak
kuat lagi menahan rasa kantuk hingga akhirnya terlelap. Selang beberapa saat kemudian,
Meraksamana tiba-tiba terbangun dan mengusap matanya.
“Oh, aku baru saja bermimpi melihat puluhan bidadari sedang mandi di telaga,” gumamnya.
Meraksamana merasa mimpi itu seperti nyata. Karena penasaran, malam itu juga ia segera menuju
ke telaga yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Di bawah temaram cahaya bulan, ia berjalan
menyusuri jalan setapak menuju telaga. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di tempat itu, ia melihat
sepuluh bidadari dari kahyangan sedang mandi sambil bersenda-gurau di tengah-tengah telaga. Ia
pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dan mengawasi gerak-gerik para bidadari
tersebut dari balik pohon.
“Ternyata, mimpiku benar-benar menjadi kenyataan,” kata Meraksamana, “Bidadari-bidadari itu
sungguh cantik dan mempesona.”
Meraksamana terpesona melihat kecantikan para bidadari itu. Saat asyik mengintip, ia dikejutkan
oleh kehadiran seorang perempuan tua yang tiba-tiba berdiri di dekatnya. Ia tidak tahu dari mana
datangnya nenek itu.
“Hai, anak muda! Sedang apa kamu di sini?” tanya nenek itu.
“Sa... sa... saya sedang mengawasi bidadari-bidadari itu, Nek,” jawab Meraksamana dengan
gugup.
Nenek itu tersenyum, lalu berpesan kepada Meraksamana.
“Jika ingin memperistri mereka, sebaiknya kamu ambil pakaian mereka yang diletakkan di atas
batu besar sana!” ujar nenek itu sambil menunjuk ke tempat di mana pakaian para bidadari itu
diletakkan, “Mereka pasti tidak akan bisa terbang kembali ke negerinya.”
“Baik, Nek,” jawab Meraksamana.
Dengan mengendap-endap, pemuda itu mendekati batu besar yang terletak di tepi telaga. Setelah
dekat, ia berhenti sejenak dan bersembunyi di balik semak-semak. Begitu para bidadari itu lengah,
dengan cepat Meraksamana menyambar salah satu pakaian milik bidadari tersebut lalu segera
kembali ke tempat persembunyiannya. Ketika ia sampai di balik pohon besar itu, si Nenek sudah
tidak ada. Meraksamana pun kemudian kembali mengawasi para bidadari tersebut.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur, para bidadari telah selesai mandi dan bersiap-siap
untuk kembali ke kahyangan. Satu per satu mereka mengenakan pakaian masing-masing. Namun,
salah seorang dari mereka tampak kebingungan mencari pakaiannya.
“Kak, apakah kalian melihat pakaianku?” tanya bidadari itu.
“Memang kamu letakkan di mana pakaianmu, Bungsu?” bidadari yang sulung balik bertanya.
“Tadi aku meletakkannya di dekat pakaian kalian,” jawab bidadari bungsu.
Rupanya, bidadari yang kehilangan pakaian itu adalah si Bungsu. Ia dan kakak-kakaknya sudah
mencarinya ke mana-mana, tapi belum juga ditemukan. Akhirnya, si Bungsu ditinggalkan oleh
kakak-kakaknya karena hari sudah hampir pagi.
“Kakak, kenapa kalian meninggalkan aku sendirian di sini. Aku takut sekali,” ratap si Bungsu.
Melihat bidadari Bungsu itu bersedih, Meraksamana segera menghampiri dan menghiburnya.
“Hai, gadis cantik. Kamu siapa dan kenapa menangis?” tanya Meraksamana pura-pura tidak tahu.
“Aku Bidadari Bungsu dari kahyangan. Aku tidak dapat pulang bersama kakak-kakakku karena
pakaianku hilang entah ke mana,” jawab si Bungsu.
Meraksamana tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun mengajak Bidadari Bungsu pulang ke
rumahnya. Sejak itu, Bidadari Bungsu tinggal bersama dengan Meraksamana. Selang beberapa
waktu kemudian, pemuda itu mengajaknya menikah. Si Bungsu pun tidak bisa menolak ajakan itu.
Selain karena ia tidak bisa lagi kembali ke negerinya, hidupnya bergantung pada Meraksamana
yang telah menolongnya. Akhirnya, mereka menikah dan hidup bahagia. Meraksamana pun
semakin giat bekerja.
Suatu hari, Meraksamana terlihat sedang memperbaiki umpan dan kail bersama Siraiman.
Rupanya, mereka hendak pergi memancing ke sungai. Seperti biasanya, sebelum pergi, ia selalu
berpesan kepada istrinya.
“Dinda, jagalah dirimu baik-baik di rumah,” pesan Meraksamana.
“Baik, Kanda. Kanda pun sebaiknya berhati-hati di sungai. Kalau sudah mendapatkan ikan yang
banyak, segeralah kembali,” ujar Bidadari Bungsu.
“Baik, Dinda,” jawab Meraksamana.
Setelah berpamitan, Meraksamana ditemani Siraiman pun berangkat ke sungai. Hari itu, mereka
sangat beruntung karena ikan-ikan di sungai sedang doyan makan. Setiap kali mereka
melemparkan umpan, ikan-ikan langsung menyambar. Tidak sampai setengah hari, mereka telah
mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak. Mereka pun memutuskan untuk pulang. Setiba
di rumah, Meraksamana segera memanggil istrinya.
“Dinda, Kanda sudah pulang. Cepatlah keluar, Kanda membawa ikan yang banyak sekali!” seru
Meraksamana.
Beberapa kali Meraksamana memanggil istrinya, namun tak ada jawaban. Ia pun mulai khawatir.
“Siraiman, kenapa istriku tidak keluar-keluar juga?” tanyanya kepada Siraiman dengan cemas,
“Padahal biasanya, sekali saja aku memanggilnya dia sudah datang menyambutku.”
“Barangkali istri kakak sedang tidur” jawab Siraiman dengan santai.
“Tidak mungkin. Ia tidak pernah tidur sebelum aku pulang,” sanggah Meraksamana.
Meraksamana pun semakin cemas. Ia segera masuk ke dalam rumah. Namun, istrinya tidak juga
terlihat. Ia kemudian mencarinya di sekitar rumah dan bertanya kepada tetangga, tapi tak seorang
pun yang melihatnya. Akhirnya, ia bersama Siraiman segera mencarinya ke luar perkampungan.
Dalam perjalanan, mereka menemukan seorang laki-laki sedang tergantung di pohon dengan
tangan terikat.
“Hai, kamu siapa dan kenapa digantung?” tanya Meraksamana.
“Aku Mandinuma dari Negeri Koranobini yang berada di seberang laut,” jawab laki-laki setengah
baya itu, “Aku dihukum oleh rajaku karena aku suka makan banyak sehingga banyak merugikan
orang lain.”
Meraksamana kemudian menanyakan perihal istrinya kepada Mandinuma.
“Apakah kamu melihat seorang wanita lewat di sini?” tanyanya.
“Ya, tadi aku wanita cantik seperti bidadari lewat di sini. Tapi, ia bersama dengan Raja Koranobini
yang telah menghukumku,” jawab Mandinuma.
“Hai, kenapa istriku bisa bersama dia?” tanya Meraksamana bingung.
“Ketahuilah, Meraksamana! Raja Koranobini adalah raja yang bengis dan kejam. Walaupun sudah
mempunyai istri banyak, ia suka mengganggu wanita-wanita cantik dan kemudian
memperistrinya,” jelas Mandinuma, “Aku akan membantu kalian, tapi dengan syarat lepaskan
dulu jeratan tali ini.”
Meraksamana bersama Siraiman segera melepaskan tali yang menjerat tubuh Mandinuma dan
kemudian menurunkannya dari pohon.
“Terima kasih karena telah membebaskanku,” ucap Mandinuma, “Sesuai dengan janjiku tadi, maka
aku akan segera membebaskan istrimu dan membawanya kembali ke sini.”
Mandinuma segera berlari menuju ke laut dan diikuti oleh Meraksamana dan Siraiman. Setiba di
pantai, ia langsung menghirup air laut hingga laut itu menjadi kering. Kedua orang bersaudara itu
hanya terbengong-bengong melihat kesaktian Mandinuma.
“Kalian tunggu di sini saja,” ujar Mandinuma, “Biar aku sendiri yang menghadapi Raja Koranobini
yang bengis itu dan segera membawa istrimu kemari.”
Mandinuma yang sakti itu dengan cepat berlari menuju istana Koranobini melewati jalan yang
sudah menjadi daratan. Setiba di istana, ia mendapati Raja Koranobini sedang tertidur pulas.
Tanpa sepengetahuan para penjaga, ia segera mencari keberadaan Bidadari Bungsu. Tak berapa
lama kemudian, ia pun menemukannya sedang menangis di dalam sebuah kamar.
“Jangan, takut Putri! Aku Mandinuma, sahabat suamimu. Aku ke mari untuk menyelamatkanmu,”
ujar laki-laki sakti itu.
“Sekarang suamiku ada di mana?” tanya Bidadari Bungsu.
“Suamimu sedang menunggumu di seberang lautan sana. Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!”
ujar Mandinuma seraya menarik tangan istri Meraksamana itu.
Setelah melihat keadaan sudah aman, keduanya pun segera pergi meninggalkan istana tanpa
sepengetahuan Raja Koranobini. Alhasil, mereka berhasil sampai di seberang lautan. Meraksamana
dan Siraiman pun menyambut kedatangan mereka dengan gembira. Mandinuma segera
memuntahkan semua air laut yang telah dihirupnya sehingga jalan yang dilaluinya tadi kembali
menjadi lautan yang luas.
Meraksamana tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Mandinuma yang telah
menyelamatkan wanita yang amat dicintainya itu. Ia pun amat bahagia karena dapat bertemu
kembali dengan istrinya dan hidup seperti biasanya. Namun sayang, kebahagiaan itu tidak
berlangsung lama. Bidadari Bungsu meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke kahyangan
karena malu selalu diejek oleh masyarakat sekitarnya bahwa ia manusia yang tidak dikenal asal-
usulnya dan tidak jelas keturunannya.
Walaupun berat hati, Meraksamana terpaksa mengizinkannya. Ia tidak ingin melihat istrinya terus
menderita karena setiap hari dihina. Meraksamana pun terpaksa menyerahkan kembali pakaian
istrinya yang disembunyikan di dalam rumahnya. Maka tahulah Bidadari Bungsu bahwa
pakaiannya yang dulu hilang di tepi ternyata disembunyikan oleh suaminya. Meskipun begitu, ia
tidak mempermasalahkannya. Ia malah berterima kasih kepada Meraksamana yang telah
menolongnya selama dirinya tinggal di bumi.
Setelah mengenakan pakaiannya, Bidadari Bungsu segera terbang menuju kahyangan.
Meraksamana pun melepas kepergian istrinya dengan hati sedih. Sejak itu, Bidadari Bungsu itu
tidak pernah lagi kembali ke bumi menemui suaminya.
Danau Walait Yang Keramat
Dahulu, di Lembah Baliem hiduplah sebuah suku yang bernama suku Walait. Lembah Baliem yang
berada di puncak Gunung Jayawijaya ini dikelilingi oleh hamparan hutan lebat. Di dalam hutan itu
banyak terdapat binatang buas, terutama babi hutan. Itulah sebabnya, sebagian besar warga suku
Walait bekerja sebagai pemburu babi hutan. Sebagian hasil tangkapannya dimakan untuk lauk
sehari-sehari, dan sebagian yang lain untuk diternakkan.
Di antara penduduk suku Waliat ada seorang gadis bernama Jelita. Ia hanya tinggal bersama
dengan ayahnya karena ibunya telah meninggal dunia. Sehari-harinya, gadis cantik itu bekerja
sebagai penggembala babi, sedangkan sang Ayah pergi ke hutan untuk mencari kayu, umbi-
umbian, dan hasil hutan lainnya.
Sang Ayah selalu berpesan kepada Jelita agar tidak menggembalakan babi di sekitar Danau Walait
yang berada tidak jauh permukiman penduduk.
“Jelita, putriku! Jangan sekali-kali kamu menggembalakan babi di sekitar danau itu!” ujar sang
Ayah.
“Baik, Yah,” jawab si Jelita.
Suatu hari, Jelita lupa pada pesan ayahnya. Ia membiarkan babinya berkeliaran di sekitar Danau
Walait. Rerumputan di sekitar danau itu memang tumbuh subur dan hijau karena tak seorang pun
yang berani menggembalakan babi di sana. Sambil menunggu babi peliharaannya merumput,
gadis cantik itu duduk berteduh di bawah sebuah pohon. Tak berapa lama kemudian, babi-babinya
tiba-tiba mati bergelimpangan setelah memakan sesuatu di tepi danau itu. Melihat kejadian
tersebut, Jelita menjadi panik.
“Aduh, Ayah pasti akan marah sekali jika mengetahui hal ini,” gumam si Jelita.
Dengan perasaan takut, Jelita pulang ke rumah untuk memberitahukan kejadian itu kepada
ayahnya. Sang Ayah mendengar kabar buruk itu pun menjadi murka.
“Dasar anak tidak bisa diatur!” hardik sang Ayah, ”Ayah sudah melarangmu menggembala di sana,
tapi kamu tidak mendengar nasehat Ayah. Pergi dari rumah ini!”
“Maafkan Jelita, Ayah! Jelita benar-benar lupa pada nasehat Ayah. Ampun Ayah, jangan usir Jelita!
Jelita tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah,” rengek Jelita di hadapan ayahnya.
Meskipun Jelita sudah merengek-rengek, sang Ayah tetap mengusirnya. Dengan hati yang hancur,
gadis yang malang itu pun pergi meninggalkan rumahnya. Karena bingung harus pergi ke mana, ia
pun memutuskan untuk pergi ke Danau Walait. Di pinggir danau itu, ia duduk termenung
memikirkan nasibnya yang malang.
“Ya, Tuhan! Tak ada gunanya lagi hamba hidup di dunia ini. Hamba tidak memiliki siapa-siapa
lagi,” keluh gadis itu.
Usai berkata demikian, Jelita mencebur ke dalam Danau Walait. Atas kuasa Tuhan, ia berubah
menjadi seekor ikan mungil. Sejak itulah, itulah gadis yang telah berbuah menjadi ikan itu hidup di
danau itu.
Sementara itu, di seberang Danau Walait, tinggal pula sebuah suku bernama Akeima yang
dipimpin oleh Hulogolik. Jumlah wanita di suku Akeima ketika itu masih sedikit sehingga banyak
laki-laki yang belum menikah, termasuk Hulogolik. Suatu ketika, Hulogolik pergi bertapa di sebuah
gua untuk meminta kepada Dewata agar dianugerahi seorang istri untuk melanjutkan
keturunannya. Ketika ia asyik bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan di telinganya.
“Wahai, Hulogolik. Jika kamu mendapatkan istri, usirlah suku Walai yang ada di sekitar Danau
Walait!” seru suara itu.
Hulogolik pun menuruti pesan gaib itu. Bersama dengan warga sukunya, Hulogolik memerangi
suku Waliat dan berhasil mengusir mereka dari tempat itu. Karena kelelahan, kepala suku itu
beristirahat di bawah sebuah pohon di tepi Danau Walait hingga terlelap. Dalam lelapnya, ia
mendapat perintah dari Dewa agar mencopot kepalanya.
“Wahai, Hulogolik. Penggallah kepalamu hingga terpisah dari tubuhmu. Setelah itu, masuklah ke
dalam Danau Walait!” seru sang Dewa.
Begitu terbangun, Hulogolik segera menuruti perintah itu. Dengan tubuh tanpa kepala, ia segera
mencebur ke dalam danau. Ikan-ikan yang ada di dalam danau itu pun masuk ke dalam tubuhnya
hingga penuh. Setelah kembali ke darat, Hulogolik mengeluarkan semua ikan yang ada di
tubuhnya ke rerumputan. Setelah itu, kepala dan tubuhnya kembali menyatu. Ajaibnya, ikan-ikan
tersebut tiba-tiba menjelma menjadi gadis-gadis yang cantik jelita. Rupanya, ikan-ikan tersebut
merupakan penjelmaan gadis-gadis yang sering hilang di sekitar Danau Walait. Akhirnya, Hulogolik
membawa pulang gadis-gadis itu ke kampungnya untuk dinikahinya dan juga orang-orang sukunya
yang memang banyak yang belum beristri.
Namun, tanpa sepengetahuan Hulogolik, salah seorang anak buahnya memperhatikan tingkah
lakunya saat ia mencebur ke dalam Danau Walait. Keesokan harinya, warga itu ingin melakukan
seperti yang dilakukan oleh Hulogolik dengan meminta bantuan kepada roh jahat.
“Baiklah, aku akan membantumu, tapi dengan syarat kamu harus membujuk Hulogolik untuk
kembali memerangi suku Walait,” ujar roh jahat itu.
Warga itu menyanggupi persyaratan itu. Alhasil, ia berhasil membujuk kepala sukunya itu sehingga
peperangan antara dua suku pun kembali berkobar. Peperangan itu memakan banyak korban.
Setelah perang tersebut selesai, anak buah Hulogolik itu mendekati Danau Walait dan melakukan
seperti melakukan seperti yang dilakukan oleh tuannya.
Namun, tanpa ia sadari pula, ternyata ada seorang warga lain yang mengintipnya dari balik semak-
semak. Begitu ia mencebur ke danau tanpa kepala, warga yang mengintip itu mengambil
kepalanya dan cepat-cepat pergi. Ketika anak buah Hulogolik itu kembali darat, kepalanya sudah
tidak ada. Pada saat itulah, ia tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular raksasa.
Sang Dewa yang mengetahui peristiwa itu menjadi murka kepada Hulogolik karena lalai
mengawasi warganya.
“Hai, Hulogolik! Kenapa kamu menyerang suku Walait tanpa melalui perintahku? Karena kamu
telah bertindak sewenang-wenang, maka sebagai hukuman jasadmu kelak tidak akan membusuk
sampai kapan pun,” ujar sang Dewa dalam mimpi Hulogolik.
Alangkah terkejutnya Hulogolik saat terbangun. Ia baru menyadari bahwa dirinya telah termakan
hasut oleh anak buahnya itu. Namun, apa boleh, buat nasi sudah menjadi bubur. Hulogolik tinggal
menunggu hukuman itu setelah ia mati kelak.
Sementara itu, isti Hulogolik telah berkumpul kembali dengan keluarganya. Saat mereka
berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang menyinggung perihal hilangnya seorang warga di
Danau Walait. Ia juga mengakui bahwa dirinyalah yang memisahkan kepala dan tubuh anak buah
Hulogolik itu.
Mendengar cerita itu, cepat-cepatlah Hulogolik berlari menuju ke Danau Walait. Setiba di tepi
danau, tiba-tiba seekor ular raksasa menyerangnya. Saking cepatnya serangan ular itu sampai-
sampai Hulogolik tidak sempat menghindar. Akhirnya, kepala suku Akeima itu pun tewas.
Tubuhnya pun mengeras dan berwarna hitam. Karena tak seorang pun warga yang menyaksikan
peristiwa itu, jasad Hulogolik masih terapung-apung di tengah danau itu hingga berhari-hari.
Warga yang berada di perkampung pun mulai cemas karena kepala suku mereka tidak pulang-
pulang. Istri Hulogolik pun mengerahkan seluruh warga untuk mencarinya ke Danau Walait.
Melihat kedatangan orang-orang, ular naga segera membuat lubang besar di dasar danau dan
bersembunyi di dalamnya. Ia takut keluar karena itu akan membahayakan dirinya.
Sementara itu, para warga yang baru tiba di tempat itu dikejutkan oleh sesosok tubuh sedang
terapung-apung di tengah danau.
“Hai lihat, bukankah itu jasad Hulogolik?” teriak salah seorang warga.
“Iya, sepertinya benar,” sahut istri Hulogolik.
Beberapa warga segera berenang ke tengah danau untuk mengambil jasad Hulogolik. Tak berapa
lama kemudian, para warga itu kembali ke darat dengan membopong jasad kepala suku mereka.
Mereka kemudian membawa pulang mayat itu ke perkampungan untuk disemayamkan di sebuah
honay (rumah adat orang Papua). Sungguh ajaib, mayat honay itu benar-benar tidak pernah
membusuk.
Buaya Ajaib Sungai Tami
Dahulu, di Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua, hiduplah
seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai (rumah adat
orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu kelahirannya tinggal menunggu
beberapa hari lagi.
Pada hari yang telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan
melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal kelahiran, dan mulai
mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus keluar, sang bayi di dalam
rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik dan bingung mesti berbuat apa. Maka,
pergilah ia ke rumah seorang dukun di kampung itu.
“Nek, tolong istri saya,” pinta Towjatuwa, “Ia akan melahirkan.”
“Baiklah, kau pulanglah dulu, aku segera menyusulmu,” kata nenek sang dukun bayi itu.
Towjatuwa pun bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat
persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia mendapati istri
Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan.
“Nek, tolong aku. Perutku sakit sekali,” rintih istri Towjatuwa.
“Tenang, Cucuku,” kata sang dukun.
Nenek dukun itu pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin resah,
ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya.
“Bagaimana keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan?” tanya Towjatuwa.
“Maaf, Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu terlalu
besar sehingga susah untuk keluar,” kata dukun itu.
“Lalu, bagaimana cara menolongnya, Nek?” tanya Towjatuwa.
“Aku membutuhkan rumput air dari Sungai Tami,” jawab nenek dukun.
Towjatuwa segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari rumput air
yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari, namun rumput air itu belum
juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan pencarian, tiba-tiba terdengar suara mengerang
dari arah belakangnya.
“Hai, suara apa itu!” serunya dengan kaget.
Begitu Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya. Anehnya,
punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu tampak sangat menyeramkan.
Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri sebelum dirinya dimangsa oleh buaya itu.
Namun, ketika ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara
teguran.
“Tunggu dulu, Towjatuwa!” seru suara itu.
Towjatuwa pun menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu.
“Apakah kamu yang memanggilku?” tanya Towjatuwa heran.
“Benar, Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu,” jawab buaya itu, “Namaku Watuwe, penguasa di
Sungai Tami ini.”
Alangkah terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah tidak percaya
bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu tiba-tiba mengerang
kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar. Towjatuwa yang iba melihat penderitaan
buaya itu segera menolong dengan memindahkan batu besar yang menjepit ekor Watuwe.
Setelah itu, Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun, Watuwe
kembali menghentikan langkahnya.
“Sebentar, Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?” tanya
Watuwe.
“Aku sedang mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum
menemukannya,” jawab Towjatuwa.
“Jangan khawatir, Towjatuwa,” ujar Watuwe, “Karena engkau telah menolongku, maka aku pun
akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.”
“Terima kasih sebelumnya, Watuwe,” ucap Towjatuwa dengan perasaan senang.
Hari sudah sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya Watuwe
datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas pembaringan.
Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya. Alhasil, dengan kekuatan
ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Bayi itu diberi
nama Narrowra.
“Terima kasih, Watuwe,” ucap Towjatuwa dan istrinya.
“Sama-sama, Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku,” kata
Watuwe seraya berpamitan.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang
anaknya.
“Ketahuilah, Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,” ungkap
Watuwe, “Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan memakanku.
Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah kantung itu ke Gunung Sankria.
Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan akan memberi petunjuk mengenai apa yang
harus kalian lakukan.”
Towjatuwa dan istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong kelahiran
anak mereka.
“Istriku, walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang
dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita,” kata Towjatuwa kepada istrinya.
“Satu-satu cara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan
melaksanakan semua pesannya,” ujar sang istri.
“Kamu, benar istriku,” kata Towjatuwa.
Sejak itulah, Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-buaya
lainnya yang berada di Sungai Tami.
Batu Belah
Pada zaman dahulu, daerah pesisir Tobelo, Maluku Utara, memiliki kekayaan laut yang sangat melimpah. Berbagai jenis ikan hidup di daerah tersebut. Salah satu di antaranya adalah ikan papayana. Jenis ikan ini sangat digemari oleh nelayan setempat karena dagingnya lezat dan mempunyai banyak telur yang enak dimakan. Selain itu, telur ikan papayana dipercaya dapat menjaga keselamatan para nelayan ketika sedang mencari ikan di laut dalam keadaan cuaca buruk. Caranya sangat mudah yaitu menyimpan telur ikan papayana tersebut di rumah sebelum berangkat ke laut.
Di antara para nelayan di daerah itu, ada seorang nelayan yang bernama Malaihollo. Malaihollo mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang perempuan bernama O Bia Moloku sedangkan anak bungsunya seorang laki-laki yang masih balita bernama O Bia Mokara. Untuk menghidupi keluarganya, setiap hari Malaihollo mencari ikan di laut.
Pada suatu hari, Malaihollo pulang dari melaut lebih awal daripada hari-hari biasanya karena cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut sangat ganas. Namun, hari itu ia berhasil memperoleh seekor ikan papayana yang cukup besar dan bertelur banyak. Dengan hati gembira dan langkah tergopoh-gopoh, ia membawa ikan itu masuk ke dalam rumah untuk diserahkan kepada istrinya.
“Ma… Ma…, Papa pulang!” seru Malaihollo.
Mendengar teriakan itu, sang istri tercinta segera menyambut kedatangannya.
“Ada apa, Papa! Kenapa Papa sudah kembali dari melaut? Bukankah hari masih pagi?” tanya istrinya heran.
“Lihat, Ma! Papa membawa ikan papayana yang sangat besar. Tolong ikan beserta telurnya dimasak sekarang untuk makan siang kita nanti! Papa ingin kembali lagi ke laut untuk mencari ikan,” pesan Malaihollo.
“Baik, Pa!” jawab istrinya seraya membawa ikan itu ke dapur untuk dimasak.
Meskipun mengetahui cuaca di laut sangat buruk, Istri Malaihollo tetap tidak memperdulikan keselamatan suaminya. Ia yakin bahwa dengan menyimpan telur ikan papayana suaminya akan baik-baik saja selama melaut.
Usai dimasak, ikan dan telur ikan papayana tersebut ia simpan di dalam lemari. Setelah itu, istri Malaihollo berniat untuk mengambil sayur-sayuran di kebun.
“Moloku, Mama mau ke kebun sebentar. Jangan kamu makan ikan yang Mama simpan di lemari! Jika kamu memakan telur ikan itu, maka Papa-mu akan terancam bahaya di laut,” pesan istri Malaihollo kepada anak sulungnya yang sedang bermain bersama adiknya di halaman rumah.
“Baik, Mama!” jawab O Bia Moloku.
Tak berapa lama setelah sang mama pergi, tiba-tiba O Bia Mokana menangis karena lapar.
“Kakak, adik lapar. Adik mau makan telur ikan,” kata O Bia Mokana.
“Jangan, Adikku! Kita tidak boleh makan telur ikan itu sebelum papa pulang dari laut,” bujuk O Bia Moloku.
O Bia Moloku terus berusaha membujuk adiknya dengan mengajaknya bermain-main agar tidak teringat pada telur ikan tersebut. Mulanya, O Bia Mokana berhenti menangis dan kembali bermain. Namun, selang beberapa saat kemudian, O Bia Mokana kembali menangis karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar.
“Kakak, adik lapar sekali. Adik mau makan telur ikan itu,” pinta O Bia Mokana sambil merengek-rengek.
Semakin lama, tangis O Bia Mokana semakin keras. Bahkan, ia menangis sambil meronta-ronta dan mengguling-gulingkan badannya di tanah. Oleh karena merasa kasihan melihat adiknya, O Bia Moloku pun mengambil beberapa cuil telur ikan yang ada di lemari lalu diberikan kepada adiknya. O Bia Mokana makan dengan lahapnya sehingga telur ikan itu habis dalam waktu sekejap. Namun, rupanya beberapa telur ikan itu belum mengenyangkan perut O Bia Mokana sehingga ia kembali meminta telur ikan kepada kakaknya.
“Kakak, aku masih lapar. Aku minta telur ikan lagi,” pinta O Bia Mokana sambil merengek-rengek.
Akhirnya, O Bia Molaka memberikan semua telur ikan yang ada di lemari kepada adiknya agar tidak merengek-rengek lagi. Dengan hati gembira, O Bia Mokana segera melahap telur ikan tersebut hingga habis. Setelah kenyang, anak bungsu Malaihollo itu kembali bermain dengan riang gembira.
Sementara itu, sang mama yang masih berada di kebun bergegas kembali ke rumah karena hari sudah hampir siang.
“Wah, saya harus segera pulang. Sebentar lagi suami saya pulang dari laut,” gumamnya.
Setibanya di rumah, istri Malaihollo itu sangat senang melihat anak-anaknya sedang bermain dengan riang di halaman rumah. Setelah meletakkan sayur-sayurannya di dapur, ia kemudian menggendong si bungsu. Alangkah senangnya hati O Bia Moloku berada di dekapan ibunya sambil bersendau-gurau. Pada saat ia tertawa-tawa, sang mama melihat banyak sisa-sisa telur ikan di sela-sela giginya. Sang mama pun mulai curiga dan merasa cemas. Ia segera melepas si bungsu dari gendongannya lalu bergegas ke dapur untuk memeriksa telur ikan yang disimpannya di dalam lemari. Begitu membuka lemari itu, sang mama langsung naik pitam karena telur ikannya telah habis tanpa tersisa sedikit pun.
“O Bia Moloku! Ayo kemari!” seru sang mama.
“Ada apa, Mama?” tanya O Bia Moloku.
“Mana telur ikan pepayana yang ibu simpan di lemari ini?” tanya sang mama dengan wajah cemas.
“Maaf But... ! Tadi O Bia Mokara menangis merengek-rengek ingin makan telur ikan itu. Moloku tidak tega melihatnya menangis terus. Jadi, Moloku terpaksa memberikan telur ikan itu kepadanya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.
Mendengar jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir. Sejenak, ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat buruk terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah, ia selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan telur ikan pepayana tersebut benar-benar terbukti keampuhannya, suaminya tidak pernah mendapat bencana saat pergi melaut walaupun dalam keadaan cuaca buruk.
“Baiklah, karena kalian tidak patuh kepada nasehat orangtua, maka terpaksa Mama harus meninggalkan kalian!” ancam sang Mama.
“Maafkan kami, Mama! Jangan tinggalkan kami!” iba O Bia Moloku.
Sang mama tidak mau lagi mendengar perkataan anaknya. Ia segera berlari ke luar rumah menuju ke arah pantai. Melihat mama-nya pergi, si bungsu pun menangis. O Bia Moloku segera menggendong adiknya lalu mengejar mama mereka.
“Mama, kembalilah! Si bungsu menangis... Si Bungsu haus...!” teriak O Bia Moloku.
“Peraslah daun katang! Di situ ada air susu,” jawab sang mama sambil terus berlari.
Akhirnya, O Bia Moloku berhenti sejenak untuk memeras daun katang dan memberi minum adiknya. Sementara itu, sang mama semakin jauh meninggalkan mereka. Setelah adiknya kenyang, O Bia Moloku segera menggendongnya dan kembali mengejar mama mereka. Begitu mereka tiba di pantai, sang mama sudah berdiri di depan sebuah batu besar.
“Mama, jangan tinggalkan kami! Kami berjanji tidak akan melanggar nasehat Mama,” iba O Bia Moloku.
Namun, tekad sang mama untuk meninggalkan mereka tidak dapat lagi dicegah. Ia segera naik di atas batu besar itu lalu berkata: “Wahai, batu besar! Terbukalah agar aku bisa masuk ke dalammu!”
Sungguh ajaib, batu besar itu perlahan-lahan terbelah menjadi dua. Begitu batu besar itu terbuka lebar, sang mama segera masuk ke dalamnya. Setelah itu, sang mama meminta kepada batu itu agar tertutup kembali.
“Wahai, Batu Besar! Mengatuplah!” seru sang mama.
Mendengar perintah itu, batu besar itu pun mengatup kembali dengan sangat cepat tanpa meninggalkan bekas celah atau retakan sedikit pun. Tak ayal lagi, istri Malaihollo itu pun tertelan oleh batu besar itu. Melihat peristiwa tersebut, O Bio Moloku dan adiknya terus menangisi kepergian mama mereka. Batu besar yang menelan istri Malaihollo tersebut kemudian dinamakan Batu Belah. Hingga saat ini, Batu Belah masih dapat ditemukan di daerah Maluku Utara.
Asal Mula Telaga Biru
Alkisah, di wilayah Galela, Halmahera Utara, Maluku Utara, tersebutlah sebuah dusun bernama Lisawa. Dusun ini masih tergolong sepi, karena hanya dihuni oleh beberapa keluarga yang menempati beberapa dadaru (rumah). Dusun ini juga tergolong daerah yang sulit air, karena hampir seluruh wilayahnya terdiri dari bebatuan. Untuk mendapatkan air bersih untuk keperluan minum, masak, dan mandi, para penduduk harus berjalan jauh. Meski demikian, penduduknya senantiasa hidup aman, damai, dan tenang.
Di dusun ini seorang pemuda tampan yang akrab dipanggil Magohiduuru, dan seorang gadis cantik yang akrab dipanggil Majojaru. Mereka adalah sepasang kekasih setia sehidup-semati. Sebenarnya, Magohiduuru ingin segera meminang Majojaru. Namun, ia tidak berani menyampaikan niat itu kepada kekasihnya, karena ia menyadari bahwa untuk menghidupi dirinya sendiri masih kesulitan, apalagi jika berkeluarga. Menyadari keadaan dirinya, Magohiduuru pun memutuskan untuk pergi merantau. Setelah berhasil, barulah ia akan kembali melamar Majojaru. Niat itu pun ia sampaikan kepada kedua orang tuanya dan mendapat restu. Setelah itu, ia segera menemui kesasihnya.
`Adikku! Ada yang ingin kukatakan kepadamu!” kata Magohiduuru.
“Ada apa, Kak! Katakanlah!” desak Majojaru.
“Adikku! Kakak ingin pergi merantau mencari bekal untuk masa depan kita berdua. Setelah berhasil, Kakak akan segera kembali untuk melamarmu. Apakah Adik akan setia menunggu sampai Kakak pulang?” tanya Magohiduuru.
Majojaru tertegun sejenak. Ia terdiam dengan pandangan kosong. Pikirannya terbang jauh membayangkan dirinya akan ditinggal oleh sang Kekasih yang sangat dicintainya itu. Hatinya sangat sedih membayangkan hal itu. Namun, setelah berpikir dengan akal jernih, ia pun menyadari bahwa yang dikatakan kekasihnya itu benar, demi masa depan mereka yang lebih baik.
“Baiklah, Kak! Jika Kakak bersungguh hati hendak merantau, pergilah Kak! Adik akan setia menunggumu. Kakaklah satu-satunya harapan Adik dalam hidup ini. Kakaklah cinta sehidup-semati Adik,” ucap Majojaru.
“Tapi, jangan lupa segera kembali jika Kakak sudah berhasil!” pesannya.
Betapa senangnya hati Magohiduuru mendengar janji setia dan restu dari sang Kekasih.
“Iya, Adikku! Kakak berjanji segera kembali, karena kamulah milik Kakak satu-satunya. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengabulkan ikrar kita untuk sehidup-semati,” kata Magohiduuru.
Keesokan harinya, Magohiduuru berpamitan kepada Majojaru. Meski keduanya sudah saling merelakan berpisah untuk sementara waktu, Majojaru masih menyimpan perasaan berat hati untuk melepas kepergian kekasih hatinya, begitu pula Magohiduuru dengan perasaan berat hati harus meninggalkan sang kekasih tercinta. Namun, apapun keadaannya, Magohiduuru sudah bertekad keras untuk merantau. Ia pun berangkat ke negeri seberang dengan menumpang kapal layar.
Sudah satu tahun Magohiduuru di perantauan, belum juga kembali. Hati Majojaru pun mulai gelisah. Suatu hari ketika berjalan-jalan ke dermaga, Majojaru melihat sebuah kapal sedang berlabuh. Dengan penuh harapan, ia mendekat ke kapal itu siapa tahu kekasih yang dinanti-nantikannya ada di antara para penumpang. Ia mengamati setiap penumpang yang turun dari kapal dengan penuh seksama. Seluruh penumpang sudah turun dari kapal, namun orang yang dicarinya tidak juga kelihatan. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk menanyakan keberadaan kekasihnya kepada salah seorang awak kapal.
“Permisi, Tuan! Bolehkah saya menganggu sebentar?” sapa Majojaru.
“Iya, ada apa? Ada yang dapat kubantu?” bertanya awak kapal itu.
“Iya, Tuan! Apakah Tuan mengenal kekasih saya, Magohiduuru? Kalau tidak salah, setahun yang lalu ia menumpang kapal Tuan menuju ke negeri seberang. Apakah Tuan pernah mendengar kabarnya?” Majojaru balik bertanya.
“Ooo... Magohiduuru, si pemuda tampan yang malang itu,” jawab awak kapal itu.
Mendengar jawaban itu, Majojaru pun tersentak kaget.
“Hai, apa maksud Tuan dengan si pemuda yang malang itu? Apa yang terjadi dengannya, Tuan?” tanya Majojaru dengan penuh penasaran.
Awak kapal itu pun bercerita bahwa sebulan yang lalu Magohiduuru meninggal dunia di perantauan karena kecelakaan saat sedang bekerja. Bagaikan disambar petir di siang bolong Majojaru mendengar berita buruk itu. Ia seolah tidak percaya atas nasib yang menimpa kekasihnya. Musnahlah segala harapannya. Janji setia untuk sehidup semati yang pernah mereka ikrarkan pun menjadi sirna.
Dengan hati sedih dan tubuh lemas, Majojaru berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya. Sebelum sampai di perkampungan, ia mencari tempat berteduh untuk menenangkan hatinya. Ia duduk di atas bebatuan yang berada di bawah sebuah pohon beringin meratapi nasib yang telah menimpa kekasihnya. Ia pun menangis sejadi-jadinya hingga tiga hari tiga malam. Air matanya terus mengalir tak terbendung bagaikan tanggul yang jebol. Lama-kelamaan, air matanya menggenangi dan menenggelamkan bebatuan tempat ia duduk hingga ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia. Tak berapa lama kemudian, terbentuklah sebuah telaga kecil yang airnya sebening air mata dan berwarna kebiruan.
Beberapa hari kemudian, seorang penduduk sedang mencari kayu bakar di sekitar tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat telaga kecil itu.
“Hai, kenapa tiba-tiba ada telaga di tempat ini?” gumamnya.
Tanpa banyak pikir, orang itu segera memberitahukan keberadaan telaga itu kepada penduduk Dusun Lisawa. Mendengar berita tersebut, para penduduk pun menjadi gempar. Tetua adat (kepala kampung) bersama beberapa orang warga segera berbondong-bondong untuk melihat telaga itu. Setibanya di tempat itu, mereka terheran-heran dan kebingungan.
“Hai, apakah kamu mengerti kapan sumber mata air ini muncul?” tanya tetua adat kepada warga yang pertama menemukan telaga itu.
“Tidak, Pak! Telaga itu sudah ada saat aku melewati tempat ini,” jawab warga itu.
“Wah, apakah ini pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi di kampung kita, Pak?” sahut seorang warga lainnya.
“Entahlah. Tapi, kita harus menyelediki penyebab timbulnya telaga ini,” ujar tetua adat.
Akhirnya, tetua adat dan beberapa orang warga tersebut kembali ke perkampungan. Tetua adat segera memukul dolodolo (kentongan) untuk mengumpulkan seluruh warganya. Tak berapa lama, para warga pun telah berkumpul di halaman rumahnya.
“Wahai, seluruh wargaku! Ketahuilah! Di kampung kita baru saja terjadi peristiwa aneh. Sebuah telaga kecil tiba-tiba muncul di pinggir kampung. Oleh karena itu, kita harus mengadakan upacara adat untuk mengungkap misteri keberadaan telaga itu!” seru tetua adat.
Mendengar seruan tersebut, para sepepuh kampung segera menyiapkan segala keperluan untuk mengadakan upacara adat pemanggilan roh-roh leluhur dan penyembahan terhadap Jou Giki Moi atau Jou Maduhutu (Tuhan Yang Esa atau Tuhan Sang Pencipta). Selang beberapa saat upacara adat itu berlangsung, terdengarlah sebuah bisikan dari roh lehuhur mereka yang bunyinya seperti berikut:
“Timbul dari sininga irogi de itepi sidago kongo dahulu de i uhi imadadi ak majobubu”. (Artinya: Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mangalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Mendapat jawaban tersebut, tetua adat pun menutup upacara adat tersebut dan segera membunyikan dolodolo. Tak berapa lama, para warga pun berkumpul untuk mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh tetua adat.
“Wahai, wargaku! Ketahuilah! Keberadaan telaga itu disebabkan oleh air mata seorang gadis akibat patah hati ditinggal mati oleh kekasihnya,” ungkap tetua adat.
Begitu tetua adat selesai menyampaikan keterangan itu, suasana pun menjadi hening. Seluruh warga yang hadir bertanya-tanya dalam hati siapakah pasangan kekasih tersebut. Di tengah keheningan tersebut, tetua adat kembali angkat bicara dan bertanya kepada warga.
“Hai, siapakah di antara kalian yang saat ini anggota keluarganya tidak berada di kampung ini?” tanya tetua adat.
Mendengar pertanyaan itu, para warga pun saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Selang beberapa saat, seorang laki-laki setengah baya mengacungkan tangan. Ia adalah ayah Magohiduuru.
“Saya, Pak!” sahut ayah Magohiduuru.
“Siapa anggota keluargamu itu dan ke mana perginya?” tanya tetua adat.
Ayah Magohiduuru itu pun bercerita bahwa setahun yang lalu anak laki-lakinya yang bernama Magohiduuru pergi merantau, namun belum kembali. Begitu lelaki setengah baya itu usai bercerita, ayah Majojaru pun bercerita bahwa putrinya, Majojaru, sudah tiga hari tidak pulang ke rumah. Ia sudah mencari ke mana-mana tapi tidak menemukannya. Ia juga bercerita bahwa sebenarnya, putrinya dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih dan mereka telah saling berjanji untuk sehidup semati.
Dari keterangan ayah Magohiduuru dan Majojaru itulah, tetua adat menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sepasang kekasih tersebut. Setelah diusut ke mana-mana, akhirnya mereka pun mendapat kabar berita dari awak kapal bahwa Magohiduuru telah meninggal dunia di perantauan. Mereka juga mendapat keterangan bahwa Majojaru telah mengetahui perihal kematian
kekasihnya. Mendengar semua keterangan tersebut, maka tetua adat dan seluruh warga Dusun Lisawa pun berkeyakinan bahwa terbentuknya telaga itu berasal dari air mata Majojaru karena menangisi kepergian kekasihnya. Untuk mengenang peristiwa yang menyedihkan itu, penduduk setempat menamai telaga itu Telaga Biru, karena airnya sebening air mata dan berwarna kebiruan. Mereka pun berjanji akan menjaga dan merawat telaga itu.
Buaya Tembaga
Pulau Ambon adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat lautan yang mem-
biru dipenuhi ikan yang beraneka ragam. Ada pula ikan yang dapat terbang mencecah laut. Taman
lautnya yang penuh dengan berbagai jenis hewan laut, membuatnya semakin indah dipandang
mata.
Dikisahkan pada zaman dahulu, kota Ambon yang terletak pada jazirah Lei Timur dan jazirah Lei
Hitu itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala. Di tempat ini
hidup seekor buaya yang sangat besar. Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya ku-
ning. Oleh sebab itu, penduduk di sana memberinya nama Buaya Tembaga. Keadaan alam di
Baguala yang begitu indah dan nyaman, membuat Buaya Tembaga itu merasa betah tinggal di
sana. Apalagi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.
Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru, hiduplah seekor ular besar yang
bertengger di atas sebatang pohon Mintaggor. Pohon itu tumbuh di tepi pantai dan selalu condong
ke arah laut. Ular tersebut selalu mengganggu ketenteraman hidup semua penghuni tempat itu.
Hampir semua ikan ditelannya, buaya-buaya pun turut dimangsanya juga. Oleh karena itu, ikan-ikan,
buaya, dan binatang lain berkumpul untuk mengadakan musyawarah dengan tujuan untuk meng-
atasi serta membasmi ular raksasa itu. Akhirnya, mereka sepakat bahwa yang dapat menandingi ular
tersebut adalah Buaya Tembaga.
Setelah selesai bermusyawarah mereka mengirim utusan untuk menemui Buaya Tembaga.
Tujuannya yaitu meminta bantuan agar dapat menghancurkan ular pemangsa itu. Mereka
kemudian menjemput Buaya Tembaga dari Teluk Baguala, sementara ikan-ikan dan buaya yang
lain sibuk mempersiapkan upacara penyambutan bagi Buaya Tembaga.
Setibanya mereka di Teluk Baguala, Buaya Tembaga mengabulkan permohonan mereka dan
bersedia untuk berangkat bersama dengan para utusan itu menuju pantai selatan Pulau Buru.
Setibanya di Pulau Buru, Buaya Tembaga disambut dengan hangat dalam suatu upacara yang
meriah. Upacara pun dihadiri oleh para penghuni laut seperti keong laut, berjenis ikan, para buaya,
aneka macam burung laut. Mereka beramah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya Tembaga sela-
ma dua hari.
Pada hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai berjalan,
berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati pohon mintanggor tempat ular
raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia berpapasan dengan sang ular. Seketika itu
ular langsung melilitkan ekornya pada batang pohon mintanggor dan menjulurkan badannya ke
laut seraya memagut Buaya Tembaga.
Pagutan ular itu segera ditangkis Buaya Tembaga dengan mengibaskan ekornya yang keras dan
tajam. Perang tanding pun terjadi antara keduanya dan peristiwa ini disaksikan oleh semua penghuni
laut yang berada di sekitar tempat itu. Pertarungan tersebut terjadi selama lebih dari sehari.
Ketika pertarungan itu sudah berlangsung selama dua hari, terjadilah saat-saat yang menentukan.
Sang ular, seperti biasa, melilitkan ekornya kuat-kuat pada batang pohon mintanggor dan
memagut mata sang buaya. Buaya pun dengan sigap segera mengelak dari serangan ular dan
membalas dengan pukulan yang keras dan cepat. Lalu ia hempaskan ekor tajamnya ke arah kepa-
la ular raksasa itu. Hal ini terjadi berulang kali. Akibatnya, sang ular pun babak belur terkena
sambaran ekor Buaya Tembaga. Kepalanya remuk, lilitan ekornya terlepas dari batang pohon
mintanggor dan terhempas ke laut. Maka berakhirlah sudah riwayat ular raksasa tersebut.
Para penghuni laut yang menyaksikannya serentak bersorak-sorai. Dengan demikian, mereka telah
bebas dari ancaman sang ular yang selama ini menghantui mereka. Setelah kejadian itu, Buaya
Tembaga dianugerahi gelar “Yang Dipertuan di daerah Teluk Baguala”. Hadiah itu dipersembahkan
pada sebuat tagala dan diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang, make, papere, dan
salmaneti. Selanjutnya, Buaya Tembaga pun kembali ke tempat asalnya dengan membawa hadiah
tersebut. Sejak saat itu, ikan-ikan tersebut berkembang-biak dengan baik di Teluk Baguala. Hingga
kini, ikan jenis itu sangat banyak terdapat di teluk tersebut. Bahkan banyak penduduk yang per-
caya, terutama yang tinggal di sekitar Teluk Baguala bahwa bila Buaya Tembaga itu muncul
pertanda akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat bersiap-siap untuk menangkap ikan dan
menjualnya. Kemunculan Buaya Tembaga membawa keberuntungan bagi penduduk Baguala.
Empat Sultan Di Maluku Utara
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal-usul keluarganya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram. Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.
Suatu sore, sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke langit yang berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang dan semakin jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar Sidik.
Baru selesai bergumam, tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang
berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi tindak-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik tersebut hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain-main air diselingi dengan canda tawa.
Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.
“Aduhai... cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.
Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena bidadari itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil berjingkat-jingkat menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut di balik bajunya.
Hari pun semakin sore. Tibalah saatnya para bidadari tersebut kembali ke negerinya di Kahyangan.
“Adik-adik, hari sudah menjelang malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak bidadari berbaju merah, kakak yang tertua.
Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke darat dan mengenakan selendang masing-masing. Namun, bidadari yang bungsu masih kebingungan, karena selendangnya hilang.
“Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau.
“Tunggu sebentar, Kak! Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, namun tidak menemukannya. Walaupun harus meninggalkan si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar.
“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik-baik!” ujar bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriak si Bungsu sambil meratap.
Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi itu.
Bidadari bungsu pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah... Ibu..., kenapa nasibku begini?”
Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.
“Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?” tanya Jafar Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu.
“Nama hamba Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik tidak memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam, ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya.
Sejak tinggal bersama Putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini. Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama keluarganya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.
“Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
“Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” tanya Jafar Sidik penasaran.
“Tuan harus berjanji tidak akan mencegah hamba pulang ke Kahyangan jika hamba menemukan kembali selendang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik pun menerima syarat itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan pengantin baru itu pun hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak-anaknya agar taat memegang dan melaksanakan ajaran agama Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup saling menyayangi, tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia berharap keempat anaknya kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kehadiran keempat anak tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri Boki Nurfaesyah pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya. Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.
Suatu hari, ketika suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun mengetahui bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah suaminya sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun berpamitan kepada anak-anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik-baik dan patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada anak-anaknya.
“Ibu mau pergi ke mana?” tanya si Sulung.
“Ketahuilah, anak-anakku! Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan,” ungkap sang Ibu.
“Ibu.... jangan tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu,” ratap si Bungsu.
“Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil menangis.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah bertekad kembali menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah sambil meneteskan air mata.
Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak meninggalkan mereka. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang kedua ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya pun terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam menjelang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati anak-anaknya sedang menangis tersedu-sedu.
“Hai, kenapa kalian menangis? Ke mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.
Si Sulung pun menceritakan bahwa sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu menjaga keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-laut dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sejak itu, Jafar Sidik pun harus membagi waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak-anaknya. Ia baru berangkat ke ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat hari menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-anaknya makan siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang. Begitulah kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya.
Waktu terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat beragama, dan berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
Nenek Luhu
Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu. Negeri itu terletak di
Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang kaya dengan hasil cengkeh. Negeri yang
jumlah warganya tidak terlalu banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang
lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama Puar Bulan dan
seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina Luhu berarti anak perempuan dari
Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Putri Luhu. Ia adalah anak sulung sang raja yang memiliki
perangai baik, penurut, berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada
seluruh keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua orang putra, yaitu Sabadin
Luhu dan Kasim Luhu.
Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar oleh penjajah
Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mereka pun berniat untuk menguasai pulau itu. Dengan
persenjataan lengkap, mereka menyerang Negeri Luhu. Raja Luhu dan pasukannya pun berusaha
melakukan perlawanan sehingga pertempuran sengit pun terjadi. Perang itu dikenal dengan nama
Perang Pongi, dan ada juga yang menyebutnya Perang Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah
Belanda berhasil menguasai Negeri Luhu. Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya
tewas. Satu-satunya orang yang selamat ketika itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu. Namun, ia
ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon untuk dijadikan istri panglima perang
Belanda.
Setibanya di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan istri oleh panglima
perang Belanda. Akibatnya, ia pun diperkosa oleh sang panglima. Putri cantik yang malang itu
tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, karena tidak ingin terus-terusan diperlakukan tidak senonoh
oleh panglima itu, sang putrid selalu berpikir keras untuk mencari cara agar dapat keluar dari Kota
Ambon.
Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda sehingga ia dapat melarikan diri
dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah negeri yang bernama Soya. Di negeri itu, ia
disambut baik oleh Raja Soya. Bahkan, ia kemudian dianggap sebagai keluarga istana Soya. Ia
diberi kamar tidur yang bagus dan indah. Atas sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat terharu
karena teringat ketika dulu dirinya menjadi putri raja. Tak terasa, air matanya menetes membasahi
kedua pipinya. Wajah kedua orangtua dan adik-adiknya kembali terbayang di hadapannya. Ia
sangat merindukan mereka.
“Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat merindukan kalian. Beta hanya bisa berdoa
semoga kalian hidup tenang di alam sana!”
Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui hamil. Keadaan
demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di istana karena tentu akan semakin
merepotkan keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan istana tersebut.
“O, Tuhan! Beta tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini. Tapi, kehadiran Beta di tempat ini
hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Beta harus pergi dari istana ini. Berilah Beta
petunjuk-Mu, Tuhan!” pinta Ta Ina Luhu.
Pada suatu malam, saat suasana di dalam istana sudah sepi, Ta Ina Luhu mengendap-endap
berjalan menuju ke pintu belakang istana sambil mengawasi keadaan sekelilingnya. Rupanya, ia
benar-benar ingin pergi dari istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan
kepergiannya kepada keluarga Raja Soya karena sudah tentu mereka tidak akan mengizinkannya.
Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda sedang ditambatkan di
bawah sebuah pohon. Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa dipakai ketika akan menghadap
Gubernur Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas punggung kuda itu. Sebelum
meninggalkan negeri itu, sang putri berbisik dalam hati.
“Maafkan Beta, Baginda! Maafkan Beta, wahai seluruh keluarga istana! Kalian sungguh baik hati
kepada Beta. Tapi, Beta terpaksa harus pergi karena tidak ingin merepotkan kalian. Relakanlah
Beta pergi dan kalian jangan mencari Beta lagi!”
Setelah itu, Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu segera pergi sebelum ada warga istana
yang melihatnya. Ia menyusuri hutan belantara yang sepi dan mencekam. Meskipun suasana
malam terasa sangat dingin, Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya menuju
ke puncak gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub melihat
pemandangan Teluk Ambon yang sungguh mempesona. Pemandangan itu sejenak mengobati
luka-lara sang putri.
“Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona,” ucap Ta Ina Luhu dengan kagum.
Usai berucap demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak sadarkan diri.
Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa lelah yang begitu berat setelah menempuh
perjalanan jauh. Tak berapa lama kemudian, ia kembali sadar. Dengan sisa-sisa tenaga yang
dimilikinya, perlahan-lahan sang putri berusaha bangkit dan berdiri di samping kudanya. Dalam
keadaan setengah sadar, ia menarik kudanya menuju ke sebuah pohon jambu yang rindang dan
berbuah lebat.
Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon jambu itu, sang putri segera membaringkan
tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung tertidur pulas dan baru terbangun pada keesokan
harinya saat matahari mulai beranjak tinggi. Begitu ia terbangun, perutnya terasa kosong. Dengan
kondisi tubuh yang masih lemas, ia berusaha meraih buah jambu yang sudah matang. Setelah
memakan beberapa buah jambu tersebut, tenaganya pun berangsur-angsur pulih.
Sementara itu, di istana Soya, sang raja menjadi panik ketika mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada di
kamarnya. Seluruh keluarga istana telah mencarinya ke seluruh ruangan istana namun belum juga
menemukannya. Para pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak
menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal datang menghadap
kepada Raja Soya.
“Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu,” lapor pengawal itu.
“Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang?” tanya Raja Soya
dengan penasaran.
“Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik Baginda yang
ditambatkan di belakang istana juga hilang. Jadi, hamba berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi
dengan menunggang kuda milik Baginda,” jelas pengawal itu.
Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan keadaan Putri Ta Ina
Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera membunyikan tifa (gendang
kecil) sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan kemudian
kembali memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat raja). Tak
berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebut datang menghadap kepadanya.
“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya kedua pejabat itu
serentak.
“Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga empat puluh tahun.
Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu
dalam keadaan selamat!” titah Raja Soya.
“Titah Baginda kami laksanakan,” jawab keduanya seraya memberi hormat.
Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok. Kemudian,
mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi oleh
sang putri.
Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba
ia mendengar suara orang yang memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut
pastilah para pengawal Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera
meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian rombongan pengawal
Raja Soya yang tiba di tempat itu tidak menemukan sang putri kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa
makanan sang putri. Konon, rombongan itu kemudian menamakan tempat itu “Gunung Nona”.
Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai Amahusu. Karena
begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita, ketika sang putrid
hendak berhenti mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu
kemudian diberi nama “Batu Capeu”.
Ta Ina Luhu terus menelusuri pantai Amahusu hingga akhirnya sampai ke Ambon. Tumbuh sang
putri tampak begitu lemah karena lapar dan haus. Demikian pula dengan kuda tunggangannya.
Setelah beberapa jauh berjalan mencari air minum, akhirnya ia menemukan sebuah mata air. Ta
Ina dan Luhu segera meminum air dari mata air tersebut dengan sepuasnya. Konon, mata air itu
dinamakan “Air Putri”.
Setelah sejenak beristirahat di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat untuk kembali ke puncak Gunung
Nona dengan melalui jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan para pengawal Raja Soya.
Namun, ketika hendak beranjak dari tempat itu, ia kembali mendengar suara orang-orang
memanggilnya.
“Putri…, Putri…, Putri Ta Ina Luhu…! Kembalilah… Baginda Raja Soya sedang menunggumu!”
Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun, begitu ia akan
memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan
terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar
rombongan itu tidak membawanya pulang ke istana Soya.
“Oh, Tuhan! Tolonglah Beta ini! Beta tidak mau kembali ke istana Soya. Beta tidak mau
merepotkan orang lain. Biarkanlah Beta hidup sendirian!” pinta Ta Ina Luhu.
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara
gaib. Rombongan pengawal tersebut tersentak kaget. Mereka hanya terperangah menyaksikan
peristiwa ajaib itu.
Sejak peristiwa itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh sesosok makhluk halus. Jika hujan turun
bersamaan dengan cuaca panas, seringkali ada warga—terutama anak-anak—yang hilang.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makhluk halus yang suka mengambil anak-anak
tersebut adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu. Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil dengan sebutan
Nenek Luhu. Hanya saja, hingga saat ini tak seorang pun yang tahu mengapa Nenek Luhu suka
mengganggu penduduk Ambon, terutama anak-anak.
Bulu Pamali
Alkisah, di sebuah daerah di Maluku, ada seorang anak laki-laki yatim piatu bernama Yongker.
Sebenarnya, anak sebatang kara itu berasal dari daerah Manipa. Namun, sejak kedua orang tuanya
meninggal dunia, ia kemudian pindah dan menetap di Benteng. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, setiap hari Yongker mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar atau ditukar
dengan barang lain yang ia perlukan.
Suatu pagi yang cerah, Yongker mendayung perahunya menuju Pantai Latulahat untuk mencari
kayu bakar di gunung yang ada di sekitar pantai itu. Gunung itu dihampari oleh hutan belantara.
Tidak lupa ia membawa bekal makanan secukupnya karena daerah itu cukup jauh dari tempat
tinggalnya.
Setiba di Tanjung Latulahat, Dusun Waimahu, Yongker menambatkan perahunya di akar sebuah
pohon yang tumbuh di pinggir pantai. Sambil membawa bekalnya, ia berjalan mendaki gunung itu.
Setiba di puncak, Yongker mulai bekerja. Ia tidak hanya mengumpulkan ranting kayu kering, tetapi
juga memotong dahan-dahan kayu yang masih melekat di pohon. Dahan kayu yang masih basah
itu tetap dibiarkan di tempat itu hingga beberapa hari dan baru dibawa pulang setelah kering.
Lama-kelamaan, pepohonan di hutan itu menjadi tidak rindang karena semua dahannya telah
habis dipangkasnya.
Saat hari menjelang siang, Yongker beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah sambil menyantap
bekal makanan yang dibawanya. Setelah matahari terbenam, ia kembali melanjutkan
pekerjaannya. Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Yongker segera membereskan kayu-kayu bakar
yang telah dikumpulkannya untuk bergegas pulang. Namun, baru saja ia menuruni lembah gunung
itu, waktu sudah keburu malam.
“Ah, sebaiknya aku menginap di sini saja,” gumam Yongker seraya mencari tempat yang aman
untuk beristirahat.
Untung malam itu bulan purnama sedang memancarkan cahayanya yang terang sehingga Yongker
dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan cukup jelas. Tak berapa lama kemudian, ia
menemukan sebuah tanah lapang yang bersih. Tanah lapang itu ditumbuhi oleh rerumputan yang
hijau. Dengan perasaan senang, Yongker pun segera merebahkan tubuhnya di atas rerumputan
itu. Tubuhnya terasa amat lelah dan mengantuk, namun hingga larut malam, ia sulit memejamkan
mata karena banyak nyamuk yang mengganggunya.
Ketika Yongker sedang sibuk mengusir binatang-binatang pengisap darah yang hinggap di kakinya
itu, seekor ular raksasa datang menelannya, dan memuntahkannya kembali sesaat kemudian. Tak
ayal, ia pun terpelanting ke tanah hingga tak sadarkan diri. Begitu sadar, tiba-tiba ia mendengar
suara bergemuruh seolah-olah bumi terbelah. Yongker menjadi ketakutan dan bulu romanya
merinding. Pada saat yang bersamaan, seorang laki-laki tua yang bertubuh tinggi dan besar telah
berdiri di depannya.
“Hai, anak muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?” tanya lelaki tua itu.
“Sa... saya Yongker dari Manipa, tapi tinggal di Benteng,” jawab Yongker dengan gugup.
“Mengapa kamu masuk ke tempatku dan merusak hutan yang ada di daerahku?” lelaki tua itu
kembali bertanya.
Yongker semakin ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar seraya bersujud memohon ampun kepada
lelaki tua itu.
“Ampunilah saya, Kek! Saya ini anak sebatang kara. Saya tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
Untuk bisa tertahan hidup, saya hanya mencari kayu bakar untuk saya jual ke pasar,” ungkap
Yongker mengiba.
Lelaki tua itu pun terketuk hatinya setelah mendengar pengakuan Yongker.
“Wahai, anak muda. Apapun yang kamu minta dariku, pasti kukabulkan,” ujar lelaki tua itu.
“Maaf, Kek. Saya tidak akan meminta apa-apa kepada Kakek. Tapi, apapun yang Kakek berikan
akan saya terima dengan senang hati,” jawab Yongker.
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang pejamkanlah matamu!” seru sang kakek seraya mengambil
sepotong bulu yang secara tiba-tiba tumbuh tidak jauh di belakang Yongker.
Dengan kesaktiannya, kakek itu menusukkan bulu itu di kepala Yongker hingga tembus ke kaki
dan segera mencabutnya kembali. Ajaibnya, anak yatim piatu itu tidak merasakan sakit sedikit pun
di tubuhnya. Setelah bulu itu tercabut dari tubuhnya, kakek itu menyuruhnya untuk kembali
membuka mata.
“Bukalah matamu pelan-pelan, Cucuku!” ujar si kakek.
Begitu matanya terbuka, Yongker merasa tubuhnya mendapat tambahan tenaga yang luar biasa.
“Apa yang terjadi dengan tubuhku, Kek? Kenapa tubuhku terasa jadi ringan dan penuh tenaga?”
tanya anak yatim piatu itu dengan heran.
Kakek itu hanya tersenyum, lalu menceritakan apa yang baru saja dilakukannya terhadap tubuh
Yongker.
“Ketahuilah, Cucuku! Aku telah memberimu ilmu kekebalan tubuh. Ilmu itu tidak hanya membuat
tubuhmu kebal terhadap segala macam senjata tajam, benda tumpul, atau pun tangan kosong,
tetapi juga memiliki kekuatan yang mahadahsyat untuk membela diri,” ujar kakek itu.
Kakek itu lantas berpesan kepada Yongker agar tetap menggunakan ilmu itu untuk kebaikan.
“Gunakanlah ilmu itu untuk menjaga diri dari binatang buas dan orang-orang jahat! Tapi, ingatlah,
jangan sekali-kali kau menggunakannya untuk kejahatan!”
“Baik Kek, terima kasih,” ucap Yongker, “Saya berjanji akan selalu memegang teguh pesan Kakek.”
Setelah berkata demikian, Yongker menoleh ke pohon bulu di belakangnya. Ia melihat bulu itu
masih terlihat berdiri dengan tegak. Pada saat itu pula, ia melihat tujuh helai daun bulu itu
terlepas dari tangkainya. Ketujuh helai daun bulu itu kemudian berterbangan ditiup angin hingga
jatuh ke tengah-tengah laut. Alangkah terkejutnya Yongker ketika tiba-tiba melihat ada tujuh pulau
kecil yang muncul di tempat daun itu terjatuh. Kini, pulau-pulau tersebut disebut dengan Pulau
Tujuh.
Setelah menyaksikan peristiwa ajaib itu, Yongker kembali menoleh ke pohon bulu itu. Anak itu pun
terheran-heran karena pohon bulu itu sudah tidak ada di tempatnya. Belum hilang keheranannya,
kakek yang telah menolongnya juga pun hilang bersamaan dengan menghilangnya pohon bulu
tersebut.
Pada esok hari, cepat-cepat Yongker kembali ke perkampungan dan menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya. Sejak itulah, anak yatim piatu itu terkenal dengan ilmu kekebalan yang
dimilikinya. Sesuai pesan kakek, Yongker senantiasa menggunakan ilmunya untuk menjaga diri
dan menolong orang lain dari gangguan orang-orang jahat. Oleh penduduk Dusun Waimahu,
Latulahat, tempat Yongker beristirahat yang hingga kini masih terlihat bersih itu dianggap sebagai
tempat keramat. Sementara itu, pohon bulu yang dilihat Yongker disebut dengan nama Bulu
Pamali karena tumbuh dan hilang secara misterius. Menurut kepercayaan masyarakat setempat,
pohon bulu itu sewaktu-waktu muncul, namun hanya orang-orang yang mempunyai petuanan di
daerah tersebut yang bisa melihatnya.
Legenda Tanifal Di Pulau Buru
Alkisah, di Pulau Buru, Maluku, tersebutlah sebuah negeri bernama Tifu. Tidak jauh dari negeri ini
terdapat sebuah gunung bernama Gunung Garuda. Bila dipandang dari pantai Tifu, gunung itu
tampak berwarna kemerah-merahan. Di lereng gunung itu terdapat dua buah liang batu yang
letaknya agak berjauhan. Kedua liang batu tersebut masing-masing dihuni oleh seekor burung
elang jantan dan seekor elang betina. Kedua burung elang tersebut merupakan burung elang
terbesar di Pulau Buru. Jika burung elang raksasa ini sedang mengembangkan sayapnya di
angkasa, hampir sebagian Negeri Tifu menjadi gelap akibat tertutupi bayangannya.
Burung elang rakasa tersebut termasuk burung paling ganas di antara burung pemangsa lainnya.
Kukunya sangat runcing untuk menerkam dan mencengkram mangsa, serta memiliki keterampilan
dan kecepatan yang tinggi dalam melumpuhkan mangsa. Burung elang rakasa itu juga memiliki
bulu yang rapat dan tungkai yang bersisik tebal untuk melindungi tubuhnya dari sengatan
binatang yang dimangsanya. Keistimewaan lain yang dimiliki burung ini adalah kepala dan
matanya besar serta daya penglihatannya sangat tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh
sehingga tak satu pun mangsa yang bisa lolos dari pengamatannya. Burung elang rakasa itu juga
memiliki kecepatan untuk terbang melayang tinggi ke angkasa. Ia juga mempunyai sistem
pernafasan yang baik dan mampu membekali dirinya dengan oksigen yang banyak sehingga dapat
terbang sepanjang hari di angkasa.
Sepasang burung elang tersebut biasanya terbang mencari mangsa pada siang hari, sedangkan
pada malam hari mereka beristirahat di sarangnya masing-masing Burung elang betina lebih giat
mencari mangsa dibandingkan dengan burung elang jantan. Jenis binatang yang biasa menjadi
sasarannya adalah hewan mamalia kecil seperti tikus, tupai, dan ayam. Terkadang pula ikan dan
udang menjadi mangsanya. Jika mereka tidak mendapat mangsa binatang atau hewan, manusia
pun bisa menjadi sasarannya. Meski demikian, mereka tidak mau memangsa manusia yang berada
di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka selalu terbang jauh untuk mencari mangsa.
Kedua burung elang rakasa tersebut, terutama si elang betina, sering mengincar penumpang kapal
yang melintas di perairan sekitar Pulau Buru. Jika melihat ada kapal yang melintas, elang betina
dengan cepat terbang menuju ke kapal tersebut untuk menangkap para penumpangnya dan
membawa mereka ke sarangnya. Sebagian mangsa tersebut langsung disantap dan sebagian yang
lain disimpan selama beberapa hari sambil menunggu kedatangan kapal berikutnya. Manusia yang
sering menjadi korbannya adalah pelaut-pelaut Cina yang melintas di daerah itu.
Berita tentang keganasan burung elang itu pun tersebar ke seluruh penjuru Negeri Cina.
Sekelompok nelayan yang mendengar berita tersebut bermaksud untuk menumpas keganasan
kedua burung elang raksasa tersebut. Mereka akan menghadapi kedua elang itu dengan besi
runcing atau tombak besi sepanjang tiga meter. Saat berada di perairan Tifu, mereka akan
memanaskan ujung besi runcing itu hingga merah membara sebelum menusukkannya ke tubuh
burung elang tersebut.
Setelah semuanya siap, berangkatlah rombongan nelayan Cina itu ke perairan Tifu dengan
menggunakan kapal. Setelah berhari-hari berlayar, akhirnya mereka pun tiba di perairan Buru
Selatan. Nahkoda kapal segera memerintahkan seluruh awak kapal yang jumlahnya puluhan lebih
untuk bersiaga.
“Pasukan, siapkan senjata kalian!” seru sang nahkoda kapal, “Sebentar lagi burung elang raksasa
itu datang untuk menangkap kita.”
“Baik, Tuan,” jawab seluruh awak kapal serentak.
Para awak kapal segera mengambil senjata masing-masing lalu berkumpul di geladak kapal sambil
memanaskan ujung tombak besi mereka. Tak berapa lama kemudian, ujung tombak besi itu
berubah menjadi merah membara dan siap untuk digunakan. Bersamaan dengan itu, kedua
burung elang rakasa itu pun datang untuk memangsa mereka. Namun, sebelum keduanya
mencengkramkan cakar-cakarnya yang tajam ke tubuh mereka, para awak kapal segera
menancapkan tombak besinya ke tubuh kedua burung elang tersebut. Tak ayal, sepasang burung
elang raksasa itu langsung mengerang kesakitan.
“Koaaak… Koaaak… Koaaak…!!!”
Meskipun terluka parah dengan tombak besi menancap hampir di seluruh tubuhnya, kedua burung
elang raksasa itu berusaha terbang ke sarangnya dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Namun
belum sampai di sarangnya, mereka telah kehabisan darah hingga akhirnya jatuh dan tewas di
pantai Tifa. Setelah memastikan keduanya telah mati, rombongan pelaut Cina tersebut segera
meninggalkan itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, bangkai kedua burung elang raksasa itu dibiarkan tergeletak di pantai Tifu. Lama-
kelamaan bangkai itu kemudian berubah menjadi Tanifal, yaitu sebidang daratan berpasir putih
dan halus. Tanifal itu dikelilingi oleh air laut dan hanya tampak ketika air laut sedang surut.
Menurut cerita masyarakat setempat, kedua bola dari salah satu dari burung elang itu terlepas dan
kemudian berubah menjadi dua buah batu besar. Lama-kelamaan, kedua batu besar yang
ditumbuhi rerumputan itu membentuk dua pulau kecil yang indah.
Hingga saat ini masyarakat setempat juga mempercayai bahwa di daerah tersebut masih terdapat
burung goheba atau burung elang yang dianggap sebagai keturunan dari kedua burung elang
raksasa itu. Bahkan, burung goheba itu menjadi salah satu tanda bagi para nelayan untuk
mengetahui tempat berkumpulnya kawanan ikan di suatu tempat. Jika goheba itu beterbangan dan
mondar-mandir mengelilingi Negeri Tifu atau Pulau Buru sambil berbunyi “Koaaak… Koaaak…”
maka hal itu merupakan pertanda bahwa di tempat itu terdapat kawanan ikan yang sedang
berkumpul.
Petualangan Empat Kapiten Dari Maluku
Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa Ina merupakan pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau
Seram, Maluku. Negeri itu dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury, Kapitan Nanlohy,
dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing sehingga penduduk mereka
tersebar di berbagai daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa saling membantu dan bekerjasama
dalam berbagai hal. Mereka juga suka berpetualang hingga ke daerah pelosok secara bersama-sama.
Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud mengadakan petualangan yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan
seperti bekal makanan dan minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah mereka ke daerah Watui yang terletak
di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa (rakit) yang terbuat dari batang dan bilah-bilah bambu. Gusepa itulah yang
akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.
Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi tugas. Kapitan Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan
Wattimury bertugas sebagai pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka dan duduk di tengah
gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang
Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun milik bersama. Itulah sebabnya, semua harta
dan perbekalan diletakkan di dekatnya. Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa burung nuri
kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam tempat sirih pinang.
Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap meluncur. Perlahan-lahan, Kapitan Wattimury mengarahkan gusepa ke tengah
sungai dengan menggunakan galah dari bambu panjang. Begitu tiba di tengah sungai, gusepa itu pun meluncur dengan cepat
terbawa arus sungai yang sangat deras. Ketika keempat kapiten tersebut tiba di sebuah tempat bernama Batu Pamali, gusepa
yang mereka tumpangi kandas dan hampir terbalik. Mereka pun panik. Kapitan Wattimena yang terkejut kemudian berteriak
dan menyerukan kepada Kapitan Talakua yang berada di belakang.
“Talakuang!” serunya. Kata tersebut artinya “tikam dan tahan gusepa!” Konon, Kapitan Talakua yang mendapat perintah itu
kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Maluku dengan memakai mata rumah atau marga Talakua di Negeri Portho.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Kapitan Wattimena segera membuka tempat sirih pinangnya. Namun, tempat sirih
pinang itu tiba-tiba terjatuh dan burung nurinya pun terbang entah ke mana. Kejadian itu benar-benar membuat hati Kapitan
Wattimena kecewa dan mengucapkan sumpah.
“Aku bersumpah, seluruh keturunan marga Wattimena dan para menantu tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan
sirih pinang!” ucap Kapitan Wattimena.
Setelah itu, keempat kapiten tersebut melanjutkan perjalanan menuju daerah Tala. Setiba di sana, mereka kemudian
membuat batu perjanjian yang dinamakan Manuhurui. Mereka berikrar bahwa jika suatu saat nanti mereka berpisah atau
tercerai-berai, hubungan persaudaraan harus tetap berbina. Mereka harus tolong-menolong dalam segala hal dan selalu saling
mengunjungi satu sama lain.
Keempat Kapiten tersebut tampaknya sudah mulai kelelahan sehingga mereka pun memutuskan untuk beristirahat beberapa
hari. Suatu ketika, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury sedang istirahat di darat, sedangkan Kapitan Nanholy dan
Kapitan Talakua berisitirahat di atas gusepa. Tanpa disadari, gusepa itu hanyut terbawa arus. Keduanya pun panik dan
berteriak meminta tolong.
“Tolong… Tolong…!” seru Kapitan Nanlohy meneriaki kedua saudaranya yang sedang tidur di darat. Mendengar teriakan
itu, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury terbangun. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat kedua saudara mereka
hanyut terbawa arus. Mereka hendak menolong, namun kedua saudara mereka sudah jauh terbawa arus hingga ke tengah
laut. Kapitan Nanholy berusaha berenang ke daratan dan terdampar ke sebuah tempat. Tempat itu kemudian diberi nama
Nanuhulu yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”. Sejak itu, Kapitan Nanholy menetap di daerah tersebut. Sementara
itu, Kapitan Talakua terus hanyut hingga melewati Tanjung Uneputty dan terdampar di Teluk Pulau Saparua. Di situ, ia
membangun negeri yang diberi nama Portho.
Sementara itu di tempat lain, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury tetap mendiami daerah Manuhurui di Kampung
Sanuhu. Keduanya pun hidup saling tolong-menolong dan menyayangi. Suatu ketika, mereka mendengar kabar bahwa
kampung mereka akan diserang musuh yang datang dari kampung sebelah.
“Apa yang harus kita lakukan, Wattimena?” tanya Kapitan Wattimury bingung.
“Kita harus segera meninggalkan kampung ini dan mencari tempat persembunyian yang aman,” kata Kapitan Wattimena,
Kapitan Wattimury pun menyetujui keputusan itu. Akhirnya, kedua orang bersaudara itu bersembunyi di suatu tempat yang
aman dari kejaran musuh. Namun sayang, tempat gersang dan tandus sehingga air sulit didapatkan. Kapitan Wattimury
kembali dilanda kebingungan.
“Bagaimana kita bisa hidup di tempat ini? Air untuk diminum saja susah,” keluh Kapitan Wattimury.
Kapitan Wattimena tidak menjawab. Ia langsung mengambil sebuah tombak lalu ditancapkan ke tanah. Seketika, air pun
menyembur keluar dengan sangat deras. Akhirnya, keduanya pun dapat minum air sampai kenyang. Tempat itu kemudian
mereka beri nama Hule yang berarti kekenyangan. Mereka pun menetap di daerah itu, namun tidak beberapa lama. Mereka
bersepakat untuk membuka daerah baru di tempat lain.
Kedua kapiten itu kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri daerah Seram Selatan hingga ke bagian timur daerah Boboth.
Namun, hingga malam hari, mereka belum juga menemukan tempat yang cocok. Pada malam yang gelap gulita itu,
keduanya tetap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, Kapiten Wattimena mengentikan langkahnya.
“Hai, kenapa berhenti, Wattimena?” tanya Kapiten Wattimury heran.
“Kita beristirahat sejenak di sini,” ujar Kapitan Wattimena, “Sudah jauh kita berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk
dijadikan tempat menetap.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kapitan Wattimury bingung.
“Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di mana obor ini nanti padam, maka di situlah kita menetap,” ujar Kapitan
Wattimena.
Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan perjalanan. Ketika obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi
tempat itu sebagai tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru atau Api Lobe dan kini nama
tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.
Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten Wattimury bermaksud untuk pindah ke daerah lain.
“Saudaraku, perkenankanlah aku untuk mencari daerah lain untuk membangun negeri sendiri,” pinta Kapiten Wattimury.
“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, jangan lupa dengan ikrar yang pernah kita ucapkan dulu bahwa kita akan saling
mengunjungi,” ujar Kapitan Wattimena.
“Tentu, Wattimena,” jawab Kapitan Wattimena.
Akhirnya, Kapitan Wattimury menuju ke sebuah tempat yang jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari dari Mahariki. Ia
pun menamai tempat itu dengan nama Amahai. Kini, nama tempat itu telah berubah menjadi Ruta.
Batu Berdaun
Alkisah, di daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih
kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur 5 tahun.
Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal dunia ketika mencari ikan di
laut. Kini, kedua anak itu berada dalam asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di
pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga sering berbaik
hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya.
Suatu hari, air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya
menjadi pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun mengajak
kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat
kegirangan.
“Horeee... horeee... !” riang si bungsu.
Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di
sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek
memperoleh seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua
cucunya untuk pulang terlebih dahulu.
“Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita
nanti,” ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati
makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus.
Setelah masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali.
Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting.
Usai makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke
rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si bungsu yang
baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena
iba, sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya berhenti
merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang satunya. Si kakak pun
memberikannya.
Tak berapa lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput
itu tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin
menyantap capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari makannya
kosong.
“Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma... maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku
sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”
Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena kedua
cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek pergi meninggalkan
rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu,
ia lalu mendekati sebuah batu besar yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya
batu berdaun. Di hadapan batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu. Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua
cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk
ketiga kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si nenek
tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal di dalam perut batu itu
dan tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu, kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit
itu, mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun itu.
“Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku, Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan
sangat menyesal.
Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka
mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan harinya, keduanya
terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada saat itu, kebetulan ada seorang
tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu tidak
akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke rumahnya dan
kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap
nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai pelajaran berharga sehingga kedua anak itu
pun tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur.