TANTANGAN PERBAIKAN KEBIJAKAN PUBLIK
DALAM RANGKA
PENCEGAHAN KORUPSI
DAN PENYUAPAN
DALAM PRAKTEK BISNIS
ANTARA SWASTA DENGAN PEMERINTAH
Email : [email protected] Mobile Phone: 08129592692
Danang Girindrawardana, SIP MAP Ketua Kebijakan Publik DPN APINDO
Danang Girindrawardana, SIP MAP
Ketua Kebijakan Publik DPN APINDO
Indikasi penyebab
terjadinya korupsi atau penyuapan
1.Inkonsistensi Kebijakan Publik
2.Delegasi kewenangan strategik Negara kepada swasta
3.Sinergisitas implementasi kewenangan perijinan Pusat dan Daerah
4.Adanya niatan Stakeholders untuk menyusun atau menghindari kebijakan publik yang menguntungkan dirinya sendiri
1. Inkonsistensi Kebijakan Publik
Pemerintah dan DPR RI kurang harmonis dalam merancang kebijakan publik terkait pembangunan iklim investasi Indonesia.
Contoh:
1. Tiba tiba pada penghujung tahun 2014, lahir UU No 33 Tentang Jaminan Produk Halal. ---- hal ini mengakibatkan kekawatiran yang massif di dunia usaha karena tiba-tiba muncul kewajiban sertifikasi halal untuk apapun jenis produk dan jasa yang diedarkan dan dipasarkan di Indonesia.
2. Tiba-tiba lahir UU Nomor 39 Tahun 2009 Tentang KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) --- yang pada prakteknya menghapus keberadaan UU (Perppu) No 1/ 2007 tentang kawasan perdagangan bebas FTZ atau Frree Trade Zone di Batam, Bintan, dan Karimun (BBK).
3. Sedang disusun RUU Tentang CSR, yang berpotensi mengakibatkan CSR berubah menjadi Pajak ekstra bagi perusahaan-perusahaan.
4. Sedang disusun RUU Tentang Larangan Minuman Alkohol, yang berpotensi menyurutkan daya tarik pariwisata manca negara dan akan mengganggu kelestarian budaya asli Indonesia.
2. Delegasi kewenangan strategik Negara kepada swasta
Praktek ini pada ujungnya malah menambah beban kepada dunia industri. Contoh-contoh:
1. Keputusan Menteri Perhubungan tentang lahirnya Regulated Agent. (Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32/2015 dan Keputusan Menhub Nomor : KP 152/2012 Tentang Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut Pesawat Udara) --- mengakibatkan biaya pemeriksaan kargo udara menjadi 7 kali lipat lebih mahal daripada praktek sebelumnya yang dilakukan olehh BUMN Angkasa Pura.
2. UU 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran --- Beleid ini melahirkan Perusahaan Bongkar Muat, yang kemudian kompetisi dengan BUMN Pelindo, dan pada prakteknya mengakibatkan proses bongkar muat (Dweelling Time) di pelabuhan sarat dengan pungli dan diskriminasi.
3. SERTIFIKAT LAIK OPERASI (Peraturan Menteri ESDM nomor 05 Tahun 2014 Tentang tata cara akreditasi dan sertifikasi ketenagalistrikan) --- mengakibatkan banyak pemeriksa listrik dari unsur swasta yang mengakibatkan biaya-biaya tinggi.
4. Di tingkat pelayanan publik sederhana, Praktek-praktek untuk mendapatkan ijin AMDAL atau UKL UPL, delegasi kepada badan-badan swasta yang melakukan proses uji AMDAL atau UKL UPL pada prakteknya banyak menyimpang dari ketentuan tentang prosedur dan biaya yang lebih mahal.
3. Sinergisitas implementasi kewenangan perijinan
antara Pusat dan Daerah.
Tidak sinergisnya implementasi regulasi menimbulkan masalah bagi dunia usaha.
Contoh-contoh:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait dengan dihapuskannya perijinan HO (Ijin Gangguan Usaha) tidak dipatuhi di tingkat Pemerintah Daerah.
2. PP 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan tidak dipatuhi oleh separoh jumlah Pemerintah Daerah.
3. Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang digagas sejak tahun 2007, sampai sekarang tidak optimal dalam operasionalisasinya di sebagian besari Pemda. Pelayanan perijinan yang sangat baik di BKPM tidak diimbangi di tingkat rendah (Pemda).
4. Proses-proses sertifikasi yang diwajibkan oleh Pemerintah cenderung menjadi komoditas bisnis bagi oknum-oknum Birokrasi (misalnya sertifikasi terkait keselamatan kerja)
4. Adanya niatan Stakeholders untuk
menyusun atau menghindari kebijakan publik yang
menguntungkan dirinya sendiri.
Ini cenderung praktek penyimpangan
dan ada di ranah hukum pidana….
Saya tidak akan sampaikan di forum
ini…..
Contoh-contohnya….
Dengan gambaran situasi dan kondisi sebagaimana dipaparkan dalam 3 slide sebelumnya, muncul pertanyaan yang belum perlu dijawab saat ini :
1. Siapa yang paling berperan dalam terjadinya korupsi atau penyuapan dalam rangka bisnis antara swasta dengan pemerintah?
2. Apakah swasta menjadi korban atau pelaku utama dalam praktek korupsi atau penyuapan?
Agar Pelaku
Dunia Usaha
Tidak Terjebak
Dalam Masalah
Korupsi dan
Penyuapan
1
Pemerintah memastikan agar proses perumusan Kebijakan
Publik mematuhi UU No.12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2 Pemerintah Agar Konsisten dengan
Kebijakan Deregulasi dan Debirokratisasi,
menghindarkan terbentuknya Lembaga
baru yang bersifat strategic delegatif
yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi
3 Pemerintah agar konsisten menjalankan
program Reformasi Birokrasi baik dalam bentuk
kebijakan perijinan satu pintu dengan sistem
Tehnologi Informasi maupun Kualitas Aparaturnya
5 Kalangan Dunia Usaha agar memiliki mekanisme mudah dan sederhana
untuk mencegah dan melaporkan praktek-praktek korupsi dan penyuapan
4 Kalangan Dunia Usaha Agar bersatu dan menolak
praktek-praktek Korupsi dan Penyuapan dalam menghadapi
kebijakan dan perilaku aparatur
Bagaimana Menjawab Tantangan Tersebut?
Email : [email protected] Mobile Phone: 08129592692
Danang Girindrawardana, SIP MAP Ketua Kebijakan Publik DPN APINDO
TERIMA KASIH ATAS
PERHATIANNYA
Pencegahan Korupsi dan Penyuapan
Perlu Upaya
4 S Serius, Sinergis, Seluruh Stake holders
Email : [email protected] Mobile Phone: 08129592692
Danang Girindrawardana, SIP MAP Ketua Kebijakan Publik DPN APINDO