HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum
Perbankan Indonesia
Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia
Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013
Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,
Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum
Redaksi PelaksanaEllia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Pembaca Buletin Yang Berbahagia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor
3, September-Desember 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel.
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan,
Bank Indonesia telah melakukan berbagai penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin
menampilkan hasil penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yaitu mengenai
Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undnag-Undang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Artikel ini disarikan dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Drs. Paripurna, SH, LLM; Andi Sandi Antonius Tabusassa
Tonralipu, SH, LLM; Veri Antoni, SH, MH dan Dian Agung Wicaksono, SH, LLM.
Selain itu, Buletin juga menurunkan artikel mengenai Foreign Account Tax Compliance (Fatca) Dan Tinjauan Singkat
Dari Aspek Hukum Perbankan Indonesia, yang ditulis oleh Fransiska Ari Indrawati, SH, LLM; Hak Milik Atas Rumah Sebagai
Jaminan Fidusia, yang ditulis oleh Dr. Urip Santoso, SH, MH; serta Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem
Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang, yang ditulis oleh Nadir, SH, MH.
Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai
dengan Desember 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Desember 2013
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Keterlibatan Bank Indonesia Dalam Memprakarsai Rancangan Undang-Undang Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia....................................................................................................................... 1 - 40
Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM; Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM;
Veri Antoni, S.H., M.Hum.; Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM.
Mengenal Foreign Account Tax Compliance Act (Fatca) Dan Tinjauan Singkat Dari Aspek Hukum
Perbankan Indonesia .............................................................................................................................. 41 - 53
Fransiska Ari Indrawati, S.H., LLM.
Hak Milik Atas Rumah Sebagai Jaminan Fidusia ...................................................................................... 55 - 66
Dr. Urip Santoso, S.H., MH.
Politik Hukum Persaingan Usaha Menuju Sistem Persaingan Sehat Di Masa Yang Akan Datang................ 67 - 82
Nadir, S.H., MH.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013............ 83 - 86
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, September - Desember 2013...... 87 - 124
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 11, NOMOR 3, SEPTEMBER - DESEMBER 2013
iii
1
KETERLIBATAN BANK INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Disusun oleh:1
Dr. Drs. Paripurna, S.H., M.Hum., LLM.
Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LLM.
Veri Antoni, S.H., M.Hum.
Dian Agung Wicaksono, S.H., LLM.
Abstrak
Keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama,
jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan diri sebagai
pemrakarsa, dengan catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa
RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun suatu RUU
yang berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut BI memilih
jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat diajukan. Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan
dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu RUU. Derajat
ini berpegang pada definisi legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan
lembaga pemerintah non-departemen. Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan lembaga yang dapat mengusulkan
atau memprakarsai RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang kewenangan BI.
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah
Konstitusi atas kerugian konstitusional yang diderita oleh BI dengan keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah
sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran
atas Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas fungsi, tugas, kewenangan dan independensi
BI. Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma konstitusi atau
belum. Tidak dilibatkannya BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan BI tentu membawa dampak
yang signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang tentu mengarah pada munculnya kerugian
konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan
dalam proses legislasi UU yang terkait dengan kewenangan BI.
1 Dosen FH UGM
A. Latar Belakang
Membahas mengenai Bank Indonesia (BI) sebagai
bank sentral, tentu tidak dapat dilepaskan dari desain
konstitusional yang menyatakan bahwa negara
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya
diatur dengan UU.2 Hal tersebut menunjukkan adanya
pengakuan secara konstitusional terhadap eksistensi
bank sentral dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BI.
Pengaturan lebih lanjut mengenai bank sentral
“dengan undang-undang” (bij de wet geregeld)
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945) inilah yang sejatinya menjadi
konstruksi utama dalam memberikan arah pengaturan
mengenai bank sentral di Indonesia. Pengaturan lebih
lanjut inilah yang dapat mendudukkan dan
memberikan desain spesifik mengenai kewenangan,
kelembagaan, dan kedudukan bank sentral (Bank
Indonesia) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Salah satu aspek utama dalam desain bank sentral
adalah terkait kemandirian bank sentral dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebab
secara historis ketidakmandirian bank sentral
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
krisis ekonomi sebelum dilakukannya perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).3 Dalam
perjalanan selanjutnya, beriringan dengan proses
perubahan UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) juga melakukan proses penggantian
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1968 tentang
Bank Sentral, yang memberi kedudukan kepada BI
sebagai pembantu pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan moneter yang disusun dan ditetapkan oleh
Dewan Moneter, sehingga BI pada saat itu merupakan
bagian integral dari pemerintah.4 Oleh karena itu,
DPR bersama Presiden akhirnya bersepakat
memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia
sebagai bank sentral melalui UU Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
Pemberian kemandirian kepada BI bertujuan agar BI
tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah. Namun,
dalam perjalanannya kemandirian BI yang diberikan
oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 direvisi melalui UU
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
meredefinisi kemandirian BI dengan memberikan
pembatasan dalam hal melaksanakan tugas dan
kewenangannya. Hal ini dipandang penting sebab
diperlukan koordinasi yang lebih erat antara BI sebagai
pemegang otoritas moneter dengan Pemerintah
sebagai pemegang otoritas fiskal dan sektor riil dalam
rangka mewujudkan kestabilan nilai rupiah.5 Redefinisi
atas terminologi independensi BI dapat diartikan
sebagai bentuk degradasi level kemandirian BI sebagai
lembaga negara yang independen atau pula dimaknai
sebagai bentuk konkretisasi independensi.
Revisi kemandirian dan luasan cakupan “interaksi”
BI setidak-tidaknya dapat mempengaruhi kemandirian
BI dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
dalam menjaga stabilitas nilai rupiah. Di luar
pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, salah satu
bentuk “interaksi” tersebut adalah peran DPR dalam
penentuan anggaran BI berdasarkan Pasal 60 UU
Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir
dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), yang
menentukan bahwa anggaran operasional BI harus
dimintakan persetujuan dari DPR. Bahkan dalam
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
5. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
2 Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012, hlm. 1.
perkembangan kekinian di tengah wacana adanya
revisi UU BI, DPR juga menghendaki adanya
persetujuan DPR terlebih dahulu dalam penetapan
anggaran kebijakan yang sebelumnya hanya wajib
dilaporkan secara khusus kepada DPR.
Bukan hanya itu, desain UU BI saat ini juga sangat
dominan aspek pengawasan dari DPR. Hal tersebut
dapat dilihat pada Pasal 38 ayat (4) UU BI yang
mengatur bahwa kinerja Dewan Gubernur dan
Anggota Dewan Gubernur dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dinilai oleh DPR. DPR juga
kemudian berwenang memberikan persetujuan
menurut Pasal 62 ayat (3) UU BI bilamana Pemerintah
hendak memberikan injeksi modal karena modal BI
kurang dari Rp2Trilyun. Tentu pengaturan mengenai
modal minimum BI merupakan hal yang tidak tepat
mengingat BI bukanlah commercial entity.
Beranjak dari permasalahan tersebut di atas, maka
perlu kemudian dimaknai kembali substansi
kemandirian yang dilekatkan kepada BI, yang mana
desain kemandirian tersebut sepenuhnya merupakan
pilihan kebijakan (legal policy) yang dituangkan
dengan UU khusus yang mengatur susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensi bank sentral. Sebagai lembaga negara
yang independen, yang bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya.6
Menjadi hal yang harus ditelaah lebih lanjut untuk
melibatkan BI dalam proses pembentukan UU yang
mengatur lebih lanjut terkait kewenangan BI sebagai
bank sentral di Indonesia. Pelibatan BI semata dalam
kerangka menjaga konsistensi independensi bank
sentral sebagai lembaga negara yang diamanatkan
oleh konstitusi. Keterlibatan BI penting khususnya
dalam mengawal pembentukan UU yang terkait
dengan susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
jawab dan independensi agar kemudian substansi
UU tersebut koheren dan dapat diimplementasikan
dengan tepat oleh BI.
Peluang BI untuk dapat turut membahas RUU
sebenarnya terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi,
“Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika
materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
lembaga negara atau lembaga lain.”7 Pasal a quo
membuka peluang BI untuk turut serta dalam tahap
pembicaraan tingkat I dalam pembentukan suatu
RUU yang substansi terkait dengan kewenangan
lembaga negara yang lain. Peluang tersebut menjadi
bernilai sangat politis karena frasa yang mengatur
hanya berbunyi “dapat diundang” dan bukan “harus
mengundang”. Padahal bila memang substansi yang
diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan
kewenangan lembaga negara yang lain sudah
sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib untuk
diundang, sehingga apa yang diatur dalam UU
tersebut sejalan dan dapat diimplementasikan oleh
lembaga yang terkait.
Sejatinya, keterlibatan bank sentral dalam proses
pengusulan RUU bukan lagi hal baru dalam konteks
kebanksentralan di dunia. Bank Sentral Cyprus (Cyprus
Central Bank/CCB) mengusulkan RUU terkait
restrukturisasi sektor perbankan yang terkena krisis,
yakni dengan merekomendasikan pengajuan
mendesak dan pemberlakuan segera menjadi UU
Reorganisasi dan Pemulihan Sistem Perbankan Cyprus
oleh Parlemen Cyprus.8 RUU tersebut akhirnya
7 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
8 Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”, http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/149970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-Krisis-Siprus, diakses 12 April 2013.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
6 Bagian Konsiderans Menimbang huruf d dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
disahkan oleh 26 suara, dengan 2 suara menolak
dan 25 abstain.9 Fakta tersebut cukup memberikan
ilustrasi bahwa pelibatan bank sentral dalam proses
pembahasan RUU adalah sebuah hal yang dapat
dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan
pula kajian mendalam untuk menganalisis peluang
keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
B. Bank Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan
di Indonesia
1. Desain Kelembagaan Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral yang Mandiri
a. Pengaturan Bank Sentral dalam Konstitusi
Sebelum masa reformasi terdapat tiga
konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia,
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949), dan
UUD Sementara 1950 (UUDS 1950). Ketiganya
memberikan rumusan pengaturan yang
berbeda terkait bank sentral, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Berdasarkan pembahasan
rancangan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tidak
ditemukan adanya usulan ataupun
pembahasan mengenai bank sentral.
Pembahasan yang mengemuka saat itu
lebih banyak terkait dengan hal keuangan
dan anggaran negara serta perekonomian
dan kesejahteraan sosial secara umum.
Namun demikian, dalam penjelasan Pasal
23 UUD 1945 yang dibuat kemudian dan
untuk pertama kalinya diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia, termuat
keterangan mengenai bank sentral.10
Penjelasan Pasal 23 UUD 1945
menyebutkan bahwa, “Kedudukan Bank
Indonesia yang akan mengeluarkan dan
mengatur peredaran uang kertas,
ditetapkan dengan undang-undang”.11
2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat
1949 (KRIS 1949). Bank sentral dalam
KRIS 1949 diatur dalam Pasal 164 ayat (4)
dan Pasal 165. Pasal 164 ayat (4)
menyatakan, “Pengeluaran alat-alat
pembayaran yang sah dilakukan oleh atau
atas nama Republik Indonesia Serikat
ataupun Bank Sirkulasi”. Pasal 165 ayat
(1) menyatakan, “Untuk Indonesia ada
satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2),
“Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan
pengaturan tatanan dan kekuasaannya
dilakukan dengan undang-undang
Federal”.
3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950
(UUDS 1950). Pengaturan bank sentral
dalam UUDS 1950 terdiri atas tiga ayat
yang terdapat dalam Bab IV tentang
Keuangan, yaitu Pasal 109 ayat (4), Pasal
110 ayat (1) dan (2). Pasal 109 ayat (4)
menyebutkan, “Pengeluaran alat-alat
4
9 Ella Syafputri, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”, http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruu-restrukturisasi-bank, diakses 12 April 2013.
10 Penjelasan ini dibuat oleh Soepomo untuk kepentingan sosialisasi naskah UUD 1945 yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena itu, dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1946, judulnya ditulis dengan kata “tentang”, yaitu: “Pendjelasan tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia”, bukan “Penjelasan Oendang-Oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia” sebagai judul dokumen.
11 Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, eksistensi
konstitusional Bank Indonesia sebagai nama dan sebagai institusi bank sentral sudah diungkapkan secara eksplisit. Sayangnya, ketentuan tersebut hanya terdapat dalam penjelasan, yang meskipun sudah diberlakukan sebagai bagian dari UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, tetapi tidak bersifat imperatif. Oleh karena itu, sebelum Undang-Undang tentang Bank Indonesia disusun, atas kebutuhan ketika itu, maka Bank Negara Indonesia Tahun 1946 yang dibentuk lebih dahulu yang disamping merupakan Bank Komersial atau Bank yang melaksanakan tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pembayaran yang sah dilakukan oleh atau
atas nama Pemerintah Republik Indonesia
ataupun oleh Bank Indonesia”. Sedangkan
Pasal 101 ayat (1), “Untuk Indonesia ada
satu Bank Sirkulasi”, sedangkan ayat (2)
menyebutkan, “Penunjukan sebagai Bank
Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan
kekuasaannya dilakukan dengan undang-
undang”.
Setelah masa reformasi, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(selanjutnya disebut MPR RI) menggarisbawahi
salah satu kebijakan reformasi pembangunan
yang harus dilakukan guna penyelamatan dan
normalisasi kehidupan nasional adalah
restrukturisasi dan penyehatan perbankan.12
Proses restrukturisasi dan penyehatan
perbankan harus dimulai dengan mewujudkan
bank sentral yang tidak dapat diintervensi
oleh pemerintah. Sebab menurut MPR RI,
salah satu penyebab melemahnya
perekonomian nasional pada saat itu adalah
sistem perbankan yang tidak mandiri.
Ketidakmandirian ini dikarenakan adanya
kewenangan pemerintah untuk melakukan
intervensi terhadap bank sentral.13 Berbeda
dengan tiga UUD sebelumnya, hanya UUD
1945 Hasil Amandemen IV yang secara tegas
menyebutkan tentang independensi bank
sentral,14 dengan rumusan Pasal 23D UUD
NRI Tahun 1945 bahwa, “Negara memiliki
suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undang-
undang”.
Pencantuman independensi ke dalam batang
tubuh konstitusi juga terjadi perbedaan
pendapat. Perbedaan pendapat ini tercatat
dalam Risalah Rapat Pleno ke-14 Panitia Ad-
Hoc I Badan Pekerja MPR, tertanggal 14 Maret
2002. Pendapat yang setuju, misalnya, diwakili
oleh Lukman Hakim dari F-PPP, dengan
pertimbangan karena pada masa lalu bank
sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh
pemerintah, maka larangan terhadap intervensi
ini harus dilakukan dengan cara menegaskan
independensi bank sentral dalam UUD.15
Pendapat yang sama diungkapkan Gregorius
Seto Harianto dari F-PDKB bahwa telah ada
kesepakatan dalam amandemen UU Nomor
23 Tahun 1999 untuk mempertahankan
independensi Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya.
Pendapat yang tidak setuju pencantuman
independensi dalam batang tubuh konstitusi,
misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari
F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi
itu cukup dicantumkan dalam undang-undang,
karena bank sentral itu hanya independensi
dari kekuasaan pemerintah. Pendapat seperti
ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari
F-TNI/POLRI, dengan alasan menimbulkan
implikasi politik, karena akan timbul multi
interpretasi selain menimbulkan kekakuan.
Tidak perlunya independensi ini dicantumkan
dalam konstitusi juga dinyatakan oleh
Soedijarto dari F-UG, karena independensi
dinilai cukup dinyatakan dalam undang-
undang. Pendapat ini juga menjadi pendapat
A.M. Lutfi dari F-Reformasi.
5
12 Lihat Bab IV, huruf a, butir c Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
13 Lihat Bab II, huruf a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
14 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 185-186. 15 Ibid., hlm. 185.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Selain masalah independensi bank sentral,
masalah lain yang cukup pelik menjadi
perdebatan adalah status Bank Indonesia
sebagai lembaga negara. Hal ini terkait dengan
tidak adanya penjelasan dalam undang-
undang tentang kedudukan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara yang independen,
yang dapat dikategorikan sama dengan
lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) Ketetapan MPR RI
Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara.16
Dalam keterangan pemerintah yang
dikemukakan oleh Menteri Keuangan pada
Rapat Kerja Komisi VIII ke-6, tanggal 9 Maret
1999 dinyatakan bahwa:
[…] Ingin disebut lembaga pemerintahan tidak
bisa, karena governance agency dia tidak bisa
karena di luar pemerintahan. Tapi dia bukan
swasta, dia juga bukan lembaga tinggi negara,
tapi dia bukan lembaga swasta, bukan private
agency, bukan governance agency, bukan
sebagai lembaga tinggi negara. Ini suatu
agency, suatu lembaga bukan pemerintahan
tapi punya negara. […].17
Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh
Departemen Kehakiman memberikan
penjelasan pada Rapat Panitia Kerja ke-2,
tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia
sebagai lembaga negara yang independen
sejajar dengan menteri dan peraturan yang
dibuatnya pun sejajar dengan keputusan
Menteri.18
Penjelasan-penjelasan pemerintah di atas
secara jelas mendudukkan Bank Indonesia
sebagai lembaga negara, bukan merupakan
lembaga tinggi negara. Adapun mengenai
kesetaraan antara Bank Indonesia dengan
lembaga tinggi negara dalam menjalankan
fungsinya dapat dilihat dari hubungan kerja
antara Bank Indonesia dengan pemerintah
dalam kedudukannya sebagai lembaga negara
yang independen sebagaimana diatur dalam
Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 UU Nomor
23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.
Dengan statusnya yang spesial ini, meminjam
istilah Klaus Stern, maka Bank Indonesia harus
dilihat sebagai “the highest executive state
bodies”19, dengan “its designation as an
authority is applicable only to a very restricted
extent”20. Hal tersebut yang kemudian
membuat Ellen Kennedy menyimpulkan bahwa
bank sentral adalah “[…] is not a constitutional
branch like the judiciary, legislative or executive,
the Bundesbank operate in constitutive manner
and its norm of monetary stability is more like
a constitutional principle.”21
6
16 Ibid., hlm. 149.
17 Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke-6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 62. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hlm. 352.
18 Sekretariat Komisi VIII, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke-15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 79. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 353.
19 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK, hlm. 111. Lihat juga Maqdir Ismail, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Op.cit., hlm. 356.
20 Klaus Stern, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, Op.cit., hlm. 110. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007, hlm. 80.
21 Ellen Kennedy, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, London, hlm. 11. Lihat juga Maqdir Ismail, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Loc.cit.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas,
pasca reformasi desain kelembagaan Bank
Indonesia sebagai bank sentral merupakan
reaksi atas pengalaman ketika Bank Indonesia
dengan mudah diintervensi pemerintah, yang
berakibat Bank Indonesia tidak dapat
melaksanakan fungsinya secara baik, sehingga
melahirkan isu independensi Bank Indonesia.
Desain kelembagaan Bank Indonesia atas
dasar respon pengalaman masa lalu
dibandingkan pertimbangan akademis yang
lebih bersifat teoritis membuat desain Bank
Indonesia menjadi lembaga yang “unik” bila
dibandingkan dengan lembaga-lembaga
negara lainnya.
b. Pengaturan Bank Sentral dalam Undang-
Undang
Sebagaimana telah juga dikutip di atas, Pasal
23D UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan
bahwa, “Negara memiliki suatu bank sentral
yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan indipendensinya diatur
dengan undang-undang”. Berdasarkan
ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945
tersebut, meskipun ketentuan konstitusional
tentang bank sentral hanya terdiri dari satu
pasal, namun terkandung substansi yang
mendasar. Pertama, negara ditegaskan
memiliki “satu bank sentral”. Suatu bank
sentral itu menunjukkan kepada satu lembaga
yang berfungsi sebagai bank sentral dengan
nama yang tidak ditentukan secara eksplisit.
Kedua, bank sentral yang dimaksudkan itu
mempunyai susunan, kewenangan, tanggung
jawab, dan kedudukan yang independen.
Ketentuan mengenai susunan, kewenangan,
tanggung jawab, dan independensinya akan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Menariknya, bilamana dibandingkan dengan
lembaga lain, seperti Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Presiden, maka kedudukan Bank Indonesia
dalam struktur kenegaraan Republik Indonesia
tidak ditentukan secara eksplisit dalam UUD
NRI Tahun 1945, tetapi hanya ditentukan
dalam UU. Bank Indonesia adalah lembaga
negara yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun
1945, tetapi kewenangannya diberikan oleh
UU. Oleh karenanya, sangatlah sulit untuk
mengatakan bahwa Bank Indonesia adalah
state agency (dalam perspektif state agency
adalah lembaga atau institusi yang dibentuk
oleh undang-undang)22, sebab Bank Indonesia
adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana ditentukan lewat UU Bank
Indonesia. Akibatnya, susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan
independensi bank Indonesia, sepenuhnya
bergantung pada kesepakatan (konsensus)
antara DPR dan Presiden, selaku pemegang
kekuasaan membentuk UU.
Dinamika pengaturan tersebut terlihat dari
rumusan desain Bank Indonesia pada UU yang
mengatur tentang Bank Indonesia. Pasal 4
UU Nomor 23 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara
yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya,
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam UU Bank Indonesia. Kemudian, pada
Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagai
perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999,
rumusan desain Bank Indonesia mengalami
perubahan, khususnya pada bagian luasan
independensi yang dilekatkan pada Bank
Indonesia.
Dalam aturan perubahan disebutkan bahwa
Bank Indonesia adalah lembaga negara yang
independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari campur tangan
7
22 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 10.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya,
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam UU Bank Indonesia. Penambahan frasa
“dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya” menunjukkan dinamika
desain independensi Bank Indonesia yang
ditentukan oleh substansi pengaturan dalam
UU Bank Indonesia.
Salah satu bentuk konsekuensi pemberian
independensi kepada Bank Indonesia adalah
diberikannya kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk mengatur atau
membuat/menerbitkan peraturan yang
merupakan pelaksanaan undang-undang.23
Keleluasaan dalam mengatur ini merupakan
salah satu perwujudan kemandirian yang
dimiliki oleh Bank Indonesia. Selain diberi
kewenangan untuk mengatur atau
membuat/menerbitkan peraturan, Bank
Indonesia juga diberi keleluasaan dalam
mengatur struktur, kepegawaian, keuangan,
dan bahkan penggajian bagi Gubernur, Deputi
Senior Gubernur, dan para Deputi Bank
Indonesia. Dengan demikian, kemandirian
tidak hanya sebatas pembentukan peraturan
perundang-undangan saja, tetapi juga diberi
kemandirian dalam menentukan dan
mengatur organisasinya.
Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 1999 juga
memberikan kewenangan Bank Indonesia
untuk secara langsung mengusulkan dan
menetapkan anggaran tahunan dan
memberitahukannya ke DPR dan Presiden.24
Konstruksi ini sangat mengukuhkan
kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi
sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab tidak
ada lembaga negara lain dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang dapat secara
langsung mengajukan anggarannya kepada
DPR dan Presiden, melainkan harus melalui
proses penganggaran yang normal, yaitu
melalui proses anggaran pendapatan dan
belanja negara sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 UUD 1945.25
Kemandirian mengusulkan dan menetapkan
penganggaran secara normatif mulai direduksi
dengan dilakukannya perubahan terhadap UU
Nomor 23 Tahun 1999 melalui UU Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999. Perubahan
tersebut secara spesifik difokuskan pada
penyesuaian mekanisme perumusan kebijakan
moneter dan penataan kembali kelembagaan
Bank Indonesia sebagai penanggung jawab
otoritas kebijakan moneter.26 Kedua hal ini
menjadi fokus perubahan karena dengan
perubahan ini diharapkan dapat memperkuat
akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas
Bank Indonesia tanpa mengurangi makna
independensi lembaga negara.27
UU Nomor 3 Tahun 2004 dinilai melakukan
pembatasan terhadap independensi yang
dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan UU
Nomor 23 Tahun 1999 dengan memberi
batasan kata “independensi” dalam Pasal 4
ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999, yaitu
menambahkan frasa “dalam melaksanakan
8
23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
24 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
25 Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Op.cit., hlm. 9.
26 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
tugas dan wewenangnya”. Dengan
ditambahkannya frasa ini, makna independensi
dibatasi hanya dalam melaksanakan tugas
dan kewenangan saja dan tidak pada bidang
lain. Artinya, DPR dan Presiden dapat dimaknai
sepakat untuk mereduksi derajat independensi
yang telah mereka berikan melalui UU Nomor
23 Tahun 1999 atau mengkonkretkan makna
independensi yang dimiliki Bank Indonesia.
2. Hubungan Bank Indonesia dengan Lembaga
Negara Lain
a. Hubungan Bank Indonesia dengan Dewan
Perwakilan Rakyat
Dalam rangka menelaah hubungan Bank
Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
perlu ditelaah kembali ketentuan Pasal 4 UU
Nomor 3 Tahun 2004, yang menyatakan
bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara
yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk
hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU
Bank Indonesia. Tugas dan wewenang yang
dimaksud dalam Pasal 4 tersebut dijabarkan
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Bank Indonesia,
yang mana disebutkan bahwa fungsi atau
tujuan utama dari Bank Indonesia memelihara
kestabilan nilai rupiah.28 Untuk mencapai
tujuan tersebut, Bank Indonesia diberi
kewenangan untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijaksanaan moneter, dan
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran.29
Ketentuan Pasal 4 tersebut menjadi penting
ketika dinyatakan bahwa Bank Indonesia
adalah lembaga negara independen, bebas
dari campur tangan pemerintah atau pihak
lain, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Rumusan tersebut kemudian disambung
dengan frasa “kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang
ini”, maka dengan demikian rumusan Pasal
tersebut bila dimaknai secara argumentum a
contrario berarti Pemerintah dan DPR hanya
dapat mencampuri urusan Bank Indonesia
untuk hal-hal yang memang diatur dalam UU
Bank Indonesia. Dengan demikian, “campur
tangan” tersebut dijabarkan dalam relasi yang
tercermin dalam Pasal 58, 58A, dan 59.
Pada umumnya hubungan antara bank sentral
dengan parlemen diatur secara umum
terutama dalam bentuk pertanggungjawaban
bank sentral kepada parlemen. Parlemen
mempunyai hak untuk melakukan evaluasi
terhadap rencana dan kegiatan bank sentral.
Hal ini terjadi karena dianggap parlemen telah
mendelegasikan wewenang dan kekuasaannya
dalam kebijakan moneter, sehingga parlemen
berwenang untuk meminta pertanggung-
jawaban dari bank sentral. Parlemen pada
umumnya mempunyai hak dan kesempatan
untuk memberikan penilaian dan melakukan
review performance dari bank sentral dalam
hubungannya dengan kebijakan moneter.
Sementara bank sentral pun mempunyai hak
dan kewajiban untuk memberikan penjelasan
dan pembenaran atas kebijakan tersebut.
Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank
Indonesia wajib menyampaikan laporan
tahunan, yang memuat antara lain: (a)
pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada
tahun sebelumnya; dan (b) rencana kebijakan,
penetapan sasaran, dan langkah-langkah
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank
Indonesia untuk tahun yang akan datang
9
28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dengan memperhatikan perkembangan laju
inflasi serta kondisi ekonomi dan keuangan.30
Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) disebutkan
dalam hal DPR memerlukan penjelasan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
termasuk dalam rangka penilaian terhadap
kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia wajib
menyampaikan penjelasan secara tertulis.31
Selain laporan tahunan, berdasarkan Pasal 58
ayat (2), Bank Indonesia diwajibkan juga untuk
menyampaikan laporan triwulan secara tertulis
tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya
kepada DPR dan Pemerintah.32 Laporan
triwulan tersebut kemudian dievaluasi oleh
DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian
tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur
dan Bank Indonesia.33
Lebih jauh dalam Pasal 58A disebutkan, untuk
membantu DPR dalam melaksanakan fungsi
pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank
Indonesia dibentuk Badan Supervisi dalam
upaya meningkatkan akuntabilitas,
independensi, transparansi, dan kredibilitas
Bank Indonesia.34 Selanjutnya, dalam hal DPR
menghendaki pemeriksaan secara khusus
mengenai satu masalah atau kegiatan tertentu,
maka DPR dapat meminta BPK melakukan
pemeriksaan terhadap Bank Indonesia.
b. Hubungan Bank Indonesia dengan
Pemerintah
Sama halnya dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, ketentuan Pasal 4 UU Bank Indonesia
memberikan batasan relasi antara Bank
Indonesia dengan Pemerintah, bahwa
pemerintah dan DPR hanya dapat mencampuri
urusan Bank Indonesia untuk hal-hal yang
memang diatur dalam UU Bank Indonesia.
Oleh UU Bank Indonesia hal tersebut dijabarkan
dalam relasi yang tercermin dalam Pasal 52,
53, 54, 55, dan 56 UU Nomor 23 Tahun 2009
jo. UU Nomor 3 Tahun 2004.
Ketentuan Pasal 52 menetapkan bahwa Bank
Indonesia bertindak sebagai pemegang kas
pemerintah.35 Dalam kedudukannya sebagai
pemegang kas terdapat kewajiban Bank
Indonesia untuk memberikan bunga atas saldo
pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pasal 53 mengatur
tentang kewajiban Bank Indonesia sebagai
penerima pinjaman luar negeri untuk menata
usahakan, serta menyelesaikan tagihan dan
kewajiban keuangan Pemerintah terhadap
pihak luar negeri.
Pasal 54 ayat (1) mengatur kewajiban
pemerintah untuk pendapat dan mengundang
Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang
membahas masalah ekonomi, perbankan dan
keuangan terutama yang berkaitan dengan
tugas dan kewenangan Bank Indonesia untuk
10
30 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
31 Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
32 Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
33 Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
34 Pasal 58A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
35 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintah mengenai APBN serta
kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas
dan wewenang Bank Indonesia.36 Ketentuan
ini menegaskan posisi kesetaraan fungsi Bank
Indonesia dengan pemerintah sebagai badan
hukum, yang dapat disejajarkan dengan
lembaga tinggi negara lainnya, yang dalam
hal ini adalah pemerintah.
Selanjutnya, Pasal 55 memuat kewajiban
pemerintah berkonsultasi dengan Bank
Indonesia, jika pemerintah berkeinginan untuk
menerbitkan surat-surat hutang negara.37
Konsultasi ini diperlukan agar penerbitan surat
hutang itu tidak berakibat negatif terhadap
kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan
penjualan surat hutang itu dilakukan sesuai
kondisi pasar dan menguntungkan pemerintah.
Penerbitan surat hutang Bank Indonesia dapat
memberikan bantuan kepada pemerintah.
Akan tetapi Bank Indonesia dilarang untuk
membeli surat-surat hutang negara di pasar
primer untuk diri sendiri, kecuali surat hutang
berjangka pendek yang diperlukan dalam
operasi pengendalian moneter. Bank Indonesia
diperkenankan untuk membeli surat hutang
negara di pasar primer dalam rangka
pemberian fasilitas pembiayaan darurat, yaitu
terhadap hutang negara berjangka paling lama
satu tahun.
Ketentuan tersebut semakin menegaskan posisi
Bank Indonesia sebagai agen yang membantu
pemerintah dalam menerbitkan surat-surat
hutang, sehingga pada saat yang sama
undang-undang melarang Bank Indonesia
untuk mengambil keuntungan dari penerbitan
surat-surat hutang ini, namun sebagai agen,
Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli
surat-surat hutang hanya untuk dalam keadaan
darurat atau hanya terhadap surat-surat utang
berjangka pendek.
C. Keterlibatan Bank Indonesia dalam Memprakarsai
Rancangan Undang-Undang
1. Proses dan Tahapan Pembentukan Undang-
Undang
Pembentukan undang-undang adalah bagian dari
aktivitas dalam mengatur masyarakat,38 yang
terdiri atas gabungan individu-individu manusia
dengan segala dimensinya39. Sebagai negara
hukum, sudah semestinya pembangunan hukum
nasional dilakukan secara terencana, terpadu,
dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional
yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban
rakyatnya. Oleh karena itu, dalam rangka
pembangunan hukum nasional, pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan diatur
dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur cara dan metode yang pasti, baku,
dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang dalam membentuk peraturan
perundang-undangan.
Sejatinya, UU Nomor 12 Tahun 2012 bukanlah
yang pertama dalam menjadi panduan, melainkan
merupakan pengganti dari UU Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
11
38 Satjipto Rahardjo, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.
39 Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan
undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai makhluk mono-dualis jiwa-raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri makhluk Tuhan. Lihat dalam Ibid.
36 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
37 Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undangan. Penggantian tersebut dilatarbelakangi
oleh kelemahan dan kekurangannya dalam
menampung perkembangan kebutuhan
masyarakat mengenai aturan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik.
Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 10 Tahun
2004, antara lain:40
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 banyak yang menimbulkan kerancuan
atau multi tafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum;
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak
konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai
dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur
dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap UU Nomor 10
Tahun 2004 tersebut, terdapat materi muatan
baru yang ditambahkan, antara lain:41
a. penambahan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu
jenis Peraturan Perundang-undangan dan
hierarkinya ditempatkan setelah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan
Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga
perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan
lainnya;
c. pengaturan mekanisme pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu
persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang
Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan
tenaga ahli dalam tahapan pembentukan
peraturan perundang-undangan; dan
f. penambahan teknik penyusunan Naskah
Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang
ini.
Pada Sub-bab ini diuraikan proses dan tahapan
pembentukan undang-undang. Tahapan kegiatan
tersebut mencakup kegiatan perencanaan
undang-undang, penyusunan undang-undang,
pembahasan rancangan undang-undang, dan
pengesahan rancangan undang-undang menjadi
undang-undang.
a. Perencanaan Undang-Undang
Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011
menyebutkan bahwa perencanaan penyusunan
undang-undang dilakukan dalam Program
Legislasi Nasional atau disingkat Prolegnas.
Prolegnas adalah instrumen perencanaan
program pembentukan undang-undang yang
disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis,42 yang merupakan skala prioritas
program pembentukan undang-undang dalam
rangka mewujudkan sistem hukum nasional.43
12
40 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
41 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
42 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
43 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam penyusunannya, Prolegnas disusun
daftar rancangan undang-undang didasarkan
atas: (a) perintah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)
perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat; (c) perintah Undang-Undang lainnya;
(d) sistem perencanaan pembangunan nasional;
(e) rencana pembangunan jangka panjang
nasional; (f) rencana pembangunan jangka
menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan
rencana strategis DPR; dan (h) aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat.44
Muatan dalam Prolegnas adalah program
pembentukan undang-undang dengan
berisikan judul rancangan undang-undang,
materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya
merupakan keterangan mengenai konsepsi
rancangan undang-undang yang meliputi: (a)
latar belakang dan tujuan penyusunan; (b)
sasaran yang ingin diwujudkan; dan (c)
jangkauan dan arah pengaturan.45
Prolegnas disusun oleh DPR dan Pemerintah,
yang ditetapkan untuk jangka menengah dan
tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan rancangan undang-undang.
Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka
menengah dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka
menengah tersebut dapat dievaluasi setiap
akhir tahun bersamaan dengan penyusunan
dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan,
sedangkan penyusunan dan penetapan
Prolegnas prioritas tahunan sebagai
pelaksanaan Prolegnas jangka menengah
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan
Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.46
Penyusunan Prolegnas antara DPR dan
Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi.47 Menurut UU Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi disebut
dengan Badan Legislasi sebagaimana
diterangkan dalam Pasal 99 sampai dengan
Pasal 103.
Sebelum penyusunan Prolegnas secara bersama
antara DPR dengan Pemerintah, masing-masing
dari DPR dan Pemerintah menyusun rencana
Prolegnas-nya masing-masing. Badan Legislasi
(Baleg) DPR bertanggungjawab untuk
mengoordinasikan penyusunan Prolegnas di
lingkungan DPR. Dalam penyusunan Prolegnas
di lingkungan DPR tersebut, dilakukan dengan
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi,
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
Sedangkan, penyusunan Prolegnas di
lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan
13
44 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
45 Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
46 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
47 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pemerintahan di bidang hukum atau dalam
hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyusunan Prolegnas dalam lingkungan DPR
diatur dengan Peraturan DPR. Sedangkan
ketentuan lanjutan mengenai tata cara
penyusunan Prolegnas di lingkungan
pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Untuk dapat menjadi Prolegnas yang sah, hasil
penyusunan Prolegnas antara DPR dan
Pemerintah harus disepakati menjadi Prolegnas
dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Penetapan Prolegnas yang disetujui kemudian
ditetapkan dengan Keputusan DPR.48 Dalam
Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka
yang terdiri atas: (a) pengesahan perjanjian
internasional tertentu; (b) akibat putusan
Mahkamah Konstitusi; (c) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara; (d)
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan
(e) penetapan/pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.49
Namun demikian, dalam keadaan tertentu,
DPR atau Presiden dapat mengajukan
rancangan undang-undang di luar Prolegnas
dengan cakupan: (a) untuk mengatasi keadaan
luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang
memastikan adanya urgensi nasional atas
suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi dan
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.50 Dari daftar
hasil penyusunan Prolegnas, rancangan
undang-undang yang telah melalui pengkajian
dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah
Akademik.51
b. Penyusunan Undang-Undang
Suatu rancangan undang-undang dapat
berasal dari DPR, Presiden atau DPD52. Dalam
melakukan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan. Teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan tersebut telah ditentukan
dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011.53
Khusus rancangan undang-undang yang
berasal dari DPD harus melalui DPR. Rancangan
undang-undang yang berasal dari DPD tersebut
hanya yang berkaitan dengan kewenangannya,
yaitu: (a) otonomi daerah; (b) hubungan pusat
dan daerah; (c) pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah; (d) pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; dan (e) perimbangan keuangan pusat
dan daerah.54
14
50 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
51 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
52 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
53 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
54 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
48 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
49 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Semua rancangan undang-undang yang
berasal dari ketiga lembaga tersebut harus
disertai Naskah Akademik. Kewajiban adanya
naskah akademik tidak berlaku bagi rancangan
undang-undang mengenai: (a) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara; (b) penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang menjadi Undang-Undang; atau (c)
pencabutan Undang-Undang atau pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.55 Namun demikian, semua rancangan
undang-undang di atas disertai dengan
keterangan yang memuat pokok pikiran dan
materi muatan yang diatur.
Rancangan undang-undang yang berasal dari
DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi atau
DPD. Sedangkan rancangan undang-undang
yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas
dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
rancangan undang-undang, menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah non-
kementerian terkait membentuk panitia antar
kementerian dan/atau antar non-kementerian.
Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi rancangan undang-undang yang
berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi, dalam hal ini adalah Badan
Legislasi. Sedangkan harmonisasi, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi rancangan undang-
undang yang berasal dari Presiden
dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
Mengenai usulan rancangan undang-undang
yang berasal dari DPD disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan tentu saja disertai dengan naskah
akademik. Oleh pimpinan DPR, usulan tersebut
disampaikan kepada alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi untuk
dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-
undang. Dalam melakukan harmonisasi,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang dapat
mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD
yang mempunyai tugas di bidang perancangan
undang-undang untuk membahas usul
rancangan undang-undang. Selanjutnya Badan
Legislasi menyampaikan laporan tertulis
mengenai hasil harmonisasi kepada pimpinan
DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam
rapat paripurna.56
Rancangan undang-undang dari DPR
disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kepada Presiden. Selanjutnya Presiden
menugasi menteri yang mewakili untuk
membahas rancangan undang-undang
bersama DPR dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
pimpinan DPR diterima. Menteri yang ditunjuk
tersebut mengoordinasikan persiapan
pembahasan dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum. Sebaliknya, rancangan
undang-undang yang berasal dari Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada
15
55 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana telah diatur dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
56 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat
penunjukan menteri yang ditugasi mewakili
Presiden dalam melakukan pembahasan
rancangan undang-undang bersama DPR.
Selanjutnya DPR mulai membahas rancangan
undang-undang usulan Presiden tersebut
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak surat Presiden
diterima. Apabila dalam satu masa sidang DPR
dan Presiden menyampaikan rancangan
undang-undang mengenai materi yang sama,
yang dibahas adalah rancangan undang-
undang yang disampaikan oleh DPR dan
rancangan undang-undang yang disampaikan
Presiden digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.57
c. Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Setiap pembahasan rancangan undang-undang
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi. Sedangkan pembahasan
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
dan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
selain dilakukan oleh DPR bersama Presiden,
juga dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan
rancangan undang-undang tertentu yang
terkait diwakili oleh alat kelengkapan yang
membidangi materi muatan rancangan
undang-undang yang dibahas.58 Selain terlibat
dalam pembicaraan I untuk bidang tertentu
di atas, DPD juga memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.59
Dalam pembahasan rancangan undang-
undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan. Dua tingkat pembicaraan terdiri
atas Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan
Tingkat II.
1) Pembicaraan Tingkat I
Pembicaraan tingkat I dilaksanakan dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran,
atau rapat Panitia Khusus. Dalam
Pembicaraan tingkat I tersebut dilakukan
dengan kegiatan sebagai berikut:
a) Pengantar musyawarah;
Dalam pengantar musyawarah sebagai
bagian dalam kegiatan pembicaraan
tingkat I dilaksanakan dengan urutan
sebagai berikut: (a) Dalam hal
rancangan undang-undang berasal dari
DPR, maka DPR memberikan
penjelasan dan Presiden menyampaikan
pandangan jika rancangan undang-
undang berasal dari DPR. Apabila
rancangan undang-undang berkaitan
dengan kewenangan DPD, maka DPD
menyampaikan pandangannya; (b)
Dalam hal rancangan undang-undang
berasal dari Presiden, maka Presiden
memberikan penjelasan dan fraksi
memberikan pandangan jika rancangan
undang- undang berasal dari Presiden.
Apabila rancangan undang-undang
16
59 Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
57 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
58 Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
berkaitan dengan kewenangan DPD,
maka DPD menyampaikan
pandangannya.
b) Pembahasan Daftar Inventarisasi
Masalah;
Daftar inventarisasi masalah diajukan
oleh Presiden jika rancangan undang-
undang berasal dari DPR. Dan
sebaliknya, bila rancangan undang-
undang berasal dari Presiden, maka
daftar inventarisasi masalah diajukan
oleh DPR. Selain itu, sepanjang
berkaitan dengan kewenangan DPD,
maka DPR mempertimbangkan usul
dari DPD.
c) Penyampaian Pendapat Mini.
Penyampaian pendapat mini
disampaikan pada akhir pembicaraan
tingkat I oleh fraksi, dan Presiden. DPD
juga menyampaikan pendapat mini jika
rancangan undang-undang berkaitan
dengan kewenangan DPD. Namun
demikian, dalam hal DPD tidak
menyampaikan pandangannya baik
rancangan undang-undang yang
berasal dari Presiden maupun DPR yang
terkait dengan kewenangannya dan
tidak menyampaikan pendapat mini,
maka pembicaraan tingkat I tetap
dilaksanakan.
Dalam pembicaraan tingkat I ini, juga dapat
diundang pimpinan lembaga negara atau
lembaga lain jika materi rancangan undang-
undang berkaitan dengan lembaga negara
atau lembaga lain terkait.
2) Pembicaraan Tingkat II
Pembicaraan tingkat II dilaksanakan dalam
rapat paripurna yang merupakan
pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna dengan kegiatan: (1)
penyampaian laporan yang berisi proses,
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD,
dan hasil pembicaraan tingkat I; (2)
pernyataan persetujuan atau penolakan
dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
paripurna; dan (3) penyampaian pendapat
akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri
yang ditugasi. Apabila persetujuan dari
tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan
tidak dapat dicapai secara musyawarah
untuk mufakat, pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
Dan apabila rancangan undang-undang
tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden, rancangan
undang-undang tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa
itu.60
Suatu rancangan undang-undang dapat
ditarik kembali sebelum dibahas bersama
oleh DPR dan Presiden. Namun, rancangan
undang-undang yang sedang dibahas
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penarikan kembali rancangan undang-
undang ini diatur dengan Peraturan DPR.61
d. Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Menjadi Undang-Undang
Suatu rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi undang-
17
60 Pasal 69 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
61 Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
undang. Penyampaian rancangan undang-
undang tersebut dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.62
Rancangan undang-undang yang telah
disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden
untuk disahkan menjadi undang-undang
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan
undang-undang tersebut disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden. Namun, dalam hal
rancangan undang-undang tersebut tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak rancangan undang-undang tersebut
disetujui bersama, maka rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan. Namun, kalimat
pengesahannya menjadi berbeda dengan
pencantuman kalimat pengesahannya
berbunyi: “Undang-Undang ini dinyatakan
sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Kalimat pengesahan
khusus tersebut harus dibubuhkan pada
halaman terakhir undang-undang sebelum
pengundangan naskah undang-undang ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.63
Berkaitan dengan pendelegasian peraturan
perundang-undangan harus ada kejelasan
waktu penetapan peraturan pelaksanaannya,
baik berupa peraturan pemerintah maupun
peraturan lainnya sebagai pelaksanaan undang-
undang tersebut. Penetapan peraturan
pemerintah dan peraturan lainnya yang
diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan namun tidak didasarkan atas
perintah suatu undang-undang dikecualikan
atau tidak memerlukan batasan waktu.
Dalam konteks mencari peluang Bank
Indonesia dalam memprakarsai Rancangan
Undang-Undang peluang keterlibatan tersebut
terbuka melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pasal a quo
membuka peluang Bank Indonesia untuk
terlibat dalam pembicaraan tingkat I karena
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain
dapat diundang jika materi Rancangan
Undang-Undang berkaitan dengan lembaga
negara atau lembaga lain tersebut.64 Peluang
tersebut sepenuhnya menjadi domain
kewenangan DPR selaku “tuan rumah” yang
memegang fungsi legislasi. DPR “dapat”
mengundang dan tidak diberikan suatu
keharusan untuk “mengundang” lembaga
negara lain walaupun secara awam diketahui
bahwa substansi RUU yang sedang dibahas
adalah kewenangan lembaga negara yang
lain. Padahal bila memang substansi yang
diatur dalam RUU tersebut terkait erat dengan
kewenangan lembaga negara yang lain, sudah
sepatutnya bila lembaga negara tersebut wajib
untuk diundang, sehingga apa yang diatur
dalam UU tersebut sejalan dan dapat
diimplementasikan oleh lembaga yang terkait.
2. Pendekatan Komparatif Peran Bank Sentral
dalam Memprakarsai Rancangan Undang-
Undang
Berbicara mengenai keterlibatan Bank Indonesia
dalam memprakarsai rancangan undang-undang
18
62 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
63 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
64 Pasal 68 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dapat dirujuk perkembangan peran bank sentral
di berbagai negara di dunia. Hal tersebut menjadi
penting untuk diperhatikan, mengingat dewasa
ini kecenderungan untuk menjadikan bank sentral
bersifat independen semakin menguat, sejalan
dengan berlangsungnya perkembangan
pemikiran-pemikiran baru yang mempengaruhi
terjadinya perubahan peran bank sentral di seluruh
dunia. Hal tersebut ditegaskan oleh Forrest Capiey,
Charles Goodhart, dan Norbert Schnadt yang
menyebutkan:
In the last few years discussion and debate has
switched from operational techniques (e.g. interest
rate control versus monetary base control: rules
versus discretion) towards concern with structure,
incentives and accountability, in short to most of
the issues that come together under the heading
of central bank independence.65
Kecenderungan yang terjadi di dunia dipengaruhi
adanya mindstream bahwa pemberian
independensi dapat menjadi solusi atas
permasalahan moneter yang menjadi ancaman
laten kondisi perekonomian suatu negara. Namun
demikian, pemberian independensi kepada bank
sentral juga memerlukan “keahlian politik”
mengelola kemandirian tersebut sehingga dapat
mencapai tujuan untuk menciptakan inflasi yang
rendah. Hal tersebut menyiratkan bahwa
independensi yang diberikan melalui sebuah
pengaturan (dalam undang-undang atau yang
sejenis) lebih bersifat sebagai advokasi akademik
daripada sebuah solusi. Hal tersebut ditegaskan
oleh Capiey, Goodhart, dan Schnadt, yaitu:
This latter view, that the establishment of an
independent central bank will largely succeed, or
fail, depending on its 'political' skills in holding
together a low inflation constituency, implies that
the passage of Acts to grant such independence
will be much less of a panacea than its, more
credulous (academic) advocates would hope. A
danger in this context is that 'independence' may
get over sold as the solution to the ills of the
monetary system, just as monetary targeting,
exchange rate floating, and so many prior economic
nostrums were often given exaggerated credence
in some quarters, to their own subsequent
detriment.66
Merujuk pada penjelasan di atas, independensi
yang diberikan pada bank sentral harus dapat
dikelola secara politik oleh bank sentral, sehingga
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal
tersebut menjadi problematik karena pengaturan
dan kadar independensi di berbagai negara
lazimnya dituangkan dalam suatu produk hukum
yang setara dengan undang-undang, yang
notabene dibentuk melalui proses politik di
parlemen. Hal tersebut dikuatkan oleh Stanley
Fischer yang menegaskan bahwa independensi
yang diberikan kepada bank sentral sangat
bergantung pada legislasi yang mengatur kadar
independensi itu sendiri, yaitu:
Control over the supply of money and credit gives
the central bank potentially enormous power. In
countries where the central bank has sufficient
independence to determine interest rate, the
goals towards which that power should be
deployed are often specific in legislation.67
Kondisi tersebut merupakan hal yang dilematis,
karena pada satu sisi bank sentral, khususnya di
negara berkembang, diharapkan lebih merdeka
dari tekanan politik,68 namun secara desain
independensinya dipengaruhi oleh proses politik
19
65 Forrest Capiey, Charles Goodhart, Norbert Schnadt, “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge, UK, hlm. 35.
66 Ibid., hlm. 240. 67 Stanley Fischer, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working
Paper Series, No. 5064, March 1995, hlm. 4. 68 Central Banks in developing countries tend to have more independence
from political and commercial pressures than most other organisations, and also tend to be better financed. Lihat dalam C.A.E. Goodhart, “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 2000-10-25, hlm. 36.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
itu sendiri. Maka dari itu, peluang untuk melibatkan
bank sentral dalam pembahasan draf undang-
undang yang berkaitan dengan kewenangan dan
tanggung jawab bank sentral diperlukan, bukan
dalam konteks mencampurkan locus kewenangan
bank sentral dengan parlemen atau pemerintah
sebagai pembentuk undang-undang, melainkan
semata sebagai upaya untuk menjaga kadar
independensi bank sentral yang dituangkan dalam
berbagai pengaturan yang terkait dengan
kewenangan dan tanggung jawab bank sentral.
Ikhtiar menjaga kadar independensi dalam
substansi pengaturan yang mengatur kewenangan
dan tanggung jawab bank sentral menjadi hal
yang penting untuk mewujudkan dua jenis
independensi yang diperkenalkan oleh Fischer
sebagai goal Independence dan instrumen
independence, yaitu:
These two approaches point to different forms of
CBI. Guy Debelle and Fischer (1995) and Fischer
(1995) introduce the distinction between goal
independence and instrument independence. A
central bank that is given control over the levers
of monetary policy and allowed to use them has
instrument independence; a central bank that sets
its own policy goals has goal independence.69
Berdasarkan hal tersebut, maka independensi
bank sentral juga dapat dimaknai dalam konteks
keterlibatannya dalam menentukan arah kebijakan
hukum, khususnya yang menyangkut pelaksanaan
kewenangannya.
Dalam kondisi yang sedikit berbeda, Marcis Apinis
pun menegaskan bahwa bank sentral yang tidak
terlibat dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan
keuangan (financial supervision function) sudah
seharusnya diberikan kewenangan untuk terlibat
dalam proses pembentukan Undang-Undang yang
terkait dengan fungsi pengawasan keuangan yang
dilakukan oleh lembaga lain, yaitu:
In the jurisdictions where the NCBs do not perform
the supervisory function, the NCBs have
nevertheless remained involved in supervision in
many different ways, they have a substantial
involvement in the preparation of legislation
relating to supervision; [...].70
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan bank
sentral menjadi penting untuk diikutsertakan
dalam proses pembentukan undang-undang,
bahkan pada pembentukan Undang-Undang yang
notabene tidak mengatur mengenai bank sentral
secara langsung, tetapi hanya pengaturan
bersinggungan dengan kewenangan bank sentral
dalam bidang moneter.
Dalam konteks yang lebih relevan, hasil penelitian
Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika
Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi
Kotkas, Marek Porzycki and Milan Vetrák telah
memotret keterlibatan bank sentral dalam proses
legislasi di beberapa negara di Eropa Tengah dan
Timur, yaitu Bulgaria, Republik Ceko, Estonia,
Hungaria, Latvia, Slovakia, dan Polandia. Negara
di kawasan Eropa Timur dan Tengah tersebut
memiliki konteks perkembangan demokrasi dan
pendewasaan politik yang hampir sama dengan
konteks Indonesia sebagai negara-negara pecahan
Uni Soviet. Negara-negara tersebut, selain telah
melibatkan bank sentral dalam proses legislasi
yang terkait dengan kewenangan dan tanggung
jawab bank sentral, tetapi juga memiliki desain
pengaturan yang hampir serupa dengan Indonesia
dalam hal kebanksentralan, terlebih bila merujuk
desain bank sentral dalam konstitusi masing-
masing negara.
20
69 Stanley Fischer, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January 6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995, hlm. 202.
70 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010, hlm. 5.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam hal praktik keterlibatan bank sentral dalam
proses legislasi di Bulgaria, pelibatan bank sentral
tidak secara tegas disebutkan dalam konstitusi
ataupun undang-undang, namun Bulgarian
National Bank dapat turut membahas proses
penyusunan undang-undang melalui Standing
Committee yang dibentuk oleh National Assembly
of the Republic of Bulgaria, yang membuka proses
pembahasan rancangan undang-undang diikuti
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.71 Peluang
yang dibuka oleh National Assembly of the Republic
of Bulgaria dapat dimaklumi sebab Bulgaria
menganut sistem pemerintahan Parlementer72
yang dalam hal ini National Assembly of the
Republic of Bulgaria memiliki kewenangan dalam
bidang legislatif sekaligus mengontrol jalanannya
pemerintahan yang dilakukan oleh parlemen.73
Bulgarian National Bank tidak dijelaskan secara
rinci dalam Constitution of the Republic of
Bulgaria, namun konstitusi hanya menggariskan
kewenangan National Assembly of the Republic
of Bulgaria untuk memilih dan memberhentikan
Governor of the Bulgarian National Bank.74 Namun
demikian, walaupun secara normatif peluang
pelibatan bank sentral hanya melalui norma
representatives of legal entities, namun dalam
praktik Bulgarian National Bank terlibat secara
aktif dan dapat mempengaruhi proses pembahasan
rancangan undang-undang. Hal tersebut secara
tegas dicatat sebagai hasil penelitian Marcis Apinis,
et al., yaitu:
In Bulgaria, the Government establishes
interinstitutional working groups where draft laws
are discussed and benefit from the expertise of
all the public bodies involved. Although legislation
does not expressly provide for the BG-NCB’s
involvement in the process of making primary law
governing supervision, in practice, the BG-NCB
influences the drafting of the primary law through
its participation in interinstitutional working groups
on the preparation of legal acts to such extent
that the BG-NCB may even draft the legislative
provisions.75
Bank sentral negara lain yang juga terlibat dalam
proses legislasi adalah Czech National Bank. Seperti
halnya Bulgaria, Republik Ceko juga menganut
sistem pemerintahan parlementer, namun demikian
dalam hal keterlibatan bank sentral dalam proses
sudah jauh lebih jelas dibandingkan dengan
Bulgaria. Hal yang sangat membedakan adalah
kewenangan terlibat dalam mempersiapkan
rancangan undang-undang yang terkait dengan
kewenangan dinyatakan secara eksplisit dalam
Article 38 of Act of Czech National Bank, dengan
rumusan sebagai berikut:76
(1)The Czech National Bank, together with the
Ministry of Finance, shall prepare and submit
to the Government draft legislation on the
currency and the circulation of money, and
draft legislation concerning the status,
competence, organisation and activities of the
CNB, save for financial market supervision, the
payment system and electronic money issuance.
21
71 Article 28 of the Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013, Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013):(3) Any member of a Standing Committee may invite individuals or
representatives of legal entities, concerned with the issues considered by the Committee, to attend its meeting.
(4) Representatives of trade unions, professional and industries’ associations, on their request, shall attend the meetings, submit written opinions and participate in the Standing Committees’ deliberations on draft legislation concerning their activities and issues of interest, in compliance with the rules established by the committees. The opinions shall be published on the relevant committee webpage of the National Assembly Internet site.
72 Article 1 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “Bulgaria shall be a republic with a parliamentary form of government.”
73 Article 62 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National
Assembly shall be vested with the legislative authority and shall exercise parliamentary control.”
74 Article 8 of the Constitution of the Republic of Bulgaria, “The National
Assembly shall: elect and remove the Governor of the Bulgarian National Bank and the heads of other institutions established by law;”
75 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm. 14.
76 Article 38 of the Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013 Coll.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
(2)The Czech National Bank shall cooperate with
the Ministry of Finance in preparing draft
legislation in the areas of the financial market,
the payment system, regulation of electronic
money issuance, foreign exchange
management and the adoption of the single
currency, the euro, in the Czech Republic.
Sebenarnya Constitution of the Czech Republic
pun hanya secara ringkas mengatur fungsi dan
kelembagaan bank sentral, yaitu:77
(1)The Czech National Bank is the central bank
of the State. Its activities are primarily oriented
towards currency stability; it is possible to
interfere with its activities exclusively on the
basis of law.
(2)The status, jurisdiction, and other details are
set down by law.
Bila hal tersebut dibandingkan dengan pengaturan
dalam UUD NRI Tahun 1945, setidaknya
Constitution of the Czech Republic memang lebih
jelas dalam pengaturannya, karena disebutkan
tugas dan fungsi dasar dari bank sentral. Adapun
untuk penjabaran lebih lanjut dari tugas dan fungsi
tersebut Constitution of the Czech Republic juga
menyerahkan pada legal policy pembentuk undang-
undang sebagaimana pula diamanatkan dalam
desain konstitusional bank sentral di Indonesia.
Hampir sama dengan Bulgaria, Eesti Pank (Central
Bank of the Republic of Estonia) pun terlibat
dalam proses legislasi, namun melalui norma
pengaturan yang bersifat implisit. Dalam
Constitution of the Republic of Estonia hanya
menyebutkan kewenangan dasar Bank of Estonia
berupa hak eksklusif untuk menerbitkan mata
uang Estonia, mengelola sirkulasi dan menjaga
stabilitas mata uang, serta tugas lain yang sesuai
dengan hukum dan melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Riigikogu (The Parliament of
Estonia).78
Dalam Bank of Estonia Act tidak diberikan
pengaturan yang eksplisit menyatakan Bank of
Estonia dapat terlibat dapat proses legislasi. Namun
berdasarkan hasil penelitian Marcis Apinis, et al.,
Bank of Estonia dapat menginisiasi penyusunan
undang-undang maupun menyiapkan draf
keseluruhan dari undang-undang dengan kerja
sama antara Ministry of Finance, Bank of Estonia,
dan Financial Supervision Authority, yang mana
Ministry of Finance yang bertugas memasukkan
draf tersebut kepada Parliament of Estonia.79
Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses
legislasi sejatinya sangat sumir, karena hanya
disandar pada norma “The Bank of Estonia advises
the Government of the Republic in matters of
economic policy”.80 Sejatinya bila hendak dirunut,
keterlibatan Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan
dari format kerja sama antara Ministry of Finance,
Bank of Estonia, dan Financial Supervision
Authority yang dituangkan dalam sebuah
Cooperation Agreement. Secara eksplisit memang
Bank of Estonia tidak memiliki kewenangan untuk
terlibat dalam proses legislasi, namun Ministry of
Finance sebagai wakil dari pemerintah tentu
memiliki kewenangan tersebut, sedangkan untuk
Financial Supervision Authority memang secara
eksplisit disebutkan memiliki kewenangan
mengajukan proposal untuk mengajukan
pembentukan atau revisi undang-undang yang
terkait dengan sektor finansial,81 yang justru
kewenangan seperti ini tidak diberikan kepada
Bank of Estonia.
22
77 Article 98 of the Constitution of the Czech Republic.
78 Article 111-112 of the Constitution of the Republic of Estonia.
79 Marcis Apinis, Magdalena Bodzioch, Erika Csongrádi, Tatyana Filipova, Zdenek Foit, Järvi Kotkas, Marek Porzycki, Milan Vetrák, Op.cit., hlm.15.
80 Article 4 paragraph (2) of the Bank of Estonia Act.
81 Article 6 paragraph (1) number 5 of the Financial Supervision Authority Act, “The functions of the Supervision Authority in fulfilling the objectives of financial supervision are to: make proposals for the establishment and amendment of Acts and other legislation concerning the financial sector and related supervision, and participate in the drafting of such Acts and legislation;”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam Cooperation Agreement antara Ministry
of Finance, Bank of Estonia, dan Financial
Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja
sama untuk merancang bersama peraturan dan
panduan di bidang keuangan.82 Hal ini seolah
menggabungkan kewenangan ketiga organ yang
bekerja sama dalam sebuah forum bersama.
Namun demikian, secara tidak disadari sejatinya
forum kerja sama tersebut telah mereduksi
independensi Bank of Estonia, walaupun secara
normatif independensi tersebut dijamin oleh
Article 3 verse (1) of Constitution of the Republic
of Estonia.83
Pada praktik di Hungaria, Magyar Nemzeti Bank
(Hungarian National Bank) secara eksplisit diberikan
kewenangan untuk mengajukan usulan legislasi
yang ditujukan kepada pemerintah. Hal tersebut
secara tegas dituangkan dalam Article 58 of Act
CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank
berikut:84
(1) In order to maintain the stability of the financial
intermediary system, the MNB may submit a
proposal to the Government to adopt legal
regulations or to make legislative proposals,
or to any member of the Government for
adopting legal regulations. The MNB may
decide to make this proposal in a public
announcement.
(2) In response to any proposal of the MNB
submitted to the Government as defined in
paragraph (1), on behalf of the Government
the Minister responsible for the regulation of
the money, capital and insurance markets; and
in the event of a proposal submitted to a
member of the Government, the member of
the Government shall inform the MNB within
15 working days of receipt or publication of
the proposal – through public channels if the
proposal has been announced in the public –
of the launch of a procedure directed at
adopting a legal act or at initiating a legislative
proposal; – in the event of legislative proposal–
of the deadline for presenting a draft law to
the Parliament, or in the event of regulation
in a decree, the deadline for its publication in
the official journal; or in the absence of the
above, of the reasons for such a decision.
(3) If the deadline defined in paragraph (2) expired
without any actions taken, the addressee of
the proposal shall immediately inform the
MNB – through public channels if the proposal
has been announced in the public – of the
reasons for delay, and – if the addressee is in
agreement with the proposal – of the new
deadline for presenting a draft law to the
Parliament, or of its publication in the official
journal.
Berbekal pengaturan tersebut sudah sangat kuat
dasar Hungarian National Bank untuk mengajukan
usulan legislasi yang terkait dengan lingkup
kewenangannya, yang pada sisi yang lain tetap
terdapat jaminan atas independensinya85 dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam
bidang moneter86.
23
82 Article 4 of the Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December 2007.
83 Article 3 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Estonia,
“The Bank of Estonia operates independently of other government agencies. The Bank of Estonia reports on its activities to the Riigikogu and is not subordinate to the Government of the Republic or any other executive agency of the government or to any third party.”
84 Article 58 of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank.
85 Article 1 paragraph (2) of the Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank, “The MNB, and the members of its bodies shall be independent in carrying out their task and meeting their obligations conferred upon them by this Act, and shall neither seek nor take instructions from the Government, or the institutions, bodies or offices of the European Union, with the exception of the European Central Bank (hereinafter the ‘ECB’), or from the governments of Member States or any other organisation or political party. The Government as well as all other institutions shall adhere to this principle and shall not attempt to influence the MNB and its bodies in the course of the performance of their tasks.”
86 Article 41 paragraph (1) of the Constitution of Hungary, “The Hungarian National Bank shall be the central bank of Hungary. The Hungarian National Bank shall be responsible for the monetary politics in a manner provided by separate law.”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Kondisi yang terjadi Latvia serupa dengan praktik
yang terjadi Estonia, yaitu kewenangan menyusun
draf terdapat Financial and Capital Market
Commission,87 yang mana sebenarnya tidak ada
keharusan bagi Financial and Capital Market
Commission untuk berkonsultasi dengan Latvijas
Banka (Bank of Latvia). Namun, konsultasi tersebut
dimungkinkan dilakukan dengan adanya
kesepakatan kerja sama antara kedua lembaga
ini, sebagaimana yang terjadi di Estonia. Hanya
saja dalam kerja sama ini hanya dilakukan antara
Financial and Capital Market Commission dan
Bank of Latvia.88
Pada praktik di Slovakia terdapat keunikan
tersendiri. Pengaturan tentang Národná banka
Slovenska (National Bank of Slovakia) mirip dengan
pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945, yaitu:89
(1)The National Bank of Slovakia is an independent
central bank of the Slovak Republic. The
National Bank of Slovakia may, within its scope
of power, issue generally binding legal
regulations if it is so empowered by a law.
(2)The highest administration body of The
National Bank of Slovakia is the Bank Council
of the National Bank of Slovakia.
(3)Details according to paragraphs 1 and 2 shall
be laid down by a law.
Walaupun sama dalam desain konstitusi, namun
National Bank of Slovakia memiliki desain legal
policy yang berbeda dengan Bank Indonesia.
National Bank of Slovakia diberikan kewenangan
secara spesifik oleh Act on the National Bank of
Slovakia untuk mengajukan usulan legislasi, yaitu:90
(1)The National Bank of Slovakia shall submit
draft legislation to the Government in the
areas of money circulation.
(2)The National Bank of Slovakia shall, together
with the Ministry of Finance of the Slovak
Republic (hereinafter referred to as the
“Ministry”), submit to the Government draft
legislation in the area of foreign exchange
relations, the payment systems and the
provision of payment services and the financial
market including banking and the position
and competence of the National Bank of
Slovakia.
(3)The provisions of paragraphs (1) and (2) shall
be without prejudice to the functions and
powers of institutions and bodies of the
European Union in the field of legislation,
under separate legal provisions, nor to the
duty to consult draft legislation with the
European Central Bank to the extent laid down
in a separate legal provision.
Pengaturan di atas menunjukkan 2 (dua)
mekanisme pengajuan usulan legislasi yang dapat
dilakukan oleh National Bank of Slovakia, yaitu:
(1) mengajukan usul secara mandiri spesifik dalam
bidang peredaran uang; dan (2) mengajukan usul
melalui kerja sama dengan Ministry of Finance
dalam bidang hubungan valuta asing, sistem
pembayaran, penyediaan layanan pembayaran,
dan pasar keuangan, termasuk pula terkait
perbankan dan posisi dan kompetensi bank sentral.
Terlepas dari kedua mekanisme tersebut, tetapi
norma pengaturan tersebut dapat memberikan
dasar hukum yang kuat bagi bank sentral untuk
terlibat dalam proses legislasi yang terkait dengan
kewenangan bank sentral.
24
87 Article 6 paragraph (8) of the Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012), “The Commission shall have the following functions: to analyse regulatory requirements pertaining to financial and capital market and draft proposals for their improvement and harmonisation with the regulatory requirements Community;”
88 Article 2.1.6 of the Cooperation Agreement between Financial and
Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009. 89 Article 56 of the Constitution of the Slovak Republic.
90 Article 30 of the Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last amended by Act No. 403/2010 Coll.
Pada praktik di Polandia, Narodowy Bank Polski
(National Bank of Poland) tidak memiliki
kewenangan mengajukan usulan legislasi
sebagaimana pengaturan di Slovakia, namun
National Bank of Poland diberikan keharusan untuk
menyajikan pendapat pada pembahasan rancangan
undang-undang mengenai aktivitas bank dan
rancangan undang-undang yang penting untuk
sistem perbankan.91 Keharusan tersebut dinilai
cukup untuk menangkap kepentingan bank sentral
dalam proses pembentukan undang-undang yang
berkaitan dengan kewenangan bank sentral.
Selain negara-negara di Eropa Timur dan Tengah,
praktik di negara Amerika Latin juga memiliki sisi
kompabilitas yang relatif sama dengan konteks
Indonesia, yaitu sebagai negara berkembang yang
sedang mengalami masa demokratisasi seperti
halnya Indonesia. Selain itu, negara-negara di
Amerika Selatan, seperti Venezuela dan Peru,
relatif memiliki sistem ketatanegaraan yang sejenis
dengan Indonesia, yaitu menganut sistem
pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan
kompleksitas sistem kepartaian multipartai, yang
mengindikasikan pluralitas masyarakat yang relatif
sejenis dengan konteks Indonesia.
Kedua negara tersebut dipandang relevan untuk
diperbandingkan dengan Indonesia dengan 4
(empat) alasan, yakni: (1) merupakan negara
berbentuk republik;92 (2) menganut sistem
pemerintahan presidensial;93 (3) ketentuan
mengenai bank sentral disebutkan dalam konstitusi
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;94
dan (4) bank sentral independen dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya.95
Dengan demikian, maka menjadi relevan untuk
memperbandingkan bank sentral Indonesia
dengan bank sentral di Venezuela dan Peru,
khususnya tentang keterlibatan bank sentral
dalam proses legislasi.
Dalam Law on The Central Reserve Bank of Peru
tidak terdapat pasal yang mengatur secara eksplisit
mengenai kewenangan The Central Reserve Bank
of Peru untuk terlibat dalam proses legislasi.
Namun, peluang keterlibatan The Central Reserve
Bank of Peru dalam proses legislasi khususnya
dalam mengajukan inisiatif rancangan undang-
undang justru dijamin dalam Constitution of Peru,
yakni dalam Article 107 yang mengatur bahwa:
Both the President of the Republic and the
congressmen have the right to initiative in law-
making. The same right, in matters within their
competence, is also enjoyed by the other State
branches, autonomous public agencies, regional
and local governments, and professional
associations. Likewise, citizens possess the right
to initiative in accordance with the law”.96
Berdasarkan hal tersebut maka, The Central Reserve
Bank of Peru sebagai a legal entity governed by
public law97 mempunyai hak yang sama untuk
mengajukan inisiatif pembentukan rancangan
undang-undang.
Bila dibandingkan dengan Indonesia, setidaknya
terdapat 2 (dua) perbedaan mendasarkan perihal
akses The Central Reserve Bank of Peru dan Bank
Indonesia dalam proses legislasi, yakni: Pertama,
hak The Central Reserve Bank of Peru untuk
menginisiasi pembentukan rancangan undang-
25
95 Lihat Article 2 of the Law on the Central Bank of Venezuela. Lihat Article 1 of the Law on the Central Reserve Bank of Peru. Lihat juga Article 86 of the Constitution of Peru.
96 Lihat Article 107 of the Constitution of Peru.
97 Lihat Article 1 of the Law on The Central Reserve Bank of Peru.
91 Article 21 paragraph (4) of the Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski).
92 Lihat Article 1 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 43 and 48 of the Constitution of Peru.
93 Lihat Article 162, 226, 228, and 233 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 90, 111, 112, and 113 of the Constitution of Peru.
94 Lihat Article 318 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela. Lihat Article 83 of the Constitution of Peru.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
undang dijamin dalam konstitusi negaranya,
sedangkan hal tersebut sama sekali tidak diatur
dalam UUD NRI Tahun 1945. Kedua, hak untuk
menginisiasi pembentukan rancangan undang-
undang The Central Reserve Bank of Peru seperti
halnya yang disebutkan dalam Article 107 sama
halnya dengan hak inisiatif Presiden dan anggota
kongres dalam menginisiasi rancangan undang-
undang. Hal tersebut berarti The Central Reserve
Bank of Peru mempunyai kedudukan yang sama
dalam mengajukan inisiatif pembentukan
rancangan undang-undang. Dengan demikian,
akses The Central Reserve Bank of Peru dalam
mengajukan inisiasi pembentukan rancangan
undang-undang jelas lebih terjamin dibandingkan
dengan akses Bank Indonesia dalam menginisiasi
pembentukan rancangan undang-undang.
Lebih lanjut perihal keterlibatan The Central Bank
of Venezuela dalam proses legislasi. Keterlibatan
bank sentral Venezuela dalam proses legislasi
tidak diatur secara khusus baik dalam Constitution
of Bolivarian Republic of Venezuela maupun dalam
Law on The Central Bank of Venezuela. Namun,
peluang keterlibatan The Central Bank of
Venezuela untuk terlibat dalam proses legislasi
tersirat pada Article 112 of the Constitution of
Bolivarian Republic of Venezuela, yang mengatur
bahwa, “During the process of debating and
approval of bills, the National Assembly or Standing
Committees shall consult the other organs of the
State, the citizenry and organized society to hear
their opinion about the same [....]”.98 Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam proses pembahasan
dari rancangan undang-undang National Assembly
maupun Standing Committees dapat meminta
pendapat dari organ negara lainnya, antara lain
The Central Bank of Venezuela.
Belajar dari negara-negara tersebut sedikit banyak
menggambarkan kedudukan bank sentral dalam
politik negara yang memunculkan kompromi
antara peneguhan independensi dan kebutuhan
legislasi bank sentral. Dengan melihat berbagai
praktik bank sentral dalam konteks legislasi, maka
dapat disimpulkan bahwa keterlibatan bank
sentral dalam proses legislasi merupakan hal yang
lazim dan penting dalam rangka mewujudkan
stabilitas perekonomian nasional menjaga kadar
independensi bank sentral itu sendiri. Hal ini
menjadi wajar sebagai bentuk dinamika99
kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia untuk
menjaga stabilitas moneter dalam perekonomian
negara. Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang
wajar jika Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Republik Indonesia diberikan peluang untuk dapat
memprakarsai atau setidak-tidaknya terlibat dalam
proses pembahasan penyusunan undang-undang
yang berkaitan dengan kewenangannya.
3. Peluang Bank Indonesia Memprakarsai
Rancangan Undang-Undang
Amandemen konstitusi telah mengubah wajah
ketatanegaraan Indonesia secara mendasar.
Penataan kelembagaan negara yang mengarah
pada kehidupan yang lebih demokratis merupakan
ciri keberhasilan dari perubahan konstitusi. Salah
satu penataan tersebut adalah dengan penguatan
kelembagaan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Penguatan BI sebagai salah satu lembaga negara
yang diakui konstitusi tidak lepas dari konteks
reformasi yang menghendaki adanya pemerintahan
yang kuat dan bersih (strong and clean government)
dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) dimulai dari pembentukan peraturan
perundang-undangan dan pembentukan lembaga
seterusnya mengakomodasi kepentingan publik
secara melembaga.100
26
98 Lihat Article 112 of the Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela.
99 Praktik dinamika kewenangan juga terjadi dalam konteks kewenangan yudisial, yang bergeser dari menguji peraturan perundang-undangan berkembang menjadi membatalkan peraturan perundang-undangan.
100Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010, hlm. 24.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Dalam upaya penguatan kelembagaan BI dilakukan
secara bertahap dimulai dengan lahirnya UU Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dengan
lebih mempertegas kewenangan Bank Indonesia,
yaitu pelaksana otoritas moneter.101 Konsekuensi
dari pelaksanaan kewenangan tersebut berdasar
evaluasi atas praktik ketatanegaraan masa lalu,
yang kemudian menjadikan BI sebagai lembaga
negara yang independen terpisah dari cabang
kekuasaan eksekutif. Pemerintah ataupun
kekuasaan apapun tidak boleh mencampuri
pelaksanaan kewenangan BI.
Desain kelembagaan yang sudah ditentukan dalam
UU tersebut kemudian diajukan pada pembahasan
amandemen UUD untuk dimasukkan dalam
ketentuan konstitusi. Persoalan eksistensi bank
sentral, penamaan dengan menggunakan Bank
Indonesia, dan permasalahan menyangkut
independensi adalah pembahasan yang menguras
energi Panitia Ad-Hoc Perubahan UUD 1945.
Dari amandemen pertama sampai terakhir,
perdebatan atas eksistensi BI seakan tidak
mendapatkan penyelesaian, sehingga diputuskan
untuk menciptakan ketentuan yang bersifat
kompromistis, yaitu Pasal 23D yang berbunyi,
“Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan
independensinya diatur dengan undang-undang.”
Dalam ketentuan Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945
hanya menyebutkan bahwa bank sentral
merupakan bank yang independen, namun tidak
dijelaskan sejauh mana batas independensinya
dan hanya diserahkan kepada pembentuk undang-
undang untuk mengatur luasan lingkup makna
independensinya.
Bank Indonesia sebagai bank sentral penting untuk
diberikan Independensi sebagaimana dikatakan
Arend Lijphart yang menyatakan, “A central bank
can be made particularly strong if its independence
is enshrined not just in a central bank charter but
in the constitution”.102 Hal tersebut senada dengan
yang disampaikan Boediono sebagai Menteri
Keuangan pada saat pembahasan amandemen
UUD 1945 yang menyatakan:
[…] Kebanyakan dari bukti-bukti atau data-data
internasional menunjukkan memang ada korelasi
positif negara yang mempunyai bank sentral yang
diberi independensi […] biasanya mempunyai
prestasi pengendalian inflasi yang lebih baik. […]
Oleh sebab itu, maka sejak satu dasawarsa atau
sedikit lebih akhir-akhir ini memang kecenderungan
umum dari pendapat para pakar di dunia adalah
memang sebaiknya bank sentral itu diberi satu
kewenangan untuk independen. Independen
dalam menentukan kebijakan moneternya.103
Dalam UU yang mengatur independensi BI,
dicantumkan bahwa, “Bank Indonesia adalah
lembaga negara yang independen, bebas dari
campur tangan Pemerintah, dan atau pihak-pihak
lainnya, kecuali untuk yang secara tegas diatur
dalam undang-undang ini.”104 Lebih lanjut, dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (2) tersebut dinyatakan:
Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang
independen di bidang tugasnya berada di luar
pemerintahan dan lembaga lain sebagaimana
ditetapkan dalam undang-undang ini. Dalam
pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia
menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Selain itu, laporan keuangan Bank
Indonesia diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
102Arend Lijphart, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, hlm. 302.
103Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun
1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 266.
104Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
27
101Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Keuangan disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.105
Independensi BI semata untuk mencapai tujuan
BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah.106
Kemandirian BI tersebut nyatanya telah direduksi
oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana
telah dijelaskan pada bagian Pendahuluan, bahkan
dalam revisi UU BI yang baru sangat dominan
dalam aspek pengawasan daripada memperjelas
tugas, fungsi dan wewenang BI. Hal tersebut
tentunya secara ketatanegaraan menjadi suatu
masalah sebab tanpa kejelasan dan kepastian
hukum mengenai tugas, fungsi dan wewenang
BI akan menghambat peran BI dalam perekonomian
nasional. Oleh karena itu, menjadi penting untuk
melibatkan BI dalam proses legislasi yang berkaitan
dengan kelembagaan BI, baik menyangkut fungsi,
tugas wewenang maupun kewajibannya.
Dalam kaitan dengan keterlibatan BI dalam
membentuk undang-undang, maka harus
diperhatikan dasar kewenangan untuk melakukan
hal tersebut. Hal ini penting, sebab sebagaimana
pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa
pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari
penegakan hukum yang sangat penting untuk
diperhatikan.107 Dari pandangan itu, Kelsen
mengelaborasi lebih lanjut, bahwa menurutnya
pembentukan hukum dapat ditentukan menurut
dua cara yang berbeda, yaitu norma lebih tinggi
dapat menentukan: (1) organ dan prosedur
pembuatan norma yang lebih rendah; dan
(2) isi norma yang lebih rendah.108 Teori yang
dikemukakan Kelsen ini membatasi organ mana
yang memiliki kewenangan dalam membentuk
peraturan perundang-undangan.
UUD sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia
telah menentukan kelembagaan apa yang memiliki
wewenang legislasi di Indonesia. UUD memberikan
atribusi kewenangan membentuk UU kepada DPR
dan Presiden, dan pada beberapa masalah spesifik
dengan melibatkan DPD. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan, Pasal 20
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Membandingkan
kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa lembaga
negara yang diberikan kekuasaan membentuk
undang-undang adalah DPR. Namun, dalam
pembahasan undang-undang dan persetujuan
perlu dilakukan bersama antara DPR dengan
Presiden. Selain itu, dalam Pasal 22D UUD NRI
Tahun 1945 pada pokoknya menyatakan bila
terkait dengan kewenangan DPD, maka DPD dapat
mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas
RUU tersebut bersama DPR dan Presiden.
Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan BI,
yang harus dijawab adalah apakah BI memiliki
peluang untuk terlibat dalam proses pembentukan
undang-undang dan apakah dimungkinkan secara
yuridis untuk terlibat. Jawaban atas pertanyaan
tersebut jika mengacu pada pendapat Hans Kelsen
tentang delegasi kewenangan dari norma tertinggi
atas organ pembentuk undang-undang, maka BI
tidak termasuk di dalamnya. Sebab konstitusi
membatasi kekuasaan membuat undang-undang
adalah DPR yang menyertakan Presiden dan DPD.
Namun, jika menafsirkan lebih lanjut pendapat
Kelsen di atas, maka kewenangan membentuk
28
105Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
106Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
107Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta, hlm. 163. 108 Ibid., hlm. 167.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
peraturan harusnya tidak saja diberikan oleh norma
tertinggi kepada norma rendah, tetapi juga dapat
lahir dari kewenangan yang muncul dari norma
yang mengatur itu sendiri. Maknanya, kekuasaan
membentuk undang-undang tetap berada pada
lembaga-lembaga yang ditentukan konstitusi,
namun juga dalam pengaturan lebih lanjut tentang
pembentukan undang-undang yang
memungkinkan membuka peluang kepada
lembaga atau entitas lain untuk terlibat.
Mencermati dan menelaah UU BI yang telah direvisi
dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, sejatinya terbuka
peluang BI untuk terlibat dalam penyusunan
RUU dan dalam proses pembentukan undang-
undang. Dalam Pasal 7 UU BI terdapat ayat yang
mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki
keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Dalam Pasal
7 UU BI dinyatakan bahwa, “Untuk mencapai
tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah
di bidang perekonomian.”109 Dari ketentuan
tersebut didapati bahwa dalam mencapai tujuannya
BI harus mempertimbangkan kebijakan umum
yang diambil pemerintah di bidang ekonomi.
Pengaturan Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 1999
jo. UU Nomor 3 Tahun 2004 dapat menjadi pintu
masuk bagi BI sebagai pemrakarsa RUU yang
terkait dengan tugas dan kewenangannya, yaitu:110
(1)Pemerintah wajib meminta pendapat Bank
Indonesia dan/atau mengundang Bank
Indonesia dalam sidang kabinet yang
membahas masalah ekonomi, perbankan dan
keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank
Indonesia atau masalah lain yang termasuk
kewenangan Bank Indonesia.
(2)Bank Indonesia wajib memberikan pendapat
dan pertimbangan kepada Pemerintah
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang
berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
Indonesia.
Dalam ayat (1) tidak dibatasi secara limitatif
“pembahasan masalah” yang dimaksud. Frasa
“masalah ekonomi, perbankan dan keuangan
yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau
masalah lain yang termasuk kewenangan Bank
Indonesia”, membuka peluang keluasan cakupan
keterlibatan BI bekerja sama dengan Pemerintah,
termasuk di dalamnya untuk memprakarsai RUU.
Argumentasi tersebut dikuatkan dalam pengaturan
pada ayat (2), pada frasa yang menyatakan, “Bank
Indonesia wajib memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada Pemerintah mengenai
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa BI
memang dapat turut serta dan bahkan wajib
memberikan pendapat dan pertimbangan dalam
pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari
RAPBN ini kemudian menjadi bahan utama bagi
presiden untuk membuat RUU APBN.
Dengan menggunakan penafsiran ekstensif, tidak
dapat dipungkiri bahwa RUU APBN adalah masuk
dalam nomenklatur RUU pula.111 Dengan demikian,
secara implisit sejatinya BI memiliki kewenangan
dalam mempersiapkan bahan dari RAPBN yang
kemudian menjadi dasar utama Presiden dalam
mengajukan RUU APBN. Peluang tersebut diperluas
lagi melalui frasa “kebijakan lain yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia”.
Peluang tersebut dapat menjadi pintu bagi BI untuk
29
109Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
110Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
111Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
terlibat dalam mempersiapkan bahan dari RUU
yang lain, selama dalam lingkup kewenangan BI.
Selain dalam UU BI, peluang tersebut juga terbuka
melalui Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang menyatakan, “Dalam pembicaraan
tingkat satu dapat diundang pimpinan lembaga
negara atau lembaga lain jika materi Rancangan
Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara
atau lembaga lain.” Terlebih dengan ketentuan
Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur mengenai Pembicaraan Tingkat
I yang terdiri dari: (a) pengantar musyawarah; (b)
pembahasan daftar inventaris masalah; dan (c)
penyampaian pendapat mini, semakin memberikan
jalan bagi BI untuk dapat turut mengawal bahan
RUU yang telah diajukan oleh BI, baik itu RUU
melalui jalur Presiden, DPR, ataupun DPD.
Upaya untuk membuka keterlibatan lembaga
negara/lembaga lain tersebut, yang dibutuhkan
adalah perubahan pada aturan pelaksana, yang
dalam hal ini adalah Tata Tertib DPR atau Peraturan
Presiden yang mengatur mengenai tata cara
persiapan RUU. Dalam Pasal 99 ayat (1) Peraturan
DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib,
dinyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang
dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.112
Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka
kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain
untuk mengajukan RUU, selama masih terkait
dalam lingkup kewenangannya. Tentu saja
kemudian usulan RUU dari lembaga
negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi
menjadi RUU usulan DPR.
Pada jalur eksekutif, untuk membuka pintu inisiasi
RUU perlu adanya perubahan pada Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Perlu Hanya diperlukan perluasan makna dari
terminologi “pemrakarsa”, yang sejauh ini hanya
sempit terbatas pada “menteri/pimpinan lembaga
pemerintah non-departemen yang mengajukan
usul penyusunan Rancangan Undang-Undang
[...]”,113 perlu untuk lebih diperluas lagi dengan
melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang
terkait dengan kewenangannya. Tentu saja
konsekuensi dari jalur ini adalah akuisisi usulan
RUU tersebut menjadi RUU usulan Pemerintah.
Selain itu, harus dicermati pula bahwa Perpres a
quo sejatinya merupakan amanat dari UU Nomor
10 Tahun 2004, yang notabene sudah digantikan
substansi dan keberlakuannya oleh UU Nomor
12 Tahun 2011. Sedangkan, UU Nomor 12 Tahun
2011 juga memerintahkan untuk dibentuknya
Perpres yang mengatur lebih lanjut mengenai
tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang.114 Dengan demikian, peluang untuk
memperluas terminologi “pemrakarsa” sangat
dimungkinkan sejalan dengan pembentukan
Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (4) UU Nomor
12 Tahun 2011.
Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,
setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan
BI dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan
tugas dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama,
30
112Pasal 99 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
113Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
114Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
jalur legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat
3 (tiga) alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu,
BI menjadikan diri sebagai pemrakarsa, dengan
catatan semua perubahan pengaturan di atas sudah
dilakukan, maka BI dapat menjadi pemrakarsa
RUU dari jalur pemerintah atau pengusul RUU
dari jalur DPR. Namun, opsi ini sangat tergantung
pada perubahan peraturan yang saat ini masih
berlaku sebagaimana telah diuraikan di atas.
Melalui posisi sebagai pemrakarsa, BI dapat
memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI
atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam
proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI
untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait
dengan tugas dan kewenangannya.
BI dapat juga memilih langkah untuk menyusun
suatu RUU yang berkaitan dengan fungsi, tugas,
kewajiban dan lembaganya, kemudian dari RUU
yang dibuat tersebut BI memilih jalur di antara
DPR, Presiden, atau DPD untuk selanjutnya dapat
diajukan. Pada langkah ini, BI mempercayakan
sepenuhnya pembahasan kepada lembaga yang
dititipi dan tidak turut aktif dalam pembahasan,
kecuali atas undangan pihak yang dititipi. Dalam
pilihan ini setiap jalur yang dipilih BI memiliki
implikasi masing-masing atas keberhasilan dalam
menjaga kepentingan BI.
Apabila yang dipilih adalah jalur DPR, maka
keunggulannya adalah posisi DPR sebagai
pemegang kekuasaan membentuk undang-
undang. Apabila DPR telah mengajukan RUU dan
secara bersamaan Presiden atau DPD juga
melakukan hal yang sama, maka RUU dari DPR
yang akan dibahas, sedangkan yang lain hanya
digunakan sebagai pembanding saja.115
Kelemahan dari pemilihan jalur ini adalah DPR
bukanlah mewakili satu kepentingan saja. Di
dalam institusi DPR terdapat polarisasi suara yang
membawa kepentingan politik masing-masing
partai politik, bahkan kepentingan politik masing-
masing anggota DPR, sehingga akan susah untuk
menemukan kebulatan suara di dalamnya.
Sedangkan bila melalui jalur Pemerintah,
keuntungannya adalah adanya locus kewenangan
yang berhimpitan antara Pemerintah dan BI, yaitu
dalam bidang moneter dan fiskal, yang notabene
keduanya dulu adalah sama-sama ranah kekuasaan
eksekutif. Selain itu, melalui Pemerintah lebih
mudah untuk dicapai kesepahaman kepentingan
politik mengenai substansi RUU. Kelemahan atas
pilihan ini adalah himpitan kewenangan antara
BI dan Pemerintah, mengakibatkan kecenderungan
Pemerintah untuk mereduksi kewenangan BI.
Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila
BI dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat
memilih langkah untuk mengusulkan revisi UU BI
atau revisi tahapan proses legislasi dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sehingga dapat mengakomodasi peran BI dalam
proses legislasi dan bahkan memungkinkan BI
untuk mengajukan sendiri RUU yang terkait dengan
tugas dan kewenangannya. BI dapat mendorong
adanya perubahan UU BI yang di dalamnya secara
spesifik memberikan kewenangan mengusulkan
RUU yang terkait dengan kewenangan BI, baik
ditentukan secara limitatif ataukah tidak. Gagasan
ini merujuk pada praktik yang terjadi di Hungaria,
Slovakia, dan Republik Ceko yang kesemuanya
menentukan secara eksplisit kewenangan untuk
mengusulkan RUU yang terkait dengan
kewenangan bank sentral. Dengan demikian, akan
lebih memberikan kepastian hukum kepada BI
dalam mengajukan RUU.
Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem
adalah BI mempertimbangkan peluang untuk
mengubah UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini
31
115Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
merujuk pada praktik yang telah dilaksanakan di
Peru, yang mana peluang Peruvian Central Bank
untuk ikut mengajukan RUU diatur secara implisit
dalam norma di level konstitusi. Dengan demikian,
tentu peluang Bank Indonesia untuk mengajukan
RUU terbuka lebar. Bahkan Bank Indonesia dapat
secara independen mengawal draf RUU yang
diusulkannya, dari pengajuan sampai dengan RUU
disahkan sebagai UU.
Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan
dan undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh
Menteri untuk dilibatkan dalam proses pembahasan
suatu RUU.116 Derajat ini berpegang pada definisi
legalistik formal bahwa kewenangan pemrakarsa
hanya dapat dilakukan menteri/pimpinan lembaga
pemerintah non-departemen.117 Selain itu, hanya
menteri yang dapat ditunjuk oleh Presiden menurut
UU untuk melakukan pembahasan RUU bersama
DPR melalui sebuah Surat Presiden.118 Pada porsi
ini keterlibatan BI sangat bergantung pada
kemauan dan kesediaan leading sector untuk
mengajak BI dalam melakukan penyusunan suatu
RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangan
BI. Opsi ini telah seperti yang diterapkan di negara
Venezuela yang mana pelibatan Venezuela Central
Bank tergantung pada kebutuhan Pemerintah,
dalam hal ini Menteri Keuangan untuk meminta
pertimbangan Venezuela Central Bank atas
pembahasan rancangan undang-undang.
Pada porsi ini, posisi Bank Indonesia menjadi pihak
yang pasif menunggu kemurahan hati leading
sector untuk mengundang dan melibatkan BI
dalam penyusunan RUU. Pilihan ini membuat BI
menjadi sangat tergantung pada will pemerintah
untuk turut terlibat dalam penyusunan RUU. Pilihan
ini menjadi kurang relevan, karena bila RUU yang
dibahas terkait dengan tugas dan kewenangan
BI, maka seyogyanya Bank Indonesia terlibat dalam
proses penyusunan RUU tersebut.
BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan
diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam
pembahasan suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak
bertindak selaku pemrakarsa atau pihak yang
mengajukan, namun sebatas menjadi pihak yang
turut dilibatkan dalam proses pembahasan RUU
yang terkait dengan tugas dan kewenangan BI.
Permohonan pengajuan diri BI terlibat dalam
proses pembahasan berpijak pada rumusan
pengaturan pada UU BI yang memungkinkan BI
turut serta dalam pembahasan kebijakan lain
terkait tugas dan kewenangannya.119
Derajat keterlibatan ini menggunakan penafsiran
norma bahwa dalam “Pembicaraan Tingkat I dapat
diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga
lain jika materi Rancangan Undang-Undang
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga
lain” dan norma bahwa “Pemerintah wajib
meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau
mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet
yang membahas masalah ekonomi, perbankan
dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank
Indonesia atau masalah lain yang termasuk
kewenangan Bank Indonesia”.
Keaktifan BI untuk mengajukan diri sebagai pihak
dalam pembahasan merupakan pilihan yang relatif
besar kemungkinannya untuk berhasil sebab
Pemerintah memiliki kewajiban mengundang
32
116Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
117Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
118Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
119Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
untuk BI, sedangkan pada di sisi yang lain BI
merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam
Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai
lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang
dibahas berkaitan dengan kewenangan lembaga
negara/lembaga lain tersebut.
Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan
lembaga yang dapat mengusulkan atau
memprakarsai RUU dalam hal pembangunan
hukum di bidang kewenangan BI. Hal seperti
halnya yang diterapkan di Estonia dan Latvia. BI
dapat membangun kerja sama dengan
Kementerian Keuangan misalnya, spesifik dalam
hal perancangan usulan RUU yang terkait
kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait
dengan kewenangan Kementerian Keuangan.
Peluang keterlibatan Bank of Estonia dalam proses
legislasi sejatinya sangat sumir, karena keterlibatan
Bank of Estonia tidak dapat dilepaskan dari format
kerja sama antara Ministry of Finance, Bank of
Estonia, dan Financial Supervision Authority yang
dituangkan dalam sebuah Cooperation Agreement.
Dalam Cooperation Agreement antara Ministry
of Finance, Bank of Estonia, dan Financial
Supervision Authority ditegaskan bahwa kerja
sama untuk merancang bersama peraturan dan
panduan di bidang keuangan. Kondisi yang terjadi
Latvia serupa dengan praktik yang terjadi Estonia,
yaitu kewenangan menyusun draf terdapat
Financial and Capital Market Commission, yang
mana sebenarnya tidak ada keharusan bagi
Financial and Capital Market Commission untuk
berkonsultasi dengan Latvijas Banka (Bank of
Latvia). Namun, konsultasi tersebut dimungkinkan
dilakukan dengan adanya kesepakatan kerja sama
antara kedua lembaga ini, sebagaimana yang
terjadi di Estonia. Hanya saja dalam kerja sama
ini hanya dilakukan antara Financial and Capital
Market Commission dan Bank of Latvia.
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI
mengajukan permohonan pengujian UU terhadap
UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian
konstitusional yang diderita oleh BI dengan
keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah
sah berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI
Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas
fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI.
Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama
ini norma dalam UU BI sudah sejalan dengan
norma konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya
BI dalam proses legislasi UU yang mengatur terkait
kewenangan BI tentu membawa dampak yang
signifikan terhadap pelaksanaan kewenangan
konstitusional BI, yang tentu mengarah pada
munculnya kerugian konstitusional yang diderita
oleh BI. Hal tersebut setidaknya cukup untuk
menjadi dasar mengapa BI harus dilibatkan dalam
proses legislasi UU yang terkait dengan
kewenangan BI.
Pilihan ini lebih membawa kepastian hukum sebab
Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal
10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011
merupakan materi muatan dalam undang-undang
dan akan ditindaklanjuti baik oleh Presiden
maupun DPR untuk diajukan sebagai Rancangan
Undang-Undang. Implikasi atas jalur pengujian
konstitusional atas undang-undang memiliki dua
kemungkinan, yaitu diterima atau ditolak. Jika
permohonan BI diterima, maka hal tersebut akan
membawa keuntungan bagi BI untuk kepastian
hukum sesuai yang dimohonkan, sedangkan
apabila ditolak, maka akan mengukuhkan yang
sudah ada dan hal tersebut menjadi risiko yang
harus ditanggung oleh BI.
Dalam setiap penerapan gagasan dan/atau
peraturan baru dalam sistem hukum membawa
implikasi terhadap sistem lama yang sudah
berjalan. Hal ini juga berlaku pada gagasan
keterlibatan BI dalam memprakarsai RUU yang
berkaitan dengan tugas dan kewenangannya.
Masing-masing gagasan memiliki kelebihan dan
kekurangan, sehingga harus mempertimbangkan
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
segala kemungkinan yang terjadi sebelum
menentukan pilihan yang akan diterapkan.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
terdapat peluang untuk melibatkan Bank Indonesia
dalam proses pembentukan Rancangan Undang-
Undang dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia. Peluang BI untuk dapat turut membahas
RUU sebenarnya terbuka secara normatif melalui
beberapa Pasal, yakni: Kesatu, Pasal 7 ayat (1) UU
Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun 2004
yang mempertegas bahwa BI dan pemerintah memiliki
keterkaitan dalam kebijakan ekonomi. Kedua, Pasal
54 UU Nomor 23 Tahun 1999 jo. UU Nomor 3 Tahun
2004 menjadi pintu masuk bagi Bank Indonesia
sebagai pemrakarsa RUU yang terkait dengan tugas
dan kewenangannya. Frasa “masalah ekonomi,
perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan
tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk
kewenangan Bank Indonesia”, membuka peluang
keluasan cakupan keterlibatan BI bekerja sama dengan
Pemerintah, termasuk di dalamnya untuk
memprakarsai RUU. Argumentasi tersebut dikuatkan
dalam pengaturan pada ayat (2), pada frasa yang
menyatakan, “Bank Indonesia wajib memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara”. Frasa tersebut menegaskan bahwa
BI memang dapat turut serta dan bahkan wajib
memberikan pendapat dan pertimbangan dalam
pembahasan tentang RAPBN, yang mana dari RAPBN
ini kemudian menjadi bahan utama bagi presiden
untuk membuat RUU APBN. Dengan menggunakan
penafsiran ekstensif, tidak dapat dipungkiri bahwa
RUU APBN adalah masuk dalam nomenklatur RUU
pula. Dengan demikian, secara implisit sejatinya BI
memiliki kewenangan dalam mempersiapkan bahan
dari RAPBN yang kemudian menjadi dasar utama
Presiden dalam mengajukan RUU APBN. Peluang
tersebut diperluas lagi melalui frasa “kebijakan lain
yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
Indonesia”. Peluang tersebut dapat menjadi pintu
bagi BI untuk terlibat dalam mempersiapkan bahan
dari RUU yang lain, selama dalam lingkup kewenangan
BI.
Ketiga, Pasal 68 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menjadi peluang pula, “Dalam pembicaraan tingkat
satu dapat diundang pimpinan lembaga negara atau
lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang
berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga
lain.” Keempat, jalur lain adalah perubahan pada
aturan pelaksana, yang dalam hal ini adalah Tata
Tertib DPR atau Peraturan Presiden yang mengatur
mengenai tata cara persiapan RUU. Dalam Pasal 99
ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Tata Tertib, dinyatakan bahwa Rancangan Undang-
Undang dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD.
Dalam Peraturan DPR a quo seharusnya membuka
kesempatan bagi lembaga negara/lembaga lain untuk
mengajukan RUU, selama masih terkait dalam lingkup
kewenangannya. Usulan RUU dari lembaga
negara/lembaga lain tersebut akan diakuisisi menjadi
RUU usulan DPR.
Perlu adanya perubahan pada Peraturan Presiden
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Rancangan Peraturan Presiden. Hanya diperlukan
perluasan makna dari terminologi “pemrakarsa”,
yang sejauh ini hanya sempit terbatas pada “menteri/
pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang
mengajukan usul penyusunan Rancangan Undang-
Undang [...]”, perlu untuk lebih diperluas lagi dengan
melingkupi lembaga negara/lembaga lain yang terkait
dengan kewenangannya. Tentu saja konsekuensi dari
jalur ini adalah akuisisi usulan RUU tersebut menjadi
RUU usulan Pemerintah.
Melihat berbagai peluang pengaturan tersebut,
setidaknya dapat dipetakan desain keterlibatan BI
dalam memprakarsai RUU yang terkait dengan tugas
dan kewenangan BI, yaitu melalui: Pertama, jalur
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
legislasi. Pada jalur ini, setidaknya terdapat 3 (tiga)
alternatif pilihan, yaitu: Opsi Kesatu, BI menjadikan
diri sebagai pemrakarsa, dengan catatan semua
perubahan pengaturan di atas sudah dilakukan, maka
BI dapat menjadi pemrakarsa RUU dari jalur pemerintah
atau pengusul RUU dari jalur DPR. BI dapat juga
memilih langkah untuk menyusun suatu RUU yang
berkaitan dengan fungsi, tugas, kewajiban dan
lembaganya, kemudian dari RUU yang dibuat tersebut
BI memilih jalur di antara DPR, Presiden, atau DPD
untuk selanjutnya dapat diajukan.
Namun, implikasi tersebut menjadi berbeda bila BI
dapat menjadi pemrakarsa, sehingga BI dapat memilih
langkah untuk mengusulkan revisi UU BI atau revisi
tahapan proses legislasi dalam UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, sehingga dapat
mengakomodasi peran BI dalam proses legislasi dan
bahkan memungkinkan BI untuk mengajukan sendiri
RUU yang terkait dengan tugas dan kewenangannya.
Sedangkan langkah terakhir yang agak ekstrem adalah
BI mempertimbangkan peluang untuk mengubah
UUD NRI Tahun 1945. Pemikiran ini merujuk pada
praktik yang telah dilaksanakan di Peru, yang mana
peluang Peruvian Central Bank untuk ikut mengajukan
RUU diatur secara implisit dalam norma di level
konstitusi. Dengan demikian, tentu peluang Bank
Indonesia untuk mengajukan RUU terbuka lebar.
Bahkan Bank Indonesia dapat secara independen
mengawal draf RUU yang diusulkannya, dari
pengajuan sampai dengan RUU disahkan sebagai UU.
Opsi Kedua, BI hanya menunggu permintaan dan
undangan dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri
untuk dilibatkan dalam proses pembahasan suatu
RUU. Derajat ini berpegang pada definisi legalistik
formal bahwa kewenangan pemrakarsa hanya dapat
dilakukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah
non-departemen. Pada porsi ini keterlibatan BI sangat
bergantung pada kemauan dan kesediaan leading
sector untuk mengajak BI dalam melakukan
penyusunan suatu RUU yang terkait dengan tugas
dan kewenangan BI. Pada porsi ini, posisi Bank
Indonesia menjadi pihak yang pasif menunggu
kemurahan hati leading sector untuk mengundang
dan melibatkan BI dalam penyusunan RUU. Pilihan
ini membuat BI menjadi sangat tergantung pada will
pemerintah untuk turut terlibat dalam penyusunan
RUU.
BI dapat juga memilih langkah untuk mengajukan
diri sebagai bagian yang dilibatkan dalam pembahasan
suatu RUU. Pada porsi ini, BI tidak bertindak selaku
pemrakarsa atau pihak yang mengajukan, namun
sebatas menjadi pihak yang turut dilibatkan dalam
proses pembahasan RUU yang terkait dengan tugas
dan kewenangan BI. Permohonan pengajuan diri BI
terlibat dalam proses pembahasan berpijak pada
rumusan pengaturan pada UU BI yang memungkinkan
BI turut serta dalam pembahasan kebijakan lain terkait
tugas dan kewenangannya. Keaktifan BI untuk
mengajukan diri sebagai pihak dalam pembahasan
merupakan pilihan yang relatif besar kemungkinannya
untuk berhasil sebab Pemerintah memiliki kewajiban
mengundang untuk BI, sedangkan pada di sisi yang
lain BI merupakan entitas yang sah untuk ikut dalam
Pembicaraan Tingkat I karena tergolong sebagai
lembaga negara/lembaga lain bila RUU yang dibahas
berkaitan dengan kewenangan lembaga
negara/lembaga lain tersebut.
Opsi Ketiga, BI membangun kerja sama dengan
lembaga yang dapat mengusulkan atau memprakarsai
RUU dalam hal pembangunan hukum di bidang
kewenangan BI. Hal seperti halnya yang diterapkan
di Estonia dan Latvia. BI dapat membangun kerja sama
dengan Kementerian Keuangan misalnya, spesifik
dalam hal perancangan usulan RUU yang terkait
kewenangan BI, yang sedikit banyak juga terkait
dengan kewenangan Kementerian Keuangan. Dalam
Cooperation Agreement antara Ministry of Finance,
Bank of Estonia, dan Financial Supervision Authority
ditegaskan bahwa kerja sama untuk merancang
bersama peraturan dan panduan di bidang keuangan.
Kedua, jalur ajudikasi atau negatif legislasi. BI
mengajukan permohonan pengujian UU terhadap
UUD di Mahkamah Konstitusi atas kerugian
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
konstitusional yang diderita oleh BI dengan
keberlakuan pengaturan dalam UU BI yang telah sah
berlaku. Selain itu, BI juga harus mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan penafsiran atas Pasal 23D UUD NRI
Tahun 1945 sebagai koridor untuk memperjelas
fungsi, tugas, kewenangan dan independensi BI.
Dengan demikian, dapat dinilai apakah selama ini
norma dalam UU BI sudah sejalan dengan norma
konstitusi atau belum. Tidak dilibatkannya BI dalam
proses legislasi UU yang mengatur terkait kewenangan
BI tentu membawa dampak yang signifikan terhadap
pelaksanaan kewenangan konstitusional BI, yang
tentu mengarah pada munculnya kerugian
konstitusional yang diderita oleh BI. Hal tersebut
setidaknya cukup untuk menjadi dasar mengapa BI
harus dilibatkan dalam proses legislasi UU yang terkait
dengan kewenangan BI.
36
37
A. Buku
Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE Media Indonesia, Jakarta.
Kennedy, Ellen, 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute
of International Affairs, Pinter Publishers, London.
Lijphart, Arend, 1999, Patterns of Democracy, Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University
Press, New Haven and London.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2002, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Masa
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
Jakarta.
Sekretariat Komisi VIII, 1999a, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia,
Buku II, Rapat ke-6, 9 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta.
___________________, 1999b, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bank
Indonesia, Buku IV, Rapat ke-15, 25 Maret 1999, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta.
Tim Penyusun, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002, Buku VII, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
B. Antologi
Capiey, Forrest, et al., “The Development of Central Banking”, dalam Forrest Capiey, et al. (Eds.), 1994, The Future of
Central Banking: The Tercentenary Symposium of the Bank of England, Cambridge University Press, Cambridge,
UK.
Stern, Klaus, “The Note-Issuing Bank within the State Structure”, dalam Deutsche Bundesbank (Ed.), 1999, Fifty Years
of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, UK.
C. Artikel Jurnal
Apinis, Marcis, et al., “The Role of National Central Banks in Banking Supervision in Selected Central and Eastern European
Countries: A Case-Study on Bulgaria, The Czech Republic, Estonia, Hungary, Latvia, Poland and Slovakia”, European
Central Bank Legal Working Paper Series, No. 11, March 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Fischer, Stanley, "Modern Approach to Central Banking", NBER Working Paper Series, No. 5064, March 1995.
_____________, “Central-Bank Independence Revisited”, The American Economic Review (Papers and Proceedings of
the Hundredth and Seventh Annual Meeting of the American Economic Association Washington, DC, January
6-8, 1995), Vol. 85, No. 2, May 1995.
Goodhart, C.A.E., “The Organisational Structure of Banking Supervision”, FSI Occasional Papers, No. 1 – November 2000-
10-25.
Ismail, Maqdir, “Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010.
___________, “Menselaraskan Undang-Undang Bank Sentral dan Undang-Undang Perbankan”, Jurnal Legislasi Indonesia,
Vol. 4, No. 2, Juni 2007.
Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi Serta Upaya Formulasi Kebijakan
Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan, No. 18, November 2010.
Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia, “Kemandirian Anggaran Bank Indonesia”, Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 10, No. 3, September - Desember 2012.
D. Makalah
Rahardjo, Satjipto, “Penyusunan Undang-Undang yang Demokratis”, Makalah, Seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan
Undang-Undang yang Demokratis” dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 15-16 April 1998.
E. Sumber Internet
Redaksi Suara Merdeka, “Harga Minyak Dunia Turun Imbas Krisis Siprus”,
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/22/149970/Harga-Minyak-Dunia-Turun-Imbas-
Krisis-Siprus, diakses 12 April 2013.
Syafputri, Ella, “Parlemen Siprus Setujui RUU Restrukturisasi Bank”,
http://www.antaranews.com/berita/364887/parlemen-siprus-setujui-ruu-restrukturisasi-bank, diakses 12 April
2013.
F. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
38
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan
Presiden.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
G. Sumber Lain
The Constitution of the Czech Republic.
The Constitution of Hungary.
The Constitution of the Republic of Bulgaria.
The Constitution of the Republic of Estonia.
The Constitution of the Slovak Republic.
The Constitution of Bolivarian Republic of Venezuela.
The Constitution of Peru.
The Act CCVIII of 2011 on the Magyar Nemzeti Bank.
The Act No. 6/1993 Coll., on the Czech National Bank, as amended, indicating the changes made by the Act No. 227/2013
Coll.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
39
The Act of the National Council of the Slovak Republic No. 566/1992 Coll. on the National Bank of Slovakia, as last
amended by Act No. 403/2010 Coll.
The Act on the National Bank of Poland (Narodowy Bank Polski).
The Bank of Estonia Act.
The Act on The Central Bank of Venezuela.
The Act on The Central Reserve Bank of Peru.
The Financial Supervision Authority Act.
The Law on the Financial and Capital Market Commission (Passed on June 1, 2000, in effect as of July 1, 2001, with
amendments passed by the Saeima (Parliament) on 8 November 2012, which took effect on 1 December 2012).
The Rules of Organisation and Procedure of the National Assembly (Promulgated in State Gazette No. 53/18.06.2013,
Amended and Supplemented SG No. 62/12.07.2013).
The Cooperation Agreement between Ministry of Finance, Bank of Estonia, and Financial Supervision Authority, December
2007.
The Cooperation Agreement between Financial and Capital Market Commission and Bank of Latvia, 8 September 2009.
Noted : Strongly recommended : review : NP.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
40
A. Pendahuluan
Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)
merupakan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah
Amerika Serikat yang mewajibkan Foreign Financial
Institutions (FFI) atau lembaga keuangan asing untuk
melaporkan kepada Internal Revenue Service (IRS)
atas aset finansial yang disimpan oleh wajib pajak
Amerika Serikat (AS). FFI yang telah menandatangani
perjanjian dengan IRS memiliki kewajiban untuk
melaporkan kepemilikan rekening wajib pajak AS
kepada IRS.
MENGENAL FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DAN TINJAUAN SINGKAT DARI
ASPEK HUKUM PERBANKAN INDONESIA
Oleh :
Fransiska Ari Indrawati, S.H, LLM1
Abstrak
Pada tahun 2010 pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan ketentuan perpajakan yang dinamakan Foreign
Account Tax Compliance Act atau disingkat dengan FATCA. Pengaturan FATCA ini dilatarbelakangi antara lain terjadinya
krisis keuangan di AS di tahun 2008 yang salah satu faktor penyebabnya adalah penghindaran pajak dalam jumlah besar
oleh warga negara Amerika Serikat yang memiliki pendapatan luar negeri. FATCA diharapkan dapat mencegah penghindaran
pajak sehingga dapat menambah pendapatan pemerintah AS.
FATCA mewajibkan lembaga keuangan asing untuk melaporkan kepada Internal Revenue Service, badan pemerintah
AS yang menangani perpajakan, atas rekening finansial yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS atau yang dimiliki lembaga
asing dimana Wajib Pajak AS tersebut memiliki kepemilikan yang substansial.
FATCA akan diimplementasikan pada tanggal 1 Juli 2014. Pemerintah AS telah memberikan opsi kepada hampir
seluruh negara dimana warga negara AS berada untuk menerapkan atau tidak menerapkan FATCA. Pemerintah AS akan
mengenakan 30% withholding tax terhadap seluruh pendapatan Foreign Financial Institutions (FFI) yang berasal dari
AS misalnya pendapatan dari dividen, bunga dan asuransi apabila FFI ataupun negara dimana FFI tersebut berada tidak
menerapkan FATCA. Namun demikian, terdapat dua pilihan agar FFI tidak terkena penerapan withholding tax tersebut
yaitu dengan: (i) menandatangani FFI Agreement, atau (ii) menandatangani Intergovernmental Agreement (IGA) yang
terdiri atas Model 1 IGA dan Model 2 IGA.
Penerapan FATCA telah mendapat dukungan dari forum G20. Indonesia sebagai salah satu anggota G20 diharapkan
dapat mengimplementasikan ketentuan ini untuk mendukung terjadinya pencegahan penghindaran pajak yang sudah
menjadi perhatian di forum internasional dan terutama untuk menghindari pengenaan withholding tax sebesar 30%
yang akan dikenakan oleh pemerintah AS kepada FFI.
1 Penasehat Hukum Bank Indonesia
41
FATCA dikeluarkan oleh Pemerintah AS untuk
menghindari penyembunyian pajak yang berasal dari
pendapatan luar negeri (offshore tax evasion) dan
kedepannya FATCA diharapkan dapat menjadi
standard ketentuan yang digunakan seluruh dunia
untuk mencegah penghindaran pajak yang terjadi2.
Forum G20 juga mendukung penuh upaya untuk
mencegah penghindaran pajak di dunia internasional
sebagaimana dikemukakan Communiqué of Finance
Ministers and Central Bank Governors pada April 20133.
Dalam G20 Leaders Declaration, forum G20 juga
mengungkapkan bahwa transparansi pajak dan
pertukaran data otomatis (automatic exchange of
information) antar anggota diperlukan sebagai salah
satu upaya penghindaran pajak4. Forum G20 juga
telah berkomitmen untuk memulai pertukaran data
otomatis terkait pajak yang akan dilakukan pada akhir
tahun 2015. Hal ini menunjukkan adanya komitmen
dari forum internasional dalam mendukung transparansi
pajak dan mencegah penghindaran pajak mengingat
penghindaran pajak saat ini menjadi isu yang telah
mendunia. Tentu Indonesia diharapkan dapat juga
mendukung komitmen yang telah disepakati dalam
forum internasional tersebut khususnya mengenai
upaya mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Terkait dengan upaya pencegahan penghindaran
pajak oleh Pemerintah AS, terhitung sejak tanggal
1 Juli 2014 Pemerintah AS akan mengenakan 30%
withholding tax terhadap seluruh pembayaran kepada
FFI yang berasal dari sumber pendapatan di AS seperti
dividen, bunga dan asuransi apabila FFI tersebut tidak
memiliki komitmen untuk melaporkan pajak kepada
Pemerintah AS (cq. Internal Revenue Service). Namun
demikian, terdapat dua pilihan agar FFI tidak terkena
penerapan withholding tax tersebut yaitu dengan:
(i) menandatangani FFI Agreement, atau (ii)
menandatangani Intergovernmental Agreement (IGA).
Kajian singkat ini akan membahas lebih lanjut
mengenai ruang lingkup FATCA dan wacana
penerapan FATCA ditinjau dari sudut pandang hukum
perbankan di Indonesia.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Pelaporan FATCA
Berikut ini pengertian dan ruang lingkup FATCA
berdasarkan Summary of FATCA Reporting for US
Taxpayers yang disarikan dari situs resmi IRS5.
1. Foreign Financial Institution/FFI sebagai subyek
FATCA
FFI yang merupakan subyek pelapor dalam FATCA
adalah lembaga penyimpan (depository institutions),
lembaga penjaminan (custodial institutions),
lembaga investasi (investment entities), dan
perusahaan asuransi tertentu (certain insurance
companies). Sedangkan pihak yang dikecualikan
dari pelaporan FATCA ini adalah lembaga
pemerintah/badan yang dimiliki pemerintah,
organisasi internasional, bank sentral yang tidak
memiliki kegiatan perbankan komersial, dan dana
pensiun.
2. Pengertian Wajib Pajak AS dan aset finansial Yang
Dilaporkan
Dalam situs IRS6, IRS menginformasikan bahwa
FATCA mewajibkan lembaga keuangan asing untuk
melaporkan kepada IRS atas rekening finansial
yang dimiliki oleh Wajib Pajak AS atau yang dimiliki
lembaga asing dimana Wajib Pajak AS memiliki
kepemilikan yang substansial. Lembaga yang
memiliki kewajiban pelaporan tidak hanya terbatas
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
5 Lihat http://www.irs.gov/Businesses/Corporations/Summary-of-FATCA-Reporting-for-U.S.-Taxpayers.
6 Ibid.
2 Stack, Robert, Myth vs. FATCA: The Truth About Treasury’s Effort To Combat Offshore Tax Evasion, diakses melalui http://www.treasury.gov/connect/blog/Pages/Myth-vs-FATCA.aspx.
3 Communiqué Meeting of Finance Ministers and Central Bank Governors, Washington, 18-19 April 2013, diakses melalui http://www.g20.org/documents/
4 G20 Leaders’ Declaration, Russia, September 2013, diakses melalui http://www.g20.org/news/20130906/782776427.html
pada bank, namun lembaga keuangan lainnya
seperti lembaga investasi, broker, dan perusahaan
asuransi tertentu. Berikut ini merupakan ruang
lingkup Wajib Pajak AS dan batasan nilai aset
finansial yang dikehendaki pelaporannya oleh
FATCA.
a. Wajib Pajak AS berdomisili di luar negeri
Wajib Pajak AS dikategorikan sebagai Wajib
Pajak yang berdomisili di luar negeri apabila
pihak tersebut merupakan warga negara AS
dimana memiliki kewajiban pajak pada negara
asing tersebut dan telah tinggal di negara
tersebut atau negara lain setidaknya selama
330 (tiga ratus tiga puluh) hari berturut-turut
dari periode 12 (dua belas) bulan. Wajib Pajak
tersebut harus menggunakan formulir 8938
untuk menyampaikan laporan pajak penghasilan
dengan klasifikasi sebagai berikut:
1) menikah dan menyampaikan laporan pajak
penghasilan gabungan serta memiliki total
aset finansial di negara lain lebih dari
USD400,000 pada hari terakhir di tahun
pajak atau lebih dari USD600,000 pada
setiap saat selama tahun pajak. Ketentuan
ini tetap berlaku meskipun hanya pihak
suami/istri yang berdomisili di luar negeri.
2) Bukan pihak yang menikah dan tidak
menyampaikan laporan pajak penghasilan
gabungan serta memiliki total aset finansial
di negara lain lebih dari USD200,000 pada
hari terakhir di tahun pajak atau lebih dari
USD300,000 pada setiap saat selama tahun
pajak.
b. Wajib Pajak AS berdomisili di AS
Wajib Pajak berikut ini harus menggunakan
formulir 8938 untuk menyampaikan laporan
pajak penghasilan dengan klasifikasi sebagai
berikut:
1) Tidak menikah dan total aset finansial lebih
dari USD50,000 pada hari terakhir di tahun
pajak atau lebih dari USD75,000 pada
setiap saat selama tahun pajak.
2) Menikah dan menyampaikan laporan pajak
penghasilan gabungan serta memiliki total
aset finansial di negara lain lebih dari
USD100,000 pada hari terakhir di tahun
pajak atau lebih dari USD150,000 pada
setiap saat selama tahun pajak.
3) Menikah namun menyampaikan laporan
pajak penghasilan terpisah serta memiliki
total aset finansial di negara lain lebih dari
USD50,000 pada hari terakhir di tahun
pajak atau lebih dari USD75,000 pada
setiap saat selama tahun pajak.
Yang dimaksud dengan aset finansial di negara
lain yang wajib dilaporkan sesuai FATCA adalah
seluruh aset luar negeri baik berbentuk rekening
ataupun non rekening yang ditujukan untuk
investasi dan bukan digunakan untuk kegiatan
perdagangan atau bisnis. Contoh investasi
tersebut antara lain saham dan surat berharga
asing, instrumen finansial asing, kontrak dengan
pihak non US, dan interest di lembaga asing.
Namun demikian, terdapat aset finansial yang
dikecualikan dari pelaporan dalam FATCA yaitu
aset berupa:
1) Rekening finansial yang di tatausahakan
oleh lembaga AS yang meliputi lembaga
keuangan asing cabang AS, kantor cabang
luar negeri dari lembaga keuangan AS,
dan kantor cabang luar negeri dari anak
perusahaan dari perusahaan AS;
2) Beneficial interest atas trust dan properti
di luar negeri;
3) Bunga/pendapatan dari jaminan sosial,
asuransi sosial dan program serupa lainnya
dari pemerintah asing.
c. Opsi Penerapan FATCA
Terkait dengan pelaporan sebagaimana diatur
dalam FATCA, Pemerintah AS akan
mengenakan 30% withholding tax, kepada
FFI yang tidak memiliki kewajiban melaporkan
Wajib Pajak AS, untuk setiap penerimaan yang
berasal dari sumber pendapatan AS seperti
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dividen, bunga dan asuransi terhadap institusi
keuangan asing. Namun demikian, Pemerintah
AS menawarkan opsi agar FFI tidak terkena
penerapan withholding tax tersebut yaitu
sebagai berikut:
1. FFI Menandatangani perjanjian dengan IRS
(FFI Agreement)
FFI menandatangani perjanjian dengan IRS
yang dituangkan dalam FFI Agreement.
Dalam perjanjian ini, FFI setuju untuk
berpartisipasi dalam FATCA dengan
menandatangani perjanjian langsung
dengan IRS dimana FFI wajib melaksanakan
kewajiban dalam FFI Agreement tersebut
tanpa turut campur dari pemerintah negara
dimana FFI tersebut berdomisili.
Konsep FFI Agreement tersebut tersedia
dalam situs resmi IRS yaitu http://www.irs.
gov/pub/irs-drop/n-13-69.pdf, dimana
konsep tersebut mengatur pokok-pokok
perjanjian antara lain sebagai berikut:
kewajiban untuk melakukan due diligence
bagi FFI, persyaratan untuk memberikan
deposit, kewajiban pelaporan informasi dan
pengembalian pajak, prosedur kepatuhan
yang wajib dilaksanakan oleh FFI, dst.
Berdasarkan draft FFI Agreement tersebut,
FFI dipersyaratkan antara lain untuk
melakukan due diligence dalam rangka
mengidentifikasi rekening yang dimiliki
oleh warga negara AS dan secara tahunan
melaporkan informasi terkait rekening
tersebut kepada IRS.
2. Penandatanganan Intergovernmental
Agreement (IGA)
Pemerintah AS melalui US Treasury
Department mengembangkan dua model
IGA sebagai alternatif cara untuk penerapan
FATCA yaitu:
a) Model 1 IGA (pendekatan Pemerintah
ke Pemerintah)
Dalam Model 1 IGA ini, negara yang
merupakan partner FATCA menanda-
tangani perjanjian dengan Pemerintah
AS untuk mengumpulkan informasi
terkait rekening warga AS dari seluruh
FFI yang masuk dalam wilayah jurisdiksi
dan untuk selanjutnya secara otomatis
bertukar informasi melalui IRS. Dalam
hal ini, FFI tidak perlu menandatangani
perjanjian dengan IRS karena
pengumpulan informasi dari FFI akan
dikoordinir oleh Pemerintah di negara
yang bersangkutan.
Perjanjian Model 1 IGA ini dituangkan
dalam bentuk Agreement between the
Government of the United States of
America and the Government of [FATCA
Partner] to Improve International Tax
Compliance and to Implement FATCA,
yang konsepnya tersedia dalam situs
resmi Pemerintah AS yaitu http://www.
treasury.gov/resource-center/tax-policy/
treaties/Pages/FATCA.aspx.
b) Model 2 IGA
Dalam Model 2 IGA, pemerintah negara
setempat menandatangani perjanjian
dengan IRS dan selanjutnya pemerintah
negara setempat tersebut mewajibkan
FFI untuk melakukan pendaftaran ke
IRS untuk selanjutnya mengikuti
ketentuan dalam FFI Agreement.
Melalui model ini, FFI melaporkan
langsung kepada IRS secara tahunan ,
tanpa melalui pemerintah negara
setempat, atas seluruh informasi
rekening wajib pajak AS termasuk
ringkasan informasi rekening wajib
pajak AS meskipun belum mendapatkan
persetujuan dari pemilik rekening untuk
44
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
dilaporkan ke IRS (non-consenting
account). Melalui kerjasama Model 2
ini, IRS dapat meminta pemerintah
negara yang merupakan partner FATCA,
informasi rekening individual yang
mendasari ringkasan informasi yang
dilaporkan oleh FFI terkait non
consenting account.
Perjanjian Model 2 IGA ini berupa
Agreement between the Government
of the United States of America and
the Government of [FATCA Partner] for
Cooperation to Facilitate the
Implementation of FATCA, yang
konsepnya tersedia dalam situs resmi
Pemerintah AS yaitu
http://www.treasury.gov/resource-
center/tax-policy/treaties/Pages/FATCA.
aspx.
C. Pro dan Kontra Wacana Penerapan FATCA
Terkait dengan wacana penerapan FATCA, berikut ini
pro dan kontra secara umum terkait dengan opsi
yang dimiliki dalam wacana penerapan FATCA dari
sisi perbankan yaitu:
1. Tidak menerapkan FATCA
Dalam hal Indonesia memutuskan untuk tidak
menerapkan FATCA maka Pemerintah AS akan
mengenakan 30% withholding tax atas
penerimaan pendapatan FFI yang berasal dari
sumber pendapatan di AS seperti dividen, bunga
dan asuransi. Berikut ini adalah pro dan kontra
bagi Indonesia bila tidak menerapkan FATCA
dimaksud.
2. Menerapkan FATCA melalui FFI Agreement
Dalam hal bank-bank di Indonesia memutuskan
untuk berpartisipasi dalam FFI Agreement, berikut
ini adalah pro dan kontra bagi Indonesia atas hal
dimaksud.
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
KontraPro
• Indonesia tidak memiliki ketentuan yang dapat memaksa Wajib Pajak AS sebagai Nasabah Penyimpan untuk memberikan permintaan, persetujuan atau kuasanya untuk menginformasikan rekening yang bersangkutan kepada pihak ketiga.
• Dengan tidak menerapkan FATCA maka Indonesia tidak mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan FATCA.
• Dengan tidak diterapkannya FATCA, Indonesia tidak mendukung komitmen forum Internasional untuk bersama-sama berupaya mencegah terjadinya penghindaran pajak.
• 30% Withholding Tax akan mengurangi pendapatan bank di Indonesia yang memiliki pendapatan di AS dari dividen, bunga dan asuransi.
46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
KontraPro
• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.
• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.
• Bank Indonesia harus memahami FATCA dan mensosialisasikan wacana penerapan FATCA kepada bank-bank di Indonesia serta untuk selanjutnya menyerahkan keputusan kepada bank untuk ikut serta dalam FFI Agreement atau tidak.
• Pemerintah Indonesia tidak dapat memantau bank-bank yang ikut/tidak ikut serta dalam FFI Agreement karena keinginan bank sendiri ikut serta dalam FFI Agreement.
• Jika bank tidak patuh dalam FFI Agreement yang telah disepakati maka IRS akan sulit untuk memberikan sanksi lain kepada bank kecuali sebagaimana tertera dalam FFI Agreement. Sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap FFI Agreement dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia sulit menjembatani permasalahan ini.
• Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagai-mana dimaksud FFI Agreement menjadi tanggung jawab pihak bank dan IRS. Dalam hal ini, otoritas pengawas mencampuri penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam FFI Agreement karena otoritas pengawas bukan merupakan pihak yang menandatangani perjanjian tersebut.
• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank yang merupakan Wajib Pajak AS.
• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS, sebagaimana hal ini diatur dalam UU Perbankan.
3. Menerapkan FATCA melalui
Intergovernmental Agreement
Dalam hal pemerintah Indonesia memutuskan
untuk berpartisipasi dalam Intergovernmental
Agreement, berikut ini adalah pro dan kontra bagi
Indonesia atas hal dimaksud.
Model 1 IGA
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
KontraPro
• FFI Agreement antara lain mewajibkan FFI untuk menutup rekening Wajib Pajak AS apabila yang bersangkutan tidak patuh memiliki dampak hukum bagi bank yaitu potensi gugatan dari pemilik rekening yang telah ditutup oleh bank.
KontraPro
• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana menjadi tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.
• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.
• Pemerintah Indonesia dapat memantau keikutsertaan bank-bank yang menyampaikan laporan terkait penerapan FATCA.
• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank.
• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS. Hal ini dapat menjadi kendala bagi bank dalam prakteknya.
• Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang memaksa Nasabah Penyimpan termasuk Wajib Pajak AS untuk memberikan persetujuan/kuasa kepada bank agar dapat menginformasikan rekening simpanannya tersebut kepada Pemerintah Indonesia untuk selanjutnya disampaikan kepada IRS.
KontraPro
• Jika bank tidak patuh dalam kewajiban pelaporan terkait FATCA yang telah disepakati maka otoritas pengawas bank dapat memberikan sanksi kepada bank dan sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap IGA dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia dapat menjembatani permasalahan ini.
• Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud IGA dapat dipantau oleh Pemerintah Indonesia/otoritas pengawas bank. Dalam hal ini, otoritas pengawas mengetahui pasti tentang penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam IGA.
• Pemerintah dapat menentukan sistem pelaporan kepada IRS yang akan digunakan namun Pemerintah harus tetap menentukan mekanisme pelaporan yang akan dilakukan dari bank kepada Pemerintah sebagai pihak yang mengkoordinir pelaporan tersebut.
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Model 2 – IGA
KontraPro
• Dengan menerapkan FATCA maka Indonesia mendukung program anti penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak AS sebagaimana menjadi tujuan FATCA dan turut mendukung komitmen forum internasional terkait penghindaran pajak.
• Dengan adanya bank-bank di Indonesia yang memiliki kerjasama terkait anti penghindaran pajak, diharapkan Indonesia memiliki track record positif jika suatu saat Indonesia meminta kerjasama kepada AS terkait anti penghindaran pajak.
• Bank harus dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS yang wajib dilaporkan sesuai FATCA, hal ini dapat menjadi kendala bagi bank mengingat bank harus melakukan penelusuran ulang atas seluruh pemilik rekening bank.
• Setelah Bank dapat mengidentifikasi pemilik rekening yang merupakan Wajib Pajak AS maka bank harus dapat meminta persetujuan/kuasa dari pemilik rekening untuk menginformasikan rekening tersebut kepada IRS. Hal ini dapat menjadi kendala bagi bank dalam prakteknya.
D. Tinjauan Singkat Penerapan FATCA dari Aspek
Hukum Perbankan
1. Ketentuan Rahasia Bank
Dari aspek hukum perbankan, penerapan FATCA
erat kaitannya dengan ketentuan mengenai rahasia
bank yaitu ketentuan mengenai pemberian
informasi oleh bank mengenai nasabah dan
rekening simpanannya sebagaimana diatur dalam
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun
1998 (selanjutnya disebut “UU Perbankan”).
Seluruh bank di Indonesia terikat dengan ketentuan
rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam UU
Perbankan sehingga pemberian informasi terkait
nasabah bank termasuk nasabah bank yang
merupakan Wajib Pajak AS wajib tunduk pada
ketentuan rahasia bank tersebut.
Ketentuan rahasia bank diatur dalam Pasal 40 UU
Perbankan yang menyatakan bahwa bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya kecuali untuk hal-
hal berikut ini:
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
49
KontraPro
• Pemerintah Indonesia yang memutuskan mengenai penerapan FATCA pada bank-bank sehingga bank wajib menaati keputusan tersebut dan untuk selanjutnya menaati ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam FATCA.
• Pemerintah Indonesia dapat memantau keikutsertaan bank-bank yang menyampaikan laporan terkait penerapan FATCA.
• Jika bank tidak patuh dalam kewajiban pelaporan terkait FATCA yang telah disepakati maka otoritas pengawas bank dapat memberikan sanksi kepada bank dan sebaliknya bila IRS merasa bank tidak patuh terhadap IGA dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan 30% withholding tax maka pemerintah Indonesia dapat menjembatani permasalahan ini.
• Kerahasiaan informasi dalam pelaporan sebagaimana dimaksud IGA dapat dipantau oleh Pemerintah Indonesia/otoritas pengawas bank. Dalam hal ini, otoritas pengawas mengetahui pasti tentang penatausahaan kerahasiaan bank berikut mekanisme pelaporan yang diatur dalam IGA.
• Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang memaksa Nasabah Penyimpan termasuk Wajib Pajak AS untuk memberikan persetujuan/kuasa kepada bank agar dapat menginformasikan rekening simpanannya tersebut kepada bank untuk selanjutnya disampaikan kepada IRS.
• Mekanisme pelaporan langsung dari bank kepada IRS dapat menjadi kendala bagi bank khususnya terkait standarisasi sistem pelaporan diantara bank-bank.
a. kepentingan perpajakan (vide Pasal 41 UU
Perbankan);
b. penyelesaian piutang bank (vide Pasal 41A UU
Perbankan);
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana
(vide Pasal 42 UU Perbankan);
d. perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya (vide Pasal 43 UU Perbankan);
e. dalam rangka tukar menukar informasi antar
bank (vide Pasal 44 UU Perbankan); dan
f. atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari
Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis
(vide Pasal 44A UU Perbankan).
Ketentuan pelaksanaan dari UU Perbankan
mengenai rahasia bank diatur lebih lanjut dalam
PBI No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis
Membuka Rahasia Bank (selanjutnya disebut “PBI
Rahasia Bank”) yang mengatur bahwa Bank wajib
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan Simpanan Nasabah (vide Pasal 2 PBI Rahasia
Bank) kecuali untuk:
a. kepentingan perpajakan;
b. penyelesaian piutang Bank yang sudah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata
antara Bank dengan Nasabahnya;
e. tukar menukar informasi antar Bank;
f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari
Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis;
dan
g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah
Penyimpan yang telah meninggal dunia.
Terkait dengan wacana penerapan FATCA di
Indonesia, tentu perlu dipertimbangkan
pelaksanaan penerapan FATCA agar tidak
melanggar UU Perbankan ataupun ketentuan
perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut diatas, UU Perbankan
secara jelas melarang bank untuk menginformasikan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
simpanannya kepada pihak lain kecuali kepada
pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 s.d Pasal
44 UU Perbankan yaitu pejabat pajak untuk
kepentingan perpajakan, Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan
Piutang Negara, polisi, jaksa atau hakim untuk
kepentingan peradilan, serta pihak lain yang
disetujui oleh nasabah penyimpan.
Pemberian informasi kepada pihak lain misalkan
IRS dapat dilakukan sepanjang memenuhi Pasal
44A UU Perbankan. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 44A UU Perbankan, penyampaian informasi
kepada pihak tertentu diperbolehkan sepanjang
telah terdapat permintaan, persetujuan atau kuasa
dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis
dan bank wajib memberikan keterangan mengenai
simpanan Nasabah Penyimpan kepada pihak yang
ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan.
Dengan demikian terkait dengan wacana
penerapan FATCA, bank dapat menginformasikan
kepada Pemerintah ataupun pihak ketiga atas
rekening yang dimiliki Wajib Pajak AS sepanjang
terdapat permintaan, persetujuan atau kuasa dari
pemilik rekening terlepas dari opsi yang dipilih
Pemerintah Indonesia nantinya dalam menerapkan
FATCA.
Namun demikian, telah disadari bahwa saat ini
belum terdapat ketentuan yang memaksa nasabah
penyimpan khususnya Wajib Pajak AS untuk
memberikan persetujuannya kepada bank untuk
memberikan keterangan mengenai dirinya dan
simpanannya sebagaimana dalam Pasal 44A UU
Perbankan. Hal ini dapat menjadi salah satu
kendala dalam penerapan FATCA nantinya dari
sisi hukum perbankan dan pemerintah perlu
mencari solusi pengaturan atas hal tersebut.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
50
Solusi pengaturan yang mungkin dapat ditelaah
lebih lanjut pro dan kontra-nya antara lain sebagai
berikut:
a. Melakukan perubahan/amandemen UU
Perbankan terkait pengaturan mengenai
pemberian informasi nasabah penyimpan dan
simpanannya agar dapat mengakomodir
penerapan FATCA ataupun penerapan
komitmen dalam forum internasional dalam
rangka mencegah penghindaran pajak;
b. Menerbitkan ketentuan yang mewajibkan bank
untuk mengidentifikasi pemilik rekening yang
merupakan Wajib Pajak AS dan meminta
pemilik rekening yang bersangkutan untuk
menandatangani persetujuan atau kuasa
kepada Bank untuk menginformasikan
rekeningnya kepada Pemerintah Indonesia.
Bila pemilik rekening tidak bersedia untuk
memberikan persetujuan tersebut, maka Bank
dapat melakukan tindakan yang diperlukan
terkait keberadaan rekening pemilik rekening
yang merupakan Wajib Pajak AS tersebut
antara lain dengan menutup rekening tersebut.
2. Ketentuan APU-PPT
Wacana penerapan FATCA di Indonesia juga dapat
dikaitkan dengan ketentuan APU-PPT sebagaimana
diatur dalam PBI No.14/27/PBI/2012 tentang
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank
Umum (selanjutnya disebut “PBI APU-PPT”)
terutama ketentuan yang mengatur mengenai
kewajiban bank untuk mengenal nasabah melalui
Customer Due Diligence.
Pasal 10 PBI APU-PPT mengatur bahwa bank wajib
melakukan prosedur Customer Due Diligence
(CDD) yang merupakan kegiatan identifikasi,
verifikasi dan pemantauan yang dilakukan bank
untuk memastikan bahwa transaksi sesuai dengan
profil calon nasabah, Walk-in Customer atau
nasabah. Dengan adanya CDD ini, Bank wajib
mengetahui calon nasabahnya termasuk tentang
kewarganegaraan calon nasabahnya tersebut.
Lebih lanjut, ketika melakukan pembukaan
rekening untuk pertama kali, Pasal 12 jo. Pasal
14 PBI APU-PPT mewajibkan Bank untuk meminta
informasi untuk mengetahui profil calon nasabah,
yang meliputi:
a. Identitas, yang mencakup:
1) nama lengkap termasuk nama alias apabila
ada;
2) nomor dokumen identitas;
3) alamat tempat tinggal sesuai dokumen
identitas dan alamat tempat tinggal lain
apabila ada;
4) tempat dan tanggal lahir;
5) kewarganegaraan;
6) pekerjaan;
7) jenis kelamin;
8) status perkawinan; dan
b. Identitas Beneficial Owner (bila ada);
c. Sumber dana;
d. Perkiraan nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun;
e. Maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang akan dilakukan calon nasabah
dengan Bank;
f. NPWP; dan
g. Informasi lain untuk mengetahui profil calon
nasabah lebih dalam, termasuk informasi yang
diperintahkan oleh ketentuan dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.
Dalam ketentuan ini, khusus untuk calon nasabah
maka bank wajib mengidentifikasi nasabah yang
memiliki kewarganegaraan AS dan dapat
memperkirakan apakah yang bersangkutan dapat
dikategorikan sebagai wajib pajak AS yang tunduk
dalam FATCA atau tidak, khususnya dengan
memperhatikan nilai transaksi dalam 1 (satu)
tahun yang akan dilakukan. Untuk kedepannya,
sebagai syarat tambahan pembukaan rekening,
Bank dapat meminta dokumen tambahan berupa
persetujuan/kuasa untuk menginformasikan
rekeningnya tersebut kepada IRS dalam rangka
penerapan FATCA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
51
Untuk existing customer, dengan adanya kewajiban
Bank untuk menatausahakan dokumen/informasi
mengenai nasabah, maka bank perlu melakukan
pengkinian data terhadap informasi dan dokumen
tersebut. Cara pengkinian data tersebut diatur
dalam Pasal 29 PBI APU-PPT yaitu:
a. Melakukan pemantauan terhadap informasi
dan dokumen Nasabah;
b. Menyusun laporan rencana pengkinian data;
dan
c. Menyusun laporan realisasi pengkinian data.
Dengan adanya pengkinian data tersebut,
setidaknya Bank dapat mengetahui informasi
terkini mengenai nasabah termasuk dapat
menetapkan nasabah yang memiliki kewarga-
negaraan AS sebagai pihak yang diwajibkan untuk
dilaporkan rekeningnya berdasarkan FATCA
termasuk profil transaksi dari nasabah tersebut.
Dalam hal FATCA diterapkan di Indonesia, maka
ketentuan APU-PPT dapat mendukung pelaksanaan
penerapan FATCA tersebut khususnya pelaksanaan
due diligence dan pengkinian data oleh Bank.
E. Kesimpulan
FATCA merupakan regulasi Pemerintah AS yang tidak
dapat dihindarkan pemberlakuannya di Indonesia.
Pilihan yang dihadapkan saat ini adalah ikut turut
menerapkan FATCA atau pengenaan withholding
tax sebesar 30% bagi seluruh bank ataupun FFI
lainnya yang memiliki pendapatan di AS. Pemerintah
Indonesia harus segera menentukan sikap sebelum
diberlakukannya FATCA tersebut pada tanggal 1 Juli
2014.
Forum internasional, seperti G20 dan OECD, sangat
mendukung adanya transparansi pajak dan mencegah
upaya penghindaran pajak sehingga penerapan FATCA
di Indonesia menjadi pilihan yang utama bagi Indonesia
dalam rangka mendukung komitmen internasional
tersebut.
Selanjutnya mengenai model perjanjian untuk
menerapkan FATCA, Indonesia sebaiknya menerapkan
FATCA dengan menggunakan Model 1 IGA yang
nampaknya lebih sesuai untuk diterapkan di Indonesia
sebagaimana tercermin dalam pro dan kontra
sebagaimana disebutkan diatas.
Penerapan FATCA dengan Model 1 - IGA tersebut
wajib tetap mengikuti ketentuan pembukaan rahasia
bank sebagaimana diatur dalam UU Perbankan dan
berdasarkan Pasal 44A UU Perbankan, bank di
Indonesia dapat memberikan informasi mengenai
rekening Wajib Pajak AS kepada Pemerintah AS sesuai
dengan permintaan, persetujuan atau kuasa Wajib
Pajak AS sebagai pemilik rekening di bank tersebut.
Sehubungan dengan pengaturan Pasal 44A UU
Perbankan tersebut dan terkait dengan penerapan
FATCA, maka bank di Indonesia perlu melakukan hal-
hal sebagai berikut:
a) Melakukan identifikasi rekening-rekening yang
dimiliki oleh Wajib Pajak AS;
b) Meminta persetujuan atau kuasa dari pemilik
rekening agar Bank dapat menginformasikan
rekening tersebut kepada IRS (vide Pasal 44A UU
Perbankan).
Kendala yang dapat dihadapi dalam penerapan FATCA
dari sisi UU Perbankan tersebut antara lain pemilik
rekening tidak mau memberikan persetujuan/kuasa
kepada bank untuk menginformasikan keterangan
nasabah penyimpan dan simpanannya untuk
selanjutnya disampaikan kepada IRS, sehingga
kedepannya pemerintah Indonesia perlu mencarikan
solusi pengaturan yang tepat mengenai hal ini.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
52
Communiqué Meeting of Finance Ministers and Central Bank Governors, Washington, 18-19 April 2013.
G20 Leaders’ Declaration, Russia, September 2013.
Stack, Robert, Myth vs. FATCA: The Truth About Treasury’s Effort To Combat Offshore Tax Evasion, diakses melalui
http://www.treasury.gov/connect/blog/Pages/Myth-vs-FATCA.aspx.
Summary of FATCA Reporting for US Taxpayers, diakses melalui http://www.irs.gov/Businesses/Corporations/Summary-
of-FATCA-Reporting-for-U.S.-Taxpayers.
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun 1998
PBI No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank
PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi
Bank Umum
DAFTAR PUSTAKA
53
Pendahuluan
Pada mulanya, ketentuan tentang perumahan diatur
dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1964 tentang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan
(Lembaran Negara Tahun 1962 No. 40, Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 2476) menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
2611). Undang-undang No. 41 Tahun 1964 dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran
Negara Tahun 1992 No. 23, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3469). Undang-undang No. 4
Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi
oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara
Tahun 2011 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 5188).
Pengertian rumah disebutkan dalam Pasal 1 angka 7
Undang-undang No. 1 Tahun 2011, yaitu bangunan
gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang
layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat
dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
Rumah yang ditempati atau dihuni diharapkan tidak
sekedar rumah, tetapi rumah yang layak huni dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011
menetapkan jenis rumah dibedakan berdasarkan pelaku
pembangunan dan penghunian yang meliputi:
a. Rumah komersial
Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan
dengan tujuan mendapatkan keuntungan sesuai
kebutuhan masyarakat.
b. Rumah umum
Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
Rumah umum dapat mendapatkan bantuan dan
kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIAOleh :
Dr. Urip Santoso, S.H, MH.1
Abstrak
Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset
bagi pemiliknya. Rumah sebagai aset, maka rumah mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dinilai dengan uang. Oleh
karena rumah mempunyai nilai ekonomis, maka rumah dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Rumah yang
dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah yang sifatnya dimiliki. Hak milik atas rumah tanpa tanah dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Fidusia. Dokumen yang diserahkan sebagai jaminan Fidusia adalah surat tanda bukti
pemilikan rumah. Jaminan Fidusia dibuktikan dengan Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat oleh Notaris. Lahirnya
Jaminan Fidusia adalah sejak Akta Pembebanan Fidusia didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti
Jaminan Fidusia diterbitkan Sertipikat Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia.
Kata kunci : Hak milik, rumah, fidusia, akta, sertipikat
1 Dosen Hukum Agraria dan Hukum Perumahan Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga
55
c. Rumah swadaya
Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas
prakarsa dan upaya masyarakat.
Rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa dan
upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun
berkelompok.
Rumah swadaya dapat memperoleh bantuan dan
kemudahan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
d. Rumah khusus
Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Yang dimaksud dengan “kebutuhan khusus”, antara
lain adalah kebutuhan untuk perumahan transmigrasi,
permukiman kembali korban bencana alam, dan rumah
sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat
miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk
juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya
terpencar dan rumah di wilayah perbatasan wilayah
negara. Rumah khusus disediakan oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
e. Rumah negara
Rumah negara adalah rumah yang dimiliki negara
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang
pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
Rumah negara disediakan oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 2011
menetapkan bentuk rumah, yaitu:
a. Rumah tunggal
Rumah tunggal adalah rumah yang mempunyai
kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan
tidak dibangun tepat pada batas kaveling.
b. Rumah deret
Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau
lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu
atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi
masing-masing mempunyai kaveling sendiri.
c. Rumah susun
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal atau vertikal,
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing
dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011
menetapkan bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah
deret, dan/atau rumah susun dapat di atas tanah:
a. Hak Milik
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan
terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan Pasal 6 Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA).
b. Hak Guna Bangunan, baik di atas tanah negara
maupun di atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
miliknya, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan diperbaharui
haknya untuk jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh)
tahun.
c. Hak Pakai atas tanah negara
Hak Pakai adalah hak untuk mempergunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-
undang No. 5 Tahun 1960.
Rumah berfungsi sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya,
artinya rumah tersebut mempunyai nilai ekonomis bagi
pemiliknya. Hak yang dimiliki pemilik rumah terhadap
rumahnya, adalah:
a. Menempati atau menggunakan rumah sesuai dengan
fungsinya;
b. Memberikan hak kepada orang lain untuk menghuni
rumahnya dengan cara bukan sewa menyewa;
56
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
c. Menyewakan rumahnya kepada orang lain;
d. Menjual rumahnya kepada orang lain;
e. Menghibahkan rumahnya kepada orang lain;
f. Menukarkan rumahnya dengan rumah milik orang
lain;
g. Melelang rumahnya dalam kaitannya dengan
pelunasan utang;
h. Menjaminkan rumahnya ke dalam utang piutang;
i. Mewariskan rumahnya kepada ahli warisnya.
Rumah sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya dan
mempunyai nilai ekonomis dapat dijadikan jaminan utang
oleh pemiliknya. Utang dengan jaminan rumah dapat
dijadikan bagi pemiliknya untuk mengembangkan usaha
(bisnis) atau keperluan lainnya.
Bentuk rumah yang dapat dijadikan jaminan utang
adalah rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun.
Tidak setiap jenis rumah dapat dijadikan jaminan utang.
Jenis rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah
rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum,
sedangkan jenis rumah yang tidak dapat dijadikan
jaminan utang adalah rumah khusus dan rumah negara.
Rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum
dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah tersebut
dapat diperjualbelikan oleh pemilik rumah kepada orang
lain. Rumah khusus tidak dapat dijadikan jaminan utang
sebab rumah tersebut dibangun dalam rangka memenuhi
kebutuhan untuk transmigrasi, permukiman kembali
korban bencana alam, dan rumah sosial untuk
menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim
piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk
pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan
lokasinya dan rumah di wilayah perbatasan negara.
Demikian pula, rumah negara juga tidak dapat dijadikan
jaminan utang sebab rumah negara sifatnya bukan untuk
dimiliki, akan tetapi hanya dihuni oleh pegawai negeri
dan/atau pejabat negara atau pejabat Pemerintah.
Lembaga jaminan yang mewadahi hak milik atas rumah
sebagai jaminan utang adalah Hak Tanggungan apabila
yang dijadikan jaminan utang adalah rumah beserta hak
atas tanahnya, yang diatur dalam Undang-Undang No.
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dan Jaminan
Fidusia apabila yang dijadikan jaminan utang adalah
rumah tidak beserta tanahnya, yang diatur dalam Undang-
Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah
pengaturan hak milik atas rumah sebagai jaminan Fidusia
dan mekanisme pembebanan hak milik atas rumah
sebagai jaminan Fidusia.
Pembahasan
1. Pengaturan Jaminan Fidusia Atas Rumah
Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman tidak mengatur hak milik
atas rumah sebagai Jaminan Fidusia. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 1
Tahun 2011, rumah sebagai aset bagi pemiliknya yaitu
rumah mempunyai nilai ekonomis bagi pemiliknya
sehingga dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Jaminan Fidusia.
Pertama kali diatur, bahwa rumah susun dan hak
milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah Pasal
12 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun, yaitu:
(1)Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu
berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan
jaminan utang dengan :
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik
atau Hak Guna Bangunan;
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai
atas tanah negara.
(2)Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
beserta rumah yang akan dibangun sebagai
jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk
membiayai pelaksanaan pembangunan rumah
susun yang telah direncanakan di atas tanah yang
bersangkutan dan yang pemberian kreditnya
dilakukan secara bertahap sesuai dengan
pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pembebanan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
diatur dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun
1985, yaitu: “Dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 12, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat
dijadikan jaminan utang dengan:
a. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah Hak Milik
atau Hak Guna Bangunan;
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah Hak Pakai
atas tanah negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-
undang No. 16 Tahun 1985 dapat dijelaskan bahwa:
a. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah
susun dapat dibebani hipotik jika tanahnya Hak
Milik atau Hak Guna Bangunan;
b. rumah susun dan hak milik atas satuan rumah
susun dapat dibebani fidusia jika tanahnya Hak
Pakai atas tanah negara.
Undang-undang No. 16 Tahun 1985 dilaksanakan
oleh Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang
Rumah Susun. Pembebanan rumah susun atau hak
milik atas satuan rumah susun dengan dibebani hipotik
atau fidusia diatur dalam Pasal 43 nya, yaitu: “Dalam
hal terjadi pembebanan atas rumah susun, pendaftaran
hipotik atau fidusia yang bersangkutan dilakukan
dengan menyampaikan:
a. sertipikat hak milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan;
b. akta pembebanan hipotik atau fidusia;
c. surat-surat lainnya yang diperlukan untuk
pembebanan.
Pasal 15 Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman mengatur hak milik atas
rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Fidusia, yaitu :
(1)Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2)a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan
dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah
yang haknya dimiliki oleh pihak yang sama
dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4
Tahun 1992 menyatakan bahwa pemilikan rumah
oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan
tertulis pemilik hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan rumah oleh
pemilik hak atas tanah, rumahnya dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan
rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumah beserta
tanahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hipotek.
Undang-undang No. 16 Tahun 1985, Undang-undang
No. 4 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah No. 4
Tahun 1988 mengatur bahwa rumah susun, hak milik
atas satuan rumah susun, dan rumah dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani fidusia, tetapi tidak
memberikan pengertian tentang fidusia dan tidak
mengatur tata cara (prosedur) pembebanan fidusia.
7 (tujuh) tahun setelah berlakunya Undang-undang
No. 4 Tahun 1992 diundangkan Undang-undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tanggal 30
September 1999. Fidusia merupakan istilah yang
sudah lama dikenal di Indonesia, namun Undang-
undang yang mengatur tentang fidusia baru ada
tahun 1999 dengan Undang-undang No. 42 Tahun
1999. Fidusia menurut Munir Fuady, juga disebut
dengan istilah “Penyerahan Hak Milik Dengan
Kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya disebut
dengan istilah lengkapnya Fiduciare Eigendom
Overdracht, sedangkan dalam Bahasa Inggrisnya
disebut dengan istilah lengkapnya Fiduciary Transfer
of Ownership.2
58
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, h. 151.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 42
Tahun 1999, yang dimaksud fidusia adalah hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Selanjutnya, dalam Pasal
1 angka 2 nya dinyatakan bahwa jaminan fidusia
adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
lainnya.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.
42 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa objek Jaminan
Fidusia, adalah :
a. Benda bergerak, meliputi :
1. benda bergerak berwujud;
2. benda bergerak tidak berwujud.
b. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dibebani dengan Hak Tanggungan.
Bangunan termasuk rumah yang menjadi objek
Jaminan Fidusia disebutkan dalam Penjelasan Pasal
15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1992, yaitu:
a. Pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas
tanah, dengan persetujuan dengan tertulis pemilik
hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani Fidusia;
b. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah,
rumahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Fidusia.
Rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat
berdiri di atas tanah haknya sendiri, atau berdiri di
atas tanah Hak Milik orang lain. Kalau rumah yang
mau dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia
berada di atas tanah milik orang lain, maka harus
mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
pemilik tanah. Objek Jaminan Fidusia adalah rumah
saja tanpa hak atas tanah. Dari aspek hak atas tanah
yang di atasnya berdiri bangunan rumah dapat
dijelaskan:
a. Rumah yang berdiri di atas tanah haknya
sendiri
Rumah yang berdiri di atas tanah haknya sendiri,
yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah berstatus
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai.
b. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik
orang lain
Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik orang
lain, yaitu rumah tersebut berdiri di atas tanah
berstatus Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, atau Hak
Sewa Untuk Bangunan.
Syarat rumah tidak beserta tanah, baik yang berdiri
di atas tanahnya sendiri atau berdiri di atas tanah Hak
Milik orang lain yang menjadi objek Jaminan Fidusia
adalah rumah yang sifatnya dimiliki bukan rumah
sewa. Jenis rumah yang dapat dijadikan objek Jaminan
Fidusia adalah rumah komersial, rumah swadaya, dan
rumah umum, sedangkan rumah khusus dan rumah
negara tidak dapat menjadi objek Jaminan Fidusia.
Pemilikan rumah yang berdiri di atas tanah Hak Milik
orang lain, yang pembangunan rumahnya atas
persetujuan dari pemilik tanah merupakan penerapan
asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding
beginsel). Menurut Djuhaendah Hasan, dinyatakan
bahwa dalam asas pemisahan horizontal, pemilikan
atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berdiri
di atas tanah itu adalah berbeda. Asas pemisahan
horizontal memisahkan tanah dengan benda lain yang
melekat pada tanah itu.3 Ter Haar yang pendapatnya
dikutip oleh Iman Sudiyat menyatakan bahwa, tanah
adalah terpisah dari segala sesuatu yang melekat
padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 76.
yang berada di atas tanah itu. Sehingga pemilik atas
tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat
berbeda.4 Dalam asas pemisahan horizontal, bangunan
dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan
satu kesatuan, pemilikan atas tanah tidak selalu
memiliki bangunan atau tanaman yang ada di atasnya,
dan perbuatan hukum mengenai tanah tidak selalu
meliputi bangunan atau tanaman yang ada di atasnya
kecuali diperjanjikan lain Di samping asas pemisahan
horizontal, terdapat asas perlekatan (accessie beginsel),
yaitu bangunan atau tanaman di atas tanah merupakan
satu kesatuan, pemilikan atas tanah termasuk memiliki
bangunan atau tanaman yang ada di atasnya, dan
perbuatan hukum mengenai tanah meliputi pula
bangunan atau tanaman yang ada di atas tanah
kecuali diperjanjikan lain.
Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 diterapkan asas pemisahan horizontal, yaitu:
a. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak
Pengelolaan.
b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
Hak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak
Milik.
c. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan.
d. Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik.
e. Hak Sewa Untuk Bangunan
Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatus
Hak Sewa yang berasal dari tanah Hak Milik.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun
1999 dinyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang telah berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
lainnya. Berdasarkan ketentuan ini, bangunan rumah
yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia
dengan syarat bangunan rumah tersebut merupakan
rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum,
bukan rumah negara atau rumah khusus, baik yang
berdiri di atas tanah haknya sendiri maupun di atas
tanah Hak Milik orang lain yang sifat penguasan
rumahnya adalah dimiliki bukan sewa.
Ketentuan hak milik atas rumah sebagai Jaminan
Fidusia dapat disebutkan, yaitu:
a. Pemberi Fidusia adalah pemilik rumah yang juga
pemegang hak atas tanah atau pemilik rumah
yang bukan pemilik tanah sebagai debitor atau
pihak yang berutang;
b. Penerima Fidusia adalah perseorangan atau badan
hukum yang memberikan utang kepada Pemberi
Fidusia sebagai kreditor atau pihak yang
berpiutang;
c. Objek Jaminan Fidusia adalah bangunan rumah
saja tidak beserta tanahnya yang sifat penguasaan
rumahnya dimiliki bukan sewa;
d. Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari
suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian
utang piutang antara Pemberi Fidusia dan Penerima
Fidusia;
e. Secara riil, Penerima Fidusia hanya berfungsi
sebagai pemegang jaminan, bukan sebagai pemilik
yang sebenarnya;
f. Hak milik atas rumah tidak beserta tanahnya
sebagai objek Jaminan Fidusia diserahkan secara
yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima
Fidusia yang dibuktikan dengan Akta Jaminan
Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan notaris;
60
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, h. 54.
g. Untuk memenuhi keterbukaan, Jaminan Fidusia
wajib didaftarkan oleh Penerima Fidusia ke Kantor
Pendaftaran Fidusia, yaitu Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Provinsi untuk dicatat dalam Daftar Buku Fidusia
dan diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai
tanda bukti Jaminan Fidusia;
h. Setiap janji yang memberi kewenangan kepada
Penerima Fidusia untuk memiliki rumah yang
menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor
cidera janji adalah batal demi hukum;
i. Hak Penerima Fidusia untuk mengeksekusi hak
milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia jika ada
wanprestasi dari pihak Pemberi Fidusia sebagai
debitor;
j. Apabila hutang Pemberi Fidusia dilunasi, maka
hak milik atas rumah sebagai Jaminan Fidusia
harus dikembalikan kepada Pemberi Fidusia;
k. Jika hasil penjualan hak milik atas rumah sebagai
Jaminan Fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka
sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada
Pemberi Fidusia.
2. Mekanisme Pembebanan Hak Milik Atas Rumah
Sebagai Jaminan Fidusia
Syarat sahnya Jaminan Fidusia atas pemilikan rumah
harus memenuhi 3 (tiga) tahapan yang bersifat
kumulatif, yaitu:
a. Adanya Perjanjian Utang Piutang
Pemilik rumah membutuhkan uang untuk suatu
keperluan atau pengembangan usaha (bisnis).
Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia berhutang
kepada pihak lain, misalnya bank. Utang piutang
itu dituangkan dalam perjanjian utang piutang
antara pemilik rumah sebagai Pemberi Fidusia
atau debitor dan pihak bank sebagai Penerima
Fidusia atau kreditor.
Perjanjian utang piutang ini sebagai perjanjian
pokok dalam Jaminan Fidusia. Perjanjian utang
piutang ini dapat dibuat dengan akta autentik
yaitu aktanya dibuat oleh notaris, atau dibuat
dengan akta di bawah tangan, yaitu aktanya
dibuat oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia.
Utang Pemberi Fidusia atau debitor kepada
Penerima Fidusia atau kreditor dengan jaminan
berupa hak milik atas rumah yang dimiliki oleh
Pemberi Fidusia atau debitor.
Utang piutang antara Pemberi Fidusia atau debitor
dan Penerima Fidusia atau kreditor yang dituangkan
dalam bentuk perjanjian tertulis merupakan
perjanjian pokok dalam Jaminan Fidusia.
b. Adanya Akta Jaminan Fidusia
Untuk memberikan jaminan utang Pemberi Fidusia
atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor,
Pemberi Fidusia atau debitor menyerahkan secara
yuridis hak milik atas rumah tidak beserta hak atas
tanahnya kepada Penerima Fidusia atau kreditor.
Penyerahan hak milik atas rumah tidak beserta
hak atas tanahnya sebagai jaminan utang
merupakan perjanjian ikutan atau perjanjian
tambahan atau bersifat accessoir dari perjanjian
pokok berupa perjanjian utang piutang.
Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 42 Tahun
1999, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan
dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu
prestasi. Yang dimaksud perjanjian ikutan
(perjanjian accessoir) adalah perjanjian yang
mengikuti perjanjian lain yang disebut perjanjian
pokok, dan berakhir apabila perjanjian pokoknya
berakhir.5
Pada Jaminan Fidusia terdapat 2 (dua) perjanjian,
yaitu perjanjian utang piutang sebagai perjanjian
pokok, dan penyerahan secara yuridis jaminan
berupa objek Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia
atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor
sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan
yang bersifar accessoir.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
5 Sutan Remy Syahdeni, “Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”, Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, h. 42.
Untuk menjamin pelunasan utang Pemberi Fidusia
atau debitor kepada Penerima Fidusia atau kreditor,
maka dilakukan penyerahan secara yuridis hak
milik atas rumah tidak beserta hak atas tanahnya
oleh Pemberi Fidusia atau debitor kepada Penerima
Fidusia atau kreditor.
Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah
sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia
kepada Penerima Fidusia adalah surat bukti
kepemilikan bangunan gedung rumah. Pengaturan
surat tanda bukti kepemilikan bangunan gedung
diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung dan Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam Pasal 8
ayat (1) Undang-undang No. 28 Tahun 2002
ditetapkan bahwa setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a) status hak atas tanah, dan/atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b) status kepemilikan bangunan gedung; dan
c) izin mendirikan bangunan gedung, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005
mengatur status kepemilikan bangunan gedung,
yaitu:
(1)Status kepemilikan bangunan gedung
dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan
bangunan gedung yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung
fungsi khusus oleh Pemerintah, berdasarkan
hasil kegiatan pendaftaran bangunan gedung.
(2)Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan
kepada pihak lain.
(3)Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan
pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus mendapat
persetujuan pemilik tanah.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti
kepemilikan bangunan gedung diatur dengan
Peraturan Presiden.
Hak milik atas rumah yang diserahkan secara yuridis
sebagai Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia
kepada Penerima Fidusia adalah surat tanda bukti
kepemilikan rumah. Hambatan dan permasalahan
penyerahan yuridis hak milik atas rumah sebagai
Jaminan Fidusia adalah sampai sekarang belum
ada surat tanda bukti kepemilikan rumah.
Penyerahan secara yuridis hak milik atas rumah
sebagai jaminan utang dibuktikan dengan Akta
Jaminan Fidusia yang dibuat oleh dan dihadapan
notaris.
Pengertian notaris disebutkan dalam Pasal 1 angka
1 Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini. Produk dari tugas
notaris adalah akta notaris, pengertian akta notaris
disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang
No. 2 Tahun 2014, yaitu akta otentik yang dibuat
oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang
ini.
Akta otentik menurut Pasal 1868 Burgerlijk
Wetboek (BW), adalah akta di dalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuatnya.6
Unsur utama yang merupakan essensialia agar
terpenuhi syarat formal bahwa suatu akta
merupakan akta otentik, yaitu:
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
6 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita, Jakarta, 1985, h. 419.
a. di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
undang;
b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;
c. akta itu dibuat oleh dan dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu dan di
tempat dimana akta itu dibuat.7
Pendapat yang sama tentang unsur-unsur akta
otentik dikemukakan oleh Wawan Setiawan, yaitu:
a. bentuk akta harus ditentukan oleh Undang-
undang, artinya tidak boleh ditentukan oleh
perangkat peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-undang;
b. dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;
c. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum
dalam wilayah jabatannya.8
Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW, suatu akta
dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi
3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif, yaitu:
a. bentuk akta ditentukan oleh Undang-undang;
b. akta dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta;
c. akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah
(wilayah) kerjanya.
Kewenangan notaris untuk membuat akta
ditetapkan dalam Pasal 15 Undang-undang No.
2 Tahun 2014, yaitu:
(1)Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.
(2)Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dan asli surat-surat di bawah
tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan foto
kopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang;
(3)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai
kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6 Undang-undang No. 42 Tahun 1999
menetapkan bahwa Akta Jaminan Fidusia yang
dibuat oleh notaris sekurang-kurangnya memuat:
a) identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b) data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
c) uraian mengenai benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia;
d) nilai penjaminan; dan
e) nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
c. Adanya Pendaftaran Jaminan Fidusia
Untuk terwujudnya tertib administrasi, asas
publisitas, dan jaminan kepastian hukum bagi
kreditor terhadap kreditor lainnya, maka hak milik
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
63
7 Irawan Soerodjo, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003, h. 250.
8 Wawan Setiawan, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996, h. 12.
atas rumah yang dibebani dengan Jaminan Fidusia
wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup
tugas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan untuk pertama
kali di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan
secara bertahap didirikan di setiap wilayah ibukota
provinsi. Dalam hal Kantor Pendaftaran Fidusia
belum didirikan di tiap kabupaten/kota, maka
wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota
provinsi meliputi seluruh kabupaten/kota yang
berada di lingkungan wilayahnya. Saat ini, Kantor
Pendaftaran Fidusia baru didirikan di ibukota
provinsi. Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Provinsi.
Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan
oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan
melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan
Fidusia. Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia
memuat:
a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b. tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama,
dan tempat kedudukan notaris yang memuat
akta Jaminan Fidusia;
c. data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
d. uraian mengenai benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia;
e. nilai penjaminan; dan
f. nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan
Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal
yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran.
Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia
ke Kantor Pendaftaran Fidusia menjadi tanda
lahirnya Jaminan Fidusia.
Sebagai tanda bukti terjadinya Jaminan Fidusia,
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertipikat
Jaminan Fidusia dan menyerahkan kepada
Penerima Fidusia pada tanggal yang sama dengan
tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
Sertipikat Jaminan Fidusia merupakan salinan dari
Buku Daftar Fidusia. Jaminan Fidusia lahir pada
tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya
Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 42
Tahun 1999 ditetapkan bahwa dalam Sertipikat
Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”. Berdasarkan kata-kata ini, Sertipikat
Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang
dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah
langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui
pengadilan dan bersifat final serta mengikat para
pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.9
Apabila Pemberi Fidusia wanprestasi, eksekusi
terhadap hak milik atas rumah yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a) pelaksanaan title eksekutorial oleh Penerima
Fidusia;
b) penjualan rumah yang menjadi objek Jaminan
Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c) penjualan di bawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan Pemberi Fidusia dan
Penerima Fidusia jika dengan cara demikian
dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.
Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan,
Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan
tersebut kepada Pemberi Fidusia. Apabila hasil
eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
64
9 Sutan Remy Syahdeni, Op.cit., h. 45.
debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang
belum terbayar.
Hapusnya hak milik atas rumah sebagai Jaminan
Fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal
26 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, yaitu:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
berupa hak milik atas rumah;
b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh
Penerima Fidusia; dan
c. rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia
musnah.
Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor
Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan
Fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai
hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya
rumah yang menjadi objek Jaminan Fidusia
tersebut. Dengan hapusnya Jaminan Fidusia,
Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan
Jaminan Fidusia dari Daftar Buku Fidusia. Kantor
Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan
yang menyatakan Sertipikat Jaminan Fidusia yang
bersangkutan tidak berlaku lagi.
Hambatan dan permasalahan yuridis yang muncul
berkaitan dengan hak milik atas rumah tidak
beserta tanahnya dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Fidusia adalah sampai sekarang belum
ada surat tanda bukti kepemilikan bangunan
rumah yang menjadi perintah Undang-undang
No. 28 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah
No. 36 Tahun 2005. Atas dasar hambatan dan
permasalahan ini, dalam pelaksanaan hak milik
atas rumah tidak beserta tanahnya yang menjadi
objek Jaminan Fidusia akan menemui kesulitan
penjaminannya, yaitu rumah yang diserahkan
secara yuridis oleh Pemberi Fidusia kepada
Penerima Fidusia sebagai Jaminan Fidusia tidak
ada surat tanda bukti kepemilikannya.
Penutup
Rumah mempunyai fungsi sebagai aset bagi pemiliknya,
maka rumah mempunyai nilai ekonomis yang dapat
dinilai dengan uang, sehingga rumah dapat dijadikan
jaminan utang. Apabila yang dijadikan jaminan utang
adalah rumah tidak beserta hak atas tanahnya, maka
lembaga jaminannya adalah Fidusia. Rumah yang dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Jaminan Fidusia adalah
rumah yang sifatnya dimiliki bukan bukan rumah sewa.
Mekanisme pembebanan jaminan Fidusia adalah rumah
adalah adanya perjanjian utang piutang antara pemilik
rumah sebagai debitur dengan pihak lain (bank) sebagai
kreditur, adanya Akta Pembebanan Fidusia yang dibuat
oleh notaris, dan pendaftaran Jaminan Fidusia kepada
Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagai tanda bukti Jaminan
Fidusia diterbitkan Sertipikat Jaminan Fidusia oleh Kantor
Pendaftaran Fidusia.
Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah agar hak
milik atas rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Jaminan Fidusia, maka Pemerintah Daerah harus
melaksanakan perintah Undang-undang No. 28 Tahun
2002 juncto Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005
untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur
surat tanda bukti kepemilikan bangunan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
65
66
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi
Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Setiawan, Wawan, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan Dengan Kedudukan Pejabat
Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional”, Makalah, Surabaya, 1 Juni 1996.
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hak Atas Tanah di Indonesia, Apollo, Surabaya, 2003.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Burgerlijk Wetboek, Paradnja Paramita,
Jakarta, 1985.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Syahdeni, Sutan Remy, “Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia”,
Majalah HUKUM BISNIS, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999.
Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pendahuluan
Konsideran Undang Undang Nomor 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat menegaskan, pembangunan bidang
ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Mencermati isi konsideran tersebut, bahwa demokrasi
dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi warga Negara untuk
berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
barang atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif
dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Selain itu, bahwa setiap orang yang berusaha di
Indonesia harus berada dalam situasi persaingan usaha
yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku
usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan
yang telah di laksanakan.
Pada dasarnya setiap pelaku usaha yang melakukan
aktivitas usahanya di dunia ini dalam bentuk apapun
tiada lain yang menjadi tujuan utama adalah
keberuntungan dan keberhasilan yang banyak, namun
semua itu ada rule of law dalam melakukan kegiatan
usahanya, apabila pelaku usaha melakukan
pelanggaran terhadap peraturan yang ada, maka
akan di kenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang
berlaku pada saat ini.
POLITIK HUKUM PERSAINGAN USAHA MENUJU SISTEM PERSAINGAN SEHAT DI MASA YANG
AKAN DATANG
Oleh :
Nadir, S.H., MH. 1
Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan
Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim
Email: [email protected]
Abstrak
Pertumbuhan dan perkembangan prekonomian negara Indonesia sedikit atau banyak akan dipengaruhi oleh
persaingan usaha yang sehat antar sesama pelaku usaha baik sekarang maupun di masa yang akan datang, sedangkan
persaingan yang sehat akan ditentukan oleh: kebijakan hukum dalam pembangunan ekonomi (the legal policy development
of economics); kebijakan hukum dalam persaingan usaha (legal policy to fair competition); politik pembentukan hukum
perspektif undang-undang (law making proses); dan proses pengambilan keputusan dalam pembentukan hukum
persaingan usaha (decision making of proces).
Kata Kunci: politik hukum, persaingan usaha, sistem persaingan sehat
1 Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan Madura Jawa Timur .
67
Persaingan pada dasarnya merupakan hal yang
manusiawi dan wajar di lakukan dalam kehidupan
bersama, sebab dengan adanya culture competition
telah mendorong pelaku usaha untuk berkreasi dan
berinovasi yang pada gilirannya pelaku usaha
memperoleh kemajuan dan peningkatan kualitas
hidupnya. Kemajuan dan peningkatan kualitas hidup
yang diperoleh dari culture competition secara fair
and properly serta sehat berupa usaha peningkatan
baik dalam bidang teknologi maupun dalam manajerial
usaha dengan melalui proses maupun dilakukan
dengan usaha yang efektif dan efisien yang selalu
membawa kebaikan dalam kehidupan bersama,
sangatlah wajar jika manusia dalam dunia ini semuanya
berlomba-lomba untuk memenangkan apa yang
namanya keberuntungan dan keberhasilan yang luar
biasa, akan tetapi tidak menghalalkan segala cara
dengan sikut kanan sikut kiri untuk memenangkan
keberuntungan itu.2
Sebaliknya jika suatu persaingan dilandasi dengan
suatu iktikat buruk, persaingan tersebut selalu
dilakukan dengan usaha yang tidak sehat, yang
hasilnya adalah merugikan pihak lain yakni pihak
sesama pelaku usaha maupun konsumen. Keadaan
semacam ini akan menimbulkan masalah hukum.
Usaha tidak sehat dan tidak wajar ini dapat dilakukan
dengan variasi bentuk seperti dalam bentuk
pembajakan, pembajakan tenaga ahli, Oligopoli,
Penetapan harga, Pembagian wilayah, Pemboikotan,
Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian
tertutup, Perjanjian dengan pihak luar Negeri, Posisi
dominan maupun usaha lain misalnya dengan
penyelundupan pajak, sehingga ia tidak harus
mengeluarkan biaya untuk itu yang tentunya ia dapat
menjual produknya dengan perolehan laba yang lebih
banyak.3
Berdasarkan fenomena persaingan usaha di atas,
persaingan tidak selalu mengarah pada hal yang
positif, maka masalah seperti ini sudah seharusnya
mendapat perhatian dengan memberikan
perlindungan hukum yang secukupnya bagi pelaku
usaha atau bisnis yang jujur. Perlindungan hukum
yang dimaksud adalah dengan mengatur secara
tersendiri masalah ini dalam peraturan perundang-
undangan, tentang batas-batas pengertian dari
perbuatan yang digolongkan sebagai persaingan
yang sehat dan perbuatan yang di golongkan sebagai
persaingan yang tidak sehat, sehingga lahirlah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak sehat, namun demikian adanya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 ini tidak cukup memadai untuk
menangani peroblematika persaingan usaha di masa-
masa mendatang. Oleh karena itu, penulis memberikan
gagasan politik hukum persaingan usaha menuju
sistem persaingan usaha sehat di masa yang akan
datang.
B. Kebijakan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
(The Legal Policy Development of Economics)
Penguasaan 80% (delapan puluh persen) permukaan
bumi dan 75% (tujuh puluh lima persen) populasi
dunia selama kurun waktu berabad-abad oleh bangsa
Eropa, telah menciptakan krisis berkepanjangan di
Negara-negara jajahannya. Krisis berkepanjangan itu
kemudian harus pula diperberat oleh akibat PD ke I,
PD ke II yang akhirnya tidak hanya menciptakan krisis
baru di Negara-negara jajahannya, tetapi juga hampir
di seluruh kawasan dunia. PD II telah menciptakan
penderitaan dan kemunduran ekonomi yang dahsyat,
yang akhirnya membangkitkan kesadaran masyarakat
bangsa-bangsa untuk membenahi kehancuran global.4
Setelah PD ke II konsentrasi orientasi masyarakat
internasional benar-benar terpusat pada pembangunan
ekonomi global. Kerja sama regional dan bilateral
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2 Djoko Imbawani, Reading Material Seri Kuliah Hukum Dagang. Fakultas Hukum Univ. Widyagama Malang, 2002, hlm. 56
3 Ibid.4 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung,
2003), hlm. 169
menjadi semacam trend baru yang kebanyakan
terfokus pada kerja sama ekonomi. Kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan segera membawa
perubahan-perubahan besar diberbagai Negara.
Masyarakat Eropa merancang kerja sama ekonomi
regional, seperti juga yang dilakukan oleh Negara-
negara Amerika Utara, Tengah dan Selatan. PBB juga
telah mengambil peran yang sangat penting dalam
perkembangan baru yang serba cepat itu, melalui
badan-badan khususnya, International Bank for
Recornstruction Development (IBRD), Economic and
Social Council (ECOSOC), majelis umum (general
assembly), dewan keamanan (security council) dan
badan-badan lainnya.5
Pada tahun 1970-an beberapa Negara anggota
masyarakat internasional telah menunjukkan kemajuan
yang sangat mengagumkan, tetapi bersamaan dengan
itu berkembang pula permasalahan baru yang sangat
serius, yaitu kesenjangan yang semakin tajam antara
kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-
negara maju dengan Negara-negara berkembang.
Negara-negara maju yang terdiri dari 20% (dua puluh
persen) penduduk dunia menikmati sekitas 2/3 (dua
pertiga) penghasilan dunia. Sementara Negara-negara
berkembang yang berpopulasi 50% (lima puluh persen)
dari penduduk dunia, menikmati 1/8 (satu perdelapan)
pendapatan dunia, dan negara-negara miskin yang
berpenduduk sekitar 30% (tiga puluh persen) dari
penduduk dunia, hanya menikmati 3 (tiga) persen
dari pendapatan dunia.6
Keadaan buruk ini diakibatkan oleh antara lain:
Pertama, keterpusatan modal dan teknologi, keahlian,
dan informasi pada negara-negara maju. Kedua,
kemelaratan dan kemiskinan Negara-negara ketiga
sebagai akibat kolonialisme. Ketiga, jumlah penduduk
yang besar pada Negara-negara ketiga, yang
cenderung lebih merupakan beban bagi mereka.
Keempat, kemunduran ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi pada Negara-negara itu. Kelima,
mahalnya biaya yang harus dipertaruhkan oleh negara-
negara ketiga bagi setiap bentuk kerja sama
pembangunan dan bantuan modal dari Negara-negara
maju. Keenam, besarnya tekanan Negara-negara
maju terhadap negara-negara berkembang sebagai
konsekuensi dari perbedaan dan kesenjangan potensi
pada kedua kelompok Negara itu. Keseluruhan kondisi
global ini mensyaratkan satu hal penting yang bersifat
absolut, yaitu pembangunan. Makna pembangunan
bagi Negara-negara maju adalah perjuangan untuk
menguasai potensi ekonomi, kesejahteraan, dan
perjuangan untuk mempertahankan perkembangan
serta kemajuan untuk kepentingan masa kini dan
masa depan bangsanya. Sedangkan makna
pembangunan bagi Negara-negara yang berkembang
adalah perjuangan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan, perjuangan untuk
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, keahlian,
dan informasi, serta perjuangan untuk melakukan
tekanan-tekanan ekonomi dari Negara-negara maju.7
Kedua karakter orientasi pembangunan ekonomi itu
segera menunjukkan perbedaan yang sangat tajam.
Jika pembangunan ekonomi di Negara-negara maju
telah berorientasi pada pengejaran pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan, maka pembangunan
ekonomi di Negara-negara berkembang masih
berorientasi pada pembangunan sendi-sendi
pembanguan ekonomi itu, dan bersamaan dengan
itu, mereka harus pula berjuang melawan tekanan-
tekanan ekonomi dari Negara-negara maju. Hal ini
mengakibatkan perluasan makna pembangunan bagi
Negara-negara berkembang dan menjadikannya
bentuk perjuangan yang bersifat ganda.8
Untuk mencapai tujuan yang berat dan kompleks itu,
menurut Lili Rasjidi suatu proses pembangunan
membutuhkan perencanaan yang cermat. Perencanan
ini antara lain juga mencakup jaminan dan
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
5 Ibid.
6 Ibid.170
7 Ibid, hlm. 170-171
8 Ibid, hlm. 171
perlindungan hukum terhadap keteraturan,
kelancaran, dan keseluruhan proses dan hasil-hasil
dari pembangunan itu, dan karenanya dibutuhkan
suatu instrumen yang mampu memberikan jaminan,
perlindungan, kepastian, dan arah bagi pembangunan
itu. Instrumen itu adalah hukum. Pada masyarakat
hukum Negara-negara berkembang, pembangunan
hukum bermakna lebih kompleks lagi, tidak hanya
menyangkut pengadaan hukum-hukum baru,
melainkan juga termasuk reformasi konsep dan
hampir seluruh komponen sistem hukum. Bertolak
dari kenyataan ini, pembangunan hukum merupakan
suatu permasalahan yang lebih bersifat global
daripada sekedar bersifat lokal.
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat menegaskan bahwa
pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka
Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan,
antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan
rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai
di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di
berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan
bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan
Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi
lainnya. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai
selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan,
khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum
terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan
globalisasi perekonomian serta dinamika dan
perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-
an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga
dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum
membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor
ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode
tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk
kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga
pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan
usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung
oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil
keputusan (decision making) dengan para pelaku
usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung,
sehingga lebih memperburuk keadaan.
Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu
kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
serta cenderung menunjukkan corak yang sangat
monopolistik dan liberalistik.
Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan
mendapatkan kemudahan-kemudahan yang
berlebihan, sehingga berdampak kepada kesenjangan
sosial. Munculnya konglomeratisasi dan sekelompok
kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh
semangat kewirausahaan sejati merupakan salah
satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi
menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas,
menuntut masyarakat untuk mencermati dan menata
kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha
dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan
wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang
sehat, efektif dan efisien serta terhindarnya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha perorangan
atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
yang merugikan masyarakat yang bertentangan
dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menyertai kehidupan manusia di
abad modern ini, maka perkembangan hukumpun
tidak dapat dikesampingkan di tengah kedidupan
intelektual manusia yang serba canggih lebih-lebih
dalam melakukan transaksi perdagangan baik secara
nasional maupun transnasional. Hukum harus mampu
mengendalikan dan merekayasa kehidupan manusia
termasuk perkembangan politiknya dalam setiap
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
aktivitasnya karena esensinya tidak ada suatu aktivitas
di dunia ini yang lepas dari prakarsa hukum, sehingga
setiap tatanan kehidupan manusia diatur oleh hukum
di mana hukum sebagai instrumen untuk mengatur
kehidupannya.
Sudarsono menegaskan bahwa di dalam kehidupan
sehari-hari terdapat sesuatu yang sangat penting
untuk dapat mengatur kehidupan masyarakat, sesuatu
tersebut adalah hukum. Pada prinsipnya hukum adalah
kenyataan dan pernyataan yang beraneka ragam
untuk menjamin adanya penyesuaian kebebasan dan
kehendak seseorang dengan orang lain. Berdasarkan
asumsi ini hukum pada dasarnya mengatur hubungan
antara manusia di dalam masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip yang beraneka ragam pula. Oleh karena
itu, setiap orang di dalam masyarakat wajib taat dan
mematuhinya.9
Para sosiolog yang berorientasi pada hukum antara
lain Emile Durkheim, Max Weber, Roscoe Pound.
Durkheim mengemukakan bahwa dalam setiap
masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas
organis, dan ada pula solidaritas mekanis. Solidaritas
mekanis selalu terdapat dalam masyarakat sederhana,
hukumnya bersifat represif yang diasosiasikan seperti
dalam hukum pidana. Sementara dalam solidaritas
organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern,
hukumnya bersifat restitutif yang diasosiasikan seperti
dalam hukum perdata.
Dalam kaitan ini Max Weber yang terkenal dengan
teori “Ideal type-nya” ia mengemukakan bahwa di
dalam hukum terdapat 4 (empat) tipe ideal yaitu,
pertama, Irasional formal. Kedua, Irasional material.
Ketiga, Rasional formal (dalam masyarakat modern
dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum),
dan keempat, Rasional material.
Pada dasarnya hukum sudah mengatur sedemikan
rupa tentang perbuatan manusia yang harus dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan. Namun demikian,
tidak memungkiri dan tidak mengesampingkan realita
empirik bahwa seringkali hukum yang dirumuskan
di dalam peraturan perundang-undangan tidak
memenuhi bahkan kurang mampu mengatur dan
mengikuti, serta menggali perkembangan masyarakat
dengan segala sikap tindaknya.
Sementara itu, hukum adalah suatu tata perbuatan
manusia, “tata perbuatan” mengandung arti suatu
sistem aturan. Hukum bukan satu aturan semata,
seperti dikatakan demikian, melainkan. hukum adalah
seperangkat peraturan yang dipahami dalam satu
kesatuan yang sistemik, tidak mungkin untuk
memahami hakikat hukum hanya dengan
memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang
mempersatukan berbagai peraturan khusus dari satu
tata hukum perlu dimaknai agar hakikat hukum
dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang
jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk
tata hukum tersebut bahwa hakikat hukum dapat
dipahami dengan sempurna.10 mulai dari asal-muasal
serta perkembangannya.
Ketika hukum diperankan sebagai alat rekayasa sosial
(law as a tool of social engineering) tak pelak
menempatkan peraturan perundang-undangan pada
posisi yang sangat penting dalam mengatur tata
kehidupan masyarakat. Konsep hukum sebagai alat
rekayasa sosial pertamakali diperkenalkan oleh Roscoe
Pound, di mana konsep tersebut dipopulerkan di
Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja yang
mengetengahkan konsep Roscoe Pound tentang
perlunya memfungsikan “law as a tool of social
engineering” di Indoensia.11 Mochtar berargumentasi
bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk
merekayasa masyarakat menurut skenario kebijakan
71
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
9 Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Jakarta, 1991), hlm. 1
10 Hans kelsen, General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia oleh Somardi (Jakarta, 2007), hlm. 3
11 Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan Hukum Indonesia. (Jakarta, 1994), hlm. 231
Pemerintah (eksekutif) sangatlah diperlukan oleh
negara-negara yang sedang berkembang jauh melebihi
kebutuhan negara-negara industri maju yang telah
mapan. Negara-negara maju telah memiliki mekanisme
hukum yang telah berjalan untuk mengakomodasi
perubahan-perubahan dalam masyarakatnya.
Sedangkan negara-negara yang tengah berkembang
tidaklah demikian. Padahal harapan-harapan dan
keinginan masyarakat-masyarakat di negara-negara
yang sedang berkembang akan terwujudnya
perubahan-perubahan yang membawa perbaikan
taraf hidup amatlah besar melebihi harapan-harapan
yang diperlukan oleh masyarakat-masyarakat di
negara-negara yang telah maju.12
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan
pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa
pembaharuan hukum. Secara umum ada 3 (tiga)
tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami
oleh suatu negara mulai dari negara berkembang
sampai menjadi negara maju, yaitu Pertama, unifikasi
(unification) dengan titik berat bagaimana mencapai
integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan
kesatuan nasional. Kedua, industrialisasi
(industrialization) dengan fokus perjuangan untuk
pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, dan
tahap Ketiga, negara kesejahteraan (social welfare)
di mana tugas negara terutama adalah melindungi
rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan
kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan fokus
utama kesejahteraan rakyat.13
Negara-negara maju telah berhasil melalui ke tiga
tahapan atau tingkatan pembangunan tersebut satu
demi satu dengan baik dan memerlukan waktu yang
cukup lama. Sedangkan negara-negara yang sedang
berkembang ingin mencapai ketiga tahapan atau
tingkatan pembangunan tersebut secara sekaligus
dan bersamaan. Di suatu negara pembangunan yang
baik adalah pembangunan yang dilakukan secara
komprehensif. Artinya pembangunan selain mengejar
pertumbuhan ekonomi semata, juga harus
memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan
hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah
diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan,
baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan
budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah,
sedang dan akan dilakukan oleh Pemerintah akan
mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.14
Sementara studi mengenai hukum dan pembangunan
dapat diketahui, setidaknnya ada 5 (lima) kualitas
hukum yang kondusif bagi perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, yaitu (1) stabilitas
(stability), (2) dapat diramalkan (predictability), (3)
keadilan (fairness), (4) pendidikan (education), dan
(5) pengembangan profesi hukum (the special
development abilities of the lawyer). Stabilitas dan
predictability adalah merupakan prasyarat untuk
berfungsinya sistem ekonomi. Predictability sangat
berperan, terutama bagi negara-negara yang
masyarakatnya baru memasuki hubungan-hubungan
ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional
mereka. Sedangkan stabilitas berarti hukum berpotensi
untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.15
Aspek keadilan akan tercermin dari proses hukum,
persamaan di hadapan hukum, dan standar
sikap/perlakuan Pemerintah, dan lain-lain akan
72
12 Mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung, 1986), hlm. 2-7
13 Daniel Suryana, ”Peranan Hukum dan Ahli Hukum” dalam Blogster www.google.com. Selanjutnya lihat pula Thomas M. Franck. “The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”. Wisconsin Law Review No. 3 (1972) hlm. 778, dalam Erman Rajagukguk “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, makalah Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
14 Daniel Suryana, Ibid.
15 Daniel Suryana, Ibid.
mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan
mencegah campur tangan Pemerintah yang terlalu
dominan. Sedangkan pendidikan dan pengembangan
profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang
harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat
berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan
hukum dan pembangunan ekonomi.
Partisapasi masyarakat dalam pembangunan sangat
diperlukan, terutama dalam era globalisasi ekonomi
melalui media pasar bebas, yang sebenarnya bukan
hal baru bagi Indonesia, karena sudah sejak lama,
masa perdagangan rempah-rempah, masa tanam
paksa (culture stelsel) di mana modal swasta zaman
kolonial dengan buruh paksa. Sedangkan globalisasi
ekonomi sekarang ini merupakan manifestasi baru
dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem
ekonomi internasional.
Globalisasi ekonomi diikuti globalisasi hukum, maka
materi muatan berbagai Undang-undang dan
perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif
harus mengadopsi kaedah-kaedah dan
diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan
internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-
batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi
perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta
kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-
hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi
ekonomi baru.
Pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus
selaras dengan arah dan kebijakan politik ekonomi
pembangunan dan politik hukum pembangunan serta
politik pembangunan masyarakat secara intern dan
transdisipliner secara holistik dan sistematik, sehingga
dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum
ekonomi (economic law) merupakan bidang hukum
yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat
dan kepentingan umum (public interest).
Untuk itu, pendekatan ekonomi terhadap hukum,
akan menjadi salah satu cara agar tidak terjadi
ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dan
antar negara dengan negara lainnya baik secara
nasional, regional maupun internasional. Program
legislasi nasional di masa mendatang perlu memberikan
prioritas pada Undang-undang yang berkaitan dengan
masalah, persaingan usaha, ekonomi untuk
pembangunan dan demokratisasi ekonomi guna
mencapai efektivitas dan efisiensi, serta memenuhi
fungsi hukum sebagai sebagai instrumen usaha/bisnis
dalam memberikan kepastian bagi sesama palaku
usaha, konsumen dan masyarakat umum.
C. Kebijakan Hukum Dalam Persaingan Usaha
(legal policy to fair competition)
Dalam mengkaji persaingan usaha teori hukum
berfungsi untuk menganalisis pengaturan dan
implementasi doktrin dan asas-asas hukum universal
yang dimaksudkan untuk menciptakan persaingan
usaha yang sehat, serta implementasi makna demokrasi
ekonomi yang bersumber dari Pasal 33 UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
adalah mengatur permasalahan ekonomi dalam
perdagangan, maka selain menggunakan teori dan
konsep-konsep ilmu hukum, juga digunakan teori
dan konsep-konsep ilmu ekonomi sebagai alat bantu
guna melengkapi analisis sebagai jawaban terhadap
isu hukum yang diteliti. Kemudian filsafat hukum
juga digunakan sebagai refleksi terhadap aturan-
aturan hukum yang akan dibahas, dan sebagai refleksi
tentang landasan dari kenyataan.
Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah
diakomodasi ke dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum posisitif
(ius constitutum) dan peraturan lain yang berkaitan
dengan itu. Namun kebijakan itu tidak akan cukup
atau memadai tanpa disertai dengan pendekatan
penegakan hukum (law enforcement Approach) yang
benar-benar memiliki kapabilitas dan kridibilitas dari
lembaga yang memiliki wewenang melakukan
penegakan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal ini Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Sebagaimana penulis jelaskan di awal, bahwa hukum
yang diproyeksikan dalam bentuk kodifikasi undang-
undang tidak akan lengkap dan tidak mungkin
lengkap dalam mengatur suatu obyek tertentu. Namun
demikian, secara substansial Undang-undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengatur
dengan jelas dan terinci tentang perjanjian-perjanjian
yang dilarang, kegiatan-kegiatan yang dilarang, serta
posisi dominan, sehingga tidak ada alasan bagi pelaku
usaha dalam melakukan aktivitas usahanya untuk
tidak mengindahkan apa yang diperbolehkan dan
apa yang dilarang di dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang barang kali
ke depan perlu dilakukan review kembali mengingat
perkembangan persaingan usaha yang sangat massif
san substantif dalam mendorong pertumbuhan
perekonomian Indonesia di masa-masa mendatang.
D. Politik Pembentukan Hukum Perspektif Undang-
Undang (Law Making Proses)
Robert Meagher dan David N. Smith mengemukakan,
bahwa suatu proses pembentukan hukum (undang-
undang) adalah sebagai berikut:16
1. Pertama sekali dimulai dengan dicarinya formulasi
policy yang dibentuk melalui sejumlah diskusi oleh
sekompok orang;
2. Tahap berikutnya barulah dibentuk lembaganya,
yakni perundang-undangannya;
3. Selanjutnya dilanjutkan dengan tahap
implementasi atau pelaksanaan dari undang-
undang tersebut. Dalam tahap pelaksanaan ini
akan menimbulkan beberapa masalah yang perlu
mendapat pemecahan;
4. Dalam tahap proses pemecahan permasalahan ini
pada akhirnya timbul perwujudan yang sebenarnya
dari undang-undang tersebut.
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum
sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut
oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas
pembentukannya. Proses ini berbeda pada setiap
kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana,
pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses
penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum
atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan
kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-
kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam
masyarakat Negara yang menganut sistem Eropa
Kontinental (civil law system) atau tradisi hukum sipil,
pembentukannya dilakukan oleh legislatif. Sedangkan
dalam masyarakat Negara yang menganut tradisi
hukum kebiasaan (common law system)
kewenangannya terpusat pada hakim (judges as a
central of legal action).17
Di samping kedua tradisi tersebut, terdapat juga
kecenderungan untuk menggabungkan kedua tradisi
tersebut. Kecenderungan ini tidak hanya terlihat pada
Negara-negara ketiga, tetapi juga pada Negara yang
pada mulanya secara ketat memegang salah satu dari
kedua tradisi besar itu, seperti Inggris, Negara-negara
Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini tampak
sebagai penjelajahan baru dari peradaban intelektual
manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan
formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan dan
tujuan-tujuannya sebagai suatu Negara hukum. Dalam
formulasi kombinatif ini fungsi pembentukan hukum,
dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif
maupun badan-badan administratif yang melakukan
fungsi semacam itu. Risikonya memang tidak kecil,
karena perluasan formulasi semacam itu dapat
mengaburkan kompetensi dari setiap komponen
pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas
74
16 Lihat Loebby Loqman, Pra pradilan di Indonesia (Jakarta, 1990), hlm. 11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai.., Op.Cit, hlm.162-163
hukum menjadi sangat kompleks, perluasan itu juga
dapat mengakibatkan overlapping substansi atau
perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum,
maka masalah serius yang segaris dengan lintasan
masalah ini adalah kekaburan hukum. Setiap prinsip,
pembicaraan tentang komponen pembentukan
hukum, hakikatnya meliputi pembicaraan tentang
personil pembentuknya, institusi pembentuknya,
proses pembentukannya dan bentuk hukum hasil
bentukannya.18
Adanya pandangan bahwa hukum sebagai sistem
tertutup merupakan salah satu kelemahan dari
Positivisme Hukum. Persoalannya adalah, jika sistem
hukum bersifat terbuka, seberapa besar toleransi
hukum terbuka bagi sistem-sistem lain untuk masuk
ke dalam pergulatan internal sistem hukum.
Secara prosedural dalam optik pembentukan hukum
di Indonesia, desain hukum persaingan usaha menjadi
kental bermuatan politik atau versi politik. Hal ini
dapat dimengerti karena sistem hukum memang tidak
mungkin menutup diri dari sistem-sistem lain ketika
hukum harus dibentuk oleh lembaga politik.
Di sini jelas kelihatan bahwa hukum adalah produk
politik. Hal ini sesungguhnya hanya dapat dibenarkan
apabila dilihat dari arus energi saja. Sementara jika
dilihat dari aspek informasi (material), hukum adalah
produk budaya. Oleh karena itu, diskursus aliran-
aliran filsafat hukum seperti yang dikemukakan di
depan, menjadi makin relevan apabila dikaji dari
perspektif Parsonian.
Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain
ditunjukkan secara sangat baik oleh Talcott Parson
dengan Teori Sibernetika-nya19. Dalam teorinya, Parson
menyebutkan tentang ada 4 (empat) sub sistem :
budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang senantiasa
melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari
arus energi, sub sistem ekonomi menempati
kedudukan paling kuat, diikuti sub sistem politik,
baru kemudian sub sistem sosial (di mana hukum ada
di dalamnya), dan diakhiri oleh sub sistem budaya.
Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), sub
sistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh
sub sistem sosial, subsistem politik, dan berakhir pada
subsistem ekonomi.
Jika Parson menggunakan teori Cybernetics untuk
menjelaskan hukum sekedar sebagai bagian dan
sistem norma belaka dalam sistem sosial, maka hal
tersebut bertolak belakang dengan prinsip-prinsip
Cybernetics yang dibangun oleh pencetusnya, yakni
Norbert Wiener, karena Wiener pemilik teori
Cybernetics20 ini justru menempatkan hukum sebagai
pusat kekuatan, pengendali, dan pengikat keseluruhan
unsur-unsur sistem sosial. Perbedaan esensial
penggunaan teori Cybernetics ini dalam hubungan
dengan analisis hukum telah menunjukkan bahwa
orang semacam Parson telah menggunakan teori-
teori mekanis secara berlawanan atau mengingkari
esensi teori-teori Cybernetics, sehingga mengakibatkan
tidak objetifnya hasil penggunaan teori-teori itu.
Kekeliruan semacam itu adalah kekeliruan umum
yang terjadi pada abad ke-20-an. Pertama, sebagai
akibat masih dominannya pendekatan mekanis-
analitis. Kedua, dilakukannya pemaksaan penerapan
pendekatan-pendekatan itu dalam ilmu-ilmu bukan
mekanis. Ketiga, terlibatnya ahli-ahli ilmu tertentu
dalam menganalisis objek ilmu yang bukan objeknya.21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
75
20 Norbert Wiener dalam bukunya “The Human of Human Being Cybernetics and Society, (1950 : 32) sebagaimana yang dikutip oleh Lili Rasjidi dan Wyasa Putra “Hukum Sebagai Suatu Sistem” (2003 : 66) mengemukakan bahwa Cybernetics merupakan salah satu teori sistem mekanis (mechanism systemmachine system) yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Cybernetics diambil dari kata Yunani “Kubernetis” yang sama artinya dengan “steersman” tau “governor” yang dalam bahasa Indonesi dapat dipadankan dengan istilah “alat” atau “pengatur” (on an engine)
21 Periksa Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai..........., Loc.Cit, hlm. 67
18 Ibid, hlm. 163
19 Periksa Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung, 1985),
Lebih lanjut Wiener mengekukakan, bahwa hukum
merupakan pusat pengendalian komunikasi antar
individu, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan
sebagai tujuannya. Hukum itu diciptakan oleh
pemegang kekuasaan yang menurut premis yang
mendahuluinya disebut sebagai central organ.
Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan
dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu,
penghindaran sengketa atau dengan penerapan sanksi
hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara
demikian, setiap individu diharapkan berperilaku
sesuai dengan perintah dan keadilan dapat terwujud
karenanya.
Jika melihat pandangan Winer bahwa hukum
merupakan pusat pengendalian komunikasi antar
individu, maka jika tesis Winer ini diproyeksikan dalam
konteks persaingan usaha antar sesama pelaku usaha,
sangat jelas hukum merupakan sarana (instrumen)
pengatur antar sesama pelaku usaha dalam
menjalankan aktivitas usahanya agar senantiasa
mematuhi aturan yang ada sehingga akan terwujud
persaingan yang sehat jika hukum sebagai
pengendalinya, karenanya lahirnya Undang-undang
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat.
Konsep hukum menurut pandangan Wiener di atas,
pada dasarnya sudah mengarah kepada penggunaan
hukum tertulis. Hal itu bisa dilihat dari kalimat “hukum
diciptakan oleh pemegang kekuasaan yang menurut
premis yang mendahuluinya disebut sebagai central
organ”.
Nampaknya penggunaan hukum tertulis sebagai alat
rekayasa sosial sudah menjadi trend dari ciri sistem
hukum modern, di mana ciri tersebut dikembangkan
oleh Marc Galanter sebagai orang ahli sosiologi
hukum. Galanter menyebutkan sebelas ciri sistem
hukum modern itu.22
Pertama, Aturan-aturan dalam hukum modern itu
bersifat seragam. Maksudnya, ketika diterapkan,
bentuk penerapannya tidak banyak bervariasi.
Penerapannya tidak lagi mengenal diskriminasi
berdasarkan suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin,
dan lain-lain. Paling-paling perbedaannya karena
teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat teritorial
daripada personal.
Kedua, Hukum modern bersifat transaksional. Artinya,
hak dan kewajiban para pihak dalam suatu hubungan
hukum sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-
menawar antar mereka. Di sini tidak lagi dikenal
bahwa laki-laki harus diberi hak lebih besar daripada
wanita, atau yang lebih tua mendapat lebih daripada
yang muda.
Ketiga, Hukum modern bersifat universalistik. Putusan
atas perkara-perkara yang serupa, biasanya adalah
sama. Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang
dan dapat diramalkan.
Keempat, Sistem hukum itu bersifat hirarkis. Di situ
ada jenjang-jenjangnya. Tingkat yang lebih rendah
akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,
putusan pengadilan negeri akan dikoreksi lagi pada
pengadilan tinggi, dan seterusnya putusan pengadilan
tinggi oleh Mahkamah Agung.
Kelima, Sistemnya diorganisasikan secara birokratis.
Untuk mencapai adanya keseragaman dalam putusan
(universalistik) itu, tentu diperlukan catatan-catatan
yang disusun dan diarsip secara baik. Sistem hukum
dengan demikian menjadi makin impersonal (mekanis).
Keenam, Sistem hukum modern itu adalah rasional.
Maksudnya, sistem tersebut dapat dipelajari dan
dimengerti oleh semua orang. Pada hal, dulu hanya
orang-orang tertentu yang diyakini dapat menafsirkan
maksud suatu norma hukum. Teknik-teknik teologikal
dan formalistik dalam mengartikan norma hukum itu
telah digantikan oleh teknik-teknik fungsional.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
76
22 Pendapat Galanter tersebut dikutip dari Sirajuddin, et.al, Legislative Drafting : Pelembagaan Metode Pastisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (Malang, 2006). In-Trans Publishing. hlm. 1-3
Ketujuh, Sistem itu dijalankan oleh para profesional.
Sistem peradilan, misalnya, tidak lagi bersifat ad hoc.
Semuanya dilakukan oleh mereka yang bekerja purna
waktu (full-timer). Mereka juga adalah lulusan
pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.
Kedelapan, Sistemnya menjadi lebih teknis dan
kompleks. Maksudnya adalah bahwa sistem hukum
modern itu tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang-
orang kebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli,
yakni orang-orang yang tahu seluk beluk sistem ini.
Mereka adalah para ahli hukum. Merekalah yang
menjembatani antara peradilan dengan pribadi-pribadi
yang berperkara. Peran para “general agents” sudah
digantikan oleh “lawyers”.
Kesembilan, Sistem hukum modern itu dapat diubah
atau diganti. Di sini tidak ada sesuatu yang sakral.
Perundang-undangan telah menggantikan peran
hukum adat yang lamban itu.
Sementara itu, proses pembentukan hukum harus
mengacu kepada asas-asas hukum sebagai pijakan
dari muatan nilai dan sekaligus sebagai cita hukum
itu sendiri dalam keberlakuannya. Gagasan tentang
asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental
dalam suatu sistem hukum ditemukan kembali dari
banyak teoritisi hukum. Paul Scholten misalnya
menguraikan asas hukum sebagai “pikiran-pikiran
dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem
hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-
aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-
ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya”23
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum
merupakan “jantungnya” peraturan hukum, karena
menurut Satjipto asas hukum adalah landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini
berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Kecuali disebut landasan, asas hukum layak disebut
sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau
merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas
hukum tidak akan habis kekuatannya dengan
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan
tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-
peraturan selanjutnya.24
Oleh kerena itu Paton menyebutnya sebagai suatu
sarana membuat hukum itu hidup, tumbuh dan
berkembang dan ia menunjukkan, bahwa hukum
itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan
belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas
hukum, hukum itu bukan merupakan sekedar
kumpulan peraturan-peraturan maka hal itu
disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-
nilai dan tuntutan-tuntutan etis. apabila membaca
suatu peraturan hukum, mungkin tidak menemukan
pertimbangan etis di situ. Tetapi asas hukum
menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian
itu, atau setidak-tidaknya bisa merasakan adanya
petunjuk kearah itu.25
Mendasarkan definisi yang diberikan oleh Scholten
tersebut di atas, Bruggink menyatakan, peranan dari
asas hukum sebagai meta-kaidah berkenaan dengan
kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum
itu harus dipandang sebagai bentuk yang kuat atau
yang lemah dari meta-kaidah.26
Dalam hal pertama (bentuk yang kuat), asas hukum
itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah
berkenaan dengan kaidah perilaku, dan dengan
demikian secara prinsipil dapat dibedakan dari jenis
kaidah ini. Mereka yang menganut pandangan ini,
misalnya menunjuk asas hukum sebagai kaidah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
77
23 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta (Bandung, 1999), hlm. 119-120
24 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung, 1986), hlm. 85
25 Ibid
26 J.J.H. Bruggink, Refleksi........., Op. Cit, hlm. 120
argumentasi berkenaan dengan penerapan kaidah
perilaku. Asas-asas hukum hanya akan memberikan
argumen-argumen bagi pedoman perilaku yang harus
diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan
pedoman (bagi pelaku).
Dalam hal kedua (bentuk yang lemah), asas-asas
hukum itu tampaknya dapat dianggap termasuk dalam
tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku.
Namun memiliki juga fungsi sejenis seperti kaidah
perilaku. Jadi hanya terdapat suatu perbedaan gradual
saja antara asas hukum dan kaidah perilaku. Dalam
pandangan ini maka asas hukum adalah kaidah yang
berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena asas
hukum ini memainkan peranan pada interpretasi
terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan
wilayah penerapan kaidah hukum. Berdasarkan itu
maka asas dapat dinyatakan termasuk tipe meta
kaidah. Asas hukum itu juga sekaligus merupakan
perpanjangan dari kaidah perilaku, karena asas hukum
juga memberikan arah pada perilaku yang
dikehendaki.27
Para ahli juga memberikan uraian tentang beberapa
perbedaan antara asas hukum dengan kaidah perilaku
(aturan hukum). Pendapat yang banyak dianut oleh
banyak teoritisi adalah bahwa asas hukum bersifat
umum sedangkan kaidah perilaku (aturan hukum)
bersifat khusus. Dengan “umum” dimaksudkan
bahwa asas hukum memiliki wilayah penerapan yang
lebih luas ketimbang kaidah perilaku. Makin besar
wilayahnya, makin lebih umum kaidan hukumnya,
makin lebih abstrak aturan hukum yang dirumuskannya.
Dalam suatu sistem hukum, maka asas hukum sebagai
kaidah penilaian fundamental adalah kaidah hukum
yang paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah
“umum”, berarti bahwa ia dalam penerapannya harus
dikhususkan dengan mengarahkannya pada situasi
faktual. Ini sesungguhnya berarti bahwa kaidah hukum
itu tidak cukup jelas mengharuskan, bagaimana orang
seharusnya berprilaku dalam situasi faktual itu. Dalam
hal kaidah perilaku yang terjadi justru yang sebaliknya.
Kaidah hukum yang khusus ini, yang timbul dari aturan
hukum yang dirumuskan lebih konkrit, memberikan
pedoman yang lebih jelas bagi perbuatan. Asas hukum
sebagai kaidah hukum yang umum hanya memberikan
suatu ukuran nilai. Ukuran nilai itu baru di dalam
kaidah perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus
memperoleh bentuk yang sedemikian rupa, sehingga
memunculkan pedoman yang jelas bagi perbuatan,
misalnya dengan jalan memberikan suatu hak atau
meletakkan (membebankan) suatu kewajiban.28
Perbedaan kedua antara asas hukum dan kaidah
perilaku (aturan hukum) antara lain diajukan oleh
Paul Scholten dan berada dalam garis pikiran dari
perbedaan pertama. Scholten berpendapat bahwa
aturan hukum memiliki isi yang jauh lebih konkrit,
yang menyebabkan aturan itu dalam penemuan
hukum dapat diterapkan secara langsung. Berlawanan
dengan itu asas hukum dalam penemuan hukum
memiliki daya kerja secara tidak langsung, yakni
menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap
aturan hukum. Aturan hukum terbentuk karena
pembentuk undang-undang dalam pembentukan
aturannya atau hakim dalam pengambilan putusan
hukumnya menimbang-nimbang berbagai asas hukum
yang satu terhadap yang lain.29
Dalam perspektif pembentukan peraturan,
Montesquieu dalam karyanya L’esperit des Lois
sebagaimana dikutip oleh Sumali dari Disertasi Hamid.
S. Attamimi mengemukakan sejumlah persyaratan
yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, yakni:30
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
78
27 Ibid.
28 Ibid, hlm. 124
29 Ibid, hlm. 125
30 vide Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UU (Perpu) (Malang, 2002), hlm. 124-125 pendapat tersebut dikutip dari Sirajuddin, et.al, Legislative Drafting.........., Op.Cit, hlm. 22
Pertama, gaya penuturannya hendaknya padat dan
sederhana. Ini mengandung arti bahwa penguataraan
dengan menggunakan ungkapan kebesaran dan
retorik hanya merupakan tambahan yang menyesatkan
dan mubazir;
Kedua, istilah-istilah yang dipilih hendaknya bersifat
mutlak dan relatif, sehingga dengan demikian
memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan
pendapat yang individual; Kedua, hukum hendaknya
membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual
dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis
dan hipotetis;
Ketiga, hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam
bahasa yang tinggi, oleh karena ia ditujukan kepada
rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata,
bahasa hukum tidak untuk latihan penggunaan logika
melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa
dipahami oleh orang rata-rata; Keempat, hukum
hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan
pengecualian, pembatasan atau pengubahan,
gunakan semua itu jika benar-benar diperlukan;
Kelima, hukum hendaknya tidak bersifat debatable
(argumentatif) adalah bahaya merinci alasan-alasan
karena hal itu akan menimbulkan konflik; Keenam,
lebih dari itu semua, pembentukan hukum hendaknya
mempertimbangkan masak-masak dan mempunyai
manfat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan
sendi-sendi pertimbangan dasar keadilan dan hakekat
permasalahan sebab hukum yang lemah tidak perlu
dan tidak adil akan membawa seluruh sistem
perundang-undangan mendapat citra buruk dan
menggoyahkan legitimasi negara.
Berkenaan dengan asas-asas pembentukan hukum
dalam konsep undang-undang di Indonesia, Attamimi
mengemukakan tiga macam asas yang secara
berurutan disusun sebagai berikut:31
1. Cita Hukum Indonesia, yaitu Pancasila di samping
sebagai rechtsidee juga merupakan norma
fundamental negara;
2. Asas bernegara berdasarkan atas hukum dan asas
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.
Berdasarkan prinsip ini Undang-undang sebagai
alat pengaturan yang khas ditempatkan dalam
keutamaan hukum dan juga sebagai dasar dan
batas penyelenggaraan pemerintahan
3. Asas lainnya yang meliputi asas formal dan asas
material.
Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku, atau
hukum yang akan berlaku di Indonesia, maka harus
tahu tentang cita hukum yang akan dibangun. Oleh
karena itu, apakah cita hukum itu,? Cita hukum adalah
terjemahan dari kata Rechtsidee. Menurut A. Hamid
S. Attamimi32 mengemukakan bahwa cita hukum
(Rechtsidee) perlu dibedakan dengan dari pemahaman
atau konsep tentang hukum (Rechtsbegriff). Cita
hukum ada di dalam cita kita. Sedangkan pemahaman
atau konsep tentang hukum merupakan kenyataan
dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai yang
di inginkan (wertbezogene), dengan tujuan mengabdi
kepada nilai yang ingin dicapai (einewertezu dienen),
dan dalam pemahaman atau konsep tentang hukum
terhampar, bahwa hukum adalah kenyataan yang
bertujuan mencapai nilai-nilai hukum, mencapai cita
hukum. Dengan perkataan lain, pemahaman atau
konsep tentang hukum bertujuan merealisasi cita
hukum yang ada pada gagasan, rasa, cipta, dan
pikiran kedalam kenyataan. Rudolf Stammler (1856-
1939) seorang ahli filsafat hukum yang beraliran neo
kantian, berpendapat bahwa cita hukum ialah
konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi
mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang
pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita
masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
79
32 Oetojo Oesman dan Alfian (Ed), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta, 1990), hlm. 67-6831 Ibid, hlm. 127
mungkin dicapai. Namun cita hukum memberi manfaat
karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum
dapat menguji hukum yang berlaku, dan kepada cita
hukum dapat mengarahkan hukum positif sebagai
usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang
adil. Oleh karena itu, menurut Stammler keadilan
adalah usaha atau tindakan mengarahkan hukum
positif kepada cita hukum. Dengan demikian, maka
hukum yang adil (rechtigesrecht) ialah hukum positif
yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum
untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.
Sementara Gustav Radbruch (1878-1949) seorang
ahli filsafat hukum yang beraliran neo kantian dari
mazhab Baden atau mazhab Jerman barat Daya,
menegaskan bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang
menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak,
melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar
yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan
bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan
maknanya sebagai hukum, sebagaimana diketahui,
Radbruch termasuk dalam mazhab yang berusaha
menjembatani dualisme das sein dan das sollen,
dengan mengkonstruksikan lingkup ketiga, yaitu
kebudayaan.33
Sedangkan di sisi lain Gustav Radbruch (1878-1949)
dalam bukunya yang berjudul Outline of Legal
Philosophy sebagaimana yang dikutip oleh Mukthie
Fadjar mengemukakan bahwa hukum adalah ciptaan
manusia, dan sebagai setiap ciptaan mahluk hanyalah
dimengerti dengan citanya.34
Dalam pembentukan hukum tidak tertulis dan
pembentukan hukum tertulis, cita hukum berperan
dengan cara yang berlain-lainan. Pada yang pertama
cita hukum secara langsung mempengaruhi kesusilaan
perorangan dan pada giliran kesusilaan masyarakat
dalam menghasilkan cara dan kesusilaan umum dalam
membentuk kebiasaan, tata kelakuan, adat-istiadat,
dan hukum. Sedangkan pada yang kedua, cita hukum
mempengaruhi perorangan dan masyarakat secara
tidak langsung. Dengan perkataan lain dalam
pembentukan hukum tidak tertulis, tahapan-tahapan
dari cara kebiasaan, dari kebiasaan ketata keberlakuan,
dari tata keberlakuan ke tata adat-istiadat, dan dari
adat- istiadat ke hukum, semuanya berlangsung
melalui endapan-endapan nilai yang berjenjang-
jenjang, terjadi di bawah bimbingan cita moral dan
cita hukum yang ada dalam masyarakat. Sedangkan
dalam pembentukan hukum tertulis tahapan-tahapan
yang membentuk endapan-endapan nilai tersebut
tidak terjadi, dan karena itu tidak ditemui. Cita hukum
tidak langsung mengawasi pembentukan hukum,
lebih-lebih cita moral. Dalam hal pembentukan hukum
tidak tertulis, hubungan antara cita hukum dan sistem
norma hukum tidak terjadi disintegrasi, karena sistem
norma hukum terbentuk dari endapan-endapan nilai
yang telah tersaring oleh peri laku masyarakat sendiri
melalui penerimaan individu-individu dalam keluarga,
keluarga ke keluarga dalam suku, dan suku-suku
dalam marga, serta marga-marga dalam Negara. Lain
halnya dengan pembentukan hukum tertulis. Hukum
dan sistem norma hukum dibentuk oleh perorangan
atau kelompok perorangan, baik sebagai pejabat-
pejabat maupun sebagai wakil-wakil rakyat. Hubungan
antara cita hukum dengan sistem norma hukum
bergantung kepapada kesadaran dan penghayatan
para pejabat dan para wakil rakyat tersebut terhadap
cita hukum yang ada dalam masyarakat yang memang
mempunyai fungsi konstitutif dan regulatif dalam
pembentukan hukum tersebut, dan karena
pembentukan hukum tertulis tidak berlangsung melalui
tahapan-tahapan endapan nilai, maka kemungkinan
terjadinya disintegrasi antara cita hukum dan sistem
norma hukum besar sekali.35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
80
33 Ibid, hlm. 68-69
34 Gustav Radbruch, Outline of Legal Philosophy, Terjemahan oleh YBP (Yogyakarta, 1957), hlm. 7, dalam Mukthie Fadjar, Tipe Negera Hukum (Malang, 2004), hlm. 9 35 Oetojo Oesman dan Alfian , Op.Cit, hlm. 80
E. Simpulan
Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah
diakomodasi ke dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai hukum posisitif
(ius constitutum) dan peraturan lain yang berkaitan
dengan itu. Namun kebijakan itu tidak akan cukup
atau memadai tanpa disertai dengan pendekatan
penegakan hukum (law enforcement Approach) yang
benar-benar memiliki kapabilitas dan kridibilitas dari
lembaga yang memiliki wewenang melakukan
penegakan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam hal ini Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pertumbuhan
dan perkembangan perekonomian negara Indonesia
sedikit atau banyak akan dipengaruhi oleh persaingan
usaha yang sehat antar sesama pelaku usaha baik
sekarang maupun di masa yang akan datang,
sedangkan persaingan yang sehat akan ditentukan
oleh: kebijakan hukum dalam pembangunan ekonomi
(The Legal Policy Development of Economics);
kebijakan hukum dalam persaingan usaha (legal policy
to fair competition); politik pembentukan hukum
perspektif undang-undang (Law Making Proses); dan
proses pengambilan keputusan dalam pembentukan
hukum persaingan usaha (Decision Making of Proces).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
81
Bruggink, J.J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa oleh B. Arief Sidharta. Bandung. Citra Aditya Bakti.
Imbawani, Djoko. 2002. Reading Material Seri Kuliah Hukum Dagang. Fakultas Hukum Univ.Widyagama Malang, 2002.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung. Binacipta.
Kelsen, Hans. 2007. General Theory of Law and State: Alih Bahasa Indonesia oleh Somardi. Jakarta. Bee Media Indonesia.
Loqman, Loebby. 1990. Pra pradilan di Indonesia. Jakarta.
Oesman, Oetojo & Alfian (ed). 1990. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara. Jakarta. BP7.
Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung. Mandar Maju.
Rahardjo, Satjipto. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional.
Bandung. Alumni.
Sudarsono, 1991. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta.
Sirajuddin, et.al. 2006. Legislative Drafting : Pelembagaan Metode Pastisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Malang. In-Trans Publishing.
Suryana, Daniel. ”Peranan Hukum dan Ahli Hukum” dalam Blogster www.google.com. Selanjutnya lihat pula Thomas
M. Franck. “The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries?”.
Wisconsin Law Review No.3 (1972), dalam Erman Rajagukguk “Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan
Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, makalah Disampaikan
dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Wignyosoebroto, Soetandyo.1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-politik Dalam Perkembangan
Hukum di Indonesia. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
DAFTAR PUSTAKA
82
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2013
Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan
15/7/PBI/2013 26-09-2013 DKMP Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
15/8/PBI/2013 07-10-2013 DPM Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank
15/9/PBI/2013 30-10-2013 DPSP Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat
Berharga Negara
15/10/PB/12013 01-11-2013 DPU Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah Yang dimusnahkan
Tahun 2011 dan Tahun 2012
15/11/PBI/2013 22-11-2013 DPNP Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal
15/12/PBI/2013 12-12-2013 DPNP Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
15/13/PBI/2013 24-12-2013 DPbS Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009 Tentang Bank Umum Syariah
15/14/PBI/2013 24-12-2013 DPbS Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/10/PBI/2009 Tentang Unit Usaha Syariah
15/15/PBI/2013 24-12-2013 DKMP Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta
Asing bagi Bank Umum Konvensional
15/16/PBI/2013 24-12-2013 DKMP Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
15/17/PBI/2013 24-12-2013 DPM Transaksi SWAP Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
83
DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2013
85
Tanggal Satker PerihalPeraturan
15/37/DSta 05-09-2013 DSta Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
15/38/DPM 10-09-2013 DPM Perubahan Ketujuh atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka
15/39/DPNP 17-09-2013 DPNP Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
15/40/DKMP 24-09-2013 DKMP Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
15/41/DKMP 01-10-2013 DKMP Perhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio dalam Rupiah
15/42/DPM 08-10-2013 DPM Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank
15/43/DPNP 21-10-2013 DPNP Perubahan atas SEBI No.15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi BPR
15/44/DPbS 24-10-2013 DPbS Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah
15/45/DPNP 18-11-2013 DPNP Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat
15/46/DPSP 20-11-2013 DPSP Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
15/47/DSta 02-12-2013 DSta Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
86
Tanggal Satker PerihalPeraturan
15/48/DSta 02-12-2013 DSta Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum.
15/49/DPKL 05-12-2013 DPKL Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan
15/50/DPbS 30-12-2013 DPbS Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank Umum Syariah
15/51/DPbS 30-12-2013 DPbS Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal Unit Usaha Syariah
15/52/DSta 30-12-2013 DSta Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : PBI No.15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah
dan Valuta Asing
Berlaku : Sejak tanggal 1 Oktober 2013
Ringkasan:
Latar Belakang Pengaturan :
1. Untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari dinamika
perekonomian perlu dilakukan penguatan likuiditas bank dengan tetap memperhatikan peran bank dalam menjalankan
fungsi intermediasi.
2. Untuk mencapai kecukupan likuiditas yang memadai dan menjalankan fungsi intermediasi secara optimal penguatan
likuiditas bank dilakukan melalui kebijakan giro wajib minimum.
Substansi Pengaturan :
1. Ketentuan mengenai GWM Primer dalam Rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan.
2. Perubahan ketentuan mengenai GWM Sekunder dilakukan sebagai berikut:
a. GWM Sekunder dinaikkan secara bertahap mulai tanggal 1 Oktober 2013;
b. Sertifikat Deposito Bank Indonesia diperhitungkan sebagai komponen GWM Sekunder mulai tanggal 1 Oktober
2013; dan
c. Kisaran LDR Target diubah menjadi antara 78% - 92% dan mulai berlaku mulai tanggal 2 Desember 2013.
3. Tahapan kenaikan GWM Sekunder:
a. Sebesar 3% sejak 1 Oktober 2013 s.d. 31 Oktober 2013;
b. Sebesar 3,5 % sejak 1 November 2013 s.d. 1 Desember 2013; dan
c. Sebesar 4% sejak 2 Desember 2013.
4. Pengenaan denda atas pelanggaran ketentuan GWM Sekunder serta perhitungan jasa giro tidak mengalami perubahan
sebagaimana ketentuan yang berlaku saat ini.
5. Perhitungan KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif untuk GWM LDR tidak mengalami
perubahan sebagaimana ketentuan yang berlaku selama ini.
87
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2013
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank
Berlaku : mulai tanggal 7 Oktober 2013
Ringkasan :
I. Latar belakang dan Tujuan
Sesuai dengan tujuan yang diamanatkat UU untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah
satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan
bagi pencapaian tujuan tersebut. Stabilitas nilai tukar rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat
khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional.
Sementara itu, dinamika yang terjadi di pasar valuta asing domestik dapat menimbulkan risiko ketidakpastian
pergerakan nilai tukar kepada pelaku ekonomi. Sebagai upaya untuk memitigasi risiko tersebut, pelaku ekonomi
perlu melakukan Transaksi Lindung Nilai terhadap kegiatan ekonominya dengan menggunakan instrumen derivatif
antara lain forward dan swap. Diharapkan pula bahwa Transaksi Lindung Nilai yang dilakukan oleh pelaku ekonomi
dapat mendukung pendalaman pasar valuta asing domestik.
II. Materi Pengaturan
1. Nasabah dapat melakukan Transaksi Lindung Nilai kepada Bank.
2. Ruang lingkup Nasabah:
a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau
b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, termasuk Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
3. Transaksi Lindung Nilai terdiri dari:
a. Transaksi Lindung Nilai Beli; dan/atau
b. Transaksi Lindung Nilai Jual.
4. Transaksi Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar
(plain vanilla) antara lain dengan cara Transaksi Forward dan Transaksi Swap.
5. Pelaksanaan Transaksi Lindung Nilai mengacu pada beberapa ketentuan Bank Indonesia mengenai:
a. Pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank.
b. Transaksi valuta asing terhadap rupiah.
c. Transaksi derivatif.
d. Manajemen risiko bank umum, manajemen risiko bank umum syariah dan unit usaha syariah.
e. Laporan harian bank umum.
88
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
6. Pengaturan underlying Transaksi Lindung Nilai Beli:
a. wajib dilakukan berdasarkan underlying kegiatan ekonomi, antara lain berupa pembayaran utang dalam valuta
asing, kegiatan ekspor impor, dan kegiatan investasi.
b. wajib didukung dokumen underlying ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Beli paling banyak sebesar nilai nominal underlying kegiatan ekonomi
yang tercantum di dalam dokumen kegiatan pendukung.
d. Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Beli paling lama sama dengan jangka waktu underlying kegiatan ekonomi
yang tercantum dalam dokumen kegiatan pendukung.
7. Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. Terdapat
pengecualian bahwa penyelesaian secara netting diperbolehkan untuk:
a. transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang mengalami force majeure; atau
b. perpanjangan Transaksi Lindung Nilai dari beberapa kegiatan ekonomi.
Pengecualian penyelesaian Transaksi Lindung Nilai juga berlaku untuk Nasabah Bank yaitu pihak yang menggunakan
jasa Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Transaksi valuta asing terhadap
rupiah.
8. Pengaturan perlakuan akuntansi:
a. Perlakuan akuntansi terhadap Transaksi Lindung Nilai tunduk pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
dan dapat menerapkan hedge accounting.
b. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari Transaksi Lindung Nilai yang memenuhi kriteria akuntansi Lindung
Nilai (hedge accounting) sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, merupakan
pendapatan atau biaya dalam rangka Lindung Nilai.
9. Pengaturan sanksi mengacu pada beberapa ketentuan Bank Indonesia mengenai:
a. Pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank.
b. Transaksi valuta asing terhadap rupiah.
c. Transaksi derivatif.
d. Manajemen risiko bank umum, manajemen risiko bank umum syariah dan unit usaha syariah.
e. Laporan harian bank umum.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/9/PBI/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang Dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
Berlaku : Mulai tanggal 30 Oktober 2013
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahan atas PBI Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang Dan
Penatausahaan Surat Berharga Negara.
2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan sehubungan dengan rencana Pemerintah menerbitkan Surat Utang
Negara (SUN) dalam valuta asing di pasar perdana domestik.
89
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3. Perubahan-perubahan dalam PBI ini meliputi:
a. pengaturan pelaksanaan lelang dan penatausahaan SUN, yang semula hanya untuk SUN dalam mata uang Rupiah,
diubah menjadi lelang dan penatausahaan SUN dalam mata uang Rupiah dan valuta asing; dan
b. penambahan sarana penatausahaan SBN yaitu selain melalui Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System
(BI-SSSS), penatausahaan SBN dilakukan melalui sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2013.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/10/PBI/2013 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang
Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012
Berlaku : 1 November 2013
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/10/PBI/2013 tentang Jumlah dan
Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2011 dan Tahun 2012.
2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untuk menjalankan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
3. Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi:
a. Kriteria uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia;
b. Tata cara pemusnahan uang Rupiah;
c. Informasi jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) secara periodik, yakni 1 (satu) tahun sekali;
d. Data uang Rupiah yang dimusnahkan menurut jenis pecahan, jumlah bilyet dan/atau keping dan nilai nominal,
serta disajikan per triwulan;
e. Periode data uang Rupiah yang dimusnahkan adalah sejak berlakunya UU Mata Uang yaitu periode tanggal 28
Juni 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2011 dan periode tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan tanggal
31 Desember 2012 (sebagai lampiran dari PBI).
4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2013.
90
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tanggal November 2013 tentang Prinsip
Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal
Berlaku : Tanggal 22 November 2013
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal mengatur kembali
kegiatan penyertaan modal, yang merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank, antara lain
persyaratan umum berupa persyaratan tingkat kesehatan sebelum Bank dapat melakukan penyertaan modal, dan
jumlah maksimum penyertaan modal yang dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas permodalan yang dimilikinya.
Pengaturan dalam PBI ini juga memberikan peluang bagi bank untuk dapat melakukan divestasi penyertaan modal
atas inisiatif sendiri dengan memenuhi beberapa persyaratan tertentu, disamping divestasi penyertaan modal yang
diwajibkan karena ketentuan.
2. Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain:
a. Umum
1) Bank hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan,
sedangkan unit usaha syariah dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara.
2) Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk setiap kali melakukan penyertaan modal, termasuk
penyertaan modal lanjutan.
3) Penyertaan modal dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui pasar modal dengan tujuan hanya untuk
investasi jangka panjang (bukan untuk jual beli saham).
b. Pengaturan Total Portofolio dan Alokasi Penyertaan Modal serta Penyertaan Modal di Luar Negeri
1) Jumlah seluruh portofolio penyertaan modal ditetapkan paling tinggi sebesar penyertaan modal sesuai
pengelompokan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU), sebagaimana telah diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.
2) Bank dilarang melakukan penyertaan modal melebihi batas penyediaan dana sebagaimana telah diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit.
3) Kegiatan penyertaan modal di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh bank sesuai pengelompokan bank
berdasarkan BUKU.
c. Pengaturan Persyaratan dan Tata Cara Penyertaan Modal
1) Persyaratan penyertaan modal adalah sebagai berikut:
a) rencana penyertaan modal telah dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB);
b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko baik secara individual
maupun konsolidasi;
c) memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua), selama:
i. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau
ii. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut apabila calon Investee merupakan perusahaan baru dan/atau
perusahaan di luar negeri.
91
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
d) tidak mengganggu kelangsungan usaha bank dan tidak meningkatkan profil risiko bank secara signifikan;
e) memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh Direksi bank dan disetujui oleh Dewan Komisaris
bank; dan
f) memiliki sistem pengendalian intern yang memadai.
2) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai KPMM sesuai profil risiko bagi bank umum
syariah maka rasio KPMM ditetapkan paling kurang sebesar 10% (sepuluh persen).
3) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan penyertaan modal kepada Bank Indonesia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum penyertaan modal dilakukan, dengan melampirkan dokumen dan
informasi yang diwajibkan.
4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penyertaan modal akan diberikan Bank Indonesia setelah
mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis kemampuan bank serta kelayakan dan kesesuaian
kegiatan penyertaan modal yang akan dilakukan oleh Bank.
5) harus merealisasikan rencana penyertaan modal paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh
Bank Indonesia. Apabila bank tidak merealisasikan penyertaan modal dalam kurun waktu tersebut, persetujuan
Bank Indonesia menjadi tidak berlaku.
d. Pelampauan Batasan Penyertaan Modal Sesuai BUKU dan Penyampaian Rencana Tindak
1) Dalam hal jumlah seluruh portofolio penyertaan modal melampaui batasan penyertaan modal sesuai BUKU
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, karena:
a) penurunan modal inti;
b) peningkatan penyertaan modal pada Investee; dan/atau
c) penurunan modal bank
maka bank wajib menyampaikan rencana tindak berupa rencana tindak pemenuhan persyaratan modal inti
dan/atau modal bank atau penyesuaian jumlah penyertaan modal.
2) Rencana tindak disampaikan paling lambat pada akhir bulan keempat sejak terjadinya pelampauan batasan
penyertaan modal, untuk mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
3) Penyelesaian rencana tindak dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Bank Indonesia.
e. Divestasi Penyertaan Modal
1) Bank wajib melakukan divestasi penyertaan modal apabila:
a) Penyertaan modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan
Bank dan/atau peningkatan profil risiko bank secara signifikan; atau
b) atas rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak dan/atau perintah dari Bank Indonesia.
2) Bank dapat melakukan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri dengan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) Penyertaan modal telah dilakukan paling singkat selama 5 (lima) tahun;
b) dicantumkan dalam RBB;
c) divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan strategi bisnis bank;
d) divestasi dilakukan paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari saham yang dimiliki;
e) divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar;
f) divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan; dan
g) telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
92
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri akan diberikan
Bank Indonesia, setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen, analisis kewajaran dan kesesuaian rencana
divestasi atas insiatif sendiri.
4) Divestasi penyertaan modal atas inisiatif sendiri harus direalisasikan paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan
Bank Indonesia.
f. Penyertaan Modal oleh Perusahaan Anak.
1) Dalam hal perusahaan anak Bank melakukan penyertaan modal, maka:
a) penyertaan modal hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dan/atau
di perusahaan penunjang jasa keuangan dan dalam bentuk saham; dan
b) penyertaan modal dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas perusahaan
anak.
2) Perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada butir 1)a) merupakan perusahaan yang
didirikan atau kegiatan usahanya ditujukan untuk menunjang kegiatan usaha bank melalui sistem pembayaran.
g. Lain-lain
Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk melakukan divestasi penyertaan modal atau menolak permohonan
penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri, berdasarkan pertimbangan tertentu sebagai berikut:
1) penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri dapat berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian
nasional atau tidak sejalan dengan kepentingan nasional;
2) penyertaan modal atau divestasi atas inisiatif sendiri tidak sejalan dengan arah kebijakan pengembangan
perbankan di Indonesia; dan/atau
3) penyertaan modal atau rencana penyertaan modal bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam maupun
di luar negeri menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank
Indonesia.
h. Pengenaan Sanksi kepada Bank.
Pengenaan sanksi kepada bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah.
Peraturan : PBI No.15/12/PBI/2013 tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum
Berlaku : Tanggal 1 Januari 2014
I. Latar Belakang Pengaturan
1. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional
maupun internasional, maka Bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh
kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas
permodalan Bank sesuai dengan standar internasional yang berlaku yaitu Basel III.
93
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2. Peningkatan kualitas permodalan Bank dilakukan melalui penyesuaian komponen dan persyaratan instrumen
modal serta penyesuaian rasio-rasio permodalan. Selanjutnya, Peningkatan kuantitas permodalan Bank dicapai
melalui kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) berupa Capital Conservation Buffer,
Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa
Capital Surcharge.
II. Substansi Pengaturan
1. Peningkatan kualitas permodalan melalui perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal sesuai dengan
kerangka Basel III antara lain:
a. Komponen modal inti (Tier 1) yang terdiri atas:
1) modal inti utama (common equity Tier 1) yaitu instrumen modal berkualitas tinggi dalam bentuk saham
biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran dividen/imbal hasil.
2) modal inti tambahan (Additional Tier 1) yaitu penyempurnaan komponen modal inovatif yang berupa
saham preferen atau instrumen utang yang bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, pembayaran
dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif, dan tidak memiliki fitur step up.
b. Komponen modal pelengkap (Tier 2) yaitu instrumen utang yang bersifat subordinasi, memiliki jangka waktu
paling kurang 5 (lima) tahun, dan tidak memiliki fitur step up
2. Bank wajib menyediakan modal inti (Tier 1) paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR dan modal inti
utama (Common Equity Tier 1) paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara
individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
3. Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) di atas
kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang ditetapkan sebagai berikut:
a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang tergolong
dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang pemenuhannya secara bertahap;
b. Countercyclical Buffer dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen)
dari ATMR bagi seluruh Bank; dan
c. Capital Surcharge untuk D-SIB dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima
persen) dari ATMR untuk Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.
4. Jangka waktu penyesuaian rasio permodalan, pemberlakuan komponen modal, dan pembentukan tambahan
modal sebagai penyangga (buffer) adalah sebagai berikut:
94
Ketentuan KeteranganTanggal
Sampai dengan 31 Desember 2014 pemenuhan rasio modal inti minimum dan rasio modal inti utama minimum mengacu pada komponen modal sebagaimana diatur pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Rasio modal inti minimum sebesar 6% dari ATMR dan rasio modal inti utama minimum sebesar 4,5% dari ATMR wajib dipenuhi Bank.
1 Januari 2014
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2014.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.15/13/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
Berlaku : 24 Desember 2013
Ringkasan :
1. Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good corporate
governance), meningkatkan akuntabilitas dan akurasi laporan Pejabat Eksekutif dan jaringan kantor Bank, meningkatkan
efisiensi dan pengembangan industri perbankan syariah, serta dalam rangka penyelarasan ketentuan dengan PBI
No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dan PBI No.14/12/PBI/2012
tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
2. Kantor Bank Umum Syariah (Bank) meliputi:
a. kantor Bank di dalam negeri antara lain berupa kantor pusat, Kantor Wilayah, Kantor Cabang, Kantor Cabang
Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas, dan Kegiatan Pelayanan Kas; dan
b. kantor Bank di luar negeri berupa Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya.
95
Ketentuan KeteranganTanggal
Pengaturan komponen modal dan pengaturan lainnya dalam PBI No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga PBI yang baru mulai berlaku secara penuh.
1. 0,625% dari ATMR mulai 1 Januari 20162. 1,25% dari ATMR mulai 1 Januari 20173. 1,875% dari ATMR mulai 1 Januari 20184. 2,5% dari ATMR mulai 1 Januari 2019
Berdasarkan penilaian atas kondisi makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dari tahun 2016.
Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk D-SIB akan diatur lebih lanjut oleh otoritas yang berwenang.
Persyaratan komponen modal dalam ketentuan ini mulai berlaku.
Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Conservation Buffer mulai berlaku secara bertahap.
Kewajiban Bank untuk membentuk Countercyclical Buffer mulai berlaku.
Kewajiban Bank untuk membentuk Capital Surcharge untuk D-SIB mulai berlaku bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik.
1 Januari 2015
1 Januari 2016
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
3. Bank dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki hubungan kepemilikan
dengan Bank, dalam bentuk kegiatan LSB dan/atau Jasa Konsultasi. BUK yang memiliki hubungan kepemilikan dengan
Bank adalah BUK yang merupakan PSP Bank (parent bank) atau PSP BUK juga merupakan PSP Bank (sister bank).
4. Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif; pelaksanaan pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank; serta pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau
penghentian kegiatan LSB dilaporkan secara online kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja
pada awal bulan laporan berikutnya melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
5. Bank wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif; pelaksanaan
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, atau penutupan kantor Bank; serta pelaksanaan pembukaan,
pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB. Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen
tersebut.
6. Salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pembukaan,
perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank serta pembukaan, pemindahan, dan/atau
penghentian kegiatan LSB setahun ke depan dalam rencana bisnis Bank adalah kajian yang disampaikan Bank, yang
memuat paling kurang:
a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis, dan dampak terhadap proyeksi keuangan;
b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor Bank;
c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis
keuangan; dan
d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang
lainnya.
7. Kajian mengenai jaringan kantor Bank disampaikan pertama kali paling lambat tanggal 28 Maret 2014 dan untuk
tahun berikutnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis Bank.
8. Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan/penegasan atau penolakan terkait jaringan kantor Bank
mempertimbangkan aspek mikro (individual Bank) dan aspek makro ekonomi antara lain stabilitas sistem keuangan,
dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang mencakup antara lain upaya
pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan,
perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan
kepada kepentingan nasional.
9. Bank yang akan membuka jaringan kantor selain wajib memenuhi ketentuan dalam PBI ini juga wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan
Modal Inti Bank.
10.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor Bank khusus untuk
Kantor Wilayah dan Kantor Fungsional selama belum dapat dilaporkan secara online melalui sistem Laporan Kantor
Pusat Bank Umum wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan
berikutnya .
96
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No.15/14/PBI/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah
Berlaku : 24 Desember 2013
Ringkasan :
11. Latar belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good corporate
governance), meningkatkan akuntabilitas dan akurasi laporan Pejabat Eksekutif dan jaringan kantor Unit Usaha
Syariah (UUS), memperkuat stuktur kelembagaan UUS, serta dalam rangka penyelarasan ketentuan dengan PBI
No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dan PBI No.14/12/PBI/2012
tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
12.Kantor UUS meliputi:
a. kantor UUS di dalam negeri antara lain berupa Kantor Cabang Syariah, Kantor Cabang Pembantu Syariah , Kantor
Fungsional Syariah, Kantor Kas Syariah, Kegiatan Pelayanan Kas Syariah, dan kegiatan Layanan Syariah; dan
b. kantor UUS di luar negeri berupa Kantor Cabang Syariah dan jenis-jenis kantor lainnya.
13.Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif dan pelaksanaan pembukaan, perubahan status,
pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia
setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui sistem Laporan Kantor Pusat
Bank Umum.
14.BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat
Eksekutif dan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS.
Bank Indonesia berwenang sewaktu-waktu meminta dokumen tersebut.
15.Salah satu pertimbangan Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana pembukaan,
perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS setahun ke depan dalam rencana bisnis UUS
adalah kajian yang disampaikan BUK yang memiliki UUS, yang memuat paling kurang:
a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis, dan dampak terhadap proyeksi keuangan;
b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor UUS;
c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis
keuangan; dan
d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya.
16.Kajian mengenai jaringan kantor UUS disampaikan pertama kali paling lambat tanggal 28 Maret 2014 dan untuk
tahun berikutnya disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis BUK yang memiliki UUS. Kajian
jaringan kantor UUS dapat disatukan dengan kajian mengenai jaringan kantor lain dari BUK yang memiliki UUS.
17.Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan/penegasan atau penolakan terkait jaringan kantor UUS
mempertimbangkan aspek mikro (individual BUK yang memiliki UUS) dan aspek makro ekonomi antara lain stabilitas
sistem keuangan dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang mencakup antara
lain upaya pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan,
97
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan
kepada kepentingan nasional.
18.BUK yang memiliki UUS yang akan membuka jaringan kantor UUS selain wajib memenuhi ketentuan dalam PBI ini
juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam PBI No.14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan
Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
19.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS khusus untuk
Kantor Fungsional selama belum dapat dilaporkan secara online melalui sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum
wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 15/15/PBI/2013 tanggal 24 Desember 2013 Tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional
Berlaku : 24 Desember 2013
1. Latar Belakang
a. Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, diperlukan penegasan wewenang dan fungsi Bank Indonesia
di dalam ketentuan GWM.
b. Selain itu, diperlukan penegasan koordinasi dengan OJK di dalam ketentuan GWM antara lain terkait dengan
pemberian insentif bagi bank yang melakukan merger/konsolidasi berupa kelonggaran GWM primer, pemberian
kelonggaran dalam pemenuhan ketentuan GWM LDR bagi bank yang terkena pembatasan kegiatan usaha tertentu
oleh OJK terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, serta pemeriksaan bank oleh BI terkait
kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan GWM.
2. Rasio GWM
Kewajiban GWM untuk bank umum konvensional ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Rupiah:
• GWM Primer sebesar 8% dari DPK Rupiah.
• GWM Sekunder sebesar 4% dari DPK Rupiah.
• GWM LDR sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas
dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target (78% - 92%) dengan memperhatikan selisih antara KPMM
Bank dan KPMM Insentif.
• Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban GWM Rupiah sebesar 1% selama 1 tahun
kepada bank yang melakukan merger/konsolidasi berdasarkan permintaan bank yang disetujui oleh OJK.
• Kelonggaran tersebut tidak berlaku terhadap GWM Sekunder dan GWM LDR.
b. GWM dalam valuta asing sebesar 8% dari DPK dalam valuta asing.
3. Rekening Giro Bank
a. Setiap bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. Bank devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank
Indonesia.
98
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Perhitungan GWM
a. Kewajiban pemenuhan GWM dilakukan secara harian.
b. Pemenuhan GWM Primer Rupiah, GWM LDR Rupiah dan GWM valas dilakukan dengan membandingkan saldo
Rekening Giro Bank pada BI setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam
1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya.
c. Pemenuhan GWM Sekunder Rupiah dilakukan dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, SBN dan/atau excess
reserve setiap akhir hari dalam 1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada
2 masa laporan sebelumnya.
d. Perhitungan GWM LDR dalam Rupiah ditetapkan dengan parameter kisaran LDR Target adalah 78% - 92%,
KPMM Insentif sebesar 14%, Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 dan Parameter Disinsentif Atas sebesar
0,2, sebagai berikut:
• Jika LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM LDR Bank sebesar 0% dari DPK dalam Rupiah.
• Jika LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara
Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan DPK Rupiah.
• Jika LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka
GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LDR Bank dan batas
atas LDR Target, dan DPK Rupiah.
• Jika LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif,
maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% dari DPK Rupiah.
e. Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LDR terhadap Bank yang
sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana atas
dasar permintaan OJK.
f. KPMM Bank dalam perhitungan GWM LDR adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan OJK dengan rincian sebagai
berikut:
• KPMM posisi akhir bulan September untuk perhitungan GWM LDR bulan Desember, Januari dan Februari;
• KPMM posisi akhir bulan Desember untuk perhitungan GWM LDR bulan Maret, April dan Mei;
• KPMM posisi akhir bulan Maret untuk perhitungan GWM LDR bulan Juni, Juli dan Agustus; dan
• KPMM posisi akhir bulan Juni untuk perhitungan GWM LDR bulan September, Oktober dan November;
g. DPK Rupiah dan valas terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya.
5. Jasa Giro
a. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu 3% dari DPK dalam Rupiah dari
pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah.
b. Jasa giro diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun dan diberikan apabila
Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM Rupiah.
c. Jasa giro tersebut dikreditkan paling lambat 2 hari kerja setelah periode perhitungan pemenuhan kewajiban GWM.
6. Pemeriksaan oleh BI
Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada untuk memastikan kepatuha bank terhadap ketentuan
GWM yang dapat dilakukan dengan cara:
• Melakukan pemeriksaan langsung;
• Melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau
• Menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.
99
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
7. Sanksi atas pelanggaran ketentuan GWM
Bank yang melanggar ketentuan GWM dikenakan denda sebagai berikut:
a. GWM Rupiah:
- Sanksi kewajiban membayar sebesar 125% dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 hari overnight dari JIBOR
dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari
kerja pelanggaran.
- Apabila pada saat pendebetan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban
membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia.
- Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi maka atas kekurangan
tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana sanksi pelanggaran GWM.
b. GWM Valas:
Sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening
Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang
dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia.
c. Pengenaan sanksi dikecualikan bagi bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM
sepanjang kekurangan GWM tidak lebih dari 1% dari DPK Rupiah dan/atau bagi bank yang mendapatkan
kelonggaran pemenuhan GWM LDR.
8. Mekanisme koreksi terhadap pemberian jasa giro atau pengenaan denda
a. Dalam hal terjadi koreksi terhadap pemberian jasa giro:
BI dapat langsung mengkredit atau mendebet Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.
b. Dalam hal terjadi koreksi terhadap sanksi pengenaan denda:
BI dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro
Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 15/16/PBI/2013 Tanggal 24 Desember 2013 Tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku : 24 Desember 2013
1. Latar Belakang
a. Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK, diperlukan penegasan wewenang dan fungsi Bank Indonesia
di dalam ketentuan GWM.
b. Selain itu, diperlukan penegasan koordinasi dengan OJK di dalam ketentuan GWM antara lain terkait dengan
pemberian insentif bagi bank yang melakukan merger/konsolidasi berupa kelonggaran GWM dan pemeriksaan
bank oleh BI terkait kepatuhan terhadap pemenuhan ketentuan GWM.
2. Rasio GWM
GWM untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah ditetapkan sebagai berikut:
100
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
a. GWM Rupiah
• GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK Rupiah.
• Bank dengan rasio Pembiayaan terhadap DPK Rupiah kurang dari 80% dan:
- memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp1 triliun - Rp10 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah
sebesar 1% dari DPK Rupiah;
- memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp10 triliun - Rp50 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah
sebesar 2% dari DPK Rupiah;
- memiliki DPK Rupiah lebih besar dari Rp50 triliun wajib memelihara tambahan GWM Rupiah sebesar 3%
(tiga persen) dari DPK Rupiah.
- Bank yang memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK Rupiah sebesar 80% atau lebih dan/atau yang memiliki
DPK Rupiah sampai dengan Rp1 triliun tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM.
• BI dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban GWM Rupiah sebesar 1% selama 1 tahun kepada bank
yang melakukan merger/konsolidasi berdasarkan permintaan bank yang disetujui oleh OJK.
• Kelonggaran tersebut tidak berlaku terhadap kewajiban tambahan GWM.
b. GWM dalam valuta asing sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing.
3. Rekening Giro Bank
a. Setiap bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. Bank devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank
Indonesia.
4. Perhitungan GWM
a. Kewajiban pemenuhan GWM dilakukan secara harian.
b. Pemenuhan GWM berdasarkan perbandingan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada BI setiap akhir hari dalam
1 masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 masa laporan pada 2 masa laporan sebelumnya.
c. DPK Rupiah terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka dan kewajiban lainnya. DPK valas terdiri dari giro,
simpanan berjangka dan kewajiban lainnya.
5. Rasio Pembiayaan
Rasio pembiayaan dihitung dengan membandingkan jumlah pembiayaan Rupiah terhadap DPK Rupiah pada akhir
masa laporan dari laporan 2 periode sebelumnya.
6. Pemeriksaan oleh BI
BI berwenang melakukan pemeriksaan kepada untuk memastikan kepatuha bank terhadap ketentuan GWM yang
dapat dilakukan dengan cara:
• Melakukan pemeriksaan langsung;
• Melakukan pemeriksaan bersama OJK; atau
• Menggunakan data hasil pemeriksaan OJK.
7. Sanksi atas pelanggaran ketentuan GWM
a. GWM Rupiah:
- Kewajiban membayar sebesar 125% dari Tingkat Indikasi Imbalan SIMA pada hari terjadinya pelanggaran,
terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari pelanggaran.
101
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
- Jika data Tingkat Indikasi Imbalan SIMA tidak tersedia, sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan
deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumya dari
seluruh Bank.
- Jika pada saat pendebetan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban
membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia.
- Jika saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi maka atas kekurangan
tersebut dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari Tingkat
Indikasi Imbalan SIMA.
b. GWM valas:
Kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada
Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem
akunting Bank Indonesia.
c. Pengenaan sanksi dikecualikan bagi bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM
sepanjang kekurangan GWM tidak lebih dari 1% dari DPK Rupiah.
8. Mekanisme koreksi atas pengenaan denda
Dalam hal terjadi koreksi terhadap sanksi pengenaan denda maka BI dapat langsung mendebet atau mengkredit
Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk
Rekening Giro Valas Bank.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia
Berlaku : Tanggal 24 Desember 2013
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atas PBI No. 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai yang
dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mendukung terciptanya pasar keuangan yang dalam dan sehat dengan
tersedianya likuiditas di pasar keuangan domestik. Dukungan ini dilakukan antara lain melalui aktivitas lindung nilai
Bank kepada Bank Indonesia untuk memitigasi risiko pergerakan nilai tukar rupiah. Hal ini sejalan dengan upaya Bank
Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah.
II. Penyempurnaan pengaturan meliputi :
1. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank atau nasabah;
b. Jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai
Bank kepada Bank Indonesia; dan
c. Nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal
Underlying Transaksi.
102
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2. Bank yang melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia harus termasuk dalam klasifikasi Bank
yang melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan Peringkat Komposit paling rendah 3 (tiga).
3. Bank dapat menyampaikan kontrak lindung nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu paling lama 3
tahun, melalui Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, atau
12 bulan.
4. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia ditetapkan paling sedikit sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh
juta US Dollar) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu
juta US Dollar).
5. Perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia diatur sebagai berikut:
a. Persyaratan perpanjangan:
1) menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku;
2) menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam
Kontrak Lindung Nilai;
3) dalam hal jenis Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank, maka nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank;
dan
4) jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lama sebesar sisa
jangka waktu Kontrak Lindung Nilai.
b. Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan.
c. Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting.
6. Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan satu
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
7. Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan tingkat premi atau diskon dari Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
8. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam valuta US Dollar terhadap Rupiah, dengan
menggunakan kurs JISDOR sebagai kurs spot US Dollar terhadap rupiah.
9. Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia dan dokumen fotokopi Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah.
10.Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
11.Setelmen secara netting untuk perpanjangan transaksi meliputi:
a. Netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan;
b. Netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan;
c. Netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank pada setiap
periode perpanjangan.
103
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
12.Sanksi bagi Bank yang melakukan setiap pelanggaran pada setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia:
a. Teguran tertulis; dan/atau
b. Kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan kurs JISDOR pada tanggal transaksi dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
13. Sanksi bagi Bank yang tidak memenuhi kewajiban setelmen:
a. Teguran tertulis; dan
b. Kewajiban membayar yang dihitung atas dasar :
1) suku bunga Fed Fund ditambah 200 (dua ratus) basis point untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta US Dollar;
2) suku bunga BI rate yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point untuk penyelesaian kewajiban
pembayaran dalam Rupiah.
14.Dengan diberlakukannya PBI ini maka PBI Nomor 7/36/PBI/2005 tanggal 30 September 2005 tentang Transaksi
Swap Lindung Nilai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
104
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : Surat Edaran No. 15/37/DSta Perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku : 5 September 2013
Ringkasan:
1. Ketentuan ini mengatur kewajiban penyusunan dan penyampaian Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam rangka mendukung pengambilan kebijakan di bidang
moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan.
2. Laporan yang disampaikan oleh Bank terdiri atas Laporan Per Kantor, Laporan Gabungan, Laporan Perusahaan Anak,
Laporan Konsolidasi.
3. Bank Pelapor menyampaikan Laporan secara lengkap untuk setiap cakupan. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki
posisi, transaksi, atau mutasi, Bank Pelapor tetap harus menyampaikan form header.
4. Dalam menyusun Laporan, Bank Pelapor berpedoman kepada:
a. Pedoman Penyusunan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah (Lampiran I), yang mengatur mengenai cara pengisian, jumlah form, dan bentuk form yang harus
disampaikan kepada Bank Indonesia.
b. Petunjuk Teknis Kamus Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usah
Syariah (Lampiran II), yang mengatur mengenai cara pembuatan instance document, struktur data, dan nama tag.
c. Petunjuk Teknis Single Reporting Platform (SRP) (Lampiran III), yang mengatur mengenai cara penyampaian laporan
dan melihat status Laporan yang telah disampaikan.
5. Dalam menyampaikan laporan:
a. Bank Pelapor harus memiliki sandi kantor Bank Pelapor sebelum menyampaikan Laporan.
b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia.
c. Bank Pelapor dapat menyampaikan Laporan dan/atau Koreksi Laporan secara offline bila memenuhi persayaratan
tertentu.
6. Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan
dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang tercantum pada tanda terima penyampaian Laporan dimana
tanda terima tersebut diberikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi oleh Bank
Indonesia.
105
RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2013
7. Pertanyaan yang berkaitan dengan Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah disampaikan kepada:
a. Help Desk Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350, Telp. 021-29818000, email: [email protected]
atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/38/DPM tanggal 10 September 2013 perihal Perubahan
Ketujuh Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar
Terbuka
Berlaku :
1. Penyempurnaan ketentuan dilakukan pada pokoknya untuk mengakomodir hal-hal sebagai berikut:
a. Penyempurnaan aturan minimum holding period SBI.
b. Penyempurnaan aturan Term Deposit yang meliputi persyaratan early redemption dan perhitungan biaya early
redemption Term Deposit.
2. Sejak tanggal Surat Edaran ini berlaku, ketentuan minimum holding period SBI yang mengatur minimum kepemilikan
SBI sebelum dapat ditransaksikan kepada pihak lain diubah, dari yang semula 6 bulan (182 hari kalender) menjadi
1 bulan (28 hari kalender).
3. Beberapa pengaturan terkait 1 month holding period SBI :
a. Setiap pihak yang akan mentransaksikan SBI harus memegang SBI minimal 1 bulan (28 hari kalender). Transaksi
dimaksud mencakup antara lain transaksi repo, penjualan secara outright, hibah dan pengagunan.
b. Transaksi dengan Bank Indonesia dikecualikan dari pengaturan 1 month holding period. Dengan demikian SBI
dapat ditransaksikan dengan BI sebelum dimiliki selama 1 bulan (28 hari kalender).
c. Transaksi dengan second leg :
1) Terjadi perpindahan kepemilikan (antara lain repo sell and buyback )
a) Untuk memenuhi ketentuan 1 month holding period, transaksi dilakukan paling singkat 1 bulan (28 hari
kalender).
b) Ditransaksikan kembali :
(1)Dalam hal second leg berhasil, SBI dapat ditransaksikan kembali setelah dimiliki paling singkat 1 bulan
(28 hari kalender) sejak setelmen second leg transaksi dimaksud.
(2)Dalam hal second leg gagal dan berlaku sebagai transaksi outright, SBI dimaksud dapat ditransaksikan
1 bulan (28 hari kalender) sejak kepemilikan berpindah yaitu sejak setelmen first leg transaksi dimaksud.
2) Tidak terjadi perpindahan kepemilikan (antara lain repo collateralized borrowing, pledge dan securities lending
and borrowing)
a) Dalam hal transaksi dimaksud sudah jatuh waktu dan berhasil dilakukan setelmen second leg, maka pemilik
SBI dapat langsung mentransaksikan kembali SBI dimaksud.
b) Namun dalam hal transaksi dimaksud merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum
aturan 1 month holding period berlaku maka SBI dimaksud baru dapat ditransaksikan 1 bulan (28 hari
kalender) sejak SBI dimiliki.
106
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Sub-Registry sebagai pihak yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI milik nasabahnya, wajib untuk
menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi aturan 1 month holding period.
5. Transaksi yang merupakan bagian dari transaksi yang sudah dilakukan sebelum aturan 1 month holding period SBI,
tunduk pada ketentuan butir II.9 SE Ekstern 13/13/DPM tanggal 9 Mei 2011 Perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka sampai dengan transaksi
dimaksud jatuh waktu.
6. Atas pelanggaran ketentuan minimum holding period, pemilik SBI atau Sub-Registry dapat dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai nominal transaksi SBI yang tidak memenuhi
persyaratan, paling sedikit sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per hari.
7. Bank Indonesia menghapus persyaratan jangka waktu Term Deposit yang dapat diajukan untuk dilakukan early
redemption.
8. Atas early redemption Term Deposit, Peserta OPT dikenakan biaya dengan perhitungan sebagai berikut :
9. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai efektif berlaku pada tanggal 12 September 2013.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/39/DPNP tanggal 17 September 2013 Tentang Perubahan
Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/20/DKBU tanggal 22 MEI 2013 Perihal Laporan Bulanan
Bank Perkreditan Rakyat
Berlaku : Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (17 September 2013) dan berlaku surut
sejak tanggal 13 September 2013
1. Surat Edaran diterbitkan karena sebagai upaya mengatasi permasalahan dalam penyampaian Laporan Bulanan, serta
guna menjaga kesinambungan dan kualitas data yang dikelola oleh Bank Indonesia.
2. Penyampaian Laporan Bulanan periode Agustus sampai Oktober 2013 masih menggunakan format lama melalui
aplikasi web integrasi dengan berpedoman pada SE No. 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan
BPR sebagaimana diubah terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/15/DKBU tanggal 11 Juni 2010.
3. Apabila BPR Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan secara on line maka dimungkinkan untuk
menyampaikan secara off line dalam bentuk CD atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi
kepada BI yang membawahi Kantor Pusat BPR.
107
NominalTerm Deposit yang di early redemption
Repo rateLending facility
RRT Tingkat DiskontoTerm Deposit Pada Saat Diterbitkan)( —X X
Sisa Jangka Waktu360
Biaya =
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Khusus untuk Laporan Bulanan periode Agustus 2013, penyampaian Laporan Bulanan dan/atau Koreksi Laporan
Bulanan dilakukan paling lambat akhir September 2013 secara on line melalui ekstranet BI. Jika BPR tidak menyampaikan
sampai dengan akhir September 2013, BPR dikenakan sanksi keterlambatan.
5. BPR selain wajib menyampaikan Laporan Bulanan sesuai angka 2 di atas, juga menyampaikan Laporan Bulanan
dengan format baru yang mengacu pada SE No. 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 dalam rangka uji coba.
6. Laporan Bulanan posisi November 2013 telah mengacu pada SE Ekstern No. 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013.
Peraturan : Surat Edaran Ekstern Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan
Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan
Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan
Kendaraan Bermotor
Berlaku : Sejak tanggal 30 September 2013
Ringkasan:
SE ini menginduk pada PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan PBI tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pokok-pokok pengaturan dalam SE adalah sebagai berikut:
1. Loan to Value (LTV)/Financing to Value (FTV) berlaku untuk :
a. Kredit/Pembiayaan Pemilikan Properti (KPP/KPP iB), meliputi KPR/KPR iB, KPRS/KPRS iB, KPRukan/KPRukan iB, dan
KPRuko/KPRuko iB; dan
b. Kredit/Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti (KKBP/KKBP iB).
2. LTV dan FTV ditetapkan paling tinggi sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :
3. Penentuan urutan fasilitas kredit/pembiayaan dalam perhitungan LTV/FTV harus memperhitungkan seluruh fasilitas
KPP/KPP iB dan KKBP/KKBP iB yang telah diterima debitur/nasabah di bank yang sama maupun bank lainnya.
108
FK/FP 1Kredit/Pembiayaan*)
& Tipe Agunan FK/FP 2 FK/FP 3
KPR Tipe > 70 70% 60% 50%
KPRS Tipe > 70 70% 60% 50%
KPR Tipe 22 - 70 - 70% 60%
KPR Tipe 22 - 70 80% 70% 60%
KPR Tipe s.d. 21 - 70% 60%
KPRuko/KPRukan - 70% 60%
FP 1Pembiayaan & Tipe
Agunan (MMQ & IMBT) FP 2 FP 3 dst
KPR Tipe > 70 80% 70% 60%
KPRS Tipe > 70 80% 70% 60%
KPR Tipe 22 - 70 - 80% 70%
KPR Tipe 22 - 70 90% 80% 70%
KPR Tipe s.d. 21 - 80% 70%
KPRuko/KPRukan - 80% 70%
Keterangan: *) khusus pembiayaan, hanya untuk pembiayaan dengan akad murabahah dan istishna’FK = Fasilitas Kredit; FP = Fasilitas Pembiayaan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
4. Dalam hal perjanjian KPP/KPP iB antara Bank dan debitur/nasabah mengikat lebih dari 1 (satu) unit Properti pada saat
bersamaan dan/atau beberapa perjanjian KPP/KPP iB terhadap beberapa Properti yang dilakukan pada tanggal yang
sama, Bank wajib menetapkan urutan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan urutan nilai agunan dimulai dari nilai
agunan yang paling rendah.
5. Pengaturan atas hal-hal yang harus dipenuhi Bank dalam rangka melaksanakan pengaturan LTV/FTV, antara lain
persyaratan dokumen, perlakuan debitur suami dan istri, dan penerapan prinsip kehati-hatian berupa pengaturan
top up kredit atau pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya.
6. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas KPP/KPP iB jika Properti yang dijadikan agunan belum
tersedia secara utuh dimana fasilitas tersebut hanya dapat diberikan untuk fasilitas KPP/KPP iB pertama dan harus
memenuhi persyaratan lainnya dalam rangka prinsip kehati-hatian.
7. Pengaturan minimum down payment (DP) untuk kredit/pembiayaan kendaraan bermotor yaitu 25% untuk kendaraan
bermotor roda dua, 30% untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan non produktif, dan 20%
untuk kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif.
8. Penerapan prinsip kehati-hatian berupa larangan pemberian kredit/pembiayaan untuk uang muka atau down payment.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/41/DKMP Tanggal 1 Oktober 2013 Perihal Perhitungan Giro
Wajib Minimum Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio dalam
Rupiah
Berlaku : Sejak tanggal 1 Oktober 2013
Ringkasan:
Latar Belakang Pengaturan:
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 PBI No. 15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua atas PBI No.
12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, tata
cara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder dan Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio
(GWM LDR) dalam Rupiah akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI). Sehubungan dengan itu
maka SE BI ini mengatur lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan GWM Sekunder dan GWM LDR dalam rupiah.
Substansi Pengaturan:
1. GWM Sekunder dalam Rupiah
a. Pemenuhan tahapan GWM Sekunder adalah sebagai berikut :
1) Sebesar 2,5% dari DPK dalam Rupiah sampai dengan tanggal 30 September 2013.
2) Sebesar 3% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2013.
3) Sebesar 3,5% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 1 Desember
2013.
4) Sebesar 4% dari DPK dalam Rupiah sejak tanggal 2 Desember 2013.
109
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
b. Komponen yang diperhitungkan sebagai cadangan dalam pemenuhan GWM Sekunder dalam Rupiah adalah
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), Surat Berharga Negara (SBN) dan/atau
Excess Reserve.
c. SBI, SDBI, dan SBN yang diperhitungkan dalam GWM Sekunder dalam rupiah mencakup untuk seluruh jenis dan
jangka waktu surat berharga, namun tidak termasuk SBN yang tidak dapat diperdagangkan (untradeable).
d. Penetapan nilai SBI, SDBI, dan SBN yang dimiliki Bank dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening
surat berharga Bank di BI-SSSS pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS.
e. Nilai SBI, SDBI, dan SBN yang digunakan dalam perhitungan GWM Sekunder dalam rupiah adalah nilai pasar
(market value) yang tercantum di BI-SSSS.
2. GWM LDR dalam Rupiah.
a. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:
1) Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78%
2) Batas atas LDR Target ditetapkan:
- sebesar 100% sampai dengan tanggal 1 Desember 2013;
- sebesar 92% sejak tanggal 2 Desember 2013.
3) Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target dikenakan GWM LDR sebesar 0%.
4) Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian
antara Parameter Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1), selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank,
dan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah.
5) Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif
(saat ini ditetapkan 14%) akan dikenakan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas
(saat ini sebesar 0,2), selisih antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK dalam Rupiah.
6) Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target namun memiliki KPMM sama atau lebih besar dari
KPMM Insentif (saat ini ditetapkan 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%.
b. Perhitungan LDR Bank diperoleh dari pos-pos neraca mingguan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
3. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% dari rata-
rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari (overninght) dari JIBOR dalam Rupiah pada hari terjadinya pelanggaran,
terhadap kekurangan GWM dalam Rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran.
4. Ketentuan dalam SE Ekstern ini mulai berlaku pada 1 Oktober 2013.
Peraturan : Surat Edaran Nomor: 15/42 /DPM perihal Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank
Tanggal : 8 Oktober 2013
I. Ketentuan ini merupakan aturan pelaksanaan dari PBI No. 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada
Bank, terkait dokumen penyelesaian transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai.
II. Meteri pengaturan meliputi :
110
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
1. Pengaturan dokumen yang digunakan sebagai bukti diperkenankannya penyelesaian Transaksi Lindung Nilai tanpa
pemindahan dana pokok secara penuh (netting) sesuai Pasal 5 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 PBI:
a. Transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai oleh Bank dan/atau Nasabah yang mengalami
kejadian luar biasa (force majeure), dokumen paling kurang meliputi:
(1)kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka lindung nilai yang masih outstanding; dan
(2)dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh pihak berwenang, yang menerangkan bahwa kejadian luar biasa
tersebut dialami oleh Bank dan/atau Nasabah yang bertransaksi.
b. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas kegiatan
ekspor/impor, dokumen paling kurang meliputi:
(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai yang diperpanjang; dan
(2) fotokopi letter of credit (L/C), invoice, Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang
(PIB), salinan dokumen bill of lading (B/L), atau dokumen sejenis.
c. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas dana usaha,
modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan
modal minimum Bank, dokumen paling kurang meliputi:
(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan dokumen bukti setoran modal dari
kantor pusat.
(2)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan laporan keuangan Bank; atau
(3)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan perjanjian pinjaman sub-ordinasi
Bank.
d. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas penyertaan
langsung di sektor riil, dokumen paling kurang meliputi:
(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang; dan
(2) fotokopi bukti penyertaan langsung yang dilakukan oleh kantor pusat atau penanam modal (investor).
e. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas pinjaman
luar negeri dalam valuta asing, dokumen paling kurang meliputi:
(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang; dan
(2) fotokopi surat perjanjian kredit (loan agreement) dan/atau dokumen utang terkait lainnya.
f. Perpanjangan transaksi valuta asing terhadap rupiah untuk keperluan lindung nilai (hedging) atas Surat Utang
Negara (SUN), saham dan obligasi korporasi, dokumen paling kurang meliputi:
(1)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan
SUN;
(2)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan
saham; atau
(3)kontrak transaksi valuta asing terhadap rupiah yang diperpanjang dan fotokopi dokumen kepemilikan
obligasi korporasi.
2. Nilai nominal perpanjangan (roll over) transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung Nilai paling
banyak sebesar nilai nominal underlying dari transaksi dimaksud.
3. Frekuensi dan jangka waktu perpanjangan (roll over) transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam rangka Lindung
Nilai yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sesuai dengan jangka waktu underlying yang tercantum dalam
bukti dokumen.
111
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia NO.15/43/DPNP tanggal 21 Oktober 2013 Tentang Perubahan
Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan
Tahunan Dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat
1. Surat Edaran ini diterbitkan karena adanya perpanjangan masa uji coba dan parallel run penyampaian Laporan Bulanan
BPR yang semula sampai dengan Laporan Bulanan posisi bulan Juli 2013 diperpanjang hingga posisi bulan Oktober
2013. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menjaga kesinambungan dan konsistensi data yang dikelola
oleh Bank Indonesia yaitu antara Laporan Bulanan BPR dengan Laporan Publikasi BPR, maka dipandang perlu untuk
melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan Rakyat.
2. Perubahan tersebut mengatur tentang tata cara dan format Laporan Keuangan Publikasi yang wajib diumumkan BPR
dan disampaikan kepada Bank Indonesia untuk periode Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September
2013, sebagai berikut:
a. Khusus untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013 mengacu pada tata cara dan format
lampiran I A Surat Edaran Bank Indonesia No.15/43/DPNP Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 15/29/DKBU Tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Prekreditan
Rakyat.
b. Rekaman data Laporan Keuangan Publikasi yang disampaikan kepada Bank Indonesia posisi bulan September
2013 secara on-line yang mengacu pada Lampiran 1A sebagaimana huruf a di atas, tidak mencakup rasio Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan Cash
Ratio pada Tabel 4 mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan informasi lainnya.
3. Selanjutnya, terhitung untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2013 dan laporan-laporan
Publikasi BPR berikutnya sepenuhnya mengacu pada format lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia nomor 15/29/DKBU
tanggal 31 Juli 2013 tersebut di atas.
4. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 21 Oktober 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/44/DPbS tanggal 22 Oktober 2013 perihal Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah
Berlaku : Tanggal 22 Oktober 2013
Latar Belakang Pengaturan:
• Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah (FPJPS) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012.
• SE ini mengatur FPJPS terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan, persetujuan,
tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan penggunaan FPJPS.
112
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Substansi Pengaturan:
I. Persyaratan FPJPS
1. Umum
a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJPS adalah Bank yang:
1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek.
2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi.
3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal
sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
b. FPJPS diberikan sebesar plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai
dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan
oleh Bank.
c. Pencairan FPJPS sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan
jangka waktu FPJPS.
d. Jangka waktu FPJPS:
1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 14 hari kalender.
2) Jangka waktu FPJPS dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan
paling lama 90 hari kalender.
e. Imbalan atas penggunaan FPJPS sebesar yang dihitung berdasarkan perkalian antara jumlah pokok FPJPS,
tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
sebesar 90% (sembilan puluh persen), dan jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.
Tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS adalah tingkat realisasi imbalan sebelum
didistribusikan pada bulan terakhir atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1
(satu) bulan dari Bank penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia.
2. Agunan FPJPS
a. Bank menjamin FPJPS dengan agunan milik Bank berupa SBIS SBSN, Obligasi Syariah Korporasi (Sukuk Korporasi)
dan/atau aset Pembiayaan.
b. Sukuk Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJPS dalam hal:
1) Bank memiliki SBIS dan/atau SBSN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS; atau
2) Bank tidak memiliki SBIS dan/atau SBSN.
c. Aset Pembiayaan hanya dapat dijadikan agunan FPJPS dalam hal:
1) Bank memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan
FPJPS; atau
2) Bank tidak memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi.
d. Dalam hal setelah memperoleh FPJPS yang dijamin oleh sebagian atau seluruhnya dengan aset Pembiayaan,
Bank memiliki surat berharga (SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi) yang memenuhi syarat untuk menjadi
agunan FPJPS, Bank wajib mengganti aset Pembiayaan yang diagunkan dengan surat berharga tersebut.
II. Pengajuan FPJPS
1. Permohonan FPJPS.
Bank dapat mengajukan permohonan FPJPS paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana kebutuhan FPJPS
pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB.
2. Permohonan perpanjangan FPJPS.
113
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
a. Apabila pada saat FPJPS jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJPS, Bank dapat memperpanjang
FPJPS dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJPS sesuai kebutuhan. Permohonan perpanjangan
FPJPS dapat berdiri sendiri atau dapat diikuti dengan penambahan plafon FPJPS. Dalam hal permohonan
perpanjangan FPJPS diikuti dengan penambahan plafon FPJPS, besarnya jumlah plafon perpanjangan
diperhitungkan dengan nilai pokok FPJPS jatuh tempo dengan tetap memenuhi persyaratan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
b. Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS pada setiap hari kerja mulai pukul 08.30 WIB sampai
dengan 12.00 WIB.
3. Permohonan Penambahan Plafon FPJPS.
a. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJPS Bank dapat mengajukan penambahan plafon FPJPS sesuai
kebutuhan, dengan ketentuan:
1) Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJPS;
2) Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan
3) Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko.
b. Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon FPJPS pada setiap hari kerja mulai pukul 08.30 WIB
sampai dengan 12.00 WIB selama periode FPJPS.
III.Perhitungan Nilai Agunan FPJPS
1. Agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJPS yang dijamin dengan SBIS.
2. Agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJPS yang dijamin dengan
SBSN.
3. Agunan berupa Sukuk Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar:
a. 120% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas.
b. 135% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat teratas.
c. 140% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat kedua teratas.
d. 145% plafon FPJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas.
4. Agunan berupa aset Pembiayaan
a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai saldo pokok aset Pembiayaan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
permohonan FPJPS.
b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon
FPJPS yang dijamin dengan aset Pembiayaan.
IV.Persetujuan FPJPS
Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJPS dalam hal:
1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau
perpanjangan FPJPS.
2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.
V. Pelaksanaan Pemberian FPJPS
1. Pencairan FPJPS. Dalam hal permohonan FPJPS disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJPS
sebesar kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang
tidak melebihi plafon FPJPS yang disetujui.
114
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
2. Pemantauan FPJPS
a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas
Bank pada setiap akhir hari kerja.
b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJPS.
c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJPS
secara harian.
d. Penghentian pencairan FPJPS. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJPS dalam hal:
1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil risiko Bank
2) terjadi penurunan nilai agunan FPJPS dengan kondisi sebagai berikut:
a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS; dan
b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan.
e. Pengakhiran FPJPS, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJPS dalam hal:
1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJPS sehingga nilai sisa plafon
lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan
2) terjadi penurunan nilai agunan FPJPS dengan kondisi sebagai berikut:
a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS setelah
jangka waktu berakhir; dan
b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya
atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJPS
VI. Pelunasan FPJPS
1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJPS saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi
kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut
sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJPS.
2. Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan
mendahulukan pembayaran imbalan FPJPS kemudian pelunasan pokok FPJPS.
VII.Eksekusi Agunan FPJPS
Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJPS dalam hal:
1. FPJPS jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJPS, atau perjanjian FPJPS diakhiri; dan
2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi imbalan dan/atau nilai
pokok FPJPS.
VIII.Biaya FPJPS
Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJPS menjadi beban Bank penerima FPJPS, antara lain berupa:
1. imbalan FPJPS sampai dengan FPJPS dilunasi;
2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJPS dan pengikatan agunan FPJPS;
3. biaya proses eksekusi agunan;
4. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Sukuk Korporasi di otoritas
penatausahaan surat berharga dimaksud; dan
5. biaya lainnya terkait pemberian FPJPS.
115
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
X. Lain-lain
1. Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar aset Pembiayaan beserta dokumen-dokumen pendukungnya
yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai agunan FPJPS.
2. Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 setiap 6 (enam)
bulan sekali yaitu untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan paling lambat tanggal 15 setelah posisi akhir bulan
yang bersangkutan dalam bentuk hardcopy dan softcopy dengan menggunakan format excel.
4. Untuk pertama kali laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan untuk posisi Juni 2013 yang
disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/45/DPNP/2013 tanggal 18 November 2013 tentang
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012
perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat
Berlaku : Sejak tanggal ditetapkan
Ringkasan:
1. Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilakukan dalam rangka:
a. menindaklanjuti penyempurnaan organisasi satuan kerja Bank Indonesia, dan
b. menindaklanjuti beberapa hal yang memerlukan penyesuaian pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
2. Penyempurnaan dilakukan untuk:
a. Perubahan alamat penyampaian permohonan Uji Kemampuan dan Kepatutan New Entry.
b. Penyempurnaan pengertian menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah
disepakati dengan Bank Indonesia.
c. Penyempurnaan mekanisme pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu.
d. Penyempurnaan Lampiran 1a, Lampiran 1b, Lampiran 2a, Lampiran 2b dan Lampiran 2c.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara
di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
Berlaku : 20 November 2013
Ringkasan :
10.Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/12/DASP Tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara
Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara.
116
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
11.Surat Edaran ini merupakan ketentuan yang diterbitkan sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara (SUN)
dalam valuta asing oleh Pemerintah sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 Tentang
Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik.
12.Perubahan yang mendasar dalam Surat Edaran ini meliputi pengaturan pelaksanaan lelang dan penatausahaan SUN,
yang semula hanya untuk SUN dalam mata uang Rupiah, diubah menjadi lelang dan penatausahaan SUN dalam
mata uang Rupiah dan valuta asing;
13. Lelang SUN dalam valuta asing di pasar perdana domestik dapat diikuti oleh:
a. Orang perseorangan Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia, perusahaan, usaha bersama,
asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi baik Indonesia ataupun asing, yang didirikan atau bertempat kedudukan
di wilayah Republik Indonesia;
b. Bank Indonesia; dan
c. Lembaga Penjamin Simpanan.
Pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan administrasi; dan
b. teregistrasi dalam daftar investor yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia; sebagaimana
ketentuan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
14.Pihak sebagaimana dimaksud pada butir 2.a mengikuti lelang melalui Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri
untuk mengikuti lelang dan sedang tidak dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti lelang.
15.Pelaksanaan Lelang SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik dilaksanakan melalui sarana Bloomberg
dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Persiapan
Peserta Transaksi menyampaikan paling banyak 2 (dua) nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi
Lelang SUN dalam valuta asing di Pasar Perdana domestik dan menyampaikan updating data dimaksud kepada
Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan.
b. Pengumuman lelang
Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang (antara lain jenis dan seri SUN, tanggal lelang, target indikatif,
tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, alokasi nonkompetitif, daftar peserta transaksi) melalui:
1) Bloomberg kepada pegawai yang telah ditunjuk;dan
2) Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia
kepada Peserta Transaksi.
c. Pengajuan penawaran
1) Peserta Transaksi mengajukan penawaran sebagai berikut:
a) Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); dan/atau
b) Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non Competitive Bidding).
117
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/47/DSta Tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas
Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku : 2 Desember 2013
Ringkasan :
1. Rincian Perubahan Pada Lampiran I – Pedoman Penyusunan LSMK Bulanan BUS dan UUS.
tabel disini
118
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak adaa gunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
• Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)• Menambahkan kolom XXIX Uang Muka Ijarah yaitu sejumlah
dana yang diterima oleh Bank dari nasabah penyewa dalam rangka pembiayaan ijarah
Menambahkan sandi kualitas AYDA, yaitu 2,3,4. Untuk AYDA yang waktu perolehannya sebelum tanggal 24 Maret 2011 dapat mengisi semua jenis kualitas (1 s.d 5). Sedangkan untuk AYDA yang waktu perolehannya mulai tanggal 24 maret 201 harus mengisi kualitas Lancar (sandi 1) atau Macet (sandi 5)
Menambahkan sandi 59 - Uang Muka Ijarah dari Penyewa
1. Form 6 - Rincian Tagihan Spot dan Forward
2. Form 7 - Rincian Surat Berharga yang Dimiliki
3. Form 9 - Rincian Tagihan Akseptasi
4. Form 10 - Rincian Piutang Murabaah
5. Form 11 - Rincian Piutang Istishna'
6. Form 12 - Rincian Piutang Qardh
7. Form 13 - Rincian Pembiayaan Bagi Hasil
8. Form 14 - Rincian Pembiayaan Sewa
9. Form 20 - Rincian Aset yang Diambil Alih (AYDA)
10. Form 40 - Rincian Rupa-Rupa Liabilitas
Deskripsi PerubahanNo Form
Laporan Per Kantor
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
119
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menghapus jenis agunan 300 (tidak ada agunan)
Menambahkan kolom XXIX Uang Muka Ijarah
11. Form 4 - Rincian Tagihan Spot dan Forward
12. Form 5 - Rincian Surat Berharga Yang Dimiliki
13. Form 6 - Rincian Tagihan Akseptasi
14. Form 11 - Rincian Pembiayaan Sewa
Deskripsi PerubahanNo Form
Laporan Perusahaan Anak
2. Rincian Perubahan Lampiran II – Petunjuk Teknis Kamus Data.
Deskripsi PerubahanNo Bagian
Menambahkan versi kamus data 1.1.0
Menambahkan validasi antar form BSMS64 dan BSMS30
Menambahkan base item di BSMS64, BSMA65, dan BSMK1
BSMS5Menambahkan filter pada validasi BS-IF_CekRKDVVls sehingga melakukan penjumlahan hanya pada jenis mata uang selain Rupiah (IDR)
BSMS14Menambahkan validasi : jika pada kolom Waktu perolehan (di176) terisi sebelum 24 Maret 2011, kolom Kualitas boleh diisi 1, 2, 3, 4, atau 5. Jika waktu perolehan tanggal 24 Maret 2011 dan setelahnya, maka hanya bisa diisi 1 atau 5.
BSMS30Menambahkan sandi 59 (Uang Muka Ijarah dari Penyewaan) pada tabel referensi untuk kolom Jenis Instrumen (si308).
BSMS64, BSMS30Jumlah nilai pada kolom 'Uang Muka Ijarah' pada BSMS64 harus sama dengan Jumlah nilai pada Kolom 'Jumlah Bulan Laporan' (mi313) BSMS30 dengan jenis instrumen 59
BSMS31Menambahkan sandi 060 (Pinjaman Subordinasi Tanpa Jangka Waktu Kumulatif) pada tabel referensi Modal Pinjaman Syariah untuk Kolom 'Jenis Instrumen' (si314)
1. BAB VI
2. Lampiran 2
3. Lampiran 3
4. Lampiran 4
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
120
Deskripsi PerubahanNo Bagian
BSMS34Menambahkan validasi: kolom status instrumen hanya boleh diisi jika jenis instrumen diisi Forward (sandi 90) pada BSMS34.
BSMS48, BSMS50, BSMS52, BSMS54, BSMS56, BSMS58, BSMS62, BSMS64, BSMS35, BSMS36, BSMA49, BSMA51, BSMA53, BSMA57, BSMA59, BSMA63, BSMA61, BSMA65Menghapus sandi 300 pada tabel referensi untuk kolom 'Jenis Agunan' (si27)
BSMS37Mengubah acuan kolom untuk validasiBS-IF_CekAHBPembiayaanHapusBuku dan BS-IF_CekAHBBlnHapusBuku dari kolom 10 Baki Debet Aset Produktif Dihapus Buku (mi387) ke kolom 8 Jumlah Aset Produktif dihapus buku (mi385) BSMG73CekATMR : ATMR Resiko boleh diisi dengan nilai lebih besar atau sama dengan 0. (ATMR Resiko Kredit tetap harus > 0)Menambahkan validasi sehingga status kantor pelapor harus diisi "Kantor Pusat” (Sandi 1) untuk Form Info Pokok Gabungan
BSMA51, BSMA53, BSMA55, BSMA63, BSMA65Menghapus validasi TA_CekGolonganNasabah sehingga kolom Golongan Nasabah Tertagih (si421) dapat diisi sandi bank pelapor sendiri (Di dalam perusahaan anak)
BSMS1, BSMS2, BSMS4, BSMS45, BSMA1, BSMA46, BSMG1, BSMG47, BSMK1, BSMK2 (Semua Closed Table)Menambahkan validasi untuk mengecek jumlah base harus sama jumlah base yang sudah ditetapkan.
Semua Open TableMenambahkan validasi untuk mewajibkan RowID
Seluruh InstanceMenambahkan validasi untuk memastikan unit yang dilaporkan dalam rupiah (IDR)Menambahkan validasi untuk memastikan nama file instance dan nama scema yang digunakan sudah sesuai.
3. Pertanyaan yang berkaitan dengan pelaporan dapat disampaikan ke:
a. Contact Center Bank Indonesia, Telp. 500131, email: [email protected]
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri setempat
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/48/DSta Tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan
Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan
Harian Bank Umum
Berlaku : 16 Desember 2013
Ringkasan :
1. Menambahkan jenis surat berharga Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) dengan sandi 4 pada Form 301:
Perdagangan Surat Berharga di Pasar Sekunder.
2. Khusus untuk jenis surat berharga SDBI, sandi bank pembeli (kolom 5) tidak boleh sama dengan sandi bank penjual
(kolom 9) dan hanya boleh diisi dengan sandi bank di Indonesia.
Ringkasan Surat Edaran Nomor 15/49/DPKL tanggal 5 Desember 2013
Latar Belakang Pengaturan
a. Surat Edaran (SE) Ekstern perihal LPIP diterbitkan sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013 tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP);
b. Dalam rangka mengukur kesiapan dan kesinambungan kegiatan pengelolaan LPIP, diperlukan adanya pengaturan
lebih lanjut mengenai mekanisme perizinan LPIP, serta pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia kepada
LPIP untuk meyakini bahwa operasional LPIP dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan tujuan dari
keberadaan LPIP.
c. SE Ekstern perihal LPIP mencakup ketentuan pelaksanaan mengenai perizinan LPIP, operasional LPIP, pengawasan
LPIP, penanganan keluhan, dan hak serta kewajiban LPIP.
Substansi Pengaturan
1. LPIP hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia. Pemberian izin
dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b. izin usaha.
2. Bentuk badan hukum LPIP adalah Perseroan Terbatas.
3. Pemegang saham LPIP wajib berbadan hukum Indonesia. Badan hukum Indonesia (BHI) pemegang saham LPIP dapat
dimiliki oleh BHI atau BHI dengan badan hukum asing (BHA) secara kemitraan.
4. Perubahan modal disetor, pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris memerlukan
persetujuan dari Bank Indonesia.
5. Setiap LPIP memiliki kewajiban untuk menjaga data, memiliki sistem yang andal, memiliki kebijakan dan prosedur
operasional dalam pedoman tertulis, serta memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap pihak yang menggunakan
informasi perkreditan.
6. Pengaturan mengenai sumber dan alur data, biaya perolehan Data Kredit, perolehan data LPIP untuk kepentingan
Bank Indonesia, dan pengelolaan data LPIP.
7. Pengaturan mengenai syarat, ketentuan, serta pihak yang diizinkan untuk dapat memperoleh informasi perkreditan
dari LPIP.
121
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
8. Pengaturan mengenai pelaksanaan mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan dari masyarakat dalam
hal terdapat kesalahan atau ketidakbenaran data yang dikelola oleh LPIP.
9. Pengaturan mengenai pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia kepada LPIP untuk meyakini bahwa operasional
LPIP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, untuk menjaga kesinambungan operasional LPIP, serta menjaga
kepentingan masyarakat terkait data yang dikelola oleh LPIP.
10.Pengaturan mengenai prosedur dan mekanisme penghentian kegiatan usaha LPIP.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/50/DPbS tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan
Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank Umum
Syariah
Berlaku : Tanggal 30 Desember 2013
Latar Belakang Pengaturan:
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.
Substansi Pengaturan:
1. Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank (Kantor Wilayah,
Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, Kantor Fungsional dan Kantor Pelayanan Kas) serta rencana
pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan Layanan Syariah Bank (LSB) wajib dicantumkan dalam
rencana bisnis Bank disertai kajian. Cakupan kajian mengacu pada lampiran dari SE ini.
2. Kajian mengenai rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank
serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB untuk pertama kali disampaikan paling
lambat tanggal 28 Maret 2014, dan untuk selanjutnya kajian dimaksud disampaikan bersamaan dengan penyampaian
rencana bisnis Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis Bank.
3. Permohonan izin atau laporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan
kantor Bank serta rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dan/atau penyampaian
laporan lainnya sebagaimana diatur dalam PBI diajukan atau disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai
dengan dokumen pendukung termasuk compliance chek list mengenai kesiapan operasional yang telah dinilai oleh
satuan kerja kepatuhan Bank dengan menggunakan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
4. Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank serta pelaksanaan
pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB dilaporkan secara online oleh Bank kepada Bank
Indonesia melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
122
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Wilayah dan Kantor
Fungsional Bank selama belum dapat dilaporkan secara online melalui LKPBU, wajib dilaporkan secara offline setiap
bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya dengan menggunakan contoh format surat
sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/51/DPbS tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan
Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal Unit
Usaha Syariah.
Berlaku : Tanggal 30 Desember 2013
Latar Belakang Pengaturan:
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah.
Substansi Pengaturan:
5. Unit Usaha Syariah (UUS) dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan memenuhi persyaratan paling
kurang:
a. Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS telah mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing;
b. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai;
c. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah terkait kegiatan usaha dalam valuta asing; dan
d. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan transaksi dalam valuta asing.
6. Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS (Kantor Cabang
Syariah, Kantor Cabang Pembantu Syariah, Kantor Kas Syariah, Kantor Fungsional Syariah, Kantor Pelayanan Kas
Syariah) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis UUS disertai kajian. Cakupan kajian mengacu pada lampiran dari
SE ini.
7. Kajian mengenai rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS
untuk pertama kali disampaikan paling lambat tanggal 28 Maret 2014, dan untuk selanjutnya kajian dimaksud
disampaikan bersamaan dengan penyampaian rencana bisnis BUK yang memiliki UUS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai rencana bisnis UUS.
8. Permohonan izin atau laporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan
kantor UUS dan/atau penyampaian laporan lainnya sebagaimana diatur dalam PBI diajukan atau disampaikan oleh
BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung termasuk compliance chek
list mengenai kesiapan operasional yang telah dinilai oleh satuan kerja kepatuhan BUK yang memiliki UUS dengan
menggunakan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
123
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 3, September - Desember 2013
9. Proses pencabutan izin usaha UUS atas permintaan BUK yang memiliki UUS dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu
persetujuan persiapan pencabutan izin usaha dan pencabutan izin usaha. Permohonan persetujuan persiapan
pencabutan izin usaha dan permohonan pencabutan izin usaha UUS diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen sebagaimana ditetapkan dalam SE ini.
10.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS dilaporkan secara
online oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
11.Pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan Kantor Fungsional Syariah
UUS selama belum dapat dilaporkan secara online, wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima)
hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya melalui LKPBU dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana
ditetapkan dalam SE ini.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/52/DSta Tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan
Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan
Harian Bank Umum
Berlaku : 3 Maret 2014
Ringkasan:
1. Menambahkan informasi yang harus disampaikan oleh bank kustodian mengenai rekening efek (securities account)
Bukan Penduduk pada form 407: Posisi Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri Jangka Pendek Bank. Informasi yang
disampaikan meliputi 6 (enam) komponen yaitu:
a. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi saham (sandi 80)
b. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi obligasi korporasi Indonesia (sandi 81)
c. total RVP Bukan Penduduk untuk transaksi Surat Berharga Negara (SBN) (sandi 82)
d. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi saham (sandi 83)
e. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi obligasi korporasi Indonesia (sandi 84)
f. total DVP Bukan Penduduk untuk transaksi Surat Berharga Negara (SBN) (sandi 85)
2. Total transaksi sebagaimana dimaksud pada butir 1.a sampai dengan 1.f tersebut di atas tidak akan diperhitungkan
sebagai komponen PLN Jangka Pendek Bank yang dikecualikan.
124