Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi
Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi
(Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara)
Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia
Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari
Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei – Agustus 2012
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei – Agustus 2012
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,
Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti
Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,
Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 2, Edisi Mei s.d Agustus 2012 kembali hadir
ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.
Topik utama Buletin menyoroti mengenai Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi, yang ditulis oleh Dr. Tini
Kustini, SH. Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang dapat menyelesaikan
permasalahan dengan damai, cepat, murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan dan kewajaran dan tentunya
perikemanusiaan.
Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu :
1. Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara oleh Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD.
2. Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang
No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) oleh Soehirman, SH., MS.
3. Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia oleh Fred B.G. Tumbuan,
4. Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi oleh Indrawati, SH., LL.M
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai
dengan Agustus 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Agustus 2012
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi ...................................................................................... 1 - 13
Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,
Bank Indonesia
Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara......................................................................................... 15 - 19Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD, Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI.,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi
(Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) .......................... 21 - 28
Soehirman, SH., MS, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia ................................................................................. 29 - 37
Fred B.G. Tumbuan, Pengacara Senior
Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi........................ 39 - 54
Indrawati, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012.............. 55 - 57
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum, Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012........ 59 - 86
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 10, NOMOR 2, MEI – AGUSTUS 2012
iii
I. PENDAHULUAN
Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan
hukum antara para pihak yang timbul antara lain dari
suatu perjanjian. Perjanjian bertujuan untuk mengatur
hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak
dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya
mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
Dengan adanya suatu perjanjian, maka terdapat suatu
fakta hukum bahwa terdapat hubungan hukum antara
para pihak, misalnya bank dengan nasabahnya, dan
apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan
sesuai dengan perjanjian atau hukum yang berlaku.
Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan
kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat
dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar
pengadilan (out of court system). Salah satu cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan
adalah mediasi.
Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). Masyarakat internasional
(sipil atau publik)1 menghendaki setiap sengketa dan
ketidaksepahaman diselesaikan dengan damai, cepat,
murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan
dan kewajaran dan tentunya perikemanusiaan.2
Hal ini berkaitan dengan adanya reformasi di bidang
hukum, salah satu yang berkembang adalah
restorative justice sebagai langkah pembaharuan di
bidang peradilan informal, pembaharuan hak korban
dan ganti rugi. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan
menganjurkan pendayagunaan konsep restorative
justice secara lebih luas dalam sistem peradilan tidak
hanya terkait peradilan perdata namun diperluas ke
peradilan pidana,3 yang menekankan penyelesaian
masalah melalui mekanisme di luar pengadilan (out
of court system). Prinsip dasar dari restorative justice
adalah keadilan dengan memperbaiki pihak yang
dirugikan dan para pihak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam penyelesaian sengketa dan
membuat segalanya baik (making things right).
Di berbagai negara telah terjadi pergeseran konsep
keadilan dalam penyelesaian perkara dari keadilan
atas dasar pembalasan menjadi keadilan dalam
bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang mengarah
pada keadilan yang menekankan pada kepentingan
1
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI
Oleh : Dr. Tini Kustini, SH,*
Abstrak
Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat
dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar pengadilan (out of court system).
Salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan adalah mediasi. Mediasi melibatkan pihak
ketiga yang netral yang akan bertindak untuk menghubungkan para pihak.
Key words : mediasi, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), wanprestasi
* Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia
1 Lihat Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2 Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, hlm.iii.
3 Lihat United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.
penyembuhan bagi pihak yang dirugikan. Restorative
justice merupakan suatu paradigma pergeseran atau
perubahan dalam peradilan (shift in justice).
Alternatif Penyelesaian Sengketa berada pada jalur
doktrin yang baku, yakni pertama: doktrin
internasionalisme, bahwa dimanapun di dunia, filsafat,
prinsip, aturan dan kebiasaan APS dapat dikatakan
sama dan sebangun; kedua: doktrin universal, yakni
sengketa/ketidaksepahaman bentuk apapun, apakah
yang sipil/perdata maupun publik dapat diselesaikan
melalui APS. Artinya sengketa/selisih di bidang publik
dapat pula diselesaikan melalui APS, misalnya Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH, LL.M pernah
diangkat oleh para pihak anggota PBB menyelesaikan
sengketa perbatasan Iraq dan Kuwait. Selanjutnya,
Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD pernah
dipilih dan diangkat oleh para pihak sebagai arbiter
tunggal penyelesaian sengketa antara RRC - Indonesia
dalam sengketa Slot Satelit di orbit geostasioner.4
Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi akan
dibahas melalui bagan alur sebagai berikut:
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
4 Ibid, hlm.iii – iv.
Putusan Pengadilan (Akte van Dading), Perjanjian Perdamaianmemiliki kekuatan eksekutorial
Tidak TercapaiTidak Tercapai
HUKUM PERDATA
PERJANJIAN
SENGKETA
COURT SYSTEM OUT OF COURT SYSTEM
PERADILAN APS
MEDIASI *) MEDIASI
WANPRESTASI
Wanprestasi
Pemeriksaan Pokok Perkara
Putusan Pengadilan
Dapat dilakukan Upaya Hukum
Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)
Putusan Pengadilan (Akte van Dading)
memiliki kekuatan eksekutorial
Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)
Tidak daftar di Pengadilan
ArbitrasePengadilan (Gugatan)
MEDIASI *)
Gugatan
Tercapai Tercapai
FINALTidak dapat dilakukan
Upaya Hukum
Daftar di Pengadilan
FINALTidak dapat dilakukan
Upaya Hukum
= Perjanjian PerdamaianTidak memiliki kekuatan
eksekutorial
Gugatan ke pengadilan a/d Wanprestasi Perjanjian
Perdamaian
II. PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.5 Dalam suatu perjanjian
tercipta hubungan hukum antara dua orang.6 Artinya,
perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum
antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji
atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal
atau untuk tidak melakukan sesuatu hal yang disebut
dengan debitur7, sedang pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu yang disebut dengan kreditur.8
Artinya, perjanjian merupakan perbuatan untuk
memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu
akibat-akibat hukum yang merupaka konsekuensinya.9
Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan
hukum dan melahirkan seperangkat hak dan
kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya
mengikat para pihak yang mengadakan kesepakatan,10
mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak
yang membuatnya.11
Kehendak para pihak merupakan faktor utama untuk
terjadinya perjanjian, tanpa adanya kehendak, tidak
mungkin tercipta perjanjian. Suatu perjanjian sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau
suatu perjanjian pada hakikatnya sudah dianggap
terjadi dengan adanya persetujuan (konsensus) dari
para pihak12 atau perjanjian sudah dilahirkan dan
mengikat pada saat atau detik tercapainya
konsensus.13 Para pihak wajib melaksanakan perjanjian
dan tidak dibenarkan untuk membatalkan atau
mengakhiri perjanjian tanpa persetujuan kedua belah
pihak atau tanpa alasan yang dibenarkan oleh Undang-
Undang.14
Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi empat
syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3) suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang
halal.15 Tidak terpenuhinya syarat perjanjian16 akan
membuat perjanjian itu menjadi tidak sah, yaitu syarat
nomor satu dan dua merupakan syarat subyektif
karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat nomor tiga dan empat merupakan
syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.
Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum (nul and void), artinya
secara hukum sejak awal atau dari semula dianggap
tidak pernah dilahirkan atau ada suatu perjanjian.
Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum
adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar
untuk saling menuntut di depan hakim atau dikatakan
bahwa perjanjian itu null and void.
Dalam hal salah satu atau kedua syarat subyektif
tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan
pembatalan oleh salah satu pihak. Salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat menuntut
pembatalan kepada hakim melalui pengadilan. Pihak
yang dapat meminta pembatalan perjanjian adalah
pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak bebas
dalam memberikan sepakatnya. Akibatnya perjanjian
yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
3
14 Lihat Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.
15 Lihat Pasal 1320 KUHPerdata.
16 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979, hlm.17. Lihat pula Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.67.
5 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata.
6 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm.161.
7 Ibid, hlm.13.
8 Ibid, hlm.13.
9 Dikutip pada http://legalakses.com/perjanjian/ (12 Januari 2012).
10 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.9.
11 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
12 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.164.
13 Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.3.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
berhak meminta pembatalan. Perjanjian ini dinamakan
voidable atau vernietigbaar.
III.SENGKETA PERDATA
Perjanjian yang telah disepakati mengakibatkan
terikatnya para pihak, oleh karenanya para pihak
mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi
sesuai dengan perjanjian. Namun, dalam
pelaksanaannya ada kemungkinan terjadi sengketa
yang pada akhirnya akan mempengaruhi tujuan
perjanjian.
Apakah sengketa itu dan mengapa terjadi sengketa?
Sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah
mengemuka. Sengketa adalah perselisihan atau
perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara
dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan
kepentingan yang berdampak pada terganggunya
pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.17
Pemicu sengketa adalah (1) kesalahan pemahaman;
(2) perbedaan penafsiran; (3) ketidak jelasan
penafsiran; (4) ketidak puasan; (5) ketersinggungan;
(6) kecurigaan; (7) tindakan tidak patut, curang dan
tidak jujur; (8) kesewenang-wenangan, ketidak adilan;
dan (9) terjadi keadaan yang tidak terduga.
Sengketa dalam bahasa Inggris adalah dispute yang
mempunyai pengertian menurut Black’s Law
Dictionary adalah:18
“Dispute is a conflict or controversy; a conflict of
claims or right; an assertion of a right, claim, or
demand on one side, met by contrary claims or
allegations on the other. The subject of litigation;
the matter for which a suit is brought and upon
which issue is joined, and in relation to which jurors
are called and witnesses examined.”
Sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau
non litigasi yaitu APS. Pilihan cara penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi akan menghasilkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
eksekutorial, namun akan memakan waktu lama
(lambat), memerlukan biaya yang besar (mahal),
formal dan bersifat permusuhan.19 Sementara itu,
jalur non litigasi merupakan penyelesaian sengketa
melalui musyawarah mufakat.
Sengketa berawal dari adanya perasaan tidak puas
dari salah satu pihak karena pihak lain tidak memenuhi
prestasi atau wanprestasi. Suatu perjanjian dikatakan
telah terlaksana apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya sesuai dengan perjanjian.
IV.WANPRESTASI
Perjanjian menghendaki adanya suatu prestasi dari
para pihak. Yang dimaksud dengan prestasi adalah
seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan
sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu.20 Artinya,
seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi
apabila (1) tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya, (2) melakukan apa yang
diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan,
(3) melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
dan (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi adalah suatu keadaan karena adanya
kelalaian atau kesalahan, dimana debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan
dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa.21 Istilah wanprestasi dalam bahasa Inggris
4
17 Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.2.
18 Blak’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.472.
19 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.71.
20 Sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Lihat pula Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.173.
21 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hlm. 21.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
adalah breach of contract yaitu failure, without legal
excuse, to perform any promise which forms the
whole or part of a contract.22 Dengan demikian,
wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur
tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi
sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.
Wanprestasi dapat timbul karena kesengajaan atau
kelalaian debitur itu sendiri atau adanya keadaan
memaksa (overmacht).
Wanprestasi berkaitan erat dengan adanya perjanjian
antara para pihak, baik berdasarkan perjanjian sesuai
Pasal 1338 s.d Pasal 1431 KUHPerdata maupun
perjanjian yang bersumber dari Undang-Undang
berdasarkan Pasal 1352 s.d Pasal 1380 KUHPerdata.
Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi,
maka menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk
mengajukan gugatan.
Dalam restatement of the law of contacts (Amerika
Serikat), wanprestasi disebut dengan breach of
contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1)
total breachts, artinya pelaksanaan perjanjian tidak
mungkin dilaksanakan, dan (2) partial breachts,
artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk
dilaksanakan. Sementara wanprestasi di Indonesia
dikenal beberapa bentuk, yaitu:23
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, yang
disebabkan debitur memang tidak mau berprestasi
atau debitur secara obyektif tidak mungkin
berprestasi lagi atau secara subyektif tidak ada
gunanya lagi untuk berprestasi.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya
atau terlambat berprestasi, dimana para pihak
masih mengharapkan memenuhi prestasinya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru
berprestasi, dimana debitur memenuhi prestasinya
namun keliru. Debitur beranggapan telah
memenuhi prestasinya, tetapi dalam kenyataannya,
kreditur menerima prestasi berbeda dari yang
diperjanjikan. Apabila prestasi yang keliru tersebut
tidak dapat diperbaiki lagi, maka debitur dikatakan
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Penentuan terjadinya wanprestasi tidak mudah, namun
apabila dalam perjanjian telah ditentukan suatu waktu
tertentu sebagai tanggal pelaksanaan hak dan
kewajiban, maka dengan lewatnya waktu sudah
dapat dikatakan terjadi wanprestasi. Berbeda halnya
apabila dalam perjanjian tidak ditentukan waktu
tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi, maka
akan sulit menentukan terjadinya wanprestasi. Oleh
karenanya, kreditur terlebih dahulu harus memberikan
peringatan atau somasi kepada debitur untuk
memenuhi prestasinya.24 Wanprestasi memerlukan
pernyataan lalai terlebih dahulu25 atau adanya klausul
dalam perjanjian yang menyatakan debitur langsung
dianggap lalai tanpa melalui somasi.26
Somasi diartikan sebagai teguran dari kreditur kepada
debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan
isi perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya.27
Artinya debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah
ada somasi,28 dan apabila debitur setelah dilakukan
somasi namun melewatkan tenggang waktu somasi
tanpa memberikan prestasinya, maka debitur
dianggap wanprestasi. Namun demikian, debitur
dapat langsung dinyatakan wanprestasi tanpa
memerlukan somasi, dalam hal sebagai berikut:
5
22 Blak’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.188.
23 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999, hlm.18.
24 Lihat Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata.
25 Lihat Pasal 1243 KUHPerdata.
26 Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 menyatakan: “Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur.”
27 Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 96.
28 Apabila debitur telah diberikan somasi oleh kreditur, dimana somasi dilakukan minimal tiga kali, maka apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa permasalahannya ke pengadilan untuk memutuskan wanprestasi yang dilakukan debitur.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
1. Perjanjian menentukan termin waktu.
2. Debitur menolak pemenuhan atau debitur sama
sekali tidak memenuhi prestasi.
Kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila
debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga
kreditur dapat menganggap suatu somasi atas
sikap penolakan debitur tidak akan menimbulkan
suatu perubahan.
3. Debitur mengakui kelalaiannya atau
memberitahukan bahwa debitur dalam keadaan
wanprestasi.
Pengakuan debitur atas kelalaiannya dapat
dilakukan secara tegas atau diam-diam dengan
menawarkan ganti rugi.
4. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.
Debitur wanprestasi tanpa adanya somasi, apabila
prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin
dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan
barang yang harus diserahkan atau barang tersebut
musnah.
5. Pemenuhan tidak berarti lagi.
Apabila pemenuhan prestasi debitur digantungkan
dalam batas waktu tertentu, dan debitur
memenuhi prestasinya namun dengan waktu yang
telah lampau.
6. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana
mestinya atau debitur keliru memenuhi prestasi.
7. Ditentukan dalam Undang-Undang bahwa
wanprestasi terjadi demi hukum.29
Akibat dari adanya wanprestasi adalah: (1) Perjanjian
tetap ada; (2) Debitur harus membayar ganti rugi
kepada kreditur;30 (3) Prinsip dasar wanprestasi adalah
ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga,31
dimana debitur bertanggungjawab dengan seluruh
harta bendanya;32 (4) Beban risiko beralih untuk
kerugian debitur, jika halangan timbul setelah debitur
wanprestasi, kecuali apabila terdapat kesalahan dari
kreditur, dimana peralihan risiko terjadi sejak saat
terjadinya wanprestasi, dan risiko atas obyek perjanjian
menjadi tanggungan debitur.33 Dalam hal berupa
perjanjian timbal balik, maka kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan
kontra prestasi.34
V. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diatur dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) yang
memberikan pengertian pada APS sebagai lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.35 Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila para pihak telah
menyepakati bahwa sengketanya akan diselesaikan
melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan.36
6
29 Misalnya Pasal 1626 KUHPerdata yang berbunyi:“Sekutu yang diwajibkan memasukkan sejumlah uang dan tidak melakukannya itu, menjadi berutang bunga atas jumlah itu demi hukum dan dengan tidak usah ditagihnya pembayaran uang tersebut, terhitung sejak hari uang tersebut sedianya harus dimasukkan.Hal yang sama berlaku terhadap jumlah-jumlah uang yang telah diambilnya dari kas bersama, terhitung sejak hari ia telah mengambilnya guna kepentingannya pribadi.Kesemuanya itu tidak mengurangi penggantian tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.”
30 Pasal 1243 KUHPerdata.
31 Lihat Pasal 1246, 1247, 1248, dan Pasal 1267 KUHPerdata.
32 Sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata.
33 Lihat Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata.Teori Hukum mengenal ajaran tentang risiko, resicoleer, yaitu seseorang wajib memikul kerugian apabila terjadi suatu kejadian atas obyek perjanjian di luar kesalahan salah satu pihak. KUHPerdata mengatur risiko dalam beberapa pasal, yaitu:1. Pasal 1237 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian
pemberian kebendaan, maka sejak saat perjanjian dilahirkan kebendaan tersebut menjadi tanggungan debitur.
2. Pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian jual beli, maka sejak saat pembelian barang yang sudah ditentukan menjadi tanggungan pembeli meskipun belum dilakukan levering (penyerahan), sementara penjual mempunyai hak untuk menuntut pembayaran atas harga barang dimaksud.
3. Pasal 1545 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian tukar menukar, apabila suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat mengajukan tuntutan atas kembalinya barang yang telah diberikan dalam tukar menukar.
4. Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian sewa menyewa, apabila selama waktu sewa, barang yang disewakan musnah sama sekali karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa menjadi gugur demi hukum.
34 Pasal 1266 KUHPerdata.
35 Pasal 1 angka 10 UU AAPS.
36 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.7.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Sengketa yang dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui APS hanyalah sengketa di bidang perdata,
dan hanya akan tercapai apabila didasarkan pada
itikad baik dan tekad untuk menyampingkan pilihan
penyelesaian litigasi melalui pengadilan.37
Pengertian APS menurut Stanford M. Altschul:
“Alternative Dispute Resolution (ADR) is a trial of a
case before a private tribunal agreed to by the parties
so as to save legal costs, avoid publicity, and avoid
lengthy trial delays,”38
APS sebagai suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis
swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan
menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas
dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele.
Sementara Hukum Amerika memberikan pengertian:
“Alternative Dispute Resolution is a mechanism by
which different types of legal disputes are resolved
through out-of-court processes like arbitration, and
mediation as an alternative to civil litigation. ADR
methods can be effective in reducing the time, money,
and adversarial nature associated with traditional
court-based proceedings.”39
Tujuan APS sebagaimana disebutkan oleh Phillip D.
Bostwick:
“Alternative Dispute Resolution (ADR) is a set of
practices and legal techniques that aims to permit
legal disputes to be resolved outside the courts for
the benefit of all disputants, to reduce the cost of
conventional litigation and the delay to which it is
ordinary subjected, to prevent legal dispute that
would otherwise likely be brought to the courts.”40
Dalam APS para pihak akan menetapkan sendiri
keputusan finalnya, melalui suatu proses yang dipilih
oleh para pihak, seperti negosiasi dimana para pihak
menyelesaikan sengketanya secara langsung, atau
mediasi dimana para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya meminta bantuan pihak ketiga sebagai
penengah, namun pihak ketiga ini tidak menetapkan
suatu keputusan.
Dalam proses litigasi adakalanya pihak yang menang
perkara akan mengambil segala sesuatu yang
disengketakan, winner takes all. Hal ini berbeda
dengan proses non litigasi, APS, yang menyelesaikan
sengketa secara kooperatif,41 win win solutions,
dimana semua pihak sama-sama merasa menang.
Ilustrasi penyelesaian win win solutions sebagaimana
diuraikan oleh Fisher dan Ury adalah:42
“A win-win solution with the traditional example of
two young girls wanting an orange. On the
Approaches to Dispute Resolution diagram above,
the win lose solution would be for one girl to get
the whole orange and for the other to get none. The
compromise solution would be for one girl to get
half the orange and for the other girl to get half.
The win-win solution would be to look for the needs
or interests of the girls. Why do they want the orange?
It may be that one wants a drink of the juice and
the other wants the peel to bake a cake, or even the
seed to plant for a science experiment. In this situation,
it would be possible for a co-operative solution to
enable both girls to get their needs met. To find a
co-operative solution requires people to expand their
thinking and to look for creative solutions, that fulfil
the requirements of each of the parties in dispute.”
Contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa solusi
menang kalah akan terjadi apabila hanya satu pihak
mendapatkan seluruh benda yang disengketakan,
7
37 Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.5-6.
38 Stanford M. Altschul, The Most Important Legal Terms You’ll Ever Need To Know, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.
39 Dikutip pada http://openjurist.org/law/alternative-dispute-resolution (2 Februari 2012).
40 Phillip D. Bostwick, Going Private With the Judicial System, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.
41 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.13.
42 Fisher dan Ury, Getting to Yes, 1981, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.14.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
sedangkan pihak yang lain sama sekali tidak akan
mendapatkan apa-apa. Dengan pendekatan
kompromis, win win solutions, diperlukan pemikiran
yang lebih luas dan mencari penyelesaian kreatif,
sehingga para pihak yang bersengketa akan
mendapatkan sesuai dengan keinginan masing-
masing.
Sebagaimana diketahui bahwa penyelesaian sengketa
perdata, disamping dapat diajukan ke peradilan
umum, juga terbuka kemungkinan diajukan melalui
arbitrase dan APS sebagaimana diatur dalam UU
AAPS. Salah satu cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah mediasi.43
Dalam sidang perkara perdata di pengadilan sebelum
dilaksanakan pemeriksaan pokok gugatan, pertama-
tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang
berperkara. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg44
memberikan suatu kewajiban kepada hakim untuk
terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian
sebelum dimulainya proses pengadilan, hal ini
diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan,45 dengan sanksi
apabila tidak menempuh proses mediasi adalah
ancaman putusan batal demi hukum. Pelembagaan
proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian sengketa, disamping
proses pengadilan yang bersifat memutus (adjukatif).46
VI.MEDIASI
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator.47 Artinya,
mediasi merupakan suatu prosedur penengahan
dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan”48
untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga
pandangan mereka yang berbeda atas sengketa
tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan,
tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu
perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.
Mediasi merupakan suatu metode untuk menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan (out of court system)
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang
akan bertindak untuk menghubungkan para pihak,
hal ini sesuai dengan pengertian mediasi menurut
Black’s Law Dictionary, “Mediation is a method of
settling disputes outside of a court setting; the
imposition of a neutral third party to act as a link
between the parties.”49 Proses mediasi dibantu oleh
8
(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.
(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.”
46 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.47- 48.
47 Pasal 1 angka 7 Perma Mediasi.
48 Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.15-16.
49 Black’s Law Dictionary, Third Edition, Steven H. Gifis, Baron’s Educational Series, Inc, New York, 1991, hlm.295.
43 Pasal 1 angka 10 UU AAPS yang berbunyi:”Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
44 Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg.Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat) dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa. Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. Karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan. Oleh karena itu, mengingat akta perdamaian berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.
45 Pasal 2 Perma Mediasi. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi) yang berbunyi:“(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang
terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
pihak ketiga yang netral yang disebut dengan mediator
untuk mencapai kesepakatan, namun mediator tidak
berwenang memaksa para pihak, keputusan tetap
berada pada para pihak, sebagaimana disebutkan
dalam Black’s Law Dictionary: “Mediation is a private,
informal disputes resolution process in which a neutral
third person, the mediator, helps disputing parties to
reach an agreement. The mediator has no power to
impose a decision on the parties.”50 Dalam mediasi,
maka mediator bertindak sebagai fasilitator netral
dengan tujuan mendapatkan penyelesaian yang
arif dan tidak berat sebelah bagi para pihak yang
bersengketa.
Beberapa prinsip mediasi adalah bersifat sukarela
atau tunduk pada kesepakatan para pihak, pada
bidang perdata, sederhana, tertutup, dan rahasia,
serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai
fasilitator. Dengan adanya prinsip ini, maka para pihak
dapat menjaga kerahasiaan dan ketertutupan yang
tidak ada dalam proses litigasi. Mediasi dapat dilakukan
dalam proses pengadilan (berdasarkan Pasal 130 HIR
dan Pasal 154 RBg serta Perma Mediasi) dan dapat
pula dilakukan secara pribadi atau di luar pengadilan
(berdasarkan UU AAPS).
Mediasi dalam proses pengadilan dikenal dengan
Mediasi Hukum merupakan proses mediasi yang
dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata
ke pengadilan, dan diberdayakan kembali sejak tahun
2002.51 Ketentuan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal
154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh
proses perdamaian dengan cara mengintegrasikan
proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di
Pengadilan Negeri (litigasi). Tujuan penerapan mediasi
di pengadilan pada awalnya adalah untuk pembatasan
kasasi, namun kemudian Mahkamah Agung
menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu
proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan
murah, serta dapat memberikan akses yang lebih
besar kepada para pihak dalam menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa
keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses
beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan
perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan
yang bersifat memutus (adjudikatif).52
Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg mengatur tentang
perdamaian (dading) dalam proses beracara perdata
di pengadilan. Pada hari sidang pertama, hakim
menawarkan dan memberi kesempatan kepada kedua
belah pihak yang berperkara untuk melakukan
perdamaian dan melaporkannya pada hari sidang
berikutnya. Sikap hakim pasif dan tidak ada sanksi
apabila hakim lalai untuk mendamaikan kedua belah
pihak terlebih dahulu. Namun, dengan berlakunya
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan (Perma Mediasi),53 maka apabila hakim
lalai untuk mendamaikan para pihak terlebih dahulu,
maka putusan pengadilan menjadi batal demi
hukum.54 Hakim mendorong para pihak untuk aktif
9
50 Blak’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.981.
51 Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan terakhir diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
52 Konsiderans “Menimbang” huruf a. dan huruf b. Perma Mediasi.
53 Berdasarkan Perma Mediasi terkait mediasi dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:1. Mediasi wajib (mandatory) atas seluruh perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama.2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses
mediasi.3. Hakim wajib memunda sidang dan memberikan kesempatan para
pihak untuk mediasi.4. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur mediasi dan
biayanya.5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum, maka setiap keputusan
yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum,
kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.
54 Pasal 2 ayat (3) Perma Mediasi.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
melakukan mediasi,55 artinya mediasi dilakukan oleh
para pihak, karena sesuai dengan falsafah mediasi
bahwa keputusan mediasi diambil secara sukarela
(volunteer) dan berdasarkan kata sepakat kedua
belah pihak, sehingga mediasi tidak akan berhasil
dan berjalan baik apabila tidak didasari oleh kemauan
dan itikad baik bersama diantara para pihak untuk
berdamai.56
Mediasi pribadi atau di luar pengadilan diatur dan
dilakukan oleh para pihak sendiri dibantu oleh
mediator atau mengikuti pendapat ahli tanpa adanya
proses perkara di pengadilan, dengan tujuan
menyelesaikan sengketa para pihak untuk mencapai
kesepakatan secara damai dan saling menguntungkan.
Dalam proses mediasi, semua pihak bertemu langsung
dengan mediator, untuk saling tukar informasi dan
dokumen terkait dengan sengketa. Mediator tidak
dalam posisi memaksa, namun lebih pada
mengoptimalkan para pihak untuk menentukan
keinginan sesuai dengan kebutuhannya. Mediator
memfasilitasi diskusi, mengklarifikasi keinginan para
pihak, memandu, meluruskan perbedaan pandangan,
dan membantu para pihak untuk menyelesaikan
sengketa sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, para
pihak sendirilah yang menyelesaikan masalah yang
disengketakan sesuai dengan keinginannya untuk
mencapai win-win solution. Apabila sudah tercapai
kesepakatan, maka para pihak membuat suatu
kesepakatan tertulis yang memuat kesepakatan yang
telah dicapai dan ditandatangani oleh para pihak
dan mediator. Kesepakatan tertulis ini mempunyai
kekuatan sama dengan perjanjian sehingga disebut
dengan perjanjian perdamaian yang bersifat final
and binding. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana
apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan
Perjanjian Perdamaian secara sukarela? Apakah
pelaksanaan Perjanjian Perdamaian dapat dipaksakan?
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya,
maka harus menempuh jalur pengadilan dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan. Masalah yang
diajukan gugatan bukanlah masalah semula tetapi
masalah wanprestasi karena salah satu pihak tidak
melaksanakan isi dalam Perjanjian Perdamaian. Suatu
Perjanjian Perdamaian bersifat final and binding yang
mengikat para pihak, namun Perjanjian Perdamaian
tidak memiliki daya eksekusi sebagaimana halnya
dengan Putusan Pengadilan dengan irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang merupakan salah satu persyaratan daya eksekusi.
Produk hukum dari suatu proses mediasi adalah
kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (6), (7)
dan ayat (8) Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(UU AAPS) bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang telah tercapai dibuat dalam
bentuk tertulis adalah final dan mengikat (final and
binding), para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik (te goede trouw) serta wajib didaftarkan57 di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penandatanganan oleh semua pihak
yang terkait, sehingga Perjanjian Perdamaian memiliki
kekuatan eksekutorial yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dan dapat memberikan suatu
kepastian hukum terhadap para pihak yang
menyepakatinya. Artinya, walaupun Perjanjian
Perdamaian telah memiliki kekuatan mengikat (final
and binding), namun untuk mendapatkan kekuatan
eksekutorial perjanjian damai tersebut wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri. Pendaftaran
dilakukan untuk memperoleh Akta Perdamaian
dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak
lawan dalam Perjanjian Perdamaian. Apabila Perjanjian
Perdamaian tidak didaftarkan, maka Perjanjian
Perdamaian tidak memiliki kekuatan eksekutorial
sebagaimana halnya putusan pengadilan dan menjadi
seperti suatu perjanjian biasa yang mengikat para
pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta
sunt servanda). Pelaksanaan Perjanjian Perdamaian
55 Pasal 7 ayat (3) Perma Mediasi.
56 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.127.
10
57 Pasal 23 Perma Mediasi.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran di Pengadilan Negeri.
Proses mediasi di pengadilan, dalam hal tercapai
kesepakatan, maka sesuai dengan Pasal 17 ayat (5)
Perma Mediasi para pihak dapat mengajukan
Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk Akta Perdamaian dan akan ditempelkan
dalam Putusan Pengadilan (Akte van Dading)
sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR. Keputusan
dari Akte van Dading tidak dapat dilakukan upaya
hukum.58 Kekuatan hukum yang melekat pada Akta
Perdamaian (Akte van Dading) adalah sebagai
berikut:59
1. Disamakan dengan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
Sesuai dengan Pasal 1858 KUHPerdata, maka
perdamaian diantara para pihak sama kekuatannya
seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa
Putusan Akta Perdamaian memiliki kekuatan sama
seperti putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
2. Mempunyai kekuatan eksekutorial.
Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa
Putusan Akta Perdamaian berkekuatan sebagai
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan juga berkekuatan eksekutorial
(execotorial kracht) sebagaimana halnya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Salah satu persyaratan daya eksekusi adalah harus
memiliki irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Putusan Akta
Perdamaian tercantum amar kondemnatoir,
sehingga apabila putusan tidak ditaati dan
dipenuhi secara sukarela, dapat dipaksakan
pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan.
3. Putusan perdamaian tidak dapat dibanding.
Sesuai dengan Pasal 130 ayat (3) HIR, maka
Putusan Akta Perdamaian tidak dapat dibanding,
dengan kata lain terhadap putusan tersebut
tertutup upaya hukum (baik banding maupun
kasasi). Larangan ini sejalan dengan ketentuan
yang mempersamakan kekuatan Putusan Akta
Perdamaian sebagai putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada
lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Artinya,
secara teknis dan yuridis pada Putusan Akta
Perdamaian dengan sendirinya melekat kekuatan
eksekutorial sebagaimana layaknya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, dalam hal para pihak tidak mengajukan
Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk memperoleh
Akta Kesepakatan, maka Perjanjian Perdamaiannya
harus memuat klausul pencabutan gugatan atau
pernyataan perkara telah selesai.60 Sementara itu,
dalam hal tidak tercapai kesepakatan pada proses
mediasi, maka para pihak berdasarkan kesepakatan
secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase, sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (9) UU AAPS. Sementara
mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya
kepada hakim, dan hakim akan melanjutkan untuk
memeriksa pokok perkara sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 Perma Mediasi.
11
58 Putusan bersifat final and binding, artinya putusan bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilah “final” berarti putusan tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan, artinya sengketa yang diperiksa diakhiri atau diputuskan. Pengertian “binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal Teori res adjudicata pro veritare habetur, artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Dengan demikian putusan mengikat para pihak dan wajib ditaati oleh para pihak. Lihat Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi ... Op.Cit., hlm.49.
59 Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.192-193. 60 Pasal 17 ayat (6) Perma Mediasi.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
VII.PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mediasi merupakan salah satu satu cara APS
dalam penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan (out of court system).
2. Terdapat perbedaan dalam penyelesaian sengketa
mediasi, yaitu Perma Mediasi mengatur prosedur
mediasi di pengadilan, sehingga mediasi
dimasukkan dalam suatu rangkaian proses
pemeriksaan di pengadilan, sementara UU AAPS
mengatur upaya mediasi di luar pengadilan.
3. Produk dari mediasi berupa Perjanjian Perdamaian
yang memiliki kekuatan mengikat (final and
binding).
4. Perjanjian Perdamaian dapat dikuatkan menjadi
Akta Perdamaian yang diperoleh melalui suatu
gugatan di Pengadilan Negeri.
5. Akta Perdamaian ditempelkan dalam Putusan
Pengadilan (Akte van Dading) sehingga memiliki
kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilakukan
upaya hukum.
12
13
• Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009
• Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011
• Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
• Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456
BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
• Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979
• Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003
• R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999
• Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009
• Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
• Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
• Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,
2009
• Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011
• Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung,
2007
• Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959
• Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997
• Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative
Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung
• KUH Perdata
• Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
• United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir para pejabat Negara
gundah dan khawatir mengingat kebijakan yang dibuat
kerap berujung pada masalah pidana, khususnya tindak
pidana korupsi.
Istilah yang kerap digunakan adalah kriminaliasi kebijakan.
Menjadi pertanyaan apakah kebijakan dapat
dikriminalisasi.
Tulisan ini akan membahas mungkin tidaknya kebijakan
dikriminalkan. Di samping itu tulisan ini juga akan
membahas keuangan negara yang dikaitkan dengan
tindak pidana korupsi.
Kebijakan
Kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan, meski
keduanya terkait dengan pengambilan keputusan.
Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan
keputusan, sedangkan kebijaksanaan merupakan
keputusan yang bersumber dari diskresi (discretion) yang
dimiliki oleh pejabat yang berwenang.
Dalam konteks kenegaraan, kebijakan dapat bersifat
umum ataupun khusus. Kebijakan yang bersifat umum,
antara lain, kebijakan luar negeri (foreign policy), kebijakan
pertahanan (defence policy), kebijakan fiskal (fiscal policy),
kebijakan pemberantasan korupsi.
Kebijakan yang bersifat khusus, antara lain, adalah
kebijakan rekonstruksi pasca Tsunami, kebijakan
penyaluran subsidi kepada orang yang berhak, kebijakan
ujian nasional.
Sementara kebijaksanaan secara sederhana dapat
dicontohkan sebagai polisi yang mengarahkan lalu lintas
untuk berjalan melawan arus yang seharusnya. Tujuannya
adalah untuk mengurangi kemacetan. Apa yang dilakukan
oleh polisi tersebut tentu melanggar hukum. Namun atas
dasar diskresi yang dimiliki, polisi sebagai pejabat yang
berwenang diperbolehkan untuk membuat kebijaksanaan
yang melanggar aturan demi kemaslahatan yang besar.
Bila dicermati dalam bailout Bank Century oleh Komite
Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK), keputusan yang
diambil lebih tepat bila dikatagorikan sebagai suatu
kebijakan daripada kebijaksanaan. Sebagaimana
disampaikan oleh Presiden, keputusan bailout merupakan
15
KRIMINALISASI KEBIJAKAN DAN KEUANGAN NEGARA
Oleh : Hikmahanto Juwana*
Abstrak
Kebijakan yang dibuat pejabat negara kerap berujung pada masalah pidana,
khususnya tindak pidana korupsi Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan.
Sedangkan kebijaksanaan merupakan keputusan yang bersumber dari
diskresi (discretion) yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang.
Key words ; kebijakan, sanksi pidana, keuangan negara.
1 *Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI. Meraih SH dari UI (1987), LL.M dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris (1997).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
kebijakan untuk menyelamatkan dunia perbankan dan
perekonomian nasional dari krisis.
Kebijakan yang menjadi basis dari sejumlah keputusan
di sektor publik diambil karena kewenangan yang dimiliki
oleh seseorang yang memegang jabatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Presiden, Menteri,
Gubernur, Bupati, Camat hingga Ketua Rukun Tetangga
(RT) dalam hal dan situasi tertentu berwenang dan
diharuskan mengambil kebijakan yang disertai dengan
keputusan.
Pasca pengambilan kebijakan serta keputusan maka
evaluasi pun dapat dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan
oleh atasan langsung, DPR terhadap Pemerintah seperti
dalam bailout Bank Century, bahkan oleh pers dan publik.
Bila evaluasi atas kebijakan serta keputusan dilakukan,
agar fair tentunya harus berdasar situasi dan kondisi
ketika kebijakan serta keputusan tersebut diambil. Bila
kebijakan serta keputusan masa lalu dievaluasi dengan
kacamata hari ini maka bisa jadi apa yang telah diambil
akan salah semua.
Di sini pentingnya Panitia Angket Bank Century
memperoleh data, fakta dan informasi dari berbagai
pihak yang terlibat untuk dapat merekonstruksi situasi
dan kondisi ketika kebijakan serta keputusan diambil.
Hasil evaluasi atas kebijakan dan keputusan secara garis
besar dapat dibagi dalam dua katagori. Benar atau Salah.
Menjadi pertanyaan apakah hasil evaluasi yang
menyatakan suatu kebijakan berikut keputusan salah
dapat mengakibatkan pengambil kebijakan terkena sanksi
pidana? Jawaban atas hal ini membawa kontroversi.
Sanksi Pidana?
Dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan,
keputusan berikut para pelakunya maka akan masuk
dalam ranah hukum administrasi negara. Hukum
administrasi negara tentu harus dibedakan dengan
hukum pidana yang mengatur sanksi pidana atas
perbuatan jahat.
Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan
pelakunya dapat dipidana maka ini berarti kesalahan
dari pengambil kebijakan serta keputusan merupakan
suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu tidak
benar.
Pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan
atau keputusan tidak dapat dipidana. Dalam hukum
administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi
yang dikenal dalam hukum administrasi negara, antara
lain, teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan
pangkat, demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan. Namun
demikian terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta
keputusan yang salah tidak dapat dikenakan sanksi
pidana, terdapat pengecualian. Ada paling tidak tiga
pengecualian.
Pertama adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat
yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional
atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Dalam doktrin
hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan
perundang-undangan di sejumlah negara, kebijakan
pemerintah yang bertujuan melakukan kejahatan
internasional telah dikriminalkan. Adapun kejahatan
internasional yang dimaksud ada empat katagori yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan
perang dan perang agresi.
Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambil
kebijakan serta keputusan yang secara tegas ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh
di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal
165 Undang-undang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Ketentuan tersebut memungkinkan pejabat
yang mengeluarkan izin dibidang pertambangan
dikenakan sanksi pidana.
Ketiga, adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat
koruptif atau pengambil kebijakan dalam mengambil
kebijakan serta keputusan bermotifkan kejahatan. Disini
yang dianggap sebagai perbuatan jahat bukanlah
kebijakannya, melainkan niat jahat (evil intent/mens rea)
16
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika
membuat kebijakan. Contohnya adalah pejabat yang
membuat kebijakan serta keputusan untuk menyuap
pejabat publik lainnya. Atau kebijakan yang diambil oleh
pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain.
Keuangan Negara dan Tipikor
Di Indonesia, salah satu bentuk korupsi berkaitan erat
dengan pengelolaan keuangan negara. Tidak heran bila
para pejabat negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
maupun entitas yang menggunakan uang yang berasal
dari keuangan negara terjerat oleh Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Namun perlu dipahami tindakan koruptif dalam
pengelolaan keuangan yang bertujuan untuk memperkaya
diri sendiri atau pihak lain bisa juga terjadi pada entitas
swasta atau non-publik.
Tidak heran bila perbuatan korupsi dalam United Nations
Convention Against Corruption yang telah diratifikasi
oleh Indonesia mencakup pengelolaan keuangan di sektor
swasta. Pasal 21 dan 22 mengatur tentang penyuapan
dan penggelapan di sektor swasta sebagai korupsi.
Hanya saja berdasarkan UU Tipikor perbuatan jahat yang
terkait dengan pengelolaan keuangan masih terbatas
pada keuangan negara. Ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1)
dan 3 UU Tipikor yang menggunkan kata “keuangan
negara.” Sementara untuk pengelolaan keuangan yang
bukan keuangan negara berlaku tindak pidana umum,
antara lain, penggelapan.
Dua Pendapat
Dalam perdebatan tentang keuangan negara, inti
perdebatan terletak pada apakah uang yang dikelola
oleh BUMN ataupun entitas yang didirikan oleh negara,
seperti LPS, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
atau Badan Hukum Milik Negara, dianggap sebagai
keuangan negara atau bukan? Ada dua pendapat terkait
dengan hal ini.
Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan
bahwa keuangan BUMN atau entitas yang didirikan oleh
negara bukan merupakan keuangan negara.
Pendapat ini didasarkan pada doktrin bahwa entitas
yang didirikan oleh negara dan berstatus badan hukum
bukanlah bagian dari negara. Entitas tersebut memiliki
kepribadian hukumnya sendiri. Oleh karenanya perlu
dilakukan pembedaan antara uang publik (negara)
dengan uang privat (entitas yang didirikan oleh negara).
Memang bila menilik peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar bagi negara dalam mendirikan suatu
entitas terdapat kalimat ‘kekayaan negara yang dipisahkan’.
Pasal 4 ayat 1 UU BUMN, misalnya, menyebutkan “Modal
BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan.”
Dari segi akutansi, tentu negara yang telah melakukan
penyetoran modal pada entitas yang didirikan akan
mencatatnya sebagai saham yang dimiliki atau setoran
modal yang telah dilakukan. Sementara uang yang telah
disetor oleh negara akan dicatat sebagai kekayaan dari
entitas yang didirikan.
Dalam konteks ini suatu kejanggalan bila memperhatikan
penjelasan pasal 8 UU 49 Prp Tahun 1960. Disitu disebutkan
bahwa piutang BUMN merupakan piutang negara.
Janggal karena piutang BUMN adalah aset BUMN dan
bukan aset/kekayaan negara. Bila piutang BUMN adalah
piutang negara berarti piutang tersebut akan dicatat
dalam pembukuan Negara dan pembukuan BUMN.
Menjadi lain jika penjelasan pasal 8 diinterpretasi sebagai
penyelesaian piutang BUMN bisa di-‘urus’ atau
diselesaikan oleh Panitia Piutang Negara (sesuai judul
dari UU), disamping oleh BUMN itu sendiri.
Selanjutnya, pendapat kedua adalah pendapat yang
mengatakan keuangan BUMN atau entitas yang didirikan
oleh negara merupakan keuangan negara. Pendapat ini
didasarkan pada hukum positif dan sejumlah putusan
pengadilan.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Berdasarkan penjelasan umum UU Tipikor disebutkan
bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan. Pada huruf (b) diperjelas dengan kalimat
“berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.”
Selanjutnya dalam Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara,
menyebutkan keuangan negara sebagai, “kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah.”
Demikian pula menurut Pasal Pasal 1 angka (1) UU
Perbendaharaan Negara yang menyebutkan
“Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk
investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan
dalam APBN dan APBD.”
Sejumlah putusan pengadilan-pun yang menghukum
para pejabat BUMN telah menafsirkan keuangan BUMN
sebagai keuangan negara.
Unsur
Terlepas dari perdebatan apakah uang BUMN atau entitas
yang didirikan oleh negara merupakan keuangan negara
atau bukan, satu hal yang pasti dalam menjadikan
seseorang sebagai tersangka, terdakwa maupun
terhukum yaitu harus dibuktikan adanya unsur niat dan
perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi.
Pembuktian unsur ini sangat penting mengingat tindakan
koruptif bisa terjadi dimana saja baik institusi publik
ataupun swasta. Oleh karenanya perdebatan tentang
keuangan negara ataupun swasta tidak terlalu relevan.
Dengan demikian niat dan perbuatan jahat untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
yang akan menjadi faktor penentu apakah kerugian
negara merupakan akibat dari korupsi, atau semata-
mata karena keputusan bisnis yang tidak selalu
mendatangkan keuntungan, bahkan suatu kebijakan
pengelolaan keuangan yang pasca dievaluasi dinilai salah.
Perlu dipahami perbuatan korupsi merupakan kejahatan
yang didasarkan pada adanya kesengajaan. Ini dapat
dilihat dalam UU Tipikor dimana terdapat kata “dengan
sengaja.”
Dalam konteks pembuktian maka kesengajaan harus
memenuhi dua syarat yaitu adanya niat jahat (mens rea)
dan adanya implementasi niat tersebut dalam bentuk
perbuatan jahat (actus reus).
Konsekuensinya perbuatan koruptif atas pengelolaan
keuangan tidak mungkin didasarkan pada kelalaian atau
ketidak-sengajaan. Kelalaian dalam hukum berarti tidak
adanya unsur niat jahat, namun adanya unsur perbuatan
jahat.
Disinilah aparat penegak hukum harus menelusuri dan
mendapatkan bukti adanya niat dan perbuatan jahat
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi bila seseorang yang melakukan pengelolaan
keuangan dituduh melakukan korupsi.
Unsur niat dan perbuatan jahat penting untuk dibuktikan
agar tidak ada orang yang dipersalahkan secara pidana
hanya karena dianggap telah merugikan keuangan
negara.
18
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara .
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
DAFTAR PUSTAKA
19
Pendahuluan
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, dinyatakan bahwa Keuangan Negara
adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun dalam pengelolaan keuangan negara / daerah
dikenal dan diterapkan dengan menggunakan asas-asas
pengelolaan keuangan negara antara lain terdiri dari:
• Asas Tahunan;
• Asas Universalitas;
• Asas Kesatuan; dan
• Asas Spesialitas maupun asas-asas baru sebagai
pencerminan best practices penerapan kaidah-kaidah
yang baik dalam pengelolaan keuangan negara/
daerah, antara lain terdiri dari:
- Akuntabilitas berorientasi pada hasil;
- Profesionalitas;
- Proporsionalitas;
- Keterbukaan;
- Pemeriksaan keuangan oleh pemeriksa yang bebas
dan mandiri.
Asas-asas Umum tersebut diperlukan guna menjamin
terselenggaranya pemerintahan yang baik sebagaimana
terumus dalam Bab VI UUD 1945. Dengan dianutnya
asas-asas umum tersebut dalam Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pelaksanaan
undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi
menejemen keuangan negara sekaligus dimaksudkan
untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Adapun kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan,
yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
21
PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN YURIDIS ATAS UNDANG-UNDANG NO.17
TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA)Oleh :
Soehirman, SH., MS*
Abstrak
Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian
disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel Administratief recht, dan pengelolaannya menjadi sentral yang
penting dan strategis, karena kedudukannya sebagai urat nadi negara. Dalam pada itu pemerintah menempati posisi
yang sangat penting dan strategis dalam pengambilan kebijakan keuangan negara untuk melaksanakan roda pemerintahan.
Key words : pengelolaan, urat nadi negara, kebijakan keuangan, fungsi anggaran
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat
umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk
membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan
yang dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut
dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang
kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri
Keuangan sebagai Pembantu Presiden dalam bidang
keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sedangkan Menteri/
Pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief
Operational Officer (COO) Pemerintah Republik Indonesia
untuk satu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini
perlu dilaksanakan secara konsisten, agar didapat kejelasan
dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab,
terlaksananya mekanisme checks and balances serta
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Adapun bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi
pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
makro, penganggaran, administrasi perpajakan,
administrasi kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan
keuangan.
Sesuai dengan Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden
diserahkan kepada Gubernur/Buapati/Walikota selaku
pengelola keuangan daerah. Untuk mencapai stabilitas
nilai rupiah, tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank
Sentral.
Dalam pada itu, setiap penyelenggara negara wajib
mengelola keuangan negara/daerah secara tertib, taat
pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk
dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian
disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel
Administratief recht. Pemerintah dalam pengelolaan
keuangan negara mempunyai posisi yang sangat strategis
dalam pengambilan kebijakan keuangan negara guna
kepentingan yang mendesak bagi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam sisi yang lain, keputusan Presiden adalah mengatur
tata cara pelaksanaan APBN dalam kerangka memberikan
landasan operasional bagi pelaksanaan dan penggunaan
keuangan negara melalui APBN sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya
berbagai kasus korupsi di negara Indonesia ini, baik di
lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif
menggambarkan pengelolaan keuangan negara tidak
berjalan dengan baik walaupun sudah dibekali dengan
berbagai peraturan perundang-undangan dan sanksi
yang berat untuk menjerat pelaku korupsi (koruptor).
Dengan melihat adanya fenomena banyaknya pejabat
negara baik itu Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota,
serta berpuluh anggota DPR/DPRD, Direktur Bank, dan
lain sebagainya yang ditangkap oleh KPK, hal ini
menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara
tersebut sangat jelek, tidak transparan dan kurang
bertanggung jawab. Kebanyakan pejabat negara tersebut
kurang memperhatikan aspek-aspek kejujuran,
profesionalisme, transparansi dan bertanggung jawab.
Hal ini kemudian ditambah lagi pola kerja yang seharusnya
bersifat praktis, ekonomis, dinamis, harmonis, bebas,
aktif, transparan, dan bertanggung jawab. Adapun
jabaran pola kerja di atas di atas adalah sebagai berikut:
• Aspek Praktis: karena tidak terlalu bertele dengan
teori melulu, langsung membawa manfaat praktis
bagi rakyat.
• Aspek ekonomis: karena penganggaran itu dilakukan
sehemat mungkin sesuai dengan kebutuhan (bilamana
dipandang perlu) dan jauh dari pemborosan dan
kebocoran keuangan negara yang dikelolanya.
• Aspek dinamis: karena pengelolaan keuangan negara
itu mampu menggerakkan rakyat untuk ikut dalam
berpartisipasi dalam setiap gerak pembangunan
nasional sesuai dengan keadaan dan potensinya
masing-masing.
22
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
• Aspek harmonis: karena sifat kebersamaan tanpa
pamrih dalam partisipasinya pada pembangunan
nasional.
• Aspek bebas: karena setiap kebijakan yang dibuat
pejabat itu tidak kaku, melainkan sangat luwes, dan
mengacu pada kepentingan masyarakat atau rakyat.
• Aspek aktif: karena diharapkan pejabat dan rakyat
bersama secara gotong royong ikut partisipasi dalam
setiap gerak pembangunan yang ada.
• Aspek transparan: karena setiap sen uang yang berasal
dari rakyat dan semua pengelolaan sumber daya alam
yang ada di negara kita baik berupa pajak, non pajak,
BUMN/BUMD dan lain-lain sumber dana perusahaan
negara/daerah, harus ditransparansikan ke rakyat
agar rakyat tahu untuk apa uang/dana itu digunakan.
• Aspek bertanggung jawab: karena semua kegiatan
pengelolaan keuangan negara itu harus bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum kepada
masyarakat.
Untuk itu semua dibutuhkan jiwa kepemimpinan yang
berkesadaran, yaitu selalu mentaati dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
pengelolaan keuangan negara.
Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah: apakah
pengelolaan keuangan negara itu telah dilaksanakan
dengan baik, efektif, efisien sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Vide Undang-
Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara).
Dalam hal ini permasalahan pengelolaan keuangan negara
itu menyangkut :
• Pola atau bentuk penyimpangan apa saja yang
merupakan perilaku korupstif dalam pengelolaan
keuangan negara.
• Apa sanksi-sanksi yang diterapkan kepada para pelaku
korupsi sudah sesuai dengan rasa keadilan yang ada
dalam masyarakat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (vide UU No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun
2011 tentang Pidana Korupsi).
Dalam penyelenggaraan keuangan negara itu dikenal
adanya fungsi anggaran yang terurai sebagai berikut :
1. Fungsi Otorisasi, yaitu dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan, yaitu pedoman bagi
menejemen dalam perencanaan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
negara sudah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan.
Bidang Pengelolaan Keuangan Negara yang luas ini
kemudian dikelompokkan menjadi sub bidang
pengelolaan fiskal, sub bidang pengeloaan moneter,
dan sub bidang pengeloaan negara yang dipisahkan.
Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah
penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu
dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi
pemerintah yang telah diterima secara umum.
Adapun Laporan keuangan tersebut terdiri atas :
• Laporan realisasi anggaran;
• Neraca;
• Laporan arus kas;
• Catatan atas laporan keuangan yang tersusun secara
standar akuntansi pemerintahan.
Ketentuan Pidana, Sanksi Administrasi dan Ganti
Rugi
Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota
yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan
yang telah ditetapkan dalam Undang-undang APBN/
Peraturan daerah tentang APBD diancam dengan Pidana
Penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-
undang.
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/
Satuan Kerja Perangkat yang terbukti melakukan
penyimpangan kegiatan anggaran yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Perda
tentang APBD diancam dengan Pidana Penjara dan
Denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam pada itu Presiden dapat memberikan sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan undang-undang
kepada Pegawai Negeri serta pihak-pihak lain yang tidak
memenuhi kewajibannya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.
Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuiatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dipidana dengan Pidana seumur
hidup atau Pidana Penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah).
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut dilakukan
dalam keadaan tertentu, maka pidana mati dapat
dijatuhkan.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (menyalah-
gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah), hal ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang
di atas.
Pengembalian kerugian negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya Pelaku Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3 undang-undang tersebut di atas.
Dalam undang-undang itu juga dinyatakan demi
kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda milik isteri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau
yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, persewaan yang saat
dilakukan perbuatan untuk seluruh/sebagian ditugaskan
untuk mengurus/mengawasinya dipidana minimal 4
(empat) tahun maksimal 20 (dua puluh tahun) dengan
denda minimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (suatu
contoh Kasus eskalator Pasar Turi) –> Pasal 12 huruf
(i) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara
Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 15 tahun 2004
tersebut dinyatakan bahwa Setiap orang dipidana paling
lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bila :
• Ayat (1): Tidak menjalankan kewajiban, menyerahkan
dokumen, memberikan keterangan demi
kepentingan kelancaran pemeriksaan
sebagaimana dimaksud Pasal 10 undang-
undang ini.
• Ayat (2): Mencegah, menghalangi, menggagalkan
pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud Pasal 10 undang-undang ini.
24
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
• Ayat (3) : Menolak pemanggilan yang dilakukan oleh
BPK sebagaimana dimaksud Pasal 11 undang-
undang ini tanpa alasan penolakan secara
tertulis.
• Ayat (4) : Memalsukan atau membuat dokumen palsu,
dokumen yang diserahkan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dipidana paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau denda
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
TAP MPR NO. VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan
Berbangsa
• Penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan
moral dalam kehidupan berbangsa.
• Target mencetak kualitas manusia yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia serta berkepribadian
Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
• Etika kehidupan berbangsa selalu mengedepankan
kejujuran, amanah, keteladan,. Sportivitas, disiplin,
etos kerja, kemandirian, sikap toleran, rasa malu,
tanggung jawab, menjaga kehormatan, serta martabat
diri sebagai warga bangsa.
• Etika penegakan hukum yang berkeadilan harus
dilakukan melalui penegakan hukum secara adil,
perlakuan yang sama, tidak diskriminatif,
menghindarkan penggunaan hukum secara salah
sebagai alat kekuasaan, dan bentuk-bentuk manipulasi.
Penyimpangan-Penyimpangan atas Anggaran
Negara/Daerah
Berikut ini adalah beberapa penyimpangan atas Anngaran
Negara/Daerah yang dikalukan dari berbagai jenis
penyimpangan yang dilakukan dengan berbagai cara
antara lain:
1. Mark up anggaran
Yaitu penyimpangan yang terjadi dengan Mark up
harga melebihi harga sebenarnya. Penyimpangan ini
dilakukan antara lain dengan melakukan Proses
penetapan anggaran melebihi kebutuhan
sebenarnya, Memanipulasi data/data fiktif, baik
data tentang Jumlah penduduk yang akan dibiayai
oleh anggaran tersebut, Luas wilayah, Potensi dan
volume pekerjaan.
Biasanya sebelum pelaksanaan pembangunan baik
yang ada di pusat maupun daerah, biasanya
dilakukan suatu proses estimasi anggaran atau
pendanaan dengan mengacu pada kemungkinan
kebutuhan-kebutuhan baik prasarana maupun sarana
guna mendukung proyek-proyek yang didanai itu
(direncanakan). Di sinilah biasanya dilakukan
penyimpangan dalam pendanaannya misalnya
anggaran yang dibuat melebihi kebutuhan yang
sebenarnya. Hal ini kemudian ditunjang pula dengan
memanipulasi data yang ada (data fiktif), misalnya
tentang jumlah penduduk, luas wilayah, potensi dan
volume pekerjaan sehingga terjadilah mark up harga
melebihi harga sebenarnya.
2. Kekurangan volume pekerjaan
Penyimpangan atas Pekerjaan fisik, mengurangi
jumlah waktu dan hari termasuk Mengantongi
sisa anggaran yang tidak digunakan (SPPD lama
hari tidak sesuai).
Penyimpangan-penyimpangan anggaran berikut dapat
pula dilakukan melalui manipulasi ketebalan aspal
dan beton untuk jalan, perbandingan semen yang
digunakan, misalnya seharusnya 5 banding 1, tetapi
dibuat 8 banding 1, akhirnya jalan tersebut mudah
cepat retak, rontok, jebol dan ambles.
Mengacu pada hal tersebut di atas, penyimpangan
itu juga dilakukan terhadap jumlah waktu dan hari,
misalnya proyek pelatihan dari 5 hari menjadi 3 hari,
tapi kadang-kadang menjadi 1 hari. Dalam pada itu
SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) ternyata
lamanya hari untuk tugas yang dimaksud tidak sesuai
dengan realita (menyerap sisa anggaran yang tidak
digunakan).
3. Pemotongan setoran anggaran
Bentuk lain dari penyimpangan yang dilakukan saat
mengajukan penawaran harga/anggaran suatu Proyek.
Penyimpangan berupa penyetoran dana oleh peserta
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
tender kepada pimpinan proyek, sebagai maksud
agar dapat dimenangkan dalam tender. Sehingga
saat proyek tersebut diserahkan akan beresiko
berkurangnya volume pekerjaan karena dana kurang
dan pada gilirannya akan mengurangi biaya teknis,
dan pelaksanaan pekerjaan yang menyimpang dari
bestek bangunan, pengurangan jumlah pengadaan,
pengurangan gaji karyawan, pengurangan kualitas
pekerjaan.
Dalam pada itu, tidak menutup kemungkinan adanya
uang-uang pelicin, komitmen lisan, transfer uang
tanpa kuitansi.
4. Pertanggungjawaban fiktif
Bentuk lain dari penyimpangan anggaran adalah
sebenarnya kegiatan itu tidak ada atau fiktif, tetapi
anggaran sudah ada, maka dibuatlan laporan
administrasi abal-abal (tidak benar secara riil, dan
dana kemudian dibagi-bagi).
5. Pengalihan pos anggaran
Penyimpangan yang dilakukan saat memberikan
pertanggungjawaban anggaran, memasukkan dalam
uraian tugas dan tanggung jawab yaitu dengan
melakukan penggelapan sumber anggaran,
mempertanggungjawabkan jenis anggaran dan
kegiatan yang tidak sama/tidak jelas (seperti anggaran
lain-lain atau biaya tidak terduga, Anggaran kesehatan,
tidak digunakan tapi dipertanggungjawabkan fiktif).
6. Pertanggungjawaban ganda
Bentuk penyimpangan yang lain berupa Duplikasi
proyek (pertanggungjawaban ganda/fiktif), yaitu ada
satu kegiatan yang obyeknya sama tetapi juga
dilakukan oleh lembaga lain yang berbeda dengan
lembaga sebelumnya. Dalam pada itu ada suatu hibah
(bantuan luar negeri) tetapi hibah tersebut
dipertanggungjawabkan dalam APBN/APBD.
7. Penggelapan pajak dan Restitusi
Penyimpangan ini seringkali dilakukan oleh Petugas
Pajak yang bekerjasama dengan Wajib Pajak yang
menginginkan pengurangan dalam membayar
kewajiban pajaknya. Penyimpangan dapat berupa
Petugas yang tidak mendaftarkan Wajib Pajak, tapi
Wajib Pajak tetap dimintai uang dalam jumlah tertentu,
Selain itu Petugas, Petugas /wajib Pajak membuat
daftar kekayaan Wajib Pajak tidak sesuai dengan
kekayaan Wajib Pajak sebenarnya, dan tidak
menyetorkan pajak/restitusi yang dibayar oleh Wajib
Pajak (sistem pembayaran iuran/restitusi yang manual).
Sesuai ketentuan.
8. Pengalihan dana
Penyimpangan berikut juga dapat dilakukan oleh
pemegang kas negara/daerah yang bekerja sama
dengan oknum perbankan, baik bank
pemerintah/daerah. Dalam hal ini biasanya dilakukan
dalam bentuk laporan-laporan fiktif proyek
pembangunan tersebut, terutama banyak terjadi di
daerah-daerah.
9. Pungutan liar/suap
Penyimpangan anggaran negara/daerah itu terjadi
juga dalam proses pengurusan hak-hak warga negara,
misalnya pengurusan KTP, Akta Lahir, Akta Kematian,
Akta Nikah, SIUP, NPWP, SITU, SIM, Surat Kelakukan
Baik dari Polisi (SKCK). Penyimpangan juga dilakukan
dalam urusan-urusan meminta setoran-setoran kepada
calon pegawai, CPNS, TARUNA AKABRI, POLRI,
SECABA, SECAPA, SECATAM, bentuk natura kepada
penetap kebijakan.
10.Setoran tidak langsung
Adapun bentuk lainnya adanya penyimpangan, yaitu
misalnya pemasukan uang negara ke rekening pribadi
sampai beberapa hari/minggu, yang seharusnya
anggaran/dana itu harus segera disetor langsung ke
instansi atasan tetapi kenyataannya ditahan lebih
dahulu dengan memasukkan ke rekening pribadi
sampai beberapa hari atau minggu. Hasil bunga dari
uang yang diendapkan dalam rekening pribadi itu
kemudian diambil oleh yang bersangkutan untuk
diambil manfaat bagi pribadi-pribadi.
26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Kesimpulan:
• Bahwa ternyata pengelolaan keuangan negara itu
tidak dijalankan secara akuntabel yang berorientasi
pada hasil, profesional, proporsional, keterbukaan
dan kejujuran (Vide UU No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara)
• Bahwa ternyata pelaku-pelaku korupsi itu tidak
mengindahkan etika kehidupan berbangsa, khususnya
etika penegakan hukum yang berkeadilan (Vide Tap
MPR No. VI/MPR/2001)
• Bahwa penyelenggaraan keuangan negara merupakan
isu sentral yang penting dan stretegis disebabkan
kedudukannya sebagai urat nadi negara.
• Bahwa walau pemberantasan korupsi itu telah
dilaksanakan dengan maksimal, tetapi masih saja
timbul pelaku-pelaku korupsi yang makin menjamur.
Saran:
• Bahwa pengelolaan keuangan negara seharusnya
dijalankan dengan lebih tertib, taat perundang-
undangan, efisien, efektif, ekonomis, transparan, dan
bertanggung jawab (vide Undang-Undang No 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara)
• Bahwa terhadap pelaku-pelaku korupsi atas keuangan
negara itu seharusnya dihukum maksimal 20 tahun
(dimiskinkan menurut Presiden) atau bila perlu
dihukum mati sesuai dengan pasal 10 KUHP,
disebabkan tindakan korupsi itu sama artinya dengan
membunuh seluruh aspek kehidupan rakyat/bangsa
dan merusak sendi-sendi negara (vide Undang-Undang
No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo
Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi.
27
28
• Arifin PS, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, PT. Gramedia, Yogyakarta, 1986.
• John F Due, Keuangan Negara, UI Press, 1984.
• M. Ikhwan, Administrasi Keuangan, Liberty, Yogyakarta, 1989.
• Suparmoko, Keuangan Negara dalam Praktek dan Teori, BPFE Gama, Yogyakarta, 1987.
• Sjahruddin Rasul, Sistem Akuntabilitas Kinerja dalam Perspektif Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003.
• Sukarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah, Airlangga University Press, 2005
Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen.
2. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
6. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 337/ KMKU.12/2003 tentang Sistenm Akuntasi dan Laporan Keuangan Pusat
DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan
Undang-Undang tentang kepailitan menetapkan dalam
pasal 55 bahwa pemegang jaminan fidusia termasuk
kreditor separatis yang berhak mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Memperhatikan
ketentuan tersebut, penulis bermaksud menyajikan dalam
tulisan ini pokok-pokok serta ciri-ciri khas jaminan fidusia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada tanggal 30
September 1999 (selanjutnya disebut “UU Fidusia”).
1. Pengertian
Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat
tua dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat
hukum Romawi. Dalam hukum Romawi lembaga
jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum
creditore contracta (artinya, janji kepercayaan yang
dibuat dengan kreditor). Isi janji yang dibuat oleh
debitor dengan kreditornya adalah bahwa debitor
akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda
kepada kreditornya sebagai jaminan untuk utangnya
dengan kesepakatan bahwa debitor tetap akan
menguasai secara fisik benda tersebut dan bahwa
kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan
tersebut kepada debitor bilamana utangnya sudah
dibayar lunas.
Dengan demikian berbeda dari pignus (gadai) yang
mengharuskan penyerahan secara fisik benda yang
digadaikan, dalam hal fiducia cum creditore pemberi
fidusia tetap menguasai benda yang menjadi obyek
fidusia. Dengan tetap menguasai benda tersebut
pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksud
dalam menjalankan usahanya.
Di samping lembaga jaminan fiducia dimaksud,
hukum Romawi juga mengenal suatu lembaga titipan
yang dikenal dengan nama fiducia cum amico
contracta (artinya, janji kepercayaan yang dibuat
dengan teman). Lembaga fiducia ini sering digunakan
oleh seorang pater familias yang harus meninggalkan
keluarga dan tanahnya untuk jangka waktu yang
lama karena ia harus membuat perjalanan jauh atau
pergi perang. Dalam hal demikian pater familias
tersebut akan menitipkan familia-nya, yaitu keluarga
dan seluruh kekayaannya, kepada seorang teman
yang selanjutnya akan mengurus tanah dan
kekayaannya serta memberi bimbingan dan
perlindungan kepada keluarga yang ditinggalkan
oleh pater familias. Tentu saja antara pater familias
dan temannya tersebut dibuat janji bahwa teman
29
MENCERMATI POKOK-POKOKUNDANG-UNDANG FIDUSIA
Oleh : Fred B.G. Tumbuan*
Abstrak
Undang-Undang tentang kepailitan menetapkan dalam pasal 55 bahwa pemegang jaminan fidusia termasuk
kreditor separatis yang berhak mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. UU Fidusia menegaskan
bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid, security right
in rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan kepada Penerima Fidusia.
Key words : fiducia, perjanjian, objek jaminan, eksekusi
* Pengacara Senior
tersebut akan mengembalikan kepemilikan atas
familia tersebut bilamana si pater familias sudah
kembali dari perjalanannya. Pada dasarnya lembaga
fiducia cum amico sama dengan lembaga “trust”
sebagaimana itu dikenal dalam sistem hukum Anglo-
Amerika (common law).
Memperhatikan asal lembaga fiducia yang
menunjukkan adanya dua macam lembaga fiducia,
maka untuk menghindarkan salah faham UU Fidusia
dalam judulnya menegaskan bahwa yang diatur
dalam UU Fidusia adalah lembaga jaminan fidusia.
2. Timbulnya Jaminan Fidusia
Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang kita
kenal sekarang dalam bentuk “fiduciaire
eigendomsoverdracht” atau “FEO” (pengalihan hak
milik secara kepercayaan) timbul berkenaan dengan
adanya ketentuan dalam pasal 1152 ayat 2 KUH
Perdata tentang gadai yang mensyaratkan bahwa
kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh
berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut
mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat
mempergunakan benda yang digadaikan untuk
keperluan usahanya. Hambatan tersebut diatasi
dengan mempergunakan lembaga FEO yang
kemudian diakui oleh jurisprudensi Belanda dalam
Arrest Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 yang
dikenal dengan nama “Bierbrouwerij-arrest”.
Di Indonesia lembaga FEO tersebut diakui oleh
jurisprudensi Hindia Belanda berdasarkan arrest
Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 (BPM vs
Clynett).
3. Hakikat Jaminan Fidusia
Di atas kita lihat bahwa dalam hal jaminan fidusia
benar terjadi pengalihan hak kepemilikan. Namun
demikian pengalihan hak kepemilikan dalam hal
jaminanfidusia adalah pengalihan hak kepemilikan
atas suatu benda atas dasar kepercayaandengan janji
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tetap berada dalam penguasaan pemberi jaminan
fidusia (“Pemberi Fidusia”)1. Pengalihan hak
kepemilikan atas benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia seperti tersebut di atas dilakukan dengan cara
constitutum possessorium (verklaring van
houderschap), artinya, pengalihan hak kepemilikan
atas suatu benda dengan tetap menguasai secara
fisik benda tersebut yang berakibat bahwa Pemberi
Fidusia seterusnya akan menguasai dan memakai
benda dimaksud untuk kepentingan penerima
jaminan fidusia “(Penerima Fidusia”). Pengalihan hak
kepemilikan atas suatu benda dengan cara tersebut
dikenal dan digunakan secara luas di Perancis sejak
abad pertengahan. Pengalihan hak kepemilikan
tersebut berbeda dari pengalihan hak milik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 584 jo. pasal
612 ayat 1 KUH Perdata. Dalam hal jaminan fidusia
pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata-
mata sebagai jaminan/agunan bagi pelunasan utang2,
bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima Fidusia.
4. Sifat Jaminan Fidusia
UU Fidusia menegaskan secara jelas bahwa jaminan
fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan
kebendaan (zakelijke zekerheid, security right in
rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan
kepada Penerima Fidusia. Penerima Fidusia memiliki
hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak
yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus
karena adanya kepailitan Pemberi Fidusia3. Penegasan
dimaksud menghilangkan keraguan dan pendapat
bahwa jaminan fidusia tidak menimbulkan hak
agunan atas kebendaan, melainkan hanya merupakan
perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat
“persoonlijk” (perorangan) bagi kreditor.
Selain itu, UU Fidusia juga menegaskan bahwa jaminan
fidusia merupakan perjanjian ikutan atau asesor
(accessoir) dari suatu perjanjian pokok4. Ini berbeda
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
30
1 Lihat pasal 1 butir 1 UU Fidusia
2 Lihat pasal 1 butir 2 dan pasal 33 UU Fidusia
3 Lihat pasal 1 butir 2 dan Pasal 27 UU Fudusia
4 Lihat Pasal 4 UU Fidusia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
dengan anggapan yang berlaku di Jerman bahwa
FEO tidak bersifat asesor. Akibat dari sifat ikutan
jaminan fidusia adalah bahwa jaminan fidusia hapus
demi hukum bilamana utang yang dijamin dengan
jaminan fidusia hapus5.
Pasal 1 butir 2 UU Fidusia menentukan bahwa jaminan
fidusia diberikan sebagai agunan bagi pelunasan
utang. Selanjutnya butir 7 dari pasal 1 dimaksud dan
pasal 7 UU Fidusia mengatur lebih lanjut jenis utang
yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan
fidusia. Sehubungan dengan kedua ketentuan
dimaksud perlu penulis tegaskan di sini bahwa yang
dimaksud dengan utang yang pemenuhannya dapat
dijamin dengan jaminan fidusia tidak terbatas pada
pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam
kedua pasal tersebut, melainkan mencakup setiap
perikatan (verbintenis) sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Pengertian utang
dijabarkan dengan cukup rinci dalam Pasal 1 butir
6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Adapun utang yang lahir karena undang-undang
(demi hukum) adalah misalnya kewajiban membayar
ganti rugi karena perbuatan melawan hukum (pasal
1365 KUH Perdata)6 dan negotiorum gestio
(zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam pasal
1354 – 1357 KUH Perdata.7 Sedangkan utang yang
lahir karena perjanjian adalah kewajiban untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH
Perdata).
Contohnya:
• Kewajiban pemasok untuk menyerahkan pupuk
yang dijualnya kepada petani yang membelinya.
• Kewajiban debitor untuk membayar kembali
pinjaman kepada kreditornya.
• Kewajiban seorang penanggung untuk melunasi
utang yang ia telah jamin bilamana debitor cidra
janji.
• Kewajiban pemilik sebidang tanah untuk tidak
menutup jalan masuk ke rumah tetangganya yang
melintasi bidang tanah tersebut karena telah
diperjanjikannya (servituut).
Semua jenis utang tersebut di atas adalah utang yang
dapat ditagih di muka pengadilan. Oleh karena itu
utang-utang tersebut dapat dijamin dengan jaminan
fidusia. Sehubungan dengan jenis utang tersebut di
atas, perlu diperhatikan bahwa utang yang lahir
karena perjudian dan pertaruhan tidak dapat
dituntut pemenuhannya di muka pengadilan (pasal
1788 KUH Perdata) dan oleh karena itu tidak dapat
dijamin dengan jaminan fidusia atau jaminan lainnya.
Jaminan fidusia dapat diberikan untuk menjamin
utang kepada lebih dari seorang kreditor asalkan
diberikan pada saat yang sama.8 Misalnya jaminan
fidusia yang diberikan kepada konsorsium kreditor
dalam rangka pinjaman sindikasi (syndicated loan).
Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah
bahwa tidak mungkin adanya fidusia ulang yaitu
fidusia ganda atau lebih atas benda yang sudah dan
masih dibebani jaminan fidusia9. Ketidakmungkinan
ini disebabkan oleh karena hak kepemilikan atas
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sudah
beralih kepada Penerima Fidusia. Sedangkan syarat
bagi sahnya jaminan fidusia adalah bahwa Pemberi
Fidusia mempunyai hak kepemilikan atas benda yang
31
8 Lihat pasal 8 UU Fidusia. Pengaturan sejenis dapat dibaca pula dalam pasal 3 ayat(2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
9 Lihat Pasal 17 UU Fidusia
5 Lihat Pasal 25 ayat (1)a UU Fudusia
6 Dalam suatu putusan yang terkenal tanggal 31 Januari 1919 Hoge Raad Belana memutuskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau kelalaian yang (i) melanggar hak orang lain, atau (ii) bertentangan dengan kewajiban pelaku, atau melanggar (iii) kesusilaan atau (iv) kecermatan yang harus diperhatikan terhadap pribadi atau milik seseorang.
7 Pasal 1358 KUH Perdata mengatur bahwa (negotiorum) gestor tidak berhak atas suatu upah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu ia memberi
jaminan fidusia.
5. Obyek Jaminan Fidusia
UU Fidusia mengatur bahwa yang dapat menjadi
obyek jaminan fidusia adalah benda apapun yang
dapat dimiliki dan hak kepemilikan tersebut dapat
dialihkan, baik benda itu berwujud maupun tidak
berwujud, terdaftar maupun tak terdaftar, bergerak
maupun tak bergerak, dengan syarat bahwa benda
dimaksud tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atau hipotek sebagaimana dimaksud dalam pasal 314
ayat 3 KUH Dagang jis pasal 1162 dst. KUH Perdata10.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UU
Fidusia yang menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan benda adalah termasuk piutang (receivables),
maka jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UU
Fidusia telah menggantikan FEO dan cessi jaminan
atas piutang-piutang (zekerheidscessie van
schuldvorderingen, fiduciary assignment of receivables)
yang dalam praktek pemberian kredit banyak
digunakan.
Selanjutnya UU Fidusia mengatur bahwa selain benda
yang sudah dimiliki pada saat dibuatnya jaminan
fidusia, juga benda yang diperoleh kemudian
dapat dibebani dengan jaminan fidusia11. Ini berarti
bahwa benda tersebut demi hukum akan dibebani
dengan jaminan fidusia pada saat benda dimaksud
menjadi milik Pemberi Fidusia. Berkenaan dengan
pembebanan jaminan fidusia atas benda, termasuk
piutang, yang diperoleh kemudian UU Fidusia
menetapkan bahwa tidak perlu dibuat perjanjian
jaminan fidusia tersendiri12 oleh karena sudah
dilakukan pengalihan hak kepemilikan “sekarang
untuk nantinya” (nu voor alsdan) atas benda
tersebut. Dimungkinkannya pembebanan jaminan
fidusia atas benda yang diperoleh kemudian sangat
membantu dan menunjang pembiayaanpengadaan/
pembelian persediaan (stock) bahan baku dan bahan
penolong.
Khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia, UU Fidusia mengatur bahwa
jaminan fidusia meliputi hasil tersebut. Demikian pula
jaminan fidusia meliputi demi hukum klaim asuransi13
sehingga klaim asuransi tersebut akan menggantikan
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia bilamana
benda tersebut musnah.14 Ketentuan serupa juga
terdapat dalam pasal 11 ayat (2)i. Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan
pasal 297 KUH Dagang berkenaan dengan hipotek.
Perbedaannya adalah bahwa hal tersebut harus
diperjanjikan secara khusus oleh dan antara pemberi
hak tanggungan dan hipotek di satu pihak dan oleh
penerima hak tanggungan dan hipotek di pihak lain.
6. Bentuk dan Isi Perjanjian Fidusia dan Lahirnya
Jaminan Fidusia
UU Fidusia menegaskan bahwa bentuk perjanjian
fidusia harus tertulis, bahkan harus dibuat dengan
akta notaris dalam bahasa Indonesia.15 Pengecualiannya
berlaku bagi perjanjian jaminan fidusia, baik itu berupa
FEO maupun cessi jaminan atas piutang, yang telah
ada sebelum berlakunya UU Fidusia.16 Alasan mengapa
UU Fidusia menetapkan bentuk khusus (akta notaris)
bagi perjanjian jaminan fidusia adalah bahwa
sebagaimana diatur dalam pasal 1870 KUH Perdata,
akta notaris karena merupakan akta otentik memiliki
kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para
32
10 Lihat pasal 1 butir 2 dan 4 dan pasal 3 UU Fidusia
11 Lihat pasal 9 ayat (1) UU Fidusia
12 Pasal 9 ayat (2) UU Fidusia
13 Lihat pasal 10 UU Fidusia
14 Lihat pasal25 ayat (2) UU Fidusia
15 Lihat pasal 5 ayat (1) UU Fidusia.
16 Lihat pasal 37 ayat (2) UU Fidusia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
ahli warisnya atau para pengganti haknya. Mengingat
bahwa obyek jaminan fidusia pada umumnya adalah
barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah
sewajarnya bahwa bentuk akta otentiklah yang
dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum
berkenaan dengan obyek jaminan fidusia.
Isi akta perjanjian jaminan fidusia diatur dalam pasal
6 UU Fidusia dan paling tidak harus memuat hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tersebut.
Berlainan dalam hal FEO dan cessi jaminan yang lahir
pada waktu perjanjiannya dibuat antara debitor dan
kreditor, jaminan fidusia berdasarkan UU Fidusia lahir
pada tanggal jaminan fidusia dicacat dalam Buku
Daftar Fidusia. Adapun bukti bagi kreditor bahwa ia
merupakan pemegang jaminan fidusia adalah
Sertipikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan pada
tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran jaminan fidusia.17 Dengan
demikian jelas bahwa perbuatan konstitutip yang
melahirkan jaminan fidusia adalah pendaftarannya
dalam Buku Daftar Fidusia. Hal ini ditegaskan lagi
dalam pasal 28 UU Fidusia yang mengatur bahwa
apabila atas benda yang sama yang menjadi obyek
jaminan fidusia dibuat lebih dari 1 (satu) perjanjian
jaminan fidusia, maka kreditor yang lebih dahulu
mendaftarkannya adalah Penerima Fidusia. Hal ini
penting diperhatikan oleh kreditor yang menjadi
pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, teristimewa
karena hanya Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya
yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia.18
Ketentuan-ketentuan dalam UU Fidusia tentang
pendaftaran jaminan fidusia tersebut di atas
merupakan terobosan penting mengingat bahwa
pada umumnya obyek jaminan fidusia adalah benda
bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit
mengetahui siapa pemiliknya. Teristimewa lagi dengan
adanya ketentuan dalam pasal 1977 KUH Perdata
yang mengatur bahwa barang siapa menguasai
benda bergerak ia dianggap sebagai pemiliknya (bezit
geldt als volkomen titel). Tidak didaftarnya FEO dan
cessi jaminan saat ini menjadi sebab utama mengapa
FEO dan cessi jaminan merupakan lembaga jaminan
yang kurang memberi perlindungan bagi kreditor
pemegang FEO dan cessi jaminan. Melalui keharusan
mendaftarkan jaminan fidusia.19 UU Fidusia memenuhi
asas publisitas yang merupakan salah satu saka
guru hukum jaminan kebendaan.
7. Tanggung Jawab atas Obyek Jaminan Fidusia
Oleh karena Pemberi Fidusia tetap menguasai secara
fisik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan
dia yang memakainya serta merupakan pihak yang
sepenuhnya memperoleh manfaat ekonomis dari
pemakaian benda tersebut, maka Pemberi Fidusialah
yang bertanggung jawab atas semua akibat dan
harus memikul semua risiko yang timbul berkenaan
dengan pemakaian dan keadaan benda dimaksud.20
Ketentuan serupa juga terdapat dalam perjanjian
“financial leasing” yang mengatur bahwa semua
risiko berkenaan dengan benda yang menjadi obyek
perjanjian leasing harus dipikul oleh lessee karena
lessee yang memakai benda tersebut dan memperoleh
manfaat ekonomis dari pemakaian tersebut.
Seperti halnya hak jaminan kebendaan lainnya,
jaminan fidusia menganut prinsip “droit de suite”.21
Pengecualian atas prinsip ini terdapat dalam hal benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda
persediaan dan hak kepemilikannya dialihkan dengan
cara dan prosedur yang lazim berlaku dalam usaha
perdagangan dan dengan memperhatikan persyaratan
tertentu.22 Dimungkinkannya pengecualian tersebut
perlu dalam hal benda persediaan terdiri dari barang
jadi (finished goods) yang diproduksi Pemberi Fidusia
33
17 Lihat pasal 14 UU Fidusia
18 Lihat pasal 13 ayat (1) UU Fidusia.
19 Lihat pasal 11 UU Fidusia.
20 Lihat pasal 24 UU Fidusia.
21 Lihat pasal 20 UU Fidusia.
22 Lihat pasal 21 UU Fidusia.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
untuk dipasarkan.23 Selanjutnya UU Fidusia mengatur
secara khusus dalam pasal 23 ayat (1) bahwa
penggunaan, pengalihan benda atau hasil benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia yang disetujui
oleh Penerima Fidusia tidak berakibat bahwa ia akan
kehilangan jaminan fidusia atas benda tersebut.
Pengaturan ini perlu mengingat bahwa pada umumnya
yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah aneka
ragam barang bergerak. Sehubungan dengan itu
terdapat larangan jelas dalam pasal 23 ayat (2) untuk
mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan
kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia yang bukan merupakan benda persediaan,
kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari
Penerima Fidusia. Pelanggaran larangan tersebut
diancam dengan pidana penjara dan denda.24
Ancaman pidana tersebut adalah konsekwensi dari
pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia dengan cara constitutum
possessorium. Terlebih lagi bilamana diperhatikan
bahwa ketentuan dalam pasal 1977 KUH Perdata
menentukan bahwa penguasaan atas barang bergerak
merupakan alas hak bagi kepemilikannya (bezit geldt
als volkomen titel).
8. Eksekusi Jaminan Fidusia
Sebagaimana juga dalam hal hak tanggungan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan25 Sertifikat
Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.26 Berdasarkan
titel eksekutorial tersebut Penerima Fidusia dapat
langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan
umum atas obyek jaminan fidusia tanpa melalui
pengadilan.
Di samping eksekusi terhadap benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia berdasarkan titel eksekutorial,
UU Fidusia memberi kemudahan dalam pelaksanaan
eksekusi melalui lembaga parate eksekusi.27
Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia tersebut juga dikenal dalam hal gadai
sebagaimana diatur dalam pasal 1155 KUH Perdata,
hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 6
jo pasal 20 ayat (1) a. Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan dan hipotek
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1178 ayat 2 KUH
Perdata. Yang perlu diperhatikan dalam hal parate
eksekusi adalah bahwa penjualan benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia harus melalui pelelangan
umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat
diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek
jaminan fidusia. Namun demikian dalam hal penjualan
melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan
baik Pemberi maupun Penerima Fidusia, maka
dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan
hal tersebut disepakai oleh Pemberi dan Penerima
Fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan
tersebut dipenuhi.28 Dibukanya kemungkinan cara
penjualan di bawah tangan dimaksud adalah untuk
mempermudah penjualan obyek jaminan fidusia
dengan harga penjualan tertinggi.
Khusus dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang
dapat diperjual belikan di pasar atau di bursa, UU
Fidusia mengatur bahwa penjualannya dapat dilakukan
di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.29 Bagi efek yang
terdaftar di bursa di Indonesia, berlaku peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Pengaturan serupa kita temukan pula dalam hal
34
23 Lihat Pasal 22 UU Fidusia.
24 Lihat Pasal 36 UU Fidusia.
25 Lihat pasal 23 ayat (3) UU Hak Tanggungan.
26 Lihat pasal 15 ayat (2) UU Fidusia.
27 Lihat pasal 15 ayat (3) jo pasal 29 ayat (1) b. UU Fidusia.
28 Lihat pasal 29 ayat (1) c . dan ayat (2) UU Fidusia.
29 Lihat pasal 31 UU Fidusia.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
lembaga gadai sebagaimana hal itu diatur dalam
pasal 1155 KUH Perdata.
Ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi jaminan
fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 29 dan 31
UU Fidusia bersifat mengikat (dwingend recht) yang
tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para
pihak. Penyimpangan dari ketentuanketentuan
tersebut berakibat bahwa penyimpangan dimaksud
batal demi hukum.30 Selanjutnya mengingat bahwa
jaminan fidusia adalah lembaga jaminan dan bahwa
pengalihan hak kepemilikan dengan cara
constitutum possessorium dimaksudkan untuk
semata-mata memberi agunan dengan hak yang
didahulukan kepada Penerima Fidusia, maka setiap
janji yang memberi kewenangan kepada Penerima
Fidusia untuk memiliki obyek jaminan fidusia adalah
batal demi hukum.31 Ketentuan tersebut dibuat untuk
melindungi Pemberi Fidusia, teristimewa jika nilai
obyek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang
dijamin.32 Ketentuan serupa kita jumpai pula dalam
pasal 1154 KUH Perdata tentang lembaga gadai,
pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan dan pasal 1178 ayat 1 KUH Perdata
sehubungan dengan hipotek.
9. Kepailitan Pemberi dan Penerima Fidusia
Seperti halnya hak agunan atas kebendaan lainnya
seperti gadai, hak tanggungan dan hipotek,33 jaminan
fidusia menganut prinsip “droit de pr_f_rence” yang
berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.34 Berdasarkan ketentuan dalam
pasal 28 UU Fidusia tersebut, maka berkenaan dengan
jaminan fidusia berlaku adagium “first registered,
first secured”. Yang dimaksud dengan hak yang
didahulukan tersebut adalah bahwa Penerima Fidusia
berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas
hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia mendahului kreditor-kreditor lain. Bahkan
sekalipun Pemberi Fidusia dinyatakan pailit, hak yang
didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sekalipun
termasuk dalam harta pailit Pemberi Fidusia berada
di luar kepailitan dan/atau likwidasi.35 Dengan demikian
Penerima Fidusia tergolong dalam kelompok kreditor
separatist.
Bagaimana apabila Penerima Fidusia dinyatakan pailit?
Apakah benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
dan yang hak kepemilikannya secara fidusia ada pada
Penerima Fidusia termasuk dalam harta pailitnya?
Penulis berpendapat bahwa obyek jaminan fidusia
tidak menjadi bagian harta pailit Penerima Fidusia,
oleh karena hak kepemilikan atas obyek tersebut
diperolehnya semata-mata sebagai jaminan. Ini
ditegaskan secara jelas dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pasal 33 UU Fidusia yang mengatur bahwa
setiap janji yang memberi kewenangan kepada
Penerima Fidusia untuk memiliki obyek jaminan fidusia
adalah batal demi hukum.
10.Hapusnya Jaminan Fidusia
Karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan
atau aksesor dari perjanjian pokok36, maka demi
hukum jaminan fidusia hapus bila utang yang
bersumber pada perjanjian pokok tersebut dan yang
dijamin dengan fidusia hapus. Di samping itu, pasal
25 UU Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia juga
hapus karena pelepasan hak atas jaminan fidusia
oleh Penerima Fidusia atau musnahnya benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia. Apakah dengan
hapusnya jaminan fidusia dalam hal hapusnya utang
35
30 Lihat pasal 32 UU Fidusia.
31 Lihat pasal 33 UU Fidusia.
32 Lihat pasal 34 UU Fidusia.
33 Lihat psal 1150 KUH Perdata tentang gaddai dan pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
34 Lihat pasal 28 UU Fidusia.
35 Lihat pasal 27 ayat (3) UU Fidusia jo. Pasal 55 Undang-Undang tentang Kepailitan.
36 Lihat pasal 4 UU Fidusia.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
yang dijamin perlu dilakukan pengalihan kembali
(retrooverdracht) atas hak kepemilikan oleh Penerima
Fidusia kepada Pemberi Fidusia? Memperhatikan
bahwa pengalihan hak kepemilikan atas obyek
jaminan fidusia dilakukan oleh Pemberi Fidusia kepada
Penerima Fidusia sebagai jaminan atas kepercayaan
bahwa hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya
akan kembali bilamana utang lunas (adanya syarat
batal atau “onder ontbindende voorwaarde”), maka
penulis berpendapat bahwa tidak perlu dilakukan
pengalihan kembali secara tersendiri. Ini kiranya
sesuai dengan sifat aksesor jaminan fidusia
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 UU Fidusia.
Adapun ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 25 ayat (3) adalah guna memberi kepastian
kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mencoret
pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia
dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan
bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan
tidak berlaku lagi.37
Demikian beberapa pokok Jaminan Fidusia
sebagaimana diatur dalam UU Fidusia. Semoga
bermanfaat.
Jakarta, Juli 2012
36
37 Lihat pasal 26 UU Fidusia.
37
• I. van Creveld, Mr.: Cessie van Schuldvorderingen, tweede herziene druk, Tjeenk Willink, Zwolle, 1953.
• A. Veenhoven, Dr.: Eigendomsoverdracht tot Zekerheid, 2e druk, Tjeenk Willink, Zwolle, 1956.
• P.A. Stein, Prof. Mr.: Zekerheidsrechten, Zekerheidsoverdracht, Pand en Borgtocht. Kluwer – Deventer, 1970.
• Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH. Prof. Dr.: Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Fiducia di
dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Bulaksumur, Yogyakarta, 1977.
• Asser-Oven: Zakenrecht, Zekerheidsrechten, tiende druk, Tjeenk Willink, Zwolle,1978.
• Asser-Rutten: Verbintenissenrecht I, zesde druk, Tjeenk Willink, Zwolle, 1981.
• O.K. Brahn, Prof. Mr.: Fiduciaire eigendomsoverdracht eneigendomsvoorbehoud, Tjeenk Willink, Zwolle, 1981.
• Noordraven, Mr.: De Fiducia in het Romeinse recht, Kluwer – Deventer, 1988.
• Feenstra, R. Prof. Mr.: Romeinsrechtelijke Grondslagen van het NederlandsPrivaatrecht, Inleidende Hoofd-
stukken, Zesde druk, Leiden, 1994.
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya pembangunan yang sedang
dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini mempunyai
tujuan untuk mencapai tingkat kemakmuran rakyat
yang tinggi. Hal ini sesuai dengan arah tujuan negara
Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4 yang mengatur tujuan negara,
yaitu:
“….melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial…”
Pelaksanaan pembangunan tersebut harus bersandar
pada sumber pendanaan yang tersedia yakni APBN
(Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
Sejalan dengan hal tersebut berbagai upaya telah
ditempuh oleh pemerintah untuk menyeimbangkan
anggaran pengeluaran dan pemasukan dalam APBN.
Salah satunya adalah menggali potensi sumber daya
alam di Indonesia berupa minyak dan gas bumi yang
mampu memberikan andil bagi penerimaan negara
baik dari sektor pajak maupun bukan pajak.
Indonesia saat ini memiliki potensi untuk memproduksi
gas yang cukup besar bukan hanya di lokasi Arun
Aceh dan Bontang Kalimantan Timur saja, tapi juga
di beberapa tempat lain seperti di Donggi Senoro
Sulawesi, Masela Laut Timor dan Semai di Kawasan
39
PRINSIP-PRINSIP GOOD FINANCIAL GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
Oleh : Indrawati, SH., LL.M1
Abstrak
Government constructs many infrastructures in all areas in Indonesia in order to reach the highest welfare for
Indonesian people. To build it needs funding from State revenue and expenditure (APBN) which it is regulated in
Act No. 17 in the year 2003 about state finance. To balance between expenditure and revenue, Government
attempts to find others state revenues which one is to explore natural resources that are consist of crude oil and
gas. This confers potentially revenues from non tax revenues. Furthermore all expenses of activities related to
exploration and exploitation crude oil and gas have covered by Government. To minimize leakage state finance
required the harmonization of revenues regulations based on the principle good financial governance
Keyword : state revenues, regulation, good financial governance,
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Indonesia Timur, Tangguh di Papua dan Natuna di
Kepulauan Riau.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas) mencatat,
penerimaan negara dari kegiatan hulu migas di tahun
2008 meningkat dibanding tahun sebelumnya, sampai
kuartal ketiga 2008, penerimaan kotor dari sektor
hulu migas sebesar USS 45,6 miliar. Dari jumlah itu,
negara meraih keuntungan USS 30,3 miliar alias 67%
dari penerimaan kotor. Bandingkan dengan tahun
2007. Penerimaan kotor sebesar USS 38,7 miliar, dan
negara menerima USS 23,7 miliar alias sebesar 61%.
Penerimaan negara tahun ini bisa meningkat lantaran
secara rata-rata, perkiraan realisasi lifting (produksi
siap jual) sampai akhir 2008 sebesar 988.060 barel
per hari. Angka ini naik 1,1% dari target dalam APBN
sebesar 977.000 barel per hari.2
Penerimaan negara dari kegiatan migas tersebut
dapat diperoleh dari kegiatan usaha hulu migas dan
kegiatan usaha hilir migas yang secara jelas diatur
dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi sebagai pengganti dari Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU
No. 22 Tahun 2001).3
Lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2001
dianggap sebagai tonggak reformasi kegiatan hulu
dan hilir migas. Jiwa UU No. 22 Tahun 2001 tersebut
sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Undang-undang tersebut secara eksplisit
dinyatakan bahwa Pemerintah sebagai pemegang
kuasa pertambangan migas yang terkandung di bumi
NKRI, dan Badan Pelaksana Migas dibentuk untuk
mengelola kegiatan hulu migas serta Badan Pengatur
migas untuk mengelola kegiatan hilir migas di
Indonesia. Di samping itu sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero), di mana Pertamina dikembalikan
kepada fungsi sebenarnya sebagai kontraktor migas
(production sharing contractor).
Kegiatan Usaha Hulu Migas tersebut dilakukan
oleh Badan Usaha (Badan Usaha Milik Negara; Badan
Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil dan badan
usaha swasta) atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan
Kontrak Kerjasama dengan Badan Pelaksana.
Dalam hal eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan hasil
minyak bumi, Indonesia mempunyai teknologi, modal
dan sumber daya manusia yang belum memadai.
Untuk itu agar kemampuan tehnologi, modal dan
sumber daya manusia cukup memadai, telah
diusahakan dalam bentuk kerjasama dengan investor
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kerjasama
tersebut dalam bentuk production sharing contract.
Kontrak Production sharing merupakan suatu
penggabungan usaha antara pemerintah yang diwakili
oleh Badan Pelaksana sebagai Badan Hukum Milik
Negara dengan perusahaan lainnya untuk
mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas
bumi. Ciri yang menonjol dari Kontrak Production
Sharing adalah manajemen dan kepemilikan aset
berada pada Pemerintah yang diwakili oleh Badan
Pelaksana, serta yang dibagi adalah hasil produksi
setelah dikurangi biaya operasi (operation cost).
Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kegiatan
Hulu Migas, terdiri atas: bagian negara; pungutan
negara yang berupa iuran tetap dan iuran
40
2 Zal, Penerimaan Negara dari Sektor Migas Naik, Harian Kontan, Rabu, 24 Desember 2008.
3 Kegiatan Hulu MigasPasal 1 angka 7 Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi;Kegiatan Hilir MigasPasal 1 angka 10Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Eksplorasi dan Eksploitasi; bonus-bonus (Pasal
31 UU No. 22 Tahun 2001).
Kegiatan Usaha Hilir Migas yang meliputi pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, dan Niaga bukan
kegiatan usaha yang berkaitan langsung dengan
pengambilan sumber daya alam yang tak terbarukan,
dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapatkan
izin usaha dari Pemerintah.
Mengingat Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan
pengambilan sumber daya alam yang tak terbarukan
yang merupakan kekayaan negara, maka dalam
kegiatan ini negara harus memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sedangkan
Kegiatan Usaha Hilir merupakan kegiatan yang
bersifat usaha bisnis pada umumnya, di mana biaya
produksi dan kerugian yang mungkin timbul tidak
dapat dibebankan (dikonsolidasikan) pada biaya
Kegiatan Usaha Hulu. Tidak dimungkinkannya
konsolidasi biaya dari Kegiatan Usaha Hulu dan
Kegiatan Usaha Hilir dimaksudkan juga agar
pembagian penerimaan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (6) menjadi jelas. Dalam hal Badan
Usaha melakukan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan
Usaha Hilir secara bersamaan harus membentuk
badan hukum yang terpisah, antara lain secara
Holding Company. (Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU
No. 22 Tahun 2001).
Laporan tahunan keuangan menyatakan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), pada tahun anggaran
2008 realisasi PNBP dari gas mencapai Rp42,6 Triliun
atau sekitar 125,89% dari yang ditargetkan. Untuk
tahun 2009, peneriman SDA dari gas ini direncanakan
akan mencapai Rp 39,1 Triliun.4
Oleh karena pengelolaan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas tersebut setiap sen yang dihasilkan
dari sepersekian barel atau sepersekian kaki kubik
minyak dan gas bumi, maupun setiap sen rupiah yang
dibelanjakan untuk kegiatan eksplorasi dan ekspoitasi
migas adalah uang negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, maka pengendalian keuangan
negara yang dihasilkan dari atau yang dibelanjakan
untuk kegiatan ini harus dikendalikan secara benar.5
Atas hal tersebut di atas potensi sumber penerimaan
negara dari Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Kegiatan
Usaha Hilir Migas telah memberikan andil yang cukup
besar dalam APBN. Namun demikian untuk
memaksimalkan potensi tersebut, perlu kiranya
pengelolaan dan pemeriksaan keuangan secara
profesional, transparan, akuntabel, adil,
proporsional, demokratis dan bertanggung
jawab sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-
undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan
kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai
dengan kedudukan dan kewenangannya, yang
meliputi perencanaan,pelaksanaan, pengawasan, dan
pertanggungjawaban.
Pengaturan pengelolaan keuangan negara di
Indonesia merupakan implementasi dari asas negara
hukum, asas legalitas dan asas kepastian hukum.
Oleh karenanya salah satu upaya untuk mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara adalah penyampaian laporan pertanggung-
jawaban keuangan pemerintah yang memenuhi
prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan
mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah
diterima secara umum (Penjelasan UU 17 Tahun 2003
Butir 9).
41
4 Y/T, Produsen Gas Terbesar Dunia Penerimaan Negara Bukan Pajak, www.pajak.go.id, 03/03/2009 12:01:14
5 Setyadi, Didik S., Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, Lembaga Kajian Sosial Nusa Makmur, Surabaya, 2007, hal.26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Selaras dengan prinsip-prinsip good governance,
pengelolaan keuangan negara dalam bingkai good
financial governance yang modern secara yuridis
harus dituangkan dalam perangkat ketentuan hukum
yang mengandung asas keterbukaan (transparency)
dan peran serta masyarakat (public particiption).6
Dengan demikian sebagai realisasi dari penerapan
asas good financial governance, maka pengaturan
pengelolaan keuangan negara yang bersumber dari
penerimaan negara dari Kegiatan Usaha Hulu migas
dan kegiatan Usaha Hilir Migas dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan di Indonesia harus
selaras dengan prinsip-prinsip efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Adapun titik tolak permasalahan dalam tulisan ini
adalah: apakah pengaturan pengelolaan keuangan
negara yang bersumber pada Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas bumi
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
telah bertumpu pada prinsip-prinsip good financial
governance.
II. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)
Menurut M. Suparmoko, penerimaan negara kita
artikan sebagai penerimaan negara dalam arti yang
seluas-luasnya, yaitu meliputi penerimaan yang
diperoleh dari hasil penjualan barang-barang dan
jasa-jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh Negara,
pinjaman negara, mencetak uang,dan sebagainya.7
Sumber-sumber penerimaan negara ataupun cara-
cara yang dapat ditempuh oleh Pemerintah untuk
mendapatkan uang dapat kita golongkan sebagai
berikut :
1. Pajak, yang dimaksud dengan pajak ialah
pembayaran iuran oleh rakyat kepada negara
yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa
yang secara langsung dapat ditunjuk;
2. Retribusi. Yang dimaksud dengan retribusi ialah
suatu pembayaran dari rakyat kepada
negaradimana kita dapat melihat adanya
hubungan antara balas jasa yang langsung diterima
dengan adanya pembayaran retribusi;
3. Keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara.
Penerimaan yang berasal dari sumber ini
merupakan penerimaan-penerimaan Pemerintah
dari hasil penjualan (harga) barang-barang yang
dihasilkan oleh Perusahaan-perusahaan negara;
4. Denda-denda dan perampasan yang dijalankan
oleh Pemerintah;
5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang
diberikan oleh Pemerintah seperti pembayaran
biaya-biaya perizinan (lisensi);
6. Pencetakan uang kertas. Karena sifat dan
fungsinya, maka Pemerintah memiliki kekuasaan
yang ini tidak dimiliki oleh para individu dalam
masyarakat;
7. Hasil dari undian negara.
8. Pinjaman. Pinjaman ini dapat berasal dari luar
negeri maupun dari dalam negeri.
9. Hadiah. Sumber dana jenis ini dapat terjadi antara
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, dari
swasta kepada Pemerintah dan dapat pula terjadi
dari Pemerintah Negara suatu negara kepada
negara lain. Penerimaan negara dari sumber ini
sifatnya adalah volunteer dengan tanpa balas jasa
baik langsung mupun tidak langsung.8
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai salah
satu unsur pendapatan Negara dalam APBN
merupakan aspek yang sangat potensial untuk
meningkatkan penerimaan negara di luar sektor pajak.
42
6 Tomkins, Adam, Transparancy and the Emergence of Europian Administrative Law. Dalam G.H. Addink, Transparancy of Administration, Utrecht University, 2001, hal. 8 (Lihat Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Finacial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal. 4).
7 Suparmoko M., Asas-asas Ilmu Keuangan Negara, Edisi Kedua, Liberty Offset, Yogyakarta, Desember, 1980, hal. 43 8 Ibid., hal. 44-46.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Menurut Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng,
Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai
bagian dari Hukum Keuangan Negara memiliki ruang
lingkup sebagai obyek kajiannya, walaupun kedua-
duanya bersumber pada dari Pasal 23A Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945. Ruang lingkup Hukum Penerimaan
Negara Bukan Pajak, tidak membicarakan tentang
pajak, melainkan Penerimaan Negara Bukan Pajak,
yang pemungutan tersebut dilakukan oleh negara
dan sifatnya memaksa.9
Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 1997
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh
penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan;
Adapun ketentuan mengenenai Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) tidak secara tegas ditentukan
dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa
pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk
kepentingan negara diatur dengan undang-undang.
Penerimaan negara bukan pajak tidak tergolong
sebagai pajak, tetapi pada hakekatnya tergolong
sebagai pungutan yang bersifat memaksa dan
pungutan tersebut dilakukan oleh negara. Oleh karena
digunakan untuk kepentingan negara, maka
pengaturannya harus melalui undang-undang agar
tidak dikategorikan negara melakukan perampasan
sebagian kekayaan rakyatnya.
Dalam hal ini jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pasal 2
(1)Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak
meliputi:
b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya
alam;
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1) Huruf b
Jenis penerimaan yang termasuk kelompok
penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumber
daya alam, antara lain, royalti di bidang perikanan,
royalti di bidang kehutanan dan royalti di bidang
pertambangan. Khusus mengenai penerimaan dari
minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara terdapat unsur royalti, namun karena
didalamnya terkandung banyak unsur-unsur
perpajakan, maka penerimaan yang merupakan
bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak
termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan
Usaha Hulu Migas dan Kegiatan Usaha Hilir Migas
adalah sebagai berikut,
Pasal 31 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a. bagian negara;
b. pungutan negara yang berupa iuran tetap dan
iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c. bonus-bonus.
Penjelasan Pasal 31 ayat (3) huruf b
Huruf b
Ketentuan ini didasarkan pada pengertian bahwa
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan
membayar iuran tetap sesuai luas Wilayah Kerja
sebagai imbalan atas "kesempatan" untuk melakukan
kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi. Iuran Eksplorasi
dan Eksploitasi dikenakan pada Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap, sebagai kompensasi atas
pengambilan kekayaan alam Minyak dan Gas Bumi
yang tak terbarukan. Pungutan negara yang menjadi
penerimaan Pemerintah Pusat merupakan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
43
9 Saidi, Muhammad Djafar, dan Huseng, Rohana, Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak, Rajawali Pers, Jakarta 2008, hal.12.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
a. Lease Bonus
Lease Bonus merupakan pembayaran di muka
yang ditentukan berdasarkan tender atau
wewenang pemerintah. Pembayaran tersebut
pada umumnya mudah untuk diadministrasikan.
Ini berarti bahwa investor menanggung risiko
bahwa proyek tidak layak secara komersial karena
pengembalian pada pemerintah bersifat tetap.10
b. Royalti
Royalti dikenakan baik berdasarkan volume atau
berdasarkan nilai sumber daya yang diekstraksi.
Royalti menjamin penerimaan minimum yang
segera setelah dimulainya produksi dan jauh lebih
mudah diadministrasikan daripada instrument
fiscal.11
Suatu pandangan alternatif berpendapat bahwa
royalti adalah harga untuk sumber daya alam yang
diekstraksi dan dengan demikian, tidak bersifat
distorsif. Royalti sebagai harga sumber daya alam
yang diekstraksi memainkan peranan dalam
menentukan apakah investasi akan atau tidak
dilanjutkan. Minyak dan gas bumi yang dimiliki
oleh pemerintah harus tidak dieksploitasi jika
perusahaan tidak bersedia membayar harga yang
mencerminkan opportunity cost pemerintah atas
eksploitasi sumber daya alam. Pemerintah harus
menentukan berapa pembayaran minimum yang
ingin diterima sebagai ganti atas dieksploitasinya
sumber daya alam yang dimilikinya. Tidak terdapat
alasan untuk memberikan sumber daya alam pada
peusahaan secara gratis.12
III.DANA BAGI HASIL
UU No. 22 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai
kewenangan daerah untuk mengatur ataupun
melaksanakan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi
migas di daerahnya, namun daerah masih diberi hak
pemanfaatan dari: Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (selanjutnya
disebut UU No. 33 Tahun 2004).
Pasal 10 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004
Dana Perimbangan terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil;
b. Dana Alokasi Umum; dan
c. Dana Alokasi Khusus.
Untuk selanjutnya Dana Bagi Hasil diatur dalam
ketentuan Pasal 14 huruf e dan f UU No. 33 Tahun
2004 dinyatakan bahwa,
Huruf e:
Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang
dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dibagi dengan imbangan:
1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen)
untuk Pemerintah; dan
2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.
Huruf f:
Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan
dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi
dengan imbangan:
1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen)
untuk Pemerintah; dan
2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.
44
10 Nellor, David C.L., Taxation of Mineral and Petroleum Resources, dalam Parthasarathi Shome (Ed.), Tax Policy handbook, Washington: Tax Policy Division-Fiscal Affairs Departement, International Monetary Fund, 1995, hal. 230 (Lihat juga Hutagaol, John, Perpajakan Isu-isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007)
11 Ibid.
12 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Penyerahan dana Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah ini tidak otomatis dilaksanakan oleh BP Migas
atau KKKS kepada Pusat maupun Daerah. UU No.
22 Tahun 2001 menentukan bahwa penjualan hasil
produksi migas yang menjadi bagian negara (sesuai
dengan Kontrak Kerja Sama/Bagi Hasil) akan masuk
terlebih dahulu sebagai penerimaan negara dalam
APBN (yang dalam hal ini dikelola oleh Menteri
Keuangan), kemudian setelah itu oleh Menteri
Keuangan diatur pembagian perimbangan
keuangannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan disetor kepada rekening
kas daerah sebagai penerimaan daerah.
Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Kegiatan Usaha Hilir
Migas merupakan potensi sumber Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) bagi APBN Indonesia, maka perlu
kiranya pengelolaan PNBP yang merupakan bagian
dari keuangan negara, dilakukan secara transparan,
akuntabel, responsif, efektif, efisien, dan memenuhi
rasa keadilan serta kepastian hukum untuk
mengoptimalkan penerimaan negara tersebut.
IV.PRINSIP-PRINSIP GOOD FINANCIAL GOVERNANCE
DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN NEGARA
DARI KEGIATAN USAHA HULU MIGAS DAN
KEGIATAN USAHA HILIR MIGAS DI INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
negara hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kepada
kekuasaan belaka (Machtsstaat). Oleh karenanya
segala bentuk kebijakan dan tindakan aparatur yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan
keuangan negara harus didasarkan atas hukum, tidak
semata-mata berdasarkan kekuasaan yang melekat
pada kedudukan aparatur penyelenggara negara itu
sendiri.
Adapun syarat-syarat Rechtsstate yang dikemukakan
oleh Burkens, et. al., yang dikutip Philipus M. Hadjon
dalam tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Asas legalitas, setiap tindakan pemerintahan
harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-
undangan (wetterlike grondslag). Dengan landasan
ini, undang-undang dalam arti formal dan UUD
sendiri merupakan tumpuan dasar tindak
pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk
undang-undang merupakan bagian penting
negara hukum.
2. Pembagian kekuasaan: syarat ini mengandung
makna bahwa kekuasaan negara tidak hanya
boleh bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechsten): hak-hak dasar
merupakan sasaran perlindungan hukum bagi
rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentukan undang-undang.
4. Pengawasan Pengadilan: bagi rakyat tersedia
saluran melalui pengadilan yang bebas untuk
menguji keabsahan tindak pemerintahan
(Rechtmatigheids toetsing).13
Atas hal tersebut sebagai implementasi dari negara
hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan
keuangan negara perlu kiranya memperhatikan
prinsip-prinsip good governance, karena asas-asas
pengelolaan keuangan dalam kaitannya dengan
penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu dan
Kegiatan Usaha Hilir Migas tersebut sedasar dengan
asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (konsep good governance).
Good Financial Governance dalam Pengelolaan
Keuangan Negara yang Bersumber dari
Penerimaan Negara dari Sektor Migas
Pada dasarnya prinsip-prinsip pengelolaan keuangan
Negara dalam bingkai good financial governance
sedasar dengan prinsip-prinsip good governance
45
13 Hadjon Philipus M., Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, yang diolah kembali dari makalah yang berjudul Perlindungan Hukum Dalam Negara Hukum Pancasila, yang disampaikan pada Simposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XV/Lustrum VIII UA, Surabaya, 3 Nopember 1994, hal. 3.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh
karenanya pengkajian prinsip-prinsip good financial
governance tersebut ditelaah dari konsep-konsep
prinsip-prinsip good governance.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Lembaga
Administrasi Negara mengartikan governance adalah
proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam
melaksanakan penyediaan public goods and public
services.14
Atas hal tersebut dari pengertian governance dan
good governance dapat ditarik kesimpulan bahwa
masalah good governance adalah masalah yang tidak
hanya berada dalam lingkup negara, namun juga
berkaitan dengan sektor-sektor yang lain (swasta dan
masyarakat), selain itu good governance mengatur
masalah penyelenggaraan atau aktivitas dari
penyelenggara pemerintahan.
Adapun karakteristik good governance menurut
United Nations Development Programme adalah
sebagai berikut Participation; Rule of Law;
Transparency; Responsiveness, Consensus
orientation; Equity; Effectiveness and Efficiency;
Accountability; Strategic vision.15
Atas hal tersebut kunci utama memahami good
governance adalah memahami prinsip-prinsip di
dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip good
governance didapatkan tolok ukur kinerja suatu
pemerintahan, untuk itu baik buruknya pemerintahan
bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua
unsur prinsip-prinsip good governance.
Dalam pemerintahan yang dikatakan good governance
dipastikan tercermin suasana harmoni, stabilitas, dan
ketertiban antar semua sektor pemerintahan. Dari
konsep ini akan dijabarkan 6 (enam) elemen utama
good governance, yaitu :
1. The rule of law: to enact laws, regulations, rule,
and derective that are fair, up to date, and they
are accepted and confermed to by citizenry.
2. The rule of integrity: to encourage ethical and
exemplary behavior by government officials, and
to inculcate the values of integrity, fairness,
hardwork, and discipline among The Thai people
as national characteristics.
3. The rule of transparency: to create a climate
of mutual trust through a change in processes in
all sectors to ensure transparency and enable
public scrutiny, to guarantee access to accurate
information throughout the system, and to provide
information in a straightforward manner in
language that is a clear and easy to understand.
4. The rule of participation: to welcome input
from the general public, and to encourage their
partication in significant decisions of the country
through public hearings, referenda, and public
investigation.
5. The rule of accountability: to raise public
awareness of the rights of individuals, as well as
the duties and responsibilities of citizens towards
society, and to encourage the general public to
be mindful of social problems and difficulties and
active in seeking their solution. At the same time
they must respect the opinions of others and be
willing to accept the consequences of their actions.
6. The rule of value for money:to encourage all
sectors to utilize and manage limited resources
efficiently and effectively, to conserve natural
resources; to promote thrift and economy to
maximize the benefit from limited resources for
the national good; to support the production of
quality products and services so as to be
competitive in the global marketplace.16
46
14 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000, hal. 1.
15 Ibid, hal 7.16 Office of The Civil Service Commission, Good Governance, Bangkok,
Thailand, 1999, hal. 3-4.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Adapun prinsip good governance jika dikaji dari
perspektif Hukum Administrasi, sebelumnya perlu
dipahami dahulu konsep Hukum Administrasi
menurut Van Wijk Konijnenbelt yang merupakan
instrumen yuridis bagi penguasa untuk secara aktif
terlibat dengan masyarakat, dan pada sisi yang lain
Hukum Administrasi merupakan hukum yang
memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi
penguasa dan memberikan perlindungan terhadap
penguasa.17 Berkaitan dengan konsep negara hukum
kemasyarakatan (social rechtsstate) Hukum Administrasi
sebagai instrument yuridis yang memungkinkan
pemerintah mengendalikan kehidupan masyarakat
dan pada sisi lain memungkinkan berpartisipasi dalam
pengendalian (pemerintahan) tersebut.18
Dalam hal ini wujud nyata dari pengelolaan Keuangan
Negara yang bertumpu pada tatanan good governance
(yang dewasa ini telah menjadi pola dinamik
penyelenggaraan negara di seantero dunia yang
digolongkan menuju kemantapan demokrasi) adalah
pengelolaan keuangan negara yang bernuansa :
solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta
diselenggarakan secara partisipatif.19
Dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi,
asas yang diketengahkan dalam good governance
dan asas tata pemerintahan yang baik, pada dasarnya
bertumpu pada 2 (dua) landasan Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi, yaitu negara hukum dan
demokrasi.20 Landasan negara hukum berkaitan
dengan jaminan perlindungan hukum terhadap
kekuasaan pemerintahan antara lain :
• Asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan
(wetmatigheid van bestuur: soal kewenangan,
prosedur dan substansi);
• Perlindungan Hak Asasi (grondrechten: hak klasik
dan hak sosial);
• Pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan
(machtverdeling antara lain melalui desentralisasi
fungsional maupun teritorial );
• Pengawasan oleh pengadilan (rechterlijke control).21
Adapun landasan demokrasi yang melandasi Hukum
Administrasi sebagaimana dikemukakan oleh Philipus
M. Hadjon,
Landasan demokrasi terutama berkaitan dengan
prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, baik berupa pengambilan keputusan
maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata. Prinsip-
prinsip demokrasi adalah sebagai berikut :
• Kedudukan badan perwakilan rakyat.
• Asas bahwa tidak ada jabatan seumur hidup.
• Asas keterbukaan dalam pemerintahan (aktif dan
pasif)’
• Peran serta.22
Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian
good governance dalam lingkup Hukum Administrasi
ada 3 (tiga) hal, pertama good governance dapat
dipadankan dengan fungsi mengendalikan kehidupan
masyarakat (sturen), dan kedua, terbukanya peluang
atau kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengendalian tersebut, ketiga, perlindungan
hukum bagi masyarakat. Ketiga hal tersebut
didasarkan pada prinsip negara hukum dan prinsip
demokrasi. Di dalam prinsip negara hukum
bertumpu pada asas legalitas dan perlindungan
hak asasi, sedangkan prinsip demokrasi berdasarkan
21 Hadjon Philipus M., Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1993, hal 3-4.
22 Ibid.
47
17 Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia ( Intoduction to the Indonesian Administrative Law ), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hal.27.
18 Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal 70.
19 Hadjon Philipus M., dan Sri Djatmiati Tatiek, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ( Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi ) paper disampaikan dalam Seminar Nasional Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Pemantapan Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggung jawab, diselenggarakan oleh Universitas Warmadewa Denpasar, Mei 2002, hal 3.
20 Ibid, hal. 7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
pada asas keterbukaan dan peran serta
masyarakat.
Oleh karena prinsip-prinsip good governance selaras
dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara,
yakni prinsip-prinsip good financial governance, maka
pengelolaan keuangan negara yang bersumber pada
penerimaan negara dari Kegiatan Usaha Hulu dan
Hilir Migas tersebut dikaitkan dengan prinsip negara
hukum dan prinsip demokrasi yang merupakan
landasan dalam Hukum Administrasi.
Berkaitan dengan hal tersebut selanjutnya timbul
pertanyaan bagaimanakah implementasi prinsip-
prinsip good financial governance dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia khususnya yang
mengatur mengenai pengelolaan Keuangan Negara
yang bersumber pada Penerimaan Negara Bukan
Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu dan Hilir Migas.
V. IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD FINANCIAL
GOVERNANCE DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945;
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945,
Alinea keempat UUD 1945 mengandung prinsip-
prinsip demokrasi, prinsip negara hukum dan
perlindungan hak asasi.
Adapun ketentuan dalam UUD 1945 yang
mengatur mengenai prinsip-prinsip good
financial governance adalah sebagai berikut :
a. Prinsip Demokrasi
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur prinsip
demokrasi dalam kaitannya dengan pengelolaan
keuangan negara yang bersumber pada
penerimaan negara dari kegiatan Usaha Hulu
dan Hilir Migas adalah sebagai berikut :
Pasal 33
Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan
Ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
b. Prinsip Negara Hukum dan Perlindungan
Hak Asasi
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur prinsip
negara hukum dan perlindungan hak asasi
dalam kaitannya dengan pengelolaan
keuangan negara tersebut adalah sebagai
berikut:
• Prinsip Negara Hukum
Pasal 23
Ayat (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
• Perlindungan Hak Asasi
Pasal 33
Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.
Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
2. Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak
• Prinsip Demokrasi
Pasal 3 ayat (1)
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak ditetapkan dengan memperhatikan
dampak pengenaan terhadap masyarakat
dan kegiatan usahanya, biaya
penyelenggaraan kegiatan Pemerintah
sehubungan dengan jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang bersangkutan,
dan aspek keadilan dalam pengenaan
beban kepada masyarakat.
• Prinsip Negara Hukum
Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 1997
Dengan berpegang teguh pada prinsip
kepastian hukum, keadilan dan
kesederhanaan, maka arah dan tujuan
perumusan Undang-undang Penerimaan
Negara Bukan Pajak adalah :
....d. menunjang upaya terciptanya aparat
Pemerintah yang kuat, bersih dan
berwibawa, penyederhanaan prosedur
dan pemenuhan kewajiban, peningkatan
tertib administrasi keuangan dan
anggaran negara serta peningkatan
pengawasan.
Ketentuan UU No. 20 Tahun 1997 mengandung
prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang
selaras dengan prinsip-prinsip good financial
governance
3. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi
• Prinsip Demokrasi
Pasal 2
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang
ini berasaskan ekonomi kerakyatan,
keterpaduan, manfaat, keadilan,
keseimbangan, pemerataan, kemakmuran
bersama dan kesejahteraan rakyat banyak,
keamanan, keselamatan, dan kepastian
hukum serta berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi bertujuan :
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi
dan Eksploitasi secara berdaya guna,
berhasil guna, serta berdaya saing tinggi
dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas
Bumi milik negara yang strategis dan tidak
terbarukan melalui mekanisme yang
terbuka dan transparan;
b. menjamin efektivitas pelaksanaan dan
pengendalian usaha Pengolahan,
Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga
secara akuntabel yang diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha
yang wajar, sehat, dan transparan;
• Prinsip Negara Hukum
Pasal 4
(1)Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya
alam strategis tak terbarukan yang
terkandung di dalam Wilayah Hukum
Pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara.
(2)Penguasaan oleh negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan.
(3)Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan membentuk Badan
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 23.
Ketentuan UU No. 22 Tahun 2001 mengandung
prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang
selaras dengan prinsip-prinsip good governance.
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
4. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
Ketentuan Undang-undang No. 17 Tahun 2003
yang memuat prinsip-prinsip good financial
governance sebagaimana diatur dalam Pasal 3
ayat (1), meliputi: Keuangan Negara dikelola
secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Asas-asas tersebut selaras dengan prinsip-prinsip
good financial governance.
5. Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
• Prinsip Negara Hukum
Pasal 1 angka 7
Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah
kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan
pengelolaan keuangan negara secara tertib,
taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan
transparan, dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
Ketentuan UU No. 15 Tahun 2004 mengandung
prinsip negara hukum yang sedasar dengan prinsip-
prinsip good governance.
6. Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang
Energi
• Prinsip Demokrasi
Pasal 2
Energi dikelola berdasarkan asas
kemanfaatan, efisiensi berkeadilan,
peningkatan nilai tambah, keberlanjutan,
kesejahteraan masyarakat, pelestarian
fungsi lingkungan hidup, ketahanan
nasional, dan keterpaduan dengan
mengutamakan kemampuan nasional.
Ketentuan UU No. 30 Tahun 2007 terkandung
prinsip demokrasi yang selaras dengan prinsip-
prinsip good governance.
7. Undang-undang Republik Indonesia No. 10
Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011
• Prinsip Demokrasi
Dalam ketentuan menimbang UU No. 10
Tahun 2010, bahwa Rancangan APBN Tahun
Anggaran 2011 disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
negara dan kemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara dalam rangka mendukung
terwujudnya perekonomian nasional
berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Ketentuan UU No. 10 Tahun 2010 terkandung
prinsip demokrasi yang selaras dengan prinsip-
prinsip good governance.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
• Prinsip Demokrasi
Pasal 9
Ayat (1) Badan Pelaksana mengelola keuangan
sesuai dengan standar akuntansi keuangan
Ayat (2) Pengelola keuangan Badan Pelaksana
dilaksanakan dengan prinsip efisien, efektif,
transparan, dan akuntabel
• Prinsip Negara Hukum
Pasal 10
Badan Pelaksana mempunyai fungsi melakukan
pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu
agar pengambilan sumber daya alam Minyak
50
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan
manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi
negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
Pada Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral
• Prinsip Negara Hukum
Pasal 8
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berlaku pada Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral wajib disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara.
Pasal 10
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang berlaku pada Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral yang belum tercakup
dalam Peraturan Pemerintah ini, akan disusulkan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan pencantuman-
nya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.
10.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha
Hilir Minyak dan Gas Bumi
• Prinsip Demokrasi
Pasal 2
Kegiatan Usaha Hilir dilakukan oleh Badan
Usaha yang telah memiliki Izin Usaha yang
dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat dan transparan.
• Prinsip Negara Hukum
Pasal 3
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan
dan pengawasan atas penyelenggaraan
kegiatan usaha hilir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
Prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang
terkandung dalam PP No. 38 Tahun 2008 sedasar
dengan prinsip-prinsip good governance.
11.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi
• Prinsip Demokrasi
Pasal 4 ayat (1)
Menteri menetapkan kebijakan penawaran
Wilayah Kerja berdasarkan pertimbangan
teknis, ekonomis, tingkat resiko, efisiensi, dan
berazakan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas
dan persaingan.
Prinsip demokrasi yang terkandung dalam PP No.
55 Tahun 2009 sedasar dengan prinsip-prinsip
good governance.
Atas hal tersebut nyatalah bahwa beberapa
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
mengatur pengelolaan keuangan negara yang
bersumber pada Penerimaan Negara Bukan Pajak
dari kegiatan usaha Hulu dan Hilir Migas memuat
prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum yang
merupakan penopang dari prinsip-prinsip good
financial governance.
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
VI.Kesimpulan
Dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pengelolaan
keuangan negara yang bertumpu pada Penerimaan
Negara Bukan Pajak dari sektor minyak dan gas bumi
terkandung prinsip-prinsip good financial governance
meliputi keuangan negara dikelola secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
dan manfaat untuk masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut
selaras dengan prinsip-prinsip good governance dan
sepatutnya menjadi tumpuan pengaturan keuangan
negara di Indonesia.
52
Literatur :
Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Intoduction to the Indonesian Administrative Law),
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.
Hutagaol, John, Perpajakan Isu-isu Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance,
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000.
Nellor, David C.L., Taxation of Mineral and Petroleum Resources, dalam Parthasarathi Shome (Ed.), Tax Policy handbook,
Washington: Tax Policy Division-Fiscal Affairs Departement, International Monetary Fund, 1995.
Saidi, Muhammad Djafar, dan Huseng, Rohana, Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak, Rajawali Pers, Jakarta 2008
Setyadi, Didik S., Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi, Lembaga Kajian Sosial
Nusa Makmur, Surabaya, 2007
Soekarwo, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-prinsip Good Finacial Governance,Airlangga
University Press, Surabaya, 2005
Suparmoko., M., Asas-asas Ilmu Keuangan Negara, Edisi Kedua, Liberty Offset, Yogyakarta, Desember, 1980
Tomkins, Adam, Transparancy and the Emergence of Europian Administrative Law. Dalam G.H. Addink, Transparancy
of Administration, Utrecht University, 2001.
Makalah :
Hadjon Philipus M., Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,
1993.
___________________ , Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, yang diolah kembali dari
makalah yang berjudul Perlindungan Hukum Dalam Negara Hukum Pancasila, yang disampaikan pada
Simposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XV/Lustrum VIII UA,
Surabaya, 3 Nopember 1994, hal. 3.
DAFTAR PUSTAKA
53
___________________ , dan Sri Djatmiati Tatiek, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi) paper disampaikan dalam Seminar Nasional Good
Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Pemantapan Otonomi Luas, Nyata
dan Bertanggung jawab, diselenggarakan oleh Universitas Warmadewa Denpasar, Mei 2002.
Office of The Civil Service Commission, Good Governance, Bangkok, Thailand, 1999, hal. 3-4.
Koran :
Zal, Penerimaan Negara dari Sektor Migas Naik, Harian Kontan, Rabu, 24 Desember 2008
Internet :
Y/T, Produsen Gas Terbesar Dunia Penerimaan Negara Bukan Pajak,
www.pajak.go.id, 03/03/2009 12:01:14.
54
55
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) MEI - AGUSTUS 2012
Tanggal Satker PerihalPeraturan
14/4/PBI/2012
14/5/PBI/2012
14/6/PBI/2012
14/7/PBI/2012
14/8/PBI/2012
14/9/PBI/2012
7/06/ 2012
8/06/ 2012
18/06/ 2012
27/06/ 2012
13/07/2012
26/07/2012
DSM
DPM
DPbS
DPU
DPNP
DKBU
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011
Tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan
Bank
Perubahan Bank Indonesia No. 12/11/PBI/2010 tentang Operasi
Moneter
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah
Pengelolaan Uang Rupiah
Kepemilikan Saham Bank Umum
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR
14/15/DPM
14/16/DPbS
14/17/DASP
14/18/DPM
14/19/DASP
14/20/DPNP
14/21/DPNP
10 /05/2012
31/05/ 2012
7/06/2012
8/06/2012
26/06/2012
27/06/2012
18/07/2012
DPM
DPbS
DASP
DPM
DASP
DPNP
DPNP
Perizinan, Pengawasan, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi
Pedagang Valuta Asing Bukan Bank
Produk Pembiayaan Kepemilikan Emas Bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP
perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu
Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/18/DPM
tanggal 7 Juli 2010 Perihal Operasi Pasar Terbuka
Perubahan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP tanggal
18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia
Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP
tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode
Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar
57
DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2012
Tanggal Satker PerihalPeraturan
59
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2012
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka
meningkatkan kualitas data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan
pelaporan lalu lintas devisa (LLD) oleh Lembaga Bukan Bank (LBB) serta
untuk lebih meningkatkan kesiapan LBB dalam memenuhi ketentuan
kewajiban pelaporannya.
2. Pokok-pokok aturan dalam PBI ini mencakup:
a. Batas waktu penyampaian laporan LLD dan koreksi laporan LLD
1. Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya untuk laporan LLD.
2. Paling lama tanggal 20 bulan berikutnya untuk koreksi laporan LLD.
b.Pemberlakuan sanksi administratif
Sanksi administratif berupa denda atas kewajiban pelaporan lalu lintas
devisa mulai berlaku untuk data bulan Juli 2012 yang disampaikan
pada bulan Agustus 2012.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 2012
dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia dilakukan dalam rangka peningkatan
ketahanan perekonomian domestik melalui pengelolaan likuiditas dan
pengkayaan instrumen operasi moneter guna mendukung pengembangan
pasar valuta asing domestik dan pencapaian sasaran operasional kebijakan
moneter.
2. Perubahan dalam Peraturan Bank Indonesia ini mencakup :
a.Menambahkan pengelolaan likuiditas di pasar valuta asing sebagai
salah satu cara untuk mendukung pencapaian sasaran operasional
kebijakan moneter, selain melalui cara absorpsi dan/atau injeksi likuiditas
di pasar uang rupiah.
b.Menyempurnakan jenis kegiatan Operasi Pasar Terbuka dengan
penambahan penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam valuta asing, sehingga ruang lingkup kegiatan OPT menjadi
sebagai berikut:
14/4/PBI/2012
SatkerTanggalPeraturan
7 Juni 2012
Tentang
Perubahan Atas
Peraturan Bank
Indonesia Nomor
13/15/PBI/2011
Tentang
Pemantauan
Kegiatan Lalu
Lintas Devisa
Lembaga Bukan
Bank
14/5/PBI/2012 8 Juni 2012
Tentang
Perubahan Bank
Indonesia No.
12/11/PBI/2010
tentang Operasi
Moneter
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
60
1. penerbitan SBI;
2. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga;
3. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright;
4. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah;
5. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam
valuta asing;
6. jual beli valuta asing terhadap rupiah;dan
7. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing.
c. Menambahkan pengaturan terkait penempatan berjangka (term
deposit) dalam valuta asing, meliputi antara lain fitur transaksi dan
mekanisme penempatan berjangka (term deposit) dalam valuta asing
sebagai berikut :
1. Transaksi Term Deposit valas dapat dicairkan sebelum jatuh waktu
(early redemption) dan dapat dialihkan menjadi transaksi FX Swap.
2. Transaksi Term Deposit valas dapat menjadi pengurang perhitungan
Posisi Devisa Neto dengan persyaratan tertentu.
3. Peserta Operasi Moneter wajib melaporkan secara harian Posisi
Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah
memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) dalam
valuta asing sebagai pengurang. Apabila pelaporan dimaksud tidak
dilakukan, peserta Operasi Moneter tidak dapat menjadikan
penempatan berjangka (term deposit) sebagai faktor pengurang
Posisi Devisa Neto.
4. Dalam hal Peserta Operasi Moneter tidak dapat menyelesaikan
kewajiban setelmen transaksi penempatan berjangka (term deposit)
dalam valuta asing, maka transaksi dimaksud dinyatakan batal.
Atas pembatalan transaksi tersebut, peserta Operasi Moneter
dikenakan sanksi.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2012.
Latar Belakang:
Dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan perlindungan kepada masyarakat
terhadap industri perbankan, perlu dipastikan bahwa pengelolaan bank
syariah dilakukan oleh pihak yang mampu dan patut (Fit and Proper) sehingga
pengelolaan bank syariah dilakukan sesuai dengan tatakelola yang baik (good
governance).
SatkerTanggalPeraturan
14/6/PBI/2012 18 Juni 2012
Tentang Uji
Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and
Proper Test) Bank
Syariah dan Unit
Usaha Syariah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
61
Materi Pengaturan:
1. Perubahan yang utama dalam peraturan baru meliputi:
a. Penyederhanaan mekanisme penilaian.
b.Pengetatan sanksi dan konsekuensi bagi pihak yang dinyatakan Tidak
Lulus.
c. Meningkatkan kepastian eksekusi sanksi.
d.Pengaturan Fit and Proper Test bagi bank dalam penyelamatan/
penanganan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
2. Penyederhanaan proses uji kemampuan dan kepatutan:
a.New Entry
1. Bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
bank, wawancara hanya dilakukan apabila diperlukan yaitu apabila
ditemukan adanya informasi negatif atau apabila yang bersangkutan
dinilai tidak memiliki kompetensi yang cukup di bidang perbankan.
2. Bagi calon PSP, wawancara tetap merupakan keharusan hanya
pelaksanaannya tidak harus menunggu seluruh penelitian administratif
selesai.
b.Existing
1. Pengumpulan bukti tidak harus melalui pemeriksaan khusus namun
dapat dilakukan melalui pengawasan aktif (pemeriksaan), pengawasan
pasif atau sumber lainnya.
2. Pengurangan penyampaian tanggapan dari pihak yang dinilai atas
hasil sementara dari semula 2 kali menjadi hanya sekali.
3. Penyederhanaan langkah-langkah penilaian dari 8 tahap menjadi
4 tahap yaitu:
a. Klarifikasi temuan & bukti kepada Pihak yang Dinilai.
b. Penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan
dan kepatutan.
c. Tanggapan dari Pihak Yang Dinilai atas hasil penilaian sementara.
d. Penetapan & pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan.
3. Pengetatan sanksi dan konsekuensi Tidak Lulus.
a. Jangka waktu sanksi tidak dikaitkan dengan dampak perbuatan pihak
yang dinilai terhadap kerugian yang berpengaruh pada permodalan,
keuntungan dan/atau potensi kerugian bank syariah namun dikaitkan
dengan jenis dan frekuensi pelanggaran yang dilakukan.
SatkerTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
b.Terdapat peningkatan jangka waktu sanksi bagi pihak yang Tidak
Lulus yang tidak mematuhi konsekuensinya.
4. Faktor yang dinilai dalam Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) adalah:
a. Integritas dan Kelayakan Keuangan untuk Pemegang Saham Pengendali
(PSP).
b. Integritas, Kompetensi dan Reputasi Keuangan untuk anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pemimpin Kantor Perwakilan
Bank Asing, dan Pejabat Eksekutif.
5. Pihak yang harus menjalani Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) adalah:
a.Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi,
calon Direktur UUS, dan calon Pemimpin Kantor Perwakilan Bank
Asing sebelum menjalankan fungsi dan tugasnya.
b.PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pemimpin
Kantor Perwakilan Bank Asing, dan Pejabat Eksekutif yang sedang
menjabat namun terindikasi melakukan pelanggaran integritas, kelayakan/
reputasi keuangan dan atau kompetensi.
6. Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:
a. pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) dan/atau PSP pada
seluruh Bank Syariah.
b.pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank Perkreditan
Rakyat.
c. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat
Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada industri
perbankan dalam jangka waktu tertentu.
7. Pihak-pihak yang telah ditetapkan predikat Tidak Lulus dapat kembali
menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS,
dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing apabila telah menjalani
sanksi dan jangka waktu sanksi telah dilalui serta telah menjalani Uji
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terlebih dahulu.
8. LPS sebagai pengendali dari bank yang diselamatkan/ditangani tidak
harus melalui Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) namun
calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon Direktur
SatkerTanggalPeraturan
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
63
UUS yang akan diangkat LPS wajib mengikuti Uji Kemampuan dan
Kepatutan (Fit And Proper Test).
9. Perbedaan mekanisme Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) bagi calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan
calon Direktur UUS pada bank dalam penyelamatan/penanganan LPS,
yaitu persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam 2 tahap yaitu: tahap
1 merupakan persetujuan sementara dan tahap 2 merupakan persetujuan
akhir.
10.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, beberapa ketentuan
dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tentang Uji Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah;
b.ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; dan
c. ketentuan dalam Pasal 58 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
1. Ketentuan ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengatur mengenai
kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan uang Rupiah
yang meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran,
pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang Rupiah.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengelolaan Uang Rupiah meliputi:
a.Ciri umum Uang Rupiah kertas memuat frasa “Negara Kesatuan
Republik Indonesia”, tanda tangan Pemerintah dan Bank Indonesia”,
dan pada Rupiah logam salah satunya memuat frasa “Republik
Indonesia”;
b.Bank Indonesia menetapkan bahan baku Rupiah yang mengutamakan
produk dalam negeri dengan menjaga mutu, keamanan, dan harga
yang bersaing;
c. Perencanaan, pencetakan dan pemusnahan Rupiah dilaksanakan oleh
Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah;
SatkerTanggalPeraturan
14/7/PBI/2012 27 Juni 2012
Tentang
Pengelolaan
Uang Rupiah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
64
d.Bank Indonesia melaksanakan pencetakan Rupiah yang dilaksanakan
di dalam negeri dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai pelaksana pencetakan Rupiah. Dalam hal BUMN tidak sanggup
melaksanakan pencetakan Rupiah, maka pencetakan Rupiah dilaksanakan
oleh BUMN dengan bekerjasama dengan lembaga lain yang ditunjuk;
e. Pemusnahan Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi
dengan Pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk Nota Kesepahaman;
f. Jumlah dan nilai nominal Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI);
g.Bank Indonesia wajib melaporkan pengelolaan Rupiah secara periodik
setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
h.Larangan meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/atau
promosi dengan memberi kata spesimen;
i. Bank Indonesia berwenang menentukan keaslian Rupiah; dan
j. Uang Rupiah kertas dengan ciri umum mulai berlaku, dikeluarkan dan
diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014.
k. Pengaturan penukaran Uang Rupiah oleh Bank yang beroperasi di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada masyarakat.
1. Latar belakang pengaturan ini adalah :
a.Dalam rangka menghadapi dinamika perkembangan perekonomian
regional dan global, industri perbankan nasional perlu meningkatkan
ketahanan.
b.Peningkatan ketahanan perbankan dilakukan melalui peningkatan
penerapan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik (good
corporate governance).
c. Untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan tata kelola
bank yang baik (good corporate governance), diperlukan penataan
struktur kepemilikan bank.
d.Penataan struktur kepemilikan saham bank dilakukan melalui penerapan
batas maksimum kepemilikan saham sehingga dapat mengurangi
dominasi kepemilikan yang dapat berdampak negatif terhadap
operasional bank.
e. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham juga akan berdampak
positif untuk mendorong konsolidasi perbankan dalam rangka
memperkuat industri perbankan nasional.
2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini meliputi antara lain:
SatkerTanggalPeraturan
14/8/PBI/2012 13 Juli 2012
Tentang
Kepemilikan
Saham Bank
Umum
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
65
a. Penetapan batas maksimum kepemilikan saham pada Bank berdasarkan
kategori pemegang saham sebagai berikut:
i. 40% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa
badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan
bukan bank,
ii. 30% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham berupa
badan hukum bukan lembaga keuangan, dan
iii. 20% dari modal Bank, untuk kategori pemegang saham perorangan
pada bank umum konvensional. Batas maksimum kepemilikan
saham untuk kategori pemegang saham perorangan pada bank
umum syariah adalah sebesar 25% dari modal Bank.
b.Pemegang saham yang memiliki keterkaitan berdasarkan adanya
hubungan kepemilikan, hubungan keluarga hingga derajat kedua,
dan/atau hubungan acting in concert ditetapkan sebagai satu pihak.
Jumlah keseluruhan kepemilikan saham dalam satu pihak tersebut
sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang
saham dalam satu pihak tersebut dengan komposisi masing-masing
pemegang saham dalam satu pihak tersebut paling tinggi sebesar
batas maksimum kepemilikan sesuai dengan kategori pemegang
saham.
c. Calon pemegang saham pengendali yang merupakan warga negara
asing dan/atau badan hukum yang berkedudukan di luar negeri,
wajib memenuhi persyaratan memiliki komitmen untuk mendukung
pengembangan perekonomian Indonesia, memperoleh rekomendasi
dari otoritas negara asal bagi badan hukum lembaga keuangan, dan
memiliki peringkat investasi paling kurang sebagaimana ditetapkan
dalam ketentuan ini.
d.Badan hukum lembaga keuangan bank dapat memiliki saham Bank
lebih dari 40% dari modal Bank sepanjang memperoleh persetujuan
Bank Indonesia dan wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
e. Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum
kepemilikan saham pada Bank yang memperoleh penilaian Tingkat
Kesehatan Bank (TKS) dan/atau penilaian Good Corporate Governance
(GCG) peringkat 3, 4, atau 5 pada posisi penilaian bulan Desember
2013, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham paling lama 5 tahun sejak 1 Januari 2014.
f. Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum
kepemilikan saham pada Bank yang memperoleh penilaian TKS dan
penilaian GCG peringkat 1 atau 2 pada posisi penilaian bulan Desember
SatkerTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
2013 wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan
saham, apabila Bank mengalami penurunan peringkat TKS dan/atau
penilaian GCG menjadi peringkat 3, 4, atau 5 selama 3 periode
penilaian berturut-turut atau pemegang saham atas inisiatif sendiri
melakukan penjualan saham yang dimilikinya, yaitu paling lama 5
tahun setelah periode penilaian terakhir atau penjualan saham yang
dimilikinya.
g.Pemegang saham yang akan memiliki saham Bank dalam penyelamatan
atau penanganan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan Bank dalam
pengawasan khusus, dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum
kepemilikan saham dan wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham paling lama 20 tahun sejak membeli saham bank,
sedangkan pemegang saham yang akan memiliki saham bank dalam
pengawasan intensif, wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham paling lama 15 tahun sejak membeli saham bank.
h.Pemegang saham pada bank hasil penggabungan atau peleburan
yang berasal dari Bank yang memperoleh penilaian TKS dan penilaian
GCG peringkat 1 atau 2, dapat memiliki saham Bank hasil penggabungan
atau peleburan lebih dari batas maksimum kepemilikan saham dan
wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham
paling lama 10 tahun sejak bank hasil penggabungan atau peleburan
mengalami penurunan peringkat TKS dan/atau penilaian GCG selama
3 periode penilaian berturut-turut atau penjualan saham atas inisiatif
sendiri yang terjadi dalam periode paling lama 10 tahun setelah
penggabungan atau peleburan.
i. Pemegang saham pada bank hasil penggabungan atau peleburan
yang berasal dari bank yang memperoleh penilaian TKS dan/atau
penilaian GCG peringkat 3, 4, atau 5, jangka waktu tersebut adalah
paling lama 20 tahun sejak penggabungan atau peleburan.
j. Pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off)
Unit Usaha Syariah, dapat memiliki saham lebih dari batas maksimum
kepemilikan saham dan wajib menyesuaikan dengan batas maksimum
kepemilikan saham paling lama akhir Desember 2028.
k. Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib menyesuaikan
dengan batas maksimum kepemilikan saham paling lama 5 tahun
sejak 1 Januari 2014 atau 5 tahun sejak periode penilaian terakhir
bagi Bank yang mengalami penurunan peringkat TKS dan/atau penilaian
GCG, wajib menyusun rencana tindak dalam rangka menyesuaikan
dengan batas maksimum kepemilikan saham.
SatkerTanggalPeraturan
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
67
l. Pemegang saham yang tidak memenuhi kewajiban penyesuaian
dengan batas maksimum kepemilikan saham, dikenakan pembatasan
berupa hak yang bersangkutan dalam perhitungan kuorum dan
pengambilan keputusan dalam RUPS, penundaan pembayaran dividen
untuk kelebihan saham yang dimilikinya, dan dapat dilakukan uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) bagi pemegang saham
tersebut.
m.Bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak memenuhi
kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan saham, wajib
mengenakan pembatasan bagi pemegang saham yang tidak memenuhi
batas maksimum kepemilikan saham. Bank yang melanggar kewajiban
tersebut akan dikenakan sanksi administratif dan dapat dilakukan uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap anggota
direksi dan/atau dewan komisaris bank tersebut.
n.Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan
persetujuan kepada pemegang saham untuk memiliki saham bank
melebihi batas maksimum kepemilikan saham untuk jangka waktu
tertentu.
o.Bank Indonesia dapat memerintahkan pemegang saham yang tidak
memenuhi kewajiban penyesuaian batas maksimum kepemilikan
saham agar bank yang dimilikinya melakukan penggabungan atau
peleburan.
Latar belakang:
Dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan perlindungan kepada masyarakat
terhadap industri perbankan, perlu dipastikan agar pengelolaan BPR dilakukan
oleh pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan
sehingga pengelolaan BPR dilakukan sesuai dengan tatakelola yang baik
(good corporate governance).
Materi penyempurnaan:
1. Perubahan utama dalam peraturan meliputi:
a. Penambahan obyek uji kemampuan dan kepatutan.
b.Penyederhanaan mekanisme uji kemampuan dan kepatutan.
c. Pengetatan sanksi dan konsekuensi bagi pihak yang diberikan predikat
Tidak Lulus.
SatkerTanggalPeraturan
14/9/PBI/2012 26 Juli 2012
Tentang Uji
Kemampuan dan
Kepatutan (Fit
and Proper Test)
BPR
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
d.Pengaturan uji kemampuan dan kepatutan bagi BPR dalam penyelamatan/
penanganan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
2. Penambahan obyek uji kemampuan dan kepatutan menjadi:
Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi sebelum
menjalankan fungsi dan tugasnya; PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat; juga diperluas
pihak-pihak yang sudah tidak menjadi PSP BPR atau sudah tidak menjabat
sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif
BPR.
3. Penyederhanaan proses uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP,
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang
sedang menjabat (existing):
a. Pengumpulan bukti tidak harus melalui pemeriksaan khusus namun
dapat dilakukan melalui pengawasan aktif (pemeriksaan), pengawasan
pasif atau sumber lainnya.
b.Pengurangan penyampaian tanggapan dari pihak yang dinilai atas
hasil sementara dari semula 2 kali menjadi hanya sekali.
c. Penyederhanaan langkah-langkah penilaian dari 10 tahap menjadi 4
tahap yaitu:
1. Klarifikasi temuan & bukti kepada pihak yang dinilai.
2. Penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan.
3. Tanggapan dari pihak yang dinilai atas hasil penilaian sementara.
4. Penetapan & pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan.
4. Predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan hanya ada dua predikat
yaitu Lulus dan Tidak Lulus.
5. Pengetatan sanksi dan konsekuensi Tidak Lulus:
a. Jangka waktu sanksi tidak dikaitkan dengan dampak perbuatan pihak
yang dinilai terhadap penurunan CAR namun dikaitkan dengan jenis
dan frekuensi pelanggaran yang dilakukan.
b.Terdapat peningkatan jangka waktu sanksi bagi pihak yang Tidak
Lulus yang tidak mematuhi konsekuensinya.
c. Konsekuensi bagi pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus
dilarang menjadi:
SatkerTanggalPeraturan
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
69
1. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan dan wajib
mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya, dan
2. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif
pada industri perbankan dalam jangka waktu tertentu.
6. Penambahan pengaturan yang terkait dengan proses uji kemampuan
dan kepatutan bagi BPR yang diselamatkan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan.
7. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI
No.6/23/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
SatkerTanggalPeraturan
71
RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA MEI - AGUSTUS 2012
1. Surat Edaran Bank Indonesia No.14/15/DPM tanggal 10 Mei 2012 perihal
Tata Cara Perizinan, Pengawasan, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi
Pedagang Valuta Asing Bukan Bank merupakan ketentuan pelaksanaan
dari Peraturan Bank Indonesia No. 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang
Valuta Asing yang diterbitkan tanggal 22 Desember 2010 dan merupakan
perubahan dan/atau penyempurnaan atas Surat Edaran No.9/23/DPM
tanggal 8 Oktober 2007 perihal Tata Cara Perizinan, Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang
Valuta Asing Bukan Bank.
2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran (SE) ini meliputi:
a. Penambahan dokumen persyaratan dan penyesuaian tata cara untuk
pengajuan permohonan izin usaha, pembukaan kantor cabang,
pemindahan alamat kantor, perubahan pemegang saham, anggota
dewan komisaris dan anggota direksi, perubahan nama Perseroan
Terbatas, perubahan modal dasar dan/atau modal disetor dan
penghentian kegiatan usaha PVA Bukan Bank.
b.Pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh
izin usaha bagi PVA Bukan Bank yang akan melakukan kegiatan usaha
pengiriman uang dan PVA Bukan Bank yang sekaligus melakukan
kegiatan usaha pengiriman uang.
c. Penambahan pengaturan persyaratan dan tata cara pembukaan gerai.
d.Penyesuaian pengaturan penerapan prinsip mengenal nasabah dengan
berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank dan Surat Edaran
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pedoman Standar Penerapan
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada
Pedagang Valuta Asing.
e. Penyesuaian aspek pemeriksaan umum dalam rangka pengawasan
dengan mengakomodir Pasal 18 dan Pasal 31 UU No.8 tahun 2010
dimana Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur
(LPP) dari PVA.
14/15/DPM
RingkasanTanggalPeraturan
10 Mei 2012
Perihal Perizinan,
Pengawasan,
Pelaporan, dan
Pengenaan
Sanksi Bagi
Pedagang Valuta
Asing Bukan
Bank
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
72
f. Perubahan tata cara penyampaian laporan PVA dari penyampaian
laporan dalam bentuk hardcopy, atau dalam bentuk hardcopy yang
disertai dengan media lain seperti disket atau CD dengan format
laporan yang ditentukan oleh Bank Indonesia menjadi penyampaian
laporan dalam bentuk data elektronik yang disampaikan secara
online.
g.Perumusan kembali periode penyampaian laporan PVA dengan tetap
menyesuaikan pada PBI No.12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta
Asing.
h.Penambahan pengaturan mengenai mekanisme penyampaian laporan
dalam hal terjadi gangguan.
3. Proses perizinan dan perubahan perizinan yang diterima oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Surat Edaran yang disempurnakan ini,
diberlakukan dan diproses sesuai dengan SE Bank Indonesia No.9/23/DPM
tanggal 8 Oktober 2007 perihal Tata Cara Perizinan, Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang
Valuta Asing Bukan Bank.
4. Tata cara penyampaian laporan secara online dilakukan secara bertahap
yang semula disampaikan secara “manual” dalam bentuk hardcopy yang
disertai dengan media lain seperti disket atau CD dengan format laporan
yang ditentukan oleh Bank Indonesia, untuk selanjutnya disampaikan
secara online dalam bentuk data elektronik melalui website Laporan
Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU).
5. Dengan diberlakukannya SE ini, maka beberapa ketentuan dibawah ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:
a. SE Bank Indonesia No.9/23/DPM tanggal 8 Oktober 2007 perihal Tata
Cara Perizinan, Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, Pengawasan,
Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang Valuta Asing Bukan
Bank; dan
b.Surat Edaran No.11/7/DPM tanggal 13 Maret 2009 perihal Perubahan
atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/23/DPM tanggal 8 Oktober
2007 perihal Tata Cara Perizinan, Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah,
Pengawasan, Pelaporan, dan Pengenaan Sanksi Bagi Pedagang Valuta
Asing Bukan Bank.
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
73
1. Penerbitan SE ini dilatarbelakangi oleh adanya fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 77/DSN-MUI/V/2010 tanggal 3 Juni 2010 perihal Jual
Beli Emas Secara Tidak Tunai yang memungkinkan masyarakat untuk
memiliki emas melalui pembelian secara tangguh.
2. Penerbitan SE ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi perbankan
syariah dalam menjalankan produk Pembiayaan Kepemilikan Emas (PKE)
dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bank yang menyalurkan
produk PKE.
3. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah,
dan BPRS.
4. Pokok-pokok pengaturan produk PKE sebagai berikut :
a. Bank Syariah atau UUS wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis
secara memadai.
b.Agunan PKE adalah emas yang dibiayai oleh Bank Syariah atau UUS
yang diikat secara gadai, disimpan secara fisik di Bank Syariah atau
UUS, dan tidak dapat ditukar dengan agunan lain.
c. Bank Syariah atau UUS dilarang mengenakan biaya penyimpanan dan
pemeliharaan atas emas yang digunakan sebagai agunan PKE.
d.Jumlah PKE setiap nasabah ditetapkan paling banyak sebesar
Rp150.000.000,00. Nasabah dimungkinkan untuk memperoleh PKE
dan Qardh Beragun Emas secara bersamaan, dengan jumlah saldo
secara keseluruhan paling banyak Rp250.000.000,00 dan jumlah saldo
untuk PKE paling banyak Rp150.000.000,00.
e.Uang muka PKE paling rendah 20% untuk emas lantakan (batangan)
dan paling rendah sebesar 30% untuk emas perhiasan.
f. Jangka waktu PKE paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
g.Pembayaran PKE dilakukan dengan cara angsuran dalam jumlah yang
sama setiap bulan. Pelunasan dipercepat dapat dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) paling singkat 1 tahun setelah akad pembiayaan berjalan;
2) nasabah wajib membayar seluruh pokok dan margin (total piutang)
dengan menggunakan dana yang bukan berasal dari penjualan
agunan emas; dan
3) nasabah dapat diberikan potongan atas pelunasan dipercepat
namun tidak boleh diperjanjikan dalam akad.
RingkasanTanggalPeraturan
14/16/DPbS 31 Mei 2012
Perihal Produk
Pembiayaan
Kepemilikan
Emas Bagi Bank
Syariah dan Unit
Usaha Syariah
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
74
h. Apabila nasabah tidak dapat melunasi PKE pada saat jatuh tempo
dan/atau PKE digolongkan macet maka agunan dapat dieksekusi oleh
Bank Syariah atau UUS setelah melampaui 1 tahun sejak tanggal akad
PKE. Hasil eksekusi agunan diperhitungkan dengan sisa kewajiban
nasabah sebagai berikut:
1) apabila hasil eksekusi agunan lebih besar dari sisa kewajiban nasabah
maka selisih lebih tersebut dikembalikan kepada nasabah; atau
2) apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari sisa kewajiban nasabah
maka selisih kurang tersebut tetap menjadi kewajiban nasabah.
i. Bank Syariah atau UUS harus menjelaskan secara lisan dan tertulis
karakteristik produk PKE.
5. Bank Syariah atau UUS yang akan menyalurkan produk PKE harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
6. Bank Syariah atau UUS wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk
PKE paling lama 10 hari setelah dikeluarkannya produk PKE tersebut.
7. Bank Syariah dan UUS yang menjalankan produk PKE sebelum memperoleh
izin dari BI dikenakan sanksi teguran tertulis dan denda uang. Bagi Bank
Syariah atau UUS yang menjalankan produk PKE yang tidak sesuai dengan
ketentuan dapat dikenakan sanksi berupa penghentian produk PKE
tersebut.
8. Bagi Bank Syariah atau UUS yang telah memperoleh persetujuan BI untuk
menjalankan produk PKE sebelum berlakunya SE ini maka:
a. akad yang telah ada masih tetap berlaku dan tidak dapat diperpanjang;
dan
b.tidak melayani nasabah baru sampai dengan mendapatkan persetujuan
produk PKE dari Bank Indonesia.
1. Materi yang dimuat dalam perubahan Surat Edaran Bank Indonesia ini
antara lain mencakup:
a. prinsip perlindungan nasabah;
b.prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian Kartu
Kredit;
c. standar keamanan APMK;
d.kerjasama antara penyelenggara APMK dengan pihak lain;
e. penyampaian laporan.
RingkasanTanggalPeraturan
14/17/DASP 7 Juni 2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
75
RingkasanTanggalPeraturan
2. Dalam rangka penerapan prinsip perlindungan nasabah, Penerbit APMK
diwajibkan:
a.menyampaikan informasi tertulis kepada calon Pemegang Kartu dan
Pemegang Kartu atas APMK yang diterbitkan. Informasi tersebut wajib
menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti,
ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh calon Pemegang
Kartu dan Pemegang Kartu; dan
b.menyediakan sarana dan nomor telepon yang dapat secara mudah
digunakan dan/atau dihubungi oleh calon Pemegang Kartu dan
Pemegang Kartu dalam rangka melakukan verifikasi kebenaran segala
fasilitas yang ditawarkan dan/atau informasi yang disampaikan oleh
Penerbit.
3. Untuk Kartu Kredit, informasi tertulis sebagaimana yang dimaksud pada
butir 2.a yang wajib disampaikan oleh Penerbit Kartu Kredit kepada calon
Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu Kredit, termasuk pula informasi
tentang:
a. bunga Kartu Kredit yang paling kurang meliputi:
1. besarnya suku bunga Kartu Kredit, baik suku bunga bulanan
maupun suku bunga tahunan;
2. pola, tata cara dan komponen penghitungan bunga Kartu Kredit;
dan
3. tata cara serta persyaratan permohonan penghapusan bunga jika
terdapat kesalahan dalam pembebanan bunga Kartu Kredit;
Informasi tata cara dan dasar penghitungan bunga Kartu Kredit
harus dilengkapi dengan contoh atau ilustrasi yang mudah dipahami
oleh Pemegang Kartu Kredit. Besarnya suku bunga Kartu Kredit
tidak boleh melampaui suku bunga maksimum yang diditetapkan
oleh Bank Indonesia.
b.tata cara dan persyaratan bagi Pemegang Kartu Kredit untuk mengakhiri
dan/atau menutup fasilitas Kartu Kredit, yang paling kurang memuat
informasi:
1. persyaratan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit;
2. mekanisme pengajuan permohonan pengakhiran dan/atau penutupan
fasilitas Kartu Kredit;
3. jangka waktu penanganan oleh Penerbit Kartu Kredit terhadap
permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu
Kredit; dan
4. informasi penting lainnya yang perlu diketahui oleh Pemegang
Kartu Kredit.
TanggalPeraturan
perihal
Perubahan atas
Surat Edaran
Bank Indonesia
Nomor
11/10/DASP
perihal
Penyelenggaraan
Kegiatan Alat
Pembayaran
dengan
Menggunakan
Kartu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
RingkasanTanggalPeraturan
c. ringkasan transaksi Pemegang Kartu Kredit yang mencakup informasi
transaksi Pemegang Kartu Kredit selama satu tahun berjalan dihitung
sejak bulan mulai berlakunya Kartu Kredit, yang paling kurang memuat
informasi:
1. total transaksi pembelanjaan selama satu tahun;
2. total transaksi tarik tunai selama satu tahun;
3. total bunga selama satu tahun;
4. total biaya selama satu tahun;
5. total denda selama satu tahun;
6. performa pembayaran Pemegang Kartu Kredit atas tagihan Kartu
Kredit selama satu tahun; dan
7. kualitas kredit Pemegang Kartu Kredit posisi terakhir.
4. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kartu
Kredit Penerbit Kartu Kredit diwajibkan menerapkan manajemen risiko
kredit yaitu:
a. batas minimum usia calon Pemegang Kartu Kredit
1. Kartu Kredit utama adalah 21 (dua puluh satu) tahun atau telah
kawin;
2. Kartu Kredit tambahan adalah 17 (tujuh belas) tahun atau telah
kawin;
b.batas minimum pendapatan calon Pemegang Kartu Kredit adalah Rp
3.000.000,00 (tiga juta Rupiah) tiap bulan;
c. batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan kepada Pemegang
Kartu Kredit secara kumulatif kepada 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit
adalah sebesar 3 (tiga) kali pendapatan tiap bulan;
d.batas maksimum jumlah Penerbit Kartu Kredit yang dapat memberikan
fasilitas Kartu Kredit untuk 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit adalah 2
(dua) Penerbit Kartu Kredit;
e. persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu Kredit paling
kurang sebesar 10% (sepuluh persen) dari total tagihan. Pembatasan
pada huruf b dan huruf c tidak berlaku bagi calon Pemegang Kartu
Kredit dan Pemegang Kartu Kredit yang memiliki pendapatan di atas
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) tiap bulan.
5. Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka
4, Penerbit Kartu Kredit diwajibkan untuk melakukan:
a. pengkinian data Pemegang Kartu Kredit;
b.penyesuaian plafon kredit dan jumlah Penerbit Kartu Kredit yang dapat
memberikan Kartu Kredit terhadap Pemegang Kartu Kredit yang
76
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
77
memiliki pendapatan tiap bulan Rp3.000.000,00 (tiga juta Rupiah)
sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah); dan
c. pengakhiran dan/atau penutupan Kartu Kredit bagi Pemegang Kartu
Kredit yang memiliki pendapatan di bawah Rp3.000.000,00 (tiga juta
Rupiah). Untuk pelaksanaan dan penyelesaian ketentuan ini, Penerbit
Kartu Kredit diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung
sejak 1 Januari 2013.
6. Pembayaran Pemegang Kartu Kredit sebesar 10% (sepuluh persen) dari
total tagihan. atau lebih tetapi tidak penuh, harus dialokasikan oleh
Penerbit Kartu Kredit untuk pembayaran biaya dan denda apabila ada,
dan sisanya paling kurang sebesar 60% (enam puluh persen) untuk
pemenuhan kewajiban pokok transaksi.
7. Sebagai upaya peningkatan keamanan transaksi Pemegang Kartu Kredit,
Penerbit Kartu Kredit diwajibkan mengimplementasikan:
a. PIN paling kurang 6 (enam) digit sebagai sarana verifikasi dan autentikasi;
dan
b.transaction alert kepada Pemegang Kartu Kredit dengan menggunakan
teknologi layanan pesan singkat (short message service/sms) atau
sarana lainnya berdasarkan pilihan Pemegang Kartu Kredit, apabila
terdapat transaksi Kartu Kredit yang memenuhi kriteria:
1. transaksi terjadi di Pedagang (Merchant) yang menurut Penerbit
Kartu Kredit memiliki risiko tinggi (high risk Merchant);
2. transaksi terjadi dalam jumlah dan/atau nilai yang besar atau
menyimpang dari profil transaksi Pemegang Kartu Kredit;
3. transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang berbeda
lokasi dalam waktu yang relatif singkat;
4. transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang sama
untuk pembayaran pembelanjaan barang dan/atau jasa yang sama;
atau
5. transaksi pertama atas Kartu Kredit baru.
8. Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga
penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa
penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib memastikan bahwa:
a. tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait
dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang
berlaku;
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
78
b.identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh
Penerbit Kartu Kredit;
c. tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-
pokok etika penagihan sebagai berikut:
1. menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit
Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
2. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman,
kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan
Pemegang Kartu Kredit;
3. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan
secara fisik maupun verbal;
4. penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu
Kredit;
5. penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan
secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
6. penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan
atau domisili Pemegang Kartu Kredit;
7. penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan
pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan
8. penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud
pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar
persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit
terlebih dahulu.
Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang
menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu
Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi
penyelenggara APMK.
9. Dalam rangka mendukung kajian Bank Indonesia untuk penetapan suku
bunga maksimum Kartu Kredit, Penerbit diwajibkan menyampaikan
Laporan Laba Rugi (Profit/Loss Report) Kartu Kredit. Laporan ini wajib
disampaikan Penerbit Kartu Kredit kepada Bank indoensia secara berkala,
yaitu triwulanan.
10.Pemberlakuan secara efektif ketentuan dalam SEBI APMK ini diatur
sebagai berikut:
a. ketentuan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian seperti minimum
usia calon Pemegang Kartu Kredit, minimum pendapatan calon
RingkasanTanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
79
Pemegang Kartu Kredit, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum
perolehan Kartu Kredit, maksimum suku bunga Kartu Kredit, dan
penyampaian transaction alert, diberlakukan secara efektif per 1
Januari 2013;
b.ketentuan mengenai migrasi teknologi tanda-tangan menjadi PIN
paling kurang 6 (enam) digit untuk transakasi Kartu Kredit wajib
diselesaikan paling lambat 31 Desember 2014. Dengan demikian per
1 Januari 2015 penggunaan PIN paling kurang 6 (enam) digit untuk
transaksi Kartu Kredit sudah wajib diimplementasikan secara penuh;
dan
c. ketentuan-ketentuan lainnya diberlakukan sejak tanggal perubahan
SEBI APMK ini diterbitkan.
1. Transaksi Term Deposit valas merupakan transaksi penempatan dana
valuta asing milik peserta transaksi Term Deposit Valas secara berjangka
di Bank Indonesia.
2. Transaksi Term Deposit valas menggunakan mata uang US Dollar dengan
jangka waktu 7 hari, 14 hari dan 30 hari. Atas penempatan tersebut,
Bank Indonesia memberikan bunga.
3. Peserta Transaksi Term Deposit Valas adalah Peserta OPT yang merupakan
bank devisa. Dalam melakukan penawaran transaksi Term Deposit valas,
Peserta OPT dapat mengajukan penawaran secara langsung atau melalui
Lembaga Perantara.
4. Pokok pengaturan terkait transaksi Term Deposit valas adalah sebagai
berikut:
a.Dilakukan melalui mekanisme lelang via RMDS dengan metode fixed
rate tender atau variable rate tender.
b.Lelang diselenggarakan pada setiap hari Rabu atau hari kerja lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan window time antara pukul
08.00 – 16.00.
c. Pengumuman lelang dilakukan BI melalui Sistem LHBU atau sarana
lainnya yang ditetapkan oleh BI.
d.Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-
masing jangka waktu yang ditawarkan BI. Atas penawaran tersebut,
peserta transaksi hanya dapat mengajukan 1(satu) kali koreksi untuk
RingkasanTanggalPeraturan
14/18/DPM 8 Juni 2012
Perihal
Perubahan
Keempat Atas
Surat Edaran
Bank Indonesia
No. 12/18/DPM
tanggal 7 Juli
2010 Perihal
Operasi Pasar
Terbuka
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
setiap penawaran dengan tetap memenuhi persyaratan pengajuan
penawaran.
e. Bank Indonesia mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang
melalui Sistem LHBU dan melakukan konfirmasi kepada pemenang
lelang secara individual melalui RMDS atau sarana lainnya.
f. Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi Term Deposit valas pada
2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, dimana setelmen dilakukan
untuk setiap 1 (satu) deal ticket.
g.Pada tanggal setelmen, Peserta Transaksi Term Deposit Valas wajib
mentransfer kewajiban setelmen transaksi Term Deposit valas untuk
setiap penawaran yang dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di
bank koresponden.
h.Dalam hal peserta tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen maka
transaksi dianggap batal dan peserta dikenakan sanksi.
5. Peserta transaksi dapat mengajukan early redemption atas Term Deposit
valas yang berjangka waktu paling singkat 3 hari setelah setelmen
transaksi Term Deposit valas. Pengajuan dimaksud dapat diajukan setiap
hari kerja kecuali pada hari pelaksanaan lelang melalui RMDS.
6. Peserta Transaksi Term Deposit Valas dapat mengajukan pengalihan
transaksi Term Deposit valas menjadi transaksi FX Swap dalam hal
membutuhkan likuiditas rupiah, yaitu FX Swap jual USD/IDR Bank Indonesia.
Pokok pengaturan terkait pengalihan transaksi Term Deposit valas menjadi
FX Swap adalah sebagai berikut:
a. Pengajuan pengalihan dilakukan melalui RMDS.
b.FX Swap yang berasal pengalihan Term Deposit dilakukan dengan
jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) hari.
c. Setelmen pengalihan transaksi Term Deposit valas dilakukan T+2 dari
tanggal pengajuan pengalihan, dimana BI akan melakukan pencatatan
pengalihan valas dari early redemption Term Deposit valas menjadi
sumber dana untuk setelmen valas transaksi FX Swap dan mengkredit
Rekening Giro rupiah peserta transaksi FX Swap di BI, sebesar ekuivalen
nilai tunai early redemption dalam rupiah.
d.Pada tanggal setelmen second leg FX Swap, Bank Indonesia mendebet
Rekening Giro peserta transaksi FX Swap sebesar nilai tunai dalam
rupiah dan melakukan transfer valas ke rekening peserta transaksi FX
Swap di bank koresponden sebesar nilai nominal valas FX Swap.
RingkasanTanggalPeraturan
80
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
81
e. Dalam hal pada tanggal setelmen second leg peserta transaksi FX
Swap tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi
kewajiban setelmen, maka wajib membayar nominal transaksi pada
hari kerja berikutnya.
f. Atas keterlambatan pemenuhan kewajiban setelmen tersebut, peserta
transaksi FX Swap dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban
membayar.
7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2012.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan perubahan atas SE
BI No.11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain
Bank Indonesia. Perubahan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
ini terkait dengan pemberian bantuan keuangan yang diberikan oleh
Bank Indonesia kepada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL) Selain Bank
Indonesia.
2. Setelah berlakunya SE BI ini, maka nilai nominal bantuan keuangan per
bulan akan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Departemen Akunting
dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Sebelumnya, besar nilai nominal
bantuan keuangan per bulan ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) sebagaimana diatur dalam SE BI No.11/15/DASP.
3. Bantuan keuangan diberikan kepada PKL Selain BI sesuai criteria sebagai
berikut:
TanggalPeraturan Ringkasan
14/19/DASP 26 Juni 2012
Perihal
Perubahan Surat
Edaran Bank
Indonesia Nomor
11/15/DASP
tanggal 18 Juni
2009 perihal
Penyelenggaraan
Sistem Kliring
Nasional Bank
Indonesia oleh
Penyelenggara
Kliring Lokal
Selain Bank
Indonesia
Jumlah Bank *)
Kriteria
Rata-rata Harian Wark at Kliring Penyerahan Selama 1 Bulan
Jumlah Bantuan Keuangan
³ 4 < 30 wark at 50%
30 ² wark at ² 500 100%
500 < wark at ² 1000 150%
> 1000 wark at 200%
< 4 ³ 0 wark at 0%
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
82
4. PKL Selain BI dapat menetapkan iuran kepada Peserta jika bantuan
keuangan yang diberikan oleh Bank Indonesia tidak dapat menutupi
seluruh biaya operasional dalam penyelenggaraan SKNBI. Besarnya iuran
dan perhitungan biaya operasional yang menjadi dasar penetapan iuran
wajib disampaikan kepada dan disetujui oleh seluruh Peserta di Wilayah
Kliring yang bersangkutan. Penggunaan bantuan keuangan dan iuran
Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI wajib dilaporkan secara triwulanan
kepada Peserta.
5. Kantor pusat Bank wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Bank
Indonesia mengenai:
a. pendistribusian dan besarnya nilai nominal bantuan keuangan; dan
b.besarnya iuran yang ditetapkan oleh masing-masing kantor yang
menjadi PKL Selain BI,
6. Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut Bab IV mengenai Bantuan
Keuangan dalam SE BI No.11/15/DASP.
LATAR BELAKANG PENGATURAN
Mengatur lebih lanjut pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.13/25/PBI/2011
tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain dan PBI
No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan PBI
No.14/2/PBI/2012.
SUBSTANSI PENGATURAN
1. Menjelaskan lebih lanjut penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko atas pelaksanaan Alih Daya oleh Bank, yang mencakup:
a.Melakukan analisis dan penilaian Perusahaan Penyedia Jasa (PPJ);
b.Menyusun perjanjian Alih Daya dengan PPJ sesuai dengan cakupan
minimum perjanjian yang dipersyaratkan dalam PBI;
c. Menerapkan manajemen risiko secara efektif atas pelaksanaan Alih
Daya;
d.Memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
e. Melakukan upaya-upaya dalam rangka memberikan perlindungan hak
dan kepentingan nasabah.
RingkasanTanggalPeraturan
14/20/DPNP 27 Juni 2012
Perihal Prinsip
Kehati-hatian
bagi Bank
Umum yang
Melakukan
Penyerahan
Sebagian
Pelaksanaan
Pekerjaan
Kepada Pihak
Lain
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
83
RingkasanTanggalPeraturan
2. Menjelaskan bahwa pelaksanaan penyerahan pekerjaan yang spesifik
kepada pihak lain tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia lainnya
yang mengaturkegiatan/pekerjaan yang spesifik, termasuk pelaksanaan
Alih Dayanya.
3. Menjelaskan pengertian pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang
beserta contohnya.
4. Menjelaskan bahwa Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya
dengan PPJ berbadan hukum Indonesia yang berbentuk Perusahaan
Terbatas (PT) atauKoperasi.
5. Menjelaskan upaya yang harus dilakukan oleh bank sehubungan dengan
pelaksanaan Alih Daya tidak menghilangkan tanggung jawab Bank dalam
memberikan perlindungan terhadap hak dan kepentingan nasabah,
antara lain dengan:
a.Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh PPJ
secaraberkala; dan
b.Melakukan langkah-langkah perbaikan dengan segera dan efektif
atas permasalahan yang teridentifikasi, sehingga pelaksanaan pekerjaan
tetap berjalan dengan baik dan kepentingan nasabah terlindungi.
6. Menambah penjelasan penyerahan pekerjaan yang tidak menjadi cakupan
Alih Daya, seperti:
a. Penyerahan pekerjaan kepada kantor pusat atau kantor wilayah Bank
yang berkedudukan di luar negeri, perusahaan induk, dan entitas lain
dalam satu kelompok usaha Bank di dalam maupun di luar negeri,
sepanjang penyerahan pekerjaan tersebut tetap tunduk pada ketentuan-
ketentuan Bank Indonesia lainnya yang mengatur kegiatan/pekerjaan
yang spesifik, termasuk pelaksanaan Alih Dayanya, serta dengan
memperhatikan kesesuaian dan kewajaran penyerahan pekerjaan
dimaksud.
b.Penyerahan pekerjaan jasa konsultansi atau keahlian khusus, misalnya
jasa konsultan hukum, jasa notaris, jasa penilai independen (appraisal),
dan akuntan publik.
c. Penyerahan pekerjaan jasa pemeliharaan barang dan gedung, misalnya
pemeliharaan mesin pendingin ruangan (Air Conditioner/AC), fotocopy,
komputer, dan printer serta jasa pemeliharaan gedung kantor Bank.
TanggalPeraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
7. Menjelaskan prinsip kehati-hatian dalam penyerahan pekerjaan penagihan
kredit, diantaranya:
a.Cakupan penagihan kredit dalam ketentuan ini adalah penagihan
kredit secara umum, termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan
utang kartu kredit.
b.Penagihan kredit yang dapat dialihkan penagihannya kepada pihak
lain adalah kredit dengan kualitas Macet sesuai ketentuan Bank
Indonesia mengenai penilaian kualitas aset bank umum.
c. Perjanjian kerjasama antara Bank dan PPJ harus dilakukan dalam
bentuk perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja.
d.Bank wajib memiliki kebijakan etika penagihan, yang paling kurang
mencakup hal-hal sebagaimana dijabarkan dalam SE, misalnya:
1. Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain debitur;
2. Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan
secara terus menerus yang bersifatmengganggu;
3. Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan
pukul 20.00 wilayah waktu debitur
4. penagihan di luar waktu diatas hanya dapat dilakukan atas dasar
persetujuan dan/atau perjanjian dengan debitur;
5. Petugas penagih wajib menggunakan kartu identitas resmi yang
dikeluarkan oleh Bank, yang dilengkapi dengan foto diri yang
bersangkutan; dan
6. Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan
atau domisili debitur.
8. Menjelaskan prinsip kehati-hatian dalam penyerahaan pekerjaan
pengelolaan kas, diantaranya:
a. Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan PPJ yang
memenuhi persyaratan, misalnya:
1. Berbadan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas
(PT);
2. Memiliki ijin operasional sebagai perusahaan jasa kawal angkut
uang tunai dan barang berharga yang masih berlaku dari instansi
yang berwenang;
3. Memiliki sumber daya manusia dengan kuantitas dan kualitas yang
dapat mendukung pelaksanaan pengelolaan kas Bank.
4. Memiliki mesin hitung dan mesin sortir yang dapat mendeteksi
keaslian fisik uang, memiliki khazanah untuk menyimpan uang
tunai Rupiah, dan memiliki infrastruktur dan sarana angkutan yang
memenuhi persyaratan standar keamanan.
RingkasanTanggalPeraturan
84
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
85
RingkasanTanggalPeraturan
b.Adanya kewajiban PPJ untuk menjamin dan mengasuransikan seluruh
uang tunai milik Bank yang berada dalam pengelolaan PPJ tersebut.
c. Kesediaan PPJ untuk memberikan akses pemeriksaan kepada Bank
Indonesia.
9. Menjelaskan format, substansi, waktu dan alamat penyampaian laporan
Alih Daya.
10.Memberikan Lampiran contoh dan penjelasan beberapa pekerjaan pokok
dan pekerjaan penunjang.
11.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
1. Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini dilakukan dalam
rangka harmonisasi dengan SE BI No. 13/6/DPNP tanggal 18 Februari
2011 perihal Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko
untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar.
2. Pokok-pokok pengaturan penyempurnaan SE BI ini antara lain:
a. perubahan kategori pembobotan dalam perhitungan Risiko Spesifik
untuk Risiko Suku Bunga yang merupakan bagian dari perhitungan
ATMR untuk Risiko Pasar dengan menggunakan metode standar.
b.perhitungan Risiko Spesifik dari surat berharga ditentukan dari:
a. kategori penerbit; dan
b. peringkat dan/atau sisa jatuh tempo.
3. Penyempurnaan pengaturan ini mengubah Formulir I.a Lampiran 2 terkait
dengan Risiko Spesifik. Selama pelaporan Risiko Spesifik tersebut belum
dapat dilakukan secara online melalui Laporan Berkala Bank Umum
(LBBU), laporan disampaikan secara offline.
4. Laporan secara offline tersebut disampaikan secara bulanan untuk posisi
setiap akhir bulan dan disampaikan pada periode penyampaian I
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai LBBU.
5. Laporan tersebut disampaikan pertama kali untuk posisi akhir bulan
Agustus 2012 yang disampaikan pada periode penyampaian I di bulan
September 2012.
TanggalPeraturan
14/21/DPNP 18 Juli 2012
Perihal Perubahan
atas Surat Edaran
Bank Indonesia
Nomor 9/33/DPNP
tanggal 18
Desember 2007
perihal Pedoman
Penggunaan
Metode Standar
dalam Perhitungan
Kewajiban
Penyediaan Modal
Minimum Bank
Umum dengan
Memperhitungkan
Risiko Pasar