Download - BIOGRAFI ALI SYARIATI
Ali syariati Ali syariati
Ali Syari'atiDari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cariAli Shariati
Ali Shariati (bahasa Persia: شريعتی adalah (1977–1933) (علیseorang sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama.
Biografi
Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah suburban dari Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.
Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan adA memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat
modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.
Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.
Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.
Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Shariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian
Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
Buku-buku dan ceraman-ceramah Shariati yang terpenting
1. The Pilgrimage (Hajj) (Haji)2. Where Shall We Begin? (Di Mana Kita Harus Mulai?)3. Mission of a Free Thinker (Misi Seorang Pemikir Bebas)4. The Free Man and Freedom of the Man (Manusia Bebas
dan Kebebasan Manusia)5. Extracton and Refrinement of Cultural Resources
(Penggalian dan Peningkatan Sumber-sumber Budaya)6. Martyrdom (Mati Syahid) (buku)7. Arise and Bear Witness (Bangkit dan Bersaksilah)
8. An approach to Understanding Islam (Suatu Pendekatan untuk Memahami Islam)
9. A Visage of Prophet Muhammad (Gambaran tentang Nabi Muhammad)
10. A Glance of Tomorrow's History (Sekilas tentang Sejarah Masa Depan)
11. Reflections of Humanity (Refleksi tentang Umat Manusia)12. A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation
(Manifestasi tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri)13. Selection and/or Election (Seleksi dan/atau Pemilihan)14. Norouz, Declaration of Iranian's Livelihood, Eternity
(Norouz, Deklarasi tentang Kehidupan Iran, Kekekalan)15. Expectations from the Muslim Woman (Tuntutan-tuntutan
terhadap Perempuan Muslim)16. Horr (Pertempuran Karbala)17. Abu-Dahr18. Islamology (Islamologi)19. Red Shi'ism vs. Black Shi'ism (Syiah Merah vs. Syiah
Hitam)20. Jihad and Shahadat (Jihad dan Syahadat)21. Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of
Oppressed People (Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas)
22. A Message to the Enlightened Thinkers (Pesan kepada Para Pemikir yang Tercerahkan)
23. Art Awaiting the Saviour (Seni Sedang Menantikan Juruselamat)
24. Fatemeh is Fatemeh (Fatemeh adalah Fatemeh)25. The Philosophy of Supplication (Filsafat Syafaat)
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Kutipan tentang Shariati
“Saya tidak mempunyai agama, tapi kalau saya harus memilihnya, itu adalah agama Shariati” (Jean-Paul Sartre)
Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam: Pandangan Ali Syari’ati
Oleh : Anjar Nugroho
Ali Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kemepimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam.
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh – yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah. Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah “dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam sejati”
Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran, termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan nasionalisme Iran. Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih atau dewan fuqahâ.
Berbeda denagn Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para ulama. Sebaliknya tidak jarang Syari’ati dituduh oleh
sementara ulama sebagai “agen Sunni, Wahabiyah, dan bahkan Komunisme”.
Menurut Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan. Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih dari itu, kediktatoran – kaum intelektual.
Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang bersar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
H.E. Chelabi adalah salah seorang yang sependapat dengan Syari’ati tentang ketidakberhakan kelompok ulama secara otomatis menjadi pemimpin politik. Sebagaimana digambarkannya:
Ayâtullah Shariatmandari repeatedly stated his opposition to having popular soverighnity restricted. Arguing that “member of clergy, whose role is a spiritual one, should not interface in affair of state”, he would accept a political leadership role for the clergy only when the state passed
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
anti-Islamic legislation, or the event of a temporary power vacuum. (Ayâtullah Shariatmandari berulang-kali menyatakan oposisinya untuk mempunyai kedaulatan rakyat terbatas. Membantah bahwa “anggota ulama, siapa yang berperan dalam bidang spiritual , mestinya tidak terlibat dalam urusan negara”, ia akan menerima peran kepemimpinan politik untuk ulama sekedar hanya ketika negara menerapkan perundang-undangan yang tidak Islami, atau ketika terjadi kekosongan kekuasaan.)
Hal ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol, dan partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem politik demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipasi politik rakyat, merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pandangan ini umumnya dianut oleh tokoh-tokoh “nasionalis-liberal” seperti Mehdi Bazargan, Abu al-Hasan, dan Bani Sadr.
Syari’ati kembali menegaskan bahwa yang berhak menjadi pemimpin umat adalah intelektual yang tercerahkan. Mereka adalah orang yang terpanggil untuk memperbaiki nasib umat dari ketertindasan dan mengembalikah hak-hak rakyat agar mereka bisa menikmati kehidupan berkeadilan tanpa tanpa harus merasa khawatir terjadi kesewenang-wenangan atas mereka. Rausanfikr, merujuk kepada mereka yang melakukan tugas mental (sebagai alawan tugas manual). Tidak semua intelektual adalah tercerahkan, tetapi menurut Syari’ati, hanya sebagian darinya. Ia mencontohkan, misalnya, Sattar Khan adalah orang yang tercerahkan tapi bukan seorang intelektual yang bergelar, sementara Allamah Muhammad Qaznivi adalah seorang intelektual tetapi tidak tercerahkan.
Secara khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan
orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan pranan para nabi dan pendiri agama-agama besar – yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat.
Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa kelas” (classes). Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun sosial:
Although not a prophet, an enlightened soul should play the role of the prophet for his society. He should preach the call for awareness, freedom and salvation to the deaf and unhearing ears of the people, inflame the fire of a new faith in their hearts, and show them the social direction in their stagnant society. This is not a job for the scientists, because they have a clear-cut responsibility: understanding the status quo and discovering and employing the forces of nature and of man for the betterment of the material life of the people. Scientists, technicians, and artists provide
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
scientific assistance to their nations, or to the human race, in order to help them to improve their lot and be better at what “they are.” Enlightened souls, on the other hand, teach their society how to “change” and toward what direction. They foster a mission of “becoming” and pave the way by providing an answer to the question, “What should we become?” (Meskipun bukan Nabi, pemikir yang tercerahkan harus memainkan peranan sebagai Nabi bagi masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka, dan menunjukkan kepada mereka arah sosial dalam masyarakat mereka yang mandek. Ini bukanlah tugas para ilmuwan, sebab mereka mempunyai tanggungjawab yang pasti: memahami status quo dan menemukan serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam dan daya manusia untuk memperbaiki kehidupan material rakyat. Para ilmuwan, teknisi, dan seniman memberikan bantuan ilmiah kepada bangsa mereka, atau kepada umat manusia, untuk memperbaiki nasib mereka agar keadaanya emnjadi lebih baik. Orang-orang yang tercerahkan, sebaliknya, mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarah ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi “menjadi” dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan menjadi apa kita ini?”.
Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan
dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal.
Peran rausanfikr dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak.
Bagi Syari’ati, rausanfikr adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosial-politik akibat peran katalis rausanfikr.
Dari seluruh bangunan pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi di atas, sumbangan terbesar Syari’ati sebenarnya bukan dalam
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
kekuatannya sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu sosial “Barat” yang selama ini dibangun di atas power/knowledge dalam era kolonialisme. Sumbangan dia yang paling monumental adalah tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami “ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Dengan teori politiknya yang menyatakan bahwa dunia ketiga, seperti Iran, membutuhkan “double movement” atau gerakan ganda revolusi, yaitu pertama, revolusi nasional yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan dari imperialisme Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi warisan kebudayaan dan identitas nasional (to vitalize the country’s culture, heritage, and national identity). Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk mengahapus kesenjangan kelas, kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua macam revolusi itu dapat dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka – para rausanfikr itu – dapat menjadi agen yang baik jika dalam kesadaran jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.
Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomeini tertuang gagasannya tentang Wilayah al-Faqih. Istilah Wilâyah al-Faqîh (Velayat-i Faqih atau Wilayat-i Faqih atau Wilâyatul Faqîh) diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “governance by the yurisprudent”, atau “guardiarship of the juristconsult”, “ atau
“mandate of the jurist” atau “the purported authority of the yurisprudent”. Lihat Michael M.J. Fischer, Iran: From Religious Dispute to Revolution (Cambridge: Harvard University Press, 1980), hlm. 153. Wilâyah al-Faqîh mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang negara dan juga tujuan yang ingin dicapainya. Wilâyah al-Faqîh juga merupakan “blue print” bagi suatu reorganisasi masyarakat, dan merupakan sebuah “handbook” bagi Revolusi Islam Iran. Lihat A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian ( Bandung: Mizan, 2000), hlm. 61
Syarat-syarat seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; 2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlaq yang tinggi; 3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 4) jenius; 5) memiliki kemampuan administratif; 6) bebas dari segala pengaruh asing; 7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar denagn nyawanya; dan hidup sederhana. Lihat Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic Cultural Centre, 1983), hlm. 52-53
Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan yang mengikat dalam masalah yang emmpengaruhi kesejahteraan umat manusia.
Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 197
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik…, hlm. 63
Erward Mortimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 322
Ervand Abrahamian, Radical Islam: The Iranian Mojahedin (London: I.B. Tauris, 1989), hlm. 112-113
Jalaluddin Rakhmad, “Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab”, pengantar dalam Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 25
H.E. Chehabi, “Religion and Politics in Iran”, dalam Daedalus, Volume 120, No. 3 (Summer 1991: 69-91), hlm. 77
‘ILMU MUNÂSABAH :Menuju Pemahaman Holistik al-Qur’an
Oleh : Anjar Nugroho
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum dei) yang sekaligus
merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW
dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan
cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang
kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang
disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan
basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam
segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan
Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa
pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan
pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.
Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).
‘Ilm Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).
B. Pengertian
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut
bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh
kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan).
Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara
sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam
pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam
Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya,
mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar
ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan
ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia
mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan
bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya
menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya
tersusun harmonis”
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-
Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti
muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut
istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai
hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan
satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama
surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara
fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat
pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan
satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan
antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara
penutup surat dengan awal surat
Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an
didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural
yang bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ‘ilm munâsabah
dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan
tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain
di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak
yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan –hubungan
itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan)
yang dalam dan luas mengenai teks.
C. Postulat dan Alas Teoritik
Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaikan satu ayat atau
sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah
melampui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk
mencari sisi kaitan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu
yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari
“urutan turunnya ayat”.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu
surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah
ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi
mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam
mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi (pengurutannya
berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).
Nasr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer,
berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai
tauqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan
konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh mahfudz.
Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan”
merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan
penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan
“persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang
berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-
Qur’an mengesankan al-Qur’an memberuikan informasi yang tidak
sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini
menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi
sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian
dari I’jaz al-Qur’an aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka
dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-
Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm
munâsabah.
Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga
telah disinggung di muka, merupakan kesatuan struktural yang
bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an
menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti.
Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai
kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten)
dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman
menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam
dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan
kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat
Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara
terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan
“atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan
hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak
dimaksudkan sebagai hukum.
Fazlur Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi
(w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-
muwafiqat, tentang betapa mendesak dan amsuk akalnya untuk
memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.
Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-Qur’an adalah
“prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-
bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah
respon spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa
langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah
kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali
dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil
inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea
moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan
untuk menjawab problem-problem kekinian.
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-
Qur’an tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang
memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh
para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum
bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik.
‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk
melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan
“perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu
dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan
antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.
D. Bentuk-Bentuk munâsabah
a. Munâsabah antarsurat
Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan
holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu
kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara
integral”. Pembahasan tentang munâsabah antarsurat dimulai
dengan memposisikan surat al-Fatihah sebagai Ummu al-
Kitab (induk al-Qur’an), sehingga penempatan surat tersebut
sebagai surat pembuka (al-Fâtihah) adalah sesuai dengan
posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an.
Penerapan munâsabah antarsurat bagi surat al-Fâtihah
dengan surat sesudahnya atau bahkan keseluruhan surat
dalam al-Qur’an menjadi kajian paling awal dalam
pembahasan tentang masalah ini.
Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di
dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-
hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang sistem
ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat
dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-
Fâtihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk
Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir,
yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di
berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas
yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an.
Ayat 5 surat al-Fâtihah (Ihdina ash-shirâtha al-mustaqîm)
mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan
yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim.
Dzalika al-kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar
itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan
teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munâsabah).
Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak
dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali
Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil”
dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-
Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama,
sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-
raguan para musuh Islam”.
Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran
dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab
dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan
dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’)
banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan
sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya
dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang
mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi,
baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya
merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran
lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat,
maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-
An’am dan surat al-A’raf.
b. Munâsabah antarayat
Kajian tentang munasabah antarayat, sama seperti kajian
tentang munasabah antarsurat, berusaha menjadikan teks
al-Qur’an sebagai kesatuan umum yang mengacu kepada
berbagai hubungan yang mempunyai corak – dalam istilah
yang dipakai Abu Zaid – “interptretatif”. Abu Zaid dalam
mengkaji munasabah antarayat tidak memasukkan unsur
eksternal, dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti di
luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti
itu sendiri.
Dalam memberi contoh munasabah antarayat, penulis
akan mengemukakan bagaimana Muhammad Syahrour
menafsirkan dan mengaitkan satu ayat dengan ayat lain
untuk menampilkan makna otentik, yang dalam hal ini
penulis pilihkan tentang masalah poligami. :
Al-Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat 3 adalah ayat yang
menjadi rujukan fundamental (dan satu-satunya) dalam
urusan poligami dalam ajaran Islam :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa’/4:3)
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Syahrur (1992) dalam magnum opus-nya al-Kitâb
wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah, menjelaskan kata
tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ berasal dari
kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai
dua pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama
adalah al-‘adlu (Q.S. al-Mâidah/5:42, al-Hujarât/49:9, al-
Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang kedua adalah
al-Dzulm wa al-jŭr (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-
adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-
istiwa’ (baca sama, lurus) dan juga bisa berarti al-a’waj
(bengkok). Di sisi lain ada berbedaan dua kalimat tersebut,
al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari
dua sisi.
Dari makna mufradat kata-kata kunci (key word)
Q.S an-Nisa’/4:3 menurut buku al-Kitâb wa-al-Qur’ân :
Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrur, maka diterjemahkan
dalam versi baru (baca : Syahrur) ayat itu sebagai berikut :
“Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil
antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri
jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu
bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang
yatim), maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau
empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-
anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau
budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih
menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara
anak-anak yatim)”
Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai)
dari ayat sebelumbya “wa in …” yang merupakan kalimat
bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ, “Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta
mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakana (menukar dan
memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’/4:2)
Dan jika teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrur
diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka kan
memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm
(secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan
bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang
diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin
seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah
maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala
seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka
dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan
oleh Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat,
maka dia telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini
yang telah disepakati selama empat belas abad yang
silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi
bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-
kayf).
Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini
adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr
(perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur
mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat
yang termaktub memakai shighah syarth, jadi seolah-olah,
menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba
lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan
syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”.
Dengan kata lain untuk istri pertama tidak disyaratkan
adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau
janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat
dipersyaratkan dari armalah/ (janda yang mempunyi anak
yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih
dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya
yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan
pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil
kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak
yatim dari istri-istri berikutnya.
Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat
penutup ayat :”dzâlika adnâ an lâ ta’ūlū”. Karena ya’ūlū
berasal dari kata aul artinya katsratu al-iyâl (banyak anak
yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya
tindak kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka.
Maka ditegaskan kembali oleh Syahrur, bahwa ajaran
Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau
keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu,
akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah
pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
poligami di sini tidak dituntut adâlah (keadilan) antar istri-
istrinya (lihat firman Allah Q.S. al-Nisa’/4:129).
Bentuk lain munasabah antar ayat adalah tampak
dalam hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir
dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya
dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi “qad
aflaha al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut
berbunyi “innahu la yuflihu al-kafirun”. Ayat pertama
menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang
mu’min, sedangkan ayat kedua tentang
ketidakberuntungan orang-orang kafir.
Munasabah antar surat ini juga dijumpai dalam
contoh misalnya kata muttaqin dalam surat al-Baqarah : 2,
dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi informasi
tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).
DAFTAR PUSTAKA
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995
Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.
Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Polaritas Masyarakat dalam Pemikiran Ali Syari’ati dan Imam Khomeini
Mohammad Subhi-Ibrahim
Peta politik internasional, khususnya kawasan Timur Tengah, akhir tahun 70-an mengalami pergeseran signifikan. Di tengah perang dingin antara kekuatan Amerika dengan sekutunya, NATO, via-a-vis Uni Soviet dengan Pakta Warsawa, muncul fenomena mengejutkan, yaitu tampilnya kekuatan tradisional Islam-Syi’ah Iran ke pentas politik menggulingkan pemerintahan sekuler Muhammad Reza Pahlevi (Syah Iran).
Revolusi Islam Iran (11 Februari 1979) menarik untuk dikaji. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa Revolusi Islam Iran itu layak untuk dicermati: Pertama, fenomena Revolusi Islam Iran merupakan salah satu bentuk kontradiksi-paradoksal dari proses modernisasi di negara dunia ketiga, terutama di Iran. Kontradiksi-paradoksal dalam arti bahwa proses modernisasi yang memangkas peran agama dalam fungsi sosial-politik, ternyata, di satu sisi menyebabkan peran agama terpinggir, tetapi di sisi lain mengentalkan sentimen keagamaan para pemeluknya. Keotentikan dan identitas kaum beragama yang terancam modernisme mengkristal menjadi gerakan-gerakan sosial, politik, dan kultural yang tidak sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol agama sebagai basis aktivitasnya.
Kedua, pengaruh Revolusi Iran telah menerobos seluruh penjuru dunia Islam, mulai dari Maroko sampai ke Indonesia, dari Bosnia di jantung Eropa sampai ke Afrika. Oleh karena itu, dampak revolusi tersebut sangat berpotensi mengubah peta konstelasi politik regional, khususnya kawasan Timur Tengah, maupun internasional.
Ketiga, Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran adalah akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran, bukan hanya ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars) dan intelektual.
Citra yang tertangkap secara umum ketika kita menelaah Revolusi Islam Iran adalah citra sebuah revolusi para mullah dengan instrumen ideologi religius murni. Citra tersebut mengakibatkan pemerintahan Iran pasca Revolusi Februari 1979 kerap dituding dengan istilah mullahocracy (kekuasaan kaum mullah). Namun, bila disorot secara lebih tajam dan cermat, sesungguhnya, ada pula konstruk ideologis semi-religius.
Secara simplistik, ada dua gugus ideologi yang menjadi pilar Revolusi Islam Iran, yaitu: ideologi religius tradisional Syi’ah yang diusung oleh para ulama atau mullah, dan ideologi semi-religius yang tetap berbasis atas peristilahan-peristilahan Syi’ah, tetapi dibawa oleh para intelektual berlatar pendidikan sekuler. Dalam kategori pertama bisa disebut dua nama yang paling populer, yaitu Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini dan Ayatullah Murtadha
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Muthahhari. Pada kategori kedua yang paling menonjol adalah Ali Syari’ati, Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr. Meski punya misi-praktis yang sama, yaitu menggulingkan rezim represif Syah Iran, kedua kelompok ideologis ini kadang saling berhadap-hadapan.
Yang paling sering disinggung dalam studi-studi tentang para ideolog Revolusi Iran adalah Khomeini. Tokoh-tokoh yang lain seakan tenggelam di bawah bayang-bayang nama besarnya. Memang harus diakui, dengan berbekal kecerdasan dan kharismanya, Khomeini mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang berbeda-beda di Iran saat itu yang menuntut penghapusan monarki. Lalu, apakah fungsi Khomeini dan Syari’ati dalam Revolusi Iran tersebut? Sebagaimana diungkap John L. Esposito, Khomeini, dalam Revolusi Islam Iran, lebih berperan sebagai pemimpin revolusi, sedangkan perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah Ali Syari’ati. Bahkan menurut Nikki R. Keddie, "Ali Syari’ati-lah yang telah sangat mempersiapkan (secara ideologis, MS) orang muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan ini akan mencoba menelusuri basis pemikiran sosial Syari’ati tentang polaritas masyarakat dan membandingkannya dengan gagasan Imam Khomeini seraya mencari titik temu, benang merahnya.
Kutub Habil Versus Kutub Qabil
Inti filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua kutub dialektis. Pandangan tentang polarisasi masyarakat merupakan wujud konsistensi Syari’ati dalam mempertahankan kaca mata analisis dialektika. Secara lebih spesifik, Syari’ati
menyatakan, "Sosiologi pun berdasarkan dialektika." Jadi, dialektika sosiologi adalah refleksi atas masyarakat (sosiologi) yang didasarkan pada konsep dialektika.
Masyarakat, seperti telah dikemukakan di muka, memiliki super-struktur, yang di dalamnya terdapat struktur dan mekanisme ekonomi (cara produksi, relasi produksi, alat-alat dan barang). Struktur tidak ditentukan oleh mekanisme ekonomi. Struktur bersifat mandiri (independent) terhadap semua kinerja dan mekanisme ekonomi. Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap, yang dalam konsep Syari’ati disebut sebagai struktur Habil dan struktur Qabil, mengambil dua sosok anak Adam. Sisi beda kedua struktur itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Kategori Perbedaan
Struktur Habil Struktur Qabil
Posisi Individu
Individu menentukan nasibnya sendiri (otonom)
Nasib individu ditentukan oleh kelompok pemilik modal
Kepentingan yang diperjuangkan
Kepentingan masyarakat
Kepentingan pribadi atau pemiliki modal (kapitalis)
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Oleh karena masyarakat memiliki dua struktur tersebut, maka masyarakat pun terbagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Qabil dan kutub Habil. Syari’ati memakai istilah "kutub masyarakat" dalam pengertian "kelas sosial". Jadi, kutub masyarakat sama dengan kelas sosial, juga sebaliknya. Syari’ati, dalam On Sociology of Islam, mengunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Kutub Qabil : Kelas Penguasa
Kutub Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat. Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang disebutkan oleh Syari’ati, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya.
Pada tahap-tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang, kutub ini memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang individu. Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan aristokrat) pada dirinya. Ia mewakili muka Qabil. Sementara itu, dalam tahap evolusi sosial yang lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius.
Al-Quran, sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk ketiga manifestasi
Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan sifat tiga wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir'aun, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan oleh tokoh Balaam Bauri. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil. Syari’ati menjelaskan ketiga manifestasi Qabil secara panjang lebar dalam Haji.
Di sepanjang sejarah, anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat manusia. Begitu masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan sistem-sistemnya menjadi lebih rumit; dan begitu timbul pembagian-pembagian, spesialisasi-spesialisasi, dan klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin, mengubah wajahnya! Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis, di dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despostisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika kekuatan ini dapat dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme (tauhid). Fir'aun: lambang penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital dan kapitalisme; Balaam: lambang kemunafikan (religius).
Dalam realitas konkret, Fir'aun diwujudkan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan politik, dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan fasisme. Qarun diwujudkan oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar. Mereka memandang ekonomi
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan Balaam diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.
Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang. Fir'aun merestui perampokan sistematis dan prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun mendukung kerja intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir'aun menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis doktrin untuk melegitimasikan rezim Fir'aun, bahwa keberadaan Fir’aun kekuasaan Tuhan. Ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil itu disebut trinitarianisme-sosial.
Kutub Habil: Kelas yang Dikuasai
Berseberangan dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas). Syari’ati menggambarkan ketertindasan kutub Habil ini secara dramatik dalam beberapa karyanya, seperti Yea, Brother! That's the Way It Was.
Dalam buku itu Syari’ati menceritakan tentang kekagumannya pada monumen-monumen besar, seperti Piramida di Mesir. Namun, kekaguman tersebut mendadak sirna ketika ia menyadari bahwa monumen-monumen itu dibangun di atas penderitaan para budak yang dengan tenaga, keringat, bahkan nyawanya terpaksa
mengikuti keinginan penguasa untuk menciptakan simbol budaya tersebut. "Aku benci dan marah! Kulihat peradaban sebagai suatu kutukan. Ia dihasilkan dari ribuan tahun penindasan dan perbudakan," tulis Syari’ati. Para budak adalah wujud nyata kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya, yang menarik dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah Swt —dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari’ati berpendapat bahwa Allah Swt, dalam al-Quran menjadi sinonim dengan al-nas. Menurutnya, kedua ungkapan tersebut kerap saling menggantikan dan semakna. Umpamanya, Syari’ati memberi contoh QS. Al-Taghabun ayat 17 yang berbunyi, "Jika kalian meminjamkan pinjaman yang baik kepada Allah". Syari’ati menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Allah adalah al-nas, manusia atau rakyat, karena Allah sama sekali tak membutuhkan pinjaman dari kita.
Masalah sinonimasi Allah dan al-nas perlu diklarifikasi karena bisa mengundang kesalahpahaman. Syari’ati menyamakan kata al-nas dengan Allah dalam wacana sosial, bukan wacana akidah seperti tata kosmos. Jelas, Syari’ati membedakan ranah (domain) diskursus. Dalam ranah teologis, Allah berbeda dengan al-nas. Namun, pada ranah sosiologis, istilah Allah dan al-nas adalah sinonim.
Lebih jauh Syari’ati memaparkan bahwa sinonimasi kata Allah dan al-nas tersebut bermakna: bila disebutkan "kekuasaan berada di tangan Allah", maka berarti kekuasaan berada di tangan rakyat bukan di tangan mereka yang mengaku dirinya sebagai wakil atau anak Tuhan, atau kerabat Tuhan atau sebagai Tuhan itu sendiri.
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Bila dikatakan bahwa, "hak milik adalah kepunyaan Allah", maka bermakna bahwa kapital adalah kepunyaan rakyat, bukan milik Qarun. Selanjutnya, bila dituturkan, "agama adalah kepunyaan Allah", maka itu bermaksud bahwa keseluruhan struktur dan isi agama diperuntukkan bagi rakyat banyak, bukan demi kelompok, lembaga tertentu yang memonopoli otoritas keagamaaan, seperti pendeta (clergy) atau gereja (church).
Jadi, konsep utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas memiliki makna yang dalam dan khas. Kekhasan tersebut diungkap Syari’ati. Menurut Syari’ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari’ati menandaskan pula dengan adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (al-nas). Lalu, Ka’bah, kiblat umat Muslim saat shalat, adalah rumah Allah (house of God), tapi juga sekaligus disebut sebagai rumah rakyat (house of people) dan rumah kebebasan (free house atau al-bayt al-'atiq).
Kata al-nas, meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau, lebih tepat, massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.
Mustadafin versus Mustakbirin
Pandangan Syari’ati di atas bertitik temu dengan pemikiran Imam Khomeini. Imam Khomeini membagi masyarakat secara
dikotomis, terutama pada periode 1970-1982. Salah satu buku yang memadai untuk mengungkap pandangan Imam Khomeini tentang masyarakat tersebut adalah Khomeinism: Essays on the Islamic Republic (1993), karya Ervand Abrahamian. Dalam buku tersebut, Abrahamian membagi tiga tahap pemikiran Imam Khomeini yang terkait dengan pandangannya tentang masyarakat.
Tahap I (1943-1970): Gradasi yang Harmonis
Menurut Abrahamian, pada tahap ini Imam Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah hirarki yang di dalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (qeshra), seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh dan lainnya. Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya, serta menghormati hak-hak kelompok lainnya. Skema Imam Khomeini ini, mengikuti istilah Stanislaw Ossowski, berupa gradasi yang harmonis. Karena itu, tugas utama pemerintah adalah melindungi Islam dan memelihara keseimbangan antara strata sosial tersebut.
Bagi Imam Khomeini, strata tertinggi (qeshr-e bala) dalam masyarakat adalah ulama. Ulama bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang tidak melakukan tugas utamanya. Jadi, secara singkat, pada periode ini Imam Khomeini menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body) untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah bagian dari sebuah keseluruhan organik.
Tahap Kedua (1970-1982): Dikotomi Antagonistik
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Pada tahap ini, Imam Khomeini mulai menggunakan konsep dan bahasa yang radikal, seperti digunakan Syari’ati. Imam Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas antagonistik (tabaqat): penindas (mustadafin) dan yang ditindas (mustakbirin). Pada periode sebelumnya Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dalam pengertian Quranik, yakni "yang lembut/penurut", "rakyat biasa", dan "yang dilemahkan". Namun, pada periode ini, Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dengan makna massa tertindas yang marah, sebuah pengertian yang didapat ketika pada awal 1960-an Syari’ati dan murid-muridnya menerjemahkan The Wretched of the Earth-nya Franz Fanon sebagai Mustadafin-e Zamin.
Terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang melingkupi dengan penindas, pengekspoitir, feodalis, kapitalis, para penghuni istana, koruptor, penikmat kemewahan, dan elit yang bermegah-megahan. Sedangkan mustadafin disebut juga sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang tercakup di sana: orang-orang yang tertindas, yang diekploitir, kaum yang lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya, dan tuna wisma.
Menurut Imam Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani dan membangun pemerintahan yang tiranik. Mereka melangggar dan melawan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw, dan dalam konteks Iran, mendukung monarki Pahlevi dan emperialisme Amerika. Sedangkan kaum tertindas sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi revolusi Islam. Yang memimpin dan
membebaskan kaum tertindas adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Imam Khomeini ini, meminjam terminonologi Ossowski, disebut dengan dikotomi antagonistik.
Tahap Ketiga (1982-1989): Trikotomi Semiharmonis
Tahap ini adalah tahap pasca revolusi. Karena itu, pandangan Imam Khomeini tentang polaritas masyarakat pun bergeser. Pada tahap ini, menurut Abrahamian, Imam Khomeini tidak memakai dikotomi antagonistiknya, namun trikotomi. Masyarakat terdiri dari tiga kelas: kelas atas (tabaqeh-e bala), kelas menengah (tabaqeh-e motavasset), dan kelas bawah (tabaqeh-e payin). Kelas atas dihuni oleh orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan. Kelas menengah melingkupi ulama, intelektual, dan pedagang. Kelas bawah mencakup buruh, dan orang-orang yang secara ekonomi masih terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Imam Khomeini menekankan trikotomi semiharmonis di mana kelas menengah memiliki peran yang penting.
Menurut Imam Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazaris, berperan besar pada masa pra-revolusi, selama revolusi, dan pasca revolusi. Kaum bazaris berperan dalam mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkan para martirnya. Dan bazaris selalu bersanding dengan kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas menengah memiliki kepentingan yang sama dengan kelas bawah, yakni melawan imperialisme dan kelas atas lama. Karena itu, dapat dipahami mengapa pemimpin-pemimpin pemerintahan yang baru banyak berasal dari kelas menenggah ini. Singkatnya, pada tahap ketiga ini, Imam Khomeini membagi kelas dalam masyarakat yang dapat distilahkan dengan trikotomi semiharmonis.
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Keberpihakan pada Mustadafin
Dari paparan di atas, tampak bahwa Syari’ati dan Imam Khomeini memiliki kesamaan yakni penekanan pada emansipasi mustadafin. Perjuangan pembebasan mustadafin sebagai isu dan agenda penting dalam karya-karya mereka.
Deskripsi-deskripsi Syari’ati, dalam dialektika sosiologi, telah mengkutubkan kemanusiaan menjadi dua kutub, yakni kutub Habil dan kutub Qabil. Secara implisit dan eksplisit, Syari’ati menilai kedua kutub tersebut sebagai kutub positif dan kutub negatif. Kutub positif kemanusiaan selalu berada dalam keadaan tertindas, terjajah dan tak diuntungkan. Oleh karena itu, bagi Syari’ati, kutub ini perlu dibela serta diperjuangkan hak-haknya. Demikian pula dengan identifikasi Imam Khomeini dengan dikotomi antagonistik dan trikotomi semiharmonisnya.
Sesungguhnya, perjuangan pembebasan mustadafin tidak murni dari Syari’ati dan Imam Khomeini. Sejarah Syi’ah sendiri merupakan sejarah perlawanan kelompok yang termarjinalkan secara politis di Dunia Islam. Doktrin Syi’ah, konsep keadilan ('adalah) misalnya, memberikan ruang lebih untuk lahirnya semangat pembebasan mustadafin. Bahkan, tendensi keberpihakan khas Syi’ah ini semakin mengental pada pasca Revolusi Islam Iran. Robin Wright mencatat pernyataan Khomeini sebulan setelah revolusi pecah bahwa, "it is a champion of all oppressed people." Demikian pula dengan pemerintahan Iran pasca Revolusi. Pemerintahan Iran pasca revolusi memberikan simpati dan solidaritas pada perjuangan pembebasan di dunia ketiga tak
terkecuali terhadap gerakan revolusioner non-Muslim seperti gerakan Kongres Nasional Afrika di Afrika Selatan atau gerakan Sandinista di Nikaragua.[]
Sumber: www.icc-jakarta.com
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, Barkeley : Mizan Press, 1979.
__________, Haji, Penerjemah: Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 2002.
_________, Yea Brother! That's the Way It Was, Tehran: Syari’ati Foundation, 1979.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Dilip Hiro, Between Marx and Muhammad: The Changing Face of Central Asia, T.T.: HarperCollins Publishers, 1994.
Ervand Abrahamian, Khomeinism: Essays on the Islamic Republic, (London: IB. Taurist and Co Ltd, 1993.
Erik Durscmied, Blood of Revolution: From the Reign Terror to the Rise of Khomeini, New York: Arcade Publishing, 2002.
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Hamid Algar, The Islamic Revolution in Iran, Qum: Ansariyan Publisher, 1981.
John L. Esposito, Islam and Politics, New York: Syracuse University Press, 1987.
Khalid Bin Sayed, Western Dominance and Political Islam: Challenge and Response, Albany: State University of New York Press, 1995.
Nikki R. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, New Haven and London: Yale University Press, 1981.
Oliver Roy, The Failure of Political Islam, London: I.B. Tauris, 1994.
Robin Wright, Sacred Rage: the Crusade of Modern Islam, New York: Linden Press, 1985.
Theda Skocpol, Social Revolutions in the Modern World, Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
Ideologi Kaum Intelektual, SuatuWawasan Islam
Eko Supriyadi
Judul : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan IslamPenulis : Dr. Ali SyariatiPengantar : Dr. Jalaluddin RakhmatPenerbit : Mizan, BandungCetakan : ke-5, Dzulhijjah1413/ Mei 1993
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Tebal : +185 halamanLISENSI DOKUMENCopyleft: Digital Journal Al-Manar. Lisensi Publik. Diperkenankan untuk melakukanmodifikasi, penggandaan maupun penyebarluasan artikel ini kepentingan pendidikan danbukannya untuk kepentingan komersial dengan tetap mencantumkan atribut penulis danketerangan dokumen ini secara lengkap.Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär
MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGISYANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN
Oleh: Eko Supriyadi
“Kawan-kawan, mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niruBarat.Mari kita tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan,tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia.”Ali Syari’ati, (1933-1977)
A. FATALISME PERADABAN
Dewasa ini, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban manusia telahbanyak mengalami mutasi dalam bentukan yang tidak lagi orisinil. Ia tengahdibaratkan (westernized) dan dicongkel dari akarnya sehingga nilai-nilai, kearifan, danidentitas aslinya terkoyak menjadi potongan-potongan kecil yang terkontaminasidengan produk kebudayaan Barat. Barat telah berhasil mengkristalisasikan sentimensentimen,corak-corak rasial, pandangan serta pola pemikiran masyarakatnya kedalam karakter kebudayaannya dan mencekokkannya kepada bangsa-bangsa lain.Kebudayaan dan peradaban sepertinya diklaim menjadi eksklusif Barat. Denganmenganggap produk kebudayaan mereka lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, Baratingin menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai konsumen bagi kebudayaan dan nilainilaispiritual mereka. Kebudayaan dan peradaban Barat telah mengambil bentukyang baru, dari kungkungan etnisitas menjadi cluster universal. Filsafat, seni,teknologi, dan semua anasir kebudayaan yang berhubungan dengan makhlukbernama manusia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga—seolah-olah—hanya ada
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
satu parameter tunggal yang menjadi kiblat seluruh peradaban bangsa-bangsa didunia.Pada dataran yang lebih riil, perkembangan industri untuk menciptakanteknologi-teknologi baru membawa dampak bagi kaum Muslim. Barat sebagaikampiun teknologi memanfaatkan kemampuannya untuk menarik sumber-sumberalam, sumber uang, dan kekayaan negeri-negeri dunia ketiga yang banyak dihuni olehkaum Muslim. Dengan teknologi pula Barat telah berhasil membentuk dirinyasebagai model dan mesin pencetak peradaban dunia. Pencitraan teknologi berikutBook Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär3segala bentuk variasi produknya berkembang pesat di bawah iklim kapitalistik.Sehingga, negara dunia ketiga yang notabene kurang memiliki kemampuanmemproduksi teknologi sendiri, di-setting sedemikian rupa agar menjadi konsumensetia produk Barat dengan harga yang mahal. Demi keuntungan sebesar-besarnya,Kapitalisme selalu membuat strategi untuk bisa memasarkan produknya dalam
jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar masyarakat dunia rela membelihabis barang-barang produk teknologi mereka, satu-satunya cara adalah denganmembentuk pola pikir masyarakat yang konsumtif. Melalui berbagai media iklan danpropaganda, mereka menyusupkan visualisasi atas produk-produk tersebut seolaholahmerupakan kebutuhan yang bersifat primer dan wajib dimiliki. Kecenderunganuntuk membeli dan menggunakan produk Barat yang sebelumnya bersifat tersiermenjadi kebutuhan primer merupakan salah satu cara kapitalis Barat mengeruksebesar-besar keuntungan dari negara dunia ketiga. Pencitraan tingginya status sosial,prestise, trend, dan predikat modern dinisbatkan kepada siapapun yang mampumembeli, menggunakan dan terus mengikuti model terbaru atas produk teknologiBarat. Cara yang demikian merupakan suatu tipuan yang membolak-balik logikamasyarakat dunia agar menanggalkan idetitas-identitas aslinya kemudian berebutuntuk menggunakan beragam bentuk produk kebudayaan Barat yang diklaim sebagaiikon-ikon kemajuan dan keberadaban. Jadilah negeri-negeri konsumen sebagaimana
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
kerbau yang dicocok hidungnya oleh kekuatan kapitalistik Barat yang eksploitatif.Homogenisasi kebudayaan dan peradaban inilah yang menjadi salah satutantangan terbesar bagi umat Islam sebagai pengemban wahyu illahi. Negeri-negeriMuslim yang pada umumnya masih menjadi mayoritas tertindas (the oppressed majority)dalam keterpurukan ekonomi, politik, dan sosial, ditambah dengan rendahnyaintelektualitas, mengimpor produk kebudayaan, teknologi, dan peradaban Barat kedalam tanah air mereka sebagai usungan jargon globalisasi dan ikon modernisasi.Sudah tentu generasi muda menjadi obyek terbesar yang menghadapi pengaruh dariperbenturan kebudayaan ini. Mengapa bukan kalangan tua yang justru tengahmemegang perannya sebagai organ-organ yang sedang menjalankan mesin negaradan masyarakat? Sebab bagaimanapun, generasi tua sudah sulit mengalamipergeseran nilai-nilai yang sebelumnya terpatri dalam benak mereka. Generasi tua1 Alumnus Ilmu Pemerintahan UGM, penulis buku Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati.Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär
akan segera mengakhiri tugas-tugasnya untuk digantikan, dan ia mestimempersiapkan penerus yang lebih baik dari mereka; yaitu generasi muda. Generasimuda merupakan modal paling esensial bagi masyarakat untuk menciptakan suatuperubahan. Jika pikiran generasi muda perlahan-lahan digerus oleh konstruk pseudokebudayaandan toxic peradaban Barat yang materialistik dan hedonis, sulit sekalimengharapkan perubahan positif muncul dari generasi seperti mereka.Dengan logika-logika tersebut di atas, masalah dunia Islam dewasa ini nyatatertumpu kepada satu titik, yaitu ketergantungan yang teramat besar terhadap Barat.Sebagian besar masyarakat Muslim telah mengalami keruntuhan dalam banyak sisi.Cara pandang, gaya hidup, selera, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semuamenuju kubangan besar yang bernama “hedonisme” dan saudara kembarnya,“materialisme”. Dunia Muslim telah dikoyak-koyak oleh kekuatan Barat. Kekayaanalam dikeruk di balik jargon-jargon liberalisme ekonomi dan perdagangan bebas.Moralitas dan nilai dilepaskan dari otentitas kediriannya oleh lidah-lidah hipokrit
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
kebebasan, kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan digembar-gemborkan dibalik kamuflase penghancuran dari dalam. Momok terorisme digencarkan untukmemperoleh legitimasi atas pembantaian dan pemusnahan kepada siapapun yangdituduh sebagai kutu-kutu peradaban. Ketakutan dan kecemasan dihembuskanuntuk menggiring umat manusia berbondong-bondong berlindung di balik ketiakBarat. Atas nama perdamaian dan keamanan dunia, penjajahan dan perampasankemerdekan justru dihalalkan terhadap negeri-negeri Muslim.Bagaimanapun, tibalah saatnya dunia kini sedang mengalami satu pendulumyang meluncur ke arah Barat. Dunia sedang berada dalam cengekeraman Barat,dalam segala sisi kehidupan. Sulit ditemukan sebuah negara yang bersih daripengaruh anasir-anasir Barat. Masyarakat dunia secara umum sedang menderitawestruckness dan westoxication—meminjam istilah Ali Syari’ati—kebangkrutan moralala Barat dan mabuk kepayang terhadap Barat.2Kenyataan ini memang tengah berlangsung hingga saat ini. Namun ia tidakbisa terus-menerus demikian. Umat Islam memiliki modal dan kekuatan dasar untuk
itu melakukan perubahan. Islam, selama ini telah terdistorsi menjadi sekedar agama2 Eko Supriyadi, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Halaman vii-ix.Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär5ritual dan profan, ia telah kehilangan ruh ideologisnya secara terus-menerus hinggatinggal berbentuk mosaik reruntuhan peradaban.
B. PEMAKNAAN IDEOLOGIS ATAS ISLAMIstilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti pemikiran, daya khayal,konsep atau keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika atau ilmu. Dengandemikian ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan.Seorang ideolog adalah penganjur gagasan tertentu yang perlu ditaati oleh suatukelompok, kelas sosial, bangsa atau ras tertentu. Meminjam ungkapan seorangpenulis Perancis, ideologi sangat erat kaitannya dengan orang yang menggerakkan,cendekiawan atau intelektual dalam masyarakat. Karena itulah seorang cendekiawandituntut untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas. Mempunyaiideologi berarti mempunyai keyakinan kuat tentang bagaimana mengubah status quoyang sudah mentradisi dalam masyarakatnya.Ideologi berbeda dengan bentuk-bentuk pemikiran lain, seperti halnya ilmupengetahuan dan filsafat. Ideologi menuntut agar kaum intelektual bersikap setia(commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan fisafattidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan tanggung jawab danketerlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan revolusi, pemberontakan,pengorbanan hanya dapat digerakkan oleh ideologi. Baik ilmu maupun filsafat tidakpernah dapat melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalumenunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologiideologiyang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisirpemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbananpengorbanandalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karenaideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan
komitmen.Dalam bentuknya yang masih asli, pada dasarnya agama—dalam hal iniIslam—dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untukmembebaskan masyarakat di negeri manapun yang tertindas, baik secara kulturalmaupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya—yang belumBook Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär6terkontaminasi oleh nilai-nilai diluar dirinya—merupakan ideologi revolusioner kearah pembebasan dari hegemoni politik, ekonomi, dan kultural yang bukan Islam.Islam sebagai mahzab sosiologi ilmiah meyakini bahwa perubahan sosial (termasukrevolusi) dan perkembangan masyarakat tidak dapat didasarkan pada kebetulan,karena masyarakat merupakan organisme hidup, memiliki norma-norma kekal dannorma-norma yang tak tergugat dan dapat diperagakan secara ilmiah. Manusiamemiliki kebebasan dan kehendak bebas, sehingga dengan campur tangannya dalammenjalankan norma masyarakat, setelah mempelajarinya dan menggunakannya, dia
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
dapat berencana dan meletakkan dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untukindividu maupun masyarakat.Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkanperasaan yang dimiliki seorang berkenaan dengan mahzab pemikiran sebagai suatusistem keyakinan dan bukan sebagai suatu kebudayaan. Hal ini berarti Islam perludipahami sebagai sebuah ide dan bukan sebagai sekumpulan ilmu. Islam perludifahami sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagaigudang informasi teknis dan ilmiah. Dengan demikian berarti Islam perlu dipandangsebagai ideologi dalam pikiran seorang intelektual, bukan sebagai ilmu-ilmu agamakuno dalam pikiran seorang ahli agama.Namun demikian, proses pemihakan seorang Muslim terhadap ideologi Islamtidak bisa dipaksakan maupun dibayang-bayangi kekuatan di luar dirinya, melainkanharus terinternalisasi secara sukarela atas dasar kehendak bebasnya untuk memilihdan menentukan. Jika ideologi tidak lagi merupakan manifestasi kehendak merdekaseseorang, atau dipaksakan kehadirannya, maka ia telah kehilangan ruhnya dan
berubah menjadi sekedar sebuah tradisi sosial bagian dari kebudayaan, ia telahkehilangan karakteristik aslinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syari’ati (1986):Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan,menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dantanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri.… suatu kekuatan yangmeningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak danmenghadirkan di medan perang spirit keimanan, harapan dan keberanian.”Terdapat perbedaan antara Islam dengan pemahaman umum tentang agamayang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agamaseperti dikemukakan oleh Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenekBook Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär7moyang dan perasan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritualritual,aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantapselama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan manifestasi dari semangat dan ideal
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
kemanusiaan yang sejati.” Jika Islam dirubah bentuknya dari “mahzab ideologi” menjadisekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yangdikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untukmelakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehinggaia tidak memberi kontribusi apapun kepada masyarakat.” 3Dalam konteks praksis, Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain.Islam tidak bisa dikonvensionalkan menjadi ritualitas individu semata, melainkan ruhyang menggerakkan hati seorang Muslim untuk menempuh aksi-aksi progresif bagikemaslahatan umat manusia baik individu maupun kolektif. Sebagai sebuah ideologi,agama Islam bertengger di atas keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawabkebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang mencuat dalam masyarakatnya.Sebagai konsekuensi karakteristik universalitasnya, Islam senantiasa hadirdalam realitas masyarakat seperti apapun bentuknya dan dalam kondisibagaimanapun. Dengan demikian, Islam menuntut upaya-upaya korektif dan
konstruktif atas kondisi yang kontraproduktif terhadap kebangunan Islam itusendiri. Karenanya Islam adalah agama yang membumi, mendekati sedekat mungkinsegala realitas kontekstual yang sedang bergejolak dalam masyarakat, untukselanjutnya menawarkan solusi atas permasalahan yang ada.Wawasan keislaman seperti apapun, tanpa suatu pemahaman yang mendalamterhadap prinsip-prinsipnya—dari dataran konseptual hingga wilayah praksis—tidakakan mampu menjadi khasanah untuk menemukan kebijaksanaan Islam, paling jauhhanya mencetak seorang intelektual yang kebetulan Islam, bukan Islam intelektual.Seorang Islam dalam bentukan yang tidak kaffah semacam ini memandang Islamnyadari suatu jarak yang jauh dari kehidupan masyarakat tanpa terbebani sebuahtanggung jawab sosial.Kesadaran yang perlu ditumbuhkan ialah, bahwa kaum Muslim menanggungbeban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan3 Ali Syari'ati, Islamology: The Basic Design for A School of Thought and Action, dalamhttp//www.shariati.com//about DR. shariati.html. 23 Maret 2003.
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär8dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dankebaikan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah manusia bukanlah makhlukyang rendah, karena ia adalah rekan Allah, teman-Nya, pendukung amanah-Nyadibumi. Manusia menikmati afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dari-Nya,dan telah menyaksikan betapa semua malaikat Allah bersujud kepadanya. Manusiabidimensional yang memikul tanggung jawab demikian ini, membutuhkan agamayang tidak hanya berorientasi kepada dunia ini atau akherat semata, melainkanagama yang mengajarkan keseimbangan. Hanya dengan agama demikian (Islam)manusia mampu melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.Dalam kenyataannya, kebanyakan ilmuwan, penulis, arsitek, sastrawan, ahlikesehatan, dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat bekerja berdasarkanilmu pengetahuan yang netral. Netralitas berarti bebas nilai, tidak bermuatanideologis tertentu. Inilah yang menyebabkan mereka hanya dipekerjakan untuk uang
yang berarti tergantung pada pemilik modal. Slogan netralitas ilmiah telah didiktekankepada para ilmuwan dunia ketiga. Sehingga para ilmuwan haruslah menjadi jiwayang terbelah (the split personality) menjadi dua bagian atau lebih, di satu sisi ilmu dankeahlian, di sisi lain adalah keyakinan, yang menempati wilayah saling terasing satusama lain. Mereka mesti menjejali kepalanya dengan pernyataan-pernyataan bahwadia adalah ilmuwan yang obyektif dan netral, bekerja dalam dunai analisis yangmenuntut semua dicari dan direkam secara obyektif, demi kemurnian ilmu danmenghindari distorsi ilmu. Maka jatuhlah diri mereka ke dalam ketidakbermaknaanatas karya-karya dan jerih payah yang mereka kerjakan, tanpa suatu misi tertentu,motivasi yang hakiki, serta harapan yang lebih besar untuk mereka dapatkan darisekedar uang, privelese, dan penghargaan oleh manusia.Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh.Sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Ketersinggunganantara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia. Jika disadari,sebenarnya logika berfikir tersebut sama halnya mencabut ruh dari sangkarbadannya. Dengan cara pandang demikian maka ilmuwan modern menjual dirinyakepada pemerintah, korporasi, kekuatan modal, demi mendapatkan upah yang tinggiuntuk kemakmurannya. Mereka tidak lagi mempedulikan ketimpangan,Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär9ketidakadilan, status-quo, kebobrokan, dan peristiwa apapun yang muncul di tengahtengahmasyarakatnya. Padahal disinilah tugas dan bidang garap ideologi. Ketikaideologi sudah dicampakkan dari kesatuan utuh paradigma berfikir masyarakat, makanilai-nilai dasar yang memotivasi seluruh aktivitas mereka menjadi pragmatis.Mereka akan kekurangan sense of humanity, kemanusiaan sudah tergadaikan olehegoisme individualistik dan tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikiansesungguhnya yang dibutuhkan Islam adalah ilmuwan-ilmuwan yang ideolog, bukanilmuwan pragmatis. Ilmuwan yang bergerak dalam dua aras; antara idealita dan
realita, antara individu dan sosial, antara vertikal dan horizontal, antaraprofesionalisme dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenabian, antarakehidupan dunia dan setelahnya. Mereka itu adalah ulil albab, rausyanfikr yangmenyimpan energi untuk menggerakkan peradaban.C. MENJADI RAUSYANFIKR!Rausyanfikr4 adalah, seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologiyang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudantujuan ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah danmenyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakanrevolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu munculuntuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan danmenciptakan revolusi sistemik.Rausyanfikr adalah model manusia yang diidealkan oleh Ali Syari'ati untukmemimpin masyarakat menuju revolusi. Menurut Eko (2004), Ia mengandungpengertian yang lebih detail sebagai:Orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) di masanya, serta setting
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
kesejarahannya dan kemasyarakatannya…yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Iatidak harus berasal dari kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopordalam revolusi dan gerakan ilmiah. Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikrmampu menumbuhkan rasa tangung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan4 Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggristerkadang disebut intelectual atau free thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwanmenemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan faktasebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal,Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalammenjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “AliSyaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan
Islam, Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14 – 15.Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär10intelektual dan sosial kepada massa/ rakyat. Rausyanfikr dicontohi oleh pendiri agamaagamabesar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahanpembenahanstuktural yang mendasar di masa lampau. Mereka sering muncul dari kalanganrakyat jelata yang mempunyai kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakansemboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, danmelahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalahgerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadiprogresif, dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya paranabi, rausyanfikr tidak termasuk golongan ilmuwan dan bukan bagian dari rakyat jelata yangtidak berkesadaran dan mandek. Mereka individu yang mempunyai kesadaran dan tanggungjawab untuk menghasilkan lompatan besar.Manusia rausyanfikr memiliki karakteristik memahami situasi, merasakan
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
desakan untuk memberi tujuan yang tepat dalam menyebarkan gaya hidup moralitasdan monastis, anti status quo, konsumenistik, hedonistik dan segala kebuntuanfilosofis menuju masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan realitasmasyarakat. Seperti apa yang dikatakan Syariati (2001) sebenarnya mewakili aksi-aksiintelektualnya, bahwa orang tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untukperubahan:Setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar orang-orang yang tercerahkan adalahmenentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya danmenemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalamlingkungannya. Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masihtertidur, mengenai alasan–alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu, denganberpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaanmasyarakatnya, ia dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yangmemungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalammasyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang
tercerahkan akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antarakesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal daneksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman diluarkelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.Rausyanfikr merupakan kunci bagi perubahan, oleh karenanya sulit diharapanterciptanya perubahan tanpa peranan mereka. Merekalah pembangun jalinan yangmeninggalkan isolasi menara gading dan turun dalam masyarakat. Mereka adalahkatalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju gerakan melawanpenindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyanfikr masyarakat dapat mencapailompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Pemikir tercerahkan adalahaktivis yang meyakini sungguh-sungguh dalam ideologi mereka dan menginginkansyahid demi perjuangan tersebut. Misi yang dilancarkan mereka adalah untukmemandu “massa yang tertidur dan bebal” dengan mengidentifikasi masalah riilBook Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär11
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
berupa kemunduran masyarakat, dan Islam—agama keadilan—sebagai solusirasional untuk menguliti masalah yang mencuat dalam masyarakat. Syari’ati (2001)bertutur:Manusia ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan perkataanlain: pengetahuan, akhlaq, dan seni. Menurut fithrahnya dia adalah khalifah Allah. Diaadalah kehendak yang komit dengan tiga macam dimensi: kesadaran, kemerdekaan, dankreativitas.Jika boleh divisualkan, Ali Syari’ati seolah berorasi kepada seluruh intelektualMuslim di manapun,” Wahai ulil albab, rausyanfikr, kalian jangan berhenti di atasmenara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar,ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puasdengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ketengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubahdunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat ataumenjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih,
keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islambukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajarikeyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudiankebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkansistem masyarakat yang berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezalimandengan membentuk umat yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul,kini kalian penerusnya!”Wallahual’lam bishawwab.Referensi lanjut:Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1995.“Kumpulan tulisan tentang riwayat beberapa tokoh Muslim perubah dunia danpemberi kontribusi besar dalam dinamika kebangunan ummat Islam.”Ridwan, M. Deden, (ed), Melawan Hegemoni Barat; Ali Syariati Dalam Sorotan CendekiawanIndonesia, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999.Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär12“Kumpulan tulisan beberapa penulis Muslim Indonesia yang menyoroti sosok Ali
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
Syari'ati dalam berbagai sudut pandang keagamaan, sosial, politik, dan kultural.”Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,Desember 2003.Analisis seputar karakteristik revolusioner Islam dalam pandangan Ali Syariati,kritik-kritiknya terhadap Marxisme, berikut analisis mengenai titik singgung dan titikseberang antara Islam dan Sosialisme-Marxisme.Syari'ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.“Pandangan Ali Syari'ati yang membahas tentang perspektif Islam dalammemandang manusia, pandangan dunia seorang Muslim tentang tawhid dan perannyadalam masyarakat, berikut analisis sosiologis masyarakat Islam.”_________, On Socioligy of Islam, Mizan Press, Berkeley, 1979.“Pandangan Ali Syari'ati tentang perspektif sosiologis Islam dan konsepsinya tentangmasyarakat dalam kacamata Islam.”_________, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Al-Huda, Jakarta, 2001.“Pandangan hidup tawhid , dialektika sejarah dalam perspektif Al-Qur'an, sertaanalisis tentang karakteristik Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.
_________, Humanisme Antara Islam dan Mahzab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996.“Pandangan Ali Syari'ati tentang konsep humanisme sekuler, kritik terhadaphumanisme, eksistensialisme, modernisme, dan Marxisme, serta tarik menarik antaraMarxisme dengan agama, khususnya Islam. Di sini Ali Syari’ati secara tegasmenyatakan perbedaannya antara mahzab Islam dan mahzab Barat.”_________, Haji, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997.“Penjelasan naratif tentang pelaksanaan ibadah hajji dalam analisis mistis-filosofispolitisdalam setiap tahapan hajji.”_________, Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, 1992.“Mahzab pemikiran ideologi Ali Syari'ati, sejarah dua mahzab Islam dan filsafat doadalam pandangan Ali Syari'ati.”_________, Membangun Masa Depan Islam, Mizan, Bandung, 1986.“Kumpulan teks ceramah Ali Syari'ati tentang langkah-langkah yang ditempuh umatIslam dalam upaya reinterpretasi Islam, dilengkapi dengan naskah rencana praktisHusyainiyah Irsyad, sebagai tungku yang menampung pemikiran-pemikiranrevolusioner Ali Syari'ati.”
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
_________, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam Sebuah Pandangan Sosiologis, Shalahuddin Press,Yogyakarta, 1986.“Makna syahadah dalam tradisi Islam, karakterisik Islam sejati, dan gambaran wajahNabi Muhammad.”Book Review Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004Copyleft 2004 Digital Journal Al-Manär13_________, Reflections of Humanity: Two Views of Civilization and the Plight of Man, FreeIslamic Literatures, Houston, 1980.“Pandangan Ali Syari'ati tentang humanisme dan nestapa manusia di tengah pusaran
peradaban dan ideologi dunia.”
Syari'ati Simbol Pergerakan Kaum Muda Iran Abad ke-20
Rubrik Hujatul IslamDia dikenal sebagai seorang pemikir yang kritis, tegas, dan tak takut terhadap segala ancaman.Imam
Ayatullah Khomeini dikenal sebagai tokoh pembaharu di negara Iran. Namanya cukup disegani di dunia Barat. Hal itu disebabkan sikap tegas dan kritisnya terhadap setiap kebijakan yang dlontarkan dunia Barat kepada dunia Islam. Tak heran bila kemudian Imam Ayatullah Khomeini begitu disegani.Tak hanya Khomeini, Iran juga memiliki seorang pemikir muda yang enerjik, cerdas, dan tegas. Tokoh muda itu bernama Ali Syaria'ti. Seperti Khomeini, Ali Syari'ati juga terkenal di kalangan intelektual muda, terutama aksi-aksi dan pemikirannya dalam memobilisasi perlawanan terhadap pemimpin (Syah) Iran. Ali Syari'ati merupakan seorang pemikir sosial terkemuka Iran abad ke-20, di samping juga seorang ahli politik dan ahli syariat.Dilahirkan di Khurasan, Iran, pada 1933, sejak muda Ali Syari'ati sudah terlibat dalam berbagai organisasi dan gerakan yang menentang kediktatoran Syah Iran. Semangat juang yang mengalir dalam diri Ali Syari'ati diwarisi dari ayahnya, Muhammad Taqi Syari'ati, yang merupakan seorang pengajar di sekolah lanjutan atas dan ahli dalam ilmu keislaman (Islamologi). Sang ayah juga merupakan pendiri Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan, sebuah organisasi yang bergerak di bidang dakwah Islamiyah.Pada usia 17 tahun, Ali Syari'ati telah belajar pada sebuah lembaga pendidikan, Primary Teacher's Training College. Masa belajar tersebut dimanfaatkannya untuk mengajar. Pada usia 20 tahun, ia mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Islam di Mashad, Iran. Pada 1958 (ketika berusia 25 tahun), ia meraih gelar sarjana muda dalam ilmu bahasa Arab dan Prancis. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, setelah berhasil memenangkan beasiswa untuk belajar di negara itu. Ia belajar di Prancis sampai meraih gelar doktor pada tahun 1963.Setahun kemudian, ia pulang ke negara kelahirannya. Setibanya di Iran, ia mengawali langkahnya dengan menyampaikan ilmu yang
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati
Ali syariati Ali syariati
diperolehnya dari berbagai sekolah dan akademi. Kemudian, ia mengadakan perjalanan keliling dalam rangka mendirikan Husyaimiah Irsyad, sebuah lembaga pendidikan pengkajian Islam yang kelak menjadi wadah pembinaan kader militan pemuda-pemuda revolusioner.Karena aktivitas politiknya yang menentang kediktatoran Syah Iran, Ali Syari'ati mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Ia sudah harus menjalani kehidupan dari balik terali besi dalam usia muda. Namun, hal tersebut tidak membuatnya mundur. Bahkan, ia makin bersemangat menyuarakan...!!!!!!!!!!!!!!!.
Pemikiran Ali Syariati Pemikiran Ali Syariati