Download - Benigna Prostat Hiperplasia
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AK
Umur : 74 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jak-Tim
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Masuk RSMS : 8 Agustus 2012
II. Anamnesis
A. Keluhan Utama : Buang air kecil tidak lancar sejak 1 bulan SMRS
B. Keluhan Tambahan : -
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli bedah Rumah Sakit Persahabatan dengan keluhan
buang air kecil tidak lancar sejak 1 bulan SMRS. Pasien harus menunggu pada
permulaan buang air kecil, mengedan pada saat buang air kecil, alirannya terputus-
putus, pancaran air kencing lemah dan menetes pada akhir kencing. Pasien juga
merasa tidak puas setelah buang air kecil.
Selama ini buang air kecil pasien tidak pernah bercabang, tidak pernah
mengeluarkan batu saat kencing. Pasien juga tidak pernah mengalami operasi
sebelumnya. Nyeri punggung tidak ada, buang air besar lancar. Pasien sebelumnya
sudah berobat di RS kemudian dipasang selang untuk mengeluarkan urin. Pasien
mengaku saat buang air kecil disertai darah sejak 3 hari SMRS.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
- Memiliki riwayat sakit darah tinggi
- Riwayat sakit kencing manis disangkal
- Riwayat sakit batu saluran kencing disangkal
- Riwayat infeksi saluran kemih disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang memiliki sakit sama.
- Riwayat sakit kencing manis disangkal
- Riwayat sakit darah tinggi disangkal
- Riwayat sakit batu saluran kencing disangkal
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 140/80 mm/Hg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37 0 C
A. Status Generalisata
Kepala : Normocephal
Mata : Reflek cahaya ada, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, pupil isokor, diameter pupil 3 mm.
Hidung : Discharge tidak ada, deviasi septum tidak ada.
Mulut : Mukosa basah
Telinga : Serumen kanan dan kiri ada, simetris, tidak ada kelainan bentuk
Thorak
Jantung :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas ICS II LMC sinistra
Batas kanan atas ICS II LPS Dextra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Batas kanan bawah ICS IV LPS Dextra
Auskultasi : S1 > S2 reguler, bising jantung tidak ada
Paru
Inspeksi : Dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan dan kiri, suara tambahan tidak
ada.
Abdomen
Inspeksi : Simetris, venektasi tidak ada, sikatrik tidak ada, tidak
tampak masa.
Palpasi : Defans muskular tidak ada, nyeri tekan tidak ada, tidak
teraba massa, hepar tidak teraba, limpa tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”
B. Status Lokalis
CVA : Massa (-)
Nyeri tekan -/-
Nyeri ketok +/+
Regio Suprapubik
Inspeksi : Datar, tidak tampak massa
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa, buli kesan kosong
Regio Genitalia Eksterna
Inspeksi : Tidak tampak massa, tidak tampak pembesaran scrotum,
terpasang cateter, produksinya ada, urin berwarna merah
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba masa, testes teraba normal
Rectal taucher : Tonus sfingker ani baik, ampula tidak kolaps, mukosa rectum
licin, massa tidak ada, nyeri tekan tidak ada.
Prostat : teraba membesar, pole atas tidak dapat diraba, kenyal,
permukaan licin.
Sarung tangan : Feses tidak ada, darah tidak ada, lendir tidak ada
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
DPL : 15.3 / 45 / 13.20 / 300.000
GDS : 111 mg/dl
Natrium : 137 mmol/L
Kalium : 3.40 mmol/L
Clorida : 101 mmol/L
Ureum : 26 mg/dl
Creatinin : 1.2 mg/dl
As. Urat : 8.4
BT / CT : 4’/7’
LED : 35
Imunoserologi
PSA : 56.63 ng/ml
Urine lengkap
Warna urine : Merah
Kejernihan : Keruh
Berat jenis urine : 1.020
PH urine : 6.5
Protein urine : Pos (+++)
Glukosa urine : Neg (-)
Keton urine : Neg (-)
Bilirubin urine : Neg (-)
Urobilinogen urine : 1-0
Nitrit urine : Positive
Darah samar urine : Pos (+++)
Lekosit esterase : Pos (+++)
Mikroskopis urine
Lekosit : 60-80
Eritrosit : Penuh
Sel epitel : Pos (+)
Bakteri : Pos (+++)
b. USG
Kesan:
- Hipertrofi prostat yg tampak mengidentasi bagian postero inferior buli.
- Tak tampak batu di kedua ginjal dan buli
- Kandung empedu nondistended
- Hepar, lien, pankreas, dan ginjal tak tampak kelainan patologis.
- Diagnosis Klinis
Hiperplasia prostat
Hematuria
Diagnosis Banding
1. Karsinoma prostat
2. Tumor buli
3. Vesicolithiasis
V. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa : Pasang cateter
2. Medikamentosa : antibiotik spektrum luas dan analgetik
3. Operatif : TURP
Laporan operasi:
- Posisi litotomi dalam spinal anestesi
- Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan sekitarnya
- Buli tidak hiperemis, otot (+), trabekulasi sedang, massa (-), batu (-), kedua muara
ureter (N)
- Bladder necle tidak tinggi, lossing lobe ½ cm
- Dilakukan TUR P secara sistematis chip prostat 15 gram PA
- Pasang folley catheter 3 way drips (+)
Instruksi Post Operasi :
- Diet bebas
- Mobilisasi bed rest
- IVFD Nacl 0.9% : D 5% = 2 : 1 / 24 jam
- Cek DPL + elektrolit pasca operasi
- Kirim jaringan PA
- Spooling kateter guyur, bila jernih 60-80 tpm
- Obat: Afratam 2 x 1 gr iv
Kaltrofen supp 3 x 1
Follow up
1. 10 agustus 2012
S : Kateter lancar, drip lancar
O : KU/Kes : TSS/CM
TD : 133/88 mmHg, HR : 88x, RR : 24x, S : 36,5oC
Konjungtiva anemis : -/-, sclera ikterik : -/-
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : datar, supel, BU (+)
Ekstremitas : edema (-), pucat (-)
Hasil Lab:
DPL : 13.5/39/8.97/127
Na/K/Cl : 140/3.40/102
U/Kr : 25/1.5
A : Post op TUR P Hari ke 1
P : Drip lanjut
Mobilisasi
Diet bebas
Laxadyn syr 3 x C 1
2. 13 Agustus 2012
S : Urine merah, mobilisasi baik
O : Compos Mentis, hemodinamik stabil
Kateter : lancar, produksi kemerahan, drip spooling
A : BPH post TUR P hari ke 4
P : Spooling lanjut
Besok cek Ureum/Kreatinin
3. 14 Agustus 2012
S : Retensi urine pasca aff kateter
O : Compos mentis, hemodinamik stabil
Kateter : drip spooling (+), lancar, jernih
Hasil lab :
DPL : 13.9/40/8.02/186
Na/K/Cl : 135/2.80/94.0
U/Kr : 16/1.2
A : BPH post TUR P hari ke 5
P : Cek Ureum/Kreatinin + elektrolit
Spooling kembali NaCl
Transamin 3 x 1
Vit K 3 x 1 amp
Vit C 1 x 1 inj
VI. Prognosis
Dubia ad bonam
BAB II
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
I. Insidensi dan Epidemiologi
BPH adalah tumor jinak yang paling umum pada pria, dan angka kejadiannya
berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH pada pemeriksaan otopsi
meningkat, dari sekitar 20% pada pria usia 41-50 tahun, menjadi 50% pada usia 51-
60 tahun dan lebih dari 90% kasus pada pria berusia lebih dari 80 tahun. Walaupun
bukti klinis dari penyakit terjadi kurang sering, tetapi gejala obstruksi prostat juga
berhubungan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria melaporkan gejala
obstruksi saat berkemih. Pada usia 75 tahun, 50% pria mengeluhkan berkurangnya
tenaga dan ukuran dari aliran kencingnya.
Faktor risiko berkembangnya BPH masih sedikit dipahami. Beberapa studi
melaporkan faktor genetik, dan beberapa melaporkan perbedaan ras mempengaruhi.
Sekitar 50% dari pria dibawah 60 tahun yang menjalani pembedahan untuk BPH
mungkin mengalami berbagai macam gejala penyakit. Bentuk ini biasanya
merupakan pengaruh genetik autosomal dominan dan keturunan pertama pria
memiliki peningkatan resiko relatif sekitar empat kali lipat.
Gambar 1. A: tampak lateral prostat. B: potongan tampak samping. C: pandangan
transversal dari gambar B
II. Etiologi
Etiologi dari BPH belum dapat diketahui dengan pasti, tapi kemungkinan
besar merupakan pengaruh keturunan dan kontrol endokrin atau hormonal. Prostat
terdiri dari gabungan elemen stromal dan epitelial, dan masing-masing, baik sendiri
maupun kombinasi dapat memberikan resiko pembesaran nodul, dan gejala yang
berhubungan dengan BPH. Masing-masing elemen dapat menjadi target dalam skema
manajemen medis.
Observasi dan studi klinis pada pria telah menunjukkan dengan jelas bahwa
BPH berada dibawah pengaruh kontrol endokrin. Hal kastratropik ini merupakan
hasil dari regresi adanya BPH dan peningkatan pada gejala berkemih. Investigasi
tambahan menunjukkan korelasi positif antara level dari testosteron bebas dan
estrogen dengan ukuran BPH. Penelitian belakangan menunjukkan hubungan antara
penuaan dengan BPH dapat berasal dari peningkatan level estrogen pada penuaan
yang kemudian mengakibatkan induksi reseptor androgen, dan mensensitasi prostat
untuk menjadi testosteron bebas. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian yang
menunjukkan adanya peningkatan kadar reseptor estrogen pada pasien BPH.
III. Patologi
BPH berkembang pada zona transisi. BPH merupakan suatu proses
hiperplasia yang benar-benar berasal dari peningkatan jumlah sel. Evaluasi
mikroskopik menunjukkan pola pertumbuhan nodular yang dibentuk dari bermacam
jenis sel stroma dan epitelium. Stroma dibentuk dari berbagai macam kolagen dan
otot polos. Berbagai macam perbedaan tampilan dan penyusun dari komponen
histologis pada BPH menjelaskan, sebagian, kemungkinan potensial responsifitas
terhadap terapi medis. Terapi alfa-blocker dapat memberikan respon yang sempurna
pada pasien dengan BPH yang memiliki komponen otot polos secara signifikan,
sedangkan pada BPH yang tersusun dari sel epitelium akan memberikan respon yang
lebih baik terhadapat penghambat 5-alpha-reductase. Pasien dengan komponen
kolagen yang signifikan pada stroma mungkin tidak akan memberikan respon pada
kedua bentuk terapi medis diatas. Sayangnya, tidak ada yang bisa dipergunakan untuk
memprediksi responsifitas terdapat terapi yang spesifik.
Saat nodul BPH yang berada di zona transisi membesar, nodul tersebut
menekan zona terluar dari prostat, menghasilkan bentuk yang dapat disebut sebagai
kapsul pembedahan. Batas ini memisahkan zona transisi dari zona perifer dan
menyediakan landasan untuk enukleasi prostat secara terbuka pada saat dilakukan
prostatektomi sederhana terbuka pada pasien BPH.
Gambar 2. Gambaran keseluruhan prostat pada bagian tengah uretra pars prostatika. Tampak verumontanum (v) dan area kanker prostat (CAP) pada zona perifel dan area BPH
pada zona transisi.
IV. Patofisiologi
Satu hal yang dapat dihubungkan dari gejala BPH adalah prostat yang
mengakibatkan obstruksi atau respon sekunder dari kandung kencing terhadap
resistensi ke bagian luar. Komponen obstruktif dapat dibedakan menjadi obstruksi
mekanik atau obstruksi dinamik.
Akibat terjadinya pembesaran prostat, obstruksi mekanik dapat timbul akibat
penonjolan bagian prostat kedalam lumen uretra atau leher kandung kencing, yang
berakibat tingginya resistensi kandung kencing. Merujuk pada klasifikasi zona dari
prostat, urolog sering merujuk prostat menjadi 3 lobus, yang dinamakan lobus median
dan dua lobus lateral. Ukuran prostat pada pemeriksaan rektal tidak berhubungan
dengan gejala, karena lobus median tidak dapat diperiksa.
Komponen dinamis dari obstruksi prostat menjelaskan asal yang bervariasi
dari gejala yang dirasakan oleh pasien. Stroma prostat, dibentuk dari otot polos dan
kolagen, kaya dengan suplai nervus adrenergik. Level dari stimulasi otonom akan
menetapkan suatu irama pada uretra prostatika. Penggunaan terapi alfa-blocker dapat
mengurangi nada ini, yang berakibat pada menurunnya hambatan aliran keluar urin.
Keluhan iritatif dalam berkemih pada pasien BPH merupakan akibat sekunder
dari respon kandung kemih terhadap peningkatan resistensi aliran urin keluar.
Obstruksi aliran keluar dari kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hiperplasia
dari otot detrusor seperti halnya deposisi kolagen. Walaupun deposisi kolagen yang
kemungkinan besar paling bertanggung jawab terhadap menurunnya complians
kandung kemih, instabilitas detrusor juga menjadi faktor penyebabnya. Pada
pengamatan secara kasar, penebalan ikatan otot detrusor tampak sebagai trabekulasi
pada pemeriksaan sistoskopi. Jika tidak diperiksa, selanjutnya akan terjadi herniasi
mukosa antara ikatan otot detrusor, menyebabkan pembentukan divertikel (yang
disebut sebagai divertikel palsu yang hanya terdiri dari mukosa dan serosa).
V. Penemuan Klinis
A. Gejala
Gejala dari BPH dapat dibagi menjadi gejala obstruksi dan gejala
iritatif. Gejala obstruksi meliputi hesitansi, berkurangnya tenaga dan pancaran
urin, perasaan belum tuntas pengosongan dari kandung kencing, berkemih
ganda (berkemih lagi dalam kurun waktu kurang dari 2 jam dari berkemih
sebelumnya), mengejan sebelum berkemih, dan kencing yang masih menetes
setelah buang air kecil. Gejala iritatif meliputi urgensi, frekuensi, dan
nokturia. Kuesioner yang dikembangkan oleh American Urological
Association (AUA) merupakan kuesioner yang valid dan dapat diandalkan
untuk menentukan apakah pasien memerlukan terapi dan untuk memonitor
respon pasien terhadap terapi. Kuesioner AUA Simptom Skor merupakan
suatu peralatan penting yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan BPH dan direkomendasikan untuk seluruh pasien sebelum dimulainya
terapi. Penilaian ini berfokus pada 7 hal yang ditanyakan kepada pasien untuk
menghitung derajat keparahan dari keluhan obstruktif dan iritatif yang mereka
alami dalam skala 0-5. Sehingga, hasil skor berada dalam rentang 0-35. Skor
simptom 0-7 dinyatakan sebagai derajat ringan, 8-19 menengah, dan 20-35
dinyatakan sebagai berat. Distribusi relatif dari skor BPH pada pasien dan
subjek kontrol, masing-masing, 20% dan 83% pada mereka dengan derajat
ringan, 57% dan 15% pada derajat sedang, dan 23% dan 2% pada mereka
dengan derajat berat. (Mc Connell et al, 1994).
Riwayat mendetail yang berfokus pada traktus urinarius dapat
mengeksklusi kemungkinan penyebab lainnya yang dapat menyebabkan
gejala yang serupa namun bukan merupakan keluhan prostat, seperti infeksi
saluran kemih, kelainan kandung kemih neurogenik, striktur uretra, dan
kanker prostat.
B. Tanda
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan rektal, dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada seluruh pasien. Ukuran dan konsistensi prostat ditentukan,
walaupun ukuran prostat, yang ditentukan melalui pemeriksaan rektal, tidak
berkorelasi terhadap derajat gejala dan derajat obstruksi. BPH biasanya
terbentuk sebagai pembesaran prostat yang halus, kenyal, dan elastis. Jika
terdapat indurasi, harus memberikan kewaspadaan kepada dokter akan adanya
kemungkinan kanker dan perlunya evaluasi lanjutan (seperti misalnya prostat-
spesifik antigen/PSA, ultrasonografi transrectal, dan biopsi).
C. Laboratoris
Urinalisis dilakukan untuk mengeksklusi infeksi atau hematuria dan
kreatinin serum dibutuhkan untuk mengukur fungsi renal. Insufisiensi renal
dapat ditemukan pada 10% pasien dengan gejala prostat dan membutuhkan
pemeriksaan radiologis traktus urinarius bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi renal mengalami peningkatan resiko komplikasi post-operatif
yang mengikuti intervensi pembedahan pada BPH. PSA serum
dipertimbangkan sebagai pilihan pemeriksaan, namun kebanyakan dokter
akan memasukkan pemeriksaan tersebut dalam pemeriksaan awal BPH. PSA
dibandingkan dengan pemeriksaan rektal saja, jelas meningkatkan
kemampuan untuk mendeteksi kanker prostat, namun karena banyaknya
tumpang tindih antara BPH dan Kanker Prostat, penggunaannya masih
kontroversial.
D. Pencitraan
Pencitraan saluran kencing bagian atas (dengan intravena pielogram
atau USG ginjal) direkomendasikan jika adanya penyakit saluran kencing
yang muncul bersamaan atau jika terdapat komplikasi dari BPH (contoh
hematuria, infeksi saluran kencing, insufisiensi renal, atau riwayat penyakit
batu)
E. Sistoskopi
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk menentukan perlu tidaknya
terapi, tetapi dapat membantu untuk menentukan pendekatan pembedahan
pada pasien yang memerlukan terapi invasif.
F. Tes-tes Tambahan
Sistometrogram dan profil urodinamik ditambahkan pada pasien
dengan dugaan penyakit neurologis atau pada mereka yang mengalami
kegagalan operasi prostat. Pengukuran aliran urin, menentukan urin sisa post
berkemih, dan pengukuran aliran tekanan urin merupakan terapi yang dapat
dipertimbangkan.
VI. Diagnosis Banding
Kondisi obstruksi lainnya pada traktus urinarius bawah seperti striktur uretra,
kontraktur leher kandung kemih, batu kandung kemih, atau kanker prostat harus
dipikirkan pada saat mengevaluasi pria dengan kecurigaan BPH. Riwayat
instrumentasi uretra sebelumnya, uretritis, atau trauma harus ditanyakan untuk
menyingkirkan kemungkinan striktur uretra atau kontraktur leher kandung kemih.
Hematuria dan nyeri merupakan gejala yang umum berhubungan dengan batu
kandung kemih. Kanker prostat dapat dideteksi jika terdapat abnormalitas pada
pemeriksaan rektal ataupun peningkatan kadar PSA.
Infeksi traktus urinarius, yang juga dapat menyerupai gejala iritatif pada BPH,
dapat segera diidentifikasi dengan urinalisis dan kultur urin. Namun, infeksi saluran
kemih juga dapat merupakan komplikasi dari BPH. Walaupun keluhan iritatif dalam
berkemih juga berhubungan dengan karsinoma kandung kemih, terutama karsinoma
in situ, urinalisis biasanya menunjukkan bukti hematuria. Juga, pasien dengan
kelainan kandung kemih neurogenik dapat memiliki banyak gejala seperti BPH, tetapi
riwayat adanya penyakit neurologis, stroke, diabetes melitus atau cedera punggung
juga dapat muncul. Sebagai tambahan, pemeriksaan dapat menunjukkan
berkurangnya sensasi perineal atau sensitifitas ekstremitas bawah atau perubahan
pada tonus sphincter ani atau refleks bulbocavernosus. Perubahan secara simultan
pada fungsi usus (konstipasi) juga dapat mengarah pada kemungkinan
berkembangnya kelainan neurologis.
VII. Penatalaksanaan
Setelah pasien dievaluasi, pasien harus diberikan informasi mengenai berbagai
macam pilihan terapi untuk BPH. Disarankan kepada pasien untuk berkonsultasi
dengan dokter mereka untuk menentukan keputusan berdasarkan efektivitas relatif
dan efek samping dari pilihan terapi yang diambil.
Rekomendasi untuk dilakukan terapi spesifik dapat diberikan kepada kelompok
khusus pasien. Untuk mereka dengan gejala ringan (skor 0-7), menunggu dengan
perhatian khusus dapat disarankan. Pada spektrum terapetik lainnya, indikasi absolut
pembedahan yaitu retensi kemih refraktori (kegagalan minimal sekali dalam usaha
melepas kateter), infeksi kemih berulang dari BPH, perdarahan kencing (gross
hematuria) yang berulang akibat BPH, batu kemih akibat BPH, insufisiensi renal
akibat BPH, atau divertikel kandung kemih yang besar. (McConnell, 1994).
A. Penundaan dengan Kewaspadaan
Sangat sedikit penelitian yang melaporkan mengenai perkembangan
alamiah BPH. Resiko perkembangan penyakit atau timbulnya komplikasi
masih tidak jelas. Namun, pada pria dengan gejala BPH, jelas bahwa
perkembangan penyakit tidak dapat dielakkan dan pada beberapa pria
mengalami perbaikan secara spontan atau kesembuhan dari gejala-gejala yang
mereka rasakan.
Penelitian retrospektif dari perjalanan penyakit BPH kebanyakan
mengalami bias subjek, berhubungan dengan pilihan pasien dan jenis serta
tingkat pengamatan lanjutan. Sangat sedikit penelitian retrospektif yang
dilakukan untuk menentukan perjalanan alamiah penyakit BPH. Baru-baru ini,
penelitian acak dalam skala besar yang membandingkan finasterida dengan
plasebo pada laki-laki dengan keluhan menengah sampai berat dari gejala
BPH dan pembesaran prostat melalui pemeriksaan rektal. Pasien dengan
plasebo pada penelitian memiliki resiko sebesar 7% berkembangnya retensi
urin dalam 4 tahun.
Seperti disebutkan sebelumnya, watchful waiting merupakan keadaan
dimana pasien tidak mendapatkan terapi, tetapi perkembangan penyakitnya
diawasi oleh dokter merupakan terapi yang tepat pada pria dengan skor gejala
ringan (0-7). Pria dengan gejala menengah-berat juga dapat diterapi dengan
terapi pilihan ini jika mereka memilih demikian. Belum ada ketetapan berapa
lama interval waktu tindak lanjut ataupun batas akhir spesifik perlu
dilakukannya tindakan intervensi pada pasien dengan gejala ringan BPH
tersebut.
B. Terapi Medis
1. Alfa Blocker
Prostat dan kandung kemih manusia mengandung alfa-1-
adrenoreseptor, dan prostat memperlihatkan suatu respons kontraktilitas
terhadap agonis yang sesuai. Kontraktilitas prostat dan leher kandung
kemih tampaknya diperantarai oleh subtipe alfa-1a-reseptor. Blokade alfa
memperlihatkan perbaikan derajat gejala objektif and subjektif pada tanda
dan gejala BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat
diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan juga waktu paruh
masing-masing.
Fenoksibenzamine dan prazosin telah dibandingkan efektivitasnya
dalam perbaikan gejala simtomatis, namun efek samping
fenoksibenzamine yang lebih tinggi terkait dengan kurangnya spesifisitas
terhadap reseptor alfa mengakibatkan berkurangnya pemakaian pada
pasien BPH. Titrasi dosis dibutuhkan pada penggunaan prazosin, dengan
terapi yang dimulai dengan dosis 1miligram saat akan tidur selama 3
malam, kemudian meningkat 1miligram dua kali sehari, yang kemudian
dinaikkan menjadi 2 miligram dua kali sehari jika dibutuhkan. Pada dosis
yang lebih tinggi, sedikit perbaikan gejala simtomatis dapat diamati dan
efek samping obat menjadi lebih buruk. Efek samping yang dapat muncul
diantaranya yaitu hipotensi ortostatik, pusing, kelelahan, ejakulasi
retrograd, rinitis, dan nyeri kepala.
Alfa-blocker kerja panjang dapat digunakan dengan dosis satu kali
sehari, tetapi titrasi dosis masih diperlukan. Terazosin diberikan mulai dari
1 mg sehari selama tiga hari, dan meningkat 2 mg per hari selama 11 hari
dan kemudian 5 mg per hari. Dosis dapat dinaikkan menjadi 10 mg sehari
jika dibutuhkan. Terapi dengan doxazosin dimuali dari 1 mg sehari selama
tujuh hari dan meningkat 2 mg sehari selama 7 hari, dan kemudian 4 mg
sehari. Dosis juga dapat ditingkatkan menjadi 8 mg sehari jika diperlukan.
Efek samping serupa dengan efek samping yang ditimbulkan prazosin.
Perkembangan terbaru pada terapi alfa-blocker berhubungan dengan
identifikasi subtipe dari alfa-1-reseptor. Blokade selektif pada reseptor-
alfa-1a, yang berlokasi di prostat dan leher kandung kemih, berakibat pada
lebih sedikitnya efek samping pada sistemik (hipotensi ortostatik, pusing,
kelelahan, ejakulasi retrograd, rinitis, dan nyeri kepala), juga
menghindarkan dari perlunya titrasi dosis. Tamsulosin dimulai dengan
dosis 0,4mg perhari, dan dapat ditingkatkan menjadi 0,8mg perhari jika
dibutuhkan. Alfuzosin merupakan uroselektif antagonis alfa-1-adrenergik.
Seperti Tamsulosin, tidak dibutuhkan titrasi dosis untuk persiapan
pelepasan obat tambahan (10 mg), dan obat ini memiliki efek samping
kardiovaskuler yang lebih sedikit dibandingkan terapi alfa-bloker non
spesifik.
Beberapa penelitian acak, buta-ganda, percobaan dengan placebo,
masing-masing dibandingkan dengan alfa-blocker dan plasebo, telah
memperlihatkan keamanan dan efikasi dari keseluruhan obat-obatan
tersebut.
2. Penghambat 5-alfa-reduktase
Finasterida merupakan penghambat 5-alfa-reduktase yang
menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat ini
mempengaruhi komponen epitel dari prostat, yang berakibat pada
berkurangnya ukuran kelenjar dan perbaikan gejala. Enam bulan terapi
dibutuhkan untuk melihat efek maksimal pada ukuran prostat
(berkurangnya ukuran sebesar 20%) dan perbaikan gejala simtomatis.
Beberapa penelitian acak, buta ganda, uji kontrol-plasebo telah
membandingkan finasterida dengan plasebo. Efektivitas, keamanan, dan
daya tahan telah diketahui dengan baik. Namun, perbaikan gejala hanya
ditemukan pada pria dengan pembesaran prostat lebih dari 40 cm3. Efek
samping termasuk diantaranya yaitu berkurangnya libido, berkurangnya
volume ejakulasi, dan impotensi. Serum PSA berkurang sekitar 50% pada
pasien yang diterapi dengan finasterida, namun nilainya pada masing-
masing individual dapat bervariasi.
Dutasterida dibedakan dari Finasterida karena ia menghambat baik
isoenzim maupun 5-alfa-reduktase. Seperti halnya finasterida, dutasterida
juga mengurangi serum PSA dan ukuran volume prostat total. Penelitian
acak, buta ganda, uji kontrol-plasebo telah memperlihatkan efektivitas
dutasterida dalam mengurangi gejala, skor gejala, aliran urin puncak, dan
mengurangi resiko retensi urin akut dan kebutuhan terapi pembedahan.
Efek samping utama adalah disfungsi ereksi, berkurangnya libido,
ginekomastia, dan gangguan ejakulasi.
3. Terapi Kombinasi
Penelitian acak, buta ganda, uji kontrol-plasebo pertama meneliti
kombinasi alfa-blocker dan penghambat 5-alfa-reduktase diujikan dalam 4
macam uji pada para veteran, membandingkan plasebo, finasterida
tunggal, terazosin tunggal, dan kombinasi finasterida dengan terazosin
(Lepor et al, 1996). Lebih dari 1200 pasien berpartisipasi, dan
pengurangan secara signifikan gejala dan meningkatnya pancaran urin
hanya terlihat pada subjek penelitian yang hanya menggunakan terazosin.
Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa pembesaran prostat tidak masuk
dalam kriteria. Pada faktanya, ukuran prostat pada percobaan ini jauh
lebih kecil dibandingkan dengan uji kontrol sebelumnya yang
menggunakan finasterida (32 lawan 52 cm3). Mc Connel dan kolega
melakukan suatu penelitian jangka panjang, uji buta ganda yang
melibatkan 3047 pria untuk membandingkan efek dari plasebo, doxazosin,
finasterida, dan terapi kombinasi untuk mengukur progresifitas klinis dari
BPH (Mc Connell, 2003). Resiko dari keseluruhan perkembangan
penyakit- didefinisikan sebagai peningkatan minimal 4 poin dari nilai
dasar pada Skor Gejala AUA, retensi urin akut, inkontinensia urin,
insufisiensi renal, atau infeksi saluran kemih berulang- berkurang sangat
signifikan pada penggunaan doxazosin (berkurangnya 39% resiko) dan
finasterida (berkurangnya 34% resiko) dibandingkan dengan plasebo.
Berkurangnya resiko berhubungan dengan terapi kombinasi
(berkurangnya 66% resiko) secara signifikan lebih besar dibandingkan
dengan penggunaan doxazosin atau finasterida tunggal. Pasien tampak
akan lebih mendapat keuntungan dari terapi kombinasi pada mereka yang
berada yang berada pada garis dasar perkembangan penyakit paling besar,
secara umum yaitu pasien dengan kelenjar prostat yang lebih besar dan
nilai PSA yang lebih tinggi.
4. Fitoterapi
Fitoterapi merujuk pada penggunaan tanaman atau ekstrak tanaman
untuk tujuan pengobatan. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular
dalam beberapa tahun di Eropa, dan penggunaannya bertumbuh sesuai
dengan antusiasme masyarakat. Beberapa macam ekstrak tanaman telah
populer, seperti Serenoa repens, kulit dari Pygeum africanum, akar dari
Echinacea purpurea dan Hypoxis rooperi, ekstrak serbuk sari, dan daun
dari trembling poplar. S. repens merupakan agen yang paling dikenal
dengan dosis 320 mg/hari. Walaupun beberapa efek yang memuaskan
terhadap gejala dan aliran urin, beberapa penelitian terhadap agen
fitoterapi tadi masih belum konsisten (Wilt et al, 2002). Suatu penelitian
prosprektif terbaru, berupa uji klinik acak terhadap S. repens, tidak
memperlihatkan keuntungan dibandingkan plasebo dalam perbaikan
pancaran urin. Mekanisme kerja dari fitoterapi ini masih belum diketahui,
dan efektifitas serta keamanan dari agen tersebut masih belum diuji
dengan baik pada penelitian di beberapa tempat, penelitian acak, buta
ganda, dan penelitian kontrol-plasebo.
Klasifikasi Dosis OralAlfa-Blocker Nonselective Phenoxybenzamine 10 mg 2 x seharialfa-1, kerja singkat
Prazosin 2 mg 2 x seharialfa-1, kerja panjang
Terazosin 5 atau 10 mg perhariDoxazosin 4 atau 8 mg perhari
alfa-1a selektif Tamsulosin 0,4 atau 0,8 mg perhariAlfuzosin 10 mg perhari
5-alfa reduktase inhibitor Finasterida 5 mg per hariDutasterida 0,5 mg per hariImplan subkutan TahunanTriptorelin Pamoat 3,75 mg tiap bulan
Tabel 1. Klasifikasi terapi medis dan dosis rekomendasi pada BPH
C. Terapi Pembedahan Konvensional
1. Reseksi Prostat Transuretral (TURP)
Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat dilakukan
menggunakan endoskopik. Kebanyakan dari prosedur ini meliputi
penggunaan anestesi spinal dan membutuhkan 1-2 hari perawatan di
rumah sakit. Skor simptom dan perbaikan aliran urin dengan transurethral
resection of the prostate (TURP) lebih baik dibandingkan terapi invasif
minimal lainnya. Namun demikian, lama tinggal di rumah sakit pada
pasien yang menjalani TURP lebih besar. Banyak kontroversi berputar
pada kemungkinan tingginya angka kesakitan dan kematian berhubungan
dengan TURP bila dibandingkan dengan mereka yang menjalani
pembedahan terbuka, namun semakin tingginya angka yang diamati pada
satu penelitian itu kemungkinan berhubungan lebih signifikan dengan
komorbiditas pada pasien TURP daripada pada pasien yang menjalani
pembedahan terbuka. Beberapa penelitian lainnya tidak dapat
mengonfirmasi perbedaan angka mortalitas ketika hasil penelitian
dikontrol dengan variabel usia dan komorbiditas.
Resiko dari TURP yaitu meliputi ejakulasi retrograd (75%), impotensi
(5-10%) dan inkontinensia urin (<1%). Komplikasi dari TURP meliputi
perdarahan, striktur uretra atau kontraktur leher kandung kemih, perforasi
kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan jika parah, Trans uretra reseksi
sindrom berakibat pada hipervolemia, keadaan hiponatremia akibat
absorpsi dari cairan irigasi hipotonis. Manifestasi klinis dari sindrom
Transuretra reseksi meliputi mual, muntah, kebingungan, hipertensi,
bradikardia, dan gangguan penglihatan. Resiko dari sindrom transuretra
reseksi meningkat dengan waktu reseksi yang lebih dari 90 menit.
Penanganan meliputi diuresis, dan pada kasus yang berat, memerlukan
pemberian salin cairan hipertonic.
2. Insisi Prostat Transuretral
Pria dengan gejala menengah sampai berat dan prostat dengan ukuran
kecil sering mengalami hiperplasia posterior komisura (peningkatan leher
kandung kemih). Pasien-pasien ini sering mendapat keuntungan dari insisi
pada leher prostat. Prosedur ini memakan waktu lebih singkat dan angka
kesakitan yang lebih kecil dibandingkan TURP. Hasil dari pasien yang
terpilih dengan baik dapat dibandingkan, namun ditemukan angka
kejadian ejakulasi retrograd yang lebih kecil pada tindakan insisi
transuretra (25%). Teknik meliputi dua insisi menggunakan Pisau Collins
pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai pada distal orifisium uretra dan
diperluas keluar menuju verumontanum kemudian insisi diperdalam
hingga kapsula prostat.
3. Prostatektomi Sederhana Terbuka
Saat ukuran prostat terlalu besar untuk dilakukan pembedahan
menggunakan endoskopi, dibutuhkan suatu enukleasi secara terbuka. Tapi
apa yang dimaksudkan ‘terlalu besar’ adalah subjektif dan bergantung
pada pengalaman ahli bedah dalam melakukan TURP. Kelenjar berukuran
lebih dari 100 gram biasanya dipertimbangkan untuk dilakukan enukleasi
secara terbuka. Prostatektomi terbuka juga dapat dimulai jika bersamaan
dengan adanya divertikulum kandung kencing atau batu ginjal atau jika
tidak mungkin untuk menempatkan pasien dalam posisi litotomi dorsal.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan baik dengan pendekatan
suprapubik maupun retropubis. Suatu prostatektomi sederhana suprapubik
dapat dilakukan secara transvesika dan apakah pilihan tindakan operasi
dapat menyesuaikan seiring keadaan patologis pada kandung kencing.
Setelah kandung kencing terbuka, insisi setengah bulan sabit/semisirkular
dibuat pada mukosa kandung kemih, di sebelah distal dari trigonum.
Bidang diseksi dimulai dengan tajam dan diseksi tumpul dengan
menggunakan jari dilakukan untuk menyingkirkan adenoma. Diseksi pada
apeks harus dilakukan dengan tajam untuk menghindari cedera pada distal
mekanisme sphincter. Setelah adenoma disingkirkan, hemostasis dikontrol
dengan jahitan pengikat, dan kedua kateter uretra maupun suprapubic
dimasukkan sebelum dilakukan penutupan.
Pada prostatektomi retropubis, kandung kencing tidak dimasuki.
Namun sebaliknya, insisi transversal dibuat pada kapsul pembedahan di
prostat, dan adenoma di keluarkan. Hanya kateter uretra yang dibutuhkan
pada akhir prosedur.
D. Terapi Invasif Minimal
1. Terapi Laser
Berbagai macam teknik berbeda dari pembedahan dengan laser pada
prostat telah dijelaskan. Dua sumber energi utama laser telah digunakan,
yaitu Nd: YAG dan holmium: YAG. Beberapa perbedaan besar dengan
teknik nekrosis koagulasi telah dijelaskan. Prostatektomi transuretra yang
diinduksi laser (TULIP- transurethral laser-induced prostatectomy) telah
dilakukan dengan petunjuk TRUS. Peralatan TULIP ditempatkan pada
uretra, dan TRUS digunakan untuk mengarahkan peralatan sambil alat
tersebut ditarik perlahan dari leher kandung kencing menuju apeks prostat.
Kedalaman tindakan diawasi dengan menggunakan gelombang suara.
Kebanyakan urolog memilih untuk menggunakan teknik laser dengan
petunjuk visual. Dibawah kontrol sistoskopi, serat laser ditarik melalui
prostat pada beberapa area yang telah diatur, bergantung pada ukuran dan
konfigurasi prostat. Pendekatan empat kuadran dan sextant telah
dijelaskan pada lobus lateral, dengan peralatan tambahan diarahkan pada
lobus median yang membesar. Teknik koagulasi tidak mengakibatkan
gangguan visual pada uretra pars prostatika, tapi kebanyakan jaringan
terkelupas akibat tindakan pada beberapa minggu sampai tiga bulan
setelah tindakan.
Ablasi pandangan visual teknik adalah prosedur yang lebih memakan
waktu karena serat laser diletakkan pada tempat yang alami kontak
langsung dengan jaringan prostat, yang mengalami vaporisasi. Defek
langsung diperoleh pada uretra prostatika, sama seperti yang dapat dilihat
pada TURP.
Terapi laser intersisial meletakkan serat laser langsung pada prostat,
biasanya dibawah kontrol sistoskopi. Pada setiap pungsi, laser
ditembakkan, berakibat terjadinya nekrosis koagulatif submukosa. Teknik
ini dapat berakibat pada lebih sedikitnya gejala iritatif berkemih, karena
mukosa uretra terhindar dan jaringan prostat diserap tubuh dibandingkan
terjadinya pengelupasan.
Keuntungan pembedahan laser meliputi (1) kehilangan darah minimal,
(2) jarang terjadi transuretra reseksi sindrom, (3) dapat mengobati pasien
dengan terapi antikoagulasi, dan (4) dapat dilakukan sebagai prosedur
rawat jalan. Kekurangan meliputi (1) tidak adanya jaringan yang didapat
untuk pemeriksaan patologi, (2) waktu pemasangan kateter yang lebih
panjang post operasi, (3) keluhan berkemih iritatif yang lebih sering, dan
(4) tingginya biaya untuk serat laser dan pembangkit listrik.
Penelitian skala besar, multicenter, dan acak dengan pengamatan
lanjut jangka panjang dibutuhkan untuk membandingkan pembedahan
prostat menggunakan laser dengan TURP dan bentuk lain terapi
pembedahan minimal invasif lainnya.
2. Elektrovaporasi Prostat Transuretra
Elektrovaporasi transuretra menggunakan resektoskopi standar, tetapi
menggantikan lingkaran konvensional dengan suatu variasi roller ball
yang memiliki alur. Tingginya densitas mengakibatkan penguapan panas
dari jaringan, berakibat terbentuknya rongga atau kavitas pada uretra pars
prostatika. Karena peralatan membutuhkan kecepatan memeriksa secara
perlahan pada seluruh uretra prostatika, dan kedalaman vaporasi sekitar
satu pertiga dibandingkan loop standar, prosedur biasanya memakan
waktu lebih lama dibandingkan TURP standar. Juga dibutuhkan data
komparasi dalam jangka waktu panjang.
3. Hipertermia
Gelombang mikro dengan suhu tinggi biasanya dilakukan dengan
menggunakan kateter transuretra. Beberapa alat mendinginkan mukosa
uretra untuk mengurangi resiko cedera. Namun, jika temperatur tidak
melebihi 45oC, pendinginan tersebut tidak diperlukan. Didapatkan
perbaikan skor simptom dan aliran urin, namun seperti halnya
pembedahan laser, pengamatan jangka panjang dengan skala besar dan
acak dibutuhkan untuk mengukur daya tahan dan efektivitas biaya.
4. Ablasi Jarum Prostat Transuretral
Ablasi jarum transuretra menggunakan kateter uretra yang didisain
khusus yang dimasukkan ke dalam uretra. Jarum dengan frekuensi radio
intersisial kemudian ditembakkan dari ujung kateter, menusuk mukosa
uretra prostatika. Penggunaan frekuensi radio untuk memanaskan jaringan
berakibat terjadinya nekrosis koagulatif. Teknik ini kurang adekuat untuk
pembesaran leher kandung kencing dan lobus median. Perbaikan gejala
berkemih subjektif dan objektif terjadi, tapi seperti yang disebutkan
sebelumnya, penelitian komparatif jangka panjang tentang teknik ini
masih sedikit.
5. Ultrasonografi Terfokus dengan Intensitas Tinggi
Ultrasonografi terfokus dengan intensitas tinggi adalah bentuk lain
dari penggunaan ablasi jaringan menggunakan suhu. Alat ultrasonografi
yang didesain khusus yang digunakan untuk pemeriksaan diletakkan pada
rektum. Alat ini dapat memberikan gambaran prostat secara transrektal
dan juga memberikan energi ultrasonografi berintensitas tinggi secara
singkat, yang memanaskan jaringan prostat dan mengakibatkan nekrosis
koagulasi. Teknik ini kurang adekuat untuk pembesaran leher kandung
kencing dan lobus median. Walaupun uji klinik menunjukkan adanya
perbaikan skor simptom dan aliran urin, daya tahan dari respon tersebut
belum diketahui.
6. Pemasangan Stent Intrauretral
Stent intrauretral adalah alat yang diletakkan menggunakan
endoskopik pada fossa prostatika dan didesain untuk menjaga patensi
uretra prostatika. Alat ini biasanya akan diselimuti sel-sel urotelium dalam
4-6 bulan setelah pemasangan. Alat ini biasanya digunakan pada pasien
dengan harapan hidup yang terbatas yang bukan merupakan kandidat atau
tidak memenuhi syarat pembedahan ataupun tindakan anestesi. Dengan
munculnya teknik invasif minimal lainnya yang membutuhkan anestesi
minimal (sedasi sadar atau blok prostat), penerapan dari teknik ini menjadi
terbatas.
Lampiran International Prostat Simptoms Score / American Urology
Association