Download - Bank Indonesia Kajian Keuangan
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan
tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan
pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan∆.
Penerbit:
Bank Indonesia
Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta
Indonesia
Informasi dan Order :
KSK ini terbit pada bulan Maret 2008 dan didasarkan pada data dan informasi per Desember 2007, kecuali dinyatakan lain.
Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id
Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan
Biro Stabilitas Sistem Keuangan
Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia
Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8075
Fax : (+62-21) 351 8629
Email : [email protected]
KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk :
Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan
Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan
Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan
Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.
Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 10, Maret 2008 )
ii
iii
Kata Pengantar vi
Gambaran Umum 3
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9
Kondisi Makroekonomi 9
Kondisi Sektor Riil 14
Boks 1.1. Macroeconomic Stress Test 19
Boks 1.2. Potensi Tekanan dari Utang Luar Negeri 20
Bab 2 Sektor Keuangan 25
Struktur Sistem Keuangan Indonesia 25
Perbankan 26
Pendanaan dan Risiko Likuiditas 26
Perkembangan dan Risiko Kredit 27
Risiko Pasar 35
Profitabilitas dan Permodalan 37
Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 40
Perusahaan Pembiayaan 40
Pasar Modal 42
Boks 2.1. Perkembangan Industri Asuransi dan
Potensi Risiko bagi Sistem Keuangan 47
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 53
Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 53
Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 54
Daftar Isi
Prospek Sistem Keuangan Indonesia 55
Potensi Kerawanan 56
Boks 3.1. Dampak Kenaikan Harga Minyak terhadap
Stabilitas Sistem Keuangan 58
Boks 3.2. Bencana Alam, Lingkungan Hidup dan
Stabilitas Sistem Keuangan 59
Bab 4 Infrastruktur Keuangan 63
Sistem Pembayaran 63
Perkembangan Sistem Pembayaran 63
Kebijakan dan Mitigasi Risiko dalam Sistem
Pembayaran 64
Biro Informasi Kredit 65
Mitigasi Risiko Sistem Keuangan 67
Forum Stabilitas Sistem Keuangan 67
Crisis Management Protocol 68
Artikel
Artikel 1 Survey Industri Properti:
Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan
Membayar 71
Artikel 2 Survey Neraca Rumah Tangga:
Indikator Penting Dalam Surveillance
Stabilitas Sistem Keuangan 79
Glosari 93
iv
Daftar Tabel dan Grafik
Tabel
1.1 Indikator Ekonomi Dunia 10
1.2 Pangsa Ekspor Non-Migas Indonesia Per Negara 11
1.3 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 14
1.4 Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Ekuitas Konglomerasi 16
1.5 Peringkat Daya Saing √ World Economic Forum 17
2.1 Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa
Regional 42
2.2 Perkembangan Indeks Harga Sektoral 43
3.1 Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 53
3.2 Persepsi Risiko Indonesia 54
4.1 Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen dalam
Sistem BI-RTGS 64
4.2 Transaksi APMK 64
4.3 Perbandingan Ketentuan SID 66
Tabel Boks :
2.1.1 Perkembangan Jumlah Usaha Asuransi
2003-2006 47
3.1.1 Proyeksi NPL Gross Tahun 2008 dengan Berbagai
Skenario Harga Minyak 58
1.1 Indeks Harga Saham Global 9
1.2 Ekspor Non-Migas Indonesia 10
1.3 Nilai Impor Non-Migas Indonesia 10
1.4 Indeks Harga Beberapa Komoditas 11
1.5 Suku Bunga Internasional 11
1.6 Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS 11
1.7 Outlook Sovereign Rating Indonesia Standard &
Poor»s 11
1.8 Outlook Sovereign Rating Indonesia Moody»s 12
1.9 Outlook Sovereign Rating Indonesia Fitch 12
1.10 Komposisi Aliran Modal Masuk 12
1.11 Komposisi Aliran Modal Portfolio Asing 12
1.12 Portfolio Investment Ratio 12
1.13 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 13
1.14 Nilai Tukar Mata Uang Dunia 13
1.15 Inflasi Indonesia dan BI-Rate 13
1.16 Perkembangan Suku Bunga Indonesia 14
1.17 Selisih antara Suku Bunga Kredit dengan
Suku Bunga Deposito 14
1.18 Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen 15
1.19 Kredit Konsumsi 15
1.20 Pertumbuhan ROA dan ROE 15
1.21 Perkembangan Debt to Equity Ratio 15
1.22 Probability of Default Perusahaan Non-Financial
Go Public (Desember 2007) 16
1.23 Probability of Default Perusahaan Non-Financial
Go Public (Juni 2008) 16
1.24 Probability of Default Perusahaan Non-Financial
Go Public (Juni dan Desember 2007) 16
1.25 Kewajiban Neto Valas terhadap Equity 17
1.26 Pertumbuhan PDB Sektoral 17
1.27 Pembiayaan Korporasi Tbk dan Ekspansinya
(Pertumbuhan Aset) 18
1.28 Tingkat Pengangguran di Indonesia 18
1.29 Perkembangan DER dan TL/TA 18
2.1 Aset Lembaga Keuangan 25
2.2 Pertumbuhan DPK per Valuta (mtm) 26
2.3 Pertumbuhan DPK per Komponen (mtm) 26
2.4 Rasio Alat Likuid Perbankan 27
Grafik
v
2.5 Suku Bunga Rata-rata PUAB O / N 27
2.6 Pertumbuhan Kredit 28
2.7 Komposisi Aktiva Produktif 28
2.8 Perkembangan Kredit valas 28
2.9 Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan 29
2.10 Perkembangan Kredit Sektor Ekonomi 29
2.11 Perkembangan UL 30
2.12 Non Performing Loan 30
2.13 Nominal NPL 30
2.14 Perkembangan Nominal NPL 31
2.15 Perkembangan NPL Gross Kelompok Bank 31
2.16 Perkembangan Nominal NPL Sektor Ekonomi 31
2.17 Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi 31
2.18 Perkembangan NPL Kredit Jenis Penggunaan 32
2.19 Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit 32
2.20 Perkembangan NPL Gross 32
2.21 Perkembangan Rasio NPL Gross Kredit
Konsumsi 33
2.22 Nominal NPL Korporasi dan MKM 33
2.23 NPL Gross MKM dan Korporasi 33
2.24 NPL Valas dan Rupiah 34
2.25 Stress Test NPL terhadap CAR 34
2.26 Kredit, NPL dan Penyisihan Penghapusan Kredit 35
2.27 Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar 35
2.28 Suku Bunga Kredit per Kelompok Bank 35
2.29 Maturity Profile Rupiah 36
2.30 Maturity Profile Valas 36
2.31 Perkembangan PDN (Overall) 37
2.32 SUN yang Dimiliki Perbankan 37
2.33 Perkembangan NII Perbankan 37
2.34 Rasio ROA Kelompok Bank 38
2.35 Komposisi Pendapatan Bunga Bank 38
2.36 Rasio CAR Kelompok Bank Semester II 2007 38
2.37 Rasio Modal Inti terhadap ATMR dan CAR 38
2.38 Peta Perkembangan Modal Inti 39
2.39 Stress Test CAR 40
2.40 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 40
2.41 Kegiatan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan 40
2.42 Kinerja Perusahaan Pembiayaan 41
2.43 Sumber Dana PP Swasta Nasional 41
2.44 Sumber Dana PP Patungan 41
2.45 Inflows pada SUN-SBI-Saham 42
2.46 Volatilitas Bursa Asia 42
2.47 Bursa Regional: Perkembangan Indeks Saham 43
2.48 Pasar Saham: Nilai Transaksi & IHSG 43
2.49 Market Efficiency Coefficient 43
2.50 Pasar Saham: Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi 44
2.51 Perkembangan Harga Beberapa Seri SUN 44
2.52 Yield Penanaman Tenor 5 Tahun 44
2.53 Kepemilikan SUN 45
2.54 SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor 45
2.55 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 45
2.56 Perkembangan NAB Jenis Reksa Dana 45
2.57 Reksa Dana: NAB & Unit Penyertaan 45
2.58 Reksa Dana: Redemption & Subscription 46
2.59 Perkembangan Komposisi NAB Reksa Dana 46
3.1 Profil Risiko Perbankan dan Arahnya 55
3.2 Indeks Stabilitas Keuangan
(Financial Stability Index) 55
4.1 Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran
Semester II 2007 63
Grafik Boks :
1.2.1 Utang Luar Negeri 20
1.2.2 Indikator Debt Burden Indonesia 20
1.2.3 Rencana Pembayaran ULN Indonesia 20
2.1.1. Permodalan Asuransi 2003-2006 47
2.1.2. Aset-Premi-Klaim: 2003-2006 47
2.1.3. Perkembangan Laba Asuransi: 2003-2006 47
2.1.4. Beberapa Indikator Kesehatan Perusahaan
Asuransi 48
2.1.5. Investasi Perusahaan Asuransi: 2003-2006 48
2.1.6. Premi: Unit Link & Total: 2003-2006 48
2.1.7. Hasil Investasi: Unit Link terhadap Total:
2003-2006 48
3.1.1. NPL Perbankan dan Harga Minyak 58
vi
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan Kajian
Stabilitas Keuangan (KSK) No.10, Maret 2008 ini. KSK merupakan penyampaian informasi kepada para stakeholders
tentang salah satu pelaksanaan fungsi pokok Bank Indonesia disamping menjaga stabilitas moneter, yakni memelihara
stabilitas sistem keuangan.
Sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, KSK edisi ini memuat hasil analisis tentang sumber-sumber instabilitas,
langkah mitigasi risiko dan prospek stabilitas keuangan ke depan. Selain itu, secara khusus KSK edisi ini juga memuat dua
artikel masing-masing tentang hasil survei kredit properti dan survei neraca keuangan rumah tangga (household).
Keberadaan kedua artikel tersebut sangat penting karena sejarah telah menunjukkan bahwa krisis keuangan dapat
berasal dari kegagalan sektor properti dan ketidakmampuan sektor rumah tangga memenuhi kewajibannya kepada
lembaga-lembaga keuangan.
Penerbitan KSK edisi ini juga sangat strategis mengingat semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh
sektor keuangan dan perekonomian Indonesia. Tantangan terbesar berasal dari meningkatnya risiko perekonomian global
terutama sebagai akibat krisis subprime mortgage yang melanda negara-negara besar di dunia. Krisis subprime mortgage
ini telah mengguncang pasar keuangan dunia sehingga menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan global dan
menurunnya kepercayaan pada pelaku bisnis. Tantangan berikutnya adalah meningkatnya tekanan inflasi di tengah
melambatnya pertumbuhan perekonomian dunia, terkait dengan kenaikan harga minyak dunia dan harga komoditi
pokok. Dari dalam negeri, tantangan antara lain berasal dari semakin meningkatnya intensitas bencana alam serta kondisi
makroekonomi yang belum tentu sebaik kondisi sepanjang tahun 2007.
Meningkatnya tantangan-tantangan tersebut di atas memerlukan kewaspadaan dari semua pihak yang terkait di
sektor keuangan. Untuk mendukung kewaspadaan tersebut, sangat diperlukan adanya informasi yang up to date yang
disertai dengan kajian tentang isu-isu yang terkait dengan sektor keuangan. Dalam konteks inilah, penerbitan KSK akan
berperan dalam menyampaikan informasi dan kajian secara rutin sehingga bermanfaat untuk semua pihak yang terkait,
termasuk para pelaku bisnis, pejabat Pemerintah, serta akademisi dan pengamat.
Patut dicatat bahwa tahun 2007 yang baru saja dilewati merupakan salah satu tahun terbaik dalam konteks
stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sektor keuangan Indonesia terjaga dengan baik, sedangkan perbankan sebagai
industri terbesar dalam sektor tersebut terus menunjukkan kinerja yang semakin baik. Hal ini antara lain terlihat dari
pelaksanaan fungsi intermediasi yang terus meningkat sehingga pertumbuhan kredit mencapai 25,5%, sementara rasio
non-performing loans (NPL) gross dapat ditekan hingga 4,64% atau untuk pertama kalinya sejak krisis berada di bawah
5%. Ke depan salah satu tantangannya adalah bagaimana mengarahkan pertumbuhan kredit agar lebih mengarah
Kata Pengantar
vii
untuk tujuan produktif serta mendorong kemajuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah terbukti
cukup tahan terhadap krisis.
Dengan harapan-harapan tersebut di atas, sekali lagi kami menyambut gembira penerbitan KSK edisi ini. Untuk
itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung. Semoga kajian-kajian yang dilakukan akan bermanfaat dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan ke depan sehingga mampu menopang stabilitas makroekonomi yang berkelanjutan demi kesejahteraan
masyarakat seluas-luasnya.
Jakarta, Maret 2008
DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA
Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad
viii
1
Gambaran Umum
Gambaran Umum
2
Gambaran Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
3
Gambaran Umum
Stabilitas sistem keuangan Indonesia selama semester II 2007 tetap terjaga
dengan prospek yang positif. Hal tersebut berhasil dicapai dengan dukungan
stabilitas makroekonomi dan kinerja sektor riil yang terus menunjukkan
perbaikan meskipun belum sepenuhnya sesuai harapan. Kinerja sektor
keuangan terutama perbankan juga semakin menggembirakan sehingga
mampu meningkatkan pertumbuhan kredit yang lebih besar dengan kualitas
kredit yang semakin baik. Lembaga keuangan bukan bank, terutama
perusahaan pembiayaan, dan pasar saham juga terus bertumbuh di tengah
semakin meningkatnya tekanan gejolak pasar keuangan global. Pasar surat
utang juga mengalami pertumbuhan yang menggembirakan meskipun
terdapat beberapa kali tekanan di tahun 2007, yang dapat dimitigasi dampak
negatifnya. Ke depan, sumber-sumber instabilitas perlu terus dimonitor dan
dimitigasi dampak negatifnya, antara lain dengan disusunnya Crisis
Management Protocol dan ditingkatkannya koordinasi antara otoritas
perbankan dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank.
Gambaran Umum
1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS
Ketahanan sistem keuangan pada paruh kedua
tahun 2007 menghadapi tantangan yang semakin berat
dibandingkan dengan semester sebelumnya. Sumber-
sumber instabilitas yang sudah ada pada semester
sebelumnya terus berlanjut di tengah semakin dinamisnya
perkembangan sektor keuangan.
Secara umum, tekanan terbesar terhadap sistem
keuangan selama semester II 2007 lebih banyak
ditimbulkan oleh gejolak lingkungan eksternal. Hal ini
terutama terlihat dari semakin bergejolaknya pasar
keuangan global. Bahkan, bursa saham global semakin
sering terkoreksi secara signifikan yang dipicu oleh
meningkatnya ketidakpastian dan menurunnya
kepercayaan diantara sesama pelaku bisnis di pasar
keuangan dunia sebagai dampak lanjutan dari krisis
subprime mortgage. Meskipun bank-bank di Indonesia
tampaknya tidak ada yang terlibat langsung dalam
transaksi subprime mortgage, namun sejalan dengan
4
Gambaran Umum
semakin terintegrasinya ekonomi nasional dengan
ekonomi dunia maka gejolak pasar uang global yang
ditimbulkan oleh krisis tersebut cepat berimbas kepada
sektor keuangan domestik. Akibatnya, setiap kali terjadi
tekanan terhadap bursa saham global maka bursa saham
Indonesia juga ikut terkoreksi secara dalam. Keadaan ini
dapat membahayakan sistem keuangan apabila pada saat
yang bersamaan terjadi aliran modal keluar secara serentak
dan tiba-tiba (sudden reversal).
Peningkatan gejolak lingkungan eksternal juga
muncul sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia
dan komoditi pokok. Dalam periode laporan, harga minyak
dunia bahkan sempat melampaui USD110 perbarel.
Sementara itu, harga komoditi pokok juga terus
melambung, terutama harga produk-produk pertanian,
barang tambang dan hasil alam. Kenaikan harga-harga
ini menimbulkan ancaman inflasi tinggi yang dapat
menurunkan daya beli masyarakat baik pada tingkat global
maupun domestik. Bagi sektor keuangan, inflasi tinggi
akan mengurangi kemampuan debitur dalam melunasi
kreditnya sehingga berpotensi meningkatkan non-
performing loans (NPL).
Permasalahan pokok lainnya yang berkontribusi pada
peningkatan gejolak lingkungan eksternal adalah
melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang dipicu
oleh beban berat perekonomian Amerika Serikat. Paska
krisis subprime mortgage, pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat menjadi sangat melambat dan bahkan beberapa
pengamat menyebutnya sebagai diambang resesi.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia akan
menimbulkan tekanan pada sektor keuangan karena
mengganggu kinerja eksportir yang menjadi nasabah bank
dan lembaga keuangan lainnya.
Sementara itu, tingginya ketergantungan terhadap
perbankan, berbagai kendala di sektor rii l dan
terkonsentrasinya kredit pada pembiayaan konsumen
juga masih menjadi sumber instabilitas. Dengan
tingginya ketergantungan terhadap perbankan maka
gejolak atau krisis yang melanda perbankan dengan
cepat akan menjalar kepada industri lain di sektor
keuangan. Lambatnya penyelesaian berbagai kendala
di sektor riil, seperti masalah ketenagakerjaan dan
keterbatasan infrastruktur, dapat menghambat kegiatan
investasi dan mengganggu kelancaran kegiatan bisnis
dunia usaha.
Meskipun pada semester laporan kenaikan kredit
konsumsi sedikit lebih rendah dari kredit modal kerja,
namun kewaspadaan perlu tetap ditingkatkan untuk
mencegah terkonsentrasinya kredit pada pembiayaan
konsumen. Konsentrasi tersebut dapat membahayakan
sektor keuangan terutama apabila pendapatan rumah
tangga (household income) tidak cukup kuat untuk
memenuhi kewajiban pada bank dan lembaga keuangan
lainnya. Selain itu, konsentrasi terhadap kredit konsumsi
dapat membuat berkurangnya perhatian untuk
meningkatkan kredit tujuan produktif yang justru lebih
dibutuhkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Bencana alam yang terjadi silih berganti di Indonesia
akhir-akhir ini juga merupakan salah satu sumber
instabilitas yang perlu diwaspadai. Walaupun Bank
Indonesia telah mengeluarkan ketentuan tentang
perlakuan khusus terhadap kredit bank di daerah yang
terkena bencana alam, namun apabila bencana alam itu
terjadi secara meluas dan terus menerus maka ketahanan
sektor keuangan akan ikut terganggu.
Sumber instabilitas penting lainnya terkait dengan
semakin terintegrasinya bisnis perbankan dengan bisnis
lembaga keuangan non-bank yang menyebabkan batas-
batas antara produk perbankan dan produk lembaga
keuangan lainnya semakin kabur. Hal ini perlu sekali
diwaspadai mengingat inovasi produk keuangan yang
tidak disertai dengan kejelasan tentang mitigasi risiko
5
Gambaran Umum
dan transparansi produk yang memadai dapat
merugikan nasabah dan membahayakan stabilitas sistem
keuangan.
Selanjutnya, kemungkinan meningkatnya gangguan
keamanan karena semakin dekatnya pelaksanaan Pemilu
juga perlu menjadi perhatian. Meskipun dari pengalaman
Pemilu sebelumnya tidak terdapat hal-hal yang perlu
dikhawatirkan dan masyarakat juga sudah semakin
terbiasa dengan dinamika pesta demokrasi, namun sektor
keuangan perlu selalu waspada dalam mengantisipasi
setiap kemungkinan yang dapat mengganggu stabilitas
sistem keuangan, termasuk yang terkait dengan persiapan
pelaksanaan Pemilu ini.
2. MITIGASI RISIKO
Untuk memperkecil peluang terjadinya instabilitas
pada sektor keuangan beberapa langkah mitigasi risiko
telah dilakukan. Pertama, memperkuat manajemen risiko
perbankan. Selama periode laporan, kemampuan
melaksanakan manajemen risiko semakin meningkat. Hal
ini merupakan dampak positif dari pelaksanaan sertifikasi
manajemen risiko bagi pengelola bank serta persiapan-
persiapan yang telah dilakukan perbankan dalam rangka
implementasi Basel II. Selain itu, penggunaan pendekatan
risk based supervision oleh pengawas bank juga telah
mendorong perbankan untuk melaksanakan manajemen
risiko yang lebih baik.
Mitigasi risiko juga dilakukan dengan meningkatkan
efektivitas pemantauan (surveillance) terhadap sistem
keuangan. Untuk itu, secara terus menerus dilakukan
review dan pengembangan dari berbagai metode dan
pendekatan yang digunakan dalam rangka surveillance,
baik yang bersifat kuantitatif seperti stress test dan simulasi,
maupun yang bersifat kualitatif seperti pemantauan secara
berkala terhadap perkembangan sektor-sektor yang
berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap
stabilitas sistem keuangan seperti halnya sektor riil dan
rumah tangga (household).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap
perbankan, mitigasi risiko yang dapat dilakukan antara
lain adalah dengan mendorong financial deepening yang
memungkinkan lembaga keuangan non-bank untuk lebih
berperan dalam sektor keuangan. Financial deepening juga
memungkinkan berkembangnya pasar hedging dan
derivative, sehingga dapat membantu lembaga-lembaga
keuangan dan pelaku bisnis untuk melakukan manajemen
risiko yang lebih baik.
Untuk mengurangi risiko yang terkait dengan
semakin bergejolaknya pasar global maka hal yang paling
penting dilakukan adalah meningkatkan koordinasi antara
otoritas perbankan dengan otoritas pasar modal dan
lembaga keuangan lainnya. Dengan adanya koordinasi
yang erat maka langkah-langkah antisipasi dapat segera
dirumuskan sebelum permasalahan menjadi meluas. Tidak
kalah pentingnya adalah meningkatkan fungsi Forum
Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) serta mempercepat
disahkannya Rancangan Undang-undang Jaring Pengaman
Sektor Keuangan (JPSK). Selain itu, penyusunan Crisis
Management Protocol yang mengatur prosedur dan
langkah-langkah yang harus dilakukan pada saat krisis,
juga merupakan hal yang sangat penting dalam konteks
menjaga stabilitas sistem keuangan.
3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Ke depan, stabilitas sistem keuangan diperkirakan
akan tetap terjaga, meskipun terdapat tantangan yang
lebih berat pada tahun 2008, terutama sebagai akibat
melambatnya ekonomi Amerika Serikat dan kenaikan
harga minyak dunia, serta dampak ikutan (contagion) atas
tingginya tekanan terhadap pasar keuangan global.
Kondisi ini dapat memicu instabilitas melalui transmisi
perlambatan ekonomi Indonesia. Beberapa hal yang
6
Gambaran Umum
mendukung ketahanan sistem keuangan tersebut,
terutama perbankan, adalah semakin meningkatnya
kemampuan manajemen risiko perbankan serta semakin
membaiknya pelaksanaan surveillance terhadap stabilitas
sistem keuangan, baik dari segi metode maupun luasnya
cakupan. Disamping itu, berbagai stress test yang telah
dilakukan memberikan indikasi yang kuat bahwa
perbankan sebagai sokoguru sektor keuangan cukup
tahan terhadap goncangan risiko kredit, risiko suku bunga,
risiko nilai tukar, dan risiko harga surat utang negara (SUN).
Hal lain yang memperkuat optimisme ke depan
adalah semakin kuatnya permodalan bank. Ketentuan
modal inti minimum sebesar Rp80 miliar pada akhir 2007
umumnya telah dapat dipenuhi oleh semua bank umum.
Selanjutnya, dengan adanya kewajiban bank umum untuk
memiliki modal inti minimum sebesar Rp100 miliar pada
tahun 2010 diharapkan perbankan akan semakin
memperkuat permodalannya sehingga akan lebih mampu
menghadapi risiko yang lebih besar.
Ditengah-tengah meningkatnya risiko ketidakpastian
di pasar keuangan global, prospek sistem keuangan
Indonesia masih terlihat positif karena ditunjang oleh
penguatan harga komoditas dan manajemen risiko yang
lebih baik. Meskipun kecenderungan naiknya harga
komoditas umumnya disambut dengan kekhawatiran,
namun penting dicatat bahwa peningkatan harga
komoditas tersebut juga mendorong terbukanya peluang
bisnis pada sektor-sektor seperti pertambangan (batubara),
energi alternatif, dan perkebunan (crude palm oil, kedelai,
dan tebu).
Upaya memelihara stabilitas sistem keuangan
memerlukan informasi yang cukup tentang semua sektor
yang terkait. Untuk mengetahui secara lebih dini
perkembangan sektor properti maka dikembangkan suatu
model Early Warning System (EWS) yang dapat
menjelaskan perilaku kredit properti. Model yang
dihasilkan memperlihatkan bahwa NPL properti 6 bulan
ke depan cenderung turun, dan akan kembali naik pada
periode 12 bulan kemudian. Sementara itu, hasil survei
neraca rumah tangga (household) pada 6 lokasi
(Bodetabek, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sumatera Barat) menunjukkan bahwa
seluruh rumah tangga di lokasi survei mampu memenuhi
kewajibannya baik terhadap bank maupun lembaga
keuangan non bank. Hal ini memberikan petunjuk bahwa
tekanan terhadap ketahanan sistem keuangan yang
berasal dari sektor rumah tangga, khususnya pada 6 lokasi
tersebut, tidak mengkhawatirkan. Ke depan, untuk
mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang peranan
sektor rumah tangga dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan, maka cakupan survei neraca rumah tangga
perlu diperluas kepada lokasi-lokasi lainnya di Indonesia.
7
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Bab 1Kondisi Makroekonomidan Sektor Riil
8
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
9
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
1.1. KONDISI MAKROEKONOMI
Perkembangan ekonomi internasional pada semester
II 2007 didominasi oleh kekhawatiran akan resesi
perekonomian Amerika Serikat yang dipicu oleh krisis
subprime mortgage dan menurunnya tingkat konsumsi
Amerika Serikat. Krisis subprime mortgage merupakan titik
balik dari skim perkreditan berisiko tinggi yang diberikan
lembaga keuangan dalam rangka pembiayaan perumahan.
Krisis ini sudah terjadi sejak tahun 2006, namun
dampaknya baru meluas sejak awal semester II 2007.
Laporan tentang kerugian yang dialami oleh investor-
investor besar kredit sub-prime mortgage, termasuk bank-
bank bereputasi tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, yang
diiringi dengan laporan tentang masih terus meningkatnya
delinquency rate dan foreclosure rate debitur subprime
mortgage menjadi sentimen negatif yang memicu investor
melakukan redemption besar-besaran secara bersamaan.
Aksi redemption tersebut berpengaruh kepada pasar
keuangan negara-negara lain termasuk di emerging
markets, sehingga mengakibatkan pelemahan indeks
bursa saham global. Namun demikian, berbeda dengan
Selama semester II 2007 stabilitas makroekonomi Indonesia masih terjaga
dari gejolak di pasar keuangan global. Sementara itu, ekspansi ekonomi
terus berlanjut, meskipun diperkirakan akan melambat di 2008 akibat dipicu
naiknya harga minyak dunia. Dalam kondisi tersebut, inflasi masih terkendali,
bahkan tingkat suku bunga domestik mulai menurun yang dapat memberikan
peluang bagi aktivitas perekonomian.
Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1
itu, indeks bursa saham Indonesia sampai dengan akhir
Desember 2007 masih mengalami peningkatan meskipun
dengan volatilitas yang semakin tinggi. Kecilnya dampak
krisis subprime mortgage ke pasar keuangan domestik
karena tidak adanya lembaga keuangan Indonesia yang
melakukan penanaman langsung pada kredit jenis ini.
Selain itu, tetap bergairahnya pasar saham domestik
didukung pula dengan semakin membaiknya fundamental
makroekonomi.
Dampak lanjutan dari permasalahan krisis subprime
mortgage menyebabkan turunnya daya beli masyarakat
Grafik 1.1Indeks Harga Saham Global
Sumber: Bloomberg
2006 20070
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000Singapore HongkongNew York Dow JonesIndonesia Nikkei
10
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
di Amerika Serikat. Melambatnya belanja konsumsi rumah
tangga kemudian membatasi pendapatan sektor korporasi
sehingga menimbulkan gelombang pemutusan hubungan
kerja. Mengingat belanja konsumsi rumah tangga
merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat maka
penurunannya menyebabkan pertumbuhan ekonomi
negara tersebut pada 2007 melambat 0,4% menjadi
sebesar 2,2%, atau lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 2,6%. Hal ini memicu kekhawatiran
bahwa Amerika Serikat sudah mendekati resesi.
Karena ekonomi Amerika Serikat menggerakkan
hampir 20% ekonomi dunia, pelemahannya sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Akibatnya, pada tahun 2007, IMF memperkirakan
pertumbuhan ekonomi dunia melambat hingga ke level
4,9%. Perlambatan tersebut lebih dipengaruhi oleh
perlambatan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju,
sementara pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang khususnya China dan India masih cukup
tinggi. Namun terdapat kekhawatiran bahwa ekonomi
China melakukan pengetatan moneter yang berdampak
kepada perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Pelemahan ekonomi Amerika Serikat yang
berkepanjangan berpotensi mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi negara-negara emerging market sejalan dengan
semakin ketatnya persaingan ekspor antar negara-negara
tersebut khususnya di Asia. Hal ini disebabkan penurunan
daya beli rumah tangga di Amerika Serikat yang
merupakan konsumen utama produk ekspor negara-
negara tersebut. Khusus untuk Indonesia, kondisi tersebut
belum berdampak signifikan terhadap nilai dan volume
ekspor. Sampai dengan November 2007 nilai ekspor
Indonesia masih tumbuh cukup tinggi meskipun
menunjukkan kecenderungan menurun. Dalam 11 bulan
pertama tahun 2007, ekspor Indonesia tumbuh 16,5%
(y-o-y), sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
tahun 2004-2006 dengan rata-rata sebesar 18,8% per
tahun.
Grafik 1.2Ekspor Non-Migas Indonesia
Grafik 1.3Nilai Impor Non-Migas Indonesia
Sumber: BI
Juta USD Juta USD
2006 2007
ManufacturingMining and Quarrying
Agriculture, Hunting, FishingTotal
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
Juta USD Juta USD
Sumber: BI
2006 2007
ManufacturingMining and QuarryingAgriculture, Hunting, FishingTotal
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
World Output*) 4,4 5,0 4,9 4,1
Advanced Economies*) 2,5 3,0 2,6 1,8
Emerging & Developing Countries*) 7,0 7,7 7,8 6,9
Consumer PriceAdvanced Economies 2,3 2,3 2,1 2,0
Emerging & Developing Countries1) 5,2 5,1 5,9 5,3
(exclude Zimbabwe)
LIBOR2)
US Dollar Deposit 3,8 5,3 5,2 4,4
Euro Deposit 2,2 3,1 4,0 4,1
Yen Deposit 0,1 0,4 0,9 1,1
Oil Price (USD) - rata-rata3) 41,3 20,5 6,6 9,5
Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia
Kategori 2005 2006
%%%%%Proyeksi
2007 2008
Sumber: World Economic Outlook - IMF Oktober 2007*) World Economic Outlook Update Projection - IMF January 2008
11
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Amerika Serikat. Disamping itu, sejumlah bank sentral
negara lain juga melakukan hal yang sama. Berbagai
langkah yang ditempuh oleh the Fed dan sejumlah bank
sentral negara lain tersebut cukup efektif meredam
sentimen negatif yang beredar di pasar. Dampaknya,
indeks bursa saham global yang sempat anjlok karena aksi
redemption, secara perlahan kembali menguat.
Grafik 1.5Suku Bunga Internasional
Grafik 1.6Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS
Grafik 1.7Outlook Sovereign Rating Indonesia Standard & Poor»s
Relatif tetap tingginya nilai ekspor Indonesia terutama
didukung oleh kenaikan harga-harga komoditas ekspor di
pasar internasional, terutama minyak, CPO, timah dan karet.
Selain itu, meningkatnya diversifikasi negara tujuan ekspor
Indonesia ke negara-negara Asia khususnya ke China dan
India ikut mendukung bertumbuhnya ekspor Indonesia.
Peningkatan ekspor kepada dua negara ini cukup mampu
mengkompensasi dampak perlambatan ekspor akibat
permasalahan di perekonomian Amerika Serikat.
Dalam upaya pemulihan ekonomi Amerika Serikat,
the Fed melakukan penurunan suku bunga Fedfund rate
ke level 4,25% pada Desember 2007 dan berlanjut menjadi
2,25% pada Maret 2008. Selain menurunkan suku bunga,
the Fed juga melakukan liquidity injections dalam jumlah
besar ke sistem perbankan dan pasar keuangan untuk
mencegah semakin dalamnya potensi krisis ekonomi di
USA 14,61 14,07 14,00 13,19 12,00Canada 0,80 0,71 0,70 0,67 0,59Singapura 10,46 10,86 10,60 9,82 9,57Malaysia 4,80 5,01 4,92 4,84 5,05India 3,53 3,94 4,34 4,37 5,26Jepang 14,44 15,17 14,76 15,21 14,35China 5,64 6,09 6,01 6,98 7,31Korea Selatan 3,74 3,27 4,03 4,23 4,10Eropa 18,31 16,51 16,24 16,11 15,72
Tabel 1.2Pangsa Ekspor Non-Migas Indonesia Per Negara
Negara 2003 2004 2005 2006 2007
Sumber: BI
Grafik 1.4Indeks Harga Beberapa Komoditas
Sumber: BI
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Minyak TembagaTimah EmasMinyak Sawit KopiBeras KaretAluminium
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
% %
SIBOR ECB FFR LIBOR
Sumber: Bloomberg
0
1
2
3
4
5
6
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20080
1
2
3
4
5
6
Sumber: Bloomberg, BI, BPS
% %
2005 2006 2007
AS
Indonesia
-8
-6
-4
-2
0
2
4
-8
-6
-4
-2
0
2
4
Jul-92 Sep-94 Des-96 Feb-99 Apr-01 Jul-03 Sep-05 Nov-07
SD
CCC+
B
B+
BB-
BB
BB+
BBB-
BBB
BBB+
SD
CCC+
B -
B
B+
BB-
BB
BB+
BBB-
BBB
BBB+
SD
CCC+
B-
B
B+
BB-
BB
BB+
BBB-
BBB
BBB+
Sumber: Bloomberg
Stable Outlook
12
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Penurunan tajam Fedfund rate menyebabkan semakin
tingginya interest rate differential suku bunga negara-negara
emerging market terhadap suku bunga Amerika Serikat.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging market
yang relatif cukup kuat dan ekspektasi tingginya imbal hasil
investasi menimbulkan sentimen positif kepada negara-
negara emerging market termasuk Indonesia. Semakin
tingginya tingkat bunga rill Indonesia dibandingkan Amerika
Serikat, membaiknya imbal hasil rupiah dan membaiknya
outlook sovereign rating Indonesia dari lembaga-lembaga
rating internasional semakin mendorong masuknya aliran
dana investasi asing ke Indonesia.
Namun demikian, kekhawatiran terhadap
kemungkinan masih akan terus meluasnya dampak krisis
subprime mortgage menyebabkan para investor sangat
berhati-hati dalam melakukan investasi. Mereka cenderung
memilih investasi jangka pendek dalam bentuk portofolio
aset-aset keuangan. Di Indonesia, pada tahun 2007,
pangsa aliran modal portofolio dalam komponen aliran
modal mencapai 55% sedangkan pangsa Foreign Direct
Investment (FDI) sebesar 45%. Sementara pangsa investasi
dalam SBI (money market) meningkat tajam menjadi 14%.
Grafik 1.8Outlook Sovereign Rating Indonesia Moody»s
Grafik 1.9Outlook Sovereign Rating Indonesia Fitch
Grafik 1.10Komposisi Aliran Modal Masuk
Grafik 1.11Komposisi Aliran Modal Portfolio Asing
Grafik 1.12Portfolio Investment Ratio
Jun-97 Des-98 Jun-00 Des-01 Jun-03 Nov-04 Mei-06 Nov-07
CCC+
B
B
B+
BB-
BB
BB+
BBB-
BBB
CCC+
-
B
B+
BB-
BB
BB+
BBB-
BBB
Sumber: Bloomberg
Positive Outlook
Mar-94 Jun-96 Okt-98 Jan-01 Mei-03 Ags-05 Nov-07Caa1
B3
B2
B1
Ba3
Ba2
Ba1
Baa3
Baa2
Sumber: Bloomberg
Stable Outlook
% of Total Liabilities, BOP
37
72
57
45
63
28
43
55
2004 2005 2006 2007
Direct investment (in Indonesia)Portfolio investment (Liabilities)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sumber: BI
% of Total Liabilities, BOP
11
1822
1615
63
14
40
-1
1923
-4
6
-2
3
Bond & Note (Public)Others - SBI (Public)Equity Securities (Private)Debt Sec. (Private)
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2004 2005 2006 2007Sumber: BI
%
0,100,24
1,040,94
0,28
0,80
2,18
1,63
0,03 0,03 0,120,20
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00 PI/CAPI/FDIPI/Int»l Reserve
Thailand Malaysia Philippines Indonesia
Sumber: BI
13
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Dalam skala regional, rasio portofolio di Indonesia baik
terhadap Capital Account (CA), FDI, dan cadangan devisa
lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Malaysia, meskipun
lebih rendah daripada Filipina.
Peningkatan ekspor dan terus masuknya aliran
investasi portfolio ke Indonesia mendukung terjadinya
surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2007 yang
lebih tinggi dibandingkan 2006. Perbaikan kinerja NPI
mendorong naiknya jumlah cadangan devisa menjadi
USD56,92 miliar pada Desember 2007 atau setara
dengan 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri.
Sejalan dengan surplus NPI, imbal hasil rupiah yang
menarik dan faktor resiko yang terjaga, nilai tukar rupiah
pada 2007 secara rata-rata menguat 0,29% dibandingkan
2006 sehingga menjadi sebesar Rp9.125 pada akhir tahun.
Akan tetapi, dibandingkan nilai tukar mata uang beberapa
negara lain, selama 2007 indeks nilai tukar rupiah paling
rendah walaupun volatilitasnya masih dalam batas yang
terkendali.
Volatilitas nilai tukar yang terkendali dan konsistensi
kebijakan moneter untuk menjaga kestabilan harga
berdampak kepada perbaikan ekspektasi inflasi. Selama
semester II 2007, laju inflasi bergerak terkendali. Secara
keseluruhan tingkat inflasi tahun 2007 berada dalam batas
yang ditargetkan oleh Bank Indonesia yaitu 6%±1%.
Ekspektasi laju inflasi yang terkendali mendorong
dilakukannya penurunan BI rate secara bertahap dan
terukur hingga mencapai level 8,00% pada Desember
2007.
Grafik 1.13Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Grafik 1.15Inflasi Indonesia dan BI-Rate
Grafik 1.14Nilai Tukar Mata Uang Dunia
Peningkatan ekspor dan peningkatan daya
konsumsi yang didukung oleh terjaganya stabilitas
makroekonomi, laju inflasi yang terkendali, serta
penurunan suku bunga mendorong ekonomi Indonesia
terus bertumbuh meskipun terhambat oleh perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia. Secara keseluruhan,
selama tahun 2007 pertumbuhan ekonomi mencapai
6,33%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya
yang sebesar 5,48%.
Ke depan, risiko kerawanan sektor eksternal
diperkirakan masih cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi
IDR/USD
8.500
8.600
8.700
8.800
8.900
9.000
9.100
9.200
9.300
9.400
9.500
9.600
Sumber: Bloomberg
IDR/USD
9.47
49.
255
9.15
78.
929
9.01
89.
366
9.12
89.
093
9.15
59.
174
9.13
89.
087
9.07
59.
077
9.17
29.
095
8.84
28.
981
9.06
79.
358
9.10
59.
102
9.26
79.
356
8.500
8.600
8.700
8.800
8.900
9.000
9.100
9.200
9.300
9.400
9.500
9.600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 122006 2007
9.238
9.181
8.968
9.109
9.295
9.108 9.124 9.1349.125
9.165 9.210
9.0399.129
9.201
Rata-rata bulananRata-rata triwulananRata-rata tahunanRata-rata semesteran
Sumber: BloombergKet: Peningkatan indeks = penguatan nilai tukar
2 0 0 7
SGD PHP KRW EURJPY IDR THB
Indeks Indeks
85
90
95
100
105
110
115
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des85
90
95
100
105
110
115
1 Januari 2007 = 100
Sumber: BPS & BI
2005 2006 2007
% %
Inflasi (y-o-y)
BI-rate
0
4
8
12
16
0
4
8
12
16
14
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
potensi terus meluasnya krisis subprime mortgage yang
masih berlanjut terhadap perekonomian global melalui
pasar keuangan, dan tekanan laju inflasi dari kenaikan
harga minyak dunia dan makanan. Selain itu terdapat juga
kekhawatiran akan terjadinya resesi ekonomi dunia yang
dipicu oleh pelemahan ekonomi Amerika Serikat apabila
paket stimulus ekonomi yang dipersiapkan pemerintahnya
tidak cukup mampu menahan memburuknya kondisi
ekonomi negara itu. Dengan pertimbangan tersebut,
pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2008 yang pada
Oktober 2007 diperkirakan oleh IMF akan tumbuh sebesar
4,8% mengalami koreksi pada Januari 2008 hingga turun
menjadi 4,1%. Kondisi ini juga mempengaruhi proyeksi
pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih rendah dari
perkiraan awal, yaitu pada level 6,5% menurut perkiraan
IMF. Angka ini sejalan dengan perkiraan Bank Indonesia
sebesar 6,2%-6,8%.
Perkembangan makroekonomi tersebut di atas
mempengaruhi ketahanan sektor keuangan. Hal ini antara
lain terlihat dari hasil macro stress test tentang risiko kredit
di industri perbankan (lihat Boks 2.1). Selain faktor-faktor
makroekonomi, ketahanan sektor keuangan juga dapat
dipengaruhi oleh utang luar negeri. Analisis mengenai
potensi tekanan dari sisi utang luar negeri ini disajikan
pada Boks 2.2.
1.2. KONDISI SEKTOR RIIL
Fundamental ekonomi yang membaik menyebabkan
penurunan BI rate secara bertahap diikuti oleh suku bunga
domestik lainnya. Dibandingkan akhir semester sebelumnya,
pada akhir semester II 2007 suku bunga Kredit Investasi
(KI), Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Konsumsi (KK) turun
masing-masing 98 bps, 88 bps dan 78 bps sehingga menjadi
sebesar 13,01%, 13,00% dan 16,13%. Meskipun
penurunan BI rate masih ditransmisikan secara terbatas
kepada suku bunga kredit yang tergambar dari masih relatif
besarnya selisih antara suku bunga kredit (khususnya kredit
konsumsi) dengan suku bunga deposito, ekspektasi suku
bunga rendah dan stabilitas makroekonomi yang terjaga
memberikan sentimen positif yang mendorong keyakinan
konsumen (demand) dan optimisme produsen (supply)
terhadap perkembangan perekonomian ke depan.
GDP Growth (%) 5,60 5,48 5,99 6,34 6,52 6,47 6,33
- Sisi Pengeluaran
- Consumption 4,41 3,91 4,57 4,60 5,43 6,92 5,41
- Investment (Gross
Fixed Capital Form) 9,93 2,91 7,82 6,96 8,83 9,75 8,37
- Exports 8,60 9,16 8,95 9,78 7,78 9,14 8,00
- Imports 12,35 7,57 8,45 7,29 8,15 9,64 8,38
Tabel 1.3Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Indikator 2007
%%%%%
2007
Tw I Tw II Tw III Tw IV2005 2006
Sumber: BI
Grafik 1.16Perkembangan Suku Bunga Indonesia
Sumber: BI
% %
KK
KI
KMK
BI-rate SBI 1 bln
Dep Rp 1 bln
Tabungan
0
5
10
15
0
5
10
15
2005 2006 2007
Grafik 1.17Selisih antara Suku Bunga Kredit
dengan Suku Bunga Deposito
Sumber: BI
Rata-rata KMK KI KK
%%
0
2
4
6
8
10
0
2
4
6
8
10
2005 2006 2007
15
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Dari sisi demand, peningkatan keyakinan konsumen
tercermin dari kecenderungan meningkatnya Indeks
Keyakinan Konsumen yang berdampak kepada
peningkatan konsumsi swasta.1 Hal ini antara lain dapat
diamati dari peningkatan kredit konsumsi. Selain didorong
oleh penurunan suku bunga, peningkatan konsumsi
swasta tersebut juga didukung oleh peningkatan daya beli
sebagian anggota masyarakat dan faktor musiman seperti
perayaan hari-hari besar keagamaan dan tahun baru
selama semester II 2007.
go public pada tahun 2007 relatif membaik dibandingkan
tahun sebelumnya. Hal ini antara lain terlihat dari kenaikan
rentabilitas usaha (ROA dan ROE) dan penurunan leverage.
1 Survei Konsumen Desember 2007. Survei ini dilakukan secara rutin setiap bulan sejakOktober 1999 oleh Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia.
Grafik 1.18Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 1.19Kredit Konsumsi
Optimis
Pesimis
Indeks150,0
125,0
100,0
75,0
50,0
25,0
2005 2006 20072 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121
Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini
Indeks Ekspektasi KonsumenIndeks Keyakinan Konsumen
Sumber: BI
Sumber: BI
2004 2005 2006
Rp triliun %
NPL (left axis)
Kredit (left axis)
Growth (right axis)
0
50
100
150
200
250
0
5
10
15
20
25
300 30
Outstanding
Sementara itu, dari sisi supply, sejalan dengan kondisi
makroekonomi yang cukup mendukung maka kinerja
keuangan korporasi khususnya perusahaan non-financial
Grafik 1.20Pertumbuhan ROA dan ROE
Grafik 1.21Perkembangan Debt to Equity Ratio
-100
0
100
200
300
400
500
600
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
2003 2004 2005 2006 2007Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4 Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4 Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4 Tw 1Tw 2Tw 3 Tw 4Tw 1Tw 2Tw 3
ROE (kanan)ROA (kiri)
Sumber: BEI
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
2005 2006 2007
Tw 1 Tw 2 Tw 3 Tw 4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4
Sumber: BEI
Namun demikian, peningkatan kinerja sektor
korporasi tersebut belum diiringi oleh peningkatan
ekspansi usaha yang memadai. Bahkan sebelum sektor
korporasi berkembang lebih maju, berbagai gejolak di
pasar keuangan seperti dampak krisis subprime mortgage
serta kenaikan harga bahan bakar minyak dan komoditi
pokok telah datang menghadang. Gejolak tersebut
berpotensi menahan perkembangan kinerja sektor
korporasi ke depan. Dalam kaitan ini, hasil estimasi
probability of default (PD) perusahaan non financial go
public di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah
perusahaan dengan PD di atas 0,5 diperkirakan meningkat
16
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
dari 21 perusahaan pada akhir Desember 2007 menjadi
22 perusahaan pada akhir Juni 2008. Hal ini
mengindikasikan adanya potensi penurunan kinerja
0,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-1,0
181
2 1 0 0 2 0 0 019
Distribusi Forecast Probability of Default Juni 2008
Grafik 1.22Probability of Default Perusahaan Non-Financial
Go Public (Desember 2007)
0,0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 0,3-0,4 0,4-0,5 0,5-0,6 0,6-0,7 0,7-0,8 0,8-0,9 0,9-1,0
178
3 0 0 2 0 0 0 022
Distribusi Forecast Probability of Default Desember 2007
Grafik 1.23Probability of Default Perusahaan Non-Financial
Go Public (Juni 2008)
Agri Mining Bsc Idty& Che
Misc Idty Cnsmr Gds Property Infrstrctr Trade,Invstmt
Des-07 Jun-07
0,00,0
10,010,0
9,89,8 12,1
12,1
9,49,4
6,96,9
7,17,1
16,2
18,9
%
Grafik 1.24Probability of Default Perusahaan Non-Financial
Go Public (Juni dan Desember 2007)
10% 0 1 6 6 8 7 8 8 7 6 3 0 0 0
20% 0 0 1 6 1 5 6 5 3 3 5 0 0 0
30% 0 0 0 1 5 4 0 2 5 4 2 0 0 0
40% 0 0 0 0 1 2 5 1 0 2 5 1 0 0
50% 0 0 0 0 0 1 1 4 1 0 0 2 0 0
60% 0 0 0 0 0 0 1 1 4 2 1 2 0 0
70% 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 3 3 2 0
80% 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0
90% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
100% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 14 20 22
00000 11111 77777 1313131313 1515151515 1919191919 2121212121 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222
PenguranganEquity
Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)45.000
9.000 9.500 10.000 10.500 11.000 11.500 12.000 12.500 13.000 13.500 14.000 25.000 35.000
Tabel 1.4Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Ekuitas Konglomerasi
Jmlh KonglomerasiJmlh KonglomerasiJmlh KonglomerasiJmlh KonglomerasiJmlh Konglomerasibermasalahbermasalahbermasalahbermasalahbermasalah
korporasi yang meningkatkan risiko kredit pada sektor riil
ke depan. Sektor-sektor ekonomi yang diperkirakan
mengalami peningkatan PD adalah sektor Perdagangan,
Jasa dan Investasi (Trade, Service and Investment), serta
sektor Industri Lain-lain (Miscellaneous Industry).
Selain menghadapi potensi peningkatan risiko kredit,
perusahaan-perusahaan di sektor riil juga dapat terekspose
risiko nilai tukar. Hasil stress test terhadap 47 perusahaan
besar atau konglomerasi Indonesia menunjukkan bahwa
kinerja konglomerasi relatif tetap terjaga apabila rupiah
melemah menjadi kisaran Rp9.500/USD. Namun, apabila
nilai tukar Rupiah melemah menjadi Rp14.000/USD,
terdapat potensi terganggunya kinerja 1 konglomerasi
sehingga permodalannya turun sebesar 100%. Meskipun
17
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
secara umum konglomerasi tampaknya cukup tahan
terhadap gejolak nilai tukar, namun mencermati
perkembangan ekonomi global dan domestik akhir-akhir
ini, maka sangat diperlukan kehati-hatian mengingat
cukup banyak konglomerasi yang memiliki rasio kewajiban
neto valas terhadap modal lebih dari 25%.
Grafik 1.25Kewajiban Neto Valas terhadap Equity
Rasio kewajiban neto valasthp equity > 25%
%
(50)
(25)
0
25
50
75
100
125
150
175
200
A C E G I K M O Q S U W Y AA AC AE AG AI AK AM AO AQ
Sementara itu, meskipun komponen investasi dalam
struktur PDB menunjukkan pertumbuhan, namun
pertumbuhan tersebut masih bersifat terbatas.
Pertumbuhan lebih didorong oleh kemajuan di sektor non-
traded (pengangkutan, komunikasi, listrik, gas dan air serta
jasa dan keuangan). Sementara, sektor industri
pengolahan yang diharapkan sebagai sektor utama
pendorong pertumbuhan ekonomi karena mempunyai
multiplier effect yang besar kepada sektor ekonomi lain,
belum tumbuh tinggi, hanya sekitar 4,9%. Kondisi ini
masih sama dengan semester sebelumnya.
Grafik 1.26Pertumbuhan PDB Sektoral
(Growth, yoy)
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
2005 2006 2007
PertanianIndustri PengolahanBangunanPengangkutandan KomunikasiJasa-jasa
Pertambangan & PenggalianListrik, Gas dan Air BersihPerdagangan, Hotel,dan RestoranKeuangan, Persewaan,dan Jasa
Sumber: BI
Secara umum, terbatasnya pertumbuhan investasi
adalah karena sektor korporasi masih menghadapi
berbagai hambatan dalam pengembangan usahanya,
terutama masalah keterbatasan infrastruktur dan
ketenagakerjaan. Belum tuntasnya penyelesaian
permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan daya
saing investasi Indonesia belum menunjukkan perbaikan
yang signifikan. Menurut World Economic Forum East Asia
(Juni 2007), secara rata-rata peringkat daya saing investasi
Indonesia diantara negara-negara ASEAN hanya berada
di atas Vietnam dan Filipina.
Di tengah-tengah tekanan risiko usaha yang makin
tinggi, sektor korporasi cenderung untuk menjalankan
usaha dengan menggunakan sumber dana internal
dibandingkan dengan sumber dana eksternal seperti kredit
perbankan. Meskipun terdapat tren penurunan suku
bunga, alokasi kredit yang disediakan oleh bank belum
dimanfaatkan dengan maksimal. Hal ini sekaligus dapat
menjelaskan mengapa penyaluran kredit oleh perbankan
khususnya kredit investasi masih belum sesuai harapan.
Kecenderungan pembiayaan korporasi dengan sumber
dana internal tersebut dapat diamati dari relatif tingginya
rasio modal sendiri terhadap total aset pada perusahaan
yang go public.
Pada satu sisi, kecenderungan pembiayaan
menggunakan dana internal menunjukkan semakin
membaiknya kondisi keuangan korporasi karena sudah
Tabel 1.5Peringkat Daya Saing - World Economic Forum
Indonesia 54 54Malaysia 21 19Vietnam 68 64Thailand 28 28China 34 35Philippines 71 75Singapore 7 8
GCI 2007- 2008 GCI 2006-2007(of 131 countries) (of 122 countries)
Country
18
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Grafik 1.28Tingkat Pengangguran di Indonesia
%
2001 2002 2003 2004 2005 Feb-06 Ags-06 Feb-07 Ags-07
Sumber: BPS
0
2
4
6
8
10
12
Grafik 1.29Perkembangan DER dan TL/TA
2005 2006 2007
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
Debt Equity Ratio
Total Liabilies/Total Assets
Tw 1 Tw 2 Tw 3 Tw 4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4 Tw1 Tw2 Tw3 Tw4
Sumber: BEI
Grafik 1.27Pembiayaan Korporasi Tbk dan Ekspansinya
(Pertumbuhan Aset)
-0,2
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0Pertumbuhan Aset (kiri)Pembiayaan dengan Modal Sendiri (kanan)
-0,2
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Sumber: BEI
tidak lagi tergantung pada pembiayaan dari hutang.
Namun pada sisi lain, kecenderungan tersebut berpotensi
menghambat korporasi untuk melakukan ekspansi usaha
secara penuh mengingat terbatasnya dana internal.
Apabila kondisi ini berlanjut maka ketersediaan lapangan
pekerjaan baru akan menjadi semakin terbatas sehingga
menyulitkan upaya penurunan tingkat pengangguran yang
masih tergolong tinggi.
Sementara itu, aliran dana dari luar negeri (capital
inflows) yang umumnya berupa portfolio aset-aset finansial
belum banyak membantu pembiayaan di sektor rill,
khususnya sektor investasi. Di tengah-tengah derasnya
aliran dana masuk ke Indonesia, rasio hutang terhadap
modal (debt-to-equity ratio) perusahaan-perusahaan non
financial go public malah cenderung menurun. Hal ini
menunjukkan aliran dana yang masuk belum terserap ke
sektor korporasi, khususnya yang telah go public.
Ke depan, tantangan di sektor rill diperkirakan cukup
tinggi terkait potensi kenaikan inflasi dan pengaruh
perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Agar
perekonomian dapat tumbuh lebih kuat diperlukan
dukungan dari berbagai pihak untuk mengatasi kendala-
kendala yang ada di sektor riil. Sejalan dengan itu, sektor
Mikro, Kecil dan Menengah (MKM) yang terbukti telah
mampu bertahan dalam kondisi krisis perlu lebih
ditingkatkan perannya dalam perekonomian. Dengan
demikian perbaikan kondisi makroekonomi akan dapat
benar-benar diikuti oleh membaiknya perkembangan di
sektor riil sehingga akan meningkatkan ketahanan
perekonomian dan sektor keuangan domestik terhadap
vulnerabilitas sektor eksternal.
19
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Macroeconomic Stress TestBoks 1.1
Untuk mengetahui dampak kondisi
makroekonomi terhadap risiko kredit perbankan
dilakukan macroeconomic stress test yang diestimasi
dengan menggunakan fixed-effect panel model.
Adapun model yang dikembangkan adalah model
regresi linear berdasarkan General Unrestricted Model
sebagai berikut:
dimana:
Yit : risiko kredit (LLP/TL dan NPL/TL)
Xit : variabel makroekonomi (GDP, Harga
Premium, Harga Solar, M1, M2, IHSG, INF,
EXRATE)
ai : efek individu dari setiap bank
eit : residual, dimana et~N(0, σ 2)
t : periode
LLP = Loan Loss Provisions
M1 = Narrow Money
NPL = Non Performing Loans
M2 = Broad Money
TL = Total Loans
IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan
GDP = Produk Domestik Bruto
INF = Inflasi
XRATE = Nilai Tukar
Menggunakan data dari 15 bank besar di
Indonesia dari Desember 1995 s.d. Mei 2005, hasil
stress test menunjukkan bahwa perubahan risiko
kredit, terutama variable LLP/TL, secara signifikan
dipengaruhi oleh perubahan indikator makroekonomi
seperti M2 dan inflasi. Hal ini berarti secara umum
shock yang ditimbulkan oleh faktor makroekonomi
meningkatkan risiko kredit pada bank. Oleh karena
itu, setiap perkembangan yang terjadi dalam
lingkungan makroekonomi baik domestik maupun
internasional sangat perlu dipantau dan diantisipasi
dengan cermat oleh para pihak yang terlibat di sektor
keuangan. Kegagalan dalam memonitor dan
mengantisipasi perkembangan makroekonomi dapat
membahayakan industri perbankan dan sistem
keuangan secara keseluruhan.
Yit =αi + δt+Σk
j = 1
γi Yit - j +Σn
m = 0
βi Xit - m + εit
20
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Potensi Tekanan Dari Utang Luar NegeriBoks 1.2
Salah satu aspek penting yang perlu dicermati
terkait dengan perkembangan makroekonomi adalah
potensi tekanan dari utang luar negeri (ULN). Sampai
dengan Desember 2007 ULN Indonesia mencapai
US$136,6 miliar yang didominasi oleh Pemerintah
(51,0%), diikuti Swasta & lain-lain (49%).
Namun demikian, kewaspadaan perlu lebih
ditingkatkan mengingat terdapat beberapa tanda
peningkatan potensi tekanan dari sisi ULN. Pertama,
jumlah ULN terus meningkat. Dibandingkan dengan
posisi tahun 2006 terdapat kenaikan ULN sebesar 7%.
Peningkatan tersebut juga terjadi pada ULN jangka
pendek, yaitu dari USD16,5 miliar menjadi USD23,1
miliar atau naik 40,2%. Akibatnya, rasio ULN jangka
pendek terhadap total ULN meningkat dari 13%
menjadi 17%. Kedua, rasio ULN jangka pendek
terhadap cadangan devisa juga meningkat, yaitu dari
38,7% (akhir 2006) menjadi 40,6% (akhir 2007).
Selain itu, laju peningkatan cadangan devisa lebih
rendah dibandingkan dengan peningkatan ULN jangka
pendek.
Perkembangan ULN tersebut sangat penting
untuk dicermati dampaknya terhadap ketahanan
sektor keuangan mengingat ULN atau modal asing
yang masuk banyak yang ditempatkan dalam SBI dan
SUN, dan cenderung terus meningkat. Pada akhir
2007 jumlah SBI dan SUN yang dimiliki asing tercatat
sebesar USD11,3 miliar atau meningkat USD3,2 miliar
(39,3%) dibandingkan posisi tahun sebelumnya.
Tekanan terhadap ketahanan sektor keuangan dapat
muncul apabila modal asing yang ditempatkan pada
domestic securities tersebut tiba-tiba mengalir keluar
Grafik Boks 1.2.1Utang Luar Negeri
Juta USD
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PemerintahSwastaLain-lain
Secara umum, sustainability ULN Indonesia terlihat
masih baik. Hal ini antara lain terlihat dari indikator-
indikator seperti external debt to GDP ratio, external
debt to export ratio dan debt service ratio (DSR). Ketiga
rasio tersebut pada tahun 2007 berada pada posisi yang
lebih rendah dari nilai benchmark yang ditetapkan oleh
World Bank sehingga dapat dikatakan berada pada level
yang cukup aman.
Grafik Boks 1.2.2Indikator Debt Burden Indonesia
%200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
%300
250
200
150
100
50
01997 1998 1999 2005 2006 2007
ED / EXPORT (RHS)ED / GDP (RHS)DSR (LHS)ST ED / RESERVE (LHS)
Grafik Boks 1.2.3Rencana Pembayaran ULN Indonesia
Sumber : Dint/PPLN2008
Juta USD Juta USD
0
400
800
1.200
1.600
2.000
2.400
2.800
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Pemerintah (lhs) Swasta (lhs) Total (rhs)
21
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
secara serentak (sudden reversal). Di samping itu,
tekanan juga dapat timbul karena cukup besarnya
angka rencana pembayaran ULN. Untuk tahun 2008,
rencana pembayaran tersebut mencapai USD23,7
miliar, terdiri dari pembayaran ULN Pemerintah sebesar
USD9,1 miliar (38,3%) dan pembayaran ULN swasta
sebesar USD14,6 miliar (61,7%). Dengan demikian,
pihak Pemerintah dan swasta perlu mengupayakan
agar ULN tersebut dapat dilunasi pada waktunya
sehingga tidak menimbulkan reputational risk dan
tidak meningkatkan country risk Indonesia di mata
dunia internasional.
22
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
23
Bab 2 Sektor Keuangan
Bab 2Sektor Keuangan
24
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
25
Bab 2 Sektor Keuangan
Sektor KeuanganBab 2
2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA
Dibandingkan dengan KSK edisi sebelumnya,
struktur sistem keuangan Indonesia tidak banyak
mengalami perubahan. Sistem keuangan masih terdiri dari
bank umum dan BPR, serta industri keuangan non-bank,
yaitu asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan,
sekuritas dan pegadaian. Data menunjukkan bahwa
perbankan masih tetap mendominasi, namun dengan
pangsa yang cenderung menurun menjadi sekitar 79%
dari total aset seluruh sistem keuangan. Selain itu, industri
perbankan juga masih didominasi oleh 15 bank besar
dengan pangsa mencapai sekitar 70% dari total aset
perbankan.
Selain perbankan, penurunan pangsa cukup besar
juga terjadi pada perusahaan pembiayaan. Sementara itu,
pangsa total aset perusahaan sekuritas menunjukkan
Pada semester II 2007 sektor keuangan Indonesia masih tetap terpelihara
stabilitasnya, khususnya pada sektor perbankan yang mampu menyerap
gejolak volatilitas yang relatif tinggi di pasar surat utang pemerintah. Industri
perbankan yang mendominasi sektor keuangan terus menunjukkan kinerja
yang menggembirakan dengan laju pertumbuhan kredit yang tinggi
meskipun komposisi kredit untuk tujuan produktif masih perlu ditingkatkan.
Kualitas kredit membaik, tercermin dari rasio NPL gross posisi akhir Desember
2007 yang untuk pertama kalinya sejak krisis berada di bawah 5%. Perbankan
tetap likuid dengan manajemen risiko yang semakin baik dalam menghadapi
gejolak pasar, yang disertai dengan profitabilitas dan permodalan yang
memadai.
Grafik 2.1Aset Lembaga Keuangan
2005
% total aset sektor keuangan
2006
Sumber: BI dan sumber lainnya
Bank Umum Komersial Bank Perkreditan RakyatPerusahaan Asuransi Dana PensiunPerusahaanPembiayaan Persahaan SekuritasPegadaian
81,5%
1,1%7,3%
3,5%5,3%
0,3%
1,0%
79,0%
1,1%
8,2%3,2% 4,6% 3,7% 0,3%
26
Bab 2 Sektor Keuangan
kenaikan cukup signifikan, diikuti oleh perusahaan asuransi
yang juga mengalami sedikit kenaikan pangsa. Secara
agregat, total dana yang dikelola oleh sektor keuangan
mencapai sekitar 64% dari total PDB Indonesia.2Ω
2.2. PERBANKAN
2.2.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas
Perkembangan Dana Pihak Ketiga
Sepanjang semester II 2007 dana pihak ketiga (DPK)
sebagai sumber dana utama perbankan terus meningkat.
Pada akhir 2007, total DPK industri perbankan mencapai
Rp1.510,7 triliun atau dalam satu semester meningkat
sebesar Rp157,0 triliun (11,60%). Namun demikian,
perkembangan tersebut tidak lagi diwarnai preferensi
penempatan dana dalam valuta asing seperti yang terjadi
pada semester sebelumnya. Selama semester laporan, DPK
rupiah tumbuh 13,62% sedangkan DPK valas hanya
tumbuh 1,36%.
seperti dari giro dan tabungan, dalam rangka efisiensi
biaya. Tingginya pertumbuhan tabungan pada periode
laporan tidak terlepas dari maraknya berbagai macam
inovasi untuk produk tabungan, seperti kemudahan
tabungan sebagai alat pembayaran (debit card) dan produk
tabungan berjangka dengan bunga yang lebih tinggi.
Sementara itu, pertumbuhan deposito yang rendah
tampaknya terkait dengan semakin menurunnya suku
bunga deposito seiring dengan turunnya BI rate. Karena
imbal hasil deposito yang cenderung menurun, nasabah
memilih alternatif investasi lain yang lebih
menguntungkan, salah satunya dengan melakukan
penanaman dalam reksa dana. Akibatnya, selama semester
II 2007 NAB reksa dana tumbuh pesat yaitu sebesar 36,4%.
Kecukupan Likuiditas
Kondisi likuiditas perbankan selama semester II 2007
cukup terkendali. Perbankan memiliki ketahanan likuiditas
yang cukup baik, tercermin dari tingginya rasio antara
jumlah alat likuid3Ω terhadap jumlah non core deposit
(NCD)4Ω. Pertumbuhan alat likuid perbankan yang lebih
besar dibandingkan dengan pertumbuhan kewajiban
jangka pendek menyebabkan rasio alat likuid laporan
meningkat dari sebesar 138,9% pada akhir semester
Grafik 2.2Pertumbuhan DPK per Valuta (mtm)
2 PDB nominal harga berlaku
%
DPK Rupiah
DPK valas
Semester I
Semester II
-6
-3
0
3
6
9
2006 Juni 2007 2007
Meskipun deposito masih memegang pangsa
terbesar dari total DPK, namun pertumbuhannya pada
semester II 2007 justru lebih kecil dibandingkan dengan
giro dan tabungan. Giro dan tabungan masing-masing
tumbuh sebesar 9,25% dan 23,69%, namun deposito
hanya tumbuh 6,15%. Perkembangan tersebut sejalan
dengan strategi bank untuk menggali sumber dana murah,
Grafik 2.3Pertumbuhan DPK per Komponen (mtm)
Giro
Deposito
-3
0
3
6
9
12
2006 Juni 2007 2007
Semester IISemester I
Tabungan
%
3 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (giro BI, SBI dan Fasbi)4 Asumsi non core deposit (NCD) adalah 30% giro dan tabungan + 10% deposito jangka
waktu s.d 3 bulan
27
Bab 2 Sektor Keuangan
mencapai angka 21% pada minggu kedua September
akibat cukup besarnya kontraksi likuiditas pada saat yang
bersamaan, yang sebagian besar untuk settlement Obligasi
Retail Indonesia (ORI) dan pembayaran pajak. Namun
dengan pengelolaan likuiditas yang cukup baik, antara lain
melalui pemanfaatan fasilitas SBI Repo, kondisi tersebut
tidak menimbulkan permasalahan likuiditas di industri
perbankan.
Grafik 2.4Rasio Alat Likuid Perbankan
sebelumnya menjadi sebesar 147,7% per akhir semester
laporan.
Namun demikian, preferensi penempatan alat likuid
perbankan pada instrumen yang bersifat likuid dan berisiko
rendah seperti SBI dan Fasbi masih menunjukkan
peningkatan. Pada akhir semester II 2007, penempatan
perbankan pada SBI dan Fasbi mencapai Rp250,70 triliun,
atau naik 11,86% dalam tempo 6 bulan. Dengan imbal
hasil yang cukup tinggi dan risiko yang rendah,
penempatan likuiditas pada SBI dan Fasbi sangat
menguntungkan sekaligus membantu manajemen
likuiditas mengingat DPK sebagai sumber dana utama
perbankan masih terkonsentrasi pada dana jangka pendek
yang rentan terhadap penarikan secara tiba-tiba. Pada
akhir semester laporan, konsentrasi dana jangka pendek
pada DPK mencapai 93,3%. Angka ini berpotensi
meningkat apabila bank terus menerapkan strategi
menggali sumber dana murah.
Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Kondisi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sepanjang
semester II 2007 cukup stabil meskipun dengan tingkat
bunga yang berfluktuasi yang disebabkan adanya
segmentasi di pasar PUAB. Tercatat suku bunga PUAB
overnight (O/N) tertinggi selama semester II 2007 pernah
Alat Likuid NCD Alat Likuid/NCD
Rp triliun
0
80
160
240
320
400
480
Des'06 Jun '07 Sept'07 Des '0760
120
180
%
Grafik 2.5Suku Bunga Rata-rata PUAB O / N
%
PUAB sore
PUAB Va DN
PUAB pagi
PUAB Va LN
0
4
8
12
16
Jan'07 Mar'07 Mei'07 Juli'07 Sep'07 Nov'07
Sementara itu, tingkat suku bunga PUAB terendah
sempat mencapai kurang dari 1% pada pertengahan
Oktober. Hal ini antara lain karena transaksi keuangan
belum sepenuhnya aktif setelah libur hari raya Idul Fitri,
tercermin dari penurunan volume transaksi PUAB rupiah
yang mencapai 70% dari pekan sebelumnya. Selain itu,
tidak dibukanya window Fasbi pada libur hari raya
mengakibatkan supply likuiditas yang berasal dari Fasbi
dan SBI jatuh waktu tidak dapat terserap kembali sehingga
menambah likuiditas pasar.
2.2.2. Perkembangan dan Risiko Kredit
Perkembangan Kredit
Membaiknya kondisi ekonomi, terutama rendahnya
suku bunga dan didukung dengan berbagai kebijakan
untuk mendorong intermediasi sepanjang 2007,
menunjukkan hasil sangat menggembirakan pada periode
laporan. Selama semester II 2007 kredit perbankan
28
Bab 2 Sektor Keuangan
meningkat sangat signifikan (Rp141,5 triliun atau 15,7%)
dibandingkan periode sebelumnya (Rp 71,1 triliun atau
8,5%) sehingga total pertumbuhan kredit sepanjang 2007
mencapai 25,5%, melebihi target 22%.
Secara umum, perbankan lebih menekankan
penyaluran kredit pada jenis dengan risiko yang lebih
terkendali meskipun beberapa jenis kredit dengan risiko
lebih tinggi, seperti kredit pada sektor Industri dan kredit
dalam valas, tercatat meningkat cukup besar. Namun
demikian, peningkatan kredit ini lebih selektif
dibandingkan era sebelum krisis terutama karena telah
diterapkannya manajemen risiko yang lebih baik oleh
perbankan. Preferensi risiko yang lebih terkendali tercermin
antara lain dari besarnya peningkatan kredit dalam bentuk
modal kerja dan konsumsi dibanding jenis kredit investasi,
dan kecenderungan penyaluran kredit kepada debitur-
debitur lama dibanding dengan debitur-debitur baru.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa kredit
dalam aktiva perbankan mengalami peningkatan.
Sementara itu, rendahnya suku bunga tidak
menyurutkan minat masyarakat untuk menyimpan
dananya di perbankan, tercermin dari meningkatnya DPK
perbankan yaitu sebesar Rp157,0 triliun (11,60%).
Peningkatan tersebut masih lebih rendah daripada
peningkatan kredit sehingga loan-to-deposit ratio (LDR)
pada akhir Desember 2007 mencapai 69,2% atau lebih
tinggi dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2007 sebesar
66,8%.
Kredit perbankan dalam valuta asing terus meningkat
sejalan dengan kenaikan kegiatan ekspor dan impor serta
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD sebesar
Rp590/USD. Kenaikan mencapai 21,8% atau 27% dari
total kenaikan kredit perbankan selama periode laporan.
Namun demikian, pangsa kredit valas dalam total kredit
perbankan relatif stabil pada kisaran 20% (akhir Desember
2007 sebesar 21,0%). Dari sisi risiko, perkembangan kredit
valuta asing ini belum mengkhawatirkan karena pangsanya
relatif kecil.
Grafik 2.6Pertumbuhan Kredit
Grafik 2.7Komposisi Aktiva Produktif
-5,0
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
2006 Juni 2007 Juni Des
%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Jun-07 Des-07
KreditBISSBABA
55,1%
13,7%
20,8%
10,1%
58,4%
14,0%
19,5%
7,8%
Grafik 2.8Perkembangan Kredit valas
Rp triliun
100,0
120,0
140,0
160,0
180,0
200,0
220,0
2005 Juni 2006 Juni 2007 Juni Des
Nominal (kiri)YOYYTD
-10,0
-5,0
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
%
Kredit Modal Kerja (KMK) merupakan jenis kredit
dengan kenaikan kredit terbesar dan pertumbuhan
tertinggi sepanjang paruh kedua tahun 2007. KMK
menyumbang 62,5% dari total kenaikan kredit sepanjang
semester laporan atau tumbuh 28,6% (yoy). Kenaikan
tersebut diikuti oleh Kredit Konsumsi (KK) yang
29
Bab 2 Sektor Keuangan
total kenaikan kredit perbankan pada periode laporan atau
tumbuh 32,7% yoy. Hal ini kemudian diikuti oleh sektor
Lain-lain yang umumnya kredit konsumsi dengan kenaikan
mencapai 23,4% (tumbuh 24,7% yoy). Dengan
perkembangan tersebut, pangsa kredit Sektor Perdagangan
sudah mencapai 21,6% dari total kredit perbankan dan
telah melampaui pangsa kredit Sektor Industri sebesar
20,5%. Pilihan kredit dengan risiko yang terkendali juga
tercermin pada perkembangan kredit Mikro, Kecil dan
Menengah (MKM) yang periode laporan meningkat sebesar
Rp60,0 triliun (tumbuh 22,5% yoy). Dengan peningkatan
tersebut, kredit MKM menyumbang 40,7% dari total
kenaikan kredit perbankan periode laporan sehingga
totalnya mencapai 50,2% dari total kredit perbankan.
Diperkirakan pada semester I 2008, kredit tumbuh
tidak sebesar periode laporan, namun tetap akan lebih
besar dibandingkan semester I tahun 2007. Hal ini
dikarenakan cukup besarnya fasilitas kredit yang belum
ditarik nasabah (undisbursed loans) sampai dengan akhir
tahun 2007. Selama semester laporan jumlah undisbursed
loans (UL) perbankan naik sebesar Rp32,7 triliun atau
18,6% sehingga pada akhir Desember 2007 mencapai
angka sebesar Rp208,3 triliun. Secara persentase, total
UL pada akhir tahun tersebut mencapai 20,7% dari total
kredit perbankan, atau relatif stabil paska krisis dengan
kisaran 20%-21%.
menyumbang 23,6% dari total kenaikan kredit atau
tumbuh 24,6% (yoy).
Grafik 2.9Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan
line = YOYbar = YTD
-10,0
-5,0
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
2006 Jun 2007 Jun Des
KMK KI KK
Dengan perkembangan tersebut, pangsa kredit tetap
didominasi oleh KMK yaitu sebesar 53,3% dari total kredit
perbankan, diikuti oleh KK dengan pangsa sebesar 28,2%,
sedangkan sisanya dalam bentuk Kredit Investasi (KI).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, besarnya
pangsa penyaluran kredit pada jenis KMK dan KK
mencerminkan preferensi bank untuk menyalurkan kredit
pada jenis dengan risiko kredit yang lebih terkendali. Hal
ini karena KMK umumnya berupa kredit berjangka pendek
dalam jumlah yang relatif cukup besar yang diberikan pada
debitur-debitur lama yang telah dikenal perbankan,
sementara KK biasanya mencakup fasilitas kredit yang
relatif lebih kecil dengan debitur mayoritas rumah tangga.
Perbankan memilih berkonsentrasi pada KMK dan KK
karena dapat membantu memitigasi mismatch sumber
dana yang dominan berjangka pendek. Namun demikian,
ke depan untuk mendukung tercapainya pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi maka proporsi kredit untuk
tujuan produktif (kredit investasi dan modal kerja) perlu
lebih ditingkatkan.
Preferensi memilih risiko yang lebih terkendali juga
tercermin dari perkembangan kredit berdasarkan sektor
ekonomi. Sektor Perdagangan yang umumnya jenis kredit
modal kerja, naik paling besar yaitu mencapai 24,6% dari
Grafik 2.10Perkembangan Kredit Sektor Ekonomi
Rp triliun
120,0
140,0
160,0
180,0
200,0
220,0
240,0
260,0
280,0
300,0
2006 Jun 2007 Jun Des
Lain-lainIndustriPerdaganganGabungan
30
Bab 2 Sektor Keuangan
Risiko Kredit
Membaiknya kondisi makroekonomi sangat
membantu proses restrukturisasi kredit perbankan,
sehingga untuk pertamakalinya sejak paska krisis rasio NPL
gross berada di bawah 5%. Hal ini juga seiring dengan
semakin efektifnya pelaksanaan manajemen risiko oleh
perbankan serta sebagai dampak dari berbagai kebijakan
yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Pemerintah yang
kondusif bagi perbaikan kualitas kredit perbankan.
Perbaikan kredit bermasalah terutama terdapat pada bank-
bank besar milik Pemerintah sehingga tekanan risiko pada
sistem keuangan mengalami penurunan.
Selama semester II 2007 total kredit bermasalah
menurun sebesar Rp9,0 triliun atau 15,5% dibandingkan
periode sebelumnya yang hanya turun Rp0,6 triliun atau
1,0% sehingga nominal NPL turun menjadi Rp48,6 triliun.
Semua kredit pembentuk NPL (kategori Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet) mengalami penurunan masing-
masing 30,2%, 34,5% dan 10,3%. Sementara itu, kredit
dengan kategori Dalam Perhatikan Khusus juga ikut
membaik dengan turunnya nominal sebesar 6,6%
dibandingkan posisi akhir Juni 2007. Membaiknya kualitas
kredit tersebut menjadi semakin terlihat positif dengan
meningkatnya kredit perbankan sebesar Rp141,7 triliun
atau 15,7% selama semester laporan, sehingga rasio NPL
Gross turun dari 6,4% menjadi 4,6%. Pada sisi lain,
turunnya nominal NPL menyebabkan penurunan
pembentukan penyisihan penghapusan kredit sebesar
Rp2,1 triliun atau 4,8%. Setelah memperhitungkan
pembentukan penyisihan ini, rasio NPL Net turun dari 2,9%
menjadi 1,9%, juga menjadi rasio terendah paska krisis.
Grafik 2.12Non Performing Loan
Grafik 2.11Perkembangan UL
Rp triliun
140
150
160
170
180
190
200
210
220
UL (kiri)Kredit
2006 Jun 2007 Jun Des700
750
800
850
900
950
1000
1050
Rp triliun
% Rp triliun
NPL Gross
NPL Nominal NPL Net
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
2003 2004 2005 2006 2007 Des25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
Grafik 2.13Nominal NPL
Rp triliun
KurangLancar (kiri)
Macet (kanan)Diragukan (kiri)
Total NPL
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
18,0
20,0
22,0
30,0
35,0
40,0
45,0
50,0
55,0
60,0
65,0
70,0
75,0
2006 Jun 2007 Jun Des
Rp triliun
Berkurangnya kredit bermasalah pada kelompok
bank-bank besar berperan mengurangi tekanan terhadap
ketahanan sistem keuangan. Selama semester II 2007,
nominal NPL kelompok bank ini turun cukup besar (Rp8,5
triliun atau 18,5%) dan diikuti dengan peningkatan kredit
yang cukup besar. Akibatnya, rasio NPL gross kelompok
bank ini turun dari 7,4% menjadi 5,2%. Penurunan NPL
bank-bank besar tersebut lebih banyak terjadi karena
restrukturisasi dan hapus buku pada bank-bank BUMN.
Namun demikian, terdapat peningkatan kredit non-lancar
pada kelompok kantor cabang bank asing sebesar Rp0,5
triliun atau 14,3%, sehingga rasio NPL gross mereka untuk
31
Bab 2 Sektor Keuangan
ketat agar jangan sampai memburuk kualitasnya karena
dapat menimbulkan gangguan terhadap ketahanan sektor
keuangan. Sementara itu, perbaikan kualitas kredit juga
terjadi pada Sektor Perdagangan sebagai sektor dengan
pangsa nominal NPL kedua terbesar. Nominal NPL sektor
ini turun sebesar Rp2,2 triliun atau 19,6%, sehingga rasio
NPL grossnya turun dari 6,1% menjadi 4,1%.
pertama kalinya menyamai rasio NPL gross kelompok bank
besar yaitu sebesar 5,2%.
Grafik 2.14Perkembangan Nominal NPL
Grafik 2.15Perkembangan NPL Gross Kelompok Bank
Rp miliar
-10000 -8000 -6000 -4000 -2000 0 2000
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
Campuran
Asing
%
Besar Menengah Kecil Campuran Asing0,0
3,0
6,0
9,0
4,0
7,4
4,0
3,1 3,0
5,15,2
3,2
2,21,8
5,2
3,63,33,8
8,4Des 06Jun-07Des-07
Dua sektor ekonomi dengan nominal NPL terbesar,
yaitu Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Perdagangan,
mengalami perbaikan kualitas kredit yang cukup
menggembirakan. Membaiknya kondisi makroekonomi
selama semester laporan dan turunnya BI rate sebesar 50
bps dibandingkan periode laporan sebelumnya berdampak
positif pada outlook debitur pada saat restrukturisasi.
Akibatnya, nominal NPL Sektor Industri Pengolahan turun
cukup besar yaitu sebesar Rp4,0 triliun atau 21,7%
sehingga rasio NPL grossnya turun dari 10,0% menjadi
7,10%. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa Sektor
Industri Pengolahan masih mendominasi pangsa NPL yaitu
sebesar 35,3% dari total NPL perbankan. Dengan demikian,
penyaluran kredit kepada sektor ini perlu monitoring yang
Grafik 2.16Perkembangan Nominal NPL Sektor Ekonomi
Rp triliun
-5,0 -4,0 -3,0 -2,0 -1,0 0,0 1,0
Pertanian
Pertambangan
Industri
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa Dunia Usaha
Jasa Sosial
Lain-lain
Grafik 2.17Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi
Dapat ditambahkan bahwa pada semester laporan
dari seluruh sektor ekonomi, hanya penyaluran kredit
kepada Sektor Pertambangan saja yang sedikit mengalami
penurunan kualitas, sedangkan sembilan sektor lainnya
menunjukkan perbaikan. Dari segi stabilitas sistem
keuangan dan pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan
hal ini sangat menggembirakan. Ke depan, kemajuan ini
perlu dipertahankan sambil terus mengupayakan
perbaikan kualitas kredit kepada Sektor Pertambangan.
Gabungan Lainnya = Pertambangan, Listrik, Jasa Sosial, Konstruksi, Pengangkutan
0
20
40
60
80
100
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des
Pertanian
Industri
Perdagangan
Gabungan Lainnya
Jasa Dunia Usaha
%
32
Bab 2 Sektor Keuangan
Mengingat pangsa NPL KMK dan KI dalam total NPL
perbankan masih tergolong sangat besar, tidak berlebihan
untuk mengatakan bahwa monitoring yang ketat sangat
diperlukan dalam menjaga agar perkembangan tersebut
tidak membahayakan ketahanan perbankan. Alasan lain
pentingnya monitoring yang ketat adalah kenyataan
bahwa kredit seperti KI biasanya ditujukan kepada debitur
korporasi, berjangka panjang dan dengan jumlah fasilitas
cukup besar serta sering dalam bentuk valas sehingga
debitur juga menjadi terekspose risiko nilai tukar yang
dapat menambah potensi default kreditnya.
Dari segi jenis penggunaan, kualitas kredit modal
kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) mengalami perbaikan
cukup besar. Membaiknya kualitas kredit Sektor Industri
Pengolahan dan Sektor Perdagangan tersebut di atas,
secara tidak langsung juga memperbaiki kualitas KMK
sebagai jenis kredit dengan pangsa NPL terbesar dalam
total NPL perbankan. Secara nominal NPL KMK turun
sebesar Rp6,1 triliun atau 23,3% sehingga rasio NPL gross
kredit ini turun dari 5,8% menjadi 3,7%. Sejalan dengan
kemajuan tersebut, pangsa NPL KMK dalam total NPL
perbankan turun dari 52,1% menjadi 48,8%. Sementara
itu, NPL KI juga mengalami perbaikan tercermin dari
penurunan nominal sekitar Rp2,9 triliun atau 19,1%
sehingga rasio NPL grossnya turun dari 9,1% menjadi
6,6%. Dalam kaitan ini, pangsa nominal NPL KI tercatat
mencapai 30,0% dari total NPL perbankan pada akhir
semester II 2007.
Grafik 2.19Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit
Grafik 2.18Perkembangan NPL Kredit Jenis Penggunaan
Rp triliun
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
-7,0 -6,0 -5,0 -4,0 -3,0 -2,0 -1,0 0,0
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des
Modal Kerja Investasi Konsumsi
Grafik 2.20Perkembangan NPL Gross
Investasi (kiri)
Modal Kerja (kiri)
Konsumsi (kanan)
2,0
7,0
12,0
17,0
22,0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0% %
Kelompok terakhir kredit berdasarkan jenis
penggunaannya adalah kredit konsumsi (KK). Selama
semester laporan, jenis kredit ini mengalami sedikit
perbaikan kualitas ditandai dengan turunnya nominal NPL
sebesar Rp0,01 triliun atau 0,1%, sehingga rasio NPL gross
KK menurun dari 3,5% menjadi 3,1%. Kecilnya perbaikan
kualitas mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi sektor
rumah tangga masih belum menggembirakan terutama
dari segi pendapatan. Pada sisi lain, hal ini juga dapat
diartikan bahwa sektor rumah tangga belum mampu
mengelola pendapatannya dengan baik.
Secara umum, terdapat 3 komponen kredit konsumsi
yang perlu diperhatikan, yaitu kartu kredit, kredit
kepemilikan rumah (KPR) dan jenis lainnya (meliputi antara
lain kredit kendaraan bermotor, multiguna dan kredit tanpa
33
Bab 2 Sektor Keuangan
agunan). Dari ketiga jenis kredit konsumsi ini, pada akhir
semester II 2007 rasio NPL gross tertinggi terdapat pada
kartu kredit, yaitu sebesar 12,0%, sedangkan rasio NPL
gross KPR dan jenis lainnya tercatat masing-masing sebesar
3,02% dan 1,90%. Tingginya rasio NPL gross kartu kredit
antara lain karena masih adanya kendala perpajakan dalam
melakukan penghapusbukuan kredit. Namun demikian,
perbankan umumnya sudah membentuk cadangan yang
memadai sehingga rasio NPL netto kartu kredit sebenarnya
cukup rendah.
MKM turun sebesar Rp7 triliun atau 23,8%, sehingga rasio
NPL grossnya turun dari 7,3% menjadi 4,6%. Meskipun
pangsa kredit non-MKM terhadap total kredit perbankan
hanya sebesar 48,9% atau lebih rendah dari pangsa kredit
MKM, namun penurunan NPL kredit non-MKM merupakan
hal yang sangat menggembirakan mengingat debitur non-
MKM umumnya berasal dari sektor korporasi dengan
jumlah fasilitas yang besar, berjangka waktu panjang dan
sering dalam bentuk valas sehingga dapat membahayakan
ketahanan sistem keuangan apabila tidak mampu melunasi
pinjamannya kepada perbankan. Pengalaman krisis tahun
1997/1998 menunjukkan bahwa debitur korporasi sangat
rentan terhadap krisis keuangan.
Kinerja kredit valas membaik sehingga mengurangi
tekanan risiko pada perbankan. Dalam kenyataannya
sebagian besar debitur korporasi yang direstrukturisasi oleh
Grafik 2.21Perkembangan Rasio NPL Gross Kredit Konsumsi
0
3
5
8
10
13
15
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des
KPRKartu KreditLainnya
%
Sementara itu, kualitas kredit Mikro Kecil dan
Menengah (MKM) juga menunjukkan perbaikan, ditandai
dengan penurunan nominal NPL sebesar Rp2,0 triliun atau
10,0% sehingga rasio NPL grossnya turun dari 4,8%
menjadi 3,5%. Perbaikan kualitas kredit ini didukung oleh
membaiknya kondisi ekonomi dan adanya berbagai
kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia yang ditujukan
untuk mendorong kemajuan usaha MKM. Jenis kredit ini
diperkirakan tidak akan menimbulkan tekanan pada
stabilitas sistem keuangan dalam jangka pendek karena
tipikal kreditnya cukup terdiversifikasi dengan plafon kredit
yang relatif kecil dan jumlah debitur cukup besar, serta
terkonsentrasi pada jenis konsumsi.
Perbaikan kualitas juga terlihat pada kredit non-MKM
yang umumnya debitur dengan fasilitas kredit di atas Rp5
miliar. Selama semester II 2007, nominal NPL kredit non-
Grafik 2.22Nominal NPL Korporasi dan MKM
Grafik 2.23NPL Gross MKM dan Korporasi
Korporasi (kiri)
UMKM (kanan)
-
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0
5
10
15
20
25
2001 2004 `2005 2006 2007 Des
Rp triliun Rp triliun
Korporasi (kiri)
MKM (kanan)
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
11,0
12,0
13,0
2003 2004 `2005 2006 2007 Des2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5% %
34
Bab 2 Sektor Keuangan
bank-bank BUMN merupakan debitur dengan fasilitas
kredit valas. Keberhasilan restrukturisasi tersebut
mendorong penurunan nominal NPL valas sebesar Rp2,1
triliun atau 2,14%, sehingga rasio NPL grossnya turun dari
7,9% menjadi 5,1%. Sementara itu, nominal NPL kredit
rupiah menurun sebesar Rp6,8 triliun atau turun 16,9%,
sehingga rasio NPL gross kredit tersebut turun dari 5,3%
menjadi 3,8%.
diperoleh cukup tinggi untuk menutupi tambahan
penyisihan penghapusan kredit yang dibutuhkan, serta
kuatnya permodalan.
Stress Test
Guna mengetahui ketahanan sistem perbankan
terhadap gejolak risiko kredit dilakukan suatu stress test
yang memperlihatkan pengaruh kenaikan NPL terhadap
permodalan bank. Dalam stress test tersebut, perbankan
digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu 15 bank besar,
bank menengah dan bank kecil. Sementara itu, skenario
kenaikan NPL dibuat dalam beberapa alternatif dan
dikaitkan dengan NPL posisi akhir semester II 2007. Hasil
stress test menunjukkan bahwa perbankan masih mampu
menghadapi shock berupa kenaikan NPL sampai dengan
sebesar 25% dari posisi laporan. Khusus untuk 15 bank
besar, rata-rata CAR turun sekitar 1% (terendah 0% dan
tertinggi 5,5%) dari 18,0% menjadi 16,9%. Bahkan, CAR
bank menengah dan bank kecil cenderung selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan CAR bank besar untuk setiap
skenario. Cukup besarnya kemampuan perbankan dalam
mengatasi kenaikan NPL tersebut adalah karena laba yang
Grafik 2.24NPL Valas dan Rupiah
% USD miliar
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Des0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
-
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
NPL Valas (USD)NPL Gross (kiri)
Mitigasi Risiko
Untuk menurunkan risiko kredit perbankan,
beberapa upaya terus dilakukan. Perbankan melakukan
mitigasi risiko kredit dengan menerapkan manajemen risiko
pada setiap lini bisnis, serta dengan meningkatkan
kemampuan bank dalam mengelola risiko dengan
pengembangan kompetensi sumber daya manusia melalui
program sertifikasi. Implementasi Basel II juga diharapkan
akan memperkuat pelaksanaan manajemen risiko kredit
perbankan ke depan. Upaya penting lainnya yang
dilakukan perbankan untuk memitigasi risiko kredit adalah
menjaga kecukupan pembentukan penyisihan
penghapusan kredit. Selama periode laporan, penyisihan
yang dibentuk turun sebesar Rp2,1 triliun atau 4,8%
sejalan dengan menurunnya nominal NPL perbankan.
Meskipun menurun, namun penyisihan yang dibentuk
cukup konservatif untuk mengantisipasi kerugian.
Mitigasi risiko kredit juga terbantu oleh kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah. Salah satunya
adalah adanya jaminan yang diberikan Pemerintah
terhadap kredit untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sehingga
risiko yang harus ditanggung perbankan menjadi lebih
Grafik 2.25Stress Test NPL terhadap CAR
Skenario Kenaikan NPL
15,0
17,5
20,0
22,5
15 Bank Besar Bank Menengah Bank Kecil
Car Awal 1 2 3 4 5 7 10 15 20 25
%
35
Bab 2 Sektor Keuangan
rendah. Selain itu, Pemerintah juga telah merevisi paket
investasi yang dapat meningkatkan kepastian berusaha
bagi pelaku bisnis. Hal ini secara tidak langsung membantu
mengurangi potensi risiko kredit bagi perbankan. Dalam
konteks restrukturisasi kredit, implementasi Peraturan
Pemerintah No.33/2006 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara, diharapkan juga akan membantu mitigasi
risiko kredit terutama bagi bank-bank milik Pemerintah.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Bank
Indonesia juga turut membantu perbankan dalam
memitigasi risiko kredit. Kebijakan moneter yang kondusif
akan memudahkan perbankan melakukan langkah-
langkah untuk memperbaiki kualitas kredit disamping terus
meningkatkan fungsi intermediasi terutama untuk tujuan
produktif. Sementara itu, serangkaian kebijakan perbankan
juga telah diterbitkan untuk mendorong pelaksanaan
manajemen risiko yang efektif di perbankan. Tidak kalah
pentingnya adalah pembentukan Biro Informasi Kredit (BIK)
untuk membantu penyediaan informasi kredit yang
dibutuhkan dunia usaha sehingga mengurangi risiko kredit
karena faktor kelemahan informasi.
2.2.3. Risiko Pasar
Membaiknya kondisi makroekonomi yang
mendorong penurunan BI rate cenderung membuat risiko
pasar yang dihadapi perbankan relatif terkendali. Trend
penurunan suku bunga yang telah berlangsung sejak awal
tahun 2007 masih berlanjut pada semester II meskipun
sedikit melambat pada akhir tahun. Sejalan dengan hal
itu, rata-rata suku bunga deposito 1 bulan rupiah pada
semester laporan hanya turun 27 bps, padahal pada
semester sebelumnya turun 150 bps. Sementara itu, suku
bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI) dan
kredit konsumsi (KK) turun masing-masing sebesar 88 bps,
98 bps dan 78 bps.
Walaupun suku bunga KK turun lebih rendah
dibandingkan suku bunga kredit lainnya namun
penurunannya lebih besar bila dibandingkan semester
sebelumnya. Melambatnya penurunan suku bunga pada
akhir tahun tampaknya terkait dengan sempat tertahannya
penurunan BI rate. Namun demikian, secara umum tampak
bahwa bank-bank sudah lebih berani menurunkan suku
bunga kreditnya. Pada akhir Desember 2007, suku bunga
KMK dan KI masing-masing sebesar 13,00% dan 13,01%
Grafik 2.26Kredit, NPL dan Penyisihan Penghapusan Kredit
Rp triliun
Nominal NPL (kiri)
PPAP (kiri)
Kredit (kanan)
30
40
50
60
70
80
90
100
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007200
300
400
500
600
700
800
900
1000
1100
Grafik 2.28Suku Bunga Kredit per Kelompok Bank
Grafik 2.27Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar
Deposito 1 bln(ki)
KMK (ki)
KI (ki)
KK (ki)
Kurs (kn)
% Rp triliun
4
7
10
13
16
19
22
2002 2003 2004 2005 2006 20077500
8500
9500
10500
11500
%
0
10
20
30
40
KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KKPersero BPD BUSN Asing & camp. Seluruh
Jun06 Des06
Jun07 Des07
36
Bab 2 Sektor Keuangan
atau sudah mencapai level terendah sejak tahun 2001,
dan hanya suku bunga KK yang relatif masih tinggi yaitu
sebesar 16,13%. Tingginya suku bunga KK terutama
disumbangkan oleh kelompok bank campuran dan
kelompok kantor cabang bank asing yang rata-ratanya
masih di atas 30%.
Dengan trend penurunan suku bunga yang
berlanjut selama semester II 2007, perbankan umumnya
melakukan pengelolaan risiko suku bunga dengan
memelihara portofolio dengan posisi net short untuk
jangka pendek dan net long pada jangka panjang.
Dengan demikian bank menikmati keuntungan saat suku
bunga turun. Komposisi profil maturitas tersebut terjadi
baik untuk portofolio rupiah maupun valas dengan tren
yang cenderung meningkat dibandingkan posisi akhir
tahun lalu terutama untuk portofolio valas. Peningkatan
posisi valas ini perlu mendapat perhatian, karena
meskipun jumlahnya masih relatif kecil namun
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat
khususnya untuk posisi net short jangka pendek.
Meskipun bank diperkirakan mampu mengatasi gejolak
nilai tukar karena ditopang oleh permodalan yang relatif
tinggi, namun pelaksanaan manajemen risiko yang efektif
juga sangat diperlukan.
Stress Test
Dengan kondisi profil maturitas seperti di atas maka
potensi risiko suku bunga akan meningkat apabila terjadi
pembalikan arah pergerakan suku bunga. Masih belum
berkembangnya pasar hedging dan derivative yang dapat
mendukung pelaksanaan mitigasi risiko membuat bank
perlu sangat berhati-hati menghadapi kemungkinan
terjadinya pergerakan suku bunga yang berlawanan
tersebut. Hasil stress test menunjukkan bahwa setiap
peningkatan suku bunga 1% akan berpengaruh pada
penurunan CAR rata-rata sebesar 34 bps.
Pergerakan nilai tukar yang cukup fluktuatif pada
akhir Semester II 2007 tidak sampai menimbulkan
instabilitas karena bank memelihara rasio Posisi Devisa
Netto (PDN) yang masih relatif rendah, yaitu sebesar
4,47%. Namun demikian, dibandingkan dengan posisi
akhir semester sebelumnya sebesar 3,92%, terdapat
peningkatan rasio PDN yang cukup besar. Peningkatan
tersebut terjadi karena kenaikan profil maturitas untuk
posisi short jangka pendek.
Meskipun secara rata-rata rasio PDN tersebut masih
jauh di bawah batas maksimum 20%, namun trend
peningkatan tersebut perlu diwaspadai dengan
meningkatkan manajemen risiko serta mempersiapkan
contingency plan yang memadai. Berdasarkan hasil stress
test tentang dampak apresiasi/depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap permodalan (CAR) diketahui bahwa secara umum
perbankan masih mampu memelihara CAR di atas 8%.
Grafik 2.30Maturity Profile Valas
USD Miliar
(15)
(10)
(5)
0
5
10
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln
Des05 Jun06Des06 Jun07Des07
Grafik 2.29Maturity Profile Rupiah
Rp triliun
(450)
(300)
(150)
0
150
300
450
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln
Des05 Jun06Des06 Jun07Des07
37
Bab 2 Sektor Keuangan
Sejalan dengan trend penurunan suku bunga, minat
perbankan untuk memiliki SUN khususnya dengan
portofolio trading terus menunjukkan peningkatan. Hal
ini terlihat dari naiknya kepemilikan perbankan atas SUN
trading sebesar Rp12,5 triliun dibandingkan dengan akhir
semester sebelumnya, sehingga komposisi SUN trading
meningkat dari 61,2% menjadi 64,3% dari total
keseluruhan SUN yang dimiliki perbankan. Kondisi ini
dapat menyebabkan perbankan semakin terekspose oleh
risiko pasar yang terkait dengan harga SUN. Meskipun
kenaikan komposisi SUN trading tersebut tidak terlalu
besar, namun kewaspadaan perlu ditingkatkan
mengingat pasar keuangan global akhir-akhir ini
cenderung terus bergejolak.
Sejauh ini, strategi yang dilakukan perbankan untuk
memitigasi risiko pasar yang terkait dengan harga SUN
adalah dengan memelihara proporsi SUN trading yang
rendah. Strategi tersebut cukup berhasil karena juga
didukung oleh permodalan perbankan yang kuat. Dengan
demikian, tekanan terhadap permodalan baru akan
dirasakan apabila harga SUN jatuh secara signifikan. Hasil
stress test menunjukkan bahwa CAR bank akan berkurang
menjadi di bawah 8% apabila terjadi penurunan harga
SUN sebesar 20% atau lebih. Ke depan, di samping
mengandalkan permodalan yang kuat, perbankan perlu
terus meningkatkan kemampuan manajemen risikonya.
2.2.4. Profitabilitas dan Permodalan
Profitabilitas
Profitabilitas perbankan selama semester II 2007
relatif membaik dibandingkan semester sebelumnya.
Dibandingkan dengan posisi yang sama pada tahun
sebelumnya, pendapatan bunga bersih (NII) perbankan
naik dari Rp46,4 triliun pada Desember 2006 menjadi Rp50
triliun pada Desember 2007. Hal tersebut terkait dengan
kenaikan pendapatan bunga dari Rp87 triliun (selama
semester I 2007) menjadi sebesar Rp89 triliun (selama
semester II 2007) yang disertai dengan turunnya biaya
bunga dari Rp40,6 triliun menjadi Rp39 triliun. Peningkatan
profitabilitas ini terutama karena peningkatan jumlah kredit
yang lebih tinggi dibanding peningkatan dana pihak ketiga
(DPK), yang didukung oleh membaiknya kualitas kredit dan
kecenderungan perbankan untuk mengurangi sumber
dana mahal.
Grafik 2.31Perkembangan PDN (Overall)
Grafik 2.32SUN yang Dimiliki Perbankan
16.9
14.7
16.915.3
17.419.2
0
4
8
12
16
20
24
Sep Des Mar Jun Sep Des2006 2007
BUSN
Bank asing
Bank campuran
SELURUH
BPD
PDN Tertinggi
Bank persero
%
0
25
50
75
100
Des»05 Jun»06 Des»06 Jun»07 Des»075
9
13
17
21
trading (ki) investment (ki)SUN Trading thd TA (ka) SUN thd TA (ka)
% %
Grafik 2.33Perkembangan NII Perbankan
Rp triliun
-
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
Des «03 Jun «04 Des «04 Jun «05 Des «05 Jun «06 Des «06 Jun «07 Des «07
Pendapatan Bunga Beban Bunga NIM
38
Bab 2 Sektor Keuangan
Sementara itu, ROA mengalami sedikit penurunan
dari 2,81% menjadi 2,78% karena kenaikan NII diimbangi
oleh kenaikan aset. Dengan menggolongkan perbankan
menjadi kelompok bank besar dan kelompok lainnya
diketahui bahwa penurunan ROA hanya dialami oleh
kelompok bank lainnya yaitu dari 3,26% menjadi 2,98%.
Sementara itu, kelompok bank besar justru mengalami
peningkatan ROA dari 2,62% menjadi 2,69%.
Permodalan
Meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan selama
periode laporan mendorong terjadinya peningkatan ATMR
perbankan. Dalam kaitan ini, peningkatan ATMR yang lebih
tinggi dari kenaikan modal menyebabkan rasio permodalan
(CAR) turun dari 20,7% menjadi 19,3%. Penurunan CAR
ini dialami oleh seluruh kelompok bank. Penurunan
terbesar dialami oleh kelompok bank lainnya yaitu dari
23,8% menjadi 22,1%, sedangkan penurunan terkecil
terdapat pada kelompok bank besar yaitu dari 19,3%
menjadi 18,0%.
Grafik 2.34Rasio ROA Kelompok Bank
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
Bank Besar Bank Lainnya Industri
Jun'07 Des'07
Grafik 2.35Komposisi Pendapatan Bunga Bank
BI SSB Kredit Lainnya
Des «05 Jun «06 Des «06 Jun «07 Des «076,01 8,75 10,37 11,78 10,2
22,0 22,9 21,4 16,8 16,9
63,1 59,2 60,1 63,5 64,7
8,90 9,16 8,21 7,88 8,3
%
Pangsa pendapatan bunga kredit terus meningkat.
Sejalan dengan peningkatan kredit yang disalurkan maka
pangsa pendapatan bunga kredit juga turut meningkat
dari 63,5% menjadi 64,7%. Sementara itu, pangsa
pendapatan bunga dari surat-surat berharga (SSB)
meningkat dari 16,8% menjadi 16,9%. Selanjutnya,
sejalan dengan penurunan BI rate maka pendapatan dari
SBI turun dari 11,8% menjadi 10,2%.
Grafik 2.36Rasio CAR Kelompok Bank Semester II 2007
0
5
10
15
20
25
Bank Besar Bank Lainnya Industri
%
Des'07Jun'07
Grafik 2.37Rasio Modal Inti terhadap ATMR dan CAR
0
5
10
15
20
25
30
A B C D E F G H I J K L M N O
15 B
B
Asg
Cmpr
Lain
nya
Inds
tCAR
Tier 1 : ATMR
Meskipun mengalami penurunan, CAR perbankan
Indonesia masih tergolong tertinggi di Asia. Permodalan
perbankan sebagian besar adalah modal inti (Tier I) dengan
rasio terhadap ATMR sebesar 16,8% pada akhir Desember
2007. Tingginya rasio modal inti terhadap ATMR ini
39
Bab 2 Sektor Keuangan
- Naiknya suku bunga terhadap net maturity profile
asset dan kewajiban bank dibawah 3 bulan. Dalam
hal ini, apabila bank dalam posisi long atau aset lebih
besar dibanding kewajiban maka akan berdampak
positif bagi bank dan sebaliknya.
- Melemahnya nilai tukar terhadap posisi devisa netto
bank. Dalam hal ini, apabila bank dalam posisi long
maka akan berdampak positif bagi bank dan
sebaliknya.
Disamping itu, stress test dimaksud dilengkapi
dengan skenario turunnya harga SUN menjadi di bawah
par pada persentase tertentu serta meningkatnya NPL bank
pada persentase tertentu. Dampak dari skenario tersebut
akan ditransmisikan pertama kali pada laba rugi bank dan
kemudian pada permodalan bank.
Selain mempertimbangkan risiko pasar, stress test
ini juga memperhitungkan risiko kredit dengan skenario
yang digunakan berupa memburuknya kondisi perkreditan
tiap kategori. Skenario tersebut adalah NPL naik sebesar
5% dari kredit kategori Lancar (L) dan Dalam Perhatian
Khusus (DPK), diikuti 5% kredit kategori Kurang Lancar
(KL) menurun menjadi kategori Diragukan (D) dan 5%
kredit kategori Diragukan (D) turun menjadi Macet (M).
Di samping itu, skenario stress test ini juga dilengkapi
dengan naiknya suku bunga 3% yang akan mempengaruhi
aset dan kewajiban bank, khususnya dengan maturity di
bawah 3 bulan, melemahnya nilai tukar sebesar Rp500
terhadap Posisi Devisa Netto bank dan turunnya nilai Surat
Utang Negara sebesar 5% dari harga par. Selanjutnya,
besarnya dampak skenario tersebut terhadap permodalan
bank sangat tergantung kepada kondisi NPL, aktiva dan
kewajiban valas, kecukupan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif, besarnya laba rugi bank dan permodalan
bank.
Berdasarkan skenario tersebut, hasil stress test
terhadap 15 bank besar menunjukkan bahwa 1 bank rasio
mencerminkan bahwa solvabilitas perbankan dalam
kondisi yang memadai dalam menyerap risiko usahanya
serta memberi ruang gerak yang cukup bagi perbankan
untuk melakukan ekspansi kredit.
Penting dicatat bahwa walaupun CAR perbankan
secara agregat tergolong tinggi, masih terdapat beberapa
bank menengah dan kecil yang memiliki CAR marginal
(antara 9% - 12%). Dengan CAR yang marginal, bank-bank
tersebut akan sangat rentan terhadap peningkatan risiko
terutama apabila tidak memiliki manajemen risiko yang baik.
Sementara itu, terkait dengan kewajiban bank umum
untuk memiliki modal inti minimum sebesar Rp80 miliar
pada akhir 2007, diketahui bahwa seluruh bank telah
memenuhi kewajiban tersebut. Mengingat pada akhir
2010 perbankan diwajibkan memiliki modal inti minimum
sebesar Rp100 miliar maka pemantauan ke depan
ditekankan untuk mengetahui potensi pemenuhan
ketentuan tersebut. Pada akhir Desember 2007 jumlah
bank yang memiliki modal inti antara Rp80 miliar s.d.
Rp100 miliar tercatat sejumlah 20 bank.
Grafik 2.38Peta Perkembangan Modal Inti
30
9
23
39
2925
9
25
41
30
9
2025
43
33
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
< 80 M 80 M - 100 M 100 M - 200 M 200 M -1 T > 1 T
Data SIMWAS, sebelum judgement pengawas
Des'06Jun'07
Des-07
Stress Test
Guna melihat ketahanan 15 bank besar dalam
menghadapi memburuknya kondisi perekonomian,
dilakukan stress test yang terintegrasi (integrated stress
test) yang mencakup perubahan beberapa variabel
ekonomi yaitu:
40
Bab 2 Sektor Keuangan
hanya tumbuh 15,52% atau jauh lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun
sebelumnya sebesar 37,65%.
Grafik 2.40Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan
CARnya menjadi di bawah ketentuan. Selain itu, secara
rata-rata terdapat penurunan CAR sebesar 1,5% yaitu dari
rata-rata 18,0% menjadi 16,5%. Dengan demikian, secara
umum permodalan bank terlihat masih cukup kuat
menghadapi berbagai shock yang datang dari beberapa
jenis risiko secara simultan.
Grafik 2.39Stress Test CAR
%30
25
20
15
10
5
0A B C D E F G H I J K L M N O
CAR AWALCAR BARU
0
20
40
60
80
100
120
140
Aset Pembiayaan Pendanaan Modal
Milliar Rp
200420052006
NovJun 07
2.3. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN
PASAR MODAL
Sampai dengan akhir semester II 2007, lembaga
keuangan bukan bank dan pasar modal terus berkembang
ditengah meningkatnya tekanan sebagai akibat dari
bergejolaknya pasar global. Sementara itu, meningkatnya
NPL pembiayaan konsumen oleh perusahaan pembiayaan
perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan tekanan
terhadap ketahanan perbankan dan sistem keuangan.
Kewaspadaan juga semakin diperlukan karena meskipun
pasar keuangan terus menguat, namun volatilitas jangka
pendek cenderung meningkat.
2.3.1. Perusahaan Pembiayaan
Pada tahun 2007 (s.d November 2007), kinerja
perusahaan pembiayaan (PP) meningkat cukup pesat
terlihat dari meningkatnya total aset sekitar 16% menjadi
Rp126,4 triliun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang hanya meningkat sekitar 13%.
Namun, dari segi pembiayaan cenderung melambat, yaitu
Jenis pembiayaan PP, khususnya PP Swasta Nasional
tetap terkonsentrasi pada pembiayaan konsumen yaitu
kredit kendaraan bermotor. Kredit jenis ini memiliki potensi
risiko yang cukup tinggi terkait dengan ekspektasi turunnya
permintaan kendaraan bermotor sebagai dampak
kenaikan harga minyak dunia. Tingginya risiko pembiayaan
konsumen juga tercermin dari meningkatnya NPL
pembiayaan konsumen, yaitu dari 1,24% (Desember 2006)
menjadi 1,52% (Oktober 2007).
Sementara itu, profitabilitas PP meningkat. Hal ini
terlihat pada naiknya laba sebelum pajak sebesar 11%
menjadi Rp4,48 triliun, padahal tahun sebelumnya turun
Grafik 2.41Kegiatan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan
%
Sewa GunaUsaha
AnjakPiutang
KartuKredit
PembiayaanKonsumen
100
90
80
70
60
50
4030
20
10
0
0%Swasta Nasional 3% 87%
Total 2% 1% 63%
Patungan 1% 2% 50%10%
34%46%
41
Bab 2 Sektor Keuangan
sebesar 13%. Namun demikian, ROE menurun menjadi
19% (November 2007) dibandingkan dengan 21%
(Desember 2006) terutama karena berkurangnya
efektivitas pengelolaan aset oleh PP Swasta Nasional.
PP Patungan mengalami peningkatan efisiensi,
tercermin pada turunnya rasio Biaya Operasi terhadap
Pendapatan Operasi (BOPO) dari sekitar 90% (Desember
2006) menjadi sekitar 76% (November 2007).
Meningkatnya efisiensi PP Patungan terutama karena
meluasnya akses terhadap sumber dana yang didukung
pula oleh semakin terdiversifikasinya pembiayaan.
menjadi 3,90 (November 2007). Pada tahun 2007,
terdapat 9 perusahaan yang telah melakukan penawaran
umum obligasi dengan nilai emisi sebesar Rp6,15 triliun.
Selain itu, terdapat 1 perusahaan melakukan right issue,
dan 1 perusahaan melakukan penerbitan obligasi di luar
negeri.
Terkonsentrasinya PP pada pembiayaan konsumen
terutama untuk pembelian kendaraan bermotor dan
meningkatnya NPL pembiayaan konsumen tersebut, serta
tingginya ketergantungan PP terhadap sumber dana
perbankan dapat meningkatkan eksposur risiko bagi bank.
Sementara itu, penerapan PBI No.8/6/PBI/2006 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi Bank
Yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak
berpotensi menyebabkan PP yang terafiliasi dengan bank
mengalami kerugian karena meningkatnya biaya
pencadangan sejalan dengan meningkatnya NPL
Grafik 2.42Kinerja Perusahaan Pembiayaan
0
20
40
60
80
100
120
Des 05 Des 06 Nov 07
Ribu
0 ,00
0 ,05
0 ,10
0 ,15
0,20
0 ,25
0 ,30
0,35
ROA PPROE PP
ROA SNROE SN
Pembiayaan TotalPembiayaan SNPembiayaan Ptgn
Pinjaman dari perbankan domestik tetap menjadi
sumber dana utama PP Swasta Nasional. Pada 2007 jumlah
pinjaman tersebut meningkat sekitar 30% menjadi
Rp13,47 triliun. Sementara itu, pinjaman perbankan
domestik kepada PP secara keseluruhan meningkat sebesar
19% sehingga mencapai angka Rp35,47 triliun yang
terutama diberikan kepada PP Patungan. Di samping
pinjaman dari perbankan domestik, PP Patungan juga
memanfaatkan sumber dana pinjaman luar negeri. Porsi
pinjaman luar negeri PP Patungan mencapai 52% dari total
pinjaman (November 2007).
Selama 2007, PP cukup aktif menghimpun dana
melalui penerbitan obligasi sehingga rasio pinjaman
terhadap ekuitas menurun dari 3,98 (Desember 2006)
Grafik 2.44Sumber Dana PP Patungan
Grafik 2.43Sumber Dana PP Swasta Nasional
Ribu
Pinjaman Perbankan DomestikPinjaman Luar Negeri
SSB
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Des 05 Des 06 Jun 07 Jul 07 Ags 07 Sep 07 Okt 07 Nov 07
Ribu
Pinjaman Perbankan Domestik
Pinjaman Luar Negeri
Des 05 Des 06 Jun 07 Jul 07 Ags 07 Sep 07 Okt 07 Nov 07
SSB
0
5
10
15
20
25
30
35
42
Bab 2 Sektor Keuangan
pembiayaan konsumen. Kerugian PP tersebut selanjutnya
akan tercermin dalam neraca konsolidasi bank sehingga
perlu diwaspadai sejak dini.
2.3.2. Pasar Modal
Portfolio Investor Asing
Memasuki semester II 2007, tekanan stabilitas sistem
keuangan cenderung membesar terutama karena semakin
agresifnya investor asing untuk melakukan profit taking
jangka pendek. Perilaku investasi investor asing tersebut
menyebabkan terkoreksinya perkembangan pasar
keuangan. Selama semester laporan, penanaman investor
asing pada instrumen keuangan rupiah tetap naik yaitu
sekitar Rp49 triliun atau hampir sama dengan peningkatan
pada semester sebelumnya. Dengan perkembangan
tersebut, selama tahun 2007 penanaman asing pada SBI,
SUN dan saham meningkat sekitar Rp98 triliun, terdiri dari
masing-masing Rp35 triliun (SBI), Rp29 triliun (SUN) dan
Rp33 triliun (net beli saham).
Tetap relatif tingginya yield penanaman rupiah
mempertahankan minat investor asing untuk melakukan
penanaman pada instrumen keuangan rupiah. Namun
demikian, terdapat perubahan perilaku portofolio dari para
investor asing yang terutama merupakan manager hedge
funds. Investor asing menjadi semakin agresif melakukan
profit taking jangka pendek serta realisasi keuntungan
khususnya dalam rangka menutup kerugian dari portofolio
aset keuangan subprime. Perilaku tersebut menyebabkan
terjadinya koreksi pasar saham yang cukup signifikan serta
meningkatkan volatilitas. Koreksi pasar saham tersebut
kemudian turut menjadi sentimen negatif yang
berkontribusi pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat.
Pasar Saham
Pada semester II 2007 pasar saham global mengalami
koreksi signifikan terutama karena kuatnya sentimen negatif
dari ekspektasi memburuknya prospek perekonomian AS
sebagai dampak krisis subprime mortgage. Kondisi tersebut
berdampak nyata pada bursa emerging markets Asia dan
menyebabkan melemahnya perkembangan indeks pada
Grafik 2.46Volatilitas Bursa Asia
Grafik 2.45Inflows pada SUN-SBI-Saham
-20
-10
0
10
20
30
SahamSBI
SUN
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2 0 0 7
Triliun Rp
0
10
20
30
40
50
60
70
2 0 0 7
IHSG
KLCI
SET
PCOMM
STI
1/12 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12 8/12 9/12 10/12 11/12 12/12
IHSGIHSGIHSGIHSGIHSG 1.805,52 2.139,28 2.745,83 18,49 28,35
STISTISTISTISTI 2.985,83 3.548,20 3.445,82 18,83 -2,89
KLCIKLCIKLCIKLCIKLCI 1.096,24 1.354,38 1.447,04 23,55 6,84
SETSETSETSETSET 679,84 776,79 858,10 14,26 10,47
PCOMMPCOMMPCOMMPCOMMPCOMM 3.940,47 5.148,42 4.422,22 30,65 -14,11
HSCIHSCIHSCIHSCIHSCI 2.802,68 3.109,64 3.874,22 10,95 24,59
NIKKEINIKKEINIKKEINIKKEINIKKEI 336,39 356,40 301,09 5,95 -15,52
NASDAQNASDAQNASDAQNASDAQNASDAQ 3.415,29 2.603,23 2.674,46 -23,78 2,74
DJIDJIDJIDJIDJI 12.463,15 13.443,75 13.365,87 7,87 -0,58
SIASASIASASIASASIASASIASA 6.979,53 13.202,68 18.658,13 89,16 41,32
KOSPIKOSPIKOSPIKOSPIKOSPI 1.434,46 1.743,60 1.897,13 21,55 8,81
Tabel 2.1Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa Regional
Sem II 07 2007
Pertumbuhan (%)Des 06 Jun 07 Des 07
43
Bab 2 Sektor Keuangan
tahun 2007. Bahkan, pada beberapa bursa Asia, khususnya
yang perekonomiannya terkait langsung dengan AS, indeks
harga saham turun cukup tajam.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat
mengalami koreksi tajam sehingga turun sebesar 7% pada
Agustus 2007 dan mencapai tingkat terendah yaitu
1.908,64 pada tanggal 17 Agustus. Aktifnya penanaman
yang dilakukan investor asing pada saham yang terutama
ditujukan untuk profit taking jangka pendek telah
mendorong kembali peningkatan harga sehingga IHSG
mencapai 2.745,83 pada akhir Desember 2007. Oleh
karena itu, secara keseluruhan selama tahun 2007 IHSG
tetap menguat sekitar 28%. Secara sektoral, penguatan
indeks yang besar terjadi pada sektor pertanian, sektor
pertambangan dan sektor aneka industri.
Pada satu sisi, perilaku portofolio investor asing
mampu mendorong kenaikan harga, namun di sisi lain
telah mengakibatkan semakin volatile-nya perkembangan
harga. Angka koefisien efisiensi pasar (market efficiency
coefficient) untuk bursa emerging market Asia sebagian
besar berada di bawah 75%. Hal ini memberikan
konfirmasi bahwa memang koreksi pasar telah membuat
semakin berfluktuasinya harga dalam jangka pendek,
namun pasar tetap cukup memiliki ketahanan sehingga
stabilitas perkembangan harga dalam jangka panjang tetap
terpelihara.
Grafik 2.47Bursa Regional: Perkembangan Indeks Saham
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000IHSG
SET
NIKKEI NASDAQ
PCOMM
STI KLCI
HSCI
20072006
29Des
29Jan
28Feb
29Mar
29Apr
29Mei
29Jun
29Jul
29Ags
29Sep
29Okt
29Nov
Tabel 2.2Perkembangan Indeks Harga Sektoral
Pertanian 1.190,71 1.680,12 2.754,76 41,10 63,96
Industri Dasar 148,79 196,10 238,05 31,80 21,39
Konstruksi, Properti, RE 120,82 211,72 251,82 75,24 18,94
Konsumsi 390,19 437,01 436,04 12,00 -0,22
Keuangan 204,39 223,14 260,57 9,17 16,77
Infrastruktur 754,54 750,43 874,07 -0,54 16,48
Pertambangan 920,31 1.647,04 3.270,09 78,97 98,54
Aneka Industri 282,14 324,96 477,35 15,18 46,90
Jasa Perdagangan 274,28 387,38 392,24 41,24 1,26
Sem II 07 2007
Pertumbuhan (%)Des 06 Jun 07 Des 07
Grafik 2.48Pasar Saham: Nilai Transaksi & IHSG
IndonesiaAsingIHSG
0
20
40
60
80
100
120
140
0
500
1000
1500
2000
2500
3000Triliun Rp IHSG
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2 0 0 7
Grafik 2.49Market Efficiency Coefficient
MEC-IHSG MEC-KLCI MEC-SETMEC-PCOMM MEC-STI
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
90,0%
2 0 0 7
12Jan
12Feb
12Mar
12Apr
12Mei
12Jun
12Jul
12Ags
12Sep
12Okt
12Nov
12Des
Sementara itu, pada tahun 2007 pembiayaan melalui
pasar saham mengalami peningkatan sebagaimana
tampak pada meningkatnya emisi saham sekitar 17%
menjadi sekitar Rp328 triliun, atau meningkat tajam
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya naik sekitar
44
Bab 2 Sektor Keuangan
5%. Pesatnya perkembangan indeks saham telah
berkontribusi pada meningkatnya kapitalisasi pasar sebesar
59% menjadi sekitar Rp1.988,3 triliun. Sementara itu,
jumlah perusahaan yang melakukan emisi saham
bertambah 24 sehingga menjadi 468 perusahaan.
perbankan naik cukup pesat, yaitu sekitar 19% menjadi
Rp116 triliun. Dengan perkembangan tersebut pangsa
kepemilikan SUN oleh residen non perbankan meningkat
dari 22% (akhir Juni 2007) menjadi 25% (akhir Desember
2007). Investor residen non perbankan antara lain terdiri
dari perorangan, lembaga keuangan bukan bank, yayasan
dan lembaga keuangan lainnya.
Distribusi likuiditas SUN terkonsentrasi pada tenor 1
tahun s.d 5 tahun yang harganya sudah tinggi dan berada
di atas par. Ekspektasi akan tertahannya penurunan suku
bunga pada tahun 2008 telah mendorong para investor
untuk mengurangi kepemilikan SUN yang harganya sudah
tinggi dan mengalihkan penanaman pada SUN yang
harganya relatif murah. Terkonsentrasinya SUN pada tenor
1 tahun s.d 5 tahun menyebabkan perilaku switching
portfolio investor tersebut menimbulkan tekanan terhadap
harga SUN.
Grafik 2.50Pasar Saham: Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi
Grafik 2.52Yield Penanaman Tenor 5 Tahun
Grafik 2.51Perkembangan Harga Beberapa Seri SUN
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
250
260
270
280
290
300
310
320
330
340(N Kapitalisasi, Triliun Rp) (N Emisi, Triliun Rp)
N Kap (BEJ)
N Kap (BES)N Emisi
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2 0 0 7
90
95
100
105
110
115
FR0023 FR0025 FR0026 FR0027FR0028 FR0030 FR0043
2Jan
2007
2Feb
2Mar
2Apr
2Mei
2Jun
2Jul
2Ags
2Sep
2Okt
2Nov
2Des
0
2
4
6
8
10
12
Indonesia Philipina Thailand Singapura
%
2 0 0 7
2Jan
2Feb
2Mar
2Apr
2Mei
2Jun
2Jul
2Ags
2Sep
2Okt
2Nov
2Des
Pasar Obligasi
Pada semester II 2007 pasar SUN yang merupakan
acuan pasar obligasi domestik mengalami mild correction
sehingga sempat turun rata-rata sekitar 4%. Koreksi pasar
tersebut terutama terjadi karena sempat tertahannya
penurunan BI rate yang berdampak pada menyempitnya
potensi kenaikan harga SUN. Kondisi tersebut mendorong
investor melakukan switching portofolio dari SUN yang
harganya sudah terlalu tinggi kepada SUN yang harganya
masih di bawah par terutama melalui pembelian di pasar
perdana. Pada tahun 2007 harga SUN secara rata-rata
hanya naik sekitar 5%, atau jauh melambat dibandingkan
dengan kenaikan pada tahun 2006 sekitar 20%.
Tingginya minat investor domestik pada SUN
tercermin dari meningkatnya kepemilikan SUN oleh
perbankan dan residen non perbankan. Pada akhir semester
II 2007 kepemilikan perbankan domestik pada SUN kembali
sedikit meningkat sehingga menjadi sebesar Rp265 triliun,
dengan pangsa terhadap total SUN relatif tetap, yaitu sekitar
58%. Sementara itu, kepemilikan SUN oleh residen non
45
Bab 2 Sektor Keuangan
Sementara itu, perusahaan emiten obligasi bertambah 13
menjadi 175 perusahaan. Dengan perkembangan tersebut,
pembiayaan melalui penerbitan obligasi korporasi
meningkat sebesar 25% menjadi sekitar Rp85 triliun.
Reksa Dana
Trend penurunan suku bunga pada tahun 2007 juga
mendorong kenaikan kinerja reksa dana. Pada tahun 2007
NAB reksa dana meningkat 79% menjadi sekitar Rp91
triliun, atau sedikit meningkat dibandingkan kenaikan pada
tahun sebelumnya sebesar 76%. Hal ini juga didukung
oleh tetap menguatnya perkembangan pasar saham yang
mengakibatkan meningkatnya NAB reksa dana jenis saham
sekitar 300% menjadi Rp35 triliun. Perkembangan NAB
sejalan dengan tingginya minat investor sebagaimana
terlihat dari perkembangan unit penyertaan yang
Grafik 2.54SUN: Likuiditas Pasar Berbagai Tenor
Grafik 2.53Kepemilikan SUN
Perbankan Residen Asing
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Rp triliun
2 0 0 7
0
50
100
150
200
250
300
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Tahun1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 29
FR VR ORI
Rp triliun
Pada tahun 2007 pembiayaan oleh perusahaan
melalui penerbitan obligasi korporasi meningkat cukup
pesat. Hal ini terutama didukung oleh tren penurunan suku
bunga. Emisi obligasi korporasi naik sekitar 30% menjadi
sekitar Rp134 triliun, atau jauh lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya yang hanya meningkat sekitar 13%.
Grafik 2.55Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi
2006
155
160
165
170
175
180Emisi Posisi Emiten
2007
Emisi & Posisi, Rp triliun Emiten
0
20
40
60
80
100
120
140
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Grafik 2.56Perkembangan NAB Jenis Reksa Dana
Grafik 2.57Reksa Dana: NAB & Unit Penyertaan
Rp triliun
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2 0 0 7
Pendapatan Tetap Saham Campuran Pasar Uang Terproteksi
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
NAB Triliun Rp - Unit Penyertaan Miliar NAB Unit Penyertaan
2 0 0 7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100NAB/Unit
Unit PenyertaanNAB
46
Bab 2 Sektor Keuangan
meningkat sekitar 47% dan tingginya subscription
(sebesar Rp122,8 triliun) dibandingkan redemption
(sebesar Rp102,7 triliun).
Sempat terkoreksinya pasar SUN mengakibatkan
melambatnya pertumbuhan NAB jenis reksa dana
pendapatan tetap menjadi sekitar 11%. Namun demikian,
secara keseluruhan, koreksi pasar SUN tidak berdampak
nyata terhadap pasar reksa dana karena telah semakin
terdiversifikasinya penanaman investor pada berbagai
alternatif jenis reksa dana yang mencakup reksa dana
terproteksi, reksa dana indeks dan exchange traded funds.
Dengan diversifikasi tersebut, pangsa NAB masing-masing
jenis reksa dana menjadi relatif berimbang yaitu: 23%
(pendapatan tetap), 38% (saham), 16% (campuran), 5%
(pasar uang) dan 18% (terproteksi).
Pada tahun 2008, perkembangan NAB reksa dana
yang terutama didukung bullish-nya pasar saham
diperkirakan akan terus berlanjut. Sejalan dengan itu,
berbagai jenis reksa dana berbasis saham akan semakin
berkembang. Namun demikian, semakin bergejolaknya
harga saham serta adanya potensi risiko karena alternatif
penanaman baru belum dipahami oleh para investor, dapat
mendorong terjadinya koreksi reksa dana. Oleh karena itu,
semakin terdiversifikasinya penanaman pada reksa dana
akan menjadi faktor utama yang mendukung stabilitas
perkembangan reksa dana.
Grafik 2.59Perkembangan Komposisi NAB Reksa Dana
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
Des 03 Des 04 Des 05 Des 06 Des 07
%
SahamPendapatan Tetap Campuran
Pasar UangTerproteksiIndeks
Grafik 2.58Reksa Dana: Redemption & Subscription
Rp triliun
0
2
4
6
8
10
12
14Redemption Subscription
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2 0 0 7
47
Bab 2 Sektor Keuangan
Perkembangan Industri Asuransi dan Potensi Risiko bagiSistem KeuanganBoks 2.1
Perkembangan Industri Asuransi
Salah satu industri terpenting dalam sistem
keuangan Indonesia adalah industri asuransi.
Berdasarkan data terakhir yang diperoleh, jumlah
perusahaan asuransi menurun dari 157 (2005) menjadi
146 (2006), sedangkan permodalan meningkat dari
Rp25 triliun (2005) menjadi Rp34 triliun (2006).
Penerapan risk based capital (RBC) menyebabkan
berkurangnya jumlah perusahaan asuransi terkait
dengan ketidakmampuan memperkuat modal. Namun
demikian, terjadi perluasan bisnis asuransi, terlihat dari
meningkatnya jumlah lembaga penunjang asuransi dari
219 perusahaan (2005) menjadi 256 perusahaan (2006).
Dari segi kinerja, selama tahun 2006 terjadi
peningkatan aset sekitar 23% menjadi Rp171 triliun,
sementara premi dan klaim meningkat masing-masing
sekitar 14% menjadi Rp52 triliun dan Rp38 triliun.
Peningkatan terutama terjadi pada asuransi jiwa, yaitu
aset meningkat 31% menjadi Rp71 triliun sedangkan
premi dan klaim meningkat masing-masing sekitar
20% menjadi Rp27 triliun dan Rp23 triliun. Laba
asuransi jiwa juga meningkat pesat yaitu sekitar 85%
menjadi Rp2,3 triliun.
Grafik Boks 2.1.1.Permodalan Asuransi 2003-2006
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
2003 2004 2005 2006
Asuransi Jiwa Asuransi Kerugian
Reasuransi Asuransi Sos & JamsostekAsuransi PNS & TNI
Rp triliun
I.I.I.I.I. Perusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan Asuransia. Asuransi Jiwa 60 57 51 45b. Asuransi Kerugian 104 101 97 92c. Reasuransi 4 4 4 4d. Asuransi Sosial 5 5 5 5
II.II.II.II.II. Penunjang AsuransiPenunjang AsuransiPenunjang AsuransiPenunjang AsuransiPenunjang Asuransia. Pialang Asuransi 120 128 134 154b. Pialang Reasuransi 21 19 21 29c. Adjuster Asuransi 25 30 30 30d. Konsultan Aktuaria 20 23 28 34e. Agen Asuransi 0 5 6 9
Table Boks 2.1.1Perkembangan Jumlah Usaha Asuransi 2003-2006
2003 2004 2005 2006
Grafik Boks 2.1.2.Aset-Premi-Klaim: 2003-2006
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2003 2004 2005 2006
Aset Premi Klaim
Rp triliun
Grafik Boks 2.1.3.Perkembangan Laba Asuransi: 2003-2006
0,0
500,0
1000,0
1500,0
2000,0
2500,0
2003 2004 2005 2006
Asuransi Jiwa Asuransi Kerugian
Reasuransi Asuransi Sos & Jamsostek
Asuransi PNS & TNI
Rp miliar
Sejalan dengan peningkatan laba tersebut maka
ROA, ROE, ROI dan investment yield dari asuransi jiwa
juga meningkat. Asuransi jiwa menjadi semakin aktif
dan efisien dalam mengelola investasi disamping tetap
48
Bab 2 Sektor Keuangan
memelihara kehati-hatian. Sementara itu, asuransi
umum juga semakin aktif berinvestasi namun dalam
pengelolaan investasi tampaknya tidak seefisien
asuransi jiwa.
asuransi konvensional juga memiliki karakteristik
tabungan. Nasabah Unit Link selain memperoleh
pertanggungan atas jiwa juga akan memperoleh
pengembalian investasi sejumlah tertentu.
Grafik Boks 2.1.4.Beberapa Indikator Kesehatan Perusahaan Asuransi
Grafik Boks 2.1.5.Investasi Perusahaan Asuransi: 2003-2006
2005 2006
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
20,00
ROA-AJ ROA-AU ROE-AJ ROE-AU ROI-AJ ROI-AU Invyield- AJ
Invyield- AU
0
10
20
30
40
50
60
70
2003 2004 2005 2006
Surat Berharga Pem Deposito Saham & Obligasi Reksadana
Rp triliun
Dari segi aktivitas investasi, tampak bahwa
perusahaan asuransi semakin aktif melakukan
penanaman tidak hanya pada deposito namun juga
pada saham dan obligasi serta reksa dana. Pada tahun
2006 investasi asuransi pada saham dan obligasi naik
158% menjadi Rp60 triliun, sedangkan penanaman
pada reksa dana naik 29% menjadi Rp10 triliun.
Potensi Risiko
Penting dicatat bahwa relatif bagusnya
perkembangan asuransi jiwa terutama didukung oleh
berkembangnya produk asuransi non konvensional yaitu
Unit Link. Produk tersebut selain memiliki karakteristik
Grafik Boks 2.1.6.Premi: Unit Link & Total: 2003-2006
Grafik Boks 2.1.7.Hasil Investasi: Unit Link terhadap Total: 2003-2006
0
5
10
15
20
25
30
2003 2004 2005 2006
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00Premi Unit Link Total Premi Premi UL/T Premi
Rp miliar % Premi UL/Premi Total
0
1
2
3
4
5
6
7
2003 2004 2005 2006
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
Hasil Inv Unit Link Hasil Inv Total Hsl Inv UL/Hsl Inv Total
Rp miliar Hasil Inv UL/Hasil Inv Total
Pada tahun 2006, terdapat 21 perusahaan yang
menyelenggarakan Unit Link. Premi Unit Link terus
meningkat meskipun kontribusinya terhadap total
premi asuransi jiwa relatif rendah, yaitu sekitar 25%.
Penyelenggaraan Unit Link menyebabkan asuransi jiwa
semakin aktif melakukan investasi sehingga risiko
pasar menjadi meningkat. Hal tersebut terlihat pada
melambatnya kenaikan hasil investasi pada saat
naiknya suku bunga (tahun 2005) dan meningkat
pesatnya hasil investasi dengan mulai turunnya suku
bunga (tahun 2006).
Berkembangnya asuransi jiwa juga didukung
oleh kerja sama antara asuransi jiwa dengan
49
Bab 2 Sektor Keuangan
perbankan melalui Bancassurance. Sampai dengan
akhir tahun 2007 terdapat sekitar 27 bank besar yang
melakukan Bancassurance terutama berupa
keagenan produk asuransi termasuk Unit Link.
Bancassurance dalam bentuk keagenan produk
asuransi memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak. Di satu sisi, perusahaan asuransi akan
memperluas nasabah, sementara di sisi lain,
perbankan berpeluang untuk meningkatkan fee
based income.
Namun demikian, kegiatan bancassurance dalam
bentuk kegiatan keagenan tetap berpotensi
meningkatkan risiko bagi bank terutama dalam bentuk
risiko reputasi. Hal tersebut karena :
• Kemungkinan terdapatnya misselling karena
kekurangpahaman tenaga penjual di bank tentang
karakteristik produk asuransi.
• Perkembangan produk asuransi yang semakin
mirip produk bank dan bahkan semakin terkait
dengan produk bank menyebabkan semakin
rumitnya proses klaim;
Dengan adanya potensi peningkatan risiko pasar
dan risiko reputasi tersebut di atas maka bank perlu
berhati-hati dalam menawarkan produk Unit Link dan
Bancassurance. Kehati-hatian tersebut dibangun melalui
pemahaman yang utuh tentang produk yang ditawarkan
serta langkah-langkah mitigasi risiko yang telah
dipersiapkan untuk mengantisipasi potensi kerugian.
50
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
51
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bab 3Prospek SistemKeuangan Indonesia
52
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
53
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
3.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO
Meskipun akhir-akhir ini terdapat tekanan inflasi dalam
perekonomian domestik yang dibarengi dengan gejala
perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi global, namun
prospek ekonomi Indonesia tetap positif dengan
pertumbuhan diperkirakan di atas 6%. Analis ekonomi Asia
Pasifik menyebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan
ekonomi tersebut didukung oleh peningkatan perdagangan
internasional dan tingkat inflasi yang relatif terkendali.
Di samping itu, investasi dan ekspor mulai menjadi
penopang pertumbuhan ekonomi disamping sektor
konsumsi yang semenjak paska krisis menjadi penopang
perekonomian Indonesia. Kondisi ini didorong oleh
penurunan tingkat suku bunga domestik dan iklim investasi
yang semakin membaik kendati belum sepenuhnya pulih
seperti sebelum krisis. Prospek makroekonomi yang cukup
baik ini akan memperkuat kestabilan sistem keuangan dan
menopang perekonomian Indonesia.
Sementara itu, investor asing diperkirakan akan
masih terus menganggap kondisi ekonomi dan instrumen
investasi Indonesia menarik dan relatif stabil, meskipun
terdapat peningkatan persepsi risiko sebagaimana
tercermin pada yield spread yang cenderung meningkat.
Namun demikian, peningkatan aliran investasi terutama
yang berjangka pendek perlu diwaspadai karena sangat
rentan terhadap gejolak eksternal yang berpotensi
mendorong terjadinya aliran modal keluar secara serentak
dan tiba-tiba (sudden reversal).
Secara umum prospek sistem keuangan Indonesia tetap positif. Hal tersebut
didukung oleh kondisi makroekonomi yang relatif kondusif di tengah
peningkatan tekanan inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Prospek tersebut juga ditopang oleh kondisi internal sektor keuangan terutama
perbankan dengan permodalan yang kuat dan kemampuan manajemen risiko
yang cenderung membaik. Eratnya koordinasi antara otoritas perbankan
dengan otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank sangat
diperlukan untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan ke depan.
Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 3
PDB (%yoy) 6,0 6,3 6,5 6,1 6,2 6,1 6,1 6,1
Inflasi (% yoy) 6,4 6,0 6,5 6,6 6,4 6,7 6,4 6,6
Neraca Perdagangan (US$ milliar) 7,9 8,4 8,1 8,7 8,5 8,9 9,4 10,4
Tabel 3.1Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi
2007 2008
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Sumber: Asia Pacific Consensus Forecast
54
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
3.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN
ARAH
Karena perbankan mendominasi sektor keuangan
Indonesia maka tingkat dan arah dari profil risiko
perbankan akan berdampak besar terhadap stabilitas.
Secara umum, risiko perbankan selama semester II 2007
relatif terkendali dan cenderung stabil. Gejolak-gejolak
yang terjadi di pasar keuangan baik domestik maupun
global tidak sampai mengganggu ketahanan sistem
perbankan sehingga kinerjanya tetap terjaga dan fungsi
intermediasi terus membaik. Hal tersebut dibarengi pula
dengan peningkatan efisiensi dan penurunan kredit
bermasalah sehingga profitabilitas terus meningkat
meskipun rasio permodalan (CAR) sedikit menurun sebagai
akibat kenaikan kredit perbankan.
Sementara itu, peningkatan fungsi intermediasi
perbankan telah diimbangi oleh risk control systems (RCS)
kredit yang terus membaik. Kemajuan dalam manajemen
risiko kredit yang dibarengi dengan pelaksanaan
restrukturisasi kredit pada beberapa bank BUMN
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan membaiknya
kualitas kredit perbankan. Sebagaimana dikemukakan
pada Bab 2, pada akhir 2007 untuk pertama kalinya setelah
krisis rasio kredit bermasalah (NPL) gross berada di bawah
5%.
Namun demikian, di tengah masih banyaknya
permasalahan internal dan eksternal seperti sektor riil yang
belum sepenuhnya pulih, meningkatnya intensitas bencana
alam, gejolak harga komoditas pokok, dan potensi
kenaikan harga minyak dunia maka perbankan ke depan
diperkirakan akan menghadapi peningkatan risiko kredit.
Akan tetapi, dengan semakin membaiknya RCS
perkreditan bank maka peningkatan risiko kredit
diperkirakan tidak akan signifikan.
Sementara itu, risiko likuiditas tetap rendah dengan
tren stabil sejalan dengan tingginya rasio alat likuid
terhadap non-core deposits perbankan. Likuiditas
perbankan juga tetap terkendali, antara lain tercermin dari
tidak terdapatnya gejolak di pasar uang antar bank (PUAB)
yang mengganggu kinerja perbankan. Namun demikian,
potensi peningkatan risiko likuiditas tetap ada mengingat
struktur dana pihak ketiga perbankan masih kurang
berimbang, baik dari sisi tenor, volume maupun
kepemilikan. Hal lain yang juga berpotensi meningkatkan
risiko likuiditas adalah kemungkinan terjadinya shock di
pasar keuangan global yang kemudian menjalar ke pasar
keuangan domestik.
Risiko pasar dari sisi nilai tukar relatif rendah dengan
tren stabil. Secara teknis, risiko nilai tukar tetap terkendali
karena posisi devisa netto (PDN) perbankan yang relatif
rendah, jauh di bawah rasio maksimum 20%. Sedangkan
risiko pasar dari sisi suku bunga masih tetap moderat
dengan tren stabil, sejalan dengan profil maturitas
perbankan yang short pada jangka pendek dan long pada
jangka panjang. Meskipun strategi profil maturitas tersebut
sampai saat ini efektif dalam mengatasi risiko suku bunga,
namun kerawanan dapat timbul apabila terjadi pembalikan
arah suku bunga. Hal ini perlu diwaspadai mengingat
instrumen keuangan yang dapat digunakan sebagai
pengendali risiko suku bunga masih relatif terbatas karena
belum berkembangnya pasar hedging dan derivative di
Indonesia.
Selanjutnya, risiko pasar dari sisi harga SUN juga
masih tergolong moderat dengan tren stabil. Sejauh ini
Indo 41 Ba3 (Moody's) 7,27 386,6 423,9
Indo 17 BB+ (S&P) 8,96 475,2 495,2
Indo 45 Ba3 (Moody's) 11,01 546,6 653,4
Tabel 3.2Persepsi Risiko Indonesia
Sumber: Bloomberg
Obligasi Rating Ytm (%)Yield Spread (bps)
Sep 2007 Des 2007
55
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
strategi yang ditempuh bank untuk meminimalisir risiko
harga SUN adalah dengan memelihara portfolio SUN
trading yang rendah. Namun demikian, kewaspadaan perlu
ditingkatkan khususnya apabila terjadi kenaikan portfolio
SUN trading yang diiringi dengan kejatuhan harga karena
gejolak pasar yang umumnya di luar kendali bank.
Untuk risiko operasional, masih banyak tantangan
yang dihadapi perbankan Indonesia. Hal ini antara lain
karena masih adanya gangguan yang terkait dengan
teknologi informasi. Selain itu, kemungkinan terjadinya
fraud dan kelemahan operasional lainnya perlu terus
diminimalisir dengan meningkatkan fungsi internal control.
Pengukuran risiko operasional juga masih menjadi suatu
tantangan karena keterbatasan data dan keahlian yang
dimiliki perbankan. Implementasi Basel II nantinya
diharapkan dapat mendorong peningkatan kemampuan
perbankan dalam pengukuran dan pengendalian risiko
operasional.
3.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA
Kondisi stabilitas sistem keuangan selama semester II
2007 relatif terjaga dengan prospek yang positif. Hal
tersebut sejalan dengan kondisi makroekonomi yang
membaik, pasar keuangan domestik yang relatif stabil, serta
infrastruktur dan kinerja perbankan yang terus meningkat.
Stabilitas sistem keuangan selama 2007 sebagian
besar diwarnai oleh dampak perkembangan perekonomian
dunia, seperti krisis subprime mortgage dan peningkatan
harga minyak dunia dan komoditi pokok. Meningkatnya
tekanan dari perekonomian global tersebut mendorong
kenaikan tipis indeks stabilitas sistem keuangan (financial
stability index) dari 1,21 pada akhir Juni 2007 menjadi
1,25 pada akhir Desember 2007.
Memasuki tahun 2008, semakin meningkatnya
ketidakpastian dalam pasar keuangan global sebagai
akibat lanjutan dari krisis subprime mortgage dan
melemahnya perekonomian Amerika Serikat berpotensi
menimbulkan dampak negatif terhadap pasar keuangan
domestik dan kinerja korporasi yang menjadi debitur bank.
Dari dalam negeri, bencana alam yang terjadi silih berganti
Grafik 3.1Profil Risiko Perbankan dan Arahnya
Smt-II 2007
Outlook
Smt-II 2007
Outlook
Smt-II 2007
Outlook
Inherent Risk
HighM
oderateLow
Strong Acceptable WeakRisk Control
Strong Acceptable WeakRisk Control
Strong Acceptable WeakRisk Control
Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar
Nilai Tukar
SukuBunga Harga
SUN
Grafik 3.2Indeks Stabilitas Keuangan(Financial Stability Index)
2,5
2
1,5
1
0,5
0
1,251,271,34
M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04 M08 M12 M04
2003 2004 2005 2006 2007 2008
FSIFSI (average)
56
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
berpotensi untuk meningkatkan jumlah kredit bermasalah.
Hal-hal tersebut diperkirakan akan menimbulkan tekanan
terhadap ketahanan sistem keuangan pada semester I
2008 sehingga indeks stabilitas sistem keuangan akan
sedikit meningkat menjadi 1,34 pada akhir Juni 2008.
Meskipun terdapat potensi penurunan stabilitas
sistem keuangan yang berasal dari perusahaan korporasi
yang menjadi debitur bank, namun secara umum
perbankan diperkirakan akan dapat mengatasinya dengan
pembentukan cadangan aktiva produktif dan permodalan
yang memadai. Selain itu, langkah-langkah restrukturisasi
kredit yang terus akan dilanjutkan juga diperkirakan dapat
semakin meningkatkan kualitas kredit perbankan.
Berbagai gejolak dan perkembangan yang terjadi
dalam perekonomian domestik dan global tidak selamanya
dipandang sebagai suatu ancaman. Kenaikan harga
minyak dunia dan komoditas pokok lainnya justru
membuat pencarian sumber energi alternatif menjadi
semakin penting. Disamping itu, sejak krisis, berbagai jenis
infrastruktur strategis kurang mendapat perhatian
sehingga Pemerintah perlu meluncurkan berbagai paket
kebijakan untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur. Hal-hal ini mendorong terbukanya peluang
bisnis yang besar pada sektor-sektor seperti crude palm
oil, batubara, gula, infrastruktur dan properti.
Pengembangan sektor-sektor tersebut perlu dukungan
iklim investasi yang lebih menarik, serta pembiayaan dari
lembaga-lembaga keuangan dan pasar modal.
3.4. POTENSI KERAWANAN
Faktor-faktor yang menjadi potensi kerawanan pada
semester sebelumnya diperkirakan masih akan terus
membayangi ketahanan sistem keuangan. Dari sisi
eksternal, potensi kerawanan terbesar terkait dengan
gejolak perekonomian dunia, terutama sebagai dampak
dari berlanjutnya kerugian akibat krisis subprime mortgage,
peningkatan harga minyak dunia dan komoditi pokok,
serta melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Sampai saat ini, dampak krisis subprime mortgage
masih terus berlanjut dan telah berimbas ke beberapa
segmen lain. Di Amerika Serikat, krisis tersebut selain telah
merugikan perusahaan-perusahaan keuangan besar, juga
berdampak pada monoline company sebagai perusahaan
yang menjamin ketepatan pembayaran pokok maupun
bunga dari obligasi atau surat berharga lainnya pada saat
penerbit mengalami default. Dua perusahaan monoline
terbesar Amerika Serikat (Ambac Financial Group Inc., dan
MBIA) telah mengalami kerugian dan penurunan peringkat
sehingga harga sahamnya sempat anjlok. Perkembangan
tersebut dapat mengakibatkan semakin sempitnya credit
market di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya
yang terkait.
Meskipun Indonesia tidak mengalami kerugian
langsung akibat krisis subprime mortgage, namun
imbasnya turut dirasakan sejalan dengan semakin
terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi
global. Sementara itu, kenaikan harga minyak dunia
dapat meningkatkan biaya-biaya produksi dan
mendorong kenaikan harga-harga yang menurunkan
daya beli masyarakat. Akibatnya, kemungkinan
meningkatnya kredit bermasalah menjadi semakin besar
sehingga dapat menimbulkan tekanan pada sistem
keuangan (lihat Boks 3.1).
Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang
dipicu oleh menurunnya perekonomian Amerika Serikat
juga telah mulai merembet ke beberapa negara di Eropa.
Kebijakan penurunan suku bunga yang ditempuh Amerika
Serikat untuk mengatasi perlambatan ekonomi justru
mendorong semakin melebarnya perbedaan suku bunga
yang berpotensi memicu derasnya arus modal jangka
pendek yang masuk pasar keuangan domestik. Kerawanan
dapat timbul apabila terjadi pembalikan arus modal
57
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
tersebut secara serentak dan tiba-tiba (sudden reversal)
ke luar Indonesia.
Dari sisi internal, potensi kerawanan dapat timbul
sebagai akibat bencana alam yang datang silih berganti,
gejolak kenaikan harga komoditi pokok, dan persiapan
Pemilu. Potensi kenaikan risiko kredit akibat bencana alam
antara lain telah direspon dengan penerbitan ketentuan
perbankan yang terkait dengan pemberian kredit kepada
debitur di daerah bencana (lihat Boks 3.2). Sementara itu,
penanggulangan kenaikan harga komoditi pokok dan
antisipasi persiapan Pemilu, sangat memerlukan langkah-
langkah konkrit dari Pemerintah.
Sementara itu, terdapat beberapa tantangan yang
perlu dijawab oleh perbankan Indonesia ke depan.
Tantangan pokok antara lain adalah pelaksanaan
konsolidasi perbankan, dan implementasi Basel II.
Konsolidasi perbankan diyakini akan meningkatkan daya
saing dan skala ekonomis dari bank-bank domestik, serta
akan memudahkan pelaksanaan pengawasan bank. Pada
sisi lain, implementasi Basel II akan semakin mendorong
peningkatan kualitas manajemen risiko perbankan.
Potensi kerawanan dapat semakin berkurang dengan
mengefektifkan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK)
yang merupakan media pertukaran informasi dan
pembahasan berbagai risiko yang berpotensi menimbulkan
shock dan krisis di sektor keuangan. Ke depan, koordinasi
yang lebih erat antara otoritas perbankan dengan otoritas
pasar modal dan lembaga keuangan non-bank sangat
diperlukan untuk lebih meningkatkan ketahanan sistem
keuangan.
58
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Dampak Kenaikan Harga Minyak terhadap Stabilitas SistemKeuangan
Boks 3.1
Menjelang akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008,
harga minyak dunia cenderung terus meningkat, bahkan
sempat melebihi US$110 per barel. Dalam kaitan ini
kewaspadaan sangat diperlukan mengingat pengalaman
pada tahun 2005 menunjukkan bahwa kenaikan harga
minyak dapat menimbulkan tekanan terhadap sistem
keuangan, khususnya melalui peningkatan jumlah kredit
bermasalah (NPL) di perbankan.
Namun demikian, apabila diperhatikan data
sepanjang tahun 2007, hubungan antara harga minyak
dunia dan NPL perbankan tampaknya tidak selalu
searah. Sebagaimana terlihat dalam Grafik Boks 3.1.1,
walaupun harga minyak cenderung meningkat, namun
NPL perbankan menurun. Hal ini terjadi karena selama
periode tersebut NPL perbankan lebih banyak
dipengaruhi oleh restrukturisasi kredit. Sungguhpun
demikian, karena dampak dari kenaikan harga minyak
dunia kemungkinan baru akan terlihat setelah beberapa
bulan kemudian, diperlukan pemantauan yang seksama
oleh perbankan terhadap debitur-debitur yang sensitif
terhadap perubahan harga minyak dunia. Dengan
pemantauan yang cermat dapat diperkirakan
kemungkinan besarnya peningkatan NPL dan
kebutuhan pembentukan cadangan (provisions) yang
diperlukan.
Sementara itu, untuk mengetahui dampak
perubahan harga minyak dunia terhadap NPL
perbankan telah pula dilakukan suatu simulasi. Sebagai
dasar perhitungan dalam simulasi adalah tingkat rasio
NPL gross per akhir Desember 2007 sebesar 4,6%.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa, ceteris paribus,
setiap peningkatan 10% harga minyak dunia akan
mengakibatkan peningkatan rasio NPL gross tiga bulan
kemudian sekitar 0,20%. Dengan demikian, apabila
harga minyak dunia meningkat misalnya menjadi
USD115 dan hal tersebut terjadi secara terus menerus,
maka rasio NPL gross tiga bulan berikutnya
diperkirakan akan menjadi sebesar 5,66% (lihat Tabel
Boks 3.1.1.).
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa
peningkatan harga minyak dunia merupakan suatu
hal yang dapat berpengaruh signifikan terhadap
perbankan sehingga tidak boleh diabaikan dalam
kegiatan surveillance stabilitas sistem keuangan.
Grafik Boks 3.1.1.NPL Perbankan dan Harga Minyak
USD/barel %
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2004 2005 2006 2007
NPL (aksis kanan)
Harga Minyak (aksis kiri)
USD 75 USD 85 USD 100 USD 110 USD 115 USD 120 USD 125
Tabel Boks 3.1.1.Proyeksi NPL Gross Tahun 2008 dengan Berbagai Skenario Harga Minyak
Rasio NPL gross (%) 4,82% 5,02% 5,37% 5,57% 5,66% 5,75% 5,82%
Skenario HargaMinyak Dunia
59
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bencana Alam, Lingkungan Hidup dan Stabilitas SistemKeuangan
Boks 3.2
Sejak beberapa waktu terakhir bencana alam
terus menerus melanda Indonesia. Berita tentang
gempa, banjir dan longsor hampir setiap hari menghiasi
media massa. Terjadinya bencana alam tersebut
terutama karena semakin meningkatnya kerusakan
lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam
yang ditimbulkannya dapat berdampak negatif
terhadap stabilitas sistem keuangan. Bencana alam
tidak saja berpotensi mengakibatkan biaya ekonomi
tinggi, namun juga dapat merusak infrastruktur
sehingga mengganggu pelayanan jasa keuangan dan
pelaksanaan sistem pembayaran. Bagi perbankan,
bencana alam dapat meningkatkan risiko kredit melalui
kenaikan NPL dan menimbulkan risiko operasional.
Selanjutnya, gangguan operasional yang serius dapat
menimbulkan risiko reputasi. Oleh karena itu, Disaster
Recovery Plan atau Business Continuity Plan yang
memadai perlu dipersiapkan secara baik.
Tidak diragukan lagi, menjaga lingkungan hidup
merupakan cara yang paling tepat untuk mencegah
terjadinya bencana alam. Sebagai otoritas perbankan,
Bank Indonesia telah berupaya mendorong bank untuk
mendukung pemeliharaan lingkungan hidup. Hal ini
antara lain tercermin dalam Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
Penilaian Aktiva Produktif Bank Umum yang
mewajibkan bank agar pada saat melakukan penilaian
prospek bisnis debitur mengevaluasi upaya-upaya yang
telah dilakukan debitur dalam rangka memelihara
lingkungan hidup. Selanjutnya, untuk mendukung
pemulihan kondisi perekonomian paska bencana alam,
Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.8/15/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perlakuan Khusus
terhadap Kredit Bank bagi Daerah-daerah tertentu di
Indonesia yang Terkena Bencana Alam. Disamping itu,
perbankan juga dapat membantu menjaga kondisi
lingkungan hidup melalui pembiayaan terhadap
proyek-proyek seperti mitigasi efek rumah kaca,
produksi bahan pengganti bahan bakar minyak, daur
ulang sampah dan pemrosesan limbah industri.
Salah satu isu terakhir terkait dengan lingkungan
hidup adalah pemanasan global (global warming). Isu
tersebut telah menjadi salah satu topik penting dalam
Konferensi Tingkat Tinggi mengenai perubahan
lingkungan (United Nations Climate Change
Conference) yang berlangsung di Bali tanggal 3-14
Desember 2007. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang
paling relevan adalah bagaimana sektor keuangan
berkontribusi aktif dalam mitigasi dampak pemanasan
global?
Indonesia memiliki kekayaan alam yang terdiri
dari kawasan hutan yang meliputi 25% dari
keseluruhan hutan di wilayah Asia Timur dan Pasifik.
Laporan dari World Bank menyebutkan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki
karakteristik keanekaragaman mahluk hidup yang
tinggi. Dengan potensi kawasan hutan yang besar,
Indonesia memiliki kesempatan untuk mengurangi
efek rumah kaca yang selama ini dianggap penyebab
utama pemanasan global. Pembentukan carbon
market yang dicetuskan sebagai hasil kesepakatan
Kyoto Protocol 1997 dapat menjadi peluang bagi
lembaga-lembaga keuangan untuk terjun dalam bisnis
pembiayaan aktivitas yang dapat menurunkan emisi
efek rumah kaca atau greenhouse gas (GHG).
Di dalam carbon market, negara yang melebihi
kuota dalam emisi GHG dapat mengkompensasinya
dengan cara pembiayaan proyek penurunan emisi
GHG baik di negaranya sendiri maupun di negara lain.
Transaksi karbon (carbon transaction) didefinisikan
sebagai pembelian kontrak dimana pihak pertama
membayar pihak kedua untuk melakukan aktivitas
penurunan emisi GHG atau untuk memperoleh hak
60
Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
untuk melakukan emisi sejumlah GHG sehingga pihak
pertama dapat memenuhi batasan emisi GHG-nya.
Pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk tunai,
equity, utang (debt), convertible debt, warrant, atau
dalam bentuk alih teknologi. Dewasa ini, EU ETS
(European Union Emissions Trading Scheme)
merupakan carbon market yang terbesar dengan
kapitalisasi mewakili negara-negara maju yang telah
secara aktif meramaikan carbon market yang disalurkan
untuk pembiayaan pengurangan emisi GHG di negara-
negara Eropa sendiri dan di negara-negara
berkembang.
Mengingat eksposur Indonesia pada carbon
market masih relatif sangat kecil, dan pangsa carbon
market pada pasar keuangan Indonesia juga masih
relatif sangat kecil maka dampaknya pada stabilitas
sistem keuangan dapat diabaikan. Namun demikian,
carbon market berpotensi untuk menjadi sumber
pendanaan bagi proyek-proyek lingkungan hidup di
Indonesia. Selanjutnya, karena potensi Indonesia dalam
memberikan kontribusi untuk mengurangi efek rumah
kaca sangat besar maka eksposur carbon market ini
kemungkinan besar akan terus meningkat. Carbon
market internasional sendiri mengalami pertumbuhan
kapitalisasi senilai US$30 miliar sepanjang tahun 2006,
atau tiga kali lebih besar dari tahun 2005. Sudah
saatnya dipikirkan upaya-upaya untuk menghidupkan
perdagangan karbon di pasar keuangan Indonesia
sebagai salah satu sumber pembiayaan proyek-proyek
lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Asia Cleantech, ≈Avoided deforestation credits head
for the voluntary carbon markets∆, 7 Januari 2008.
New Energy Finance, ≈Clean energy investment breaks
the $100bn barrier in 2007∆, Press Release 2
Januari 2008.
The World Bank, ≈Environment at a Glance -
Indonesia∆, 2004
The World Bank, ≈State and Trends of the Carbon
Market 2007∆, Mei 2007.
United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) website (http://unfccc.int).
61
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
Bab 4Infrastruktur Keuangan
62
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
63
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
4.1. SISTEM PEMBAYARAN
4.1.1. Perkembangan Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran Indonesia tetap handal dan
tidak menunjukkan adanya potensi risiko sehingga
mendukung stabilitas sistem keuangan. Pada semester II
2007, 96,51% dari total nilai transaksi pembayaran antar-
bank dilakukan melalui sistem BI-RTGS (Bank Indonesia-
Real Time Gross Settlement). Sementara itu, pemrosesan
melalui kliring mencapai 3,49% sedangkan sisanya
melalui kartu kredit dan kartu account based (ATM,
ATM+Debet dan Debet).
Dibandingkan dengan semester sebelumnya, nilai
transaksi pembayaran melalui sistem BI-RTGS pada
semester laporan menurun 10,42% dari Rp22,09 ribu
triliun menjadi Rp20,01 ribu triliun, meskipun dari segi
volume meningkat 15,34% dari 3,87 juta transaksi
menjadi 4,57 juta transaksi. Penurunan nilai transaksi
pembayaran antara lain terkait dengan penjarangan
intervensi dalam pengelolaan moneter. Sementara
kenaikan volume transaksi pembayaran terjadi karena
peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat pada waktu-
waktu khusus seperti peringatan hari besar keagamaan,
tutup buku akhir tahun, dan tahun baru. Alasan lain
peningkatan volume transaksi pembayaran adalah
kenaikan kegiatan transaksi di pasar valas untuk
memenuhi kebutuhan valas dari korporasi, serta
berlanjutnya peningkatan kegiatan transaksi di pasar
modal pada semester laporan.
Selama paruh kedua tahun 2007, infrastruktur keuangan Indonesia tetap
mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Kendati terdapat
peningkatan volume dan nilai setelmen, sistem pembayaran berfungsi tanpa
kendala sehingga dapat memitigasi risiko setelmen dan risiko operasional.
Sementara itu, Biro Informasi Kredit semakin berperan dalam penyediaan
informasi kredit untuk pelaku bisnis. Infrastruktur keuangan juga semakin
kuat dengan semakin berfungsinya Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK).
Infrastruktur KeuanganBab 4
Grafik 4.1Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran Semester II 2007
0,0002%
96,5101%
0,0045%3,4852%
Kartu KreditKartu account based (ATM, ATM+Debet&Debet)
RTGSKliring
64
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
Sebagai kesinambungan dari kegiatan pada semester
sebelumnya, implementasi Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) pada Penyelenggara Kliring Lokal (PKL)
terus berlanjut sehingga pada akhir semester II 2007
terdapat 41 PKL yang telah menyelenggarakan SKNBI.
Sementara itu, nilai transaksi kliring kredit pada semester
laporan tercatat sebesar Rp195,49 triliun dengan volume
transaksi 19,62 juta transaksi. Sedangkan nilai transaksi
kliring debet tercatat sebesar Rp527,23 triliun dengan
volume transaksi 20,28 juta transaksi. Dibandingkan
dengan semester I 2007, baik kliring kredit maupun kliring
debet mengalami peningkatan baik dari sisi nilai maupun
volume. Kenaikan nilai dan volume kliring kredit masing-
masing sebesar 12,91% dan 8,22%, sedangkan kenaikan
nilai dan volume kliring debet masing-masing sebesar
11,47% dan 2,11%.
Dalam semester laporan, Bank Indonesia telah
memberikan persetujuan kepada 7 institusi penerbit APMK
yang berupa kartu kredit, kartu debet, kartu ATM dan kartu
prabayar. Meskipun terjadi peningkatan jumlah kartu,
penggunaan APMK berupa kartu kredit, kartu debet dan
kartu ATM menunjukkan penurunan dibandingkan
semester sebelumnya. Jumlah kartu yang beredar dalam
semester laporan adalah sebesar 44,35 juta kartu atau naik
8,74% dibandingkan semester sebelumnya yang tercatat
sebesar 40,46 juta kartu. Sementara itu, nilai transaksi
menggunakan APMK tercatat sebesar Rp0,98 ribu triliun
atau turun sebesar 12,51% dibandingkan semester
sebelumnya sebesar Rp1,10 ribu triliun, dengan volume
transaksi sebesar 657,26 juta transaksi atau turun sebesar
23,12% dibandingkan semester sebelumnya sebesar
809,22 juta. Penurunan nilai dan volume transaksi APMK
ini terutama karena penurunan volume dan nilai transaksi
kartu jenis account based berupa kartu ATM dan
ATM+Debet yang mendominasi (sekitar 95,97%) total
transaksi APMK.
Nilai Transaksi Volume Nilai Transaksi Volume Nilai Volume
(ribu triliun) Transaksi (ribu triliun) Transaksi
(juta) (juta)
Rp22,09 3,87 Rp20,01 4,57 (10,42%) 15,34%
Tabel 4.1Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen
dalam Sistem BI-RTGS
PertumbuhanSemester I 2007 Semester II 2007
4.1.2. Kebijakan dan Mitigasi Risiko dalam
Sistem Pembayaran
Dalam pengoperasian sistem pembayaran terdapat
potensi risiko yang dihadapi oleh Bank Indonesia baik
sebagai regulator dan operator sistem pembayaran
maupun sebagai institusi pengguna sistem pembayaran.
Terkait dengan potensi risiko tersebut, Bank Indonesia
melakukan upaya mitigasi antara lain sebagai berikut :
a.a.a.a.a. Intensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadapIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap
CP-SIPSCP-SIPSCP-SIPSCP-SIPSCP-SIPS
CP SIPS merupakan standar internasional yang
dikeluarkan oleh Bank for International Settlements
(BIS) melalui Committee on Payment and Settlement
Systems (CPSS). Pemenuhan standar internasional ini
akan membantu mitigasi risiko.
Untuk pemenuhan CP SIPS, ketentuan Sistem BI-RTGS
dibuat lebih transparan, termasuk dengan
mengumumkan kebijakan pengenaan biaya sistem
Kartu Kredit 9,15 67,22 39,56
Kartu Debet (ATM
dan ATM+Debet) 35,20 590,04 941,64
TotalTotalTotalTotalTotal 44,3544,3544,3544,3544,35 657,26657,26657,26657,26657,26 981,20981,20981,20981,20981,20
Tabel 4.2Transaksi APMK
Jumlahkartu
(dalam juta)
Nilai Transaksi(dalam triliun)
VolumeTransaksi
Jenis Kartu(dalam juta)
65
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
BI-RTGS yang digunakan oleh Bank Indonesia. Selain
transparan, ketentuan sistem BI-RTGS yang disusun
juga memperhatikan aspek efisiensi bagi peserta
sistem BI-RTGS dengan cara memberikan kebebasan
untuk memilih jenis kepesertaannya dalam sistem BI-
RTGS. Dari segi aplikasi, telah diimplementasikan fitur-
fitur keamanan baru dalam sistem BI-RTGS guna
meningkatkan keamanan penyelenggara (Bank
Indonesia) dan peserta. Selanjutnya, Bank Indonesia
juga akan mengeluarkan ketentuan mengenai
perlindungan konsumen pengguna sistem
pembayaran, antara lain mencakup perlindungan
dalam pengkreditan dan pendebetan rekening
nasabah serta pemberian bunga dan kompensasi.
b.b.b.b.b. Pengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem PembayaranPengawasan Sistem Pembayaran
Pengawasan yang efektif akan mengurangi risiko
dalam sistem pembayaran. Dalam upaya
mempertahankan penyelenggaraan sistem BI-RTGS
yang cepat, aman, dan handal, Bank Indonesia terus
melakukan pengawasan terhadap peserta baik secara
onsite maupun offsite. Pengawasan onsite dilakukan
dengan melakukan kunjungan langsung ke lokasi
produksi peserta untuk mengetahui kepatuhan
peserta terhadap ketentuan sistem BI-RTGS.
Sementara itu, pengawasan offsite dilakukan dengan
menganalisis laboran-laporan yang disampaikan oleh
peserta, antara lain laporan hasil pemeriksaan internal
dan laporan hasil security audit.
c.c.c.c.c. Business Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem PembayaranBusiness Continuity Plan Sistem Pembayaran
Untuk menjaga kelangsungan sistem BI-RTGS, Bank
Indonesia melaksanakan uji coba secara periodik
dengan menggunakan berbagai skenario kondisi
guna mempersiapkan dan melatih personil yang
terlibat dalam operasional agar selalu siap dalam
kondisi apapun. Uji coba tersebut juga dimaksudkan
untuk mengetahui kesiapan sistem back up pada
penyelenggara. Untuk menjaga kelangsungan sistem
BI-RTGS peserta, Bank Indonesia memberikan
kesempatan kepada peserta untuk melakukan uji
coba koneksi ke penyelenggara untuk memastikan
bahwa backup-nya berfungsi dengan baik. Dalam hal
backup peserta tidak dapat digunakan, Bank
Indonesia juga telah menyediakan Fasilitas Guest
Bank, yang dapat digunakan oleh peserta untuk
melakukan penyelesaian transaksi sistem BI-RTGS.
d. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayarand. Peningkatan Keamanan Alat Pembayaran
Menggunakan KartuMenggunakan KartuMenggunakan KartuMenggunakan KartuMenggunakan Kartu
Proses perizinan dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan keamanan APMK sebelum APMK
tersebut digunakan secara luas oleh masyarakat.
Dalam proses pemberian izin penerbitan APMK, Bank
Indonesia menerapkan prinsip kehati-hatian antara
lain dengan cara menganalisa dokumen permohonan
yang diajukan oleh institusi calon penerbit APMK.
Peningkatan keamanan dari sisi teknologi instrumen
dilakukan dengan mendorong penggunaan teknologi
chips untuk kartu ATM dan kartu Debet. Sementara
itu, untuk meminimalkan risiko bagi konsumen, Bank
Indonesia melakukan pengawasan langsung kepada
penyelenggara APMK dan pengawasan tidak
langsung dengan menganalisa laporan
penyelenggaraan APMK yang diserahkan secara
periodik kepada Bank Indonesia.
4.2. BIRO INFORMASI KREDIT
Upaya penting lainnya yang telah ditempuh untuk
memperkuat infrastruktur sektor keuangan Indonesia
adalah pendirian Biro Informasi Kredit (BIK) di Bank
Indonesia. Pembentukan BIK ini merupakan salah satu
66
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
program dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API),
khususnya pilar ke-5 yaitu mewujudkan infrastruktur yang
lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan
yang sehat.
Secara umum, BIK ditujukan untuk membantu
perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam
memperlancar proses penyediaan dana dan penerapan
manajemen risiko melalui tersedianya informasi kualitas
debitur yang dapat diandalkan. Adanya informasi yang
lengkap dan transparan mengenai debitur sangat
dibutuhkan untuk menghindari terjadinya assymetric
information dalam analisa pemberian kredit agar risiko
kredit dapat diminimalisir.
Penyediaan informasi debitur sebenarnya sudah lama
dilakukan Bank Indonesia. Pada mulanya dikenal dengan
nama Sistem Informasi Kredit (SIK) yang kemudian diubah
menjadi Sistem Informasi Penyediaan Dana (SIPD) dan sejak
tahun 2005 dikenal dengan nama Sistem Informasi Debitur
(SID) yaitu sistem yang digunakan untuk mengelola dan
menyediakan informasi mengenai individual debitur.
Sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
7/8/PBI/2005 tanggal 24 Januari 2005 tentang SID maka
laporan informasi debitur ke Bank Indonesia wajib
dilakukan secara on line melalui website yang disediakan
oleh Bank Indonesia. Pelaksanaan SID berbasis web ini
menggunakan aplikasi yang terus disempurnakan mulai
dari penggunaan aplikasi yang pertama yaitu versi 504
dan saat ini versi 510. Peningkatan dan pengembangan
versi aplikasi SID akan membantu kecepatan dalam
pelaksanaan SID yang on line dan real time. Adapun
cakupan SID sebagai berikut:
Pelapor SID meliputi Bank Umum, Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), BPR Syariah, Lembaga Penyelenggara
Kartu Kredit Selain Bank (LPKKSB) dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank. Bagi Bank Umum, BPR
dengan total aset sebesar Rp10 miliar atau lebih dan
LPKKSB, pelaporan ini bersifat wajib, sedangkan bagi
perusahaan keuangan lainnya dan BPR dengan aset
kurang dari Rp10 miliar, pelaporan bersifat sukarela.
Laporan debitur meliputi seluruh fasilitas penyediaan
dana yang tercatat dalam pembukuan mulai dari
Rp1,- ke atas.
Laporan informasi debitur wajib disampaikan secara
on line ke Bank Indonesia setiap bulan melalui aplikasi
SID dengan menggunakan website.
Bagi pelapor yang menyampaikan laporan debitar
sesuai yang ditetapkan berhak untuk memperoleh
informasi debitur individual (IDI) secara on line dan
real time. Informasi yang tercakup dalam IDI antara
lain identitas debitur, pemilik/pengurus debitur, jumlah
fasilitas yang diterima debitur di bank pelapor, jumlah
baki debet atau oustanding fasilitas, agunan serta
kualitas kreditnya.
Sanksi bagi pelapor yang tidak menyampaikan
laporan atau koreksi laporan sesuai ketentuan atau
sesuai dengan perjanjian.
Perbedaan ketentuan SID yang berlaku saat ini
dengan ketentuan SIPD (SID lama) sebagai berikut :
Bank Umum Bank Umum, BPR, PKKSB dan LKNB
On line tetapi tidak real time On line dan real time
Rp50 juta atau lebih Seluruh nilai fasilitas yang diberikan
Tidak ada unique number Kepada masing-masing debitur diberikanDIN
PelaporPelaporPelaporPelaporPelapor
IDIIDIIDIIDIIDI
Plafon yang dilaporanPlafon yang dilaporanPlafon yang dilaporanPlafon yang dilaporanPlafon yang dilaporan
Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)Debtor Indenfication Number (DIN)
Tabel 4.3Perbandingan Ketentuan SID
Keterangan Ketentuan SID Lama Ketentuan SID yang Sedang Berlaku
67
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
Bagi pemberi kredit, manfaat BIK dan SID adalah
membantu mempercepat proses analisa dan pengambilan
keputusan pemberian kredit. Selain itu, dengan informasi
yang lebih komprehensif dan akurat maka risiko kredit
dapat diminimalisir. Sementara itu, bagi penerima kredit,
manfaat BIK dan SID adalah mempercepat waktu
persetujuan kredit. Disamping itu, nasabah baru akan
mendapat akses yang lebih luas kepada pemberi kredit
karena informasi kinerja kreditnya di tempat lain dapat
diketahui oleh calon pemberi kredit melalui SID. Manfaat
lainnya adalah debitur dapat melakukan pengecekan
terhadap kebenaran data kreditnya yang dilaporkan oleh
pelapor yaitu dengan mengajukan permohonan tertulis
ke Bank Indonesia dengan menunjukkan bukti identitas
diri atas nama debitur yang bersangkutan.
4.3 MITIGASI RISIKO SISTEM KEUANGAN
4.3.1. Forum Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam memitigasi risiko sistem keuangan, berbagai
upaya telah dilakukan antara lain mencakup meningkatkan
efektivitas kordinasi berbagai instansi terkait dalam Forum
Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK). Selama semester II
2007, Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) semakin
meningkatkan fungsinya. Sebagaimana dilaporkan dalam
KSK edisi sebelumnya, FSSK terdiri dari Forum Pengarah,
Forum Pelaksana dan Tim Kerja, dengan fungsi antara lain
sebagai berikut:
menunjang pengambilan keputusan terhadap bank
bermasalah yang ditengarai sistemik.
melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi
dalam rangka sinkronisasi peraturan perundang-
undangan dan ketentuan di bidang perbankan,
lembaga keuangan non bank, dan pasar modal.
melakukan penyiapan ∆macro early warning system∆
sektor keuangan terhadap permasalahan lembaga-
lembaga dalam sistem keuangan yang berpotensi
sistemik berdasarkan hasil early warning system yang
dihimpun dari lembaga pengawas yang
bersangkutan.
mengkoordinasikan dan mensinkronisasikan
penyusunan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia
(ASKI).
melakukan kerjasama persiapan Financial Sector
Assessment Program (FSAP).
Untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi
tersebut di atas maka pada bulan Oktober 2007 telah
dibentuk 2 Sub Tim Kerja dan 3 Gugus Tugas pada tingkat
Forum Pelaksana. Sub Tim Kerja yang baru tersebut terdiri
dari Sub Tim Kerja ASKI dan Sub Tim Kerja FSAP. Sementara
itu, Gugus Tugas yang baru mencakup Gugus Tugas
Subprime Crisis, Gugus Tugas Crisis Management Protocol
dan Gugus Tugas Repo.
Secara rutin, FSSK telah mengadakan pertemuan-
pertemuan untuk membahas perkembangan terakhir di
sektor keuangan Indonesia. Dalam pertemuan-pertemuan
tersebut dibahas langkah-langkah antisipasi yang perlu
dilakukan. Selain itu, untuk mendorong tukar menukar
informasi, Bank Indonesia setiap bulan secara teratur telah
Tidak terdapat pemeriksaan khusus SID Dilakukan pemeriksaan khusus SID
Melalui switching PT. Aplikanusa Lintasarta Langsung ke server BI (Kantor Pusat)
Dial-up via VSAT Dial-up via ekstranet BI
PemeriksaanPemeriksaanPemeriksaanPemeriksaanPemeriksaan
Penyampaian LaporanPenyampaian LaporanPenyampaian LaporanPenyampaian LaporanPenyampaian Laporan
Jaringan komunikasiJaringan komunikasiJaringan komunikasiJaringan komunikasiJaringan komunikasi
Tabel 4.3Perbandingan Ketentuan SID (lanjutan)
Keterangan Ketentuan SID Lama Ketentuan SID yang Sedang Berlaku
68
Bab 4 Infrastruktur Keuangan
menyampaikan kepada FSSK informasi terakhir tentang
perkembangan industri perbankan serta hasil penilaian
terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
4.3.2. Crisis Management Protocol
Sementara itu, terkait dengan Crisis Management
Protocol sudah dirampungkan beberapa kegiatan
termasuk penetapan ruang lingkupnya. Pada saat ini
sedang dilakukan penyusunan kerangka kerja, dan akan
segera dilanjutkan dengan penyusunan kerangka hukum,
penyusunan organisasi dan mekanisme koordinasi,
penyiapan infrastruktur, penyiapan data dan information
sharing, penetapan indikator dan skenario, penyusunan
program komunikasi, dan pelaksanaan simulasi krisis.
Diperkirakan seluruh kegiatan tersebut dapat diselesaikan
pada bulan April 2008.
69
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Ar t ike l
70
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Halaman ini sengaja dikosongkan
71
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Artikel I
Survey Industri Properti:Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Wimboh Santoso5, Noer Azam Achsani6, Herawanto7
Tujuan kajian ini adalah membangun model ekonomi yang berguna sebagai petunjuk peringatan dini atas
dampak negatif perkembangan industri properti dan real estate terhadap stabilitas sistem keuangan serta untuk
mengetahui perilaku pembiayaan pelaku usaha industri properti dan real estate. Dengan menggunakan data
1996 √ Agustus 2006, hasil kajian menunjukkan bahwa model EWS yang dibangun mampu menjelaskan perilaku
PDB konstruksi, kredit properti serta NPL properti dengan sangat baik, khususnya pada periode prediksi 3, 6 dan
12 bulan.
5 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia, alamat e-mail: [email protected]
6 Peneliti, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB, alamat e-mail:[email protected]
7 Peneliti Senior, Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan PengaturanPerbankan, Bank Indonesia, alamat e-mail: [email protected]
1. PENDAHULUAN
Industri properti, merupakan salah satu sumber
utama pendorong bangkitnya perekonomian suatu negara.
Pada kebanyakan negara berkembang, industri properti
memainkan peran strategis karena industri ini melibatkan
industri hulu sampai ke hilir. Maraknya pertumbuhan
industri properti secara cepat akan ditransmisikan kepada
industri lainnya seperti industri semen, besi beton, batu
bata, kayu, konsultan, dan agen properti. Namun
demikian, implikasi perkembangan industri properti tidak
hanya terbatas pada industri di atas. Pertumbuhan industri
properti secara cepat akan merambat ke sektor jasa
keuangan karena perusahaan properti membutuhkan dana
investasi konstruksi yang berasal dari bank/lembaga
keuangan. Di sisi lain, pembeli properti yang membutuhkan
dana untuk membiayai propertinya juga akan meminta
pembiayaan kepada bank/lembaga keuangan. Pada saat
inilah sistem keuangan mulai terkait oleh industri properti.
Perkembangan industri properti dan real estate di
Indonesia selama 3 tahun terakhir menunjukkan gejala
pertumbuhan yang membaik setelah terpuruk akibat krisis
ekonomi 1997. Berkembangnya industri properti dan real
estate ini dapat dijadikan indikator bagi membaiknya
perekonomian nasional karena perkembangan industri
tersebut terkait erat dengan masalah ketenagakerjaan
maupun industri pendukung (seperti semen, batu-bata,
72
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
terbangunnya early warning system yang baik maka
perkembangan industri properti di masa-masa mendatang
dapat diprediksi.
Tahap kedua, pelaksanaan survei untuk mempelajari
perilaku pembiayaan dari para pelaku industri properti dan
real estate (pengembang, perbankan, dan konsumen) serta
mengetahui ekspektasi pelaku di industri properti dan real
estate tentang prospek industri tersebut ke depan. Survei
ini digunakan untuk mengklarifikasi model ekonomi yang
disusun pada tahap pertama.
2. EARLY WARNING SYSTEM INDUSTRI PROPERTI
DAN REAL ESTATE DI INDONESIA
Shock (baik yang bersumber dari internal maupun
external) akan menyebabkan fluktuasi dalam
perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi tersebut
akan membentuk suatu siklus (business cycle) berupa naik-
turunnya perekonomian yang sangat mungkin akan
terulang di masa datang. Apabila siklus tersebut dapat
dipahami dengan baik maka perilaku ekonomi ke depan
bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Dalam kondisi
demikian, deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian
menjadi suatu hal yang penting baik bagi pemerintah
maupun pelaku usaha.
Dalam membangun model Early Warning System
(EWS) industri properti dan real estate di Indonesia serta
menganalisis dampak industri properti dan real estate
terhadap variabel makroekonomi dan stabilitas keuangan
digunakan lima kriteria, yaitu : Akurat, Antisipatif,
Komprehensif, Flexible dan Kiwari (up to date). Untuk
mencapai tujuan tersebut, model dibangun dengan
menggunakan metode Business Cycle Analysis (analisis
siklus bisnis). Metode ini dirintis oleh National Bureau of
Economic Research (NBER) dan saat ini banyak digunakan
di negara-negara maju, khususnya Negara OECD. Di
Indonesia dan di negara berkembang lainnya, metode ini
masih sangat jarang digunakan karena keterbatasan data.
keramik, cat, besi, kayu), transportasi dan sektor-sektor
terkait lainnya. Studi Literatur di berbagai negara (misalnya
Nathakumaran et al (1996), Key et al (1994), Wood and
Williams (1992), Newell and Higgins (1996), Krystalogianni
et al (2004) dan Everhart and Duva-Hernandez (2001))
juga menunjukkan bahwa industri properti dan real estate
juga menjadi indikator penting kesehatan ekonomi.
Kinerja industri properti dan real estate ini sekaligus
juga dapat dijadikan sinyal bagi sektor keuangan,
khususnya sektor perbankan. Kejadian di masa lalu
menunjukkan bahwa tekanan pada industri property dan
real estate mampu memicu krisis, antara lain seperti yang
dicerminkan oleh kasus US savings and loan crisis di US
akhir 1980-an, financial crisis di Swedia dan Jepang awal
1990-an serta US subprime mortgage loan April 2007.
Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Koehler (2001),
Carson (2001), Van den Bergh (2001) dan Zhu (2003).
Mencermati eratnya keterkaitan peran industri
properti dan real estate, baik terhadap ekonomi secara
keseluruhan maupun terhadap stabilitas keuangan maka
perilaku industri properti menjadi sangat penting untuk
dipelajari secara kontinu. Adapun penelitian ini bertujuan
untuk:
(i) Membangun model ekonomi yang dapat digunakan
untuk memperoleh petunjuk peringatan dini atas
dampak negatif perkembangan industri properti dan
real estate terhadap stabilitas sistem keuangan,
(ii) Mengetahui perilaku pembiayaan dari para pelaku
usaha di industri properti dan real estate
(pengembang, perbankan, dan konsumen),
(iii) Mengetahui ekspektasi pelaku di industri properti dan
real estate dan prospek industri tersebut ke depan.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, penelitian
ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama,
menyusun model yang dapat digunakan sebagai petunjuk
peringatan dini (Early Warning System EWS)
perkembangan industri properti dan real estate. Dengan
73
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Dalam business cycle analysis dikenal 3 macam
composite indexes serta 1 reference series. Masing-masing
composite index merupakan kombinasi dari beberapa
variabel. Ketiga index tersebut adalah leading, coincident
dan lagging indexes. Reference Series adalah variabel yang
dapat menggambarkan kondisi perekonomian secara
agregat yang akan dipelajari, dalam hal ini adalah indikator
sektor properti dan real estate. Leading index bergerak
mendahului coincident maupun reference series.
Coincident index bergerak seiring dengan reference series.
Lagging index bergerak mengikuti (lag) coincident maupun
reference series.
Leading index menarik perhatian, karena dapat
memberikan deteksi dini (early warning system) tentang
arah pergerakan perekonomian secara agregat. Sementara
coincident index dapat memberikan gambaran tentang
current economic situation dan lagging index untuk
mengkonfirmasikan pergerakan kedua indeks terdahulu.
Studi ini menggunakan tiga alternatif reference series
yang terkait erat dengan industri properti dan real estate,
yaitu : Alternatif 1: Indikator perbankan yang mencakup
kredit properti dan NPL kredit properti, Alternatif 2: Value-
added konstruksi yang diukur dari PDB sektor konstruksi
(bangunan), dan Alternatif 3: Tingkat penyerapan yang
diukur dengan tingkat hunian/penjualan atau indeks harga
sewa/jual (untuk properti dan real estate komersial) dan
indeks harga jual atau tingkat penjualan (untuk properti
dan real estate residential). Selanjutnya, alternatif reference
series ke-3 tidak jadi digunakan akibat perubahan definisi
harga pada 2002, sehingga series yang tersedia sangat
pendek dan tidak memenuhi syarat. Dari dua alternatif
yang tersedia, kemudian dikembangkan early warning
system untuk mendeteksi perilaku reference series pada
periode prediksi 3, 6 dan 12 bulan ke depan.
Pengembangan EWS dalam 3 periode tersebut dilakukan
tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keakuratan
hasil analisis semata, namun juga memperhatikan ruang
gerak bagi pengambil kebijakan khususnya dalam proses
perumusan dan penentuan kebijakan.
Dengan menggunakan data 1996 - Agustus 2006,
hasil studi menunjukkan bahwa model EWS yang dibangun
mampu menjelaskan perilaku PDB Konstruksi, Kredit
Properti serta NPL Properti dengan sangat baik, baik pada
periode prediksi 3, 6 maupun 12 bulan. Secara ringkas,
hasil analisis siklus bisnis dapat disajikan sebagai berikut:
NPL PropertiNPL PropertiNPL PropertiNPL PropertiNPL Properti. Hasil pengembangan model early
warning system untuk NPL Properti menunjukkan bahwa
prediksi NPL Properti pada periode 3 dan 6 bulan ke depan
(akhir 2006 √ Maret 2007) menurun. Hal ini sejalan dengan
data NPL (out of sample), namun demikian pada prediksi
12 bulan ke depan (Agustus 2007), NPL Properti
diindikasikan akan mengalami kenaikan. Hal ini pun sejalan
dengan pemberitaan di berbagai media yang juga
menunjukkan arah yang sama.
Adapun variabel utama yang menjadi komponen
penyusun leading index NPL properti adalah Konsumsi
Listrik dan Indeks Harga Konsumen (pada periode prediksi
3 bulan ke depan), serta SBI 1 bulan (pada periode prediksi
6 dan 12 bulan ke depan). Konsumsi Listrik mempunyai
korelasi negatif, yang menunjukkan bahwa tingginya
konsumsi listrik akan diikuti dengan rendahnya NPL
Properti. Sebaliknya Indeks Harga Konsumen dan SBI 1
bulan berkorelasi positif, yang mencerminkan tingginya
harga-harga dan SBI 1 bulan akan memicu naiknya NPL
pada periode 6 dan 12 bulan sesudahnya.
Kredit PropertiKredit PropertiKredit PropertiKredit PropertiKredit Properti. Model early warning system Kredit
Properti menunjukkan bahwa Kredit Properti untuk periode
prediksi 3, 6 dan 12 bulan ke depan (November 2006 √
Agustus 2007) diindikasikan akan mengalami peningkatan.
Hal ini pun sejalan dengan data kredit property terkini
maupun pendapat pelaku pasar sektor properti.
Analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa
variabel utama yang menjadi penyusun leading index Kredit
Properti diantaranya adalah: Stok Perkantoran Sewa, Stok
74
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Hotel Berbintang dan Tingkat Hunian Apartemen. Stok
apartemen sewa dan tingkat hunian apartemen sewa
berhubungan positif dengan kredit properti, sehingga
tingginya kedua indikator tersebut akan diikuti dengan
kecenderungan naiknya kredit. Sebaliknya stok hotel
berbintang berhubungan negatif dengan kredit properti,
sehingga rendahnya stok hotel berbintang menjadi indikasi
akan adanya kenaikan kredit properti pada periode
sesudahnya.
PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. PDB Sektor Konstruksi. Sebagaimana dua model
terdahulu, model early warning system untuk PDB
konstruksi juga mampu menjelaskan pergerakan PDB
dengan sangat baik pada periode prediksi 3, 6 maupun
12 bulan. Model yang dikembangkan mengindikasikan
bahwa pada hasil prediksi dengan periode 3, 6 dan 12
bulan ke depan (November 2006 √ Agustus 2007) akan
mengalami peningkatan. Hasil prediksi ini masih
menunggu konfirmasi data aktual PDB yang sedang
disiapkan untuk dipublikasikan. Namun demikian, hasil
early warning system tersebut sejalan dengan pendapat
pelaku pasar dan para pakar industri properti di tanah air.
Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa variabel
utama penyusun early warning system PDB Konstruksi
adalah SBI 1 bulan, Tingkat Hunian Ritel dan Real
Investment Approval untuk Hotel. . . . . SBI 1 bulan
berhubungan negatif dengan PDB Konstruksi, sehingga
rendahnya SBI 1 bulan akan diikuti dengan tingginya
kegiatan ekonomi di sektor properti. Sebaliknya Tingkat
hunian ritel dan Real Investment Approval untuk Hotel
bertanda positif, sehingga tingginya tingkat hunian dan
Real Investment Approval akan diikuti dengan peningkatan
aktifitas di sektor properti.
Untuk mempelajari dampak sektor properti ke
perekonomian secara umum serta stabilitas sistem
keuangan, akan dianalisis variabel NPL Properti baik sebagai
leading indicator, maupun keterkaitannya dengan
coincident serta lagging indicators. NPL Properti sendiri
merupakan komponen utama penyusun leading index
untuk kredit properti dengan korelasi negatif. Artinya,
perbankan cenderung bersikap backward looking,
sehingga tingginya NPL cenderung diikuti oleh rendahnya
kredit Properti. Coincident index memperlihatkan bahwa
pergerakan NPL Properti akan berjalan seiring dengan
indikator ekonomi lain seperti Konsumsi Listrik, Ekspor,
Kurs Riil, Tingkat Penjualan Lahan Industri serta Tingkat
Hunian dan Stok Apartemen Sewa. Selanjutnya, perilaku
NPL properti akan diikuti oleh Kredit Properti, M1 serta
Net Foreign Assets.
3. PERILAKU PEMBIAYAAN DAN EKSPEKTASI
PELAKU INDUSTRI PROPERTI
Untuk mengetahui perilaku pembiayaan dan
ekspektasi pelaku industri properti dilaksanakan survei
yang ditujukan untuk mengetahui perilaku pembiayaan
dan ekspektasi ke depan dari para pelaku usaha di industri
properti dan real estate yang mencakup pengembang,
perbankan, dan konsumen. Survei dilaksanakan di 10 kota
di Indonesia, yaitu: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Yogyakarta, Medan, Palembang, Makasar, dan
Balikpapan. Pemilihan Lokasi Sampel dilakukan dengan
bantuan analisis SSA (Shift-share Analysis) dan LQ (Location
Quotient).
SSA merupakan suatu metode analisis untuk
mengukur apakah sebuah sektor di wilayah tertentu
memiliki kinerja lebih baik dibanding rata-rata daerah lainnya
atau dibanding kinerja di tingkat nasional. Sedangkan LQ
digunakan untuk mengidentifikasi sektor basis di suatu
wilayah. Suatu sektor dikatakan sektor basis apabila memiliki
koefisien LQ > 1. Sebaliknya, apabila koefisien LQ<1 maka
dapat dikategorikan sebagai bukan sektor basis. Suatu
daerah akan dipilih menjadi sampel apabila di daerah
tersebut sektor properti (konstruksi) menjadi sektor basis
penopang ekonomi serta memiliki kinerja yang lebih baik
dibanding daerah lainnya secara nasional.
75
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Hasil survei baik ke pengembang, konsumen maupun
perbankan, adalah sebagai berikut:
Pengembang. Pengembang. Pengembang. Pengembang. Pengembang. Bagi pengembang perumahan tipe
kecil dan KPR bersubsidi, penjualan dengan cara pre-selling
lebih diminati dibandingkan dengan post-selling. Dengan
cara penjualan pre-selling, pengembang mendapatkan
kepastian pembeli serta tambahan modal. Sebaliknya,
meskipun harus indent antara 2-6 bulan, konsumen juga
lebih senang karena harga jual rumah bisa lebih murah
dan sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Semakin
besar tipe rumah yang akan dibeli, maka penjualan tipe
post-selling semakin digemari. Selain itu, kecenderungan
untuk menggunakan dana sendiri juga semakin besar.
lainnya berasal dari uang muka penjualan, pinjaman bank
serta pinjaman non-bank. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi keputusan pengembang untuk meminjam
uang di bank adalah: tingkat suku bunga, harga properti,
harga bahan bangunan, tingkat hunian dan permintaan
akan properti.
Grafik A1.1Cara Penjualan Rumah
0
10
20
30
40
50
60
70
Tipe kecilsubsidi
Tipe kecilnon subsidi
Tipe sedang Tipe besar
64
36
57
43
52
48
51
49
%
Pre selling Post selling
Grafik A1.2Cara Penjualan Produk Properti Komersial
0
10
20
30
40
50
60
70
Apartemen Perkantoran Pertokoan
37
63
42
58 54
46
Pre Selling Post Selling
%
Dari sisi sumber pembiayaan, porsi terbesar dana
yang dipakai oleh para pengembang berasal dari dana
sendiri. Hal ini terkait dengan proses pembebasan dan
penyiapan lahan sampai siap bangun yang harus
ditanggung sendiri oleh pengembang. Selain itu, dana
Grafik A1.3Sumber Pembiayaan
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
1 2 3 4 5 6 7
1. Modal sendiri 2. Uang muka penjualan 3. Pinjaman Bank 4. Pinjaman lembaga non Bank
Konsumen. Konsumen. Konsumen. Konsumen. Konsumen. Salah satu temuan menarik adalah
bahwa sejumlah besar konsumen residensial (sekitar 40
persen) membeli rumah dengan menggunakan dana
sendiri dengan beberapa alasan antara lain: (i) tidak ingin
terlibat hutang, (ii) prosedur perbankan yang rumit, serta
(iii) memiliki dana yang cukup. Semakin besar tipe rumah
yang akan dibeli, semakin besar porsi penggunaan dana
sendiri, meskipun secara keseluruhan dana perbankan
masih lebih besar. Faktor-faktor yang diyakini terkait erat
dengan pengajuan kredit diantaranya adalah tingkat suku
bunga, tingkat pendapatan dan besarnya uang muka.
Grafik A1.4Komposisi Pembiayaan Konsumen Residensial
Dana SendiriDana Sendirii dan Bank
BankDana sendiri dan Non BankNon BankDana sendiri, Bank dan Non Bank
38,3
46,9
8,64,9 0,6 0,6
76
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Pembeli properti tipe komersial (apartemen dan
pertokoan) banyak menggunakan dana sendiri
mengingat daya beli konsumen golongan ini rata-rata
cukup baik. Sedangkan dari sisi penjualan, sebagian besar
dilakukan dengan cara post-selling. Dengan cara
penjualan seperti ini, pembeli mendapatkan kejelasan
lokasi serta bentuk dan kualitas bangunan yang akan
dibeli.
Secara umum, baik perbankan, konsumen maupun
pengembang berpendapat bahwa kondisi sektor properti
di Indonesia pada 2007 lebih baik apabila dibandingkan
pada 1999. Pada 1999, sektor properti dalam kondisi mulai
meningkat setelah mencapai titik terendah pada saat krisis,
dan pada 2007 kondisinya membaik menuju ke puncak.
Selain itu, responden berpendapat tingkat bunga kredit
properti yang berlaku saat ini dianggap masih terlalu tinggi,
dan mengharapkan suku bunga ideal yang berkisar 8-12%.
Responden juga berpendapat bahwa angsuran bulanan
yang mencapai 30% dari pendapatan masih terlalu tinggi
dan mengharapkan angsuran bulanan yang berkisar pada
angka 10%.
4. PENUTUP
Early Warning System (EWS) untuk industri properti
dan real estate disusun dengan tiga reference series, yaitu
: Kredit Properti, NPL Properti dan PDB Sektor Konstruksi.
Sistem deteksi dini yang dibangun untuk ketiga reference
series tersebut memiliki kemampuan prediksi sampai 12
bulan ke depan dengan ketepatan yang tinggi. Hasil
analisis business cycles sejalan dengan kondisi riil di
lapangan seperti yang ditulis berbagai media (nasional
maupun internasional), serta temuan hasil survei.
Wawancara dengan pelaku pasar menunjukkan
bahwa saat ini industri properti sedang dalam fase naik,
namun demikian laporan-laporan media menunjukkan
banyaknya properti komersial yang kosong dan berpotensi
meningkatkan NPL Properti. Di lain pihak, hasil wawancara
dengan perbankan dan pelaku pasar mengindikasikan
bahwa NPL dan suku bunga merupakan beberapa faktor
penting yang perlu diperhatikan dalam bisnis properti. Oleh
karena itu, pemantauan terhadap credit risk exposure
(khususnya pada sektor properti) perlu terus diupayakan
guna memitigasi resiko yang dapat ditimbulkan oleh NPL
Properti tersebut.
Grafik A1.5Pendanaan Properti Komersial
Dana SendiriDana Sendiri dan Bank
PerbankanDana Sendiri dan Non Bank
Dana Non Bank
75%
15%
4%5% 1%
Grafik A1.6Cara Pembelian Komersial
0
20
40
60
80
Apartemen Perkantoran Pertokoan
Pre Selling Post Selling
37
63
21
79
24
76
%
Perbankan. Perbankan. Perbankan. Perbankan. Perbankan. Faktor-faktor yang terkait dengan
besarnya kredit properti adalah: (i) prospek industri
properti, (ii) tingkat penyerapan/permintaan pasar properti,
serta (iii) stabilitas makro, keamanan maupun politik.
Sedangkan, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
NPL Properti adalah : (i) tingkat suku bunga, (ii) tingkat
pendapatan masyarakat, (iii) tingkat penyerapan/
permintaan properti dan (iv) inflasi.
77
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Untuk mengembangkan Early Warning System ke
depan yang mendukung pemeliharaan kestabilan sistem
keuangan, perlu diupayakan penyempurnaan data dan
monitoring aktif indikator terkait EWS yang tidak hanya
untuk sektor properti, namun juga untuk sektor lainnya.
Hal ini telah menjadi perhatian negara-negara maju yang
mengembangkan 19 jenis leading indicators untuk melihat
pergerakan ekonomi dan keuangan ke depan.
78
Artikel I - Survey Industri Properti: Mencermati Potensi Tekanan Kemampuan Membayar
Akerlof, George. 1970. The Market for Lemons: Quality
, Uncertainty and the Market Mechanism. Quarterly
journal of Economics 84: 488-500.
Bernanke, Ben S. and Alan S. Blinder. 1988. Credit, Money,
And Aggregate Demand. National Bureau Of
Economic Research. Working Paper No. 2534.
Bussiere, M and Marcel F. 2002. Towards a New Early
Warning System of
Financial Crises. Working Paper European Central Bank
no. 145.
Greef , I.J.M. de and R.T.A. de Haas. 2000. Housing Prices,
Bank Lending, and Monetary Policy. Paper presented
at the Financial Structure, and Behaviour and
Monetary Policy inthe EMU Conference, October 5-
6, 2000, Groningen.
Kiyotaki, N and Moore J. 1997. Credits Cycles. Journal of
Political Economy, Vol. 105, pages 211-248
Krytalogianni, A., G. Matysiak, dan S. Tsolacos. 2004.
Forecasting UK Commercial Real Estate Cycle Phases
With Leading Indicators: A Probit approach. Applied
Economics.
Nanthakumaran, N., B. O»Roarty, and A. Orr. 1997. The
Impact of Economic Indicators on Industrial Property
Market Performance. Center for Property Research.
University of Aberdeen. UK.
Daftar Pustaka
Samuelson, P.A. 1976. Optimality of Sluggish Predictors
under Ergodic Probabilities. International Economic
Review 17:1-7.
Sims, C. 1980. Macroeconomics and Reality. Econometrica,
Vol. 48 page 1-48.
Siregar, Doli. 2002. Dasar-Dasar Penilaian Properti.
Stiglitz, J. E. 1992. Capital Markets and Economics
Fluctuations in Capital Economies. European
Economics Review. Vol. 36, pages 269-306.
Sugema, Iman. 2000. Indonesia»s Deep Economic Crisis:
The Role of the Banking Sector in It»s Origin and
Propagation, PhD thesis, The Australian National
University.
Whitley, J and Richard W. 2003. A Quantitative Framework
for Commercial Property and its Relationship to the
Analysis of Financial Stability of the Corporate Sector.
Bank of England Working Paper no. 207.
Zhang, Whenda and Juzhong Zhuang. 2002. Leading
Indicators of Business Cycle in Malaysia and the
Philippines. ERD Working Paper No. 32
79
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Artikel II
Survey Neraca Rumah Tangga8:Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Wimboh Santoso9, Bagus Santoso10
Survey rumah tangga bertujuan menyusun struktur neraca rumah tangga masyarakat. Neraca rumah tangga
merupakan salah satu indikator penting bagi proses pelaksanaan surveillance stabilitas sistem keuangan. Dengan
tersusunnya neraca rumah tangga diharapkan analisis mengenai kemampuan rumah tangga dalam mendapatkan
kredit perbankan dan potensi terjadinya credit default dari sektor rumah tangga dapat dilakukan dengan lebih
akurat. Selanjutnya, dengan menggunakan teknik random sampling dilakukan survey terhadap responden di
seluruh kabupaten/kota di 6 lokasi yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Bodetabek, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa
Timur. Hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga mampu memenuhi kewajibannya baik terhadap
bank maupun lembaga keuangan non bank seperti tercermin dari nilai rasio total liabilities/core income, rasio
bank liabilities/core income dan rasio non-bank liabilities/core income yang masing-masing mencapai 19,98%,
14,42%, dan 5,56%.
8 Disarikan dari laporan hasil survey yang dilaksanakan melalui kerja sama antara DirektoratPenelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia dengan Bagus Santoso dan Setiyono(Universitas Gadjah Mada), Viverita (Universitas Indonesia), FX. Sugiyanto (UniversitasDiponegoro), Niki Lukviarman (Universitas Andalas), Maryunani (Universitas Brawijaya)dan Nury Effendi (Universitas Padjadjaran)
9 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; e-mail address: [email protected]
10 Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, e-mail address:[email protected]
I. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu unit di sistem ekonomi, rumah
tangga berperan penting dalam sistem keuangan. Rumah
tangga dalam sistem keuangan dapat berperan sebagai
Investor/Debitur (surplus unit) dan Kreditur (deficit unit)
seperti tercermin dari diagram 1. Dengan demikian,
tekanan yang dihadapi oleh neraca rumah tangga
berpotensi mempengaruhi kinerja lembaga keuangan dan
sebaliknya. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, risiko
tersebut dapat menimbulkan gangguan terhadap sistem
keuangan secara keseluruhan. Oleh karena itu, surveillance
terhadap sektor tersebut menjadi hal yang sangat penting
sehingga potensi risiko dapat diukur dan dimonitor.
Untuk mendukung proses surveillance terhadap
sektor rumah tangga dibutuhkan ketersediaan data,
khususnya dalam bentuk Neraca Rumah Tangga
(Household Balance Sheet) yang saat ini dirasakan masih
80
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Bodetabek, Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur. Household balance sheet dari wilayah
tersebut merupakan langkah awal dalam program
pembangunan household balance sheet Indonesia. Dalam
pelaksanaannya, pemilihan metode studi untuk
melaksanakan survei diserahkan sepenuhnya kepada
surveyor dengan terlebih dahulu didiskusikan dengan
penyelenggara.
Untuk membangun balance sheet tersebut
digunakan data primer sebagai hasil survei lapangan yang
dilakukan berdasarkan tehnik random sampling. Adapun
pelaksanaan survei mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Responden survei merupakan rumah tangga (RT) yang
terdapat di 6 wilayah survei. Rumah tangga
didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok
orang yang hidup dalam satu bangunan fisik/sensus
dengan makanan dan kebutuhan hidup lainnya
dibiayai secara bersama (Badan Pusat Statistik).
2. Pemilihan dan penentuan jumlah responden
penelitian di tiap kabupaten/kota proporsional
dengan jumlah penduduk kabupaten/kota. Proporsi
jumlah responden di tiap-tiap kabupaten/kota
terhadap total responden di suatu propinsi sama
dengan proporsi rasio jumlah penduduk di tiap-tiap
kabupaten/kota terhadap total penduduk propinsi.
Demikian pula, proporsi jumlah responden di tiap-
tiap kecamatan terhadap total responden di suatu
kabupaten/kota sama dengan proporsi rasio jumlah
penduduk di masing-masing kecamatan terhadap
total penduduk kabupaten/kota. Pemilihan wilayah
sampel pada studi ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang
representatif sesuai dengan metodologi survei.
Disamping itu, pemilihan daerah juga
mempertimbangkan faktor kemudahan akses ke
daerah tersebut.
3. Basis sampling adalah kelurahan/desa.
belum mencukupi. Dengan tersusunnya neraca rumah
tangga diharapkan analisis atas potensi risiko yang
dihadapi sektor rumah tangga dapat dilakukan dengan
memadai.
II. TUJUAN
Tujuan dilakukannya survei neraca rumah tangga ini
adalah untuk:
- Menyusun struktur neraca rumah tangga masyarakat
di seluruh kabupaten/kota di 6 lokasi yang akan
digunakan sebagai dasar analisa untuk mengetahui
kemampuan rumah tangga dalam mendapatkan
kredit perbankan dan untuk mengetahui potensi
terjadinya kredit bermasalah (credit default) dari
sektor rumah tangga.
- Membantu kegiatan surveillance BI terhadap
household sector di Indonesia, terutama dalam
kaitannya dengan stabilitas sistem keuangan.
III. METODOLOGI DAN DATA
III.1. Metodologi
Survei ini merupakan studi kuantitatif. Proses
wawancara dengan responden dilakukan dengan tatap
muka langsung. Melalui survei ini akan dibangun
household balance sheet (neraca rumah tangga) di 6 lokasi,
Gambar A1.1Kerangka Analisis Stabilitas Sistem Keuangan
Household
Corporate
Macroeconomic
Financial Condition
Probabilityof Default
Probabilityof Default
Bank
Non BankFinancial
Institution
MoneyMarket
FinancialSystem
Infrastructure
Financial Performance
International and Domestic :- Economic Factor- Non Economic Factor
CapitalProfitability
CapitalProfitability
JSI, YieldCurve, InterbankMoney Market
FinancialSystemStability
- Intermediation- Transmission Mechanism
GrowthDomesticProduct
Inflation
Inflation Target
MonetaryStability
81
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
III. 2. Data
Data untuk jumlah penduduk yang diperlukan untuk
melakukan estimasi jumlah responden, nama kecamatan,
dan nama desa lokasi survei diperoleh dari kantor BPS
Propinsi, BPS Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dan web
site Pemerintah Daerah. Data penduduk yang dipakai adalah
data penduduk tahun 2004. Jumlah responden per masing-
masing propinsi sebanyak 500 orang sehingga total
kumulatif responden untuk 6 lokasi adalah 3.000 orang.
IV. HASIL ANALISA
IV.1. Analisa Neraca
Sesuai tujuan survei, dari data yang dikompilasikan
kemudian disusun Neraca Rumah Tangga baik untuk
tingkat propinsi maupun untuk masing-masing
kabupaten/kota. Elemen-elemen neraca yang dihimpun
dari kuesioner dikelompokkan menjadi elemen Aktiva
(Assets) dan elemen Passiva (Liabilities and Equities)
sebagai berikut:
Jatim Snow Ball Purposive Sampling: 5 besarkontributor PDRB Jatim
DIY Secara umum tidak ada -penyesuaian, kec. untukdaerah-daerah yangterkena dampak gempa
Jateng Pertimbangan anggaran Pertimbangan anggaran untukuntuk kecamatan kecamatan yang majuyang maju
Jabar - - 5 terbesar daerahkontributor PDRB Jabar'(kec. Bogor, Depok,Tangerang, dan Bekasi)
- Desa yang dikunjungidiseleksi 'berdasarkanpertimbangan jarak ke pusatkota
Bodetabek Snow Ball -Sumbar Pertimbangan anggaran Pertimbangan anggaran
Tabel A2.2Beberapa Penyesuaian yang Dilakukan
Wilayah Kotamadya
Sumbar Padang, Bukittinggi Solok, Agam, Padang Pariaman
Jabar Bandung Bandung, Indramayu,
Karawang, Garut
Bodetabek Tangerang, Bogor, Tangerang, Bogor, Bekasi
Bekasi, Depok
Jateng Semarang, Surakarta, Kudus
Pekalongan, Magelang
DIY Yogyakarta Bantul, Kulonprogo
Sleman, Gunung Kidul
Jatim Malang, Pasuruan Malang, Pasuruan, Batu
Tabel A2.1Wilayah Survei
Wilayah Kotamadya Kabupaten
1 Kas 1 Utang Bank2 Tabungan 2 Utang Koperasi3 Deposito 3 Utang Pegadaian4 Giro 4 Utang Toko/Dealer5 Tabungan Asuransi 5 Uang Warung6 Tabungan Koperasi 6 Utang Pemilik Rumah/
Tanah7 Tabungan Kantor Pos 7 Utang Saudara8 Piutang 8 Utang Majikan9 Saham 9 Utang Arisan/Teman10 Obligasi 10 Utang Pelepas Uang11 Reksadana 11 Utang Lainnya12 Dana Pensiun13 Bapertarum14 Penyertaan modal usaha15 Ternak16 Emas17 Kendaraan18 Rumah19 Bangunan20 Tanah21 Harta Lainnya
Tabel A2.3Elemen Aktiva dan Pasiva
No Elemen Aktiva No Elemen Pasiva
Dari data kuesioner pula berhasil dihimpun elemen-
elemen pendapatan dan pengeluaran rumah tangga
sebagai berikut:
1 Gaji & Tunjangan 1 Pangan2 Penghasilan usaha Netto 2 Pakaian3 Penerimaan Pensiun 3 Sewa rumah dan tanah4 Beasiswa/Ikatan Dinas 4 Peralatan rumah tangga
tahan lama
Tabel A2.4Elemen Pendapatan dan Pengeluaran
No Elemen Pendapatan No Elemen Pengeluaran
82
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Sebelum disusun menjadi Neraca, elemen-elemen
Neraca di atas diklasifikasikan atas dasar perkiraan
kegunaannya (usefulness). Karena data Neraca Rumah
Tangga ini akan digunakan dalam rangka memelihara
Stabilitas Sistem Keuangan maka untuk aset
dikelompokkan sesuai likuiditasnya, sedangkan untuk
utang dikelompokkan sesuai sumber pendanaannya, yaitu
Bank dan Lembaga Keuangan non Bank (LKNB).
Dari hasil survei dan berdasarkan pengelompokan
elemen laporan keuangan tersebut, didapatkan struktur
neraca rumah tangga. Struktur neraca rumah tangga ini
merupakan struktur neraca per penduduk (jumlah per
elemen neraca dibagi dengan jumlah sampel per lokasi)
yang ditampilkan sebagai berikut:
1. Sumatera Barat
5 Ganti Rugi Asuransi 5 Transportasi6 Hasil Menang Undian 6 Kendaraan, dan bahan
bakar7 Pendapatan Bunga 7 Listrik, air, dan
Piutang dan Bunga telekomunikasiTabungan
8 Hasil Netto Penjualan 8 PendidikanTanah
9 Hasil Netto Penjualan 9 KesehatanEmas
10 Hasil Netto Penjualan 10 Rekreasi dan PerhiasanKendaraan
11 Bantuan Pemerintah 11 Aneka barang dan jasaNon-Beasiswa
12 Bantuan Lembaga Non- 12 Pembayaran pokokPemerintah Non-Beasiswa pinjaman
13 Penerimaan Lainnya 13 Pembayaran bungacicilan.
Tabel A2.4Elemen Pendapatan dan Pengeluaran (lanjutan)
No Elemen Pendapatan No Elemen Pengeluaran
Aktiva Lancar
Investasi
Aktiva Tetap
Total Aktiva
Utang Bank
Utang LKNB
Utang Lain-lain
Tabel A2.5Definisi Variabel
Variabel Definisi
Kas + Tabungan + Deposito + Giro +
Tabungan Asuransi + Tabungan Koperasi +
Tabungan Kantor Pos + Piutang +
Saham + Obligasi + Reksadana
Dana Pensiun+Bapertarum+Penyertaan
modal usaha+Ternak
Emas + Kendaraan + Rumah + Bangunan +
Tanah + Harta Lainnya
Aktiva Lancar + Aktiva Tetap + Investasi
Utang Bank
Utang Koperasi + Utang Pegadaian
Utang Toko/Dealer+Uang Warung+Utang
Pemilik Rumah/Tanah+Utang Saudara+Utang
Majikan+Utang Arisan/Teman+Utang
Pelepas Uang+Utang Lainnya
Total Utang
Kekayaan Bersih
Pendapatan
Total Pendapatan
Konsumsi
Total Cicilan + Bunga
Pembayaran Bunga
Pendapatan Bersih
Tabel A2.5Definisi Variabel (lanjutan)
Variabel Definisi
Utang Bank + Utang LKNB + Utang Lain-lain
Total Aset - Total Utang
Gaji & Tunjangan + Penghasilan usaha Netto
+ Penerimaan Pensiun
Gaji dan Tunjangan + Pendapatan Usaha
Netto + Penerimaan Pensiun + Beasiswa/
Ikatan Dinas + Ganti Rugi Asuransi + Hasil
Menang Undian + Pendapatan Bunga
Piutang dan Bunga Tabungan + Hasil Netto
Penjualan Tanah + Hasil Netto Penjualan
Emas dan Perhiasan + Hasil Netto Penjualan
Kendaraan + Bantuan Pemerintah Non-
Beasiswa + Bantuan Lembaga Non-
Pemerintah Non-Beasiswa + Penerimaan
Lainnya
Pangan+Pakaian+Sewa rumah dan
tanah+Peralatan rumah tangga tahan
lama+Transportasi, kendaraan, dan bahan
bakar+Listrik, air, dan
telekomunikasi + Pendidikan + Kesehatan +
Rekreasi + Aneka barang dan jasa
Pembayaran pokok pinjaman + Pembayaran
bunga cicilan
Pembayaran bunga cicilan
Pendapatan √ Konsumsi
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: Banks 4.758.8784.758.8784.758.8784.758.8784.758.878
Cash 2.172.157 Household Debt: Non BanksHousehold Debt: Non BanksHousehold Debt: Non BanksHousehold Debt: Non BanksHousehold Debt: Non Banks 899.858899.858899.858899.858899.858
Saving, Deposit and 14.107.812 Household Debt: Store/ 518.548
Checking Acc Dealer
Insurance, Cooperatives, 2.827.600 Household Debt: Kiosk 2.400
Post Office
Account receivable 5.905.440 Household Debt: Landlord 0
Stock, Bond, Mutual Fund 912.000 Household Debt: Relatives 81.200
Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 25.925.01025.925.01025.925.01025.925.01025.925.010 Household Debt: Employer 800
InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 12.235.80412.235.80412.235.80412.235.80412.235.804 Household Debt: ROSCA/ 17.720
Friends
83
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Pada neraca rumah tangga di Sumatera Barat,
komposisi aktiva tetap mendominasi keseluruhan
total aset dengan pangsa sebesar 88,38%. Dari sisi
aktiva lancar, komponen terbesar adalah tabungan,
deposito, dan giro yaitu sebesar 54,42% dari total
aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva komponen
terbesar adalah modal (net worth), yaitu sebesar
97,88% dari total pasiva. Dari sisi utang, rumah
tangga di Sumatera Barat masih mengandalkan pada
sektor perbankan dengan pangsa sebesar 63,40%
dari total utang. Sementara itu, pangsa utang kepada
lembaga keuangan non bank dan utang lain-lain
sebesar 11,99% dan 24,61%.
2. Jawa Barat
Dari struktur neraca rumah tangga di Jawa Barat
terlihat bahwa aktiva tetap (terutama berupa rumah
dan bangunan), merupakan komponen terbesar dari
total aset, yaitu dengan pangsa sebesar 87%. Aktiva
lancar, investasi, dan aktiva lain-lain mengambil
pangsa sebesar 10%, 2%, dan 1%. Dari sisi aktiva
lancar, komponen terbesar adalah tabungan,
deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 68% dari
total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,
komponen terbesar adalah modal (net worth) dengan
pangsa sebesar 97% dari total pasiva. Selain dari
modal sendiri, rumah tangga di Jawa Barat lebih
banyak menggantungkan pembiayaannya pada
perbankan yang mencapai 82% dari total utang.
3. Bodetabek
Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt: Money 4.000
Lender
Gold and Jewelry 6.440.278 Household Debt: Others 175.832
Vehicle 34.756.541 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.847.5811.847.5811.847.5811.847.5811.847.581
House and buildings 221.637.302 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 7.506.3187.506.3187.506.3187.506.3187.506.318
Land 50.354.506
Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 313.188.627313.188.627313.188.627313.188.627313.188.627 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 346.874.202346.874.202346.874.202346.874.202346.874.202
Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 3.031.0803.031.0803.031.0803.031.0803.031.080
Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520354.380.520
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt, BanksHousehold Debt, BanksHousehold Debt, BanksHousehold Debt, BanksHousehold Debt, Banks 8.748.3778.748.3778.748.3778.748.3778.748.377
Cash 1.152.812 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 261.153261.153261.153261.153261.153
BanksBanksBanksBanksBanks
Saving, Deposit and 24.814.429 Household Debt : Store/ 1.276.500
Checking Acc Dealer
Insurance, Cooperatives, 2.400.146 Household Debt : Kiosk 200
Post Office
Account receivable 2.912.344 Household Debt : Landlord 38.400
Stock, Bond, Mutual Fund 5.040.000 Household Debt : Relatives 160.680
Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 36.319.73236.319.73236.319.73236.319.73236.319.732 Household Debt : Employer 0
InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 6.625.1706.625.1706.625.1706.625.1706.625.170 Household Debt : ROSCA/ 12.000
Friends
Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 396
Lender
Gold and Jewelry 3.044.710 Household Debt : Others 126.200
Vehicle 33.112.080 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.614.3761.614.3761.614.3761.614.3761.614.376
House and buildings 242.889.742 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 10.623.90610.623.90610.623.90610.623.90610.623.906
Land 46.670.200
Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 325.716.732325.716.732325.716.732325.716.732325.716.732 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 363.559.128363.559.128363.559.128363.559.128363.559.128
Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 5.521.4005.521.4005.521.4005.521.4005.521.400
Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034374.183.034
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: BanksHousehold Debt: Banks 5.436.3805.436.3805.436.3805.436.3805.436.380
Cash 918.553 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 1.910.0741.910.0741.910.0741.910.0741.910.074
BanksBanksBanksBanksBanks
Saving, Deposit and 15.637.631 Household Debt : Store/ 1.976.814
Checking Acc Dealer
Insurance, Cooperatives, 915.243 Household Debt : Kiosk 395
Post Office
Account receivable 5.558.247 Household Debt : Landlord 0
Stock, Bond, Mutual Fund 328.063 Household Debt : Relatives 470.593
Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 23.357.73723.357.73723.357.73723.357.73723.357.737 Household Debt : Employer 31.621
InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 9.051.0599.051.0599.051.0599.051.0599.051.059 Household Debt : ROSCA/ 85.692
Friends
Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 10.119
Lender
Gold and Jewelry 2.779.087 Household Debt : Others 2.084.163
Vehicle 39.825.257 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 4.659.3964.659.3964.659.3964.659.3964.659.396
House and buildings 173.407.263 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 12.005.85012.005.85012.005.85012.005.85012.005.850
Land 40.703.755
Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 256.715.362256.715.362256.715.362256.715.362256.715.362 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 278.688.032278.688.032278.688.032278.688.032278.688.032
Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 1.569.7231.569.7231.569.7231.569.7231.569.723
Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882290.693.882
Dari struktur neraca rumah tangga di Bodetabek
terlihat bahwa aktiva tetap (terutama berupa rumah
dan bangunan), merupakan komponen terbesar dari
total aset, yaitu dengan pangsa sebesar 88,31%.
Aktiva lancar, investasi, dan aktiva lain-lain mengambil
pangsa sebesar 8,04%, 3,11%, dan 0,54%. Dari sisi
84
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
aktiva lancar, komponen terbesar adalah tabungan,
deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 66,95%
dari total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,
komponen terbesar adalah modal (net worth) dengan
pangsa sebesar 95,87% dari total pasiva. Selain dari
modal sendiri, rumah tangga di Bodetabek lebih
banyak menggantungkan pembiayaannya pada
perbankan yang mencapai 45,28% dari total utang.
Sedangkan, pangsa utang ke lembaga keuangan non
bank dan utang lain-lain sebesar 15,91% dan
38,81%.
4. D.I. Yogyakarta
dari total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,
komponen terbesar adalah modal (net worth) dengan
pangsa sebesar 96,24% dari total pasiva. Selain dari
modal sendiri, rumah tangga di D.I.Yogyakarta lebih
banyak menggantungkan pembiayaannya pada
perbankan yang mencapai 80,87% dari total utang.
Sedangkan, pangsa utang ke lembaga keuangan non
bank dan utang lain-lain sebesar 8,59% dan 10,54%.
5. Jawa Tengah
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : Banks 14.172.83314.172.83314.172.83314.172.83314.172.833
Cash 2.089.595 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 1.506.0231.506.0231.506.0231.506.0231.506.023
BanksBanksBanksBanksBanks
Saving, Deposit and 13.779.277 Household Debt : Store/ 1.462.759
Checking Acc Dealer
Insurance, Cooperatives, 2.597.860 Household Debt : Kiosk 6.250
Post Office
Account receivable 5.905.440 Household Debt : Landlord 22.639
Stock, Bond, Mutual Fund 148.810 Household Debt : Relatives 125.298
Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 24.520.98124.520.98124.520.98124.520.98124.520.981 Household Debt : Employer 11.905
InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 10.238.04810.238.04810.238.04810.238.04810.238.048 Household Debt : ROSCA/ 49.569
Friends
Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 20.635
Lender
Gold and Jewelry 3.909.800 Household Debt : Others 148.527
Vehicle 41.542.785 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.847.5811.847.5811.847.5811.847.5811.847.581
House and buildings 250.522.599 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 17.526.43717.526.43717.526.43717.526.43717.526.437
Land 121.388.179
Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 417.363.362417.363.362417.363.362417.363.362417.363.362 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 449.200.522449.200.522449.200.522449.200.522449.200.522
Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 14.604.56814.604.56814.604.56814.604.56814.604.568
Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959466.726.959
Berdasarkan struktur neraca rumah tangga di
D.I.Yogyakarta yang dihitung secara rata-rata terlihat
bahwa aktiva tetap (terutama berupa rumah dan
bangunan), merupakan komponen terbesar dari total
aset, yaitu dengan pangsa sebesar 89,42%. Aktiva
lancar, investasi, dan aktiva lain-lain mengambil
pangsa sebesar 5,25%, 2,19%, dan 3,13%. Dari sisi
aktiva lancar, komponen terbesar adalah tabungan,
deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 56,19%
Berdasarkan struktur neraca rumah tangga di Jawa
Tengah yang dihitung secara rata-rata terlihat bahwa
aktiva tetap (terutama berupa rumah dan bangunan),
merupakan komponen terbesar dari total aset, yaitu
dengan pangsa sebesar 94,28%. Aktiva lancar,
investasi, dan aktiva lain-lain mengambil pangsa
sebesar 5,08%, 0,41%, dan 0,23%. Dari sisi aktiva
lancar, komponen terbesar adalah tabungan,
deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 50% dari
total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,
hampir seluruh kebutuhan rumah tangga dibuayai
oleh modal sendiri (net worth) dengan pangsa sebesar
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : Banks 4.776.3124.776.3124.776.3124.776.3124.776.312
Cash 1.245.918 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 537.350537.350537.350537.350537.350
BanksBanksBanksBanksBanks
Saving, Deposit and 8.311.627 Household Debt : Store/ 804.410
Checking Acc Dealer
Insurance, Cooperatives, 2.451.280 Household Debt : Kiosk 292
Post Office
Account receivable 3.840.979 Household Debt : Landlord 0
Stock, Bond, Mutual Fund 892.200 Household Debt : Relatives 52.900
Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 16.742.00416.742.00416.742.00416.742.00416.742.004 Household Debt : Employer 1200
InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 1.339.5251.339.5251.339.5251.339.5251.339.525 Household Debt : ROSCA/ 39.330
Friends
Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 440
Lender
Gold and Jewelry 3.719.063 Household Debt : Others 17.200
Vehicle 28.022.390 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 915.772915.772915.772915.772915.772
House and buildings 238.762.016 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 6.229.4336.229.4336.229.4336.229.4336.229.433
Land 40.048.548
Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 310.552.017310.552.017310.552.017310.552.017310.552.017 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 323.162.133323.162.133323.162.133323.162.133323.162.133
Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 758.020758.020758.020758.020758.020
Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566329.391.566
85
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
98,11% dari total pasiva. Selain dari modal sendiri,
rumah tangga di Jawa Tengah lebih banyak
menggantungkan pembiayaannya pada perbankan
yang mencapai 76,67% dari total utang. Sedangkan,
pangsa utang ke lembaga keuangan non bank dan
utang lain-lain sebesar 8,63% dan 14,70%.
6. Jawa Timur
sebesar 6,40%, 1,57%, dan 0,91%. Dari sisi aktiva
lancar, komponen terbesar adalah tabungan,
deposito, dan giro dengan pangsa sebesar 57,91%
dari total aktiva lancar. Sementara itu, dari sisi pasiva,
hampir seluruh kebutuhan rumah tangga dibiayai
oleh modal sendiri (net worth) dengan pangsa sebesar
97,90% dari total pasiva. Selain dari modal sendiri,
rumah tangga di Jawa Timur lebih banyak
menggantungkan pembiayaannya pada perbankan
yang mencapai 69,44% dari total utang. Sedangkan,
pangsa utang ke lembaga keuangan non bank dan
utang lain-lain sebesar 8,18% dan 22,38%.
IV.2. Analisa Rasio
Analisa Rasio Total Liabilities/Total Asset
Rasio ini menunjukkan kemampuan total aset dalam
mencover kewajiban rumah tangga. Apabila nilai rasio
ini kurang dari 1 (= 100%), maka nilai kewajiban
rumah tangga lebih kecil daripada total asetnya.
Artinya, rumah tangga masih memiliki kemampuan
untuk mengajukan pinjaman yang lebih besar. Dari
survei yang telah dilakukan terlihat bahwa seluruh
rumah tangga di area survei masih memiliki
kemampuan untuk mengajukan pinjaman yang lebih
besar. Rumah tangga di Bodetabek memiliki rasio
tertinggi, sedangkan rumah tangga di Jawa Tengah
memiliki rasio terendah.
Analisa Rasio Total Liabilities/Current Asset
Rasio ini menunjukkan kemampuan kemampuan
Average Asset ( Rp ) Average Liabilities ( Rp )
Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets :Current Assets : Household Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : BanksHousehold Debt : Banks 5.386.9465.386.9465.386.9465.386.9465.386.946
Cash 2.343.074 Household Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : NonHousehold Debt : Non 634.727634.727634.727634.727634.727
BanksBanksBanksBanksBanks
Saving, Deposit and 13.704.406 Household Debt : Store/ 1.308.552
Checking Acc Dealer
Insurance, Cooperatives, 1.458.087 Household Debt : Kiosk 0
Post Office
Account receivable 4.218.410 Household Debt : Landlord 0
Stock, Bond, Mutual Fund 1.940.200 Household Debt : Relatives 212.000
Total Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current AssetTotal Current Asset 23.664.17723.664.17723.664.17723.664.17723.664.177 Household Debt : Employer 7.900
InvestmentInvestmentInvestmentInvestmentInvestment 5.805.5385.805.5385.805.5385.805.5385.805.538 Household Debt : ROSCA/ 58.286
Friends
Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets :Fixed Assets : Household Debt : Money 700
Lender
Gold and Jewelry 4.126.520 Household Debt : Others 148.527
Vehicle 34.236.390 Total Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others DebtTotal Others Debt 1.735.9651.735.9651.735.9651.735.9651.735.965
House and buildings 219.749.584 Total DebtTotal DebtTotal DebtTotal DebtTotal Debt 7.757.6377.757.6377.757.6377.757.6377.757.637
Land 78.583.960
Total Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed AssetTotal Fixed Asset 336.696.454336.696.454336.696.454336.696.454336.696.454 Net WorthNet WorthNet WorthNet WorthNet Worth 361.758.772361.758.772361.758.772361.758.772361.758.772
Other AssetsOther AssetsOther AssetsOther AssetsOther Assets 3.350.2403.350.2403.350.2403.350.2403.350.240
Total AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal AssetsTotal Assets 369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409 Total Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and EquityTotal Liabilities and Equity 369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409369.516.409
Berdasarkan struktur neraca rumah tangga di Jawa
Timur yang dihitung secara rata-rata terlihat bahwa
aktiva tetap (terutama berupa rumah dan bangunan),
merupakan komponen terbesar dari total aset, yaitu
dengan pangsa sebesar 91,12%. Aktiva lancar,
investasi, dan aktiva lain-lain mengambil pangsa
Sumbar 2,12 28,95 18,36 2,40
Jabar 2,84 29,25 24,09 3,26
Bodetabek 4,13 51,40 23,27 4,68
Jateng 1,89 37,21 28,53 2,01
DIY 3,76 71,48 57,80 4,20
Jatim 2,10 32,78 22,76 2,30
L o k a s iR a s i o
Total Liabilities/Total Asset Total Liabilities/Current Asset Total Bank Liabilities/Current Asset Total Bank Liabilities/Fixed Asset(%) (%) (%) (%)
86
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
aktiva lancar untuk mengcover kewajiban rumah
tangga. Apabila rasio ini kurang dari 1 (= 100%) maka
nilai kewajiban rumah tangga lebih kecil
dibandingkan dengan aset lancarnya. Artinya rumah
tangga masih memiliki kemampuan untuk
mengajukan pinjaman yang lebih besar. Hasil survei
menunjukkan bahwa seluruh rumah tangga di area
survei masih memiliki kemampuan untuk mengajukan
pinjaman yang lebih besar. Rumah Tangga
D.I.Yogyakarta memiliki rasio tertinggi, sedangkan
Sumatera Barat memiliki rasio terendah.
Analisa Rasio Total Bank Liabilities/Current Asset
Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva lancar
untuk mengcover kewajiban rumah tangga terhadap
bank. Apabila rasio ini kurang dari 1 (=100%) maka
nilai kewajiban rumah tangga lebih kecil
dibandingkan dengan aset yang dimilikinya. Artinya
rumah tangga masih memiliki kemampuan untuk
mengajukan pinjaman yang lebih besar. Hasil survei
menggambarkan bahwa semua rumah tangga di area
survei masih memiliki kemampuan untuk mengajukan
pinjaman yang lebih besar. Rumah Tangga di D.I.
Yogyakarta memiliki rasio tertinggi dan Sumatera
Barat memiliki rasio terendah.
Analisa Rasio Total Bank Liabilities/Fixed Asset
Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva tetap
untuk mengcover kewajiban rumah tangga terhadap
bank. Apabila rasio ini kurang dari 1 (=100%) maka
nilai kewajiban rumah tangga lebih kecil
Sumbar 13,02 8,25 4,76 1,73
Jabar 18,59 15,31 3,28 0,38
Bodetabek 15,54 7,03 8,50 1,90
Jateng 25,33 19,42 5,91 1,44
DIY 31,47 25,45 6,02 10,08
Jatim 15,94 11,07 4,87 2,66
L o k a s iR a s i o
Total Liabilities/Core Income Bank Liabilities/Core Income Total Non-Bank Liabilities/Core Income Interest Payment/Core Income(%) (%) (%) (%)
dibandingkan dengan aset yang dimilikinya. Hal ini
berarti rumah tangga masih memiliki kemampuan
untuk mengajukan pinjaman yang lebih besar. Hasil
survei menggambarkan bahwa semua rumah tangga
di area survei masih memiliki kemampuan untuk
mengajukan pinjaman yang lebih besar. Rumah
tangga di Bodetabek memiliki rasio tertinggi dan Jawa
Tengah memiliki rasio terendah.
Analisa Rasio Total Liabilities/Core Income
Rasio ini menunjukkan kemampuan pendapatan
utama rumah tangga untuk mengcover
kewajibannya. Hasil survei menunjukkan bahwa
seluruh rumah tangga di area survei memiliki
kemampuan untuk melakukan pinjaman.
Analisa Rasio Bank Liabilities/Core Income
Rasio ini menunjukkan kemampuan pendapatan
utama rumah tangga untuk mengcover kewajibannya
ke bank. Hasil survei menunjukkan bahwa rumah
tangga di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki
nilai rasio yang lebih tinggi dibandingkan dengan
rumah tangga di daerah lain.
Analisa Rasio Non-Bank Liabilities/Core Income
Rasio ini menunjukkan kemampuan pendapatan
utama rumah tangga untuk mengcover kewajiban
rumah tangga ke non bank (misal: koperasi ataupun
lembaga microfinance lainnya dan pegadaian). Hasil
survei menunjukkan bahwa rumah tangga di Jabar
memiliki kemampuan pendapatan yang paling baik
dalam mengcover kewajiban hutang non bank
87
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi lainnya.
Sementara itu, rumah tangga di Bodetabek memiliki
kemampuan pendapatan yang paling rendah dalam
mengcover kewajiban hutang non bank
dibandingkan rumah tangga di lokasi lainnya.
Analisa Rasio Interest Payment/Core Income
Rasio ini menunjukkan proporsi pendapatan utama
rumah tangga yang digunakan untuk membayar
bunga pinjaman. Hasil survei menunjukkan bahwa
diantara rumah tangga di semua lokasi survei, rumah
tangga di Jabar memiliki proporsi kewajiban
pembayaran bunga yang paling kecil. Dengan kata
lain, rumah tangga di Jabar memiliki kemampuan
pendapatan yang paling baik dalam mengcover
kewajiban bunga pinjaman. Sementara itu, dengan
proporsi kewajiban pembayaran bunga pinjaman
yang paling besar, rumah tangga di DIY memiliki
kemampuan pendapatan yang paling rendah dalam
mencover kewajiban tersebut.
Analisa Rasio (Total Installment+Interest Payment)/
Total Income
Rasio ini menunjukkan proporsi pendapatan utama
rumah tangga yang digunakan untuk membayar
cicilan pokok beserta bunga. Hasil survei
menunjukkan bahwa diantara rumah tangga di
semua lokasi survei, rumah tangga di Jabar memiliki
proporsi kewajiban pembayaran cicilan pinjaman
(pokok dan bunga) yang paling kecil karena memiliki
rasio terendah, yaitu 4,816%. Dengan kata lain,
rumah tangga di Jabar memiliki kemampuan
pendapatan yang paling baik dalam mengcover cicilan
pinjaman. Sementara itu, rumah tangga di Bodetabek
memiliki proporsi kewajiban pembayaran cicilan
pinjaman yang paling besar, dengan rasio 22,485%.
Atau dengan kata lain rumah tangga di Bodetabek
memiliki kemampuan pendapatan yang paling rendah
dalam mencover kewajiban pembayaran cicilan
pinjaman.
Analisa Rasio (Total Installment+Interest Payment)/
Current Asset
Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva lancar
untuk mengcover cicilan pinjaman (pokok dan
bunga). Hasil survei menunjukkan bahwa diantara
rumah tangga di semua lokasi survei, rumah tangga
di Jabar memiliki proporsi kewajiban pembayaran
cicilan pinjaman yang paling kecil karena memiliki
rasio terendah, yaitu 9,950%. Dengan kata lain,
rumah tangga di Jabar memiliki kemampuan
pendapatan yang paling baik dalam mengcover cicilan
pinjaman. Sementara itu, proporsi kewajiban
pembayaran cicilan pinjaman yang paling besar
dimiliki oleh rumah tangga di Bodetabek dengan rasio
82,253%. Dengan kata lain, rumah tangga di
Bodetabek memiliki kemampuan pendapatan yang
paling rendah dalam mencover kewajiban
pembayaran cicilan pinjaman.
Sumbar 5,53 13,95 -
Jabar 4,82 9,95 3,14
Bodetabek 22,49 82,25 1,40
Jateng 10,89 20,17 -
DIY 12,58 35,11 1,64
Jatim 10,92 26,76 11,46
L o k a s iR a s i o
(Total Installment + Interest Payment)/ (Total Installment + Interest Payment)/ Collateral / Agreed Bank LoanTotal Income (%) Current Asset (%)
88
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Analisa Rasio Collateral/Agreed Bank Loan
Rasio ini menunjukkan jumlah kredit yang diberikan
dibandingkan dengan nilai jaminan. Apabila nilai rasio
ini kurang dari 1 berarti pinjaman yang diberikan tebih
tinggi daripada nilai jaminan. Ambang batas untuk
rasio ini adalah 1,25. Nilai rasio yang lebih tinggi
daripada nilai ambang batas menunjukkan bahwa
propinsi dimaksud masih potensial untuk mengajukan
pinjaman yang lebih besar. Hasil survei menunjukkan
bahwa rumah tangga di Jawa Barat, Bodetabek,
D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur berpotensi untuk
mengajukan pinjaman yang lebih besar dibandingkan
pinjaman mereka saat ini.
VI. KESIMPULAN
Survei Neraca Rumah Tangga yang dilakukan di 6
lokasi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Bodetabek, Jawa
Tengah, D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur berhasil
membangun sebuah Neraca Rumah Tangga (Household
Balance Sheets) per November 2007 baik untuk tingkat
propinsi maupun per wilayah kabupaten/kota. Struktur
Neraca Rumah Tangga di 6 lokasi survei terdiri dari current
assets, investasi, fixed assets, dan aktiva lain-lain disisi aktiva
(assets) dan utang bank, utang Lembaga Keuangan Non
Bank (LKNB), utang lain-lain, dan kekayaan bersih di sisi
passiva (liabilities and equities). Di lihat dari komposisinya,
sisi aktiva neraca rumah tangga didominasi oleh fixed assets
(khususnya aset berupa rumah dan bangunan), sedangkan
di sisi passiva, total utang didominasi oleh utang bank yang
mencapai rata-rata 69,67% dari total utang.
Secara umum, rumah tangga di seluruh lokasi survei
berpotensi untuk mengajukan pinjaman yang lebih besar.
Hal ini terlihat dari nilai rasio total liabilities/total asset,
total liabilities/current asset, total bank liabilities/current
asset, dan total bank liabilities/fixed asset. Hasil survei juga
menunjukkan bahwa berdasarkan pendapatan utama yang
dimiliki, seluruh rumah tangga di lokasi survei mampu
memenuhi kewajibannya baik terhadap bank maupun
lembaga keuangan non bank. Kemampuan ini tercermin
dari nilai rasio total liabilities/core income, bank liabilities/
core income dan rasio non-bank liabilities/core income.
Sementara itu, apabila dilihat dari elemen total pendapatan
dan aktiva lancar, rumah tangga di 6 lokasi survei mampu
memenuhi kewajiban membayar cicilan pokok beserta
bunganya. Hal ini terlihat dari rasio (total installment +
interest payment)/current asset.
89
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah
Mada, 2007. Laporan Akhir Household Balance Sheet
Survey Daerah Istimewa Yogyakarta 2007
Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan Universitas
Brawijaya, 2007. Laporan Akhir Survei Neraca Rumah
Tangga Propinsi Jawa Timur 2007
Center for Banking Research Universitas Andalas, 2007.
Laporan Pelaksanaan Survey Neraca Rumah Tangga
2007 di Sumatera Barat
Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi Universitas
Diponegoro, 2007. Laporan Akhir Survei Household
Balance Sheet Wilayah Jawa Tengah Tahun 2007
Laboratorium Penelitian, Pengabdian Pada Masyarakat dan
Pengkajian Ekonomi Universitas Padjajaran, 2007.
Laporan Akhir Survei Household Balance Sheet
Daftar Pustaka
Laboratorium Studi Manajemen Universitas Indonesia,
2007. Survey Neraca Rumah Tangga Bank Indonesia:
Analisis Temuan
Lee, Kevin and Paul Mizen (2005), ≈Household Credit and
Probability Forecast of Financial Distress in the United
Kingdom∆
Rinaldi, Laura and Alicia Sanchis Arellano (2006),
≈Household Debt Sustainability: What Explains
Household Non Performing Loan? An Empirical
Analysis, Working Paper no.570, European Central
Bank, January 2006.
90
Artikel II - Survey Neraca Rumah Tangga: Indikator Penting Dalam Surveillance Stabilitas Sistem Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
Glosari
91
Glosari
Glosari
92
Halaman ini sengaja dikosongkan
Glosari
93
Ambil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untung (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking): tindakan investor dengan
menjual aset/surat berharga pada saat harga tinggi untuk
mendapatkan keuntungan.
Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS):
penyelesaian transaksi secara elektronis dan real time
dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali
dalam sehari sesuai perintah.
Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund Exchange Traded Fund (ETF)(ETF)(ETF)(ETF)(ETF): Suatu jenis reksadana yang
memiliki karakteristik mirip dengan suatu perusahaan
terbuka dimana unit penyertaannya dapat diperdagangkan
di bursa. ETF ini merupakan kombinasi dari reksadana
tertutup dan reksadana terbuka.
Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis (business continuity(business continuity(business continuity(business continuity(business continuity
management)management)management)management)management): pengelolaan risiko untuk memastikan tetap
berjalannya fungsi-fungsi penting dalam keadaan
gangguan dan proses pemulihan yang efektif.
Financial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepening: : : : : istilah yang menggambarkan
perkembangan sektor keuangan pada suatu negara.
Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)::::: program IMF
dan Bank Dunia yang ditujukan untuk menilai ketahanan
sistem keuangan suatu negara termasuk kepatuhan
terhadap standar-standar internasional.
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (CapitalCapitalCapitalCapitalCapital
Adequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CAR))))): Rasio kecukupan modal bank;
merupakan pembagian jumlah modal yang meliputi tier I,
tier II, dan tier III dengan aktiva tertimbang menurut risiko.
Kredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalur (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans): kredit yang telah
disetujui namun belum dicairkan.
Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (non performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPL))))): terdiri dari
kredit yang tergolong Kurang Lancar (KL), Diragukan (D)
dan Macet (M).
Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (crisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis management))))): proses yang
meliputi identifikasi, mitigasi dan penyelesaian krisis.
Glosari
Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko (risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation): upaya untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya dan dampak risiko.
Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol)(Crisis Management Protocol):
Kerangka kerja yang menetapkan tindakan, peran, dan
tanggung jawab otoritas dalam menangani krisis sehingga
kerugian ekonomi dapat diminimalkan
RedemptionRedemptionRedemptionRedemptionRedemption: penjualan sekuritas sebelum jatuh tempo
RestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasi: penyesuaian persyaratan kredit dengan
penambahan dana dan/atau konversi seluruh atau
sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru,
dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi
penyertaan bank dalam perusahaan, yang dapat disertai
dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan
kembali (reconditioning).
Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (credit riskcredit riskcredit riskcredit riskcredit risk))))): risiko yang timbul akibat
kegagalan debitur atau mitra bisnis memenuhi
kewajibannya.
Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (liquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity risk))))): risiko yang timbul akibat
ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban
jangka pendeknya akibat ketidaksesuaian dana masuk
dan keluar.
Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (operational riskoperational riskoperational riskoperational riskoperational risk))))): risiko yang terjadi baik
secara langsung maupun tidak langsung akibat
ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, manusia
dan sistem atau kejadian eksternal.
Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (market riskmarket riskmarket riskmarket riskmarket risk))))): risiko atas posisi perdagangan
akibat perubahan harga.
Sistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment Systems (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS): sistem
pembayaran yang berperan penting dan dapat
menimbulkan dampak sistemik jika tidak diatur dan diawasi
dengan baik.
Glosari
94
Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (risk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systems))))): sistem
pengendalian risiko yang telah dituangkan dalam kebijakan
dan prosedur bank sesuai dengan prinsip-prinsip
manajemen risiko yang baik.
Stabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuangan: suatu sistem keuangan dengan
intermediasi keuangan yang efektif dimana lembaga, pasar
dan infrastruktur pasar mampu memfasilitasi aliran dana
antara penabung dan debitur sehingga mendukung
pertumbuhan ekonomi.
Stress testingStress testingStress testingStress testingStress testing: estimasi potensi kerugian terhadap eksposur
kredit dan likuiditas yang dihasilkan dari beberapa skenario
perubahan harga dan volatilitas.
Subprime mortgageSubprime mortgageSubprime mortgageSubprime mortgageSubprime mortgage: surat utang kepemilikan rumah atau
KPR kepada masyarakat yang memiliki kualitas kredit yang
rendah tetapi memberikan imbal hasil tinggi
Sudden reversalSudden reversalSudden reversalSudden reversalSudden reversal: aliran modal keluar secara serentak dan
tiba-tiba
VolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitas: standar deviasi dari perubahan nilai suatu
instrumen keuangan dengan jangka waktu spesifik;
digunakan untuk menghitung risiko dari instrumen
keuangan pada suatu periode waktu umumnya secara
tahunan.
PENGARAH
Halim Alamsyah Wimboh Santoso
KOORDINATOR & EDITOR
Agusman
TIM PENYUSUN
Ardiansyah, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Herawanto, Pipih Dewi Purusitawati, Wini
Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ita Rulina, Ricky Satria, Fernando R. B, Noviati, Cicilia A.
Harun, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Elis Deriantino, Primitiva Febriarti, Hero Wonida,
Mestika Widantri, Heny S
KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI
Ita Rulina Ricky Satria Primitiva Febriarti
KONTRIBUTOR
Direktorat Pengawasan Bank 1
Direktorat Pengawasan Bank 2
Direktorat Pengawasan Bank 3
Direktorat Perbankan Syariah
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Direktorat Pengelolaan Moneter
Direktorat Pengelolaan Devisa
PENGOLAHAN DATA
Suharso I Made Yogi Tita Hapsari
Kajian Stabilitas KeuanganNo. 10, Maret 2008