48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 April
sampai tanggal 29 April 2015. Penelitian ini dilaksanakan di
Dsn.Plalar Kulon dan Dsn.Kopeng Krajan Desa Kopeng,
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Letak geografis
Desa Kopeng berada di lereng Gunung Merbabu di
ketinggian 1450 mdpl, letak Dusun Plalar Kulon berada di
sebelah utara Desa Kopeng dan Dusun Kopeng Krajan
berada di sebelah barat Desa Kopeng. Secara keseluruhan
di Dusun Plalar Kulon dan di Dusun Kopeng Krajan
mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani
dan beragama Muslim.
4.1.2 Proses Penelitian
Pada penelitian ini, data mengenai jumlah wanita
primiparaditiap dusunnya sesuai dengan kriteria yang telah
peneliti rumuskan. Partisipan pada penelitian ini diperoleh
peneliti, dari proses wawancara pada Kepala Dsn.Plalar
Kulon dan Kepala Dsn.Kopeng Krajan. Dari hasil
49
wawancara yang peneliti lakukan, peneliti memperoleh data
jumlah wanita primipara yang sesuai dengan kriteria
sejumlah 2 orang partisipan dari ± 138 jiwa, wanita dengan
usia produktif di Dsn.Plalar Kulon dan 2 orang partisipan
dari ± 210 jiwa, wanita dengan usia produktif di Dsn.Kopeng
Krajan, sehingga total partisipan yang peneliti gunakan
dalam penelitian ini sebanyak 4 partisipan dan keseluruhan
partisipannya bersuku Jawa.
Pada kenyataan di lapangan saat proses penelitian
berlangsung, Dsn.Sleker tidak dapat peneliti gunakan
menjadi tempat penelitian karena, jumlah wanita primipara
yang sesuai dengan kriteria inklusi peneliti tidak memadai
dan banyak yang mengikuti suami untuk bekerja di luar
dusun tersebut. Selain itu, wanita primipara yang ada,
kebanyakan memenuhi kriteria ekslusi peneliti yang peneliti
hindari dari penelitian ini, sehingga jumlah partisipan dan
tempat penelitian yang peneliti gunakan yaitu 2 partisipan
dari Dsn.Plalar Kulon dan 2 partisipan dari Dsn.Kopeng
Krajan dengan total keseluruhan partisipan yaitu 4 partisipan
wanita primipara.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik
wawancara mendalam yang bersifat semi-struktur dengan
50
total pertanyaan berjumlah 6 pertanyaan, adapun lamanya
proses wawancara pada masing-masing partisipannya ±
selama 20-45 menit dalam 1 kali pertemuan. Pada
penelitian ini, pertemuan yang peneliti lakukan untuk
membina hubungan saling percaya dan wawancara
mendalam sebanyak 3 kali kepada masing-masing
partisipannya. Pada tanggal 8 April sampai 9 April 2015
peneliti menemui tiap-tiap partisipannya untuk membina
hubungan saling percaya, melakukan kontrak waktu dan
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan wawancara
peneliti, dengan maksud agar partisipan mengetahui tujuan
peneliti melakukan penelitian ini.
Pada saat wawancara berlangsung, peneliti
menggunakan handphone untuk merekam proses
wawancara dan mengambil gambar proses pengasuhan
yang partisipan lakukan. Wawancara yang peneliti lakukan
disesuaikan dengan aktivitas, kesediaan dan kesiapan
partisipan sendiri, sehingga proses penelitian ini tidak
menganggu aktivitas partisipan dan guna melancarkan
jalannya proses wawancara.
Saat penelitian berlangsung semua partisipan
menyambut dengan baik kehadiran penelliti dan partisipan
51
terlihat antusias serta sangat terbuka dalam menjawab tiap
pertanyaan yang ada, walaupun 1 diantaranya masih malu
dan membatasi ruang bicaranya karena ada masalah
pribadi yang partisipan tidak ingin bagikan kepada peneliti.
No
Nama
Usia Menikah Alamat
Tanggal, Jam dan Tempat
Wawancara
Respon/Hal Yang Terjadi Saat Wawancara Berlangsung
1. Ny.S 22
Tahun Februari 2015
Dsn.Plalar Kulon, Desa
Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang
11-14 April 2015,
Pukul 13.00 WIB,
Wawancara bertempat di
rumah Partisipan 1 di Dsn.Plalar
Kulon
Saat wawancara berlangsung terkadang partisipan memangku anaknya, menggantikan popok saat BAK serta terlihat tenang dan menjawab pertanyaan dengan baik, meskipun terkadang membatasi jawaban yang terkait dengan masalah pribadi partisipan. Terkadang ibu kandung partisipan juga mengambil alih untuk menggendong anaknya saat proses wawancara.
2. Ny.N 27
Tahun
Septemb-er
2013
Dsn.Plalar Kulon, Desa
Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang
15-18 April 2015,
Pukul 13.00 WIB
Wawancara bertempat di rumah suami Partisipan 2 di Dsn.Plalar
Kulon
Saat wawancara berlangsung partisipan selalu menggendong anaknya, memberikan ASI, menimang-nimang, terlihat tenang, terbuka dan antusias serta menjawab pertanyaan yang diberikan dengan baik.
3. Ny.S 20
Tahun Januari 2015
Dsn.Kopeng Krajan, Desa
Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang
21-24 April 2015,
Pukul 16.00 WIB,
Wawancara bertempat di rumah suami Partisipan 3
di Dsn.Kopeng
Krajan
Saat wawancara berlangsung partisipan selalu menggendong anaknya, partisipan terlihat senang, terbuka, antusias dan menjawab pertanyaan dengan baik sehingga proses wawancara berlangsung lancar. Namun pada saat wawancara, terkadang tertunda sebentar karena
4.2.1 Gambaran Partisipan
4.2 Hasil Penelitian
52
(Tabel 4.2.1 Gambaran Partisipan)
4.2.2 Karakteristik Partisipan Penelitian
Partisi
-pan
Nama
Ibu
Nama
Anak
Umur
Ibu
Umur
Anak Alamat
Jenjang
Pendidik
an
Pekerjaan
1 Ny.S By.A 22 Thn 4 Bln
Dsn.
Plalar
Kulon
SMA /
Sederajat IRT
2 Ny.N By.A 27 Thn 4 Bln
Dsn.
Plalar
Kulon
Strata 1
IRT
3 Ny.S By.S 20 Thn 5 Bln Dsn.
Kopeng
SMA /
Sederajat
IRT
4 Ny.R By.H 21 Thn 2 Bln Dsn.
Kopeng
SMA /
Sederajat
IRT
(Table4.2.2 Karakteristik Partisipan Penelitian)
bayi rewel dan butuh ditenangkan.
4. Ny.R 21
Tahun February 2015
Dsn.Kopeng Krajan, Desa
Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang
26-29 April 2015,
Pukul 13.00 WIB,
Wawancara bertempat di rumah suami Partisipan 4
di Dsn.Kopeng
Krajan
Saat wawancara berlangsung partisipan menggendong anaknya dan terkadang partisipan menyusui anaknya, menggantikan pampers saat BAB, menenangkan saat anak menangis dan terkadang ibu mertu partisipan mengambil alih untuk menggendong. Partisipan sangat tenang dan terbuka saat menjawab pertanyaan.
53
4.3 Analisa Data
Dari hasil penelitiandan analisa data yang peneliti
lakukan, diperoleh lima tema besar dari beberapa sub-tema
yang akan peneliti bahas dan jabarkan pada hasil penelitian
ini. Diantara lima tema besar tersebut, satu diantaranya
menjadi pengantar yang akan menjelaskan tentang
pemaknaan wanita primipara menjadi seorang ibu, sehingga
dari hal ini, peneliti dapat mengetahui bagaimana pola
pengasuhan yang akan diberikan oleh wanita primipara
kepada anaknya yakni, pada tema nomor 1: memaknai arti
menjadi orangtua sebagai sebuah perubahan kepribadian
yang lebih baik.
Setelah wanita primipara memaknai dirinya menjadi
orangtua, peneliti mendapatkan 2 tema besar yang akan
menjawab tujuan khusus peneliti mengenai pola pengasuhan
wanita primipara kepada anaknya yang ada pada tema nomor
2 dan nomor 3 yakni: makna pengasuhan sebagai naluri,
pekerjaan yang sulit, membutuhkan keahlian dan penuh
keuletan, dan pencapaian pengasuhan ideal dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu.
Dari hasil analisa, peneliti juga menemukan 2 tema
besar yang akan menjawab tujuan khusus peneliti mengenai
54
adaptasi pengasuhan wanita primipara yang ada pada tema
nomor 3 dan nomor 4 yakni: terjadinya re-evaluasi diri dan
resiliensi menjadi orangtua pada wanita primipara saat
beradapatasi dengan proses pengasuhan dan wanita
primipara menyadari adanya tekanan dalam pengasuhan.
1. Memaknai arti menjadi orangtua sebagai sebuah perubahan
kepribadian yang lebih baik
Dari hasil wawancara dan proses analisa yang
dilakukan peneliti menunjukkan bahwa wanita primipara
memaknai arti menjadi orangtua sebagai seseorang yang
harus membimbing anaknya dari kecil hingga dewasa, yang
memberikan kasih sayang, menjadi pemelihara, memberikan
cinta, pendidikan, pengertian dan harus memiliki kesabaran
dalam mengasuh anak. Namun selain, itu salah satu
partisipan juga mengemukakan bahwa menjadi orangtua
baru, masih terasa kaku dilakukan dalam prakteknya karena,
partisipan belum bisa mengurusi segala hal dengan baik.
Dengan kata lain makna menjadi orangtua pada 4 partisipan
ini yaitu proses pendewasaan, pengolahan perasaan serta
pikiran. Saat wawancara berlangsung terlihat bahwa
partisipan sedang dalam proses pendewasaan dengan
menjalankan perannya menjadi orangtua baru dan bukan lagi
55
wanita single dengan kehidupan dan kesibukannya sendiri.
Hal ini juga dapat dilihat dari beberapa pernyataan yang
dikemukakan oleh partisipan sebagai berikut:
“Orangtua ya itu pembimbing anaklah terus pengasuh
anak begitulah pokoknya jadi lebih-lebih dewasa lagi.
Harus sangat sabar ya demi anak gitu, biar anaknya bisa
nurut sama orangtuanya jadi kita harus sabar-sabar
merawat, kan kasihan masih kecilkan belum tahu juga
namanya dimarahin. Terus yah masih kakulah belum bisa
mengurus segalanya.”(Q34,83,17, R11)
“Orangtua itu adalah keluarga saya, orangtuakan kasih
sayangnya berharga banget.” (S46)
“Orangtua itu sebagai pemelihara kitalah, jadi yah yang
membesarkan, yang kasih kasih sayang, cinta dan
pendidikan terus yang kasih pengertian ini baik ini buruk
dari kecilkan orangtua.” (T27)
Menjadi orangtua bukan hanya melakukan pekerjaan
merawat dan menjaga anak saja, namun para orangtua juga
memiliki tugas, tanggung jawab dan peran yang besar yang
harus dijalankan dalam proses pengasuhan yang diberikan
ibu kepada anaknya. Tugas, tanggung jawab dan peran
56
wanita primipara, pada analisa penelitian ini menunjukkan
bahwa menjadi seorang ibu haruslah bisa memenuhi
kebutuhan anak baik secara biologis (lahir) yang meliputi
pemberian makan, mencukupi keseharian anak dan juga
pemenuhan kebutuhan psikologis (batin) anak, yang meliputi
perhatian, mengarahkan, memberitahu, merangkul, merawat
dan menyayangi anak.
Dari proses wawancara, peneliti melihat wanita
primipara melakukan kegiatan pemberian makan, yakni dari
ke empat partisipan ini, tiga diantaranya menyusui anaknya
atau memberikan ASI (Air Susu Ibu) dan salah satu
diantaranya sudah memberikan MPASI (Makanan
Pendamping ASI) dikarenakan partisipan mengalami sakit di
bagian payudara, sehingga selain ASI partisipan juga
memberikan susu formula serta makanan tambahan untuk
memenuhi kebutuhan makan anaknya, seperti pada
pernyataan berikut ini :
“Ya itu memberikan ASI buat anak, kasih perhatian buat
anak, pokoknya semua yang terbaik sebisa mungkin buat
anak.” (Q88)
“Tapi beberapa hari setelah itu, malah kena sakit
payudara jadi yah terpaksa minum susu formula, sudah
57
kasih makan dari umur 1 bulan sampai sekarang tapi
alhamdulilah 2 bulan keluar lagi ASInya jadi yah saya
minumin.” (Q21,52)
“Peran yah mendidik terus mengarahkan dia dan
memberitahu, menanamkan kepribadian yang baik dan
merangkul anak untuk kedepanya. Tugas dan tanggung
jawab orangtua itu mengasuh, merawat anak, mencukupi
keseharian anaknya apapun itu.” (R31, S73-75, T36-38)
Ke-4 wanita primipara menjelaskan bahwa dalam
proses menjadi orangtua mengasuh anaknya, wanita
primipara juga memiliki keinginan untuk bekerja guna untuk
membantu keadaan financial keluarganya seperti dalam
pernyataan berikut ini:
“Saya sebenarnya ingin kerja mba, buat bantu-bantu
suami saya biar uangnya bisa buat belanja dan anak, tapi
kasihan juga anak saya masih kecil kasihan kalau saya
tinggal kerja nanti dia nangis terus ASI nya kurang. Nanti
aja tunggu adenya besar saya kerja”. (Q89,R75, S94, T54)
58
2. Makna pengasuhan sebagai naluri, pekerjaan yang sulit,
membutuhkan keahlian dan penuh keuletan
Wanita primipara dalam penelitian ini memiliki
pengertian akan pengasuhan sebagai pekerjaan yang sulit
karena, dalam proses pengasuhan wanita primipara sebagai
ibu baru menganggap, pengasuhan merupakan amanah
besar bagi mereka dan memiliki ideologi dalam tujuan mereka
melakukan pengasuhan kepada anaknya. Menurut wanita
primipara mengasuh merupakan pemberian pengasuhan
yang baik untuk anak dan memberikan kebutuhan sehari-hari
untuk anak seperti memandikan, menemani saat tidur serta
memberikan kasih sayang, yang dijelaskan pada pernyataan
berikut ini :
“Ngemong itu mengasuh, ya pokoknya memberi
pengasuhan yang baiklah buat ade kebutuhan sehari-hari
yah makannya, dikasih terus pokoknya jangan sampai
sakit, memandikan, memberi susu, menemin tidur &
memberikan kasih sayang.” (Q51,R18,R30,S57)
Wanita primipara, dalam proses pengasuhannya juga
memiliki tujuan pengasuhan yaitu agar anak dapat bertumbuh
dan berkembang dengan cepat dan dapat membantu serta
mengurus orangtuanya ketika dewasa nanti, sama seperti
59
mereka mengurus anaknya saat ini, yang dapat nyatakan
sebagai berikut:
“Tujuannya biar dia jadi... cepet besar cepet ngerti gitu.”
(Q54)
“Tujuan mengasuh anak itu kewajiban saya, kalau saya
punya anak pasti buat penambah hidup, untuk emm.. bisa
ngopeni orangtuanya, biar nanti kalau saya tuanya kan
diurus juga.” (S58)
Selain itu, terdapat 2 partisipan yang mengatakan
bahwa pengasuhan merupakan kodrat wanita dan merupakan
proses pembentukkan karakter dini anak, dimana hal ini
termasuk dalam ideologinya memaknai arti pengasuhan serta
tujuan pengasuhannya. Hal tersebut dapat dilihat dari
beberapa pernyataan berikut :
“Tujuan mengasuhkan pertamakan memang sudah
kodrat wanita mengasuh seorang anak sampai dia
dewasa.” (R30)
“Menurut aku mengasuh itu, proses pembentukkan
karakter dini terus sama sikap. Tujuannya itu biar dia itu
60
karakternya seperti yang kami inginkan jadi anak yang
sopan, sama orangtua berbakti.” (T28-29)
Wanita primipara juga mengungkapkan pengasuhan
sebagai pekerjaan yang sulit dan tidak mudah dikarenakan
terjadinya perubahan dalam segala aspek kehidupan mereka
serta kurangnya waktu untuk diri mereka sendiri. Hal-hal
dalam kehidupan para partisipan sebagai ibu baru yang
mengalami perubahan, seperti perubahan fisik yang
dijelaskan dengan pernyataan sebagai berikut:
“Ada perubahan fisik itu yang paling terasa, lumayan
agak meningkat juga berat badan pas awal-awal sih,
tambah gendut pastinya.” (Q38 & S31)
Selain itu wanita primipara juga mengalami
perubahan kebiasaan seperti perubahan pola tidur pada
wanita primipara saat mengasuh anaknya, sehingga saat
penelitian berlangsung, peneliti terkadang melihat wanita
primipara seperti kelelahan serta terlihat adanya kantung
mata pada wajah wanita primipara. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan berikut:
“Belum merasakan ya jadi, ada bayi kan setiap malam
bangun minta susu sedangkan kita masih tidur terlelap
61
harus bangun, paling cuman ngantuk karena malam
harus bangun menyusui.” (R16 & S29)
Wanita primipara juga mengakui bahwa mereka,
kurang memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan kurang
melakukan aktvitas seperti jalan-jalan serta rekreasi untuk
menghibur diri mereka :
“Ada perubahannya biasanya kan kalau masih muda ya
keseringan jalan, main, jarang dirumah gitu kan tapi
setelah punya anak dijalani ngurus anak, dirumah terus,
pengen mengenang yang kaya dulu lagi sih, tapi harus
sabar ngadepin kurangnya me time.” (Q39 & R16,49)
Selain kurangnya waktu untuk diri sendiri, wanita
primipara juga mengalami perubahan pola pemikiran seperti
pernyataan berikut :
“Yah mestinya ada yah, lebih dewasa lagi memikirkan
anak kedepannya nanti, punya anak juga jadi sering
belajar terus baca-baca.” (S30 & T6)
Dalam proses pengasuhan, wanita primipara
mengalami proses pembelajaran (nurture) dan mengalami
proses pembentukkan naluri sebagai seorang wanita dalam
62
mengasuh anaknya, sehingga hal ini membuat wanita
primipara memaknai pengasuhan sebagai pekerjaan yang
membutuhkan keahlian dan keuletan dalam pelaksanaannya.
Pembentukkan naluri sebagai seorang wanita dalam
pengasuhan diimplementasikan dengan berbagai perlakuan
serta pemberian stimulasi pada anak. Perlakuan yang
diberikan oleh wanita primipara pada proses pengasuhan
dalam kesehariannya yaitu seperti menenangkan anak saat
rewel, mengobati anak ketika sakit, perlakuan memberikan
makan, memandikan, menggantikan baju serta popok,
memberikan stimulus seperti gambar-gambar serta mainan
dan perlakuan mendoakan anak. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan berikut ini :
“Yah kalau sakit itu lebih baik diperiksa kebidan aja biar
lebih tahu gimana penyakitnya.” (Q36)
“Kalau rewel ya itu ngatasinnya yah biar ga rewel
digendong, ditimang-timang, kalau masih rewel kasih
ketetangga atau coba kasih kemertuaku, diajak nonton
ikan supaya dia diem.” (Q49, R12, S37)
63
“Kalau sekarang itu ASI sangat penting bagi
pertumbuhan bayinya, sebisa mungkin aku ngasih ASI
terus sampai 2 tahun.”(Q37,S8&10, T16)
“Tiap hari kalau anak saya bangun saya langsung
mandiin dia, sudah berani mandikan seminggu karena
pusarnya itu sudah copot.” (S22 & 24)
“Selain ASI yah mainan agar anaknya bisa tahu kalau ini
apa, gambar-gambar.” (S50)
Selain melalui perlakuan yang diberikan oleh wanita
primipara kepada anaknya, naluri seorang wanita dalam
mengasuh anak dapat dilihat dari perasaan senang yang
dialami wanita primipara ketika melihat anaknya, penerimaan
wanita primipara akan kehadiran anaknya, serta adanya
attachment dan bonding yang terjalin antara wanita
primiparadengan anaknya dalam proses pengasuhan. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa pernyataan berikut:
“Yah sedih terharu sudah bisa melahirkan secara normal,
nangis, seneng banget yang ditunggu sudah lahir,
penasaran anaknya cowo atau cewe.”(Q16, R10, S18, T8)
64
“Penerimaannya sih seneng yah diurus, dijaga,
dilindungi, dikasih kasih sayang, sudah baik
penerimaannya sudah menerima dengan sepenuh hati.”
(Q40, R17, S34 & 38, T15)
“Aku masih nyusahkan orangtua sekarang jadi airmata
itukan jadi langsung turun, dia (bayi) langsung sama-
sama nangis rewel gitu.” (Q50)
“Kalau misalkan mau tidur diakan harus digendong, kalau
ga digendong taruh dikasur itu harus ada sama aku
berdua kalau ga sama aku dia bangun.” (R29)
Selain telah menerima dengan sepenuh hati
kehadiran anaknya dalam kehidupan ke-4 wanita primipara
ini, terdapat 2 wanita primiparayang mengemukakan bahwa
pada minggu-minggu pertama kehadiran anaknya muncul
perasaan belum siap menghadapi keadaan baru yang ada
seperti pernyataan berikut ini:
“Gini mba setelah melahirkan seminggu itu, aku ngerasa
belum siap sebenarnya dengan keadaan, saya yang
masih sakit dan sudah ada anak saya yang harus saya
urus jadinya yah belum bisa menerima sepenuhnya pada
saat itu, masih kaku juga mengurus anak”. (Q42, R16)
65
Pada penelitian ini selain pembentukan naluri
sebagai seorang wanita dalam mengasuh anak yang dialami
oleh wanita primipara, wanita primipara juga mengalami
proses pembelajaran (nurture) yang meliputi belajar
menjadikan tangisan, sentuhan, kontak mata dan rewelnya
anak sebagai alat komunikasi wanita primipara dengan
anaknya dan belajar untuk dapat melakukan pengasuhan
secara mandiri seperti pada pernyataan berikut ini:
“Kalau liat adenya nangis, rewel karena lapar, kalau dia
pup kan dia rewel sambil ngeden gitu, kalau mau makan
nangisnya lebih-lebih gitu.” (Q70, R28, S26)
“Sentuhan penting, ya seorang ibu harus mengurus dan
menyentuh anaknya, sentuhan kulit dengan kulit itu
penting banget dia bisa ngerasaiin hangatnya tubuh kita,
dengerin detak jantung kita. Kontak mata juga penting
supaya dia bisa mengerti mata ibunya, mengenal wajah
ibu & ayahnya.” (Q71-72, R68, S52-54, T25)
“Ya bener-bener ngurus sendiri 2 bulan yang lalu.” (Q46)
Dalam proses pengasuhanwanita primiparaberusaha
untuk dapat melakukan pengasuhan secara mandiri, namun
wanita primipara mengemukakan bahwa pengasuhan yang
66
diberikan terkadang belum maksimal, sehingga dalam proses
pengasuhannya sangat dibutuhkan keahlian dan keuletan
pada wanita primipara. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan
berikut:
“Kalau sekarang yah masih belum terlalu baik juga masih
harus minta bantuan ibu, masih kasih empeng.” (Q47,
R35)
3. Pencapaian Pengasuhan Ideal Dipengaruhi Oleh Faktor-
Faktor Tertentu
Dalam analisa penelitian ini, wanita primipara
mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi pencapaian pemberian pengasuhan yang
ideal terhadap anak mereka seperti, sumber dan bentuk
dukungan yang diperoleh wanita primipara. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa pernyataan berikut ini:
“Dibantu sama ibu sama bidan, sampai sekarang masih
dibantu.” (Q43-44)
“Ada tetangga, hari pertama ke-2nya itu RS, hari ke-3
tetanggaku hari ke-4nya mulai aku. Terus suami juga
kadang membantu menggantikan popok sama baju yang
lainnya dia belum berani” (R23)
67
“Paling banyak info lewat internet, dirumah aku nonton
youtube, browsing liat artikel-artikel ikut forum ibu hamil,
ibu menyusui.” (R40, T30)
“Dari bukukan ada, buku KMS saya baca .” (S41)
Kesehatan ibu,pendidikan orangtua, serta pengalaman
pengasuhan sebelumnya, juga merupakan beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi pencapaian pengasuhan yang
ideal pada wanita primipara sesuai dengan pernyataan
berikut ini:
“Penting juga kesehatan ibu, kalau ibunya sakit
otomatis adenya minum ASIkan jadinya yah ikut rewel
pasti.” (Q48 & 67, R71, S90, T46)
“Pendidikan sebenarnya penting, pendidikan itu
berpengaruh kalau pendidikan lebih tinggi mereka pasti
lebih bagus lagi mendidiknya, terus kalau
pendidikannya rendah memotivasi anak untuk sukses
itu kurang maksimal.” (Q66, R43, T47)
“Kalau menurut aku yah mba, pendidikan itu ga terlalu
berpengaruh kalau untuk memebrikan pengasuhan
68
kepada anak saya soalnya kan saya juga belajar dari ibu
saya dulu mba” (S94)
“Uda pengalaman waktu ade yang paling kecil lahir aku
bisa sedikit-sedikit, belajar.” (Q55, R38, S11, T31)
Dari pengalaman pengasuhan sebelumnya, ditemukan
bahwa ada beberapa hal yang tidak diambil dan tidak
digunakan cara pengasuhan sebelumnya oleh wanita
primipara untuk diterapkan pada pengasuhan saat ini seperti
pernyataan yang dikemukakan berikut ini :
“Ada 1 yang ga aku ikutin, kalau mandi itu kan ada bayi
yang ditengkurepin ditangan nah itu aku paling takut.”
(Q58)
“Yang ga aku ikutin itu yang kasih makan itu sama
sekali ga ku ikutin, kalau masalah pakaian itu suruh
pake gurita aku ga ikutin aku pake kaos, terus soal susu
formula & kasih makan ga ku ikutin.” (R39,T33)
Menurut wanita primipara, dukungan yang diberikan
oleh pasangan serta arti anak juga merupakan faktor yang
mempengaruhi pencapaian pengasuhan yang ideal yang
dijelaskan dengan pernyataan berikut:
69
“Kalau aku sih dari dukungan suami, terus keluarga, ya
karena memang tuntutan dari suami untuk mengasuh
ini.” (R42 & T39)
“Arti anak itu segalanya, karunia dari ALLAH juga, buat
keturunan, investasi tidak ternilai, buah hati &
pelengkap hidup (Q85, R73, S39, T4)
4. Terjadinya Re-Evaluasi Diri dan Resiliensi Menjadi Orangtua
Pada Wanita Primipara Saat Beradapatasi Dengan Proses
Pengasuhan
Wanita primipara dalam penelitian ini mengungkapkan
bahwa mereka mengalami proses re-evaluasi diri, karena
wanita primipara berusaha untuk dapat menyesuaikan diri
dengan kondisi pengasuhan dari waktu ke waktu seperti
pernyataan berikut ini:
“Kalau sebelumnya kan ga nyuci baju bayi, ga ngurus
bayi, sekarang uda rutinitasnya itu.”(Q62)
“Hari pertama itu takutnya pas mandikan masih apa
risih gitu kan belum percaya diri.” (S71)
“Sudah bisa, aku sudah bisa mengesampingkan
kehidupan pribadiku, sudah ga egois jadi seorang ibu
70
segala sesuatu yang dibuat untuk anak dulu, sudah
mampu beradaptasi.” (R62, S72, T35)
Selain mengalami re-evaluasi menjadi orangtua,
wanita primipara juga mengalami resiliensi (proses dan hasil
dari keberhasilan beradaptasi) dalam proses adaptasi
pengasuhannya, yaitu berusaha memprioritaskan anak
daripada keadaan dirinya sendiri, adanya kesulitan yang
dialami dan kurangnya istirahat, serta mengalami adaptasi
maternal dalam proses pengasuhannya.
“Langsung memikirkan ade sakit demi ade ga papa.”
(Q25, S16,T10)
“Ada ya itu pas pertama mau mandikan ga bisa jadi
kesulitannya disitu.” (Q84)
“kalau aku mba kebutuhan anak nomor 1, dulu-dulu itu
saya kepengen banget beli baju cuman saya mikir lagi
udahlah uangnya disimpan saja buat pampers anak
saya lebih penting itu” (S79)
“Aku mengalami kesulitan itu waktu anakku nangis aku
gendong ga mau diem terus sama paling kalau
71
malemnya istirahat total sekarang agak kebangun.”
(R50, S63, T23)
“Dihari pertama setelah melahirkan itu badanku masih
sakit, lemes, masih mikirin diriku sendiri, pengen
diperhatikan suami, dibantu sama ibu. Hari Ke-2, ke-3
aku stresnya mulai aku suka sedih dan nangis sendiri,
pusing juga kalau dengar adenya nangis terus diantara
1-3 minggu setelahnya aku udah berani mengasuh
sendiri .”(R44-45,S21 & 27, T10 &12)
Dari hasil analisa penelitian ini, peneliti menemukan 2
wanita primipara menyampaikan bahwa mereka mengalami
kondisi dimana proses pengasuhan berubah menjadi hal
yang membosankan serta telah menjadi rutinitas dan 2
diantaranya tidak mengalami hal tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari pernyataan seperti berikut:
“Ya pernah merasa bosan, awalnya pekerjaan yang
membosankan karena setiap hari harus melakukan itu
terus.” (R18,33 S67)
5. Wanita Primipara Menyadari Adanya Tekanan Dalam
Pengasuhan
72
Dari hasil analisa yang diperoleh peneliti, ditemukan
bahwa wanita primipara menyadari, adanya tekanan yang
dirasakan dalam proses pengasuhan, dimana wanita
primpara merasakan ngantuk, capek dan anak rewel
sebagai indikasi wanita primipara mengalami keadaan
frustasi dalam proses pengasuhan. Wanita primipara juga
mengalami perubahan suasana hati selama berjalannya
proses pengasuhan yang dapat dikemukakan dengan
pernyataan berikut ini:
“Sering nangis apalagi untuk keadaan saat ini yah kalau
adenya rewel, paling stresnya kalau uda ngantuk dia ga
mau bobo.” (R20, T14)
“Ada biasanya 1 hari kaya sebel pengen marah-marah,
nangis, sensitif kalau denger suara agak kaya gimana
gitu, Cuman 1 hari sih soalnya ga bisa nahan lama-
lama.” (Q28 & 30, T17-18)
“Pernah sih dulu nangis terus sampe bingung, pernah
ada rasa kecewa karena ASIku kurang aku kecewa
sama diriku sendiri, terus baby bluesnya itu setelah aku
pulang kerumah hari ke-3 nangis, terus marahnya sama
73
suamiku. Baby bluesnya berkurang kayaknya 10 hari .”
(R15, 49)
4.4 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di dua Dusun di Desa Kopeng
Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, tepatnya di dua
dusun yang berada di Desa Kopeng yaitu Dusun Plalar
Kulon dan Dusun Kopeng Krajan. Selama penelitian
berlangsung peneliti mendapatkan beberapa ungkapan dari
wanita primipara yang menyatakan bahwa menjadi seorang
ibu sangatlah sulit untuk dilakukan dan butuh pengalaman
yang cukup untuk mendukung jalannya pengasuhan.
Dari hal tersebut peneliti berpendapat bahwa wanita
yang baru pertama kali memiliki anak belum mampu untuk
mengasuh dengan baik, dikarenakan mereka belum
memiliki pengalaman yang cukup dalam hal mengasuh
anak, sehingga menurut peneliti pengalaman pengasuhan
merupakan hal yang berpengaruh dalam pemberian
pengasuhan pada wanita primipara. Pendapat peneliti ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Barlow (1997)
yang mengatakan bahwa penyesuaian diri dengan tugas
membesarkan anak dihasilkan dari pengalaman
74
pengasuhan dimana wanita atau seorang ibu pernah melihat
maupun terlibat didalamnya.
Namun pada kenyataan yang terjadi di lapangan ke– 4
wanita primipara, sudah memiliki sedikit pengalaman dalam
mengasuh anak yaitu mengasuh adik kandungnya sendiri
misalnya menggendong dan menggantikan popok. Selain
ungkapan di atas, dari hasil penelitian yang telah dilakukan
analisa oleh peneliti terdapat beberapa hal yang terjadi
dalam pola pegasuhan wanita primipara dan proses
adaptasi dengan pengasuhannya. Sebelum peneliti
membahas hasil penelitian terkait pola pengasuhan dan
proses adaptasi pengasuhan wanita primipara, peneliti akan
menjelaskan terlebih dulu tema tentang makna menjadi
orangtua bagi wanita primipara sebagai pengantar pada
penelitian ini yaitu:
1. Memaknai arti menjadi orangtua sebagai sebuah perubahan
kepribadian yang lebih baik
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 4 partisipan,
ditemukan bahwa pemaknaan wanita primipara akan arti
menjadi orangtua adalah sebagai sebuah perubahan
kepribadian yang lebih baik karena, wanita primipara
mengalami pendewasaan baik dari perasaan dan pikiran,
75
dimana mereka harus menjadi pembimbing anak yang harus
dengan sabar mengasuh dan merawat anak, memberikan
kasih sayang, cinta, perhatian dan pendidikan. Hal ini
didukung oleh teori menjadi orangtua (Parenthood) yang
dikemukakan oleh Lestari (2012) bahwa orangtua
merupakan individu yang mau mengasuh, menjaga dan
melindungi serta membimbing anaknya dari bayi hingga
tahap dewasa. Selain itu menurut Turner (2011) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa menjadi orangtua akan
mengubah hidup serta karir dengan berbagai cara dan
sebagai seorang ibu, membuat seorang wanita berupaya
untuk membesarkan anaknya.
Dari hal tersebut peneliti berasumsi bahwa menjadi
orangtua haruslah dipikirkan secara matang karena menjadi
orangtua membutuhkan komitmen antara suami dan istri
untuk dapat membesarkan anaknya. Asumsi peneliti ini
didukung oleh Barlow (1997) yang menyatakan bahwa
keputusan untuk memiliki anak terjadi secara sadar dimana
hal ini berhubungan dengan pengambilan keputusan
menjadi seorang ibu dan ayah. Hal ini juga didukung oleh
Bobak (2005) yang menyatakan bahwa menjadi orangtua
merupakan suatu faktor pematangan dalam diri seorang
76
wanita maupun pria dan merupakan proses orang dewasa
yang harus memiliki kepribadian yang matang, memiliki sifat
penyayang serta mampu dan mau untuk mengasuh
anaknya.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan, menjadi
orangtua merupakan suatu kematangan berpikir, proses
pendewasaan, terjadinya perubahan dalam kehidupan
orang dewasa serta pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh wanita dan pria untuk berusaha merawat dan
membesarkan anaknya secara bersama-sama, kesimpulan
ini didukung oleh Wong (2009) yang mengatakan bahwa
pada minggu-minggu pertama kehadiran anak dalam
kehidupan orangtua, akan membawa orangtua mengalami
perubahan dan penyesuaian yang drastis baik dalam
pengasuhan dan perawatan anak. Selain itu Bobak (2005)
mengatakan wanita dan pria tentunya dapat hidup tanpa
seorang anak, sehingga menjadi orangtua merupakan suatu
pilihan yang dapat diambil dan ditentukan sendiri oleh
seorang laki-laki dan seorang wanita dewasa.
Dari hasil analisa penelitian ini, selain memaknai arti
menjadi orang tua, 4 wanita primipara ini juga
mengungkapkan peran, tugas dan tanggung jawab mereka
77
menjadi orangtua dalam mengasuh anaknya. Menurut
wanita primipara peran, tugas dan tanggung jawab mereka
sebagai orang tua yaitu mereka harus bisa untuk memenuhi
kebutuhan biologis (lahir) anak yaitu memberikan ASI serta
dapat mencukupi keseharian anaknya dan mereka harus
memenuhi kebutuhan psikologis (batin) anak seperti
mendidik anak, mengarahkan, memberitahu, merangkul,
menyayangi serta menanamkan kepribadian anak yang
baik.
Ungkapan dari ke 4 wanita primipara ini, memiliki
keterkaitan dengan teori yang disampaikan oleh Brooks
(2011) peran orang tua ialah bertanggung jawab atas
pemeliharaan anak. Sedangkan tanggung jawab orangtua
adalah memberikan kasih sayang dan memiliki hubungan,
yang terus berlangsung dengan anak serta memenuhi
kebutuhan maternal anak seperti makanan, pakaian, tempat
tinggal, pendidikan intelektual serta moral pada anak.
Menurut peneliti tugas utama yang dimiliki oleh
orangtua yang sesuai dengan ungkapan partisipan yaitu,
tugas pengasuhan pertumbuhan dimana wanita primipara
memberikan makanan, perlindungan serta kehangatan dan
kasih sayang kepada anaknya dan salah satu diantaranya
78
ditambah dengan tugas pengasuhan material dimana,
adanya rangsangan yang diberikan melalui benda-benda
kepada anaknya untuk dapat bereksplorasi (Bornstein
{1998} dalam Brooks {2011}).
Victoriana (2015) mengemukakan orangtua memiliki
tugas untuk mengasuh dan mendidik anak sejak anak itu
lahir, memasuki masa bayi, bahkan sampai dewasa dan
menjalankan peran sebagai orangtua bukan perkara mudah
diera globalisasi ini, karena kebanyakan orangtua bekerja
diluar rumah dan waktu yang disediakan untuk anak lebih
sedikit. Pernyataan ini juga didukung dengan ungkapan ke-4
wanita primipara yang mengatakan bahwa, mereka memiliki
keinginan untuk bekerja namun, wanita primipara ini lebih
memikirkan anak mereka yang membutuhkan kehadiran
wanita primipara disampingnya.
2. Makna Pengasuhan Sebagai Naluri, Pekerjaan Yang Sulit,
Membutuhkan Keahlian dan Penuh Keuletan
Dari hasil analisa peneliti, pada 4 wanita primipara
yang menjadi partisipan dalam penelitian ini
mengungkapkan pola pengasuhan merupakan pekerjaan
yang sulit dikarenakan pengasuhan merupakan amanah
yang diberikan dari yang mahakuasa untuk mereka agar
mereka dapat memberikan pengasuhan, memberikan
79
perlakuan pemenuhan kebutuhan tiap harinya serta
membentuk karakter anak mereka sejak dini. Brooks (2011)
mengungkapkan arti pengasuhan sendiri merupakan proses
yang terjadi antara kedua belah pihak yaitu orangtua dan
anak yang saling mengubah satu sama lain saat anak
tumbuh menjadi sosok dewasa. Sedangkan pola
pengasuhan sendiri terdiri dari 2 kata yaitu pola yang berarti
cara, model, bentuk serta sistem dan asuh yang berarti
menjaga (merawat dan mendidik), membimbing (membantu,
melatih), dan memimpin (menggepalai) (Depdikbud, 1988).
Peneliti setuju dengan ungkapan partisipan dimana
pola pengasuhan merupakan suatu usaha, cara atau
tindakan yang diberikan orang tua sebagai orang yang
dipercayai dalam proses pengasuhan untuk dapat
memenuhi kebutuhan anak baik keperluan tiap harinya
maupun kebutuhan psikologis dan kebutuhan akan
pendidikan formal bahkan pendidikan karakter.
Hal ini didukung oleh Yuniarti (2009) yang mengatakan
anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya
dan yang paling pertama bertanggung jawab adalah
orangtua termasuk didalamnya memenuhi kebutuhan anak
baik dari sudut pandang fisiologis maupun kebutuhan
80
psikologis anak. Selain Yuniarti (2009) menurut Palupi
(2007) dalam Agustiawati (2014) mengatakan bahwa pola
pengasuhan merupakan cara orangtua memperlakukan
anaknya, dalam mendidik, mengajarkan, mendisiplinkan dan
menjaga anak dalam proses pertumbuhan dan
perkembangannya menuju kedewasaan dalam
pembentukkan norma yang diharapkan oleh masyarakat.
Dalam proses pengasuhan mereka juga memiliki
tujuan pengasuhan, terdapat beberapa partisipan yang
mengungkapkan adanya ideologi dalam tujuan
pengasuhannya dimana sudah menjadi kodrat seorang
wanita untuk melakukan pengasuhan kepada anak. Selain
itu, pengasuhan menjadi pekerjaan yang sulit dan tidak
mudah menurut mereka karena pada dasarnya terjadinya
perubahan dalam kehidupan mereka baik dari pola tidur,
kebiasaan, perubahan fisik dan pola pikir.
Selain itu, wanita primipara juga berusaha untuk dapat
memberikan pengasuhan secara mandiri kepada anak
mereka dan wanita primipara juga kurang memiliki waktu
untuk dirinya sendiri. Hal ini terlihat ketika peneliti
melakukan wawancara pada ke-4 wanita primipara ini,
terkadang mereka terlihat lelah dan adanya kantung mata
81
pada wajah wanita primipara. Pernyataan ini didukung oleh
Barlow (1997) dan Oakley (1987) yang mengatakan dalam
proses pengasuhan, seorang ibu, setelah melahirkan bayi
pertama, khususnya para wanita melaporkan mengalami
gangguan dan hambatan besar dalam gaya hidup dan
rutinitas mereka serta,wanita primiparaakandiberikan
banyak kesempatan untuk mengalami pertumbuhan dan
perkembangan dalam dirinya untuk mengakui kompleksitas
dari perannya menjadi seorang ibu.
Selain itu, adanya ideologi dalam pengasuhan
beberapa partisipan, dikarenakan mereka memiliki
keyakinan dan ideologi yang cenderung mereka turunkan
atau wariskan kepada anak-anaknya dengan harapan,
anak-anak mereka bisa mengembangkan nilai dan ideologi
yang ada serta selalu tertanam dalam diri anak (Santrok
{1995} & Walker {1992} dalam agustiawati {2014}).
Dapat peneliti simpulkan bahwa, pengasuhan menjadi
pekerjaan yang sulit karena didalamnya terdapat usaha dan
proses yang wanita primipara lakukan kepada anaknya, dari
seorang wanita single berubah menjadi orangtua untuk
memenuhi kebutuhan anak baik dari kebutuhan sehari-hari,
psikologis, maupun pendidikan anak. Selain daripada itu,
82
pengasuhan dianggap menjadi pekerjaan yang sulit karena
wanita primipara harus memerankan peran ganda dalam
hidupnya sebagai seorang ibu yang mengasuh anak dan
seorang istri sebagai pendamping suami.
Melihat dari hal diatas, peneliti menyadari bahwa
dalam era globalisasi saat ini masih terdapat ideologi-
ideologi orangtua tradisional yang mengungkapkan bahwa
sudah menjadi kodrat wanita untuk mengasuh anaknya.
Simpulan ini didukung oleh Soetjiningsih (2014) yang
mengatakan pada konsep keluarga tradisional istri sebagai
ibu rumah tangga, pekerjaannya hanya sebagai pengasuh
anak dan hanya berada didalam rumah saja, untuk
mengurusi kebutuhan rumah tangga sedangkan suami
sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban memenuhi
kebutuhan lahiriah dan batiniah dalam keluarga, serta bukan
menjadi tugas suami untuk melakukan pengasuhan pada
anaknya.
Hal ini juga terkait dengan peran gender dimana peran
perempuan adalah sosok penurut dan posisi seorang suami
selalu berada di atas dan selalu harus dihargai. Selain itu
peneliti berpendapat bahwa gaya pengasuhan yang
digunakan wanita primipara kepada anaknya yaitu gaya
83
pengasuhan responssiveness dimana wanita primipara
memiliki ketanggapan dalam membimbing kepribadian anak,
memenuhi kebutuhan anak serta mengacu pada
pengasuhan yang hangat dan memberikan dukungan
kepada anak (Lestari, 2012).
Dalam pengasuhan wanita primipara kepada anaknya,
4 partisipan ini juga mengungkapkan bahwa adanya rasa
senang yang muncul saat melihat anak, adanya kontak batin
yang terjalin antara wanita primipara dengan anaknya dan
wanita primipara juga, sudah dengan sepenuh hati
menerima kehadiran anaknya, ditengah-tengah kehidupan
mereka. Rasa penerimaan yang dialami wanita primipara
akan kehadiran anaknya didukung dengan teori yang
dikemukakan oleh Christina (2012) yaitu Acceptance
(penerimaan) dimana, perilaku orangtua sering memberikan
kasih sayang, cinta yang tulus kepada anak, menempatkan
anak pada posisi yang penting serta bersikap peduli dengan
anaknya.
Dari hal diatas peneliti berasumsi bahwa dalam proses
pengasuhannya, muncul naluri (instink/motherhood)
seorang ibu pada diri wanita primipara yang memiliki
keterkaitan dengan attachment dan bonding yang sedang
84
terjalin antara wanita primipara dengan anaknya, karena
tanpa disadari mereka telah merasakan kebahagian akan
kehadiran anak dikehidupan mereka, serta tengah
menghayati perannya sebagai seorang ibu bagi anak
mereka. Hal ini didukung oleh Kartono (1977) yang
mengatakan fungsi atau sifat keibuan (motherhood)
merupakan sumber kepuasan dan kebahagian yang terjadi
dalam hidup mereka, serta sifat keibuan ini bersangkutan
dengan relasi ibu dengan anaknya sebagai kesatuan
fisiologis, psikhis dan sosial.
Selain itu Kartono (1977) juga menyebutkan bahwa
naluri (instinkt) keibuan (maternal instincts) terdapat pada
seluruh wanita dimana ciri-ciri utamanya adalah kelembutan
(tenderness) yang merupakan suatu bentuk kasih sayang
kepada anak. Proses penerimaan wanita primipara akan
kehadiran anaknya merupakan bentuk dari attachment
(kasih sayang/kelekatan) (Bobak, 2005), serta bonding
yang muncul pada ke-4 partisipan ini juga, merupakan
ungkapan adanya kedekatan fisik ataupun emosional antara
wanita primipara dengan anaknya sejak lahir sampai saat ini
(Brazelton {1978} dalam Bobak {2005}).
85
Asumsi peneliti mengenai naluri (instink) seorang ibu
dalam diri wanita primipara juga didukung dengan hasil
observasi langsung saat wawancara, dimana ketika anak
menangis wanita primipara langsung memberikan tindakan
nyata seperti menenangkan, menimang, memeluk anaknya
dan meminta izin untuk berhenti sejenak dari proses
wawancara.
Terkait dengan attachment dan bonding, Perry (2001)
dalam jurnalnya menjelaskan bahwa kedekatan (bonding)
diartikan sebagai koneksi atau hubungan antara anak
dengan ibunyayaitu ikatan khusus yang mendasar dari ibu
dan anak. Dalam bonding juga terdapat beberapa element
kunci yaitu kelekatan yang merupakan hubungan emosional
yang bertahan lama dan akan diberikan pada orang yang
spesifik, dalam hal ini anak, serta hubungan yang terjalin
membawa keselamatan, kenyamanan dan menyenangkan
antara ibu dan anak. Sedangkan menurut Mercer (1982)
mencatat bahwa ikatan dipermudah oleh adanya umpan
balik atau respon yang positif baik secara verbal maupun
sosial dimana hal ini menunjukkan adanya penerimaan satu
sama lain.
86
Selain perilaku penerimaan yang muncul pada ke-4
wanita primipara ini, terdapat dua diantaranya juga
merasakan adanya perilaku penolakan diminggu-minggu
pertama kehadiran anaknya, karena mereka merasa belum
bisa menerima keadaan yang ada. Pernyataan munculnya
perilaku penolakan pada dua wanita primipara ini didukung
oleh Christina (2012) yang mengatakan pada masa-masa
awal kehadiran anak ditengah kehidupan keluarga orangtua
terkhususnya, seorang ibu akan mengalami suatu keadaan
dimana ia belum bisa menerima kehadiran anaknya
dikarenakan ia belum siap untuk menghadapi keadaan baru
dengan tugas dan tanggung jawab yang harus dia lakukan
sehingga, muncullah perilaku penolakan (rejection) yaitu
orangtua bersikap masa bodoh, bersikap kaku dan kurang
peduli dengan anak.
Selain mengungkapkan pengasuhan sebagai bentuk
naluri dan merupakan pekerjaan yang sulit, partisipan juga
mengungkapkan bahwa dalam mengasuh dibutuhkan
keahlian dan keuletan. Peneliti setuju akan pernyataan
partisipan ini, karena dalam pengasuhan, wanita primipara
mengalami proses pembelajaran (nurture) yaitu bagaimana
cara wanita primipara menafsirkan tangisan, rewelnya anak,
87
sentuhan serta kontak mata menjadi alat komunikasi
diantara mereka. Pernyataan ini didukung dengan teori
komunikasi ibu-anak yang dikemukakan oleh Bobak (2005)
bahwa sentuhan atau indera peraba dipakai oleh ibu
sebagai sarana dalam mengenali bayinya, karena dalam
sentuhan ibu terhadap anaknya dapat mempengaruhi pola
tidur serta pola makan pada bayi.
Komunikasi ibu dan anak juga didukung oleh Bowlby
(1958) yang mengatakan bahwa bayi menunjukkan perilaku
penanda (signaling behavior) seperti menangis, tersenyum
dan mengeluarkan suara yang menginisiasikan kontak dan
membuat ibu mendekati anaknya. Hal lain terkait sentuhan
dikemukakan oleh Brooks (2011) bahwa anak yang sering
digendong atau berada dalam pelukkan orangtuanya
cendrung lebih tenang dibandingkan anak yang kurang
berada didalam pelukkan orangtuanya akan lebih rewel.
Selain sentuhan, kontak mata juga lebih sering dipakai
orangtua untuk saling menatap dan mengenali satu sama
lain (Bobak, 2005) hal ini juga didukung dengan data
observasi saat wawancara berlangsung dimana keseluruhan
wanita primipara menggendong anaknya selama
88
wawancara berlangsung dan sesekali wanita primipara
mengajak anaknya untuk berbicara.
Dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa proses
pengasuhan dikatakan menjadi pekerjaan yang sulit,
membutuhkan keahlian, keuletan dan adanya naluri seorang
ibu didalamnya karena dalam pengasuhan, ibu bukan hanya
memenuhi kebutuhan anak namun dalam pengasuhan juga
dituntut adanya ikatan, ketanggapan berespon dari seorang
ibu, serta komunikasi antar ibu dan anak yang menjadikan
pengasuhan membutuhkan suatu keahlian dan keuletan dari
seorang ibu. Hal ini juga didukung oleh Wibowo (2011) yang
mengatakan bahwa kepekaan dan ketanggapan
pengasuhan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan
perkembangan anak dikarenakan kemampuan ibu untuk
menjalin hubungan emosional dengan anak serta dapat
membaca isyarat anak merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam pencapaian perkembangan anak yang
optimal.
3. Pencapaian Pengasuhan Ideal Dipengaruhi Oleh Faktor-
Faktor Tertentu
Dari hasil analisa yang dilakukan peneliti terungkap
bahwa dalam mencapai suatu pengasuhan yang ideal pada
89
wanita primipara ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Hal ini dilengkapi dengan ungkapan
partisipan yang menyatakan bahwa faktor pengalaman,
kesehatan ibu, anak itu sendiri serta sumber dan bentuk
dukungan yang diberikan kepada wanita primipara, menjadi
faktor pendukung yang cukup besar dalam mencapai
pengasuhan yang ideal.
Peneliti setuju dengan ungkapan yang disampaikan
ke 4 partisipan bahwa kesehatan menjadi salah satu faktor
pendukung pencapaian pengasuhan yang ideal, karena
menurut partisipan ketika ibu mengalami gangguan pada
kesehatannya maka anak juga akan mengalami hal yang
sama, karena seorang anak senantiasa berada disekitar
ibunya dan menyusu pada ibunya sehingga hal ini akan
menularkan kepada anaknya.Hal ini didukung dengan
penjelasan yang dikemukakan oleh Berns (1997) yang
mengatakan bahwa kesehatan fisik ibu sangat
mempengaruhi kesehatan anak karena dalam praktek
pengasuhan, ibu senantiasa berinteraksi dengan anak dan
memberikan ASI kepada anaknya.
Selain kesehatan ibu, menurut Manurung (1995)
dalam Agustiawati (2014) mengatakan bahwa latar belakang
90
pola pengasuhan orangtua dalam memberikan pengasuhan
pada anaknya didapat atau belajar dari metode pengasuhan
yang pernah diperoleh dari orangtua mereka sebelumnya,
Barlow (1997) dan Curtner (2014) juga menambahkan dari
penelitian mereka bahwa pola pengasuhan seorang wanita
diperoleh dan dipengaruhi oleh gaya pengasuhan
orangtuanya. Namun dalam kenyataannya ada beberapa
pengasuhan orangtua terdahulu yang tidak serta merta di
pakai semuanya oleh wanita primipara, seperti memberikan
MPASI pada anak sebelum usia 6 bulan serta memakaikan
gurita pada anak, karena menurut mereka hal tersebut akan
berdampak tidak baik bagi anak.
Sumber dan bentuk dukungan yang diperoleh wanita
primipara dalam pengasuhan sangat membantu wanita
primipara, hal ini dijelaskan oleh Brooks (2011) bahwa
beragam dukungan dapat membantu wanita primipara
dalam menyesuaikan diri dengan pengasuhan seperti
dukungan dari suami (mengganti popok, menggantikan baju)
keluarga, orangtua dan kerabat. Selain itu sumber dukungan
informal seperti informasi baik dari media massa, media
cetak maupun tenaga kesehatan dan forum-forum maternal
lainnya sangat membantu dalam memberikan informasi
91
terkait pengasuhan pada wanita primipara. Hal ini didukung
dari pernyataan partisipan bahwa mereka senantiasa
mencari informasi dari bidan, dokter, internet, artikel dan
adapula partisipan yang mengikuti kegiatan seperti senam
hamil serta forum ibu hamil untuk mendapatkan informasi
seputar pengasuhan.
Anak menjadi faktor pendukung pencapaian
pengasuhan karena menurut wanita primipara anak adalah
karunia dari Tuhan, buah hati hasil dari cinta suami dan istri
yang menjadi pelengkap dalam kehidupan mereka.
Pernyataan partisipan tersebut dapat dikaitkan dengan
Penelitian yang dilakukan Wulandari (2009) bahwa anak
memiliki nilai yang sangat penting dalam kehidupan suatu
keluarga dimana anak merupakan tempat orangtua dapat
mencurahkan kasih sayangnya. Namun anak menjadi
pengaruh dalam proses pengasuhan, dimana jumlah anak
yang banyak dalam keluarga membuat orangtua cenderung
tidak menerapkan pola pengasuhan yang maksimal karena
perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu
dengan anak yang lainnya (Hurlock, 1997).
Dari penjelasaan diatas peneliti dapat menyimpulkan
bahwa pengalaman, kesehatan ibu, sumber dan bentuk
92
dukungan yang diberikan serta anak itu sendiri menjadi
faktor penting bagi wanita primipara dalam mencapai
pengasuhan yang ideal. Simpulan yang peneliti buat
didukung oleh Supartini (2004) yang menyatakan bahwa
rentang usia tertentu (20-35 tahun) adalah baik untuk
menjalankan peran pengasuhan. Apabila usia ibu terlalu
muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran
tersebut secara optimal, karena diperlukan kekuatan fisik
dan psikologis. Selain mempengaruhi aspek fisik, umur
ibu juga mempengaruhi aspek psikologi ibu, ibu usia muda
sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu dalam arti
keterampilan mengasuh anaknya. Ibu muda ini lebih
menonjolkan sifat keremajaannya daripada sifat
keibuannya (Soekanto, 2004).
Namun peneliti kurang sependapat dengan
pernyataan salah satu partisipan yang mengatakan bahwa
pedidikan seorang ibu tidak terlalu berperan dalam faktor
pencapaian pengasuhan ideal ibu, karena dengan tidak
adanya pendidikan mereka masih bisa mengasuh dengan
ajaran pengasuhan ibu sebelumnya. Pernyataan tidak
setujunya peneliti di dukung oleh Manurung (1995) dalam
Agustiawati (2014) bahwa pendidikan yang dimiliki orang tua
93
memberikan pengaruh pada pola pengasuhan yang
diberikan kepada anak dimana semakin baik tingkat
pendidikan orangtua semakin baik pula pola pengasuhan
yang diberikan kepada anaknya. Selain itu, pendidikan
orangtua yang tinggi dalam praktek pengasuhan terlihat
lebih sering membaca ataupun mengikuti perkembangan
pengetahuan mengenai anak (Hurlock, 1997).
Selain itu peneliti berasumsi bahwa pasangan
merupakan salah satu faktor tercapainya pencapaian
pengasuhan yang ideal dimana hal ini juga didukung oleh
beberapa partisipan yang menggungkapkan bahwa
pengasuhan yang dilakukan oleh mereka merupakan hasil
dukungan suami. Hal ini didukung olehSnarey (1993) yang
mengatakan bahwa ayah yang terlibat dalam pengasuhan,
akan memberikan pengaruh terhadap kebahagiaan
perkawinan, kestabilan dalam perkawinan dan
memunculkan perasaan bahagia walaupun perkawinan
tersebut telah dijalani hingga dua puluh tahun.
Dari ke-2 tema terkait pola pengasuhan dapat
disimpulkan bahwa, pola pengasuhan yang dilakukan oleh
ke-4 wanita primipara ini, membuat suatu bentuk rangkaian
cara atau usaha yang dilakukan wanita primipara untuk
94
mencapai pengasuhan ideal dan mencapai tugas
pengasuhan yang bersifat responssiveness, dimana wanita
primipara sudah dengan baik menerima kehadiran anaknya
serta mau mengalami perubahan-perubahan dalam
hidupanya demi untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Simpulan ini didukung oleh Indira (2008) bahwa pola
pengasuhan yang efektif dan ideal merupakan pengasuhan
yang berjalan dinamis dan bukan statis, ayah dan ibu harus
kompak serta berkompromi dalam memberikan
pengasuhan, pola pengasuhan harus disertai nilai positif
yang dimiliki orangtua dan adanya komunikasi efektif antara
suami-istri dan anak.
4. Terjadinya Re-Evaluasi Diri dan Resiliensi Menjadi Orangtua
Pada Wanita Primipara Saat Beradapatasi Dengan Proses
Pengasuhan
Dari hasil analisa, peneliti menemukan bahwa dalam
proses pengasuhan, wanita primipara lebih memprioritaskan
kebutuhan anak dibandingkan dengan kebutuhan pribadinya
sendiri. Pernyataan ini didukung dengan salah satu
pernyataan wanita primipara saat wawancara berlangsung
bahwa ia ingin membeli baju untuk dirinya sendiri namun
diredam karena kebutuhan pampers anaknya, lebih penting
dari bajunya. Selain itu dari hasil observasi saat wawancara
95
berlangsung salah satu wanita primipara yang akan makan
siang terhenti sejenak untuk makan, karena anaknya
menangis dan harus ditenangkan.
Sehingga menurut peneliti tindakan yang diambil
oleh wanita primipara sangatlah baik dimana ia
memprioritaskan kebutuhan anaknya terlebih dahulu
daripada kebutuhannya. Hal ini didukung oleh Lupton dan
Fenwick (2001) yang mengatakan bahwa seorang ibu yang
baik diharapkan mampu untuk mendahulukan pemenuhan
kebutuhan bayinya daripada kebutuhan dirinya sendiri dan
seorang ibu yang baik harus rela kehilangan waktunya untuk
tidur demi memenuhi kepentingan bayinya.
Selain tindakan wanita primipara dalam
memprioritaskan kebutuhan anaknya, dalam pengasuhan
wanita primipara juga mengalami kesulitan dalam proses
adaptasinya dihari-hari pertama kehadiran anaknya. Hal ini
dilengkapi dengan pernyataan beberapa partisipan yang
mengatakan ketika anaknya menangis dan mereka
berusaha untuk menenangkan, terkadang anak tidak mau
diam ini lah yang membuat mereka merasa frustasi dan
kemudian mereka meminta bantuan dari orangtuanya untuk
mengatasi anak yang menangis dan rewel tersebut.
96
Barclay dan Lloyd (1996) menjelaskan bahwa
terjadinya masa transisi dalam kehidupan seorang ibu yang
menuntut wanita mengalami sejumlah perubahan baik fisik,
psikologis dan emosional, sebagian masa transisi yang
dialami oleh seorang ibu merupakan masa yang sulit.
Kesulitan yang timbul diakibatkan oleh banyaknya peran
baru yang harus dihadapi dan wanita primipara harus
mampu untuk beradaptasi dalam menjalankan perannya,
konflik-konflik tersebut dapat muncul ketika mereka tidak
dapat memenuhi harapannya sebagai seorang ibu yang baik
(Mauthner, 1999).
Melihat dari kejadian ini peneliti berasumsi bahwa
dalam proses pengasuhan dan proses adaptasi yang
berlangsung, wanita primipara terus mengalami proses
belajar dan re-evalusi diri karena pada adaptasi awal wanita
primipara merasa tidak mampu untuk menghadapinya
namun setelah proses pengasuhan berlangsung saat ini
mereka mampu untuk mengatasi kesulitan yang timbul
dalam pengasuhan.
Kemampuan adaptasi wanita primipara tersebut
ditandai dengan wanita primipara dapat memandikan
anaknya sendiri dimana awalnya meraka belum dapat
97
memandikan anaknya sendiri dan masih meminta
pertolongan pada orangtua bahkan pada bidan setempat.
Menurut Watson (1913) mengatakan bahwa sifat dasar
manusia menitik beratkan pada proses pembelajaran dan
pengalaman, dimana proses pembelajaran dipengaruhi oleh
lingkungan bahkan pengalaman yang diterima oleh wanita
primipara dalam melihat cara beradaptasi orangtua dimasa
lalu dalam pengasuhannya. Hal ini juga didukung oleh
Barlow (1997) yang mengatakan bahwa menjadi seorang
ibu dalam proses pengasuhan, menuntut mereka untuk
mengalami re-evalusi diri secara berkesinambungan agar
mereka dapat melihat, dapat menyesuaikan diri, serta dapat
memperbaiki pengasuhan yang belum baik di masa awal
adaptasinya.
Selain mengalami kesulitan dalam pengasuhannya,
wanita primipara juga mengalami adaptasi maternal setelah
kehadiran anaknya. Secara keseluruhan empat wanita
primipara ini mengalami adaptasi maternal, ketergantungan
dengan orang lain setelah melahirkan, mengalami stres
serta munculnya inisiatif untuk mulai mengasuh anaknya.
Hal ini didukung oleh teori adaptasi maternal yang
dikemukakan oleh Bobak (2005) yang mengatakan bahwa
98
selama 1-2 hari pertama setelah melahirkan ketergantungan
ibu menonjol dan ingin diperhatikan oleh orang lain (Taking
In), setelah itu selama beberapa jam atau pada hari ke-2
dan ke-3 munculnya keinginan wanita primipara untuk dapat
mengasuh anaknya secara mandiri (Taking Hold) dan
wanita primipara akan memunculkan perilaku untuk
bergerak maju dan saling berinteraksi dengan keluarga
mengenai pengasuhan, namun pada fase ini tak sedikit
wanita primipara merasakan stres dalam dirinya.
Dalam analisa penelitian ini, terdapat 3 partisipan
yang tidak mengalami adaptasi maternal yang begitu jelas
karena ada salah satu dari fase tersebut, tidak dialami
partisipan misalnya tidak mengalami fase dependen,
sedangkan satu diantaranya mengalami adaptasi maternal
cukup jelas karena 3 fase adaptasi maternal dialaminya.
Sehingga dapat peneliti simpulkan bahwa 3 partisipan
mengalami adaptasi psikologis yang tidak terlalu buruk
sedangkan 1 diantaranya mengalami adaptasi maternal
yang buruk.
Peneliti dapat membuat kesimpluan ini karena
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wulan (2014)
yang menyatakan bahwa adaptasi psikologis ibu yang buruk
99
memungkin ibu mengalami depresi postpartum (pasca
melahirkan) dan apabila berlangsung secara terus-menerus
dapat menimbulkan sikap negatif terhadap proses
perawatan bayinya, wanita primipara yang mengalami
depresi postpartum cendrung mengalami perasaan sedih
dan peningkatan emosi atau merasa tertekan, lebih sensitif,
merasa bersalah, lelah, cemas dan merasa tidak mampu
untuk merawat dirinya sendiri maupun bayinya.
Dari pernyataan di atas dapat peneliti simpulkan
bahwa, wanita primipara mengalami adaptasi dalam proses
pengasuhannya, dimana dimasa awal kehadiran anaknya
ada kesulitan yang wanita primipara alami. Namun seiring
berjalannya waktu wanita primipara mampu untuk
berdaptasi dengan tugas, peran dan tanggung jawabnya
menjadi seorang ibu dalam mengasuh anaknya. Hal ini
memiliki keterkaitan dengan teori adaptasi yang
dikemukakan oleh Ardhiyanti (2014) bahwa adaptasi
merupakan penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya, dimana aspek fisiologis dan psikologis
mengalami perubahan dalam memberikan respon terhadap
stres yang ada.
100
Menurut Stuart (2013) dikatakan seseorang
mengalami adaptasi adaptif bila orang tersebut mampu
menyelesaikan masalahnya secara efektif, mampu
berinteraksi dengan baik serta mencapai tujuan yang
diinginkan. Dalam hal ini adaptasi wanita primipara
merupakan adaptasi adaptif karena disaat wanita primipara
mengalami kesulitan mereka mampu untuk berinteraksi
dengan orang lain seperti suami, ibu mertua maupun ibu
kandung untuk meminta bantuan, kemudian dapat
menyelesaikan masalah merawat anak dengan baik
misalnya kesulitan untuk bangun ketika anak menangis
ditengah malam, wanita primipara sudah mampu
beradaptasi dengan tuntutan bangun ditengah malam, serta
telah mencapai tujuan pengasuhan, salah satunya yaitu
wanita primipara dapat mendampingi serta memenuhi
kebutuhan ASI pada anak sesuai dengan apa yang mereka
inginkan walaupun ada beberapa kebutuhan yang belum
dapat terpenuhi karena terbatasnya ekonomi wanita
primipara.
Ketika wanita primipara sudah mampu beradaptasi
dengan baik, muncul ungkapan yang dikemukakan oleh 2
wanita primipara, bahwa saat ini pekerjaan mengasuh anak
101
berubah menjadi hal yang membosankan dan menjadi
rutinitas karena tiap harinya mereka melakukan hal yang
sama. Dari hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
wanita primipara pada awalnya mengalami masa adaptasi
awal karena harus beradaptasi dengan tugas dan peran
barunya sebagai ibu, kemudian wanita primipara mampu
untuk beradaptasi dengan kegiatan pengasuhannya namun
saat wanita primipara sudah mampu beradaptasi dengan
baik, wanita primipara kemudian merasakan adanya
kebosanan karena pengasuhan bukan lagi menjadi suatu
kegiatan yang menantang namun sudah menjadi rutinitas
yang harus dilakukan seorang ibu tiap harinya.
Kesimpulan peneliti ini didukung oleh teori yang
dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) yang
menjelaskan bahwa resiliensi sebagai kemampuan untuk
mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat
atau masalah yang terjadi dalam kehidupannya, serta
mampu bertahan dalam keadaan tertekan atau merupakan
daya lenting (kemampuan untuk kembali ke keadaan
semula) (Poerwadarminta, 1993)
102
5. Wanita Primipara Menyadari Adanya Tekanan Dalam
Pengasuhan
Dari analisa peneliti sebelumnya sudah dijelaskan
bahwa, ada ungkapan wanita primipara yang mengatakan
bahwa mereka mengalami stres pengasuhan karena harus
menghadapi anak yang rewel dan wanita primipara yang
mengantuk karena harus terbangun tengah malam untuk
menyusui ataupun perubahan lain yang dialami. Menurut
peneliti hal ini merupakan hal yang wajar terjadi pada wanita
primipara, karena kehidupan wanita biasa merupakan
kehidupan tanpa sebuah tanggungan mengurus orang lain
dan kemudian sekarang mereka mengalami perubahan
menjadi seorang ibu, sehingga membuat timbulnya rasa
stres yang muncul dari internal ibu, anak maupun
lingkungan sekitar.
Pernyataan peneliti ini didukung oleh Deater-
Deckard (2004) dalam Lestari (2012) yang mengatakan
stres pengasuhan merupakan serangkaian proses yang
membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan
muncul dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran
sebagai orangtua. Faktor-faktor yang dapat mendorong
timbulnya stres pengasuhan bisa berasal dari individu
103
(wanita primipara), keluarga, lingkungan maupuan anak itu
sendiri.
Selain mengalami stres pengasuhan 2 wanita
primipara juga mengalami baby blues sertasalah satu wanita
primipara menunjukkan tanda bahwa ia tidak mengalami
baby blues namun, lebih mengarah pada tanda-tandastres
pengasuhan, dimana salah satu partisipan merasakan
kepenatan, perubahan emosional dan lebih sensitif selama
1 hari dalam proses pengasuhannya dan 1 diantara tidak
mengalami baby blues sama sekali. 2 partisipan yang
mengalami baby blues mengatakan bahwa mereka memiliki
rasa sensitif selama 7-10 hari dan mudah marah baik
kepada suami maupun kepada orangtua mereka.
Sedangkan 1 partisipan mengungkapkan tidak mengalami
baby blues karena memang ia tidak merasakannya, dia
merasakan sensitif dan mudah tersinggung hanya pada
masa kehamilannya. Menurut Christiana (2012) 70% ibu
yang baru selesai melahirkan akan mengalami naik
turunnya emosi dengan gejala cemas dan menangis tanpa
sebab, tidak sabar, sensitif, mudah tersinggung dan tidak
percaya diri.
104
Dua wanita primipara ini mengalami baby blues
karena adanya perubahan hormon, kelelahan, kurangnya
pengalaman dan kurang percaya diripada 2 wanita
primipara ini dalam mengasuh anaknya. Hal ini juga
diperkuat dengan pernyataan Straight (2004) yang
mengatakan perubahan fisiologis yang cukup dratis setelah
persalinan akan mempengaruhi psikologis khususnya pada
ibu baru. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wijayanti (2013) memperlihatkan bahwa angka kejadian
postnatal blues pada wanita primipara 17,4% lebih tinggi
dibandingkan wanita multipara (wanita yang telah
melahirkan lebih dari satu kali), karena wanita multipara
sudah pernah melahirkan sebelumnya dan berpengalaman
dalam merawat anak dibandingkan dengan wanita primipara
(Machmudah, 2010).
Dapat peneliti disimpulkan bahwa secara
keseluruhan wanita primipara mengalami stres dalam
pengasuhannya, namun tidak semua wanita primipara
mengalami baby blues dalam dirinya usai melahirkan dan
selama proses pengasuhan berlangsung.
105
Dari dua tema terkait adaptasi pengasuhan dapat
disimpulkan bahwa dalam pengasuhan, wanita primipara
mengalami tahapan-tahapan adaptasi pengasuhan yakni :
Proses melihat menghadapi kesulitan mencoba
memberikan pengasuhan mandiri mengalami adaptasi
awal meminta bantuan mengalami stres pengasuhan
mengalami proses pembelajaran dan re-evaluasi diri mampu
beradaptasi (adaptif) pengasuhan menjadi pekerjaan yang
membosankan dan hanya menjadi rutinitas dalam
kesehariannya. Sehingga dari hal ini menunjukkan bahwa,
wanita primipara dalam pengasuhannya memiliki daya
kelentingan serta proses pengasuhan senantiasa berjalan
secara dinamis dan bukan statis.
Terlepas dari ke 5 tema yang peneliti bahas dalam
hasil penelitian ini, peneliti menemukan sebuah hal baru
melalui observasi peneliti bahwa semua wanita primipara
yang menjadi partisipan dalam penelitian ini, tinggal
bersama dengan mertua mereka, sehingga peneliti memiliki
asumsi tersendiri bahwa dalam proses pengasuhan, mertua
dari wanita primipara dapat mempengaruhi pola
pengasuhan maupun ada hal lain yang mungkin terjadi
seperti konflik kecil karena kesalahpahaman atau hal
106
lainnya. Asumsi ini bisa peneliti kemukakan karena terdapat
teori dan penelitian yang terkait dengan topik ini yaitu
Hurlock (1999) menyatakan bahwa adanya stereotip yang
tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut dalam hal
ini mertua seperti cenderung ikut campur tangan dan
menimbulkan masalah bagi keluarga pasangan (pasangan
suami istri).
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Andriyani
(2015) menjelaskan bahwa, permasalahan dalam keluarga
tidak hanya terjadi pada hal yang ditimbulkan dari
dalam keluarga inti.Akan tetapi, masalah keluarga juga
dipengaruhi oleh pihak ketiga yang berperan dalam
kehidupan rumah tangga, pihak ketiga sebenarnya
terkadang berasal dari orang yang sangat dekat dengan
pasangan hidup, yaitu orang tua dari masing-masing
pasangan hidup, dalam hal ini biasa disebut mertua.
(Fatchiah, 2009)
4.5 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan
didalamnya, seperti jumlah partisipan yang sesuai dengan
kriteria peneliti sangat terbatas dimana dari target partisipan
yang peneliti buat yaitu sebanyak 5 partisipan diantaranya 1
107
partisipan di Dsn. Plalar Kulon berubah menjadi 2 partisipan,
sedangkan 2 partisipan di Dsn.Sleker tidak ada karena 1
orang menolak dan yang 1 orang lagi tidak sesuai dengan
karakteristik peneliti, kemudian 2 partisipan berada di
Dsn.Kopeng Krajaan, sehingga total partisipan penelitian ini,
hanya berjumlah 4 partisipan, 2 berada di Dsn.Plalar Kulon
dan 2 partisipan lainnya berada di Dsn.Kopeng Krajan
sedangkan yang berada di Dsn.Sleker tidak menjadi
partisipan dan tempat dalam penelitian ini.
Selain itu, kebanyakan wanita di Dsn.Sleker sudah
memiliki anak lebih dari satu dan anak yang ada di dusun
tersebut umurnya sudah diatas 6 bulan, selain itu ada juga
para wanita primipara yang tidak bersedia untuk menjadi
partisipan dalam penelitian ini. Bukan hanya jumlah
partisipan yang menjadi hambatan dalam penelitian ini,
namun refrensi mengenai adaptasi wanita primipara dalam
pengasuhan juga cukup sulit untuk diperoleh peneliti,
sehingga dalam penelitian ini hanya ada adaptasi maternal
ibu dan adaptasi secara umum saja yang peneliti paparkan
dalam tinjauan pustaka.
Komunikasi antara peneliti dengan partisipan saat
penelitian dan wawancara berlangsung juga menjadi
108
kendala dalam penelitian ini, terkadang beberapa
pertanyaan peneliti memiliki jawaban yang berbeda dari apa
yang peneliti targetkan dengan apa yang wanita primipara
sampaikan, sehingga peneliti berusaha untuk mencari
bahasa atau cara lain agar partisipan mengerti maksud dari
pertanyaan tersebut dan menjawab sesuai dengan jawaban
yang ditargetkan peneliti, selain itu juga ada salah satu
peneliti yang volume suaranya kecil sehingga terkadang
jawabannya tidak terdengar dengan jelas.
Dalam penelitian ini juga terdapat keterbatasan lain
yaitu peneliti tidak menggunakan teknik observasi, karena
proses pengasuhan tidak dapat diamati hanya 1 atau 2
minggu saja, dalam hal ini perlu membutuhkan waktu yang
lama untuk melakukan observasi proses pengasuhan sekitar
1 bulan per partisipan sehingga nantinya apabila ada
penelitian yang serupa dengan penelitian ini, peneliti
tersebut bisa menambahkan teknik observasi didalamnya
untuk dapat melihat dan dapat menginterpasikan proses
tersebut dalam bentuk grafik atau lainnya.
4.6 Keunikan Partisipan Penelitian
Dalam penelitian ini menurut peneliti, masing-
masing partisipannya memiliki keunikan tersendiri, misalnya
109
P1 merupakan orang yang cukup pendiam sehingga dalam
proses penelitian menggunakan teknik wawancara, peneliti
harus bisa menggali informasi lebih mendalam dan lebih kiat
lagi. P2 merupakan orang yang sangat aktif dalam
menceritakan pengalamannya sehingga terkadang
partisipan ini, menceritakan hal-hal yang terlalu banyak dan
seringkali sudah terlalu jauh keluar dari pembicaraan dalam
wawancara, sehingga hal ini juga membuat peneliti harus
dengan cepat mengalihkan pembicaraan apabila partisipan
sudah berbicara diluar konteks pertanyaan.
P3 merupakan orang yang hampir sama dengan P2
namun disisi lain jawaban yang diberikan partisipan
berubah-ubah sehingga peneliti harus memastikan
berulang-ulang untuk meyakinkan jawaban dari partisipan
sudah tidak berulang lagi. P4 merupakan orang yang sangat
kalem dan lemah-lembut dalam menjawab pertanyaan dari
peneliti sehingga, terkadang suara partisipan terlalu kecil
dan hal ini membuat peneliti harus menyampaikan kepada
P4 untuk memperbesar suaranya agar jawaban yang
disampaikan partisipan dapat terdengar dengan jelas.