31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui presentase medication error
dalam proses prescribing, transcribing dan dispensing resep racikan di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur.
Menurut WHO (2017), medication error dapat terjadi diberbagai
pelayanan kesehatan terutama di pelayanan kesehatan primer dan studi
medication error di pelayanan kesehatan primer masih jarang dilakukan.
WHO (2017) juga menyatakan bahwa pelayanan kesehatan primer merupakan
pelayanan kesehatan yang paling dekat dan mudah di akses oleh masyarakat.
Selain itu, di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini, pelayanan kesehatan
primer khususnya Puskesmas menerima program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) tersebut. Sehingga Puskesmas mampu melayani puluhan bahkan
ratusan pasien setiap harinya. Hal tersebut mengakibatkan tingginya tekanan
pekerjaan pada tenaga kesehatan di Puskesmas. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 74 tahun 2016, tentang Standar
Kefarmasian di Puskesmas, rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di
Puskesmas bila memungkinkan diupayakan 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima
puluh) pasien perhari. Sedangkan di Puskesmas Kabupaten Banyumas
Wilayah Timur, satu orang Apoteker bekerja untuk melayani ratusan pasien
perhari. Adanya hal tersebut dapat menimbulkan adanya faktor kelelahan dan
mengakibatkan kinerja apoteker yang kurang optimal sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya kelalaian dalam melakukan praktik kefarmasian.
Tingginya tekanan kerja merupakan salah satu faktor terjadinya medication
error. (WHO, 2017). Pada beberapa Puskesmas di Kabupaten Banyumas
Wilayah Timur juga masih melibatkan tenaga non kesehatan untuk membantu
apoteker dalam peracikan dan penyerahan obat. Padahal, menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, tidak semua orang
yang dapat membaca resep, menghitung dan mengambil obat dapat
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
32
memberikan obat. Hal ini dapat berbahaya dan menyebabkan penggunaan obat
yang tidak rasional (Kemenkes, 2011).
Dwiprahasto (2006) juga menyatakan bahwa medication error sangat
berpotensi terjadi di Puskesmas karena umumnya di Puskesmas tidak hanya
melibatkan dokter tetapi juga melibatkan perawat, bidan dan petugas obat
yang sebagian besar tidak memiliki kompetensi memadai dalam
penatalaksanaan pasien khususnya dalam peresepan obat. (Dwiprahasto,
2006).
Penelitian ini dilaksanakan pada pada bulan Agustus 2017 hingga Januari
2018. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Agustus 2017 hingga Oktober
2017 kemudian mengurus surat izin penelitian dan melakukan validasi daftar
tilik pada bulan November 2017. Selanjutnya melaksanakan penelitian pada
bulan November 2017 hingga Januari 2018.
1. Validasi Daftar Tilik
Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah pernyataan pada
daftar tilik dapat menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Validasi daftar
tilik dilakukan menggunakan uji validasi isi (content validity) yang menguji
kesesuaian antara pertanyaan dengan hal yang akan di ukur umumnya
dilakukan oleh seorang ahli (expert) di bidang tersebut yaitu dengan meminta
pendapat 4 orang ahli yaitu Apoteker Puskesmas 1 Purwokerto Utara,
Apoteker Puskesmas 1 Sokaraja, beserta Dosen Pembimbing I yaitu Ibu Indri
Hapsari, M.Si., Apt dan Dosen Pembimbing 2 yaitu Ibu Erza Genatrika,
M.Sc., Apt. Para ahli tersebut kemudian dimintai pendapatnya tentang
parameter pada masing-masing proses yang telah disusun. Adapun hasil uji
validasi daftar tilik yang telah dilakukan terdapat dalam lampiran 9.
Validasi yang pertama dilaksanakan pada tanggal 11 November 2017
bersama Apoteker Puskesmas 1 Purwokerto Utara. Menurut ahli,
pencantuman nomor SIP dokter dirasa tidak perlu di masukan dalam
parameter pada proses prescribing, karena resep yang ada di Puskesmas
bersifat internal, artinya Instalasi Farmasi di Puskesmas tidak menerima resep
dari luar lingkup Puskesmas dan hanya melayani permintaan obat dari dokter
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
33
atau petugas kesehatan lainnya yang terdaftar secara legal di Puskesmas
tersebut selain itu menurut ahli pada proses prescribing juga tidak perlu
adanya nama kepala keluarga/nama orang tua pasien bagi pasien anak-anak.
sebagai parameter medication error pada proses prescribing, karena biasanya
yang tertulis dalam resep adalah nama pasien baik pasien dewasa maupun
anak. Nama kepala keluarga dirasa tidak akan berpengaruh besar terhadap
proses prescribing. Tulisan resep tidak terbaca juga disarankan oleh ahli untuk
tidak dimasukan sebagai parameter prescribing karena parameter tersebut
sudah mencakup semua tulisan yang ada pada resep. Ahli juga menyarankan
untuk tidak memasukan penyampaian edukasi dan informasi terkait
pengobatan dari apoteker kepada pasien sebagai salah satu parameter pada
proses dispensing karena menurut ahli, sudah ada tenaga kesehatan lainnya
yang lebih berhak untuk memberikan edukasi dan informasi terkait terapi
pengobatan seperti ahli gizi atau dokter, sehingga di khawatirkan informasi
yang diberikan oleh apoteker akan tumpang tindih dengan tenaga kesehatan
lainnya.
Validasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 13 November 2017 oleh
Dosen Pembimbing 1 yaitu Ibu Indri Hapsari, M.Si., Apt. Pada proses
prescribing ahli menyarankan untuk menghapus parameter tulisan resep tidak
terbaca karena dirasa tumpang tindih dengan parameter lainnya dalam proses
prescribing seperti nama obat tidak jelas/nama pasien tidak jelas dan lain
sebagainya. Ahli juga menyarankan untuk menghapus parameter tidak
terdapat nama kepala keluarga dalam parameter prescribing serta menghapus
tidak terdapat SIP dokter sebagai parameter pada proses prescribing karena
SIP dokter hanya dimiliki oleh dokter, sedangkan yang menuliskan resep di
Puskesmas bukan hanya dokter, tetapi ada tenaga kesehatan lainnya juga
seperti perawat atau bidan.
Validasi yang ketiga dilaksanakan pada tanggal 16 November 2017 oleh
Dosen Pembimbing 2 yaitu Ibu Erza Genatrika, M.Sc., Apt. Menurut ahli,
pencantuman nama kepala kelurga juga dirasa tidak perlu dijadikan sebagai
salah satu parameter medication error pada proses prescribing. Menurut ahli,
tidak ada nama kepala keluarga juga tidak perlu dijadikan sebagai salah satu
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
34
parameter medication error pada proses prescribing. Ahli juga menyarankan
untuk menghapus parameter tulisan resep tidak terbaca pada proses
prescribing dan parameter apoteker tidak menyampaikan edukasi dan
informasi terkait pengobatan pada proses dispensing.
Validasi yang keempat dilaksanakan pada tanggal 18 November 2017 oleh
Apoteker Puskesmas 1 Sokaraja. Ahli menyarankan untuk menghapus
parameter tidak ada SIP dokter dan menghapus nama kepala
keluarga/orangtua pasien untuk pasien anak-anak sebagai salah satu parameter
dari prescribing, ahlijuga menyarankan menghapus parameter penyampaian
informasi dan edukasi pengobatan dari apoteker kepada pasien terutama
mengenai hal-hal gizi pada proses dispensing, serta menghapuskan apoteker
tidak menyampaikan kontraindikasi obat kepada pasien pada proses
dispensing karena penyampaian kontraindikasi kepada pasien dikhawatirkan
justru akan menakut-nakuti pasien.
Parameter apoteker tidak meyampaikan kontraindikasi dan salah kekuatan
sediaan pada tahap dispensing. Peneliti memutuskan untuk tetap
menggunakan parameter apoteker tidak menyampaikan kontraindikasi sebagai
parameter medication error pada proses dispensing karena berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas tahun 2016 bahwa apoteker harus menyampaikan
kontraindikasi pada pasien rawat jalan. Peneliti juga memutuskan untuk tetap
menggunakan parameter salah kekuatan sediaan pada saat compounding
dikarenakan terdapat beberapa jenis obat yang memiliki lebih dari satu jenis
kekutan sediaan.
Setelah melakukan validasi daftar tilik, selanjutnya melakukan penelitian.
Penelitian ini dilakukan secara prospektif terhadap 100 resep racikan yang ada
di Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur dengan mengamati
parameter-parameter kejadian medication error pada proses prescribing,
transcribing dan dispensing dalam daftar tilik yang sudah di validasi.
Seluruh resep racikan yang diteliti diperoleh dari 6 Puskesmas yang
memenuhi kriteria inklusi di Kabupaten Banyumas Wilayah Timur, yaitu
Puskesmas Kalibagor, Puskesmas Banyumas, Puskesmas Somagede,
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
35
Puskesmas 2 Sumpiuh, Puskesmas 1 Tambak dan Puskesmas 2 Tambak
dengan jumlah resep racikan pada masing-masing Puskesmas yaitu Puskesmas
Kalibagor sebanyak 17 resep racikan, Puskesmas Banyumas sebanyak 13
resep racikan, Puskesmas Somagede sebanyak 21 Resep racikan, Puskesmas 2
Sumpiuh sebanyak 22 resep racikan, Puskesmas 1 Tambak sebanyak 13 resep
racikan, dan Puskesmas 2 Tambak sebanyak 14 resep racikan (Tabel 3.2).
Pengambilan data resep racikan dilakukan secara prospektif, dimulai
pada saat pasien mengantarkan resep racikan hingga pasien memperoleh obat,
termasuk segala proses penyiapan dan peracikan yang dilakukan oleh
apoteker. Pada saat pasien mengantarkan resep racikan yang ditulis oleh
penulis resep (prescriber) hingga proses peracikan dan penyerahan obat oleh
apoteker, peneliti mengamati adanya kesalahan pada proses prescribing,
transcribing dan dispensing yang menunjukan adanya medication error
berdasarkan parameter-parameter dalam lembar daftar tilik yang sudah
divalidasi.
2. Identifikasi Medication Error
a. Identifikasi Medication Error pada Proses Prescribing
Prescribing error adalah kesalahan dalam peresepan atau kesalahan
dalam penulisan resep. Pengamatan dilakukan dengan cara memeriksa
kelengkapan dan penulisan pada 100 resep racikan di seluruh Puskesmas
Kabupaten Banyumas Wilayah Timur yang memenuhi kriteria inklusi
sesuai dengan parameter-parameter yang menunjukan adanya medication
error pada proses prescribing yang ada dalam daftar tilik. Dalam
penelitian ini, terdapat 15 parameter untuk menilai adanya prescribing
error. Adapun hasil identifikasi medication error pada proses prescribing
tertera dalam grafik 4.1
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
36
0
50
100
A B C D E F G H I J K L M N O
64 68
1 2 14
25
96
4
99 99 92
3 0
73 72
Identifikasi Medication Error Pada Proses Prescribing
Angka Kejadian
Grafik 4.1 Hasil Identifikasi Medication Error pada Proses Prescribing di Puskesmas
Kabupaten Banyumas Wilayah Timur.
Keterangan
A : Tidak ada nama penulis resep
B : Tidak ada paraf penulis resep
C : Tidak ada tanggal penulis resep
D : Salah/Tidak jelas nama pasien
E : Tidak ada tanggal lahir (usia) pasien
F : Tidak ada/tidak jelas alamat pasien
G : Tidak ada berat badan pasien
H : Nama obat tidak jelas
I : Tidak ada kekuatan sediaan
J : Tidak ada/salah satuan dosis
K :Tidak ada bentuk sediaan
L : Tidak lengkap/tidak ada jumlah obat
M :Duplikasi
N : Tidak ada/salah aturan pakai
O : Tidak ada/ Tidak lengkap/salah aturan pakai
Grafik tersebut menunjukan adanya kesalahan pada masing-masing
parameter yaitu tidak ada nama penulis resep 64%, tidak ada paraf penulis
resep 68%, tidak ada tanggal penulisan resep 1%, salah/tidak jelas nama
pasien 2%, tidak ada tangal lahir (usia) pasien 14%, tidak ada/tidak jelas
alamat pasien 25%, tidak ada berat badan pasien 96%, nama obat tidak
jelas 4%, tidak ada kekuatan sediaan 99%, tidak ada/salah satuan dosis
99%, tidak ada bentuk sediaan 92%, tidak ada jumlah obat 3%, duplikasi
0%, tidak ada/salah aturan pakai 73%, dan tidak lengkap/tidak ada cara
pembuatan sediaan 72%. Berdasarkan grafik tersebut, kesalahan terbanyak
terjadi dilakukan karena penulis resep tidak mencantumkan kekuatan
sediaan dan satuan dosis, yaitu sebanyak 99%.
Terdapat 64% resep racikan yang tidak tercantum nama penulis
resep. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.74 Tahun 2016
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
37
tentang Standar Kefarmasian di Puskesmas, nama penulis resep
merupakan salah satu persyaratan administratif. Artinya, jika tidak ada
nama penulis resep, maka dapat dikatakan resep tersebut tidak memenuhi
persyaratan administrasi. Selain untuk memenuhi persyaratan
administratif, pencantuman nama prescriber dengan jelas sangat
diperlukan terutama bila terdapat hal-hal yang tidak jelas/meragukan
dalam resep yang perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada penulis resep.
Penulisan nama dokter dan tanggal penulisan resep sangat penting dalam
penulisan resep. Pentingnya penulisan nama dokter dan tanggal penulisan
resep dikarenakan ketika terjadi kesalahan pada peresepan obat, apoteker,
pengelola apotek atau farmasi dapat secara langsung menghubungi dokter
yang bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan kembali
(Oktarilina dan Wafiyatunisa, 2017).
Dalam penelitian ini, dari 100 resep racikan yang diteliti, 72% resep
di tulis oleh dokter umum, 1% ditulis oleh dokter gigi dan 27% ditulis oleh
bidan. Bidan mempunyai kewenangan pada kesehatan ibu dan anak (KIA),
melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dengan tujuan
untuk menurunkan angka kematian bayi dan balita. Karena itu, di
Puskesmas banyak ditemukan resep yang ditulis oleh tenaga kesehatan
lain selain dokter, terutama bidan. Padahal, menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Apotek,
resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kpada
apoteker naik dalam bentuk elektronik maupun paper untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Namun,
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin
dan Praktik Bidan, menyebutkan bahwa bidan memiliki kewenangan
untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Dalam
pelayanan kesehatan tersebut, bidan berhak memberikan obat-obat tertentu
yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak seperti pemberian tabet
tambah darah pada ibu hamil, dan pemberian vitamin A dosis tinggi ada
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
38
ibu nifas. Meski bidan dapat memberikan obat-obet tertentu untuk ibu dan
anak, namun tidak disebutkan bahwa bidan berhak menuliskan resep.
Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun
2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Disebutkan
hubungan hukum antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya berupa
pendelegasiaan pekerjaan. Dokter dapat mendelegasikan pekerjaan kepada
tenaga kesehatan tertentu yang memiliki kompetensi dan sesuai ruang
lingkup keterampilan mereka untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien yang
bersangkutan. Ketentuan tersebut memberikan batas tanggungjawab baik
bagi dokter maupun apoteker, apabila di dalam pelayanannya menimbulkan
kerugian pada pasien. Tanggungjawab dokter menyangkut segala sesuatu
yang tertulis dalam resep, sehingga apabila dalam resep tersebut terdapat
kekeliruan atau kesalahan dalam hal penulisan resep, maka dokter ikut
bertanggungjawab terhadap pelayanan resep yang dilakukan apoteker.
Tidak ada paraf penulis resep 68%. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016, paraf penulis resep
merupakan salah satu persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam
resep. Paraf penulis resep merupakan salah satu parameter keabsahan
suatu resep dan merupakan suatu bukti bahwa yang tertulis dalam resep
adalah benar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keahliannya. Maka,
ketika dalam suatu resep tidak terdapat paraf penulis resep, keabsahan
resep tersebut perlu di pertanyakan (Susanti, 2013). Nama penulis resep,
paraf serta tanggal penting, agar ketika skrining kemudian terjadi
kesalahan kesesuaian farmasetis meliputi bentuk sediaan, dosis , potensi,
stabilitas, inkompatibiltas, cara dan lama pemberian penulis resep bisa
dihubungi untuk pemeriksaan kembali (Ulfah Bilqis, 2015)
Pencantuman identitas penulis resep dengan lengkap dan jelas sangat
diperlukan untuk memperlancar pelayanan resep di apotek, terutama
apabila ada hal-hal yang meragukan dan membutuhkan konfirmasi lebih
lanjut kepada penulis resep. Selain itu keberadaan identitas penulis resep
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
39
juga berperan untuk menghindari penyalahgunaan resep dilingkungan
masyarakat (Triutari, 2007).
Tidak mencantumkan tanggal penulisan resep 1%. Maksud dari tidak
ada tanggal penulisan resep dalam penelitian ini adalah tidak tercantumnya
tanggal, bulan dan tahun penulisan resep racikan. Kesalahan yang
ditemukan dalam penelitian ini dikarenakan penulisan tanggal pada resep
yang hanya mencantumkan tanggal dan bulan tanpa mencantumkan tahun
pembuatan resepnya sehingga pencantuman tanggal penulisan resep
menjadi tidak jelas. Tanggal penulisan resep dicantumkan untuk keamanan
pasien dalam hal penggambilan obat. Apoteker dapat menentukan apakah
resep tersebut masih bisa dilayani di apotek atau disarankan kembali ke
dokter (Megawati dan Santoso, 2017). Tanggal penulisan resep penting
untuk dicantumkan, karena akan memberikan keterangan waktu
berlangsungnya pengobatan penderita, sehingga dapat memastikan bahwa
resep dikerjakan pada waktu yang tepat, sesuai dengan kondisi pasien saat
resep ditulis. Selain itu, tanggal tersebut nantinya akan dicatat dalam
rekaman pengobatan penderita (Triuntari, 2007). Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran Pasal 46, yang menyatakan bahwa setiap dokter wajib
membuat rekam medis yang harus segera dilengkapi setelah pasien
menerima pelayanan kesehatan, dimana rekam medis tersebut harus
mencantumkan nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan
pelayanan atau tindakan.
Terjadi kesalahan pada tidak ada/tidak jelas nama pasien sebesar 2%.
Pada 100 resep racikan yang diteliti, semua resep tersebut tercantum nama
pasien, namun terdapat 2% penulisan nama pasien yang tidak jelas.
Kesalahan atau ketidakjelasan nama pasien dapat menimbulkan kesalahan
pada proses dispensing atau penyerahan obat kepada pasien, namun
kesalahan tersebut dapat dicegah pada proses transcribing pada saat
pembacaan nama pasien oleh apoteker/tenaga peracik dengan cara
memastikan atau mengkonfirmasi ulang nama pasien kepada pasien atau
kepada penulis resep. penulisan nama pasien dengan jelas dapat
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
40
bermanfaat sebagai pembeda ketika ada nama pasien yang sama agar tidak
terjadi kesalahan pemberian obat pada pasien (Ulfa Bilqis, 2015) Selain itu
menurut Megawati dan Santoso (2017), nama pasien di dalam resep sangat
berguna untuk menghindari tertukarnya obat dengan pasien lain pada
waktu pelayanan di apotek. (Megawati dan Santoso, 2017)
Pada penelitian ini sebesar 14% resep racikan yang diteliti tidak
mencantumkan tanggal lahir/usia pasien. Kesalahan tersebut terjadi karena
penulisan usia pasien yang tidak lengkap/tidak jelas yaitu hanya
mencantumkan angka saja tanpa memberikan keterangan hari, minggu,
bulan atau tahun salah satu contohnya adalah hanya tertulis “3” tanpa
memberikan keterangan hari, minggu, bulan atau tahun. Kesalahan lainnya
terjadi karena tidak adanya penulisan tanggal lahir atau usia pasien pada
resep racikan. Tanggal lahir/usia pasien merupakan salah satu cara
apoteker untuk memastikan kesesuaian dosis pasien (Triuntari, 2007).
Sebanyak 25% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan
alamat pasien dengan jelas. Beberapa Puskesmas menuliskan alamat
pasien menggunakan kode desa yang sudah ditentukan sesuai kesepakatan
di Puskesmas tersebut. Contohnya, kode 04 untuk desa X, kode 05 untuk
desa Y. Pada penelitian ini, penulisan alamat menggunakan kode tersebut
dianggap tidak jelas mencantumkan alamat pasien, karena kode tersebut
hanya dimengerti oleh Puskesmas tersebut saja, sehingga apabila apoteker
membuat salinan resep yang dibuat sesuai dengan resep aslinya, dan
salinan resep tersebut dibawa ke apotek diluar Puskesmas, kemungkinan
besar apotek tersebut tidak akan memahami maksud dari pencantuman
alamat tersebut. Pencantuman alamat pasien menggunakan kode juga akan
menyulitkan pada proses transcribing karena apoteker/tenaga peracik
harus melihat penerjemahan kode tersebut. Penulisan alamat pasien dalam
resep juga diperlukan untuk memastikan ketepatan pasien pada proses
penyerahan. Pada saat penyerahan obat, selain memanggil nama pasien,
untuk mengantisipasi terjadinya salah pasien, biasanya alamat dan umur
pasien dapat dijadikan parameter untuk memastikan ketepatan pasien.
Penulisan alamat pasien dapat membantu apabila sewaktu-waktu di
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
41
perlukan oleh pihak Puskesmas terkait pelayanan kesehatan yang telah
dilakukan kepada pasien (Triuntari, 2007)
Dalam penelitian ini terdapat 96% resep racikan yang tidak
mencantumkan berat badan pasien. Berat badan juga merupakan salah satu
aspek yang diperlukan dalam perhitungan dosis. Dalam penentuan dosis
para ahli telah membuat rumus khusus berdasarkan berat badan seseorang,
untuk itu berat badan sangat perlu dicantumkan dalam penulisan resep
(Megawati dan Susanto, 2017). Pada beberapa resep, terdapat
pencantuman berat badan pasien oleh apoteker untuk memastikan
kesesuaian dosis pasien, pada pencantuman berat badan oleh apoteker
tersebut tetap dinilai tidak ada penulisan berat badan pasien, karena
sebelumnya tidak tercantum berat badan pasien pada resep tersebut. Berat
badan pasien menjadi sangat penting terutama untuk penyesuaian dosis
pada anak-anak. Karena, umumnya obat-obat racikan untuk anak adalah
obat yang sebenarnya diperuntukan untuk orang dewasa yang disesuaikan
jumlah dan dosisnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ulfa Bilqis (2015) yang menyatakan bahwa untuk pasien bayi dan
anak, berat badan menjadi komponen yang harus ada dalam penulisan
resep (Ulfa Bilqis, 2015).
Dalam penelitian ini terdapat sebanyak 2% penulisan nama obat
yang tidak jelas. Nama obat tidak jelas merupakan penulisan nama obat
yang sulit dibaca dan diterjemahkan termasuk karena penggunaan
singkatan obat yang tidak lazim pada resep racikan yang dapat
menimbulkan presepsi lain bagi apoteker sehingga dapat menyebabkan
kesalahan pada proses transcribing dan dispensing. Walaupun apoteker di
Puskesmas tersebut dapat menerjemahkan penulisan singkatan obat
tersebut, tapi belum tentu apoteker lain dapat menerjemahkan singkatan
obat tersebut, hal itulah yang disebut dengan singkatan obat yang tidak
lazim dalam penelitian ini. Kesalahan dalam penelitian ini terjadi karena
adanya penggunaan singkatan “mol” untuk paracetamol, “Dx” untuk
dexametason dan “dmp” untuk domperidon yang merupakan singkatan
tidak lazim. Ketika penulisan nama obat yang tidak jelas ini terjadi, maka
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
42
transcriber akan mengalami kesulitan untuk membaca atau memahami
nama obat yang dimaksud, sehingga bisa memunculkan interpretasi yang
berbeda antara prescriber dan transcriber. Perbedaan interpretasi nama
obat ini dapat menyebabkan medication error atau kesalahan pemberian
obat. Penulisan nama obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam
proses pelayanan tidak terjadi kesalahan pemberian obat, karena banyak
obat yang tulisannya hampir sama atau penyebutannya sama. Untuk itu,
dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas sehingga terhindar dari
kesalahan pemberian obat. (Ulfa Bilqis, 2015)
Sebanyak 99% resep racikan yang diteliti tidak mencantumkan
kekuatan sediaan. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh
Ika Susanti pada tahun 2013 yang menunjukan sebanyak 39% terjadi
kesalahan pada proses prescribing karena tidak mencantumkan kekuatan
sediaan. Penulisan kekuatan sediaan harus ditulis dengan jelas agar
terhindar dari kesalahan pemberian kekuatan sediaan mengingat adanya
obat-obat yang memiliki kekuatan sediaan lebih dari satu. Kekuatan
sediaan sangat erat kaitannya dengan dosis obat. Dosis obat adalah jumlah
atau ukuran yang dharapkan dapat memberikan efek terapi pada fungsi
tubuh yang memiliki gangguan (Ulfah Bilqis, 2015). Kekuatan sediaan ini
berpengaruh terhadap hasil terapi yang akan dijalani dan berkaitan dengan
indeks terapi obat. Jika konsentrasi obat lebih kecil dari kebutuhan pasien
maka efek terapi yang didapatkan tidak akan tercapai sedangkan jika
kekuaatan sediaan lebih besar dari yang harus diberikan maka bisa
menimbulkan toksik.
Terdapat sebanyak 99% resep racikan yang diteliti tidak
mencantumkan satuan dosis obat. Hal tersebut juga di tunjukan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Ika Susanti yang menyatakan 56% resep
tidak terdapat satuan dosis. Contoh kesalahan penulisan satuan dosis
adalah “Paracetamol tablet 500mg” menjadi “Pacaretamol tablet 500g”
atau hanya menuliskan “paracetamol 500” tanpa menuliskan satuan dosis.
Pada penelitian ini, kesalahan terjadi karena tidak tercantumnya kekuatan
sediaan dan satuan dosisnya. Menurut Amalia dan Sukohar (2014), jumlah
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
43
obat yang diminta dapat ditulis dengan satuan mg, g, IU, ml (Amalia dan
Sukohar, 2014). Terjadinya kesalahan dalam satuan obat akan
mempengaruhi jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh (Oktarilina dan
Wafiyatunisa, 2017)
Dalam penelitian ini, yaitu ditemukan sebanyak 92% resep racikan
yang diteliti tidak mencantumkan bentuk sediaan. Tidak adanya bentuk
sediaan yang tertulis dalam resep racikan, akan membuat apoteker/tenaga
peracik kesulitan menerjemahkan bentuk sediaan yang dimaksud oleh
penulis resep. Ketika apoteker/tenaga peracik salah menginterpretasikan
bentuk sediaan yang diinginkan, maka akan terjadi kesalahan bentuk
sediaan pada proses dispensing. Padahal, pemilihan bentuk sediaan ini
disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada beberapa resep racikan,
ditemukan penulisan bentuk sediaan secara lengkap, baik tablet, sirup
maupun salep. Namun, penulisan bentuk sediaan khususnya tablet jarang
ditemukan. Penulisan bentuk sediaan pada resep racikan yang diteliti
mayoritas hanya menuliskan bentuk sediaan lain selain tablet, seperti sirup
dan sediaan semi solid. Contohnya, ketika penulis resep meresepkan obat
paracetamol tablet, penulis resep hanya menuliskan ”PCT” atau
“Paracetamol” tanpa memberikan keterangan bentuk sediaan tablet seperti
“PCT tab” atau “Paracetamol tab” dengan anggapan jika tidak ada
keterangan bentuk sediaan, maka bentuk sediaan yang dimaksud adalah
tablet. Namun ketika panulis resep meresepkan paracetamol sirup, penulis
resep menuliskan “PCT syr” atau “Pacaretamol syr” (terdapat keterangan
bentuk sediaan yang diinginkan). Tidak adanya penulisan bentuk sediaan
dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda antara apoteker dengan
penulis resep. Selain itu, penulisan bentuk sediaan harus ditulis dengan
jelas agar tidak memicu terjadinya kesalahan pemberian bentuk sediaan
obat yang akan digunakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhan, keadaan
dan kondisi pasien (Ulfa Bilqis, 2015).
Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 3% resep racikan tidak
mencantumkan jumlah obat. Kesalahan terjadi karena pada resep racikan
yang diteliti terdapat resep racikan yang tidak tercantum jumlah obat.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
44
Menurut Amalia dan Sukohar (2014), jumlah obat yang dibutuhkan harus
ditulis menggunakan angka romawi dan di tulis dengan jelas (Amalia dan
Sukohar, 2014). Pencantuman aspek jumlah obat dapat menggambarkan
durasi/lama terapi tertentu yang dikehendaki oleh dokter, sesuai dengan
tindakan medis yang dilakukan (Triuntari, 2007).
Sebanyak 73% resep racikan yang diteliti salah menuliskan aturan
pemakaian obat. Penulisan frekuensi pemberian obat sangat penting dalam
resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kesalahan informasi
penggunaan obat, karena keadaan dan kondisi pasien menentukan
frekuensi penggunaan obat yang tepat (Ulfah Bilqis, 2015). Kesalahan
tersebut terjadi karena penulisan aturan pakai obat yang tidak sesuai
dengan kaidah penulisan resep seperti “3x1” atau “3.1” untuk “S 3.dd 1”
atau penulisan “k.p” (kalau perlu) untuk “p.r.n” (pro re nata) yang berarti
bila perlu. Padahal menurut Amalia dan Sukohar (2014) penulisan aturan
pakai dalam resep ditulis dengan singkatan latin dengan jelas. Signatura
merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari tanda
cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu pemberian.
Penulisan sigantura harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi (Amalia dan Sukohar, 2014).
Sebanyak 72% tidak ada/tidak lengkap/salah menuliskan cara
pembuatan sediaan pada resep racikan yang diteliti. Beberapa resep yang
hanya menuliskan garis beserta angka romawi saja seperti X dengan
maksud untuk sejumlah obat tersebut dibuat 10 bungkus puyer dinilai
sebagai tidak ada cara pembuatan. Ada juga beberapa resep yang hanya
menuliskan pulv tanpa ada keterangan jumlah puyer yang harus dibuat
dinilai sebagai tidak lengkap menulis cara pembuatan, dan penulisan
“puyer”, “pyr” atau “mix” pada resep racikan dinilai sebagai salah
menuliskan cara pembuatan karena penulisannya tidak sesuai dengan
kaidah penulisan resep. Ada berbagai pola penulisan cara pembuatan pada
resep racikan yang diteliti. Untuk itu, kemampuan apoteker dalam
menerjemahkan penulisan cara pembuatan yang salah atau tidak sesuai
dengan peraturan ini sangat berpengaruh pada proses peracikan nantinya.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
45
Resep racikan yang paling banyak ditemukan adalah berbentuk
pulveres. Pulveres adalah serbuk yang terbagi dalam bobot yang kurang
lebih sama, dibungkus dengan kertas pekamen atau bahan pengemas lain
yang cocok. Serbuk ditulis oleh penulis resep dalam dua cara. Pertama,
ditulis jumlah obat lalu dibagi beberapa bungkus contohnya pct 10g
m.f.pulv no XX artinya, sebanyak 10g paracetamol diserbuk kemudian
dibagi menjadi 20 pulveres. Yang kedua, ditulis jumlah obat setiap
bungkus dan buat beberapa bungkus. Misal pct 100mg m.f. pulv dtd no
XX artinya, dalam satu pulveres terdaat 100mg paracetamol. (Syamsuni,
2013).
Terdapat resep racikan berisi antibiotik sebanyak 25% dalam
penelitian ini. Resep tersebut berisi obat antibiotik tablet yang di minta
untuk di buat puyer dan di campurkan dengan obat lain. Dalam
pengamatan yang telah dilakukan, ada beberapa cara apoteker untuk
menyikapi hal tersebut. Pertama, melakukan peracikan dalam hal ini
mengubah bentuk sediaannya menjadi puyer, namun tidak
mencampurkannya dengan obat lain. Kedua, mengganti bentuk sediaan
antibiotik tersebut dari tablet menjadi sirup sehingga antibiotik tidak
dicampurkan dengan obat lain. Ketiga, mengikuti perintah dalam resep
untuk mencampur antibiotik tersebut dengan obat lain. Pengubahan bentuk
sediaan ini, menjadi salah bentuk sediaan dalam proses dispensing ketika
apoteker tidak mengkonfirmasikan perubahan bentuk sediaan tersebut
kepada penulis resep. Apoteker memisahkan antibiotik dengan obat lain
karena dikhawatirkan jika gejala sudah menghilang, pasien berhenti
meminum antibiotik tersebut sehingga obat antibiotik tersebut tidak
dihabiskan. Penggunaan antibiotik berkaitan dengan lama penggunaan
obat dan menyebabkan dosis antibiotik tidak dikonsumsi dengan tepat dan
dapat memicu terjadinya resistensi (Kemenkes, 2011)
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.74 Tahun 2016 tentang
Standar Kefarmasian di Puskesmas, pengkajian resep dimulai dari seleksi
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis.
Adapun persyaratan administrasi meliputi nama, umur, jenis kelamin dan
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
46
berat badan pasien, nama dan paraf dokter, tanggal penulisan resep,
ruangan/unit asal resep. Artinya, jika tidak ada nama, umur, jenis kelamin
dan berat badan pasien, tidak terdapat nama dan paraf dokter serta tidak
ada tanggal penulisan resep, maka dapat dikatakan resep tersebut tidak
memenuhi persyaratan administrasi.
Dalam penulisan resep, terdapat beberapa hal yang harus difahami
dengan baik oleh penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep
(dispenser). Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk
menghindari adanya kegagalan komunikasi/salah interprestasi dalam
mengartikan resep antara prescriber dengan dispenser yang disebabkan
oleh tulisan tangan prescriber tidak jelas atau penggunaan singkatan yang
tidak baku serta penulisan aturan pakai yang tidak lengkap. Menurut
Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara
prescriber dengan dispenser merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya kesalahan medikasi (medication error) yang bisa berakibat fatal
bagi penderita.
b. Identifikasi Medication Error pada Proses Transcribing
Transcribing error adalah kesalahan dalam membaca atau
menerjemahkan resep. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati
kemampuan apoteker atau tenaga peracik di masing-masing Puskesmas
dalam menerjemahkan resep racikan dan mengamati ada tidaknya tindakan
apoteker dalam menangani ketidakjelasan atau kesalahan yang terjadi pada
proses prescribing, sesuai dengan 9 parameter yang menunjukan adanya
medication error dalam proses transcribing yang tersedia dalam daftar
tilik. Adapun hasil identifikasi medication error pada proses dispensing
tertera dalam grafik 4.2.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
47
0
0.5
1
1.5
2
A B C D E F G H I
2
1
0 0 0 0
1
0 0
Identifikasi Medication Error Pada Proses Transcribing
Angka kejadian
Grafik 4.2 Hasil Identifikasi Medication Error pada Proses Transcribing di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur.
Keterangan
A : Salah nama pasien
B : Salah usia pasien
C : Salah nama obat
D : Salah bentuk sediaan
E : Salah kekuatan sediaan
F : Salah jumlah obat
G : Tidak mampu mengetahui kesesuaian dosis obat
H : Salah cara pembuatan
I : Salah aturan pakai
Berdasarkan grafik tersebut, kesalahan yang terjadi pada proses
transcribing dalam penelitian ini yaitu salah nama pasien dengan jumlah
2%, serta salah usia pasien dan tidak mampu mengetahu kesesuaian dosis
dengan jumlah 1%. Sedangkan pada parameter transcribing lainnya tidak
ditemukan adanya kesalahan.
Dalam analisis dan interpretasi resep, transcriber membaca dan
mengartikan tulisan dalam resep yaitu nama obat, aturan pakai, cara
pembuatan dan singkatan-sigkatan dalam resep, kemudian memastikan
bahwa dosis yang ditulis sesuai dengan keadaan/kondisi pasien (jenis
kelamin, umur dan berat badan), dan menghubungi dokter apabila ada
instruksi dalam resep yang tidak jelas (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Pada penelitian ini sebanyak 2% kesalahan terjadi karena apoteker
salah menerjemahkan nama pasien dan apoteker tidak mengkonfirmasi
ulang nama pasien tersebut. Ketidakmampuan apoteker untuk membaca
nama pasien tersebut terjadi akibat penulisan nama pasien yang tidak jelas
pada resep racikan sehingga pada saat penyerahan obat dalam proses
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
48
dispensing, apoteker salah menyebutkan nama pasien. Ketika
apoteker/tenaga peracik tidak mampu menerjemahkan nama pasien, maka
apoteker dapat mengkonfirmasi ulang nama pasien kepada pasien/keluarga
pasien untuk mencegah terjadinya kesalahan penulisan nama pasien di
etiket atau mencegah terjadinya salah pasien pada proses dispensing.
Salah usia pasien yang dimaksud pada proses transcribing ini adalah
apoteker/tenaga peracik tidak mampu membaca/menerjemahkan usia
pasien, baik yang sudah tertulis dalam resep racikan maupun tidak tertulis
jelas dalam resep racikan dan tidak adanya tindakan apoteker/tenaga
peracik untuk memastikan ketidakjelasan usia pasien tersebut. Dalam
penelitian ini, ditemukan adanya kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam
menerjemahkan usia pasien yaitu sebanyak 1%. Kesalahan tersebut
disebabkan karena apoteker tidak memastikan usia pasien padahal dalam
resep racikan tidak tercantum usia pasien. Usia pasien merupakan salah
satu cara apoteker menilai kesesuaian dosis. Ketika apoteker tidak
memastikan usia pasien, artinya apoteker juga tidak memastikan dosis obat
yang diberikan kepada pasien tersebut. Ada beberapa kesalahan penulisan
usia pasien pada proses prescribing yaitu penulisan usia pasien yang hanya
menuliskan angka saja tanpa menuliskan keterangan usia seperti hari,
bulan atau tahun, pada kesalahan tersebut apoteker memastikan dengan
melihat pasien atau menanyakan ulang kepada pasien sehingga pada kasus
tersebut, apoteker dinilai tidak melakukan kesalahan yang termasuk dalam
salah usia pasien pada proses transcribing, karena apoteker mampu
menerjemahkan dan melakukan tindakan walaupun penulisan usia pasien
dalam resep racikan tersebut tidak jelas. Ketika apoteker/tenaga peracik
tidak mampu menerjemahkan usia pasien, maka apoteker/tenaga peracik
dapat mengkonfirmasi ulang usia pasen kepada pasien/keluarga pasien.
Dalam penelitian ini tidak ditemukan kesalahan dalam menerjemahkan
nama obat karena apoteker mampu menerjemahkan nama obat yang ditulis
oleh penulis resep walaupun ada beberapa penulisan nama obat yang tidak
jelas. Salah nama obat yang dimaksud adalah apoteker/tenaga peracik
tidak dapat menerjemahkan nama obat atau tidak adanya tindakan
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
49
apoteker/tenaga peracik untuk memastikan nama obat yang dimaksud oleh
penulis resep. Ketika nama obat tidak jelas, dan apoteker tidak mampu
untuk menerjemahkannya, maka apoteker harus mengkonfirmasi nama
obat tersebut kepada penulis resep agar tidak terjadi kesalahan dalam
pengambilan dan penyerahan obat kepada pasien pada proses dispensing.
Tidak terjadi kesalahan dalam menerjemahkan bentuk sediaan. Salah
bentuk sediaan yang dimaksud dalam proses transcribing ini adalah
kesalahan apoteker/tenaga peracik karena tidak dapat menerjemahkan
bentuk sediaan yang dimaksud oleh penulis resep dan tidak adanya
tindakan apoteker/tenaga peracik dalam memastikan bentuk sediaan yang
tidak jelas tersebut. Kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam
menerjemahkan bentuk sediaan dapat terjadi karena tidak terdapat
keterangan bentuk sediaan yang tertulis dalam resep racikan. Dalam
penelitian ini, tidak ditemukan adanya kesalahan apoteker/tenaga peracik
dalam menerjemahkan bentuk sediaan. Ketika ada kesalahan penulisan
bentuk sediaan dalam proses prescribing dan apoteker tidak mampu untuk
menerjemahkannya, maka apoteker harus mengkonfirmasikan kepada
penulis resep. Hal tersebut dapat menyamakan interpretasi resep antara
apoteker dan penulis resep. Kemampuan apoteker dalam menerjemahkan
bentuk sediaan yang dimaksud dalam resep dapat mencegah terjadinya
medication error yang lebih buruk.
Tidak terjadi kesalahan menerjemahkan kekuatan sediaan dalam
penelitian ini. Salah kekuatan sediaan yang dimaksud dalam proses
transcribing ini adalah kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam
menerjemahkan kekuatan sediaan pada resep racikan atau tidak adanya
tindakan apoteker untuk memastikan kekuatan sediaan yang dibutuhkan
pasien ketika apoteker/tenaga peracik tidak dapat menerjemahkan
kekuatan sediaan yang dimaksud dalam resep racikan. Salah membaca
atau mengartikan kekuatan sediaan dalam proses transcribing akan sangat
berpengaruh pada pengambilan kekuatan obat saat peracikan. Kemampuan
apoteker untuk dapat menerjemahkan kekuatan obat yang dimaksud dalam
resep, sangat berperan untuk mencegah terjadinya medication error.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
50
Ketika apoteker tidak mampu untuk menerjemahkan kekuatan sediaan
yang dimaksud, maka apoteker harus mengkonfirmasi kekuatan sediaan
yang dikehendaki oleh penulis resep.
Pada penelitian ini tidak ditemukan kesalahan apoteker dalam
menerjemahkan jumlah obat. Salah jumlah obat yang dimaksud adalah
apoteker/tenaga peracik salah membaca dan menerjemahkan jumlah obat
yang tertulis pada resep racikan atau tidak adanya tindakan apoteker untuk
memastikan jumlah obat yang tidak ditulis penulis resep dalam resep
racikan. Kesalahan penerjemahan jumlah obat dapat terjadi karena ada
tidak tercantumnya jumlah obat pada resep racikan atau penulisan jumlah
obat yang tidak jelas. Jumlah obat akan sangat berpengaruh dengan dosis
dan durasi waktu penggunaan obat oleh pasien. Maka, ketika apoteker
tidak dapat menerjemahkan jumlah obat dalam resep, apoteker harus
mengkonfirmasi jumlah obat yang di kehendaki oleh penulis resep.
Dalam penelitian ini, sebanyak 1% apoteker/tenaga peracik tidak
mampu mengetahui kesesuaian dosis obat. Kesalahan tersebut disebabkan
karena apoteker tidak memastikan usia pasien padahal dalam resep racikan
tidak tercantum usia pasien. Padahal, menurut Kemenkes RI tahun 2011,
usia pasien merupakan salah satu cara apoteker menilai kesesuaian dosis.
Ketika apoteker tidak memastikan usia pasien, artinya apoteker juga tidak
memastikan dosis obat yang diberikan kepada pasien tersebut. Ada
beberapa kejadian salah dosis yang terjadi, namun apoteker mampu
menangani ketidaksesuaian dosis tersebut dengan menghitung kembali
dosis obat yang sesuai dengan umur atau berat badan pasien. Artinya, pada
proses transcribing apoteker mengerti atau memahami ada kesalahan pada
dosis obat dan mampu bertindak ketika menemukan kesalahan tersebut.
Namun perubahan dosis tersebut tentunya atas konfirmasi/persetujuan dari
penulis resep. Penyerahan obat dengan dosis melebihi dosis maksimum
dapat dilakukan dengan membubuhkan tanda seru dan paraf penulis resep,
atau dengan diberi garis bawah pada nama obat tersebut (Syamsuni, 2013).
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan kesalahan apoteker/tenaga
peracik dalam menerjemahkan cara pembuatan obat pada resep racikan.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
51
Padahal, tidak semua cara pembuatan obat dalam resep tertulis dengan
benar. Contoh kesalahan penulisan cara pembatan obat pada resep adalah
dengan hanya menuliskan “X”, “pyr”, “mix”, “pulv” . Meskipun penulisan
cara pembuatan obat tidak dituliskan dengan benar, apoteker di Puskesmas
Kabupaten Banyumas Wilayah Timur mampu menerjemahkan cara
pembuatan obat pada resep racikan tersebut. Kesalahan penerjemahan cara
pembuatan dapat mengakibatkan kesalahan pada bentuk sediaan yang
diberikan, padahal bentuk sediaan disesuaikan dengan kebutuhan pasien
(Susanti, 2013).
Kemampuan apoteker/tenaga peracik dalam menerjemahkan
penulisan aturan pemakaian obat yang salah atau tidak sesuai dengan
peraturan ini sangat berpengaruh pada penggunaan obat oleh pasien. Tidak
ditemukan adanya kesalahan apoteker/tenaga peracik dalam
menerjemahkan aturan pakai. Padahal, ada beberapa resep yang penulisan
aturan pakainya tidak jelas atau tidak lengkap. Contoh kesalahan penulisan
aturan pakai dalam resep yaitu penulisan “3.1” atau “3x1” untuk S 3 dd 1,
atau penulisan “k.p” (kalau perlu) untuk p.r.n (pro renata) yang artinya bila
perlu. Meskipun terjadi kesalahan penulisan aturan pakai, tulisan tersebut
masih dapat diterjemahkan oleh apoteker/tenaga peracik.
Membaca permintaan dokter dengan akurat merupakan bagian yang
vital dalam memberikan obat dengan aman. Perawat dan profesional
kesehatan terkait yang mempraktikan seni membaca resep kadang dapat
menemui kesulitan dan kebingungan. Saat membaca permintaan dokter
perhatikan nama pasien, tanggal, nama obat di tulis dengan jelas, dosis,
bentuk sediaan, cara dan waktu pemberian sudah ditulis. (Nancy DiDona,
2013)
Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan
interpretasi resep. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau
ketidakjelasan resep atau singkatan dalam resep, Apoteker harus hubungi
penulis resep (DEPKES RI, 2008).
Apoteker memiliki posisi yang strategis untuk meminimalkan
kejadian medication error. Kontribusi yang dapat dilakukan Apoteker
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
52
antara lain dengan meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat
kepada pasien dan tenaga kesehatan lain, meningkatkan keberlangsungan
rejimen pengobatan pasien, peningkatan kualitas dan keselamatan
pengobatan pasien di rumah (DEPKES RI, 2008).
Apabila Apoteker/petugas lain tidak dapat membaca tulisan dalam
resep, maka harus menghubungi penulis resep untuk memperoleh
klarifikasi. Petugas tidak boleh menduga-duga resep tersebut, karena akan
membahayakan nyawa pasien jika salah memberikan obat. (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
c. Identifikasi Medication Error pada Proses Dispensing
Dispensing error adalah kesalahan dalam menyiapkan, meracik dan
menyerahkan obat oleh apoteker atau tenaga peracik yang dapat
menimbulkan bahaya pada pasien. Pengamatan dilakukan dengan cara
mengamati proses pengambilan obat, peracikan dan penyerahan obat
beserta pemberian informasi obat oleh apoteker atau tenaga peracik di
masing-masing Puskesmas sesuai dengan parameter-parameter terjadinya
medication error pada proses dispensing yang ada pada daftar tilik. Dalam
penelitian ini, terdapat terdapat 15 parameter yang dinilai pada proses
dispensing. Adapun hasil identifikasi medication error pada proses
dispensing tertera dalam grafik 4.3
Gambar 4.3 Hasil Identifikasi Medication Error pada Proses Dispensing di
Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur
0
20
40
60
80
100
A B C D E F G H I J K L M N
0 8 6 8 1 3 0
40
10 14
96 100
93 96
Identifikasi Medication Error Pada Proses Dispensing
Angka Kejadian
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
53
Keterangan
A : Pengambilan obat kadaluwarsa
B : Salah/Tidak sesuai bentuk sediaan
C : Salah kekuatan sediaan
D : Salah jumlah obat
E : Obat tidak kompatibel
F : Salah obat
G : Salah pasien
H : Pemberian etiket dan label yang salah/tidak lengkap
I : Instruksi penggunaan obat tdiak jelas
J : Tidak menyampaikan indikasi obat
K : Tidak menyampaikan efek samping obat
L : Tidak menyampaikan kontraindikasi obat
M : Tidak menyampaikan Beyound Use Date
N: Tidak menyampaikan cara penyimpanan obat
Pada Grafik tersebut menunjukan adanya kesalahan pada masing-
masing parameter dispensing yaitu Obat kadaluwarsa 0%, Salah
mengambil/membuat bentuk sediaan 8%, salah mengambil kekuatan
sediaan 6%, salah mengambil jumlah obat 8%, obat tidak kompatibel 1%,
salah mengambil obat 3%, salah pasien 0%, pemberian etiket dan label
yang salah/tidak lengkap 40%, instruksi penggunaan obat tidak jelas 10%,
tidak menyampaikan indikasi obat 14%, tidak menyampaikan efek
samping obat 96%, tidak menyampaikan kontraindikasi obat 100%, tidak
menyampaikan beyound use date 93%, serta tidak menyampaikan cara
penyimpanan obat 96%.
Berdasarkan grafik tersebut, kesalahan pada proses dispensing yang
paling sering terjadi pada proses pengambilan dan peracikan obat adalah
salah mengambil/membuat bentuk sediaan dan salah jumlah obat yaitu
sebanyak 8%. Sedangkan kesalahan yang paling sering terjadi pada proses
dispensing dalam menyerahkan obat kepada pasien adalah tidak
menyampaikan kontraindikasi obat sebanyak 100%.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011,
setelah memeriksa resep, dispenser mengambil obat yang dibutuhkan
dengan memperhatikan nama, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
Pada penelitian ini, tidak terjadi kesalahan pengambilan obat yang
kadaluwarsa. Pengamatan ini dilakukan dengan memastikan tanggal
kadaluwarsa pada kemasan yang diambil oleh Apoteker. Menurut Redaksi
Buletin Nasional Universitas Surabaya tahun 2012 tanggal kadaluwarsa
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
54
merupakan gambaran batas waktu penggunaan produk obat setelah
diproduksi oleh pabrik farmasi sedangkan menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2008, tanggal kadaluwarsa menunjukan
berakhirnya masa kerja obat. Penelitian yang dilakukan oleh Ika Susanti
tahun 2013 juga menunjukan tidak adanya kesalahan apoteker dalam
mengambil obat yang kadaluwarsa. Penyimpanan obat oleh apoteker juga
berdasarkan FEFO (First Expired First Out) jadi, obat yang tanggal
kadaluwarsanya lebih cepat akan dikeluarkan terlebih dahulu.
Sebanyak 8% apoteker/tenaga peracik salah mengambil dan
membuat bentuk sediaan. Kesalahan ini terjadi karena persediaan obat
dengan bentuk sediaan yang diinginkan dalam resep kosong, sehingga
apoteker mengganti bentuk sedian obat tersebut sesuai dengan persediaan
yang ada di instalasi farmasi tanpa mengkonfirmasikan kepada pasien atau
penulis resep. Kesalahan lainnya terjadi karena apoteker menganggap
pasien sudah mampu menelan obat, sehingga apoteker tidak membuat
bentuk sediaan yang sesuai dengan yang tertulis pada resep tanpa
mengkonfirmasi keputusan perubahan bentuk sediaan tersebut kepada
penulis resep. Sebagai contoh dalam penelitian ini, ditemukan bahwa
apoteker mengubah bentuk sediaan ambroxol tablet yang tertulis dalam
resep dengan ambroxol sirup tanpa mengkonfirmasikan kepada penulis
resep dan pada kasus lainnya, apoteker tidak melakukan peracikan atau
pengubahan bentuk sediaan obat dari tablet menjadi puyer sesuai yang
tertulis pada resep, dengan anggapan bahwa usia pasien sudah bisa
menelan obat sehingga tidak perlu ada peracikan. Dalam penelitian ini,
perubahan bentuk sediaan tersebut dikatakan salah bentuk sediaan jika
perubahan tersebut tidak atas seizin penulis resep.
Sebanyak 6% terjadi kesaahan mengambil kekuatan sediaan pada
proses peracikan. Kesalahan ini karena apoteker mengganti bentuk sediaan
obat atau mengganti jenis obat, sehingga kekuatan sediaannya pun akan
berbeda. Hal tersebut dianggap salah ketika apoteker tidak
mengkonfirmasikan perubahan tersebut kepada penulis resep. Kesalahan
dalam mengambil kekuatan sediaan dalam jumlah tertentu akan
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
55
mempengaruhi dosis obat terutama untuk obat-obat racikan untuk anak
yang membutuhkan penyesuaian dosis.
Sebanyak 8% terjadi kesalahan dalam mengambil jumlah obat pada
proses dispensing. Ketika proses transcribing apoteker akan
menerjemahkan jumlah obat yang dimaksud dalam resep racikan,
kemudian memastikan jumlah dan kekuatan obat tersebut sesuai dengan
dosis yang dibutuhkan pasien. Maka, ada beberapa tindakan apoteker
dalam mengubah jumlah obat atas dasar untuk menyesuaikan dosis yang
dibutuhkan pasien, namun keputusan tersebut harus di konfirmasikan atau
atas persetujuan penulis resep. Kesalahan dalam mengambil obat akan
terjadi ketika pengubahan jumlah obat dilakukan secara sepihak atau tanpa
persetujuan dari penulis resep.
Terdapat 1% obat tidak kompatibel. Hal tersebut terjadi karena
adanya pencampuran dua bentuk sediaan yang berbeda yaitu pencampuran
antara krim dan salep. Salep merupakan sediaan setengah padat yang
mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan salep harus larut
atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Dasar salep
terdiri dari bahan bahan yang mengandung lemak. Sedangkan krim adalah
sediaan setengah padat berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari
60%, dan dimaksudkan sebagai obat luar. Bahan dasar salep dan krim
berbeda yaitu lemak dan air, maka akan terjadi inkompatibilitas apabila
dua sediaan tersebut dicampurkan. (Moh. Anief, 2010)
Apoteker dinilai salah mengambil obat ketika obat yang diambil
tidak sesuai dengan obat yang tertulis dalam resep. Dalam penelitian ini,
ditemukan sebanyak 3% apoteker salah mengambil obat. Kesalahan
tersebut terjadi karena apoteker mengambil obat yang berbeda dengan
yang tertulis dalam resep tanpa mengkonfirmasi keputusan tersebut kepada
penulis resep. Apoteker mengganti obat tersebut karena persediaan obat
yang tertulis dalam resep habis. Dalam penelitian ini pengubahan jenis
obat dibenarkan ketika apoteker mengkonfirmasi ulang keputusannya
kepada penulis resep.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
56
Salah pasien terjadi ketika apoteker menyerahkan obat pada pasien
yang salah. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan adanya salah pasien
pada proses dispensing yang dilakukan oleh apoteker/tenaga peracik. Jika
apoteker/tenaga peracik menyerahkan obat pada pasien yang salah,
kesalahan tersebut dapat berakibat fatal karena obat yang diserahkan
mungkin akan tidak sesuai dengan obat yang sebenarnya diresepkan oleh
penulis resep (salah obat). Kesalahan tersebut dapat terjadi karena adanya
kesamaan nama pasien, apoteker salah menyebutkan nama pasien, atau
terdapat nama pasien yang terdengar sama sehingga pasien mengira bahwa
nama yang dipanggil oleh apoteker adalah namanya. Kesalahan tersebut
dapat diantisipasi dengan cara melakukan konfirmasi ulang nama pasien,
umur pasien dan alamat pasien kepada pasien/keluarga pasien.
Pemberian etiket dan label yang salah/tidak lengkap dalam penelitian
ini yaitu tidak ada/salah menuliskan tanggal etiket, tidak ada atau salah
menuliskan nama pasien pada etiket, tidak ada atau salah menuliskan
aturan dan cara pemakaian obat (aturan penggunaan, rute pemakaian,
waktu penggunaan obat), atau memberi etiket dan label yang salah. Dalam
penelitian ini, ditemukan sebanyak 40% kesalahan dalam pemberian etiket
dan label. Kesalahan pemberian etiket dan label dalam penelitian ini
terjadi ketika apoteker tidak mencantumkan atau salah mencantumkan
nama pasien pada etiket. Padahal, nama pasien pada etiket merupakan hal
yang penting, untuk mengantisipasi tertukarnya obat. Kesalahan lainnya
terjadi karena apoteker tidak menuliskan tanggal penyerahan obat pada
etiket serta tidak memberikan label kocok dahulu untuk obat-obat suspensi
seperti amoxicillin sirup kering. Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2011, umumnya etiket tercantum nama pasien,
nama dan alamat institusi, tanggal obat diserahkan/dibuat, nama obat,
kekuatan obat, dosis dan jumlah obat, serta cara pemakaian obat.
Pemberian yang benar adalah pemberian etiket berwarna putih untuk obat
yang digunakan secara oral, berwarna biru untuk obat yang digunakan
pada luar tubuh atau tidak melalui sistem pencernaan seperti obat topikal
dan injeksi, menempelkan label kocok dahulu pada sediaan suspensi atau
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
57
emulsi, serta memasukan obat kedalam wadah yang tepat. (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
Dalam penelitian ini, instruksi penggunaan obat yang tidak jelas
adalah ketika apoteker tidak menyampaikan cara penggunaan antibiotik
(jika terdapat obat antibiotik), tidak menyampaikan aturan pakai obat
kepada pasien (jumlah obat yang diminum dalam satu hari, penggunaan
obat sebelum, saat atau sesudah makan) dan tidak menyampaikan rute/cara
pemakaian obat. Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 10%
penyampaian instruksi penggunaan obat tidak jelas. Kesalahan tersebut
terjadi karena apoteker tidak menyampaikan cara penggunaan antibiotik
dan tidak menyampaikan jumlah obat yang diminum. Penyampaian
instruksi penggunaan obat yang tidak jelas merupakan penyebab utama
terjadinya medication error pada proses dispensing (Kementerian
Kesehatan RI, 2011). Kesalahan aturan ataupun takaran obat akan
membahayakan bagi pasien. Informasi lama penggunaan obat perlu di
informasikan agar pasien memahami baik tentang lama penggunaan obat
terutama penggunaan antibiotik agar tidak terjadi resistensi (Baroroh dan
Darmawan, 2016).
Dalam penelitian ini, ditemukan sebanyak 14% apoteker tidak
menyampaikan indikasi obat yang diberikan kepada pasien. Penyampaian
indikasi obat merupakan informasi yang penting agar pasien memahami
fungsi dari obat yang diberikan.
Sebanyak 96% apoteker tidak menyampaikan efek samping obat
kepada pasien. Padahal, menurut Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2011, penyampaian efek samping obat kepada pasien
merupakan informasi yang lazim disampaikan kepada pasien.
Sebanyak 100% apoteker tidak menyampaikan kontarindikasi obat
kepada pasien. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas tahun
2016, penyampaian kontraindikasi obat merupakan salah satu informasi
yang harus diberikan oleh apoteker kepada pasien.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
58
Sebanyak 93% terjadi kesalahan pada dispensing error karena
apoteker tidak menyampaikan beyound use date atau batas penggunaan
obat racikan. Padahal, menurut Ikatan Apoteker Indonesia tahun 2016,
menentukan beyound use date merupakan salah satu kompetensi
penyiapan sediaan farmasi yang harus dimiliki apoteker. Menurut Redaksi
Buletin Nasional Universitas Surabaya tahun 2012 beyound use date yang
merupakan batas waktu penggunaan obat setelah diracik/disiapkan setelah
kemasan primernya dibuka/dirusak. BUD menentukan batasan waktu
dimana produk obat masih berada dalam keadaan stabil. Suatu produk obat
yang stabil berarti memiliki karakteristik kimia, fisika, mikrobiologi,
terapetik, dan toksikologi yang tidak berubah dari spesifikasi yang sudah
ditetapkan oleh pabrik obat, baik selama penyimpanan maupun
penggunaan. Menggunakan obat yang sudah melewati BUD atau ED-nya
berarti menggunakan obat yang stabilitasnya tidak lagi terjamin (Allen
LV, 2009)
Dalam penelitian ini, ditemukan sebanyak 96% apoteker tidak
menyampaikan cara penyimpanan obat. Bila cara penyimpanan obat tidak
memenuhi persyaratan cara menyimpan obat yang benar, maka akan
terjadi perubahan sifat obat tersebut, sampai terjadi kerusakan obat
(DEPKES RI, 2008).
Sebelum obat racikan diserahkan kepada pasien, Apoteker harus
memeriksa kembali penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan,
jenis dan jumlah obat disesuaikan antara penulisan dalam etiket dengan
penulisan dalam resep. Setelah memastikan penulisan pada etiket sudah
benar, selanjutnya memanggil nama atau nomor tunggu pasien, kemudian
memeriksa ulang identitas pasien dengan memastikan nama, umur dan
alamat pasien, setelah memastikan ketepatan pasien, kemudian
menyerahkan obat kepada pasien disertai dengan informasi obat yaitu
terkait aturan pakai, cara penggunaan obat, serta hal-hal lain seperti
manfaat obat, kemungkinan efek samping dan cara penyimpanan obat.
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
59
Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri
sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan
obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada
pasien dengan informasi yang tepat.(Departemen Kesehatan Indonesia
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2008). Setelah
menyiapkan dan meracik obat, apoteker kemudian menyerahkan obat
kepada pasien disertai dengan informasi-informasi terkait obat kepada
pasien. Informasi tentang obat yang tidak memadai adalah salah satu
penyebab tersering medication error, dengan menyampaikan informasi
penggunaan obat yang benar kepada pasien, maka dapat mencegah
terjadinya medication error.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011,
informasi obat yang lazim diperlukan pasien adalah :
1) Waktu penggunaan obat, misalnya berapa jam sekali obat digunakan
dalam sehari, apakah 4jam, 6 jam dan yang lainnya dalam hal ini juga
menyampaikan penggunaan obat diminum sebelum, saat atau sesudah
makan.
2) Lama penggunaan obat, yaitu penggunaan obat tetap dilakukan selama
keluhan masih ada atau tetap digunakan walaupun gejala sudah hilang.
Misalnya, penggunaan antibiotik yang harus dihabiskan untuk
mencegah terjadinya resistensi.
3) Cara penggunaan obat yang benar yaitu, pasien harus mendapatkan
penjelasan penggunaan obat yang benar untuk sediaan farmasi karena
ini akan menentukan keberhasilan pengobatan. Seperti penggunaan
obat oral, tetes mata, tetes hidung, tetes telinga, suppositoria, topical
dan sebagainya.
4) Efek yang akan ditimbulkan, seperti mengantuk, berkeringat
perubahan warna pada air seni dan sebagainya (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
Banyak yang beranggapan, siapa saja yang dapat membaca resep,
menghitung dan mengambil obat maka bisa memberikan obat. Akibatnya,
orang-orang yang tidak pernah belajar dan dilatih mengenai pekerjaan
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018
60
kefarmasian diminta memberikan obat. Hal ini dapat berbahaya dan
menyebabkan penggunaan obat yang tidak rasional (Kemenkes, 2011).
Disamping kemampuan dalam membaca, menulis, menghitung dan
menuang, dispenser memerlukan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku
lain dalam melakukan pemberian obat, antara lain :
1) Pengetahuan tentang obat yang diberikan (khasiat, penggunaan, dosis,
peringatan, efek samping, interaksi, penyimpanan)
2) Menghitung dengan baik (aritmatika)
3) Keterampilan dalam menilai kualitas sediaan
4) Suka akan kebersihan, ketepatan dan jujur
5) Perilaku dan ketrampilan dalam berkomunikasi efektif dengan pasien.
6) Disiplin.
B. Keterbatasan Penelitian
1. Tidak ada aturan baku atau parameter yang terstandar untuk menentukan
kejadian medication error pada setiap prosesnya, sehingga terdapat
perbedaan parameter-parameter untuk menilai adanya medication error
pada setiap penelitian.
2. Jumlah pasien di Puskesmas sangat banyak dan apoteker dituntut untuk
melakukan pelayanan obat dengan cepat, sehingga peneliti juga dituntut
untuk melakukan pengamatan dan penelitian secara cepat juga.
3. Sulitnya melakukan pengamatan medication error pada proses
transcribing, karena tingkat pemahaman apoteker tidak dapat diukur
dengan jelas, sehingga membutuhkan definisi operasional yang jelas untuk
setiap parameternya.
4. Penilitian ini dilakukan secara prospektif, sehingga sangat bergantung
pada jumlah resep racikan yang ada pada saat penelitian dilakukan. Jumlah
resep racikan pada masing-masing Puskesmas juga tidak menentu
sehingga hal tersebut dapat memperpanjang waktu penelitian.
Identifikasi Medication Error..., Anisa Yundanita, Fakultas Farmasi UMP, 2018