112
BAB IV
DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian.
Uraian dalam deskripsi hasil penelitian disusun berdasarkan rumusan masalah yang
kemudian dibahas sebagai dasar untuk merumuskan kesimpulan dan rekomendasi
penelitian.
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
4.1.1 Sosiografi Cigugur-Kuningan
Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai
dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Kelurahan Cigugur termasuk pada
wilayah administratif Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kuningan dengan
luas wilayah 300 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara: berbatasan dengan Kelurahan Cipari
b. Sebelah Timur: berbatasan dengan Kelurahan Kuningan
c. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kelurahan Sukamulya
d. Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana
Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke arah Barat dari pusat kota
Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari permukaan laut. Bentuk
permukaan tanahnya berupa perbukitan dengan keadaan tanah yang subur karena
merupakan hasil pelapukan yang berasal dari gunung Ciremai. Di daerah Cigugur,
terdapat tiga sumber mata air ini dipergunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan
113
sehari-hari dan mengairi areal pesawahan. Disamping itu, banyak penduduk yang
mempergunakan air tersebut untuk memelihara ikan tawar dengan membuat kolam.
Kelebihan air yang dihasilkan dari ketiga mata air itu untuk mensuplai kebutuhan air
sebagian masyarakat kelurahan Kuningan dan Cirebon (Suganda, 2003 dalam http : //
www.urang sunda.Or.Id)
Wilayah Cigugur terdiri dari 38 RT, 13 RW dan 4 lingkungan yaitu:
Lingkungan Manis, Lingkungan Pahing, Lingkungan Puhun, dan Lingkungan Wage.
Keseluruhan lahan di Cigugur, umumnya dipergunakan sebagai perumahan,
pertanian, ladang, kolam, fasilitas pemerintahan, pendidikan (sekolah), tanah
kuburan, hutan, tempat peribadatan, dan sarana umum lainnya (Arsip Kelurahan
Cigugur).
Cigugur termasuk salah satu wilayah termaju di daerah Kabupaten Kuningan.
Masyarakat Cigugur pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, peternak,
pedagang, dan pengrajin. Pertanian merupakan mata pencaharian yang paling banyak
dikerjakan oleh masyarakat Cigugur. Disamping itu, masyarakat Cigugur sebelah
barat pada umumnya mempunyai mata pencaharian sampingan sebagai peternak.
Mereka memelihara sapi perah yang susunya ditampung oleh sebuah koperasi besar
yang dikenal dengan Koperasi Dewi Sri Bahagia. Koperasi ini mensuplai kebutuhan
susu bagi pabrik-pabrik susu di Jakarta.
114
Kelurahan Cigugur memiliki beberapa daya tarik yang khas diantaranya:
1. Kolam renang Cigugur yang oleh penduduk sekitarnya disebut sebagai
Balong Girang. Di dalamnya terdapat ratusan ikan yang dianggap keramat
oleh masyarakat
2. Situs Purbakala Cipari terletak di kampung Cipari (± 1,5 m dari Kantor
Kelurahan Cigugur). Penemuan Situs Purbakala Cipari pada tahun 1972 yang
bermula dari informasi yang diberikan oleh Wijaya, seorang pengunjung
pameran kepurbakalaan yang diselenggarakan di Gedung Paseban Tri Panca
Tunggal. Ia menuturkan bahwa pernah menemukan batu yang bentuk dan
ukurannya mirip tutup peti kubur batu yang ada di pameran. Informasi ini
ditindak lanjuti oleh Pangeran Djatikusumah sebagai Ketua Tim Survei
Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kuningan dengan mengadakan penggalian
di sekitar tempat papan batu ditemukan. Pembangunan taman purbakala
Cipari dilaksanakan pada tahun 1976 yang pelaksanaannya mendapat bantuan
dari Yayasan Pendidikan Tri Mulya Cigugur.
3. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal yang merupakan pusat kegiatan ADS.
Bentuk bangunan ini mempunyai ciri khas dan berbeda dengan bentuk
bangunan-bangunan lainnya. Di dalam gedung ini terdapat belasan ruangan
yang besar dan kecil. Tiang-tiang dan langitnya penuh dengan ukiran kayu jati
yang indah dan dindingnya dihias gambar-gambar relief yang indah. Diantara
ruangan sekian yang besar, terdapat satu ruangan yang dikenal dengan Hawu
Agung yang merupakan sebuah dapur (Hawu) berbentuk Mahkota Dewa
115
Wisnu. Di gedung ini sering diadakan kegiatan-kegiatan seni budaya sunda
yang berorak khas dibandingkan dengan seni budaya sunda di daerah-daerah
Jawa Barat lainnya.
Keseluruhan penduduk yang menempati kelurahan Cigugur pada saat
penelitian dilaksaanakan berjumlah 7.198 orang yang terdiri dari 3. 688 orang laki-
laki dan 3.510 orang perempuan, dengan 600 kepala keluarga. Disamping itu
umumnya masyarakat kelurahan Cigugur menempuh pendidikan formal, hal ini
didukung dengan adanya sarana dan prasarana pendidikan, yaittu: TK (2 buah),
SD/MI (3 buah), SLTP/MTS (2 buah), SMA/MAN (2 buah), dan Perguruan Tinggi (1
buah), (Arsip Kelurahan Cigugur).
4.1.2 Kehidupan Beragama
Dalam proses kehidupan beragama, Cigugur merupakan satu wilayah yang
mempunyai keragaman beragama dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten
Kuningan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa agama di Cigugur dan
satu kepercayaan yang dianut masyarakat Cigugur, yaitu agama Islam, Katholik,
Protestan, Hindu, Budha, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
yang Maha Esa. Untuk lebih jelasnya, berikut data jumlah pemeluk agama di Cigugur
pada tabel 4.1.
116
Tabel 4.1
Pemeluk Agama di Cigugur menurut Agama dan Kepercayaan yang Dianut
No Agama Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Islam
Katholik
Protestan
Hindu
Budha
Lain-lain
4.128
2.656
219
2
1
155
Jumlah 7161
Sumber : Kantor Kelurahan Cigugur, 2008/2009
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat Cigugur adalah
pemeluk agama Islam. Meskipun demikian, keanekaragaman keyakinan pada
umumnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Cigugur dan dapat hidup
rukun saling berdampingan. Hubungan sosial anatara warga yang berbeda keyakinan
dapat berjalan dengan baik dan semua warga dapat menjalankan ibadahnya dengan
tenang. Di kelurahan Cigugur bukanlah hal yang aneh jika dalam satu keluarga lebih
dari satu keyakianan. Misalnya ibu atau bapaknya menganut agama Katholik
kemudian anak-anaknya menganut agama Islam atau Penghayat Kepercayaan.
Perbedaan keyakianan tersebut tidak menimbulkan ketegangan di antara mereka,
hubungan diantara anggota keluarga tetap terjalin dengan serasi dan masing-masing
tetap menjalankan ibadahnya dengan baik.
117
Masyarakat Cigugur terbiasa untuk hidup bergotong royong dan bekerjasama
dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini terjadi disebabkan banyak diantara orang-
orang dari beberpa kelompok penganut agama dan kepercayaan itu memiliki rasa
toleransi yang tinggi untuk saling membantu dan hidup dengan kekeluargaan. Jadi,
pemeliharaan rasa kebersamaan dan kedamaian seakan telah menjadi kebiasaan yang
paling utama. Ajaran dan keyakianan yang terdapat dalam masing-masing kelompok
tampaknya mendukung dan menjamin terlaksanaya kehidupan yang mengutamakan
kerukunan dan rasa toleransi.
4.1.3 Latar Belakang Kemunculan Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan
Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal oleh awam
kebanyakan dikembangkan oleh Madrais. Sebagaimana dikembangkan oleh
Straathrof (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202,
dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh
Djatikusumah, 2008:1) bahwa “Pendiri Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa adalah Pangeran Madrais Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, putra
Pangeran Alibasa 1, Sultan Gebang”. Padahal sesungguhnya pangeran Madris tidak
bermaksud mendirikan suatu agama baru bahkan Kepercayaan Penghayat sekalipun.
Pelabelan agama atau kepercayaan penghayat itu sendiri merupakan atau
berangkat dari penilaian dasar teologia pemerintahan jajahan Belanda pada saat itu
terhadap hal-hal yang dijabarkan oleh Pangeran Madrais. Madrais pada dasarnya
118
hanya mengembangkan dasar-dasar religiusitas adat karuhun Sunda (nenek moyang
Sunda) yang melandaskan pada Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu (tiga pokok kehidupan
yang terdapat dalam wujud manusia dan di bumi).
Nama Madrais yang sebenarnya adalah Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma
Wijaya Ningrat salah seorang keturunan Gebang dengan silsilah keluarga sebagai
berikut:
1) Pangeran Wira Sutajaya
2) Pangeran Seda Ing Demung
3) Pangeran Nata Manggala
4) Pangeran Seda Ing Tambak
5) Pangeran Seda Ing Garogol
6) Pangeran Dalam Kebon
7) Pangeran Sutajaya Upas
8) Pangeran Sutajaya II
9) Pangeran Alibasa.
Silsilah keturunan ini tidak banyak diketahui orang, masyarakat Cigugur
sekalipun tidak mengetahuinya. Mereka mengetahui bahwa Madrais masih keturunan
Kepangeranan Gebang dan ada hubungannya dengan Kesultanan Cirebon. Dalam
silsilah keluaga, Pangeran Alibasa disebut juga dengan nama Pangeran Surya Nata
atau Pangeran Kusuma Adiningrat, karena ada perseturuan dengan pemerintah
Belanda sebagai penjajah kemudian pangeran Surya Nata pada tahun 1825 dititipkan
119
kepada Ki Sastrawadana di Cigugur dengan maksud agar beliau dapat meneruskan
leluhurnya dalam menentang penjajahan.
Sekitar tahun 1840 Pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur.
Meskipun beliau telah kembali ke Cigugur, beliau sering meningggalkan Cigugur
untuk berkelana sampai ke beberapa daerah seperti Kuningan, Cisuru, Ciamis,
Tasikamalaya, Garut, Bandung, dan beberapa daerah lainnya di tatar sunda dengan
maksud menimba pengetahuan, (diantaranya medalami agama Islam). Setelah
menetap kembali di Cigugur, beliau mendirikan ”mendirikan” atau perguruan tempat
orang belajar dan menimba ilmu hakekat kehidupan sebagai manusia (pada saat itu
padepokan ini dianggap sebagai pondok pesantren oleh awam). Pada akhirnya di
Cigugur dikenalah ”padepokan Kiyai Madrais”.
Menilik pada etimologi gelar atau sebutan Kiai ini berasal darai dua sebutan
kata yaitu Ki dan Yai. Sebutan Ki dan Yai sesungguhnya meiliki persamaan makna
adalah panggilan pada seorang ”kolot” atau seorang ”tetua” atau ”sepuh”. Sehingga
bilamana digabungkan dua kata tersebut menjadi Kiai, dimana makna gelar sebutan
Kiai ini banyak dipakai untuk kalangan ulama Islam. Sementara makna
sesungguhnya memiliki makna universal sebagai ”sesepuh atau yang dipertua dan
dihormati” dan tidak hanya milik keyakinan saja. Bahkan sebutan yang biasa dipakai
bagi Madrais adalah Kiayai Madrais bukan Kiai Madrais. Artinya pula sebutan atau
gelar Kiai sesungguhnya bukan semata-mata murni berasal dari tradisi agama tertenu
(Islam) tetapi merupakan sebutan penghargaan bagi seseorang yang dipertua atau
sesepuh dalam kebudayaan Sunda dan Jawa. Bahkan sebutan itu juga berlaku bagi
120
benda-benda pusaka atau sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan. Namun gelar ini
banyak dipakai juga bagai para ulama dalam kultur Islam.
Nama Kiayi Madrais itu sangat terkenal hingga ke Pesantren Heubeul Isuk
dan Ciwedus (daerah Gebang) sebagai seorang yang pandai dan berpengaruh. Ketika
pihak Keraton Cirebon mengakui kebangsawanannya, beliau menggunakan nama
Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat. Dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin pondok Pesantren yang pada mulanya mengajarkan agama Islam beliau
lebih dikenal dengan nama Kiyai Madrais. Sejarah berdirinya ajaran Kiayi Madrais
ini, tercatat dalam dokumen kejaksaan Negeri Kabupaten Kuningan No.
227/KK/IX/1964 tertanggal 25 September 1964.
Pada zaman kolonial Belanda, perkembangan Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh Kiyai Madrais kemudian diakui dan
terdaftar sebagai adat rech atau hukum adat. Pada masa itu, setiap perkawinan secara
hukum Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dicatatkan
secara resmi oleh pejabat daerah setempat setingkat patih yang dikenal dengan
wedana.
Dengan demikian, pada awal ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa di Cigugur bersifat komunitas keadatan. Bahkan penamaan
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri pun
sesungguhnya pada awalnya bukan dari Kiayi Madrais sendiri, tetapi merupakan
sebutan ajaran dari orang lain yang memahami dan mengapresiasi ajaran Kiayi
Madrais yang sering mengajarkan nilai kebangsaan dalam tradisi budaya spiritual
121
Sunda dan Jawa masyarakat menyebutnya sebagai Agama Djawa Sunda. Namun pada
perkembangannya kemudian, kolonial Belanda mencium adanya upaya penanaman
kesadaran berbangsa yang dianggap berbahaya oleh kolonial penjajah saat itu, dalam
ajaran yang dikembangkan Kiyai Madrais. Sampai pada akhirnya diketahuilah oleh
kolonial Belanda bahwa Kiayi Madrais ini adalah salah seorang keturunan dari
Kesultanan Gebang yang pernah melawan VOC pada pemerintahan kolonial Belanda
di masa lalu.
Berbagai upaya dilakukan penjajah Belanda untuk menghasut dan
menumbuhkan ketidakpercayaan para pengikut Madrais bahkan sampai pada upaya
politik adu domba dengan sesama padepokan atau pondok pesantren yang ada di
Cigugur. Upaya kolonial penjajah Belanda saat itu berhasil, di mana puncaknya
membubarkan Komunitas Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan melarang penyebaran ajarannya. Selain itu, penjajah Belanda menangkap dan
membuang Kiyai Madrais Tanah Merah atau Boven Digul di Irian Barat (Papua) pada
tahun 1901.
Sekembalinya Kiyai Madrais dari pembuangan, beliau tidak mengajarkan
ajarannya secara langsung, tetapi melalui strategi bertani tanaman bawang merah.
Karena pada saat itu keberadaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa masih dilarang, maka pertemuan dengan para pengikutnya
yang masih setia adalah dengan cara bertani bawang merah tersebut.
Sepeninggalannya Kiyai Madrais pada tahun 1939 Masehi, perkembangan Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa kemudian diteruskan
122
oleh Putra Pangeran Sadewa Kusuma Wijaya Ningrat (Kiyai Madrais) yaitu oleh
Pangeran Tedja Buwana.
Pada masa Pangeran Tedja Buwana, inilah gejolak muncul lagi pada
pemerintahan transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Gejolak ini dikarenakan masih
kuatnya stigmatisasi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa atau Madraisme ini sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam
sehingga memaksa pimpinan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa saat itu yaitu pangeran Tedja Buwana membubarkan organisasi
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (pada sekitar
tahun 1964) dan berpindah menganut keyakinan agama-agama yang dianggap” diakui
negara pada saat itu (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
Kebanyakan para pengikut eks Penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa banyak menganut agama Katholik atau Kristen pada
umumnya, sesuai dengan amanat dari sesepuh Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu pangeran Tedja Buwana yang
menyatakan bahwa: ”sementara untuk berteduh di bawah pohon cemara putih”
(sebagian kecil saja yang menganut Islam) (wawancara dengan Gumirat Barna Alam,
23 Juni 2009).
Kondisi ini mengingat secara politis memang terjadi provokasi atau
pendiskriminasian oleh sekelompok umat Islam di Cigugur yang dipimpin seorang
ulama setempat bernama Kiai Mad Tohir. Selain itu, karena beberapa hal dalam
tradisi atau ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
123
Maha Esa yang dianggap bertentangan dengan tradisi Islam kebanyakan, justru tidak
dipermasalahkan oleh ajaran kaum Kristiani (Jejak Sejarah Komunitas ADS,
2008:11)
Dalam meneruskan perjuangan menentang penjajahan kolonial Belanda
sebagai amanat dari leluhurnya, Kiayi Madrais tidak melakukannya dengan cara adu
kekuatan fisik, tetapi melalui penanaman rasa kepribadian dan persatuan bangsa.
Sebab jika rasa kepribadian dan persatuan bangsa sudah tertanam, maka dengan
sendirinya masyarakat akan menentang dan melawan terhadap pemerintah kolonial
Belanda.
Dalam menanamkan tentang pentingnya persatuan bangsa, Kiyai Madrais
sangat menonjolkan unsur-unsur budaya spiritual Sunda. Selain mengupas tuntunan
budaya spiritual sistem kepercayaan Sunda, Kiyai Madrais juga mengajarkan atau
mengupas hakekat ajaran agama-agama yang sudah ada (Islam, Kristen dan
sebagainya). Hal ini dilakukan bertujuan untuk dapat menemukan titik persamaan
dalam ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar bagi terwujudnya cinta kasih
terhadap sesama. Hal demikian sangat diperlukan dalam menumbuhkan rasa
persatuan kebangsaan.
Karakter spiritual yang berwawasan kebangsaan dan Pluralis dari ajaran dan
sifat Kiyai Madrais ini juga sesuai dengan semangat dan karakter spiritual Rahiang
Tangkuku atau Seuweu Karma, seorang Prabu dari Kerajaan Saung Galah di
Kuningan, yang mikukuh ”tapak Dangiang Kuning” yaitu ajaran keparamartaan
(ajaran kebijakan dalam menata kehidupan manusia yang berpedoman pada Dasa
124
Pasanta berupa Parigeuing). Penonjolan unsur-unsur budaya yang dikembangkan
oleh Kiyai Madrais memberikan corak yang tersendiri yang berbeda dari padepokan
atau pesantren lainnya. Perbedaan lainnya selain ajaran yang mengakar pada unsur-
unsur budaya Sunda dan Jawa, juga adanya beberapa perubahan seperti khitanan
tidak diwajibkan bagi para pengikutnya, kecuali alasan tertentu yang berhubungan
dengan kesehatan seseorang yang jalan keluarnya terpaksa harus dikhitan. Selain itu,
tata cara penguburan jenasah menggunakan peti (biasanya terbuat dari peti kayu jati).
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, oleh para kiai yang lainnya dianggap
merupakan suatu penyimpangan terhadap ajaran Islam dan dinyatakan bahwa Kiyai
Madrais mendirikan Agama Djawa Sunda (yang selanjutnya dikenal dengan sebutan
Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa).
Penamaan ADS atau Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa terhadap ajaran yang dikembangkan oleh Kiyai Madrais tidak dinyatakan
oleh Kiyai Madrais sendiri, namun penamaan tersebut dinyatakan oleh pihak luar.
Berdasarkan penamaan tersebut, Kiyai Madrais tidak menolak dan tidak melakukan
pembantahan. Meskipun orang menamainya Agama Djawa Sunda, Kiyai Madrais
sama sekali tidak bermaksud menambah jumlah agama dan tidak bermaksud
menciptakan agama baru.
Dalam perkembangan selanjutnya, paham Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipimpin oleh Kiyai Madrais semakin
diintensifkan. Pendalaman paham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa kepada para pengikutnya dipusatkan di Cigugur. Pada waktu Kiyai
125
Madrais mengembara ke beberapa daerah di tatar Sunda seperti Kuningan, Cisuru,
Ciamis, Garut, Bandung, dan beberapa daerah lainnya, banyak yang tersentuh oleh
fatwa-fatwanya, terutama oleh pancaran kekuatan kepribadiannya dan
keteladanannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bila kita merujuk pada istilah Soekanto (2004), maka tipe kepemimpinan
yang dimiliki oleh Kiai Madrais berdasarkan wataknya adalah tipe pemimpin di muka
dan di belakang. Digolongkan pada tipe ini, karena Kiai Madrais adalah seorang
pemimpin yang mempunyai idealisme kuat dan mampu menentukan tujuan serta cita-
cita yang diinginkan kepada para pengikutnya dengan jelas dan mampu mengikuti
perkembangan masyarakat. Dari aspek wewenang, kepemimpinan Madrais termasuk
pada tipe kepemimpinan kharismatik. Rintangan dari pihak luar yang mencoba untuk
menghambat Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat
disikapi dengan bijaksana oleh Kiai Madrais.
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak
mempunyai kitab suci (tertulis) sebagaimana agama-agama lainnya. Kitab Suci yang
dimaksudkannya bukan berbentuk kitab tertulis (buku) sebagaimana dalam agama-
agama lainnya. Kitab suci yang disebut kitab suci ”titis tulis” yang berarti wujud
pribadi manusia itu sendiri. Kiyai Madrais lebih menitikberatkan pada kesadaran diri
baik fungsi diri selaku manusia maupun fungsi diri selaku suatu bangsa (Jejak Sejarah
Komunitas ADS, 2008:11).
Pada tahun 1939 Kiyai Madrais meningggal dunia kedudukannya dalam
mengajarkan faham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
126
dilanjutkan oleh Putranya bernama Pangeran Tedja Buwana Alibassa. Pada Tahun
1956 ajaran yang dikembangkan oleh Madrais di bawah pimpinan Pangeran Tedja
Buwana Alibassa terdaftar pada Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI), dan
kepemimpinannya dilanjutkan oleh cucunya bernama Pangeran Djatikusumah.
Selanjutnya dengan terbentuknya Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (HPK) pada tahun 1981 membentuk lembga secara formal dengan sebutan
Paguyuban Adat Karuhun Urang (PACKU) di bawah pimpinan Pangeran
Djatikusumah dan terdaftar pada Direktorat Jenderal Bina Hayat dengan nomor
192/R.3/N.1/1982 yang wilayah kerjanya meliputi Jawa Barat dan sekitarnya.
Pangeran Djatikusumah telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya,
yaitu Gumirat Barna Alam untuk meneruskan ajaran Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus
bersikap netral dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusumah
lainnya bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain (wawancara dengan
Djatikusumah, 23 Juni 2009).
4.1.4 Hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Penganut Kepercayaan
dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Setiap kepercayaan, baik itu dikategorikan sebagai suatu agama atau suatu
aliran kepercayaan pasti memiliki ajaran dan pemikiran yang menjadi landasan
perkembangan kepercayaan itu. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang didirikan oleh Kiayi Madrais ini mempunyai suatu ajaran dan
127
pemikiran tersendiri. Kiai Madrais berusaha untuk mencari titik temu dari ajaran
agama yang ada, dengan tetap berusaha untuk menjunjung tinggi budaya yang
dimilikinya.
Bila ditinjau dari sudut pandang Islam, ada kesamaan konsep ajaran
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesamaan itu
diantaranya:
1. Mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dalam ajaran Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan
Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa sangat mempercayai akan kekuasaan dan kekuatan Tuhan,
sehingga mereka selalu mengandalkan segala sesuatunya kepada kekuatan Tuhan.
Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Al Ikhlash : 1-4) yang berbunyi:
”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”.
2. Mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan
memiliki kewajiban untuk menjaga alam dan seisinya. Hal ini sejalan dengan
Kitab Suci Alquran yang berbunyi:
a) Q.S. Al Qashash ayat 77 ” Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai oarang-orang yang berbuat kerusakan”.
128
Kepercayaan bahwa manusia adalah manusia sempurna yang mempunyai
kewajiban untuk menjaga alam dan seisinya menjadikan dasar ajaran dan pemikiran
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dituangkan
dalam Pikukuh Tilu. Dalam Pikukuh Tilu sangat ditekankan bahwa manusia
mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam sehingga membantu
ciptaan Tuhan yang lainnya kembali lagi kepada penciptanya.
Satu yang berbeda dari pandangan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa bila ditinjau dari ajaran Islam adalah keberadaan Tuhan. Umat
Islam meyakini bahwa selain Tuhan berada dekat dengan setiap ciptaan-Nya dan
selalu menjaga alam dan seisinya (imanen), Tuhan juga merupakan Zat Yang Maha
agung, Maha besar, Maha sempurna kebesaran-Nya, Bagi-Nya segala kerajaan, Maha
kuasa atas segala sesuatu dan tidak terjangkau oleh manusia (transenden). Tuhan
bukan hanya tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi berada di sekitar kita, bahkan
berada di setiap jiwa manusia. Hal ini membuktikan bahwa kuasa Tuhan begitu besar
dan tak terbatas. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Al-Baqarah ayat 186),
(Al-Baqarah 115), (Al-Qaaf ayat 16) yang berbunyi:
a) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
b) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui.
129
c) Al-Qaaf ayat 16 Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Kepercayaan akan adanya Tuhan bagi penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dasar bagi segalanya. Ajaran
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa
Tuhan itu ada dan Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha adil, Maha Esa, dan Maha
Pengasih terhadap alam dan seisinya. Keesaan Tuhan ini disimpulkan dalam
perkataan yang disebut dengan Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji (Pangeran Yang
Tunggul). Ia adalah Allah Maha Pencipta alam semesta serta segala isinya.
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menganggap bahwa
Gusti Allah tidak berbentuk, tidak berwujud, tidak bisa ditentukan jenis dan
tempatnya (sawabnya). Tuhan tidak jauh dan tidak terpisahkan dari semua
ciptaanNya terutama makhluk beriman yaitu manusia, makhluk yang paling tinggi,
paling tinggi diantara makhluk lainnya (Yayasan Tri Panca Tunggal : 2).
Sawab atau arus kekuatan dan sifat-sifat Allah pencipta dipercaya ada
bersemayam dan hidup di setiap ciptaannya, khususnya manusia sebagai ciptaan
Tuhan yang paling sempurna. Menurut ajaran Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap diri manuisa bersemayam
daya dan citra (sifat-sifat Tuhan ) lebih dari makhluk-makhluk lainnya. Manusia
dianugerahi oleh Tuhan berupa budi, sir, rasa, pikir (batin), dan iman (wawancara
dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
130
Sekalipun kepercayaan akan Tuhan merupakan landasan terdalam bagi ADS,
Suhandi (1988: 194) menilai bahwa dalam perkembangan, pengajaran, dan penerapan
praktisnya kepercayaan itu lebih langsung dipusatkan kepada manusia sendiri, kepada
sifat-sifatnya yang khas, hubungannya yang khas pula dengan alam semesta, dan
keluhuran serta tanggung jawabnya sebagai manusia yang sempurna. Disinilah
kiranya pandangan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan aliran kebatinan umumnya lebih condong ke arah antroposentris.
Pemahaman bahwa kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih cenderung bersifat antoposentris, tidak terlepas
dari konsep immanen yang diyakininya. Menurut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa Tuhan berada di dalam setiap ciptaan-Nya baik itu
yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Pemikiran seperti ini menurut Bakhtiar
(1999: 93-95) termasuk ke dalam aliran panteisme. Menurut aliran ini Tuhan sangat
dekat dengan alam, mempunyai penampakan-penampakan atau cara berada di alam.
Disamping mempunyai sifat maha Esa, Tuhan dalam pandangan aliran ini
mempunyai sifat Maha Besar dan tidak berubah. Berdasarkan keyakinan ini, segala
sesuatu yang terbatas, seperti dunia dan segala isinya tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan sangat tergantung pada substansi yang satu, yaitu Tuhan. Substansi yang
Satu itu, berada di dalam segala sesuatu yang beraneka ragam. Jadi keanekaragaman
hanyalah merupakan gambaran dari cara berada Tuhan.
Konsep hidup dan mati yang diyakini oleh Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih dikenal dengan istilah Sampuraning Hirup
131
Sajatining Mati (Kesempurnaan Hidup Dan Mati). Berdasarkan arsip Yayasan Tri
Mulya (1960/1915 Saka), ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa dapat dibagi menjadi dua, yaitu mengenai:
a. Papasten manusia sebagai makhluk utama, makhluk yang terpilih oleh Tuhan
untuk menyempurnakan dunia. Manusia sebagai perantara roh-roh segala
ciptaan Allah supaya dapat kembali ke Penciptanya.
b. Kewajiban manusia untuk selalu menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh
Tuhan dalam mengukur semua gerak batin, segala ucapan, dan mengukur
semua tingkah laku hidup manusia.
Kedua ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa ini menunjukan bahwa manusia mempunyai peranan yang sangat penting
di dunia ini. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna mempunyai tugas
untuk menjaga alam dan seisinya sehingga dapat kembali kepada Sang Pencipta.
Manusia harus mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam dan isinya sehingga
pada akhirnya manusia dapat mensyukuri ciptaan Tuhan dan memuliakan nama-Nya.
Ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa juga
mengajarkan bahwa manusia hendaknya selalu berada di jalan Tuhan. Penulis setuju
dengan hal ini, karena setiap manusia diwajibkan untuk mewujudkan segala perintah
Tuhan dalam setiap gerak langkahnya, yang pada akhirnya akan kembali memuliakan
nama-Nya.
Kedua pokok ajaran itu bertujuan untuk membentuk manusia yang “Sempurna
Hidupnya dan Sejati Matinya (Sampuraning Hirup, Sajatining Mati)”. Hidup
132
Sempurna adalah manusia diharapkan selalu hidup di jalan Tuhan, sadar dan mengerti
apa yang harus dilakukan untuk dirinya, sesamanya, bangsa dan negaranya, yang
pada akhirnya bertujuan untuk memuliakan Tuhan. Hidup yang sempurna adalah
sempurna dalam Sir, Rasa, dan Pikiran. Sempurna dalam setiap langkah dan tingkah
laku dalam mengerjakan setiap tugas yang dibebankan kepadanya. Jadi hidup
sempurna menurut ialah apabila manusia sudah bisa hidup sebagai manusia sejati
sesuai dengan kodratnya (papasten) (wawancara dengan Subrata, 23 Juni 2009).
Mati Sejati, ialah apabila manusia bisa pulang kembali ke asalnya (Tuhan).
Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini
bahwa manusia asalnya dari Tuhan dan kembali lagi pada Tuhan. Menurut
kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
mati sejati adalah Mati pur Katut, yaitu mati tanpa meninggalkan jasad kasarnya
karena manusia itu berasal dari yang tidak ada kembali ke tidak ada lagi. Tidak ada
karena pada hakekatnya manusia berasal dari roh, abstrak, dan misteri. Mati yang
sejati akan terjadi dengan sendirinya apabila manusia yang mati itu sudah sempurna
selama hidupnya (wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 23 Juni 2009).
Jika Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki
pandangan tentang hidup dan mati tersebut, maka menurut pandangan yang dimiliki
oleh agama Islam. Agama Islam meyakini bahwa apabila manusia mampu mencintai
Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh,
dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini
sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi:
133
”Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”.
Satu hal yang berbeda dengan agama Islam, yang meyakini bahwa manusia
berasal dari yang tidak ada kembali menjadi yang tidak ada. Konsep bahwa ”jasad
berasal dari tanah kembali lagi ke tanah”. Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa baik jasad maupun jiwa akan kembali
kepada Tuhan, karena sama-sama berasal dari yang tidak ada.
Pikukuh Tilu merupakan pokok ajaran Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tiga asas dasar Ajaran ini pernah mengalami tiga
kali penyempurnaan redaksional. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan jaman.
Naskah asli Pikukuh Tilu disajikan dalam bentuk pupuh Sunda dengan menggunakan
bahasa Sunda buhun. Untuk mempermudah para pemeluk Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menghayati ajarannya, maka Pikukuh
Tilu disadur ke dalam bahasa Sunda biasa, kemudian disadur lagi ke dalam bahasa
Indonesia.
Adapun Pikukuh Tilu yang penulis kaji adalah Pikukuh Tilu berbahasa
Indonesia. Pikukuh Tilu terdiri dari tiga dasar pokok, yaitu:
1. Ngaji Badan adalah memilih dan menyaring roh hirup tanah pakumpulan
(memilih dan menyeleksi dengan selektif) agar tetap berada di jalan Tuhan.
Manusia telah dianugrahkan oleh Tuhan lima sifat yang dikenal dengan cara
ciri manusa, yaitu: Welas Asih (cinta kasih), Tatakrama adalah etika dan
134
aturan hidup yang baik di masyarakat, undak-usuk adalah tahap-tahap dan
status sosial yang menentukan sikap hidup, budi basa-budi daya, sikap dan
ucapan, wiwaha yuda naraga, yaitu mengukur, menimbang, dan memikirkan
setiap ucapan dan tindakan yang akan dilakukan. Kelima sifat yang
dianugerahkan oleh Tuhan ini diharapkan tetap mampu dipertahankan,
sehingga manusia mampu melaksanakan papastennya itu.
2. Iman Kana Tanah yang terbagi menjadi dua, yaitu: tanah amparan dan tanah
adegan. Tanah amparan adalah tanah/bumi yang kita pijak. Alam jagad raya
dengan manusia yang lahir di dalamnya merupakan ciptaan Tuhan. Manusia
diciptakan oleh Pangeran Sikang Sawiji-wiji sebagai manusia yang sempurna,
karena dianugerahi oleh Tuhan sir, rasa, dan pikiran (cipta, karya, dan karsa)
yang menyebabkan manusia dapat berfikir dan berkreasi untuk mengolah dan
memanfaatkan alam tanpa harus merusaknya. Manusia juga mempunyai
kewajiban membantu ciptan Tuhan yang lainnya untuk kembali kepada
pencipta-Nya.
Dengan demikian, manusia wajib menyempurnakan segala ciptaan
Tuhan. Oleh karena itu, iman kana tanah berarti manusia mempunyai
kewajiban untuk menjaga dan melestarikan bumi dan isinya yang diciptakan
oleh Tuhan. Pengertian tanah sebagai tanah adegan, yaitu berupa wujud fisik
manusia (rupa jeung wanda).
Para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa mempercayai bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam lima
135
kebangsaan inti (cara- ciri bangsa) yang berbeda rupa/warna kulit, bahasa,
aksara/huruf, adat istiadat, dan budaya. Kelima kebangsaan inti yang
diciptakan oleh Tuhan adalah: bangsa Belanda/Eropa/Kulit Putih, bangsa
Hindu/Kulit Tembaga, Bangsa Arab/Kulit Hitam, bangsa Cina/Kulit Kuning,
dan Bangsa Sunda/Kulit sawo matang. Urutan kelima bangsa ini berasal dari
yang terkecil menuju yang terbesar berdasarkan sifat dan kesempurnaannya.
Pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa meyakini bahwa bangsa Sunda merupakan bangsa penyempurna dari
kelima bangsa yang ada. Setiap bangsa itu akhirnya melakukan persilangan
dan percampuran sehingga menimbulkan banyak bangsa seperti sekarang ini.
3. Ngiblat ka Ratu Raja 3, 2, 4, 5, lilima, 6. Ngiblat adalah menghadap,
mengimani, atau menghayati. Ratu raja adalah bahasa simbol untuk segala
sesuatu yang rata atau adil dan Raja simbol mengolah atau memperlakukan
sesuatu agar menjadi rata atau adil. Unsur 3 menggambarkan sir, rasa, dan
pikiran yang merupakan komponen batin manusia, unsur 2 menggambarkan
polaritas alam yang berpasangan, unsur 4 menggambarkan geraknya 2 kaki
dan tangan. Sedangkan unsur 5 menggambarkan panca indera, unsur lilima
menggambarkan fungsi dari organ tubuh yang lain, dan unsur 6
menggambarkan wujud manusia secara utuh (Yayasann Tri Mulya, 2007: 24).
Hal ini berfungsi untuk menggambarkan bentuk dan rupa setiap bangsa dan
kebudayaan yang dimilikinya. Selain itu ngiblat ka ratu raja berarti
menghadap atau mentaati apa saja yang dapat mengatur atau menata segala
136
sesuatu yang tidak teratur dan tidak seimbang (tidak rata). Seperti
pemerintahan, peraturan atau perundang-undangan, hukum dan hak asasi.
Pikukuh Tilu merupakan tuntunan tentang konsep kesempurnaan hidup yang
dibuat oleh Kiai Madrais. Pikukuh Tilu mengajarkan bagaimana manusia harus
menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna,
sehingga mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam guna
membantu ciptaan Tuhan yang lainnya kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena
itu, ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih
menekankan kepada Tuhan yang bersifat imanen (penjaga alam semesta).
Setiap pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
ditanamkan kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam setiap ciptaan-Nya, sehingga
dalam setiap langkah dan gerak manusia, setiap pemeluk Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diharapkan selalu mengingat Tuhan dan
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Bila manusia sudah dapat
melaksanakan Pikukuh Tilu dengan baik, maka kelak ia akan memperoleh hidup yang
sempurna.
Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
tertuang dalam Pikukuh Tilu tersebut mempengaruhi waktu, cara, dan tempat
beribadah Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mewajibkan para
penganutnya untuk beribadat pada setiap saat kapan saja dan di mana saja, terutama
pada saat berfikir, hendak berbuat sesuatu, hendak berkata-kata, dan sebagainya.
137
Dengan kata lain, para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa diwajibkan untuk melakukan ibadat ketika hendak melakukan suatu
kegiatan. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai ciptaan Tuhan diwajibkan untuk
menyembah, memuja, berbakti, dan mengabdi kepada Tuhan baik secara langsung
maupun tidak langsung (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
Cara terbaik yang dilakukan oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan ibadahnya ialah dengan bersamadi.
Bersemadi menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan si sakarupa sorangan, yaitu suatu
keadaan dimana manusia bisa berhadapan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Bila
manusia bisa berdialog dengan dirinya, maka ia diharapkan seperti melihat dan
berdialog dengan karya ciptaan Allahnya. Dalam ajaran Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan bahwa “Sing saha uninga
kana dirina sorangan, moal samar ka Allahna”. Adapun tujuan utama dilakukan
semadi adalah membersihkan dan membebaskan dirinya dari segala pengaruh tidak
baik yang berasal dari luar (Yayasan Tri Mulya, 1960: 22).
Menurut Suhandi (1988: 198) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni
2009) api merupakan benda simbolik bagi penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada dan dihadapi dalam setiap
peribadatan, terutama dalam peribadatan masal. Api memancarkan terang dan panas,
sehingga dapat menjadi simbol adanya suatu kehidupan. Proses hidup dan mati yang
138
terjadi dalam diri manusia, titisan roh kehidupan hanya dapat terlaksana lewat api,
tempat semua daya hidup diolah dan diselaraskan bagi manusia.
Menurut kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa, panas api tidak hanya terdapat dalam bumi dan benda-benda yang
memiliki cahaya, tetapi terdapat pula dalam setiap diri manusia. Panas api yang
berada di dalam setiap badan manusia bisa dipergunakan untuk menghancurkan daya-
daya pengaruh yang bisa mengubah sifat-sifat manusia sekaligus mengusirnya dari sir
(kemauan), rasa, dan pikiran manusia. Bila manusia menyadari tugasnya di alam
jagad ini untuk menampung, mengolah, menyaring, dan menolak daya-daya kekuatan
pengaruh yang ada di dalam alam semesta ini, maka apilah yang dijadikan cermin
dalam melakukan semadi. Di muka api, manusia diajak untuk memusatkan perhatian
kepada dirinya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan kepada kenyataan dan keadaan
yang sebenarnya. Sambil bersemadi manusia diajak ber-sisaka rupa pribadi,
membersihkan dan menyucikan diri. Api dipandang sebagai suatu alat penuntun
kepada Tuhan.
Menurut pandangan Kartapradja (1990:132) api dipandang sebagai sumber
dari segala kejadian, oleh karena itu Madraisme memuliakan api sejati, yang tidak
tampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan raba batin dan yakin. Konsep
pandangan ini dalam agama Islam bisa dikategorikan perbuatan syirik. Perbuatan
syirik termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT, sebagaimana
tercantum dalam (Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 8) bahwa: Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
139
dari (syirik) itu, barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa besar.
Memahami betapa kuatnya keyakinan Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa akan makna dan fungsi api dalam
sistem kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila mereka melalukan semadi di
depan api, baik api dapur, api lilin, atau bahkan api rokok sekalipun.
Doa merupakan hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari sikap dan
kelakuan konkret seseorang. Pengertian doa bagi Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sama dengan pengertian doa pada
masyarakat awam. Selain berdoa secara perorangan, Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya menyelenggarakan doa
bersama di pusat kegiatan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yaitu Gedung Paseban Tri Panca Tunggal.
Berdasarkan paparan tentang waktu dan cara beribadah, diperoleh gambaran
bahwa cara beribadah penganut Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa tidak mengenal waktu khusus, melainkan setiap waktu. Hal
ini berdasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai manusia setiap saat.
Pikukuh Tilu juga mempengaruhi Tata Cara Perkawinan Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hukum dan aturan
perkawinan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa pertama
kali diberlakukan pada tahun 1873, kemudian mengalami penyempurnaan pada tahun
1956. Penyempurnaan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu tidak mau
140
melibatkan petugas pemerintahan dalam upacara pernikahan dan merevisi peraturan
lama yang belum sepenuhnya menjalankan pokok ajaran Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam Pikukuh Tilu. Sebelum
disempurnakan, UU Perkawinan tahun 1873 masih melibatkan pegawai pemerintah
dalam pencatatan pernikahan dan belum mempersoalkan dilakukannya perkawinan
campur, baik yang bukan sesama Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa maupun berbeda suku bangsa. Untuk itulah UU Perkawinan
disempurnakan pada tahun 1956.
Tujuan Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
membuat Hukum Aturan Perkawinan sendiri adalah untuk menjaga kemurnian
bangsa. Ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa memandang bahwa di dunia ini manusia harus hidup rukun dengan sesamanya
dan berusaha untuk menjaga dan menghargai ciri khas budaya yang dimiliki oleh
bangsanya. Dengan kata lain, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa mencoba untuk mengejar kesempurnaan hidup sebagai manusia dan
sebagai bangsa. Berdasarkan tujuan pembuatan hukum perkawinan ini, maka dapat
dilihat bahwa Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa mencoba untuk menjaga kemurnian budaya bangsa (Sunda), sehingga terkesan
bersifat eksklusif (tertutup).
Dasar pemikiran inilah yang menyebabkan Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mengijinkan adanya perkawinan
campuran antar bangsa. Dalam ketentuan perkawinan dijelaskan bahwa: “Sedangkan
141
apabila seseorang melakukan atau menganjurkan perkawinan campuran antar bangsa-
bangsa, maka ia dianggap telah mengubah kodrat Tuhan yang dapat diartikan pula
mengurangi keimanan kepada-Nya dengan sadar ataupun tidak”. Apabila perkawinan
campuran terus dilakukan, maka “keaslian” bangsa akan lebih sulit ditentukan.
(dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam
pemaparan singkatjejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah,
2008:25-26) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni 2009).
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu
aliran kepercayaan yang sangat menjunjung tinggi kemurnian budaya bangsa Sunda.
Mereka mempercayai bahwa setiap bangsa mempunyai rupa/warna kulit, bahasa,
aksara/huruf, adat istiadat, dan budaya yang berbeda (cara-ciri bangsa). Oleh karena
itu untuk menjaga kemurnian dari cara ciri bangsa tersebut, Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa melarang adanya perkawinan campur.
Perkawinan campur dianggap sebagai suatu tindakan pelanggaran terhadap perintah
Tuhan. Keyakinan ini menurut penulis membuktikan bahwa Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
budaya yang dimilikinya sehingga tidak mau terkontaminasi oleh budaya lain yang
berasal dari luar. Hal ini bisa dimengerti karena kondisi sosial politik pada masa itu
menunjukan bahwa adanya penetrasi budaya barat yang sangat besar, terutama masa
penjajahan Belanda.
Aturan perkawinan itu disusun berlandaskan kepada asas dasar Kepercayaan
dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Pikukuh Tilu, khususnya
142
ajaran mengenai Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Oleh karena itu, dalam
Hukum Aturan Perkawinan (HAP) Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa banyak memuat ketentuan yang berhubungan dengan hak azasi (hak
untuk hidup) dan nilai-nilai manusia beradab dan berbudaya (manusia memiliki
tatanan nilai dan norma dalam kehidupan sosialnya), serta memuat mengenai nilai-
nilai kebangsaan (manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga kemurnian bangsa
yang dimilikinya) sebagai anugerah Tuhan.
Adapun larangan dari Hukum Aturan Perkawinan (HAP) Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu tidak boleh bercerai, tidak boleh
berpoligami atau berpoliandri, tidak boleh melakukan hubungan intim sebelum resmi
menikah, suami/istri tidak boleh menyakiti pasangannya, suami/istri tidak
diperkenankan mengabaikan kewajibannya dan tanggung jawabnya kecuali apabila
fisiknya tidak memungkinkan karena sakit (dalam BASIS majalah Kebudayaan
Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS
ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26).
Perkawinan menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa wajib hukumnya. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa memandang bahwa perkawinan adalah sesuatu yang suci dan sakral,
sehingga perkawinan harus bersifat monogami dan disetujui oleh orang tua kedua
pihak. Perkawinan tidak boleh terjadi karena adanya paksaan atau rekayasa tertentu.
Perkawinan ADS dianggap sah apabila berlangsung di hadapan kedua orang tua,
saksi, dan petugas pernikahan yang ditunjuk oleh Pimpinan Pusat Kepercayaan dan
143
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, memenuhi semua ketentuan HAP ADS,
dan terdaftar di instansi pemerintahan yang berwenang (Kantor Catatan Sipil/Kantor
Urusan Agama) (Straathnof , 1971: 50 ).
Tata Cara Penguburan yang dimiliki oleh Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan pemikiran bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan dengan beraneka ragam bentuk, nama, sifat dan karakter. Hal ini
bertujuan agar manusia dapat memanfaatkan dan melestarikan alam yang pada
akhirnya memuji kemuliaan Tuhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, ajaran
Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini bahwa
manusia baik lahir maupun batin harus benar-benar sempurna menuju kematian yag
sejati. Dalam istilah Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
dikenal sebagai ”Sampurnaning Hirup Sajatining Mati”. Sajatining mati oleh
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diartikan sebagai
“Mulih ka Jati Mulang ka Asal”, yaitu manusia berasal dari Allah kembali lagi ke
Allah dengan membawa roh susun-susun tanah pakumpulan ke maha penciptanNya
sakit (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam
pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah,
2008:26).
Pemikiran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
tentang kematian itu mendorong Kiai Madrais menciptakan cara penguburan baru
yang dianggap dapat membantu orang yang meninggal mencapai kesempurnaan
dengan kembali kepada sang Pencipta. Penguburan jenazah dilakukan dengan
144
menggunakan peti yang terbuat dari kayu jati. Hal ini merupakan simbol dari
“sajatining mati”. Selain itu, jenazah dibalut dengan kain kafan warna hitam yang
merupakan simbol “pulang ke jagat peteng/gaib”, ditaburi oleh arang kayu yang
merupakan simbol “supaya dosa-dosanya diserap dari jiwa almarhum”, dan ditaburi
kapur sebagai simbol “menghancurkan segala dosa” (dalam BASIS majalah
Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak
komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26).
Berdasarkan pokok-pokok ajaran yang dimiliki oleh Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka dapat dimengerti apabila
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa berusaha untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan manusia secara lahir dan batin. Manusia
dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena itu manusia
mempunyai kewajiban untuk mendasarkan segala prilaku hidupnya dengan ajaran
Tuhan.
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu
aliran kepercayaan yang berkembang pada akhir abad ke-19. Agama ini berkembang
cukup pesat di Jawa Barat, bahkan sampai ke Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Luasnya
penyebaran ini menunjukkan bahwa Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal tersebut menurut penulis
dikarenakan adanya seorang pemimpin yang kharismatik, berwibawa, dan mampu
meyakinkan para pengikutnya.
145
Ajaran-ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
telah ditafsirkan oleh beberapa pihak sebagai suatu penyimpangan dari ajaran agama
Islam, sehingga dengan alasan tersebut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa dalam perkembangannya mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Akan tetapi dengan keyakinan bahwa ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa memperjuangkan kebebasan manusia secara lahir dan batin,
maka perjuangannya tidak pernah surut. Pola kepemimpinan Kiai Madrais atau pun
Pangeran Tedjabuana masih menggunakan pola kepemimpinan tradisional dengan
watak kepemimpinan di muka dan di belakang. Tipe kepemimpinan ini sesuai dengan
perkembangan masyarakat tradisional pada masa itu.
4.1.5 Pola Interaksi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan
Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan
manusia lainnya. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia
dan kelompok tersebut, terjadi ”hubungan” dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan
keinginannya masing-masing. Sementara itu, untuk mencapai keinginan tersebut
harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal-balik. Interaksi terjadi
bila dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, bahan persaingan,
pertikaian, dan sejenisnya, juga merupakan interaksi sosial.
146
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa
interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-orang
secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu
kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang
perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan
seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian
dan lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses
sosial, yang mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis
(Soekanto,S.,2004:60-61).
Proses interaksi yang terjadi antar sesama warga masyarakat di Kelurahan
Cigugur didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Pada
umumnya interaksi yang sering terjadi adalah dengan orang-orang yang satu
pekerjaan meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Hal ini terjadi pada
waktu mereka untuk berinteraksi lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang
berbeda pekerjaannya. Interaksi diantara warga masyarakat di Kelurahan Cigugur
juga terlihat dalam gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat seperti pada
kegiatan bakti sosial, jumat bersih dan membuat sarana peribadatan sering
dlaksanakan oleh masyarakat di Kelurahan Cigugur. Ketika diadakan kegiatan gotong
royong biasanya antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya saling
berjumpa. Pada waktu itu mereka saling menyapa dan saling bersenda gurau yang
menandakan akrabnya hubungan mereka walaupun berbeda latar belakang dan
agamanya.
147
Selain itu, gotong royong, dalam upacara perkawinan dan kematian juga
merupakan saat-saat biasanya anggota masyarakat saling berkumpul dan saling
berinteraksi. Dalam kehidupan masyarakat tokoh-tokoh agama dan kepala kelurahan
dianggap sebagai seorang pemimpin kharismatik yang harus dipatuhi dan dijadikan
panutan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kepala Kelurahan dan tokoh-tokoh agama tidak hanya sebagai tokoh panutan, tetapi
juga dianggap sebagai tokoh yang mampu menyelesaikan berbagai masalah dalam
masyarakat.
Berdasarkan pernyataan di atas, dalam kehidupan sehari-hari para Penghayat
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga terlihat adanya kepatuhan terhadap
pimpinan dan ajarannya. Sosok Djatikusumah dianggap sosok panutan bagi mereka,
khususnya di Paseban Tri Panca Tunggal di Kelurahan Cigugur. Selain itu, para
penganut penghayat kepercayaan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
sangat baik seperti masyarakat beragama pada umumnya. Para penganut penghayat
terbuka dengan perubahan yang terjadi khusunya dalam masalah IPTEK, mereka
mengambil manfaat dari IPTEK dan berusaha untuk berfikir maju (wawancara
dengan Subrata, 23 Juni 2009).
Dalam kehidupan beragama, masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat
harmonis. Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa
toleransi diantara mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Pelaksanaan
ritual keagamaan cukup kental, bahkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh
148
masyarakat biasanya dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Sarana-sarana
peribadatan pun cukup lengkap, terlihat dengan banyaknya tempat peribadatan,
seperti masjid yang berjumlah enam, langgar sembilan, dan gereja ada dua buah
(Arsip Kelurahan Cigugur, 2008).
Bagi masyarakat komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang juga tersebar di wilayah Cigugur, tetapi juga di wilayah
Jawa Barat lainnya, hidup berdampingan dan bertetangga dengan pemeluk agama
yang berbeda. Bahkan tidak jarang dalam suatu keluarga terdapat beberapa keyakinan
yang dianut tanpa saling menganggu satu dengan yang lainnya. Mereka bisa dan
terbiasa menerima anggota keluarganya yang berasal dari pemeluk agama yang
berbeda. Karena prinsip hidup tersebut, peneliti melihat bahwa kerukunan dalam
masyarakat penghayat kepercayaan sangatlah dijunjung tinggi yaitu ”meskipun tidak
sepengakuan tetapi mengutamakan pengertian”. Hal ini dilakukan dalam upaya ikut
serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera, seperti melakukan kegiatan sosial
kemasyarakatan, bekerja bersama-sama tanpa memandang suku, ras, agama, maupun
golongan, baik itu yang datangnya dari pihak pemerintah maupun atas inisiatif dari
warga masyarakat itu sendiri. Kegiatan tersebut wujud dari kesadaran akan kerukunan
hidup Umat berKetuhanan Yang Maha Esa.
Sejalan dengan hal di atas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa sangat menilai tinggi warisan budaya nenek moyangnya. Adat
istiadat warisan para leluhurnya tetap dipelihara dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
dapat dipungkiri bahwa adat istiadat tersebut berhubungan erat dengan sistem
149
kepercayaan. Sistem kepercayaan ini terlihat di dalam upacara adatnya, seperti yang
dapat kita saksikan dalam upacara Seren Taun.
Dalam upacara Seren Taun semua warga di Cigugur turut berpartisifasi di
dalamnya tanpa memandang latar belakang agama, ras, suku dan golongan
(wawancara dengan Angga, 13 Mei 2009). Dalam hal ini, Seren Taun bukan hanya
milik Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa saja.
Hal ini karena hakIkat keberadaan Upacara adat Seren Taun merupakan tuntunan bagi
siapapun, suku bangsa, dan agama apapun yang mau bersama-sama bersyukur kepada
hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadaan ini perlu diungkapkan karena memang
pada kenyataannya Upacara Seren Taun meskipun merupakan tradisi upacara ritual
masyarakat Sunda (di Cigugur), tetapi dalam pra dan pelaksanaannya melibatkan
berbagai elemen masyarakat Cigugur khususnya dan daerah lainnya tanpa
membedakan keyakinan agama, suku, golongan dan sebagainya. Di satu sisi tentunya
dalam mendukung pengembangan pariwisata daerah dan nasional, maka adanya
upacara Seren Taun di Cigugur ini sekaligus juga merupakan Kalender Even nasional
untuk kunjungan wisata budaya dan wisata alam.
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
sangat menjunjung kerukunan dalam kehidupan berbangsa. Oleh karena itu,
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat patuh dan taat
terhadap program-program yang diusung oleh pemerintah, di mana peran pupuhu atau
ketua penghayat memiliki peranan yang besar untuk menggerakan para penganutnya
dalam menjalankan program pemerintah.
150
4.1.6 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Kesalahan anggapan hanya ada 5 agama yang diakui boleh jadi didasarkan
pada struktur Departemen Agama yang hanya terdiri atas Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik , dan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu/ Budha. Hal ini telah menimbulkan
masalah yang cukup penting.
Mengenai pelarangan agama kita bisa mengambil ilustrasi kalau pembubaran
atau pelarangan suatu partai politik saja dapat memerihkan, terlepas dari benar atau
salahnya partai tersebut, apalagi pelarangan agama yang berkenaan dengan keyakinan
terhadap sesuatu yang bersifat ultimate dalam kehidupan seseorang yang menyangkut
keselamatan hidupnya, tidak hanya sekarang melainkan juga nanti setelah mati. Kalau
orang bertepo seliro dengan mencoba meletakan diri ditempat mereka yang
kehilangan kebebasannya dalam menganut keyakinannya, mungkin orang tidak akan
begitu mudah mencabut kebebasan orang lain dalam berkeyakinan yang jelas-jelas
dijamin oleh konstitusi negara kita.
Di sini kita perlu menegaskan bahwa tidak mengakui keberadaan suatu agama
sama saja dengan tidak menghargai hak asasi manusia. Adanya suatu agama tidak
perlu mendapat pengakuan dari suatu negara, karena bisa jadi suatu agama ada
sebelum negara itu ada. Keberadaan suatu agama juga tidak memerlukan pengakuan
Departemen Agama yang suatu saat bisa saja dihapus sesuai kebutuhan (Madjid,
Nurcholish; 2001: 113-115). Seiring dengan itu, pelarangan terhadap berbagai aliran
151
atau faham keagamaan dalam kenyataannya tidak akan efektif. Sebab hal ini
menyangkut keyakinan pribadi seseorang dan keyakinan tidak mungkin ditaklukan
dengan kekuasaan (negara).
Dengan demikian, Fungsi legitimasi agama berupa pembenaran dan
pengukuhan dari pemerintah juga penting guna menyukseskan program-program
pembangunan yang diselenggarakan. Sehubungan dengan hal itu peran pemerintah
sangat dibutuhkan dalam penglegitimasian tersebut. Berkaitan dengan masalah
tersebut, Pemerintah Daerah Kuningan juga mempunyai turunan dalam pengawasan
terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang ada di kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan.
Dalam rangka kelancaran roda Pemerintah Daerah Kuningan, khususnya yang
menaungi atau membawahi masalah keagamaan yang berkaitan dengan Kepercayaan
dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan,
maka sesuai dengan pelimpahan kewenangannya Pemerintah Daerah Kuningan
melimpahkan masalah ini. Adapun instansi terkait tersebut diantaranya adalah
Departemen Agama Kabupaten Kuningan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Kuningan dan Bakor Pakem. Pelimpahan ini dilaksanakan sebagai upaya
pembinaan dan memfasilitasi aparatur pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
kebijakan-kebijakan pusat ataupun peraturan daerah.
Berdasarkan penelitian terungkap bahwa peran Pemerintah Daerah terhadap
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan
152
Cigugur Kuningan yang diwakili oleh instansi-instansi terkait sebagai kepanjangan
tangan dari Pemerintah Daerah Kuningan adalah sebagai berikut:
1) Dinas Pariwisata dan Budaya
Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata dan Budaya berkaitan dengan
masalah Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berfungsi hanya sebatas melindungi Benda Cagar Budaya. Hal ini tercantum dalam
UU RI No.5 tahun 1992 tentang benda-benda cagar budaya dan Peraturan Dearah
(Perda) Kabupaten Kuningan nomor 7 tahun 2006 tentang pengelolaan Museum,
Kepurbakalaan dan Nilai Tradisional.
Perhatian pada bidang budaya diwujudkan dengan pemeliharaan dan
penugasan gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Gedung ini dimanfaatkan baik untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan maupun kebudayaan, yaitu:
1. Sebagai tempat penyelenggaraan Upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun.
2. Sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah seperti:
a. Macam-macam senjata, yaitu keris, tombak, dan sebagainya.
b. Koleksi alat-alat kesenian daerah dari masa lampau dan
perkembangannya.
3. Sebagai perpustakaan
a. Buku-buku sejarah.
b. Buku-buku keagamaan/ kepercayaan dari setiap agama dan kepercayaan
penghayatan kepada Tuhan yang Maha Esa.
4. Sebagai pusat perkembangan seni budaya
a. Latihan karawitan.
b. Seni tari daerah.
153
c. Kerajinan.
Berdasarkan pemaparan di atas berkaitan dengan skripsi yang dikaji, peran
Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan khususnya peran Dinas Pariwisata dan
Budaya yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan nomor 7 tahun
2006 yang berkaitan dengan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa lebih tepat dalam pengelolaan Nilai Tradisional, yaitu konsep abstrak
mengenai masalah dasar yang sangat penting yang berguna dalam hidup dan
kehidupan manusia yang tercermin dalam ide dan sikap dalam perilaku serta selalu
berpegang teguh kepada adat istiadat. Sementara itu, peran Dinas Pariwisata dan
Budaya yang tercantum dalam UU RI no.5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.
Cagar budaya yang dimaksud adalah ”Paseban Tri Panca Tunggal”, yaitu tempat
berkumpul khususnya para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa (wawancara dengan Suryono, 22 Juni 2009).
Dengan demikian, pada dasarnya peran Pemerintah Daerah Kuningan di sini
adalah melakukan pengelolaan, pemeliharaan, melindungi, mengamankan dan
melestarikan peninggalan budaya serta meningkatkan kepedulian dan kesadaran
terhadap peninggalan budaya daerah. Dinas Pariwisata dan Budaya mengharapkan
agar para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia
(wawancara dengan Suryono, 22 Juni 2009).
154
2) Departemen Agama
Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik karena memiliki
departemen yang khusus menangani masalah kehidupan beragama. Pembentukan
Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) pada 3 Januari 1946 atau lima
bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Keputusan yang mengakomodasi aspirasi
para pemimpin Islam tersebut semakin mempertegas bahwa agama merupakan
elemen yang penting dan terkait secara fungsional dengan kehidupan bernegara.
Departemen Agama dibentuk dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah
untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut
berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta
bahwa kata-kata ”itu” di belakang kata kepercayaan dalam pasal tersebut
menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan. Jadi, yang
dimaksud adalah kepercayaan di dalam agama, bukan kepercayaan di luar agama.
Dengan demikian tugas Departemen Agama adalah membina umat beragama sesuai
yang digariskan UUD 1945. Prinsip fundamental dalam UUD 1945 mengamanatkan
supaya ajaran dan nilai-nilai agama selalu berperan dan memberi arah bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
155
Berkenaan dengan itu, dalam Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978
tentang kebijakan mengenai aliran-aliran kepercayaan yang ditandatangani Menteri
Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, antara lain ditegaskan bahwa Departemen
Agama yang tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian tugas pemerintahan
umum dalam pembangunan di bidang agama tidak akan mengurusi persoalan-
persoalan aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama tersebut. (Dalam:
http://pendis.depag.go.id/index.php?a=artikel&id2=perandepagnationstate).
Pemerintah daerah melalui Departemen Agama Kuningan berfungsi dan
berperan sebagai instansi yang memberikan pengawasan, pembinaan dan bimbingan
agar tidak terjadi penyempalan-penyempalan agama, penyimpangan-penyimpangan
serta tidak membuat agama baru seperti yang diharapkan Departemen Agama sendiri
(wawancara dengan Ikin Asyikin, 22 Juni 2009).
Selain itu, Departemen Agama Kuningan juga berperan dalam memberikan
penjelasan tentang perkawinan Penganut Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa, baik itu mengenai perkawinan campuran maupun statusnya
terdaftar atau tidak di kantor Catatn Sipil.
3) Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat)
Di Indonesia, lembaga yang berhak dan memiliki kewenangan khusus untuk
menangani masalah aliran sesat ini adalah Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
156
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Tim Pakem ini dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung No.KEP-108/JA/5/1984. Sementara, dasar hukum terkait
dengan penindakan terhadap aliran-aliran sesat didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965
tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Untuk diketahui,
Kejaksaan Agung mengenal dua delik dalam bidang agama yaitu delik
penyelewengan agama dan delik anti agama. Penetapan itu didasarkan pada Surat
Kejaksaan Agung RI No. B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang
Tindak Pidana Agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang ditujukan kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia.
Pemerintah daerah melalui Kejaksaan Negeri dan Bakor Pakem Kuningan
berperan sebagai lembaga yang memberikan penanganan dan pengawasan terhadap
perkembangan Penghayat Kepercayaan di Cigugur Kuningan serta aliran-aliran
kepercayaan lainnya yang ada di Kabupaten Kuningan.
4.1.7 Landasan Hukum Pembenaran terhadap Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur
Kuningan
Ketentuan Bab XI Pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara berasas atas
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
menurut kepercayaannya itu. Dalam konsep UUD 1945 yang semula terdiri atas 42
pasal termasuk aturan peralihan dan aturan tambahan, di dalam pasal 29 hanya
157
dinyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”.
Pengakuan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan
terhadap penduduk yanng beragama dan menjalankan ibadat berdasarkan atas agama
atau kepercayaan itu, merupakan ciri negara berKetuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia tidak berdasarkan pada agama tertentu dan juga tidak berdasarkan pada
semua agama yang ada, tetapi memberikan perlindungan pada semua agama dan
aliran kepercayaan, sehingga dari sudut ini tampak wawasan kebangsaannya sera
sifatnya yang sekularistik.
Pada dasarnya, agama dan negara mempunyai peran sendiri dan
keberadaannya saling mengatur kehidupan manusia pada bidangnya masing-masing.
Negara mengatur manusia dalam hubungannya dengan sesama dalam pergaulan dan
hubungan dengan Tuhan. Negara sebenarnya juga mengatur hubungan manusia
sebagai subjek hukum atau manusia yang lain. Namun hubungan manusia yang
bersangkutan dengan soal hak dan kewajiban keperdataan itu, dasar pengaturannya
berada pada kehendak para pihak yang saling berhubungan dan atau berdasarkan
Undang-Undang Negara. Sementara itu, hubungan antar manusia diatur oleh agama
berkait dengan kepercayaan dan kewajiban seseorang yang diperintahkan oleh Yang
Maha Kuasa.
Negara memiliki bidang pengaturan yang berbeda dengan bidang yang di atur
oleh agama. Oleh karena itu, tidak perlu dicampuradukan antara urusan agama
dengan urusan negara. Negara tidak akan mencampuri urusan bagaimana cara-cara
158
beribadat, karena itu merupakan bidang yang dilakukan oleh agama. Demikian pula
negara tidak perlu membuat kriteria tentang apa yang diyakini oleh penduduk sebagai
agama, serta persyaratan suatu kepercayaan disebut sebagai agama. Dalam UUD
1945 hanya dinyatakan bahwa” ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Pembentuk Undang-undang Dasar tidak pernah mempermasalahkan macam
agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Salah satu yang menyangkut tentang
macam agama itu disinggung, ketika membicarakan Piagam Jakarta yang
mencantumkan kata-kata dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
merupakan kompromis antara golongan Islam dengan Non-Islam. Tambahan kata-
kata itu hanyadimaksudkan bagi ”pemeluk agama Islam” diwajibkan menjalankan
syariat Islam, sedang yang non-Islam tidak dimaksud dalam kata-kata tambahan
tersebut. Mula-mula golongan Islam menghendaki agar kata-kata ”bagi pemeluk-
pemeluknya” ditiadakan sehingga kewajiban menjalankan syariat Islam berlaku bagi
seluruh warga negara Indonesia.
Akhirnya, disepakati bahwa Negara Indonesia tidak berdasarkan agama
tertentu dan memberikan peluang bagi penduduk negara memeluk masing-masing
agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dengan tidak
dicantumkannya jenis agama yang dapat menampung kemungkinan adanya agama
yang belum pernah dikenal di Indonesia. Dengan demikian pembatasan terhadap
agama-agama tertentu tidak sesuai dengan Nilai Dasar yang terkandung dalam pasal
29 UUD 1945.
159
Penafsiran secara gramatikal dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945 itu menghasilkan
pengertian bahwa agama tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan sehingga tidak
ada yang terlepas dari induk agama. Tampaknya penafsiran ini jauh dari realita
empirik yang ada di masyarakat Indonesia. Di Indonesia masih banyak aliran yang
tidak berpangkal pada induk agama. Penafsiran yang tepat untuk memahami pasal 29
ayat 2 yang masih sangat dipertahankan saat ini adalah penafsiran extensiel sehingga
dapat mengantisifasi perkembangan. Ketentuan pasal 29 ayat 2 ini seyogyanya
diartikan agama dan atau kepercayannya itu.
Setelah diakuinya Aliran Kepercayaan sebagai aliran yang berdiri sendiri,
kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh pula pengakuan, dan
memperoleh jaminan pelaksanaan ibadah berdasarkan atas kepercayaannya itu.
Penganut aliran kepercayaan di Indonesia lahir sebelum tersentuh oleh pengaruh
agama, oleh karena itu seyogyanya diakui oleh pemerintah.
Di lain pihak, tidak dijelaskannya macam agama dalam UUD 1945,
menimbulkan permasalahan yaitu perlukah pemerintah mengatur tentang macam-
macam agama yang diperkenankan dipeluk oleh penduduk Indonesia. Konsekuensi
Indonesia yang tidak sekularistik, dapat dibenarkan bahwa pemerintah memberikan
pengakuan terhadap agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk
Indonesia. Hanya saja pemerintah harus memberikan peluang atau kesempatan yang
sama bagi agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Perdebatan tentang apa yang disebut sebagai ”agama” harus ditinggalkan dan
diserahkan saja pada pemeluknya tentang apa yang disebut sebagai agama dan atau
160
aliran kepercayaan. Sikap demikian sejalan dengan tidak dinyatakannya salah satu
agama sebagai agama negara. Pemerintah tidak perlu menetapkan jenis agama yang
diperbolehkan oleh penduduk negara berdasarkan salah satu pandangan agama dan
atau kepercayaan tertentu. Pengawasan dapat saja dilakukan terhadap ajaran yang
diberikan di dalam agama, sehingga apabila agama yang beredar dan dipeluk oleh
penduduk Indonesia ternyata mengajarkan aliran sesat dan membahayakan keamanan,
pemerintah dapat melarang. Ketentuan pasal 29 UUD 1945 ini mengandung Nilai
Dasar, yang penerapannya perlu peraturan perundangan. Dalam peraturan
perundangan yang mengandung Nilai Instrumentalis justru tidak boleh membatasi
Nilai Dasar.
Gagasan memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, membuktikan
bahwa upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap agama yang ada
senantiasa menimbulkan keresahan dan masalah ketidakadilan. Kita sebagai bangsa
yang merdeka tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sangat diskriminatif yang
dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada zaman republik upaya pemerintah ”mencampuri” agama dalam
pengertian upaya memberikan pengakuan terhadap macam-macam agama itu bermula
dari Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan
atau Penodaan Agama. Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Budha, dan Kong Hu Cu. Pengakuan terhadap 6 agama ini dilatarbelakangi oleh
161
agitasi dan provokasi komunis yang cenderung melakukan pelecehan terhadap agama
di Indonesia.
Di dalam Penetapan Presiden itu sebenarnya sudah pula dijelaskan bahwa
penetapan tersebut tidak bersifat membatasi agama, sehingga agama lain pun berhak
memperoleh perlindungan hukum. Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1969,
tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-undang, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tercantum dalam lampiran
IIA yang bersama-sama dengan 22 Penetapan Presiden yang lain dalam lampiran itu
yang dinyatakan sebagai Undang-undang. Keberadaan Undang-undang No. 1/Pn.
Ps./1965 dari segi ketatanegaraan sebagai undang-undang yang sah yang secara
hirarkis di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagaimana undang-undang
lainnya.
Dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa ”Kemerdekaan adalah hak
segala bangsa” Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan bangsa adalah
kemerdekaan pada pasca revolusi kemerdekaan adalah perjuangan membebaskan
bangsa dari pengaruh bangsa dan ideologi lain yang tidak sejalan dengan amanat
yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya antara lain yang
berhubungan dengan kebebasan yang paling azasi bagi manusia adalah kebebasan
untuk beragama atau berkeyakinan seperti tertuang dalam:
Pasal 28 E
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
162
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 29
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
UU RI No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Pasal 8
1) Instansi pelaksana melaksanakan urusan Adminduk dengan kewajiban meliputi:
a) Mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting b) Memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk
atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; c) Menerbitkan Dokumen Kependudukan; d) Mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; e) rnenjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting; dan F) melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh
Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata
cara pencatatan peristiwa penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
163
Pasal 61
2) Keterangan rnengenal kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base Kependudukan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2007
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Pasal 81
1) Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan pemuka penghayat kepercayaan
2) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat penghayat kepercayaan
3) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di daftar pada kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa.
Dari peraturan hukum di atas, dapat dipahami secara menyeluruh bahwa
terlihat jelas walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat
kepercayaan, sejumlah aturan menyangkut hal itu masih belum optimal. Sekilas
eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun dalam praktiknya diskriminasi
tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas penduduk contohnya, mereka tidak pernah
bisa mencantumkan penghayat kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah
perkawinan, yang juga tidak bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap
menganut sebagai seorang penghayat kepercayaan.
164
UUD 1945 sebagai sumber hukum di negeri ini dalam implementasinya sering
dipersempit oleh aturan pelaksanaan turunannya yang justru bertolak belakang
dengan spirit keberagaman bangsa. Tumpang tindih hukum mengakibatkan makin
luasnya dampak diskriminasi bagi warga negara. Terutama dengan campur tangan
negara dalam menentukan agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara
menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang menjadikan landasan keyakinannya berakar pada tradisi spiritual genuine
masyarakat nusantara yang seringkali terstigma dengan sebutan aliran sesat.
Dampak dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan di tingkat pusat khususnya yang berhubungan dengan
kebebasan berkeyakinan tidak segera tampak ke permukaan, karena biasanya
peraturan perundang-undangan tersebut terselubung oleh judul yang sangat bagus.
Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 25 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan, yang dari judulnya saja hanya terlihat hanya mengatur hal yang
bersifat administratif, namun dalam kenyataannya masalah yang berhubungan dengan
kebebasan berkeyakinan. Kini seolah terakomodir payung untuk para penghayat
kepercayaan, namun birokrasi pemerintahan terbiasa mempersempit pemahaman dari
komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perubahan kedua UUD 1945 yang ditetapkan tahun 2000, bersamaan dengan
berlakunya secara efektif UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam
pasal 7 ayat (1) bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
165
peradilan, moneter, dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Namun
demikian, sering kali terjadi pemahaman yang tidak tuntas tentang pengertian
otonomi daerah dan bahkan tidak jarang diartikan secara berlebihan tanpa
mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diskriminasi pada Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa umumnya karena tidak terakomodasinya hak-hak sipil dan budaya
mereka dalam sistem hukum yang berlaku. Masalah yang senantiasa muncul saat ini
adalah perlakuan dari aparat pemerintah yang sering membedakan hak dan kewajiban
warga penghayat kepercayaan dengan para penganut agama.
Beberapa masalah dalam kaitannya dengan diskriminasi dalam pelayanan
aparat pemerintah terhadap hak-hak sipil para Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa umumnya diantaranya adalah:
1. Pencatatan perkawinan yang belum bisa dicatatkan secara sama (bahkan
dengan PP yang ada kaitannya dengan UU ADMINDUK sekalipun,
pelayanan pencatatan perkawinan kaum Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa dicatatkan. Hal ini
mengingat dalam PP tersebut hanya membatasi pada kelompok kepercayaan
yang memiliki ”organisasi kepercayaan formal” saja yang tercatat di
Direktorat Bina Hayat Pusat).
2. Pencantuman identitas keyakinan dalam KTP, atau dokeumen-dokumen
resmi, kolom tersebut selalu tertulis kolom agama.
166
3. Pendidikan kerohanian (agama) di sekolah dan perguruan tinggi. Di mana
anak-anak penghayat kepercayaan yang kebetulan ”duduk di bangku sekolah”
diharuskan mengikuti pendidikan agama yang tidak dianutnya, kalau tidak
mengikuti maka anak tersebut tidak mendapat nilai agama dan raport.
4. Tidak diberikannya tunjangan pegawai negeri sipil kaum penghayat karena
tidak memiliki akte perkawinan. Meskipun pegawai negeri sipil bersangkutan
sudah lama bekerja dengan baik, bahkan mendapat penghargaan dari Presiden
RI sebagai pegawai teladan.
5. Masih berkembangnya ”Madraisme Phobia” dengan stigmatisasi yang
melekat pada pola pemikiran dan pandangan masyarakat terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kegiatan kebudayaan yang dikembangkan oleh
masyarakat Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).
167
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
4.2.1 Sosiografi Cigugur-Kuningan
Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai
dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Desa Cigugur merupakan suatu
desa yang berbeda dibandingkan desa yang lainnya. Hal ini terlihat dengan adanya
kekayaan budaya dan sejarah yang beragam yang dimiliki oleh masyarakat desa
Cigugur. Selain itu, di desa Cigugur terdapat sumber mata air, tanahnya yang subur
dan ditemukannya benda-benda purbakala. Oleh sebab itu, di desa Cigugur terdapat
obyek wisata yang dikenal oleh warga masyarakat dengan sebutan balong Girang atau
kolam renang Cigugur, serta Taman Purbakala Cipari.
Secara geografis, lokasi Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke
arah barat dari pusat kota Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari
permukaan laut. Di daerah Cigugur terdapat tiga sumber mata air dengan air yang
jernih. Sumber mata air ini digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan sebagai saluran irigasi tanah pertanian di desa Cigugur dan sekitarnya.
Disamping itu, sebagian masyarakat ada yang memanfaatkan sumber air tersebut
untuk memelihara ikan air tawar dalam kolam-kolam. Kelebihan air dari ke tiga
sumber mata air itu juga digunakan untuk mensuplai kebutuhan air sebagian
masyarakat Kelurahan Kuningan dan Cirebon (Arsip Kelurahan Cigugur).
Dilihat dari sudut administratif, wilayah Cigugur terdiri atas 38 RT, 13 RW
dan 4 lingkungan yang memungkinkan terjadinya mobilitas yang tinggi. Hubungan
antar warga masyarakat Cigugur dengan masyarakat luar Cigugur dapat berjalan
168
lancar, sebab telah tersedia sarana transpotasi dan perhubungan yang memadai.
Masyarakat Cigugur dapat menjangkau daerah sekelilingnya, seperti Desa Cisantana,
Kelurahan Kuningan dan Kelurahan Sukamulya. Letaknya yang strategis tersebut
memungkinkan proses akulturasi budaya yang berlangsung antara budaya di Cigugur
dengan budaya di luar Cigugur.
Berkaitan dengan keberadaan penduduk sebagaimana terungkap dari deskripsi
hasil penelitian, bahwa Penganut Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang ada di Kelurahan Cigugur berawal dari pendirian Agama Djawa
Sunda (ADS) oleh Kiai Madrais yang mencoba untuk membuat suatu sintesa dari
seluruh agama yang ada. Kiai Madrais adalah seorang pangeran keturunan dari
Kesultanan Gebang, beliau menyebarkan ajaran ajarannya kepada keluarga dan
murid-muridnya setelah mendirikan paguron atau padepokan di wilayah Cigugur.
Pada saat penelitian di lakukan jumlah Penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa berjumlah 155 orang dan 137 kk yang tersebar di
tempat kecamatan, diantaranya kecamatan Subang, Ciniru, Garawangi dan Cigugur.
Dilihat dari sudut mata pencaharian masyarakat, sebagaimana terungkap
dalam deskripsi hasil penelitian, ternyata sebagian masyarakat Kelurahan Cigugur
khususnya para penghayat kepercayaan bermata pencaharian sebagai petani dan telah
memiliki pekerjaan yang secara rutin mereka lakukan etos kerja yang terbina dalam
diri masyarakat menumbuhkan sikap kerja keras diantara mereka untuk mendapatkan
penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sanderson (Mutakin, 2006:63) bahwa:
169
Masyarakat agraris menyandarkan hidup kepada pertanian murni. Tanah dibersihkan dari semua tanaman dan ditanami dengan menggunakan bajak dan binatang-binatang dipergunakan menarik bajak. Ladang dipupuk secara besar-besaran, terutama dengan pupuk kandang. Ketika tanah ditanami dengan cara ini, maka ia dapat dipergunakan secara agak berkesinambungan . Dengan cara demikian, periode kosong sangat pendek atau bahkan tak ada lagi. Para petani sering menanami sebiang tanah tertentu setiap setahun, dan dalam beberapa kasus panen dapat dipungut dari ladang yang sama lebih dari satu kali dalam setahun.
Dalam kegiatan keseharian ini, terungkap juga nilai budaya mereka yang
memandang kerja untuk nafkah hidup dan untuk menambah karya seperti yang
mereka pahami dan jalankan sesuai dengan ajaran leluhur mereka yang menjunjung
tinggi nilai-nilai adat tradisional, rasa kebersamaan dan kebangsaan serta kecintaan
terhadap budaya yang dimiliki oleh bangsa sendiri yang menurut pandangan Bushar
Muhammad (2003:27) bahwa:
masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu, dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya.
Dengan demikian, landasan yang mempersatukan para Penganut Kepercayaan
Penghayat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang dengan tanah
yang didiami sejak kelahirannya, yang didiami oleh neneknya, yang didiami oleh
nenek moyangnya, secara turun-temurun.
Dilihat dari sudut pendidikan warga masyarakat Kelurahan Cigugur
khususnya penghayat kepercayaan, dapat dikemukakan bahwa pendidikan yang
mereka tempuh adalah pendidikan formal. Hal ini terbukti dengan adanya sarana dan
170
prasarana pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak samapai kejenjang perguruan
tinggi. Mereka mempunyai kemauan yang keras untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih tinggi. Tentu saja di balik semangat yang tinggi untuk menempuh pendidikan
itu, terkandung nilai positif adanya gerak sosial atau mobilitas sosial ke arah yang
lebih baik yang berorientasi ke masa depan untuk mencapai status sosial yang lebih
baik, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat terkumpul sejumlah pengalaman
dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi hidup dan kehidupan di masa
yang akan datang.
Berkaitan dengan masalah kehidupan beragama dan sistem kepercayaan,
Kelurahan Cigugur merupakan salah satu wilayah yang mempunyai keragaman
beragama dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Kuningan. Hal ini dibuktikan
dengan berkembangnya beberapa agama di Cigugur dan satu kepercayaan yang
dianut oleh sebagaian masyarakat Cigugur. Agama dan kepercayaan tersebut antara
lain: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan penghayat kepercayaan yang
menjadi kajian dalam skripsi ini, walaupun terdapat keragaman dalam hidup
beragama, tetapi mereka bisa hidup berdampingan dan terlihat harmonis. Hal ini
terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan penghayat kepercayaan sangat
memegang teguh toleransi beragama diantara mereka. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Levy Bruhl (dalam Geografi Budaya, 2006:108) sebagai berikut:
…karena struktur masyarakat beraneka ragam, maka demikian juga gambaran-gambarannya, dan begitu pula pemikiran individunya. Setiap corak masyarakat karenanya punya mentalitas yang khas, karena masing-masing punya kebiasaan dan lembaga-lembaga yang khas pula, yang pada dasarnya
171
hanyalah merupakan suatu aspek tertentu bagi gambaran-gambaran kolektif; semua itu adalah gambaran-gambaran yang dipikirkan secara obyektif.
Berdasarkan pembahasan sosiografi Kelurahan Cigugur di atas, maka dapat
dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut: Cigugur merupakan sebuah
wilayah yang ada di Kabupaten Kuningan yang mempunyai keunikan tersendiri
diantara wilayah lainnya, dimana Cigugur mempunyai kekayaan budaya dan sejarah
serta keanekaragaman dalam kehidupan beragama. Dalam keberagaman tersebut
terdapat suatu keharmonisan hubungan antara sesama warga yang berbeda agama
dan penghayat kepercayaan. Mereka hidup saling berdampingan tanpa membeda-
bedakan latar belakang. Selain itu, mereka hidup dalam rasa gotong royong dan
kekeluargaan yang tinggi, bahkan bisa membaur dalam semua kegiatan upacara
Seren Taun yang bisa menyatukan mereka yang dalam prosesnya kental dengan
nilai-nilai budaya tradisional, rasa kebangsaan dan kebersamaan.
4.2.2 Latar Belakang Kemunculan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan
Kemunculan religi yang hidup dalam masyarakat sederhana, tidak lain karena
adanya fenomena alam, di luar jangkauan dan keterbatasan pemikiran manusia dalam
menjawab fenomena tersebut, sehingga mereka menganggap adanya kekuatan
dahsyat yang tidak dapat ditaklukan oleh kekuatan manusia. Hal itu sebagai kekuatan
supranatural, sehingga harus dihormati dan dipuja agar memberikan perlindungan dan
172
berkah bagi masyarakat, sehingga Firth (dalam Geografi Budaya, 2006 : 110)
mengemukakan sebagai berikut:
Jika kita namakan hal ini suatu kepercayaan (religi) gaib, maka kita sekali-kali tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dipercaya rakyat tadi oleh mereka harus dianggap sebagai suatu di luar kekuasaan alam, akan tetapi oleh karena hal-hal itu tidak merupakan sebagian dari apa yang menurut pengalaman kita harus digolongkan ke dalam kekuatan alam. Pada hakekatnya tindakan hal-hal gaib tadi merupakan penyempurnaan bagi usaha-usaha biasa dari manusia… Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemunculan Kepercayaan
dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, di Kelurahan Cigugur Kuningan
berawal dari Agama Djawa Sunda (ADS) yang dikembangkan oleh Madrais di
wilayah Cigugur Kuningan. Menurut Hartanto (2003), pada tahun 1940 di Cigugur-
Kuningan mulai dikenal nama Madrais tetapi ia sering meninggalkan Cigugur dengan
maksud berkelana sampai akhirnya kembali lagi ke Cigugur dan mendirikan paguron
dengan mengajarkan agama Islam dan dikenal Kiai Madrais. Menurut Prof.
Pudjawijatna (1981:135) mengemukakan kepercayaan sebagai berikut:
Ada pula kemungkinan, bahwa orang mempunyai keyakinan akan kebenaran bukan karena penyelidikan sendiri, melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Kepastian terdapat karena percaya ini tidak perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri. Di paguron Cigugur, selain mengajarkan kerohanian dan agama Islam, Kiai
Madrais menganjurkan pula anak istri dan murid-muridnya supaya lebih menghargai
cara dan ciri (karakteristik kebudayaan) kebangsaan sendiri khususnya cara dan ciri
Jawa Sunda. Kiai Madrais tidak membenarkan masyarakat menjiplak dan memakai
bangsa lain, apalagi sampai tidak menghargai bangsanya sendiri (Indonesia). Selain
173
itu, Kiai Madrais dalam memberikan pengajarannya menguraikan ajaran-ajaran dari
agama-agama lain untuk dapat diyakini dan ditemukan titik persamaannya dalam
Ketuhanan Yang Maha Esa yang akan menjadi dasar terciptanya kesadaran
berprikemanusiaan dalam mewujudkan cinta kasih terhadap sesamanya. Kesadaran
akan kebangsaan dinyatakan sebagai syarat mutlak terwujudnya persatuan dan
keutuhan bagi kebesaran suatu bangsa. Kesadaran yang pada prinsipnya tidak mau
diperbudak oleh bangsa lain dilanjutkan oleh Kiai Madrais sebagai keturunan
pangeran Gebang melalui paguronnya dengan menggugah kesadaran diri di samping
mengajarkan dan menggali inti dari setiap ajaran agama.
Pendirian Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
merupakan implementasi dari ajaran yang didapatkan oleh Kiai Madrais selama
perkelanaannya. Kiai Madrais berusaha mencoba untuk membuat sintesa dari seluruh
agama yang ada. Sebagaimana diungkapkan A. Mukti Ali (Muchtar
Ghazali,2004:217) yang menyatakan bahwa:
Pemikiran sintesis adalah menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari pelbagai agama, supaya tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari jaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Hal ini dilakukannya untuk mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam
melakukan sintesa dari ajaran agama yang ada. Kiai Madrais tetap memegang teguh
unsur budaya bangsa, dalam hal ini adalah budaya Sunda.
Berdasarkan pengalamannya mencari ilmu hampir di seluruh pulau jawa dan
pembuangannya ke Boven Digul (tempat pembuangan tahanan politik), maka penulis
174
menganggap bahwa tidak mustahi selama pengelanaannya dan pengasingannya itu,
Madrais mengenal dan melakukan kontak dengan tokoh-tokoh nasionalis. Hal ini
semakin mempergigih usahanya untuk menanamkan kesadaran jangan mau
diperbudak oleh bangsa lain kepada para pengikutnya (Djatikusumah, wawancara 23
Juni 2009).
Penyebaran penghayat kepercayaan dari hasil penelitian terungkap bahwa
penyebarannya tidak hanya meliputi daerah Kuningan saja, tetapi juga hampir seluruh
Jawa Barat, bahkan samapai ke luar Jawa. Dari luasnya penyebaran, maka kita bisa
melihat bahwa kharisma dan wibawa yang dimiliki oleh Kiai Madrais sangatlah
besar. Faktor ini merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat berkembang.
Merujuk pada pendapat Soekanto (2004) tipe kepemimpinan yang dimiliki
oleh Kiai Madrais berdasarkan wataknya adalah tipe pemimpin di muka dan di
belakang. Digolongkan pada tipe ini karena Kiai Madrais adalah seorang pemimpin
yang mempunyai idealisme kuat dan mampu menentukan tujuan serta cita-cita yang
diinginkan kepada para pengikutnya dengan jelas dan mampu mengikuti
perkembangan masyarakat. Dari aspek wewenang, kepemimpinan Madrais termasuk
pada tipe kepemimpinan kharismatik.
Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang kemunculan Kepercayaan
dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan,
dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: Madrais melahirkan dan
menggerakan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
175
tidak mendapat kepuasaan baik dari ajaran Islam yang diberikan kepadanya maupun
dari ajaran Ngelmu Cirebon yang diterimanya. Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Madrais mendasarkan pada
sistem keyakinan yang mengguanakan landasan keyakianan pada konsep suci yang
dibedakan dari duniawi, unsur gaib atau supranatural yang menjadi lawan dari
hukum-hukum alamiah. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa juga dijadikan sebagai pendorong, penggerak dan pengontrol bagi
tindakan-tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan dan ajarannya.
4.2.3 Hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa setiap kepercayaan baik itu
dikategorikan sebagai suatu agama maupun suatu aliran kepercayaan pasti meiliki
ajaran dan pemikiran yang menjadi landasan perkembangan kepercayaan itu.
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh
Kiai Madrais ini mempunyai suatu ajaran dan pemikiran sendiri. Kiai Madrais
berusaha untuk menjunjung tinggi budaya yang dimilikinya. Dalam ajarannya
tersebut menitikberatkan pada kesadaran kebangsaan sebagai dasar dari kesadaran
iman kepada Tuhan dan dalam ajarannya di samping kepercayaan yang benar-benar
menghayati, mengerti, dan dapat merasakan ke Agungan Tuhan serta menyadari
fungsi hidup selaku manusia serta selaku suatu bangsa.
176
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Djatikusumah (2008:7) bahwa
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak
mempunyai kitab suci (tertulis) sebagaimana agama-agama lainnya. Kitab suci yang
dimaksudkannya bukan berbentuk kitab tertulis (buku) sebagaimana dalam agama-
agama lainnya. Kitab suci yang dimaksudkannya adalah kitab suci ”titis tulis” yaitu
wujud atau pribadi manusia itu sendiri. Kiai Madrais lebih menitikberatkan pada
kesadaran diri selaku suatu bangsa. Madrais mengajarkan dan percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Sebutan yang sering digunakan oleh para Penganut Kepercayaan
dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ”Pangeran Si Kang Sawiji-
Sawiji”. Menurut paham penghayat kepercayaan, manusia hendaklah dipandang
dalam konteks keseluruhan dengan bentuk keanekaragaman hidupannya. Dalam
menjalani kehidupannya, manusia memiliki kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan yakni:
1) percaya Ka Gusti Si Kang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa);
2) ngaji badan (Mawas diri);
3) akur rukun jeung sesama bangsa (hidup rukun dengan sesama);
4) hirup ulah pisah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai
mufakat);
5) hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong-menolong).
Melalui pemahaman nilai-nilai tersebut, terungkap bahwa penghayat
kepercayaan sudah memiliki dasar dasar yang kuat dalam memaknai nilai-nilai yang
177
luhur yang telah diwariskan kepada mereka dengan menjunjung arti kesempurnaan
hidup dalam tatanan vertikal dan horizontal (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan menjalin hubungan baik dengan sesama).
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan
budaya spiritual yang berisi tuntunan luhur untuk berperilaku. Hukum ilmu suci
dihayati dengan hati nurani, dengan kesadaran dan keyakinan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi pekerti, dengan
kehalusan budi pekerti itulah manusia mempunyai nilai-nilai moral serta ketulusan
budi. Menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berarti setiap warga
harus yakin merasakan dan memikirkan bahwa hidup dan kehidupan ini terwujud
karena perpaduan serta yakin diantara Ciptaan Yang Maha Esa sebagai pernyataan
keagungan-Nya.
Sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, hal-hal yang menjadi
dasar pengikutan penghayat Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa mewujud dalam bentuk kepercayaan akan adanya Tuhan, memaknai
konsep hidup dan mati serta pemantapan tuntunan Pikukuh Tilu. Sebagaimana
diungkapkan Nurdin (2001:27) mengemukakan bahwa agama meliputi tiga persoalan
pokok, yaitu:
1) tata keyakinan atau credial, yaitu bagian dari agama yang paling mendasar berupa keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan yang supernatural, Dzat Yang Maha Mutlak di luar kehidupan manusia.
2) tata peribadatan atau ritual, yaitu tingkah laku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam berhubungan dengan Dzat yang diyakini sebagai konsekuensi dari keyainan akan keberadaan.
178
3) tata aturan, kaidah-kaidah, atau norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam lainnya sesuai dengan keyakinan dan peribadatan tersebut.
Seperti halnya diungkapkan oleh Yayasan Tri Mulya (2006/2007:24) sebagai
berikut:
1) Kepercayaan akan adanya Tuhan
Dalam tuntunan penghayat kepercayaan, hakikat Tuhan ada di atas segala-
segalanya, Maha Tunggal. Tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan
dengan ciptaannya terutama manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling
sempurna, karena manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi
pekerti dan memiliki nilai-nilai moral dan nilai religius. Jadi pada dasrnya
kepercayaan akan Tuhan merupakan landasan terdalam bagi penghayat
kepercayaan. Sedangkan menurut ajaran Islam kepercayaan akan adanya
Tuhan terkandung dalam Kitab Suci Al-Quran:
a) (Q.S. Al Ikhlash : 1-4): yang berbunyi:
”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”.
b) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
c) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui.
d) Al-Qaaf ayat 16
179
Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Dari ayat-ayat di atas, dapat dikaji bahwa dari ayat-ayat Al-Qur’an itu
dapat dipastikan terdapat juga dalam jaran-ajaran agma-agama lain, walaupun
tidak sama sepenuhnya, sedikitnya sejalan dengan apa yang dimaksud oleh
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
2) Konsep Hidup dan Mati
Manusia mempunyai peranan penting dalam menyempurnakan hidupnya di
dunia. Konsep hidup dan mati ini diyakini oleh penghayat kepercayaan untuk
membentuk manusia yang sempurna hidupnya dan sejati matinya. Hidup
sempurna adalah tujuan manusia untuk selalu hidup di jalan Tuhan dan
menjauhi segala laranganNya. Jadi, hidup sempurna menurut penghayat
kepercayaan adalah apabila manusia sudah bisa hidup sebagai manusia sejati
sesuai dengan kodratnya (papasten). Sedangkan mati sejati menurut penghayat
kepercayaan adalah mati tanpa meninggalkan jasad kasarnya karena manusia
itu berasal dari yang tidak ada kembali ke tidak ada lagi.
Jika Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
memiliki pandangan tentang hidup dan mati tersebut, maka menurut
pandangan yang dimiliki oleh agama Islam. Agama Islam meyakini bahwa
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kami-lah,
kamu dikembalikan” (Q.S.Al-Ankabut:57). Menurut ajaran Islam apabila
manusia mampu mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi
seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia
180
memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci
Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi:
”Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”. Dari ayat di atas, dapat dikaji surga dan neraka merupakan suatu
keharusan demi tegaknya keadilan, karena kedailan di dunia belum
diperhitungkan dengan seksama dan diadili dengan seadil-adilnya. Pengadilan
Allah SWT di alam akhirat yang betul-betul diadili dengan seadil-adilnya
terhadap semua perbuatan manusia ketika di dunia. Apabila manusia mampu
mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya,
beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang
kekal yaitu surga
3) Pikukuh Tilu
Pada dasarnya manusia hidup menuju purwawisesa yakni sabda Tuhan yang
dijiwai oleh pancaran kemanusiaan sejati. Manusia adalah mahluk religius,
mahluk sosial, dan mahluk budaya. Untuk mencapai ke tiga hal tersebut
diperlukan tuntunan yang disebut ”Pikukuh Tilu” yaitu tiga hal yang harus
dipegang teguh (dipikukuhkan). Isi Pikukuh Tilu tersebut ialah sebagai
berikut:
a. Ngaji badan.
b. Tuhu/ Mikukuh Kana Tanah.
181
c. Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6.
Jadi, pada dasarnya Pikukuh Tilu merupakan tuntunan tentang konsep
kesempurnaan hidup dan mengajarkan bagaimana manusia harus menyadari bahwa
dirinya merupakan makhluk Ciptaan Tuhan yang lainnya kembali kepada Sang
Pencipta.
Cara terbaik yang dilakukan oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan ibadahnya ialah dengan bersemedi.
Bersemadi menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan si sakarupa sorangan, yaitu suatu
keadaan di mana manusia bisa berhadapan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Bila
manusia bisa berdialog dengan dirinya, maka ia diharapkan seperti melihat dan
berdialog dengan karya ciptaan Allahnya. Dalam ajaran Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan bahwa “Sing saha uninga
kana dirina sorangan, moal samar ka Allahna”. Adapun tujuan utama dilakukan
semedi adalah membersihkan dan membebaskan dirinya dari segala pengaruh tidak
baik yang berasal dari luar (Yayasan Tri Mulya, 1960: 22).
Menurut Suhandi (1988: 198) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni
2009) api merupakan benda simbolik bagi penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada dan dihadapi dalam setiap
peribadatan, terutama dalam peribadatan masal. Api memancarkan terang dan panas,
sehingga dapat menjadi simbol adanya suatu kehidupan. Proses hidup dan mati yang
terjadi dalam diri manusia, titisan roh kehidupan hanya dapat terlaksana lewat api,
182
tempat semua daya hidup diolah dan diselaraskan bagi manusia. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Durkheim (Awan Mutakin, 2006:107) bahwa:
religi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan religi yang dilakukan masyarakat, nampaknya memerlukan suatu alat yang dianggap suci dalam bentuk simbol yang diyakini bersama memiliki kekuatan yang dapat mempersatukan kehidupan mereka yang disebut Totem. Dengan demikian, bahwa sistem totem sebagai religi yang hidup dalam
masyarakat primitif, telah memberikan suatu keyakinan yang dalam terhadap
kelompoknya, sehingga di manapun mereka berada akan tetap bersatu dalam totem
yang sama dan akan berkumpul di saat-saat tertentu dalam upacara keagamaan yang
dilaksanakan oleh klannya, sehingga totem ini sebagai alat integrasi sosial ke dalam
bagi kehidupan masyarakat.
Dari pembahasan hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat diambil
kesimpulan bahwa ada hal yang mendasari kepercayaan penghayatan tersebut yaitu:
Kepercayaan akan adanya Tuhan, memaknai konsep hidup dan mati serta
menjalankan Pikukuh Tilu. Adanya hal-hal dasar itu memberikan acuan atau
tuntunana bagi para Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
untuk berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perilaku
penghayatan tersebut terbagi dalam beberapa aspek , seperti aspek teologis (Ngaji
badan, Tuhu kana tanah, Madep Ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6), aspek sosial (Tolong
menolong, gotong royong, dan berbudi luhur yang diwujudkan dalam tekad ucap
183
serta lampah), aspek kultural (membina, mengembangkan serta melestarikan alam
dan budaya sesuai dengan cara-ciri manusia dab cara ciri bangsa).
4.2.4 Pola Interaksi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa
Sebagaimana dikemukakan dalam deskripsi hasil penelitian terungkap bahwa
dalam mengamalkan ajaran budi luhur warga atau para Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menyadari bahwa manusia diciptakan
sebagai makhluk sosial yang berbeda dan hidup bersama orang lain. ” Adanya aku
karena adanya engkau”, artinya manusia bisa hidup karena adanya orang lain. Dalam
hidup keseharian manusia selalu ingin dicintai dan mencintai, satu sama lain saling
membutuhkan karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan manusia untuk ikut
serta mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera.
Dalam upaya ikut serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera warga penghayat kepercayaan mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan bekerja bersama-sama tanpa memandang suku, ras, agama maupun golongan, baik itu kegiatan yang datangnya dari pihak pemerintah maupun atas inisiatif dari warga masyarakat itu sendiri. Kegiatan tersebut sekaligus merupakan perwujudan dari jalinan persatuan dan kesatuan bangsa.
Proses yang terjadi antar sesama warga masyarakat di Kelurahan Cigugur
didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Dalam
pandangan Koentjaraningrat (Awan Mutakin, 2006:65) pentingnya gotong royong
dapat dilakukan dalam hal:
184
1. Dalam hal kematian, sakit atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga dan orang lain sedesa.
2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali perigi pekarangan rumah dsb., di mana si pemilik rumah dapat meminta bantuan dari tetangga yang hidup dekat sekeliling rumahnya dengan memberi jamuan makan.
3. Dalam hal pesta bila seseorang misalnya hendak mengawinkan anaknya, bisa minta bantuan tidak hanya dari kaum kerabatnya tetapi juga dari kaum tetangganya dalam hal mengurus persiapan dan penyelenggaraan pestanya.
4. Dalam hal pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan, irigasi, bangunan umum dsb., di mana penduduk desa dapat terpengaruh untuk bekerja bakti sesuai dengan pemerintah dari kepala desa
Pada umumnya interaksi yang terjadi diantaranya: 1). dalam hal pekerjaan
yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki
jalan, jembatan, bendungan, irigasi, bangunan umum dsb.; 2). dalam hal kematian,
sakit atau kecelakaan; 3) dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya
memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah; 3) alam hal pesta bila seseorang
misalnya hendak mengawinkan anaknya dan yang terbesar adalah dalam upacara
seren taun. Hal itu di lakukan meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
Dalam kehidupan beragama, masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis. Hal
ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantar
mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Merujuk pendapat Soekanto
(2004:61) bahwa:
Hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling tegur-menegur, berjabat tangan,
185
saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial Interaksi diantara warga masyarakat di Kelurahan Cigugur juga terlihat dalam
kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat, seperti kegiatan bakti
sosial, jumat bersih, dan membuat sarana peribadatan. Dalam hal ini, meskipun
mereka berbeda agama maupun kepercayaan tetapi mereka bisa membaur diantara
masyarakat yang lainnnya untuk saling membantu membuat sarana peribadatan
bahkan kalau ada yang meninggal berbeda agama mereka bahu-membahu ikut
mengurus adan mengucapkan belasungkawa dan mengantarkan jenajahnya. Dalam
kehidupan sehari-hari, mereka bisa mengesampingkan ego dan fanatisme demi
terciptanya rasa toleransi dan kekeluargaan diantara mereka tanpa membedakan latar
belakang agama, ras, suku, dan golongan. Betapa pentingnya kerja sama, di
gambarkan oleh Charles H. Cooley sebagai berikut:
”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi-memenuhi kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna”. Dalam kehidupan beragama masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis.
Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantara
mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Pelaksanaan ritual keagamaan
cukup kental, bahkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh masyarakat biasanya
dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Sarana-sarana peribadatan cukup lengkap,
186
terlihat dengan banyaknya tempat peribadatan, seperti masjid ada enam buah, langgar
ada sembilan buah dan gereja ada dua buah (Arsip Kelurahan Cigugur, 2008).
Sebagaimana diungkapkan oleh Hasyim (1979:22) bahwa:
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menetukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Dengan demikian, toleransi secara prinsipil adalah suatu tindakan yang
apresiatif (menghargai), membiarkan tetap mengontrol tindakan orang lain, baik itu
dalam konteks ibadah, akhlak, dan muamalah, agar sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Selanjutnya Hasyim (1979:23) memasukan unsur-unsur yang melandasi sikap
toleransi, antara lain:
1) mengakui hak setiap orang; 2) menghormati keyakinan orang lain; 3) setuju dalam perbedaan; 4) saling mengerti; 5) kesadaran dan kejujuran; 6) jiwa.
Berdasrkan pembahasan tentang pola interaksi Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan masyarakat sekitar di Kelurahan
Cigugur Kuningan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut:
Pola interaksi dengan warga sekitar terjalin dengan baik, sehingga saling
menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar umat beragama terjalin
dengan baik. Disamping itu, gotong-royong, bantu-membantu atau bekerjasama
187
dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga terjalin dengan baik diwarnai
dengan kehidupan yang harmoni dan bisa berkembang sampai sekarang di
Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan.
4.2.5 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut
Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, bahwa peran
Pemerintah Daerah Kuningan dalam rangka kelancaran roda pemerintahan dan
berjalannya stabilitas kerukunan anatar umat beragama, maka sesuai dengan
pelimpahan dan kewenangannya Pemerintah Daerah Kuningan melimpahkan masalah
ini pada instansi-instansi yang terkait yang berhubungan dengan masalah ini. Adapun
insatansi-instansi terkait tersebut diantaranya:
1) Departemen Agama Kuningan
2) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan
3) Bakor pakem Kuningan.
Pelimpahan pada insatansi-instansi terkait ini sebagai kepanjangan tangan dari
Pemerintah daerah Kuningan sendiri yang khusus menaungi atau membawahi
masalah keagamaan yang berkaitan dengan kepercayaan penghayat di Kelurahan
Cigugur Kuningan ini. Pelimpahan ini dilaksanakan sebagai upaya pembinaan dan
memfasilitasi aparatur pemerintahan dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan
pusat ataupun peraturan daerah untuk terciptanya stabilitas nasional dan kerukunan
antar umat beragama. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Panggabean (Hasyim,
188
1979:357) menguraikan pandapat yang senada mengenai faktor-faktor dalam
membina kerukunan hidup umat beragama, sebagai berikut:
1) Golongan yang belum beragama atau belum berKetuhanan Yang Maha Esa termasuk golongan atheis dan animis diusahakan agar mereka beragama dan berKetuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan dan pilihannya sendiri.
2) Golongan yang sudah beragama atau berKetuhanan Yang Maha Esa, diusahakan agar mereka makin mantap dan tebal imannya serta luhur budi pekertinya berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing.
3) Golongan pemuda dan golongan remaja diusahakan untuk mengahargai dan menghayati nilai-nilai moral dan akhlak yang luhur serta kegiatan-kegiatan usaha yang lebih mengarah kepada pembangunan.
4) Golongan agama dan cendikiawan diusahakan kreativitas dan dukungan yang bergairah sehingga akan menimbulkan partisifasi nyata dari rakyat terhadap program-program pembangunan.
5) Peningkatan kerukunan hidup beragama dan jiwa tenggang rasa umat beragama yang tinggi antar pemeluk agama yang berlainan, dengan memperhatikan faktor-faktor dibawah ini: a. Jangan sampai berusaha supaya orang lain yang sudah memeluk agama
meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang ia peluk dengan penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan.
b. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antar kelompok-kelompok yang berbeda agama.
c. Saling memahami kepercayaan satu sama lain. Pembinaan yang baik membutuhkan pengawasan. Demikian pula aturan-
aturan dan larangan-larangan dapat berjalan dengan baik jika disertai dengan
pengawasan yang terus-menerus. Oleh sebab itu, tokoh agama dan aparat pemerintah
terkait haruslah berupaya untuk mengawas secara ketat dan bertanggung jawab
terhadap praktek Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Fungsi legitimasi dari pemerintah terhadap agama dan kepercayaan berupa
pembenaran dan pengukuhan sangat penting. Hal ini dikarenakan agar tidak adanya
189
kesimpangsiuran dan penyimpangan-penyimpangan dalam agama yang dapat
meresahkan masyarakat yang nantinya akan menghambat suksesnya program-
program pembanguanan yang akan diselenggarakan. Sehubungan dengan hal itu,
Pemerintah Daerah Kuningan juga mempunyai peranan pengawasan terhadap
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada di
Kelurahan Cigugur Kuningan tersebut.
Dari pembahasan tentang peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan
terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di
Kelurahan Cigugur Kuningan, dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut: Pada
dasarnya peran Pemerintah Daerah Kuningan disini adalah melakukan pengelolaan,
pemeliharaan, melindungi, mengamankan dan melestarikan peninggalan budaya
serta meningkatkan kepedulian dan kesadaran terhadap peninggalan budaya daerah
serta pengawasan, pembinaan dan bimbingan agar tidak terjadi penyempalan-
penyempalan agama, penyimpangan-penyimpangan dan tidak membuat agama baru.
4.2.6 Landasan hukum pembenaran terhadap Penganut Kepercayaan dan
Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur
Kuningan
Beragama dan beraliran kepercayaan adalah Hak Sipil dalam arti bahwa hak
itu sudah ada, tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial serta keagamaan
sebelum lahirnya organisasi negara. Hak Sipil itu umumnya berkaitan dengan dengan
prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya negara. Negara melalui
190
pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil.
Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama diatur oleh kaidah agama,
seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan.
Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui
keberadaannya oleh Pemerintah.
Negara tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang
sama agamnya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari
kebebasan memilih calon suami istri. Kaidah dalam hak-hak asasi membenarkan
perkawinan antar agama, jika pemerintah menolak pencatatan, kaidah hak asasi itu
akan kehilangan makna. Oleh karena itu walaupun negara melarang perkawinan
campuran antar agama, pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi melalui
lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kesan bahwa
pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya
untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan. Didalam
Ketentuan Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dinyatakan bahwa:
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion: this right includes freedom to change his religion or belif, and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.
Unsur-unsur kebebasan yang dapat diturunkan dari ketentuan pasal tersebut
adalah: (a) setiap orang mempunyai kebebasan atas pikiran, keinsafan batin dan
agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama dan kepercayaan; (b) setiap
orang mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara
191
mengajarkannya, melaksanakannya, beribadat dan menaatinya; (c) kebenasan
sebagaimana termaksud dalam butir b tersebut dapat dilaksankan baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun di tempat
pribadi.
Kebebasan memeluk agama dan atau alairan kepercayaan tercantum pula
dalam Konvensi Internasioanal tentang Hak Sipil dan Politik. Di dalam
Internasioanal “Convention on Civil and Political Right” dinyatakan:
Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This righ shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and public or private, to manifest his religion or belif in worship observance, practice and teaching.
Ketentuan Pasal 29 ayat2 UUD 1945 yang ditafsirkan secara gramatikal akan
bertentangan dengan Pasal 18 International Convention on Civil and Political Right.
” to have or to adopt a religion or belief of his choice” berarti agama dan
kepercayaan itu suatu alaternatif , sedangkan biasanya pasal 29 ayat 2 ditafsirkan
secara komulatif. Sebagian masyarakat Indonesia mengenal bentuk ibadat yang
artinya menjalankan perintah dari alairan kepercayaan yang tidak bersumber dari
agama tertentu. Namun begitu konvensi tentang Hak Sipil dan Politik juga
membenarkan pembatasan yang dilakukan dengan Undang-undang, sepanjang
pembatasan itu untuk kepentingan keamanan ketertiban, hak-hak asasi dan kebebasan
orang lain.
Di Indonesia masih banyak aliran yang tidak berpangkal pada induk agama.
Penafsiran yang tepat untuk memahami pasal 29 ayat 2 yang masih sangat
192
dipertahankan saat ini adalah penafsiran extensiel sehingga dapat mengantisifasi
perkembangan. Ketentuan pasal 29 ayat 2 ini seyogyanya diartikan agama dan atau
kepercayannya itu. Dengan tidak dijelaskannya macam agama dalam UUD 1945,
timbul permasalahan yaitu perlukah pemerintah mengatur tentang macam-macam
agama yang diperkenankan dipeluk oleh penduduk Indonesia. Konsekuensi Indonesia
yang tidak sekularistik, dapat dibenarkan bahwa pemerintah memberikan pengakuan
terhadap agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Hanya saja pemerintah harus memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi
agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia
UUD 1945 sebagai sumber hukum di negeri ini dalam implementasinya di
lapangan sering dipersempit oleh aturan pelaksanaan turunannya yang justru bertolak
belakang dengan spirit keberagaman bangsa. Tumpang tindih hukum mengakibatkan
makin luasnya dampak diskriminasi bagi warga negara. Terutama dengan campur
tangan negara dalam menentukan agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara.
Berkaitan dengan landasan hukum Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan landasan keyakinannya berakar
pada tradisi spiritual genuine masyarakat nusantara seringkali terstigma dengan
sebutan aliran sesat.
Dampak dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan di tingkat pusat khususnya yang berhubungan dengan
kebebasan berkeyakinan tidak segera tampak ke permukaan, karena biasanya
193
peraturan perundang-undangan tersebut terselubung oleh judul yang sangat bagus.
Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan, dari judulnya hanya terlihat mengatur hal yang bersifat administratif,
namun dalam kenyataannya masalah yang berhubungan dengan kebebasan
berkeyakinan. Kini seolah terakomodir payung untuk para penghayat kepercayaan,
namun birokrasi pemerintahan terbiasa mempersempit pemahaman dari komunitas
Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Diskriminasi pada Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa umumnya karena tidak terakomodasinya hak-hak sipil dan budaya
mereka dalam sistem hukum yang berlaku. Masalah yang senantiasa muncul saat ini
adalah perlakuan dari aparat pemerintah yang sering membedakan hak dan kewajiban
warga penghayat kepercayaan dengan para penganut agama.
Gagasan memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, membuktikan
bahwa upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap agama yang ada
senantiasa menimbulkan keresahan dan masalah ketidakadilan. Kita sebagai bangsa
yang merdeka tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sangat diskriminatif yang
dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan pembahasan tentang landasan hukum pembenaran terhadap
Penganut Keprcayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan
Cigugur Kuningan, dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut:
Landasan hukum pembenaran terhadap penghayat kepercayaan tersebut adalah a)
UUD 1945 Pasal 29 ayat (1 dan 2); b) UUD 1945 Pasal 28 E ayat (1 dan 2); c) UU
194
RI No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependuduk; d) Peraturan Pemerintah
RI No. 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan.