47
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN DATA PENELITIAN
A. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Etnisitas
Berdasarkan teori etnisitas, rasa kebersamaan dan ikatan sosial dalam suatu
masyarakat, secara khusus dalam masyarakat plural (majemuk), dapat terbangun
dan terjalin begitu rupa karena adanya kesamaan asal-usul atau leluhur, garis
keturunan atau hubungan darah, marga, bahasa dan dialek, ciri-ciri fisik, nilai-nilai
budaya, dan praktik-praktik budaya seperti seni, sastra, dan musik, loyalitas,
memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma,
kepercayaan, nilai-nilai bersama, dan juga dalam hal agama atau kepercayaan-
kepercayaan yang dianut. Berdasarkan teori etnisitas, dapat dikatakan bahwa
apabila satu atau lebih dari ciri-ciri atau aspek-aspek di atas terkombinasikan atau
terpola dalam sebuah kelompok sosial, maka hal itu pasti akan melahirkan perasaan
etnisitas. Berdasarkan analisis penulis, perasaan etnisitas inilah yang kemudian
melahirkan kelompok-kelompok sosial dalam sebuah masyarakat yang dikenal
dengan kelompok-kelompok etnis.
Demikian juga halnya dengan masyarakat Gunungsitoli sebagai masyarakat
plural (majemuk) yang terdiri dari berbagai etnis pasti memiliki rasa kebersamaan
dan ikatan sosial yang terbangun dan terjalin atas dasar etnisitas. Perasaan etnisitas
ini pasti tidak dapat disangkal atau ditiadakan di dalam diri tiap-tiap kelompok
etnis yang ada. Etnisitas ini kemudian terintegrasikan dalam bentuk-bentuk
kekerabatan sosial yang mewujud dalam perkumpulan-perkumpulan keluarga
48
berdasarkan hubungan darah, marga, dan lain sebagainya. Dalam masyarakat
Gunungsitoli misalnya, banyak berdiri STM (Serikat Tolong Menolong)
berdasarkan marga atau berdasarkan kumpulan keluarga besar tertentu (anak,
keponakan, cucu, dsb) yang dilihat menurut hubungan darah atau garis keturunan
(silsilah). Bahkan tidak jarang, perkumpulan-perkumpulan seperti ini juga
dibentuk di luar daerah, misalnya: organisasi IKAONI (Ikatan Keluarga Ono
Niha)1 yang ada di Kota Salatiga. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini sesuai
dengan salah satu teori etnisitas yang disampaikan oleh T.K. Oommen bahwa
etnisitas dapat dikonseptualisasikan sebagai alat yang digunakan orang untuk
mencari kesatuan psikologis yang seringkali didasarkan pada kesamaan umum,
yakni kesamaan darah, baik secara nyata maupun fiktif.
Namun sejauh pengamatan penulis terhadap masyarakat Gunungsitoli,
perasaan etnisitas itu sebenarnya tidak hanya terbentuk, terbangun, dan terjalin
dalam relasi internal salah satu kelompok etnis tertentu saja. Dalam konteks
kemasyarakatan dan relasi sosial yang lebih luas di Kota Gunungsitoli, perasaan
etnisitas itu juga terlihat dalam hubungan-hubungan sosial di antara kelompok-
kelompok etnis di Kota Gunungsitoli. Perasaan etnisitas antar kelompok-kelompok
etnis ini sangat erat kaitannya dengan beberapa kearifan lokal seperti penulis
jelaskan pada Bab III, yaitu tentang banua dan fatalifusöta. Ketika seseorang
bergabung dan mengikatkan dirinya menjadi banua, maka oleh seluruh anggota
masyarakat dalam banua tersebut menerima dia sebagai anggota masyarakat yang
1IKAONI (Ikatan Keluarga Ono Niha) adalah organisasi atau perkumpulan masyarakat dari seluruh
keluarga dan mahasiswa yang berasal dari Nias yang berdomisili atau sedang menempuh pendidikan di Kota Salatiga dan sekitarnya. Anggota-anggota organisasi ini tidak hanya terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki hubungan darah khusus atau dari marga yang serumpun, tetapi seluruh masyarakat yang berasal dari Nias tanpa melihat hubungan darah tertentu, marga, asal kampung, dan sebagainya.
49
sah dalam wilayah tersebut. Konsep fabanuasa terlihat di dalam interaksi-interaksi
sosial antar kelompok etnis tanpa melihat garis keturunan atau hubungan darah,
perbedaan marga, suku, agama, ras, status sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, dan
sebagainya. Penerimaan satu sama lain ini juga sangat didukung oleh kearifan lokal
yang mengatakan emali dome si so balala, ono luo na so yomo. Seseorang yang
telah menjadi anggota masyarakat tadi tidak dianggap sebagai orang asing lagi,
melainkan dianggap sebagai saudara yang sama dengan saudara-saudara lainnya
dalam wilayah atau banua tersebut. Nilai kehidupan tertinggi dalam banua tersebut
adalah rasa saling menerima dan persaudaraan atau fatalifusöta. Berdasarkan
kearifan lokal ini tercipta sebuah masyarakat yang tidak hanya dikonstruksi atau
dibatasi oleh garis keturunan, kekeluargaan karena ikatan darah. Oleh karena itu,
selain faktor selain faktor kesamaan darah (hubungan darah) seperti disebutkan
dalam teori etnisitas oleh T.K. Oommen, realitas sosial ini juga mendukung teori
etnisitasnya yang lain yang mengatakan bahwa di masa sekarang masyarakat dan
kelompok etnis tidak dibatasi oleh garis keturunan dan kekeluargaan. Oleh karena
itu, istilah banuada (ini merupakan salah satu ungkapan dalam bahasa Nias yang
secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat kita atau satu kampung
dengan kita”) yang selama ini sering atau biasanya digunakan oleh masyarakat Nias
dan Kota Gunungsitoli untuk menunjuk kepada sesama etnis Nias, dalam perspektif
etnisitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas secara sosiologis yaitu
keseluruhan masyarakat Nias atau masyarakat Gunungsitoli yang terdiri dari
beragam etnis, dan bukan hanya terdiri dari etnis Nias saja sebagai kelompok etnis
yang terbesar jumlahnya dalam masyarakat.
50
Memang dalam kenyataannya, sudah jarang terlihat atau jarang dilaksanakan
semacam upacara adat tentang penerimaan seseorang menjadi anggota yang sah
dalam masyarakat Gunungsitoli. Tetapi karena jiwa dan nilai-nilai banua tersebut
masih tetap ada dalam kehidupan Ono Niha2 (penerimaan satu sama lain dan rasa
persaudaraan yang kuat), serta telah diwariskan secara turun-temurun dari para
orang tua atau leluhur sebelumnya, maka tidak pernah ada penolakan dari
kelompok etnis Nias terhadap para pendatang atau etnis-etnis lainnya yang ada di
Kota Gunungsitoli.
Sehubungan dengan adanya kecenderungan mendikotomikan kelompok-
kelompok etnis menjadi etnis mayoritas dan etnis minoritas ketika berbicara
tentang etnisitas, dari realitas sosial yang ada dapat diamati bahwa kecenderungan
tersebut tidak terlihat dalam komposisi etnis di tengah-tengah masyarakat
Gunungsitoli. Menurut analisis yang sudah dilakukan, istilah “etnis mayoritas” dan
“etnis minoritas” dalam masyarakat Gunungsitoli sebaiknya jangan dimaknai
secara politis, sebab hal itu akan melahirkan kesenjangan-kesenjangan sosial serta
arogansi etnis. Kedua istilah itu sebaiknya dimaknai secara kuantitatif dalam
komposisi kependudukan, yaitu etnis mayoritas sebagai kelompok yang jumlah
anggotanya paling banyak, dan etnis minoritas sebagai kelompok yang jumlah
anggotanya sedikit.
Etnisitas yang dimaknai Eriksen secara politis3 dalam teori etnisitasnya
sebagai dominasi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, sampai
saat ini masih belum kelihatan secara sosiologis dalam konteks masyarakat
2Tuhony Telaumbanua., “Upaya Menata Sosial-Budaya Masyarakat Nias Pasca Bencana”.., 93. 3Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity..,16-17.
51
Gunungsitoli. Hal ini tidak bermaksud mengabaikan begitu saja analisis Eriksen
tersebut di atas. Bagaimana pun juga, dalam kontek-konteks sosial lainnya tak
dapat disangkal bahwa kemungkinan-kemungkinan pendikotomian kelompok-
kelompok etnis tersebut bisa saja ada atau terjadi, tetapi hal itu mungkin terjadi
dalam skala yang kecil sehingga dapat diabaikan atau tidak terlalu mencuat ke
permukaaan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa secara khusus dalam struktur
Pemerintahan Kota Gunungsitoli, etnis Nias merupakan etnis mayoritas yang ada di
dalamnya. Namun hal ini tidak berarti bahwa telah terjadi “budaya dominasi” oleh
etnis Nias kepada etnis-etnis lainnya dalam hal perolehan kesempatan untuk
menduduki jabatan-jabatan struktural dalam pemerintahan, sebab dalam bab
sebelumnya dituliskan bahwa etnis-etnis lainnya juga mendapatkan jabatan-jabatan
strategis dalam struktur pemerintahan.
Hal ini merupakan salah satu nilai kesetaraan dan keadilan yang telah
dipraktekkan dalam hubungan antar kelompok-kelompok etnis di tengah-tengah
masyarakat Gunungsitoli. Secara sosial-politis, upaya yang seperti ini juga cukup
ampuh untuk meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan konflik atau pertikaian
antar etnis dalam masyarakat plural seperti Kota Gunungsitoli, sebagaimana terjadi
di beberapa daerah lain di Indonesia yang tidak jarang menelan korban dalam
jumlah yang tidak sedikit. Sehubungan dengan hal ini, apa yang disampaikan oleh
Bhikhu Parekh patut menjadi renungan bersama, yaitu:
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman (pluralitas) telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslovakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas
52
Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan semua sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.4
B. Masyarakat Gunungsitoli Ditinjau Dari Perspektif Teori Identitas Sosial
Secara sosiologis, masyarakat Gunungsitoli bukanlah suatu masyarakat
homogen yang hanya terdiri dari satu bentuk kebudayaan saja. Keragaman atau
pluralitas etnis yang ada di dalamnya membuat kota ini memiliki sistem
kebudayaan yang berbeda antar satu etnis dengan etnis lainnya. Hal ini disebabkan
oleh sistem nilai dan tradisi-tradisi yang berbeda dalam tiap-tiap etnis. Apabila
keragaman atau pluralitas ini dikelola secara bijaksana, maka akan menjadi suatu
panorama sosial yang memungkinkan setiap orang dari latarbelakang budaya dan
etnis manapun untuk hidup dalam kebudayaan yang tinggi dan beradab. Namun
adalah sebaliknya, apabila keragaman atau pluralitas ini tidak dapat dikelola secara
bijaksana maka segala unsur perbedaan tersebut akan menjadi permasalahan serius
yang dapat mengancam keharmonisan sosial.
Berdasarkan teori identitas sosial, salah satu bahaya besar yang mengancam
harmoni sosial dalam masyarakat plural adalah adanya potensi atau ancaman
konflik antar etnis. Penyebabnya seringkali tak lain adalah munculnya anggapan
atau klaim dari salah satu etnis tertentu yang merasa, menilai dan meyakini bahwa
etnisnyalah yang lebih unggul, lebih baik, dan lebih superior dibandingkan dengan
etnis-etnis lain yang hidup bersama dengan mereka dalam suatu masyarakat plural.
Di dalam sikap superior etnis yang seperti ini juga, seringkali tak dapat dihindari
4Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keragaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2012), 87-88.
53
sikap menonjolkan atau mengagung-agungkan kebudayaan sendiri, serta menjelek-
jelekkan kebudayaan lain dari kelompok etnis minoritas lainnya.
Adanya anarkisme berkaitan dengan tuntutan pengakuan terhadap identitas etnis atau diri pada umumnya disebabkan oleh tidak adanya kesadaran semacam itu. Kebudayaan yang tumbuh dalam sebuah komunitas dipandang sebagai kemutlakan yang harus diakui dan diagungkan keberadaannya. Sikap berlebihan itu kemudian memberikan peluang yang luas bagi masyarakat untuk menjelekkan dan tidak mengakui eksistensi budaya kelompok budaya lain. Pada titik ini diperlukan sebuah kebijakan yang bijak dan arif untuk memberikan keluasan bergerak bagi masing-masing entitas budaya dengan tetap mengakui keberadaan budaya yang lain. Jika tidak, gesekan-gesekan yang terjadi antarbudaya akan terjebak pada sikap fanatik, eksklusif, yang tentunya akan berdampak pada perpecahan.5
Hal ini dapat semakin diperburuk oleh adanya ketidakadilan dan
ketidaksetaraan dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk
mengembangkan kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial-politik,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Kelompok sosial atau kelompok etnis paling dominan biasanya paling menguasai
seluruh bidang tersebut di atas, dan mendapatkan kesempatan yang lebih besar serta
keuntungan yang lebih banyak dibanding kelompok-kelompok etnis kecil atau
minoritas lainnya. Kenyataan ini disebabkan oleh karena secara objektif mereka
memiliki sarana dan prasarana (infrastruktur) yang lebih memadai serta memiliki
akses yang lebih baik dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada,
selain juga karena klaim sepihak bahwa merekalah yang yang seolah-olah paling
berhak atas pemanfaatan sumber-sumber daya tersebut. Konsekuensi realnya adalah
munculnya perbedaan-perbedaan kelas sosial, budaya, dan politik dalam
masyarakat plural tersebut. Terdapat perbedaan yang tajam dan jelas antara mereka
5Ibid., 92-93.
54
yang tergolong sebagai kelompok dominan, dan mereka yang cenderung
didominasi atau didiskriminasi sebagai kelompok minoritas.6
Dalam suatu masyarakat plural biasanya biasanya tetap ada kecenderungan
kelompok-kelompok sosial untuk membentuk ingroup dan outgroup. Biasanya,
kelompok dominan atau mayoritas ini juga dikenal dengan sebutan ingroup,
sedangkan kelompok minoritas biasa dikenal dengan sebutan outgroup.
Setiap manusia mempunyai keinginan untuk membentuk kelompok kami (ingroup) dan kelompok mereka (outgroup), sesuai dengan cita-cita, cara hidup ataupun minatnya. Akibat lanjut dari hal ini adalah munculnya istilah-istilah seperti pribumi dan non-pribumi, Timur dan Barat, hitam/ sawo matang dan putih, Katolik dan Protestan, rohaniwan dan awam, serta tua dan muda. Kenyataan itu adalah sangat kodrati dan sering dapat membantu manusia.7
Secara praktis, untuk lebih mudah memahami relasi antar kelompok sosial
dalam masyarakat Gunungsitoli, selanjutnya istilah ingroup dan outgroup dalam
teori-teori identitas sosial tersebut akan digunakan dalam tulisan ini dengan
mengumpamakan bahwa etnis Nias (kelompok mayoritas) sebagai ingroup, dan
para pendatang atau etnis-etnis lainnya (kelompok-kelompok minoritas) sebagai
outgroup. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang sudah dilakukan, etnis
Nias sebagai kelompok sosial mayoritas dalam masyarakat Gunungsitoli hampir
tidak pernah memposisikan dirinya sebagai ingroup yang mendiskriminasi
kelompok-kelompok sosial minoritas lainnya (outgroup), baik dalam bidang
ekonomi, sosial-politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan dalam berbagai
bidang kehidupan lainnya dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
yang tersedia. Etnis Nias sebagai ingroup dalam kehidupan sosial sehari-hari
6Afthonul Afif, Identitas Tionghoa.., 45. 7Andreas Tefa Sa’u, Etnologi Dan Tugas Perutusan (Flores, NTT: Penerbit Nusa Indah, 2006), 193.
55
hampir tidak pernah memandang rendah kebudayaan dan tradisi-tradisi dari etnis-
etnis lainnya. Bahkan yang ada ialah etnis Nias sebagai ingroup telah menunjukkan
sikap positif, terbuka dan menerima etnis-etnis lain dengan segala keberadaan dan
kebudayaan yang mereka miliki.
Dalam kearifan lokal “emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo”
terkandung makna yang sangat dalam bagaimana masyarakat Nias, secara khusus
etnis Nias sejak dulunya telah memperlakukan tamu, orang asing atau pendatang
dengan penuh keramahan dan rasa hormat, yaitu dengan mengundang mereka
bertamu ke rumahnya dan menerima serta memperlakukan mereka sebagai tamu
yang sangat dihormati, bahkan tidak jarang dijamu dengan makanan dan minuman.
Berdasarkan sikap yang sangat bersahabat dan penuh persaudaraan ini, dapat
disimpulkan bahwa merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau tidak wajar
bagi etnis Nias untuk memposisikan diri sebagai ingroup yang mendiskriminasi
outgroup-outgroup lainnya. Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Afthonul Afif
bahwa pola relasi ingroup-outgroup, yang pada titik tertentu merupakan sumber
bagi konflik-konflik sosial, atau oleh Mayor Polak sebagai suatu kelainan (sikap)
yang berwujud antagonisme atau antipati, secara objektif masih belum kelihatan
sebagai sebuah gangguan sosial atau disharmoni sosial dalam masyarakat
Gunungsitoli. Analisis ini sedikitpun tidak bermaksud mengabaikan atau
memandang remeh kemungkinan-kemungkinan atau potensi-potensi konflik yang
bisa saja terjadi dalam pola relasi ingroup-outgroup, namun setidaknya apa yang
telah kelihatan dalam sikap etnis Nias dengan para pendatang atau etnis-etnis lain
hingga saat ini memberi sebuah penjelasan bahwa sejauh ini telah tercipta harmoni
sosial antar etnis di Kota Gunungsitoli.
56
Berdasarkan realitas sosial ini, dalam menyikapi identitas etnik atau cultural
identity, dapat dianalisis bahwa agaknya (kemungkinan besar) etnis Nias sebagai
ingroup dalam relasi sosialnya dengan etnis-etnis lainnya berada pada tipologi
sikap “ethnic identifities clarification” dan “the ethnicity” sebagaimana telah
dikelompokkan oleh James Banks dalam tulisan yang dikutip oleh Choirul
Mahfud.8 Kedua tipologi sikap ini menggambarkan sikap yang positif terhadap
budaya sendiri (ingroup), menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban
positif kepada budaya-budaya lain (outgroup), serta menunjukkan sikap yang
menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain (outgroup), seperti
budayanya sendiri.
Sikap etnis Nias yang cukup positif dan terbuka terhadap kebudayaan etnis-
etnis lain tersebut memberi rasa nyaman dan kebebasan bagi semua etnis pendatang
di Kota Gunungsitoli untuk mengapresiasi diri secara bebas dengan segala
kekayaan nilai budaya dan tradisi mereka, serta memperoleh kesempatan yang
sama untuk mengembangkan kehidupan dalam berbagai bidang. Hal ini sesuai
dengan apa yang pernah dituliskan oleh Bhikhu Parekh dalam menyikapi
keanekaragaman budaya serta bagaimana kita seharusnya mengelolanya secara etis
dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat plural, yaitu:
Keanekaragaman budaya juga merupakan suatu penentu dan kondisi bagi kebebasan manusia. Jika manusia tidak mampu keluar dari kebudayaannya, mereka tetap terpenjara di dalamnya dan cenderung untuk memutlakkannya, membayangkannya menjadi satu-satunya jalan alamiah atau yang tidak membutuhkan bukti untuk memahami dan mengorganisasikan hidup manusia. Dan mereka tidak mampu keluar dari kebudayaan mereka kecuali jika memiliki akses pada kebudayaan lain. ...
8Choirul Mahfud, Pendidikan.., 202-203.
57
Keanekaragaman kebudayaan juga menyadarkan kita pada keanekaragaman budaya dalam diri kita. Untuk melihat perbedaan-perbedaan di antara kebudayaan-kebudayaan, kita cenderung mencari perbedaaan dalam diri dan belajar memperlakukan mereka secara adil. Kita menghargai bahwa kebudayaan kita merupakan satu hasil dari pengaruh yang berbeda, berisi rangkaian-rangkaian pikiran yang berbeda dan terbuka terhadap penafsiran-penafsiran yang berbeda. Hal ini membuat kita curiga terhadap segala upaya untuk menghomogenisasi perbedaan dan menghadapkan padanya satu identitas tunggal dan disederhanakan. Hal ini juga mendorong satu dialog internal dalam kebudayaan, menciptakan satu ruang bagi pemikiran kritis dan independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimentalnya. Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan kita tentang agama Kristen, toleransi terhadap perbedaan dari luar dan dalam melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Satu kebudayaan atau agama yang menganggap dirinya sebagai yang terbaik dan mengakhiri kebudayaan lain atau takut dan menghindari kontak dengan mereka, cenderung mengambil satu pandangan yang diseragamkan dan homogen mengenai diri mereka dan juga menghapus perbedaan dan ambiguitas internalnya. Keanekaragaman budaya menciptakan iklim yang di dalamnya, kebudayaan yang berlainan dapat terlibat dalam dialog yang saling menguntungkan.9
Lebih lanjut Olaf H.Schumann juga mengatakan bahwa identitas manusia
senantiasa dinamis dan tidak pernah statis, serta harus memiliki keberanian untuk
menolak segala tekanan atau paksaan yang berpotensi mereduksi kedirian manusia
itu sendiri. Ia menjelaskannya sebagai berikut:
Ahli-ahli antropologi budaya dan ahli psikologi sama-sama mencari elemen-elemen identitas manusia. Secara khusus budaya dan lingkungan hidup disebut sebagai faktor-faktor yang turut membentuk identitas. Mungkin hal itu benar. Namun tidak boleh dilupakan pula bahwa budaya secara khusus merupakan hasil cipta manusia dan aktivitasnya. Jadi watak manusia tercermin dalam budaya yang ia ciptakan. Oleh karena itu, budaya tidak saja berpengaruh pada identitas manusia, tetapi ia juga dibentuk oleh identitas manusia dan merupakan ekspresinya. Budaya dan identitas manusia saling mempengaruhi secara timbal-balik. Oleh karena itu, mereka saling berhubungan di tingkat kemanusiaan, dan tentu mereka berubah menurut kondisi perubahan kehidupan dan perubahan kesadaran manusia dan wawasannya. Tetapi budaya merupakan produk kolektif manusia sehingga tidak setiap individu dapat mengidentifikasikan diri dengannya. Bila pribadi-pribadi berusaha mendefenisikan identitasnya atau “diri”-nya dalam konteks
9Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism.., 226-227.
58
budaya, mereka senantiasa terlibat dalam mempertahankan kebebasan mereka melawan suatu “hetero-determinasi” atau pemaksaan yang dilakukan oleh budaya atau lingkungan hidup dan yang dapat menyebabkan alienasi mereka dari dirinya jika mereka tidak dapat menyetujuinya. Oleh karena itu, identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang statis tetapi ia senantiasa membutuhkan pengujian ulang dan penguatan diri. Dalam upaya menemui “diri”-nya, setiap manusia harus menolak setiap tekanan atau paksaan yang menggunakan budaya atau agama yang direduksi menjadi semacam fides quae creditur atau dogma-dogma yang harus dipercayai tanpa penjelasan maupun pengertian, atau yang membeku dalam aturan-aturan hukum dan undang-undang tanpa dapat diyakini legalitasnya.10
Berdasarkan makna yang terkandung dalam kearifan-kearifan lokal yang
telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah atau sebutan
‘mayoritas’ dan ‘minoritas’, ingroup dan outgroup, tuan rumah (penduduk asli) dan
pendatang, atau pribumi dan non pribumi sebaiknya dihilangkan atau tidak
digunakan lagi dalam interaksi-interaksi sosial. Hal ini penting untuk
menghilangkan atau meminimalisasi sikap atau upaya-upaya yang mempertajam
perbedaan yang ada, terlebih apabila hal itu digunakan sebagai alat atau sarana
untuk mendominasi yang lain. Kenyataan objektif ini tidak dimaksudkan sebagai
penyeragaman budaya atau upaya menghilangkan budaya kelompok-kelompok
minoritas oleh kelompok-kelompok mayoritas dalam sebuah masyarakat plural,
melainkan lebih kepada penerimaan dan penghargaan kepada budaya-budaya lain
dengan segala kekayaan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya.
Hal ini sangat sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh John A.
Titaley dalam salah satu makalahnya, yaitu:
10Olaf H.Schumann., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: PT BPK
GunungMulia, 2009), 161-162.
59
Sejalan dengan Indonesia fenomen baru, tidak ada lagi sebutan minoritas-mayoritas, tuan rumah-pendatang, asli-asing.Sebab Indonesia dibentuk bukan oleh satu suku saja tetapi oleh berbagai suku, termasuk etnis Tionghoa. Memang ada pandangan yang kontra terhadap hal ini, namun jika pemikiran seperti ini dijalankan, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, apalagi jika Indonesia hendak dipahami sebagai fenomen baru. Indonesia fenomen baru adalah Indonesia yang tidak lagi membedakan pribumi dan non pribumi, atau mengklaim sebagai Indonesia asli sedangkan yang lainnya pendatang. Jadi tidak ada suku/golongan yang lebih baik, tinggi, benar, hebat, atau berkuasa. Indonesia seperti itulah yang membebaskan diri dari dikriminasi.11
Dari sudut pandangan sosial budaya, Jakob Sumardjo dengan sangat tepat
melukiskan keragaman di Indonesia dalam ungkapan: “Sejak nenek moyang bangsa
Indonesia menempati kepulauan ini, keragaman budaya yang ratusan itu bisa hidup
berdampingan. Tidak ada ambisi untuk menyamaratakan semua budaya itu dalam
satu kebudayaan tunggal yang monolit.12
Dalam bingkai ke-Indonesia-an, hal ini dapat dipahami dalam semboyan
negara kita, yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika (secara harafiah adalah berbeda-beda tetapi satu jua) berarti persatuan dalam keberanekaragaman. Terdapat beraneka ragam satuan-satuan suku, agama, ras, dan golongan tetapi tetap ada sesuatu yang mengikat dan menghubungkannya melalui apa yang disebut sebagai “Indonesia”. 13
Secara etis, kearifan-kearifan lokal tersebut di atas mengajarkan bahwa
masing-masing kelompok etnis harus berusaha untuk saling menerima dan
menyesuaikan diri satu sama lain dalam suatu masyarakat. Hal ini tidak bermaksud
11John A. Titaley, “Peran Gereja-Gereja dan PerguruanTinggi Kristen KawasanTimur Indonesia
dalam Negara Kebangsaan Indonesia”, (Makalah yang disampaikan dalam Semiloka Pengembangan SDM SANTI, tanggal 24 Juni 1998), 6.
12Jakob Sumardjo, “Makna Kesatuan Indonesia”, Kompas (12 Maret 2011), 6. 13Andy Fuller,“Kebebasan Beragama Di Indonesia Beberapa Catatan Berdasarkan Observasi”,
TitikTemu Jurnal Dialog Peradaban, Volume 4, Nomor 1 (Juli – Desember 2011), 157.
60
mengatakan bahwa masing-masing etnis menjadi kehilangan identitas sosial atau
identitas etniknya. Demikian juga identitas salah satu etnis (etnis minoritas) tidak
menjadi hilang, dibuang atau ditanggalkan karena berhubungan atau bergaul
dengan kelompok etnis mayoritas yang ada di dalam suatu masyarakat plural
dimana mereka hidup secara bersama-sama, lalu mengenakan identitas baru yang
sesuai dengan identitas kelompok mayoritas, misalnya karena proses interaksi
sosial yang terjadi antara etnis Cina (Tionghoa) sebagai kelompok minoritas
dengan etnis Nias sebagai kelompok mayoritas, maka etnis Cina membuang atau
menanggalkan budaya Cina dan identitasnya sebagai orang Cina.
Lebih lanjut dalam analisis yang sudah dilakukan, masyarakat Gunungsitoli
secara sosiologis telah menunjukkan pola relasi sosial dimana seseorang atau salah
satu kelompok sosial menerima orang lain atau kelompok sosial lainnya tanpa
melihat dan mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai faktor
penghambat proses penyesuaian dan penerimaan tersebut. Karena itu, sikap etnis
Nias yang mau terbuka dan menerima para pendatang atau etnis-etnis lain bukan
berarti penyeragaman budaya, juga bukan pembentukan budaya baru atau budaya
campuran, atau penghilangan dan penanggalan budaya, melainkan penerimaan
setiap budaya untuk tetap hidup, berkembang, dan dihargai. Artinya, etnis Nias
diakui dan diterima sebagai sebagai orang Nias dengan budaya Niasnya, etnis
Padang diakui dan diterima sebagai orang Padang dengan budaya Padangnya, dan
seterusnya. Salah satu contoh konkrit yang menggambarkan hal ini ialah
perkawinan antar etnis di Kota Gunungsitoli. Apabila seorang laki-laki dari etnis
lain menikah dengan seorang perempuan dari etnis Nias, maka tidak pernah ada
61
aturan, keharusan atau paksaan bagi laki-laki dari etnis lain tersebut untuk
mengubah identitas etnisnya menjadi etnis Nias sebagai syarat untuk menikahi
perempuan tersebut. Hal ini berarti bahwa identitas etnisnya tetap diakui dan
dihargai dengan segala nilai-nilai kebudayaan asalnya yang telah melekat pada
dirinya. Sikap saling menerima dan mengakui eksistensi masing-masing orang atau
kelompok seperti ini, disadari atau tidak disadari memiliki implikasi sosial yang
sangat tinggi terhadap keadilan sosial dalam suatu masyarakat, seperti diungkapkan
oleh Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, dalam salah satu tulisannya sebagai berikut:
Akhirnya, keadilan sosial juga menyangkut segi ideologi dan budaya. ... Dalam masyarakat majemuk, telah bertumbuh berbagai bentuk budaya. Masing-masing kelompok budaya punya hak untuk mempertahankan kebudayaannya, asal hal itu tidak merugikan kelompok-kelompok lainnya. Keadilan sosial justru semakin terwujud apabila semua kelompok budaya dapat berdialog secara terbuka, saling memperkaya melalui proses “memberi dan menerima”.14
Hal ini tentu saja memiliki hubungan dengan kearifan lokal banua dan
fatalifusöta serta emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, yang pada
prinsipnya menerima secara terbuka siapa saja yang mau berinteraksi secara positif
dan mengikatkan dirinya ke dalam masyarakat Gunungsitoli, tanpa melihat unsur-
unsur perbedaan yang ada seperti, agama, etnis, bahasa, warna kulit, status sosial-
ekonomi, dan lain sebagainya. Sikap ini akan membawa kesadaran pluralisme yaitu
bahwa kemajemukan menuntut kebebasan untuk tidak menjadi sama dan serupa
saja dengan yang lain. Oleh sebab itu, kemajemukan mengimplikasikan kesediaan
untuk mengakui dan bertoleransi terhadap hak hidup, kepentingan, pendapat dan
14Al. Purwa Hadiwardoyo, “Keadilan Sosial dan Sistem Ekonomi” J.B. Banawiratma (ed), Aspek Aspek Teologi Sosial, (Seri Pustaka Teologi), 42.
62
keyakinan pihak lain.15 Setiap orang dari kelompok etnis manapun selayaknya
diperlakukan sebagai saudara atau tamu (sahabat) yang harus dihargai.
C. Potensi Konflik
Dari hasil wawancara dengan informan kunci dan beberapa narasumber
lainnya, ada beberapa hal yang berpotensi paling besar menjadi sumber atau
penyebab konflik antar etnis dalam masyarakat Gunungsitoli, yaitu:
1. Sikap dominasi dan arogansi dari etnis Nias sebagai etnis mayoritas yang mau
menguasai atau mendiskriminasi etnis-etnis minoritas lainnya.
2. Persaingan yang tidak sehat dalam bidang ekonomi, secara khusus dalam
penguasaan pasar, sebab sebagian besar warga dari kelompok-kelompok etnis
lainnya di luar etnis Nias bekerja sebagai pedagang di pusat pasar Kota
Gunungsitoli.
3. Persaingan yang tidak sehat dalam bidang politik dan pemerintahan, secara
khusus dalam perbedaan ideologi politik dan perebutan jabatan-jabatan strategis
dalam struktur pemerintahan, terlebih sejak adanya beberapa pemekaran
wilayah pemerintahan di Nias.
4. Ketidakjelasan tujuan (maksud) kedatangan dan status kependudukan
pendatang-pendatang baru (orang asing) dari luar yang bukan merupakan
masyarakat Gunungsitoli seringkali meresahkan warga masyarakat Kota
Gunugsitoli. Fenomena ini sangat kelihatan secara khusus pasca bencana gempa
bumi di Nias tahun 2005.
15Sutarno, Di Dalam Dunia Tetapi Tidak Dari Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia & Salatiga: Satya
Wacana University Press, 2004), 280-281
63
D. Suatu Refleksi Sosio - Teologis: Menuju “Gunungsitoli Kota Samaeri”
Mengawali refleksi sosio-teologis ini, penulis hendak mengutip apa yang
pernah disampaikan oleh Prof. John A. Titaley yang mengatakan:
Pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama. Keragaman agama itu terjadi juga karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga tidak sama. Lingkungan hidup empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim, seperti musim hujan dan musim panas.16
Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemajemukan dalam
kehidupan manusia adalah alami. Itu sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Kemajemukan adalah kenyataan yang harus dihadapi, dihidupi bahkan diyakini.17
Salah satu pernyataan Diana Eck, sebagaimana dikutip oleh Dr. Hope S.
Antone, secara tepat menggambarkan “pluralis yang berkomitmen” dalam
pernyataannya sebagai berikut:
“Pluralis mengakui bahwa yang lain juga mempunyai komunitas dan komitmen. Mereka tidak takut berjumpa satu sama lain dan menyadari bahwa mereka semua harus hidup dengan setiap partikularitas yang lain. Tantangan bagi pluralis adalah komitmen tanpa dogmatisme dan komunitas tanpa komunalisme. Tugas teologisnya, dan tugas masyarakat pluralis, adalah menciptakan ruang dan sarana untuk perjumpaan komitmen-komitmen, bukan untuk menetralisasi semua komitmen.”18
Dengan ini penulis hendak mengatakan bahwa secara objektif, kenyataan
sosiologis masyarakat Gunungsitoli bahkan masyarakat Nias secara keseluruhan
adalah kehidupan yang berada dalam pluralisme atau kemajemukan seperti
disebutkan di atas. Dalam kemajemukan itu, masyarakat Gunungsitoli berinteraksi
16http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/09/opi4.htm/31Maret 2012 17John A. Titaley, “Kehidupan Kristen Dalam Masyarakat Majemuk”, Kumpulan Artikel 1 Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. 18Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual..,54.
64
satu sama lain, saling membutuhkan dan bergaul secara harmonis dalam kehidupan
sehari-hari. Adalah sebuah kenyataan sosial bahwa setiap orang dari golongan
suku, agama, dan ras manapun pasti saling membutuhkan. Karena itu, setiap orang
harus menjalin hubungan dengan sesamanya dalam kehidupan bersama sebagai
sebuah komunitas sosial. Arie Jan Plaisier mengungkapkan bahwa keberadaan
manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat
disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti
mampu hidup tanpa orang lain.19 Manusia ketika memahami dirinya sebagai yang
berpribadi itu akan menjadi utuh ketika hidup dengan pribadi yang lain. Ia ada
dalam suatu konteks sosial dan hidup bersama dengan sesamanya. Ia berinteraksi
dengan orang lain secara berkesinambungan dan dibentuk oleh budaya setempat
yang turut memberi pengaruh pada makna, bentuk, aksinya menjadi teratur.20
Tentu saja, realitas kemajemukan ini merupakan kekayaan dan keindahan
yang sepatutnya disyukuri. Ia bukanlah realitas yang dapat ditolak, sebab ia adalah
sesuatu yang alami yang harus diterima dan dihidupi. Namun, di sisi lain pada saat
yang bersamaan, realitas kemajemukan ini juga sewaktu-waktu dapat menjadi
sumber ancaman yang amat berbahaya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal
ini terjadi ketika warna dan nuansa kehidupan manusia yang saling berbeda satu
sama lain itu tidak dikelola secara arif. Akhirnya yang terjadi ialah konflik,
pertikaian, disintegrasi bangsa dan disharmoni sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konflik yang terjadi tersebut tidak hanya
19Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah : Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi
Kristen (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,2002), 103.
20K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1963), 4.
65
konflik agama, tetapi juga konflik antar kelompok etnis, dan antar kelas-kelas sosial
yang ada dalam masyarakat. Beberapa tahun yang lalu Pdt. Eka Darmaputera
pernah menggambarkan kekacauan sosial tersebut dalam salah satu tulisannya, ia
mengatakan:
Pada masa sekarang seluruh bangsa kini berdiri tepat pada ambang disintegrasi menyeluruh. Setelah Timor Timur, kini giliran provinsi-provinsi lain menyuarakan keinginan mereka untuk referendum dan, akhirnya, kemerdekaan Indonesia juga harus menghadapi aneka konflik sosial antar-komunitas; antar kelompok-kelompok etnis, antar kelompok-kelompok agama, antara masyarakat sipil dengan militer, antara keturunan Cina dengan pribumi, antara kaum pendatang dengan penduduk asli, antar-kampung, sekolah, bahkan antar-tetangga. Dan konflik itu makin lama makin berdarah dan keras. Jumlah gedung gereja yang dihancurkan meningkat dari tahun ke tahun. Dari hanya dua pada masa pemerintahan Soekarno (17 Agustus 1945 – 7 Maret 1967), menjadi 456 semasa rezim Soeharto (7 Maret 1967 – 21 Mei 1998) dan 154 selama satu setengah tahun pemerintahan Habibie. Ini menunjukkan, (a) derajat keseriusan konflik-konflik yang terjadi; (b) makin dominannya warna agama dalam konflik tersebut.21
Demikian halnya dalam masyarakat Gunungsitoli yang sangat majemuk
tersebut, disadari atau tidak disadari ia pasti mengandung potensi-potensi konflik,
secara khusus konflik intern umat beragama, antar umat beragama, konflik internal
etnis, dan konflik antar etnis. Memang sampai sekarang dalam kenyataannya, Kota
Gunungsitoli hampir tidak pernah diwarnai oleh konflik atau kekerasan atas nama
agama maupun etnik, namun hal ini tetap patut dievaluasi dan diantisipasi demi
menghindari hal-hal yang bersifat destruktif di masa yang akan datang.
Salah satu cara strategis untuk tetap melestarikan dan mempertahankan
harmoni sosial yang telah terjalin di Kota Gunungsitoli selama ini ialah mengelola
secara bijaksana kemajemukan tersebut. Untuk melakukan hal ini, maka
21EkaDarmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka
Darmaputera, (Jakarta: BPK GunungMulia, 2005), 384.
66
Pemerintah Kota Gunungsitoli bersama seluruh masyarakat Gunungsitoli telah
menyepakati visi (motto) hidup bersama yaitu mewujudkan “Gunungsitoli Kota
Samaeri.” Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, istilah “samaeri”
dalam bahasa Nias mengandung makna mengayomi, memelihara, dan menuntun,
dimana kata ini biasa digunakan terhadap tanggung jawab orangtua dalam
membesarkan, mendidik, dan menyediakan kebutuhan hidup anak-anaknya,
sehingga mereka bisa mandiri dan memiliki masa depan yang cerah di masa yang
akan datang. Istilah ini kemudian diuraikan dengan: SA = Satukan langkah dan
tekad, MA = Mandiri, E = Ekonomi kerakyatan, RI = Beriman. Visi ini lebih lanjut
diterjemahkan dalam misi: “Satukan langkah dan tekad mewujudkan kota Mandiri
yang berbudaya, sejahtera dan berwawasan lingkungan, dengan penguatan program
Ekonomi, pendidikan, kesehatan, pariwisata dengan dukungan masyarakat
beRIman, yang takut akan Tuhan sehingga memperoleh curahan berkat
berkelimpahan yang dapat dinikmati secara bersama-sama.”
Tentu saja untuk mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri” ini adalah
tanggung jawab seluruh komponen masyarakat Nias. Namun secara politis,
pemerintah memiliki peran yang paling strategis untuk menggerakkan seluruh
masyarakat mewujudkan hal ini. Pemerintah harus menegakkan dan menjalankan
pemerintahan yang bersih. Pemerintah harus berupaya keras menegakkan keadilan
sosial dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat tanpa membeda-
bedakan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hal ini sangat perlu
untuk menghindari sekaligus meminimalisasi kecemburuan sosial antar kelompok-
kelompok sosial yang ada secara khusus kelompok-kelompok agama dan
kelompok-kelompok etnis, sekaligus untuk menekan derajat ketidakpuasan
67
masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Tidak jarang terjadi bahwa konflik-konflik
sosial yang muncul dalam masyarakat disebabkan oleh ketidakadilan sosial-
ekonomi dan politik, sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang tidak pro
kesejahteraan rakyat. Dr. Hope S. Antone menegaskan hal ini dalam bukunya sebagai
berikut:
Sering dikatakan bahwa pada masa kini, kecuali kematian yang diakibatkan oleh bencana alam, yang sekarang dan kemudian terjadi, lebih banyak orang mati karena konflik agama dan suku daripada karena kelaparan atau penyakit. Bagaimanapun, akar konflik agama dan etnis ini sering kali sungguh-sungguh disebabkan oleh ketidakadilan sosial-ekonomi dan politik.22 Pada tataran normatif berdasarkan Pancasila, penulis mencoba untuk
memahami upaya mewujudkan “Gunungsitoli Kota Samaeri” yang majemuk
tersebut sama halnya dengan membangun suatu masyarakat ideal yang oleh Eka
Darmaputera menyebutnya dengan istilah “membangun masyarakat Pancasila”,23
dimana oleh penulis memahaminya sebagai masyarakat yang berkeadilan sosial.
Tentu saja penulis menyadari bahwa ini bukanlah tugas yang mudah untuk
dilaksanakan, sangat dibutuhkan kerja keras dan komitmen untuk meraihnya.
Selain Pemerintah Kota Gunungsitoli, pihak lain yang juga sangat
diharapkan kontribusinya dalam hal ini ialah gereja. Dari segi kuantitatif, penduduk
Kota Gunungsitoli adalah mayoritas beragama Kristen. Oleh karena itu tidak salah
kalau gereja sangat diharapkan turut berperan aktif dalam mewujudkan
Gunungsitoli Kota Samaeri. Pada titik inilah, menurut penulis, sesungguhnya gereja
memainkan perannya sebagai agen perubahan sosial.
22Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan Agama Dalam Pendidikan Agama (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), 4.
23Istilah “Masyarakat Pancasila” digunakan oleh Eka Darmaputera dalam “Telaah Kritis Hubungan Agama-Negara” di dalam Daniel Nuhamara, dkk (peny), Iman dan Kepedulian Sosial (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), 115.
68
Dalam misi sosial seperti ini sudah selayaknya organisasi-organisasi gereja di Kota
Gunungsitoli membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi keagamaan
lainnya yang sekaligus mencerminkan nuansa pluralitas etnis di dalamnya. Dengan
cara seperti ini akan tercipta dialog yang positif dan konstruktif dalam semangat
kekeluargaan di antara organisasi-organisasi keagamaan, sekaligus di antara
kelompok-kelompok etnis yang ada di Kota Gunungsitoli. Mengenai hal ini, Olaf
Schumann mengatakan bahwa:
Mereka dapat bersama-sama membuat berbagai garis besar untuk kebiasaan moral dan etika dalam masyarakat tempat mereka saling berbagi dan berpartisipasi sebagai anggota yang setara. Gagasan seperti keadilan dan, kejujuran, saling menghormati, persamaan, perasaan kasihan, membantu sesama dan orang asing, dan lain-lain telah dikenal baik oleh umat Kristen dan Muslim; keduanya dipanggil Tuhan untuk mengembangkan nilai-nilai itu dalam kenyataan hidup mereka di tengah masyarakat.24
Masih berkaitan dengan hal di atas, Bambang Ruseno juga pernah
mengatakan bahwa:
Kerjasama yang sesungguhnya berawal manakala baik golongan Muslim maupun Kristen sama-sama mengakui bahwa belajar untuk hidup bersama sebagai kesetiaannya kepada Tuhan, untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia serta pembangunan bangsa adalah lebih penting daripada perpecahan dan permusuhan yang terus menerus.25
Bila kelompok-kelompok mayoritas agama ataupun kelompok-kelompok
mayoritas etnis hanya mau mendasarkan argumentasinya pada keyakinan imannya
dan tradisi-tradisi yang dianutnya, serta menolak berdeliberasi
(berdiskusi/konsultasi), maka yang lahir adalah sistem dominasi dan represi dari
kaum mayoritas terhadap minoritas.
24Olaf H.Schumann., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), 107.
25BambangRuseno., Hidup Bersama Di Bumi Pancasila: SebuahTinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, (Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), 273.
69
Menuju “Gunungsitoli Kota Samaeri” adalah merajut harmoni sosial antar
etnis dan antar umat beragama, serta membangun dan menata sistem pemerintahan
yang bersih dan sehat. Bagaimana pun, visi ini mengingatkan bahwa setiap orang di
muka bumi ini bertanggung jawab untuk mencintai dan membawa perdamaian di
tengah-tengah komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Sehubungan dengan
tanggung jawab ini, mungkin kata-kata Henry Nouwen berikut bisa memberi
inspirasi sekaligus semangat bagi kehidupan bersama di Indonesia, dan secara
dalam kehidupan sosial Kota Gunungsitoli sebagai masyarakat plural, ia
mengatakan: “Panggilan kita adalah sebuah kehidupan penciptaan damai di mana
semua yang kita lakukan, katakan, pikirkan, atau mimpikan merupakan bagian dari
kepedulian kita untuk menciptakan perdamaian dunia.”26
Sebagai penutup dari refleksi sosio-teologis ini, penulis mengutip kata-kata
Broto Semedi dalam salah satu tulisannya, yang menyatakan bagaimana semua
orang seharusnya menghadapi dan menjalani kenyataan pluralisme, yaitu:
Kita menjalani dan menjalankan kehidupan di dalam kehidupan bersama (masyarakat) bersama-sama dengan orang-orang yang meyakini/menganut filsafat hidup atau agama yang berbeda-beda. Di dalam kehidupan bersama yang demikian itu, sikap dasar kita ialah: memandang-menerima-memperlakukan setiap orang di dalam kehidupan bersama (siapa pun, suku bangsa apa pun, dengan warna kulit bagaimana pun, apa pun jenis kelaminnya, penganut filsafat hidup atau agama mana pun, apa pun posisi sosialnya), sebagai sesama manusia, dengan martabat manusia yang sama yaitu partner eksistensial Allah, oleh karena itu memiliki hak-hak asasi yang sama.27
26 Henry Nouwen., The Road To Peace: Karya Untuk Pendamaian Dan Keadilan (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2004), 56-57. 27BrotoSemedi W., “Kita Di Dalam Pluralitas Agama”, di dalam Daniel Nuhamara, dkk (peny), Iman
dan Kepedulian Sosial (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2005), 49.