23
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK SEBAGAIMANA JAWAD MUGHNIYAH
MENGENAI WAJIBNYA MANDI BAGI WANITA NIFAS YANG TIDAK
MENGELUARKAN DARAH
(Kaitannya Terhadap Bedah Caesar)
A. Biografi Imam Malik
Imam Malik lahir di Madinah, 94 H/ 716 M dengan nama asli Abu
Abdillah Malik Bin Annas Bin Malik Bin Abi Amir Bin Harits Bin Gaiman
Bin Kutail Bin Amir Bin Haris Al-Asbahi. Beliau merupakan seseorang ahli
hadist, ahli fiqih, mujtahid besar yang terkenal dengan sebutan Imam Dar Al-
Hijrah (Tokoh Panutan Penduduk Madinah) setelah tabi’in beliau menduduki
tingkat yang keenam dari para tabi’in yang ada di Madinah.
Sejak usia muda Imam Malik sangat menghargai Hadist Rasul pada
masa belajarnya Imam Malik menghadapkan empat macam ilmu. Yang
pertama adalah cara membantah pengikut hawa nafsu, orang yang
mengembangkan kesesatan dan perbedaan pendapat di bidang fiqh. Ilmu ini
dipelajari dari Abdul Rahman bin Hurmuz. Kedua, fatwa sahabat dan tabi’in.
Fiqh sahabat dan fiqh tabi’in adalah sebagian sumber fiqh bagi Imam Malik.
Fiqh ini dipelajari dari ulama tabi’in. Ketiga, fiqh Ijtihad. Fiqh ini dipelajari
dari Rabi’ah, termasuk di dalamnya adalah cara menggunakan qiyas dan
maslahah. Keempat, hadits Rasulullah. Beliau mendatangi orang-orang yang
24
dapat dipercaya riwayatnya dan mempunyai pengetahuan yang mendalam
dalam bidang hukum.
Imam Malik dilahirkan dalam keluarga yang tekun mempelajari hadits
serta dalam lingkungan masyarakat yang dipenuhi hadits dan atsar. Ia adalah
seorang fakir yang tidak pernah mempunyai uang, karena memang bukan
keturunan orang yang mampu, sekalipun dalam keadaan demikian beliau
tetap sebagai seorang pelajar yang setia dalam menuntut ilmu. Kakeknya,
Malik bin Abi ‘Amir adalah salah seorang dari tabi’in yang menerima hadits
dari Umar, Ustman dan Thalhah. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh
cucunya, yaitu Malik, Nafi, dan Abu Sahel. Menurut ceritanya, Abu Sahel
inilah yang paling banyak memperhatikan urusan riwayat hadits. Dia adalah
seorang guru Al-Zuhri.1
Sejak masa kanak-kanak Imam Malik sudah terkenal sebagai ulama
dan guru dalam pengajaran Islam. Kakeknya yang senama dengannya
merupakan ulama hadits yang terkenal dan dipandang sebagai perawi hadits
shahih yang hidup sampai Imam Malik berusia 10 tahun. Dan pada saat
itupun Imam Malik sudah mulai bersekolah dan hingga dewasa beliau terus
menuntut ilmu.2
1 TM. Hasby AS, Pokok-pokok & Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, tth hl 217 2 Abdurrahman, Syariah; Kodifiksi Hukum Islam, Jakarta. PT. Rineka Cipta, cet I, 1993,
hlm 144
25
Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang ilmu
pengetahuan, seperti ilmu hadits Ar-Rad Al Ahlil ahwa fatwa, fatwa dari para
sahabat-sahabat dan ilmu fiqh ahli ra’yu (fikir).3
1. Kehidupan Imam Malik
Selama menuntut ilmu, Imam Malik dikenal sangat sabar, tidak
jarang beliau menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu Al-Qasim pernah
mengatakan “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa
sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya
kemudian dijual di pasar.4
Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan
penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih serta
memakai minyak wangi tetapi al-Layti Ibn Sa’ad mengetahui kondisi
Imam Malik, sehingga sepulang ke negerinya, Al Laits Ibn Sa’ad tetap
mengirimkan hadiah uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu
khalifah yang sedang berkuasa menyambut baik seruan Imam Malik agar
penguasa memberi gaji atau penghasilan lainnya kepada para ahli ilmu.5
Hari-hari Imam Malik dilalui dengan sikap taqwa, rajin shalat,
melayat orang yang mati, membesuk yang sakit, memenuhi kewajibannya,
i’tikaf di masjid dan berkumpul dengan teman-temannya dan menjawab
3 A. Asy-Syurbasi, Sejarah & Biografi Imam Empat Madzhab, Jakarta, PT. Bumi Aksara.
Cetakan II, 1993, hlm 71 4 TM. Hasby AS, Pokok-pokok & Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, tth hl 217 5 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqh, Bandung, Pustaka Pelajar Hidayah
Cetakan I, 2000, hlm 278
26
persoalan-persoalan yang masuk.6 Imam Malik dianggap sebagai seorang
pemimpin dalam ilmu hadits, karena sandaran-sandaran yang dibawa oleh
beliau termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar.
Dalam hal ini Imam Malik sangat berhati-hati dalam mengambil
hadits-hadits dan menghormati hadits Rasulullah. Sebagai bukti
penghormatan Imam Malik terhadap Hadits Nabi yaitu ketika beliau
menyampaikan dan mengajarkan Hadits-Hadits Nabi disertai dengan cara-
cara yang istimewa.7
Bila hendak mengajarkan Hadits beliau berwudlu, merapikan
jenggot dan pakaiannya, kemudian duduk diatas permadani, ketika hal itu
ditanyakan oleh muridnya, Ia menjawab; “aku ingin mengagungkan dan
menghormati Hadits rasulullah dan aku tidak mengajarkan atau
mengucapkan sebuah hadits pun kecuali setelah yakin bahwa aku dalam
keadaan suci.” Setelah banyak memberikan sumbangsih pemikiran dalam
perkembangan hukum Islam, kemudian Malik jatuh sakit.
Ketika ia sakit, ia berpesan supaya dikafani dengan sebagian kain
putih yang biasa ia gunakan dan meminta agar dikuburkan di Baqi’ yang
terletak di luar kota Madinah. Di tempat itulah para sahabat yang tewas
dalam perang. Baqi’ terkenal sebagai pekuburan Islam yang bersejarah di
6 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,cet 1,LKPSM
Yogyakarta hlm 80 7 Munawar Khalil, Kembali kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang,
1995, hlm. 104
27
Madinah. Imam Malik meninggal pada hari ahad tahun 789 M. Ia wafat
pada usia 87 tahun.8
Imam Malik meninggal dengan tidak meninggalkan harta warisan
yang ditinggal hanyalah kitab al-Muwattha’ dan sekian banyak fatwa dan
kader-kader agama yang dididiknya sampai menjadi ulama’ besar.9
2. Guru-Guru Imam Malik
Saat menuntut ilmu, Imam Malik mempunyai banyak guru. Dalam
kitab “Tahzibul Asma Wallughat” menerangkan bahwa Imam Malik
pernah belajar kepada 900 orang syekh, 300 darinya dari golongan tabi’in
dan 600 lagi dari tabi’it-tabi’in10 dan guru-gurunya yang terkenal
diantaranya :
a. Abdul Rahman bin Hurmuz Al-Araj
Imam Malik banyak mendengarkan hadits-hadits Nabi SAW dari. Dan
beliau berguru selama kurang lebih 7 tahun dan pada masa itu beliau
tidak pernah pergi belajar kepada guru yang lain.11
b. Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh (Rabi’ah al-Ray)
Beliau berguru padanya ketika masih kecil, Imam Malik banyak
mendengarkan hadits-hadits Nabi SAW dari beliau. Dan Rabi’ah ibn
Abd Al-Rahman juga merupakan guru Imam Malik dalam bidang
hukum Islam.
8 Tamar Djaja, Hayat dan Perjuangan Empat Imam Madzhab, Solo : CV. Ramadhani,
1984, hlm. 103 9 Ibid. 10 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Rosdakarya, cet II,
2000, hlm 79 11 Ibid, hlm 76
28
c. Nafi’ Maula Ibnu Umar
Imam Malik belajar ilmu hadits kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar yang
wafat pada th 117 H12
d. Ibnu Syihab Al-Zuhry
Imam Malik yang belajar hadits13
e. Nafi’ bin Abi Nu’aim
Imam Malik belajar ilmu qira’at kepada Nafi’ bin Abi Nu’aim14
Sedangkan guru-guru beliau yang lainnya adalah: Ja’far Ash
Shadiq, Muhammad bin Yahya al-Anshari, Abu Hazim Salmah bin Nidar,
Yahya bin Sa’id, Hisyam bin Urwah, dll.
3. Murid-Murid Imam Malik
Imam Malik mempunyai banyak murid yang terdiri dari para
ulama’. Qadi Ilyad menyebutkan bahwa lebih dari 1000 orang ulama
terkenal yang menjadi murid Imam Malik, di antaranya: Muhammad bin
Muslim al –Zuhri, Rabi’ah bin Abdurrahman, Yahya bin Said al-Anshari,
Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Suraih, Muhammad bin
Ishaq dan Sulaiman bin Mahram al-Amasi.
Sedangkan yang seangkatannya adalah Sufyan bin Sa’id al-Sauri,
Lais bin Sa’ad al-Misri, al-Awza’i, Hammad bin Zard. Sufyan bin
Uyaynah, Hammad bin Salamah, Abu Hanifah dan Putranya Hammad.
12 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos, Cet I,
1997, hlm 103) 13 Ibid 14 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit.,, hlm 80
29
Qodi’ Abu Yusuf, Qodi Syuraik bin Abdullah dan Imam Syafi’i, Abdullah
bin Mubarok, Muhammad bin Hasan, Qadi’ Musa bin Tari dan Walid bin
Muslim.15
Dari kalangan teman-temannya Abdullah bin Wahab,
Abdurrahman bin Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Zyadah bin
Abdurrahman al-Qurtubi. Yahya bin Katsir al-Laisi, Abu Hasan bin Ali
Ibn Ziyad al-Tunisi, Usd bin Furat dan Abdul Malik bin Abdul Aziz al-
Mansyur.
4. Karya-Karya Imam Malik
Diantara karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwaththa’
yang ditulis pada tahun 144 H. Atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur.
Menurut penelitian Abu Bakar al-Abhary Atsar Rasulullah SAW, sahabat
dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Mutwaththa’ sejumlah 1.720
buah.
Pendapat Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui 2
buah kitab, yaitu al-Muwaththa’ dan al-Mudawwanah al-Kubra.16 Kitab al-
Muwaththa’ mengandung 2 aspek hadits karena al-Muwaththa’ banyak
mengandung Hadits yang berasal dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat
dan tabi’in dan Hadits itu diperoleh dari 95 orang yang kesemuanya dari
penduduk Madinah, kecuali 6 orang saja, diantaranya : Abu al-Zubair
(Makkah), Humard al-Ta’wil dan Ayyub al-Sahti yang (Bashra), Atha’ Ibn
15 Ibid, hlm 81-82 16 Huzaemah Tahido, Op. Cit., hlm 117
30
Abdullah (Lhurasan), Abdul Karim (Jazirah), Ibrahim ibn Abi Ablah
(Syam).17
Sedangkan yang dimaksud aspek fiqh adalah karena kitab al-
Muwaththa’ disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab pembahasan
layaknya kitab fiqh. Ada bab kitab Thaharah, shalat, zakat, shaum, nikah,
dst.18
Kitab Mudawwanah Al-Kubra merupakan kumpulan risalah yang
memuat kurang lebih 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang
dikumpulkan Asad Ibu Al-Furat Al-Naisabury yang berasal dari Tunis
yang pernah menjadi murid Imam Malik.
Al-Muwaththa’ sebenarnya ditulis oleh Asad Ibu Al-Furat ketika di
Irak, ketika dia bertemu dengan Yusuf dan Muhammad yang merupakan
murid Abu Hanifah. Ia banyak mendengar masalah fiqh aliran Irak.
Kemudian dia pergi ke Mesir dan bertemu dengan Ibu Al-Qasim, murid
Imam Malik. Dengan permasalahan fiqh yang diperolehnya dari Irak, dia
tanyakan kepada Ibu Al-Qasim dan akhirnya jawaban-jawaban itulah yang
kemudian menjadi kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra.19
B. Metodologi Istinbath Hukum Imam Maliki
Imam Malik tidak membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi
landasan madzhabnya dalam menetapkan hukum. Namun para ulama
17 Ibid 18 Ibid., hlm 118 19 Ibid., hlm. 119
31
Malikiyah memperhatikan hukum-hukum furu’ yang ditetapkan Imam Malik,
lalu mereka menarik dasar-dasar yang dipegang Imam Malik dalam
menetapkan hukum.
Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya mengatakan dasar hukum yang
digunakan Imam Malik adalah Al Qur’an, Al sunnah, Ijma’, amalan ahli
Madinah, qiyas fatwa sahabi, maslahat al mursalah, sadduz dzara’i, istihsan,
istshab dan ‘urf.20
Sumber ijtihad Imam Malik tidak akan penulis paparkan semua hanya
metode-metode ijtihad yang menyangkut peristiwa-peristiwa yang dipandang
tidak mempunyai kaitan secara langsung dengan nash, metode-metode
tersebut ialah ijma'. Ijma’ ahli Madinah, qiyas, fatwa sahabat, maslahah al
mursalah, istihsan, istishab, sadz adz-dzara’i dan urf.
Mengenai metode istinbath hukum Imam Malik yang dijelaskan al-
Qadhi Iyad dalam kitabnya al-Madhaarik Dar al-Rasyid, dan juga salah
seorang fuqaha malikiyah dalam kitabnya al-Bahjah yang disimpulkan oleh
pengarang kitab tarikh al-Madzahibil islamiyah sebagai berikut:
نه يأ خذ وخالصة ما ذكره هذان العاملان وغريمها أن منهاج امام دار اهلجرة ا
فان مل جيد يف كتاب اهللا تعاىل نص اجته اىل السنة ويدخل , بكتاب اهللا تعاىل اوال
وفتاوى الصحابة واقصيتم وعمل اهل املدينة ,السنة عنده احاديث رسول اهللا صلعم
سومن بعد السنة بشيئ فروعهاجير القيا
20 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997, hlm 185.
32
Artinya: “Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ulama ini dan yang lainnya, bahwasanya metode ijtihad imam dar al-hijrah ini adalah bahwa beliau pertama-tama berpegang pada kitabullah, apabila beliau tidak mendapatkan sesuatu nash di dalamnya maka beliau mencari di dalam sunnah dan menurut beliau masih termasuk pada kategori sunnah perkataan Rasulullah, bahwa fatwa para sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah dan setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas”.21
a. Ijma’ ulama’ dan ijma’ ahli Madinah
Imam Malik adalah seorang mujtahid yang paling utama banyak
menyandarkan pendapatnya pada ijma’, dalam al Muwattha’ banyak
dikemukakan kalimat: (Urusan yang telah di ijma’ terhadapnya)
االمر اتمع عليه
Mengenai masalah ini Imam Malik pernah berkata :
االمر اتمع عليه عندنا الذي الختالف فيه والذي ادركت عليه
Artinya : Dan sesuatu urusan yang kami telah mengijma’inya yang tidak ada perselisihan di dalamnya dan itu telah saya dapat pada ahli ilmu di negeri kami (Madinah).22
Dari sini, Malik hanya menerima ijma’ yang bersumber dari para ahli
ijtihad. Disamping itu Imam Malik juga membicarakan secara khusus tentang
ijma’ ahli Madinah dan menjadikannya sebagai hujjah. Bahkan dalam
prakteknya ijma’ ahlu Madinah lebih didahulukan dari khabar ahad dalam
melakukan istinbath hukum. Dan istilah ijma’ ahlu madinah sering pula
21 Asep Saefuddin al-Mansyur, Kedudukan Madzhab dalam Syari’at Islam, Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1984, hlm. 54. 22 Jalaludin Abdurrahman as Suyuti, Tanwirul Hawalik, Sarah al Muwattha’, Juz 11,
Surabaya, al Hidayah, tt, hlm 54
33
disebut dengan amal ahl al-Madinah.23 Menurutnya, untuk hal-hal yang
hukumnya tidak ditemukan dalam Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
praktek penduduk Madinah tidak dapat dijadikan sumber hukum, baik yang
disepakati maupun yang diamalkan oleh mayoritasnya.
Dengan demikian, ijma’ yang menjadi hujah bagi Malik dilihat dari
sumber pembentukannya ada dua macam yaitu Ijma'’ahlu ijtihad, yang
berdasarkan kesepakatan para mujtahid dan ijma’ ahlu Madinah yang berasal
dari praktik penduduk Madinah. Imam Malik yakin bahwa praktek keagamaan
tersebut merupakan kristalisasi ajaran Rasulullah selama berada di Madinah.
Oleh karena itu, menurut Imam Malik seperti dikatakan Muhammad Abu
Zahra kedudukan praktik yang disepakati penduduk Madinah sama dengan
kedudukan hadits Mutawatir.24
Imam Malik adalah seorang mujtahid yang memakai amalan ahlu
Madinah atau ijma’ ahlu Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Mengenai amalan ahlu Madinah menurut Imam Malik, seperti yang dikutip
Imam Ghazali hal itu dianggap sebagai ijma’, jika Imam Malik mengatakan:
هذا هواالمر اتمع عليه عندنا
Maka maksudnya ijma’ ulama’ Madinah.25
b. Qiyas
Imam Malik dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas
sebagai landasannya, mengingat sering terjadi sesuatu yang tidak
23 Romli SA, Muqaranah Madzhib Fii Ushul, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999, hlm 97 24 Abdul Aziz Dahlan (et al)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jkt, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Cet
I, 1996, hlm 1093.
34
dinashkan hukumnya dalam kitabullah dan sunnah Rasul. Maka dari itu
perlu dicari persamaan antara peristiwa-peristiwa itu dengan suatu
peristiwa yang lain, kemudian disamakan hukumnya.
Imam Malik mengqiyaskan kepada hukum yang telah dinashkan
oleh Al Qur’an dan hukum yang ditarik dari as Sunnah. Dalam al
Muwaththa’ banyak ditemukan masalah ini, bahkan ia mengqiyaskan
hukum kepada fatwa-fatwa sahabat, seperti yang dilakukan dalam masalah
Zaujah Mafqud.26
Sebagian qiyas bagi Imam Malik ada yang bisa mencapai derajat
dapat mengalahkan nash yang dzanni, karena qiyas itu dikuatkan oleh
kaidah-kaidah yang umum. Oleh karena itu, qiyas yang seperti ini
didahulukan atas khobar ahad. Fiqh Imam Malik bukan saja mengqiyaskan
kepada nash bahkan juga mengqiyaskan kepada qiyas sendiri, seperti yang
diterangkan oleh Ibnu Rusy al Jadd.27
c. Fatwa Sahabi
Imam Malik adalah seorang mujtahid yang mempelajari fatwa-
fatwa sahabi dan menjadikannya sebagai dasar dalam menetapkan suatu
produk hukum. Ia dengan tegas mengharuskan seorang mufti untuk
mengambil fatwa sahabat. Beliau berpendapat bahwa yang dikatakan
sunnah ialah sesuatu yang diamalkan para sahabat, Umar bin Abdul Aziz
25 Hasbi ash Shiddieqy, Loc. Cit. 26 Ibid, hlm 215 27 Ibid
35
dikala hendak mengembangkan sunnah Rasul menyuruh supaya
dikumpulkan putusan-putusan yang diambil dari para sahabat.28
Menurut beliau, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa
kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah. Namun demikian ia
mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
hadits marfu’ yang dapat diamalkan.29 Karena ia memandang bahwa fatwa
sahabat sebagai suatu dasar fiqh yang merupakan hujjah dari cabang
sunnah.30
d. Istihsan
Istihsan31 menurut Imam Malik seperti dikutip as-Syatibi adalah :
االستحسان هواالخذ مبصلحة جزئية يف مقابلة دليل كلي
Artinya : Mengambil kemaslahatan yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kulli.”
Maksudnya adalah istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyah
dibandingkan dengan dalil yang bersifat umum.
Ibnu Arabi salah seorang diantara ulama Maliki berpendapat
bahwa istihsan adalah beramal dengan yang paling kuat dari dua buah
dalil. Maksudnya bukan berarti meninggalkan dalil dari dua dalil, namun
berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat kandungannya.
Dan dalil yang kedua itu dapat berupa ijma’, urt, maslahah, mursalah, atau
28 Ibid, hlm 206 29 Huzaemah Tuhido Yanggo, Op.Cit., hlm 108 30 Hasbi ash Shiddieqy, Op.Cit., hlm 207 31 Asy-Syatibi, Al Muwafaqat, Juz I, Beirut Dar al Kutub Al ‘Ilmiah, tt, hlm 27
36
kaidah rap’ul haraj wa al masyaqat, meninggalkan kesempitan dan
kesulitan yang telah diakui syari’at akan kebenarannya.32
Menurut hasil penelitian, Imam Malik tidak menjadikan istihsan
sebagai kaidah, dan itu tidak dipakai ketika menimbulkan kepicikan dalam
istihsanlah yang dipakai dan istihsan itu adalah perimbangan qiyas.33
e. Maslahah Mursalah
Imam Malik adalah orang yang menghargai maslahah mursalah dan
menjadikannya sebagai salah satu dasar dalam ijtihadnya. Ia berpendapat
bahwa maslahah mursalah adalah upaya menetapkan hukum didasarkan
atas kemaslahatan, kendati tidak terdapat dalam nash atau ijma’ dan tidak
pula ada penolakan atasnya secara tegas, tapi kemaslahatan ini didukung
oleh dasar syari’at yang bersifat umum dan yang pasti sesuai dengan
maksud syara’,34 tetapi Imam Malik memberikan persyaratan sebagai
berikut : pertama, maslahat tersebut bersifat rasional (ma’qul) dan relevan
(munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahat tersebut
harus dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu dengan dharuri dan
menghilangkan kesulitan dengan cara menghilangkan maslahat dan
madharat. Ketiga, maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud
disyari’atkannya hukum (maqasid al syari’at) dan tidak bertentangan
dengan dalil syara’ yang qath’i.35
32 Huzaemah Tuhido Yanggo, Op.Cit., hlm 110 33 As Syahibi, Op.Cit., hlm 27 34 Ibid 35 As Syatibi, Al-Ihtihsan, Juz 11, Beirut, Libanon, Daar al Fikr, tt, hlm 364
37
Selanjutnya, sumber-sumber hukum tersebut oleh jumhur ulama
telah disepakati sebagai dalil. Artinya, apabila terdapat suatu kejadian,
maka pertama kali harus dicari hukumnya di dalam al-Qur’an. Apabila
tidak terdapat di sana maka harus melihat sunnah. Jika tidak didapati di
dalam sunnah, maka harus melihat ijma’. Dan apabila di dalam ijma’ pun
tidak terdapat maka harus diadakan ijtihad untuk mencari hukum suatu
kejadian itu dengan mengqiyaskan kepada hukum yang telah ada nashnya.
Penggunaan sistematika sumber-sumber hukum tersebut didasarkan
kepada firman Allah :
ن آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم يا أيها الذي
م الآخر ذلكواليون بالله ومنؤت متول إن كنسالرإلى الله و وهدء فريفي ش
﴾59: النساء خير وأحسن تأويلا ﴿
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”36 (QS. An-Nisa’ : 59)
Perintah mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya artinya ialah mengikuti
alQur’an dan As-Sunnah. Sedangkan perintah mentaati ulil al-Amri
diantara muslimin, artinya ialah mengikuti hukum-hukum yang telah
disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil al-amri umat
Islam dalam soal pembentukan hukum syari’at Islam dan perintah
mengembalikan kejadian-kejadian yang dipertentangkan diantara kaum
38
muslimin kepada Allah dan Rasul-Nya, artinya ialah perintah mengikuti
qiyas ketika tidak terdapat nash atau ijma’. Karena pengertian
mengembalikan persoalan kepada Allah dan Rasulnya, karena qiyas itu
ialah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat nash
bagi hukumnya, dengan kejadian yang terdapat nash bagi hukumnya,
karena adanya kesamaan illat hukum dalam dua kejadian hukum tersebut.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Baghawi dari Mu’adz bin
Jabal ketika diutus oleh Rasululah ke Yaman, sebagaimana yang dikutip
oleh Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul al-Fiqh :
فان مل جتد يف : اقض بكتاب اهللا قال : كيف تقض اذا عرض لك قضاء؟ قال
اجتهد : سنة رسول اهللا؟ قال فان مل جتد يف, فبسنة رسول اهللا: كتاباهللا؟ قال
فضرب رسول اهللا على : قال ) اي وال اقصر يف اجتهادي(وال الو . رأيي
احلمد هللا الذي وفق رسول اهللا ملا يرضى رسول اهللا: صدره وقال
Artinya : “Bagaimana Engkau memberikan keputusan (hukum) ketika dihadapkan kepadamu suatu kejadian? Mu’adz menjawab: “Saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah (Kitabullah). Nabi bertanya : “Jika tidak kamu dapati dalam Kitabullah? Mu’adz menjawab : “Maka dengan sunnah Rasul-Nya”. Nabi bertanya : “Jika tidak kamu dapati dalam sunnah Rasul-Nya? Mu’adz menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan mempersempit ijtihadku”. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda : “Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik kepada utusan Rasulullah terhadap segala sesuatu yang Rasulullah merasa puas dengan itu”.37
36 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm.
39
C. Wajibnya mandi bagi wanita nifas yang tidak mengeluarkan darah
menurut Imam Malik sebagaimana Jawad Mughniyah (Kaitannya
Terhadap Bedah Caesar).
Dalam ilmu fiqih Permasalahan tentang thaharah merupakan satu
pokok bahasan penting dalam pengkajian hukum Islam, karena didalamnya
terdapat beberapa permasalahan diantaranya tentang haid, nifas dll. Pada
dasarnya semua hukum Islam diadakan untuk melayani kemaslahatan manusia
karena nifas ini untuk ulama’ disebut dengan berbagai term.
Menurut Imam Maliki Nifas adalah darah yang keluar dari rahim
akibat persalinan baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin.38 Melihat
definisi tersebut Maliki mewajibkan mandi bagi wanita nifas yang tidak
mengeluarkan darah baik melalui operasi atau tidak dengan mengambil
manfaat dan menolak madharat sebagaimana kaidah ushul:
درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل
Artinya: “Menghindari madharat atau bahaya harus didahulukan atas mencari atau menarik masalah atas kebaikan”.39
Ia mendefinisikan manfaat sebagaimana pemeliharaan terhadap tujuan-
tujuan syari’ah. Tujuan syari’ah dari makhluk ini ada lima yakni, memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka sementara menolak madharat
untuk menjaga jiwa wanita tersebut karena telah melahirkan seorang anak
sehingga tanggung jawabnya bertambah karena telah diberi amanat untuk
37 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar “Kaidah-Kaidah Hukum
Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 20-21. 38 Muh. Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm, 38
40
menjaga dan merawatnya. Dengan tidak melihat adanya darah yang keluar
maka wanita tersebut tetap menjalani masa nifas karena proses melahirkan itu
merupakan masa nifas.
Terhadap hal tersebut di atas Maliki berpendapat bahwa darah nifas
adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan; baik
ketika bersalin atau sesudahnya dan bukan sebelumnya. Akan tetapi, apabila
seorang wanita hamil yang tidak mengeluarkan darah Maliki mewajibkan
mandi sebagaimana kewajiban orang junub karena nifas termasuk hadats besar
sehingga diwajibkannya mandi bagi seseorang wanita yang melahirkan tanpa
mengeluarkan darah merupakan kewajiban untuk menjaga kebugaran. Dan
jika tidak lewat jalur semestinya (Bedah Caesar) yaitu untuk menjaga
kebersihan dan dari segi kesehatan dapat memberikan pengaruh mental yang
besar karena merasa segar dan harum.40 Di dalam Al-Qur'an Allah
menegaskan :
...وإن كنتم جنبا فاطهروا...
Artinya : “… Dan jika kamu junub maka mandilah …”. (QS. Al Maidah: 6)
Dari pernyataan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pendapat
imam malik tentang wajibnya mandi bagi wanita nifas yang melahirkan tanpa
mengeluarkan darah kaitannya terhadap bedah caesar, dalam pendapat ini
imam malik menggunakan istimbath hukumnya yang berupa qiyas,karena
pada dasarnya qiyas menyamakan hukum masalah yang tidak ada hukumnya
39 H. Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, al-Qowaidul Fiqhiyyah, cet. 4 Jakarta,
Kalam Mulia, 2001, hlm. 39.
41
dalam teks Al-Qur'an dan sunnah dengan hukum atau masalah yang terdapat
dalam salah satu atau kedua sumber tersebut dikarenakan terdapat kesamaan
illat hukumnya.
Dan pendapat imam malik tersebut diatas berbeda dengan pendapat
ulama’ lain seperti Imam Hambali, Imam Syafii yang berpendapat bahwa
wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah baik melalui operasi
ataupun tidak, maka wanita tersebut tidak menjalani nifas karena tidak adanya
darah yang keluar. Dan dari sinilah Imam Malik berbeda pendapat dengan
ulama lain yang mengambil manfat dan menolak madlarat dikarenakan
terdapat kesamaan illat hukumnya dalam nash.
Menurut al-Dahlawy Malik adalah orang yang paling ahli dalam
bidang Hadits di Madinah dan yang paling mengetahui keputusan diantara
para sahabat-sahabat lainnya.Dan atas dasar itulah beliau memberi fatwa
terhadap suatu masalah yang belum terdapat ketentuan hukumnya.41
Imam malik merupakan ulama yang berpikir tradisional dan juga
memiliki perbedaan metode dalam menetapkan hukum fiqh dengan metode
yang ditempuh oleh para imam ahli fiqh lainnya.Karena imam malik lebih
mendahulukan aml ahli Madinah.
Sebagaimana hadisnya yang artinya Yahya menyampaikan hadis dari
Malik bahwa ia bertanya kepada Ibn Shihab tentang wanita hamil yang
40 Trisha Duffet, Op.Cit., hlm 7-8 41 Huzaemah Tuhido Yanggo, Op.Cit., hlm 107
42
melahirkan dan mengalami pendarahan. Ibn Shihab menjawab “Ia berhenti
sholat” Malik mengatakan hal itu yang dilakukan dalam masyarakat kita.42
D. Bedah Caesar
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin canggih, membuat peradaban berangsur-angsur bergeser dari jaman
klasik menjadi jaman modern. Kondisi ini ditandai dengan berbagai inovasi-
inovasi baru, salah satunya dalam bidang kesehatan yaitu operasi bedah
caesar. Secara konsep operasi bedah caesar merupakan sebuah solusi bagi
wanita-wanita yang sulit melahirkan, karena ketidak seimbangan sefalovelpik
misalnya ukuran pinggul ibu terlalu kecil, salah letak janin (sungsang) dan
distress janin. Kesulitan dalam melahirkan ini jika tidak diupayakan dengan
menjalani alternative persalinan akan mengakibatkan resiko kematian pada
bayi atau ibu yang melahirkan.43
Dalam dunia kedokteran dimana kejanggalan-kejanggalan janin dan
kondisi ibu dapat terdeteksi secara dini melalui pemeriksaan secara intensif
selama kehamilan. Operasi bedah caesar terbagi dalam dua kategori, yakni
bedah caesar elektif dan bedah caesar darurat. Bedah caesar elektif adalah
bedah yang direncanakan terlebih dahulu. Salah satu keuntungan bedah ini
adalah tidak perlunya panik karena segala sesuatunya telah disiapkan
sebelumnya. Sedangkan bedah caesar darurat, tidak di rencanakan sehingga
42 Malik bin Anas, Al Muwatta,Beirut Dar al-Fikr, tth, hlm. 38. 43 Trisha Duffet Smith, eds Persalinan Dengan Bedah Caesar, Arcan, Jakarta, 1986, hlm.
7-8.
43
sering kali datang secara mengejutkan baik bagi wanita yang mau melahirkan
ataupun dokter yang menanganinya.
Sama halnya dengan kewajiban mandi bagi wanita yang melahirkan
(menjalankan nifas), dalam dunia kedokteran juga menganjurkan kepada para
ibu yang baru melahirkan untuk mandi. Manfaat mandi sendiri akan memberi
pengaruh mental yang besar pada ibu. Salah satunya adalah akan merasa
harum dan segar kembali. Namun kebijakan rumah sakit ataupun rumah
bersalin dalam hal membersihkan badan berbeda-beda.44
44 Ibid.