1
BAB III
KAJIAN KONSEP DAYA PEMBEDA DAN KEDUDUKANNYA DALAM
PERLINDUNGAN BENTUK, BUNYI, DAN AROMA
SEBAGAI MEREK
A. BBA MEMIIKI DAYA PEMBEDA
Bentuk, bunyi dan aroma (BBA) adalah merek non-tradisional yang
memiliki daya pembeda. Daya pembeda tersebut dapat dijelaskan dengan dua
pendekatan. Pertama, hubungan emosional sebagai sifat dan karakter pembeda
yang dimiliki; Kedua, BBA tidak tergolongan sebagai tanda yang bersifat
fungsional yaitu dengan penelusuran terhadap konsep functionality, berikut
uraiannya.
1. Hubungan Emosional
Hubungan emosional adalah konsep yang berbasis pada ikatan emosi antara
orang dalam proses interaksi. Konsep ini akrab dengan ilmu psikologi yang
mengkaji tentang manusia sebagai mahkluk emosi, ataupun ilmu manajemen
ekonomi dalam metode dan teknik pemasaran barang (marketing). Atas hal ini
Penulis kemudian melihat kedepan terhadap hukum, yaitu term “hubungan
emosional” dapat juga diletakan sebagai pendekatan dalam hukum merek.
Sebagai pendekatan, hubungan emosional dapat menjelaskan proses
pembedaan barang dan jasa oleh konsumen dalam perdagangan. Artinya, ketika
seorang konsumen dihadapkan dengan barang dan jasa yang beranekaragam,
bagaimanakah respon konsumen terhadap merek suatu barang dan jasa tersebut?
Apakah seorang konsumen mengidentifikasi barang dan jasa secara gamblang
2
berdasarkan mereknya saja? Ataukah berdasarkan kesukaan, kepekaan dan atau
kedekatan konsumen terhadap merek yang kemudian menuntunnya untuk
mengenali dan membedakan antara barang dan jasa tertentu?
Terhadap merek non-tradisional, konsumen membedakan barang dan jasa
berdasarkan kedekatannya atas merek terhadap barang. Pandangan demikian
terlihat pada pendapat Jerome dan Anne dalam artikel Cinnamon Buns, Marching
Ducks And Cherry-Scented Racecar Exhaust: Protecting Nontraditional
Trademarks. Mereka mencatat bahwa: “using nontraditional trademarks and
other off-beat stimuli to differentiate and reinforce a brand is imperative. Brand
owners must pursue multisensory ways to entice consumers and get their message
across.”1 Jerome dan Anne menjelaskan bahwa penggunaan merek non-tradisional
yang dilakukan secara multi-indrawi akan lebih menarik perhatian konsumen
terhadap barang dan atau jasa. “Menarik perhatian” tersebutlah yang kemudian
akan membingkai pembedaan merek non-tradisional yaitu, penampilan BBA yang
lebih dari satu indra berupa penciuman (tanda aroma), pendengar (tanda bunyi), dan
atau peraba (tanda bentuk) akan lebih jauh menciptakan emosi kedekatan antara
seorang konsumen dengan merek untuk selanjutnya membedakan barang dan jasa.
Hubungan antara penampakan tanda yang beranekaragam dan respon
konsumen terhadapnya, oleh Martin Lindstrom disebut dengan istilah “emotional
connection2”. Ia menjelaskan bahwa: Sight may convey information well, but even
at best it creates a less deeply felt emotional response.., An emotional connection
1 Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, Op.cit., h. 775 2 Secara harafiah istilah emotional connection terdiri dari kata emotion yang berarti “strong
feeling of any kind”, dan kata connection yang diartikan sebagai “the act of connecting” (Geddes
and Grosset, English Dictionary, David Dale House: Scotland, 2002). Sehingga pengertian lain
tentang emotional connection adalah suatu perbuatan yang berdasarkan pada ikatan emosional yang
disebut respon.
3
to a brand makes the brand more compelling and engenders consumer loyalty3.
Sebagai merek non-tradisional, pembedan BBA adalah dilakukan dengan
berdasarkan emotional response konsumen atas tanda yang adalah merek barang
dan jasa tertentu. Artinya, hubungan emosional antara tanda dengan konsumen akan
lebih jauh merangsang emosi seorang konsumen untuk selanjutnya memberikan
respon yang dalam (creates a less deeply felt emotional response) atas tanda BBA.
Yang selanjutnya akan membawa konsumen pada kemampuan untuk menentukan
dan membedakan antara barang atau jasa yang satu dengan barang dan jasa yang
lain.
Lebih lanjut, dalam rangka mengidentifikasi eksistensi hubungan emosional
pada tanda bentuk, bunyi dan aroma sebagai merek, berikut diuraikan pembedaan
berdasarkan respon emosional pada masing-masing tanda.
1.1. Hubungan Emosional pada Bunyi
Jerome dan Anne mengkategorikan bunyi sebagai tanda yang memiliki
hubungan emosional langsung (emotionally direct). Langsung (direct) artinya
seketika didengarkan bunyi dapat mempengaruhi indra pendengaran yang
kemudian menciptakan respon emosional orang tersebut. Pendapat demikian juga
disampaikan Lindstrom, bahwa “music can affect purchasers in stores and
restaurants, just as the pipedin sound in Disney World can improve the mood of
visitors4.
Kemampuan bunyi untuk langsung menarik respon emosional konsumen
didasarkan pada pegenalan umum bunyi yang diidentikan dengan luapan
3 Martin Lindstrom, Op Cit., h. 161. 4 Ibid., h. 161.
4
emosional. Sebagaimana dijelaskan Colleen Fahey bahwa bunyi sebagai merek
dalam jasa dapat menggambarkan beberapa situasi emosional yaitu:
1)sensuality/Seduction, Orchestrated in more or less a cinematic, romantic, or
symphonic fashion; 2)Indulgent Pleasures, orchestrated in a more dramatic and
cinematic manner thats recurring theme in many coffee advertisements5.
Dalam hukum merek, penegasan pembedaan bunyi yang berdasarkan
hubungan emosional secara implisit juga dapat dilihat pada pendaftaran merek
bunyi oleh General Electric Broadcasting Company. Dalam pendaftarannya,
Trademark Trial and Appeal Board (TTAB) memberikan pertimbangan bahwa: a
sound mark depends upon aural perception of the listener.., unless, of course, the
sound is so inherently different or distinctive that it attaches to the subliminal mind
of the listener to be awakened when heard and to be associated with the source.
Makna frasa “perception of the listener“ di atas jika diartikan bersama dengan frasa
“subliminal mind“ mengandung arti bahwa bunyi dalam penampakannya
menciptakan persepsi yang berdampak jauh sampai pada alam bawa sadar
pendengar untuk menyadarkannya akan sumber masing-masing barang. Proses
tersebut terjadi karena adanya Hubungan Emosional antara konsumen dengan tanda
terhadap barang.
1.2. Hubungan Emosonal pada Bentuk
Lindstrom menjelaskan bahwa pendekatan hubungan emosional terhadap
tanda bentuk pada intinya adalah makes the brand more attractive. Bentuk adalah
tanda dengan hubungan emosional berdasarkan keunikannya yang menarik
5 Colleen Fahey, How Audio Enhances Your Brand Content: Find Your Signature Sound,
http://contentmarketinginstitute.com/2013/11/audio-enhances-brand-content-signature-sound/,
dikunjungi pada tanggal 28 September 2016 pukul 10.00.
5
(attractive). Model dari bentuk misalnya, ketimbang memberikan petunjuk berupa
alunan nada tertentu seperti bunyi, bentuk adalah tanda yang meggambarkan
keunikannya yang melekat pada produk. Sehingga tidak hanya pembedaanya dapat
dilihat seperti merek tradisional (visual) saja, melainkan secara unik dapat
dibedakan dengan menyentuh menggunakan indra peraba.
Dalam hukum merek, pembedaan dengan hubungan emsonal pada tanda
bentuk belum digunakan. Pada kasus pendaftaran bentuk cukur berkepala tiga
dalam kasus Philips v Remington misalnya, hanya menjadi legal standing bahwa
bentuk juga dilindungi sebagai merek. Yaitu sebagai terlihat pada pertimbangan
European Court of Justice (ESJ) yang menyatakan: because of extensive use of a
particular shape, the relevant trade and public believe that goods of that shape
come from a particular undertaking.
Namun, atas hal di atas tidak berarti bahwa argumen perlindungan bentuk
berdasarkan hubungan emosional tidak diakui dalam hukum merek merek. Sebab,
dalam kasus Philips bentuk juga diletakan sebagai tanda dengan penampakan yang
menarik (triple-headed rotary shavers). Sehingga berarti bahwa sekalipun belum
sampai, tetapi konsep “menarik” dapat lebih jauh ditarik sampai pada hubungan
emosional seorang konsumen terhadap tanda.
1.3. Hubungan Emosional pada Aroma
Bau adalah tanda yang berorientasi pada pengalaman emosional seseorang.
Jay M. Burgett dalam artikel what's that smell? scent trademarks-A United States
Perspective menjelaskan bahwa aroma memiliki kemampuan menggambarkan
sesuatu berdasarkan pengalaman seseorang sebelumnya. Ia lebih jauh mencatat:
“Scents have the ability to conjure up images and trigger memories in a person’s
6
mind. For example, the smell of fresh-cut grass may induce a person to think of
springtime, or the smell of salty air may trigger thoughts of the beach”
Aroma juga dapat menggambarkan rasa nyaman seseorang, sebagaimana
yang dijelaskan Nagourney bahwa: “researchers in France found that customers
stayed longer and spent more in a restaurant infused with the scent of lavender,
concluding that “scents could influence many consumption environments6.” Tanda
jenis ini bersifat mempengaruhi emosi konsumen melalui bau tertentu, untuk
kemudian akan diidentikan oleh barang dan jasa tertentu. Sehingga oleh konsumen
dapat dibedakan antara barang atau jasa berdasarkan bau yang disukainya.
Dalam hukum merek, perlindungan aroma yang berdasarkan hubungan
emosional dapat merujuk pada pendaftaran “Smell of fresh cut grass” di Uni Eropa
(EU), dimana OHIM memberikan pertimbangan bahwa: .., the scent or fragrance
of freshly cut grass reminds them of spring, or summer, manicured lawns or
playing fields, or other such pleasant experiences. Aroma merupakan tanda yang
melakukan pembedaan berdasarkan emosional konsumen atas ingatan aroma
terentu mereka. Sehingga pembedaan berdasarkan hubungan emosional dalam
aroma yaitu pembedaan berdasarkan ingatan alam bawah sadar merek terhadap bau
tertentu yang identik dengan barang dan jasa tertentu.
Berdasarkan ketiga uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melalui
karakteristiknya tanda bunyi, bentuk, dan aroma memiliki hubungan emosional
dengan konsumen terhadap barang dan jasa. Namun, apakah eksistensi hubungan
emosional tersebut sudah tepat untuk dijadikan justifikasi keberadaan daya
pembeda? Sebagai pengagas, masalah ini juga telah dikuatirkan Lindstrom, ia
6 Eric Nagourney, Op Cit.,
7
mencatat bahwa: Is the brand using all available sensory touch points? Is the
sensory experience of the brand strong, consistent and distinctive? To what extent
does the consumer associate these sensory signals with this brand and how
authentic do they perceive these signals to be?7
Pada pendapat di atas, Lindstrom meragukan justifikasi hubungan
emosional sebagai daya pembeda tanda non-tradisional8. Ia kuatir akan kejelasan
dan autentifikasi respon emosional setiap konsumen terhadap tanda yang cenderung
bersifiat subjektif. Sehingga tidak bisa ditarik kesimpulan yang objektif, yaitu BBA
memiliki daya pembeda. Atas hal ini, Penulis menegaskan bahwa kejelasan dan
autentifikasi respon emosional dalam hubungan emosional antara konsumen
dengan tanda yang bersifat reatif adalah justru menguatkan argumen bahwa BBA
memiliki daya pembeda.
Pendirian di atas didasarkan pada common sense bahwa konsep daya
pembeda dalam hukum merek adalah pembeda dalam arti materil dan bukan formil.
Artinya ketimbang mempermasalahkan proses pembedaan suatu tanda terhadap
barang dan jasa, secara hukum merek, sesuatu dikatakan memiliki daya pembeda
adalah ketika tanda tersebut tergolongan satu dari kelima sifat dasar pembeda tanda.
Adapun sifat tersebut muncul pada sengketa Abercrombie & Fitch Co. Vs Hunting
World di Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, digolongankan karakteristik
kekuatan daya pembeda (the spectrum of trademark distinctiveness) yang terdiri
atas golonganan:
7 Martin Lindstrom, Op Cit., h. 96. 8 Menurut hemat Penulis hal ini wajar karena, lindstrom bukanlah ahli hukum merek tetapi
ahli pemasaran sehingga orientasinya bukan kepada prinsip perlindungan merek dalam hukum
merek. Melainkan hubungan emosional dipandang sebagai kunci kesuksesan merek dalam
pemasaran barang dan jasa.
8
a. Fanciful
Tanda berupa khayalan yang unik dan menarik dengan tidak
menggambarkan secara jelas barang dan jasa yang diwakilinya.
Tanda dalam jenis ini, lebih fokus kepada upaya untuk membedakan
barang dan jasa melalui keunikannya yang tidak dimiliki tanda lain.
Yaitu dengan tidak membangun keterkaitan langsung antara tanda
yang digunakan sebagai merek dengan objek yang diwakilinya.
Sebagai tanda khayalan, tanda fanciful merupakan tanda yang
berasal dari setiap imajinasi atas masing-masing orang.
b. Arbitrary
Berbeda dengan tanda fanciful yang menggunakan unsur khayalan,
tanda arbitrary lebih menggunakan makna yang secara langsung
memiliki kaitan dengan objek yang lain dibandingkan barang atau
jasa yang direpresentasikannya. Tujuan tanda ini adalah
memfokuskan pembedaan suatu barang jasa, dengan terlebih dahulu
mengenal tanda khas yang melekat padanya.
c. Suggestive
Sebagai kebalikan dari fanciful dan arbitrary, tanda yang
tergolongan sebagai suggestive lebih mengutamakan penciptaan
kesan tanda mana memiliki hubungan erat dan bahkan langsung
dengan barang dan jasa.
d. Descriptive
Tanda dengan sifat descriptive merupakan tanda yang
menggambarkan langsung akan kondisi suatu barang atau jasa yang
9
dilekatinya. Sehingga ketimbang memberikan pembeda pada barang
dan jasa melalui pemaknaan terkait dengan tanda. Sebagaimana
yang dilakukan oleh tanda suggestive, tanda descriptive lebih
mengutamkan deskripsi langsung suatu objek yang dilekatinya.
e. Generic term
Tanda yang disebut generic adalah tanda yang menggambarkan
genus produk yang direpresentasikannya. Oleh karenanya,
perlindungan terhadap tanda generic akan merugikan barang
sejenis. Sebab ketimbang memberikan pembeda khusus atas objek,
tanda jenis ini lebih bersifat menerangkan objek secara umum.
Berdasarkan kelima sifat pembeda di atas, konsep hubungan emosional
adalah terkategori sebagai ciri pembeda dengan sifat fanciful. Mengapa? Hal ini
dikarenakan pembedaan berdasarkan respon emosional adalah pembedaan barang
dan jasa yang tergolongan unik. Keunikan tersebut terlihat pada beberapa hal, yaitu:
Sebagai merek non-tradisional, BBA tampil dengan multisensory ways
yaitu melaui indra penciuman (tanda aroma), pendengar (tanda bunyi),
dan atau peraba (tanda bentuk) seorang konsumen untuk
mengidentifikasi dan membedakan antara barang dan jasa.
Berdasarkan penampakannya yang tidak biasa yaitu menggunakan tiga
panca indra tersebut. Bunyi, bentuk dan aroma selanjutnya memberikan
pembedaan terhadap barang dan jasa yaitu dengan mendasarkan pada
pengalaman indrawi konsumen (sensory experience). Artinya
konsumen melalui penampakan tanda BBA tersebut akan secara unik
10
menyentuh pengalaman emosional setiap konsumen yang selanjutnya
membawanya pada pembedaan barang dan jasa.
Pembedaan barang dan jasa tersebut lebih jauh dilakukan berdasarkan
emotional response konsumen terhadap BBA. Yang selanjutnya akan
menyentuh perasaan konsumen untuk mengenali tanda, sehingga
kemudian menjadi akrab dan nyaman terhadap tanda untuk yang
kemudian akan menuntunnya untuk membedakan antara barang dan
jasa dalam perdagangan.
Atas uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai kekuatiran akan
kejelasan dan autentifikasi sensor emosional setiap orang berbeda sehingga tidak
dapat disimpulan secara objektif bahwa BBA memiliki daya pembeda adalah tidak
tepat. Sebab, melalui pengidentifikasian konsep hubungan emosional pada ketiga
tanda tersebut sebelumnya telah juga memperlihatkan bahwa sekalipun baru
sekedar indikasi. Pengadilan telah secara implisit mengakui hubungan emosional
pada BBA yaitu sebagai konsep yang menjelaskan keunikan BBA dalam
membedakan barang dan jasa. Artinya, kejelasan dan autentifikasi sensor
emosional yang subjektif justru merupakan alasan pembenar bahwa BBA memiliki
sifat pembeda fanciful yaitu membedakan dengan keunikannya.
11
2. Doktrin Fungsional
Justifikasi daya pembeda pada BBA yang berdasarkan hubungan emosional
harus diadu dengan persoalan utama atas perlindungan merek non-tradisional.
Yaitu tidak dipandang sebagai tanda dengan daya pembeda melainkan hanya
sebatas pelengkap saja. Mengambil contoh bentuk sebagai tanda non-tradisional
yang akan dilindungii sebagai merek, Jeremy Philips dalam pendapatnya
mengatakan9:
“A container is not generally reckoned to be a ‘mark’. On this basis
the distinctive Cola Cola bottle could not be registered as a ‘mark’
in respect on beverages, even though a drawing of the bottle would
be a ‘device’ and therefor a mark. This conclusion is hard to justify
when one considers that a container can be as effective as any other
means of indicating a link between a trader and his goods”10
Dikuatirkan sebagai tanda yang tidak mampu mengidentifikasi asal barang. Juga
merupakan pandangan yang dipertimbangkan Jerome dan Anne, yang menyatakan:
“Another major problem with enforcement in this context is that
consumers may not perceive certain nontraditional marks as
trademarks at all. They may see them as merely decorative, as an
inherent part of the product or as an attempt to amuse rather than
to indicate the source of the goods”11
Satu kesamaan pada kedua pendapat di atas adalah merek non-tradisional
dikuatirkan tidak dapat dipandang sebagai tanda dengan daya pembeda oleh
konsumen. Artinya inti persoalan adalah terletak pada fungsi merek, yang rentan
sebagai pelengkap (decorative) ketimbang tanda yang membedakan.
Dalam hukum merek, doktrin fungsional merupakan tolak ukur untuk
menentukan suatu tanda bersifat pembeda atau hanya sekedar pelengkap barang
9 Jeremy Phillips, Op Cit., h. 227. 10 Ibid., 11 Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, Op Cit., h. 777.
12
atau jasa. Pada kasus pendaftaran “warna” oleh Qualitex Co Vs Jacobson Products
Co, pertimbangan fungsional diartikan sebagai berikut:
In general terms, a product feature is functional,” and cannot serve
as a trademark,“if it is essential to the use or purpose of the article
or if it affects the cost or quality of the article,” that is, if exclusive
use of the feature would put competitors at a significant non-
reputation-related disadvantage.
Pada kasus di atas tanda warna dikategorikan bersifat fungsional karena
kedudukannya esensial dalam penggunaan, peruntukan ataupun terkait dengan
pemberian efek pada barang. Tanda jenis ini merupakan “features” yang artinya
“fitur” suatu barang. oleh karenanya tidak dapat dilindungii sebab hanya akan
menyebabkan monopoli dan berujung pada persaingan usaha yang tidak sehat. Hal
ini sejalan dengan pendapat Justin Hughes, yang menjelaskan:
a product feature is “functional” where exclusive use of that feature
by a single producer “would put competitors at a significant non-
reputation-related disadvantage.
Bahwa lebih jauh konsep fungsional terbagi menjadi dua yaitu secara
penggunaan yang sifat utility; dan tanda yang berdasarkan pada keindahannya
disebut fungsional estetika, berikut uraiannya:
2.1. Fungsional Utilitarian
Pada sengketa antara Eppendorf-Netheler-Hinz GMBH Vs Ritter GMBH,
hakim Huges memberikan pertimbangan bahwa: particular arrangement of fins
along the side of Eppendorf’s syringe product was functional because “fins of some
shape, size or number are necessary to provide support for the flange and to prevent
deformation of the product”.
Huges berargumen bahwa pada kasus Eppendorf, “fins” dipertimbangkan
fungsional karena fins along the thin walls of a plastic product add “strength and
13
provide stability to the product”. Artinya fins adalah fitur untuk mengexplorasi dan
menambah nilai produk. Sehingga suatu tanda dikatakan fungsional adalah ketika
tanda tersebut bersifat esensial dalam pemasaran barang atau jasa, hadir sebagai
penambah nilai dan merupakan bentuk pengoptimalan penampakan barang dan jasa
dalam perdagangan.
Penggunaan pendekatan utilitarian yang lain terlihat pada pada kasus
Sylvania Elec. Prods. v. Dura Elec. Lamp Co, dalam kasus tersebut pengadilan
memberikan pertimbangan: the blue dot on Sylvania flash bulbs for cameras was
found functional because a change in the dot’s color was used to detect defective
bulbs in the manufacturing process as well as bulbs which had developed air
leakage after purchase. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka terlihat pararel
dengan kasus Qualitex Co sebelumnya, dimana secara spesifik hakim
mempertimbangkan tiga hal sebagai point utama dalam fungsi utility yaitu:
a)feature is essential to the use or purpose of the product; b) feature affects the cost
or quality of the product; c)whether granting of trademark for the exclusive use of
the feature would put competitors at a significant non-reputation related
disadvantage. Artinya tanda dikategorikan fungsional adalah ketika eksistensi
didasarkan pada fungsi suatu barang dan jasa yang dilekatinya. Misalnya eksistensi
titik berwarna biru dalam flash kamera, warna tersebut tergolongan fungsional
karena tujuan penggunaanya adalah untuk mendeteksi kerusakan pada lampu
kamera digital.
2.2. Fungsional Estetis
Tanda yang dikategorikan bersifat estetis (aesthetic) oleh Jerome dan Anne
diterangkan sebagai berikut: Doctrine of aesthetic functionality may apply where
14
the use of color (or other ornamentation) provides a competitive advantage
resulting from an aesthetic appeal to consumers rather than a utilitarian purpose.
Atas hal ini Tanda tidak disebut utilitarian melainakan estetis adalah ketika tanda
tersebut lebih fokus pada penampakannya, ketimbang pemberian fungsi tertentu
pada barang dan jasa.
Pengunaan pertimbangan estetika juga terlihat pada kasus pendaftaran
“fins” dalam sengketa antara Eppendorf-Netheler-Hinz GMBH Vs Ritter GMBH,
dalam pertimbangnya Huges menerangkan bahwa: “as befits that broad definition,
the doctrine has been applied to both “utilitarian” advantages—such as
strengthening fins on a plastic wall—and to product features that are so attractive
or pleasing that they are said to be “aesthetically functional.” Pada kasus “fins”
selain mempertimbangkan, apakah fins tergolongan fungsional karena sifatnya
dalam penggunaan (strengthening fins on a plastic wall)? Pengadilan juga
memperhatikan apakah fings memenuhi unsur estetika produk, sehingga cenderung
menarik (so attractive) sehingga bersifat fungsional yaitu fungsional estetis.
Atas uraian di atas, secara gamblang langsung dapat disimpulkan bahwa
BBA bersifat fungsional! Artinya, bentuk bersifat fungsional karena melekat
dengan produk, kemudian tanda aroma dan bunyi yang juga dapat dikelompokan
sebagai hal yang bersifat kesenian dalam perdagangan. Namun, menurut hemat
Penulis pandangan demikian adalah terlalu dangkal dalam hukum merek. Bahwa
karakteristik tanda dari pada BBA yang dapat diidentikan bersifat fungsional tidak
serta merta berarti bahwa BBA tidak memiliki daya pembeda.
Tanda bunyi, bentuk dan aroma memiliki karakteristik berbeda dengan
tanda huruf, kata ataupun angka. Perbedaan karakteristik tersebut mengandung arti
15
bahwa, kedua konsep fungsional yang telah diuraikan sebelum tidak tepat untuk
menjadi justifikasi bahwa BBA bersifat fungsional. Penerapan konsep fungsional
terhadap BBA harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik BBA yaitu
berbeda dan cenderung fungsional, tapi tetap TIDAK bersifat fungsional.
BBA tidak bersifat fungsional sebab karakteristik BBA sendiri merupakan
penanda eksistensinya sebagai tanda pembeda. Sehingga dalam kasus BBA, konsep
fungsional harus diterapkan dengan memperhatikan bahwa “BBA adalah tanda
yang fungsional tetapi tetap memiliki daya pembeda”. Sehingga, sebagai merek
BBA berdasarkan daya pembedanya mengesampingkan penerapan penuh akibat
konsep fungsional. Argumen ini sejalan dengan Putusan Penthouse International
Ltd pada 1977 dalam kasus trademark registration for key symbol, dimana dicatat
bahwa: “Penthouse understandably took the view that “ornamentation of a special
nature” could serve as an indicator of source “even though it may also create a
desire to purchase.”
Kesimpulan tersebut juga pararel dengan pendirian Court of Customs and
Patent Appeals (C.C.P.A.) pada waktu menolak penggunaan aesthetic functionality
(functionality in ornamentation), bahwa dalam petimbangannya pengadilan
mencatat: in the parlance we would use today, that de facto functionality and
source-indicating trademark status “are not in every case mutually exclusive” and
that “mere possession of a function (utility) is not sufficient reason to deny
protection.”
Atas hal ini apakah tanda berupa bentuk, bunyi, dan aroma sama sekali tidak
dibatasi dengan doktrin fungsional? Tidak, Pertimbangan fungsional yang tepat
terhadap tanda bentuk, bunyi dan aroma adalah ketika tanda tersebut tidak lagih
16
bersifat pembeda. Artinya ketika BBA tidak eksis untuk menerangkan barang dan
jasa, melainkan hadir menyatu dengan barang yaitu menentukan secara kausalitas
eksistensi suatu barang dan jasa. Pendapat ini sejalan dengan kasus Dippin’ Dots,
Inc. v. Frosty Bites Distribution, LLC, dimana tanda dikategorikan sebagai tanda
funsional karena eleventh Circuit concluded that certain colors for ice cream
indicate the flavor of the ice cream, for example, pink signifies strawberry, white
signifies vanilla, brown signifies chocolate.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa BBA dengan karakteristik fungsional
tetap harus dikategorikan sebagai merek dengan daya pembeda, ketika tidak
digunakannya features tersebut oleh pedagang lain tidak berpotensi merugikan dan
atau menurunkan kualitas barang atau jasa. Hal ini ditegaskan majelis hakim dalam
sengketa antara Rogers Co. Vs Keene, bahwa:
“an aesthetic functionality claim in relation to a hexagonal design
for the ends of molded plastic stackable trays (of the kind that would
be used on office desks). Based on the general standard that a design
feature can be trademarked as long as effective competition is
possible without copying that feature.”
Berdasarkan berbagai uraian di atas, terlihat bahwa daya pembeda pada
tanda harus ditempatkan sebagai premis mayor dalam perlindungan BBA sebagai
merek. Sehingga hal ini akan mengembalikan hakikat merek itu sendiri sebagai
tanda “dengan daya pembeda”.
17
B. SUPERIORITAS DAYA PEMBEDA DALAM PERLIDUNGAN BBA
SEBAGAI MEREK
Untuk dilindungii sebagai merek suatu tanda harus memenuhi berbagai
syarat perlindungan sebagai merek. Bab pertama pada tulisan ini telah menegaskan
bahwa tanda harus lah dibuat atas dasar itikad baik, tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan dan kepatutan, harus memiliki daya pembeda, tidak menjadi
milik umum, tidak membingungkan pada penampilannya, serta dapat ditampilkan
secara grafis.
Dalam semangat perlindungan bunyi, bentuk dan aroma sebagai merek,
sekurangnya terdapat tiga syarat yang sering dipermasalahan keabsanhanya. Yaitu
syarat untuk dapat ditampilan secara grafis (be visually perceptible), kemampuan
membedakan (capable of distinguishing) dan tidak bersifat membingungkan
(likelihood of confusion). Kemudian dari ketiga syarat tersebut, menurut hemat
Penulis syarat daya pembeda lah yang memiliki kedudukan dan posisi alpha
terhadap yang lain.
Eksistensi daya pembeda harus ditempatkan sebagai premis mayor dalam
perlindungan tanda sebagai merek. Tanpa adanya daya pembeda, suatu tanda tidak
dapat dilindungii sebagai merek. Hal ini sejalan dengan kasus Qualitex Co dalam
hal pendaftaran warna sebagai merek, dimana pengadilan memberikan
pertimbangan bahwa: “the Qualitex doctrine stands for the fundamental premise
that color is capable of distinguishing goods or services. Without distinctiveness
there is no trademark.”
Sebagai premis mayor, eksistensi daya pembeda selanjutnya akan
ditempatkan dalam pembahasan kedua syarat yang lain yaitu penampilan secara
18
grafis dan tidak bersifat membingunkan. Namun, kemudian penting untuk juga
ditempatkan kedudukan secondary meaning dalam konsep daya pembeda. Yaitu
sebagai penegasan daya pembeda sendiri dalam perlindungan merek.
1. Daya Pembeda Vs Penampilan Grafis
Manakah yang lebih utama dalam perlindungan merek, apakah penampilan
secara grafis (graphical reprentation)? Ataukah daya pembeda (capable of
distinguishing) yang dimiliki tanda? Menjawab pertanyaan ini Penulis akan
membandingkan penempatan pertimbangan masing-masing syarat tersebut dalam
perlindungan merek.
Rumusan pengertian merek pada Pasal 1 angka 1 UU Merek dan Indikasi
Geografis sesungguhnya pararel dengan Pasal 2 First Trademark Directive
European Union 1988, yaitu menegaskan bahwa:
a trade mark may consist of any sign capable of being represented
graphically, particularly words, including personal names, designs,
letters, numerals, the shape of goods or of their packaging, provided
that such signs are capable of distinguishing the goods or services
of one undertaking from those of other undertakings.
Menempatkan syarat penampilan grafis yaitu lebih dahulu dari syarat kemampuan
membedakan tanda pada rumusan UU Merek dan Indikasi Geografis memiliki
akibat tersendiri dalam perlindungan merek. Sebagaimana pada Uni Eropa,
Indonesia akan berujung pada implikasi yang sama. Yaitu Jika ditempatkan
demikian maka syarat penampilan secara grafis merupakan premis mayor dan daya
pembeda adalah premis minor dalam perlindungan merek. Artinya untuk menjadi
merek maka suatu tanda harus mampu ditampilkan secara grafis dan juga memiliki
daya pembeda. Sehingga tidak mungkin tanda dilindungii sebagai merek ketika ia
19
tidak dapat ditampilkan secara grafis sekalipun tanda tersebut memliki daya
pembeda.
Selanjutnya melihat Pasal 15 ayat (1) Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPS) 1994, yang menyatakan:
“Any sign, or any combination of signs capable of distinguishing
goods or services of one undertaking from those of undertakings
shall capable of constituting of trademark. such signs, in
particular words including names, letters, numerals, figurative
elements and combinations of colours of such signs shall be eligible
for registration of trademarks. Where signs are not inherently
capable of distinguishing the relevant good or services, member
may make registerably dependend on distinctiviness acquired
through use. Member may require as a condition of registration
that signs be visually perceptible”.
Pasal 15 di atas merupakan kebalikan dari First Trademark Directive di Uni Eropa,
sebab berdasarkan rumusan tersebut terlhat bahwa kemampuan memiliki daya
pembeda adalah ditempatkan lebih dahulu dibandingkan penampilan secara grafis.
Artinya kemampuan membedakan tanda adalah premis mayor dalam perlindungan
merek, sedangkan penampilan secara grafis merupakan premis minor yaitu ikut
menyesuaikan dengan premis mayor.
Atas kedua pendirian dalam penempatan syarat di atas, dalam hukum merek
seharusnyanya yang benar adalah ketentuan Pasal 15 TRIPS. Menempatkan daya
pembeda sebagai dasar perlindungan tanda sebagai merek adalah sesuai dengan
sifat dasar merek itu sendiri yaitu “tanda dengan daya pembeda” dan bukan “tanda
yang dapat ditampilkan secara grafis”. Dalam praktik peradilan merek, penegasan
demikian juga dapat diketemukan pada kasus Qualitex Co, dalam sengketa
pendaftaran warna sebagai merek, yaitu pengadilan memberikan pertimbangan
bahwa: “the Qualitex doctrine stands for the fundamental premise that color is
capable of distinguishing goods or services. Without distinctiveness there is no
20
trademark.” Artinya daya pembeda merupakan hakikat dari merek itu sendiri,
sehingga sudah seharusnya menjadi penentu dalam perlindungan merek.
Dengan menempatkan daya pembeda sebagai premis mayor, maka
pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimanakah hubungan kedua syarat
dalam perlindungan merek yaitu khusus tanda BBA sebagai merek? Artinya,
apakah tanda yang memiliki daya pembeda juga harus dapat ditampilkan secara
grafis? Menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan menganalisis lebih jauh
tentang ketentuan Pasal 15 TRIPS sebagaimana dikutip sebelumnya.
Namun, apakah tepat untuk mendasarkan TRIPS sebagai standar
perlindungan BBA sebagai merek? Secara prinsip hukum merek, TRIPS
mengandung klausa yang tepat yaitu menempatkan syarat daya pembeda sebagai
dasar perlindungan. Selain itu, mengacu pada Pasal 15 TRIPS dan bukan Pasal 2
DEU adalah dikarenakan Indonesia bukanlah bagian dari Uni Eropa dan sementara
Indonesia adalah Negara yang telah meratifikasi TRIPS (lihat Bab 2 huruf A pada
angka 4 yaitu “Tinjauan Umum Perjanjian Internasional Tentang Merek”).
Selanjutnya, juga harus ditegaskan bahwa tidak termuat secara explisitnya
frasa “bunyi, bentuk dan aroma” pada rumusan Pasal 15 TRIPS tidak berarti bahwa
ketentuan tersebut tidak melingkupi tanda BBA. Melainkan pasal 15 TRIPS adalah
juga mencangkup tanda BBA. BBA tetap harus dianggap disebut dalam rumusan.
Tesis ini pararel dengan penyebutan jenis tanda yang dengan menggunakan frasa ”
such signs” pada Pasal. Dimana berarti bahwa tanda yang dimaksud pada pasal
adalah hanya “contoh” saja, yaitu jenis tanda yang dimaknai oleh TRIPS adalah
bersifat tidak terbatas, sehingga meliputi juga bunyi, bentuk dan aroma.
21
Sebagai patokan maka rumusan Pasal 15 TRIPS menjelaskan hubungan
kedua syarat dalam perlindungan merek. Yaitu terletak pada frasa “shall capable of
constituting“ pada kalimat sign, or any combination of signs capable of
distinguishing, shall capable of constituting of trademark. Kemudian frasa ”may
require” pada kalimat “member may require signs be visually perceptible”12.
Artinya syarat daya pembeda adalah wajib statusnya, bahkan disebut dengan
pemaknaan daya pembeda merupakan merek itu sendiri. Sedangkan penampilan
grafis sifatnya relatif. Sehingga kesimpulannya adalah tidak terpenuhinya syarat
penampilan secara grafis oleh BBA sebagaimana yang sampai saat merupakan isu
kontroversial adalah tidak menghilangkan status BBA sebagai merek sepanjang ia
memiliki daya pembeda. tetapi, benarkah BBA tidak dapat ditampilkan secara
grafis?
Dapat dan tidaknya ditampilkan secara grafis jelas tidak menggurkan
eksistensi BBA sebagai merek karena memiliki daya pembeda. Namun kemudian
sebagaimana sebelumnya Penulis menegaskan “penampilan BBA secara grafis
merupakan isu kontroversial”13 maka lebih bijaksana jika pada ulasan ini adalah
dilengkapi dengan penegasan isu tersebut.
Bahwa eksistensi penampilan secara grafis sering ditafsirkan keliru dalam
perlindungan suatu tanda sebagai merek. Pada kasus BBA, tanda jenis ini
12 Daya pembeda dikatakan ditempatkan secara utama dibandingkan penampilan secara
grafis adalah kesimpulan dari pemaknaan kata “shall capable of constituting of trademark” pada
penegasan keberadaan daya pembeda dalam perlindungan merek. Sedangkan di lain sisi, digunakan
frasa ”may require” untuk penempatan syarat penampilan grafis. 13 Dalam kasus di Negara-negara Uni Eropa, dengan mensyaratkan penampilan secara
grafis maka dalam perlindungan merek non-tradisional mengalami masalah yaitu metode
penampilan pendaftarannya (kata-kata dlln) yang disebut tidak secara pasti menggambarkan tanda
yang akan dilindungi sebagai merek, pendaftaran botol Cola-cola misalnya. Atas hal ini, meletakan
daya pembeda sebagai sebab perlindungan dibutuhkan untuk mempertegas bentuk perlindungan
pada tanda non-tradisional.
22
dipermasalahkan perlindunganya karena dianggap tidak dapat ditampilkan secara
grafis sewaktu dipasaran (pada waktu perdagangan). Pendirian seperti ini terlihat
pada kasus Playboy Enterprises V. Germain, dalam kasus pengadilan Federal
memberikan pertimbangan bahwa: "..the ordinary meaning of the word a mark and
held that in order for there to be use in association with wares the trademark had
to be a something which can be see..,"
Pandangan di atas adalah salah! Penampilan grafis (be visually perceptible)
yang dimaksud oleh TRIPS adalah pada waktu pendaftaran tanda sebagai merek
bukan penampakanya sewaktu diperdagangan suatu barang dan jasa. Hal ini senada
dengan Kritarth Pandey yang berpendapat bahwa: “It further states that Members
may require, as a condition of registration, signs to be visually perceptible. This
means that it is not compulsory for the Trademark to be visually perceptible so
far TRIPs Agreement is concerned.14”
Sehingga berarti bahwa tanda bunyi, bentuk dan aroma secara hukum merek
adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis. Yaitu dimuat dalam bentuk
tertentu pada waktu pendaftarannya, dimana sekurangnya terdapat beberapa cara
bagaimana menampilkan secara grafis BBA pada waktu pendaftaran. Misalnya
dengan pengambaran berupa kata-kata atas aroma ataupun penulisan note nada
pada tanda bunyi.
14 Kritarth Pandey, Op Cit.,
23
2. Daya Pembeda dan Penampilan yang Membingungkan
Sebagai syarat ikutan dari daya pembeda, merek juga dituntut untuk tidak
bersifat membingunkan (likelihood of confusion). Tidak membingungkan artinya
merek dapat memberikan penerangan yang jelas akan satu sumber barang untuk
kemudian diidentifikasi oleh konsumen. Hal ini sejalan dengan pengertian oleh
Chudomira Dzhurkovas, bahwa likelihood of confusion adalah: “the risk that the
public might believe that the goods and services in question come from the same
undertaking or from economically linked undertaking15.” Penampilan yang tidak
membingungkan dimaksudkan untuk menjaga tingkat kepercayaan konsumen atas
barang. Ketika suatu merek tampil membingungkan maka banyak orang yang akan
terkecoh untuk memberikan pilihannya atas barang, yaitu pilihan berdasarkan
tingkat kualitas pembuatan produk oleh pelaku usaha tertentu.
Situasi merek yang diidentifikasi membingungkan di pasaran selanjutnya
terbagi atas dua. Kategori tersebut terlihat pada sengketa antara Sabel BV Vs. Puma
AG, dalam kasus penampilan yang membingungkan terbagi atas: a) confusion
between the marks themselves; b) confusion as to origin.
a. Direct confusion
Dipertimbangkan membingungkan secara langsung yaitu ketika “the
differences between the marks and the goods are so small”. Sehingga
eksistensi merek suatu barang sifatnya kabur terkait kedudukannya
dengan merek lain yang menerangkan barang yang lain. Artinya tanda
secara langsung penampakannya bersifat membingungkan karena
memiliki kemiripian dengan tanda yang lain.
15 Chudomira Dzhurkova, Likelihood of confusion: The nature of the criterion of an
"independent distinctive role", Sofia University, St. Kliment OhridSKi, 2011, h. 6-7
24
b. Indirect confusion
Disebut membingungakan secara tidak langsung yaitu penampakan
tanda yang membingungkan tidak antara tanda dengan tanda. Melainkan
antara tanda dengan barang atau jasa. Sebagai source identification,
tanda gagal untuk menciptakan pembeda terhadap barang. Sehingga
membuat konsumen bingung dalam mengidentifikasi sumber barang
(confusion as to origin).
Pararel dengan pembagian di atas, dalam hukum merek standar suatu tanda
dikatakan membingunkan sewaktu dipasarkan dapat dikelompokan menjadi tiga
kriteria yaitu:
a)similarity between the mark and the sign and identity between the
goods or services; b) identity between the mark and the sign, but
only similarity between the goods and services; c) similarity
between the mark and the sign and similarity between the goods and
services16.
Berdasarkan uraian penampilan yang membingungkan di atas, terlihat
bahwa alasan utama tanda dikatakan membingungkan adalah karena tidak adanya
daya pembeda yaitu baik terhadap barang atau antara tanda. Atas hal ini maka sesuai
dengan pendirian Penulis pada tulisan ini, yaitu Daya pembeda bersifat premair
terhadap syarat yang lain. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Wauran dan
Kurnia, yang menerangkan bahwa: “konsep daya pembeda memiliki fungsi yang
sifatnya vital dan fundamental dalam suatu merek. Keberadaan daya pembeda
suatu merek, akan berdampak pada kemampuan merek tersebut untuk tidak
menyebabkan kebingungan pada waktu dipasarkan”.17
16 Konsep yang muncul pada sengketa antara oleh Qualitex Co Vs Jacobson Products Co. 17 Wauran dan Kurnia, Op Cit., h.276
25
Berangkat dari pendapat di atas, syarat memiliki daya pembeda (capable of
distinguishing) dan syarat penampilan yang tidak membingunkan (likelihood of
confusion) senyatanya merupakan syarat yang memiliki hubungan kausalitas.
Artinya kuatnya daya pembeda pada suatu tanda maka tanda tersebut tidak akan
membingungkan pada waktu pemasaran.
3. Daya Pembeda dan Secondary Meaning
Secondary meaning adalah konsep pelengkap daya pembeda pada suatu
tanda sebagai merek. Konsep ini menjadi keharusan dalam perlindungan tanda
yang memiliki pembeda bukan inherent. Menjelaskan hal ini, Eric dan Mark
menegaskan tanda yang disebut: “Capable of becoming distinctive: eligible for
protection only after development of consumer association (secondary meaning).”
Dilindungii berdasarkan secondary meaning mengadung arti bahwa tanda tersebut
harus mendapat pengakuan sebagai pembeda dan source identicators dari para
konsumen (development of consumer association).
Penggunaan konsep secondary meaning dapat dilihat pada sengketa antara
Mana Products inc v. Columbia Cosmetics Mfg inc. Dalam kasus tersebut,
pengadilan banding Second Circuit, United States Court memberikan pertimbangan
bahwa: “to establish secondary meaning, a manufacturer must show that, in the
minds of the public, the primary significance of a product feature or term is to
identify the source of the product rather than the product itself.” Berdasarkan
pertimbangan tersebut, dapat dijelaskan bahwa maksud syarat pembuktian
secondary meaning adalah untuk kejelasan status tanda sebagai merek. artinya,
Apakah konsumen melihat tanda sebagai penentu sumber barang? Sehingga dapat
dijadikan patokan untuk membedakan antara barang atau jasa. Ataukah tanda
26
tersebut dilihat sebagai bagian dari barang atau jasa? Sehingga tidak menjadi daya
pembeda antara barang.
Kemudian dalam hal cara dan atau metode untuk membuktikan secondary
meaning pada suatu tanda. Pada kasus Mana Products inc, pengadilan memberikan
petunjuk praktis yaitu meliputi:
Plaintiff failed to submit any consumer surveys, information as to
the relative market share of its cosmetics, unsolicited media
coverage, or the amount of time that the compacts made exclusive
use of the challenged design. Absent this sort of information Mana
failed to raise a material issue of fact as to whether its compacts had
acquired secondary meaning in the marketplace.
Pembuktian secondary meaning dapat dilakukan dengan survei pada konsumen,
liputan media yang relevan bahwa tanda tersebut dikenal debagai pembeda antara
barang, serta bukti waktu penggunaan tanda sebagai merek yang telah dikenal lama
dan oleh bannyak orang.
Lalu, apakah perlindungan bunyi, bentuk dan aroma (BBA) harus dengan
didasarkan pada secondary meaning? ini adalah sisi dilematis dalam perlindungan
bunyi, bentuk dan aroma sebagai merek, hal tersebut dapat diuraikan dengan dua
hal yaitu;
Pertama, secara das sollen dengan diketemukannya hubungan emosional
pada pembedaan melalui karakteristik BBA yang kemudian berujung pada
kesimpulan bahwa tanda tersebut adalah bersifat fanciful.18 Maka tesis yang
berlaku adalah bunyi, bentuk dan aroma TIDAK harus mendasarkan pada
secondary meaning untuk dapat dilindungii sebagai merek. pandangan demikian
18 Pembahasan lebih dalam tentang pembeda pada tanda BBA adalah bersifat murni yaitu
inherently distinctive dapat dilihat pada pada bab III "Kajian Konsep Daya Pembeda Dan
Kedudukannya Dalam Perlindungan Bentuk, Bunyi, Dan Aroma Sebagai Merek" dalam angka 1
yang membahas tentang “Hubungan Emosional” yaitu pada halaman 57.
27
sejalan dengan pertimbangan pengadilan dalam kasus Mana Products inc, bahwa
mahkamah menegaskan: “If a trade dress is inherently distinctive, it is not
necessary to establish that a product has acquired secondary meaning in the
marketplace because the packaging itself “is capable of identifying products or
services as coming from a specific source.”
Kedua, secara das sein rumitnya penampilan tanda bunyi, bentuk dan aroma
yaitu bersifat extra indra (penciuman, pendengaran, dan peraba) telah membawa
kesulitan tersendiri pada tataran praktis untuk mencari keaslian tanda oleh
pengadilan. Hal tersebut terlihat pada beberapa kasus diantaranya:
a. Pendaftaran Ride the Ducks, dalam sengketa antara L.L.C. v. Duck Boat
Tours, yaitu bunyi berupa panggilan bebek “the sound of duck calls” di
Trademark Trial and Appeal Board (TTAB);
b. Pendaftaran bentuk botol Cola-Cola di Uni Eropa pada The Office for
Harmonization in the Internal Market (OHIM);
c. Pendaftaran aroma bunga plumeria dengan dideskripsi “a high impact,
fresh, floral fragrance reminiscent of plumeria blossoms” di United
States Patent and Trademark Office (USPTO)
Ketiga kasus di atas, dalam pertimbangannya mahkamah tetap mendasarkan
putusannya pada pembuktian berdasarkan secondary meaning. Sehingga tesis yang
muncul adalah tanda bunyi, bentuk dan aroma HARUS didukung dengan
secondary meaning.
Atas hal ini untuk tetap konsisten dengan ulasan pada sub bab ini, maka
Penulis menegasan bahwa bunyi, bentuk dan aroma TIDAK dilindungii
berdasarkan secondary meaning melainkan daya pembeda yang sifatnya fanciful.
28
Dimana sebagai tanda bersifat fanciful, BBA tergolongan sebagai pembeda
inherently distinctives dimana oleh Eric dan Mark dijelaskan sebagai berikut19:
a) Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon
use.
b) Capable of becoming distinctive: eligible for protection only
after development of consumer association (secondary
meaning).
c) Incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark
protection regardless of length of use. Generic term
Namun, lebih jauh Penulis melihat bahwa karena karakteristiknya suatu
tanda BBA dalam proses pendaftaran tidak dapat lepas dari klausul secondary
meaning. Sehingga Penulis ikut mengkritisi pengelompokan oleh Erik dan Mark di
atas, yaitu terhadap tanda BBA selain prinsip fungsional juga dikecualikan adalah
batasan akibat tanda. Artinya, antara tanda bersifat inherently dan capable of
becoming tidak tepat untuk dipisahkan murni yaitu dalam hal eksistensi secondary
meaning. Olehkarenanya lebih bijaksana adalah menempatkan BBA sebagai tanda
yang dilindungii karena sifatnya fanciful, yang dalam pendaftarannya dapat
dilengkapi20 oleh klausul secondary meaning.
19 Eric Gastinel dan Mark Milford, Op Cit., h.117 20 Sebenarnya berdasarkan pengelompoka oleh oleh Eric dan Mark tersebut, tidak mungkin
tanda inherent dilindungii dengan secondary meaning. Namun, terhadap hal ini Penulis ingin
menempatkan pengecualian yaitu semi-inherent. Dimana tanda bunyi, bentuk dan aroma
perlindungannya tetap berdasarkan daya pembeda yang dimiliki, tetapi dalam konteks
pendaftarannya secondary meaning menjadi klausul yang melengkapi dan atau membantu
penyelesaian sengketa tentang BBA di pengadilan.