BAB II
TRADISI MASYARAKAT JAWA
A. Budaya dan Masyarakat Jawa
Dalam upacara tradisi keagamaan dikenal dengan apa yang disebut “tradisi besar” dan
“tradisi kecil”, yakni sepasang konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh pakar
antropologi Amerika Robert Fedfield. Konsep ini kemudian banyak digunakan oleh
antropolog lain dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai Negara di
Asia, Afrika dan Amerika Latin.1 Tradisi besar adalah tradisi dari mereka dari mereka yang
suka berfikir dan dengan sendirinya hanya mencakup sejumlah orang yang relative sedikit.
Sedangkan tradisi kecil adalah tradisi massa yang tidak pernah memikirkan secara mendalam
tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para filsuf, ulama dan kaum terpelajar adalah
termasuk tradisi besar. Tradisi ini ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran
melalui wacana intelektual baik lisan dan tertulis. Sementara tradisi orang kebanyakan adalah
tradisi kecil yang diterima saja dari pendahulu secara apa adanya dan tidak pernah diteliti
atau disaring isi maupun asal usul ataupun dalam perspektif ini.2
Sesuai dengan budaya masyarakat Jawa ritual keagamaan diwujudkan dalam berbagai
bentuk, diantaranya ziarah makam. Menurut Munzir al-Musawa, ziarah kubur ialah
mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran
1 Dua konsep tradisi besar dan tradisi kecil yang diperkenalkan oleh Redfield ini di kritik oleh Bambang Pranowo. Menurutnya, kategorisasi Redfield terkesan menyederhanakan persoalan, bagaimana mungkin tradisi yang sedemikian kompleks memungkinkan dipahami hanya dalam dua cara pandang. Terlebih, dua konsep tersebut tidak dapat dioperasionalisasikan secara jelas. Bambang menambahkan secara naifnya konsep ini ketika memotret fenomena sekte dan aliran kagamaan. Di dalam Islam misalnya, sekalipun umat Islam disatukan oleh Tuhan dan kitab suci yang sama , toh pada lapangan teoritis dan praksisnya bercerai - berai dalam beribu ribu sekte. Ada Syiah (Bahaiyyah, Zaidiyyah, Islamiiliyyah, imamiyyah dan sebagainya), Sunni (Asyariyyah, Maturidi, Bukhara dan Khurasan), Ahmadiyah (Lahore dan Qadiyan), madzhab Maliki, Syafii, Hambali, Hanafi, Dawud al-Dzahiri dan seterusnya. Jika konsep ini tetap dipaksakan, maka akan muncul kesalahan sistematis yang tidak bisa dihindari. Kekhawatiran ini yang mendasari Hogson untuk mengkritik Geertz, yaitu trikotomi santri, abangan dan priyayi. Bambang Pranowo, Islam Faktual dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta : Adicitra Karya Nusa, 1998), 8 - 9 2 Ibid .., 8 - 9
(ibrah) bagi penziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menjadi penghuni kuburan,
sehingga dapat lebih mendekatkan manusia kepada Allah.3 Baker menjelaskan bahwa ziarah
menurut budaya lokal merupakan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang hanya
sesaat, ziarah itu menuju tempat suci untuk memperoleh doa restu dari mereka yang telah
lulus ujian hidup.4
Ziarah makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Jawa. Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas
ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan oleh orang Jawa ke makam yang dianggap keramat
sebenarnya akibat pengaruh masa Jawa Hindu. Pada masa itu, kedudukan raja masih
dianggap sebagai titising dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang
raja masih dianggap keramat termasuk makam, petilasan, maupun benda benda peninggalan
lainnya. Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokohtokoh
magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan atau keistimewaan
tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan
keinginannya. Misalnya dengan mengunjungi atau berziarah ke makam tokoh yang
berpangkat tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi pula.
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah
orang yang hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam
dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang tinggal di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut.
Secara geografi suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah
Banyumas, Kedu, Yogyakarta, urakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Sedangkan di luar
3 Munzir al Musawa, Kenalilah Aqidahmu, (Jakarta : Majlis Rasulullah, 2007), 65 4 J.W.M. Baker, Agama Asli Indonesia, (Yogyakarta : Pradya Widya, 1976), 429
wilayah tersebut dinamakan Pesisir dan ujung timur.5 Surakarta dan Yogyakarta yang
merupakan dua bekas kerajaan mataram pada sekitar abad ke – 16 adalah pusat dari
kebudayaan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan raja – raja
Jawa. Pulau Jawa sebelah barat pada bagian sungai Cilosari dan Citandui disebut daerah Jawa
Barat, dan disitu bertempat tinggal suku bangsa Sunda.6
Ciri masyarakat Jawa adalah berke - Tuhanan. Suku bangsa Jawa sejak masa
prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh
atau jiwa pada benda - benda, tumbuh – tumbuhan, hewan, dan juga pada manusia sendiri.
Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap
hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik.
Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada,
terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Agar terhindar dari roh
mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai sesaji.
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga
merela terlindung dari roh yang jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta pada
roh jahat agar tidak menggangunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari
batu batu besar sebagai tempat pujaan untuk nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu
yang jahat. Arwah yang pernah hidup pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan
pengalamannya sehingga perlu diminta berkah dan petunjuk. Cara untuk menghadirkan
arwah nenek moyang adalah dengan mengundang orang sakti dan ahli dalam bidang tersebut,
yang dianggap perewangan untuk memimpin acara. Namun, upacara tersebut telah berubah
fungsinya menjadi kesenian rakyat tradisional misalnya sintren, nini thowok, barongan, tari
topeng, dan pertunjukan wayang.7
5 Ed. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta : Gama Media, 2000), 3 6 Harsoyo, Kebudayaan Sunda dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta : Jambatan, 1976), 300 7 Ed. Darori Amin .., 7
Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah
pemberian sesaji di tempat pohon besar yang berumur tua, sendang atau belik, mata air,
kuburan tua dari tokoh yang terkenal atau tempat yang dianggap keramat dan mengandung
kekuatan ghaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Sesaji diselenggarakan untuk
mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk halus seperti lelembut,
demit, dan jin yang mendiami tempat tersebut.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil
dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari
kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari,
hujan angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adi - kodrati di balik
semua kekuatan alam itu. Selanjutnya sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan
tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat
mempengaruhi kekuatan alam semesta.
Sejarah mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih
tepatnya indianisasi. Terdapat tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan
budaya tersebut dalam mentalitas masyarakat Jawa :
Pertama, asal usul bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C.C.Berg dalam bentuk legenda
tentang seseorang yang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang muda putra
Brahmana yang berasal dari tanah India. Aji Saka datang ke tanah Jawa dan mendapatkan
Negeri dengan nama Medangkamulan yang kini berada di daerah Grobokan Purwadadi.
Negeri ini dikuasai oleh seorang raja pamakan daging manusia Dewata Cengkar. Aji Saka
berhasil mengalahkannya pada tahun 78 Masehi. Menurut Berg, legenda diatas menjadi
simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang Jawa untuk
memudahkan ingatan perhitungan awal tahun Jawa yaitu tahun Saka. Hitungan ini diawali
dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.
Demikian pula syair tentang kematian dua orang pengiring Aji Saka, menjadi suatu
simbolisme yang mempermudah ingatan terhadap susunan abjad Jawa.8
Kedua, penafsiran indianisasi yang lain yang kurang bersifat historis dalam naskah
Jawa abad ke – 16 Tantu Panggelaran buku petunjuk pertapaan Hindu di Jawa. Tulisan itu
menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (Siwa) yang pergi ke gunung Dieng untuk
bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi penghuni.
Brahma menciptakan kaum lelaki dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa
memutuskan untuk menetap di bumi. Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori, mutasi perlu
dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang
membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang dianggap
keramat. Demikian relief Borobudur tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui risalah India
tentang Mahayana. Namun demikian tidak mungkin antara keduanya, yaitu Jawa dan India
disamakan.
Kajian khusus tentang Jawa dari periode agama Hindu dan Budha yang dikaitkan
dengan permasalahan teroritis tertentu, dapat dikelompokkan ke dalam dua tema : Indianisasi
dan karakter peradaban. Tema yang pertama dikaitkan dengan pengaruh masuknya unsur –
unsur dari luar, khususnya India, sedangkan tema kedua dikaitkan dengan karakter
lingkungan fisik dimana peradaban Jawa tumbuh.
Tema Indianisasi biasanya digunakan untuk menyatukan semua persoalan pokok
peradaban Jawa yang menunjukkan pengaruh besar agama Hindu dan Budha yang tumbuh di
wilayah Asia selatan, dan kini masuk ke wilayah India. Masalah pertama mengenai asal usul
kebudayaan India yang dibawa ke Indonesia, pernah menjadi pusat perhatian para pakar
bahasa khususnya Sansekerta. Menurut Kern, tempat di India yang mungkin menjadi wilayah
8 Ed. Soedjatmoko dkk, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), 68
asal usul kebudayaan yang berkembang di Jawa (juga tempat lain di wilayah Indonesia)
adalah Kalingga dan Merkara, keduanya adalah India Selatan.
Atas dasar kajian bahasa juga, Holle menyimpulkan bahwa para imigran India datang
ke Indonesia secara berulang dan datang tidak hanya dari satu tempat. Damais menyebutkan
bahwa berbagai tulisan, khususnya huruf Pallawa, yang tersebar di Asia Tenggara termasuk
Jawa, berasal dari India Selatan. Dikenal juga huruf lain yakni Siddharmatrka ata Pra Nagari
biasanya berbentuk mantra suci agama Budha dan nagari yang berasal dari India Utara.
Melalui seni arca, ditunjukkan bahwa beberapa arca Budha di Jawa, misalnya yang
dijumpai di Jember dan Sidareja, dianggap memiliki unsur gaya yang serupa dengan arca
yang berasal dari India Selatan, Amarawati, Negapatam, dan Melayur. Kesenian gaya Jawa
Tengah cenderung mengikuti aturan – aturan yang termuat dalam kitab India. Sedangkan
pada masa kemudian, ketika berkembang di Jawa Timur, cenderung meninggalkan aturan itu
dan semakin menampakkan unsur lokalnya.
Unsur lain di bidang politik, terutama mengenai gagasan tentang raja dan kerajaan di
Asia Tenggara. Adanya gagasan tentang raja dan kerajaan yang muncul pada masa Hindu dan
Budha di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan India yang dikenal baik
dalam doktrin Budha maupun Hindu. Doktrin tersebut menyangkut kepercayaan mengenai
adanya kesejajaran antara alam dewa dan alam manusia, dimana yang disebut belakangan
harus menyesuaikan diri dengan yang disebut duluan. Upaya penyesuaian ini diperlukan agar
manusia dapat memperoleh keselamatan dan terhindar dari bencana.9
B. Pandangan Dunia Jawa
Suseno menegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan pandangan dunia Jawa ialah
pandangan secara keseluruhan semua keyakinan deskripstif tentang realita kehidupan yang
dialami oleh manusia, sangat bermakna, dan diperoleh dari berbagai pengalaman. Manusia
9 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa : Dinamika Pranata Politik, Agama dan Ekonomi Jawa Kuno, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2002), 40 - 45
dalam hidupnya memandang dunia sebagai sebuah kerangka acuan untuk dapat mengerti
tentang masing – masing pengakaman yang dialaui. Yang khas dalam pemandangan dunia
Jawa adalah realitasnya yang tidak dibagi – bagi dalam berbagai bidang yang terpisah – pisah
dan tanpa adanya hubungan satu sama lain, melainkan dipandnag sbagai satu kesatuan. Sebab
hakekatnya orang Jawa tidak pernah membedakan antara sikap religius dan bukan religius,
menganggap interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, dan sebaliknya sikap
terhadap alam mempunyai relevansi sosial. Bahkan pandangan dunia Jawa terhadap
pekerjaan, interaksi, dan data tidak mmiliki perbedaan prinsip yang hakiki.
Keyakinan deskriptif orang Jawa sangat terasa bila dikaitkan dengan keyakinan
pencapaian ketenangan batin, pandangan dunia yang semakin harmonis, cocok dan nyaman.
Tolak ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai
suatu keadaan psikis tertentu, yaitu kesenangan, ketentraman, dan keseimbangan hidup.
Pandangan itu bukan merupakan pandangan dunia dengan ciri – ciri dan batas yang pasti,
melainkan merupakan suatu penghayatan yang terungkap dalam berbagai lapisan masyarakat.
Pandangan dunia Jawa ada empat lingkaran bermakna, yaitu : pertama, lingkaran
yang lebih bersifat ekstrovert, intinya adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai
satuan kepercayaan ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang keramat.
Serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin
sendiri. Kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinous
(ukhrowi, adikodrati) hal itu sangat berpengaruh.
Ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan persatuan dengan
yang maha kodrati. Unsur lingkungan pertama diterjemahkan ke dalam dimensi pengalaman
kebatinan sendiri, dan sebaliknya, alam lahir distrukturisasikan dengan bertolak dari dimensi
batin. Puncak wujud ini adalah usaha untuk mencapai pengalaman mistik. Keempat, adalah
penentuan semua lingkaran pengalaman oleh yang ilahi yaitu oleh takdir.
Kata numinous berasal dari kata bahasa latin numen yang artinya cahaya, bahasa
Inggris : numinous, dan Arab : nur. Dari runutan fenomenologis agama, numinous mengacu
pada pengalaman religious yang menunjukkan zat Allah (illahiah), Allah dan dapat dikatakan
sebagai sebuah kepercayaan ketuhanan (monoteis). Ciri – ciri pandangan ini adalah
penghayatan terhadap masyarakat, alam, dan alam kodrati sebagai kesatuan yang tidak
terpecah – belah.
Inti pandangan dunia Jawa terdiri atas pandangan bahwa di belakang gejala lahiriyah
terdapat kekuatan kosmis numinus sebagai realitas yang sebenarnya, dan bahwa realitas
sebenarnya manusia adalah batinnya yang berakar dalam dunia numinus itu. Oleh karena itu
untuk waktu yang relative panjang dakwah Islam sulit dan hampir tidak masuk ke lingkaran
tradisi besar pada kalangan Istana. Tradisi besar sampai tahun 1478 M saat kehancuran
bingkai Majapahit masih mengagungkan tradisi Hindu Budha. Maka dakwah Islam terpaksa
harus menyusup dari lapisan bawah dan menyebar melalui budaya massa di pedesaan dan
pesisiran.
Orang Jawa mengenal dua tanda yang tidak dapat salah, yaitu bersifat sosial dan
bersifat psikologis. Di tengah masyarakat, tanda yang paling jelas bahwa setiap pihak berada
pada tempat kosmisnya yang tepat adalah keselarasan sosial. Kekacauan dalam masyarakat
berarti gangguan keselarasan kosmis, sebaliknya setiap gangguan keselarasan kosmis
mengancam masyarakat tetapi apabila keadaan masyarakat tenang, tentetam, dan teratur,
berarti merupakan tanda bahwa keselarasan kosmis tidak terganggu. Ditingkat psikologis rasa
ketenangan batin, ketiadaan rasa kaget dan kebebasan dari ketegangan emosional merupakan
tanda bahwa semuanya beres. Ketentraman masyarakat dan ketenangan hati merupakan hal
yang dicari orang Jawa sebagai keadaan selamat.
Pandangan dunia Jawa melihat pada latar belakang paham kekuasaan yang
disimbolkan seorang raja (ratu). Raja adalah seorang figur yang dapat memusatkan suatu
takaran kekuatan kosmis yang besar, dan merupakan sorang yang sakti. Seorang raja
bagaikan lautan, yang dapat menampung seluruh air dari manapun. Kekuatan kosmis seorang
raja sering digambarkan sebagai sebuah lensa yang dapat memusatkan cahaya matahari ke
bumi. Sakti dan tidaknya raja juga dapat dilihat dan diukur pada besar kecilnya monopoli
kekuasaan yang dipegangnya. Jadi semakin luas wilayahnya semakin besar kekuatan dalam
kerajaannya yang berasal dari kekuatan kosmis.
Pandangan dunia Jawa, bila raja semakin sakti, maka keadaan akan semakin tenang
dan sejahtera. Tidak ada musuh dari luar, atau kekacauan yang berani mengganggu karena
daya pengacau dari pihak – pihak yang berbahaya seolah dapat dihisap ke dalam diri raja.
Kekuatan dan kekuasaan raja dapat juga digambarkan dengan kesuburan tanah dan
keteraturan tatanan masyarakat sehingga akan terwujud masyarakat adil makmur, tata titi,
tentrem, dan gemah ripah karta raharja. Namun sebaliknya bila ada gejala alam tidak
bersahabat, adanya bencana, wabah penyakit, hama tikus dan wereng, dapat diartikan sebagai
kemunduran kesektean raja sebagai penguasa, yang berarti kemampuannya surut, bahkan
lepas dari pusat kekuatan adikodrati.
Kekuasaan merupakan sebuah kekuatan yang bersifat meta empiris sehingga tidak
dapat diperoleh dengan sarana empiris. Kekuasaan bagi pandangan dunia Jawa bukanlah hasil
kekayaan, pengaruh, relasi, kekuatan fisik atau militer, kepintaran atau pun keturunan saja,
melainkan kekuasaan dapat memiliki pemusatan tenaga kosmis, dengan laku tapa, lelana
brata dan mendapatkan Wahyu Illahi. Menurut paham (pandangan dunia Jawa) tenaga itu
tidak dapat diambil begitu saja, melainkan harus diberi, melalui serangkaian pengalaman
panggilan. Namun bukan berarti kekuasaan sama sekali tidak dapat diusahakan. Dalam tradisi
Jawa ada cara untuk memusatkan kasektean, kekuasaan kosmis, dalam diri, dengan usaha
sekuat tenaga, yaitu puasa (tapa), mengurangi makan, tidak seksual dan semedi.
C. Islamisasi di Jawa
Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua
proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian
menganutnya. Kedua, orang Asing seperti: Arab, India dan Cina yang telah beragama Islam
bertempat tinggal secara permanen di satu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan
campuran yang menghasilkan keturunan beragama Islam10 dan menikuti gaya hidup lokal.11
Bandar perdagangan lain yang juga berperan sebagai pusta penyebaran Islam adalah
Barus, yang terletak di pantai barat Sumatra Utara. Perihal kehadiran para pedagang Arab dan
India di Barus pada abad XVI terekam dalam catatan Tom Pires. Ketika Malaka mulai
tumbuh sebagai pusat perdagangan dari Arab, India (Benggali) dam Persia yang
meninggalkan Pasai. Para Ulama yang berdagang juga berperan dalam mengajarkan agama
Islam di lingkungan masyarakat di wilayah Asia Tenggara.
Teori yang berkisar pada proses Islamisasi diantaranya :
Pertama, masuknya Islam datang ke Sumatra, yang diyakini pada pertama Hijriyah
atau abad ke – 7 Masehi. Pendapat ini disokong oleh Hamka,12 dengan alasan adanya berita
Cina yang mengisahkan kedatangan utusan raja Ta Cheh kepada ratu Sima. Adapun raja T
Cheh adalah raja Arab dan Khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa
tersebut terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam.
Ruban Levy menyatakan bahwa jumlah kapal yang dimiliki oleh Muawiyah pada tahuan 34
H atau 654 M atau 655 M adalah sekitar 5000 armada. Oleh karena itu tidak mustahil pada
tahun 674 M, Muawiyah dapat mengirimkan dutanya ke Kalingga.13
Kedua, Islam sudah masuk ke wilayah Jawa semenjak abad ke XI atas dasar Inskripsi
di Leran Gresik yang menjelaskan adanya sesorang yang bernama Fatimah binti Maimun
yang wafat pada tahun 1082 M. Pada nisan makam itu tercantum prasasti berhuruf dan 10 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900 : Dari Emperium sampai Imperium, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993), 22 11 Ed. Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia, (Yogyakarta : UIN Press, 2006), 33 12 Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), 3 13 AM. Suryonegoro, Menemukan Sejarah, (Bandung : Mizan, 1995), 88
berbahasa Arab, yang menyatakan bahwa itu adalah kubur Fatimah binti Maimun bin
Hibatallah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H bertepatan dengan tanggal 1
Desember 1082 M, yang berarti masih dalam zaman Kediri (1042 – 1222 M).14
Ketiga, Islam sudah berada di Jawa semenjak abad XIV berdasarkan batu nisan yang
terdapat di Trowulan. Batu tersebut memuat angka tahun Saka 1290 (1368 – 1369 M) yang
memberi indikasi bahwa pada tahun itu orang Jawa dari kalangan keraton yang sudah
memeluk Islam atas perlindungan kalangan keraton. Selanjutnya batu nisan yang angka
tahunnya berkisar antara 1298 Saka sampai 1533 Saka (1376 – 1611 M). Batu itu memuat
kutipan dari Al - Qur’an dan formula yang saleh.15
Keempat, Islam sudah berada di Jawa pada abad XV berdasarkan batu nisan dari
makam Maulana Malik Ibrahim yang meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H atau 8
April 1419 M.16 Beberapa pandangan menyatakan bahwa ia adalah seorang kaum yang
berkebangsaan Persia yang bergerak di bidang perdagangan rempah – rempah. Pandangan
lain mengatakan bahwa ia adalah diantara wali Sembilan yang dianggap sebagai penyebar
Islam di Pulau Jawa.
Hubungannya dengan asal usul dan rute kedatangan Islam ke Jawa terdapat beberapa
pandangan, diantaranya : pertama, Islam yang masuk ke Jawa berasal dari Arab langsung.
Hal ini didasarkan pada mayoritas penduduk Indonesia bermadzhab Syafii, yang saat itu
dominan di wilayah semenanjung Arabia bagian selatan. Hal ini diperkuat adanya pandangan
bahwa sudah ada rute pelayaran melalui Persia dan India ke wilayah timur, hal ini
disampaikan oleh Niemen dan diperkuat oleh Pijnaple. Di kalangan Indonesia, Hamka masuk
kategori yang menyatakan demikian.
14 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), 3 15 M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj: Darmono Hardjowijono, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1993), 5 16 Inajati AM Romli, Islam dan Kebudayaan Jawa : Suatu Kajian Arkeologis, (Yogyakarta : Yayasan Javanologi, Makalah), 3
Kedua, Islam masuk ke wilayah Jawa melalui jalur India, hal ini dikemukakan oleh
Snock Hurgronje. Ia mengatakan bahwa Sumatra dan Jawa mengenal Islam lewat kontak
yang terjadi dengan pedagang India. Alasannya adanya orang Islam di wilayah India Selatan,
adanya jalur perdagangan antara India Selatan dengan kepulauan Nusantara, dan adanya
elemen Islam yang amat menonjol dalam kegiatan perdagangan. Pendapat ini didukung
adanya batu nisan Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat.17
Ketiga, masuknya Islam ke Jawa melalui kamboja, pendapat ini didasarkan adanya
hubungan antara kepulauan Nusantara dengan Campa. Pada tahun 1471 M, Campa
mengalami kekalahan dari orang Vietnam Utara sehingga mengungsi ke wilayah Malaka.
Keempat, Islam masuk ke wilayah Jawa berasal dari Cina, pandang ini didasarkan pada serat
Kandha yang menyatakan bahwa Raden Patah adalah anak seorang perempuan Cina.
Diperkuat dengan sejarah Banten, yang menyebutkan Raja Demak sebagai Pati Raja Cina.
Hikayat Hasanudin disebutkan dengan nama Cek Ko Po yang berasal dari Monggolia.
Kelima, Islam disebarkan melalui bermacam jalur, pandangan ini lebih bersifat
merangkum teori diatas menyatakan bahwa asal usul Islam adalah dari guru sufi yang dalam
perjalanan mereka ke wilayah Nusantara dapat melalui lautan Hindia atau melalui jalur
perdagangan sutra. Di kawasan Timur Tengah mereka menempuh perjalanan sungai Kanton
dan seterusnya ke wilayah Campa, Malaysia, dan Sumatra. Teori ini tidak dapat diabaikan
begitu saja, karena unsur sufisme sangat dominan dalam kehidupan keagamaan masyarakat
Nusantara.
Sarana pokok Islamisasi di Indonesia meliputi : Pertama, sarana perdagangan. Kedua,
sarana perkawinan. Ketiga, sarana kebudayaan. Keempat, sarana pendidikan.18 Salah satu
bentuk sarana kebudayaan adalah kosakata bahasa Arab yang juga diserap dalam bahasa Jawa
Kuno zaman Kediri ialah kaluwa. Kata itu terdapat dalam prasasti Plumbangan di Wlingi 17 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII : Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), 3 18 Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara, (Surabaya : Jauhar, 2009), 71
Blitar. Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat : wnanamanana salwimi kaluwa, artinya akan
mendapat hal untuk makan segala macam kaluwa. Dalam bahsa Arab terdapat kata hulwa
artinya makanan yang sedap dan manis. Kata hulwa dalam bahasa Kuno ini berbeda artinya
dengan kata kuwa dalam bahasa Jawa baru.
Adanya bukti penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa Kuno masa Kediri
berkaitan erat dengan soal perdagangan. Gedah yang berarti gelas minum merupakan barang
perdagangan dari Timur Tengah (Arab) dan dari Brahmanabad. Brahmanabad sekarang di
wilayah Pakistan Barat, suatu pelabuhan penting yang berkembang antara abad VII – XI.
Dengan demikian antara Asia Selatan dan Asia Tenggara memang sudah terjalin hubungan
sejak lama.
Dalam pandangan sejarawan, Islamisasi19 masyarakat Jawa adalah transisi budaya
yang terus berlanjut. Setelah mungkin seribuan tahun menerima Hindu, orang Jawa mulai
menerima Islam. Tetapi Islamisasi Jawa tidaklah berjalan dengan linier, sejarah Islamisasi
sangat kompleks, penuh dengan kejutan sepanjang 600 tahun sejak Islam pertama kali datang,
dan itu belum selesai. Dalam kerangka tersebut, sejak Islam datang ke Jawa pada abad ke-14,
terlihat adanya tensi serta konflik antara Islam dengan kepercayaan dan budaya lokal Jawa.
Setelah berjalannya waktu, orang Jawa melihat diri mereka secara alamiah memiliki identitas
pokok yang didefinisikan Islam.20
19 Format Islamisasi menyerupai sekte revolusionis dengan bukti historis di Aceh, ketika sufisme berkadar rendah bertemu budaya lokal belum mapan. Sebaliknya ketika sufisme berkadar tinggi bertemu budaya lokal yang minim, muncullah pribumisasi. Namun ketika sufisme rendah bertemu budaya lokal yang surut yang muncul adalah negosiasi. Ketika sufisme berkadar tinggi dan juga budaya lokal, maka akan melahirkan format konflik menyerupai sekte reformis. Abdul Munir Mulkham, Islam Sejati : Kiai Dahlan dan Petani Muhammadiyah, (Jakarta : Serambi, 2003), 35. Kecenderungan reformis adalah : 1) mempertahankan sistem dari abad permulaan Islam yang dibersihkan dari bid’ah, 2) membangun kembali ke agama Islam yang didasarkan atas ajaran yang benar disesuaikan dengan masa kini dalam hal agama, kesusilaan dan kemasyarakatan, 3) berpegang teguh terhadap dasar Islam dan tidak menutup pintu pandangan yang datang dari Barat. Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900-1950, terj : Tudjimah dan Yessy Augudin, (Jakarta : UI Press, 1985), 164 20 Bambang, Memahami Islam Jawa .., xv
Sebelum Islam datang , Jawa telah memiliki ajaran kearifan yang mapan, kehadiran
Islam tidak menghapus kearifan itu, malah justru menempurnakannya. Orang Jawa sangat
terbuka terhadap keyakinan dari semua agama terutama Islam. Namun, mereka tidak mau
ketika di - Arabkan sebagaimana mereka juga menolak mati - matian saat hendak di-
Belandakan atau di-Inggriskan.21 Belajar dari kearifan yang tersirat dan tersurat dalam
kalangan Jawa bukanlah tujuan, melainkan vitamin dan suplemen penambah energi untuk
membangkitkan semangat keagamaan yang mulai mengendor.
Menurut Parsudi, agama Jawa bukanlah agama pemujaan leluhur, tetapi berintikan
pada prinsip utama yang dinamakan sangkan paraning dumadi (dari mana manusia berasal,
apa dan siapa dia dimasa kini, dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya).
Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu : konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia di
alam semesta beserta isinya, dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan lingkaran hidup.
Hakikat tindakan keagamaan yang berwujud dalam bentuk upacara adalah untuk mencapai
tingkat selamat atau kesejahteraan yaitu suatu keadaan ekuilibrium unsur - unsur yang ada
dalam isi suatu wadah tertentu.22
Penyerapan kosakata bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa Kuno terdapat juga dalam
kakawin Bharatayudha, pupuh XII bait 18, dalam konteks kalimat : ramyan wira
sapadandawanayuh aghosti pinigajihana narames musuh. Artinya meriahlah diantara orang
pahlawan Pandhawa, mereka mengadakan tarian tayub sambil bersorak-sorak. Sedangkan
kepada mereka yang telah membinasakan musuh diberi upah. Dalam bahasa Arab ditmukan
kata jamz yang berarti hasil atau penghasilan.
Adanya kosakata gadah, galih, dan kulwa menunjukkan bahwa proses pertukaran
bahasa tersebut telah terjadi pada abad sebelumnya. Data kebahasaan yang menunjukkan
adanya hubungan antara Kediri dengan para pedagang Arab yang beragama Islam pada abad
21 Abdurrahman El Ashiy, Makrifat Jawa untuk Semua, (Jakarta : Serambi, 2011), 2 22 Pursudi Suparlan, “Kata Pengantar,” dalam Cliffort Geertz, Abangan, vii-xiii.
XII membuktikan bahwa di Jawa Timur telah terdapat permukiman komunitas muslim di
perdagangan zaman Kediri. Arti penting terdapatnya kosakata bahasa Arab dalam karya
Kakawin dari parasasti masa pemerintahan Raja Jayabaya dari Kediri, paling tidak
membuktikan adanya komunitas Muslin di pelabuhan pantai utara Jawa Timur.23
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan adanya Islamisasi di Jawa,
diantaranya : Pertama, agama Hindu, Budha, dan kepercayaan lama telah berkembang lebih
dahulu jika dibandingkan dengan agama Islam. Agama Hindu dan Budha dipeluk oleh elite
keraton, sedangkan kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kalangan
awam. Semua kalangan kental dengan nuansa mistik dan berusaha mencari sangkan paraning
dumadi dan menambah manunggaling kawula gusti. Kenyataan mistik heterodoks dan
panteistik, telah mendapat tempat penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak
abad ke - 15 dan 16.
Kedua, meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, tetapi islamilasasi
besar-besaran baru terjadi pada abad ke – 15 (periode Gresik) dan ke - 16 (periode Demak)
dengan momentum kejatuhan Majapahit, keraton Hindu Jawa pada tahun 1478 M.24 Pada
masa Islamisasi yang lebih menonjol adalah aspek tasawuf dengan segala aspek negatifnya.
Pendekatan akomodatif menjadi menonjol, dan perkembangan pemikiran Islam Jawa yang
lebih maju terutama dalam bidang filsafat da tasawuf. Dengan demikian Islam yang dibawa
ke Jawa pada waktu itu adalah Islam yang berbau mistik. Adapun keutuhan umat Islam dalam
politik mulai pecah dan kekuasaan khalifah kurang berkurang.25
D. Sinkretisme Islam dengan Kebudayaan Masyarakat Jawa
23 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga : Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), 13 24 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – Negara Islam Di Nusantara, (Yogyakarta : LKiS, 2009), 198 25 Nancy K.Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang : Sejarah Sebagai Nubuat Di Jawa Masa Kolonial, (Yogyakarta : Bentang Budaya, 2003), 381 - 382
Secara etimologis sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau
kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun
pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang fasilitas dan teologi untuk menghadirkan sikap
kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Sinkretisasi merupakan salah
satu fenomena yang terjadi dalam sejarah agama dalam membina kebudayaan.
Adanya kemungkinan sinkretisasi itu bisa ditelusuri dalam titik-titik singgung antara
agama dengan agama lainnya. Antara agama dengan kebudayaan tententu, adapun arti dari
sinkretisasi adalah penyesuaian antara dua aliran. Membaca lahirnya sinkretisme Islam -
Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang
sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah sinkretisme Islam -
Jawa.
Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran.
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M, menjadi pertanda
kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi
stagnasi. Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap
kekuatan unsur-unsur lokal, hal ini deperkuat dengan arus tasawuf yang dipeluk oleh
beberapa tokoh pada saat itu, 26 mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun
keilmuan sedang melemah. Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara
besar-besaran di tanah Jawa, maka metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu
bercorak apresiatif dan toleran terhadap budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka
diri serta berinteraksi dengan orang lain. Masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika
dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa,
adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat
26 Akhwan Mukarrom, Asy’ari dkk, Pengantar Studi Islam, (Surabaya : Supel Press, 2006), 139
hidup sendiri. Pandangan demikian mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan
menentang segala bentuk ekslusivisme dan sektarianisme.27 Pandangan hidup masyarakat
Jawa seperti ini lebih mempermudah dalam menerima ajaran Islam yang kategorinya paham
asing. Akhirnya proses interaksi antara keduanya tidak bersifat konfrontatif, sebaliknya
bersifat akomodatif dan toleran. Kedua hal itulah yang melatarbelakangi sinkretisme Islam
dengan budaya kejawen terjadi sangat mudah dan seakan tanpa sekat.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan
masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme.
Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi system kepercayaan atau agama
tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang
mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Pada dasarnya semua sistem kepercayaan maupun agama telah membangun nilai-nilai
universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya,
merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi local di tanah Jawa.
Hal ini secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru yang
bernama Islam. Untuk melihat universalisme budaya dan agama Jawa terhadap substansi
ajaran agama lain, dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran tersebut, yakni Hindu,
Budha, animisme dan dinamisme yang menjadi prinsip keberagamaan masyarakat Jawa Pra-
Islam.
Dalam mnghadapi sinkretisme ajaran – ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra Islam,
paling tidak muncu tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa trdapat orang muslim taat,
yang kalau ditanya tntang landasan dalam mngamalkan ajaran Islam mereka mnjawab adalah
Al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama,
27 Sujamto, Refleksi Budaya Jawa, dalam Pemerintahan dan Pembangunan, (Semarang: Dahara Prize, 1992), 71-72.
implmentasi gagasan ini di lapangan berbeda antara kelompok satu dengan kelompok
lainnya.
Kelompok pertama adalah yang berusaha untuk mengamalkan ajaran Islam dengan
baik dan bersikap hati – hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang
dianggapnya berbau tahayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al -
Qur’an dan as-Sunnah sudah mengatur semua kehidupan serta tata cara ritual dan
kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka ritual dan
kepercayaan yang tidak diajarkan dalam al - Qur’an dan as - Sunnah tidak perlu bahkan
haram dikerjakan.
Kelompok kedua adalah kelompok moderat, orang yang berada dalam kelompok ini
beranggapan bahwa dalam berdakwah seorang mubaligh harus menggunakan al - Hikmah
(cara yang bijak). Oleh karena itu dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah familiar
dengan tradisi dan adat istiadat lama, tidak boleh digunakan cara radikal yang justru dapat
menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah.
Kelompok ketiga adalah mereka yang dapat menerima sinkretisme secara
keseluruhan, yang menerima pemikiran ini adalah : pertama, mereka yang mengikuti langkah
empu tantular dalam menghadapi perbedaan ajaran antara satu agama dengan lainnya. Karena
berkeyakinan bahwa semua agama beresensi sama, tidak ada salahnya pemeluk suatu agama
mengambil tata cara ritual dan kepercayaan agama lain dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhannya. Kedua, mereka yang kurang mendalam pengetahuannya tentang Islam.
Sehingga tidak dapat membedakan antara ajaran Islam, yang sebenarnya dan tradisi lokal
yang sudah bercampur menjadi satu sehingga sulit untuk dipisahkan antara keduanya, kecuali
dengan pengkajian yang ditiliti dan mendalam.
Salah satu sarana dakwah para wali adalah menciptakan wayang. Wayang digunakan
sebagai dakwah yang efektif untuk masyarakat umum. Adanya wayang Purwa28 di zaman
Demak menyingkirkan wayang beber yang berbau syirik, karena diselenggarakan saji – sajian
dan beranggapan untuk menolak bahaya yang akan menimpa. Para wali membangun wayang
kulit bukan sekedar dengan maksud untuk memberantas kemusyrikan semata, tetapi terutama
untuk mengajarkan upah sebenarnya Islam itu agar mau dipeluk dan diamalkannya.
Menurut KGPAA Mangkunegara IV, yang termasuk dalam cerita wayang purwa
adalah cerita pada masa kedatangan Prabu Isaka (Ajisaka) sampai wafatnya Maharaja
Yudayana di Kerajaan Astina, yaitu dari tahun 1-785 çaka (tahun 78-863 M). Yang termasuk
dalam wayang purwa meliputi wayang rontal, wayang kertas, wayang beber purwa, wayang
Demak, wayang keling, wayang jengglong, wayang kidang kencana, wayang purwa gedhog,
wayang kulit purwa, wayang golek, wayang krucil atau wayang klithik, wayang Rama,
wayang kaper, wayang tasripin, wayang tambun, wayang golek purwa, wayang ukur, wayang
batu atau wayang candi, wayang sandosa, dan wayang orang.29
Machfoel pernah menguraikan tentang makna punakawan, yakni semar, Nala gareng,
petruk, dan bagong. Ke - empat figur ini sama sekali tidak pernah terdapat dalam epos Hindu
Ramayana dan Mahabarata sebagai sumber cerita pewayangan aslinya.30 Nama tokoh tersebut
bukan merupakan sebutan bahasa Jawa Kuno, tetapi berasal dari bahasa Arab (semar dari
Ismar), (Nala Gareng dari Naala Qariin), (Petruk dari Fatruk), (Bagong dari Baghaa).
Ismar adalah paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyang. Ibarat ajaran Islam
yang didakwakan para wali Sanga di seluruh kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang
28 Wayang purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabarata atau Ramayana. Wayang tersebut dapat berupa wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang. Ada yang berpendapat bahwa kata purwa berasal dari kata parwa yang berarti bagian dari cerita Mahabarata atau Ramayana. Namun ada pula yang berpendapat bahwa kata purwa sama dengan kata ‘purba’ yang berarti zaman dahulu, sehingga wayang purwa diartikan sebagai pertunjukan wayang yang menyajikan cerita-cerita pada zaman dahulu. 29 Haryanto, S, Patiwimba Adiluhung. Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Jakarta: Jambatan, 1988), 41 - 95 30 Haryanto, Bayang Bayang Adi Luhung, (Semarang : Dahara Prize, 1992), 78
dalam pergolakan dengan berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh Raden Patah. Hal
senada sesuai dengan hadist yang berarti Islam adalah pengokoh (paku pengokoh)
keselamatan dunia. Naala Qariin yang menjadi Gareng bararti memperoleh banyak teman
dan tugas konsepsional para wali sanga sebagai juru dakwah ialah dengan memperoleh
sebanyak banyaknya kawan untuk kembali ke jalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan
yang baik.
Fatruk adalah tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut
kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu. bagha berarti
berontak, yaitu berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran suatu tindakan anti kesalahan.
Arti lainnya adalah kekal, langgeng, semua makhluk nantinya di akherat mengalami hidup
kekal. Menurut versi lain Bagong berarti bumbu, yaitu sebagai bumbu penyedap lakon. Dia
figur yang tidak segan mengkritik dan meyindir keadaan yang dipandang tidak sesuai.
E. Jayabaya
Dalam peta sejarah nasional, keberadaan Kerajaan Kediri sangat populer, ramalan31
prabu Jayabaya masih sering kali menjadi referensi bagi masyarakat awam dalam
menanggapi fenomena kontemporer. Kerajaan ini berada di daerah sekitar lembah sungai
Brantas sekitar tahun 1104 – 1222 M. Para raja yang terkenal yang memimpin bumi Jawa
Dwipa diantaranya : Prabu Warsajaya (1104 – 1135 M), Prabu Jayabaya (1135 – 1157 M),
Prabu Sarweswara (1159 – 1161 M), Prabu Kroncaryadipa (1181 – 1182 M), Prabu
31 Yang disebut Ramalan Jayabaya sebenarnya terbingkai dalam seluruh karya Jayabaya semacam Kitab Asrar, Jayabaya Kidung, Jayabaya Prabitiwakya, Jayabaya Pranitiradya, Jangka Ratu Galuh Kidung, jayabaya Pancaniti, Lambang Negara Kidung dan masih banyak lagi. Ramalan Jayabaya ini merangkum waktu 2100 tahun rembulan, terbagi dalam 3 jaman besar alias kali ialah Kala Kukila, Budha, brawa, Tirta, Rwabara, Rwabawa, dan Kala Purwa. Jaman besar kedua Kali Yoga ialah Kala Brata, Dwara, Dwapara, Praniti, Tetaka, Wisesa, dan Kala Wisaya. Jaman besar terakhir Kali Sangara terdiri atas jaman kecil Kala jangga, Sakti, Jaya, Bendhu alias jaman edan, Suba, Sumbaga dan Kala Bendutaka. Kerajaan Kediri gemar membina cendikiawan untuk berulah cipta sastra. Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Warsajaya di Kediri pada Tahun 1026 Caka atau 1104 Masehi. Prabu Warsajaya ini juga menjadi patron bagi pujangga dalam mengembangkan dinamika sastra dan budaya. Karya sastra yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Cerita Krenayana ini bisa diperbandingkan dengan relief di Candi Penataran Blitar Jawa Timur. Ed. Hariwijaya .., 69
Kameswara (1182 – 1185 M), Prabu Srengga Kertajaya (1194 – 1205 M) dan Prabu
Kertajaya (1205 – 1222 M).32
Jayabaya bernama lengkap dengan gelarnya Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya Sri
Warmeswara Madhusudhana Mataranindhita Suhrtsingha Paramakrama
Digjayatunggadewanama jayabhayalancana.33 Sejarah Jayabaya penting diketahui secara
kronologis dan bukan memandangnya dalam fokus atau petakan tententu dalam cara pandang
sejarah.
1. Asal Mula Jayabaya
Jayabaya diketahui sebagai raja Kediri keturunan Airlangga dari garis Panjalu.
Airlangga sendiri secara berurutan mempunyai garis keturunan dengan Raja-Raja Mataram
Kuno Jawa Tengah. Berkaitan dengan asal mula Jayabaya terdapat beberapa bagian periode
silsilah Raja-Raja Mataram Kuno. Asal mula Jayabaya dimulai dari Raja-Raja Mataram Kuno
di Jawa Tengah berlanjut kekuasaannya di Jawa Timur, disertai silsilah raja-raja pasca
Airlangga.
Berdasarkan penelitian para ahli diantara nama - nama raja yang pernah memerintah
kerajaan Kediri yang paling terkenal adalah Jayabaya antara tahun 1135 M - 1159 M.
Gelarnya sang Apanji dan dikatakan sebagai penjelmaan Wisnu Murti.34 Beberapa bukti
mengungkapkan antara lain prasasti yang berangka 1056 C, dan 1136 C. Prasasti tersebut
32 Ed. Hariwijaya, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, (Sumut : Pujakesuma, 2007), 65 33 Budi Udjianto (Ki Bondhan wibatsyuh), Banjaran Kadhiri, (Kediri : Pemkot kediri, 2007), 97 34 Istilah Wisnu Murti menunjukkan salah satu nama penitisan Dewa Wisnu dalam tiap-tiap masa dalam pandangan masyarakat Jawa pra - Islam. Dalam dunia pewayangan Jawa, terutama kisahRamayana, penitisan Wisnu menjelma menjadi Ramawijaya dan Laksmana. Pada ramawijaya menitis Wisnu Purba (baca : purbo yang “artinya memiliki wewenang”). Sedangkan pada diri Laksmana menitis Wisnu Sejati. Sedangkan pada era Mahabarata Wisnu Murti pernah menitis pada tokoh Kresna dan Arjuna. Sedangkan dalam Lakon wayang Wahyu Purba Sejati, digambarakan bahwa setelah meninggalnya Ramawijaya dan Laksamana, tokoh dari era Ramayana. Kemudian Wisnu Purba menitis pada tokoh Kresna dan Wisnu Sejati menitis pada Arjuna di era Mahabarata. Namun kisah lain menyebutkan bahwa Wisnu Sejati kemudian merasa tidak betah berada dalam tubuh Arjuna, sebab sebelumnya tokoh Laksamana terkenal sebagai karakter wayang yang menjalani hidup wadat (selibat -tidak menikah). Sedangkan Arjuna memiliki istri banyak. Dengan demikian Kresna, Raja Dwarawati atau Dwaraka, mendapat dua penitisan sekaligus yaitu Wisnu Murti dan Purba. Sedangkan Arjuna hanya merupakan penjelmaan Wisnu Murti.
yang dikenal dengan nama prasasi Hantang (Ngantang) berasal dari daerah Malang. Dalam
prasasti ini antara lain disebutkan nama lengkap Raja Jayabaya yaitu:
” Ci Maharaja Sang Apanji Jayabaya Cri Warmeswara Maddusudhanawatara
Sultrasinghapakrama Digjajottunggadewanama (o.j. o.,lxvIII, voorzijde)”
Artinya : Yang termulya raja agung Jayabaya yang termulya tuan dari keadilan titisan dewa
Wisnu yang tidak tecela, yang kuat, yang berani, seperti singa, yang memenangkan dunia
dengan nama Uttungga.35
Pembahasan dan kajian mengenai raja-raja pasca Airlangga di Kediri tahun 1042 M
ini dapat ditetapkan sebagai suatu awal pemerintahan di Panjalu atau Dhaha dan
pemerintahannya berlangsung terus sepanjang 80 tahun dengan raja yang pernah berkuasa
yaitu:
a. Raja Sri Samarawijaya Dharma Suparnawahana Teguh Uttunggadewa atau Sri
Samarawijaya periode 1042-1044 M
b. Raja Srimapanji garasakan atau Ajilingga Jaya, periode 1044-1052 M
c. Raja Sri Jayawarsa Sastraprabu, periode 1052-1104 M
d. Sri Maharaja Sri Paranmeswara Sakala Bhuwana Tustikarana Sarwani Wariwerya
Parakramadikjaya Uttunggadewa, periode 1104-1130 M
e. Sri Maharaja Sang Mapanji Sri Warmeswara Madhusudhana 1130-1135 M.
f. Watara Anindita Suhtrsingha Parakrama Uttunggadewa atau Sri Aji Jayabhaya
periode 1135-1159 M
g. Sri Maharaja Rakai Sirikan Sarmeswara Janur Danawatara Wijaya Agrajasama
Sing Hanadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa bertarikh 1159 M
h. Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatara Arijayamuka
bertarikh 1171 M
35 Yayasan Hondodento, Loka Muksa Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, (Yogyakarta: Yayasan Hondodento, 1989), 7
i. Sri Maharaja Sri Kronsaryadipa Bhuwana Palaka parakrama Anindita 1180 M
j. Digjaya Uttunggadewa Sri Candra tahun 1181 M
k. Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama tahun
1185 M
l. Sri Maharaja Sri Sarweswara Anindita Sregeja Lancana Digjaya Uttunggadewa,
tahun 1194 M
m. Sri Maharaja Sarweswara Sri Kertajaya 1205 M
n. Sang Prabu Jayawardhana bertarikh 1255 M dan dilanjutkan oleh putranya yaitu
Kertanegara, setelah 24 tahun dari sang ayah.36
2. Sejarah Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri atau Panjalu pertama kali diperintah oleh raja Samarawijaya,
kemudian berturut Sji Linggajaya, Jayawarsa, Parameswara, Jayabhaya, Sarmeswara,
Aryyeswara, Kronsaryadipa, Kameswara, Sarweswara, Kertajaya, Panjisminingrat,
Kertanegara. Kerajaan Panjalu pada periode Jayabaya mengalami reunifikasi setelah
mengalami pembagian pada masa Airlangga. Reunifikasi ini merupakan bersatunya kembali
kerajaan Mataram. Bersatunya kembali tahta Mataram Kuno di Jawa Timur ke dalam suatu
kekuasaan raja. Bukti nyata tentang reunifikasi ini adalah adanya prasasti Ngantang atau
Hantang yang menyebut Pangjalu Jayati (Panjalu menang). Penyebutan Panjalu Jayati
diinterpretasikan bahwa Jayabaya berhasil menyatukan dua kerajaan yaitu Panjalu dan
Jenggala, adanya interpretasi ini merupakan hal logis, karena letak wilayah Hantang adalah
perbatasan antara Jenggala dengan Panjalu. Reunifikasi ini menegaskan tentang kerajaan
Kediri secara resmi dimulai pada masa kekuasaan Jayabaya. Pada pemerintahan Jayabaya ini
pula kerajaan Kediri atau Panjalu mengalami zaman keemasan dalam berbagai aspeknya.
Kemajuan yang dicapai antara lain yaitu pertama, bidang pemerintahan dan politik Kediri
36 Budi Udjianto (Ki Bondhan wibatsyuh), Banjaran Kadhiri, (Kediri : Pemkot kediri, 2007), 103
menguasai seluruh Indonesia Timur saat ini. Kedua, bidang ekonomi adanya pelabuhan
internasional di daerah Kampang Putih (sekarang Tuban) dan Hujung Galuh (Jung-ya-lu)
sekarang tanjung Perak. Adanya hubungan internasional dengan penguasa China, India, dan
Arab sebagai hubungan dagang. 37
Keagungan Jayabaya dapat ditemui dalam beberapa hal diantaranya:
a. Raja Jayabaya memakai gelar Sang Apanji, gelar ini ternyata terkenal baik pada zaman
Kediri maupun masa kemudian.
b. Masyarakat Indonesia, khususnya Jawa sangat gemar membicarakan tentang ”Jangka
atau Ramalan Jayabaya”.
c. Keagungan Raja Jayabaya juga terbukti dan hasil kesustraannya. Dalam masa
pemerintahan Raja Jayabaya ada dua orang pujangga besar yaitu : Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh. Karyanya diantaranya :
1) Baratayudha
Ikatan bahasanya berupa kakawin atau tembang (nyayian) dalam bahasa Jawa kuno.
Isinya adalah peperangan antara pihak Pandawa dan pihak Kurawa di tegal Kurusetra selama
18 hari.
2) Hariwangsa
Ikatan bahasanya berupa kakawin. Kitab ini dikerjakan oleh Mpu Panuluh sendiri,
dalam masa pemerintahan Jayabaya. isinya menceritakan tentang kisah Batara Kresna
melarikan Dewi Rukmini hingga terjadi perkawinan antara keduanya.
3) Gatutkaca Sraya
37 Nugroho Notosusanto,dkk, Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), 60
Kitab ini ditulis mpu Panuluh pada masa pemerintahan raja Kertajaya, pengganti raja
Jayabaya. Isinya tentang peranan Gatutkaca dalam rangka membantu Abimanyu yang kawin
dengan Dewi Siti Sundari puteri Batara Kresna.38
Dari sumber yang lain penulis menemukan adanya konsep dan paparan yang baru
tentang Jayabaya. Disebutkan dalam serat Babad Khadiri bahwa letak kerajaan Kediri
disebelah timur Bengawan yaitu Mamenang atau Daha. Mamenang adalah nama sebuah
Kerajaan. Sedangkan Daha adalah nama daerah (Nagari).39 Dinamakan Mamenang sebab
pada waktu itu kerajaan tersebut merupakan yang paling utama (Pamenang) dalam segala hal.
Raja dari negeri asing banyak yang takluk di bawah Raja Jayabaya. Kerajaan lain di pulau
Jawa menghaturkan upeti yang berupa emas, intan, berlian, hasil bumi, hasil kerajinan tangan
dan segala macam harta benda yang berharga serta putri-putri untuk dijadikan sebagai
dayang-dayang.
3. Indikasi Masuknya Islam ke Jawa Masa Jayabaya
Pembahasan tentang masuknya Islam di Jawa sering kali menjadi pembahasan sejarah
yang dipisahkan dengan sejarah masa Hindu - Budha. Sejarah Islam masuk ke Indonesia
dikatakan secara arkeologis adalah dimulai abad ke -13 khususnya di Jawa dibuktikan dengan
angka tahunyang tertera pada nisan makam Fatimah Binti Maimun bin Hibatallah dengan
angka tahun 475 H (1082 M).
Realitas persebaran Islam diyakini terjadi pada abad ke 7 hijriyah.40 Al-Habib Alwi
bin Thohir Al-Haddad menyatakan: kami telah mengatakan bahwa agama Islam masuk ke
Jawa pada tahun 30 H atau 650 M di zaman khalifah Utsman bin Affan. Hal ini diketahui dari
Sulaiman as - Sirafi, pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persi mengatakan
38 Yayasan Hondodento, Sang Prabu Sri Aji Jayabaya, (Yogyakarta : Yayasan Hondedento, 1989), 8 39 Mas Ngabei Purbawidjaja, Mas Ngabei Mengunwidjaja, Serat Babad Kadhiri, (Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie, 2006), 8 40 Al-Habib Alwi bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera Basritama, 2001), 150.
bahwa di Silli terdapat beberapa orang Islam pada masa dia, yaitu sekurang-kurangnya pada
akhir abad ke - 2 Hijriah.
4. Bukti artefaktual dan tertulis tentang Islam di kerajaan Kediri
Pembuktian masuknya Islam di kerajaan Kediri khususnya masa ada. Pembuktian
secara artefaktual dapat ditunjukkan satu bukti namun sangat lemah, yaitu adanya tulisan
yang berupa epitaf di makam Setono Gedong. Epitaf itu menyebutkan gelaran-gelaran yang
dimakamkan di tempat tersebut. Sumber ini dikatakan lemah sebab tidak memuat nama dan
tahun, namun mungkin juga memuat tetapi telah hilang dimakan usia. Interpretasi terbaru
menyatakan bahwa nama dan tahun termuat di bagian bawah sebelah kiri di bagian yang
hilang. Sumber lain berasal dari cerita masyarakat mengungkapkan bahwa di Setono Gedong
adalah makam Syekh Wasil, mungkin karena gelarnya yang menyebut atau pangeran Makkah
mungkin karena ada indikasi ia adalah orang Arab pembawa Islam di tanah Panjalu atau
Kediri.41
Dalam kisahnya, Mbah wasil hendak membangun masjid dalam waktu satu malam,
tetapi disaat dini hari terdengar suara wanita yang memukul lesung menumbuk padi. Dan
rencana Mbah wasil urung terselesaikan. Hasilnya adalah hanya pondasi yang sampai saat ini
masih ada. Kurang lebih tahun 1897 M masjid yang belum jadi itu pernah dijadikan tempat
ibadah penduduk setempat. Pada tahun 1967 M oleh takmir, depannya masjid dibangun
masjid yang diberi nama Masjid Aulia’ Setono Gedong.
Konon saat penggalian pondasi masjid Aulia’ ditemukan menara berukir relief
Garuda, dan ternyata gambar tersebut akhirya menjadi lambang negara kita. Pada tahun 1967
takmir mensertifikatkan tanah negara tersebut untuk wakaf masjid hingga sekarang. Prasasti
tertulis pada batu sediment warna kecoklatan dengan ukuran tinggi 22 cm dan panjang 30 cm.
Lokasi komplek masjid dan makam syekh al wasil syamsudin di desa setono gedong kodya
41 Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua Di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2008), 112
Kediri. Dia juga bergelar pangeran mekkah. Kini makam mbah wasil banyak dikunjungi
kaum muslimin dari berbagai daerah.
Adapun prasastinya dapat dilihat di bawah ini :
1) Teks (Isi Prasasti)
a) Ini makam imam yang sempurna, seorang alim yang mulia, dan syekh yang shaleh,
yang menghafal kitab allah yang maha tinggi, yang menyempurnakan syariat Nabi
b) Allah-semoga allah memberikan rahmat dan keselamatan kepadanya, al-syafi`ih
mazhabnya, al-barkuhi(?)xxx
c) Al-bahraini (?) nisbahnya. Dialah mahkota (?) Pelita-utusan-para hakim, matahari xxx
d) .......xxx
e) Xxx sembilan ratus (?) Dua puluh (?) hijrah nabi xxx