-
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, JUAL
BELI ONLINE, DAN BPSK
1.1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen
2.1.1. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah konsumen berasal dari bahasa kata consumer (Inggris-Amerika)
atau konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan
dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.1
Menurut Janus Sidabalok, “konsumen adalah semua orang yang
membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri,
keluarganya ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya”.2
Menurut Munir Fuady, “konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari
suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.3
1 Az Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit
Media, Jakarta, hal. 3. 2 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cet. I, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 17. 3 Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 227.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
28
Menurut Hornby, konsumen (consumer) adalah: “seseorang yang membeli
barang atau menggunakan jasa, seseorang atau suatu perusahaan membeli
barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, sesuatu atau seseorang yang
menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.4
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat
YLKI), konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan
tidak untuk diperdagangkan kembali.5 Pengertian konsumen menurut Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini tidak jauh berbeda dengan pengertian
konsumen dalam UUPK.
UUPK mengatur pengertian konsumen dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi: “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sebagaimana
disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 tersebut bahwa konsumen yang
dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.
Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas hanya konsumen akhir.
Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang
lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya sulit menetapkan
4 Anonim, 2010, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Cited 2010 nov, 7), available from: URL: http://hukbis.files.wordpress.com/2008/02/hukum-bisnis-akuntansi, diakses tanggal 2 Juni 2015
5Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, hal. 10.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
29
batas-batas seperti itu. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen
akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau
pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah
konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi
lainnya.
Dari pengertian ini, maka pengertian konsumen setidaknya mengandung
beberapa unsur, yaitu:
1. Setiap orang (natuurlijke person) atau pribadi kodrati dan bukan
berbentuk badan hukum (recht person);
2. Pemakai yang dalam hal ini ditekankan pada pemakai akhir; 3. Barang dan/atau jasa; 4. Tersedia dalam masyarakat; 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluaga, orang lain maupun makhluk
hidup lain;
6. Barang dan/atau jasa tersebut tidak untuk diperdagangkan.
Dari pengertian-pengertian konsumen diatas, menunjukkan sangat
beragamnya pengertian konsumen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan ada 3
(tiga) macam pengertian konsumen yang dikenal, yaitu :6
1. Konsumen umum, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang atau
jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
6Ibid, hal. 13.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
30
2. Konsumen antara, yaitu setiap orang yang medapatkan barang dan/atau
jasa lain untuk diperdagangkan kembali.
3. Konsumen akhir, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Kata “pemakai” dalam definisi diatas menunjukkan barang dan/atau jasa
yang dipakai konsumen tidak selalu harus berasal dari hubungan kontrak jual beli
antara konsumen dan pelaku usaha. Misalnya seseorang mendapatkan kiriman
parcel dari relasinya dan ternyata salah satu makanan didalamnya sudah
kadaluarsa, maka konsumen yang bersangkutan dapat menggugat produsen
makanan tersebut. Dengan definisi seperti ini hak konsumen diperluas tidak
hanya sebagai pembeli, tetapi semua orang yang mengkonsumsi barang
dan/atau jasa walaupun melalui peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
Dari penelitian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen
sebagai orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan
hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan konsumen tersebut
menggunakan barang untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual,
diproduksi lagi).7
Dari pendapat-pendapat sarjana, maka pengertian konsumen adalah setiap
orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu,
7 Az. Nasution, 1994, Hukum dan Konsumen Indonesia, Cet ke I, PT. Citra Aditya
Bakti, Jakarta, hal. 9.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
31
atau setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Hak konsumen (diatur dalam Pasal 4 UUPK) adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
deskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
32
Kewajiban konsumen (diatur dalam Pasal 5 UUPK) adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
1.1.2. Pengertian, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut Janus Sidabalok, pelaku usaha diartikan sebagai pengusaha yang
menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya
pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orang atau
badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan
konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut
pertanggungjawaban dari produsen atau pelaku usaha.8
Menurut Munir Fuady, pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan
usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan
ekonomi.9
8Janus Sidabalok, op.cit, hal. 16. 9Munir Fuady, loc.cit
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
33
Pasal 1 ayat 3 UUPK menyebutkan bahwa : “Pelaku usaha adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 ayat 3 UUPK cukup luas karena
meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian
pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dalam pengertian
pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang
dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished
product), penghasil bahan baku, pembuat suku cadang, setiap orang yang
menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan mencantumkan namanya, tanda
pengenal tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijual-belikan,
disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi
perdagagan, pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau
importer tidak dapat ditentukan.10
Dengan demikian produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat
atau pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait
dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai ke tangan
konsumen.
10 Johanes Gunawan, 1994, Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia, Tahun XI, Nomor 2 April 1994, Jakarta, hal. 4
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
34
Dengan kata lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen
diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk
makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka yang
terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri (pangan olahan) itu
hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah : pabrik (pembuat),
distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang berbentuk badan
hukum ataupun yang bukan badan hukum.11
Jadi, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi yang terkait dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai
ke tangan konsumen.
Hak pelaku usaha (diatur dalam Pasal 6 UUPK) adalah:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
11Janus Sidabalok, loc.cit.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
35
kerugian kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha (diatur dalam Pasal 7 UUPK) adalah:
a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
36
1.1.3. Pengertian, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat 1 UUPK menyebutkan bahwa “perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Dengan demikian UUPK sangat melindungi
kepentingan konsumen sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen.
Menurut Janus Sidabalok, “perlindungan konsumen adalah istilah
yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen itu sendiri.12
Ada lima asas perlindungan konsumen yang ditetapkan UUPK yaitu pada
pasal 2 antara lain:
1. Asas manfaat; 2. Asas keadilan; 3. Asas keseimbangan; 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; 5. Asas kepastian hukum.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum
12Janus Sidabalok, op.cit, hal. 9.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
37
perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak
diatas pihak lainnya atau sebaliknya, tetapi adalah memberikan kepada masing-
masing pihak, produsen dan konsumen apa yang menjadi haknya. Dengan
demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya
bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban
secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan
hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil
melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu
UUPK ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha
(produsen).
Asas keseimbangan dimaksudkan memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil
dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen) dan
pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan-
penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen,
produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai
dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas
kepentingan yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
38
negara.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen
akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi atau dipakainya dan
sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan
keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, UUPK membebankan
sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan
yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan
produknya.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya
undang- undang mengharapkan bahwa aturan tentang hak dan kewajiban yang
terkandung didalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu,
negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan
isinya.
Perlindungan konsumen bertujuan (diatur dalam Pasal 3 UUPK) :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
39
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
1.2. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Online (E-Commerce)
1.2.1. Pengertian Jual Beli Online (E-Commerce)
Sebelum menguraikan pengertian perjanjian jual beli online, terlebih
dahulu akan ditinjau dari Buku III KUH Perdata yaitu tentang perikatan yang
terdiri dari bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-
peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Sedangkan bagian yang khusus memuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
40
mempunyai nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian
perburuhan dan lain sebagainya.
Menurut Hartono Hadisoeprapto, “perikatan adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntuan
itu”.13
Perjanjian menurut Subekti adalah “suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”.14
Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan hukum antara orang itu yang
disebut perikatan. Apabila dilihat dari bentuknya, perjanjian itu merupakan
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan
yang diungkapkan baik secara lisan maupun secara tertulis, saling berjanji dalam
arti para pihak sama-sama mengemukakan kehendaknya dan sesuatu hal, ini bisa
berarti :
ü Memberikan sesuatu
ü Berbuat sesuatu
ü Tidak berbuat sesuatu
13Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Perikatan dan Jaminan, Liberty, Yogyakarta,
hal. 28. 14Subekti I, loc.cit.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
41
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, “Perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk
menimbulkan akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang".15
Menurut Wiryono Projodikoro mengemukakan, sebagai : “Perjanjian adalah
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau
untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan perjanjian tersebut”.16
Selanjutnya dalam buku III KUHPer, perikatan di atur dalam pasal 1233
KUHPer yang berbunyi : Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,
baik karena Undang-Undang. Oleh karena Undang-Undang tidak memberikan
tentang pengertian perikatan, maka mengenai pengertian perikatan tersebut
menurut pendapat C.S.T. Kansil adalah sebagai berikut :
Perikatan ialah ikatan dalam bidang hukum harta benda (vermogene recht) antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban melaksanakannya. Perikatan hukum harus dibedakan dari ikatan yang timbul dalam pergaulan hidup di dalam masyarakat yang berada di luar hukum. Banyaklah ikatan yang timbul dari sopan santun atau janji yang tidak perlu diperhatikan oleh hukum.17
Menurut Subekti bahwa “perkataan perikatan sudah tepat sekali untuk
melukiskan suatu pengertian yang sama dalam Bahasa Belanda, yang
dimaksudkan dengan verbintenis yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak,
15Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet.
II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 25. 16 Wiryono Projodikoro, 1988, Asas-Asas Hukum Perdata, Cet. XI, Sumur, Bandung, hal. 2 17C.S.T. Kansil, 2004, Modul Hukum Perdata, Cet. IV, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, hal.
203.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
42
yang isinya adalah hak dan kewajiban. Suatu hak untuk menuntut sesuatu dan
disebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.18
Di dalam hubungan masyarakat jika seseorang mengadakan suatu
perjanjian dengan orang lain, maka ini berarti bahwa tiap-tiap pihak akan
mengikatkan dirinya masing-masing dan mereka akan secara tidak sengaja telah
membebankan diri mereka dengan suatu hak dan kewajiban sehingga melahirkan
suatu hubungan hukum. Suatu perjanjian adalah menerbitkan suatu perikatan.
Maka perjanjian adalah merupakan sumber penting karena melahirkan perikatan
disamping sumber-sumber yang tersebut adalah Undang-Undang. Jadi, ada
perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada pula perikatan yang lahir dari
Undang-Undang.
Berdasarkan pada pendapat di atas bahwa, timbulnya perjanjian itu adalah
adanya hubungan manusia di dalam masyarakat atau adanya hubungan antara
pihak yang satu dengan yang lain, yang bertujuan untuk dapat memenuhi berbagai
keperluannya, yang akan dapat dipenuhi dengan melalui perjanjian sedangkan
yang dimaksud dengan pihak-pihak adalah sebagai subyek perjanjian tersebut.
Subyek perjanjian itu dapat berupa manusia pribadi dan dapat pula berupa badan
hukum. Disamping itu sebagai subyek perjanjian harus mampu melakukan
perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Setelah diuraikan mengenai pengertian perjanjian, maka selanjutnya akan
diuraikan pengertian tentang perjanjian jual beli online (E-Commerce).
E-commerce adalah suatu proses membeli dan menjual produk-produk
18 Subekti, 1980, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cet. I, Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Subekti II), hal. 56.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
43
secara elektronik oleh konsumen dan dari perusahaan ke perusahaan computer
sebagai perantara transaksi bisnis.19
E-commerce juga dapat diartikan bahwa adanya transaksi jual beli antara
pelaku usaha dengan konsumen yang pembelian dan pemesanan barangnya
melalui media online. Di dalam pengertian lain, e-commerce yakni
transaksi komersial yang dilakukan antara penjual dan pembeli atau dengan
pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah
barang, pelayanan dan peralihan hak.20
Dari berbagai definisi, terdapat kesamaan. Kesamaan tersebut
memperlihatkan bahwa e-commerce memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Terjadi transaksi antara dua belah pihak.
b. Adanya pertukaran barang, jasa atau informasi.
c. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme
perdagangan tersebut. (Hadi Faulidi Asnawi, 2004 : 17)
2.2.2. Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)
Perjanjian yang sah artinya suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga ia diakui oleh hukum.
Tentang syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, dalam pasal 1320 KUH Perdata
telah ditentukan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :
19 Budi Rahardjo, 2003, “Pernak-Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di
Indonesia”, (Serial Online), URL : http://www.budi.insan.co.id, diakses tanggal 20 Mei 2015. 20Ibid
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
44
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Ad. 1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat maksudnya adalah adanya kesepakatan atau persesuaian kemauan
masing-masing pihak yang membuat perjanjian mengenai hal-hal pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama-sama
secara timbal balik.
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa “persetujuan kehendak itu
sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada
paksaan sama sekali dari pihak manapun”. 21 Dalam pengertian persetujuan
kehendak itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (pasal 1321-1328
KUH Perdata), bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Menurut Subekti mengemukakan ajaran yang lazim dianut sekarang,
“bahwa perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan
penawaran yang menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab
detik itulah dapat dianggap sebagai lahirnya kesepakatan”.22
21Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Cet. I (selanjutnya
disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal. 89
22Subekti II, Op. Cit, hal. 28
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
45
Dalam hal perjanjian jual beli online, para pihak dalam perjanjian tersebut
harus bersepakat mengenai apa yang diperjanjikan atau disetujui mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang dibuat, dan apa yang dikehendaki oleh para pihak
lainnya. Jadi, kedua belah pihak menghendaki sesuatu secara timbal balik, dimana
pihak penjual (pengirim) menghendaki agar barang dagangan online nya laris
terjual, dikirim dengan aman dan selamat sampai ketempat tujuan. Sedangkan
pihak pembeli (penerima) menghendaki barang yang ingin dibelinya secara
online, barang yang dibeli datang tepat pada waktunya dan sesuai dengan pesanan
pada saat membeli online.
Ad. 2 Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Pada umumnya dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila
sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun dan belum berumur 21
tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi sudah pernah kawin. Sedangkan dalam
pasal 1230 KUH Perdata dikatakan bahwa yang tidak cakap membuat perjanjian
adalah orang yang belum dewasa, orang yang dibawah pengampunan dan wanita
yang bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili
oleh mereka dan bagi istri setelah mendapat ijin dari suaminya.
Dalam hubungan dengan membuat suatu perjanjian, menurut R. Setiawan
mengemukakan bahwa, seorang dikatakan cakap apabila berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ia dianggap mampu membuat sendiri perjanjian dengan akibat
hukum yang sempurna.23
23R. Setiawan, 1986, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. III, Binacipta, Bandung, hal. 61.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
46
Memanglah sangat perlu bahwa setiap orang yang membuat suatu
perjanjian, orang-orang tersebut haruslah benar-benar menginsafi akan tanggung
jawab yang akan dipikul dari perbuatannya. Dan karena setiap orang yang
membuat perjanjian itu berarti akan mempertaruhkan harta kekayaannya, maka
orang tersebut haruslah setiap orang yang sungguh-sungguh berhak bebas untuk
berbuat sesuatu dengan kekayaan atau merupakan pemiliknya yang sah.
ad. 3 Mengenai suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian yang harus dipenuhi
sebagai syarat ketiga sahnya suatu perjanjian yang telah ditentukan oleh Undang-
Undang. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad bahwa : “Suatu hal tertentu
merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus
tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus
cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat
dihitung atau ditetapkan.”24
Memang syarat suatu hal tertentu itu ditentukan dalam pasal 1333
KUHPer, yang menyebutkan sebagai berikut : Suatu persetujuan harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya,
tidaklah halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal jumlahnya itu kemudian
dapat ditentukan atau dihitung.
Dalam mengadakan suatu perjanjian jual beli online haruslah suatu hal
tertentu artinya barang yang diperjanjikan dalam perjanjian tesrsebut dapat
24Abdulkadir Muhammad I, Op. Cit, hal. 93.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
47
ditentukan jenisnya. Hal ini nantinya akan mempunyai hubungan dengan hak-hak
dan kewajiban serta tanggung jawab dari para pihak dan lebih memudahkan bagi
para pihak yang mempunyai kepentingan untuk menuntut haknya terhadap
lawannya, bila timbul suatu perselisihan.
Demikian pula dengan perjanjian jual beli online di dunia maya, mengenai
syarat suatu hal tertentu yang terdapat pada perjanjian pada umumnya juga sangat
diperlukan, yaitu bahwa yang dimaksudkan dalam perjanjian tersebut paling tidak
atau paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, yang kemudian dapat dihitung
atau ditetapkan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa suatu hal
tertentu, sebagai syarat sahnya suatu perjanjian pada umunya dan perjanjian jual
beli online di masyarakat pada khususnya haruslah menyangkut dari pada isi
perjanjian, jenis serta jumlah barangnya yang dipesan dapat ditentukan atau
ditetapkan.
ad. 4 Suatu sebab yang halal
Syarat ini merupakan tujuan dari perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1337
KUH Perdata ditentukan bahwa, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang
oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum. Menurut Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa isi
perjanjian disini pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak.25
Jadi, pada dasarnya syarat sahnya perjanjian jual beli yakni sudah
25Abdulkadir Muhammad I, op. cit, hal. 125
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
48
tertuang di dalam Pasal 1320 KUHPer, hal ini juga dapat menjadi acuan syarat
sahnya suatu perjanjian jual beli melalui e-commerce. Karena e-commerce juga
merupakan kegiatan jual beli yang perbedaanya dilakukan melalui media online.
Hanya saja dalam jual beli melalui e-commerce dilakukan melalui media internet
yang bisa mempercepat dan mempermudah transaksi jual beli tersebut. Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE) juga telah menambahkan beberapa
persyaratan lain, yaitu :
a. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah, perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, dan sahnya
suatu informasi elektronik. (Pasal 5).
b. Ketentuan mengenai waktu pengiriman dan penerimaan informasi dan/atau
Transaksi Elekstronik. (Pasal 8).
c. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. (Pasal 9).
d. Ketentuan mengenai persyaratan Tanda Tangan Elektronik agar memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. (Pasal 11 ayat 1). Ketentuan
lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 11 ayat 2).
e. Menggunakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta bertanggung
jawab. (Pasal 15).
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
49
f. Beritikad baik. (Pasal 17 ayat 2).
g. Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik
mengikat para pihak. (Pasal 18).
Perjanjian e-commerce adalah perjanjian yang di dalamnya terdapat proses
penawaran dan proses jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual
(seller) dengan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis
barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau
pilihan barang telah diketahui oleh penjual. Setelah penjual menerima konfirmasi
bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual
akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa
pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah
semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran, pembayaran, dan
penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau
perjanjian tersebut berakhir.
1.2.3. Tanggung jawab Para Pihak dalam Jual Beli Online (E-Commerce)
Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun
pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan
berhubungan melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang
terkait tersebut antara lain :
a. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui internet
sebagai pelaku usaha.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
50
b. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang yang
menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan
malakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.
c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada
penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan
secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab
mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat
dilakukan melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.
d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di
atas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant
merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu
penjual bertanggung jawab memberikan secara benar dan jujur atas produk yang
ditawarkan kepada pembeli atau konsumen.
Di samping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang
diperkenankan oleh undang-undang maksudnya barang yang ditawarkan tersebut
bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
tidak rusak atau mengandung cacat tersembunyi dan sesuai dengan pesanan,
sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjual
belikan.
Penjual juga bertanggung jawab atas pengiriman produk atau jasa yang
telah dibeli oleh seorang konsumen. Dengan demikian, transaksi jual beli
termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siap pun yang membelinya. Di sisi
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
51
lain, seseorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan
pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang di jualnya dan juga
berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang
beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli elektronik ini. Jadi,
pembeli berkewajiban untuk membayar sejumlah harga atas produk atau jasa
yang telah dipesannya pada penjual tersebut.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik,
berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran
suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja
pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui
internet yang letaknya berada saling berjauhan sehingga pembeli termaksud
harus menggunakan fasilitas Bank untuk melakukan pembayaran atas harga
produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pertransferan
dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik,
dalam hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk
menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat
melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet dengan
penjualan yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini
terdapat kerja sama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam
menjalankan usaha melalui internet ini. Transaksi jual beli secara elektronik
merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan mamadukan jaringan
(network) dari sistem yang informasi berbasis computer dengan sistem
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
52
komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi.
Terkait dengan hal tersebut di atas Pasal 12 Ayat (3) Undang-undang ITE
menjelaskan bahwa “Setiap Orang yang Melakukan Pelanggaran Ketentuan
Sebagaimana yang dimaksud Pada Ayat 1 bertanggung jawab atas segala
kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul”. Artinya para pihak bertanggung
jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan
terhadap pemberian pengamanan dalam perjanjian jual beli online.
1.2.4. Jenis–Jenis Transaksi Jual Beli Online (E-Commerce)
Secara umum, ada tiga tipe penjualan melalui internet. Yaitu :
1. Pertama, situs Toko Online. Situs ini menyediakan multiproduk
layaknya supermarket di dunia maya. Masuk dalam kategori ini, antara
lain, Lazada.com, Blibli.com, dll atau bisa juga hanya menjual produk
spesialis seperti paket wisata, tiket, dll.
2. Kedua, situs Pasar Online. Situs ini memungkinkan penjual dan
pembeli bertemu di internet. Yang masuk kategori situs pasar online,
antara lain, kaskus.com, OLX.co.id, berniaga.com, dll.
3. Ketiga, Pasar Media Sosial. Jual beli ini memanfaatkan media sosial
seperti Facebook, Twitter, dll sebagai sarana. Bbm Group juga
termasuk kategori ini.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
53
1.3. Tinjauan Umum Tentang BPSK
2.3.1. Pengertian BPSK
UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen,
yaitu BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus
sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.26
Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan,
terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen,
karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, biasanya
nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan
karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan
dituntut.27
BPSK adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen,
yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK ini dapat
disebut sebagai peradilan kuasi.
26Susanti Adi Nugroho, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Cet. II, Kharisma Putra Utama, Jakarta, hal. 74. 27Indah Sukmaningsih, “Harapan Segar Dari Kehadiran UUPK”, Kompas, 20 April 2000
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
54
Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan
masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen
yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.28
Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen
dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian
sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja,
dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian
perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan
yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa
diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan
sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.29 Jika putusan BPSK dapat
diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat,
sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Keberadaan BPSK juga diharapkan
akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan.
2.3.2. Fungsi BPSK
BPSK adalah badan publik yang berfungsi sebagai instrumen hukum
untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen
di luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi,
mediasi dan arbitrase.
28 Sularsi, 2001, “Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam UUPK” dalam Lika Liku
Perjalanan UUPK, disunting oleh Arimbi, Penerbit:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, hal. 86-87.
29 Yusuf Shofie dan Somi Awan, 2004, “Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap
Berbagai Persoalan Mendasar BPSK” Piramedia, Jakarta, hal. 17.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
55
Keberadaan BPSK merupakan salah satu amanat UUPK yang
diaktualisasikan melalui Keputusan Presiden. BPSK Kota Denpasar dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Pekalongan,
Kota Parepare, Kota Pekanbaru, Kota Denpasar, Kota Batam, Kabupaten Aceh
Utara, dan Kabupaten Serdang Badagai.
2.3.3. Kewenangan BPSK
Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 UUPK meliputi :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi,
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen,
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku,
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam undang-undang ini,
e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen,
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen,
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen,
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini,
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22
-
56
i. Meminta bantuan penyidik untuk mengahadirkan pelaku usaha saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK,
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen,
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen,
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
Melihat pada tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di
atas, dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan
perdata yang sampai masuk pada tugas dan wewenang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN), yang dapat melakukan tugas di bidang
pengawasan dan konsultasi. Sebaiknya tugas dan wewenang ini dipersempit
sampai batas-batas penyelesaian sengketa saja sehingga BPSK ini dapat
mencapai tujuannya.
http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22