11
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Relaps gangguan jiwa
2.1.1 Relaps
Relaps atau kambuh merupakan sesuatu yang
terjadi secara berulang. istilah ini biasanya digunakan
pada kasus sakit atau pada narkotika. Berdasarkan
kamus bahasa Indonesia defenisi kambuh atau relaps
adalah kumat lagi atau jatuh sakit untuk kedua kalinya.
Menurut Stuard & Laraia 2001 relaps merupakan
timbulnya kembali gejala - gejala yang pernah dialami
oleh seseorang yang mungkin saja sudah memperoleh
kemajuan dan perkembangan.
Pada kasus gangguan jiwa kronis, diperkirakan 50%
penderita gangguan jiwa kronis akan mengalami relaps
pada tahun pertama, dan 70% pada tahun yang kedua.
Relaps biasa terjadi karena ada hal-hal buruk yang
menimpa penderita gangguan jiwa, seperti diasingkan
oleh keluarganya sendiri (Wiramisharjo, 2007). Relaps
atau kambuh merupakan keadaan penderita menunjukan
kembali gejala setelah remisi dari rumah sakit.
Peningkatan angka relaps sangat berhubungan erat
12
dengan lingkungan rumah, terutama dalam keluarga yang
tidak harmonis, ketidaktahuan keluarga dalam
menghadapi dan merawat penderita (Tomb, 2004).
Andri 2008 menjelaskan relaps merupakan keadaan
pasien yang mana gejala sebelumnya muncul kembali
yang bisa mengakibatkan pasien harus dirawat untuk
kedua kalinya. Keadaan keluarga maupun lingkungan
sekitar yang tidak sesuai dengan keadaan penderita
merupakan poin utama untuk memicu terjadinya relaps.
Ada beberapa aspek yang dapat memicu relaps
penderita antara lain penderita tidak mengkonsumsi obat
dan check up pada dokter secara teratur, kurangnya
dukungan dan pengetahuan keluarga, serta adanya
masalah kehidupan yang dianggap sangat berat yang
bisa membuat stress (Akbar, 2008).
2.1.2 Gangguan jiwa
2.1.2.1 Defenisi gangguan jiwa
Gangguan jiwa merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering terjadi pada
masyarakat. American Psychiatric Association
(1994) dalam Videbeck (2008) mengatakan
bahwa gangguan jiwa sebagai salah satu sindrom
13
atau pola psikologis yang terjadi pada seseorang
yang dikaitkan dengan distress (kerusakan fungsi
pada satu area) atau peningkatan kematian atau
muncul karena sangat kehilangan kebebasan.
Gangguan jiwa adalah salah satu bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental
seseorang atau kesehatannya yang disebabkan
kegagalan untuk merespon sesuatu, baik dari
dalam diri maupun dari luar dirinya. J.P.Chaplin
(1981) dalam Sunaryo (2004) sedangkan
Soeharto Heerdjan (1987) dalam Sunaryo (2004)
mengungkapkan yang dimaksud dengan
gangguan jiwa yaitu apabila keperibadian atau diri
seseorang tidak sanggup atau gagal dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
2.1.2.2 Penyebab gangguan jiwa
Gangguan jiwa atau masalah kesehatan jiwa
yang terjadi pada diri seseorang pastinya
mempunyai faktor penyebab yang memicu
keadaan tersebut, terdapat tiga faktor penyebab
gangguan jiwa menurut Sunaryo (2004) dikutip
dari Kartini Kartono (1999), yakni :
14
a. Faktor internal, yaitu pengaruh yang
berasal dari dalam diri individu tersebut,
seperti predisposisi struktur
biologis/jasmani dan jiwa serta struktur
keperibadian yang salah.
b. Faktor eksternal, yaitu pengaruh yang
berasal dari luar diri individu. Masalah
sosial dan kebudayaan yang
mempengaruhi keperibadian seseorang
dan dapat mengubah perilaku orang
tersebut menjadi abnormal.
c. Proses intrapsikis yang salah, yaitu
proses yang berlangsung dalam
keperibadian atau jiwa seseorang.
Pemaksaan batin dari pengalaman
dengan cara yang salah.
Sementara menurut Soeharto Heerdjan (1987)
dalam Sunaryo 2004 ada tiga faktor penyebab
gangguan kesehatan jiwa, yaitu
a. Faktor jasmaniah. Faktor pemicu ini
terjadi secara fisik atau jasmani seperti
infeksi, cedera karena kecelakaan atau
kelainan peredaran darah.
15
b. Faktor psikologis. Faktor ini lebih ditinjau
dari segi psikis dan perilaku seseorang
seperti terjadi karena adanya konflik jiwa,
stress, kekecewaan dan kurangnya
perhatian orang tua maupun keluarga.
c. Faktor sosial budaya. Faktor penyebab ini
lebih melihat pada sosial seseorang, bisa
terjadi karena kerusuhan sosial,
masyarakat sekitar, serta perubahan
sosial dan budaya secara cepat yang
susah untuk diterima seseorang.
2.1.3 Pasien
Pasien diartikan seseorang yang sedang
mempunyai masalah kesehatan yang memeriksakan
dirinya ke klinik maupun rumah sakit secara teratur
dalam interval tertentu atau yang dikunjungi perawat
atau yang dirawat inap di rumah sakit (Hinchliff, S,
1999). World Health Organization (WHO) secara jelas
menjelaskan bahwa sehat merupakan keadaan ideal
seseorang yang bebas dari segala jenis penyakit, baik
itu secara fisik, mental maupun sosial, begitupun
sebaliknya sakit dapat didefinisikan sebagai keadaan
16
yang tidak terbebas dari penyakit, baik fisik, mental
maupun sosialnya.
2.1.4 Faktor – faktor penyebab relaps gangguan jiwa
Sullinger (dalam Keliat, 1996)
mengidentifikasi 4 faktor penyebab relaps penderita
gangguan jiwa dan perlu perawatan rumah sakit, yaitu:
a. Klien
Secara umum klien yang teratur
mengkonsumsi obat mempunyai
kemungkinan untuk relaps/kambuh. Hasil
penelitian menunjukan 25 % sampai 50 %
yang pulang tidak mengkonsumsi obat secara
teratur. Khususnya penderita gangguan jiwa
tidak mampu mengontrol konsumsi obat
secara teratur, sukar untuk diatur dan tidak
mampu dalam pengambilan keputusan.
Pemberian obat dan tugas kontrol selama di
rumah sakit dilakukan oleh perawat
sementara di rumah digantikan oleh anggota
keluarga yang lain.
17
b. Dokter (pemberi resep)
Mengikuti peraturan dengan minum
obat yang teratur dapat mencegah relaps.
Namun, pemakaian dan mengkonsumsi obat
dengan jangka waktu yang panjang dapat
menimbulkan efek samping, dengan demikian
pemberi resep (dokter) diharapkan tetap
memperhatikan dan mengidentifikasi dosis
teraupetik dan dapat mencegah relaps serta
efek samping penggunaanya.
c. Penanggung jawab pasien(case manager)
Setelah pasien mengalami pembaikan
dan diizinkan pulang atau kembali ke rumah
maka penanggung jawab kasus memiliki
kesempatan yang lebih banyak untuk
bertemu dengan penderita, sehingga dapat
mengidentifikasi gejala dini dan segera
mengambil tindakan atas kondisi penderita.
d. Keluarga
Perilaku dan tindakan keluarga yang
tidak sesuai bisa memicu relaps penderita.
Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar
dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa,
18
persiapan untuk pulang dan perawatan
selama di rumah agar penderita dapat
beradaptasi dengan lingkungan sekitar
dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku
keluarga dapat membantu proses pemulihan
dan mencegah terjadinya relaps sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup dari
penderita gangguan jiwa tersebut.
2.2 Pengetahuan
2.2.1 Defenisi pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007). Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran kita sebagai
hasil dari penggunaan indera, Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh dari kenyataan (fakta)
dengan melihat atau mendengar, serta melalui media-
media komunikasi seperti membaca buku, mendengarkan
radio maupun menonton movie atau televisi (Soekanto,
2000).
19
2.2.2 Pentingnya pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan aspek yang
sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang (over
behavior). Perilaku yang didasarkan pada pengetahuan akan
lebih langgeng dibandingkan dengan tindakan atau perlakuan
yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan
bahwa sebelum orang meniru atau mengadopsi perilaku baru,
di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yaitu :
1. Awareness (kesadaran), yang mana orang
tersebut menyadari dan mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek).
2. interest ( merasa tertarik) sikap tertarik subjek
terhadap objek mulai muncul.
3. Evaluation (menimbang-nimbang), subjek mulai
melakukan pertimbangan baik dan tidaknya
stimulus atau objek kepada dirinya.
4. Trial, yang mana subjek mulai mencoba untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh stimulus atau objek.
20
5. Adaption, yang mana subjek telah memiliki
prilaku baru, berprilaku sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap
stimulus atau objek.
2.2.3 Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan
yang dicakupi di dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan, yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat
suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik
dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab
itu, tahu ini merupakan tingkatan
pengetahuan yang rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai
kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat
21
menginterpretasikan materi tersebut secara
benar.Orang yang telah paham terhadap
objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan dan
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajarinya.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk
menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih
dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu
kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
22
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan
kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007)
pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
a. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses belajar seseorang
yang mana terjadi satu proses pertumbuhan,
perkembangan dan satu proses perubahan kearah
yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang
pada dirinya, Keluarga dan masyarakat. Beberapa
penelitian mengenai pengaruh pendidikan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan satu
pribadi, bahwa pada umumnya pendidikan itu
mempertinggi taraf intelgensi seseorang.
b. Presepsi
Presepsi, mengenal dan memilih objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
23
c. Motivasi
Motivasi merupakan satu dorongan, keinginan dan
tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri
seseorang untuk berfikir dan melakukan sesuatu
dengan mengesampingkan hal - hal yang diketahui
kurang bermanfaat. Untuk mencapai tujuan dan
munculnya motivasi diperlukan motivasi baik itu
yang berasal dari dalam dirinya maupun berasal
dari orang lain atau luar dirinya. Dikatakan motivasi
murni apabila dalam dirinya yang menyadari
pentingnya satu perilaku yang dilakukan
merupakan kebutuhannya.
d. Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan
seseorang atau yang pernah dialaminya (diketahui
dan dikerjakan) juga merupakan kesadaran akan
sesuatu hal yang terekam oleh indera manusia.
Faktor luar atau eksternal yang mempengaruhi
pengetahuan bagi perkembangan dan
pertumbuhan diri / sifat seseorang yaitu meliputi :
lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan
informasi. Lingkungan berperan sebagai faktor
yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan
24
perilaku seseorang. Sosial ekonomi, penghasilan
sering dilihat untuk memiliki hubungan antar
tingkat penghasilan dan pemanfaatannya.
2.3 Konsep Keluarga
2.3.1 Defenisi Keluarga
Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang
mempunyai fungsi penting terhadap pembentukan
kebudayaan yang sehat. Potter & Perry (2005)
mengatakan keluarga dapat diartikan secara biologis,
secara hukum atau sebagai jaringan atau hubungan
sosial baik itu secara personal maupun terbentuk karena
satu ideologi.Defenisi keluarga dapat dilihat dari segi
keluarga berdasakan hubungan darah dan keluarga
berdasarkan hubungan sosial. Keluarga dari segi darah
merupakan satu kesatuan yang diikat oleh darah satu
dengan yang lainnya. Sedangkan keluarga berdasarkan
hubungan sosial yaitu merupakan satu kesatuan yang
dikarenakan karena mempunyai hubungan atau interaksi
yang saling mempengaruhi, meskipun diantara mereka
tidak ada hubungan darah (Shochib, 1998).
Bussard & Ball (1996) dalam Setiadi (2008)
mengungkapkan bahwa keluarga merupakan lingkungan
25
sosial yang paling dekat hubungannya dengan
seseorang. Keluarga lengkap dan menjalankan fungsinya
dengan baik dapat meningkatkan kesehatan anggota
keluarga lainnya dan mungkin dapat meningkatkan
ketahanan keluarga terhadap gangguan jiwa dan
ketidakstabilan emosional. Kesehatan jiwa sebaiknya
dimulai dari keluarga oleh sebab itu kesehatan jiwa
menuntut keluarga untuk menciptakan kondisi yang
kondusif terhadap anggota keluarga yang menderita
gangguan jiwa (Notosoedirdjo Latipun, 2005).
2.3.2 Fungsi keluarga
Menurut Friedman (1998) dalam Setiadi (2008), ada
beberapa fungsi yang dapat dijalankan oleh keluarga yaitu :
Fungsi efektif merupakan fungsi keluarga yang
utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk
mempersiapkan anggota keluarga untuk
berhubungan dan berinteraksi dengan orang
lain/masyarakat.
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk
mengembangkan dan media melatih anak untuk
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah
untuk berhubungan dengan orang lain diluar rumah.
26
Fungsi reproduksi merupakan fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga
kelangsungan keluarga.
Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara finansial dan
menjadi tempat untuk mengembangkan
kemampuan individu dalam meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan yaitu
merupakan fungsi untuk mempertahankan keadaan
kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki
produktivitas yang tinggi.
2.3.3 Peran keluarga dalam bidang kesehatan
Agar kesehatan Keluarga sampai pada tujuan,
keluarga harus memiliki peran dalam pemeliharaan
kesehatan anggota keluarganya. Peran dan tugas kesehatan
yang harus dipahami dan dilakukan keluarga menurut Setiadi
2008 yang dikutip dari Feedman 1981, yaitu :
1. Mengenal gangguan kesehatan setiap anggota
keluarga yaitu keluarga mengenal dan memahami
perubahan sekecil apapun yang dialami anggota
keluarga baik itu secara emosional maupun tingkah
27
laku yang normal atau tidak normal yang dilakukan
harus menjadi perhatian dan tanggung jawab
keluarga. Hal ini sangat berhubungan erat dengan
pengetahuan keluarga terhadap tanda dan gejala
gangguan jiwa.
2. Pengambilan keputusan yang tepat untuk keluarga.
Jika terdapat kondisi keluarga yang tidak sesuai atau
bermasalah dengan kesehatan maka keluarga
sebaiknya mengambil keputusan terhadap tindakan
yang akan dilakukan dengan tepat sesuai dengan
keadaan keluarga, apabila keluarga tidak dapat
mengatasi permasalahannya sebaiknya meminta
bantuan orang lain atau dibawa ke petugas
kesehatan.
3. Memberikan keperawatan bagi anggota keluarga
yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya
sendiri karena cacat fisik maupun mental. Fungsi dan
peran ini menjelaskan bahwa keluarga dapat
melakukan perawatan di rumah apabila memiliki
kemampuan sebagai pertolongan pertama untuk
mencegah keparahan yang mungkin bias terjadi.
4. Mempertahankan suasana di rumah yang
menguntungkan kesehatan dan perkembangan
28
kepribadian anggota keluarga. Keluarga harus
mampu memberiakan suasana rumah yang kondusif
agar penderita gangguan jiwa bisa lebih tenang dan
nyaman.
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara
keluarga dan lembaga kesehatan yang menunjuk
pada pemanfaatan dengan baik layanan kesehatan
yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan
jiwa keluarga harus memiliki informasi dan
pengetahuan mengenai kesehatn jiwa dan lembaga
petugas kesehatan yang ada
2.3.4 Peranan keluarga dalam memupuk kesehatan jiwa
Menurut Kartini Kartono (2000), faktor sosial paling
utama yang memberikan pengaruh predisposisional baik
atau buruk adalah keluarga. Selanjutnya, keluarga yang
memberikan pengaruh predisposisional psikotis (bisa
berkembang menjadi gangguan jiwa) kepada anak-anak,
para remaja dan lainnya. Dengan ciri sebagai berikut :
a. Keluarga dengan ayah ibu yang tidak mampu
berfungsi sebagai pendidik, yang defisien sebagai
pendidik. Anak-anak akan terganggu kejiwaannya
dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh
29
banyaknya kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami
oleh orang tua. Karena itu anak-anak tadi tidak bisa
menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandir
dalam kedewasaannya.
b. Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga
psikososial, Orang tua tidak sanggup
mengintegrasikan anak-anak dalam keutuhan
keluarga yang mengakibatkan masing-masing
tercerai-berai. Anak tidak bisa menyalurkan sifat-sifat
kekanakannya lewat penyalur yang wajar. Keluarga
juga tidak mampu memberikan peranan sosial dan
status sosial kepada anak-anak, sehingga hal ini
memusnahkan martabat dan harga diri anak, mereka
merasa sangat kecewa atau putus asa.
Karena itu defisiensi/kerusakan dalam stuktur
keluarga selalu akan memproduksi banyak gangguan
psikis pada anak-anak, yaitu berupa tidak adanya
integrasi dan fungsi-fungsi psikis yang pada akhirnya
dapat mengganggu kejiwaan anak.
30
2.4 PenelitianTerdahulu
Penelitian dilakukan oleh Asima Sirait dengan judul
Pengaruh Koping keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pasien
Skizofernia Remisi Sempurna di RSJD Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2006.
Skizofernia merupakan gangguan psikotik yang bersifat
kronis dan relaps ditandai dengan parahnya kepribadian,
distorsi realita dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam
kehidupan sehari-hari. Kekacauan dan dinamika keluarga
seperti suasana yang penuh perusuhan, terlalu cemas dan
terlalu protektif dengan penderita memegang peranan penting
dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi, untuk
itu keluarga memerlukan stategi koping baik untuk menangani
penderita gangguan jiwa. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh koping keluarga baik internal maupun
eksternal terhadap kejadian relaps pasien sksizofernia remisi
sempurna di RSJD provinsi Sumatera Utara 2006. Jenis
penelitian yang digunakan adalah study analitik observasional
dengan rancangan penelitian studi kasus control bersifat
retrospektif. Populasi penelitian adalah seluruh keluarga
penderit skizofernia remisi sempurna yang dirawat di RSJD
Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 876 orang. Sampel
kasus adalah adalah keluarga penderita skizofernia remisi
31
sempurna yang relaps sebanyak 20 orang dan sampel kontrol
adalah keluarga penderita skizofernia remisi sempurna yang
tidak relaps berjumlah 20 orang. Pengambilan sampel
dilakukan dengan carapurposive sampling. Hasil penelitian
menunjukan bahwa koping eksternal mempunyai pengaruh
yang sangat signifikan terhadap kejadian relaps.
2.5 Kerangaka Konseptual
Variable independen Variabel Dependen
2.6 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2011), hipotesis diartikan sebagai
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.
Terdapat 2 macam hipotesis, yaitu hipotesis nol dan hipotesis
alternatif. Hipotesis nol diartikan sebagai tidak adanya
hubungan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya
hubungan antara populasi dengan ukuran sampel. Hipotesis
alternatif merupakan lawan dari hipotesis nol.
Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah
sebagai berikut :
Pasien relaps gangguan
jiwa Pengetahuan keluarga
32
H0 : Tidak ada korelasi pengetahuan keluarga
terhadap relaps pasien gangguan jiwa di
RSJD. Dr. Amino Gondohutomo
Semarang.
H1 : Ada korelasi pengetahuan keluarga
terhadap relaps pasien gangguan jiwa di
RSJD. Dr. Amino Gondohutomo
Semarang.
33