5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia
1. Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling mudah dikenali
sehingga diharapkan dapat dilakukan tatalaksana sedini mungkin untuk
menghindari risiko tersebut. Skizofrenia membutuhkan tata laksana jangka
panjang karena merupakan gangguan yang bersifat menahun (kronis) dan bisa
kambuh. Semakin sering kambuh, makin berat penurunan fungsi yang terjadi
pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Skizofrenia termasuk dalam
gangguan psikotik (Permenkes RI No. 54/2017: II).
Skizofrenia adalah penyakit otak kronis, parah, dan melumpuhkan.
Sekitar 1 persen dari populasi mengalami skizofrenia selama masa hidup
mereka, lebih dari 2 juta orang Amerika menderita penyakit ini pada tahun
tertentu. Meskipun skizofrenia dialami pria dan wanita dengan frekuensi yang
sama, gangguan ini sering muncul lebih awal pada pria, biasanya pada akhir
remaja atau awal dua puluhan, daripada pada wanita, yang umumnya
terpengaruh pada usia dua puluhan hingga awal tiga puluhan (Spearing,
2002).
2. Penggolongan
Penggolongan skizofrenia berdasarkan International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems Revisi kesepuluh
(ICD-10) (WHO, 2016):
a. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid didominasi oleh delusi yang relatif stabil, sering
paranoid, biasanya disertai dengan halusinasi, terutama dari variasi
pendengaran, dan gangguan persepsi. Gangguan pengaruh, kemauan dan
bicara, dan gejala katatonik, tidak ada atau relatif tidak mencolok.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Suatu bentuk skizofrenia berupa perubahan afektif menonjol, delusi dan
halusinasi cepat dan terpisah-pisah, perilaku yang tidak bertanggung jawab
6
dan tidak dapat diprediksi, dan perilaku umum. Moodnya dangkal dan tidak
pantas, pikiran tidak teratur, dan ucapan tidak jelas. Ada kecenderungan
isolasi sosial. Biasanya prognosisnya buruk karena perkembangan cepat dari
gejala "negatif", terutama perataan efek dan hilangnya kemauan. Hebefrenia
biasanya didiagnosis hanya pada remaja atau dewasa muda.
c. Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia katatonik didominasi oleh gangguan psikomotorik terkemuka
yang dapat bergantian antara ekstrem seperti hiperkinesis dan pingsan, atau
kepatuhan otomatis dan negativisme. Sikap dan postur yang terbatas dapat
dipertahankan untuk waktu yang lama. Episode kegembiraan yang hebat
mungkin merupakan fitur yang mencolok dari kondisi tersebut. Fenomena
katatonik dapat dikombinasikan dengan keadaan seperti mimpi (oneiroid)
dengan halusinasi pemandangan indah.
d. Skizofrenia Undiferentiated
Kondisi psikotik memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia
tetapi tidak sesuai dengan salah satu subtype sebelumnya, atau menunjukkan
fitur lebih dari satu dari mereka tanpa dominasi yang jelas dari serangkaian
karakteristik diagnostik tertentu.
e. Depresi pasca-skizofrenia
Episode depresi, yang mungkin berkepanjangan, timbul setelah penyakit
skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia, baik "positif" atau "negatif", harus
tetap ada tetapi mereka tidak lagi mendominasi gambaran klinis. Keadaan
depresi ini dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri. Jika pasien tidak
lagi memiliki gejala skizofrenik, episode depresi harus didiagnosis sesuai
episode depres. Jika gejala skizofrenik masih kemerahan dan menonjol,
diagnosis harus tetap berupa subtipe skizofrenik yang sesuai seperti tipe
sebelumnya.
f. Skizofrenia Residual
Tahap kronis dalam pengembangan penyakit skizofrenia telah ada
perkembangan yang jelas dari tahap awal ke tahap selanjutnya yang ditandai
dengan gejala "negatif" jangka panjang, meskipun tidak selalu ireversibel,
mis. psikomotor melambat; kurang aktif; menumpulkan efek; kepasifan dan
7
kurangnya inisiatif; kemiskinan kuantitas atau isi pembicaraan; komunikasi
nonverbal yang buruk dengan ekspresi wajah, kontak mata, modulasi suara
dan postur; perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
g. Skizofrenia Simpel
Gangguan berupa terdapat perkembangan yang aneh tapi progresif dari
keanehan perilaku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat,
dan penurunan kinerja total. Ciri-ciri negatif khas dari skizofrenia residual
(mis. Menumpulkan efek dan kehilangan kemauan) berkembang tanpa
didahului oleh gejala psikotik yang jelas.
h. Skizofrenia Lainnya (WHO, 2016).
1) Skizofrenia cenesthopathic
Huber pada tahun 1957 mengusulkan skizofrenia cenesthopathic sebagai
“subtipe dari skizofrenia, sensasi tubuh abnormal aneh mendominasi, ini sulit
untuk dijelaskan, berbahaya secara kronis dalam perjalanan dan dengan gejala
psikotik terbatas” (Takahash, dkk, 2013 dalam Haider, 2017).
2) Skizofreniform
Gangguan skizofreniformis ditandai oleh adanya gejala skizofrenia,
tetapi dibedakan dari kondisi itu dengan durasinya yang lebih pendek, yaitu
setidaknya 1 bulan tetapi kurang dari 6 bulan. Gangguan schizophreniform
adalah gangguan mental serius dengan gejala yang mirip dengan skizofrenia.
Diagnosis dini gangguan ini sangat penting, seperti juga intervensi awal
dengan obat-obat, terapi suportif, dan pendidikan pasien dan keluarga.
Menurut Manual Diagnostik dan Statistik American Psychiatric
Association of Mental Disorders, Edisi Kelima (DSM-5), gangguan
schizophreniform ditandai dengan adanya gejala skizofrenia, termasuk delusi,
halusinasi, ucapan tidak teratur, perilaku tidak teratur atau perilaku katatonik,
dan gejala negatif. Gangguan, termasuk fase prodromal, aktif, dan residu,
berlangsung lebih lama dari 1 bulan tetapi kurang dari 6 bulan. Tidak seperti
skizofrenia, gejala prodromal dapat berkembang selama beberapa tahun,
gangguan skizofreniform membutuhkan, di antara fitur lain, periode yang
agak cepat dari timbulnya gejala prodromal ke titik semua kriteria untuk
8
skizofrenia (kecuali durasi dan deteriorasi) terpenuhi (≤ 6 bulan) (Bienenfeld,
2018 dalam Medscape.com, 2008).
Gangguan skizofreniform meliputi:
a) Gangguan NOS
b) Psikosis NOS, Contoh: Gangguan skizofreniform singkat
i. Skizofrenia Tidak Spesifik (WHO, 2016).
3. Gejala
Orang dengan skizofrenia sering menderita gejala yang menakutkan
seperti mendengar suara-suara internal yang tidak didengar oleh orang lain,
atau percaya bahwa orang lain membaca pikiran mereka, mengendalikan
pikiran mereka, atau merencanakan untuk menyakiti mereka. Gejala-gejala
ini dapat membuat mereka takut dan menarik diri. Ucapan dan perilaku
mereka dapat sangat tidak teratur sehingga mereka tidak dapat dipahami atau
menakutkan bagi orang lain. Perawatan yang tersedia dapat meredakan
banyak gejala, tetapi kebanyakan orang dengan skizofrenia terus menderita
beberapa gejala sepanjang hidup mereka; diperkirakan bahwa tidak lebih dari
satu dari lima orang pulih sepenuhnya (Spearing, 2002).
Gejala keadaan akut dapat termasuk: tidak berhubungan dengan
kenyataan; halusinasi (terutama suara-suara pendengaran); delusi (keyakinan
yang salah); ide pengaruh (tindakan dikendalikan oleh pengaruh eksternal);
proses berpikir terputus (asosiasi longgar); ambivalensi (pikiran kontradiktif);
efek datar, tidak pantas, atau labil; autisme (pemikiran yang ditarik dan
diarahkan ke dalam); tidak kooperatif, permusuhan, dan agresi verbal atau
fisik; gangguan keterampilan perawatan diri; dan tidur dan nafsu makan
terganggu. Setelah keadaan psikotik akut terselesaikan, biasanya terdapat
gambaran residual (mis., Kecemasan, kecurigaan, kurangnya motivasi,
wawasan buruk, gangguan penilaian, penarikan sosial, kesulitan belajar dari
pengalaman, dan keterampilan mandiri yang buruk). Penyalahgunaan zat
komorbid dan ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah hal yang umum
(Wells, BG; At all., 2015:731). Gejala skizofrenia terbagi dalam tiga kategori
yaitu gejala positif, gejala negative dan disfungsi kognitif.
9
a. Gejala positif yaitu delusi, ucapan tidak teratur (gangguan asosiasi),
halusinasi, gangguan perilaku (tidak teratur atau katatonik), dan ilusi (Wells,
BG; At all., 2015:731).
b. Gejala negatif yaitu alogia (kemiskinan berbicara), avolisi, pengaruh datar,
anhedonia, dan isolasi sosial (Wells, BG; At all., 2015:731).
c. Disfungsi kognitif yaitu gangguan perhatian, memori kerja, dan fungsi
eksekutif (Wells, BG; At all., 2015:731).
4. Patogenesis Skizofrenia
Beberapa teori dikemukakan tentang patogenesis terjadinya skizofrenia.
Teori tersebut dikenal dengan hipotesis dopamin, hipotesis
neurodevelopmental, hipotesis glutamatergik, hipotesis serotonin, dan genetik
(Tyaswuri, A, 2016).
a. Hipotesis dopamin
Hipotesis dopamin merupakan hipotesis yang paling awal dan paling
banyak diteliti. Dopamin merupakan neurotransmitter di otak. Saat ini telah
ditemukan lima macam reseptor dopamine, yaitu reseptor D1, D2, D3, D4, da
D5. Kelima reseptor dopamin ini dikelompokkan menjadi dua famili, yakni
famili D1 yang terdiri dari reseptor D1 dan D5 serta famili D2 yang meliputi
reseptor D2, D3, dan D4. Famili D1 pada transduksi sinyalnya berkaitan
dengan protein Gs sedangkan famili D2 bekaitan dengan protein Gi. Reseptor
dopamin yang lebih berperan pada penyakit skizofrenia adalah reseptor D2
(Ikawati, 2011 dalam Tyaswuri, A, 2016).
Gejala skizofrenia diduga muncul karena neurotransmitter dopaminergik
yang berlebihan di mesolimbik otak. Pada hipotesis ini diduga bahwa gejala
skizofrenia muncul karena neurotransmiter dopaminergik yang berlebihan di
mesolimbic otak. Up-regulation dari reseptor dopamin D2 di caudatus
berkaitan dengan risiko terjadinya skizofrenia. Tingginya densitas reseptor
dopamine D2 di caudatus dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada
skizofrenia (Hirvonen dkk., 2005 dalam Tyaswuri, A, 2016). Hal ini
didukung dengan penelitian bahwa ketika seseorang dengan skizofrenia
diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat penurunan neurotransmisi
dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang lebih baik
10
pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit (El Missiry dkk.,
2011 dalam Tyaswuri, A, 2016).
b. Hipotesis neurodevelopmental
Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa terdapat kerusakan pada otak di
masa-masa dalam kandungan yang mempengaruhi perkembangan otak dan
menyebabkan abnormalitas pada saat dewasa. Infeksi ibu hamil selama
kehamilannya terutama pada trimester dua atau komplikasi pada
perinatal/postnatal juga mempunyai korelasi positif dengan kejadian
skizofrenia. Seorang anak yang mengalami infeksi sistem saraf pusat atau
kondisi hipoksia selama kelahirannya mempunyai resiko lima kali lebih besar
terserang gangguan psikosis termasuk skizofrenia (Dean dkk., 2005 dalam
Tyaswuri, A, 2016).
c. Hipotesis Glutamatergik
Sistem glutamatergik merupakan salah satu sistem neurotransmitter yang
paling banyak tersebar di otak. Perubahan pada fungsinya, baik hipoaktivitas
maupun hiperaktivitas, dapat mengakibatkan toksisitas di otak. Defisiensi
glutamatergik menghasilkan gejala yang sama seperti pada hiperaktivitas
dopaminergik dan kemungkinan sama seperti skizofrenia (Jones, 2006 dalam
Tyaswuri, A, 2016).
d. Hipotesis Serotonin
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan
aktivitas serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Bukti
yang mendukung peran potensial serotonin dalam memperantarai efek
antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional dopamin dan
serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf
serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksikan ke badan-
badan sel dopaminergik dalam Ventral Tegmental Area (VTA) dan
Substansia Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf serotonergik dilaporkan
berujung langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh
penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostriatal
melalui reseptor 5-HT2A (Ikawati, 2011 dalam Tyaswuri, A, 2016).
11
e. Genetik
Faktor genetik diduga berpengaruh pada penyakit ini. Risiko skizofrenia
pada populasi berkisar antara 0,6 - 1,9%, tetapi risiko menjadi lebih tinggi
sebesar pada pasien yang mempunyai riwayat skizofrenia dalam keluarganya.
Jika kedua orang tua mempunyai skizofrenia, risiko anaknya akan terkena
skizofrenia adalah sebesar 40% (Nieratschker, 2010 dalam Tyaswuri, A,
2016).
Beberapa tahun terakhir telah diteliti tentang polimorfisme gen-gen yang
berkontribusi terhadap timbulnya skizofrenia. Beberapa polimorfisme yang
diduga meningkatkan risiko penyakit ini adalah COMT (cathecol O methyl
transferase) gene, disrupted-in-schizophrenia 1 gene (DISC1), DTNBP1
(dystrobrevin binding protein 1) gene, NRG1 SNP1 &2 (neuregulin-1 single
nucleotide polymorphism 1&2) gene (Tyaswuri, A, 2016).
Polimorfisme fungsional umum gen COMT yang secara nyata
mempengaruhi aktivitas enzim diketahui memengaruhi kognisi dan korteks
prefrontal pada manusia. Polimorfisme gen ini diduga sedikit meningkatkan
risiko skizofrenia melalui efek pada proses informasi prefrontal yang
termediasi dopamin (Fan dkk., 2005 dalam Tyaswuri, A, 2016). Adanya
SNiPs (single nucleotide polymorphism) pada DISC1 berkaitan dengan
munculnya skizofrenia dan gangguan skizoafective karena adanya gangguan
pada fungsi kognitif (Ishizuka dkk., 2006 dalam Tyaswuri, A, 2016).
Polimorfisme gen DTNBP1 pada p 1635 (terletak pada intron 4),
mempengaruhi kejadian skizofrenia. Allel A pada p1635 meningkatkan resiko
terjadinya skizofrenia, sementara allel G menurunkan resiko skizofrenia
(Galehdari dkk., 2010 dalam Tyaswuri, A, 2016). Pada polimorfisme gen
NRG1 SNP1 mempunyai kecenderungan dengan skizofrenia (Vilella dkk.,
2008 dalam Tyaswuri, A, 2016).
5. Etiologi Skizofrenia
Faktor predisposisi meliputi factor genetika, prenatal, perinatal, dan
kepribadian. Faktor prespitasisi meliputi stres psikososial. Faktor penyebab
berkelanjutan (perpetuasi) meliputi factor social dan keluarga pasien. Faktor
perantara dapat meliputi faktor-faktor neurotransmitter dan neurodegenerasi,
12
serta psikoneuroimunologis dan psikoneuroendokrinologis (Puri, Paul, Ian,
2013:153).
a. Genetika
Penelitian pada keluarga menunjukkan bahwa risiko seumur hidup untuk
mengalami skizofrenia lebih besar pada keluarga biologis pasien daripada
sekitar 1% populasi umum. Oleh karena itu, risiko pada anak-anak lebih besar
jika kedua orang tua menderita skizofrenia daripada salah satunya. Penelitian
terhadap anak kembar melaporkan angka keterkaitan lebih tinggi untuk
kembar monozigot (identik) (sekitar 46%) daripada untuk kembar dizigot
(fraternal) (sekitar 14%). Penelitian terhadap anak adopsi memperlihatkan
bahwa bila anak-anak dari ibu penderita skizofrenia telah diadopsi segera
setelah lahir oleh keluarga non-skizofrenik, mereka memiliki kemungkinan
menderita skizofrenia yang sama (sekitar 11%) dengan angka yang diperlihat
pada penelitian keluarga. Tidak ada peningkatan risiko pada anak-anak dari
orangtua yang tidak menderita skizofrenia yang sama-sama diadopsi (Puri,
Paul, Ian, 2013:153).
b. Faktor prenatal
Skizofrenia lebih sering terjadi pada mereka yang lahir di akhir musim
dingin dan awal musim semi. Skizofrenia terutama sering dialami mereka
yang saat prenatal terpajan dengan epidemi influenza antara bulan ketiga dan
ketujuh kehamilan. Diperkirakan penyebabnya mungkin adalah infeksi virus
maternal (Puri, Paul, Ian, 2013:154).
c. Faktor perinatal
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia lebih sering dialami
mereka yang menderita komplikasi obstetric selama pelahiran. Hal ini
mungkin disebabkan trauma pada otak – misalnya persalinan dengan forseps
– dan hipoksia (Puri, Paul, Ian, 2013:154).
d. Kepribadian
Paien yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal mempunyai
keanehan dan anomaly pada ide, penampilan, bicara dan perilaku, serta defisit
13
pada hubungan antarpersonal. Keadaan tersebut lebih sering terjadi pada
keluarga tingkat pertama pasien dan dianggap sebagai bagian dari spektrum
genetic skizofrenia (Puri, Paul, Ian, 2013:154).
e. Stresos psikososial
Perhatian terhadap adanya suatu efek pemicumenimbulkan anggapan
bahwa peristiwa hidup dapat bertindak sebagai faktor prespitasi pada orang
yang berisiko mengalami skizofrenia. Namun, secara keseluruhan, bukti
terbaru tidak konsisten dan tidak memberi dukungan kuat untuk hipotesis ini
(Puri, Paul, Ian, 2013:154).
f. Keluarga pasien
Terdapat peningkatan angka rekurensi skizofrenia pada mereka yang
hidup dengan keluarga yang ekspresi emosinya tinggi. Keluarga suka
membuat komentar kritis mengenai pasien dan cenderung terlibat berlebihan
secara emosional. Perubahan pada bangkitan fisiologis mungkin
menyebabkan efek ini (Puri, Paul, Ian, 2013:154).
g. Faktor sosial
Penelitian telah memperlibatkan bahwa kurangnya stimulasi dalam
lingkungan sosial pasien dengan skizofrenia kronik, telah mengakibatkan
peningkatan gejala-gejala “negatif”, terutama penarikan diri secara sosial,
yang mempengaruhi penumpulan dan kemiskinan ide. Keadaan itu disebut
kemiskinan pergaulan sosial. Sebaliknya, stimulasi sosial yang berlebihan
dapat berperan sebagai suatu stresor psikososial dan mungkin mencetuskan
suatu rekurensi (Puri, Paul, Ian, 2013:154).
h. Neurotransmitter
Berdasarkan hipotesis dopamine skizofrenia, gambaran klinis gangguan
ini disebabkan oleh hiperaktivitas dopaminergik sentral dalam
sistemmesolimbik-mesokorteks (Puri, Paul, Ian, 2013:154-155).
i. Patologi perkembangan saraf
Penelitian pencitraan saraf structural, dengan pneumoensefalografi, X-ray
computerized tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
memperlihatkan bahwa pembesaran ventriculus cerebri dialami sebagian
14
pasien skizofrenia. Umumnya pembersaran tersebut dipercaya bukan
disebabkan oleh pengobatan, terjadi saat awitan penyakit dan biasanya non-
progresif (Puri, Paul, Ian, 2013:155-156).
j. Fosfolipid
Kemungkinan keterkaitan etiologic skizofrenia dengan kelainan-kelainan
pada metabolisme fosfolipid telah diusulkan (Puri, Paul, Ian, 2013:156).
k. Faktor-faktor psikoimunologis
Perubahan imunologis yang ditemukan pada skizofrenia meliputi
perubahan sel darah putih dan immunoglobulin serta adanya kemungkinan
disebabkan infeksi oleh, misalnya, virus (Puri, Paul, Ian, 2013:156).
l. Faktor-faktor psikoneuroendokrinologis
Hormon yang telah dilaporkan tampak berubah pada skizofrenia meliputi
gonadotropin, somatotropin, somatostatin, substansi P dan hormone Pelepas
tirotropin (TRH). Beberapa zat hormonal, seperti fragmen menyerupai
kolesistokinin (CCK), CCK-8, bermanfaat dalam pengobatan skizofrenia
(Puri, Paul, Ian, 2013:156).
6. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia adalah antara 15 sampai 30 kasus baru per 100.000
populasi per tahun. Prevalensi titik kurang dari 1%. Terdapat risiko seumur
hidup terjadinya skizofrenia sekitar 1% pada populasi umum. Usia awitan
biasanya antara 15 dan 45 tahun, dengan usia awitan rerata lebih dini pada
laki-laki daripada perempuan. Rasio jenis kelamin sama, yaitu, skizofrenia
terjadi sama seringnya pada laki-laki dan perempuan. Insidensi skizofrenia
lebih tinggi pada mereka yang tidak menikah. Skizofrenia juga diketahui
paling sering terjadi pada golongan sosial IV dan V. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh social drift (penyimpangan sosial): orang tua pasien dengan
skizofrenia mempunyai distribusi kelas social yang lebih normal tetapi paien
sendiri dapat terjun ke golongan sosial lebih rendah (misalnya, yang
berhubungan dengan pekerjaan mereka) akibat penyakitnya (Puri, Paul, Ian,
2013:152).
7. Penatalaksanaan Skizofrenia
15
a. Pengobatan fisik
Cara utama untuk pengobaatan skizofrenia adalah penggunaan obat-obat
neuroleptik, disebut juga obat-obat antipsikotik (Puri, Paul, Ian, 2013:157).
Obat antipsikotik juga dinamakan neuroleptika, anti-skizofrenia, atau
transquilizer. Pemberian obat jenis ini tidak bersifat kuratif karena sebenarnya
tidak menyembuhkan penyakit namun mengupayakan penderita untuk bias
menjalankan aktivitas normal. Obat ini paling sering digunakan pada pasien
skizofrenia, yang merupakan penyakit mental, yang ditandai dengan adanya
kekacauan (disintegrasi) proses berpikir, emosi dan kontak realitas (Nugroho,
2012:66-67).
Semua obat antipsikotik bekerja dengan cara mengeblok aktivitas
dopamine, dan kebanyakan juga mengeblok reseptor serotonin (5-HT2A).
Obat antipsikotik dibagi menjadi dua: 1) tipikal atau klasik, dan 2) atipikal.
Perbedaan keduanya lebih pada generasi penemuannya. Antipsikotik atipikal
adalah relative baru dibandingkan dengan tipikal. Disamping itu, obat atipikal
mempunyai efek ekstrapiramidal yang lebih ringan. Kedua jenis obat juga
menghambat beberapa reseptor lainnya meliputi reseptor α adrenergik,
asetilkolin muskarinik dan histamin. Hal ini terkait dengan efek samping dari
obat tersebut misalnya penghambatan reseptor muskarinik menghasilkan
mulut kering, konstipasi, retensi urin, pandangan kabur. Penghambatan pada
reseptro histamin menghasilkan efek sedasi, sedangkan penghambatan pada
reseptor α1 adrenergik menghasilkan ortostatik (Nugroho, 2012:68).
Tabel 2.1 Penggunaan Antipsikotik secara Umum
ObatAntipsikotik
DosisAwal
(mg/hari)
RentangDosisBiasa
(mg/hari)
ObatAntipsikotik
DosisAwal
(mg/hari)
RentangDosisBiasa
(mg/hari)Antipsikotik Tipikal Antipsikotik AtipikalChlorpromazine 50-150 300-1000 Aripiprazol 5-15 15-30Fluphenazine 5 5-20 Asenapin 5 10-20Haloperidol 2-5 5-20 Clozapine 25 100-800Loksapin 20 30-100 Iloperidone 1-2 6-24Loksapin inhalasi 10 30-100 Lurasidone 20-40 40-120Perfenazin 4-24 16-64 Olanzapine 5-10 10-20Thioridazin 50-150 300-800 Paliperidone 3-6 3-12Thiothixen 4-10 15-50 Quetiapine 50 300-800Trifluoperazine 2-5 15-50 Risperidone 1-2 2-8
Ziprasidone 40 80-160
16
Catatan: Pada pasien episode pertama, dosis awal dan dosis target umumnya harus 50% dari kisaran dosis biasa. Lihat Antipsikotik Suntik
yang Bertindak Lama dalam teks untuk dosis agen ini.
Sumber: Wells, BG; At all., 2015 dengan terjemahan.
1) Antipsikotik tipikal
Obat ini beraksi terutama menghambat reseptor dopamine terutama D-2,
dan juga menghambat reseptor asetilkolin muskarinik, α adrenergik, histamin
(H-1) dan serotonin (5-HT2A). Aktivitas antipsikotik obat ini berkaitan dengan
aktivitasnya pada reseptor dopamine D-2. Contoh obat golongan ini adalah
klorpromazin, haloperidol, asetofenazin, klorprotiksen, mesoridazen,
perfenazin, thioridazine, dan proklorferazin. Obat ini dapat menghasilkan
efek samping ekstrapiramidal meliputi dystonia akut, akatsia, gejala
parkinsonism, dan tardive dyskinesia. Efek tersebut disebabkan karena
pengeblokan reseptor D-2 di bagian striatum pada basal ganglia (Nugroho,
2012:68).
Distonia akut meliputi spasme pada otot muka, lidah, leher maupun
punggung, sedangkan akatsia merupakan keadaan kegelisahan motoric
misalnya rasa gelisah, ketidakmampuan beristirahat dengan baik. Gejala
parkinsonisme meliputi rigiditas (kekakuan), tremor, dan berjalan dengan
menyeret kaki. Efek tardive dyskinea adalah kondisi dimana terjadi gerakan
sendiri yang berulang-ulang pada bagian wajah dan sekitarnya. Gejala ini
merupakan problem serius pada pengobatan dengan obat ini, dan insidensinya
mencapai 20-40 %. Dalam kaitan dengan efek samping ekstrapiramidal,
semakin poten obat antipsikotik maka efek samping tersebut juga semakin
meningkat. Sedangkan apabila efek antikolinergiknya semakin poten maka
efek samping tersebut semakin rendah. Dari fakta farmakologis, gangguan
pergerakan pada efek samping ekstrapiramidal dapat dikurangi dengan danya
aktivitas antikolinergik tersebut. Asetilkolin mempunyai aksi yang
berlawanan dengan dopamine di basal ganglia. Berikut ini urutan potensi
antipsikotik obat tipikal, dan urutan potensi efek samping ekstrapiramidal dari
17
tinggi ke rendah: haloperidol-flufenazin-klorpromazin-thioridazin (Nugroho,
2012:68-69).
a) Chlorpromazine
(1) Farmakodinamik (Drug Interaction Handbook Application Edisi Ke-17,
2009)
(a) Indikasi chlorpromazine yaitu kontrol mania, pengobatan skizofrenia, kontrol
mual dan muntah, menghilangkan kegelisahan dan kekhawatiran sebelum
operasi, porfiria intermiten akut, tambahan dalam pengobatan tetanus,
cegukan yang sulit diatasi, perilaku agresif dan / atau eksplosif eksplosif pada
anak usia 1-12 tahun dan dalam pengobatan jangka pendek anak hiperaktif.
(b) Kontraindikasi chlorpromazine yaitu hipersensitivitas terhadap klorpromazin
atau komponen apa pun dari formulasi (reaktivitas silang antara fenotiazin
dapat terjadi), depresi SSP parah, koma.
(c) Efek samping chlorpromazine yaitu perubahan konduksi jantung (aritmia
yang mengancam jiwa telah terjadi dengan dosis terapi fenotiazin), efek
antikolinergik (konstipasi, xerostomia, penglihatan kabur, retensi urin),
dismotilitas / aspirasi esofagus, gunakan dengan hati-hati pada pasien yang
berisiko pneumonia (yaitu, penyakit Alzheimer), gejala ekstrapiramidal (EPS)
termasuk pseudoparkinsonisme, reaksi distonik akut, akatisia, dan tardive
dyskinesia, risiko dystonia (dan mungkin EPS lainnya), neuroleptic malignant
syndrome (NMS), hipotensi ortostatik, retinopati pigmen, sedasi yaitu
penenang yang dapat merusak kemampuan fisik atau mental sehingga pasien
harus diperingatkan tentang melakukan tugas yang membutuhkan
kewaspadaan mental (misalnya, mengoperasikan mesin atau mengemudi),
dan regulasi suhu tubuh inti yang terganggu dapat terjadi.
(d) Mekanisme kerja chlorpromazine yaitu menghambat reseptor dopaminergik
mesolimbik postinaptik di otak, menunjukkan efek blok alpha-adrenergik
yang kuat dan menekan pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisis.
Chlorpromazine diyakini menekan sistem pengaktifan retikuler, sehingga
mempengaruhi metabolisme basal, suhu tubuh, terjaga, tonus vasomotor, dan
emesis.
(e) Onset: I.M.: 15 menit; Oral: 30-60 menit
18
(2) Farmakokinetik (Drug Interaction Handbook Application Edisi Ke-17, 2009)
(a) Absorbsi : Cepat
(b) Distribusi : Vd: 20 L / kg; melintasi plasenta; memasuki ASI
(c) Pengikatan protein : 92% hingga 97%
(d) Metabolisme : Metabolisme hati dan aktif yang luas
(e) Bioavalabilitas : 20%
(f) Waktu paruh, bifasik : Awal: 2 jam; Terminal: 30 jam
(g) Ekskresi : Urin (<1% sebagai obat tidak berubah) dalam
24jam
2) Antipsikotik atipikal
Obat ini beraksi terutama pada dua reseptor yaitu reseptor serotonin (5-
HT2A) dan dopamine, meskipun penghambatan pada reseptor 5-HT2A lebih
poten dibandingkan pada reseptor dopamine. Seperti halnya obat tipikal, obat
golongan atipikal juga menghambat reseptor asetilkolin muskarinik, α
adrenergik, dan histamin (H-1). Obat golongan ini efek samping
ekstrapiramidalnya rendah, bahkan klozapin tidak menunjukkan efek samping
itu. Contoh lain dari obat atipikal adalah sulpirid, risperidone, sertindol,
quetiapine dan olanzapine. Meskipun klozapin tidak menyebabkan efek
ekstrapiramidal, namun dapat emnyabebkan agranulositosis meskipun
insidensinya rendah (1-2 %). Pada pasien yang mendapatkan terapi dengan
obat tersebut, kandungan sel darah putihnya perlu dimonitor (Nugroho,
2012:69).
a) Risperidone
(1) Farmakodinamik (Drug Interaction Handbook Application Edisi Ke-17,
2009)
(a) Indikasi risperidone yaitu pengobatan skizofrenia; pengobatan mania akut
atau episode campuran yang berhubungan dengan gangguan bipolar I (seperti
monoterapi pada anak-anak atau orang dewasa, atau dalam kombinasi dengan
lithium atau valproate pada orang dewasa), pengobatan iritabilitas / agresi
yang terkait dengan gangguan autistik.
(b) Kontraindikasi risperidone yaitu hipersensitif terhadap risperidon atau
komponen apa pun dari formulasi.
19
(c) Efek samping risperidone yaitu konduksi jantung yang berubah, efek
antikolinergik (kebingungan, agitasi, konstipasi, xerostomia, penglihatan
kabur, retensi urin), dismotilitas / aspirasi esofagus, gejala ekstrapiramidal
(EPS) termasuk pseudoparkinsonisme, reaksi distonik akut, akatisia, dan
tardive dyskinesia, risiko dystonia (dan mungkin EPS lainnya), hiperglikemia,
neuroleptic malignant syndrome (NMS), hipotensi ortostatik, priapisme,
sedasi, ide bunuh diri, regulasi suhu tubuh inti yang terganggu dapat terjadi,
kenaikan berat badan.
(d) Mekanisme kerja risperidone yaitu aktivitas antagonis serotonin-dopamin
campuran yang berikatan dengan reseptor 5-HT2 di SSP dan di pinggiran
dengan afinitas yang sangat tinggi; berikatan dengan reseptor dopamin-D2
dengan afinitas lebih rendah. Afinitas pengikatan pada reseptor dopamin-D2
20 kali lebih rendah dari afinitas 5-HT2. Penambahan antagonisme serotonin
ke antagonisme dopamin (mekanisme neuroleptik klasik) dianggap
meningkatkan gejala negatif psikosis dan mengurangi timbulnya efek
samping ekstrapiramidal. Reseptor alfa1, alfa2 adrenergik, dan histaminergik
juga bertentangan dengan afinitas tinggi. Risperidone memiliki afinitas
rendah hingga sedang untuk reseptor 5-HT1C, 5-HT1D, dan 5-HT1A, afinitas
lemah untuk D1 dan tidak ada afinitas untuk reseptor muskarinik atau beta1
dan beta2.
(2) Farmakokinetik (Drug Interaction Handbook Application Edisi Ke-17, 2009)
(a) Absorbsi:
Oral: Cepat dan terserap dengan baik; makanan tidak mempengaruhi tingkat
atau luasnya
Injeksi: <1% diserap pada awalnya; rilis utama terjadi pada ~ 3 minggu dan
dipertahankan 4-6 minggu
(b) Distribusi: Vd: 1-2 L / kg
(c) Pengikatan protein, plasma: Risperidone 90%; 9-hydroxyrisperidone: 77%
(d) Metabolisme: Hati secara luas melalui CYP2D6 hingga 9-hydroxyrisperidone
(aktivitas farmakologis serupa dengan risperidone); N-dealkilasi adalah jalur
minor kedua
20
(e) Bioavailabilitas: Oral: 70%; Tablet (relatif terhadap solusi): 94%; tablet
disintegrasi oral dan larutan oral adalah bioekuivalen terhadap tablet
(f) Waktu paruh eliminasi: Bagian aktif (risperidon dan metabolit aktifnya 9-
hidroksirisperidon)
Oral: 20 jam (rata-rata)
Metabolisme luas: Risperidone: 3 jam; 9-hydroxyrisperidone: 21 jam;
Metabolisme yang buruk: Risperidone: 20 jam; 9-hydroxyrisperidone: 30
jam;
Injeksi: 3-6 hari; terkait dengan erosi mikrosfer dan penyerapan risperidone
selanjutnya
(g) Waktu untuk mencapai puncak, plasma:
Oral: Risperidon: Dalam 1 jam;
Metabolisme luas: 3 jam;
Metabolisme yang buruk: 17 jam;
Ekskresi: Urin (70%); tinja (14%)
3) Bukan Psikotik
Selain obat psikotik, juga digunakan obat bukan psikotik sebgai obat
tambahan (adjunctive drug) untuk mengurangi efek samping dari obat
psikotik. Obat tambahan yang digunakan seperti fluoxetine, trihexyphenidyl,
phenytoin, divalproex Na, vitamin B6, asam folat, carbamazepine, lorazepam,
sertraline, piracetam, oxcarbazepine, dan amlodipine. Obat tambahan yang
paling banyak digunakan yaitu trihexyphenidyl.
(a) Trihexyphenidyl
(1) Farmakodinamik (Drug Interaction Handbook Application Edisi Ke-17,
2009)
(a) Indikasi trihexyphenidyl yaitu pengobatan tambahan untuk penyakit
parkinson, pengobatan gejala ekstrapiramidal yang diinduksi obat.
(b) Kontraindikasi trihexyphenidyl yaitu hipersensitivitas pada trihexyphenidyl
atau komponen apa pun dari formulasi, glaukoma sudut sempit, obstruksi
pilorik atau duodenum, stenosis tukak lambung, obstruksi leher kandung
kemih, akalasia, myasthenia gravis.
21
(c) Efek samping trihexyphenidyl yaitu anhidrosis / hipertermia, ketika diberikan
dalam dosis besar atau kepada pasien yang rentan dapat menyebabkan
kelemahan dan ketidakmampuan untuk menggerakkan kelompok otot
tertentu.
(d) Mekanisme kerja trihexyphenidyl yaitu memberikan efek penghambatan
langsung pada sistem saraf parasimpatis. Trihexyphenidyl juga memiliki efek
relaksasi pada otot-otot halus; diberikan secara langsung pada otot itu sendiri
dan secara tidak langsung melalui sistem saraf parasimpatis (efek
penghambatan).
(e) Onset: Efek puncak: 1 jam
(2) Farmakokinetik (Drug Interaction Handbook Application Edisi Ke-17, 2009)
(a) Waktu paruh eliminasi: 3,3-4,1 jam
(b) Waktu puncak, serum: 1-1,5 jam
(c) Ekskresi: Terutama urin
Tahap 1A
Individu yang naif-pengobatandengan skizofrenia episode pertama.
• • •
Monoterapi antipsikotik apa punkecuali clozapine.
Tahap 1B
Sebelumnya diobati denganantipsikotik untuk skizofrenia, dan
pengobatan sedang dimulai kembali.
• • •
Antipsikotik apa pun kecualiclozapine. Antipsikotik yangsebelumnya menghasilkan
kemanjuran atau intoleransi yangburuk tidak boleh digunakan.
Tahap 2
Pasien memiliki respon klinis yangtidak memadai dengan antipsikotikyang digunakan pada stadium 1A
atau 1B.
• • •
Monoterapi antipsikotik apa pun,kecuali clozapine, tidak digunakanpada stadium 1A atau 1B. Dapat
mempertimbangkan clozapine padapasien yang sangat ingin bunuh diri.
Tahap 3
Pasien memiliki respon klinis yangtidak memadai dengan dua uji
antipsikotik yang sesuai.
• • •
Monoterapi Clozapine
Gunakanantipsikotik injeksijangka panjang baikpada tahap 2 atau 4
jika diperlukan untukkepatuhan pasienyang buruk ataukarena preferensi
22
Sumber: Wells, BG; At all., 2015 dengan terjemahan.
Gambar 2.1 Algoritma Farmakoterapi Skizofrenia
b. Pengobatan psikososial
1) Pergaulan sosial
Kemiskinan pergaulan sosial, seperti yang telah disebutkan, harus
direduksi agar gejala-gejala “negatif” tidak meningkat. Tindakan ini dapat
berupa latihan keterampilan sosial, yaitu penggunaan metode psikoterapeutik
kelompok untuk mengajari pasien bagaimana berinteraksi secara tepat dengan
orang lain. Terapi okupasi juga sangat berguna dan dapat dipergunakan untuk
mengajari keterampilan yang berguna bagi pasien-pasien agar dapat hidup di
luar rumah sakit, seperti memasak. Harus diingat bahwa stimulasi sosial yang
berlebihan juga dapat menyebabkan efek simpang dengan bekerja sebagai
stresor psikososial (Puri, Paul, Ian, 2013:158).
2) Emosi yang diekspresikan
Untuk pasien-pasien yang selalu berada dalam lingkungan dengan
ekspresi emosi yang tinggi, dapat diterapkan kelompok kerja. Jika
pengurangan tingkat emosi yang diekspresikan tidak memungkinkan,
mungkin lebih baik pasien tidak kembali kekehidupan dengan keluarga
23
seperti ini, melainkan ditempatkan dengan staffed hostel (Puri, Paul, Ian,
2013:158).
3) Terapi perilaku
Selain latihan keterampilan sosial, jenis terpai perilaku lain yang dapat
digunakan adalah penerapan ekonomi mata uang (token economy); dengan
cara ini perilaku yang baik dihargai dengan mata uang yang dapat ditukar
dengan bentuk penghargaan barang tertentu (Puri, Paul, Ian, 2013:158-159).
4) Sanggar kerja yang dinaungi (shelted workshops)
Menghadiri sanggar kerja seperti, yang terutama diadakan untuk pasien
rawat jalan maupun rawat inap memeroleh sensai pencapaian dengan
melakukan beberapa pekerjaan setiap minggu dan mendapatkan gaji yang
sebenarnya relative kecil. Selain itu, keterampilan yang berguna, seperti
pekerjaan pertukangan, dapat dikuasai (Puri, Paul, Ian, 2013:159).
B. Polifarmasi
Berdasarkan definisi yang muncul dalam kamus medis standar
mengungkapkan bahwa kata "poli" berasal dari kata Yunani yang berarti lebih
dari satu dan bahwa "farmasi" mengacu pada kata Yunani untuk obat
"pharmacon". Sayangnya, tidak ada titik potong standar sehubungan dengan
jumlah obat yang disepakati untuk definisi polifarmasi. Definisi alternatif
untuk polifarmasi adalah penggunaan lebih banyak obat daripada yang
diperlukan secara medis. Untuk definisi ini, obat-obat yang tidak
diindikasikan, tidak efektif, atau merupakan duplikasi terapeutik akan
dianggap polifarmasi. Sayangnya, ada banyak konsekuensi negatif yang
terkait dengan polifarmasi. Secara khusus, beban minum banyak obat telah
dikaitkan dengan biaya perawatan kesehatan yang lebih besar dan
peningkatan risiko kejadian obat yang merugikan, interaksi obat,
ketidakpatuhan obat, berkurangnya kapasitas fungsional dan beberapa
sindrom geriatri (Maher, RL, At all, 2014:1-3).
24
Antipsikotik polifarmasi (APP) adalah penggunaan bersamaan dari dua
atau lebih obat antipsikotik yang berbeda oleh satu pasien. Meskipun ini
adalah skenario klinis yang umum, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
APP lebih efektif daripada antipsikotik tunggal untuk pengobatan skizofrenia.
APP juga merupakan penyebab utama peresepan dosis tinggi, peningkatan
beban efek samping, dan kemungkinan peningkatan mortalitas (bahkan dicap
sebagai 'rahasia kecil psikiatri'). Akibatnya, sebagian besar pedoman
pengobatan untuk skizofrenia merekomendasikan antipsikotik tunggal dalam
dosis standar. Meskipun demikian, audit baru-baru ini terhadap APP di rumah
sakit Graylands menemukan bahwa pasien secara rutin terpajan dengan APP
dan rejimen dosis tinggi (NMHS MH, 2013:1)
Penggunaan kombinasi antipsikotik dan resep dosis tinggi adalah umum
dalam pengobatan skizofrenia. Ini tampaknya merupakan praktik klinis yang
melekat dan prevalensi meningkat dari waktu ke waktu. Meskipun ada
beberapa dukungan terbatas untuk APP, ada kekhawatiran yang valid tentang
praktik ini; paling tidak, karena APP adalah penyebab utama resep dosis
tinggi, peningkatan beban efek samping, dan kemungkinan peningkatan
mortalitas. Kombinasi hanya boleh dilanjutkan jika manfaatnya relevan
secara klinis dan jelas lebih besar daripada konsekuensi yang merugikan.
Mengingat kesenjangan yang tampaknya ada antara bukti dan praktik saat ini,
kita perlu mengidentifikasi strategi yang efektif untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran akan rekomendasi pedoman dan untuk
memastikan bahwa rekomendasi ini diterjemahkan ke dalam praktik klinis
rutin (NMHS MH, 2013:4).
C. Interaksi Obat
1. Interaksi Obat-Obat
Mekanisme interaksi obat dibagi menjadi interaksi farmakokinetik dan
farmakodinamik (Baxter, 2008:2).
a. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi
proses obat diserap, didistribusikan, dimetabolisme dan diekskresikan
(ADME) (Baxter, 2008:3).
25
1) Interaksi pada absorpsi obat
Sebagian besar obat diberikan secara oral untuk penyerapan melalui
selaput lendir saluran pencernaan, dan sebagian besar interaksi yang
berlangsung di dalam usus menghasilkan penurunan penyerapan daripada
peningkatan. Perbedaan yang jelas harus dibuat antara mereka yang
mengurangi tingkat penyerapan dan mereka yang mengubah jumlah total
yang diserap. Obat yang diberikan untuk jangka panjang, dalam dosis ganda
(misalnya antikoagulan oral) laju penyerapan biasanya tidak penting, asalkan
jumlah total obat yang diserap tidak berubah secara nyata. Sedangkan obat
yang diberikan dalam dosis tunggal, dimaksudkan untuk diserap dengan cepat
(misalnya hipnotik atau analgesik), konsentrasi tinggi yang dicapai dengan
cepat diperlukan, pengurangan laju penyerapan dapat mengakibatkan
kegagalan untuk mencapai efek yang memadai (Baxter, 2008:3).
a) Efek perubahan pH gastrointestinal
Bagian obat melalui selaput lendir oleh difusi pasif sederhana tergantung
pada sejauh mana mereka ada dalam bentuk larut-lipid yang tidak terionisasi.
Oleh karena itu, penyerapan diatur oleh pKa obat, kelarutan lemaknya, pH isi
usus dan berbagai parameter lain yang berkaitan dengan formulasi obat
farmasi. Secara teori, mungkin diharapkan bahwa perubahan pH lambung
yang disebabkan oleh obat-obat seperti antagonis reseptor H2 akan memiliki
efek yang jelas pada penyerapan, tetapi dalam praktiknya hasilnya sering
tidak pasti karena sejumlah mekanisme lain juga dapat ikut berperan, seperti
khelasi, adsorpsi dan perubahan motilitas usus, yang dapat sangat
mempengaruhi apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dalam beberapa kasus
pengaruhnya bisa signifikan (Baxter, 2008:3).
b) Adsorpsi, khelasi dan mekanisme pengompleks lainnya
Arang aktif dimaksudkan untuk bertindak sebagai agen penyerap di
dalam usus untuk pengobatan akibat overdosis obat atau untuk
menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi
penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapi. Antasida juga dapat
menyerap sejumlah besar obat, tetapi sering kali mekanisme interaksi lain
juga terlibat. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat dikhelat dengan
26
sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, aluminium,
bismuth, dan besi untuk membentuk kompleks, yang keduanya diserap
dengan buruk dan mengurangi efek antibakteri. Ion logam ini ditemukan
dalam produk susu dan antasida. Memberi jarak saat mengonsumsinya selama
2 hingga 3 jam dilakukan untuk mengurangi efek interaksi jenis ini (Baxter,
2008:3).
c) Perubahan motilitas gastrointestinal
Sebagian besar obat diserap di bagian atas usus kecil. Obat-obat yang
mengubah tingkat motilitas pada saat perut kosong dapat mempengaruhi
penyerapan. Propantheline, misalnya, menunda pengosongan lambung dan
mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan,
metoklopramid memiliki efek sebaliknya. Namun, jumlah total obat yang
diserap tetap tidak berubah. Apa yang sebenarnya terjadi kadang-kadang
sangat tidak dapat diprediksi karena hasil akhir mungkin merupakan hasil dari
beberapa mekanisme yang berbeda (Baxter, 2008:3).
d) Induksi atau penghambatan protein pengangkut obat
Bioavailabilitas obat oral dari beberapa obat dibatasi oleh aksi protein
pengangkut obat, yang mengeluarkan obat yang telah menyebar melintasi
usus kembali ke usus. Saat ini, pengangkut obat yang paling dikenal adalah P-
glikoprotein. Digoxin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obat yang
menginduksi protein ini (seperti rifampisin) dapat mengurangi bioavailabilitas
digoxin (Baxter, 2008:3).
e) Malabsorpsi yang disebabkan oleh obat-obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi, mirip dengan yang terlihat
pada sari buah non-tropis. Efeknya adalah mengganggu penyerapan sejumlah
obat termasuk digoxin dan methotrexate (Baxter, 2008:3).
2) Interaksi pada distribusi obat
a) Interaksi pengikat protein
Setelah penyerapan, obat-obat didistribusikan dengan cepat ke seluruh
tubuh melalui sirkulasi. Beberapa obat benar-benar larut dalam air plasma,
tetapi banyak obat lainnya yang diangkut hanya sebagian molekul dalam
larutan dan sisanya terikat pada protein plasma, terutama albumin. Tingkat
27
pengikatan ini sangat bervariasi tetapi beberapa obat sangat terikat. Misalnya,
dicoumarol hanya memiliki empat dari setiap 1000 molekul yang tersisa tidak
terikat pada konsentrasi serum 0,5 mg%. Obat juga dapat terikat pada
albumin dalam cairan interstitial, seperti digoxin dapat mengikat ke jaringan
otot jantung (Baxter, 2008:3).
Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, keseimbangan
terbentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya
molekul yang tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologis,
sedangkan yang terikat membentuk kumpulan yang sirkulatif tetapi tidak aktif
secara farmakologis, dalam kasus obat dengan rasio ekstraksi rendah untuk
sementara waktu dilindungi dari metabolisme dan ekskresi. Ketika molekul
bebas menjadi dimetabolisme, beberapa molekul terikat menjadi tidak terikat
dan menjadi solusi untuk mengerahkan tindakan farmakologis normal
mereka, sebelum dimetabolisme dan diekskresikan (Baxter, 2008:3).
b) Induksi atau penghambatan protein transportasi obat
Semakin diakui bahwa distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain
seperti testis, dibatasi oleh aksi protein pengangkut obat seperti P-
glikoprotein. Protein-protein ini secara aktif mengangkut obat keluar dari sel
ketika mereka secara pasif berdifusi. Obat-obat yang merupakan penghambat
transporter ini karenanya dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke
dalam otak, yang dapat meningkatkan efek SSP yang merugikan, atau
bermanfaat (Baxter, 2008:4).
3) Interaksi metabolisme obat (biotransformasi)
Beberapa metabolisme obat berlangsung dalam serum, ginjal, kulit dan
usus, tetapi bagian terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan dalam
membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Terdapat 2 jenis utama reaksi
metabolisme obat. Pertama, disebut reaksi fase I (melibatkan oksidasi,
reduksi atau hidrolisis) yang mengubah obat menjadi lebih banyak senyawa
polar, sedangkan reaksi fase II melibatkan penggabungan obat dengan
beberapa bahan lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai
glukuronidasi) biasanya untuk membuat senyawa tidak aktif (Baxter, 2008:4).
28
Sebagian besar reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim yang
mengandung sitokrom P450. Isoenzim yang paling penting adalah: CYP1A2,
CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4. Enzim lain yang
terlibat dalam metabolisme fase I yaitu monoamine oksidase dan epoksida
hidrolase. Kurang diketahui tentang enzim yang bertanggung jawab untuk
reaksi konjugasi fase II, namun contohnya adalah UDP-
glucuronyltransferases (UGT), methyltranserases, dan N-acetyltransferases
(NAT) (Baxter, 2008:4).
a) Perubahan pada metabolisme fase pertama
(1) Perubahan aliran darah melalui hati
Setelah penyerapan di usus, portal sirkulasi membawa obat langsung ke
hati sebelum didistribusikan oleh aliran darah ke seluruh tubuh. Sejumlah
obat yang sangat larut dalam lemak menjalani biotransformasi besar-besaran
selama fase pertama melalui dinding usus dan hati dan ada beberapa bukti
bahwa beberapa obat dapat memiliki efek yang nyata pada tingkat
metabolisme fase pertama dengan mengubah aliran darah melalui hati.
Namun, ada beberapa contoh yang relevan secara klinis tentang hal ini, dan
banyak yang dapat dijelaskan dengan mekanisme lain, biasanya mengubah
metabolisme hati (Baxter, 2008:5).
(2) Penghambatan atau induksi metabolisme fase pertama
Dinding usus mengandung enzim metabolisme, terutama isoenzim
sitokrom P450. Selain metabolisme yang berubah yang disebabkan oleh
perubahan aliran darah di hati, ada bukti bahwa beberapa obat dapat memiliki
efek yang nyata pada tingkat metabolisme fase pertama dengan menghambat
atau menginduksi isoenzim sitokrom P450 dalam dinding usus atau di hati
(Baxter, 2008:5).
b) Induksi enzim
Fenomena stimulasi enzim atau induksi ini tidak hanya menjelaskan
kebutuhan akan dosis yang meningkat tetapi jika obat lain yang
dimetabolisme oleh kisaran enzim yang sama, metabolisme enzimatiknya
29
juga meningkat dan dosis yang lebih besar diperlukan untuk mempertahankan
efek terapi yang sama. Jalur metabolisme yang paling umum diinduksi adalah
oksidasi fase I yang dimediasi oleh isoenzim sitokrom P450 (Baxter, 2008:5).
c) Penghambatan enzim
Penghambatan enzim mengakibatkan berkurangnya metabolisme obat
sehingga dapat mulai menumpuk di dalam tubuh, efeknya biasanya sama
seperti ketika dosis ditingkatkan. Tidak seperti induksi enzim, yang mungkin
membutuhkan beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu untuk
berkembang sepenuhnya, penghambatan enzim dapat terjadi dalam 2 hingga
3 hari, yang mengakibatkan perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah oksidasi fase I oleh
isoenzim sitokrom P450. Metabolisme konjugatif fase II juga bisa dihambat.
Signifikansi klinis dari banyak interaksi penghambatan enzim tergantung
pada sejauh mana kadar serum obat meningkat. Jika kadar serum tetap dalam
kisaran terapeutik, interaksi mungkin tidak penting secara klinis (Baxter,
2008:5,7).
d) Faktor genetik dalam metabolisme obat
Pemahaman genetika yang meningkat telah menunjukkan bahwa
beberapa sitokrom isoenzim P450 tunduk pada polimorfisme genetik, yang
berarti bahwa beberapa populasi memiliki varian isoenzim dengan aktivitas
berbeda. Contoh paling dikenal adalah CYP2D6, sebagian kecil populasi
memiliki varian dengan aktivitas rendah dan digambarkan sebagai
metaboliser yang lambat (sekitar 5 hingga 10% pada Kaukasia putih, 0 hingga
2% pada orang Asia dan orang kulit hitam). Kemampuan yang bervariasi
untuk memetabolisme obat-obat tertentu dapat menjelaskan mengapa
beberapa pasien mengalami toksisitas ketika diberi obat, sementara yang lain
tetap bebas gejala (Baxter, 2008:7).
e) Sitokrom P450 isoenzim dan memprediksi interaksi obat
Sangat menarik untuk mengetahui isoenzim tertentu mana yang
bertanggung jawab untuk metabolisme obat karena dengan melakukan tes in
vitro dengan enzim hati manusia seringkali mungkin untuk menjelaskan
mengapa dan bagaimana beberapa obat berinteraksi. Sebagai contoh,
30
siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, dan kita tahu bahwa rifampisin
(rifampisin) adalah penginduksi kuat dari isoenzim ini, sedangkan
ketokonazol menghambat aktivitasnya, sehingga tidak mengherankan jika
rifampisin mengurangi efek siklosporin dan ketoconazole meningkatkannya.
Beberapa obat dapat dimetabolisme oleh lebih dari satu isoenzim sitokrom
P450, beberapa obat (dan metabolitnya) dapat menginduksi isoenzim tertentu
dan dimetabolisme olehnya, dan beberapa obat (atau metabolitnya) dapat
menghambat isoenzim tertentu tetapi tidak dimetabolisme olehnya (Baxter,
2008:7).
Tabel 2.2 Obat yang mempengaruhi atau dimetabolisme oleh sitokrom P450isoenzim CYP1A2
Inhibitor Penginduksi SubstratCimetidineFluoroquinolones
CiprofloxacinEnoxacinGrepafloxacin
Fluvoxamine
BarbituratesPhenytoinRokok Tobacco
ClozapineOlanzapineTheophylline
Sumber: Baxter, 2008, dengan terjemahan.
Tabel 2.3 Obat yang mempengaruhi atau dimetabolisme oleh keluargasitokrom P450 isoenzim CYP2
Isoenzim Inhibitor Penginduksi SubstratCYP2B6 Thiotepa Phenobarbital
PhenytoinCyclophosphamideIfosfamide
CYP2C8 GemfibrozilRifampisinTrimetroprim
PioglitazoneRepaglinideRosiglitazone
CYP2C9 AmiodaroneFluvastatinSSRIs
FluoxetineFluvoxamine
AprepitantRifampicin
IrbesartanNSAIDs
CelecoxibDiclofenacEtoricoxibValdecoxib
PhenytoinCYP2C19 Fluvoxamine Diazepam
31
IsoniazidTiclopidine
OmeprazolPhenytoin
CYP2D6 AmiodaroneCimetidineSSRIs
FluoxetineParoxetineSertraline
Rifampicin AntipsychoticsClozapineRisperidoneThioridazine
Beta BlokersCarvedilolMetoprololPropanolol
PropafenoneCYP2E1 Disulfiram Alkohol
IsoniazidParacetamol
Sumber: Baxter, 2008, dengan terjemahan.
Tabel 2.4 Obat yang mempengaruhi atau dimetabolisme oleh sitokrom P450isoensim CYP3A4
Inhibitor Penginduksi SubstratCimetidineSSRIs
FluoxetineVerapamil
CarbamazepineDexamethasonePhenytoin
AmiodaroneCarbamazepineQuetiapine
Sumber: Baxter, 2008, dengan terjemahan.
4) Interaksi pada ekskresi obat
Darah yang memasuki ginjal di sepanjang arteri ginjal, pertama-tama
dikirim ke glomeruli tubulus, molekul yang cukup kecil untuk melewati pori-
pori membran glomerulus (misalnya air, garam, beberapa obat) disaring ke
dalam lumen pada tubulus. Molekul yang lebih besar, seperti protein plasma,
dan sel darah disimpan di dalam darah. Aliran darah kemudian berpindah ke
bagian-bagian yang tersisa dari tubulus ginjal, sistem transpor yang
menggunakan energi aktif mampu mengeluarkan obat-obat dan metabolitnya
dari darah dan mengeluarkannya ke dalam filtrat tubular. Sel tubular ginjal
juga memiliki sistem transpor aktif dan pasif untuk reabsorpsi obat.
Gangguan oleh obat dengan pH cairan tubulus ginjal, dengan sistem transpor
aktif dan dengan aliran darah ke ginjal dapat mengubah ekskresi obat lain
(Baxter, 2008:7-8).
a) Perubahan pH urin
Seperti halnya penyerapan obat dalam usus, reabsorpsi pasif obat
tergantung pada sejauhmana obat itu ada dalam bentuk terlarut lipid yang
tidak terionisasi, yang pada gilirannya tergantung pada pKa dan pH urin.
Hanya bentuk yang tidak terionisasi yang larut dalam lemak dan dapat
32
berdifusi kembali melalui membran lipid dari sel tubulus. Jadi pada nilai pH
tinggi (alkali), obat asam lemah (pKa 3 sampai 7,5) sebagian besar ada
sebagai molekul yang tidak larut dalam lipid terionisasi, yang tidak dapat
berdifusi ke dalam sel tubulus dan karena itu akan tetap dalam urin dan
dikeluarkan dari tubuh. Kebalikannya akan berlaku untuk basa lemah dengan
nilai pKa 7,5 hingga 10,5. Jadi perubahan pH yang meningkatkan jumlah
yang terionisasi (urin alkali untuk obat-obat asam, urin asam untuk obat-obat
dasar) dapat meningkatkan ekskresi obat, sedangkan perubahan pH pada arah
yang berlawanan akan meningkatkan retensi. Dalam kasus overdosis,
manipulasi pH urin secara sengaja telah digunakan untuk meningkatkan
ekskresi obat-obat seperti metotreksat dan salisilat (Baxter, 2008:8).
b) Perubahan aktif pada ekskresi tubular ginjal
Obat-obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di
tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain untuk ekskresi. Transporter ABC
dan P-glikoprotein juga ada di ginjal, obat-obat ini dapat mengubah eliminasi
obat ginjal (Baxter, 2008:8).
c) Perubahan aliran darah pada ginjal
Aliran darah melalui ginjal sebagian dikendalikan oleh produksi
prostaglandin vasodilatasi ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini terhambat,
ekskresi beberapa obat ginjal dapat berkurang (Baxter, 2008:8).
d) Ekskresi bilier dan pintasan entero-hepatik
(1) Resirkulasi enterohepatik
Sejumlah obat diekskresikan dalam empedu, bentuk tidak berubah atau
terkonjugasi membuatnya lebih larut dalam air. Beberapa konjugat
dimetabolisme menjadi senyawa utama oleh flora usus dan kemudian diserap
kembali. Proses daur ulang ini memperpanjang masa tinggal obat di dalam
tubuh, tetapi jika flora usus berkurang dengan adanya antibakteri, obat
tersebut tidak didaur ulang dan diekskresikan lebih cepat (Baxter, 2008:8).
(2) Pengangkut obat
33
Beberapa protein pengangkut obat terbawa dalam ekstraksi pada hati dan
sekresi obat ke dalam empedu. Pompa ekspor garam empedu (ABCB11)
diketahui dihambat oleh berbagai obat termasuk siklosporin, glibenclamide,
dan bosentan. Penghambatan pompa ini dapat meningkatkan risiko kolestasis
(Baxter, 2008:8).
5) Protein pengangkut obat
Protein pengangkut obat yang paling terkenal adalah P-glikoprotein, yang
merupakan produk dari gen MDR1 (gen ABCB1) dan bagian dari pengangkut
eflux kaset pengikat ATP (ABC). Pengangkut ABC lainnya adalah pompa
ekspor garam empedu (BSEP atau ABCB11). Pengangkut lain yang terlibat
dalam beberapa interaksi obat adalah transporter anion organik (OAT),
polipeptida pengangkut anion organik (OATPs), dan transporter kation
organik (OCT) yang merupakan bagian pembawa zat terlarut (SLC) dari
pengangkut (Baxter, 2008:8).
a) Interaksi P-glikoprotein
Semakin banyak bukti yang terakumulasi untuk menunjukkan bahwa
beberapa interaksi obat terjadi karena mereka mengganggu aktivitas P-
glikoprotein. Ini adalah pompa penghilang cairan yang ditemukan di
membran sel tertentu, yang dapat mendorong metabolit dan obat keluar dari
sel dan berdampak pada tingkat penyerapan obat (melalui usus), distribusi (ke
otak, testis, atau plasenta) dan eliminasi (dalam urin dan empedu). Jadi,
misalnya, P-glikoprotein dalam sel-sel lapisan usus dapat mengeluarkan
beberapa molekul obat yang sudah diserap kembali ke usus sehingga
menghasilkan pengurangan jumlah total obat yang diserap. Dengan cara ini P-
glikoprotein bertindak sebagai penghalang penyerapan. Aktivitas P-
glikoprotein dalam sel endotel dari sawar darah-otak juga dapat
mengeluarkan obat-obat tertentu dari otak, sehingga membatasi penetrasi dan
efek SSP. Tindakan memompa P-glikoprotein dapat diinduksi atau dihambat
oleh beberapa obat. Dengan demikian induksi atau penghambatan P-
glikoprotein dapat berdampak pada farmakokinetik beberapa obat. Ada
tumpang tindih antara CYP3A4 dan inhibitor P-glikoprotein, penginduksi dan
substrat. Oleh karena itu, kedua mekanisme dapat terlibat dalam banyak
34
interaksi obat yang secara tradisional dianggap disebabkan oleh perubahan
CYP3A4 (Baxter, 2008:8-9).
b. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah efek dari satu obat diubah oleh
kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Terkadang obat bersaing secara
langsung untuk reseptor tertentu (misalnya agonis beta2 seperti salbutamol,
dan beta blocker seperti propranolol) tetapi seringkali reaksinya secara tidak
langsung dan melibatkan gangguan pada mekanisme fisiologis (Baxter,
2008:9).
1) Aditif atau interaksi sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersama, efeknya dapat menjadi aditif. Efek aditif dapat terjadi baik dengan
efek utama obat maupun efek sampingnya, sehingga interaksi aditif dapat
terjadi dengan obat antiparkinson antimuskarinik (efek utama) atau
butyrophenone (efek samping) yang dapat mengakibatkan toksisitas
antimuskarinik yang serius. Terkadang efek aditif bersifat toksik (misalnya
ototoksisitas aditif, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang, perpanjangan
interval QT) (Baxter, 2008:9).
a) Sindrom serotonin
Pada 1950-an, reaksi toksik serius dan mengancam jiwa dilaporkan pada
pasien yang memakai iproniazid (MAOI) ketika mereka diberi pethidine
(meperidine). Apa yang terjadi diduga disebabkan oleh stimulasi berlebih dari
reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A dan kemungkinan reseptor serotonin lain
dalam sistem saraf pusat (khususnya di batang otak dan sumsum tulang
belakang) karena efek gabungan dari dua obat. Ini dapat terjadi secara luar
biasa setelah hanya menggunakan satu obat, yang menyebabkan stimulasi
berlebih dari reseptor 5-HT ini, tetapi jauh lebih biasanya ia berkembang
ketika dua atau lebih obat (disebut obat serotonergik atau serotomimetik)
bekerja bersamaan. Gejala khas (sekarang dikenal sebagai sindrom serotonin)
jatuh ke dalam tiga area utama, yaitu perubahan status mental (agitasi,
kebingungan, mania), disfungsi otonom (diaforesis, diare, demam, menggigil)
dan kelainan neuromuskuler (hiperrefleksia, inkoordinasi, mioklonus,
35
getaran). Masih belum jelas mengapa banyak pasien dapat menggunakan dua,
atau kadang-kadang beberapa obat serotonergik bersama-sama tanpa masalah,
sementara sejumlah kecil mengembangkan reaksi toksik yang serius ini,
tetapi jelas menunjukkan bahwa masih ada faktor lain yang terlibat yang
belum diidentifikasi (Baxter, 2008:9).
Tabel 2.5 Interaksi Aditif, Sinergis atau Penggabungan
Obat Hasil Interaksi
Antipsikotik + AntimuskarinikPeningkatan efek antimuskarinik; heat strokedalam kondisi panas dan lembab, ileus adinamik,psikosis toksik
Depresan SSP + Depresan SSP Alkohol + Antihistamin Benzodiazepin + Anestesi, umum Opioid + Benzodiazepin
Keterampilan psikomotorik berkurang,kewaspadaan berkurang, kantuk, pingsan, depresipernapasan, koma, kematian
Obat yang memperpanjang interval QT+ Obat lain yang memperpanjanginterval QT
Perpanjangan aditif interval QT, peningkatanrisiko torsade de pointes
Sumber: Baxter, 2008, dengan terjemahan.
2) Antagonis atau interaksi yang saling bertentangan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasangan obat dengan
aktivitas yang saling bertentangan. Sebagai contoh, kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat secara
kompetitif efek dari diet vitamin K. Jika asupan vitamin K meningkat, efek
antikoagulan oral ditentang dan waktu protrombin dapat kembali normal,
sehingga membatalkan manfaat terapeutik dari pengobatan antikoagulan
(Baxter, 2008:9-10).
Tabel 2.6 Interaksi Oposisi atau Antagonis
Obat yangTerpengaruh
Obat yang Berinteraksi Hasil Interaksi
ACE inhibitors orLoop diuretics
NSAIDsEfek antihipertensiditentang
Antikoagulan Vitamin KEfek antikoagulanditentang
LevodopaAntipsikotik (yang memiliki efekantagonis dopamin)
Efek antiparkinsonditentang
Sumber: Baxter, 2008, dengan terjemahan.
36
3) Interaksi penggunaan obat atau neurotransmitter
Sejumlah obat dengan aksi yang terjadi pada neuron adrenergik dapat
dicegah agar tidak mencapai tempat tindakan tersebut dengan adanya obat
lain. Antidepresan trisiklik mencegah pengambilan kembali noradrenalin
(norepinefrin) menjadi neuron adrenergik perifer. Misalnya, penggunaan
guanethidine (dan obat-obat terkait guanoclor, betanidine, debrisoquine, dll.)
diblokir oleh 'chlorpromazine, haloperidol, tiotixene', sejumlah 'obat seperti
amfetamin' dan 'antidepresan trisiklik', sehingga efek antihipertensi dicegah
(Baxter, 2008:10).
2. Interaksi obat-herbal
Pasar obat-obat herbal dan suplemen di dunia Barat telah meningkat
pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan, tidak mengherankan, laporan
interaksi dengan obat konvensional telah muncul. Contoh paling terkenal dan
terdokumentasi adalah interaksi St. John's wort (Hypericum perforatum)
dengan berbagai obat (Baxter, 2008:10).
3. Interaksi obat-makanan
Sudah diketahui bahwa makanan dapat menyebabkan perubahan penting
secara klinis dalam penyerapan obat melalui efek pada motilitas
gastrointestinal atau dengan pengikatan obat. Selain itu, telah diketahui
bahwa tyramine (terdapat pada beberapa bahan makanan) dapat mencapai
konsentrasi toksik pada pasien yang memakai 'MAOIs'.
a. Sayuran dan daging panggang arang
Sayuran seperti kecambah brussel, kubis, dan brokoli, mengandung zat
yang merupakan penginduksi dari sitokrom P450 isoenzim CYP1A2. Bahan
kimia yang dibentuk oleh 'daging terbakar' juga memiliki sifat-sifat ini.
Makanan ini tampaknya tidak menyebabkan interaksi obat yang penting
secara klinis, tetapi konsumsi mereka dapat menambah variabel lain untuk
studi interaksi obat, sehingga mempersulit interpretasi. Dalam studi interaksi
obat, perubahan CYP1A2 merupakan mekanisme yang diprediksi, mungkin
lebih baik bagi pasien untuk menghindari makanan ini selama penelitian
(Baxter, 2008:11).
b. Jus Grapefruit
37
Secara umum, jus grapefruit menghambat CYP3A4 usus, dan hanya
sedikit mempengaruhi CYP3A4 hati, sediaan obat intravena yang
dimetabolisme oleh CYP3A4 tidak banyak terpengaruh, sedangkan sediaan
oral dari obat yang sama juga menghasilkan peningkatan level obat. Beberapa
obat yang tidak dimetabolisme oleh CYP3A4 menunjukkan penurunan kadar
dengan jus grapefruit. Alasan yang mungkin untuk hal ini adalah bahwa jus
grapefruit merupakan penghambat beberapa pengangkut obat, dan mungkin
mempengaruhi polipeptida pengangkut anion organik (OATP), walaupun
penghambatan P-glikoprotein juga telah terjadi. Grapefruit mengandung
naringin, yang mengalami degradasi selama pemrosesan menjadi naringenin,
zat yang dikenal menghambat CYP3A4 (Baxter, 2008:11).
D. Rumah Sakit Jiwa
Pengertian rumah sakit menurut Permenkes RI No. 4 Tahun 2018 adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. Berdasarkan Permenkes RI No. 56 Tahun 2014
Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit
Khusus berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan. Rumah Sakit Khusus
adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ,
jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Rumah Sakit Khusus hanya dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai bidang kekhususannya dan
bidang lain yang menunjang kekhususan tersebut. Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di luar bidang kekhususannya hanya dapat dilakukan
pada pelayanan gawat darurat. Rumah sakit jiwa termasuk kedalam kategori
rumah sakit khusus.
1. Fungsi dan Tujuan Rumah Sakit Jiwa
Fungsi Rumah Sakit jiwa berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI
No.135/Menkes/SK/IV/78 tentang susunan organisasi dan tata kerja rumah
sakit jiwa adalah:
a) Melaksanakan usaha pelayanan kesehatan jiwa pencegahan
b) Melaksanakan usaha kesehatan jiwa pemulihan
38
c) Melaksanakan usaha kesehatan jiwa rehabilitasi
d) Melaksanakan usaha kesehatan jiwa kemasyarakatan
e) Melaksanakan sistem rujukan (sistem Renefal)
Tujuan dari Rumah Sakit Jiwa:
a) Mencegah terjadinya gangguan jiwa pada masyarakat (promosi prefentif)
b) Menyembuhkan penderita gangguan jiwa dengan usaha-usaha penyembuhan
optimal
c) Rehabilitasi di bidang kesehatan jiwa
E. Rekam Medis
Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
kepada pasien. Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana
pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat (Permenkes RI No:
269/MENKES/PER/III/2008: I: 1 (1)):
1. identitas pasien;
2. tanggal dan waktu;
3. hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit;
4. hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
5. diagnosis;
6. rencana penatalaksanaan;
7. pengobatan dan/atau tindakan;
8. pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien;
9. untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
10. persetujuan tindakan bila perlu dilakukan
F. Kerangka Teori
Tahap 1: monoterapi kecuali klozapinAntipsikotik Tipikal:
Skizofrenia
Penatalaksanaan
Pasien Skizofrenia
Terapi Farmakologi Terapi Non-Farmakologi /Psikososial
39
Sumber: Wells, BG; At all., 2015 dengan terjemahan.
Gambar 2.2 Kerangka Teori
G. Kerangka Konsep
Potensi InteraksiObat Pada Peresepan
Obat AntipsikotikPasien Skizofrenia
1. Karakteristik sosiodemografi(jenis kelamin, usia, pendidikan,dan pekerjaan) dalam resep padapasien skizofrenia
2. Karakteristik klinis (item obat danjumlah item obat) dalam reseppada pasien skizofrenia
3. Pasien skizofrenia yang berpotensimengalami interaksi obat psikotik
4. Frekuensi interaksi obatberdasarkan karakteristik
40
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
H. Definisi Operasional
Tabel 2.7 Definisi Operasional
No. VariabelDefinisi
OperasionalCara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
SkalaUkur
1. Karakteristik Sosiodemografi
a. Jeniskelamin
Sifat(keadaan)yangmembedakansebagai betina
ObservasiRekammedik
Checklist 1 = Perempuan2 = Laki-laki
Nominal
41
(perempuan)dan jantan(laki-laki)(KBBI, 2016)
b. Umur Umurrespondenyang dihitungdari tahun saatpenelitiandikurangitahun lahirresponden(Masturoh danNauri, 2018)
ObservasiRekamMedik
Checklist 1 = ≤ 25 tahun2 = 26 – 45 tahun3 = 46 – 65 tahun4 = > 65 tahun(Depkes RI, 2009dalam Santika, 2015)
Interval
c. Pendidikan Pendidikanadalah jenjangyangditempuhrespondensampaidenganmendapatkanijazah(Masturoh danNauri, 2018)
ObservasiRekamMedik
Checklist 1 = SD2 = SMP3 = SMA4 = Perguruan Tinggi
Ordinal
d. Pekerjaan Pekerjaanmerupakancara mencarinafkah untukmemenuhikebutuhandirinya dankeluarga(Masturoh danNauri, 2018)
ObservasiRekamMedik
Checklist 1 = Bekerja2 = Tidak Bekerja
Nominal
No. VariabelDefinisi
OperasionalCara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
SkalaUkur
2. Karakteristik Klinisa. Item Obat Item obat yang
tertera padaresep padapengobatanterakhir
ObservasiRekamMedik
Checklist Item Obat :Psikotik:1 = Chlorpromazine2 = Fluphenazin3 = Haloperidol4 = Trifluoperazin5 = Clozapine6 = Olanzapine7 = Quetiapine8 = RisperidoneBukan Psikotik:9 = Fluoxetine
Nominal
42
10 = Trihexyphenidyl11 = Phenytoin12 = Divalproex Na13 = Vitamin B614 = Asam Folat15 = Carbamazepine16 = Lorazepam17 = Sertralin18 = Piracetam19 = Oxcarbazepine20 = Amlodipine
b. JumlahItem ObatDalamResep
Jumlah itemobatdiresepkandalam saturesep
ObservasiRekamMedik
Checklist 1 = Dua obat2 = Tiga obat3 = Empat obat4 = Lima obat5 = ≥ Enam Obat
Nominal
3. Potensi InteraksiObatBerdasarkanResep
Kemungkinanterjadinyainteraksi obatberdasarkanresep
ObservasiRekamMedik
Checklistdan
Medscape
1 = Ada2 = Tidak Ada
Nominal
4. FrekuensiInteraksi ObatBerdasarkanKarakteristikSosiodemografi
Jumlahkejadianinteraksi obatberdasarkankarakteristiksosiodemografi
ObservasiRekamMedik
Checklistdan
Medscape
1 = Ada2 = Tidak Ada
Nominal
5. FrekuensiInteraksi ObatBerdasarkanKarakteristikKlinis
Jumlahkejadianinteraksi obatberdasarkankarakteristikklinis
ObservasiRekamMedik
Checklistdan
Medscape
1 = Ada2 = Tidak Ada
Nominal
No. VariabelDefinisi
OperasionalCara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
SkalaUkur
6. FrekuensiMekanismeInteraksi Obat
Jumlahkejadianinteraksi obatberdasarkancara kerjasuatu obatdiubah ataudipengaruhioleh obat lainyangdiberikansecarabersamaan
ObservasiRekamMedik
Checklistdan
Medscape
1 = Absorbsi2 = Distribusi3 = Metabolisme4 = Ekskresi5 = Protein
pengangkut obat6 = Aditif7 = Antagonis8 = Penggunaan obat /
neurotransmitter
Nominal
7. Frekuensi Jumlah Observasi Checklist 1 = Ada Nominal
43
KejadianInteraksi Obat
kejadianinteraksi obatberdasarkanefek yangtimbul
RekamMedik
danMedscape
2 = Tidak Ada