23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Destinasi Kintamani merupakan DTWK (Daya Tarik Wisata Khusus), dengan
sektor pariwisata yang berkembang pesat. Kunjungan wisatawan ke destinasi ini
cenderung berfluktuasi negatif; data kunjungan wisatawan enam tahun terakhir
mengalami penurunan (Disparda Bali, 2014). Hasil field research STP (2014)
menemukan bahwa terjadi penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke Destinasi
Kintamani, terkait erat dengan isu kepariwisataan di Kintamani seperti pedagang
acung yang agresif, masalah kebersihan, pelanggaran bangunan di sempadan jurang,
dan truk pengangkut pasir galian C yang satu jalur dengan jalur pariwisata.
Beberapa kajian empiris yang dilakukan di Kintamani memberi rujukan bahwa
destinasi ini membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Kajian diperlukan
guna melihat perkembangan destinasi ini sehingga kelebihan dan keunikan yang
dimiliki Destinasi Kintamani tetap bisa dipertahankan.
2.1 Penelitian Sebelumnya
Penelitian Ariana (2009) menganalisis pariwisata Kintamani dari perspektif
patologi sosial. Kawasan Kintamani sudah dikenal sebagai destinasi wisata sejak
jaman penjajahan Belanda. Seorang dokter asing yang bertugas di Bali bernama
Gregor Krouse menulis buku berjudul Bali 1912 yang menggambarkan keindahan
gadis Bali dan pariwisata Kintamani. Keindahan Kintamani dengan pesona gadis Bali
24
menjadi cikal bakal pariwisata Destinasi Kintamani dikenal di mata dunia Eropa dan
berlanjut hingga saat ini.
Perkembangan pariwisata Kintamani tidak sejalan dengan perkembangan
pariwisata Kabupaten Badung dan sekitarnya. Berbagai permasalahan timbul dan
perlu mendapat perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah, dan pemangku
kepentingan. Penelitian Ariana (2009) menemukan bahwa citra pariwisata Kintamani
yang terkesan kurang baik semakin dirasakan oleh wisatawan. Buruknya pencitraan
diyakini memberikan pengaruh semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke
Destinasi Kintamani. Berbagai perilaku sektor informal yang sangat merugikan
wisatawan di antaranya pedagang acung yang kurang sopan menawarkan barang
dagangannya. Perilaku oknum sopir boat yang memberikan pelayanan kurang
bersahabat membuat wisatawan merasa cemas saat mesin boat dimatikan di tengah
danau. Bahkan, pernah terjadi kasus pemukulan guide oleh oknum pedagang acung
yang sangat mengoyak dunia pariwisata di Kabupaten Bangli (www.bisnisbali.com,
2013). Dalam menawarkan jasanya, para pramuwisata lokal sering membujuk
wisatawan secara berlebihan dan membuat wisatawan merasa tidak nyaman, merasa
dipaksa, dan tidak aman. Mengapa para pelaku sektor informal berperilaku kurang
patut di Kintamani? Fenomena ini dikaji berdasarkan analisis patologi sosial oleh
Ariana (2009). Penelitian dilakukan dengan pemetaan sosial, mengambil langkah-
langkah pemecahan masalah yang melibatkan komponen inti yakni masyarakat.
Dengan demikian, permasalahan yang terjadi dapat dipecahkan dengan baik. Hal ini
akan mampu mengangkat kembali citra Destinasi Kintamani.
25
Penelitian Agustini dan Suarthana (2013) menganalisis peran DMO dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat Kintamani. Hasil penelitian ini menemukan
bahwa dengan prinsip partisipatif, DMO melibatkan masyarakat lokal yang
digerakkan oleh LWG (Local Working Group) sehingga mampu melaksanakan fungsi
tata kelola Danau Batur secara optimal.
Penelitian selanjutnya, guna melihat aspek tantangan dan hambatan
pengelolaan Destinasi Trunyan, Agustini et al. (2014) menemukan bahwa sinergitas
antara pengelola Pemakaman di Trunyan dengan pengelola di dermaga menentukan
keberlangsungan Destinasi Trunyan. Peran pemerintah dan swasta serta keterlibatan
akademisi (berbasis teori) dalam pengelolaan destinasi berdampak pada
keberlangsungan Destinasi Trunyan. Dalam aspek pencitraan Kintamani, penelitian
Agustini dan Suarthana (2014) menemukan bahwa dalam pencitraan kawasan
Kintamani, WOM (Words Of Mouth) sebagai variabel kontrol berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap kunjungan wisatawan ke Destinasi Kintamani.
Menurut penelitian Sudana dan Mahadewi (2014), Destinasi Kintamani
merupakan DTWK; sebagai Daya Tarik Wisata Minat khusus Kintamani harus
menerapkan grow and build strategy, yaitu strategi penetrasi pasar, strategi
pengembangan pasar, dan strategi pengembangan produk. Selanjutnya, berdasarkan
analisis SWOT, diperoleh strategi alternatif yang dapat diterapkan adalah menciptaan
dan pengembangan produk wisata minat khusus yang berkualitas, strategi peningkatan
promosi melalui penggunaan kemajuan teknologi informasi, strategi pembuatan paket
wisata minat khusus yang meminimalkan penggunaan akses yang bersamaan dengan
26
truk pengangkut galian C, dan strategi pembuatan paket wisata minat khusus dengan
memanfaatkan sarana transportasi air di Danau Batur.
Penelitian Saftic et al. (2011) menganalisis pendekatan stakeholder dalam
manajemen pariwisata dan implikasinya di Croasia. Peneliti ini menemukan bahwa
pendekatan stakeholder adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan manajemen,
terutama mengacu pada organisasi. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa
suatu organisasi ditandai oleh hubungan dengan berbagai kelompok dan individu.
Trend baru di bidang pariwisata memasukkan karyawan, pelanggan, pemasok, dan
pemerintah sebagai pemangku kepentingan. Pendekatan ini diterapkan tidak hanya
pada sektor besar, tetapi masuk juga ke sektor mikro dan destinasi wisata yang
dikelola oleh masyarakat. Meskipun banyak penelitian yang berhubungan dengan isu
ini, tidak sepenuhnya pendekatan ini mungkin diaplikasikan di Croasia. Penelitian ini
juga mengkaji pendekatan stakeholder dalam pergeseran mikro level kepada
manajemen destinasi. Management Destination Organization (DMO) melaksanakan
fungsi manajemen destinasi dan berperan sebagai sebuah firma atau perusahaan.
Banyak ditemukan bahwa fase penentuan stakeholder dalam pariwisata semakin
beragam. Umumnya diklasifikasikan stakeholder primer dan stakeholder sekunder.
Penelitian Tkaczynski et al. (2009) menekankan bahwa berbagai riset
dilakukan oleh para ilmuwan dalam rangka menggali peran dan fungsi stakeholder
yang terlibat dalam pariwisata. Pengkategorian ini secara umum dibagi menjadi primer
dan sekunder, yang secara rinci ditunjukkan pada Tabel 2.1.
27
Tabel 2.1
Klasifikasi Jenis Stakeholder
Tipe Stakeholder Pengarang
Primer Organisasi Pemerintah
Setempat
Blain et al. (2005); Morgan & Pritchard (1999);
Sautter & Leisen (1999); Sheehan, Ritchie &
Hudson (2007); Sheehan & Ritchie (2005)
Pesaing Sautter & Leisen (1999)
Organisasi Marketing
Destinasi
Blain et al. (2005); Morgan & Pritchard (1999);
Sautter & Leisen (1999); Sheehan et al.(2007);
Sheehan & Ritchie (2005)
Hotel Blain et al.(2005); Sautter & Leisen (1999);
Sheehan et al.( 2007); Sheehan & Ritchie
(2005)
Penduduk Sautter & Leisen (1999)
Operator Atraksi Wisata,
Pusat Konvensi Blain et al.(2005); Morgan & Pritchard (1999);
Sautter & Leisen (1999); Sheehan et al. (2007);
Sheehan & Ritchie (2005)
Perusahaan Penyedia Jasa
Transportasi
Blain et al.(2005); Sautter & Leisen (1999)
Wisatawan Sautter & Leisen (1999); Sheehan & Ritchie
(2005
Restoran Blain et al.(2005); Sautter & Leisen (1999)
Sekunder Dewan Penasehat Morgan & Pritchard (1999); Sheehan & Ritchie
(2005)
Penduduk dan Kelompok
Masyarakat Morgan &Pritchard (1999); Sautter & Leisen
(1999); Sheehan & Ritchie (2005)
Stasiun Gas Sautter & Leisen (1999)
Perencana Insentif Blain et al.(2005); Morgan & Pritchard
(1999); Sautter & Leisen (1999); Sheehan &
Ritchie (2005)
Media Sautter & Leisen (1999); Sheehan & Ritchie
(2005)
Ritel Outlet Blain et al.(2005); Sautter & Leisen (1999);
Sheehan & Ritchie (2005)
Universitas Blain et al.(2005); Sheehan & Ritchie (2005)
Sumber: Tkaczynski et al. (2009)
Klasifikasi ini memperjelas kedudukan masyarakat, pemerintah, investor, media,
dan lembaga serta interaksi yang terjadi. Interaksi dengan pemangku kepentingan yang
berbeda dapat berkontribusi untuk lebih memahami kebutuhan masyarakat (Caffyn
28
dan Jobbins, 2003). Interaksi seperti ini dapat diperoleh dalam struktur organisasi
pengelola yang bertanggung jawab atas pengelolaan pengembangan destinasi tujuan
wisata.
Dalam perspektif lain, Magas (2008) menganalisis model dan struktur
organisasi, garis koordinasi dibedakan berdasarkan kemauan dan kebiasaan pemangku
kepentingan di tempat tujuan. Model-model yang ada dijabarkan dalam unsur-unsur
yang mencakup 1) fungsi publik, 2) representasi dari seluruh sektor, 3) koordinasi
dan menjalankan semua kegiatan dan layanan, dan 4) berfokus pada keinginan dan
kepentingan publik dan menawarkan swasta sebagai penyedia akses, dan pertahanan
profesi sebagai pemangku kepentingan (Magas, 2008).
Merujuk konsep Community Based Tourism (CBT) atau lebih dikenal pariwisata
berbasis masyarakat lokal (CBT Principles and Meaning, 2011), tampak bahwa CBT
memiliki karakter yang cukup unik dan berbeda dengan mass tourism. Implementasi
CBT membutuhkan pemahaman khusus dan penekanan pada prinsip-prinsip CBT.
Bisnis pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaannya tidak sepenuhnya akan
memberi kontribusi keuntungan yang besar kepada investor dan pengelola. Dampak
terhadap sosial budaya dan sumber daya lingkungan akan sangat dirasakan pada
pariwisata model ini. Karena itu, diperlukan strategi khusus dengan memanfaatkan
wisatawan sebagai alat untuk menguatkan destinasi dan mengelola sumber daya lokal
melalui pemberdayaan masyarakat setempat. Kesalahan dalam mengelola CBT dapat
berdampak buruk terhadap sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat (CBT
Principles and Meaning, 2011)
29
CBT adalah pariwisata yang mendasarkan kegiatannya pada faktor sosial
budaya, lingkungan dan kebersinambungan budaya (CBT Principles and Meaning,
2011). CBT dikelola dan dimiliki oleh masyarakat dengan maksud meningkatkan rasa
peduli akan masyarakat, lingkungan, dan pembelajaran tentang cara hidup masyarakat
setempat. Partisipasi masyarakat lokal sangat menentukan keberhasilan CBT. Selvam
(1998) dalam Kathiresan (2003) menyatakan bahwa beberapa strategi partisipasi yang
melibatkan masyaralat lokal yang dapat ditempuh dalam rangka implementasi CBT
adalah 1) melakukan analisis situasi, 2) membangun partnership, 3) menganalisis isu-
isu di masyarakat, 4) informasi kelompok, 5) perencanaan mikro, 6) implementasi dan
monitoring, 7) evaluasi dan umpan balik, dan 8) refinement and extension.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam manajemen destinasi melalui partisipasi
masyarakat sosial dalam pembangunan komunitas diteliti oleh Samah dan Aref,
(2010). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat
dipandang sebagai suatu proses di mana individu yang terlibat dalam memulai,
memutuskan, merencanakan, melaksanakan, dan mengelola kelompok dan
kegiatannya.
. Proses partisipasi masyarakat dalam hal ini menyangkut pula pengembangan
sosial di mana masyarakat adalah pelaku dalam lingkungannya dan berusaha mencari
solusi atas kebutuhan, harapan kolektif, dan permasalahannya. Keterlibatan
masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di pedesaan
berkontribusi besar terhadap perbaikan perekonomian masyarakat pelaku.
Pengembangan pariwisata di pedesaan cenderung kompleks karena melibatkan banyak
30
pihak di antaranya agen swasta, pemerintah, dan masyarakat lokal sendiri. Tujuan
pengembangan pariwisata yang melibatkan masyarakat lokal adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, konservasi sumber daya yang melekat pada kehidupan
sosial masyarakat.
Penelitian Pomeroy dan Katon (2000) menyatakan bahwa joint management
atau co-management atau partnership diperlukan dalam rangka membagi otoritas dan
tanggung jawab dengan pemerintah, masyarakat lokal, pemangku kepentingan, swasta
dan akademisi. Kolaborasi semua unsur dalam sebuah manajemen destinasi
mempercepat pencapaian tujuan pengembangan destinasi tersebut.
Kathiresan (2003) menjelaskan ihwal tipe stakeholder yang terlibat dalam
manajemen destinasi, yang meliputi local user community, local community dan
government agencies. Agen dan asosiasi yang terlibat dalam manajemen destinasi di
Indonesia meliputi PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), ASITA
(Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies), BHA (Bali Hotel
Association), BVA (Bali Villa Association), HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia),
dan GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia). Asosiasi ini berkepentingan
dalam upaya promosi destinasi wisata, perencanaan, pengembangan destinasi, serta
berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisata.
Di Indonesia fungsi tata kelola destinasi dilakukan oleh DMO. Pembentukan
DMO, berdasarkan Keputusan Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif (2010), berperan
sebagai pemasar, pengelola, dan bertanggung jawab dalam implementasi program-
program pemerintah. Indikator pencapaian tujuan DMO dilihat dari keberhasilan
31
DMO dalam enam hal, yaitu; 1) menciptakan produk dan segmen pasar baru, 2)
meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat, 3) menjamin kualitas kunjungan
wisatawan, 4) mempertahankan daya saing pasar, 5) revitalisasi sumber daya alam,
dan 6) mempromosikan pengembangan pariwisata berkelanjutan. Indikator tersebut
harus dikombinasikan dengan indikator lain dengan cara yang berbeda guna
mengakomodasi perbedaan kebutuhan dalam manajemen dan perencanaan destinasi
(Ritchie, 2003; Manente dan Maneghello, 2006). DMO diarahkan untuk bisa
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen sebagaimana dilakukan oleh badan atau
tourism board yang ada di beberapa Negara.
Sebagai sebuah industri, pariwisata harus berperan sebagai mesin pruduksi
ekonomi di negara berkembang (Manente, 2008). Industri pariwisata merupakan
industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia, antara 4-5 persen per tahun,
sebagaimana diungkapkan dalam UNWTO Vision 2020 (UNWTO, 2008). Di
Indonesia, pariwisata adalah sumber devisa non-migas setelah kayu dan tekstil serta
diharapkan berkontribusi 9,1 persen terhadap GDP serta menyerap 8.881 tenaga kerja.
Bila dibandingkan dengan Malaysia, Singapore, dan Thailand, Indonesia telah
kehilangan 25 persen market share dari 2002 sampai dengan 2006 (Kemenparekraf,
pada Munas DMO Flores, 2011). Kementerian juga telah menetapkan 15 DMO yang
tersebar di Indonesia. Fungsi dan peranannya dijabarkan dari pusat kemudian di
breakdown kembali di wilayah provinsi dan kabupaten yang menaungi destinasi
wisata tersebut. Kemenparekraf (2010), dalam pedoman DMO dijabarkan fungsi
pemerintah dalam pengembangan DMO yang meliputi: memfasilitasi dan advokasi
32
penerapan konsep dan tahapan perencanaan, pembentukan, pelaksanaan,
pengembangan, dan pemantauan DMO. Fungsi pemerintah provinsi
mengkoordinasikan stakeholder tingkat provinsi dalam pembentukan dan
pengembangan DMO, sedangkan fungsi DMO di tingkat kabupaten dan destinasi lebih
difokuskan pada mensinergikan rencana pusat dengan destinasi dan bergabung dengan
stakeholder. Institusi pendidikan dilibatkan secara independen dalam kegiatan
monitoring dan evaluasi serta kegiatan riset yang berkaitan dengan implementasi
DMO.
Dalam hal kualitas layanan terhadap pengunjung daya tarik wisata, Gronroos
(1991) menjelaskan bahwa citra, word of mouth communication, dan kebutuhan
pelanggan mempengaruhi harapan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan
yang diterima menjadi pengalaman dan membentuk citra kembali (Gronroos, 1991).
Hal ini menggambarkan bahwa pengalaman wisatawan atas kualitas adalah image /
citra atas kualitas produk yang ditawarkan oleh manajemen.
Berdasarkan keterbatasan dan kesenjangan studi sebelumnya, Som et al. (2011)
menunjukkan model baru yang lebih komprehensif tentang pencitraan. Model baru
menawarkan hubungan baru antara anteseden (jarak tujuan, nilai, citra destinasi, dan
kebaruan destinasi mempengaruhi kepuasan dan niat berkunjung kembali wisatawan.
Ditemukan bahwa kepuasan dan motivasi berkunjung kembali bagi wisatawan tidak
semata-mata dipengaruhi oleh citra dan nilai, tetapi jarak dan temuan terbarukan juga
berperan penting dalam menarik wisatawan berkunjung kembali.
33
Lebih lanjut, Deng dan Pierskalla (2011) menjelaskan bahwa ada perbedaan
besar antara pengunjung yang pertama kali berkunjung dengan pengunjung yang
datang berkali-kali. Perbedaan faktor persepsi, nilai-nilai sosial, dan emosional
pengunjung yang puas dengan pertunjukan festival menentukan pengunjung datang
berkali-kali. Pada kasus kawasan Kintamani, tingkat berkunjung kembali wisatawan
sangat kecil. Hal ini terjadi akibat perilaku masyarakat lokal yang belum bisa
berpartisipasi penuh dalam pariwisata.
Perilaku berkunjung kembali wisatawan sangat berhubungan dengan teori
keberlanjutan pariwisata. Sejalan pula dengan penelitian Sequeira dan Campos (2005),
yang melihat pertumbuhan ekonomi pada suatu destinasi berkaitan dengan intensitas
riset dan pengembangan dari perusahaan-perusahaan skala besar. Pertumbuhan
ekonomi akan membawa kesejahteraan dan keberlanjutan pariwisata.
Pendekatan siklus hidup destinasi wisata dan pergeseran paradigma menuju
keberlanjutan secara alami juga dapat ditelusuri melalui pendekatan evolusi
pemasaran. Pemasaran satu destinasi yang berada pada siklus hidup tertentu
mempengaruhi keberlanjutannya. Hovinen (2001), dalam riset di Lancaster Country,
menemukan bahwa penurunan secara drastis dan potensial terhadap destination live
cycle akan terjadi di masa mendatang apabila tidak ada perencanaan strategis dalam
mempromosikan pariwisata berkelanjutan. Pada fase maturity (matang), dibutuhkan
upaya-upaya khusus dalam upaya menjaga siklus produk tidak sampai pada fase
decline. Gebrakan-gebrakan penting juga perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas
produk file cycle; misalnya melalui upaya diferensiasi dan diversifikasi.
34
2.2 Konsep-konsep Manajemen dan Pencitraan
2.2.1 Stakeholder dan manajemen destinasi
Pariwisata pada sebuah destinasi membutuhkan pengelolaan yang saling
mendukung dan merupakan kesatuan pelayanan dan fasilitas yang multidimensi
(Buhalis dan Spada, 2000). Menurut Glover dan Dalton (2005), pengklasifikasian
destinasi pariwisata dikelompokkan menjadi country side area dan heritage and
cultural destination. Selanjutnya, Buhalis dan Spada (2000) mengklasifikasikan
berdasarkan wilayah geografis yang unik dan fokus pada pelayanan wisatawan.
Konsep di atas menjelaskan bahwa destinasi dapat diartikan sebagai kawasan
geografis yang dipandang sebagai entitas yang unik, multidimensi dengan
perencanaan, dan pemasaran pariwisata yang terprogram.
Pengelolaan destinasi yang melibatkan para stakeholder di Destinasi
Kintamani tidak ditanggapi dengan paradigma (pandangan) yang benar. Menurut
Ritzer (2014), paradigma adalah pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang (baca: disiplin) ilmu
pengetahuan. Dalam penelitian di Destinasi Kintamani, paradigma stakeholder dapat
diartikan sebagai pandangan mendasar stakeholder dalam membantu merumuskan
tentang apa yang harus dipelajari oleh stakeholder, persoalan-persoalan apa yang
mesti dipecahkan, bagaimana solusi yang dapat ditempuh? Demikian juga bila
dikaitkan dengan aturan-aturan, maka paradigma stakeholder harus merujuk aturan
perundangan yang berlaku dalam menginterpretasikan persoalan-persoalan
masyarakat.
35
Dalam UN WTO, survey destination governance / management structure
(2011) mendefinisikan destinasi pariwisata sebagai organisasi yang kompleks dan
dinamis yang melibatkan beragam kelompok dan pemangku kepentingan. Destinasi
merupakan produk pariwisata yang berintegrasi dengan konsumen (Buhalis dan
Spada, 2000), yang menentukan keputusan berkunjung wisatawan, mempertemukan
kebutuhan ekonomi penduduk, dan merupakan sistem yang melibatkan pelaku, dan
interaksinya dengan lingkungan (Martini, 2002 dan Menente, 2008).
Merujuk DMO sebagai tata kelola destinasi, terlihat bahwa peran DMO secara
eksternal dan internal memiliki perbedaan. Presenza et al. (2005) menjabarkan bahwa
DMO memiliki dua peran inti sebagai pemasaran destinasi ke luar (External
Destination Marketing / EDM) dan pemasaran destinasi di dalam (Internal Destination
Development / IDD). EDM meliputi aktivitas : web marketing, events, konferensi,
festival, periklanan, program kerjasama, pemasaran langsung, sales blitzes, trade
show, publikasi, dan brosur. Selanjutnya, IDD meliputi aktivitas: manajemen
pengunjung, pusat informasi, penelitian, koordinasi pemangku kepentingan,
manajemen krisis, pengembangan sumber daya manusia, pendanaan, dan ventura.
Kerangka pikir tentang DMO menurut Presenza et al. (2005) mencakup tiga
komponen penting, yakni coordination tourism stakeholder, destination crisis
management, dan marketing destination. Ketiga komponen tersebut mencakup fungsi
coordination tourism stakeholder yang meliputi koordinasi dengan pemangku
kepentingan, pelaku bisnis, dan investor. Destination crisis management mencakup
36
upaya penanganan masalah operasional, sosial destinasi dan marketing destination
mencakup aktivitas EDM dan IDD.
Pendekatan stakeholder merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan
manajemen dalam organisasi dengan asumsi secara karakter organisasi terdiri atas
group, individu, karyawan, pelanggan, pemasok dan pemerintah (Saftic et al., 2011).
Berdasarkan pendekatan stakeholder menurut Tkaczynski et al. (2009), DMO
dipandang sebagai sebuah perusahaan, sehingga setelah teridentifikasi demikian, lebih
lanjut diperlukan satu koordinasi. Era perkembangan pariwisata dewasa ini,
keberadaan stakeholder dalam manajemen destinasi sangatlah penting. Harus
dipahami secara komprehensif hubungan yang akan terjadi, alur koordinasi yang
timbul, dan ancaman-ancaman dalam pengelolaan destinasi, utamanya hubungan
antara stakeholder dan dinas pariwisata provinsi, kabupaten, dan masyarakat (Semerc
et al. 2008). Fungsi DMO, berdasarkan keputusan kongres UN WTO (2008); adalah
sebagai pemimpin, pengelola, dan pengkoordinasian seluruh elemen destinasi wisata
yang meliputi atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra (image), harga, marketing,
maupun lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). DMO tidak hanya berperan
guna pengembangan produk, dan promosi, serta perencanaan, dan penelitian saja,
melainkan memainkan peran sebagai pembentukan tim dan kemitraan, jalinan
masyarakat (community relation), serta koordinasi dan kepemimpinan (Destination
Consultancy Group Meeting, dalam UNWTO, 2011).
Partridge et al. (2005) menyatakan stakeholder sebagai kelompok atau
individu yang dapat mempengaruhi dan, atau dipengaruhi oleh perusahaan dalam
37
aktivitasnya. Stakeholder merupakan kelompok atau individu yang mendefinisikan
nilai proposisi untuk perusahaan dan yang oleh karena itu harus diperhatikan sebagai
bagian dari pendekatan komersial suara untuk membangun loyalitas dengan pelanggan
karyawan dan investor (Partridge et al., 2005).
Dalam operasionalnya, stakeholder sebagai kelompok-kelompok individu
dalam wadah yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda pula terhadap
pelayanan kepada wisatawan (Agustini et al., 2015). Lebih lanjut, Partridge et al.
(2005) membagi stakeholders menjadi dua yakni stakeholder primer dan stakeholder
sekunder. Berdasarkan Gambar 2.1 menggambarkan pembagian stakeholder tersebut.
Gambar 2.1
Klasifikasi Stakeholder
Sumber: Partridge et al. (2005)
Stakeholder primer adalah mereka yang memiliki langsung saham perusahaan
dan menentukan keberhasilan organisasi. Stakeholder sekunder adalah mereka yang
Organisasi Konsultan
Pelanggan
Pemasok & Rekan Bisnis
Masyarakat Lokal
Pesaing
Asosiasi Perdagangan
Media, Akademik
Kelompok Buruh
NGOs
Pemerintah
Investor
Pekerja
& GM
Stakeholder Primer
Stakeholder Sekunder
38
sangat berpengaruh, terutama dalam reputasi perusahaan, mereka juga bisa menjadi
wakil-wakil pengganti untuk kepentingan yang tidak bisa mewakili diri mereka
sendiri, yaitu lingkungan alam atau generasi muda. Berdasarkan klasifikasi
stakeholder Gambar 2.1, terlihat bahwa pemerintahan, investor, general manager,
pemasok, pelanggan, masyarakat lokal, dan para pesaing termasuk dalam kategori
stakeholder primer yang bertindak langsung sebagai pemilik saham perusahaan dan
penentu keberhasilan organisasi. NGO, media, akademisi, pesaing, pekerja, asosiasi
perdagangan tergolong stakeholder sekunder.
2.2.2. Manajemen destinasi berbasis masyarakat
Dalam beberapa konsep pariwisata, masyarakat memiliki kedudukan dan peran
yang penting demi kelangsungan destinasi tersebut. Menurut Islam dan Carlsen
(2010); Putra dan Pitana (2010), pariwisata berbasis masyarakat (CBT) dan Pro-Poor
Tourism (PPT) adalah program yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan dan
menciptakan peluang kerja bagi masyarakat. Program ini lebih memberdayakan
masyarakat lokal, memberi prioritas kepada masyarakat ekonomi lemah di perdesaan,
dengan tetap mempertahankan budaya dan lingkungan. Penelitian Hunter dan
Howards (1995) menyimpulkan bahwa Community based tourism (CBT),
perlindungan (protection), dan pelestarian (conservation) lingkungan diutamakan
untuk tujuan memberdayakan masyarakat pendukungnya (Community Empowerment).
Hunter dan Howards (1995) menjabarkan konsep CBT dalam Gambar 2.2 berikut ini.
39
Gambar 2.2
Konsep Community Based Tourism
Sumber: Hunter dan Howards (1995).
Aktivitas pariwisata berbasis masyarakat, perlindungan, dan pelestarian alam
mampu menggerakkan masyarakat untuk berkontribusi sehingga menjadi lebih
berdaya dari sisi ekonomi dan sosial. Aktivititas pariwisata yang berbasis masyarakat
dalam aplikasinya secara perorangan dapat berupa: peran serta masyarakat dalam
membangun fasilitas pariwisata, membangun organisasi pariwisata, memasarkan
pariwisata, dan membangun usaha kecil menengah (UKM) sebagai sarana pendukung
pariwisata. Secara kelembagaan, pariwisata berbasis masyarakat dapat dilaksanakan
oleh lembaga daerah terkait yang dapat membantu dalam pemasaran, branding,
pengawasan kualitas, perencanaan regional, dan hubungan masyarakat.
Pandangan lain tentang community based tourism dihubungkan dengan
tanggung jawab bersama masyarakat lokal baik di pedesaan, masyarakat miskin, dan
ekonomi terpinggirkan dalam mengundang wisatawan agar mendatangi wilayahnya,
sehingga memberi manfaat bagi masyarakat, Community based tourism juga harus
mencakup kegiatan yang menjadi kebiasaan masyarakat lokal dengan kehidupan liar
pedesaan, pengenalan budaya dan ritual tradisional serta kearifan lokal lainnya
Pariwisata berbasis masyarakat
Perlindungan Pelestarian
40
(Responsible travel.com, 2013). Community based tourism akan memberi dampak
berkesinambungan bagi lingkungan dan konservasi sumber daya alam.
Dalam CBT Principles and Meaning (2013), dijelaskan bahwa masyarakat lokal
berperanan penuh dalam CBT. Ada tiga aspek yang menjadi acuan dalam
implementasi CBT, yakni: sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan. Selanjutnya,
penelitian Selvam (1998) dalam Kathiresan (2010); penelitian Samah dan Aref
(2010), ditemukan bahwa partisipasi masyarakat lokal sangat menentukan
keberhasilan CBT. Berdasarkan kajian di atas, maka elemen sebagai indikator dalam
CBT diklasifikasikan sebagai berikut ini.
1) Partisipasi masyarakat difokuskan pada peran serta dan keterlibatan
masyarakat dalam segenap kegiatan pariwisata yang berbasis masyarakat.
2) Peningkatan sosial ekonomi masyarakat lokal, dengan indikator peningkatan
taraf hidup, kesejahteraan, dan memperkecil tingkat pengangguran.
3) Pelestarian tradisi, budaya dan pelestarian lingkungan hidup.
Menurut McGettigan dan Burns (2004), dalam siklus pemberdayaan
masyarakat tidak ada keraguan bahwa pemberdayaan komunitas masyarakat melalui
volunteer input adalah kriteria kunci pada seluruh tingkatan siklus pemberdayaan
masyarakat. Nilai utilitas, kedudukan dalam komunitas sosial, rasa kehilangan dari
komunitas, melalaikan kota, imigrasi, dan kemarahan masyarakat mendorong rasa
partisipasi sukarela (volunteer) masyarakat untuk turut serta berperan di masyarakat.
Hal ini menciptakan masyarakat yang bangga dari sisi sosial budaya, ekonomi,
sehingga tercipta masyarakat yang berdaya (empowerment) yang memiliki rasa sosial
41
tinggi, berdaya secara ekonomi, dan berkomitmen tinggi terhadap generasi muda yang
lebih baik. Secara lebih rinci hal tersebut digambarkan pada Gambar 2.3 berikut ini.
Utility of the Community Values,
place on social activities
Loss of the Community, Dereliction
of town, immigration and anger.
Pride of Place of the Community;
Economic, social prosperity,
pride of place, quality of life
Sense of Place in the Community,
Creating Enterprise, reducing
Emigration, and commitment to
future generation.
Gambar 2.3
Siklus Pemberdayaan Masyarakat
Sumber: McGettigan dan Burns (2004)
Model ini akan menarik bila dapat diimplementasikan pada kawasan
Kintamani. Penelitian (pra-riset) sebelumnya (Agustini dan Suarthana, 2013)
menyimpulkan bahwa otoritas pemerintah sangat terbatas dalam implementasi DMO
di Kintamani. Ketidakberdayaan secara ekonomi membatasi semangat volunteer
masyarakat lokal. Belum terpikir oleh mereka untuk berpartisipasi secara lebih jauh di
saat kebutuhan sandang dan pangan mereka belum terpenuhi.
2.2.3. Citra destinasi
Sumber daya yang paling berharga dari tujuan wisata adalah destination brand
(Hankinson, 2001, 2004; Cai, 2002; Gnoth, 2002); yang memberikan ekspresi
identitas, dan karakter khas dari Tourist Destination Product (TDP). The destination
Voluntery Input
Empowerment
42
branding adalah proses manajemen dalam industri pariwisata yang memainkan dua
peran, yakni secara kognitif menghubungkan persepsi dan evaluasi pelanggan, dan
menyelaraskan perilaku dari beberapa pihak yang terlibat untuk memasarkan daerah
sebagai produk tujuan wisata. Dengan kata lain, merek tersebut telah dipandang
sebagai sumber daya relasional, baik terhadap pelanggan dan menuju beberapa
stakeholder lokal lainnya.
Citra sebuah destinasi telah dibahas dalam berbagai literatur sebagai faktor
yang mempengaruhi proses keputusan membeli wisatawan (Echtner dan Ritchie,
1991; Tasci, 2007; Tasci et al., 2007). Konsep citra destinasi umumnya dapat diukur
(Echtner, 2003). Berbagai aspek yang berkaitan dengan citra destinasi
dipertimbangkan secara mendalam oleh wisatawan agar perjalanan wisata mereka
menyenangkan. Media informasi destinasi berupa website, brosur, search engine
marketing, online marketing menjadi pertimbangan calon wisatawan untuk
mengetahui citra destinasi tersebut (Pan dan Li, 2010).
Citra (image) sebuah destinasi penting untuk ditelusuri lebih lanjut tingkat
efektivitasnya sehingga berkontribusi dalam pengambilan keputusan manajemen
destinasi. Dibutuhkan model promosi pencitraan, yang terkait dengan peran beberapa
faktor dalam pencitraan, seperti teknik komunikasi dan alat bantu promosi (Li dan
Volgesong, 2002; Som et al., 2011). Demikian pula halnya dengan kawasan
Kintamani, citra negatif yang diakibatkan oleh perilaku buruk masyarakat lokal perlu
diperbaiki dengan membenahi pola komunikasi dan promosi kembali destinasi serta
peran media dalam pencitraan destinasi tersebut.
43
Citra (image) sebuah destinasi sangat tergantung pada pengelolaan destinasi
tersebut. Citra buruk yang terjadi pada destinasi wisata Kintamani menurunkan tingkat
kunjungan wisatawan. Indikator rendahnya kualitas layanan pada destinasi pariwisata
dapat dilihat dari sejumlah praktik tata kelola yang belum berjalan secara optimal
karena besaran perolehan pariwisata (magnitude of tourism) yang masih rendah
(Teguh, 2011).
Destinasi wisata Indonesia yang sangat beragam memiliki karakteristik yang
spesifik dan berbeda pada masing-masing wilayah. Masing-masing destinasi memiliki
keunggulan yang ditonjolkan dalam mencapai target pasar. Michailidis dan
Chatzitheodoridis (2006) menemukan bahwa semua elemen inovatif tujuan
pencitraan dan tujuan kepribadian dapat dikembangkan melalui pendekatan user
friendly dan sinergi dalam promosi antara para pemangku kepentingan. Hal ini akan
membuka jalan dan menyadarkan pengunjung destinasi serta membawa destinasi
kepada model pencitraan yang positif dan memuaskan tujuan wisatawan.
2.2.4 Word of Mouth (WOM) dalam pariwisata
Kepercayaan pelanggan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan beli
customer dengan perantara informasi dari mulut ke mulut WOM (Lin dan Lu, 2010).
Kepercayaan masyarakat terhadap sebuah destinasi dan informasi dari mulut ke mulut
tentang citra sebuah destinasi menentukan keputusan kunjungan kembali wisata
tersebut. Kunjungan kembali wisatawan ini dapat dianggap sebagai bagian dari
loyalitas (Deng dan Pierskalla, 2011).
44
Rosen (2003) menyatakan bahwa word-of-mouth (WOM) adalah total dari semua
komentar, pandangan, dan opini yang objektif tentang produk tertentu, yang
dinyatakan oleh konsumen dengan penggunaan setiap saluran sosial, dengan cara
spontan, lisan, dan tertulis secara tak terkendali baik offline (tradisional, otentik
WOM) serta online (e-WOM). WOM yang positif akan bermanfaat positif juga
terhadap pencapaian tujuan pemasaran utamanya bagi konsumen dalam pengambilan
keputusan pembelian. Sebaliknya, WOM yang negatif atau subjektif akan merusak
citra produk terkait (Balter dan Butman, 2005).
Penelitian Seweryn (2013) ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut ini.
Gambar 2.4
Elemen Komunikasi C2C dalam Proses WOM Pariwisata.
Sumber: Saweryn (2013)
Pada gambar 2.4, Saweryn (2013) menunjukkan elemen komunikasi customer
to customer (C2C) dalam proses WOM pariwisata. Peran stimulus terhadap sumber
informasi sangat menentukan isi pesan. Setelah melalui fase encoding dan decoding,
45
melalui perantara, pesan tersebut akan diterima oleh wisatawan. Seweryn (2013)
melihat hubungan karakteristik unsur proses komunikasi dalam bidang pariwisata,
keuntungan dan kerugian penggunaannya bagi pengelola sebagai bagian dari word of
mouth marketing.
Analisis empiris dari fitur sosio-demografis wisatawan rentan terhadap
pengaruh WOM dan tidak mengenal gender. Jalilvand dan Samiei (2012), dalam
penelitiannya, menyatakan bahwa sebuah lingkungan di mana telah terjadi penurunan
kepercayaan konsumen dari aspek organisasi, dan iklan, serta penurunan dalam iklan
televisi, dari mulut ke mulut (WOM), dibutuhkan cara lain dalam menawarkan produk
dan memperoleh keunggulan kompetitif yang signifikan. WOM sangat penting dalam
industri perhotelan, dan pariwisata, yang produknya tidak berwujud serta sulit untuk
dievaluasi sebelum dikonsumsi pelanggan. Ketika WOM menjadi digital, anonim,
alam fana skala besar internet menginduksi cara-cara baru untuk menangkap,
menganalisis, menafsirkan, dan mengelola pengaruh yang mungkin dari suatu
konsumen terhadap yang lain. Jalilvand dan Samiei (2012), dalam makalah ini
menyelidiki dampak dari WOM elektronik (e-WOM) pada pilihan tujuan wisata,
dengan menggunakan teori perilaku terencana.
2.2.5. Kepuasan dan perilaku wisatawan.
Beberapa konsep perilaku menjelaskan bahwa kepuasan wisatawan akan
menstimulus perilaku pembelian secara berulang. Penelitian lain (Hennessy et al.
2007) menemukan korelasi positif antara kualitas, nilai harga, kepuasan dan motivasi
berkunjung kembali serta merekomendasikan rekannya, atas sejumlah fee yang
46
dibayarkan dalam aktivitas golf mereka. Model ini dirancang berdasarkan penelaahan
terhadap teori perilaku konsumen dan pemasaran pariwisata, termasuk niat perilaku,
kepuasan, nilai pelanggan, dan kualitas layanan. Secara singkat, niat perilaku
dipengaruhi langsung oleh persepsi kualitas lapangan golf dan persepsi nilai-harga dan
kepuasan secara keseluruhan. Persepsi kualitas juga secara tidak langsung
mempengaruhi niat melalui persepsi harga-nilai dan kepuasan. Akhirnya, kepuasan
secara keseluruhan juga dipengaruhi oleh persepsi harga-nilai. Anteseden niat
perilaku, dalam model di atas, niat perilaku adalah variabel dependen, yang
diproksikan dengan dua ukuran: keinginan untuk kembali bermain golf dan untuk
merekomendasikan kursus kepada orang lain.
Dalam riset Hennessey et al. (2007), banyak penelitian telah mengungkapkan
bahwa kepuasan adalah salah satu prediktor yang paling signifikan dari niat perilaku
(Band, 1991; Baker, 2000; Cronin, 2000; Petrick, 2001; Tian, 2002; Duman, 2005;
Yoon, 2005). Lebih lanjut, Lin dan Lu (2010) mengungkapkan perbedaan persepsi
citra turis, dan membedakan wisatawan menjadi wisatawan yang loyal dan tidak loyal.
Hasilnya menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang destinasi wisata
bagi wisatawan yang setia dan loyal membantu pemasar serta pengelola destinasi
untuk meningkatkan strategi branding destinasi tersebut. Artinya, perlu satu upaya
untuk menciptakan citra positif agar wisatawan menjadi loyal, karena wisatawan yang
loyal inilah yang nantinya akan datang secara berulang dan membantu promosi dari
mulut ke mulut bagi calon wisatawan lain.
47
Meng dan Yang (2011), dalam penelitian wisatawan cruise, merumuskan bahwa
citra pesiar memiliki efek positif terhadap nilai dan kepuasan serta memberi efek
langsung terhadap perilaku pascapembelian. Nilai yang dirasakan wisatawan
berdampak positif terhadap kepuasan, serta citra pesiar berpengaruh secara tidak
langsung terhadap perilaku pascapembelian atau niat membeli kembali. Hal ini
sejalan dengan penelitian Hennessey et al. (2007).
Dijabarkan pula bahwa bagaimana citra, persepsi nilai, dan tingkat kepuasan
mempengaruhi perilaku pascapembelian. Image (citra), perceive value (persepsi nilai)
yang diterima, dan kepuasan mempengaruhi post purchase behavioral intention
(perilaku pascapembelian). Citra buruk secara tidak langsung mempengaruhi perilaku
pascapembelian. Nilai yang diterima mempengruhi tingkat kepuasan wisatawan yang
secara langsung pula mempengaruhi perilaku pascapembelian.
Hsieh dan Kai (2007) melihat brand image (pencitraan) dan loyalitas dari sudut
pandang persepsi publik, dan brand image destinasi membedakan tingkat loyalitas
(Lina, 2011). Loyalitas pelanggan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk interaksi
yang memberi kontribusi yang berbeda terhadap keputusan membeli pelanggan
(Salegna dan Fazel, 2011). Interaksi antara citra destinasi dan proses membeli
wisatawan berhubungan dengan loyalitas mereka terhadap destinasi tersebut. Ada dua
dimensi dalam loyalitas, yakni attitudinal loyalty yang berkaitan erat dengan
psychological commitment dan behavioral loyalty, yang terefleksi pada konsistensi
perilaku pembelian wisatawan (Li et al., 2008). Dapat disimpulkan bahwa berbagai
konsep yang menghubungkan citra destinasi memberi dampak yang signifikan
48
terhadap pengambilan keputusan memilih destinasi dan loyal tidaknya seorang
wisatawan terhadap destinasi tersebut. Loyalitas dalam hal ini ditunjukkan dengan
intensitas berkunjung kembali.
Berdasarkan beberapa petikan di atas disimpulkan bahwa persepsi wisatawan
atas perilaku buruk masyarakat, pemangku kepentingan, kualitas pelayanan, nilai dan
harga, dan informasi buruk dari mulut ke mulut (word of mouth) mempengaruhi
timbulnya kepuasan wisatawan yang secara langsung juga membentuk citra. Citra
(image) yang terbentuk juga mempengaruhi niat berkunjung kembali wisatawan, di
mana niat berkunjung kembali ini merupakan indikator tingkat loyalitas wisatawan
terhadap produk yang telah dibelinya atau destinasi yang dikunjunginya.
2.2.6 Dimensi keberlanjutan destinasi wisata
Tolak ukur keberlangsungan pariwisata pada satu destinasi wisata dipengaruhi
oleh faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Faktor tersebut merupakan indikator-
indikator yang menentukan keberlangsungan pariwisata pada destinasi tersebut. Pada
penelitian ini, indikator yang dipakai sebagai tolak ukur adalah berdasarkan konsep-
konsep berikut ini:
Kasus di Kiltimagh, Lynch (2002) menjelaskan bahwa sukses dan berlanjutnya
sebuah destinasi wisata akan tercapai apabila dimulai dari masyarakat lokal secara
fisik, berbasis sumber daya sosial dan budaya setempat, dan melibatkan masyarakat
dalam segala aktivitas perencanaan, implementasi, dan pengembangan destinasi
tersebut. Alonso (2009) yang meneliti dalam satu dekade kota New Zealand, telah
49
menggunakan slogan-slogan yang berhubungan dengan alam untuk menjual wisata
lingkungan pedesaan atau mengangkat citra bebas dari polusi. Slogan menjadi saluran
distribusi informasi dan marketing komunikasi yang handal bagi destinasi wisata
Terkait dengan pendekatan pariwisata berkelanjutan, Jamrozy (2007)
menyatakan bahwa ketika pendekatan alternatif pemasaran pariwisata mencakup
pertimbangan sosial seperti dampak pariwisata dan strategi segmentasi berbasis
lingkungan, maka ada tiga aspek mendasar yang menjadi tujuan pariwisata agar lebih
berkesinambungan, yakni aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara lebih jelas
hal tersebut digambarkan pada Gambar 2.5 berikut ini.
Gambar 2.5
Sustainable Marketing Model
Sumber: Jamrozy (2007)
SOSIAL (SOCIETY)
Philosophy, Social Justice, Societal
Marketing Orientation, Cause, Good
Product for Society, Goal Benefit of
Society, Equity Exchange, Non Profit
Couse for Just Society
Pemasaran
Berkelanjutan
(Sustainable Marketing) EKONOMI (ECONOMY)
Philosophy Antropocentric,
Consumer Green Marketing
Orientation, Specialized Product
for Target Market, Goal
Satisfaction of Customer and
Company, Exchange Product for
Profit.
LINGKUNGAN (ENVIRONTMENT)
Philosophy Biocentric, Economic
Environtmental Marketing
Orientation (Eco Green), Product in
Healththeire Environtment,
Exchange Symbiotic Relation
Resource Use and Preservation
50
Pendekatan pariwisata berkelanjutan mengintegrasikan lingkungan, sosial, dan
ekonomi. Keberlangsungan pada aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi, didukung
juga dengan upaya pemasaran berkelanjutan, maka keberlanjutan pariwisata dapat
dipastikan. Model ini tidak semata-mata hanya diperuntukkan bagi keseimbangan
tujuan pada masing-masing bidang. Namun, hal itu lebih menekankan pada teori
sistem hidup di lingkungan, yang tidak merusak sistem lingkungan, lebih kreatif dan
inovatif dalam pengembangan pariwisata.
2.2.7 Konsep stakeholder
Konsep stakeholder, mengacu pada Sustainable Tourism Development (STD)
berdasarkan WTO 1993, dalam Timur (2003). Konsep tersebut mendeskripsikan
tujuan berkesinambungan yang ingin dicapai oleh group stakeholder ditinjau dari
aspek ekonomi, sosial, dan pemanfaatan sumber daya. Secara lebih rinci sebagaimana
dijabarkan pada Gambar 2.6.
Berdasarkan beberapa konsep pada Gambar 2.6, maka dapat dirumuskan
elemen inti sebagai indikator peran stakeholder dan pemerintahan yang terdiri atas: 1)
organisasi lokal (DMO, kelompok pemasok, karyawan) 2) industri pariwisata (hotels,
restoran, travel, destinasi wisata), 3) pemerintah dan pejabat pemerintah, 4) media,
dan 5) universitas.
51
Gambar 2.6
Model Pendekatan Tujuan Stakeholder dalam STD
Sumber; WTO (1993) dalam Timur (2003).
Dalam konsep stakeholder di atas, secara terintegrasi beberapa aspek yang
terlibat dalam pariwisata terdiri atas industri pariwisata, masyarakat lokal dan
dukungan lingkungan. Masing-masing aspek secara terintegrasi pula memiliki tujuan
yang spesifik. Dalam industri pariwisata yang berbasis masyarakat, tujuan yang
dicapai adalah keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Integrasi industri
pariwisata dengan lingkungan bertujuan agar terjadi keberlanjutan sosial ekonomi dan
pelestarian lingkungan. Integrasi masyarakat lokal dengan lingkungan lebih fokus
pada pengelolaan sumber daya masyarakat dan lingkungan. Terwujudnya ketiga
tujuan dalam integrasi masyarakat lokal, industri pariwisata dan lingkungan adalah
jaminan keberlanjutan pariwisata tersebut. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.6,
maka irisan ketiga aspek tersebut menunjukkan tujuan yang ingin dicapai, yakni
Industri pariwisata
Dukungan lingkungan
Masyarakat lokal
Tujuan umum dari keberlanjutan
ekonomi & sosial
Tujuan umum sumber daya
Tujuan umum dari ekonomi dan
sumber daya
Keberlanjutan
52
pariwisata berkelanjutan. Dengan kata lain, apabila ketiga aspek tersebut terpenuhi,
maka unsur keberlanjutan pariwisata (sustainability) akan tercapai.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori manajemen destinasi
Berdasarkan WTO (1999, 2007) didefinisikan: destinasi wisata adalah
tempat yang penting dikunjungi oleh wisatawan yang merupakan unit dasar dari
analisis di bidang pariwisata. Destinasi yang dilayani oleh kedua sektor, baik sektor
swasta maupun publik, dan dapat dilakukan oleh seluruh negara, daerah, desa, kota,
kota mandiri, atau daya tarik wisata.
Destinasi wisata merupakan tempat penting bagi wisatawan yang
merepresentasikan unit mendasar dalam analisis pariwisata. Destinasi dikelola secara
pribadi maupun sektor publik yang dapat dilakukan oleh negara, wilayah, desa, kota
atau pusat atraksi. Manajemen destinasi adalah tata kelola destinasi pariwisata yang
terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi,
dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui
pemanfaatan jejaring, teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta
masyarakat, pelaku asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah (Kemenparekraft,
2010). DMO memiliki tujuan, proses, dan kepentingan bersama dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan
besaran pengeluaran wisatawan, serta manfaat bagi masyarakat lokal (Pedoman DMO,
Kemenparekraft 2010).
Manajemen destinasi menggunakan pendekatan pengelolaan pada berbagai
komponen lokal destinasi terkait guna menjamin kemajuan ekonomi dan perolehan
53
manfaat bagi masyarakat setempat. Di samping itu, manajemen destinasi bermanfaat
dalam upaya mencegah timbulnya degradasi atas segala aspek dalam pengelolaan
Local Tourism Destination (LTD) (Manentte dan Meneghello, 2006).
Sebagai konsekuensi dan evolusi dalam menghadapi tantangan pengelolaan
destinasi ke depan, destinasi tidak bisa dijual sebagai satu destinasi yang unik, tetapi
harus dikemas sebagai produk berdasarkan kebutuhan pasar (Manente dan Mighetti,
2006). Manente (2008) menemukan bahwa diperlukan diversifikasi dan diferensiasi
agar menimbulkan persepsi nilai positif dan menguntungkan bagi semua aspek dalam
pengelolaan destinasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7
Model Pendekatan Manajemen Destinasi
Sumber: Manentte (2008).
MANAJEMEN DESTINASI
Penciptaan produk untuk segmen pasar
spesifik
Pelestarian sumber daya
lokal
Promosi pembangunan berkelanjutan
Mendapatkan, mempertahankan daya saing
di pasar
Jaminan kualitas
kunjungan wisata
Peningkatan kualitas hidup
penduduk
54
Tantangan yang dihadapi dalam implementasi manajemen destinasi adalah
pemahaman atas destinasi tersebut sebagai sebuah sistem, kemudian dipahami siapa
pelakunya, bagaimana hubungannya, dan interaksinya dalam lingkungan pariwisata
kompetitif. Model ini menjelaskan peran manajemen destinasi dari enam perspektif,
yakni: 1) kunjungan wisatawan yang berkualitas, 2) peningkatan kualitas hidup
masyarakat lokal, 3) kualitas produk untuk segmen khusus, 4) pelestarian sumber daya
lokal, 5) promosi pembangunan berkelanjutan, dan 6) meningkatkan nilai kompetitif
pasar. Hal itu sejalan dengan pendekatan manajemen destinasi menurut Ritchie dan
Crouch (2003), yang melihat peran manajemen destinasi mencakup banyak aspek dan
membutuhkan peran serta masyarakat lokal.
Berdasarkan pendekatan tersebut, maka manajemen dan citra sebuah destinasi
itu harus terdiri atas unsur-unsur utama dalam pengelolaan destinasi yang berpengaruh
terhadap peningkatan intensitas berkunjung kembali wisatawan, yakni 1) menciptakan
produk untuk pasar yang spesifik, 2) meningkatkan kualitas hidup penduduk, 3)
jaminan kualitas kunjungan wisatawan, 4) mampu bersaing di pasaran, 5) promosi dan
pengembangan berkelanjutan, 6) pelestarian budaya lokal, dan 7) citra merek (brand
image destination). Ketujuh unsur dalam manajemen dan pencitraan destinasi
berkontribusi mempengaruhi loyalitas wisatawan untuk tetap berkunjung kembali.
2.3.2 Teori kualitas layanan
Tjiptono (2006) menyatakan bahwa jasa memiliki empat karakteristik utama,
yakni intangibility (tidak berwujud), inseparability (tidak dapat dipisahkan),
55
variability (beragam), dan perishability (rentan dan tidak tahan lama). Karakteristik ini
membedakan perlakuan dalam memberikan pelayanan jasa yang berkualitas kepada
wisatawan. Pelayanan yang memenuhi standar kualitas harus diberikan oleh
perusahaan / organisasi agar menimbulkan persepsi yang excellent.
Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli setelah membandingkan
apa yang dirasakan dengan harapan, keinginan yang terpenuhi, sehingga
mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut (Yamit,
2005; Band, 1991). Hal yang sangat penting dalam menciptakan kepuasan konsumen
adalah kinerja. Kinerja identik dengan kualitas layanan yang diberikan. Kualitas
layanan adalah ukuran terhadap sejauh mana tingkat pelayanan yang diterima sesuai
dengan harapan pelanggan secara mendasar (Lewis dan Benard, 1993).
Dalam aplikasinya, kualitas layanan yang diterima juga berhubungan dengan
kepuasan dan citra yang terbentuk, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8
The Perceived Service Quality Model
Sumber: Gronroos (1991).
Kualitas yang
diharapkan Pengalaman Total persepsi
Citra Kebutuhan pelanggan
Komunikasi pasar
Citra
Word of Mouth Hasil
(Kualitas
teknik)
Proses
(Kualitas
fungsional)
56
Model persepsi kualitas layanan, menurut Gronroos (1991), menjelaskan
hubungan antara citra, word of mouth communication (WOM), dan kebutuhan
pelanggan terhadap harapan pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas
pelayanan yang diterima menjadi pengalaman yang berperan dalam membentuk citra
kembali,
Gambar 2.8 menjelaskan model pengalaman wisatawan terhadap kualitas
layanan yang diterima dalam membentuk citra destinasi. Persepsi wisatawan atas
kualitas layanan yang diterima, baik dari aspek luaran kualitas, maupun prosesnya,
apabila lebih tinggi dari kualitas layanan yang diharapkan, maka citra positif akan
terbentuk. WOM yang dikomunikasikan atau WOM yang menyebar di kalangan
wisatawan tentang citra yang negatif, akan terbantahkan oleh realitas pengalaman
wisatawan.
Secara lebih luas, teori model kualitas layanan dikenal sebagai “Five Gap Model
Service Quality” (Parasuraman et al., 1985; Kotler et al.,1996). Memahami harapan
wisatawan adalah hal penting yang paling utama dalam memberikan pelayanan yang
berkualitas pada destinasi. Oleh sebab itu, penting bagi para petugas marketing untuk
mengetahui apa sesungguhnya yang diharapkan oleh wisatawan.
Menurut Parasuraman et al. (1985) dikutip dari buku Service Quality and
Satisfaction: p. 132 diidentifikasikan dimensi pokok kualitas jasa, yaitu: Reliable
(kehandalan), responsiveness (tanggapan), competence (kemampuan), access (mudah
diperoleh), communication (komunikasi), credibility (dapat dipercaya), dan security
57
(keamanan). Indikator tersebut disederhanakan menjadi lima item, yakni reliable
(kehandalan), responsiveness (tanggapan), emphaty (empati), assurance (jaminan),
dan tangibles (bukti langsung).
Parasuraman et al. (1985) menyatakan lima gaps atas persepsi eksekutif
tentang kualitas pelayanan yang terkait dengan pelayanan yang diterima pelanggan
menimbulkan perbedaan persepsi (kesenjangan) kualitas pelayanan. Gambar 2.9
adalah service quality model dari Parasuraman et al. (1985) dengan lima service gaps.
Kesenjangan (gaps) yang terjadi mencakup lima aspek, yakni knowledge gaps,
standar gaps, delivery gaps, perception gaps, dan communication gap. Kebutuhan
personal, WOM yang beredar, dan pengalaman sebelumnya mendasari harapan yang
terbentuk atas kualitas layanan. Apabila dalam kenyataannya persepsi atas kualitas
layanan yang diterima jauh lebih kecil dari harapan, maka timbullah gaps.
Berdasarkan Gambar 2.9, dijelaskan bahwa kesenjangan pertama terjadi pada
perbedaan persepsi manajemen dan konsumen dalam hal pelayanan yang diharapkan.
Kesenjangan kedua terjadi dalam menerjemahkan persepsi kualitas layanan dengan
persepsi manajemen terhadap harapan konsumen. Kesenjangan ketiga terjadi pada
menerjemahkan persepsi kualitas layanan yang dibutuhkan konsumen terhadap nilai
yang terhantar pada saat kontak maupun setelah kontak dengan konsumen.
Kesenjangan keempat terjadi pada komunikasi eksternal konsumen terhadap nilai yang
diterima. Kesenjangan terakhir terjadi pada pelayanan yang diterima dengan harapan
konsumen.
58
PELANGGAN (CONSUMER)
PEMASAR
Gambar 2.9
Service Quality Model
Sumber: Parasuraman et al. (1985)
Gambaran tentang kesenjangan ini sangat relevan dengan aplikasi di lapangan.
Gap yang terjadi dalam pelayanan memberikan gambaran kepada manajemen tentang
capaian kualitas dibandingkan dengan harapan pelanggan
Komunikasi WOM Kebutuhan personal Pengalaman lalu
Pelayanan yang diharapkan
Persepsi pelayanan
Jasa Pengiriman
(termasuk pra dan pasca
kontak)
Terjemahan dari Persepsi
dalam service quality
spesifikasi
Persepsi manajemen atas
harapan konsumen
Komunikasi
eksternal
pelanggan
GAP1
GAP2
GAP5
GAP3
GAP4
59
Pendekatan lain oleh Kotler dan Amstrong (2007) menyatakan bahwa
kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan konsumen yang diperoleh dengan
membandingkan persepsi kinerja produk (product perceive performance) terhadap
kepentingan atau harapan konsumen (customer expectation). Arikunto (1998)
menghitung tingkat kepuasan konsumen berdasarkan skor tingkat kesesuaian
responden terhadap kualitas pelayanan. Tingkat kesesuaian responden (Tki)
merupakan perbandingan antara skor penilaian kinerja (Xi) terhadap skor penilaian
kepentingan pelanggan (Yi).
Xi
Tki = ________ x 100%
Yi
Tki > 100% artinya konsumen “sangat puas” , 76-100% artinya konsumen
“puas”, 56-75% artinya konsumen “cukup puas” , 40-55% artinya konsumen “tidak
puas” dan kurang dari 40% artinya konsumen sangat tidak puas. Semakin tinggi gaps
yang terjadi, maka manajemen harus lebih memberikan prioritas terhadap kesenjangan
yang terjadi tersebut.
Kotler (2003) menjelaskan metode-metode yang dapat digunakan dalam
mengukur tingkat kepuasan pelanggan, antara lain; sistem keluhan dan saran
(complaint and suggestion system), survey kepuasan pelanggan (customer satisfaction
survey), Ghost shopping ke perusahaan pesaing, analisis pelanggan yang hilang (lost
customer analysis).
Hasan (2008) menjelaskan kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan dapat dikaji
dari teori-teori kepuasan seperti teori experience affective feeling, expectancy
60
disconfirmation theory, equity theory, dan attribution theory. Pendekatan experience
affective (pengalaman afektif atau perasaan) berpandangan bahwa tingkat kepuasan
pelanggan dipengaruhi oleh perasaan positif atau negatif yang diasosiasikan pelanggan
dengan barang atau jasa tertentu setelah pembeliannya.
Konsep kepuasan konsumen yang diadopsi dari Kotler (2000) menjelaskan
bahwa tingkat kepuasan konsumen dipengaruhi oleh persepsi konsumen terhadap nilai
yang diterima. Berdasarkan teori kepuasan konsumen yang diadaptasi dari Kotler
(2000) pada Gambar 2.10; tersirat bahwa keinginan pelanggan terhadap total nilai
produk, pelayanan, personal dan citra yang lebih besar harus didapatkan dari total
waktu, biaya, tenaga dan fisik yang lebih kecil, yang dikeluarkan pelanggan. Dengan
kata lain harapan pelanggan atas produk yang ditawarkan satu perusahaan yang lebih
kecil dari persepsi mereka atas produk tersebut, maka pelanggan akan mendapatkan
tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Akan tetapi bila terjadi sebaliknya, di mana
harapan pelanggan lebih tinggi dari persepsi pelanggan atas produk tersebut, maka
pelanggan tidak akan puas.
61
Gambar 2.10
Teori Kepuasan Konsumen
Sumber: adaptasi dari Kotler (2000)
Teori lain yang menjelaskan kepuasan konsumen adalah teori Expectancy
Disconfirmation. Teori ini mendefinisikan kepuasan konsumen melalui evaluasi
pengalaman yang dirasakan dengan yang diharapkan. Secara lebih rinci teori itu
dijelaskan pada Gambar 2.11.
Kebutuhan
Pelanggan
Keinginan Pelanggan
Perusahaan Produk
Persepsi
Pelanggan
terhadap
nilai
Harapan
Pelanggan
Nilai produk
Nilai pelayanan
Nilai personal
Nilai citra
Biaya
Tenaga
Psikis
Waktu Total biaya yang
Lebih Kecil
Total nilai yang
Lebih Besar
Tingkat
Kepuasan
Pelanggan
62
Berdasarkan deskripsi dalam Gambar 2.11, dapat dijelaskan harapan atas
kinerja dibandingkan dengan kinerja aktual produk yang menimbulkan tiga
kemungkinan.
1) Apabila kualitas lebih rendah daripada harapan, yang terjadi adalah
ketidakpuasan emosional (negative disconfirmation).
2) Apabila kinerja lebih besar bila dibandingkan dengan harapan, terjadi
kepuasan emosional (positive disconfirmation).
3) Apabila kinerja sama dengan harapan, maka yang terjadi adalah konfirmasi
harapan (simple disconfirmation atau non satisfaction)
Gambar 2.11
Pembentukan Kepuasan-Ketidakpuasan Konsumen
Sumber; adaptasi dari Fandy (1999)
Pengalaman Produk
Merk Sebelumnya
Harapan terhadap Kinerja
Seharusnya Tertentu
Evaluasi terhadap Kinerja
Aktual Merk Bersangkutan
Evaluasi Kesesuaian-
Ketidaksesuaian Harapan dan
Kinerja
Kepuasan
Emosional
Konfirmasi
Harapan
Ketidakpuasan
Emosional
Kinerja < Harapan Kinerja = Harapan Kinerja > Harapan
63
2.3.3 Teori pariwisata berkelanjutan
Konsep keberlanjutan pariwisata dapat dianalisis dari beberapa indikator.
Clarke (2010) menjelaskan dimensi keberlanjutan pariwisata sebagai berikut ini:
pertama isu skala pariwisata, yang menjadi lebih objektif dan sedikit emosi dengan
menempatkan mass tourism sebagai subjek pergerakan. Kedua, pariwisata
berkelanjutan dijadikan sebagai tujuan pencapaian kepemilikan atas pariwisata yang
existing. Ketiga, operasionalisasi ilmu terkini guna mengatasi permasalahan dan tidak
berkecimpung dalam perdebatan saja. Pergerakan dalam skema menunjukkan bahwa
pariwisata skala besar identik dengan mass tourism sebagai gudang permasalahan
dengan konotasi negatif. Secara rinci hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.12
berikut ini.
Gambar 2.12
Ilustrasi Pemahaman Pariwisata Berkelanjutan
Sumber: Clarke (2010)
Panduan menuju pariwisata berkelanjutan
Audit lingkungan
Daur ulang, pengurangan
Fokus perusahaan
(Sustainable
Tourism)
Pariwisata skala
kecil
Analisis dampak lingkungan
System manajemen lingkungan
Dampak ekologi
Dampak global
Tujuan pariwisata
berkelanjutan
(Mass Tourism)
Pariwisata skala
besar
Keuntungan
64
Berbagai alasan muncul sebagai hasil penghasutan atas pencapaian tujuan
pariwisata berkelanjutan. Ketertarikan itu terlihat pada motivasi keuangan institusi
pada lingkungan. Lebih dari tiga puluh objek pariwisata skala besar memiliki
kekuatan yang dapat dioptimalkan guna meraih keuntungan demi keberlangsungan
destinasi wisata. Ukuran besar kecilnya usaha yang dilibatkan dalam industri
pariwisata memberi kontribusi terhadap terbentuknya pariwisata yang berkualitas dan
berkesinambungan. Waldron and Williams (2002) menyatakan bahwa satu alat untuk
memilih indikator relevan atas inti keberlangsungan pariwisata adalah DPSIR
Framework. DPSIR adalah singkatan dari Driving forces, Pressure, State, Impact and
Responses. Pola kerja DPSIR mengedepankan prinsip interaksi antara pariwisata dan
lingkungan sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13
Framework DPSIR
Sumber Waldron dan Williams (2002)
Driving forces
State
Pressure Impact
Responses Populasi
penggunaan energi,
industri angkutan,
siklus bisnis
Hukum, pajak
teknologi baru,
rehabilitasi,
produksi bersih
Emisi polusi,
Pengangguran,
penggunaan lahan Penyakit, hilangnya
keanekaragaman
hayati
kerusakan ekonomi
Udara, air , kualitas tanah
Kondisi fisik dan psikis manusia
65
Waldron and Williams (2002) menggambarkan bahwa kategori PDSIR
Framework belum lengkap; ada beberapa pola kerja keberlangsungan lain yang
memiliki basis berbeda, yakni; domain-based, goal-based, sectoral, issue-based and
causal. Juga digambarkan pola kerja yang terintegrasi sebagai solusi bersinergi.
Bagaimanapun juga kegunaan DPSIR tampak lebih mudah ditangani.
Dalam industri pariwisata, terjadi penggunaan lahan, air, minyak bumi,
eksploitasi sumber energi secara berlebih, polusi, pengangguran, dan permasalahan
psikis sumber daya manusia. Pro-kontra terhadap dampak pariwisata akan senantiasa
ada dan membutuhkan satu strategi untuk mengatasinya. Dibutuhkan sebuah
manajemen yang baik dan layak diimplemantasikan pada setiap destinasi wisata.
Pengelolaan sumber daya alam, manusia, dan lingkungan dengan baik dan
benar akan memberi keuntungan yang berimbang terhadap sosial budaya, ekonomi
dan lingkungan masyarakat setempat serta merupakan tindakan pencegahan terhadap
kerusakan. Apabila DPSIR framework ini dikaitkan dengan lingkungan, maka
dipandang perlu mempertimbangkan carrying capacity Bali. Ardika (2012)
menyatakan bahwa hasil riset SCETO (Societe Centrale Pour I’equpeent Touristique
Oetre-Mer) Prancis menyimpulkan Bali maksimal boleh menampung empat juta
wisatawan pertahun, agar tidak terjadi marginalisasi penduduk lokal. Akan tetapi
kenyataannya tahun 2012 Bali sudah dikunjungi 2,7 juta wisatawan asing dan 5,7 juta
wisatawan domestik, dan diperkirakan meningkat dua kali lipat setiap tahun.