BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Olahraga
a. Hakekat Olahraga
Olahraga menjadi sangat penting karena tidak terlepas dari kebutuhan mendasar
manusia itu sendiri dan pada prinsipnya selalu bergerak. Tujuan seseorang berolahraga
adalah untuk meningkatkan derajat sehat dinamis (sehat dalam gerak) dan sehat statis
(sehat dikala diam) prestasi melalui kegiatan olahragapun menjadi suatu alasan
seseorang menekuni olahraga. Olahraga bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan
dimanapun tanpa memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan
sebagainya. Olahraga mempunyai peran penting dan strategi dalam pembangunan
bangsa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mutohir (2005) hakikat olahraga adalah
sebagai refleksi kehidupan masyrakat suatu bangsa. Didalam olahraga tergambar aspirasi
serta nilai-nilai luhur suatu bangsa yang terpantul lewat hasrat mewujudkan diri melalui
prestasi olahraga.
Istilah olahraga diperoleh dari kata kerja bahasa Inggris jaman pertengahan yang
ditentukan oleh bahasa Perancis sporten, yang berarti mengalihkan dan juga istilah
bahasa Latin desporto, yang secara harfiah berarti bergerak . Maka dari itu,
penekanannya adalah kepada perbedaan, sesuatu yang memberikan kesenangan. Pada
jaman pertengahan olahraga di Inggris berarti berburu berbagai macam binatang.
Lapangan panahan dan balap kuda dapat dilihat sejak abad ke-16. Salah satu identifikasi
budaya dan sejarah kita dengan olahraga adalah Olimpiade Yunani asli yang diadakan
atas bantuan Etiopia pada 686 tahun SM (sebelum Masehi). Menengok lebih jauh
kebelakang, bukti paling awal mengenai keberadaan tinju dicatat dalam hiroglif Etiopia
sekitar 4000 tahun SM. Permainan bola yang paling tua diperkirakan telah dimainkan
pada 1400 tahun sebelum Masehi di Mexico.
Pemahaman tentang konsep olahraga dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Istilah sport berasal dari bahasa latin “disportare” atau “deporate” didalam
bahasa italia menjadi “diporate” yang artinya menyenangkan, pemeliharaan atau
menghibur untuk bergembira. Istilah olahraga berubah sepanjang waktu namum
mempunyai pengertian yang sama yaitu esensi pengertiannya kebanyakan berkaitan
dengan tiga unsur pokok yaitu bermain, latihan fisik dan kompetisi. Nuansa usaha keras
mengandung ciri permainan dan konfrontasi melawan tantangan yang tercermin dalam
definisi UNESCO tentang sport yaitu setiap aktifitas fisik berupa permainan yang
berisikan perjuangan melawan unsur-unsur dan orang lain ataupun diri sendiri.
Giriwijoyo (2012:2) Olahraga adalah kagiatan dalam perikehidupan yang tidak hanya
melibatkan aspek jasmani, tetapi juga aspek rohani, aspek sosial dan bahkan aspek
ekonomi. Dengan demikian menjadi semakin jelas betapa luasnya lingkup permasalahan
kesehatan olahraga yaitu benar-benar meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia.Mutohir dan Maksum (2007:14) olahraga adalah proses sistematik yang berupa
segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina
potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota
masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak
dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan
Pancasila.
Matveyev 1981 dalam Lutan, (1991 : 12) mengungkapkan olahraga merupakan
satu kegiatan otot yang enerjik dan dalam kegiatan itu atlit memperagakan kemampuan
semaksimal mungkin. Loy 1968 dalam Lutan, (1991:12) mengemukakan olahraga
merupakan peragaan ketangkasan fisik yang terungkap dalam ketrampilan, kesegaran
jasmani atau kombinasi dalam kedua hal itu. Dari beberapa pendapat para ahli olahraga
diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan olahraga adalah : 1) Kegiatan
fisik yang dilakukan oleh perorangan atau sekelompok masyarakat atau regu. 2)
Kegiatan fisik yang dilakukan dengan cara bersenang-senang dalam ruang waktu
bercakap-cakap, hiburan, senda gurau, dan permainan. 3) Kegiatan aktivitas yang
dilakukan setiap hari. 4) Kegiatan ketangkasan fisik yang terdapat dalam ketrampilan
gerak. 5) Kegiatan aktivitas yang dilakukan secara sistematik untuk meningkatkan
kesegaran jasmani, rohani dan sosial. 6) Kegiatan aktivitas yang ada unsur bermain,
peraturan, bertanding, dan juara. 7) Pembentukan karakter seseorang serta peningkatan
prestasi puncak. 8) Kegiatan aktivitas yang memerlukan perjuangan serta dapat
mengendalikan diri dan orang lain.
Olahraga juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang dimaksud adalah adanya
aturan-aturan yang harus dipatuhi, baik itu dalam olahraga yang bersifat play (bermain),
games maupun sport. Aturan dalam olahraga bersifat tidak terlalu ketat karena play
merupakan aktivitas fisik yang bersifat sukarela dan dilakukan secara bebas. Olahraga
yang bersifat games aturannya sudah mulai ketat. Didalam olahraga aturan yang telah
dibuat bukan merupakan suatu hal yang dapat menghambat pengembangan kemampuan
dalam berekspresi atau juga bukan merupakan pengekang kebebasan, melainkan suatu
bentuk tindakan untuk menjadikan olahraga itu menjadi lebih baik, penuh dengan seni
dan etika.
Olahraga adalah gerak yang merupakan kebutuhan hakiki bagi manusia.
Kebutuhan gerak ini adalah gerak spesifik yang dilakukan secara sadar dan mempunyai
tujuan. Secara internal, gerak manusia terjadi secara terus menerus dan secara eksternal
gerak manusia dimodifikasikan oleh pengalaman belajar, lingkungan yang mengitari dan
situasi yang ada. Oleh kerna itu manusia harus disiapkan untuk memahami fisiologis,
psikologis dan sosiologis agar dapat mengenali dan secara efesien menggunakan
komponen-komponen secara keseluruhan. Dengan demikian manusia dan gerak fisik
tidak adapt dipisahkan dari kehidupannya.
b. Ruang Lingkup Olahraga
Undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Bab II
Pasal 4 menetapkan bahwa keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan
meningkatkan kesehatan, kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral
dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan
bangsa memperkokoh ketahanan nasional, serta mengangkat, harkat, martabat dan
kehormatan bangsa. Kemudian pada Bab VI Pasal 17, Ruang lingkup olahraga itu sendiri
mencakup tiga pilar yaitu olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.
Ketiga pilar olahraga ini dilaksanakan melalui pembinaan dan pengembangan olahraga
secara terencana, sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan, yang dimulai dari
pembudayaan dengan pengenalan gerak pada usia dini, pemassalan dengan menjadikan
olahraga sebagai gaya hidup, pembibitan dengan penelusuran bakat dan pemberdayaan
sentra-sentra keolahragaan, serta peningkatan prestasi dengan pembinaan olahraga
unggulan nasional sehingga olahragawan andalan dapat meraih puncak pencapaian
prestasi.
1) Olahraga Pendidikan
Olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan
sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh
pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.
Olahraga pendidikan diselenggarakan sebagai bagian proses pendidikan,
dilaksanakan baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal, biasanya
dilakukan oleh satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, guru pendidikan
jasmani dengan dibantu oleh tenaga olahraga membimbing terselenggaranya
kegiatan keolahragaan.
Di sekolah atau satuan pendidikan, penjasorkes berperan penting, hal ini terkait
dari dua hal, yakni sisi pendidikan jasmani yang mengarah kepada aspek edukatif
dan sisi olahraga yang mengarah kepada aspek prestasi. Kedua hal ini merupakan hal
yang inheren dalam penjasorkes, karena disitulah ditempa pribadi peserta didik agar
memiliki jasmaniah dan rohaniah yang sehat, segar, dan sekaligus memungkinkan
untuk prestasi, tentu saja termasuk prestasi di bidang olahraga. Disamping itu, masih
ada dimensi terpendam pendidikan jasmani yang bisa mengembangkan dan
membentuk kemampuan serta kepribadian setiap individu misalnya sikap, semangat,
emosi, kejiwaan dan sebagainya. Penjasorkes merupakan pilar dalam membangun
tingkat kebugaran (kesehatan dan kesegaran), karena dimensi gerak sebagai aktivitas
utamanya memiliki implikasi nyata bagi penumbuhan kesehatan
individu/kelompok/masyarakat. Dengan demikian penjasorkes dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat sehingga tercapai manusia Indonesia yang sehat . Sehat
dalam konteks ini mengacu kepada definisi sehat dari World Health Organization
(WHO) yakni: “Holistic health extends the physical, mental, and social aspects of
the definition to include intellectual and spiritual dimentions”. Di sisi lain,
penjasorkes pada satuan pendidikan menjadi penting, terutama jika dikaitkan dengan
proses pembibitan dan pembinaan dalam rangka peningkatan prestasi olahraga.
Melalui satuan pendidikan ini, jenjang-jenjang pembibitan dan pembinaan
tersebut akan terukur, sistematis, dan terfokus. Hal itu penting diperhatikan karena
melahirkan juara dalam cabang olahraga tersebut membutuhkan pembinaan yang
berjenjang dan memerlukan waktu yang cukup lama. Jika pembibitan dan pembinaan
dilakukan sejak usia dini, yakni sejak usia sekolah dasar secara konsisten dan
terencana, bukan hal yang mustahil dapat lahir olahragawan-olahragawan terbaik
pada cabang-cabang olahraga tersebut.
Adapun ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan jasmani, olahraga dan
kesehatan (Penjasorkes) sesuai Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Tahun
2006 adalah sebagai berikut:
a) Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan.
eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor, dan manipulatif,
atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis
meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya.
b) Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen
kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya
c) Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat,
ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya
d) Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic
serta aktivitas lainnya
e) Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan
bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya
f) Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan,
berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung
g) Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-
hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar sehat, merawat
lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat,
mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan
berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan
aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap Pendidikan Jasmani dan
Olahraga penting karena dapat mendukung bagi pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs) di bidang kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan.
Dalam hal ini penjasorkes dapat menjadi instrumen yang efektif bagi
penanggulangan dan peningkatan secara tidak langsung masalah kesehatan dan
kemiskinan. Misalnya, olahraga dapat menyumbang atau berpengaruh kepada
meningkatnya kebugaran masyarakat. Di Indonesia lebih dikenal dengan nama
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes), hal tersebut sesuai
dengan yang diamanatkan dalam Standar Nasional Pendidikan (PP RI No. 19 Tahun
2005 pasal 7 ayat 8 dalam Sugiyanto 2012 ). Selanjutnya dijelaskan bahwa
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan didalamnya terkandung 3 (tiga)
komponen isi yang seharusnya ada, yaitu: Pendidikan Jasmani; Pendidikan
Olahraga; dan Pendidikan Kesehatan.
a. Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani memiliki kajian tersendiri namun sebenarnya
merupakan satu kesatuan dalam konsep Penjasorkes. Definisi Pendidikan
Jasmani menurut Charles A. Bucher 1972 dalam Sugiyanto (2012)
menyatakan “Pendidikan Jasmani, suatu bagian integral dari proses
pendidikan total , adalah suatu bidang upaya yang bertujuan mengembangkan
warga negara yang segar (fit) secara fisik, mental, emosi dan sosial melalui
medium aktivitas fisik yang dipilih sesuai sudut pandang perealisasian tujuan
tersebut.
Pendidikan Jasmani merupakan salah satu mata pelajaran yang
terdapat dalam program pendidikan umum. Pendidikan jasmani merupakan
suatu proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai
kegiatan jasmani dalam rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan
ketrampilan jasmani, pertumbuhan, kecerdasan dan pembentukan watak.
Dengan demikian dapat dikatakan di sini bahwa pendidikan jasmani sekolah,
bukan semata-mata di tekankan pada pencapaian kesegaran fisik,
pengembangan ketrampilan, kemampuan motorik saja, namun menanamkan
gemar hidup sehat sejak anak-anak. Seseorang yang memiliki pemahaman
sejak usia dini tentang perencanaan program kesegaran, perilaku hidup sehat
yang pada gilirannya akan mampu berpartisipasi aktif dalam segala aktivasi,
termasuk aktivitas olahraga dalam masyarakat luas. Untuk itu pendidikan
jasmani di sekolah hendaknya mampu mengembangkan ketrampilan motorik,
fitness dan karakter secara bersamaan.
Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang melibatkan
aktifitas fisik dengan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Lutan
(1998: 113) “Pendidikan Jasmani adalah proses pendidikan via aktivitas
jasmani, permainan dan/atau cabang olahraga yang terpilih dengan maksud
untuk mencapai tujuan pendidikan”. Tujuan yang ingin dicapai bersifat
menyeluruh, mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, sosial dan moral.
Berkenaan dengan aspek fisik, tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk
memperkaya perbendaharaan gerak dasar anak-anak dengan aktivitas fisik,
sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.
Sebagai alat pendidikan, pendidikan jasmani bukan hanya bertujuan
untuk mengembangkan kemampuan jasmani siswa, tetapi melalui aktivitas
jasmani dikembangkan pola potensi lainnya, seperti kognitif, afektif dan
psikomotor anak. Pendidikan jasmani berperan penting terhadap pencapaian
tujuan belajar mengajar secara keseluruhan. Melalui pendidikan jasmani
diharapkan dapat merangsang perkembangan dan pertumbuhan jasmani
siswa, merangsang perkembangan sikap, mental, sosial, emosi yang
seimbang serta keterampilan gerak siswa. Menurut Depdiknas, (2003)
mengemukakan bahwa “Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan
yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik
bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik,
neuromuskuler, perceptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem
pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada
penguasaan gerak manusia. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap
kecenderungan dan hakikat gerak ini, misalanya melalui teori gerak dan teori
belajar gerak, maka memungkinkan guru lebih memahami tentang kondisi
apa yang perlu disediakan untuk memungkinkan anak belajar secara efektif.
Tidak dipungkiri bahwa dalam menjalankan proses pendidikan Jasmani di
sekolah, guru mengalami banyak kendala misalnya keterbatasan sarana dan
prasarana olahraga. Dengan kondisi tersebut, guru penjasorkes dituntut untuk
lebih kreatif dan inovatif.
Model-model pembelajaranpun banyak dibuat untuk menanggulangi
keterbatasan tersebut. Salah satu bentuk pembelajaran tersebut berkonsep
pada joyful learning atau belajar yang menyenangkan. Desain atau rancangan
pembelajaran tersebut kemudian dielaborasi konsepnya menjadi konsep
PAIKEM yaitu Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (Kristiyanto, 2012 : 15-16)
b. Pendidikan Olahraga
Pendidikan olahraga merupakan sebuah konsep hasil pengembangan
dari Penjasorkes dimana memiliki tujuan yang lebih spesifik yaitu mengarah
kepada prestasi olahraga dari peserta didik. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Daryl Siedentop dalam Sugiyanto (2012) mengatakan bahwa model
pendidikan olahraga dinilai memiliki tujuan yang lebih ambisius dibanding
dengan program olahraga didalam pendidikan jasmani. Pendidikan olahraga
berusaha mendidik murid untuk menjadi pemain olahraga yang sebenarnya
dan membantu mereka untuk menjadi olahragawan yang kompeten, pintar
dan antusias. Selanjutnya dijelaskan bahwa olahraga yang kompeten berarti
memiliki keterampilan yang memadai untuk berpartisipasi dalam
pertandingan, memahami dan dapat melaksanakan strategi sesuai dengan
kompleksitas permainan dan sebagai pemain yang berpengetahuan.
Olahragawan yang pintar berarti memahami nilai-nilai peraturan, tatacara dan
tradisi dalam olahraga dan dapat membedakan antara praktik olahraga yang
baik dan yang buruk baik pada anak-anak atau olahragawan profesional.
Olahragawan yang antusias berarti berpartisipasi dan berperilaku dalam cara
yang memelihara, melindungi dan mempertinggi budaya olahraga.
Sebagai anggota kelompok olahraga turut mengembangkan olahraga
pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Jika mengevaluasi dan
menganalisis dalam berbagai kejuaraan dunia menunjukkan bahwa hanya
atlet tertentu cocok untuk olahraga tertentu dan harus juga memiliki
karakteristik psikologi dan mental yang diperlukan. Selain itu juga memiliki
kondisi fisik yang handal, memiliki teknik dan taktik yang baik serta
memiliki pengalaman dalam berbagai kompetisi yang dapat mencapai
prestasi tinggi. Prestasi semacam ini akan dicapai dengan mengembangkan
aspek-aspek prasyarat pada masa anak-anak.
Pembinaan olahraga yang dilakukan secara sistematis, tekun dan
berkelanjutan pada pelajar SD, SMP dan SMA diharapkan akan
menghasilkan prestasi yang tinggi. Dengan dimulainya pembinaan olahraga
pada usia muda, akan terwujud dalam proses awal dari pembinaan olahraga
sendiri dimulai dari pembinaan pelajar yang salah satunya dengan cara
pemanduan bakat pada usia dini. Usia anak Sekolah Menegah Pertama
merupakan masa-masa yang strategis dalam upaya pembinaan olahraga,
karena pada masa ini anak-anak masih mempunyai waktu dan kesempatan
yang cukup panjang, sehingga dapat meraih prestasi yang maksimal
dikemudian hari.
c. Pendidikan Kesehatan
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap aktivitas
kehidupan dimana kesehatan harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Cara
termurah untuk menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga.
Ketidaktahuan akan cara yang benar untuk menjaga kesehatan menjadi salah
satu faktor penyebabnya. Kehidupan sekolah yang terlalu membebankan
kepada tugas-tugas berkombinasi pula dengan kehidupan di rumah dan
lingkungan luar sekolah. Jika di sekolah anak kurang bergerak, di rumah
keadaannya juga demikian. Kemajuan teknologi yang dicapai pada saat ini,
malah menjebak anak-anak ke dalam lingkungan kurang gerak. Anak
semakin asyik dengan kesenangannya seperti menonton TV atau bermain
video game. Tidak mengherankan bila ada kerisauan bahwa kebugaran anak-
anak semakin menurun.
Seiring semakin rendahnya kebugaran jasmani, kian meningkat pula
gejala penyakit hipokinetik (kurang gerak) seperti kegemukan, tekanan darah
tinggi, kencing manis, nyeri pinggang bagian bawah, adalah contoh dari
penyakit kurang gerak . Akibatnya penyakit jantung tidak lagi menjadi
monopoli orang dewasa, tetapi juga sudah menyerang pada anak-anak.
Sejalan dengan itu, pengetahuan dan kebiasaan makan yang tidak sehatpun
semakin memperburuk masalah kesehatan anak-anak. Dengan pola gizi yang
tidak seimbang, mereka menghadapkan diri mereka sendiri pada resiko
penyakit degenaratif (menurunnya fungsi organ) yang semakin besar. Sangat
penting untuk menjaga kesehatan baik jasmani maupun rohani oleh karena
itu pendidikan kesehatan menjadi sangat krusial khususnya untuk pelajar di
sekolah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Giriwijoyo dan Sidik (2012 :
28) bahwa “Olahraga kesehatan meningkatkan derajat sehat dinamis (sehat
dalam gerak), pasti juga sehat statis (sehat dikala diam), tetapi tidak pasti
sebaliknya. Gemar berolahraga : mencegah penyakit, hidup sehat dan
nikmat. Malas berolahraga : mengundang penyakit. Tidak berolahraga :
menelantarkan diri”.
Sugiyanto (2012) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan pada
dasarnya merupakan kajian yang bersifat multidisiplin. Isinya diambil dari
banyak bidang ilmu antara lain kedokteran, kesehatan masyarakat,
kejasmanian, psikologi, biologi dan sosiologi. Lingkup kajiannyapun luas
yang mencakup antara lain hakekat sehat dan penyakit, kegizian, pencegahan
cedera, pertolongan pertama pada kecelakaan, pencegahan penggunaan
narkotika dan obat-obat terlarang, hakekat perilaku dan kebiasaan hidup
sehat dan pemeliharaan kesehatan. Aspek layanan yang termasuk didalamnya
meliputi penanganan kehidupan sekolah yang sehat, layanan kesehatan dan
pengajaran kesehatan.
2) Olahraga Prestasi
Olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan
olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi
untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan. Selain itu dalam pengembangan olahraga perlu dilakukan sebuah
pendekatan keilmuan yang menyeluruh dengan jalan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan adalah peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi
yang bertujuan memanfaatkan kaedah dan teori ilmu pengetahuan yang telah
terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru bagi
kegiatan keolahragaan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kristiyanto (2012 : 12) yang
menyatakan bahwa “Dalam lingkup olahraga prestasi, tujuannya adalah untuk
menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Artinya bahwa berbagai pihak
seharusnya berupaya untuk mensinergikan hal-hal dominan dalam menentukan
prestasi gemilang”. Sudut pandang teknologi berkaitan dengan penerapan prinsip-
prinsip teknik, termasuk mekanika gerak yang terbungkus dalam kajian
biomekanika, dalam bentuk analisis efisien gerak, momentum, akselerasi, dan
sebagainya. Teknologi juga berarti pemutakhiran peralatan-peralatan olahraga yang
sesuai dengan kaidah mekanika gerak tubuh manusia.
Telaahan penting yang diperlukan dalam peningkatan prestasi olahraga
adalah dari bantuan teori-teori sosiologi kedalam pengembangan olahraga.
Telaahan sosiologis perlu dilakukan dalam upaya membantu mensosialisasikan
olahraga kepada berbagai tingkatan usia dan golongan. Teori struktural
fungsionalisme, konflik, dan kritik perlu dimanfaatkan untuk memantapkan posisi
olahraga di masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dengan mudah
segala kebutuhan untuk berolahraga. Gerakan sosialisasi olahraga ini perlu
dilakukan agar masyarakat dapat memahami makna dan tujuan olahraga yang
sebenarnya. Teori-teori psikologi juga perlu dilakukan dalam peningkatan prestasi
olahraga nasional terutama mendorong atau memicu motivasi berprestasi dalam
bidang olahraga penampilan tingkat tinggi ini. Selain itu, pembelajaran
kepribadian atau personaliti atlet juga perlu dilakukan untuk dapat memahami para
atlet, sehingga pada saat yang sama atlet dapat dikokohkan kepribadiannya melalui
kekuatan fisik, emosional, dan intelektual secara utuh. Pedagogi dapat
diperbantukan dalam peningkatan prestasi olahraga melalui penerapan kaidah-
kaidah didaktik dan metodik yang akurat pada pembinaan olahraga usia dini dan
olahraga sekolah secara proporsional, selain juga perlu penerapannya dalam
olahraga masyarakat. Karena itu, perlu diproporsikan secara tepat kedudukan
aktivitas jasmani dan olahraga yang ada di sekolah dan di masyarakat.
Olahraga dapat menjadi salah satu alat untuk mencapai kejayaan bangsa.
Kejayaan olahraga nasional yang pernah ditorehkan Indonesia yaitu pada Asian
Games IV tahun 1962 di Jakarta dengan menduduki peringkat kedua setelah
Jepang. Namun beberapa tahun belakang ini, prestasi olahraga Indonesia
mengalami keterpurukan. Bahkan di tingkat Asia Tenggara, prestasi Indonesia
kurang menggembirakan. Prestasi olahraga Indonesia bukan semakin meningkat,
tetapi justru sebaliknya semakin merosot. Merosotnya prestasi olahraga nasional
tercermin dari peringkat Indonesia di ajang SEA Games. Terakhir kali Indonesia
menjadi Juara umum SEA Games pada tahun 1997 di Jakarta. Tahun 2011 kita
kembali menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar se-Asia Tenggara dan telah
berhasil merebut kembali gelar juara umum.
Untuk mendapatkan atlet berprestasi, disamping proses latihan yang harus di
jalankan dengan baik, perlu juga dibarengi dengan menciptakan kompetisi-
kompetisi agar proses latihan yang diterapkan dapat diuji dan dievaluasi melalui
kompetisi-kompetisi yang ada. Oleh karena itu semakin besar volume dan
frekuensi kejuaraan/kompetisi, maka semakin besar peluang untuk menghasilkan
atlet berprestasi. Olahraga prestasi adalah olahraga yang harus dibina dan ditangani
secara serius dan terpantau. Pembinaan olahraga prestasi bertujuan untuk
mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan
melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan
dan teknologi keolahragaan. Keterbatasan dana pemerintah menuntut cabang-
cabang olahraga lain yang belum menjadi prioritas pendanaan pemerintah perlu
menggalang dana kolektif dari masyarakat dan swasta.
Para pemerhati olahraga Indonesia harus segera menyatukan suara dalam
membangun olahraga di Indonesia. Salah satunya adalah menetapkan National
Sport Policy yang akan menjadi acuan bersama, tanpa melihat siapa yang menjadi
penguasaannya, serta menciptakan situasi konduksif untuk efisiensi dan efektivitas
penerapan kebijakan olahraga itu sendiri.
3) Olahraga Rekreasi
Olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan
kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi
dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan,kebugaran, dan
kegembiraan. Pada pasal 19 Bab VI UU nomor 3 tahun 2005 dinyatakan bahwa
“olahraga rekreasi bertujuan untuk memperoleh kesehatan, kebugaran jasmani dan
kegembiraan, membangun hubungan sosial dan atau melestarikan dan
meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional”. Selanjutnya dinyatakan
bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban menggali,
mengembangkan dan memajukan olahraga rekreasi.
Kristiyanto (2012 : 6) menyatakan bahwa “olahraga rekreasi terkait erat
dengan aktivitas waktu luang dimana orang bebas dari pekerjaan rutin. Waktu
luang merupakan waktu yang tidak diwajibkan dan terbebas dari berbagai
keperluan psikis dan sosial yang telah menjadi komitmennya”. Secara psikologi
banyak orang di lapangan yang merasa jenuh dengan adanya beberapa kesibukan
dan masalah, sehingga mereka membutuhkan istirahat dari bekerja, tidur dengan
nyaman, bersantai sehabis latihan, keseimbangan antara pengeluaran dan
pendapatan, mempunyai teman bekerja yang baik, kebutuhan untuk hidup bebas,
dan merasa aman dari resiko buruk. Melihat beberapa pernyataan di atas, maka
rekreasi dapat disimpulkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sebagai pengisi
waktu luang untuk satu atau beberapa tujuan, diantaranya untuk kesenangan,
kepuasan, penyegaran sikap dan mental yang dapat memulihkan kekuatan baik
fisik maupun mental.
Beragam jenis olahraga rekreasi, yang merupakan kekayaan asli dan jati diri
bangsa Indonesia perlu dilestarikan, dipelihara dan diperkenalkan kepada generasi
muda penerus, serta didokumentasikan dengan serius dan cermat, sehingga aset
budaya dan jati diri bangsa Indonesia tidak hilang atau diakui oleh bangsa lain.
Disamping itu, gerakan “Sport for All” yang menjadikan olahraga sebagai bagian
dari upaya mendukung pembangunan kualitas sumber daya manusia, pendidikan,
kesehatan dan kebugaran masyarakat, serta aspek lain yang dibutuhkan oleh
pembentukan karakter dan jati diri suatu bangsa, menjadikannya sebagai kekuatan
yang ampuh dalam upaya mempersatukan bangsa Indonesia dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, “Sport for All” di dunia
internasional telah semakin maju dan berkembang menjadi suatu gerakan global,
yang dampaknya secara langsung dan tidak langsung telah mempengaruhi
perkembangan olahraga di Indonesia, yang terbukti dengan semakin subur dan
meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan dan bentuk olahraga,
baik yang asli berakar dari budaya bangsa dan dalam negeri Indonesia, maupun
yang berasal dari budaya bangsa lain dari manca Negara. Atas dasar pemikiran
bahwa potensi, manfaat dan kekayaan dari olahraga rekreasi dan gerakan “Sport for
All”, tidak hanya dari aspek olahraga, kesehatan dan budaya, akan tetapi juga dari
aspek terkait yang lain dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka pengembangan
olahraga rekreasi dan gerakan “Sport for All” di Indonesia, harus ditangani dengan
serius, baik oleh pemerintah di pusat dan daerah, maupun oleh organisasi olahraga
dan masyarakat sendiri, melalui penetapan Visi “Indonesia Bugar 2020”.
Guna mendukung upaya dan semangat kebangkitan bangsa Indonesia yang
dimulai sejak peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional tahun 2008, maka
Kebangkitan Olahraga Nasional melalui upaya pemberdayaan dan pengembangan
olahraga rekreasi dan gerakan “Sport for All” di Indonesia, menjadi salah satu
solusi dan cara yang tepat untuk mendorong percepatan Kebangkitan Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang sehat, bugar, produktif, kuat, mandiri, demokratis,
berjati diri dan berdaya saing di era globalisasi. Atas dasar pemikiran tersebut, Visi
“Indonesia Bugar 2020” harus dapat dijabarkan melalui penyelenggaraan event
berskala nasional yaitu Kongres Nasional Pengembangan Olahraga Rekreasi dan
“Sport for All” di Indonesia dan sekaligus didukung oleh seluruh jajran dan jejaring
Olahraga Rekreasi di Indonesia yang berhimpun dalam Federasi Olahraga Rekreasi
Masyarakat Indonesia (FORMI), yang akan mengindentifikasi dan
menginventarisasi segenap potensi yang terkait, serta menentukan peran, arah dan
sasaran pengembangan olahraga rekreasi dan “Sport for All” di Indonesia dalam
sepuluh tahun kedepan.
2. Olahraga Pencak Silat
a. Sejarah pencak silat
Pencak silat merupakan salah satu unsur budaya peninggalan nenek moyang
bangsa Indonesia yang saat ini sudah berkembang dimanca Negara. Pencak silat adalah
suatu cabang olahraga kebanggaan bangsa dan rakyat Indonesia yang lahir dan
berkembang dibumi pertiwi untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan mencapai
keselarasan hidup, serta meningkatkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pada pesta-pesta olahraga baik tingkat regional, nasional maupun internasional pencak
silat sudah sejajar kedudukannyaa dengan cabang olahraga lainnya. Hal ini telah terbukti
dengan terbentuknya persekutuan pencak silat antar bangsa (PERSILAT) yang dipelopori
oleh Eddie M. Nalapraya pada tanggal 11 maret 1980 didukung oleh Negara singapura,
Malaysia dan brunei darusalam. (Lubis & Wardoyo, 2014:2) Dengan demikian pencak
silat bukan saja milik bangsa Indonesia tetapi sudah menjadi milik bangsa-bangsa lain
didunia.
Para pendekar dan perguruan progresif mengupayakan untuk membentuk pencak
silat sebagai olahraga. Perjuangan keras untuk menyakinkan bahwa pencak silat perlu
dikembangkan sebagai olahraga agar tidak musnah dimasyarakat. Alasannya bahwa
dengan berakhirnya masa peperangan pencak silat sudah kehilangan peran sebagai sarana
bela diri. Dalam upaya mencari peran baru yang lebih sesuai dengan perkembangan
zaman pencak silat sebaiknya dicoba untuk dipertandingkan.
Uji coba pertandingan pencak silat pertama diadakan olah pendekar-pendekar
distadion kalisari, semarang tahun 1957. Pada pertandingan ini sangat menggembirakan
karena berjalan dengan lancar tanpa ada kecelakaan, namun uji coba dilakukan ditempat
lainnya tidak begitu berhasil dikarenakan peraturan yang digunakan masih sangat longgar
sehingga kontak antara pesilat tidak dapat dibatasi yang berakibat banyak terjadinya
cedera bahkan sampai mengakibatkan kematian. Selanjutnya pencak silat hanya dijadikan
acara demonstrasi dipekan olahraga nasional I (PON I) tahun 1948 sampai PON VII
tahun 1969. Pencak silat pertama kali tampil sebagai cabang olahraga prestasi dan
dipertandingkan secara resmi terjadi pada PON VIII tahun 1973 di Jakarta
Sejak saat itu dapat dikatakan pencak silat tanding mengalami perkembangan
pesat, dengan terus memperhalus teknik-teknik agar lebih efektik dan afisien yang sifat
tidak mencelakai, terutama dalam pembinaan dan pelatihan. Pembinaan dan pelatihan
pencak silat semakin disesuaikan dengan ilmu dan prinsip-prinsip olahraga yang secara
umum menitikberatkan pada kemampuan maksimal tubuh. Kemampuan tersebut
dibedakan menjadi beberapa spesifikasi yaitu: 1) strength (kekuatan), 2) endurance (daya
tahan), speed (kecepatan), 3) flexibility (kelentukan), 4)agility (kelincahan), fitness
(kesegaran jasmani) dan reaction (reaksi) kosasih, 1993:21)
b. Hakekat Pencak Silat
Pencak silat adalah olahraga bela diri yang berasal dari Indonesia yang terdiri dari
gerakan jasmani yang lemah gemulai, namun penuh tenaga dan dilandasi dengan rohani
yang berbudi luhur. Dalam pencak silat mengandung unsur bela diri, olahraga, seni, dan
budaya yang berisi teknik pembelaan dan penyerangan. Pencak dapat mempunyai arti
sebagai gerak dasar bela diri, yang terikat pada peraturan dan digunakan dalam belajar,
latihan, dan pertunjukan. Silat mempunyai pengertian sebagai gerak bela diri yang
sempurna, yang bersumber pada kerohanian yang suci murni, guna keselamatan diri atau
kesejahteraan bersama, menghindarkan diri/ manusia dari bela diri atau bencana. Dewasa
ini pencak silat mengandung unsur-unsur keolahragaan, seni, bela diri, dan kebatinan
(Setiawan, 2012:76).
Pencak silat merupakan salah satu budaya asli bangsa Indonesia dimana sangat
diyakini oleh para pendekarnya dan pakar pencak silat dan masyarakat Melayu saat itu
menciptakan dan mempergunakan ilmu bela diri ini sejak di masa prasejarah. karena pada
masa itu manusia harus menghadapi alam yang keras dengan tujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya (survive) dengan melawan binatang ganas dan berburu yang pada
akhirnya manusia mengembangkan gerak-gerak bela diri. Lubis (Hasyim dan Dolores,
2014:62) mengemukakan bahwa pencak silat merupakan warisan budaya nenek moyang
bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan salah satu bentuk
bela diri tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Setiap daerah
memiliki ciri-ciri khusus dalam mengolah keterampilan gerak dan penggunaan senjata
tradisional dalam pertandingan seni bela diri pencak silat.
Setelah terbentuknya organisasi pencak silat pada tanggal 18 mei 1948 bernama
IPSI (ikatan pencak silat Indonesia) para tokoh pencak silat berikrar untuk menjadikan
wadah tersebut sebagai alat perjuangan dimana tujuananya adalah mempersatukan dan
membina seluruh perguruan pencak silat yang terdapat di Indonesia: menggali,
melestarikan dan mengembangkan pencak silat beserta nilai-nilainya menjadikan sebagai
sarana character and national building serta sarana perjuangan bangsa. Pengembangan
pencak silat sebagai olahraga dan pertandingan telah dirintis sejak tahun 1969, dengan
melalui berbagai percobaan pertandingan di daerah dan di tingkat pusat. Pada tahun 1975,
PON VIII yang berlangsung di Jakarta, pencak silat pertama kali dipertandingkan dan
merupakan kejuaraan tingkat nasional yang pertama kali diselenggarakan.
c. Nilai-Nilai Esensial Olahraga Pencak Silat
nilai adalah sesuatu yang diyakini, dipegang, dan dipahami secara rasional serta
dihayati secara efektif (mendalam) sebagai sesuatu yang berharga dan yang baik untuk
acuan hidup dan motivasi hidup nilai seseorang diukur melalui tindakannya. Sedangkan
falsafah sebagai kegandrungan mencari hikmah kebenaran serta kearifan dan
kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan manusia. Pengertian tersebut berkaitan dengan
kata “phio” yang berarti love atau kegandrungan dan “Sophia” yang berarti wisdom atau
kearifan dan kebijaksanaan. Filsafah pada dasarnya adalah pandangan dan kebijaksanaan
hidup manusia dalam kaitan dengan nilai-nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, dan nilai
agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Falsafah budi pekerti yang luhur
menentukan kebenaran, keharusan, dan kebaikan bagi manusia pencak silat dalam
mempelajari, melaksanakan, dan menggunakan pencak silat maupun dalam bersikap,
berbuat, dan bertingkah laku, serta merupakan jiwa dan sumber motivasi dalam
pelaksanaan dan penggunaan pencak silat.
Dalam falsafah pencak silat kita akan mengenal etika. Istilah etika dan moral
secara etimologis, kata ethics berasal dari yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral
dan karakter. Studi tentang etika secara khas sehubungan dengan prinsip kewajiban
manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang
atau suku bangsa. Moral berasal dari kata latin, mos yang artinya sebagai adat istiadat
atau tata karma. Etika adalah suatu pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang
dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan melainkan suatu pengertian yang lebih
mendasar dan kritis. Dalam pengertian teknis moral menunjukan apakah perbuatan
seseorang baik atau buruk, bijak atau jahat, atau karakter yang bertanggung jawab. Etika
pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberika ajaran,
melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, pandangan-
pandangan moral secara kritis.
Scott kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan
mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapakannya, merayakannya dan
menjaganya. Etika terkait nilai-nilai pemeliharaannya seperti kebenaran, pengetahuan,
kesempurnaan, persahabatan, dan banyak nilai-nilai lainnya. Selain itu etika juga
mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi
dengan yang lainnya, terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak
punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri
atau jalan mereka.(Kohli, 1995 dalam Lubis & Wardoyo, 2014:12)
Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud, dan tujuan berbuat atau melakukan
tindakan. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Salah
satu contoh dalam olahraga, penggunaan doping merupakan perbuatan tidak bermoral,
sama dengan bermain “nyabun” dalam sepak bola. Etika mempelajari hal-hal dibalik isu
moral, sementar moral mempersolkan tindakan, motif, dan maksud dari perbuatan. Oleh
karena itu kedua istilah saling berkaitan satu sama lain.
Nilai menurut Sutrisno adalah sesuatu yang diyakini , dipegang, dan dipahami
secara rasional serta dihayati secara efektif (mendalam) sebagai sesuatu yang berharga
dan baik untuk acuan hidup dan motivasi hidup. Selanjutnya Darmaputra menjelaskan
nilai sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi serta mewarnai dan menjiwai tindakan
seseorang. Nilai seseorang diukur dengan tindakan. (Lubis & Wardoyo, 2014:12)
Pencak silat sebagai refleksi dari nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia
merupakan sistem budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan alam, dan tidak dapat
dipisahkan dari aktivitas manusia. Dalam kehidupan nyata dimasyarakat, pencak silat
telah digunakan sebagai alat bela diri, pemeliharaan kebugaran jasmani, mewujudkan rasa
estetika, dan menyalurkan aspirasi spiritual manusia. Pada tataran individu, pencak silat
berfungsi membina manusia agar dapat menjadi warga teladan yang mematuhi norma-
norma masyarakat . Pada tataran kolektif pencak silat berfungsi sebagai kekuatan kohesif
yang dapat merangkul individu-individu dalam ikatan hubungan sosial organisasi
perguruan silat, guna mempertahankan persatuan dan kesatuan dengan menciptakan rasa
kesetiakawanan dan kebersamaan diantara anggotanya. (Mulyana, 2013:87)
Seorang pesilat diharuskan menjaga harkat dan martabat diri dan bangsanya serta
bertanggung jawab terhadap ilmu yang diembannya, mengutamakan kepentingan
masyarakat dari pada kepentingan pribadi, rela berkorban untuk kepentingan bersama dan
tidak menggunakan kemampuan beladirinya untuk merugikan orang lain. Semakin luas
dalam kualitas dan kuntitas pengetahuan, keterampilan, dan perilaku seorang pesilat harus
semakin mantap dan pengamalan ajaran budi pekerti luhur.
Notosoejitno (1994) menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk tuhan wajib
mematuhi dan melaksanakan secara konsisten dan konsekuen nilai-nilai ketuhanan dan
keagamaan baik secara vertical maupun horizontal. Lebih lanjut O’on Maryono (1998:79)
mengemukakan bahwa amalan yang terkandung dalam falsafah budi pekerti luhur pencak
silat adalah pengendalian dalam arti: 1) Rasa keterikatan (sence of commitment) kepada
kaidah-kaidah, nilai-nilai dan cita-cita agama dan moral masyarakat; 2) Sikap Tanggap
(responsif) dan arif kepada setiap gelagat perkembangan, tuntutan dan tantangannya; 3)
Sikap Tangguh (firm) dan dapat mengembangkan kemampuan di dalam menhadapi dan
mengatasi tantangan; 4) Sikap disiplin dan tahan uji didalam menghadapi berbagai
godaan dan cobaan; 5) Sikap dinamis dan kreatif dalam upaya mencapai keberhasilan.
Ajaran falsafah budi pekerti dijiwai oleh nilai-nilai pencak silat adalah: 1) Takwa,
beriman teguh kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan melaksanakan printah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya; 2) Tanggap; peka, peduli, antisipatif, pro aktif dan mempunyai
kesiapan diri terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi berikut semua
kecendrungan, tuntutan dan tantangan; 3) Tangguh, keuletan dan kesanggupan
mengembangkan kemampuan diri dalam menghadapi dan menjawab setiap tantangan
serta dapat mengatasi setiap persoalan, hambatan dan gangguan; 4) Tanggon, (bahasa
jawa) teguh, tegar, konsisten dan konsekuen dalam memegang prinsip menegakan
keadilan, kejujuran, dan kebenaran; 5) trengginas (dalam bahasa jawa), enerjik, aktif,
kreatif dan inovatif, berpikir luas serta sanggup bekerja keras untuk mengejar kemajuan
yang bermutu dan bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat berdasarkan sikap
kesediaan untuk membangun dan bertanggung jawab atas pembanagunan masyarakatnya.
Falsafah pada dasarnya adalah pandangandan kebijaksanaan hidup manusia dalam
kaitan dengan nilai-nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, dan nilai agama yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Falsafah budi pekerti luhur menentukan ukuran kebenaran,
keharusan dan kebaikan bagi manusia pencak silat dalam mempelajari, melaksanakan dan
menggunakan pencak silat maupun dalam bersikap, berbuat dan bertingkah laku serta
merupakan jiwa dan sumber motivasi dalam pelaksanaan dan penggunaan pencak silat,
karena itu falsafah budi pekerti luhur merupakan falsafahnya pencak silat (Lubis &
Wardoyo, 2014:12)
Pencak silat pada dasarnya adalah beladiri yang mempunyai empat nilai sebagai
satu kesatuan yaitu nilai etis, teknis, estetis dan atletis. Nilai-nilai tersebut selain
merupakan nilai pencak silat juga merupakan corak khas dan keistimewaan pencak silat
yang bersumber dari budaya masrakat rumpun melayu. Menurut Notosoejitno (1997),
nilai etis adalah nilai kesusilaan pencak, secara implisit terkandung nilai agama, nilai
sosial budaya, dan nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai teknis adalah
kedayagunaaan pencak silat ditinjau dari kebutuhan dan kepentingan beladiri berdasarkan
logika. Nilai estetis adalah nilai keindahan pencak silat berdasarkan estetika. Nilai atletis
adalah nilai keolahragaan berdasarkan aturan keolahragaan. Dengan demikian konsep
yang mendasar dari ajaran falsafah budi pekerti luhur, memahami akan makna esensial
dari aspek dan nilai-nilai yang terkandung dalam pencak silat.
Falsafah budi pekerti luhur berkaitan erat dengan pembentukan karakter pesilat,
karena hal tersebur memberikan landasan untuk membentuk sikap dan perilaku pesilat
dalam upaya pencapaian kedisiplinan dan penanaman etika yang baik. Nilai-nilai luhur
pencak silat merupakan dasar untuk membentuk manusia yang beretika tinggi dan
mempunyai disiplin tinggi terhadap diri sendiri dan lingkungannya dalam hal
menjalankan tugas dan kewajiban yang diemban.
d. Aspek-aspek Pencak Silat
Istilah pencak silat mengandung unsur-unsur olahraga, seni bela diri dan
kebatinan. Pencak silat adalah hasil budaya manusia untuk membela atau
mempertahankan eksistensi (kemandirian) dan integritasnya (manunggalnya).
Pembentukan, pembinaan, dan pengembangan watak seseorang menjadi pesilat sejati
yang handal dan bermoral, dilakukan di perguruan atau organisasi pencak silat melalui
proses pengajaran dan pelatihan secara edukatif. Pembentukan pribadi yang bermoral
dalam ukuran seni bela diri pencak silat terkandung dalam empat aspek nilai luhur
pencak silat. Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia atau PB IPSI
(Setiawan, 2012:74-75) menjelaskan bahwa terdapat empat aspek utama dalam pencak
silat yaitu:
1) Aspek mental spiritual.
Pencak silat membangun dan mengembangkan kepribadian serta karakter mulia
seseorang. Para pendekar dan maha guru pencak silat zaman dahulu seringkali
harus melewati tahapan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lain untuk mencapai
tingkat tertinggi keilmuannya.
2) Aspek seni budaya.
Budaya dan permainan ‘seni’ pencak silat adalah salah satu aspek yang sangat
penting. Istilah pencak pada umumnya menggambarkan seni tarian pencak silat
yang diiringi dentuman suara musik dan busana tradisional.
3) Aspek beladiri.
Kepercayaan dan ketekunan diri adalah sangat penting dalam menguasai ilmu
bela diri dalam pencak silat. Istilah silat cenderung menekankan pada aspek
kemampuan teknis bela diri pencak silat.
4) Aspek olahraga.
Hal ini berarti aspek fisik dalam pencak silat merupakan hal yang sangat
penting. Pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh. Sebagai
kompetisi dari bagian olahraga ini meliputi pertandingan dan demonstrasi
bentuk jurus, baik untuk tunggal, ganda, atau regu.
Menurut Draeger (Kumaidah, 2012:4) senjata dan seni dalam bela diri silat
merupakan hal yang tidak terpisahkan, bukan hanya dalam hal olah tubuh saja, melainkan
juga hubungan spiritual yang terkait dengan kebudayaan Indonesia. Pencak silat menjadi
bagian dari latihan spiritual seseorang. Sebagai aspek mental-spiritual, pencak silat lebih
banyak menitikberatkan pada pembentukan sikap dan watak kepribadian pesilat yang
sesuai dengan falsafah budi pekerti luhur. Pada aspek bela diri, pencak silat bertujuan
untuk memperkuat naluri manusia untuk membela diri terhadap berbagai ancaman dan
bahaya. Dari segi ilmu bela diri dan seni tari rakyat, pencak silat berkembang menjadi
bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah asing.
3. Kebijakan Pemerintah Tentang Pembinaan Olahraga Pencak Silat
Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan, (friedrich dalam Wahab, 2004:3). Kebijakan
adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan
tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-
ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih
lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana
kebijakan, (2) penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik
dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran
yang dimaksudkan,(Mustopadidjaja). kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu dan umumnya tujuan tersebut yang ingin dicapai oleh seseorang,
kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi
harus mencari peluang-peluan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan.
Hal tersebut berarti kebijakan-kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan
praktek-praktek sosial yang ada didalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan
mendapat kendala ketika diimplementasikan. Sebaliknya suatu kebijakan harus mampu
mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-pratik yang hidup dan berkembang di
masyarakat.
Pembinaan adalah suatu proses yang berkesinambungan dan tidak ada rencana
pembinaan bersifat final, tetapi selalu merupakan bahan untuk diadakan perbaikan. Oleh
karena itu pembinaan bukan merupakan hasil daripada proses perencanaan, tetapi hanya
sebagai laporan sementara (interiwn report). Hasil pembinaan adalah spesifikasi dari
tujuan-tujuan/sasaran-sasaran target dari perencanaan yang ditentukan dengan apa yang
ingin dicapai, dan bagaimana mencapainya. Pada suatu deretan, fakta-fakta dan
pandangan untuk waktu yang akan datang, maka harus menyimpulkan apa yang akan
mempengaruhi tujuan dari kegiatan tersebut “hasil yang akan dicapai”. Jelasnya, hasil
pembinaan dengan maksud/tujuan untuk mencapai tujuan organisasi itu adalah
merupakan suatu pertimbangan yang pokok dalam halnya pengambilan keputusan, maka
efisiensi sangat diperlukan, karena merupakan perbandingan yang terbaik antar input dan
output (hasil pelaksanaan dengan sumber-sumber yang dipergunakan) jadi tujuan hasil
pembinaan adalah untuk mencapai efektif (berhasil guna) dan efisien (berdaya guna).
Hare, Ed. (1982:21) mengemukakan bahwa pembinaan olahraga yang dilakukan
secara sistematik, tekun dan berkelanjutan diharapkan akan dapat mencapai prestasi yang
bermakna. Proses pembinaan memerlukan waktu yang lama, yakni mulai dari masa
kanak-kanak atau usia dini hingga anak mencapai tingkat efisiensi kompetisi yang
tertinggi. Pembinaan dimulai dari program umum mengenai latihan dasar mengarah pada
pengembangan efisiensi olahraga secara komprehensif dan kemudian berlatih yang
dispesialisasikan pada cabang olahraga tertentu.
Kebijakan pembinaan olahraga memberikan kesempatan kepada semua semua
organisasi induk untuk berkembang, tetapi untuk olahraga prestasi sebaiknya disusun
program prioritas. Cabang olahraga termasuk nomor yang dinilai merupakan ungulan
daerah ditempatkan pada kelompok pertama dan selebinya pada kelompok kedua atau
ketiga. Pada tahun 2005 Pemerintah dengan Perwakilan Rakyat bersama-sama
menyepakati Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Sistem Keolahragaan
Nasional. Undang-undang keolahragaan ini mengamanatkan bahwa masyarakat harus ikut
serta dalam mengembangkan olahraga nasioanal
Pengembangan olahraga harus dilaksanakan secara berkesinambungan,
terprogram, dan menuntut kerja keras agar tecapainya prestasi dan budaya olahraga guna
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang memiliki tingkat kesehatan dan
kebugaran yang baik. Pembinaan olahraga dimulai dari usia dini baik pada formal dan
lembaga non formal, karena telah dirasakan bahwa olahraga akan memberikan
sumbangan yang berarti terhadap seluruh elemen kehidupan manusia. Pemerintah bahkan
menjadikan olahraga sebagai pendukung terwujudnya manusia Indonesia yang sehat
dengan menempatkan olahraga sebagai salah satu arah kebijakan pembangunan yaitu
menumbuhkan budaya olahraga guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga
memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup.
Tujuan akhir pembinaan olahraga itu tidak lain untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat, sehingga secara konsisten perlu menempatkan olahraga sebagai bagian
intergral dari pembangunan. Dengan demikian olahraga ditempatkan bukan sekedar
merespon tuntutan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya tetapi ikut bertanggung jawab
untuk memberikan arah perubahan yang diharapkan. Keteguhan terhadap komitmen ini
didukung oleh begitu banyak fakta dan pengalaman bahwa olahraga yang dikelolah dan
dibina dengan baik akan mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat. Seperangkat
nilai dan manfaat dari aspek sosial, kesehatan, ekonomi, psikologis dan pedagogis
merupakan landasan yang kuat untuk mengklaim bahwa olahraga merupakan instrument
yang ampuh untuk melaksanakan pembangunan yang seimbang antara material, mental,
dan spiritual.
Dalam kaitan dengan upaya percepatan peningkatan prestasi olahraga nasional
sesuai amanat UUSKN sudah sewajarnya kementrian Negara pemudah dan olahraga juga
memberikan perhatian dan mengarahkan kebijakan tentang penguatan sub-sub sistem
pembinaan yang lebih menekankan orientasinya pada olahraga prestasi, disamping
olahraga pendidikan dan olahraga rekreasi. Di samping itu kementerian negara pemuda
dan olahraga yang sekaligus menggambarkan arah tindakan yang bersifat strategis, serta
operasionalisasi kebijakan yang tertuang dalam program-program kegiatan.
Pembinaan untuk keserasian kebijakan dalam upaya koordinasi dan sinergi antara
lembaga-lembaga terkait yang menjadi stakeholders utama dalam pembinaan olahraga
perlu terus ditingkatkan. Pada tingkat pusat (dalam hal ini kementerian Negara pemuda
dan olahraga) menentukan kebijakan nasional serta koordinasi dan pengawasan terhadap
pengelolaan terhadap keolahragaan nasional. Pembinaan dan pengembangan olahraga
yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah meliputi : pengolahraga,
ketenagaan, pengorganisasian, pendanaan, metode, prasarana dan sarana serta
penghargaan olahraga. Pihak KONI dan pengurus besar induk organisasi cabang olahraga
berfungsi untuk merancang strategi pembinaan olahraga prestasi jangka panjang,
menengah, dan pendek serta menetapkan target-target yang realistis. Berkaitan dengan
fungsi masing-masing forum komunikasi akan menjadi sangat penting seperti forum
komunikasi melalui musyawarah nasioanal, musyawarah daerah guna membangun
komitmen yang berkenaan dengan prioritas pembinaan, target, dan penggalian dana
pendukung yang penggunaannya secara akuntabel dan transparan. (Mutohir & Maksun,
2007)
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dan memperhatikan tema kebijakan,
pokok-pokok pikiran, serta berbagai faktor sebagai penguatan sistem pembinaan dan
pengembangan olahraga pencak silat di Nusa Tenggara Timur perlu dilakukan beberapa
arah kebijakan strategi oleh pemerintah daerah sebagai bentuk perhatian dan
pertimbangan tidak hanya berujung pada peningkatan prestasi daerah melainkan sebagai
upaya pelestarian budaya bangsa yang semakin terkikis dan pembangunan olahraga
khususnya dalam percepatan peningkatan yang berdampak pada prestasi olahraga
nasioanal.
Olahraga pencak silat merupakan wahana bagi pelaksana proses transformasi
nilai-nilai kebudayaan dan pembentukan peradaban manusia yang didalamnya adalah
proses transformasi atau pembudayaan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat mendasar
seperti kejujuran, solidaritas, kesetiakawanan, persaudaraan dan lain-lain. Seperti yang
dikatakan oleh ketua umum pengurus besar ikatan pencak silat Indonesia Prabowa
Subianto dalam sambutan acara pengukuhan personalia pengurus provinsi Nusa Tenggara
Timur periode 2011-2015 mengatakan bahwa olahraga pencak silat merupakan bela diri
budaya bangsa yang patut untuk dilestarikan dan dikembangkan menjadi olahraga yang
mampu bersaing dalam setiap event internasional. Dalam menghadapi persaingan global
kita juga merasa berkepentingan melalui olahraga pencak silat dapat membentuk individu
yang cerdas dalam makna luas, yang diantaranya cakap dalam memecahkan masalah dan
menjadi manusia kreatif, bukan bangsa peniru yang tidak memiliki kepercayaan diri.
Secara efektif olahraga dapat difungsikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sebagai instrument pembangunan bangsa (national and character building)
Memperhatikan kondisi prestasi olahraga nasional yang memprihatinkan sebagai
akibat rendahnya daya saing dan tema kebijakan olahraga maka bangunan sistem
pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional perlu direstrukturisasi dan
revitalisasi sehingga olahraga menjadi bagian yang penting dalam pembangunan nasional.
Pencak silat di Nusa Tenggara Timur merupakan cabang olahraga unggulan sehingga
campur tangan pemerintah dalam hal pembinaan dilihat dari ketersediaan sumber daya
manusia olahraga pencak silat, Pendanaan, ketersediaan sarana dan prasarana untuk
mendukung proses pembinaan yang berkelanjutan
Dalam dunia olahraga pencak silat untuk mencapai prestasi secara optimal perlu
dikembangkan budaya sinergis berbagai unsur yang berkarakter, antara lain sinergis dari
lembaga pendidikan (perguruan tinggi) lembaga pemerintahan, dan stakeholder. Karena
dalam pencapaian prestasi merupakan sala satu perwujudan dari pilar olahraga prestasi.
Tripilar olahraga sebagai penyangga pencapaian prestasi, kebugaran dan pendidikan anak
bangsa yang berkarakter terdiri dari pengembangan olahraga prestasi, olahraga rekreasi
dan olahraga pendidikan.
Sebagai sebuah fenomena sosial dan kultur, olahraga pencak silat tidak bisa
melepaskan diri dari ikatan moral kemodernan yang kompleks. Penerimaan eksistensinya
secara sosiologis dijamin oleh kemampuan menyesuaikan diri dengan masyarakat atau
sebaliknya, masyarakat yang akan menjadikannya sebagai sasaran ekstensifikasinya.
Langkah strategis untuk mengembangkan, penanaman moral dan pembentukan karakter
melalui olahraga pencak silat dengan menjadikan prestasi “ Olahraga Pencak Silat
Sebagai Icon Nation And Character Building”.
Dalam deklarasi pencak silat incorporated kongres Diaspora Indonesia kedua 18-
20 agustus 2013 membangun komitmen bersama bahwa sebagai bagian dari budaya luhur
nenek moyang bangsa, kami seluruh pemangku kepentingan pencak silat baik dari ikatan
pencak silat Indonesia (IPSI), Persekutuan silat antarbangsa (PERSILAT), komite
olahraga nasional Indonesia. Kementrian pemudah dan olahraga (KEMENPORA),
kementerian luar negeri (KEMENLU), asosiasi-asosiasi nasional silat dan pemerhati
pencak silat yang ada diluar negeri, beserta segenap DIASPORA Indonesia sebagai
pewaris dari budaya luhur tersebut, berkomitmen untuk terus memelihara dan
mengembangkan jati diri bangsa dalam bentuk seni bela diri pencak silat. Hal ini tentu
dapat memberikan harapan baru seluruh elemen untuk tetap melestarikan budaya bangsa
dan juga menjadi pekerjaan besar bukan hanya terbatas pada pekerjaan IPSI dan
PERSILAT atau pemerintah saja, namun harus menjadi pekerjaan yang harus dipikul
bersama oleh berbagai pihak
Program pembinaan keolahragaan untuk meningkatkan prestasi olahraga
dikalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat telah dilaksanakan melalui berbagai
kegiatan antara lain: pembinaan olahraga, pemassalan olahraga, pemanduan bakat,
peningkatan mutu tenaga Pembina/pelatih keolaragaan dan pengembangan
prasarana/sarana olahraga. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh pembangunan
dalam berbagai sarana dan prasarana olahraga disekolah dasar dan sekolah lanjutan
sampai dengan perguruan tinggi. Selain itu penyediaan sarana dan prasarana pada pusat
pendidikan dan latihan pelajar (PPLP) diberbagai propinsi telah ditingkatkan, juga untuk
kalangan mahasiswa melalui pusat pendidikan dan latihan mahasiswa (PPLM) serta pusat
pendidikan dan latihan daerah (PPLD)
pelaksanaan pola dasar pembangunan olahrga ini dituangkan dalam bentuk
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan nyata dari pemerintah, masyarakat
dan keluarga, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun program jangka panjang
dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku. Sistem pembinaan olahraga
sudah dikenal dengan sistem piramida. Pembinaan olahraga berdasarkan piramida yaitu
mengikuti tahap-tahap pembinaan yang didasari pada teori pirammida, meliputi
pemasalan, pembibitan, dan peningkatan prestasi yang merupakan suatu rangkaian
kegiatan bertahap, terpadu, terarah, dan berkesinambungan yang menekankan prestasi
yang meluas atau masa dari kalangan warga usia muda. Melakukan upaya serius dalam
pembinaan olahraga menunjukan betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan dalam
pembinaan prestasi olahraga. Membina atlet tidak bisa dilakukan hanya dengan
pengetahuan yang intuitif dan spekulatif.
4. Kebijakan Pemerintah
Thomas R. Dye mengemukakan bahwa kebijakan publik merupakan apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Carl Friedrich memandang
kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan
peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
masalah dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu (Winarno, 2012:20-21).
Cochran, dkk., (2009:1-2) mengemukakan bahwa:
Public policy is defined as an intentional course of action followed by a government
institution or official for resolving an issue of public concern. Such a course of action
must be manifested in laws, public statements, official regulations, or widely accepted
and publicly visible patterns of behavior. Public policy is rooted in law and in the
authority and coercion associated with law.
Easton (1969) memberikan pengertian kebijakan publik sebagai pengalokasian
nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaaannya mengikat. Sehingga
cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dan sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang
merupakan bentuk pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. (Tangkilisan, 2003:2).
Public policy sebagai seuatu keputusan senantiasa berwawasan kehari-depan
(goal-oriented) atau bersifat futuristis. Untuk menanggapi kepentingan masyarakat, yang
dalam kondisi dan dalam situasi tertentu Nampak sebagai masalah (problem), yang
kemudian merupakan “public issue” maka public policy sebagai suatu keputusan
haruslah ditetapkan tepat pada waktunya, tidak boleh tergesa-gesa namun juga tidak boleh
ditetapkan secara terlambat. Ada ungkapan dalam hubungan dengan pembuatan public
policy, bahwa public policy haruslah ditetapkan dan dilaksanakan tepat pada waktunya.
Keinginan-keinginan dan pendapat-pendapat dalam masyarakat itu bermacam-macam,
ada yang sama, ada yang berbeda, malahan ada yang bertentangan. Karena itulah Dimock
menekankan definisinya sebagai “Reconciliation” dan “Critallization” dari pendapat-
pendapat dan keinginan-keingnan tersebut. (Soenarko, 2003:44)
Siegel dan Weinberg (Akindele dan Olaopa, 2004:174) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “public policies are shaped (or made) when government or comparable
authorities decide whether or not to alter aspects of community life”. Dengan kata lain,
kebijakan publik dibentuk atau dibuat ketika otoritas pemerintah memutuskan apakah
mengubah aspek kehidupan masyarakat atau tidak. James E. Anderson mendefinisikan
kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah)
atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan tidak terlepas dari
kaitannya dengan kepentingan antar kelompok, baik di tingkat pemerintahan maupun
masyarakat secara umum (Indiahono, 2009:17).
Kebijakan publik merupakan kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih
oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya. Ada banyak variable yang memengaruhi keberhasilan kepada individu
maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-
upaya policy makers. Untuk memengaruhi perrilaku birokrat pelaksanan agar tersedia
memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Dalam berbagai sistem
politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan
tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa
dampak pada warga negaranya, (Subarsono, 2005:87)
Menurut Woll (1966) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah
untuk memecahkan maslah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai
lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik
terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dan tindakan pemerintah yaitu: 1)
Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah
atau yamg lainnya yang bertujuan menggunakan kebijakan publik untuk mempengaruhi
kehidupan masyarakat, 2) Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan
pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penggaran,
pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat; 3) Adanya dampak kebijakan yang merupakan
efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. (Tangkilisan, 2003:2)
Menurut Charles O. Jones (1977) kebijakan terdiri dari komponen-komponen: 1)
Goal atau tujuan yang diinginkan; 2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik
untuk mencapai tujuan; 3) Program, upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan; 4)
Deficion atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat
rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program; 5) efek, yaitu akibat-akibat dan
program (baik disengaja atau tidak, primer atau skunder). (Tangkilisan, 2003:3)
Winarno (2012:35) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam kebijakan
publik yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Tahapan Kebijakan Publik
Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa terdapat lima tahapan kebijakan
publik, yaitu (Winarno, 2012:36-37):
a. Penyusunan agenda. Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah tersebut berkompetisi
terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan, sehingga tidak
semua masalah menjadi fokus perhatian pejabat.
b. Formulasi kebijakan. Masalah yang masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas
oleh para pembuat kebijakan. Masalah tersebut didefinisikan dan dicari
pemecahan masalah terbaik.
c. Adopsi kebijakan. Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh
para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut
dapat diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
d. Implementasi kebijakan. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi
Evaluasi
beberapa impelementasi kebijakan mendapat dukungan dari implementor namun
beberapa yang lain memiliki kemungkinan ditentang oleh para pelaksana.
e. Evaluasi kebijakan. Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik pada dasarnya untuk meraih dampak yang diinginkan
masyarakat atau memecahkan masalahnya. Oleh karena itu, perlu ditentukan
ukuran yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih
dampak yang diinginkan.
Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila
konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori (winarno,2014:24-26) antara lain:
a. Tuntutan – tuntutan kebijakan (policy decisions) adalah tuntutan-tuntutan yang
dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat
pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntuan tersebut berupa desakan agar
pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai
suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok
dalam masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa
pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah mengambil
tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.
b. Keputusan Kebijakan (policy demands) didefinisikan sebagai Keputusan-
keputusan yang dibuat oleh Pejabat-pejabat Pemerintah yang mengesahkan atau
memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan Kebijakan Publik.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan Undang-undang, memberikan
Perintah-perintah eksekutif atau Pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan
Peraturan-peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap
Undang-undang.
c. Pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements) adalah Pernyataan-
pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi Kebijakan Publik. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, Pemerintah-pemerintah dan
Dekrit Presiden, Peraturan-peraturan administrative dan pengadilan, maupun
Pernyataan-pernyataan atau Pidato-pidato pejabat pemerintah yang menunjukan
maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
d. Hasil-hasil Kebijakan (policy outputs) lebih merujuk pada “manifestasi nyata”
dari Kebijakan Publik, yaitu hal-hal yang dilakukan menurut Keputusan-
keputusan dan Pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan menggunakan kalimat
yang sederhana, hasil-hasil kebijakan dapat diungkapan sebagai apa yang
dilakukan oleh suatu Pemerintah dan keberadaannya perlu dibedakan apa yang
yang dinyatakan oleh Pemerintah untuk melakukan sesuatu. Penyelidikan
mengenai hasil-hasil kebijakan mungkin akan menunjukan bahwa kebijakan
dalam kenyataannya agak atau sangat berbeda dari apa yang tersirat dari dalam
Pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan demikian kita dapat membedakan
antara Dampak-dampak kebijakan dengan hasil-hasil kebijakan. Hasil-hasil
kebijakan lebih berpijak pada manifestasi nyata kebijakan publik.
e. Dampak-dampak Kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibat-
akibatnya bagi masyarakat baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan
yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.
Kebijaksanaan adalah sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok,
instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dengan
kata lain, kebijaksanaan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-
hambatan dan kesempatan- kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan
suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Hal ini sebenarnya menyangkut suatu dimensi
yang sangat luas, karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu yang ada dalam suatu
komunitas dalam masyarakat (Alam, 2012; 81)
Hal tersebut menunjukkan bahwa analisa kebijakan menggunakan berbagai
metode penelitian dan pengkajian guna menghasilkan informasi-informasi kebijakan yang
relevan guna pemecahan masalah. Dalam konteks ilmu politik, analisa kebijakan disebut
sebagai analisa kebijakan politik, namun kalau disiplin ini ditempatkan pada pengertian
yang luas dan mendalam, maka analisa kebijakan adalah suatu bentuk penelitian terapan
(action) yang dilakukan untuk memahami secara mendalam berbagai permasalahan sosial
guna mendapatkan pemecahan yang lebih baik.
Kegiatan analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumusan
kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan
kebijakan, pada implementasi kebijakan dan lingkungan kebijakan biasanya dilakukan
evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan
yang lebih bersifat berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan.
Menurut William N. Dunn (2000) dalam Alam (2012; 83—84) dijelaskan bahwa
hubungan antara komponen-komponen informasi kebijakan dan metode-metode analisis
kebijakan memberikan landasan untuk membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan,
antara lain; analisis kebijakan prospektif, analisis kebijakan restrospektif, dan analisis
kebijakan terintegrasi.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Analisis Kebijakan Prospektif
Analisis ini identik dengan produksi atau transformasi informasi sebelum aksi
kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung mencirikan cara beroperasi
para ekonom, analisis sistem, dan peneliti operasi. Analisis prospektif seringkali
menimbulkan jurang pemisah yang besar antara pemecahan masalah yang
diunggulkan dan upaya-upaya pemerintah untuk memecahkan.
b. Analisis Kebijakan Retrospektif
Analisis ini dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan, juga
dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan
dilakukan, hal ini mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga
kelompok analis, yaitu : (1) kelompok analis yang berorientasi pada disiplin, (2)
kelompok analis yang berorientasi pada masalah, dan (3) kelompok analis yang
berorientasi pada aplikasi.
c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi
Analisis ini merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para
praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi
sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang
terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap
penyelidikan retrospektif dan prospektif, tetapi juga menuntut para analis untuk
terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Hal
ini berarti bahwa analis dapat terlibat dalam tranformasi komponen-komponen
informasi kebijakan searah dengan perputaran jarum jam berulangkali sebelum
akhirnya pemecahan masalah kebijakan yang memuaskan ditemukan. Analisis ini
mempunyai semua kelebihan yang dimiliki oleh semua metodologi analisis
retrospektif dan prospektif, tetapi tidak satupun dari kelemahan mereka. Analisis
yang terintegarsi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus
menerus sepanjang waktu, tidak demikian halnya dengan analisis prospketif dan
retrospektif yang lebih sedikit menyediakan informasi dalam berbagai hal
kehidupan sosial.
Pemerintah selalu dihadapkan dengan berbagai masalah mulai dari yang
sederhana sampai permasalahan yang rumit dibutuhkan sebuah kebijakan untuk
mengatasi setiap masalah yang ada. Syarat untuk memecahkan masalah yang rumit adalah
tidak sama dengan syarat untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah
sederhana memungkinkan analisis menggunakan metode - metode konvensional,
sementara masalah yang rumit menuntut analisis untuk mengambil bagian aktif dalam
mendefenisikan hakekat dari masalah itu sendiri.
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau
bidang pembangunan, seperti kebijakan publik dibidang pendidikan, pertanian, kesehatan,
transportasi, pertahana, dan sebagainya. Di samping itu dilihat dari hirarkinya, kebijakan
publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal, seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan pemerintah propinsi, peraturan pemerintah kabupaten/kota, dan
keputusan bupati/walikota. Kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyrakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-
nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat maka kebijakan
publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebagainya, suatu
kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat, (Subarsono, 2005:3)
Kajian tentang ilmu kebijakan menjadi penting untuk dipahami karena ilmu
kebijakan salah satunya diimplementasikan untuk kepentingan publik. James Anderson
(dalam bambang S, 1994 :23) mengatakan bahwa “publik policies are those policies
develope by govermental bodies and officials” (kebijakan publik adalah kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Selanjutnya Anderson
menjelaskan implikasi dari pengertian kebijakan publik adalah:
a. Bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan yang berorientasi pada tujuan
b. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah
c. Bahwa kebijakan itu adalah benar-benar yang dilakukan oleh pemerintah, jadi
bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau
menyatakan akan melakukan sesuatu
d. Bahwa kebijakan publik bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk
tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu yang bersifat negatif dalam
arti merupakan keputusan Pejabat Pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
e. Bahwa Kebijakan Pemerintah dalam arti positif dasarkan atau selalu berlandaskan
pada Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat memaksa (otoritif).
a. Kebijakan Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat adalah penyelenggara pemerintahan negara kesatuan
republik Indonesia yakni presiden dengan dibantu oleh seorang wakil presiden dan
oleh menteri-menteri Negara, dengan kata lain pemerintah pusat adalah pemerintah
secara nasional yang berkedudukan di ibukota Negara republik Indonesia. Urusan
yang berkaitan dengan pemerintahan juga beraneka ragam dan tidak semuanya
urusan-urusan tersebut harus diselesaikan oleh pemerintah pusat. UUD 1945
mengatakan bahwa pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) diberi kewenangan
untuk menjalankan pemerintahan sendiri dengan dengan otonomi yang seluas-luasnya
(bab VI ) pasal 18 ayat 5 UUD 1945 hasil amandemen Otonomi artinya kekuasaan
untuk mengatur daerahnya sendiri.
Indonesia merupakan sebuah Negara demokrasi yang berupa kepualauan yang
bersatu dalam nusantara berdasarkan UUD 1945 pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
Negara indonesia negara kkeastuan yang berbentuk republik. Sebagai Negara
kesatuan, Indonesia terdiri atas daerah-daerah yang lebih kecil. Sehingga dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan pemerintah pusat membagi kekuasaan kepada
pemerintah daerah untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah dan presiden memegang
tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan
oleh pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan yang dimiliki pemerintah pusat terdiri atas urusan
pemerintahan absolute, urusan pemerintahan konkuren, urusan pemerintahan umum.
1) pemerintahan absolute adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat
2) urusan pemerintahan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang dibagi
antara pemerintah pusat dan pemerintahan propinsi dan daerah
kabupaten/kota.
3) Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan seperti pembinaan
wawasan kebangsaan, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa serta
penanganan konflik
Dalam urusan pemerintah konkuren dan urusan pemerintah umum
dilaksanakan oleh pemerintahan daerah atau diberikan kewenangan oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan untuk urusan pemerintahan absolute
dijalankan oleh pemerintah pusat namun dalam penyeleggaraan urusan tersebut
pemerintah pusat dapat dilaksanakan sendiri atau pun melimpahkan wewenang
kepada instansi vertical yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat berdasarkan asas dekonsetrasi.
Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik
ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap
kebijakan mengandung seperangkat nilai didalamnya (dikutip Dye, 1981 dalam
Subarsono, 2005:3) sebagai contoh ketika pemerintah pusat menetapkan undang-
undang No. 22 Tahun 1999 dan kemudian diganti dengan undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang pemerintah daerah terlihat bahwa nilai yang akan dikejar adalah
penghormatan terhadap nilai demokrasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat lokal
dan pemerintah daerah.
b. Kebijakan Pemerintah Daerah
Pada masa kemerdekaan atau masa Orde Lama, misalnya pernyataan otonomi
tentang otonomi yang seluas -luasnya tercantum dalam UU No. 1 tahun 1945, UU No.
22 tahun 1948, dan disusul kemudian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957.
Setahun sebelumnya juga muncul undang-undang yang mengatur perimbangan
keuangan anatara pusat dan daerah, yakni Undang-Undang No. 52 Tahun 1956. Di era
Pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang
menegaskan bahwa otonomi daerah dititikberatkan pada daerah tingkat II. Selanjtnya,
pasal 11 undang-undang ini menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi dengan titik
berat pada daerah tingkat tingkat II dilaksanakan dengan memuat tiga aspek utama
yakni aspek administrasi, aspek politik dan aspek kemandirian. Aspek adminidtrasi
merujuk pada pemerataan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan daerah. Aspek politik merujuk pada upaya pendemokrasian
pemerintahan di daerah, sedangkan aspek kemandirian dimaksudkan agar daerah
mampu mandiri, khususnya dalam melaksanakan urusan rumah tangganya sehingga
pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan kondisi dimana masyarakat ikut peran
serta, kreatif, dan inovatif dalam pembangunan daerah. Dengan demikan, isu
mengenai otonomi daerah telah lama diperdebatkan dalam tata pemerintah Indonesia,
terutama dalam konteks hubungan pusat dan daerah, (winarno 2014:364).
Namun konsep idieal yang tercantum masing-masing undang-undang,
terutama undang-undang no. 5 tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia pada masa orde baru, belum dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Asas desentralisasi yang seharusnya
menjadi pijak utama untuk melaksanakan otonomi daerah berada dibawah bayang-
bayang asas dekosentrasi. Pada masa kini, isu desentralisasi dalam konteks hubungan
kekuasaan antara pusat dan daerah terbatas pada distribusi keuangan ke daerah-daerah
dan tidak pernah menyentuh masalah bagi-bagi kekuasaan (power sharing) sebagai
sesuatu yang diperlukan dalam menumbuhkan pembangunan demokrasi di daerah
baik antara pusat dan daerah maupun antara birokrasi dengan masyarakat. Oleh
karena itu menjadi tidak mengherankan jika isu desentralisasi dan otonomi tetap
menjadi isu menarik yang didiskusikan hingga saat ini
Dengan melihat realitas diatas, maka munculnya TAP MPR NO.
XV/MPR/1998 yang mengamanatkan perlu diwujudkan penyelenggaraan otonomi
daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
wadah Negara Kesatuan Republic Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya produk Undang-undang No. 22 tahun 1998 tentang pemerintahan
daerah dan undang-undag No. 9 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, hendaknya dilihat dalam konteks ini. Dengan kata lain
keluarnya ketetapan MPR dan undang-undang otonomi daerah ini sebenarnya
ditujukan untuk menjawab kelemahan-kelemahan yang muncul akibat pelaksanaan
Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
Otonomi daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 1999,
adalah kewenangan Daerah Otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Secara filosofi, landasan yang
mendasari Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah adalah otonomi yang
dimaksud untuk meningkatkan Pelayanan Publik dan meningkatakan kesejateraan
masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada masyarakat.
Dengan kata lain, melalui Implementasi Otonomi Daerah ini Pemerintahan Daerah
diharapkan akan semakin mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melayani
dan merespon segala tuntutan masyarakat, dan menyelesaikan permasalahan yang
ada.
Pemerintahan Daerah masa lampau yang bersifat pasif, tidak akuntabel,
kurang responsif, dan tersentralisasikan oleh pusat tidak lagi memadai untuk
menjawab tantangan yang muncul. Singkatnya otonomi daerah yang hendak
dilaksanakan diharapakan akan memberikan manfaat yang besar terhadap daerah
(winarno, 2014:370 ) adalah sebagai berikut: (1) peningkatan efisiensi dan efektivitas
administrasi pemerintahan dan pembangunan daerah, (2) terciptanya hubungan saling
harmonis dan saling membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat, (3)
mempertinggi daya serap aspirasi masyarakat dalam program pembangunan, (4)
terjadinya penanganan masalah secara terpusat dan tepat dari berbagai permasalahan
actual yang berkembang dalam masyarakat, (5) mendorong munculnya partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Memang, tidak semua birokrasi yang sentralistik gagal dalam mendorong
pembangunan dan industrialisasi. Di korea selatan, Taiwan, dan Hongkong,
sentralisme kekuasaan dan dominasi birokrasi justru membuat proses pengambilan
keputusan berlangsung efektif karena tidak mendapatkan tantangan dari kelompok
oposisi. Namun, hal ini hanya berlaku jika elit-elit politik yang duduk di birokrasi
pemerintahan mempunyai komitmen yang kuat terhadap Kebijakan Pembangunan dan
kesejahteraan rakyat. Sementara di Indonesia, sentralisme dan hegemoni birokrasi
justru menjadi penghambat utama pembangunan. Bahkan dalam kasus Orde Baru
meskipun telah ditetapkan UU No. 5 Tahun 1974 yang menjamin pelaksanaan asas
desentralisasi dan Otonomi Daerah, langka komitmen elite politik untuk
mendesentralisasikan kekuasaan maka yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, yakni
sentralisme dan pola hubungan Pusat dan Daerah yang Eksploitatif. Oleh karena itu
komitmen elite untuk mau melakukan reformasi birokrasi Karena merekalah yang
mempunyai sumber daya dan otoritas yang menentukan agenda reformasi.
Perubahan mindset merupakan langkah paling krusial dalam melakukan
langka revitalisasi peran birokrasi, Namun hal ini belumlah cukup. Sebelum dilakukan
perubahan mindset, harus dilakukan audit sumber daya manusia birokrasi terlebih
dahulu untuk mengetahui secara pasti potensi dan kelemahan mendasar yang dimiliki
oleh sumber daya manusia birokrasi diluar persoalan-persoalan yang lebih bersifat
kebudayaan. Akhirnya sebuah reformasi haruslah holistic dalam pengertian mampu
mengatasi keseluruhan persoalan yang ada, dan itu dibutuhkan komitmen politik yang
tinggi dari elite-elite yang tidak sebatas pada usaha melanggengkan kekuasaan
mereka.
Tujuan utama pelaksanaan kebijakan otonomi daerah adalah untuk
membebaskan pemerintah pusat dari segala tugas-tugas pemerintahan yang
membebani yang dinilai tidak perlu karena lebih efektif jika ditangani oleh
pemerintah daerah. Dengan demikian pusat akan terfokus dalam mengamati dan
merespon setiap perkembangan yang terjadi di dunia global untuk dijadikan
pertimbangan pada setiap kebijakan yang akan diambil.
Otonomi Daerah merupakan implementasi dari pemberlakuan UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa banyak perubahan
khususnya dalam paradigma pengelolaan daerah. Salah satu perubahan itu adalah
pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang
pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan (winarno, 2014, 367) :
“landasan yang mendasari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomidaerah adalah otonomi yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayananpublik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberiankewenangan yang lebih besar kepada daerah diharapkan akan tumbuh prakarsaatau inisiatif dan kreativitas daerah untuk mendayagunakan potensi setempatdan menjadi semakin responsif terhadap permasalahan-permasalahan yangmereka hadapi”
Indonesia pada dasarnya menganut pemahaman otonomi daerah yang bersifat
administratif, yaitu kebesan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan
sendiri. Otonomi daerah menunjukan hubungan keterikatan antara daerah yang
memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kesatuan yang
lebih besar yaitu NKRI. Dengan berlakunya otonomi daerah maka pemerintah berhak
untuk mengatur daerahnya sendiri dan membuat kebijakan local dengan tujuan
pengembangan dan pembangunan daerah dalam bentuk peraturan daerah (PERDA).
Peraturan daerah merupakan bentuk nyata implementasi kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan yang ada untuk mengembangkan
potensi daerahnya. Melalui otonomi daerah apapun yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dapat dengan mudah dinilai bahkan dikritisi oleh masyarakatnya sendiri.
Peraturan daerah merupakan bentuk legitimasi pemda untuk mencapai tujuan-
tujuan pembangunan daerah sah terhadap masyarakat lokal. Dalam Hoessein,
2009:151-156) mengatakan produk hokum hasil pengaturan adalah peraturan daerah
(PERDA) dan peraturan kepala daerah, sedangkan sebuah produk hukum hasil
pengurusan adalah keputusan kepala daerah. Perda adalah keputusan kepala daerah
dengan persetujuan DPRD, sedangkan peraturan kepala daerah adalah keputusan
kepala daerah tanpa persetujuan DPRD. Kedua produk hukum tersebut sebagai norma
hukum umum dan abstrak. Keputusan kepala dearah sebagai produk hukum
pengurusan adalah keputusan yang bersifat penetapan. Sebagai kebijakan publik
tertinggi di daerah PERDA harus menjadi acuan seluruh kebijakan publik yang
dibuatnya termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam menyusun program
pembangunan daerah. Contoh kongkritnya adalah perda tentang rencana
pembangunan jangka panjang (RPJP) daerah dan rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM) atau rencana strategi daerah (RENSTRADA).
Landasan hukum otonomi dearah adalah UUD 1945 pasal 18, UU NO 32
Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU Nomor 33 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Otonomi daerah menurut
UU NO. 32 Tahun 2004 adalah 1) hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan daearah otonom,
2) kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan kepemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan asipirasi masyarakat dalam sistem
NKRI.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan
untuk membuat kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
otonomi yang luas, nyata, dan tanggung jawab didaerah secara proposional dan
berkeadilan jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta adanya
perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah. (Haw. Widjaja, 2007:7-8)
Tujuan otonomi daerah menurut UU NO. 32 Tahun 2004: 1) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, 2) meningkatkan pelayanan umum, 3) meningkatkan daya
saing daerah. Kewenangan pemerintah daerah meliputi: 1) menyelenggarakan
sendiri sebagian urusan pemerintahan, 2) melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada gubernur selaku wakil pemerintah, 3) menugaskan sebagian urusan kepada
pemerintah daerah dan atau terhadap pemerintahan desa berdasarkan asas tugas, 4)
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah disertai sumber
pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana sesuai dengan urusan yang
disentralisasikan.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah
diamandemen dengan undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintah
daerah mendefinisikan derah otonomi sebagai berikut: daerah otonom selajutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara kesatuan republik Indonesia
Dalam Mardiasmo (2002:46) mendefinisikan tujuan utama penyelenggaraan
otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan
otonomi daerah yaitu: 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat; 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumber daya daerah, dan 3) Memberdayakan dan meciptakan ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan demikian intinya tujuan
otonomi daerah adalah uuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara
meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memperdayakan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Ketika iklim pembangunan mengarah pada kebijakan otonomi daerah, maka
secara serta merta banyak pihak yang kemudian menaruh harapan yang cukup besar
kepada pemerintah daerah untuk lebih mengoptimalkan potensi kedaerahannya dalam
menangani pembangunan bidang olahraga secara lebih maju lagi. Kebijakan
pengembangan keolahragaan yang bersifat sentralistik masa lalu, diharapkan akan
lebih berkembang pesat setelah tiap-tiap daerah diberi kewenangan yang leluasa untuk
mengembangkan potensi keolahragaan masing-masing.
Dalam hukum positif di Indonesia dibedakan beberapa produk hukum daerah
otonom, namum baik jenis maupun hirarkinya diatur secara berbeda dalam peraturan
perundang-undangan. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan perundang-
undangan pasal 7 (ayat 1) mengatur jenis hirarki peraturan perundangan-undangan
sebagai berikut: 1) undang-undang dasar repulik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945),
2) undang-undang (UU)/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, 3) peraturan
pemerintah (PP), 4) peraturan presiden (perpres), 5) Peraturan daerah (Perda). Pada
hakekatnya peraturan daerah dan kebijakan publik memiliki pengertian yang hampir
sama, diman keduanya merupakan suatu alat intervensi pemerintah yang bertujuan
untuk mengubah kondisi yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari
perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat guna mewujudkan kondisi
yang dicit-citakan. Intervensi dapat dilakukan melalui serangkaian strategi kebijakan
dengan menggunakan berbagai peralatan atau instrument kebijakan.
Perda adalah produk hukum daerah otonom yang bersifat pengaturan. Perda
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Persiapan
pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan
c. Bentuk-bentuk Kebijakan
Kebijakan Pemerintahan dapat didefenisikan sebagai pilihan terbaik usaha
untuk memperoses nilai Pemerintahan yang bersumber pada kearifan Pemerintahan
dan mengikat secara formal, etik dan moral, diarahkan guna menepati pertanggung
jawaban aktor Pemerintahan dalam lingkungan Pemerintahan (Ndraha, 2003: 498).
Dalam rangkaian proses Kebijakan Publik, terdapat beberapa tahapan yang saling
terkait satu dengan yang lainnya. Perumusan atau formulasi kebijakan merupakan inti
dari kebijakan publik yaitu proses memastikan pokok isu dari permasalahan yang
sedang dihadapi dengan memperhatikan bahwa rumusan Kebijakan akan menjadi
hukum bagi elemen Negara.
Pimpinan lembaga dalam hal ini adalah pemerintah haruslah mampu membuat
kebijakaan yang baik dan bermanfaat bagi semua. Pada prinsipnya pemerintah adalah
perwujudan dari rakyat yang mempunyai tugas untuk menjalankan roda
kepemerintahan atas dasar kehendak dan kebutuhan rakyat dalam sebuah kenegaraan.
Oleh karena itu, semua tindakan dan keputusan harus dilatarbelakangi oleh
kepentingan rakyat itu sendiri. Menurut kamus besar bahasa Indonesia arti dari
kebijakan adalah “ kepandaian dan kemahiran”. Kebijakan sebagai rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (pemerintah/organisasi), pernyataan, cita-cita,
tujuan, dan prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
usaha untuk mencapai sasaran atau garis haluan. Easton dalam santoso, 2008:27
menjelaskan bahwa kebijakan adalah pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh
masyarakat secara keseluruhan.
Dalam bentuk yang positif kebijakan publik didasarkan pada undang-undang
dan bersifat otoritatif. Salah satu contoh adalah anggota masyarakat menerima secara
sah bahwa pajak harus dibayar dan undang-undang perkawianan harus dipatuhi.
Kebijakan pemerintah pada dasarnya tidak hanya berupa tindakan yang diambil dalam
sebuah kasus namun bisa bermakna lebih luas lagi. Kebijakan tersebut bisa berupa
ucapan dari seseorang pimpinan, dukungan, perhatian dan lain sebagainya. Setiap
respon atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang pimpinan bisa diartikan sebagai
kebijakan yang dia tetapkan bahkan meskipun pemerintah tidak melakukan sesuatu
terkait sebuah kasus namun hal itu akan tetap menjadi sebuah kebijakan dimana akan
sangat mempengaruhi atau memberi dampak terhadap masyarakat. Hogwood dan
Gunn 1986 Dalam Wahab, 2011:16 mengelompokan kebijakan ke dalam sepuluh
macam yaitu:
1) Policy as a label for a feld of activity (kebijakn sebagai sebuah label atau merk
bagi suatu bidang kegiatan pemerintah
2) Policy as an expression of general purpose or desired state of affairs
(kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan
tertentu yang dikehendaki)
3) Policy as specific proposals (kebijakan sebagai usulan-usulan khusus
4) Policy as decision of government (kebijakan sebagai keputusan-keputusan
pemerintah)
5) Policy as formal authorization (kebijakan sebagai bentuk otoritas atau
pengesahan formal)
6) Policy as progamme (kebijakan sebagai program)
7) Policy as output (kebijakan sebagai keluaran)
8) Policy as outcome (kebijakan sebagai hasil akhir)
9) Policy as a theory of model (kebijakan sebagai teori atau model)
10) Policy as proses (kebijakan sebagai proses)
Kebijakan pemerintah yang telah disahkan, tidak akan bermanfaat apabila tidak
diimplementasikan. Hal ini disebabkan kerna implementasi kebijakan pemerintah
berusaha untuk mewujudkan kebijakan yang masih abstrak ke dalam realita nyata.
Implementasi pada sisi lain merupakan fenomena yang kompleks yang dapat
dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran, (output) maupun sebagi suatu dampak
(outcome). Suatu kebijakan pemerintah akan berhasil apabila dilaksanakan dan
menghasilkan dampak positif bagi masyarakat banyak.
Kebijakan sendiri secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu:
1) Kebijakan umum
Kebijakan umum adalah kebijakn yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan
baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan
wilayah atau instansi yang bersangkutan. Suatu hal yang perlu diingat adalah
pengertian umum disini bersifat relatif. Maksudnya untuk wilayah Negara,
kebijakan umum mengambil bentuk Undang-Undang atau Peraturan Presiden dan
sebagainya. Sementara untuk suatu provinsi selain dari peraturan dan kebijakan
yang diambil pada tingkat pusat juga ada Keputusan Gubernur atau Peraturan
Daerah yang diputuskan oleh DPRD. Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi
pedoman bagi tingkatan kebijakan di bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus
dipenuhi: (1) cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan wawasannya, artinya
kebijakan itu tidak hanya meliputi dan ditujukan pada aspek tertentu atau sektor
tertentu, (2) tidak berjangka pendek. Masa berlaku atau tujuan yang ingin dicapai
dengan kebijakan tersebut berada dalam jangka panjang ataupun tidak mempunyai
batas waktu tertentu. Karena itu tujuan yang digambarkan sebagai kebijakan sering
kali dianggap orang yang tidak jelas. Istilah “tidak jelas” ini tidak tepat. Tujuan
jangka panjang lebih dapat disebut “samar-samar” karena gambarannya yang
bersifat umum. keadaan ini hampir dapat disamakan dengan penglihatan kita
dimana kita kita sedang melihat seoarang wanita cantik dari jarak dua kilometer
yang sosoknya tidak akan terlihat dengan jelas. Kecantikannya hanya terlihat secara
umum dalam bentuk keseluruhan. Gambaranya jelas ketika berada dalam
penglihatan dengan jarak lima puluh meter. Bahkan dapat dikatakan aneh kalau
pada jarak dua kilo meter dapat terlihat dengan jelas. Dengan kata lain dalam suatu
kebijakan umum tidak tepat untuk menentukan sasarannya secara sangat jelas dan
rumusannya secara teknis. Rumusan demikian akan menghadapi kekakuan dalam
perubahan waktu jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan
dalam wilayah-wilayah kecil yang berbeda, (3) strategi kebijakan umum tidak
operasional. Seperti halnya pada pengertian umum, pengertian operasional atau
teknis juga bersifat relatif. Sesutu yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten
mungkin dianggap teknis atau operasional untuk tingkat provinsi dan sangat
operasional dalam pandangan tingkat nasional. Namum sekalipun suatu kebijakan
bersifat umum, tidak berarti kebijakan tersebut bersifat sederhana. Makin umum
suatu kebijakan makin kompleks dan dinamis kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan
karena pada tingkat kebijakan umum banyak aspek yang terlibat, banyak dimensi
ilmu yang diperlukan untuk menganalisisnya dan banyak pihak yang terkait.
Sebaliknya semakin teknis suatu kebijakan, semakin tidak kompleks kebijakan
tersebut.
2) Kebijakan pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umun. Untuk
tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan sesuai undang-undang, atau
keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan presiden adalah contoh dari
kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat provinsi, keputusan bupati atau keputusan
seorang kepala dinas yang menjabarkan keputusan gubernur atau peraturan daerah
bisa jadi suatu kebijakan pelaksanaan.
3) Kebijakan teknis
Kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada dibawah kebijakan
pelaksanaan itu. Secara umum dapat disebutkan bahwa kebijakan umum adalah
kebijakan tingkat pertama, kebijakan tingkat pelaksanaan adalah kebijakan tingkat
kedua, dan kebijakan teknis adalah adalah kebijakan tingkat ketiga atau yang
terbawah.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan
publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak
atau tujuan yang diinginkan. Menurut Grindle, (dalam winarno, 2014:149)
memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara
umum tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang
memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu
kegiatan pemerintah. Oleh karena itu tugas implementasi mencakup terbentuknya “a
policy delivery system” dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan
dengan harapan sampai tujuan-tujuan yang diinginkan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting
dalam proses kebijakan.
Sebagaimana dalam pernyataan Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (2001)
sebagai berikut “ the executive of policiesis as important if not more important than
policy making policies will remain drean or blue print file jackets unless thry are
implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih
penting bagaimana daripada pembuatan kebijakasanaan. Kebijaksanaan-
kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau berencana bagus yang tersimpan rapih
dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Pengertian implementasi kebijakan
menurut Van Meter dan Van Horn (1987) adalah “those actions by public and
private individual (our group) that are directed at the achievement of objective set
fort inprior policy decitions” (tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah baik
secara individu atau kelompok dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana
dirumuskan dalam kebijakan). Mendasar pada pendapat-pendapat diatas maka dalam
hal ini implentasi kebijakan adalah menyangkut keputusan-keputusan pemerintah
dalam rangka mewujudkan tercapainya kebijakan yang telah ditetapkan.
Wewenang membuat kebijakan hanya ada pada jabatan-jabatan yang tinggi.
Ini bisa dimengerti karena pada jabatan-jabatan tersebut terdapat fungsi mengatur
(regulasi) masyarakat. Pada jabatan yang lebih rendah memiliki kewenangan dalam
menjalakan fungsi pelaksanaan teknis. Meskipun birokrasi harus bersikap netral atau
bebas dari politik namum mereka yang menduduki jabatan yang tinggi tidak tidak
boleh melepaskan diri dari pengaruh politik. Tanpa pertimbangan politik dapat
menimbulkan kelemahan dalam memperoleh dukungan masyarakat dari kebijakan
yang dibuatnya. Seoarang birokrat tidak boleh mewakili kepentingan partai, namun
dia dapat memahami orientasi politik partai-partai yang ada, sehingga dapat
mengambil keputusan yang mewakili semua aspirasi dalam masyarakat.
Sikap netral seorang pejabat tidak boleh diartikan bahwa keputusan yang
diambil harus lepas dari semua kepentingan partai, karena ini akan berakibat pada
ruang gerak untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan menjadi sempit, bahkan
mungkin menjadi tidak ada. Misalnya, didalam masyarakat ada perbedaan pendapat
antara dua atau tiga partai, supaya netral, maka dia mengambil kebijakan di luar dari
ketiga pendirian itu. Jika demikiannya halnya, keadaan tentu saja akan menjadi
semakin parah. Karena dalam sistem multi partai yang ada, variasi pembedaan
pendapat makin banyak. Dalam keadaan demikian seorang pejabat harus mampu
mempertimbangkan atas alasan sendiri, terserah apakah alasan itu dekat dengan salah
satu dari pendapat partai tertentu. Dekat dengan salah satu partai tidak mesti
bertentangan dengan kepentingan rakyat. Dalam keadaan normal partai-partai politik
juga cenderung mengambil keputusan-keputusan yang merakyat.
d. Kebijakan Dalam Bidang Olahraga
Kebijakan bidang keolahragaan diposisikan pada upaya-upaya memotivasi dan
memfasilitasi agar masyarakat dari berbagai lapisan usia gemar berolahraga dan
menjadikan olahraga sebagai gaya hidup. Dalam rangka meningkatkan budaya
olahraga sebagai bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional,
keberadaan dan peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara harus mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan sektor pembangunan
lainnya terutama untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, pergaulan sosial, dan
kesejahteraan individu, kelompok, atau masyarakat pada umumnya secara terencana
dan sistemik.
Dalam pembangunan olahraga, hasil utama yang telah dicapai adalah
terumuskannya konsep kebijakan yang mendukung perkembangan olahraga nasional
dan pedoman mekanisme pembinaan olahraga dan kesegaran jasmani; dan
tersusunnya Rancangan Undang-Undang Olahraga untuk mendukung perkembangan
olahraga nasional, dan tersusunnya Sport Development Index (SDI). Selain itu, untuk
meningkatkan upaya pemanduan bakat dan pembibitan olahraga telah dilaksanakan
pembinaan olahraga di kalangan pelajar termasuk pelajar penyandang cacat,
organisasi olahraga dan masyarakat dan meningkatnya jumlah pelatih, peneliti,
praktisi, dan teknisi olahraga yang mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan
standar kompetensi serta meningkatnya jumlah dan mutu bibit olahragawan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan prestasi olahraga termasuk olahraga bagi
penyandang cacat telah berhasil ditingkatkan pembinaan peserta didik dalam cabang
olahraga prestasi, dan meningkatnya penyelenggaraan kompetisi olahraga secara
berjenjang dan berkesinambungan.
Sedangkan dalam pembangunan pemuda, hasil-hasil yang telah dicapai adalah
tersusunnya data dan informasi kepemudaan, meningkatnya kemampuan manajerial
usaha muda, meningkatnya jumlah wirausahawan muda yang mengikuti pelatihan
keterampilan dan manajemen, terlaksananya upaya untuk meningkatkan peran aktif
pemuda dalam penanggulangan narkoba, HIV/AIDS, kriminalitas termasuk tawuran
di kalangan pelajar dan pemuda dan terlaksananya upaya untuk meningkatkan
pemahaman dan penghormatan terhadap supremasi hukum dan HAM.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007
Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi keolahragaan adalah peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan
teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaedah dan teori ilmu pengetahuan yang
telah terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru bagi
kegiatan keolahragaan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007, telah dijelaskan bahwa
Standarisasi Nasional Keolahragaan bertujuan untuk menjamin mutu penyelenggaraan
Sistem Keolahragaan Nasional melalui pencapaian Standar Nasional Keolahragaan.
Lingkup Standar Keolahragaan, meliputi: (1) Standar Kompetensi Tenaga
Keolahragaan, (2) Standar Isi Program Penataran/Pelatihan Tenaga Keolahragaan, (3)
Standar Sarana Dan Prasarana Olahraga, (4) Standar Pengelolaan Organisasi
Keolahragaan, (5) Standar Penyelenggaraan Keolahragaan, dan (6) Standar Pelayanan
Minimal Keolahragaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Pasal 18 menejelaskan Dalam
melaksanakan tanggung jawab penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), gubernur mempunyai tugas:
1. melaksanakan kebijakan nasional keolahragaan;
2. menyusun dan melaksanakan rencana dan program pembinaan dan
pengembangan keolahragaan sebagai bagian integral dari rencana dan program
pembangunan provinsi;
3. mengembangkan dan memantapkan sistem koordinasi dan pengawasan
pengelolaan keolahragaan;
4. membina dan mengembangkan industri olahraga;
5. menerapkan standardisasi keolahragaan;
6. menggalang sumber daya untuk memajukan keolahragaan;
7. memfasilitasi kegiatan pembinaan dan pengembangan kualitas dan kuantitas
tenaga keolahragaan;
8. memfasilitasi kegiatan komite olahraga provinsi, organisasi cabang olahraga
tingkat provinsi, dan organisasi olahraga fungsional tingkat provinsi;
9. mengoordinasikan kegiatan pengelolaan cabang olahraga unggulan yang
bertaraf nasional dan/atau internasional;
10. meningkatkan kualitas keolahragaan dengan mengacu kepada standar nasional
keolahragaan;
11. mengembangkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana
olahraga;
12. menjamin akses berolahraga bagi masyarakat;
13. mencegah dan mengawasi doping dalam olahraga;
14. mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan;
15. menyediakan dan mendayagunakan sistem informasi keolahragaan; dan
16. melakukan evaluasi dan pengawasan atas penyelenggaraan keolahragaan tingkat
provinsi.
Selain itu berdasarkan ketentuan dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2007 Pasal 20 Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab melaksanakan
pembinaan dan pengembangan olahraga yang meliputi pembinaan dan pengembangan
pengolahraga, tenaga keolahragaan dan organisasi olahraga, penyediaan dana
olahraga, penyusunan metode pembinaan dan pengembangan olahraga, penyediaan
prasarana dan sarana olahraga, serta pemberian penghargaan di bidang keolahragaan,
meliputi:
1. Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dilaksanakan melalui tahap pengenalan olahraga, pemantauan, pemanduan,
pengembangan bakat dan peningkatan prestasi dalam jalur keluarga, jalur
pendidikan, dan jalur masyarakat.
2. Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan sebagai proses yang terpadu, berjenjang, dan berkelanjutan.
3. Tahap pengenalan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui gerakan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,
yang diarahkan dalam rangka menyadarkan, memahami, dan menghayati
manfaat olahraga, membangkitkan minat masyarakat untuk berolahraga
sepanjang hayat, serta menguasai gerak dasar olahraga.
4. Tahap pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengamatan yang terencana dan sistematis untuk memahami, mendeteksi, dan
menemukan sumber potensi bibit olahragawan berbakat.
5. Tahap pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
penelusuran sumber potensi bibit olahragawan berbakat secara terencana dan
sistematis untuk melakukan identifikasi dengan menggunakan tes dan
pengukuran, seleksi, dan/atau pengamatan dalam pertandingan /perlombaan
serta kejuaraan.
6. Tahap pengembangan bakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan bibit olahragawan berbakat secara terencana,
sistematis, berjenjang dan berkelanjutan untuk menghasilkan olahragawan
berpotensi.
7. Tahap peningkatan prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pelatihan olahragawan berpotensi secara intensif, terencana, sistematis,
berjenjang dan berkelanjutan untuk menghasilkan olahragawan berprestasi.
Permasalahan dan tantangan program pembangunan pemuda dan olahraga
adalah lemahnya sumber daya manusia di bidang pemanduan bakat, lemahnya
manajemen olahraga, kurang intensifnya upaya-upaya pembibitan, menurunnya
pembinaan dan kurangnya penerapan dan pemanfaatan iptek secara tepat dan benar
dalam olahraga, minimnya sarana dan prasarana umum untuk berolahraga sehingga
masyarakat enggan berolahraga, kurangnya kompetisi olahraga baik dalam skala
nasional maupun regional, masih rendahnya tingkat pendidikan di kalangan pemuda
dan minimnya ruang-ruang publik bagi kalangan pemuda untuk mengekspresikan
dirinya.
Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan pemuda dan olahraga
adalah: melaksanakan peningkatan kapasitas (capacity building) di bidang
pembangunan olahraga, mengembangkan olahraga rekreasi, olahraga lanjut usia,
olahraga penyandang cacat, dan olahraga tradisional, melakukan pembinaan olahraga
usia dini, kelas olahraga, klub olahraga pelajar dan mahasiswa, dan kelompok berlatih
olahraga, melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga pelajar secara berjenjang dan
teratur dalam rangka menanamkan disiplin, nilai-nilai sportivitas, dan menggali bakat
olahraga, meningkatkan kepedulian masyarakat dan dunia usaha mengenai pentingnya
dukungan pendanaan olahraga terutama olahraga prestasi, meningkatkan keterampilan
dan keahlian tenaga kerja pemuda, mengembangkan kewirausahaan pemuda,
meningkatkan partisipasi lembaga kepemudaan dalam pembangunan ekonomi,
memperluas kesempatan pemuda terdidik untuk berpartisipasi dalam pembangunan di
pedesaan, mengembangkan jaringan kerjasama pemuda antar daerah, antar propinsi
dan antarbangsa, meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan masalah
penyalahgunaan narkoba, minuman keras (miras), penyebaran penyakit HIV/AIDS
serta penyakit menular seksual, dan kriminalitas di kalangan pemuda
5. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan elemen yang sangat penting dalam satu organisasi.
Kegagalan mengelola sumber daya manusia dapat mengakibatkan timbulnya gangguan dalam
pencapaian tujuan dalam organisasi, baik dalam kinerja, profit, maupun kelangsungan hidup
organisasi itu sendiri. Kondisi umum saat ini menunjukkan bahwa perusahaan masih lemah
dalam beberapa hal, antara lain: manajemen yang tidak efisien, keterbatasan dana dan
teknologi serta kualitas SDM yang belum memadai.
SDM merupakan penopang kemajuan sebuah bangsa. Bangsa yang maju secara
ekonomi akan simetris dengan kemajuan tingkat pendidikan dan indeks SDM-nya. Jika
negara secara ekonomi maju, tetapi tingkat pendidikannya rendah, dapat dipastikan aset
kekayaan tersebut banyak dikuasai oleh orang luar. Karena itu, upaya meningkatkan kualitas
mutu SDM telah menjadi kebijakan strategik yang harus diupayakan secara nasional. Upaya
secara nasional yang dimaksudkan juga menyangkut keterlibatan daerah-daerah tingkat
kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Sejak pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, keterlibatan daerah dalam upaya
membangun dan meningkatkan SDM Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena
itu, masing-masing daerah dapat bertindak lokal dengan berwawasan nasional dan global
untuk merespons perkembangan dan perubahan kearah perbaikan dan restorasi (Huda, 2011;
433-434)
Masalah SDM merupakan masalah yang paling mendasar dibicarakan bahkan
diperdebatkan, sehingga merupakan isu nasional bahkan internasional; pemerintah
memegang peranan kunci di dalam memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan
pemerintahan dan pembangunan pada dasarnya tergantung pada dua faktor, yaitu SDM dan
SDA. Indonesia tidak kekurangan SDA, tetapi kurang dalam mutu dan kualitas SDM. Upaya
meningkatan mutu SDM di Indonesia masih bersifat politis dan sangat kurang bersifat ilmiah.
Dalam keterkaitan ini, diperlukan dua hal, yaitu segi struktural atau eksternal serta segi
kultural atau internal. Segi eksternal dengan memperbaiki akses SDM terhadap struktur,
lembaga, dan manajemen dalam berbagai aspek, sedangkan meningkatkan mutu SDM dari
segi internal kultural adalah menciptakan suatu kepribadian (personality) yang bersifat lurus
dan kuat secara moral serta profesional (Huda, 2011; 437)
Sampai di sini sangat jelas sekali bahwa, kualitas SDM yang kurang memadai di
Indonesia tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat bawah, tetapi juga di lingkungan
birokrasi pemerintahan mulai pusat hingga pemerintahan desa. Rendahnya kualitas SDM
birokrasi pemerintahan telah memberikan dampak kepada kualitas kerja para birokrat yang
rendah yang bermuara kepada kesengsaraan rakyat secara ekonomi, politik, sosial, keamanan,
dan ketertiban karena tidak mendapatkan pelayanan terbaik dari para birokrasi. Rendahnya
kualitas kerja birokrasi pemerintahan telah memberikan dampak secara langsung maupun
tidak langsung kepada tidak tercapainya tujuan dan sasaran organisasi pemerintahan mulai
dari pusat, provinsi, kabupaten, hingga pemerintahan Kecamatan dan Desa. Dan di level
Organisasi Pemerintahan Desa inilah kualitas SDM sangat rendah.
“A man behing the gun” adalah sebuah ungkapan bijak yang telah diakui secara
universal bahwa unsur manusia merupakan hal yang paling penting dan menentukan dalam
berbagai hal. Sistem apapun yang hendak diterapkan, semuanya akan banyak bergantung
pada kualitas sumber daya manusia yang ada didalam sistem yang diterapkan tersebut.
Kualitas hasil juga dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian
manajemen sumber daya manusia (SDM) merupakan manajemen sumber daya (resources)
yang amat mendasar dan memerlukan perhatian yang khusus. Manajemen sumber daya pada
dasarnya me-mange manusia, sehingga keberhasilan dan kegagalan yang ditimbulkannya
akan memliki dampak yang signifikan, Kristiyanto, 2012:145)
Menurut Nawawi (2001) ada tiga pengertian sumber daya manusia yaitu:
a. Sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja dilingkungan suatu
organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan)
b. Sumber daya manusia adalah potensi duniawi sebagai penggerak organisasi
dalam mewujudkan eksistensinya
c. Sumber daya manusia adalah potensi yang yang merupakan aset dan berfungsi
sebagai modal (non material/non financial) didalam organisasi bisnis, yang
dapat mewujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non fisik
dalam mewujudkan eksistensi organisasi.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia
adalah suatu proses mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar
potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan
organisasi (lembaga). Disamping itu manusia adalah makhluk tuhan yang kompleks dan unik
serta dalam intergrasi dua subsistem yang tidak berdiri sendiri yaitu tubuh fisik/jasmani)
sebagai unsur materi dan jiwa yang bersifat non materi. Hubungan kerja yang paling intensif
dilingkungan organisasi adalah antara pemimpin dengan para pekerja (staf) yang ada
dibawahnya. Hubungan kerja semakin penting artinya dalam usaha organisasi mewujudkan
eksistensinya dilingkungan tugas yang lebih luas dan kompetitif pada masa yang akan datang.
Sumber daya manusia memiliki keinginan harga diri, pikiran, hak asasi, ingin dihormati dan
lain-lain. Oleh karena itu sumber daya manusia harus diperlakukan sama secara hati-hati dan
penuh kearifan.
Sumber daya manusia keolahragaan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
UUSKN, dikenal dengan tenaga keolahragaan. Tenaga keolahragaan merupakan istilah
memiliki makna serupa dengan sumber daya manusia keolahrgaan merupakan investasi
manusiawi untuk menunjang secara langsung produktivitas hasil pembangunan keolahragaan.
UUSKN No 3 Tahun 2005, pasal 63 menyatakan Tenaga keolahragaan terdiri atas pelatih,
guru dan dosen, wasit, juri, manajer, promotor, administrator, pemandu, penyuluh, instruktur,
tenaga medis, non medis, ahli gisi, ahli biomekanika, psikolog, atau sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya serta partisipasi dalam menyelenggarakan kegiatan olahraga
Dalam pandangan new capitalism, Gary Dessler (dalam Mutohir & Maksun, 2007:42)
mengatakan bahwa setiap individu dalam setiap unit kerja – antara manajemen dengan setiap
unsur atau individu yang ada dalam unit kerja bersangkutan harus ada dalam satu sistem yang
simbiosis mutualis. Berdasarkan pandangan tersebut maka kegiatan olahraga seharusnya
dikelola dengan baik dalam sebuah sistem yang kondusif yang melibatkan secara aktif (
sinergis) baik dalam olahraga prestasi seperti pelatih, olahraga rekreasi seperti instruktur dan
olahraga pendidikan seperti guru pendidikan jasmani. Karena itu sumber daya manusia dalam
sistem pembinaan olahraga tidak dapat dipisahkan dari peran guru pendidikan jasmani,
pelatih olahraga, dan instruktur olaharaga. Tersedianya komponen SDM olahraga tersebut
dalam jumlah yang memadai akan berdampak pada kegiatan olahraga masyarakat baik yang
menyangkut kuantitas maupun kualitas
Ketersediaan SDM olahraga tidak dapat dipisahkan dari lembaga perguruan tinggi
yang menghasilkan sumber daya olahraga seperti fakultas ilmu keolahragaan (FIK), FPOK,
JOPK. Peran ini menjadi penting terutama kegiatan pembangunan olahraga bukan lagi hanya
merupakan kegiatan praktis melainkan melibatkan IPTEK olahraga sehingga tidak dapat
ditangani oleh setiap orang. Terutama jika ingin mencapai prestasi olahraga tingkat tinggi dan
ikut memasuki ajang kompetisi olahraga pasti dibutuhkan sumber daya manusia yang juga
memiliki kompetensi khusus pada kualifikasi pendidikan tertentu.
Hakikat dasar dari adanya SDM keolahragaan adalah menjamin bahwa semua
penyelenggara kegiatan olahraga didukung oleh tenaga keolahragaan yang memiliki
kompetensi yang dapat dipertanggunjawabkan secara etik profesional dan landasan
akademik. Sebaikanya lembaga perguruan tinggi berbasis keolahragaan segera berbenah dan
mulai menyiapkan tenaga-tenaga keolahragaan yang sesuai dengan tuntutan undang-undang,
agar cita-cita pembangunan olahraga untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa bukan
hanya sebatas mimpi (Mutohir & Maksun, 2007:45)
Pengembangan sumber daya manusianya sebagai pelaksana di lapangan. Kualitas dan
kompetensi SDM yang menangani olahraga harus dapat diberdayakan untuk mendukung
pembinaan dan pengembangan olahraga di tingkat daerah, nasional, baik untuk olahraga
prestasi ataupun olahraga masyarakat. Berdasarkan kebutuhan dari pengguna (user) maka
jenis SDM yang harus dikembangkan dan ditingkatkan kualitas dan kompetensinya adalah:
a. Guru /Dosen Pendidikan Jasmani (Physical Educator)
Guru pendidikan jasmani adalah SDM yang menangani pendidikan
jasmani yang dibutuhkan di sekolah-sekolah mulai dari SD, SLTP sampai
SMU dan di perguruan tinggi. Di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
guru/Dosen pendidikan jasmani bertanggung jawab dalam menjabarkan
kurikulum pendidikan jasmani(intra kurikulernya) di sekolah bagi upaya
peningkatan kualitas fisik, kesehatan dan kesegaran jasmani, pengenalan dan
pemahaman dasar olahraga, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan
fisik, pemantauan bakat olahraga, pembinaan sportifitas, disiplin dan budaya
berolahraga pada siswa. Untuk itu di suatu sekolah mutlak harus terdapat guru
pendidikan jasmani yang memiliki kualitas dan standart kompetensi yang
sesuai.
b. Pelatih Olahraga sekolah(School Coach)
Idealnya pelatih olahraga di sekolah berbeda dengan guru pendidikan
jasmani, tetapi karena pertimbangan keterbatasan biasanya pelatih olahraga ini
sering dirangkap oleh guru pendidikan jasmani. Dalam melaksanakan
tugasnya pelatih olahraga ini bertanggung jawab terhadap proses pembinaan
dan pengembangan bakat siswa dalam berolahraga di beberapa cabang
olahraga sesuai dengan tingkatan usia dan kekhususan kecabangannya yang
dilaksanakan di luar jam pelajaran dalam bentuk ekstrakurikuler. Sehingga
dengan adanya lagkah ini akan mendukung munculnya atlet berbakat dalam
proses talent scouting (pemanduan bakat).
c. Pelatih Olahraga Klub atau Cabang Olahraga(Sport coach)
Pelatih olahraga di Klub atau perkumpuan adalah SDM yang tugasnya
melatih cabang olahraga tertentu yang bertanggung jawab untuk melatih baik
dari fisik, teknik ataupun strategi bertandingnya yang didapatkan
kompetensinya melalui pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi yang sah.
d. Penggerak Olahraga (Sport Motivator)
Pengerak olahraga adalah SDM yang tugasnya memasyarakatkan,
membudayakan, menggerakkan dan menggalakkan masyarakat untuk
berolahraga baik di kota maupun di pedesaan. Idealnya seorang penggerak
olahraga memiliki pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan tentang berbagai
jenis olahraga masyarakat dengan prinsip yang 5-M yaitu Murah, Meriah,
Massal, Menarik dan Manfaat juga memiliki kualitas sebagai pemberi contoh
atau instruktur olahraga masyarakat yang baik.
e. Instruktur Olahraga (Instructor)
Intruktur olahraga adalah SDM yang tugasnya memberikan intruksi
untuk melakukan satu atau beberapa jenis kegiatan olahraga yang populer di
masyarakat.Dalam melaksanakan tugasnya instruktur bertanggung jawab
untuk memimpin atau memberi aba-aba pada kegiatan olahraga yang sifatnya
massal misalnya Senam Aerobik, Instruktur senam jantuing sehat, instruktur
senam kesegaran jasmani, Instruktur senam Tera, dsb.
f. Manajer Olahraga (Sport Manager)
Manajer Olahraga adalah SDM yang tugasnya menangani atau mejadi
pengelola suatu kegiatan olahraga misalnya menyelenggarakan kompetisi,
memimpin Tim ke suatu event, menangani atlet, mengelola suatu pemusatan
latihan dsb. Seorang manejer Tim harus menguasai prinsip-prinsip menejemen
olahraga yang spesifik dan profesional.
g. Administrator Olahraga (Sport Management)
Administratur olahraga adalah SDM yang tugasnya menangani atau
melakukan tugas keadministrasian/kesekretariatan dalam suatu organisasi atau
kegiatan olahraga. Seorang administratur olahraga harus memiliki kualitas
sebagai tenaga pelaksana administrasi suatu organisasi atau kegiatan olahraga,
baik di tingkat, klub, induk cabang olahraga maupun di jajaran KONI
h. Promotor Olahraga (Sport Promotor)
Promotor olahraga adalah SDM yang tugasnya menangani atau
melakukan upaya promosi kegiatan/event olahraga dengan melibatkan
partisipasi kalangan olahraga dan dunia usaha.
i. Manajer fasilitas Olahraga(Sport Facility Manager)
Manajer Fasilitas olahraga adalah SDM yang tugasnya menangani atau
melakukan pengelolaan suatu fasilitas olahraga misalnya pada sport club, sport
center, recreation center, fasilitas olahraga di hotel, resort, country club dsb.
j. Wasit Olahraga(Sport Umpire)
Wasit olahraga adalah SDM yang tugasnya mewasiti dan menjadi
penentu keputusan dalam suatu kompetisi/pertandingan olahraga. Seorang
wasit harus memiliki kualifikasi, lisensi, sertifikasi perwasitan dari induk
cabang olahraga yang sesuai serta mampu mempimpin
pertandingan dengan fair dan tidak memihak.
k. Dokter /Paramedis Olahraga (Sport Medicine)
Dokter spesialis Olahraga/Para medis kesehatan olahraga adalah SDM
yang tugasnya membantu dalam pembinaan dan pengembangan olahraga
berbasiskan Iptek kesehatan olahraga, harus memiliki kualitas dan memenuhi
standart kompetensi sebagi dokter olahraga yang diperoleh melalui
pendidikain formal kedokteran olahraga atau sertifikasi penyetaraan
berjenjang melalui penataran/pelatihan yang dilakukan oleh organisasi profesi
kesehatan/kedokteran olahraga.
l. Psikolog Olahraga (Sport Psychologist)
Psikolog Olahraga adalah SDM yang tugasnya membantu dalam
pembinaan dan pengembangan olahraga yang berbasiskan Iptek psikologi
olahraga. Seorang psikolog olahraga atau psikolog yang berkecimpung
didunia olahraga harus memiliki kuaitas dan kompetensi yang memadai yang
didapatkan melalui jalur formal pendidikan
m. Ahli Gizi Olahraga(Sport Nutritionist)
Ahli gizi olahraga adalah SDM yang tugasnya membantu dalam
pembinaan dan pengembangan olahraga berbasiskan Iptek gizi olahraga.Ahli
gizi olahraga inilah yang mengatur menu makanan olahragawan latihan, pra
pertandingan, saat pertandingan maupun pasca pertandingan yang
kompetensinya diperoleh lewat jalur pendidikan formal ataupun
penataran/palatihan yang dilaksanakan oleh organisasi profesi ahli gizi
olahraga.
n. Teknisi Olahraga (Sports tehcnician)
Teknisi olahraga adalah SDM yang tugasnya membantu dalam
pembinaan dan pengembangan olahraga di lapangan atau di laboratorium
Iptek Olahraga, harus memiliki kemampuan teknis sebagai operator untuk
pemeliharaan dan perawatan peralatan olahraga yang diperoleh melalui
pendidikan maupun pelatihan-pelatihan.
o. Peneliti Olahraga (Sport Research)
Peneliti Olahraga adalah SDM yang tugasnya melakukan pengkajian
atau penelitian di bidang olahraga di lapangan maupun di laboratorium Iptek
olahraga yang secara terus menerus hasil penelitiannya itu dimanfaatkan untuk
pengembangan dunia olahraga yang akan menghasilkan atlet-atlet berkualitas
maupun hasil pada aspek yang lainnya.
Tercukupinya sumber daya manusia keolahragaan dengan kualitas yang baik maka
akan sangat membantu pemerintah dalam proses pembinaan dan pengembangan olahraga di
setiap daerah. Komunitas olahraga tersebut merupakan kumpulan SDM olahraga yang dalam
bahasa teknis UUSKN disebut sebagai pelaku olahraga, yang meliputi: (1) Pengolahraga,
yakni orang yang berolahraga dalam usaha mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan
sosial; (2) Olahragawan, yakni pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur dan
kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi; (3) Pembina olahraga, yakni orang
yang memiliki minat dan pengetahuan kepemimpinan, kemampuan managerial dan/atau
pendanaan yang didedikasikan untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan
olahraga;(4) Tenaga Keolahragaan, yakni setiap orang yang memiliki kualifikasi dan
sertifikat kompetensi dalam bidang olahraga.
Pembangunan SDM dilakukan melalui peningkatan pembangunan pendidikan dan
kesehatan serta mencukupi kebutuhan masyarakatnya (ekonomi). Selain melalui
pembangunan pendidikan, upaya peningkattan kualitas sumber daya manusia juga dilakukan
melalui pembangunan olahraga. Sumber daya manusia keolahragaan sebagaimana dijelaskan
dalam undang-undang sistem keolahragaan nasioanal dikenal dengan tenaga keolahragaan.
Tenaga keolahragaan merupakan istilah yang memiliki makna dan merupakan investasi
manusiawi untuk menunjang secara langsung produktivitas pembangunan olahraga
(Kristiyanto, 2012:146).
Dimensi sumber daya manusia sebagai unsur prasarat dan dasar profesi mengacu pada
ketersediaan tenaga keolahragaan olahraga. Pelatih olahraga orang yang memiliki kualifikasi
sebagai pelatih cabang olahraga dan menjalankan fungsinya di lapangan. Pembinaan dan
pengembangan yang merupakan bagian dari upaya peningkatan sumber daya manusia
diarahkan kepada peningkatan kesehatan jasmani, mental, dan rohani masyarakat;
pembentukan watak dan kepribadian, disiplin dan sprotivitas yang tinggi serta peningkatan
prestasi dapat membangkitkan kebanggaan nasional. Guna membantu daerah dalam
pembibitan dan pembinaan calon-calon olahragawan dalam pencapaian prestasi, pemerintah
harus memberikan perhatian yang memadai.
Dalam olahragapun tentunya kita sepakat bahwa atlet diharapkan dapat berbuat sebaik
–baiknya, selain kemampuan pribadinya dapat berfungsi baik dalam suatu tingkat integrasi
tertentu, juga menunjukkan kematangan emosional serta dapat menguasai dirinya. Kita
berharap bahwa olahraga dapat memberi dampak positif pada individu seperti peningkatan
tanggung jawab, kejujuran dalam bermain, kerjasama, memperhatikan orang lain,
kepemimpinan, menghargai para pelatih, wasit dan pembina, setia, toleran, disiplin yang
akhirnya dapat diharapkan menjadi warga negara yang baik. Selain itu kita juga berharap
tentu saja tugas pelatih bukan sekedar hanya membantu atlet untuk meraih prestasi, akan
tetapi pelatih juga harus menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam olahraga.
Semua itu bisa terwujud apabila setiap pelatih bisa memahami sifat-sifat kepribadiannya
sendiri untuk dapat menyadari kelemahan-kelemahannya, dan selanjutnya berusaha mencapai
target yang ditetapkannya, untuk mencapai prestasi lebih tinggi, memenangkan pertandingan
atau memecahkan rekornya sendiri.
Pencapaian prestasi olahraga pada dasarnya merupakan akumulatif dari berbagai
aspek/unsur yang mendukung terwujudnya prestasi. Salah satu satu kunci utama keberhasilan
para atlet terletak pada kemampuan pelatih dalam memimpin atletnya. Pelatih mempunyai
tugas sebagai perencana, pemimpin, teman, pembmbing, dan pengontrol program
latihan.sedangkan atlet mempunyai tugas mengikuti latihan sesuai program yang telah
ditentukan pelatih. Atlet merupakan Indikator penting dalam pembinaan prestasi, tentunya
tidak terlepas dari peranan pelatih yang memiliki kemampuan (skill). Pelatih harus bisa
menganalisis setiap teknik dan menjelaskan kepada atlet secara profesional. Regenerasi atau
pencarian bibit atlet Pencak Silat Nusa Tenggara Timur merupakan salah bentuk pembinaan
tehadap prestasi atlet.
pencak silat yang merupakan salah satu cabang olahraga asli bangsa Indonesia, dari
berbagai cabang olahraga yang harus dikembangkan. Sejarah panjang pencak silat, mulai dari
zaman kolonialisme hingga sekarang telah membuat olahraga ini menjadi olahraga yang
mendunia. Melalui olahraga pencak silat yang tersebar di berbagai pelosok tanah air dan
memiliki berbagai aliran dan nama, tentunya olahraga ini telah memberi kontribusi yang
besar bagi pembangunan nasional bangsa Indonesia khusunya dalam bidang pembangunan
manusia. Mereka yang mengikuti olahraga pencak silat tidak hanya dilatih dan dididik secara
lahir dan fisik agar menjadi sehat, kuat dan terampil, namun juga hampir semua aliran pencak
silat mengajarkan budi pekerti, membina karakter dan perilaku anggotanya.
6. Pendanaan Olahraga
Dalam setiap anggaran dapat dilihat perkiraan angka-angka penerimaan dan
pengeluaran yang masing-masing disusun menurut jenisnya secara sistematis. Jumlah
penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan tercapai dalam anggaran tersebut
menggambarkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh aparat organisasi
(pemerintah atau swasta) yang menyusun anggaran tersebut. Perincian kegiatan-kegiatan
biasanya dicantumkan dalam penjelasannya pada pos-pos pembukuan anggaran. Dalam
anggaran pemerintah, tercantum penerimaan dan pengeluaran yang seimbang dalam jumlah
uang tertentu. Jumlah penerimaan mencerminkan kegiatan aparat pemerintah yang bertugas
dalam penerimaan uang pemerintah misalnya pemungutan pajak dan retribusi, sedangkan
pengeluaran merupakan
kegiatan dalam rangka tugas pelayanan terhadap kepentingan masyarakat serta biaya
yang diperlukan misalnya dalam pembangunan ekonomi, sosial, prasarana fisik, keamanan
dan ketertiban, pembiayaan keperluan dengan segala aspeknya didalam kategori untuk
masyarakat. Anggaran dinyatakan dalam jangka panjang maupun jangka pendek, yang dalam
prakteknya anggaran jangka panjang akan dituangkan dalam pelaksanaan operasional melalui
anggaran tahunan (jangka panjang). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa anggaran adalah
bagian integral daripada rencana jangka panjang dan rencana jangka pendek sebagai alat
penghubung (rencana) dalam mengantar pada pelaksanaan (implementasi). Dalam anggaran
tahunan sekaligus juga bertindak sebagai alat yang mempertemukan perkiraan atau ramalan-
ramalan kemampuan dalam proses perencanaan dengan kemampuan yang paling mendekati
kenyataan.
Pendanaan menjadi salah satu faktor penting dalam pembinaan keolahragaan nasional.
Meskipun dana bukan segala-galanya, tetapi tanpa adanya pendanaan yang cukup, sulit
rasanya mengharapkan prestasi olahraga nasional tumbuh dan berkembang sesuai dengan
yang diharapkan. Pertanyaannya, apakah selama ini pendanaan olahraga tidak diatur dalam
sistem budgeting yang jelas? Dalam pasal 69 ayat (1) UUSKN disebutkan bahwa “pendanaan
olahraga menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat.” Kemudian pada pasal (2) disebutkan bahwa “pemerintah dan pemerintah
daearah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui anggaran pendapatan dan
belanja Negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah”. Adanya payung hukum yang
kuat diharapkan dapat mendorong sistem pendanaan olahraga menjadi lebih luas, baik pada
tingkat nasional maupun daerah. Pemerintah tidak punya alasan lagi untuk tidak memasukan
anggaran olahraga dalam setiap penyusunan APBN/APBD, (Mutohir & Maksun, 2007:135)
Pada bagian penjelasan umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional ditegaskan keterbatasan sumber
pendanaan merupakan permasalahan khusus dalam kegiatan keolahragaan di Indonseia. Hal
ini semakin terasa dengan perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaan
pembinaan dan pengembangan keolahrgaan didukung oleh angggaran yang memadai.
Kebijakan tentang Sistem Pengalokasian Dana dalam APBN dan APBD dalam bidang
keolahragaan sesuai dengan kemampuan anggaran harus dilaksanakan agar pembinaan dan
pengembangan keolahragaan nasional dapat berjalan lancar. Selain itu, sumber daya dari
masyarakat perlu dioptimalkan antara lain melalui peran serta masyarakat dalam Pengadaan
Dana, Pengadaan/Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Olahraga.
Berdasarkan UUSKN Nomor 3 Tahun 2005 Bab XII, pendanaan keolahrgaan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah dan masyarakat dan
selanjutnya dipertegas lagi melalui PP NO. 18 Tahun 2008 mengatakan Pemerintah dan
pemerintah daerah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Angaran
Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Sumber pendanaan
ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan berkelanjutan. Selain itu sumber penadanaan
dapat diperoleh dari (1) masyarakat melalui kegiatan-kegiatan berdasarkan ketentuan yang
berlaku, (2) kerja sama yang saling menguntungkan, (3) bantuan luar negeri yang tidak
mengikat, (4) hasil usaha industri olahraga, dan (5) sumber lain yang sah berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Dana merupakan salah satu penunjang dalam melaksanakan pola pembinaan tanpa
karena tanpa adanya dana yang cukup maka proses pembinaan akan macet. Pemerintah dalam
hal ini sebagai penunjang kemajuan pembangunan keolahragaan dapat melakukan upaya
untuk membantu dalam pengalokasian ke setiap cabang olahraga. Pembiayaan atau
pendanaan suatu organisasi merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan begitu juga dalam
pembiayaan pembangunan olahraga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pengelolaan
dana keolahragaan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efeisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. Dana keolahragaan dialokasikan dari pemerintah dan pemerintah daerah
dapat diberikan secara hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengaturan pajak
untuk pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dalam bidang perpajakan.
7. Sarana dan Prasarana Olahraga
Olahraga telah dijadikan sebagai gerakan nasional dan merupakan implenmentasi dari
pembangunan olahraga di Indonesia. Sejalan dengan itu maka dicetuskanlah slogan “tiada
hari tanpa olahraga” dengan harapan olahraga dapat tumbuh dan mengakar dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat disegala lapisan, mulai dari dari perkotaan sampai ke pedesaan.
Ketika olahraga telah menjadi kebutuhan setiap orangdalam hidupnya maka timbulah sebuah
permasalahan yaitu kebutuhan akan fasilitas yang bisa menunjang fasilitas olahraga. Demi
kenyaman dan kelancaran dalam aktifitas melakukan olahraga tersebut maka diperlukan pula
fasilitas yang baik dan memenuhi Standar Keolahragaan.
Peningkatan minat masyarakat tehadap olahraga sering tidak diimbangi dengan
peningkatan kualitas maupun kuantitas fasilitas olahraga bahkan terjadinya menurunnya
kualitas fasilitas olahraga disebabkan kurangnya perawatan. Bahkan saat ini banyak klub-
klub atau kelompok-kelompok olahraga yang tidak tertampung kegiatannya sehingga mereka
berlatih dengan fasilitas seadanya atau berlatih ditempat-tempat yang kurang representatif.
Fenomena ini dapat menjadi penghambat perkembangan olahraga baik dari aspek kualitas
maupun kuantitas. Hal ini dapat menjadi perhatian pemerintah untuk menyediakan fasilitas
yang mampu mewadahi kegiatan-kegiatan tersebut dalam satu lokasi yang terpadu misalnya
dengan dibangunnya sport center.
Sarana dan prasarana olahraga di Indonesia secara umum masih sangat lemah
sehingga tidak memungkinkan untuk dapat dikembangkan standar pelatihan bermutu
tinggi. Indonesia telah merintis pendirian sentra olahraga seperti pendirian pusat
pendidikan dan latihan pelajar (PPLP), pusat pendidikan dan latihan mahasiswa (PPLM),
yang tersebar diseluruh Indonesia. Pusat pelatihan daerah yang idealnya ada disetiap
propinsi memerlukan pembenahan. Tujuan adalah untuk menyediakan, mengadakan, dan
membangun sarana dan prasarana olahraga untuk mendukung kegiatan pembinaan dan
pengembangan olahraga, serta pencapaian prestasi olahraga.
Pembangunan maupun pengembangan fasilitas olahraga harus melalui kajian yang
seksama agar kelak fasilitas tersebut dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Fasilitas olahraga memerlukan suatu ruang luas dan mengharuskan menggunakan sistem
struktur bentang lebar agar kegiatan yang berlangsung baik, kegiatan fisik maupun
kegiatan visual tidak terganggu. Gedung olahraga yang tertutup harus dapat memberikan
citra dan daya tarik visual bagi yang mengamatinya. Memberikan keindahan (nilai
estetika) pada penampilan bangunannya, dengan menonjolkan struktur tanpa ditutu-
tutupi. Sistem struktur dan rangkaian elemen-elemen yang saling terkait satu dengan
yang lain dapat mewujudkan kestabilan, kekakuan dan kekuatan sehingga bangunan
tersebut dapat berdiri dengan kokoh. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pembangunan fasilitas olahraga di suatu tempat yaitu: (1) tinjauan
terhadp iklim, (2) tinjauan terhadap lokasi tapak dan (3) studi banding
Hal yang paling pokok dan dipahami oleh arsitek adalah iklim setempat. Hal ini
dikarenakan arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dapat memanfaatkan dampak
positif dan mangatasi masalah iklim. Lokasi tapak berada didarah dengan iklim tropis,
yang pada umumnya medan memiliki perbedaan musim panas dan musim hujan yang
kecil. Untuk daerah yang beriklim tropis lembab hal yang perlu diperhatikan adalah curah
hujan, menghindari dari radiasi matahari dan pemanfaatan angin untuk ventilasi.
Bagaiman menyesuikan iklim terhadap bangunan, yaitu dengan cara lay out banguna
harus memperhatikan lintasan matahari, perlindungan panas matahari dengan sistem
bayangan, contonya adalah dengan diberikan kisi-kisi (sunscreen). Keadaan alam di
sekitar tapak tidak menujukan adanya potensial alam berupa pohon-pohon, dan
sebagainya.
Dalam hal ini pemerintah sebagai pembuat kebijakan mengenai kewajiban dan
tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan fasilitas tersebut sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam undang-undang sistem keolahragaan nasional No. 3 Tahun 2005.
Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah dan
olahraga pada dasarnya mempunyai peran yang sangat penting dan sangat besar
sumbangannya bagi daerah/kota/provinsi serta meningkatkan sumber daya manusia. Oleh
karena itu, strategi kebijakan pembangunan olahraga pendidikan merupakan sebuah
anjuran besar yang mampu mengakomodasi kemajuan secara simultan.
Sarana adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai makna dan
tujuan. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama
terselenggaranya suatu proses. Sarana adalah alat fisik untuk menyampaikan
pembelajaran. Dengan kata lain, sarana prasarana adalah sumber daya pendukung yang
terdiri dari segala bentuk jenis bangunan/tanpa bangunan beserta dengan
perlengkapannya dan memenuhi persyaratan untuk pelaksanaan kegiatan Sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005 Bab
XI pasal 67 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
a) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab dalam
pengawasan prasarana olahraga
b) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan prasarana
olahraga sesuai dengan standar dan kekkbutuhan pemerintah dan pemerintah
daerah
Prasarana atau fasilitas adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam aktifitas
jasmani, bersifat permanen atau tidak dapat dipindah, kebutuhan sarana dan prasarana
olahraga dalam pembelajaran sangat penting, karena dalam pembelajaran harus
menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pembelajaran
pendidikan jasmani prasarana didefinisikan sebagai sesuatu yang mempermudah atau
memperlancar proses. Salah satu sifat yang dimiliki oleh prasarana jasmani adalah
sifatnya relatif permanen atau susah untuk dipindah (Arman, 2014; 2)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, prasarana adalah segala sesuatu yang
merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses usaha, pembangunan proyek
dan lain sebagainya”. Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor penunjang untuk
mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam pengajaran pendidikan jasmani olahraga dan
kesehatan sarana dan prasarana yang memadai sangat penting untuk meningkatkan dan
mengembangkan kualitas proses belajar mengajar pendidikan jasmani. Kelengkapan
sarana dan prasarana pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan besar sekali manfaatnya
bagi guru dan siswa, sehingga pembelajaran dapat berjalan lancar serta tujuan
pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Namun sebaliknya sarana dan prasarana yang
tidak lengkap atau tidak sesuai dengan kurikulum akan menyulitkan guru dan siswa
sehingga materi tidak dapat disampaikan pada siswa dan tujuan pembelajaran tidak dapat
tercapai.
Dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan tentunya melewati berbagai proses
antara lain adanya prosedur, pemerataan, ketersediaan, dan ketercukupan, dalam hal
penyediaan fasilitas olahraga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah sebagai
pembuat kebijakan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan fasilitas tersebut sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Sistem
Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Wirjasantosa (1984: 157) mengungkapkan
bahwa, “Fasilitas olahraga adalah suatu bentuk yang permanen, baik untuk ruangan di
dalam maupun di luar. Misalnya: gymnasium (ruang senam), kolam renang, lapangan-
lapangan permainan, dan sebagainya”.
Fasilitas olahraga didalamnya terdiri dari sarana dan prasarana penunjang aktivitas
olahraga. Sarana sendiri merupakan salah satu unsur penting yang harus tersedia dalam
olahraga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 999) dijelaskan bahwa Sarana
adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan”.
Dalam olahraga sendiri terdapat banyak alat yang digunakan baik untuk bermain, berlatih
maupun bertanding dalam event olahraga. Sedangkan Soepartono (1999/2000: 6)
menyatakan bahwa: “Istilah sarana olahraga adalah terjemahan dari facilitie yaitu sesuatu
yang dapat digunakan atau dimanfaatkan dalam proses pembelajaran pendidikan
jasmani”.
Sarana olahraga dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
a) Peralatan (apparatus)
Peralatan ialah sesuatu yang digunakan contoh: peti lompat, palang tunggal,
gelang-gelang dan sebagainya.
b) Perlengkapan (device) ialah:
1) Semua yang melengkapi kebutuhan prasarana misalnya: net,
bendera untuk tanda, garis batas
2) Sesuatu yang dapat dimainkan atau dimanipulasi dengan tangan atau
kaki misalnya: bola, raket, pemukul
a. Ruang Terbuka
Ketika berbicara masalah sarana dan prsarana olahraga, maka yang ada
dibenak kita adalah “sarana dan prsarana olahraga yang tersedia minim kualitas dan
kuantitas”. Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat misi yang selalu diusung
oleh Pemerintah yaitu pembangunan olahraga di Indonesia. Namun kemudian muncul
pertanyaan, seberapa jauh keberhasilan pembangunan olahraga yang telah
dilaksanakan. Melihat kenyataan dilapangan, nampaknya sulit untuk mencapai tujuan
tersebut dimana kurangnya perhatian Pemerintah akan hal-hal yang mendukung
terlaksananya program bahkan yang kita rasakan yaitu semakin merosotnya dunia
olahraga di Indonesia jika kita lihat dari sudut pandang perkembangan prestasi
olahraga dan pola management keolahragaan yang ada saat ini. Menanggulangi hal
tersebut, para pelaku olahraga dan ahli olahraga di Indonesia telah melakukan kajian
mengenai pembangunan olahraga versi Sport Development Index (SDI). Salah satu
dimensi inti kajian dalam SDI yaitu ruang terbuka yang dapat mengukur seberapa
jauh keberhasilan pembangunan olahraga disuatu wilayah.
Untuk melakukan aktivitas fisik maka dibutuhkan sebuah ruang terbuka yang
bisa diakses oleh masyarakat. Menurut Mutohir dan Maksum (2007 : 37) bahwa :
“Ruang terbuka merujuk pada suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatanolahraga oleh sejumlah orang (masyarakat) dalam bentuk bangunan dan/ataulahan. Bangunan dan/atau lahan tersebut dapat berupa lapangan olahraga yangstandar atau tidak, yang tertutup (in-door) maupun terbuka (out-door) atauberupa lahan yang memang diperuntukkan untuk kegiatan berolahragamasyarakat. Angka ruang terbuka diukur berdasarkan rasio luas rung terbukadengan jumlah penduduk usia 7 tahun keatas di suatu wilayah”.Sebagai bahan perbandingan, Unesco juga telah merekomendasikan bahwa
“Ruang gerak statis yang ideal adalah lebih kurang 2m2 per orang. Jika olahraga
membutuhkan ruang gerak yang bukan statis melainkan dinamis, maka dapat
dianalogikan ruang gerak yang diperlukan adalah dua kali ruang gerak statis yaitu
lebih kurang 4m2.” Sementara itu, Clerici (1976) dalam Kristiyanto, (2012:193)
berpendapat bahwa angka standar ruang terbuka adalah 3,5m2 per orang. Hal ini
didasarkan pada argumentasi bahwa kelompok penduduk yang terdiri dari 3500
orang dapat menggunakan sekurang-kurangnya 12.000m2 ruang terbuka untuk
kegiatan olahraga. Tampaknya pendapat Clerici inilah yang kemudian diadopsi oleh
Komite Olimpiade sebagai standar Internasional.
Seiring perkembangan jaman, keberadaan ruang terbuka saat ini semakin
terkikis sebagai dampak dari pembangunan gedung atau perumahan warga. Semakin
bertambahnya jumlah penduduk maka semakin bertambah pula kebutuhan wilayah
atau tempat untuk dijadikan daerah pemukiman. Disisi lain, semakin berkurang pula
wilayah terbuka atau lapangan-lapangan yang bisa digunakan untuk aktivitas
olahraga. Badan usaha yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan dan
permukiman berkewajiban menyediakan prasarana olahraga sebagai fasilitas umum
dengan standar dan kebutuhan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Setiap orang dilarang
meniadakan atau mengalihfungsikan prasarana olahraga yang telah disediakan tanpa
rekomendasi dan persetujuan dari yang berwenang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Oleh karenanya penting untuk meyediakan ruang terbuka untuk aktivitas
olahraga. Menurut Mutohir dan Maksum (2007 : 38) bahwa :
“Untuk dapat dikatakan sebagai ruang terbuka olahraga harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1) Didesain untuk olahraga
Syarat ini merujuk pada pengertian bahwa prasarana yang ada memang
sengaja dirancang untuk kegiatan olahraga. Banyak tempat yang digunakan
masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga, tetapi sebenarnya tempat itu
bukan didesain untuk kegiatan olahraga. Misalnya, taman-taman di
perkotaan, badan jalan, lahan kosong di sekitar pemukiman dan sebagainya.
Aktivitas olahraga dilakukan bukan pada tempatnya, selain dapat merusak
fungsi sebenarnya dari tempat tersebut, juga bisa jadi berbahaya bagi pelaku
olahraga sendiri.
2) Digunakan untuk olahraga
Syarat ini sangat jelas bahwa tempat yang disebut ruang terbuka tersebut
digunakan untuk kegiatan olahraga. Pertanyaannya, apakah ada tempat yang
didesain untuk olahraga? Jawabannya ada, yaitu tempat olahraga yang telah
beralih fungsi. Meskipun secara fisik tidak berubah, tetapi tempat tersebut
lebih banyak digunakan untuk kegiatan selain olahraga. Misalnya untuk
kegiatan jual-beli atau pasar, tempat parkir dan lain-lain.
3) Bisa diakses oleh masyarakat luas
Syarat ini pada hakikatnya melekat pada makna dari ruang terbuka itu
sendiri. Artinya tempat tersebut harus dapat digunakan oleh masyarakat
umum dari berbagai latarbelakang sosial, ekonomi, budaya serta dapat
diakses oleh berbagai kondisi fisik manusia. Dengan syarat ini, tempat-
tempat olahraga seperti lapangan golf, kolam renang pribadi dan jogging
track pribadi yang tidak dapat diakses oleh masyarakat luas tidak termasuk
dalam definisi ruang terbuka.
b. Jenis Sarana dan Prasarana Olahraga
Sarana dan prasarana olahraga merupakan salah satu item dalam sebuah
penjaminan mutu keberhasilan pembangunan olahraga. Keberadaan, jenis, jumlah dan
kualitas dari sarana dan prasarana olahraga ini tergantung dari kebutuhan dan kondisi
masing-masing daerah serta arah kebijakan Pemerintah Daerah tersebut. Tidak semua
sarana dan prasarana olahraga mampu disediakan oleh suatu daerah, oleh karena itu
perlu kecermatan dan kejelian Pemerintah dalam menentukan kebijakan penyediaan
fasilitas olahraga disuatu daerah agar kebijakan yang ditetapkan dapat benar-benar
tepat sasaran sehingga dapat digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat yang
membutuhkan.
Menurut Harsuki (2012: 183) Fasilitas olahraga dapat dibagi kedalam beberapa
macam atau tipe, yaitu :
a) Fasilitas tunggal, artinya fasilitas itu umumnya hanya digunakan untuk satu
cabang olahraga saja, misalnya stadion baseball, bowling valley, kolam
renang, lapangan golf, sirkuit motor dan rnobil, trek lapangan balap kuda, dan
lain-lain.
b) Fasilitas serba guna. Dapat dalam kategori indoors maupun outdoors. Yang
termasuk indoors, misalnya istana olahraga (Istora) di Kompleks Gelora Bung
Karno, Senayan, Jakarta, dapat dikategorikan serba guna, karena dapat untuk
bermain dan bertanding, bola basket, bola voli, bulu tangkis, sepak takraw,
olahraga bela diri, dan lain-lain. Untuk lapangan terbuka, misalkan dapat
digunakan untuk motor cross, show untuk kendaraan, rekreasi, konser, dan
lain-lain. Termasuk dalam serba guna ini juga antara lain Gedung Fitness
Centre, yang dapat digunakan untuk senam, tenis, renang, joging, dan lain-
lain.
c) Fasilitas pada rumah klab (club house), seperti yang banyak kita dapati di
negara-negara Eropa, diperlengkapi dengan fasilitas terbuka maupun tertutup,
dan diperlengkapi dengan kotak penyimpanan barang (locker), toilet, shower,
restoran, dan toko alat peralatan olahraga.
d) Fasilitas olahraga yang besar, tidak hanya menyediakan ruangan untuk
berpraktik olahraga saja, tetapi juga menyediakan ruangan untuk para
penonton. Misalnya Stadion Utama Gelora Bung Karno mempunyai kapasitas
tempat duduk untuk 100.000 orang, sedangkan Istana Olahraga memiliki
tempat duduk 10.000 orang, Sedangkan Hall Basket di Senayan berkapasitas
tempat duduk 3.000 orang. Khusus untuk gedung olahraga, IAKS
(Internationaler Arbeitskreis Sport-und Freizeiteinrichtungen.
Koln (dalam Harsuki, 2012 : 184), memperkenalkan tiga gedung olahraga
sebagai berikut:
a) Gedung olahraga untuk Penggunaan Multifungsi (Sport Hall for Multi-
Fungsional Use), yaitu suatu gedung olahraga yang melayani berbagai macam
penggunaan.
b) Gedung olahraga untuk penggunaan berbagai penggunaan olahraga (Sport
Hall for Games Use, atau Games Half), yaitu suatu gedung olahraga yang
dipergunakan terutama untuk olahraga seperti senam, latihan fisik yang
menggunakan perlengkapan kecil (seperti bangku Swedia, kotak lompatan,
parallel bar, uneven bar, ring, dan sebagainya), dan permainan guna pengisian
waktu luang. Gedung olahraga yang serbaguna (Sport Hall with Multi-Purpose
Use, atau Multi Purpose Hall), yang adalah suatu gedung multifungsi atau
gedung permainan (games hall), khususnya untuk masyarakat kecil, dengan
fasilitas tambahan yang memadai dapat digunakan dari waktu kewaktu untuk
sosial dan artistik even serta even kebudayaan lainnya.
Sarana penunjang gedung olahraga harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) Ruang Ganti Atlet
Penempatannya harus dapat langsung menuju lapangan melalui koridor yang
berada dibawah tempat duduk. Kelengkapan ruang ganti atlet antara lain berupa
toilet, ruang bilas dan ruang ganti pakaian.
2) Ruang Ganti Pelatih & Wasit:
Lokasinya harus dapat langsung menuju lapangan melalui koridor yang ada
dibawah tempat duduk penonton. Kelengkapan ruang sama dengan kelengkapan
ruang ganti atlet.
3) Lokasi ruang P3K:
Harus berada dekat dengan ruang ganti atau ruang bilas dan direncanakan untuk
tipe A, B dan C minimal 1 unit dapat melayani 2000 penonton dengan luasan
minimal 15 m
4) Ruang pemanasan:
Direncanakan untuk tipe A minimal 150 m2, tipe B minimal 81 m2 dan maksimal
196 m2 sedangkan tipe C minimal 81 m2.
5) Toilet penonton:
Direncanakan untuk tipe A, B dan C dengan perbandingan penonton wanita dan
pria adalah 1:4.
6) Ruang mesin:
Dengan luas ruangan sesuai dengan kapasitas mesin yang dibutuhkan dan lokasi
mesin tidak menimbulkan suara bising yang mengganggu ruang arena dan
penonton.
7) Ruang kantin:
Direncanakan hanya untuk tipe A
8) Ruang pers:
Harus disediakan kabin untuk awak TV dan film. Perlu disediakan ruang telepon
dan ruang telex
9) Tempat parker:
Jarak maksimal dari tempat parkir, pool atau tempat pemberhentian kendaraan
umum menuju pintu masuk gedung olahraga adalah 15 m. 1 ruang parkir mobi
dibutuhkan minimal untuk 4 orang pengunjung pada saat jam sibuk.
10) Toilet penyandang cacat:
Toilet untuk pria dipisahkan dengan toilet wanita. Toilet harus dilengkapi dengan
pegangan untuk perpindahan dari kursi roda ke kakus duduk yang diletakkan
didepan dan disamping kakus duduk setinggi 80 cm.
11) Jalur sirkulasi untuk penyandang cacat:
Tanjakan harus mempunyai kemiringan 8% dengan panjang maksimal 10m.
Permukaan lantai selasar tidak boleh licin, harus terbuat dari bahan-bahan yang
keras dan tidak boleh ada genangan air. Pada ujung tanjakan harus disediakan
bagian datar minimal 180 cm. Selasar harus cukup lebar untuk melakukan
perputaran kursi roda 180o.
12) Kompartemensi penonton:
Daerah penonton harus dibagi dalam kompartemen masing-masing mampu
menampung minimal 1000 orang maksimal 3000 orang. Antara dua kompartemen
yang bersebelahan harus dipisahkan dengan pagar permanent transparan minimal
setinggi 1,2 m maksimal 2 m
13) Tata cahaya:
Tingkat penerangan horizontal pada orang 1 m diatas permukaan lantai untuk
ketiga tipe. Untuk atihan dibutuhkan minima 200 lux.Untuk pertandingan
dibutuhin minimal 300 lux. Untuk pengambilan video dokumen dibutuhkan
minimal 300 lux. Sumber cahaya lampu atau bukaan harus diletakkan dalam satu
area pada langit-langit yang menghubungkan sumber cahaya tersebut dengan
titik yang terjauh dari arena setinggi 1,5 m garis horisontalnya minimal 30o.
Apabila menggunakan tata cahaya buatan, harus disediakan generator set yang
kapasitas dayanya minimum 10% dari daya terpasang generator harus dapat
bekerja maksimal 10 detik pada saat aliran PLN padam.
14) Tata Udara:
Tata udara dapat mempergunakan ventilasi alami atau mekanis dengan memenuhi
ketentuan: apabila menggunakan ventilasi alami harus diatur mengikuti
pergerakan udara siang Luas bukan minimum adalah 6% dariu luas lantai efektif.
(http://27maret.blogspot.com)
c. Penyediaan fasilitas olahraga
Mengkaji tentang pelayanan publik, maka tidak terlepas dari pembahasan
tentang teori-teori kebijakan secara umum maupun implementasi kebijakan publik itu
sendiri. Penyediaan sarana dan prsarana olahraga merupakan salah satu bentuk
kebijakan publik yang mana telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan
Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Kebijakan publik yang baik tidak terlepas dari proses
perumusan kebijakan yang mencerminkan kebutuhan masyarakat. Pemerintah sebagai
pelaksana program-program kegiatan pemerintahan berkewajiban untuk mampu
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maupun kepada publik.
Melalui otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah
kabupaten/kota untuk lebih mampu memberikan kualitas pelayanan yang semakin
baik kepada masyarakat di wilayahnya. Disamping itu, pemeritah kabupaten/kota juga
mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam membuat suatu kebijakan
yang mengatur tentang penyediaan sarana dan prsarana olahraga. Hal ini sejalan
dengan isi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UUSKN) Nomor 3 Tahun
2005, Pasal 12 ayat 1dan 2 menyatakan: 1) Pemerintah mempunyai tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional.
2) Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan
mengordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta melaksanakan
standardisasi bidang keolahragaan di daerah.
UUSKN Nomor 3 Tahun 2005 juga menjelaskan mengenai kewajiban
pemerintah untuk menyediakan prasarana olahraga. Sebagai mana yang tertuang
dalam Pasal 67 ayat 2 yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan pemerintah dan
pemerintah daerah”. Tentunya pemerintah harus memperhatikan asas desentralisasi,
otonomi, peran serta masyarakat, keprofesionalan, kemitraan, transparansi, dan
akuntabilitas. Sistem pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan keolahragaan
nasional diatur dengan semangat kebijakan otonomi daerah guna mewujudkan
kemampuan daerah dan masyarakat yang mampu secara mandiri mengembangkan
kegiatan keolahragaan. Dengan demikian merupakan sebuah keharusan bagi
pemerintah daerah untuk menyusun suatu kebijakan dalam upaya penyediaan sarana
dan prsarana olahraga di Nusa Tenggara Timur sesuai yang diamanatkan dalam
UUSKN Nomor 3 Tahun 2005.
1) Perencanaan sarana dan prasarana
Perencanaan merupakan proses awal untuk memutuskan tujuan dan cara
pencapaiannya. Perencanaan merupakan hal yang sangat esensial karena dalam
kenyataanya perencanaan memegang peranan lebih bila dibanding dengan
fungsi-fungsi manajemen yang lainnya, seperti pengorganisasian, pengarahan,
dan pengawasan. Penyusunan sebuah rencana hendaknya didasarkan pada
latarbelakang yang jelas misalnya menyangkut kebutuhan dan tujuan atau cita-
cita yang hendak dicapai oleh pembuat rencana. Menurut Siagian (1994:108)
dalam (http://id.shvoong.com), perencanaan dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang dari pada hal-hal
yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Terry 1986 (dalam Harsuki 2012 : 85)
bahwa:
“Perencanaan yang pada dasarnya adalah penyusunan sebuah pola tentang
aktivitas-aktivitas masa yang akan datang yang terintegrasi dan
dipredeterminasi. Hal tersebut mengharuskan adanya kemampuan untuk
meramalkan, memvisualisasikan dan melihat ke depan yang dilandasi dengan
tujuan-tujuan tertentu”.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun sebuah
perencanaan. Salah satu dimensi yang tidak terpisahkan dari perencanaan itu
sendiri yaitu dimensi waktu. Menurut Harsuki (2012:87-88) bahwa rencana
yang dikaitkan dengan waktu dapat dibagi sebagai berikut:
1) Perencanaan jangka pendek (SR = Short Range) yang biasanyamencakup waktu kurang dari 1 tahun
3) Perencanaan jangka menengah (IR = Intermediate Range) yangmeliputi waktu 1 tahun lebih, namun kurang dari 5 tahun.
4) Perencanaan jangka panjang (LR = Long Range) yang meliputi waktulebih dari 5 tahun.
Perencanaan jangka panjang dalam hal ini tentang penyediaan fasilitas
olahraga, hendaknya mengacu pada sebuah Grand Desain di suatu
daerah/wilayah yang didalamnya juga mencakup rencana pengembangan
wilayah atau perkotaan sehingga akan terjadi sinkronisasi antara penyediaan
fasilitas olahraga dan pengelolaan kota yang baik. Perencanaan tipe ini biasanya
lebih bersifat administratif dan berkenaan dengan perencanaan strategik.
Perencanaan jangka menengah lebih bersifat penunjang yang diarahkan untuk
mencapai tujuan utama yaitu terlaksananya perencanaan jangka panjang.
Sedangkan perencanaan jangka pendek, didalamnya memuat tentang butir-butir
operatif mengenai hal-hal penting yang harus segera dilaksanakan/dilakukan
sebagai langkah awal mensukseskan rencana jangka menengah.
Menurut Internasional Olympic Committee dalam Harsuki (2012:90)
Pengembangan sebuah perencanaan menggunakan terminologi/tipe-tipe
perencanaan sebagai berikut:
a) Strategic Plan yang memberikan pengertian misi (mission), maksud
(goals) dan tujuan (objective) serta tujuan taktis (tactical end) dengan
apa mereka mencapai tujuannya dan memberikan evaluasi.
b) Business Plan yang menjabarkan suatu strategic plan dengan cara
menerangkan bagaimana melangkah ke depan, memperhitungkan
resiko, tantangan, aktivitas yang spesifik dan program, biaya dari
berbagai kegiatan, ketepatan waktu, tanggung jawab siapa berbagai
bagian yang harus melaksanakan perencanaan dan unsur lainnya lagi.
Rencana strategik atau yang biasa disebut renstra merupakan sebuah
rencana yang dibuat sebagai acuan dalam menentukan tujuan jangka panjang
dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki, oleh karena itu para
pembuat kebijakan harus menyiapkan berbagai rencana strategik yang akan
dilaksanakan. Pendekatan yang digunakan dalam proses perencanaan tentunya
harus melalui beberapa tahapan agar perencanaan tersebut dapat berjalan dengan
baik dan sesuai
Unsur-unsur dalam sebuah perencanaan menurut Harsuki (2012:91-93)
sebagai berikut:
a) Pernyataan deskriptif (Deskriptive Statement)
b) Pernyataan visi (Vision Statement)
c) Pernyataan misi (Mission Statement)
d) Filsafat yang jadi pedoman
e) Prinsip-prinsip pengoperasian (Operating Principles)
f) Tujuan (Objectives)
g) Tanda-tanda keberhasilan
h) Program
Kompleksitas dan dinamika perencanaan penyediaan sarana dan prasarana
olahraga semakin mengemuka pada era otonomi daerah yang dewasa ini ditandai
dengan pelimpahan kewenangan yang besar kepada daerah Kabupaten/Kota. Dengan
kata lain, kewenangan yang luas dan nyata telah menimbulkan tantangan tersendiri
yang perlu mendapatkan perhatian dalam perencanaan penyediaan sarana dan
prasarana olahraga. Sarana dan prasarana yang bermutu didukung dengan program
berkualitas yang dimulai dengan perencanaan yang seksama. Ada kriteria umum yang
harus dipatuhi dalam perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan. Kriteria umum
untuk perencanaan sarana dan prasarana olahraga menurut Handoko, (1999 : 32)
adalah:
a) Melayani kebutuhan yang telah teridentifikasi
b) Konstruksi yang bermutu dan mempertimbangkan keselamatan.
c) Multiguna
d) Lokasi yang strategis
e) Mudah dijangkau f)
f) Harga yang efektif g)
g) Mudah disupervisi
h) Pemeliharaan/penjagaan yang efisien
i) Bisa diperluas
j) Memperhatikan segi keindahan
Perencanaan sarana dan prasarana olahraga yang dibuat oleh Pemerintah suatu
Kabupaten juga harus memperhatikan beberapa hal diantaranya didasarkan pada
potensi dan kemampuan yang dimiliki daerah tersebut. Potensi setiap daerah berbeda-
beda, karena secara khusus karakteristik daerahnya juga berbeda mulai dari letak
geografis, kebudayaan masyarakat sampai pola hidup masyarakat, sehingga menuntut
pemerintah untuk jeli melihat potensi-potensi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Dari aspek kemampuan daerah juga perlu diperhatikan karena tidak
mungkin sebuah daerah mampu menyediakan semua jenis sarana dan prasarana yang
diperlukan oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu adanya suatu prioritas pada cabang-
cabang olahraga unggulan yang memang harus dipenuhi sarana dan prasarananya
dengan baik. Hal tersebut bisa berdasarkan pada minat masyarakat maupun cabang
olahraga yang diunggulkan.
Prinsip dan garis besar menejemen untuk perencanaan sarana dan prasarana
yang akan diaplikasikan dalam semua level pendidikan serta organisasi menurut
Bruce dan Krotee, (2002) dalam Harsuki, (2012: 200-201) sebagai berikut:
a) Sarana dan prasarana harus dirancang terutama bagi peserta dan kelompok
pengguna.
b) Sarana dan prasarana harus dirancang untuk penggunaan secara bersama
dengan mempertimbangkan pola dan arah secara potensial.
c) Semua perencanaan harus didasarkan pada tujuan bahwa pengenalan
lingkungan baik fisik maupun non fisik haruslah aman, terjamin, menarik,
nyaman, bersih, praktis, dapat dijangkau, dapat menyesuaikan dengan
kebutuhan individu.
d) Sarana dan prasarana haruslah ekonomis dan mudah untuk dioperasikan,
dikontrol dan dipelihara.
e) Perencanaan harus memasukkan pertimbangan sarana dan prasarana
pendidikan jasmani dan olahraga bagi masyarakat secara terpadu. Program
dan fasilitas dari beberapa area bergabung secara berdekatan dan
perencanaan harus dikoordinasikan dan erat kaintannya, yaitu yang
berdasarkan pada kebutuhan dari masyarakat secara keseluruhan.
f) Perencanaan sarana dan prasarana harus mempertimbangkan perlindungan
bagi masyarakat misalnya lalu lintas, pengeras suara dan lampu penerangan.
Sarana dan prasarana harus dapat dijangkau bagi kelompok pengguna
meskipun terisolasi sehingga aktivitas tidak terganggu oleh program yang
lain.
g) Sarana dan prasarana harus dapat menggerakkan kesehatan, keamanan dan
serta kode standar legal yang sangat penting dalam melindungi kesehatan,
kesejahteraan dan keselamatan para kelompok pengguna dan juga
lingkungan.
h) Sarana dan prasarana harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat
diakses dengan mudah dan aman bagi semua individu termasuk para
penyandang cacat.
i) Perencanaan sarana dan prasarana harus berjangka panjang penggunanya dan
termasuk kesanggupan untuk penyesuaian, mudah diubah, dan diperluas guna
memenuhi kebutuhan masyarakat yang berubah.
j) Sarana dan prasarana memainkan satu bagian dalam lingkungan yang sehat.
Yang perlunya organisasi menyediakan ruang bermain yang cukup aman,
dilengkapi dengan situasi dan ventilasi yang memadai, serta kebersihan yang
pada gilirannya akan menentukan sebesar keefektifan kesehatan dan
kesejahteraan dipromosikan.
2) Realitas Penyediaan Sarana dan Prasarana
Pada umumnya masyarakat cenderung lebih mementingkan membangun
prasarana perekonomian dari pada prasarana umum untuk olahraga. Disisi lain
masyarakat juga belum menjadikan kegiatan olahraga sebagai kebutuhan hidup
sehari-hari, apalagi untuk berprestasi, sehingga partisipasi masyarakat dalam
keolahragaan masih terbilang kurang. Olahraga yang terarah dan terbina memerlukan
waktu dan keseriusan dari pihak-pihak yang berkompeten di bidang olahraga baik
pemerintah, praktisi olahraga maupun pelaku olahraga, sehingga waktu luang pemuda
dapat dialihkan untuk berolahraga dengan didukung pengembangan sarana dan
prasarana olahraga yang memadai.
Usaha untuk merealisasikan penyediaan sarana dan prasarana olahraga oleh
pemerintah hendaknya memperhatikan rasio penduduk dan konsep ruang terbuka,
dimana jumlah penduduk disuatu wilayah harus diimbangi dengan ruang terbuka yang
dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk beraktifitas olahraga bagi masyarakat. Satu
hal yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam merealisasikan
perencaan tersebut, yaitu bagaimana caranya agar penyediaan sarana dan prasarana
tersebut dapat terealisasikan dengan baik dan tepat guna.
Dalam upaya penyediaan fasilitas olahraga untuk masyarakat dibutuhkan suatu
perangkat yang disebut dengan evaluasi kebutuhan. Menurut Harsuki (2012: 188)
bahwa “secara dijelaskan bahwa evaluasi kebutuhan ialah perangkat yang digunakan
untuk menentukan apakah fasilitas baru sudah diperlukan, jika sudah diperlukan,
bagaimana tipe dan spesifikasi fasilitas tersebut”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa fokus dari evaluasi kebutuhan adalah:
(1) Harapan masyarakat
(b) Sejarah olahraga setempat
(c) Harapan dan kebutuhan masyarakat
(2) Akses dan kesempatan
(a) Agar dikaji bagaimana masyarakat dapat mengakses fasilitas
(b) Memastikan seluruh komponen masyarakat mempunyai
kesempatan menggunakan fasilitas.
(3) Demografi
Mempertimbangkan angka pertumbuhan penduduk yang dapat
mempengaruhi penggunaan fasilitas, misalnya:
(a) Dalam 10 tahun mendatang bagaimana perbandingan antara
usia muda dan usia lanjut
(b) Bagaimana kecenderungan perpindahan penduduk dari desa ke
kota
(4) Keberlanjutan
(a) Apakah dapat diperoleh pemasukan yang memadai untuk biaya
operasional
(b) Memastikan bahwa peralatan yang rusak maupun kadaluwarsa
dapat diganti, sehingga fasilitas selalu dapat digunakan sesuai
desain yang telah dirancang.
(5) Mempertimbangkan lingkungan lokal
(a) Jika iklimnya panas, pertimbangkan pembangunan fasilitas
untuk aquatics.
(b) Jika iklimnya berangin, pertimbangkan fasilitas parasailing,
layang-layang dan lain-lain
(6) Perubahan iklim
Selalu pertimbangkan pola cuaca, seperti banjir tahunan, angin
kencang dan lain-lain.
Menurut Harsuki, (2003 : 384) penyiapan prasarana olahraga selalu
dikaitkan dengan kegiatan olahraga yang mempunyai sifat:
(a) Horisontal, dalam arti bersifat menyebar atau meluas yang sesuai dengan
konsep “Sport For All” atau dengan semboyan yang kita miliki
“Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang
tujuannya untuk kebugaran dan kesehatan.
(b) Vertikal, dalam arti bersifat mengarah keatas dengan tujuan mencapai
prestasi tertinggi dalam cabang olahraga tertentu, baik untuk tingkat
daerah, nasional maupun internasional.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa guna memenuhi dua arah
kegiatan tersebut, kebutuhan prasarana olahraga perlu memperhatikan tiga
faktor, yaitu:
(a) Kuantitas.
Guna menampung kegiatan pemassalan olahraga perlu prasarana olahraga
yang jumlahnya mencukupi sesuai dengan kebutuhan seperti yang
ditentukan didalam pedoman penyiapan prasarana. Tersebar secara
merata di seluruh wilayah.
(b) Kualitas.
Guna menampung kegiatan olahraga prestasi, prasarana olahraga yang
disiapkan perlu memenuhi kualitas sesuai dengan syarat dan ketentuan
masing-masing cabang olahraga:
(1) Memenuhi standar ukuran internasional
(2) Kualitas bahan/material yang dipakai harus memenuhi syarat
internasional
(c) Dana.
Untuk menunjang kedua faktor diatas, diperlukan dana yang cukup
sehingga dapat disiapkan prasarana yang mencukupi jumlahnya serta
kualitasnya memenuhi syarat.
Adapun standar sarana dan prasarana olahraga menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2007 pasal 89 tentang penyelenggaraan keolahragaan sebagai
berikut:
(1) Standar prasarana dan sarana olahraga terdiri atas standar prasarana olahraga dan
standar sarana olahraga.
(2) Standar prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
persyaratan:
a. Ruang dan tempat berolahraga yang sesuai persyaratan teknis cabang
olahraga
b. Lingkungan yang terbebas dari polusi air, udara, dan suara
c. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan bangunan
d. Keamanan yang dinyatakan dengan terpenuhinya persyaratan sistem
pengamanan
e. Kesehatan yang dinyatakan dengan tersedianya perlengkapan medik dan
kebersihan.
3) Standar Sarana Olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
persyaratan:
a. Perlengkapan dan peralatan yang sesuai persyaratan teknis cabang olahraga
b. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan perlengkapan dan
peralatan
c. Kesehatan yang dinyatakan dengan dipenuhinya persyaratan kebersihan dan
higienis
d. Pemenuhan syarat produk yang ramah lingkungan
Klasifikasi dan penggunaan bangunan gedung olahraga sebagai berikuta:
a) Type A, menyediakan minimal:
1 lapangan bola basket
1 lapangan bola voli
5 lapangan buku tangkis
1 lapangan tennis
Ukuran minimal hall: 50 x 30 dengan tinggi 12,5 m
Kapasitas penonton: diatas 3.000 orang
b) Type B, menyediakan minimal:
1 lapangan bola basket
1 lapangan bola voli
3 lapangan buku tangkis
Ukuran minimal hall: 32 x 22 dengan tinggi 12,5 m
Kapasitas penonton: 1000 - 3.000 orang
c) Type C, menyediakan minimal:
1 lapangan bola basket
1 lapangan bola voli
Ukuran minimal hall: 24 x 16 dengan tinggi 9 m
Kapasitas penonton: 1000 orang. (http://rinarchilicious.blogspot.
com/2012/12/gedung-olah-raga.html)
Selanjutnya dijelaskan bahwa, berdasarkan skala pelayanannya, gedung olahraga
dibagi atas:
a) Skala Nasional
Sarana dan prasarana olahraga ini menampung atau melayani kegiatan-
kegiatan di antaranya kompetisi utama, pertandingan, latihan dan mengajar
dengan standar internasional seperti PON, Sea Games, dan sejenisnya.
Contoh : Gedung Istora Senayan Jakarta
b) Skala Regional
Sarana dan prasarana olahraga yang melayani satu atau beberapa daerah
denga populasi sebesar 200.000 sampai dengan 350.000 penduduk dan
merupakan fasilitas pelengkap di suatu daerah atau wilayah.
Contoh: Gelanggang Olahraga Penjaringan, Gelanggang Olahraga Grogol.
c) Skala Lingkungan
Sarana dan prasarana olahraga yang melayani satu lingkungan, dalam hal ini
lingkungan pemukiman dengan populasi 2.000 sampai dengan 10.000 orang,
dan biasannya disediakan dalam suatu kompleks perumahan sebagai satu
pelengkap sarana.Contoh: Kelapa Gading Sport Club di kompeks perumahan
Kelapa Gading. Bimantara Sport Club di kompleks perumahan Green
Village. Persada Sport Centre di kompleks AURI Halim.
d) Skala Sekolahan
Sarana dan prasarana olahraga ini melayani olahraga di suatu sekolahan,
biasanya berbentuk aula, serbaguna dan dapat berbentuk lapangan terbuka
serta digunakan hanya untuk latihan olahraga standar saja.
e) Skala Khusus
Sarana dan prasarana olahraga yang menangani olahraga jenis tertentu yang
sifatnya komersial atau yang diperuntukkan khusus bagi penyandang cacat,
biasanya dibentuk oleh pihak swasta.(sumber:
http://rinarchilicious.blogspot.com/2012/12/gedung-olah-raga.html)
3) Pemanfaatan sarana dan prasana olaharaga
Pembangunan fasilitas olahraga merupakan sebuah keharusan agar dapat
mendukung proses pemassalan olahraga bagi masyarakat. Adanya sebuah
perencanaan yang baik serta sistem penyediaan yang maksimal harus diiringi pula
dengan pola pemanfaatan yang tepat, karena jika salah dalam pola pemanfaatannya
maka akan berdampak negatif bagi perkembangan olahraga itu sendiri. Kesalahan
dalam pemanfaatan fasilitas olahraga misalnya dengan mengeluarkan kebijakan untuk
memberikan ijin penggunaan fasilitas olahraga seperti stadion sepakbola untuk
kegiatan di luar olahraga misalnya untuk kampanye atau hiburan.
Kebijakan seperti ini tidak baik bagi kelangsungan fasilitas olahraga karena
fasilitas yang digunakan tersebut bisa rusak bahkan beralih fungsi. Hal ini harus
disadari oleh pembuat kebijakan di suatu wilayah Salah satu tujuan disediakannya
fasilitas olahraga yaitu agar dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan sehingga
menunjang perkembangan olahraga di suatu wilayah namun harus tetap
memperhatikan prosedur-prosedur dalam pemanfaatannya.
Konsumen fasilitas olahraga adalah pelaku olahraga itu sendiri, mulai dari
pelaku olahraga prestasi, olahraga rekreasi sampai olahraga pendidikan. Pola
pemanfaatan setiap ruang lingkup olahraga berbeda tergantung dari hakekat dan
tujuan masing-masing namun dengan satu harapan bahwa olahraga dapat
memasyarakat dan menjadi pola hidup bagi setiap orang.
i. Pemanfaatan Fasilitas Olahraga Prestasi.
Olahraga prestasi yang cenderung menitik beratkan pada pencapaian prestasi
yang setinggi-tingginya membutuhkan fasilitas dengan kualitas yang baik pada
setiap cabang olahraga yang ada sehingga dapat menunjang pencapaian
prestasi cabang olahraga tersebut. Fasilitas olahraga prestasi lebih dikhususkan
untuk prestasi, dalam artian bukan untuk fasilitas yang bisa diakses secara
umum karena jika fasilitas tersebut salah dalam penggunaannya maka fasilitas
tersebut akan menjadi rusak, sehingga tidak semua orang bisa mengakses
fasilitas olahraga prestasi kecuali mereka yang berkecimpung di olahraga
prestasi.
ii. Pemanfaatan Fasilitas Olahraga Rekreasi
Pemanfaatan fasilitas olahraga rekreasi memiliki keunikan sendiri dimana
fasilitas tersebut dirancang sedemikian rupa dengan tujuan agar mampu
menarik minat masyarakat sebanyak-banyaknya sehingga mau melakukan
olahraga yang aktifitasnya dikemas dalam sebuah permainan atau bersifat
rekreasi. Untuk fasilitas olahraga rekreasi, semua orang memiliki kesempatan
yang besar untuk mengaksesnya dan semakin banyak masyarakat yang
memanfaatkannya maka semakin baik.
iii. Pemanfaatan Fasilitas Olahraga Pendidikan
Pemanfaatan fasilitas olahraga pendidikan di sekolah disesuaikan dengan
tujuan dari pembelajaran. Dalam pemanfaatannya, fasilitas tersebut bisa
dimanfaatkan oleh siswa dan guru untuk mendukung proses belajar mengajar.
iv. Pemanfaatan Fasilitas Olahraga bagi Masyarakat Umum
Untuk mendukung program memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat maka hal yang harus menjadi perhatian adalah tingkat kemudahan
bagi masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan fasilitas olahraga yang
ada. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan sebanyak-
banyaknya fasilitas olahraga dan dapat memfasilitasi masyarakat dalam
berolahraga. Pola pemanfaatannya harus mengedepankan kemudahan untuk
mengakses tanpa harus dipersulit dengan prosedur tertentu dan akan lebih baik
lagi jika fasilitas tersebut bisa diakses secara gratis oleh masyarakat.
Contohnya yaitu sebuah lapangan terbuka, alun-alun dan Car Free Day yang
dapat menampung banyak orang untuk beraktifitas olahraga.
Berbagai kemajuan pembangunan dibidang keolahragaan bermuara pada
meningkatnya budaya dan prestasi olahraga. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh
tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam melakukan kegiatan olahraga terutama
dalam lingkup satuan pendidikan mengalami peningkatan sebagaimana ditunjukkan
oleh data Susenas 2003 dan 2006 bahwa persentase penduduk berumur 10 tahun ke
atas yang melakukan olahraga di sekolah meningkat dari 54,1% pada tahun 2003
menjadi 58,2% pada tahun 2006. Partisipasi masyarakat dalam melakukan kegiatan
olahraga semakin meningkat yang ditunjukkan dengan peningkatan partisipasi
masyarakat pada Indeks Pembangunan Olahraga (SDI) dari 0,345 pada tahun 2005
menjadi 0,422 pada tahun 2006, dimana pengukuran SDI sesungguhnya meliputi
perkembangan banyaknya anggota masyarakat suatu wilayah yang melakukan
kegiatan olahraga. Luasnya tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan berolahraga
bagi masyarakat dalam bentuk lahan, bangunan, atau ruang terbuka yang digunakan
untuk kegiatan berolahraga dan dapat diakses oleh masyarakat luas, kebugaran
jasmani yang merujuk pada kesanggupan tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa
mengalami kelelahan yang berarti, serta jumlah pelatih olahraga, guru Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan instruktur olahraga dalam suatu wilayah
tertentu. Hal ini tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan olahraga Indonesia
yang hanya mencapai 34 % (Sports Development Index) pada tahun 2004. Indeks ini
dihitung berdasarkan angka indeks partisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia,
dan kebugaran.
Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga untuk meningkatkan kemajuan
pembangunan olahraga, beberapa permasalahan yang harus diatasi adalah belum
terwujudnya peraturan perundang-undangan tentang keolahragaan, rendahnya
kesempatan untuk beraktivitas olahraga karena semakin sempitnya ruang terbuka
serta sarana dan prasarana untuk berolahraga, dan lemahnya koordinasi lintas lembaga
dalam hal penyediaan ruang publik untuk sarana dan prasarana olahraga bagi
masyarakat umum dan tempat permukiman.
Kegiatan fisik (physical activity) yang dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan. Dari sekian banyak jenis dan bentuk kegiatan fisik, kegiatan
olahraga merupakan bentuk kegiatan fisik yang paling banyak memiliki kelebihan.
Selain berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan, olahraga juga berfungsi
sebagai aktivitas untuk rekreasi atau hiburan dan sekaligus sebagai sarana untuk
mencapai prestasi. Sejalan dengan itu, sebagai salah satu upaya dalam rangka
peningkatan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat serta pembudayaan perilaku
hidup sehat masyarakat, pemerintah menyelenggarakan berbagai program untuk
meningkatkan partisipasi olahraga di masyarakat.
4) Pengelolaan Sarana dan Prasarana Olahraga
Pengelolaan fasilitas olahraga erat kaitannya dengan bagaimana konsep
managemen dalam pengelolaan itu sendiri. Pengelolaan fasilitas olahraga
sebagaimana terdapat dalam managemen pada umumnya. Menurut Harsuki,
(2012: 206-207) bahwa “Managemen olahraga pada dasarnya dapat dibagi
menjadi dua bagian besar yaitu managemen olahraga pemerintah dan managemen
olahraga swasta”. Kemudian Terry 1977 (dalam Harsuki 2012: 79) menerangkan
bahwa fungsi managemen diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu:
Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Penggerakan
(Actuating), Pengawasan (Controlling).
Menurut Parks, Quarterman dan Thibault (dalam Harsuki, 2012: 197-198)
bahwa secara umum, tiga posisi yang terdapat dalam manajemen fasilitas terdiri
dari:
1. Direktur Fasilitas
Direktur fasilitas seringkali disebut sebagai manager fasilitas atau
CEO (Chief executive Officer), mempunyai tanggung jawab
menyeluruh atas semua fasilitas. Pejabat ini terutama bertanggung
jawab atas pengadministrasian yang tepat dan pembuatan prosedur
operasi yang baku akan fasilitas (fasility’s standard operating
procedurs, SOPs)
2. Manager Operasi
Manager operasi melapor langsung kepada direktur fasilitas dan
bertanggung jawab akan semua karyawan, prosedur dan kegiatan
yang terkait dengan fasilitas. Tugasnya yaitu merumuskan peranan,
tanggung jawab dan wewenang dari staf fasilitas.
3. Koordinator Event
Koordinator even juga melapor kepada direktur fasilitas, bertanggung
jawab kepada pengelolaan even individual yang dilaksanakan di
dalam fasilitas. Tanggung jawabnya meliputi transportasi, memasang,
mendirikan dan menyimpan alat-alat; menciptakan sistem kontrol
untuk venue dan logistik peralatan; perekrutan, pelatihan dan
memberikan supervisi pada karyawan khusus, memberikan bantuan
dalam memelihara venue dan peralatannya selama berlangsungnya
even; memfasilitasi penjualan karcis dan pendistribusian karcis di
dalam venue; serta mengevaluasi pengoperasian venue dan
peralatannya.
Sarana dan prasarana yang dipelihara dan diatur dengan baik
merupakan faktor yang menentukan untuk menarik kedatangan pengguna atau
konsumen. Beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam pengelolaan
sarana dan prasarana olahraga yaitu:
a) Pedoman Kebijakan.
Sebuah pedoman kebijakan tertulis dalam dokumen merupakan sesuatu
yang perlu untuk menjalankan sarana dan prasarana. Persyaratan-
persyaratan yang mengatur hal-hal sebagai berikut perlu ditetapkan. (1)
kebijakan umum, (2) prosedur penjadwalan dan waktu penggunaan
fasilitas, (3) ketersediaan fasilitas dan peralatan, dan (4) pengaturan
penyewaan dan persetujuan kontrak.
b) Supervisi dan Keam anan Fasilitas.
Untuk menjamin layanan yang efektif bagi setiap pengguna perorangan
dan kelompok besar, beberapa hal perlu diperhatikan. Perangkat aturan
tertulis yang mengatur pemanfaatan dan keamanan fasilitas. Perangkat
aturan terpampang di semua pintu masuk dan tempat strategis. Tim
supervisor dan keamanan mudah dikenali Sikap yang ramah dan
membantu harus ditampilkan oleh anggota tim supervisor dan keamanan.
c) Pemeliharaan Fasilitas.
Untuk memperpanjang keawetan fasilitas dan menurunkan keharusan
perbaikan, pemeliharan yang tetap perlu dikerjakan. Agar pekerjaan
pemeliharaan berjalan dengan baik perlu dipilih koordinator pemeliharaan
yang tepat.
d) Pengontrolan (inventory control).
Melakukan pengawasan yang cermat terhadap segala fasilitas dan
peralatan yang dimiliki oleh organisasi.
e) Penjadwalan Fasilitas.
Jadwal pemakaian harus ditata dengan baik sehingga memberi
kenyamanan bagi pengguna. Contoh daftar prioritas penggunaan fasilitas
olahraga yang dimiliki oleh sekolah: (a) pelajaran pendidikan jasmani
terjadwal, (b) kegiatan latihan dan perlombaan/pertandingan olahraga, (c)
kegiatan olahraga rekreasi dan intramural, (d) kelompok akademik dalam
sekolah, (e) kelompok nonakademik dalam kampus, (f) kelompok luar
kampus.
Undang-undang Nomor 3 tahun 2005 tentang sistem keolahragaan Nasional
Pasal 38 ayat 1, menyatakan bahwa “Pengelolaan olahraga pada tingkat
kabupaten/kota dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu oleh
komite olahraga kabupaten/kota”. Dengan demikian, pengelolaan sarana dan
prasarana olahraga yang dibangun dengan menggunakan APBN perlu dikelola dengan
baik karena sarana dan prasarana olahraga merupakan aset yang dapat mendorong
perkembangan olahraga di suatu daerah dan sebagai cerminan seberapa besar
perhatian pemerintah daerah terhadap olahraga di daerahnya masing-masing. Oleh
karenanya sarana dan prasarana olahraga perlu didokumentasikan dengan baik,
dipelihara dan dimanfaatkan secara efektif, efisien dan terintegrasi melalui sebuah
sistem pengelolaan yang jelas. Adapun ciri-ciri sarana dan prasarana yang dikelola
dengan baik menurut Harsuki, (2012 : 187) yaitu:
a) Beroperasi pada jam yang ditentukan setiap harinya dengan memberikan
pelayanan yang ramah
b) Pelanggan baru diterima secara baik dan mereka mendapat petunjuk
sehingga dapat menggunakan fasilitas sebaik-baiknya.
c) Karyawan yang terlatih dengan baik, peran dan tanggung jawabnya dapat
dikenali oleh setiap pengguna.
d) Prosedur keselamatan, PPPK, pertolongan darurat dan lain-lain telah
didokumentasikan dan siap untuk beroperasi.
e) Melalui pengoperasiannya, fasilitas dapat menghasilkan manfaat ekonomi.
Sarana dan prasarana olahraga perlu didayagunakan dan dikelola untuk
berbagai kepentingan olahraga. Pengelolaan tersebut bertujuan memberikan layanan
secara profesional berkaitan dengan penggunaan fasilitas olahraga agar dapat berjalan
lancar, efektif dan efisien dalam waktu yang lama. Adapun Administrasi atau
pengelolaan sarana dan prasarana olahraga meliputi:
a) Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Olahraga
Menurut Hisyam, (1991 : 31-32) bahwa “Tujuan pemeliharaan atau
peralatan dalam kegiatan olahraga adalah untuk menentukan dan
meyakinkan bahwa alat-alat dalam keadaan aman dan memuaskan untuk
digunakan kegiatan-kegiatan tersebut”. Selanjutnya dijelaskan bahwa
prinsip-prinsip dalam pemeliharaan sarana dan prasarana olahraga yaitu:
(1) Kebijaksanaan dan tata cara memelihara sarana olahraga harus
direncanakan untuk memperpanjang umur peralatan sedemikian rupa
sehingga mungkin akan menghasilkan modal lagi yang maksimal.
(2) Pemeliharaan hendaknya direncanakan untuk menjamin keselamatan
bagi semua orang yang menggunakan alat-alat.
(3) Hanya orang-orang yang berhak hendaknya diberi kedudukan sebagai
pemimpin, kepala tata usaha.
(4) Alat-alat seharusnya diawasi secara periodik untuk memperoleh dan
mencapai keselamatan dan kondisi alat-alat.
(5) Perbaikan dan pemulihan kembali kondisi peralatan dibenarkan apabila
alat alat atau bahan yang diperbaiki atau dibangun dengan biaya yang
murah.
(6) Menutupi dan melindungi peralatan yang layak dapat menolong dan
menjamin pemeliharaan secara ekonomis dan aman.
b) Inventarisasi Sarana dan Prasarana Olahraga
Inventarisasi adalah upaya untuk mencatat dan membuat pembukuan
keberadaan sarana prasarana olahraga. Inventarisasi akan memudahkan
pengelolaan sarana dan prasarana olahraga dan mencegah hilang serta
rusaknya sarana prasarana olahraga. Langkah-langkah melakukan
inventarisasi sebagai berikut:
(1) Siapkan buku inventarisasi
(2) Inventarisasi dilakukan seorang yang ahli dan teliti.
(3) Lakukan pelabelan dan tanda register semua sarana prasarana dengan
teliti dan Benar
(4) Buat papan data keadaan sarana prasarana yang bisa diketahui semua
orang.
(5) Pemeliharaan barang merupakan kegiatan penjagaan atau pencegahan
dari kerusakan suatu sarana prasarana olahraga, sehingga sarana
prasarana tersebut dalam kondisi baik dan siap pakai. Pemeliharaan
dilakukan secara kontinyu terhadap semua barang-barang inventaris.
Dewasa ini, perkembangan olahraga cukup pesat dan sudah mulai merambah
ke dunia bisnis, hal ini dikarenakan olahraga sudah merupakan konsumsi bagi
masyarakat umum dan dengan sendirinya bermunculan bisnis-bisnis baru dalam dunia
olahraga untuk memenuhi kebutuhan olahraga dalam berbagai jenis sehingga perlu
sebuah sistem pemasaran yang baik akan produk-produk dan jasa yang dikomersilkan.
Begitu pula halnya dengan pengelolaan sarana dan prasarana olahraga, demi menjaga
kelangsungan dan keawetan sarana dan prasarana olahraga yang sudah tersedia maka
diperlukan sebuah sistem managemen pemasaran olahraga yang baik. Di Indonesia
istilah pemasaran olahraga mulai dikembangkan khususnya pada cabang-cabang
olahraga yang popular di masyarakat. Mullin (1985) dalam Harsuki, (2012:210)
memberikan pengertian pemasaran olahraga sebagai berikut:
“Pemasaran olahraga terdiri dari semua aktivitas yang terencana untuk memenuhikebutuhan dan keinginan pelanggan pada partisipasi pertama, kedua dan ketigadan penonton pertama, kedua dan ketiga melalui proses pertukaran. Oleh karenaitu, pemasaran olahraga telah berkembang dengan dua arah yaitu: a. Pemasaranproduk dan service olahraga kepada pelanggan olahraga. Pemasaran yangmenggunakan olahraga sebagai suatu wahana promosi untuk pelanggan danservice serta produk industri”.
Proses pemasaran olahraga didalamnya memerlukan beberapa komponen
penting, diantaranya yaitu: strategi pemasaran, taktik pemasaran dan value pemasaran
yang harus disusun secara seksama dan baik. Strategi pemasaran olahraga adalah cara
untuk mencapai tujuan jangka panjang, dalam ruang lingkup strategi pemasaran
olahraga ada tiga konsep yang harus diperhatikan diantaranya communitization,
confirmation dan clarification. Taktik pemasaran olahraga adalah rentetan dari
pelaksanaan pekerjaan dari suatu strategi, agar mencapai tujuan, dalam ruang lingkup
taktik pemasaran olahraga ada enam konsep yang harus diperhatikan diantaranya
codification, co-creation, currency, communual activation, conversation and
commercialization. Value pemasaran olahraga adalah kemapuan yang dapat diberikan
produsen kepada konsumen untuk memuaskan konsumen itu sendiri. Dalam ruang
lingkup value yang harus diperhatikan antara lain character, care and collaboration.
Bila kita lihat dari sudut pandang produk industri olahraga, maka yang menjadi ruang
lingkup pemasaran olahraga antara lain: sarana dan prasarana yang diproduksi,
diperjualbelikan dan/atau disewakan, barang-barang olahraga seperti peralatan dan
perlengkapan olahraga, dan Jasa penjualan kegiatan olahraga.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti mengenai
kebijakan pemerintah tentang ketersediaan fasilitas olahraga dan pengembangan sumber
daya manusia keolahragaan adalah penelitian yang dilakukan oleh:
1 Nama : Agus Kristiyanto
Judul : Kajian Fasilitas Olahraga Prestasi “Warisan” Penyelenggaraan
Pekan Olahraga Nasional PON XVII Tahun 2008 Di
Kalimantan Timur
Tahun : 2012
Sumber : Buku Pembangunan Olahraga Untuk Kesejahteraan Rakyat dan
Kejayaan Bangsa
Tujuan dari penelitian adalah untuk menyusun kebijakan
manajemen berbasis kearifan lokal yang mengulas tentang
dasar yuridis pengembangan fasilitas olahraga dan survey
kelayakan fasilitas olahraga prestasi “Warisan”
penyelenggaraan pekan olahraga nasional (PON XVII tahun
2008 di Kalimantan timur). Hasil penelitian tersebut terungkap
bahwa tersedianya fasilitas olahraga merupakan prasarat aksi
dalam mendorong terlaksananya aktivitas olahraga dikalangan
masyarakat dan suatu keharusan karena akan dilaksankannya
penyelenggaraan event olahraga seperti pekan olahraga pelajar
nasional (POPNAS), pekan olahraga nasional (PON) bahkan
Sea Games dan Asian Games.
Dari hasil kajian yang dilakukan, terbukti adanya beberapa
kebijakan pemerintah yang mendukung dalam usaha
penyediaan fasilitas olahraga disetiap daerah. Selain itu,
berdasarkan hasil analisis kelayakan pada 5 (lima) fasilitas
olahraga di Balikpapan yakni (1) Balikpapan Sport dan
Convention Center, (2) Lapangan Tenis Suwarna, (3) Waduk
Manggar, (4) Gedung Olahraga Squash; (5) Lapangan Tembak
Raider merupakan representatif dalam memenuhi standar
keolahragaan nasional.
2 Nama : Toktong Parulian Harahap
Judul : Pengembangan Sumber Daya Manusia Keolahragaan di
Kabupaten Tapanuli
Tahun : 2012
Dari hasil penelitian terungkap bahwa ketersediaan sumber
daya manusia keolahragaan yang merupakan sebagai
penunjang kemajuan pembangunan dan pengembangan
olahraga masih sangat minim, sehingga proses yang dilakukan
pemerintah dalam upaya peningkatan prestasi olahraga sedikit
terhambat karena kurangnya tenaga-tenaga ahli dalam bidang
keolahragaan.
C. Kerangka berpikir
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berfikir.
Kebijakan pemerintah tentang olahraga diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan atau
Peraturan Daerah (PERDA) yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersangkutan yang
mengatur salah satunya tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005.
Kebijakan merupakan suatu keputusan atau upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi
atau menyelesaikan suatu permasalahan atau untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan
Pemerintah Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur sendiri mempunyai tanggung jawab yang
serupa untuk melaksanakan pembangunan masyarakat yang sesuai dengan konteks
pengembangan daerah. Dalam hal pembinaan masyarakat terutama dibidang olahraga,
mempunyai tanggung jawab dan kewenangan dapat menjalankan koordinasi yang sinergis
secara vertikal dan horisontal dalam rangka pengelolaan, pembinaan dan pengembangan
keolahragaan daerah melalui peningkatan kualitas keolahragaan.
Sebuah kebijakan memerlukan rencana yang baik mengenai hal-hal yang harus
dijalankan untuk mendukung Implementasi Kebijakan tersebut, misalkan dalam bentuk
Sistem PendanaanKelayakan SumberDaya Manusia
Sarana dan PrasaranaOlahraga Pencak Silat
Kebijakan Pemerintah
dal
PembinaanOlahraga Pencak
Silat
Renstra (Rencana Strategis). Rencana tersebut merupakan sbuah proyek konkrit yang akan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dimana target-target harus dapat dipenuhi sesuai
patokan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dengan perencanaan yang baik maka diharapkan
implementasinya juga baik dimana akan terwujudnya Pembinaan Olahraga Pencak Silat di
Nusa Tenggara Timur.
Prestasi yang dicapai oleh atlet pencak silat merupakan cerminan bagaimana
pembinaan yang dilakukan. Pembinaan atlet pencak silat perlu dilakukan dalam
mempertimbangkan tumbuh kembang dan pengembangan gerak secara menyeluruh. Program
latihan jangka panjang merupakan acuan untuk menentukan target prestasi dan latihan-latihan
pada satuan waktu di bawahnya. Pertumbuhan dan perkembangan sering diabaikan dalam
proses latihan, penempatan kemenangan menjadi prioritas dan dijadikan tolak ukur
keberhasilan latihan. Untuk menunjang proses pembinaan olahraga pencak silat menjadi
suatu keharusan yang tidak dapat dihindarkan adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, selanjutnya bagaimana sarana dan prasarana dapat dikelola serta dimanfaatkan
dengan baik untuk mendukung kemajuan dalam pencapaian pembinaan olahraga pencak silat.
Fasilitas yang tersedia semestinya dimanfaatkan sesuai dengan kegunaannya yaitu untuk
kepentingan olahraga. Dalam pengelolaan fasilitas, pada umumnya diserahkan pada lembaga-
lembaga pemerintahan dari berbagai jenjang sampai yang paling rendah., bahkan tidak jarang
dilimpahkan kepada pihak swasta dengan tetap melakukan pengawasan.
Sumber daya manusia merupakan elemen yang sangat penting dalam satu organisasi.
Kegagalan mengelola sumber daya manusia dapat mengakibatkan timbulnya gangguan dalam
pencapaian tujuan dalam organisasi, baik dalam kinerja, profit, maupun kelangsungan hidup
organisasi itu sendiri. Sumber daya manusia yang kompeten dalam pembinaan olahraga
pencak silat diharapkan dapat membawa dampak terhadap suatu kemajuan karena sumber
daya manusia keolahragaan merupakan investasi manusiawi untuk menunjang secara
langsung produktivitas hasil pembangunan keolahragaan. Bantuan pendanaan oleh
pemerintah hendaknya mampu memberikan kontribusi nyata dalam pelaksanaan olahraga
pencak silat baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Maka dari itu, dapat
terciptanya sebuah sistem pengelolaan yang baik juga memiliki peranan penting dalam
pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang pembinaan olahraga pencak silat.