20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Ketentuan-Ketentuan dalam Perundang-Undangan dan
Konvensi
Ketentuan perundangan-undang dan konvensi yang telah di ratifikasi oleh
Indonesia antara lain, Konvensi PBB – Penghapusan Semua Jenis Diskriminasi
(1965), UU no 29 th 1999 tentang pengesahan konvensi internasional tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, Universal Declaration of Human Right/ Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia (DUHAM), Piagam PBB, International Convention on
Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW)/ Konvensi
PBB – Penghapusan Diskriminasi Perempuan (1979), Konferensi HAM tentang
segala bentuk Hak (1990-1996), Konvensi PBB - Hak Anak (1989), Statuta Roma
(1998), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Penulis akan
membahas satu persatu mengenai peraturan-peraturan serta konvensi yang telah
diratifikasi oleh Indonesia yang menolak adanya diskriminasi. Dalam UU No. 9
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa diskriminasi adalah
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
21
keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.1
Dalam Universal Declaration of Human Right/ Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia (DUHAM) terdapat beberapa pasal Larangan diskriminasi pada
pasal 1, 2, 6, 7, 15, 16, 18, 19, 21, 23, dan 30. Penulis akan menguraikan satu
persatu maksud dari pasal dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Pasal 1 berbunyi, Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.2
Pasal 2 berbunyi, Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-
kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian
apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan
atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara
atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang
berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan
kedaulatan yang lain.3
Pasal 6, Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai
manusia pribadi di mana saja ia berada. Pasal 7 berbunyi, Semua orang sama di
1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (3).
2 Universal Declaration of Human Right/ Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
(DUHAM). 3 Ibid.,
22
depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi
yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang
mengarah pada diskriminasi semacam ini.
Pasal 15 ayat (1) berbunyi, Setiap orang berhak atas sesuatu
kewarganegaraan, ayat (2) berbunyi, Tidak seorang pun dengan semena-mena
dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti
kewarganegaraannya.
Pasal 16 ayat (1) berbunyi, Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa,
dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama
dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. Ayat
(2) berbunyi, Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan
persetujuan penuh oleh kedua mempelai. Ayat (3) berbunyi, Keluarga adalah
kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan
perlindungan dari masyarakat dan Negara.
Pasal 18 berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani
dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan,
dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19 berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat
tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
23
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak
memandang batas-batas.
Pasal 21 ayat (1) berbunyi, Setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih
dengan bebas. Ayat (2) berbunyi, Setiap orang berhak atas kesempatan yang
sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya. Ayat (3) berbunyi
Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus
dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni,
dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara
secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan
memberikan suara. Dalam pasal ini pula dijelaskan bahwa setiap orang berhak
ikutt serta dalam pemerintahan,
Pasal 23 ayat (1) berbunyi, Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak
dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil
dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran. Ayat (2)
berbunyi, Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama
untuk pekerjaan yang sama. Ayat (3) berbunyi, Setiap orang yang bekerja berhak
atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan
kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan
jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya. Ayat (4) berbunyi, Setiap
orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi
kepentingannya.
Di dalam International Convention on Elimination of All Forms of
Discrimation Againts Women (CEDAW)/ Konvensi PBB – Penghapusan
24
Diskriminasi Perempuan (1979) terdapat beberapa pasal yang mengandung
larangan terhadap diskriminasi, penulis akan memaparkan serta menjelaskan
beberapa pasal yang ada, yaitu Pasal 1, 2
Pasal 1 berbunyi, For the purposes of the present Convention, the term
"discrimination against women" shall mean any distinction, exclusion or
restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing
or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of
their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights
and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any
other field. Diartikan sebagai berikutt:
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap
perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-
hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 2 berbunyi, States Parties condemn discrimination against women in
all its forms, agree to pursue by all appropriate means and without delay a policy
of eliminating discrimination against women and, to this end, undertake:
(a) To embody the principle of the equality of men and women in their national
constitutions or other appropriate legislation if not yet incorporated therein
and to ensure, through law and other appropriate means, the practical
realization of this principle;
25
(b) To adopt appropriate legislative and other measures, including sanctions
where appropriate, prohibiting all discrimination against women;
(c) To establish legal protection of the rights of women on an equal basis with
men and to ensure through competent national tribunals and other public
institutions the effective protection of women against any act of
discrimination;
(d) To refrain from engaging in any act or practice of discrimination against
women and to ensure that public authorities and institutions shall act in
conformity with this obligation;
(e) To take all appropriate measures to eliminate discrimination against women
by any person, organization or enterprise;
(f) To take all appropriate measures, including legislation, to modify or abolish
existing laws, regulations, customs and practices which constitute
discrimination against women;
(g) To repeal all national penal provisions which constitute discrimination
against women.
Diartikan sebagai berikutt:
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam
segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang
tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap
perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha:
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
Undang-Undang Dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat
26
lainnya jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi
praktis dari azas ini, melalui hukum dan caracara lain yang tepat ;
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-peraturan
lainnya termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua
diskriminasi terhadap perempuan;
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar
yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan
nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan
kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi ;
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap
perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan
lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakukan
diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan;
f) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-
undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-
peraturan, keblasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif
terhadap perempuan;
g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap
perempuan.
Pasal 3 berbunyi, States Parties shall take in all fields, in particular in the
political, social, economic and cultural fields, all appropriate measures, including
legislation, to en sure the full development and advancement of women , for the
27
purpose of guaranteeing them the exercise and enjoyment of human rights and
fundamental freedoms on a basis of equality with men.
Diartikan sebagai berikutt: Negara-negara peserta membuat peraturan-
peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang,
khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin
perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk
menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak azasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki.
Dalam CEDAW dijelaskan bahwa setiap negara yang telah meratifikasi
konvensi tersebut akan menghilangkan atau menghapuskan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan misalnya seperti, adanya perbedaan derajat
antara wanita dan pria dalam membangun rumah tangga, pembatasan terhadap
perempuan yang dimaksud dengan pembatasan disini yaitu, perempuan sangat
minim yang dapat bergabung dengan pemerintahan karena adanya pembatasan
jumlah, dalam seleksi kerja pun laki-laki lebih diutamakan daripada wanita,
padahal seharusnya semua orang memiliki hak yang sama untuk bekerja.
Di dalam Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Ras. Yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 29 Tahun
1999. Diskriminasi di dalam pasal 1 ayat (1) berbunyi, In this Convention, the
term " racial discrimination " shall mean any distinction, exclusion, restriction or
preference based on race, colour, descent, or national or ethnic origin which has
the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or
exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the
political, economic, social, cultural or any other field of public life, dapat
28
diartikan sebagai berikutt: Dalam Konvensi ini, istilah “diskriminasi ras” diartikan
sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan
berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau sukubangsa, yang
mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan,
pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang
kehidupan masyarakat yang lain.
Dalam pasal 2 ayat (1) berbunyi,
1. States Parties condemn racial discrimination and undertake to pursue by all
appropriate means and without delay a policy of eliminating racial
discrimination in all its forms and promoting understanding among all races,
and, to this end:
a. Each State Party undertakes to engage in no act or practice of racial
discrimination against persons, groups of persons or institutions and to
ensure that all public authorities and public institutions, national and local,
shall act in conformity with this obligation;
b. Each State Party undertakes not to sponsor, defend or support racial
discrimination by any persons or organizations;
c. Each State Party shall take effective measures to review governmental,
national and local policies, and to amend, rescind or nullify any laws and
regula tions which have the effect of creating or perpetuating racial
discrimination wherever it exists;
29
d. Each State Party shall prohibit and bring to an end, by all appropriate
means, including legislation as required by circumstances, racial
discrimination by any persons, group or organization;
e. Each State Party undertakes to encourage, where appropriate, integrationist
multi-racial organizations and movements and other means of elim inating
barriers between races, and to discourage anything which tends to
strengthen racial division.
1. States Parties shall, when the circumstances so warrant, take, in the social,
economic, cultural and other fields, special and concrete measures to ensure
the adequate development and protection of certain racial groups or
individuals belonging to them, for the purpose of guaranteeing them the full
and equal enjoyment of human rights and fundamental freedoms. These
measures shall in no case entail as a consequence the maintenance of unequal
or separate rights for different racial groups after the objectives for which
they were taken have been achieved.
Dapat diartikan sebagai berikutt: Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi
ras dan berjanji menggunakan semua sarana yang memadai, segera melakukan
kebijakan penghapusan diskriminasi ras dalam segala bentuknya, dan
mengembangkan pengertian di antara semua ras, dan untuk mencapai tujuan ini:
(a) setiap Negara Pihak berjanji untuk tidak melibatkan diri dalam tindakan
atau praktek diskriminasi ras terhadap orang, kelompok orang atau
lembaga, dan menjamin bahwa semua aparat dan lembaga-lembaga
pemerintah, baik nasional maupun daerah, harus bertindak sesuai dengan
kewajiban ini;
30
(b) Setiap Negara Pihak berjanji untuk tidak mensponsori, membela atau
mendukung diskriminasi ras yang dilakukan oleh siapapun atau organisasi
manapun;
(c) Setiap negara Pihak harus melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk
meninjau kebijakan-kebijakan Pemerintah, baik di tingkat nasional
maupun daerah, dan mengubah, mencabut atau menghapuskan undang-
undang atau peraturan yang berdampak menciptakan atau melestarikan
diskriminasi ras di manapun;
(d) Setiap Negara Pihak harus melarang dan mengakhiri diskriminasi ras oleh
perseorangan atau organisasi dengan cara-cara yang sesuai, termasuk
pembentukan undang-undang apabila keadaan membutuhkan;
(e) Setiap negara Pihak berjanji untuk mendorong, kalau perlu, organisasi dan
gerakan multi ras yang terpadu serta bermacam cara lain untuk
menghilangkan penghalang antar-ras, dan mencegah apapun yang
cenderung memperkuat pemisahan ras.
(2) Negara-Negara Pihak, bila keadaan memerlukan, harus mengambil tindakan-
tindakan khusus dan konkret di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun
bidang lainnya untuk menjamin perkembangan serta perlindungan yang
memadai bagi kelompok ras tertentu atau anggota kelompok tersebut, dengan
tujuan menjamin mereka untuk menikmati hak asasi manusia dan kebebasan
dasar secara sama dan sepenuhnya. Tindakan-tindakan ini, bagaimanapun
juga, tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya hak yang berbeda dan
31
terpisah bagi kelompok-kelompok ras yang berbeda setelah tujuan dari
tindakan-tindakan itu tercapai.
Dalam pasal 3, States Parties particularly condemn racial segregation and
apartheid and undertake to prevent, prohibit and eradicate all practices of this
nature in terri tories under their jurisdiction. Dapat diartikan sebagai berikut:
Negara-Negara Pihak secara khusus mengutuk pemisahan ras dan apartheid serta
berusaha untuk mencegah, melarang dan menghapuskan semua praktek semacam
ini di dalam wilayah hukum mereka. Negara wajib untuk menghapuskan dan
mencegah adanya pemisahan yang didasarkan pada ras. Bahkan sebelum
terjadinya pemisahan berdasarkan ras.
Pasal 4 konvensi ini berbunyi, States Parties condemn all propaganda and
all organizations which are based on ideas or theories of superiority of one race
or group of persons of one colour or ethnic origin, or which attempt to justify or
promote racial hatred and discrimination in any form, and undertake to adopt
immediate and positive measures designed to eradicate all incitement to, or acts
of, such discrimination and, to this end, with due regard to the principles
embodied in the Universal Declaration of Human Rights and the rights expressly
set forth in article 5 of this Convention Dapat diartikan sebagai berikut: Negara-
Negara Pihak mengutuk semua propaganda dan organisasi yang dilandasi
pemikiran atau teori keunggulan suatu ras atau kelompok orang dengan warna
kulit atau asal bangsa yang sama, atau yang mencoba membenarkan atau
menyebarkan kebencian dan diskriminasi ras dalam bentuk apapun, dan
memutuskan secepatnya tindakan-tindakan positif yang dirancang untuk
menghalau semua hasutan atau tindakan diskriminatif seperti itu, dan untuk
32
mencapai tujuan ini dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang tertuang
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan hak yang disebutkan dalam
pasal 5 Konvensi ini, Negara-Negara Pihak:
Pasal 5 berbunyi, In compliance with the fundamental obligations laid down
in article 2 of this Convention, States Parties undertake to prohibit and to
eliminate racial discrimination in all its forms and to guarantee the right of
everyone, without distinction as to race, colour, or national or ethnic origin, to
equality before the law, notably in the enjoyment of the following rights:
(a) The right to equal treatment before the tribunals and all other organs
administering justice ;
(b) The right to security of person and protection by the State against violence or
bodily harm, whether inflicted by government officials or by any individual,
group or institution ;
(c) Political rights, in particular the rights to participate in elections to vote and
to stand for election on the basis of universal and equal suffrage, to take part
in the Government as well as in the conduct of public affairs at any level and
to have equal access to public service;
(d) Other civil rights, in particular:
i. The right to freedom of movement and residence within the border of the
State;
ii. The right to leave any country, including one's own, and to return to one's
country;
iii. The right to nationality;
iv. The right to marriage and choice of spouse;
33
v. The right to own property alone as well as in association with others;
vi. The right to inherit;
vii. The right to freedom of thought, conscience and religion;
viii. The right to freedom of opinion and expression;
ix. The right to freedom of peaceful assembly and association;
(e) Economic, social and cultural rights, in particular:
i. The rights to work, to free choice of employment, to just and favourable
conditions of work, to protection against unemploy ment, to equal pay for
equal work, to just and favourable remuner ation;
ii. The right to form and join trade unions;
iii. The right to housing;
iv. The right to public health, medical care, social security and social
services;
v. The right to education and training;
vi. The right to equal participation in cultural activities;
(f) The right of access to any place or service intended for use by the general
public, such as transport, hotels, restaurants, caf s, theatres and parks.
Dapat diartikan sebagai berikut: Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dasar
yang dicantumkan dalam pasal 2 Konvensi ini, Negara-negara Pihak melarang
dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras serta menjamin hak setiap
orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan sukubangsa, untuk
diperlakukan sama di depan hukum, terutama untuk menikmati hak di bawah ini:
a) Hak untuk diperlakukan dengan sama di depan pengadilan dan badan-badan
peradilan lain;
34
b) Hak untuk rasa aman dan hak atas perlindungan oleh Negara dari kekerasan
dan kerusakan tubuh, baik yang dilakukan aparat Pemerintah maupun suatu
kelompok atau lembaga;
c) Hak politik, khususnya hak ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih
dan dipilih atas dasar hak pilih yang universal dan sama, ikut serta dalam
pemerintahan maupun pelaksanaan masalah umum pada tingkat manapun,
dan untuk memperoleh kesempatan yang sama atas pelayanan umum;
d) Hak sipil lainnya, khususnya:
i. Hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Negara
yang bersangkutan;
ii. Hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri, dan
kembali ke negaranya sendiri;
iii. Hak untuk memiliki kewarganegaraan;
iv. Hak untuk menikah dan memilih teman hidup;
v. Hak untuk memiliki kekayaan baik atas nama sendiri ataupun bersama
dengan orang lain;
vi. Hak waris;
vii. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama;
viii. Hak untuk berpendapat dan menyampaikan pendapat;
ix. Hak berkumpul dan berserikat secara bebas dan damai;
e) Hak ekonomi, sosial, dan budaya, khususnya:
i. Hak untuk bekerja, memilih pekerjaan secara bebas, mendapatkan
kondisi kerja yang adil dan nyaman, memperoleh perlindungan dari
35
pengangguran, mendapat upah yang layak sesuai pekerjaannya,
memperoleh gaji yang adil dan menguntungkan;
ii. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja;
iii. Hak atas perumahan;
iv. Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan, perawatan medis, jaminan
sosial dan pelayanan-pelayanan sosial;
v. Hak atas pendidikan dan pelatihan;
vi. Hak untuk berpartisipasi yang sama dalam kegiatan kebudayaan;
f) Hak untuk dapat memasuki suatu tempat atau pelayanan manapun yang
dimaksudkan untuk digunakan masyarakat umum, seperti transportasi, hotel,
restoran, warung kopi, teater, dan taman.
Di dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak Disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 Pasal 2 berbunyi;
1. States Parties shall respect and ensure the rights set forth in the present
Convention to each child within their jurisdiction without discrimination of
any kind, irrespective of the child's or his or her parent's or legal guardian's
race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national,
ethnic or social origin, property, disability, birth or other status.
2. States Parties shall take all appropriate measures to ensure that the child is
protected against all forms of discrimination or punishment on the basis of the
status, activities, expressed opinions, or beliefs of the child's parents, legal
guardians, or family members.4
Diartikan sebagai berikut
4 Konvensi PBB - Hak Anak (1989)
36
1. Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang
dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam
yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat
lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat,
kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum
anak.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau
hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau
kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.
Pasal 7 berbunyi:
1. The child shall be registered immediately after birth and shall have the right
from birth to a name, the right to acquire a nationality and. as far as
possible, the right to know and be cared for by his or her parents.
2. States Parties shall ensure the implementation of these rights in accordance
with their national law and their obligations under the relevant international
instruments in this field, in particular where the child would otherwise be
stateless.5
Diartikan sebagai berikut:
1. Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak
sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan
sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orang tuanya.
5 Ibid.,
37
2. Negara-negara Pihak harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan
hukum nasional mereka dan kewajiban mereka menurut instrumen-instrumen
internasional yang relevan dalam bidang ini, terutama apabila anak sebaliknya
akan tidak berkewarganegaraan.
Selain konvensi yang telah diratifikasi Indonesia, Indonesia juga memiliki
beberapa peraturan yang menjamin prinsip nondiskriminasi untuk warga negara
Indonesia (WNI), diantaranya Undang-Undangan Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia. Yang akan dibahas
Pasal dalam UUD 1945 yang menjamin Prinsip nondiskriminasi warga negara
Indonesia adalah:
Pasal 27
1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
3. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
Dalam pasal 27 sendiri mengatakan bahwa tiap warga negara berhak
diperlakukan sama didalam hukum, berhak atas perkerjaan serta penghidupan
yang sesuai dengan kemanusiaan, dan yang dijunjung oleh hukum dan
pemerintahan tanpa terkecuali, yang berarti tidak ada pembatasan untuk
wanita/perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dalam dunia kerja.
38
Pasal 28D
1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat
Pasal 29 ayat 2
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada pasal
1 angka (3) yang menjelaskan arti diskriminasi, apa yang dimaksud dengan
diskriminasi. Sedangkan yang di sebut pelanggaran hak asasi manusia adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
39
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
2. Teori mengenai Non-Diskriminasi
Selain dari beberapa aturan yang telah penulis sebutkan diatas ada beberapa
pandangan para ahli mengenai teori non-diskriminasi atau keadilan. Dikatakan
menurut Ulpianus; keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus
untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya, untuknya. (101
keadilan bermartabat) Dikemukakan pula suatu ungkapan klasik dalam bahasa
latin Latin, atau Latin Maxim untuk itu, yaitu iustitia est constans et perpetua
voluntas ius suum cuique tribendi. Sementara itu menurut Herbert Spencer,
keadilan merupakan kebebasan setiap orang untuk menentukan apa yang akan
dilakukannya, asal tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain.
Menurut justinian, keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil bahwa setiap
orang yang mendapat apa yang merupakan bagiannya. (satjipto rahardjo, ilmu
hukum cetakanan ke enam ).
Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa setidaknya ada lima
kontribusi Aristoteles dalam perkembangan hukum. pertama, mengutip Friedman,
Prof.Satjipto berpendapat bahwa pemikiran aristoteles itu mengalami studi
ensiklopedia terhadap keberadaan berbagai undang-undang dan konstitusi.
Doktrin-doktrin aristoteles tidak hanya meletakan dasar-dasar bagi teori hukum
40
tetap tetapi juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kedua, kontribusi
Aristoteles terhadap filsafat hukum adalah formulasi terhadap keadilan. Ketiga,
Aristoteles membedakan antara keadilan distributif dengan keadilah korektif atau
remidial. Selanjutnya, Aristoteles juga memilih saham dalam membedakan antara
hukum antara keadilan menurut hukum dengan keadilan menurut alam. Keempat
kontribusi Aristoteles selanjutnya adalah membedakan keadilan abstrak dan
kepatutan. Kontribusi kelima, Aristoteles mendefinisikan hukum sebagai
kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.6
Dari penjelasan diatas maka menurut Aristoteles keadilan dibagi menjadi
beberapa macam, yaitu keadilan distributif, keadilan korektif, keadilan menurut
hukum, keadilan menurut alam, dan keadilan abstrak.
John Rawls berpendapat bahwa di bawah kondisi demikian, pihak-pihak
yang memilih di dalam posisi awal akan memilih dua prinsip keadilan. Pertama
mereka akan berfokus untuk mengamankan kebebasan mereka agar tetap setara
sehingga memilih suatu perinsip guna mengantisipasinya:
Setiap pribadi memiliki hak yang setara terhadap sistem total yang paling
luas bagi kebebasan-kebebasan dasar yang mirip dengan sistem kebebasan
serupa bagi semuanya.7
Artinya, mereka akan memisahkan kebebasan manusiawi dasar kita dan
melindunginya terhadap pembagian apapun yang tidak setara.8
Rawls juga yakin bahwa, kecuali dalam kondisi yang mendesak, pihak-
pihak di posisi awal tidak akan pernah mengijinkan pengkompromian apapun
6 Wolfgang Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum (Susunan I), Cet. Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, Hlm. 10 – 11. 7 Rawls, A Theory of Justice, hlm. 302
8 Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 53
41
kebebasan-kebebasan dasarnya demi keuntungan sosial dan ekonomi lainnya.
Kalau begitu, bukan hanya kebebasan setara yang menjadi prinsip pertama,
namun juga bahwa kebebasan ini berdiri di dalam tatanan yang berngkaian
(tatanan leksikal, lexical oredering), sehingga kebebasan hanya bisa dibatasi demi
kebebasan itu sendiri, bukannya demi kepentingan ekonomi atau sosial lainnya.9
Selain Rawls, Robert Nozick ini berpendapat bahwa keadilan dilihat dari
peran negara, kita harus mulai dari pelegitimasian negara minimal dan hanya
negara minimal. Nozick mengadopsi pandangan Kantian bahwa “individu adalah
tujuan akhir, bukan sekedar alat”.10
Individu adalah akhir dalam dirinya sendiri
memiliki hak-hak „alamiah‟ tertentu. Artinya, terdapat batasan-batasan (efek
samping) bagi suatu tindakan: tidak ada tindakan yang diperbolehkan
mengganggu hak-hak manusia yang fundamental.11
Kalau begitu; bagi Nozick
seperangkat hak yang hampir-hampir absolut namun terbatas merupakan fondasi
bagi moralitas.12
Diantara hak-hak fundamental ini adalah hak untuk tidak dibunuh atau
disakiti. Tak seorangpun boleh „dikorbankan‟ untuk orang lain. Pembatasan
tindakan lantaran tidak bolehnya hak-hak manusia diganggu, kalau begitu,
menjadi larangan untuk mengagresi orang lain.13
9 Rawls, Op.cit., hlm. 542.
10 Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Book, 1974), hlm 31.
Bahkan menyatakan dengan lebih tegas dibagian pengantar: “Individu-individu memiliki hak-hak,
dan ada hal-hal tertentu yang tak seorangpun atau kelompok manapun boleh bertindak sesuatu
kepada mereka” 11
Ibid., hlm 28-29 12
H.L.A. Hart, „Between Utility and Rights‟ di dalam The Idea of Freedom: Essays in
Honour of Isaiah Berlin, diedit oleh Alan Ryan (Oxford: Oxford University Press, 1979) hlm 81 13
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, hlm 33 “ ide dasar ini, bahwa individu berbeda-
beda dengan hidup yang berbeda sehingga tak seorangpun boleh dikorbankan bagi yang lain...
mengarah kepada pembatasan kaum teolog pembebasan yang melarang agresi terhadap orang lain
42
Namun larangan seperti ini memunculkan pertanyaan menarik mengenai
peran negara. Jika negara didaulat menjadi juri keadilan, peran ini tampaknya
sudah melanggar larangan terhadap agresi itu sendiri.14
Inilah tantangan kaum
anarkis: mereka berpendapat bahwa negara apapin bentuknya sudah mengusik
hak-hak individu. Terhadap tuduhan ini, Nozick menjawab bahwa negara minimal
akan lahir melalui proses „tangan yang tidak nampak‟ (Invisible hand) sehingga
tidak akan mengusik hak-hak individu.15
Intinya, argumen tersebut melihat sesuatu seperti ini: Di dalam negara
alamiah Lockean, hukum alam tidak akan menyediakan semua aturan untuk
menyelesaikan konflik hak-haik manusia: “penguatan sektor swasta dan pribadi
terhadap hak seseorang ...mengarah pada konflik ... Dan tidak ada cara yang
ampuh untuk menyelesaikan perselisihan itu”.16
Pribadi-pribadi yang memiliki
kepentingan diri dan rasional kalau begitu akan membentuk lembaga-lembaga
pelindungan untuk membantu penyelesaian konflik klaim-klaim ini sekaligus
memastikan klaim mereka dilindungi.17
Kemudian, salah satu dari lembaga
pelindung ini cenderung menjadi dominan di teritorial tersebut.18
Lembaga yang dominan ini bukan negara, masih belum karena tidak
mengklaim monopoli tentang siapa yang legitim untuk boleh memakai kekuatan
dalam menyelesaikan perselisihan, tidak juga dia berkewajiban untuk melindungi
semua yang tinggal di teritorialnya.19
Namun begitu, sekali saja transisi dibuat
14
Ibid., hlm 51. 15
Penjelasan invisible hand menunjukan bahwa sesuatu nampaknya dihasilkan oleh
rancangan yang dikendaki namu pada kenyataannya dia muncul lewat sebuah proses yang tidak
pernah dirancang sebelumnya (Ibid., hlm 19-20) 16
Ibid., hlm 11. 17
Ibid., hlm 13. 18
Karen Lebacqz, Op.Cit., hlm 91. 19
Nozick, Anarchy, Op.Cit., hlm 22-23.
43
untuk mencakup kedua elemen ini, maka kita akan sampai kepada bentuk negara
minimal.20
Ketika lembaga menjadi pelindung ini dominan tapi belum memonopoli
teritorialnya, berbagai masalah bermunculan antara dia dan lembaga-lembaga
„independen‟ lain di wilayah tersebut.21
Argumen Nozick mengambil bentuk
penyelesaian prosedural mengenai „pelintasan-batas‟ antara pihak-pihak yang
berada di bawah pemeliharaan lembaga pelindung dominan dan lembaga
pelindung independen lain yang tidak berada di bawah pemeliharaannya namun
tinggal di teritorialnya.22
Dalam komdisi demikian, lembaga dominan akan tergoda untuk melarang
sama sekali semua pelintasan batas, atau mengijinkan semua pelintasan pribadi
yang meminta perlindungan memperoleh kompensasi yang tepat.23
Prinsip-prinsip
kemudian menuntut lembaga dominan untuk memberikan kompensasi bagi
lembaga independen atas ketidak-nyamanan yang diderita akibat pembatasan /
pelarangan tersebut.24
Kepada prinsip pengkompensasian atas hilangnya kebebasan inilah Nozick
menambahkan satu pertimbangan prosedural lain: seorang tidak memiliki hak
untuk melakukan sesuatu kecuali dia mengetahui fakta-fakta tertentu. Khususnya,
20
Untuk menunjukan suatu negara legitim, kata Nozick, kita harus membuktikan bahwa
(1) kondisi „ultra-minimal‟ munucl dari sistem lembaga-lembaga pelindung, (2) dia
bertransformasi menjadi negara-minimal, dan (3) pergerakan setiap hal ini sahih secara moral
(Ibid., hlm 52). 21
Karen Lebacqz, Loc.cit. 22
Nozick, Anarchy, Op.Cit., hlm 56. 23
Ibid., hlm 59. 24
“sangat dituntut secara moral [untuk melindungu semuanya] keberadaan prinsip
kompensadi, yang mensyaratkan siapapun yang bertindak melindungi diri demi meningkatkan rasa
aman mereka sendiri untuk memberikan kompensasi bagi mereka yang dilarang melakukan
tindakan-tindakan beresiko namun ternyata tindakan tersebut memang tidak membahayakan”
(Ibid., hlm 114).
44
seorang tidak dapat menghukum seorang pelanggar kecuali yakin dia memang
seorang pelanggar.25
Yang sesungguhnya kita miliki hanyalah pola-pola kepemilikan individu .
karena itu, pertanyaan ini akan menjadi lebih tepat jika dihadapi sebagai
pertanyaan mengenai keadilan di dalam kepemilikan.26
Yang pada kesimpulannya menurut Nozick negara memiliki peran penting
untuk menegakan keadilan, dimana negara seharusnya melindungi hak yang
seharusnya didapatkan oleh masing-masing individu. Di mana menurut Nozick
hak tersebut bersifat fundamental, dan hal ini merupakan sifat dasar yang memang
tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
B. Hasil Penelitian
1. Aturan Yang Bersifat Diskriminatif
Ada beberapa aturan yang bersifat diskriminasi antara lain UU No.
1/PNPS/1965, Undang-Undang No.24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Adminduk), Keputusan Presidium Kabinet No: 127/Kep/12/1966 tentang
prosedur penggantian nama cina yang asli ke nama Indonesia, Keputusan Presiden
No. 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara
25
Apa yang bisa kita lakukan dibatasi bukan ganya oleh hak-hak orang lain, namun juga
oleh pertimbangan moral mengenai tindakan pribadi (beberapa komponen pengetahuan menjadi
sangat penting), Ibid., hlm 106-107. 26
Nozick bukan hanya satu-satunya pemikiran yang menekankan keadilan di dalam
kepemilikan. Meskipun kritik Nozick terhadap banyak hal sangat tepat, namun William Galston
menekankan bahwa keadilan lebih berkaitan dengan „kepemilikan yang benar‟. Dan komentarnya
ini dekat dengan definisi keadilan Nozick, apapun perbedaan diantara dua teorisi tersebut. Lihat
William A. Galston, Justice and the Human Good (Chicago: University of Chicago Press, 1980),
hlm 105
45
Indonesia Keturunan Asing, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Surat
Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 Tentang Larangan
Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Non-Pribumi di DIY.
Yang akan dibahas disini adalah peraturan yang sifatnya diskriminatif
yang bertentangan dengan peraturan-peraturan internasional yang telah diratifikasi
oleh Indonesia. Yang pertama masih adanya pemberlakuan aturan yang sifatnya
mendiskriminasi beberapa ras yang ada di Indonesia, contohnya adanya keharusan
untuk warga negara indonesia keturunan tionghoa yang harus mengganti nama
aslinya ke nama Indonesia untuk dapat memiliki kartu tanda penduduk padahal
dalam UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang termasuk warga negara indonesia adalah setiap orang yang sebelum
berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
1. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah
yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah
tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
4. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
5. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui
oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
46
7. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
8. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
9. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya
10. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu
WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
11. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun
dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing
2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah
sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh
kewarganegaraan Indonesia
4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
47
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam
situasi sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya
memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat
anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga
negara Indonesia
Dari pengertian ini sebenarnya warga negara indonesia itu bukan
berdasarkan ras darimana ia berasal melainkan dimana ia dilahirkan dan dimana ia
memilih kewarganegaraan, maka sebenarnya tindakan diskriminasi terhadap ras
merupakan sesuatu hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Sehingga aturan
yang berkaitan dengan adanya pembedaan ras atau etnis hal ini jelas merupakan
diskriminasi yang dilakukan atau yang tercantum dalam undang-undang. Contoh
lainnya ada nya aturan di daerah istimewa yogyakarta yang dimana warga negara
indonesia keturunan tionghoa tidak dapat atau tidak boleh memiliki tanah dengan
status hak milik didaerah istimewa yogyakarta, mungkin memang daerah
istimewa di Indonesia memiliki aturan sendiri-sendiri di tiap daerah, namun
menurut penulis seharusnya setiap aturan di daerah istimewa juga tidak
bertentangan dengan apa yang ada di dalam undang-undang dasar 1945 dan
pancasila yang menjadi dasar dari segala peraturan yang ada di Indonesia. Negara
ini meratifikasi peraturan internasional mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial, seharunya dan sepatutnya negara serta daerah-daerah yang
memiliki kemampuan untuk membuat peraturan daerahnya sendiri.
48
Aturan mengenai administrasi kependudukan yang dimana setiap warga
negara Indonesia tanpa terkecuali harus memeluk salah satu agama sah yang ada
di undang-undang. Mengapa penulis mengatakan hal ini merupakan diskriminasi,
alasan yang pertama adalah tidak semua rakyat Indonesia memeluk salah satu
agama yang telah disahkan, banyak WNI yang memeluk kepercayaan penduduk
setempat atau agama adat misalnya kejawen, hal ini menurut penulis merupakan
diskriminasi, karna disaat masyarakat yang menganut agama leluhur ini akan
membuat kartu tanda penduduk, mereka akan diminta untuk memilih salah satu
agama, sedangkan di dalam undang-undang dasar 1945 pasal 29 ayat (2) berkata
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Aturan yang sifatnya diskrimantif selain diskriminasi ras antara lain
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimana didalam
undang-undang ini pada pasal 43 (1) yang berbunyi Anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Serta pada pasal 44 (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan. Pada pasal diatas sudah dapat di lihat bahwa pasal-pasal tersebut
mengandung sifat diskrimitif seperti, tidak adanya perlindungan untuk seorang
anak yang lahir diluar perkawinan, anak hanya memiliki hubungan keperdataan
dengan sang ibu, sedangkan dapat kita ketahui anak yang lahir diluar perkawian
pasti memiliki ayah, bagaimana bisa peraturan perundangan hanya mengatur
49
hubungan antara anak dengan ibu nya tapi tidak dengan ayahnya, bahkan
bagaimana bisa didalam peraturan ini mengatakan bahwa ayah bisa menyangkal
sahnya seorang anak yang dilahirkan bahkan oleh istrinya sendiri, disini yang
penulis bicarakan mengenai hak anak itu sendiri. Dapat kita ketahui seorang anak
tidak mungkin lahir tanpa ayah dan ibu, itu lah sebab kenapa penulis mengatakan
bahwa ini merupakan diskriminasi.
Tidak hanya diskriminasi terhadap anak yang lahir diluar perkawinan akan
tetapi undang-undang ini juga mengandung diskriminasi terhadap perempuan
dimana perempuan lah yang harus bertanggung jawab atas segala tindakan serta
perilaku yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan , sedangkan
mungkin perempuan bisa jadi merupakan korban dari kejahatan laki-laki,
misalnya korban perkosaan. Bagaimana seorang korban harus menanggung
cercaan orang sekitar atau biasa dikatakan sanksi sosial, serta harus bertanggung
jawab atas anak yang dikandungnya atau yang akan lahir. Menurut penulis
undang-undang ini mengandung diskriminasi yang didasarkan pada gender,
adanya pembedaan antara sanksi sosial serta sanksi yang akan didapat oleh
perempuan dan laki-laki dengan suatu tindakan yang dilakukan bersama, hal ini
tentu dapat dilihat bahwa benar-benar terjadi diskriminasi gender.
2. Perilaku Yang Diskriminatif
Selain aturan didalam negara yang sifatnya diskriminatif, hal ini tentu saja
sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor pemerintah yang sifatnya diskriminatif
dalam kata lain diskriminatif berasal dari individu itu sendiri. Sifat alami manusia
yang memiliki sifat egois terkadang menimbulkan sifat ingin menang sendiri yang
50
berakibat pada perilaku manusia yang akhirnya menjadi tidak adil terhadap
sesamanya. Contoh konkrit yang terjadi adalah adanya larangan untuk memiliki
tanah di daerah istimewa yogyakarta, bukan hanya peraturan nya yang bersifat
diskriminatif akan tetapi perilaku pegawai pemerintah yang melayani untuk
pencatatan sebuah pembelian tanah di wilayah Yogyakarta tersebut juga bersifat
diskriminatif, sebab walaupun warga yang akan mendaftarkan tanah dengan status
hak milik jika ia terlihat seperti warga negara indonesia keturunan tionghoa maka
pegawai dari pencatatan tanah tersebut engan untuk melayani pencatatan dengan
mengatakan bahwa warga negara indonesia yang masih keturunan tionghoa
dilarang untuk memiliki tanah dengan status hak milik, warga negara indonesia
keturunan tionghoa hanya boleh untuk memiliki tanah dengan status hak pakai.
Selain itu adanya keharusan warga negara indonesia keturunan tionghoa
yang menggunakan nama china (nama sejak lahir) untuk di rubah ke nama
Indonesia (tidak terdengar asing untuk orang Indonesia) untuk memperoleh Kartu
Tanda Penduduk, padahal menurut UU 12 tahun 2006 warga negara indonesia
tidak dibedakan berdasarkan ras atau etnis dalam Keputusan Presidium Kabinet
No: 127/Kep/12/1966 tentang prosedur penggantian nama cina yang asli ke nama
Indonesia, Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Jang
Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing, sifatnya hanya saran
sehingga tidak wajib bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk
mengganti namanya. Akan tetapi yang terjadi saat pembuatan kartu tanda
penduduk tidak segera dikerjakan dikarekan masih menggunakan nama asli (nama
yang dibawa dari lahir), sehingga WNI keturuan Tionghoa harus mengganti
namaya, setelah mengganti namanya benar saja saat membuat kartu tanda
51
penduduk (KTP) langsung di proses dan tidak perlu menunggu lama seperti saat
menggunakan nama aslinya, untuk pembuatan KTP sebelumnya sama sekali tidak
di proses.
Contoh lain dari adanya sifat diskriminatif antara lain, seperti yang kita
ketahui adanya penolakan salah satu calon gubernur disaat pemilihan serentak
tahun 2017 lalu, dikarenakan calon gubernur tersebut merupakan keturunan
tionghoa, padahal jika dilihat sebenarnya calon gubernur ini merupakan warga
negara indonesia, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemilihan kepala daerah tidak dijelaskan ada nya aturan warga negara indonesia
keturunan ras atau etnis mana yang boleh menjadi wakil rakyat, sehingga menurut
penulis hal ini juga sifatnya diskriminatif yang berasal dari individu.
Bukan sekedar penolakan akan tetapi menurut penulis individu yang
melakukan penolakan terhadap calon gubernur tersebut juga mengajak orang-
orang untuk melakukan penolakan terhadap calon gubernur yang memiliki etnis
berbeda, sehingga adanya sifat dasar manusia yang ingin menang sendiri
membuat manusia menjadikan dirinya sebagai provokator untuk mendiskriminasi
orang lain yang dirasa berbeda.
Selain diskriminasi terhadap ras atau etnis banyak juga perilaku
masyarakat yang mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin (gender), antara lain
adanya pembatasan untuk perempuan untuk bekerja karna perempuan dianggap
hanya perlu mengurus rumah tangga saja, sehingga kebanyakan pekerjaan hanya
dapat diisi oleh yang berjenis kelamin laki-laki. Selain dari pekerjaan adanya
diskriminasi terhadap jenis kelamin juga dirasakan oleh wanita yang hamil diluar
perkawinan, kenapa penulis dapat mengatakan itu. Masyarakat kita cenderung
52
memberikan sanksi sosial kepada perempuan yang hamil diluar nikah, sedangkan
apa yang terjadi dengan laki-laki yang telah melakukan perbuatannya?
Kebanyakan dari laki-laki yang telah melakukannya tidak mengalami hal apapun
yang dapat menjadi sanksi sosial agar ia tidak melakukannya lagi. Perempuan
yang menerima sanksi sosial pun harus menanggung sendiri setelah anak yang
dikandungnya lahir dengan kata lain tidak ada kewajiban hukum bagi ayah sang
bayi untuk bertanggung jawab, sebab anak yang lahir diluar perkawinan hanya
memiliki ikatan dengan ibunya, sehingga dampak ini juga berimbas pada sang
anak, hak sang anak pun tidak dapat terpenuhi, padahal seperti yang kita ketahui
sang anak tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi akan tetapi ia terkena dampak
yang disebabkan dari masyarakat serta peraturan yang ada.
Selain diskriminasi terhadap ras, suku, etnis, dan jenis kelamin ada
diskriminasi karena agama. Diskriminasi berdasarkan agama dapat kita lihat juga
dari perilaku masyarakat yang membedakan agama satu dengan agama yang lain.
Merasa agama tertentu paling benar adalah salah satu pemicu adanya diskriminasi,
adanya ego dari manusia itu sendiri yang memicu terjadinya diskriminasi. Merasa
salah satu agama menjadi mayoritas dan lebih berhak dari agama lain membuat
manusia menjadi merasa boleh semena-mena terhadap orang lain yang memiliki
beda kepercayaan, walaupun tidak semua mayoritas seperti ini akan tetapi sifat
dari beberapa mayoritas membuat masyarakat minoritas merasa terdiskriminasi.
Misalnya saja adanya larangan-larangan dari beberapa pemuka agama yang
melarang rakyatnya untuk memilih karena perbedaan agama, apakah hal ini bukan
diskriminasi? Hal ini menurut penulis tidak memperlihatkan adanya keadilan
untuk masyarakat yang memiliki agama atau memeluk agama minoritas. Contoh
53
diskriminasi lainnya, didalam sekolah negeri adanya kewajiban untuk
menggunakan hijab, padahal di sekolah negeri seharusnya tidak ada kewajiban
tersebut sebab sekolah negeri merupakan sekolah milik pemerintah seharusnya
tidak boleh ada peraturan seperti itu, kecuali sekolah tersebut sekolah swasta yang
menganut aliran islami, jika seperti itu tidak menjadi masalah, dan bukan
termasuk tindakan diskriminasi sedangkan jika hingga sekolah negeri mewajibkan
untuk menggunakan hijab hal ini merupakan tindakan diskriminasi terhadap
masyarakat yang tidak memeluk agama islam.
Selain kasus diatas ada beberapa kasus lain yang masih menyangkut
mengenai diskriminasi terhadap agama tertentu. Antara lain adanya kesulitan ijin
membangun gereja di wilayah jawa barat, sehingga penduduk yang beragama
kristen/ katolik sulit untuk membangun tempat untuk beribadah, bagaimana tidak
disebut diskriminasi bahkan untuk membangun suatu tempat ibadah saja
masyrakat yang menjadi minoritas di Indonesia mengalami kesulitan karna ijinnya
di persulit. Bukan hanya mengenai ijin pendirian bangunan yang dipersulit bahkan
untuk beribadah saja bagi mereka yang beragama kristen dan katolik merasa
terancam dengan adanya sweeping yang dilakukan oleh salah satu ormas yang ada
di Indonesia, dimana ormas ini menghentikan sebuah ibadah yang sedang
berlangsung. Bagaimana tidak disebut diskriminasi, untuk menjalankan sebuah
ibadah di sebuah negara merdeka pun masih dilarang, disaat Indonesia dikenal
dengan ada nya keberagaman, tapi bagaimana bisa ada ormas dan oknum-oknum
tertentu yang mendiskriminasi agama lain dengan nama suatu agama.
Diskriminasi agama juga dilakukan oleh aparat negara karena beberapa
dari masyarakat indonesia tidak memeluk agama yang di legalkan oleh
54
pemerintah. Pemerintah memiliki aturan bahwa di Indonesia memiliki 6 agama
yang resmi yaitu islam, kristen, katolik, hindu, budha, dan konghuchu. Lalu
bagaimana dengan agama yang ada di Indonesia yang berada di luar 6 agama
tersebut? Yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang tidak memeluk agama
sesuai dengan yang ada didalam undang-undang dipaksa untuk memeluk agama
sesuai dengan undang-undang, padahal memeluk agama merupakan kebebasan
dari setiap individu, hal ini masuk kedalam hak asasi manusia, sehingga jika
adanya pemaksaan kepada individu untuk memeluk agama tertentu merupakan
sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini juga termasuk kedalam
diskriminasi, dimana negara tidak memperlakukan individu yang satu dengan
yang lain secara berbeda, kenapa penulis mengatakan bahwa ini merupakan sifat
diskriminasi, karena semua orang yang telah menjadi warga negara berhak atas
penghidupan yang layak tidak adanya pembedaan antara warga negara yang satu
dengan warga negara yang lainnya.
3. Perbandingan dari Peraturan yang Bersifat Diskriminatif dan
Peraturan yang Bersifat Non-Disriminatif
No. Peraturan yang Diskriminatif Peraturan yang sifatnya tidak
diskriminatif
1
Undang- Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan pasal
43 Pasal ini berbicara mengenai
anak yang lahir diluar
perkawinan yang hanya
memiliki hubungan keperdataan
dengan ibunya saja
- UU perlindungan Anak, didalam
undang-undang perlindungan anak,
anak memiliki hak untuk memperoleh
hak dari kedua orang tuanya
- The Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against
Women didalam konvensi ini
dijelaskan adanya larangan untuk
semua tindakan yang bersifat
diskriminatif
55
Peraturan yang Diskriminatif Peraturan yang sifatnya tidak
diskriminatif
- terhadap perempuan termasuk aturan-
aturan negara yang mendiskriminasi
perempuan
- Konvensi tentang Hak-hak Anak
Disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa Bangsa pada
tanggal 20 Nopember 1989
2. Surat Instruksi Wakil Gubernur
DIY Nomor K.898/I/A/1975
Tentang Larangan Kepemilikan
Hak Atas Tanah Bagi Warga
Non-Pribumi di DIY. Dalam
peraturan daerah ini adanya
aturan yang melarang warga
negara Indonesia keturunan
tionghoa untuk memiliki tanah
di daerah istimewa Yogyakarta.
- Undang-undang No.29 Tahun 1999
Tentang penghapusan diskriminasi
rasial dimana undang-undang ini
meratifikasi Konvensi PBB –
Penghapusan Semua Jenis
Diskriminasi (1965)
- UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, dalam UU ini diatur
adanya pemberian hak yang sama
kepada setiap warga negara
Indonesia, tanpa membeda-bedakan.
- Universal Declaration of Human
Right/ Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM)
3. UU No. 1/PNPS/1965, Undang-
Undang No.24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Adminduk).
Undang-undang mengenai
kependudukan, dimana
masyarakat Indonesia harus
memilih salah satu agama yang
legal secara hukum di Indonesia
- DUHAM (Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia)/ Universal
Declaration of Human Right;
- UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia
- Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Di dalam
pasal 29 dimana setiap orang berhak
untuk memeluk agama sesuai dengan
apa yang dipercayai
4. Keputusan Presidium Kabinet
No: 127/Kep/12/1966 tentang
prosedur penggantian nama cina
yang asli ke nama Indonesia,
Keputusan Presiden No. 240
Tahun 1967 tentang
Kebijaksanaan Jang Menjangkut
Warga Negara Indonesia
Keturunan Asing. Masyarakat
Indonesia
- Undang-undang No.29 Tahun 1999
Tentang penghapusan diskriminasi
rasial dimana undang-undang ini
meratifikasi Konvensi PBB –
Penghapusan Semua Jenis
Diskriminasi (1965). Adanya
larangan untuk mendiskriminasi
individu berdasarkan ras, agama, jenis
kelamin, etnis, pandangan politik,
ekonomi dan lain-lain. Penghapusan
segala bentuk diskriminasi ras
56
Suatu bentuk hukum internasional yang mempunyai kekuatan mengikat
(binding power) terhadap negara peserta (contracting partie) secara langsung
sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Hard law ini dapat berupa perjanjian.
Perjanjian memiliki kekuatan mengikat secara hukum. untuk
mengidentifikasi perjanjian yang bersifat hard law umumnya menggunakan
istilah-istilah seperti konvensi, konvenan, protokol, dan treaty. Terdapat tiga
ukuran untuk menilai apakah perjanjian itu terbentuk karena hard law atau soft
law. Pertama, kewajiban (obligation), yaitu keterikatan suatu negara untuk
memenuhi kewajiban atau
komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Kedua, presisi (precision),
yaitu aturan-aturan yang tertera dalam perjanjian tersebut harus jelas mengatur
perilaku para peserta perjanjian. Ketiga, delegasi (delegation), yaitu adanya
pendelegasian otoritas kepada pihak ketiga untuk menafsirkan aturan,
menyelesaikan sengketa atau bahkan membuat ketentuan lebih lanjut atas
instrumen tersebut.27
27
Wagiman dan anasthasya saartje mandagi, Terminologi hukum internasional ,jakarta
sinar grafika 2016 , hlm 175.
Peraturan yang Diskriminatif Peraturan yang sifatnya tidak
diskriminatif
yang masih keturunan cina
untuk mengganti namanya
menjadi nama yang lebih
mengandung unsur Indonesia.
- Universal Declaration of Human
Right/ Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM),
- Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945
- UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia;
57
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan yang dilakukan dengan sengaja
sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap
penduduk sipil. Lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain
pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik secara sewenang-
wenang; penyiksaan; pemerkosaan; persekusi; penghilangan orang secara paksa;
apartheid; serta perbuatan tidak manusiawi lainnya yang setara, yang sengaja
mengakibatkan penderitaan berat, luka serius terhadap badan, mental atau
kesehatan fisik seseorang.28
Konvensi (covention). Persetujuan formal yang bersifat multilateral, dan
tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi. Persetujuan ini harus
dilegalisasi oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh. Konvensi dapat pula berarti
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
negara, meskipun tidak tertulis.29
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) konvensi
ini mulai berlaku sejak januari 1969 dan disahkan oleh Indonesia melalui UU No.
29 Tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga
menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa
membedakan ras, warna kulit, asal usul, dan suku bangsa.30
Pasal 11 berbunyi:
28
Ibid., hlm 226. 29
Ibid., hlm 244. 30
Ibid., hlm 254.
58
1. If a State Party considers that another State Party is not giving effect to
the provisions of this Convention, it may bring the matter to the attention of
the Committee. The Committee shall then transmit the communication to the
State Party concerned. Within three months, the receiving State shall submit
to the Committee written explanations or statements clarifying the matter
and the remedy, if any, that may have been taken by that State.
2. If the matter is not adjusted to the satisfaction of both parties, either by
bilateral negotiations or by any other procedure open to them, within six
months after the receipt by the receiving State of the initial communication,
either State shall have the right to refer the matter again to the Committee
by notifying the Committee and also the other State.
3. The Committee shall deal with a matter referred to it in accordance with
paragraph 2 of this article after it has ascertained that all available
domestic remedies have been invoked and exhausted in the case, in
conformity with the generally recognized principles of international law.
This shall not be the rule where the application of the remedies is
unreasonably prolonged.
4. In any matter referred to it, the Committee may call upon the States
Parties concerned to supply any other relevant information.
5. When any matter arising out of this article is being considered by the
Committee, the States Parties concerned shall be entitled to send a
representative to take part in the proceedings of the Committee, without
voting rights, while the matter is under consideration.31
31
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
59
1. Apabila suatu Negara Pihak menganggap bahwa Negara Pihak lain tidak
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, Negara tersebut
dapat mengajukan masalah ini untuk diperhatikan Komite. Komite
kemudian menyampaikan pengaduan ini kepada Negara Pihak yang
bersangkutan. Dalam waktu tiga bulan, Negara penerima harus
menyampaikan kepada Komite, penjelasan tertulis atau pernyataan yang
menjelaskan masalah tersebut dan upaya penyelesaian, jika ada, yang telah
diambil Negara tersebut.
2. Apabila masalah tersebut tidak diselesaikan hingga memuaskan kedua pihak
baik melalui negosiasi bilateral atau prosedur lain, dalam waktu enam bulan
setelah diterimanya pengaduan pertama oleh Negara penerima, masing-
masing Negara mempunyai hak untuk mengajukan lagi masalah tersebut ke
depan Komite dengan memberitahukan Komite dan Negara lain tersebut.
3. Komite akan menangani masalah yang diajukan sesuai dengan ayat 2 pasal
ini setelah Komite yakin bahwa dalam kasus tersebut semua upaya
penyelesaian dalam negeri yang tersedia telah dijalankan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diakui dalam hukum internasional. Ketentuan ini tidak
berlaku apabila penerapan upaya penyelesaian tersebut telah berlangsung
terlalu lama tanpa alasan yang jelas.
4. Dalam kasus-kasus yang diajukan kepadanya, Komite dapat memanggil
Negara-Negara Pihak yang bersangkutan agar menyampaikan semua
informasi lain yang relevan.
5. Apabila suatu masalah yang timbul dari pasal ini sedang dalam
pertimbangan Komite, Negara-Negara Pihak yang bersangkutan berhak
60
untuk mengirimkan seorang wakil untuk mengambil bagian dalam
pertemuan Komite ketika masalah tersebut sedang dipertimbangkan Komite,
tanpa mempunyai hak suara.
Pasal 12 berbunyi:
1. (a) After the Committee has obtained and collated all the information it deems
necessary, the Chairman shall appoint an ad hoc Conciliation Commission
(hereinafter referred to as the Commission) comprising five persons who may or
may not be members of the Committee. The members of the Commission shall be
appointed with the unanimous consent of the parties to the dispute, and its good
offices shall be made available to the States concerned with a view to an amicable
solution of the matter on the basis of respect for this Convention.
(b) If the States parties to the dispute fail to reach agreement within three months
on all or part of the composition of the Commission, the members of the
Commission not agreed upon by the States parties to the dispute shall be elected
by secret ballot by a two-thirds majority vote of the Committee from among its
own members.
2. The members of the Commission shall serve in their personal capacity. They
shall not be nationals of the States parties to the dispute or of a State not Party to
this Convention.
3. The Commission shall elect its own Chairman and adopt its own rules of
procedure.
4. The meetings of the Commission shall normally be held at United Nations
Headquarters or at any other convenient place as determined by the Commission.
61
5. The secretariat provided in accordance with article 10, paragraph 3, of this
Convention shall also service the Commission whenever a dispute among States
Parties brings the Commission into being.
6. The States parties to the dispute shall share equally all the expenses of the
members of the Commission in accordance with estimates to be provided by the
Secretary-General of the United Nations.
7. The Secretary-General shall be empowered to pay the expenses of the members
of the Commission, if necessary, before reimbursement by the States parties to the
dispute in accordance with paragraph 6 of this article.
8. The information obtained and collated by the Committee shall be made
available to the Commission, and the Commission may call upon the States
concerned to supply any other relevant information.32
Dapat diartikan sebagai berikut:
1. (a) Setelah Komite memperoleh dan mengumpulkan semua informasi yang
diperlukan, Ketua Komite menunjuk Komisi Pendamai ad hoc
(selanjutnya disebut sebagai Komisi), yang terdiri dari lima orang yang
merupakan anggota Komite maupun bukan anggota Komite. Anggota
Komisi harus diangkat dengan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa,
dan anggota-anggota Komisi harus menunjukkan niat baik untuk
menyelesaikan masalah tersebut pada Negara-Negara yang terlibat
sengketa dengan maksud menghasilkan penyelesaian yang diterima semua
pihak berdasarkan penghormatan pada Konvensi ini;
32 Ibid.,
62
(b) Apabila Negara-Negara Pihak yang terlibat sengketa gagal mencapai
kesepakatan dalam waktu tiga bulan mengenai semua atau sebagian dari
komposisi komisi, anggota-anggota Komisi yang belum disetujui oleh
Negara-negara Pihak yang bersengketa harus dipilih dengan pemungutan
suara secara rahasia oleh dua pertiga dari suara mayoritas Komite di antara
anggota-anggota Komite sendiri.
2. Anggota-anggota Komisi wajib bekerja dalam kapasitas pribadi mereka.
Mereka tidak boleh warganegara dari Negara-Negara Pihak yang
bersengketa ataupun Negara yang tidak menjadi Pihak pada Konvensi ini.
3. Komisi harus memilih Ketuanya sendiri dan menetapkan tata kerjanya
sendiri.
4. Persidangan Komisi biasanya diadakan di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau di tempat lain yang layak sebagaimana ditentukan
Komisi.
5. Sekretariat yang disediakan seperti disebutkan pasal 10, ayat 3, Konvensi
ini juga harus melayani Komisi apabila terjadi sengketa antar-Negara
Pihak yang melibatkan Komisi ini.
6. Negara-Negara Pihak yang bersengketa secara bersama dan bagi adil
menanggung semua pengeluaran anggota-anggota Komisi sesuai dengan
perkiraan yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
7. Bilamana perlu, Sekretaris Jenderal menanggung pembiayaan anggota-
anggota Komisi sebelum adanya penggantian dari Negara-Negara Pihak
yang bersengketa sesuai dengan ayat 6 pasal ini.
63
8. Informasi yang diperoleh dan dikumpulkan Komite harus tersedia bagi
Komisi, dan Komisi dapat meminta Negara-Negara yang bersangkutan
untuk memberikan informasi lain yang berkaitan.
Pasal 13 berbunyi:
1. When the Commission has fully considered the matter, it shall prepare and
submit to the Chairman of the Committee a report embodying its findings on all
questions of fact relevant to the issue between the parties and containing such
recommendations as it may think proper for the amicable solution of the dispute.
2. The Chairman of the Committee shall communicate the report of the
Commission to each of the States parties to the dispute. These States shall, within
three months, inform the Chairman of the Committee whether or not they accept
the recommendations contained in the report of the Commission.
3. After the period provided for in paragraph 2 of this article, the Chairman of the
Committee shall communicate the report of the Commission and the decla rations
of the States Parties concerned to the other States Parties to this Con vention.33
Dapat diartikan sebagai berikut:
1. Setelah secara lengkap mempertimbangkan masalah tersebut, Komisi harus
mempersiapkan dan menyampaikan laporan kepada Ketua Komite yang
berisi temuan atas semua pertanyaan tentang fakta yang relevan dengan
masalah pihak-pihak yang bersengketa, dan rekomendasi yang tepat bagi
penyelesaian masalah itu secara bersahabat.
3. Ketua Komite menyampaikan laporan Komisi kepada masing-masing
Negara Pihak yang bersengketa. Dalam waktu tiga bulan, Negara-negara
33 Ibid.,
64
ini harus memberitahukan Ketua Komite apakah mereka menerima atau
menolak rekomendasi yang dimuat dalam laporan Komisi.
3. Setelah jangka waktu yang disebutkan dalam ayat 2 pasal ini, Ketua
Komite perlu memberitahukan laporan Komisi dan pernyataan Negara-
negara Pihak yang bersangkutan kepada Negara-Negara lain Pihak
Konvensi.
Pasal 14 berbunyi:
1. A State Party may at any time declare that it recognizes the competence of the
Committee to receive and consider communications from individuals or groups of
individuals within its jurisdiction claiming to be victims of a violation by that
State Party of any of the rights set forth in this Convention. No communi cation
shall be received by the Committee if it concerns a State Party which has not
made such a declaration.
2. Any State Party which makes a declaration as provided for in paragraph 1 of
this article may establish or indicate a body within its national legal order which
shall be competent to receive and consider petitions from individuals and groups
of individuals within its jurisdiction who claim to be victims of a violation of any
of the rights set forth in this Convention and who have exhausted other available
local remedies.
3. A declaration made in accordance with paragraph 1 of this article and the
name of any body established or indicated in accordance with paragraph 2 of this
article shall be deposited by the State Party concerned with the SecretaryGeneral
of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the other States
65
Parties. A declaration may be withdrawn at any time by notification to the
Secretary-General, but such a withdrawal shall not affect communications
pending before the Committee.
4. A register of petitions shall be kept by the body established or indicated in
accordance with paragraph 2 of this article, and certified copies of the register
shall be filed annually through appropriate channels with the Secretary-General
on the understanding that the contents shall not be publicly disclosed.
5. In the event of failure to obtain satisfaction from the body established or
indicated in accordance with paragraph 2 of this article, the petitioner shall have
the right to communicate the matter to the Committee within six months.
6. (a) The Committee shall confidentially bring any communication referred to it
to the attention of the State Party alleged to be violating any provision of this
Convention, but the identity of the individual or groups of individuals concerned
shall not be revealed without his or their express consent. The Committee shall
not receive anonymous communications.
(b) Within three months, the receiving State shall submit to the Committee written
explanations or statements clarifying the matter and the remedy, if any, that may
have been taken by that State.
7. (a) The Committee shall consider communications in the light of all infor
mation made available to it by the State Party concerned and by the petitioner.
The Committee shall not consider any communication from a petitioner unless it
has ascertained that the petitioner has exhausted all available domestic reme dies.
However, this shall not be the rule where the application of the remedies is
unreasonably prolonged.
66
(b) The Committee shall forward its suggestions and recommendations, if any, to
the State Party concerned and to the petitioner.
8. The Committee shall include in its annual report a summary of such com
munications and, where appropriate, a summary of the explanations and state
ments of the States Parties concerned and of its own suggestions and recom
mendations.
9. The Committee shall be competent to exercise the functions provided for in this
article only when at least ten States Parties to this Convention are bound by
declarations in accordance with paragraph 1 of this article.34
Dapat diartikan sebagai berikut:
1. Suatu Negara Pihak sewaktu-waktu dapat menyatakan bahwa Negaranya
mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan memeriksa
pengaduan dari perorangan atau kelompok orang dalam wilayah
hukumnya yang menyatakan diri sebagai korban pelanggaran hak
sebagaimana tercantumkan dalam Konvensi ini yang dilakukan oleh
Negara Pihak tersebut. Pengaduan menyangkut Negara Pihak yang belum
membuat pernyataan semacam itu tidak akan diterima.
2. Negara Pihak yang telah membuat pernyataan sebagaimana dicantumkan
dalam ayat 1 pasal ini dapat membentuk atau menunjuk suatu badan dalam
tata hukum nasionalnya, yang berwenang menerima dan memeriksa petisi
dari perorangan dan kelompok orang dalam wilayah hukumnya, yang
menyatakan diri telah menjadi korban pelanggaran haknya sebagaimana
34
Ibid.,
67
dicantumkan dalam Konvensi ini dan telah memakai seluruh upaya
penyelesaian dalam negeri.
3. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan ayat 1 pasal ini dan nama badan
yang dibentuk atau ditunjuk sesuai dengan ayat 2 pasal ini diserahkan dan
disimpan oleh Negara Pihak yang bersangkutan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang harus menyampaikan salinannya
kepada Negara-Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik
kembali sewaktu-waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal
tetapi penarikan kembali semacam ini tidak mempengaruhi pengaduan
yang tengah diperiksa Komite.
4. Daftar petisi disimpan oleh badan yang dibentuk atau ditunjuk sesuai
dengan ayat 2 pasal ini dan salinan daftar yang dilegalisir diserahkan pada
Sekretaris Jenderal setiap tahun dengan pengertian bahwa isinya tidak
boleh diumumkan.
5. Apabila tidak puas pada badan yang dibentuk atau ditunjuk sesuai dengan
ayat 2 pasal ini, pihak yang mengajukan pengaduan berhak menyampaikan
masalah ini pada Komite dalam jangka waktu enam bulan.
6. (a) Secara rahasia Komite memberitahukan pengaduan yang diajukan
kepadanya agar diperhatikan Negara Pihak yang dituduh telah melanggar
ketentuan Konvensi ini, tetapi identitas perorangan atau kelompok orang
yang bersangkutan tidak boleh diungkapkan tanpa persetujuan orang atau
kelompok itu. Komite tidak akan menerima pengaduan tanpa identitas
jelas.
68
(b) Dalam waktu tiga bulan, Negara penerima harus menyampaikan
kepada Komite penjelasan resmi atau pernyataan yang menjernihkan
masalah tersebut dan upaya-upaya penyelesaiannya, jika ada, yang telah
diambil oleh Negara tersebut.
7. (a) Komite akan mempertimbangkan pengaduan dengan memperhatikan
semua informasi yang disediakan untuknya oleh Negara Pihak yang
bersangkutan dan oleh pengirim pengaduan. Komite tidak akan
mempertimbangkan pengaduan sebelum Komite yakin bahwa pengirim
pengaduan telah mempergunakan semua upaya penyelesaian dalam negeri
yang tersedia. Namun demikian, ketentuan ini tidak berlaku apabila
penerapan upaya penyelesaian ditunda-tunda tanpa alasan yang wajar.
(b) Komite akan meneruskan usulan dan rekomendasinya, jika ada, kepada
Negara Pihak yang bersangkutan dan pihak yang mengajukan pengaduan.
8. Komite akan memasukkan dalam laporan tahunan ringkasan pengaduan-
pengaduan semacam itu, dan bila perlu, ringkasan penjelasan dan
pernyataan dari Negara-negara Pihak yang bersangkutan dan ringkasan
usulan dan rekomendasi Komite.
9. Komite berwenang untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang ditentukan
dalam pasal ini apabila sedikitnya ada 10 Negara Pihak Konvensi telah
terikat melalui pernyataan yang sesuai dengan ayat 1 pasal ini.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Konvensi ini mulai berlaku sejak 7 spetember 1981, dan diratifikasi oleh
Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini
telah menjadi instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap
69
perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan sipil. Konvensi ini
mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-
tunda untuk menjalankan sesuatu kebijakan yang menghapus diskriminasi
terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, konvensi diskriminasi terhadap
perempuan atau CEDAW (the Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women).35
Pada Pasal 17 berbunyi:
1. For the purpose of considering the progress made in the implementation
of the present Convention, there shall be established a Committee on the
Elimination of Discrimination against Women (hereinafter referred to as the
Committee) consisting, at the time of entry into force of the Convention, of
eighteen and, after ratification of or accession to the Convention by the thirty-fifth
State Party, of twenty-three experts of high moral standing and competence in the
field covered by the Convention. The experts shall be elected by States Parties
from among their nationals and shall serve in their personal capacity,
consideration being given to equitable geographical distribution and to the
representation of the different forms of civilization as well as the principal legal
systems.
2. The members of the Committee shall be elected by secret ballot from a list
of persons nominated by States Parties. Each State Party may nominate one
person from among its own nationals.
35
Wagiman dan anasthasya saartje mandagi,Loc.Cit.,
70
3. The initial election shall be held six months after the date of the entry into
force of the present Convention. At least three months before the date of each
election the Secretary-General of the United Nations shall address a letter to the
States Parties inviting them to submit their nominations within two months. The
Secretary-General shall prepare a list in alphabetical order of all persons thus
nominated, indicating the States Parties which have nominated them, and shall
submit it to the States Parties.
4. Elections of the members of the Committee shall be held at a meeting of
States Parties convened by the Secretary-General at United Nations
Headquarters. At that meeting, for which two thirds of the States Parties shall
constitute a quorum, the persons elected to the Committee shall be those nominees
who obtain the largest number of votes and an absolute majority of the votes of
the representatives of States Parties present and voting.
5. The members of the Committee shall be elected for a term of four years.
However, the terms of nine of the members elected at the first election shall expire
at the end of two years; immediately after the first election the names of these nine
members shall be chosen by lot by the Chairman of the Committee.
6. The election of the five additional members of the Committee shall be
held in accordance with the provisions of paragraphs 2, 3 and 4 of this article,
following the thirty-fifth ratification or accession. The terms of two of the
additional members elected on this occasion shall expire at the end of two years,
the names of these two members having been chosen by lot by the Chairman of the
Committee.
71
7. For the filling of casual vacancies, the State Party whose expert has
ceased to function as a member of the Committee shall appoint another expert
from among its nationals, subject to the approval of the Committee.
8. The members of the Committee shall, with the approval of the General
Assembly, receive emoluments from United Nations resources on such terms and
conditions as the Assembly may decide, having regard to the importance of the
Committee's responsibilities.
9. The Secretary-General of the United Nations shall provide the necessary
staff and facilities for the effective performance of the functions of the Committee
under the present Convention.36
Dapat diartikan sebagai berikut:
1. Untuk menilai kemajuan yang telah dibuat pada implementasi Konvensi
yang sekarang ini, dibentuk suatu Komite Penghapusan Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Komite CEDAW, selanjutnya disebut Komite). Pada
waktu Konvensi ini mulai berlaku, Komite terdiri dari delapan belas orang
dan setelah Konvensi ini diartifikasi atau dilakukan aksesi oleh negara
peserta ketiga puluh lima, terdiri dari dua puluh tiga orang ahli yang
bermartabat tinggi dan kompeten di bidang yang dicakup oleh Konvensi ini.
Ahli-ahli ini akan dipilih oleh negara-negara peserta diantara
warganegaranya dan bertindak dalam kapasitas pribadi mereka, dengan
mempertimbangkan distribusi geografis yang tepat dan mempertimbangkan
unsur-unsur dari berbagai bentuk peradaban manusia dan sistem hukum
utama yang berlaku.
36
the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
72
2. Anggota-anggota Komite dipilih dengan jalan pemungutan suara secara
rahasia dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara
peserta. Setiap negara peserta mencalonkan seorang di antara
warganegaranya sendiri.
3. Pemilihan pertama diadakan enam bulan setelah tanggal mulal berlakunya
Konvensi. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal setiap
pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa mengirimkan
surat kepada negara-negara peserta, mengundang mereka untuk mengajukan
pencalonan mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal
mempersiapkan daftar menurut urutan dari semua orang yang dicalonkan
itu, dengan mencantumkan nama negara peserta yang telah mencalonkan
mereka, dan menyampalkan daftar itu kepada negara peserta;
4. Pemilihan para anggota Komite diadakan pada suatu rapat antar negara-
negara peserta yang diundang oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada rapat tersebut, dua pertiga dari negara-
negara yang terpilih untuk Komite itu adalah calon-calon yang memperoleh
jumlah suara terbesar dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-
negara peserta yang hadir yang memberikan suara.
5. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Namun, masa
jabatan sembilan orang di antara anggota yang dipilih pada pemilihan
pertama habis waktunya setelah dua tahun berakhir; segera setelah
pemilihan pertama, nama-nama ke sembilan anggota ini dipilih melalui
undian oleh Ketua Komite.
73
6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesuai dengan
ketentuan ayat 2) 3) dan 4) pasal lni, setelah ratifikasi atau aksesi yang ke
tiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota
tambahan yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua
tahun berakhir, nama-nama kedua anggota ini dipilih melalui undian oleh
Ketua Komite.
7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara
peserta yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk
ahli lain dari antara warga negara yang harus disetujui oleh Komite.
8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa, akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber
Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut syarat-syarat seperti yang ditentukan
oleh Majelis, mengingat pentingnya tanggung jawab Komite.
9. Sekretaris lenderal Perserikatan Bangsa Bangsa menyediakan pegawai-
pegawai dan fasilitas yang diperlukan bagi pelaksanaan efektif fungsi-fungsi
Komite di bawah Konvensi ini.
Pasal 18 berbunyi:
1. States Parties undertake to submit to the Secretary-General of the United
Nations, for consideration by the Committee, a report on the legislative, judicial,
administrative or other measures which they have adopted to give effect to the
provisions of the present Convention and on the progress made in this respect:
(a) Within one year after the entry into force for the State concerned;
(b) Thereafter at least every four years and further whenever the Committee so
requests.
74
2. Reports may indicate factors and difficulties affecting the degree of fulfilment
of obligations under the present Convention.37
Dapat diartikan sebagai berikut:
1. Negara-negara peserta akan menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh Komite laporan
mengenai peraturan-peraturan legislatif, judikatif, administratif atau
langkah-langkah lain yang telah diambil untuk memberiakukan ketentuan-
ketentuan dari Konvensi yang sekarang ini dan laporan mengenai kemajuan
yang dicapai:
a. Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untuk negara yang
bersangkutan; dan
b. Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya
sewaktu-waktu sesuai permintaan Komite.
2. Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat
pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam Konvensi ini.
Komisi hak asasi manusia PBB (United Nations Commission on Human
Rights/UNCHR). Komisi fungsional dalam PBB. UNCHR merupakan kembaga
dibawah United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) dan juga
dibantu oleh Office of the United Nations High Commisioner of Human Rights
(UNHCHR). Komisi ini adalah mekanisme utama PBB dan forum Internasional
yang menangani perlindungan utama hak asasi manusia.
37 Ibid.,
75
3. Analisis
Untuk menjawab rumusan masalah dari tulisan ini mengenai bagaimana
kewajiban hukum PBB terhadap peraturan dalam suatu negara yang bersifat
diskriminatif, maka akan dijawab sebagai berikut.
Berdasarkan analisis penulis dari pendapat Rawls mengenai keadilan yaitu
bahwa setiap manusia memiliki sifat dasar untuk bebas dan berhak untuk
diperlakukan sama atau dapat dikatakan setara atau tidak diskrimiatif. Rawls juga
berpendapat bahwa keadilan tidak dapat dibatasi dengan alasan kepentingan
ekonomi, sosial atau kepentingan lainnya, hal itu tidak dapat menjadi dasar untuk
manusia memperlakukan sesamanya dengan tindakan yang berbeda atau dapat
disebut diskriminatif. Penulis setuju dengan pendapat Nozick mengenai keadilan
dalam suatu negara. Di mana negara berperan penting untuk keadilan yang akan
ditegakan di dalam suatu negara tersebut. Sehingga jika negara ingin terjadi suatu
keadilan yang di mana yang di bahas sekarang adalah diskriminasi, maka negara
seharusnya mengambil peran penting untuk menghilangkan adanya diskriminasi
sendiri.
Diskriminasi sendiri adalah pembedaan perilaku, sikap, atau semacamnya
kepada individu yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki antar individu,
antara lain perbedaan jenis kelamin, agama, ras, etnis, budaya, bahasa, suku, dan
masih banyak lagi. Telah dijelaskan pada tulisan ini mengenai beberapa aturan
(undang-undang/ peraturan daerah) yang sifatnya mendiskriminasi. Indonesia
telah meratifikasi beberapa aturan internasional yang diantaranya mengecam
adanya diskriminasi didalam suatu negara. Artinya disaat Indonesia telah meratifikasi
konvensi yang dimana di dalam konvensi tersebut mengecam adanya tindakan
76
diskriminasi, maka seharusnya Indonesia iku mengecam keras adanya diskriminasi, dan
seharusnya Indonesia sebagai pihak yang telah meratifikasi konvensi ini ikut
menghapuskan diskriminasi misalnya, dengan membuat peraturan atau undang-undang
yang ditujukan untuk menghapus diskriminasi dalam bentuk apapun. Negara juga
menjamin setiap hak warga negaranya untuk diperlakukan sama, sehingga setiap warga
negara, baik perorangan maupun yang berada didalam kelompok tetap mendapat haknya.
Sehingga tidak ada ketimpangan yang terjadi baik perorangan maupun kelompok.
Menurut penulis isi dari pasal 1 DUHAM ini adalah setiap manusia
memiliki hak yang sama sejak ia lahir, adanya akal dan hati nurani seharusnya
membuat manusia tidak membedakan satu sama lain, memperlakukan seseorang
dengan berbeda karena alasan tertentu. Adanya hak yang sama sehingga manusia
berhak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam melakukan apapun. Dalam
pasal lain pun didalam DUHAM menjelaskan adanya pelanggaran kepada setiap
manusia untuk melakukan diskriminasi, pembedaan perlakuan atau peraturan
yang ditegakkan kepada setiap individu yang didasarkan karena adanya
pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan
lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain tidak dibenarkan. Sehingga dalam Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia atau yang lebih dikenal dengan Universal Declaration of Human Right
tidak dibenarkan adanya sikap yang diskriminatif seperti yang telah penulis
jelaskan di dalam peraturan serta perilaku masyarakat yang diskriminatif.
Pembedaan perlakuan antar individu yang didasarkan pada perbedaan yang ada
pada masing-masing individu.
Dalam pasal 6 dan 7 DUHAM penulis menemukan bahwa setiap orang
memiliki kesamaan kedudukan dihadapan hukum, tanpa adanya diskriminasi,
77
seperti yang telah diuraikan. Diskriminasi adalah pembedaan, atau pembatasan
atau pengucilan terhadap seseorang seperti yang telah dijelaskan pada pasal 2
DUHAM, tidak dibenarkan adanya pembedaan perlakuan di depan hukum
apapun alasanya, sebab setiap manusia memiliki hak yang sama. Seperti yang
telah diuraikan oleh penulis mengenai berbagai bentuk diskriminasi dan
perbedaan perlakuan antar individu yang satu dengan lainnya didepan hukum
diantara seperti perbedaan etnis yang dapat membuat seorang diperlakukan
berbeda disuatu wilayah.
Dalam pasal 15 DUHAM menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas
kewarganegaraan dan tidak ada yang dapat semena-mena mencabut hak tersebut
selain hal itu merupakan salah satu hak dari setiap manusia. Dalam pasal 27
Undang-Undang Dasar 1945 ini menjelaskan seharusnya dalam negara tidak ada
hukum Indonesia yang mendiskriminasi warga negara Indonesia dengan alasan
perbedaan agama, ras, suku, etnis, kebudayaan, pandangan politik, bahasa, jenis
kelamin, dsb. Menurut penulis asalkan Warga Negara Indonesia seharusnya
mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum sebab setiap undang-undang
yang dibuat oleh DPR beserta Presiden tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945.
Dalam pasal 16 DUHAM mengatur mengenai kebebasan seseorang untuk
membentuk keluarga, seseorang tidak boleh dibatasi dalam membangun keluarga.
Sehingga menurut penulis bahkan perbedaan agama, ras, suku, etnis, kebangsaan
tidak dapat dijasikan alasan seseorang unutk melarang adanya perkawinan.
Selama kedua belah pihak menikah tanpa paksaan (dari pihak manapun). Yang
dapat membuat suatu perkawinan dibatalkan adalah adanya paksaan dari salah
78
satu pihak (orang yang akan menikah), selain hal itu tidak dapat dijadikan alasan
untuk melarang adanya perkawinan dan keluarga yang dihasilkan dari perkawinan
harus mendapat perlindungan dari masyarakat maupun negara tanpa membedakan
antara keluarga yang satu dengan lainnya. Sehingga peraturan didalam UU No. 1
Tahun 1974 yang melarang adanya perkawinan antara kedua belah pihak yang
berbeda agama, sebab tidak dibenarkan adanya pelarangan pernikahan dengan
alasan yang penulis anggap termasuk kedalam unsur diskriminasi.
Menurut penulis dalam pasal 18 DUHAM telah menjelaskan secara jelas
bahwa semua orang tanpa terkecuali bebas untuk memilih agama atau
kepercayaan tanpa ada paksaan dari pihak lain, dalam arti lain seseorang tidak
boleh memaksakan kepercayaannya agar orang lain mengikuti kepercayaannya.
Dalam hal ini termasuk negara pun tidak dapat mengatur agama untuk warga
negaranya, bahkan peraturan tertinggi suatu negara pun tidak boleh memaksakan
untuk warga negaranya menganut agama tertentu, sehingga setiap individu berhak
untuk memilih kepercayaannya sesuai dengan apa yang ia percayai, dalam hal ini
termasuk Indonesia. Dalam pasal 28 dan 29 Undang-undang Dasar 1945 bahkan
negara menjamin kemerdekaan untuk setiap warga negaranya menganut agama
yang dipercayainya. Sehingga tidak ada wewenang negara untuk mengharuskan
warga negaranya untuk memeluk agama tertentu. Pemerintah seharusnya tidak
memaksa warga negaranya, karena adanya jaminan kebebasan. Bahkan dalam
pasal ini juga dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk memilih
kepercayaannya masing-masing, akan tetapi perilaku dari individu yang
memaksakan kehendaknya untuk seseorang memeluk agama yang dia percayai.
Undang-undang yang mengatur mengenai kependudukan juga mengandung unsur
79
diskriminasi seperti yang telah dijelaskan oleh penulis diatas, dengan adanya
pembatasan agama yang harus dipercayai oleh seorang individu menurut penulis
hal ini sama saja dengan memaksakan suatu kepercayaan (agama).
Dalam pasal 19 penulis beranggapan bahwa setiap orang yang artinya
semua orang tanpa terkecuali memiliki hak untuk berpendapat, serta dapat
mengikuti pendapat tanpa ada camput tangan orang lain, yang berarti seseorang
tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada orang lain untuk dianut. Didalam
pasal 21 DUHAM dijelaskan setiap warga negara berhak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, sehingga tidak dibenarkan adanya diskriminasi atau larangan bagi
seseorang yang ingin ikut serta dalam pemerintahan. Sedangkan adanya perilaku
dari individu yang secara langsung maupun tidak langsung melarang individu
lainnya untuk ikut serta dalam pemerintahan dengan alasan yang didasarkan pada
perbedaan agama, ras, suku, etnis, budaya, pandangan politik dan masih banyak
lagi. Tidak hanya di dalam DUHAM di dalam konvensi internasional
penghapusan segala bentuk diskriminasi ras, seperti yang ada pada pasal 2 ayat
(1) huruf a yang secara jelas mengatakan segala jenis tindakan atau praktek
diskriminasi tidak dibenarkan baik antar individu bahkan di dalam pemerintahan.
Berdasarkan pasal 3 menjelaskan negara seharusnya mencegah dan menghapus
pembedaan atau pemisahan yang didasarkan pada ras. Tindakan diskriminasi
dimana individu tidak dapat ikut serta di dalam pemerintahan (mencalonkan diri
menjadi kepala daerah) dengan adanya alasan perbedaan agama dan etnis, hal ini
tentu saja bertentangan dengan beberapa pasal pada konvensi internasional yang
tentu saja telah diratifikasi oleh Indonesia. Menurut penulis disaat Indonesia telah
meratifikasi suatu aturan Internasional seharusnya hukum Indonesia berpatokan
80
pada hukum internasional yang telah diratifikasi, serta hal ini menjadi tanggung
jawab PBB dimana Indonesia merupakan salah satu pihak konvensi, maka jika
terjadi hal yang menurut konvensi tidak sesuai seharusnya hal ini menjadi
kewajiban untuk PBB ikut serta mengambil bagian dalam mengembalikan negara
yang dianggap tidak sesuai dengan konvensi untuk kembali pada jalur yang
seharusnya.
Di dalam pasal 23 DUHAM dijelaskan adanya hak yang sama bagi semua
orang untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi berdasarkan gender
(jenis kelamin). Dalam pasal 1,2, dan 3 dari International Convention on
Elimination of All Forms of Discrimination Woman juga melarang segala jenis
pendiskriminasian berdasarkan jenis kelamin, termasuk segala pembatasan yang
didasarkan pada jenis kelamin. Menurut penulis hal ini dapat menjadi dasar untuk
seseorang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan tanpa adanya
pendiskriminasian yang didasarkan pada jenis kelamin.
Menurut konvensi beberapa konvensi Internasional yang telah diratifikasi
oleh Indonesia yang telah penulis cantumkan dalam tulisan ini, negara pihak
konvensi merupakan negara yang telah meratifikasi atau menyetujui konvensi ini,
sehingga seharusnya sesuai dengan yang ada di dalam konvensi seharusnya
Indonesia yang telah menjadi negara pihak konvensi mengikuti apa yang ada di
konvensi tersebut. Sesuai dengan aturan yang ada, apabila suatu Negara Pihak
menganggap bahwa Negara Pihak lain tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan
dalam Kovenan ini, Negara tersebut dapat mengajukan masalah ini untuk
diperhatikan Komite. Komite yang ada dan dibentuk ini bertanggung jawab
kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
81
Pada hakikatnya PBB tidak memiliki wewenang mutlak untuk
menghapuskan peraturan di dalam suatu Negara. Seperti yang dikatakan penulis
bahwa tidak ada lembaga atau organisasi Internasional yang sifatnya
supranasional. Akan tetapi PBB menjadi memiliki wewenang terhadap sebuah
Negara dikarenakan Negara tersebut yang memberikan ijin dengan meratifikasi
konvensi, secara tidak langsung Negara memberikan akses kepada Internasional
untuk ikut ambil bagian dari sebuah Negara tersebut, dalam hal ini menghilangkan
aturan yang sifatnya diskriminatif. Akan tetapi tidak semata-mata PBB dapat
menghapuskan aturan yang sifatnya diskriminatif tersebut, sebuah aturan dapat
dihapus dengan mengikuti prosedur sebagai berikut:
1. Negara dari pihak konvensi dapat melaporkan kepada komite agar
diperhatikan oleh komite. Setelah komite menganggap adanya pelanggaran
atau ketidaksesuaian dengan isi konvensi maka komite akan
menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan.
2. Jika dalam hal ini semua upaya telah dilakukan tetapi tidak membuahkan
hasil, komite dapat memanggil negara pihak yang bersangkutan agar
menyampaikan semua informasi lain yang relevan.
3. Setelah komite mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan, ketua
komite menujuk komisi pendamai ad hoc yang terdiri dari lima anggota
komite, semua anggota komisi yang diangkat harus dengan persetujuan
pihak. Anggota komisi tidak boleh warga negara dari negara pihak atau
pun negara yang bukan pihak dari konvensi.
4. Komisi wajib bekerja dalam kapasitas pribadi mereka.
82
5. Setelah mempertimbangkan masalah ini, komisi menyampaikan kepada
komite tentang fakta dan pertanyaan yang mereka temukan, serta
rekomendasi
6. Komisi menyampaikan kepada para pihak rekomendasi, dan dalam waktu
3 bulan pihak yang bersengketa harus memberitahukan mengenai mereka
menerima atau menolak rekomendasi
7. Ketua dari komite menyampaikan laporan komisi dan pernyatan negara
yang bersangkutan kepada pihak konvensi lainnya.
Kewajiban dari PBB (perserikatan bangsa-bangsa) sendiri adalah
1. PBB bertugas membentuk, mengundang untuk mengajukan pencalonan
dalam waktu dua bulan, menyampaikan dan menentukan daftar negara
yang telah mencalonkan.
2. Memfasilitasi pemilihan komite dengan menyediakan tempat dengan
mengadakan pemilihan di markas besar PBB. PBB menyediakan pegawai-
pegawai dan fasilitas yang diperlukan bagi pelaksanaan efekktif fungsi-
fungsi komite.
3. Komite bertanggung jawab kepada PBB berkewajiban untuk:
a. Mengawasi negara-negara yang tergabung menjadi negara pihak
konvensi untuk tetap sejalan dengan isi konvensi;
b. PBB mengawasi dengan membentuk komite yang di mana anggota-
anggota komite berasal dari negara pihak konvensi;
c. Komite bertugas untuk mengontrol tiap negara pihak konvensi untuk
tetap mengikuti isi konvensi;
83
d. Komite bertugas menegur dan memberikan rekomendasi kepada
negara yang tergabung kedalam konvensi.
Kebijakan serta kewajiban hukum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ini
dapat berjalan dengan baik ketika para pihak dari konvensi tidak semena-mena
terhadap negara nya dan mau untuk mengikuti aturan yang telah disetujui dengan
cara negara pihak yang meratifikasi sebuah konvensi-konvensi Internasional yang
ada. Sebab pada saat suatu negara meratifikasi sebuah konvensi yang dimana
konvensi tersebut merupakan tanggung jawab dari PBB maka secara otomatis
negara tersebut menjadi tanggung jawab dari PBB, sehingga PBB memiliki
kewajiban hukum yang harus dijalankan sesuai dengan aturan yang ada