13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Menjawab rumusan masalah pada bab 1 yaitu bagaimana modus atau cara
tindakan main hakim sendiri, bagaimana faktor-faktor terjadinya tindakan main
hakim sendiri dan upaya penegak hukum. Penulis harus mengetahui dan
memahami secara umum tentang ilmu kriminologi, karena ilmu kriminologi
memepelajari perkembangan kejahatan atau sebab musahab kejahatan yang
terjadi di masyarakat.
Istilah kriminologi ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911) seorang ahli
antropologi Prancis, arti atau makna dari kata crime yang berarti kejahatan atau
penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Kriminologi dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan atau penjahat.12
Ilmu kriminologi memberikan pelajaran dan menjawab rumusan masalah
pada bab 1, tentang fenomena-fenomena atau perilaku kejahatan yang ada di
masyarakat serta mengetahui faktor-faktor terjadinya kejahatan khususnya
pada tindakan main hakim sendiri.
Adapun tokoh-tokoh yang memberikan penjelasan atau definisi tentang
kriminologi, antara lain sebagai berikut :
WME. Noach mendifinisikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak
senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya.13
12
A.S Alam. 2010. Pengantar Kriminologi. Makassar. Pustaka Refleksi. Hal.2. 13
Ibid.
14
J.Constant, Kriminologi adalah ilmu pengatahuan yang bertujuan
mengemukakan faktor-faktor yang menjadi sebab musahab terjadinya
kejatan dan penjahat.14
Edwin H. Sutherland mengartikan kriminologi sebagai kumpulan
pengetahuan yang membahas kenalakan remaja dan kejahatan sebagai
gejala sosial.15
Pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan kriminologi adalah ilmu
pengetahuan mempelajari tentang faktor-faktor terjadi kejahatan di masyarakat,
serta mempelajari mengenai modus atau cara terjadi kejahatan, dan
mempelajari atau mengetahui bagaimana ciri-ciri seseorang melakukan
kejahatan. Dengan demikian, penulis harus menjelaskan pada sub bab
berikutnya mengenai modus atau cara terjadi kejahatan, dan faktor-faktor
terjadi kejahatan.
2. Ruang Lingkup Kriminologi
Dalam kriminologi terdapat ruang lingkup yang menjadi batasan-batasan
untuk subjek yang diteliti serta lokasi yang diteliti. Contoh, pada rumusan
masalah pada bab 1 mengenai faktor-faktor terjadi kejahatan, modus atau cara
terjadi kejahatan, dan upaya penegak hukum khususnya pada tindakan main
hakim sendiri yang terjadi desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan,
Kabupaten Pamekasan.
Menurut Sutherland kriminologi mencakup tiga cabang ilmu utama yaitu :
1. Sosiologi Hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum yang dilarang dan
diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu
perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. disini menyelidiki sebab-
14
Ibid. 15
Ibid. Hal. 3.
15
sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang
menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana)
2. Etiologi kejahatan
Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musahab dari
kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian
paling utama.
3. Penologi
Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland
memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian
kejahatan baik represif maupun preventif. 16
Dengan memperhatikan tiga cabang ilmu diatas menurut Sutherlan sosiologi
hukum menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum.
Seperti tindakan main hakim sendiri yang ada di masyarakat merupakan suatu
kejahatan yang dilarang oleh hukum. Karena pada peraturan sudah mengatur
dan masih terjadi tindakan main hakim sendiri. Hal ini dapat mempelajari
kejahatan yang terjadi pada tindakan main hakim sendiri melalui sosiologi
hukum, dengan melakukan observasi ke tempat terjadi tindakan main hakim
sendiri serta melihat peraturan yang melarang untuk melakukan kejahatan
tersebut.
Sedangkan etiologi hukum menyelidiki sebab musahab terjadinya tindakan
main hakim sendiri, dengan pendekatan atau wawancara langsung terhadap
masyarakat dan tersangka yang melakukan tindakan main hakim sendiri yang
terjadi desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, kabupaten Pamekasan.
Penulis dapat menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor terjadi
tindakan main hakim sendiri, dan modus atau cara terjadi tindakan main
sendiri.
16
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2014. Kriminologi. Jakarta Pers. Hal.11.
16
Ilmu penologi mempelajari hukuman yang dilakukan oleh pelaku atau
penjahat agar mendapat efek jera dan menjaga keseimbangan di dalam
masyarakat untuk tidak melakukan tindakan main hakim sendiri jika terjadi
tindak pidana.
Pendapat Shutherland tidak menjelaskan ilmu yang mempelajari tentang
seorang dikatakan penjahat. Penulis mengutip pendapat ahli hukum lain yaitu
Walter C. Reckless.
Menurut Walter C.Reckless dalam bukunya The Crime Problem ada 10
ruang lingkup bidang kriminologi:
1. Kriminologi mempelajari bagaimanakah kejahatan dilaporkan pada
badan-badan resmi dan bagaimana pulakah tindakan yang dilakukan
menanggapi laporan itu;
2. Kriminologi mempelajari perkembangan dan perubahan hukum pidana
dalam hubungannya dengan ekonomi, politik serta tanggapan
masyarakatnya;
3. Krimininologi mempelajari secara khusus keadaan penjahat,
membandingkan dengan yang bukan penjahat mengenai: sex, ras,
kebangsaan, kedudukan ekonomi, kondisi kekeluargaan, pekerjaan atau
jabatan dan kedudukan, kondisi kejiwaan, fisik, kesehatan jasmani rohani
dan sebagainya;
4. Kriminologi mempelajari daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang dihubungkan dengan jumlah kejahatan dalam daerah atau wilayah yang dimaksud dan bahkan diteliti pula bentuk spesifik kejahatan yang terjadi,
misalnya penyelundupan di daerah pelabuhan atau korupsi di lingkungan
pejabat;
5. Kriminologi berusaha memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor
penyebab kejahatan untuk menuangkannya dalam bentuk ajaran dan
teori;
6. Kriminologi mempelajari jenis kejahatan yang dimanifestasikan secara istimewa dan menunjukkan kelainan daripada yang sering berlaku,
organized crime, white-collar crime yang berupa bentuk-bentuk
kejahatan modern, termasuk pembajakan pesawat, pencucian uang dan
pembobolan ATM;
7. Kriminologi mempelajari hal-hal yang sangat erat hubungannya dengan
kejahatan, misalnya alkoholisme, narkoba, pelacuran, perjudian,
vagrancy atau gelandangan dan pengemis;
17
8. Kriminologi mempelajari apakah peraturan perundang-undangannya
beserta penegak hukumnya sudah efektif;
9. Kriminologi mempelajari kemanfaatan lembaga-lembaga yang digunakan
untuk menangkap, menahan dan menghukum;
10. Kriminologi mempelajari setiap usaha untuk mencegah kejahatan.17
Dari uraian pendapat Walter C.Reckless mengenai ruang lingkup
kriminologi sangat luas, karena membutuhkan banyak bidang ilmu. Meskipun
demikian penulis mengambil point ke 3 dan ke 5 dari pendapat Walter
C.Reckless yang mempelajari tentang ciri-ciri seorang pelaku, perkembangan
atau perubahan seorang pelaku untuk melakukan kejahatan seperti tindakan
main hakim sendiri dengan ancaman bagi pelaku jika melakukan tindak pidana.
Dan faktor-faktor terjadi kejahatan khususnya tindakan main sendiri.
Dengan demikian, penjelasan tentang ruang lingkup kriminologi dari
definisi para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan dan menjawab rumusan
masalah, karena ruang lingkup memberi batasan-batasan menjelaskan sebab-
musahab terjadi kejahatan.
Secara umum, ilmu kriminologi mempelajari tentang kejahatan yaitu norma-
norma perbuatan atau perilaku yang dilarang oleh peraturan dengan suatu
sanksi hukum pidana. Kriminologi mempelajari faktor-faktor terjadinya
kejahatan, tanggapan masyarakat terhadap gejala yang ada di masyarakat dan
bagaimana pencegahannya.
Penulis harus melakukan observasi langsung ke tempat terjadi kejahatan
tindakan main hakim sendiri dan melakukan wawancara langsung terhadap
17
Abintoro Prakoso. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta. Laksbang
Grafika. Hal.28.
18
orang yang terlibat guna untuk menjawab rumusan masalah mengenai faktor-
faktor terjadi kejahatan, modus atau cara terjadi kejahatan khususnya pada
tindakan main hakim sendiri yang terjadi desa Larangan Badung, Kecamatan
Palengaan, Kabupaten Pamekasan.
B. Tinjauan Umum Tentang Faktor-Faktor Terjadi Kejahatan
Pada sub bab ini, penulis mengutip pendapat ahli hukum dalam bidang
kriminologi tentang faktor-faktor terjadi kejahatan guna menjawab rumusan
masalah dan membandingkan dengan bab penelitian berikutnya. Kriminologi
terdapat beberapa teori-teori yang dipergunakan untuk menjelaskan tentang
faktor-faktor terjadinya kejahatan. Teori-teori kejahatan terbagi antara lain teori
yang menjelaskan kejahatan Psikologis dan teori-teori perspektif lainnya.
1. Teori Psikologis atas Kejahatan
Teori biologis mempelajari melalui ciri-ciri fisik untuk menentukan faktor-
faktor terjadi kejahatan. Sedangkan, teori psikologis ini menjelaskan mengenai
sifat kepribadian pelaku kejahatan atau bukan penjahat, dan tingkah laku
pelaku kejahatan.
a. Personality Characteristics (sifat-sifat kepribadian)
Teori psikologis atas kejahatan dijelaskan oleh seorang psikiater
Samuel Yochelson dan Samenow seorang psikolog bahwa kejahatan
disebabkan oleh pola pikir yang abnormal yang membawa mereka
melakukan kejahatan. Keduanya berpendapat bahwa para penjahat adalah
orang yang marah merasa suatu yang unggul, menyangka tidak
bertanggung jawab atas tindakan mereka ambil, dan memiliki harga diri.
Setiap dia merasa harga dirinya terganggu akan memberikan reaksi
kekerasan.18
18
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. Op.cit. Hal. 50.
19
Contoh sifat kepribadian seseorang pada kasus terjadi suatu tindak
pidana pencurian di masyarakat yang mengancam diri seseorang menjadi
korban pencurian dan menangkap pelaku pencuri tersebut. Seseorang yang
menangkap pelaku pencuri melakukan reaksi marah dengan melakukan
tindakan main hakim sendiri tanpa ada rasa bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan, ada juga yang melakukan hanya ikut-ikut saja.
Karena seharusnya jika terjadi suatu tindak pidana dan pelaku ditangkap
oleh warga dilaporkan atau diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Penulis harus dapat mewawancarai langsung pelaku tindakan main
sendiri serta mengajukan pertanyaan dengan membandingkan teori ini.
Teori psikologis mengenai sifat-sifat kepribadian dapat menjawab
rumusan masalah tentang faktor-faktor terjadinya tindakan main sendiri.
b. Social Learning Theory
Teori pembelajaran sosial ini bahwa perilaku nakal dipelajari melalui
proses psikologis yang sama sebagaimana semua perilaku tidak nakal.
Maksudnya adalah perilaku seseorang dimulai dari tidak nakal menjadi
nakal karena ada penyebab atau faktor yang mempengaruhinya.
Mempelajari psikologis tidak harus langsung pada diri seseorang atau
kepribadiannya saja, mempelajari psikologis melalui pengamatan tingkah
laku sosial pribadi seseorang di masyarakat.19
Teori psikologis mengenai tingkah laku pelaku kejahatan mempelajari
secara langsung bagaimana keadaan psikis seorang pelaku tindak pidana
di dalam masyarakat. Penulis harus dapat mewawancarai langsung seorang
pelaku tindakan main hakim sendiri, karena dalam pemberitaan pelaku
tidak hanya dari seseorang yang terbiasa melakukan kejahatan melainkan
19
Ibid. Hal. 54.
20
seseorang yang hanya ikut-ikutan saja. Hal ini dapat menjawab rumusan
masalah tentang faktor-faktor terjadinya tindakan main hakim sendiri.
Ada beberapa mempelajari tingkah laku pelaku kejahatan : memalui
observasi, pengalaman langsung, dan penguatan yang berbeda.
1) Albert Bandura (Observational Learning)
Berpendapat bahwa individu mempelajari kekerasan dan agresi
melalui behavioral modeling : anak belajar bagaimana betingkah laku
melalui peniruan orang lain. Tingkah laku secara sosial melalui
contoh-contoh datang dari keluarga, budaya, dan media massa.20
Menurut penulis teori ini kekerasan dapat dipelajari dari lingkungan
sosial keluarga, budaya yang ada di masyarakat, maupun melalui
media massa. Pelaku tindakan main hakim sendiri tidak hanya
dilakukan oleh kaum dewasa melainkan kaum anak-anak dan remaja
yang hanya ikut-ikutan saja.
Menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor tejadi tindakan
main hakim sendiri dapat mewawancara secara langsung terhadap
pelaku. Karena, melakukan kejahatan dapat dipelajari melalui
lingkungan keluarga. Keluarga yang mengajarkan kepada anak-anak
pentingnya untuk menempuh pendidikan tinggi. Hal ini akan
menjadikan pribadi melakukan hal-hal yang positif seperti rajin
membaca untuk menambah wawasan semisal kepatuhan terhadap
hukum dan larangannya. Jika anak tidak mementingkan pendidikan
20
Ibid. Hal. 55.
21
hal-hal negatif yang akan dilakukannya, contoh karena tidak rajin
membaca anak tersebut tidak mengetahui tentang kepatuhan hukum
dan melanggarnya.
Dalam suatu keluarga mengajarkan pentingnya mengetahui
tentang norma-norma yang hidup dalam keluarga maupun masyarakat.
Contoh, norma untuk tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain
karena hal ini bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat.
Sebaliknya, jika dalam keluarga mengajarkan tentang kekerasan
kepada anak semisal pertengkaran orang tua. Hal ini akan ditiru oleh
anak di lingkungan masyarakat.
Jika budaya yang ada di masyarakat mengajarkan tentang hal-hal
positif akan berdampak positif dan atau sebaliknya masyarakat
mengajarkan hal-hal negatif akan berdampak negatif. Contoh, jika
terjadi suatu tindak pidana tertangkap tangan oleh masyarakat. Hal
positifnya akan menyerahkan kepada aparat penegak hukum,
sedangkan hal negatif pelaku tindak pidana akan dihakimi sendiri oleh
masyarakat dengan kekerasan.
Media massa sangat cepat berpengaruh terhadap tingkah laku
masyarakat, karena media massa dapat dengan mudah diakses di era
modern sekarang. Jika media massa menyiarkan kajian positif akan
ditiru positif oleh masyarakat, sebaliknya media massa menyiarkan
kajian negatif akan diterima negatif oleh masyarakat yang
menimbulkan keresehan. Contoh, pemberitaan tentang kinerja
22
penegak hukum yang kurang profesional dalam menangani kasus.
Semisal, media massa menyiarkan kasus penangkapan pelaku tindak
pidana pencurian dan dilepaskan setelah ditangani oleh pihak penegak
hukum. Melalui media massa masyarakat dapat menilai kinerja
penegak hukum yang mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat
terhadap aparat penegak hukum.
2) Gerard Patterson (Direct Experince)
Mempelajari melalui pengalaman langsung, melihat kepada anak-
anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak
lainnya tetapi kadang-kadang anak yang pasif berhasil membalas
dengan cara membela diri atau perkelahian.21
Teori ini dapat dijelaskan kekerasan timbul dari pembelaan
terhadap diri seseorang yang terancam. Sama halnya dengan terjadi
tindak pidana yang mengancam pada diri seseorang akan membela
atau melindungi diri dengan melakukan perlawanan. Meskipun
perlawanan tersebut ada yang mengakibatkan perbuatan melawan atau
melakukan menghakimi pelaku tanpa diserahkan kepada pihak
berwajib dengan mengindahkan larangan atau melanggarnya.
Tindakan main sendiri terjadi dalam pemberitaan ada yang
melakukan hanya ikut-ikutan saja. Hal ini, dapat mengetahui secara
langsung terhadap pelaku dengan wawancara serta pertanyaan apakah
21
Ibid. Hal. 56.
23
melakukan tindakan hakim sendiri hanya ikut-ikutan saja atau keadaan
pelaku dalam bahaya karena terancam akan adanya tindak pidana.
Teori ini dapat menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor
terjadinya tindakan main hakim sendiri di Desa Larangan Badung,
Kecamatan Palengaan, Pemekasan.
3) Ernest Burgess dan Ronald Akers
Teori ini berlangsung terusnya tingkah laku kriminal tergantung
pada apakah diberi penghargaan atau diberi hukuman. Penghargaan
dan hukuman yang paling berarti adalah diberikan oleh kelompok
keluarga, guru dan seterusnya kepada kehidupan si individu.22 Jika
terjadi suatu tindak pidana yang dilarang dan dilakukan oleh salah satu
masyarakat tidak mendapatkan hukuman melainkan mendapat
penghargaan atau pujian meskipun perbuatan tersebut dilarang.
Contohnya, penangkapan terhadap pelaku tindak pidana dan
menghakimi sendiri. Orang yang melakukan main hakim sendiri
diberikan ucapan bangga karena menangkap dan menghakimi,
meskipun perbuatan mengakimi sendiri dilarang oleh undang-undang.
Sama halnya dengan tindakan main hakim sendiri di Desa
Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupate Pamekasan,
apakah masyakarat disana tidak ada penindakan terhadap pelaku
tindakan main hakim sendiri. Penulis harus dapat mewawancara
masyarakat yang menjadi tempat penelitian guna menjawab rumusan
22
Ibid.
24
masalah tentang faktor-faktor terjadinya tindakan main sendiri yang
menjadi salah satu faktor.
2. Teori Perspektif Lainnya
Teori NKK ini merupakan teori yang menjelaskan sebab terjadinya
kejahatan di dalam masyarakat.
N+K1=K2
keterangan:N:niat K1:kesempatan K2: kejahatan
Menurut teori ini, sebab terjadinya kejahatan adalah karena adanya niat
dan kesempatan. Jadi meskipun ada niat tetapi tidak ada kesempatan, kejahatan
tidak akan teradi. Sebaliknya, ada kesempatan tetapi tidak ada niat maka tidak
mungkin pula akan terjadi kejahatan.23 Dalam faktor-faktor terjadi kejahatan
dalam kasus tindakan main hakim sendiri terhadap tindak pidana yang
tertangkap tangan. Bisa karena memiliki sebuah niat jika tertangkapnya tindak
pidana yang meresahkan masyarakat akan melakukan kekerasan, dan memiliki
kesempatan pada saat tertangkapnya pelaku tindak pidana tersebut dengan
reaksi kekerasan yang menimbulkan sebuah kejahatan karena itu dilarang, yang
seharusnya diserahkan kepada pihak yang berwajib tetapi dihakimi sendiri.
Oleh karena itu, penulis mewawancara langsung terhadap pelaku tindakan
main hakim sendiri. Apakah perbuatan tersebut dilakukan karena ada niat atau
kesempatan. Teori ini dapat menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor
terjadinya tindakan main sendiri.
23
Eli Supianto. 2014. Tinjaun Kriminologis Terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri
(Eigenrechting) Yang Dilakukan Oleh Massa Terhadap Pelaku Tindak Pidana). Makassar.
Fakultas Hukum. Universitas Hasanuddin Makassar. Hal. 38.
25
C. Tinjauan Umum tentang Main Hakim Sendiri (Eigenrechting)
1. Pengertian Main Hakim Sendiri
Sebelum menjawab rumusan masalah tentang bentuk-bentuk main hakim
sendiri, penulis harus mengetahui dan mempelajari pengertian tindakan main
hakim sendiri.
Main hakim sendiri atau yang biasa disebut masyarakat dan media massa
dengan peradilan massa, penghakiman massa, pengadilan rakyat, amuk massa,
atau brutalisme massa, merupakan istilah dari bahasa Belanda yaitu
“Eigencrechting” yang artinya main hakim sendiri.24 Pengertian Main Hakim
sendiri memberi batasan mengenai definisi sebagai kategori tindakan main
hakim sendiri. Menggunakan kata massa yang artinya secara bersama-sama
melakukan tindak pidana tersebut dengan melakukan bentuk-bentuk kekerasan
seperti pemukulan.
Tindakan main hakim sendiri mengambil hak tanpa mengindahkan hukum,
tanpa sepengetahuan pemerintah atau penegak hukum. Perbuatan main hakim
sendiri itu melanggar hak-hak orang lain, oleh karena itu tidak diperbolehkan
dan perbuatan tersebut menunjukkan bahwa ketidak sadaran terhadap hukum.25
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dengan melakukan main hakim sendiri
adalah suatu masalah sosial yang harus dicegah agar memberikan rasa aman
terhadap masyarakat. Dengan demikian tindakan main hakim dilarang
meskipun itu dilakukan terhadap pelaku tindak pidana.
24
Ibid. Hal. 20. 25
Ibid.
26
Main hakim sendiri merupakan salah satu bentuk masyarakat karena ada
pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat. Reaksi masyarakat dapat
ditinjau dari sosiologis dan dapat dibedakan menjadi dua aspek yaitu :
Aspek positif ialah jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Reaksi masyarakat terhadap kejahatan melalui pendekatan
pendekatan kemasyarakatan sesuai dengan latar belakang terjadinya
suatu tindakan kejahatan.
2) Reaksi masyarakat didasarkan atas kerja sama dengan aparat
keamanan atau penegak hukum secara resmi.
3) Tujuan penghukuman adalah pembinaan dan penyadaran atas
pelaku kejahatan.
4) Mempertimbangkan dan memperhitungkan sebab-sebab
dilakukannya suatu tindakan kejahatan.
Sedangkan aspek negatif jika:
1) Reaksi masyarakat adalah serta merta, yaitu dilakukan dengan
dasar luapan emosional.
2) Reaksi masyarakat didasarkan atas ketentuan lokal yang
berlaku didalam masyarakat yang bersangkutan (tak resmi).
3) Tujuan penghukuman cenderung lebih bersifat pembalasan,
penderaan, paksaan, dan pelampiasan dendam.
4) Relatif lebih sedikit mempertimbangkan dan memperhitungkan
latar belakang mengapa dilakukan suatu tindakan kejahatan.26
Secara umum tindakan main hakim sendiri adalah perbuatan yang
mengindahkan hak-hak seseorang tindak pelaku tindak pidana yang ditangkap
oleh masyarakat dengan menghakimi tanpa melalu proses hukum. Tindakan
main hakim sendiri adalah tindakan yang melanggar hukum, diluar batas
kewajaran seperti melakukan penganiayaan dan merupakan suatu tindak
pidana. Memahami pengertian tindakan main hakim sendiri agar mengetahui
bagaimana bentuk-bentuk reaksi masyarakat terhadap terjadi tindak pidana di
masyarakat.
26
Ibid. Hal. 21.
27
Misalnya, seseorang dicopet tasnya, dan pencopet tersebut ditangkap oleh
masyarakat sekitar tanpa menyerahkan ke pihak yang berwajib. Masyarakat
melakukan tindakan menghakimi pencopet tersebut dengan kekerasan.
2. Bentuk-bentuk Tindakan Main Hakim Sendiri
Tindakan main hakim sendiri merupakan respon dari masyarakat terhadap
pelaku tindak pidana yang tertangkap. Masyarakat yang seharusnya mentaati
hukum dengan menyerahkan pelaku kepada aparat penegak hukum, akan tetapi
masyarakat lebih memilih untuk menghakimi pelaku tanpa melalui proses
hukum.
Bentuk-bentuk tindak pidana main hakim sendiri atau eigenrechting
terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan massa, tidak ada perbedaan
dengan perbuatan pidana pada umumnya. Perbedaan antara tindak pidana
pada umumnya dengan tindakan main hakim sendiri yaitu dari subyek
pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh karena itu, perbuatan pidana
yang dilakukan secara massal dititik beratkan pada kata massa.27
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menjawab rumusan masalah tentang
modus atau cara tindak main hakim sendiri dengan tempat penelitian penulis
diatas. Tindakan main hakim sendiri dilakukan secara langsung atau tidak
langsung dengan jumlah yang banyak atau lebih dari satu orang. Seperti contoh
yang dipaparkan pada latar belakang seorang pelaku pencurian yang tertangkap
tangan dan dihakimi oleh masyarakat dengan cara kekerasan yang
mengakibatkan luka-luka atau kematian.
Dengan demikian, modus atau cara tindakan main hakim sendiri menurut
penjelasan diatas akan di bandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis di Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupaten
27
Ibid. Hal. 25.
28
Pamekasan, apakah sama modus atau cara tindakan main hakim dengan
lainnya secara bersama-sama atau ada yang memprovokasi agar melakukan
tindakan main hakim sendiri. Oleh karena itu, penulis wawancara langsung
terhadap pelaku atau masyarakat tempat penelitian penulis guna menjawab
rumusan masalah tentang modus atau cara tindakan main sendiri.
D. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Penulis mengutip atau menjelaskan unsur-unsur tindak pidana karena
pernah dijelaskan pada mata kuliah metode penelitian. Pembuatan skripsi
khususnya konsetrasi pidana, pada bab tinjauan pustaka selalu ada tentang
pengertian, unsur-unsur tindak pidana.
Dalam undang-undang kita telah menggunakan kata “strafbaar feit” untuk
menyebutkan dan digunakan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu mengenai
apa yang dengan strafbaar feit tersebut.28 Perlu penjelasan secara rinci
mengenai pengertian dari strafbaar feit atau tindak pidana. Penulis mengutip
tentang tindak pidana apakah tindakan main hakim sendiri adalah tindak pidana
yang dilarang undang-undang atau tidak. Karena masih banyak terjadi kasus
tindakan main hakim sendiri jika menangkap pelaku tindak pidana.
Perkataan “feit” berarti “sebagian dari suatu kenyataan” sedang
“strafbaar” berarti dapat dihukum, hingga secara harfiah perkataan “strafbaar
feit” itu diterjemahkan sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.
28
P.A.F Lamintang. 2013. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Citra Adtya
Bakti. Hal. 181.
29
Oleh karena itu, bahwa pembentukan undang-undang kita tidak memberikan
suatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar
feit” maka timbul pendapat para doktrin tentang apa yang dimaksud dengan
“strafbaar feit” tersebut.29
Secara doktrin dalam hukum pidana dikenal dengan pandangan tentang
perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Untuk
mengetahui bagaimana dua pandangan memberikan penjelasan di bawah ini :
a. Pandangan Monistis
Adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya
pidana itu merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini mencakup
perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban (crimanal
responbility).30 Pandangan ini memberikan pemahaman dalam
mengartikan dan memberikan suatu batasan tindak pidana dengan menetik
beratkan pada perbuatan yang dilarang dan pertanggungjawaban seorang
pelaku.
Salah satu pandangan monistis dari ahli hukum yaitu Menurut D.
Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang
dapat bertanggung jawab atas tindakannya dan oleh undang-undang
dinyatakan dapat dihukum.31
Dengan penjelasan seperti ini, secara gampang akan menentukan
seorang dikatakan melakukan tindak pidana atau bukan. Seperti tindakan
main hakim sendiri terdapat dalam pasal 170 KUHP tentang mengnggu
ketertiban umum yang dilakukan secara bersama menimbulkan luka-luka
atau kematian. Pelaku tindakan main hakim sendiri bisa dari kalang anak-
29
Ibid. 30
Tongat. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan.
Malang. UMM Press. Hal. 94. 31
Ibid. Hal. 95.
30
anak, remaja, orang tua atau orang memiliki kesehatan terganggu. Jika
seorang anak berumur dibawah yang di tentukan undang-undang
melakukan tindakan main hakim sendiri tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabanya. Sedangkan seorang remaja dan orang tua berumur
lebih dari yang ditentukan undang-undang dapat dimintakan
pertanggungjawabanya.
Penulis dapat menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor terjadi
tindakan main sendiri dengan mengetahui biodata, karena dari penjelasan
diatas dikaitkan dengan pemberitaan tidak hanya kalangan remaja atau
dewasa yang ikut serta melakukan tindakan main sendiri. Ada juga yang
dibawah umur hanya ikut-ikutan saja. Dengan melihat pandangan monistis
apakah tindakan main hakim sendiri yang terjadi di tempat penelitian
penulis, ada pelaku dibawah umur atau pelaku tidak dapat bertanggung
jawab (kesehatan terganggu) atas perbuatannya. Serta tindakan main
hakim sendiri adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
b. Pandangan Dualistis.
Berbeda dengan pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana
sudah tercakup di dalamnya baik criminal act (perbuatan yang dilarang)
dan criminal responbility (pertanggungjawaban), sedangkan menurut
pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan
criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.32
Menurut
Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan),
32
Ibid. Hal. 96
31
yang diancam pidana dalam ketentuan pidana. Dalam hukum positif, sifat
melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya
tindak pidana.33 Pandangan dualistik hanya menitik beratkan pada
perbuatan yang dilakukan tanpa pertanggungjawaban seorang pelaku. Hal
ini akan bertentangan dengan peraturan yang berlaku memberi batasan
umur siapa dapat dimintakan pertanggungjawaban. Seperti tindakan main
hakim sendiri dilakukan secara massa yang terdiri beberapa kalangan
anak-anak, remaja, dan orang dewasa atau orang tua.
2. Pelaku Tindak Pidana
Professor Simons memberikan definisi tentang apa yang disebut dengan
pelaku tindak pidana atau dader sebagai berikut:
“Pelaku tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana
yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau
suatu ketidak sengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah
menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang
atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan
yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah
orang yang memenuhi semua unsur-unsur suatu delik seperti yang telah
ditentukan didalam undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur
subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah
keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya
sendiri ataukah timbul karena digerakan oleh pihak ketiga.” 34
Penulis dapat menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor tindakan
main hakim sendiri dengan wawancara langsung pelaku atau pihak kepolisian
mengenai biodata, apakah pelaku tindakan main hakim sendiri yang terjadi di
tempat penelitian penulis merupakan seorang pelaku tindak pidana atau bukan.
33
Ibid. Hal. 96. 34
Eli Supianto. Op.cit. Hal. 17.
32
Pengertian tentang pelaku dirumuskan dalam pasal 55 KUHP yang
rumusnya adalah :
(1) dipidana sebagai sipembuat suatu tindak pidana ;
ke-1. Orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang
turut melakukan perbuatan itu.
Ke-2. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah
memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan ancaman atau
tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan
sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2) Adapun orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang
sengaja dbujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.”
Pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan tindak pidana dengan
kesengajaan atau ketidak sengajaan yang menimbulkan tidak dikehendaki dan
memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif. Karena dalam tindakan main
hakim dilakukan secara bersama-sama atau dilakukan oleh dua atau lebih yang
didalamnya terdapat seorang pelaku melakukan sendiri, pelaku yang hanya
ikut-ikutan, dan pelaku yang menyuruh. Menurut KUHP pelaku terdapat
beberapa golongan yaitu, orang yang melakukan, orang yang menyuruh orang
lain, turut melakukan, orang yang membujuk atau menggerakkan.
Sebagaimana diatur didalam pasal 55 KUHP (1), bahwa pelaku tindak
pidana itu dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan :
1) Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (plegen) yaitu orang
tersebut melakukan tindak pidana sendirian tidak ada temannya.
2) Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen
plegen) yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak
pidana, yang mana orang disuruh melakukan tindak pidana tersebut
tidak mampu bertanggung jawab sehingga dalam hal ini orang yang
33
menyuruh dapat di pidana sedangkan orang yang disuruh tidak dapat
dipidana.
3) Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede plegen), KUHP tidak
memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut
melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin
untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana haru
memenuhi dua syarat ;
a. Harus adanya kerjasama secara fisik.
b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama
untuk melakukan tindak pidana
4) Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain
untuk melakukan tindak pidana (uit lokken) Syarat-syarat uit lokken ;
a. Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk
melakukan tindak pidana.
b. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak
pidana.
c. Hara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang
tersebut didalam pasal 55 (1) sub 2 (pemberian, perjanjian,
ancaman, dan lain sebagainya).
d. Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana
sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan Ditinjau dari
sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55 (1) KUHP tersebut
di atas kesemua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh,
34
yang artinya mereka semua diancam dengan hukuman maksimum
pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan.
Jadi, setiap pelaku tindakan main hakim sendiri dapat dihukum meskipun
berasalasan ikut-ikutan karena dalam KUHP menjelaskan golongan-golongan
yang disebut sebagai seorang pelaku tindak pidana.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Penulis mengutip atau menjelaskan unsur-unsur tindak pidana karena
pernah dijelaskan pada mata kuliah metode penelitian. Pembuatan skripsi
khususnya konsetrasi pidana, pada bab tinjauan pustaka selalu ada tentang
pengertian, unsur-unsur tindak pidana dan lain-lain.
Seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila
orang tersebut melakuan perbuatan yang telah dirumuskan dalam ketentuan
Undang-undang sebagai tindak pidana, menurut kektentuan normatif yang
lazim diberikan oleh hukum pidana berdasarkan asas legalitas seperti tersebut
di atas adalah bahwa seseorang hanya dapat dipersalahkan sebagai telah
melakukan tindak pidana apabila orang tersebut oleh hakim telah
dinyatakan terbukti bersalah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang
bersangkutan, seperti yang dirumuskan dalam Undang-undang.
Dengan kata lain dapat dikemukakan, bahwa seseorang tidak dapat
dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila salah satu unsur tindak pidana
yang didakwakan kepada orang tersebut tidak dapat dibuktikan. Sebab tidak
terpenuhinya salah satu unsur tindak pidana tersebut, membawa konsekuensi
dakwaan atas tindak pidana tersebut tidak dapat terbukti. Sekalipun demikian,
35
batasan normatif dalam perkembangannya mengalami pergeseran, dimana
sangat dimungkinkan orang tetap dapat dipersalahkan melakukan suatu tindak
pidana berdasarkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat sekalipun
perbuatan tersebut tidak secara tegas diatur di dalam.
Secara umum unsur-unsur tindak pidana dibedakan ke dalam dua macam
yaitu:35
1. Unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat
berupa :
a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun tidak berbuat. Contoh unsur
obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatan perbuatan yang
dilarang dan diancam oleh Undang-undang. Perbuatan-perbuatan
tersebut antara lain perbatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal
242, 263, 362 KUHP. Didalam ketentuan pasal 362 misalnya, unsur
obyektif yang berupa “perbuatan” dan sekaligus merupakan perbuatan
yang dilarang dan diancam oleh Undang-undang adalah mengambil.
b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil.
Contoh unsur obyektif berupa suatu “akibat” adalah akibat-akibat yang
dilarang dan diancam oleh Undang-undang dan sekaligus merupakan
syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 351, 338 KUHP. Dalam
ketentuan pasal 338 KUHP misalnya, unsur obyektif yang berupa
“akibat” yang dilarang adalah akibat berupa matinya orang.
35
Tongat. 2015. Hukum Pidana Materiil. UMM Press. Hal.3.
36
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan
diancam oleh Undang-undang. Contoh unsur obyektif berupa suatu
“keadaan” yang dilarang dan diancam oleh Undang-undang adalah
keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 160, 281
KUHP Dalam ketentuan Pasal 282 KUHP misalnya, unsur obyektif
yang berupa “keadaan” adalah ditempat umum.
Jika melihat kasus tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak
pidana terhadap korban, dengan keadaan mendesak korban meneriaki atau
melawan penjahat dan menangkapnya tanpa menghakimi sendiri. Karena
unsur objektif mempersyaratkan mengenai perbuatan yang melanggar
undang-undang yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak dikendaki
meskipun perbuatan tersebut karena kondisi keadaan yang mendesak.
2. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri pelaku (dader) yang
berupa : 36
a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap
perbuatan yang telah dilakukan (Kemampuan Bertanggung jawab).
b. Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan
bertanggung jawab diatas. Seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi 3 syarat,
yaitu :
36
Ibid.Hal. 4.
37
1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia
dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga
mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya.
2) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat
menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
3) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan
perbuatan mana yang tidak dilarang oleh Undang-undang.
Sementara itu, berkaitan dengan persoalan kemampuan bertanggung
jawab ini pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap
mampu bertanggung jawab. Konsekuensi dari pendirian ini adalah, bahwa
masalah kemampuan bertanggung jawab ini tidak perlu dibuktikan adanya di
pengadilan kecuali apabila terdapat keraguan-raguan unsur tersebut.
Bertolak dari pendirian pembentuk KUHP di atas, dapat dimengerti
bahwa didalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud
kemampuan bertanggung jawab. KUHP hanya memberikan rumusan secara
negatif atas kemampuan bertanggung jawab ini terdapat didalam ketentuan
Pasal 44 KUHP yang menentukan sebab-sebab seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya :
1) jiwanya cacat dalam tubuhnya. Keadaan ini menunjuk pada suatu
keadaan dimana jiwa seseorang itu tidak tumbuh dengan
sempurna. Termasuk dalam kondisi ini adalah idiot, imbisil, bisu
tuli sejak lahir dan lain-lain.
38
2) Jiwanya terganggu karena suatu penyakit. Dalam hal ini jiwa
seseorang itu pada mulanya berada dalam keadaan sehat, tetapi
kemudian dihinggapi oleh suatu penyakit. Termasuk dalam
kondisi ini misalnya maniak, hysteria, melankolia, gila dan lain-
lain.
Unsur subyektif yang kedua adalah unsur “kesalahan” atau schuld.
Sebagaimana diketahui, bahwa kesalahan atau schuld dalam hukum pidana
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu :
1. Dolus atau opzet atau kesengajaan.
2. Culpa atau ketidaksengajaan.37
Diantara dua unsur subyektif tersebut di atas yang sangat penting
berkaitan dengan pembicaraan tentang unsur-unsur tindak pidana
adalah kesalahan dalam bentuk “kesengajaan” atau opzet. Hal ini
disebabkan hampir semua tindak pidana mengandung unsur opzet seperti
halnya tindakan main hakim sendiri memiliki kesengajaan untuk berbuat yang
menimbulkan akibat.
4. Golongan-Golongan Pelaku (Penjahat)
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, setelah mempelajari teori-teori
tentang penyebab terjadinya kejahatan, dan mempelajari bentuk-bentuk
tindakan main hakim. Pada sub-bab ini akan mempelajari juga tentang pelaku
kejahatan. Pelaku penjahat memiliki penggolongan tipe-tipe berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu. Sama halnya mempelajari faktor-faktor terjadinya
37
Ibid. Hal. 5.
39
kejahatan karena faktor ciri-ciri fisik dan mental pelaku karena keturunan dan
kondisi lingkungan sosial yang menyebabkan terjadi kejahatan. Penjelasan
tinjauan pelaku kejahatan akan menjelaskan golongan-golongan penjahat.
Menurut Ascffenburg menggolongkan penjahat ke beberapa golongan :
1. Penjahat kebetulan, pelaku melakukan kejahatan karena kealpan;
2. Penjahat karena suasana perasaan, pelaku melakukan kejahatan karena
secara tiba-tiba karena terpengaruh perasaan;
3. Penjahat karena kesempatan, penjahat melakukan kejahatan karena
kebetulan dan berkesempatan;
4. Penjahat yang bertindak setelah berunding atau melakukan persiapan;
5. Penjahat residivis;
6. Penjahat kebiasaan
7. Penjahat profesional, pelaku kejahatan melakukan kejahatan secara
teratur dan aktif karena sikap hidup yang ditujukan pada kejahatan.
Para penjahat sebagai mata pencaharian.38
Berdasarkan uraian yang dijelaskan tentang mengetahui golongan pelaku
kejahatan penulis berpendapat, penggolongan penjahat tergantung siapa yang
menggolongkan dan dari manakah penggolongan itu dibuat. Seperti hal-nya
tindakan main hakim sendiri yang dilakukan secara massa, setiap individu yang
melakukan mempunyai alasan mengapa melakukan tindakan tersebut.
Melakukan ada kesempatan membalas, melampiaskan perasaan kesal yang
barang miliknya hilang, ada juga tindakan main hakim sendiri melakukan
karena kebiasaan jika terjadi suatu tindak pidana, dan ada yang melakukan
dengan rencana dengan menangkap pelaku tindak pidana seperti pencurian
tanpa menyerahkan kepada penegak hukum.
Melihat penjelasan di atas, penulis dapat menjawab rumusan masalah
tentang faktor-faktor terjadinya tindakan main hakim sendiri melalui
38
Tolib Efendi. 2017. Dasar-Dasar Kriminologi Ilmu tentang Sebab-Sebab Kejahatan.
Setara Press. Hal. 165-166.
40
wawancara langsung terhadap pelaku atau masyarakat tempat penelitian
penulis.
Abrahamsen menggolongkan para pelaku seketika. Para pelaku seketika
ini dapat dibagi lagi ke dalam:39
a. Karena situasi tertentu
b. Karena kebetulan
c. Karena pengaruh orang lain
Para pelaku tindakan main hakim sendiri melakukan secara massa dan
seketika jika terjadi tindak pidana yang ditangkap. Menurut penulis pelaku bisa
saja melakukan karena situasi yang mendesak untuk melakukan tindakan main
sendiri, bisa karena kebetulan melihat pelaku tertangkap dengan reaksi marah,
kesal menggunakan kekerasan tanpa memikirkan akibat dari perbuatan
tersebut. Dan ada juga karena pengaruh orang lain atau menyuruh untuk
melakukan tindakan main hakim sendiri.
Sama seperti penjelasan di atas, penulis dapat menjawab rumusan masalah
tentang faktor-faktor terjadinya tindakan main hakim sendiri melalui
wawancara langsung terhadap pelaku atau masyarakat tempat penelitian
penulis.
5. Ketentuan Hukum Pidana Tentang Main Hakim Sendiri
Berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada pelaku perbuatan pidana
adalah dua orang atau lebih. Dalam hal tesebut secara bersama-sama ataupun
sendiri yang menimbulkan akibat kesehatan fisik. Dengan adanya ketentuan
39
Ibid. Hal. 166.
41
hukum pidana yang mengatur tentang tindakan main hakim sendiri akan
mengontrol masyarakat agar tidak berbuat sewenang-wenangnya sendiri.
Hal ini tercantum pada pasal 170 KUHP tentang ketertiban umum bahwa:
(1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan
terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
enam bulan.
(2) Tersalah diancam :
1. dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan
sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu
menyebabkam luka-luka.
2. dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan luka berat pada tubuh.
3. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan matinya orang. 40
Unsur-unsur diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Barang siapa, hal ini menunjukkan kepada orang sebagai pelaku.
2. Di muka umum, perbuatan yang dilakukan pada tempat yang dapat
dilihat oleh publik.
3. Bersama-sama, dilakukan oleh sedikitnya dua orang atau lebih.
Bersama-sama ini menunjukkan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan
sengaja (delik dolus) atau memiliki tujuan, jadi bukan
ketidaksengajaan (delik culpa).
4. Kekerasan, yang mempergunakan tenaga atau kekuatan.
5. Terhadap orang atau barang, kekerasan itu harus ditujukan kepada
orang atau barang sebagai korban.
Selama ini menjadi permasalahan terkait hukum dan pemberian sanksi
yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau sekumpulan
40 Andi Hamza. 2009. Delik-Delik Tertentu Dalam KUHP. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 7.
42
orang yang mengalami kesulitan dalam menerapkan di lapangan. Pada
perbuatan pidana yaang dilakukan oleh massa untuk menentukan batas
maksimal dari jumlah massa sulit, sebagaimana pengertian massa adalah terdiri
dari minimal dua orang pelaku dan tidak terbatas untuk jumlah maksimalnya.
Jadi uraian mengenai unsur-unsur pasal 170 KUHP, untuk mengontrol atau
mengendalikan masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri
untuk ketertiban umum yang ada di masyarakat dan kata massa yaitu terdiri
dari minimal dua orang dan tidak terbatas jumlah maksimal yang dikatakan
dengan massa. Serta menegaskan jika tindakan main hakim sendiri merupakan
tindak pidana yang diatur oleh undang-undang dan dilarang.