8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis
1. Preeklamsi
a. Pengertian preeklamsi
Preeklamsi adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan
proteinuria, edema atau kedua-duanya yang terjadi akibat kehamilan
setelah minggu ke-20 atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat
perubahan hidatidiformis yang luas pada vili dan korialis (Mitayani,
2009: 14).
Preeklamsi dan eklamsi adalah penyakit hipertensi yang khas
dalam kehamilan, dengan gejala utama hipertensi yang akut pada wanita
hamil dan wanita dalam nifas (Sastrawinata, dkk, 2004:68).
Preeklamsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurang perfusi organ akibat vasospasme, aktif endotel (Levenon, dkk,
2009:395).
Preeklamsi dan eklamsi merupakan kumpulan gejala yang
timbul pada ibu hamil, bersalin dan selama masa nifas, yang terdiri atas
trias gejala, yaitu hipertensi, proteinuria dan edema, kadang-kadang
disertai konvulsi sampai koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-
tanda kelainan vaskulear atau hipertensi sebelumnya (Yulaikhah,
2008:95).
8
9
Preeklamsia berat adalah suatu keadaan pada kehamilan
dimana tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau diastolik lebih
dari 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6
jam dengan ibu posisi tirah baring (Bobak, 2004:638).
b. Diagnosis preeklamsi
Menurut Corwin, Elizabeth J (2009:487) preeklamsi dapat
didiagnosa dengan cara, pada wanita yang setelah usia kehamil 20
minggu dan dihubungkan dengan penurunan aliran darah plasenta dan
pelepasan mediator kimiawi yang dapat menyebabkan disfungsi sel
endotel vaskular di seluruh tubuh.
Menurut Sastrawinata, dkk (2004:69) preeklamsi dapat
didiagnosa dengan cara, pada wanita yang hamil 20 minggu atau lebih
harus ditemukan hipertensi dengan proteinuria dan edema sekurang-
kurangnya hipertensi dan proteinuria.
1) Dikatakan hipertensi apa bila tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih,
kenaikan 30 mmHg di atas kenaikan biasanya. Tekanan diastolik 90
mmHg atau lebih atau kenaikan 15 mmHg di atas tekanan biasanya.
Tekanan darah ini diperoleh sekurang-kurangnya 2 kali dalam selang
waktu 4 jam.
2) Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam
atau sama dengan ≥ 1+ dipstick
3) Edema pada kaki, jari tangan, dan wajah, terutama menetap setelah
bangun tidur (Sarwono, 2009:532).
10
c. Gejala-gejala preeklamsi
Menurut Sastrawinata, dkk (2004:69-70) gejala-gejala
subjektif yang umum ditemukan pada preeklamsi adalah:
1) Sakit kepala yang hebat karena vasospasme atau edema otak.
2) Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh perdarahan atau
edema atau sakit karena perubahan pada lambung.
3) Gangguan penglihatan, seperti penglihatan menjadi kabur bahkan
kadang-kadang pasien buta. Gangguan ini disebabkan vasospasme,
edema, atau ablotio retinae. Perubahan-perubahan ini dapat dilihat
dengan oftalmoskop.
d. Etiologi preeklamsi
Etiologi pasti penyebab preeklamsi belum jelas. Seperti yang
diketahui bahwa permulaan penyakit saat trimester pertama dan kedua
kehamilan dengan masalah plasentasi serta endothelium ibu sebagai sel
target yang memicu manifestasi klinik penyakit. Preeklamsi terus
berkembang seiring bertambahnya usia kehamilan, terjadi secara
bertahap 2 sampai 4 minggu atau berat dan mendadak dalam 24 jam
(Benson, 2008:373).
Menurut Satrawinata, dkk (2004:70) penyebab preeklamsi
belum diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, faktor predisposisi
penyakit ini lebih sering ditemukan pada wanita hamil:
1) Primigravida.
2) Hiperplasentosis seperti pada kehamilan kembar, anak besar, mola
11
hidatidosa dan hidrops fetalis.
3) Mempunyai dasar penyakit vascular seperti hipertensi atau diabetes
militus.
4) Mempunyai riwayat preeklamsi atau eklamsi dalam keluarganya.
e. Patofisiologi preeklamsi
Menurut Cunningham, dkk (2005:644) semua teori yang
memuat tentang preeklamsi harus dapat menjelaskan pengamatan bahwa
hipertensi pada kehamilan jauh lebih besar, wanita yang kemungkinan
terkena hipertensi:
1) Terpajan virus korion untuk pertama kali.
2) Terpajan virus korion dalam jumlah sangat besar, seperti pada
kehamilan kembar atau mola hidatidosa.
3) Sudah mengidap penyakit vascular.
4) Secara genetis rentan terhadap hipertensi yang timbul saat hamil
Walaupun esensial, virus korion tidak harus menunjang janin atau
terletak di dalam uterus.
12
PATOFISIOLOGI PREEKLAMSI
hipertensi
kejang Iskemia
hepar Trombositopenia
olegoria Solusio
Edema Hemokon Proteinuria
Sentrasi
Bagan 2.1 Patofisiologi Preeklamsi
Sumber : Cunningham, dkk (2005:645).
Penyakit
Vascular Ibu
Ganguan
plasentasi
Trofoblas
berlebihan
Faktor genetik,
imunologik atau inflamasi
Penurunan perfusi
uteroplasenta
Zat vasoaktif:
prostaglandin,
nitrat oksida,
endotelin
Aktifitas
endotel Zat perusak :
sitokin,
peroksidase lemak
Vasospasma Kebocoran
kapiler
Aktifitas
koagulasi
13
Vasopasme adalah hal mendasar dalam patofisiologi
preeklamsi dan eklamsia. Konsep ini didasarkan pada pengamatan
langsung pembuluh darah halus didasar kuku, fundus okuli dan
konjungtiva bulbar dan diperkirakan dari perubahan histologis yang
dijumpai diberbagai organ yang terkena. Konstriksi vascular
menyebabkan resinten terhadap aliran darah dan berperan dalam
timbulnya hipertensi arteri. Vasospasma itu sendiri kemungkinan besar
juga menimbulkan kerusakan pada pembuluh. Selain itu, angiotensin II
menyebabkan sel-sel endotel berkontraksi. Perubahan ini mungkin
menyebabkan kerusakan sel endotel dan kebocoran di celah antara sel-sel
endotel serta menyebabkan kebocorannya konstituen darah, termasuk
trombosit dan fibrinogen yang kemudian mengendap di subendotel,
perubahan vaskuler ini, bersama dengan hipoksia lokal jaringan
disekitarnya, mungkin menyebabkan perdarahan, nekrosis dan berbagai
gangguan end-organ lainya yang dapat dijumpai pada preeklamsi berat.
Pengendapan fibrin cenderung menjadi prominen (Leveno, Kenneth J,
dkk, 2009:396).
f. Klasifikasi Preeklamsi
Menurut Mitayani (2009:16) preeklamsi digolongkan menjadi
2 golongan yaitu:
1) Preeklamsi ringan
a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, atau kenaikan diastolik 15
mmHg atau lebih dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.
14
b) Edema umum, kaki, jari, tangan, dan wajah atau kenaikan berat
badan 1 kg atau lebih perminggu.
c) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram atau lebih per liter, kualitatif 1+
atau 2+ pada urin kateter atau mid stream
2) Preeklamsi berat
a) Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik
110 mmHg.
b) Proteinuria 5 gram atau lebih per liter.
c) Oligoria jumlah urine kurang dari 500cc per 24 jam.
d) Gangguan serebral, gangguan visual dan rasa nyeri di epigastrum.
e) Edema paru atau sianosis.
g. Komplikasi preeklamsi
Menurut Benson (2008:374) komplikasi pada preeklamsi
terdiri dari:
1) Komplikasi pada ibu
a) Sindrom Hemolysis Elevated Liver enzyme Low Platelet Count
(HELLP) yaitu: mengalami hemolisis (H), peningkatan enzim hati
(EL), dan jumlah trombosit rendah (low platelet, LP).
b) Eklamsia
c) Edema paru
d) Dekompensasi jantung
e) Koagulopati
f) Gagal ginjal
15
g) Nyeri epigastrik, gejala-gejala serebral
2) Kelainan pada janin
Terjadinya gawat janin
h. Pencegahan preeklamsi
Beberapa pencegahan Preeklamsi menurut Yulaikhah
(2008:100) meliputi:
1) Lakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur dan bermutu serta teliti.
2) Waspadai kemungkinan Preeklamsi jika ada faktor predisposisi.
3) Beri penyuluhan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, diet
rendah garam, lemak serta karbohidrat, diet tinggi protein, menjaga
kenaikan berat badan.
i. Pengobatan preeklamsi
Tingkat pemulaan, preeklamsi tidak memberikan gejala-gejala
yang dapat dirasakan oleh pasien sendiri, oleh karena itu, diagnosa dini
hanya dapat selama prenatal care yang baik. Pasien hamil hendaknya
diperiksa sekali 2 minggu setelah bulan ke 6 dan seminggu sekali pada
bulan-bulan terakhir, harus ditentukan tekanan darah, penambahan berat,
dan ada atau tidak adanya edema dan proteinuria. Pasien juga harus
mengetahui tanda-tanda bahaya, yaitu sakit kepala, gangguan penglihatan
dan bengkaknya tangan atau muka, jika salah satu dari gejala ini timbul,
ibu harus memeriksakan diri, jangan menunggu pemeriksaan rutin untuk
mencegah terjadinya eklamsi, anak harus lahir dengan kemungkinan
hidup yang besar, pesalinan harus dengan trauma yang sesedikit-dikitnya
16
dengan upaya menghindari kesulitan pada kehamilan atau persalinan
berikutnya, mencegah hipertensi yang menetap (Sastrawinata, dkk,
2004:73).
Menurut Yulaikhah (2008:100) penanganan preeklamsi terdiri
dari:
1) Preeklamsi ringan
a) Beri diet rendah garam.
b) Beri obat penenang (valium, fenobarbital).
c) Hindari pemberian diuretikum dan antihipertensi.
d) Pantau keadaan janin.
e) Persalinan dapat dilakukan spontan bila perlu memperpendek kala
II dengan vakum atau forceps
f) Jika ada indikasi, lakukan Sectio Caesaria (SC).
2) Preeklamsi berat
a) Beri diet rendah garam dan tinggi protein.
b) Pasang infus RL atau asering.
c) Pemantauan tanda-tanda vital.
d) Beri antikonvulsan: obat pilihan MgSO4 (magnesium sulfat),
alternative diazepam.
e) Beri obat antihipertensi: obat pilihan hidralazin, alternative
labetalol, nifidipin, metildopa.
f) Hindari pemberian diuretik, kecuali pada edema umum, edema
paru, gagal jantung kongestif.
17
g) Persingkat kala II dengan vakum atau forseps.
h) Jika partus pervaginam, dalam 24 jam bayi harus lahir.
i) Hindari pemberian metergin pasca partum, kecuali ada perdarahan
hebat.
j) Jika ada indikasi, lakukan Sectio Caesaria (SC).
j. Pengobatan medisinal preeklamsi
a) Obat anti kejang
a) MgSO4 (magnesium sulfat)
Pada kasus preeklamsi yang berat, magnesium sulfat
yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang
efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada
ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena
melalui infus kontinu atau intramuskular dengan injeksi intermiten.
Persalinan dan kelahiran merupakan saat kemungkinan besar
terjadinya kejang, wanita dengan preeklamsi berat biasanya diberi
magnesium sulfat selama persalinan dan selama 24 jam post
partum (Cunningham, dkk, 2005:660).
Keuntungan pemberian magnesium sulfat adalah peningkatan
aliran darah rahim untuk melindungi janin dan peningkatan
prostasiklin untuk vasokontriksi rahim (Bobak, 2004:643).
18
Cara pemberian magnesium sulfat pada pasien preeklamsi berat
yaitu:
(1) Infus intravena kontinu
(a) Berikan dosis bolus 4 sampai 6 gram magnesium sulfat
yang diencerkan dalam 100 ml cairan intravena dan
diberikan dalam 15-20 menit.
(b) Mulai infus rumatan dengan dosis 2 gram/jam dalam 100
ml cairan intravena.
(c) Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.
(2) Injeksi intramuscular intermiten
(a) Berikan 4 gram magnesium sulfat sebagai larutan 20%
secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1
gram/menit.
(b) Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan magnesium
sulfat 40%, separuhnya (5 gram) disuntikan dalam-dalam
di kuadran lateral atas bokong (penambahan 1 ml lidokain
2% dapat mengurangi nyeri).
(c) Setelah 4 jam sesudahnya berikan 5 gram larutan
magnesium sulfat 40% yang disuntikan dalam-dalam ke
kuadran lateral atas bokong bergantian kiri kanan, tetapi
hanya setelah dipastikan bahwa reflek patella masih baik,
tidak terdapat depresi pernapasan, pengeluaran urin
selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml.
19
(d) Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah kelahiran
(Cunningham, dkk, 2005:660).
Menurut Achadiat (2004: 13) cara pemberian Magnesium sulfat
yaitu:
(1) Dosis awal (loading dose) 4-6 gram intravena dengan
kecepatan pemberian tidak lebih dari 1 gram/menit.
(2) Diikuti dengan pemberian secara infus (drip) dengan dosis 1,5-
2 gram/jam, agar dicapai kadar serum 4,8-8,4 mg/dL (4-7
mEq/L).
(3) Bila masih terjadi kejang dengan pemberian di atas, dapat
diberikan diazepam 5-10 mg intravena atau amobarbital 250
mg intravena
(4) Penggunaan MgSO4biasanya sampai 24 jam setelah bayi lahir,
atau setelah produksi urine normal kembali.
Syarat pemberian MgSO4:
(1) Harus tersedia antidotum, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram
dalam 10 cc) diberikan intravena dalam 3 menit.
(2) Frekuensi pernapasan ≥16 kali per menit.
(3) Diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir
(4) Reflek patella positif (Rustam, 2012:146).
Pemberian MgSO4 dihentikan apabila
(1) Ada tanda-tanda intoksikasi.
(2) Setelah 24 jam pasca persalinan.
20
(3) Dalam 6 jam pasca persalinan, sudah terjadi perbaikan (normo-
tensif) (Sastrawinata, 2004:75).
b) Diazepam
Diazepam hanya dipakai jika magnesium sulfat tidak tersedia.
Cara pemberian diazepam:
Pemberian melalui intravena
(1) Dosis awal
Dosis 10 mg intravena pelan-pelan selama 2 menit.
(2) Dosis pemeliharaan
(a) Diazepam 40 mg dalam 500 ml larutan ringer laktat per-
infus.
(b) Depresi pernapasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis >
30 mg/jam.
(c) Jangan berikan >100 mg/24 jam (Sastrawinata, 2004:75).
2) Obat antihipertensi
a) Obat pilihan hidralizin: 5 mg intravena pelan-pelan setiap 5 menit,
jika perlu diulang tiap jam atau 12,5mg/2jam.
b) Alternatif: labetalol, nifedipin, metildopa.
(1) Labetalol 10 mg intravena, jika tidak ada respon 20 mg
intravena, dosis dapat dinaikkan sampai 40 hingga 80 mg.
(2) Nefidipin 30 mg/hari peroral.
(3) Metildopan 3X 250-500 mg/hari (Sastrawinata, 2004:75).
21
k. Penatalaksanaan preeklamsi
Preeklamsi berat pada kehamilan dengan adanya komplikasi
gawat janin dan komplikasi maternal, persalinan harus di lakukan
dengan Sectio Caesaria (Yulaikhah, 2008:101).
Menurut Cunningham, dkk, (2005:595) Sectio Caesaria
dilakukan karena adanya indikasi: riwayat Sectio Caesaria sebelumnya,
distosia persalinan, gawat janin, letak sungsang
Sectio Caesaria adalah sebagai lahirnya janin melalui insisi di
dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi)
(Cunningham, dkk, 2005:592).
Post Sectio Caesaria adalah wanita hamil yang pernah
mengalami pembedahan atau Sectio Caesaria untuk mengakhiri
kehamilan sebelumnya, maupun operasi-operasi lain (misalnya
miomektomi) yang irisannya menembus hingga mencapai kavum uteri
(Achadiat, 2003:55).
Sectio Caesaria dilakukan karena adanya indikasi: riwayat
Sectio Caesaria sebelumnya, distosia persalinan, gawat janin, letak
sungsang (Cunningham, dkk, 2005:595).
22
2. Nifas
a. Pengertian nifas
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulihnya kembali dari
persalinan selesai hingga alat-alat kandungan kembali seperti sebelum
hamil (Bahiyatun, 2008:2).
Masa nifas (puerperium) adalah periode dimana dimulai
setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali
seperti keadaan semula atau sebelum hamil, yang berlangsung selama
kira-kira 6 minggu (Hamidah & Syafrudin, 2009:110).
Bahaya terbesar terjadi pada masa nifas adalah hemoragi atau
perdarahan. Adanya sebab itu, pengkajian tanda-tanda vital, syok
hipovolemik, tinggi fundus uteri (untuk mengetahui intensi), distensi
urine, sifat dan jumlah lochea, hemostatis perineum, ketidaknyamanan,
bonding attachment, dan status emosional sangat penting dilakukan
untuk mengurangi bahaya masa nifas (Hamidah & Syafrudin, 2009:110).
b. Periode masa nifas
Menurut Bahiyatun (2008:2). Saat masuknya seorang dalam
masa nifas mengalami beberapa periode, periode-periodenya yaitu:
1) Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan
berdiri dan berjalan.
2) Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital.
3) Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan
sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
23
mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna mungkin
beberapa minggu, bulan, atau tahun.
c. Perubahan fisiologi pada masa nifas
1) Uterus
Setelah persalinan, caliber pembuluh ekstrauterum berkurang hingga
hampir mencapai keadaan sebelum hamil. Lubang servik berkontraksi
secara perlahan, dan selama beberapa hari setelah persalinan, lubang
ini masih mudah dimasuki oleh dua jari. Pada akhir minggu pertama,
servik menebal, dan kanalis terbentuk kembali. Os Sternum tidak
pulih secara total ke bentuk pragravidanya.
Os Sternum melebar dan cekungan bilateral di tempat laserasi
menetap sehingga menjadi tanda servik para. Setelah 2 hari pertama,
uterus mulai menciut sehingga dalam 2 minggu uterus telah turun ke
dalam rongga panggul sejati. Uterus memperoleh kembali ukuran pra
hamilnya dalam waktu sekitar 4 minggu (Leveno, dkk, 2009:339).
Segera setelah lahirnya plasenta, pada uterus yang berkontraksi posisi
fundus uteri berada kurang lebih pertengahan antara umbilicus dam
simfisis atau sedikit lebih tinggi. Dua hari kemudian, kurang lebih
sama dan kemudian mengerut, sehingga dalam 2 minggu telah masuk
ke dalam rongga pelvis dan tidak dapat diraba lagi dari luar. Involusi
dapat dipercepat prosesnya bila ibu menyusui bayinya (Saleha, Sitti,
2009:54).
24
(a) Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa involusi
Menurut Saleha, Sitti (2009:85) tinggi fundus uteri dan
berat uterus menurut masa involusi yaitu:
(1) Bayi lahir tinggi fundus uteri setinggi pusat beratnya 1000 gr
(2) 1 minggu tinggi fundus uteri setinggi pertengahan pusat
simpisis beratnya 750gr
(3) 2 minggu tinggi fundus uteri tidak teraba beratnya 500gr
(4) 6 minggu tinggi fundus uteri normal beratnya 50gr
(5) 8 minggu tinggi fundus uteri normal tapi sebelum hamil
b) Uterus biasanya mengalami keadaan sebagai berikut:
(1) Afterpains
Pada multipara, uterus sering berkontraksi dengan kuat pada
intervensi-intervensi tertentu dan menimbulkan afterpains.
Afterpains terutama terasa jika bayi menyusu, karena
memerlukan analgesik, tetapi nyeri umumnya berkurang pada
hari ketiga post partum. Analgesik jika mungkin diberikan
sebelum menyusui karena produksi ASI mengaktifkan
kontraksi uterus dan menyebabkan nyeri (Franser, Diane M
& Margaret A, 2009: 617).
(2) Lochea
Lochea adalah eksresi cairan rahim selama masa nifas.
Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang
nekrotik dari dalam uterus. Lochea mempunyai bau amis/
25
anyir seperti darah menstruasi. Lochea yang berbau tidak
sedap menandakan adanya infeksi. Lochea mempunyai
perubahan karena proses involusi. Proses keluarnya darah
nifas atau lochea terdiri dari:
(a) Lochea Rubra/ merah
Lochea yang keluar pada hari 1-4 masa post partum,
cairan yang berwarna merah karena berisi darah segar,
jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi,
lanugo (rambut bayi), dan mekonium.
(b) Lochea Sanguinolenta
Lochea yang keluar pada hari ke 4-7 post partum, cairan
yang keluar berwarna merah kecoklatan dan berlendir.
(c) Lochea Serosa
Lochea yang keluar pada hari ke 7-14 post partum,
cairan yang keluar berwarna kuning kecoklatan karena
mengandung serum, leukosit dan robekan/ laserasi
plasenta.
(d) Lochea Alba/ putih
Lochea yang keluar pada 2 sampai 6 minggu, yang
mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput
lender serviks dan serabut jaringan yang mati (Wulandari
&Ambarwati, 2010:78).
26
(3) Subinvolusi
Kala ini menerangkan penghentian atau retardasi
involusi, proses secara normal pulih ke ukurannya semula
pada masa nifas. Hal ini disertai oleh perdarahan uterus yang
irregular atau berlebihan. Beberapa kausal subinvolusi yang
dikenal adalah retensi potongan plasenta dan endometritis.
Kelainan ini berespon terhadap pemberian terapi antimikroba.
Ergonovin (ergotrate) atau metilergonovin (methergin) 0,2
mg setiap 3 sampai 4 jam selama 24 hingga 48 jam
dianjurkan oleh sebagian orang.
Kadang-kadang timbul perdarahan untuk yang
serius 1 sampai 2 minggu masa nifas. Hal ini paling sering
disebabkan oleh involusi abnormal tempat perlekatan
plasenta, meskipun dapat juga disebabkan oleh retensi
sebagian plasenta (Leveno, dkk, 2009:339).
2) Saluran kemih
Ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama
kehamilan kembali normal pada akhir minggu keempat setelah
melahirkan. Diuresis yang normal dimulai segera setelah bersalin
sampai hari kelima setelah persalinan. Jumlah urin yang keluar dapat
melebihi 3000ml/hari. Kandung kemih pada puerperium mempunyai
kapasitas yang meningkat secara relative, oleh karena itu distensi yang
27
berlebih, urin residu yang berlebih, dan pengosongan yang
tidak sempurna harus diwaspadai dengan seksama. Ureter dan pelvis
renalis yang mengalami distensi akan kembali normal pada dua
sampai delapan minggu setelah persalinan (Saleha, Sitti,2009:59).
3) Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan
yang sangat besar selama proses persalinan dan akan kembali secara
bertahap dalam 6-8 minggu post partum. Penurunan hormon
eksterogen pada masa post partum berperan dalam penipisan mukosa
vagina dan hilangnya rugae. Rugae akan terlihat kembali pada sekitar
minggu ke-4 (Wulandari & Ambarwati, 2010:80).
4) Peritonium dan dinding abdomen
Ligamentum lantum dan teres memerlukan waktu cukup
lama untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran yang terjadi.
Dinding abdomen tetap lunak dan lembek akibat ruptur serat elastik
di kulit. Pemulihan struktur ini ke normal, memerlukan waktu
beberapa minggu, dan pemulihan dapat dipercepat dengan senam
(Leveno, dkk, 2009:341).
5) Darah
Biasanya selama beberapa hari pertama post partum,
konsentrasi hematrokit meningkat kira-kira 5% di atas nilai sebelum
kelahiran, pada pasien-pasien dengan kelahiran per vaginam tanpa
komplikasi, meskipun perdarahan rata-rata 500 ml tentu saja volume
28
darah menurun kira-kira 20% pada hari ke lima post partum. Setelah
kelahiran dengan Sectio Caesaria terjadi penurunan hematokrit kira
5% pada hari kelima post partum akibat perdarahan rata-rata 100ml
(Benson, Ralph C. 2008:273)
6) Penurunan berat badan
Terjadi penurunan berat badan sekitar 5 sampai 6 kg akibat
evaluasi uterus dan pengeluaran darah normal, Selain itu, biasanya
terjadi penurunan lebih lanjut sebesar 2 hingga 3 kg melalui diuresis.
Sebagian besar wanita hampir mencapai kembali berat badan pra
hamil mereka dalam 6 bulan setelah melahirkan, tetapi masih
memiliki surplus 1,4 kg. (Leveno, dkk, 2009:341).
7) Payudara
Produksi ASI keluar sesudah kelahiran bayi ketika kadar hormone
estrogen menurun yang akan meningkatkan kadar prolaktin
danproduksi ASI pun dimulai ( Bahiyatun, 2008:8)
d. Tanda-tanda bahaya nifas
Tanda-tanda bahaya pada masa nifas menurut Tri Sunarsih dan
Vivuan Nanny (2011: 198) yaitu :
1) Perdarahan lewat jalan lahir.
Pencegahan dan penanganan perdarahan pasca persalinan dapat
menggunaan oksitosin. Uterotonika adalah zat yanag digunakan
Untuk meningkatkan kontraksi uterus. Uterotonik banyak digunakan
untuk induksi, penguatan persalinan, pencegahan serta penanganan
29
perdarahan post partum, penegndapan perdarahan akibat abortus
inkomplet dan penanganan aktif pada Kala III persalinan. Oksitosin
atau uterotonika adalah obat yang merangsang kontraksi uterus
(Theodorus, 2004:209).
2) Keluar cairan berbau dari jalan lahir.
3) Demam lebih dari 2 hari.
4) Bengkak di muka, tangan, atau kaki disertai sakit kepala dan atau
kejang.
5) Nyeri dan panas di daerah tungkai.
6) Payudara bengkak, berwarna kemerahan dan sakit.
7) Puting susu lecet.
8) Ibu mengalami depresi (antara lain menangis tanpa sebab dan tidak
peduli pada bayinya.
e. Pengawasan post partum
Konsep pengawasan post partum adalah early mobilization dan
early lactation. Early mobilization bertujuan agar lochea segera keluar
sehingga tidak terjadi lochea statis, yang dapat menjadi sumber infeksi
puerperium. Early loctation bertujuan agar laktasi dapat membantu
pemulihannya kembali organ internal dan pengeluaran lochea karena
kontraksi otot rahim akibat pengeluaran oksitosin (Manuaba, 2003:62).
Menurut Manuaba (2003:62) dalam pengawasan post partum,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, adalah sebagai berikut:
1) Konsep early mobilization dan early lactation.
30
2) Evaluasi kejiwaan ibu postpartum.
3) Masalah diet, miksi, dan defekasi sebaiknya lancar.
4) Masalah pengeluaran lochea diharapkan sesuai dengan persalinan
normal.
5) Perawatan payudara sehingga secara dini dapat memberikan laktasi
untuk kepentingan tumbuh kembang janin.
6) Bagi ibu yang bekerja perlu diperhatikan, cuti hamil persalinan.
7) Nasehat yang perlu diperhatikan.
a. Diet tinggi kalori, protein, dan mineral.
b. Pakaian sering diganti karena locheanya.
c. Upaya dapat memberikan ASI ekslusif.
d. Senam post partum sehingga pulihnya jaringan penyangga alat
reproduksi dapat segera tercapai.
8) Pemeriksaan akhir masa puerperium, khususnya serviks uteri, sehinga
kesembuhannya dapat berjalan dengan baik untuk menghindari infeksi
akut atau menahun. Lakukan pemeriksaan Pap Smear untuk mencari
kemungkinan porsio karsinoma, khususnya bagi multipara.
9) Anjurkan untuk memakai KB sehingga interval kehamilan melebihi
umur anak ke 3-4 tahun.
f. Penatalaksanaan post Sectio Caesaria
Perawatan post operasi setelah dari ruang operasi, pasien akan dibawa
keruang pemulihan,di ruang ini berbagai pemeriksaan akan dilakukan
meliputi: pemeriksaan tingkat kesadaran,sirkulasi pernafasan, tekanan
31
darah, suhu tubuh, jumlah urin yang tertampung di kantong urin, jumlah
darah dalam tubuh, serta jumlah dan bentuk cairan lochea untuk
memastikan tidak ditemukan gumpalan darah yang abnormal atau
perdarahan yang berlebih (Kasdu, 2003:64)
1) Perawatan post Sectio Caesaria antara lain:
a) Analgesia
Mepiridin 75 sampai 100 mg dapat diberikan secara intramuscular,
paling sering setiap 3 jam sesuai kebutuhan untuk menghilangkan
nyeri, atau morfin sulfat 10 sampai 15 mg dengan cara pemberian
yang sama. Pemberian narkotik biasanya disertai antiemetik,
misalnya promotizin 25 mg. Pada periode pasca operasi dini,
mepiridin atau morfin intravena melalui pompa yang dikendalikan
oleh pasien bahkan merupakan alternatif yang lebih efektif dari
pada terapi bolus (Cunningham, dkk 2005:615).
Menurut Kasdu (2003:69) cara mengurangi rasa sakit
atau perih, beberapa dokter akan memberikan obat mengurangi rasa
sakit dan akan melapisi perut dengan lipatan handuk atau kain dan
menghindari menggunakan celana dalam mini yang ketat karena
akan menekan jahitan bekas operasi.
b) Tanda –tanda vital
Tanda-tanda vital setelah dipindahkan, wanita yang bersangkutan
sekarang dievaluasi paling sedikit setiap jam selama minimal 4
jam, dan tekanan darah, nadi, jumlah urin, jumlah perdarahan, serta
32
status fundus diperkirakan setiap 4 jam, demikian juga suhu tubuh
(Cunningham, dkk 2005:615).
c) Terapi cairan dan makanan
Secara umum, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24 jam
pertama setelah pembedahan. Namun apabila pengeluaran urin
turun di bawah 30 ml/jam, wanita tersebut harus segera di re-
evaluasi. Penyebab oligouria dapat berkisar dari pengeluaran darah
yang diketahui sampai efek antidiuretik dari infus oksitosin
(Cunningham, dkk 2005 : 615).
d) Fungsi kandung kemih dan usus
Kateter kandung kemih umumnya dapat dilepas dalam waktu 12
jam setelah operasi atau yang lebih enak keesokan pagi setelah
pembedahan. Pada kasus nonkomplikata, makanan padat dapat
diberikan dalam 8 jam setelah pembedahan (Cunningham, dkk
2005:616). Staf perawat juga akan mencatat dan memeriksa air seni
yang keluar dan tertampung di kantung urin selama ibu masih
menggunakan kateter. Kateter digunakan, sampai ibu merasa kuat
bangun dari tempat tidur (Kasdu,2003:66).
e) Ambulasi
Pada sebagian besar kasus, satu hari setelah pembedahan pasien
seyogyanya dapat turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan
paling sedikit dua kali. Waktu ambulasi dapat diatur sehingga
analgetik yang baru diberikan dapat mengurangi rasa nyeri. Pada
33
hari kedua pasien dapat berjalan dengan bantuan. Dengan ambulasi
dini, thrombosis vena dan emboli paru jarang terjadi (Cunningham,
dkk 2005:616).
Menurut Kasdu (2003:72) ibu yang baru melahirkan
dengan Sectio Caesaria agar segera menggerakkan anggota
tubuhnya. Gerak tubuh ini akan membantu ibu memperoleh
kembali kekuatan dengan cepat dan memudahkan kerja usus besar
serta kandung kemih, paling tidak sampai ibu bisa buang gas.
Aktifitas ini juga akan membantu mempercepat organ-organ tubuh
kembali bekerja seperti semula. Meskipun demikian, ibu tetap
berada di ranjang selama enam jam pertama setelah operasi. Pada
saat ini gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan
lengan, tangan, dan jari-jarinya agar kerja organ pencernaan segera
kembali normal. Apabila gerakan ini masih terasa berat, setidaknya
12 jam setelah Sectio Caesaria sudah mampu untuk menggerakkan
kaki dan tungkai bawah. Ibu mulai duduk pada jam ke-8 sampai ke-
12 setelah Sectio Caesaria. Ibu dapat berjalan apabila mampu pada
24 jam setelah Sectio Caesaria.
f) Perawatan luka
Insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (atau klip) diangkat
pada hari keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga post
partum mandi dengan pancuran tidak membahayakan insisi
(Cunningham, dkk, 2005:616).
34
Menurut Kasdu (2003:66) jahitan bekas luka di perut ibu
akan ditutup oleh kain kasa lembut. Kasa perut harus dilihat satu
hari pasca bedah. Apabila basah dan berdarah harus di buka dan
diganti, umumnya, kasa perut dapat diganti pada hari ke 3-4
sebelum pulang.
g) Pemeriksaan laboratorium
Hematokrit secara rutin diukur pada hari setelah pembedahan.
Apabila hematokrit menurun secara bermakna dibanding dengan
kadar pra operasi, pemeriksaan diulang dan dilakukan pemeriksaan
untuk mengidentifikasi penyebab penurunan tersebut. Apabila
hematokrit yang rendah itu stabil, pasien dapat diambulasi tanpa
kesulitan dan apabila sedikit kemungkinan untuk pengeluaran
darah lebih lanjut, pasien lebih baik diberi terapi suplemen besi
untuk memperbaiki keadaan hematologisnya dari pada diberi
tranfusi (Cunningham, dkk, 2005:616).
h) Perawatan payudara
Menyusui dapat dimulai pada hari pembedahan. Apabila pasien
memilih untuk tidak menyusui, dapat diberikan bebat untuk
menopang payudara tanpa terlalu menekan dan biasanya dapat
mengurangi rasa nyeri (Cunningham, dkk, 2005:616).
Menurut Kasdu (2003:82) cara menghindari rasa nyeri di
perut saat menyusui yaitu: tidak menyentuh daerah bekas operasi
ibu bisa menyusui sambil berbaring miring (apabila belum sangup
35
duduk) atau membaringkan bayi diatas bantal, kemudian diletakkan
di pangkuan.
i) Pemulangan dari Rumah Sakit
Apabila pasien tidak mengalami penyulit dalam masa nifas, pasien
umumnya dipulangkan pada hari ke tiga sampai ke empat post
partum (Kasdu 2003:73).
j) Mencegah infeksi pasca operasi
Morbidibitas demam cukup sering dijumpai setelah Sectio Cesaria.
Sejumlah uji klinis acak telah membuktikan bahwa antibiotik dosis
tunggal yang diberikan pada saat Sectio Cesaria akan secara
bermakna mencegah infeksi. Infeksi panggul pasca operasi
merupakan penyebab tersering demam dan tetap terjadi pada
sekitar 20% wanita walaupun mereka telah diberi antimikroba
profilaksis partum (Cunningham, dkk, 2005:616).
2) Perawatan post persalinan preeklamsi
Edema serebral, edema paru, gangguan ginjal dapat terjadi
24-36 jam post persalinan. Setelah persalinan 6 jam pertama resistensi
(tahanan) perifer meningkat. Akibatnya, terjadi peningkatan kerja
ventrikel kiri (left ventricular work load). Bersamaan dengan itu
akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam intravaskular. Perlu
terapi lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Banyak perempuan
dengan hipertensi kronik dan Superimposed preeklamsi, mengalami
penciutan volume darah (hipovolemia).
36
Bila terjadi perdarahan post persalinan, sangat berbahaya bila diberi
cairan kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah
mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan
adalah pemberian transfusi darah (Prawirohardjo, 2009:559).
37
38
B. Teori Manajemen Kebidanan
Penerapan manajemen kebidanan dalam bentuk kegiatan praktek
kebidanan dilakukan melalui suatu proses yang disebut langkah-langkah atau
proses manajemen kebidanan. Langkah-langkah manajemen kebidanan
tersebut adalah
1. Langkah I (Tahap pengumpulan data dasar)
Langkah pertama ini dikumpulkan semua informasi yang akurat
dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. Untuk
memperoleh data dilakukan dengan cara anamnesa, pemeriksaan fisik sesuai
dengan kebutuhan dan pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan khusus
dan pemeriksaan penunjang.
Tahap ini merupakan langkah awal yang akan menentukan
langkah berikutnya, sehingga kelengkapan data sesuai dengan kasus yang
dihadapi yang akan menentukan proses interpretasi yang benar atau tidak
dalam tahap selanjutnya. Sehingga dalam pendekatan ini harus
komprehensif meliputi data subjektif, obyektif, dan hasil pemeriksaan
sehingga dapat menggambarkan kondisi pasien yang sebenarnya dan valid
(Estiwidani, dkk, 2008:134).
Data yang dikumpulkan pada masa post partum adalah sebagai
berikut: catatan pasien sebelumnya seperti catatan perkembangan ante dan
intranatal, lama post partum, catatan perkembangan suhu, denyut nadi,
pernapasan, tekanan darah, pemeriksaan laboratorium dan laporan
pemeriksaan tambahan. Catatan obat-obatan yang diberikan seperti
39
(Ketorolac, Cefotaksin, Nepidipin. Dopamet, Amoxilin, Tablet besi, Vit C,
B complek, Asam mefenamat), riwayat kesehatan ibu seperti mobilisasi,
buang air kecil, buang air besar, nafsu makan, ketidak nyamanan atau rasa
sakit, kekhawatiran, makanan bayi, reaksi bayi, reaksi proses melahirkan
dan kelahiran, kemudian pemeriksaan fisik bayi, tanda vital. Kondisi
payudara, puting susu, pemeriksaan abdomen, kandung kemih, uterus,
lochea mulai warna, jumlah dan bau. Pemeriksaan perineum: seperti adanya
edema, inflamasi, hematoma, pus, luka bekas episiotomi, kondisi jahitan,
ada tidaknya hemoroid. Pemeriksaan ekstermitas seperti ada tidaknya
varises, reflek, dan lain-lain (Wildan & Alimul, 2008:65).
2. Langkah II (Interpretasi data dasar)
Langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosa atau
masalah berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Data dasar tersebut kemudian diinterpretasikan sehingga
dapat dirumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik. Baik rumusan
diagnosa maupun masalah , keduanya harus diganti. Meskipun masalah
tidak dapat diartikan sebagai diagnosa, tetapi tetap membutuhkan
penanganan (Soepardana, Suryani, 2007:99).
Masalah juga sering menyertai diagnosa. Diagnosa kebidanan
adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup praktek kebidanan
dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan.
Standar nomenklatur diagnosa kebidanan:
a. Diakui dan telah disahkan oleh profesi.
40
b. Berhubungan lansung dengan praktek kebidanan.
c. Memiliki ciri khas kebidanan.
d. Didukung oleh clinical judgement dalam praktek kebidanan.
e. Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan
(Estiwidani, dkk, 2008:134)
Interpretasi data dasar yang akan dilakukan adalah beberapa data
yang ditemukan pada saat pengkajian postpartum seperti
a. Diagnosa
1) Postpartum hari pertama.
2) Perdarahan nifas.
3) Post Sectio Cesaria.
4) Dan lain-lain.
b. Masalah
1) Kurangnya informasi.
2) Tidak pernah ANC.
3) Dan lain-lain (Wildan & Alimul, 2008:76).
3. Langkah III (Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial)
Langkah ini bidan mengidentifikasi masalah potensial lain
berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa potensial lain berdasarkan
rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Langkah ini
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil
mengamati klien bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa/masalah
potensial ini benar-benar terjadi ( Hidayati & Mufdlilah, 2008:75)
41
Langkah ini penting sekali dalam melakukan asuhan yang aman.
Pada langkah ketiga ini bidan dituntut untuk mampu mengantisipasi
masalah potensial, tidak hanya merumuskan masalah potensial yang akan
terjadi tetapi juga merumuskan tindakan antisipasi agar masalah atau
diagnosa potensial tidak terjadi. Sehingga langkah ini benar merupakan
langkah yang bersifat antisipasi yang rasio atau logis (Estiwidani, dkk,
2008:135)
Beberapa hasil dari interpretasi data dasar dapat digunakan dalam
identitas diagnosa atau masalah potensial pada masa postpartum, serta
antisipasi terhadap masalah yang timbul (Wildan & Alimul, 2008:66).
1. Langkah IV (Menentukan kebutuhan terhadap tindakan segera untuk
melakukan konsultasi, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain berdasarkan
kondisi klien)
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter
dan atau untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim
kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah keempat
mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen kebidanan. Jadi
manajemen bukan haya selama asuhan primer periodik atau kunjungan
prenatal saja tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan terus
menerus, misalnya pada waktu wanita tersebut dalam persalinan. Dalam
kondisi tertentu seorang wanita mungkin juga akan memerlukan konsultasi
atau kolaborasi dengan dokter atau tim kesehatan lain seperti pekerjaan
sosial, ahli gizi atau seorang ahli perawatan klinis bayi baru lahir. Dalam hal
42
ini bidan harus mampu mengevaluasi kondisi setiap klien untuk menentukan
kepada siapa konsultasi dan kolaborasi yang palig tepat dalam menejemen
asuhan kebidanan.
Bidan dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prioritas
masalah atau kebutuhan yang dihadapi kliennya. Setelah bidan merumuskan
tindakan yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi diagnosa atau masalah
potensial pada step sebelumnya, bidan juga harus merumuskan tindakan
segera yang harus dirumuskan untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Dalam
rumusan ini termasuk tindakan segera yang mampu dilakukan secara
mandiri, secara kolaborasi atau bersifat rujukan (Estiwidani, dkk,
2008:136).
Menetapkan kebutuhan terhadap tindakkan segera atau masalah
potensial pada masa postpartum. Langkah ini dilakukan untuk
mengantisipasi dan melakukan konsultasi, dan kolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain berdasarkan kondisi pasien (Wildan & Alimul, 2008:66)
2. Langkah V (Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh)
Langkah ini diperlukan perencanaan secara menyeluruh terhadap
masalah dan diagnosa yang ada, dalam proses perencanaan asuhan yang
menyeluruh juga dilakukan identifikasi beberapa data yang tidak lengkap
agar pelaksanaan secara menyeluruh dapat teratasi (Sari, Rury Narurita,
2012: 96).
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa-apa
yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang
43
berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita
tersebut seperti apa yang diperkirakan atau terjadi berikutnya, apakah
dibutuhkan penyuluhan, konseling dan apakah perlu merujuk klien bila ada
masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial ekonami, kultur atau
masalah psikologi. Dengan perkataan lain, asuhan terhadap wanita tersebut
sudah mencakup setiap hal yang berkaitan dengan setiap aspek asuhan
kesehatan. Setiap rencana asuhan haruslah disetujui oleh kedua pihak, yaitu
oleh bidan dan klien agar dapat dilaksanakan dengan efektif karena klien
juga akan melakukan rencana tersebut, oleh karena itu, pada langkah ini
tugas bidan adalah merumuskan rencana asuhan sesuai dengan hasil
pembahasan rencana asuhan bersama klien kemudian membuat kesepakatan
bersama sebelum melaksanakannya.
Semua keputusan ini harus rasional dan benar-benar valid
berdasarkan pengetahuan dan teori yang up to date serta sesuai dengan
asumsi tentang apa yang akan ditentukan klien (Estiwidani, dkk, 2008:137).
Rencana asuhan menyeluruh pada masa postpartum yang dapat
dilakukan antara lain sebagai berikut
a. Manajemen asuhan awal puerperium
1) Kontak dini sesering mungkin dengan bayi.
2) Mobilisasi di tempat tidur.
3) Diet.
4) Perawatan perineum.
5) Buang air kecil spontan atau kateteri.
44
6) Obat penghilang rasa sakit kalau perlu.
7) Obat tidur kalau perlu.
8) Obat pencahar.
9) Dan lain-lain.
b. Asuhan lanjutan
1) Tambahan vitamin atau zat besi jika diperlukan
2) Perawatan payudara.
3) Rencana KB.
4) Pemeriksaan laboratorium jika diperlukan.
5) Dan lain-lain (Wildan & Alimul, 2008:66).
3. Langkah VI (Pelaksanaan langsung asuhan dengan efisien dan aman)
Langkah keenam ini merupakan tahap pelaksanaan dari semua
rencana sebelumnya, baik terhadap masalah pasien maupun diagnosa yang
ditegakkan. Pelaksanaan ini dapat dilakukan oleh bidan secara mandiri
maupun berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, jika bidan tidak
melakukan sendiri, ia tetap memikul tanggungjawab untuk mengerakan
pelaksanaanya rencana asuhan yang menyeluruh (Sari, Rury Narurita, 2012:
96).
Situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk
menangani klien yang mengalami komplikasi, maka terlibatan bidan dalam
manajemen asuhan bagi klien adalah tetap bertangungjawab terhadap
terlaksananya rencana asuhan bersama yang menyeluruh tersebut.
45
Manajemen yang efisien akan menyangkut waktu dan biaya serta
meningkatkan mutu dan asuhan klien (Estiwidani, dkk, 2008:138).
Tahap ini dilakukan dengan melaksanakan rencana asuhan
kebidanan secara menyeluruh yang dibatasi oleh standar asuhan kebidanan
pada masa postpartum (Wildan& Alimul, 2008:67).
4. Langkah VII (Mengevaluasi)
Langkah ketujuh ini dilakukan evaluasi kefektifan dari asuhan
yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah
benar-benar telah terpenuhi sesuai kebutuhan sebagaimana telah
diidentifikasi dalam diagnosa dan masalah.
Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar
efektif dalam pelaksanaannya. Ada kemungkinan bahwa sebagian rencana
tersebut efektif sedangkan sebagian belum efektif. Mengingat bahwa proses
manajemen asuhan ini merupaka suatu kegiatan yang berkesinambungan
maka perlu mengulang kembali dari awal setiap asuhan yang tidak efektif
melalui manajemen untuk mengidentifikasi mengapa proses manajemen
tidak efektif serta melakukan penyesuaian terhadap rencana asuhan tersebut
(Estiwidani, dkk, 2008:139).
Evaluasi pada masa post partum dapat menggunakan bentuk
SOAP, sebagai berikut:
S : Data subjektif.
Berisi tentang data dari pasien melalui anamnesis (wawancara) yang
merupakan ungkapan langsung.
46
O : Data objektif.
Data yang dipakai dari hasil observasi melalui pemeriksaan fisik pada
masa postpartum.
A : Assesment
Pendokumentasian data hasil analisa dan interpretasi data subyektif dan
objektif
P : Planning
Merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan termasuk asuhan
mandiri, kolaborasi, tes diagnosa atau laboratorium serta konseling
untuk tindak lanjut (Wildan & Alimul, 2008:67).
C. Teori Hukum Kewenangan Bidan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464 Tahun
2010.
pasal 9. Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan
pelayanan meliputi
1. Pelayanan kesehatan ibu.
2. Pelayanan kesehatan anak dan,
3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
47
Pasal 10
1. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a
diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas,
masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.
2. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pelayanan konseling pada masa pra hamil.
b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal.
c. Pelayanan ibu persalinan normal.
d. Persalinan ibu nifas normal.
e. Pelayanan ibu menyusu, dan
f. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.
3. Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksut pada ayat (2)
berwenang untuk:
a. Episiotomi.
b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat satu dan dua.
c. Penangana kegawat daruratan, dilanjutkan dengan perujukan.
d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil.
e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas.
f. Fasilitasi atau bimbingan Inisiasi Menyusu Dini dan promosi air susu ibu
ekslusif.
g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan post partum.
h. Penyuluhan dan konseling.